ISTANA YANG SURAM
Jilid 5
Karya: SH Mintardja
kembali | lanjut
KIAI RANCANGBANDANG menjadi semakin heran.
“Jadi gurumu tidak tinggal di sebuah padepokan atau padukuhan kecil?”
“Tidak Kiai, guruku tinggal di sebuah gubug kecil, di lereng gunung, tidak jauh dari padukuhan, ia hidup menyendiri, tetapi tidak terpisah dari pergaulan hidup yang sewajarnya, ia mengenal setiap orang di padukuhanku dengan baik, bahkan seperti kadang sendiri”
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Memang aneh, gurumu mempunyai kebiasaan yang lain” ia berhenti sejenak, lalu, “Jadi dengan demikian angger Panon Suka melakukan latihan secara terbuka? Maksudku, kadang-kadang juga dilihat oleh orang banyak padukuan itu?”
“Tidak Kiai, aku berlatih seorang diri di halaman belakang gubug guru, jarang orang yang datang ke gubug guruku di lereng kaki Gunung Merbabu itu, hidup guruku benar-benar tidak menarik perhatian, ia tiba-tiba saja tinggal di tempat itu, hanya ayahku sajalah yang banyak mengetahui tentang dirinya. Tetapi ayah tidak banyak bercerita kepadaku tentang guruku itu”
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, ia melihat rahasia yang tersembunyi di dalam perguruan anak muda ini, meskipun ia yakin bukan rahasia yang buruk.
Demikianlah mereka berpacu terus meskipun tidak begitu cepat menuju Lembah Payung di ujung Gunung Sewu.
Namun dalam pada itu di sepanjang jalan, Kiai Rancangbandang masih tetap dipengaruhi oleh gambaran-gambaran yang buram mengenai guru Panon Suka, seseorang yang digambarkannya, hidup menyendiri tetapi tidak terpisah dari pergaulan yang sewajarnya, menenal setiap orang di padukuhannya dengan baik, bahkan seperti kadang sendiri, tetapi orang-orang itu tidak banyak yang mengetahui tentang dirinya, dan jarang sekali yang berkunjung kepadanya karena hidupnya tidak menarik perhatian sama sekali”
Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, terbayang seseorang yang hidup sederhana seperti kebanyakan orang-orang miskin, tetapi yang memiliki ilmu tiada taranya”
Apalagi kemudian ia mengetahui bahwa guru Panon Suka itu adalah seorang yang cacat kaki dan geraknya sangat dibatasi oleh cacatnya itu.
“Dalam keadaanya, bagaimana mungkin ia dapat membentuk seorang anak muda menjadi seorang yang perkasa seperti angger Panon Suka ini?” pertanyaan itu selalu membelit di hatinya, “Tentu orang itu benar-benar bukan orang kebanyakan, meskipun ujudnya tidak lebih sebagai seorang miskin yang hidup dalam gubug yang didirikannya di lereng Gunung Merbabu”
Sementara itu, ketika mereka menjadi semakin dekat dengan lembah Payung, Panon pun menjadi semakin berdebar-debar, ia harus meninggalkan kudanya kepada seseorang dan gurunya nanti akan mencari kuda itu dan mempergunakannya.
“Apakah aku akan berterus terang kepada Kiai Rancangbandang tanpa curiga?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun akhirnya Panon tidak dapat berbuat lain, ketika mereka mendekati padukuhan kecil di lembah Payung, maka Panon pun berkata seperti yang dipesankan gurunya kepadanya.
“Ooo” berkata Kiai Rancangbandang, “Senang sekali jika aku dapat bertemu dengan gurumu nanti”
Panon Suka menarik nafas dalam-dalam.
“Jika demikian, maka biarlah kita menitipkan kuda kita” berkata Kiai Rancangbandang selanjutnya.
“Kiai” berkata Panon Suka yang masih sangat muda dan belum banyak mengenyam hidup, “Jika guruku mengetahui ada dua ekor kuda, maka mungkin guruku akan memutuskan untuk berbuat lain dari rencana semula, guruku sudah berpesan agar tidak ada orang lain yang mengetahui tugasku dan barangkali juga tentang istana kecil itu”
“Angger” berkata Kiai Rancangbandang, “Gurumu adalah orang yang luar biasa, tetapi ia sudah terlalu lama terpisah dari pergaulan hidup orang-orang yang menganggap dirinya mempunyai kelebihan dari orang lain, ternyata bahwa rahasia istana kecil itu seolah-olah telah terbuka, sehingga justru karena itu telah mengundang banyak pihak yang mendatanginya, semula aku pun tertarik pula untuk naik ke Gunung Sewu, tetapi kakang Ajar Respati memberi nasehat yang panjang kepadaku agar aku tidak terseret oleh ketamakan yang bodoh itu, karena itulah aku mengurungkan niatku untuk mendaki sekedar didorong oleh ketamakan dan nafsu, jika sekarang aku pergi, agaknya telah didorong oleh kepentingan yang lain, keteranganmu bahwa kau ingin mencegah guncangan yang dapat timbul, sangat menarik perhatianku, dan aku akan senang sekali jika aku dapat membantumu”
“Aku berterima kasih Kiai, tetapi guru belum mengetahui semua itu”
“Anakmas” berkata Kiai Rancangbandang, “Bahwa Gurumu akan menyusulmu tentu ia pun mempunyai perhitungan tertentu, tetapi sekali lagi, aku kagum karenanya, semuanya itu tentu sekedar didorong oleh firasatnya bahwa sesuatu telah terjadi, bukan karena pendengarannya dari mulut orang lain, hanya orang yang memiliki ketajaman batin yang mempunyai firasat yang sejauh itu”
“Kiai terlampau memuji”
“Aku tidak memuji, tetapi aku benar-benar kagum” ia berhenti senejak, lalu, “Dengan demikian sudah sepantasnya angger menunaikan tugas itu, sentuhan dengan perguruan-perguruan yang lebih dahulu naik ke puncak Gunung Sewu tidak akan banyak menghambat perjalananmu, seandainya kau pergi sendiri”
Panon menarik nafas dalam-dalam, karena itulah maka ia pun tidak berniat untuk menunda keterangannya, sebagaimana pesan gurunya tentang perjalanan yang harus ditempuhnya.
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Benar-benar seorang yang rendah hati, aku akan ikut dengan caramu, agaknya memang menyenangkan sekali untuk memperlakukan diri kita sebagai orang yang tidak perlu mendapat perhatian orang-orang disekitarnya” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekali lagi aku peringatkan, mungkin gurumu belum membayangkan apa yang sebenarnya ada di sekitar istana kecil itu, meskipun aku belum melihat sendiri, tetapi aku membayangkan bahwa setiap orang yang mendekatinya tentu akan dicurigai oleh setiap orang yang sudah ada di daerah itu terlebih dahulu, mungkin mereka yang berterus terang tentang diri mereka dan perguruan mereka, tetapi juga mereka yang menyamar seperti yang akan angger lakukan”
“Tetapi aku harus berhasil masuk istana itu dan bertemu dengan penghuninya jika masih ada” berkata Panon Suka.
“Kenapa?” bertanya Kiai Rancangbandang.
Panon termangu-mangu, tetapi kepercayaannya kepada Kiai Rancangbandang menjadi bertambah tebal, karena itu katanya, “Aku membawa pertanda bahwa aku datang dengan maksud baik, tetapi guruku berpesan bahwa hanya penghuni yang sebenarnya dari istana itu sajalah yang dapat melihat pertanda itu”
Kiai Rancangbandang bergetar mendengar jawaban itu, tetapi ia tidak menampakkan perubahan wajahnya, bahkan dengan senyum ia berkata, “Menarik sekali, tetapi apakah angger dapat mengatakan kepadaku, apakah penghuni itu akan dapat mengenal tanda yang angger bawa?”
“Menurut guru, mereka tentu akan mengenalnya Kiai”
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, betapa hatinya bergejolak, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda apapun juga, sehingga Panon sama sekali tidak menduga, bahwa Kiai Rancangbandang sedang mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa yang pernah didengarnya.
Tetapi akhirnya Kiai Rancangbandang berkata di dalam hatinya, “Bagaimanapun juga, aku wajib membantu anak ini untuk mencegah kekisruhan yang semakin merata di daerah Demak yang baru tumbuh, dengan demikian meskipun hanya seleret hitamnya kuku, aku sudah ikut menegakkan kewibawaan pemerintahan yang sedang berusaha untuk mewujudkan ketenangan dan kedamaian di hati rakyatnya ini”
Demikianlah, dengan hati yang tulus, Kiai Rancangbandang meneruskan perjalanannya di sisi Panon, meskipun kadang-kadang tumbuh juga keragu-raguan atas kebersihan tugas anak muda itu, namun ia melihat kejujuran yang bening memancar dari tatapan mata Panon.
“Jika ada kecurangan yang terjadi atas anak muda ini, tentu bukan karena hatinya yang licik, tetapi mudah-mudahan gurunya benar-benar tidak sekedar memanfaatkan kejujuran anak muda ini” berkata Kiai Rancangbandang pada dirinya sendiri, namun ia tidak henti-hentinya mencari hubungan antara peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada istana kecil itu menurut pendengarannya.
Ketika mereka kemudian memasuki padukuhan kecil itu, Kiai Rancangbandang berkata, “Jika demikian anakmas, baiklah kudamu sajalah yang kau titipkan di padukuhan ini agar gurumu tidak menjadi curiga, aku akan membawa kudaku mendaki terus dan menitipkannya di padukuhan yang kita jumpai di perjalanan nanti”
“Tetapi untuk sementara kita berpisah Kiai, agar orang-orang yang menerima titipan kudaku tidak menyebutkan kepada guru, bahwa aku datang berdua”
Kiai Rancangbandang tersenyum, katanya, “Kau teliti sekali angger, mudah-mudahan bukan sekedar melepeskan diri dari padaku, karena angger segan menolak aku ikut dalam perjalananmu”
“Ah, tentu tidak Kiai, tentu tidak”
“Baiklah, aku akan menunggumu diluar padukuhan ini”
Demikianlah maka mereka pun segera berpisah, Kiai Rancangbandang berkuda terus sampai keluar dari padukuhan kecil di lembah Payung, sedangkan Panon Suka, sesuai dengan pesan gurunya, ia pun menitipkan kudanya kepada seseorang dengan upah sekedarnya.
“Jangan lupa, berilah kuda itu makan, beberapa hari mendatang, seseorang yang cacat kaki akan mengambilnya” berkata Panon Suka kepada orang itu.
“Bagaimana ia tahu bahwa kau menitipkan kuda kepadaku?”
“Kami sudah berjanji sebelumnya”
“Ya, tetapi kau dan orang yang cacat kaki itu belum berjanji untuk menitipkan kepadaku, karena baik kau maupun orang yang cacat kaki itu belum aku kenal”
“Ia akan mencari dan bertanya kepada siapapun di padukuhan ini”
Orang itu mengangguk-angguk, padukuhan ini adalah padukuhan kecil, sehingga tidak akan banyak kesulitan untuk mencari seekor kuda diantara rumah-rumah yang tidak begitu banyak.
Dengan senang hati orang itu menerima uang dari Panon Suka sebagai upah pemeliharaan kudanya sebelum diambil gurunya.
Panon tidak berhenti di rumah itu meskipun penghuninya mempersilahkan.
“Aku tergesa-gesa” berkata Panon.
“Setiap orang tergesa-gesa naik ke atas Gunung Sewu” desis orang itu.
Panon mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah banyak orang yang naik ke Gunung Sewu?”
“Tidak, aku hanya melihat dua orang, tetapi nampaknya, mereka pun tergesa-gesa”
“Ia singgah ke rumah ini juga?”
Orang itu menggeleng, “Tidak, mereka hanya lewat”
Panon mengangguk-angguk, tetapi dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Rancangbandang adalah benar, sehingga terbayang olehnya, bahwa di sekita istana kecil itu, telah berkumpul orang dari perguruan yang berbeda-beda.
“Terima kasih, aku minta diri” kata Panon kemudian Seperti yang sudah dijanjikan, maka Kiai Rancangbandang telah menunggunya di luar padukuhan, mereka pun kemudian bersama-sama melanjutkan perjalanan yang mulai mendaki naik pegunungan Sewu.
Seperti yang mereka rencanakan, agar kedatangan mereka di Karangmaja tidak menarik perhatian, maka Kiai Rancang-bandang pun menitipkan kudanya pula, mereka meneruskan perjalanan seperti dua orang pengembara yang miskin.
“Aku tidak berfikir untuk melakukan perjalanan seperti ini” gumam Kiai Rancangbandang sambil tersenyum.
“Aku pun tidak Kiai” Sahut Panon, “Tetapi guru menhendaki.”
“Aku dapat mengerti maksudnya, agaknya cara ini adalah cara yang paling baik, meskipun tidak akan banyak gunanya, agaknya telah banyak orang yang mendahului kita dengan cara yang aneh-aneh”
Panon Suka mengangguk-angguk, agaknya benar kata Kiai Rancangbandang bahwa gurunya kurang mengenal keadaan Karangmaja pada saat terakhir, saat-saat orang yang menyebut dirinya orang-orang sakti mulai mengenal rahasia yang tersembunyi di istana itu.
“Siapakah yang telah membuka rahasia itu?” bertanya Panon Suka kepada dirinya sendiri, “Dan apakah guru telah mendengarnya pula?”
Tetapi Panon menggelengkan kepalanya untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan itu, ia sadar bahwa teka-teki itu tidak akan dapat segera terjawab.
“Yang penting aku menjalankan saja perintah guru” katanya di dalam hatinya, “Itu adalah kewajibanku”
Di sepanjang perjalanan naik ke atas Bukit Seribu tidak banyak lagi yang mereka perbincangkan, sekali-sekali Kiai Rancangbandang memberikan beberapa petunjuk tentang daerah yang pernah mereka lalui, memeberitahukan beberapa nama padukuhan kecil yang terselip diantara hutan-hutan perdu.
“Apakah penghuni padukuhan itu tidak pernah berpikir untuk untuk mencari daerah baru yang lebih baik Kiai” bertanya Panon.
“Mereka justru sedang mulai membuka daerah baru” jawab Kiai Rancangbandang.
“Kenapa di daerah pegunungan seperti ini?, kenapa mereka tidak saja turun ke daerah ngarai?”
“Keluarga mereka, orang tua mereka dan kakek serta nenek mereka adalah cikal bakal daerah sekitar jalur jalan ini, dengan demikian, maka mereka pun telah membuka daerah baru yang tidak begitu jauh dari sanak kadang mereka”
Panon Suka mengangguk-angguk, ia mulai membayangkan daerah dan padukuhannya sendiri, juga di lereng seperti yang sedang ditempuhnya itu, tetapi di lereng Gunung Merbabu.
“Daerah lereng Gunung Merbabu nampaknya lebih subur” desisnya di luar sadarnya.
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Tanah di lereng Gunung berapi, meskipun sudah jauh susut dan bahkan padam, memang manjadi jauh lebih subur dari pegunungan batu dan tanah liat seperti daerah ini, tetapi di musim hujan itu pun menjadi hijau karena air hujan.
Panon mengangguk-angguk.
“Tetapi ada daerah yang hampir tidak ditumbuhi pepohnan sama sekali, di sekitar bukit Paran dan Bukit Seruni nampaknya seperti sebuah padang kering, tetapi ada beberapa puncak bukit gundul yang sudah menjadi hijau, disekitar daerah Karangmaja bukit gundul itu menjadi hutan yang nampak indah sekali”
“Kenapa harus dibuat hutan buatan, bukankah daerah itu merupakan daerah yang dipenuhi oleh hutan yang sebenarnya?”
“Di lembah dan dataran berair, tetapi tidak di puncak-puncak bukit, beberapa tahun yang lampau, seroang pangeran yang terdesak dari Majapahit telah tinggal di daerah Karangmaja, ia membuat istana kecil yang sekarang menjadi pusat perhatian banyak orang itu, ialah yang mencoba menghijaukan puncak-puncak bukit gundul itu, dan agaknya ia berhasil, selain daerah itu menjadi hijau, ia sudah mengurangi arus air hujan yang membanjir ke lembah-lembah di bawahnya, yang kadang-kadang merusakkan hutan yang ada di lembah itu”,
Panon mengangguk-angguk, tetapi ia tidak begitu memahami keterangan Kiai Rancangbandang, di padukuhannya pepohonan tumbuh di lereng gunung dengan subur dan lebatnya, tidak usah dengan menghijaukannya seperti bukit-bukit gundul di daerah Gunung Sewu ini, sehingga padukuhannya terletak di lingkungan hutan yang lebat di lereng Gunung Merbabu.
Tetapi Panon Suka tidak mengatakannya, ia berdiam diri sambil mengamati keadaan di sekelilingnya yang nampak semakin pudar sejalan dengan surutnya matahari di ujung barat.
“Kita tidak akan sampai ke padukuhan itu hari ini juga” berkata Kiai Rancangbandang, “Kita harus bermalam di perjalanan”.
Panon Suka mengangguk-angguk, diamatinya daerah yang luas dan berbukit-bukit, lereng yang curam dan lembah yang dalam, dikejauhan nampak puncak-puncak yang gundul penuh dengan batu-batu yang berwarna keputih-putihan.
Tetapi semuanya sudah menjadi buram.
“Dimana kita harus bermalam Kiai, di dalam goa-goa yang dangkal atau di pepohonan?”
Kiai Rancangbandang mengerutkan dahinya, lalu, “Kita akan bermalam di pinggir saluran air di lembah itu”
Panon mengerutkan keninngya, lembah itu cukup dalam, dasarnya nampak seolah-olah kehitaman.
“Kita memerlukan air, sekarang dan juga besok pagi”
Keduanya kemudian menuruni tebing yang curam, meskipun cukup sulit, keduanya mempunyai ketrampilan yang memungkin-kan mereka dapat turun dengan selamat.
Di lembah iu mengalir sebatang sungai yang meskipun kecil, tetapi memberikan arti yang banyak bagi keduanya yang baru saja menempuh perjalanan, betapa segarnya tubuh mereka, ketika mereka kemudian mandi di air yang bening, bahkan mereka dapat meneguk untuk menghilangkan rasa haus yang serasa membakar tenggorokan.
