Ruang Baca Karya SH Mintardja

Pengantar

Blog ini dibuka sebagai bagian untuk menyebarkan “virus” cerita silat dari bumi sendiri yang dituturkan oleh Almarhum Singgih Hadi Mihardja (SH. Mintadja). Biodata beliau bisa dilihat di sini. Kita tidak membahas biodata beliau tetapi, ingin menyebarkan karya beliau yang banyak dicari oleh para penggemar pada masanya, baik pembaca di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) dan Bernas, maupun melalui buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai media, Kedaulatan Rakyat, Panuluh atau Muria. Sedangkan buku-buku tersebut sudah mulai langka karena sudah mulai rusak dan tidak dicetak ulang kembali.

SH Mintardja dikabarkan telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri terpanjangnya adalah  Api di Bukit Menoreh yang terdiri dari 396 buku. Berikut ini daftar beberapa karya sang pengarang itu:

  1. Pelangi di Langit Singasari (79 jilid)
  2. Sepasang Ular Naga di satu Sarang (37 jilid)
  3. Panasnya Bunga Mekar (31 jilid)
  4. Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan (118 jilid)
  5. Api di Bukit Menoreh (396 jilid)
  6. Tanah Warisan (8 jilid)
  7. Matahari Esok Pagi (15 jilid)
  8. Meraba Matahari (9 jilid)
  9. Suramnya Bayang-bayang (34 jilid)
  10. Sayap-sayap Terkembang (67 jilid)
  11. Istana yang Suram (14 jilid)
  12. Nagasasra Sabukinten (29 jilid)
  13. Bunga di Batu Karang (14 jilid)
  14. Yang Terasing (13 jilid)
  15. Mata Air di Bayangan Bukit (23 jilid)
  16. Kembang Kecubung (6 jilid)
  17. Jejak di Balik Kabut (40 jilid)
  18. Tembang Tantangan (24 jilid)
  19. Arya Manggada (30 jilid)
  20. dll (belum punya datanya)

Belum ada data mana yang paling dulu, dan mana yang terakhir. Tetapi, melihat beberapa judul yang tidak sampai berakhir dengan semestinya ada beberapa yang overlap dan sama-sama tidak berakhir sampai akhir hayat beliau. Seperti pendekar yang diceritakannya, yang bangga kalau mati dalam perang, beliau juga meinggal pada saat bukunya belum selesai (menurut pikiran kita) karena berakhir menggantung.

Sudah banyak blog yang mengupload dalam bentuk ebook maupun ditempel di halaman, semakin baik karena “virus” yang dikembangkan dapat beranak-pinak.

Ada beberapa website yang mengunggah “pertama” kalinya karya-karya adiluhung Almarhum SH Mintardja, dalam format dejavu (djvu) diantaranya adalah: http://adbmcadangan.wordpress.com (Api di Bukit Menoreh) yang dipandegani oleh Ki GD dan Nyi Senopati,  http://pelangisingosari. wordpress.com (Pelangi di Langit Singasari),yang dipandegani oleh Ki Arema dan P. Satpamnya;  http://cersilindonesia.wordpress.com (Mata Air di Bayangan Bukit, Bunga di Batu Karang, Matahari Esok Pagi, dan tembang Tantangan) yang dipandegani oleh Ki Ismoyo dan di facebook group yang dipandegani oleh Ki Laz, Ki Zaki dan Ki Sukra (Suramnya bayang-bayang, Sayap-sayap Terkembang, Jejak di Balik Kabut, Kembang Kecubung, Meraba Matahari, dan Yang Terasing).

Wedaran dalam format dejavu (djvu) telah dikonversi ke berbagai format dan sekarang diupload dimana-mana. Satu lagi disediakan untuk menjadi taman bacaan sanak-kadang yang sedang iseng dan ingin menikmati karya almarhum SH Mintardja di sini. Selama kuota masih belum penuh (3GB) akan diupload satu persatu dimulai dari Seri Pelangi di Langit Singosari, Nagasasra & Sabukinten, Api di Bukit Menoreh, dst.

Khusus Seri Pelangi di Langit Singosari, naskah ini dipindahkan dari tempat aslinya http://pelangisingosari.wordpress.com yang mulai kelebihan memori sehingga menyulitkan upload naskah baru. Api di Bukit Menoreh dipindahkan dengan sedikit editing dari http://adbmcadangan.wordpress.com. Yang lain dicomot sana-sini, khususnya dari website Nyi DewiKZ di http://kangzusi.com.

Terimakasih kepada:

  1. Ki GD (dan Nyi Senopati) yang telah menyediakan blog  ADBM di adbmcadangan.wordpress.com, Ki Ismoyo yang telah menyediakan blog gagakseta di cersilindonesia.wordpress.com, Nyi DewiKZ yang menyediakan kangzusi.com (dkk).
  2. sanak-kadang yang telah bersusah payah konversi dari djvu ke doc/docx sehingga naskahnya bisa diupload disini:
    1. ADBM (kerja keroyokan Ki Prastawa, Ki Abu Gaza, Ki Sugita, Ki Sarip Tambak Oso, Mahesa, Ki Kuncung, Ki Raharga, Ki Arema, Ki Ajargurawa, K4ng tOmmy, dll saya tidak hafal, maaf…)
    2. Pelangi di Langit Singasari; Pasukan Retype: Ki Raharga, Ki Sunda,Ki Sukasasrana dan Dewi KZ; pasukan proofing/editing: Ki Raharga, Ki Sunda, Ki Hartono, Ki Wijil/Wiek, dan Ki Mahesa
    3. Sepasang Ular Naga di satu Sarang, pasukan retype: Ki Mahesa, Ki Ayasdewe, dan Ki Sunda; pasukan proofing/editing: Ki Mahesa, Ki Ayasdewe, dan Ki Sunda
    4. Panasnya Bunga Mekar, convert/proofing/editing; Nyi Dewi KZ dan Ki Banuaji
    5. Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan,  convert/proofing/editing: Ki Raharga, Ki Dino, Nyi Dewi KZ.
    6. lain-lain: sanak-kadang yang melakukan convert/proofing/editing di website Tirai Kasih yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Selamat menikmati.

Malang, Maret 2011

Arema

————————————————————————————————————

Alamat kontak: pelangisingosari@gmail.com

ISTANA YANG SURAM 14

ISTANA YANG SURAM

Jilid 14

Karya: SH Mintardja

kembali | TAMAT

Istana Yang Suram-14DIDALAM bayangan sebatang pohon perdu yang rimbun, Panon berhenti. Sejenak ia melihat ke halaman banjar itu, berkali-kali ia masih mendengar suara gelak tertawa, bahkan sambil mengerutkan keningnya, Panon mendengar mangkuk-mangkuk yang pecah.

“Agaknya orang-orang itu menjadi gila” geram Panon. Ia membayangkan beberapa orang mabuk tuak di dalam banjar itu.

Beberapa langkah Panon maju lagi, ia melihat penjaga regol berjalan hilir mudik.

“Dua orang” desis Panon.

Namun ia tidak segera dapat mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, ia masih harus melihat keadaan yang akan berkembang di banjar itu.

Karena itu, maka Panon pun bergeser lagi, ia ingin berada di tempat yang memungkinkannya melihat langsung ke pendapa. Tetapi untuk berdiri di muka regol ia merasa cemas, bahwa kedatangannya akan diketahui oleh orang-orang Guntur Geni.

Bagaimanapun juga Panon harus melihat katanya, jika orang-orang Guntur Geni itu melihatnya dan mengejar bersama, maka ia akan mengalami kesulitan.

“Untunglah bahwa aku termasuk seorang pelari yang baik” gumam Panon di dalam hatinya.

Akhirnya Panon memutuskan untuk memanjat sebatang pohon duwet yang agak rimbun dan tidak terlalu dekat dengan dinding halaman.

Dari atas pohon duwet itu, Panon melihat, apa yang dilakukan oleh orang-orang Guntur Geni di pendapa. Di pendapa terdapat beberapa onggok makanan. Beberapa mangkuk berserakan dan beberapa guci yang agaknya berisi arak.

“Mereka telah menjadi gila” geram Panon

“Sepatutnyalah bahwa mereka harus dibinasakan, meskipun mereka bermaksud sama buruknya dengan orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu, tetapi ternyata bahwa, tingkah laku mereka jauh lebih buruk dan kasar.

Akhirnya Panon tidak tahan lagi melihat tingkah laku mereka. Karena itu pun maka ia pun segera turun. Ia sudah sampai pada rencananya untuk memancing orang-orang Guntur Geni agar mereka segera menyerang istana kecil itu.

“Dengan demikian maka tugasku akan segera selesai”

Perlahan-lahan Panon mendekati dua orang penjaga regol yang berjalan hilir mudik. Sejenak Panon menunggui keduanya menjadi lengah.

Tetapi Panon menjadi gemetar ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara seorang di balik dinding halaman banjar itu tanpa melihat orangnya, “He, malam ini terlalu dingin”

“Ya, malam ini memang dingin sekali” sahut yang lain.

Terdengar suara tertawa berkepanjangan dan terdengar pula suara yang lain melengking, “Apa salahnya jika kita berbuat sesuatu. Kita sudah terlalu kenyang, sekarang kita memerlukan yang lain.

Dada Panon bagaikan mendengar kata-kata yang dapat ditebak arahnya itu, ternyata seorang lain menyahut, “He, perintahkan dua orang pergi ke rumah Ki Buyut. Ki Buyut harus memberikan upeti bukan saja makanan. Di padukuhan itu, Kidang Alit pernah mendapatkan beberapa orang gadis cantik yang kemudian dipaksanya kawin dengan laki-laki lain, kita lebih baik dari Kidang Alit dan kita pun berhak mendapatkannya meskipun dengan cara berbeda”

Tetapi ternyata ada jawab yang tidak kalah lantangnya, “Kalian membuat perjuangan ini menjadi sial, aku tidak peduli apa yang kalian lakukan setelah usaha kita selesai”

Yang mendengar adalah suara tertawa berkepanjangan, terdengar suara melengking menyahut, “Jangan kau rintangi, justru karena kita masih akan bertempur besok atau lusa, kita akan meneguk katanya duniawi sebelum kita akan mati, he, siapa tahu, kepalaku besok terpenggal oleh orang-orang Cengkir Pitu atau Kumbang Kuning atau orang-orang dari istana itu”

“Persetan, jika kau mau mati, matilah” sahut yang lain.

Tetapi terdengar suara lain lagi, “Biarkan saja apa yang akan dilakukan. Itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Dengan demikian mereka tidak akan merajuk lagi.”

Tidak ada jawaban, yang terdengar kemudian adalah pembicaraan yang tidak jelas dari balik dinding di seberang jalan.

Sesaat Panon menunggu, ternyata ia melihat dua orang keluar dari regol halaman, di regol keduanya berhenti sejenak, berbicara dengan penjaga, kemudian terdengar mereka tertawa tertahan.

Panon bukan seorang yang dungu, ia mengerti, apakah yang kira-kira akan mereka lakukan. Mereka akan pergi ke rumah Ki Buyut dan memaksakan kehendak dari beberapa orang pemimpin perguruan Guntur Geni itu.

“Ki Buyut tidak akan dapat menolak atau ia akan dibunuh sama sekali.” Geram Panon dalam hatinya.

Namun kematian Ki Buyut adalah korban yang sia-sia, karena mereka pasti akan tetap melakukan niatnya tanpa Ki Buyut. Mereka dapat memasuki setiap pintu, menyeret gadis-gadis keluar dari rumahnya dan memaksanya ke banjar.

Karena itu, Panon tidak dapat berpikir lain, ia mencoba untuk menghubungkan tindakan yang akan dilakukan dengan rencananya, ternyata ia menemukan jalan.

Karena itu, dengan diam-diam ia mengikuti dua orang yang berjalan maju ke rumah Ki Buyut.

“Tidak boleh terlalu jauh dari banjar” Panon menggeram. Dengan susah payah ia menahan gejolak hatinya dengan nalarnya. Betapa tangannya menjadi gemetar oleh dentang jantungnya yang memukul dinding dadanya. Orang-orang Guntur Geni itu di mata Panon tidak lagi sebagai manusia-manusia yang beradab, tetapi mereka adalah binatang-binatang buas, yang hanya pantas dimusnahkan.

Namun Panon tidak dapat kehilangan akalnya, ia sudah mempunyai rencana untuk memancing orang-orang Guntur Geni untuk segera menyerang istana kecil itu.

Panon masih mengikuti kedua orang-orang Guntur Geni itu, sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak dengan banjar padukuhan yang baru saja ditinggalkannya.

Ketika jarak yang diperkirakan sudah cukup, maka Panon pun meloncat mendahului kedua orang itu lewat halaman di sebelah lorong, kemudian dengan berhati-hati ia meloncati dinding halaman, turun ke jalan dibawah rimbunnya dedaunan yang pekat di malam hari.

Tetapi ternyata kedua orang Guntur Geni itu segera melihatnya, karena itu langkah mereka pun terhenti.

Panon tidak merasa perlu untuk bersembunyi lagi, gejolak jantungnya hampir tidak tertahankan, ia tidak menghiraukan lagi, apakah kedua orang itu tidak akan membahayakan jiwanya.

Karena itu, maka Panon pun segera melangkah mendekat sambil bertanya, “Siapa kau?, bukankah kau keluar dari halaman banjar?”

Pertanyaan itu justru membuat kedua orang itu termenung-menung sejenak, bahkan mereka pun saling berpandangan dengan dada yang berdebar-debar.

“Jawab, kau tentu orang-orang Guntur Geni, He, apakah yang akan kau cari di malam buta ini?”

Baru sejenak kemudian kedua orang itu sempat mengatur perasaannya, salah seorang maju melangkah sambil menggeram, “Apakah kau orang gila?”

“Aku seorang dari penghuni istana kecil yang menjadi sasaran banyak perguruan itu, kau tentu akan pergi ke istana kecil itu pula untuk mencari pusaka yang kalian sangka ada disana”

Kedua orang Guntur Geni itu menjadi semakin heran, nampaknya orang yang dijumpainya di lorong yang gelap itu benar-benar orang tidak waras.

“Apa maksudmu menghentikan kami disini?”

“Tentu sudah jelas bagi kalian, kalian orang-orang Guntur Geni hanya pantas untuk dibunuh, tingkah laku kalian benar-benar tidak menunjukkan peradaban manusia yang paling rendah sekalipun, kalian tidak lebih terhormat dari serigala yang mencari sisa-sisa bangkai bekas makanan seekor harimau yang memburu mangsanya dengan keberanian”

“Kau mengigau seperti orang gila, aku kira kau memang orang gila”

“Apapun yang kau katakan, tetapi aku siap membunuh kalian”

Tiba-tiba saja kedua orang Guntur Geni itu tertawa, sambil memandang rumah yang diam membeku di sekitarnya ia berkata, “Seandainya rumah dan pepohonan itu mendengar kata-katamu, mereka tentu akan tertawa. He, bagaimana mungkin kau akan membunuh kami berdua?, apakah kau orang perguruan Kumbang Kuning, perguruan Cengkir Pitu atau perguruan yang lain lagi?”

“Aku telah membunuh orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning, aku juga telah membunuh orang-orang Guntur Geni beberapa waktu yang lalu”

Wajah orang-orang Guntur Geni itu menegang, sejenak mereka saling berpandangan. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka tertawa, katanya, “Kau memang pandai menakut-nakuti orang. tetapi jangan mencoba menakut-nakuti kami. Kami adalah orang-orang Guntur Geni yang sudah kenyang makan garamnya kehidupan di wajah-wajah kegelapan”

“Baik” jawab Panon, “Marilah kita melihat bahwa kata-kataku bukan sekedar hanya menakut-nakuti saja”

Kedua orang Guntur Geni itu bersiap ketika mereka melihat Panon bergeser setapak.

“Kita akan bertempur, kau berdua akan mati dan sebentar lagi seluruh pasukan Guntur Geni akan musnah, tidak seorang pun yang pantas untuk dibiarkan hidup. Bagiku, orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning masih terlalu baik dibanding orang-orang Guntur Geni.”

Wajah orang Guntur Geni itu menjadi merah padam, hanya karena gelapnya malam, maka wajah-wajah itu nampaknya tidak berubah.

“Aku tidak mempunyai waktu mendengarkan bualanmu anak gila. Bersiaplah untuk mati. Para pemimpin dari Guntur Geni itu tentu sudah menunggu aku. Mungkin mereka menjadi tidak sabar lagi, sehingga mereka akan langsung keluar dan memasuki rumah-rumah di sekitar sini”

Panon menjadi gemetar menahan kemarahan yang memuncak, tetapi kemungkinan itu memang dapat terjadi, karena orang-orang Guntur Geni ternyata lebih buas dari serigala.

Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Panon selain dengan secepatnya menyelesaikan kedua orang, kemudian memancing orang-orang Guntur Geni untuk datang ke istana kecil, sehingga mereka tidak sempat melakukan perbuatan terkutuk lebih lama lagi.

Selangkah Panon maju lebih dekat lagi, ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat kedua orang Guntur Geni itu menarik senjata mereka masing-masing.

“Kita akan bunuh anak ini secepatnya” berkata salah seorang dari mereka. lalu, “Dengan demikian kita akan cepat-cepat pergi ke rumah Ki Buyut”

Panon tidak menyahut, tetapi ia pun telah mencabut senjatanya pula, sebuah pisau belati. Ia sama sekali tidak gentar meskipun kedua lawannya mempergunakan senjata panjang.

Ketika orang Guntur Geni itu melangkah maju, diluar dugaan mereka, Panon telah meloncat menyerang dengan garangnya, pisau belatinya menyambar mendatar mengarah lambung.

Tetapi orang-orang Guntur Geni itu pun sempat mengelak, hampir bersamaan mereka menyerang Panon dari dua arah yang berbeda.

Panon sudah memperhitungkannya, ia meloncat menghindar, tetapi tangannya sempat terayun menggapai wajah lawannya dengan ujung pisau belatinya.

Dengan demikian maka orang lawannya yang wajahnya hampir saja tergores senjata itu pun terpaksa menghindar dan mengurungkan serangannya, sementara yang lain telah kehilangan sasaran, karena Panon sempat menggeliat dan melenting beberapa langkah.

Sejenak kemudian pertempuran itu pun semakin sengit, tetapi kedua orang Guntur Geni itu ternyata telah salah hitung, lawannya yang masih muda itu bukannya seorang orang dungu, yang terperosok kedalam satu perlawanan yang kurang dimengerti, tetapi ternyata bahwa lawannya yang muda itu benar-benar seorang yang memiliki kelebihan dari kebanyakan anak-anak muda sebayanya.

Dengan demikian maka, kedua orang itu harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, keduanya harus benar-benar bertempur dengan gigih untuk mempertahankan hidup mereka, pisau belati di tangan anak muda itu seolah-olah berterbangan mengelilingi kepala mereka dan sekali-sekali berdesing di ujung telinga.

Panon telah mengerahkan kemampuannya, ia ingin bekerja lebih cepat, jika ia terlalu lama, maka orang-orang di istana kecil itu tentu sudah menjadi gelisah, bahkan mungkin gurunya akan mengira bahwa ia menemui kesulitan di perjalanan.

Tetapi kedua orang itu bukannya merupakan kesulitan yang dapat teratasi bagi Panon, ketika ia mengerahkan segenap kemampuannya, maka ia pun mulai dapat menekan lawannya.

Dengan garang kedua orang Guntur Geni itu bertempur, mereka bukan saja bergerak dengan kasar, tetapi mereka juga berteriak-teriak seperti orang kesurupan.

Namun hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Panon, karena itu, maka ia telah memperhitungkan jarak dari banjar, betapapun kedua orang itu berteriak, namun suaranya tidak akan sempat terdengar oleh orang-orang di banjar. Sehingga dengan demikian, Panon akan dapat menyelesaikan kedua orang itu tanpa diganggu.

Ketika salah seorang lawannya menjulurkan senjatanya, Panon mengelakkan diri sambil menyerang lawannya yang lain. tetapi lawannya masih sempat menghindarinya, bahkan lawannya yang gagal itu pun memburunya dengan senjata terayun.

Serangan itu datang dengan tergesa-gesa, Panon masih sempat memiringkan badannya, ia meloncat selangkah surut, namun tiba-tiba saja ia melenting menyerang diluar dugaan lawannya, justru lawannya yang seorang.

Serangan itu benar-benar tidak terduga, dengan serta merta lawannya menangkis.

Panon menarik serangannya, loncatannya yang cepat seperti burung sikatan membuat lawannya menjadi bingung, belum lagi yang seorang mampu memperhitungkan keadaan, tiba-tiba saja serangan Panon telah mematuk dadanya.

Kesempatan untuk menghindar dan menangkis, ternyata sangat sempit, meskipun demikian orang itu masih berusaha untuk menghindarinya.

Terdengar keluhan pendek, pisau belati Panon tidak dapat mengenai sasarannya, tetapi pisau itu sempat merobek bahu lawannya, sehingga darah mengalir dari urat-uratnya yang terputus.

Orang yang terluka itu menggeram, tetapi ia tidak sempat merenungi pedih di lengannya, Panon masih saja menyambar-nyambar dengan belatinya yang berkilat-kilat di malam gelap, seakan-akan pisau itu bercahaya kebiru-biruan.

Dengan garangnya Panon menyerang lawannya, dalam kegelapan tangannya mengambang bagaikan sayap-sayap garuda, selangkah demi selangkah lawannya terdesak surut.

Orang-orang Guntur Geni itu semakin lama menjadi semakin bingung. Rasa-rasanya ujung pisau itu memburu kemana saja mereka pergi. Desing yang mengerikan selalu membelit telinganya, sementara kulit mereka menjadi semakin pedih oleh sentuhan-sentuhan ujung belati yang tajam.

Sejenak kemudian, luka-luka itu telah menyentuh yang seorang lagi, kemudian terulang dan terulang, sehingga keduanya bukan saja menjadi basah oleh keringat, tetapi darah mereka pun bagaikan mengalir segenap tubuh.

Kedua orang Guntur Geni itu benar-benar tidak lagi mampu bertahan dengan pedangnya, karena itu, maka salah seorang segera bergumam, “Aku akan mempergunakan racun”

Panon tertegun sejenak, hanya sekejap. Namun serangannya telah meluncur di udara diantara geramnya, “Aku tidak takut racun, aku mempunyai penawarnya, di istana kecil itu terdapat berbagai macam penawar racun, diantaranya adalah Jalu Sisik Sasra”

Kedua orang Guntur Geni itu menggeram, namun tubuh mereka semakin lama menjadi semakin lemah.

Pada saat-saat yang paling gawat bagi keduanya, tiba-tiba saja Panon mengurangi tekanannya, bahkan kemudian ia berhenti menyerang. Selangkah ia meloncat mundur sambil berkata, “Kalian akan mati, aku juga memakai racun yang lebih kuat dari racun orang-orang Guntur Geni, tidak ada obat yang dapat mengobati luka-lukamu yang terkena belatiku yang beracun”

Kedua orang itu termenung-menung, tubuh mereka semakin lama menjadi gemetar.

“Anak iblis”

Panon tertawa, katanya, “Suara tidak akan terdengar dari banjar, mungkin penduduk yang tinggal di sekitar sini telah menggigil ketakutan mendengar teriakanmu”

Kedua orang itu tidak menyahut, dari tatapan mata mereka membayang kemarahan yang tiada taranya.

“Matilah dengan tenang, aku tidak akan mengganggu” berkata Panon kemudian.

Kedua orang itu berdiri termenung-menung, dengan tanpa berkedip mereka memandang Panon yang justru melangkah surut.

“Matilah, kalian memang harus mati. Orang-orang Guntur Geni harus mati seperti binatang buas yang tersesat di padukuhan”

Panon tidak menunggu jawaban, ia pun kemudian meloncati dinding, dan mendarat di jalan dan hilang dalam kegelapan.

Kedua orang itu berdiri termenung-menung, sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian mereka pun menyadari keadaannya, tubuh-tubuh mereka menjadi semakin lemah karena darah yang mengalir dari luka. Apalagi Panon telah mengatakan, bahwa pisaunya mengandung racun yang tajam.

“Kita kembali ke banjar” desis yang seorang dengan suara gemetar.

“Tetapi apakah kata mereka nanti, ketika mereka melihat kita seperti ini?”

“Mungkin mereka akan memberikan kita penawar racun”

Kedua orang itu termenung-menung sejenak, mereka ragu-ragu untuk kembali tanpa membawa hasil dari tugas yang dibebankan kepada mereka. tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi atas diri mereka.

Karena itu, maka keduanya pun kemudian kembali ke banjar. Para pemimpin mereka tidak akan dapat menutup mata tentang keadaan mereka. apalagi menurut anak muda yang mencegatnya, bahwa mereka telah terkena racun yang sangat kuat.

Tertatih-tatih keduanya berusaha untuk kembali ke banjar, sekali-sekali mereka harus berhenti, bersandar pada dinding sebelah jalan.

Diluar sepengetahuan mereka, ternyata Panon masih mengikuti mereka. Ia hampir kehilangan kesabaran, ketika kedua orang itu berjalan terlalu lamban. Namun ia harus menunggu, betapapun dadanya bergejolak oleh kemarahan yang bagaikan tiada tertahan. Rasa-rasanya ia ingin memusnahkan orang-orang Guntur Geni yang menurut pengamatannya lebih buas dari serigala itu. Namun ia pun masih dibayangi oleh akal sehat, sehingga ia harus melihat kenyataan bahwa orang-orang Guntur Geni membawa kekuatan yang sangat besar.

Karena itu, rencananya untuk memancing mereka ke istana kecil itulah yang akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian, kedua orang yang sudah terluka itu melangkah semakin dekat dengan banjar. Para penjaga regol sudah nampak berjalan hilir mudik, bahkan sejenak kemudian salah seorang dari kedua penjaga regol itu sudah melihat dua orang berjalan tertatih-tatih kearah mereka.

“Siapa disana?”

Kedua orang itu melangkah semakin dekat.

“Siapa kalian, He” teriak penjaga itu.

“Aku, aku” suaranya terputus-putus.

Kedua orang itu menjadi curiga, suara itu pernah didengarnya. Tetapi suara itu terdengar gemetar dan putus-putus.

Karena itu kedua penjaga telah melangkah mendekati kedua orang yang berjalan tertatih-tatih.

Dalam pada itu, Panon sudah menunggu, semula ia ingin meninggalkan bekas atas kedua orang yang terluka itu apabila mereka sudah berada di halaman banjar. Ia melihat kedua orang yang terluka itu telah berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Mereka merayap kembali ke banjar untuk mendapatkan pertolongan. Jika saat terakhir dari usahanya yang sudah mulai nampak di matanya, tiba-tiba saja maut merenggutnya, alangkah kecewa kedua orang itu, justru disaat terakhir.

Karena itu, Panon mengurungkan niatnya, yang nampak olehnya kemudian adalah kedua orang penjaga yang berjalan dengan tegap menjinjing senjata masing-masing.

Sejenak Panon menunggu. Dibiarkannya kedua penjaga regol itu berjalan semakin dekat.

Namun agaknya kedua orang itu pun menjadi ragu-ragu. Ia melihat kedua kawannya itu dalam keadaan tidak wajar, sehingga karena itulah maka mereka pun terhenti beberapa langkah di hadapan kedua orang yang terluka parah itu.

“Kenapa kalian?”

Kedua orang yang terluka itu mencoba untuk maju lagi, tetapi ternyata mereka sudah sangat lemah.

Salah seorang dari mereka menyahut, “Aku terkena racun”

“Siapa yang meracunimu?”

“Aku tidak tahu, menurut keterangannya, ia adalah seorang penghuni istana kecil itu”

Kedua penjaga itu termangu-mangu sejenak, sementara kedua orang yang terluka itu masih merintih.

“Tolonglah kami, aku tidak dapat melangkah lagi, tubuhku tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi, tanpa pertolongan. Tolong, panggillah Kiai Sampuragi. Mungkin ia dapat menolongku”

“Sampuragi tidak ada diantara kita, He, bukannya kau sudah tahu?”

“Siapapun dukun yang ada diantara kita, siapapun yang dapat menawarkan racun” suara orang itu semakin sayup.

Kedua penjaga itu termangu-mangu, tetapi mereka masih tetap berdiri di tempatnya.

Ternyata bahwa kedua orang yang terluka itu sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Darah yang terluka banyak mengalir dari luka. Telah menghisap semua kekuatan yang ada pada keduanya, sehingga bagaimanapun juga keduanya mencoba berpegangan pada dinding halaman di sebelah jalan, namun akhirnya keduanya pun jatuh terduduk.

“Tolong, tolong kami” yang seorang mengeluh dengan suara yang semakin dalam.

Pada saat itulah, kedua orang penjaga itu seolah-olah tersadar dari cengkaman perasaannya yang tegang melihat peristiwa itu, karena itulah maka keduanya bersiap untuk berlari memanggil kawan-kawannya.

“Tolonglah mereka, aku akan memanggil dukun yang ada diantara kita”

“Panggil kawan-kawan, kita bawa mereka masuk ke banjar”

Tetapi keduanya ternyata tidak sempat berbuat apa-apa, kedua orang yang terluka itu pun terjatuh berguling di tanah.

Kedua orang penjaga itu justru berlari mendekati keduanya. Namun keduanya sudah menjadi sangat lemah, darah mereka terlalu banyak mengalir.

Seorang dari kedua penjaga itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Tidak ada detak jantungnya lagi”

“Nampaknya yang seorang itu akan segera mati, tetapi yang seorang lagi?”

Tetapi yang terdengar adalah desah panjang, ternyata itu adalah tarikan nafas yang terakhir, berurutan kedua orang itu meninggal susul menyusul oleh luka yang arang keranjang karena goresan senjata Panon.

Panon yang menyaksikan semuanya itu dari kegelapan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ternyata kedua orang itu memang sudah saatnya direnggut oleh maut. Meskipun ia tidak membunuhnya secara langsung seperti yang direncanakan, tetapi ia telah membunuhnya juga. Karena keduanya mati oleh luka-lukanya, sehingga darahnya telah terperas dari tubuhnya.

Yang tinggal adalah kedua orang penjaga yang masih saja mengamati-amati kedua sosok mayat itu, mereka mencoba melihat keduanya dengan seksama, meskipun tidak begitu jelas, tetapi mereka dapat melihat, luka-luka yang seolah-olah silang menyilang di seluruh tubuhnya.

“Darahnya mengalir dari segenap lukanya” desis yang seorang.

“Apakah ada tanda-tanda keracunan seperti yang dikatakannya?”

“Tidak nampak tanda-tanda itu di dalam kegelapan, tetapi seandainya mereka tidak terkena racun, mereka pun akan meninggal juga, luka-lukanya terlampau parah”

“Siapakah yang membunuhnya?” geram kawannya.

“Mereka telah menyebutnya, orang dari istana kecil itu”

“Gila, tentu tidak hanya dua orang, mungkin empat atau lima orang”

Yang lain tidak segera menyahut, tetapi terdengar ia menggeram menahan kemarahan yang menyesak dadanya.

“Kita akan menumpas seisi istana buruk itu” akhirnya ia berkata dengan nada datar, “Siapapun yang ada di didalamnya”

“Marilah, kita akan melaporkannya, kita panggil beberapa orang untuk membawa mereka ke banjar.

Keduanya tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan orang-orang dari istana kecil itu, sehingga agaknya mereka tidak bersiap menghadapi kemungkinan ini”

“Kita akan segera bertindak, kita bakar istana itu menjadi abu”

Namun tiba-tiba kawannya berkata, “Tetapi pemimpin-pemimpin kita masih memerlukan sesuatu, bukankah keduanya telah ditugaskan pergi ke rumah Ki Buyut?”

“Persetan, mereka akan marah melihat keadaan ini, bukankah ini merupakan suatu penghinaan?”

Kawannya mengangguk-angguk, namun nampaknya ia masih berpikir.

Dalam pada itu, Panon telah mengambil keputusan untuk bertindak, ia harus berbuat sesuatu untuk menambah minyak pada api yang sudah mulai dinyalakan, ia harus meninggalkan ciri yang meyakinkan bagi orang-orang Guntur Geni bahwa yang sudah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu adalah orang dari istana kecil itu.

“Aku harus melontarkan pisau dengan tepat” berkata Panon kepada diri sendiri.

Ia tidak ingin mengenai salah seorang dari kedua orang yang berjaga-jaga di depan regol itu, tetapi ia akan mengenai keduanya dengan pisau yang berciri seekor kuda dengan sayap terkembang.

Dengan sangat hati-hati Panon mendekat, sejenak ia mencari tempat yang paling baik di balik dinding batu. Kemudian dengan sangat cermat ia mulai membidik keduanya dengan pisaunya.

Sejenak kemudian tangannya telah terayun, cepat sekali. Ayunan yang pertama, kemudian disusul dengan ayunan yang kedua.

Terdengar kedua orang penjaga berteriak. Namun agaknya lontaran pisau Panon benar-benar telah mengenai sasarannya. Keduanya telah tertusuk dadanya langsung mengenai jantung.

Beberapa orang Guntur Geni yang ada di dalam banjar mendengar teriakan yang terputus itu, mereka tidak peduli dengan teriakan-teriakan orang-orangnya, tetapi teriakan maut itu telah menarik perhatian. Seorang yang kebetulan berada di depan banjar berlari-lari melintasi halaman.

Ia terkejut sekali melihat kedua orang kawannya telah terbaring di tanah tanpa bernafas lagi.

“Gila” ia berteriak, “Siapa yang telah berani melakukan ini?”

Tidak ada yang menjawab yang terdengar kemudian adalah langkah kawan-kawannya yang berlari-lari mendekat.

Dengan obor lampu minyak orang-orang Guntur Geni itu menerangi mayat kawan-kawannya. Dengan tangan gemetar mereka telah menemukan dua buah pisau tertancap di dada kedua penjaga yang bertugas.

“Seorang telah membunuhnya” geram salah seorang dari mereka.

Orang-orang Guntur Geni itu menjadi gempar ketika mereka melihat sebuah lukisan pada tangkai pisau belati tersebut.

Sejenak kemudian banjar padukuhan Karangmaja itu telah menjadi gempar. Orang-orang Guntur Geni mulai bergejolak, seorang yang bertubuh tinggi menggeram sambil berkata, “Kita bunuh semua orang Karangmaja. Wajah-wajah yang kasar itu menjadi semakin buas dan liar. Suara tertawa yang meledak-ledak telah terhapus oleh umpatan kasar, sementara yang lain dengan teliti mengamati lukisan yang terdapat di tangkai pisau itu.

“Seekor kuda terbang” desis seorang diantara mereka yang mengerumuni mayat itu.

“He..!!” tiba-tiba seorang menyibaki kawan-kawannya, “Apa katamu?”

Orang yang mengamati pisau itu mengulangi, “Di tangkai pisau ini diukir lukisan seekor kuda dengan sayap yang terkembang”

“Pangeran Kuda Narpada, Darimana kau dapatkan pisau itu?”

“Pisau ini tertancap di dada mayat ini”

Orang yang tertarik dengan pisau itu adalah Kiai Paran Sanggit, dan sekarang ia menjadi tegang, kemudian ia berteriak, “Berikan pisau itu kepadaku”

Dengan tegang pisau itu pun diserahkan kepada Kiai Paran Sanggit yang menerimanya dengan tangan gemetar. Namun ia benar-benar melihat goresan seekor kuda dengan sayap yang terkembang.

“Gila, ini benar-benar gila. Dan aku tidak percaya kalau yang melakukan adalah Pangeran Kuda Narpada. Pangeran itu sudah lama terbunuh dan tidak pernah terdengar namanya lagi”

Seorang yang bertubuh pendek mendekatinya, dengan suara yang lirih ia bertanya, “Kenapa kau menjadi gemetar?”

“Lihat” sahut Kiai Paran Sanggit sambil menyerahkan pisau itu.

“Kau cepat menjadi cemas, setiap orang dapat membuat goresan semacam ini, aku pun bisa”

“Tetapi makna dari lukisan ini adalah seorang”

Ki Dumi orang yang bertubuh kecil dan pendek itu tertawa, jawabnya, “Apa artinya ciri seorang jika orang lain ingin mengaburkannya, Kuda Narpada sudah mati, mungkin di istana itu masih tersimpan banyak sekali pisau-pisau kecil serupa itu”

“Jadi siapakah yang mempergunakannya?”

“Siapa saja yang ada di istana itu, Kuda Rupaka, Kidang Alit, tikus piti atau siapa lagi”

“Kau memang terlalu sombong” seorang yang bertubuh tinggi raksasa menyahut dari kegelapan.

Ki Dumi berpaling, sementara orang yang tinggi besar itu masih meneruskan, “Tubuhmu yang kecil kerdil itu telah membuat jiwamu bergejolak untuk membuat imbangan atas kekecilan tubuhmu. Tetapi kau jangan menganggap bahwa di halaman istana tidak ada orang yang mampu memutar lehermu”

Ki Dumi tertawa, jawabnya, “Justru kekerdilan tubuhku inilah bekal yang paling berarti bagi ilmuku, dengan tubuh kecil dan pendek, maka sulit bagi seorang untuk menyentuh dan apalagi menangkap aku”

“Tetapi yang dapat kau lakukan atas lawan-lawanmu hanyalah sekedar berlari-larian tanpa berbuat sesuatu”

Ki Dumi tertawa semakin keras, katanya, “Ki Sraba yang perkasa, kau jangan menghina aku, untunglah aku baru saja mendapatkan makanan yang enak dari orang-orang Karangmaja, sehingga aku tidak mudah menjadi marah, tetapi jika kau ingin bertanding, marilah, kita bertaruh, siapakah diantara kita, kau yang bertubuh raksasa dan aku yang kau anggap kerdil ini dapat menelan makanan lebih banyak.”

“Cukup” potong Kiai Paran Sanggit, “Kita sedang menghadapi persoalan yang sungguh-sungguh. Bukan sekedar kelakar anak-anak gila seperti kalian.”

Ki Sraba menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Jangan cepat marah Kiai. Aku tahu persoalan yang kita hadapi memang persoalan yang gawat. Tetapi bukankah aku juga sedang memperingatkan kepada Dumi kecil ini, bahwa di istana itu ada orang-orang yang harus kita tanggapi dengan sungguh-sungguh.”

Ki Dumi lah yang masih tertawa, katanya, “Orang-orang seperti Kiai Paran Sanggit tentu akan cepat menjadi tua” tetapi baiklah. kita akan mempersoalkan pisau-pisau itu dengan sungguh-sungguh. Pisau itu tentu ada hubungannya dengan Pangeran Kuda Narpada, begitu pendapatmu?”

“Ya” jawab Kiai Paran Sanggit, lalu, “Tetapi itu bukan berarti bahwa Pangeran Kuda Narpada sendiri yang harus memperguna-kan, seandainya ia benar-benar sudah mati. Tetapi yang telah membunuh kedua pengawal itu tentu orang-orang yang datang dari istana kecil itu, bukan orang Karangmaja. Aku yakin, orang-orang Karangmaja tidak akan ada yang berani melakukannya. Ingat, bahwa di dalam istana itu dijumpai orang-orang dari Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning”

“Aku sudah tau” seorang yang lain memotong. Seorang yang sudah lanjut usia. Punggungnya sudah agak bungkuk. Ia berdiri dan berpegangan sebuah tongkat yang panjang berkepala ular yang terbuat dari baja dengan lidahnya terjulur, katanya kemudian, “Ketika kau minta aku ikut serta dalam pasukanmu, kau sudah mengatakan bahwa kita akan melawan orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu. tetapi pisau itu bukan ciri orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu. Aapakah tidak mungkin ada pihak lain yang ikut serta terlibat dalam perebutan ini?”

“Jangan mempersulit jalan pikiranmu, orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu telah menemukan pisau itu di istana. mereka mempergunakannya untuk membunuh kedua pengawal itu” sahut Kiai Paran Sanggit, lalu, “Sekarang kita harus berbuat sesuatu, ini adalah tantangan, lebih dari itu, ini adalah satu penghinaan”

Ki Dumi masih saja tertawa, katanya, “Jangan meradang seperti anak-anak, kita datang kesini untuk bertempur, kau telah minta kepadaku agar aku membantumu merampas pasukan yang ada di istana itu, karena itu, kemungkinan-kemungkinan serupa ini sudah aku pikirkan akan terjadi”

Wajah Kiai Paran Sanggit yang tegang masih saja menegang, dengan lantang ia berkata, “Kita akan memasuki istana sekarang juga”

Ki Sraba mengangguk-angguk, katanya, “Kapan saja aku sudah bersedia. Aku memang berharap bahwa Guntur Geni akan mendapatkan pasukan yang sedang diperebutkan itu. jika kemudian ternyata dari pasukan itu dapat diketahui pasukan-pasukan yang lain dan kemudian dicari kelengkapannya di gedung perbendaharaan, maka Guntur Geni akan mendapatkan wahyu keraton. He, siapakah kelak yang akan menjadi raja, jika wahyu itu tiba di perguruan Guntur Geni?”

“Kiai Paran Sanggit adalah orang yang memiliki syarat untuk menerima wahyu itu” potong Kiai Kebo Ander, orang tua yang bongkok, yang sering disebut juga Kiai Bongkok dari Gunung Gamping, “Aku percaya bahwa di dalam susunan silsilahnya, ia adalah keturunan Perabu Kertajaya. Nah, itulah sebabnya aku bersedia ikut bersamanya. Tetapi darah keturunan itu, tidak seorang akan dapat menerima wahyu keraton”

 

“Kiai melupakan Ken Arok, anak petani miskin itu” teriak Ki Dumi tiba-tiba, “Aku pun dapat menjadi sarang wahyu keraton jika memang itulah yang harus terjadi, dan aku memiliki syarat yang lengkap”

“Ken Arok adalah putera Dewa Brahma” teriak Ki Sraba.

“Cukup” Kiai Paran Sanggit memotong, “Kita tidak sedang membicarakan keturunan. Kita menghadapi orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu. Meskipun aku yakin bahwa mereka akan saling bertempur, namun menghadapi kita, mereka agaknya telah mempersatukan diri”

Ki Dumi akhirnya berhenti tertawa, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah, kita akan pergi ke istana itu. aku setuju kita pergi sekarang, agar orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu tidak menganggap bahwa kita pengecut”

Ki Sraba mengangguk-angguk, sedang Ki Kebo Ander berkata, “Tetapi jangan sekedar diburu oleh kemarahan hati, kita akan menyerang sekarang dengan sadar sepenuhnya, bahwa kita akan bertempur melawan orang-orang yang mempunyai nama. Selebihnya kita harus menahan diri agar kita masing-masing tidak menjadi tamak dan menghendaki pasukan yang ada di istana itu bagi diri kita sendiri, maksudku, kita masing-masing”

Kiai Paran Sanggit mengerutkan keningnya, ia melihat sorot mata yang aneh di wajah Ki Kebo Ander, namun Kiai Paran Sanggit tidak mencemaskannya, ia kenal orang tua itu dengan baik. apalagi ia membawa murid-muridnya lengkap jika seorang dari kawannya akan berkhianat.

Ki Sraba menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menyahut, Ki Dumi lah yang kemudian berkata, “Kita besiap sekarang, kita akan pergi ke istana kecil itu, kita akan menumpas semua orang yang ada di dalamnya, siapapun mereka, kemudian kita akan menunggu hadiah yang akan diberikan oleh Kiai Paran Sanggit kepada kita tanpa menghiraukan apakah pasukan itu akan dapat membuatnya menjadi raja seperti moyangnya, Maharaja Kediri atau Singasari atau manapun juga, kita pun tidak akan bertanya, kenapa Kiai Sekar Pucang yang telah membebaskan dirinya dari peredaran waktu itu tidak ikut serta bersama kita sekarang”

“Ia harus mengurung diri” jawab Ki Kebo Ander, karena meskipun ia dapat membebaskan diri dari perjalanan waktu, tetapi ia masih belum dapat membebaskan diri dari kematian, itulah agaknya yang sedang dicapainya sekarang”

“Pembicaraan ini selalu saja berbelok” potong Kiai Paran Sanggit, “Kita akan bersiap sekarang, dan kita akan menyerang istana itu”

Beberapa orang yang lain saling berpandangan sejenak, namun mereka pun kemudian mengikutinya pula, sementara beberapa orang telah mengangkat mayat kedua kawannya yang terbaring dan meletakkannya di pendapa”

Sejenak kemudian, Kiai Paran Sanggit dan kawan-kawannya telah siap dengan kudanya masing-masing, dengan lantang Kiai Paran Sanggit berteriak, “Kita semuanya akan pergi, tidak ada seorang pun yang tinggal”

Ki Dumi menahan senyumnya, katanya berbisik di telinga Ki Sraba, “Buat apa tinggal di banjar jika kita sudah berada di padukuhan ini?”

“Kata-kata tidak ditujukan kepada kita, tetapi kepada murid-muridnya yang sebagian besar adalah pengecut”

Ki Dumi tertawa, tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian, maka orang-orang Guntur Geni itu telah siap. Mereka sudah bertekad untuk menghancurkan isi istana kecil itu, siapapun yang ada di dalamnya. Kemudian merampas pusaka yang tersimpan di istana itu.

Setelah semuanya siap, maka sesaat kemudian kuda-kuda itu pun telah berderap di sepanjang jalan padukuhan. Suaranya telah mengejutkan orang-orang yang telah tidur. Tetapi beberapa orang telah mengangkat kepalanya di pembaringan, namun mereka pun menjadi berdebar dan kembali berbaring sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut kain panjangnya.

Ki Buyut pun mendengar derap kaki kuda itu, seolah-olah debar jantungnya sendiri. Ia menjadi cemas, bahwa kedua anak muda yang telah singgah di rumahnya mengalami kesulitan dan tertangkap, atau orang-orang berkuda itu sedang mengejarnya.

Sejenak Ki Buyut termangu-mangu, ia meletakkan kepalanya lagi di pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya.

“Apa yang dapat aku lakukan?” pertanyaan itu telah mengganggunya.

Tiba-tiba saja Ki Buyut meloncat bangun. Dirabanya senjatanya yang disimpannya di bawah tikar. Kemudian dengan dada yang berdebar-debar ia keluar dari biliknya.

“Aku harus memberitahukan kepada isi istana itu, mungkin akan ada bencana yang menimpa pada Raden Kuda Rupaka dan Panon. bisiknya di telinga anak muda yang tidur di rumahnya.

“Ki Buyut” anak muda itu mencoba mencegahnya, “Itu berbahaya sekali”

“Beberapa hari yang lalu aku juga melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, tetapi aku tetapi hidup, namun jika harus mati sekarang, aku sudah berterima kasih, bahwa umurku sudah bertambah beberapa hari sejak kematian yang seharusnya sudah menerkam aku” jawab Ki Buyut.

Anak muda itu tidak dapat mencegahnya lagi, ia hanya dapat menahan nafas ketika ia melihat Ki Buyut meninggalkan rumah pintu butulan dan hilang di kegelapan.

Seperti yang pernah dilakukan, Ki Buyut berjalan menuju ke istana kecil itu tanpa perasaan takut. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk memberitahukan, bahwa mungkin sekali telah terjadi sesuatu dengan anak muda yang telah berada di padukuhan.

“Mudah-mudahan aku tidak terlalu lambat. Kuda-kuda itu sudah hilang dan suaranya tidak terdengar lagi. Mungkin mereka telah menangkap kedua anak muda itu, atau mungkin mereka akan menyerang istana kecil itu, sementara penghuni-penghuninya sedang tidur lelap” katanya kepada diri sendiri.

Diluar sadarnya Ki Buyut telah berlari-lari kecil. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa yang akan mungkin terjadi atasnya. Karena itu, maka ia pun sama sekali tidak berusaha untuk berlindung dalam bayangan dedaunan atau menelusuri dinding batu, ia berlari-lari saja di sepanjang jalan dengan nafas yang mulai tersengal-sengal.

Ki Buyut terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seseorang muncul dari balik gerumbul, justru ia sudah mendekati jalur jalan menuju ke istana kecil diluar padukuhan.

Dengan serta merta ia mencabut senjatanya dan siap bertempur mempertaruhkan nyawanya.

Tetapi orang itu nampaknya tidak ingin berbuat sesuatu. bahkan terdengar suaranya berdesis, “Ki Buyut”

Ki Buyut mengerutkan keningnya, dalam keremangan malam ia melihat seorang anak muda mendekatinya.

“Panon”

“Ya, Ki Buyut. Aku Panon”

“Oh, jadi kau selamat?, tetapi dimana Raden Kuda Rupaka?”

“Ia sudah berada di istana”

“Tetapi apa yang sudah terjadi?”

Panon termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Ki Buyut, keadaan menjadi gawat, sebaiknya Ki Buyut kembali saja ke padukuhan, jangan meneruskan perjalanan ke istana itu”

“Kenapa?”

“Sudahlah, besok Ki Buyut akan mengetahuinya.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak, namun Panon mendesaknya, “Ki Buyut harus mendengarkan pengamatanku, orang-orang Guntur Geni telah menyerang istana kecil itu, tetapi Raden Kuda Rupaka telah mendahului aku dan memberitahukan kepada orang-orang yang berada di istana itu, bahwa mereka harus mempersiapkan diri”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak, namun Panon mendesaknya lagi, “Cepatlah sedikit Ki Buyut, aku akan segera pergi menyusul orang-orang berkuda itu”

Ki Buyut masih tetap berdiri di tempatnya, namun kemudian ia bertanya, “Apakah orang-orang Guntur Geni itu tidak membahayakan kalian yang berada di istana?”

“Mudah-mudahan tidak Ki Buyut. Kami akan berusaha menjaga diri sebaik-baiknya”

Ki Buyut mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah Panon, hati-hati, aku akan berdoa untuk keselamatan kalian yang berada di istana itu. Orang-orang Guntur Geni adalah orang-orang yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Mereka memiliki permainan yang sangat berbahaya yang dapat membuat seorang bisu, buta, tuli dan lumpuh”

“Banyak diantara kami yang memiliki penawarnya Ki Buyut. Racun itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi kami”

Ki Buyut mengerutkan keningnya, Kidang Alit, anak muda yang mengaku bernama Raden Kuda Rupaka, dan kini orang-orang lain yang berada di istana kecil itu, sama sekali tidak takut terhadap racun yang mungkin dibawa oleh orang-orang Guntur Geni.

Ketika Panon mendesaknya sekali lagi, maka Ki Buyut pun kemudian minta diri dan meninggalkan Panon dalam gelapnya malam.

Panon memandang langkah Ki Buyut menjauh dan hilang dalam kegelapan, sejenak Panon termangu-mangu, namun ia pun kemudian melangkah menuju istana kecil yang sudah tidak terlalu jauh lagi. Ia yakin bahwa kuda yang berderap di jalan berbatu-batu itu sudah sampai di muka pintu gerbang istana kecil yang suram itu.

Sebenarnyalah, bahwa sekelompok orang berkuda telah berhenti di muka pintu gerbang. Seperti yang dikehendaki oleh Panon dan Raden Kuda Rupaka, yang telah memperbaiki pintu gerbang itu, maka orang-orang Guntur Geni tidak dapat langsung memasuki halaman. Mereka berhenti di muka pintu gerbang dan untuk beberapa saat menilai keadaan.

Tetapi nampaknya halaman istana kecil itu tetap sepi, tidak ada seorang pun yang dapat dilihat dari luar pintu gerbang, melintas atau berjaga-jaga.

Kiai Paran Sanggit yang berada di paling depan termangu-mangu sejenak, ia sudah mendengar bahwa beberapa orang dari Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning telah meninggalkan sarang mereka menuju ke pegunungan Sewu.

“Mereka tentu akan memasuki istana ini” tiba-tiba Kiai Paran Sanggit menggeram.

“Tetapi istana itu nampaknya sepi sekali” sahut Ki Dumi.

“Apakah mereka sudah berhasil merampas pasukan itu dan meninggalkan istana kecil ini?” desis Ki Sraba.

“Tentu tidak” sahut Kiai Paran Sanggit, “Tetapi agaknya mereka telah bersembunyi. Mereka ingin membunuh orang-orang kita satu demi satu, karena mereka silau melihat jumlah kita yang tentu jauh lebih besar dari mereka.”

“Kita akan memasuki halaman ini” berkata Ki Kebo Ander, “Apapun yang sudah dan akan terjadi, adalah tanggung jawab kita semuanya, pembunuhan yang licik itu mg suatu tantangan dan sekaligus suatu penghinaan. Soalnya bukan sekedar upah yang akan kita terima dari Kiai Paran Sanggit jika ia menemukan pasukan itu dan kemudian dengan kelengkapannya akan dapat meraih derajat dan pangkat. Tetapi kita juga bertanggung jawab kepada harga diri kita masing-masing sebagai orang yang paling dihormati diantara sesama di daerah kita masing-masing”

Ki Dumi tertawa, katanya, “Kau juga merajuk seperti Kiai Paran Sanggit, Kiai. Tetapi kau benar, aku pun merasa bahwa penghinaan ini tidak dapat dibiarkan tanpa hukuman”

“Juga seandainya Kuda Narpada ada di istana itu, aku ingin membunuhnya sekali lagi jika benar ia bangkit dari kuburnya” geram Ki Sraba.

Namun tiba-tiba Ki Dumi berkata lantang, “Kita tidak hanya akan berbicara panjang, kita akan masuk dan kita akan menghancurkan semuanya, jika perlu istana kecil ini harus dibakar agar kita dapat menemukan pasukan yang sedang kita cari”

“Pasukan itu akan rusak dan kehilangan arti” potong Ki Kebo Ander.

“Tidak, tempat penyimpanan pasukan itu tentu tidak akan terbakar. Dan kita akan cepat menemukannya, aku tidak pernah peduli bahwa penghuni-penghuni istana itu akan terbakar habis” jawab Ki Dumi.

“Kau sudah putus asa, anak kerdil. Kita akan mulai dengan menguasai segala-galanya” sahut Ki Sraba.

Ki Dumi mengerutkan keningnya, tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Paran Sanggit sudah mendahuluinya, “Kita akan menghancurkan regol ini terlebih dahulu, dan kita akan memasuki istana dan mengepungnya”

“Jangan hanya bicara, aku akan masuk sekarang” geram Ki Kebo Ander.

Seperti yang dikatakan, Ki Kebo Ander tidak menunggu lagi, ia pun kemudian meloncat dari kudanya, dan sekali hentak dengan kakinya, regol itu sudah berserakan.

Ki Kebo Ander tidak naik ke punggung kudanya lagi, bahkan dengan acuh tak acuh ia berjalan sambil menuntun kudanya memasuki halaman, seolah-olah tidak sedang berada di tempat yang berbahaya.

Ternyata tidak seorang pun yang nampak di halaman, dan apalagi mengganggunya, dengan tenang ia sempat mengikat kendali kudanya pada sebatang pohon perdu di samping regol halaman. kemudian berjalan melangkah sambil berteriak nyaring, “He, siapa yang ada di dalam, keluar!!”

“Jangan berteriak” Kiai Paran Sanggit memotong, “Kita akan mengepung istana ini”

“Cepat, lakukanlah” jawab Ki Kebo Ander.

Sejenak kemudian derap kaki kuda pun menjadi gemuruh di halaman istana itu, beberapa ekor kuda berlari-lari melingkari halaman dan mengepung istana itu dari segala arah”

Ketika mereka telah mendapat tempat yang sesuai dengan rencana mereka di seputar istana itu, maka mereka pun segera berloncatan turun pula dan mengikat kuda masing-masing pada batang-batang pohon yang ada di sekitar mereka.

Sementara itu Kiai Paran Sanggit yang berada di halaman depan, sekali lagi berdesis, ketika Ki Kebo Ander akan berteriak. Namun agaknya Ki Kebo Ander tidak telaten lagi, sekali lagi ia berteriak, “He, orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu, Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka. atau siapa lagi yang ada di dalam, keluarlah. Kita akan bermain sejenak. Mungkin hanya sekedar bermain”

Tetapi ternyata halaman istana itu masih sepi.

“Gila” Kiai Paran Sanggit pun ternyata menjadi marah. “Kalian orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning, cepatlah keluar. Kawanku sudah terlanjur berteriak, dan aku pun akan berteriak lebih keras, karena kalian telah membunuh orang-orang kami dengan licik dan pengecut”

Ki Kebo Ander memandang Kiai Paran Sanggit sejenak, kemudian gumamnya, “Kau juga berteriak”

“Aku jemu mendengar suaramu. Lebih baik aku mendengar suaraku sendiri”

Ki Dumi tidak dapat menahan diri lagi, suara tertawanya meledak memenuhi halaman istana yang suram itu, memecah kesepian malam, suaranya bagaikan gemuruh guntur yang bergema di lembah yang panjang dan curam.

Ki Sraba mengerutkan keningnya, ia sadar, bahwa Ki Dumi tidak sekedar mentertawakan Ki Kebo Ander dan Kiai Paran Sanggit, tetapi ia telah melontarkan kekuatan ilmunya yang mengguncang istana kecil itu.

“Meskipun tubuhnya kerdil, tetapi suaranya bagaikan suara raksasa kelaparan” desis Ki Sraba kepada diri sendiri.

Ternyata suara Ki Dumi benar-benar mempengaruhi seisi istana kecil itu, sehingga istana kecil itu bagaikan diguncang oleh gempa bumi”

Di dalam istana kecil itu, cahaya lampu minyak memancarkan cahayanya yang kemerah-merahan, namun tidak seorang pun yang nampak di dalamnya. Bilik-biliknya telah kosong dan pintunya tidak lagi tertutup.

Betapapun suara Ki Dumi mengguncangnya, tetapi istana kecil itu tetapi diam.

“Gila” tiba-tiba Kiai Paran Sanggit menggeram, “Apakah orang-orang di dalamnya sudah mati?”

“Kita akan melihatnya” teriak Ki Kebo Ander.

Seperti pada saat masuk, maka dengan tenang Ki Kebo Ander itu pun melangkah menaiki tangga pendapa, beberapa orang yang menyaksikannya semula ragu-ragu, namun kemudian mereka pun mengikutinya pula.

Ki Kebo Ander berhenti sejenak di muka pintu di belakang pringgitan, seolah-olah ingin mendengarkan, apakah ada suara sesuatu di halaman rumah itu, tetapi agaknya telinganya yang memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, sama sekali tidak mendengar desah nafas sekalipun.

“Rumah ini telah kosong” geram Ki Kebo Ander.

Kiai Paran Sanggit mengerutkan keningnya. Dengan nada yang bagaikan berputar di dalam perutnya ia menyahut, “Apakah kau yakin?”

“Ya, aku yakin. Tidak seorang pun yang ada di dalam Rumah ini”

Kiai Paran Sanggit tidak sabar lagi, tiba-tiba saja kakinya telah menghantam pintu sehingga berderak keras sekali.

Pintu yang tidak kuat itu pun terbuka. Yang nampak adalah sebuah lampu minyak berkeredipan di ruang dalam.

“Kau lihat” berkata Ki Kebo Ander.

Kiai Paran Sanggit segera memasuki istana kecil itu, dengan tegang ia melihat setiap bilik yang kosong dan ruangan-ruangan yang tidak berpenghuni.

“Gila” teriak Kiai Paran Sanggit, “Apakah orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu telah berhasil mendapatkan pusaka itu?”

“Tetapi dimanakah perempuan dan anaknya yang tinggal di rumah ini?” bertanya Ki Sraba.

“Tentu Kuda Rupaka yang gila itu yang membawanya atau Kidang Alit seperti yang dikatakan orang kepadaku. Ia adalah seorang anak muda yang menyukai gadis-gadis cantik, sehingga dari istana ini telah dibawa pusaka dan perempuan” geram Kiai Paran Sanggit.

“Jadi apakah kita terlambat?” bertanya Ki Dumi

“Kerdil gila, kenapa kau bertanya?, kau lihat sendiri, apakah yang ada di istana ini sekarang?” jawab Kiai Paran Sanggit.

Tetapi Ki Dumi justru tertawa, jawabnya, “Kau benar-benar orang yang tidak nalar, kenapa kau marah-marah dan mengumpat-umpat?, jika kita datang terlambat, apa boleh buat, masalahnya tidak akan dapat diulangi dengan mengumpat seperti orang mabuk tuak”

Ki Sraba menyahut, “Ki Dumi, kau benar-benar orang yang tidak berperasaan, cobalah ikut menyatakan bela sungkawa atas keterlambatan ini. Kiai Paran Sanggit telah dikecewakan oleh keadaan yang tidak disangkanya, kau justru menambah hatinya semakin pahit”

“Baiklah” jawab Ki Dumi, tetapi Kiai Paran Sanggit segera memotong, “Cukup. Kalian tidak dapat berolok-olok, kita tidak akan berhenti sampai disini”

“Apa lagi yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Kebo Ander.

“Kita akan menyusul kemanapun mereka pergi. Mereka tentu belum terlalu lama meninggalkan istana ini”

“Darimana kau tahu?” bertanya Ki Sraba.

“Mereka masih sempat menyalakan lampu. Secepatnya mereka pergi tentu sesudah gelap” jawab Kiai Paran Sanggit, “Diantara mereka terdapat perempuan, tentu tidak akan dapat berjalan terlalu cepat”

“Tetapi aneh sekali” berkata Ki Dumi kemudian, “Aku tidak melihat bekas perselisihan. Apakah orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu sudah dapat menemukan persetujuan dengan orang-orang lain yang katanya berada di halaman istana ini pula?”

“Itu bukan urusan kita, kita harus menyelusuri jejak mereka kemana mereka pergi, mungkin ke perguruan Cengkir Pitu, tetapi mungkin pula ke perguruan Kumbang Kuning”

Ki Kebo Ander mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Apakah diantara kalian ada orang-orang yang memiliki kemampuan menyelusuri jejak?”

“Tidak hanya satu atau dua, tetapi sepuluh orang, mereka akan mengenal jejak kuda maupun jejak orang yang baru dan yang lama, meskipun hanya sekedar dibawah nyala obor” jawab Kiai Paran Sanggit.

Ki Kebo Ander mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, kita sudah menjadi kuyup, karena itu, jangan kembali ditengah, sungai ini harus diseberangi sampai ke tepian”

Orang-orang yang berada di dalam rumah itu pun kemudian bersiap-siap untuk menyusuri. Namun tiba-tiba saja Ki Sraba berkata, “Aku ingin melihat, betapa api dapat menyala di istana ini, lampu itu masih menyimpan minyak, jika minyak itu aku tuangkan pada dinding, maka aku akan menemukan kegembiraan”

Kiai Paran Sanggit memandanginya sejenak, namun ia tidak menghiraukannya lagi, apakah istana itu akan dibakar atau dirobohkan.

Tetapi selagi Ki Sraba termangu-mangu, maka mereka telah mendengar isyarat dari anak buah mereka yang ada diluar. Karena itu dengan serta merta, mereka pun segera berloncatan keluar.

Dada mereka menjadi berdebar-debar, mereka melihat beberapa ekor kuda memasuki halaman lewat regol yang sudah pecah. Dibelakang orang berkuda, ada yang membawa obor, nampak dalam keremangan umbul-umbul kebesaran Demak.

Nampaknya sepasukan prajurit tugas telah datang ke istana kecil itu bersama beberapa orang pengawal.

“Gila” Kiai Paran Sanggit berteriak, “Itu tidak mungkin”

Dua orang yang membawa obor menyibak ke tepi. Mereka memandang orang-orang Guntur Geni yang bergeser ke tengah, seakan-akan memang dengan sengaja memberikan tempat kepada para prajurit Demak itu.

Di tengah-tengah tiba-tiba saja telah muncul seorang senapati dalam pakaian kebesarannya membawa sepucuk tombak dengan panji-panji keprajuritan.

Kiai Paran Sanggit menjadi semakin berdebar-debar, dengan tajamnya ia memandang senapati yang duduk tegak diatas punggung kudanya, dengan segala kelengkapan sebagai pertanda bahwa ia telah menerima limpahan kekuasaan dari Sultan Demak.

“Ki Sanak” suara senapati itu terdengar bagaikan bergema di seluruh halaman, “Aku tahu kalian adalah orang-orang Guntur Geni. kalian telah melakukan banyak kesalahan terhadap negara dan sesama. Kali ini kalian berusaha untuk mendapatkan satu diantara pusaka-pusaka yang menjadi sipat kandel Demak, bukan untuk kalian kembalikan, tetapi untuk kalian miliki sendiri”

“Ya” teriak Kiai Paran Sanggit, “Aku tidak ingkar bahwa aku adalah pimpinan tertinggi dari perguruan Guntur Geni yang ada disini. Aku tidak ingkar bahwa aku berusaha untuk menemukan pusaka yang pernah diberikan kepada Pangeran Kuda Narpada pada saat kekuasaan Majapahit runtuh”

“Ki Sanak” berkata senapati itu pula, “Aku mendapat tugas diantara beberapa orang perwira yang tersebar, untuk menemukan kembali semua pusaka dan benda-benda kebesaran Majapahit yang mungkin masih tercecer dan belum dapat dikumpulkan di Demak yang telah mengambil alih kekuasaan Majapahit dan berusaha untuk mengembalikannya kembali setelah Majapahit runtuh oleh sekelompok orang yang tidak mempunyai perhitungan luas dan dipengaruhi oleh keinginan pribadi”

“Aku tidak peduli” teriak Kiai Paran Sanggit, “Lakukanlah tugasmu dengan baik, tetapi aku pun akan melakukan tugasku sebaik-baiknya pula”

“Sudah Ki Sanak” jawab senapati itu, “Aku sudah berhasil melaksanakan tugas yang dibebankan kepadaku, aku telah menemukan pusaka itu dan telah aku kirim kembali ke Demak, mudah-mudahan perwira-perwira yang lain yang mendapatkan tugas yang berbeda, telah melaksanakannya pula seperti aku”

“He?” wajah Kiai Paran Sanggit menjadi tegang.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara Ki Dumi tertawa, suaranya menggelegar gemuruh bagai guntur yang meledak di setiap rongga dada.

Kiai Paran Sanggit menyadari bahwa Ki Dumi mulai tidak sabar lagi. Ia mulai menunjukkan kemampuannya dalam lontaran ilmunya lewat nada-nada tertawanya.

Senapati yang duduk di punggung kuda itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum pula. Oleh cahaya obor yang kemerah-merahan nampak wajah senapati yang sama sekali tidak menghiraukan suara tertawa Ki Dumi. Bahkan katanya kemudian, “Ki Sanak, kedatangan kalian telah terlambat, tetapi lebih dari pada itu, bahwa kami telah memikul tugas sebagai seorang prajurit. Kecuali menemukan pusaka-pusaka yang hilang dan benda-benda kebesaran yang lain, kami tetap pada kewajiban kami untuk menjaga ketenangan seluruh wilayah Demak, termasuk daerah Pegunungan Sewu ini. Karena itu, maka kami telah datang menemui kalian yang terbukti telah berusaha merampok istana kecil yang terpencil ini”

“Cukup” tiba-tiba saja Ki Sraba berteriak, “Apa gunanya kalian sesorah dihadapanku, aku bukan orang dari perguruan Guntur Geni, tetapi aku adalah saudara terdekat dari padanya, aku tidak mau mendengar kau berkicau di malam begini, diamlah. Dan kembalilah ke Demak, katakan kepada Sultan, bahwa aku adalah orang yang berdiri diluar segala macam hukum dan ketentuan yang berlaku di Demak”

“Jadi hukum apakah yang berlaku atasmu?”

“Hukum kekuatan, kau datang dengan beberapa orang pengawal. Aku bersama dengan beberapa orang kawanku, tegasnya kami tidak akan tunduk kepadamu sebelum kami menjadi bangkai disini, itulah hukum yang berlaku atas kami, tetapi sebaiknya kalianlah yang akan menjadi bangkai makanan burung gagak disini.”

Senapati itu mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling kearah para pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar suara Ki Kebo Ander menggelegar, “Jumlah kami jauh lebih banyak dari jumlah pengawalmu, tidak ada jalan kembali bagi kalian, karena kalian telah membuat hatiku terbakar”

“Baiklah” jawab senapati itu, “Kita akan bertempur jika hukum yang berlaku atas kalian adalah hukum kekuatan. Kami akan menjalankan tugas kami dengan cara yang kalian kehendaki”

“Cukup” teriak Kiai Paran Sanggit, “Kita bertempur sekarang”.

Kiai Paran Sanggit yang marah itu pun kemudian melangkah mendekat setapak demi setapak. Tetapi kemarahan yang membakar dadanya bagaikan nyala di perut Gunung Merapi.

“Senapati” geram Kiai Paran Sanggit, “Sebut namamu sebelum bangkaimu di koyak-koyak burung gagak atau anjing liar”

Senapati itu mengerutkan keningnya, dengan isyarat ia memerintahkan para pengawalnya untuk menempatkan diri.

“Namaku Bondan Lamatan, Pangeran Bondan Lamatan”

Kiai Paran Sanggit menggeram katanya, “Kau adalah orang yang malang dari Demak, karena kaulah yang mendapat tugas naik ke Pegunungan Sewu. Disini, seorang pangeran akan terkapar mati. Tetapi jawab pertanyaanku Bondan Lamatan, apakah kau yang telah memerintahkan prajuritmu dengan licik membunuh kedua kawanku?”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, ia teringat pada Kuda Rupaka, apa yang akan dilakukan oleh Panon, karena itu maka jawabnya, “Bukan aku Ki Sanak, tetapi Pangeran Kuda Narpada”

“Gila, apa kau sudah gila?, apakah Pangeran Kuda Narpada dapat bangkit dari kuburnya?”

“Agaknya memang demikian, dan kini ia berada di dalam istananya”

“Tidak, rumah tua itu sudah kosong, kami baru saja memeriksanya”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia berkata, “Ia ada di istana ini, lihat, ia berdiri di pintu pringgitan”

Semua orang berpaling, mereka melihat Ki Wirit berdiri di pintu pringgitan yang sudah terbuka, tetapi ia sama sekali tidak dapat dikenal sebagai Pangeran Kuda Narpada.

“Ia adalah Pangeran Kuda Narpada” berkata Bondan Lamatan, “Percaya atau tidak percaya, tetapi ia memiliki ciri-ciri Pangeran Kuda Narpada dan sebenarnyalah ia adalah orang yang kau sebut telah bangkit dari kuburnya”

Kiai Paran Sanggit menjadi tegang sejenak, namun kemudian ia tertawa, “Permainan yang tidak aneh, ia dapat saja memasuki rumah tua itu saat aku keluar dari dalam. Apakah kau ingin memberi kesan bahwa orang itu semacam hantu yang mempunyai kelebihan dari manusia wajar?”

“Sama sekali tidak” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Tetapi aku hanya mengatakan bahwa kalian telah terkepung. Di dalam rumah itu ada dua orang yang lain. Raden Kuda Rupaka dan Panon Suka. Seperti yang kau katakan, ia memasuki rumah itu sesudah kau keluar.

Tetapi bahwa ia dapat memasukinya tanpa diketahui oleh orang-orangmu atau olehmu sendiri adalah pertanda bahwa mereka memiliki kelebihan ilmu dari orang-orang kebanyakan. Orang-orangmu yang kau anggap sudah menguasai seluruh halaman depan dan halaman belakang, sama sekali tidak melihat mereka bertiga”

Kiai Paran Sanggit menggeram, namun kemudian katanya, “Kami bukan kanak-kanak yang takut melihat kucing merunduk tikus, ayo, sekarang serahkan pusaka itu kepadaku. Kau pasti sudah menipu Raden Ayu Kuda Narpada dengan janji-janji yang tidak masuk di akal, atau justru kau telah menipu kami. Bahwa pusaka itu masih ada disini, tetapi Raden Ayu Kuda Narpada telah kau tangkap dan akan kau peras untuk menunjukkan pusaka itu”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Aku adalah senapati yang mengemban tugas dengan tanda-tanda dan ciri-ciri jabatanku, kenapa kau masih juga mengigau dengan khayalan yang aneh itu?. Sekarang menyerahlah. Atau aku akan memaksamu dengan kekerasan”

Kiai Paran Sanggit menggeram, tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Ki Dumi yang menggetarkan jantung, “Pangeran yang baik hati” katanya, “Hamba mohon ampun, bahwa hamba terpaksa menolak tawaran yang seharusnya hamba junjung tinggi itu, karena wajah wajah pangeran sama sekali tidak meyakinkan bahwa pangeran akan dapat melakukan tugas pangeran dengan baik”

Darah Pangeran Bondan Lamatan bagaikan mendidih, Raden Kuda Rupaka dan Panon yang kemudian berdiri di pintu pringgitan pula, tidak dapat menahan gejolak hatinya mendengar kata-kata orang kerdil itu.

Namun ternyata Pangeran Bondan Lamatan tertawa pendek sambil menjawab, “Baiklah Ki Sanak, kekerdilanmu membuat kau mencari imbangan, agaknya kau berhasil dengan menguasai ilmu menghalau burung dengan suaramu yang mengandung getaran-getaran pengecut itu. Tetapi kami bukannya burung pipit yang hinggap di padang padi, itulah sebabnya kami tidak terkejut mendengar suaramu yang pasti sudah kau lontarkan dengan segenap ilmumu”

“Persetan” Ki Dumi menggeram, “Kau memang harus dibunuh”

“Jangan banyak berbicara” sahut Ki Kebo Ander, “Lihat akulah yang akan membunuh orang yang disebut Pangeran Kuda Narpada itu. Mungkin ia memang mempunyai pisau-pisau kecil yang dicurinya dari istana ini”

Ki Kebo Ander tidak menunggu jawaban. Ia pun segera memutar tubuhnya dan melangkah mendekati Pangeran Kuda Narpada yang berdiri di depan pintu pringgitan, disebelahnya berdiri Raden Kuda Rupaka dan Panon.

Ki Dumi termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Yang mana yang bernama Kuda Rupaka”

Kiai Paran Sanggit mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Tidak ada orang yang Kuda Rupaka disitu”

“Yang disebelah kananku ini adalah Kuda Rupaka yang sebenarnya” berkata Pangeran Kuda Narpada

“Disebelah kiri ini adalah muridku, Panon. Orang-orang Guntur Geni yang pernah datang sebelumnya mengenal keduanya, meskipun mereka mengenal anak muda ini bernama Sangkan”

Ki Dumi tiba-tiba berlari-lari kecil, sambil meloncat-loncat ia mendekati Ki Kebo Ander sambil berkata, “Serahkan Kuda Rupaka itu kepadaku. Aku akan mencekiknya”

“Daripada aku tidak mendapat bagian” berkata Ki Sraba, “Biarlah aku membunuh anak dungu itu, selebihnya, aku akan membunuh setiap prajurit yang datang kepadaku”

“Bunuh mereka semuanya” teriak Kiai Paran Sanggit, “Senapati yang sombong itu kalian serahkan kepadaku, aku akan mencincangnya sampai lumat”

Pangeran Bondan Lamatan tidak menjawab lagi, ia pun kemudian menyerahkan kudanya kepada para pengawal yang membawa menepi.

Sejenak kemudian, kedua pihak bersiap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Seolah-olah masing-masing telah memilih lawan, sedangkan para prajurit Demak sudah siap menghadapi para pengikut Kiai Paran Sanggit.

“Jangan takut kepada racun orang-orang Guntur Geni” berkata Pangeran Bondan Lamatan kemudian.

“Persetan” teriak Kiai Paran Sanggit.

Tidak ada jawab namun mereka pun telah dikejutkan oleh pertempuran yang justru telah terjadi disisi istana kecil itu.

“Apa yang telah terjadi?” teriak Kiai Paran Sanggit.

Tidak segera terdengar jawaban, tetapi pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.

“Jangan terkejut” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Orang-orangmu telah disergap oleh para pengawal istana, sebelum aku datang bersama pasukanku dari Demak. Orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu, juga kalian orang-orang dari Guntur Geni yang telah mencoba merampas pusaka ini, tidak dapat menembus pertahanan mereka. Apalagi kini, aku datang bersama pasukanku”

“Gila” geram Kiai Paran Sanggit, “Aku juga tidak sendiri”

Tang terdengar kemudian adalah teriakan Kiai Paran Sanggit yang menggema di lembah-lembah Pegunungan Sewu, “Bunuh semua orang yang berada di halaman istana ini, bakar istana ini menjadi abu, dan musnahkan semua sisa-sisanya rata dengan tanah”

Sejenak kemudian, maka para murid dari Guntur Geni itu pun segera menyerang para prajurit Demak yang sudah siap menghadapi mereka.

Dalam pada itu, Ki Kebo Ander telah berhadapan dengan Pangeran Kuda Narpada yang sudah siap pula, sejenak mereka saling berpandangan, namun tiba-tiba terdengar Ki Kebo Ander berdesis, “Apakah benar kau Pangeran Kuda Narpada?, memang ada kesamaan dari sinar matamu yang menusuk jantung itu”

“Mana yang baik menurut pertimbanganmu Ki Kebo Ander. Sebenarnya kedatanganmu ke rumah ini memberikan pengharapan baru bagiku. Jika aku dapat bertemu muka dengan saudara yang satu ini. Aku berharap bahwa aku dapat menggelitik perasaannya, karena kau sudah menempuh jalan yang salah”

“Siapa namamu?” desis Ki Kebo Ander, “Kau tentu mempunyai nama lain seandainya kau mengaku Pangeran Kuda Narpada”

“Namaku Ki Wirit, aku adalah guru anak muda yang bernama Panon Suka, yang barangkali memang anak nakal. Ia telah menggunakan pisau-pisauku untuk membunuh orang-orang Guntur Geni yang berada di regol banjar. Tetapi aku tidak menyangka bahwa kesesatanmu sudah terlalu jauh, sehingga kau berada diantara orang-orang Guntur Geni”

Wajah Ki Kebo Ander menjadi muram, tetapi sejenak kemudian terdengar giginya gemeretak. “Jangan pedulikan aku memang ingin tahu, betapa tebal kulitmu, atau barangkali nyawamu memang rangkap. Tetapi jika kau akan mati sekali lagi, kau tentu tidak akan dapat bangkit dari kuburmu”

Pangeran Kuda Narpada tersenyum, sekilas dipandanginya Ki Dumi yang sudah berhadapan dengan Raden Kuda Rupaka dan Ki Sraba yang dengan tegang memandang Panon yang berdiri dengan gagahnya.

“Jadi kau yang telah membunuh kedua pengawal pintu gerbang banjar itu, He?” bertanya Ki Sraba.

Panon menarik nafas dalam-dalam.

“Kemudian kau menyelinap memasuki istana ini dari belakang, ya kan?”

Panon masih tetap diam.

Ki Sraba yang kemudian merasa terhina oleh kediaman Panon berteriak, “He, apakah kau tuli, atau bisu?”

Panon masih tetap diam tidak menyahut, namun karena itu, kesabaran Ki Sraba telah sampai ke puncaknya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang.

Panon sudah memperhitungkannya. Itulah sebabnya maka ia pun segera bergeser menghindar, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.

Tetapi Ki Sraba yang marah tidak menghentikan serangannya, ia segera meloncat sambil berputar, kakinya menyerang mendatar setinggi lambung.

Namun Panon masih sempat mengelak dengan sebuah loncatan surut.

Sementara itu Ki Dumi tertawa berkepanjangan katanya, “Jangan cepat marah Ki Sraba, lawanmu sengaja membuat kau marah. Orang yang marah akan kehilangan akalnya, karena……”

Ki Dumi tidak dapat melanjutkan kata-katanya, serangan Raden Kuda Rupaka tiba-tiba saja hampir menyengat dagunya. Karena itu, ia harus bergeser dan memiringkan kepalanya.

“Gila” teriak Ki Dumi, “Kau memang anak setan, anak iblis, pengecut yang tidak tahu malu”

“Jangan lekas marah Ki Sanak” tiba-tiba saja terdengar suara Raden Kuda Rupaka, “Kau akan kehilangan akalmu”

“Tutup mulutmu cindil abang” teriakan Ki Dumi menjadi semakin keras.

Pangeran Kuda Narpada tersenyum, katanya kepada Ki Kebo Ander, “Inilah kemanakan Pangeran Kuda Narpada yang bernama Kuda Rupaka, yang telah dipalsukan untuk mendapat-kan pusaka yang ada di istana ini. Tetapi usaha itu sama sekali tidak berhasil”

Ki Kebo Ander termangu-mangu sejenak, tiba-tiba saja ia berkata, “Semakin lama aku semakin percaya, bahwa kau adalah Pangeran Kuda Narpada”

“Terserah kepadamu”

“Tetapi bukankah kau sudah mati dibunuh oleh kedua pangeran itu?”

“Bukan kita yang menentukan kematian seseorang, meskipun menurut perhitungan manusia, kita sudah tidak lagi dapat menghindarkan diri dari maut, tetapi ternyata Yang Maha Agung menentukan lain”

“Dan kau benar Pangeran Kuda Narpada”

“Ya, aku adalah Pangeran Kuda Narpada”

Wajah Ki Kebo Ander menjadi merah padam, dengan suara datar ia berkata, “Sepanjang peristiwa yang pernah terjadi diantara kita, aku tidak pernah menang melawanmu, tetapi aku tidak jemu-jemunya mencoba menebus kekalahan demi kekalahan yang pernah aku alami”

“Dan sekarang?, apakah kau ingin menebus kekalahan itu?, justru pada saat kau berada dipihak orang-orang Guntur Geni?”

Ki Kebo Ander termangu-mangu, sekilas dipandanginya pertempuran yang telah menyala membakar seluruh halaman istana kecil itu.

Namun di mata Ki Kebo Ander, pertempuran itu menjadi semakin lama semakin kabur. Yang nampak di matanya adalah peristiwa puluhan tahun yang lalu, peristiwa yang telah melibatkannya dalam perkelahian melawan Pangeran Kuda Narpada, perkelahian yang telah lama terjadi.

Justru dalam keriuhan pertempuran di halaman istana kecil itu, maka yang telah terjadi puluhan yang lalu itu bagaikan nampak lagi di matanya, semakin lama semakin jelas.

***

“Kenapa kau hentikan aku disini?” bertanya seorang anak muda yang duduk diatas punggung kudanya bersama beberapa orang pengawalnya.

Seorang anak muda yang lain, yang berdiri sambil bertolak pinggang tertawa, di belakangnya berdiri beberapa orang anak-anak muda yang lain dalam sikap yang serupa.

“Kuda Narpada” berkata anak muda yang berdiri tegak dengan bertolak pinggang, “Marilah kita membicarakan persoalan terjadi diantara kita”

Anak muda di punggung kuda yang disebut Kuda Narpada itu mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah ada persoalan diantara kita?”

“Kau gila, kau coba mengingkarinya?, aku kira kau seorang laki-laki jantan, tetapi agaknya kau adalah seorang pengecut yang tidak kenal diri”

Anak muda di punggung kuda itu mengerutkan keningnya, sejenak ia termangu-mangu, kemudian katanya, “Daripada aku harus berteka-teki, katakan. Apakah persoalan yang ada diantara kita itu?”

Anak muda yang berdiri sambil bertolak pinggang tiba-tiba saja tertawa, katanya, “Kuda Narpada, kau menjadi ketakutan, He” lalu katanya kepada kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya, “Lihat, betapa pucat wajahnya, meskipun ia dikawal oleh beberapa orang pengawalnya, namun ia menjadi ketakutan”

Kuda Narpada yang menggeretakkan giginya, tetapi ia masih tetap menahan diri.

“Katakan, katakan” Kuda Narpada menggeram.

“Baik, baik. Jika kau masih berpura-pura tidak mengetahui, maka aku akan mengatakannya” anak muda itu berdiri sejenak, lalu, “Kuda Narpada, setiap orang tahu, bahwa Puteri Trang Wisesa Wardani adalah seorang gadis yang akan menjadi pendamping hidupku, aku sudah mempersiapkan diri menghadapi hari-hari perkawinanku. Meskipun tataran kebangsawanan ku kalah selapis dari Puteri Trang Wisesa Wardani, tetapi hubunganku antara seorang perempuan tidak lagi dapat dipisahkan oleh tataran itu. Dan agaknya kau yang merasa dirimu dalam tataran yang sama, telah berusaha untuk menguasai gadis itu”

Wajah Kuda Narpada menjadi merah padam, dengan suara datar ia berkata, “Jangan mengada-ada, aku kenal siapa kau sebenarnya. Bukan karena aku lebih tinggi selapis dalam tataran kebangsawanan ku, tetapi tingkah lakumu memang sudah terlalu banyak menumbuhkan persoalan. adalah mustahil bahwa kau sudah terlibat dalam hubungan pribadi yang mendalam dengan Puteri Trang Wisesa Wardani. Puteri itu adalah seorang gadis yang jarang sekali keluar dari istananya. mustahil bahwa ia telah berkenalan dengan anak muda seperti kau”

“Kuda Narpada, kau jangan berpura-pura dungu, meskipun aku resminya seorang bangsawan dari garis keturunan yang berbeda-beda, tetapi setiap gadis di Majapahit selalu berusaha mengintip jika aku lewat. Kuda Narpada, aku hanya datang ke Majapahit sepekan sekali, bahkan lebih. Namun aku adalah anak muda yang paling dikenal di Majapahit, melampaui anak muda yang tinggal di Kota Raja ini”

“Mungkin kau benar, setiap gadis di Kota Raja ini mengenalmu, tetapi bukan karena mereka tertarik kepada pribadimu, kepada ketampananmu. Tetapi mereka tertarik kepada namamu yang sudah terlalu banyak dikenal orang, kau dengan lima atau enam orang kawanmu tidak mempunyai kesibukan lain kecuali menyusuri jalan-jalan sambil membuat onar. Menakut-nakuti rakyat kecil, berkelahi dengan sesama anak jalanan, dan sekali-sekali namamu selalu dihubungkan dengan air mata gadis-gadis muda yang kehilangan kegadisannya”

“Omong kosong” anak muda yang berdiri bertolak pinggang itu memotong, “Semuanya omong kosong. Jika kau tidak percaya, bertanyalah kepada Puteri Trang Wisesa Wardani. Setiap kali ia menyelinap keluar istana apabila ia mendengar suaraku, tanyalah kepada seorang emban tua yang selalu mengawasinya jika gadis itu dengan diam-diam keluar dari istana”

Wajah Kuda Narpada menjadi tegang, namun ia masih saja mencoba untuk menenangkan hatinya.

“Sayang” katanya kemudian, “Aku tidak dapat mempercayaimu, aku lebih percaya kepada para penasehatku, kepada orang-orang tua kami yang telah merestui hubungan dengan Puteri Trang Wisesa Wardani, dan kepada gadis itu sendiri”

Tetapi anak muda yang bertolak pinggang itu tertawa berkepanjangan, katanya, “Itu adalah kebodohanmu yang paling menggelikan, kau kira bahwa gadis itu akan dengan terus terang mengatakan kepadamu bahwa ia mencintai aku?”

“Jika cintanya mendalam dan jika ia sudah bertekad untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, maka sebagai seorang gadis dari keturunan kesatria, ia akan berterus terang, meskipun akan berakibat buruk sekalipun” Kuda Narpada berhenti sejenak, lalu, “Nah, terhadap gadis yang demikian kau baru mempertaruhkan nyawamu untuk merebutnya, jika gadis itu bukan gadis yang menyerahkan segenap cintanya, dalam bayangan hidup atau mati, kenapa kau bersusah payah mempertaruhkan nyawamu?”

“Siapa yang mempertaruhkan nyawa?” tiba-tiba saja anak muda itu bertanya.

Kuda Narpada terkejut, sejenak ia termangu-mangu, sementara anak muda itu berkata terus. “Aku tidak mempertaruhkan nyawaku sekarang ini. Tetapi aku menemuimu untuk minta agar kau batalkan niatmu untuk memperisteri Puteri Trang Wisesa Wardani. Jika kau berkeberatan, maka kami akan menghajarmu sampai kau jera, itu saja”

Kuda Narpada menjadi tegang, dengan suara berat ia berkata, “Sudah sering aku mendengar, kau membuat persoalan dengan anak-anak muda sebayamu, sekarang akulah yang menjadi sasaran. Tetapi baiklah. aku akan melayanimu apa saja yang kau kehendaki agar kau tidak menyangka bahwa anak jalanan sajalah yang mampu menjaga diri dan nama baiknya dengan kekerasan, jika kau memang menghendaki agar kita berkelahi, sebaiknya kau tidak usah mencari banyak alasan dan menyinggung harga diri Puteri Trang Wisesa Wardani. Lebih baik kau katakan saja, bahwa kau ingin menggangguku dan menantangku berkelahi”

Wajah anak muda itu menegang, belum pernah ia bertemu anak muda segarang Kuda Narpada, yang dalam hidupnya sehari-hari merupakan anak muda yang luruh agak pendiam, namun tiba-tiba ia kini dapat bersikap garang.

Tetapi sejenak kemudian anak muda itu tertawa sambil berkata, “Bagus, marilah kita berkelahi, tempat ini cukup sepi”

Kuda Narpada yang telah turun dari kudanya bertanya dengan tenang, “Apakah yang kau kehendaki?, apakah kita akan berkelahi seorang lawan seorang, atau kau akan membawa semua kawan-kawanmu serta dalam perkelahian yang ribut seperti yang sering kau lakukan dimana-mana?”

“Persetan”, geram anak muda itu, “Aku akan membuatmu cacat di wajahmu yang mulus itu, sehingga Puteri Trang Wisesa Wardani yang cantik itu tidak akan sudi menjadi isterimu, meskipun seandainya kau seorang pangeran Pati di Majapahit”

“Apapun yang akan kau lakukan terserahlah, tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Jika kau ingin berkelahi beramai-ramai, maka beberapa orang pengawalku yang jumlahnya hanya kira-kira separuh dari kawan-kawanmu itu akan berbuat terlalu banyak, karena tugas mereka memang untuk berkelahi” sahut Kuda Narpada.

Sekali lagi anak muda itu tercekat, ternyata Pangeran Kuda Narpada telah mempergunakan istilah-istilah yang dapat menyentuh perasaan anak muda jalanan itu. Kuda Narpada telah menyebut para pengawalnya sebagai orang-orang yang tugasnya memang untuk berkelahi.

Namun sejenak kemudian terdengar anak muda itu menggeram, “Kita akan berkelahi seperti laki-laki, kau melawan aku, karena persoalannya memang menyangkut kau dan aku”

“Baiklah” jawab Kuda Narpada tenang.

Setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pengawalnya, maka Kuda Narpada pun mempersiapkan dirinya, kepada para pengawalnya ia berpesan agar mereka tidak mencampuri persoalannya dengan anak muda itu.

Sejenak kemudian keduanya telah besiap, kedua anak muda itu nampaknya mempunyai kelebihan masing-masing, keduanya bertubuh sedang dengan sikap yang cepat cekatan.

“Hati-hatilah pangeran, sebenarnya lebih baik kau serahkan saja puteri kepadaku. Kau akan aku bebaskan” geram anak muda itu.

Tetapi Kuda Narpada menjawab, “Jika bukan kau, akulah yang mencarimu dan menantang kau untuk berkelahi”

Jawab itu benar-benar telah membakar hati anak muda itu, karena itu maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Kuda Narpada pun telah besiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga ia pun sempat mengelak dan bahkan dengan tangkasnya ia pun telah menyerang lawannya pula.

Perkelahian yang sengit tidak dapat dihindarkan lagi. Beberapa orang kawan anak muda itu segera mengerumuninya. Mereka berteriak-teriak dan mengacu-acukan tangannya.

Para pengawal menambatkan kuda-kuda mereka pada pohon-pohon perdu di pinggir jalan. Meskipun Kuda Narpada telah memesan agar mereka tidak melibatkan diri, namun mereka merasa perlu untuk besiap-siap menghadapi segala kemungkinan dari anak-anak muda jalanan yang nakal itu.

Dugaan anak muda itu ternyata keliru, Kuda Narpada bukannya seorang bangsawan yang cengeng, yang hanya pandai menghias diri dan menyusuri jalan-jalan raya dengan kuda yang bagus, ternyata Kuda Narpada memiliki kemampuan yang tidak teratasi oleh lawannya.

“Setan alas” geram anak muda itu, ia merasa bahwa ilmu yang diterimanya dari perguruannya telah cukup, namun menghadapi Kuda Narpada itu ia telah terdesak.

Ketika tangannya terayun menghantam kening, tiba-tiba saja terasa tangan itu bagaikan dihentakkan dengan kuatnya, agaknya Kuda Narpada berhasil menangkap tangannya yang terjulur,

Anak muda itu tidak sempat berbuat banyak, ketika Kuda Narpada memutar tubuhnya sambil merendah, kemudian menarik tangan lawannya diatas pundaknya dan menghentakkannya kuat-kuat.

Anak muda itu terlempar melalui pundak Pangeran Kuda Narpada dan dengan kerasnya terbanting di tanah.

Terasa punggungnya bagaikan patah, ketika ia meraba kepalanya, darah telah mengalir memerahi jari-jarinya. Agaknya kepalanya telah terantuk sebongkah batu yang tajam dan melukainya.

Kuda Narpada berdiri tegak dihadapannya, dengan garangnya anak muda itu membentaknya, “Bangun, katakan, apakah kita akan melanjutkan perkelahian?”

Lawannya tidak menjawab.

“Sekali ini aku maafkan kau. Tetapi jika kau sekali lagi menyebut dan apalagi menyinggung harga diri puteri Trang Wisesa Wardani, maka aku tidak akan memaafkan kau lagi. Aku akan menyerahkan kau kepada para prajurit, agar kau mendapatkan hukuman yang setimpal”

Anak muda itu tidak menjawab, dengan wajah dan darah mengalir dari luka di kepalanya, ia berjalan kearah kawan-kawannya, dengan isyarat ia pun mengajak mereka pergi.

Namun dengan demikian anak muda itu telah menyimpan dendam di hatinya.

Ki Kebo Ander menggelengkan kepalanya, kenangan itu jelas nampak diangan-angannya, bahkan kemudian disusul dengan angan-angannya yang menyusuri jalan hidupnya.

Beberapa tahun kemudian.

Setelah anak muda itu menyempurnakan ilmunya, diluar kehendaknya ia telah bertemu kembali dengan iring-iringan prajurit Majapahit yang dipimpin oleh orang pangeran. Pangeran Kuda Narpada..

Timbullah niatnya untuk mencoba pangeran itu sekali lagi, apalagi ketika ia mendengar bahwa sekelompok prajurit itu baru saja berhasil menumpas segerombolan penjahat yang telah mengacaukan beberapa daerah terpencil.

“Pangeran” berkata orang yang menghentikan iring-iringan itu, “Persoalan kita adalah persoalan pribadi. Meskipun sekarang pangeran membawa sekelompok prajurit, jika pangeran memang seorang kesatria, apalagi yang telah berhasil menghancurkan segerombolan penjahat, maka aku mengharap bahwa kita akan menyelesaikan persoalan kita sebagai laki-laki”

Sekali lagi Pangeran Kuda Narpada tidak menolak, ia memerintahkan para prajuritnya untuk menjadi saksi.

Dan sekali lagi Pangeran Kuda Narpada memenangkan perkelahian itu. Sekali lagi ia berdiri sambil mengancam, “Jika kau berbuat sekali lagi, aku akan membunuhmu”

Tetapi ketika terjadi sekali lagi perkelahian diantara mereka, setelah sepuluh tahun kemudian, Pangeran Kuda Narpada tidak membunuhnya juga, bahkan persoalan sudah berkembang semakin jauh. Persoalan bukan saja persoalan pribadi, tetapi saat itu beberapa orang telah terlibat dalam usaha memisahkan diri dari kepemimpinan Majapahit. Dan sekali lagi Pangeran Kuda Narpada mengancam.

“Masalahnya menjadi gawat, kau sudah pantas untuk dibunuh. Tetapi nampaknya kau hanya terpengaruh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga kau masih aku maafkan. Tetapi sekali lagi kita bertemu, maka aku akan membunuhmu”

Namun pertemuan berikutnya justru berakibat aneh bagi keduanya, saat itu orang yang telah bertempur melawan Kuda Narpada itu datang ke rumahnya, tanpa sebab, maka ia berkata, “Aku sudah memiliki ilmu yang sempurna, sekarang aku pasti akan dapat mengalahkanmu”

Kuda Narpada menerima tantangan itu, tanpa memberitahukan kepada siapapun, keduanya meninggalkan istana dan pergi ke tempat yang sepi.

“Kuda Narpada, jika sekali ini aku kalah, maka aku akan menyerah untuk selama-lamanya, kau akan aku anggap sebagai saudara tuaku, meskipun mungkin kau tidak bersedia, karena aku adalah seorang yang kau anggap meninggalkan peradaban dan adat para bangsawan”

Ternyata Kuda Narpada tidak dapat dikalahkannya, Kuda Narpada memiliki ilmu yang tiada taranya, sehingga akhirnya orang itu menyerah.

“Aku berjanji, bahwa aku tidak akan mengganggumu lagi”

***

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam, semuanya itu sudah terjadi. Dan ia masih ingat dengan jelas, bagaimana ia minta maaf untuk tidak akan berani menantangnya lagi.

“Aku kira Kuda Narpada sudah mati” berkata Ki Kebo Ander di dalam hatinya, “Tetapi ternyata kini aku bertemu dengan orang itu sekali lagi”

Sementara itu, Kiai Paran Sanggit pun telah menyerang Pangeran Bondan Lamatan, ia sadar, bahwa senapati Demak itu tentu orang yang pilih tanding, tetapi Kiai Paran Sanggit pun merasa bahwa dirinya memiliki ilmu cukup untuk melawan senapati itu.

Sejenak kemudian, di seputar istana itu pun telah terjadi pertempuran sengit, beberapa orang telah terlibat dalam perkelahian melawan para prajurit. tetapi beberapa orang diantara orang-orang Guntur Geni itu terkejut, bahwa ternyata mereka telah bertempur melawan orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ki Ajar Respati dan adiknya Kiai Rancang bandang telah bertempur pula, di sebelah lingkaran itu, Ki Reksabahu pun sedang mempertaruhkan dirinya dengan garang melawan orang-orang Guntur Geni.

Hanya Pinten sajalah yang tidak nampak di pertempuran itu, ia berada beberapa puluh langkah dari istana, menunggui bibinya, Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti.

“Apakah kita akan dapat bertahan dari orang-orang Guntur Geni itu Raksi?” bertanya bibinya.

“Tentu bibi, orang-orang Guntur Geni tidak akan sekuat orang-orang Kumbang Kuning yang bergabung dengan orang-orang Cengkir Pitu” jawab Pinten

“Tetapi jumlah prajurit Demak sudah banyak berkurang, sebagian dari mereka telah membawa para tawanan ke Demak” potong Inten Prawesti.

“Tetapi jumlah yang tinggal masih tetap cukup kuat, aku kira orang-orang Guntur Geni tidak akan berbuat banyak menghadapi pamanda Bondan Lamatan, pamanda Kuda Narpada dan orang-orang yang sebenarnya tidak banyak berkepentingan, tetapi sudah mempertaruhkan jiwa dan raganya disini, karena mereka mempunyai suatu keyakinan kebenaran dan keadilan” jawab Raksi.

Inten menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat ikut berbuat sesuatu untuk mempertahankan istana kecilnya jika terjadi kekerasan. Agaknya jalan hidup yang ditempuhnya, berbeda dengan jalan yang dilalui Puteri Raksi Padmasari, sehingga gadis itu merupakan gadis yang berwajah rangkap. Kadang-kadang manja dan nakal, tetapi dalam keadaan yang gawat, ia adalah seorang gadis yang garang dengan rantai berkepala bola baja dan bahkan pedang rangkap di lambung.

Namun bagaimanapun juga, Raden Ayu Kuda Narpada tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya, seakan-akan ia baru saja menemukan apa yang pernah hilang daripadanya untuk beberapa tahun, sehingga ia menjadi sangat cemas, bahwa yang baru saja diketemukan itu akan hilang kembali.

Tetapi ia mencoba untuk mengatasinya agar puterinya tidak menjadi semakin kecil hatinya menghadapi peristiwa gawat yang susul menyusul, seakan-akan tidak akan ada habisnya seperti gelombang lautan dihempaskan angin.

Namun sebenarnyalah bahwa hati Inten Prawesti justru sudah menjadi semakin mantap, ia sudah berada di dekat ayahandanya, sudah ada Puteri Raksi Padmasari yang bukan saja merupakan kawan bermain, tetapi juga seorang pengawal yang mrantasi. Bahkan Inten tidak dapat mengingkari, bahwa kehadiran Kuda Rupaka yang sebenarnya itu pun telah memberikan warna tersendiri pada dinding jantungnya.

Sementara itu pertempuran di halaman istana kecil itu masih berlangsung dengan sengitnya, ternyata bahwa Kiai Paran Sanggit benar-benar seorang yang memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga Pangeran Bondan Lamatan harus berjuang dengan segenap kemampuannya untuk mengimbangi orang tertinggi di perguruan Guntur Geni itu.

Di bagian lain, Ki Dumi berusaha secepatnya menguasai lawannya yang masih muda. Dengan lincahnya ia berloncatan di seputar lawannya, seperti seekor burung gelatik yang berterbangan sambil menyambar-nyambar.

Tetapi Raden Kuda Rupaka adalah anak muda yang tangguh ia bertempur bukan saja mempergunakan tenaganya, tetapi juga nalar dan akalnya.

Justru karena itu ia tidak terseret oleh perasaannya, mengikuti tata gerak lawannya yang memang sangat cekatan, untuk menghadapinya Raden Kuda Rupaka hanya sekedar beringsut dan bergeser. Sekali-sekali ia berputar menurut gerak dan loncatan lawannya, sehingga setiap saat maka Raden Kuda Rupaka itu tetap menghadapi Ki Dumi dimanapun ia berada.

“Anak setan” geram Ki Dumi, “Kenapa kau tidak menjadi bingung dan pingsan saja?”

“Aku berusaha untuk tetap sadar, apalagi melawan hantu kerdil seperti kau”

“Gila, aku akan menyobek mulutmu”

“Kau suka tertawa, dan kau tidak senang jika seseorang marah di dalam pertempuran”

“Gila” teriak Ki Dumi sambil menyerang.

Tetapi Raden Kuda Rupaka masih selalu berhasil mengelak dan berputar. Betapapun senjata orang kerdil itu menyambar-nyambar, namun ia tidak berhasil menyentuhnya.

“Kau sunguh luar biasa” desis Raden Kuda Rupaka, “Tetapi dalam pertempuran seperti ini, panjang tanganku telah menolongku, senjatamu tidak dapat mencapai tubuhku, betapa kau mengulurkan tanganmu yang pendek itu”

Ki Dumi tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tiba-tiba saja senjatanya telah berpindah ketangan kiri.

Raden Kuda Rupaka menjadi curiga, tangan kanan Ki Dumi tentu akan mempunyai tugas yang lain, yang barangkali sangat berbahaya baginya.

Ternyata seperti yang diduganya, sejenak kemudian tangan Ki Dumi telah memegang sebatang paser kecil dengan juntai berwarna merah yang terikat pada ekornya.

“Anak yang malang” geram Ki Dumi. “Kau akan mati oleh paserku ini, tidak seorang pun di dunia ini yang dapat menawarkan racun yang terdapat papda ujung paser ini, orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu juga tidak”

Raden Kuda Rupaka menjadi tegang.

“Mungkin kau dapat menghindari lemparan pertama ini. Tetapi aku mempunyai empat buah paser seperti ini. Salah satu diantaranya tentu akan berhasil menyentuh kulitmu”

Raden Kuda Rupaka tiba-tiba saja tersenyum, jawabnya, “Orang-orang Guntur Geni adalah orang yang paling senang bermain dengan racun. Tetapi racunnya tidak akan dapat mempengaruhi aku dan orang-orang yang ada di halaman ini, meskipun ia dapat membuat seorang anak muda Karangmaja menjadi cacat”

Ki Dumi mengerutkan keningnya, namun ia tertawa sambil berkata, “Sekedar permainan anak-anak, tetapi racunku lain. Racunku bukan racun ular yang dapat ditawarkan dengan racun ular pula. Tetapi racunku adalah getah batang cangkring eri sungsang”

“O” sahut Raden Kuda Rupaka, “Getah cangkring hanya dapat membuat kulit menjadi gatal”

“Ya, tetapi berbeda dengan cangkring eri sungsang, susuhing naga raja. Meskipun batang itu tidak benar-benar menjadi sarang seekor naga raksasa, tetapi orang-orang sakti mengenal, bahwa cangkring eri sungsang memiliki racun yang luar biasa, sedangkan di dunia ini tidak lebih dari tiga atau empat batang saja yang pernah ditemui manusia”

Raden Kuda Rupaka termangu-mangu, meskipun ia tidak percaya sepenuhnya, tetapi ia harus benar-benar hati-hati.

Namun demikian, ia masih tersenyum sambil menyahut, “Aku belum pernah mengenal batang cangkring eri sungsang, tetapi jika kau yakin bahwa getahnya beracun, maka aku pun tidak berkeberatan, karena kau tentu belum pernah mencoba ketajaman racunnya, sebab kau hanya memiliki empat buah paser saja.

“Kau keliru” Ki Dumi tertawa, “Aku pernah membunuh dengan paser ini beberapa kali, sementara racunnya menjadi semakin tajam bila tersentuh dan berbau darah”

Raden Kuda Rupaka ternyata tidak mau menelan akibat yang paling parah, dengan sengaja ia menampakkan keragu-raugan. Namun selagi Ki Dumi dengan bangga melihat kecemasan lawannya, tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka yang tidak ingin mati oleh racun itu telah menyerang. Hampir diluar perhitungan Ki Dumi. sebuah loncatan panjang telah melontarkan Raden Kuda Rupaka itu langsung menyerang dengan senjatanya yang terjulur.

Ki Dumi benar-benar terkejut, tetapi ia terlambat untuk menarik pasernya. Sebuah sentuhan senjata Raden Kuda

Rupaka, telah melepaskan paser itu dari tangan Ki Dumi.

Ki Dumi yang merasa sebuah sengatan senjata telah melukai tangannya, ia berteriak nyaring. Serangan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangkanya itu benar-benar telah menghentakkan jantungnya.

Serangan Raden Kuda Rupaka tidak terhenti sampai sekian. Ketika Ki Dumi berusaha untuk memperbaiki keadaannya, serangan anak muda itu telah menderanya dengan dahsyatnya, sehingga Ki Dumi hanya meloncat menghindarinya.

Raden Kuda Rupaka yang mencemaskan racun yang ada di ujung paser lawannya itu, benar-benar tidak mau mengalami akibat yang menentukan. Itulah sebabnya, maka ia telah bertempur dengan perhitungan yang matang.

Seperti yang diperhitungkannya, maka Ki Dumi berusaha untuk menjauhi lawannya untuk mengambil paser dari kantung diikuat pinggangnya seperti yang sudah dilakukannya. Saat itulah sebenarnya ditunggu oleh Raden Kuda Rupaka, ketika tangan Ki Dumi meraih pasernya, maka Raden Kuda Rupaka telah berguling sambil menjulurkan tangannya menggapai paser Ki Dumi yang terjatuh di tanah.

Sesaat kemudian, maka yang terjadi adalah pertarungan kecepatan yang mendebarkan jantung. Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak berusaha bangkit, tetapi sambil berbaring ia sempat melontarkan paser Ki Dumi kearah pemiliknya yang sudah siap pula melepaskan pasernya.

Namun sekali lagi Ki Dumi berteriak dengan kemarahan yang menghentak bagaikan memecahkan dadanya. Demikian tangannya terangkat, maka paser yang dilontarkan oleh Raden Kuda Rupaka justru telah mengenai pergelangan tangan Ki Dumi.

Teriakan Ki Dumi itu bukan sekedar teriakan kemarahan, tetapi sentuhan pasernya itu benar-benar telah membuat jantungnya bagaikan pecah oleh kemarahan dan kecemasan.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Dumi, pengaruh racun dan kecemasan yang memuncak, telah mempercepat pergolakan yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri. Racun itu memang terlalu kuat sehingga pengaruhnya segera nampak pada tubuh Ki Dumi yang kerdil itu.

Sementara itu, ketika tubuh Ki Dumi mulai menjadi gemetar, darahnya terasa mulai membeku di jantungnya.

Di tempat lain Ki Sraba tengah mempertahankan hidupnya melawan Panon yang tidak diduganya sama sekali memiliki ilmu yang luar biasa. Ki Sraba yang terlalu yakin akan kekuatannya, dengan sengaja tidak menghindari serangan Panon yang mengarah ke dadanya, dengan menyilangkan senjata di dadanya, Ki Sraba ingin menjajagi, berapa tinggi ilmu anak muda itu.

Tetapi ternyata kekuatiran yang terlontar dari hentakan ilmu Panon, telah melemparkannya sehingga ia jatuh terguling. Kepalanya terasa pening terbentur lantai, sementara dadanya yang tertekan oleh senjatanya sendiri, terasa sesak.

“Gila” Ki Sraba menggeram sambil meloncat berdiri, namun ia tidak sempat meneruskannya, kata-katanya terputus karena serangan Panon telah memburunya.

Ki Sraba terpaksa berloncatan menghindar, bahkan kemudian ia seakan-akan tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu selain berjuang mempertahan hidupnya.

Pertempuran di halaman itu ternyata telah berjalan cukup lama, perlahan-lahan warna langit mulai berubah, cahaya kemerah-merahan sudah membayang dikehitamannya malam.

Di halaman Pangeran Bondan Lamatan pun sedang bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Paran Sanggit, pemimpin tertinggi perguruan Guntur Geni yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga Pangeran Bondan Lamatan harus memeras kemampuannya untuk bertahan.

Dalam hiruk pikuknya pertempuran di halaman dan disekitar istana itu, Ki Kebo Ander masih berdiri tegak, bahkan seakan-akan ia sudah kehilangan segala nafsunya untuk menyerang Pangeran Kuda Narpada yang masih berdiri tegak, bahkan keduanya seolah-olah dua orang sahabat yang berdiri mengawasi pertunjukkan yang mengasyikkan.

“Kiai Paran Sanggit memang memiliki llmu yang tinggi” tiba-tiba saja Pangeran Kuda Narpada berdesis.

Ki Kebo Ander mangangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Pangeran, apakah kira-kira aku sekarang masih juga tidak dapat mengalahkanmu?”

“Aku tidak tahu, tetapi jika kau tidak mendapat kurnia ilmu yang mengejutkan, aki kira keseimbangan kita masih belum berubah”

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Memang tidak ada gunanya untuk bertempur melawan pangeran, seandainya ilmuku meningkat sedikit, maka ilmu pangeran tentu meningkat berlipat ganda. Dalam dunia kematian, pangeran dapat mempelajari berbagai ilmu yang tidak ada bandingnya”

“Dunia kematian itu memang terasa damai, ketika aku bangkit lagi dari dunia yang damai itu dan menengok rumah ini, aku sudah mulai terlibat lagi dalam tindakan-tindakan kekerasan seperti yang terjadi”

Ki Kebo Ander mangangguk-angguk, ketika ia melihat Panon menyerang lawannya tanpa ampun, maka Ki Kebo Ander itu berkata, “Bukankah anak muda itu muridmu?”

Pangeran Kuda Narpada mengerutkan keningnya.

“Ilmunya sudah mencapai taraf yang tinggi, ia tinggal mematangkan beberapa bagian yang masih agak kabur, tetapi aku yakin Ki Sraba tidak akan dapat mengalahkannya” sambung Ki Kebo Ander.

Pangeran Kuda Narpada mangangguk-angguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan ia dapat memenangkan perkelahian itu”

“Anak muda yang satu itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa, bahkan……………….” Kata-kata Ki Kebo Ander terputus.

Pangeran Kuda Narpada bergeser setapak, ia melihat Ki Dumi yang kerdil itu sudah menggigil. Sejenak ia mencoba bertahan, namun kemudian ia terjatuh pada lututnya.

“Ia terkena racunnya sendiri” desis Ki Kebo Ander.

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Raden Kuda Rupaka merenungi lawannya, Ki Dumi yang kerdil itu.

“Kau luar biasa anak muda” desisnya.

Ki Dumi berpaling ketika ia melihat Ki Kebo Ander mendekatinya dan berjongkok disampingnya.

“Pasermu sendiri yang telah merenggut nyawamu Ki Dumi, jika benar yang kau katakan bahwa pasermu itu kau lumuri getah batang cangkring eri sungsang, maka tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya”. berkata Ki Kebo Ander.

Ki Dumi mengangguk kecil, jawabnya dengan suara gemetar, “Ya, aku telah merendam paserku pada beberapa tetes getah cangkring eri sungsuang dan aku pun sadar, bahwa aku akan mati sekarang”

Ki Kebo Ander kemudian membantu Ki Dumi membujurkannya di lantai dan meletakkan kepalanya pada alas ikat kepalanya sendiri.

Tetapi Ki Dumi sudah terlalu lemah, pada saat terakhir ia masih berusaha bertanya, “Kebo Ander, kenapa kau tidak berbuat sesuatu?”

“Aku percaya bahwa orang ini adalah Pangeran Kuda Narpada, sepanjang umurku, aku sudah beberapa kali berusaha untuk memenangkan setiap perkelahian yang beberapa kali pula telah aku lakukan melawannya. Tetapi aku selalu kalah. Dan aku kira sekarang aku tidak perlu mengulanginya lagi, justru sekarang aku berdiri di pihak orang-orang gila dari Guntur Geni itu”

Ki Dumi menarik nafas dalam-dalam, suaranya semakin samar dan katanya kemudian, “Musnahkan saja paser-paserku Kebo Ander. Aku kira paser semacam itu tidak akan banyak gunanya bagi siapapun juga, semula aku menganggapnya sebagai suatu kebanggaan. Tetapi ternyata bahwa aku sudah terbunuh oleh kebanggaanku itu sendiri”

Ki Kebo Ander mengangguk, jawabnya, “Baiklah, aku akan membakarnya sehingga paser-pasernu akan musnah”

Ki Dumi memandang Ki Kebo Ander sejenak, lalu katanya, “Kau orang baik Kebo Ander, umurmu masih akan panjang dengan pengakuanmu bahwa kau tidak akan menang atas lawanmu itu”.

Ki Kebo Ander masih akan menjawab, tetapi Ki Dumi itu pun tersenyum pahit sambul memejamkan matanya. Bibirnya masih bergerak, tetapi tidak ada kata-kata yang terucapkan.

Orang kerdil itu pun kemudian mati oleh racunnya sendiri yang menyumbat pembuluh-pembuluh darahnya dengan gumpalan-gumpalan yang mengeras, sehingga pada kulitnya nampak merah kebiru-biruan.

Sementara itu Ki Sraba sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, meskipun demikian ia masih berloncatan, bahkan dengan lantang ia berteriak, “Kebo Ander, apakah kau telah menjadi soerang yang berkhianat?”

Ki Kebo Ander tidak menjawab, ia menyilangkan tangan Ki Dumi dengan tatapan mata yang redup.

Namun sikap Ki Kebo Ander itu membuat Ki Sraba semakin marah, sehingga ia pun berteriak lebih keras sambil menghindarkan diri dari serangan lawannya, “He, pengkhianat, apa yang sedang kau lakukan?”

Ki Kebo Ander berpaling, dilihatnya Ki Sraba benar-benar telah kehilangan kesempatan sehingga tidak ada jalan lain baginya kecuali menyerah.

“Hentikan perlawanmu, Ki Sraba. Tidak ada gunanya lagi kau mengorbankan nyawamu untuk orang-orang Guntur Geni, kau tidak akan mendapatkan apapun juga”

“Gila” geram Ki Sraba, “Aku bukan pengecut macam kau. Seandainya aku tidak mendapatkan apa-apa, tetapi setidak-tidaknya aku mempunyai harga diri. Harga diriku sama nilainya dengan nyawaku”

“Luar biasa” desis Ki Kebo Ander, “Tetapi itu bukan berarti sikap yang dungu”

“Persetan” potong Ki Sraba.

Dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha untuk dapat mengatasi tekanan Panon. Namun Panon yang muda itu benar-benar tidak memberinya kesempatan.

“Menyerah sajalah” berkata Pangeran Kuda Narpada.

“Kubunuh kalian semuanya” teriak Ki Sraba.

Namun kata-katanya terputus ketika senjata Panon tergores di tubuhnya.

Darah yang menitik dari lukanya telah membuat Ki Sraba bagaikan gila. Dengan liarnya ia menyerang Panon seperti seekor harimau yang terluka, seakan-akan ia telah kehilangan akalnya sehingga ia tidak lagi dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya.

Panon yang muda itu menjadi gelisah. Lawannya bagaikan hantu yang buas siap menerkamnya. Betapapun Panon berusaha mencegahnya, namun lawannya benar-benar tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya.

Sekali-sekali Panon berhasil menahan lawannya dengan ujung senjatanya, namun Ki Sraba seakan-akan tidak menghiraukannya lagi, luka di tubuhnya menjadi semakin banyak, dan darahpun mengalir semakin deras. Tetapi Ki Sraba bertempur semakin liar.

Pangeran Kuda Narpada menjadi gelisah melihat Ki Sraba, bahkan Ki Kebo Ander yang datang bersamanya itu pun nampak menjadi tegang.

Tetapi ternyata bahwa hentakan-hentakan ilmu Ki Sraba yang mengerikan itu adalah hentakan-hentakan dari sisa tenaganya, ketika ia meloncat meyerang Panon sambil berteriak nyaring, maka Panon telah meloncat menghindarinya.

Panon kemudian bagaikan membeku melihat lawannya yang gagal melukainya, Ki Sraba tiba-tiba saja telah terhuyung-huyung, bahkan kemudian ia pun terduduk.

Darah terlalu banyak mengalir dari tubuhnya, sehingga tubuh itu bagaikan terperas kering.

Perlahan-lahan Ki Kebo Ander melangkah mendekatinya, tetapi ketika ia berjongkok disampingnya, Ki Sraba masih menggeram, “Jangan sentuh aku pengkhianat, pengecut”

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian yang disaksikannya adalah saat-saat terakhir orang yang merasa nilai harga dirinya sama dengan nyawanya itu.

Ki Kebo Ander kemudian berdiri disamping berdiri disamping Pangeran Kuda Narpada, dengan suara datar ia berkata, “Pangeran, kau dengar bagaimanakah penilaian orang itu atasku?, aku adalah pengkhianat dan pengecut”

Pangeran Kuda Narpada mangangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Tetapi apakah kau tidak bertanya kepada orang lain, bagaimanakah penilaian mereka terhadap sikapmu?”

“Jika aku bertanya kepada pangeran, maka pangeran tentu akan menjawab, bahwa aku adalah orang yang berdiri atas perhitungan nalar yang tidak ingkar pada kenyataan. Bahkan mungkin pangeran akan menyebutku sebuah seorang yang benar-benar jantan karena berani mengakui kelemahan diri” jawab Ki Kebo Ander.

Pangeran Kuda Narpada mengangguk, katanya, “Kita sudah cukup dewasa untuk menilai sikap kita masing-masing. terserahlah kepadamu, Kiai. Barangkali penilaianmu sendiri atas sikapmu adalah penilaian yang berdasarkan atas suatu keyakinan tanpa menghiraukan penilaian orang lain”

“Ya, dan aku sudah mengambil keputusan”

Pangeran Kuda Narpada termangu-mangu ketika ia melihat Panon berdiri tegak memandang Ki Sraba yang sudah tidak bernyawa lagi, sementara di arah lain, Raden Kuda Rupaka pun berdiri tegang.

“Kemarilah” panggil Pangeran Kuda Narpada.

Meskipun agak ragu, tetapi kedua anak muda itu pun mendekatinya.

Pertempuran ini sudah mendekati akhirnya” berkata Pangeran Kuda Narpada, “Agaknya para prajurit Demak, sudah berhasil menguasai orang-orang Guntur Geni, bahkan mereka masih sempat membantu Ki Reksabahu dan kakak beradik Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang”

“Ya, paman” sahut Raden Kuda Rupaka, “Agaknya Kiai Paran Sanggit pun harus melihat kenyataan ini meskipun barangkali ia mempunyai harga diri seperti orang yang terbunuh oleh Panon itu”

“Ya” Ki Kebo Anderlah yang menyahut, “Agaknya Kiai Paran Sanggit merasa bahwa dirinya adalah pangkal dari peristiwa ini. Ia tentu akan memilih mati daripada harus memikul tanggung jawab, bukan saja terhadap Demak, tetapi juga terhadap anak buahnya yang terpaksa menyerah karena tidak ada kesempatan lagi untuk melawan”

“Apa yang harus dipertanggung jawabpun terhadap orang-orangnya?, apakah orang-orang Guntur Geni akan menuntut, karena mereka dikalahkan di halaman istana ini?”

Ki Kebo Ander menggelengkan kepalanya, katanya, “Kiai Paran Sanggit telah menipu murid-muridnya selama ini”

Pangeran Kuda Narpada memandang Ki Kebo Ander dengan tajamnya, sementara Ki Kebo Ander meneruskan, “Kiai Paran Sanggit mengatakan bahwa guru agung mereka masih hidup dan akan terus hidup. Ia sudah dapat melepaskan diri dari peredaran waktu”

“Apakah anak-anak Guntur Geni tidak pernah bertanya, dimanakah pendiri perguruan Guntur Geni itu berada?” bertanya Pangeran Kuda Narpada.

“Ia sedang bertapa untuk mencapai kesempurnaan dari ilmunya, yang telah berhasil mencapai tingkatan pembebasan diri dari peredaran waktu. Ia ingin dapat membuat dirinya kebal sehingga ia benar-benar dapat membebaskan diri dari kematian dengan mutlak”

Pangeran Kuda Narpada mangangguk-angguk, sekilas ia memperhatikan pertempuran yang sudah mendekati akhirnya.

Betapa sulitnya Kiai Paran Sanggit mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Pangeran Bondan Lamatan yang membadai. Semakin lama ia menjadi semakin terdesak, sementara pengikut-pengikutnya pun telah dilumpuhkan seorang demi seorang.

Bahkan beberapa saat kemudian, pertempuran di halaman itu telah selesai, selain Kiai Paran Sanggit yang tidak mau melihat kenyataan yang terjadi. Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu dan para prajurit Demak sudah berhasil menguasai lawan-lawan mereka, sebagian dari mereka terbunuh dan yang sebagian yang lain menyerah.

Tetapi Kiai Paran Sanggit masih bertempur dengan gigihnya melawan Pangeran Bondan Lamatan.

Ketika seorang senapati mendekat, maka Pangeran Bondan Lamatan berkata, “Biarlah ia menemukan dirinya sendiri. Agaknya Kiai Paran Sanggit ingin melakukan perang tanding. Jangan ganggu. Jika ia berhasil, biarlah ia mendapatkan kepuasan dari keberhasilannya yang terakhir”

“Persetan” teriak Kiai Paran Sanggit, “Tidak ada yang dapat menghentikan perlawananku”

Pangeran Bondan Lamatan tidak menjawab, tetapi keduanya bertempur semakin seru.

Namun ketika Kiai Paran Sanggit melihat Ki Kebo Ander yang tidak mencabut senjatanya sama sekali, ia berteriak, “Pengecut, kau ingkar kepada janjimu sendiri he?”

“Kau dengar pangeran” desis Ki Kebo Ander, “Ia pun menyebut aku pengecut, apakah benar aku seorang pengecut menurut laki-laki?”

“Terserahlah kepadamu Kebo Ander. Jika kau memerlukan seorang lawan untuk membuktikan bahwa kau bukan seorang pengecut, maka aku juga masih belum mempergunakan pisau-pisauku”

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam.

“Pengecut, jangan dekati aku” Kiai Paran Sanggit berteriak lebih keras.

“Maaf Kiai Paran Sanggit” jawab Ki Kebo Ander, “Aku sudah menemukan suatu keyakinan di dalam diriku, bahwa aku tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan Pangeran Kuda Narpada”

“Kau gila, Kuda Narpada sudah mati”

“Ia ada disini, dan aku yakin, bahwa orang yang bernama Ki Wirit itu adalah Pangeran Kuda Narpada. Muridnyalah yang telah melepaskan pisau-pisaunya untuk membunuh dua orang pengikutmu di banjar”

“Gila, kau sudah gila” teriak Kiai Paran Sanggit sehingga seolah-olah ia telah melupakan perang tanding yang sedang berlangsung.

Tetapi Pangeran Bondan Lamatan adalah orang yang memiliki sifat-sifat seorang prajurit. Meskipun lawannya sedang lengah. Ia sama sekali tidak mempergunakan kesempatan itu. Bahkan katanya, “Kiai Paran Sanggit, jika kau masih ingin mengumpat, lakukanlah. Aku beri kesempatan kau sepuas-puasnya. Jika kemudian kau ingin melanjutkan pertempuran, aku akan siap melayanimu”

“Persetan” teriak Kiai Paran Sanggit sambil menyerang dengan dahsyatnya, senjatanya yang menghentak hampir saja menyentuh dada Pangeran Bondan Lamatan, tetapi Pangeran Bondan Lamatan sempat mengelak, bahkan ia pun kemudian telah mengambil keputusan, bahwa agaknya Kiai Paran Sanggit tidak dapat lagi merubah sikapnya, karena sebenarnyalah ia sudah berniat untuk membunuh diri dengan caranya.

Agaknya Pangeran Bondan Lamatan pun sudah mulai dijalari kejemuan. Tidak ada harapan lagi untuk berbicara. Bahkan pada suatu saat tenaganya sendiri yang akan susut. Sehingga mungkin justru Kiai Paran Sanggit akan berhasil melumpuhkannya.

Karena itulah, maka Pangeran Bondan Lamatan pun telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan perang tanding itu.

Karena itulah, maka tiba-tiba saja serangan Pangeran Bondan Lamatan telah menghentak-hentak bagaikan debur ombak di lautan, sekali memukul dengan dahsyatnya, kemudian menghindar dengan cepat.

Kiai Paran Sanggit menjadi semakin bingung, tetapi keputusannya telah membuatnya bagaikan gila, ia menyerang tanpa perhitungan lagi. Justru pada saat serangan Pangeran Bondan Lamatan menghantamnya, ia telah membenturkan kekuatan dengan memutar senjatanya.

Tetapi akibat dari benturan itu menjadikannya sangat parah, ia terdorong surut beberapa langkah. Namun ketika ia mencoba memperbaiki keseimbangannya, maka sekali lagi senjata Pangeran Bondan Lamatan menyentuhnya.

Terdengar keluhan tertahan, Kiai Paran Sanggit terdorong sekali lagi dan sekali lagi ia terdorong karena hempasan senjata lawan.

Tidak ada lagi kesempatan baginya, sehingga ia pun kemudian terlempar jatuh ditanah.

Wajahnya yang kemudian basah oleh darah menjadi sangat mengerikan, loncatan dendam dan kebencian membayang pada sorot matanya. Bahkan Kiai Paran Sanggit itu masih sempat berteriak, “Serahkan pusaka itu”

Pangeran Bondan Lamatan mendekatinya, betapa mengerikan wajah Kiai Paran Sanggit yang telah dihempaskan pada suatu kenyataan, bahwa usahanya telah gagal.

Namun sejenak kemudian, Kiai Paran Sanggit tidak dapat lagi menentang kepastian yang telah merenggut umurnya. Ketika ia menggeliat sekali lagi, terdengar ia mengerang. Namun sebuah hentakan kekecewaan telah membuatnya berteriak sekali lagi, “Serahkan Pusaka Ituuu”

Ketika gema suaranya lenyap dari lembah-lembah yang membujur diantara pegunungan, maka Kiai Paran Sanggit itu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kematiannya adalah pertanda kegagalan mutlak dari usahanya untuk mendapatkan pusaka yang menurut dugaannya akan dapat memberikan kemukten kepadanya dan keturunannya.

Ki Kebo Ander masih berdiri membeku. Dipandanginya kawannya yang telah tidak bernafas lagi. Pada tubuh yang membeku itu masih nampak, betapa nafsunya melonjak-lonjak tidak terkendali.

“Kematian-kematian yang terjadi agaknya telah mengakhiri semua persoalan yang menyangkut rumah kecil yang suram ini” berkata Pangeran Kuda Narpada kemudian, “Jika disini ada Ki Kebo Ander yang mengetahui bahwa pusaka itu sudah ada ditangan kami, maka terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan”

“Pangeran” berkata Ki Kebo Ander, “Sudah aku katakan, tidak ada yang dapat kau lakukan karena disini ada Pangeran Kuda Narpada. Aku hanya akan mohon diri jika pangeran tidak bernafsu menangkapku”

Pangeran Kuda Narpada menggelengkan, katanya, “Tidak Kebo Ander, aku tidak ingin menangkapmu, tetapi aku ingin mengatakan, agar kau kembali saja ke Kediri. Agaknya kau lebih baik menyebut dirimu Raden Panji Bantarsari”

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Bondan Lamatan terkejut dan bertanya, “Jadi, apakah maksud kakangmas, bahwa orang ini adalah Raden Panji Bantarsari dari Kediri?”

“Ya”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam.

“Ya, pangeran” gumam Ki Kebo Ander, “Tetapi aku sudah tidak pantas lagi menyebut diriku Raden Panji Bantarsari. Aku adalah orang yang sudah terbuang dari lingkunganku”

“Kau terlalu menuruti hawa nafsu, sehingga kau mempunyai sifat dan watak yang terpisah dari lingkinganmu”

“Tetapi apakah yang aku lakukan lebih buruk dari yang dilakukan oleh Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat?”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tidak, kau adalah orang yang mempunyai sifat-sifat buruk pada kebiasan hidupmu, tetapi jika kau berhasil dan tidak bertemu dengan aku disini, mungkin yang kau lakukan akan jauh lebih buruk dari adimas Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat.”

Ki Kebo Ander menarik nafas dalam-dalam.

“Raden Panji Bantarsari” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Saat ini aku sedang mengemban tugas dari Sultan di Demak. Namun aku masih berpengharapan, bahwa kau akan berhasil melihat kenyataan hidup yang terjadi disini dan yang selama ini kau alami. Karena itu, seperti nasehat kakangmas Kuda Narpada, kembali sajalah ke Kediri, tentu kau masih akan diterima diantara keluargamu”

Ki Kebo Ander menggelengkan lemah, katanya, “Tidak, aku sudah mencobanya. Tetapi keluargaku merasa bahwa hidupku terlalu banyak dilumuri lumpur yang memuakkan. Hal itulah yang mendorong aku semakin jauh tersesat, sehingga akhirnya aku telah bersedia bekerja bersama dengan orang-orang Guntur Geni”

“Kau harus membuktikan bahwa dugaan mereka salah”

Tiba-tiba saja Ki Kebo Ander tertawa, katanya, “Terima kasih, aku tidak mempunyai lagi jalan kembali, tetapi percayalah bahwa aku pun tidak akan membiarkan diriku lebih lama lagi hidup dalam kegelapan. Aku sekarang minta diri jika aku masih diberi kesempatan”

Pangeran Kuda Narpada memandang Ki Kebo Ander dengan sorot mata redup. Namun kemudian katanya, “Selamat jalan. Mudah-mudahan kau menemukan jalan hidup yang baik menjelang usia tuamu”

“Terima kasih, pangeran”

“Jika kau menemui kesulitan, datanglah kepadaku” berkata Pangeran Bondan Lamatan.

“Baiklah pangeran. Aku akan mengingat itu”

Perlahan-lahan Ki Kebo Ander meninggalkan halaman itu diiringi oleh tatapan mata orang-orang yang berada di halaman. Begitu ia hilang di balik regol, Pangeran Kuda Narpada berkata, “Mudah-mudahan ia menemukan jalan yang terang, tetapi aku yakin akan hal itu”

Pangeran Bondan Lamatan mangangguk-angguk desisnya, “Mudah-mudahan”

Demikianlah, maka orang-orang yang ada di halaman itu pun segera melakukan tugas mereka yang tersisa. Mengubur korban-korban peperangan. Sementara yang lain melayani orang-orang yang terluka.

Hari yang terlampaui adalah hari yang mendebarkan, tetapi juga merupakan kepastian, bahwa sebagian besar dari tugas para utusan Demak itu sudah selesai.

***

Dibawah lampu minyak di malam berikutnya, orang-orang yang berada di istana kecil itu telah berkumpul, Pinten telah membawa bibinya kembali ke istana bersama Inten dan Nyi Upih.

“Tugas kita sudah selesai” berkata Pangeran Bondan Lamatan, lalu, “dengan demikian, maka sudah datang saatnya kita meninggalkan tempat ini”

Pangeran Kuda Narpada merenung sejenak, dipandanginya Raden Ayu Kuda Narpada yang menundukkan kepalanya dan Inten Prawesti yang gelisah. Tetapi Pangeran Kuda Narpada tidak merasa, apakah yang sebenarnya bergejolak di dalam hati kedua orang puteri itu. Apakah mereka merasa gembira bahwa dengan demikian mereka sudah terhindar dari bahaya, atau tumbuh harapan dihati mereka untuk bersama-sama pergi ke Demak.

“Kamas Kuda Narpada” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Agaknya tidak ada lagi yang harus menahan kita disini. Juga tidak ada yang menahan kakangmas bersama seluruh keluarga”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Beberapa tahun aku sudah terpisah dari istana ini, tetapi rasa-rasanya, aku tidak akan dengan mudah meninggalkannya. Ada sesuatu yang mengikat aku disini. Bukit-bukit yang sudah menjadi hijau dan sawah-sawah yang mulai digarap dengan cara yang lebih baik, sehingga padukuhan Karangmaja menjadi semakin subur”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, sementara Pangeran Kuda Narpada meneruskan, “Aku kira, aku akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Demak, adimas. Tetapi semuanya masih juga tergantung kepada keluargaku”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia sadar bahwa Pangeran Kuda Narpada masih harus membicarakannya dengan seluruh keluarganya.

“Baiklah kakangmas” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Besok aku berharap bahwa aku akan dapat menempuh perjalanan kembali. Aku mohon kakangmas dengan seluruh keluarga dapat pergi bersama kami”

“Aku akan memikirkannya adimas, semalam ini aku kira cukup waktu untuk membicarakannya”

Pangeran Bondan Lamatan tidak mendesaknya lagi, ia pun kemudian minta diri untuk beristirahat, seperti biasanya ia berada di lingkungan para prajuritnya sebagaimana seorang senapati yang baik.

Ketika kemudian Pangeran Kuda Narpada sedang berbincang di ruang dalam, Pinten duduk sambil bertopang dagu di pintu butulan. Dipandanginya bayang-bayang kegelapan yang menyelubungi halaman istana kecil itu, meskipun ia belum terlalu lama berada di istana kecil itu, namun rasa-rasanyanya ada sesuatu yang mengikatnya untuk tetap tinggal.

Pinten yang berpendengaran tajam, berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekatinya. Dalam keremangan malam ia melihat Panon berdiri termangu-mangu.

“Kau akan pergi ke Demak?” tiba-tiba terdengar suara Pinten datar.

“Aneh puteri. Akulah yang sebenarnya harus bertanya, kapan puteri akan kembali ke Demak?, berkumpul kembali dengan keluarga para bangsawan”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak pernah tinggal di Demak, aku selalu berada di sebuah padepokan kecil yang terpisah, aku tidak tahu, bagaimana bergaul dengan para bangawan meskipun kadang-kadang ada orang yang memanggilku puteri seperti kebanyakan puteri bangsawan”

Panon termangu-mangu sejenak, lalu, “Jadi, apakah yang akan puteri lakukan?”

“Aku tidak tahu, sebagian terbesar tergantung kepada kamas Kuda Rupaka”

“Jika puteri wenang memilih?” desak Panon.

“Pinten memandang wajah Panon dalam keremangan malam. Namun kemudian terdengar ia berdesis, “Aku akan tinggal, tetapi tentu aku akan sendiri, karena paman dan bibi Kuda Narpada akan segera meninggalkan istana kecil ini, dan kau murid yang sangat dikasihi seperti anak sendiri, tentu akan ikut pula bersama mereka”

Panon menundukkan kepalanya, tetapi tidak ada yang dapat dikatakannya.

Ia berpaling ketika Pinten berkata, “Panon”

Panon termangu-mangu, namun ternyata Pinten tidak mengatakan sesuatu. Bahkan gadis itu pun kemudian berdiri dan cepat-cepat melangkah masuk pintu butulan.

Namun hampir saja ia melanggar kakaknya yang sudah berdiri di belakangnya, dengan sungguh-sungguh kakaknya berkata, “Kitalah yang akan pergi ke Demak bersama paman Bondan Lamatan. Agaknya paman dan bibi Kuda Narpada akan tetap tinggal di istana ini bersama diajeng Inten Prawesti”

“Darimana kau tahu?”

“Aku ikut dalam pembicaraan diruang dalam. Paman mencarimu, ternyata kau berada disini”

“Ah”

“Besok kita berangkat bersama pasukan Demak”

Pinten merenung sejenak, tiba-tiba ia menyahut, “Tidak, aku tidak pernah merasa diriku keluarga bangsawan di Demak. Kita adalah anak-anak padepokan. Meskipun kita tidak menolak menjalankan tugas apapun juga bagi keselamatan Demak. Tetapi aku tidak akan betah tinggal diantara saudara-saudara kita yang berbeda dalam sikap dan tingkah laku”

“Apa yang berbeda Raksi?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

“Mereka adalah anak-anak para bangsawan yang hanya tahu memilih seekor kuda yang paling tegar. Memilih calon suami atau isteri yang sesuai dengan martabat mereka, memilih istana yang paling indah. Tetapi kenapa Sultan Demak tidak mengutus mereka untuk pergi bersama paman Bondan Lamatan?, tetapi justru kita yang hidup di padepokan terpencil?, bukankah itu berarti suatu pengakuan bahwa mereka yang berada di Kota Raja sudah tidak mampu lagi menjunjung kewajiban mereka sebagai suatu tataran kehidupan yang akan tumbuh dimasa datang?”

“O, rupanya kau sedang merajuk Raksi, tentu dugaanmu tidak seluruhnya benar. Di Kota Raja terdapat banyak anak-anak muda yang siap mengemban tugas seperti kita. Tetapi Sultan tentu tidak melupakan kita yang tidak berada di Kota Raja”

“Tidak. Aku akan berada disini”

“He?” Raden Kuda Rupaka termangu-mangu. “Kita berdua akan kembali ke Demak, Raksi”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba ia berlari masuk ke ruang dalam.

Raden Kuda Rupaka tidak mencegahnya. Ia menjengukkan kepalanya di pintu butulan, ketika ia melihat Panon masih termangu-mangu, ia tersenyum kecil.

Dalam pada itu Pinten tidak mencari bibinya, tetapi ia langsung menemui Inten Prawesti yang masih berada di ruang tengah mengemasi mangkuk-mangkuk.

“Diajeng” ia berbisik, “Apakah paman dan bibi sudah mengambil keputusan?”

Inten memandang Pinten sejenak, kemudian sambil menundukkan kepalanya ia menjawab, “Ayahanda dan ibunda sudah mengambil keputusan untuk tinggal disini”

“Bagaimana dengan diajeng?”

Sejenak Inten ragu-ragu. namun kemudian jawabnya, “Aku juga akan tinggal disini bersama ayahanda dan ibunda”

Wajah Pinten menegang sejenak, namun kemudian suaranya merendah, “Bagaimana dengan kakangmas Kuda Rupaka?”

Inten menunduk semakin dalam, ada secercah warna merah membayang di pipinya, namun kemudian suaranya lirih, “Aku kira kakangmas Kuda Rupaka telah memohon kepada ayahanda dan ibunda agar diperkenankan tinggal di rumah ini pula untuk beberapa lama sebelum ia akan kembali ke padepokannya”

“O” tiba-tiba Pinten melonjak, dengan serta merta ia meloncat berlari. Tetapi sekali lagi ia hampir melanggar kakaknya yang berdiri tersenyum.

“Kau bohong” Pinten hampir berteriak.

“Kita akan tetap tinggal disini Pinten. Bukankah biyung ada disini?”

Pinten yang sudah hampir meloncat sambil mengulurkan tangan untuk mencubit lengan Kuda Rupaka, tiba-tiba saja ia berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya. Ternyata yang tersirat adalah sikap seorang gadis yang memang sedang meningkat dewasa, seolah-olah sedang menemukan kepribadian-nya yang sewajarnya.

Setitik air mata telah mengembang di pelupuk mata Puteri Raksi Padmasari.

Ketika kemudian Pinten melangkah meninggalkan ruangan itu, Kuda Rupaka sama sekali tidak bertanya kemana ia akan pergi, Kuda Rupaka tahu pasti, bahwa Pinten akan menemui Panon dan mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal disini.

Dalam pada itu Inten yang tinggal sambil termangu-mangu bertanya kepada Kuda Rupaka, “Apakah yang telah terjadi pada kakangmbok Raksi, kakangmas?”

Kuda Rupaka tersenyum, jawabnya, “Ada ikatan yang memaksanya untuk tetap tinggal”

Inten yang mengalami gejolak perasaan yang sama telah menundukkan kepalanya pula. Tatapan mata Raden Kuda Rupaka bagaikan menembus langsung ke dasar jantungnya.

Sementara itu, Pinten kembali menuju ke pintu butulan, tetapi ia menjadi kecewa, karena Panon tidak ada di tempatnya. Adalah diluar sadarnya bahwa Pinten itu pun kemudian turun ke longkangan dan berjalan ke belakang.

Langkahnya tertegun ketika ia melihat beberapa orang duduk di serambi.

“O marilah puteri” Ki Ajar Respati mempersilahkan.

“Ki Ajar, kenapa Ki Ajar duduk di serambi?, marilah, silahkan naik ke pendapa”

Ki Ajar tersenyum, katanya, “Seperti pamanda puteri, kamipun sedang berunding. Apakah yang akan kami lakukan besok”

Pinten termangu-mangu, ketika ia melihat Panon ada diantara mereka, maka ia pun menundukkan kepalanya.

“Puteri” berkata Ki Ajar Respati, “Ternyata bahwa kami pun merasa bahwa tugas kami sudah selesai, kami akan menghadapi Pangeran Kuda Narpada dan Pangeran Bondan Lamatan untuk menyampaikan niat kami”

Pinten sama sekali tidak dapat menjawab, ia mengerti, bahwa orang-orang itu sama sekali tidak mempunyai kepentingan langsung dengan pusaka yang diperebutkan, tetapi mereka telah mempertaruhkan hidup mereka, karena mereka yakin bahwa pusaka-pusaka itu harus dipertahankan agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak.

Pinten yang tunduk itu terkejut ketika ia mendengar Kiai Rancangbandang yang berdiri sambil mendekatinya, “Puteri adalah seorang gadis yang luar biasa”

“Ah” Pinten semakin menunduk.

“Bukan saja karena puteri memiliki ilmu yang tinggi, tetapi pengorbanan yang telah puteri berikan, justru pada usia puteri sekarang ini”

“Ah” sekali lagi Pinten berdesah.

“Pada usia seorang gadis yang lagi saat suka bercermin dan bersolek, puteri telah memberikan pengorbanan yang tidak ada taranya”

Sesuatu terasa tergetar di dalam dada gadis itu. Namun semudian suaranya tersendat-sendat, “Terima kasih paman, tetapi semuanya itu adalah kewajibanku”

“Aku berdoa puteri” berkata Kiai Rancangbandang, “Mudah-mudahan dalam suramnya istana kecil ini, masih ada sepercik sinar yang dapat menerangi hati puteri, tidak saja sebagai seorang puteri berkalung rantai baja atau berpedang rangkap, tetapi juga sebagai seorang gadis yang berhati lembut yang sedang meningkat dewasa”

“Ah” Pinten tidak dapat menahan gejolak hatinya, ia pun kemudian berlari meninggalkan serambi itu.

Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, Puteri Raksi Padmasari benar-benar seorang gadis yang aneh baginya, tetapi benar-benar mengagumkan.

Ketika Kiai Rancangbandang kembali duduk diantara beberapa orang, ia berkata, “Panon. aku kira bukan karena kita berada di tempat terpisah, sehingga karena tidak ada orang lain maka Puteri Raksi Padmasari telah menarik perhatian. Seandainya ia berada diantara seribu puteri bangsawan dari Demak maupun Majapahit yang sudah hancur itu. Ia tetap seorang puteri yang sulit dicari duanya. Rantai bajanya dan pedang rangkapnya adalah ciri yang nampak jelas padanya. Namun ia pun seorang gadis yang cantik dan merak ati. Ia dapat bersikap keras dan masak saat-saat ia menggenggam senjata. Tetapi Ia kadang-kadang lembut dan kekanak-kanakan”

Panon menundukkan kepalanya. Ia tidak menyahut, namun di dalam hatinya, cengkaman perasaannya telah menghunjam semakin dalam betapapun ia merasa rendah diri, karena ia hanyalah seorang anak pegunungan.

Demikianlah ketika masing-masing telah berbaring di pembaringannya, maka berbagai macam angan-angan telah bermain di batas mimpi, dua orang gadis yang berada di dalam istana itu menjadi sama-sama gelisah meskipun masing-masing tidak mengatakan kepada orang lain.

Dipagi hari berikutnya, ketika matahari mulai menjamah langit, istana kecil itu menjadi sibuk. Beberapa orang telah siap meninggalkan istana yang menjadi pusat perhatian beberapa pihak karena pusaka-pusaka yang sedang mereka cari.

“Kami mengharap kalian sudi datang ke Demak. Kami tidak akan dapat ingkar akan bantuan kalian. Tanpa kalian, maka kami tidak akan dapat berhasil. Karena itu. Sultan tentu akan mengakui laporan kami tentang kalian” berkata Pangeran Bondan Lamatan.

Ki Ajar Respati tersenyum, jawabnya, “Terima kasih pangeran. Pada suatu saat kami tentu akan datang, tetapi kami berhasrat untuk kembali lebih dahulu melihat keluarga kami”

Pangeran Bondan Lamatan mangangguk-angguk, katanya kemudian, “Kedatangan kalian tetap kami tunggu, kapanpun kalian sempat”

Ketegangan telah terjadi di halaman itu pada saat beberapa orang diantara mereka sudah siap meninggalkan istana kecil itu. Pangeran Bondan Lamatan akan kembali ke Demak bersama pengiringnya untuk melaporkan hasil yang sudah didapatkannya, sementara

Ki Ajar Respati, adiknya Kiai Rancangbandang dan Ki Reksabahu pun telah minta diri untuk kembali ke padukuhan masing-masing.

“Pakailah kalung itu Panon” desis Ki Ajar Respati, kemudian katanya kepada Pangeran Kuda Narpada, “Pangeran, aku mohon agar aku diperkanankan mengaku anak muda itu sebagai anakku pula”

Pangeran Kuda Narpada tersenyum, jawabnya, “Tentu aku tidak akan berkeberatan Ki Ajar”

“Terima kasih pangeran” desis Ki Ajar Respati yang kemudian berpaling kepada Pangeran Bondan Lamatan “Bakti kami kepada Sultan di Demak”

Pangeran Bondan Lamatan tersenyum, sambil mangangguk-angguk ia menjawab, “Baiklah, kami akan menyampaikan kepada Sultan. juga tentang semua peristiwa yang pernah terjadi, terlebih-lebih lagi tentang hadirnya kakangmas Kuda Narpada”

Demikianlah maka Pangeran Bondan Lamatan pun kemudian sekali lagi minta diri sambil membawa beberapa orang tawanan. Ki Buyut yang hadir bersama-sama para bebahu tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas kehadiran mereka di padukuhan Karangmaja.

Demikianlah peristiwa demi peristiwa telah berlalu, istana yang suram mulai cerah kembali, Karangmaja menjadi padukuhan yang tenang damai dan sejahtera, begitu juga dengan kehidupan di dalam istana itu.

***

Beberapa tahun kemudian diadakanlah sebuah perayaan pernikahan, Panon dengan bahagianya memperisterikan Pinten atau Puteri Raksi Padmasari, dan Sangkan atau Raden Kuda Rupaka memperisterikan Inten Prawesti. Semua kerabat-kerabat turut hadir pada acara kebahagian tersebut, baik para bangsawan Demak dari Kota Raja, maupun kerabat seperjuangan dalam mempertahankan pusaka yang pernah terjadi di istana itu.

Acara kebahagian tersebut berlangsung sederhana, namun cukup meriah, karena dihadiri oleh tamu istemewa yaitu Pangeran Bondan Lamatan beserta keluarganya, serta kawan-kawan seperjuangan seperti Ki Ajar Respati, Kiai Rancang-bandang dan Ki Reksabahu beserta keluarga mereka. Juga tidak ketinggalan dihadiri oleh Ki Kebo Ander yang sudah menemukan jati dirinya kembali.

Demikianlah akhir cerita ini, semoga terhibur dan mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat diambil dari cerita ini sebagai pelajaran. Sampai jumpa dalam lain cerita.

-oo0 dw-arema 0oo-

T A M A T

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | TAMAT

ISTANA YANG SURAM 13

ISTANA YANG SURAM

Jilid 13

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-13KETIKA Ki Buyut sampai di rumahnya, maka yang pertama-tama dilakukannya adalah menyiapkan makan dan minum bagi orang-orang yang berada di istana kecil itu, dengan lantang ia berkata kepada pembantunya, “Sekarang kalian dapat menyembelih kambing dengan ikhlas, aku akan menjamu orang-orang yang berada di istana itu sebagai orang-orang terhormat dan yang telah menyelamatkan istana itu dari bencana”

“Siapakah mereka Ki Buyut?” bertanya seorang anak muda.

“Ternyata istana itu penuh dengan teka-teki yang mengejutkan”

“Kenapa?”

“Sembelih dahulu seeor kambing yang sehat dan gemuk, nanti aku akan bercerita”

Rumah Ki Buyut segera menjadi sibuk, beberapa orang perempuan telah dipanggil untuk membantu memasak, tidak seperti saat mereka menyiapkan makanan bagi orang-orang Guntur Geni dan orang-orang Kumbang Kuning yang berada di banjar atau orang-orang Cengkir Pitu, tetapi kali ini orang-orang Karangmaja bekerja dengan penuh gairah dan kegembiraan hati.

Sementara itu mereka yang berada di istana kecil itu telah mempunyai kesibukan tersendiri, mereka yang terluka sedang sibuk mengobati luka-lukanya, sementara yang lain sedang berbincang tentang pusaka yang masih belum diketemukan.

Namun dalam pada itu, di dalam istana kecil itu telah terjadi tata hubungan yang agak ganjil, Sangkan yang ternyata adalah Raden Kuda Rupaka kadang-kadang masih bersikap sebagaimana selalu dilakukan, sementara Panon sama sekali tidak merubah sikapnya, meskipun ternyata ia memiliki kemampuan yang mengagumkan, tetapi ia adalah seorang yang rendah diri dan mengerti akan martabatnya.

Meskipun demikian, sesuatu yang belum pernah dimengerti telah meraba hatinya, gadis yang mula-mula dikenalnya bernama Pinten itu mempunyai sentuhan tersendiri bagi perasaannya.

“Gila” Panon menggeram, “Ia ternyata seorang Puteri, ia anak seorang Pangeran, dan itulah yang gila, jika saja aku mengetahui sejak semula”

Tetapi diluar sadarnya, ternyata gadis yang sebenarnya adalah Puteri Raksi Padmasari itu telah menaruh perhatian pula kepadanya, sikap Panon yang lugu, rendah hati tetapi menyimpan kemampuan yang tidak terduga itu, telah menarik perhatiannya.

Meskipun Puteri Raksi Padmasari menyadari, bahwa Panon bukannya seorang keturunan bangsawan, namun sebagai seorang gadis yang lebih banyak tinggal di padepokan yang jauh dari kehidupan seorang bangawan, ia dapat menyesuaikan diri dengan sikap dan tingkah laku anak muda yang berasal dari lereng Gunung Merbabu itu.

Puteri Raksi Padmasari yang kadang-kadang juga berada di Kota Raja, justru kurang sesuai bergaul dengan saudara-saudaranya dalam lingkungan kebangsawanan, meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari gadis-gadis sebayanya.

Namun rasa-rasanya masih ada jarak diantara keduanya. Dalam keadaan yang masih diliputi oleh kabut rahasia tentang pusaka yang sedang dicari, maka mereka masih memusatkan segenap perhatian mereka kepada penemuan pusaka itu.

Demikian juga Puteri Inten Prawesti, sejak anak muda yang mengaku bernama Sangkan itu masih menjadi anak Nyi Upih, anak muda itu telah menimbulkan berbagai macam pertanyaan di dalam hatinya, sejak Kidang Alit tidak mampu lagi mengikatnya dengan ilmu gendam, dan apalagi sejak Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya adalah orang lain, yang bernama Raden Johar Patitis agak mengecewakannya, maka perhatiannya telah tercurah kepada anak Nyi Upih yang aneh itu.

Namun seperti kebanyakan gadis, maka semuanya itu hanya tersimpan saja di dalam hatinya.

Namun semuanya itu tidak terlepas dari perhatian Nyi Upih, ia melihat kerling mata momongannya, tetapi ia melihat juga tangkapan cahaya mata Puteri Raksi Padmasari. Itulah sebabnya ia merasa berkewajiban untuk mengungkapkan semua yang masih terpendam itu pada saatnya.

“Jika pusaka itu telah dapat diketemukan, maka aku akan berterus, maka aku akan berterus-terang kepada Pangeran Bondan Lamatan, bahwa putera dan Puteri telah tersentuh oleh perasaan lain yang mungkin akan dapat mempengaruhi masa depannya.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di halaman istana merasa sangat berterima kasih ketika beberapa orang padukuhan Karangmaja telah datang membawa makanan dan minuman bagi mereka, bukan sekedar makan dan minum, tetapi seakan-akan Ki Buyut sedang mengadakan jamuan yang sangat besar untuk menghormati kemenangan Para Prajurit Demak bersama para penghuni istana kecil itu.

“Luar biasa” berkata Pangeran Bondan Lamatan.

“Hanya sekedarnya” berkata Ki Buyut, “Kami menghidangkan apa yang ada pada kami”

Wajah-wajah yang menjadi cerah itu pun kemudian sibuk menyuapi mulut mereka masing-masing, sudah lama mereka tidak sempat menikmati hidangan semacam itu, terlebih-lebih mereka yang tinggal di dalam istana kecil yang suram itu.

Namun dalam pada itu, wajah Ki Wirit yang masih nampak suram, karena ia masih mempunyai tugas yang cukup berat.

Panon sekali-sekali memandang wajah gurunya, ia sadar, tugas gurunya bukannya tugas yang ringan, ia harus mencari pusaka itu di halaman istana dengan penglihatan batinnya.

“Jika guru tidak menemukan, mungkin akan timbul prasangka buruk” berkata Panon di dalam hatinya.

Tetapi Panon tidak berani mengatakan sesuatu, ia sadar, bahwa ia adalah sekedar murid yang tentu masih banyak kekurangannya dibanding dengan gurunya.

“Guru mempunyai kebijaksanaan yang cukup” ia mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Dalam pada itu, ketika langit menjadi gelap dan lampu minyak sudah menyala, di pendapa istana kecil itu telah terbentang beberapa helai tikar yang dibawa oleh orang-orang Karangmaja. Pangeran Bondan Lamatan menolak ketika ia diperpsilahkan untuk tidur di ruang dalam. Ia lebih senang berada diantara para pengawalnya. Bukan karena hatinya yang kecut, tetapi justru sebagai seorang prajurit, ia memilih berada bersama anak buahnya.

Sangkan tidak lagi tidur di ruang belakang, ia berada di pendapa pula bersama Pangeran Bondan Lamatan, namun sementara itu Kiai Rancangbandang masih memilih tidur di biliknya bersama Panon meskipun Ki Ajar Respati berada di pendapa pula.

“Rasa-rasanya masih ada yang harus dijaga di belakang” berkata Kiai Rancangbandang.

“Silahkan” Pangeran Bondan Lamatan tersenyum, namun ia pun sependapat, bahwa rasa-rasanya masih ada yang perlu diawasi.

Sementara itu Pinten masih harus tetap berada di bilik Raden Ayu Kuda Narpada bersama Inten dan Nyi Upih, meskipun orang-orang yang selama ini mengganggu ketenangan istana kecil itu sudah tertangkap, namun mereka masih juga merasa ngeri, bahwa bencana masih akan berkepanjangan.

Sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan untuk berjaga-jaga, mereka yang sedang mendapat giliran harus mengawasi seluruh halaman dan regol yang sudah tidak mempunyai pintu lagi, karena pintunya sudah dirusak.

“Jika kau melihat sesuatu yang mencurigakan, panggil aku meskipun kau tidak yakin bahwa yang kau hadapi adalah bahaya yang sebenarnya, tetapi bagi kita di dalam keadaan seperti ini, lebih baik terlalu hati-hati daripada lengah”

Sementara itu, Ki Wirit telah minta ijin kepada Pangeran Bondan Lamatan untuk berada dimana saja yang sesuai dengan usahanya menemukan pusaka yang telah disimpan oleh Pangeran Kuda Narpada tanpa diketahui oleh orang-orang, bahkan Raden Ayu Kuda Narpada tidak mengetahuinya pula.

Panon yang berada di bilik belakang, bangkit dari pembaringannya ketika ia mendengar langkah mendekat, kemudian di dengarnya gurunya mendehem beberapa kali diluar pintu biliknya.

“Guru” desis Panon, lalu katanya kepada Kiai Rancangbandang, “Mungkin guru memerlukan aku”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk kecil, sementara Panon pun kemudian pergi keluar biliknya.

Tetapi ketika pintu biliknya terbuka, ia sudah melihat gurunya berdiri tidak terlalu jauh dari pintu itu, sehingga karena itu, maka beberapa langkah kecil telah membawanya berdiri di hadapan gurunya.

“Panon” berkata gurunya, “Aku akan mulai dengan usahaku mencari pusaka itu, cobalah kau membantu aku, mohon kepada Yang Maha Kuasa agar kita mendapat petunjuk, dimanakah pusaka itu tersimpan”

“Apakah yang harus aku lakukan guru?” bertanya Panon.

“Kau tidak usah berbuat apa-apa, kau dapat berada di dalam bilikmu, tetapi cobalah mengurangi tidur dan memanjatkan permohonan dengan sungguh-sungguh”

“Panon mengangguk, jawabnya, “Aku akan melakukannya guru”

“Hati-hatilah, agaknya bukan saja pusaka itu yang masih tetap menggelisahkan hati kita, tetapi aku juga masih digelisahkan oleh dugaan, bahwa belum semua kekuatan yang ingin memiliki pusaka itu kita singkirkan, aku masih mencemaskan kekuatan orang-orang Guntur Geni, selama ini agaknya orang-orang mengabaikan orang-orang Guntur Geni itu datang dengan seluruh kekuatannya bersama dengan perguruan kembarnya Guntur Prahara, yang meskipun terletak di tempat yang agak jauh, meskipun agaknya tidak berpepentingan sama sekali, namun kekuatan mereka akan menjadi berbahaya. Guntur Prahara yang semula tidak menghiraukan itu akan dapat digelitik oleh orang-orang Guntur Geni sehingga merekapun akan bangkit dengan amarah, terutama sekedar mempertahankan harga diri mereka sebagai dua perguruan yang seakan-akan merupakan anak kembar”

Panon mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah Guntur Geni dan Guntur Prahara itu benar-benar akan datang”

“Mudah-mudahan tidak, aku hanya menduga, tetapi jika dugaanku benar, maka tugas kita masih cukup berat”

“Baik guru. Aku akan berjaga-jaga, mudah-mudahan Kiai Rancangbandang akan bersedia membantu aku, bergantian mengawasi keadaan selain para pengawal yang bertugas di depan istana.”

“Baiklah, aku akan berada di bawah pohon gayam yang sudah semakin rimbun daunnya itu. nampaknya pohon itu masih muda, tetapi sebentar lagi tentu akan segera berubah”

“Baik guru, aku akan selalu hati-hati, setiap saat aku akan menyampaikan kepada guru jika ada sesuatu yang mencurigakan”

Ki Wirit pun kemudian meninggalkan muridnya dan pergi ke sudut halaman belakang dan duduk di bawah pohon gayam.

Sementara itu Panon pun telah kembali ke dalam biliknya, tanpa menyembunyikan sesuatu, Panon pun mengatakan apa saja yang dikatakan oleh gurunya.

“Mudah-mudahan gurumu berhasil Panon” desis Kiai Rancangbandang.

“Mudah-mudahan Kiai, tetapi ada semacam keyakinan bahwa guru akan berhasil”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya pula, “Nah bantulah, dengan doa, kau dapat membantu gurumu, mohonlah kepada Yang Maha Kuasa”

Panon mengangguk, ia pun kemudian duduk disisi pembaringan, namun ia sama sekali tidak ingin berbaring, ia ingin memenuhi permintaan gurunya, dan dengan caranya, maka ia pun berusaha untuk berhubungan dengan Yang Maha Kuasa, menyampaikan permohonannya.

“Jika pusaka itu dapat diketemukan, maka istana ini akan terhindar dari malapetaka untuk selanjutnya. Orang-orang yang tampak itu tidak akan saling bertentangan dan bertempur. Dengan demikian maka padukuhan ini akan menjadi tenang dan damai” berkata Panon di dalam hatinya.

Sementara itu Ki Wirit duduk merenung dibawah pohon gayam yang berdaun rimbun, ia sama sekali tidak duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya sambil memejamkan matanya untuk melepaskan penglihatan batinnya, tetapi yang dilakukannya adalah duduk merenungi istana kecil yang suram itu.

Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian diluar sadarnya ia berdesis, “Pusaka itu memang harus diketemukan, semuanya akan segera selesai, berita penemuan pusaka itu harus segera tersebar sehingga orang-orang Guntur Geni tidak akan bernafsu lagi untuk datang kemari”

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin larut, pengawal yang bertugas di pendapa duduk di tangga bersandar tiang, namun ia tetap waspada, diawasinya seluruh halaman dan regol yang terbuka.

Sementara itu, Ki Wirit pun kemudian bergeser dari tempatnya, dengan ragu-ragu ia berdiri, diperhatikannya istana itu dengan seksama, ternyata ia sudah tidak mendengar seseorang bergumam lagi.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan ia pun kemudian bergeser, langkah-langkah kecil telah membawanya menyusuri dinding di bagian belakang halaman istana yang suram itu.

Ketika ia sampai di sudut halaman, maka ia pun berhenti sejenak, sekali lagi ia mengamati keadaan dengan seksama, baru setelah ia yakin, bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka ia pun kemudian duduk di sudut bersandar dinding.

Dengan tangannya ia menyentuh batu-batu yang bersusun, namun kemudian ia telah bergeser beberapa langkah.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, dengan dada yang berdebar-debar ia menghitung celah-celah batu dinding halaman, ketika ia menemukan celah-celah yang dicarinya, maka dadanya menjadi berdebar-debar, perlahan-lahan ia meraba celah-celah batu itu, kemudian dengan hati-hati pula ia mendorong salah satu batu itu dengan kekuatan yang sangat kuat.

Perlahan-lahan batu itu bergerak, hanya sedikit sekali, dan Ki Wiritpun menghentikan tekanannya atas batu itu.

Agaknya ia telah benar-benar menemukan yang dicarinya, karena itu maka ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, sekali lagi ia memandang berkeliling, seolah-olah ia masih curiga kalau-kalau ada mata yang memandangnya.

Tetapi telinga Ki Wirit cukup tajam untuk mengetahui, bahwa tidak ada seorangpun yang ada di sekitarnya.

Sejenak kemudian Ki Wirit duduk bersandar dinding batu itu, seolah-olah ia sedang mengatur perasaannya yang bergejolak.

Namun tiba-tiba saja ia telah bangkit berdiri, dengan lincahnya ia pun kemudian meloncati dinding dan sekejap kemudian ia sudah berdiri diluar dinding istana itu.

Setelah mengamat-amati keadaan sejenak, maka ia pun kemudian berjongkok sambil meraba sebongkah batu besar yang terletak tepat diluar dinding.

Beberapa kali ia mengusap batu itu, namun kemudian dengan kekuatan yang luar biasa, ia mengungkit batu besar itu, sehingga batu itu bergeser beberapa tapak kaki.

Nafas Ki Wiritpun menjadi terengah-engah, betapapun besar kekuatannya, namun mengangkat batu yang sangat besar itu, agaknya ia telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada.

Sejenak Ki Wirit berdiri tegak sambil mengatur pernafasan-nya, baru kemudian ia berjongkok dan meraba tanah dibawah batu yang telah bergeser itu.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, tangannya menyentuh sesuatu yang keras yang ternyata adalah sebuah peti yang terbuat dari kepingan besi baja.

Dengan hati-hati ia mengungkit peti itu, dengan sekali sentak, maka peti besi itu telah berada ditangannya.

Peti besi itu tidak besar, tetapi agak memanjang, dengan hati-hati ia membuka peti itu, kemudian Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata di dalam peti kecil yang panjang itu masih tergolek sebilah keris yang sudah tidak berada di dalam sarungnya.

Dengan tangan gemetar Ki Wirit mengambil keris itu, kemudian dengan hati-hati diangkatnya keris itu diatas kepalanya.

“Kiai Sangkelat” ia bergumam, “Sudah saatnya Kangjeng Kiai kembali ke gedung perbendaharaan”

Suara Ki Wirit yang lemah itu seolah-olah bagaikan satu dengan desahnya angin malam yang dingin, ketika ia mengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang berhamburan di langit yang biru hitam.

Terdengar desah lembut dari mulut Ki Wirit, perlahan-lahan ia meletakkan peti kecil itu kembali ke tempatnya dan menimbuninya lagi dengan tanah, kemudian, diletakkannya pusaka itu diatas batu padas, ketika ia mengerahkan tenaganya sekali lagi untuk mengembalikan batu yang telah digesernya.

Sekali lagi Ki Wirit terengah-engah, batu itu memang berat sekali, hanya orang-orang yang memiliki kekuatan yang khusus sajalah yang akan mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Wirit itu.

Setelah ia melenyapkan bekas-bekas yang akan dapat menimbulkan kecurigaan, maka diambilnya keris itu dan sekali lagi diangkatnya diatas kepalanya, dengan tergesa-gesa ia pun kemudian meloncat kembali memasuki halaman istana kecil itu.

Sejenak ia menunggu, ternyata halaman belakang istana itu masih tetap sepi, dengan hati-hati ia pun bergeser dan kembali ke bawah pohon gatam yang rimbun.

Dalam pada itu bintang di langitpun bergeser semakin ke barat, angin malam yang dingin bertiup lemah, dikejauhan terdengar suara cengkerik berderik disela-sela desir daun ilalang yang tergetar oleh angin.

Lewat tengah malam Ki Wiritpun meninggalkan tempatnya, dengan keris ditangan ia berjalan dengan hati-hati, di depan bilik Panon ia berhenti sejenak, ia masih mendengar nafas yang gelisah di dalam bilik itu, sehingga ia mengetahui, bahwa yang berada di dalam bilik itu masih belum tertidur.

Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bilik itu, yang dengan serta merta telah didengarnya sebuah loncatan sampai ke depan pintu sambil menyapa, “Siapa?”

“Aku” sahut Ki Wirit.

“Guru?” terdengar suara Panon

“Ya” jawab Ki Wirit.

Sejenak kemudian pintu itu pun telah berderit, bukan saja Panon yang berdiri di muka pintu, tetapi ternyata bahwa Kiai Rancangbandang telah berdiri di belakang Panon pula.

“Guru” Panon segera meloncat keluar diikuti oleh Kiai Rancangbandang, “Apakah guru berhasil?”

Ki Wirit termangu-mangu, diacungkannya keris ditangannya sambil menjawab, “Aku telah mendapatkan sebuah keris, tetapi aku tidak dapat menyebut apakah pusaka inilah yang sedang dicari oleh Pangeran Bondan Lamatan”

“O” Panon termangu-mangu, di dalam kegelapan ia melihat keris yang tergenggam ditangan Ki Wirit, keris yang meskipun nampak tidak terpelihara, namun seolah-olah di dalam gelapnya malam, maka tajamnya bagaikan membara.

“Tentu keris itu” desis Panon, “Nampaknya keris itu memiliki perbawa yang sangat kuat”

“Apakah Kiai Rancangbandang dapat menyebut” bertanya Ki Wirit.

Kiai Rancangbandang menerima keris itu, seperti yang dilakukan oleh Ki Wirit, maka ia pun mengangkat keris itu diatas kepalanya, kemudian dengan seksama ia memandang keris yang sudah tidak berwrangka lagi itu.

Perlahan-lahan ia menggeleng kepala, katanya, “Aku belum pernah mengenal pusaka-pusaka tertinggi di istana Majapahit, karena itu, aku tidak berani menyebutnya, apakah pusaka ini pusaka yang sedang diperebutkan, tetapi aku kira Pangeran Bondan Lamatan akan mengetahuinya”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, kemudian katanya, “Baiklah, aku akan menghadap Pangeran Bondan Lamatan, mudah-mudahan keris ini adalah keris yang dicarinya”

Ki Wiritpun kemudian pergi ke pendapa sambil membawa pusaka itu diikuti oleh Kiai Rancangbandang dan Panon, dengan dada yang berdebar-debar Panon mencoba untuk menebak, apa yang telah terjadi setelah pusaka itu diserahkan kepada Pangeran Bondan Lamatan.

Jika benar pusaka itu yang dicarinya, maka Pangeran Bondan Lamatan tentu akan berterima kasih kepada gurunya.

“Tetapi apakah sekedar ucapan terima kasih?, atau justru akan timbul kecurigaan atau tindakan yang lain?” bertanya Panon kepada diri sendiri.

Tetapi Panon yakin, bahwa gurunya bukan termasuk orang-orang tamak yang mempunyai pamrih pribadi atas keris itu, jika ia melakukan semua usaha itu, justru untuk kepentingan Demak yang sedang berusaha untuk berdiri tegak, setelah Majapahit runtuh karena persoalan yang seharusnyanya dapat dicegah, namun ketamakan dan kesombongan telah mengguncang kejayaan Majapahit sehingga akhirnya kerajaan yang kokoh kuat itu perlahan-lahan mengalami kemunduran, sehingga akhirnya runtuh sama sekali.

Ketika Pangeran Bondan Lamatan mendengar kehadiran Ki Wirit di pendapa, dengan tergesa-gesa ia pun bangkit, bahkan ia pun kemudian meloncat mendekati Ki Wirit di tangga pendapa dengan keris di tangan. Dalam cahaya lampu obor yang kemerah-merahan, maka keris itu benar-benar bagaikan bara yang menyala.

“Ki Wirit, kau berhasil?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan yang ternyata bahwa pertanyaan itu telah membangunkan setiap orang, bahkan Puteri Raksi Padmasari yang ada di dalam bilik gusti Puteripun segera meloncat dan dengan serta merta mendorong daun pintu langsung menghambur ke pendapa.

Orang-orang yang ada di pendapa itu pun telah mengerumuni Ki Wirit yang kemudian naik ke pendapa, dengan tangan gemetar ia mengangkat keris itu sambil bertanya, “Ampun Pangeran, aku tidak dapat mengatakan, apakah benar pusaka inilah yang sedang dicari dan bahkan diperebutkan dengan mempertaruhkan nyawa”

Pangeran Bondan Lamatan memandang keris itu dengan tajamnya, sejenak ia mematung, nafasnya seakan-akan terputus oleh perhatiannya yang terpusat kepada keris ditangan Ki Wirit itu.

Dengan suara bergetar Pangeran Bondan Lamatan itu berkata, “Ki Wirit, apakah aku boleh melihat keris itu?”

“Silahkan Pangeran, bukankah ini memang tugas Pangeran?, aku hanya sekedar membantu mencari letak pusaka itu dengan penglihatan batin, menurut isyarat dari penglihatan batinku, aku telah menemukan pusaka itu, namun aku tidak dapat mengatakan, apakah pusaka itu memang pusaka yang sedang dicari” jawab Ki Wirit sambil menyerahkan keris itu.

Pangeran Bondan Lamatan menerima pusaka itu dan mengangkatnya diatas kepala, dengan seksama ia pun memandang keris ditangannya, keris yang sudah tidak berada di dalam sarungnya lagi.

Keris itu adalah keris luk tigabelas, lengkap dengan sekar kacang. Lambe Gajah yang hanya sebuah, grenengan dengan Eri Pandan.

Menilik cahaya yang seakan-akan membara serta ciri yang dapat dilihat, terlebih-lebih lagi seakan-akan getaran yang merambat dari hulu eris itu menjalar di urat darahnya, maka dengan suara yang gemetar Pangeran Bondan Lamatan berkata, “Kiai Sangkelat, Kangjeng Kiai Sangkelat”

Ki Wirit termangu-mangu, dengan nada berat ia mengulang, “Kangjeng Kiai Sangkelat”

“Ya” jawab Pangeran Bondan Lamatan, sesaat ia memandang wajah Ki Wirit, namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kau akhirnya berhasil Ki Wirit, kau telah dapat meraba dengan tangan batinmu, dimanakah letaknya pusaka yang tersembunyi itu?”

“Hamba mohon kebijaksanaan, meskipun hanya sesaat kepada Yang Maha Kuasa, ternyata hamba dapat menemukan pusaka itu”

Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu sejenak, kemudian diedarkannya tatapan matanya kesekelilingnya, ketika terpandang olehnya Raden Ayu Kuda Narpada, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam.

Namun tiba-tiba saja diluar dugaan setiap orang, maka Pangeran Bondan Lamatan berkata, “Ki Wirit, pusaka itu telah ada ditanganku, namun demikian, kau akan tetap berada bersamaku disini”

Ki Wirit tidak begitu mengerti maksud Pangeran Bondan Lamatan sehingga ia pun bertanya, “Apakah maksud Pangeran Bondan Lamatan yang sebenarnya? Aku kira tugas kita semuanya sudah selesai, demikian pula tugasku, karena itu, aku ingin mohon diri, kembali ke pertapaanku di lereng gunung Merbabu bersama dengan muridku yang ternyata telah selamat”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, namun yang bergeser dari tempatnya adalah Puteri Raksi Padmasari, tetapi ia tertegun ketika kakaknya menggamitnya sambil berbisik, “Jangan tergesa-gesa, kau adalah seorang gadis”

Raksi Padmasari memandang wajah kakaknya, tetapi saat itu ternyata bahwa kakaknya bersungguh-sungguh, namun justru karena itu, maka wajahnyapun menjadi merah, tetapi ia tidak marah dan tidak mencubit lengan kakaknya.

Sementara itu Pangeran Bondan Lamatan memandang Ki Wirit dengan kerut merut dikening, seperti saat ia menahan Ki Wirit untuk tetap tinggal, kata-katanya juga mengejutkannya, “Ki Wirit, aku berterima kasih bahwa kau telah menyerahkan pusaka yang diperebutkan banyak orang, bahkan dengan mengorbankan jiwa, karena itu, yang dilakukan oleh Ki Wirit justru telah menimbulkan kecurigaan. Aku sangsi, apakah Ki Wirit benar-benar dengan ikhlas menyerahkan pusaka ini kepada-ku, kepada Demak”

“Kenapa tidak” Ki Wirit menjadi heran, “Jika aku menginginkannya, maka aku dapat menyembunyikan pusaka itu di tempatnya lagi, tempat yang tidak diketahui oleh siapapun juga”

“Tetapi aku belum mengenal Ki Wirit sebaik-baiknya, karena itu aku aku harap Ki Wirit tetap tinggal bersamaku, kemudian pergi ke Demak bersama-sama untuk menyerahkan pusaka ini, setelah pusaka ini diterima oleh Sultan, terserahlah, apakah yang akan Ki Wirit lakukan, bahkan mungkin Ki Wirit akan mendapat hadiah dari Sultan”

Ki Wirit menarik nafas dlam-dalam, jawabnya, “Terima kasih, aku tidak memerlukan hadiah apapun, yang aku lakukan adalah semata-mata karena aku ingin membantu, agar Demak tidak diganggu oleh persoalan pusaka itu lagi”

“Atau karena kau mempunyai rencana lain?”

“Rencana lain?” Ki Wirit menjadi heran.

“Kiai yakin sekarang, pusaka itu sudah berada di tanganku. Justru Kangjeng Kiai Sangkelat, maka kau akan segera pergi memberitahukan kepada orang-orangmu, bahwa waktunya telah datang untuk memasuki istana ini dan merampas pusaka itu dari tanganku”

“Pangeran” wajah Ki Wirit menjadi tegang, sementara Panon bergeser setapak, dengan suara ragu-ragu Ki Wirit berkata, “Aku tidak tahu apakah yang sebenarnya tuan pikirkan?”

“Ki Wirit, jika kau tidak mempunyai niat apapun juga, kau tentu tidak akan berkeberatan, jika kau selalu berada diantara kami, kita akan berangkat besok menuju ke Demak, kau akan menghadap Sultan dan menceritakan apa yang sudah kau lakukan disini”

Sejenak Ki Wirit berdiri termangu-mangu, sekilas ditatapnya wajah muridnya, dari sorot matanya ia melihat bahwa hati muridnya itu sudah terbakar.

“Pangeran” berkata Ki Wirit, suaranya masih tetap lembut dan sareh, “Aku tidak ingin menghadap Sultan untuk menyombongkan diri, seakan-akan akulah yang telah berjasa menemukan pusaka itu. bBiarlah aku mohon diri, aku akan kembali ke lereng Gunung Merbabu, aku merasa bahwa aku tidak berkepentingan lagi dengan pusaka itu, apalagi berbuat sesuatu yang bermimpipun tidak dapat aku lakukan”

“Menilik sorot matamu, kau adalah orang yang cerdik Ki Wirit” berkata Pangeran Bondan Lamatan kemudian.

Kata-kata Pangeran Bondan Lamatan itu benar-benar telah menusuk hati Ki Wirit, namun ia masih tetap nampak sareh dan tenang, yang digelisahkan kemudian adalah justru sikap Panon yang mulai goyah.

“Pangeran” berkata Ki Wirit, “Kita masing-masing baru saja menyelesaikan tugas yang berat, kita telah mengalami ketegangan dan ketakutan lahir dan batin, karena itu, aku memohon agar kita masing-masing dapat menahan diri, kecuali jika maksud Pangeran hanyalah sekedar untuk bergurau saja”

Tetapi jawaban Pangeran Bondan Lamatan benar-benar membuat dada Ki Wirit bergejolak, “Ki Wirit, kita sudah cukup tua, dan seperti yang kau katakan, kita masih tegang dan lelah lahir dan batin, karena itu, bukan masanya kita bergurau sekarang”

“Jadi maksud Pangeran, bahwa Pangeran bersungguh-sungguh?”

“Ya, aku bersungguh-sungguh, aku mengharap kau tetap berada diantara kami, aku mencurigaimu, kau dapat berbuat curang dan berkhianat, bahkan mungkin sudah kau perhitungkan lebih dahulu”

Wajah Ki Wirit nampal menegang, tetapi ia masih tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya, karena itu, ia masih tetap sareh, “Pangeran, aku mohon Pangeran dapat menahan hati, Pangeran dapat meniliti kembali, apa yang sudah aku lakukan bersama muridku disini”

“Ki Wirit, berhadapan dengan seorang seperti kau, dengan tubuh yang tinggi, kaki timpang dan sorot mata yang redup, aku memang harus hati-hati”

Dada Ki Wirit terguncang mendengar kata-kata itu, tetapi yang dicemaskan itu pun terjadi, Panon agaknya tidak dapat menahan diri lagi, dengan wajah yang merah padam ia meloncat maju sambil berkata, “Pangeran, kami hormati Pangeran karena Pangeran adalah utusan Sultan di Demak, tetapi penghinaan itu benar-benar tidak pantas diucapkan oleh seorang ksatria”

“Memang tidak pantas” jawab Pangeran Bondan Lamatan, “Kata-kata itu tidak pantas diucapkan oleh seorang kesatria untuk seorang ksatria, tetapi bagi orang lereng Gunung Merbabu seperti Ki Wirit, aku kira tidak akan ada salahnya, ia adalah orang yang tidak berarti sama sekali bagi lingkungan ksatria seperti aku dan bahkan pengawal-pengawalku”

Panon menjadi gemetar, ditatapnya wajah gurunya sejenak, tetapi ternyata Ki Wirit masih tetap diam, sehingga Panon pun berteriak, “Pangeran Bondan Lamatan, gurulah yang telah menemukan pusaka itu. Tidak seorang pun yang dapat melakukannya, tetapi guru dapat, sehingga apakah sikap ini sebagai pertanda terima kasih Pangeran kepada guru”

“Tutup mulutmu anak muda” bentak Pangeran Bondan Lamatan, “Aku sedang berbicara dengan seorang pidak pedarakan yang tidak lebih berharga daripada debu, jika ia sedikit saja dapat menyebut asal-usulnya, barangkali aku akan bersikap lain”

Panon tidak dapat menahan diri lagi, setapak ia melangkah maju dengan wajah yang merah padam.

“Pangeran” suara Panon menjadi parau dan bergetar, bahkan seolah-olah tidak ada kata-katanya lagi yang dapat diucapkan. Namun menilik wajah dan sikapnya, maka ia telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi dalam pada itu, Ki Wirit justru menarik nafas dalam-dalam, bahkan kemudian ia mendekati muridnya sambil menepuk bahunya, katanya, “Panon, kita adalah orang-orang pidak pedarakan, kita adalah debu yang tidak berharga, apapun yang pernah kita lakukan, tentu tidak akan berarti apa-apa, karena itu, jangan marah, jangan membiarkan perasaanmu melonjak-lonjak, kita harus menerima keadaan kita dengan ikhlas”

“Juga atas penghinaan itu guru?”

“Ya, apapun yang akan dilakukan oleh Pangeran Bondan Lamatan, biarlah dilakukannya, ia adalah seorang pemimpin yang mendapat kekuasaan tertinggi, karena itu, ia dapat berbuat apa saja atas kita”

Wajah Pangeran Bondan Lamatan lah yang menjadi tegang, dengan ragu-ragu ia memandang Ki Wirit dan Panon berganti-ganti, namun kemudian ia membentak, “Ki Wirit, sebut apakah ada nilainya pada darah keturunanmu, supaya aku dapat mempertimbangkan sikapku, jika tidak, maka kau tidak akan lebih dari seorang budak yang akan aku seret menghadap Sultan di Demak”

“Apapun yang akan Pangeran lakukan, silahkan” jawab Ki Wirit.

“Tetapi guru itu tidak adil”

Ki Wirit memandang Panon sejenak, lalu katanya, “Adil atau tidak adil”

“Tidak aku tidak dapat membiarkan guru diperlakukan seperti itu, meskipun kita adalah debu dimata para bangsawan, tetapi kita juga mempunyai harga diri”

“Cukup” bentak Pangeran Bondan Lamatan, “Kaupun akan kami ikat di belakang kaki kuda dan aku seret pula ke Demak”

Suasana menjadi tegang, Panon adalah anak muda yang mempunyai arus darah yang masih panas, itulah sebabnya ia pun segera bersikap menghadapi segala kemungkinan, seandainya yang paling pahit sekalipun.

Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati dan beberapa orang yang lain menjadi bingung, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, namun sementara itu, Pangeran Bondan Lamatan berkata lantang, “Jika kalian berkeberatan, maka kalian akan kami ikat bukan dengan cinde, tetapi sesuai dengan martabat kalian, maka kalian akan kami ikat dengan lulup kayu”

Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja meledak kejutan suara Raksi Padmasari, “Paman Bondan Lamatan, itu tidak adil, sungguh tidak adil”

Semua orang telah berpaling, mereka melihat Puteri Raksi Padmasari berdiri tegak dengan kaki renggang, meskipun sepasang pedangnya masih tergantung dilambung, tetapi ia telah memegang seutas rantai ditangannya.

Wajah Pangeran Bondan Lamatan menegang, ditatapnya Puteri Raksi Padmasari sejenak, lalu katanya, “Raksi, kau masih terlalu muda untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti orang-orang seperti Ki Wirit itu”

“Tetapi ia sudah berbuat terlalu banyak, apalagi muridnya, ia berada di halaman istana ini, ia ikut mempertahankan istana ini dengan mempertaruhkan nyawanya” sahut Raksi.

Namun wajahnya merah padam ketika Pangeran Bondan Lamatan menjawab, “Itulah yang terpenting bagimu anakku, kau adalah seorang gadis yang sedang meningkat dewasa, Panon adalah seorang anak muda yang tampan meskipun ia murid dari seorang pertapa yang martabatnya tidak lebih tinggi dari budak-budak di Demak”

Sejenak Puteri Raksi Padmasari tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, perasaan kegadisannya benar-benar telah tersinggung, sehingga wajahnya menjadi panas seperti tersentuh bara.

Raden Kuda Rupaka masih saja berdiri membeku, ia menjadi bingung seperti orang-orang yang berada di pendapa.

Dalam pada itu Ki Wirit pun kemudian berkata, “Pangeran, aku terpaksa tidak dapat memenuhi perintah Pangeran, aku tidak bersedia pergi ke Demak, hukuman apapun yang akan Pangeran berikan kepadaku.”

“Ki Wirit” Pangeran Bondan Lamatan membentak, “Kau akan melawan kekuasaanku?”

“Tidak Pangeran, seperti yang aku katakan, aku dilihat debu di hadapan Pangeran yang sedang membawa limpahan kekuasaan tertinggi, apapun dapat Pangeran lakukan atas aku dan muridku, salah atau tidak salah, adil atau tidak adil” jawab Ki Wirit, lalu, “Karena itu, aku serahkan diriku dan muridku ditangan Pangeran”

“Jika kau menyerahkan persoalannya kepadaku, kenapa kau tidak mau pergi ke Demak?”

“Ampun Pangeran, aku memang tidak bersedia, kemudian terserah kepada Pangeran”

Wajah Pangeran Bondan Lamatan menjadi merah membara, dengan suaura gemetar ia berkata, “Ki Wirit, kau sudah menentang perintahku, itu berarti kau menentang kekuasaan tertinggi di Demak, karena itu, baik, kau dan muridmu akan mendapat hukuman yang setimpal, apakah kau tidak menyadari, bahwa aku berhak menjatuhkan hukuman mati?”

Diluar sadarnya Panon telah bergeser lagi, namun ia menjadi bingung ketika gurunya menjawab, “Jika hukuman itu harus aku jalani, aku tidak berkeberatan”

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan membeku, ia nampaknya sedang berjuang menguasai perasaannya.

“Tidak” Panon tiba-tiba saja menggeram, “Aku tidak menerima keputusan itu, sejak semula halaman istana ini telah menjadi rimba belantara, masing-masing telah mempergunakan kekuatan untuk memaksakan kehendaknya, kekuasaan yang tertinggi di hutan belantara yang liar seperti ini adalah kekuatan. Dan akupun akan mempertahankan diri dengan kekuatan apapun yang akan terjadi atasku, aku lebih senang mati dengan senjata ditangan dari pada harus mengulurkan tanganku untuk diikat dengan lulup”

“Panon” potong gurunya, “Jangan terlalu kasar, kau berhadapan dengan kekuasaan di istana Demak, setiap sabdanya adalah hukum yang harus ditaati”

“Tetapi apa artinya hukum yang tidak menjunjung keadilan” bukan Panonlah yang menjawab, tetapi Puteri Raksi Padmasari, “Aku sependapat bahwa halaman ini telah menjadi rimba yang liar dan aku tidak dapat mengingkari kata nuraniku, aku berpihak kepada yang benar, siapapun mereka”

Sangkan yang sebenarnyanya adalah Raden Kuda Rupaka menjadi bingung, ia sadar bahwa ada ikatan yang tidak kasat mata antara adiknya dan Panon, agaknya ikatan itulah yang telah mendorong adiknya untuk menentukan sikap sebelum ia membicarakannya dengan matang bersamanya.

Tetapi Raden Kuda Rupaka tidak dapat menghalangi tekad adiknya, jika ia mencobanya, maka adiknya yang selama ini merupakan gadis yang manja, tentu akan menjadi binal dan sulit dikendalikan.

Karena itu, Raden Kuda Rupaka mencoba mencari jalan lain, dengan sareh ia berkata, “Paman Pangeran Bondan Lamatan, apakah paman tidak dapat mencari jalan lain untuk memecahkan persoalan ini?”

“Apakah yang kau maksud?”

“Paman, sebaiknya paman tidak menahan orang itu, biarlah Ki Wirit menentukan sikapnya, bahkan seandainya Ki Wirit meninggalkan halaman ini dengan landasan niat yang buruk, aku tidak berkeberatan, biarlah ia datang dengan kekuatan yang sudah diperhitungkan berdasarkan pengamatannya atas kekuatan kita disini, kita tidak akan gentar”

Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Raden Kuda Rupaka, kemudian wajah Puteri Raksi Padmasari yang kemerah-merahan, wajah Panon yang tegang, namun hatinya tergetar ketika ia memandang wajah Ki Wirit yang tetap lembut, meskipun kerut ketegangan sudah mulai nampak dikeningnya.

Sejenak suasana halaman itu menjadi tegang, Pangeran Bondan Lamatan yang membawa limpahan kekuasaan Sultan di Demak sedang berpikir keras.

“Apakah kita akan dapat mempertanggung jawabkan, seandainya tiba-tiba pusaka itu terlepas dari tangan kita oleh segerombolan orang yang dipimpin oleh Ki Wirit?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan.

“Ia tidak akan melakukannya” desis Puteri Raksi Padmasari

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan memandang para pengawalnya, agaknya telah terjadi pergolakan di dalam didinya, apakah ia akan melepaskan orang timpang itu atau tidak.

Para pengawalnya tidak mengetahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya yang sedang bergejolak di dalam hati Pangeran itu, namun mereka adalah pengawal-pengawal yang baik. karena itu, maka merekapun telah mempersiapkan diri menghadap setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Melihat kesiagaan para pengawalnya di satu pihak, Panon dan Puteri Raksi Padmasari dilain pihak, bahkan kemudian Kiai Rancangbandang yang gelisah, maka Pangeran Bondan Lamatan menjadi ragu-ragu.

Jika Puteri Raksi Padmasari terlibat dalam pergolakan ini, maka kakaknya tentu tidak akan tinggal diam.

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu, namun kemudian katanya kepada Ki Wirit, “Ternyata bahwa kau berani mempertahankan sikapmu, karena kau yakin akan mendapat perlindungan dari beberapa orang yang menaruh belas kasihan kepadamu. Tetapi Ki Wirit, aku adalah Pangeran Bondan Lamatan, aku adalah pemegang limpahan kekuasaan dari Sultan Demak untuk menentukan apa saja yang baik menurut pertimbanganku disini. Dengan kekuasaan sepenuhnya. Aku sudah memerintahkan kepadamu agar kau ikut serta bersama kami pergi ke demikian, tetapi kau menolak, dan kau mempunyai sandaran kekuatan disini. Raden Kuda Rupaka mengusulkan agar aku merubah perintahku. Nah bagaimana pendapatmu?, apakah aku, yang memegang limpahan kekuasaan Sultan harus berkata lain dan menjilat perintahku kembali, apakah itu bukan berarti suatu sikap mundur dan tidak berwibawa”

Tetapi Ki Wirit menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak mengerti Wibawa yang Pangeran maksud, apakah salahnya seorang yang memegang limpahan kekuasaan merubah sikap dan perintahnya, jika memang dianggapnya berguna, aku mulai berpengharapan karena pertanyaan itu, tetapi sebenarnyalah aku tidak mengetahui martabat seorang utusan raja”

Pangeran Bondan Lamatan menggeretakkan giginya, namun tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergilah jika kau ingin pergi. Kembalilah dengan pasukan segelar sepapan, aku tidak akan gentar seperti yang dikatakan oleh angger Kuda Rupaka”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Pangeran Bondan Lamatan, kemudian sambil membungkuk hormat ia berkata, “Terima kasih Pangeran, terima kasih Puteri Raksi Padmasari, terima kasih Raden Kuda Rupaka dan terima kasih semuanya. Aku sudah diperkenankan pergi, tetapi sebenarnyalah aku tidak akan kembali lagi” ia berhenti sejenak, lalu, “Panon, marilah, kita pergi”

Panon memandang gurunya, ialah yang kemudian menjadi tegang, diluar sadarnya ia berpaling, memandang Puteri Raksi Padmasari yang berdiri tegak dengan wajah yang pucat.

“Kau akan pergi” tiba-tiba saja bibirnya menjadi gemetar.

Panon termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya, Puteri. Aku mohon diri, aku harus mengikuti guru meninggalkan istana ini. persoalan yang membakar istana ini sudah padam. Dan aku tidak ada gunanya lagi tingal disini”

“Tetapi……………..” Puteri Raksi Padmasari akan melangkah maju, namun langkahnya terhenti karena kakaknya Raden Kuda Rupaka menahan lengannya.

Puteri Raksi Padmasari memandang kakaknya sejenak, namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.

“Kepergiannya bukan untuk selamanya” berkata Raden Kuda Rupaka, “Kita sudah mengenalnya, pada suatu saat kita akan bertemu sebagai sahabat yang baik, mungkin Panon sudi berkunjung ke Demak atau ke padepokan kecilku di luar Kota Raja, mungkin kitalah yang akan datang mengunjunginya”

Terasa jantung Puteri Raksi Padmasari berdetak semakin cepat, pada saat perpisahan, maka terasa bagaikan menggores dada, tetapi ia adalah seorang gadis, ia tidak dapat berbuat lebih banyak lagi daripada menahan pedih dihati.

Sejenak Panon menjadi bingung, ia sadar akan perasaannya, ia pun sadar bahwa langkahnya akan menjadi sangat berat.

Tetapi gurunya kemudian berkata, “Marilah Panon, selagi Pangeran Bondan Lamatan tidak merubah kemurahan hatinya, memberi kesempatan kita meninggalkan istana ini, biarlah kami berdua mohon diri, selamat tinggal semuanya”

Panon tidak dapat berbuat lain kecuali memenuhi perintah gurunya, betapa berat kakinya, namun ia terpaksa melangkah meninggalkan tempat sambil berkata, “Akupun mohon diri, aku mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan selama berada isini”

Halaman itu rasa-rasanya dicengkam oleh kesenyapan, semua orang berdiri tegak memandang Panon yang kemudian berjalan disisi gurunya melangkah melintasi halaman menuju regol yang rusak.

Namun dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara melengking, semula semua orang berpaling kepada Puteri Raksi Padmasari, namun Puteri itu berdiri tegak dengan wajah yang kemerah-merahan dan mata yang redup, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ternyata yang memekik adalah Puteri Inten Prawesti, sebelum Nyi Upih sempat menahannya, gadis itu telah berdiri menyusul Ki Wirit yang hampir sampai di regol.

“Kiai, Kiai” teriaknya.

Ki Wirit berhenti, ketika ia berpaling, dilihatnya puteri Inten Prawesti sudah berada beberapa langkah di belakangnya.

Dengan serta merta ia memutar diri, tetapi ia terlambat menahan gadis itu berlutut sambil memeluk kakinya, dengan suara yang terputus-putus ia berkata, “Jangan pergi, jangan pergi”

“Puteri” Ki Wirit mencoba mengangkat lengan Puteri Inten agar berdiri, “Ada apa denganmu, Puteri?”

Puteri Inten memeluk kaki Ki Wirit semakin erat, air matanya mengalir semakin deras dipipinya.

Ki Wirit menjadi bingung karena sikap Puteri Inten Prawesti itu, beberapa kali ia mencoba mengangkat lengan gadis itu agar berdiri, tetapi Inten tetap berlutut.

Sejenak kemudian Nyi Upih telah berlari-lari mendekati Inten Prawesti, disusul oleh gusti Puteri.

“Puteri berdirilah” minta Ki Wirit.

Tetapi Puteri Inten Prawesti masih tetap pada tempatnya, disela-sela tangisnya terdengar suaranya, “Jangan pergi, jangan pergi”

“Kenapa Puteri, tugasku sudah selesai, Pangeran Bondan Lamatan telah mengijinkan aku pergi”

“Tetapi kau jangan pergi”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Nyi Upih telah berjongkok pula di belakang Puteri Inten Prawesti. sambil berpegangan pada lengan gadis itu, Nyi Upih berkata, “Puteri, sudahlah, kenapa Puteri menangisi kepergiannya?”

Inten Prawesti berpaling sejenak, lalu katanya, “Nyai, aku pernah kehilangan ayahanda yang pergi beberapa tahun lampau, ketika aku melihat Ki Wirit, rasa-rasanya aku melihat ayahanda ada di dalam dirinya, aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya.”

“Tetapi, tetapi aku adalah orang padesan, aku adalah seorang penghuni lereng Merbabu yang tidak berarti sama sekali, martabatku sama dengan debu”

“Siapapun kau, suaramu mengingatkanku kepada ayahandaku. Sikapmu, tatapan matamu yang lembut dan kesabaranmu, dan seperti ayahanda pula, betapa lembutnya kau, kau adalah seorang prajurit”

“Puteri”

“Tidak” desis Inten Prawesti, “Kau tidak boleh pergi, menilik ujud larhirmu, memang ada ada beberapa perbedaan, tetapi itu dapat saja terjadi. Namun ujud hatimu, pancaran jiwani yang nampak di dalam sikap, perbuatan dan kata-katamu, kau adalah ayahanda yang hilang itu”

Ki Wirit berdiri tegak seperti patung, wajahnya tiba-tiba saja menjadi tegang.

“Kiai” suara Inten menjadi semakin dalam tenggelam dalam tangisnya, “Jangan pergi, aku mohon, jangan pergi. Kepergian seolah-olah telah mengulangi kepergian ayahanda beberapa tahun yang lalu”

Halaman itu telah benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang sendu, suara tangis Puteri Inten Prawesti benar-benar telah menggetar setiap hati.

Perlahan-lahan ibundanya pun mendekatinya, di belakangnya Puteri Raksi Padmasari termangu-mangu, bahkan Puteri Raksi Padmasari itu pun kemudian berjongkok pula disisi Nyi Upih yang matanya sudah basah pula.

Gusti Puteri Kuda Narpada berdiri tegang memandang laki-laki yang mematung itu, namun tiba-tiba saja hatinya tergetar ketika ia melihat mata Ki Wirit menjadi basah, meskipun hanya setitik kecil.

Betapa seorang laki-laki pantang menitikkan air mata, namun Ki Wirit tidak dapat bertahan lagi, matanya menjadi panas, dan tenggorokannya rasa-rasanya telah tersumbat.

Sejenak ia diam mematung, namun ledakan yang tidak tertahankan adalah suara Nyi Upih lemah, “Ampun tuanku, hamba adalah abdi yang paling setia. Hamba pun mempunyai sentuhan perasaan seperti Puteri Inten Prawesti dan gusti Puteri Kuda Narpada, namun gusti Puteri telah berjuang sekuat-kuatnya untuk mempertahankan goncangan-goncangan yang meretakkan dadanya, berbeda dengan Puteri Inten Prawesti, nuraninya bergejolak tanpa dapat dihambatnya lagi. Bagaimanapun juga, tatapan mata batinnya yang jujur, akan dapat mengenalinya, bahkan tuanku adalah junjungannya”

Ki Wirit tidak dapat berbuat sesuatu, ia berdiri tegak bagaikan tonggak yang mati.

Sementara itu, Nyi Upih mendesaknya, “Ampun tuanku, menurut pengenalan lahiriah, tuanku memang orang lain bagi istana ini, karena agaknya telah terjadi sesuatu atas tuanku, kaki tuanku menjadi cacat dan beberapa gores luka di sebelah kening, rambut yang memutih, dan kelainan-kelainan lahiriah yang lain. tetapi tuanku tidak dapat menyembunyikan pengenalan batin Puteri Inten Prawesti dan gusti Puteri Kuda Narpada”

Ki Wirit bagaikan terhempas dari dunia yang lain ke dalam dunianya sendiri. Sejenak ia membungkam, namun kemudian ia tidak mampu bertahan lagi. Dengan tangan gemetar ia memegang bahu Inten sambil berkata, “Inten berdirilah”

Inten tetperanjat, tangisnya tiba-tiba terputus, ditatapnya wajah Ki Wirit sejenak, ketika terpandang olehnya tatapan tembus Ki Wirit, tiba-tiba saja ia berdesis, “Ayahanda”

Ki Wirit tidak menyahut, dibiarkannya anaknya memeluk lututnya semakin erat, sementara Raden Ayu Kuda Narpada pun dengan serta merta berjongkok sambil menyembah, “Aku meyakininya sejak aku melihat kakangmas, betapapun kakangmas ingkar, tetapi sebagai seorang perempuan aku tidak dapat berbuat lebih dari menahan hati, baktiku bagi kakangmas”

Ki Wirit melihat air mata yang mengalir dipipi isterinya, karena itu, maka ia pun kemudian menarik lengan anak gadisnya dan isterinya untuk berdiri.

Sementara itu Pangeran Bondan Lamatan berdiri beberapa langkah daripadanya, ketika Ki Wirit memandangnya, maka orang-orang lainpun memandangnya pula dengan hati yang berdebar-debar. Sebuah pertanyaan telah menyangkut dihati mereka, “Apakah Ki Wirit yang ternyata adalah Pangeran Kuda Narpada itu masih mempunyai persoalan khusus dengan Pangeran Bondan Lamatan”

Sekali lagi ketegangan telah mencengkam halaman istana itu, peristiwa yang terjadi bagaikan goncangan-goncangan yang telah menghempaskan setiap orang pada tebing-tebing kegelisahan yang semakin memuncak.

Namun, adalah diluar dugaan setiap orang, bahwa Pangeran Bondan Lamatan, yang mereka sangka telah salah hitung atas kehadiran orang yang bernama Ki Wirit, yang ternyata adalah Pangeran Kuda Narpada itu, sama sekali tidak menjadi gelisah. Seolah-olah ia tidak pernah membuat kesalahan apappun juga, bahkan kemudian sambil maju beberapa langkah Pangeran Bondan Lamatan itu tersenyum.

“Kakangmas Pangeran” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Ternyata aku tidak berhasil mengungkit hati kakangmas Pangeran, bahwa sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu tidak lain adalah Pangeran Kuda Narpada, betapapun aku memaksa Ki Wirit untuk menyatakan dirinya dengan ancaman, bahkan dengan penghinaan, tetapi sama sekali tidak berhasil menggoyahkan perasaannya. Alangkah bodohku, bahwa disini ada Inten Prawesti, ternyata ia telah berhasil memaksa kakangmas Pangeran menyatakan dirinya sebagai Pangeran Kuda Narpada”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Akupun mengerti adimas Pangeran, itulah sebabnya aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berusaha untuk meninggalkan halaman ini”

“Tetapi kenapa kakangmas Pangeran ingin menghindarkan diri dari kenyataan yang sebenarnya?, mungkin kakangmas Pangeran lupa, bahwa aku akan mengenali kakangmas pada tata gerak kakangmas, betapapun nampak kaburan-kaburan yang barangkali kakangmas sengaja, karena aku adalah saudara seperguruan kakangmas meskipun lewat tangan yang berbeda”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam.

“Lambang kuda dengan sepasang sayap terkembang itu pun tidak akan dapat menyembunyikan lagi meskipun kakangmas memberikan alasan apapun juga”

Pangeran Kuda Narpada memandang Pangeran Bondan Lamatan dengan tatapan mata sayu, dengan nada yang dalam ia berkata, “Adimas Pangeran, aku adalah orang yang sudah tidak berarti sama sekali, baik bagi keluargaku, maupun bagi Demak. aku telah gagal mempertahankan Majapahit sebelum anakmas Sultan Demak datang untuk menolong Kota Raja yang megah itu. tetapi pertolongan itu sudah tidak banyak berarti bagi Majapahit. Selebihnya, aku tidak dapat menyelamatkan diriku sendiri ketika aku mengalami jebakan saudara-saudaraku yang menjadi mata gelap, setelah mereka mendengar bahwa pusaka yang aku bawa masih belum kembali ke perbendaharaan di Demak, selebihnya. Aku yang sudah mati saat itu, tentu tidak berarti lagi. Tubuhku cacat dan aku pun telah kehilangan banyak kesempatan dan waktu. Aku berada di dalam perawatan orang-orang padukuhan di lereng Merbabu itu berbulan-bulan, sebelum aku sembuh sama sekali. tetapi aku tidak menemukan keadaanku semula. Seperti sudah aku katakan, aku cacat, bukan saja lahir, tetapi batin”

Pangeran Bondan Lamatan mendekatinya, sambil berkata, “Tetapi kakangmas masih mempergunakan lambang kebesaran pribadi kakangmas pada lukisan itu”

“Suatu kelemahan manusiawi adimas, kadang-kadang dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang masih merindukan masa-masa kebesaran yang pernah dialaminya”

“Marilah kakangmas” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Marilah kita duduk di pendapa dengan sikap yang berbeda, tidak lagi dengan gelisah dan tegang, aku sudah menjadi sangat lelah. Jauh lebih lelah dari saat aku bertempur melawan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu, kakangmas telah membuat aku menjadi sangat tegang”

Orang-orang yang berada di halaman istana itu menarik nafas dalam-dalam, ternyata bahwa Pangeran Bondan Lamatan tidak bersungguh-sungguh saat melontarkan kecurigaannya, namun ia tidak berhasil memaksa Ki Wirit untuk menyatakan dirinya, sehingga dengan demikian, justru ketegangan yang sangat lelah mencengkam jantung Pangeran Bondan Lamatan.

Suasana di halaman istana itu pun segera berubah, tidak ada lagi persoalan yang dapat membuat mereka saling mencurigai. Masing-masing seakan-akan telah mengenal, dalam pergaulan yang singkat di halaman istana itu, bahwa masing-masing telah melakukan semuanya dengan hati yang bersih dan jujur.

Dalam keadaan yang demikian, beberapa orang diantara anak-anak muda yang ada di halaman itu, sempat melihat kepada dirinya sendiri. Mereka mulai menyadari, bahwa ada sesuatu yang semakin dalam menghunjam ke dalam hati. Puteri Raksi Padmasari menjadi gelisah oleh sikapnya sendiri. Tetapi ia tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa ia tidak ingin melihat anak muda yang bernama Panon itu meninggalkan halaman istana.

Sementara itu Nyi Upih tidak lagi dapat dikelabuhi oleh momongannya, sementara anak muda yang bernama Sangkan itu pun sangat menarik perhatiannya, bukan saja karena ia adalah Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya, meskipun kadang-kadang masih juga terngiang suara seruling Kidang Alit.

Dalam pada itu, Pangeran Bondan Lamatan pun mulai mempersiakan dirinya untuk pergi ke Demak, ia tidak dapat melepaskan kenyataan, bahwa beberapa orang telah mengajak orang-orang yang ada di halaman itu untuk pergi ke Demak, menghadap Sultan.

Tetapi Ki Ajar Respati, KI Reksabahu dan Kiai Rancangbandang dengan mengucapkan banyak terima kasih, mohon untuk diperkenankan kembali ke rumah masing-masing.

“Tetapi, kita tidak dapat meninggalkan padukuhan ini begitu saja paman” berkata Sangkan kepada Pangeran Bondan Lamatan.

“Kenapa?”

“Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu sudah menjadi lumpuh, tetapi masih ada orang-orang yang akan dapat mengancam ketenangan penduduk padukuhan Karangmaja” jawab Raden Kuda Rupaka.

Pangeran Bondan Lamatan memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, namun Pangeran Kuda Narpada mengangguk kepalanya sambil berkata, “Kemungkinan itu besar sekali akan terjadi”

“Jadi?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan.

“Kita menunggu barang satu dua hari, kita akan melihat keadaan yang akan berkembang”

Ternyata Pangeran Bondan Lamatan tidak berkeberatan, justru dalam satu dua hari tu ia masih akan dapat menghayati kehidupan yang lain dari yang dialaminya sehari-hari di Kota Raja, hidup penuh dengan kegelisahan dan kesibukan.

“Seandainya tidak ada persoalan apapun juga di daerah ini” berkata Pangeran Bondan Lamatan di dalam hati, “Maka tinggal di tempat terpencil ini akan terasa betapa tenang dan damainya”

Namun sementara itu, Pangeran Bondan Lamatan harus menunggu kehadiran orang-orang Guntur Geni yang mungkin masih akan datang lagi.

Tetapi ternyata bahwa kehidupan di istana kecil itu benar-benar telah berubah, suasana telah berganti. Kabut yang tebal telah tersingkap meskipun masih agak disudut langit, tetapi jika orang-orang Guntur Geni itu benar-benar datang, maka mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang besar yang ada di halaman istana kecil itu. sementara mereka tidak perlu memikirkan apakah ya akan mereka makan sehari-hari, karena Ki Buyut selalu datang dengan membawa hidangan secukupnya. Apalagi ketika diketahuinya bahwa Pangeran Kuda Narpada telah ada di dalam istana itu pula.

Namun demikian di malam hari, para pengawal tidak lengah untuk berjaga-jaga, setiap kemungkinan masih dapat terjadi, orang-orang Guntur Geni adalah orang-orang yang tidak mengenal ungah-ungguh dalam segala hal.

Tetapi jika pagi baru mulai mengembang, maka ketegangan pun segera berlalu. Meskipun kemungkinan masih juga terjadi, bahwa orang-orang Guntur Geni akan datang disiang hari, namun di dalam terangnya cahaya matahari, keadaan tentu akan cepat dapat dikuasai.

Inten Prawesti yang sedang berhias di dalam biliknya, saat bayangan matahari pagi lemingkar-lingkar didinding, terkejut ketika ia tiba-tiba saja mendengar suara seruling. Usara seruling yang telah lama tidak didengarnya.

Sekilas terbayang wajah Kidang Alit dengan senyumnya yang cerah, namun yang kemudian menumbuhkan kecemasan di dalam dirinya, bahkan perasaan gelisah itu bagaikan selalu menghantuinya.

Tetapi suara seruling itu semakin lama menjadi semakin meresap di dalam dirinya, ia tidak dapat membedakan suara seruling itu dengan suaura seruling Kidang Alit. Namun ada sesuatu yang terasa lain, meskipun Inten ragu-ragu, apakah bukan Kidang Alit yang telah membunyikan seruling itu untuknya.

Sejenak Inten bertahan, ia berusaha untuk tidak mendengar suara seruling itu, namun ia tidak berhasil, semakin ia berusaha untuk menghindarkan diri dari suara itu, rasa-rasanya, ia justru semakin dalam terpesona olehnya.

Bahkan kemudian diluar sadarnya, ia kemudian bangkit dari amben, beberapa saat ia berdiri termangu-mangu, namun ia tidak dapat melawan lagi keinginannya untuk melihat siapakah yang telah membunyikan seruling itu, suaranya semakin lama semakin syahdu, seakanakan langsung menusuk ke pusat jantung.

Dengan langkah yang tertatih, Inten keluar dari dalam biliknya menuju ke halaman samping, ketika ia muncul di pintu butulan, maka dadanyapun semakin berdebaran, ia melihat Sangkan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil meniup seruling.

Inten Prawesti mengerutkan keningnya, sejenak ia termangu-mangu, namun ia terkejut ketika suara seruling itu tiba-tiba terputus.

“O” Inten menundukkan kepalanya, wajahnya menjadi merah dan rasa-rasanya keningnya menjadi panas.

Sangkan tersenyum sambil berkata, “Aku tidak pandai meniup seruling diajeng”

Inten tidak dapat segera menyahut, ada sesuatu yang bergejolak di hatinya.

“Aku baru mencoba, aku tidak sepandai Kidang Alit yang ternyata bernama Raden Waruju itu”

“Ah” Inten tidak menjawab, tiba-tiba saja ia berbalik dan berlari ke dalam biliknya.

Sejenak ia duduk dengan gelisah, ada sesuatu yang kurang dimengertinya telah mengamuk di dalam dadanya, sehingga sejenak kemudian, tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat.

Inten terkejut ketika tiba-tiba saja Nyi Upih telah masuk ke dalam biliknya pula. Sejenak pemomongnya itu memandanginya, namun terasa pada Inten, seolah-olah pandangan mata Nyi Upih itu memancarkan suatu makna.

Tetapi Nyi Upih hanya menarik nafas dalam-dalam, ia pun melangkah surut dan meninggalkannya sendiri di dalam bilik itu.

Inten termangu-mangu sejenak, diluar sadarnya ia pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringannya, namun angan-angannya telah terbang menyusuri awan-awan putih dilangit yang berlapis tujuh, memanjat pelangi bersama bidadari.

Tetapi Inten pun kemudian terkejut, tiba-tiba saja ia mendengar langkah-langkah gelisah diluar biliknya, sejenak ia mencoba memperhatikannya, tetapi ia tidak mendengar apapun sehingga Inten kemudian bangkit dari pembaringannya.

Ia tertegun ketika ia melihat pintu terbuka dan Puteri Raksi Padmasari menjengukkan kepalanya.

“O” desisnya, “kau sendiri diajeng?”

“Ya”

“Dimana bibi?”

“Ibunda berada di dapur”

Pinten yang juga Raksi Padmasari itu pun kemudian mengangguk-angguk, lalu katanya, “Baiklah, aku akan menjumpai bibi di dapur”

“Tunggu, aku akan pergi ke dapur juga, tetapi kenapa tiba-tiba saja aku mendengar kegelisahan?”

Sebelum Raksi Padmasari menjawab, Panon melintas disusul Raden Kuda Rupaka yang masih menggenggam serulingnya.

Raksi Padmasari menggandeng tangan Inten dan mereka kemudian bersama-sama pergi ke dapur.

“Ah” desis Raksi Padmasari hari aku kita akan mendapat hidangan yang khusus, setiap hari kita makan hidangan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan Karangmaja, tetapi hari ini bibi sendiri telah masak bagi kita”

“Ah” desis Raden Ayu Kuda Narpada, “Adalah kebetulan bahwa Nyi Upih kemarin mendapatkan beberapa bahan mentah di padukuhan, tetapi aku tidak masak apapun hari ini, aku hanya memanaskan diri di perapian”

Raksi Padmasari tersenyum, namun kemudian ia pun duduk disamping bibinya sambil berkata, “Bibi, biarlah bibi tinggalkan masakan itu sejenak, mungkin Nyi Upih tidak akan sempat menungguinya. Biarlah aku saja yang melanjutkannya hingga masak dan siap untuk kita makan bersama”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi heran, namun Raksi Padmasari mendahului berkata, “Kami ingin mempersilahkan bibi bersama dengan diajeng Inten dan Nyi Upih masuk ke dalam bilik saja”

“Kenapa?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada, sementara Inten yang tidak mengetahui persoalannya pun menjadi heran.

Raksi Padmasari termangu-mangu sejenak, namun agaknya ia merasa lebih baik terus terang mengatakan apa yang mungkin terjadi.

“Bibi” berkata Raksi Padmasari, “Ternyata yang dicemaskan itu telah datang, seorang anak muda dari padukuhan Karangmaja mengabarkan, bahwa orang-orang Guntur Geni telah berada di padukuhan”

“Orang-orang Guntur Geni?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada.

“Ya, bibi. Paman Kuda Narpada dan yang lain telah siap di pendapa untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi. Mereka minta aku mengajak bibi masuk ke dalam bilik, karena setiap saat mereka dapat datang ke halaman ini lewat semua arah.

Dinding batu itu tidak menjadi soal bagi mereka, sehingga mungkin sekali mereka justru akan datang lewat arah belakang.

Nampak kegelisahan di wajah Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi ia pun kemudian menjawab, “Baiklah Raksi Padmasari, aku akan berada di dalam bilik bersama Inten dan Nyi Upih” ia berhenti sejenak, “Maaf, aku tidak dapat berbuat lebih banyak dari sekedar bersembunyi”

“Ah, bibi” Raksi Padmasari memeluk bibinya sambil berkata, “Marilah, silahkan”

Merekapun kemudian pergi ke dalam bilik diikuti oleh Nyi Upih, sementara api di perapian masih menyala.

Dalam pada itu di pendapa istana kecil itu, beberapa orang sedang sibuk berbincang, Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu masih berada di istana itu pula, meskipun mereka telah menyatakan keinginan mereka untuk kembali.

Seorang anak muda dari padukuhan, dengan nafas terengah-engah telah menceritakan apa yang diketahuinya tentang sekelompok orang-orang yang datang ke padukuhan.

“Mereka nampaknya sangat garang, berkata anak muda itu.

Apakah kau kenal salah seorang dari mereka, mungkin mereka pernah datang ke padukuhan sebelumnya?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak, namun katanya kemudian, “Aku belum melihat orang-orang itu”

Yang mendengarkan ceriteranya menarik nafas dalam-dalam, bahkan Raden Kuda Rupaka tersenyum sambil berkata, “Baiklah, mungkin kau mendengar dari orang lain”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak, dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya, baru kemudian ia berkata, “Aku hanya mendengar dari seseorang yang berceritera kepada Ki Buyut”

“Apa katanya?, kau tidak usah gugup, kau telah berada diantara kami sehingga orang-orang Guntur Geni itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasmu”

Anak muda itu mengangguk-angguk, tetapi nafasnya masih terengah-engah, baru ketika ia sudah dipersilahkan untuk minum, ia sempat menarik nafas dalam-dalam.

“Ceritakan yang kau ketahui, maksudku apa yang kau dengar” berkata Raden Kuda Rupaka.

Anak muda itu memandang Raden Kuda Rupaka yang tersenyum, namun senyum itu memang dapat memberikan sedikit ketenangan di hatinya, sehingga ia pun mulai dapat menceritakan apa yang telah terjadi di Karangmaja menurut pendengarannya.

Yang terjadi itu memang tiba-tiba sekali, beberapa orang petani yang sedang menunggui air di sawah melihat sekelompok orang-orang berkuda, namun mereka tidak sempat menghindar ketika kuda yang pertama telah berada beberapa langkah dihadapan mereka.

“He, kau orang-orang Karangmaja?” seorang berkumis lebat itu bertanya.

Para petani itu mulai menjadi ketakutan, tetapi mereka tidak akan dapat beringsut lagi dari tempatnya.

“He, apakah kalian tuli?” bentak orang itu, sementara kuda-kuda yang lainpun telah berhenti pula, bahkan kuda-kuda itu seolah-olah telah melingkar mengepung petani yang sedang beristirahat sambil menunggui air di sawah itu.

Bentakan itu membuat para petani itu seolah-olah benar-benar menjadi bisu, tidak ada seorangpun yang dapat menjawab pertanyaan yang sangat sederhana itu.

Orang berkuda menjadi marah, tiba-tiba saha ia meloncat turun sambil mengumpat, dengan garangnya ua menyambar pundak salah seorang petani itu dan menariknya.

“Kau orang Karangmaja, kau dengar?, kau tuli atau bisu?”

Tubuh orang itu menjadi gemetar, bahkan kakinya bagaikan tidak bertulang lagi, ketika orang berkumis itu melepaskannya, maka ia pun telah terjatuh.

Orang-orang berkuda itu kemudian berbicara diantara mereka. orang berkumis itu berkata, “Mereka adalah tikus-tikus kecil yang tidak berarti, kita akan pergi ke Karangmaja”

Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun telah berderap meninggalkan para petani yang seolah-olah menjadi lumpuh oleh ketakutan, untuk beberapa saat mereka duduk dengan gemetar.

Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut”

“Ya, kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut”

“Tetapi bagaimana jika kita bertemu lagi dengan mereka lagi?”

“Kita cari jalan lain”

Para petani itu pun kemudian meninggalkan sawah mereka, dengan dicengkam oleh ketakutan mereka bergegas ke rumah Ki Buyut di Karangmaja.

Namun sementara itu, orang-orang Guntur Geni telah memasuki padukuhan, mereka langsung pergi ke padukuhan induk. Justru karena ada diantara mereka yang sudah mengenal daerah yang mereka datangi, bahkan tanpa bertanya kepada siapapun, mereka langsung menuju ke banjar padukuhan.

Adalah malang bagi beberapa orang-orang anak muda yang kebetulan ada di banjar. Seperti para petani yang berada di sawah, mereka sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari orang-orang yang datang dengan sikap yang sangat kasar dan menakutkan.

Seorang yang bertubuh kerdil meloncat dengan lincahnya dari punggung kudanya, dengan suara lantang ia berkata kepada anak-anak muda yang menjadi gemetar, “Jangan kalian mencoba meninggalkan tempat ini”

Tidak seorang pun yang berani bergerak.

“Masuklah, masuklah ke halaman” orang bertubuh kerdil itu nampaknya banyak tersenyum, “Kami bukan hantu yang menakutkan, kami akan menjadi sahabat-sahabat kalian”

Anak-anak muda itu menjadi semakin cemas, mereka yang berada diluar regol halaman, dengan ragu-ragu melangkah masuk. Di belakangnya orang bertubuh kerdil itu seolah-olah menggiring mereka, seperti menggiring itik di pinggir parit.

Kawan-kawannya tertawa melihat tingkah orang bertubuh kerdil itu, bahkan orang berkumis lebat yang telah turun dari kudanya berteriak, “Jangan gila, buat apa kau kumpulkan tikus-tikus kecil ini, usirlah mereka, dan biarlah mereka menyampaikan kedatangan kita kepada Ki Buyut. Ia harus tahu, apa yang sebaiknya dilakukan menyambut kedatangan kita yang baru saja menempuh perjalanan jauh. Haus, lapar, dan mungkin keinginan-keinginan yang lain”

“Jangan tergesa-gesa” jawab orang kerdil itu

“Merekapun akan segera melaporkannya kepada Ki Buyut, tetapi aku ingin sekedar bermain-main dengan mereka, agar mereka mengetahui siapakah yang datang di padukuhan mereka”

“Mereka telah mengenal kita, orang-orang Guntur Geni, di padukuhan ini menurut pengetahuanku, ada seorang yang telah mengalami perlakuan yang adil karena kesombongannya, ia telah menjadi cacat. Nah, aku kira tidak ada lagi orang yang akan berani melakukan tindakan yang dapat menjerat mereka sendiri ke dalam keadaan seperti yang telah terjadi”

“Aku mengerti, dan aku telah mendengar cerita itu pula, tetapi biarlah mereka berada disini. He, mungkin salah seorang dari mereka pantas untuk pergi ke rumah Ki Buyut melaporkan kehadiran kita dan menyiapkan segala keperluan kita”

Kawan orang pendek itu tidak sabar lagi, merekapun segera memasuki halaman tanpa turun dari kuda.

Ternyata orang pendek itu benar-benar menahan anak-anak muda yang berada di banjar, mereka benar-benar tidak boleh meninggalkan tempatnya, hanya seorang yang memang mendapat tugas dari orang-orang Guntur Geni itu untuk menghadap Ki Buyut Karangmaja, agar ia segera menyiapkan makan dan minum bagi orang-orang yang telah datang ke Karangmaja.

“Cepat” bentak orang berkumis lebat, “Jika hidangan itu datang terlambat, maka kalian yang ada di banjar inilah yang akan menjadi korban”

Anak-anak muda itu benar-benar ketakutan, seorang dari diantara mereka segera berlari-lari menuju ke rumah Ki Buyut untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di banjar.

Ki Buyut pun menjadi gugup, ia tidak boleh mengorbankan anak-anak muda yang kebetulan ada di banjar, sehingga karena itu, maka ia pun segera memanggil beberapa orang perempuan untuk membantu menyiapkan makan dan minuman.

“Berapa orang semuanya yang kau lihat di banjar itu?” bertanya Ki Buyut kepada anak muda itu.

“Aku tidak tahu” jawab anak muda itu.

“Jadi berapa banyak kita harus menyediakan makan bagi mereka?”

Anak muda itu termenung-menung, namun ternyata Ki Buyut mendapat akal, katanya, “Untuk meredakan perasaan mereka, sebaiknya kita mengantar beberapa buah orang, mereka akan dapat minum airnya sebelum kita dapat menyediakan minuman hangat bagi mereka”

Beberapa laki-lakipun memanjat pohon kelapa, mereka pun dengan tergesa-gesa menyapkan kelapa muda itu dan membawanya ke banjar.

Mula-mula tidak seorang pun yang berani membawa kelapa muda itu ke banjar, mereka takut kalau kelapa muda itu justru membawa membuat mereka menjadi marah.

Namun ketika ada dua orang laki-laki tua yang menyediakan diri untuk membawa dua pikul kelapa muda ke banjar itu.

Kedatangan kedua orang tua yang membawa degan itu ternyata menimbulkan kegembiraan pada orang-orang Guntur Geni. Orang yang bertubuh kurus berkata lantang, “He he he. Ternyata orang-orang Karangmaja cukup cerdas, sebelum mereka dapat menyiapkan minuman hangat, mereka telah memetik beberapa buah kelapa muda. tetapi, He..!, Kau kakek tua, kelapa muda itu masih kurang. Tetapi kau tidak usah kembali ke rumah Ki Buyut untuk kelapa muda ke sana. Bukankah disini banyak terdapat pohon kelapa?”

“Ya, ya tuan. Disinipun ada pohon kelapa”

“Ambillah beberapa, sepuluh atau dua puluh butir, jangan terlalu banyak”

Kedua orang itu termenung-menung, dipandanginya anak-anak muda yang duduk gemetar disudut halaman, seolah-olah ia ingin menunjukkan bahwa anak-anak muda itu tentu terampil memanjat pohon kelapa.

Agaknya orang bertubuh kurus itu pun nampaknya mengerti maksud orang tua itu, karena itu maka katanya, “Agaknya, kamilah yang terlampau bodoh, sebenarnya kami dapat melakukan sejak saat kami datang ke tempat ini. tetapi biarlah, sekarangpun dapat juga dilakukan, rasa-rasanya leher kami telah tercekik oleh kekeringan”

Orang bertubuh kurus itu pun kemudian memanggil tiga orang diantara anak-anak muda itu dan menyuruh mereka memanjat pohon kelapa yang ada di halaman banjar itu.

Namun dalam pada itu, maka orang-orang tua yang mengantarkan kelapa muda itu ke banjar itu pun bertanya, “Tuan, apakah kami sudah dapat meninggalkan halaman banjar ini”

“Pergilah dan katakan kepada Ki Buyut bahwa yang harus ia kerjakan segera diselesaikan dengan cepat, jangan menunggu kami kehilangan kesabaran”

“Baik tuan. Tetapi berapa orangkah yang ada di banjar ini?” bertanya salah seorang dari kedua orang tua itu.

Diluar dugaan pertanyaan itu ternyata telah membuat orang bertubuh kurus itu marah, dengan lantang ia membentak, “He, kau akan memberi makan kepada kami seperti kau akan memberi makan orang-orang sambatan?”

“Tidak, bukan maksud kami tuan, sebenarnyalah kami tidak ingin bahwa yang kami sediakan tidak mencukupi”

“Bodoh kau, siapkan persedian buat seratus atau dua ratus orang, tentu tidak akan kurang, tetapi jika benar yang diberikan oleh Ki Buyut tidak mencukupi, maka padukuhan dan banjar ini akan aku bakar sampai habis”

Kedua orang tua benar-benar menjadi ketakutan.

“Cepat, pergi dan kau berdua harus segera kembali membawa makanan bagi kami semuanya, kau tidak usah bertanya berapa jumlah kami”

Kedua orang tua itu tidak berani membantah, mereka hanya dapat menundukkan kepalanya dengan tubuh gemetar.

“Cepat” teriak orang bertubuh kurus itu, sementara seorang yang datang mendekati orang bertubuh kurus itu bertanya, “Kenapa dengan mereka”

“Mereka sudah berani bertanya, berapakah jumlah kita semuanya yang ada di banjar ini”

“He, apakah mereka telik sandi yang di kirim oleh orang-orang di istana kecil itu?”

“Tidak tuan, tidak sama sekali” salah seorang dari kedua orang tua itu menjadi semakin ketakutan, “Kami sekedar ingin ingin tahu karena kami harus menyediakan makan dan minum bagi tuan-tuan disini”

“Persetan” tiba-tiba saja orang yang baru datang itu telah mencengkram rambut yang sudah memutih salah seorang dari kedua orang tua itu. Sambil menghentakkannya ia bertanya, “Jangan bohong, katakan apakah kau telah diperintah oleh orang-orang istana itu untuk menghitung jumlah kami”

“Tidak tuan. Demi langit dan bumi, yang kami lakukan sekedar dalam hubungan makan dan minum”

Orang yang mencengkram rambut orang tua itu menggeram. Bahkan kemudian rambut yang putih itu diguncang-guncangnya sambil membentak, “Jangan bohongi kami”

“Tidak tuan, tidak”

Tetapi rambut orang tua itu masih belum dilepaskan.

Beberapa orang anak muda melihat peristiwa itu, terasa dada mereka bergejolak. Wajah mereka menjadi merah, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun adalah diluar dugaan, bahwa orang bertubuh pendek yang telah menahan mereka di halaman itu datang mendekat. Sambil menunjuk kepada orang tua itu yang gemetar karena cengkraman di rambutnya terasa semakin kuat, orang bertubuh pendek itu berkata, “He, kenapa kalian tidak membela kakek tua ini?, bukankah ia juga datang dari antara kalian penduduk Karangmaja?”

Tidak seorang pun berani menjawab. Betapa darah mereka bagaikan mendidih, namun mereka tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi dengan salah seorang kawan mereka yang telah disentuh tangan beracun dari orang-orang Guntur Geni.

Tetapi agaknya kakek tua itu pun segera dilepaskan, dengan hentakkan kaki yang kuat, orang tua itu telah terlempar beberapa langkah.

“Cepat pergi” bentak kedua orang Guntur Geni itu hampir bersamaan.

Dengan tergesa-gesa orang tua yang terjatih itu tertatih-tatih berdiri, sementara kawannya berusaha menolongnya, kemudian dengan tergesa-gesa pula keduanya meninggalkan halaman banjar.

Orang bertubuh pendek yang berdiri dihadapan anak-anak muda yang ketakutan itu, ia tertawa melihat kedua orang yang berlari-lari keluar regol halaman, bahkan kemudian seolah-olah diluar sadarnya, disambarnya salah seorang anak muda yang paling dekat dihadapannya, “He kau kemari, kau harus menjadi saksi, bahwa orang-orang Guntur Geni tidak hanya pandai berbicara saja”

Anak muda itu menjadi gemetar, apalagi ketika orang bertubuh pendek itu berkata kepada kawannya, orang bertubuh kurus yang baru saja mengusir kedua orang tua itu, “He, lihatlah anak-anak muda Karangmaja harus mengetahui bahwa kami memang memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kekuatan orang-orang yang berada di istana itu, juga orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu”

Kawannya yang bertubuh kurus mendekatinya sambil tersenyum, katanya, “Menarik sekali, ia harus datang kepada orang-orang lain dan menceritakan apa yang dilihatnya disini, He, kau mau?”

Diluar sadarnya anak muda itu menjawab dengan gemetar, “Ya, ya tuan”

Orang-orang Guntur Geni itu tertawa, orang pendek itu berkata, “Aku dapat membuat kau menjadi cacat seperti kawanmu yang pernah diperlakukan seperti itu. Tetapi aku bukan orang yang kejam seperti itu, tetapi aku hanya ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa kalian tidak dapat menolak kehadiran kami. Apalagi jika kalian mencoba membantu pihak lain”

Anak-anak muda itu justru diam membeku. Mereka menjadi gemetar ketika tiba-tiba saja orang pendek itu mendorong anak muda yang ditariknya sambil berkata, “Berdirilah tegak disitu”

Anak muda itu benar-benar telah membeku, seperti patung ia berdiri tegak.

Dengan gemetar ia membiarkan orang bertubuh pendek itu meletakkan sebuah beluluk kecil diatas kepalanya, kemudian ia berjalan menjauh beberapa langkah, sambil tertawa ia mencabut sebilah pisau kecil dari ikat pinggangnya, katanya, “Aku akan melempar pisau ini dan sasarannya adalah beluluk kecil itu”

Anak muda itu hampir pingsan karenanya, keringat dingin keluar mengalir di seluruh tubuhnya, kakinya yang gemetar seolah-olah tidak kuasa lagi menopang berat badannya.

Suara tertawa orang yang bertubuh pendek itu masih menggema, disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Jangan bergerak, pisau kecil ini dapat menyambar hidungmu atau lehermu”

Anak muda itu memejamkan matanya ketika orang pendek itu mengayunkan pisaunya.

Terdengar gelak tertawa memecah ketegangan, ternyata pisau itu benar-benar menancap pada beluluk itu. Orang-orang Guntur Geni yang menyaksikannya sempat tertawa melihat anak muda yang hampir pingsan itu.

“Kau hanya mampu mempergunakan pisau belati” desis orang bertubuh kecil, “Aku akan mempergunakan kapakku” kata-kata itu bagaikan petir yang meledak di telinga anak muda itu, apalagi ketika orang bertubuh kurus itu benar-benar meletakkan beluluk yang sudah terluka oleh pisau belati orang bertubuh pendek itu.

“Jangan bergerak” teriaknya sambil mengayunkan kapaknya mendatar.

Kapak itu terbang, dan orang-orang Guntur Geni itu bertepuk tangan ketika ia melihat kapaknya bukan saja menyambar, tetapi membelah mendatar beluluk diatas kepala itu.

Namun yang mengerikan kemudian adalah perintah orang berkumis lebat, “Sekarang biarlah anak-anak muda itu melakukannya”

Suara tertawa serentak memenuhi halaman itu, apalagi orang-orang Guntur Geni semakin lama menjadi semakin banyak berkumpul di halaman.

Ketika seorang anak muda ditarik berdiri, maka sambil merengek ia berkata, “Jangan, jangan aku”

Tetapi orang-orang Guntur Geni itu tidak menghiraukannya, justru kepada anak muda itu diberikan sebilah pedang yang besar yang berjuntai hulunya.

“Juntai itu adalah rambut manusia yang aku ambil dari kepala yang pernah aku penggal” berkata orang yang memberikan pedang itu. “Nah sekarang akan diletakkan sebuah beluluk di kepala kawanmu itu. Kau harus melemparkan pedang ini. Juntainya akan memaksa pedang itu terbang dengan ujung di depan, langsung mematuk sasaran”

Anak muda yang menerima pedang itu menjadi semakin gemetar, tangannya seolah-olah menjadi lemah, tetapi ia tidak berani menolak.

“Jika kau tidak benar-benar melemparkan pedang itu, maka kau akan menjadi sasaran, biarlah orang lain yang melemparkan”

Anak muda itu hampir menangis, ia melihat kawannya yang berdiri gemetar dengan beluluk diatas kepalanya justru menjadi semakin kabur.

“Cepat, lakukan” seorang yang berkepala botak melepaskan ikat pinggangnya. Tiba-tiba saja ia mencambuk anak muda yang memegang pedang itu dengan ikat pinggangnya.

“Aku hanya main-main” kata orang botak itu, “Tetapi jika kau tidak melakukan, aku akan sungguh-sungguh”

Tidak ada pilihan lain, dua kali ia merasakan ikat pinggang itu mengenai punggungnya, semakin pedih.

Karena itu, maka ia pun segera mengangkat tangannya dan dengan dada yang berdebaran ia membidik sejauh dapat dilakukan.

“Jika kau sengaja melontarkan lepas dari sasaran, maka bergantian, kau adalah sasarannya setelah kau dicambuk sepuluh kali”

Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali memenuhi perintah itu, tetapi batinnya berguncang jika ia menyadari, bahwa lemparannya akan dapat membunuh kawannya.

Akhirnya ia tidak dapat mengelak, dengan dada yang bagaikan retak ia melontarkan pedang itu kearah beluluk diatas kepala kawannya, tetapi karena ia bukan orang terlatih, maka ujung pedangnya ternyata telah mengarah ke wajah kawannya yang berdiri membeku.

Orang-orang Guntur Geni tiba-tiba telah bersorak ketika mereka melihat pedang itu meluncur tepat dengan ujungnya langsung ke depan, tetapi bukan belatuk kecil itu yang menjadi sasaran.

Anak muda yang melemparkan pedang itu pun melihat, bahwa pedangnya ternyata langsung mengarah ke wajah kawannya, sehingga karena itu rasa-rasanya matanya menjadi gelap, dan ia tidak tahu apa yang telah terjadi kemudian.

Kawannya yang menyaksikan itu pun serentak memejamkan mata mereka, mereka tidak akan sampai hati melihat kawannya terbelah wajahnya oleh pedang yang besar itu, justru oleh kawan sendiri pula.

Namun yang terjadi adalah mengejutkan, ketika mereka membuka matanya, maka kawannya masih tetap berdiri tegak dengan mata terpejam, yang terdengar adalah sorak orang-orang Guntur Geni itu semakin keras.

Ternyata ketika pedang itu hampir mengenai wajah anak muda itu, orang yang telah memberikan pedangnya dengan kemampuan bidik yang luar biasa telah menyentuh ujung pedang itu dengan lemparan batu kerikil, sehingga arah pedang itu pun berubah, melesat disisi telinga anak muda yang berdiri mematung itu.

Namun agaknya ketegangan masih belum terhenti, orang-orang Guntur Geni itu masih melakukan permainan maut yang mendebarkan.

“Jika kalian nanti meninggalkan halaman banjar ini, maka katakan kepada siapa saja, apa yang telah terjadi” berkata salah seorang dari orang-orang Guntur Geni itu.

Anak muda itu bagaikan membeku, mereka terkejut ketika salah seorang dari orang-orang Guntur Geni itu berkata, “He, bawa anak cengeng itu minggir”

Anak-anak muda muda itu dengan gemetar telah membawa kawannya yang hampir pingsan menepi. Sementara anak muda yang harus berdiri tegak dengan kepalanya sebagai tempat untuk meletakkan sasaran itu pun masih tetap berdiri dengan gemetar.

Beberapa orang Guntur Geni ternyata telah terdorong untuk menunjukkan kemampuan mereka masing-masing, agaknya mereka mendapat kesempatan dan sasaran yang tidak akan dapat melawan untuk melepaskan ketegangan selama mereka mempersiapkan diri menghadapi orang-orang Kumbang Kuning orang-orang Cengkir Pitu dan penghuni istana kecil yang terpencil itu.

Semakin lama permainan mereka justru menjadi semakin berbahaya, bahkan kegagalan kecil mulai terjadi, sehingga kadang-kadang senjata orang-orang Guntur Geni itu benar-benar menyentuh kulit anak-anak muda padukuhan Karangmaja meskipun tidak membahayakan. Namun luka-luka kecil itu darah sudah mulai mengalir dan menitik diatas tanah kelahiran yang untuk waktu yang lama terasa tenang dan damai.

Tiga orang menjadi tidak sadarkan diri sekaligus, salah seorang Guntur Geni itu memaksa dua orang anak muda dari Karangmaja menggigit sepotong sabut pada kedua ujungnya, sehingga hidung kedua anak muda itu hampir bersentuhan.

“Aku akan memisahkan mereka” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar, katanya kemudian, “Berikan kapak itu”

Kedua orang anak muda dari Karangmaja itu menjadi seputih kapas, tetapi mereka tidak dapat menolak.

Orang bertubuh tinggi dan kekar itu pun kemudian berdiri beberapa langkah dari kedua anak muda Karangmaja itu, beberapa saat ia masih berdiri sambil tertawa, kemudian katanya, Bersiaplah, aku akan memutuskan sabut itu, jangan bergerak sedikitpun agar hidung kalian tidak ikut terputus bersama kelapa itu”

Ketegangan telah memuncak, tetapi orang bertubuh tinggi dan kekar itu masih saja tertawa, bahkan ia tetap tertawa sambil mengayun-ayunkan kapaknya.

“Satu, dua, tiga” dengan satu hentakkan maka kapak itu pun terlepas dari tangan orang itu diiringi oleh suara tertawa yang meledak.

Orang-orang Guntur Geni itu bertepuk dengan riuhnya ketika kapak itu menyusup diantara dua wajah yang pucat pasi itu, memotong sabut kelapa dimulut anak muda itu.

Namun bersamaan dengan itu, anak-anak muda yang tidak tahan lagi oleh ketegangan-ketegangan yang memuncak itu pun menjadi pingsan.

Orang-orang Guntur Geni itu terkejut ketika terdengar suara memanggil dari pendapa banjar, ternyata pemimpin mereka menjadi jemu mendengar hiruk pikuk di halaman, setelah orang-orang Guntur Geni itu mempertunjukkan beberapa permainan maut sebagai pertanda kelebihan yang mereka miliki.

“Kalian memang gila” geram seorang yang bertubuh kerdil seperti orang yang mula-mula menahan anak-anak muda Karangmaja, “Apa yang kalian lakukan, He?”

Orang yang bertubuh kurus menjawab, “Biarlah mata mereka terbuka, bahwa kita memiliki kemampuan bermain senjata, biarlah mereka bercerita kepada siapapun juga, bahwa dengan senjata-senjata kita, kita dapat berbuat apa sja. Memotong telinga dari jarak puluhan langkah, atau memotong lengan sekalipun dengan kapak dari jarak yang jauh”

“Hanya anak-anak sajalah yang keheranan melihat permainan kalian” geram orang yang bertubuh pendek itu, “Kemarilah, jangan kalian takut-takuti tikus celurut itu dengan tingkah laku yang aneh. Orang-orang Kumbang Kuning, Cengkir Pitu atau orang-orang yang berada di istana kecil itu tidak akan heran mendengar cerita itu, jika kalian sekali-kali ingin memperlihatkan kelebihan kalian, berbuatlah sebagai seorang yang mempunyai ilmu yang matang”

Orang-orang Guntur Geni itu tidak ada yang menyahut.

“Kemarilah, kita akan berbicara tentang istana kecil itu”

Satu-satu orang-orang Guntur Geni itu melangkah ke pendapa, salah orang-orang dari mereka sempat berkata kepada anak-anak muda Karangmaja, “Pergilah, dan suruhlah Ki Buyut cepat-cepat mengantar makanan kami”

Anak-anak muda itu termenung-menung, namun mereka pun segera bersiap meninggalkan halaman banjar yang bagi mereka yang terluka dan kelelahan oleh ketegangan dan mereka yang baru saja sadar dari pingsan telah mendapat pertolongan seperlunya dan dibimbing keluar dari halaman itu.

Demikianlah, orang-orang yang berada di pendapa istana kecil itu mendengarkan cerita tentang orang-orang Guntur Geni itu dengan seksama, mereka dapat membayangkan beberapa orang-orang Guntur Geni itu telah mengerahkan orang-orangnya yang terkuat untuk melakukan pekerjaan yang mereka anggap sangat berat di atas Pegunungan Sewu itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka pun bertanya, “Apakah orang pendek yang berada di pendapa itu benar-benar menunjukkan sesuatu yang disebutnya sebagai orang-orang yang mempunyai ilmu yang tinggi?”

Anak muda dari Karangmaja itu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak tahu, kawan-kawan yang berada di halaman agaknya tergesa-gesa meninggalkan mereka”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi ia pun menyadari bahwa orang pendek yang ada di pendapa itu tentu memiliki ilmu yang tinggi, baginya permainan maut yang telah dilakukan oleh orang-orang Guntur Geni yang lain itu hanyalah sekedar permainan anak-anak.

“Ki Sanak” bertanya Raden Kuda Rupaka kemudian, “Apakah orang-orang Guntur Geni itu kemudian melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya di padukuhan Karangmaja?”

“Tidak ada yang mengatakan demikian tuan, kemudian aku mendapat perintah dari Ki Buyut untuk segera menghubungi Raden disini, pesan Ki Buyut, kepergianku tidak boleh terlihat orang-orang Guntur Geni, agar aku tidak mengalami nasib seperti yang yang terjadi atas seorang kawanku”

“Yang telah mendapat pertolongan dari Kidang Alit” sahut Raden Kuda Rupaka.

“Ya, namun sekarang anak yang telah dapat turun ke halaman itu terpaksa berbaring lagi dan berpura-pura bisu dan tuli, karena orang-orang yang diduga adalah kawan-kawan orang yang telah meracuninya itu datang lagi”

Raden Wajah Kuda Rupaka terlihat bersungguhsungguh, kemudian dipandanginya wajah pamannya, Pangeran Bondan Lamatan yang nampaknya sedang merenungi keadaan. Kemudian tatapan matanya berpindah kepada Pangeran Kuda Narpada yang masih saja pada keadaannya, sebagai seorang pertapa di lereng Gunung Merbabu.

Dalam pada itu Pangeran Bondan Lamatan bertanya pula kepada anak muda yang datang dari padukuhan itu, “Apakah Ki Buyut memberi pesan-pesan yang lain?”

Anak muda itu menggeleng, jawabnya, “Aku kira tidak sempat, demikian Ki Buyut membisikkan beberapa patah kata, maka akupun harus pergi ke istana ini, meskipun aku menjadi sangat ketakutan, tetapi akhirnya aku sampai juga disini”

“Terima kasih, keteranganmu sangat berguna bagi kami” sahut Pangeran Bondan Lamatan.

“Tetapi, tetapi” masih ada yang akan dikatakan oleh anak muda itu meskipun ragu-ragu.

“Ada apa?” Pangeran Bondan Lamatan menjadi tegang, bahkan yang lainpun menjadi tegang pula, “Katakanlah”

“Tetapi, semuanya itu berarti bahwa kami tidak akan dapat mengirimkan hidangan bagi tuan-tuan hari ini”

Yang mendengarkan keterangan itu menarik nafas dalam-dalam, bahkan beberapa orang diantara mereka tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Namun Pangeran Bondan Lamatan telah menjawab, “Tidak apa anak muda, jangan melakukan sesuatu yang akan dapat berakibat buruk bagi kalian, jika orang-orang itu yang memang mungkin sekali adalah orang-orang Guntur Geni melihat kalian memberikan makanan dan minuman kepada kami, maka akibatnya memang sangat buruk bagi kalian. Bukan saja yang membawa mananan itu, tetapi juga bagi Ki Buyut dan seisi padukuhan”

“Tetapi bagaimanakah tuan-tuan akan makan?”

“Kami akan berusaha sendiri, tetapi seandainya kami harus tidak makan satu dua hari, kami sudah terbiasa melakukannya”

Anak muda itu termenung-menung, namun kemudian dengan gelisah ia berkata, “Tetapi aku tidak berani kembali ke padukuhan”

“Tinggallah disini, orang-orang Guntur Geni itu tentu akan segera menyerang istana ini, tetapi aku tidak tahu, apakah orang-orang Guntur Geni itu sudah mendapat keterangan tentang orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu yang gagal atau mereka datang dengan kekuatan yang telah diperhitungkan untuk menghadapi orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning” jawab Pangeran Bondan Lamatan.

Anak muda itu termenung-menung, namun nampak ketakutan membayang di wajahnya.

“Jika kau takut berada disini” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Baiklah, nanti malam, sesudah gelap, aku antar kau pulang”

“Tidak, aku takut pulang, tetapi aku juga takut berada disini”

“Jangan takut” Ki Wiritlah yang kemudian menyahut, “Kau dapat tinggal di dalam bersama Nyai Kuda Narpada”

Anak muda itu mengerutkan keningnya, Pangeran Bondan Lamatan pun merasa kurang mapan atas sebutan itu, tetapi karena Ki Wirit sendiri yang menghendaki, maka ia sama sekali tidak menganggapinya.

Dalam pada itu, maka mereka yang ada di pendapa itu pun mulai memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, mungkin dari orang-orang padukuhan, dari Ki Buyut sendiri, orang-orang Guntur Geni itu sudah mendapatkan gambaran tentang isi istana itu, bahkan mungkin dengan seksama mereka telah mengikuti perkembangan keadaan.

“Apakah justru mereka telah mengganggu perjalanan para prajurit yang membawa para tawanan ke Demak?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan dari seorang Senapati pengawal Pangeran Bondan Lamatan telah menggelisahkan hatinya.

Tetapi Pangeran Bondan Lamatan itu menggeleng sambil berdesis, “Mudah-mudahan tidak, jika demikian tentu ada seorang penghubung datang memberitahukan keadaan keadaan itu”

Demikianlah, maka orang-orang yang ada di istana kecil itu segera mulai mengatur diri, sebagian dari mereka harus berada di pendapa, sementara yang lain mengawasi halaman samping dan kebun belakang.

“Aku akan memperbaiki pintu regol yang rusak itu” tiba-tiba saja Sangkan yang juga bernama Raden Kuda Rupaka itu berdesis.

“Tidak banyak gunanya” sahut Pangeran Bondan Lamatan.

“Tetapi dengan demikian, jika orang-orang itu datang dari arah depan, mereka akan terhambat meskipun sekedar di muka pintu. Mereka akan berhenti sejenak dan terpaksa mendorong pintu yang memang sudah rusak itu.”

Pangeran Bondan Lamatan mengerti maksud Raden Kuda Rupaka, dengan demikian maka mereka akan sempat menilai, siapa saja yang datang ke halaman istana kecil itu.

Bersama Panon, Sangkan telah mencoba untuk memasang pintu yang rusak itu, meskipun hanya sekedar menyandarkan kepingan-kepingan kayu dan deriji-deriji yang telah terserak-serak, kemudian menindihnya dengan potongan kayu patah-patah dan mengikatnya.

Pangeran Bondan Lamatan tersenyum melihat usaha kedua anak muda itu untuk menghambat lawan dan sekedar menghentikan mereka di muka pintu, dengan demikian, maka masih ada kesempatan untuk berbuat sesuatu dengan keadaan lawan yang datang.

Sejenak kemudian, setelah regol itu terhalang oleh pintu yang rusak, maka orang-orang yang ada di halaman itu mulai membagi tugas.

Di kebun belakang, Panon duduk di bahwah pohon kemiri bersama Kiai Rancangbandang. Disisi sebelah kanan, Ki Ajar Respati berjalan mondar-mandir mengamati pohon bunga yang kurang terpelihara, sementara Ki Reksabahu duduk terkantuk-kantuk di serambi.

Ki Wirit bersama Raden Kuda Rupaka berada di halaman sebelah kiri. Dengan nada yang dalam Ki Wirit masih sempat bercerita, bahwa lembah dan bukit-bukit di sekitar istana itu semula adalah bukit-bukit gundul.

“Tetapi orang-orang Karangmaja bukannya orang yang malas. Mereka mengikuti petunjuk-petunjukku, sehingga sekarang lembah-lembah itu mulai nampak hijau dan diatas bukit telah tumbuh beberapa jenis pohon-pohonan”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, ia pernah mendengar cerita tentang usaha Pangeran Kuda Narpada sebelum ia pergi bersama Pangeran-Pangeran yang tamak itu, sehingga padukuhan diatas Pegunungan Sewu itu menjadi semakin subur dan hijau. Parit-parit telah dibuat membelah bulak-bulak yang semula kekuningkuningan, air yang ada telah dipergunakan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan alamnya.

Di pendapa, Pangeran Bondan Lamatan duduk diantara para prajurit, tetapi ia telah memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk berada disudut-sudut depan halaman istana itu. mereka harus bersiaga sepenuhnya. Mungkin mereka akan menghadapi keadaan yang tiba-tiba. sementara yang lain telah siap pula untuk bergerak ke seluruh bagian dari halaman istana itu.

Sementara itu, Puteri Raksi Padmasari berada di dalam bilik bersama Raden Ayu Kuda Narpada, Inten Prawesti dan Nyi Upih, ketiganya tidak mau melepaskan Puteri Raksi Padmasari yang minta ijin untuk melihat api di perapian.

“Jangan pergi” Inten Prawesti memegang tangan Puteri Raksi Padmasari.

“Tetapi masakan bibi akan hangus” jawab Puteri Raksi Padmasari.

“Biar sajalah” sahut Inten, “Kami merasa takut tanpa kau disini”

Puteri Raksi Padmasari termenung-menung sejenak, lalu katanya, “Sebentar saja, aku akan mengecilkan api itu, kemudian mengaduk masakan bibi sebentar sebelum mengangkatnya. Baunya sedap sekali, sayang jika masakan itu menjadi hangus”

Inten termenung-menung sejenak, dan Puteri Raksi Padmasari berkata seterusnya, “Aku hanya sebentar, belum apa-apa di halaman, bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa”

Inten memandang ibunya sejenak, ketika ibunya mengangguk, maka tangan Puteri Raksi Padmasari dilepasakannya.

“Tetapi jangan terlalu lama” pesan Inten.

“Jika masakan itu sudah masak, aku akan menyenduknya ke dalam mangkuk besar dan membawanya kemari”

“Ah, kenapa dibawa kemari?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada.

“Tiba-tiba saja aku merasa lapar ketika aku mencium bau masakan itu”

Inten mengerutkan keningnya, Ia merasa ketakutan dan cemas menghadapi keadaan, tetapi nampaknya Puteri Raksi Padmasari sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih sempat memikirkan perutnya yang lapar dan bau masakan yang harum itu.

Ketika kemudian Puteri Raksi Padmasari keluar dari bilik bibinya, ia terkejut. Dilihatnya seorang anak muda duduk dengan gemetar.

“Siapa kau?” Puteri Raksi Padmasari mengerutkan keningnya.

“Aku, aku dari Karangmaja” jawab anak muda itu dengan suara bergetar.

Puteri Raksi Padmasari, katanya, “Ya, kau yang membawa berita tentang orang-orang yang datang ke padukuhan ya?” ia berhenti sejenak, lalu, “Kenapa kau tidak di pendapa?”

“Aku, aku takut” jawabnya.

Puteri Raksi Padmasari tersenyum, katanya, “Duduklah, jangan takut, mereka tidak akan sempat memasuki istana ini”

Anak muda itu tidak menjawab, ia hanya memandang saja dengan mata yang tidak berkedip ketika berjalan melintasi ruang tengah pergi ke dapur.

Puteri Raksi Padmasari tertegun ketika ia melihat Panon duduk di bahwah pohon kemiri di belakang. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke pintu dapur, langkah terhenti ketika ia melihat Panon itu berdiri dan melangkah mendekatinya. Beberapa langkah di hadapan Puteri Raksi Padmasari, Panon berhenti sambil mengangguk hormat, dengan suara yang datar ia bertanya, “Puteri, apakah yang sedang puteri cari?”

“Ah” Puteri Raksi Padmasari berdesah, “Namaku Pinten”

“Tetapi aku sekarang mengetahui siapakah puteri yang sebenarnya” jawab Panon, lalu, “Bukankah puteri mestinya berada di dalam bilik gusti Ayu Kuda Narpada?”

“Kau panggil suami bibi dengan guru, karena kau muridnya, bagaimana kau memanggil bibi Kuda Narpada?”

Panon menjadi bingung, sambil tersenyum Puteri Raksi Padmasari berkata, “Panon, kau jangan terlalu merendahkan diri, kau adalah murid satu-satunya dari pamanda Pangeran Kuda Narpada. Murid orang yang tidak ada duanya seperti pamanda Kuda Narpada tidak kurang nilainya dari anaknya sendiri”

“Aku anak lereng Merbabu puteri”

Puteri Raksi Padmasari memandang anak muda itu, ia adalah anak pegunungan seperti anak-anak muda dari Pegunungan Sewu, tetapi Panon tampak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak Karangmaja.

“Apakah anak-anak dari lereng Merbabu memiliki kelebihan seperti Panon?” pertanyaan itu mulai mengganggunya.

Namun dalam pada itu Panon telah bertanya, “Puteri, apakah yang akan puteri lakukan?, bukankah sebaiknya puteri menemani Gusti puteri di dalam biliknya?”

“Aku akan mengambil alih tugas biyung di dapur, biyung sedang berada di dalam bilik bersama Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti”

“Ah”

“Aku adalah Pinten, Panon. Ternyata aku merasa lebih senang disebut Pinten anak Nyi Upih. Ada sesuatu yang memberikan kesegaran harapan padaku dengan namaku yang lebih sederhana itu”

“Tetapi puteri adalah Puteri Raksi Padmasari, bagaimanapun juga, puteri tetap seorang puteri”

Wajah Pinten menjadi redup, dipandanginya Panon sejenak, lalu katanya, “Tetapi apakah ada jarak antara seorang puteri yang kebetulan lahir di istana Kapangeranan dengan seorang yang dilahirkan di lereng pegunungan”

Panon menundukkan wajahnya, ia tidak segera menjawab, namun Pinten ternyata menunduk pula, bahkan wajahnya menjadi panas. Ia merasa telah terdorong terlalu jauh, sehingga jantungnya berdebar semakin cepat.

Ternyata Pinten tidak menunggu jawaban Panon, ia pun kemudian berjalan ke dapur sambil berkata, “Aku harus menyelamatkan masakan bibi”

Panon termenung-menung, Ia memandang Pinten yang berjalan masuk ke dapur, meskipun Pinten masih menyangkut-kan pedangnya di lambung dan bahkan dengan rantai melingkar di lehernya, namun ia merupakan seorang gadis yang sangat menarik. Panon masih memperhatikan gadis itu memutar pedangnya, kesamping lalu berjongkok dimuka perapian.

“Ia adalah seorang gadis dengan banyak wajah” berkata Panon di dalam hatinya, “Ia seorang gadis yang lincah, gembira dan manja, tetapi ia juga seorang gadis yang agung, bersungguh-sungguh dan memiliki kemampuan olah kanuragan”

Panon terkejut ketika ia merasa punggungnya tersentuh batu kerikil, ketika ia barpaling, dilihatnya Kiai Rancangbandang tersenyum memandangnya.

Barulah ia sadar, bahwa ia telah berdiri merenungi gadis yang sedang sibuk di dapur itu, sehingga karena itu maka dengan tergesa-gesa Panon pun kemudian meninggalkan pintu dapur dan kembali ke bahwah pohon kemiri.

“Seorang puteri yang aneh” berkata Kiai Rancangbandang.

Panon tidak menjawab.

“Ia telah mengorbankan waktu yang paling berharga dalam hidupnya, jika saat ini gadis-gadis remaja sebayanya di kota Raja sedang menikmati irama gamelan dan barangkali sedang berlatih menari, maka Puteri Raksi Padmasari sedang berjongkok di muka perapian, mengaduk masakan dengan pedang di lambung, sementara orang-orang jahat telah mengintainya”

“Seperti Kiai sendiri” desis Panon tiba-tiba.

“Kenapa aku?”

“Kiai juga telah mengorbankan banyak hal dengan memanjat tebing Pegunungan Sewu”

Kiai Rancangbandang tertawa, katanya, “Aku memang melakukannya, barangkali cara inilah yang dapat aku lakukan untuk sekedar ikut serta dalam arus kebangkitan Demak. dimasa Demak sedang berusaha membangun dirinya, aku memang merasa berkewajiban untuk membantu apa saja yang dapat aku lakukan”

“Tetapi Kiai sudah mempertaruhkan nyawa, pada mulanya yang Kiai lakukan adalah sekedar belas kasihan kepada-ku”

Kiai Rancangbandang, tertawa lebih keras lagi, katanya, “Mungkin, tetapi sejak semula aku tahu bahwa kau telah melakukan sesuatu yang berguna bagi Demak. Ddan aku pun ingin ikut bersamamu”

Panon mengerutkan keningnya, namun ia pun tertawa pula.

Namun keningnya tiba-tiba telah berkerut, ketika ia melihat Raksi Padmasari membawa sebuah mangkuk besar ke dalam istana kecil itu.

“Masakan Raden Ayu Kuda Narpada itu telah diselamatkannya” berkata Kiai Rancangbandang.

Kembali Panon tertawa, ia memang tidak dapat lagi menyembunyikan perasaannya terhadap Kiai Rancangbandang, meskipun demikian ia tidak mengatakanya, dibiarkannya saja Kiai Rancangbandang menilai tingkah lakunya.

Namun demikian setiap kali Panon diganggu oleh perasaan rendah diri, ia adalah seorang anak dari lereng Gunung Merbabu.

“Jika puteri itu kembali ke Kota Raja, apakah ia masih akan ingat kepadaku?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Panon menarik nafas dalam-dalam, namun ia tidak sempat melamun, karena Kiai Rancangbandang pun kemudian berkata, “Banyak kejutan-kejutan yang aku alami selama aku berada di istana ini. Orang-orang yang tidak berdiri sebagai dirinya sendiri, Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya bukan Raden Kuda Rupaka, Sangkan dan Pinten yang lucu itu. Gurumu dan barangkali aku masih akan terkejut jika suatu saat aku harus mengenalmu sebagai dirimu yang lain”

“Ah, aku tidak berpura-pura, Kiai. Aku adalah aku. Kiai sudah mengenal aku sebelum kita berada diatas Pegunungan Sewu”

Kiai Rancangbandang tertawa, katanya, “Siapa tahu. Tiba-tiba saja, justru kau adalah orang terpenting di dalam istana ini”

Panon pun tertawa, katanya, “Mudah-mudahan aku dapat menjadi orang penting”

Keduanya tertawa seolah-olah mereka tidak sedang diintai oleh bahaya yang sudah berada di padukuhan Karangmaja.

Namun suara tertawa mereka itu pun terputus, ketika mereka mendengar isyarat di pendapa. Dengan dahi yang berkerut merut, Kiai Rancangbandang berkata, “Pergilah ke pendapa, mungkin ada sesuatu yang penting”

Panon pun segera pergi ke pendapa, ketika ia naik ke pendapa, ia melihat Pangeran Bondan Lamatan sedang berbincang-bincang dengan Ki Wirit yang sudah ada di pendapa itu pula.

“Prajurit yang ada di regol itu melihat dua orang berkuda yang agaknya mengawasi istana ini” berkata Pangeran Bondan Lamatan kepada orang-orang yang ada di pendapa itu.

Yang lain mengangguk-angguk.

“Kita harus berhatil-hati” Pangeran Bondan Lamatan meneruskan, “Tetapi disaat terakhir aku ingin dapat memperhitungkan kekuatan mereka”

“Maksud Pangeran” berkata Pangeran Kuda Narpada.

“Kita akan mengirimkan satu atau dua orang untuk mengintai mereka di padukuhan, sebentar lagi malam akan turun”

Ki Wirit mengangguk-angguk pula, katanya, “Baiklah adimas Pangeran, aku bersedia untuk pergi”

Tetapi Raden Kuda Rupaka yang telah berada di pendapa itu pula berkata, “Biarlah aku saja yang pergi paman, mungkin aku dan Panon akan dapat melakukan tugas pengawasan ini”

Pangeran Bondan Lamatan merenung sejenak, katanya, “Tetapi ingat Kuda Rupaka. Nampaknya mereka terlalu yakin akan kekuatan mereka, dua orang berkuda telah mendekati regol istana tanpa segan, seakan-akan sedang melihat-lihat rumah kenalan mereka yang sudah lama tidak bertemu”

“Baiklah paman” berkata Raden Kuda Rupaka, “Mereka tentu tinggal di banjar padukuhan Karangmaja”

Ternyata bahwa Ki Wirit pun tidak berkebaratan melepaskan kedua anak muda itu untuk mengintai banjar padukuhan jika gelap akan turun”

Dengan bekal beberapa keterangan yang meskipun kurang pasti dari anak muda yang datang dari padukuhan, maka Raden Kuda Rupaka dan Panon telah meninggalkan istana itu. ketika gelap turun, anak muda Karangmaja itu tidak berani ikut serta, meskipun kedua anak-anak muda itu berjanji akan mengantarkannya pulang sampai ke rumahnya. Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka dan Panon telah meninggalkan istana itu.

Dengan berhati-hati keduanya mendekati padukuhan yang sepi, agaknya tidak seorang pun yang berani berada di luar rumahnya. Bahkan ada diantara mereka yang tidak sempat menyalakan lampu-lampu minyak di regol halaman.

Sejenak kedua anak muda itu termenung-menung, Raden Kuda Rupaka ingin bertemu dengan Ki Buyut lebih dahulu sebelum ia bertindak lebih jauh.

“Mungkin Ki Buyut dapat memberi beberapa keterangan” berkata kepada Raden Kuda Rupaka.

“Baiklah” jawab Panon, “Jika demikian, kita akan pergi ke rumah Ki Buyut”

Raden Kuda Rupaka mengangguk, desisnya, “Marilah, aku kira orang-orang itu juga mempunyai beberapa orang pengawas yang bertebaran”

Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di halaman Ki Buyut di Karangmaja, ternyata halaman rumah itu nampak sepi, tidak seorangpun yang berada di regol dan di gardu di depan regol itu.

“Semuanya menjadi ketakutan” bisik Panon.

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk kecil, kemudian ia pun memberi isyarat untuk pergi ke sebelah rumah Ki Buyut yang lengang itu.

Dari sebelah pintu butulan di longkangan Raden Kuda Rupaka masih mendengar suara seorang yang sedang berbicara lirih.

Dari pembicaraan itu, Raden Kuda Rupaka dan Panon dapat mengetahui, bahwa tidak ada orang lain, apalagi orang dari Guntur Geni yang berada di rumah itu, karena itulah maka dengan berhatil-hati Raden Kuda Rupaka mengetuk pintu butulan.

Agaknya ketukan pintu itu benar-benar mengejutkan orang-orang yang ada di dalam, suara berbisik di dalam rumah itu pun justru terdiam. Bahkan suara nafaspun seolah-olah telah berhenti pula.

“Ki Buyut” Raden Kuda Rupaka mencoba memanggil.

Ki Buyut yang ada di dalam termenung-menung.

Sejenak ia justru menjadi gemetar. Semula ia menyangka bahwa yang datang adalah orang-orang Guntur Geni. Namun ternyata bahwa bukan mereka, karena dari luar terdengar suara lirih, “Aku Sangkan dari istana kecil itu”

Sejenak Ki Buyut masih ragu-ragu, namun ketika Raden Kuda Rupaka mengulanginya, Ki Buyut menjadi yakin, bahwa yang datang itu memang Raden Kuda Rupaka.

Perlahan-lahan Ki Buyut membukakan pintu butulan, meskipun demikian ia masih juga gemetaran melihat dua sosok bayangan di dalam kelamnya malam.

Baru ketika cahaya lampu minyak yang terlontar dari sela-sela pintu yang terbuka jatuh ke wajah Raden Kuda Rupaka, barulah Ki Buyut menarik nafas lega.

Cepat-cepat Raden Kuda Rupaka dan Panon menyusup meskipun pintu butulan agar cahaya lampu minyak yang meloncat lewat pintu itu tidak menarik perhatian.

Kehadiran Raden Kuda Rupaka dan Panon menimbulkan tanggapan yang saling bertentangan di dalam diri Ki Buyut, ia merasa senang bertemu dengan keduanya dalam ketegangan karena hadirnya orang-orang Guntur Geni yang merampas ketenangan yang mulai menjalari padukuhan Karangmaja. Namun dengan demikian, timbul pula kecemasan, bahwa mereka akan mengalami kesulitan jika orang-orang yang berada di banjar itu mengetahui kehadirannya.

Raden Kuda Rupaka nampaknya mengerti perasaan Ki Buyut itu, sehingga katanya kemudian, “Ki Buyut tidak usah mencemaskan kehadiran kami. Kami akan berhati-hati, sehingga orang-orang itu tidak akan mengetahui kehadiran kami. Mereka tentu tidak menyangka bahwa ada orang-orang yang keluar dari istana itu untuk berjalan-jalan ke padukuhan di malam hari.

“Mudah-mudahan Raden. Tetapi mereka adalah orang-orang yang buas dan liar, mereka tidak menghiraukan peradaban manusia sama sekali. Meskipun sebagian dari mereka pernah datang ke padukuhan ini, namun beberapa orang yang lain, benar-benar telah menumbuhkan kengerian melampaui saat sebelumnya”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, kemudian dengan cemas ia bertanya, “Apakah jumlah mereka lebih banyak dari yang dulu”

“Ya, Raden, mereka berniat untuk menghancurkan semuanya, Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu akan dimusnahkannya lebih dahulu, sebelum mereka akan memasuki istana yang kini telah mulai tenang itu”

Raden Kuda Rupaka menjadi berdebar-debar, jika orang-orang Guntur Geni itu berniat untuk menghancurkan perguruan Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu itu di Pegunungan Sewu itu, maka tentu mereka telah menyiapkan diri sebaik-baiknya”

Raden Kuda Rupaka dan Panon pun menyadari bahwa orang-orang Guntur Geni dapat saja membawa beberapa orang terpenting dari perguruan-perguruan lain yang sejalan dengan mereka, meskipun diantara mereka akan timbul persoalan-persoalan pula kelak, tetapi mungkin pula diantara mereka telah didapatkan kesepakatan untuk menilai hasil dari perjuangannya.

Tetapi satu hal yang dapat ditangkap oleh Raden Kuda Rupaka dan Panon, bahwa orang-orang Guntur Geni masih belum mengetahui bahwa orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu telah berhasil dilumpuhkan.

Dengan demikian maka Raden Kuda Rupaka dan Panon kemudian memutuskan untuk melihat-lihat orang-orang yang berada di banjar padukuhan Karangmaja, meskipun mereka sadar bahwa hal itu sangat berbahaya.

“Raden” berkata Ki Buyut kemudian, “Sebenarnya aku keberatan jika Raden mau melihat-lihat dari dekat orang-orang yang berada di banjar, mereka terdiri dari orang-orang kasar dan barangkali orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak terduga, aku percaya bahwa kalian juga memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi setiap orang yang berada di banjar, tetapi jumlah mereka terlalu banyak”

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Aku akan berhati-hati Ki Buyut, mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan. Tetapi jika mereka melihat kami berdua, maka kami masih akan sempat lari melintasi bulak kecil dan kembali ke istana, kami berharap bahwa langkah kami akan lebih cepat dari orang-orang Guntur Geni”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam, anak-anak muda itu nampaknya sama sekali tidak menjadi cemas dan takut menghadapi akibat yang dapat timbul, persoalan yang gawat ini mereka lakukan seperti dalam permainan disaat terangnya bulan di langit.

Agaknya Ki Buyut benar-benar tidak dapat mencegah keduanya, karena itu, maka betapapun jantungnya berdebaran, akhirnya dibiarkannya Raden Kuda Rupaka dan Panon keluar dari pintu butulan dan hilang di gelapnya malam.

Namun demikian, Raden Kuda Rupaka dan Panon yang telah mendapat beberapa keterangan dari Ki Buyut itu dapat memperhitungkan setiap langkahnya. Mereka benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang-orang yang berada di banjar padukuhan itu, menilai keterangan yang mereka dapat, agaknya orang-orang Guntur Geni memang tidak datang hanya dari perguruannya saja.

Dengan sangat berhatil-hati kedua anak muda itu mendekati banjar. Mereka sadar, bahwa orang-orang yang berada di banjar itu memiliki bermacam-macam ilmu yang memungkinkan dapat mengetahui kehadiran mereka berdua.

Tetapi keduanya pun memiliki kemampuan untuk menjaga diri, mereka dapat mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya, langkah mereka bagaikan tidak menyentuh tanah, sementara di saat yang gawat mereka masih akan dapat melarikan diri menghindari lawan yang terlalu banyak.

Ternyata bahwa orang-orang Guntur Geni itu benar-benar yakin akan kekuatan mereka. mereka seakan-akan sama sekali tidak bersiap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang datang. Yang mereka lakukan di banjar itu adalah benar-benar saat istirahat sebelum mereka melakukan tindakan yang menentukan.

Raden Kuda Rupaka dan Panon melihat dua orang penjaga dimuka banjar itu. ketika mereka melingkari dinding halaman, maka mereka sama sekali tidak mendengar nafas seorang pun di kebun belakang.

Dengan berhatil-hati Panon dan Raden Kuda Rupaka berusaha untuk mendekati dinding, dengan kemampuan ilmunya, keduanya berhasil meredam bunyi yang timbul karena gerakan mereka.

Meskipun mereka berhasil mendekati banjar, tetapi mereka tidak berhasil mendapatkan gambaran yang pasti tentang orang-orang yang berada di banjar itu. Namun Raden Kuda Rupaka dan Panon yakin, bahwa jumlah mereka tidak terlalu banyak untuk dicemaskan.

“Duapuluh orang” desis Panon di telinga Raden Kuda Rupaka

Raden Kuda Rupaka yang lebih sering dipanggil Sangkan itu mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Mungkin jumlahnya mencapai dua puluh. Tetapi kita tidak tahu pasti apakah diantara mereka yang pantas dihitung sepuluh”

Panon mengangguk-angguk, yang dapat mereka lihat memang hanya ujud-ujud lahiriah, itu pun tidak pasti, karena mereka tidak dapat mengetahui dan menghitung, yang mereka lihat hanyalah sekedar beberapa orang yang hilir mudik, kemudian suara tertawa yang meledak dan kasar.

“Apakah kita dapat menghitung jumlah kuda mereka” bisik Panon.

“Jangan mendekat, jika kuda-kuda itu meringkik, maka kita akan mendapatkan kesulitan, indera kuda cukup tajam untuk mencium baumu”

Panon mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak membantah, bahkan ia pun tersenyum ketika Raden Kuda Rupaka tersenyum pula.

Namun dari kejauhan mereka dapat menduga, bahwa jumlah kuda yang diikatkan di dekat longkangan itu tidak lebih dari duapuluh lima.

“Kita tidak dapat berbuat lebih banyak, kita hanya dapat membawa kesan, bahwa yang kita hadapi adalah perguruan yang kuat. Jumlah mereka terlalu banyak dibanding dengan jumlah kita di halaman istana pamanda Kuda Narpada”

Panon mengangguk, desisnya, “Marilah, kita akan kembali. Agaknya orang-orang Guntur Geni akan segera menyerang. Mudah-mudahan mereka tidak bertambah jumlahnya lagi”

Keduanya pun kemudian meninggalkan banjar dengan beberapa keterangan yang dapat mereka lihat dan mereka dengar dari Ki Buyut.