“Kita dapat tidur nyenyak disini” berkata Kiai Rancangbandang, “Tidak ada orang yang akan mengusik kita kecuali harimua yang kebetulan saja hendak minum di tempat ini, tetapi sungai ini cukup panjang, sehingga kemungkinan harimau itu datang kemaripun kecil sekali, karena mereke dapat minum di daerah udik atau sebaliknya?”
“Ya Kiai” jawab Panon Suka, tetapi ia pun kemudian mengerutkan keningnya, ketika Kiai Rancangbandang meneruskan, “Meskipun demikian kita harus tetap berhati-hati, kita akan tidur bergantian agar kita benar-benar dapat tidur dengan tenang”
Panon mengangguk-angguk, ia sadar bahwa orang-orang tua biasanya lebih berhati-hati, apalagi di tempat yang kurang dikenal seperti lembah yang curam itu.
Setelah mereka mendapatkan tempat yang baik diatas batu-batu yang besar, maka mulailah mereka beristirahat, Panon Suka harus berjaga-jaga pada separuh malam yang terdahulu, baru setelah tengah malam, ia akan tidur dan membangunkan Kiai Rancangbandang.
Sejenak kemudian, ketika lembah itu menjadi hitam kelam oleh malam yang turun di lereng itu, Kiai Rancangbandang sudah mendengkur, seolah-olah tidak ada persoalan apapun yang dipikirkannya, demikian ia berbaring, demikian ia tertidur.
Panon Suka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ia sendiri digelisahkan oleh tugasnya dan kenyataan bahwa di atas pegunungan Sewu telah berkumpul beberapa orang yang mempunyai maksud yang sama, datang ke istana kecil itu.
Namun agaknya udara yang dingin dan angin yang basah membuat perasaannya menjadi ngelangut.
Tetapi Panon Suka bertahan sempai tengah malam, ketika bintang gubuk Penceng tegak diatas di ujung selatan bumi, barulah ia mendekati Kiai Rancangbandang.
Ternyata Panon tidak usah membangunkannya, kerena Kiai Rancangbandang sudah bangkit sambil menguap.
“Aku tidur nenyak sekali, mudah-mudahan kau pun dapat tidur nyenyak ngger”
Panon mengangguk, dan ia pun kemudian merebahkan tubuhnya diatas sebuah batu, betapapun perasaannya diganggu oleh kegelisahan dan kadang-kadang kecurigaan, namun ia pun akhirnya jatuh tertidur pula.
Panon tidak tahu, betapa nyenyaknya ia tertidur, ketika ia bangun, maka ia melihat sebuah perapian kecil di pinggir sungai, Kiai Rancangbandang duduk sambil memeluk lututnya, kain panjangnya diselubungkannya pada pundaknya.
Panon mengerutkan keningnya ketika ia melihat sesuatu di tangan Kiai Rancangbandang, sesuatu yang dipanggangnya diatas perapian kecil itu.
Perlahan-lahan Panon bangkit dan mencoba mengamat-amatinya, namun agaknya Kiai Rancangbandang sudah melihatnya terbangun berkata, “Aku mendapat seekor pelus yang naik ke pasir, cukup untuk makan pagi kita berdua”
Panon menarik nafas dalam-dalam, ternyata Kiai Rancangbandang sedang memanggang sepotong daging pelus yang besar, yang tentu agak sulit untuk menangkapnya, karena kulit pelus yang sangat licin.
Perlahan-lahan Panon mendekatinya, sambil tersenyum ia berkata, “Kiai pandai menangkap pelus”
“Sejak kanak-kanak aku hidup di pinggir sungai, padepokankupun terletak tidak jauh dari kali opak, aku memang seorang yang ahli mencari ikan sungai”
Panon mengangguk-angguk.
“Cucilah mukamu, dan marilah kita makan pagi sebelum kita meneruskan perjalanan mendaki bukit”
Panon pun pergi ke sungai untuk mencuci mukanya, nampaknya di sungai itu memang banyak terdapat ikan, karena nampaknya jarang orang yang menangkap sampai ke tempat yang membelah lembah yang curam itu.
Sejenak kemudian, setelah makan pagi, maka mereka pun segera brsiap-siap, langir masih nampak gelap, tetapi semburat merah sudah mulai membayang.
“Sebentar lagi fafar akan menyingsing, dan kita akan meneruskan perjalanan ssebagai dua orang pengembara” kata Panon perlahan.
“Apakah pakaian kita terlampau baik bagi seorang pengembara?” bertanya Kiai Rancangbandang.
Panon mengamati-amati bajunya, namun kemudian ia menggeleng, “Mungkin tidak, tetapi bagaimana dengan keris yang Kiai bawa itu?”
Kiai Rancangbandang mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan menyimpannya di bawah bajuku, diatas Gunung Sewu dalam keadaan ini, kita masing-masing memang harus bersenjata”
Panon mengangguk-angguk.
“Agaknya senjatamu agak lain dengan senjata pada umumnya” berkata Kiai Rancangbandang.
Panon meraba ikat pinggangnya, terasa tangannya menyentuh tangkai pisau belatinya yang berderet di ikat pinggangya, meskipun pisau itu hanyalah pisau kecil yang dibuat oleh pandai besi di padesannya.
Sejenak kemudian, ketika langit menjadi semakin cerah, mereka segera memanjat tebing, menerobos pepohonan perdu yang tumbuh di lereng yang curam itu.
Ketika Panon Suka sampai keatas, maka ia pun menggeliat sambil menghirup udara pagi yang segar, seolah-olah ia baru saja keluar dari sebuah ruangan yang gelap dan pengap.
Maka sejenak kemudian keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka menuju padukuhan Karangmaja, namun perjalanan mereka kemudian adalah perjalanan yang sudah mulai menyentuh daerah yang berbahaya bagi mereka.
“Sudah dekat” berkata Kiai Rancangbandang, “Nah, apakah kau akan memanggilku dengan namaku?, mungkin satu atau dua orang yang ada di daerah ini, pernah mendengar namaku, jika diantara mereka ada yang pernah turun ke daerah tepian Kali Opak di ujung Gunung Baka”
Panon Suka mengerutkan keningnya, gumamnya “Bagaimanakah sebaiknya Kiai?”
Kiai Rancangbandang termenung sejenak, kemudian katanya, “Panggil aku Mina, Ki Mina”
Panon mengangguk-angguk, katanya, “Kiai menginggatkan aku akan keahlian Kiai menangkap ikan”
“Menangkap Mina” kata Kiai Rancangbandang, “Nah, mulailah panggil aku Ki Mina”
Dengan demikian maka di sepanjang jalan, Panon memanggil kawan seiringnya dengan nama samarannya, Ki Mina. Dan dalam hubungan mereka, Panon menyebutnya sebagai pamannya.
Matahari yang telah sampai ke puncak langit pun segera miring ke barat, sementara dua orang pengembara itu masih tetap berjalan di atas pegunungan berbatuan padas.
Semakin dekat mereka dengan padukuhan Karangmaja, mereka pun menjadi semakin berhati-hati, meskipun mereka masih belum melihat sesuatu yang dapat menghambat perjalanan mereka.
Dalam pada itu, padukuhan Karangmaja nampaknya masih di selubungi oleh kehidupan sewajarnya, dua orang yang berada di banjar, masih tetap mendapat rangsum makan dan minum. Kidang Alit masih juga selalu pergi ke sungai dan mengganggu gadis-gadis mandi, tetapi bahwa gadis-gadis itu kadang-kadang justru menunggunya.
Beberapa orang yang berada di daerah Karangmaja, nampaknya masih belum menumbuhkan gangguan yang dapat menyulitkan kehidupan penghuninya, selain kegelisahan perasaan.
Namun ternyata bahwa Karangmaja sebenarnya sedang dibayangi oleh sekelompok orang-orang dari perguruan Guntur Geni yang dipimpin langsung oleh orang yang terpercaya, Kiai Paran Sanggit.
Tetapi agaknya Kiai Paran Sanggit tidak langsung mendekati istana kecil itu, ia masih mempunyai banyak pertimbangan bahwa ternyata Karangmaja terdapat banyak orang yang mempunyai kepentingan yang sama dan memiliki ilmu yang harus dipertimbangkan.
Meskipun demikian, sekali-kali Kiai Paran Sanggit berusaha untuk dapat mendengar berita tentang Karangmaja, karena itulah maka, kadang-kadang ia mengirimkan orangnya untuk pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang.
“Orang-orang Karangmaja sering menukarkan barangnya ke padukuhan lain” berkata Kiai Parang Sanggit, “Dan kadang-kadang mereka menjual ternaknya di pasar yang meskipun agak jauh tetapi memberikan banyak kesempatan untuk mendapatkan barang-barang yang mereka butuhkan. Tidak banyak orang Karangmaja yang menenun pakaian, tetapi orang-orang Karangmaja banyak membuat barang-barang dari besi untuk alat-alat pertanian, bahkan agak lebih baik dari padukuhan yang lain. Karena orang-orang Karangmaja mendapat beberapa petunjuk dari Pangeran Kuda Narpada, karena itu, usahakan untuk dapat mendengar tentang Karangmaja, tetapi di Karangmaja agar tidak dicurigai dan langsung berbenturan dengan orang-orang dari Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning”
Dua orang dari Guntur Geni itu dengan mempergunakan pakaian petani biasa, agar tidak menimbulkan kecurigaan, pergi ke pasar di padukuan yang sering dikunjungi bukan saja oleh orang-orang Karangmaja, tetapi oleh padukuhan lain di sekitarnya, sehingga dengan demikian maka kehadiran orang baru tidak banyak menarik perhatian.
Namun pesan Kiai Paran Sanggit kepada anak buahnya adalah, bahwa mereka tidak boleh sama sekali mengganggu orang-orang Karangmaja agar tidak menmbulkan persooalan-persoalan yang dapat mengganggu usaha mereka yang lebih besar dan yang terpenting di istana yang terpencil itu.
Di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, bahkan dari beberapa padukuhan, Karangmaja memang menarik perhatian dan banyak dibicarakan justru karena perkembangan keadaannya yang terakhir, beberapa orang menjadi saling bertanya-tanya, apalagi jika mereka bertemu langsung dengan orang-orang Karangmaja di pasar atau di tempat lain, mereka selalu bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan itu.
“Nampaknya kami dapat hidup seolah-olah seperti biasa” berkata salah seorang dari Karangmaja yang berada di pasar yang ramai, pusat pertemuan orang-orang dari beberapa padukuhan, “Tetapi sebenarnyalah bahwa kami selalu dibayangi oleh perasaan cemas tentang hari depan padukuhan kami”
“Apakah orang-orang yang datang ke padukuhanmu tidak saling mengganggu, atau menganggu penghuni padukuhan?”
“Sampai sekarang mereka tidak berbuat begitu, selain dua orang yang mereka lukai karena sebab yang tidak begitu jelas, tetapi keduanya telah disembuhkan oleh seorang pendatang yang masih muda yang bernama Kidang Alit”
“Untunglah ada seorang anak muda yang bernama Kidang Alit itu”
“Uh, tetapi ia pun mencemaskan kami orang-orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis”
“Kenapa?”
“Ia adalah seorang anak muda yang sering memburu gadis-gadis cantik di padukuhan kami, celakanya, gadis-gadis kami juga senang sekali bergaul dengan anak muda yang tampan dan ramah itu”
“Kalian masih terlampau kaku menghadapi pergaulan anak muda”
“Mula-mula tidak, tetapi ketika sudah ada dua orang gadis yang mengandung, karenanya kami menjadi gelisah”
“O…..” orang-orang yang mendengar percakapan itu mengangguk-angguk.
“Padukuhan kami memang sedang suram”
Kawan-kawannya dari padukuhan lain hanya dapat berkata, “Kasihan, istana itu pada suatu saat mendatangkan kegembiraan, bagi Karangmaja, tetapi disaat yang lain mendatangkan kegelisahan dan bahkan mungkin bencana”.
Demikianlah pembicaraan mereka berkepanjangan, sampai suatu saat orang-orang Karangmaja bercerita tentang tiga orang yang kasar, yang berada di Banjar, dua diantara mereka terbunuh di istana kecil itu, tetapi kemudian datang lagi kawan-kawan mereka dan tinggal di banjar pula. Meskipun hanya dua orang tetapi akibatnya hampir sama. Makan, minum dan bahkan permintaan-permintaan yang memberatkan kami.
Orang-orang Karangmaja itu sama sekali tidak menyadari, bahwa pembicaraan mereka didengar oleh dua orang yang berdiri saja di dekat mereka, nampaknya kedua orang itu sama sekali tidak memperhatkan pembicaraan itu, tetapi hampir setiap kata selalu diingatnya, terutama, ceritera tentang dua orang baru yang ada di banjar.
“Gila” desis salah satu seorang dari kedua orang Guntur Geni yang dengan seksama mendengarkan ceritera itu, “Siapakah yang telah berani mengaku orang-orang dari Guntur Geni?”
“Mereka sama sekali tidak menyebutkan perguruan Guntur Geni, tetapi dua orang yang kasar, yang mirip sifat dan sikapnya dengan tiga orang yang terdahulu”
“Apakah orang-orang Guntur Geni kasar dan rakus?”
Kawannya mengerutkan keningnya, ternyata ia mencoba untuk menilai kawan-kawannya, kemudian berkata, “Agaknya memang demikian, sebutkan seorang diantara kita yang tidak bersikap kasar, Kiai Paran Sanggit barangkali?”
“Ia adakah orang yang paling kasar diantara kita”
“Nah, jika demikian, benarlah bahwa orang-orang Guntur Geni adalah orang-orang yang kasar”
“Tetapi tidak semua orang kasar dan liar adalah orang-orang Guntur Geni”
“Kau benar, tetapi hal ini merupakan persoalan bagi kami, kebencian dan dendam orang-orang Karangmaja kepada kedua orang itu akan ditumpahkan kepada orang-orang Guntur Geni, Kiai Paran Sanggit sudah berpesan agar kita tidak berbuat apa-apa, dan melukai hati orang-orang Karangmaja, bahwa diantara kami telah mengorbankan seorang anak muda Karangmaja untuk menunjukkan kemampuan dan kekasarannya, itu sudah cukup, tetapi salah seorang dari kedua orang yang sekarang berada di banjar itu telah melakukan perbuatan serupa?
“Kita harus melaporkannya”
Kedua orang itu masih berusaha mendengarkan beberapa keterangan tentang Karangmaja, tetapi tidak banyak yang mereka dengar lagi, karena hari menjadi siang, dan pasar itu pun menjadi semakin sepi.
“Kita akan kembali” desis salah seorang dari keduanya.
Kawannya mengangguk-angguk, tetapi matanya tersangkut pada seorang perempuan yang sedang menjual daun pisang di dalam bakulnya.
“Ingat, jangan membuat persoalan disini” desis kawannya.
Yang lain tersenyum, katanya, “Baiklah, aku pun tidak berbuat apa-apa, aku hanya sekedar memandang kecantikannya yang lugu itu saja”
“Setan alas, kau benar-benar hantu bagi perempuan”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Tentu tidak”
“Tetapi isterimu berjumlah tiga orang, sementara kau masih saja bertualang seperti sekarang”
“Mereka hanya memerlukan aku, bukan nafkah, kerena mereka sudah dapat mencari makan sendiri”
Keduanya tidak berbicara lagi, yang seorang menarik tangan yang lain sambil bergumam, “Kita menghadap Kiai Paran Sanggit”
Demikianlah keduanya pun kemudian meninggalkan pasar yang sudah mulai sepi itu, dengan gelisah mereka mencoba menebak siapakah yang berada di banjar padukuhan Karangmaja itu, yang dianggap oleh sebagian dari orang-orang Karangmaja sebagai kawan tiga orang yang terdahulu.
Dalam pada saat itu, bukan orang-orang Guntur Geni itu sajalah yang mendengarkan ceritera tentang Karangmaja, di dalam pasar itu, selain orang-orang Guntur Geni itu, dua orang lainnya telah mendengarkan ceritera-ceritera semacam itu dengan seksama.
“Nah, kau dengar” desis yang tua kepada yang muda.
Yang muda mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Ki Mina, aku mendengar”
“Masih banyak yang dapat kita dengar di dalam hubungan semacam ini, ada baiknya kita langsung berhubungan dengan orang-orang Karangmaja” jawab Ki Mina.
Panon Suka ragu-ragu sejenak, lalu, “Apakah hal itu tidak akan dapat menimbulkan kecurigaan mereka?”
“Mungkin, tetapi kita harus berusaha dengan sangat berhati-hati”
“Tetapi pasar itu telah menjadi sepi”
“Mungkin di warung-warung kita masih dapat bertemu dengan mereka”
Tetapi memang sulit untuk membedakan, yang manakah orang Karangmaja dan dan manakah yang datang dari padukuhan lain, namun dengan menunggu dan mendengarkan pembicaraan mereka beberapa saat, maka Kiai Rancangbandang yang disebut Ki Mina itu pun segera mengetahuim bahwa salah seorang dari mereka yang sedang berada di sebuah warung itu adalah orang Karangmaja.
“Kau dengan percakapan itu” bisik Kiai Rancangbandang yang masih berdiri di muka sebuah warung.
Panon mengangguk-angguk.
“Marilah kita masuk, mumpung tidak ada terlalu banyak orang yang ada di dalamnya”
Keduanya pun segera memasuki warung itu dan duduk di dekat orang Karangmaja yang sedang makan dengan lahapnya setelah ia menghabiskan dagangannya.
“Maaf Ki Sanak” kata Ki Mina.
“Silahkan” sahut orang Karangmaja itu.
Sejenak Ki Mina dan Panon Suka pun minta disediakan dua mangkuk minuman panas.
Untuk beberapa saat mereka masih dapat mendengar, seseorang yang berbicara dengan orang Karangmaja itu. Sekali-sekali diselingi gelak tertawa jika orang Karangmaja itu disela-sela kesibukannya mengunyah makanannya berceritera tentang padukuhannya dengan cara yang lucu.