Raden Kuda Rupaka dan Panon sengaja tidak berbuat sesuatu yang dapat mengganggu orang-orang itu, karena jika kemarahan mereka tidak tertahankan, maka orang-orang Karangmaja yang akan mengalami kesulitan, itulah sebabnya, yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar mencari keterangan.

Di sepanjang jalan kembali ke istana kecil, keduanya telah memperhitungkan kekuatan yang ada, keharian Pangeran Bondan Lamatan dan pengawal-pengawalnya telah memberikan ketenangan dihari kedua anak muda itu.

“Aku justru berharap, serangan itu segera datang” berkata Raden Kuda Rupaka, “Dengan demikian tugas kita akan cepat selesai”

Panon tiba-tiba berhenti, dengan wajah yang terang ia berkata, “Aku sependapat Raden, kenapa tidak berbuat sesuatu agar mereka semakin cepat bergerak”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Panon termenung-menung sejenak, lalu katanya, “Aku dapat memancing keributan itu, aku harap Raden mendahului kembali ke istana kecil mempesiapkan diri bersama orang-orang yang berada di istana itu”

Raden Kuda Rupaka memandang Panon sejenak, kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kau lakukan untuk mempercepat persoalan ini?”

“Aku membawa beberapa bilah pisau dengan ciri yang ternyata adalah ciri Pangeran Kuda Narpada, aku tidak menyangka sama sekali bahwa guru yang aku temui di lembah Gunung Merbabu itu adalah Pangeran Kuda Narpada”

“Apa yang akan kau lakukan dengan pisau itu?”

“Aku akan melontarkan pisau itu kepada salah seorang penjaga di depan banjar. Mereka tentu akan marah dan mencari siapakah yang telah melakukannya, jika mereka melihat ciri pada pisau itu, maka mereka tentu akan mengenal, bahwa bukan orang-orang Karangmaja yang telah melakukannya, tetapi orang-orang dari istana Pangeran Kuda Narpada”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, katanya, “Tetapi itu sangat berbahaya bagimu, apalagi jika kau sendiri. Jika kau ingin melakukannya, aku akan ikut bersamamu”

“Tetapi siapakah yang akan memberitahukan bahwa kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan?”

Raden Kuda Rupaka termenung-menung, sementara Panon mendesak, “Silahkan Raden kembali, aku akan mencoba mengganggu mereka dengan pisau-pisau itu, sementara kita semuanya sudah siap menghadap segala kemungkinan, agaknya itu akan lebih baik daripada kita menunggu terlalu lama”

Raden Kuda Rupaka masih nampak ragu-ragu, namun Panon telah berketetapan hati untuk melakukannya, katanya, “Sudahlah, silahkan Raden kembali ke istana. Aku kira semuanya akan sependapat, bahwa kita sebaiknya segera menyelesaikan tugas ini sampai tuntas. Memang mungkin kita akan mengalami kesulitan, tetapi aku kira, kita masih mempunyai cukup harapan untuk selamat.”

Akhirnya Raden Kuda Rupakapun setuju, ketika ia meninggalkan Panon, maka ia pun berpesan, “Hati-hati, Panon. Lawan yang berada di banjar itu bukan orang kebanyakan yang dapat kau anggap sasaran permainan, mereka dapat menerkam dan membunuh jika kau lengah”

“Aku akan berhatil-hati, Raden” sahut Panon.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun ia pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan Panon dan kembali ke istana, ia harus membuat persiapan menghadapi peristiwa yang bakal menyusul demikian ia berada di istana itu”

Namun ternyata Raden Kuda Rupaka tidak dapat sampai ke halaman istana secepat yang diharapkannya.

Ketika ia keluar dari padukuhan Karangmaja dan berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri bulak menuju ke istana kecil itu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti, telinganya yang tajam telah mendengar desir dedaunan gerumbul di pinggir jalan yang akan dilaluinya.

Sejenak ia menunggu, agaknya ada orang yang telah bersembunyi di balik gerumbul itu dan dengan sengaja menunggunya.

Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka justru berhenti karenanya, ialah yang kemudian menunggu, siapakah yang akan meloncat keluar dari gerumbul itu.

Beberapa saat lamanya ia berdiri tegak menatap gerumbul yang rimbun, ia sadar, bahwa orang yang bersembunyi itu pun tentu sedang menunggunya.

Tetapi Raden Kuda Rupaka ternyata tidak telaten untuk saling menunggu terlalu lama, namun ia pun tidak mau berjalan di sebelah gerumbul itu dan mendapat serangan yang tiba-tiba tampa mengetahui tingkat kemampuan orang itu.

Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka pun segera meloncati parit di pinggir jalan dan berjalan menyusuri pematang.

Ternyata bahwa uia berhasil memancing orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu, dengan serta merta dua orang telah berloncatan dan berlari menyusulnya.

Raden Kuda Rupaka tidak mempercepat langkahnya, Ia justru berhenti menghadap kepada kedua orang yang menyusulnya itu.

“Siapa kau?” tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu menggeram.

Menilik tingkah laku, suara dan pertanyaan, Raden Kuda Rupaka menduga bahwa kedua orang itu dari perguruan Guntur Geni. karena itu maka ia pun menjawab, “Aku orang Guntur Geni”

“Bohong” geram yang lain, “Kami adalah orang-orang Guntur Geni, katakan, siapa kau sebenarnya, sebelum kau mati disini”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, dugaannya ternyata tepat. Untunglah bahwa ia menjumpai orang-orang itu bukan pada saat ia berangkat ke padukuhan bersama Panon, agaknya kedua orang itu bertugas mengawasi keadaan.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka tidak mau membuang waktu terlalu banyak, ia sadar akan kewajibannya untuk segera sampai ke istana kecil untuk mempersiapkan diri menghadapi induk pasukan perguruan Guntur Geni. karena itu, maka sesaat ia membuat perhitungan yang menentukan, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Sebelum Raden Kuda Rupaka menentukan sikap, salah seorang dari kedua orang Guntur Geni itu telah membentaknya pula, “Cepat jawab, siapakah kau?”

Raden Kuda Rupaka menganggap tidak perlu menjawab pertanyaan itu, ia harus segera berbuat sesuatu agar waktu yang sempit itu tidak terlalu banyak terbuang.

Namun agaknya kedua orang itu pun telah bersiap, mereka segera berpencar, salah seorang dari mereka masih saja bertanya dengan kasar, “Anak demit, sebut namamu”

“Aku memang anak demit” jawab Raden Kuda Rupaka. Namun kegelisahannya semakin meningkat. Jika ia terlambat sampai ke istana kecil itu, sehingga ia tidak sempat memberitahukan bahwa Panon sedang memancing orang-orang Guntur Geni, maka serangan yang tiba-tiba itu akan sangat mengejutkan dan mungkin akan membawa akibat yang buruk.

Karena itulah, maka ketika salah seorang dari kedua orang itu membentaknya sekali lagi, tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka telah menyerangnya dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata wadag.

Tidak ada kesempatan bagi salah seorang dari Guntur Geni itu. serangan Raden Kuda Rupaka langsung mengenainya. Orang itu hanya sempat melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang, namun serangan Raden Kuda Rupaka telah melemparkannya.

Serangan itu memberikan sedikit ketenangan pada Raden Kuda Rupaka, dalam sekilas ia dapat mengetahui tingkat kemampuan salah seorang lawannya.

Sejenak kemudian, Raden Kuda Rupaka telah terlibat dalam perkelahian yang seru, orang yang terlempar itu telah sempat bangkit, kemudian ketika kawannya melihat Raden Kuda Rupaka dalam pertempuran yang kasar.

“Anak gila” geram salah seorang dari mereka, “Kau tentu anak dari istana itu. kau akan menyesal bahwa kau telah bertemu dengan kami disini, kau akan mengalami nasib seperti anak Karangmaja yang bodoh itu”

Raden Kuda Rupaka tidak menghiraukannya gerakannya justru menjadi semakin cepat, setiap kali terbayang sekelompok orang-orang berkuda menyerang istana yang belum siap menghadapi kemungkinan itu.

Namun karena itulah, maka ia pun mengerahkan segenap kemampuannya, ketika lawannya yang seorang sempat mengelakkan serangannya, maka tiba-tiba saja ia melenting sambil menyerang lawannya yang lain, tiba-tiba saja ia menggeram sambil menghentakkan senjata yang telah berada di gengaman.

Lawannya yang seorang itu pun berusaha untuk mengelak, tetapi Raden Kuda Rupaka tidak memberinya kesempatan lagi, serangannya bagaikan badai yang menghantam daun-daun perdu yang tidak berdaya melawannya.

Kedua orang Guntur Geni itu tidak sempat mempergunakan racunnya. Yang terjadi adalah terlalu cepat bagi mereka. Raden Kuda Rupaka telah mengerahkan segenap kemampuannya tanpa pertimbangan apapun kecuali secepatnya kembali ke istana itu.

Yang ternyata bernasib malang adalah kedua orang Guntur Geni yang ditugaskan untuk mengawasi keadaan itu. Raden Kuda Rupaka terlalu berat bagi mereka berdua, sehingga akhirnya keduanya tidak mampu lagi mempertahankan dirinya dan jatuh diatas tanah dengan berlumuran darah.

Raden Kuda Rupaka tidak sempat berbuat sesuatu atas mayat-mayat itu, ia harus segera kembali ke istana kecil itu, untuk menyampaikan rencana Panon yang mungkin sudah dilakukan, untunglah bahwa yang dijumpai Raden Kuda Rupaka bukan orang-orang terpenting dari perguruan Guntur Geni, sehingga ia masih sempat lolos dari tangan mereka.

Semua orang terkejut, ketika mereka melihat Raden Kuda Rupaka kembali hanya seorang diri, dengan wajah yang tegang Ki Wirit yang kebetulan berada di pendapa bertanya dengan cemas, “Dimana Panon?”

Kecemasan itu telah terdengar pula oleh Puteri Raksi Padmasari dari ruang dalam, sehingga ia pun berlari-lari dengan wajah yang tegang, “Apa yang terjadi kakang?”

Dalam ketegangan itu, Raden Kuda Rupaka masih mengganggu adiknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia justru nampak cemas dan gugup.

“Kakang” Puteri Raksi Padmasari tidak sabar lagi menunggu. Sambil menguncang-guncang tubuh kakaknya ua bertanya lebih keras, “Dimana Panon, kakang”

Raden Kuda Rupaka memandang Raksi Padmasari sejenak, namun ia masih tetap berdiam diri.

“Kakang, kakang” Raksi Padmasari yang gugup itu hampir terpekik.

Baru ketika bibinya, Raden Ayu Kuda Narpada keluar dari ruang dalam, Raden Kuda Rupaka merasa bahwa telah mengganggu ketenangan istana kecil itu, sehingga justru menjadi gugup, bukan karena hilangnya Panon, tetapi justru karena bibinya telah hadir pula di pendapa diikuti oleh Inten dan Nyi Upih.

Tetapi sikap Raden Ayu Kuda Narpada membuat Raksi Padmasari menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin tegang pula karenanya.

“Katakan, katakan” Raksi Padmasari hampir berteriak.

Raden Kuda Rupaka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan berhatil-hati ia pun mulai mengatakan apa yang telah mereka rencanakan.

“Panon sekarang tidak apa-apa, dan mudah-mudahan ia tidak apa-apa” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian.

Barulah Raksi Padmasari sadar, bahwa kakaknya sudah mulai lagi menggodanya, karena itu, maka tiba-tiba saja jari-jarinya telah mencengkam lengan Raden Kuda Rupaka, sehingga kakaknya itu melonjak-lonjak.

“Raksi, jangan”

“Katakan, katakan bahwa kau sengaja menggodaku”

“Tidak, Raksi Padmasari, aku benar-benar menjadi gelisah dan cemas atas nasibnya”

“Tetapi kau pura-pura gugup”

Akhirnya Raden Kuda Rupaka berhasil melepaskan diri, ketika Raksi Padmasari akan menerkamnya lagi, kakaknya sempat berlari diantara orang-orang yang berada di pendapa itu.

“Jika kau berlari-lari diantara paman-paman yang duduk, maka kau adalah gadis deksura”

Raksi Padmasari menggeram, tetapi ia tidak mengejar kakaknya.

Dalam pada itu, Pangeran Bondan Lamatan yang tersenyum melihat tingkah kedua anak-anak muda itu pun kemudian berkata, “

“Anak-anak muda memang sering mengambil keputusan sendiri sebelum membicarakannya dengan orang-orang tua. Tetapi semuanya sudah terjadi. Panon akan segera mengundang orang-orang Guntur Geni itu ke halaman istana ini”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Baiklah Kuda Rupaka, kita akan segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan, kita harus benar-benar mengerahkan kemampuan yang ada pada kita”

Sejenak kemudian maka Raden Ayu Kuda Narpada pun kembali ke dalam biliknya. Ia benar-benar telah dicengkam kecemasan tentang apa yang akan terjadi kemudian.

“Paman Bondan Lamatan serta para pengawal, tentu akan berhasil mengusir orang-orang Guntur Geni itu bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kepada bibinya.

Raden Ayu Kuda Narpada tidak menjawab, tetapi kehadiran Pangeran Kuda Narpada tu telah membuat hatinya menjadi tenang, jika ada sesuatu yang terjadi, maka akan dialaminya dengan seluruh keluarganya.

Sementara itu Panon telah merayap kembali ke depan gerbang halaman banjar padukuhan Karangmaja, dengan berhatil-hati ua menyusuri bagian dalam dinding halaman rumah yang terletak di depan banjar itu.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 14

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 12

ISTANA YANG SURAM

Jilid 12

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-12SEJENAK kemudian, maka kedua kelompok itu pun berangkat menuju ke istana kecil yang suram itu, mereka telah bersepakat untuk tidak merahasiakan kedatangan mereka.

“Tidak ada gunanya kita bersembunyi-sembunyi, kita akan datang dengan menengadahkan dada kita” berkata Pangeran Sora Raksa Pati.

Ajar Sukaniti tersenyum, jawabnya, “Ada yang kurang sesuai dengan jalan pikiran kita semula, kita akan datang menjelang fajar, menunggu agar orang-orang yang ada di dalam istana itu lengah, ternyata kita justru datang dengan dada tengadah”

“Bukan aku yang pengecut” geram Pangeran Sora Raksa Pati.

“Dengan demikian, kau mengartikan bahwa akulah yang pengecut, bukan begitu Pangeran?” bertanya Ajar Sukaniti.

Dua kelompok kecil orang-orang berkuda itu pun kemudian menyusuri jalan padukuhan menuju ke istana kecil yang terpisah beberapa puluh tonggak dari padukuhan Karangmaja.

Ternyata bahwa derap kaki kuda itu telah membangunkan beberapa orang padukuhan, sebagian mereka menjadi ketakutan dan membeku karenanya, tetapi satu dua anak-anak muda yang memiliki keberanian, mencoba untuk bangun dari pembaringan-nya, meskipun yang dapat mereka lakukan hanyalah mengintip dari kejauhan.

Tetapi ternyata mereka tidak melihat sesuatu.

Adalah kebutulanan sekali, dua orang yang berada di sawah karena menunggui air yang mengalir tersendat-sendat di parit yang membelah sawahnya, melihat kelompok orang-orang berkuda itu, sambil menggigil mereka berusaha untuk bersembunyi di balik tanggul.

Darah mereka serasa membeku ketika salah seorang dari orang-orang berkuda itu berkata dekat diatas kepala mereka yang bersembunyi itu, “Ada dua ekor tikus bersembunyi disini”

“Biarkan mereka” jawab yang lain, “Biarlah mereka menjadi saksi, bahwa kita telah datang ke istana kecil itu, besok orang-orang Karangmaja akan menemukan mayat-mayat yang berserakan yang harus mereka kuburkan”

Meskipun iring-iringan itu sama sekali tidak mengacuhkan kedua orang itu, tetapi rasa-rasanya nyawa mereka berdua telah melekat di ubun-ubun, karena itulah ketika derap kaki kuda itu menjadi semakin jauh, rasa-rasanya mereka dapat bernafas kembali.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis, “Mereka akan memasuki halaman istana itu”

“Ya, mereka akan melakukan perbuatan yang jahat”

“Apakah kita akan diam saja?”

“Apakah yang dapat kita lakukan?”

“Melaporkannya kepada Ki Buyut”

Kawannya termenung, namun kemudian jawabnya, “Ya, kita wajib melaporkannya kepada Ki Buyut”

Kedua orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan parit dengan alirannya yang gemericik, menyusuri pematang mereka bergegas untuk segera sampai ke rumah Ki Buyut di Karangmaja.

Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di halaman rumah Ki Buyut, ia sudah melihat beberapa orang anak muda. Ki Buyut sudah berada di pendapa pula.

“Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang dari keduanya.

“Kami mendengar derap kaki kuda, tentu orang-orang yang ada di banjar dan kelompok yang lain menuju ke istana kecil itu.

“Kalian melihat?”

“Tidak, kami hanya mendengar derap kaki kuda, kami tidak berani keluar rumah sebelum derap kaki kuda itu lenyap”

“Aku melihat mereka” hampir berbareng kedua orang itu menyahut.

Ki Buyut tertarik mendengar percakapan itu, kemudian dipanggilnya kedua orang itu dan dimintanya untuk menceritakan apa yang sudah mereka lihat.

Dengan singkat keduanya menceritakannya sahut menyahut, merekapun menceritakan bahwa sebenarnya orang-orang berkuda itu melihat mereka pula.

“Apakah mereka menuju ke istana kecil itu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, Ki Buyut. Bahkan mereka berkata, bahwa kita akan menjadi saksi, besok orang-orang Karangmaja akan menemukan mayat-mayat yang berserakan dan harus kita kuburkan”

“He” wajah Ki Buyut menjadi tegang, “Jadi mereka akan membunuh penghuni istana itu?”

“Ya, Ki Buyut”

Ki Buyutpun tiba-tiba saja seolah-olah membeku, di wajahnya nampak pergulatan pikiran yang tidak kunjung terurai.

“O” tiba-tiba ia berdesis, “Kita sudah berhutang budi kepada seisi istana, dan kita sekarang mengetahui bahwa istana itu akan mengalami bencana, tetapi kita tidak berdaya untuk melakukan sesuatu”

Tidak seorang pun yang menyahut, semua orang dihinggapi perasaan serupa dengan Ki Buyut Karangmaja itu.

Keadaan menjadi semakin hening ketika mereka melihat Ki Buyut itu terduduk lemah, adalah diluar ugaan mereka ketika tiba-tiba Ki Buyut yang tua itu menutup wajahnya dengan keuda telapak tangannya, nampak ia berjuang untuk bertahan dari hentakan perasaannya, namun Ki Buyut itu tidak berhasil.

Anak-anak muda Karangmaja berdiri mematung ketika mereka melihat Ki Buyut menangis, laki-laki tua itu adalah laki-laki yang kuat menurut penilaian anak-anak muda Karangmaja, ia seolah-olah tidak pernah tergoncang oleh keadaan, hatinya keras seperti batu karang.

Tetapi kini ia menangis.

Suasana yang hening itu menjadi semakin sepi, anak-anak muda Karangmaja bagaikan terpukau di tempatnya.

Namun sejenak kemudian Ki Buyut itu pun mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja ia berdiri tegak, diputarnya keris yang ada di punggungnya, sehingga kemudian terselip didada, sambil memegang hulu kerisnya ia berkata, “Anak-anakku, aku adalah orang yang sudah tidak berarti apa-apa bagi orang yang sedang bertentangan di halaman istana itu, tetapi aku tidak dapat tinggal diam disini tanpa berbuat apa-apa”

“Apa yang akan Ki Buyut lakukan?” bertanya seorang anak muda.

“Ambilkan pedangku, aku akan pergi ke istana kecil itu”

“Ki Buyut” tiga orang anak-anak muda maju serentak, “Itu berbahaya sekali”

“Aku mengerti, tetapi aku harus pergi”

Anak-anak muda itu pun menjadi tegang, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Buyut yang gemetar, “Ambil pedangku, aku akan pergi, tidak seorang pun boleh mengikuti aku”

“Tetapi Ki Buyut tidak akan pergi”

“Aku akan pergi, kau dengar”

“Jika demikian, kita semuanya akan pergi”

“Bodoh, apakah aku akan membunuh semua anak-anak muda di Karangmaja ini?, biarlah aku yang tua, kalian tahu, siapakah yang akan menggantikan kedudukanku, karena itu, cepat ambil pedangku, aku akan pergi”

Anak-anak muda itu menjadi tegang, tetapi salah seorang dari mereka itu pun pringgitan juga masuk ke ruang dalam, mengambil pedang yang dimaksudkan oleh Ki Buyut, setiap orang mengetahui, bahwa pedang yang tergantung di ruang tengah adalah pedang pusaka Ki Buyut Karangmaja.

Setelah menerima pdangnya, maka Ki Buyutpun sekali lagi berpesan, “Jangan bodoh, setiap orang diantara kita yang pergi ke istana itu tentu akan mati, akupun sudah siap untuk mati, tetapi aku akan mencoba berbuat sesuatu dengan pedangku, meskipun aku tahu, itu tidak akan banyak berarti”

Anak-anak muda Karangmaja masih mencoba mencegahnya, tetapi Ki Buyut itu pun mulai melangkahkan kakinya sambil berkata, “Tidak seorangpun yang boleh mengikuti aku”

Anak-anak muda itu pun bagaikan mematung ditempatnya, ketika mereka melihat dalam keremangan malam, Ki Buyut melangkah satu-satu menuju ke regol halaman rumahnya, semakin lama semakin jauh kemudian hilang dalam kegelapan malam.

Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, mereka seolah-olah melihat Ki Buyut telah berjanji dengan maut, untuk berjumpa di balik gelapnya malam yang menjadi semakin dalam.

Untuk beberapa saat lamanya anak-anak muda Karangmaja itu tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, mereka berdiri saja membeku sambil memandang kegelapan, namun mereka sudah tidak melihat sesuatu.

Anak muda yang berdiri ditengah jalan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kita akan kehilangan. Kehilangan Ki Buyut Karangmaja dan kehilangan isi istana kecil yang pernah memberikan banyak tuntunan bagi tata cara kehidupan padukuhan kecil ini”

Yang lain tidak menjawab, yang terdengar adalah desah dari beberapa orang yang termenung.

Anak muda yang pertama itu pun kemudian berkata, “Apakah kita akan tinggal diam?”

Tidak seorang pun yang segera menjawab, namun mereka cukup menyadari bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa, mereka sudah cukup menderita dengan luka parah yang dialami oleh Kasdu dan seorang kawannya.

“Jika kita pergi ke istana itu, maka seperti yang dikatakan oleh Ki Buyut, semuanya akan mati di halaman istana itu” desis salah seorang kemudian.

Anak muda yang pertama menarik nafas dalam-dalam, sementara seorang yang lebih tua dari mereka, berkata, “Sudahlah, dengarlah pesan dari Ki Buyut, yang terjadi, agaknya memang harus terjadi, tetapi jangan menambah korban mungkin banyak”

Tidak seorang pun yang menyahut, namun hampir setiap orang dengan ngeri membayangkan, mayat yang terbujur lintang di halaman istana kecil itu.

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa, kita harus melihat dan membiarkan semuanya itu terjadi, betapapun besar hasrat kita untuk membantu, tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kemampuan kita memang terbatas, “Orang yang lebih tua itu meneruskan.

Karena itulah, maka anak-anak muda itu pun kemudian seorang demi seorang memasuki regol halaman Ki Buyut, dengan kepala tunduk mereka kemudian duduk di tangga pendapa tanpa berbuat sesuatu. Meskipun demikian ada semacam dorongan di setiap hati, dan ternyata anak-anak muda Karangmaja itu telah berdoa menurut cara mereka, mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa bermurah hati menyelamatkan Ki Buyut dan seisi istana kecil itu.

Dalam pada itu orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu telah mendekati regol halaman istana kecil itu, sejenak mereka berhenti sambil memandang regol yang tertutup.

“Kita akan mengetuk pintu dengan tangkai pedang” berkata Kidang Alit.

“Tidak ada gunanya, mereka tidak akan membuka, kita rusak saja pintu itu” sahut Raden Kuda Rupaka.

Kidang Alit termenung, namun ia pun kemudian tersenyum, “Terserah kepada Raden. Raden adalah kemanakan penghuni istana yang suram ini”

Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang di depan regol itu masih termenung, Raden Kuda Rupaka yang sudah berdiri di depan regol itu pun masih nampak ragu-ragu, namun kemudian, dengan gigi yang gemeretak ia berkata, “Aku akan memecahkan regol ini”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Ada ketidak relaan di dalam hatimu Raden, sehingga kau terpaksa menghentakkan perasaan dengan menggeretakkan gigi, kau mendapatkan sandaran kekuatan untuk melakukannya”

Raden Kuda Rupaka memandang Kidang Alit dengan tajamnya, namun ia tidak menghiraukannya, dengan serta merta ia turun dari kudanya dan mendekati regol halaman yang sudah menjadi semakin rapuh.

Raden Kuda Rupaka tidak memerlukan kekuatannya yang berlebih-lebihan, ternyata dengan dorongan yang tidak terlalu kuat, regol itu sudah terbuka.

“Tidak diselarak” desisnya.

Sekali lagi Kidang Alit tertawa, katanya, “Mereka menyadari bahwa tidak ada gunanya menyelarak pintu itu”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, namun kemudian dituntunnya kudanya memasuki halaman istana yang suram itu, diikuti oleh orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu.

Untuk beberapa saat, orang-orang yang memasuki istana itu mencoba mencari orang-orang yang tentu sudah bersiap-siap di halaman itu, namun mereka mengerutkan keningnya, ketika mereka melihat beberapa orang yang duduk di pendapa istana kecil itu.

“Mereka berada di pendapa” desis Kidang Alit.

“Ya, seperti yang kita duga, mereka tidak akan berpencar” sahut Ajar Sukaniti, “Dan kitapun akan menghadapi mereka seperti yang kita perhitungkan semula”

“Kita harus membunuh mereka semuanya lebih dahulu” geram Pangeran Sora Raksa Pati, “Baru kita melakukan yang lain”

Orang-orang yang ada di pendapa istana kecil itu menarik nafas dalam-dalam, mereka mendengar dengan jelas pembicaraan yang seolah-olah dengan sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi ketahanan hati mereka.

“Perempuan itu tentu ada diantara mereka” desis Raden Kuda Rupaka.

“Tetapi jika yang lain sudah terbunuh, ia akan menjadi jinak” sahut Kidang Alit.

Terasa bulu-bulu di seluruh tubuh Pinten meremang, sebagai seorang gadis ia menyadari bahwa yang terjadi padanya akan dapat berbeda dengan orang-orang lain yang berada di pendapa itu.

Tetapi ketika tersentuh senjatanya, maka terasa hatinnya menjadi agak tenang.

Dalam pada itu, Sangkan dan kawan-kawannya pun telah berdiri pula, dengan hati-hati mereka melangkah maju menyongsong kedatangan orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning seperti yang sudah mereka duga sebelumnya.

Untuk sesaat masing-masing pihak saling berhadapan dengan tegang, seakan-akan mereka sedang saling menilai kekuautan masing-masing.

Namun sejenak kemudian suara Ajar Sukaniti, “Anak-anak muda, apakah hanya orang-orang inilah kawan-kawanmu di istana ini?”

Dada Panon menjadi berdebar-debar, hampir diluar sadarnya, ia menghitung di dalam hati, “Enam orang”

Tetapi ternyata Sangkan menjawab lain, “Tidak Ki Sanak, kawanku cukup banyak, selain yang kau lihat disini, aku masih mempunyai beberapa orang kawan, diantaranya adalah Panji Sura Wilaga”

Raden Kuda Rupaka menahan hatinya yang bergejolak, namun ianya menyahut, “Bagus, aku akan mengambilnya, jika paman Panji Sura Wilaga sudah tidak ada lagi, maka tebusannya adalah enam nyawa sekaligus”

Tetapi diluar dugaan mereka, maka Sangkan menjawab sambil tertawa, “Bagi kami tentu tidak akan ada bedanya, membunuh atau tidak, kalian tentu akan membunuh kami semuanya”

Namun diluar dugaan pula, Kidang Alit menyahut, juga disela-sela tertawanya, “Tentu tidak Sangkan, jika Panji Sura Wilaga masih hidup, justru aku akan membunuh kalian semuanya, tetapi jika Panji Sura Wilaga sudah kalian bunuh, maka harus tersisa sebuah nyawa sebagai gantinya, dan aku memilih, Pinten lah yang akan tetap hidup”

“Persetan” Pinten menggeram, tetapi Ki Ajar Respati sudah mendahuluinya, “Terima kasih, anakmas, jika kau bermurah hati untuk mensisakan satu diantara kami, sebab yang satu itu masih mempunyai kemungkinan untuk membinasakanmu dan menceburkan ke dalam sumur sebelum mulut sumur itu disumbat, aku tidak mengatakan bahwa mulutmulah yang akan disumbat”

Wajah Kuda Rupaka menjadi merah, tetapi ia masih dapat menahan diri.

Tetapi agaknya Pangeran Sora Raksa Pati bersikap lain, dengan suara mengguntur ia berkata, “Orang-orang inilah yang harus kita bunuh, kita datang untuk bertempur, bukan untuk bergurau seperti anak-anak muda yang kurang waras ingatan.”

Suaranya ternyata berpengaruh kuat, suasana halaman itu menjadi tegang.

Sangkan yang berdiri di paling depan diantara kawan-kawannya dengan sungguh-sungguh menyahut, “Baiklah, kita akan mulai bersungguh-sungguh, akupun tidak akan banyak mempunyai waktu, tetapi dalam saat-saat terakhir, aku masih ingin bertanya kepada Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat, dimanakah Pangeran Kuda Narpada saat ini?”

Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat terkejut mendengar pertanyaan yang tidak terduga-duga itu, namun sejenak kemudian Pangeran Sendang Prapat menjawab, “Kenapa kau bertanya kepadaku?”

“Disaat terakhir, Pangeran berdualah yang nampak pergi bersama Pangeran Kuda Narpada”

Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat saling berpandangan sejenak, namun kemudian Pangeran Cemara Kuning berkata, “Tidak ada gunanya kau bertanya lagi tentang Pangeran Kuda Narpada, aku tidak tahu lagi dimanakah ia kini berada, apakah menjadi tanggung jawabku bahwa pada suatu saat Pangeran Kuda Narpada pergi meninggalkan keluarganya dan tidak kembali lagi”

“Jawaban Pangeran sama sekali tidak memperingan tanggung jawab Pangeran, agaknya Pangeran Kuda Narpada sudah tertipu sehingga akhirnya ia terjebak ke dalam rencana jahat, rencana yang sama sekali tidak diduganya, karena Pangeran Kuda Narpada sendiri tidak pernah memikirkan tindak kejahatan yang licik seperti yang terjadi atas dirinya”

“Apa pedulimu tentang peristiwa itu?” geram Pangeran Sendang Prapat, “Sekarang kau menghadapi maut, jangan kau kacaukan pikiranmu, dengan persoalan yang sama sekali tidak menyangkut dirimu”

“Persoalan kemanusiaan menyangkut setiap orang” jawab Sangkan, “Seandainya aku harus mati sekarang ini, sebenarnyalah aku ingin mengetahui apakah yang sudah Pangeran berdua lakukan atas Pangeran Kuda Narpada. Menipu dan menjebaknya?, atau bakal meracuninya?, karena dalam sikap beradu dada, Pangeran berdua tidak akan dapat menang melawan Pangeran Kuda Narpada seorang diri”

“Cukup” bentak Ajar Sukaniti, “Kita sudah mulai lagi dengan persoalan-persoalan yang berkepanjangan, sekarang kita mulai membunuh mereka bersama-sama”

“Lakukanlah” tiba-tiba saja Pinten yang menyahut, “Tetapi apakah Pangeran tidak mau memberikan waktu sedikit saja untuk menjelaskan keadaan terakhir Pangeran Kuda Narpada?”

Suara Pinten ternyata mengumandang dalam nadanya yang tinggi, sehingga orang-orang yang ada di halaman itu bagaikan tercengang karenanya, namun yang menjawab kemudian adalah Pangeran Sora Raksa Pati, “Bunuh mereka sekarang”

“Tunggu” desis Pinten, “Aku hanya ingin mendengar, apakah Pangeran Kuda Narpada masih hidup atau sudah mati?”

“Pangeran Kuda Narpada sudah mati” tiba-tiba saja Pangeran Sendang Prapat berteriak, “Dan kalian semuanya juga akan mati”

Sangkan menjadi semakin tegang, dengan nada dalam ia menggeram, “Pembunuhan yang licik, siapakah yang telah membunuhnya?”

“Jangan hiraukan, keduanya berusaha untuk memperpanjang waktu, mungkin mereka mengharapkan agar orang-orang Karangmaja datang membantu mereka” teriak Raden Kuda Rupaka, “Tidak ada waktu lagi untuk berbicara”

“Jangan beri kesempatan kepadanya untuk menunggu orang yang bakal diharapkan datang” tambah Kidang Alit.

Suasana di halaman itu menjadi semakin tegang, ternyata Sangkan dan Pinten tidak berhasil lagi menunda perkelahian yang sebentar lagi tentu akan meledak.

Tetapi sementara itu Ki Ajar Respati yang melangkah maju sambil tertawa, “Baiklah” katanya, “Kita akan bertempur, mungkin diantara kita akan ada yang mati terbunuh, tetapi yang aneh bahwa aku masih belum banyak mengenal siapakah yang sedang aku hadapi sekarang”

“Persetan” Pangeran Sora Raksa Patilah yang menyahut, “Kaupun berusaha memperpanjang kesempatan untuk menunggu, jangan banyak bicara lagi”

Ki Reksabahu ingin bicara, tetapi baru saja ia bergerak Ajar Sukaniti sudah berteriak, “Bunuh mereka sekarang”

Tidak ada kesempatan lagi, orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu segera mengambil sikap.

Namun sementara itu seakan-akan tanpa disadari, orang-orang yang tinggal di istana kecil itu pun segera berloncatan saling mendekat, mereka kemudian siap melawan kedua kelompok yang datang menyerang itu dalam sati kesatuan di tengah-tengah pendapa, istana kecil itu. Pinten yang semula berdiri agak terpisah, telah menyatukan diri pula diantara Sangkan dan Panon.

Kiai Rancangbandang, Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati telah menutup lingkaran di belahan lain, mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Sejenak kemudian orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu masih saja ragu-ragu untuk menyerang meskipun mereka telah mengepung rapat. Kesatuan kecil memang tidak mudah untuk diserang bersama-sama, justru karena mereka tidak terpencar, dengan demikian maka orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning itu menjadi seakan-akan saling berdesakan.

Ajar Sukaniti, Pangeran Sora Raksa Pati, Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit telah berpencar pula dan berdiri di empat arah.

Sejenak mereka masih termenung, namun ketika Pangeran Sora Raksa Pati mulai menghunus senjatanya, maka pertempuran itu pun segera mulai.

Pada tingkat pertama, mereka saling menjajagi kemampuan masing-masing, orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning sedang berusaha untuk mencari kesempatan yang paling baik untuk memecahkan lingkaran kecil yang rapat itu.

Tetapi senjata keenam orang yang berdiri dalam lingkaran itu seakan-akan telah menjadi perisai yang tidak tertembus sama sekali.

Namun demikian pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat, masing-masing mulai meningkatkan kemampuannya untuk menekan lawanlawannya.

Dalam pada itu diluar regol halaman, seseorang berdiri termenung, sejenak ia mengawasi keadaan, dengan kaki yang timpang ia melangkah mendekat, dari regol halaman ia melihat, bahwa pertempuran di pendapa istana kecil itu sudah dimulai.

Namun tiba-tiba saja orang itu terkejut ketika ia melihat seseorang dengan tergesa-gesa mendekati regol halaman itu tanpa ragu-ragu.

Orang yang timpang itu pun segera mempersiapkan diri, ia belum dapat mengenal orang itu di dalam kegelapan, tetapi menilik langkahnya, maka orang tentu mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.

Tetapi orang itu terkejut ketika semakin dekat ia melihat dalam keremangan malam, siapakah yang berjalan dengan tergesa-gesa itu.

“Ki Buyut” sapa orang yang timpang itu.

Ki Buyut terkejut, tiba-tiba saja ia melihat seseorang muncul dari kegelapan, karena itu sambil mengacungkan pedangnya ia bertanya, “Siapakah kau?”

“Wirit, namaku Ki Wirit”

“Apakah kau orang Kumbang Kuning atau orang Cengkir Pitu?”

Ki Wirit menggeleng kepalanya, katanya, “Bukan Ki Buyut, aku orang lain sama sekali, aku tidak terlibat dalam persoalan yang terjadi itu”

“Kalau begitu minggirlah”

“Ki Buyut akan kemana?”

“Kau mengenal aku sebagai Buyut di Karangmaja?”

“Setiap orang mengenal Ki Buyut”

“Minggirlah, aku akan ikut serta dalam persoalan istana kecil ini, aku tidak dapat tinggal diam karena aku tahu bahwa orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu akan menyerang dan membunuh seisi istana ini”

“Jadi apakah yang akan Ki Buyut lakukan?”

“Di dalam istana ini ada beberapa orang yang akan mempertahankan seluruh isinya, tetapi kekuatan yang ada tentu tidak akan seimbang”

“Dan Ki Buyut akan ikut bertempur?”

“Aku akan berdiri di pihak mereka yang mempertahankan istana kecil ini”

“Tetapi orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu itu sangat berbahaya Ki Buyut, mereka tidak akan berbelas kasihan sedikitpun terhadap mereka yang telah menyatakan diri melawan mereka”

“Aku tidak memerlukan belas kasihan, aku adalah orang yang tahu diri, seluruh padukuhan Karangmaja merasa berhutang budi kepada Pangeran Kuda Narpada, dan sekarang keluarga yang ditinggalkannya akan mengalami bencana, apakah aku akan dapat berpangku tangan melihat istana ini menjadi karang abang?, tidak. Aku harus berbuat sesuatu, meskipun aku sadar, bahwa aku akan mati”

“Itu namanya membunuh diri Ki Buyut, sebaiknya Ki Buyut tidak usah melibatkan diri, bantu saja hal yang lain yang dapat Ki Buyut berikan, tetapi jangan nyawa Ki Buyut”

“Jangan halangi aku, nyawaku masih belum berarti dibandingkan dengan sumbangan-sumbangan yang pernah diberikan oleh Pangeran Kuda Narpada bagi padukuhan yang semula kering kerontang dan bagaikan selalu terbakar karena warnanya yang kuning kemerahmerahan, sekarang padukuhan Karangmaja menjadi hijau, bahkan lereng-lereng pegunungan yang gundulpun mulai ditumbuhi pepohonan. Kehidupan diseluruh padukuhan menjadi jauh lebih baik dari masa-masa sebelum Pangeran Kuda Narpada datang”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, namun katanya kemudian, “Ki Buyut, kau diperlukan sekali oleh padukuhan Karangmaja, kau yang pernah mendapat petunjuk langsung dari Pangeran Kuda Narpada, seharusnya mengembangkan terus usaha yang sudah nampak hasilnya itu, tetapi jika tiba-tiba saja kau bunuh diri, maka siapa yang akan yakin bahwa pegunungan ini tidak akan kembali lagi di musim kering yang panjang? Siapakah yang akan menjamin bahwa parit-parit akan tetap mengalir dan sawah di lembah yang rendah itu dapat panen dua kali setahun?”

Ki Buyut termenung, tetapi kemudian jawabnya, “Anak-anak muda Karangmaja sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan bagi padukuhan mereka untuk menjadi padukuhan yang lebih baik, karena itu, hidupku sudah tidak banyak berarti lagi, sekarang minggirlah, aku akan berbuat sesuatu bagi keselamatan istana kecil ini”

“Tetapi itu tidak akan berati apa-apa, kemampuanmu tidak akan dapat diperbandingkan dengan kemampuan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu”

“Aku tidak peduli”

“Apalagi kau hanya sendiri”

“Aku memang hanya sendiri, aku melarang, aku melarang setiap orang yang akan ikut bersamaku, karena dengan demikian kematian akan semakin bertambah-tambah”

“Juga, kematianmu akan sia-sia, sekarang kembalilah ke padukuhan, tenagamu lebih berarti untuk mengubur mayat-mayat yang akan bergelimpangan di halaman ini daripada kau akan ikut menambah beban bagi mereka yang hidup”

Ki Buyut menjadi bimbang, namun kemudian ia menghentakkan giginya sambil mengacungkan pedangnya, “Minggir, atau kau akan menjadi orang pertama yang akan aku bunuh”

“Jangan Ki Buyut, aku menasehatimu, pertempuran itu adalah arena perkelahian bagi orang-orang yang mempunyai ilmu yang tinggi”

“Persetan” Ki Buyut seolah-olah tidak peduli lagi, ia mkh menuju ke pintu gerbang.

Tetapi orang yang timpang yang menyebutnya dirinya Ki Wirit itu menghalanginya sambil berkata, “Kembali sajalah”

“Tidak”

“Aku tidak mengijinkan kau masuk”

Ki Buyut menjadi tegang, dan tiba-tiba saja ia membentak, “Kau tentu salah seorang dari orang-orang Kumbang Kuning atau orang-orang Cengkir Pitu, jangan menyesal, aku akan membunuhmu jika kau tidak menepi”

Tetapi orang itu tetap berdiri ditengah jalan.

Karena itu, Ki Buyut menjadi tidak sabar lagi, dengan kesal ia membentak, “Pergi, atau kau akan mati disini”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, tatapan matanya tiba-tiba saja menjadi sayu, katanya, “Ki Buyut, yang telah dilakukan oleh Pangeran Kuda Narpada sama sekali tidak seimbang dengan nyawamu. Nyawa seseorang adalah sangat berharga, sedangkan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Narpada tidak lebih daripada menganjurkan kepada orang-orang Karangmaja untuk memperbaiki saluran-saluran air, menanami lereng pegunungan dengan batang metir yang akan dapat membantu melunakkan tanah yang berbatu-batu padas selebihnya adalah kerja keras orang-orang Karangmaja sendiri”

“Cukup” tiba-tiba saja Ki Buyut membentak, “Kau tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Pangeran Kuda Narpada yang lebih senang kalau dipanggil Ki Kuda Narpada, kau memang pantas dibunuh paling dahulu dari semua kawan-kawanmu, kau berusaha memperkecil arti Pangeran Kuda Narpada bagi kami”

Orang timpang itu menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Kau salah paham, Ki Buyut”

“Persetan, minggir, aku tidak mempunyai waktu, pertempuran di halaman sudah berlangsung”

Tetapi ketika Ki Buyut melangkah maju, orang itu sama sekali tidak mau beranjak dari tempatnya, ia masih saja menghadang sambil berkata, “Jangan bodoh Ki Buyut”

Ki Buyut tidak menjawab, ia sudah kehilangan kesabarannya, karena itu maka ia pun segera mengayunkan pedangnya menyerang orang yang menghambat niatnya itu”

Tetapi Ki Buyut tidak tahu apa yang terjadi kemudian, ia hanya merasa bahwa pedangnya sama sekali tidak mengenai sasarannya, selebihnya, semuanya menjadi gelap dan ia tidak mengerti apa yang terjadi kemudian.

Perlahan-lahan orang timpang itu mengangkat tubuh Ki Buyut dan meletakkan di tempat yang gelap, tertutup oleh rimbunnya dedaunan.

“Berbaringlah sementara disini Ki Buyut, kau sudah terlalu tua dan lmumu terlalu lemah untuk ikut serta dalam pertarungan yang mengerikan itu, usahamu untuk membalas budi kepada Pangeran Kuda Narpada adalah suatu sikap yang sangat terpuji, tetapi tidak dengan cara yang bodoh itu” desisnya sambil melangkah meninggalkan tubuh Ki Buyut yang seakan-akan sedang tidur nyenyak karena syaraf kesadaran telah terganggu oleh sentuhan jari-jari orang timpang yang menamakan dirinya Ki Wirit itu.

Dengan langkah yang tetap, Ki Wirit pun kemudian memasuki halaman istana kecil yang suram itu, dadanya yang berdebar-debar rasa-rasanya menyesakkan nafasnya.

Ada sesuatu yang bukan perasaannya, bukan karena ia cemas akan nasibnya melawan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu, tetapi ada sesuatu yang lain yang membuatnya sangat gelisah.

Tetapi Ki Wirit menghentakkan tangannya, dalam kegelapan ia membayangkan muridnya yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya melawan orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dan mempunyai ilmu yang tinggi.

Ketika ia melihat cara yang dipergunakan oleh orang-orang yang berada di istana itu, ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Cara yang baik untuk mempertahankan diri, tetapi selebihnya mereka tidak akan dapat berbuat banyak, jika waktunya datang, maka mereka akan kelelahan dan satu-satu mereka harus menyerah, tetapi memang tidak ada cara lain yang lebih baik dari sekedar mempertahankan diri”

Kedatangan orang timpang itu ternyata telah diketahui oleh kedua belah pihak yang sedang bertempur, karena itu, maka dengan serta merta Panon menyambut, “Kami sudah mulai guru”

Ki Wirit tidak menyahut, tetapi ia melangkah dengan timpang mendakti arena.

“Siapa kau” Kidang Alitlah yang berteriak.

“Namaku Wirit” jawab orang itu yang sudah naik ke pendapa, “Aku mencari muridku, dan aku menemukannya disini, agaknya ia sedang bertempur melawan sekelompok orang-orang yang tidak tahu diri”

“Tutup mulutmu” teriak Raden Kuda Rupaka.

“Muridku berada di dalam suatu lingkungan kecil dengan beberapa orang yang sebagian telah aku kenal, tetapi yang lain belum, sementara orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning yang jumlahnya jauh lebih banyak, sedang berusaha membinasakannya”

Sejenak suasana di pendapa itu menjadi semakin tegang, namun karena sebagian dari perhatian mereka tertuju kepada orang timpang itu, maka pertempuran menjadi agak mereda.

Dalam pada itu, Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning tidak sabar lagi melihat kesombongan orang timpang itu, dengan serta merta mereka seakan-akan berjanji meninggalkan arena yang rasa-rasanya memang terlalu padat itu langsung menyerang orang timpang yang menyebut dirinya Ki Wirit, dan mengaku sebagai guru Panon.

Tetapi keduanya sadar, bahwa anak muda yang bernama Panon itu telah memiliki ilmu yang hampir sempurna, sehingga gurunya Tentu orang yang pilih tanding.

Namun agaknya keduanya memperhitungkan, bahwa cacat kakinya akan memperngaruhi tata geraknya, jika orang timpang itu telah benar-benar terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Wirit sudah berhadapan dengan Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning, dengan kasar Pangeran Sendang Prapat membentaknya, “Apakah kau akan membanggakan kakimu yang timpang itu?, Ayo berdoalah sebelum kau mati di pendapa ini”

“Aku akan turun saja ke halaman, pendapa ini terasa terlampau sempit oleh hiruk pikuk perkelahian, bagi anak-anak muda yang sedang bertahan itu, agaknya memang menguntungkan sekali, tetapi tidak bagiku”

Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat menjadi berdebar-debar melihat ketenangan orang timpang itu, apalagi ketika keduanya melihat Ki Wirit seolah-olah tidak menghiraukan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, saat ia berjalan dengan timpang turun ke halaman.

Hampir diluar sadarnya Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning mengikutinya, namun mereka telah bersiap dengan senjatanya, setiap orang timpang itu dapat berbuat sesuatu diluar dugaan.

Tetapi Ki Wirit memang tidak berbuat apa-apa, ia turun ke halaman dan kemudian berdiri tegak di dalam kegelapan.

“Marilah Pangeran” berkata Ki Wirit, “Bukankah kalian berdua adalah Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning?”

Kedua Pangeran itu termangu-mangu sejenak, dengan nada datar Pangeran Sendang Prapat menjawab, “Siapapun aku dan kau, kita akan saling membunuh di halaman ini”

“Aku tidak akan ingkar”

“Bersiaplah untuk mati”

“Baiklah, tetapi aku ingin tahu kenapa Raden Kuda Rupaka justru berdiri di pihak Kumbang Kuning tidak di pihak Cengkir Pitu?”

Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan, sejenak kedua Pangeran itu bimbang, namun kemudian Pangeran Sendang Prapat menjawab, “Tidak ada orang lain yang dapat mencampuri pilihan kami, tetapi darimana kau berpijak sebagai alas pertanyaan itu?”

“Aku hanya menduga-duga Cengkir Pitu dipimpin oleh Pangeran Sora Raksa Pati yang seharusnya lebih dekat dengan Pangeran berdua daripada Sora Raksa Pati”

“Persetan, aku tidak peduli” geram Pangeran Cemara Kuning, “Kita tidak mempunyai waktu lagi, kami harus menemukan pusaka itu malam ini”

“Itu tidak mungkin Pangeran, sebentar lagi fajar segera menyingsing di timur”

Pangeran Pangeran Cemara Kuning tidak menjawab, ia pun segera melangkah maju sambil mengacungkan senjatanya”

Ki Wirit melangkah surut, namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika kemudian Pangeran Cemara Kuning meloncat menyerang, maka Ki Wirit pun dengan tangkasnya mengelak pula, sama sekali tidak terkesan kesulitan yang ditumbuhkan oleh kakinya yang timpang itu.

“Tetapi jika ia dipaksa untuk mengerahkan segenap kemampuannya, maka timpang kakinya akan sangat berpengaruh” berkata Pangeran Cemara Kuning di dalam hatinya.

Sejenak kemudian maka pertempuran di halaman itu pun menjadi semakin sengit, Ki Wirit yang timpang itu harus berjuang melawan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat, dua orang Pangeran yang memiliki kemampuan yang tinggi.

Namun dalam pada itu, Panon yang bertempur di pendapa menjadi heran, ia sama sekali tidak menyangka bahwa gurunya yang timpang itu mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah dengan kecepatan serangan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat.

“Aku tidak mengerti” gumam Panon kepada diri sendiri, “Menurut pengalamanku, guru tidak dapat berbuat apa-apa dengan kakinya, latihan-latihan yang diberikan terutama sekedar petunjuk-petunjuk dasar, dan aku sendirilah yang harus mengembangkan kemampuan gerak kaki. Guru hanya memberikan beberapa petunjuk, kemudian menilainya dengan serangan-serangan yang dilontarkan dengan tangannya”

Tetapi ternyata kini ia melihat gurunya yang timpang itu mampu bertempur seolah-olah tidak cacat sama sekali.

Namun dalam pada itu, tekanan yang semakin lama semakin berat telah menghimpit orang-orang yang sedang bertahan di pendapa. Lingkaran mereka terut merapat, kadang-kadang satu dua diantara mereka sempat juga menyerang, meskipun pada jarak yang sangat terbatas, namun mereka kemudian harus segera kembali menutup lingkaran pertahanan mereka.

Tetapi ternyata bahwa pertahanan yang demikian itu sampai menjengkelkan lawan-lawan mereka, mereka tidak dapat menyerang dengan leluasa bersama-sama, karena sasarannya seolah-olah berkumpul disatu titik.

“Licik” teriak Pangeran Sora Raksa Pati, “Marilah kita bertempur dengan jantan, kita mencari tempat yang luas dan kita langsung berhadapan dengan dada tengadah, tidak seperti yang kalian lakukan sekarang, berdesakan dan kadang-kadang berperisai tiang pendapa”

Yang terdengar adalah jawaban Kiai Rancangbandang, “Aneh sekali, bagaimana jika kita berjanji, kita akan bertempur dengan jantan dan jumlah yang sama banyak”

“Persetan” teriak Sora Raksa Pati, “Yang akan menentukan kemenangan adalah kekuatan kita masing-masing, bukan aturan yang kau buat”

“Baiklah” yang menjawab adalah Ki Reksabahu, “Kau pun jangan membuat aturan tentang cara kami berkelahi”

Pangeran Sora Raksa Pati menggeram, tetapi ia tidak berbicara lagi, dengan geramnya ia menyerang Sangkan yang kebetulan berada di hadapannya, tetapi Sangkan sempat menangkis serangan itu dan bahkan melemparkan arahnya sehingga hampir saja senjatanya berbenturan deng senjata salah orang pengawalnya.

Pada saat yang bersamaan Kidang Alit dengan lincahnya meloncat maju dengan senjata terjulur, “Tetapi sambil mengumpat ia terpaksa menarik serangannya, karena tiba-tiba seorang pengawalnya telah membentur sikunya karena ia pun sedang melangkah sambil menyerang.

“Gila” geram Kidang Alit.

Namun demikian, ternyata bahwa lingkaran itu telah mengurung mereka yang mencoba bertahan itu semakin lama semakin rapat, mereka justru semakin mapan dan berhasil saling menyesuaikan diri.

Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru, masing-masing berusaha untuk menembus pertahanan lawan, tidak ada lagi usaha untuk mengekang diri, yang menjadi tujuan mereka kemudian adalah sentuhan senjata didada lawan dan membunuhnya sekaligus.

Di halaman ternyata bahwa, Ki Wirit masih mampu mengimbangi kedua lawannya yang tidak bercacat itu. Betapapun juga Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning mengerahkan tenaganya untuk bukan lawannya, tetapi Ki Wirit itu mampu bertahan dengan rapatnya, meskipun kakinya timpang namun senjata kedua orang lawannya sama sekali tidak menyentuhnya.

“Aku mengharapkan bahwa Pangeran berdua menyadari kesalahan ini” berkata Ki Wirit.

“Gila, jangan menggurui aku, sebentar lagi kau akan mati”

“Kematianku bukannya merubah kebenaran, demikian juga kemenangan yang mungkin dapat kalian capai dalam pertempuran ini”

“Aku tidak memerlukan kebenaran menurut penilaianmu, bagiku apa yang akan terjadi sesuau dengan keinginanku adalah kebenaran”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia sama sekali tidak lengah.

“Orang yang tidak mau berusaha melihat ke dalam dirinya sendiri, selamanya akan sesat” berkata Ki Wirit.

“Aku tidak peduli, jangan berbicara lagi” teriak Pangeran Cemara Kuning.

“Apa salahnya” sahut Ki Wirit.

“Aku sobek mulutmu” Pangeran Cemara Kuning menggeram.

Tetapi Pangeran Sendang Prapat menyahut, “jangan hiraukan, ia memang sedang berusaha membuat kita marah, tetapi kita bukankan kanak-kanak, kita harus menyadarii cara yang licik itu”

Pangeran Cemara Kuning terdiam, ia tidak lagi berteriak, dan bahkan ia mencoba untuk tidak terseret oleh kemarahannya.

Meskipun demikian, kedua orang Pangeran itu tidak segera dapat mengusai lawannya yang pincang, bahkan kadang-kadang mereka menjadi bingung dan kehilangan pegangan, sehingga mereka harus berloncatan surut mencari kesempatan untuk mulai dengan serangan berikutnya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Pangeran Sendang Prapat menjadi tidak sabar lagi, apalagi ketika ia sempat melihat orang-orang yang mengepung lingkaran di pendapa itu masih berdesak-desakan.

“Kemarilah, satu atau dua orang” teriak Pangeran Sendang Prapat, lalu, “Bunuh orang cacat ini lebih dahulu, baru kita bersama-sama akan menyelesaikan yang lain.”

Suara Pangeran Sendang Prapat bagaikan menggetarkan pendapa itu. Adalah mengherankan sekali, bahwa kedua Pangeran yang bertempur bersama itu tidak dapat segera mengalahkan seorang lawannya yang cacat, apalagi mereka terpaksa memanggil orang lain untuk membantunya.

Sora Raksa Pati dan Pangeran Sora Raksa Pati menjadi heran, namun kemudian mereka justru sependapat, orang cacat itu Tentu orang yang pilih tanding, muridnya yang masih sangat muda itu telah memiliki kemampuan yang mengherankan.

Karena itu, maka Sora Raksa Pati dan Pangeran Sora Raksa Pati telah melepas dua orang untuk turun ke halaman membantu Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning melawan orang timpang yang aneh itu.

“Kekuatan kita tidak akan berkurang” desis Pangeran Sora Raksa Pati, “Justru kita tidak akan berdesak-desakan dan dengan mudah dapat memecahkan lingkaran gila itu”

Dua orang yang terdiri di lapisan paling belakang dari kepungan itu pun segera melangkah surut, sejenak mereka memandang orang timpang di halaman yang bertempur melawan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat.

“Orang itu memang luas biasa” berkata mereka di dalam hati.

Perlahan-lahan keduanya pun melangkah turun ke halaman mendekati arena pertempuran yang sengit.

“Jangan panggil orang lain, Pangeran” berkata Ki Wirit.

“Kau mulai ketakutan” desis Pangeran Cemara Kuning

“Mungkin, tetapi justru karena itu, aku akan menjadi liar dan berbahaya”

“Jangan mengigau”

“Ketakutan kadang-kadang membuat seseorang berubah dalam solah dan tingkah laku”

“Kau akan mati, apapun yang akan kau lakukan” geram Pangeran Sendang Prapat.

“Aku sudah memperingatkan, dalam ketakutan aku dapat membunuh mereka berdua, karena aku tidak akan memperlakukan mereka seperti Pangeran berdua”

“Persetan” teriak Pangeran Cemara Kuning.

Ki Wirit tidak menyahut lagi, tetapi wajahnya menjadi tegang, karena kedatangan kedua orang yang turun dari pendapa itu.

Sementara itu langit menjadi semburat merah, fajar telah mendekat. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

Sejenak kemudian, maka kedua orang yang turun ke halaman itu pun telah bersiap-siap untuk bertempur, mereka menempatkan diri masing-masing berseberangan, diantara kedua Pangeran yang telah memeras keringat melawan Ki Wirit yang timpang, namun tidak segera berhasil.

“Aku sudah memperingatkan” desis Ki Wirit

“Sebaiknya selain Pangeran berdua, tidak ada orang lain yang ada di lingkaran perkelahian ini, tetapi bila ini terjadi, maka seperti yang aku katakan, aku akan menjadi liar dan berlaku buas, aku akan mulai membunuh lawanku.

“Jangan banyak bicara” teriak Pangeran Cemara Kuning

Ki Wirit terdiam, tetapi wajahnya mulai berkerut merut, ia memandang dua orang yang telah berada di dalam arena pertempuran, sementara ia masih tetap menghindari serangan-serangan yang datang beruntun.

“Aku memang harus mengurangi jumlah lawanku” katanya di dalam hati, “Jumlah orang yang bertempur di pendapa itu terlalu banyak, sehingga pada suatu saat orang-orang yang bertahan dalam lingkaran itu akan kehabisan tenaga”

Dalam pada itu, kedua orang yang telah berada di lingkaran pertempurannya itu pun telah ikut pula, mengambil bagian, mereka telah berloncatan pula ikut menyerang.

Ki Wirit yang melawan empat orang sekaligus memang harus memperhitungkan kemampuannya pula, Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat bukannya orang yang tidak berilmu, tetapi mereka adalah orang-orang ug cukup kuat untuk bertempur, apalagi berpasangan.

Itulah sebabnya, Ki Wirit kemudian benar-benar akan melakukan apa yang dikatakannya, dengan wajah yang tegang dan hati yang berdebar-debar ia berdesis, “Bukan maksudku membunuh seseorang sekedar untuk membunuh, aku kini sedang dalam ketakutan atas keselamatanku sendiri”

“Persetan” geram Pangeran Sendang Prapat.

Tetapi gema suaranya belum lenyap, terdengar salah seorang kawannya yang baru turun dar pendapa itu berdesis, kemudian mendengar sebuah keluhan pendek.

“Gila” orang itu menggeram, tetapi ia terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

“Apa yang sudah kau lakukan” teriak yang seorang lagi, tetapi Pengeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat sempat melihat, ternyata bahwa Ki Wirit telah melontarkan sebilah pisau kecil langsung ke dada orang itu”

“Licik” teriak Pangeran Sendang Prapat, “Kau melemparkan pisau dalam perkelahian ini”

“Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan menjadi buas dan liar, mungkin aku akan kehilangan ungah-unggah perkelahian jika ketakutanku telah memuncak sampai ke ubun-ubun”

Pangeran Cemara Kuning yang marah meloncat menyambar dengan senjatanya, tetapi Ki Wirit dapat mengelakkan diri.

Dengan demikian, maka Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat harus menyesuaikan diri dengan cara perkelahian orang yang menyebut dirinya Ki Wirit, ternyata tangan kirinya mampu melontarkan senjata-senjata kecil yang langsung dapat melumpuhkan lawannya, ternyata orang yang telah terkena pisau itu seakan-akan telah kehilangan semua tenaganya, sambil mengerang ia terduduk bersandar sebatang pohon, sementara tangannya memegang tungkai pisau yang menancap di dadanya.

Sora Raksa Pati melihat seorang kawannya yang terluka, itulah sebabnya, maka ia pun segera meninggalkan arena perkelahian yang hiruk pikuk di pendapa untuk membantu meringankan penderitaannya.

Ternyata bahwa Sora Raksa Pati mempunyai pengetahuan tentang luka-luka dan berbagai macam penyakit, apalagi ia memang sudah membawa obat untuk setiap saat dapat dipergunakan.

Agaknya obat yang diberikan oleh Sora Raksa Pati itu mempunyai pengaruh yang kuat , terasa pedih pada luka-luka itu menjadi jauh berkurang, sementara darahnyapun menjadi pempat.

Dalam pada itu, Sora Raksa Pati masih saja melihat-lihat pisau yang baru saja dicabutnya. Semula dalam keremangan malam menjelang fajar ia tidak melihat sesuatu yang menarik pada pisau itu, tetapi ketika tangannya meraba-raba tangkai pisau itu, terasa bahwa pada tangkai pisau itu terdapat goresan yang merupakan sebuah gambar.

Dengan seksama Sora Raksa Pati mengamat-amati gambar itu, semula ia tidak menemukan bentuknya, namun tiba-tiba saja ia berlari ke sudut istana kecil itu, di bahwah lampu minyak yang masih menyala ua melihat lukisan kecil dari seekor kuda dengan sepasang sayap yang terkembang,

“Kuda bersayap” desisnya.

Dan tiba-tiba saja terasa seluruh kulitnya meremang, bahkan kemudian diamatinya gambar itu sekali lagi sambil merabanya, seakan-akan ia tidak percaya kepada penglihatannya.

“Hanya kebetulan” desisnya, “Atau orang ini menemukan pisau semacam ini di suatu tempat”

Namun kegelisahan yang mengoyak dadanya, telah mendorongnya untuk berlari naik ke pendapa, digamitnya Pangeran Sora Raksa Pati yang sedang berusaha menekan lawannya diantara beberapa orang anak buahnya”

“Lihat Pangeran” desis Sora Raksa Pati.

“Apa itu?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati, “Aku tidak ada waktu, aku ingin membunuh tikus-tikus ini segera”

“Pisau ini, dan lukisan ini”

Kata-kata itu memang menarik perhatiannya, karena itu, maka ia pun surut selangkah dan menerima pisau kecil itu.

“Lukisan apa?” Pangeran Sora Raksa Pati tidak dapat langsung melihat.

“Seekor kuda dengan sepasang sayap terkembang”

“He” wajahnya menjadi tegang, “Apakah matamu tidak rabun?”

“Aku melihat di bawah lampu minyak disudut itu”

Pangeran Sora Raksa Pati pun kemudian berlari-lari ke sudut istana itu, sementara dengan gelisah Sora Raksa Pati menempati tempat Pangeran Sora Raksa Pati.

Namun tiba-tiba halaman itu telah dikejutkan oleh Pangeran Sora Raksa Pati yang menggelegar, “Bunuh orang timpang itu, bunuh semua orang yang ada di halaman ini, orang timpang itu sangat berbahaya bagi kita semua, karena ia mempunyai ciri seekor kuda dengan sepasang sayap yang terkembang”

Beberapa orang tertegun mendengar kata-kata Pangeran Sora Raksa Pati, bahkan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat telah meloncat menjauh Ki Wirit itu, dan bahkan kawannya yang ikut bertempur melawan Ki Wirit itu.

Dan sekali lagi suara Pangeran Sora Raksa Pati menggema, “Kita tidak akan dapat berbaik hati kepada siapapun juga yang mempunyai ciri seekor kuda dengan sayap yang terkembang”

Ki Wirit yang termangu-mangu itu pun kemudian bertanya, “Aku tidak mengerti, apakah yang kalian sebut-sebut dengan lukisan seekor kuda dengan sepasang sayap yang terkembang?”

“Persetan” bentak Pangeran Sora Raksa Pati

“Darimana kau mendapat pisau kecil ini, atau kau sendiri yang mempunyai ciri seperti lukisan pada tangkai pisaumu”

“Aku tidak mengerti, aku menemukan pisau semacam bukan hanya sebilah, tetapi seikat, dan aku masih mempunyai lainnya, apakah yang menarik perhatian pada pada tangkai pisau itu? setiap orang dapat melukis apa saja pada tangkainya, mungkin seekor kuda bersayap terkembang, mungkin seekor naga dengan lidah api, mungkin burung elang dengan kuku-kuku baja atau apa saja, kenapa lukisan itu tiba-tiba telah mempunyai pengaruh yang kuat?”

Pertempuran di pendapa itu pun seolah-olah telah berhenti, persoalan lukisan kuda dengan sayap terkembang itu benar-benar telah berpengaruh.

Dalam ketegangan itu tiba-tiba saja Pangeran Cemara Kuning bertanya, “Dimana kau menemukan pisau-pisau itu?”

“Di lembah Gunung Merbabu, aku adalah salah seorang penghumi lembah itu disamping sejumlah orang padukuhan lainnya”

Jawaban itu membuat Pangeran Sendang Prapat menjadi tegang, dengan nada yang datar ia bertanya, “Apakah kau menemukan barang yang lain selain seikat pisau itu?”

Ki Wirit menggeleng, jawabnya, “Tidak, aku hanya menemukan seikat pisau, aku tidak berbohong, karena aku tidak sendiri waktu itu, aku sedang menyusuri air parit yang mengairi sawah bersama dua orang tetanggaku”

Orang yang mendengar keterangan itu termangu-mangu, “Ki Wirit yang menceritakan saat ia menemukan pisau-pisau itu, menggambarkan bahwa ia adalah seorang penghuni padukuhan seperti kebanyakan penghuni yang lain. Namun ilmunya mengesankan bahwa ia bukannya orang kebanyakan yang tinggal di dalam suatu lingkungan di sebuah padukuhan.

“Bohong, tiba-tiba Sora Raksa Pati berteriak dari pendapa, “Kau jangan mengelabui kami, kau adalah pemilik pisau-pisau itu”

“Benar, aku memang pemiliknya, aku menemukan pisau semacam itu seikat, dan sekarang aku masih mempunyai cukup banyak untuk membunuh kalian seorang demi seorang, aku akan melontarkan pisauku kearah dada, tepat menghunjam jantung, tidak seperti yang sudah aku lakukan tadi, pisauku sisip dan akhirnya ia dapat diselamatkan oleh Pangeran Sora Raksa Pati”

Sora Raksa Pati menggeram, katanya, “Persetan dengan igauanmu, jangan biarkan ia hidup dan menghantui kita semuanya”

Pangeran Sora Raksa Pati pun kemudian mendekat perlahan-lahan, katanya dengan lantang, “Aku akan bertempur bersama Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning”

“Aku juga” desis Sora Raksa Pati, “Kita berempat akan membunuhnya, baru kami akan membunuh yang lain”

Ki Wirit mengerutkan keningnya, melawan empat orang itu, rasa-rasanya akan merupakan tugas yang sangat berat baginya.

Namun ia tidak ingkar, apapun yang harus dihadapinya, akan dihadapinya dengan segala tanggung jawab.

Dengan wajah yang tegang Pangeran Sora Raksa Pati dan Sora Raksa Pati telah berada di dalam satu arena, sementara seorang kawannya yang semula ikut bertempur melawan Ki Wirit , telah berada di pendapa.

Orang yang terluka yang duduk bersandar batang pohon dipinggir halaman menyaksikan perkembangan keadaan dengan tegang, meskipun lukanya sudah tidak terasa menyengat-nyengat, tetapi ia masih belum mampu untuk ikut melibatkan diri dalam perkelahian berikutnya.

Sejenak orang-orang yang sudah saling berhadapan itu termangu-mangu, Panon yang melihat gurunya harus menghadapi empat orang yang menjadi puncak kekuatan lawannya, tidak sampai hati membiarkannya. meskipun ia percaya bahwa gurunya adalah seorang yang mumpuni, tetapi melawan mereka berempat akan merupakan tugas yang sulit untuk dapat dilakukannya.

Karena itu, diluar perintah gurunya, tiba-tiba saja Panon meloncat berlari sambil mengayunkan senjatanya, sehingga beberapa orang yang terkejut telah menyibak.

“Aku akan bertempur bersama guru” teriaknya.

Tidak seorang pun yang sempat mencegah, yang terjadi itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan.

“Biarlah ia berada disini” desis Pangeran Sendang Prapat, “Adalah lebih bahagia baginya mati bersama gurunya”

Tidak ada yang menyahut, suasana di halaman itu menjadi bertambah tegang.

“Langit telah menjadi merah” teriak Sora Raksa Pati, “Kenapa kita masih termangu-mangu. Jika lukisan kuda bersayap itu adalah pertanda milik orang timpang sendiri, biarlah ia mati untuk tidak akan bangkit kembali”

Teriakan itu bagaikan perintah yang tidak perlu diulang, sejenak kemudian maka orang-orang yang ada di pendapa dan di halaman itu pun sudah mulai dengan pertempuran yang sangat dahsyat.

Di pendapa, Sangkan yang seolah-olah telah memimpin kawan-kawannya, segera mulai menyerang dengan sengitnya, disusul oleh adiknya Pinten, meskipun ia seorang gadis.

Ki Reksabahu, Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang harus segera menyesuaikan dirinya, mereka telah berada di dalam kepungan, sehingga yang harus mereka lakukan adalah berjuang untuk mempertahankan hidup mereka.

Sangkan dan Pinten yang masih muda itu ternyata memang bukan anak-anak muda kebanyakan yang sekedar mendapat ilmu dari padepokan kecil, dari tata gerak dan ilmunya, justru saat-saat ia mengalami tekanan yang berbahaya, mulai dapat dibaca oleh kawan-kawannya, dan bahkan kemudian menumbuhkan banyak pertanyaan di dalam hati.

Tetapi tidak seorangpun yang sempat merenunginya, karena mereka sendiri harus mengerahkan segenap ilmu yang ada agar mereka tidak segera disentuh oleh nafas maut.

Di halaman, Ki Wirit menghadapi lawan yang sangat berat bersama muridnya, Panon. Yang ada di halaman itu adalah orang-orang terkuat dari kelompok Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu. Pangeran Sendang Prapat, Pangeran Cemara Kuning, Pangeran Sora Raksa Pati dan Sora Raksa Pati, sedangkan Ki Wirit hanya dikawani oleh muridnya yang setia, Panon Suka.

Ketika pertempuran telah menjadi semakin sengit, mulailah terasa, bahwa betapapun tinggi ilmu Ki Wirit, namun keempat lawannya benar-benar memiliki kemampuan untuk menguasainya, perlahan-lahan tetapi hampir pasti, Ki Wirit dan Panon telah terkurung dalam satu kepungan yang tidak tertembus.

Tetapi keduanya sama sekali tidak mengeluh dan tidak menyesal, keduanya bertempur dengan segenap hati tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi.

Dalam keadaan yang sulit, sekali-sekali Panon terpaksa melepaskan pisau-pisaunya, tetapi tidak seperti pisau gurunya, maka pisau yang ada pada Panon adalah pisau-pisau yang terbuat oleh pandai besi di padukuhannya, namun demikian, jika pisau itu mengenai lawannya maka lambaran kekuatan tangannya akan dapat menghunjam pisaunya itu sampai ke jantung.

“Kau pandai juga bermain pisau” desis Pangeran Sora Raksa Pati.

Panon tidak menjawab, ia bertempur dengan gigih, namun setiap kali jika lawannya berhasil memburunya dalam kesulitan, maka setiap kali ia harus melindungi dirinya dengan lontaran pisaunya, bahkan kadang-kadang sekaligus, ia berhasil melemparkan dua atau tiga pisau belati yang dengan demikian telah menahan serangan lawannya yang terpaksa menghindar.

“Tetapi berapa ribu pisau yang dapat kau bawa?”

Sora Raksa Pati tersenyum, “Pada sutu saat pisau akan habis, dan kau akan segera terbaring di halaman ini”

Kemarahan yang menggelitik hati anak muda itu bagaikan akan meledak, sehingga ia pun berteriak, “Sebelum pisauku habis, kaulah yang lebih dahulu mati”

Tetapi yang mengejutkan adalah suara gurunya, “Jangan sombong Panon, lebih baik kau perhatikan nasehat Sora Raksa Pati, hematlah pisau-pisaumu, meskipun sekedar pisau dapur, tetapi pisau-pisau itu akan sangat berguna bagimu dalam saat yang paling sulit”

Panon menjadi berdebar-debar, agaknya ia sudah terlanjur menyombongkan diri menurut penilaian gurunya, namun dengan demikian, ia benar-benar memperhatikan petunjuk itu, dan ia tidak melepaskan pisau-pisaunya jika itu tidak terpaksa sekali.

Sementara itu, langit pun mulai bertambah cerah, cahaya kemerah-merahan di langit menjadi semakin terang.

Namun pertempuran di halaman istana kecil itu masih berlangsung dengan sengitnya, masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk membinasakan lawannya.

Tetapi betapapun juga, ternyata bahwa kekuatan orang-orang yang bertahan di halaman istana kecil itu, semakin lama semakin susut, lawan mereka terlalu banyak, dan kekuatan diantara kedua belah pihak nampak semakin tidak berimbang.

Di halaman Ki Wirit dan Panon pun menjadi semakin terdesak, tidak ada sandaran lagi bagi mereka untuk memperpanjang perlawanan, apalagi pisau-pisau dapur Panon telah semakin menipis dan tinggal beberapa buah sajalah yang masih terselip diikat pinggangnya.

Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka yang bertempur, di dalam cahaya pagi, maka semakin jelaslah, bahwa perlawanan orang-orang yang mempertahankan istana kecil itu menjadi semakin lemah.

“Sangkan” suara Raden Kuda Rupaka gemetar, “Apakah kau masih akan bertahan terus?”

Sangkan tidak menjawab, tetapi ia merasa bertanggung jawab atas perlawanan itu, karena itu, ia telah berbuat apa saja untuk memenangkan pertempuran itu atau setidak-tidaknya mempertahankan hidupnya dan kawannya.

Namun serangan Raden Kuda Rupaka dan para pengawalnya datang bagaikan reruntuhan tebing pegunungan, sementara disisi yang lain, Kidang Alit bertempur dengan segenap kekuatannya bersama para pengiringnya.

Pendapa itu menjadi semakin panas ketika tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka yang marah bersama beberapa pengawalnya berhasil mendesak Pinten selangkah surut. Namun arah sebenarnya dari serangan Raden Kuda Rupaka justru adalah Sangkan, sehingga karena itulah maka Sangkan telah terpancing untuk melindungi adiknya, namun dengan tangkasnya Raden Kuda Rupaka menyerangnya untuk merampas segenap perhatiannya, dan pada saat yang bersamaan seorang pengawalnya telah menghunjamkan tombak pendeknya kearah punggung Sangkan.

“Sangkan” Kiai Rancangbandang sempat berteriak.

Dan Sangkan pun menyadari kesalahannya, ia masih sempat mengelak dengan berputar setengah lingkaran dan menangkis ujung tombak pendek itu, namun ternyata bahwa ia tidak berhasil membebaskan dirinya seluruhnya dari ujung senjata lawan, karena itu tombak itu telah menyentuh pundaknya.

Sangkan menjadi tegang ketika terasa pundaknya disengat oleh pedih dilukanya, diluar sadar tangannya menyentuh darah yang meleleh dari luka itu.

Darah yang hangat itu bagaikan telah membakar jantungnya, namun ia sadar, bahwa perjuangannya akan menjadi semakin berat.

Pinten yang melihat darah di pundak kakaknya menggeretakkan giginya, dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia menyerang lawannya. Senjatanya seakan-akan telah berubah menjadi puluhan senjata di dalam genggaman puluhan tangan.

Tetapi lawan terlalu banyak, tidak mudah bagi Pinten untuk menembus pertahanan lawan yang sangat rapat.

Sementara itu Kiai Rancangbandang, Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati telah berjuang dengan segenap kemampuan mereka, tidak ada waktu untuk menyerang, yang dapat mereka lakukan adalah sekedar memperpanjang hidup, mereka harus bertahan matimatian agar mereka tidak menjadi orang yang pertama tergolek di lantai pendapa istana kecil itu.

Namun ternyata bahwa sejenak kemudian Kiai Rancangbandangpun harus berdesis menahan sakit, lengannya pun telah tergores pula oleh senjata lawan, sehingga darahnyapun telah mulai mengalir.

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi kemarahan yang menggetarkan dada, namun masing-masing tidak dapat berbuat menurut keinginannya, karena mereka harus berhadapan dengan lawan yang kuat sekali.

Di halaman, Panon telah kehilangan semua pisau-pisaunya, ia telah melepaskan pisaunya yang terakhir ketika ia kehilangan keseimbangannya saat ia menghindari serangan Sora Raksa Pati, hampir saja ia terjatuh dan senjata Sora Raksa Pati menghunjam dadanya, untunglah ia masih sempat melemparkan pisaunya, sehingga langkah Sora Raksa Pati tertahan, dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.

Tetapi semuanya menjadi semakin buruk ketika matahari telah memanjat dibibir langit, cahayanya yang kemerah-merahan menjadi semakin cerah, darah di luka Sangkan dan Kiai Rancangbandang menjadi semakin jelas mengalir di tubuhnya.

Pinten menggeram ketika terdengar suara Kidang Alit, “Kau tidak akan terluka Pinten, meskipun semuanya akan mati, tetapi aku akan berjuang untuk mempertahankan hidupmu”

Darah Pinten bagaikan mendidih, tetapi semuanya serba terbatas, sehingga kemarahannya justru bagaikan meretakkan dadanya sendiri.

Sementara itu, Panji Sura Wilaga yang tertidur diatap istana diatas talang batang pucang itu pun mulai dijalari oleh kesadarannya kembali, kekuatan yang membuatnya tertidur telah menjadi semakin samar-samar, sehingga akhirnya Panji Sura Wilaga itu pun seolah-olah telah terbangun dari tidurnya yang sangat nyenyak.

Yang pertama-tama terasa adalah sengatan panas matahari pagi, sambil mengedipkan matannya ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya, ketika ia ingin mengusap keringat di keningnya, barulah ia sadar, bahwa tangan dan kakinya masih juga terikat, selembar ikat kepala telah membungkam mulutnya, sehingga ia tidak lagi dapat berteriak.

“Setan alas” ia menggeram, tetapi tidak seorang yang mendengar suaranya.

Dalam pada itu, dibagian lain dari atap istana kecil itu, Raden Ayu Kuda Narpada duduk membeku, di sampingnya Nyi Upih telah menjadi gemetar, bukan saja karena hatinya yang kecut, tetapi udara malam yang dingin bagaikan menggigit tulang.

Yang agak berbeda dari keduanya adalah Puteri Inten Prawesti, yang terjadi semalam seakan-akan justru telah menempa dirinya, ia menjadi jemu bersembunyi diatas atap untuk menunggu ketidak pastian, karena itulah, maka seakan-akan telah tumbuh di dalam hatinya, keberanian yang tidak dikenalnya dari mana datangnya.

Tiba-tiba saja Inten Prawesti itu berteriak, “Ibu, aku akan turun, aku akan melihat dan mengalami apa yang terjadi dengan Pinten.”

“Jangan” desis ibundanya, “Dengarlah pesannya Inten”

“Tetapi, apakah yang akan terjadi dengan kita pun tidak kita ketahui, biarlah, jika maut menjemputku”

“Bukan maut, tetapi derita sepanjang hidupmu”

Inten Prawesti menjadi termangu-mangu, bulu-bulunya meremang ketika ia mulai membayangkan, bagaimana Kidang Alit tertawa, bagaimana Raden Kuda Rupaka tersenyum kepadanya, dan menggandeng tangannya ketika memanjat tebing bukit-bukit kecil di belakang istananya.

“Tenanglah Inten”

Inten Prawesti menarik nafas dalam-dalam, namun ada sesuatu yang bergejolak dihatinya. Ia tidak dapat membiarkan Pinten berada diantara serigala yang sedang bertaruh nyawa.

Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja Inten Prawesti berdiri tegak, meskipun ibunya dan Nyi Upih mencegahnya, namun ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

Untunglah, bahwa tidak seorang pun yang ada di halaman melihatnya, karena tertutup oleh atap istana itu.

Namun yang mengejutkan ibundanya adalah justru wajah Inten yang pucat itu menjadi semakin pucat, dengan suara yang patah-patah ia berdesis, “Ibunda, mereka datang lagi. Sebentar lagi halaman ini akan penuh dengan darah dan mayat akan berserakan”

“Kenapa?”

“Sekelompok orang-orang berkuda, aku tidak tahu siapakah mereka, mungkin orang-orang dari Guntur Geni seperti yang pernah aku dengar, mungkin orang-orang dari perguruan lain yang ingin mendapatkan pusaka itu, mungkin orang-orang yang akan membakar istana ini bersama kita semuanya”

“O” Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak bekata apapun juga.

Inten Prawesti masih berdiri diatas talang, sementara Nyi Upih yang cemas telah mendekatinya dan berjongkok disampingnya.

“Puteri” suara Nyi Upih terputus.

Inten memandang kejauhan, ia dapat melihat debu yang mengepul, beberapa ekor kuda berlari kencang sekali melalui jalan berliku, namun sebentar kemudian kuda-kuda itu telah hilang terlindung oleh atap disisinya.

Inten Prawesti tertunduk dengan lemahnya, tetapi ia tidak menangis, bahkan gadis telah menggeretakkan giginya.

Dalam ketakutan dan kecemasan, Nyi Upih heran melihat sikap Inten Prawesti, namun ia tidak sampai mempelajari gejala yang timbul pada gadis momongannya.

Dalam pada itu, pertempuran di pendapa dan halaman istana itu menjadi semakin sengit, Sangkan yang terluka masih sangup bertempur dengan dahsyatnya, ternyata ia memiliki ilmu yang mempuni, sehingga lawan-lawannya menjadi heran melihat tandangnya.

Disampingnya, Pinten benar-benar bagaikan seekor harmau betina yang garang, sama sekali tidak lagi nampak sifat-sifat kemanjaannya, tidak terdengar lagi ia merengek dan merajuk terhadap kakaknya, tetapi ia bertempur dengan penuh tanggung jawab atas dirinya sendiri.

Kiai Rancangbandang yang telah terluka pula, harus bertahan agar tenaganya tidak terhisap habis oleh hentakkan tenaganya, apalagi oleh darah yang mengalir dari luka, dengan penuh perhitungan ia berusaha menghemat tenaganya, namun sudah mulai terbayang dirongga matanya, bahwa pada suatu saat, ia akan kehabisan tenaga.

Sekilas terkenang olehnya, bagaimana ia terlempar keatas gunung yang gersang dan bagaikan sarang hantu-hantu yang buas itu, namun ia tidak menyesalinya, ia telah melakukan sesuatu bagi prikemanusiaan, jika ia gagal, maka ia merasa bahwa ia sudah berusaha berbuat sesuatu yang dapat memberikan arti bagi hidupnya. Arti yang kecil sesuai dengan tingkat hidupnya sebagai orang kecil.

Ki Wirit yang bertempur di halaman terkejut, ketika ia melihat Panon terlempar selangkah surut, ia mendengar anak muda itu berdesah, ketika ia sekilasnya, maka seleret warna merah menyilang di dada anak muda itu.

Suara tertawa Sora Raksa Pati telah membelah dentang senjata yang susul menyusul di halaman dan di pendapa, dengan lantang Sora Raksa Pati berkata, “Aku akan melukainya silang menyilang, baru akan aku bunuh anak yang sombong ini”

Ki Wirit menggeretakkan giginya, ia melihat Pangeran Sora Raksa Pati mulai dengan serangan-serangannya kembali, sementara Panon dengan susah payah berusaha menghindarinya.

“Memang terlalu berat baginya” berkata Ki Wirit di dalam hatinya.

Namun karena itulah, maka tiba-tiba saja ia mempergunakan kesempatan yang ada padanya untuk mendekati Panon sambil memberikan beberapa buah pisau belati kecil, bukan pisau-pisau dapur seperti yang sudah dipergunakannya, tetapi pisau-pisau yang pada tangkainya terdapat sebuah lukisan yang Panon sendiri tidak mengetahuinya.

Dengan tangan kirinya Panon menerima pisau-pisau belati kecil itu, dan menyelipkannya pada ikat pinggangnya yang besar, meskipun pisau itu hanya beberapa buah, tetapi pisau-pisau itu Tentu akan dapat memperpanjang perlawanannya.

Sementara Panon bergeser surut sambil mempersiap dirinya, maka Ki Wirit harus bekerja keras untuk menarik perhatian lawan-lawannya. Sampai Panon sudah siap lagi untuk bertempur meskipun dengan segores luka di dada.

“Pisau-pisau itu tidak akan menolongmu, Panon” Sora Raksa Pati tersenyum.

Tetapi tiba-tiba saja senyumnya lenyap dari bibirnya, ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja seleret pisau menyumbatnya, bukan dilemparkan oleh Panon tetapi oleh Ki Wirit sendiri.

Dengan tergesa-gesa Sora Raksa Pati menghindar sambil mengumpat, namun sekali lagi telah terjadi diluar perhitungannya, Panon yang sudah menyadari, bahwa ia harus berhemat dengan pisau-pisaunya, namun ketika nampak olehnya kesempatan yang barangkali tidak akan terulang, maka dengan perhitungannya yang cepat, ianya segera melontarkan sebilah pisau dengan tangan kirinya.

Tetapi tangan kirinya itu pun cukup terlatih, sehingga pisau tu langsung terbang ke arahnya.

Sora Raksa Pati terkejut untuk kedua kalinya, tetapi justru karena tidak diduga, maka ia terlambat menghindar, meskipun ia masih sempat memperkecil akibat yang timbul karena pisau itu.

Sora Raksa Pati menggeram ketika pisau itu menyambar pundaknya, seperti Panon, maka darahpun mulai meleleh dari luka itu.

“Ternyata kau bukan orang yang kebal Ki Ajar” berkata Ki Wirit, “Pisau muridku dapat menyobek kulitmu”

“Persetan” ia berteriak, “Anak gila itu memang harus segera dibunuh”

Kemarahan yang tidak ada taranya telah membakar jantung Pangeran Sora Raksa Pati, dengan menggeretakkan giginya, ia pun segera meloncat bagaikan badai melanda perahu di lautan.

Kedudukan Panon menjadi bertambah sulit, karena kemarahan Sora Raksa Pati, ia menyesal bahwa pisaunya tidak langsung dapat melumpuhkan lawannya, justru bagaikan menyentuh sarang lebah yang tergantung di pepohonan, namun demikian Panon yakin, semakin banyak darah yang mengalir, maka kekuatan Sora Raksa Pati itu pun Tentu menjadi semakin berkurang.

Tetapi jumlah lawan yang terlalu banyak, telah membuat gambaran akhir daripada pertempuran itu. Luka di dada Panon dan luka-luka Kiai Rancangbandang dan Sangkan, adalah permulaan dari kesulitan yang semakin memuncak, bahkan luka-luka itu itu pun rasa-rasanya kian lama kian bertambah pedih lagi.

Sora Raksa Pati yang terluka pula, justru bagaikan harimau yang terluka, serangannya datang bergulung-gulung bagaikan ombak di lautan yang di dorong oleh badai yang dahsyat.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Panon semakin terdesak, tetapi ia sendiri harus mempertahankan hidupnya pula meskipun ia tidak melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu muridnya, karena kehadiran Panon di halaman itu sebenarnyalah telah mengurangi bebannya pula.

Namun karena keempat lawannya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, maka adalah diluar kemampuannya, bahwa segalanya agaknya akan berakhir dengan suram.

Di pendapa keadaan Sangkan dan kawan-kawannya justru menjadi semakin parah, Kiai Rancangbandang harus menahan nyeri ketika darahnya semakin banyak mengalir, bahkan ia menyeringai ketika sekali lagi senjata lawannya menyentuh tubuhnya.

Ki Ajar Respati yang melihat adiknya dalam kesulitan berusaha untuk melindunginya, namun justru ia terdesak surut selangkah, seperti adiknya, maka darah telah mengalir dari luka di lambungnya.

Meskipun luka itu tidak cukup dalam, namun rasa-rasanya luka itu telah mulai mengganggunya pula.

Dalam pada itu, terdengar suara Raden Kuda Rupaka lantang. “He, orang-orang yang tidak berakal, kalian lihat, betapa pahitnya nasib kalian jika kalian tetap berkeras kepala, aku menawarkan suatu penyelesaian yang terhormat bagi kalian menghentikan perkelahian, menyerah dan kami akan tetap menghidupi kalian dengan janji, bahwa kalian tidak akan mengganggu usaha kami untuk menemukan pusaka yang sedang kami cari dalam halaman istana ini”

Suara Raden Kuda Rupaka terdengar oleh Pangeran Sora Raksa Pati yang menggeram, “Kita sudah bersepakat untuk membunuh setiap orang”

“Tetapi aku menjadi kasihan kepada mereka paman” jawab Raden Kuda Rupaka, “Meskipun aku sadar, bahwa dengan demikian agaknya persoalan masih akan berkepanjangan”

“Kau sudah menjadi gila” teriak Sora Raksa Pati, “Kita akan membunuh setiap orang”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab lagi, namun terdengar suara Kidang Alit, “Apakah kematian mereka akan banyak memberikan bantuan terhadap kita paman?”

“Diam!” bentak Pangeran Sendang Prapat, “Orang yang memiliki pisau-pisau belati dengan lukisan kuda bersayap ini adalah racun yang harus dimusnahkan sebelum menggigit nyawa kita masing-masing”

Kidang Alitpun terdiam, namun ia sama sekali tidak mengurangi tekanannya, namun ia mengerutkan keningnya ketika seorang pengawalnya berkata sambil menyerang, “Jika Raden ingin membiarkan gadis itu hidup, biarlah gadis itu saja yang kita biarkan hidup, yang lain tidak perlu kita hiraukan lagi”

Kidang Alit tidak menyahut, tetapi jawaban itu benar-benar telah menyakitkan hati Pinten.

Meskipun demikian ia masih harus menahan diri, ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berjuang mempertahankan diri.

Dalam pada itu, halaman istana itu telah digoncangkan derap kaki kuda yang berlari diatas jalan yang berbatu-batu, sekelompok orang berkuda yang dilihat Inten Prawesti dari atas atap ternyata telah menjadi semakin dekat dengan gerbang istana kecil itu.

Derap kaki kuda itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang yang ada di halaman, mereka tidak melihat, siapakah yang telah datang, namun diluar sadar, Sora Raksa Pati berkata, “Orang-orang Guntur Geni”

“Tentu tidak” sahut Raden Kuda Rupaka, “Mereka telah dilumpuhkan, orang-orang dari perguruan Guntur Geni telah binasa, meskipun masih ada seorang pemimpinnya telah berhasul meloloskan dirinya”

“Jadi siapa menurut dugaanmu?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

Pertempuran di halaman dan di pendapa itu tiba-tiba saja sudah mengendor, mereka masing-masing telah terpesona oleh derap kaki kuda yang menjadi semakin dekat.

Namun tiba-tiba saja derap kaki kuda itu terhenti diluar dinding halaman istana itu dan berpencar mengelilingi.

“Mereka mengepung istana ini” teriak Pangeran Sendang Prapat.

“Persetan dengan orang-orang Guntur Geni” geram Kidang Alit, “Kita akan menunggu mereka dan membinasakan mereka bersama-sama dengan orang-orang yang telah menghalangi rencana kita, sebenarnya aku merasa kasihan terhadap orang-orang yang sudah hampir kehabisan tenaga ini, tetapi mereka ternyata telah menyebabkan kita terlibat dalam benturan kekuatan dengan orang-orang Guntur Geni.”

Pertempuran di halaman itu justru seakan-akan telah terhenti, masing-masing berdiri dengan tegang meskipun senjata mereka masih tetap teracu.

Langit menjadi panas oleh terik matahari yang semakin tinggi, dengan nanar orang-orang di halaman dan di pendapa itu menunggu, siapakah orang yang pertama memasuki regol halaman.

“Cepat, siapakah yang akan mati lebih dahulu” teriak Pangeran Sora Raksa Pati yang tidak sabar.

Namun orang-orang berkuda di luar halaman itu justru telah menghindari regol halaman yang terbuka, sehingga orang-orang yang ada di dalamnya tidak segera melihat mereka.

Sangkan sekali-sekali masih berdesis karena pedih dilukanya, namun hatinya bertambah tegang menunggu siapakah orang yang akan nampak diatas punggung kuda memasuki halaman itu, apakah mereka orang-orang Guntur Geni atau orang-orang dari perguruan lain yang belum dikenalnya, mungkin dari lembah Gunung Ciremai, atau dari pulau Nusakambangan.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja setiap hati bagaikan tersentak, yang pertama-tama mereka lihat bukannya seseorang yang berada di punggung kuda memasuki regol dengan senjata di tangan diikuti oleh beberapa pengawal, tetapi yang mereka lihat pertama-tama adalah justru ujung sebuah tunggul. Apalagi kemudian nampak mencuat pada dinding dinding halaman itu, beberapa ujung tunggul dan tombak yang lain.

“Siapakah mereka?” setiap hati bagaikan meledak.

Baru sejenak kemudian orang-orang di dalam halaman itu mendengar aba-aba, bukan teriakan nyaring yang kasar, tetapi sebuah sangkakala.

Darah mereka serasa membeku, ketika mereka melihat ujung-ujung tunggul dan tombak itu mulai bergerak, barulah kemudian mereka melihat dengan tubuh gemetar, beberapa orang-orang berkuda memasuki regol halaman istana kecil itu, lengkap dengan tanda-tanda kebesaran, tunggul dan panji-panji, diiringi oleh sepasukan kecil dengan ciri-ciri lengkap kebesaran prajurit Demak.

“Gila” teriak Pangeran Sora Raksa Pati, sementara wajah Sora Raksa Pati menjadi merah padam.

“Kakangmas Bondan lamatan” desis Pangeran Cemara Kuning.

Pangeran Sendang Prapat pun menjadi semakin tegang, namun untuk sesaat ia justru berdiri mematung.

Orang yang berkuda di paling depan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang bersenjata di halaman dan di pendapa.

Dengan nada yang dalam orang bertubuh tinggi kekar dan berkumis itu berkata penuh wibawa, “Letakkan senjata kalian, kami ingin berbicara dengan siapapun yang ada di halaman ini”

Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang, Pangeran Sora Raksa Pati yang garang, tiba-tiba saja melangkah dengan lesu, “Pangeran Bondan Lamatan, kenapa Pangeran ada disini sekarang”

Orang yang berkumis yang masih berada di punggung kuda itu mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Ternyata disini ada orang-orang penting dari beberapa aliran keturunan, Pangeran Sora Raksa Pati, Pangeran Sendang Prapat, Pangeran Cemara Kuning dan seorang Ajar yang memiliki nama tidak ada duanya”

Halaman itu jadi hening, dan Pangeran Bondan Lamatan berkata seterusnya, “Tetapi yang lain, aku masih belum mengenalnya, meskipun barangkali pernah mendengar namanya”

Tidak ada orang yang menjawab.

Karena itu Pangeran Bondan Lamatan mengulangi perintahnya, “Letakkan semua senjata”

Pangeran Sora Raksa Pati yang berwajah merah padam menggeram, “Pangeran Bondan Lamatan, aku tahu. Kau seorang senopati pinunjul, orang menyebutmu sebagai seorang yang memiliki ilmu lembu Sekilan dan Welut Putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun juga kau tidak akan dapat dikalahkan, tetapi aku yakin akan kekuatanku, aku akan mampu menembus ilmu Lembu Sekilan dan menghambarkan ajimu Welut Putih”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Kau mengalami kesulitan untuk memenangkan perkelahian yang terjadi di halaman ini, aku dapat membaca dari sikap dan keadaan ini. Aku sudah melihat beberapa orang terluka, kepungan yang masih bulat dan senjata teracu, tetapi aku belum melihat sesosok mayat pun di halaman ini, sehingga menurut kesimpulanku, pertempuran yang terjadi, memang berat sebelah, tetapi tidak segera dapat menentukan”

“Kami baru saja mulai, dan kami sudah membunuh tiga atau empat orang lawan” teriak Sora Raksa Pati.

“Aku tidak tahu, dipihak manakah kau berdiri diarena ini, tetapi menilik sikap terakhir, kau bersama Pangeran Sora Raksa Pati, Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning sedang mengepung dua orang lawan, seorang tua dan seorang anak muda.”

“Ya, Pangeran” Ki Wirit, “Kami berdua dengan anak kami harus bertahan mati-matian melawan mereka berempat”

“Tutup mulutmu” teriak Sora Raksa Pati.

Tetapi Sora Raksa Pati tidak dapat memaksa Ki Wirit untuk diam, karena orang timpang itu berkata seterusnya, “Sedangkan di pendapa itu telah terjadi pertempuran yang sama sekali tidak berimbang, hanya karena tempat yang sempit dan tiang-tiang pendapa yang mengganggu sajalah, maka beberapa itu dapat bertahan dari orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu yang masing-masing dipimpin oleh Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit”

“Raden Kuda Rupaka?” Pangeran Bondan Lamatan itu mengulang dengan kerut merut di keningnya.

“Ya”

“Di pihak mana Raden Kuda Rupaka itu berdiri?”

“Cengkir Pitu”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya lantang, “Cepat, letakkan senjata kalian, aku membawa sepasukan prajurit pilihan, jika kalian semuanya tidak mematuhi perintahku, maka aku menyerang kalian semuanya yang ada di halaman dan pendapa ini, aku dan pasukanku akan memaksa kalian untuk melepaskan senjata kalian dari genggaman, atau jika perlu kami mendapat wewenang untuk mengakhiri perlawanan dengan cara apapun juga”

Wajah-wajah di halaman dan di pendapa nampak menjadi semakin tegang, namun tidak seorangpun yang berbuat sesuatu.

Halaman dan pendapa istana kecil itu menjadi semakin tegang, setiap jantung rasa-rasanya berdebar semakin keras.

Dalam pada itu, ternyata Sangkan telah memecahkan ketegangan itu, sambil mengangkat senjatanya ia berkata, “Aku akan mematuhi perintah Pangeran Bondan Lamatan, tetapi aku mohon perlindungan, bahwa lawanku tidak menusuk dadaku dengan serta merta jika aku meletakkan senjata bersama kawanku”

Pangeran Bondan Lamatan memandang anak muda itu sejenak, kemudian katanya, “Aku lindungi keselamatanmu, kemarilah, setiap orang yang menghalangimu akan mengalami nasib yang paling buruk”

Sangkan kemudian memandang kawan-kawannya sejenak, kemudian katanya, “Kita akan mematuhi perintahnya, kita sudah melihat tanda-tanda kebesaran prajurit Demak, dan kita tidak akan melawan mereka”

Kiai Rancangbandang yang terlukam Ki Ajar Respati yang sudah menitikkan darah pula dan Ki Reksabahu saling berpandangan sejenak, namun semakin tidak terucapkan, agaknya mereka bersepakat, bahwa mereka akan mematuhi perintah itu pula seperti yang dikehendaki Sangkan.

Sangkan tidak perlu bertanya kepada Pinten, ia tahu, adiknya itu tentu akan mematuhi perintah itu pula.

Demikianlah, Sangkan pun kemudian maju beberapa langkah, hampir diluar sadar, orang-orang yang mengepungnya itu pun menyibak, sehingga Sangkan dan kawan-kawannya kemudian keluar dari kepungan itu dan turun ke halaman, beberapa langkah di hadapan Pangeran Bondan Lamatan. Sangkan melemparkan senjatanya diikuti oleh kawan-kawannya.

Bahkan dengan serta merta Ki Wirit berbuat hal serupa pula sambil berkata, “Aku menyerahkan nasibku kepada Pangeran Bondan Lamatan bersama anakku”

Panon termangu-mangu sejenak, namun ia pun kemudian meletakkan senjata pula.

“Kemarilah” berkata Pangeran Bondan Lamatan

“Berdirilah disisi sebelahku”

Sangkan dan kawan-kawannya kemudian bergeser dan berdiri di sebelah pasukan Demak yang berada di halaman itu.

“Nah” berkata Pangeran Bondan Lamatan kemudian, “Apakah kalian anak-anak perguruan Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning masih akan berkeras mempertahankan diri?”

“Pengecut”“ geram Sora Raksa Pati sambil memandang Ki Wirit, “Kenapa kau tidak bertahan melawan orang-orang Demak itu?”

“Tidak, aku tahu bahwa mereka tidak akan berbuat apa-apa” jawab Ki Wirit, “Apalagi mereka tentu tidak akan dengan tamak mencari pusaka itu untuk mereka sendiri”

Sangkan mengerutkan keningnya, jika masih ada sedikit kecurigaan di dalam hatinya terhadap Ki Wirit, maka lambat laun kecurigaannya itu pun semakin cair.

Dalam pada itu, Pangeran Bondan Lamatan sekali lagi berkata, “Aku memberikan kesempatan terakhir, letakkan senjata kalian, atau kami harus bertindak dengan kekerasan”

Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain mematuhi perintah itu.

Betapapun kemarahan membakar jantung, namun mereka tidak dapat melawan perintah Pangeran Bondan Lamatan, karena mereka tahu Pangeran Bondan Lamatan membawa pasukan yang kuat dengan beberapa orang senapati pilihan.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alitlah orang yang pertama-tama melangkah turun dari pendapa dan meletakkan senjatanya, sementara Pangeran Sora Raksa Pati dan Sora Raksa Pati memandangnya dengan sorot mata yang bagaikan menyala.

Tetapi merekapun akhirnya harus menerima kenyataan itu, merekapun kemudian terpaksa meletakkan senjata mereka satu demi satu.

Beberapa orang senapati dan pasukan Demak itu pun kemudian mendesak maju, mereka turun dari kuda mereka dan menyerahkan kuda mereka kepada beberapa orang prajurit, sementara mereka mengatur orang-orang yang telah meletakkan senjata mereka.

“Maaf Pangeran” berkata seorang senapati muda

“Kami mohon Pangeran bertiga bersama Sora Raksa Pati untuk berdiri di sudut sana, demikian pula Raden Kuda Rupaka dan kawan-kawannya”

Pangeran Sora Raksa Pati, Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat tidak dapat membantah, demikian pula Pangeran Sora Raksa Pati, bagaimanapun juga ternyata kebesaran tunggul dan tanda-tanda keprajuritan Demak mempunyai pengaruh atas mereka.

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan masih tetap diatas punggung kudanya, sambil memandang berkeliling ia bertanya, “Dimanakah Gusti Puteri Raden Ayu Kuda Narpada?”

Sejenak mereka termangu-mangu, namun kemudian Sangkanlah yang menjawab, “Gusti Puteri aku sembunyikan diatas atap bersama Puteri Inten Prawesti dan biyung”

“Siapa kau” bertanya Pangeran Bondan Lamatan.

“Aku adalah Sangkan, anak Nyi Upih, abdi setia dari Gusti Puteri”

Pangeran Bondan Lamatan memandang Sangkan dengan tajamnya, sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian katanya, “He, kau anak nakal, jadi kau sebut dirimu Sangkan?”

Semua orang terkejut mendengar sapaan itu, apalagi ketika Pangeran Bondan Lamatan segera turun dari kudanya, perlahan-lahan ia mendekati Sangkan sambil memandanginya dari atas kepala sampai ke ujung kakinya.

“Kau memang pandai menyamar, aku tidak segera dapat mengenalmu” ia termangu, lalu dipandanginya gadis yang berdiri di belakang Sangkan, sejenak Pangeran Bondan Lamatan berdiri tegak, namun kemudian ia melangkah maju, sambil menggapai kepala Pinten dan kemudian menariknya sambil mengusap rambut gadis itu ia berkata, “Raksi Padmasari, keluargamu menangisi kepergianmu, kau memang anak nakal, meskipun mereka tahu bahwa kau tidak mau terpisah dari kakakmu, tetapi kepergianmu membuat seisi rumahmu berprihatin”

Pinten tidak menyahut, tetapi terasa matanya menjadi panas.

“Aku sudah menasehatinya” berkata Sangkan, “tetapi ia memaksa untuk mengikuti kepergianku, meskipun ia tahu bahwa yang aku tuju adalah Pegunungan Sewu yang penuh dengan kesulitan dan bahaya”

“Burungmu sampai dengan selamat bersama dengan secarik rontalmu” desis Pangeran Bondan Lamatan.

Semua perhatian telah tertuju kepada Sangkan, bahkan Ki Wirit telah bertanya, “Jadi kau melepaskan seekor burung?”

“Burung merpati, burung itu kembali ke kandangnya sambil membawa sehelai rontal” jawab Sangkan.

“Sebuah perintah bagi kami” sahut Pangeran Bondan Lamatan, “Dan ternyata kami sampai pada saatnya”

Ki Wirit mengangguk-angguk, sementara Pangeran Sora Raksa Pati menggeretakkan giginya sambil bergumam, “Kau anak gila, siapa kau sebenarnya, he?”

Sangkan memandang Pangeran Sora Raksa Pati, katanya, “Pangeran, kita mempunyai jalur keturunan yang berbeda meskipun yang satu tidak akan dapat terlepas dari yang lain, itulah sebabnya ada diantara kita yang tidak saling mengenal, keturunan Kediri, Singasari dan Majapahit sendiri telah melahirkan banyak kesatria dalam sikapnya masing-masing, bahkan beberapa orang yang lahir dari jalur yang lain masih terlibat dalam persoalan lahirnya Demak”

“Tetapi siapa kau?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, dipandanginya wajah Pangeran Bondan Lamatan sejenak, namun tiba-tiba ia berkata lantang, “Gusti Puteri ada diatap rumah itu, Pinten tolonglah mereka agar mereka menyaksikan kehadiran Pangeran Bondan Lamatan”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun melangkah pergi ke sisi istana kecil itu untuk mengambil sebuah tangga bambu yang bersandar pada sebatang pohon kemiri.

Tetapi hampir diluar sadarnya, Panon dengan tergesa-gesa mendahuluinya untuk mengambil tangga itu.

“Nah” desis Sangkan, “Nah, bukankah aku tidak perlu membantumu”

“Ah” wajah Pinten menjadi merah, hampir saja ia meloncat mengejar kakaknya, tetapi ketika terpandang olehnya Pangeran Bondan Lamatan dan beberapa orang yang berdiri tegang di halaman itu, maka maksudnya pun diurungkannya.

Meskipun demikian, ia masih bergumam, “Jika kau tidak mau membantu, aku juga tidak akan mengambil Gusti Puteri”

Sangkan tersenyum, ia pun kemudian membantu Panon membawa tangga bambu yang panjang itu, dan menyandarkannya tepat pada talang batang pucang.

“Naiklah” desis Sangkan.

“Bodoh, kau yang naik, aku akan menolong dan menurunkannya lewat tangga”

Demikianlah, maka Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti dengan susah payah telah diturunkan dari tempat persembunyiannya, demikian pula pelayannya yang setia, meskipun masih juga gemetar.

“Di halaman hadir Pangeran Bondan Lamatan” desis Sangkan.

“Pangeran Bondan Lamatan” suara Raden Ayu Kuda Narpada gemetar oleh berbagai perasaan yang saling berbenturan.

“Ya Gusti, bersama dengan sepasukan prajurit Demak, mereka telah menguasai setiap orang yang bermaksud jahat di istana ini”

Sejenak Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, ia melihat beberapa orang prajurit di halaman itu, tetapi ia masih belum melihat, siapakah orang yang memegang pimpinan.

Dengan diikuti oleh Sangkan, Pinten dan Panon, Raden Ayu Kuda Narpada, Inten Prawesti dan Nyi Upihpun kemudian pergi ke halaman depan, seperti yang dikatakan oleh Sangkan, maka ia pun kemudian melihat Pangeran Bondan Lamatan.

Ketika melihat Raden Ayu Kuda Narpada yang pucat bersama puterinya, maka Pangeran Bondan Lamatan pun segera berlari mendapatkannya, sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, “Aku mohon maaf, mungkin kedatanganku agak terlambat, tetapi kini semuanya sudah berlalu”

Setitik air mengambang di pelupuk mata Raden Ayu Kuda Narpada, dengan suara yang tersendat-sendat ia berkata, “Adimas Pangeran Bondan Lamatan, kedatanganmu membuat hatiku seperti tersiram air setelah kering di panasnya api ketamakan beberapa orang saudara kita sendiri, meskipun dari jalur keturunan yang lain”

“Ya, kakangmbok, aku mengerti, untunglah ada beberapa orang yang dengan suka rela telah mendahului perjalananku dan menahan arus ketamakan itu”

“Kenapa kau tidak datang saja lebih cepat adimas?”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ada beberapa alasan kakangmbok, tetapi diantaranya adalah bahwa dengan demikian kami dapat melihat apakah yang telah terjadi, kita dapat melihat, manakah yang emas dan manakah yang loyang. Kedua Pangeran yang berdiri di pihak perguruan Kumbang Kuning yang ada sekarang, Tentu akan dapat bercerita banyak tentang kakangmas Pangeran Kuda Narpada yang hilang beberapa tahun yang lampau”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang beberapa orang yang berdiri dipinggir halaman, beberapa orang bangsawan yang dengan tamak telah berusaha mendapatkan pusaka-pusaka yang mereka anggap dapat mengantarkan mereka ke jenjang tahta kerajaan Majapahit yang sudah lebur itu.

Beberapa orang Pangeran yang sudah tidak berdaya itu menjadi berdebar-debar, wajah mereka menjadi merah padam dan jantung mereka serasa berdetak semakin cepat.

“Aku berterima kasih kepada anak-anak muda yang telah memperpanjang umurku sehingga saatnya kau datang” berkata Raden Ayu Kuda Narpada.

Pangeran Bondan Lamatan berpaling kearah Sangkan dan Pinten, dengan suara yang patah-patah ia berkata, “Kakangmbok, apakah kakangmbok mengenal gadis itu?”

“Pinten, ya. Ia adalah gadis yang sangat mengagumkan, ia telah ikut menyelamatkan kami, ia mengaku anak Nyi Upih, meskipun aku agak meragukannya, karena kemampuannya yang berlebihan”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, sementara wajah Pinten yang kemerah-merahan nampak menunduk.

“Nyai” bertanya Pangeran Bondan Lamatan, “Kaukah yang bernama Nyi Upih?”

“Ya, Pangeran”

“Apakah Pinten memang anakmu?”

“Nyi Upih menjadi bingung, namun tiba-tiba saja ia berlari kearah Pinten dan berlutut di hadapannya, “Ampun Puteri, apakah yang harus aku katakan?”

Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti terkejut, hampir bersamaan mereka bertanya, “Nyai, siapakah sebenarnya gadis itu?”

Nyi Upih mengusap matanya, perlahan-lahan ia berpaling memandang Gusti Puteri Kuda Narpada dan Puteri Inten Prawesti, kemudian sambil memandang wajah Pinten ia berkata, “Katakanlah Puteri, katakanlah, sudah terlalu lama aku menahan diri untuk memendam rahasia ini, sehingga rasa-rasanya dadaku akan pecah”

Pinten pun mengusap matanya, kemudian sambil berpaling kepada Pangeran Bondan Lamatan ia berkata, “Terserahlah kepada Pangeran”

Pangeran Bondan Lamatan tersenyum, katanya, “Ia adalah Raksi Padmasari”

“He?” kedua orang Puteri itu terbelalak, sementara Nyi Upih mengusap matanya yang basah, dengan ragu-ragu ia mendekati Raden Ayu Kuda Narpada, kemudian berjongkok pula di hadapannya sambil berkata, “Ampun Gusti, Puteri Raksi Padmasarilah yang minta agar aku merahasiakan kehadirannya”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, namun ia masih nampak keragu-raguan di wajahnya.

Sementara itu, Nyi Upih pun kemudian berkata, “Pangeran Bondan Lamatan telah menyebut nama Puteri Raksi Padmasari, dan jika Gusti masih belum dapat mengingatnya, maka biarlah Inten Prawesti mulai mengingat kembali, sebuah istana yang halamannya ditumbuhi sebatang pohon beringin ditengahnya dan enam batang pohon beringin di sekelilingnya, tiga sangkar bekisar dan beberapa ekor binatang buas”

“Istana pamanda Pangeran Sargola Manik” Inten hampir berteriak.

“Gadis kecil yang pernah tinggal di istana itu adalah Puteri Raksi Padmasari meskipun hanya sebentar”

“O” rupa-rupanya ingatan Inten mulai membayangkan gadis kecil hampir sebaya dengan dirinya, dan terpekik ia berkata, “Ya, Puteri Raksi Padmasari, aku ingat, namanya Raksi, aku tidak ingat lagi kelanjutannya”

“Itulah gadis kecil yang nakal itu”

Inten termangu-mangu sejenak, namun hampir diluar sadarnya, tiba-tiba saja ia berlari memeluk Pinten yang kemudian memeluknya pula.

“Aku sudah pernah memikirkannya, bahkan aku pernah menyebutnya, tetapi Nyi Upih berbohong waktu itu” desis Inten disela-sela isaknya.

Pinten yang sebenarnya bernama Raksi Padmasari itu pun menitikkan air mata, sudah lama ia bukan perasaan untuk tetap dalam penyamarannya, tiba-tiba terasa dadanya bagaikan terlepas dari himpitan yang paling berat.

“Ya, diajeng” desis Raksi Padmasari, “Akulah yang memaksa Nyi Upih untuk berbohong, aku tidak dapat mengganggu tugas kakangmas untuk menyelamatkan pusaka pamanda Pangeran Kuda Narpada”

“Tetapi” suara Inten terputus, perlahan-lahan ia melepaskan Raksi Padmasari sambil memandang Raden Kuda Rupaka di kejauhan.

“Aku memang datang bersama kakangmas Kuda Rupaka” desis Raksi.

Inten menjadi tegang, sekilas ia memandang Sangkan yang tegak disamping Pangeran Bondan Lamatan, seolah-olah ia ingin bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah datang bersama Pinten itu, jika ia benar datang bersama Pinten itu, jika ia benar datang bersama Kuda Rupaka.”

Namun dalam pada itu, Pangeran Sora Raksa Pati telah berteriak dari tempatnya, “Ketahuilah, lebih baik aku yang mengatakannya daripada orang lain, Kuda Rupaka yang bersamaku sekarang, bukan Kuda Rupaka yang sebenarnya, kami telah memanfaatkan namanya, karena ia adalah anak Linggar Watang, jika gadis itu menyebut dirinya adik Raden Kuda Rupaka, maka anak muda yang dungu itulah Tentu Raden Kuda Rupaka”

Sangkan terkejut mendengar kata-kata Pangeran Sora Raksa Pati itu, namun Pangeran Bondan Lamatan menyahut, “Pangeran Sora Raksa Pati berkata sebenarnya, Raden Kuda Rupaka, putera Pangeran Linggar Watang yang pernah berada di Majapahit, di istana Pangeran Sargola Manik, adalah anak muda itu, ia telah lama hilang dari kalangan kebangsawanan dan tinggal jauh bersama ayahandanya di padepokan kecil”

Semua orang memandang Sangkan dengan hati yang berdebar-debar, bahkan rasa-rasanya wajah Puteri Inten Prawesti menjadi merah dan panas.

Namun dalam pada itu, terdengar Kidang Alit bertanya, “Jadi siapakah Raden Kuda Rupaka yang bukan sebenarnya itu?”

“Raden Johar patitis, ia adalah Johar Patitis, memang berasal dari perguruan Cengkir Pitu, tidak ada gunanya kita bersembunyi lagi, semuanya sudah terbuka. Nah, sebutlah siapa nama Kidang Alit yang sebenarnya. Ia tentu pengikut setia Pangeran Sendang Prapat atau Pangeran Cemara Kuning di perguruan Sora Raksa Pati”

Yang menjawab adalah Kidang Alit sendiri, ia masih saja diwarnai oleh sifat-sifatnya, tertawanya yang licik dan suaranya yang bernada tinggi, “Apakah ada gunanya aku memperkanalkan diri disini?, baiklah, jika perlu, aku adalah Waruju, Raden Waruju, putera Pangeran Windupati yang berdarah Kediri”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, dengan nada tinggi ia berkata, “Itupula sebabnya, setiap orang merasa dirinya terpisah karena darah ketutunan, dengan demikian kita masing-masing tidak akan pernah merasa satu. Meskipun dalam tubuh kita mengalir darah dari sumber yang sama yang bercampur dengan darah yang berbeda, kita masing-masing merasa keturunan Jenggala, Kediri, Singasari di timur dan Mataram, Pajajaran, Sriwijaya di di bagian barat yang berbeda-beda dan kita pertentangkan di dalam hati, sehingga dengan demikian kita masing-masing akan berjuang dengan sekuat tenaga bagi kejelasan dari perbedaan-perbedaan itu. kita akan bangga jika kita yang berdiri pada jalur tertentu menemukan kelebihan dari yang lain, seperti yang kita lihat sekarang, kita masing-masing berjuang untuk mendapatkan pusaka yang kita anggap dapat menjadi persemayaman wahyu keraton, dengan demikian kita masing-masing yang berhasil akan berdiri sambil menepuk dada dan berkata, “Inilah darah keturunan Kediri, Singasari atau Majapahit, yang telah berhasil menegakkan kembali pemerintahan di tanah ini” kata-kata Pangeran Bondan Lamatan itu ternyata telah menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya, sementara itu Pangeran Bondan Lamatan berkata seterusnya, “Kenapa kita tidak justru mengaburkan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam diri kita masing-masing dan memantapkan persamaan yang memang ada dalam diri kita. Bukankah dengan demikian kita semuanya akan menjadi tulang punggung yang kokoh dan tidak tergoyahkan bagi Demak, selama Demak masih merupakan tumpuan harapan, maka kita akan menegakkannya.”

Tidak seorang pun yang menyahut kata-kata itu yang bagaikan bergema di setiap dada.

Namun dalam pada itu, selagi semua perhatian tercurah pada Pangeran Bondan Lamatan, tiba-tiba mereka terkejut, seseorang dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman, dengan keris dalam genggamannya ia berdiri tegak di depan regol, sambil memandang berkeliling ia berteriak, “Siapa yang telah memperlakukan ku dengan curang”

Semua orang justru menjadi termangu-mangu, yang pertama-tama menyebutnya adalah Sangkan, “Ki Buyut”

Ki Buyut memandang Sangkan sambil berkata, “Ya aku datang untuk membantu apa saja, aku ingin membalas budi pada penghuni istana ini, jika aku harus bertempur aku akan bertempur dan jika aku harus mati, aku bersedia untuk mati”

“Tidak ada pertempuran disini Ki Buyut” jawab Sangkan.

“Jangan bohongi aku, kau sudah terluka, aku tahu kalian telah bertempur, tunjukkan padaku manakah yang harus aku lawan”

Sangkan tidak menjawab, sementara Ki Buyut seolah-olah masih mencari diantara orang-orang yang berdiri di halaman istana kecil itu.

Tiba-tiba saja pandangan matanya terbentur pada satu wajah, wajah Ki Wirit, yang telah menghentikannya dan tiba-tiba saja ia menjadi tidak sadarkan diri.

Dengan tegang Ki Buyut Ki Buyut memandang orang itu, dan tiba-tiba saja dengan suara nyaring ia berkata, “Itulah orangnya, dialah yang telah menyihirku, dia sudah berusaha membunuh aku, tetapi ternyata aku masih hidup”

Semua orang berpaling kearah Ki Wirit, namun tiba-tiba Sangkanlah yang berteriak, “Masih ada satu teka-teki di halaman ini”

Kini semua wajah berpaling kepada Sangkan, sementara Sangkan berkata selanjutnya, “Apakah arti pisau-pisau belati yang pada tangkainya dilukisi seekor kuda dengan sepasang sayap terkembang?”

Halaman itu menjadi tegang, Pangeran Bondan Lamatan melangkah maju sambil berkata, “Pangeran Sora Raksa Pati, apakah kau dapat menyebutnya?”

Pangeran Sora Raksa Pati termangu-mangu, yang terdengar adalah pekik Puteri Inten Prawesti, “Itu adalah pertanda kebesaran ayahanda”

“Ya” sahut Pangeran Sora Raksa Pati, “Itu adalah ciri Pangeran Kuda Narpada”

Dengan tergesa-gesa Ki Wirit menyahut, “Aku minta maaf bahwa aku telah mempergunakannya”

Suara Ki Wirit itu telah menarik perhatian Inten Prawesti, diluar sadarnya ia melangkah mendekati Ki Wirit, namun justru Ki Wirit surut selangkah sambil berkata, “Ampun Gusti Puteri, aku tidak sengaja merendahkan martabat Pangeran Kuda Narpada, aku hanya menemukan pisau-pisau itu di lereng yang terjal di kaki gunung Merbabu”

Namun Inten melangkah semakin dekat sambil bergumam seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Aku pernah mengenal suara itu”

“Tidak, Puteri belum pernah mengeal suaraku”

Langkah Inten Prawesti tertegun, ia berpaling kepada ibundanya, seolah-olah minta pertimbangan.

Dalam pada itu Gusti Puteri Kuda Narpada berdiri dengan gemetar, diluar sadarnya ia memandang sebuah cincin dijarinya. Dengan suara yang gemetar pula ia berkata, “Aku mendapatkan cincin ini dari anak muda yang menyebut dirinya Panon, anak muda yang cakap melagukan kidung kenangan”

“Ia adalah muridku” berkata Ki Wirit, “Akulah yang menyuruhnya datang kemari untuk menyerahkan cincin itu, karena setiap orang tahu bahwa cincin itu adalah amanat perintah Maha Raja Majapahit disamping cincin kerajaan”

“Kenapa kau serahkan cincin itu kemari?” bertanya Gusti Puteri.

“Menurut lagu pedagang di sepanjang bulak-bulak panjang diatas sebuah bukit di pegunungan Sewu terdapat sebuah istana kecil dari seorang Pangeran yang berasal dari Majapahit. Aku ketemukan cincin itu tidak jauh dari pisau-pisau belati kecil yang pada tangkainya dilukisi gambar seekor kuda bersayap yang terkembang. Aku tidak tahu bahwa muridku telah terlibat dalam persoalan yang jauh tentang pusaka yang sedang diperebutkan oleh beberapa pihak”

Halaman itu menjadi semakin tegang, wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi merah, sementara Puteri Inten Prawesti menjadi ragu-ragu meskipun ia masih berdiri di tempatnya.

Diluar sadarnya ia memandang wajah Ki Wirit dengan seksama, meskipun ada beberapa gores bekas luka dan kerut merut umur yang semakin dalam, tetapi wajah itu dapat dikenalnya hampir seperti wajah yang selalu di tunggu-tunggunya.

Rambut yang beberapa helai terurai dibahwah ikat kepalanya yang kumal, beberapa helai kumis dan janggut yang memutih tanpa terpelihara, memang dapat menyamarkan bentuk wajah itu, tetapi Puteri Inten Prawesti merasa bahwa wajah itu adalah wajah yang selalu terpateri di dalam hatinya.

Namun sekali lagi orang itu bergeser sambil melangkah surut, katanya dengan nada tersendat-sendat, “Aku mohon maaf, kedatanganku kemari adalah sekedar menjemput muridku yang terlalu lama pergi dari padepokan”

Inten Prawesti menjadi sangat bingung, dan tiba-tiba saja ia berlari memeluk ibundanya sambil menangis, namun ternyata bahwa ibundanya tidak dapat menahan air matanya pula.

Di seberang halaman, di sebelah Pangeran Sora Raksa Pati berdiri Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning, dengan tajamnya ia mencoba mengenal orang timpang yang berdiri di sebelah orang-orang yang telah bertempur mempertahankan istana kecil itu, dengan seksama mereka mencoba mengenalinya, namun sejenak kemudian terdengar suara Pangeran Cemara Kuning lantang, “Orang itu berkata sebenarnya, justru jika ia mengaku seseorang yang mempunyai sangkut paut dengan lukisan seekor kuda dengan sepasang sayap yang terkembang, maka ia adalah seorang pembohong besar”

“Aku memang tidak tahu menahu tentang lukisan itu” sahut Ki Wirit.

Namun dalam pada itu, dengan wajah yang merah membara tiba-tiba saja Raden Ayu Kuda Narpada bertanya, “Pangeran Cemara Kuning, jika kau meyakinkan hal itu, aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah kakanda Pangeran Kuda Narpada”

Pangeran Cemara Kuning mengerutkan keningnya, wajahnya menjadi tegang, sejenak ia justru bagaikan terbungkam.

Namun yang menjawab lantang adalah Pangeran Sendang Prapat, “Tidak ada gunanya pula aku mengingkari saat ini, semuanya Tentu akan terbuka pula pada akhirnya” ia berhenti sejenak untuk mengumpulkan kekuatan hatinya, lalu terdengar suaranya menyentak, “Kami berdua telah membunuhnya”

“O” Inten memekik, dan tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemah, hampir saja ia terjatuh jika Sangkan tidak menangkap dan menahannya.

“Jangan disesali” desis Pangeran Sendang Prapat, “Semuanya sudah terjadi”

Raden Ayu Kuda Narpada pun tidak dapat menahan air matanya.

Jika kedatangan Panon dengan cincin di jarinya itu memberikan sedikit pengharapan, maka harapan itu kini sudah punah sama sekali.

Apalagi ketika Ki Wirit kemudian berkata, “Sebenarnyalah Gusti Puteri. Saat aku menemukan seikat pisau-pisau kecil dan cincin kerajaan, aku memang menemukan sesosok mayat, tetapi agaknya aku terlambat mengenalinya, sehingga aku tidak dapat mengatakan kepada siapapun juga, bahwa seorang Pangeran telah gugur karena dibunuh orang”

“Tetapi kenapa kau mengirimkan cincin itu tanpa menyebutnya sama sekali?” tiba-tiba saja disela-sela isak yang menyentak Gusti Puteri Kuda Narpada bertanya terbata-bata.

 

“Ampun Gusti, sebenarnyalah aku tidak ingin membuat Puteri semakin sedih”

“O” Raden Ayu Kuda Narpada menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sementara Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning, ternyata banyak persoalan yang harus kalian selesaikan di hadapan tahta Demak nanti pada saatnya”

Tetapi Pangeran Sendang Prapat justru tertawa, katanya, “Mati atau mukti, keduanya adalah akibat yang sudah aku perhitungkan sebelumnya, apakah salahnya jika kami jatuh ke dalam salah satu akibat yang memang sudah sewajarnya terjadi?”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kau memang seorang jantan, tetapi kejantanan itu adalah pertanda betapa gelapnya hatimu”

“Pangeran Bondan Lamatan” tiba-tiba saja Pangeran Cemara Kuning memotong, “Bukan tugasmu mengadili kami disini, tugasmu adalah menangkap kami, dan sekarang kami sudah tertangkap”

“Terima kasih atas peringatan itu Pangeran” berkata Pangeran Bondan Lamatan, agaknya ia masih akan berbicara lebih banyak lagi, tetapi tiba-tiba semuanya terkejut ketika mereka mendengar sesuatu terjatuh di sebelah istana kecil itu, sehingga dengan serta merta Pinten berlari memburu disusul oleh Panon.

Di samping istana mereka melihat Panji Sura Wilaga terkapar di bawah teritisan, agaknya ia berusaha untuk melepaskan diri sambil bergeser dari tempat, namun ternyata ia telah terjatuh, meskipun demikian, ikatan tubuhnya sama sekali tidak berhasil dilepaskannya.

“Gila” geram Pinten, “Tetapi baiklah, marilah ikut ke halaman, permainan ini sudah selesai. Dan kau akan mendapat pelayanan yang lebih baik daripada di simpan diatas talang.

Mata Panji Sura Wilaga memancarkan kemarahan yang luar biasa, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, tubuhnya masih terikat dan punggungnya serasa patah, karena ia telah terbanting jatuh di tanah.

Panon yang mendekati Panji Sura Wilaga yang terbaring di tanah itu pun termangu-mangu sejenak, sambil memandang Pinten ia bertanya, “Pinten, apakah ikatan ini harus dilepaskan, eh maksudku puteri………”

“Ah kau” potong Pinten, lalu, “Lepas sajalah tali itu, dan. Panji Sura Wilaga kita hadapkan kepada Pangeran Bondan Lamatan”

Kata-kata itu membuat Panji Sura Wilaga semakin menyala, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Panon pun kemudian melepaskan ikatan yang mula-mula menyumbat mulut Panji Sura Wilaga. Demikian mulutnya terbuka, Panji Sura Wilaga itu mengumpat dengan kasar, “Aku bunuh kau anak-anak gila”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Jangan kasar Raden Panji, kita sudah selesai memainkan peran sandiwara kita masing-masing, kecuali aku, karena aku adalah aku sendiri. Raden Kuda Rupaka yang kau ikuti itu pun telah membuka kedoknya. Katakan, apakah kau benar-benar tidak tahu bahwa ia adalah Raden Johar Patitis?”

Wajah Panji Sura Wilaga menjadi merah padam, namun ia masih membentak, “Omong kosong”

“Apakah kau juga ingin menyebut dirimu sendiri?”

“Aku adalah aku seperti yang kau lihat”

“Memang tidak ada gunanya, Panon” berkata Pinten

“Orang seperti Panji Sura Wilaga tidak menentukan apapun juga disini, siapapun sebenarnya orang itu, sama sekali tidak penting bagi kita, nah, lepas saja tali pengikatnya. Ikat pinggangku itu tidak akan dapat diputuskan dengan kekuatan apapun juga, karena bengang jangetnya, kecuali dengan tajamnya pisau bertangkai dengan lukisan kuda bersayap”

Panon mengerutkan keningnya, ia sadar, bahwa sentuhan itu bukannya tidak ada maksudnya, karena Ki Wirit yang kebetulan membawa pisau-pisau itu adalah gurunya.

Tetapi Panon tidak menanggapinya, ia pun kemudian berjongkok dan melepas ikatan pada tubuh Panji Sura Wilaga.

Namun ternyata bahwa Panji Sura Wilaga memang orang yang keras kepala, demikian ikatan itu terbuka, maka dengan serta merta ia telah menyerang Panon.

Tetapi agaknya Panon sama sekali tidak lengah, ia memang sudah menduga, bahwa orang yang keras kepala itu Tentu akan berbuat sesuatu yang mengejutkan.

Karena itulah, maka serangan yang tiba-tiba itu masih dapat dihindari oleh Panon, bahkan sambil merendahkan diri, ia masih sempat memutar sebelah kakinya, sehingga tumitnya telah menyentuh Panji Sura Wilaga yang gagal mengenainya.

Panji Sura Wilaga menghindar surut, namun terasa perutnya menjadi mual karena sentuhan serangan Panon.

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak menyerah, ia segera bersiap untuk mengulangi serangannya atas Panon yang telah berdiri tegak menghadapinya.

Tetapi sebelum ia sempat bergerak, tiba-tiba saja terasa tengkuknya bagaikan dihantam oleh sebongkah batu, ternyata Pinten tidak membiarkan kegilaan Panji Sura Wilaga, kemarahannya tidak lagi dapat ditahannya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil memukul tengkuk Panji Sura Wilaga yang perhatiannya telah terpusat kepada Panon.

Panji Sura Wilaga terhuyung-huyung, tetapi ia tidak terjatuh, namun Panon sempat menangkap kedua tangannya. Dan kemudian memutarnya, sebelum Panji Sura Wilaga sempat berbuat sesuatu, Panon telah bergumam, “Jika kau berbuat sesuatu, maka aku akan memukul kepalamu dari belakang sehingga isi kepalamu akan bererakan disini”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga.

“Kalau kau tidak percaya, lakukanlah, dan Raksi Padmasari akan mengikatmu lagi dengan ikat pinggangnya, kemudian aku masih sanggup menyeretmu ke halaman” Panon berhenti sejenak, lalu, “Nah, pikirkan, bukankah masih lebih terhormat bagimu untuk berjalan sendiri daripada aku yang menyeretmu?”

Wajah Panji Sura Wilaga menjadi merah, tetapi sesuatu telah menarik perhatiannya, sehingga ia bertanya, “Kau menyebut nama Puteri Raksi Padmasari?”

“Ya, ia adik Raden Kuda Rupaka, tetapi bukan Raden Kuda Rupaka yang kau buat-buat. Nah, bukankah kau termasuk salah seorang dalang tentang penyamaran Raden Kuda Rupaka?”

“Ya, tetapi siapakah yang kau sebut Puteri Raksi?”

“Gadis yang ada disisimu”

“He” wajah Panji Sura Wilaga menjadi merah.

“Akulah Raksi Padmasari, karena itu permainanmu sudah aku ketahui sejak semula”

“Dan Raden Kuda Rupaka?”

“Kau sudah dapat menerka, ayo, berjalanlah, jangan ribut dengan setiap tokoh dalam permainan yang mengasikkan ini”

Panji Sura Wilaga terpaksa harus berjalan, tetapi sebenarnyalah bahwa ia sudah dapat menduga, bahwa Sangkan adalah Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya.

“Bodoh sekali” gumamnya sambil melangkah ke halaman depan.

Di sudut istana ia terkejut, ia melihat sepasukan prajurit Demak, ia melihat beberapa orang yang dijaga dengan senjata terhunus termasuk Raden Johar Patitis, Kidang Alit dan beberapa orang Pangeran.

“Aku disini paman” tiba-tiba saja Johar Patitis berteriak.

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi oleh kenyataan yang dihadapinya, apalagi ketika dilihatnya Pangeran Bondan Lamatan yang agaknya memegang kendali perintah.

“Pergilah ke tempatmu” desis Panon, “Kau tahu, dimana kau harus berdiri”

Panji Sura Wilaga memandang Raden Johar Patitis sejenak, kemudian ia juga memandang Pangeran Sora Raksa Pati yang berdiri di sebelahnya, sambil menarik nafas dalam-dalam ia kemudian melangkah mendekati keduanya.

“Perhitunganmu kurang cermat Panji” berkata Pangeran Sora Raksa Pati, “Ternyata bahwa Raden Kuda Rupaka itu tidak hilang tanpa bekas, meskipun ia berada di padepokan terpencil, tetapi saat namanya kau pasang pada nama Raden Johar Patitis, tiba-tiba saja ia telah hadir di tempat yang sama”

“Tentu atas nasehat dan petunjuk orang lain, aku kira ada penghianat diantara kita”

Tetapi Raden Johar Patitis sendiri justru tertawa, “Sudahlah paman, akulah yang paling kehilangan, aku tidak tahu apakah diajeng Inten Prawesti masih akan bersikap sama kepadaku, setelah ia menyadari bahwa aku bukan Raden Kuda Rupaka, tetapi Raden Johar Patitis, meskipun menurut pendapatku, aku masih tetap dalam arus darah yang lebih tua daripadanya”

Panji Sura Wilaga menggeram, ia sudah semakin dekat dengan Pangeran Sora Raksa Pati, namun ia masih menyahut, “Itulah salah satu sebab kegagalan kita, kita tidak bekerja dengan cepat, justru karena ada Puteri Inten Prawesti”

Raden Johar Patitis masih tertawa sambil berpaling kepada Kidang Alit, ia berkata, “He, Raden Waruju yang berdarah Kediri, bagaimana pendapatmu tentang Puteri Inten Prawesti dan Puteri Raksi Padmasari yang kau sangka anak pelayan itu?”

Kidang Alit tertawa pula, jawabnya, “Lebih baik kita segera pergi, aku tidak berani lagi memandang tatapan mata Ki Buyut, meskipun aku pernah berjasa mengawinkan beberapa pasang pengantin selama aku di padukuhan ini”

Ki Buyut memandang Kidang Alit dengan kebencian yang tertahan, namun ia berdiri saja tanpa berbuat apa-apa, karena kadang-kadang masih juga terkilas, bekas tangan Kidang Alit atas Kasdu, sehingga anak muda itu telah terbebas dari kutuk yang paling mengerikan, lumpuh, bisu, buta dan tuli.

Dalam pada itu, agaknya, Pangeran Bondan Lamatan merasa tugasnya telah cukup, karena itu, maka katanya, “Kini semua sudah selesai, kami harus membawa saudara-saudara kami kembali ke Demak, menghadapkan mereka kepada Sultan. aku tidak tahu, keputusan apakah yang akan dijatuhkan atas mereka, namun masih ada tugas yang harus aku lakukan. Membawa keluarga kecil ini kembali ke Demak beserta pusaka yang telah menimbulkan persoalan di daerah terpencil ini”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Marilah, aku ingin mempersilahkan semuanya duduk, kita akan berbicara dengan sareh dan mapan”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Baiklah, biarlah senopati utamaku membawa para tawanan mendahului ke Demak, aku akan tinggal untuk membicarakan persoalan yang masih belum selesai”

Dalam pada itu, maka Pangeran Bondan Lamatan pun segera mengatur pasukannya, dan menyuruh mereka memasuki halaman.