Ternyata Kiai Rancangbandang dan Panon Suka tidak perlu bertanya lagi kepadanya, karena orang itu telah berceritera pula tentang istana kecil itu.
“Jadi ada seorang Pangeran yang lain yang tinggal disana?”
“Aku tidak tahu apakah ia Pangeran atau bukan, tetapi ia adalah keluarga dari Pangeran Kuda Narpada”
Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk, tetapi keinginan yang mendesak agaknya tidak tertahan lagi, sehingga Kiai Rancangbandang menyela, “Siapakah nama bangsawan itu Ki Sanak?”
Orang Karangmaja itu berpaling, ditatapnya Kiai Rancangbandang yang kemudian menunduk sambil menghirup minuman panasnya.
“Kuda Rupaka” jawab orang Karangmaja itu kemudian, “Ialah yang sudah membunuh dua orang penjahat yang barangkali akan merampok rumah Pangeran Kuda Narpada yang sebenarnya sudah kosong itu”
“Kosong?” Panon Suka bertanya.
“Ya, yang tinggal hanyalah perabot-perabot rumah tangga yang besar-besar, namun tidak cukup berharga. Selama ini isi istana itu harus makan, karena itu kadang-kadang mereka terpaksa menjual sesuatu meskipun orang-orang Karangmaja sering juga datang membantu dengan bahan-bahan mentah. Tetapi Raden Ayu Kuda Narpada tidak mau terlalu banyak merepotkan orang-orang Karangmaja yang kekurangan”
“Jadi siapakah yang sudah dibunuh oleh bangasawan itu?”
“Tidak banyak yang kami ketahui” jawab orang itu, “menurut Ki Buyut, orang-orang itu disebutnya berasal dari perguruan Guntur Geni”
Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, benar-benar perguruan Guntur Geni telah berada di bukit itu. Dan bahkan seperti yang didengarnya, ada beberapa pihak telah saling berbenturan, apa lagi di dalam istana kecil itu telah tinggal seorang bangsawan yang bernama Kuda Rupaka.
“Apakah bangsawan itu bermaksud baik atau sebaliknya?” bertanya Kiai Rancangbandang di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi, dihirupnya minumannya dan dikunyahnya beberapa potong makanan, agaknya Panon pun telah merasa cukup, bukan saja perutnya terlah terisi, tetapi keterangan yang didengarnya telah cukup banyak.
Demikianlah ketika orang Karangmaja itu meninggalkan warung itu, maka Kiai Rancangbandang dan panon Suka pun membayar harga mekanan mereka dan keluar pula dari warung. Diluar Ki Rancangbandang masih sempat bertanya, dagangan apakah yang dibawa oleh orang Karangmaja itu.
“Kau tahu bahwa aku berjualan disini dan kalian tidak berbelanja” bertanya orang Karangmaja itu.
“Kau tidak membawa apa-apa Ki Sanak”
Orang itu tertawa, agaknya ia memang senang berkelakar, jawabnya kemudian, “Aku menjual barang-barang dan alat-alat dari besi, aku adalah pandai besi, bukan saja pandai besi, tetapi aku juga dapat membuat senjata yang baik, ayahku seorang mpu keris yang ternama di Karangmaja, dan aku pun sedang mempelajari dengan tekun”
“Bagus sekali” jawab Kiai Rancangbandang
“Barangkali keris yang kau pakai itu juga buatan ayahmu?”
“Ya, lihat” katanya sambil menghunus kerisnya.
“O” desis Kiai Rancangbandang, “Bagus sekali”
Dengan bangga orang itu pun kemudian pergi meninggalkan Kiai Rancangbandang yang tersenyum, “Tidak lebih baik dari sebuah pisau dapur”
Panon mengerutkan keningnya, diluar sadarnya ia pun bergumam, “Tidak banyak bedanya dengan pisau-pisau belatiku, Paman”
Kiai Rancangbandang tersenyum, katanya, “Memang tidak banyak bedanya, pisau-pisau yang dibuat oleh pandai besi yang tidak banyak mengetahui tentang wesi aji, tetapi baik pisau-pisau belatimu yang berjumlah cukup banyak itu maupun keris yang tidak lebih baik dari pisau dapur itum ditanganmu akan menjadi senjata yang barangkali lebih baik dari pusaka yang manapun juga”
“Ah, Paman selalu memuji seperti Ki Ajar Respati”
Kiai Rancangbandang tertawa, dipandanginya orang Karangmaja yang sudah menjadi semakin jauh.
“Nah, kita sekarang sudah mendapat gambaran yang agak jelas tentang Karangmaja, sebuah padukuhan yang nampaknya masih tetap tenang, tetapi yang sebenarnya diliputi oleh kemelutnya api yang membara didalam sekam, setiap saat akan dapat menjilat keudara dan membakar padukuhan itu menjadi hangus”
“Untunglah aku datang ke padukuhan ini dengan Kiai” berkata Panon, “Jika aku pergi sendiri, mungkin aku akan menjumpai banyak kesulitan”
“Kau akan mengatasinya meskipun mungkin memerlukan waktu yang agak lama”
“Guru tidak banyak memberikan petunjuk tentang kemungkinan-kemungkinan yang ternyata telah terjadi di atas Gunung Sewu”
“Bukan salah gurumu, karena gurumu tidak dapat bergerak dengan bebas karena keadaan jasmaniahnya, maka ia tidak banyak mengetahui dan mendengar tentang padukuhan di atas Gunung Sewu ini”
Panon Suka mengangguk-angguk, kemudian katanya, “Jadi bagaimana sebaiknya paman, apakah kita langsung masuk ke istana itu atau kita menunggu kesempatan yang paling baik?”
“Angger” berkata Kiai Rancangbandang, “Kita tidak tahu, apakah benar para bangsawan yang ada di istana itu dapat dipercaya, dalam keadaan seperti sekarang ini, kita memang wajib bercuriga terhadap siapapun juga, juga kepada keluarga sendiri, karena ia hadir justru setelah Pangeran Kuda Narpapda tidak ada di istana itu”
“Tetapi bagaimana mungkin kita dapat masuk ke dalam istana itu tanpa diketahui oleh kedua bangsawan yang ada di dalamnya?”
“Kita akan mencari jalan, tentu kedua bangsawan itu tidak akan berada di istana itu siang dan malam, pada suatu saat mereka sekali-sekali akan keluar, entah untuk keperluan apa”
“Tetapi jika demikian, seandainya mereka benar-benar mempunyai pamrih, apakah selama itu tidak akan terjadi sesuatu?”
Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, ia mengetahui dari pembicaraan-pembicaraan yang didengar di pasar tentang kemampuan bangsawan itu, yang dapat mengetahui keadaan seseorang yang sedang terluka dengan rabaan jarinya, dan bahwa ia telah membunuh orang yang memasuki istana itu dengan maksud jahat.
Maka itu maka dengan ragu-ragu Kiai Rancangbandang pun berkata, “Kita harus berhati-hati sekali, meskipun kita datang dengan wajah pengemis sekalipun, kita akan tetap dicurigai”
“Jadi?”
“Kita harus benar-benar menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, agaknya kita tidak akan terlepas sama sekali dari suatu tindakan kekerasan menghadapi keadaan di sekitar istana kecil itu”
“Panon mengangguk-angguk, katanya, “Agaknya guru pun mempertimbangkan pula, jika tidak, maka guru tentu tidak perlu memberikan bekal ilmu kanuragan kepadaku”
Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, lalu “Karena itu, jangan terlampau mengalah menghadapi setiap persoalan sebelum kita terlambat mengambil sikap, kau agaknya terlampau sabar menghadapi keadaan, agaknya sikap itu baik sekali kau trapkan pada saat-saat lain, kecuali menghadapi keadaan seperti di atas Gunung Sewu itu”
Panon mengangguk-angguk pula, ia menyadari keadaan yang sedang dihadapinya, agaknya memang bukan sekedar memelihara perasaan dan sikap yang lemah lembut.
“Angger, jika kau sudah bersiap, marilah kita mendekat, apapun yang akan kita hadapi, kita sudah mempertimbangkan kemungkinannya”
“Paman” berkata Panon Suka, “Agaknya keadaan diatas Gunung Sewu itu benar-benar gawat, aku tidak berpikir tentang Paman, aku berterima kasih sekali atas semua kebaikan hati paman, tetapi jika kebaikan hati itu harus dilengkapi dengan kemungkinan yang pahit bagi keselamatan paman, maka agaknya itu sudah terlampau banyak, apakah aku dapat menerima kebaikan hati yang berlebih-lebihan itu?”
Kiai Rancangbandang tertawa katanya, “Kau benar-benar seorang anak muda yang dewasa, kau memiliki daya pikir yang kuat dan mendasar” ia berhenti sejenak, lalu, “Anakmas, aku mengerti perasaanmu, tetapi baiklah kau singkirkan saja sejauh-jauhnya, aku sudah dengan sengaja mengikutimu sampai ke daerah Karangmaja, aku pergi dengan penuh kesadaran atas segala akibatnya”
Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Terima kasih Paman, agaknya tidak ada jalan yang dapat aku tempuh untuk membalas kebaikan hati Paman ini”
“Jangan kau pikirkan, dengan demikian kau akan menambah beban perasaanmu saja, marilah kita mulai dengan kerja yang bagimu sangat penting, juga buat masa depan Demak yang baru tumbuh”
Panon tidak menjawab, terasa sesuatu menyesak dadanya, namun kemudian ia pun menggerakkan giginya, seolah-olah memantapkan tekadnya untuk melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya, bahkan sampai kemungkinan yang paling buruk sekalipun bagi hidupnya.
Karena itulah, maka mereka berdua pun dengan hati-hati berusaha mendekati padukuhan Karangmaja yang meskipun nampaknya masih tetap tenang, tetapi agaknya bagaikan bisul yang sudah masak untuk pecah.
Berbagai pihak yang ada di sekitar Karangmaja telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, semua mata seolah-olah setiap saat tertuju kepada istana kecil yang terpencil itu. Istana yang sudah suram setelah ditinggalkan oleh Raden Kuda Narpada.
***
Sementara itu, Raden Kuda Rupaka yang berada di istana kecil itu pun menjadi gelisah pula, ia mengetahui dengan pasti, bahwa di sekitar istana itu tentu telah bersiap beberapa pihak yang dapat membahayakan istana kecil itu bersama penghuninya.
Karena itulah, maka ia pun selalu memperingatkan Inten Prawesti agar ia tidak keluar dari istana tanpa pengawasannya, karena ternyata anak muda yang bernama Kidang Alit itu memiliki berbagai macam cara untuk menjeratnya, mungkin karena sentuhan perasaannya sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis, tetapi mungkin pula karena maksud-maksud tertentu yang tersembunyi.
“Angger Kuda Rupaka” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada ketika kegelisahan yang sangat telah menyentuh hatinya, “Rasa-rasanya rumah ini telah dikitari oleh bayangan yang buram, bahkan telah terjadi malapetaka yang untung masih dapat diatasi olehmu, apakah panasnya api yang mengelilingi dinding halaman ini?”
Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, sekilas ditatapnya wajah Panji Sura Wilaga, namun kemudian ia pun menggeleng-kan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu bibi, justru sebenarnya akulah yang harus bertanya kepada bibi, apakah ada sesuatu yang merupakan daya tarik dari orang-orang yang tidak dikenal itu untuk datang ke istana ini”
“O…” Raden Ayu Kuda Narpada menjadi heran, “Aku tidak mengerti, menurut hematku, isi istana ini justru sudah hampir habis, maksudku, barang-barang yang berharga, yang ada hanyalah perabot-perabot yang aku kira tidak ada harganya”
Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Tentu mereka menduga bahwa ada sesuatu yang berharga di istana ini, sehingga beberapa orang dari lingkungan yang berbeda telah datang, “
Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin prihatin, ia tidak tahu pasti apa yang terjadi di luar istananya, tetapi firasatnya yang telah menggelisahkannya. Apalagi setelah dua terbunuh di halaman rumahnya, suara seruling yang seakan-akan telah membius anak gadisnya, dan perasaan yang kadang-kadang tidak menentu dan menggelisahkan.
Ketika Raden Ayu Kuda Narpada meninggalkan Raden Kuda Rupaka, maka anak muda itu berbisik di telinga Panji Sura Wilaga, “Bibi tidak mengetahui apapun tentang kemungkinan adanya barang-barang berharga di istana ini”
Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Raden, apakah tidak sebaiknya Raden berterus terang kepada Raden Ayu Kuda Narpada bahwa sebenarnyalah orang-orang yang kini berdatangan ke Karangmaja adalah justru karena istana kecil ini, dengan demikian Raden Ayu mendapat gambaran, betapa rumitnya kedudukannya sekarang, justru setelah Pangeran Kuda Narpada tidak ada lagi”
Kuda Rupaka mengerutkan alisnya, lalu, “Apakah yang harus aku katakan kepada bibi?”
“Istana ini dengan dengan segala isinya harus diselamatkan”
“Ya” wajah Kuda Rupaka tiba-tiba saja telah menyala, “Harus diselamatkan” namun suaranyapun kemudian menurun, “Tetapi sulit untuk keluar dari istana ini sekarang”
“Kita harus bertempur jika ada yang mencoba menghalangi, mudah-mudahan saudara seperguruan Raden dapat melihat kehadiran orang-orang asing di istana ini dan ikut bertanggung jawab atas keselamatan isi istana ini”
“Aku kira bahwa Kamas Bramarasa telah mengetahui kehadiran orang-orang dari Guntur Geni, Kumbang Kuning dan barangkali dari perguruan-perguruan yang lain”
“Tetapi apakah Raden Bramarasa juga akan hadir ditempat ini?”
“Aku yakin, guru tidak akan membiarkan kita berdua terjebak tanpa dapat keluar lagi dari daerah ini, meskipun barangkali kita berdua dapat mengatasi rintangan yang menghalangi jalan keluar dengan kekerasan, tetapi agaknya terlampau berbahaya untuk melakukannya tanpa orang lain. Kita tidak tahu jumlah yang sebenarnya dari orang-orang Guntur Geni, Kumbang Kuning dan perguruan lainnya”
Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi semakin lama daerah ini nampaknya menjadi semakin ramai”
“Yang penting, kita selamatkan istana ini, baru kemudian kita akan menentukan sikap untuk mengamankannya lebih lanjut, jika Kamas Bramarasa tidak berbuat sesuatu, maka segalanya memang terserah kepada kita”
“Semula semuanya sudah diserahkan kepada tanggung jawab kita berdua Raden”
“Tetapi kehadiran orang-orang Guntur Geni dan Kumbang Kuning kurang mendapat perhatian guru dan kamas Bramarasa”
“Sekarang mereka telah hadir disini”
“Nah, barangkali hal itu akan mendesak kamas Bramarasa untuk hadir pula di daerah ini, namun kita tidak menggantungkannya kepada pertolongan itu, kita harus membuat perhitungan tersendiri untuk keselamatan isi istana ini”
Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, lalu, “Tetapi kita belum mengetahui keadaan sebenarnya dari halaman yang tidak begitu luas ini Raden”
“Kita akan melihatnya malam nanti, aku tidak ingin menggelisahkan bibi dan diajeng Inten Prawesti”
Panji Sura Wilaga masih mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Kuda Rupaka, setiap langkah yang nampaknya aneh, tentu akan dapat menggelisahkan Raden Ayu Kuda Narpada, sehingga karena itu maka semuanya dilakukannya dengan hati-hati.
Seperti yang mereka rencanakan, maka ketika malam manjadi gelap, Kuda Rupaka berbisik kepada Panji Sura Wilaga, “Paman, apakah semuanya sudah tidur?”
“Nampaknya sudah sepi Raden, barangkali kita dapat mulai melihat-lihat halaman ini lebih seksama, jika kita pernah melakukannya, hanyalah sepintas lalu saja tanpa dapat mengamati setiap keadaan yang pantas mendapat perhatian”
Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Marilah, jangan membangunkan siapapun juga”
Keduanya pun kemudian dengan hati-hati keluar dari biliknya, dengan hati-hati pula mereka membuka pintu pringgitan.
“Tutup pintu itu kembali paman” bisik Kuda Rupaka.
Keduanya pun kemudian melintasi pendapa dan turun ke halaman, namun sejenak kemudian, mereka telah menyelusuri halaman samping sampai ke halaman belakang.
Dengan ketajaman pandangan mata mereka, keduanya mencoba mencari sesuatu yang menimbulkan dugaan bahwa di dalamnya tersimpan sesuatu yang telah merangsang perguruan-perguruan bahkan dari tempat yang jauh untuk datang ke Karangmaja.
“Tentu ada sesuatu di istana kecil ini” desis Raden Kuda Rupaka, “Diketahui atau tidak diketahui oleh bibi”
Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Tetapi kita tidak melihat tanda-tanda apapun yang dapat mengatakan, bahwa memang ada sesuatu itu”
Raden Kuda Rupaka pun mengangguk-angguk, katanya, “Jika memang ada dan kita tidak melihat tanda-tanda apapun, maka agaknya paman Kuda Narpada telah menyembunyikan sebaik-baiknya, di dalam atau di luar rumah, bahkan bibi sama sekali tidak mengetahuinya”
Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, dengan nada datar ia menyahut, “Dengan cara ini memang sulit untuk mengetahui Raden, apakah tidak sebaiknya, Raden mencoba bertanya langsung kepada bibi Raden”
Raden Kuda Rupaka termenung sejenak, lalu katanya, “Jika tidak ada jalan lain, aku akan bertanya kepada bibi”
“Atau kepada Puteri Inten Prawesti?”
“Ia tidak tahu apa-apa, sedangkan bibi, masih ada kemungkinan mengetahuinya”
Panji Sura Wilaga masih akan menjawab, namun tiba-tiba ia bergeser menepi sambil menggamit Raden Kuda Rupaka yang agaknya telah mengetahui pula, kehadiran orang lain yang tidak mereka kehendaki.
“Kita bersembunyi saja paman” desis Kuda Rupaka.
Keduanya pun kemudian meloncat ke balik sebatang pohon perdu yang rimbun, sehingga keduanya terlindung dalam kegelapan.