“Pangeran-Pangeran yang ada di dalam pengamatan kami” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Aku mohon maaf, bahwa kalian akan tetap aku perlakukan sebagai tawanan, agar kalian tidak membahayakan pengawalan yang akan membawa kalian menempuh jarak yang panjang, maka kalian akan mengalami perlakuan yang barangkali tidak menyenangkan, tetapi aku tidak akan mengingkari martabat kalian sebagai bangsawan-bangsawan tertinggi di Demak, tanpa memperhitungkan dari darah yang manakah yang telah tercampur dalam aliran di tubuh kalian masing-masing, sebagai pertanda bahwa kalian adalah tawanan, maka pada tubuh kalian akan disangkutkan sehelai cinde yang memang sudah aku persiapkan”

Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya adalah Raden Johar Patitis mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Jelasnya, tangan kami akan diikat, apakah pengikatnya itu cinde berwarna cerah atau seutas tutus kulit melinjo, agaknya tidak banyak bedanya, kecuali sekedar penghormatan atas martabat kami, tetapi jika tali gantungan telah melilit di leher, maka tali cinde sutera sekalipun tidak akan menolong nyawa kami”

Pangeran Bondan Lamatan memandang anak muda itu sejenak, lalu katanya, “Baiklah, tetapi aku tidak dapat melepaskan ketentuan yang berlaku, dan aku akan melaksanakan sesuai dengan tugasku”

Tidak seorang pun yang membantah lagi, ketika beberapa orang senopati pilihan kemudian mengikat mereka dengan cinde berwarna kuning, maka mereka pun hanya dapat mengulurkan kedua tangan mereka, sementara para pengikut dari perguruan Cengkir Pitu dan Kumbang Kuningpun telah diikat dengan kain berwarna merah yang kasar.

Sejenak kemudian, maka para tawanan itu pun telah diletakkan di punggung kuda masing-masing, mereka akan segera menempuh perjalanan yang jauh dengan cinde di tangan mereka.

Kidang Alit masih sempat berkata dengan nada tinggi, “He, kami akan menjadi acara pertunjukan yang menarik di sepanjang jalan”

“Diam kau anak gila” geram Pangeran Sendang Prapat.

Kidang Alit memandang Pangeran Sendang Prapat sejenak, namun ia pun tertawa sambil berkata, “Kita tidak akan sempat mengeluh paman, akulah yang seharusnya mengangis, karena aku masih terlalu muda untuk digantung, tetapi aku berharap, bahwa aku masih akan panjang umur”

Pangeran Sendang Prapat menggeram, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Demikianlah, maka dibawah pengamatan para senopati terpilih, para tawanan itu dibawa langsung ke Demak, diantara mereka terdapat seorang ajar yang selalu menundukkan kepalanya.

Sepeninggal pasukan Demak yang membawa para tawanan itu, maka Gusti Puteri Kuda Narpada telah mempersilahkan orang-orang yang masih ada di halaman istana kecilnya untuk naik ke pendapa, meskipun hatinya sudah menjadi tenteram dan ketakutan sudah tidak ada lagi, namun agaknya masih juga ada sesuatu yang tersangkut di hatinya.

Pangeran Bondan Lamatan ternyata memenuhi permintaan Raden Ayu Kuda Narpada untuk tinggal di istana itu, beberapa orang pengawal pilihan telah tingal pula menungguinya untuk mengawal Pangeran itu kembali ke Demak pada saatnya sambil membawa pusaka yang sedang diperebutkan itu.

Namun semuanya seolah-olah telah diliputi oleh kecerahan, Pangeran Bondan Lamatan yang telah menunaikan tugasnya, nampak duduk tersenyum di samping Sangkan, sementara Inten Prawesti duduk sambil menundukkan kepalanya disisi ibundanya.

“Hanya kepada Sultan pusaka itu akan kami serahkan” berkata Pangeran Bondan Lamatan.

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, ia sadar bahwa pusaka itu telah menimbulkan persoalan yang sangat gawat di istana kecilnya, sehingga beberapa orang telah datang untuk memperebutkannya.

Tetapi agaknya Pangeran Bondan Lamatan tidak tergesa-gesa, apalagi setelah para tawanan yang terikat itu dibawa ke Demak oleh para senapati pilihan dan sepasukan pengawal yang kuat.

Karena itulah, maka Pangeran Bondan Lamatan sempat mendengarkan kisah yang menarik dari istana kecil itu sejak awal sampai saatnya ia datang setelah burung merpati yang ditempatkan di salah satu pemusatan pasukan Demak di daerah selatan itu membawa kabar dari Raden Kuda Rupaka.

“Aku memang mendapat tugas itu” berkata Raden Kuda Rupaka, “Tetapi ketika aku mendengar bahwa sudah ada orang lain yang mempergunakan namaku, maka aku pun segera berganti nama, aku berhasil menghubungi Nyi Upih sebelum aku datang istana ini dengan namaku yang baru bersama diajeng Raksi Padmasari sebagai anak Nyi Upih”

Inten memandang Nyi Upih sambil memberengut, tiba-tiba saja ia mencubit pelayannya yang ikut duduk di belakangnya sambil berkata, “Kau membohongi kami”

Nyi Upih bergeser sambil menahan nyeri, katanya, “Ampun Puteri, aku tidak bermaksud berbohong”

Sangkan yang sebenarnya bernama Raden Kuda Rupaka itu tertawa, ia sadar, bahwa justru karena ia tidak berada di Demak, maka seseorang telah mempergunakan namanya, yang menguntungkan adalah karena Raden Kuda Rupaka termasuk keluarga dekat dari Pangeran Kuda Narpada.

“Nyi Upih” berkata Raden Ayu kemudian, “Baiklah kami tidak menyalahkanmu, tetapi lebih baik lagi, apabila kau sempat merebus air buat tamu kita”

Nyi Upih mengerutkan keningnya, katanya, “Ampun Puteri, aku akan merebus air, tetapi………”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang Nyi Upih dengan kerut merut di keningnya.

“Tetapi, tetapi aku takut Gusti, mungkin masih ada orang-orang jahat yang meloncat lewat dinding belakang”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, namun dalam pada, Panonlah yang menyahut, “Baiklah aku akan mengawani Nyi Upih”

Nyi Upih memandang Panon sejenak, namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Seharusnya kau duduk saja disitu, kau sekarang menjadi tamu dari Gusti Puteri”

“Ah” Panon telah bergeser dan kemudian berdiri sambil melangkah turun dari pendapa menduhului Nyi Upih, “Marilah Nyai”

Nyi Upih pun kemudian minta diri untuk pergi ke belakang merebus air bagi tamu-tamunya.

Namun pada itu, Pinten menjadi gelisah, hampir diluar sadarnya ia berkata, “Kasihan Nyi Upih, aku sudah terbiasa membantunya, baiklah aku pergi ke dapur”

“Jangan” cegah Raden Ayu Kuda Narpada, “Kau bukan lagi Pinten anak Nyi Upih, tetapi kau adalah Puteri Raksi Padmasari”

“Tidak apa bibi, apakah bedanya aku kemarin dan sekarang?, silahkan duduk menemui pamanda Pangeran Bondan Lamatan aku akan pergi ke dapur”

Raden Kuda Rupaka lah yang tertawa sambil menjawab, “Nyi Upih yang selama ini menjadi biyung Pinten, sekarang tidak penting lagi baginya, ada orang lain yang lebih menarik di dapur itu”

Tiba-tiba saja Pinten yang sebenarnya bernama Raksi Padmasari itu meloncat menerkam Raden Kuda Rupaka yang tidak sempat mengelak, dengan geramnya jari-jarinya telah mencubit lengan kakaknya dan diputarnya sehingga Raden Kuda Rupaka menyeringai sambil berdesis, “Raksi, jangan!”

“Jika kau tidak jera menggangguku, aku akan mengelupas kulitmu”

“Jangan, aku berjanji untuk tidak mengatakan sekali lagi”

Perlahan-lahan raksi melepaskan tangannya, sejenak ia masih memandang kakaknya dengan geramnya.

“Tanganmu seperti besi, cepatlah kau ke dapur, katanya kau ingin membantu Nyi Upih”

“Tidak, aku tidak mau” jawabnya aku akan tetap disini”

Inten Prawesti sudah terbiasa melihat keduanya bertengkar, tetapi kali ini ia sadar, bahwa keduanya bukanlah anak-anak yang dungu

Dalam pada itu untuk beberapa lamanya mereka duduk di pendapa itu saling berbincang tentang keadaan, kemudian merambat pada pusaka yang menjadi pusat persoalan.

Ketika mereka mulai berbincang tentang pusaka yang sedang menjadi rebutan itu, maka wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi pucat, dengan suara yang tersendat ia berkata, “Adimas Pangeran Bondan Lamatan, sebenarnyalah aku tidak tahu, dimanakah Pangeran Kuda Narpada meletakkan bahkan mungkin menyembunyikan pusaka yang menjadi rebutan itu. Sebenarnya terhadap utusan Sultan aku tidak akan dapat mengatakan demikian, tetapi aku tidak dapat berbuat lain”

Pangeran Bondan Lamatan memandang wajah Raden Ayu Kuda Narpada sejenak, seolah-olah ia ingin melihat pusat jantung Puteri itu.

Namun kemudian katanya, “Sebenarnyalah, hanya Pangeran Kuda Narpada sajalah yang mengetahui dimanakah letak pusaka itu, aku percaya, menilik wajah kakangmbok, aku tidak akan dapat ingkar, bahwa sebenarnyalah bahwa kakangmbok tidak mengetahui dimanakah letak pusaka itu”

“Jadi?” desis Raden Ayu Kuda Narpada.

“Kita harus minta tolong kepada seseorang yang dapat mempergunakan penglihatan batinnya untuk mencari pusaka di dalam halaman istana ini, aku kira pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit, namun agaknya ada orang yang dapat melakukannya. Mungkin Ki Buyut dapat menunjukkan seorang yang dapat berbuat demikian, mungkin Kiai Rancangbandang atau Ki Ajar Respati”

Ki Buyut menggelengkan kepalanya, sementara Ki Ajar Respati berkata sambil tersenyum, “Pangeran, aku mohon ampun, aku adalah orang yang paling sombong yang berani menyebut diriku Ajar Respati, tetapi sebenarnyalah aku adalah orang yang paling dungu sehingga aku tidak akan mempu melihat dengan mata hati, dimana letak pusaka yang menjadi rebutan itu”

Pangeran Bondan Lamatan menarik nafas dalam-dalam, sekilas ia memandang Ki Wirit yang tegang, namun karena Ki Wirit tidak berkata sepatah katapun, maka Pangeran Bondan Lamatan berkata selanjutnya, “Baiklah, jika tidak seorang pun yang dapat berusaha menemukan seseorang yang dapat mencari pusaka itu di halaman ini dengan penglihatan batinnya, maka aku akan berusaha mendapatkannya di Kota Raja, jika di Kota Rajapun tidak ada, maka biarlah pusaka itu tetap berada dipersembunyiannya”

Nampak Ki Wirit semakin gelisah, ketika ia tidak dapat menahan diri lagi, maka katanya, “Tetapi Pangeran, bukankah dengan demikian berarti bahwa disaat mendatang masih mungkin timbul persoalan tentang pusaka itu, mungkin ada orang-orang lain lagi yang berusaha saling memperebutkannya, tidak besok atau lusa, tetapi mungkin setahun atau dua tahun mendatang”

“Mungkin, mungkin sekali” jawab Pangeran Bondan Lamatan.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Bondan Lamatan melanjutkannya, “Kakangmbok, agaknya yang terjadi memang berada diluar kemampuan kita semuanya. Karena itu, kita masih wajib berusaha, namun sementara itu, apabila kakangmbok tidak berkebaratan, kami akan membawa kakangmbok ke Demak”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Adimas, rumah ini telah dibuat oleh kakangmas Kuda Narpada, rasa-rasanya aku tidak akan sampati hati meninggalkannya”

“Tetapi tempat ini berbahaya bagi Kakangmbok dan Inten”

“Aku akan tetap tinggal disini”

“Tetapi pusaka itu” sahut Pangeran Bondan Lamatan, “Selama pusaka itu masih ada disini, maka selama itu pula, istana akan tetap merupakan sarang kegelisahan dan bahkan mungkin bahaya yang sebenarnya bagi Kakangmbok dan Inten. Kali ini, kami masih sempat melepaskan Kakangmbok dari malapetaka, tetapi mungkin lain kali, peristiwa itu terjadi diluar pengamatan kami”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun ia tetap menggeleng, “Aku tetap tinggal disini. Apalagi ternyata bahwa pusaka itu masih ada disini pula”

Sejenak pendapa itu dicengkam oleh ketegangan, namun tiba-tiba saja Ki Wirit yang gelisah berkata, “Ampun Pangeran. Aku mohon ampun bahwa aku berani menyatakan diri betapapun aku seorang yang dungu, jika Pangeran tidak keberatan, apakah aku diperkenankan untuk mencoba melihat dengan penglihatan batin untuk menemukan pusaka itu, mungkin aku berhasil tetapi mungkin pula tidak”

“He” Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, “Ki Wirit, jika kau akan mencoba, aku akan sangat berterima kasih, berhasil atau tidak, biarlah kita pikirkan kelak, karena hal itu juga berada diluar kemampuan daya capai budi dan nalar kita, tetapi cobalah melihat, mungkin kau memerlukan waktu semalam, dua malam atau berapapun, aku akan menunggumu disini, jika kau berhasil, aku akan dapat membawanya ke Demak, karena pusaka itu adalah pusaka yang bernilai tinggi bagi kesejahteraan Demak”

“Jika aku tidak berhasil?”

“Itu bukan salahmu, tentu Kakangmbok tidak berkeberatan jika aku bersamanya beberapa orang yang memang sudah berada di istana ini serta pengawal-pengawalku untuk tinggal barang sehari atau lebih”

“O, terima kasih, aku akan merasa tenang sekali jika adimas berada di rumah ini” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimanakah Ki Wirit dapat mengetahui tentang pusaka itu?”

“Aku belum tahu Puteri, tetapi aku akan mencoba, aku pernah nayuh sebuah pusaka, dan aku menemukan petunjuk tentang kekuatannya, dan kini aku akan nayuh pusaka yang hilang itu, meskipun aku belum menyentuhnya. Mungkin aku akan mendapat petunjuk pula, sehingga aku dapat menemukannya”

Gusti Ayu Kuda Narpada memandang wajah Ki Wirit dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin melihat sorot matanya yang sejuk, tetapi Ki Wirit selalu menundukkan kepalanya. Dalam-dalam.

“Baiklah Kakangmbok” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Kita akan mencoba, Ki Wirit akan berada di istana ini untuk mencoba menemukan pusaka yang tidak seorangpun mengetahui dimana letaknya itu”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, namun dengan nada dalam ia berkata, “Aku senang sekali menerima siapapun di dalam rumah ini” ia berhenti sejenak, wajahnya menjadi gelisah, dari bibirnya yang bergerak-gerak tdr suaranya lirih, “Tetapi, tetapi……..”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, tetapi seperti orang tua yang lain, mereka segera dapat menangkap bahwa Raden Ayu Kuda Narpada tidak akan dapat memberikan suguhan apapun juga selama mereka berada di istana itu, karena memang tidak ada persediaan apapun juga yang dapat disuguhinya.

Ki Buyut yang hadir di pendapa itu mengerti juga kesulitan itu, hampir diluar sadarnya ia berkata terang, “Ampun Gusti, jika gusti tidak berkeberatan, biarlah semuanya menjadi tamuku, meskipun mereka berada di istana ini, itulah yang dapat aku lakukan untuk membantu para petugas dari Demak, karena sebenarnyalah aku memang tidak dapat berbuat apa-apa”

“O” suara Raden Ayu Kuda Narpada seakan-akan terputus di kerongkongan, namun dipaksakannya berkata betapapun beratnya, “Terima kasih Ki Buyut aku, aku tidak dapat mengatakan yang lain meskipun sebenarnya aku tidak ingin mengganggu Ki Buyut”

“Sama sekali gusti Puteri tidak mengganggu aku, kehadiran keluarga Pangeran Kuda Narpada sudah memberikan kesegaran batu bagi padukuhan yang semula kering gersang ini. panenan kami disetiap tahun menjadi berlipat-lipat dari tahun berikutnya” jawab Ki Buyut dengan sungguh-sungguh.

Pelupuk mata Raden Ayu Kuda Narpada menjadi panas, tetapi ia mencoba bertahan agar titik air tidak mengembun di matanya, meskipun demikian sekali-sekali ia mengusapnya dengan ujung jari.

“Jika demikian” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Kami semuanya mengucapkan terima kasih kepada Ki Buyut, kami merasa senang sekali menjadi tamu Ki Buyut, meskipun kami akan berada di halaman istana kecil ini”

“Silahkan Pangeran, jika Pangeran ingin tinggal di padukuhan, kami tidak akan berkeberatan.”

“Tentu tidak Ki Buyut, karena kami masih harus menemukan pusaka yang akan kita bawa kembali ke Demak”

Ki Buyut hanya mengangguk-angguk, ia tidak dapat mencampuri persoalan pusaka yang sedang dicari dan bahkan yang telah menimbulkan persoalan yang gawat, yang hampir saja menghancurkan istana kecil yang suram itu.

Dengan demikian, maka tidak ada persoalan lagi yang dapat mengganggu usaha Ki Wirit untuk berusaha mencari pusaka yang tersimpan di istana itu dengan mata hatinya.

Untuk melakukan tugasnya, Ki Wirit minta agar ia diperkenankan untuk berada dimana saja di dalam halaman itu.

“Jika aku berada di sudut halaman belakang, atau dimanapun, adalah dalam rangka usahaku menemukan pusaka itu” berkata Ki Wirit kemudian.

Demikianlah, maka istana kecil itu menjadi semakin bertambah penghuninya, selain Pangeran Bondan Lamatan, beberapa orang pengawal telah berada di halaman itu pula.

Namun demikian, istana itu masih tetap dapat menampung mereka, jika malam tiba, maka pendapa yang cukup luas itu merupakan ruang tidur yang dapat diisi oleh beberapa orang sekaligus.

“Aku akan mengirimkan tikar kemari” berkata Ki Buyut ketika ia minta diri.

“Terima kasih Ki Buyut” jawab Pangeran Bondan Lamatan.

“Aku berharap, Pangeran singgah di rumahku atau di banjar yang pernah dihuni oleh beberapa orang yang membuat orang-orang di padukuhan Karangmaja menjadi ketakutan” berkata Ki Buyut mempersilahkan.

“Tentu Ki Buyut. Jika semua tugasku telah selesai, aku akan singgah di rumah Ki Buyut”

Ki Buyut yang berbesar hati atas kehadiran para petugas dari Demak dan sekaligus menyelamatkan istana kecil itu pun kemudian meninggalkan halaman istana itu dan kembali ke padukuhan, ia terkejut ketika beberapa puluh langkah di luar padukuhannya, ia telah melihat beberapa orang berkumpul di mulut lorong, bahkan agaknya ketika orang-orang itu melihatnya, beberapa diantara anak-anak muda telah berlari-lari menyongsongnya.

“Ki Buyut selamat?” bertanya salah seorang dari mereka

“Seperti yang kau lihat, aku tidak cidera sama sekali, meskipun yang hadir dan bertempur di halaman istana itu banyak orang-orang sakti” jawab Ki Buyut.

“O, luar biasa, apakah pusaka Ki Buyut itu yang telah melindungi dan menjadi perisai bagi Ki Buyut dari penjahat-penjahat itu” bertanya orang yang lain.

Ki Buyut tersenyum, jawabnya, “Nanti aku akan bercerita panjang sekali, tetapi seperti yang kalian lihat, aku telah kembali dengan selamat, kulitku tidak terluka segorespun”

“Luar biasa, ternyata Ki Buyut mampu mengimbangi orang-orang sakti yang selama ini kita takuti” desis anak muda yang bertubuh tinggi.

Ki Buyut tertawa, katanya, “Aku telah tidur nyenyak sekali di luar istana itu”

“Tidur?”

“Sudahlah, nanti aku akan bercerita panjang, tetapi masih ada tugas yang belum terselesaikan, pusaka yang diperebutkan di dalam istana itu masih belum diketemukan” berkata Ki Buyut dengan sungguh-sungguh.

Anak-anak muda dari padukuhan Karangmaja itu termangu-mangu, mereka menjadi cemas, bahwa pusaka itu masih belum dapat diketemukan, bukankah dengan demikian berarti bahwa pergolakan masih akan terjadi, dan kematian demi kematian masih akan menyusul.

Tetapi mereka menunggu sampai saatnya Ki Buyut di Karangmaja akan berterita panjang tentang peristiwa yang terjadi di halaman ia1 itu”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 2

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 11

ISTANA YANG SURAM

Jilid 11

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-11BARU sejenak kemudian orang yang memasuki regol itu bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Ajar Respati?”

Ki Ajar Respati menjadi semakin berdebar-debar, namun kemudian ia menjawab dengan penuh kewaspadaan, “Ya, aku adalah Ki Ajar Respati, siapakah kau Ki Sanak?”

Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya dengan nada seakan-akan tertelan kembali ke dalam perutnya, “Wirit, namaku Ki Wirit”

Ki Ajar Respati terdiam sejenak, dipandanginya orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu dengan tatapan mata yang tajam.

“Aku belum pernah mendengar namamu Ki Sanak” berkata Ki Ajar Respati.

“Ya, kau tentu belum pernah mendengar namaku, aku adalah orang yang hidup terasing dan tidak banyak dikenal oleh orang lain kecuali oleh orang-orang padukuhan tempat aku tinggal” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi siapakah kawanmu yang ada bersamamu itu Ki Ajar Respati?”

Ki Ajar Respati berpaling memandang Ki Reksabahu, baru kemudian ia menjawab, “Ia adalah kawanku sejak masih muda, kami berpisah untuk menempuh jalan hidup kami masing-masing, ia adalah seorang petani, sedang aku adalah seorang yang menggarap sebidang tanah padepokan terpencil, namun kami sering bertemu agar persahatan kami tidak putus”

“Terima kasih. Jika demikian, kehadirannya tidak akan mengganggu pembicaraan kita”

“Ki Sanak” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Apakah kau seseorang yang dikatakan oleh pelayan di padepokan ini, pernah datang kemari mencari aku kemarin?”

“Benar Ki Sanak, aku memerlukan Ki Ajar, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan”

Ki Ajar Respati menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian ia pun mempersilahkan tamunya, “Marilah Ki Wirit, naiklah ke pendapa, aku ingin mendengar, apakah keperluan Ki Wirit dengan aku, karena aku belum mengenalmu sebelumnya”

“Terima kasih, Ki Ajar” jawab Ki Wirit dan sejenak kemudian ia pun melangkah mendekati dengan langkah yang lamban, ternyata orang itu adalah orang yang cacat kakinya.

Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah duduk di pendapa, dengan ragu-ragu Ki Ajar bertanya, “Ki Wirit, aku merasa selalu didesak oleh perasaan ingin tahu, apakah keperluan Ki Wirit mencari aku”

“Ki Ajar” jawab Ki Wirit, “Mula-mula aku sangat tertarik oleh perbawa dari sebuah batu yang tersimpan di kantong ikat pinggang anakku, ternyata bahwa batu itu adalah batu yang sangat berharga baginya dan justru akan dapat melindunginya selama ia berada dalam pengembaraan di Pegunungan Sewu, ternyata bahwa batu itu adalah batu akik yang menurut keterangannya didapatkan dari Ki Ajar Respati”

Ki Ajar Respati mengerutkan keningnya, katanya, “Ya, aku pernah meminjamkan kepada seorang anak muda sebuah batu akik yang sudah diembani dalam bentuk sebuah kalung Jalu Sisik Sasra”

“Kalung itu ada pada anakku sekarang, agaknya ia sangat berhati-hati, sehingga benda itu selalu disimpannya di dalam kantong ikat pinggangnya”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, nampaknya ia sedang mengingat-ingat, baru kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku ingat sekarang, anak muda itu memang pernah menyebut namamu Ki Wirit. ia mengaku bernama Panon. bukankah ia muridmu?”

“Benar Ki Ajar, kedatanganku adalah untuk mengucapkan terima kasih, aku adalah orang tuanya, sedang anakku menerima anugerah yang sangat besar, sehingga dapat meminjam batu akik yang sangat berharga itu, apalagi aku sudah mendengar semua yang telah terjadi dengan muridku, dan korban yang jatuh karena kesombongan anakku itu, justru anak Ki Ajar Respati sendiri”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya “Sudahlah, semuanya sudah terjadi, takdir Yang Maha Kuasa tidak akan dapat diingkari oleh siapapun juga, meskipun ia termasuk manusia yang paling mumpuni sekalipun”

Ki Wirit mengangguk, dengan nada datar ia berkata, “Aku sekedar menyampaikan perasaan yang terasa menekan hati selama ini, aku merasa belum puas jika aku belum mengatakanya kepada Ki Ajar, sebagai ucapan terima kasih dan sebagai permintaan maaf yang tidak ada taranya”

“Sudahlah, sudahlah Ki Wirit, jika kau sudah bertemu dengan muridmu, aku ingin mendengar kabarnya dan tentu saja kabar tentang adikku, karena kepergian Panon itu telah diantar oleh Rancangbandang”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, namun ia pun menceritakan keadaan padukuhan Karangmaja dan istana yang suram itu. menceritakan tentang kedudukan Panon dan Kiai Rancangbandang yang menyebut dirinya Ki Mina”

“Mereka dalam kesulitan” berkata Ki Ajar Respati diluar sadarnya.

“Apalagi disaat terakhir” berkata Ki Wirit, “Akupun merasa wajib, setelah bertemu dengan Kiai untuk segera kembali ke sekitar istana kecil itu, aku telah melihat sekelompok orang-orang Cengkir Pitu dan sekelompok yang lain dari Kumbang Kuning telah naik pula hari ini”

“Hari ini?, baru hari ini?”

“Menjelang senja, mereka menempuh jalan yang berbeda, aku melihat keduanya dari sebuah puncak kecil di bukit padas di sebelah timur Karangmaja, tetapi keduanya menuju ke padukuhan itu, ketika kemudian hari menjadi gelap, dan keduanya mendaki pada jalan yang lain, aku tidak dapat melihat mereka keduanya, aku lebih senang mengikuti kelompok Kumbang Kuning yang agaknya langsung menuju ke padukuhan, namun agaknya keduanya sudah saling mengetahui”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, hampir diluar sadarnya ia berkata, “Jadi kedua kelompok itu telah bersama-sama naik ke Pegunungan Sewu?, tetapi apakah yang Ki Sanak ketahui tentang kelompok Kumbang Kuning?”

“Akupun kemudian meninggalkannya dan turun ke padukuhan ini untuk menemui Ki Ajar, agaknya waktuku tinggal malam ini, karena mungkin sejak besok, kejadian-kejadian yang tidak terduga akan menggoncangkan puncak Pegunungan Sewu. Aku tidak boleh terlalu jauh dari muridku, karena akulah yang menugaskannya mendaki bukit itu. apa yang terjadi atasnya, harus terjadi pula atasku, karena akulah yang mempertanggung jawabkan perjalanannya”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Akupun mempunyai kepentingan Ki Wirit, adikku ada di puncak Pegunungan Sewu pula bersama anak muridmu”

“Aku akan mencoba berada bersama mereka berdua dalam kesulitan meskipun barangkali tenagaku, orang tua yang cacat kaki ini, sudah tidak banyak berarti apa-apa lagi”

Tetapi Ki Ajar Respati tertawa, “Kau seperti muridmu atau tepatnya muridmu seperti kau, Ki Wirit, selalu merendahkan diri, mungkin kau memang mengajarinya untuk selalu berendah hati”

“Aku mencoba untuk mengerti tentang diriku sendiri”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, kemudian dipandanginya Ki Reksabahu yang tidak ikut sama sekali dalam pembicaraan itu, seolah-olah hanya mendengarkan saja tanpa banyak perhatian.

“Bagaimana dengan kau Kiai?” tiba-tiba saja Ki Ajar Respati bertanya.

Ki Reksabahu bergeser setapak, lalu, “Apa maksudmu Ki Ajar?”

“Aku kira aku tidak akan dapat tinggal diam, adikku sudah terlanjur terlibat langsung dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pegunungan Sewu”

“Jadi maksudmu, bahwa kau akan naik ke puncak Pegunungan Sewu?”

“Ya, ke padukuhan Karangmaja”

“Sekarang?”

“Ya, tentu. Aku akan pergi bersama Ki Wirit, sudah tentu aku berharap bahwa kaupun akan pergi bersama

kami karena kau memang sudah sampai ke padukuhan ini”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, namun katanya, “Ki Ajar, sebenarnya masih ada yang ingin aku tanyakan kepada Ki Wirit, apakah jarak antara Karangmaja dan padukuhan ini tidak terlalu jauh?”

“Kenapa?” bertanya Ki Wirit.

“Jika menjelang senja Ki Wirit masih melihat kelompok-kelompok yang memanjat naik, sebelum tengah malam Ki Wirit sudah berada disini.”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tentu terlalu jauh, tetapi pertanyaan Kiai memang tepat, aku tidak akan mencapai jarak yang aku tempuh jika aku berjalan kaki, tetapi aku mempunyai seekor kuda yang dapat aku tunggangi”

“Ooo” desis Ki Reksabahu, “Jadi Ki Sanak berkuda?”

“Ya, tetapi aku tidak ingin mengejutkan padukuhan ini, apalagi dalam keadaan yang rawan seperti ini, karena itu, aku meninggalkan kudaku diluar padukuhan. Bagi orang yang cacat kaki seperti aku, berjalan merupakan pekerjaan yang sangat berat, meskipun hanya dari luar regol padukuhan sampai ke regol halaman rumah ini”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, lalu katanya, “Baiklah Ki Ajar, jika Ki Ajar akan ikut naik ke Pegunungan Sewu, biarlah aku tidak tanggung-tanggung lagi melibatkan diriku ke dalam keadaan yang tidak aku mengerti ini, tetapi aku memang tertarik oleh kehadiran orang-orang dari perguruan Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu”

“Terima kasih” sahut Ki Ajar, “Kita akan pergi bersama-sama, jika demikian, maka kitapun akan pergi berkuda pula”

“Apakah dengan demikian berarti bahwa Kiai berdua akan pergi bersamaku?” bertanya Ki Wirit.

“Ya, kita akan pergi bersama-sama

“Ki Ajar sudah memberikan benda yang paling berharga itu kepada muridku, kini Ki Ajar sendiri ingin ikut mendaki bukit ini”

“Aku ingin melihat keadaan adikku Ki Wirit, apalagi batu akikku telah ada disana, jika terjadi apa-apa denganku karena racun, aku harap, angger Panon atau Rancangbandang dapat membantuku”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak mengira bahwa kehadiran muridku disini akan sangat merepotkan Kiai”

“Itu adalah karena kehendakku sendiri, marilah. Bersiaplah, aku dan Ki Reksabahu akan berkemas, kita akan segera berangkat, apakah sebelum fajar kita sudah akan sampai?”

“Aku harap demikian, sebelum fajar kita akan sampai, kita akan menyimpan kuda di tempat yang sudah aku kenal sebaik-baiknya. Di tempat yang banyak reremputan dan tidak mudah diganggu oleh binatang buas.

“Di padukuhan Karangmaja?”

“Tidak, kehadiran kita di padukuhan itu tentu akan langsung menimbulkan persoalan-persoalan baru. Aku kira lebih baik kita untuk berada di padukuhan yang lain yang tidak begitu jauh dari Karangmaja, mungkin di rumah seseorang, tetapi mungkin kita akan mengikatnya di sela-sela bukit.”

Ki Reksabahu tidak mempersoalkannya, bersama Ki Ajar Respati ia pun kemudian mempersiapkan diri dan membenahi kuda mereka, dan kepada para pelayan, mereka hanya mengatakan bahwa mereka akan pergi untuk waktu yang tidak tentu.

Agar tidak mengejutkan orang-orang di sekitar padepokan itu, maka mereka menuntun kuda mereka sempai batas regol padukuhan. Baru kemudian mereka memacu kuda mereka memanjat tebing pegunungan.

Ternyata bahwa Ki Wirit telah mengenal jalan pegunungan itu dengan baik, meskipun malam menjadi semakin gelap, namun kudanya tidak mengalami kesulitan, jalan yang ditempuh meskipun tidak begitu lebar, tetapi masih tetap memberikan kemungkinan kepada kuda-kuda itu untuk mendaki terus, meskipun tidak begitu cepat, namun di beberapa bagian yang datar, kuda itu berpacu lebih cepat lagi.

Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Wirit, sebelum fajar, mereka telah mendekati padukuhan Karangmaja, dan seperti yang dikatan oleh Ki Wirit pula, maka mereka pun telah mencari tempat untuk menitipkan kuda mereka.

“Mudah-mudahan orang yang biasa aku titipi kudaku, tidak berkeberatan untuk menyimpan tiga ekor kuda sekaligus dan menyediakan rumput bagi mereka” berkata Ki Wirit.

Mula-mula orang yang dititipi kuda itu agak berkeberatan, tetapi ketika Ki Reksabahu memberikan beberapa keping uang, maka orang itu pun kemudian terdiam.

“Kita akan mendekati padukuhan Karangmaja” berkata Ki Wirit, “Mungkin akan dapat terjadi sesuatu setiap saat, tetapi aku kira tidak malam ini, karena malam ini, adalah malam yang pertama bagi kedua kelompok itu, sehingga mungkin keduanya masih harus mengatur diri, mereka harus mencoba menyesuaikan kedudukan masing-masing, bahkan mungkin mencari keterangan tentang kekuatan dan kelemahan lawannya.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu menganggukangguk, merekapun sependapat, bahwa yang sebaikbaiknya mereka lakukan adalah mendekati istana kecil yang suram itu.

“Tetapi apakah kita akan berhubungan dengan Panon dan Rancangbandang?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Aku sudah pernah berhubungan, jika perlu, aku minta mereka yang ada di dalam halaman istana itu untuk memberikan isyarat” jawab Ki Wirit.

Ki Wirit pun telah menceritakan kedudukan dua orang yang bernama Sangkan dan Pinten yang menurut Panon keduanya memiliki kedudukan yang khusus dan harus diperhitungkan.

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ada semacam hubungan yang membingungkan yang telah terjadi diatas bukit itu, jika seorang bangsawan yang bernama Raden Kuda Rupaka berdiri di pihak Cengkir Pitu dan bangsawan lain, Pangeran-pangeran yang kita lihat itu berada diantara orang-orang Kumbang Kuning, maka persoalannya tentu akan menjadi gawat, tetapi Raden Kuda Rupaka tidak berdiri diantara para bangsawan.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Memang agak membingungkan bahwa Raden Kuda Rupaka berada dipihak Cengkir Pitu, hampir tidak masuk akal, mungkin hubungan antara Raden Kuda Rupaka dan Cengkir Pitu baru saja terjadi dalam persoalan pusaka itu, tetapi aku kira bahwa Raden Kuda Rupaka bukan murid dari perguruan Cengkir Pitu”

Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati tidak menjawab, mereka sama sekali tidak mempunyai bahan yang cukup untuk ikut membicarakannya, karena itu mereka lebih banyak mendengarkan saja keterangan Ki Wirit yang ternyata masih merupakan teka-teki yang belum terjawab.

Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun berjalan perlahan-lahan mendekati padukuhan Karangmaja, Ki Wirit yang cacat kaki, tidak dapat berjalan terlalu cepat, meskipun kadang-kadang geraknya sangat mengherankan, jika mereka menjumpai lereng yang terjal, justru Ki Wirit kadang-kadang telah membuat sesuatu yang aneh, meskipun kakinya cacat, tetapi ia mampu mendaki tidak kalah tangkasnya dengan mereka yang tidak cacat kaki.

“Jika matahari nanti terbit, kita akan dapat beristirahat dicelah-celah bukit, tetapi kita sudah tidak akan terlalu jauh lagi dari istana kecil itu. Mudah-mudahan, meskipun secara kebetulan, kita akan dapat berhubungan dengan mereka yang berada di dalam istana” berkata Ki Wirit.

“Kita dapat masuk” desis Ki Reksabahu.

“Kita memang dapat memasuki halaman istana itu jika kita ingin, tetapi di dalam halaman itu ada Sangkan dan Pinten yang mungkin mempunyai tanggapan yang lain atas kehadiran kita, jika terjadi salah paham, maka akibatnya akan dapat merugikan kita sendiri, karena menurut keterangan yang aku dengar, Sangkan dan Pinten itu pun nampaknya bukan orang-orang tamak seperti orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu, meskipun semuanya masih harus saling mencurigai”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, ia dapat mengerti keberatan Ki Wirit, ternyaya karena di dalam istana itu ada dua orang anak muda yang tidak banyak mereka kenal, karena menurut pertimbangan mereka dua orang anak muda yang mengaku anak Nyi Upih itu, tentu tidak sekedar berdiri sendiri, sehingga mungkin akan dapat timbul salah paham justru akan menyulitkan.

Demikianlah, sebelum matahari terbit, mereka telah mencari tempat untuk beristirahat di celah-celah dua buah punuk kecil, diantara rimbunnya dedaunan dan gerumbul-gerumbul yang hijau, sehingga tidak mudah nampak dari beberapa bagian di sekitarnya.

“Hari ini kita berada disini, jika hari ini tidak terjadi sesuatu, maka dihari-hari berikutnya, kita akan dapat mengatur diri, mungkin bukan kita seluruhnya berada disini, tetapi kita dapat mengatur waktu dan mungkin dengan cara-cara yang lain” berkata Ki Wirit.

Kedua orang kawannya mengangguk-angguk.

“Aku tidak mengira bahwa kita akan menjadi bertiga” berkata Ki Wirit kemudian.

Kedua kawannya tidak menjawab, tetapi mereka mulai mencari tempat untuk duduk dan bersandar. Sebuah batu yang besar merupakan sandaran yang baik dan bahkan memungkinkan untuk tidur barang sejenak.

“Beristirahatlah” berkata Ki Wirit, “Aku akan mengamati keadaan”

Kedua orang yang duduk bersandar batu itu mengangguk, namun diluar sadar, mereka saling berpandangan, seolah-olah berjanji tanpa diucapkan untuk beristirahat bergantian, bagaimanapun juga, mereka masih belum banyak mengenal orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu.

Sementara itu Ki Wirit tidak menghiraukan kedua orang itu lagi, bahkan ia maju beberapa langkah dan mencoba melihat istana kecil itu dari jarak yang agak jauh, tetapi tempat agak lebih tinggi.

Tetapi Ki Wirit tidak melihat sesuatu yang mencurigakan , meskipun demikian ia tidak dapat lengah, karena hari itu memang baru mulai, masih akan banyak kemungkinan dapat terjadi pada hari yang masih panjang itu.

Karena itu, maka ia tetap duduk di tempat yang agak tinggi di sela-sela tetumbuhan yang rimbun yang dapat sekedar melindunginya.

Untuk beberapa lama ia duduk di tempatnya, pandangan matanya ternyata tidak sekedar melekat pada istana yang dikelilingi oleh dinding batu itu, tetapi ia sempat mengedarkan pandangan matanya ke arah bukitbukit yang hijau, bukit-bukit yang dutumbuhi perdu dan beberapa batang pepohonan yang mulai tumbuh dengan subur meskipun sebagian besar hanya tergantung pada siraman air hujan.

“Jika pohon-pohon itu kemudian tumbuh terus dan berdaun rimbun, maka pegunungan gundul ini akan segera berubah wajah” berkata Ki Wirit di dalam hatinya.

Dengan penuh minat ia memandang cahaya matahari yang bagaikan menyiram seluruh puncak-puncak bukit seribu yang berserakan seperti ongokan tanah yang ditaburkan di tepi selatan pulau besar ini.

Tiba-tiba saja Ki Wirit terkejut dan bergeser setapak, ketika ia melihat debu yang mengepul.

“Sekelompok orang-orang berkuda” desisnya.

Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu yang sedang beristirahat sambil bersandar sebongkah batu yang besar.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah berada di sampingnya, dengan jantung yang berdebaran mereka memperhatikan beberapa orang berkuda mendekati gerbang istana kecil yang suram itu.

“Siapakah mereka Ki Wirit?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Aku tidak dapat menyebutnya, tetapi menilik sikap dan ujud yang nampak dari kejauhan, agaknya mereka bukan orang-orang Kumbang Kuning.”

“Maksudmu, mereka orang-orang Cengkir Pitu?” bertanya Ki Reksabahu.

Ki Wirit termenung sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Agaknya itulah yang aku lihat saat mereka datang, orang-orang Cengkir Pitu, karena di dalam kelompok orang-orang Kumbang Kuning nampak seorang yang agak lain dari kawan-kawannya menilik pakaiannya.

Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, merekapun melihat seorang yang nampaknya adalah pemimpin dari kelompok Kumbang Kuning itu, disamping dua orang-orang bangsawan.

“Mereka akan memasuki istana itu” desis Ki Wirit.

“Ya, aku harus mengetahui apa yang terjadi, karena adikku ada disana” sahut Ki Ajar Respati.

Ki Wirit tidak menyahut, dengan tajamnya ia memperhatikan derap beberapa ekor kuda yang menyusul jalan berliku-liku mendekati halaman istana kecil itu.

Namun tiba-tiba perhatiannya tertarik kearah yang lain, ternyata ia melihat beberapa orang berkuda muncul dari balik sebuah bukit kecil, sehingga dengan serta merta ia menggamit kedua kawannya dan memberikan isyarat agar mereka berusaha untuk bersembunyi di balik gerumbul.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu segera melihat sekelompok orang yang berada di sela-sela puncak bukit di tempat yang agak jauh dari mereka, orang-orang itu pun kemudian segera meloncat turun dan dengan berhati-hati maju beberapa langkah sementara yang lain mengikat kuda-kuda mereka di pepohonan perdu.

“Itulah orang-orang Kumbang Kuning” desis Ki Wirit.

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Keadaan benar-benar menjadi gawat, sebentar lagi orang-orang Guntur Geni dalam yang besar akan berdatangan pula”

Ki Wirit mengusap wajahnya yang berkeringat, perlahan-lahan ia berdesis, “Benar-benar suatu perebutan yang tidak kenal unggah-ungguh. Di istana itu masih tinggal isteri Pangeran Kuda Narpada, tetapi orang-orang itu memperlakukan seolah-olah mereka sedang berburu di tengah-tengah hutan yang liar, mereka sama sekali tidak menghormati kehadiran pemilik istana itu dengan keluarganya yang tinggal”

“Aku kurang mengetahui dengan pasti, apakah yang ada di dalam istana itu, yang aku ketahui adikku ada disana, aku tidak boleh membiarkannya, seperti Ki Wirit tentu tidak akan membiarkan muridnya mengalami kesulitan meskipun mulai timbul di dalam hatiku pertanyaan, kenapa Ki Wirit telah memerintahkan muridnya ikut menejebak dirinya sendiri ke dalam sarang hantu itu”

“Pertanyaan itu memang memerlukan jawaban Ki Ajar, aku akan memberikkan jawaban dengan jelas, jika semuanya sudah selesai kelak, karena masalahnya menyangkut banyak segi” jawab Ki Wirit.

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, meskipun jawaban Ki Wirit itu tidak dapat menghapuskan kecurigaannya, namun rasa-rasanya masih ada juga kepercayaannya kepada orang-orang yang cacat kaki itu.

Sementara itu, orang-orang berkuda dari kelompok perguruan Cengkir Pitu telah berada di depan regol istana kecil itu, sementara orang-orang Kumbang Kuning mengawasi saja dari kejauhan.

Namun dalam pada itu, Ki Wirit dan kedua kawannya telah dapat menduga, bahwa orang-orang Kumbang Kuning yang agaknya merasa dirinya tidak sekuat orang-orang Cengkir Pitu, menunggu saja benturan yang dapat terjadi antara orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang yang berada di halaman istana kecil itu, meskipun akhirnya orang-orang Cengkir Pitu akan berhasil memusnahkan orang-orang yang berada di dalam halaman istana kecil itu, tetapi kekuatan Cengkir Pitu pun tentu akan sudah berkurang, karena mereka yang ada di dalam istana itu pun bukannya sekedar orang-orang kebanyakan.

Dalam pada itu, orang-orang Cengkir Pitu sudah berada di depan gerbang istana kecil itu, maka seluruh isi istana kecil menjadi berdebar-debar, Panon terpaksa menjadi sangat berhati-hati, ia telah memaksa Panji Sura Wilaga dengan kekerasan untuk memanjat dan bersembunyi diatas atap, kemudian mengikat dan menyumbat mulutnya.

“Maaf Raden Panji” desis Panon, “Aku terpaksa melakukan ini, agar Raden tidak menjadi hambatan bagi kami, justru karena ada persoalan yang harus kami atasi”

Sangkan yang sependapat dengan tindakan Panon itu pun ikut pula naik keatas atap dengan sebilah keris di tangannya, wajahnya nampak sungguh-sungguh seolah-olah

Sangkan yang menggenggam keris telanjang didepan dada Panji Sura Wilaga itu, bukan Sangkan yang sehari-hari dikenalnya.

Setelah mengikat Panji Sura Wilaga di atap, maka kedua anak-anak muda itu pun segera turun.

Dalam pada itu, di tangga pendapa Ki Mina berdiri menunggu peristiwa apakah yang bakal terjadi, ia melihat beberapa orang berkuda sudah berhenti di depan regol halaman, namun ia masih tetap berdiri di tempatnya, wajahnya nampak tegang, sementara tangan kanannya menjadi gemetar, di lambungnya nampak bukan saja kerisnya, tetapi juga sebilah pedang.

Sementara Ki Mina menunggu dengan tegang di tangga pendapa, Pinten berdiri di pintu pringgitan, ia menyandang pedang di lambung, wajahnya pun menyorotkan kesungguhan tatapan matanya atas orang-orang yang berdatangan.

Di belakangnya Inten Prawesti berdiri dengan gemetar.

“Puteri” berkata Pinten tanpa berpaling, “Masuklah ke dalam bilik bersama ibunda, selaraklah pintu dan jangan dibuka jika puteri tidak yakin, bahwa yang mengetuk pintu adalah salah seorang dari kami penghuni istana ini”

“Aku takut Pinten” desis Inten Prawesti.

“Puteri akan aman bila berada di dalam bilik ibunda, justru diluar bilik, keadaan akan semakin berbahaya bagi puteri”

Inten termangu-mangu sejenak, tetapi lewat lubang pintu, ia pun melihat beberapa orang berkuda menghampiri regol halamannya.

“Cepatlah puteri, kami tidak tahu, apa yang bakal terjadi, mungkin mereka sekedar melihat-lihat keadaan di istana ini, tetapi mungkin bakal terjadi benturan kekerasan”

“Mereka lebih banyak dari kalian berempat”

“Apapun yang bakal terjadi, kita tidak akan dapat membiarkan mereka berbuat sesuatu di halaman ini, meskipun ia menyebut dirinya Raden Kuda Rupaka”

Inten termangu-mangu, dan ia pun ternyata melihat seorang anak muda diantara beberapa orang berkuda itu justru berada yang paling depan.

“Kamas Kuda Rupaka ada diantara mereka” desisnya.

“Mereka adalah orang-orang dari perguruan Cengkir Pitu” sahut Pinten, “Diantaranya adalah Raden Kuda Rupaka”

Inten termangu-mangu sejenak, kekecewaan yang dalam terhadap Raden Kuda Rupaka telah mencengkam hatinnya.

“Puteri” desak Pinten kemudian, “Cepatlah, sebelum mereka memecahkan pintu gerbang dan menghambur memasuki halaman, kakang Sangkan sudah bertekad tidak akan membuka pintu regol, tetapi kita semua yakin bahwa mereka akan memecahkan pintu itu”

“Kenapa pintu itu tidak dibuka saja?”

“Tidak puteri, dengan demikian kami akan melihat dengan jelas sebagai suatu bukti, bahwa mereka berniat buruk, jika mereka tidak mempunyai niat buruk, mereka tidak akan memecahkan pintu, karena seharusnya mereka mengetahui , bahwa jika pintu itu tidak dibuka, itu berarti bahwa kita tidak mau menerima mereka”

Inten masih termangu-mangu.

“Cepatlah, sebentar lagi pintu itu akan jebol”

Dengan ragu-ragu Inten kemudian bergeser selangkah, namun ia pun kemudian segera berlari menghambur masuk ke dalam biliknya.

“Inten” desis ibunya yang menyongsongnya, “Apa yang terjadi?”

“Orang-orang Cengkir Pitu berdatangan ibunda, mereka akan memecah pintu gerbang, Pinten menyuruh aku menyelarak pintu bilik.

Ibundanya ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk-angguk kepalanya.

Dengan tangan gemetar, Inten menyelarak pintu biliknya dan kemudian dengan tergesa-gesa mendekati ibundanya dan duduk berdesakan dengan cemas.

Sementara itu Sangkan dan Panon yang sudah turun dari atap istana kecil itu, langsung memencar dan turun ke halaman di sebelah menyebelah pendapa.

Ki Mina berpaling, ketika ia mendengar langkah mendekat, ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Panon dan Sangkan berada di sisi pendapa yang berseberangan, apalagi kemudian ia pun melihat Pinten yang sudah berdiri di pendapa dengan pakaiannya yang khusus dan sepasang pedang di lambung.

Ki Mina mengerutkan keningnya, ia belum pernah melihat Pinten sedemikian garangnya dengan sepasang pedang, tetapi kini agaknya ia merasa perlu menyatakan dirinya dalam kelengkapan serupa itu.

Sementara itu sekelompok orang-orang berkuda telah berada di muka regol halaman, yang paling depan adalah seorang anak muda yang dikenal baik oleh penghuni istana kecil itu, Raden Kuda Rupaka.

Sejenak Raden Kuda Rupaka termangu-mangu, namun kemudian ia pun berteriak, “He, orang-orang yang berada di dalam istana, bukankah kalian mengenal aku?, bukalah pintu gerbang ini, aku inging menghadap bibi Kuda Narpada”

Orang-orang yang berada di halaman itu termangu-mangu sejenak, namun Sangkan lah yang kemudian malangkah maju sambil menjawab, “Raden Kuda Rupaka, kedatangan Raden kali ini sama sekali tidak menguntungkan kami”

“Kenapa?” bertanya Raden Kuda Rupaka, “Kami datang dengan maksud baik, aku telah memanggil beberapa orang kawan-kawan dan pembantuku untuk menjaga istana ini dari kemungkinan yang lebih buruk, kami sudah mendapat berita keberangkatan orang-orang Guntur Geni, dalam jumlah yang besar dan orang-orang dari perguruan Kumbang Kuning”

Sangkan memandang orang-orang orang-orang yang berada di luar pintu regol dari lubang papan yang sudah lapuk, meskipun agak kurang jelas, tetapi ia melihat wajah-wajah yang kasar dan penuh kebencian, namun ia melihat juga wajah-wajah yang memancarkan derajad kebangsawanannya, seperti wajah Raden Kuda Rupaka.

“Sangkan” teriak Raden Kuda Rupaka, “Apakah kau sudah gila, bukalah pintunya, aku tidak datang seorang diri, jika aku mau, maka istana ini akan menjadi abu dalam sekejap”

“Kedatangan Raden benar-benar tidak kami harapkan” berkata Sangkan, “Silahkan Raden pergi saja”

“Gila, kau sudah gila. Aku akan menghadap bibi, kau tahu akibat apa yang dapat terjadi jika kau memaksa kami mempergunakan kekerasan”

“Raden memang sudah mempergunakan kekuatan, maaf jika kami tidak dapat mempercayai Raden lagi”

“Gila, cepat. Aku dapat berbuat apa saja atas kalian”

Sangkan termangu-mangu sejenak, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan apapun yang akan terjadi.

Sementara itu Raden Ayu Kuda Narpada, menjadi gelisah di dalam biliknya, ia mendengar pembicaraan di halaman, kemudian ia berkata kepada Inten Prawesti, “Inten, tidak seharusnya aku tetap berada di dalam bilik ini, angger Kuda Rupaka agaknya benar-benar ingin menemui aku”

“Tetapi itu berbahaya sekali ibunda”

“Aku kira tidak akan ada bedanya, seandainya kita berdua bersembunyi di dalam bilik ini, jika terjadi benturan kekerasan, maka akan jatuh korban yang sebenarnyanya tidak bersalah, mungkin Sangkan, mungkin Panon dan bahkan mungkin Pinten”

Puteri Inten Prawesti yang memegangi lengan ibundanya berkata terbata-bata, “Tetapi Pinten minta agar kita berada di dalam bilik ini saja”

Puteri yang ketakutan itu menjadi heran, ketika tiba-tiba saja ibunda tersenyum, ia sama sekali tidak mengerti makna dari senyum itu, meskipun nampak betapa senyum itu menyimpan kepalsuan perasaan.

Sebenarnyalah kepedihan hati ibundanya sudah menjadi seakan-akan jenuh Raden Ayu Kuda Narpada tidak dapat menampung lagi kecemasan dan ketika bagi peristiwa-peristiwa yang mendatang, bahkan tiba-tiba saja seolah-olah ia menemukan kekuatan untuk berbuat sesuatu, karena ia merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi menghindari kesulitan yang bakal datang, yang semakin lama justru semakin bertimbun.

“Inten” berkata ibundanya sambil mengusap kepala anaknya, “Aku sudah tua, aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya aku akukan, tetapi apapun yang terjadi atasku, tentu tidak akan banyak berakibat bagi istana ini”

“Tidak ibu, tentu akibatnya akan sangat parah bagiku, apapun yang akan ibunda lakukan, aku akan ikut serta, hidup atau mati”

Ibundanya menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Inten, kau sajalah yang tinggal di dalam bilik ini, aku akan minta Pinten mengawanimu, ia adalah seorang gadis yang luar biasa, ia memiliki kemampuan-kemampuan seperti laki-laki, bahkan ia dapat mengalahkan laki-laki”

“Tidak, tidak ibunda, aku akan ikut kemana ibunda pergi”

Sejenak Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar orang-orang di luar istana itu berbicara semakin keras dan kasar.

“Aku harus mencegahnya” desis Raden Ayu Kuda Narpada.

Tetapi ketika Raden Ayu Kuda Narpada berdiri, Inten ikut berdiri pula, ia selalu berpegangan lengan ibundanya dan tidak mau melepaskannya.

“Inten” berkata ibundanya, “Tinggallah di dalam bilik ini, sebentar akan lagi Pinten akan datang, bagimu dalam saat seperti ini Pinten lebih berguna dari padaku”

“Tidak ibunda, aku ikut bersama-sama ibunda”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun suara-suara yang semakin keras seakan-akan telah memaksanya untuk segera melangkah keluar.

Namun Inten tetap berpegangan tangannya, ketika ibundanya berlari keluar, maka Inten pun ikut pula keluar.

Ketika mereka sampai di pintu pringgitan, mereka melihat beberapa orang yang marah berada di luar pintu regol, sementara itu Pinten masih berdiri tegak di pendapa.

Langkah keduanya telah mengejutkan Pinten, karena itu, maka ia pun segera berpaling, dengan tegang ia melihat kedua puteri itu justru keluar pintu.

“Masuklah, cepat” desis Pinten.

Tetapi keduanya tidak sempat menjawab, yang terdengar kemudian adalah derak pintu regol yang pecah.

Sejenak kemudian., maka menghamburlah beberapa ekor kuda memasuki halaman, diantara mereka adalah Raden Kuda Rupaka

Ki Mina, Sangkan dan Panon yang berada di halaman telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, bahkan Pinten pun kemudian melangkah maju beberapa langkah, namun sekali lagi ia berpaling sambil berdesis, “Cepat mereka tidak dapat di kekang lagi”

Tetapi Raden Ayu Kuda Narpada justru berlari menyusul Pinten sambil berteriak, “Angger Kuda Rupaka, apakah yang kau kehendaki sebenarnyanya?”

Semua orang berpaling kepadanya, sementara itu, Raden Ayu Kuda Narpada maju beberapa langkah lagi dan justru berdiri di bibir pendapa.

Semua orang menjadi heran melihat kehadirannya, bahkan Raden Kuda Rupaka pun menjadi heran pula.

“Anak mas” terdengar lagi suaranya, “Apakah yang memaksa angger untuk datang lagi bersama dengan beberapa orang kawanmu?”

Raden Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, dipandanginyanya Raden Ayu Kuda Narpada, lalu katanya, “Bibi aku mempunyai hanya kepentingan dengan istana ini. Di dalam istana tni tersimpan pusaka yang seharusnya sudah diserahkan kepada kalangan istana Demak. tetapi sampai sekarang, pusaka itu masih belum kembali ke gedung perbendaharaan pusaka, bahkan paman Kuda Narpada telah menyembunyikan diri bersama paman Cemara Kuning dan Paman Sendang Prapat bersama pusaka itu”

“Anakmas” jawab Raden Ayu Kuda Narpada, “Kakanda Kuda Narpada sama sekali tidak menyembinyikan diri, tetapi kakanda Kuda Narpada telah diajak oleh kedua pangeran itu sehingga saat ini tidak kembali lagi”

“Ah, bibi dapat saja mengatakan begitu, tetapi jika benar bibi menganggap bahwa paman Kuda Narpada tidak berusaha menyembunyikan pusaka itu, cobalah tunjukkan kepada kami, dimanakah pusaka itu. karena sebenarnyalah kami datang bersama Pangeran Sora Raksa Pati, yang mendapat tugas langsung dari Sultan Demak untuk mengambil pusaka itu, atau menemukan pamanda Kuda Narpada hidup atau mati”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi pucat, namun kemudian jawabnya, “Apakah benar diantara kalian terdapat utusan langsung dari Sultan Demak?”

“Ya” jawab seorang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis dan berjanggut lebat, “Akulah Sora Raksa Pati, aku sudah jemu menunggu kedatangan angger Kuda Rupaka yang sudah mendahului perjalanku, sementara Sultan selalu mendesakku untuk segera menyerahkan pusaka itu, aku kira mengambil pusaka istana ini dengan perintah mempersoalkan bukannya pekerjaan yang mendapat kesulitan apapun, ternyata bahwa tugas Kuda Rupaka mendapat banyak hambatan disini, agaknya keluarga Kuda Narpada sendiri tidak membantu kelancaran yang dibebankan kepadanya atas perintah Sultan”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin pucat, lalu katanya, “Aku mohon ampun, tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu menahu letak pusaka yang sedang dicari itu, itulah soalnya, bukan menghambat dan apalagi dengan sengaja menghalang-halangi”

“Apapun alasan yang dikemukakan, tetapi kenyataan yang dihadapi Sultan adalah, bahwa pusaka itu sampai kini masih belum dapat diserahkan, sedangkan Sultan sudah tahu pasti, bahwa oleh Maharaja Majapahit Pamungkas pusaka itu diserahkan kepada Kuda Narpada, tentu kami tidak akan dapat mengemukakan alasan apapun juga kepada Sultan yang menghendaki pusaka itu kembali ke perbendaharaan istana Demak” berkata Sora Raksa Pati.

Raden Ayu Kuda Narpada merasa semakin tersedak, tetapi ia pun menjawab, “Pangeran, sebenarnyalah bahwa kepergian kakanda Kuda Narpada bukannya menyembunyikan diri, jika Pangeran dapat bertemu dengan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat, maka persoalannya akan sedikit dapat terungkap”

“Apakah kami masih harus mencari Cemara Kuning dan Sendang Prapat, keduanya telah hilang sejak lama, tentu keduanya telah bersembunyi bersama Kuda Narpada”

“Tidak, itu tidak benar, jika memang diperlukan, aku akan menghadap Sultan sendiri dan menerangkan apa yang telah terjadi” bantah Raden Ayu Kuda Narpada.

“Itu tidak mungkin, kau sangka Sultan akan dapat menerima setiap orang?, hanya orang-orang yang penting dan diperlukan sajalah yang dapat menghadap” sahut Sora Raksa Pati.

“Tetapi persoalan yang akan aku kemukakan adalah persoalan yang sangat penting, jika bukan persoalan yang sangat penting maka Sultan tentu tidak akan mengutus beberapa orang bangawan untuk datang”

“Itu tidak perlu, soalnya adalah, serahkan pusaka itu, atau kami akan bertindak dengan kasar”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi gemetar, namun tiba-tiba saja hatinya yang telah beku itu tidak lagi dapat disusupi oleh perasaan takut, bahkan dengan dada tengadah ia berkata, “Pangeran, jika pangeran menganggap perlu melakukan kekerasan, lakukanlah, tetapi jangan terhadap orang lain, kecuali aku sendiri, karena akulah yang menjadi sumber dari persoalan yang sedang kalian hadapi sekarang ini”

“Jika orang-orang lain tidak ikut campur, maka akupun tidak akan menyentuh mereka, coba katakan kepada mereka, agar mereka keluar dari halaman istana ini, suruhlah mereka pergi dan sama sekali tidak mengganggu perkerjaan kami, maka kamipun tidak akan mengganggu mereka”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu sejenak, dipandanginyanya beberapa orang yang berada di halaman, kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Ki Sanak yang selama ini telah memberikan banyak pertolongan kepadaku, aku tidak dapat berbuat lain dari pada mempersilahkan kalian meninggalkan halaman ini, Panon, Ki Mina, Sangkan dan Pinten, bahkan aku ingin menitipkan Inten kepada kalian agar ia pun tidak akan tersentuh oleh persoalan yang tidak diketahuinya, juga aku ingin kalian membawa Nyi Upih berserta kalian”

Tiba-tiba saja terdengar teriakan Inten yang menusuk, “Tidak, ibunda, aku akan selalu bersama ibunda”

“Inten” desis ibundanya, “Pergilah bersama Pinten, ia akan dapat melindungimu jauh lebih baik dari ibumu”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu Sora Raksa Pati berkata “Biarlah ia tinggal disini, kami tidak akan mengganggunya, tetapi suruhlah yang lain meninggalkan tempat ini. Raden Kuda Rupaka akan melakukan penelitian lebih seksama di halaman istana ini”

Dalam pada itu, Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti dicengkam oleh ketegangan dan keragu-raguan, terdengar Sangkan berkata, “Raden Kuda Rupaka, jangan mencoba memaksa dengan cara apapun juga, jangan menakut-nakuti dengan orang yang bernama Sora Raksa Pati dan berkedudukan sebagai seorang pangeran. Sultan Demak pasti tidak akan memberikan perintah kepada orang-orang semacam kalian”

“Gila, kau anak budak yang bodoh, meskipun kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi apa yang kau ketahui tentang perintah Sultan dan urutan kekuasaan para bangsawan?”

“Aku memang orang-orang hamba kecil, aku adalah anak seorang pelayan, tetapi justru karena biyungku adalah pelayan di dalam lingkungan seorang bangsawan sejak aku bayi, maka akupun mengerti serba sedikit masalah yang menyangkut tugas-tugas kebangsawanan apalagi orang-orang petugas dari istana”

“Jangan mencampuri persoalan yang tidak kau ketahui, anak gila” bentak Kuda Rupaka.

“Raden” potong Sangkan, “Yang aku ketahui sampai saat ini, yang ada pada Raden adalah ciri-ciri perguruan Cengkir Pitu, batu-batu akik dan ciri-ciri olah kanuragan yang Raden perlihatkan, tetapi Raden sama sekali tidak memperlihatkan ciri-ciri dari duta Sultan Demak, misalnya cincin kerajaan atau benda-benda yang bersifat khusus, pusaka kerajaan atau sungsang barat Sultan sendiri”

“Gila, kau benar-benar gila, semua benda-benda itu tidak akan dapat keluar dari istana, benda itu hanya akan hadir bersama Sultan sendiri, apalagi cincin kerajaan, atau pusaka-pusaka yang lain”

Tetapi Sangkan menggeleng, katanya, “Tidak tuan-tuan, cincin istana atau pedang Candrakasih akan dapat dilimpahkan kepada utusan terpercaya”

Jawaban Sangkan itu benar-benar mengejutkan, dengan wajah yang tegang Raden Kuda Rupaka maju beberapa langkah, katanya, “Darimana kau dapat menyebutkan benda-benda itu?”

“Aku pernah mendengar, justru karena aku adalah anak seorang pelayan yang ada di dalam lingkungan kebangsawanan itu pula”

“Tetapi pendengaranmu tidak lengkap, tanda kerajaan itu akan diberikan bagi utusan yang melakukan tugas-tugas kerajaan dalam hubungan yang setingkat atau hampir setingkat”

Sangkan termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Raden Kuda Rupaka, aku kira bagi Sultan Demak, kedudukan Pangeran Kuda Narpada cukup tinggi meskipun tidak setingkat dengan Sultan sendiri, seandainya masih tidak cukup kuat sebagai alasan untuk memberikan pertanda tertinggi, maka tentu ada tanda-tanda lain yang diberikan, agar Raden Kuda Rupaka mendapat kepercayaan sebagai utusan Sultan yang sebenarnya” ia berhenti sejenak sambil memandang pangeran Sora Raksa Pati, lalu, “Nah, tanpa tanda-tanda itu, maka Raden Kuda Rupaka tidak ubahnya dengan Kidang Alit, dan sudah tentu bahwa Raden Ayu tidak akan membiarkan orang-orang yang tidak seharusnya melakukan kewajiban dari kerajaan itu akan berbuat sekehendak hatinya di dalam istana ini”

“Persetan” desis Raden Kuda Rupaka, “Kau memang orang yang dungu tetapi sombong, kau sama sekali tidak tahu tatanan dan apalagi urutan limpahan kekuasaan dari Sultan kepada para senapati dan perwira-perwira tinggi, sekarang, minggirlah, aku akan melakukan tugasku, jika kalian tidak mingir, maka aku akan membunuh semuanya yang ada di halaman istana ini, agar aku dapat melakukan dengan tenang”

“Tuan tidak akan dapat melakukan dengan tenang, karena sebentar lagi, setelah kami semuanya terbunuh dan kekuatan tuan akan tinggal separuh dari yang sekarang, karena kami pun akan membunuh sebelum mati, maka akan datanglah Kidang Alit dengan kekuatan padepokan Kumbang Kuning, Nah, apa katamu Raden?, akan datang giliran kalian dibantai oleh Kidang Alit dan kawan-kawannya.”

Wajah Kuda Rupaka menjadi tegang, tetapi kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hatinya, hampir diluar sadarnya ia memandang berkeliling, kemudian seolah-olah ia sedang menghitung kekuatuan yang ada padanya.

“Tidak lebih dari empat orang yang terbaik” katanya di dalam hati, “Tetapi yang lain harus diperhitungkan oleh lawan, meskipun mereka tidak sebaik paman Panji, tetapi lima orang dari mereka akan sama dengan tiga orang paman Panji, jika keempat orang ini sudah dapat diselesaikan, maka paman Panji akan dapat kami lepaskan sebelum kami berhadapan dengan orang-orang Kumbang Kuning”

“Tuan mulai ragu-ragu” berkata Sangkan, “Tetapi agaknya tuan telah mulai mempertimbangkan dengan nalar”

“Jangan mengigau, dengarlah Sangkan, kau masih mempunyai kesempatan beberapa saat sebelum lehermu terpisah dari tubuhmu, paman Panji yang kau sembunyikan, akan segera kami bebaskan. Ia akan melepaskan dendamnya terhadap Pinten, sementara aku akan dapat membawa diajeng Inten Prawesti lembali ke Demak, agaknya tempat ini terlalu buruk baginya”

“Tuan” berkata Sangkan, “Aku tidak tahu apakah yang aku lakukan dianggap baik atau tidak oleh Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi aku tidak mengijinkan tuan melakukan apapun di halaman istana ini”

“Bukalah matamu, Sangkan. aku tidak datang sendiri, atau hanya berempat, aku datang dalam jumlah yang lebih dari kelipatan jumlah kalian”

“Jumlah bukan ukuran mutlak, tetapi sudah aku katakan, lakukanlah yang akan tuan lakukan, sebelum tuan dibantai oleh orang-orang Kumbang Kuning”

“Tidak ada orang Kumbang Kuning diatas bukit ini” Raden Kuda Rupaka berteriak, tetapi suaranya menunjukkan keragu-raguannya karena sebenarnyalah ia mengetahui bahwa orang-orang Kumbang Kuning telah berada di Karangmaja pula.

Namun tiba-tiba hatinya gemetar, ketika ia mendengar jawaban dari luar regol, “Tuan keliru, orang-orang Kumbang Kuning telah ada di sekitar istana ini”

Setiap orangpun kemudian berpaling, yang mereka lihat adalah dua orang yang berdiri di regol halaman yang rusak.

Sebelum Raden Kuda Rupaka bertanya, Panon telah berteriak, “Ki Ajar?”

Ki Ajar Respati tersenyum, ia maju beberapa langkah diikuti oleh Ki Reksabahu.

“Aku datang karena aku sudah rindu kepada adikku, aku tidak sabar lagi menunggu, sehingga aku pun mencarinya kemari”

Ki Mina termangu-mangu sejenak, kemudian jawabnya, “Kedatangan kakang Ajar Respati sangat menggembirakan hati justru pada saat yang gawat ini, mungkin aku harus minta diri untuk mati, tetapi aku masih mempunyai satu keinginan, membunuh lawan sebanyak-banyaknya”

“Jangan terlalu bernafsu untuk membunuh Rancangbandang, sebaiknya kau mencoba menghindari persilisihan, tetapi apbila tidak mungkin, cobalah menyelamatkan diri, jangan memikirkan untuk membunuh”

“Gila, kau orang gila” teriak Sora Raksa Pati, “Kuda Rupaka, aku sudah jemu dengan permainan gila ini, sekarang, jika kita harus membunuh, siapakah yang harus kita bunuh?”

Suasana meningkat semakin tegang, namun tiba-tiba saja Raden Ayu Kuda Narpada berlari turun ke halaman sambil berkata lantang, “Bunuhlah aku pangeran, aku tidak ingin melihat apapun yang akan terjadi”

Inten yang melihat ibundanya berlari ke halaman, ingin ikut pula menyusul, demikian tiba-tiba, sehingga hentakan ibundanya telah melepaskan pegangannya, namun ketika ia akan berlari menghambur ke halaman pula, sebuah tangan yang kuat telah menahannya.

“Jangan puteri”

Inten berpaling, ia tidak menduga bahwa tangan itu adalah tangan Pinten, tangan yang lembut jika sedang bermain-main dengan kecik saat mereka bermain dakon, namun yang tiba-tiba bagaikan jari-jari besi yang melingkar di lengannya.

“Lepaskan, lepaskan”

“Tidak puteri, kakang Sangkan akan memohon ibunda puteri untuk naik ke pendapa”

Betapapun Inten meronta, tetapi tangan Pinten tidak dapat lepas, bahkan kemudian Pinten memeganginya dengan kedua belah tangannya pada kedua belah lengannya.

“Lepaskan aku, lepaskan” teriak Inten Prawesti.

Tetapi ternyata, tangan itu justru menjadi semakin kuat,

Suara Inten telah menarik perhatian ibundanya, sehingga ia pun berpaling.

“Kuda Rupaka” Pangeran Sora Raksa Pati lah yang berteriak, “Cepat lakukanlah sesuatu, wanita itu sudah menjadi gila, tetapi jika harus dibunuh, maka biarlah ia dipenggal lehernya”

Kata-kata kasar itu benar-benar telah membakar penghuni istana kecil itu, sehingga Panon yang sejak semula berdiri dengan tegang berteriak, “Lakukanlah jika kalian mampu, jumlah kami tiba-tiba saja telah bertambah dengan dua orang meskipun secara kebetulan”

“Bukan secara kebetulan” sahut Ki Ajar Respati, “Aku melihat kedatangan orang-orang Cengkir Pitu, dan akupun melihat kedatangan orang-orang Kumbang Kuning yang kini sedang memperhatikan kita semuanya, mereka sedang mengharap kita bertempur dan saling membunuh, maka diantara bangkai yang berserakan di halaman ini, orang-orang Kumbang Kuning akan menari bersuka ria”

“Omong kosong”

“Angkatlah wajah tuan-tuan kearah barat, di sebelah gerumbul perdu yang mulai rimbun di puncak bukit kecil sedang menunggu orang-orang Kumbang Kuning, mereka sudah tidak sabar lagi seperti tuan yang bertubuh kekar itu, kapan kita saling membunuh”

Kata-kata Ki Ajar itu telah menyentuh hati orang-orang Cengkir Pitu, dengan serta merta mereka menengok ke barat keatas bukit kecil.

Orang-orang Cengkir Pitu itu sempat melihat sepintas bayangan orang-orang yang sedang memperhatikan istana ini dan terlihat sangat jelas.

Ternyata kata-kata Ki Ajar itu bukannya sekedar menakut-nakuti orang Cengkir Pitu yang sedang tegang, dalam pandangan mereka sekilas orang-orang Cengkir Pitu dapat menduga, bahwa orang-orang yang sedang mengawasi itu adalah orang-orang Kumbang Kuning.

Sangkan yang juga melihat mereka, tiba-tiba saja tertawa, katanya, “Nah, ternyata bahwa Kidang Alit kini tidak lagi bersama-sama Raden Kuda Rupaka, ia ternyata berada diantara kawan-kawannya, sebelum orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning datang, maka Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit merupakan dua orang sahabat baik”

Orang-orang Cengkir Pitu menjadi tegang, sementara itu, Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, ia jang sempat melihat sesuatu di balik gerumbul pohon perdu itu, tetapi ia tidak melihat dengan jelas.

Dalam pada itu, selagi orang-orang Cengkir Pitu termangu-mangu, Sangkan tiba-tiba saja memberikan isyarat sambil memanggil, “Biyung, jangan tertunduk disitu, cobalah mengatur perasaan, meskipun biyung ketakutan setengah mati, tetapi cobalah mengajak Raden Ayu untuk naik ke pendapa”

Dalam pada itu, dari samping pendapa, Nyi Upih yang ketakutan, muncul lewat pintu butulan, berjalan dengan gemetar, namun ia memaksa diri untuk mendekat Raden Ayu Kuda Narpada, sementara Sangkan mengamatinya dengan kesiagaan sepenuhnya, jika seseorang meloncat menerkam puteri itu, maka ia pun telah siap untuk melawannya.

Tetapi tidak ada seorang pun yang bergerak, dengan tangan yang gemetar pula Nyi Upih membimbing Raden Ayu Kuda Narpada, yang seakan-akan telah kehilangan kesadaran dirinya dan berjalan menurut saja langakah Nyi Upih yang menariknya ke pendapa. Raden Ayu itu baru sadar, ketika Inten yang dilepaskan oleh Pinten segera berlari memeluknya sambil menangis.

“Marilah puteri” ajak Nyi Upih, “Masuklah, suasana di luar sama sekali tidak menguntungkan”

Kedua puteri itu masih saling berpelukan tanpa beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu, nampaklah orang-orang Cengkir Pitu dicengkam oleh keragu-raguan, hampir diluar sadarnya Raden Kuda Rupaka memperhatikan orang-orang di sekitarnya, Sangkan, Panon, Ki Mina, Pinten di pendapa dan dua orang yang baru datang itu masih saja berada di muka regol halaman.

“Jumlah kalian masih terlalu banyak” berkata Panon tiba-tiba, “Tetapi kami sudah siap menghadapi segala kemungkinan, akupun telah menjadi pening berdiri tegang tanpa berbuat sesuatu, jika kalian akan mulai, mulailah, jika kalian akan pergi, pergilah, mungkin Raden Kuda Rupaka masih sempat membuat perjanjian baru dengan Kidang Alit, sebelum datang untuk kedua kalinya”

“Kubunuh kau anak tikus” teriak pangeran Sora Raksa Pati.

Hampir diluar dugaan, Pinten lah yang menjawab, “Sejak semula kau memang berniat membunuh kami, tetapi kau tidak berbuat apa-apa selain berteriak, apalagi setelah kalian menyadari, bahwa orang-orang Kumbang Kuning sedang memperhatikan kita semuanya, seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar yang belum aku kenal sebelumnya, mereka akan menari diatas bangkai kita semuanya, karena yang masih tetap hidup tentu akan dibunuhnya pula”

Wajah Raden Kuda Rupaka benar-benar menjadi tegang, namun tiba-tiba ia berteriak, “Pendapatmu bagus sekali Pinten, aku akan menemui Kidang Alit, kami akan datang dalam kelompok yang besar, dengan mudah kami akan menumpas kalian, jika sesudah ini kami harus membinasakan orang-orang Kumbang Kuning”

Sangkan segera menyahut, “Rencana yang bagus sekali, kapan kalian akan melaksanakannya?”

“Persetan” wajah Kuda Rupaka menjadi merah padam, namun katanya kepada pangeran Sora Raksa Pati, “Kita harus mempertimbangkan jalan itu paman”

Orang yang disebut pangeran Sora Raksa Pati itu menegang sejenak, dipandanginyanya wajah Raden Kuda Rupaka dengan tegangnya, namun kemudian katanya, “Jadi apakah maksudmu kita akan meninggalkan tempat ini tanpa berbuat sesuatu?”

Raden Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Kita menunda tindakan yang akan memberikan kepastian, kita akan menghubungi orang-orang Cengkir Pitu”

“Gila. Jadi apakah kita akan membiarkan orang-orang gila ini tetap hidup?”

“Untuk sementara paman, kita akan menyusun rencana yang jauh lebih baik dari membunuh mereka sekarang ini”

Pangeran Sora Raksa Pati termangu-mangu, tetapi ia pun kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu Kuda Rupaka, kau yang telah cukup lama berada disini, kau tentu dapat membuat perhitungan yang lebih baik dari padaku”

“Kita akan meninggalkan halaman ini dan menjumpai orang-orang Kumbang Kuning, kita akan membunuh orang-orang yang ada di halaman istana ini bersama-sama sebelum kita akan melenyapkan orang-orang Kumbang Kuning”

Halaman itu menjadi tegang, semua orang memandang pangeran Sora Raksa Pati, seakan-akan mereka menggantungkan seluruh keadaan kepadanya.

Sejenak kemudian pangeran itu pun berkata, “Baiklah, marilah kita cepat menyelesaikan tugas ini, aku harus cepat menghadap Sultan di Demak”.

Pangeran Sora Raksa Pati tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera memacu kudanya meninggalkan halaman istana kecil itu.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu bergeser menepi ketika beberapa kuda itu dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman.

Demikian kuda-kuda itu lenyap, maka tiba-tiba saja Nyi Upih berteriak, “Pinten tolong”

Ternyata Raden Ayu Kuda Narpada yang dicengkam oleh ketegangan itu tidak dapat bertahan lama lagi, karena itu ia pun tiba-tiba menjadi pingsan.

Semua orangpun menjadi sibuk, Sangkan berlari-lari mendekat pula, sementara puteri Inten Prawesti menangis sejadi-jadinya.

“Jangan menangis puteri” Pinten mencoba menghiburnya, “Ibunda puteri tidak apa-apa, ibunda hanya pingsan karena ketegangan yang tidak tertahankan”

Ketika Raden Ayu Kuda Narpada diangkat masuk kedalam biliknya, maka Inten pun menangisinya tidak henti-hentinya, sementara itu Nyi Upih sibuk menggosok Raden Ayu dengan jahe di kakinya, dan kemudian tengkuk dan pelipisnya.

Akhirnya perlahan-lahan Raden Ayu itu pun sadar, ketika ia membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah puterinya, sambil memeluknya air mata Raden Ayu tidak dapat ditahannya.

Tetapi orang-orang yang merawatnya menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah mereka telah terlepas dari himpitan yang pepat.

Sementara ini, Sangkan telah keluar dari bilik Raden Ayu, ia melihat Panon sedang sibuk menemui orang yang bernama Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Ketika Sangkan mendekat, maka ia pun segera diperkenalkan dengan kedua orang yang baru datang itu, meskipun Sangkan mengangguk-angguk hormat, tetapi nampak sekilas kecurigaan memancar diwajahnya.

“Siapakah sebenarnyanya kalian, dan apakah hubungan kalian dengan Panon?” bertanya Sangkan.

Kecurigaan Sangkan dapat dimengerti, karena itu, maka Ki Ajarpun menjawab, “Angger, aku adalah kakak dari Rancangbandang yang juga dipanggil Ki Mina, ia sudah terlalu lama pergi, sehingga aku menjadi cemas, itulah sebabnya aku mencarinya, adalah kebetulan bahwa aku melihat orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning”

“Maaf Ki Ajar” berkata Sangkan, “Kita yang sekarang berada di atas Pegunungan Sewu ini sedang saling mencurigai, akupun sebenarnyanya juga mencurigai kedua orang yang baru aku kenal hari ini, justru ketika kami sedang berada dalam puncak ketegangan, tetapi nampaknya kalian bukan orang-orang tamak meskipun pengenalanku itu bukannya ukuran yang pasti”

“Kami menyadari, dan kami tidak merasa berkecil hati, bahwa kami telah dicurigai, bahkan kami wajib membuktikan bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu sehingga kami akan lepas dari kecurigaan selanjutnya”

Sangkan mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, kita akan mencoba hidup dalam satu atap dengan rukun dan baik, kita akan saling membutuhkan untuk mempertahankan hidup kita masing-masing dan melindungi istana ini meskipun aku tidak tahu menahu, apakah ada gunanya, tetapi menilik sifat dan sikap orang yang setiap kali datang dengan ancaman kekerasan itu, maka kita memang wajib melindungi isi istana kecil ini”

Dengan demikian maka Sangkan tidak menolak kehadiran kedua orang itu di dalam istana itu, namun Ki Wirit yang berada di luar istana itu, masih belum bersedia memasuki halaman. bahkan ia berpesan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu tidak mengatakan apanya juga tentang guru Panon yang masih mengawasi keadaan dari kejauhan, ialah yang mengusulkan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu memasuki istana meskipun semula ia tidak menyetujui, tetapi kehadiran orang-orang Cengkir Pitu di halaman itu telah membuatnya cemas dan bahkan ialah yang menganjurkan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu mendekat dan membantu jika diperlukan.

Sementara itu di saat berikutnya, istana kecil itu selalu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Sangkan dan Pinten tidak pernah lagi nampak bergurau dan berbuat aneh-aneh, mereka nampak bersungguh-sungguh dan justru merasa bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di halaman istana kecil itu.

Dalam pada itu Panon pun selalu siap dengan senjatanya, Ki Mina, Ki Ajar dan Ki Reksabahu masih sibuk dengan persoalan mereka sendiri, tetapi mereka pun tidak menjadi lengah, karena mereka sadar bahwa mereka berada di dalam panasnya api ketamakan dan kedengkian.

Sementara itu Nyi Upih pun tidak dapat beranjak dari bilik puteri Inten Prawesti yang selalu berada di dalam pelukan ibundanya, ia harus mengawaninya dan bahkan kadang-kadang harus menghibur mereka meskipun Nyi Upih sendiri selalu dicengkam oleh kegelisahan.

Dalam pada itu, Sangkan dan Pinten yang berada di ruang dalam sedang asyik dengan persoalan yang mereka hadapi, dengan wajah yang tegang Sangkan berkata, “Agaknya aku tidak dapat menunda lagi, jika merpati itu sampai di Prambanan menjelang senja, maka mereka memerlukan waktu setengah malam untuk sampai ke tempat ini”

Tetapi mereka tentu sudah mengetahui bahwa orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning sudah naik keatas Pegunungan Sewu”

“Tetapi kita sudah berjanji untuk memberikan isyarat itu”

Pinten tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka keduanya pun segera pergi ke kandang di belakang, setelah mereka yakin tidak ada seorang pun yang melihat, maka Sangkanpun segera memanjat keatas. Dimana ia menyembunyikan sebuah kotak kayu.

Ketika ia turun, maka ditangannya telah tergenggam seekor merpati yang berwarna putih memplak.

“Kasihan” desis Pinten, “Burung itu menjadi agak kurus”

“Kita akan dapat memberinya makan dengan teratur, tetapi burung ini cukup sehat, ia akan dapat terbang kembali ke kandangnya, dan orang-orang di Prambanan itu tentu akan menemukannya segera, karena mereka selalu mengawasi kandangnya setiap saat”

Setelah mengikat kaki burung merpati itu dengan sesobek kain berwarna putih pula, maka burung itu pun dilepaskannya.

Hanya sesaat kemudian burung itu telah membubung tinggi di udara, burung itu berputar sekali, namun kemudian terbang dengan cepatnya pulang kembali ke kandangnya di Prambanan.

Tidak ada orang yang mengetahui, karena itu, maka tidak ada seorang pun yang menjadi semakin curiga akan tingkah laku Sangkan dan Pinten.

Dalam pada itu, ketika Sangkan memasuki biliknya ia melihat orang-orang yang sedang berbicara dengan sungguh-sungguh di dalam bilik itu, sejenak ia ragu-ragu, tetapi Ki Ajar kemudian memanggilnya.

“Marilah ngger, kita sedang berbicara tentang kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi di halaman istana ini”

Sangkan kemudian melangkah masuk dan duduk diantara mereka, sementara Pinten pergi ke bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

“Bagaimana dengan Raden Panji Sura Wilaga?” bertanya Panon kepada Sangkan.

Dengan wajah yang tegang Sangkan menjawab, “Biar sajalah untuk sementara ia disana, kita tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusnya apabila keadaan menjadi semakin gawat”

“Itulah ngger” berkata Ki Ajar, “Mungkin kita dapat berbicara, kaulah yang paling banyak mengetahui tentang istana ini, dan kaulah sekarang yang menjadi pemimpin kami”

Sangkan mengerutkan keningnya, tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Kenapa aku yang harus menjadi pemimpin disini?”

“Tidak apa-apa, tetapi agaknya itulah yang paling pantas” sahut Kiai Rancangbandang.

“Kita semua akan menjadi pemimpin disini, dan marilah kita berbicara selanjutnya”

Sangkanpun kemudian ikut melibatkan diri dalam pembicaraan tentang rencana yang semakin gawat.

Kita tidak boleh membiarkan leher kita dipenggal oleh orang-orang Kumbang Kuning atau orang-orang Cengkir Pitu” berkata Sangkan, “Jika kita lengah sedikit saja, maka yang akan terjadi adalah malapetaka, karena itu, apabila kalian sudah bertekad untuk mempertahabkan istana ini, maka kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur melawan siapapun yang bakal datang. Dan untuk itu, taruhannya adalah nyawa kita, namun kita tidak akan mati begitu saja, kita akan mati dalam pelukan kewajiban yang kita bebankan kepada diri kita sendiri dan atas kehendak kita sendiri”

“Kita tidak akan ingkar Sangkan”

“Kita tidak tahu, kapan orang-orang Kumbang Kuning yang dihubungi oleh orang-orang Cengkir Pitu itu akan datang bersama-sama, karena itu setiap saat kita harus siap menghadapi mereka, sementara ini kita akan menunggu dengan hati yang tegang, tetapi malam nanti adalah kemungkinan yang paling besar, bahwa mereka akan datang bersama untuk menghancur-kan istana ini seisinya”

Panon menarik nafas dalam-dalam, ia masih mengharap gurunya akan datang dalam keadaan yang paling gawat, meskipun dengan kehadirannya jumlah yang bergabung akan tetap jauh lebih banyak.

“Jika guru datang, kita semua akan berjumlah tujuh orang” berkata Panon di dalam hatinya.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan, maka orang-orang Cengkir Pitu benar-benar langsung pergi menemui orang-orang Kumbang Kuning, agaknya orang-orang Kumbang Kuning yang langsung dapat dilihat oleh orang-orang Cengkir Pitu sedang mengintip dari celah-celah gerumbul perdu itu tidak dapat menghindar lagi, sehingga merekapun kemudian dengan kesiap siagaan sepenuhnya telah menunggu kedatangan orang-orang Cengkir Pitu.

Ketika kedua kelompok itu kemudian bertemu, maka mereka telah dicengkam oleh ketegangan, baik orang-orang Cengkir Pitu maupun orang-orang Kumbang Kuning telah siap melakukan apa saja, jika mereka pada saat itu harus langsung bertempur sebelum mereka menemukan pusaka yang mereka cari itu.

Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian orang yang berpakaian agak lain di dalam kelompok orang-orang Kumbang Kuning itu pun bertanya, “Apakah yang kau kehendaki pangeran Sora Raksa Pati?”

“Kenapa kalian berbuat licik?” bertanya Sora Raksa Pati.

“Apakah yang sudah kami lakukan?”

“Ajar Sukaniti” berkata pangeran Sora Raksa Pati, “Aku tahu, bahwa kau memang menunggu kami bertempur melawan anak-anak ingusan yang berada di dalam istana itu, anak-anak padesan yang sedikit memiliki kemampuan yang agaknya mereka pelajari dari guru-guru mereka di padesan pula, namun demikian, maka benturan itu tentu akan mengurangi kekuatan perguruan Cengkir Pitu, sehingga kalian menganggap, bahwa setelah kami mendapatkan pusaka itu, kalian dengan mudah akan dapat merampasnya”

Ajar Sukaniti tersenyum, jawabnya, “Tepat sekali, tetapi aganya kalian tidak berani menghadapi anak-anak yang kau sebut ingusan itu”

“Kau benar. bukan karena kami takut mati, tetapi kami tidak rela melihat pusaka itu jatuh ke tanganmu”

“Jadi apakah maksudmu sekarang?” bertanya Ajar Sukaniti.

“Apakah kita akan bertempur?” Kidang Alit pun bertanya pula.

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, namun katanya kemudian, “Itu tidak menguntungkan”

Ajar Sukaniti masih tersenyum, jawabnya, “Itu sikap yang bijaksana”

“Jika kita bertempur” berkata Kidang Alit, “Maka kita semuanya tentu akan gagal, karena sisa diantara kita yang masih hidup tidak akan dapat melawan orang-orang ingusan yang ada di dalam halaman istana itu, karena aku yakin bahwa kalian juga mempunyai akal, maka aku sudah menduga, bahwa pada suatu saat kalian tentu akan datang menemui kami”

“Persetan” teriak Raden Kuda Rupaka

“Jangan marah Raden, tentu ada timbal baliknya, jika bukan kalian menemui kami, maka kamilah yang akan menemui Raden”

Kuda Rupaka menahan kemarahannya di dalam dadanya, karena itu ia menyadari apa yang sedang mereka hadapi.

“Baiklah” berkata pangeran Sora Raksa Pati, “Apapun yang kalian katakan, kita sekarang sudah bertemu”

Ajar Sukaniti menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan dada yang tengadah ia berkata, “Apakah kita harus maju jika aku katakan saja bahwa sebaiknya kita menyerang istana itu bersama-sama, siapakah yang lebih dahulu menemukan pusaka itu di dalam istana itu, maka ialah yang memilikinya”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung sejenak, tetapi sebelum ia menjawab, maka terdengar seorang yang berada di sebelah Ajar Sukaniti berkata, “Sudahlah kamas pangeran, kita harus mengakui bahwa kita masing-masing akan sulit untuk dapat menguasai pusaka itu. Meskipun salah satu pihak kita akan dapat menumpas orang-orang yang ada di halaman istana itu, namun kita tentu akan kehilangan jumlah yang besar pula, sehingga dengan demikian tidak ada diantara kita yang akan berani mendahului memasuki halaman istana untuk bertempur melawan orang-orang gila yang ada di dalamnya yang sampai saat ini belum kita ketahui maksud yang sebenarnyanya, apakah mereka juga menginginkan pusaka itu, atau mereka mempunyai tujuan yang lain”

Sejenak tempat itu menjadi sepi, rasa-rasanya pangeran Sora Raksa Pati sedang berpikir.

“Apakah ada kemungkinan lain?” bertanya Kidang Alit.

“Aku harus membawa pusaka itu ke Demak” berkata Raden Kuda Rupaka, “Apakah tidak ada kesetiaan paman berdua sedikit pun kepada Sultan, sehingga paman berdua justru tidak membantu kami untuk mendapatkan pusaka itu?”

Orang itu tersenyum, katanya, “Apakah di wajahku tersirat ujud kesetiaan itu anak muda?, jika kau benar mendapat tugas dari Sultan bersama kakangmas pangeran Sora Raksa Pati, maka lakukanlah, aku belum pernah mengenalmu, dan aku tidak akan dapat mempercayaimu, jika kesetiaan itu ada padaku, maka tentu aku sendirilah yang akan membawa pusaka itu ke Demak dan menyerahkannya kepada Sultan”

“Atau barangkali pusaka itu justru sudah paman dapatkan beberapa tahun yang lalu, ketika paman membawa paman Pangren Kuda Narpada dan barangkali membunuhnya”

Orang itu mengerutkan keningnya, sesaat ia memandang berkeliling, bahkan ketika ia melihat wajah Ajar Sukaniti ia menjadi termangu-mangu.

Namun katanya kemudian, “Anak muda, kau memang pandai melontarkan persoalan, kau tentu akan mengatakan bahwa yang aku akukan sekarang adalah sekedar membuang perhatian orang-orang terhadapku, tetapi kau salah, setiap orang tidak akan dapat mempercayainya, jika aku sudah mempunyai pusaka itu, maka aku tentu sudah berhasil menyusun kekuatan selama waktu yang beberapa tahun itu sampai saat ini”

Ajar Sukaniti pun kemudian memotong, “Sudahlah, kita sudah hamir mencapai persetujuan”

Sejenak suasana menjadi semakin tegang, namun kemudian kedua belah pihak tidak mempunyai pilihan lain kecuali untuk sementara mencoba harus bekerja bersama.

“Pangeran” berkata Ajar Sukaniti, “Daripada kita bertengkar, lebih baik kita membuat rencana, apa yang akan kita akukan dan kapan, aku kira, jika kita bekerja bersama, kita tidak akan terlalu sulit untuk menghancurkan seisi istana itu, selebihnya siapakah yang menang pantas untuk menerima wahyu kekuasaan diatas tanah ini. Kita tidak perlu berpura-pura untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada Demak. bahkan kita akan berterus terang bahwa kita akan melakukan sesuatu yang mungkin kita akukan mumpung Demak masih goyah”

Sejenak orang-orang yang masih dicengkam ketegangan itu saling berpandangan, namun kemudian pangeran Sora Raksa Pati berkata, “Baiklah. Kita untuk sementara tidak mempunyai persoalan lagi, kita akan bekerja bersama, aku sadar, bahwa kedudukan tertinggi dalam hubungan trah Majapahit ada di kedua belah pihak diantara kita”

Pangeran Sendang Prapat tersenyum, katanya, “Sudahlah kamas pangeran, lebih baik kita beristirahat, tetapi sebelumnya kita akan menyusun rencana kapan kita harus bertindak.”

“Apa rencanamu Ajar Sukaniti?” bertanya pangeran Sora Raksa Pati.

“Kita bersama-sama memasuki halaman istana itu, kita membunuh setiap orang yang ada di dalam istana itu kecuali wanita” jawab Ajar Sukaniti

“Apakah Pinten juga kita biarkan hidup?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Kidang Alit tertawa, sebelum orang lain menjawab, maka ia telah mendahului, “Biarlah aku akan menjinakkan kuda binal itu”

Ajar Sukaniti mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Pangeran Sendang Prapat”

Pangeran Sendang Prapat memandang Kidang Alit sejenak, lalu katanya, “Kau masih saja dijangkiti penyakit terkutuk itu, tetapi tanpa penyakitmu, kau tidak akan dapat berbuat apa-apa”

Kidang Alit tertawa, tetapi Raden Kuda Rupaka mengumpat, “Kau akan mati dalam pelukan wanita”

Suara tertawa Kidang Alit semakin keras, tetapi suaranya terputus ketika pangeran Sora Raksa Pati membentak, “Coba katakan, apakah rencana kita menumpas semua orang yang ada di dalam istana itu, laki-laki atau wanita?”

Ajar Sukaniti tersenyum, katanya, “Jangan cepat panas pangeran, baiklah, kita akan menyusunnya bersama, bagaimana pendapat pangeran jika besok pagi-pagi kita kepung istana itu, kita akan masuk lewat setiap sudut dan membinasakan semua penghuninya?”

“Terlalu lamban, nanti malam kita akan memasuki halaman istana itu” jawab pangeran Sora Raksa Pati.

“Pangeran tentu tergesa-gesa, semakin tua pangeran tidak menjadi semakin sabar, tetapi justru sebaliknya”

“Apakah gunanya kita menunggu sampai besok pagi, kami semua sudah siap, kalian sudah siap, tunggu apalagi”

“Kita menunggu saat yang paling baik, jika kita datang sekarangpun kita sudah siap, tetapi orang-orang yang ada di dalam istana itu pun tentu sudah siap menerima kita pula, demikian juga malam nanti, orang-orang di dalam istana itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kia akan menyerang mereka menjelang malam turun, jika kita tidak datang sekarang, menjelang malam adalah waktu yang dapat dianggap paling baik. mungkin kita akan mempergunakan kekuatan sirep atau semacamnya, tetapi yang tentu tidak akan dapat mempengaruhi mereka, kecuali wanita cengeng itu, karena itu pangeran, kita menunggu agar mereka menjadi jemu dan lengah. Menjelang fajar menyingsing barulah kita akan menyergap masuk dan menyerang dengan tiba-tiba.”

“Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi pengecut Ajar Sukaniti, menurut pengenalanku atas Ki Ajar yang masih cukup muda ini, ia tidak pernah mengenal takut dan pertimbangan semacam ini”

“Pangeran salah, aku adalah orang yang selalu memper-timbangkan semua langkah dengan perhitungan yang matang, juga kali ini, kami harus mengurangi korban sampai sekecil-kecilnya, aku kira pangeran pun harus demikian, karena kita masing-masing masih harus menghemat tenaga untuk persoalan yang mungkin dapat timbul kemudian”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, wajahnya menjadi semakin garang, namun kemudian katanya, “Baiklah, kita akan menyerang menjelang fajar, aku tidak peduli apakah mereka akan menjadi lengah atau tidak. tetapi aku sudah tidak akan mau mengundurkan waktunya lagi, jika kalian dengan sengaja menggagalkan rencana itu, maka kami akan menyerang kalian lebih dahulu sebelum kami akan memasuki istana itu”

“Jangan sebut itu lagi, karena kita tentu akan bersama-sama hancur sebelum kita sempat menjenguk istana itu”

Sejenak mereka terdiam, wajah yang tegang itu saling berpandangan, namun kemudian pangeran Sora Raksa Pati berkata, “Aku akan kembali ke padukuhan, aku menunggu sampai saat kalian memanggil kami untuk berangkat menjelang fajar, kami akan selalu siap kapanpun kalian memerlukan kami”

Pangeran Sora Raksa Pati tidak menunggu jawaban, ia segera mengerahkan kendali kudanya, sehingga sejenak kemudian ia sudah meninggalkan tempat itu diikuti oleh orang-orang Cengkir Pitu yang lain termasuk Raden Kuda Rupaka.

Orang-orang Kumbang Kuning memandang debu yang mengepul, tetapi mereka masih tetap berada di tempatnya.

Pangeran Sendang Prapat yang masih termangu-mangu, kemudian berdesis, “Kamas pangeran Sora Raksa Pati adalah orang yang kasar, tetapi kali ini ia mendapat kepercayaan dari pengikutnya, sejak ia mewarisi perguruan Cengkir Pitu dan mendapat limpahan kekuasaan, baru kali ini ia melakukan sesuatu yang berarti”

“Ia memang orang terkuat” desis Ajar Sukaniti, “Tetapi bagiku, tidak ada orang yang harus disegani, aku percaya bahwa pangeran berdua dan Raden Waruju pun bersikap demikian”

Pangeran Sendang Prapat dan Pengeran Cemara Kuning hanya tersenyum saja, sementara wajah Kidang Alit tiba-tiba menegang.

“Sekarang kita masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat” berkata Ajar Sukaniti, “Malam nanti kita akan terlibat dalam pergulatan yang barangkali akan menjadi berbelit-belit dan kisruh, tetapi kita sudah punya landasan. Orang lain diluar lingkungan kita harus dibunuh, siapapun orang itu, kecuali jika Arya Waruju menghendaki lain, atas gadis yang bernama Pinten itu misalnya”

“Ah” Kidang Alit berdesis, tetapi ia tidak menjawab.

“Waktu yang tersisa akan kita pergunakan sebaik-baiknya, mungkin kita dapat makan sekenyangkenyangnya, kita dapat mengambil apa saja yang kita perlukan di Karangmaja pada hari-hari terakhir, karena mungkin nanti malam menjelang fajar, aku atau kalianlah yang tidak akan dapat menikmati segarnya air hangat dan enaknya daging panggang” berkata Ajar Sukaniti sambil tertawa.

Orang-orang Kumbang Kuning itu pun kemudian, mempersiapkan diri, mereka mengambil kuda mereka yang disembunyikan. Sekilas mereka memandang halaman istana dari kejauhan, masih nampak dua orang yang melintas di halaman istana, tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi. Hanya Kidang Alit yang memandangnya hampir tidak berkedip, karena menurut penglihatannya keduanya adalah Pinten dan Sangkan.

“Sangkan harus digantung sampai mati, tetapi Pinten terlalu cantik, kecantikan yang lain, tetapi mempunyai nilai yang sama dengan Inten Prawesti. Aku ingin memiliki keduanya” berkata Kidang Alit di dalam hatinya.

Sekilas terbayang Raden Kuda Rupaka yang barangkali juga menginginkan Inten Prawesti, namun ia berkata kepada diri sendiri, “Aku sendirilah yang akan membunuh Raden Kuda Rupaka”

Sejenak kemudian maka orang-orang Kumbang Kuning itu pun meninggalkan tempatnya, mereka memang agak kecewa, karena orang Cengkir Pitu itu tentu ada yang terbunuh, karena orang-orang yang berada di halaman itu bukannya orang yang tidak berilmu, bahkan menurut Kidang Alit, mereka adalah orang-orang gila yang sulit dilawan.

Ketika orang-orang Kumbang Kuning itu sampai ke padukuhan, mereka segera pergi ke rumah Ki Buyut, mereka tidak menghiraukan sama sekali beberapa orang yang ketakutan dan menghindar, mereka juga tidak menghiraukan anak-anak muda yang ada di halaman rumah Ki Buyut dengan tergesa-gesa menyingkir ke longkangan.

“Ki Buyut” Kidang Alitlah yang berteriak, “Kau harus memotong seekor kambing dan tiga ekor ayam, dan dimasak oleh oleh orang yang paling ahli memasak di seluruh Karangmaja, kemudian hidangkan di banjar”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam

“Apakah kau keberatan, Ki Buyut?” bertanya Kidang Alit.

Ki Buyut menatap wajah Kidang Alit dengan penyesalan, bahkan hampir diluar sadarnya ia berkata, “Kau sudah berubah Kidang Alit, Raden Kuda Rupaka yang baru saja datang juga sudah berubah”

“Apa yang berubah?”

“Ketika kau datang, kami seisi padukuhan ini menumpukan harapan kepadamu, setelah kau berhasil mengobati anak muda yang hampir cacat seumur hidupnya karena tingkah orang-orang Guntur Geni, tetapi kau ternyata sekarang menakut-nakuti kami”

“Sudahlah Ki Buyut, jika semuanya sudah selesai, maka aku akan kembali kepada sikapku semula, aku akan dapat memberikan banyak pertolongan kepada Ki Buyut, aku akan dapat melayani lebih banyak gadis-gadis yang tergila-gila kepadaku, dan kemudian memberi kesempatan kepadanya untuk kawin dengan hadiah seekor atau dua ekor lebu, tetapi kali ini, lakukanlah perintah kami” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah yang dilakukan oleh Raden Kuda Rupaka disini?”

“Tidak jauh berbeda, aku harus memotong dua ekor lembu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Bagus, kau akan dapat memasaknya sekaligus, daging kambing panggang adalah kesukaan kami, agaknya juga orang-orang Cengkir Pitu”

Ki Buyut menjawab, tetapi wajahnya membayangkan perasaannya yang tertekan.

“Ki Buyut” bertanya Pangeran Sendang Prapat, “dimanakah orang-orang Cengkir Pitu itu tinggal?”

“Karena banjar sudah kalian pergunakan, maka mereka berada di rumah diujung padukuhan ini” jawab Ki Buyut.

Pangeran Sendang Prapat mengangguk-angguk, katanya, “Kita akan menunggu sampai mereka mengajak kami”

Kidang Alit mengangguk-angguk kecil, katanya kemudian, “Marilah, kita beristirahat sejenak menunggu sambil menunggu masakan kita matang”

Sejenak kemudian orang-orang berkuda itu telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut yang sedang muram.

Dalam pada itu, orang-orang Kumbang Kuning yang dipimpin langsung oleh Ajar Sukaniti itu pun kemudian pergi ke banjar untuk beristirahat.

Agaknya, orang-orang Kumbang Kuning itu benar-benar mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya, selain orang yang bertugas mengamati keadaan, maka yang lainpun telah berbaring dimana saja di dalam banjar itu dan tidur dengan nyenyaknya. Suara dengkur yang bersahut-sahutan rasa-rasanya sangat mengganggu Ajar Sukaniti yang masih saja berbincang dengan Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning.

Tetapi mereka pun tidak berbincang lebih lama lgi, sejenak kemudian merekapun pergi kebagian belakang banjar itu untuk beristirahat.

“Bangunkan aku jika orang-orang Karangmaja itu datang membawa makanan” berkata Pangeran Sendang Prapat kepada Kidang Alit yang sedang menguap di sebelahnya.

“Aku juga akan tidur, paman. Penjaga itu tentu akan membangunkan kita semua”

“Orang-orang Cengkir Pitu itu tentu menunggu masakan itu pula, biarlah mereka makan sekenyang-kenyangnya, seperti kita sebelum mereka nanti datang kemari”

“Kita yang akan datang kepada Pangeran Sora Raksa Pati”

“Kenapa kita?, biarlah mereka yang datang kemari”

“Kita sudah berjanji” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu “Maksudku, Pangeran Sora Raksa Pati minta kita datang kepadanya, waktu itu kita tidak sempat menjawab, karena Pangeran Sora Raksa Pati itu segera meninggalkan kita”

“Apa salahnya, biarlah aku yang mengatakannya kepada Ki Ajar, tetapi aku kira untuk sementara tidak ada pilihan lain”

Kidang Alit tidak menjawab, matanya sudah mulai terpejam, dan kata-kata Pangeran Sendang Prapat itu tidak lagi didengarnya.

Tetapi ada juga juga yang menyahut, Pangeran Cemara Kuning ternyata mendengar juga kata-kata Pangeran Sendang Prapat itu dan langsung menjawab, “Mungkin kamas Sora Raksa Pati dapat diajak berbicara, siapakah diantara kita menemukan pusaka itu, ialah yang memilikinya dan mengharapkan wahyu keraton akan datang kepadanya, sehingga Majapahit akan tegak kembali menggantikan Demak yang hanya hadir untuk sementara, selagi Majapahit mengalami kesulitan, tetapi itu bukan berarti bahwa kita akan melupakannya atau sebaliknya, bukankah raja itu memang hanya seorang, tetapi disamping raja ada Mahapatih ada Mahamenteri bertiga dan para menteri yang lain, bukankah dengan demikian kita semuanya harus mempertimbangkan kemungkinan untuk bekerja bersama?”

Pangeran Sendang Prapat tidak segera menjawab, namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil, katanya, “Kemungkinan memang ada, tetapi aku tidak tahu, apakah kemungkinan itu akan dapat terwujud, kita masing-masing kadang-kadang tidak dapat melihat kenyataan dengan nalar yang bening, bahwa sebenarnyalah, hanya ada seorang yang dapat menerima wahyu kerajaan, dan kita semuanya mengharap agar kita semuanya mendapatkan wahyu itu”

Pangeran Cemara Kuning mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa, katanya, “Lucu sekali, akupun sebenarnyanya ingin sekali menjadi raja, dengan jujur aku mengaku, bahwa aku berharap bahwa akulah yang akan menemukan pusaka itu, meskipun mungkin akan tumbuh akibat yang lain”

Pangeran Sendang Prapat tertawa, katanya, “Jika kau yang menemukan pusaka itu atau siapapun diantara kita disini, aku tidak akan kecewa, aku akan menyerahkan semua kebijaksanaan kepadanya meskipun aku mengharapkan bahwa akulah yang mendapatkan wahyu” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah hal itu dapat juga dibicarakan dengan kakangmas Sora Raksa Pati dan Kuda Rupaka?”

“Mungkin saja, kenapa tidak?” desis Pangeran Cemara Kuning, namun kemudian katanya, “Tetapi aku mulai dirayapi oleh keragu-raguan”

“Apa yang kau ragukan?”

“Apakah pusaka itu memang ada di halaman istana kecil itu, ingat, di halaman istana kecil itu ada beberapa orang yang tinggal dan berkeliaran siang dan malam, apakah kau kira mereka tidak menginginkan pusaka itu itu pula? Jika pusaka itu memang ada tentu merekalah yang akan menemukan lebih dahulu”

Tetapi Pangeran Sendang Prapat tertawa, katanya, “Tidak semudah itu untuk memilikinya, mereka satu sama lain tentu saling mengintai pula, tidak seorang pun yang akan mendapat kesempatan untuk menemukan pusaka itu tanpa diketahui oleh pihak yang lain”

Pangeran Cemara Kuning tertawa, desisnya, “Kau benar, aku membayangkan, betapa tertekannya hati mereka masing-masing”

“Tetapi mudah-mudahan kita tidak gagal lagi, Pangeran Kuda Narpada memilih mati daripada menunjukkan pusaka itu kepada kita, dan itu memang sudah nasibnya, agaknya isterinyapun akan berbuat demikian pula, dari kejauhan kita dapat melihat apa yang sudah terjadi di halaman istana itu, meskipun kita tidak mendengarkan apa yang dikatakannya, tetapi agaknya isterinya itu telah menantang kamas Sora Raksa Pati”

Pangeran Cemara Kuning menarik nafas dalam-dalam, desisnya, “Jika kematian yang mereka pilih, apaboleh buat, sebelum maut itu menjamah kita pula”

“Kenapa kau mulai berputus asa?, orang-orang Cengkir Pitu itu bukan hantu yang tidak dapat terkalahkan”

“Kita berdualah yang melakukannya untuk pertama kali, tetapi rasa-rasanya bukan kitalah yang akan mendapatkannya”

Kedua Pangeran itu tmn sejenak, namun bayangan-bayangan yang buram mulai mengganggu angan-angan mereka, mereka mulai membayangkan bersama-sama dengan orang-orang Cengkir Pitu memasuki halaman istana kecil yang suram itu, mereka kemudian harus bertempur melawan orang-orang yang ada di halaman istana itu.

“Jumlah kita jauh lebih banyak” desis Pangeran Cemara Kuning di dalam hati.

Tetapi ia pun membayangkan bahwa orang-orang yang ada di istana itu bukan orang-orang dungu, mereka tentu akan mempergunakan cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang lebih besar.

“Mereka akan berada di satu lingkaran pertempuran, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk membela diri dalam paduan kemampuan mereka” berkata Pangeran Cemara Kuning di dalam hatinya, lalu, “Mereka tentu mengetahui pula, bahwa dalam keadaan demikian tidak menguntungkan untuk bertempur berpencar, karena orang-orang dari mereka harus melawan sedikitnya tiga orang”

Sementara itu, di bagian belakang istana kecil itu, Sangkan duduk berdua dengan Panon, dengan wajah yang tegang mereka memandang dedaunan yang bergoyang-goyang disentuh angin, sementara Ki Mina berada di kebun untuk mengawasi bagian belakang istana itu, sedangkan Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu duduk di pendapa sekaligus mengawasi halaman depan istana kecil itu, sementara Pinten berada di dalam bilik bersama kedua Puteri yang ketakutan dan Nyi Upih.

“Mereka akan datang malam nanti” desis Sangkan.

“Mungkin, tetapi agaknya mereka akan benar-benar bergabung” jawab Panon.

“Kita akan menghadapi lawan yang terlalu banyak jumlahnya” berkata Sangkan kemudian.

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya

“Apaboleh buat, tidak ada pilihan lain, mungkin kita akan tertumpas habis, tetapi kita akan berbuat sejauh yang dapat kita lakukan”

Sangkan mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “bagaimana dengan Ki Ajar Respati, Ki Reksabahu dan Ki Mina yang ternyata bernama Kiai Rancangbandang itu?”

Panon termenung sejenak, lalu katanya, “Aku juga memikirkan mereka, apakah sudah sewajarnya mereka ikut mengorbankan diri mereka dalam keadaan seperti ini, padahal mereka sama sekali tidak bersangkut paut dengan istana kecil ini dan seisinya”

“Tetapi apakah kau juga bersangkut paut?” tiba-tiba saja Sangkan bertanya.

Panon memandang wajah Sangkan sejenak kemudian jawabnya, “Ya, aku memang mempunyai sangkut paut meskipun tidak langsung, seperti kau juga mempunyai sangkut paut meskipun yang tidak langsung, jika benar kau anak Nyi Upih”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat mengingkari kecurigaan yang masih saja ada diantara mereka, karena itu, maka Sangkan pun berusaha untuk tidak mempertajam perasaan curiga itu, sehingga ia pun mengulangi pertanyaannya, “bagaimana dengan orang-orang tua itu?, Apakah kita akan mempersilahkan mereka meninggalkankan halaman ini sebelum malapetaka itu datang”

“Aku tidak yakin jika mereka bersedia” jawab Panon, “Seperti Kiai Rancangbandang yang atas kehendak sendiri mengikuti perjalanku kemari, ke daerah yang menurut keterangannya sendiri adalah daerah yang berbahaya, karena aku belum pernah melihat dan mengetahui daerah pegunungan ini”

“Marilah kita coba bertemu dengan mereka” ajak Sangkan,

Keduanya pun kemudian pergi ke pendapa menemui Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Tetapi ketika hal itu dikemukakan kepada kedua orang tua itu, maka Ki Ajar Respati menjawab sambil tersenyum, “Anak muda, Ki Reksabahu adalah orang yang paling tidak senang mencampuri persoalan orang lain, namun jika ia sudah terlibat di dalamnya, maka ia tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya selesai”

“Tetapi keadaan yang akan kita hadapi dapat membahayakan jiwa Kiai berdua, bukan maksudku mengatakan bahwa Kiai berdua mencemaskan kematian yang bakal datang, tetapi sebenarnyalah Kiai berdua tidak bersangkut paut dengan peristiwa yang bakal terjadi itu”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya dengan nada datar, “Aku memang tidak ingin mati, tetapi aku malas pergi menjelang malam yang gelap di pegunungan, aku lebih senang duduk memeluk lutut disini, meskipun mungkin harganya akan terlalu mahal, karena itu, jangan usir kami dari pendapa ini, diluar cahaya langit menjadi semakin redup”

Sangkan menggigit bibirnya, orang tua itu nampaknya acuh tidak acuh saja terhadap peristiwa yang dapat merenggut jiwanya tanpa kekuatiran yang berarti.

“Apalagi Kiai Rancangbandang” desis Panon karena itu, maka ia pun sama sekali tidak bermaksud menghubungi Kiai Rancangbandang.

Dengan demikian, maka mereka merasa tetap terikat pada halaman istana kecil itu, mereka merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu meskipun mereka sama sekali tidak mempunyai sangkut paut.

“Beristirahatlah” justru Ki Reksabahu yang berbicara memecah sepi, “Kita akan berjaga-jaga bergantian, sebentar lagi malam akan turun, dan kita akan bekerja keras”

Kedua anak muda itu masih tetap termenung, lalu Sangkan pun berkata, “Kiai berdua sajalah yang beristirahat”

Tetapi Ki Ajar Respati tertawa, katanya, “Aku biasanya tidur disenja hari, karena itu, aku lebih senang berjaga-jaga sekarang, nanti di senja hari, aku akan tidur sampai kalian membangunkan aku”

Sangkan dan Panon tidak memaksa kedua orang itu untuk meninggalkan tempatnya, keduanyapun kemudian dibiarkannya duduk di pendapa sambil berbincang dengan tenangnya, seolah-olah mereka tidak menyadari bahaya yang dapat menerkam istana kecil itu.

Bahkan sejenak kemudian Sangkan dan Panon pun meninggalkan mereka menuju ke kebun belakang, mereka menemukan Ki Mina yang berjaga-jaga di belakang justru sedang menyiangi pohon nyidra sambil mengambil akarnya yang sudah cukup tua untuk menjadi makanan tambahan yang manis.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “masih sempat juga Ki Mina menyiangi pohon nyidra?”

Ki Mina meletakkan cangkulnya, sambil tersenyum ia menjawab, “Adalah menjemukan sekali untuk merenung disini, dengan menyiangi dam memetik nyidra, kita akan mendapatkan sesuatu, jika malam datang, kita akan merebusnya dan merupakan kawan berbincang yang menyenangkan.”

“Aku akan memetik gayam dahulu” tiba-tiba saja Sangkan menyambung.

“Bagus juga, kita akan makan sekenyang-kenyangnya sebelum kita menghadapi peristiwa yang bakal cukup gawat”

Panon maju selangkah, sambil memandang Sangkan, ia memberi isyarat apakah ia harus mengatakan juga kepada Ki Mina seperti yang dikatakannya kepada Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Sangkan termenung sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk.

Dengan hati-hati Panon pun kemudian mengatakan kemungkinan yang mungkin akan sangat parah, sementara Ki Mina sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dan kepentingan apapun dengan istana kecil itu.

Tetapi Ki Mina justru tertawa, katanya, “Aku sudah menyadari sejak aku menyediakan diri mengikutimu naik ke Pegunungan Sewu ini, bahaya yang bagaimanapun juga, rasa-rasanya tidak akan dapat aku tinggalkan, apalagi setelah aku melihat, bahwa Gusti Puteri keduanya memang memerlukan perlindungan. Nah itulah kepentingan dan sangkut paut yang ada antara aku dan istana kecil ini. Bukankah menjadi kewajiban setiap orang untuk melakukan sesuatu yang dapat memberikan perlindungan kepada yang lemah yang sedang terancam bahaya?”

Panon mengangguk-angguk, katanya dalam nada dalam, “Terima kasih Ki Mina, mudah-mudahan kita menemukan jalan keluar dari peristiwa yang mungkin akan terjadi”

“Sudahlah” jawab Ki Mina, lalu katanya kepada Sangkan, “Sangkan, jika kau memetik gayam, silahkan aku akan mencari nyidra lebih banyak lagi”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam kepalanya, namun kepala itu pun kemudian terangguk-angguk kecil, suaranya seolah-olah tidak terloncat dari bibirnya, meskipun Ki Mina dapat mendengarnya, “Baiklah Ki Mina, aku akan memetik bayam yang ada di sudut belakang itu”

Sangkan dan Panon pun kemudian meninggalkan Ki Mina yang kembali sibuk dengan cangkulnya.

Ketika orang-orang di dalam istana itu menghadapi nyidra dan gayam yang telah direbus oleh Nyi Upih dan Pinten, maka di padukuhan, orang-orang Cengkir Pitu dan perguruan Kumbang Kuning sedang sibuk pula makan daging panggang. dengan lahapnya masing-masing yang tinggal terpisah itu makan sekenyang-kenyangnya, seolah-olah mereka ingin mengisi perut mereka untuk beberapa hari sekaligus.

“Ayo, makanlah, kita tidak usah pura-pura tidak tahu, bahwa diantara kita mungkin ada yang tidak dapat keluar lagi dari halaman istana itu, karena itu, pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, makan daging sekenyang-kenyangnya, jika kita masih sempat keluar dari istana itu, apalagi dengan pusaka yang kita cari, maka kita akan makan lebih banyak lagi, tidak hanya untuk waktu-waktu tentu, tetapi kita akan mukti di dalam sebuah istana yang bakal juga akan disebut Majapahit kedua, atau kerajaan yang lain yang justru lebih megah dari Majapahit yang runtuh itu” berkata beberapa orang diantara mereka.

Ternyata bahwa, orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning telah memanfaatkan keadaan sebaikbaiknya, makan, minum dan kembali berbaring, mereka tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu, karena mereka baru akan bergerak lewat tengah malam, sehingga justru ketika senja turun dan gelap mulai menyelubungi Pegunungan Sewu, mereka mulai berbaring lagi selain yang bertugas.

Tetapi dalam pada itu, pemimpin-pemimpin mereka mulai menjadi tegang, Pangeran Sora Raksa Pati yang memimpin perguruan Cengkir Pitu nampak berbincang dengan sungguh-sungguh bersama beberapa orang terpercaya dan Raden Kuda Rupaka

“Kita tidak boleh membiarkan semuanya berlalu begitu saja” berkata Pangeran Sora Raksa Pati, “yang terjadi bukan sekedar memperebutkan pusaka itu, tetapi juga benturan pengaruh antara kita dengan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat yang memiliki pula darah kediri itu, meskipun saat terakhir mereka adalah bangsawan-bangsawan Majapahit yang terpercaya seperti juga Pangeran Kuda Narpada, tetapi meskipun demikian tidak mustahil jika kita pada suatu saat menemukan suatu cara yang paling baik untuk bekerja bersama”

“Itu tentu sekedar pura-pura paman” sahut Raden Kuda Rupaka, “mungkin kita dapat membuat perjanjian, tetapi jika diantara kita dan perguruan Kumbang Kuning itu telah timbul selisih kekuatan dan pengaruh, maka goncangan tentu akan timbul”

“Mungkin, namun dalam rasa tenang itu, kita tidak boleh tinggal diam, itulah namanya suatu cara, suatu akal yang dapat kita pergunakan meskipun orang lain akan menyebutnya licik”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, tetapi wajahnya nampak menjadi tegang.

“Kau tidak sependapat?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Bukan aku tidak sependapat” jawab Raden Kuda Rupaka, “Tetapi kita harus hati-hati, mungkin sekali sebelum kita siap, mereka telah menikam kita lebih dahulu”

“Jangan khawatir, kita tahu berapa besar kekuatan mereka”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Kita sudah kehilangan paman Panji Sura Wilaga”

“Apakah ia sudah dibunuh?”

“Aku tidak tahu pasti, tetapi jika mereka kemudian menjadi berputus asa, maka kemungkinan itu dapat terjadi, apalagi sebelumnya paman Panji Sura Wilaga sudah menunjukkan kebenciannya kepada Sangkan, bahkan beberapa kali ia akan membunuhnya”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “kakang Aji Demung mungkin mempunyai sikap”

Orang yang disebut Aji Demung mengerutkan keningnya, sekilas ia memandang Pangeran Sora Raksa Pati yang ada di depan Raden Kuda Rupaka, katanya kemudian, “Aku tidak mempunyai sikap tentu, tetapi bahwa dengan demikian kita akan mendapat kesempatan untuk berpikir lebih panjang, mungkin akan berguna”

“Jadi, bagaimana maksud paman?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Seperti yang dikatakan Pangeran Sora Raksa Pati”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Memang mungkin kita akan dapat mencobanya, tetapi masih tergantung kepada orang-orang Kumbang Kuning”

“Mudah-mudahan mereka akan datang tepat pada waktunya” desis Aji Demung.

“Mereka tidak akan terlalu bodoh untuk mendahului masuk ke dalam halaman istana itu, mereka akan memberikan korban terlalu mahal, karena di halaman itu ada beberapa orang yang akan dapat mencegah maksud mereka, tanpa kita, mereka tidak akan dapat menembus pertahanan orang-orang gila di halaman itu” berkata Raden Kuda Rupaka.

Aji Demung mengangguk-angguk, di halaman itu ada beberapa orang yang nampaknya benar-benar telah bersiap mengorbankan jiwanya untuk mempertahankan pusaka yang menjadi rebutan itu, sadar atau tidak sadar.

Waktu yang sempit rasa-rasanya berkepanjangan dan tidak berkesudahan, Pangeran Sora Raksa Pati rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu tengah malam, namun ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa, sementara ia pun menyetujui, bahwa sebaiknya mereka memasuki halaman itu lewat tengah malam, bahkan menjelang dini hari, setelah orang-orang yang ada di halaman itu menjadi jemu berjaga-jaga dan menjadi lengah.

Sementara itu di halaman istana kecil itu, beberapa orang tengah berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan, mereka tidak boleh lengah, setiap saat bahaya yang sebenarnya akan dapat menerkam.

Di halaman depan Ki Ajar Respati duduk memeluk lututnya bersandar tiang pendapa, sementara itu Ki Reksabahu berjalan-jalan hilir mudik di halaman.

“Kau tidak tidur?” bertanya Ki Reksabahu.

Ki Ajar Respati tersenyum, jawabnya, “Baru saja aku menjawab pertanyaan Sangkan yang serupa, ketika aku mengambil minuman ke dapur”

“Apa yang ditanyakan?”

“Kenapa aku tidak tidur?”

“Apa jawabmu?”

“Kali ini aku tidak dapat tidur, bukan oleh kegelisahan, tetapi ternyata disini nyamuknya banyak sekali”

“Kau merasa gigitan nyamuk?”

“Kenapa tidak?”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Menurut pendengarku, Ki Ajar Respati adalah orang yang kebal, yang tidak dapat dilukai dengan jenis senjata apapun, tetapi ternyata gigitan nyamuk telah membuatnya tidak dapat tidur”

“Ah, kau mengigau, meskipun kau tidak tidur, beberapa bulan yang lalu, jari-jariku hampir putus tersentuh cangkul, jika aku kebal, maka cangkullah yang seharusnya yang patah”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Apakah kau tidak kebal?, atau kau memang belum mengetrapkan kekuatan ilmumu?”

“Sudahlah, agaknya kaulah yang sudah mengantuk, sehingga kau perlu berbuat sesuatu untuk mengusir perasaan kantukmu”

Ki Reksabahu tertawa, lalu tiba-tiba saja ia mendekat sambil bertanya, “Apakah minuman itu masih ada?”

“Masih ada, ambillah, tetapi mungkin sudah mulai dingin”

Ki Reksabahu itu pun kemudian pergi ke dapur, disudut belakang ia melihat Sangkan sedang berbicara dengan Ki Mina yang duduk berselimut kain panjangnya di dalam bayangan kegelapan”

“Dingin sekali” desis Ki Mina.

Ki Reksabahu mengangguk, “Ya, itulah sebabnya aku akan mencari minuman panas” ia berhenti sejenak, lalu, “Dimana Panon”

“Ia ada di sisi samping istana ini”

“Sendiri?”

Ki Reksabahu tidak menunggu jawaban, tetapi ia langsung masuk ke dapur mengambil minuman dan dibawanya ke halaman depan.

Tetapi untuk memperpanjang langkahnya, ia tidak mengambil jarak yang pendek, sehingga karena itu, maka ia pun berjalan melingkari istana itu.

Dalam kegelapan Ki Reksabahu melangkah sambil memandang dinding istana yang tidak terlampau tinggi itu, jika dikehendaki, maka orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu itu akan dapat memasuki istana itu dari segala penjuru.

“Jika benar mereka akan datang bersama-sama, kami yang berada di halaman ini akan mengalami kesulitan, meskipun Ki Wirit yang cacat kaki itu akan ikut serta membantu kami, namun kekuatan orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning yang bergabung tentu merupakan kekuatan yang tidak mudah diimbangi” gumam Ki Reksabahu ditujukan kepada diri sendiri.

Ketika ia kemudian melingkari sudut istana itu, maka tiba-tiba saja ia tertegun dan terkejut. Dua sosok bayangan yang agaknya sedang asyik bercakap-cakap terkejut pula karena kehadiran Ki Reksabahu yang tiba-tiba itu.

“O” Ki Reksabahu termenung, ia tidak dapat melangkah kembali justru kedua orang itu telah melihatnya.

Salah seorang dari keduanya menarik nafas dalam-dalam kepalanya dalam-dalam sambil beringsut, sementara yang lain bertanya, “Dari mana Kiai?”

“Eh, maaf Panon, aku sedang mengambil minuman dari dapur, maksudku aku ingin melihat-lihat dalam kegelapan belakang istana”

Panon mengangguk, jawabnya, “Silahkan, apakah Kiai akan ke pendapa?”

“Ya, aku akan ke pendapa”

“Tetapi Kiai” Panon menghentikan langkah Ki Reksabahu yang sudah mengayunkan kakinya, “Aku sedang mendengar pendapat Pinten, apakah yang sebaiknya kita lakukan, jika kita berpencar, agaknya kita justru akan mengalami kesulitan, karena mereka akan dapat bertempur berpasangan untuk melawan setiap diantara kita, dengan demikian maka kita akan benar-benar terdesak, apalagi jika jumlah mereka lebih banyak lagi, kita seorang harus melawan mungkin tiga orang, mungkin lebih”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, jawabnya, “Kau benar Panon, dan agaknya pikiran Pinten itu harus mendapat perhatian”

Yang seorang lagi sedang menundukkan wajahnya, berpaling kearah Ki Reksabahu, bahkan ia pun kemudian menarik nafas lega, karena Panon telah mendapatkan jalur pembicaraan yang wajar dalam keadaan seperti itu.

Tetapi Ki Reksabahu yang sudah banyak makan garam kehidupan itu pun mengetahui, bahwa agaknya kedua anak-anak muda itu sedang disentuh perasaan yang lain dari perasaan dua orang yang sekedar senasib dalam kesulitan menghadapi ancaman yang mungkin akan berakibat sangat parah.

Karena itu, maka sambil tersenyum ia bertanya lebih lanjut, “Panon, apakah menurut Pinten kita juga harus bertempur berpasangan untuk mengimbangi lawan?”

Dengan serta merta Panon menjawab, “Ya. Kiai, agaknya hal itu akan lebih baik”

“Dua-dua berpasangan?”

“Ah” Panon berdesah, sedangkan Pinten kembali menundukkan kepalanya sambil beringsut setapak.

“Maksudku” Panon menjelaskan dengan suara yang terbata-bata, “Kita dapat melawan mereka dalam satu kelompok, kita melawan mereka bersama-sama, sehingga garis sentuhan antara kita dengan mereka menjadi sempit, dengan demikian mereka tidak sempat melawan kita masing-masing dari arah yang merugikan”

Ki Reksabahu masih tersenyum, katanya, “Aku sependapat, Panon. tetapi jika demikian, bagaimanakah dengan Gusti Puteri?, jika kita tinggalkan bersama, maka satu dua orang dari mereka akan dapat mengganggunya dan bahkan mungkin memperguna-kannya untuk melemahkan perlawanan kita, tetapi jika satu dua diantara kita harus menjaganya, maka akibatnya kita akan terpecah lagi, dan mereka pun akan melumpuhkan kita bagian demi bagian”

Pinten mulai tertarik kepada pembicaraan yang semula dianggapnya sekedar untuk melepaskan diri dari dugaan yang kurang baik dari Ki Reksabahu atas dirinya dan Panon, namun agaknya Ki Reksabahu yang memahami perasaan anak-anak muda itu sama sekali tidak menyinggung persoalan itu, bahkan justru agaknya ia menganggap beberapa hubungan itu wajar meskipun dengan sikap bergurau.

“Kiai” berkata Pinten kemudian dengan memaksa diri “bagaimana jika hal ini kita bicarakan dengan sungguh-sungguh bersama kakang Sangkan, Ki Mina dan Ki Ajar, mumpung kita masih mempunyai beberapa saat lagi sebelum orang-orang itu benar-benar datang”

“Aku sependapat, baiklah, aku akan mengatakannya kepada Ki Ajar di pendapa, dan katakanlah kepada Sangkan dan Ki Mina yang berada disudut sana”

“Baik, Kiai” jawab Panon.

Ki Reksabahu kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke pendapa sambil membawa mangkuk munuman, namun dalam pada itu ia berdesis kepada diri sendiri, “Kalau aku tahu, aku akan memilih jalan lain agar aku tidak mengganggu anak-anak muda itu”

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Reksabahu, Pinten bergeser menjauh, sekilas ia memandang wajah Panon yang samar dalam kegelapan.

“Kita temui kakang Sangkan, Panon. Tetapi aku akan lewat ruang dalam”

Panon pun memandang wajah Pinten sejenak, kemudian jawabnya, “Masuklah, aku akan pergi menemuinya pula, mungkin ia sedang berbincang dengan Ki Mina”

Pintenpun kemudian masuk lewat pintu butulan, ketika ia menutup pintu, maka sekali lagi ditatapnya wajah Panon yang kehitam-hitaman oleh kegelapan malam.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman istana itu pun mulai membahas apakah yang sebaiknya mereka lakukan guna menghadapi keadaan yang menjadi gawat itu.

“Memang kita tidak dapat berpencar” berkata Sangkan kemudian, “Tetapi jika kita berada di dalam satu lingkaran, bagaimana dengan Gusti Puteri Inten Prawesti?”

Tidak seorangpun yang dapat menjawab, namun kening mereka nampak berkerut memikirkan cara yang sebaiknya untuk mengatasi kesulitan itu.

Tiba-tiba saja Pinten mengangkat wajahnya, dengan ragu-ragu ia berkata, “Bagaimanakah jika keduanya kita sembunyikan seperti Panji Sura Wilaga?”

“Diatas atap?”

Pinten tidak menyahut, tetapi nampaknya ia yakin, bahwa cara itu adalah cara yang paling baik.

“Mereka memang tidak akan mengira bahwa keduanya berada diatas atap” desis Panon kemudian.

Sejenak mereka merenungkan pendapat itu, namun kemudian Sangkan berdesis, “Asal keduanya sama sekali tidak bersuara, Panji Sura Wilaga dapat kita sumbat mulutnya, tetapi bagaimanakah dengan kedua Puteri itu?, jika mereka ketakutan dan tidak dapat mengendalikan diri, mungkin mereka akan berteriak”

“Kita mohon agar mereka berdiam diri, apalagi mereka tidak melihat pertempuran yang terjadi, bakal mereka tidak akan berteriak atau berbuat sesuatu” sahut Panon.

Kembali mereka merenungkan rencana itu, dengan nada datar Ki Ajar berdesis, “Tentu tidak akan dapat kita sembunyikan diluar halaman istana, karena dengan demikian justru mereka akan lebih dekat dengan bahaya”

Namun tiba-tiba Kiai Rancangbandang bertanya, “Bagaimanakah, jika dalam keadaan mata gelap mereka membakar istana ini?”

Pinten menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tentu tidak, mereka sedang mencari pusaka, mereka akan membongkar seluruh isi istana ini, tetapi tidak membakarnya”

Wajah-wajah itu menjadi tegang, namun kemudian Sangkan berkata, “Aku kira kita harus mempertimbangkan untung dan ruginya, dengan menyembunyikan keduanya diatas atap, aku kira kita akan dapat bertempur lebih leluasa apapun yang akan terjadi atas kita”

Sejenak orang-orang itu saling berpandangan, namun kemudian mereka mulai mengangguk-angguk kecil, Kiai Rancangbandang berkata ragu, “Sebaiknya kita coba bertanya apakah keduanya bersedia naik keatas atap”

“Jika tidak ada pilihan lain, maka aku kira keduanya akan bersedia” jawab Sangkan, “Tetapi biarlah Pinten menyampaikan-nya”

“Lalu, bagaimana dengan biyung?” bertanya Pinten.

“Tentu kita ikut sertakan dengan kedua Puteri itu” jawab Sangkan.

Pinten termenung sejenak, namun kemudian katanya, “Aku akan bertemu dengan Gusti Raden Ayu, jika perlu kita akan memaksanya, kita akan meletakkannya di lekukan atap sebelah depan, diantara pendapa dan pringgitan, karena karena dibagian belakang telah kita pergunakan untuk menyembunyikan Panji Sura Wilaga”

“Tetapi bukankah atap itu tidak akan runtuh?” tiba-tiba saja Ki Ajar bertanya.

Panon mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Aku kira atap itu masih cukup kuat untuk menahan berat keduanya, tetapi Nyi Upih harus berada di tempat yang agak jauh agar berat tubuh mereka tidak dibebankan pada tempat yang sama”

Ki Ajar mengangguk-angguk, sementara Pinten pun kemudian berkata, “Aku akan menghadap sekarang, waktunya sudah sangat sempit, mungkin mereka sekarang sudah berada diluar regol”

Pintenpun kemudian dengan tergesa-gesa menghadapi kedua Puteri yang masih duduk berdesakan, di sebelah mereka, Nyi Upih duduk bersimpuh sambil menyilangkan tangan di dadanya, sementara itu Panon dan Sangkan telah mempersiapkan tangga yang akan dipergunakan untuk memanjat keatas.

Mula-mula Raden Ayu keberatan dengan usul Pinten, tetapi karena tidak ada cara lain, dan bahkan Pinten pun agak memaksanya pula, maka Raden Ayu itu mulai ragu-ragu.

“Gusti” Nyi Upih mencoba membantu, “Untuk keselamatan Gusti berdua, memang tidak ada cara lain yang dapat ditempuh, mungkin memang aneh, tetapi Gusti harus mengingat, bahwa Puteri Inten masih terlalu muda bagi orang-orang yang buas itu”

“Kenapa kami harus melakukannya Nyai” suara Inten tersendat-sendat.

“Puteri” sahut Nyi Upih, “Jika mereka dengan garangnya membunuh Puteri berdua, aku kira persoalan sudah selesai, tetapi mungkin mereka tidak akan melakukannya, mungkin mereka akan membawa Puteri kemanapun yang mereka inginkan, itulah yang lebih berbahaya daripada mati itu Puteri”

Ibundanya pun memeluk Inten Prawesti erat-erat, terbayang dipelupuk matanya jika hal itu terjadi, mati akan terasa lebih baik dan mulia, tetapi bagaimanakah jika mereka tidak sempat memilih mati.

Karena itu, akhirnya Raden Ayu itu terdapat dapat mengelak lagi, meskipun dengan ragu-ragu mereka akhirnya memenuhi permintaan Pinten.

“Tetapi jangan sampai Gusti membuat suara apapun” pesan Pinten, “Sebab dengan demikian, maka mereka akan segera mengetahui, karena mereka tentu mempunyai pendengaran yang sangat tajam”

Kedua Puteri itu tidak menjawab, tetapi mereka mengangguk kecil penuh keragu-raguan.

Sementara itu, tanggapun telah disiapkan dan Panon memanjat lebih dahulu sambil membawa beberapa helai papan yang diambilnya dari dinding ruang, kemudian papan itu pun dilintangkan diatas talang yang dibuat dari batang pucang yang cukup besar dan panjang, agar kedua Puteri itu dapat duduk dengan baik.

Baru kemudian kedua Puteri itu dibantu naik keatas, Pinten lah yang membantu mereka seorang demi seorang, kemudian menempatkan mereka diatas papan yang sudah diatur dengan baik dan kuat.

Yang terakhir adalah Nyi Upih, sambil membawa kain untuk selimut, ia naik tangga dengan susah payah, namun kemudian ia pun berhasil merangkak keatas talang dan duduk beberapa langkah dari kedua Puteri yang gemetar.

“Kemarilah Nyai” panggil Inten.

“Biarlah aku disini Puteri, agar beban talang di tempat itu tidak terlampau berat”

Inten masih akan berbicara lagi, tetapi Nyi Upih meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.

Dengan demikian, maka mereka yang berada di halaman istana menjadi agak tenang, siapapun tentu tidak akan mengira bahwa kedua Puteri itu bersembunyi diatas atap.

“Asal mereka tidak bersuara” desis Pinten.

“Tetapi Panji Sura Wilaga itu dapat menarik perhatian, ia akan dapat menghentakkan kaki atau tangannya yang terikat sehingga jika ada orang yang berdiri di bawah talang bagian belakang, ia tentu akan mendengarnya” berkata Ki Reksabahu.

Tetapi Sangkan menggeleng, jawabnya, “Tidak Kiai, ia tidak akan bersuara untuk waktu yang cukup lama, mungkin sampai saatnya matahari sepenggalah, ia masih belum akan terbangun”

“Kenapa?” Ki Ajar bertanya.

“Aku telah memberinya minum yang aku ramu dengan biji kecubung, ia menjadi mabuk dan kemudian tertidur untuk waktu yang lama, karena itu, ia tidak akan dapat menimbulkan gangguan apapun juga”

Mereka yang mendengar jawaban itu menarik nafas dalam-dalam, agaknya Sangkan dan Panon telah berusaha membuat Panji Sura Wilaga tertidur nyenyak untuk waktu yang cukup lama, sehingga tidak akan dapat menimbulkan bahaya bagi Puteri yang ada diatas talang kayu pucang itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana itu pun segera berkumpul di pendapa, mereka tinggal menunggu, kapan orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning akan datang.

“Sekarang kita justru mendapat kesempatan untuk beristirahat” tiba-tiba Kiai Rancangbandang memecah sepinya malam.

“Kenapa?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Sebelumnya kita harus membagi diri mengawasi setiap sudut dan Pinten menunggui Puteri di dalam biliknya, sekarang kita dapat berkumpul dan bersepakat untuk bertempur dalam sati lingkaran, dengan demikian, kita akan bergantian berjaga-jaga, jika bahaya itu datang, maka kita akan dibangunkannya”

Sangkan mengangguk-angguk, jawabnya, “Baiklah”

Dan Kiai Rancangbandang menyahut, “Kita semua akan tidur, dua orang akan berjaga-jaga, sebelum kita mendapat kepastian kedatangan orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning.

“Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Kita semuanya yang tua-tua, dan biarlah Sangkan beristirahat pula”

Semula mereka mendengar kata-kata itu tidak begitu memperhatikan maksudnya, namun kemudian terdengar Pinten berdesah, “Ah, Kiai, masih saja mengganggu”

Tiba-tiba saja suara tertawa Sangkan meledak, namun ia pun segera bangkit dan berlari menjauh ketika Pinten bergeser mendekatinya.

“Pinten, jangan. Diluar orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu sudah mengintai”

“Kau yang mendahului” geram Pinten.

Sangkan masih berdiri ditempatnya, ia tidak segera mendekat, karena Pinten masih saja memandangnya dengan tajam.

Sementara itu Panon tidak bergeser dari tempatnya, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Jangan ikut berjaga-jaga disini” desis Pinten.

“Lalu,. Aku harus berjaga dimana?”

“Tempatmu diatas atap”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Sudahlah Pinten, aku minta maaf, seharusnyanya kau mencubit Ki Reksabahu, bukan aku, tetapi karena kau tidak berani melakukannya, maka akulah yang menjadi sasaran”

Pinten masih memberengut, tetapi ia pun kemudian pergi ke sudut pendapa, tanpa mengatakan sepatah katapun, ia telah mendahului berbaring diatas lantai tanpa selembar alaspun.

Tetapi tidak seorang pun yang mencegahnya, mereka mengerti, bahwa Pinten memang sering merajuk, jika ia bertengkar dengan kakaknya.

“Sudahlah” berkata Ki Reksabahu, “Karena aku yang bersalah, biarlah aku sajalah yang berjaga-jaga, silahkan kalian beristirahat, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku akan membangunkan kalian”

Sangkan tersenyum, tetapi ia pun menjawab, “Tentu tidak seorang diri Kiai, mungkin orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu berhasil merayap diluar pengamatan kita dan dengan tiba-tiba menyerang, karena itu, maka biarlah aku mengawani Kiai berjaga”

“Akupun tu tidak akan dapat tidur” desis Panon kemudian.

Ki Ajar tertawa, betapapun ketegangan mencengkam dadanya, namun ia masih sempat juga berkelakar, “Jika demikian, akhirnya kita semuanya tidak akan dapat tidur”

“Akulah yang akan tidur” sahut Kiai Rancangbandang.

Ternyata bahwa orang-orang yang ada di pendapa itu, masih tetap duduk dalam satu lingkaran, selain Pinten yang berbaring, tetapi akhirnya ia pun merasa kurang mapan untuk berbaring diatas lantai yang kotor tanpa alas apapun, meskipun demikian ia tidak mau bangkit karena kakaknya masih di pendapa itu.

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam, diatas atap, tiga orang perempuan menggigil kedinginan, meskipun mereka sudah berselimut kain panjang, sementara Panji Sura Wilaga masih saja tidur dengan nyenyaknya.

Tetapi sampai lewat tengah malam, suasana istana kecil itu, masih tetap sepi, yang terdengar hanyalah bunyi cengkerik dan belalang di rerumputan.

Diluar dinding istana, seorang duduk dengan sabar menunggu apa yang akan terjadi, ia tidak mau masuk ke halaman bersama Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu, ia lebih senang menunggu dan mengawasi dari luar dinding, apakah yang akan terjadi, bahkan ia sudah berjanji dengan Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu, bahwa mereka akan saling memberikan isyarat, jika terjadi sesuatu di dalam halaman istana diluar pengetahuannya, maka Ki Ajar Respati atau Ki Reksabahu akan memberikan isyarat, sebaliknya, jika orang itu melihat sesuatu yang mencurigakan diluar dinding, ia pun akan melontarkan isyarat sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukannya.

Dalam pada itu, orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning telah mulai mempersiakan diri. Pangeran Sora Raksa Pati yang kemudian memanggil Raden Kuda Rupaka bertanya, “apakah orang-orang di dalam istana itu tidak memerlukan pengawasan?”

Raden Kuda Rupaka menggeleng, jawabnya, “Aku kira itu tidak perlu”

“Bagaimanakah jika mereka pergi?”

“Mereka tidak akan pergi, jika mereka berniat pergi dari istana itu, maka hal itu tentu sudah dilakukannya. Aku berpendapat, bahwa pusaka itu tentu masih belum mereka ketemukan pula, sehingga merekapun terikat pada istana kecil yang sepi itu”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung, katanya kemudian, “Kita akan menghadapi pekerjaan yang lama, jika mereka yang ada di halaman itu untuk waktu yang lama masih belum menemukan pusaka itu, maka kita pun tentu akan memerlukan waktu yang sama”

“Mungkin hal itu disebabkan karena diantara merekapun timbul perasaan saling mencurigai, sehingga dengan demikian usaha mencari pusaka itu justru terhambat”

“Kitapun akan mengalami hal yang sama dengan orang-orang Cengkir Pitu”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, ia pun menyadari bahwa jika mereka telah berhasil membinasakan orang-orang yang ada di dalam halaman itu, maka pekerjaan mereka belum berarti selesai, belum lagi tugas-tugas besar yang lain sebagai kelengkapan tugas pertamanya yang terpaksa menggerakkan seluruh perguruannya.

“Jika yang terdapat di halaman itu pusaka kelengkapan untuk menerima wahyu, maka perjuangan ini akan ada hasilnya, tetapi jika yang didapatkan sekedar pusaka yang tidak termasuk kelengkapan untuk menerima wahyu, maka korban yang jatuh itu akan sia-sia” gumam Raden Kuda Rupaka.

“Kau memang bodoh” geram Pangeran Sora Raksa Pati, “Di perbendaharaan pusaka Demak terdapat beberapa bilah pusaka yang tidak sedang bersemayam, ketika pusaka-pusaka Majapahit itu berhasil diselamatkan, tidak terdapat tanda-tanda bahwa gedung perbendaharaan pusaka di Majapahit mengalami kerusakan atau kehilangan karena orang-orang yang memasuki kota Raja dam menduduki istana itu tidak sempat membuka gedung itu, sehingga mereka lebih tertarik kepada benda-benda berharga lainnya, sehingga mereka kurang cepat mengingat, bahwa pusaka-pusaka itu tentu jauh lebih berharga dari emas dan berlian, dan salah satu dari pusaka yang tidak ada di gedung perbendaharaan itu berada di tangan Pangeran Kuda Narpada.

“Aku sudah mendengar, paman” jawab Raden Kuda Rupaka, “Akupun sudah tahu sebabnya, kenapa baru sekarang kita beramai-ramai mendatangi istana itu, meskipun saat Pangeran Kuda Narpada meninggalkan Majapahit itu sudah terjadi beberapa tahun yang lampau”

“Nah, apalagi yang kau ragukan?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati, “Jika yang berada di halaman itu adalah Kiai Nagasasra atau Kiai Sabuk Inten atau Kiai Sangkelat, maka langkah kita akan semakin pendek”

Raden Kuda Rupaka karena, ia tidak mengerti kenapa pamannya dapat menganggap langkahnya semakin pendek, padahal mereka masih belum tahu dimanakah pusaka-pusaka yang lain itu berada.

Tetapi pamannya sudah menjawab, “Jika salah satu dari ketiganya dapat kita ketemukan, maka kita akan menayuhnya. pusaka iu sendiri akan memberikan jawaban, kemana kita akan mencari pasangannya”

 

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, ia pun mengerti, bahwa ada orang-orang tentu yang dapat berbicara dengan pusaka-pusaka.

Meskipun demikian, Raden Kuda Rupaka masih merasakan adanya ketidak pastian dari kerja yang dilakukan dengan mempertaruhkan nyawanya.

Sejenak Raden Kuda Rupaka merenungi masa-masa ia berangkat menuju ke Pegunungan Sewu, kerja yang akan dilakukannya seolah-olah adalah kerja yang sederhana, menghadapi bibinya berjongkok menyembah, kemudian tinggal di istana itu beberapa hari untuk menerima pusaka itu dan kembali.

Tetapi ternyata yang terjadi adalah berbeda dengan angan-angannya itu, di Pegunungan Sewu ternyata telah hadir kekuatan yang mempunyai kepentingan yang sama.

Meskipun kemungkinan semacam itu memang pernah dipertimbangkan dan bahkan pemimpin perguruannya telah membuat usaha pemecahannya, namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian ia hadir di Pegunungan Sewu itu, yang dilihatnya pertama-tama adalah seorang anak muda yang bernama Kasdu yang ternyata telah terkena bisa orang-orang dari perguruan Guntur Geni, dan yang lebih mendebarkan jantung bahwa ada seorang anak muda yang dapat menyembuhkan racun-racun itu.

Ternyata orang yang telah mendahuluinya itu adalah murid dari perguruan yang terkenal, perguruan Kumbang Kuning.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, tetapi kini ia berada di Pegunungan Sewu itu bersama Pangeran Sora Raksa Pati, seorang yang memiliki kemampuan yang sukar diukur.

Dalam perbandingan ilmu, tidak seorang pun akan dapat memperbandingkan. Siapakah yang lebih sakti, Pangeran Sora Raksa Pati atau Ajar Sukaniti.

“Apakah orang-orang di halaman itu ada yang memiliki kemampuan seperti keduanya, jika ada seorang dari mereka yang dapat mengimbangi pamanda Pangeran Sora Raksa Pati, salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu misalnya, maka Ajar Sukaniti akan mendapat kesempatan berbuat apa saja sesuka hatinya terhadap penghuni-penghuni istana itu” berkata Raden Kuda Rupaka di dalam hatinya.

Dalam pada itu, selagi Raden Kuda Rupaka merenungi kemungkinan yang dapat terjadi, maka Kidang Alit pun sedang duduk bersandar dinding, ternyata ia pun sedang membayangkan apa yang dapat dilakukan jika orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning dapat masuk bersama-sama ke dalam halaman istana itu.

“Persetan” ia menggeram, “Ajar Sukaniti dibantu oleh pamanda Pangeran Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat tentu akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik, Raden Kuda Rupaka bukan lawan yang harus disegani” ia mengerutkan keningnya, lalu, “Kecuali jika ada pemecahan lain”

Sementara itu, malam telah menjadi semakin jauh, bintang gubug penceng telah semakin condong ke barat, sementara benda-benda langit yang lain menjadi semakin jauh dari tempatnya semula.

“Sebentar lagi fafar akan tiba” tiba-tiba saja Kidang Alit berdesis.

Ajar Sukaniti menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Jadi kita akan berangkat dan sekaligus melalui pondok orang-orang Cengkir Pitu?”

“Ya” sahut Kidang Alit.

“Baiklah, Pangeran Sora Raksa Pati yang sombong itu memang harus dipenuhi keinginannya agar ia tidak justru mengganggu rencana kita dalam keseluruhan” berkata Ajar Sukaniti kemudian.

“Kita akan berangkat sekarang?” bertanya Kidang Alit

“Siapkan semua orang-orang kita”

Sejenak kemudian orang-orang Kumbang Kuning itu pun sudah bersiap diatas punggung kuda mereka masing-masing, yang terpenting diantara mereka adalah Ajar Sukaniti dan kedua orang Pangeran yang telah membawa Pangeran Kuda Narpada pergi meninggalkan istananya, selain anak muda yang bernama Kidang Alit itu.

“Kita akan singgah di pondok orang-orang Cengkir Pitu” desis Ajar Sukaniti.

“Untuk apa?” bertanya salah seorang anak buahnya.

“Kita akan bersama-sama memasuki istana kecil itu”

“Apakah kita sendiri tidak akan mampu?”

“Aku sudah berpuluh kali mendengar pertanyaan itu, dan jawabnya masih sama saja, kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lagi ke dalam kebodohan, sebagian orang-orang kita akan mati samempunyaiuh dengan orang-orang yang ada di dalam istana itu, dan sebagian yang tersisia akan dibantai oleh orang-orang Cengkir Pitu”

Orang yang bertanya itu pun mengerutkan keningnya, namun kepalanyapun kemudian mengangguk-angguk membenarkan.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu mulai bergerak, Ajar Sukaniti berada paling depan, di belakangnya adalah Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat yang diikuti oleh Kidang Alit, baru di belakang Kidang Alit beberapa orang pengiring duduk terkantuk-kantuk diatas punggung kuda mereka.

Sementara itu, orang-orang Cengkir Pitu sudah menjadi gelisah pula, bahkan Pangeran Sora Raksa Pati berkata lantang, “Jika orang-orang Kumbang Kuning itu tidak menepati janjinya, maka bagiku lebih baik bertempur melawan mereka lebih dahulu, tergantung dari sisa yang ada pada kita, jika kita merasa kuat, kita akan memasuki halaman istana, jika tidak, kita dapat mengurungkan dengan selamat tanpa diganggu gugat lagi oleh orang-orang yang berada di dalam halaman itu”

Raden Kuda Rupaka termenung, tetapi ia pun yakin bahwa orang-orang Kumbang Kuning tentu akan datang dan bersama-sama menyerang isi istana itu.

Sambil menunggu kedatangan orang-orang Kumbang Kuning, Raden Kuda Rupakapun kemudian berjalan diantara orang-orangnya, selain Aji Demung yang memiliki kekuatan raksasa, maka disudut duduk seorang yang rambutnya mulai memutih, ia tidak banyak menyatakan pendapatnya. Hampir seperti seseorang yang tidak mau lagi berpikir, ia hanya menunggu perintah, kemudian melakukannya dengan penuh tanggung jawab.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, orang tua itu memiliki semacam kekuatan yang aneh, dalam ilmu gendam, maka paman Dama Sraba ini dapat membunuh lawannya dengan teriakan-teriakannya yang mengerikan dalam lontaran aji Gelap Ngampar” desis Raden Kuda Rupaka di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak bertanya kepada orang tua yang pendiam itu, ia hanya lewat disisinya dan kemudian berdiri di hadapan seorang yang bertubuh pendek yang memegangi sepotong tongkat yang panjang, tongkat yang agak aneh, karena terdiri dari tiga batang rotan yang saling membelit. Di beberapa bagian dari rotan itu terdapat lingkaran-lingkaran lepingan besi, sedangkan di kedua ujungnya terdapat bentuk genggaman tangan yang terbuat dari baja, dengan cincin yang runcing di setiap jari-jarinya.

“Aku sudah jemu menunggu Raden” desisnya.

Raden Kuda Rupaka tersenyum, jawabnya, “Kita semua sudah jemu menunggu, paman Sora Raksa Pati juga sudah jemu”

“Lalu?”

“Apa yang baik menurut pertimbanganmu?”

“Aku lebih senang bersiap di punggung kuda, setiap saat kita akan memacunya dan segera bertempur melawan siapapun juga, apakah kita harus melawan kelinci-kelinci di halaman istana rusak itu, atau melawan orang orang-orang Kumbang Kuning”

Raden Kuda Rupaka tertawa, apalagi ketika orang itu berkata, “Dan akupun merasa semakin kaku untuk selalu menyebut nama Raden Kuda Rupaka, aku terbiasa memanggil nama Raden sejak kecil”

“Panggil nama panggilanku, aku tidak berkeberatan, ibunda memang selalu memanggil aku Johar, Ibunda senang memandang sebuah bintang yang berwarna kebiru-biruan di langit meskipun setiap malam hanya nampak sekilas, Lintang Johar, menurut ibunda wajahku memang manis semanis Lintang Johar”

Orang itu mengangguk-angguk, tetapi ia bertanya, “Jadi Raden Johar Patitis itu sekedar nama panggilan?”

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Ibunda lebih senang menyebut nama panggilanku, tetapi ayahanda mempunyai nama pangilannya tersendiri, sedang namaku yang sebenarnya justru jarang sekali disebut orang”

Orang bertubuh pendek yang bernama Gampar itu mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut.

Raden Kuda Rupaka lah yang kemudian berkata, “Baiklah, kita seharusnya memang sudah bersiap dipunggung kuda, adapun yang akan kita lakukan.”

“Nah, aku sependapat” sahut Gampar kemudian.

Raden Kuda Rupaka segera kembali kepada pamannya yang berjalan mondar mandir, ketika ia melihat Raden Kuda Rupaka kembali mendekatinya, ia hampir berteriak, “Kita hancurkan saja orang-orang Kumbang Kuning itu sekarang”

“Paman, kita bersiap di punggung kuda saja, apapun yang akan kita lakukan, sebentar lagi kita akan sampai diujung malam, jika langit mulai semburat merah, kita harus segera bertindak, mungkin orang-orang Kumbang Kuning mempunyai cara yang licik”

“Aku memang kurang mempunyainya, perintahkan dua orang bersiap untuk melihat apa yang terjadi di istana itu, ia harus segera kembali memberikan laporan tentang pengamatannya itu”

“Berbahaya bagi keduanya paman, kita pergi bersama-sama, kita pergi ke istana dan singgah ditempat orang-orang Kumbang Kuning. mungkin rumah itu sudah kosong, karena mereka sudah mendahului kita, jika demikian kita akan menyusul dan pertempuran-pertempuran di halaman itu tentu belum selesai, aku dapat memperhitungkan kekuatan mereka. kekuatan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang yang berada di halaman itu”

Sora Raksa Pati menggeram kemungkinan bahwa ia telah tertipu oleh cara-cara licik orang-orang Kumbang Kuning itu membuatnya menjadi gelisah dan marah.

Namun selagi orang-orang Cengkir Pitu itu mempersiapkan diri sambil menunggu perintah, maka terdengarlah derap kaki kuda mendekat.

“Itulah mereka” desis Kuda Rupaka.

“Apakah benar mereka datang?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Aku masih mempunyai kepercayaan itu, aku yakin mereka tidak akan berani pergi dalam kelompok-kelompoknya sendiri”

Namun Pangeran Sora Raksa Pati masih sempat mengucapkan perintah, “Hati-hati, siapa tahu, mereka datang untuk langsung membantai kita sekarang ini”

Raden Kuda Rupaka tidak membantah, ia pun merasa perlu ikut hati-hati, jika mereka lengah dan orang-orang Kumbang Kuning tu dengan licik langsung menyerang dengan ujung senjata, maka orang-orang Cengkir Pitu itu akan mengalami nasib yang sangat buruk, karena itulah, maka orang-orang Cengkir Pitu itu pun segera memencar di halaman, dalam kesiagaan sepenuhnya.

Derap kaki kuda itu semakin lama semakin dekat, suaranya gemeratak diatas batu-batu disepanjang jalan.

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda yang terpacu di malam hari itu pun berhenti di depan regol halaman, dua diantara mereka perlahan-lahan memasuki halaman dengan hati-hati, seperti juga orang-orang Cengkir Pitu yang hati-hati menghadapi sekelompok orang-orang Kumbang Kuning itu”

Pangeran Sora Raksa Patipun kemudian menyongsong kedua orang berkuda yang memasuki halaman itu, ternyata kedua orang berkuda yang memasuki halaman itu, ternyata keduanya adalah Ajar Sukaniti dan Kidang Alit.

“O” desis Ajar Sukaniti setelah ia melihat kesiagaan orang Cengkir Pitu, “Kalian masih saja tidak mempercayai kami, meskipun kami termasuk orang-orang tamak seperti kalian, tetapi kami tetap menghormati persetujuan yang sudah kita tentukan bersama”

“Terima kasih” sahut Pangeran Sora Raksa Pati

“Akupun akan mencoba mempercayai kalian”

“Jangan ragukan kami” berkata Ajar Sukaniti pula, “Seperti aku mempercayai kalian, maka kamipun memegang teguh harga diri kami dalam hal ini”

“Nah, sekarang kita akan berangkat? Sebentar lagi fajar akan menyingsing”

“Kita tidak tergesa-gesa, tugas ini akan segera dapat kita selesaikan. menurut perhitunganku, disaat-saat matahari terbit, kita akan berhasil membunuh semua orang yang ada di halaman itu”

“Setelah itu?” desis Pangeran Raden Kuda Rupaka.

Ajar Sukaniti mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa, jawabnya, “ mungkin kita mempunyai pikiran yang sama, tetapi jika tidak, baiklah aku mempertimbangkannya”

“Apa maksdumu?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati, “Apakah kita mutlak akan memperebutkan pusaka itu?”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung, sementara Ajar Sukaniti berkata selanjutnya, “Bukankah selain usaha yang harus kita lakukan, wahyu itu juga mempunyai unsur pilihan, artinya bahwa wahyu itu sendiri ikut berbicara siapakah yang berhak menerimanya”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Ya, kau benar, tetapi sudah diisyaratkan, bahwa ada beberapa cara untuk mendapatkannya, pusaka-pusaka yang ada di gedung perbendaharaan pusaka dan yang berbeda diluar gedung, merupakan syarat yang menentukan, siapa yang memiliki pusaka-pusaka yang diisyaratkan itu, merekalah yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk menerima wahyu keraton. yang terjadi kemudian sehingga seseorang akan sempat ke tahta, wahyu itulah yang menentukan”

Ajar Sukaniti mengangguk-angguk, lalu katanya, “Tetapi tahta itu hanya satu, tentu tidak mungkin kita bersama-sama ingin duduk diatas tahta, tetapi meskipun demikian, kita bersama-sama akan dapat menentukan haluan pemerintahan karena selain seorang Raja. masih ada seorang Pepatih para Tumenggung, para menteri dan Bupati. Diluar kota Raja masih ada para Adipati dan pimpinan Tanah Perdikan yang ikut menentukan wajah pemerintahan dalam keseluruhan”

“Aku tahu maksudmu” potong Pangeran Sora Raksa Pati, “Siapa yang menemukan pusaka itu, ialah yang akan menerima wahyu itu, yang lain tidak akan menjadi iri dan menimbulkan benturan kekuatan, tetapi kita harus membagi jabatan selain jabatan seorang Raja”

Ajar Sukaniti tertawa, katanya, “Pangeran terlalu berterus terang”

“Kita tidak mempunyai waktu banyak, sebaiknya kita tidak berbicara berbelit-belit.

“Baiklah, demikianlah kira-kira maksudku, dan bakal juga maksud Pangeran”

“Aku setuju, tetapi jika salah seorang dari kita ingkar, maka akibatnya akan dahsyat sekali, perang yang terjadi kemudian, tentu akan menyangkut banyak pihak, lebih banyak dari pihak-pihak yang ada sekarang di Pegunungan Sewu”

“Sudah aku katakan, aku akan mencoba menghargai mulutku sendiri”

“Aku akan menghormati persetujuan ini, tetapi agar kami tidak terbenam dalam pencarian pusaka di halaman istana itu tanpa perhitungan, sehingga justru karena itu, kita akan dibinasakan oleh penghuni-penghuni istana itu, maka sekali lagi ditentukan, bahwa kita harus membunuh semua orang lebih dahulu, baru kita akan mulai mencarinya”

“Semua orang?” desis Raden Kuda Rupaka.

“Maksudku, semua orang yang dapat merintangi usaha kita”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab lagi, ia pun sependapat dengan persetujuan itu, karena jika tidak demikian maka persoalan tentu akan berkepanjangan dan tidak ada henti-hentinya. Yang terjadi kemudian adalah saling membunuh diantara mereka yang memperebutkan pusaka-pusaka itu tanpa sempat mempersiakan diri untuk menerima wahyu keraton, bahkan tanpa kesempatan untuk menayuh pusaka yang sudah diketemukan itu untuk menemukan pasangannya yang masih harus dicari.

Demikianlah, maka ternyata kedua kelompok yang saling menyegani namun saling mendendam itu menemukan cara untuk mengatasi hubungan mereka, meskipun masih tetap meragukan apa masing-masing pihak akan dapat menghormati persetujuan itu.

Namun dengan demikian, maka mereka telah menemukan kesepakatan untuk membunuh semua orang yang ada di dalam dinding istana itu.

Dalam pada itu, agaknya orang-orang Guntur Geni bagi mereka bukannya persoalan yang cukup gawat, mereka menganggap bahwa lebih brt menghadapi orang-orang di dalam halaman istana itu.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 12

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 10

ISTANA YANG SURAM

Jilid 10

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-10NAMUN bagaimanapun juga Ki Mina tidak dapat melepaskan kecurigaannya, bahkan kemudian ia mencoba untuk memperingatkan dirinya sendiri, agar ia tidak tenggelam dalam kekagumannya kepada gadis itu, dan harapan yang mungkin akan dapat menenggelamkannya ke dalam kelengahan, bahwa pada suatu saat akan ada hubungan yang lebih rapat antara Pinten dan Panon.

“Terserahlah kepada mereka yang menghayatinya” katanya di dalam hati.

Ki Mina pun kemudian kembali ke dalam biliknya didapatkannya Panji Sura Wilaga berbaring di pembaringan, ia tidak lagi diikat kakinya, tetapi mereka yang menangkapnya masih merasa perlu mengikat tangannya dan kemudian meskipun agak longgar menyangkutkannya kepada tiang di bilik itu, sepanjang ikat pinggang Pinten yang memang cukup panjang.

Panji Sura Wilaga sama sekali tidak mengacuhkan ketika Ki Mina memasuki biliknya, bahkan seseolah-olah tidak mengetahuinya sedangkan Ki Minapun tidak menegurnya sama sekali.

Namun demikian sepercik kegelisahan mambayang di wajah Ki Mina karena ia sadar, bahwa persediaan makanan tidak akan lagi memungkinkan untuk mempertahankan keadaan seperti itu, bebeberapa lama lagi, namun ia sama sekali belum melihat jalan pemecahan yang dapat ditempuhnya.

Dalam pada itu, Pinten yang meninggalkan Ki Mina dengan tergesa-gesa langsung menuju ke dapur, ia sudah melihat biyungnya meskipun perapian sedang menyala. Agaknya Nyi Upih sedang merebus air.

Pinten pun kemudian duduk di muka perapian, wajahnya menjadi buram dan tatapan matanya yang bening itu pun menjadi redup. Dipandangingya api yang menjilat-jilat itu. seseolah-olah-seolah-olah di dalam jilatan lidah api itu ia melihat kehidupan yang membara diantara kegembiraan anak-anak muda sebayanya. Sedangkan ia sendiri kini berada di dalam lingkungan yang sepi dan terpencil, penuh dengan bahaya yang setiap saat dapat mengancamnya.

“Tetapi aku sudah memilih jalan hidup ini” berkata Pinten kepada diri sendiri, meskipun ia tidak dapat ingkar dari tuntutan manusiawi.

Pinten berpaling ketika ia mendengar desir langkah kaki mendekati pintu dapur, ia melihat Nyi Upih berjalan sambil menjinjing seikat daun ketela pohon yang baru dipetiknya di kebun.

Karena itu, maka Pinten pun segera berusaha menghilangkan air yang terasa membasahi pelupuknya, ia tidak ingin dilihat oleh orang lain, betapa perasaannya yang wajar kadang-kadang masih juga melonjak menyentuh hati.

Ternyata Nyi Upih tidak menghiraukannya, ia pun langsung mengambil belanga dan mengisinya dengan air gentong untuk mencuci seikat daun yang dibawanya.

Tetapi ketika Nyi Upih akan memasukkan daun ketela yang sudah dicuci dan diremasnya itu ke dalam belanga diatas perapian, ia melihat Pinten yang masih sibuk mengeringkan air yang membasah di matanya, bahkan rasa-rasanya air itu tidak juga mau kering.

“Pinten?” Nyi Upih mengerutkan keningnya.

“Mataku terkena asap biyung, ketika api itu mati, aku meniupnya dengan semprung bambu, tetapi agaknya asapnya telah masuk ke mataku, pedih sekali” jawab Pinten.

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, ia memang melihat mata Pinten menjadi merah.

Sejenak Nyi Upih termangu, namun kemudian katanya, “Pergilah keluar sejenak, atau cuculah mukamu dengan air bersih, nanti perasaan pedih itu akan segera hilang, jika perasaan pedih itu timbul karena asap api”

“Ya, pasti karena asap api biyung”

“Mudah-mudahan perasaan pedih yang disebabkan oleh asap api akan cepat hilang”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia pun kemudian meninggalkan dapur itu ke pakiwan untuk memcuci wajahnya.

Ketika ia menjengukkan kepalanya ke dalam jambangan yang terisi oleh air bening, tiba-tiba ia tertegun, dipandanginya wajah seorang gadis yang manis di dasar jambangan itu. mata yang tajam hampir bulat, segores alis yang lengkung panjang diatasnya.

Hidung yang tidak terlalu mancung tetapi serasi diantara pipinya yang kemerah-merahan oleh terik panas matahari, mulut yang kecil diantara bibirnya yang tipis meskipun ia agak banyak berbicara.

Pinten menarik nafas dalam-dalam, namun bagaikan seorang yang terbangun dari mimpinya, ia cepat-cepat mengambil air dengan tempurung yang sudah di gosok halus dan membasahi wajahnya yang kemerah-merahan itu.

Sejenak ia masih sempat melihat wajah yang mengabur di dasar jambangan itu karena bulatan-bulatan getar air yang tersentuh tempurungnya, semakin lama semakin hilang, apalagi ketika ia pun kemudian melemparkan tempurung itu ke dalam air di belakang.

Pinten perlahan-lahan berdiri dan melangkah meninggalkan pakiwan, tiba-tiba ia menjadi gelisah, apakah, seseolah-olah-seolah-olah ia baru mengenal dirinya sendiri sebagai seorang gadis.

Diluar sadarnya tangannya bergerak meraba sanggulnya yang kusut. Dicobanya untuk memperbaikinya dan mengusap rambutnya yang berurai diatas telinganya.

Pinten terkejut ketika ia mendengar langkah tergesa-gesa menuju ke pakiwan, ketika ia berpaling dilihatnya Panon melangkah cepat kearahnya, namun langkah itu terhenti ketika Panon melihat gadis berdiri di muka pakiwan,

“O…” desisnya.

“Kenapa kau nampak tergesa-gesa” bertanya Pinten, “Apakah ada sesuatu?”

Panon menggeleng, jawabnya, “Aku akan mencuci tanganku yang tergores welat pering wulung”

“He!!, apakah tanganmu dapat terluka karena welat pering wulung?”

“Ya, kenapa?”

“Dan luka itu sudah membuatmu demikian tergesa-gesa dan gelisah.”

“Luka ini mengeluarkan darah, aku akan mencucinya daripada mengotori pakaianku”

Pinten tertawa, katanya, “Jika oleh luka itu kau sudah menjadi gugup, bagiamana dengan dengan luka pedang jika kau bertempur dengan Kidang Alit?”

“Aku bukan orang-orang kebal, Pinten” jawab Panon

“Dan agaknya welat adalah senjata yang paling tajam jauh lebih tajam dari pedang Kidang Alit, jika seseorang berilmu kebal dan tidak dapat dilukai dengan pedang, maka ia akan terbunuh oleh peting wulung yang ditajamkan ujungnya, dengan geranggang pering wulung yang diusapkan pada tanah tempat kita berpijak, maka semua ilmu kebal dari dasar kekebalan yang manapun akan cair dan tidak berarti sama sekali”

“Kau salah” jawab Pinten, “Apakah kau pernah mendengar ilmu Sangga Bumi?”

“Mempunyai kekuatan yang mirip dengan aji Panca Sona“

Pinten tertawa, katanya, “Kau benar, tetapi Sangga Bumi mempunyai akibat kekebalan, bukan kekuatan untuk memperoleh dan menguasai hidupnya kembali jika tubuhnya menyentuh tanah”

Dan Panon memotongnya, “Tetapi ia menjadi kebal selama tubuhnya masih menyentuh tanah, meskipun demikian, jika kematian telah menjemputnya dalam keadaan yang khusus, terpisah dari tanah tempatnya berpijak, maka ia tidak akan memperoleh dan menguasai hidupnya kembali”

Pinten tertawa, katanya, “Kau memahaminya. He, apakah kau pernah belajar ilmu yang disebut aji Sangga Bumi?”

“Jika demikian, tanganku tidak akan terluka”

Pinten tertawa semakin keras, lalu katanya, “sekarang apakah kau akan mencuci lukamu?”

“Ya”

“Jangan, menurut orang-orang tua, luka kecil seperti itu akan lebih cepat sembuh jika tanganmu diobati sebelum tersentuh air, aku mempunyai obat untuk segala macam luka”

“Ah, obatmu terlalu berharga untuk mengobati luka kecil seperti ini, jika lukaku sobek karena ujung pedang, maka obatmu akan sangat bermanfaat”

“Kalau begitu, marilah, aku akan mengobati dengan daun metir, kau percaya bahwa daun metir dapat menyembuhkan luka kecil seperti lukamu itu”

“Ya”

“Sebelum kau basahi, tunggulah disini, aku akan memetik bebeberapa tangkai dun metir di belakang pakiwan ini”

Seperti kena pesona, Panon kemudian berdiri diam di tempatnya, dipandanginya Pinten yang berlari-lari ke belakang pakiwan. ketika tangannya meraih daun metir tetapi tidak sampai karena letaknya yang terlalu tinggi, maka dengan lincahnya gadis itu melenting seperti saat ia melenting menghindari ujung senjata yang akan menyentuh tubuhnya.

Panon menarik nafas dalam-dalam, jari-jari gadis itu jauh berbeda dengan jari-jari Nyi Upih yang bulat pendek, tetapi jari-jari Pinten yang meskipun dapat dipergunakan menggenggam senjata, tetapi jari-jari itu tetap jari-jari seorang gadis yang cantik.

Panon terkejut menyadari angan-angannya sendiri, di padukuhannya ia bergaul dengan banyak gadis-gadis yang disebut canti oleh kawan-kawannya, tetapi Pinten mempunyai kelainan dari gadis-gadis di padukuhannnya itu.

Ketika kemudian Pinten datang dambil membawa daun metir dan kemudian meremasnya dan menempelkan di jarinya yang terluka, jantung Panon tiba-tiba menjadi berdebar kencang dan tangannya ikut gemetar,

“He” deis Pinten, “Apakah welat itu beracun?”

“Kenapa?” Panon terkejut.

“Tanganmu bergetar, mungkin pengaruh racun atau semacam gragas ular yang mati di tempat itu”

Panon ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, “Tidak, aku tidak merasakan pengaruh racun itu, jika aku gemetar itu tentu ada sebab yang lain”

Pinten tertegun sejenak baru kemudian ia menyadari keadaannya.

Wajah Pinten menjadi merah, ialah yang kemudian menjadi gemetar, namun karena ia baru mulai melekatkan daun metir itu, maka ia pun berusaha menyelesaikan pekerjaan itu secepatnya.

Sebelum Panon berkata sesuatu, Pinten telah melepaskan tangannya dan berjalan tergesa-gesa meninggalkannya, tetapi ketika ia sampai di serambi belakang, seseolah-olah-seolah-olah ada yang menghambatnya, sehingga diluar sadarnya ia pun berhenti dan berpaling.

Panon masih berdiri mematung di tempatnya, ia tidak ingat lagi jari-jarinya yang terluka, ia tidak mengetahui bahwa daun metir yang ditempelkan di jari-jarinya itu telah terjatuh diatas tanah.

Sekilas tatapan mata mereka bertemu, namun hanya sekejap, karena Pinten pun kemudian berlari masuk kelongkangan belakang.

Ketika Pinten hilang di balik pintu, barulah Panon menyadari dirinya sendiri, sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun kemudian memperhatikan tangannya yang terluka, segores kecil, tetapi ia tidak menghiraukanya lagi, karena luka itu memang sudah tidak terasa sakit lagi. Ia pun tidak pergi ke pakiwan untuk mencuci darah yang mengotori tangannya, karena seakan-akan ia tidak ingin membershkan jari-jari dari sisa daun metir yang melekat.

Sejenak kemudian, maka Panon melangkahkan kakinya meninggalkan pakiwan, tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara tertawa di sudut istana itu.

Ketika ia berpaling dilihatnya Sangkan berdiri membelakanginya, tetapi suara tertawanya terdengar berkepanjangan.

“Gila” Panon pun mengumpat, perlahan-lahan ia melangkah mendekatinya sambil berkata, “Apa yang kau tertawakan?”

Sangkan tidak segera menjawab, bahkan ia pun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan Panon.

Panon adalah anak muda yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Sangkan, ia nampak lebih tenang dan bersungguh-sungguh, namun melihat sikap Sangkan itu, tiba-tiba Panon sudah kejangkitan sikap itu pula, hampir diluar sadarnya Panon berlari mengejarnya.

Tetapi langkah Panon terhenti ketika Sangkan kemudian berlari masuk pintu butulan, bagaimanapun juga Panon masih harus menjaga dirinya, karena ia merasa kehadirannya di tempat itu hanyalah sebagai dua orang pengembara bersama Ki Mina yang memohon perlindungan dan belas kasihan.

“Anak gila” ia masih mengumpat, tetapi ia pun kemudian melangkah kembali ke dalam biliknya lewat halaman belakang.

Ketika Panon melangkah di dekat pakiwan, maka dilihatnya daun metir yang sudah diremas lembut oleh Pinten terjatuh di tanah. Ada kesan yang aneh di hati Panon terhadap gadis yang bernama Pinten itu. Sudah sejak ia mengetahui bahwa Pinten memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, ia sudah meragukan ia adalah anak Nyi Upih, semakin ia membayangkan wajah dan sifat-sifatnya, ia menjadi semakin yakin, bahwa Nyi Upih dan gadis itu tidak mempunyai hubungan darah, apalagi sebagai anak dan ibu.

Namun dengan demikian, maka kecurigaannya pun menjadi semakin besar, bahwa terkandung niat yang kurang baik pada gadis itu serta kakanya terhadap pusaka yang sedang diperebutkan, seperti juga Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit.

“Aku tidak boleh lengah, jika aku tenggelam ke dalam arus perasaanku, mungkin aku akan hanyut kelaut penyesalan, aku harus tetap berpegangan pada nalar yang bening” berkata Panon di dalam hatinya.

Selangkah demi selangkah ia pun kembali ke biliknya, ketika ia memasuki bilik itu, dilihatnya Sangkan sudah ada di dalam bilik itu dan duduk di sisi Ki Mina yang juga sedang duduk di pembaringannya.

Sekilas Panon memandang Panji Sura Wilaga, namun kemudian ia melangkah mendekati Sangkan, tetapi karena Sangkan sama sekali tidak memperhatikannya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di halaman belakang, maka Panon pun tidak menanyakan lagi kepadanya kenapa ia tertawa ketika ia berada di sudut istana itu.

Panon pun kemudian duduk pula di sebelah Ki Mina yang bergeser setapak.

Untuk bebeberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing, hanya sekali-sekali mereka berpaling memandang Panji Sura Wilaga yang wajahnya menjadi gelap bagaikan malam yang mendung.

Dalam pada itu, selagi istana kecil itu dicengkam oleh ketegangan yang rasa-rasanyanya setiap saat semakin berbertambah-tambah, maka di rumah Ki Buyut di Karang Maja, Kidang Alit duduk di pendapa bersama Raden Kuda Rupaka, sementara itu Ki Buyut sendiri berada di bagian belakang rumahnya dengan hati yang kecut.

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi” desisnya diantara keluarganya, “Adalah aneh sekali jika tiba-tiba Raden Kuda Rupaka telah berada di rumah ini”

Tidak seorang pun yang dapat menjawab, bahkan bukan saja Ki Buyut, tetapi setiap orang menjadi heran, bahwa Raden Kuda Rupaka telah meninggalkan istana bibinya bersama Kidang Alit dan tinggal di rumah Ki Buyut, tetapi tidak ada yang berani bertanya kepadanya.

Di pendapa, Raden Kuda Rupaka sendiri selalu dicengkam oleh kegelisahan, ia masih belum menemukan suatu jalan yang dapat dipergunakannya untuk memecahkan persoalannya.

Dalam kesulitan yang seolah-olah tidak teratasi itulah, maka ia pun kemudian mulai mempertimbangkan campur tangan perguruannya.

“Sebenarnya aku ingin menyelesaikan sendiri” katanya di dalam hati, “setiap usaha yang mengikut sertakan banyak orang berarti mempersulit penyelesaian.

Selebihnya, aku bukan lagi seorang pahlawan dari perguruanku”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, kedatangannya ke istana kecil itu benar-benar berada di luar dugaan, semula ia mengira bahwa perjalannya tidak lebih dari perjalan tamasya, karena semuanya akan berjalan lancar tanpa kesulitan apapun juga, namun yang dijumpainya ternyata bagaikan seisi rimba raya yang penuh dengan binatang buas yang saling menerkam, siapakah yang kuat, ialah yang akan memiliki mangsa yang paling berharga.

Tiba-tiba Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu ia pun bertanya kepada Kidang Alit, “dimanakah orangmu itu Kidang Alit?”

Kidang Alit tidak segera menjawab, dipandanginya wajah Raden Kuda Rupaka sejenak.

“He, kenapa kau diam saja?”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Apaboleh buat Raden, aku telah mengirimkan orangku itu kembali kepada bebeberapa orang kawan-kawannya. Terus terang, aku tidak dapat menyelesaikan tugasku dengan cara ini, aku sedang memanggil beberapa orang dari perguruanku, bahkan mungkin, mengingat persoalan yang semakin gawat, orang-orang terpentinglah yang akan datang kemari”

Wajah Raden Kuda Rupaka segera menegang, bahkan sejengkal ia bergeser maju, dengan suara yang berat ia berkata, “Jadi kau mulai dengan bantuan perguruan?”

Kidang Alit tersenyum, katanya, “Apaboleh buat, aku memang sudah memperhitungkan, bahwa yang terakhir akan terjadi demikian”

Raden Kuda Rupaka memandang Kidang Alit dengan tajamnya, katanya kemudian, “Perguruan kita masing-masing akan terlibat disaat-saat terakhir, aku tahu bahwa tidak ada perguruan lain yang memiliki kekuatan sebesar perguruan kita”

“Apaboleh buat, apaboleh buat, pusaka yang diperebutkan memang mempunyai nilai yang wajar untuk diperebutan antara perguruan-perguruan terbesar di negeri ini”

“Bukan hanya oleh perguruan terbesar, tetapi agaknya Demak pun akan segera melibatkan dirinya.

“Jika Demak mengetahui bahwa pusaka itu ada disini”

Raden Kuda Rupaka berdesah sambil bergeser surut, katanya, “Kau memang bodoh sekali, apakah kau kira Demak tidak memiliki petugas-petugas sandi yang dapat mencium kekisruhan yang terjadi disini”

“Tentu aku mengerti” berkata Kidang Alit, “tetapi demikian, mereka tidak akan bertindak dengan tergesa-gesa, apalagi mereka tidak lagi berhubungan dengan Pangeran Kuda Narpada untuk waktu yang lama, sehingga seolah-olah mereka memang sudah melupakan seluruh persoalan”

Kidang Alit yang kemudian tertawa, katanya, “Jangan berkata begitu Raden, jika kau mengatakan bahwa tentu ada orang lain di Demak yang mengetahui bahwa tentang pusaka yang hilang itu aku masih percaya, tetapi jika kau mengatakan bahwa kau datang atas nama mahkota seperti yang kau ucapkan di hadapan Raden Ayu itu, aku tentu akan tertawa berkepanjangan seperti ini”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, sedang Kidang Alit meneruskan, “Baru saja Raden mempersoalkan benturan antara perguruan dan agaknya perguruanku sudah siap”

Raden Kuda Rupaka menjadi tegang sejenak, dan tiba-tiba ia berkata, “He, siapa saja yang berada di belakang perguruanmu?, mereka tentu tidak berdiri sendiri, bukan”

“Tidak ada orang lain”

“Paman Sendang Prapat dan paman Cemara Kuning, jangan ingkar” dan suara Raden Kuda Rupaka semakin menghentak, “Siapa kau sebenarnya Kidang Alit, sebut namamu yang sebenarnya”

Kidang Alit memandang Raden Kuda Rupaka dengan heran, lalu, “Kenapa kau bertanya begitu? Sapakah aku?, pertanyaanmu aneh Raden, aku adalah Kidang Alit, memangnya siapa?”

“Jangan mengelabui aku, seperti mengelabui anak-anak, kau tentu bukan bernama Kidang Alit, seperti juga Sangkan dan Pinten”

Kidang Alit tertawa, jawabnya, “Terserahlah kepadamu, mungkin aku memang bukan bernama Kidang Alit, tetapi apakah bedanya bagi Raden, siapapun aku, kita telah bersama-sama menginginkan pusaka itu untuk sementara kita dapat bekerja sama, tetapi pada suatu saat, perguruan kita akan berbenturan, tetapi sementara ini, seandainya kita tidak saling membantu, maka kita bersama-sama akan akan tidak berdaya sama sekali menghadapi anak-anak muda yang ada di halaman istana itu”

“Mereka harus disingkirkan” geram Raden Kuda Rupaka.

“Tentu, tetapi karena kita masing-masing tidak mampu melakukannya, maka aku akan menunggu hasil perjalanan kawanku menghubungi perguruanku”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Baiklah, aku juga akan menunggu, jika satu dua orang dari perguruanmu mulai bergerak, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak, maka orang-orang di perguruanku tentu akan mengetahuinya seperti juga sebaliknya, sehingga saudara-saudara seperguruanku pun akan datang pula ke daerah ini”

“Kita akan menunggu” berkata Kidang Alit seterusnya, “Dan kita akan melihat, apakah yang akan terjadi, apalagi jika orang-orang dari perguruan Guntur Geni itu datang kembali dengan pasukan segelar sepapan, maka padukuhan ini tentu akan menjadi ramai”

“Ramai, tetapi juga berarti bencana, baru kau sendiri disini sudah menimbulkan bencana bagi gadis-gadisnya, apalagi lebih dari satu orang dari perguruanmu”

“Ah, jangan begitu Raden, yang terjadi bukannya ciri dari perguruanku, mungkin itu karena kelengahanku saja, barangkali semacam ketidak sengajaan”

“Omong kosong”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Ah, aku tidak peduli apakah yang dikatakan orang tentang diriku, yang penting sekarang , kapan orang-orang perguruanku itu datang. Itu berarti istana kecil itu akan dibongkar seluruhnya, Sangkan, Panon, Ki Mina dan siapapun yang akan merintangi usaha itu akan dihancurkan”

“Lalu, bagaimana dengan gadisnya?”

Sekali lagi Kidang Alit tertawa, katanya, “Apakah perlu aku menjelaskannya?, apalagi setelah istana itu akan aku duduki dengan pasukanku”

“Persetan, kau kira perguruanmu sudah menerima pengakuan sebagai perguruan terbesar?”

Suara tertawa Kidang Alit meninggi, katanya, “Tidak, aku tidak mengatakan demikian, dan sekarang pun aku tidak ingin mempersoalkannya lagi, aku hanya akan menunggu sampai kapan pun, mudah-mudahan dengan cepat dapat aku selesaikan dengan orang-orangku yang bakal datang sebelum prajurit-prajurit demikian mengetahui lebih banyak dan mengambil sikap tertentu”

Raden Kuda Rupaka menggeram, namun ia pun berkata, “Agaknya memang demikian, akupun harus menunggu, dan pekerjaan menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan”

Kidang Alit memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, sekilas terbayang perasaan aneh di wajahnya, namun sejenak kemudian kesan itu pun telah terhapus tanpa bekas.

Dalam pada itu, pergolakan di istana kecil itu ternyata terlalu merambat kepada batang perguruan yang lebih besar, kegagalan orang-orang Guntur Geni, Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka untuk mendapatkan pusaka yang mereka anggap tersimpan di istana kecil itu, telah menggerakkan orang-orang terpenting dari perguruan masing-masing untuk mengambil sikap”

Sambi Timur yang meninggalkan Padukuhan Karangmaja dengan tergesa-gesa berpacu keperguruannya, perjalanan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu satu hari, bahkan tidak cukup sehari semalam.

“Mudah-mudahan mereka sudah berada di seberang bengawan” berkata Sambi Timur kepada diri sendiri, lalu “Jika mereka tidak berada disana, dan aku harus kembali keperguruan, maka aku akan memerlukan waktu lebih dari sepekan”

Namun Sambi Timur yakin bahwa orang-orang terpenting di perguruannya sudah berada di padepokan Lemah Putih di seberang bengawan. Sambi Timur pun memacu kudanya semakin cepat, tetapi ia sadar bahwa pada suatu kali kudanya tentu merasa lelah, dan memerlukan waktu untuk beristirahat, makan dan minum. sehingga perjalannya tidak dapat dipaksakannya lebih cepat lagi.

Ternyata seperti yang diduganya, bahwa sekelompok orang-orang terpenting dari perguruannya telah berada di padepokan Lemah Putih, padepokan yang dihuni oleh seorang tua yang memang menjadi keluarga dari perguruan Kumbang Kuning.

Dengan gelisah mereka menunggu kedatangan anak muda yang mereka percaya untuk pergi ke Karangmaja mencari pusaka Maja Pahit yang hilang, yang menurut keyakinan mereka pasti berada di tangan Pangeran Kuda Narpada.

“Seorang Senapati melihat Sang Maha Prabu telah menyerahkan sebuah pusaka kepada Pangeran Kuda Narpada saat-saat terakhir dari perlawanan pangeran itu untuk memberi kesempatan bagi Sang Maha Prabu untuk meninggalkan Kota Raja, tetapi senapati itu tidak dapat mengatakan pusaka yang manakah yang diserahkannya itu, tetapi sudah tentu diantara pusaka-pusaka yang kini tidak ada di istana, mungkin Kiai Sangkelat, tetapi mungkin Kiai Nagasasta” desis salah seorang dari mereka.

“Siapakah yang sekarang ini mulai mengungkit persoalan itu kembali, sehingga mungkin bukan saja orang-orang dari Kumbang Kuning, tetapi juga dari perguruan-perguruan lain berdatangan ke Karangmaja” desis yang lain lagi.

Dugaan-dugaan mereka itu pun kemudian ditegaskan oleh kedatangan Sambi Timur yang menceritakan apa yang telah terjadi di padukuhan Karangmaja, tempat persinggahan Pangeran Kuda Narpada yang bahkan telah menetap di sana pula.

Beberapa orang dari perguruan Kumbang Kuning itu pun menjadi termangu-mangu. Sambi Timur telah menyebut pula perguruan Guntur Geni dan Cengkir Pitu.

“Perguruan-perguruan terbesar telah berada didalamnya” desis salah seorang dari mereka.

“Seorang anak muda bernama Panon yang memiliki ciri dari perguruan tersendiri telah berada di dalam istana itu pula” berkata Sambi Timur.

“Dari perguruan mana?”

“Tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya, ia sendiri tidak pernah menyebutnya” Sambi Timur berhenti sejenak, lalu, “Selain Panon ada seorang anak muda yang mengaku dirinya anak pelayan di istana itu pun membawa ciri-cirinya sendiri pula yang tidak dapat dikenal”

“Siapa anak muda itu?”

“Namanya Sangkan, tetapi seperti juga Kidang Alit, namanya tentu bukan namanya sendiri”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk, salah seorang dari mereka berkata, “Kita harus mempersoalkannya dengan pimpinan tertinggi dari perguruan Kumbang Kuning”

“Apakah kita tidak akan terlambat?” sahut yang lain.

“Persoalannya mengangkut hubungan dengan perguruan-perguruan terbesar, Guntur Geni tidak memiliki orang-orang terkuat sekarang ini, tetapi jumlah mereka jauh lebih besar dari jumlah perguruan-perguruan lain, karena sifat geraknya yang berbeda, sedangkan Cengkir Pitu pantas sekali diperhitungkan, beberapa orang bangsawan yang terasing dari pergaulan mereka, berada di lingkungan itu, mereka bukannya orang-orang yang lemah”

“Tetapi Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat tidak berada di lingkungan Cengkir Pitu”

“Keduanya orang-orang dari perguruan itu, tetapi juga bukan dari perguruan kita, mereka dapat berada dimana saja yang mereka kehendaki, kegagalam mereka mendapatkan pusaka itu langsung dari Pangeran Kuda Narpada membuat mereka mendendam sampai sekarang”

“Itulah sebabnya ia sekarang berada diantara kita dan justru seakan-akan mendapat kepercayaan dari Ajar Sukaniti?”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak tahu apakah sebenarnya yang mendorong orang-orang itu saling berebutan, tidak seorangpun yang dapat menyebutkan dengan pasti, pusaka apakah yang berada di istana itu, Kiai Cangkring? Kiai Mendarang atau justru Kiai Sangkelat?”

“Mungkin pula Kiai Nagasasra” desis yang lain.

“Apakah arti dari pusaka-pusaka itu sebenarnya?

Pusaka yang ada di istana itu adalah satu unsur saja dari suatu kemungkinan untuk menerima wahyu, satu unsur dari banyak unsur yang ada”

Seorang yang bertubuh tinggi, berjanggut lebar dan bermata tajam hampir saja menjawab, tetapi kata-kata yang sudah hampir terlontar dari mulutnya itu pun ditelannya kembali.

Sejenak mereka terdiam, terbayang di dalam angan-angan masing-masing pertentangan yang akan berkobar semakin besar antara perguruan terpenting yang sudah dikenal namanya, tetapi ternyata di istana itu ada pula nama-nama dari orang-orang yang tidak diketahui asalnya yang hadir dalam penyamaran.

Baru sejenak kemudian orang bertubuh tinggi, berjanggut lebat itu berkata, “Dalam waktu dekat, Ajar Sukaniti sudah akan berada di tempat ini, besok atau lusa, kita akan segera membicarakannya”

“Apakah kita tidak perlu mengambil sikap lebih dahulu?” desis seorang yang bertubuh agak kecil, “Sehari dua hari akan sangat berarti bagi kita, mungkin di hari-hari itu orang Cengkir Pitu telah berhasil mengambil pusaka itu, atau dalam waktu yang sehari itu Raden Waruju sudah menemui kesulitan yang tidak teratasi”

“Raden Waruju bukan anak-anak yang masih merengek, ia memiliki ketajaman indera yang lengkap”

“Tetapi Raden Kuda Rupaka dari Cengkir Pitu itu juga memiliki apa yang dipunyai oleh Kidang Alit” desis Sambi Timur.

Yang lain menarik nafas dalam-dalam, namun yang tinggi dan berjanggut lebat akhirnya berkata, “tidak ada yang dapat kita lakukan sekarang, kita harus menunggu agar kita tidak salah langkah, persoalannya sudah menjadi semakin gawat”

“Kita tidak dapat mendahuluinya” desis yang lain pula, “Kau benar, kita harus memperhitungkan, bahwa orang-orang Cengkir Pitu tidak akan melepaskan pengamatannya terhadap kita dalam keadaan serupa ini, sejak kita tidak melihat lagi beberapa orang yang kita kenal dari perguruan Cengkir Pitu, kita sudah mulai memperhitungkannya”

“Semula kita tidak menyangka bahwa Raden Kuda Rupaka ternyata salah seorang dari murid Cengkir Pitu, aku kira kepergiannya mewakili ikut campurnya pihak istana demikian dalam persoalan ini” desis yang lain, “tetapi agaknya ia berada dipihak lain yang barangkali justru tidak diketahui oleh ayahandanya”

“Bagaimana sikap Raden Waruju?”

“Mereka belum saling mengenal, tetapi keduanya menyadari bahwa mereka berdiri berseberangan, meskipun untuk suatu saat mereka saling memerlukan”

“Kau sekarang sudah mengenal Raden Kuda Rupaka justru di Karangmaja, mungkin Ajar Sukaniti akan mengambil sikap yang lain terhadap anak muda dari Cengkir Pitu itu”

Mereka kemudian hanya dapat mengangguk-angguk, karena mereka lakukan seolah-olah Ajar Sukaniti sendiri berada di lingkungan mereka, karena persoalannya akan menjadi sangat gawat dan berbahaya.

“Mudah-mudahan Ajar Sukaniti segera datang untuk memberikan perintah” desis Sambi Timur, “Jika orang Cengkir Pitu menyadari kehadiranku disini, mereka tentu akan segera bertindak”

Orang-orang Kumbang Kuning itu termangu-mangu sejenak, mereka sadar bahwa dalam waktu yang singkat, kemungkinan yang tidak mereka harapkan sudah akan terjadi, tetapi merekapun tidak akan berani melakukan sesuatu sebelum Ajar Sukaniti datang menjumpai mereka, karena Ajar Sukaniti yang muda ini pun memiliki sikap dan keputusan yang didasari ketajaman penglihatan lahir dan batin seperti Ajar Sukaniti yang tua, bahkan Ajar Sukaniti yang kini memimpin perguruan Kumbang Kuning itu memiliki jangkauan cita-cita yang agaknya lebih jauh dari Ajar Sukaniti yang telah direnggut oleh waktu.

“Ayah terlampau baik hati” berkata Ajar Sukaniti yang muda, “Ayah tidak pernah berusaha untuk meningkatkan diri dalam tataran kehidupan lahiriah”

Kecenderungan untuk meningkat ke tataran yang lebih tinggi dalam gelar lahiriah itulah yang telah membuatnya agak berbeda dari sikap dan tindakan ayahnya yang tenang dan lebih banyak dalam olah kejiwaan.

Tetapi dengan demikian, perubahan yang terjadi dalam sikap dan pandangan hidup itu telah menimbulkan gairah bagi pengikutnya yang muda-muda. Bahkan dengan harapan yang cerah di masa datang, orang-orang yang telah menjadi semakin tuapun tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menentang usaha Ajar Sukaniti.

“Pusaka itu harus jatuh ke tangan kita” berkata Ajar Sukaniti, “Jika pusaka itu telah kita kuasai, maka setidak-tidaknya kita tentu sudah membuat kejutan jiwani, sehingga usaha-usaha yang akan datang, akan terbuka, mereka yang gagal pada perjuangan yang pertama, tentu akan kehilangan gairah untuk mendapatkan pusaka yang lain yang masih belum ada di gedung perbendaharaan istana Demak sekarang, justru pusaka-pusaka terpenting, jika Sultan Demak sekarang ini berhasil menguasai tahta, semata-mata hanyalah oleh kemampuan lahiriahnya saja, tanpa sipat kandel dan pegangan wahyu, sehingga karena itu, maka kekuasaannya tidak akan kekal”

Terlebih-lebih lagi ketika perguruan Kumbang Kuning itu hadir, dua orang pangeran yang gagal mendapatkan pusaka itu dari tangan Pangeran Kuda Narpada, maka gairah perjuangan Ajar Sukaniti itu pun bertambahtambah.

“Keduanya banyak memberikan petunjuk-petunjuk” berkata Ajar Sukaniti kepada pembantunya yang paling setia, seorang yang berjanggut putih, “untuk sementara keduanya akan dapat aku pergunakan, beberapa orang yang masih berdarah bangsawan dari pecahan keturunan Brawijaya yang tersebar akan semakin mantap berjuang bersama Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat, tetapi pada saatnya aku tidak memerlukannya lagi”

Namun dalam pada itu, Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat pun bukannya dua orang pangeran yang dungu, mereka pun telah mempunyai rencananya sendiri, jika pusaka yang berada di tangan Pangeran Kuda Narpada itu dapat dikuasainya.

“Kumbang Kuning bukannya tempat yang mapan bagi wahyu kerajaan, Ajar Sukaniti bernafsu untuk mencari kesempatan menduduki tahta itu bagaikan mimpi buruk yang akan selalu mengganggunnya” berkata Pangeran Cemara Kuning.

Pangeran Sendang Prapat mengangguk-angguk, namun mereka berdua dengan cerdiknya telah menempatkan dirinya diantara orang Kumbang Kuning.

Di saat terakhir, orang-orang Kumbang Kuning sudah memperhitungkan bahwa mencari pusaka itu bukannya tugas yang mudah, jika Raden Waruju berhasil mengambilnya, maka adalah terlalu berbahaya jika ia harus menempuh jarak yang terlalu panjang. Itulah sebabnya mereka sudah bersiap di tepi bengawan untuk menjemput Raden Waruju yang melaksanakan tugasnya di Padukuhan Karangmaja di punggung Bukit Seribu yang membujur panjang disisi selatan pulai Jawa bagian tengah.

Seperti yang diharapkan oleh para murid dan pengikutnya, Ajar Sukaniti yang didampingi oleh Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat itu pun telah berada di perjalanan menuju ke tepi bengawan.

Namun sementara itu, ada seorang pengemis tua dengan tergesa-gesa meninggalkan daerah pengembaraannya di sekitar padepokan Lemah Putih.

Tetapi ketika ia sudah mencapai jarak beberapa ratus tonggak, maka ia pun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah halaman yang cukup luas dan hilang di butulan.

“Kemarilah Kiai” penghuni rumah itu dengan tergesa-gesa mempersilahkannya masuk melalui pintu butulan.

“Aku harus segera menghubungi perguruan Cengkir Pitu”

“Apakah ada berita dari Karangmaja?”

“Salah seorang diantara mereka datang dari seberang barat bengawan, aku kira orang itu adalah utusan dari para petugas perguruan Kumbang Kuning yang ada di Karangmaja”

Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak, lalu, “apakah maksud Kiai selanjutnya”

“Awasilah padepokan Lemah Putih itu, aku akan pergi menemui orang Cengkir Pitu”

“Ah” desis orang itu, “Aku tidak berani, aku bukan orang yang memiliki kemampuan berbuat apapun juga, bahwa Kiai berada di rumahku ini telah membuat aku setiap malam tidak dapat tidur nyenyak”

“Pengecut”

“Aku mempunyai isteri dan anak yang masih kecilkecil, Kiai. Hanya karena aku sudah kenal baik secara pribadi dengan Kiai sajalah aku dapat menerima Kiai tinggal disini dan menutup mulut bagi siapapun seperti yang Kiai pesankan, tetapi untuk ikut langsung dalam kegiatan ini, aku sama sekali tidak berani karena aku tidak memiliki kemampuan seperti Kiai”

Pengemis tua itu mengerutkan keningnya, dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Kau jangan membohongi aku, kau pernah mempelajari ilmu kanuragan, bahkan kau sudah mencapai tataran yang dapat dibanggakan”

“Tetapi tentu tidak bararti apa-apa di hadapan orang-orang Kumbang Kuning, apalagi bagi Ajar Sukaniti yang manapun juga”

Pengemis tua itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Baiklah jika kau tidak berani mengamat-amati padepokan Lemah Putih, kehadiran orang-orang dari seberang bengawan itu tentu mempunyai arti yang gawat” ia berhenti sejenak, lalu, “Jika demikian aku akan menghubungi Cengkir Pitu segera, mungkin aku tidak akan terlambat”

“Jadi Kiai akan pergi?”

“Ya, aku akan pergi dengan kudaku”

“Di siang hari begini? tentu tindakan Kiai akan menarik perhatian, seorang pengemis tua dengan pakaian kumal berpacu diatas kuda?”

“Kau bodoh sekali, tentu aku tidak akan berpakaian seperti seorang pengemis”

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk, katanya, “Terserahlah kepada Kiai, tetapi jangan biarkan aku dengan persoalan yang tidak akan mengerti ujung pangkalnya”

Pengemis tua itu mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Baiklah, aku berjanji tidak akan melibatkan kau langsung atau tidak langsung, tetapi kaupun jangan mencampuri persoalanku”

“Tentu Kiai, jika aku mencampuri persoalan Kiai, berarti aku sudah melibatkan diriku sendiri ke dalam kesulitan”

Pengemis tua itu mengangguk-angguk, desisnya, “Terima kasih, aku cuma minta maaf, bahwa pertemuan kita kali ini mempunyai suasana yang khusus, tetapi aku tidak dapat ingkar pada kewajiban ini”

“Aku mengerti Kiai”

“Baiklah, aku minta diri, seperti saat aku datang, aku akan pergi sebagai seorang saudagar kaya dengan kuda yang merah tegar”

Pengemis tua itu pun kemudian berganti pakaian, ia tidak lagi seorang pengemis tua, tetapi ia kemudian telah berubah menjadi seorang saudagar yang meskipun rambutnya yang satu dua helai terjurai ke bawah ikat kepalanya telah nampak memutih, namun ia masih tetap nampak segar dan gagah duduk di punggung kuda dengan keris di lambung.

Sejenak kemudian maka kuda itu pun telah berderap meninggalkan halaman rumah itu, tidak seorangpun yang menaruh curiga apalagi menghubungkan saudagar berkuda itu dengan seorang pengemis tua yang berkeliaran di padepokan Lemah Putih, mereka yang melihat seekor kuda yang tegar berlari meninggalkan rumah itu, sama sekali tidak menghiraukannya, sekilas mereka melihat debu mengepul dan menutup hidung mereka jika debu itu menyentuh wajah mereka, namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi, kemanakah orang berkuda itu pergi.

Dalam pada itu, maka orang berkuda itu pun memacu kudanya semakin kama semakin cepat, tetapi karena perjalannya ke perguruan Cengkir Pitu bukannya perjalan yang pendek, maka perjalan itu pun akan memerlukan waktu yang panjangg pula.

Sementara orang berkuda itu berpacu, maka diantara orang-orang yang menutup hidungnya karena debu itu adalah seorang tua yang kebetulan lewat di hadapan rumah berhalaman agak luas itu.

Sejenak orang ini termangu-mangu, setelah memperhatikan debu yang semakin tipis dan ketika tidak ada orang yang memperhatikannya lagi, maka ia pun kemudian menyelinap masuk ke halaman itu dan hilang pula di halaman samping.

Beberapa saat ia termangu-mangu, namun ia pun kemudian mendekati pintu butulan dan menyapa seorang yang melintas di halaman itu.

 

“Siapakah yang kau cari, Ki Sanak?” bertanya orang itu.

“Kakang Reksabahu”

Orang yang bertanya itu termangu-mangu, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah kau?”

“Aku saudara sepupunya dari kaki pegunungan Sewu”

“He, jadi kau datang dari Pegunungan Sewu?”

“Ya”

“Berjalan kaki?”

Orang yang mencari Reksabahu itu tersenyum, katanya, “Tidak, tetapi aku sudah singgah di tempat saudaraku yang lain, dan aku meninggalkan kudaku padanya”

Orang itu masih ragu-ragu, namun sebelum ia mempersilahkan, terdengar dari pintu butulan suara Reksabahu, “He, siapakah yang mencari aku?”

Orang yang datang itu berpaling, dipandanginya Reksabahu sejenak, kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau sudah lupa kepadaku?”

“O, kau” orang itu mengerutkan keningnya, “Mari, marilah masuklah”

Orang yang dipersilahkan itu pun segera mengikuti Reksabahu masuk ke ruang dalam.

“Kau berada disini?” bertanya Reksabahu

“Ya, aku berada disini untuk melihat-lihat keadaan yang berbeda dengan keadaan di padepokanku”

“Aku mendengar kata-katamu, kau menyebut Pegunungan Sewu, saudaraku yang ada di Pegunungan Sewu sudah tidak ada lagi sekarang, tetapi jika yang dimaksud Pegunungan Sewu dalam arti yang luas, maka alu langsung teringat kepada Rancangbandang”

“Bukankah kedatanganku sama artinya dengan kedatangan Rancangbandang karena aku adalah kakaknya”

Ki Reksabahu tertawa, katanya mempersilahkan “Marilah, masuklah, adalah tidak biasa seorang tamu langsung masuk lewat butulan”

Tamunyapun tertawa pula, jawabnya, “Sekali ini tamumu adalah tamu yang aneh”

Ki Reksabahu pun kemudian membawa tamunya ke pringgitan dan dipersilahkannya duduk diatas tikar yang sudah terbentang.

“Marilah Ki Ajar, kedatanganmu sebenarnya agak mengejutkanku, justru dalam keadaan seperti ini”

Ki Ajar Respati itu pun tersenyum, jawabnya, “Aku memang sudah menduga, tetapi aku tidak dapat menahan hati untuk melihat justru saat keadaan di daerah ini tidak menentu, aku sudah melihat padepokan Lemah Putih, melihat orang-orang yang berkumpul disana, dan melihat orang yang baru saja memasuki halaman rumahmu dengan pakaian seorang pengemis, dan meninggalkan rumah ini sebagai seorang saudagar diatas punggung kuda yang tegar”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak ingin terlibat, biar sajalah semua orang dengan persoalan yang tidak aku ketahui ujung pangkalnya, tetapi aku ingin hidup tenang disini”

Ki Ajar Respati tersenyum sambil mengangguk-angguk, katanya, “Hampir setiap orang menginginkan hidup tenang, aku juga. Tetapi pada suatu saat ada keinginan lain yang tersembul di permukaan hati, melihat persoalan orang lain seperti sekarang ini”

“Kau masih saja sempat melakukannya”

Ki Ajar Respati terdiam sejenak, karena seorang perempuan yang keluar dari ruang dalam menghidangkan semangkuk minuman.

Ki Ajar Respati kemudian menceritakan tentang perjalanannya, ia sudah kehilangan anaknya, tetapi ia harus menerimanya dengan tabah.

“Aku sudah gagal dalam tugasku sebagai seorang ayah, aku tidak mampu mengasuh anakku sebagaimana dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa yang telah mempercayakannya kepadaku, sehingga pada suatu saat Yang Maha Kuasa mengambil keputusan untuk memungut anak itu kembali kepadanya”

“O” Ki Reksabahu mengangguk-angguk, “Aku ikut berprihatin”

“Semuanya aku terima dengan lapang dada, tetapi agaknya itu sudah mendorongku untuk melakukan hal yang aneh-aneh yang sudah tidak aku lakukan sebelumnya”

“Apakah yang sudah kau lakukan?”

“Diantaranya adalah mencampuri persoalan orang lain seperti sekarang ini”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, lalu dengan nada datar ia bertanya, “apakah sebenar yang sedang kau lakukan sekarang?”

“Aku berani bertaruh bahwa yang berada di Lemah Putih adalah orang-orang dari perguruan Kumbang Kuning”

Ki Reksabahu mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Ya, banyak orang yang sudah mengetahuinya bahwa yang berada di Lemah Putih adalah orang-orang perguruan Kumbang Kuning”

“O” Ki Ajar Respati termangu-mangu, tetapi ia pun kemudian tertawa, “Ah, ternyata aku adalah orang yang paling dungu, aku kira aku adalah orang yang memiliki pengamatan yang sangat tajam, sehingga aku adalah orang yang pertama-tama mengetahui bahwa orang-orang yang berkumpul di Lemah Putih adalah orang-orang Kumbang Kuning”

Ki Reksabahupun tersenyum.

“Nah, jika demikian, maka pengamatanku atas orang yang baru saja keluar dari halaman rumahmu ini pun tentu bukannya karena ketajaman pengamatanmu”

“Katakan siapakah orang itu?”

Ki Ajar Respati menggeleng, katanya, “Aku tidak mengetahuinya, aku hanya mencurigainya bahwa ia sudah dengan seksama mengamati padepokan Lemah Putih, ketika seseorang dari Pegunungan Sewu yang menyeberangi bengawan itu datang, maka ia pun melakukan yang lebih seksama, tetapi tidak terlalu lama karena ia pun segera meninggalkan tempatnya dan seterusnya seperti yang sudah kita ketahui bersama”

Ki Reksabahu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak tahu, dan seandainya aku mengetahuinya, aku tidak akan berani mengatannya kepada orang lain”

“Kau tidak berani?, he, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut?, atau barangkali aku sudah terjebak ke dalam lingkungan yang salah, mungkin kau salah seorang dari mereka yang sedang melakukan pengamatan atas orang-orang Kumbang Kuning”

“Kau jangan mengigau” desis Ki Reksabahu, “Aku sama sekali tidak tahu menahu persoalannya”

Ki Ajar Respati tertawa, katanya, “Kumbang Kuning sedang berusaha untuk menemukan sesuatu di Pegunungan Sewu, menurut pengamatanku bukan saja perguruan Kumbang Kuning, tetapi tentu dari banyak pihak, agaknya kegelisahankulah yang mendorong aku untuk mengikuti seorang yang aku duga adalah orang dari perguruan Kumbang Kuning”

“Darimana kau tahu bahwa orang itu adalah orang Kumbang Kuning?”

“Semula aku tidak tahu pasti, tetapi kehadirannya di padepokan Lemah Putih telah memastikan aku, bahwa orang itu adalah orang Kumbang Kuning”

“Tetapi kenapa kau menjadi gelisah seandainya ada persoalan yang terjadi itu?”

“Adikku Rancangbandang ada di punggung Pegunungan Sewu itu”

“He, jadi Rancangbandang juga telah dihinggapi ketamakan untuk mendapatkan pusaka yang belum pasti ada itu?”

“Jangan salah mengerti, ia sama sekali tidak menginginkan apapun juga”

Ki Reksabahu memandang Ki Ajar Respati dengan heran, kemudian ia pun bertanya, “jadi apakah kerja Rancangbandang diatas Pegunungan Sewu?”

Ki Ajar Respati tersenyum, jawabnya, “Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, juga karena adanya pusaka itu, tetapi sama sekali bukan ia didesak oleh keinginan untuk memiliki pusaka yang masih kabur itu”

Ki Ajar Respati pun mulai bercerita tentang dirinya sendiri dan tentang adiknya tentang anak muda yang ada hubungannya dengan kematian anaknya, tetapi justru karena itu, anak muda itu sangat menarik perhatiannya, bahkan Rancangbandang telah menyediakan dirinya mengikuti anak muda itu naik ke gunung yang mempunyai seribu puncak itu.

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, kemudian desisnya, “Menarik sekali, dan kau yang berada di bawah bukit itu mulai memperhatikan setiap gerak-gerik orang yang kebetulan kau lihat naik atau turun dari pegunungan itu”

“Ya, diantaranya adalah orang yang pergi padepokan Lemah Putih itu”

“Langsung atau tidak langsung, itu berarti bahwa kau sudah melibatkan dirimu dengan persoalan-persoalan yang tidak kau ketahui itu?”

Ki Ajar Respati tersenyum, “sudah aku katakan” jawabnya, “Aku sekarang dihinggapi penyakit untuk mencampuri persoalan orang lain, mungkin karena aku kesepian sepeninggal anakku”

Ki Reksabahu menggeleng, katanya, “Urungkanlah niatmu, biarlah Rancangbandang melibatkan dirinya, tetapi sebaiknya kita tidak perlu terjun ke dalam arus air yang kita tidak tahu betapa dalamnya”

“Aku sedang menjajaginya, tetapi apakah aku dapat tinggal diam melihat adikku sudah terlanjur basah dalam penyeberangannya”

“Adikmulah yang bodoh”

“Bukan adikku saja, kami berdua memang boboh, tetapi dengan demikian kami ingin mendapatkan keputusan tersendiri yang barangkali tidak dapat dinikmati orang lain”

“Kalau begitu, lakukanlah sendiri, jangan memaksa aku terlibat pula ke dalamnya”

Ki Ajar Respati memandang Ki Reksabahu sejenak, namun kemudian gumamnya, “Agaknya aku telah salah memilih kawan kali ini, kawan baik yang selama ini aku anggap sebagai saudara kandungku sendiri, telah melepaskan aku, sehingga aku merasa telah kehilangan sekali, anakku, dan kemudian saudaraku, tetapi dengan demikian aku menjadi pasti, bahwa aku harus berusaha membantu kesulitan Rancangbandang, aku tidak mau kehilangan lagi”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kau masih suka merajuk seperti dahulu”

“Aku tidak merajuk kali ini, tetapi aku benar-benar kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu disini”

Ki Reksabahu termenung sejenak, tetapi ia tidak segera menjawab.

“Jika aku tidak mendapatkan keterangan apapun disini, maka aku harus segera kembali ke kaki Pegunungan Sewu, bahkan agaknya aku harus naik untuk mencari adikku yang mungkin terlibat dalam kesulitan bersama Panon Suka”

“Tunggulah” desis Ki Reksabahu, “Sejak dahulu aku selalu tersudut ke dalam keharusan seperti ini”

Ki Ajar Respati tidak menjawab.

“Apakah sebenar yang ingin kau ketahui?”

“Aku sudah mengucapkan pertanyaan itu” jawab Ki Ajar Respati, “Tentang pengemis yang telah berubah menjadi saudagar kaya berkuda merah gelap itu”

“Ia pun seorang kenalan baikku, namanya Kiai Sasak Angin”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, namun ia masih bertanya, “Tentu dari perguruan yang lain dari mereka yang berada di padepokan Lemah Putih”

“Kau mendesak aku, tetapi baiklah, ia memang datang dari perguruan lain”

“Yang lain itulah yang ingin aku ketahui”

“Jangan mendesak lagi, jika aku melibatkan diri, mungkin kau tidak akan melihat aku lagi”

“Kenapa?”

“Aku akan dikubur oleh sanak kadang dan para tetangga, kau tahu bahwa Kiai Sasak Angin tidak akan dapat terlawan oleh siapapun”

Ki Ajar Respati tertawa, katanya, “Jika aku tidak mengenalmu, mungkin aku percaya, tetapi ceritamu tentang maut itu sangat menggelikan, siapapun orang yang bernama Kiai Sasak Angin itu”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ajar Respati, dalam keadaan seperti ini, kita sebenarnya lebih baik tidak ikut campur, mereka adalah orang-orang dari perguruan yang besar, sedangkan kita adalah orang-orang yang karena ketekunan dan sedikit bekal sajalah maka kita berhasil memiliki ilmu yang mungkin justru aneh bagi orang lain, tetapi kita masing-masing adalah sendiri, bukan dari perguruan besar. Sejauh-jauhnya kau menyatukan diri dengan adikmu dan satu dua muridmu yang baru dapat meloncat itu.

“Tidak, aku mempunyai kawan-kawan lain, diantaranya adalah Panon Suka, dan sekarang aku berada bersamamu, tentu kau mempunyai satu dua orang yang kau tugaskan untuk mewarisi ilmumu yang kau cari bertahun-tahun itu”

Ki Reksabahu termenung sejenak, namun katanya kemudian, “Baiklah, aku akan menyebutkannya, tetapi tidak lebih dari itu” ia berhenti sejenak. Tetapi justru Ki Ajar Respati yang langsung menebak, “Orang itu datang dari perguruan Cengkir Pitu, bukan?”

“Sekarang kau dapat berkata begitu”

Ki Ajar Respati tersenyum, katanya, “Jadi kau tidak percaya bahwa aku mempunyai perhitungan yang tajam”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Aku percaya kau memang mengetahui banyak hal”

Sejenak keduanya melupakan ketegangan yang terjadi di sekitar padepokan Lemah Putih itu.

Namun kemudian Ki Ajar Respati itu berkata, “Jika demikian, apakah kau mash dapat berkata bahwa kau tidak akan melibatkan diri dalam persoalan ini”

“Tentu, aku memang tidak akan melibatkan diri dalam persoalan ini, diantara raksasa dari perguruan-perguruan yang disegani itu, aku tidak lebih dari debu yang tidak berarti”

Ki Ajar Respati tertawa, jawabnya, “Kau masih berkata begitu, apakah kau kira aku tidak tahu bahwa dengan jari-jarimu kau dapat meremas batu menjadi tepung?”

“Itu berlebih-lebihan”

“Meskipun demikian, kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan selanjutnnya, tetapi baiklah” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Aku masih akan berada disini untuk tiga hari, aku akan melihat perkembangan padepokan Lemah Putih, mungkin aku masih akan singgah lagi kerumahmu untuk mendengarkan keputusanmu”

“Aku sudah memutuskan, bahwa aku tidak akan melibatkan diri”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, terserah kepadamu, jika kau memang mengambil keputusan itu, lakukanlah, tetapi bahwa kau sudah mengatakan kepadaku, bahwa orang itu adalah orang Cengkir Pitu, maka kau tentu sudah meletakkan satu kakimu kedalam persoalan.”

Ki Reksabahu menyahut, “Tergantung kepadamu, jika kau memang ingin menyeretku, kau dapat mengatakan kepada setiap orang, bahwa kepada orang Cengkir Pitu itu kelak jika kau menemuinya disini, bahwa aku sudah mengatakannya kepadamu. Nah, dengan demikian berarti bahwa kau sudah menyudutkan aku untuk melibatkan diri lebih jauh lagi”

“Tidak, aku tidak akan melakukannya, aku masih mempunyai kesadaran, seperti kau juga kau. Kau sudah memojokkan aku dengan petunjukmu, karena itu, aku tidak akan memojokkan kau ke dalam kesulitan, meskipun sebaiknya hal itu sama sekali tidak akan menyulitkan kau”

“Ah, kau memang tidak mau melihat kenyataan”

“Bailkah, aku akan minta diri, aku masih mempunyai kewajiban yang sengaja aku bebankan kepundakku, aku ingin mengetahui serba sedikit tentang Lemah Putih, Kumbang Kuning dan Ki Ajar Sokaniti yang namanya tersebar di seluruh bumi Majapahit”

“Mudah-mudahan, kau tidak terjebak ke dalam mulut serigala”

“Bagaimanapun juga, aku masih mengharapkan kau singgah kemari, bahkan akupun senang sekali kau bermalam di rumahku ini”

“Sampai saatnya orang Cengkir Pitu itu datang dan mencekikku? sedangkan kau sama sekali tidak ingin terlibat, sehingga kau tentu akan membiarkan aku mati tersengal-sengal”

“Rupa-rupanya kau juga tidak ingin terlibat dengan gelarmu ketika kau masih muda, Burung Elang Dari Telaga Kembar, He, bukankah kau senang bermain-main di telaga kembar itu? dan bukankah kau menemukan isterimu di telaga kembar itu pula?”

“Ah, sudahlah, isteri dan anak-anakku hanyalah kenangan yang pahit”

“Maaf, bukan maksudku, aku hanya ingin mengatakan tentang burung elang itu”

Ki Ajar Respati tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian minta diri sambil berkata, “Saat kita masih muda, kita memang sering berbuat aneh-aneh, kita membuat nama-nama yang dapat memberikan kebanggan kepada diri kita sendiri, Elang Dari Telaga Kembar memang nama yang bagus, tetapi aku kini tidak lebih dari elang yang tidak bersayap lagi”

“Sudahlah, aku minta maaf” lalu katanya, “Sekali lagi aku mengharapkan kau datang ke rumahku dan tinggal disini”

“Aku membawa seekor kuda yang aku sembunyikan, apakah kudaku dapat aku bawa kemari pula?”

“Di belakang ada kandang kuda, kudamu tidak akan menumbuhkan kecurigaan kepada orang lain”

“Malam nanti aku akan datang”

“Ki Ajar Respati pun kemudian meninggalkan rumah Ki Reksabahu, Dialah yang kemudian mengamat-amati padepokan Lemah Putih dengan hati-hati, tetapi Ki Ajar Respati tidak membuat dirinya menjadi sekali pengemis seperti orang Cengkir Pitu itu, tetapi ia berjalan melintasi jalan yang melingkar, kemudian berhenti di belakang batang-batang perdu di tempat yang terasing.

Tetapi dihari itu, Ki Ajar Respati tidak melihat apapun juga yang menarik, meskipun demikian ia masih saja ingin melihat-melihat padepokan orang-orang Kumbang Kuning itu.

Ketika malam menyelimuti padukuhan-padukuhan disekitar padepokan Lemah Putih, maka Ki Ajar Respati pun telah membawa kudanya ke rumah Ki Reksabahu.

“Kau dapat melihat-lihat padepokan itu dengan cara yang lebih baik” berkata Ki Reksabahu.

“Bagaimana?”

“Sawahku ada yang menjorok sampai kedekat padepokan itu, jika kau mau menjadi pelayanku dan bekerja di sawah itu, kau akan mendapat kesempatan, dan kau akan mendapat upah serta makan sehari tiga kali disini”

Ki Ajar Respati tertawa, katanya, “Agaknya kau sudah mengambil keputusan untuk melibatkan diri”

Ki Reksabahu mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau mendapat kesimpulan yang demikian?”

“Kau sudah melindungi aku dan memberikan jalan yang lebih baik untuk melakukan pekerjaanku, mencampuri persoalan orang lain”

“Ah, tentu tidak, aku hanya memberikan tempat bermalam kepada sahabatku apapun yang ia lakukan”

Ki Ajar Respati masih tertawa, jawabnya, “terima kasih, terima kasih, mudah-mudahan kau tidak berlaku seperti itu pula kepada sahabatmu dari Cengkir Pitu itu”

“Aku akan memperlakukan semua sahabatku dengan cara yang sama”

“Ooo, agaknya kau ingin melihat perang tanding?”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Aku tidak peduli, apa yang akan terjadi, tinggallah disini, jadilah pelayanku, aku memerlukan seorang yang dapat mengerjakan sawahku”

Ki Ajar Respati menerima pekerjaan itu dengan senang hati, ia sadar bahwa Ki Reksabahu tidak akan dapat menghidarkan diri dari keterlibatannya yang lebih jauh, dan agaknya Ki Reksabahu itu pun tidak akan ingar lagi.

“Aku percaya kepadanya, ia tidak akan berkhianat seandainya orang Cengkir Pitu itu datang lagi kemari” berkata Ki Ajar Respati di dalam hatinya.

Di hari berikutnya Ki Ajar Respati sudah berada di sawah Ki Reksabahu, dengan rajin ia mengerjakan sawah itu, seperti mengerjakan sawahnya sendiri, apalagi ternyata bahwa Ki Reksabahu pun ikut turun ke dalam lumpur.

Keduanya tidak meninggalkan sawah itu, meskipun matahari yang terik telah membakar punggung mereka, bahkan kemudian matahari itu mulai condong ke barat.

“Hari ini kau benar-benar beruntung” berkata Ki Ajar Respati.

“Kenapa?”

“Aku bekerja sehari penuh, jika tidak terjadi perubahan apapun yang menarik perhatian di padepokan itu, maka aku masih akan bekerja lagi disini satu atau dua hari lagi”

“Tetapi sudah aku katakan, aku akan memberimu makan tiga kali, pagi tadi kau sudah makan di rumah sebelum berangkat ke sawah, siang, tadi kau makan nasi kiriman, dan nanti malam kau boleh makan lagi”

Ki Ajar Respati tertawa berkepanjangan.

Namun tiba-tiba suara tertawanya terhenti, dari kejauhan ia melihat debu yang mengepul.

“Kau lihat debu itu?”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk. wajahnya tiba-tiba menjadi tegang dan sungguh-sungguh, bahkan hampir di luar sadarnya ia berkata, “Tentu orang-orang Kumbang Kuning”

“Ya, mereka menuju ke regol padepokan Lemah Putih”

“Kita menunggu disini, mereka akan melalui jalan sebelah sehingga kita dapat melihatnya agak jelas”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Mudah-mudahan kita dapat mengenal mereka, atau salah seorang dari mereka”

Ki Reksabahu mulai mengayunkan cangkulnya lagi sambil berkata, “Aku tidak banyak mengenal orang-orang Kumbang Kuning, mungkin aku belum mengenal seorangpun, juga yang baru datang itu”

Ki Ajar Respati mulai bekerja pula seperti Ki Reksabahu, namun dalam pada itu, perhatiannya sebagian terbesar ditujukannya kepada orang-orang berkuda yang sedang mendekati padepokan Lemah Putih lewat jalan bulak di sebelah sawah yang sedang digarap itu.

Semakin dekat iring-iringan kecil itu, mereka yang berada di sawah menjadi semakin berdebar-debar, sekali-sekali mereka mencoba memandang wajah orang-orang yang menjadi semakin dekat itu, tetapi bagi mereka masih terlalu sulit untuk mengenalnya.

“Yang dua orang itu nampaknya agak lain” desis Ki Ajar Respati.

“Ya, dan yang seorang itu lagi, pakaiannya memiliki ciri tersendiri”

“Apakah maksudmu warna putih yang melingkar lambungnya itu?”

“Ya”

“Ia tentu orang yang disebut Ki Ajar Sokaniti”

“Kali ini aku tidak dapat memberikan tanggapan atas tebakanmu itu, karena aku memang belum pernah melihat orang yang bernama Ki Ajar Sokaniti itu” gumam Ki Reksabahu.

Ki Ajar Respati tersenyum, katanya, “Kau memang benar-benar berhasil menjadikan dirimu seorang yang bodoh dan dungu, kau dapat dengan serta merta berlaku seperti orang yang tidak berpengetahuan apapun juga”

“Ah” desis Ki Reksabahu, “Bukankah aku memang bodoh dan dungu”

“Jangan memaksa aku untuk berteriak dan memancing perkelahian dengan orang-orang itu, sekedar untuk membuktikan bahwa kau bukan orang bodoh dan dungu”

“Dan kita bersama-sama mati disini”

“Tetapi aku akan puas, bahwa aku sudah berhasil membuktikan bahwa kau mampu bertempur melawan empat atau lima orang dari perguruan Kumbang Kuning sekaligus”

“Ah, itu berlebih-lebihan, berlebih-lebihan sekali”

Ki Ajar Respati yang berbicara sambil bekerja itu pun kemudian terdiam, iring-iringan itu benar-benar telah menjadi semakin dekat.

Ketika iring-iringan itu lewat di jalan bulak sebelah kedua orang yang bekerja di sawah itu, beberapa orang diantara mereka berpaling, tetapi mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi.

Ki Ajar Respati yang berhenti bekerja berdiri memandangi iring-iringan itu tanpa ragu-ragu, seolah-olah ia tidak mempunyai prasangka apapun juga terhadap orang-orang yang sedang berkuda melalui jalan bulak itu, namun dengan demikian, maka orang di dalam iring-iringan itu pun tidak mencurigainya sama sekali.

Ketika iring-iringan itu lewat, maka. Ki Reksabahu berkata, “Kaupun ternyata memiliki kemampuan memperbodoh diri lebih dari aku”

“He!” desis Ki Ajar Respati, “Kau lihat orang yang di belakang itu?”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “mereka sangat berhati-hati, ternyata iring-iringan yang terdiri dari lima orang itu masih belum cukup”

“Mereka adalah pengawal-pengawalnya, tetapi cara yang mereka lakukan nampaknya cukup berhati-hati”

“Tetapi justru orang-orang yang di belakang itulah yang berbahaya, mereka hanya bertiga”

Kedua orang itu pun kemudian melanjutkan pekerjaan mereka seperti tidak terjadi apapun juga, mereka sama sekali tidak menarih perhatian kepada orang-orang yang berkuda lewat jalan bulak itu.

Tetapi seperti yang mereka duga, orang-orang itu nampaknya jauh lebih berhati-hati dari kelima orang yang terdahulu. Ketiganya telah berhenti sejenak untuk mengamati kedua orang yang sedang bekerja di sawah itu.

Namun kedua orang itu sudah melanjutkan pekerjaan mereka, selain kedua orang itu, di sepanjang bulak memang terdapat beberapa orang yang sedang bekerja di sawah mereka, sehingga kehadiran kedua orang itu memang tidak mencurigakan.

Sepeninggal ketiga orang itu, barulah Ki Reksabahu berkata, “Nah, sekarang marilah kita mencoba untuk membicarakan iring-iringan yang pertama”

“Ya, sebab yang kedua tidak akan ada artinya sama sekali” sahut Ki Ajar Respati.

“Benar” jawab Ki Reksabahu, “Nah sebutkan, siapakah kedua orang yang berpakaian lain dari kawan-kawannya dan seorang yang memakai tanda kain putih”

“Yang berciri kain putih tentu Ki Ajar Sokaniti sendiri, ia nampak agung meskipun masih agak muda, yang dua orang itu tentu dua orang bangsawan yang berada di dalam lingkungan perguruan Kumbang Kuning” sahut Ki Ajar Respati.

“Aku sependapat, tetapi biarlah orang-orang Cengkir Pitu kelak memberikan tanggapan, mereka tentu lebih banyak mengetahuinya, karena merekapun telah menempatkan orang-orangnya di sekitar Kumbang Kuning sendiri”.

“Kapan orang itu akan datang”

“Aku tidak tahu, tetapi tentu segera, dan aku berharap agar kau juga ikut menunggu, meskipun dengan demikian kau harus tinggal di belakang di rumah kecil yang berada di belakang longkangan bersama pemelihara kudaku”

“Uh, kau benar-benar ingin memanfaatkan tenagaku disini”

Ki Reksabahu tersenyum, namun ia mengerutkan keningnya ketika Ki Ajar Respati berkata, “Baiklah, tetapi apakah kau masih tidak ingin terlibat ke dalam persoalan ini?”

Ki Reksabahu menegang sejenak, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, dan berkata, “Aku akan melibatkan diri ke dalam persoalan ini, tetapi aku belum memutuskan kepada siapa aku akan berpihak, kepadamu,kepada orang-orang Cengkir Pitu atau kepada orang-orang Kumbang Kuning”

Ki Ajar Respati tertawa, sekilas dipandanginya orang-orang berkuda yang menjadi semakin jauh, lalu katanya, “Baiklah, mungkin kau akan berpihak kepada orang-orang Guntur Geni yang sudah tidak lagi berpijak pada ajaran yang sebenarnya”

“Mungkin, mungkin sekali”

Keduanya pun kemudian terdiam, mereka melanjutkan pekerjaan mereka, meskipun hanya sekedar untuk mencegah kecurigaan orang. karena sejenak kemudian keduanya pun meninggalkan sawah mereka dan kembali ke rumah Ki Reksabahu.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Reksabahu, maka Ki Ajar Respati ditempatkan di bagian belakang rumahnya, dalam satu bilik yang cukup luas bersama pekatiknya. Diantara bilik itu dan rumah induk, terdapat sebuah longkangan yang cukup luas untuk menjemur padi dan kayu bakar.

Tempat itu adalah tempat yang lebih baik bagi Ki Ajar Respati dari pada ia harus berada di rumah induk, setiap saat orang Cengkir Pitu itu akan datang, agar ia tidak langsung terlibat dalam persoalan dengan orang-orang Cengkir Pitu, maka lebih baik jika ia berada di bilik yang tersembunyi meskipun harus tinggal bersama seorang pekatik.

Dalam pada itu, pada hari-hari yang terasa amat panjang itu, istana kecil Pangeran Kuda Narpada yang terletak di punggung Pegunungan Seribu itu terasa menjadi semakin suram, mereka sudah tidak mempunyai persediaan makan yang cukup. Yang dapat mereka pergunakan untuk mengisi kekurangan makan mereka sehari-hari hasil kebun yang tidak seberapa banyak.

Tetapi seisi istana itu mulai menjadi cemas, bahwa mereka akan segera kehabisan makan sebelum masalah mereka dapat diselesaikan.

“Aku akan ke padukuhan” berkata Nyi Upih.

“Jangan Nyai” cegah Inten, “nanti terjadi malapetaka atas nyai”

“Aku sudah tua puteri, aku kira, tidak akan ada gangguan apapun juga.”

“Soalnya bukan tua atau muda, tetapi mungkin ada orang-orang yang mendendam, mendendam seisi istana ini, aku tidak tahu bagaimanakah perkembangan yang telah terjadi, sehingga akhir-akhirnya justru kakangmas Kuda Rupaka yang telah terusir dari istana ini”

“Puteri, bukankah puteri mengetahuinya, bahwa pada akhirnya Raden Kuda Rupaka sudah mulai mempergunakkan kekerasan untuk mendapatkan pusaka yang dicarinya, apapun alasannya, atas ibunda puteri”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Tetapi nyai, apakah orang-orang yang masih ada di dalam halaman istana sekarang ini tidak patut dicurigai juga?, sedangkan kakangmas Kuda Rupaka saja sampai hati memaksa ibunda untuk menunjukkan pusaka yang tidak diketahuinya itu, apalagi orang-orang yang tidak kami kenal itu”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, namun jawabnya kemudian, “Puteri, sampai saat ini mereka sama sekali tidak pernah mengganggu kita, mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak mempunyai keinginan yang melambung, sehingga mereka tidak memerlukan pusaka apapun juga”

Inten termangu-mangu, dipandanginyanya Nyi Upih dengan sorot mata kecurigaan, seolah-olah ia ingin bertanya, siapakah sebenarnya kedua orang yang mengaku anaknya, tetapi agaknya lidahnya tidak mampu untuk mengucapkannya.

Tetapi agaknya Nyi Upihlah yang mengatakannya tanpa ditanya, “Puteri, mungkin puteri pun menaruh kecurigaan terhadap kedua anakku, aku sadar puteri, keduanya memang telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan martabat serta kedudukanku, mungkin memang ada sesuatu yang pantas diketahui, atau yang pantas dicurigai, namun, aku akan menjadi jaminan bahwa mereka tidak akan mengganggu puteri dan ibunda puteri, apalagi tentang pusaka yang sedang menjadi rebutan itu”

Inten menarik nafas dalam-dalam, sebenar kepercayaannya kepada pemomongnya yang setia itu sama sekali tidak susut, namun ia merasa seolah-olah dihadapkan pada suatu teka-teki yang tidak dapat dipecahkannya.

Sementara itu Pinten yang berada di dapur sedang berbincang pula tentang keadaan yang semakin sulit di istana itu, dengan wajah yang gelap Pinten berkata, “Nah, bagaimana usaha kalian untuk mencukupi makan kita disini”

Sangkan dan Panon duduk diatas dingklik kayu yang rendah, mereka memandang bayangan matahari yang jauh diatas tanah yang kering.

“Pada suatu saat kita harus pergi ke padukuhan” desis Sangkan.

“Tetapi itu berbahaya, mungkin kau akan bertemu dengan orang-orang yang kecewa itu, aku yakin mereka masih ada di padukuhan dan bahkan mereka sedang menunggu bantuan yang akan datang”

“Tetapi pada suatu saat, tindakan yang mengandung kemungkinan yang paling pahitpun harus dilakukan, jika tidak, maka kita akan kelaparan semuanya disini, tanaman di halaman ini semakin lama menjadi semakin tipis dan kita sudah mulai makan dedaunan bukan saja sebagai sayur, tetapi justru menjadi makanan pokok”

Sejenak mereka termangu-mangu, namun tiba-tiba terdengar suara Pinten tertawa, perlahan-lahan dan serasa tertahan dikerongkongan. Sangkan memandang Pinten dengan tegang, dengan termangu-mangu ia bertanya, “Kenapa kau tertawa Pinten?”

“Tidak apa-apa”jawab Pinten, “Aku ingin sekedar mengelabui kegelisahanku, sebenarnyalah aku menjadi gelisah, justru bukan karena aku sendiri, aku masih memikirkan apakah yang akan terjadi dengan Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ketika ia memandang wajah Panon nampaknya wajah itu pun menegang pula.

Dalam pada itu Ki Mina yang berada di dalam bilik bersama Panji Sura Wilaga yang terikat pun sebenar telah dicengkam oleh kegelisahan, berapa hari lagi mereka yang ada di dalam halaman istana kecil itu dapat bertahan, dan masih berapa hari lagi Panji Sura Wilaga akan terikat pada tiang kayu di bilik belakang itu”

Semuanya itu membuat hatinya menjadi gelisah, namun hampir setiap orang menjadi gelisah justru karena nasib puteri Inten Prawesti dan ibundanya, bukan karena diri mereka sendiri.

Sementara itu, mereka yang berada di halaman istana itu masih belum menemukan cara yang paling baik untuk memecahkan kesulitan mereka. Satu-satunya jalan yang mereka ketahui adalah, bahwa salah seorang atau dua dari mereka harus pergi ke padukuhan.

“Tidak ada jalan lain” desis Sangkan yang masih duduk di dapur, “Apapun akibatnya aku akan mencobanya”

“Panon memandang Sangkan sejenak katanya

“Apakah itu ketetapan hatimu?”

“Ya”

“Jika demikian, marilah kita pergi, biarlah Pinten dan Paman Mina berada di halaman, jika keadaan memaksa, maka biarlah mereka menyediakan alat yang kita setujui bersama-sama untuk memberikan isyarat”

“Kentongan?” desis Sangkan.

“Dapat juga dipergunakan, jika datang ke istana ini beberapa orang yang sulit untuk di lawan berdua saja, dan bahkan berbahaya juga bagi tawanan kita itu, maka Pinten atau Ki Mina harus memukul kentongan keras-keras, jika mereka tidak sempat, biarlah mereka menyuruh Nyi Upih melakukannya”

Akhirnya mereka pun sepakat melakukannya meskipun masing-masing saja dibebani oleh kecurigaan, tetapi dengan membagi tugas, rasa-rasanya mereka akan mencapai keseimbangan.

“Tetapi hati-hatilah” berkata Pinten.

“Aku akan berhati-hati” berkata Sangkan, tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “He, siapakah yang kau pesan itu?, aku atau Panon”

Pinten tidak menjawab, tetapi tiba-tiba saja tangannya menarik sepotong kayu dari perapian yang ujungnya sudah membara.

Namun Sangkan dengan cepat meloncat ke pintu sambil berdesis, “jangan Pinten, jangan terlalu garang”

Pinten tidak menjawab lagi, tetapi wajahnya menjadi gelap seperti mendung yang mulai nampak memenuhi langit, bahkan kemudian terdengar suara guntur yang menggelegar meninggal-kan gema yang berkepanjangan.

“Musim basah akan segera datang, jalan-jalan tidak akan debu lagi, dan dedaunan yang mulai menguning di lereng-lereng pegunungan, akan segera menjadi hijau lagi” berkata Sangkan, “Tetapi kita tidak dapat menunggu terlalu lama karena persediaan memang sudah habis”

Keduanya kemudian menentukan, bahwa mereka harus segera berangkat, karena bagi mereka, hari-hari tidak ada bedanya, apakah mereka akan menunda sampai besok atau saat itu juga”

Mereka pun kemudian menyampaikan keputusan itu kepada Ki Mina, tetapi Ki Mina pun tidak dapat menunjukkan jalan lain, sehingga karena itu, maka ia pun berkata, “Berhati-hati, mungkin ada persoalan yang tidak kalian duga sama sekali akan terjadi, mungkin kalian akan menghadapi sikap yang berbeda dari orang-orang Karangmaja, karena mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari perasaan takut terhadap ancaman seseorang, jika kalian juga mempergunakan kekerasan dan ancaman, maka celakalah nasib orang-orang Karangmaja”

“Aku akan berhati-hati, paman” jawab Panon, “Dan akupun akan berusaha untuk melakukan kekerasan dan ancaman”

 

“Kalian akan dimusnahkan oleh perguruan Cengkir Pitu” geram Panji Sura Wilaga, “Kalian tidak akan dapat melawan mereka”

Ki Mina mengerutkan keningnya, namun Sangkan yang mnejawab, “Kau sangka bahwa perguruan Cengkir Pitu akan dengan leluasa berkeliaran di padukuhan Karangmaja? Apakah kau sengaja berpura-pura tidak tahu atau kau terlalu bodoh untuk memperhitungkan, bahwa perguruan Cengkir Pitu akan mengalami benturan yang dahsyat dengan perguruan Kumbang Kuning. Nah sadari, Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit itu pun akan segera menentukan siapakah diantara mereka yang berhak untuk hidup terus”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga, “Sebelum mereka memutuskan untuk saling bertempur, maka mereka tentu akan membunuh kalian semuanya lebih dahulu”

Sangkan tertawa, jawabnya, “Maaf, agaknya otakmu memang tumpul, sehingga kau tidak dapat menilai keadaan yang sebenar kau hadapi sekarang ini”

“Gila. Jika pada suatu saat aku mendapat kesempatan, aku akan memecahkan kepalamu”

Sangkan tertawa pendek, tetapi ia tidak mengacuhkannya lagi, karena ia pun segera berdiri dan berkata, “Marilah Panon, agar kita segera mengetahui nasib apakah yang akan kita alami nanti, kita akan pergi berkuda dengan membawa senjata yang paling pantas bagi kita untuk menghadapi segala kemungkinan, aku tahu, kau akan memenuhi ikat pinggangmu dengan pisau-pisau karatan itu”

Panon memandang wajah Sangkan sejenak, namun kemudian katanya, “Kau akan membawa sumbat kelapa dari kayu wregi itu”

Sangkan tertawa, katanya, “Aku sekarang membuat senjata yang cukup bernilai, sebuah pedang yang besar”

“Itu senjataku” geram Panji Sura Wilaga yang terikat.

Tetapi Sangkan justru tertawa sambil menjawab, “Maaf Raden Panji, aku ingin meminjam senjata ini untuk satu dua hari, selagi senjata ini masih belum kau pakai, bukankah kau kini sedang beristirahat?”

“Gila, kau anak setan” Panji Sura Wilaga menjadi marah, tetapi ia tidak berdaya, selain tubuhnya yang terikat, di ruang itu ada tiga orang yang tidak akan mungkin dilawannya.

Dalam pada itu, maka Sangkan kemudian berkata, “Marilah, jangan kau hiraukan Panji Sura Wilaga, pedang itu kini sudah menjadi milikku”

“Jika kau bertemu dengan Raden Kuda Rupaka, maka ia akan segera mengenal pedang itu, kau tentu akan dibunuhnya dan mayatmu akan di lemparkan ke jurang menjadi makanan anjing-anjing liar” geram Panji Sura Wilaga.

Sangkan hanya memandang sebentar, namun kemudian ia pun segera meninggalkan bilik itu diikuti oleh Panon yang telah siap untuk pergi menuju ke padukuhan Karangmaja.

Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman. Pinten yang berada di dapur sempat melangkah keluar pintu longkangan dan melihat debu yang putih mengepul di halaman.

“Siapakah yang pergi Pinten?” terdengar suara dari pintu butulan.

Ketika Pinten berpaling, dilihatnya, puteri Inten Prawesti berdiri termangu-mangu dimuka pintu.

“Kakang Sangkan puteri”

“Sendiri?”

“Tidak, kakang Sangkan pergi bersama Panon ke padukuhan”

“Kenapa mereka pergi ke padukuhan?”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Mereka ingin meyakinkan diri tentang suasana yang sebenar mereka hadapi sekarang”

Inten menarik nafas dalam-dalam, sejenak ia masih berdiri di muka pintu, kegelisahan yang sangat agaknya telah mencengkam hatinya, keadaan yang tidak menentu selalu menghantui istana kecil yang terpencil itu.

Sementara itu, Panon dam Sangkan tidak memerlukan waktu yang lama untuk mencapai padukuhan, demikian mereka memasuki gerbang padukuhan, maka merekapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. apalagi ketika mereka menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Buyut di Karangmaja.

Tetapi untunglah, bahwa ketika mereka memasuki halaman Ki Buyut, mereka tidak menjumpai Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka, karena itulah merekapun dapat mengemukakan persoalan mereka kepada Ki Buyut dengan leluasa.

“Ooo, kami sama sekali tidak berkebaratan untuk menyerahkan bantuan itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kami selalu ditakuti oleh Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka” berkata Ki Buyut.

“Demikianlah mereka berdua sekarang?”

“Mereka agaknya sedang keluar padukuhan, biasanya mereka juga berada disini atau di banjar, tetapi hampir setiap saat mereka selalu bertengkar, meskipun pertengkaran itu hanya terbatas pada pertengkaran mulut saja”

Panon mengangguk-angguk, namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bukankah mereka bertiga?”

“Mula-mula mereka memang bertiga, tetapi seorang dari mereka telah pergi meninggalkan padukuhan ini dengan berkuda”

“Apakah Ki Buyut tahu, kemana yang seorang itu pergi?” bertanya Sangkan.

“Aku tidak tahu”

Sangkan dan Panon saling berpandangan sejenak, tetapi agaknya tanggpan mereka tentang kepergian saling seorang ketiga orang itu meskipun tanpa mereka bicarakan, mempunyai banyak persamaan.

Untuk beberapa saat mereka tidak perlu lagi cemas, jika terpaksa mereka berdua harus berhadapan dengan Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka, maka keseimbangannya akan dapat dipertahankan, juga jika kedua orang itu memasuki.

Tetapi disamping itu keduanya mulai memperhitungkan kemungkinan berikutnya, kepergian saling seorang dari perguruan Kumbang Kuning itu tidak sekedar pergi tanpa maksud.

Tetapi untuk beberapa saat apalagi mereka mereka masih berada di rumah Ki Buyut, mereka sama sekali tidak membicarakannya, yang mereka bicarakan adalah usaha mereka untuk mendapatkan bahan pangan.

“Aku akan membeli sesuai dengan harga yang sebenarnya” berkata Sangkan.

Ki Buyut termangu-mangu, sementara Panon menjadi heran, dari manakah Sangkan mendapatkan uang itu.

“Apakah ia menemukannya di dalam bilik Raden Kuda Rupaka yang dengan tergesa-gesa meninggalkan istana kecil itu” berkata Panon di dalam hatinya, tetapi ia tidak bertanya tentang hal itu, karena dengan demikian mungkin sekali Sangkan akan tersinggung.

Mula-mula Ki Buyut menolak uang yang diberikan oleh Sangkan, tetapi Sangkan berkata, “Ki Buyut, seisi istana itu sudah terlalu banyak mengganggu ketenangan padukuhan ini, karena itu kami tidak ingin membebani Ki Buyut dengan persoalan makan kami, terima kasih Ki Buyut, aku hanya sekedar menyampaikan pesan Raden Ayu Kuda Narpada”

Meskipun agak berat, tetapi uang itu akhirnya diterima oleh Ki Buyut, katanya, “Baiklah anak muda, tetapi uang ini akan aku simpan dalam ujud bahan makanan, kau dapat mengambil setiap saat, karena kami tidak berani menyampaikannya ke istana itu”

“Terima kasih Ki Buyut, kami seisi istana mengetahui, bahwa sebenarnyalah penduduk Karangmaja telah berbaik hati kepada kami, karena itu, kami tidak akan dapat melupakannya”

Sejenak kemudian, maka keduanya pun meninggalkan rumah Ki Buyut, sambil membawa bahan seperlunya diatas punggung kuda masing-masing.

“Aku tidak tahu, akibat apa yang dapat timbul, jika Sangkan mengetahui serba sedikit tentang guru” berkata Panon di dalam hatinya.

Karena itulah maka niatnya untuk singgah di tempat yang sudah ditentukan itu pun diurungkannya, meskipun demikian ia masih akan selalu berusaha mendapatkan kesempatan melakukannya.

Bahan makanan yang dibawa oleh Sangkan dan Panon itu menumbuhkan harapan-harapan baru dihati para penghuni istana, dengan demikian mereka akan dapat bertahan lebih lama lagi, sehingga keadaan yang lebih baik mungkin akan datang sebelum mereka menjadi kelaparan.

Namun bahan makanan itu bukannya pemecahan dari masalah yang mereka dapatkan itu barulah sekedar penundaan dari seribu kemungkinan yang dapat terjadi, kelaparan, bencana yang ditimbulkan oleh orang-orang yang berkeliaran di sekitar istana itu atau kesulitankesulitan yang lain.

“Tetapi untuk sementara puteri bernafas dengan tenang, bukan hanya karena ada persediaan bahan makanan untuk beberapa hari disamping hasil kebun sendiri, tetapi juga karena saat ini di Karangmaja hanya ada dua orang yang berbahaya bagi puteri, Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka” berkata Nyi Upih.

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, bahkan diluar sadarnya ia berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa Kuda Rupaka harus juga menjadi hantu bagi kami, semula kami berharap terlalu banyak dari padanya, tetapi ternyata bahwa harapan-harapan itu hanyalah harapan yang semu saja”

“Sudahlah puteri, mudah-mudahan terjadi perkembangan yang menguntungkan bagi kita semua” kata Nyi Upih kemudian.

Tetapi harapan yang nampak di wajah Raden Ayu Kuda Narpada nampaknya hanya berkilat sesaat, semakin banyak ia memikirkan nasibnya, maka wajahnya menjadi semakin suram.

Dalam pada itu, Panon pun menjadi semakin gelisah, rasa-rasanya ia dikungkung oleh suatu lingkungan yang tidak tertembus, sebenarnya ia ingin menjumpai gurunya secepatnya, tetapi ia terikat oleh keadaan, ia sadar bahwa bahaya dapat mengancamnya setiap saat, tetapi jika ia membawa Ki Mina serta, maka ia harus memikirkan istana kecil itu, apakah istana itu akan disergap oleh bahaya.

Panon tidak tahu, apakah sebenarnya keberatannya yang paling dalam jika istana itu, dihancurkan oleh sekelompok orang-orang yang menginginkan pusaka yang tersimpan di dalamnya. apakah ia berkeberatan jika pusaka itu jatuh ke tangan seseorang, atau ia berkeberatan jika istana itu rusak?, atau barangkali ia tidak mau kehilangan Raden Ayu Kuda Narpada dan puterinya Inten Prawesti atau yang lain.

Panon menarik nafas dalam-dalam, tiba-tiba saja perhatiannya telah terampas oleh seseorang yang lewat di serambi istana, Pinten.

“Siapakah sebenarnya gadis itu?” bertanya Panon kepada diri sendiri, ia pun tidak percaya bahwa Pinten adalah anak Nyi Upih, seandainya demikian, maka Pinten dam Sangkan tentu sudah lama terpisah daripadanya dan hidup di dalam perguruan yang menempanya menjadi dua orang kakak beradik yang memiliki ilmu yang tinggi.

“Persetan” geram Panon yang tiba-tiba saja menyadari bahwa keadaan di luar Padukuhan itu justru tidak membahayakan karena seorang kawan Kidang Alit sedang pergi.

“Jika aku pergi bersama Ki Mina, maka kami akan dapat menjaga diri di sepanjang jalan menuju ke tempat guru menunggu” berkata Panon di dalam hati, lalu, “Sedangkan di halaman ini ada Sangkan dan Pinten yang akan dapat bertahan pula, jika Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka mencoba memasuki halaman ini”

Pertimbangan itu ternyata telah mengganggunya, sehingga akhirnya ia mendapatkan Ki Mina dan menyatakan kepadanya.

“Apakah kau ingin menjumpai gurumu?” bertanya Ki Mina.

“Jika mungkin paman”

Ki Mina mengangguk-angguk, lalu katanya, “barangkali kesempatan ini adalah kesempatan yang baik, aku tidak berkeberatan jika kau menghendaki, aku mengawanimu di sepanjang jalan”

“Apakah tidak ada bahayanya misalnya diluar sadar Kidang Alit dan Kuda Rupaka mengintai perjalanan kita?”

“Kau harus menyampaikan kemungkinan itu kepada gurumu, dengan demikian gurumu akan mengambil kebijaksanaan lain, mungkin gurumu akan berpindah tempat atau pertimbangan lain yang akan dilakukannya”

Panon mengangguk-angguk, lalu katanya, “Baiklah paman, aku akan minta diri kepada Sangkan dan Pinten, mudah-mudahan mereka beradua tidak melakukan sesuatu yang dapat menghambat perjalananku”

“Kau memang harus minta diri, tetapi kau tidak perlu menyebut keperluanmu yang sebenarnya, kita masih belum tahu pasti, siapakah sebenarnya kedua anak-anak muda itu”

Panon menarik nafas dalam-dalam, diluar sadarnya ia berkata, “Tetapi agaknya keduanya benar-benar kakak beradik”

Ki Mina mengerutkan keningnya, sejenak ia memandang sorot mata Panon, namun kemudian ia bertanya, “Tetapi mungkin keduanya bukan kakak beradik dalam arti saudara sekandung, mungkin sekedar saudara seperguruan, atau barangkali justru suami isteri dalam perjalanan penyamaran”

“Tidak, tentu bukan suami isteri” bantah Panon dengan serta merta, tetapi agaknya mereka akan terkejut bila mendengarnya.

Tetapi Ki Mina yang sudah menyimpan pengalaman yang luas tidak menyahut lagi, ia menangkap sepercik perasaan yang tulus dari dasar hati Panon betapapunpun anak muda itu mencoba menyembunyikan, tetapi ia pun sadar, bahwa Panon masih belum menerima kehadiran sentuhan-sentuhan perasaannya itu, sehingga apabila seseorang menunjuknya ia justru akan ingkar.

Mereka Panon menyampaikan maksudnya untuk meninggalkan istana itu barang sehari, nampak wajah Sangkan menjadi berkerut menegang, sejenak ia memandang Panon dan Ki Mina berganti-ganti. Dengan nada yang ragu-ragu ia bertanya, “Apakah keperluan kalian meninggalkan halaman ini?, kalian datang minta tempat untuk berteduh karena kalian adalah perantau yang tidak mempunyai sanak kadang, jadi apakah arti kepergian kalian ini?”

Panon dan Ki Mina merasakan nada kecurigaan dari pertanyaan Sangkan, tetapi itu adalah wajar sekali,. Maka jawab Ki Mina, “Sangkan, kami adalah orang-orang yang tidak mempunyai sanak kadang didaerah ini, tetapi kami telah terlibat dalam pertengkaran tanpa ujung pangkal diluar kepentingan kami secara pribadi, kami sadar, bahwa kami tidak akan mungkin melepaskan diri lagi dari belitan persoalan pusaka dan istana kecil itu, yang kami lakukan adalah sekedar usaha untuk menyelamatkan istana ini dan terutama adalah diri kami sendiri, tetapi karena persoalan yang sedang kami pertimbangkan sekarang masih merupakan suatu usaha yang belum pasti akan berhasil maka kami tidak dapat mengatakan apakah yang akan kami lakukan itu”

Sangkan memandang wajah adiknya yang buram, sejenak Pinten justru memandang wajah Panon, namun kemudian dilemparkan tatapan matanya jauh-jauh, namun bibirnya kemudian bergerak perlahan-lahan, “kenapa kau akan pergi Panon?”

“Sudah aku katakan”

“Apakah kau akan kembali?”

“Aku akan kembali”

Namun wajah Pinten menjadi semakin tunduk, seakan-akan ada kata-katanya yang memberati hatinya dan tidak terucapkan.

“Panon” berkata Sangkan kemudian, “Yang paling berat bagi kami adalah beban kecurigaan kami terhadap kalian, aku tidak akan ingkar, karena aku tidak mengenal kalian sebaik-baiknya, tetapi kesulitan kami yang lain adalah Panji Sura Wilaga, jika ia perlu pergi ke pakiwan atau kepentingan-kepentingan lain, tentu Pinten tidak akan dapat mengawasinya, sehingga semua beban akan terletak padaku sendiri”

Panon mengerutkan keningnya, namun mereka ia memandang wajah Sangkan, ternyata, ia sedang memandang adiknya sambil tersenyum.

“Itu bukan urusanku” geram Pinten, “Biar saja ia tidak pergi ke pakiwan tiga hari atau empat hari”

“Ia akan membuat bilik itu menjadi bau”

“Terserahlah”

Sangkan akan tertawa, tetapi mereka Pinten bergeser mendekat ia pun bergeser pula menjauh.

“Sangkan” berkata Ki Mina kemudian, sebaiknya kali ini kau melepaskan kecurigaanmu. Kami akan berusaha untuk mencari jalan keluar dari kesulitan ini, mumpung di Karangmaja sedang tidak ada orang lain kecuali Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit, sehingga bahaya bagi kami dan bagi istana ini, tidak begitu besar seperti jika pada suatu saat akan kedatangan orang-orang lain yang tidak kita ketahui”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ia pun menyadari, bahwa pada suatu nanti akan datang orang-orang lain ke Karangmaja karena mereka saling berebut pusaka itu.

Namun demikian rasa-rasanya ia tidak dapat meleaskan kecurigaannya sama sekali, bahkan ia pun kemudian berkata, “Ki Mina, akupun sebenarnya menduga, bahwa kaupun akan berusaha menghubungi kawan-kawanmu yang tentu sudah mendekati istana ini pula”

“Aku tidak mempunyai kawan yang lain kecuali paman Mina” jawab Panon dengan serta merta, “Tetapi yang akan kami usahakan adalah jalan yang mungkin dapat kita tembus, memang sulit untuk meyakinkanmu, tetapi demikianlahlah yang sebenarnya akan kami lakukan, kami tidak mempunyai kesempatan lain kecuali saat ini. Mumpung seperti yang dikatakan oleh Ki Mina, bahwa yang ada di Karangmaja hanyalah ada dua orang, mereka tidak akan mengganggu aku dan paman Mina, tetapi mereka juga tidak akan mengganggumu dan Pinten disini”

Sangkan merenung sejenak, sekilas dipandanginyanya wajah adiknya yang tunduk.

“Baiklah” berkata Sangkan kemudian, “Tetapi cepatlah kembali, aku tidak akan mengatakannya kepada Raden Ayu dan puteri Inten, agar mereka tidak menjadi gelisah”

Ki Mina dan Panon saling berpandangan sejenak, lalu “Baiklah, aku memang tidak akan lama” jawab Panon kemudian.

Pinten tidak menyahut pembicaraan itu lagi, nampaknya ada yang sedang dipkirkannya, tetapi tidak dapat diucapkannya. Menurut pertimbangan terakhir, maka Panon dan Ki Mina akan meninggalkan istana itu stelah hari menjadi gelap, dengan demikian ia mengharap bahwa tidak ada orang yang sempat melihatnya.

“Mudah-mudahan aku dapat kembali sebelum pagi, tetapi jika tidak, kepergianku tidak akan lebih semalam dan sehari besok” berkata Panon mereka ia siap untuk berangkat.

Dengan senjata yang dipersiapkan baik-baik, Panon dan Ki Minapun kemudian meninggalkan istana itu menuju ketempat yang pernah ditunjuk oleh gurunya, dengan ciri-ciri yang dapat dikenalnya tanpa banyak kesulitan meskipun mereka berjalan di malam yang cukup gelap.

Tetapi tiba-tiba saja langkah mereka terhenti mereka mereka melihat sesosok tubuh berdiri tegak di tepi tebing, seolah-olah dengan sengaja sedang menghalangi perjalanan mereka berdua.

Panon mengerutkan keningnya, mereka ia berpaling, ia melihat dalam keremangan malam, Ki Mina sedang memandang orang itu dengan tegang pula.

Sejenak keduanya berdiri mematung, mereka memandang orang itu dengan tatapan mata yang tidak berkedip.

Tetapi agaknya orang itu pun masih saja berdiri justru sambil memandang ke lembah yang gelap terlindung oleh bayangan pepohonan yang seolah-olah membeku.

Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berdiam diri dengan tegangnya, namun sesaat kemudian Panon merasa, bahwa ia tidak akan dapat berdiri saja terus disitu, siapapun orang itu, maka ia harus berjalan terus.

Karena itu, maka ia pun memberi isyarat kepada Ki Mina untuk melangkah maju dengan hati-hati, apapun yang akan terjadi, keduanya sudah siap untuk menanggapinya.

Tetapi meskipun kedua orang itu menjadi semakin dekat, ternyata orang yang berdiri di tepi tebing itu masih saja berdiri tegak seolah-olah ia masih belum mengetahui, bahwa ada orang yang datang mendekatinya.

Namun dalam pada itu, semakin dekat Panon dan Ki Mina dengan orang yang berdiri itu, langkahnya semakin menjadi semakin lamban, bahkan Panon kemudian nampak gelisah dan belakang terdengar ia berdesis meskipun suaranya tidak jelas terdengar.

Ki Mina menggamit Panon dengan ragu-ragu, dengan isyarat ia bertanya, apakah yang sedang dipikirkannya.

Sejenak Panon dicengkam oleh keragu-raguan, namun kemudian terdengar suaranya perlahan-lahan dalam kebimbangan

“Guru”

“He..?” Ki Mina bertanya.

Tetapi Panon tidak menyahut, ia pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah maju semakin dekat. Ia masih ingin menyakinkan dalam keremangan malam, apakah benar-benar yang dilihatnya itu gurunya.

Ki Mina mengikut di belakangnya, tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan.

Beberapa langkah dari orang yang berdiri itu, sekali lagi Panon berdesis lebih keras,

“Guru”

Orang memutar tubuhnya, sesaat Panon berdiri tegak, namun mereka ia yakin bahwa orang itu memang gurunya, maka ia pun segera berlari dan berlutut dihadapannya.

Tetapi orang itu menarik lengan Panon sambil berkata, “Berdiri sajalah, aku memang sedang menunggumu, dan agaknya kau telah membawa seorang kawan”

Panon pun kemudian berdiri, sambil mengangguk dalam-dalam, ia berkata, “Ampun guru, aku tidak dapat menghadap tepat pada waktunya, karena aku telah terlibat dalam persoalan yang sama sekali tidak aku duga sebelumnya”

Gurunya tersenyum, katanya, “Aku sudah menyangkanya, tetapi siapakah kawanmu itu?”

Panon berpaling, lalu katanya, “Perkenankan aku memperkenalkan orang yang sudah banyak melindungi aku, inilah Kiai Rancangbandang”

Guru Panon itu mengangguk-angguk dalam-dalam, tetapi Ki Mina segera menyahut, “Panon memang selalu merendahkan dirinya, aku hanyalah sekedar mengawaninya, tetapi aku tidak pernah berbuat apa-apa”

“Terima kasih Kiai” berkata guru Panon itu, “Muridku memang masih jauh dari pengetahuan dan pengalaman, meskipun menurut istilah Kiai sendiri, Kiai hanya mengawaninya, tetapi itu akan sangat berati baginya”

Ki Mina hanya tersenyum saja, dipandanginya Panon sejenak, namun kemudian ia hanya mengangguk-angguk kecil saja.

“Kita dapat duduk diatas batu itu” berkata guru Panon

“Kau tidak usah mencariku di tempat yang sudah aku tentukan sebelumnya, aku tidak lagi berada di sana, tetapi aku berada di sekitar istana kecil itu”

Panon termangu-mangu sejenak, namun mereka gurunya yang cacat kaki itu melangkah dan duduk di sebuah batu, maka Panon dan Ki Minapun segera duduk pula”

“Panon” berkata gurunya, “Sebenarnya aku hampir tidak sabar lagi menunggu, aku ingin kau dapat menceritakan apakah yang sudah terjadi, aku memang sudah mendengar serba sedikit tentang istana kecil itu dan kesibukan yang terjadi di padukuhan Karangmaja, tetapi sudah tentu yang aku dengar itu tidak akan selengkap yang kau ketahui”

Panon memandang Ki Mina sejenak, baru kemudian ia mulai menceritakan apa yang diketahuinya tentang istana kecil itu, tentang perguruan-perguruan yang mengelilingi istana kecil itu dengan ancaman-ancaman yang menggelisahkan.

Ki Mina kadang-kadang ikut pula membantu Panon mengisi yang terlampau dalam cerita Panon tentang keadaan dalam keseluruhan di istana dan di padukuhan Karangmaja”

Guru Panon mengangguk-angguk dengan nada datar ia berkata, “Jadi Guntur Geni, Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu telah terlibat pula dalam perebutan pusaka itu?. Menggelisahkan, perguruan-perguruan itu kini sudah dicengkam oleh ketamakan yang dapat menyuramkan nama sumbernya.”

“Masih ada yang harus diperhitungkan guru” berkata Panon

“Siapa lagi?”

“Dalam istana itu terdapat dua orang kakak beradik, mereka mengaku anak-anak Nyi Upih, pelayan yang menurut pendengaran kami adalah pelayan yang setia, yang mengikuti perjalan Pangeran Kuda Narpada sejak dari Maja Pahit. Kedua adak-anaknya itu bernama Sangkan dan Pinten. kedua-duanya memiliki ilmu yang tinggi, yang menurut perhitungan kami, adalah agak aneh, bahwa kedua anak-anak itu adalah anak-anak Nyi Upih”

Gurunya mengangguk-angguk, tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kau menganggap aneh dan mengherankan?”

“Nyi Upih nampaknya adalah seorang pelayan yang tidak mempunyai lingkungan hidup yang lain, tetapi kedua anak-anaknya ternyata memiliki ilmu yang mengagumkan”

“Kau salah Panon, jangan mengukur sesuatu dari darah keturunan saja”

Panon terkejut mendengar jawaban gurunya, bahkan kemudian ia merasa seolah-olah gurunya telah menghadapkan cermin kepadanya, agar ia mlihat kepada dirinya sendiri, apakah ia juga seorang yang memiliki darah keturunan yang luhur.

Panon menundukkan kepalanya, dengan suara datar ia berkata, “Ampun guru, agaknya aku memang sudah salah menilai, aku hampir lupa bahwa akupun sama sekali tidak dapat menyebut sesuatu tentang diriku”

Gurunya tersenyum, katanya, “Sudahlah, siapapun orang yang kau sebut, tetapi ia kini berada di dalam istana kecil itu yang suram itu”

“Ya, guru” jawab Panon.

Gurunya termangu-mangu sejenak, namun kemudian kepalanya mengangguk-angguk kecil, dan terdengar suaranya bergumam, “Baiklah Panon, aku sekarang sudah mendapat gambaran yang lebih banyak tentang istana kecil itu”

“Ya, guru, sebenarnyalah bahwa istana kecil itu sekarang dikelilingi oleh kemungkinan-kemungkinan yang menyeramkan, terutama bagi Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti.

“Ya, ya, aku membayangkannya, apalagi jika orang-orang terpenting dari perguruan-perguruan yang terlibat itu berdatangan, terutama dari perguruan Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu”

“Ya, guru, dan menurut perhitungan kami, mereka tentu akan datang”

Gurunya termenung sejenak, dipandanginyanya kegelapan malam yang menyelubungi puncak-puncak pegunungan Sewu, seolah-olah ingin melihat, apakah yang tersimpan di balik kegelapan itu”

“Panon” berkata gurunya kemudian, “Berbeda dengan perguruan yang kau sebut Cengkir Pitu, Kumbang Kuning atau Guntur Geni, maka kita hanyalah berdua saja, aku mengucapkan terima kasih kepada Kiai Rancangbandang yang sudah dengan tulus berada diantara kita, sehingga kita menjadi bertiga, tetapi dengan sadar, kita akan berada diantara kekuatan-kekuatan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari tiga orang saja”

Panon mengangguk-angguk kecil, jawabnya, “Ya, guru, dan mereka pasti akan datang dalam waktu yang dekat”

“Baiklah, tetapi ingat, bahwa kita tidak melakukan sesuatu karena didorong oleh ketamakan dan pamrih, itu adalah dasar dari kerja kita sekarang ini, sehingga kita akan dapat memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa, jika kita yakin berada di jalan kebenaran, maka kita akan berjalan terus, karena kebenaran akan tetap merupakan kebenaran, meskipun kita akan gagal”

Panon menarik nafas dalam-dalam, sekilas dipandanginya Kiai Rancangbandang seolah-olah ia ingin bertanya, apakah Kiai Rancangbandang akan berjalan terus atau berhenti sampai sekian.

Agaknya Kiai Rancangbandang dapat menangkap pertanyaan yang tersirat itu, karena itu, maka katanya kemudian kepada guru Panon itu, “Kiai, aku sudah terlanjur berada disisi Panon sejak ia memanjat kaki pegunungan Sewu itu, aku menyatakan kesediaanku untuk bersamanya apapun yang akan terjadi”

Guru Panon itu menarik nafas dalam-dalam, katanya di sela-sela desah nafasnya, “Terima kasih Kiai, agaknya Kiai benar-benar telah melakukan sesuatu yang mengandung banyak kemungkinan, bagaimanakah jika ternyata Panon dan aku bukannya orang-orang yang berbuat tanpa pamrih seperti yang Kiai duga?”

“Aku meyakininya, seperti kalian berdua meyakini apa yang kalian lakukan”

“Terima kasih Kiai” jawab guru Panon, “Namun masih ada yang ingin aku tanyakan, aku melihat sesuatu yang menarik sekali di kantung ikat pinggang Panon, agaknya ia telah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga baginya, apakah benda itu di dapatkan dari Kiai?”

Kiai Rancangbandang memandang guru Panon dengan heran, karena selama ini Panon menyembunyikan di dalam kantung ikat pinggangnya, tetapi ternyata gurunya dapat mengetahuinya.

Sejenak Kiai Rancangbandang termangu-mangu, namun kemudian ia bertanya kepada Panon, “Apakah yang kau bawa di ikat pinggagmu Panon?, apakah batu yang yang kau dapat dari kakang Ajar Respati?”

Panon mengangguk penuh ragu, jawabnya, “Ya paman. Aku memang membawa akik Jalu Naga Sisik Sasra, yang aku pinjam dari Ki Ajar Respati”

Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ya, Kiai, Panon memang membawa batu Jalur Sisik Sasra yang di dapatkannya dari kakakku” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana Kiai dapat mengetahuinya?”

Guru Panon itu mengangguk-angguk, lalu, “Itu adalah benda yang sangat berguna untuk menghadapi orang-orang Guntur Geni yang senang bermain racun, tetapi juga orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu menguasai masalah racun dan bisa dengan sempurna, karena itu sekali lagi aku mengucapkan terima kasih” ia termangu-mangu sejenak kemudian ia bertanya, “Tetapi siapakah Ki Ajar Respati itu?”