Namun Raden Kuda Rupaka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam kegelapan ia berbisik, “Aku sangka orang Kumbang Kuning atau orang Guntur Geni yang akan melihat-lihat kebun istana ini pula”
Panji Sura Wilaga mengumpat perlahan, “Anak-anak gila”
Dalam pada itu di dalam kegelapan, dua orang anak-anak muda sedang berjalan dengan ragu-ragu, bahkan keduanya saling mendorong.
“Kau kan laki-laki kakang”
“Kau jangan ribut saja Pinten” terdengar jawaban Sangkan, “Aku sudah mengantarkan sampai disini, tidak pantas aku ikut masuk ke pakiwan, cepatlah, aku juga ketakutan”
“Aku takut” desis Pinten.
“Masuklah, aku tunggu kau disini, tetapi jangan terlampau lama”
Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu, namun Sangkan kemudian mendorong adiknya sambil berkata, “Jika kau terlalu lama, aku tinggal kau lari”
“Aku akan berteriak”
“Yang datang menolongmu kawan-kawan dari orang yang terbunuh di halaman, kemudian kau dibawanya ke banjar”
“Tidak mau, tidak mau” Pinten justru berpegangan kakaknya semakin erat.
Kuda Rupaka menjadi geli melihat tingkah laku kedua anak-anaknya Nyi Upih itu. Karena itu maka ia menggamit Panji Sura Wilaga sambil berbisik, “Anak-anak gila itu tidak akan segera pergi justru karena keduanya ketakutan”
“Aku ingin mencekiknya saja” geram Panji Sura Wilaga.
“Mereka akan tetap saling mendorong sampai pagi” desis Kuda Rupaka, “Biarlah aku mengawaninya, dengan demikian mereka akan cepat pergi.”
“Mereka akan menjadi manja sekali”
Tetapi Kuda Rupaka tersenyum katanya, “Pada suatu saat mereka akan mati ketakutan melihat peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi di istana kecil ini”
“Sebaiknya mereka pergi agar mereka tidak menjadi beban saja disini”
“Mereka tidak lebih dari badut-badut yang pantas untuk lelucon, sekali-kali kita perlu mengendorkan urat syaraf kita yang selalu tegang”
Panji Sura Wilaga tidak menjawab, dibiarkannya Kuda Rupaka berdiri dan perlahan-lahan mendekati kedua anak-anak muda yang masih saja saling berpegangan.
Bab 17
“Cepat antarkan aku ke sumur” desak Pinten.
“Aku tunggu kau disini, cepatlah sebelum aku lari”
Tetapi Pinten menarik tangan kakaknya, “Aku akan menangis keras-keras, biar Puteri terbangun dan marah-marah kepadamu”
“Pasti kita akan diusir”
“Itukan salahmu”
“Kau memang manja sekali Pinten, kita bukan orang-orang besar yang pantas bermanja-manja, kau harus menjadi lebih berani sedikit”
“Majulah sedikit, berdirilah di depan pintu pakiwan”
Hampir saja Pinten menjerit, ketika tiba-tiba saja mereka melihat sesosok tubuh disamping mereka, untunglah sebelah tangan yang kuat telah menyumbat mulutnya, sehingga suaranya yang hampir terlontar itu telah tertelan kembali.
Perlahan-lahan tangan itu pun kemudian melepaskannya, yang terdengar kemudian adalah tertawa perlahan-lahan, “Kalian anak-anak dungu, penakut dan apalagi, kenapa kalian saling mendorong disini?”
Sangkan yang terkejut bukan buatan, seolah-olah tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya menjadi gemetar.
“He,,!, ngapain kalian disini..!!”
“O…” nafas Sangkan masih tersengal, “Raden mengejutkan kami, hampir saja kami pingsan karenanya”
“Raden hampir saja membunuhku” suara Pinten terputus-putus,
“Jika aku tidak menyumbat mulutmu, kau tentu sudah berteriak, dan seisi rumah ini akan terbangun dan menjadi ribut” berkata Raden Kuda Rupaka yang sengaja mengejutkan mereka.
“Tetapi, jantungku hampir terlepas Raden” berkata Sangkan.
Kuda Rupaka masih tertawa, katanya, “He, kenapa kalian berada disini?”
“Pinten ingin pergi ke pakiwan Raden” jawab Sangkan, “Ia penakut sekali, ia tidak berani pergi sendiri”
“Apakau kau bukan penakut?, kau tidak berani mengantarkan adikmu mendekati pakiwan itu”
“Bukan tidak berani Raden, tetapi tidak pantas sekali, kecuali jika Pinten seorang anak kecil yang baru pandai berjalan, aku dapat mengantarkannya masuk ke pakiwan”
Kuda Rupaka tertawa berkepanjangan meskipun ia masih mencoba menahan tertawanya agar tidak didengar oleh orang-orang lain di dalam istana itu.
“Marilah aku antarkan sampai ke dalam pakiwan” berkata Kuda Rupaka.
“Ah” desis Pinten, “Tidak mau ah, malu”
“Nah, jika kemudian, pergilah. Biarlah kakakmu menunggu disini, aku pun berada disini, kenapa?, kau takut?”
Pinten menjadi ragu-ragu, tetapi ia pun kemudian terpaksa melangkah ke pakiwan sendiri yang tinggal beberapa langkah saja dihadapannya, namun setiap kali ia masih saja berhenti dan menoleh.
Tetapi tiba-tiba saja Kuda Rupaka melangkah maju, disambarnya tangan Pinten dan ditariknya mundur.
“Raden” Pinten berteriak pelan, tetapi Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia sendirilah yang kemudian meloncat maju.
“Raden, kenapa?” Tanya pinten.
Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia telah berdiri tegak menghadap kegelapan, tangannya tiba-tiba saja telah meraba hulu kerisnya yang tidak terpisah dari tubuhnya, dan digesernya ke lambung kanan.
Pinten dan Sangkan termangu-mangu, mereka memandangi saja Kuda Rupaka yang membelakangi mereka dengan sikap aneh.
“Jadi kau mencoba memasuki istana ini di malam hari?” tiba-tiba saja Kuda Rupaka bersuara.
Ternyata dari dalam kegelapan terdengar jawaban, “Suara gadis itulah yang menarik perhatianku, sebenarnya aku tidak mau memanjat dinding, tetapi karena suara gadis itulah aku ingin melihat, siapakah yang bergurau di malam buta seperti ini”
“Kami tidak bergurau” jawab Kuda Rupaka, lalu, “Tetapi seandainya kami bergurau sekalipun, apakah hakmu?, gadis itu sama sekali tidak berkepentingan dengan kau”
“Semula aku mengira bahwa suara perempuan itu adalah suara puteri Inten Prawesti, ternyata adalah suara gadis anak pelayan istana ini”
“Kau tidak berkepentingan dengan kedua-duanya” sahut Kuda Rupaka, lalu ia pun bertanya, “Nah, apakah yang kau kehendaki anak Kumbang Kuning?”
“Kau salah paham” jawab orang di dalam kegelapan itu, “Mungkin aku memang murid perguruan Kumbang Kuning, tetapi jika pengenalanmu adalah karena kau melihat seseoarang yang hadir dalam pertempuran di halaman istana ini antara kau dan anak-anak Guntur Geni, maka kau salah, orang itu bukan aku, dan dengan demikian kau keliru memperhitungkan keadaan”
Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Aku tahu kau menyebut dirimu bernama Kidang Alit, mungkin nama itu bukan namamu yang sebenarnya, tetapi ciri Kumbang Kuning itu justru kau katakan sendiri malam itu”
“Kita sama-sama dihadapkan pada suatu teka-teki, siapakah orang yang hadir pada malam itu dan mengaku anak dari perguruan Kumbang Kuning, kau salah tebak, dan aku pun sama sekali tidak tahu siapakah orang itu”
“Apakah gunanya kau ingkar?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Sudahlah, kita tidak usah berbantah, aku hanya mohon, agar kalian tidak bergurau di malam yang gelap dan sepi ini. Suara seorang gadis yang renyah, membuat hatiku berdebar-debar”
Tiba-tiba saja diluar dugaan, Pinten bertanya dengan lugunya, “Apakah kau menginginkan diriku?”
“Hush..!!” Sangkan menutup mulut adiknya, sementara Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam.
Terdengar Kidang Alit tertawa, lalu, “Jangan bertanya apakah aku menginginkan dirimu, tetapi jika kau sempat, keluarlah dari halaman istana ini sekarang”
Tetapi yang menjawab adalah Kuda Rupaka, “Kidang Alit, setiap orang mengetahui sikapmu terhadap gadis-gadis, agaknya kau telah menaruh perhatian atas dua orang gadis yang ada di istana, meskipun mereka dalam kedudukan yang jauh berbeda, seorang Puteri dan seorang anak pelayan, tetapi bagimu kedua-duanya adalah gadis-gadis cantik yang telah membakar nafsumu”
Kidang Alit tertawa, katanya, “Itu adalah kelebihanku dari anak-anak muda yang lain Raden, tetapi baiklah, aku tidak berkepanjangan, tetapi jika gadis anak pelayan itu ingin keluar dari halaman istana ini, jangan kau halangi, aku akan menjaga keselamatannya”
“Apa yang harus aku lakukan jika aku keluar halaman?” tiba-tiba Pinten bertanya.
“O, anak gila” geram Sangkan sambil sekali lagi membungkan mulut adiknya.
Kidang Alit tertawa semakin panjang, meskipun tidak terlalu keras, katanya, “Sikapmu membuatku semakin gila, kau menjadi semakin dewasa, cobalah kau sadari, bahwa ada perubahan pada dirimu, pada tubuhmu dan pada perasaanmu. Kau tentu mempunyai persoalan yang tidak terpecahkan didalam dirimu saat-saat kau tumbuh dan mekar seperti sekarang ini, persoalan mengenai dirimu dan seleramu terhadap pergaulan, kau tidak menyadari bahwa kau menjadi semakin cantik seperti bunga Arum Dalu disaat-saat menjelang malam, baunya sangat semerbak menggelepar di dalam kegelapan mengusik malam yang sepi, He…, apakah kau mengerti anak manis?”
Pinten tidak menjawab, karena tangan kakaknya masih melekat dimulutnya.
“Jangan terlalu banyak bicara disini anak Kumbang Kuning” Geram Kuda Rupaka.
“Maaf Raden, gadis itu memang sangat cantik, aku mengaguminya seperti aku mengagumi Puteri Inten, tetapi kedua-duanya mempunyai kelebihan sendirisendiri, Puteri adalah seorang gadis yang cantik, agung dan berwibawa, serasa diri ini akan berlutut mencium ujung kakinya dan pasrah apa saja yang harus diperbuatnya, tetapi gadis ini mempunyai ciri yang lain, cantik, jujur dan bening, seperti air gemercik mengalir didasar sungai berpasir, rasa-rasanya setiap orang ingin turun mandi untuk mendapatkan kesegaran baru, apalagi dalam kegersangan seperti sekarang ini”
“Gila” potong Kuda Ruapaka, “Benar-benar kata-kata orang gila, tetapi kata-katamu memang dapat membuat orang lain menjadi gila pula, seperti suara seruling, tetapi ingat, suara serulingmu itu tidak akan berpengaruh apapun bagi istana ini, selama aku masih ada disini”
“Aku tidak membawa seruling sekarang, aku hanya ingin memuji gadis anak pelayan itu, ia mekar pada saatsaat dedaunan di taman sedang layu dan menguning, justru karena itu nampak betapa segar dan cantiknya, seperti tetesan embun diterik matahari, memetik membasahi lidah pengembara yang kehausan”
Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, terasa sesuatu getaran di hatinya, ketika ia berpaling, dilihatnya Pinten masih berdiam diri karena kakaknya masih tetap membungkam mulutnya.
Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka sadar, bahwa Kidang Alit tidak lagi melontarkan kata-katanya dengan wajar, rasa-rasanya ia telah mempergunakan ilmunya, sehingga kata-kata itu tentu telah menusuk langsung membelah hati gadis yang sedang tumbuh dan masih terlalu hijau itu.
Karena itu, maka Kuda Rupaka segera mencoba melepaskan pengaruh ilmu Kidang Alit, yang tidak sedang mempergunakan kekuatan nada serulingnya, tetapi dengan kekuatan bunyi dan kata-katanya, ia melontarkan ilmunya yang dahsyat dan berbahaya bagi gadis-gadis.
“Tetapi Kidang Alit” berkata Kuda Rupaka, “Betapapun indahnya bunga di taman, namun kelembutan tangan juru taman adalah kebahagiaan yang paling didambakannya, jauh lebih jernih dari sentuhan tangan yang kasar dari jejaka yang lidahnya bercabang”
“Auman serigala dimalam kelam, tidak akan berarti apa-apa bagi kelembutan suara burung pungguk yang melanggut melepaskan perasaan rindu”
“Tetapi angin prahara yang berdegup disetiap hari akan membangunkan seseorang dari mimpinya yang paling mengerikan, dan ini adalah akhir dari lamunan yang dapat menyeretnya kedalam jurang kenistaan, karena itu berhentilah, dan pergilah, karena kekuatan bunyi pada kata-katamu sudah tidak berarti sama sekali”
Kidang Alit tiba-tiba saja menggeram, terasa dadanya bagaikan sesak. Ternyata sekali lagi Kuda Rupaka telah membentur kekuatan ilmu gendamnya dan telah memecahkan penguasaannya atas Pinten yang sudah berhasil dicengkamnya, menurut perhitungannya.
“Kau memang mempunyai kekuatan untuk melawan ilmu gendamku Raden” berkata Kidang Alit kemudian, “Tetapi bahwa jika kita pada suatu saat berbenturan sebagai laki-laki di arena perebutan kekuasaan atas sumber wahyu itu, maka kau tidak akan dapat mengalahkan ilmu kanuraganku. Cengkir Pitu bukan nama perguruan yang tidak terkalahkan, karena itu, sebaiknya kau menyadari kedudukanmu Raden, kau bukan orang yang paling berkuasa disini, juga di seluruh daerah Demak.”
“Aku mengerti Kidang Alit, dan aku siap setiap saat, aku juga mengerti bahwa disini ada orang-orang dari Guntur Geni yang tidak mengakui kegagalannya, jika kau jantan, kau tidak usah menunggu orang-orang Guntur Geni, karena aku tahu, dengan licik kau ingin melihat benturan yang terjadi. Dan diatas mayat kedua belah pihak itulah kau akan menarikan tari kemenangan, tetapi kau tidak akan dapat berhasil”
Kidang Alit tidak menjawab, yang terdengar adalah giginya yang gemeretak menahan marah, namun sejenak kemudian maka Kuda Rupaka itu pun menarik nanfas dalam-dalam sambil berkata, “Ia akan kembali pada suatu saat”
Sangkan yang gemetar berjalan mendekati Kuda Rupaka sambil mengandeng Pinten, “Kidang Alit, jadi Kidang Alit telah dengan diam-diam memasuki halaman ini?, dan apakah ia ini sudah pergi?”
“Anak itu memang berbahaya, lebih berbahaya dari orang-orang Guntur Geni” Jawab Kuda Rupaka.
“Ia sudah pergi?” ulang Sangkan.
“Ya, ia sudah pergi”
Sangkan menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berpaling kepada adiknya yang masih saja dibimbingnya, “O, anak dungu. Apakah kau ingin masuk ke dalam mulut buaya itu?, Eh maksudku, kau jangan mendekat” Ia berhenti sejenak, selangkah ia mendekati Kuda Rupaka, “Tetapi bukankah ia sudah benar-benar pergi dan tidak mendengar kata-kataku”
Kuda Rupaka tersenyum, jawabnya, “Ia sudah benar pergi, ia tidak mendengar kata-katamu, kecuali ia mempergunakan Aji Sapta Pangrungu”
“Tetapi apakah anak muda itu memiliki ilmu itu?”
“Aku tidak tahu, ia memiliki bermacam-macam ilmu”
Wajah Sangkan menjadi semakin pucat, lalu, “Tetapi apakah ia marah jika ia mendengar kata-kataku?”
“Tentu ia akan marah”
“Tetapi, tetapi aku tidak bermaksud jahat, aku hanya memperingatkan adikku agar tidak merasa dirinya penting dan diperlukan orang lain”
Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Jangan takut, selama aku masih ada disini, ia tidak akan berani berbuat apapun juga atas keluarga istana ini”
“Terima kasih Raden” kata Sangkan.
Tetapi baru saja mulutnya terkatub, ia sudah melonjak ketakutan ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak, apalagi Pinten yang tiba-tiba saja sudah bersembunyi dibelakang kakaknya.
“Jangan takut, itu adalah paman Panji Sura Wilaga”
“O…..” Sangkan mengusap dadanya, “Tuan membuat kami ketakutan”
Panji Sura Wilaga mengumpat, katanya, “Pengecut macam kalian ini sama sekali tidak ada harganya, sebelum kalian mati membeku disini, sebaiknya kalian kembali ke padukuhanmu”
“O…” Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi tuan, biyungku ada disini, dan aku senang tinggal disini”
“Tetapi disini kalian akan selalu ketakutan, jika kalian memiliki sedikit saja keberanian, setidak-tidaknya untuk tidak berteriak, maka kalian masih ada juga gunanya disini, membantu membersihkan halaman, mengambil air dan semacam itu, tetapi sifat pengecut kalian yang berlebih-lebihan, pada suatu saat akan tidak menguntungkan, baik bagi isi istana ini seluruhnya, maupun bagi dirimu sendiri”
Sangkan tidak menyahut, tetapi kepalanya sajalah yang munduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi dirinya sendiri dan adik perempuannya yang akan selalu menjadi beban orang-orang lain.
“Sudahlah paman” berkata Kuda Rupaka, “Biarlah mereka kembali ke biliknya, memang harus ada pemecahan bagi mereka disini”
Sangkan dan Pinten tidak menyahut.
“Masuklah” berkata Kuda Rupaka.
“Baik Raden” jawab Sangkan.
Tetapi ketika ia mulai melangkah sambil membimbing adiknya, maka Pinten pun berkata, “Aku akan ke pakiwan dahulu, bukankah aku belum sempat?”
“O…., anak gila” desis Panji Sura Wilaga sambil melangkah pergi.
Kuda Rupaka tertawa, tetapi ketika ia pun akan melangkah pergi, Sangkan berkata, “Maaf Raden, apakah Raden mau menunggu sebentar?”
Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, sementara Panji Sura Wilaga menggeram sambil melangkah menjauh, “Lebih baik kalian dimakan hantu sekarang juga, atau diterkam Kidang Alit itu sama sekali”
Tetapi Kuda Rupaka tertawa sambil berkata, “Cepat”
Pinten pun kemudian berlari-lari kecil ke pakiwan, sedangkan Sangkan melangkah beberapa langkah maju agar adiknya tidak selalu berteriak ketakutan.
Baru kemudian setelah mengucapkan terima kasih, keduanya pun kembali kedalam biliknya, mereka berdesakkan dahulu mendahului masuk meloncat pintu, sehingga pintu itu berderak.
“Siapa?” bertanya Nyi Upih.
Kedua anak itu tidak menjawab, bahkan kemudian mereka pun berjingkat masuk, dengan hati-hati Sangkan menutup pintu itu agar tidak mengejutkan Nyi Upih yang agaknya juga terbangun.
Karena tidak ada jawaban, maka Nyi Upih hanya sekedar membetulkan selimutnya, meskipun ia melihat kedua anaknya merangkak ke pembaringan masing-masing.
Sementara itu Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga pun tidak melanjutkan usahanya mencari ciri-ciri yang dapat menjadi pertanda bahwa di halaman atau di kebun belakang istana itu tersimpan sesuatu yang berharga yang telah mengundang beberapa pihak untuk datang ke istana kecil itu, bahkan mereka menganggapnya sebagai isyarat untuk mendapatkan wahyu, sehingga akan dapat mengangkakt derajat mereka, dan bahkan memberikan kesempatan untuk merayap keatas tahta.
“Anak-anak itu memang gila” berkata Panji Sura Wilaga setelah mereka berada di dalam biliknya.
“Tetapi memberikan kesegaran tersendiri paman”
Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Tetapi agaknya perebutan wahyu itu menjadi semakin jelas”
Kuda Rupaka mengangguk-angguk sambil berjalan mondar-mandir didalam biliknya, ia berkata, “Aku tidak mengerti, berita itu nampaknya tersebar cepat sekali, sekarang yang ada di padukuhan ini baru anak-anak Guntur Geni dan Kumbang Kuning, tetapi beberapa pekan lagi, ada kemungkinan orang-orang baru dari perguruan-perguruan lain saling berdatangan”
“Ternyata siapa yang kuat, ialah yang akan membawanya” desis Panji Sura Wilaga.
“Itu jika yang mereka cari ternyata ada disini”
Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Sudah tentu Raden, jika yang mereka cari ada disini, dan kita yang bebrada di dalam istana ini harus mempertahankannya”
Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum, “Tentu yang dicari oleh beberapa pihak itu tidak akan berguna lagi disini, Pamanda Kuda Narpada sudah tidak ada lagi, siapakah yang akan membutuhkannya?, karena itu, kitalah yang wajib mempertahankannya”
Panji Sura Wilaga akan mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah-olah tertelan kembali bersama ludahnya.
Sambil menggeleng ia kemudian berkata, “Ya, ya, begitulah”
Kuda Rupaka justru tertawa, katanya, “Yang ada disini hanyalah diajeng Inten Prawesti, jika wahyu itu ada padanya, maka sudah barang tentu harus ada orang yang menjadi pelaksananya”
“Ya, ya, begitulah”
Kuda Rupaka masih saja tertawa, bahkan kemudian ia menepuk bahu Panji Sura Wilaga sambil berkata, “Apakah kau keberatan?”
“Tidak, tidak, Raden”
Kuda Rupaka mengangguk-angguk, sambil duduk disisi Panji Sura Wilaga ia berkata, “Ah, sudahlah, aku ingin tidur nyenyak malam ini, Kidang Alit tentu tidak akan mengangguku lagi”
Perlahan-lahan Kuda Rupaka pun segera meletakkan tubuhnya di pembaringan, namun ternyata bahwa matanya sama sekali tidak terpejam,
“Raden tidak akan dapat tidur malam ini” desis Panji Sura Wilaga.
“Ya, demikianlah agaknya”
Panji Sura Wilaga tidak menyahut, ia pun kemudian berbaring pula di pembaringannya, tetapi ternyata ia pun sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, meskipun ia sebenarnya ingin dapat tertidur meskipun hanya sejenak.
Mereka berdua saling berpandangan dari pembaraingan masing-masing, ketika sorot matahari pagi sudah membayang di dinding, bahkan sambil tersenyum Kuda Rupaka bangkit dari pembaringannya dan berkata, “Paman juga tidak dapat tidur semalam suntuk”
“Ya, aku menjadi gelisah sekali” jawab Panji Sura Wilaga, “Aku menjadi cemas jika iblis itu kembali lagi”
“Kidang Alit maksud paman?”
“Ya”
“Ia pun tidak akan menemukan apa-apa di halaman dan kebun istana ini”
“Masih belum pasti Raden, jika dengan tidak sengaja ia berbuat sesuatu sehingga ia mendapatkan suatu petunjuk”
Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Aku yakin, dengan cara itu, ia tidak akan mendapat apa-apa, dan mungkin ia sama sekali tidak akan melakukannya, karena ia menyangka bahwa bibi tentu mengetahuinya, ia akan datang dan memaksa bibi untuk menunjukkannya”
Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, lalu, “Jika demikian, sebaiknya Raden jangan terlambat, jika orang lain mendahuluinya, akibatnya akan buruk sekali”
“Aku akan mencoba bertanya kepada diajeng Inten Prawesti meskipun dengan cara yang tidak langsung, aku akan dapat mengetahui, apakah ia menjawab sebenarnya apa tidak”
“Apakah tidak lebih baik langsung kepada bibi, Raden?”
“Aku tidak ingin tergesa-gesa dan membuat bibi salah paham, karena itu, aku harus berhati-hati”
Panji Sura Wilaga tidak menyahut lagi, perlahan-lahan ia pun kemudian keluar dari biliknya dan pergi ke pakiwan”
Seperti biasanya, air di pakiwan sudah penuhm sejak Sangkan dan adiknya Pinten ada di istana itu, maka air di jambangan tidak pernah kering dan halaman dimuka istana dan kebun di belakangpun selalu nampak bersih.
Sejenak kemudian maka Raden Kuda Rupaka pun segera menyusul pula, di sudut istana ia berhenti dengan Sangkan yang sedang menyaingi sepotong pohon soka putih.
Tetapi Kuda Rupaka tidak bertanya sesuatu, ia hanya menyentuh Sangkan yang sedang berjongkok.
Ketika Sangkan berpaling, Kuda Rupaka hanya tersenyum saja tanpa berhenti.
Sangkan menarik nafas, ada sesuatu yang agaknya terlintas di kepalanya, tetapi ia tidak mengatakan apapun juga, ia kembali sibuk dengan sebatang pohon soka putih yang dicangkoknya dari sebatang yang tumbuh di sudut kebun belakang istana itu.
Setelah makan pagi, maka Kuda Rupaka benar-benar ingin bertanya sesuatu kepada Inten Prawesti. Karena itu, maka ia pun kemudian mengajaknya pergi ke halaman seperti yang sering dilakukannya untuk melihatlihat pohon-pohon bunga yang nampak semakin segar setelah terpelihara oleh Sangkan dan Pinten.
“Sangkan menanam sebatang soka putih di sudut istana” berkata Raden Kuda Rupaka.
“O….” desis Inten Prawesti, “Akulah yang minta kepadanya, apakah ia sudah melakukannya?”
“Marilah, aku akan menunjukkannya”
Dengan senang hati Inten Prawesti mengikuti Kuda Rupaka ke sudut istana untuk melihat sebatang pohon soka putih yang baru saja disaingi oleh Sangkan.
“O…, aku tidak melihat, kapan ia menanam pohon itu disini?” bertanya Inten Prawesti.
“Baru beberapa hari, tetapi ternyata rerumputan liar tumbuh lebih dahulu dari pohon soka itu” sahut Kuda Rupaka.
Inten tersenyum, katanya, “Pohon soka putih ini akan segera berbunga. Menyenangkan sekali, aku akan menyuruhnya menanam soka merah di halaman depan”
“Bukankah sudah ada dua batang soka merah di depan?”
“Dua batang lagi” jawab Inten.
Kuda Rupaka tidak menyahut, dibiarkannya Inten mengamati pohon soka putih yang sudah mulai bersemi itu.
Baru setelah ia puas, maka keduanya pun berjalan menyusuri kebun belakang sambil melihat-lihat tanaman yang semakin rapi dipelihara oleh Sangkan dan Pinten.
Ketika mereka berdiri dibawah bayangan daun kemuning, maka seolah-olah diluar sadarnya, Raden Kuda Rupaka bertanya, “Diajeng, ketika kalian meninggalkan Majapahit, apakah diajeng pergi bersama ayahanda?”
“Ya, kamas, Ayah yang terdesak di peperangan, telah mengirimkan beberapa orang pengawal untuk menyingkirkan aku dan ibuku, waktu itu, kami tidak tahu, kemanakah kami akan pergi, tetapi pergi dari Kota Raja adalah lebih baik dari pada menjadi puteri boyongan”
Kuda Rupaka mengangguk-angguk.
“Ternyata kami dapat bertemu dengan ayah dan pasukannya yang parah, maka mulailah perjalanan kami yang panjang”
“Apakah pasukan pamanda Kuda Narpada pasukan yang terakhir meninggalkan Kota Raja?”
“Ayahanda masih bertahan pada saat Perbu Brawijaya meninggalkan istananya dan menyusuri daerah selatan menuju ke barat. Ayah masih berusaha menahan arus pasukan lawan dan memberikan kesempatan kepada Perabu Brawijaya untuk berjalan semakin jauh, namun ternyata pasukan ayahanda tidak dapat berjalan lagi, ayahanda tidak mau mengorbankan setiap orang di dalam pasukannya. Karena itu, setelah ayahanda yakin bahwa Prabu Brawijaya selamat meninggalkan Kota Raja, maka ayahanda pun menarik pasukannya yang tidak lagi dapat menunggu keajaiban untuk memenangkan perang, kenyataan itulah yang memaksa ayahanda sampai ke tempat ini dan tinggal terpencil bersama penghuni padukuhan Karangmaja”
Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Benar-benar seorang pahlawan yang tiada taranya, pamanda Pangeran Kuda Narpada adalah senapati yang terakhir sekali meninggalkan Kota Raja yang hancur akibat perang itu, tentu setiap orang mengaguminya”
“Ah, sudahlah kamas Kuda Rupaka, sebaiknya kita tidak usah mengenangnya lagi, ayahanda kini sudah tidak ada, justru setelah perang selesai”
“Tetapi itu tidak mengurangi kebesaran nama pamanda Kuda Narpada” Kuda Rupaka menjadi ragu-ragu, namun sejenak kemudian ia berkata, “Tentu saja sifat kandel pada pamanda Kuda Narpada sehingga ia mampu menahan arus yang menurut pendengaranku bagaikan banjir bandang melanda Kota Raja, sedangkan para senapati dan panglima Majapahit sudah tidak lagi memiliki kebesaran jiwa dan dan kesetiaan kecuali beberapa orang saja, termasuk pamanda Kuda Narpada”
Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu kamas”
“Tentu, tentu kau tidak mengetahui, tetapi pamanda tentu memiliki sebuah atau sebilah pusaka bagi dirinya sendiri dan pasukannya”
Dengan tegang Kuda Rupaka menunggu jawaban Inten Prawesti, namun ternyata gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengetahui kamas”
Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun ia masih bertanya, “Apakah senjata terakhir yang dibawa oleh pamanda dari Majapahit?”
“Ayahanda tidak membawa senjata apapun”
“Tombak?”
Inten Menggeleng.
“Keris?”
Inten mengingat-ingat, namun kemudian ia mengangguk, “Ya, ayahanda membawa sebilah keris, hanya keris itulah senjata ayahanda yang dibawanya sampai ke tempat ini”
Kuda Rupaka menjadi semakin berdebar-debar, dengan mata yang dalam ia bertanya, “Apakah diajeng mengetahui serba sedikit tentang keris itu?”
Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu sama sekali”
“Tetapi setelah pamanda pergi, dimanakah keris itu disimpan?”
“Tentu dibawa oleh ayahanda” Jawab Inten, “Keris itu tidak pernah berpisah sama xekali dengan ayahanda”
“Ah, apakah benar bahwa keris itu telah dibawa oleh pamanda pada saat pamanda meninggalkan istana ini, bersama pamanda Cemara Kuning dan pamanda Sendang Prapat?”
Inten mengingat-ingat tetapi jawabnya kemudian, “Aku tidak ingat lagi, apakah keris itu telah dibawa oleh ayahanda, tetapi saat itu ayahanda memang tergesa-gesa sekali”
Raden Kuda Rupaka menjadi tegang, namun kemudian ditenangkannya dirinya sambil berkata, “Mungkin bibi Kuda Narpada dapat mengingatkan, apakah keris itu dibawa oleh pamanda Kuda Narpada, apakah ditinggalkannya pada bibi dan disimpannya dengan baik”
Inten Prawesti merenung sejenak, tetapi ia sama sekali tidak ingat lagi saat ayahandanya meninggalkan istana itu, apalagi pada saat itu mereka sama sekali tidak memikirkan lagi tentang keris atau jenis-jenis pusaka yang lain, terdorong oleh kegelishan karena kepergian Pangeran Kuda Narpada, meskipun pangeran itu pergi bersama dua orang saudara dekatnya, namun rasa-rasanya seluruh keluarga saat itu telah mengetahui, bahwa pangeran Kuda Narpada akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan.
Karena itulah, maka Inten Prawesti pun berkata “Baiklah kamas, aku akan mencoba bertanya kepada ibunda. Apakah ibunda masih ingat, dimanakah pusaka ayahanda yang berupa keris itu”
Namun Kuda Rupaka kemudian tersenyum sambil berkata dengan nada datar, “Tetapi jangan menimbulkan kegelisahan pada ibunda diajeng. Anggaplah pertanyaan itu tidak ada artinya sama sekali, selain kecemasan bahwa pusaka yang barangkali sangat berharga bagi Demak itu hilang tanpa bekas, atau jatuh ketangan orang-orang yang tidak berhak”
Inten mengangguk katanya, “Aku akan mencobanya”
Demikianlah mereka masih melangkah beberapa langkah lagi di kebun belakang untuk melihat-lihat pohon-pohon bunga yang beraneka warna, Sangkan dengan telaten telah menanam berbagai macam bunga dalam kelompok-kelompok yang dapat memberikan campuran warna yang menyenangkan. Daun udan mas yang diseling oleh sebatang lopengan-lopengan, memberikan latar belakang yang manis pada sebatang pohon bunga ceplok piring yang berwarna putih kapas. Sedangkan diantara pohon-pohon yang bunga itu, Sangkan dapat menyelipkan pohon-pohon empon yang berguna bagi pengobatan. Pohon temulawak yang tumbuh disela-sela batang-batang kunir dan jahe, tumbuh di sepanjang dinding belakang, sedangkan batang-batang nyidra juga memberikan bunga-bunganya yang berwarna kemerah-merahan, disela-sela pohon sirih yang merambat pada anjang-anjang bambu di pinggir umur.
Namun langkah mereka terhenti, ketika keduanya melihat dibawah sebatang soka putih yang sudah tumbuh dengan rimbunnya. Pinten tengah duduk di sebuah batu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Bab 18
“Pinten” Inten Prawesti kemudian berlari-lari mendekatinya, “Ada apa?”
Pinten mengusap matanya yang basah dan kemerah-merahan,
“Kau menangis?”
Pinten mengangguk
“Apa yang terjadi?”
“Kakang Sangkan nakal sekali”
“O…” Inten menarik nafas dalam-dalam, “Apakah yang sudah dilakukannya atasmu?”
“Kakang Sangkan yang merasa takut tinggal disini, ingin pergi meninggalkan biyung dan aku, sebenarnya aku ingin ikut, atau Kakang Sangkan yang tetap tinggal bersama biyung disini”
Inten Prawesti terkejut mendengarnya, dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kenapa Sangkan akan pergi, Pinten”
Pinten mengusap air matanya, katanya, “Seperti yang dikatakan oleh Raden Panji Sura Wilaga, bahwa ia semakin ketakutan disini apabila persoalan-persoalan yang timbul menjadi semakin gawat, sebelum ia mati membeku disini, baginya lebih baik untuk pergi saja kemanapun juga, asalkan menjauh jauh dari tempat ini”
“O…” Inten pun kemudian berjongkok, “Pinten, seharusnya kakakmu tidak usah takut tinggal disini, apakah yang sebenarnya telah terjadi dan membuat takut kakakmu?”
Raden Kuda Rupaka yang mendengar percakapan itu menjadi berdebar-debar, namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Tidak diajeng, Paman Panji Sura Wilaga memang senang bergurau, ketika semalam Kidang Alit mencoba memasuki halaman ini, Pinten dan Sangkan secara kebetulan melihatnya, tetapi saat itu aku pun ada di kebun belakang ini, sehingga Kidang Alit tidak dapat berbuat apa-apa” ia berhenti sejenak, beberapa langkah ia maju mendekati Pinten sambil berkata, “Katakan kepada kakakmu bahwa paman Panji hanya bergurau, ia jengkel melihat Sangkan yang penakut sekali, sehingga karena itu, maka ia justru menakut-nakutinya sama sekali”
“Jadi Kidang Alit berani memasuki halaman ini?”