“Ia adalah kakakku, kakak kandungku”

Guru Panon itu pun mengangguk-angguk pula, katanya kemudian, “Pertolongan Kiai kakak beradik sangat aku hargai, sekarang aku ingin mempersilahkan Kiai dan Panon kembali ke istana kecil itu, aku akan selalu berada di dekat istana itu. jika kalian memerlukan aku, berilah aku isyarat dengan api atau panah sendaren, bukankah Panon dapat membuat permainan itu?”

Panon mengangguk, jawabnya, “Ya, guru, aku dapat membuat panah sendaren”

“Baiklah kita akan menghadapi persoalan yang sangat rumit, sebelumnya aku memang belum pernah membayangkannya, tetapi jika kini harus dihadapi, apaboleh buat” lalu katanya kepada Kiai Rancangbandang, “Terima kasih Kiai, juga kepada Ki Ajar Respati, mudah-mudahan aku pada suatu saat dapat bertemu”

Dalam pada itu, Ki Ajar Respati yang berada di tempat yang jauh dari Pegunungan Sewu, sedang dicengkam oleh ketegangan, karena usahanya untuk mengetahui serta sedikit tentang Kumbang Kuning”

Apalagi ia sadar bahwa dalam waktu yang tidak lama, orang-orang dari Cengkir Pitu akan datang pula mengimbangi kesiagaan orang-orang Kumbang Kuning.

Tetapi ternyata bahwa dihari berikutnya orang-orang Cengkir Pitu itu tidak datang lagi ke rumah Ki Reksabahu. Di pagi hari mereka Ki Reksabahu berangkat ke sawah bersama Ki Ajar Respati yang telah menjadi pembantu rumahnya, ia berpesan agar jika datang tamu yang pernah bermalam di rumahnya, ia disusul di sawah, tetapi sampai matahari mencapai puncaknya, tidak seorang pun yang menyusulnya ke sawah.

“Apakah orang itu tidak kembali?” bertanya Ki Reksabahu, “Tetapi menurut pesannya, ia mengatakan bahwa ia akan datang lagi ke rumahku”

“Mungkin nanti, mungkin besok, bukankah ia tidak memberikan batasan waktu?”

“Tetapi mereka tentu menyadari bahwa kelambanan ini akan dapat merugikan mereka”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, namun kemudian wajahnya menegang, mereka ia memandang kekejauhan, ia melihat beberapa orang berkuda sedang menyusur jalan persawahan dari arah padepokan Lemah Putih.

“He, kau lihat?” justru Ki Reksabahu yang bertanya.

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Mereka sudah meninggalkan Lemah Putih”

“Nah, kita akan bertaruh” berkata Ki Reksabahu

“Kemanakah kira-kira mereka akan pergi”

“Menurut perhitunganku, mereka akan pergi ke Pegunungan Sewu”

“Ah, seharusnya kau menebak lain, karena aku akan menebak seperti itu pula” desis Ki Reksabahu.

Namun keduanyapun kemudian kembali kepada kerja mereka, seolah-olah tanpa menghiraukan beberapa orang berkuda di jalan bulak itu, diantara mereka terdapat dua orang yang berpakaian kebangsawanan meskipun tidak terlalu jelas, sedang seorang diantara mereka mengenakan ciri-ciri seorang pemimpin yang disegani dengan warna putih yang melilit pada pinggangnya.

Sambil mencangkul Ki Ajar Respati berdesis, “Bagiku mereka adalah jelas, agar aku mengatakan pendapatku lebih dahulu sebelum kau nanti akan mengatakan, bahwa aku hanya sekedar menirukanmu, yang seorang itu adalah Ajar Sokaniti, sedangkan kedua orang bangsawan itu tentu adalah bangsawan yang datang dari Demak, yang telah terlibat ke dalam persoalan pusaka yang sedang mereka cari-cari”

“Siapakah yang mencari pusaka?” bertanya Ki Ajar Respati sambil mencangkul terus.

Ki Reksabahu tidak menjawab, iring-iringan yang menyusuri bulak persawahan itu menjadi semakin dekat.

Seperti saat mereka datang, mereka sama sekali tidak menghiraukan kedua orang yang sedang bekerja di sawah itu, apalagi Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu seolah-olah tidak menunjukkan sikap yang khusus menanggapi mereka, kedua-duanya mengangkat wajah sejak memandang memandang iring-iringan itu sambil bersandar pada tangkai cangkul mereka, kemudian mereka pun bekerja kembali, mereka iring-iringan itu telah berada di hadapan mereka, seolah-olah tanpa mengacuhkannya.

Pemimpin iring-iringan kecil itu pun tidak menghiraukan kekdua orang yang berada di sawah itu, hanya para pengawalnya sajalah yang agaknya dengan tajam memandang keduanya, tetapi mereka tidak berhenti dan tidak berbuat apa-apa.

Iring-iringan itu semakin lama menjadi jauh, sementara itu Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu masih tetapi bekerja terus, meskipun mereka mulai berbicara, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan?” justru Ki Reksabahu yang bertanya.

“Maksudmu, apakah kita akan mengikutinya atau menunggu orang Cengkir Pitu itu?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Ya, jika kita menunggu, apakah kita tidak akan terlambat?”

“Tetapi apakah orang Cengkir Pitu itu memang lamban?”

Ki Reksabahu termangu-mangu sejenak, diletakkannya cangkulnya sambil bertolak pinggang, ia memandang iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh.

“Kita tidak dapat menunggu” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Tetapi harus juga dipikirkan, bagaimanakah jika orang Cengkir Pitu itu datang, sedang kau tidak berada di rumah?”

“Itulah yang membuat aku pusing, tetapi aku dapat berpesan bahwa aku pergi ke tempat saling seorang saudaraku yang mengalami musibah”

“Apakah mereka akan percaya?”

“Percaya atau tidak percaya , aku akan menyingkirkan keluargaku, agar tidak menjadi sasaran kemarahan orang-orang Cengkir Pitu, bukankah wajar sekali, bahwa aku pergi dengan seluruh keluargaku untuk kepentingan yang mendesak sekali karena sanak kadangku meninggal”

“Apakah mereka tidak akan mencari?”

“Tidak sempat, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Lemah Putih telah kosong”

Keduanya mengangguk-angguk, lalu terdengar Ki Reksabahu berkata, “Kita akan kembali sekarang, kita bersiap-siap”

“Apakah kau akan melibatkan diri?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Ya, aku akan menyusul orang-orang Kumbang Kuning dan berpihak kepada mereka”

Ki Ajar Respati tersenyum, ia mengenal kawannya yang seorang ini dengan baik, karena itu, ia justru tidak mencurigainya sama sekali”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali untuk mempersiapkan diri.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Reksabahu, maka mereka mereka sampai di rumah, maka mereka pun segera mempersiapkan diri, Ki Reksabahu tidak saja mempersiapkan kepergiannya sendiri, tetapi ia telah mempersiapkan seluruh keluarganya.

“Untunglah, bahwa anak-anakku memang tidak berada disini” berkata Ki Reksabahu.

“Dimana?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Mereka ada di padepokan tempat aku mempelajari olah kanuragan, padepokan kecil yang tidak punya nama di lereng Gunung Lawu”

Ki Ajar Respati mengerutkan keningnya, lalu “Padepokan Panjer Bumi”

“He, darimana kau tahu nama itu?” bertanya Ki Reksabahu.

“Kau sudah pikun ya, aku-kan pernah kau ajak mengunjungi gurumu di padepokan itu dahulu”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ya, anak-anakku berada di padepokan itu, tetapi sekarang padepokan itu berada di bawah pimpinan Putu Sangga Bumi”

“Gurumu?”

“Sudah meninggal, umurnya sudah sangat tua, betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat ingkar dari panggilan Illahi, bahwa seorang pada suatu saat akan kembali kehadapan Tuhannya dengan seluruh tanggung jawabnya”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau akan mengungsikan isterimu?”

“Ya, ia harus meninggalkan rumah ini, tetapi sebaiknya ia menyadari apakah yang sedang dihadapinya sehingga ia dapat mempersiapkan diri”

“Jika demikian, kita akan mengantarkannya lebih dahulu, sebelum kita pergi ke Pegunungan Sewu”

“Tidak perlu, ia akan pergi sendiri”

Ki Ajar Respati mengerutkan keningnya, tetapi sebelum ia bertanya, Ki Reksabahu berkata sambil tersenyum, “Ia akan pergi ke padepokan Panjer Bumi menyusul anak-anaknya, ia pun termasuk salah seorang murid pada masa lampau”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kau tidak pernah mengatakannya, aku mengenal keluargamu, sejak lama meskipun tidak terlampau dekat kecuali kau sendiri”

“Dalam keadaan yang biasa, aku tidak perlu menyebutnya, tetapi dalam keadaan seperti sekarang, kadang-kadang aku perlu juga sedikit menyombongkan diri, sekedar untuk menenteram-kan hati sendiri”

Ki Reksabahu kemudian mengatur segala-galanya, memang sama sekali tidak disangka, bahwa isterinya yang tingkah laku dan kerjanya sehari-hari tidak ubahnya dengan perempuan-perempuan padesan lainnya, adalah seorang murid dari padepokan terpencil di kaki Gunung Lawu.

“Tetapi ia tidak penting” berkata Ki Ajar Respati

“Isteriku tidak akan terlibat sama sekali, karena itu, biarlah ia berada di lingkungannya, sehingga apabila orang lain akan menyeretnya ke dalam kesulitan, ia akan mendapat perlindungan dari perguruannya, apabila anak-anaknya berada disana pula”

“Dan rumahmu akan kosong sama sekali?”

“Ada beberapa orang pelayan, orang-orang yang berakal tidak akan menumpukkan kecurigaan kepada mereka, karena mereka adalah pelayan-pelayan yang memang tidak tahu menahu persoalannya”

Ki Ajar Respati hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka ia melihat Nyai Reksabahu mempersiapkan diri, maka ia pun kemudian yakin, bahwa Nyai Reksabahu bukannya orang kebanyakan.

“Ia sudah terlalu sering hilir mudik ke padepokan itu menengok anak-anaknya, karena itu, baginya bukannya persoalan baru lagi, tetapi seperti yang aku katakan, ia tidak akan terlibat, dan perguruan Panjer Bumipun tidak akan terlibat, karena mereka sama sekali tidak menghiraukan peristiwa yang terjadi di Pegunungan Sewu itu”

Ternyata kemudian, justru Nyai Reksabahu yang barangkali lebih dahulu meninggalkan rumahnya, seperti kebiasaannya saja seolah-olah ia hanya sekedar hendak pergi menengok sanak keluarga yang tidak begitu jauh, dengan selendang lurik berwarna gelap ia membawa sebungkus kecil pakaian yang tidak menumbuhkan kecurigaan, tetapi yang tidak diketahui oleh seorangpun, di balik ikat pinggang dan ambennya, terselib sebuah keris yang khusus, selendang luriknya itu, karena selendang itu dapat diberinya bandul beberapa bola besi sebesar kentos salak.

Untuk beberapa lama Ki Reksabahu masih tinggal di rumahnya, ia mengharap isterinya tidak akan dapat diketahui lagi arahnya, jika tiba-tiba saja orang-orang Cengkir Pitu itu berdatangan.

Setelah memberikan beberapa pesan, bahwa ia akan pergi menyusul isterinya karena keperluan keluarga yang mendesak, seperti cerita yang direncakan, bahwa ada keluarganya yang kehilangan salah seorang anaknya, maka Ki Reksabahu segera mempersiapkan diri.

“Kiai akan pergi berkuda” bertanya seorang pelayannya.

“Ya”

“Bagaimana dengan Nyai, bukankah ia hanya berjalan kaki?”

Ia akan langsung pergi ke rumah saudaraku itu, sedang aku masih akan singgah memberitahukan kepada beberapa orang keluarga yang jauh”

Pelayannya tidak bertanya lagi, mereka mengantar Ki Reksabahu yang diikuti oleh Ki Ajar Respati sampai ke regol halaman

Demikianlah, maka Ki Reksabahu itu pun kemudian meninggalkan rumahnya diikuti oleh Ki Ajar Respati, beberapa orang pelayannya memang menjadi heran, bahwa orang yang baru itulah yang dibawanya, namun demikian mereka tidak bertanya terlalu banyak, meskipun mereka tidak terlalu banyak mengetahui tentang kedudukan lurahnya, namun terasa bagi mereka, bahwa memang ada sesuatu yang tidak mereka ketahui pada lurahnya itu.

Demikianlah Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati pun segera menuju ke barat, tetapi mereka tidak akan mengikuti jalan yang biasa ditempuh menuju ke arah Pegunungan Sewu, tetapi mereka akan mengambil jalan memintas, melalui daera selatan yang berbukit-bukit, justru bukit-bukit yang kemudian merupakan kepanjangan dari Gunung Sewu itu sendiri”

Meskipun jalan melalui daerah selatan itu masih agak gelap, karena mereka harus melintasi hutan-hutan yang cukup lebat, meskipun tidak terlalu besar, tetapi di beberapa bagian mereka akan melintasi padukuhan-padukuhan yang sudah cukup tamai. Di lembah-lembah yang subur di sela-sela bukit. Telah banyak dihuni orang yang ingin bekerja di tempat yang tenang dan tidak terganggu oleh pergolakan yang sering terjadi diantara manusia.

“Kita akan bermalam semalam diperjalanan” berkata Ki Reksabahu, “Tetapi aku kira kita tidak akan terlambat, jarak waktu antara kita dengan orang-orang Kumbang Kuning itu tidak terlalu jauh”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Kita akan mendekati Karangmaja dari arah timur”

“Ya, dan mungkin ada pihak lain yang melakukannya pula seperti kita”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Memang mungkin, karena itu kita memang harus berhati-hati”

Keduanyapun kemudian memasuki jalur jalan yang semakin sempit, mereka mereka sampai diujung daerah persawahan, maka jalanpun menjadi semakin sulit, tetapi agaknya Ki Reksabahu telah mengenal jalan itu dengan baik, sehingga ia tidak usah mencari-cari arah.

Sejenak kemudian mereka, sampai ke hutan alang-alang yang lebat, jalan setapak diantara batang alang-alang itu membawa mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat, meskipun ditengah-tengah hutan itu menyusup lorong sempit yang panjang.

“Hutan ini merupakan daerah yang kadang-kadang gawat” berkata Ki Reksabahu, “Tetapi perampok-perampok kecil itu hanya sekali-sekali saja singgah di daerah ini, karena daerah ini memang tidak banyak dilalui orang”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, memang jalan ditengah-tengah hutan itu memberikan banyak kesempatan bagi orang jahat untuk melakukan kejatahan, tetapi agaknya jalan itu bukannya sawah yang subur bagi mereka, karena memang jarang sekali ada orang yang mengetahuinya.

Tetapi bagi Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati, penjahat-penjahat dan perampok-perampok kecil di hutan itu, sama sekali tidak akan dapat mengganggu perjalanan mereka.

Semakin lama mereka berjalan, semakin dalam pula mereka menyusup ke dalam hutan yang lebat itu, mereka tidak menghiraukan auman harimau atau pekik kera yang saling berkejaran diatas pepohonan.

Namun dalam pada itu, perhatian Ki Reksabahu yang berkuda di depan mulai tertarik pada jejak-jejak di bawah kaki kudanya, ranting yang patah dan rerumputan yang terinjak.

“Ki Ajar” desisnya, “Aku melihat jejak”

Ki Ajar Respatipun kemudian memperhatkan lorong sempit yang dilaluinya, kuda merekapun semakin lama menjadi semakin lembat, bahkan akhirnya terhenti sama sekali.

Kedua orang itu pun segera meloncat dan memperhatikan jejak yang terdapat di sepanjang lorong sempit itu pula”

“Sekelompok orang-orang berkuda” desis Ki Ajar Respati.

“Ya, sekelompok kecil orang-orang berkuda, hanya empat orang” sahut Ki Reksabahu.

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, menurut pengamatannya memang hanya sekitar empat orang berkuda”

“Siapakah mereka kira-kira?” bertanya Ki Ajar Respati

“Apakah orang-orang Kumbang Kuning?”

“Menurut perhitunganku, orang-orang Kumbang Kuning jumlahnya lebih banyak dari empat orang”

“Jadi, siapa?”

Ki Reksabahu tidak menjawab, namun katanya kemudian, “Marilah kita akan mengikutinya”

Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka, jejak itu masih termasuk jejak yang baru, orang-orang yang berkuda itu tentu belum melampaui sehari sebelumnya.

Tidak banyak yang mereka persoalkan di perjalanan, semakin lama mereka pun menjadi semakin cepat, meskipun kadang-kadang mereka harus terhenti dan dengan hati-hati melangkah satu-satu karena rintangan di perjalanan itu, batang yang roboh melintang, atau sulur-sulur bergayutan diatas jalan sempit itu dipermainkan oleh sekelompok kera.

Namun sekali lagi perjalanan itu terhambat, Ki Reksabahu yang berada di depan memberikan isyarat kepada Ki Ajar Respati agar mereka berhenti sejenak.

“Ki Ajar, apakah kau melihat sesuatu di hadapan kita?”

“Bekas sebuah arena pertempuran” desis Ki Ajar Respati.

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, katanya, “Marilah kita lihat, tetapi kita harus berhati-hati, pertempuran di tempat ini merupakan sesuatu yang mencurigakan”

Keduanya pun kemudian meloncat turun dari kuda mereka dan perlahan-lahan maju mendekati tempat yang diduga baru saja menjadi arena pertempuran menilik pepohonan perdu yang berpatahan, tanah yang berhamburan dan dedaunan yang rontok ditanah.

Keduanya termangu-mangu sejenak, perlahan-lahan mereka mendekati gerumbul yang berserakan.

Keduanya terkejut mereka mereka melihat kaki yang terjulur di bawah dahan-dahan perdu yang berpatahan, perlahan-lahan mereka meraba kaki yang telah membeku.

“Mayat” desis Ki Ajar Respati.

Ki Reksabahu pun kemudian menyibakkan gerumbul itu, dan dengan dahi yang berkerut, mereka melihat tubuh yang terbujur kaku Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Mungkin seorang perampok di hutan ini”

Ki Ajar Respati termangu-mangu, apalagi mereka sekali lagi ia meloncat mendekati sesosok tubuh yang terbujur, katanya, “Sesosok lagi”

Ki Reksabahu mengangguk, jawabnya, “Ya, aku kira dua orang perampok atau lebih, mungkin semuanya terbunuh, mungkin pula yang lain sempat melarikan diri”

Ki Ajar mengerutkan keningnya, desisnya, “Jika benar mereka adalah perampok-perampok di hutan ini, agaknya mereka telah salah memilih sasaran, sehingga justru merekalah yang terbunuh”

“Aku kira memang demikian, perkelahian ini pun tidak menunjukkan perkelahian yang terlalu sengit, mungkin perkelahian itu juga terjadi beberapa lama dan berakhir dengan kematian para perampok itu”

“Kitalah yang mendapat pekerjaan sekarang, ternyata kita tidak akan dapat membiarkan mayat ini berserakan begitu saja tanpa menguburnya”

Ki Reksabahu mengerutkan keningnya, katanya, “Jika saja kita tidak melihatnya”

Keduanya pun kemudian membuat lubang diatas tanah yang gembur di hutan itu dengan pisau-pisau belati untuk menguburkan dua sosok mayat itu, meskipun lubang yang mereka buat tidak begitu dalam, namun kedua sosok mayat itu tidak akan menjadi mangsa binatang buas.

“Jarak kita dengan orang-orang yang kita ikuti menjadi semakin jauh” berkata Ki Reksabahu.

“Ya, mungkin perkelahian yang terjadi itu hanya sebentar, lebih pendek dari waktu yang kita perlukan untuk membuat lubang kubur itu”

Keduanya pun kemudian meloncat ke punggung kuda dan melanjutkan perjalanan.

Jejak beberapa ekor kuda yang mereka ikuti itu pun masih nampak jelas, sehingga dengan demikian maka mereka tidak akan kehilangan, menilik arah yang ditempuh, maka orang-orang berkuda itu pun menuju ke Pegunungan Sewu.

“Jika bukan orang-orang Kumbang Kuning, tentu orang-orang Cengkir Pitu” berkata Ki Reksabahu kemudian, “Agaknya orang-orang Cengkir Pitu yang kita anggap lamban itu justru telah mendahului orang-orang Kumbang Kuning melalui jalan melintas ini”

“Jika demikian, maka jumlah orang-orang Cengkir Pitu akan lebih sedikit dari orang-orang Kumbang Kuning, apakah itu bukan berarti bahwa kedatangan orang-orang Cengkir Pitu itu tidak akan berarti, karena jika terjadi pertengkaran dan kekerasan, maka mereka tidak seimbang”

“Tetapi kita belum tahu kemampuan seorang demi seorang, mungkin orang-orang Cengkir Pitu jumlahnya hanya sedikit, tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki puncak kemampuan pada masa sekarang sehingga yang sedikit itu tidak akan kalah jika terjadi benturan kekuatan”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk dan Ki Reksabahu berkata lebih lanjut, “Bahkan mungkin orang-orang Cengkir Pitu mengambil dua jalan menuju ke Pegunungan Sewu, yang satu lewat jalan ini, yang lain mengikuti jejak orang-orang Kumbang Kuning”

“Memang mungkin” desis Ki Ajar Respati, “Jika benar-benar seperti yang kita bayangkan, maka angger Panon dan Rancangbandang benar-benar akan menjumpai kesulitan, mereka hanya berdua, sedangkan orang-orang yang dengan tamak menghendaki pusaka yang ada di Pegunungan Sewu itu jumlahnya kian bertambah”

Mudah-mudahan tidak semakin bertambah, cerita tentang pusaka itu telah tersebar sampai ke segenap penjuru, perguruan Panjer Bumipun telah mendengar dan pernah mempertimbang-kan kemungkinan untuk memiliki pusaka itu, tetapi Putut Sangga Bumi ternyata tidak sependapat, ia merasa perguruannya adalah sebuah perguruan kecil, dan wahyu yang ada pada pusaka-pusaka itu bukannya harus dicari, tetapi wahyu yang mencari tempat-tempat yang di kehendakki oleh wahyu itu sendiri”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Putu Sangga Bumi agaknya memang benar, dengan saling memperebutkan pusaka, dan justru melupakan sumber segalanya, maka yang akan di dapatkan justru malapetaka, tetapi sayang, bahwa pada masa kini jarang orang yang berpikir bening, mereka menganggap bahwa dengan memperebuntukan pusaka-pusaka yang menjadi sarang wahyu keraton itu dengan cara apapun juga akan mendapatkan wahyu itu sendiri dan dapat memegang kekuasaan tertinggi di tanah ini”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, namun kemudian ia bertanya dengan ragu-ragu, “Tetapi bagaimana dengan anak muda yang bernama Panon dan Rancangbandang terlibat dalam persoalan pusaka itu?”

“Aku pernah menceritakannya kepadamu, mereka sama sekali tidak menginginkan pusaka itu, tetapi mereka mempunyai tugas khusus di dalam istana kecil itu di Pegunungan Sewu itu”

Ki Reksabahu mengerutkan keningnya, dan Ki Ajar Respati bertanya, “Apakah kau ragu-ragu?”

“Tidak, aku tahu bahwa kau tidak pernah berkata sisip, kau selalu mengatakan yang benar menurut pengertianmu”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, namun kemudian keningnya kemudian berkerut mereka Ki Reksabahu berkata, “Tetapi yang aku ragukan adalah kebenaran pengertianmu”

“Apa maksudmu?”

“Kau memang selalu mengatakan dengan jujur apa yang kau ketahui, tetapi jika yang kau ketahui itu salah, maka yang kau katakanpun salah”

“Ooo” Ki Ajar Respati menyahut dengan nada datar, “Jadi yang kau ragukan, apakah tangkapanku tentang mereka itu seperti apa yang benar-benar ingin mereka lakukan?”

Ki Reksabahu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk-angguk menjawab, “Ya”

Tetapi Ki Ajar Respati menggeleng, “Aku yakin, mereka tidak akan dengan tamak ingin memiliki pusaka yang sedang diperebuntukan itu”

Ki Reksabahu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berkata, “Mudah-mudahan, tetapi karena kau pernah bertemu dan berbicara dengan anak muda yang bernama Panon dan karena Kiai Rancangbandang adalah adikmu, jika kau lebih tahu daripada aku”

Beberapa saat keduanya saling berdiam diri, mereka menyusur jalan sempit mengikuti jejak kaki kuda yang masih nampak jelas, tetapi mereka tidak dapat menduga siapakah yang telah berkuda mendahului mereka itu.

Seperti yang telah mereka perhitungkan, maka mereka matahari menjadi semakin rendah, maka mereka harus mencari tempat bermalam di perjalanan, tetapi bagi keduanya, mencari tempat untuk sekedar tidur bukannya hal yang sulit.

Mereka malam tiba, maka mereka pun mengikat kuda pada batang perdu, demikian mereka keluar dari, mereka mencari tempat yang terlindung oleh gerumbul-gerumbul perdu, tidak jauh dari jalur jalan yang sedang mereka lewati menuju ke arah Pegunungan Sewu.

“Kiai” berkata Ki Ajar, “Aku ingin mengusulkan sesuatu”

Ki Reksabahu mengerutkan keningnya, lalu, “Kau sudah terlalu banyak mengusulkan sesuatu kepadaku sehingga aku yang semula tidak ingin terlibat dalam persoalan pusaka ini, tetapi kau telah berhasil memancing aku sampai ke tempat ini dan sekarang kau masih akan mengusulkan sesuatu”

Ki Ajar tersenyum, sambil duduk memeluk lututnya di dalam kegelapan malam ia berkata, “Jangan merajuk begitu, tetapi usulku kali ini adalah usul yang baik sekali”

“Apa yang kau usulkan itu?”

“Marilah, singgah saja di rumah adikku, mungkin kita akan mendapatkan beberapa keterangan dari beberapa orang tetangga. Rumah adikku terletak di kaki Pegunungan Sewu pula”

Ki Reksabahu termangu-mangu sejenak.

“Tetapi kita tidak akan mengikuti jejak kaki kuda itu untuk selanjutnya” sambung Ki Ajar Respati.

Ki Reksabahu masih termangu-mangu, katanya, “Ada pertimbangan tersendiri, dengan demikian kita akan kehilangan jejak itu, dan kita tidak akan mengetahui siapakah yang telah mendahului naik ke Pegunungan Sewu, tetapi imbangannya, mungkin kita akan mendapat keterangan dari beberapa orang yang mungkin melihat sekelompok atau lebih orang-orang yang naik ke Pegunungan Sewu”

“Tetapi jalan naik adalah banyak sekali”

“Itulah” desis Ki Reksabahu kemudian, namun, “Aku lebih senang singgah ke rumah adikmu”

“Kita dapat melanjutkan perjalanan sekarang, kuda kita telah beristirahat cukup”

“Sebentar lagi, biarlah mereka makan rerumputan dahulu”

Sejenak kemudian, merekapun mulai berkemas lagi, mereka tidak lagi ingin bermalam di pinggir hutan itu, setelah kuda mereka mendapat cukup makan dan beristirahat, maka perjalananpun dilanjutkan.

Tetapi mereka tidak berkuda semalam suntuk, menjelang fajar mereka berhenti, membiarkan kuda mereka minum di sebuah parit yang mengalirkan air yang bening.

“Kita sampai ke sebuah bulak” desis Ki Reksabahu

“Kita sudah mendekati padukuhan adikku”

Keduanya kemudian duduk untuk beristirahat sejenak sambil bersandar pohon yang ditanam berderet-deret di pinggir parit, tetapi mereka sama sekali tidak memejamkan matanya, karena langitpun segera membayangkan warna mereka.

Mereka fajar menyingsing mereka telah berpacu kembali di jalan bulak ya panjang menuju ke padukuhan Kiai Rancangbandang.

Mereka keduanya sempai di rumah itu, maka mereka mendapatkan rumah itu masih kosong, seorang pelayan yang melihat Ki Ajar Respati datang mempersilahkannya naik ke pendapa, kemudian menerima kendali kuda kedua tamunya dan membawanya ke belakang.

“Apakah Kiai Rancangbandang belum pernah kembali?” bertanya Ki Ajar Respati mereka pelayan itu kemudian datang lagi membawa dua mangkuk munuman panas.

“Belum Ki Ajar, sejak Kiai Rancangbandang meninggalkan padukuhan ini bersama anak muda itu, ia belum pernah kembali lagi”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk.

“Tetapi Ki Ajar” berkata pelayan itu kemudian “Kemarin malam, telah datang seorang yang belum pernah aku kenal menanyakan Ki Ajar”

“Siapakah namanya?”

“Orang itu tidak mau mengatakan namanya, tetapi ia dapat menyebut nama Ki Ajar Respati, kakak dari Kiai Rancangbandang”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, lalu, “Apakah ia akan kembali lagi?”

“Ya, ia akan kembali lagi segera, ia perlu bertemu dengan Ki Ajar dalam waktu singkat”

Ki Ajar Respati menjadi tegang, tentu ada sesuatu yang penting.

Dalam pada itu, Ki Reksabahu pun menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Aku akan langsung terlibat, agaknya hari ini juga”

Ki Ajar Respati memandang kawannya sejenak, namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Kau masih saja mengeluh”

“Biarlah jika aku terlibat, jangan sebut perguruan Panjer Bumi, perguruanku tentu tidak akan memperdulikan aku seperti yang aku minta, agar jika terjadi sesuatu, biarlah menjadi tanggung jawabku sendiri”

Ki Ajar tertawa, katanya, “Tentu, tentu Kiai, tetapi kau tidak akan terlibat terlalu jauh”

Keduanya kemudian terdiam sejenak, pelayan yang menghidangkan minuman dan kemudian juga makanan itu telah meninggalkan pendapa dam membuka pintu pringgitan dari bagian dalam rumah itu.

“Silahkan beristirahat di ruang dalam” berkata pelayan itu.

“Baiklah, terima kasih. Tetapi udara masih terasa sangat panas”

Pelayan itu tidak menyahut meskipun ia sendiri sama sekali tidak merasakan udara yang panas di pagi hari itu.

Setelah minum beberapa teguk dan makan makanan beberapa potong, maka keduanyapun kemudian masuk ke ruang dalam. Mandi di pakiwan dan berganti pakaian.

“Jika Kiai ingin tidur, karena semalam suntuk Kiai tidak tidur, aku persilahkan”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, tetapi ia kemudian bertanya, “Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

“Belum tahu, mungkin juga tidur”

Keduanya pun kemudian masih duduk beberapa lamanya, pembicaraan mereka masih saja berkisar tentang Pegunungan Sewu dan orang yang sedang mencari Ki Ajar Respati.

Namun kemudian keduanya pun berbaring di dalam bilik yang terpisah untuk sekedar beristirahat.

Tetapi keduanya ternyata tidak dapat memejamkan matanya, berbagai macam bayangan telah bermain di dalam angan-angan mereka. Apalagi pada Ki Ajar Respati, bukan saja tentang Kiai Rancangbandang, Panon dan orang yang mencarinya, tetapi ia mulai beranganangan pula tentang murid-murid dan anaknya yang muda.

“Mudah-mudahan mereka tidak sia-sia dalam pengasingan diri selama aku disibukkan oleh persoalan yang sebenarnya tidak banyak aku ketahui ujung pangkalnya ini” katanya kepada diri sendiri.

Namun ia percaya, bahwa kedua muridnya yang pernah menempuh jalan sesat bersama anaknya yang tua, yang terbunuh justru oleh Panon Suka itu, benar-benar menyadari betapapun buruknya tingkah laku mereka di masa lampau dan kini mereka sedang menempa diri dengan tujuan hidup yang lain dari yang pernah mereka lakukan itu bersama dengan anaknya yang muda.

“Jika aku sudah selesai dengan persoalan yang tidak aku mengerti ini, aku akan segera berada kembali diantara mereka dalam ketenangan” desisnya.

Hari itu, tidak banyak yang dilakukan oleh kedua orang itu, Ki Ajar Respati yang sudah dikenal oleh beberapa orang di sekitar padepokan Kiai Rancangbandang itu berusaha untuk memancing keterangan dari beberapa orang, tetapi tidak seorang yang dapat menceritakan tentang kelompok-kelompok yang memanjat naik Pegunungan Sewu.

“Mereka tidak melalui jalan ini” desis Ki Ajar Respati kepada Ki Reksabahu.

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, katanya, “Jika aku tahu seperti ini, aku kira lebih baik mengikuti jejak kaki-kaki kuda itu”

“Jika saja aku tahu, untunglah bahwa aku tidak tahu sebelumnya”

Ki Reksabahu tidak menyahut, ia pun menyadari, jika seseorang mengerti apa yang akan terjadi, maka akan jarang sekali seseorang menyesali perbuatannya yang keliru.

Sementara itu, kedua orang itu pun mulai menjadi berdebar-debar mereka langit menjadi semakin buram, perlahan-lahan malam mulai turun, keduanya memperhitungkan bahwa orang yang mencari Ki Ajar Respati itu akan datang lagi untuk suatu persoalan yang penting.

Diam-diam keduanya telah mempersiakan diri menghadapi segala kemungkinan, bahkan seandainya mereka harus menghadapi kekerasan.

Karena itulah, maka keduanya pun justru tidak berada di dalam rumah, mereka berdua duduk di pendapa menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.

Semilirnya angin malam terasa dingin sampai ke tulang, dedaunan bergerak-gerak saling bersentuhan seolah-olah ingin saling menghangatkan diri.

Gelap malam semakin lama menjadi semakin pekat, namun Ki Reksabahu masih duduk di pendapa bersama Ki Ajar Respati.

Di halaman dua orang pekerja di padepokan itu melintas dan hilang di longkangan samping.

Terasa malam menjadi semakin sepi, namun hati kedua orang itu rasa-rasanya menjadi semakin bergelora, mereka mulai merasakan sentuhan firasat, bahwa memang ada seseorang yang mendekati pendapa itu.

Kedua orang itu pun seperti bersepakat, bergeser setapak, kemudian bersama-sama bangkit dan bergerak saling menjauhi, keduanyapun kemudian turun tangga pendapa di tempat yang berseberangan dan berdiri tegak di halaman.

Sejenak kemudian keduanya melihat pintu tegol halaman bergeser perlahan-lahan, dengan tegang keduanyapun melihat sesosok bayangan yang bergeser patah-patah memasuki regol itu.

Tetapi bayangan itu pun segera berhenti, agaknya ia pun segera melihat bahwa di halaman itu telah menunggu dua orang yang berdiri tegak dengan penuh kesiagaan menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak mereka hanya saling berpandangan meskipun mereka tidak segera dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 11

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 09

ISTANA YANG SURAM

Jilid 9

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-09PINTEN tertawa pendek, katanya, “Puteri, tentu kita tidak akan membiarkan diri kita menjadi korban kebiadabannya, apapun yang terjadi, lebih baik kita melakukan sesuatu, jika dengan demikian kita akan terbunuh, barangkali itu memang lebih baik daripada jatuh ditangannya.

“Gila” teriak Bramadara, “Kau yang pertama yang harus aku akan bunuh”

Pinten memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak, tidak ada gunanya lagi kau menakut-nakuti aku. Jika aku dapat kau takut-takuti, aku tentu sudah ketakutan sejak tadi, sejak kekuatan sirep yang tajam itu menyentuh bilik ini”

“Kau sadar bahwa kau telah terbius oleh kekuatan sirep?”

“Aku sadar. Dan aku sama sekali tidak terbius oleh kekuatan sirep yang tidak berarti apa-apa itu. Mungkin biyung benar-benar telah kehilangan kesadarannya untuk waktu yang panjang. Tetapi aku tidak. Aku tahu semuanya yang telah terjadi. Dan aku sekarang tidak akan berpura-pura lagi tertidur dan menyilangkan kaki sambil menggeliat”

“Anak setan, siapakah kau sebenarnya?”

“Pinten, namaku Pinten, anak Nyi Upih”

Bramadara menggeram, ternyata bahwa ia telah berhadapan dengan seorang gadis yang lain dari yang dibayangkan. Pinten tidak menjadi ketakutan dan menggigil, serta menurut segala perintahnya. Tetapi tiba-tiba ia berdiri dengan garang tanpa membayangkan ketakutan.

“Kau melakukan sesuatu yang berbahaya bagi jiwamu, Pinten” berkata Bramadara kemudian.

“Kita mempunyai kesempatan yang sama, kau pun telah melakukan sesuatu yang membahayakan jiwamu”

Kemarahan Bramadara tidak tertahankan lagi. Dengan serta merta ia pun menyerang Pinten yang berdiri tegak meng-hadapinya.

Tetapi ternyata Pinten memang lincah. Ia meloncat ke samping untuk mendapatkan tempat yang agak luas, sehingga ia mendapat banyak kesempatan untuk melawan laki-laki yang tidak dikenalnya itu.

Sejenak kemudian keduanya sudah bertempur di ruangan yang tidak begitu luas tu. Ternyata Pinten bukannya seorang gadis manja yang bodoh dan nakal. Ia mampu menghadapi laki-laki yang garang yang diam-diam memasuki bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

Raden Ayu dan Inten menjadi membeku karenanya. Ia melihat Pinten berkelahi dengan lincahnya, seolah-olah sama sekali bukan Pinten yang dikenalnya sehari-hari.

Namun Pinten merasa bahwa kain panjangnya semakin semakin lama semakin mengganggu tata geraknya dalam perkelahian yang semakin seru itu. Kerena itu, tanpa ragu-ragu ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya tinggi-tinggi.

“O…..” Inten memalingkan wajahnya, namun ia masih sempat melihat, bahwa di dalam kain panjangnya, Pinten ternyata memakai pakaian seperti pakaian seorang laki-laki.

Sejenak kemudian perkelahian di dalam bilik itu pun menjadi semakin seru, tidak diduga-duga sama sekali bahwa gadis itu mampu memberikan perlawanan yang cepat dan lincah, setiap serangan Bramadara dapat dihindarinya. Sehingga tubuhnya sama sekali tidak dapat disentuh oleh tangan lawannya.

“Kau memang anak iblis” geram Bramadara.

Pinten tidak menyahut, lawannya meiliki ilmu yang tinggi, sehingga kerana itu, maka ia pun mengerahkan kemampuannya untuk bertempur pada jarak yang pendek.

Namun agaknya ia memang mempunyai kekuatan yang cukup, ia tidak saja menghindari serangan-serangan lawannya, tetapi dalam keadaan memaksa ia harus menangkis serangan-serangan itu, dengan kekuatannya.

Setiap benturan membuat Bramadara menjadi berdebar-debar, gadis itu mempunyai kekuatan seperti laki-laki.

Nampaknya Pinten mengerti, bahwa lawannya sedang dicengkam oleh keheranan bukan saja karena ilmunya, tetapi juga karena kekuatannya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Jangan heran bahwa akupun mampu mengimbangi kekuatanmu, setiap hari aku berlatih mengambil air dari sumur dan membawanya dengan kelenting ke pakiwan dan ke dapur”

“Persetan” geram Bramadara, “Kau agaknya termasuk salah seorang dari mereka yang ingin mencuri pusaka itu dengan berpura-pura menjadi anak Nyi Upih, jika demikian tentu pelayan itu pun telah berkomplot dengan kau, dan mengaku kau sebagai anaknya”

Pinten tertawa, jawabnya, “Kau sedang mencari-cari dalih untuk membuat hatimu menjadi tenang. He, kau dengar bahwa diluar telah terjadi pertempuran di tiga lingkaran?”

“Setan, siapa yang telah mengganggu usaha kami? Siapa?, kau tentu mengetahuinya”

Pinten masih tertawa, tetapi ia tidak segera menjawab.

Sebenarnyalah diluar memang telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Ketika Panon dan Ki Mina terdesak, maka seseorang yang bersembunyi di balik gerimbul petamanan tidak dapat berdiam diri, karena itulah maka ia pun segera meloncat keluar.

Sebenarnyalah diluar memang telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Ketika Panon dan Ki Mina terdesak, maka seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul pertamanan tidak dapat berdiam diri, karena itulah maka ia pun segera meloncat keluar.

“Sangkan, bersembunyi sajalah.” teriak Panon

Tetapi Sangkan tidak meninggalkan tempatnya, bahkan ia pun kemudian mendekati arena sambil berkata tenang jauh berbeda dengan suaranya yang biasa, “Tidak adil, empat orang melawan dua orang”

“Apa yang akan kau lakukan anak gila?” teriak Kidang Alit.

“Kidang Alit, kau memang licik, tetapi ternyata kelicikanmu sudah sampai kepuncak”

“He, apa maumu, akan aku cekik kau sampati mati” teriak Panji Sura Wilaga.

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak dapat meninggalkan lawannya begitu saja, karena Panon telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengikat lawannya.

Sementara itu Sangkan berkata sebenarnya, “Kidang Alit, dimanakah kawanmu yang seorang lagi, bukankah itu termasuk rencanamu untuk mendahului Raden Kuda Rupaka untuk mendapatkan pusaka itu?”

Pertanyaan itu ternyata bukan saja mengejutkan Kidang Alit sendiri, tetapi juga Kuda Rupaka, namun ia tidak sempat menanggapinya, karena Kidang Alit mendahuluinya berteriak, “Kau memang anak iblis yang paling gila, pasti kau telah membunuh kawanku itu dengan caramu yang licik”

Sangkan menjawab sambil tertawa, “Jangan mencari-cari alasan lain, kebohongan yang tidak direncanakan secara rapi pasti akan ketahuan dan mengakibatkan rencanamu justru manjadi berantakan”

Kemarahan Kidang Alit ternyata tidak dapat ditahankannya lagi, dengan serta merta ia meninggalkan Ki Mina, langsung menyerang Sangkan.

“Sangkan, awas” teriak Ki Mina.

Tetapi ternyata Sangkan bukanlah Sangkan yang mereka kenal sehari-hari, meskipun serangan Kidang Alit yang sangat tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, namun Sangkan dapat menghindar-kan diri dengan mudah sambil berkata, “Nampaknya kau benar-benar marah Kidang Alit”

Kidang Alit tidak menjawab, tetapi serangannya datang kembali secara beruntun seperti bendungan yang jebol.

Dengan demikian maka arena perkelahian itu pun segera bertambah, bukan hanya dua lingkakran tetapi tiga lingkaran. Sangkan dengan tidak terduga-duga telah menerjunkan diri ke dalam arena perkelahian itu.

Dengan demikian maka Ki Mina pun mendapat banyak kesempatan untuk balas menyerang, setelah Kidang Alit meninggalkannya,. Meskipun ia masih digelayuti oleh kecemasan tentang anak pelayan yang dungu itu. Bahkan hampir diluar sadarnya, ia berusaha untuk memaksa lawannya bertempur di dekat lingkaran pertempuran antara Sangkan dan Kidang Alit.

Tetapi ternyata Ki Mina melihat tata gerak Sangkan untuk beberapa saat, maka ia pun benar-benar yakin, bahwa Sangkan bukan saja didera oleh kegilaannya, tetapi ia memang benar-benar mampu menguasai tata gerak dalam olah kanuragan yang dapat mengimbangi Kidang Alit.

Karena itulah Ki Mina kemudian merubah arena perkelahiannya. Perlahan-lahan ia mendekati lawannya bergeser mendekati Raden Kuda Rupaka besama dengan Panji Sura Wilaga yang berusaha membinasakan Panon.

Panon memang mengalami kesulitan, perlahan-lahan namun pasti, ia pun semakin terdesak, hanya sekali-sekali, Ki Mina berhasil mengurangi tekanan kedua lawan Panon, jika ia sempat meninggalkan lawannya sesaat. Tetapi lawannya selalu berusaha untuk membatasi kedua arena perkelahian itu, sehingga tidak bergabung menjadi satu lingkaran.

Sangkan pun melihat, kesulitan yang semakin menekan Panon, karena itu, maka ia pun kemudian memaksa dirinya untuk tertawa sambil berkata, “Raden, ternyata bahwa Raden masih belum selicik Kidang Alit, jika Raden kali ini bersedia bekerja bersama, itu berarti bahwa Kidang Alit sudah meninggalkan kepentingan Raden sendiri”

“Tutup mulutmu anak gila” teriak Kidang Alit sambil memperhebat serangannya.

Tetapi Sangkan masih dapat mengelak, bahkan sambil tertawa, “Jangan marah, aku mengucapkan selamat kepadamu. Jika kita semuanya ini adalah orang-orang yang menginginkan pusaka yang disimpan di istana ini, maka kaulah yang akan berhasil lebih dahulu, meskipun kau masih harus berjuang untuk menyingkirkannya dari daerah pegunungan Sewu, karena akupun yakin, di sekitar daerah ini, Disela-sela puntuk-puntuk kecil dan di lembah-lembah yang tersembunyi, telah menunggu orang-orang yang juga menginginkan pusaka itu seperti kita semuanya”

“Kau jangan mengigau”

“Tentu tidak, tetapi aku yakin, kau akan berhasil, karena sekarang ini, salah seorang dari kawanmu telah memasuki istana dan memaksa Raden Ayu dan puteri untuk menyerahkan pusaka itu”.

Kidang Alit benar-benar dibakar oleh kemarahan yang memuncak, tetapi benar-benar diluar dugaan bahwa Sangkan itu mampu melawannya dengan ilmu yang sulit dimengerti, karena tata geraknya yang sederhana dan bahkan seolah-olah ia mengindar secara tidak disengaja.

“Tetapi justru karena ia benar-benar berhasil menguasai ilmu yang sangat tinggi” desis Kidang Alit di dalam hatinya.

Tetapi Kidang Alit pun merasa dirinya membawa bekal yang cukup di dalam tugasnya, karena itulah maka ia pun berusaha sekuat-kuatnya dapat membinasakan lawannya.

Namun sementara itu, usaha Sangkan pun nampaknya sudah berhasil, Kuda Rupaka nampak gelisah, setiap kali ia berpaling memandang pintu butulan yang terbuka, seolah-olah ingin mengetahui, apakah yang telah terjadi di dalamnya.

Panji Sura Wilaga pun menggeram, bahkan ia berkata, “Aku akan membunuh setan yang telah memasuki istana itu”

Kuda Rupaka tiba-tiba saja mengangguk kecil sambil berkata, “Lakukanlah, aku akan menyelesaikan pengemis gila ini”

Panji Sura Wilaga tidak menunggu lebih lama lagi, tiba-tiba saja ia meloncat meninggalkan lingkaran perkelahiannya dan berlari memasuki pintu butulan.

“Setan” terika Kidang Alit, “Kau mengingkari penjanjian kita”

“Perjanjian yang mana?” Kuda Rupaka menyahut.

“Perjanjian bahwa kita akan menyelesaikan kedua pengemis ini lebih dahulu sebelum kita sendiri terlibat dalam pertikaian”

“Kau yang terlebih dahulu melanggar perjanjian itu dengan menyuruh kawanmu untuk mendapatkan pusaka itu terlebih dahulu.”

“Persetan, semuanya akan aku binasakan malam ini juga.”

Tidak ada jawaban. Masing-masing masih harus memeras tenaga dan kemampuan untuk saling mempertahankan hidupnya.

Sementara itu, Sangkan pun menjadi berdebar-debar, Panji Sura Wilaga berhasil disingkirkan dari arena perkelahian itu sehingga Panon telah kehilangan seorang lawan. Dengan demikian ia mendapatkan kesempatan untuk membebaskan dirinya dari kemungkinan yang paling buruk.

Jika Panji Sura Wilaga dan orang yang memasuki istana itu mendapat persesuaian pendapat untuk menyingkirkan Pinten lebih dahulu, sehingga Pinten harus bertempur melawan dua orang, maka adiknya itu tentu akan mengalami kesulitan.

Namun menurut perhitungannya, Panji Sura Wilaga tentu akan berusaha untuk mengusir kawan Kidang Alit itu keluar dari Istana itu.

Ketika Panji Sura Wilaga berlari-lari memasuki ruang dalam, Pinten masih bertempur dengan lincahnya, karena ruangan itu tidak terlalu luas, maka ia berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Kecepatannya bergerak telah membantunya mendesak lawannya yang lebih banyak mempergunakan kekuatan tenaganya, karena ia menyangka bahwa kekuatan Pinten tidak akan dapat menyamainya.

Tetapi Bramadara tidak pernah mendapat kesempatan, karena Pinten rasa-rasanya selalu berputaran di sekitarnya dengan serangan yang cepat meskipun kadang-kadang sekedar membuat lawannya bingung.

Pada saat itulah tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga yang sangat marah langsung menghantam pintu sehingga derak suaranya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Pinten dan Bramadara yang memang sudah mendengar langkah itu pun dengan serta merta meloncat surut untuk mendapat kesempatan melihat siapakah yang akan memasuki ruangan itu.

Sejenak kemudian merekapun tertegun melihat seseorang berdiri dengan wajah merah membara di depan pintu yang berserakan itu. Sementara itu Nyi Upih yang terbangun merangkak ketakutan ke sisi pembaringan Raden Ayu yang duduk berpelukan dengan Inten.

“Panji” Raden Ayu berdesis.

Panji Sura Wilaga sama sekali tidak mendengar suara itu, karena yang nampak olehnya hanyalah seorang laki-laki yang telah mendahuluinya memasuki bilik itu.

“Persetan” geram Bramadara yang sudah dapat mengetahui perasaan apakah yang mencengkam jantung Panji Sura Wilaga.

“Kidang Alit memang sangat licik” desis Panji Sura Wilaga, “Jangan mencoba mendahului kami”

Bramadara menjadi tegang, namun ia pun kemudian tertawa, “Ternyata kau sudah berterus terang, kedatanganmu kemari sama sekali tidak untuk menyelamatkan keluarga ini, karena kau pun menghendaki pusaka itu juga”

“Omong kosong”

“Kau sendiri minta agar aku tidak mendahuluimu, karena itu, maka sebenarnya bagi Raden Ayu, kau atau aku, Kidang Alit atau Raden Kuda Rupaka, memang tidak ada bedanya”

“Persetan, aku akan membunuhmu”

Bramadara masih tertawa, namun tiba-tiba suara tertawanya terputus karena Panji Sura Wilaga telah menyerangnya dengan cepat.

Pinten bergeser mundur, ia sadar, bahwa Panji Sura Wilaga sama sekali belum sempat memperhitungkannya, karena perhatiannya langsung terampas oleh kehadiran laki-laki itu.

Sejenak kemudian, keduanya sudah terlibat perkelahian yang seru, namun seperti berjanji keduanya berusaha keluar dari bilik itu dan bertempur di ruang dalam yang lebih luas.

Setelah keduanya melontarkan diri keluar dari pintu bilik itu, Inten Prawesti meloncat dan memeluk Pinten. Ia tidak lagi dapat menahan gejolak batinnya. Apalagi ketika ia melihat Pinten telah berhasil melindunginya dari jamahan tangan laki-laki yang tidak dikenal dan mengurungkannya untuk membunuh diri.

Kedua gadis itu berpelukan. Pinten masih juga dicengkam oleh perasaannya sebagai seorang gadis. Ia tidak melihat Inten menangis dalam pelukannya, sehingga air matanya pun telah meleleh pula di pipinya.

“Pinten” terdengar kemudian suara Raden Ayu yang mendekatinya, “Yang kau lakukan benar-benar diluar dugaan kami. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih padamu, karena yang kau lakukan adalah menyelamatkan nyawa kami”

Pinten melepaskan Inten perlahan-lahan, kemudian sambil mengusap air matanya ia berkata, “Masih belum selesai Raden Ayu, aku mohon, kita semuanya berdoa, mudah-mudahan malapetaka ini tidak menimpa kita semuanya”

Raden Ayu mengangguk-angguk, dipandanginya Nyi Upih yang masih duduk disisi pembaringan, katanya, “Nyai, agaknya kau pun telah berbuat banyak bagi keselamatan kami. Namun kau telah menyisipkan sebuah teka-teki yang besar kedalam hati kami”

Nyi Upih tidak segera menyahut, sementara itu Raden Ayu melanjutkan, “Sudah banyak teka-teki yang tidak terjawab di sekitar rumah ini, namun teka-teki yang ada padamu adalah teka-teki yang terbesar”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, tetapi sebelum ia menjawab, Pinten sudah mendahuluinya, “Raden Ayu, agaknya kita belum mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkan teka-teki itu. Diruang dalam masih terjadi pertempuran, demikian juga di halaman, karena itu, aku mundur diri, mungkin aku masih perlu untuk berbuat sesuatu”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia harus melepaskan Pinten untuk keluar dari bilik itu, meskipun dengan hati yang cemas.

“Hati-hatilah Pinten”

“Aku mohon diri puteri”

Pinten pun kemudian meninggalkan Inten yang masih sibuk mengusap air matanya, perlahan-lahan ia mendekati pintu yang rusak, di luar bilik itu, masih terjadi perkelahian yang sangit antara Panji Sura Wilaga yang marah melawan Bramadara.

Sesaat Pinten memandang perkelahian itu dengan ragu-ragu, tetapi kemudian Intenpun mengerutkan keningnya sambil melangkah maju, untuk meyakinkan apakah yang akan terjadi kemudian dengan perkelahian itu.

Ternyata perkelahian itu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang biasa, sehingga sejenak kemudian, maka ruangan itu pun telah menjadi berantakan. Amben bambu di sudut telah pecah manjadi kepingan-kepingan kayu dan pecahan-pecahan bambu. Sedangkan pintu pringgitanpun telah rusak pula karena sentuhan tenaga mereka yang sedang berkelahi itu.

Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga diluar sadar, mereka keduanya telah terlontar melanggar dinding, dan langsung terlempar keluar karena dinding kayu yang sudah lapuk itu jebol.

Perkelahian berlanjut di halaman samping, keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan masing-masing untuk segera mengalahkan lawannya.

Pinten pun kemudian ikut pula turun ke halaman melihat perkelahian yang dahsyat itu. Kedua orang yang sedang mempertaruhkan nyawanya itu seolah-olah sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga dengan demikian Pinten dapat memperhatikan perkelahian itu dengan seksama, dari pengamatannya ia melihat Panji Sura Wilaga berada diatas kemampuan Bramadara.

Bramadara mulai terdesak meskipun kemudian ia berkelahi semakin kasar, bukan saja tandangnya, tetapi mulutnya pun mulai berteriak sambil mengumpat karena kemarahan yang memuncak.

Pinten mengikuti perkelahian itu dengan seksama, jika arena perkelahian diantara Bramadara dan Panji Sura Wilaga bergeser, ia pun ikut bergeser pula selangkah.

Kidang Alit yang bertempur melawan Sangkan akhirnya sempat melihat apa yang telah terjadi atas Bramadara. Agaknya ia masih belum berhasil ketika Panji Sura Wilaga menyusulnya.

“Anak gila” geram Kidang Alit di dalam hatinya

“Kenapa ia tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan segera”

Tetapi yang terjadi harus diterimanya sebagai suatu kenyataan, seperti hadirnya Sangkan di dalam arena perkelahian itu, karena sebelumnya sama sekali tidak pernah diduganya.

Kidang Alit tidak dapat melihat perkelahian antara Bramadara dan Sura Wilaga dengan jelas, karena gelapnya malam, meskipun dalam saat-saat tertentu ia dapat mengerti, apakah yang telah terjadi. Apalagi kesempatannya untuk memperhatikan perkelahian itu pun sangat sempit karena tekanan Sangkan yang terasa semakin berat.

Ia menjadi heran ketika ia melihat seorang perempuan dengan sengaja telah memperhatikan, bahkan mengikuti arena perkelahian itu.

Kidang Alit tidak sempat memperhatikan, namun menilik sikapnya, perepempuan itu tentu bukan Inten Prawesti. Ia menjadi heran, bahwa seorang perempuan agaknya dengan sadar sepenuhnya telah mendekati arena perkelahian yang dahsyat itu.

Ia terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar Sangkan tertawa sambil berkata, “Kidang Alit, silahkan, aku akan mengendorkan serangan-seranganku jika kau masih sibuk memperhatikan gadis itu”

“Persetan” geram Kidang Alit.

“Aku tidak berkeberatan jika kau memandanginya sepuasmu” bahkan Sangkan pun kemudian berkata nyaring, “Pinten, ternyata Kidang Alit memandangimu tanpa berkedip, sebaiknya kau berganti pakaian lebih dahulu sebelum kau turun ke halaman ini”

“Apa pedulimu” sahut Pinten.

“Aku memang tidak peduli, tetapi Kidang Alit lah yang memperdulikanmu”

Tetapi suara Sangkan terputus ketika serangan Kidang Alit hampir menyentuh wajahnya, namun ia sempat tertawa sambil melompat surut.

“Nah, baru kau jera” teriak Pinten, “Hampir saja kau kehilangan hidungmu”

“Tentu tidak, hidungku masih ada pada tempatnya”

Kidang Alit merasa seolah-olah jantungnya tersentuh api, kemudian ia pun bertempur semakin sengit, serangan-serangannya datang membadai mendesak Sangkan beberapa langkah lagi.

Namun dalam pada itu, Kidang Alit menjadi bingung menghadapi kedua orang yang semula dikenalnya sebagai anak Nyi Upih itu, Sangkan ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, sedangkan Pinten pun agaknya mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang sudah barang tentu dalam keadaan serupa yang dihadapinya, gadis itu tentu mempunyai kemampuan menjaga dirinya sendiri.

Sementara itu, Kuda Rupaka harus bertempur memeras kemampuan yang ada padanya. Lawannya yang dikenalnya sebagai seorang perantau itu memiliki kecepatan bergerak yang tidak disangka-sangka. Setiap serangan betapapun cepatnya, nampaknya sama sekali tidak akan dapat menyentuhnya.

Dalam pada itu, Ki Mina masih juga harus berjuang mempertaruhkan nyawanya, namun terasa bahwa tekanan lawannya masih akan dapat diatasinya, jika ia tidak membuat kesalahan atau lengah.

Yang mendekati akhir dari perkelahian itu adalah Bramadara dan Panji Sura Wilaga, keduanya sudah mengerahkan segenap kemampuan yang ada, ternyata hentakan kekuatan Bramadara telah mengejutkan Panji Sura Wilaga yang merasa semakin mendesak, tiba-tiba saja Bramadara mampu melenting dengan serangan yang tajam menukuk langsung ke wajahnya.

“Gila” Panji Sura Wilaga mengumpat sambil bergeser ke samping. Bramadara tidak melepaskan kesempatan berikutnya, dengan sebuah teriakan nyaring, maka ia pun meloncat maju dengan menjulurkan tangannya lurus ke depan, sementara senjatanya tiba-tiba saja berubah arah dalam putaran yang meskipun lambat, tetapi cukup mengejutkan lawannya yang sedang berusaha menangkis serangan itu, namun serangan itu bukannya serangan yang sebenarnya, secepat kilat Bramadara menarik senjatanya dan serangan yang datang sebenarnya kemudian meluncur seperti tatit menyambar dada lawannya yang terbuka.

Panji Sura Wilaga terkejut melihat serangan yang tidak diperhitungkannya itu, namun ia adalah seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, itulah sebabnya maka ia pun tidak segera kehilangan akal. Meskipun ia mengalami kesulitan, namun ia masih tetap mempunyai perhitungan yang cermat.

Tetapi menghadapi serangan itu, memang tidak ada pilihan lain, untuk mengerahkan segenap kamampuan dan tenaga untuk bergeser menghindar sambil menangkis senjata lawannya.

Namun senjata lawan yang menyerangnya dengan derasnya itu seolah-olah telah digerakkan oleh nafas maut. Betapapun juga Panji Sura Wilaga berusaha, namun senjata itu masih sempat menyentuh dan melukai di keningnya, walaupun tidak parah, tetapi darah yang menitik dari luka itu dan terusap oleh tangan kirinya, membuat jantung Panji Sura Wilaga seperti berhenti.

Bramadara tertegun sejenak, ia kecewa bahwa serangannya masih juga dapat dihindarkan, meskipun menyentuh kening, tetapi luka yang kecil itu telah memberi sedikit harapan untuk memangakan pertempuran.

Luka di kening Panji Sura Wilaga bagaikan minyak yang disiramkan ke api yang menyala di dada Panji Sura Wilaga, kemarahan yang memuncak telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang dan kasar, serangan-serangannya datang beruntun seperti gelombang di Laut Selatan.

Bramadara kemudian menjadi semakin terdesak, ketika ia mengulangi serangannya yang menghentak dan dengan gerak yang tipuan, ternyata Panji Sura Wilaga telah menjadi waspada, bahkan ketika Bramadara gagal mengulangi serangannya itu, tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga telah menyerangnya dengan tata gerak yang tidak disangka-sangkanya pula.

Dengan bergeser selangkah kesamping Panji Sura Wilaga tibga-tiba saja merendahkan dirinya, senjatanya langsung menusuk lurus ke lambung Bramadara. Meskipun Bramadara dapat menghindar dan dengan ayunan senjatanya memotong serangan itu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga melenting dan menyambar pundak.

Tidak ada cara lain daripada meloncat surut sambil merendah untuk menghindarkan serangan yang mungkin akan terjulur memanjang. Namun Panji Sura Wilaga menarik senjatanya dan sekali lagi meloncat sambil menjulurkan ujung senjatanya mengarah dada.

Bramadara tidak dapat berbuat lain, ia hanya dapat berusaha menangkis serangan itu, namun serangan berikutnya ternyata telah mengakhiri perkelahian dahsyat itu, dengan cepat Sura Wilaga menarik senjatanya dan merubah arah serangannya, tidak ada seorangpun yang dapat menolong Bramadara dari serangan maut, ketika ujung senjata Sura Wilaga kemudian membelah perutnya.

Yang terdengar kemudian jerit nyaring. Senjata Bramadara terlempar beberapa langkah daripadanya. Dengan kedua tangannya Bramadara menahan isi perutnya yang hampir tertumpah lewat goresan yang agak dalam dan lebar.

Namun ia tidak dapat bertahan terlalu lama, sejenak kemudian, ia pun terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.

Pinten memalingkan wajahnya, ia bergeser selangkah menjauh, yang didengarnya kemudian adalah geram Panji Sura Wilaga yang sedang dibakar oleh kemarahannya.

Dengan kasarnya Panji Sura Wilaga menyentuh tubuh Bramadara dengan kakinya, kemudian tatapan matanya yang liar segera beredar keseluruh bagian halaman.

Dalam pada itu, Kidang Alit yang melihat kematian Bramadara menggeram, kemarahan yang tiada tertahankan lagi telah menyatu di hatinya. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia masih terikat perkelahian dengan Sangkan yang ternyata tidak dapat diabaikannya.

 

“Gila” tiba-tiba Kidang Alit berteriak sekeras-kerasnya untuk melontarkan pepat di hatinya, “Aku akan membunuh semua orang, semua termasuk perempuan-perempuan yang aa di dalam istana ini”

Sangkan yang melawannya dengan sengit tiba-tiba saja telah manjawab, “Jangan berteriak-teriak Kidang Alit, sebaiknya kau mempergunakan ilmumu untuk bertempur, bukan mulutmu untuk sekedar menakut-nakuti”

Sementara Panon yang tidak banyak mengeluarkan perkataannya bertempur melawan Kuda Rupaka yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi, hanya karena latihan yang matang sajalah maka Panon dapat bertahan.

Sekali-sekali Ki Mina melihat perkelahian antara kedua anak muda itu, sambil mengerutkan keningnya ia mencoba menilainya meskipun ia tidak mempunyai banyak kesempatan karena ia sendiri harus bertempur melawan salah seorang kawan Kidang Alit.

“Jika Panon mempunyai pengalaman yang cukup, maka ia tentu tidak akan banyak mengalami kesulitan mengatasi Kuda Rupaka, karena pada dasarnya, ia memiliki ilmu yang lebih baik. Tetapi agaknya Panon benar-benar memerlukan pengalaman bertempur yang cukup.

Panji Sura Wilaga yang sudah kehilangan lawannya, tiba-tiba saja memandangi Pinten yang berdiri termangu-mangu, sejenak ia bagaikan membeku. Namun kemudian terdengar suaranya gemetar, “Dimanakah pusaka itu Pinten?”

Pinten masih berdiri di tempatnya, dipandanginya Panji Sura Wilaga yang bagaikan kerasukan hantu. Bahkan terasa juga tengkuk Pinten meremang ketika ia melihat wajah yang merah oleh darah yang menetes dari keningnya.

“Cepat” Panji Sura Wilaga berteriak, “Kau jangan menyangka bahwa kali ini aku hanya menakut-nakuti, perempuan gila”

Pinten mundur selangkah.

“Ayo cepat, atau aku harus membunuhmu dan membunuh semua orang di dalam istana ini”

Adalah diluar dugaan sama sekali bahwa tiba-tiba saja Pinten menjawab, “Panji Sura Wilaga, jangan kau membentak-bentak saja, jika keningmu merasa sakit, bukan akulah yang melukaimu”

“Diam, diam!!, aku akan membunuhmu, kemudian memaksa perempuan tua itu untuk menunjukkan dimanakah pusaka itu”

Namun sekali lagi jawab Pinten yang tidak diduga-duga, “Tadi, orang yang kau bunuh itu juga mengancam aku seperti itu, tetapi aku sama sekali tidak takut.”

Panji Sura Wilaga menyerang dan mengarahkan pedangnya kearah Pinten, tetapi Pinten tidak membiarkan dadanya dilubangi oleh senjata Panji Sura Wilaga, apalagi Panji Sura Wilaga masih belum memperhitungkan kemungkinan yang dapat dilakukan Pinten sehingga serangannya sama sekali tidak sepenuh tenaga.

Ternyata Pinten mampu mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, dengan tangkasnya ia mengelak, justru meloncat mendekati Panji Sura Wilaga, dengan sekuat tenaganya ia memukul pergelangan tangan Panji Sura Wilaga dengan kedua belah sisi telapak tangannya yang dilambari perhitungan yang matang, sehingga tangannya tepat mengenai segi kelemahan di pergelangan tangan itu.

Terdengar sebuah keluhan tertahan, rasa-rasanya sendi di pergelangan tangan Panji Sura Wilaga terlepas, perasaan sakit telah menyengat bukan saja pada pergelangan itu, tetapi seakan-akan telah merambat di seluruh tubuhnya.

Tetapi yang penting bagi Pinten, serangannya yang tiba-tiba dan yang sama sekali tidak diduga oleh Panji Sura Wilaga berhasil membuat senjatanya terlepas dari tangannya.

Panji Sura Wilaga yang marah itu berteriak sekali lagi sambil berusaha memungut senjatanya yang terjatuh. Tetapi sekali lagi ia terkejut bukan kepalang, sewaktu ia membungkukkan badannya, Pinten sudah menyerangnya dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sama sekali. Loncatan yang cepat disusul dengan serangan kaki yang kuat telah mengenai pundak Panji Sura Wilaga.

Ternyata bahwa serangan itu telah melemparkan Panji Sura Wilaga terjatuh dan terguling beberapa kali diatas tanah.

Yang terjadi benar-benar telah mencengkam setiap hati, mereka yang bertempur berpasanganpun terkejut. Apalagi mereka yang sempat menyaksikan apa yang telah terjadi.

Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka menggeram, bahkan Kuda Rupaka kemudian berteriak, “Betina liar, Paman Panji, ternyata selama ini kita telah ditipu oleh sikap pura-puranya, jangan ragu-ragu. Bunuh saja perempuan itu”

Panji Sura Wilaga telah meloncat bangkit, tetapi tangannya masih terasa nyeri di pergelang tanganannya, apalagi pedangnya sudah tidak berada lagi di tangannya.

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak menggantungkan dirinya pada senjatanya, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga tanpa senjata pun ia akan mampu berbuat sesuatu.

Sejenak kemudian Panji Sura Wilaga telah siap untuk bertempur melawan perempuan yang selama ini dikenalnya, seolah-olah hanyalah seorang gadis yang lemah dan dungu. Namun tiba-tiba telah berubah menjadi seekor macan betina yang berbahaya.

Panji Sura Wilaga tidak lagi memperhatikan siapakah lawannya, yang ada di benaknya hanyalah desah nafas maut. Ia hanya bertempur untuk membunuh lawannya secepat-cepatnya, siapapun lawannya itu.

Sementara itu Kuda Rupaka masih juga berjuang melawan anak muda yang dianggapnya selalu menganggu usahanya di dalam istana itu. Namun demikian, lawannya bukannya tidak dapat menjaga dirinya sendiri. Bahkan semakin lama perantau itu rasa-rasanya menjadi semakin garang. Tandangnya semakin mapan dam ilmunya bagaikan mengalir semakin deras ketika tubuh anak muda itu sudah basah oleh keringat.

Yang mengumpat sambil mengarahkan tenaganya adalah Kidang Alit. Ia telah menjumpai lawan yang tidak disangka sebelumnya. Bahkan ternyata anak muda yang disangkanya kurang waras itu meiliki ilmu yang tidak dapat ditundukkannya dalam waktu yang cukup lama.

Bahkan masih ada lagi perempuan yang telah menganggu usaha mereka untuk melaksanakan maksudnya.

“Tentu Pinten telah menghalangi Bramadara sehingga saatnya Panji Sura Wilaga muncul dan menjebak keduanya dalam perkelahian” desis Kidang Alit di dalam hatinya, “Jika aku tahu, maka keduanya sebenarnya dapat bersama-sama membunuh perempuan itu lebih dahulu.”

Tetapi semuanya telah terjadi, dan Kidang Alit tidak akan dapat mulai dari permulaan sekali. Ia kini berhadapan dengan Sangkan yang seperti Pinten, untuk waktu yang lama telah dianggap sebagai seorang anak muda yang tidak berarti apa-apa. Selain mengganggu dan memuakkan. Tetapi ternyata kini ia mempu menunjukkan bahwa ia tidak kalah dari anak-anak muda yang sedang berkumpul di halaman istanan untuk mengadu kemampuan diri dengan taruhan nyawa.

Dalam pada itu Panji Sura Wilaga yang telah terluka di kening dan kehilangan senjatanya benar-benar telah menjadi wuru, tandangnya semakin kasar dan keras, meskipun ia berhadapan dengan seorang perempuan. Perempuan yang benar-benar mengherankan semua orang, kecuali Sangkan.

“Istana ini seolah-olah dihuni oleh orang-orang yang penuh rahasia” berkata Ki Mina di dalam hatinya. Dan ia pun sadar, bahwa ia pun salah seorang dari mereka yang berusaha menyelimuti dirinya dengan penuh rahasia.

“Tidak ada seorang pun yang nampaknya wajar dan menyatakan dirinya disini sebagaimana ia yang sebenarnya” ia melanjutkan.

Demikianlah perkelahian itu pun menjadi semakin sengit antara mereka yang tidak saling mengenal keadaan masing-masing yang sebenarnya. Setiap orang meragukan Kidang Alit, bahwa ia seorang yang sekedar singgah di padukuhan Karangmaja, sebagai seorang petualang dari lingkungan orang kebanyakan. Menilik sifat dan wataknya, maka ia tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang lain dari yang sebenarnya.

Setiap orang pun meragukan, apakah Panon benar-benar perantau, bahkan seorang pengemis yang sekedar singgah mencari belas kasihan bersama pamannya Ki Mina, namun yang ternyata kemudian memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.

Sementara Sangkan dan Pinten telah menimbulkan kejutan disaat-saat perkelahian yang menentukan itu terjadi. Mereka bagai harimau yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak, langsung mengaum dengan dahsyatnya.

Sedangkan Kuda Rupaka, telah menimbulkan keragu-raguan pula bahwa maksud kedatangannya benar-benar berniat baik terhadap Raden Ayu Kuda Narpada, sikap Panji Sura Wilaga dan bahkan Kuda Rupaka sendiri telah menimbulkan kecemasan di hati Raden Ayu.

Justru yang paling wajar diantara mereka yang datang ke istana itu adalah orang-orang perguruan Guntur Geni, mereka datang sebagaimana keadaan mereka yang sebenarnya.

Dan yang terjadi kemudian adalah benturan ilmu dari orang-orang yang masing-masing telah melakukan tugas dalam selubung sandi. Yang satu bertempur dengan segenap kemampuan melawan orang yang tidak diketahuinya, bukan saja keadaan dirinya yang sebenarnya, tetapi juga maksud kedatangannya di istana ini.

Dalam ketegangan yang semakin panas, Pinten ternyata berhasil melindungi dirinya dengan ilmu yang ada padanya. Dengan tangan kosong ia bertempur melawan Panji Sura Wilaga yang telah kehilangan senjatanya pula. Meskipun Panji Sura Wilaga menjadi semakin kasar dan keras, ternyata Pinten sama sekali tidak terdesak, bahkan kecepatan bergeraknya telah mengimbangi kekasaran lawannya yang garang.

Tetapi dalam pada itu, ternyata Panji Sura Wilaga masih mempunyai senjata yang lain, yaitu pisau belati yang tersimpan dibawah ikat pinggangnya. Dengan geram ia mencabut belati itu dari sarungnya dan siap untuk merobek perut Pinten.

Pinten surut selangkah, ia sadar sepenuhnya bahwa Panji Sura Wilaga adalah orang yang sangat berbahaya, apalagi dengan belati itu di tangannya.

Ternyata kemudian Panji Sura Wilaga sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Pinten, serangannya datang membadai. Ujung belatinya menyambar-nyambar seolah-olah mematuk dari segala arah.

Pinten harus berloncatan surut beberapa langkah, Pinten tidak membiarkan dirinya terdesak terus menerus dan apalagi mengalami cidera, sehingga dengan demikian, maka ia pun segera mengeluarkan senjatanya pula.

Senjata Pinten adalah seuntai rantai yang melingkar dibawah ikat pinggangnya, Rantai yang ujungnya dikaitkan sebuah bola baja yang besarnya seperti biji salak namun bobotnya cukup berat dan dapat melumpuhkan lawan. Apalagi ditangan Pinten yang sudah terlatih dengan senjata itu.

Panji Sura Wilaga yang dicengkam oleh kemarahan yang tiada tara, masih juga terkejut, ketika tiba-tiba saja ia mendengar desing yang menyambar diatas kepalanya. Ternyata bola baja itu telah berputar seperti baling-baling dalam dorongan kekuatan yang luar biasa, sehingga menumbuhkan desing yang mendebarkan.

“Gila” geram Panji Sura Wilaga, “Perempuan ini ternyata memiliki kekuatan iblis”

Pinten bergeser selangkah mundur, ia merubah gerak senjatanya, namun kemudian dengan cepatnya, senjata itu terjulur mematuk lawannya.

Panji Sura Wilaga meloncat kesamping, ia harus mempergunakan otaknya untuk melawan senjata Pinten, namun luka di keningnya dan darah yang sudah mendidih, telah mendorongnya untuk segera berusaha membinasakan lawannya.

Dalam ketegangan itu, maka tiba-tiba saja, Panji Sura Wilaga yang masih berusaha mempergunakan nalarnya itu telah meloncat dengan sangat cepatnya dan berguling beberapa kali, justru menjauhi Pinten.

Pinten tidak sempat mencegah, apalagi ia tidak segera tahu maksud lawannya. Baru kemudian ia sadar, bahwa saat Panji Sura Wilaga melenting berdiri, ia sudah menggenggam kembali senjata yang tadi sudah terlepas dari tangannya.

Pinten menarik nafas sejenak, ia sadar sepenuhnya bahwa pertempuran yang berikut akan berarti mempertaruhkan nyawanya.

 

Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya sepenuhnya untuk menghadapinya, dengan sepenuh kemampuan yang ada dan dengan tekad yang bulat, bahwa saatnya sudah tiba untuk mengakhiri segala macam teka-teki yang ada di istana ini.

Demikianlah, maka Pinten pun kemudian mempersiapkan rantainya, sedangkan Panji Sura Wilaga siap dengan pedang di tangan kanan dan belati di tangan kirinya.

Dalam pada itu, pertempuran di lingkaran lain dari halaman itu pun menjadi semakin sengit. Kuda Rupaka mencoba untuk segera menguasai lawannya, namun lawannya pun telah mengerahkan segenap kemampuannya dan justru berusaha untuk mendesaknya.

Kidang Alit yang sama sekali tidak menduga mendapat yang tangguh, meskipun sekali-sekali sangkan terdesak surut, namun disaat yang lain ia mampu menyerang seperti badai.

Sementara itu Ki Mina masih tetap bertahan, dan bahkan sekali-sekali ia masih sempat memperhatikan perkelahian Pinten dan Panji Sura Wilaga yang semakin seru.

“Gadis itu memang luas biasa” desisnya, “Bahkan nampaknya ia tidak kalah dari kakaknya, jika benar Sangkan itu memang kakaknya”

Sebenarnyalah bahwa Pinten memang mampu menempatkan diri sebagai lawan yang membingungkan Panji Sura Wilaga. Kemarahan, luka di keningnya dan nafsu yang melonjak-lonak, membuat Panji Sura Wilaga kadang-kadang kehilangan pengamatan diri. Meskipun ia memegang pedang di tangan kanan dan belati di tangan kiri. Tetapi pandangannya terganggu oleh darah yang menetes dari keningnya.

Kekasaran dan kekerasan Panji Sura Wilaga lambat laun membuat Pinten lebih berhati-hati dan mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawannya.

Tetapi Panji Sura Wilaga pun cukup tangguh, dengan tangkasnya ia menyerang dengan pedangnya ia menusuk tubuh Pinten, Pinten masih dapat memiringkan badannya, sehingga pedang itu hanya merobek udara.

Namun pada itu, Panji Sura Wilaga masih sempat mengayunkan tangan kirinya yang menggenggam belati dan mengayunkannya ke arah Pinten dan siap merobek lambung.

Pinten berdebar juga melihat serangan itu. Dengan tangkas ia membungkukkan badannya sambil melangkah mundur, namun dengan penuh perhitungan ia menghadapi lawannya yang menjadi semakin buas.

Ternyata seperti yang diperhitungkan Pinten bahwa Panji Sura Wilaga tidak akan membiarkannya terlepas dari rangkaian serangannya, karena itulah maka pada saat ia menjejakkan kakinya, ia sudah siap menggerakkan tangannya.

Perhitungan itulah yang ternyata telah menyelamatkannya, dengan cermat ia justru menunggu saat Panji Sura Wilaga meloncat sekali lagi sambil mengayunkan pedangnya untuk menebas leher Pinten.

Pada saat itulah, Pinten serta merta membungkukkan badannya dan sedikit pada lututnya, ia sudah siap menghadapi belati yang berada di tangan Panji Sura Wilaga yang menyerang langsung ke bagian wajahnya. Tepat pada saat itulah tangan Pinten bergerak, senjata rantainya berdesing dengan kerasnya mengarah ke badan Panji Sura Wilaga.

Panji Sura Wilaga melihat melihat ayunan yang sangat berbahaya itu, sehingga karena itulah, maka secepat kilat ia meloncat menghindar.

Dan seperti yang sudah Pinten perhitungkan, dengan sangat cepat dan tiba-tiba, kakinya maju selangkah lebih dekat dan rantainya menyambar sekali lagi mengejar sasaran.

Panji Sura Wilaga berusaha menghindar sambil mengumpat, ia tidak menyadari bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan justru memperhitungkan saat-saat yang paling tepat pada ujung dan pangkal geraknya.

Serangan Pinten itu benar-benar tidak dapat dihindarinya lagi, bola baja itu telah menghantam pundak kanannya sehingga terasa seolah-olah tulang pundaknya remuk.

Panji Sura Wilaga menggeram tertahan, bukan saja menahan sakit tetapi juga menahan kemarahan yang tidak tertahankan di dalam dadanya.

Panji Sura Wilaga terdorong mundur selangkah, namun dadanya berdentang ketika ia melihat Pinten sekali lagi mempergunakan waktunya dengan sangat tepat, sekali lagi gadis itu meloncat maju sambil mengayunkan rantainya.

Tetapi Panji Sura Wilaga pun mempunyai perhitungan yang masak pula. Pada saat Pinten menyerangnya, maka belati yang ada di tangan kirinya dilontarkan dan meluncur kedapan kearah Pinten dengan sangat cepatnya.

Pinten terkejut, ia tidak menyangka Panji Sura Wilaga melontarkan belati yang ada di tangannya, tetapi ia sudah terlambat, walaupun ia sudah mencoba menghindar, terasa ujung pisau itu telah merobek kulit lengannya.

Pinten mengeluh tertahan menahan sakit, tetapi ia tetap sadar bahwa ia sedang menghadapi lawan yang paling berbahaya.

Pinten merubah tata geraknya, ketika kakinya menyentuh tanah, maka ia meloncat mundur ke belakang sejauh-jauhnya, untuk memberi kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi sekilas ia melihat gerak kaki lawannya, dan nalurinya segera memberitahukan kepadanya bahwa lawan sedang menerkamnya.

Pinten masih sempat mengelakkan ujung pedang yang langsung menusuk dadanya, dan dengan cepat ia memutar rantainya dengan sekuat tenaga.

Panji Sura Wilaga tidak pernah menyangkan bahwa Pinten dapat berbalik menyerang secepat itu. Rantai bola baja di tangan Pinten menghantam tengkuk Panji Sura Wilaga sehingga ia terdorong maju selangkah dan kemudian kehilangan keseimbangan sama sekali. Panji Sura Wilaga terhuyung-huyung kedepan dan kemudian jatuh terlungkup di tanah. Agaknya hantaman bola besi di tengkuknya itu benar-benar merupakan serangan yang sangat menentukan, membuat Panji Sura Wilaga tidak sadarkan diri.

Sejenak Pinten termangu-mangu, tanganya masih gemetar memegang pangkal rantainya. Ia masih berdiri dengan kaki yang merenggang, disisi tubuh Panji Sura Wilaga yang terbaring itu.

Tetapi Pinten tidak berbuat apa-apa lagi, tanpa sadar ia mengusap lengannya yang terluka, sewaktu melihat darah di tangannya, sadarlah ia bahwa ia sedang terluka.

Pinten merasa bersyukur bahwa Panji Sura Wilaga tidak mati, hanya tidak sadarkan diri, karena kalau Panji Sura Wilaga mati, maka ia tidak akan mendapat keterangan apa-apa dari orang sudah mati.

Maka itulah, maka Pinten kemudian memutuskan untuk tidak berbuat apapun lagi, yang dilakukannya adalah mengikat tangan dan kakinya agar tidak dapat melarikan diri, kemudian menungguinya sambil melihat pertempuran yang masih berlangsung dengan sengitnya.

Yang terjadi atas Panji Sura Wilaga benar-benar mengejutkan setiap orang yang hadir di halaman, bukan saja Kuda Rupaka yang telah kehilangan kawan, tetapi ternyata yang lain pun menjadi berdebar-debar karenanya. Gadis yang mereka anggap sebagai gadis lugu dan kemanja-manjaan itu ternyata memiliki sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Bahkan Sangkan pun menarik nafas lega melihat adiknya telah berhasil melumpuhkan lawannya, apalagi Panji Sura Wilaga itu telah berhasil membunuh lawannya pula, Bramadara..

“Tetapi agaknya Panji Sura Wilaga sudah terlampau lelah, itulah agaknya maka Pinten dapat mengalahkannya” desis Sangkan di dalam hatinya.

Namun ia sendiri masih harus memeras tenaga melawan Kidang Alit yang sedang berusaha membunuhnya.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di halaman itu pun semakin kama menjadi semakin sengit, namun kekalahan Panji Sura Wilaga telah mempengaruhi keadaan. Kuda Rupaka yang betapapun dibakar oleh kemarahannya, terpaksa harus mengakui kenyataan bahwa Panji Sura Wilaga sudah tidak berdaya lagi, bahkan ia tidak mengetahui dengan pasti, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati, kemudian Pinten hadir pula di dalam arena perkelahian itu, maka keadaan akan segera berubah.

Kuda Rupaka menjadi semakin gelisah, ketika ia melihat Pinten ternyata kemudian melepas ikat pinggangnya dan mengikat tangan dan kaki Panji Sura Wilaga yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan demikian, maka gadis itu tentu akan berbuat sesuatu dengan meninggalkan Panji Sura Wilaga yang sudah tidak berdaya itu.

Dugaan Kuda Rupaka ternyata benar, Pinten yang kemudian telah selesai mengikat Panji Sura Wilaga, telah berdiri tegak memandang arena perkelahian.

Sekali Pinten berpaling kearah Panji Sura Wilaga, kemudian katanya di dalam hati, “Walaupun Panji Sura Wilaga mempunyai tenaga cadangan yang dapat memutuskan tali janget sekalipun, tetapi ia tidak akan mampu untuk memutus tali ikat pinggangku yang terdiri dari tiga helai janget.”

Kemudian Pinten memusatkan perhatiannya pada arena perkelahian itu, ia melihat kakaknya Sangkan bertempur melawan Kidang Alit. Sementara Panon bertempur dengan gigihnya melawan Kuda Rupaka, ditempat lain, Ki Mina yang meskipun sudah bukan muda lagi, namun nampak masih tetap cekatan dan tangkas mempergunakan senjatanya.

Perhatian Pinten terhadap arena itu telah mendebarkan jantung mereka yang sedang bertempur, terutama mereka yang merasa dirinya barada di pihak yang berseberangan dari gadis itu, ia tentu akan membantu kakaknya dan dengan demikian akan sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.

Kidang Alit menyadari sepenuhnya akan hal itu, hadirnya orang-orang yang semula tidak diperhitungkan itu benar-benar membuatnya bagaikan gila. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Sangkan memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya.

Ternyata tidak ada pilihan lain lagi bagi Kidang Alit, jika ia terlambat, dan Pinten sudah menjadi semakin dekat, maka ia tidak akan mendapat kesempatan apapun lagi. Pinten akan membantu kakaknya, dan menjadi penentu bagi akhir pertempuran itu.

Karena itulah, anak muda yang licik itu pun mengambil keputusan yang licik pula. Tiba-tiba saja terdengar isyarat dari mulutnya, sebuah suitan pendek.

Kuda Rupaka tidak mengerti arti isyarat itu dengan tepat, tetapi ia dapat menduga, bahwa Kidang Alit tidak lagi bernafsu untuk melanjutkan perkelahian.

“Setan Alas” geramnya, dan Kuda Rupaka pun harus menentukan satu pilihan, jika ia tinggal dan melanjutkan pertempuran, maka ia akan mengalami nasib yang sama dengan Panji Sura Wilaga. Tetapi jika ia meninggalkan arena, maka ia akan berhadapan dengan Kidang Alit dan seorang kawannya.

“Tetapi Kidang Alit masih akan dapat diajak bicara, mungkin ia memerlukan aku, atau aku dapat melepaskan keinginanku untuk sementara, sebelum aku mendapatkan bantuan dari orang lain” karena itulah, maka Kuda Rupaka yang telah melihat nasib Panji Sura Wilaga, tidak mempunyai keputusan lain, ketika Kidang Alit kemudian mulai menunjukkan sikap yang berubah, karena persiapannya untuk melarikan diri, maka Kuda Rupaka justru telah mendahuluinya dengan serta merta.

Panon memang sudah menduga, bahwa pada suatu saat lawannya akan meninggalkan arena setelah kemenangan Pinten. Namun tidak secepat yang ia duga, tanpa tanda-tanda apapun.

Karena itulah, maka ia kehilangan saat sekejap, dan saat yang sekejap itu telah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kuda Rupaka. Bahkan kemudian disusul oleh Kidang Alit dan kawannya pada saat perhatian Sangkan dan Ki Mina terampas oleh tindakan Kuda Rupaka.

Pinten yang masih belum sempat mendekat tidak dapat berbuat apa-apa. Ia melihat ketiga orang yang berlari meninggalkan arena dikejar oleh lawan-lawannya.

Sangkan dan Ki Mina mengejar dengan meloncati dinding tembok pula, mereka melihat ketiga orang itu berlari memencar dan menyusup di dalam gerumbul-gerumbul.

Sejenak ketiga orang itu masih berlari mengejar, tetapi gelapnya malam agaknya telah menyelamatkan Kuda Rupaka, Kidang Alit dan kawan Kidang Alit.

Sangkan lah yang kemudian berkata, “Sudahlah, biarlah mereka melarikan diri kali ini”

Panon dan Ki Mina yang sudah meloncat dinding, kemudian kembali lagi ke halaman istana itu, dan berkumpul di sudut istana kecil itu.

“Sangkan” terdengar suara Ki Mina yang masih dibumbui oleh getaran dadanya setelah bertempur beberapa lamanya, “Kau benar-benar telah mengejutkan kami, ternyata bukan saja kau, tetapi juga adikmu itu”

Sangkan tersenyum, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Ketakutan yang sampai pada puncaknya, kadang-kadang memang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang biasa tidak dapat dilakukannya, Ki Mina”

Tetapi Panon memotong, “Kau ternyata seorang yang pandai berpura-pura, jauh lebih cakap dari orang-orang lain di sekitar istana ini. Hampir setiap orang diantara kita, semuanya berpura-pura, tetapi nampaknya, kaulah yang paling sempurna”

Sangkan tersenyum, jawabnya, “Aku sedang berusaha mengatasi ketakutanku, Panon”

“Sebenarnya kau memang pantas dicurigai, Sangkan. Sampai saat ini pun kami tetap mencurigaimu. Memang aku heran melihat tingkah kau yang selalu ketakutan dan gemetar, justru itu berlebih-lebihan. Tetapi aku tidak mengira yang berlebh-lebihan itu justru karena kau sebenarnya bukan orang seperti itu. Kepura-puraanmu nampak telah membuatmu seperti seorang yang agak kurang waras. Namun agaknya adikmu pun lebih berhasil. Kepura-puraannya nampak lugu dan wajar, tidak seperti sikapmu yang berlebihan.

Sangkan tertawa

Panon meneruskan, “Tetapi kami tetap mencurigaimu saat itu. Namun justru sekarang kami menjadi curiga, kehadiranmu tentu juga bukan tidak punya maksud tertentu. Apalagi kepura-puraanmu selama ini. Kau beruntung bahwa kau mendapat perlindungan langsung dari Nyi Upih, yang tentu bukan ibumu. Nah, sekarang sebutkan. Apakah niatmu yang sebenarnya”

“Sudah sepantasnya kita saling mencurigai, Panon”

Panon memandang Ki Mina sejenak. ia melihat wajah orang tua itu justru berkerut, agaknya ia hamir lupa bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan masih akan dapat terjadi.

“Sangkan” berkata Panon kemudian, “Setelah kita bersama-sama mengusir orang-orang yang agaknya mempunyai niat untuk menguasai pusaka istana ini, apakah yang akan kau lakukan kemudian”

Sebelum Sangkan menjawab, Pinten lah yang menyahut, “Kalian beristirahatlah, sedangkan aku ingin bertanya sesuatu kepada Panji Sura Wilaga tentang Raden Kuda Rupaka”

“Apa yang akan kita lakukan dengan Panji Sura Wilaga, apapun yang dikatakan tentang Raden Kuda Rupaka, maka Raden Ayu tentu mengetahuinya pula.”

“Kau salah” potong Sangkan, “Raden Ayu mengenal Raden Kuda Rupaka hanya sekedar dari namanya saja, dan mungkin orang tuanya. Seandainya Raden Ayu pernah melihat Raden Kuda Rupaka, tentu sewaktu Raden Kuda Rupaka masih terlalu kecil, apakah kau tahu kapan kelurga Pangeran Kuda Narpada meninggalkan Majapahit?:

Panon memangdang Ki Mina sesaat, namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu, aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Majapahit, karena aku hanyalah seorang pengemis yang berkeliaran sepenjang pegunungan dan ngarai, jauh dari tempat-tempat ramai, apalgi kota Raja. Namun demikian, kadang-kadang aku juga merasa dibebani kewajiban untuk melakukan kebaikan dimanapun juga aku berada”

“Bagus” sahut Sangkan, “Ada kelebihanku sedikit daripadamu, bukan tentang olah kanuragan, karena ternyata kau adalah seorang anak muda yang pilih tanding, yang dapat mengimbangi kemampuan Raden Kuda Rupaka. Tetapi kelebihanku terletak pada kehidupanku, aku adalah anak Nyi Upih, meskipun mungkin kau tidak percaya. Dengan demikian dimasa aku kecil, aku mengenal beberapa orang bangsawan saudara-saudara dari Pangerang Kuda Narpada. Diantaranya adalah keluarga Raden Kuda Rupaka, putera dari Pangeran Linggar Watang yang pada masa mudanya berada di istana saudara tuanya, Pangeran Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap. Tetapi disana pun ia tidak lama, karena Pangeran Kuda Rupaka kemudian diserahkan kepada seorang guru yang tidak ada duanya pada saat itu.”

“Kau kenal sampai bagian yang sekecil-kecilnya, Sangkan?” bertanya Ki Mina.

“Bertanyalah kepada biyung, ia tahu lebih banyak lagi tentang Raden Kuda Rupaka dan tentang para bangsawan di Majapahit. Ia dapat menceritakan bagaimanakah Pangeran Sargola Manik gugur pada saat pertempuran, tentu Raden Kuda Rupaka menyesal, bahwa ia tidak dapat melihat jenazahnya dan apalagi menuntut balas kematian pamannya yang mengasuhnya seperti anaknya sendiri”

“Tetapi bagaimana dengan Pangeran Linggar Watang?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Biyung tidak menceritakan tentang Pangeran itu”

“Apakah Pangeran Linggar Watang sekarang masih hidup? Dan apakah yang dilakukannya sepeninggal Pangeran Sargola Manik?”

Sangkan menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak tahu, aku akan bertanya kepada biyung, tetapi tentang Pangeran Linggar Watang, agaknya biyung juga tidak mengetahuinya”

Ki Mina mengangguk-angguk, namun katanya kemudian, “Jadi bagaimana sekarang?, sudah tentu bahwa ceritamu bukannya suatu alasan yang meyakinkan, bahwa kau dapat berbuat apa saja, termasuk olah kanuragan”

Sangkan mengangguk dalam-dalam, katanya, “Aku mengerti, dan sudah aku katakan, memang sepantasnya kita saling mencurigai, namun aku sependapat dengan Pinten bahwa kita sebaiknya beristirahat dan bertanya kepada Panji Sura Wilaga tentang Raden Kuda Rupaka”

Panon menarik nafas dalam-dalam, sedangkan Ki Mina mengangguk-angguk kecil dan berkata, “Baiklah Sangkan, aku akan ikut saja dengan rencanamu itu. Tetapi apakah kita menyampaikan tentang segala apa yang sudah terjadi ini kepada Raden Ayu?”

Sangkan mengangguk-angguk, kemudian katanya kepada Pinten, “Pergilah menghadap, sampaikan kepada Raden Ayu dan puteri Inten Prawesti, bahwa keadaan sudah menjadi tenang kembali”

“Bagaimanakah tentang Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga?” bertanya Pinten.

“Untuk sementara kau tidak usah mengatakan apapun, kami akan berusaha mengorek keterangan kapada Panji Sura Wilaga, baru kemudian kita akan menyampaikan hasilnya kepada Raden Ayu”

“Tetapi tunggu aku, aku akan ikut bertanya pula”

“Pergilah ke dalam, kami akan membawa Panji Sura Wilaga ini ke bilik kami” jawab Sangkan, “Jika kau ingin mendengar pula, datanglah ke bilik belakang”

Pinten pun kemudian pergi ke ruang dalam, sementara Sangkan, Panon dan Ki Mina telah mengangkat tubuh Panji Sura Wilaga yang terikat itu ke bilik belakang.

Sekali-sekali Panji Sura Wilaga meronta soalah-olah ia akan sadar dari pingsannya, namun ikatan pada tangan dan kakinya benar-benar kuat dan tidak dapat digoyahkannya,

Dalam pada itu, Pinten yang tergesa-gesa masuk ke ruang dalam dan langsung ke dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada melihat Inten dan Nyi Upih serta Raden Ayu masih dicengkam ketakutan. Namun ketika mereka melihat Pinten memasuki ruangan itu, mereka pun merasa lega.

“Kau tidak apa-apa Pinten” bertanya Inten Prawesti.

Belum sempat Pinten menjawab, tiba-tiba Nyi Upih langsung memeluk Pinten, “Kau terluka ngger?”

Pinten mencoba tersenyum, katanya, “Tidak apa-apa biyung, hanya segores luka kecil”

“O” Inten pun menjadi tegang.

Baru kemudian ia melihat bahwa lengan Pinten masih mengeluarkan darah karena tergores oleh belati Panji Sura Wilaga.

Nyi Upih pun kemudian menarik Pinten duduk diatas tikar sambil berkata, “Duduklah, aku akan mengobati luka-kukamu, aku akan mencari daun metir dahulu”

Tetapi Pinten menggeleng, katanya, “Tidak perlu biyung, aku mempunyai obat yang barangkali dapat mengobati lukaku ini?”

Nyi Upih termangu-mangu sejenak, namun kemudian Pinten menunjukkan sebuah lumbung bambu kecil sambil berkata, “Bukankah biyung yang memberikan lumbung itu kepadaku?”

“O” Nyi Upih tergagap.

Apalagi ketika Inten bertanya, “Jadi kau mempunyai obat semacam itu Nyai?”

Nyi Upih kebingungan sesaat, namun Pinten lah yang kemudian menjawab, “Apakah benar bahwa Raden Kuda Rupaka telah memberikan obat semacam ini kepada biyung?”

Nyi Upih menarik nafas, katanya, “Aku memang pernah minta semacam obat untuk mengobati luka, ketika itu tangan Sangkan terluka oleh kapak sewaktu membelah kayu, dan Raden memberikan obat ini kepadaku”

Namun tiba-tiba saja Raden Ayu bertanya, “Pinten, dimanakah anakmas Kuda Rupaka sekarang?”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Persoalan ini menjadi sangat membingungkan, Gusti. Aku tidak mengetahui dimanakah Raden Kuda Rupaka sekarang ini. yang aku tahu Panji Sura Wilaga sudah kami tawan, sedangkan Sangkan, Panon dan Ki Mina berada di bilik belakang”

“Kenapa Panji Sura Wilaga kalian tawan?”

“Begini, Raden Ayu, tadinya mereka saling berkelahi, sebelumnya aku tidak tahu, pihak manakah yang benar-benar melindungi keluarga Istana ini, bukankah kita sudah meragukan kesetiaan Raden Kuda Rupaka sebagai kemanakan Raden Ayu. Apalagi ketika ternyata Raden Kuda Rupaka dapat bekerja sama dengan Kidang Alit”

“O” Inten Prawesti menjadi tegang.

“Sudahlah puteri” berkata Pinten kemudian, “Sebaiknya puteri dan Raden Ayu tidak menghiraukan siapapun lagi, kita harus mencurigai setiap orang yang berada di istana ini, termasuk Raden Kuda Rupaka sendiri dan Panji Sura Wilaga”

Inten tidak menjawab, tetapi tatapan matanya mengandung pertanyaan kepada Pinten.

Ternyata perasaan Pinten cukup tajam, ia dapat menanggapi perasaan yang tersirat dihati puteri itu yang umurnya sebaya dengan dirinya itu. Karena itu maka ia pun menjawab, “Puteri benar, bukankah puteri ingin bertanya, apakah aku perlu dicurigai juga?, juga Sangkan, Panon dan Ki Mina?”

“Ah” Inten berdesah.

“Tetapi itu wajar sekali” Pinten melanjutkan, lalu katanya, “Namun untuk sementara, gusti tidak usah memikirkan apapun juga, aku akan pergi ke bilik belakang, melihat apa yang sedang terjadi, aku persilahkan semuanya beristirahat dengan tenang. Aku kira hari ini tidak akan ada terjadi sesuatu lagi”

Tidak seorang pun yang menjawab, Pinten melihat keragu-raguan membayang di wajah Raden Ayu dan Inten. Namun Pinten tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Bahkan ia pun kemudian minta diri meninggalkan bilik itu sambil berkata, “Aku akan segera kembali”

Sepeninggal Pinten, Raden Ayu dan Inten memandang Nyi Upih yang menunduk dalam-dalam, ia merasa tidak dapat menahan tusukan kecurigaan kedua puteri itu terhadapnya. Bagaimanapun juga, ia akan ikut bertanggung jawab terhadap keadaan Pinten yang tidak sewajarnya itu.

“Nyi Upih” terdengar suara Raden Ayu lambat dan berat. Belum lagi Nyi Upih menyahut, air mata sudah mengalir deras di pipinya.

“Ampun Gusti”

“Aku tidak akan menuntut terlampau banyak darimu Nyai, aku masih tetap percaya kepadamu sampati saat ini. Tetapi meskipun demikian, aku ingin kau mengetahui perasaanku. Anak gadismu itu sudah menimbulkan banyak teka-teki di dalam hatiku”

“Ampun Gusti” Nyi Upih mengulang, “Mungkin aku telah berbuat yang tidak terampuni. Tetapi sebenarnya aku ingin menyelamatkan semua yang masih mungkin bisa diselamatkan dalam istana ini, termasuk puteri berdua, itulah sebabnya aku menerima anak gadisku itu hadir di istana ini”

“Nyai” bertanya Inten Prawesti, “Apakah kau masih mengatakan bahwa Pinten itu adalah anak gadismu?”

Nyi Upih tergagap. Tetapi kemudian ia mengangguk, “Ya, Puteri. Aku ingin mencoba mengatakan bahwa Pinten adalah anakku”

“Jawabmu itu sudah pengakuan Nyai”

“Benar puteri, tetapi pengakuan yang sebenarnya masih belum waktunya aku katakan sekarang, biarlah aku tetap menganggap bahwa ia adalah anak gadisku yang kusayang”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia berkata, “Baiklah Nyai, tetapi aku hampir pasti bahwa pada suatu saat kau akan mengatakan bahwa kedua anak muda itu bukanlah anak-anakmu. Meskipun demikian, sekali lagi aku katakan, bahwa aku tetap percaya kepadamu. Apa yang kau anggap baik, tentu akan baik pula bagi kami”

Nyi Upih menundukkan kepalanya, terasa titik air mata yang hangat semakin banyak menetes jatuh di pangkuannya. Namun demikian Nyi Upih tidak mengatakan sesuatu, kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk dan debar jantungnya menjadi semakin cepat.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Nyi Upih terkujut ketika Inten berjongkok disampingnya sambil berkata, “Nyai, coba katakan apakah Nyai masih ingat, istana yang manakah yang mempunyai sebatang pohon beringin ditengah-tengah, kemudian enam pohon lainnya mengelilinginya, tiga ekor bekisar di dalam sangkar masing-masing, seekor nuri putih, seekor harimau dalam sangkar besi dan seekor orang utan”

“Ah” Nyi Upih berdesah, “Aku tidak ingat lagi puteri”

“Tentu kau masih ingat, akupun masih ingat”

Inten pun kemudian berdiri dan melangkah menjauh, “Nyai, itulah sebabnya aku selalu diganggu oleh pertanyaan, kenapa aku tidak ingat lagi anak-anakmu itu disaat mereka masih kanak-kanak. Tentu aku akan dapat mengingatnya, jika sekali-sekali mereka pernah mengunjungimu, meskipun mereka berada di padukuhan kecil bersama ayahnya. He, bukankah aneh, bahwa Pinten lebih ingat kepada istana dengan ciri yang aku sebutkan tadi”

“Itu hanya suatu kebetulan puteri” jawab Nyi Upih.

Namun tiba-tiba saja Inten berlari-lari kepada ibundanya, sambil berlutut ia berkata, “Ibunda, bukankah kakangmas Kuda Rupaka pernah berada di dalam istana itu? Istana yang mempunyai tujuh pohon beringin”

“He…?”

“Ya, aku ingat sekarang, kakanda Raden Kuda Rupaka sewaktu kecil pernah tinggal di istana pamanda Sargola Manik walaupun hanya sebentar. He, bukankah Raden Kuda Rupaka mempunyai seorang adik perempuan?”

Raden Ayu menjadi bingung, katanya, “Jika demikian aku akan berbicara dengan Kuda Rupaka” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat mengerti dengan sikapnya sekarang”

Inten mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Kenangan yang kabur itu memang meragukan, jika Pinten itu adalah adik kakanda Kuda Rupaka, maka kedudukannya kini agak membingungkan”

Nyi Upih menggeleng sambil memotong dengan nada yang agak tinggi sela-sela isaknya, “Bukan puteri, Pinten sama sekali tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Kuda Rupaka. Apalagi kini mereka berada di jalan yang berseberangan, karena ternyata ia telah bersekutu dengan Kidang Alit”

Inten memandang Nyi Upih dengan tatapan yang redup, kemudian perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah Nyai, jangan kau pikirkan, biarlah teka-teki itu tetap menjadi teka-teki yang tidak terjawab untuk sementara waktu”

Nyi Upih masih menunduk, tetapi ketika Inten kemudian berjongkok disampingnya, maka dipeluknya gadis itu. Tangisnya justru bagaikan tidak terbendung lagi.

Maka Inten pun menjadi basah pula kerenanya, bahkan Raden Ayu sekali-sekali juga mengusap mamanya yang terasa menjadi panas.

Dalam pada itu, Pinten dengan tergesa-gesa memasuki bilik belakang yang remang-remang. Ia melihat Panji Sura Wilaga yang sudah sadar, duduk di amben bambu dengan wajah yang tegang, tangannya masih terikat dengan ikat pinggang Pinten yang dianyam dengan sulaman janget yang tebal.

“Apakah ia sudah berbicara?” desis Pinten.

“Perempuan iblis” geram Panji Sura Wilaga, “beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan mematahkan lehermu”

“Tutup mulutmu” Pinten membentak, “Jika kau masih tetap sombong, aku sumbat mulutmu dengan ijuk”

“Persetan, akan aku bunuh kau”

wajah Pinten menjadi tegang, namun yang terdengar adalah suaran tertawa Sangkan, “Kenapa tiba-tiba saja kau menjadi seorang pemarah Pinten?”

“Ia melukai aku, mula-mula tubuhku, sekarang perasaanku”

“Aku akan membunuhmu” sahut Panji Sura Wilaga.

Tetapi sekali lagi terdengar suara Sangkan tertawa, katanya, “Raden Panji yang pilih tanding, sebaiknya kau bercerita saja tentang dirimu sendiri, bahkan sebenarnya kami ingin mendengar, apakah sebabnya Raden Kuda Rupaka mempunyai sikap yang agak aneh sekarang ini, ketika ia datang dan berniat melindungi Raden Ayu, sebenarnya kami menjadi berbesar hati, tetapi ternyata bahwa sikapnya waktu itu adalah sikap yang palsu”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga

“Apakah ia tidak mau berbicara” desis Pinten.

Sangkan menggeleng, jawabnya, “Tentu tidak secepat yang kita harapkan, barangkali ia mengetahui bahwa maksud kita baik, jika kita yakin tentang Raden Kuda Rupaka, maka kita akan dapat menentukan sikap yang lain, karena menurut penilaian kami Raden Kuda Rupaka tidak selicik Kidang Alit”

“Berbicarah Panji” desis Pinten seperti orang merayu.

Suara Sangkan meledak tanpa dapat ditahan lagi, katanya disela-sela suara tertawanya, “Kau pandai merayu Pinten?”

Tiba-tiba saja Pinten telah meloncat dengan kecepatan yang sulit dilihat dengan mata wadag, namun secepat itu pula Sangkan meloncat menghindar sambil berteriak tertahan, “Jangan, jangan Pinten”

Ki Mina dan Panon menarik nafas dalam-dalam, sifat-sifat itu tentu bukannya sifat dibuat-buat, tetapi agaknya kedua kakak beradik itu mempunyai hubungan yang sangat erat lahir dan batinnya. Gurauannya yang segar dan sifat kemanja-manjaan itu menimbulkan warna tersendiri didalam lingkungan istana itu.

Namun dalam pakaiannya yang khusus, Pinten tidak lagi berlari-lari mengejar Sangkan sambil menyingsingkan kain panjangnya, namun dalam keadaan yang serupa itu, Pinten telah bergerak dengan kemampuan yang ada padanya.

Pinten yang tidak berhasil menangkap Sangkan masih berdiri tegak. Namun Sangkan sudah di belakang Panon, sambil berpegangan pundak anak muda itu Sangkan berdesis, “Tolong aku Panon, ia tidak akan berani berbuat apa-apa atasmu”

Panon menjadi bingung, namun Pinten menggeram, “Awas aku akan mengikat kau seperti aku mengikat Panji Sura Wilaga”

Sangkan masih berlindung di belakang Panon ketika tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga berteriak dengan marahnya, “Gila, kau sangka apakah aku ini, Hah!, apakah kalian dengan sengaja telah mengina aku seperti ini?”

Suara Panji Sura Wilaga itu ternyata telah menarik perhatian semua orang yang berada di dalam bilik itu, Pinten yang merasa berdiri tegak memandang Sangkan di balik punggung Panon, Panon pun kemudian berpaling kepada Panji Sura Wilaga.

“Jangan berteriak” berkata Sangkan kemudian, “Berkatalah dengan perlahan tetapi jelas, agaknya memang lebih baik kau bicara tentang Raden Kuda Rupaka, atau mungkin aku mengetahui serba sedikit tentan asal-usulnya atau tentang usaha-usahanya sekarang ini”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga.

Sangkan memandang Pinten sejenak, tetapi senyumnya disembunyikan dibalik tengkuk Panon yang termangu-mangu.

“Jangan ganggu aku lagi” desis Pinten, lalu, “Tolong aku Panon, jika kakang Sangkan masih mengganggu aku, tangkaplah dia, aku akan mengikatnya”

Panon adalah seorang anak muda yang lugu, tetapi ia tidak terbiasa bergurau seperti itu, sehingga karena itu ia hanya dapat menganggukkan kepalanya saja.

“Kau berjanji”

Panon menjadi bingung, namun sekali lagi kepalanya terangguk kecil.

Pinten memandang kedua anak muda itu sejenak, lalu perlahan-lahan ia melangkah mendekati Panji Sura Wilaga, tetapi langkahnya terhenti ketika Panji Sura Wilaga membentaknya, “Jangan mendekat iblis betina, aku akan meludahi wajahmu jika kau maju selangkah lagi”

Pinten memandang Panji Sura Wilaga dengan tajamnya, namun yang terdengar kemudian adalah suara Sangkan, “Jangan terlampau garang Panji, sebenarnya kita dapapt berbuat lebih baik. Bukankah diantara kita tidak ada persoalan yang sebenarnya terlalu penting untuk diselesaikan dengan cara yang kasar? Meskipun kau agaknya benar-benar ingin membunuhku, karena mungkin kau menganggap bahwa aku dapat mengganggu sahamu, namun sikapmu itu masih dapat dimaafkan”

“Jangan banyak bicara” bentak Panji Sura Wilaga, “Aku tidak mau mendengar lagi”

Sangkan yang berlindung dibalik Panon itu pun tiba-tiba telah maju mendekati Panji Sura Wilaga sambil berkata, “Kau ini aneh Panji, bagaimanakah seandainya aku masih akan berbicara terus? Di dalam ruangan ini, kaulah orang yang barada dalam kedudukan paling lemah, karena itu, bukan kau yang harus mengatur, tetapi kamilah”

“Persetan, lepaskan ikatan ini, aku akan membunuh kalian semuanya”

“Kau tidak dapat melawan Pinen yang sudah terluka, apalagi kami semuanya” jawab Sangkan, “Karena itu, jawab sajalah pertanyaan kami, kami masih ingin menghormatimu, karena kau adalah kawan terdekat Raden Kuda Rupaka”

“Raden Kuda Rupaka akan menyampaikan kegilaan kalian ini kepada Raden Ayu, kalian akan diusirnya dan bahkan tindakan-tindakan lain yang lebih sepadan dari kegilaan ini”

“Kami sebebarnya sangat menunggu kehadiran Raden Kuda Rupaka, mudah-mudahan ia kembali dan menghadap Raden Ayu, sebenarnyalah kami ingin bertanya serba sedikit tentang dirinya”

“Gila”

“Nah, sebelum Raden Kuda Rupaka datang, apakah kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku?”

Panji Sura Wilaga tidak menyahut.

“Panji, tolonglah, sebutlah siapakah Raden Kuda Rupaka itu sebenarnya?, maksudku, asal-usulnya dan tugasnya sehingga ia bersedia datang ke daerah yang terpencil ini?”

“Ia adalah Raden Kuda Rupaka, tidak ada jawaban lain”

“Kami sudah tahu” potong Pinten, “Tetapi dalam kedudukan apakah ia datang sekarang ini? apakah ia mendapat tugas dari Sultan di Demak, atau karena ia ingin mendapat pusaka itu bagi dirinya sendiri, atau karena ia mendapat perintah dari ayahandanya untuk datang melindungi Raden Ayu atau tugas-tugas lain?”

“Aku tidak tahu”

“Tentu, kau akan menjawab tidak tahu, ingat, kami dapat memaksamu”

“Tidak ada orang yang dapat memaksaku, mautpun tidak”

“Tentu mautpun tidak, tetapi ada yang lebih buruk dari maut, namamu akan kami bawa ke Demak”

Sejenak wajah Panji Sura Wilaga menjadi tegang, dipandanginya wajah-wajah yang ada di sekitarnya, wajah-wajah yang nampak seperti wajah-wajah hantu yang sedang menakut-nakutinya.

Namun sejenak kemudian terdengar Panji Sura Wilaga itu menggeram, “Semua yang kalian lakukan tidak akan ada artinya. Jika salah seoerang dari kalian berani melaporkan tentang peristiwa ini ke Demak, maka ia tidak akan pernah kembali lagi ke istana ini”

“Kenapa begitu?” bertanya Sangkan.

“Diperjalanan menuju ke Demak, kalian akan mati oleh ujung senjata Raden Kuda Rupaka”

“Dan Kidang Alit” potong Sangkan, “Bukankah kali ini Raden Kuda Rupaka bekerja sama dengan Kidang Alit?”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga, namun kemudian, “Tetapi jika ia lolos dari tangan Raden Kuda Rupaka karena sempat menyusup diluar pengawasannya, maka ia akan digantung di alun-alun Demak”

“Kenapa digantung di Demak” bertanya Sangkan.

“Karena Raden Kuda Rupaka adalah seorang putera Pangeran yang berpengaruh di Demak sekarang”

“Maksudmu Pangeran Linggar Watang?” bertanya Pinten dengan serta merta, “karena menurut puteri Inten Prawesti Raden Kuda Rupaka adalah putera Pangeran Linggar Watang”

“Puteri Inten benar, Raden Kuda Rupaka adalah putera Pangeran Linggar Watang”

“Tetapi Pangeran Linggar Watang tentu tidak ada di Demak sekarang. Pangeran Linggar Watang telah lama mengasingkan diri dari lingkungan kebangsawanan, justru ketika Majapahit masih berdiri tegak dan bahkan sebelum Pangeran Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap gugur”

Panji Sura Wilaga menjadi tegang sejenak, namun kemudian katanya, “Kau tentu mendengar cerita dari orang-orang yang tidak banyak mengetahui tentang Pangeran Linggar Watang, sekarang dengarlah iblis betina, Pangeran Linggar Watang sudah berada di Demak, ia meninggalkan Majapahit disaat terakhir, karena ia ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan Perabu Brawijaya yang terakhir itu”

“Puteri Inten Prawesti bukan orang lain dari Pangeran Linggar Watang dan Pangeran Sargola Manik” potong Pinten.

“Tetapi Raden Kuda Rupaka adalah putera dari Pangeran Linggar Watang, yang kini menugaskannya melindungi bibinya disini dari tangan-tangan jahat seperti kau yang mengaku anak Nyi Upih, agaknya Nyi Upih telah ikut serta pula dalam penghianatan ini”

“Jangan mengigau. Coba katakan, siapakah yang mulai dengan keributan ini”

“Persetan, tetapi kau Sangkan, Panon dan Mina itu memang harus dibunuh, karena kalian pun ingin merampas pusaka yang harus kami bawa menghadap Pangeran Linggar Watang di Demak.

“Diamlah dulu” tiba-tiba saja Sangkan membentak, “Jika demikian, kenapa Raden Kuda Rupaka dapat bekerja bersama dengan Kidang Alit?, katakan, apakah memang sebenarnya ada hubungan antar keduanya meskipun dalam selubung sandi?”

“Tidak, kau gila. Apa yang kau ketahui tentang Kidang Alit, He?!” Panji Sura Wilaga berteriak.

“Jangan berteriak, akulah yang harus membentak, bukan kau”

“Tutup mulutmu”

Wajah Sangkan menjadi tegang, namun kemudian ia justru tertawa sambil berkata, “Panon dan Ki Mina, apakah kalian tidak melihat kelucuan ini?”

Panon dan Ki Mina yang seakan-akan hanya sekedar melihat tanya jawab yang membingungkan itu mengerutkan keningnya tanpa mampu menjawa sama sekali”

“Yang terikat disini adalah dia, tetapi kenapa ia justru yang membentak kami?” lalu katanya, “Jangan membuat kami sakit hati, karena kami dapat berbuat apa jauh lebih buruk dari apa yang kami lakukan sekarang. Jika kami kehilangan pengamatan diri, maka kami akan berbuat kasar, akrena pada dasarnya kami adalah orang-orang kasar, kami sama sekali bukan bangsawan yang biasa hidup dalam tata ikatan adat sopan santun yang lembut. Dalam peradaban yang tinggi. Meskipun ada diantara mereka yang justru mempunyai sifat-sifat dan watak yang sebaliknya dari ujud lahiriahnya”

“Diam, diam”

“Nah, kaulah yang kasar, kau juga seorang bangsawan meskipun barangkali dalam tataran yang rendah” potong Sangkan, “Nah, sebaiknya kita mulai saja dengan hubungan yang baik. Katakan, sesuatu yang kau ketahui tentang Raden Kuda Rupaka yang sampai hati menyakiti hati bibinya”

Panji Sura Wilaga terdiam.

“Katakanlah Panji, kau jangan membentak-bentak saja seperti orang kesurupan, tetapi kau dapat mengucapkan beberapa kalimat yang dapat memberikan beberapa petunjuk tentang tugas Raden Kuda Rupaka dan kau sendiri”

Panji Sura Wilaga berdiam diri.

“Panon” berkata Sangkan kemudian, “Agaknya Panji Sura Wilaga sama sekali tidak mau mengatakan apa-apa tentang dirinya dan Raden Kuda Rupaka. Karena itu, kita harus membuat rencana tersendiri. Salah satu dari kita akan pergi ke Demak”

“Panon mengerutkan keningnya”

“Jika kau curiga, bahwa aku hanya sekedar ingin menyingkirkan kau, maka biarlah aku yang pergi. Kau disini bersama Ki Mina dan Pinten, menjaga isi istana ini, termasuk Panji Sura Wilaga yang terikat ini”

“Gila, itu rencana gila, sudah aku katakan kau akan mati di perjalanan, atau dicincang di alun-alun Demak menjadi pengewan-ewan. Karena kau telah menghianati utusan Kangjeng Sultan Demak lewat Pangeran Linggar Watang” teriak Panji Sura Wilaga

Tetapi Sangkan menjawab sambil tertawa, “Jangan hiraukan aku, apakah aku akan dicincang di alun-alun Demak atau aku akan diseret di belakang kaki kuda di sepanjang Kota Raja, atau cara-cara yang lain. Tetapi aku akan merasa puas setelah aku mendapat penjelasan dari siapapun juga tentang Raden Kuda Rupaka, jika benar-benar Raden Kuda Rupaka utusan Sultan Demak lewat Pangeran Linggar Watang atau siapapun juga, maka aku akan dengan senang hati membantunya. Aku akan ikut mencari pusaka itu, bukan saja di halaman istana ini, tetapi aku bersedia menelusur kembali perjalanan Pangaeran Kuda Narpada dari Majapahit sampai ke tempat ini”

“Diam, diam” Panji Sura Wilaga masih membentak, “Kau mengigau seperti orang gila, aku tidak mengerti apa yang kau katakan”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya kepada Pinten, “Ia benar-benar tidak mau mengatakan sesuatu tentang Raden Kuda Rupaka, tetapi baiklah. Dan itu berarti ia akan terikat lebih lama lagi, mungkin sehari, mungkin dua atau tiga hari”

Pinten mengangguk-angguk, tetapi yang ditanyakannya adalah sesuatu yang hampir tidak ada hubungannya dengan diamnya Panji Sura Wilaga, “Bagaimana kita memberinya makan jika ia masih tetap terikat tangannya?”

Sangkan tersenyum, katanya, “Kita lepaskan tali pengikat tangannya”

“Jika demikian ia akan dapat melepaskan ikatan kakinya”

“Kita akan menjaganya disaat-saat ia makan, jika ia berusaha melepaskan diri, kita pukul tengkuknya.”

“Siapkan bola besimu itu”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Panji Sura Wilaga, tetapi tidak mengucapkan apa-apa.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan sekarang?” bertanya Pinten.

“Tidak ada” jawab Sangkan, “Kita akan duduk diluar bilik ini sambil membicarakan jalan yang sebaiknya kita tempuh”

Pinten tidak menjawab, sekilas dipandanginya wajah Panon yang tegang seperti juga wajah Ki Mina, keduanya nampak menjadi bingung mendengar percakapan Sangkan, Pinten dan Panji Sura Wilaga.

“Marilah” Sangkan kemudian mengajak, “Kita tunggu tawanan kita ini diluar bilik ini. biarlah ia melepaskan lelah, mungkin ia justru akan dapat tidur meskipun kaki dan tangannya terikat”

Sekali lagi terdengar gemeretak gigi Panji Sura Wilaga, tetapi Sangkan dan Pinten tidak menghiraukannya lagi. Mereka kemudian melangkah keluar diikuti oleh Panon dan Ki Mina.

“Kembalilah kedalam bilik itu Pinten” berkata Sangkan kemudian, “Kita tidak boleh terlampau yakin, bahwa malam ini tidak akan terjadi apapun lagi”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun ia pun kemudian berdiri sambil berkata, “Baiklah, aku akan kembali ke dalam bilik itu, Mungkin Kidang Alit yang licik itu justru mempergunakan kesempatan disaat kita lengah”

Pinten pun kemudian meninggalkan ketiga orang yang masih saja duduk di serambi, mereka masih merenungi Panji Sura Wilaga yang di dalam bilik, terikat kaki dan tangannya.

“Tentu banyak hal yang harus kita pertimbangkan” gumam Sangkan kemudian.

Ki Mina mengangguj-angguk, katanya, “Ternyata banyak hal yang tidak kami ketahui Sangkan. Mungkin karena kau dekat dengan Nyi Upih, atau katakan saja bahwa karena kau anak Nyi Upih, atau mungkin lebih banyak hal yang kau ketahui tenang Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka dan tentang Pangaeran Kuda Narpada, bahkan mungkin juga tentang pusaka yang menjadi rebutan beberapa pihak sekarang ini”

“Tidak terlalu banyak yang aku ketahui, kalian sudah mendengar serba sedikit tentang Raden Kuda Rupaka, dan itulah semua yang aku ketahui tentang dirinya”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menyahut lagi.

Dalam pada itu, Pinten telah berada di dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada, ketika Raden Ayu Kuda Narpada mendesaknya lagi tentang Raden Kuda Rupaka, maka Pinten tidak dapat menghindar lagi, dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Gusti, sebenarnyalah bahwa Raden Kuda Rupaka kini telah meninggalkan istana ini”

“Kenapa bisa begitu Pinten?” pertanyaan ini justru terloncat dari mulut Inten Prawesti.

“Memang sulit untuk menerangkan alasan yang sebenarnya, tetapi ternyata bahwa Raden Kuda Rupaka telah berusaha membunuh Panon”

“Panon?”

“Ya, Raden Kuda Rupaka menganggap bahwa Panon akan dapat menjadi penghalang atas usahanya, sehingga ia ingin membunuhnya, tetapi ternyata bahwa Panon sempat mempertahankan diri, sehingga justru Raden Kuda Rupaka lah yang melarikan diri”

“Bagaimana dengan Panji Sura Wilaga?” bertanya Nyi Upih.

“Aku terpaksa mengikatnya”

“He….” Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin heran.

“Ampun gusti” Pinten yang duduk beringsut maju, “Bukan maksud untuk melakukan perbuatan yang dapat menyakiti hati puteri berdua. Tetapi pada saat terakhir seperti Raden Ayu ketahui sendiri. Raden Kuda Rupaka seolah-olah menjadi semakin berubah. Pada suatu saat maka yang nampak kemudian adalah keinginan pribadinya tanpa menghiraukan nasib Gusti dan puteri.

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, baginya Raden Kuda Rupaka memang membingungkannya, tetapi bagaimanapun juga Pangeran Linggar Watang adalah saudaranya.

“Apakah aku akan membiarkan Kuda Rupaka mengalami nasib yang buruk setelah selama ini ia melindungi aku?” desisnya

Pinten termangu-mangu sejenak, ketika terpandang olehnya wajah Nyi Upih yang mengeredipkan matanya, seolah-olah memberi isyarat agar ia berdiam diri saja, maka Pinten pun menundukkan wajahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi.

Sejenak ruangan itu menjadi hening, masing-masing seakan-akan sedang merenungi hatinya sendiri.

Dalam pada itu, diluar halaman istana yang suram itu, tiga orang sedang duduk termangu-mangu, masing-masing duduk sambil menundukkan kepalanya dalam kediaman yang beku.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sebenarnya aku mendapat kesempatan baik sekarang ini”

Seorang anak muda yang lainpun berpaling, tetapi kemudian seakan-akan dengan acuh tidak acuh ia berkata, “Memang mungkin sekali terjadi, kau sekarang berdua dengan Kidang Alit, aku seorang diri. Mungkin timbul niatmu untuk membunuh aku sekarang, tetapi jika benar demikian, maka kita bertiga akan mati bersama-sama”

Kidang Alit tertawa katanya, “Benarkah demikian kakang Sambi Timur, apakah kira-kira kita berdua tidak dapat membunuh orang yang sombong ini”

Sambi Timur mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Bramadara telah dibunuh oleh Panji Sura Wilaga, memang pantas sekali kita membalas dendam, membunuh Raden Kuda Rupaka sekarang ini”

Tetapi Raden Kuda Rupaka masih dalam sikapnya, katanya dengan nada datar, “Kau berdua tidak akan berani melakukannya, kita masih saling membutuhkan, atau akan saling berbunuhan tanpa arti sama sekali setelah kita bekerja terlalu lama sampai saat ini”

Kidang Alit tersenyum, jawabnya, “Kau juga licik seperti aku, kau pandai mencari dalih untuk menyelamatkan jiwamu”

“Aku tidak ingin menyelamatkan jiwaku dengan cara yang licik itu, jika kau menghendaki bertempur, aku akan bertempur melawan kalian berdua dan kita akan mati bersama-sama”

Kidang Alit tertawa semakin kerasa, katanya, “Kau sangka aku tidak dapat menilai kemampuan kita masing-masing? Kau dan aku seorang diri mungkin memiliki kemampuan seimbang, sehingga jika Sambi Timur ikut serta berpihak, maka kese-imbangan itu tentu akan segera bergerak, dan kau akan mati disini tanpa seorang pun yang akan menangisi, Pinten tidak, ibundanya tidak, bahkan anak Nyi Upih yang manis itu pun tidak”

Raden Kuda Rupaka merada kupingnya bagaikan tersentuh api, tetapi ia masih tetap duduk tenang seperti tidak menghirau-kan apapun lagi, katanya, “Silahkan memilih aku tahu, kau tidak akan melakukannya”

Kidang Alit mengumpat, katanya, “Kau memang licik, tetapi baiklah, kita memang masih saling membutuhkan, sekarang di istana itu ada beberapa orang yang pantas diperhitungkan”

“Orang-orang gila yang tidak pantas mendapat tempat, aku masih akan mencoba menempuh jalan lain, jika paman Panji Sura Wilaga masih hidup, aku masih mempunyai kesempatan”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kidang Alit.

“Aku akan menghadap bibi, bibi tentu mempunyai pertimbangan tersendiri, jika aku dapat berusaha agar bibi mengusir orang-orang yang telah berkhianat itu”

“Jalan pikiranmu memang sudah buntu, jika bibimu mau mengusir orang-orang yang ada di istananya, kenapa kau mengambil cara lain seperti yang telah gagal ini?. kenapa kau harus memilih jalan pembunuhan?”

“Dengan membunuh mereka, maka persoalannya akan selesai, tetapi mengusir mereka tentu masih akan tumbuh soal-soal baru yang harus kita atasi. Tetapi dalam keadaan yang paling terdesak, maka jalan yang jauh itu pun akan dapat ditempuh”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Aku ingin melihat, apakah kau akan dapat berhasil. Tetapi jika kau gagal, maka kau akan dibantai di halaman istana itu”

“Memang itu termasuk akibat yang harus diperhitungkan, tetapi jika kita takut mengalami akibat yang betapapun pahitnya, maka kita tidak akan berani berbuat apa-apa sama sekali”

“Terserahlah kepadamu, jika kau masih memerlukan kasih sayang bibimu yang sudah kau khianati itu”

“Aku akan mencoba. Apakah kau takut kalau aku akan mendapatkan pusaka itu langsung dari bibi”

Kidang Alit tertawa, jawabnya, “Kita semuanya sudah menjadi gila, dan kegilaan kita akan membakar istana kecil itu menjadi karang abang”

“Persetan” Raden Kuda Rupaka menggeram, “Aku akan menemui bibi untuk menyelesaikan semua persoalan”

Kidang Alit tidak menanggapinya lagi. Perlahan-lahan ia pun kemudian membaringkan dirinya dan bergumam, “Aku akan tidur, aku sudah kehilangan seorang kawan malam ini, aku tidak tahu dimanakah paman Bramadara akan dikuburkan. Dan pembunuh itu adalah Panji Sura Wilaga”

Raden Kuda Rupaka menyadari, bahwa Kidang Alit mendendamnya, dan ia pun sadar, bahwa setiap saat Kidang Alit tentu benar-benar berusaha untuk membunuhnya, tetapi ia sudah terjun ke gelanggang, kematian adalah tantangan yang paling wajar dan tidak perlu ditakuti lagi.

Sebenarnyalah saat itu, orang-orang di istana kecil itu sedang membicarakan tentang mayat yang terbujur di halaman sebelah, Panon tidak mengerti, apakah yang sebaiknya dilakukan atas mayat itu.

“Kita kuburkan saja di sudut halaman istana ini” desis Ki Mina.

Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Ketika orang-orang dari Guntur Geni terbunuh, orang-orang Karangmaja bersedia menolong menguburkan mereka, tetapi kali ini keadaannya tentu berbeda, biasanya Raden Kuda Rupaka lah yang minta pertolongan mereka”

Ki Mina termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Sangkan dan Panon berganti-ganti, lalu katanya, “Kita tidak akan dapat keluar dari istana ini, jika kita tinggalkan istana ini, maka mungkin sekali orang-orang itu datang dan memaksa Raden Ayu Kuda Narpada untuk berbuat sesuatu yang mungkin benar-benar tidak dapat dilakukannya. Misalnya menunjukkan pusaka itu. Tetapi jika hanya satu atau dua orang saja diantara kita yang keluar dari istana ini, mungkin kita akan menjumpai kesulitan, kita tidak tahu siapa saja yang kini mengelilingi dinding istana ini”

Sangkan mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, tetapi kita harus melakukannya sekarang”

“Apaboleh buat” desis Ki Mina, “Kita akan mencari tempat yang paling tersembunyi”

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera menguburkan mayat Bramadara dibalik gerumbul perdu di kebun belakang, sejauh-jauhnya dari istana. Mereka sama sekali tidak mendandai kuburan itu selain dengan ciri-ciri yang memang sudah terdapat sebelumnya. Batang perdu dan tanda-tanda pada dinding halaman istana.

Setelah membersihkan diri, mereka pun segera kembali ke dalam bilik belakang, mereka masih menjumpai Panji Sura Wilaga yang masih terikat.

Demikianlah mereka memasuki bilik itu, terdengar Panji Sura Wilaga mengumpatnya, tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan Sangkan pun kemudian membaring-kan dirinya tanpa mengacuhkannya lagi.

Tetapi mereka bertiga itu pun menjadi berdebar-debar ketika langit menjadi terang, apakah mereka akan dapat mempertahan-kan Panji Sura Wilaga jika Raden Ayu Kuda Narpada sendiri yang datang dan memerintahkan untuk melepaskan Panji Sura Wilaga.

Ketika pagi menjdi terang, maka Nyi Upih dan Pinten pun mulai dengan menghidupkan api seperti yang biasa mereka lakukan, di bagian dalam Inten sibuk membersihkan lantai, sementara Sangkan pun telah keluar pula dari biliknya bersama Panon untuk mengamat-amati dinding yang rusak, sementara Ki Mina tetap berada di dalam biliknya yang tertutup menunggui Panji Sura Wilaga.

“Kita harus memperbaikinya” desis Sangkan.

Panon mengangguk-angguk, namun katanya, “Darimana kita mendapatkan bahan untuk memperbaiki dinding itu?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, dengan matanya yang redup ia mamandang kearah padukuhan Karangmaja, seolah-olah ia ingin mengharapkan untuk mendapat beberapa potong kayu dan bambu dari padukuhan itu.

Tetapi Sangkan pun kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat mengambilnya dari padukuhan itu, kemungkinan yang dapat terjadi serupa dengan kemungkinan yang timbul jika kita membawa mayat itu ke keburuan”

Panon mengangguk-angguk, dengna anda datar ia pun bertanya, “Apakah yang akan kita perbuat?”

Kita akan mempergunakan bahan-bahan yang terdapat pada bekas kandang itu, biar sajalah kuda Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mempergunakan sebagian saja dari bekas kandang itu”

Panon mengangguk-angguk, lalu katanya, “Kita dapat mengambil sebagian, tetapi kita tidak dapat membiarkan kuda-kuda itu kepanasan disiang hari dan kehujanan jika hujan turun”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Pada sautu saat kita akan kesulitan mencarikan makanan kuda-kuda itu. Yang dapat kita lakukan adalah mencari rumput di sekitar istana ini saja, tetapi jika rerumputan sudah mulai mengering di musim kemarau yang panjang?”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Berapa musim kita sendiri dapat bertahan di dalam halaman istana ini, bukan kuda-kuda itulah yang akan kekurangan makan lebih dahulu, tetapi kita. Ketela pohon yang kita tanam itu tentu akan dapat banyak menolong di hari mendatang”

Sangkan menarik nafas, tetapi sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau benar, kita akan segera mengalami kesulitan”

Keduanya kemudian mulai memeriksa kandang di belakang. Mereka mencoba mencari bahan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki dinding yang rusak, tetapi mereka masih tetap memperhatikan kuda-kuda yang berada di dalam kandang itu.

Dalam pada itu, selagi keduanya sibuk dengan dinding yang rusak itu, mereka telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda mendekati regol halaman istana yang tertutup. Dengan serta merta merekapun segera melangkah ke halaman depan, bahkan Pinten dan Ki Mina yang juga mendengar langkah itu pun telah keluar ke serambi.

“Aku mendengar derap kaki kuda biyung” desis Pinten.

Nyi Upih memandang gadis itu dengan tatapan mata yang asing. Dengan nada yang datar ia berkata, “Hati-hatilah puteri”

“Ah” desis Pinten sambil mencubit Nyi Upih.

“Aduh, jangan, ampun” desis Nyi Upih.

Pinten tersenyum memandang Nyi Upih yang bergesar surut, lalu katanya, “Aku akan berhati-hati biyung”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, lalu setapak demi setapak ia melangkah maju sambil berkata, “Jika yang berkuda itu Raden Kuda Rupaka, maka persoalannya akan menjadi sulit. Mungkin Raden Ayu tidak sampai hati menolak permintaanya untuk melepaskan Panji Sura Wilaga.

“Kakang Sangkan akan mempertahankannya biyung, mungkin Raden Kuda Rupaka harus mengurungkan niatnya, karena persoalannya sudah berkembang semakin larut”

“Semuanya agaknya memang harus jelas”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, Tetapi ia tidak menyahut, bahkan ia pun kemudian masuk kembali ke dapur. Sekilas ia melihat Ki Mina masih berdiri di serambi dimuka biliknya, dan di dalam bilik itu terikat Panji Sura Wilaga.

Dalam pada itu, suara derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat pula dengan regol halaman yang masih tertutup.

Di dapur Nyi Upih menggamit Pinten sambil berkata, “Masuklah, pergilah ke dalam bilik. Mungkin Raden Ayu dan Pinten memerlukan kau”

Pinten termangu-mangu, namun ia pun kemudian meninggalkan dapur dan masuk ke ruang dalam.

Ketika ia memasuki bilik, dilihatnya Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti duduk dengan cemasnya dibibir pembaringan.

Ternyata kehadiran Pinten telah menenangkan hati keduanya, bahkan Intenpun kemudian berkata, “Kemarilah, mendekatlah Pinten”

Pinten bergeser mendekat, Tetapi ia tidak menyahut.

“Kau dengar derap kaki kuda itu?” bertanya Inten.