“Jangan hiraukan diajeng, aku masih disini”
Inten Prawesti merenung sejenak, namun kemudian ia pun memandang wajah Pinten sambil berkata, “Katakan kepada kakakmu, ia tidak perlu pergi meninggalkan rumah ini, paman Panji hanya hanya sekedar bergurau, meskipun ia jengkel melihat tingkah laku kakakmu yang penakut itu, tetapi itu bukan berarti bahwa kakakmu harus pergi”
“Kakang sudah berkemas, sekarang ia ada di dalam biliknya, aku disuruhnya pergi keluar, agar aku tidak membuatnya ragu-ragu meninggalkan istana ini”
Inten menjadi semakin berdebar-debar, dan tiba-tiba saja ia berdiri, sambil menarik tangan Pinten dan berkata, “Aku akan menasehatinya” lalu ia berpaling kepada Kuda Rupaka, ia berkata.
“Kamas marilah, kamas dapat memberitahukan kepadanya, agar ia tetap tinggal disini”
Kuda Rupaka tertawa pula, katanya, “Baiklah, aku akan mencoba menahannya”
Dengan tergesa-gesa Inten pun kemudian pergi ke bilik Sangkan, dilihatnya anak muda itu sedang membungkus selembar pakaiannya yang kusut, itu adalah satu-satunya kekayaan selain yang sedang dipakainya.
“Sangkan” berkata Inten Prawesti ketika melangkah berdiri diambang pintu, “Apakah benar kata adikmu, bahwa kau akan meninggalkan rumah ini?”
Sangkan menjadi ragu-ragu sejenak, ditatapnya wajah Inten dengan tajamnya, sehingga gadis itu pun memalingkan wajahnya.
Beberapa saat lamanya Sangkan seolah-olah sedang berpikir, namun kemudian jawabnya, “Ampun puteri, sebenarnyalah aku tidak akan berarti apa-apa disini, selebihnya aku memang takut sekali apabila pada suatu saat, akan terjadi apapun di istana ini.
“Apakah yang akan terjadi disini?” bertanya Inten.
“Tidak ada apa-apa” jawab Kuda Rupaka mendahului Sangkan, “Disini tidak akan terjadi apapun juga, apalagi selama aku disini bersama paman Panji Sura Wilaga”
“Tetapi bukankah Raden Panji kemarin mengatakan bahwa aku akan mati ketakutan”
Raden Kuda Rupaka tidak dapat menahan tertawanya, katanya, “Kau memang penakut sekali Sangkan, dan agaknya paman Panji agak berlebihan pula menakut-nakutimu, tetapi yakinlah bahwa ia hanya sekedar berguaru”
Sangkan menjadi bingung.
“Sangkan” suara Inten menurun, “Kau tidak usah pergi, adikmu akan menjadi sedih, ia tidak dapat ikut bersamamu karena kepergianmu tidak tentu arah dan tujuan, tetapi ia tidak akan dapat tenang tinggal disini setelah kau pergi”
Sangkan menundukkan kepalanya.
“Jawablah Sangkan” desak Inten yang tanpa disadarinya telah berdiri disamping Sangkan yang sedang mengemasi pakaiannya di pembaringannya itu.
“Tetapi, apakah aku tidak akan mati membeku disini?”
Kuda Rupaka masih tertawa, katanya, “Kau adalah laki-laki Sangkan, berbuatlah seperti laki-laki, aku juga tidak takut mati disini, meskipun aku tahu kemungkinan itu ada, bukankah kau tahu bahwa pernah ada orang yang memasuki istana ini dan memaksa bibi untuk menyerahkan barang-barang berharga?”
Sangkan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Kau tidak boleh pergi Sangkan” kata Inten, “Dimana ibumu sekarang?”
“Biyung belum mengetahuinya puteri”
“Sudahlah, jika ibumu mengetahui, ia pun akan menjadi bersedih seperti adikmu”
Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ketika ia berpaling kearah adiknya. Dilihatnya adiknya mengusap air mata yang membasahi pipinya.
“Jangan menangis Pinten” berkata Sangkan.
“Kaulah yang harus menentukan sikapmu“ Potong Inten Prawesti
“Ampun puteri, suara Sangkan terputus-putus, ia mengangkat kepalanya, ia pun beringsut setapak, karena Inten berdiri terlalu dekakt disisinya.
“Berjanjilah, agar adikmu tidak menjadi sedih” kata Inten.
Sangkan berpaling kepada adiknya, kemudian katanya, “Baiklah puteri, atas nasehat Raden Kuda Rupaka dan puteri Inten Prawesti, aku akan mencoba tinggal di istana ini lebih lama lagi, tetapi jika kemudian aku hanya akan menjadi permainan perasaan takut dan bahkan mungkin aku benar-benar akan mati membeku, maka aku akan mohon diri untuk meninggalkan istana ini”
Raden Kuda Rupaka pun kemudian mendekatinya, sambil menepuk bahu Sangkan ia berkata, “Belajarlah menjadi seorang laki-laki”
Sangkan memandang Kuda Rupaka dengan heran, namun yang dilihatnya hanyalah senyum yang bermain dibibir anak muda yang perkasa itu.
“Marilah kita tinggalkan saja anak itu diajeng” berkata Kuda Rupaka kemudian, “Biarlah ia mendapat kesempatan untuk merenungi dirinya sendiri”
Namun tanpa diduga sama sekali oleh Sangkan, Inten Prawesti pun menepuk bahunya pula sambil berkata, “Jangan takut, disini ada kakangmas Kuda Rupaka”
Sangkan mengangguk-angguk.
“Dan jagalah adikmu baik-baik“ pesan Inten kemudian sambil melangkah meninggalkan bilik itu diikuti oleh Kuda Rupaka.
Sepeninggal Kuda Rupaka dan Inten Prawesti, Pinten mendekati kakanya sambil berbisik, “Bukankah itu maumu?”
“Apa?”
“Puteri melarangmu pergi sambil menepuk bahumu?”
“Ah, kau aneh Pinten, apakah aku memang harus pergi?”
Pinten tiba-tiba saja tersenyum, tetapi ia pun kemudian berkata, “Sudahlah, simpanlah barang-barang yang tidak perlu kau kemasi lagi itu, simpanlah baik-baik”
Sangkan mengerutkan keningnya, sejanak ia memandang ke pintu yang masih terbuka, katanya, “Raden Kuda Rupaka dan puteri sudah mengetahui, bahwa bungkusan kecil itu adalah kekayaanku”
“Ya”
“Mudah-mudahan puteri tidak ingin tahu lebih banyak kagi tentang bungkusan kecil ini”
“Letakkan saja di sudut pembaringanmu, tidak akan ada orang yang tertarik pada kekayaanmu itu”
Sangkan menarik nafas dalam-dalam, wajahnya berkerut ketika ia melihat Nyi Upih berdiri dimuka pintu.
“Ah” desis Sangkan, “Aku akan menyimpan bungkusan ini biyung”
“Barang-barangmu?”
“Ya”
“Letakkan saja di pembaringanmu” jawab Nyi Upih acuh tak acuh, “Apakah Raden Kuda Rupaka dan puteri baru saja dari bilik ini?”
Sangkan dan Pinten mengangguk berbarengan.
“Apakah yang dikatakannya?”
“Tidak apa-apa” jawab Sangkan.
“Puteri dan Raden Kuda Rupaka mencegah kakang”
Nyi Upih mengerutkan keningnya.
“Kakang Sangkan akan minggat, tetapi puteri melarangnya, sambil menepuk bahunya puteri berkata kepada kakang supaya kakang jangan takut, karena di istana masih ada Raden Kuda Rupaka.
“He,,!, kau mengigau” desis Sangkan.
Tetapi Pinten tertawa, katanya, “Itulah yang dikehendakinya, tetapi kakang tentu tidak akan mengaku”
“Jadi kau akan pergi?”
“Tentu tidak jadi” sahut Pinten puteri sendirilah yang mencegahnya, dan kakang tentu menurut perintahnya”
“Kau, kau ini kenapa sebenarnya Pinten?” bertanya Sangkan, “Kau seperti orang yang benar-benar sedang mengigau?”
Nyi Upih memandang Sangkan sejenak, namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Jangan pura-pura minggat”
“Aku benar-benar akan minggat biyung, aku ketakutan disini, tetapi Pinten lah yang sengaja menyampaikannya kepada puteri, tentu puteri akan mencegahnya, apakah benar-benar seperti yang dikehendaki atau sekedar berpura-pura, tetapi aku kira puteri benar-benar mencegah aku pergi, karena tenagaku disini dapat dipergunakan. Siapakah yang yang akan menimba air, siapa yang akan memperbaiki atap rumah yang rusak, siapa yang menegakkan tiang regol halaman”
Pinten tertawa, katanya, “Ceritamu lucu sekali”
“Sudahlah” potong Nyi Upih, lalu, “Sekarang, kerjakan kerjamu di halaman belakang, Sangkan mengambil air, dan Pinten membereskan pakiwan”
Keduanya terdiam, dengan segan Sangkan melangkah keluar biliknya, diikuti oleh Pinten menuju ke halaman belakang, Sangkan membawa upih yang akan dipasangnya pada senggot timba perigi, sedang Pinten membawa sapu lidi dan kelenting untuk mengambil air ke dapur.
“Mereka berdua berada di sudut istana itu cukup lama mengamat-amati pohon Soka putihmu” berkata Pinten kemudian, “Tentu puteri senang sekali, tetapi senang kepada pohon yang kau tanam itu”
“Apakah yang mereka bicarakan?, Kembang Soka putih. atau yang menanamnya?”
“Ah, kau memang mulai mabuk, tentu pohon soka putih itu”
“Apa?”
“Aku tidak berhasil mendekati, tetapi mereka berbicara tentang pusaka, agaknya tentang keris”
Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ia pun kemudian berkata, “Apa peduliku tentang keris, agaknya keris itulah yang telah menarik perhatian banyak orang, termasuk dua orang yang telah terbunuh di halaman istana ini. Tetapi yang penting bagiku adalah senggot timba itu tidak patah, dan bagimu sapu lidi itu tidak rusak dan kelentingmu tidak pecah”
Pinten tersenyum, katanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau bersungut-sungut seperti itu kakang?”
Sangkan tidak menjawab, ia pun kemudian mempercepat langkahnya, namun ia masih juga bergumam kepada diri sendiri, “Aku harus mencari Upih baru, upih ini sudah mulai sobek”
Tetapi tiba-tiba saja langkah Pinten terhenti, dipanggilnya kakaknya yang berjalan di depan, “Kakang, kakang”
Sangkan berhenti sejenak, ketika ia berpaling, ia melihat adiknya berhenti sambil berkata dengan nada yang dibuat-buat, “Kakang, aku takut”
Sangkan tidak menghiraukannya lagi, ia pun berjalan semakin cepat ke perigi, semenara Pinten pun kemudian berlari-lari kecil menyusulnya.
Sementara itu, Inten Prawesti telah masuk ke ruang dalam, ia memang ingin menyampaikan pertanyaan-pertanyaan Raden Kuda Rupaka kepada ibunya. Tetapi ia memang ingin berhati-hati seperti yang dipesankan oleh Kuda Rupaka, agar ibunya tidak menjadi gelisah. Apalagi jika ibundanya meyakini bahwa kehadiran orang-orang di sekitar istana itu tentu bukannya tanpa maksud.
Inten pun kemudian mendekati ibundanya perlahan-lahan, ia berhenti beberapa langkah sambil memandangi ibundanya yang sedang melipat pakaiannya yang baru saja diambilnya dari jemuran.
Sambil mengangkat wajahnya, ibundanya kemudian memanggilnya untuk mendekat.
“Dari mana kau Inten?”
“Kami, maksudku aku dan kakangmas Kuda Rupaka, berjalan-jalan di halaman samping dan kebun belakang, ibunda”
Ibundanya mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Inten duduk disisi ibundanya yang masih sibuk melipat pakaian yang baru diambil dari jemuran tadi
Mula-mula ia pun menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya Inten pun bertanya kepada ibundanya, “Ibunda, apakah ibunda masih ingat, bahwa ayahanda pernah membawa sebilah keris dari Majapahit?”
Ibundanya mengerutkan keningnya.
“Atau barangkali justru dua?, seingatku, yang satu diselipkan di lambung, yang lain dianggar di bawah ikat pinggang tergantung disisi”
Ibundanya terkejut mendengar pertanyaan itu, namun diusahakannya untuk melenyapkan semua kesan yang terpancar di wajahnya, katanya kemudian, “Memang ayahanda membawa keris dari Majapahit, itu adalah satu-satunya senjatanya, bukan dua”
Inten mencoba mengingat-ingat.
Tetapi akhirnya ia mengangguk-angguk, katanya, “Ya, hanya satu, aku memang pernah melihat ayahanda membawa dua bilah keris. Tetapi ketika ayahanda sampai ke padukuhan ini, ayahanda hanya membawa sebilah saja”
“Inten” desis ibunya kemudian, “Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya tentang keris?”
“Tidak apa-apa ibunda, sebenarnya kakangmas Kuda Rupaka lah yang menanyakannya, Kakangmas melihat peristiwa yang telah terjadi di istana ini pada saat beberapa orang mencoba untuk bertemu dengan ibunda, tetapi yang kemudian terbunuh oleh kamas Kuda Rupaka”
“Apakah hal itu ada hubungannya dengan keris yang dibawa oleh ayahandamu?”
“Tidak begitu jelas, tetapi kakangmas Kuda Rupaka mengatakan, mungkin pusaka itu adalah pusaka yang penting artinya bagi Demak, mungkin orang-orang yang berdatangan itu menginginkan pusaka itu, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi pemerintahan Demak yang sekarang”
Ibundanya mengerutkan keningnya.
“Tetapi ibunda” berkat Inten sambil beringsut mendekat, “Ibu tidak usah gelisah, jika ibunda ingat keris yang dibawa oleh ayahanda itu, dan ibunda mengetahui dimanakah keris itu sekarang, sebaiknya keris itu diserahkan saja kepada pimpinan pemerintahan di Demak, agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru di istana ini”
Sejenak ibundanya termangu-mangu, dipandanginya wajah puterinya beberapa lama, namun kemudian, ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Inten, aku tidak mengerti, dimanakah keris itu, sekarang mungkin keris itu dibawa oleh ayahandamu. Mungkin disimpan di tempat yang tidak aku ketahui atau mungkin telah diserahkan kepada pamanmu Pangeran Cemara Kuning. Ayahandamu tidak pernah mengatakan apapun juga, tentang keris itu. Dan aku kira, keris ayahandamu adalah keris yang tidak berharga sama sekali bagi Demak. Mungkin keris itu merupakan yang paling dihormati oleh ayahandamu, karena ternyata keris itulah yang dibawanya sejak dari Majapahit, tetapi aku kira, bagi Demak yang sudah penuh dengan segala keris pusaka, juga yang dapat diboyongnya dari Majapahit, setelah Demak berhasil membebaskan Kota Raja yang hancur itu dari tangan musuh, agaknya sudah cukup banyak keris berharga. Dengan demikian, apakah artinya pusaka kecil yang sebuah itu?”
Inten mengangguk-angguk, katanya, “Agaknya memang demikian ibunda, tetapi kangmas Kuda Rupaka ingin mengetahuinya. Tentu ia sudah menghubung-hubungkan dengan kehadiran beberapa orang di sekitar istana ini, bahkan beberapa orang telah berani memasuki halaman dan memaksa untuk berbicara dengan ibunda”
Ibunda Inten itu termenung sejenak, kemudian jawabnya, “Mungkin juga Inten, tetapi mungkin juga mereka menyangka bahwa kita masih mempunyai harta benda yang berharga, yang kita bawa dari Majapahit”
“Mungkin juga ibunda, tetapi sikap hati-hati kamas Kuda Rupaka mungkin beralasan”
Ibundanya termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanakah caranya untuk memberitahukan kepada orang-orang yang menaruh perhatian terhadap kemungkinan adanya keris itu disini, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di dalam istana kecil ini”
“Aku akan mengatakan kepada kamas Kuda Rupaka, mudah-mudahan ia mempunyai cara yang mungkin dapat membersihkan nama rumah ini”
Ibundanya mengangguk-angguk, katanya, “Cobalah berbicara dengan kamasmu, kita kini menggantungkan diri kepadanya, tanpa dia, kita tentu sudah mengalami banyak bencana. Dua orang yang terbunuh di halaman ini, dan juga suara seruling yang membuatmu kehilangan kesadaran”
Bulu tengkuk Inten Prawesti meremang, ia tidak dapat membayangkan akibat yang dapat terjadi, jika saat itu Kuda Rupaka tidak ada di istana ini, dan tanpa dapat dicegah ia jatuh ke tangan Kidang Alit.
Sejenak kemudian, maka Inten pun meninggalkan ibunya untuk bertemu lagi dengan Kuda Rupaka, ia akan menyampaikan semua keterangan ibunya tentang keris yang pernah dibawa oleh ayahandanya. Keris itu adalah keris yang tidak cukup bernilai bagi Demak, dan ibundanya tidak tahu dimanakah keris itu sekarang.
Kuda Rupaka mengangguk-angguk kecil, tetapi di wajahnya terbayang pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun demikian ia berkata, “Sudahlah diajeng, mungkin dalam kesempatan lain aku dapat menghadapi bibi. Selama ini aku harap bibi sempat mengingat-ingat tentang keris itu. Sementara itu aku akan berusaha menyebarkan keterangan, bahwa sebenarnya di dalam istana ini tidak ada apapun yang pantas mendapat perhatian, pusaka tidak, apalagi harta benda”
“Terima kasih kamas, mudah-mudahan kamas berhasil, sehingga mereka tidak menimbulkan kegelisahan kami, penghuni rumah terpencil ini”
“Aku akan berusaha diajeng, tetapi aku pun berharap, bahwa apabila bibi dapat mengingat kembali keris pusaka pamanda Kuda Narpada, aku adalah orang yang pertama-tama ingin mengetahuinya, justru untuk kepentingan bibi dan kau. Bahkan mungkin kelak ternyata aku masih akan dapat menemukan pamanda Kuda Narpada di suatu tempat dalam keadaan apapun”
“Ah”
“Mungkin hanya satu kemungkinan”
Inten menundukkan kepalanya, namun satu kerinduan telah melonjak di hatinya, meskipun seakan-akan bayangan ayahandanya hanya sekedar dapat dilihatnya dalam mimpi, namun selama masih belum ada kepastian bahwa ayahandanya telah meninggal, maka ia masih dapat mengharapkannya.
“Apakah kakangmas dapat pergi ke Demak, bertemu dengan pamanda Cemara Kuning atau pamanda Sendang Prapat untuk menanyakan dimanakah ayahanda sekarang, atau yang paling akhir berpisah?” tiba-tiba gadis itu bertanya dengan suara yang tersendat-sendat.
Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Pada suatu saat aku akan mencari pamanda Cemara Kuning atau pamanda Sendang Prapat, keduanya tentu mengetahui serba sedikit tentang pamanda Kuda Narpada, karena pamanda Kuda Narpada telah pergi bersama mereka berdua disaat terakhir”
Inten makin menundukkan kepalanya, perlahan-lahan ia berkata, “Sudahlah kangmas, ceritera tentang ayahanda membuat hatiku menjadi pedih”
“Aku hanya ingin menyatakan perasaanku diajeng, tetapi baiklah. Kita akan berbicara tentang masalah-masalah lain, meskipun demikian, sekali-sekali usahakan untuk bertanya sekali lagi, barangkali bibi teringat sesuatu yang ada hubungannya dengan keris itu”
Sejak saat itu, tiba-tiba saja Inten selalu dibayangi oleh kerinduannya kepada ayahandanya, berbagai usaha telah dilakukannya, agar ia dapat melupakannya saja. Karena baginya, melupakannya adalah cara yang sebaik-baiknya untuk memelihara ketenangan perasaannya.
Tetapi ternyata bahwa, setiap kali bayangan itu telah muncul kembali, bahkan kadang-kadang menjadi jelas.
“Puteri” bertanya Pinten ketika ia melihat Inten duduk sendiri di tangga pendapa, “Kenapa nampaknya puteri termenung saja akhir-akhir ini?”
Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tidak apa-apa Pinten”
“Barangkali puteri dapat membagi kegelisahan hati, meskipun barangkali aku tidak dapat berbuat apa-apa, namun jika puteri dapat menyatakannya kepada orang lain, maka hal itu tentu akan mengurangi beban di hati puteri”
“Ah, kenapa kau tiba-tiba telah berubah menjadi orang yang bijaksana Pinten, siapakah yang mengajarimu?”
“O…” Pinten mengingat-ingat, tiba-tiba ia tersenyum sambil menunduk, “Puteri pernah mengatakannya kepadaku”
Inten pun tertawa kecil, Pinten memang dapat memberikan selingan di dalam saat-saat yang kadang-kadang terasa mencengkeram perasaannya.
“Meskipun demikian puteri, mungkin puteri justru telah terlupa, bukankah dengan demikian puteri teringat kembali kepada kebijaksanaan, eh maksudku kebijaksanaan puteri itu”
Inten masih saja tersenyum, sambil menepuk bahu Pinten ia berkata, “Terima kasih Pinten, ternyata ingatanmu cukup baik. Aku akan membagi perasaan dengan kau, tetapi pada saatnya nanti”
“O…., dan sekarang saat itu belum tiba”
Inten menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, ”Baiklah Pinten, rasa-rasanya memang senang bergurau denganmu dalam keadaan apapun juga”
Pinten tidak menyahut, ia berharap Inten Prawesti mengatakan beban yang memberati hatinya.
“Pinten” berkata Inten Prawesti kemudian, “Sebenarnyalah, bahwa tiba-tiba saja aku telah dicengkam oleh kerinduan kepada ayahanda”
“O….” Pinten mengerutkan dahinya, “Tetapi itu sewajarnya puteri, sekali-sekali kita seolah-olah terlempar pada kerinduan yang tidak tertahankan kepada masa lampau. Tetapi puteri, bukankah kita menyadari, bahwa masa lampau itu tidak akan kembali?. Aku masih sering membayangkan, suatu saat aku bermain-main di bawah sebatang pohon beringin yang subur, dayang-dayang yang duduk di pinggir halaman dengan girang bermain diantara mereka. Dakon, gateng dan sumbar suru. Ooo, menyenangkan sekali, kupu-kupu yang berterbangan seolah-olah merupakan perhiasan hidup yang mewarnai udara yang silir oleh hembusan angin lembut. Rasa-rasanya apa yang diinginkan terjadi di masa-masa yang hanya dapapt dikenang itu”
Inten mendengarkan dengan seksama, dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimanakah kau tinggal dimasa kanak-kanakmu, Pinten?, kau menyebut sebatang pohon beringin dan dayang-dayang yang bermain?”
“O…” Pinten tergagap, namun kemudian, “Bukankah aku tinggal bersama biyung di istana Pangeran Kuda Narpada?”
“Aku teringat sebatang pohon beringin di halaman, dayang-dayang yang bermain diantara mereka, tetapi aku tidak ingat lagi, bahwa di masa-masa kanak-kanak aku pernah mengenalmu”
Pinten termangu-mangu, lalu, “Ketika puteri menjadi semakin besar, aku sudah tidak tinggal lagi bersama biyung, aku telah dibawa oleh ayah kembali ke padukuhan”
Inten menjadi semakin heran, lalu, “Siapakah kira-kira yang lebih tua diantara kita? Kau atau aku?”
Pinten tidak segera menjawab, nampaknya ia menjadi bingung, tetapi kemudian katanya, “Kita tidak tahu hari-hari lahir kita masing-masing, apalagi aku. Mungkin saja puteri lebih tua, tetapi mungkin akulah yang lebih tua. Yang kedua itulah barangkali yang benar, tetapi agaknya aku memang awet muda, sehingga aku masih tetap kelihatan lebih muda dari puteri”
“Ah” Inten Prawesti tertawa kecil, katanya, “Mungkin, tetapi apakah ingatan kita sama?, katakan, ada berapa batang pohon beringin yang tumbuh di halaman?”
Pinten mengingat-ingat sejenak, lalu, “Sebatang di tengah halaman, dan enam di seputarnya”
“O, banyak sekali”
“Ada tiga ekor bekisar di dalam sangkar masing-masing, seekor burung nuri putih, seekor harimau yang dikurung dalam sangkar besi, seekor orang utan sebesar aku sekarang ini”
“He…!!” Inten menjadi heran, “Kau bermimpi, aku tidak pernah mengingat semuanya itu lagi, menurut ingatanku, istana ayahanda tidak mempunyai tujuh batang pohon beringin, tetapi ada dua batang disebelah menyebelah halaman. Tidak ada sangkar bekisar. Yang ada hanyalah beberapa sangkar burung jenis nuri dan burung berkicau. Ayahanda memang mempunyai sepasang ayam alas, tetapi bukan bekisar. Dan di halaman, menurut ingatanku, sama sekali tidak ada seekor harimau dan orang utan”
“O….” Pinten mengerutkan keningnya sekali lagi.
“Pinten, apakah kau berkhayal?”
“Mungkin puteri, mungkin aku berhayal” Pinten mengingat-ingat, “Tetapi tidak, aku tidak berhayal”
“Pinten, di halaman rumahku tidak ada binatang seperti yang kau katakan, tetapi aku memang masih teringat, disalah satu istana di Majapahit terdapat halaman yang dihiasi dengan sangkar binatang hutan, harimau dan barangkali juga seekor orang utan” tiba-tiba Inten mengingat sesuatu, “Ya, aku ingat, sebatang pohon beringin di tengah-tengah dan enam diseputarnya. He..! kau salah ingat Pinten, istana itu bukan istana ayahanda Kuda Narpada. Tetapi istana itu adalah istana pamanda Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap. Pahlawan yang tidak ada duanya, yang gugur menjelang pertempuran besar yang menghancurkan Kota Raja”
“Ooo…” tiba-tiba Pinten menundukkan kepalanya.
“Kau mengenal pamanda Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap?”
“Tidak, tidak puteri”
“Tetapi kau menyebutkan istananya, halamannya dan binatang peliharaannya dengan tepat”
Akhirnya Pinten tertawa, katanya, “Biyung sering bercerita tentang istana-istana yang terdapat di Majapahit, tetapi kadang-kadang tidak jelas, sehingga aku kurang mengerti. Aku hanya membayangkan betapa senangnya tinggal di istana-istana serupa itu”
Inten menjadi heran mendengar kata-kata Pinten yang membingungkan. Namun Pinten telah berkata seterusnya, “Apakah kata-kataku membingungkan puteri? Aku sendiri menjadi bingung puteri, dikarenakan aku tidak tinggal lama bersama biyung di istana Pangeran Kuda Narpada. Aku adalah anak padesan yang hanya dapat mendengar ceritera dan kemudian berangan-angan” ia berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah kita tidak usah berangan-angan lebih panjang lagi tentang masa lampau yang telah kita tinggalkan itu. Marilah kita sekarang menatap masa kini, masa yang jauh berbeda dengan masa-masa yang penuh kenangan itu”
Inten menepuk bahu Pinten sambil berkata, “Pinten, ternyata kau tidak hanya menirukan aku tentang membagi perasaan. Kau ternyata benar-benar bijaksana, kau dapat menasehatiku untuk melepaskan diri dari masa cengkaman kerinduan kepada masa lampau yang tidak akan kembali lagi”
Pinten terdian sejenak, namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Puteri, sebenarnyalah aku baru saja terlempar kedalam keadaan yang serupa. Tetapi biyung datang kepadaku dan memberikan beberapa petunjuk, apa yang aku ingat dari petunjuk-petunjuk biyung itu, sudah aku katakan kepada puteri”
“Ah, kau” Inten pun tertawa, “Jika demikian, maka nasehat itu, sebagian tentu kau tujukan kepada dirimu sendiri untuk meyakinkan apakah kau dapat mengerti nasehat ibumu itu”
Pinten pun tertawa juga.
“Sudahlah puteri, marilah aku persilahkan puteri masuk ke dalam, ingat puteri, angin di musim ini sangat berbahaya”
“Musim apa Pinten?”
“Dimusim kita masing-masing dicengkam oleh angan-angan, bukankah kita gadis yang meningkat dewasa?”
“Ah” Inten mendorong Pinten sehingga gadis itu terhenyak duduk. Tetapi sambil tersenyum-senyum Inten berkata, “Kau ini selalu aneh”
Pinten masih tertawa, katanya, “Bukankah begitu puteri?, jika seruling itu terdengar lagi, maka akibatnya akan parah bagi puteri”
Tiba-tiba saja terasa tengkuk Inten meremang, katanya, “Baiklah, tetapi bukankah kamas Kuda Rupaka ada?”
“Ah, apakah puteri tidak mengetahui, bahwa tadi Raden Kuda Rupaka mohon diri kepada ibunda untuk pergi ke padukuhan sebentar ketika puteri sedang mandi?, bukankah kandang kuda itu sudah kosong?”
“Bersama Paman Panji Sura Wilaga?”
“Ya, tetapi hanya sebentar, seperti biasanya, mereka memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari. Nanti sebentar mereka akan pulang, dan orang-orang Karangmaja itu akan mengirimkan apa yang diperlukan oleh Raden Kuda Rupaka”
“Kakangmas Kuda Rupaka bekal yang cukup, agaknya ia tidak menghitung-hitung lagi, berapa ia membayar kepada Ki Buyut untuk membeli kebutuhan kita semuanya”
Pinten mengangguk-angguk, katanya, “Tentu Raden Kuda Rupaka mempunyai bekal yang banyak sekali”
Inten pun kemudian membenahi pakaiannya, agaknya benar kata Pinten, bahwa sebaiknya mereka berada di dalam saja.
Tetapi ketika mereka baru saja berdiri, terdengar suara yang melangut di depan regol halaman, suara tembang yang tiba-tiba saja mereka dengar.
Pinten mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling, dilihatnya dua orang yang berjongkok di depan regol halaman itu, salah seorang dari keduanya telah mengidungkan tembang yang mengiba-iba.
Inten Prawesti tertegun pula, dengan penuh kebimbangan ia memperhatikan kedua orang yang berjongkok de depan regol istana itu.
“Tentu bukan Kidang Alit” bisiknya.
Pinten tiba-tiba saja telah berdiri tegak di tangga pendapa, dengan tajam dipandangnya kedua orang itu, namun kemudian ia berkata, “Puteri, tembangnya mohon belas kasihan, tetapi aku tidak tahu, apakah tembangnya mengandung bisa seperti tembang Kidang Alit, jika kedua orang itu kawannya, maka mereka tentu dapat melakukannya juga, padahal saat ini Raden Kuda Rupaka tidak berada disini”
“Aku kira, mereka adalah pengembara yang memerlukan belas kasihan” bisik Inten.
“Mungkin puteri, tetapi biarlah kakang Sangkan sajalah yang menjumpai mereka, memberikan dua bungkus nasi atau keperluan yang lain”
Inten mengangguk-angguk, suara tembang itu masih menggetarkan halaman, meskipun semakin lama menjadi semakin lambat, dan hilang di ujung bait.
Namun sejenak kemudian tiba-tiba suara orang itu melonjak naik. Dari kidung yang ngelangut tembangnya berubah menjadi garang, seolah-olah suara genderang perang di medan perang, memanggil setiap prajurit untuk bangkit dengan senjata di tangan.
“Puteri” bisik Pinten, “Biarlah kakang Sangkan segera menemuinya dan memberikan apa yang diperlukannya”
“Alangkah garangnya” bisik Inten.
“Marilah, aku akan memanggil kakang Sangkan”
Tetapi keduanya tidak perlu beranjak dari tempatnya. Dilihatnya Sangkan telah berada di halaman, disisi pendapa itu dengan sapu lidi ditangan.
“Bukan main” bisiknya, “Tembang itu sangat merdu, aku senang sekali mendengar tembang yang garang seperti itu, bukan yang melangut dan beriba-iba”
“Ah kau” sahut Pinten, “Ambillah dua bungkus nasi, berikan kepada mereka, agar mereka cepat pergi”
“Kenapa?, aku senang mendengarnya, aku akan mengambil dua bungkus nasi, tetapi mereka harus berdendang tiga atau empat lagu lagi, jika mereka tidak mau, aku pun tidak akan memberikan nasi itu”
“Cepatlah, mintalah nasi kepada biyung”
Tetapi Sangkan berdiri sambil tersenyum-senyum, bahkan kemudian ia mulai menirukan suara tembang itu”
“Kakang..!!” Pinten agak berteriak.
Namun pada saat itu, mereka mendengar pintu pringgitan berderit, ketika mereka berpaling, mereka melihat Raden Ayu Kuda Narpada berdiri di muka pintu pringgitan itu.
“Ibunda” panggil Pinten sambil berlari mendekatinya.
“Aku mendengar suara tembang itu” kata ibundanya.
“Dua orang yang agaknya memerlukan sesuatu ibunda, itulah mereka berjongkok di depan regol”
Raden Ayu termangu-mangu sejenak, dipandanginya kedua orang yang berjongkok di depan pintu regol, tetapi jaraknya tidak terlampau dekat, sehingga karena itu, Raden Ayu tidak begitu dapat melihat wajah mereka.
“Suruhlah mereka masuk” berkata Raden Ayu Kuda Narpada.
Inten termangu-mangu, sementara Pinten yang berdiri di tangga pendapa pun kemudian naik pula sambil berjongkok, “Ampun gusti, biarlah kakang Sangkan memberikan dua bungkus nasi kepada mereka”
“Aku akan bertanya kepada mereka, Pinten suruhlah kakakmu membuka regol dan membawa mereka masuk”
“Tetapi ibunda” kata Inten, “Saat-saat seperti ini agaknya sangat meragukan, apalagi kakangmas Kuda Rupaka sedang tidak ada”
“Kakangmasmu baru pergi sebentar Inten, hanya sebentar ia akan pulang”
“Tetapi sementara itu?” sahut Inten.
“Suara tembangnya sangat menarik perhatianku, bawalah mereka masuk, mereka tidak akan berbuat apa-apa”
Tetapi Inten masih ragu-ragu, mungkin orang-orang yang berniat kurang baik atas isi istana ini mempergunakan cara lain. Bukan ilmu gendam yang dapat mengaburkan pikiran gadis-gadis, tetapi mereka mempergunakan ilmu yang lain yang dapat merubah sikap seseorang tanpa disadarinya.
Namun dalam pada itu, Sangkan menyahut dari halaman, “Ampun Gusti, aku akan membuka regol itu. Suara tembang itu memang sangat menyenangkan”
“Kakang” berkata Pinten, “Apakah kakang tidak minta saja dua bungkus nasi kepada biyung?”
Tetapi yang menjawab adalah Raden Ayu, “Tidak Pinten, orang itu tentu tidak hanya sekedar minta sebungkus nasi”
Belum lagi Pinten menjawab, terdengar suara Nyi Upih dari pintu pringgitan, “Ya, gusti puteri, mereka tentu tidak sekedar minta sebungkus nasi”
“Biyung” desis Pinten.
“Suara tembang itu sangat menarik hati, menurut pendapatku, seperti pendapat gusti, biarlah mereka masuk”
Pinten tidak menyahut lagi, dengan wajah yang tegang seperti Inten Prawesti mereka memandang Sangkan yang berlari-lari ke regol halaman dan membuka selaraknya.
“He, masuklah” berkata Sangkan kepada dua orang yang berjongkok di depan pintu.
“Apakah kami berdua sudah diperkenankan?” bertanya yang muda.
“Masuklah, Gusti memanggil kalian”
Kedua orang itu masih termangu-mangu, dipandanginya Sangkan dengan keraguan.
“Kami mohon belas kasihan” kata yang tua.
Tetapi Sangkan tertawa, katanya, “Baiklah, kami mempunyai cukup belas kasihan, masuklah, kalian harus menghadap gusti puteri”
“Siapakah gusti itu?”
“Raden Ayu Kuda Narpada” Sangkan masih saja tersenyum, lalu, “Cepat, masuklah, regol ini akan segera aku tutup, sebentar lagi Raden Ayu Kuda Narpada akan datang, apakah kalain melihat Raden Kuda Rupaka? Mungkin kalian bertemu dengan Raden Panji Sura Wilaga di Karangmaja apabila kalian baru datang dari padukuhan itu”
Kedua orang itu termangu-mangu, namun kemudian segera bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan memasuki halaman istana itu, sementara Sangkan segera menutup regol itu kembali.