“Ya, puteri” jawab Pinten, “Tetapi suara itu berhenti sekarang, agaknya mereka telah berada diregol depan”

Inten menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan kemudian dengan suara gemetar ia bertanya, “Siapakah mereka Pinten?”

“Aku belum mengetahuinya, puteri. Tetapi sekali Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit”

Ternyata dugaan Pinten itu benar, yang barada di luar regol adalah Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Ki Sambi Timur.

“Buka pintunya” Raden Kuda Rupaka berteriak dari luar regol.

Sangkan dan Panon yang berada di halaman itu termangu-mangu, Tetapi mereka melangkah mendekat.

“Bukalah pintu ini” sekali lagi Raden Kuda Rupaka mengulang, “Jika tidak, aku akan membukanya sendiri, meskipun untuk seterusnya pintu ini tidak akan dapat terkunci lagi”

Sangkan lah yang kemudian mendekati pintu, Tetapi ia sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Meskipun nampaknya Raden Kuda Rupaka tidak akan berbuat apa-apa, Tetapi segala kemungkinan memang dapat terjadi atas dirinya dan Panon.

Panon pun nampaknya sudah bersiaga sepenuhnya. Meskipun ia tidak membawa senjata di tangan, Tetapi pada ikat pinggangnya yang tebal terselip pisau-pisaunya yang siap dilontarkan.

Ketika pintu telah terbuka, maka tiga ekor kuda itu berlari begitu saja memasuki halaman, seolah-olah mereka sama sekali tidak melihat Sangkan dan Panon yang termangu-mangu.

Ketiganya langsung meloncat turun dari kudanya ketika mereka sudah berada di depan tangga pendapa. Dengan serta merta mereka melangkah masuk dan langsung menuju ke pintu peringgitan.

Tidak ada yang mereka percakapkan, Tetapi Sangkan dan Panon mengetahui dengan pasti, bahwa mereka akan menjumpai Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti.

Namun langkah ketiga orang itu tertegun di pintu, ketika mereka melihat Pinten duduk pula di dalam bilik itu.

“Iblis betina itu ada di dalam” deis Kidang Alit.

Pinten sama sekali tidak menanggapinya, ia masih saja duduk bersimpuh seperti kebiasaannya, meskipun diluar sadarnya, jari-jari tangannya telah meraba bola besinya yang terikat di ujung rantai dan membelit dibawah ikat pinggangnya.

Raden Kuda Rupaka memandang Pinten dengan kerut merut dikeningnya, namun ia pun kemudian mengangguk dalam-dalam ketika terdengar suara Raden Ayu Kuda Narpada, “Kau angger?”

“Ya, bibi” jawab Raden Kuda Rupaka, dan kemudian diteruskannya, “Kehadiranku kali ini, merupakan saat yang menentukan, kami memerlukan pusaka itu, bibi”

“Anak mas” suara Raden Ayu Kuda Narpada menjadi datar, “Sebenarnya aku menjadi sangat gelisah dengan anggapan bahwa pusaka itu telah aku simpan, berapa kali aku sudah mengatakannya, bahwa aku tidak tahu sama sekali, dan apa yang aku katakan itu benar, sehingga aku tidak perlu mengulanginya”

“Tidak bibi” jawab Raden Kuda Rupaka, “Keadaan kini sudah menjadi sangat buruk, Sangkan dan Panon telah bersepakat untuk berkhianat”

“Siapapun tidak akan dapat memaksa aku untuk mengetahui apa yang memang tidak aku ketahui”

“Aku yakin bibi mengetahui”

“Tidak angger, dan ketidak-tahuanku itu tidak akan dapat aku ingkakri akan terjadi apa saja atas diriku”

Raden Kuda Rupaka memandang Kidang Alit sejenak, kemudian katanya, “Bibi, sudah cukup lama aku tinggal di padepokan ini sudah banyak pertolongan dan kebaikan hati yang aku berikan kepada bibi sekeluarga, bahkan dengan kedua orang pengemis itu pula, sekarang sudah waktunya aku bertindak tegas”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang wajah Raden Kuda Rupaka dengan cemasnya, namun kemudian ia berpaling ketika ia melihat Pinten bergeser setapak.

“Kau tidak usah ikut campur iblis betina” geram Raden Kuda Rupaka.

Namun Pinten sempat menjawab, “Aku memang tidak akan ikut campur secara langsung”

“Kenapa kau sebut secara langsung?”

“Mungkin dengan cara lain aku akan mendapat permainan yang mengasyikkan”

“Tutup mulutmu, atau aku akan menyumbatnya”

“Kau hanya bertiga” tiba-tiba saja Pinten memotong, “Kami berempat disini, kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika Raden Ayu mengatakan tidak, maka kami semua disini mengatakan tidak”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam. Tetapi ia menyadari bahwa yg dikatakan Pinten itu adalah kenyataannya sekarang ini.

Meskipun demikian, Raden Kuda Rupaka menjawab, “Kau jangan sombong perempuan gila, meskipun kami bertiga, kami akan dapat membunuh semua orang di dalam rumah ini”

Adalah diluar dugaan mereka jika tiba-tiba saja Pinten tertawa, suaranya terdengar aneh ditelinga setiap orang yang mendengarnya. Katanya disela-sela suara tawanya, “Jika kau memang ingin melakukannya dan mampu berbuat demikian, kau tentu sudah melakukannya semalam, tidak sekarang”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi semakin merah membara, kemarahannya sudah tidak dapat disembunyikannya lagi, meskipun demikian, ia masih harus melihat kenyataan, bahwa di dalam istana ini, memang ada empat orang yang harus diperhitungkan.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Mungkin bibi dapat ingkar, dan mungkin saat ini orang-orang gila ini dapat membujuk bibi untuk tidak memberitahukannya kepadaku, Tetapi bibi kelak akan menyesal, jika aku pergi dengan kecewa, maka itu merupakan pertanda bahwa orang-orang yang tinggal akan saling berbunuhan untuk memperebuntukan pusaka itu. Sangkan, Panon, Ki Mina dan Pinten akan saling mempertaruhkan nyawanya, meskipun kemudian tiga diantara mereka akan manjadi bangkai disamping tubuh bibi dan diajeng Inten Prawesti yang terkapar tidak bernyawa lagi”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang, demikian pula wajah Inten Prawesti.

“Bibi, apakah dengan demikian berarti bahwa aku harus kembali menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa bibi tidak lagi menaruh kepecayaan kepadaku?”

“Oooo…” suara Raden Ayu Kuda Narpada seolah-olah terputus dikerongkongan, namun kemudian ia berkata, “Jika kau bertemu dengan ayahandamu, aku mohon maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah kakangmas Linggar Watang untuk menyerahkan pusaka yang sebenarnya memang tidak aku ketahui”

“Ayahanda tidak akan percaya, ayahanda yakin bahwa pusaka itu ada disini, bibilah yang menyimpannya”

“Aku bersedia untuk menerima akibat apapun yang mungkin dilimpahkan karena kemarahan kakangmas Linggar Watang, sebenarnyalah aku tidak ingkar akan baktiku, Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun kakangmas Linggar Watang sendiri yang datang kemari”

“Baiklah bibi, aku akan kembali kepada ayahanda yang tentu akan datang sendiri kemari, ayahanda akan mengetahui apa saja yang sudah aku lakukan disini, bahkan aku sudah mempertaruh-kan nyawaku melawan orang-orang Guntur Geni dan melawan ilmu gendam yang tidak dapat dihindari oleh diajeng Inten Prawesti”

“Aku akan berterima kasih”

“Baik, baik, memang kemungkinan yang paling buruk harus aku tempuh, aku sudah menyelamatkan nyawaku, menghadapi ujung senjata, Tetapi agaknya aku harus mengalami nasib yang sangat buruk jika aku kembali ke Demak tanpa pusaka itu,. namaku akan dihinakan dan barangkali aku akan diasingkan oleh ayahanda dari lingkungan keluarga”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang sejenak, terpercik perasaan iba di wajahnya.

Ternyata bahwa Raden Kuda Rupaka dapat menangkap percikan perasaan itu, maka katanya, “Bibi, jika memang bibi tidak mengetahuinya, biarlah aku mohon diri, Tetapi mungkin akan lebih baik bagiku jika aku tidak akan pernah bertemu lagi, karena bagiku sebagai seorang kesatria, nama lebih berharga dari jiwa sekalipun”

“Anakmas” desis Raden Ayu Kuda Narpada, “Apakah yang akan kau lakukan?”

Raden Kuda Rupaka berpaling kepada Kidang Alit, lalu katanya, “Kamipun akan saling berebutan jika pusaka itu bibi berikan kepadaku, Tetapi Kidang Alit tentu akan bersedia membantu aku jika aku gagal mendapat pusaka itu”

Kidang Alit menjadi semakin termangu-mangu.

“Bibi, ujung senjata Kidang Alit tentu cukup tajam untuk membunuhku, karena ternyata aku tidak ingin lagi bertemu dengan ayahanda Linggar Watang”

“Anakmas” Raden Ayu Kuda Narpada terkejut sehingga bergeser setapak, “Kau akan membunuh diri?”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Jika ayahanda pada suatu saat berkunjung kesini, tolong bibi katakan bahwa aku sudah gagal, bibi jangan mengatakan bahwa bibi tidak dapat menunjukkan pusaka itu kepadaku, Tetapi sebaiknya bibi mengatakan bahwa aku terbunuh dalam perebutan pusaka itu, bibi dapat mengatakan bahwa aku telah dibunuh oleh orang-orang Guntur Geni atau oleh Kidang Alit sekalipun yang barangkali merupakan utusan yang dikirim oleh paman Pangeran Cemara Kuning dan paman Pangeran Sendang Prapat”

“Bohong” tiba-tiba saja Kidang Alit memotong, “Aku tidak mengenal Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat”

“Mungkin sekali kau adalah utusannya seperti juga aku adalah utusan ayahanda Linggar Watang”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menjawab.

“Nah, bibi, itu adalah pesanku yang terakhir, aku mohon diri, Tetapi aku tidak akan pernah sampai ke Demak dan menghadapi ayahanda dan ibunda”

“Anakmas” wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin tegang.

“Bibi tidak usah mencemaskan aku”

“Tetapi, Tetapi apakah kata kakangmas Linggar Watang tentang aku”

“Bibi tidak usah menjadi cemas, bukankah bibi memang tidak mengetahui apapun juga tentang pusaka itu”

Nampak keragu-raguan yang tajam membayang di wajah Raden Ayu Kuda Narpada sehingga suasana di dalam bilik itu pun menjadi tegang pula. Tidak seorangpun yang bergerak dan apalagi beranjak dari tempatnya.

Namun dalam pada itu terdengar suara Kidang Alit diantara derai terawanya, “Kau sedang merajuk, Raden?”

Raden Kuda Rupaka memandang wajah Kidang Alit dengan tegangnya, namun kemudian jawabnya, “mungkin Kidang Alit, mungkin aku sedang merajuk, Tetapi mungkin juga aku telah menyatakan tekadku bahwa aku tidak akan berani menghadapi ayahandaku tanpa pusaka itu, apakah aku akan membunuh diri, kau bunuh atau aku akan mengembara tanpa tujuan”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya kepada Raden Ayu Kuda Narpada, “Terserahlah kepada Raden Ayu, Tetapi sebaiknya persoalan Raden Kuda Rupaka diserahkan saja kepadanya, jika ayahanda Raden Kuda Rupaka datang Raden Ayu tinggal menyatakan apa yang Raden Ayu ketahui”

Tetapi justru karena itu, kebingungan telah mencengkam hati Raden Ayu Kuda Narpada. Bagaimanapun juga ia akan menghadapi kesulitan perasaan jika benar-benar Pangeran Linggar Watang datang ke istana kecil ini.

Wajah-wajah yang ada di dalam bilik itu menjadi tegang, setiap orang memusatkan perhatiannya kepada Raden Ayu Kuda Narpada yang sedang dicengkam oleh keragu-raguan, seolah-olah di dalam dadanya telah terjadi pergolakan yang dahsyat.

Namun dalam pada itu, sekali lagi bilik itu dipecahkan oleh suara tertawa, Pinten lah yang kemudian tertawa sambil berbicara, “Hampir saja Raden berhasil, bukan berhasil memiliki pusaka yang Raden cari, Tetapi berhasil menyiksa perasaan Gusti putri, sebenarnyalah ada keinginan Gusti puteri untuk menolong Raden, Tetapi Gusti benar-benar tidak mengetahui dimanakah pusaka yang Raden cari itu”

“Diam” tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka berteriak, “jangan ikut campur”

Tetapi Pinten tidak mau diam, katanya, “Sebenarnya sejak Raden berbicara aku sudah menahan tertawa, aku tidak tahu jalur pembicaraan Raden, mula-mula Raden mengatakan bahwa Raden akan kembali ke ayahanda Raden, Pangeran Linggar Watang yang tentu akan datang kemari, kemudian Raden mulai merajuk bahwa mungkin Raden akan diasingkan oleh ayahanda Raden. Tetapi ternyata bahwa kemudian Raden mulai mengancam untuk membunuh diri”

“Gila, aku sumbat mulutmu dengan ujung pedang” wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam.

Tetapi Pinten masih berbicara terus, “jangan mengancam, seharusnya Raden tahu, bahwa aku tidak takut mendengar ancaman apapun juga dari Raden karena ternyata Raden tidak lebih baik dari kakang Sangkan, bukankah aku dapat minta perlindungannya jika Raden marah”

Seolah-olah dada Raden Kuda Rupaka akan meledak oleh kemarahan, Tetapi ia tidak dapat melakukannya, karena pertimbangan-pertimbangan yang berlandaskan kenyataan tentang gadis itu, Sangkan, Panon dan Ki Mina yang masih ada di lingkungan istana ini.

Tetapi adalah diluar dugaan sama sekali, bahkan Raden Kuda Rupakapun tidak, bahwa dengan kening yang berkerut Raden Ayu Kuda Narpada memotong kata-kata Pinten, “Sudahlah Pinten, kita semua mengerti, bahwa tidak seorang pun yang dapat saling mengancam. Tetapi sikapmu terhadap anakmas Raden Kuda Rupaka jangan meninggalkan trapsila dan unggah-unggah”

Sejenak Pinten tercenung, sekilas dipandanginya kakaknya yang berada di pintu, namun kemudian ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Gusti, bukan maksudku bertindak deksura terhadap kemanakan Raden Ayu, Raden Kuda Rupaka. Tetapi dalam keadaan yang gawat sekarang ini, maka kita masing-masing tidak boleh terlampau terpengaruh oleh hubungan yang ada diantara kita”

“Aku mengerti, Tetapi biarlah aku yang menjawab semua pertanyaan dan persoalan yang dikemukakannya”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, namun sekali lagi diluar dugaan semua orang bahwa Inten yang nampak ketakutan itu pun berkata tersendat-sendat, “Tetapi ibunda, dalam hubungan dengan perkembangan keadaan terakhir, agaknya kakangmas Raden Kuda Rupaka sudah bersikap lain, meskipun ia kemanakan ibunda, Tetapi ialah yang mulai meninggalkan trapsila dan unggah-unggah”

“Diajeng” potong Raden Kuda Rupaka, “Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar telah terpengaruh oleh sikap gadis binal itu”

Inten memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, lalu, “Maaf kakangmas, sikap kakangmas telah menimbulkan ketakutan pada diriku”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam, Tetapi ia pun masih menjawab, “Maaf diajeng, bukan maksudku, semuanya semata-mata terdorong oleh keinginanku menyelamatkan pusaka itu”

“Tetapi kakangmas telah mengajak Kidang Alit sekarang ini, seandainya ibunda mengetahui pusaka itu dan menyerahkannya kepada kakangmas, apakah kakangmas dapat menjamin bahwa pusaka itu akan dapat kakangmas pertahankan dan sampai ketangan pamanda Pangeran Linggar Watang”

“Akan aku pertahankan dengan darahku sampai tuntas”

“Jika itu terjadi, kakangmas mempertahankan sampai maut mermenggut jiwa kakangmas, apakah itu berarti bahwa pusaka itu diselamatkan?”

“Inten” potong Raden Ayu Kuda Narpada sambil menggamit pundak anak gadisnya, katanya kemudian, “Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar berkepanjangan” ia berhenti sejenak, lalu, “Angger Kuda Rupaka, sebenarnyalah aku mohon maaf kepada kakangmas Linggar Watang, tetapi sebaiknya kau tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum kemanusiaan jsutru atas dirimu sendiri, jika kelak kakangmas Linggar Watang sudi datang kemari, maka aku akan menjelaskannya, bahwa aku benar-benar tidak mengetahuinya sehingga kesalahan itu tidak dibebankan kepadamu”

“Tidak bibi, aku akan kembali membawa pusaka itu atau tidak sama sekali”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang kembali, dipandanginya Raden Kuda Rupaka yang agaknya benar-benar sudah berkeras hati.

“Bibi harus mengambil keputusan sekarang”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin gelisah, namun justru itu, ia bahkan diam mematung memandang Raden Kuda Rupaka yang tegak berdiri tegak dengan kaki renggang.

Dalam ketegangan itu, ternyata Kidang Alit mengambil sikap yang lain, seolah-olah ia sama sekali tidak terlibat dalam ketegangan itu, bahkan kemudian ia pun perlahan-lahan melangkah ke sudut bilik sambil memandang Inten yang berpegangan lengan ibunya.

Sekilas ia melontarkan sebuah senyuman yang aneh, namun kemudian ia pun seolah-olah tidak menghiraukannya lagi dan duduk seenaknya disudut, dengan tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu, maka ia pun mengambil serulingnya yang terselip dipinggangnya, langsung menempelkan dimulutnya dan sejenak kemudian terdengar suara seruling itu memenuhi bilik yang tidak terlalu luas itu.

Mula-mula Raden Kuda Rupaka terkejut mendengar suara seruling itu, namun kemudian dari kerut merut di keningnya nampak bahwa ia pun sedang memperhatikan suara itu dengan seksama.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah lagu yang ngelangut seolah-olah jerit hati seorang yang merindukan cerahnya matahari, namun kemudian lagu itu menukik rendah dan mengeluh oleh kegagalan.

Sejenak kemudian setiap hati telah dicengkam oleh suara itu, dengan tatapan mata yang redup Kidang Alit memandang seorang demi seorang, terutama Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti.

Tiba-tiba saja nampak Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Biasanya akulah yang melawan ilmu gendammu Kidang Alit, kini mereka akan mengerti, bahwa tanpa aku mereka tidak dapat berbuat apa-apa”

Suara ngelangut itu bagaikan telah menghanyutkan keadaan Raden Ayu Kuda Narpada, bahkan sejenak kemudian Inten Prawesti perlahan-lahan berdiri sendiri seperti orang yang sedang bermimpi, tatapan matanya terlontar ke kejauhan melalui daun pintu yang terbuka, sementara Raden Ayu Kuda Narpada pun telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Mereka akan kehilangan kepribadian mereka” berkata Kidang Alit di dalam hatinya, “Dan agaknya Raden Ayu Kuda Narpada akan dapat menanggapi keadaan”

“Bibi” desis Raden Kuda Rupaka, “Jika kerinduan itu telah mengusik hati, biarlah aku berjanji untuk membawa pamanda Pangeran Kuda Narpada kembali kepada bibi, jika bibi bersedia mengatakan dimanakah pusaka itu berada”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangkat wajahnya, Tetapi wajah itu seolah-olah menjadi beku tanpa alas kedirjaannya sendiri.

“Bibi, apakah bibi dapat mengatakannya?”

Bilik itu menjadi tegang, tatapan mata Raden Ayu pun telah kehilangan warna. Sementara itu seruling Kidang Alit masih tetap bermain di bibirnya dengan lagu yang kadang-kadang merendah, namun kadang-kadang melengking tinggi, setiap kejutan membuat mereka yang mendengarkan bagaikan terbanting ke dalam anganangan yang kehilangan sandaran, terputus dari rangkaian yang semakin dalam.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka dengan nada dalam, “Katakanlah bibi”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, namun kemudian dipandanginya wajah puterinya yang kosong, dan Raden Ayu Kuda Narpada sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika Inten Prawesti melangkah setapak mendekati Kidang Alit yang duduk disudut ruangan itu”

Suasana di dalam bilik itu menjadi semakin tegang, sementara itu Pinten yang duduk tersimpuh di lantai memandang Sangkan yang berdiri di pintu disisi Panon, mereka memandang semua yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar.

Tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu terdengar Sangkan berdesis, “Apakah belum cukup Pinten?”

Pinten mengerutukan keningnya.

“Hentikan, atau aku yang akan menghentikan suasana yang gila ini”

Pinten tertawa katanya, “Aku ingin mengetahui, berapa jauh jangkauan ilmu seorang anak muda yang tampan yang bernama Kidang Alit”

Jawaban Pinten itu benar-benar mengejutkan Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Kiai Paran Sangit, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Pinten dapat memecahkan perhatian mereka dengan caranya, ia sama sekali tidak melawan suara seruling itu dengan benturan getar yang berlandaskan ilmunya, Tetapi ia langsung menikam perasaan Kidang Alit yang dilontarkan dengan tajamnya disela-sela suara tertawanya yang aneh.

“Kidang Alit memang anak muda yang tampan, cakap dan memiliki ilmu yang tinggi, itulah sebabnya maka beberapa orang gadis dengan pasrah telah menyerahkan mahkota yang paling bernilai pada diri mereka. Suara seruling dengan lagu yang menghentak-hentak namun kadang-kadang merayu itu telah membuat jantungku semakin cepat berdegup. Hampir saja aku berlari dan memeluknya jika aku tidak menyadari bahwa di dalam ruangan ini ada beberapa orang lain”

 

Suara seruling Kidang Alit mulai sumbang ketika getaran jantungnya berdegup semakin keras, jika mulutnya tidak tersumbat seruling dalam lontaran ilmunya yang tinggi, ia tentu sudah berteriak dan mengumpat-umpat.

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, baginya yang mengganggu suara seruling Kidang Alit bukan saja kata-kata Pinten yang menyakitkan hati itu. Tetapi getar suara tertawanya yang asing itu agaknya telah mempengaruhi perkataan Kidang Alit, sehingga pemusatan pikirannya terganggu.

“Gila” desis Raden Kuda Rupaka, “Gadis ini mampu melawan ilmu Kidang Alit langsung menyerang sumbernya.

Kidang Alit merasa bahwa perlawanan Pinten tidak diarena lontaran getar suara serulingnya, Tetapi langsung menyerang pemusatan inderanya, karena itulah maka Kidang Alit justru memejamkan matanya, ia mencoba untuk bertahan, menghalau semua gangguan lewat getar suara Pinten yang langsung mengguncang jantung dan kata-kata gadis itu yang dengan tajam menikam perasaannya.

Agaknya Raden Kuda Rupaka menyadari kesulitan yang dihadapi Kidang Alit, karena itu, maka ia pun berusaha memotong serangan Pinten, katanya, “Pinten, kau jangan mserasa dirimu cantik dan barangkali cukup menarik perhatian Kidang Alit, gadis-gadis Karangmaja pada umumnya jauh lebih cantik dari padamu. Hampir semuanya mereka membiarkan dirinya menjadi sasaran permainan Kidang Alit, karena itu, jangan mengharapkan perhatiannya, karena sebenarnyalah wajahmu tidak lebih cantik dari biyungmu”

Tetapi Pinten bukannya seorang yang dungu seperti yang disangka semula. Kata-kata Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan suara tertawanya meninggi disela-sela kata-katanya, “Raden, jangan iri hati, aku yakin bahwa Kidang Alit bukan orang kebanyakan atau barangkali perantau seperti yang dikatakannya, mungkin ia memiliki darah kebangsawanan yang lebih tinggi dari Raden sehingga setiap gadis lebih tertarik kepadanya dari pada kepada Raden Kuda Rupaka”

“Gila” Raden Kuda Rupaka yang menggeram sementara suara seruling Kidang Alit menjadi kacau.

“Sudahlah Kidang Alit” berkata Pinten, “Kau lebih manis jika kau tersenyum, wajahmu nampak jelek jika dahimu berkerinyut seperti dahi seorang kakek-kakek tua”

Sejenak Kidang Alit masih berusaha untuk meniup serulingnya, Tetapi lagunya sudah tidak mapan lagi, sehingga akhirnya delepaskannya sambil mengumpat, “Perempuan iblis, kau memang harus dibunuh paling dahulu”

Pinten tertawa, kemudian ia pun tegak berdiri melangkah mendekati Inten yang kebingungan.

“Duduklah puteri”

“Ooo…” perlahan-lahan kesadarannya mulai merambat di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia pun kemudian berlari memeluk ibunya.

Aku juga kehilangan kesadaranku” berkata Raden Ayu sambil membelai anak gadisnya.

“Nah” Pinten lah yang kemudian berbicara, “Kita semuanya sudah meyakinkan, bahwa kalian benar-benar ingin melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya. Kini kalian tidak dapat berkata lagi, terutama Raden Kuda Rupaka, bahwa yang dilakukannya itu adalah suatu usaha yang baik. Baik bagi Demak dan baik bagi Raden Ayu Kuda Narpada. aku sengaja ingin melihat, bahwa dalam ketidak sadaran, kalian ingin memaksakan kehendak kalian atas Raden Ayu Kuda Narpada, bagiku yang kalian lakukan sudah suatu serangan yang tidak terampuni”

“Pinten” desis Raden Ayu Kuda Narpada.

“Apakah yang terjadi bukannya suatu bukti, Gusti?”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu sejanak, kemudian dipandanginya Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Kiai Parang Sangit.

“Apakah Gusti masih belum yakin?”

“Pinten” berkata Raden Ayu Kuda Narpada, “Bagaimanapun juga ia adalah kemanakanku, aku tidak dapat berbuat sesuatu dengan mengingkari kenyataan bahwa ia adalah kemanakanku”

“Puteri” berkata Pinten kemudian, “dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi ikatan kekeluargaan diantara setiap orang yang mempunyai kepentingan yang berbeda, masing-masing lebih mementingkan dirinya sendiri daripada keluarga, kemanakan adalah hubungan yang terlalu jauh dibandingkan dengan pusaka yang mereka cari, saudara kandungpun akan dijadikan korban apabila kepentingan yang dianggap melampaui segalanya itu dihambat”

“Ooo” Raden Ayu Kuda Narpada menundukkan kepalanya.

“Persetan” geram Raden Kuda Rupaka, “Seharusnya aku tidak bersabar lebih lama lagi”

“Kau tidak dapat berbuat apapun juga sekarang Raden”

Raden Kuda Rupaka menggeram, dipandanginya wajah Kidang Alit yang tegang, namun kemudian sekilas senyum terbayang di wajah itu, katanya, “Hampir saja kita berhasil Raden. Jika Raden dapat memaksa Raden Ayu untuk mengatakan dimanakah pusaka itu, maka akan datang gilirannya kita saling membunuh. Tetapi ternyata bahwa pusaka itu masih tetap tersembunyi, sehingga barangkali kita masih akan saling memerlukan”

Raden Kuda Rupaka termenung sejenak, kemudian dipandanginya Pinten, Sangkan dan Panon yang berdiri tegang.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Aku masih akan dapat bersabar, mudah-mudahan bibi dapat berpikir lebih bening, aku akan tetap disini sampai saatnya bibi memberitahukan pusaka itu kepadaku”

“Ooo” Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi aku tidak mau tinggal bersama dengan dengan orang-orang yang berkhianat ini, orang-orang yang tidak setia dan tidak tahu berterima kasih. Selama ini, akulah yang menyediakan bahan bagi hidup kita semuanya seisi istana ini, namun akhirnya aku terusir dengan kasar dari istana ini”

“Anakmas” sahit Raden Ayu, “Sama sekali bukan maksudku mengusirmu”

“Aku tahu bibi, Tetapi selama orang-orang itu masih berada disini, aku akan tinggal di padukuhan”

“Tetapi….” Kata-kata Raden Ayu terputus, sejenak ditatapnya wajah Sangkan dan Panon yang berdiri dimuka pintu, seseolah-olah-seolah-olah ia sedang menimbang siapakah yang lebih berhak tinggal di istana ini.

Inten mamandang ibundanya dengan dada yang berdebar-debar, Tetapi karena ibundanya tidak mengatakan sesuatu, maka Inten tetap berdiam diri pula.

Sejenak kemudian, maka Raden Kuda Rupaka pun mulai beringsut, Kidang Alit yang duduk disudut telah berdiri pula dan begitu juga dengan Sambi Timur yang perlahan-lahan berjalan mengikuti Raden Kuda Rupaka.

Ketika terdengar suara kuda berderap meninggalkan halaman, maka Raden Ayu Kuda Narpada rasa-rasanya tidak dapat menahan gejolak di dadanya. Nampak setitik air mata mengambang di pelupuknya.

“Alangkah pahitnya” katanya di dalam hati, “Apakah yang akan dikatakan oleh kakangmas Linggar Watang, jika ia benar-benar datang ke istana yang suram ini”

Inten melihat air di pelupuk mata ibunya, namun ialah yang kemudian mencoba menghiburnya, “Sudahlah ibunda, semuanya harus kita hadapi, aku sudah jemu mengeluh dan berdesah, sekarang apa yang sedang terjadi adalah suatu kenyataan yang harus diatasi, untunglah bahwa kita masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dengan hadirnya Pinten dan kakaknya serta Panon dan Ki Mina”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, Tetapi ia tidak menjawab.

Namun di dalam pada itu, ternyata bahwa kecurigaan yang tumbuh disetiap hati tidak juga mereda, meskipun di dalam halaman istana itu nampaknya Sangkan dan Panon dapat bekerja bersama, Tetapi itu rasa-rasanya ada batas yang melintang diantara keduanya, bagi Panon, Sangkan adalah orang yang aneh, jika ia benar anak Nyi Upih, tentu ia akan menunjukkan sifat dan sikap yang semakin jelas menghadapi kenyataan yang telah terjadi di halaman istana itu. namun sampai saat terakhir, sikap dan sifatnya sama sekali tidak berubah.

Karena itulah, maka Panon merasa tidak mempunyai waktu sama sekali untuk meninggalkan istana itu untuk mencari gurunya. Saat-saat ia tidak berada di halaman, banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Ia tidak dapat mengerti dengan pasti, apakah yang kira-kira akan dilakukan Sangkan, sedangkan keadaan nampaknya berkembang semakin buruk.

Meskipun demikian kemudian Panon dan Ki Mina melihat beberapa perubahan yang terjadi. Pinten dan Sangkan nampak setiap kali berbincang dengan sungguh-sungguh, bahkan kadang-kadang bertiga dengan Nyi Upih. Mereka nampaknya menjadi semakin cermat mengamati keadaan.

“Mereka orang-orang aneh” desis Ki Mina.

Panon mengangguk-angguk, “agaknya memang akan terjadi peristiwa yang lebih rumit di istana ini”

Namun dalam pada itu, setiap orang di dalam istana itu, berusaha untuk tetap dalam suasana yang baik dan berbuat untuk kepentingan bersama, setiap kali Sangkan masih melakukan pekerjaannya bersama dengan Panon, mereka memperbaiki regol dengan bahan yang ada.

Namun meskipun mereka tidak membicarakan lebih dahulu ternyata mereka sepakat untuk memperkuat regol yang sudah menjadi semakin tua.

“Tetapi hampir tidak ada gunanya” desis Sangkan sambil tersenyum.

“Kenapa?”

“Dengan ujung jari saja Raden Kuda Rupaka dapat merusaknya, juga orang-orang Guntur Geni jika mereka datang kemari lagi”

Panon mengangguk-angguk, ia pun menyadari bahwa tidak banyak gunanya memperbaiki regol sebagai usaha pengamanan, namun demikian ia menjawab, “Tetapi dengan demikian regol itu akan nampak lebih baik daripada kita biarkan berantakan”

“O, tentu, tentu” desis Sangkan

Panon tidak menjawab, namun keduanya dengan sibuknya melakukan pekerjaan itu.

Dari kejauhan Pinten memandang keduanya yang saling bekerja itu, ia tidak menyadari, kenapa ia bagaikan mematung melihat tangan-tangan yang cekatan mengikat potongan-potongan bambu di sebelah menyebelah, kemudian menguatkan pengikat yang telah menjadi kendor.

Pinten terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekatinya, ketika ia berpaling dilihatnya Ki Mina berdiri sambil tersenyum.

“Apa yang sedang kau perhatikan Pinten?”

“Orang-orang yang sedang memperbaiki regol itu, paman”

Ki Mina mendekatinya, ia pun memandang kedua anak muda yang sedang bekerja itu sejenak, namun kemudian katanya, “mereka adalah anak-anak muda yang mengagumkan”

“Ya” sahut Pinten diluar sadarnya.

“Kedua-duanya?” Ki Mina bertanya.

Pinten tiba-tiba saja menjadi tergagap, lalu, “Maksudku kedua-duanya adalah anak-anak muda yang rajin meskipun bodoh”

Ki Mina tertawa, lalu, “Harapan bagi masa depan mereka masih sangat panjang tetapi sudah barang tentu, keterikatan dengan istana ini telah menumbuhkan kemungkinan lain pada diri mereka”

“Maksud paman?, bahwa dengan keterikatan mereka disini membuat mereka kehilangan kesempatan bagi hari depannya?”

“Aku tidak mengatakan tepat seperti yang kau maksudkan, Pinten, meskipun ada pula sentuhannya, misalnya tentang dirimu sendiri. Kau tidak usah membantah dan memperkuat kedudukanmu sebagai anak Nyi Upih, aku tetap percaya selama kau masih mengatakannya demikian”

Pinten mengeruntukan keningnya, tetapi ia tetap berdiam diri.

“Hidupmu agaknya telah mengalami tempaan lahir dan batin yang luar biasa, sebagai seorang gadis, kau dipengaruhi oleh perasaan yang lebih tajam dari seorang laki-laki, tetapi kau dapat menahan diri untuk tinggal di istana yang terpencil ini”

“Biyungku tinggal disini dengan kesetiaannya yang utuh terhadap Raden Ayu Kuda Narpada”

Ki Mina mengangguk-angguk, katanya, “Aku mengaguminya, dan aku juga mengagumimu, Sangkan pun anak muda yang bersedia mengorbankan suatu masa dalam usianya yang paling berharga untuk tinggal dalam tugas yang sangat berat dan bahkan mengancam jiwanya”

“Kenapa kau tidak menyebut Panon?, bukankah ia juga melakukan seperti yang dilakukan kakang Sangkan?”

“Ya, ya, kau benar. Aku kurang lengkap menyebutnya, Sangkan, Panon, Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan mungkin masih ada lagi, namun demikian, aku masih tetap meletakkan kekagumanku yang tertinggi kepadamu Pinten, justru karena kau seorang gadis yang seharusnya baru menginjak masa yang paling menarik, masa bersolek dan mengagumi diri sendiri”

“Ah” desis Pinten.

“Aku berkata sebenarnya, lepas dari persoalan yang sama-sama kita hadapi dengan penuh kecurigaan”

“Paman berusaha mendorong aku keluar dari istana ini dan tinggal di tempat yang jauh untuk sekedar bersolek dan memamerkan kecantikan, begitu?”

“Tidak, tidak, kau jangan salah mengerti Pinten, aku justru mengagumimu, lebih dari anak-anak muda, jika kau kelak telah menyelesaikan tugasmu disini, maka kau adalah gadis yang memiliki segala-galanya”

Pinten menundukkan kepalanya, bagaimanapun juga, perasaan kegadisannya tersentuh oleh kata-kata Ki Mina, namun ia tidak menjawab.

“Kelak….” berkata Ki Mina, “Pada suatu masa, kau akan mengalami perubahan seperti yang biasa dialami oleh setiap gadis, bahkan setiap orang, sudah tentu kau akan melakukan pilihan terhadap anak-anak muda yang datang kepadamu, adalah suatu kelebihan pula, jika suatu saat nanti kau memberikan pilihanmu kepada orang yang mengerti tentang dirimu dan dapat menghargai apa yang pernah kau lakukan disini”

“Ah” sekali lagi Pinten berdesah, “Apakah maksud paman sebenarnya?, di dalam pergolakan yang semakin memuncak ini, sudah tentu kita tidak akan dapat mengatakan sesuatu tentang hal itu”

Ki Mina tersenyum, katanya, “Kau benar Pinten, kita masih dicengkam oleh perasaan saling mencurigai, tetapi aku sebagai orang tua, kadang-kadang melihat sesuatu yang sangat wajar dalam kehidupan. Sekali-sekali aku ingin melupakan ketegangan yang mencengkam istana ini, sebenarnyalah aku sudah merasa jemu, tetapi sifat kemanusiaan yang sekali-sekali aku lihat sekilas, memberikan kesegaran baru dalam pergaulan yang sangat sempit ini, antara kau dan anak-anak muda yang jumlahnya terbatas”

Pinten memandang Ki Mina dengan tajamnya, dari sela-sela bibirnya terloncat pertanyaan, “Apa maksudmu sebenarnya paman?”

“Sebenarnya aku tidak mempunyai maksud apa-apa Pinten, kecuali kejemuan seorang tua terhadap keadaan di sekelilingnya, tetapi aku menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak akan dapat mencari kebaharuan di luar lingkungan halaman ini, dan ketuaanku, membayangkan apakah kejemuan itu tidak lebih dalam lagi mencengkam hati anak-anak muda apalagi dengan kesadaran yang sama bahwa kita semuanya tidak dapat mencari kelainan suasana di luar halaman istana ini”

Pinten memandang wajah orang tua itu dengan tegangnya, namun sejenak kemudian wajah gadis itu pun tertunduk perlahan-lahan, dengan suara yang datar Pinten berkata, “Paman, aku sedang mencoba bertahan mengatasi kejemuan ini, aku minta paman jangan menggali kegelisahan di hatiku justru dalam saat keadaan menjadi gawat” ia berhenti sejenak, lalu, “Terus terang paman, aku mempunyai dua macam tanggapan, mungkin paman benar-benar disentuh oleh perasaan kebapaan paman melihat kami yang muda-muda di dalam lingkungan yang sangat terbatas ini, tetapi mungkin juga paman sedang mencari kelemahanku dalam perebutan pengaruh di dalam lingkungan sempit ini”

“O” tiba-tiba wajah Ki Mina lah yang menjadi tegang, namun hanya sekilas, karena ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Maaf Pinten, aku tidak menyangka bahwa dengan demikian kau dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak aku harapkan, memang setiap perbuatan kita masing-masing akan dengan mudah menimbulkan kecurigaan, tetapi percayalah kepadaku untuk kali ini, bahwa aku tidak bermaksud buruk, meskipun barangkali yang aku lakukan itu sendiri sangat buruk”

Pinten memandang Ki Mina sejenak, kemudian dipandanginya kedua anak muda yang masih saja sibuk memperbaiki regol.

Diluar sadarnya ia mulai menilai keduanya, yang seorang adalah kakaknya, sedang yang lain adalah anak muda yang memiliki kelebihan dari orang lain, bahkan Pinten tidak dapat menilai, siapakah yang lebih baik di dalam ilmu kanuragan dari keduanya.

Pinten menarik nafas dalam-dalam, keduanya adalah anak-anak muda yang mempunyai kelebihan.

Namun tiba-tiba Pinten memutar tubuhnya dan berjalan meninggakan tempat itu tanpa berkata sepatah katapun lagi. Ketika ia sadar bahwa kedua anak muda itu seseolah-olah-seolah-olah mempunyai tempatnya masing-masing di dalam hatinya, ia justru terkejut dan mencoba untuk mengingkarinya dan pergi menjauhinya.

Ki Mina memandang Pinten yang nampaknya tergesagesa, tetapi ia tidak menjajagi perasaan apakah yang telah tumbuh dihati gadis itu. namun satu kekaguman telah melekat lagi padanya atas gadis yang ternyata tangkas menilai keadaan dan telah mengatakannya dengan jujur kepadanya.

“Seorang gadis yang luar biasa”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 10

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 08

ISTANA YANG SURAM

Jilid 8

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-08BIBI” berkata Kuda Rupaka, “Jika pusaka itu ada padaku, maka aku akan membawanya pergi. Dengan demikian maka para penjahat tidak akan mengerumuni istana ini. Memang ada kemungkinan aku mengalami bencana di perjalanan. Tetapi aku adalah laki-laki, dan aku adalah kesatria, yang memang wajib menolong sesama dan menyelamatkan pusaka itu. Memang seharusnya bukan bibi dan diajeng Inten Prawesti yang menjadi korban dari pusaka itu. Jika seandainya akulah yang akan menjadi banten itu barangkali masih lebih baik”

Raden Ayu Kuda Narpada menundukkan kepalanya, wajahnya menjadi semakin buram, bahkan matanya telah menjadi basah. Dengan suara yang sendau ia berkata, “Angger Kuda Rupaka, itu adalah sifat ksatria utama. Sungguh-sungguh suatu sifat yang terpuji. Aku berterima kasih atas kesediaan angger menolong kami sekeluarga” ia berhenti sejenak, tangan kirinya terangkat perlahan-lahan. Dengan jari-jarinya Raden Ayu Kuda Narpada mengusap air matanya, lalu katanya kemudian, “Tetapi adalah sayang sekali, aku benar-benar tidak tahu, dimanakah pusaka yang kau kehendaki itu tersimpan. Sebenarnya aku juga ingin segera terlepas dari kesulitan yang nampak semakin lama semakin terasa mengerikan, tetapi apa yang dapat aku lakukan angger?”

Kuda Rupaka memandang Raden Ayu Kuda Narpada dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Maaf, bibi. Aku sudah terlalu lama disini, jika semula aku hanya ingin menengok bibi, tentu satu dua hari saja, ternyata aku sudah berada disini untuk waktu yang cukup lama, justru karena keterlibatanku dengan persoalan yang semula sama sekali tidak aku mengerti, namun tiba-tiba saja aku sudah terikat kedalam keadaan yang membuat aku menjadi terjerat di istana ini. Terjerat oleh kewajibanku sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang ksatria pula”

“Aku minta maaf, angger, akulah yang harus minta maaf kepadamu”

“Bibi, jika bibi masih selalu menyembunyikan kenyataan entang pusaka itu, berarti bahwa bibi sama sekali tidak mempunyai kepercayaan sedikitpun kepadaku. Aku sudah mempertaruhkan nyawa dan bahkan apa yang aku punya untuk kepentingan bibi sekeluarga. Jika bekalku sudah menipis dan sampai saatnya habis, maka aku terpaksa sekali meninggalkan bibi disini, dengan demikian bibi akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi disini. Bahkan sebagaimana bibi ketahui, bahwa pengemis-pengemis itu ternyata bukanlah pengemis kebanyakan. Mereka memiliki kemampuan untuk memaksa seisi rumah ini melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Bukan saja atas harta benda, jika mereka menemukan, juga pusaka itu, tetapi yang lebih buruk adalah yang akan terjadi atas diajeng Inten Prawesti dan barangkali juga Pinten”

“O” Inten memekik kecil.

“Terserahlah kepada bibi”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin tunduk, mulutnya justru bagaikan tersumbat, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia tidak mengatakan apa-apa.

“Raden Ayu” tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga berkata “Kesabaran seseorang memang ada batasnya, dan Raden Ayu jangan berharap atas kebaikan kami berlebih-lebihan, aku tahu pasti bahwa Raden Ayu memang berusaha menyembunyikan pusaka itu. Memang agaknya demikian pesan itu, berusaha menyembunyikan pusaka itu. Tetapi Pangeran Kuda Narpada tidak mengetahui apa yang terjadi sekarang ini. Dan apa yang dapat terjadi atas Raden Ayu dan atas puteri Inten Prawesti, jika Pangeran Kuda Narpada mengetahui, maka ia tentu mengatakan pesan yang lain dari pesan yang pernah diberikan itu”

“Tentu, tidak” terdengar suara Raden Ayu disela-sela isaknya yang tidak tertahankan.

“Ibunda” Inten tiba-tiba saja berlari dan berjongkok dihadapan ibundanya, “Jangan menangis ibunda”

Ibundanya mengusap air matanya.

“Tetapi Raden Ayu” Panji Sura Wilaga masih mendesaknya terus, “Hal ini tidak cukup ditangisi, tetapi harus ada suatu sikap yang pasti, dengan demikian maka kita akan segera mendapat penyelesaian. Jika Raden Ayu memang berkeberatan untuk menyerahkan pusaka itu, apakah gunanya kami tetap disini, bahkan harus mempertaruhkan nyawa”

“Sebenarnyalah aku tidak tahu jawabannya”

“Tentu Raden Ayu mengetahuinya, Raden Ayu tinggal mengatakan bagaimana sikap Raden Ayu sebenarnya atas pusaka itu”

“Aku tidak tahu sama sekali tentang pusaka itu”

“Bertindaklah lebih bijaksana, demi keselamatan Raden Ayu dan terutama puteri Inten Prawesti”

“Aku tidak tahu, aku tidak tahu”

Isak Raden Ayu Kuda Narpada semakin memepatkan jantungnya. Tetapi agaknya Panji Sura Wilaga tidak menghiraukannya, juga ketika Inten Prawesti menangis pula sambil memeluk ibundanya.

Bahkan ia pun kemudian maju setapak sambil berkata, “Raden Ayu Kuda Narpada yang setia kepada pesan suaminya, kami berbangga melihat kesetiaan itu, tetapi kami menjadi sangat cemas melihat nasib Raden Ayu dan puteri” ia berhenti sejenak, wajahnya menjadi tegang.

“Raden Ayu, apakah kami harus mencari sendiri dengan membongkar istana ini?”

“Panji” wajah Raden Ayu yang tunduk itu tiba-tiba terangkat meskipun air matanya masih tetap meleleh di pipinya, “Kenapa kau nampaknya ingin memaksakan sesuatu yang tidak akan dapat aku lakukan?”

“Kami hanya mohon kebijaksanaan Raden Ayu. Kami sudah terlalu lama berada disini, sedangkan kami tidak sampai hati meninggalkan keluarga ini dalam keadaan seperti sekarang ini, jika kami memaksa pergi juga, maka untuk waktu yang lama kami akan tetap diperngaruhi oleh perasaan bersalah, karena kami meninggalkan Raden Ayu sekeluarga tanpa bertanggung jawab sebagai seorang ksatria. Apalagi apabila kelak kami mendengar berita bahwa Raden Ayu telah mengalami bencana. Mungkin terbunuh, mungkin mengalami siksaan yang luar biasa untuk memeras keterangan tentang pusaka itu, dan yang yang lebih mengerikan lagi apabila pada suatu saat kami mendengar berita bahwa puteri Inten Prawesti ternyata telah berada di padepokan Guntur Geni, satu-satunya perempuan di padepokan yang dihuni oleh puluhan serigala itu, atau Kidang Alit telah berhasil memasukkan ilmu gendamnya sehingga puteri Inten bagaikan menjadi gila dan mengikutinya kemana anak muda yang tidak kalah buasnya dari seekor anjing hutan itu pergi bersama sepuluh atau bahkan duapuluh perempuan-perempuan lain yang pada saatnya akan dicampakkan tanpa arti di tengah-tengah hutan yang lebat”

“O, tidak, tidak” tiba-tiba saja Inten Prawesti berteriak sambil memeluk ibundanya semakin erat.

Air mata mengalir semakin deras dari mata air mata Raden Ayu, sementara Panji Sura Wilaga berdiri dengan garangnya. Bahkan kemudian Kuda Rupaka masih menambah, “Barangkali tempat yang lebih baik bagi dajeng adalah istana para bangsawan di Demak. Mungkin juga bersama bibi. Jika bibi tidak berkeberatan, aku akan mendahului pergi ke Demak sambil membawa pusaka itu, dan aku akan menyediakan tempat tinggal untuk bibi dan Diajeng Inten. Setelah itu, kami akan datang kmbali kemari menjemput bibi bersama diajeng Inten Prawesti untuk pindah ke Demak”

“Ibunda” desis Inten Prawesti. Tetapi suaranya terputus oleh isaknya.

“Aku mengerti Inten, bahkan bagimu, aku sangat lebih baik jika aku dapat menyerahkan pusaka itu, tetapi sayang sekali, aku benar-benar tidak mengerti, dimanakah pusaka itu disimpan oleh ayahandamu, jika benar ayahandamu mendapat limpahan sipat kandel itu”

“O” Inten meletakkan kepalanya di pangkuan ibundanya, isaknya menjadi semakin keras oleh kengerian yang hampir tidak tertahankan.

“Raden Ayu dapat memilih” desak Panji Sura Wilaga, “Jangan mengeraskan hati kepada kesetiaan yang membutakan hati”

“Panji..!!” tiba-tiba saja Raden Ayu memotong, suaranya menjadi bergetar. Bukan saja oleh gejolak kecemasan, tetapi juga oleh kemarahan yang mulai memanasi jantungnya.

Tetapi Panji Sura Wilaga sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan suaranyapun meninggi, “Semuanya tergantung kepada Raden Ayu. Keselamatan dan bencana yang dapat menimpa puteri Inten Prawesti tergantung kepada keputusan yang akan Raden Ayu ucapkan”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin gemetar, apalagi ketika Panji Sura Wilaga berkata, “Aku akan tetap disini menunggu keputusan Raden Ayu. Apakah kami harus membawa pusaka itu ke Demak atau kami harus pergi dengan gelisah, karena kami tidak tahu nasib yang akan menimpa istana ini, atau kami mengambil jalan lain, mencari sendiri ke dalam istana ini” ia berhenti sejenak, lalu, “Terserahlah kepada Raden Ayu, kami akan menunggu di dalam bilik ini, meskipun tiga hari tiga malam”

“O” Pinten tiba-tiba terpekik kecil, “Tiga hari tiga malam?, dan Raden berdua tidak makan?”

“Diam, diam kau, atau kau pergi dari bilik ini. Kau tidak usah ikut campur persoalan yang sama sekali tidak kau ketahui.”

Pinten termangu-mangu, tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya, sehingga Panji Sura Wilaga yang marah membentaknya keras-keras, “Pergi, pergi”

Namun seebelum Pinten bangkit, tiba-tiba saja Sangkan telah berdiri di muka pintu dengan wajah yang pucat.

“Anak gila” geram Panji Sura Wilaga, “Apa kerjamu di situ, He..!”

“Ampun Raden Ayu, aku hanya disuruh oleh Panon untuk memohon agar Raden Ayu hadir di serambi”

“Kenapa?” bertanya Kuda Rupaka.

“Ternyata atap sudah terlalu rusak, sedangkan kita tidak mempunyai lagi bahan yang dapat dipasang. Panon ingin memasang julup melinjo untuk menyulami atap, jika Raden Ayu berkenan. Karena itu, Panon mohon Raden Ayu untuk melihatnya, ia tidak berani langsung menyampaikannya kepada Raden Ayu”

“Gila, gila. Kami sedang membicarakan persoalan yang jauh lebih berharga dari julup melinjo” teriak Kuda Rupaka.

“Mungkin Raden, tetapi, tetapi Panon mohon Raden Ayu untuk segera datang”

“Pergi, pergi. Atau aku akan mencekikmu sampai mati” sahut Panji Sura Wilaga, “Sudah lama aku ingin membunuhmu. Agaknya sekarang kesempatan itu datang”

“Tetapi, tetapi bukan aku sendirilah yang berniat mengganggu Raden Panji”

“Aku tidak perduli” Panji Sura Wilaga yang marah melangkah dengan tergesa-gesa mendekati Sangkan yang ketakutan. Bahkan Pinten telah meloncat berdiri sambil memekik, “Jangan, jangan”

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak menghiraukannya. Ia telah menjulurkan tangannya kearah Sangkan yang dengan gemetar melangkah surut sampai ketindak pintu.

“Jangan, jangan” Teriak Pinten dan bahkan Inten pun kemudian berdesis pula, “Tidak, jangan paman Panji”

Tetapi Panji Sura Wilaga yang memang sudah lama membenci Sangkan tidak berhenti. Ia maju selangkah lagi, sehingga tangannya benar-benar hampir mencengkam leher Sangkan.

Raden Kuda Rupaka berdiri termangu-mangu. Namun ia sama sekali tidam mencegahnya, agaknya Raden Kuda Rupaka pun telah kehabisan kesabaran menghadapi Sangkan dalam keadaan yang paling gawat itu.

Namun ketika tangan Panji Sura Wilaga hampir mencengkam leher Sangkan, tiba-tiba saja Sangkan terdorong ke samping, sehingga ia terjatuh. Namun dengan demikian tangan Panji Sura Wilaga tidak menyentuhnya sama sekali.

Semua yang berada di dalam bilik itu terkejut ketika tiba-tiba saja mencul dari balik pintu seorang anak muda dengan pakaiannya yang kusut, Panon.

“Gila” geram Panji Sura Wilaga.

“Aku mohon maaf bahwa aku telah memberanikan diri memasuki ruangan dalam ini, tetapi aku tidak dapat membiarkan Sangkan mengalami kesulitan. Akulah yang telah menyuruhnya memohon kepada Raden Ayu agar sudi melihat atap yang rusak itu. Karena itu akibat yang dapat timbul, akulah yang harus mempertanggung-jawabkan”

“Jadi, kau dengan sengaja membuat persoalan ini?” bentak Panji Sura Wilaga, kemudian dengan wajah yang merah padam, ia berpaling kepada Raden Ayu sambil berkata, “Lihat Raden Ayu, selagi aku masih disini, anak gila ini sudah berani menghina istana ini”

“Sama sekali bukan maksudku” Panon menyahut, “Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Sangkan tidak bersalah. Jika Raden tidak senang akan tingkah laku Sangkan, justru dalam keadaan yang tidak menguntungkan itu, maka akulah yang akan mempertanggung-jawabkan. Aku tidak perduli, apakah Raden senang atau tidak dengan tindakanku ini. Tetapi, sekali lagi, aku minta maaf. Akulah yang telah menyuruhnya kemari”

“Kau sudah berani menentang kami” geram Raden Kuda Rupaka.

“Tidak, sama sekali tidak. Apa yang aku lakukan, masih jauh lebih sopan dari yang Raden berdua lakukan atas Raden Ayu Kuda Narpada”

“Gila” Panji Sura Wilaga sudah kehilangan kesabaran, lalu katanya kepada Kuda Rupaka, “Anak pengemis ini benar-benar merupakan duri dalam daging, jika Raden memperkenankan, aku ingin menyelesaikannya”

Suasana menjadi bertambah tegang, Panon pun agaknya sama sekali tidak gentar menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Bahkan kemudian ia telah melangkah surut sambil bersikap.

Namun ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Raden Ayu Kuda Narpada.”Baiklah Panon, aku akan melihat atap yang rusak itu di serambi”

Semua orang yang ada itu berpaling memandang wajah Raden Ayu. Betapa tegangnya wajah Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka. Namun mereka bagaikan patung memandang Raden Ayu itu bangkit. Kemudian perlahan-lahan melangkah maju sambil membimbing puterinya.

“Tunjukkan kepada kami, Panon”

Panon melangkah surut beberapa langkah, ketika Raden Ayu keluar dari biliknya, sekilas dipandangnya wajah Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga yang seakan-akan menjadi merah membara. Tetapi nampaknya keduanya tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, Pinten dan Sangkan berlari-lari mengikuti Raden Ayu tanpa berani berpaling sama sekali. Apalagi ketika mereka sadar, bahwa kedua orang itu ikut melangkah keluar bilik itu pula.

Diluar pintu Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga saling berpandangan sejenak ketika mereka melihat diluar pintu butulan Ki Mina duduk di tangga. Ia beringsut dan kemudian bangkit berdiri sambil bergeser selangkah.

“Gila” geram Panji Sura Wilaga meskipun tertahan di mulutnya, lalu katanya, “Raden, nampaknya keduanya memang sudah mempersiapkan diri untuk dengan terang-terangan melawan kita”

“Apaboleh buat, jika bibi masih memanjakan pengemis-pengemis itu, maka kita harus mengambil tindakan”

“Aku tidak sabar lagi, kedua pengemis itu harus dibinasakan. Juga Sangkan dan adiknya, bahkan Nyi Upih harus disingkirkan pula”

Raden Kuda Rupaka menggeratakkan giginya.

“Raden Ayu Kuda Narpada lebih menghargai kesetiaannya kepada suaminya”

“Bukan sekedar kesetiaan. Tetapi bibipun tahu, betapa tinggi nilai pusaka itu. Bahkan aku menjadi curiga, nampaknya bibi akan mempertahankannya, meskipun ia harus mengorbankan apapun juga. Mungkin bibi mempunyai rencana tersendiri atas pusaka itu, meskipun seandainya anak gadisnya harus menjadi tumbal”

Panji Sura Wilaga mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Maksud Raden?”

“Nampaknya bibi tidak menghiraukan lagi meskipun aku sudah mengatakannya, bahwa kekerasan hatinya depat menjebak anak gadisnya itu kedalam bencana. Orang-orang Guntur Geni, Kidang Alit dan mungkin masih ada orang-orang lain yang tentu tidak akan membiarkan gadis secantik itu untuk lepas jatuh ke tangan yang lain. Selain pusaka, maka mereka tentu akan membawa gadis itu pula. Tetapi jika pusaka itu sudah loncat dari istana ini, maka perhatian mereka tentu tidak akan tertuju lagi kepada istana itu dengan segala penghuninya. Orang-orang itu tentu akan saling berkejaran memperebutkan pusaka yang bagi mereka tentu dianggap lebih tinggi nilainya dari gadis yang paling cantik sekalipun.”

Wajah Panji Sura Wilaga menjadi semakin tegang, dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Kuda Rupaka, “Aku belum mengerti maksud Raden yang sesungguhnya”

“Paman, bagi kita, pusaka itu pun merupakan harapan bagi masa depan kita, sehingga tentu saja bagi kita nilainya melampaui apapun juga”

“Apakah itu berarti bahwa Raden sudah bertekad untuk mendapatkan pusaka itu dengan cara apapun juga?”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam.

Meskipun Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, namun Panji Sura Wilaga seakan-akan dapat membaca kata hatinya, agaknya Kuda Rupaka benar-benar sudah tidak mempunyai pilihan lain.

“Paman, selama ini kita memerlukan pusaka itu, seakan-akan sekedar ingin membebaskan diri dari diajeng Inten Prawesti dari kesulitan. Tetapi baiklah, sejak saat ini kita memilih keputusan yang paling baik buat kita dan buat hari depan”

“Apakah itu berarti kita harus memilih antara pusaka itu dan Raden Ayu Kuda Narpada”

“Mungkin” berkata Kuda Rupaka memskipun nampak keragu-raguan di wajahnya, “Meskipun dengan demikian, sikap kita telah berubah sama sekali”

“Bukankah dengan demikian kita menemukan diri kita sendiri? Yang penting bagi kita justru pusaka itu, meskipun kita terpaksa mencelakai seseorang”

Kuda Rupaka tertegun, sejenak ia berdiri termangu-mangu. Bibinya, diikuti oleh beberapa orang akan pergi ke serambi, termasuk Panon. Sedangkan Ki Mina sudah tidak nampak lagi ditelan sudut ruangan.

Panji Sura Wilaga pun berhenti pula, sejenak ia memandang wajah Kuda Rupaka. Ia mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba saja ia melihat Kuda Rupaka tertawa. Tertawa berkepanjangan sehingga semakin lama menjadi semakin keras.

“Raden” Panji Sura Wilaga memperingatkannya ketika ia melihat Sangkan menjengukkan kepalanya dari sudut ruangan dengan heran. Tetapi suara tertawa itu masih saja bergema, meskipun kemudian Kuda Rupaka itu pergi meninggalkan ruangan diikuti oleh Panji Sura Wilaga.

Sangkan masih berdiri termangu-mangu. Ia melihat perbedaan sikap pada Kuda Rupaka, meskipun Kuda Rupaka sering tertawa keras-keras, tetapi nadanya tidak sekasar suara tertawa yang baru saja didengarnya.

Nampak kening Sangkan itu pun berkerut merut. Bahkan kemudian ia mengusap dagunya beberapa kali sambil mengangguk-angguk, seolah-olah ia menemukan sesuatu yang penting.

“Kau lihat siapa yang tertawa itu kakang?” tiba-tiba Pinten telah berdiri di belakangnya.

“Raden Kuda Rupaka”

“Ya, suaranya adalah suara Raden Kuda Rupaka, tetapi sikapnya terasa aneh. Raden Ayu Kuda Narpada nampaknya menjadi ngeri pula mendengarnya”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, sambil menggeleng ia menjawab, “Aku pun menjadi heran, Pinten. Kenapa tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka seolah-olah telah berubah sifatnya”

“Apakah ia teramat kecewa karena Raden Ayu tidak mau menunjukkan pusaka itu kepadanya?”

Pinten memandang Sangkan dengan tajamnya, nampak mata sorot matanya sepercik cahaya yang lain.

“Kau cemas?” bertanya Sangkan.

“Mudah-mudahan tidak menimbulkan bencana pada Raden Ayu dan puterinya, mereka sudah cukup menderita”

“Panon ada disini. Agaknya ia akan dapat menjadi pihak yang menimbulkan keseganan pada Raden Kuda Rupaka, betapapun kemarahan itu mencengkam jantungnya”

Pinten mengangguk-angguk, desisnya, “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, kemarahan yang tidak terkendali, memang dapat membakar hati”

Sangkan tidak menjawab, ia pun kemudian melangkah meninggalkan sudut ruang itu dan menyusul Raden Ayu ke serambi.

Di serambi Panon sedang sibuk memperbaiki atap yang berlubang dengan julup batang melinjo, karena tidak ada bahan yang lebih baik yang dapat dipergunakan.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ternyata istana kecil itu pun telah benar-benar menjadi semakin suram, tetapi bangunan istana itu sendiri semakin lama menjadi semakin rusak meskipun di saat-saat terakhir ada usaha untuk memperbaiki dan menyulam dengan bahan-bahan yang lebih sederhana.

Dalam pada itu di ruang depan, Raden Kuda Rupaka menghentakkan kakinya sambil menggerutu, “Kedua pengemis itu harus disingkirkan lebih dahulu”

“Kita tidak usah menunggu, sekarang kita dapat melakukannya, Raden”

Kuda Rupaka menggelengkan kepakanya sambil berkata, “Tidak, tidak semudah itu, kita sudah pernah melihat bagaimana ia bertempur melawan orang-orang Guntur Geni. Nampaknya mereka sama sekali tidak gentar menghadapi orang-orang Guntur Geni dan menghadapi semua persoalan yang dapat berkembang disini. Bahkan nampaknya mereka mempunyai pengenalan yang baik terhadap lawan-lawannya. Mereka sama sekali tidak cemas terhadap racun yang dapat dihamburkan oleh orang-orang Guntur Geni itu. Bahkan terhadap Kidang Alit, Panon sama sekali tidak menghiraukannya”

“Tetapi aku yakin, kita dapapt menghancurkan keduanya, kemudian kita bungkam pula untuk selamanya anak pelayan yang gila itu. Aku benar-benar menjadi muak”

“Kita harus yakin. Jika kita menghadapi kedua pengemis itu, mungkin kita akan terlibat kedalam kesulitan, jika Kidang Alit yang selalu berkeliaran itu mengetahui pertentangan ini, maka ia akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya”

“Apa yang akan dilakukannya?”

“Ia tentu akan membantu salah satu pihak, jika ia membantu kita, maka kita masih dapat membuat pertimbangan bagi langkah kita selanjutnya. Karena kita tidak gentar menghadapi Kidang Alit dengan kawan-kawannya itu”

“Apakah kita gentar menghadapi kedua pengemis itu?”

“Tidak, tentu tidak tanpa campur tangan orang lain. Tetapi jika kemudian Kidang Alit menganggap kita adalah lawan yang lebih berat dari kedua pengemis itu. Nah, paman tahu akibatnya, kita akan melawan dua pihak yang memiliki kekuatan hampir sama dengan kekuatan kita berdua.

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Aku mengerti maksud Raden, kita harus yakin bahwa Kidang Alit tidak akan campur tangan”

“Bukan begitu, kita harus menyeretnya secara langsung agar ia ikut bertempur di pihak kita”

“Bagaimana mungkin”

“Kita dapat menghasutnya, kita dapat mengatakan kepadanya bahwa agaknya bibi lebih percaya kepada kedua pengemis itu dari pada kepada kita. Sehingga kedua pengemis itu mempunyai kesempatan terbesar untuk menerima pusaka itu langsung dari tangan Raden Ayu Kuda Narpada”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Kidang Alit pun tentu bernafsu untuk membunuhnya sebelum ia berusaha membunuh kita”

“Ya, dan kitapun mempunyai pertimbangan serupa”

“Tetapi kita harus berhati-hati, ia sangat licik, dan itu harus kita pertimbangkan, karena terlalu sulit untuk mempercayai kesanggupannya yang bagaimanapun juga”

“Kita harus menyakinkan, bahwa pusaka itu akan jatuh ke tangan ke dua pengemis itu”

“Kita harus licik seperti Kidang Alit”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tersenyum, “Ya, kita harus licik seperti Kidang Alit”

Panji Sura Wilaga memandang wajah Kuda Rupaka sejenak, namun kemudian ia pun ikut tersenyum pula. Semakin lama semakin lebar, sehingga akhirnya keduanya tertawa terbahak-bahak.

Suara tertawa itu terdengar dari serambi belakang, sekali lagi nampak wajah Raden Ayu Kuda Narpada yang masih berada di serambi itu menjadi kecut. Namun ia sama sekali tidak mengatakan apapun juga.

Panon masih menyulami atap serambi belakang, ia pun tertegun pula mendengar suara tertawa itu. Tetapi ia pun sama sekali tidak menunjukkan sikap yang dapat menarik perhatian.

Pinten lah yang kemudian menggamit Sangkan, di telinga kakaknya gadis itu berbisik, “Mereka sudah mulai lagi, bahkan mereka berdua”

Sangkan mengangguk-angguk, katanya, “Apakah keduanya benar-benar berubah?”

Tetapi pembicaraan itu terputus karena Nyi Upih mendekati mereka sambil berkata, “He, apakah kalian berdua tidak berbuat sesuatu selain berdiri termangu-mangu disitu?”

“O, aku sedang membantu Panon biyung”

“Apa yang kau lakukan?”

“Jika ia memerlukan sesuatu, aku akan mengambilnya, mungkin julup batang melinjo yang sudah aku keringkan di belakang, mungkin tali serat atau yang lain”

“Siapa yang mengeringkan julup batang melinjo di belakang?” bertanya Pinten tiba-tiba.

“O, maksudku, maksudku………” namun Sangkan tidak melanjutkan kata-katanya, bahkan sambil tertawa ia menuding adiknya sambil bertanya, “Ayo, katakan, siapa yang mengeringkan julup itu, siapa?, sebut namanya”

Wajah Pinten menjadi merah, tiba-tiba tangannya terjulur ketangan Sangkan, tanpa dapat mengelak lagi, maka tangan Sangkan bagaikan disengat lebah.

“Aduh” Sangkan bertertiak sehingga semua orang berpaling kepadanya.

Pinten yang wajahnya merah menjadi semakin merah, tetapi ketika ia ingin mencubit lebih keras lagi, biyungnya mencegahnya.

“He, kalian jangan bergurau disini. Lihat, Panon sedang bekerja memperbaiki atap serambi. Raden Ayu dan puteripun menunggunya, sementara kalian hanya bergurau tidak ada artinya sama sekali”

Pinten menundukkan kepalanya dalam-dalam, Sangkan pun kemudian bergeser mendekati Panon, sementara Inten Prawesti justru tersenyum. Bahkan ia pun mendekati Pinten sambil bertanya, “Kenapa Pinten?”

“Kakang Sangkan, puteri, dia nakal sekali”

“Kenapa?”

Namun kemudian, Sangkan lah yang menjawab, “Tidak apa-apa puteri, aku hanya bertanya siapakah yang mengeringkan julup itu di belakang, Pinten tiba-tiba menjadi marah”

Wajah Pinten menjadi semakin panas, apalagi ketika tanpa sengaja ia memandang wajah Panon yang juga menjadi merah.

“Awas kau kakang” geram Pinten, “Sebenarnya aku dapat membalas, tetapi sekarang aku tidak berani”

“Kenapa kau tidak berani?” bertanya Sangkan.

Pertanyaan itu justru membuat Pinten semakin bingung, sehingga kepalanya pun menunduk dalam-dalam. Dalam sekali, jari-jarinya tampa disadarinya telah bermain pada seret kainnya yang telah kumal meskipun masih tampak bersih.

Tetapi justru Sangkan tiba-tiba yang bertanya, “Kenapa kau tidak berani?”

Pinten mengangkat wajahnya, dengan geram ia menjawab, “Tidak, aku tidak mengatakan, kau tentu akan kesenangan mendengarnya, dan kau telah melakukannya dengan sengaja”

Inten Prawesti menjadi heran, sehingga hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Aku tidak mengerti Pinten, katanya kau tidak berani membalas, tetapi kemudian kau tidak mau melakukanya, karena kakakmu akan kesenangan”

Sangkan tertawa, tetapi suata tertawanya terputus ketika ibunya menarik telinganya sambil bergumam, “Kau memang nakal sekali, sudahlah, jangan mengganggu adikmu, pergilah mengambil beberapa helai julup kering”

Raden Ayu Kuda Narpada tersenyum meskipun di hatinya masih bergejolak kegelisahan yang tidak ada taranya. Kedua anak Nyi Upih itu seolah-olah tidak mengerti, apakah yang sebenarnya yang sedang terjadi, namun demikian tingkah laku mereka dapat memberikan sedikit selingan di dalam kegelisahan yang semakin memuncak.

Sementara itu, Panon masih sibuk memperbaiki atap yang rusak itu, sedangkan Ki Mina berdiri di dekatnya untuk membantunya. Beberapa saat kemudian Sangkan telah datang pula sambil membawa beberapa helai julup yang sudah kering.

Tetapi ia menjadi kecewa ketika ternyata Panon kemudian berkata, “Julupnya sudah cukup banyak, yang aku perlukan adalah tali ijuk”

“Ah, kau” gumam Sangkan, “Kenapa tidak tadi kau katakan?”

“Ketika aku mau mengatakan, kau sudah berlari ke belakang”

“Jadi aku harus mengembalikan julup ini dan mengambil tali ijuk?”

“Ya, agaknya begitu”

Sangkan menghela nafas, ketika ia memandang wajah adiknya, sekilas ia melihat adiknya mencibirkan bibirnya sambil sambil melekatkan telunjuknya pada hidungnya, tetapi ia segera memalingkan wajahnya ketika Inten Prawesti menoleh kepadanya.

Sejanak kemudian Sangkan pun telah berlari lagi ke belakang untuk mengambil tali ijuk yang kemarin telah dibuat oleh Panon dan Ki Mina.

Sementara itu, Kuda Rupaka telah menyiapkan suatu rencana yang terakhir. Ia tidak melihat kemungkinan lagi untuk menguasai pusaka di istana itu selain dengan kekerasan, bahkan jika perlu, maka ia pun dapat berbuat licik seperti Kidang Alit.

“Kau cari Kidang Alit” berkata Kuda Rupaka.

“Itu berbahaya Raden” jawab Panji Sura Wilaga

“Bukan aku takut kepadanya, tetapi ia memang dapat berbuat licik seperti demit. Ia dapat menggerakkan orang-orangnya untuk membunuhku, dengan demikian maka, ia akan memegang peranan di dalam permainan selanjutnya”

Kuda Rupala mengangguk-angguk, ia menyadari kebenaran pendapat Panji Sura Wilaga itu. Kidang Alit memang dapat berbuat licik sekali. Tentu tanpa malu-malu Kidang Alit memanggil orang-orangnya untuk membunuh Panji Sura Wilaga. Dan akibatnya akan sangat pahit bagi rencananya menguasai pusaka di istana yang suram ini.

Karena itu, maka Kuda Rupaka pun kemudian berkata “Baiklah, kita akan pergi bersama-sama paman, tetapi sudah tentu bahwa seolah-olah kita tidak dengan sengaja mencarinya”

“Aku sependapat Raden, tetapi dengan demikian kitapun harus mempersiapkan diri untuk bertempur di manapun. Mungkin akan terjadi salah paham, atau Kidang Alit menemukan perhitungan tersendiri dalam hal ini”

“Aku mengerti paman, dan karena itu, kita memang harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan”

Sejenak kemudian keduanya mengambil kuda mereka di kandang. Sangkan yang melihat keduanya, mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak berani bertanya.

Sementara itu Raden Ayu Kuda Narpada dan puterinya Inten Prawesti sudah berada di biliknya, kembali Pinten dan biyungnya berada di dapur, sedang Panon dan Ki Mina yang telah selesai memperbaiki atap yang rusak berada di dalam biliknya pula.

Tetapi mereka masih mendengar kaki kuda berderap, karena itulah merekapun kemudian melangkah keluar pintu biliknya.

Diluar pintu mereka tertegun ketika mereka melihat Sangkan berjalan tergesa-gesa mendekati mereka, katanya dengan nafas yang terengah-engah, “Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga pergi berkuda ke luar halaman”

Panon menarik nafas sejenak, dipandanginya wajah Ki Mina yang tegang. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah yang kira-kira dilakukannya, paman?”

Ki Mina menggeleng, jawabnya, “Tidak dapat kita duga, tetapi sebaiknya kita mengikuti perkembangan keadaan dengan hati-hati”

Panon mengangguk-angguk. Ia pun kemudian kembali masuk ke dalam biliknya bersama dengan Ki Mina dan Sangkan.

Ternyata yang mendengar derap kaki kuda itu bukan saja Panon, Ki Mina dan Sangkan, Pinten dan Nyi Upih pun mendengarnya pula. Demikian juga Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten di dalam biliknya.

Kepergian Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mungkin menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Tetapi mereka berdua hanya dapat saling berpandangan tanpa dapat mengambil kesimpulan apapun juga, justru pada saat yang gawat. Baru saja Kuda Rupaka dikecewakan oleh Raden Ayu Kuda Narpada.

“Apakah Kamas Kuda Rupaka marah dan meninggalkan tempat ini ibunda?”

Ibundanya menggelengkan kepalanya sambil menjawab lirih, “Aku tidak tahu Inten. Tetapi aku kira mereka tidak akan dapat berbuat demikian, jika seandainya mereka benar-benar akan perpgi, mereka tentu akan minta diri”

Inten mengangguk-angguk. Tetapi kecemasan yang sangat nampak di wajahnya. Bahkan di luar sadarnya gadis itu pun kemudian bertanya, “Ibunda, apakah ibunda benar-benar tidak mengetahui pusaka ayahanda yang sekarang dicari-cari oleh banyak orang itu?”

Ibundanya memandang wajah Inten sejenak, kemudian gadis itu dipeluknya sambil menjawab terbata-bata “Tentu tidak Inten, aku tahu, kau sangat cemas karenanya. Apalagi setelah kakangmasmu Kuda Rupaka mengatakan, bahwa bencana yang sangat buruk akan mengenai dirimu. Dan ibu pun sangat berprihatin karenanya, Tetapi apa yang dapat aku lakukan Inten. Ibunda sama sekali tidak mengerti apa yang mereka cari.

Dan sepengetahuanku, ayahandapun tidak membawa sebilah keris selain pusakanya sendiri yang ternyata bukanlah itu yang mereka cari”

Inten pun memeluk ibundanya pula sambil berkata, “Maaf Ibunda, bukan maksudku menyalahkan ibunda, aku percaya bahwa ibunda benar-benar tidak mengetahuinya”

Dalam pada itu, di dapur, Pinten duduk diatas sebuah dingkrik rendah sambil memeluk ibunya. Dipandanginya api yang menyala dibawah sebuah periuk yang sedang merebus ketela pohon, dengan wajah yang muram dipandanginya asap yang mengepul lewat sela-sela tutup periuk itu. Disaat terakhir ini, beras dan jagung tinggal sedikit sekali. Raden Kuda Rupaka tidak lagi membeli beras dan jagung yang cukup, apalagi setelah ia dikecewakan beberapa kali, terlebih-lebih lagi, dengan kehadiran kedua orang pengembara yang bagi Kuda Rupaka merupakan orang-orang yang dapat menganggu usahanya.

Ketela yang direbus itu adalah ketela pohon yang ditanam oleh Sangkan di halaman belakang istana kecil yang semakin suram itu. Setiap kali Sangkan mencabutnya satu atau dua batang itu dapat dipergunakan untuk sekedar mengisi kekosongan perut mereka. Bahkan Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti tidak menolak jika Pinten menghidangkannya di dalam biliknya.

Nyi Upih yang duduk di amben bambu memandangi gadis itu dari arah punggungnya, setiap kali ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng kepalanya. Apalagi jika teringat olehnya, bahwa yang ada di dalam periuk itu hanyalah beberapa potong ketela pohon, bukan beras dan bukan jagung.

Tetapi Nyi Upih tidak menegurnya, dibiarkannya saja Pinten duduk sambil memeluk lututnya tanpa terganggu. Agaknya sambil memandang api di bawah periuk itu, Pinten sedang berangan-angan.

Sementara itu, Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga berpacu menuju rumah Ki Buyut di Karangmaja. Tetapi bukan ki Buyut lah yang sebenarnya mereka cari. Mereka menduga bahwa Kidang Alit sering berada di rumah Ki Buyut itu, atau berkeliaran di sekitar istana kecil itu untuk mengawasi perkembangan keadaan.

Dalam pada itu, seorang anak muda berdiri tegak diatas sebongkah batu karang, ketika terdengar olehnya derap kaki kuda mendekat, pada jalan kecil yang menghubungkan istana kecil itu dengan padukuhan, ia melihat dua ekor kuda berderap laju.

Sejenak ia ragu-ragu, bahkan ia sudah bersiap-siap untuk bersembunyi di balik batu padas. Naum niat itu pun diurungkannya. Jika ia sudah melihat kedua ekor kuda yang berpacu itu, maka penunggangnya pun tentu sudah melihatnya pula. Setidak-tidaknya ada kemungkinan yang demikian, karena itu, maka anak muda itu pun mengurungkan niatnya dan justru bertolak pinggang menunggu kedua ekor kuda yang pasti akan lewat di jalan sempit di sebelah batu karang tempat ia berdiri.

Ternyata kedua penunggang kuda itu pun benar-benar melihatnya, sekilas mereka melihat seorang berdiri di kejauhan, diatas sebongkah batu, namun kemudian orang itu telah bergeser kesamping sehingga tubuhnya terlindung oleh tikungan di sebelah batu karang itu.

Namu ketika kuda itu muncul dari balik tikungan, penunggangnya masih melihat anak muda itu berdiri sambil bertolak pinggang, bahkan kemudian nampak sebuah senyuman di bibirnya.

“Nah, ia benar-benar berkeliaran disini, paman”

“Nampaknya ia hanya seorang diri, Raden”

“Ya, tetapi siapa tahu, karena itulah kita harus berhati-hati”

Demikian keduanya mendekati anak muda yang berdiri diatas batu karang itu, Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga menarik kekang kudanya, sehingga kedua ekor kuda itu pun segera berhenti.

“Siapa yang kau tunggu disini?” bertanya Kuda Rupaka

Anak muda itu tersenyum, katanya, “Kalian tentu sedang membicarakan aku, begitu kalian muncul di tikungan”

“Darimana kau tahu?”

“Sudah tentu aku tahu, karena aku mempunyai Aji Sapta Pangrungu”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan, katanya disela-sela suara tertawanya, “Jangan menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti anak kecil, kau sangka Aji Sapta Pangrungu itu mudah disadap? jika kau benar-benar mempunyai aji itu, maka kau tentu mengetahui apa yang aku katakan kalimat demi kalimat dan kata demi kata”

Kidang Alit tersenyum, katanya, “Apakah perlu demikian?”

“Tidak, aku tahu, kau berbohong, dan kau memang sering sekali berbohong meskipun aku percaya kau memiliki ilmu yang tinggi. Selain ilmu kanuragan, kau juga mempunyai ilmu gendam, ilmu sirep dan barangkali bermacam-macam ilmu yang lain, tetapi tidak Aji Sapta Pangrungu, Sapta Peningal dan Sapta Pangrasa”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, namun ia pun tertawa, katanya, “Aku sudah mempelajari, tetapi memang tidak semudah yang aku duga semula. Apalagi kini terhenti untuk beberapa saat karena aku harus menunggui istana kecil itu dan menunggu kalian berdua”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Jika kau sekarang baru mulai, maka ilmu itu akan kau kuasai lima tahun yang akan datang, dan itu berarti bahwa semuanya sudah terlambat”

Kidang Alit tertawa, jawabnya, “Aku tidak pernah merasa terlambat”

Panji Sura Wilaga yang termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Kita tidak ada gunanya berbicara terlalu banyak”

Kidang Alit mengerutkan dahinya, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa maksudmu?”

Kuda Rupaka lah yang menjawab, “Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut, aku akan mencari tempat untuk menyingkirkan kedua pengemis itu dari istana itu”

“Kenapa?”

“Mereka merupakan orang yang paling aku benci, aku muak melihat mereka bermalas-malas tetapi makan tampa henti-hentinya”

“Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tangguh sehingga mereka dapat kau ajak untuk mempertahankan istana kecil itu. Mungkin dari orang-orang Guntur Geni, tetapi mungkin pula orang-orangku”

“Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, aku tidak percaya kepada mereka seperti aku tidak akan dapat mempercayaimu. Apalagi kehadiran mereka sangat membahayakan keselamatan bibi dan pusaka yang tersembunyi itu, apalagi bibi sama sekali tidak tahu, bahwa keduannya adalah orang-orang yang sangat berbahaya”

“Kenapa keduanya diijinkan masuk?”

“Bibi senang mendengar salah seorang dari keduanya berdendang kidung yang dibawakan memang memiliki kekuatan khusus untuk mencengkam perasaan”

“Kidang Alit tertawa pendek, katanya, “Kau mempunyai kemampuan melawan ilmu gendam, kenapa kau tidak melawan ilmu pemilut itu dengan ilmumu pula?”

“Tidak, ia sama sekali tidak mempergunakan ilmu apapun, tetapi lagu yang selalu dinyanyikan memang menarik, akupun senang mendengarnya, dan bibi adalah seorang perempuan yang terlalu baik dan pengiba. Itulah kesalahannya”

“Kenapa tidak kau bunuh saja keduanya?”

Kuda Rupaka nampak ragu-ragu, namun kemudian katanya, “Aku ragu-ragu, keduanya memiliki ilmu yang cukup tangguh, sehingga aku tidak yakin bahwa aku dapat melakukannya tanpa diketahui oleh bibi. Apalagi nampaknya bibi sangat terpengaruh oleh keduanya, sekarang mereka lebih dekat dengan bibi dari pada aku dan paman Panji”

Suara tertawa Kidang Alit meledak tanpa tertahankan lagi, sambil tertawa terbahak-bahak ia berkata yang justru tidak begitu jelas, “Kenapa kau merajuk?, aku tidak menyangka bahwa seorang anak jantan seperti Raden Kuda Rupaka masih sempat merajuk seperti gadis menjelang kawin”

Kuda Rupaka menjadi tegang, bahkan Panji Sura Wilaga kemudian membentaknya, “Jangan gila, kau dengar penjelasannya?”

Kidang Alit mencoba menahan suata tertawanya itu, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah Aku akan mendengarkannya”

“Kidang Alit” berkata Kuda Rupaka, “Aku tidak dapat melukai hati bibi dengan membunuh keduanya di hadapan bibi, atau katakanlah bahwa bibi sempat melihat kami bertengkar, aku memang mengakui bahwa untuk membunuhnya diperlukan waktu yang agak panjang”

Kidang Alit memandang Kuda Rupaka dengan pandangan mata yang khusus, bahkan dengan senyum yang yang kecut ia berkata, “Aku tahu maksudmu, kau ingin aku membunuhnya diluar halaman istana”

Kuda Rupaka memandang Kidang Alit sejenak, lalu, “Belum tentu hal itu dapat dilakukan, jika ia menolak untuk tinggal di padukuhan, maka ia akan tetap tinggal di istana”

“O, kau ingin aku membantumu membunuhnya dalam waktu yang singkat, sehingga Raden Ayu Kuda Narpada tidak sempat melihat perkelahian itu” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimanapun juga, Raden Ayu akan tahu, bahwa Panon dan Ki Mina telah hilang dari halaman istananya”

“Jika kemudian hal itu diketahuinya pula, apaboleh buat”

Kidang Alit termenung sejenak, lalu katanya, “Kau tentu mempunyai perhitungan, bahwa melawan mereka adalah lebih berat dari melawan aku dan kawan-kawanku”

“Bukan maksudku, tetapi jika keadaan yang sebenarnya demikian, apa boleh buat. Yang penting bagiku kedua pengemis itu lenyap dari istana, karena mereka adalah orang-orang yang paling mungkin menerima titipan dari bibi”

Kidang Alit mengangguk-angguk, namun katanya, “Biar sajalah mereka menerima puska itu, aku akan mengambilnya dari kedua pengemis itu, aku sama sekali tidak mempunyai perasaan segan atau semacam itu seandainya aku membunuh mereka di hadapan Raden Ayu, karena aku tidak terikat hubungan keluarga atau semacam itu”

Panji Sura Wilaga menggeretakkan giginya, tetapi Kuda Rupaka menyahut, “Terserah kepadamu, aku akan pergi ke padukuhan dan tetap mencari tempat bagi kedua pengemis itu, mau tidak mau. Eh, tunggu dulu, Kidang Alit, tiba-tiba saja timbul pikiran baru di benakku, kenapa aku tidak memperalatnya saja lebih dahulu untuk membinasakanmu dan kawan-kawanmu”

“Kidang Alit menegang sejenak, lalu, “Kau boleh mencobanya, tetapi kau akan tetap terikat oleh hubungan keluarga antara kau dan bibimu itu. Seandainya kau berhasil membunuh aku, maka kau tidak akan dapat membunuh pengemis-pengemis itu di hadapan bibimu tanpa diketahuinya”

Kuda Rupaka nempak berpikir sejenak.

“Lalu, menurut pikiranmu, yang manakah yang sebaiknya aku lakukan? Membunuhmu dibantu pengemis-pengemis itu atau membunuh pengemis-pengemis itu dengan bantuanmu agar yang kita lakukan tidak diketahui oleh bibi. Seandainya diketahuinya pula, maka kesalahan itu sebagian besar akan dibebankan kepadamu”

“Kenapa aku?”

Kuda Rupaka tertawa, wajahnya bagaikan tenggelam dalam derai tertawanya yang berkepanjangan.

“Kenapa Aku?” Kidang Alit mengulang.

“Tidak, tentu tidak” Kuda Rupaka menjawab disela-sela tertawanya, “Tentu bibi akan menyalahkan kita sama-sama, tetapi itu tidak penting. Yang penting, aku ingin mengurangi lawan, siapapun mereka. Kau dengan anak muahmu atau pengemis-pengemis itu”

Kidang Alit termenung sejenak, dipandanginya wajah Panji Sura Wilaga yang tegang, namun kemudian ia pun tersenyum, katanya, “Sebenarnya kau tidak usah berbelit-belit Raden, Aku tahu maksudmu yang sebenarnya, kau ingin mengajak aku dan kawan-kawanku membunuh kedua pengemis itu sebelum kita sendiri pada suatu saat akan saling berbunuhan. Aku pun tahu bahwa sebenarnya kau sudah tidak memperdulikan lagi bibimu itu. Tahu atau tidak tahu, cemas atau tidak cemas, pokoknya kau sekarang sudah mulai menunjukkan warnamu yang sebenarnya, yang sebetulnya akupun sudah menduganya sejak semula. Kau sama sekali tidak datang ke istana itu karena kau merindukan bibimu, atau karena kau tahu bahwa bibimu hidup dalam kesepian dan kesulitan, tetapi semata-mata karena kau menginginkan pusaka itu”

“Apapun yang kau katakan, aku sekarang tidak akan membantah. Tetapi bahwa kita harus berterus-terang, kita akan menjadi sama-sama licik tetapi juga sama-sama jantan”

Kidang Alit termenung sejenak, lalu katanya, “Rencanamu untuk membunuh pengemis-pengemis itu agaknya baik juga. Memang jika masih ada sedikit perasaan iba kepada isteri Pangeran Kuda Narpada yang malang itu, pembunuhan itu harus dilakukan secepat-cepatnya sehingga Raden Ayu tidak sempat melihat, bagaimana kita menghujamkan pedang di dadanya, atau memenggal lehernya”

“Dan bibi tidak sempat pula melihat bagaimana aku membunuhmu”

Kidang Alit tertawa, jawabnya, “Tentu tidak, kita baru saling membunuh jika kita sudah pasti akan pusaka itu”

Panji Sura Wilaga menggeram, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

“Raden Kuda Rupaka” tiba-tiba suara Kidang Alit menjadi bersungguh-sungguh, “Aku akan datang malam nanti, setelah bintang silang tegak di selatan”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, dengan bersungguh-sungguh pula ia menyahut, “Bintang Gubuk Penceng yang tegak di ujung selatan yang menunjukkan waktu tengah malam”

“Aku datang tengah malam bersama dua orang kawanku. Bukan berarti bahwa aku menganggap kedua pengemis itu terlampau kuat, tetapi aku sebenarnya tidak percaya sepenuhnya kepadamu. Aku masih mempunyai dugaan bahwa kau sedang menjebak aku”

“Aku mengerti, tetapi itu terserah kepadamu. Aku akan menunggu sampai tengah malam dan kita akan bersama-sama membunuh kedua orang pengemis itu”

“Juga anak Nyi Upih yang gila itu” geram Panji Sura Wilaga.

Kuda Rupaka berpaling, namun ia tidak menyahut.

Kidang Alit pun kemudian meninggalkan tempatnya sambil berkata, “Mudah-mudahan kali ini kita bersikap jujur dan jantan, meskipun kelak kita akan menjadi licik dan curang lagi”

Kuda Rupaka tidak menyahut, dipandanginya saja Kidang Alit yang melangkah pergi meninggalkan tepi lorong tu, semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang di balik batu-batuan padas pebukitan.

“Kita kembali ke istana” desis Kuda Rupaka.

“Kita tidak ke padukuhan?”

“Tidak, tidak ada gunanya, malam ini kita benar-benar harus bersiaga. Kita masih belum tahu, siapakah sebenarnya yang akan kita hadapi. Mungkin Kidang Alit akan menepati janjinya, tetapi mungkin sebaliknya, ia justru akan bekerja bersama kedua pengemis itu untuk membunuh kita”

Panji Sura Wilaga menggeleng, jawabnya, “Tentu tidak, pengemis itu tentu tidak akan mempercayainya, mereka tentu masih lebih percaya kepada kita dari pada kepada Kidang Alit”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, sambil menggerakkan kendali kudanya ia berkata, “Marilah, aku akan beristirahat dan memusatkan kemampuan menghadapi peristiwa yang barangkali jauh berbeda dari yang kita duga”

“Dan apakah Raden masih sempat memikirkan, apakah Raden Ayu berkenan atau tidak dengan semua keputusan kita ini?”

Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, kemudian ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak, aku harus berketetapan hati untuk tidak memikirkan bibi lagi”

“Bahkan, jika perlu Raden dapat memaksa Raden Ayu untuk menunjukkan pusaka itu, jika Kidang Alit tidak ingkar. Maka kedua pengemis itu tidak akan dapat menghalangi lagi apapun yang akan Raden lakukan di dalam istana itu. Yang harus kita pikirkan kemudian bagaimana kita dapat meninggalkan istana itu, tanpa diketahui oleh Kidang Alit, atau bagaimana kita harus melawan dan membunhnya”

Kuda Rupaka tidak segera menjawab, dipandanginya jalur jalan sempit di hadapannya, sementara kudanya berlari tidak terlalu cepat.

Sebentar kemudian, maka mereka telah melihat pintu gerbang istana kecil itu. Pintu itu seolah-olah memberikan kesan yang aneh di dalam hatinya. Rasa-rasanya ia akan segera memasuki daerah yang gelap dan penuh bahaya.

Sebenarnyalah Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga pun dengan gelisah menunggu gelapnya malam. Ketika mereka telah berada di dalam bilik mereka, mereka pun membaringkan diri. Untuk melupakan waktu, yang rasa-rasanya menjadi sangat panjang, kuda Rupaka yang ingin tidur barang sejenak, agar ia mendapatkan kesegaran, sebelum ia melakukan tugas yang mungkin jauh lebih berat dari yang diduganya.

Tetapi matanya sama sekali tidak mau dipejamkannya, sekali-sekali ia bangkit dan berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Dibenaknya terbayang berbagai kemungkinan yang paling baik sampai kemungkinan yang paling pahit.

Namun demikian, rasa-rasanya waktu memang berhenti, masih nampak cahaya matahari di dinding yang menyusup dari lubang yang terdapat pada atap yang mulai rusak meskipun sudah menjadi kemerah-merahan.

“Sebentar lagi senja akan datang” gumamnya, “Kita benar-benar harus bersiap paman, mungkin Kidang Alit akan datang didahului dengan ilmu sirep atau ilmu yang lain.

Panji Sura Wilaga mengangguk, ia pun kemudian bangkit dan duduk di bibir ambennya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh, karena ia pun sedang memikirkan pada kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi seperti Kuda Rupaka.

Dalam pada itu, rasa-rasanya istana kecil itu telah dicengkam oleh suasana yang lain. Panon dan Ki Mina yang duduk di halaman belakangpun agaknya sedang berbincang tentang kepergian Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga yang tiba-tiba saja ke padukuhan, tetapi hanya dalam waktu yang terhitung terlalu pendek.

“Aku menjadi curiga” berkata Panon.

“Memang mencurigakan sekali, tetapi aku tidak tahu, apakah kira-kira yang akan terjadi, jika Raden Kuda Rupaka bukan kemanakan Raden Ayu Kuda Narpada, aku segera dapat menebak bahwa ia agaknya telah bersepakat menyingkirkan kita”

“Itulah yang membingungkan, aku tidak mengerti apakah ia lebih mencintai bibinya atau pusaka yang dianggapnya berada di istana ini?”

Ki Mina mengangguh-angguk, katanya, “Memang membingungkan, tetapi nampaknya Raden Kuda Rupaka sudah berani memaksa bibinya untuk menunjukkan pusaka yang dicarinya, bahkan dengan mengancam pula, meskipun alasannya dapat dimengerti”

Panon menarik nafas dalam-dalam, dengan nada datar ia bergumam, “Hal serupa inilah yang tidak diketahui dan sama sekali tidak disebut-sebut oleh guru, sehingga ternyata aku telah menghadapi persoalan yang menyimpang sama sekali dari gambaran yang diberikan guru kepadaku. Ternyata bahwa guru benar-benar sudah terlalu lama tidak berada di daerah ini” Panon berhenti sejenak, lalu, “Karena itu aku berterima kasih sekali kepada paman yang telah dengan sukarela ikut menjerumuskan diri ke dalam kesulitan yang bahkan dapat membahayakan jiwa paman ini”

“Ah, kau. Memang pandai berkelakar” Ki Mina tersenyum, “Jangan kau sebut-sebut lagi, aku menyadari sepenuhnya apa yang aku lakukan sekarang. Bukan saja karena aku tertarik kepada sikap dan usahamu berdasarkan atas perintah gurumu, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk melakukan hal itu”

“Namun menghadapi Raden Kuda Rupaka, kita memang menjadi bingung”

Ki Mina mengangguk-angguk, katanya, “Jika pada suatu saat, Raden Kuda Rupaka benar-benar mendesak bibinya untuk menunjukkan pusaka yang barangkali memang tidak diketahuinya itu, kita akan berdiri pada suatu sikap yang sulit, jika kita benar-benar melindunginya. Bahkan jika terpaksa dengan kekerasan, maka kitapun akan melakukan kesalahan. Apalagi jika Raden Kuda Rupaka atau Panji Sura Wilaga mengalami cidera, maka Raden Ayu tentu akan menyalahkan kita pula, karena anak muda itu adalah kemanakannya”

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kita harus membiarkan apa saja yang terjadi paman. Aku masih terikat oleh perintah guru”

“Aku mengerti, aku mengerti, Panon”

Panon menarik nafas dalam-dalam, ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, setiap kali ia teringat kepada gurunya, rasa-rasanya ia ingin berlari ketempat yang telah ditentukan. Tetapi keadaan istana kecil itu rasanya telah mengikatnya sehingga ia tidak dapat beranjak sama sekali.

Sekilas terbayang wajah seorang gadis yang bernama Pinten, gadis yang sederhana, tetapi nampaknya memiliki sesuatu yang lain dari gadis kebanyakan. Gadis yang cerdik dan kemanja-manjaan meskipun ia hanya anak seorang pelayan.

“Gila” Panon menggeram di dalam hatinya, “Aku datang untuk melakukan tugas yang dibebankan guru kepadaku, tidak untuk hal-hal yang lain yang tidak masuk akal”

Dalam pada itu, Pinten dan Sangkan duduk di serambi samping menghadap ke longkangan, nampaknya mereka berdua sedang asyik berbincang sehingga keduanya tidak merasa bahwa biyungnya memandangi dari kejauhan.

Nyi Upih menarik nafas, dipandanginya kedua anaknya yang duduk di serambi itu, nampaknya mereka sedang berbicara dengan sungguh-sungguh, tidak seperti biasanya, mereka bergurau tidak henti-hentinya, kemudian bertengkar dan bahkan berkelahi.

Nyi Upih merasakan sesuatu yang lain dalam hatinya, bahkan diluar sadarnya tangannya telah mengusap setitik air yang mengembun di pelupuknya.

“Kasihan anak-anak itu” desisnya, “Hanya karena kematangan jiwanya saja mereka telah bersedia berada di tempat ini”

Sejenak kedua anak-anak muda itu masih saja berbincang, Pinten bersikap tidak seperti biasanya, sehari-hari merajuk, marah dan kemudian mengadu. Tetapi nampaknya ia pun sedang berbicara dengan sungguh-sungguh seperti juga Sangkan.

Tetapi agaknya mereka terkejut ketika mereka mendengar Nyi Upih menyentuh daun pintu dapur. Serentak mereka berpaling, dilihatnya Nyi Upih berdiri termangu-mangu memandang mereka.

“O, marilah biyung” berkata Sangkan, “Kami sedang membicarakan sesuatu yang penting”

“Apa yang kalian bicarakan?”

“Pinten mulai merasa dirinya menjelang dewasa”

“He..!!” tiba-tiba saja mata Pinten melotot dan Sangkan meloncat berdiri.

“Kau sudah mulai lagi kakang” Pinten pun kemudian bangkit berdiri pula, maju selangkah demi selangkah.

“Jangan, jangan” Sangkan pun mundur sambil menyeringai, bahkan kemudian ia pun berputar dibelakang biyungnya.

“Ah” desah Nyi Upih, “Aku senang kalian berbicara dengan bersungguh-sungguh. Aku kira kalian memang benar-benar menjelang dewasa. Duduklah, marilah kita berbicara lagi. Lihatlah, langit menjadi buram dan sebentar lagi malam akan datang”

“Kalau begitu, aku akan menyalakan lampu” desis Sangkan

“Ya, nyalakanlah, biarlah Pinten tinggal disini bersama aku”

Sangkan pun kemudian meninggalkan Pinten dan Nyi Upih untuk mengambil dan menyalakan lampu di seluruh ruangan istana kecil itu. Tetapi nampaknya jumlah lampu minyak itu pun semakin lama menjadi semakin berkurang, karena minyak kelapa menjadi semakin sedikit di persediaan.

“Apa saja yang kalian perbincangkan Pinten?”

Pinten memandang Nyi Upih sejenak, lalu katanya, “Kakang Sangkan mengatakan bahwa keadaan menjadi semakin gawat, apakah benar biyung?”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang menjadi semakin takut tinggal di istana ini”

“Aaah”

Pinten memandang Nyi Upih, tiba-tiba saja ia memeluknya sambil berkata, “Kami akan tinggal bersamamu biyung, apapun yang akan terjadi, kami tidak akan lari dari mereka ini, juga kakang Sangkan tidak”

Titik air mata mulai mengembun lagi di mata Nyi Upih, namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, aku sudah mengira bahwa kalian akan berbuat demikian”

“Sudahlah biyung, kita akan segera merapikan peralatan dapur, rasa-rasanya malam hari ini agak lain dari malam-malam sebelumnya, kita akan segera masuk dan mengawani Raden Ayu dan puteri di dalam biliknya”

Nyi Upih mengangguk-angguk, tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi kawani aku dulu di pakiwan”

Pinten tersenyum, ketika ia memandang longkangan yang mulai gelap, rasa-rasanya sesuatu telah menyentuh perasaannya.

“Marilah biyung”

Nyi Upih mengusap matanya, ia pun kemudian pergi ke dapur merapikan barang-barang yang ada dan kemudian menutup pintunya setelah memadamkan lampu minyak kelapa yang berkeredipan seperti mata seorang gadis yang habis menangis.

Di dalam bilik di ruang dalampun rasanya keadaan menjadi sangat lengang, meskipun Raden Ayu dan Inten masih belum tidur, tetapi mereka hanya duduk saja di dalam biliknya hampir tanpa senuah pembicaraan apapun. Baru ketika Pinten masuk bersama biyungnya, maka Pinten dan Prawesti mulai bermain-main, yang dimainkan oleh mereka adalah permainan dakon.

Raden Ayu memandang puterinya yang sedang bermain dengan tatapan mata yang suram. Perasaan iba dan haru telah mencengkam hatinya, puterinya adalah seorang gadis yang sedang tumbuh, yang memerlukan suatu lingkungan yang jauh kebih baik dari lingkungannya sekarang.

Ada sepercik penyesalan, bahwa suaminya dahulu tidak memilih tinggal di Demak atau di kota-kota yang lebih baik daripada sebuah padukuhan di pegunungan sewu ini. Namun, ia pun mencoba untuk menekan penyesalan itu, karena ia tidak mau menimpakan kesalahan itu kepada suaminya yang malang itu.

Inten dan Pinten duduk di sudut ruangan, mereka mulai menghitung kelungsu yang dipergunakan sebagai biji-biji dalam permainan mereka.

Yang terdengar kemudian adalah gemelitiknya kelungsu-kelungsu itu di dalam lubang-lubang dakon. Namun agaknya permainan itu memang menarik, Nyi Upih pun kemudian dengan asyiknya melihat permainan ini, ia pun berkata, “Ternyata puteri lebih pandai daripadamu, kau tidak dapat memilih dan memperhitungkan biji-biji permainanmu, sehingga biji terakhirmu sering sekali jatuh pada lubang-lubang yang kosong”

“Tetapi aku beruntung biyung, aku dapat menunggu biji-biji di lubang yang berhadapan dengan lubang kosong itu atau justru biji-biji lawan yang disebelah menyebelah”

“Itu suatu kebetulan bukan perhitungan”

Pinten mengerutkan keningnya, tetapi ia tersenyum ketika inten salah hitung, sehingga biji-biji dakonnya sama sekali tidak menghasilkan.

“Tetapi puteri masih menang” berkata Pinten, “Biji-biji puteri di dalam lumbung masih lebih banyak, tetapi perbedaan yang sedikit justru akan menguntungkan aku, karena aku akan mendapatkan dua lumbung. Lumbung kacangan tanpa bera sama sekali.”

Nyi Upih termenung memandang tangan anak gadisnya menaburkan kelungsu disetiap lubang dakon dengan cekatan.

“Tangan itu” tiba-tiba saja Nyi Upih berkata kepada diri sendiri, “Terlampau halus untuk memegang kayu bakar dan senggot timba”

Tetapi Nyi Upih tidak mengatakan sesuatu, ia rasa-rasanya tidak puas-puasnya memandang jari-jari Pinten yang lentik seperti jari-jari Inten Prawesti.

Demikianlah mereka asyik tenggelam dalam permianan dakon, seperti biasanya, mereka kemudian lupa akan waktu. Seolah-olah mereka tidak merasa kantuk sama sekali. Bahkan Nyi Upih yang hanya sekedar menontonpun tidak menjadi kantuk pula.

Tetapi Raden Ayulah yang kemudian berkata, “Inten, apakah kau masih akan bermain-main?”

“Ya, ibunda”

“Bermainlah, tetapi jangan keluar dari bilik ini, rasa-rasanya malam menjadi lengang”

“Baik Ibunda”

“Aku akan beristirahat”

“Silahkan ibunda tidur. Aku akan segera menyusul”

Raden Ayupun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan. Meskipun rasa-rasanya matanya menjadi kantuk. Tetapi ketika ia berbaring, justru angan-angannya mulai menerawang menjelajahi segala masa. Masa lampau, masa kini dan harapan yang buram di masa datang.

Di belakang, Panon dan Ki Minapun rasa-rasanya tidak dapat memejamkan matanya. Ketika mereka melihat di sebelah yang lain Sangkan sudah tidak dapat mengetahui apa-apa lagi, karena ia sudah tidur nyenyak sejak malam menjadi gelap.

“Anak itu rasa-rasanya sama sekali tidak terganggu oleh keadaan apapun. Dalam ketakutan dan cemas, ia masih juga dapat tidur mendengkur” desis Ki Mina.

“Itu lebih baik baginya paman, jika ia mengetahui peristiwa yang terjadi, apalagi melihat dengan mata kepala sendiri, mungkin jiwanya akan sangat terguncang.” Jawan Panon.

Ki Mina mengangguk-angguk, namun rasa-rasanya hatinya sama sekali tidak tenang. Karena kepergian Kuda Rupaka bersama dengan Panji Sura Wilaga yang hanya memakan waktu sebentar itu, itu yang membuat hati mereka manjadi galau.

“Aku mendapat firasat buruk” desis Ki Mina.

“Aku pun merasa berdebar-debar” jawab Panon, “Aku terpengaruh sekali oleh sikap Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga yang agak lain. Kekecewaan mereka karena Raden Ayu tidak dapat menunjukkan pusaka yang mereka inginkan, lalu kepergian mereka keluar memberikan kesan yang aneh padaku”

Ki Mina mengangguk-angguk, dengan hati-hati dan hampir berbisik ia berkata, “Bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan”

Panon menyibakkan ujung bajunya, nampaklah berjajar di ikat pinggangnya yang lebar, pisau-pisau belati kecil.

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Gurumu mengajarimu dengan cara yang aneh, apakah kau sama sekali mempelajari bagaimana mempergunakan senjata panjang?”

“Ya, tetapi dengan senjata-senjata kecil semacam ini, aku dapat bersikap lain, karena tidak ada orang yang langsung mengetahui bahwa aku bersenjata. Tetapi mungkin juga terpengaruh oleh keadaan jasmaniah gurumu yang cacat kaki. Ia lebih senang melontarkan senjatanya daripada bertempur dengan mempergunakan senjata di dalam genggaman, meskipun guru mampu melakukannya”

Ki Mina mengangguk-angguk, katanya, “Tetapi kau memerlukannya. Dengan senjata panjang kau dapat menundukkan lawanmu tanpa melukainya dan memaksanya menyerah. Tetapi dengan senjatamu, kau harus melukainya dan bahkan dan bahkan mungkin membunuhnya”

Panon mengangguk-angguk, jawabnya, “Guru telah menunjukkan kepadaku dengan pasti bagian tubuh yang manakah yang sekedar melumpuhkan, dan bagian yang manakah yang akan membuat seseorang terbenuh segera”

“Tetapi seorang yang sedang bertempur tidak dapat diperhitungkan tata geraknya dengan tepat. Mungkin seseorang yang mencoba menghindar lontaran senjatamu, justru telah mengumpankan bagian tubuhnya yang paling berbahaya. Tetapi aku sadar bahwa tentu memiliki kecepatan dan ketajaman bidik yang luar biasa”

“Ah….” Desis Panon, “Tetapi aku akan mencoba untuk mempergunakan senjata di dalam genggaman, mungkin akan berguna”

“Apakah yang dapat kau jika keadaan sekarang ini memaksa kita untuk melakukan perlawanan?”

“Di dapur ada parang”

“Aku juga melihat kapak kecil pembelah kayu, mungkin aku dapat mempergunakannya, karena dalam pertempuran yang seru dan melawan ilmu yang tinggi kerisku agak terlampau ringkih, meskipun setiap goresan betapapun kecilnya berarti maut”

Keduanya termenung sejenak, dan tiba-tiba saja berkata, “Aku akan mengambil parang dan kapak kecil itu, mungkin akan berguna”

“Tetapi ingat Panon, senjata yang dibuat dengan sengaja dan merupakan pusaka andalan, bahannya tentu bukan besi kebanyakan seperti parang pembelah kayu dan kapak kecil itu. Karena itu, jangan terkejut jika pada benturan senjata parangmu akan patah”

“Tentu, aku akan berusaha menghindarkan benturan langsung paman”

Ki Mina tersenyum, katanya, “Ambillah, tetapi hati-hatilah”

Panon pun kemudian pergi ke dapur yang sudah gelap, karena lampunya sudah dimatikan. Meskipun demikian, Panon menemukan sebuah parang yang besar dan sebuah kapak penebang pembelah kayu.

Ketika ia menyerahkan kedua senjata itu kepada Ki Mina orang tua itu pun tersenyum, katanya, “Keduanya cukup memadai, tetapi ingat Panon, jika jiwamu terancam maka ilmu yang paling kau andalkan yang harus kau pergunakan. Jangan terikat oleh parang ini, karena pisau-pisaumu itulah sebenarnya senjatamu yang paling baik”

Panon mengangguk-angguk, dengan demikian ia dapat menangkap apa yang tersirat di hati Ki Mina, seolah-olah sudah memastikan bahwa yang akan terjadi di malam ini adalah pertempuran, entah siapa yang harus dilawannya.

“Rasa-rasanya kita saling melakukan sesuatu yang aneh Paman”

“Apa…?”

“Kita telah mempersiapkan diri untuk bertempur, tetapi kita tidak tahu pasti, siapakah lawan kita, mungkin aku masih mencoba ingkar dihati, bahwa pada suatu saat kita memang akan berbenturan dengan Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, karena mereka adalah keluarga Pangeran Kuda Narpada”

Ki Mina mengangguk-angguk, katanya, “Kau benar Panon, tetapi yang kita lakukan sebenarnya adalah sekedar sikap berhati-hati atau barangkali hati kita terlampau kecut saja melihat perkembangan keadaan, namun, mungkin tidak akan terjadi apapun juga”

Panon tidak menyahut, namun pada wajahnya, keragu-raguan yang sangat, seolah-olah ia telah dihadapkan pada pilihan yang serba salah.

“Jangan menyalahkan gurumu, panon. Mungkin gurumu benar-benar tidak mengetahui apa yang telah terjadi sekarang disini, karena ia berada di tempat yang jauh. Tetapi jika benar ia akan menyusulmu, maka ia sekarang tentu sudah mendengar apa yang telah terjadi diatas bukit seribu yang membujur disisi selatan pulau ini”

Panon menangguk-angguk.

“Sudahlah” berkata Ki Mina kemudian, “Selaraklah pintu, kita akan beristirahat karena keadaan yang nampaknya sebagai suatu teka-teki yang tidak terpecahkan, maka akupun ingin berhati-hati pula, kita akan tidur bergantian”

Panon mengangguk-angguk pula, jawabnya, “Baik paman, siapakah yang harus lebih dahulu?, paman atau aku?”

“Tidurlah, aku memang belum mengantuk, barangkali kau akan dapat beristirahat meskipun hanya sejenak, jika aku ingin tidur, nanti aku akan membangunkanmu”

Panon pun kemudian membaringkan dirinya di amben bambu, terdengar amben itu berderik. Naum kemudian bilik itu menjadi sepi. Yang terdengar di dalam sepinya malam adalah suara jengkerik dan angkup yang seolah-olah mengeluh. Dikejauhan terdengar suara burung malam yang sedang mencari makan, sedang kelepak kelelawar berputaran sahut menyahut.

Sementara itu, Kuda Rupaka duduk di dalam biliknya dengan tegang, ia masih diragukan oleh kesanggupan Kidang Alit, tetapi baginya apapun yang terjadi, agaknya akan merupakan penyelesaian yang menentukan. Ia sudah jemu dioambang-ambingkan oleh keadaan yang tidak menentu selama ini, sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menahan diri lagi.

Panji Sura Wilaga masih berbaring dengan mata yang terpejam. Ia masih tidur nenyak sejak Kuda Rupaka terbangun dari tidurnya setelah senja, maka Panji Sura Wilaga lah yang kemudian mencoba untuk menyegarkan badannya sejenak.

Kuda Rupaka tidak membangunkannya, ia sendiri merasa seakan-akan kekuatannya telah berkumpul sepenuhnya setelah ia dapat tidur meskipun hanya sesaat.

Dengan hati yang berdebar-debar, Kuda Rupaka menimang-nimang pedangnya, seakan-akan ia ingin mendapat kepastian, apakah senjatanya itu sanggup membantunya, membinasakan kedua orang pengemis yang memuakkan itu. Namun tidak mustahil bahwa ia pun kemudian harus bertempur melawan Kidang Alit dan dua orang kawannya, bahkan mungkin lebih.

“Sekali lalgi Kuda Rupaka menghitung-hitung untung dan ruginya, apakah ia harus membunuh Kidang Alit lebih dahulu atau kedua pengemis itu.

Kuda Rupaka masih mempunyai waktu untuk mempertimbangkan semasak-masaknya, jika ia berubah pendirian dan ingin membinasakan Kidang Alit lebih dahulu, maka ia akan dapat bekerja bersama Panon dan Ki Mina.

“Tetapi bagiku kedua pengemis itu tentu lebih berbahaya, mereka berada di dalam istana ini, dan mereka akan dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang dapat dilakukan oleh Kidang Alit, juga keduanya mungkin sekali tidak hanya berdua. Mungkin, keduanya justru orang-orang yang memiliki perguruan seperti Guntur Geni, “ berkata Kuda Rupaka di dalam hatinya.

Ia mengerutkan keningnya, bahkan terbersit suatu pikiran yang jauh, “Jika mereka ternyata melibatkan perguruan mereka masing-masing, maka seharusnya akupun melibatkannya pula perguruanku secara langsung. Dan orang-orang perguruanku yang aku tunggu sampai saat ini masih belum hadir di pegunungan yang gersang ini. Tetapi aku harus dapat melakukannya sendiri agar orang-orang diperguruanku yakin, bahwa aku adalah orang yang pertama diantara mereka dan yang kelak berhak mewarisi segala kedudukan yang ada”

Karena itulah, maka Kuda Rupaka pun memutuskan, “Aku akan membinasakan kedua pengemis itu lebih dahulu, dengan demikian halaman ini akan menjadi bersih, dan aku akan mendapat keleluasaan mencari pusaka itu, jika pusaka itu sudah ada padaku, maka tidak sulit untuk menghindarkan diri dari pengamatan Kidang Alit.”

Demikianlah maka hatinyapun telah menjadi tetap, sekilas dipandangnya wajah Panji Sura Wilaga yang sedang tidur, nampaknya hati orang itu sudah tetap pula.

“Kau adalah orang yang paling setia” berkata Kuda Rupaka dalam hatinya, “Aku tidak akan melupakanmu”

Ia pun kemudian bangkit dan berjalan hilir mudik, malam rasa-rasanya menjadi semakin sepi. Tetapi ketegangan yang semakin memuncak tetap mencengkam hatinya.

Perlahan-lahan ia membuka pintu biliknya, agar tidak mengejutkan orang-orang di dalam istana itu, ia pun berjingkat turun ke halaman, ketika wajahnya ditengadahkan, ia pun mengumpat dengan geramnya, bintang Gubug Penceng masih condong di ujung selatan.

“Rasa-rasanya aku tidak tahan lagi menunggu, kenapa Kidang Alit mengambil waktu yang terlampau malam?, agaknya tidak ada bedanya apakah ia akan datang tengah malam atau sebelumnya. Tidak akan ada orang lain yang mencampuri persoalan yang terjadi di halaman ini, Panon dan Ki Mina akan terbunuh dan besok mayatnya akan dikubur oleh orang-orang padukuhan Karangmaja. Lalu, entahlah yang akan terjadi kemudian, apakah orang-orang padukuhan Karangmaja akan mengubur mayatku atau mayat Kidang Alit” Kuda Rupaka gergumam di dalam hatinya, lalu, “Tetapi Panji Sura Wilaga tentu akan memerlukan membuang waktu untuk membunuh anak pelayan yang lebih gila dari kedua pengemis itu. Dan agaknya Sangkan memang tidak diperlukan lagi, kegilaannya akan dapat mengganggu usaha kami menemukan pusaka yang tiada taranya itu”

Kuda Rupaka pun kemudian naik lagi ke dengan hatihati. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Panji Sura Wilaga sudah berdiri di depan pintu.

“Kau sudah bangun?”

“Aku mendengar Raden keluar dari bilik, aku kira kita sudah berada ditengah malam”

“Bintang itu menjadi terlalu malas, masih ada beberapa saat lagi menjelang tengah malam”

“Apakah Raden akan beristirahat lagi?”

“Waktunya terlalu pendek, marilah, kita mengnelilingi istana ini, kita lihat, apakah ada sesuatu yang mencurigakan”

Keduanya pun kemudian turun lagi ke halaman, masing-masing telah membawa senjata di lambung.

Setiap saat keduanya dapat melakukan apa saja yang mereka anggap perlu.

Keduanya berjalan perlahan-lahan melintasi halaman yang sepi, kemudian mereka memasuki lingkungan belakang. Bilik kedua perantau dan Sangkan itu sudah sepi bahkan lampu minyakpun sudah menjadi sangat redup.

“Agaknya mereka sudah tidur” desis Panji Sura Wilaga.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi mereka tidak mendekat. Mereka hanya berjalan terus ke kebun belakang, kemudian mengelilingi istana itu lewat sisi yang lain.

Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka mendengar suara gemelitik di dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada, karena itu, maka merekapun mendekat dengan sangat hati-hati.

“Siapakah yang masih bermain dakon di malam begini?” desis Kuda Rupaka.

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, tetapi keduanya pun kemudian mencari lubang pada dinding kayu bilik itu.

Hampir bersamaan keduanya berhasil melihat meskipun hanya lamat-lamat. Yang masih bermain dakon adalah Pinten dan ibunya Nyi Upih, sedang puteri Inten yang merasa sangat mengantuk telah meletakkan kepalanya di pangkuan pelayannya yang setia itu.

Sambil bergeser surut Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, tetapi Panji Sura Wilaga berkata, “Biar sajalah, mereka tidak akan memperngaruhi apapun juga. Bahkan jika perlu kitapun akan memaksa mereka untuk melakukan apa saja, termasuk menunjukkan pusaka itu jika perlu dengan kekerasan”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, desisnya, “kasihan bibi, tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain”

Panji Sura Wilaga memandang wajah Kuda Rupaka sejenak, katanya, “Raden Ayu telah menikmati kebesarannya pada masa Majapahit masih berdiri. Pada saatnya, air pasang akan menjadi surut, jika dalam perubahan keadaan seseorang harus menjadi korban, maka hal itu tidak dapat diingkari. Dalam pertentangan seperti yang telah terjadi, maka yang menang adalah yang benar”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Kitapun harus menyadari bahwa kebenaran yang kita jadikan pegangan adalah kekuasaan yang berlandaskan kemenangan dari setiap benturan”

Ternyata Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga tidak dapat lagi menyelubungi diri dengan laku yang baik dan sopan terhadap bibinya, yang dianggapnya sama sekali tidak membantunya. Bahkan Kuda Rupakapun kemudian berkata, “Paman, akhirnya aku menyadari, bahwa tidak ada gunanya aku berbuat baik selama ini terhadap bibi. Kepercayaan bibi nampaknya lebih banyak diberikan kepada perantau yang harus kita bunuh malam ini”

“Mungkin bibi Raden tidak menyadari bahwa yang sebenarnya dibawa oleh kedua perantau itu, jika datang saatnya, keduanya mungkin akan sampai hati membunuh bibi dan puteri Inten Prawesti untuk mendapatkan pusaka itu”

“Memang mungkin sekali”

“Tetapi jika cara itu memang cara yang terbaik, apaboleh buat”

“Maksud paman?”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, tetapi nampak dalam keremangan wajahnya menjadi tegang.

Tetapi agaknya dalam kebisuan masing-masing, keduanya telah dapat saling meraba maksudnya, mereka ternyata telah menilai pusaka yang mereka cari itu lebih dari segalanya. Lebih dari jiwa seseorang, bahkan juga jika seseorang itu adalah keluarga sendiri.

“Pusaka itu adalah sumber kekuasaan dan kemukten” Desis Kuda Rupaka dengan wajah yang mengeras, wajah yang seolah-olah telah berubah menjadi batu padas di pegunungan.

“Aku tidak mau tenggelam dalam sikap seorang yang baik hati, yang merelakan apapun juga untuk kepentingan orang lain. Memelihara dengan makan dan minum, tetapi sama sekali tidak mengerti berterima kasih” Kuda Rupaka melanjutkan.

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan mereka bergeser menjauh. Ternyata bahwa keduanya telah menemukan sikap yang matang sebagai landasan tingkah laku mereka kemudian.

Di halaman depan mereka masih harus menunggu sampai Lintang Gubug Penceng tepat tegak berdiri di ujung selatan. Pada saat yang dijanjikan Kidang Alit akan datang untuk bersama-sama membunuh kedua pengemis itu. Jika mereka dapat melakukannya, sebaiknya tanpa diketahui oleh Raden Ayu Kuda Narpada dan kemudian mengubur mayat mereka dengan diam-diam di halaman belakang, bahkan bersama mayat Sangkan sekaligus. Tetapi jika terpaksa Raden Ayu dan seisi istana itu mengetahuinya, apaboleh buat.

Keduanya menjadi berdebar-debar, ketika mereka merasakan tiupan angin yang aneh. Rasa-rasanya angin itu begitu sejuk mengusap tubuh, tetapi keduanya mengerutkan kening ketika mereka sama sekali tidak melihat dedaunan bergerak betapapun lembutnya.

Kuda Rupaka menggamit Panji Sura Wilaga, agaknya Panji Sura Wilaga pun mengetahuinya, sambil mengangguk kecil ia pun memberika isyarat kepada Kuda Rupaka untuk mengyingkir ke tempat yanga terlindung.

Ketika keduanya bangkit, Panji Sura Wilaga berbisik, “Kita belum mengetahui dengan pasti orang yang akan datang bersama dengan Kidang Alit”

Kuda Rupaka segera menangkap maksud Panji Sura Wilaga, karena itulah maka ia pun kemudian bergeser dan berlindung di tempat yang gelap.

Arus udara yang aneh itu terasa semakin lama menjadi semakin kuat. Tetapi dedaunan masih saja seolah-olah membeku.

“Kidang Alit cukup berhati-hati” berkata Panji Sura Wilaga perlahan-lahan ditelinga Kuda Rupaka.

Kuda Rupaka mengangguk, katanya, “Sirep ini terlampau tajam, jauh lebih tajam dari sirep yang pernah dilontarkan oleh orang Guntur Geni”.

“Kidang Alit mempunyai kelebihan” sahut Panji Sura Wilaga, “Ia mempunyai beberapa jenis ilmu yang dilontarkan dengan kekuatan getar pemusatan inderanya, karena itu ia mempunyai ilmu gendam dan mungkin juga pamilut”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Dengan demikian bibi dan perempuan-perempuan yang lain akan tertidur, Sangkan pun akan tertidur bagaikan pingsan, jika kau membunuhnya, bunuhlah selagi ia tidak menyadari keadaanya”

“Raden masih mempunyai perasaan belas kasihan?”

“Mungkin, tetapi itu akan lebih baik bagi anak gila itu. Ketakutan di saat-saat kematian adalah suatu siksaan, karena anak itu sekedar berbuat gila tanpa maksud, ada juga baiknya kau menghindari siksaan itu”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, tetapi kepalanya sajalah yang mengangguk kecil.

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, tetapi kepalanya sajalah yang mengangguk kecil.

Sesaat mereka masih harus menunggu. Mereka mengerti, bahwa Kidang Alit masih sedang menunggu kekuatan sirepnya sehingga ia yakin bahwa orang-orang yang tidak mampu menghindar akan tertidur dengan nyenyaknya.

“Pelayan dan anak perempuannya tentu sudah tertidur sekarang ini” desis Kuda Rupaka.

”Tetapi jika kedua perantau itu menyadari, mereka tentu akan dapat melawannya. Kecuali jika mereka sama sekali tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi, atau bahkan jika mereka benar-benar sedang tidur, maka mereka akan menjadi semakin nyenyak, karena mereka tidak mempunyai usaha perlawanan sama sekali”

“Bukankah mereka sudah tidur?”

“Jika demikian, mereka tidak terbangun untuk selama-lamanya, kita akan membunuh mereka dan menyeret mayatnya ke kebun belakang”

“Jika kita sempat melakukannya”

“Maksudmu?”

“Mungkin kita akan langsung bertempur melawan Kidang Alit”

Keduanya tersenyum, tetapi keduanya benar-benar sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, bahkan mungkin menghadapi kematian.

Untuk beberapa saat kemudian keduanya berdiam diri, mereka mencoba untuk mengetahui, berapa jauh kekuatan sirep yang dilontarkan oleh Kidang Alit yang kemudian menyelubungi istana kecil itu dengan segala isinya.

“Kekuatan sirep ini agaknya sudah sampai di puncaknya” desis Panji Sura Wilaga ditelinga Raden Kuda Rupaka.

Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia mengangguk saja.

Sementara itu keduanya telah memperhitungkan, meskipun tidak saling bersepakat, bahwa saatnya sudah tiba bagi Kidang Alit untuk memasuki halaman istana.

Ternyata dugaan mereka itu tepat. Tetapi Kidang Alit tidak tergesa-gesa dan terjebak oleh Kuda Rupaka. Seperti Kuda Rupaka pula, maka ia sangat berhati-hati.

Kidang Alit tidak memasuki halaman dengan meloncat dinding seperti biasa dilakukannya, karena itulah, maka dugaan Kuda Rupaka keliru. Kidang Alit berusaha membuka selarak regol dari luar melali celah-celah katu gerbang yang sudah tua.

Kuda Rupaka mengagamit Panji Sura Wilaga ketika didengarnya derak selarak pintu regol. Panji Sura Wilaga pun mengangguk sambil menatap gerbang regol itu dengan seksama.

Namun sebelum ia melihat regol itu terbuka dan seseorang melangkah masuk, tiba-tiba saja keduanya telah melihat di dalam keremangan cahaya obor yang redup di kejauhan seseorang yang duduk diatas dinding.

Tetapi orang itu ternyata bukan Kidang Alit. Dengan tangannya orang itu, memberikan isyarat kepada kawannya yang berada diluar regol. Baru sejenak kemudian, gerbong regol itu terbuka. Seseorang yang sudah dikenal baik oleh Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga muncul sambil menengadahkan dadanya.

Disebelahnya berjalan seorang yang nampaknya cukup meyakinkan pula.

Kuda Rupaka menggamit Panji Sura Wilaga sekali lagi, ketika keduanya berpandangan, maka Kuda Rupaka pun menganggukkan kepalanya.

Sejenak mereka masih menunggu, dengan hati-hati Kidang Alit melangkah ketengah-tengah halaman yang tidak terlalu luas itu. Dengan tajamnya ia menatap pendapa yang kosong dan sepi.

Pada saat itulah, maka Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga bangkit dan melangkah dari lindungan bayangan dedaunan.

Mendengar langkah itu, Kidang Alit segera meloncat mempersiapkan diri, demikian juga kedua kawannya yang segera berpencar, namun Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat bahwa yang datang adalah Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga.

“Apakah kau sudah siap?” bertanya Kidang Alit perlahan-lahan

Kuda Rupaka mengangguk, jawabnya, “Saatnya memang sudah tiba”

“Apakah kedua perantau itu sedang tidur?”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, namun kemudian-jawabnya, “Mungkin sekali, tetapi mungkin juga tidak”

Kidang Alit mengangguk-angguk, katanya, “Jika ia sedang tidur saat aku melepaskan sirep, maka ia tidak akan bangun untuk selama-lamanya, kita akan memasuki biliknya dan menusuk dadanya sekali saja langsung tembus ke jantungnya”.

“Dan kita akan menyeretnya ke liang kuburnya di halaman belakang” desis Panji Sura Wilaga, “Raden Ayu tidak akan pernah tahu, kemana kedua pengemis itu pergi disertai oleh Sangkan, karena Raden Ayu tidak akan pernah menemukan mayatnya atau kabar beritanya lagi”

“Tetapi jika keduanya tidak sedang tidur?” desis Kuda Rupaka, “Apakah itu bukan berarti suatu berita bagi mereka, bahwa sesuatu akan terjadi?”

“Memang mungkin, tetapi aku sudah memperhitungkan segala akibatnya”

“Nah, jika demikian, apakah yang akan kita lakukan pertama-tama sekarang ini?” bertanya Kuda Rupaka.

“Tentu membunuh mereka” jawab Kidang Alit, ”Kau berdua membunuh seorang dari mereka, dan kami bertiga membunuh yang satunya. Dengan demikian maka pekerjaan ini akan cepat selesai” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “Tetapi dengan satu peringatan, bahwa kedatanganku hanya untuk membunuh kedua perantau itu”

“Maksudmu?”

“Aku tidak siap membunuhmu sekarang”

“Gila” geram Sura Wilaga, “Bagaimana jika kita berjanji bahwa setelah kedua pengemis dan Sangkan terkubur, kita menyelesaikan masalah kita sekaligus”

“Hanya orang dungu sajalah yang akan berbuat demikian” jawab Kidang Alit, “Karena dengan demikian maka Raden Ayu akan semakin bungkam tentang pusaka itu”

“Maksudku, biarlah rahasia tentang pusaka itu terlepas dahulu dari mulutnya. Barulah kita akan menentukan, siapakah yang berhak memilikinya, daripada sekarang kita berkelahi tanpa mendapatkan apapun juga”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Kau memang pintar, aku tidak dapat membedakan lagi antara kepintaran dan kelicikan, tetapi aku setuju dengan rencanamu itu”

Panji Sura Wilaga mengangkakt keningnya, namun ia tidak mengatakan apapun juga, “Marilah” ajak Kuda Rupaka, “Kita pergi kebiliknya, aku berdua dengan Paman Panji akan membunuh Panon dan kau bertiga membunuh orang tua itu”

“Kami tidak berkeberatan”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun sekilas nampak tatapan matanya menyambar kedua orang kawan Kidang Alit.

“Kedua orang ini ternyata adalah orang-orang yang tinggal di banjar” desis Kidang Alit.

“Ya, aku sudah menduga”

“Kenapa? Kau tidak melihat mereka ketika keduanya datang saat orang-orang Guntur Geni menyerang kalian disini”

“Keduanya mula-mula aku kira orang Guntur Geni.Tetapi kemudian aku memastikan bahwa dugaan itu salah. Apalagi ketika keduanya tinggal terlalu lama di banjar tanpa berbuat apa-apa”

Kidang Alit tertawa pendek, katanya, “Yang seorang adalah paman Bramadara, yang lain adalah paman Sambi Timur. Tetapi marilah, kita pergi ke bilik itu”

Mereka berlimapun kemudian berjalan dengan hati-hati melingkari istana kecil itu.

Namun mereka tidak langsung menuju ke bilik itu, mereka sadar, bahwa Panon dan Ki Mina bukannya orang kebanyakan, keduanya memiliki ilmu yang dapat mereka andalkan, sehingga keduanya berani melibatkan diri dalam pertentangan diantara mereka yang memperebutkan pusaka yang masih tersembunyi itu.

Yang mendekati dinding bilik itu adalah Kidang Alit dan Kuda Rupaka, sejenak mreka mencoba untuk menangkap suara dari dalam bilik itu, namun sama sekali tidak terdengar sesuatu. Bahkan desah nafaspun tidak.

Dengan hati-hati keduanya mencari lubang pada dinding bilik itu, untuk mengintip kedalam bilik untuk mengetahui keadaan orang-orang yang didalam bilik.

Tetapi ternyata bahwa di dalam bilik itu nampaknya hanyalah hitam pekat, karena lampu tidak menyala lagi.

Baik Kuda Rupaka dan Kidang Alit merasa aneh, bahwa mereka sama sekali tidak mendengar suara nafas, di dalam bilik itu, ada tiga orang, sehingga suara nafasnya tentu terdengar dari dinding.

Ketika keduanya berpandangan, maka keduanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kidang Alit menjadi tegang, tiba-tiba saja ia menunjuk kearah pintu bilik itu.

Kuda Rupaka mengetahui isyarat itu, Kidang Alit membuka pintu, ketika keduanya telah berdiri dimuka pintu yang tertutup itu, maka dengan hati-hati mereka mencoba mendorongnya.

Ternyata daun pintu itu dengan mudah bergerak.

Hampir saja Kuda Rupaka berdesis, bahwa pintu itu tidak diselarak, tetapi ia menyadari, bahwa suaranya akan mungkin sekali menarik perhatian orang-orang yang ada didalamnya. Perlahan-lahan ia mendorong pintu itu sehingga sedikit demi sedikit terbuka karenanya.

Di dalam bilik memeng gelap sekali, tetapi tatapan mata Kuda Rupaka dan Kidang Alit cukup tajam, mereka melihat tiga sosok tubuh berada diatas pembaringan itu.

Kuda Rupaka memberi isyarat kepada Sura Wilaga, juga Kidang Alit memanggil kedua orang kawannya.

Dengan hati-hati mereka memasuki bilik itu, bahkan tangan mereka melekat dihulu senjata mereka masing-masing.

Tetapi Kuda Rupaka tiba-tiba saja tersentak ketika Kidang Alit berdesis, “Raden, Apakah kita termasuk golongan orang yang pengecut?, aku tidak mau membunuh orang-orang yang sedang tidur, kita sudah datang dalam jumlah yang banyak, karena itu, biarlah kita mengurangi kelicikan kita”

“Maksudmu?”

“Aku akan membangunkan mereka, jika kita bertempur, Raden Ayu tidak akan mengetahuinya, karena ia masih terpengaruh oleh sirepku”

Kuda Rupaka tidak segera menjawab, namun Sura Wilaga lah yang menggeram, “Bagiku tidak ada bedanya, apakah mereka dibangunkan dahulu atau kita akan membunuh mereka selagi tidur”

“Aku memang orang yang licik, tetapi aku ingin melihat kemampuan anak muda yang bernama Panon itu dengan kawannya yang memiliki ilmu yang tinggi”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, ia tersentuh oleh perasaan heran, bahwa pembicaraan itu sama sekali tidak membangunkan ketiga orang yang sedang tidur itu”

“Kekuatan sirep Kidang Alit benar-benar tidak terlawan” katanya dalam hati, “Apalagi mereka yang sedang tidur”

Namun dalam pada itu Kidang Alit berkata, “Bersiaplah, aku akan mambangunkan mereka, kita akan bertempur di luar, karena itu, bersiaplah diluar pintu”

Kidang Alit pun kemudian mengambil titikan dari kantong ikat pinggangnya, kemudian dengan empul ia membuat api.

“Aku akan mengejutkan mereka dengan api, karena dengan sentuhan tangan biasa agaknya mereka tidak akan dapat terbangun”

Sejenak kemudian maka Kidang Alit pun mendekati kedua sosok yang tidur di pembaringan berselimut kain panjang sampai keujung kepalanya. Dengan hati-hati Kidang Alit pun kemudian melemparkan empul yang sudah membara kearah kedua sosok tubuh yang sedang tidur itu.

Kidang Alit melangkah surut dan berdiri di pintu bersama Kuda Rupaka dan orang-orang lain sambil menunggu.

Empul yang segenggam itu membara semakin besar, bahkan kemudian selimut kedua sosok tubuh itu mulai mengepulkan asap. Namun keduanya masih belum terbangun.

“Gila” desis Kidang Alit, “Apakah sirepku telah membunuh mereka tanpa disentuh tangan”

Namun kedua sosok tubuh itu masih tidak terbangun.

Sura Wilaga tidak dapat menahan kesabarannya lagi, tiba-tiba saja ia meloncat masuk memasuki bilik mitu. Dengan serta merta ia menarik selimut-selimut itu.

Namun betapa dadanya bagaikan pecah melihat apa yang tergolek di pembaringan itu. Sama sekali bukan kedua sosok tubuh perantau itu, tetapi dua ikat julup melinjo yang dibaringkan dan diselimuti oleh kain panjang. Betapa gelapnya bilik itu, namun Sura Wilaga masih dapat membedakan bahwa yang dihadapannya sama sekali bukan Panon dan Ki Mina.

Dengan kemarahan yang meledak di dadanya ia mengambil kedua ikat julup itu dan melemparkannya ke pintu sambil mencancam, “Anak setan. Kidang Alit bukalah matamu, apa yang kau lihat?”

Kidang Alit gemetar oleh kemarahan yang tidak tertahankan, dengan menggeram ia pun berkata, “Aku akan mencincang mereka sampai lumat. Kita akan mencarinya. Aku yakin mereka masih berada di sekitar halaman istana ini”

Sura Wilaga menggeretakkan giginya, tiba-tiba saja ia menarik selimut yang tersisa, tetapi Sangkan pun sudah tidak ada di pembaringannya.