“Apakah ibunda akan menyuruh keduanya menghadap?”
“Aku perlu berbicara dengan mereka berdua”
“Mereka memerlukan belas kasihan ibunda, tetapi dalam keadaan sekarang ini, kita perlu berhati-hati”
“Aku akan berhati-hati” ibundanya termenung sejenak, lalu, “Sudahlah Inten, bawalah Pinten ke belakang, biarlah Nyi Upih mengawani aku disini”
Inten dan Pinten masih termangu-mangu, sementara Sangkan telah mendahului menghilang di sudut pendapa.
Namun sejenak kemudian, Inten dan Pinten pun bergeser dari tempatnya, Inten langsung masuk ke ruang dalam, sedangkan Pinten beringsut turun ke halaman.
Dengan tergesa-gesa Pinten kemudian menyusul kakaknya, tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Sangkan masih berdiri disebelah sudut pendapa, dibelakang sebatang pohon ceplok piring yang rimbun.
“Kenapa kau berbuat itu kakang?” bertanya Pinten
“Mungkin mereka adalah kawan-kawan Kidang Alit, mereka mungkin sekali mempunyai ilmu yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain”
“Apakah pikiranmu sudah dipengaruhi?, lihatlah seorang dari mereka adalah anak yang masih muda”
“Tetapi ia adalah seorang peminta-minta”
Sangkan tertawa, ia pun kemudian berkata, “Kau aneh Pinten, jika kau yakin ia peminta-minta, kau tidak usah cemas meskipun ia naik ke pendapa. Kecurigaanmu mengatakan kepadaku, bahwa kau menganggap anak muda yang tampan dalam ujud seorang peminta-minta itu, sama sekali bukannya seorang peminta-minta”
“Kau selalu begitu kakang” kata Pinten sambil mengulurkan tangannya. Tetapi sebelum ia mencubit tangan kakaknya, Sangkan berbisik, “Ssst, jangan bikin ribut disini”
Pinten dengan serta merta menarik tangannya sejenak, ia termangu-mangu, namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu, aku akan menemui puteri ke belakang”
Sangkan tidak menjawab, dipandanginya saja langkah Pinten yang kemudian menghilang di longkangan.
Di pendapa kedua orang pengembara itu menghadap Raden Ayu Kuda Narpada yang dikawani oleh Nyi Upih. Dengan penuh minat Raden Ayu mendengarkan ceritera tentang asal usul kedua orang yang telah mendengarkan tembang yang sangat menarik itu.
“Siapakah yang mengajari kalian melagukan kidung itu?”
“Ampun Puteri, setiap orang di padukuhan kami dapat melagukan tembang itu”
“Tetapi kata-kata yang tersirat pada kidung itu tentu tidak semua orang dapat mengucapkannya”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak.
Sementara itu Sangkan masih saja berada di tempatnya, tetapi ternyata ia tidak banyak mendengar percakapan itu, meskipun beberapa patah kata dapat dimengertinya, namun demikian kadang-kadang wajahnya menjadi tegang, tetapi sejenak kemudian nampak sebuah senyuman dibibirnya.
Percakapan itu tidak berlangsung lama, sejenak kemudian maka, Sangkan mendengar suara Nyi Upih mengajak kedua orang itu ke belakang.
Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya kepada diri sendiri, “Agaknya aku mendapat kawan dua orang pengembara di dalam istana ini, apakah dengan demikian pekerjaanku akan menjadi bertambah ringan atau sebaliknya, aku harus mengawasi keduanya terus menerus, agar mereka tidak sempat mencuri sisa-sisa barang yang masih ada”
Belum lagi Sangkan berbuat sesuatu, ia sudah mendengar suara ibunya memanggil, “Sangkan, kemarilah”
Dengan tergesa-gesa Sangkan pergi menemui ibunya di belakang, dilihatnya dua orang pengembara itu masih berdiri termangu-mangu di belakang Nyi Upih.
“Sangkan” berkata ibunya, “Kau mendapat dua orang kawan lagi, kasihan, mereka adalah pengembara yang kelaparan dan kehausan”
Sangkan tersenyum, namun sebuah kilatan tatapan matanya telah menyambar kedua orang itu, sehingga kedua tertunduk dalam-dalam.
“Jadi” sahut Sangkan kemudian, “Aku akan menjadi lurah orang-orang kesrakat disini, sudah tentu aku akan mengatur pekerjaan yang harus kalian lakukan. Bukankah begitu? Kalian tidak akan dapat bermalasmalasan disini, dan setiap hari mendapat makan tiga kali” namun tiba-tiba Sangkan menjadi ragu, “Tetapi bagaimana dengan Raden Kuda Rupaka? Apakah ia sependapat dengan kehadiran kedua orang ini? Sampai sekarang rasa-rasanya hidup kita tergantung kepadanya”
Nyi Upih memandang anaknya dan kedua orang itu berganti-ganti, dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Tentu Raden Kuda Rupaka tidak akan membiarkan keduanya mengalami penderitaan lebih lama lagi”
“Tetapi apakah bekal yang dibawanya cukup banyak untuk menghidupi kita semuanya, ditambah dengan dua orang pengembara ini.
“Sudahlah Sangkan, biarlah gusti puteri mengatakannya nanti kepada Raden Kuda Rupaka, adalah tidak sepantasnya kau mengatakan hal itu dihadapan orang yang berkepentingan”
Sangkan tertawa, katanya, “Hanya orang-orang yang berperasaan sajalah yang akan menjadi tersinggung karenanya, dan aku tidak yakin bahwa kedua orang ini mempunyai perasaan yang halus sehingga keduanya mempertimbangkan kemungkinan serupa itu”
Sekilas Sangkan melihat bahwa yang muda diantara kedua orang itu mengangkat wajahnya, namun kemudian wajah itu pun kemudian tertunduk lagi, sementara Nyi Upih membentaknya, “Kau terlalu sekali Sangkan, kaulah yang tidak berperasaan”
Sangkan masih tertawa, katanya kemudian, “Tetapi suara kalian memang sangat menarik hati, tembang yang kau lontarkan benar-benar telah memukau Gusti Raden Ayu. Aku pun tertarik pula pada tembang yang memiliki ciri yang aneh itu. Karena tembang kalianlah maka aku tidak sependapat dengan adikku agar kalian sekedar mendapat dua bungkus nasi saja”
Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab.
“Sudahlah Sangkan” berkata Nyi Upih, “Jangan sesorah, bawa kedua orang ini kedalam bilikmu”
“Ke dalam bilikku?, dimanakah Pinten akan tidur?, apakah Pinten dan biyung juga akan tidur bersama dengan kedua orang ini?”
Nyi Upih menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku sudah mohon agar kami berdua diperkenankan tidur di jerambah dalam disamping pintu”
Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Biyung akan membentangkan tikar setiap malam, dan menggulungnya lagi di pagi hari?”
“Ya, kenapa?”
Sangkan mengangguk-angguk, lalu katanya kepada kedua orang itu, “Nah, kau dengar, Biyungku terlalu baik hati terhadap kalian, ia mengorbankan dirinya untuk memberikan tempat kepada kalian di istana ini”
Orang yang lebih tua mengangkat wajahnya, dengan suara yang dalam ia menyahut, “Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Raden”
“Hem, aku yang kau maksud?”
Orang itu ragu-ragu, sedang Sangkan kemudian tertawa terbahak-bahak, “Jangan sebut aku Raden, aku akan menjadi pingsan nanti, panggil aku Panji, eh bukan, Rangga juga bukan, panggil saja aku Sangkan”
Pengembara yang tua menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia mencoba bersikap seperti semula.
“Kau terlalu banyak bicara Sangkan” berkata Nyi Upih
“Ayo, bawa mereka ke bilikmu”
Kedua orang itu berpandangan sejenak.
“Ya, kau belum memperkenalkan namamu kepada anakku” berkata Nyi Upih.
Yang muda memandang Sangkan sejenak, lalu katanya, “Namaku Panon”
“Panon, Panon begitu saja?”
“Itu sudah cukup” Nyi Upih lah yang menyahut, “Apa jawabmu jika ada orang yang bertanya kepadamu, apakah namamu hanya Sangkan saja?, Apa itu sudah cukup?”
Sangkan tertawa pula, lalu ia pun melangkah mendekati kedua orang itu sambil bertanya pula, “Dan kau Ki Sanak?”
“Aku bernama Ki Mina, anak muda”
“O, kau tentu mempunyai hubungan dengan beberapa jenis ikan”
“Aku memang pencari ikan disungai”
“Sudahlah” sekali lagi Nyi Upih memotong, “Kau harus segera melakukan tugasmu, kau belum selesai membersihkan halaman, kau juga belum mengisi jambangan di pakiwan”
“He, bukankah aku tinggal mengaturnya saja”
“Ah, kau memang terlalu banyak bicara, cepat, bawa mereka kebilikmu”
Tetapi sebelum Sangkan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba terdengar suara Pinten dari pintu dalam, “Mau dibawa kemanakah mereka itu?”
“Ke bilikku, mereka akan tidur di dalam bilikku” jawab Sangkan.
“Aku?”
“Kau juga”
“Tidak mau, aku tidak mau”
“Nyi Upih pun segera mendekati Pinten sambil berkata, “Aku sudah mengaturnya Pinten, Kau tidur bersamaku”
“O, senang sekali. Seperti masa kanak-kanak aku tidur bersama bibi, Kau tentu akan berdendang lagu yang ngelangut sebelum aku tertidur”
“Bibi siapa?”
“O, biyung, maksudku biyung”
Nyi Upih tertawa kecil, tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu Sangkan pun telah mengajak kedua orang pengembara itu kedalam biliknya, sambil berdiri dimuka pintu ia berkata, “Nah, kau berdua dapat mempergunakan pembaringan biyung, aku akan tidur di pembaringan Pinten.”
Namun tiba-tiba saja Ki Mina bertanya, “Dan pembaringamu anak muda?”
“Biasanya aku tidur di kolong pembaringan Pinten”
Kedua pengembara itu saling berpandangan sejenak, namun kemudian mereka menarik nafas panjang.
Sangkan memperhatikan tingkah laku mereka dengan heran, bahkan kemudian ia bertanya, “Ada yang kurang sesuai dengan kehendak kalian?”
“O, tidak, tidak anak muda, semuanya sudah terlampau cukup, aku sangat berterima kasih atas semuanya ini, atas kemurahan yang dilimpahkan oleh Raden Ayu” Sahut Ki Mina.
“Nah, kemasilah barang-barangmu, aku akan pergi ke pakiwan”
“O, biarlah aku saja” berkata Panon, “Biarlah aku saja yang menimba air”
Sangkan tertawa, katanya, “Nanti sajalah, sekarang kalian boleh beristirahat, kalian memang harus bekerja disini, itu memang lebih baik. Kalian tidak pantas menjadi pengemis yang malas dan sekedar menanti belas kasihan orang, badanmu cukup baik. Masih belum terlalu tua dan pikun, bahkan Panon masih terlalu muda. Semuda aku barangkali, benar-benar tidak pantas memilih pekerjaan sebagai pengemis.”
Panon menjadi gelisah, rasa-rsanya ia ingin menjawab pemalas yang hanya dapat menanti belas kasihan orang tidak dan sanggup bekerja apa saja.
Tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk menjawab kata Sangkan itu, karena itulah, maka rasa-rasanya dadanya membengkak oleh sebuah tekanan perasaan yang sangat berat baginya.
Sangkan pun kemudian melangkah pergi, dimuka pintu ia berpaling sambil berkata, “Suara tembangmulah yang menyeret aku kemari, aku pun jadi tertarik”
Panon menjadi termangu-mangu
“Nanti malam, aku ingin belajar melagukan tembang itu, kau tentu mau mengajariku bukan?”
Panon masih termangu-mangu, namun Ki Mana lah yang menjawab, “Tentu anak muda, Panon akan mengajarimu melagukan kidung yang menarik itu, bukan saja tembang-tembang yang sudah dilagukannya, tetapi tembang yang lain pun Panon dapat menendangkannya dengan baik”
“Tidak” sahut Sangkan, “Tembang itu saja”
Ki Mina tidak sempat menjawab, karena Sangkan pun kemudian meninggalkan mereka di dalam biliknya.
Sepeninggal Sangkan, Ki Mina terduduk di atas pembaringan, sementara Panon terdengar mengeluh pendek.
“Sunggguh berat tugas ini Paman” berkata Panon Suka, “Agaknya bukan hanya cobaan-cobaan dan hambatan-hambatan jasmaniah saja, tetapi perasaan pun harus tahan mengalami caci maki yang tidak ada ujung pangkalnya itu”
Ki Mina tersenyum, jawabnya, “Semua ini adalah ujian bagimu, dan kau harus dapat mengatasinya dengan sebaik-baiknya, jangan kau perturutkan perasaanmu, apalagi dalam usia muda, jika kau cepat tersinggung, maka tugasmu akan terganggu dan bahkan akan gagal”
Ki Mina terdiam sejenak, lalu, “Apapun yang dikatakan oleh Sangkan, adalah sebagian kecil saja dari ujian perasaan yang akan kau alami, jika nanti Raden Kuda Rupaka itu datang , maka kau akan mengalami ujian yang barangkali lebih berat. Tetapi jangan lupa, kau adalah seorang pengembara, jangan sakit hati jika kau disebut pengemis, pemalas dan lan-lain”
Panon mengangguk-angguk, ia menyadari ujian yang bakal dialami di istana kecil itu, karena itulah maka ia pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemingkinan. Yang lahir tetapi juga yang batin.
Tiba-tiba terdengar derap dua ekor kuda memasuki longkangan samping langsung menuju ke kandang.
“Bangsawan muda yang bernama Kuda Rupaka itu telah datang bersama Panji Sura Wilaga” kata Ki Mina.
Panon mengangguk-angguk.
“Kita harus bermain lebih baik, aku harus menjadi menjadi orang yang lebih tua, dan jangan sekali-kali menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan”
Panon mengangguk lagi.
Beberapa saat kemudian mereka menunggu, agaknya Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, setelah memasukkan kudanya ke kandang, kangsung menuju masuk ke ruang dalam.
“Tentu Raden Ayu baru memberitahukan kehadiran kita sekarang” desis Ki Mina.
Panon termangu-mangu sejenak, kemudian ia berkata, “Paman, jika persoalan menjadi runcing, dan tiba-tiba saja timbul sikap yang kasar, apakah kita akan membiarkan diri kita dilemparkan dari istana ini?”
“Kita percaya kepada Raden Ayu Kuda Narpada, ia akan dapat mengatasi kemanakannya itu betapapun kasarnya”.
“Tentu, tetapi dalam keadaan yang wajar, tetapi jika kedua bangsawan itu mempunyai maksud tertentu yang nilainya lebih berharga dari sanak kadang, aku kira ia sudah tidak akan dapat mempercayai setiap orang yang dalam ujudnya sudah hampir mati sekalipun, karena saat ini, Karangmaja baru menjadi arena pertemuan yang panas, bukankah kita juga merupakan salah satu pihak yang memang pantas dicurigai, dan selalu mencurigai siapapun juga disini? Bahkan sekalipun, meskipun ia adalah orang dalam istana ini”
Percakapan terhenti karena tiba-tiba di depan pintu bilik sudah berdiri Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga.
“Siapa sebenarnya kalian He…! Dan apa maksud kedatangan kalian di istana ini?, “
“Kami pengembara Raden, dan kami tidak ada maksud apa-apa di istana ini”
“Jangan bohong, kalian pasti mengincar sesuatu disini”
“Kami tidak mengerti maksud Raden, dan apa yang harus kami incar dari istana ini?”
“Kita sama-sama tahu, apa maksud kalian sesungguhnya”
Ki Mina tidak menjawab lagi, tetapi terasa betapa kesulitan akan mejadi semakin banyak dihadapi oleh Panon dalam tugasnya.
“Baiklah pengembara yang malang, nikmatilah kemenanganmu yang pertama itu, karena dalam babak berikutnya, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa, kecuali jika kalian mengurungkan niat kalian mencelakai bibi Kuda Narpada”
Kuda Rupaka tidak menunggu jawaban, ia pun kemudian meninggalkan bilik itu diikuti oleh Panji Sura Wilaga.
“Bibi terlampau baik” desisnya ketika mereka sudah berada di serambi.
“Tetapi benar-benar berbahaya” Sahut Panji Sura Wilaga, “Raden harus berusaha meyakinkan bahwa kehadiran pengembara itu dapat berakibat buruk, siapa tahu, ia adalah kawan dari dua orang yang terbunuh di halaman ini. Yang seorang yang berhasil lari itulah yang memanggilnya dengan cara yang berbeda untuk memasuki halaman ini”
“Ya, aku akan berusaha terus, sehingga orang-orang itu diusir dari istana ini, biarlah mereka menghubungi Ki Buyut di Karangmaja, jika mereka berdua benar-benar orang yang perlu belas kasihan, itu adalah kewajiban Ki Buyut”
Panji Sura Wilaga menggeleng, katanya, “Tentu bukan Raden, Apakah Raden memperhatikan badannya yang nampaknya terpelihara baik meskipun agak kotor”
“Aku melihatnya, dan aku memang sudah mencurigainya” Kuda Rupaka berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kita harus membunuh lagi paman”
“Bagaimana dengan Sangkan?” bertanya Panji Sura Wilaga.
“Maksudmu? Apakah kau mencurigainya?”
Panji Sura Wilaga menggeleng, katanya, “Tidak ada yang pantas dicurigai pada pengecut itu, tetapi justru karena ia tinggal dalam satu bilik dengan pengembara itu, mungkin ia akan dapat menjadi korban yang pertama”
Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, katanya, “Kasihan jika benar-benar terjadi demikian, tetapi tanggung jawab atas peristiwa itu ada pada bibi Kuda Narpada”
-oo0 dw-arema 0oo-
Bersambung ke jilid 6
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com
Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/
http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/
diedit ulang oleh Ki Arema
kembali | lanjut
Filed under: Uncategorized | Leave a comment »