“Jangan membuang waktu” Sura Wilaga berteriak, “Cari mereka sampai dapat”

Mereka meninggalkan longkangan dan menuju halaman, wajah Kuda Rupaka bagaikan terbakar oleh kemarahan yang meluap-luap, kemudian ia berkata kepada Sura Wilaga, “Aku akan memusnahkan istana ini, jika aku tidak berhasil menemukan pusaka itu”

“Raden sudah menemukan kembali jati diri Raden kembali dalam tugas yang gawat ini”

Demikianlah, maka kelima orang itu pun segera berpencar mencari ketiga orang yang ternyata telah mengetahui mereka dengan permainan yang berbahaya itu.

Sementara itu.

“Sst jangan bersuara” desis Panon ke telinga Sangkan.

“Aku takut, Panon”

“Kau bersembunyi saja disini dahulu. Jika mereka mencari kita dan pergi ke tempat ini, aku dan paman Mina lah yang akan melawan mereka, kau diam saja disini”

“Tetapi merela tidak hanya berdua, Panon. Mereka ada lima orang”

“Aku sudah menduga” desis Ki Mina, “Pada suatu saat Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka akan besama-sama berusaha membunuh kita, tetapi jika terpaksa, kita harus bertempur melawan lima orang sekaligus, apaboleh buat”

“Apakah kalian berdua berani melawan lima orang sekaligus?”

“Dalam keadaan seperti sekarang ini, bukan saatnya berani atau tidak berani, tetapi kami sudah tidak mempunyai pilihan lain”

“Aku akan lari saja keluar”

“Jangan, pasti mereka akan mengejarmu dan membunuhmu”

Sangkan termangu-mangu sejenak, namun yang terdengar adalah tarikan nafasnya yang panjang.

Sejenak kemudian Panon berbisik, “Mereka menuju kemari, tiga orang. Ternyata mereka mencari kita dengan berpencar”

“Kita juga betiga” desis Ki Mina, “Sangkan, kau bersembunyi saja disini, sebelum dua orang lain lagi datang, aku dan Panon akan mencoba melawan yang tiga orang ini”

Sangkan tidak menjawab, tetapi ia pun dengan tegang memandang ketiga orang yang semakin lama menjadi semakin dekat, ternyata ketiga orang itu adalah, Kuda Rupaka, Kidang Alit dan seorang kawannya.

“Panji Sura Wilaga dan seorang yang lain agaknya mencari ke halaman depan” desis Panon.

Sangkan bagaikan membeku di tempatnya, yang terdengar hanyalah nafasnya yang seolah-olah berkejaran, sehingga dengan demikian maka Panon dan Ki Mina tidak akan dapat berbuat lain dari pada bertempur melawan tiga orang itu. Karena nafas Sangkan itu tentu didengar oleh ketiga orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

Sejenak Panon dan Ki Mina saling berpandangan, namun demikian, selagi ketiga orang itu belum dekat benar, Panon berkata di telinga Sangkan, “Tenanglah, bersembunyilah saaat aku bertempur. Jika ada kesempatan, berusahalah untuk memasuki istana itu dan bersembunyi di ruang Raden Ayu Kuda Narpada.

Sangkan tidak menjawab, tiba-tiba saja tangan Ki Mina mendekap mulutnya, ketika orang-orang itu semakin dekat.

Tetapi seperti yang mereka duga, Sangkan tidak dapat menahan nafasnya, justru karena hidungnya terganggu oleh tangan Ki Mina, tiba-tiba saja ia mengibaskan tangan ke wajahnya.

Suara yang lembutpun tentu telah terdengar oleh orang-orang yang pendengarannya sangat tajam itu. Apalagi suara desah nafas Sangkan. Sehingga karena itulah, maka ketiga orang itu telah meloncat surut sambil mempersiapkan diri.

Sebelum ketiga orang itu melihat dengan jelas, siapa saja yang berada di balik gerumbul, maka Ki Mina dan Panon telah meloncat keluar dari kegelapan, mereka langsung melangkah mendekat, untuk memancing perhatian ketiga orang yang sedang mendekat, agar mereka tidak sempat melihat Sangkan yang bersembunyi.

Sejenak suasana dicengkam oleh ketegangan, namun kemudian terdengar suara Kidang Alit menggeram, “Nah, akhirnya aku dapat menemukanmu Panon”

“Ya, akupun menyadari bahwa kau pada suatu saat tentu mencari aku bersama dengan Raden Kuda Rupaka”

“Pintar juga kau, tetapi dalam persoalan pusaka yang sama-sama kita cari itu, agaknya tidak ada lagi pertimbangan persahabatan dan belas kasihan. Sekarang aku dan Raden Kuda Rupaka memang datang untuk membunuh kalian berdua, tanpa menimbulkan banyak keributan”

Ki Mina yang menyahut, “Tentu kami tidak keberatan, tetapi sebenarnya kami ingin menawarkan diri untuk melakukan hal yang serupa. Jika sekiranya sekarang dapat dibicarakan, kepada siapapun kami harus berpihak, maka kami dengan senang hati melakukan.

“Gila” teriak Kidang Alit, “Apa maksudmu sebenarnya?”

“Kami menyadari, ada tiga pihak sekarang ini yang saling berebut pusaka, Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan kami berdua. Dua pihak harus bergabung sebelum pihak-pihak itu akan menentukan pemenang terakhir. Sekarang Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit berusaha melenyapkan kami. Tetapi kenapa tidak ada persetujuan lain. Misalnya kami bergabung dengan Raden Kuda Rupaka untuk membunuh Kidang Alit dan kawan-kawannya atau Kidang Alit minta kepada kami untuk bersama-sama membunuh Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga”.

“Gila” geram Kuda Rupaka, “Kau jangan mencoba mempengaruhi kami”

“Tidak harus selalu kami bersama Kidang Alit membunuh Raden, jika Raden kehendaki, kami akan bergabung dengan Raden untuk membunuh Kidang Alit dan kawan-kawannya”

“Diam. Bentak Kidang Alit, “Kau telah mencoba meracuni kami, kau tidak akan dapat berbuat demikian”

“Jangan kau takut Kidang Alit, mungkin lebih baik bagi Raden Kuda Rupaka sekarang ini untuk membunuhmu lebih dahulu dari pada membunuh kami berdua”

“Kidang Alit menjadi tegang, naum tiba-tiba, ia pun tertawa sambil berpaling kepada Kuda Rupaka, “Ternyata kita semuanya adalah orang-orang yang licik seperti yang aku duga. Orang tua ini bagiku jauh lebih licik dari Raden Kuda Rupaka dan aku sendiri”

“Itu pun suatu kelicikan Kidang Alit” sahut Ki Mina, “Tetapi terserah keapda kalian, apa yang akan kalian lakukan”

 

Kidang Alit termangu-mangu, namun kemudian terdengar ia bersuit nyaring.

“O” berkata Ki Mina, “Kau memanggil kawan-kawanmu”

Kidang Alit tidak menjawab, tetapi ia berpaling ke sudut istana yang suram itu.

Dua sosok tubuh telah muncul dari dalam kegelapan, mereka adalah Sura Wilaga dan seorang yang segera dikenali oleh Ki Mina.

“Sekarang aku ingat, orang yang datang bersana Panji Sura Wilaga itu, dia adalah orang yang menyerang istana ini dari belakang tempo hari, dan akupun ingat pula yang seorang itu pula”

Orang yang datang bersama Kidang Alit ternyata tidak dapat melindungi wajahnya dalam kegelapan, ternyata ingatan Ki Mina cukup tajam untuk menjangkau peristiwa yang pernah terjadi dihalaman ini saat-saat orang Guntur Geni menyerang.

“Jangan ingkar” berkata Kidang Alit kepada kedua pengikutnya, “sekarang kita datang lagi untuk membunuh kedua perantau gila ini”

Kedua kawan Kidang Alit menjadi tegang, namun keduanya sama sekali tidak menyahut. namun agaknya mereka telah siap untuk melakukan apa saja yang diperintahkan Kidang Alit.

Dalam pada itu, maka Kidang Alit pun kemudian berkata, “Panon, aku hormati kau karena sikapmu, agaknya kau lebih jantan dari orang tua itu, meskipun demikian, aku tidak mempunyai pilihan lain dari pada membunuhmu”

“Lakukanlah jika kau mampu, bagiku, siapapun juga yang harus aku hadapi, tidak akan ada bedanya, kau atau Raden Kuda Rupaka, atau kedua-duanya”

“Aku sudah mengira bahwa kau akan teguh, kau sama sekali tidak merengek untuk bergabung dengan salah satu dari pihak kami, itulah bedanya antara kau dan Ki Mina”

“Ki Mina hanya ingin menjajagi, ternyata bahwa kalian benar-benar licik dan pengecut. Sekarang cepatlah, apa yang akan kau lakukan. Aku tahu bahwa Raden Kuda Rupaka mempunyai kedudukam khusus disini. Tetapi bagiku kedudukan itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan keselamatan sendiri”

“Persetan, aku sudah mengira bahwa pada suatu saat kau akan menjadi lawan yang harus dimusnahkan”

“Bukan salah kami, Raden. Tetapi jika Raden menghendaki, maka kamipun akan berbuat tanpa ragu-ragu dan tanpa terlampau banyak pertimbangan perasaan”

“Gila, cepat bunuh mereka” teriak Kidang Alit.

Ternyata bahwa kedua pengikut Kidang Alit itu sama sekali tidak menunggu lagi, dengan serta merta mereka pun maju beberapa langkah mendekati Ki Mina.

“Kita akan membunuh orang tua ini, Raden dan Panji Sura Wilaga akan membunuh Panon, kita akan berlomba, siapakah yang akan menyelesaikan tugasnya lebih dahulu.

“Itu tidak Adil” tiba-tiba saja Ki Mina menyahut, “Jika kalian ingin bertanding, beradu kecakapan bermain senjata, seharusnya masing-masing satu lawan satu”

“Persetan” geram Kidang Alit, “Yang penting kali ini kalian matu terbunuh”

Tiba-tiba saja Ki Mina Tertawa, “Disaat-saat terakhir, aku masih sempat menyaksikan lelucon yang bagus sekali. Baiklah, sekarang bunuhlah kami, karena kami telah puas menikmati keyakinan kami, bahwa yang bernama Kidang Alit, Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga sama sekali bukan kesatria-kesatria yang seperti namanya. Tetapi itu tidak perlu kalian hiraukan, itu sekedar usaha kami untuk mati sambil tersenyum melihat kelucuan ini”

“Tutup mulutmu” bentak Kuda Rupaka.

“Tidak ada artinya lagi kau membentak-bentak seperti itu, karena kita sudah berhadapan sebagai lawan” jawab Panon, “Jika hubungan kita tidak seperti sekarang, mungkin aku akan mengerutkan leherku dan merengek minta ampun”

 

“Paman Panji, cepatlah. Marilah kita selesaikan anak gila ini”

Sura Wilaga kemudian mempersiapkan diri. Berpasangan dengan Kuda Rupaka ia bersiap menyerang Panon yang bergeser menjauhi Ki Mina, sementara itu, Ki Minapun telah siap melawan Kidang Alit dan kedua kawannya.

Panji Sura Wilaga bergeser setapak maju, sementara Raden Kuda Rupaka pun telah bersiap pula untuk meloncat dengan serangan mautnya meskipun nampaknya ia belum menarik pedangnya pula.

“Kau gila” geram Sura Wilaga, “Jangankan parang pemotong kayu, sedang pedang yang paling keramatpun tidak akan mampu berbenturan dengan pedangku”

“Jika demikian, sudah benarlah aku, mempergunakan parang ini, karena akibatnya akan sama saja jika aku mempergunakan senjata, yang lebih baik”

“Gila” Sura Wilaga benar-benar telah terhina. Karena itu maka tiba-tiba saja ia pun meloncat menyerang dengan garangnya.

Namun Panon masih sempat mengelak, meskipun kemudian ia harus meloncat mundur dengan cepat, karena Kuda Rupakapun telah menyerangnya pula.

Panon menjadi berdebar-debar, jika ia harus bertempur melawan salah seorang dari keduanya, mungkin ia tidak akan cemas. Tetapi melawan kedua orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Bukan sekedar takut mati. Namun itu akan berarti bahwa ia hanya dapat melakukan tugas yang dibebankan oleh gurunya sampai saat kematian menerkamnya. Apalagi jika ia mengingat Ki Mina yang kehadirannya semata-mata karena mengikutinya. Jika orang tua itu pun harus menjadi korban, maka ia adalah penyebabnya.

Tetapi Panon tidak dapat berangan-angan lebih lama, dengan segenap kemampuannya ia pun melakukan perlawanan kecepatannya bergerak telah menolongnya, melepaskan diri dari serangan-serangan yang datang beruntun.

Demikian pula, sesaat kemudian Kidang Alit pun telah menyerang Ki Mina bersama seorang kawannya, sementara kawan yang lain nampak ragu-ragu untuk terjun ke dalam gelanggang pertempuran.

“Jangan kau ikut menyerang” teriak Kidang Alit, “Pergilah, kami berdua akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Dengan demikian maka yang terjadi akan cukup adil untuk berlomba”

Dalam pada itu perkelahian di kedua lingkaran itu pun semakin lama semakin sengit. Masing-masing memiliki ilmu yang meyakinkan, ternyata bahwa Panon yang muda dan belum berpengalaman itu sama sekali tidak mengecawakan. Meskipun serangan datang beruntun seperti mengalirnya air di sungai yang sedang banjir, namun Panon massih sempat mengelakkan diri dari ujung senjata.

Latihan-latihan berat yang pernah dilakukannya, ternyata harus diperasnya. Kini ia tidak sekedar menghadapi semburan air yang dilontarkan oleh gurunya agar tidak terpercik dan menjadi basah. Tetapi kini yang dihadapi adalah ujung-ujung senjata yang dapat melubangi dadanya.

Panon tidak dapat berbuat lain, kecuali mempergunakan senjata yang paling dikuasainya, pisau-pisau kecilnya. Meskipun dengan agak ragu-ragu namun setiap kali ia terdesak dan seolah-olah kehilangan kesempatan, maka ia masih dapat membebaskan dirinya dari kepungan kedua orang lawannya dengan lontaran pisaunya.

Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya pun tidak terlampau mudah untuk di kenainya. Lontaran-lontaran pisaunya sama sekali tidak dapat langsung mengenai lawannya yang dapat menghindar selincah burung sikatan. Sehingga karena itu, ia pun justru menghemat pisau-pisunya agar ia tidak kehabisan dan tidak sempat mempergunakannya lagi untuk membebaskan diri pada saat-saat yang paling gawat.

Dalam pada itu, selagi keempat orang itu bertempur dengan serunya melawan dua orang perantau yang ternyata masih mampu bertahan itu, salah satu kawan Kidang Alit pun dengan diam-diam meninggalkan arena. Seperti yang dipesankan oleh Kidang Alit sebenarnyalah bahwa ia mempunyai tugas tersendiri.

Sesaat Bramadara termangu-mangu, dari kejauhan ia melihat arena perkelahian yang seru. Namun sebagai seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas, ia pun tersenyum sambil berkata kepada diri sendiri, “Tidak sampai fajar, maka kedua perantau itu akan terkapar, dan aku harus segera menyelesaikan tugasku sebaik-baiknya”

Ia pun kemudian berlari memasuki ruang dalam istana, ia mendapat tugas untuk membangunkan Raden Ayu dan memaksanya untuk mengatakan, dimanakah pusaka yang sedang diperebutkan itu disimpan.

Terngiang di telinganya pesan Kidang Alit, “Kau harus dapat memeras pengakuan itu. Terserah cara yang kau akan pilih, kau dapat berbuat lebih banyak lagi dari Raden Ayu. Karena Raden Kuda Rupaka justru masih terikat oleh hubungan keluarga yang ada diantara mereka, sehingga perasaan hormat dan segan masih menahannya untuk melakukan tindakan yang lebih keras”

Bramadara tersenyum, kepada diri sendiri ia berkata, “Apapun yang aku kehendaki dapat aku lakukan, jika dengan segala cara Raden Ayu masih juga tidak mau mengatakan, aku akan dapat memperalat puteri Inten Prawesti yanga cantik itu, Kidang Alit sudah mengatakan kepadaku segala cara dapat aku tempuh. Aku dapat juga merampas gadis itu. Raden Ayu tetap berkeras kepala?”

Bramadara kemudian dengan tergesa-gesa memasuki bagian tengan yang menghadap bilik Raden Ayu Kuda Narpada.”Semua berkumpul di dalam bilik itu” desis Bramadara sambil tersenyum. Bahkan ia berharap, agar Raden Ayu tetap tidak mau mengatakan sesuatu tentang pusaka itu meskipun ua menyakitinya, agar ia mempunyai alasan untuk mempergunakan Inten Prawesti sebagai alat memeras keterangan Raden Ayu.

“Hanya orang gila yang mengorbankan anaknya untuk sesuatu betapapun tinggi nilainya”

Beberapa saat ia termangu-mangu di depan pintu bilik. Ia yakin bahwa semua orang yang ada di dalam bilik itu tentu sudah tertidur, karena kekuatan sirep Kidang Alit yang kuat.

Ia mencoba mendorong pintu, ternyata pintu itu diselarak dari dalam.

“Apaboleh buat” katanya, “Meskipun mungkin suaranya memang dapat membangunkannya. Tetapi selagi kekuatan sirep masih kuat mereka tidak akan segera sadar sepenuhnya apa yang sedang terjadi”

Bramadara membuat pertimbangan lain. Dengan pundaknya ia mendorong pintu itu. Ia tersenyum ketika ia mendengar selarak pintu itu mulai retak dan bahkan kemudian patah.

Terdengar selarak pintu berderak patah dan jatuh di lantai, untuk beberapa saat. Bramadara menunggu. Ternyata tidak ada seorangpun yang terbangun, ruangan itu masih tetap sepi, yang terdengar hanyalah tarikan nafas yang teratur.

Terdengar selarak pintu berderak patah dan jatuh di lantai, untuk beberapa saat. Bramadara menunggu. Ternyata tidak ada seorang pun yang terbangun, ruangan itu masih tetap sepi, yang terdengar hanyalah tarikan nafas yang teratur.

“Sirep itu memang sangat kuat, namun dengan demikian akan sangat sulit bagiku untuk membangunkan Raden Ayu dan Puteri Inten Prawesti” gumam Bramadara. Namun demikian, ia pun mempunyai kekuatan yang akan dapat dipergunakan untuk mengembalikan kesadaran Raden Ayu yang masih dipengaruhi sirep yang kuat itu.

Ketika pintu kemudian terbuka, Bramadara melihat Raden Ayu masih terbaring di pembaringannya. Disebelahnya terbujur puteri Inten Prawesti, sedangkan di bawah yang beralaskan tikar pandan terbaring seorang pelayan dan anaknya yang bernama Pinten.

“Aku harus membangunkannya” desis Bramadara.

Perlahan-lahan ia melangkah memasuki bilik itu. Tiba-tiba saja menjadi kagum memandang wajah puteri Inten yang sedang tidur lelap itu, jantungnya menjadi berdebar-debar pula ketika ia melihat wajah yang lain lagi, wajah yang cerah meskipun ia hanya anak seorang pelayan.

“Wajahnya bening seperti air yang memancar dari sumbernya yang jernih” berkata Bramadara, hampir di luar sadarnya ia melangkah mendekati Pinten yang tidur menelentang. Nafasnya yang teratur telah mengerakkan dadanya dengan teratur pula.

Bramadara menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tetap sadar akan tugasnya, sehingga karena itulah, maka, ia pun kemudian membangunkan Raden Ayu yang masih terpengaruh oleh sirep.

Bramadara kemudian memegang pergelangan perempuan itu sejenak. perlahan-lahan terasa sesuatu mengalir pada pergelangan itu, sehingga akhirnya Raden Ayu mulai bergerak.

Sebelum perempuan itu terbangun dan sadar sepenuhnya, maka Bramadara pun berbuat serupa atas Inten Prawesti. Namun ketika Bramadara menggenggam pergelangan tangan gadis itu, terasa tangannya sendiri memang agak gemetar.

Sejenak kemudian kedua perempuan itu mulai bergerak. Perlahan-lahan Bramadara mengguncang tubuh keduanya, sehingga akhirnya Raden Ayu dan Inten tersadar.

Keduanya terkejut bukan kepalang ketika keduanya melihat seorang laki-laki telah berada di bilik itu dan berdiri disisi pembaringannya.

“Siapa kau?” bertanya Raden Ayu yang serta merta meloncat bangkit.

“Maaf Raden Ayu” jawab Bramadara, “Aku adalah seseorang yang kurang trapasila dan sopan santun, tetapi aku terpaksa harus melakukannya pada saat yang gawat ini”

Raden Ayu menjadi semakin bingung dan cemas, apalagi sikap orang itu nampaknya benar-benar mencurigakan.

“Raden Ayu” berkata Bramadara, “Sebenarnya keadaan sudah tidak akan dapat teratasi lagi jika kita tidak segera mengambil sikap”

“Apa yang terjadi?” bertanya Raden Ayu.

“Diluar telah terjadi pertempuran, Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit sedang berusaha membunuh Panon dan Ki Mina”

“He..!!” wajah Raden Ayu dan Inten menjadi tegang, “Kenapa angger Kuda Rupaka dan Kidang Alit ingin membunuh Panon dan Ki Mina?, dan siapakah kau sebenarnya?”

“Disekitar istana ini benar-benar telah menjadi sarang orang-orang yang tidak dikenal dan tidak bertanggung jawab. Pembunuhan yang bakal terjadi itu pun sebenarnya didorong oleh nafsu untuk memiliki pusaka Pangeran Kuda Narpada yang tersimpan di istana ini”

“Siapa kau” desak Raden Ayu.

“Itu tidak penting, tetapi Raden Ayu harus segera menyelamatkan diri. Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit ingin membubuh Panon dan Ki Mina diluar sepengatahuan Raden Ayu, karena dengan demikian Raden Ayu tidak akan dapat menentukan sikap. Pada saatnya mereka tentu akan berbuat lebih jauh lagi atas Raden Ayu sendiri”

“Kau belum mengatakan, siapakah kau sebenarnya”

“Itu tidak perlu, sekarang marilah, aku ingin menyelamatkan Raden Ayu dan Puteri. justru saat perkelahian itu sedang berlangsung”

Raden Ayu termangu-mangu, sementara itu Inten Prawesti mendekap ibunya dengan cemas.

“Raden Ayu, marilah. Bukankah Raden Ayu mendengar suara hiruk pikuk perkelahian itu?”

Sejenak kedua puteri itu mencoba mendengarkan, dan merekapun ternyata dapat mendengar keributan di halaman belakang sehingga keduanyapun kemudian yakin, bahwa memang ada perkelahian disana.

“Nah, bukankah aku tidak berbohong?”

“Lalu apa maksudmu?”

“Kita pergi sekarang, Raden Ayu harus menyelamatkan pusaka itu, seharusnya Raden tidak terlampau percaya kepada Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit”

“Aku tidak mempercayainya, lebih-lebih Kidang Alit”

“Juga kepada pengemis yang lebih menjual belas kasihan itu untuk mendapat kesempatan berada di dalam istana ini”

Raden Ayu terdiam.

“Sekarang. Cepatlah puteri, tidak ada waktu lagi, sebentar lagi Panon dan Ki Mina akan terbunuh dan pertempuran berikutnya akan terjadi antara Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit, sementara itu, Raden Ayu harus menyelamatkan pusaka itu”

Raden Ayu termangu-mangu sejenak, sementara Inten menjadi semakin ketakutan, katanya kemudian dengan suara gemetar, “Ibunda, apakah tidak sebaiknya kita menyingkirkan diri dari kekalutan ini?”

“Kemana kita akan menyingkir, Inten?, dimanapun juga, kita akan mengalami hal yang sama”

“Tidak Raden Ayu” sahut Bramadara, “Masih ada kesempatan, aku akan berusaha melindungi Raden Ayu”

“Marilah Ibunda” ajak Inten.

“Tetapi” berkata Raden Ayu, “Aku sama sekali tidak mempunyai pusaka apapun yang harus diselamatkan”

“Ah, aku berbangga atas kesetiaan Raden Ayu terhadap pesan Pangeran Kuda Narpada. Tetapi Raden Ayu pun harus bijaksana, jusutru karena keselamatan pusaka itulah, maka Raden Ayu sekarang harus bertindak cepat, menyingkirkan pusaka itu dari istana ini. Mungkin ke tempat yang tersembunyi”

Tetapi Raden Ayu menggeleng, katanya, “Memang ingin menyelamatkan diri, tetapi aku tidak dapat membawa apapun juga, apalagi pusaka seperti yang kau katakan”

“Ah, Raden Ayu harus mempergunakan nalar dan pikiran yang sehat, bukan sekedar perasaan semata”

“Aku sudah mencoba, tetapi apa yang dapat aku lakukan jika aku benar-benar tidak mengetahui apapun juga tentang pusaka itu?”

“Ibunda?” desis Inten Prawesti.

Ibundanya membelai rambut anak gadisnya yang sedang ketakutan. Apa lagi ketika ia melihat Bramadara melangkah setapak mendekati sambil menggeram, “Raden Ayu, kesabaran seseorang ada batasnya, aku sudah mencoba menyabarkan diri. Tetapi pada dasarnya aku bukan orang yang dapat bersabar hati terus menerus. Karena itu cepatlah, lakukanlah perintahku. Apakah itu termasuk suatu kebijaksanaan atau tidak, aku tidak peduli, karena jika Raden Ayu tidak mau menunjukkan pusaka-pusaka itu, maka puteri Inten Prawesti akan menjadi korban”

“Ibunda”

“Aku tidak akan membunuhnya Raden Ayu” berkata Bramadara seterusnya, “Tetapi aku dapat melekatkan noda kepadanya untuk sepanjang hidupnya”

“Ah” desis Raden Ayu, “Kau jangan mengikut sertakan anakku dalam hal ini”

“Tentu, ia seorang gadis yang cantik, lembut dan menarik” tiba-tiba saja Bramadara tertawa berkepanjangan, memenuhi bilik itu.

Terasa tengkuk kedua orang wanita itu meremang. Terlebih-lebih lagi Inten, ia semakin memeluk erat ibundanya.

“Nah Raden Ayu, waktuku hanya sedikit. Terserah kepada Raden Ayu, apakah aku akan mendapatkan pusaka itu, atau puteri Inten Prawesti”

“Ki Sanak” berkata Raden Ayu, “Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa kau datang untuk menolong kami menyelamatkan pusaka yang kau sebut-sebut. Ternyata bahwa kau benar tidak ingin menyelamatkan kami, selain untuk memaksaku menunjukkan pusaka itu kepadamu. Sebenarnyalah bahwa tanpa paksaan apapun juga, aku tentu akan memberikannya kepada orang yang pertama kali datang memintanya, seandainya aku mengetahui tentang pusaka-pusaka tersebut. Aku juga tidak mau mengalami kesulitan seperti ini. Tetapi sebenarnyalah aku tidak mengetahuinya”

Wajah Bramadara menjadi tegang, lalu katanya, “Raden Ayu yang keras kepala, aku dapat menyakitimu.

Memperlakukan Raden Ayu seperti melakukan seekor kuda atau seekor lembu di depan sebuah pedati. Tetapi aku dapat memperlakukanmu dengan cara yang lain. Mungkin dengan merenggut kuntum bunga yang barangkali kau sayangi lebih dari jiwamu sendiri. Aku akan merenggutnya, mengambil madunya dan kemudian mencampakkannya seperti sampah”

“Tidak” teriak Inten.

Bramadara tertawa, katanya, “Ibundamu senang sekali melihat kau ketakutan dan menggigil. Tetapi jangan takut puteri, sudah masanya kau mengenal sentuhan seorang laki-laki”

“Tidak, tidak”

Wajah Raden Ayu menjadi tegang, jantungnya berdegup semakin keras, agaknya sesuatu sedang terjadi di dalam dirinya, pertentangan yang tidak akan dapat teratasi.

“Cepat, aku akan mengambil anak gadismu dan kemudian membunuhmu disini. Aku dapat melemparkan gadismu kedalam sarang kawan-kawanku yang garang dan buas. Kau dapat membayangkan akibatnya”

Nafas Raden Ayu menjadi pepat. Dipeluknya Inten dengan air mata yang menitik satu-satu.

“Jangan kau tangisi anakmu. Hanya ada dua pilihan. Menyerahkan pusaka itu, atau melepaskan anakmu jatuh di tanganku dan kawan-kawanku. Kau tidak dapat menahannya, sebab jika perlu aku akan membunuhmu setelah kau menyaksikan penderitaan yang dialami oleh anak gadismu”

“Tidak, tidak” suara Inten Prawesti gemetar.

Bramadara tertawa, katanya, “Aku tidak akan membunuhmu, entah kawanku setelah kau berada ditangan mereka”

Wajah Inten pucat pasi, tiba-tiba saja ditatapnya patrem kecil yang melekat pada dinding.

Sejenak Inten termangu-mangu, namun kengerian yang sangat telah melanda hatinya jika ia membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya dan patrem yang tergantung di dinding itu akan dapat membantunya mengakhiri segalanya.

Namun keragu-raguan masih membelit hatinya. Betapapun kecilnya, ia pun sebenarnya masih mengharap bahwa ibundanya akan mengatakan kepada orang itu sesuatu tentang pusaka yang mereka cari.

“Cepat” Bramadara membentak dengan garangnya, seolah-olah seperti kepada pelayannya yang malas, “Tunjukkan pusaka itu atau aku seret anakmu sekarang”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang dan dipeluknya puterinya semakin erat.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja Inten meronta, ketika tangan ibunya terlepas, maka ia pun segera bangkit dan berlari ke dinding. Ia sudah dapat mengambil keputusan, bahwa jalan yang paling baik baginya untuk melepaskan diri adalah kematian. Dan patrem kecil itu akan dapat dipergunakannya untuk menusuk dadanya.

Yang dilakukan oleh Inten benar-benar telah mengejutkan ibunya dan juga Bramadara. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Inten akan melakukan hal itu. Bahkan mereka untuk beberapa saat tidak menyadari apa yang dilakukan oleh Inten. Baru ketika mereka melihat patrem itu, merekapun sadar, bahwa Inten telah bertekad untuk melakukan bunuh diri.

“Inten” Ibundanya berteriak

Bramadara dengan tangkas mencoba untuk mendahului menuju patrem itu, namun ia masih tertinggal beberapa langkah.

Meskipun demikian, Bramadara mengejar Inten juga, ia tidak akan membiarkan gadis itu membunuh diri, karena ia akan mempergunakannya untuk memeras Raden Ayu.

Namun dalam pada itu, diluar sadarnya, kaki Bramadara telah terantuk dengan kaki kaki Pinten yang sedang menggeliat, sehingga Bramadara menjadi terhuyung-huyung karenanya. Hampir saja ia jatuh terlungkup, namun ia sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga ia pun kemudian mampu berdiri tegak.

Tetapi pada saat itu Inten telah menggenggam hulu patrem itu sambil berkata, “Laki-laki yang tidak tahu adat, jika kau maju selangkah, aku akan membunuh diri, ibundaku tidak mengetahui pusaka yang kau cari, tetapi kau akan memakai dalih untuk melakukan perbuatan terkutuk itu atasku”

Sejanak Bramadara termangu-mangu, namun kemudian ia tertawa sambil berkata, “Puteri, alangkah buruknya mati dengan membunuh diri, ternyata puteri pun sudah disentuh oleh perasaan ragu-ragu, jika puteri ingin membunuh diri, puteri tidak akan mempertimbangkan dan menunggu sampai aku datang mangganggu puteri. sebenarnyalah mati dengan membunuh diri adalah kematian yang paling hina atas diri seseorang. Dan membunuh orang lain adalah perbuatan yang terkutuk jika tidak berlandaskan alasan yang mapan. Apalagi membunuh diri hanya karena putus asa, “

Inten menjadi semakin tegang.

Bramadara masih tertawa, sambil melangkah maju ia berkata, “Puteri, berikanlah patrem itu kepadaku, aku akan memperlaku-kan kau lain dari yang aku katakan. Sebenarnyalah bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti ibundamu, agar ibundamu sudi mengatakan pusaka itu. Aku terpaksa mengambil cara itu sekedar untuk membantu Demak, menyelamatkan pusaka itu, apabila jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, akibatnya akan pahit sekali”.

Inten berdiri membeku, namun ketika Bramadara maju selangkah lagi, Intenpun surut selangkah, bahkan kemudian ia pun melingkari Nyi Upih dan Pinten yang masih berbaring.

“Puteri, jangan menuruti kata hati. Aku tidak berkata bersungguh-sungguh” lalu ia pun berpaling kepada Raden Ayu, “Aku mohon ampun, aku tidak mempunyai cara lain yang lebih baik untuk menyelamatkan Raden Ayu dan pusaka itu dari pada dengan menakut-nakuti meskipun aku sadar bahwa dengan demikian namaku akan cemar, mungkin aku akan disejajarkan dengan Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit, Panon dan siapa lagi yang diselubungi nafsu. Namun aku benar-benar tidak mempunyai cara lain, jika aku sekedar harus mengorbankan namaku bagi keselamatan pusaka itu dan Raden Ayu beserta puteri, maka hal itu bukanlah pengorbanan yang berarti dibandingkan dengan nilai penyelamatannya.”

Raden Ayu termangu-mangu sejenak, dipandanginya Inten yang tegang, bahkan tangannya masih tetap berpegangan pada hulu patrem.

“Puteri, berikan patrem itu kepadaku, sebenarnya aku tidak ingin berbuat apa-apa, hanya menakut-nakuti saja, jika tanpa menakut-nakuti aku berhasil menyelamatkan pusaka itu, maka akupun tidak akan melakukannya.

Yang menjadi bingung adalah Raden Ayu, ia sadar sepenuhnya, bahwa orang itu sama sekali tidak dapat dipercayainya, jika Inten benar-benar menyerahkan patremnya, maka itu berarti bahwa Inten akan jatuh ditangan laki-laki yang licik itu. Tetapi jika ia mencegahnya, maka Inten akan salah mengerti dan menganggap bahwa ia menyetujui niat Inten untuk membunuh diri.

Dalam keragu-raguan itu terdengar suara Bramadara, “Cepatlah puteri, cobalah menyadari bahwa keadaan menjadi semakin gawat. Kita tidak boleh sekedar bermain-main dengan perasaan kita saja sekarang ini, tetapi kita harus mempergunakan nalar kita sepenuhnya”

Karena Inten masih tetap tidak menyerahkan patremnya, Bramadara pun menarik nafas sambil berkata, “Terserahlah puteri, apalagi jika memang Raden Ayu sependapat pula”

“Tidak” pekik Raden Ayu, “Aku tidak akan membiarkan anak gadisku membunuh diri, tetapi akupun tidak dapat membiarkannya jatuh ketanganmu”

Bramadara seolah-olah kehabisan kesabaran, pertempuran diluar terdengar semakin seru meskipun Bramadara hanya mengetahui dari suara desir kaki mereka. Tetapi telinganya memang cukup tajam untuk dapat menangkap dan kemudian membayangkan apa yang sedang terjadi.

Tetapi tiba-tiba saja, Bramadara mengerutkan keningnya, ia mendengar sesuatu yang agak aneh pada pertempuran itu. Rasa-rasanya menurut keadaan saat ia meninggalkan mereka, hanya ada dua lingkaran perkelahian. Panon dan Ki Mina masing-masing harus melawan dua orang sekaligus. Tetapi kini agaknya ia mendengar tiga lingkaran pertempuran yang terpisah.

“Apakah telingaku tidak mampu lagi menangkap kejadian diluar dinding istana ini?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun dalam pada itu, pertempuran diluar agaknya memang sudah berkembang.

“Tidak mungkin” katanya kepada diri sendiri, “Apakah telah hadir orang-orang Guntur Geni atau orang lain yang tidak aku ketahui sama sekali”

Dalam kebimbangan itu, maka tiba-tiba saja tingkah lakunya menjadi semakin berbeda. Dengan wajah yang garang ia berkata, “Aku tidak mempunyai banyak waktu, perkelahian diluar nampaknya berkembang tanpa aku ketahui. Sekarang, cepat katakan. Dimana pusaka itu, aku tidak sempat menghiraukan tingkah laku puteri yang menjadi gila itu. Ingat, aku dapat berbuat apapun juga atas Raden Ayu yang juga seorang perempuan”

Ruangan itu benar-benar menjadi tegang, baik Raden Ayu maupun Inten menyadari sepenuhnya bahwa laki-laki itu benar-benar telah diamuk oleh kegelisahan sehingga ia benar-benar akan segera melakukan tindakan-tindakan yang kasar.

Dalam pada itu sejenak setiap perhatian tertuju kepada Raden Ayu, bahkan Inten memandang ibundanya dengan cemas.

Namun agaknya Bramadara berusaha untuk memanfaatkan keadaan itu, ia melihat sekilas betapa Inten berdiri tegang memandang ibundanya, sehingga ia menjadi lengah tentang diri sendiri.

Bramadara adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu yang tinggi, karena itu meskipun Inten berada disebelah Pinten dan Nyi Upih yang tidur di lantai. Ia yakin bahwa dengan satu lompatan ia akan berhasil menguasai patrem di tangan gadis itu, sekaligus menangkapnya.

Sejenak Bramadara mempersiapkan diri, meskipun nampaknya bagi mata kebanyakan orang perhatiannya tertuju kepada Raden Ayu, naun ia benar-benar sudah siap untuk meloncati dua sosok tubuh yang terbaring itu dan langsung menangkap Inten.

Suasana bilik itu menjadi kian tegang, dan dengan tiba-tiba saja Bramadara melaksanakan rencananya itu. Seolah-olah tanpa ancang-ancang sama sekali, kakinya telah melontarkan tubuhnya kearah puteri Inten Prawesti.

Tetapi terjadi pula sesuatu yang tidak disangka-sangka, tiba-tiba saja Pinten bergerak, kakinya terangkat pada lututnya sambil mengeliat.

Bramadara yang tegang, sama sekali tidak memperhitungkan hal yang terjadi itu. Itulah sebabnya, sekali lagi kakinya terantuk kaki Pinten. Sehingga ia pun benar-benar telah kehilangan keseimbangan karena dorongan kekuatannya sendiri dan ketergesa-gesaannya.

Untunglah bahwa dengan tangannya yang bertahan pada dinding yang dilanggarnya, laki-laki itu tidak jatuh terlungkup, meskipun ia tidak berhasil langsung menangkap tangan Inten yang masih mendapat kesempatan untuk berlari kepada ibundanya.

“Gila” teriak Bramadara yang menjadi marah bukan buatan. Sambil memandang kedua perempuan yang sedang berpelukan. “Tidak ada jalan lain, setiap orang di dalam bilik ini akan aku binasakan dengan caraku. Aku akan membawa kalian ke sarangku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas kalian. Yang muda-muda dan yang tua-tua”

Raden Ayu dan Inten benar telah kehilangan kesempatan selain ujung patrem itu. Tidak ada jalan lain yang lebih baik dari kematian untuk menghidarkan diri dari keganasan dan kebuasan laki-laki yang tidak mereka kenal itu.

Meksipun kedua perempuan yang sedang berpelukan itu tidak saling berjanji, namun tekad mereka sudah sama. Mereka akan membunuh diri jika laki-laki itu memaksa mereka untuk menunjukkan pusaka yang dicarinya atau menangkap mereka untuk dibawa ke sarangnya.

Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang memuncak, tiba-tiba saja Pinten menggeliat sambil menguap. Telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka, sedang matanya pun mulai berkeredip.

Tetapi tiba-tiba saja ia bangkit ketika ia melihat ada seorang laki-laki asing di bilik itu.

Bramadara mengerutkan keningnya, wajah gadis itu memang cantik meskipun dengan sifat dan watak yang berbeda dengan kecantikan Inten Prawesti.

Tetapi kemarahan, kecemasan dan juga ketergesagesaan, telah membuatnya tidak sempat berbuat sesuatu selain membentak sekali lagi, “Aku tidak punya waktu lagi. Jika kalian tetap berkeras kepala, aku tidak punya pilihan lain”

Raden Ayu dan Inten sadar, bahwa laki-laki itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Karena itulah maka rasa-rasanya tangan Inten yang memegang patrem sudah siap untuk diayunkan kedadanya sendiri.

Tetapi sekali lagi perhatian mereka terampas oleh sikap Pinten yang seolah-olah tidak mengerti apa yang telah terjadi. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Raden Ayu, “Ampun Raden Ayu, siapakah laki-laki itu, apakah Raden Ayu mengenalnya?”

Pertanyaan itu membuat Bramadara semakin marah, dengan suara yang gemetar ia menjawab, “Tidak patut kau bertanya lagi, tunggulah apa yang akan terjadi atas dirimu”

Bramadara sudah siap meloncat dan menerkam Raden Ayu dan Inten sambil memperhitungkan patrem di tangan gadis itu, namun tubuhnya tertahan ketika ia mendengar Pinten tertawa kecil sambil berkata, “Lucu sekali, He…! Kenapa kau memasuki bilik ini?. Nampaknya Raden Ayu dan Puteri juga tidak menengalmu. Tetapi entahlah jika biyung kalau sudah terbangun”

Bramadara tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tiba-tiba saja tangannya terayun kewajah Pinten. Tetapi saat yang bersamaan, Pinten berjongkok sambil berkata, “Aku akan membangunkan biyung”

Benar-benar diluar dugaan, tangan Bramadara tidak menyentuh wajah gadis itu sama sekali. Bahkan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu Pinten mengguncang Nyi Upih sambil berkata, “Biyung, bangunlah, apakah kau mengenal laki-laki ini?”

Bramadara mengayunkan tangannya ke kepala gadis itu yang sedang berjongkok. Tetapi sekali lagi tangannya tidak menyentuhnya, karena Pinten dengan cepatnya bergeser kesamping sambil berkata, “Jangan terlampau kasar Ki Sanak, sentuhan tanganmu dapat membuat kepala menjadi pusing”

Bramadara terkejut bukan kepalang, kali ini tentu bukan suatu kebetulan, karena itu, maka untuk sesaat Bramadara justru bagaikan membeku di tempatnya memandang Pinten yang kemudian bangkit berdiri.

“Ki Sanak” berkata Pinten, “Apakah yang sebenarnya kau lakukan disini?, apakah kau ingin mencuri atau ingin memaksakan sesuatu kepada Raden Ayu seperti orang-orang lain yang menjadi gila karena bayangan mereka terhadap pusaka yang mereka sangka ada disini?”

“Cukup” bentak Bramadara, “Jangan membikin aku menjadi semakin marah, aku dapat membunuhmu paling awal jika kau berkeras kepala”

Benar-benar tidak disangka bahwa, Pinten justru tertawa, katanya, “Kau tidak pantas berbuat seperti yang kau lakukan seperti sekarang ini”

“Gila, apakah kau sudah kepanjingan iblis, He..!!, perempuan dungu. Apakah kau sangka aku sedang bergurau sekarang ini?”

“Tidak, aku melihat kesungguhan pada wajahmu yang bagaikan membara”

“Apakah kau tidak sadar, bahwa dengan sekali ayunan tangan kau dapat terbunuh”

“Aku sadar, tetapi kau tidak akan mampu melakukannya”

Hati Bramadara benar-benar bagaikan menyala. Sekali lagi hampir diluar sadarnya tangannya terayun ke wajah Pinten. Tetapi sekali lagi gadis itu dapat mengelak, sehingga tangan Bramadara sama sekali tidak menyentuhnya.

Peristiwa itu benar-benar mencengkam hati Raden Ayu dan Inten, keduanya seolah-olah menghadapi suatu peristiwa yang tidak dapat mengerti. Pinten anak Nyi Upih yang nakal dan kemanja-manjaan itu, tiba-tiba saja telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Gadis itu nampaknya dengan tabah menghadapi laki-laki yang sedang marah itu.

Bahkan hampir diluar sadarnya Inten berdesis, “Pinten, berhati-hatilah”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 9

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 07

ISTANA YANG SURAM

Jilid 7

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-07PARAN SANGIT tidak menjawab, tetapi ia benar-benar menjadi cemas melihat Panji Sura Wilaga yang sudah kehilangan lawannya dan sudah bersiap-siap untuk membantu Kuda Rupaka.

Sejenak Paran Sangit menimbang-nimbang, ia akan dapat mengalahkan Kuda Rupaka yang sudah menjadi semakin terdesak, tetapi untuk melawan dua orang sekaligus, ia masih harus berpikir masak-masak, sedangkan seorang kawannya masih harus mempertahankan dirinya dari desakan Kidang Alit yang juga ternyata memiliki kemampuan yang tinggi.

Karena itu, maka Kiai Paran Sangit itu harus segera menemukan jalan keluar dari kesulitan yang sudah mulai membayang.

Sementara itu, Panon dengan tergesa-gesa berlari masuk ke ruang dalam, ia tidak ragu-ragu lagi untuk memasuki pintu dalam yang selama ia berada di istana itu, belum pernah terbuka baginya, Karena ia hanyalah seorang pengembara. Tetapi dalam keadaan yang gawat, ia tidak lagi teringat tentang dirinya sendiri.

Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia melihat sesosok mayat yang berbaring di muka pintu bilik Raden Ayu Kuda Narpada, sedangkan di dalam bilik itu dilihatnya Raden Ayu Kuda Narpada yang ketakutan memeluk puterinya Inten Prawesti. Sedangkan Nyi Upihpun telah memeluk anak gadisnya yang pucat pula.

Sejenak Panon termangu-mangu, ia tidak melihat darah yang memerah di lantai, dan ia tidak melihat luka pada tubuh mayat dari orang Guntur Geni itu.

“Kenapa ia bisa mati?” bertanya Panon diluar sadarnya.

Perempuan-perempuan yang ketakutan di dalam bilik itu sama sekali tidak menjawab.

Dalam pada itu, Panon pun teringat ketika ia mendengar langkah-langkah perkelahian di belakang istana itu, segera ia ingat kepada Kiai Mina, agaknya Ki Mina harus bertempur pula di bagian belakang.

“Ternyata istana ini telah benar-benar terkepung“ Gumam Panon, “Dibelakang pun ada beberapa orang yang nampaknya juga termasuk orang-orang Guntur Geni.”

Setelah yakin bahwa orang-orang yang terbaring itu tidak bernafas lagi, maka Panon pun segera meninggalkan bilik itu dan menghambur ke serambi belakang.

Seperti yang diduganya, di halaman yang gelap, Ki Mina sedang bertempur melawan dua orang lawan yang ternyata cukup kuat, dalam waktu yang pendek, Panon segera mengetahui, bahwa Ki Mina telah terdesak dan bahkan sudah membahayakan keselamatannya, karena itulah maka Panon tidak berpikir panjang lagi, dengan serta merta ia pun langsung terjun ke gelanggang yang sengit itu.

“Maaf Ki Mina, aku akan ikut serta dalam permainan ini”

“Bagaimana dengan perkelahian di halaman depan?”

“Mereka akan segera tertumpas. Beberapa orang telah terbunuh, mudah-mudahan akan segera berakhir meskipun masih cukup membingungkan”

Ki Mina tidak menjawab lagi, serangan kedua orang lawannya justru datang beruntun dengan dahsyatnya, sehingga ia terpaksa meloncat surut sejauh-jauhnya.

Tetapi lawannya tidak mau melepaskannya, justru mereka dengan gigi yang gemeretak karena serangan mereka yang masih saja dapat dielakkan.

Panon tidak dapat menunggu lebih lama lagi sambil berbicara saja, tiba-tiba ia pun meloncat untuk menyelamatkan Ki Mina pada keadaan yang paling sulit itu, maka Panon pun dengan sengitnya justru telah mulai menyerang salah seorang lawan Ki Mina itu.

Dengan demikian, maka perhatian lawan Ki Mina telah terpecah, masing-masing kemudian harus menghadapi seorang lawan, sehingga dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah.

Ki Mina segera dapat memperbaiki keadaannya, apalagi lawannya bukanlah seorang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka justru Ki Mina lah yang berhasil mendesak lawannya.

Demikian juga keadaan Panon yang bertempur melawan seorang lawannya, tidak banyak kesulitan yang dialaminya, seperti saat ia bertempur melawan salah seorang murid dari Guntur Geni di halaman depan.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa keduanya dengan serta merta dapat mengalahkan lawannya, jika mereka melakukan kesalahan, maka yang akan terjadi justru sebaliknya, karena mereka masing-masing bukanlah orang kebanyakan pula.

Dalam pada itu, yang bertempur di halaman belakang itu terkejut ketika mendengar isyarat di halaman depan. Sebuah siulan pendek, tidak begitu nyata, tetapi telinga yang tajam akan segera mendengarnya.

Ternyata Kiai Paran Sangit telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang masih hidup. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mempertahankan diri, maka ia pun segera mengambil keputusan untuk melarikan diri.

Agaknya Kiai Paran Sangit telah mengambil keputusan tepat pada waktunya, demikian Panji Sura Wilaga menempatkan dirinya disamping Kuda Rupaka, maka Kiai Para Sangit telah meloncat meninggalkan gelanggang.

Demikian juga seorang kawannya, meskipun ia tidak dapat mengalahkan Kidang Alit, namun agaknya ia masih sempat melarikan dirinya, menghilang diantara semak-semak di halaman.

Sejenak Kidang Alit termangu-mangu, perhitungannya terhadap kekuatan yang ada telah rusak karena kehadiran Panon dan terbunuhnya lawan Panji Sura Wilaga, sehingga Paran Sangit tidak berhasil membunuh Kuda Rupaka atau sebaliknya seperti yang diharapkannya. Karena itu, ia harus mengambil keputusan sementara, dibiarkannya orang Guntur Geni itu tetap hidup, mungkin masih dapat terjadi benturan-benturan yang akan berlangsung antara Kuda Rupaka dan orang-orang Guntur Geni. Mungkin orang-orang Guntur Geni itu akan memanggil kawan-kawannya untuk menghancurkan orang-orang yang berada di dalam istana itu.

Karena itu, maka Kidang Alit tidak mengejar orang Guntur Geni, bahkan kemudian ia sendirilah yang bersiap-siap untuk meninggalkan halaman itu. Karena dalam keadaan yang demikian mungkin sekali Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga kehilangan akal dan bersiap untuk membunuhnya bersama-sama.

“Orang-orangku yang ada di istana ini, akan berhadapan dengan Panon dan mungkin kawannya yang tua itu pun memiliki kemampuan yang cukup” berkata Kidang Alit dalam hatinya.

Dugaannya ternyata tidak jauh meleset dari kenyataan yang dihadapinya. Tiba-tiba saja Kuda Rupaka yang kehilangan lawannya itu menggeram, “Paman Panji, agaknya saatnya sudah tiba untuk membunuh orang ini pula.”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, dilihatnya Panji Sura Wilaga mempersiapkan dirinya pula.

Tetapi ternyata Kidang Alit masih sempat tertawa, katanya, “Memang suatu cara yang baik untuk mengurangi lawan, karena itulah aku membiarkan orang Guntur Geni itu untuk melarikan diri, dengan demikian, maka aku berharap bahwa kalian masih merasa memerlukan aku untuk menghadapi bukan saja orang-orang Guntur Geni. Tetapi orang-orang yang ada di dalam istana ini, He Raden Kuda Rupaka, apakah kau tidak mengetahui, betapa anak muda yang menyebut dirinya pengembara itu memiliki ilmu yang luar biasa, ia adalah orang yang pertama yang berhasil membunuh lawannya. Apakah kau tidak memper-timbangkan, suatu kemungkinan lain akan terjadi atas kalian berdua?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun yang terdengar adalah suara gemeretak giginya, “Aku tidak peduli dengan kedua orang itu, mereka akan mati sebelum fajar menyingsing”

Suara ketawa Kidang Alit justru meninggi, katanya, “Kalian memang terlampau sombong, tetapi kalian tidak akan berhasil jika kalian tetap dalam kebodohan itu” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “Kenapa aku tidak membunuh kalian lebih dahulu?, aku mempunyai pertimbangan tersendiri, disaat terakhir, maka yang harus hidup adalah orang-orang yang paling lemah, dan yang paling lemah diantara kita semuanya adalah kalian berdua, juga sudah aku perhitungkan kedua orang pengembara itu”

“Gila”

“Baru kemudian aku. Nah kau dengar, aku adalah sebuah kekuatan yang termasuk lemah disini, sehingga aku memerlukan cara tersendiri untuk memenangkan perjuangan merebut pusaka-pusaka itu, bukankah dengan caraku sekarang ini, aku akan dapat menampilkan diri dalam perjuangan terakhir? Sayang, pengembara itu sudah merusak perhitunganku, jika tidak, maka kalian berdua tidak akan dapat melihat matahari besok pagi” sekali lagi ia berhenti sambil menarik nafas. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa kita kan dapat hidup sampai perjuangan terakhir, kita akan dapat berhadapan dalam keadaan yang lapang, sehingga kita akan mengadu ilmu sampai tuntas, tetapi jika kau cemaskan nasibmu dengan cara itu, maka baiklah, apa yang akan kau lakukan sekarang ini. Apakah kita harus bertempur selagi pengembara-pengembara itu masih saja berkeliaran disini? Aku tidak tahu siapakah yang akan dibantunya, namun seandainya mereka membantumu, aku pun sama sekali tidak cemas, karena aku mempunyai kawan yang cukup aku percayai untuk mengikat kedua pengembara itu dalam arena perkelahian.”

Raden Kuda Rupaka menggeram, Panon menyulitkan, apalagi setelah anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga masih harus diperptimbangkan semasak-masaknya apa yang akan dilakukan.

“Apakah membunuh Kidang Alit sekarang ini bagiku atau justru bagi pengembara itu?” bartanya Kuda Rupaka kepada diri sendiri.

Dalam keragu-raguan itulah, maka Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mendengar isyarat yang terlontar dari mulut Kidang Alit, sejenak keduanya ragu-ragu, mereka tidak akan tahu arti dari isyarat itu.

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kuda Rupaka.

Kidang Alit tertawa, “Aku memerintahkan orang-orangku untuk menyingkir saja dari halaman ini. Nah jelas? Suara yang mirip dengan auman serigala itu merupakan pertanda aman bagi lawan-lawannya, tetapi jika aku menggonggong, maka ini adalah pertanda kematian bagi orang-orang yang menentang kemauanku”

“Kenapa kau tidak menggonggong sekarang?” geram Sura Wilaga.

“Perhitunganku belum masak, kedua pengembara itu sudah merusak semua rencanaku, aku berharap bahwa setelah orang-orang Guntur Geni, maka kesempatan untuk memperbandingkan ilmu dengan bangsawan dari Demak ini akan dapat aku lakukan, tetapi ternyata niat itu terganggu oleh anak gila itu”

“Persetan”

“Aku akan pergi sekarang”

Tetapi Panji Sura Wilaga melangkah maju sambil berkata, “Kenapa bukan kau lebih dahulu yang kami bunuh, sebelum sisa orang-orang dari Guntur Geni dan kedua pengembara itu”

“Aku tidak keberatan jika kau memang menantang, aku dapat memanggil orang-orangku kembali, dan disini akan ada arena segi tiga yang menarik, tetapi pertempuran yang demikian tidak meyakinkan, karena itu, baiklah kita bersetuju untuk bertempur pada kesempatan lain tanpa ada pihak ketiga yang mengganggu. Aku akan mengambil seorang kawanku yang terpercaya, sehingga kita masing-masing akan melakukan perang tanding dengan jujur dan jantan”

“Tidak ada yang percaya kepada mulutmu, kau licik sekali dan terlebih-lebih lagi, tidak mempunyai harga diri sama sekali”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Sebenarnya aku adalah seseorang yang menjunjung tinggi harga diri, tetapi dalam hal ini, apakah arti harga diriku dibanding dengan nilai pusaka yang sedang kita cari sekarang ini”

“Persetan, jika kau sekarang masih memohon agar hidupmu diperpanjang, pergilah, mungkin aku segera merubah keputusanku dari membunuhmu sekarang juga”

Dan Kidang Alit justru menyambung, “Selanjutnya, pengemis itu akan membunuhmu setelah sekarang ia menemukan pusaka yang sedang kita perebutkan”

Tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka menggeram, ternyata keadaan di istana kecil ini menjadi semakin membingungkan.

“Raden” tiba-tiba saja terdengar suara Kidang Alit, “Bagaimana jika kita bersepakat saja untuk membunuh pengembara itu? Kau berdua belum tentu dapat melakukannya, sebaliknya, aku dan kawan-kakwanku pun belum tentu akan berhasil, tetapi jika kita bersama-sama, maka aku kira kita akan dapat melakukannya, baru setelah pengembara itu mati, kita akan bertempur sepuas-puas kita tanpa ada yang mengganngu. Orang-orang Guntur Geni tentu tidak akan kembali dengan segera, karena ia telah kehilangan dua orang disini, mungkin tiga orang. Kita belum mengetahui apa yang terjadi dengan seorang kawannya yang memasuki bilik istana puteri, tetapi bahwa ia tidak keluar lagi setelah Panon masuk, mungkin nyawanya telah disitanya pula”

“Gila” geram Kuda Rupaka, “Kau kira aku akan melakukan tugas ini dengan membabi buta?”

“Bukan membabi buta, tetapi itu adalah perhitungan yang cermat, kita mengambil keuntungan dari peristiwa yang dapat terjadi, apalagi kita sudah bersetuju untuk bertempur disaat terakhir.

“Kita tidak dapat mempercayainya, Raden” potong Panji Sura Wilaga, “Pada suatu saat ia akan memanggil sejumlah orang-orangnya untuk melakukan apa saja dengan cara yang licik, karena itu, kita harus memperhitungkan, manakah yang lebih menguntungkan, memilih pengemis itu lebih dahulu bersama-sama dengan Kidang Alit, atau justru membunuh Kidang Alit lebih dahulu bersama-sama dengan pengemis-pengemis itu.”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, lalu katanya, “Kau dengar pertimbangan paman Panji Sura Wilaga, Kidang Alit, agaknya dalam keadaan seperti ini, kami pun harus berpendirian seperti kau, harga diri kita jauh lebih murah daripada nilai pusaka-pusaka itu”

“Baiklah, perhitungkan masak-masak, manakah yang lebih menguntungkan bagimu, aku besok akan datang lagi, mungkin kau sudah mempunyai keputusan”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, Ia pun tidak beranjak dari tempatnya ketika kemudian Kidang Alit meninggalkan halaman itu dengan meloncati dinding.

Sejenak Kuda Rupaka termangu-mangu, sekilas dilihatnya mayat yang terbaring diam di halaman.

“Raden” berkata Panji Sura Wilaga, “Mayat-mayat ini harus dikuburkan, apakah kisa masih dapat meminta bantuan orang-orang padukuhan Karangmaja?”

“Apa salahnya, disiang hari kita akan dapat pergi ke rumah Ki Buyut”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, rasa-rasanya kehidupan di malam hari dan di siang hari terasa jauh sekali perbedaannya, di siang hari tidak banyak kelainan yang nampak dari kehidupan sehari-hari. Tetapi di malam hari istana kecil ini merupakan hutan belantara yang lebat, siapa yang kuat ialah yang akan tetap dapat melihat matahari esok pagi.

“Tetapi” tiba-tiba Panji Sura Wilaga berkata, “Jika kita pergi ke padukuhan, pengemis-pengemis itu akan lepas dari pengamatan kita, mungkin mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, sejenak ia berpikir, namun kemudian katanya, “Aku akan pergi ke padukuhan bersama salah seorang dari pengemis itu, kau mengawasi yang seorang lagi”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk,

Sekarang, biarlah kita singkirkan mayat-mayat ini dahulu”

“Tetapi apakah Raden tidak melihat apa yang telah terjadi dengan puteri”

Raden Kuda Rupaka bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang buram, tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah, aku hampir saja melupakannya”

Dengan tergesa-gesa Kuda Rupaka diikuti Panji Sura Wilaga naik ke pendapa dan masuk ke ruang dalam, ketika ia sampai ke pintu bibinya, dilihatnya Panon dan Ki Mina sudah berada diluar bilik pintu itu pula.

Sejenak langkahnya terhenti, rasa-rasanya telah terentang jarak yang membatasi hubungan antara dirinya dengan kedua pengembara itu.

Namun Kuda Rupaka melihat kedua orang itu melangkah surut, seolah-olah memberikan tempat kepadanya untuk menyelesaikan masalah yang baru saja terjadi.

Kuda Rupaka menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat sesosok mayat yang terbujur di muka pintu bilik itu, mayat dari seorang yang wajahnya nampak mengerikan, apalagi pada saat-saat matinya.

“Siapakah yang telah membunuhnya?” terdengar suara Kuda Rupaka berat.

Tidak ada seorang pun yang menjawab, sehingga Kuda Rupaka harus mengulanginya lagi, tetapi langsung ditujukan kepada bibinya yang masih ketakutan di dalam biliknya sambil memeluk puterinya yang gemetar, “Siapakah yang telah membunuhnya bibi?”

Raden Ayu Kuda Narpada tidak segera menjawab, rasa-rasanya mulutnya menjadi terlampau sulit untuk digerakkannya.

“Siapa bibi?” tetapi Kuda Rupaka selalu mendesaknya.

Raden Ayu Kuda Narpada masih termangu-mangu, seakan-akan ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.

Kuda Rupaka bergeser selangkah, kemudian dipandanginya wajah Ki Mina yang termangu-mangu pula, seperti wajah-wajah yang lain, dengan nada kasar Kuda Rupaka bertanya, “Kaukah yang melakukannya?”

Ki Mina menggelengkan kepalanya, dengan mantap ia menjawab, “Aku tidak membunuhnya Raden, aku berada di belakang karena ada dua orang yang ingin memasuki pintu belakang istana ini”

“Kau bertempur melawan keduanya?”

“Aku terpaksa membela diri, kemudian datang Panon membantuku”

Diluar sadarnya Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga, seolah-olah ingin mengatakan bahwa orang tua itu pun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia mampu melawan dua orang sekaligus, meskipun tidak berhasil menyelesaikan, jika Panon tidak datang membantunya, kedua orang itu tentu orang-orang yang mendapat isyarat dari Kidang Alit.

Namun dengan demikian, siapakah sebenarnya yang telah membunuh orang ini?”

Tatapan mata Kuda Rupaka pun kemudian tertuju kepada Panon, sehingga diluar sadarnya, Panon pun menggeleng sambil berkata, “Ketika aku sampai disini, orang ini telah mati”

Wajah Kuda Rupaka menjadi tegang, sekali lagi dipandanginya bibinya sambil bertanya, “Apakah bibi melihat seseorang?”

Bibinya yang sudah mulai lebih tenang, menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak melihat seorang pun di tempat ini, tetapi ketika orang itu melangkah masuk ke dalam bilik ini, ia seolah-olah terdorong surut dan jatuh di muka pintu tanpa aku ketahui sebab-sebabnya”

“Aneh sekali” desis Kuda Rupaka, “Apakah masih ada orang lain yang tidak kita ketahui?”

Panji Sura Wilaga menjadi tegang, bahkan Ki Mina dan Panon pun terheran-heran pula karenanya.

Dengan ragu-ragu Kuda Rupaka memandang dinding bilik itu, kemudian merambat sampai ke atap, ternyata ia tidak mendapatkan sebuah lubang yang cukup besar.

Panji Sura Wilaga yang heran pula kemudian mendekati mayat itu sambil bergumam, “Tidak ada darah”

“Ya” desis Kuda Rupaka, “Tentu dengan jenis senjata yang lain, mungkin racun, kita akan melihatnya nanti, tetapi kita harus yakin, bahwa serangan semacam itu tidak akan mengenai kita pula”

“Kita memiliki penawar racun, justru orang-orang Guntur Geni yang selalu menyerang dengan senjata beracun, kurang memperhatikan akibat bagi dirinya sendiri.”

“Tetapi pemimpin-pemimpinnya tentu memiliki penawarnya, seperti yang kita miliki, meskipun ujudnya lain. Apalagi orang ini tentu tidak menyangka bahwa ia akan mendapat serangan seperti itu”

Panon yang termangu-mangu itu pun maju setapak, dengan hati-hati ia berjongkok di samping mayat yang terkapar itu, perlahan-lahan ia menggulingkan tubuh yang membeku itu sehingga menelentang.

“Oh” Inten memalingkan wajahnya dan bahkan kemudian menyembunyikan didadanya ibunya, sedangkan Raden Ayu Kuda Narpada memejamkan matanya.

“Tolonglah” desis Raden Ayu, “Bawalah mayat itu pergi”

Tetapi yang terdengar adalah suara Panon perlahan-lahan “Paser-paser inilah yang telah membunuhnya”

“Supit” gumam Panji Sura Wilaga, “Paser itu tentu dilontarkan dengan supit, dan ujung supit itu dapat disusupkan di lubang dinding yang kecil, mungkin dari atas pengeret”

Semua orang memandang ke dinding sekali lagi, seperti yang dikatakan oleh Panji Sura Wilaga, memang ada antara yang cukup di bawah pengeret yang memisahkan dinding dan atap.

Namun mereka masih termangu-mangu, jika benar demikian siapakah yang telah melakukannya? Apakah orang-orang Guntur Geni sendiri atau pihak lain yang belum mereka ketahui.

Dalam kebimbangan itu, terdengar suara Raden Kuda Rupaka, “Masih ada seorang yang tidak hadir disini”

Semua orang memandang kepadanya, dan Kuda Rupaka meneruskan, “Dimanakah Sangkan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Carilah Sangkan dibiliknya” berkata Kuda Rupaka kepada Panji Sura Wilaga.

Panji Sura Wilaga pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke bilik Sangkan, namun ia tidak usah terlalu lama mencari, seperti yang pernah terjadi, maka Panji Sura Wilaga langsung mencari di bawah pembaringannya.

“Cepat keluar” bentak Panji Sura Wilaga, “Kenapa kau bersembunyi di kolong permbaringan selagi semua orang bertempur?”

“Aku, aku takut sekali” desisnya dengan suara gemetar.

“Kau gila, kau memang pantas dibunuh saja dari pada mengotori istana ini”

“Tetapi, tetapi aku tidak berbuat apa-apa, aku tidak mengganggu dan bahkan aku dapat membantu membersihkan halaman”

“Gila, ternyata pengemis itu lebih berguna dari pada kau, mereka mampu berkelahi melawan kawan-kawan Kidang Alit, sementara kau bersembunyi saja di kolong ambenmu”

“He..!!” Sangkan merangkak keluar, “Pengemis-pengemis itu berani berkelahi?”

“Ya, pengemis yang muda telah membunuh seorang perampok dari Guntur Geni”

“Ah, Raden Panji agaknya masih sempat bergurau”

Tetapi Sangkan tidak dapat meneruskan katakatanya, apalagi senyumnya yang mulai nampak dibibirnya, segera terhapus oleh sebuah pukulan di pipinya.

“Aduh…!” Sangkan mengeluh sambil memegang pipinya, wajahnya yang pucat tiba-tiba menjadi merah, bukan saja wajahnya tetapi juga matanya.

Ketika tangan Sangkan mengusap matanya yang basah, Panji Sura Wilaga membentaknya, “Jika kau menangis, aku bunuh kau, kau tidak dapat bermanja-manja di hadapanku, aku tidak peduli jika kau menangis di gendongan biyungmu yang semakin tua itu, tetapi tidak di hadapanku”

Sangkan menjadi semakin ketakutan, tetapi ia tidak menangis, “Ikut aku” bentak Panji Sura Wilaga.

Sangkan tidak membantah, ia pun kemudian mengikuti Panji Sura Wilaga masuk ke ruang dalam, namun ketika terpandang olehnya sesosok mayat, maka ia pun segera berhenti.

“Kenapa kau berhenti?”

“Aku takut, Raden”

“Ikuti aku, jika kau takut mayat, kau sendirilah yang akan menjadi mayat”

Tetapi Sangkan tidak menyahut lagi.

Kemarahan Panji Sura Wilaga tidak tertahankan lagi, tetapi ketika ia hampir saja memukulnya, Panon bertanya, “Untuk apakah Sangkan dibawa kemari?, jika ia memang ketakutan, biarlah ia sembunyi di dalam bilik”

“Ia harus menyingkirkan mayat itu”

“Biarlah aku dan paman Mina yang akan menyingkirkan, tetapi mayat yang ada di halaman pun masih harus disisihkan, dan itu bukan semata-mata kewajibanku dan paman”

Terasa sikap Panon memang sudah berbeda dari sikapnya pada saat ia datang. Tetapi Raden Kuda Rupaka pun menyadari, bahwa yang dihadapinya itu bukan seorang pengemis kebanyakan, itulah sebabnya maka ia pun harus bersikap lain.

“Baiklah” berkata Kuda Rupaka, “Pagi-pagi kita akan memanggil orang-orang padukuhan, kau dan aku akan pergi kepada Ki Buyut, kita minta tolong kepada orang-orang Karangmaja untuk menguburkan mayat-mayat itu”.

Panon nampak ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, aku besok akan pergi bersama Raden” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sekarang begaimana dengan mayat-mayat ini?”

Raden Kuda Rupaka mamandang Panji Sura Wilaga, sejenak kemudian ia menjawab, “Baiklah, kita akan menyingkirkan nya, semua yang disini dan yang ada di halaman”

“Kau harus membantu kami anak gila” geram Panji Sura Wilaga sambil memandang Sangkan.

Tetapi Panon telah menyahut, “Jangan dipaksa, jika ia sudah mengatakan tidak berani”

“Ia akan menjadi manja disini”

“Biarlah aku saja”

Panon pun kemudian mengangkat mayat itu seorang diri dan membawanya keluar, sementara Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga dibantu oleh Ki Mina telah menyingkirkan mayat-mayat yang terbaraing di halaman.

Dalam pada itu, Sangkan yang ketakutan tidak mau segera kembali ke biliknya, karena itu untuk beberapa lamanya ia berada di muka bilik Raden Ayu.

“Kembalilah ke bilikmu” berkata Nyi Upih.

“Aku takut biyung”

“Apa yang kau takutkan sekarang, semuanya sudah diselesaikan”

“Tetapi aku tidak mempunyai kawan dibilik belakang”

“Dimana Panon dan Ki Mina?”

“Mereka sedang menyingkirkan mayat-mayat yang katanya ada di halaman”

“Tetapi mereka sudah berada di biliknya kembali”

Sangkan masih tetap ragu-ragu, tetapi Nyi Upih kemudian berkata, “Di muka pintu ini tadi juga terdapat sesosok mayat”

“Ooo” tiba-tiba saja Sangkan meloncat masuk ke dalam bilik.

“Bukankah kau juga melihatnya?”

“Ya, ya, aku melihatnya”

“Sekarang kembalilah ke dalam bilikmu, kau tentu tidak akan dapat tidur disini”

Sangkan ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke bilik belakang.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh ibunya, Panon dan Ki Mina sudah ada di dalam bilik itu pula, tetapi justru Sangkan tidak berani mendekati mereka.

“Kau berbau mayat” desis Sangkan.

“Aku sudah membersihkan diriku di pakiwan” sahut Panon

Sangkan masih termangu-mangu, namun ia pun kemudian membanting dirinya di pembaringannya sambil berkata, “Jangan dekat-dekat”

Panon menarik nafas dalam-dalam, perasaan muaknya telah sampai keubun-ubun, tetapi ia masih tetap menahan diri agar tidak timbul persoalan lain, Karena itu, ia pun tidak menghiraukan Sangkan yang tidur menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya itu. Untuk beberapa saat lamanya Panon masih bercakap-cakap dengan Ki Mina tentang orang-orang Guntur Geni itu.

“Memang aneh” berkata Ki Mina, “Orang itu mati dimuka pintu tanpa mengetahui siapakah yang telah membunuhnya, paser itu sama sekali tidak dapat memberikan petunjuk karena tidak terdapat ciri-ciri apapun juga”

“Kidang Alit juga tidak mungkin melakukan, tetapi masih mungkin bahwa ia mempunyai orang lain yang mendapat kesempatan untuk melepaskan paser kecil dari sebuah sumpit”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Panon, kita sudah terlanjur menyatakan diri, karena itu, mungkin kita untuk seterusnya akan menghadapi persoalanpersoalan yang harus kita selesaikan dengan kekerasan. Karena itu, maka sudah sepantasnya kita membawa senjata kita masing-masing, aku pun tidak lagi akan menyembunyikan kerisku, dan kau pun harus membawa pisau-pisaumu meskipun tidak lebih dari keratan-keratan besi kecil runcing, namun di tanganmu ternyata telah berubah menjadi pusaka yang sangat berbahaya”

Panon mengangguk-angguk.

“Besok kau akan pergi bersama Raden Kuda Rupaka ke rumah Ki Buyut, aku tahu, dengan demikian maka Panji Sura Wilaga hanya tinggal mengawasi aku saja disini, tetapi kau harus berhati-hati, banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya disini telah terdapat tiga kekuatan yang harus berhadapan. Kau, Raden Kuda Rupaka, dan Kidang Alit, kalian adalah anak-anak muda yang istemewa. Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit mempunyai kelebihan yang jarang terdapat pada anak-anak muda sebayanya, sedangkan kau pun telah memiliki bekal yang tidak tanggung-tanggung lagi”

Panon mengangguk sambil berkata, “Syukurlah Paman, aku diberkahi oleh Yang Maha Agung”

“Syukurlah, sekarang beristirahatlah, mungkin masih ada persoalan yang akan kita hadapi”

“Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat tidur paman”

“Tidurlah, aku akan berjaga-jaga beberapa lama, jika aku merasa perlu, kau akan aku bangunkan”

Panon memandang Ki Mina dengan seksama, kemudian terloncat dari bibirnya, “Terima kasih, Paman terlalu baik kepadaku”

Ki Mina tersenyum, katanya, “Sudahlah, tidurlah”

Panon pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, diluar sadarnya ia berpaling mamandang Sangkan yang menelungkup, namun suara nafasnya terdengar mengalir dengan teratur.

“Ia sudah tertidur” desis Panon.

“Itulah anehnya” sahit Ki Mina, “Baru saja ia merasa ketakutan, biasanya, orang yang yang ketakutan itu tidak dapat tidur semudah itu”

Panon tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian memejamkan matanya, ia memang ingin tidur barang sejenak, Kemudian bergantian, biarlah Ki Mina juga beristirahat meskipun sisa malam tinggal sedikit.

Baik Ki Mina maupun Panon maupun Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, merasa perlu untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan, karena itulah, maka di ruang depan, Panji Sura Wilaga dan Kuda Rupaka telah mengatur waktu, seorang dari mereka akan tidur dahulu, kemudian yang seorang lagi setelah yang terdahulu dibangunkannya.

“Silahkan paman tidur lebih dahulu” berkata Kuda Rupaka, “Hatiku masih belum dapat aku jinakkan, setelah mengalami peristiwa yang mendebarkan tadi”

Panji Sura Wilaga yang terbaring lebih dahulu, ia pun berusaha untuk segera dapat tidur nyenyak menjelang dini hari, agar Kuda Rupaka sempat tertidur meskipun hanya sekejap.

Namun dalam pada itu, agaknya sudah tidak ada sesuatu lagi yang terjadi di ujung malam itu, tidak ada seorangpun yang kembali lagi dan mengganggu isi istana yang kecil itu.

Pada dini hari, yang telah tertidur lebih dahulu pun segera terbangun, mereka mencoba memberi kesempatan kepada kawannya yang lain untuk tidur barang sekejap menjelang fajar.

Tidak banyak kesempatan untuk memejamkan matanya, tetapi yang sekilas itu pun kadang-kadang telah cukup, karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa menguasai diri sendiri dalam segala bentuk.

Ketika matahari mulai bangkit di ujung timur, ternyata para penghuni istana itu pun telah menjadi sibuk, mereka yang baru sempat memejamkan matanya sekejap pun telah bangun dan bersiap-siap melakukan tugas masing-masing.

“Hari ini aku tidak dapat membersihkan halaman belakang” berkata Panon kepada Sangkan, “Aku harus mengikuti Raden Kuda Rupaka ke padukuhan untuk bertemu dengan Ki Buyut”

Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Aku tidak peduli, tetapi kau harus melakukan kewajibanmu”

“Gila” desis Panon dihatinya, oleh kejengkelannya yang tidak tertahankan lagi ia pun berkata, “Semalam aku hampir tidak tidur karena aku harus membantu Raden Kuda Rupaka bertempur, kau sama sekali tidak berbuat apa-apa, karena itu, sekarang kaulah yang wajib menyelesaikan semua pekerjaan, aku akan pergi ke padukuhan”

“Aku tidak peduli” tiba-tiba Sangkan mendesak, “Kau harus membersihkan halaman belakang, Ki Mina kedua halaman samping dan aku halaman depan”

Panon terkejut mendapat tanggapan yang tidak disangkanya itu, ia mengira Sangkan akan menjadi takut dan merubah sikapnya kepadanya, tetapi ternyata ia justru membentaknya meskipun ia sudah mengatakan bahwa ia bertempur semalam-malaman.

Justru karena itulah, maka Panon memjadi termangu-mangu, beberapa saat lamanya ia terbungkam dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

Yang menjawab kemudian adalah Ki Mina yang masih bersabar menghadapi anak muda itu, “Baiklah Sangkan, akulah yang akan mengerjakan pekerjaan Panon, sebab jika Panon tidak mau pergi ke bersama Raden Kuda Rupaka pagi ini ke padukuhan, maka Raden Kuda Rupaka pun akan marah kepadanya, tetapi jangan cemas, aku akan membersihkan halaman belakang dan samping, dan kau akan membersihkan halaman depan, tetapi jika kau menjumpai mayat-mayat yang aku letakkan di pojok halaman, biarkan sajalah di sana, sambil menunggu orang-orang padukuhan yang akan membantu mengubur mayat-mayat itu.

“He..!!” wajah Sangkan menjadi pucat, “Jadi ada tiga mayat di halaman?”

“Ya, yang satu dibunuh oleh Raden Panji, yang satu oleh Panon dan yang satu ketemukan di dalam rumah tanpa diketahui siapakah yang telah membunuhnya”

“Jadi benar-benar Panon telah membunuh seorang dari mereka?”

“Ya” jawab Ki Mina sambil memandang perubahan yang mungkin terjadi di wajah Sangkan.

Tetapi ternyata Sangkan menggeram, “Anak gila, kaulah yang ikut menakut-nakuti aku dengan membunuh orang, aku tidak mau membersihkan halaman depan hari ini, kaulah yang melakukannya”

Jawaban Sangkan itu sungguh diluar dugaan, Panon yang juga masih seorang anak muda, betapapun ia telah mengalami latihan jasmaniah maupun rohaniah, namun kesabarannya rasa-rasanya memang sudah sampai kebatas. Namun untunglah bahwa Ki Mina masih sempat menggamitnya sambil berkata kepada Sangkan, “Baiklah Sangkan, biarlah aku yang membersihkan halaman seluruhnya hari ini, mungkin kau dapat melakukan sesuatu yang lain yang sesuai dengan kemauanmu hari ini”

Sangkan tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya memancar sesuatu yang aneh, kegelisahan, kemarahan dan campur baur dari ketidak tentuan, atau sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali oleh Ki Mina.

Dalam pada itu, Panon pun kemudian membenahi diri, ia mencoba untuk tidak menghiraukan lagi anak muda yang bernama Sangkan itu.

“Anggap saja anak itu anak Gila” berkata Panon kepada diri sendiri untuk meredakan gejolak perasaannya”

Ternyata bahwa sejenak kemudian terdengar langkah Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, sambil berdiri dimuka pintu bilik itu Kuda Rupaka berkata, “Bersiaplah, kita akan berangkat sekarang, jika kau tidak mempunyai kuda, kau dapat meminjam Kuda paman Panji jika kau dapat berkuda.”

“Aku akan mencoba berkuda, Raden”

“Marilah, biarlah paman Panji tinggal di istana ini, siapa tahu Kidang Alit yang licik itu akan datang disiang hari”

Panon mengangguk, ia pun menyadari betapa anak muda yang bernama Kidang Alit justru ia memiliki bermacam-macam ilmu yang dapat dipergunakan untuk melakukan niatnya tanpa mengingat harga diri sama sekali.

Keduanya pun kemudian meninggalkan bilik itu, diikuti oleh Panji Sura Wilaga yang kemudian menyerahkan kudanya kepada Panon.

Ketika dua ekor kuda itu berderap meninggalkan halaman, Panji Sura Wilaga berdiri termangu-mangu di tangga pendapa, sedangkan Ki Mina memandanginya dari halaman samping, sementara Sangkan masih tetap berada di dalam biliknya.

Ketika kedua ekor kuda itu sudah tidak nampak lagi, maka Ki Mina pun dengan langkah yang lamban berjalan kembali ke dalam biliknya, dilihatnya di dalam bilik itu Sangkan duduk termenung, seolah-olah merenungi sesuatu yang amat rumit didalam dirinya.

“He, kenapa kau tidak membersihkan halaman?” Sangkan tiba-tiba saja membentak.

Tetapi Ki Mina justru tersenyum, jawabnya, “Aku akan melakukannya, tetapi biarlah aku duduk sebentar”

“Kau tahu bahwa sebenarnya hari sudah terlalu siang untuk melakukannya”

Ki Mina masih saja tersenyum, namun demikian ia menjawab pula, “Sebentar lagi orang-orang dari padukuhan akan datang dan mengubur mayat-mayat yang ada di halaman, setelah mereka selesai, aku tentu akan membersihkannya”

“Bagaimana dengan halaman belakang dan samping?”

Ki Mina dengan menarik nafas dalam-dalam, tetapi kemudian ia pun kemudian meninggalkan bilik itu sambil bergumam, “Baiklah, aku akan membersihkannya sekarang”

Sangkan mengikutinya sampai ke depan pintu biliknya, namun kemudian katanya, “Ki Mina, aku akan membantumu membersihkan halaman belakang, tetapi kau atau Panon yang nanti harus membersihkan halaman depan”

Ki Mina mengangguk, katanya, “Terima kasih, aku akan menyapu halaman samping saja terlebih dahulu”

Sangkan memandang Ki Mina sampai orang tua itu hilang disudut istana, baru kemudian ia pun melangkah setelah menutup pintu biliknya.

Sementara itu Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti seolah-olah menjadi beku di dalam biliknya, Pinten pun tidak berani beranjak meskipun ibunya mengajaknya.

“Aku takut biyung” desis Pinten.

“Tetapi bukankah kita harus menjerang air dan menanak nasi?, jika kau dan aku bersembunyi saja disini, siapakah yang akan masak hari ini?”

Pinten memandang Inten Prawesti sejenak, seolah-olah minta tolong kepadanya, agar ia diijinkan untuk tinggal saja di dalam bilik itu.

“Bibi” berkata Inten, “Jika Pinten memang takut, biarlah ia disini, aku merasakan betapa tersiksanya jika kita harus memaksa diri berbuat sesuatu dalam ketakutan”

“Tetapi sekarang sudah siang puteri, diluar ada Panji Sura Wilaga yang tidak ikut bersama Raden Kuda Rupaka ke padukuhan”

Bab 25

Inten termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Apakah paman ada di belakang?”

“Aku tidak tahu puteri, tetapi masih ada yang akan melindungi kita, ternyata Ki Mina pun mampu berbuat sesuatu jika terpaksa, seandainya ia tidak memiliki ilmu setinggi Panji Sura Wilaga, namun ia akan dapat membantu serba sedikit”

Pinten mengangguk-angguk sejenak, namun kemudian katanya, “Baiklah biyung, tetapi aku sajalah yang berada di dalam dapur bersama kakang Sangkan, aku tidak mau mengambil air ke sumur”

“Uh, kakakmu adalah laki-laki yang tidak berguna sama sekali didalam keadaan seperti ini, biarlah ia tetap bersembunyi di bawah kolong ambennya” ia berhenti sejenak, lalu, “Biarlah aku yang mengambil air, kau menyakakan api, lihatlah matahari sudah naik dan kita belum lagi menjerang air”

“Biarlah Nyai” desis Raden Ayu, “Bukan salahmu, dan akupun tidak akan menyalahkan Pinten, jika ia tidak berani keluar di saat seperti ini”

“Ampun puteri, tetapi disiang hari, tentu tidak akan ada sesuatu yang akan dapat mengganggu kita disini, apalagi disini sekarang ada beberapa orang yang dapat melindungi kita”

“Ingatlah Nyai” berkata Raden Ayu, “Disiang hari pula suara seruling itu selalu terdengar, dan bahkan di siang hari pula anak mua yang bernama Kidang Alit itu telah berani bertengger diatas dinding halaman kita”

“Ooo…” Nyi Upih menangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi sekarang tidak akan terjadi apa-apa, marilah Pinten”

Pinten ragu-ragu sejenak, namun ia pun kemudian mengikuti ibunya pergi ke dapur.

Dimuka pintu dapur keduanya termangu-mangu, lewat butulan longkangan belakang, mereka melihat Ki Mina membersihkan halaman samping, sementara di belakang terdengar juga suara sapu lidi.

“Kakang Sangkan telah berada di kebun belakang” desis Pinten, “Agaknya ia sedang menyapu halaman”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Sejenak kemudian, Pinten sudah duduk di muka perapian sambil menyalakan api titikan, kemudian dengan nafas yang terengah-engah ia meniup api yang semakin besar membara pada segumpal emput aren.

Baru kemudian diletakkannya emput yang telah membara itu pada seikat belarak kering.

Nyi Upih yang kemudian masuk ke dapur sambil membawa lodong bamboo berisi air. “Kau pandai membuat api Pinten?”

“Bukankah hampir setiap hari aku menyalakan api?”

Nyi Upih mengangguk-angguk, tetapi tatapan matanya menjadi aneh, dan tiba-tiba saja berdesah.

“Kenapa kau biyung?” bertanya Pinten.

“Tidak apa-apa”

“Kau mengeluh?”

Nyi Upih tidak segera menjawab, sambil duduk di samping Pinten ia berkata, “Keadaan seperti ini harus segera diakhiri”

“Mudah-mudahan Raden Kuda Rupaka segera bertindak tepat”

“Kuda Rupaka yang mana?”

Pinten mengerutkan keningnya, dengan nada tinggi ia bertanya, “Kuda Rupaka yang mana? Kenapa kau bertanya seperti itu biyung?”

“Sudahlah, kau harus menjerang air, aku akan membersihkan beras ke sumur, yang ada tinggallah beras dan jagung itu”

“O, senang sekali, aku terbiasa makan jagung, sehingga jika aku makan nasi, aku menjadi cepat lapar, padahal nasi sangat terbatas sekarang ini”

Nyi Upih mengerutkan keningnya, tetapi Pinten tertawa sambil berkata, “Aku tidak mengeluh biyung, kau tahu, bahwa aku tidak mengeluh kan?”

“Ya, ya kau tidak mengeluh anak manis”

“Ah….” Pinten masih saja tertawa, tetapi akhirnya ia berhenti sama sekali, perlahan-lahan ia mendekati Nyi Upih yang tidak jauh duduk di sebelahnya, sambil memeluk dan meletakkan kepalanya ke bahu biyungnya, ia berkata, “Jangan sedih biyung, tidak lama lagi semuanya akan selesai, awan yang selama ini menyelimuti istana ini akan segera dihembus oleh angin yang kencang dan langit pun akan segera akan terbuka”

Nyi Upih mengusap matanya yang basah, ia pun kemudian ia memeluk Pinten, katanya, “Kau adalah mutiara yang tidak ternilai harganya, kau telah melakukannya dengan ikhlas, umurmu adalah umur remaja yang sebenarnya pada masanya bersolek di dalam bilikmu, tetapi kau sekarang berada dineraka seperti ini”

“He…!” Pinten terkejut mendengar kata-kata Nyi Upih, “Biyung, bangunlah, apakah biyung masih tidur dan bermimpi?”

Nyi Upih memandang Pinten sejenak, tetapi matanya masih juga basah.

“Sudahlah biyung” berkata Pinten kemudian, “Bukankah kau harus menyediakan minum dan sarapan pagi?”

Nyi Upih mengangguk-angguk katanya, “Ya, ya Pinten, aku harus menyediakan minum dan sarapan pagi, tetapi bukankah airmu belum mendidih?”

Pinten menggeleng, dengan tangan-tangannya yang halus, ia pun kemudian menggeser beberapa potong kayu di perapian, sehingga apipun menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, Sangkan sibuk membersihkan halaman belakang istana itu, sekali-kali ia berhenti sejenak sambil menekan punggungnya, namun dalam pada itu, kadang-kadang matanya merayap di sepanjang dinding batu di seputar halaman istana itu, seolah-olah ia selalu dicemaskan oleh kemungkinan yang paling buruk. Jika Kidang Alit memanjat dinding itu dan meloncat masuk. Namun sesekali ia memandang Ki Mina yang berada di halaman samping.

Ki Mina melihat sikap Sangkan yang seakan-akan selalu dibayangi oleh kecemasan, tetapi ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, dengam tekun ia melakukan perkerjaan yang diberikan kepadanya, membersihkan halaman.

Sementara itu, di perjalanan ke rumah Ki Buyut, Panon berada di punggung kudanya mengikuti Raden Kuda Rupaka, ketika mereka sudah memasuki padukuhan, maka derap kuda merekapun menjadi semakin lambat, agar mereka tidak mengejutkan orang-orang padukuhan Karangmaja.

Namun dalam pada itu keduanya hampir tidak berbicara sama sekali, Panon yang merasa dirinya tidak sederajat dengan Raden Kuda Rupaka, selalu berada di belakang, ia masih tetap dibayangi oleh perbedaan derajat keturunan meskipun kadang-kadang teringat pula kata-kata gurunya, bahwa nilai seseorang bukanlah berada pada derajat dan tingkat keturunan, tetapi pada apa yang dilakukaknya. Meskipun demikian, Panon masih tetap merasa bahwa, ia sebaiknya berada di belakang Raden Kuda Rupaka tidak di sampingnya.

Kedatangan mereka di rumah Ki Buyut menimbulkan keheranan, karena hari masih terlalu pagi, meskipun matahari sudah mulai naik.

Ki Buyut yang baru saja selesai mandi, dengan tergopoh-gopoh turun dari pendapa rumahnya menyongsong kedatangan kedua orang itu.

“Kedatangan Raden mengejutkan kami disini”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Memang mungkin mengejutkan Ki Buyut”

“Marilah, silahkan Raden naik ke pendapa”

“Terima kasih, aku hanya sebentar Ki Buyut”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak, kerut merut di keningnya melukiskan, betapa hatinya mulai menjadi gelisah.

Namun dalam pada itu, sebelum Kuda Rupaka mengatakan sesuatu, merekapun terpaksa berpaling ke regol halaman, karena kehadiran seorang anak muda, sambil tersenyum anak muda itu mamasuki halaman sambil berkata, “Selamat Pagi Ki Buyut”

“Kidang Alit” desis Ki Buyut.

“Aku sudah mengira bahwa pagi ini Raden Kuda Rupaka tentu akan datang kemari”

“Apa yang kau ketahui tentang Raden Kuda Rupaka?”

“Tidak ada Ki Buyut, aku hanya mengira-ngira saja”

Ki Buyut mengerutkan keningnya, ketika ia menatap wajah Kuda Rupaka, ternyata wajah itu menjadin tegang, tetapi sesaat kemudian Kuda Rupakapun berhasil menguasai perasaannya, dan berkata, “Aku pun tahu, bahwa kau akan datang sepagi ini di rumah Ki Buyut, Kidang Alit”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Baiklah, silahkan Raden mengatakan keperluan Raden atau barangkali Raden sudah mengatakannya”

“Belum, aku belum mengatakannya”

“Silahkan, aku tidak akan mengganggu” Kidang Alit pun kemudian seolah-olah tidak acuh, duduk di tangga pendapa rumah Ki Buyut, Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berkata, “Ki Buyut, semalam telah terjadi keributan lagi di halaman istana bibi Kuda Narpada, bahkan beberapa orang telah terbunuh”

“He..!!” Ki Buyut benar-benar terkejut mendengar berita itu, “Lalu apakah yang terjadi pada diri Raden Ayu Kuda Narpada?”

“Tidak, bibi tidak apa-apa, yang kami perlukan adalah beberapa orang yang dapat membantu kami menguburkan mayat-mayat itu”

“O…” Ki Buyut mengusap dadanya sambil berkata, “Untunglah bahwa ada Raden di istana itu, jika tidak maka orang-orang jahat itu tentu sudah berbuat apa saja yang mereka kehendaki”

Sebelum Kuda Rupaka menjawab, terdengar suara tertawa Kidang Alit, sehingga semua orang berpaling kepadanya.

“Kenapa kau tertawa Kidang Alit?”

“Tidak Ki Buyut, tidak apa-apa, aku berbangga atas Raden Kuda Rupaka yang telah berhasil melindungi istana kecil itu”

Kuda Rupaka menggeram, tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, Ki Buyut lah yang kemudian berkata, “Baiklah Raden, aku akan mengirimkan beberapa orang ke istana itu untuk membantu Raden. Berapa banyakkah orang yang telah terbunuh kali ini, Raden?”

“Tiga, tiga orang”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Tentu seorang yang memasuki bilik puteri Inten Prawesti itu pun terbunuh pula”

Sekali lagi semua orang berpaling kepadanya, mereka melihat Kidang Alit tidak tertawa lagi, tetapi sikapnya seakan-akan masih tetap acuh tidak acuh saja.

“Baiklah Raden” berkata Ku Buyut kemudian, “Kami akan menguburkan mereka, tetapi karena itulah, maka kami mohon perlindungan Raden, jika kawan-kawannya merasa tersinggung karenanya dan melontarkan dendam mereka kepada kami”

“Aku akan bertanggung jawab Ki Buyut”

“Terima kasih Raden, dua orang anak muda dari padukuhan ini pun masih belum sembuh benar” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu dipandanginya Panon yang berdiri diam di belakang Kuda Rupaka.

“Ia tidak akan berbuat apa-apa” berkata Kuda Rupaka.

Ki Buyut mengangguk kecil, lalu, “Ya, kedua anak muda yang terkena racun itu belum sembuh sama sekali, meskipun mereka sudah menjadi agak baik, karena itu, kami mohon agar tidak ada korban lagi yang dapat mengurangi ketenangan hidup kami di padukuhan ini”

“Ya, ya Ki Buyut” sahut Kuda Rupaka, namun dengan sudut matanya ia melihat Kidang Alit sudah tersenyum lagi.

“Gila” desis Panon di dalam hatinya, “Anak muda yang licik itu agaknya memang sangat berbahaya.

“Baiklah Raden, sebentar lagi aku akan mengirimkan beberapa orang yang akan membawa usungan, kemudian membawa mayat-mayat itu ke kuburan. Silahkan Raden mendahului, namun demikian, kami mohon Raden juga mengawasi orang-orang kami yang barangkali selalu dalam kecemasan”

“Terima kasih Ki Buyut, aku minta diri, dan semua persoalan ada di dalam tanggung jawabku”

Kuda Rupaka pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Buyut itu diikuti oleh Panon, Ki Buyut mengantar sampai ke regol halaman, sementara Kidang Alit mengikuti pula.

Ketika Kuda Rupaka dan Panon telah meloncat ke punggung kudanya, tiba-tiba saja Kidang Alit berseru, “Raden hati-hatilah dengan pengemis itu, ia nampak dungu dan bodoh, tetapi ia licik seperti kancil”

Terasa dada Panon berguncang, tetapi ia berusaha menahan dirinya agar tidak terjadi perselisihan.

“Persetan dengan mulutmu Kidang Alit” Kuda Rupaka pun ternyata tidak dapat menahan hatinya lagi, namun sejenak kemudian kudanya telah berderap meninggalkan rumah Ki Buyut, meskipun tidak begitu cepat, karena mereka berada di tengah-tengah padukuhan.

Panon yang berkuda di belakangnya mencoba menenangkan hatinya, tetapi ia mendapat gambaran yang lebih banyak tentang keadaan sebenarnya yang dihadapinya.

Bagi Panon ternyata kemudian, bahwa persoalan di istana kecil itu benar-benar terbatas pada dinding istana, orang-orang Karangmaja hanya dapat mengikutinya dengan cemas tanpa dapat berbuat apa-apa, setiap tingkah laku orang-orang Karangmaja yang dengan langsung melibatkan diri dalam pergolakan yang terjadi di istana kecil itu, tentu akan berarti bencana, bahkan untuk menguburkan mayat saja, mereka merasa keselamatannya terancam.

“Tetapi kenapa Kidang Alit masih saja berkeliaran seolah-olah ia memang merupakan bagian dari Karangmaja?” bertanya Panon di dalam hatinya, dan orang-orang yang berada di istana kecil itu, secara tidak langsung ia sudah mendengar, bahwa Kidang Alit telah melakukan perbuatan yang kurang pantas di Karangmaja”

Namun demikian semua pertanyaannya itu disimpannya saja di dalam hatinya, meskipun ia menduga bahwa Raden Kuda Rupaka mengerti serba sedikit perbuatan tentang Kidang Alit, namun agaknya ia segan untuk bertanya kepadanya.

Demikianlah, tanpa mengucapkan sepatah katapun, keduanya memasuki regol halaman istana kecil yang suran itu. Raden Kuda Rupaka yang disongsong oleh Panji Sura Wilaga pun kemudian meloncat dari kudanya sambil berkata, “Mereka akan segera datang”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Mereka adalah orang-orang yang baik, kita wajib berterima kasih kepada mereka”

“Ya, kita akan mengucapkan terima kasih”

Panji Sura Wilagapun kemudian berpaling kepada Panon yang berdiri termangu-mangu, namun kemudian anak muda itu pun berkata, “Aku berterima kasih atas kuda Raden Panji yang sudah diperkenankan aku mengenderainya”

Panji Sura Wilaga memandanginya sejenak, namun kemudian katanya, “Kembalikan ke gedogan”

“Baik Raden”

Namun ketika Panon akan melangkah menuntun kuda itu, Kuda Rupaka pun berkata pula, “Bawa pula kudaku”

Panon termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menerima kendali kuda itu sambil mengangguk dan menjawab, “Baik Raden”

Panon pun kemudian pergi ke gedongan sambil membawa dua ekor kuda dan kemudian memasukkannya ke dalam.

Sejenak Panon termangu-mangu, sekilas ia teringat olehnya kudanya sendiri yang ditinggalkannya di ujung pegunungan seperti yang dipesankan oleh gurunya.

“Guru tentu sudah datang ke pegunungan ini, dan berada di tempat yang sudah dikatakannya” berkata Panon dalam hatinya, tetapi ia menarik nafas dalam-dalam, ia tidak melihat kesempatan yang baik untuk mencarinya gurunya itu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan gurunya menunggu dengan cemas.

“Jika perlu sekali, apapun yang terjadi, aku harus pergi mencarinya” desisnya di dalam hati.

Namun tiba-tiba saja Panon terkejut ketika ia mendengar suara Sangkan, “He, apa yang kau lakukan disitu?”

Panon berpaling, dilihatnya berdiri di serambi, tetapi agaknya anak muda itu tidak sedang berbicara kepadanya, ternyata ia sedang memandang kearah yang lain.

Panon pun ikut pula memandang ke arah tatapan mata Sangkan, terasa sebuah desir timbul dihatinya, ketika ia melihat seorang gadis berdiri termangu-mangu di sudut istana itu.

Ternyata suara Sangkan telah menyadarkan gadis itu pula, ketika gadis itu berpaling kearah Sangkan, maka Sangkan sudah berkata lagi, “Kenapa kau merenung disitu Pinten? Apakah kau sedang merenung anak pengembara di gedogan itu?”

“Uh” wajah Pinten menjadi merah, tiba-tiba saja tangannya yang sedang memegang sepotong kayu bakar yang diambilnya dari belakang istana telah terayun ke arah kakaknya, untunglah Sangkan sempat berlari sambil berkata, “Pinten, jangan”

Tetapi Pinten justru mengejarnya, ia memungut kayu bakar yang dilemparkannya tetapi tidak mengenai sasarannya sambil berkata, “Awas kau kakang, jika kau lengah, maka aku akan cubit lehermu sampai terkelupas”

Meskipun Sangkan masih berlari, ia sempat bertanya, “He, kenapa di leher?”

Pinten tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba saja muncul Nyi Upih di longkangan sambil berteriak, “He, anak-anak nakal, berhentilah berkelahi, setiap saat kalian pasti bertengkar, apapun sebabnya”

Pinten pun berhenti beberapa langkah dari Nyi Upih sambil mencibirkan bibirnya, ia mengangkat tangannya yang di kepalannya.

Sangkan berdiri di kejauhan dengan ragu-ragu, namun kemudian ia berkata, “Aku tidak apa-apa biyung, Pinten yang mendahului melempar aku dengan sepotong kayu”

“Kenapa kau melempar kakakmu dengan kayu, Pinten?”

“Habis, kakang nakal sekali, awas kau” geramnya.

Tetapi Pinten tidak dapat berbuat lain, ketika ibunya menariknya masuk ke longkangan.

Namun adalah diluar sadarnya bahwa tiba-tiba saja Pinten telah berpaling kearah Panon yang memandanginya dengan termangu-mangu. Seolah-olah ia telah terpukau oleh sesuatu yang tidak dimengertinya pada gadis yang aneh itu.

Ketika Pinten menyadari bahwa anak muda yang ada di gedogan itu pun sedang mamandanginya, maka terasa wajahnya menjadi panas, seolah-olah darahnya memanjat sampai ke ujung ubun-ubun, apalagi ketika ia kemudian mendengar Sangkan bertepuk tangan, maka sambil meronta ia berkata, “Lepaskan biyung, lepaskan aku akan menangkap kakang Sangkan”

Tetapi Nyi Upih tidak melepaskannya, tanpa menjawab Pinten itu pun ditariknya terus masuk ke dalam longkangan.

Sangkan yang masih berdiri termangu-mangu, kedua telapak tangannya masih beradu, meskipun ia tidak lagi bertepuk.

Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar seseorang membentaknya, “Kau sudah menjadi gila lagi He..!!”

Sangkan berpaling, dilihatnya Panji Sura Wilaga menatapnya dengan pandangan mata yang garang.

Wajah Sangkan tiba-tiba menjadi pucat, selangkah ia mundur sambil berkata, “Maaf Raden, aku tidak berbuat apa-apa”

“Kau memang anak gila, baru saja kau menjadi beku ketakutan, sekarang kau sudah berteriak-teriak, berlari-lari seperti bayi, He, apakah sebenarnya kau memang mempunyai penyakit gila?”

Sangkan hanya menundukkan kepalanya saja, jika ia mencoba menjawab, maka seperti yang pernah terjadi, tangan Panji Sura Wilaga akan segera melekat di pipinya.

“Sangkan” suara Panji Sura Wilaga semakin geram, “Jika aku tidak mengingat biyungmu dan Raden Ayu Kuda Narpada, kau sudah aku bunuh dan mayatmu aku suruh mengubur bersama-sama dengan mayat di halaman itu”

“Ampun Raden” suara Kuda Rupaka gemetar.

“Tetapi ingat, sekali lagi kau berbuat gila seperti itu, aku tidak akan memaafkan kau lagi, kau sudah berbuat keterlaluan, selagi kita semuanya dicengkam oleh ketegangan karena persoalan-persoalan yang belum kita kuasai benar, kau justru berlari-lari dengan tanpa menghiraukan keadaan sama sekali”

Sangkan menjadi semakin tunduk.

“Masuklah kedalam bilikmu, atau kerjakan pekerjaanmu yang lain”

“Baik, baik Raden” desis Sangkan, “Bukan maksudku untuk membuat Raden Panji marah seperti ini”

“Anak setan” geram Panji Sura Wilaga yang tiba-tiba saja kemarahannya justru melonjak sempai ke kepala.

Namun ketika hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan memukul Sangkan yang semakin tunduk, tiba-tiba saja Panon telah mendekatinya dan bertanya, “Apakah yang telah terjadi Raden Panji?”

“Anak gila ini membuat gaduh saja di halaman ini, aku ingin memukulnya sehingga mulutnya tidak dapat dipergunakannya untuk berteriak barang dua tiga pekan”

Panon adalah seorang yang paling muak melihat Sangkan yang gila-gilaan itu. Namun dalam pada itu ketika ia melihat anak muda itu menunduk dengan wajah yang pucat, tiba-tiba saja timbul ibanya, karena itu maka katanya, “Sebaiknya Raden Panji memaafkannya, akupun selalu berusaha untuk menghilangkan semua kesan yang buruk pada Sangkan, karena itu, aku tidak menghiraukannya lagi”

“He” tiba-tiba Sangkan berteriak, “Kau harus menurut perintahku disini”

“Jangan berkata begitu Sangkan” jawab Panon, “Aku tahu bahwa sebenarnya kau tidak ingin berkata begitu, memang ada yang aneh padamu, yang tidak aku mengetahuinya, seharusnya kau sudah mulai merubah sikapmu, kita disini benar-benar berada dalam keadaan yang tidak kita inginkan. Karena itu, kau jangan membuat persoalan-persoalan baru dengan siapapun juga, termasuk dengan aku. Dalam keadaan seperti sekarang, darah yang seakan-akan sedang mendidih ini sering menimbulkan sikap yang mungkin tidak kau ingini, karena aku juga dapat bersikap kasar”

Tetapi Sangkan masih menjawab, “Kau sudah berani menantang aku, oleh Raden Ayu kau diserahkan kepadaku, karena itu, semua perintahku adalah limpahan perintah Raden Ayu Kuda Narpada”

Panon adalah anak yang terlalu muda untuk menahan hati, namun ia pun seorang anak muda yang memiliki tanggapan jiwani, karena pergaulannya dan tuntunan gurunya yang cacat justru jasmaninya.

Karena itulah, maka tiba-tiba saja Panon menangkap sesuatu yang lain pada Sangkan, sesuatu yang tidak dapat ditanggapi dengan sikap jasmaniah saja.

“Mungkin anak ini benar-benar telah terganggu jiwanya, “ berkata Panon di dalam hatinya, ia pernah mendengar bagaimana Sangkan menempuh perjalanan yang berat bersama adiknya menyusul ibunya yang mengabdi dengan setia kepada Raden Ayu Kuda Narpada.

“Mungkin perjalanan yang berat, bahkan terlalu berat bagi Sangkan dan Pinten itu telah membuatnya agak berubah“ Katanya dalam hatinya, “Atau memang sebelumnya Sangkan memang mempunyai sifat-sifat yang kurang dapat dipahami”

Namun dalam pada itu, Panji Sura Wilaga yang tidak dapat menahan hati, hampir saja tangannya melayang menampar pipi Sangkan, namun Panon masih sempat menahannya, “Serahkan anak ini kepadaku Raden Panji”

Hampir saja Sangkan berteriak, tetapi Panon mendahuluinya, “Sejak peristiwa semalam, hubungan kita akan berubah Sangkan, juga hubunganmu dengan Ki Mina”

Sangkan menjadi termangu-mangu, namun tatapan mata Panon jadi jauh berbeda dengan tatapan matanya pada saat-saat sebelumnya, karena itu Sangkan tidak lagi mengatakan apa-apa.

“Marilah kita kembali kedalam bilikmu” ajak Panon, “Kita akan berbicara lebih panjang, dan kita harus belajar menahan hati dan ikut berpikir, apa yang sebaiknya kita lakukan di halaman istana ini, bukan hanya sekedar ketakutan, bersembunyi, selebihnya mengacaukan pemusatan pikiran kita”

Sangkan tidak menjawab, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.

“Marilah” ajak Panon sekali lagi.

Sangkan pun kemudian tidak membantah lagi, ia berjalan saja dengan hati yang kosong diiringi Panon, sementara Panji Sura Wilaga masih bergumam, “Jangan kau manjakan anak gila itu, sebaiknya kau bunuh saja ia agar tidak membuatmu kesal”

Panon berpaling, tetapi ia tidak menjawab, ia berjalan terus mengikuti Sangkan ke dalam biliknya, sementara Ki Mina masih saja berada di kebun, menyapu dedaunan kering yang jatuh bertebaran dihembus angin.

Sangkan duduk termangu-mangu di pembaringannya, dilihatnya Panon duduk pula diamben yang lain, tetapi untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri.

Dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Mina pun memasuki bilik itu sambil berkata, “Beberapa orang telah datang dari padukuhan”

Sangkan mengangkat wajahnya, tetapi ia tidak menyahut. Panonlah yang kemudian bertanya, “Apakah mereka sudah ditemui oleh Raden Kuda Rupaka?”

“Ya” jawab Ki Mina, “Mereka sudah mulai”

Panon pun kemudian berdiri, katanya, “Aku akan membantu mereka, biarlah kau berada disini paman”

Ki Mina mengangguk.

Sepeninggal Panon, Ki Mina duduk di ambennya, sejenak dipandanginya wajah Sangkan yang buram.

“Apa yang kau pikirkan Sangkan?”

“Kalian berdua ternyata sudah menipu aku” jawab Sangkan

“Kenapa?, apa yang kami tipu atas dirimu?”

“Kalian menyebut diri kalian berdua sebagai perantau yang mencari belas kasihan, tetapi ketika kalian sudah berada di istana ini, ternyata kalian adalah orang-orang yang termasuk mereka yang membiarkan dirinya dikuasai oleh kekerasan jasmaniah”

“Semua itu kami lakukan dengan terpaksa Sangkan”

“Apapun alasasmu, tentu kalian sengaja mengelabui aku, biyung dan Raden Ayu Kuda Narpada”

Ki Mina termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Kami tentu akan memohon maaf kepada Raden Ayu, kepada ibumu dan kepadamu kakak beradik, namun percayalah bahwa bagaimanapun juga, maksud kami adalah maksud yang baik bagi istana ini seisinya”

“Kalian termasuk salah satu dari mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu, meskipun kalian bersikap baik, tetapi tentu karena kalian mempunyai pamrih seperti Raden Kuda Rupaka”

“Apakah Raden Kuda Rupaka mempunyai pamrih?, ia adalah kemanakan Raden Ayu Kuda Narpada, sehingga yang dilakukannya adalah semata-mata untuk melindungi istana ini, jika Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mencurigai kami, itupu sudah sewajarnya, karena mereka belum mengenal kami”

“Tidak seorangpun yang mengenal kalian” jawab Sangkan, “Aku pun menjadi curiga, kenapa kalian berdua tiba-tiba saja datang ke istana ini dengan memperdengarkan tembang yang ngelangut dan menimbulkan belas kasihan itu?”

Ki Mina menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku kurang mengetahui Sangkan”

“Sudah tentu kau tidak akan mengatakannya kepadaku, tetapi baiklah, itu adalah hakmu. Dan kau serta Panon tentu berbangga melihat bahwa akulah yang kemudian terpaksa menjadi orang yang paling tidak berharga di istana ini seperti sebelum kalian datang, aku mengira bahwa kehadiran kalian akan sedikit menjunjung derajatku di lingkungan istana ini, tetapi justru sebaliknya, bahkan Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga selalu saja mengancam akan membunuhku”

“Rubahlah kelakuanmu, sudah tidak pantas kau berbuat seperti anak-anak, sebenarnyalah bahwa Panon juga sering merasa tersinggung, tetapi aku selalu memperingatkan, bahwa sifat kekanak-kanakanmu tidak sepantasnya mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam.

“Kau harus sadar, bahwa yang terjadi di istana ini benar-benar mengancam keselamatan kita semuanya. Karena itu, kau tidak boleh menganggapinya dengan sifat kekanak-kanakanmu, ketakutan, kemudian setelah semuanya mereda, kau tidak menghiraukannya lagi atas semua yang telah terjadi”

Sangkan tidak menjawab, tetapi tatapan matanya tertuju ke noktah-noktah di kejauhan, dipandanginya cahaya matahari diluar yang bermain diatas dedaunan.

“Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa” desisnya.

“Kenapa tidak? Sudah tentu bukan karena kau tidak mampu, tetapi karena kau memang tidak mau melakukannya”

“Tetapi bukankah untuk dapat berbuat sesuatu, aku harus berlatih lebih dahulu? Dan untuk itu diperlukan ketekunan dan waktu?”

“Ya, tetapi kau tidak usah menjadi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, berbuatlah dengan dewasa, itu saja. Kau tentu tahu, bahwa sudah waktunya kau menggantungkan nasibmu pada dirimu sendiri. Sudah waktunya kau membedakan mana yang lebih dan mana yang buruk, dan sudah waktunya kau melakukan pilihan dengan sadar dan bertanggung jawab”

Sangkan mengangguk-angguk.

“Sudahlah Sangkan, jika kau berbuat demikian, maka Panji Sura Wilaga tidak akan selalu mengancammu lagi”

“Mudah-mudahan aku dapat melakukannya mulai sekarang”

“Baiklah, cobalah dan yakinlah bahwa kau dapat melakukan sebaik-baiknya”

Sangkan mengangguk-angguk pula, tetapi ia tidak menjawab.

Ki Mina kemudian berdiri dab melangkah keluar sambil bergumam, “Aku akan pergi ke halaman depan, jika ada yang harus aku kerjakan membantu orang-orang yang sedang menyingkirkan mayat dan menguburkannya. Dan kau tidak usah bersembunyi di bawah kolong ambenmu mendengar ceritera tentang kematian yang mungkin masih akan menyusul lagi”

Sangkan tidak menjawab, ia masih saja duduk di tempatnya.

Sepeninggal Ki Mina, Sangkan menarik nafas panjang, panjang sekali, namun ketika ia berdiri ia mendengar langkah perlahan-lahan mendekati pintu biliknya, dan tiba-tiba saja seseorang meloncat sambil berkata lantang, “Nah, tertangkap kau sekarang kakang Sangkan”

Sangkan memandang Pinten sejenak, namun kemudian katanya, “Kemarilah Pinten”

“Aku akan membalas, kau sudah menggoda aku sejak tadi pagi”

Sangkan mengangguk-angguk kecil, namun wajahnya masih saja nampak bersungguh-sungguh, katanya sekali lagi, “Kemarilah Pinten, duduklah, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu”

Pinten pun menjadi heran melihat sikap Sangkan, ia masih berkata, “Aku tidak perduli, aku harus mencubitmu sampai lecet”

“Baiklah, tetapi dengarkan dahulu, aku akan berkata kepadamu, aku bersungguh-sungguh Pinten”

Pinten mengerutkan keningnya, agaknya kakaknya memang akan bersungguh-sungguh, karena itu, maka ia pun melangkah masuk dan duduk diamben”

Namun dalam pada itu, Sangkan tekah meloncat kepintu sambil mencibirkan bibirnya, “Kau tidak akan dapat menangkap aku Pinten”

“Curang, curang” Pinten meloncat pula beridiri, tetapi keduanya bertubrukan di muka pintu, karena ternyata Sangkan tidak berlari kemana-mana.

Tetapi ketika dengan gemas Pinten mengulurkan tangannya, Sangkan berkata, “Tidak, aku tidak lari, aku benar-benar bersungguh-sungguh kali ini”

Tetapi Pinten sudah mencubit dan diputernya sehingga Sangkan menyeringai, “Sudah, sudahlah, Aduh!!”

“Sekarang aku baru puas”

Sangkan mengusap lengannya yang menjadi kemerah-merahan, namun kemudian wajahnya telah menjadi bersungguh-sungguh lagi, dengan suara yang bersungguh sungguh pula, ia berkata, “Aku memang akan mengatakan sesuatu kepadamu”

Pinten duduk ladi di amben disebelah Sangkan, sorot matanya mengandung pertanyaan tentang sikap kakaknya yang agak berbeda.

“Kenapa kau sebenarnya kakang?”

Sangkan kemudian mengatakan, bahwa baru saja Ki Mina memberikan beberapa petunjuk kepadanya, agar ia mau merubah sikapnya.

Pinten justru mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Uh, kita disuruhnya bersikap seperti patung?, diam dan selalu muram?”

“Bukan begitu Pinten.Aku Mengerti,Bahwa sifat kekanak-kanakan kadang-kadang sangat menjengkelkan”.

“O, ternyata kau adalah murid Ki Mina yang pandai, tetapi kakang jangan mencoba merubah sifat-sifatku”.

“Tidak. Bukan kau Pinten, tetapi aku. Aku adalah laki-laki. Sedang kau adalah seorang gadis”.

“Jadi kau melihat perbedaan antara seorang gadis dan seorang laki-laki”.

“Ya, tetap tidak dalam keseluruhan, karena memang kodratnya bebeda”

Pinten mengangguk-angguk. Dan Sangkan pun berkata terus” Tetapi yang penting adalah, bahwa keadaan yang gawat ini memerlukan tanggapan yang wajar”

Pinten pun tiba-tiba menjadi bersungguh-sungguh juga. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apakah maksudmu, kau tidak akan bersembunyi lagi di bawah kolong jika terjadi sesuatu?”

“Maksudku demikian” namun kemudian suaranya datar, “tetapi apakah aku dapat melakukannya?”

Pinten termenung sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia berdiri dan melangkah meninggalkan bilik kakaknya.

Sangkan pun tidak berkata apa-apa lagi. Dipandangi saja adiknya yang melangkah melewati tunduk, kemudian hilang dibalik daun pintu.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih tetap duduk di tempatnya.

Sementara itu beberapa orang masih sedang sibuk dihalaman depan. Mereka tengah menyelenggarakan tiga sosok mayat dari orang-orang yang tidak mereka kenal.

Tetapi yang mereka ketahui adalah para murid dari perguruan Guntur Geni.

Sementara orang-orang dihalaman menjadi sibuk. Raden Ayu Kuda Narpada berada di dalam biliknya dengan wajah yang muram. Inten Prawesti yang duduk di sampingnya sekali-sekali mengusap matanya yang basah, sementara Nyi Upih duduk dilantai dekat sebelahnya.

“Sudahlah puteri” berkata Nyi Upih, “Memang keadaan yang kita hadapi rasa-rasanya menjadi semakin berat, tetapi puteri harus percaya kepada Gusti Allah, bahwa Dia akan menolong hambanya, dan akhirnya semua kesulitan ini akan teratasi, seperti pesan Yang Maha Agung ini “SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, katanya, “Aku mengerti, aku sudah mencoba untuk menerima kenyataan hilangnya Kamas Kuda Narpada. Ketika hatiku mulai mengendap, justru persoalannya beralih kepada pererbutan pusaka yang membuat hatiku menjadi semakin parah, luka yang sudah hampir sembuh itu bukan saja menjadi kambuh, tetapi seolah-olah itu menjadi semakin lebar dan dalam mencengkam jantung.”

Nyi Upih mengangguk-angguk, ia mengerti betapa pedihnya luka di hati Raden Ayu yang menjadi semakin tua itu. Seolah-olah beban yang harus dipikulnya sudah tidak terangkat lagi olehnya.

Tetapi setiap kali Nyi Upih selalu memberikan harapan-harapan yang dapat meringankan beban di hati kedua puteri itu, Inten Prawesti menjadi lebih terhibur hatinya sejak Pinten ada di rumah itu, namun demikian kadang-kadang terasa juga kepahitan yang dalam telah mencengkamnya, hidupnya yang agak terpisah dari hubungan dengan sesama, dan di saat-saat terakhir justru di kelilingi oleh kecemasan dan ketegangan yang semakin memuncak.

Dalam pada itu, selagi bilik itu dicengkam oleh kesenyapan yang pahit, Pinten dengan ragu-ragu mendekati pintu, ketika ia menjengukkan kepalanya, maka dilihatnya suasana yang sangat muram itu.

“O, maaf puteri, aku tidak tahu”

“Pinten” tiba-tiba saha Inten memanggil, “Masuklah”

“Puteri, aku hanya ingin memberitahukan kepada biyung bahwa nasi sudah masak”

“O, angkatlah” sahut Nyi Upih, “Sebentar lagi aku akan ke dapur”, Lalu ia pun bertanya kepada Raden Ayu, “Apakah kita akan menjamu orang-orang yang ada di halaman itu? Mungkin minum-minum?”

Raden Ayu termangu-mangu, baru sejenak kemudian ia menjawab, “Apakah kita dapat menjamunya meskipun hanya munum?”

Nyi Upih mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu puteri. Kita masih mempunyai beberapa tangkep gula kelapa, seorang dari padukuhan telah memberikannya kepadaku ketika aku berada di halaman depan”

“O, dan kau menerimanya?, mungkin beberapa tangkep gula itu akan dijualnya di pasar untuk membeli pakaian anak-anaknya”

“Aku sudah mengatakannya puteri, tetapi ia memaksa, dan karena agaknya hatinya akan kecewa jika aku menolaknya, maka akhirnya aku menerimanya”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam, pada suatu saat ternyata datang gilirannya, bahwa orang-orang di sekitarnyalah yang menaruh belas kasihan kepadanya.

Terasa setitik air mengembun dimatanya, namun ia mencoba bertahan, bahkan kemudian sambil tersenyum betapapun masamnya, ia berkata, “Baiklah Nyai, jika air telah mendidih, dan kau mempunyai beberapa potong sere, buatlah minuman untuk beberapa orang yang ada di halaman.”

“Ya, puteri” sahut Nyi Upih, tetapi ia mengerti, bahwa sesuatu telah menyentuh hati Raden Ayu.

Nyi Upihpun kemudian meninggalkan bilik itu dan pergi kedapur bersama Pinten, namun ketika Pinten mulai melangkah, Inten berkata, “Aku akan pergi bersamamu ke dapur”

Nyi Upih tertegun, katanya kemudian, “Apakah tidak lebih baik puteri menemani ibunda di sini?”

Sambil memandang ibundanya Inten berkata, “Apakah aku boleh ke dapur ibunda?”

“Pergilah, tetapi segeralah kembali, ibu terlalu sepi sendiri dalam keadaan seperti ini”

Intenpun kemudian pergi pula ke dapur bersama Pinten dan Nyi Upih, tetapi terasa juga, bulu-bulunya meremang ketika ia dengar suara beberapa orang di halaman.

Mereka sedang sibuk membuat usungan untuk mengangkat ketiga sosok mayat dan menguburkannya.

Ketika mereka sampai ke dapur, mereka tertegun, Sangkan ternyata telah duduk memeluk lututnya sambil menekuri api yang masih menyala, wajahnya nampak menjadi kemerah-merahan oleh cahaya api yang melonjak-lonjak memanasi belanga.

“O” desis Nyi Upih, “Kau sedang merenungi api itu Sangkan?”

Sangkan menarik nafas, perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah surut,

“Kadang-kadang cahaya api memberikan getar yang gemuruh di dalam hati”

“He” desis Nyi Upih, “Apa yang kau katakan itu? Aku tidak mengerti maksudmu sama sekali”

“Biyung” desis Sangkan, “Cobalah lihat, lidah api itu seolah-olah menjilat-jilat, jika api itu cukup besar, maka nyalanya akan menjilat langit”

“Sangkan, apakah kau sedang mengigau?” bertanya Nyi Upih.

“Tidak Biyung, aku berkata sebenarnya, seperti yang sedang melonjak di dalam hatiku”

“O” Pinten lah yang menyahut, “Apakah hatimu sedang tersentuh api kakang?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Jika Api itu cukup besar, betapa dinginnya malam, hati akan menjadi hangat pula”

Pinten tertawa, katanya, “Kua tidak usah mempergunakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh biyung, katakan sajalah bahwa kau sudah menjadi dewasa”

“Ah” desis Sangkan, “Kau selalu salah sangka, cobalah kau perhatikan, betapapun juga aku seorang penakut, tetapi jika pada suatu saat, aku tidak dapat mengelak lagi, maka apaboleh buat”

“O” tiba-tiba saja Pinten bertepuk tangan, “Kakakku akan menjadi pahlawan”

“Sst” desis Sangkan, “Jangan bertepuk tangan, jika Panji Sura Wilaga mendengar, maka aku akan dibunuhnya”

“He” Inten Prawesti lah yang kemudian bertanya, “Kenapa Paman Panji akan membunuhmu”

Belum lagi Sangkan menjawab, terdengar langkah yang tergesa-gesa mendekati pintu dapur, ketika seseorang tersimbul di muka pintu, Sangkan segera melangkah surut.

“Bukan aku, bukan aku Raden Panji, yang bertepuk adalah Pinten”

Gigi Panji Sura Wilaga gemeretak, diantara geramnya yang tertahan karena di dalam dapur itu ternyata juga terdapat Inten Prawesti, ia berkata, “Aku sudah memberimu peringatan Sangkan”

“Tetapi yang bertepuk bukan Sangkan paman” Inten lah yang menjawab, dan agaknya jawaban itu mengejutkan Panji Sura Wilaga.

“Anak muda itu memang anak gila puteri” sahut Panji Sura Wilaga.

“Bukan paman, aku tidak berkeberatan ia bertingkah laku demikian, bagiku justru kehadirannya dengan sikap dan tingkah lakunya dapat memberikan warna yang lain dari kesuraman yang selalu tampak di istana ini, Sangkan dan adiknya, sejak mereka datang merupakan kesegaran baru bagi aku dan ibunda”

“Tetapi anak itu sangat memuakkan puteri, dalam keadaan yang gawat, bahkan selagi semua orang sedang di cengkam kecemasan karena setiap saat maut dapat menerkamnya, ia masih sempat bergurau dengan adiknya dan bahkan bertepuk tangan, justru beberapa orang sedang sibuk di halaman depan”

“Tetapi mereka tentu tidak mendengar” tiba-tiba saja Pinten menyela, “Aku bertepuk tidak terlampau keras, jangankan dari halaman depan, sedangkan dari ruang dalampun tentu tidak akan terdengar, nah, karena Raden Panji mendengar, tentu Raden Panji tidak sedang berada di halaman depan”

Wajah Panji Sura Wilaga menjadi merah, ternyata gadis anak pelayan itu pun telah berani membantahnya, karena itu dengan suara yang tertahan-tahan karena kemarahan yang tertekan dihati ia berkata, “Kau jangan turut campur tangan Pinten, kau adalah seorang gadis, urusan ini adalah urusanku dengan Sangkan”

“O, maaf Raden Panji, tetapi bukan maksudku untuk mencampuri persoalan laki-laki, aku hanya berkata sebenarnya”

“Diam” bentak Panji Sura Wilaga.

“Diamlah Pinten” gumam Sangkan pula, “Jika Raden Panji marah, aku tentu akan dibunuhnya. Baru tadi Raden Panji sudah mengatakan, bahwa ia akan membunuhku”

“Diam, diam” geram Panji Sura Wilaga.

“Paman” tiba-tiba saja Inten menengahi, “Apakah benar paman akan membunuhnya?”

Panji Sura Wilaga termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Pertanyaan puteri sangat membingungkan, jika aku menjawab ‘Ya’, maka persoalannya akan berubah, seolah-olah aku membunuh seseorang yang tidak bersalah selain yang membuat aku jengkel sekali, jika aku menyebutnya sebagai usaha untuk menakut-nakuti saja, maka ia tentu tidak akan takut lagi untuk berbuat, karena ia pasti, bahwa aku tidak benar-benar akan membunuhnya”

“O” Inten mengangguk-angguk, namun semuanya berpaling kearah Pinten yang dengan susah payah menahan tertawanya.

“Pinten” Nyi Upihlah yang membentaknya, sementara Panji Sura Wilaga menggeretakkan giginya.

“Sudahlah paman” berkata Inten kemudian, “Biarkan aku sajalah yang mengurus anak-anak ini, aku akan menasehatinya yang paman kehendaki. Aku kira, mereka tidak akan mengulangi lagi”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengedapankan segala amcam perasaan yang bergelora di dadanya.

“Baiklah puteri, desisnya kemudian, “Aku mohon puteri sudi memperingatkannya terus menerus, jika anak itu masih saja berbuat gila, maka aku akan mengikatnya di kuburan, dekat dengan mayat-mayat yang baru saja dikuburkan”

“Ah” desis Sangkan

Panji Sura Wilaga tidak menghiraukannya lagi, dengan wajah yang muram ia meninggalkan pintu dapur sambil bergumam kepada diri sendiri, “Jika saja puteri tidak ada di dapur”

Hal itu membuat Panji Sura Wilaga semakin jengkel kepada Sangkan. Namun kemudian ia hanya dapat menggeretakkan giginya. Agaknya Inten Prawesti sudah mengetahuinya, bahwa ia sangat membenci Sangkan.

“Tetapi jika terjadi sesuatu diluar tahuku, maka akulah yang pasti akan dituduh melakukannya” desis Panji Sura Wilaga kepada diri sendiri.

Sementara itu orang-orang di halaman telah selesai membuat usungan dan siap membawa mayat-mayat itu pergi ke kuburan. Dan setelah minum seteguk air, maka mereka pun segera bersiap-siap.

Sejenak kemudian, maka mereka pun membawa mayat-mayat itu ke kuburan di sebelah padukuhan Karangmaja.

“Kita akan pergi bersama mereka” berkata Raden Kuda Rupaka kepada Panon.

Panon mengangguk-angguk sejenak, Namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, dan bagaimana dengan Paman Mina?”

“Biarlah ia tinggal di istana ini bersama paman Panji, mungkin ada sesuatu yang dapat terjadi di halaman istana ini seperti yang mungkin terjadi di perjalanan kita ke kuburan”

Panon mengangguk-angguk sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, aku akan memberikan beberapa pesan kepada paman Mina dan barangkali Raden juga akan memberikan beberapa pesan kepada Raden Panji”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, hanya kepalanya sajalah yang terangguk kecil.

Panon pun kemudian mendekati Ki Mina yang berdiri di pinggir halaman itu sambil menyaksikan orang-orang Karangmaja yang siap membawa usungan mayat itu ke kuburan.

“Aku akan pergi bersama mereka” berkata Panon

“Raden Kuda Rupaka lah yang mengajakku”

“Pergilah dan hati-hatilah”

“Baik, Paman”

Panon pun kemudian meninggalkan istana itu bersama dengan orang-orang Karangmaja. Di paling depan Raden Kuda Rupaka, mendahului diatas punggung kudanya, sementara Panon hanya berjalan kaki di belakangnya.

Kuburan itu memang tidak begitu jauh, terletak juga diluar padukuhan seperti istana kecil itu, jalan kecil yang berdebu menghubungkan kuburan itu dengan jalan masuk yang membelah padukuhan Karangmaja.

Iring-iringan itu sama sekali tidak mendapat gangguan apapun di perjalanan.

Namun baik Raden Kuda Rupaka yang berada di depan, maupun Panon yang berjalan kaki di belakangnya bersama dengan orang-orang Karangmaja, merasakan seolah-olah beberapa pasang mata sedang mengawasinya dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak, siapa dan dimanakah mereka itu bersembunyi.

Semata-mata hanyalah firasat mereka tajam sajalah yang mengatakan kepada mereka, bahwa ada orang-orang yang menaruh perhatian berlebih-lebihan atas peristiwa itu.

Ketika iring-iringan itu sampai ke kuburan, Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya. Ternyata Kidang Alit telah duduk diatas sebuah batu sebesar kerbau yang terdapat dipinggir kuburan itu.

Kidang Alit tersenyum melihat wajah Raden Kuda Rupaka yang menjadi muram. Namun Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak menghiraukannya.

Berbeda dengan Raden Kuda Rupaka, ketika Panon melihat anak muda itu, maka ia pun kemudian mendekatinya sambil bertanya, “Kau sudah lama duduk disini Kidang Alit?”

Kidang Alit memandang wajah Panon dengan tajamnya, baru saat itu, ia sempat memperhatikan mata pengembara itu. Namun dengan demikian Kidang Alit segera mengambil kesimpulan, “Anak muda ini adalah anak muda yang sangat berbahaya”

Ketika Panon kemudian berdiri bersandar pada batu itu, maka Kidang Alit pun menjawab, “Aku ingin turut menghormati upacara pemakaman ini”

“O” desis Panon. “Jadi kau merasa perlu juga untuk memberikan pernghormatan terakhir?”

“Tentu meskipun bukan aku yang membunuhnya, tetapi kau dan Raden Raden Panji Sura Wilaga” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “Tetapi siapakah sebenarnya yang telah membunuh yang seorang lagi?”

Panon menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak seorang pun yang tahu, mungkin orang-orangmu yang kau katakan berada di halaman istana itu pula”

“Tidak, orang-orangku tidak sempat berbuat apa-apa”

“Mereka bertemu dengan paman Mina?, begitu?”

Kidang Alit termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun tertawa, “Lucu sekali. Perebutan pusaka di istana itu adalah tugas yang paling sulit yang pernah aku lakukan. Aku pernah mendapat tugas untuk mengambil sebilah pedang berpamor emas di diselut dengan permata. Wrangkanya terbuat dari emas pula, sedang pada hulunya juga terdapat beberapa butir berlian dan mutiaria. Sedangkan pada hulu itu pula, terdapat beberapa untai rambut seseorang yang pernah dibunuh dengan pedang itu. Pedang yang disebut seperti yang dikatakan kepadaku, Kiai Sangga langit” Ia berhenti sejenak, lalu, “aku telah menjumpai kesulitan seperti ini. Aku berhasil membunuh seorang demi seorang dari tujuh orang bersaudara yang pernah merasa berhak mewarisi pedang itu. Tetapi disini, aku tidak segera berhasil merampas sehelai pusaka dari seorang janda yang mempunyai seorang gadis yang sangat cantik”

Panon mengangguk-angguk, katanya, “Kau pernah membunuh tujuh orang bersaudara?”

“Ya”

“Siapakah sebenarnya yang memerintahkan kepadamu untuk mencuri pusaka itu?”

“O” Kidang Alit mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Aku terlanjur mengatakan, seseorang telah memerintahkan aku, sudah tentu orang itu adalah ayahku, juga sebagai guruku”

“Untuk Apa?”

Kidang Alit tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang sedang mengubur mayat itu pun berpaling. Tetapi Kidang Alit tidak menghiraukannya. Katanya, “Sudah barang tentu seperti yang kau lakukan. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, untuk apa kau datang kemari dan apa dengan mengorbankan harga diri, menyamar sebagai seorang pengemis yang kotor, mencari belas kasihan di istana itu?”

Panon termangu-mangu sejenak, terasa sebuah sentuhan yang kasar telah menyinggung perasaannya. Namun Panon pun telah berlatih menahan perasaannya meskipun sedang berguncang. Dalam batas-batas tertentu ia masih dapat menahan diri. Dan setiap kali ia selalu teringat gurunya, bahwa kemarahan yang tidak terkendali justru akan dapat menyesatkan nalar yang bening. Karena itu, maka Panon pun justru tersenyum mendengar kata-kata Kidang Alit yang sudah tentu ingin menyatakan kemarahan di dalam hatinya.

“Panon” berkata Kidang Alit selanjutnya, “Tetapi agaknya kau salah hitung. Kau sudah terlanjur merendahkan dirimu, namun pada saat kau harus menyatakan diri, bahwa kau adalah seorang anak muda yang perkasa. Tetapi kau sudah terlanjur berada dibawah pengaruh Raden Kuda Rupaka. Seolah-olah tataran yang kau bentuk sejak kau datang sebagai pengemis tidak dapat kau hapuskan. Seperti yang aku lihat sekarang ini, Raden Kuda Rupaka pergi ke kuburan dengan berkuda, sedang kau harus berjalan kaki mengiringinya”

“Kenapa jika begitu?”

“Bukankah kau bukan benar-benar seorang pengemis, kau berhak berkuda sejajar dengan Kuda Rupaka. Kau tidak terikat pada kedudukan apapun juga”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Sayang, aku tidak dapat berbuat demikian”

“Kenapa?”

“Bukan karena derajatku lebih rendah, kerena memang aku tidak mempunyai seekor kuda pun disini”

Wajah Kidang Alit menjadi tegang, ia tidak menduga bahwa jawaban Panon begitu sederhana saja.

“Tetapi kau pergi ke padukuhan dengan seekor kuda?”

“Raden Panji meminjamkan kepadaku”

“Kenapa sekarang tidak?”

“Itu adalah haknya, ia dapat dengan senang hati meminjamkan kudanya kepadaku, tetapi ia juga dapat menolak jika aku meminjamnya. Dan aku sadar sepenuhnya akan hal itu”

“Persetan kau anak malang” desis Kidang Alit

“Agaknya kau memang berjiwa pengemis, kau sama sekali tidak menghargai dirimu lagi. Meskipun sebenarnya kau adalah seorang anak muda yang tidak ada duanya”

Panon tertawa. Dipandanginya wajah Kidang Alit yang nampak bersungguh-sungguh. Bahkan Panon kemudian bertanya, “Kau bersungguh-sungguh menganggap aku anak muda yang tidak ada duanya?”

Kidang Alit mengerutkan keningnya dengan tegang. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil bergumam, “Kau benar-benar anak setan. Kenapa kau tidak menjadi marah dengan mengumpati Raden Kuda Rupaka yang telah menganggapmu benar-benar seorang pengemis yang pantas dikasihani”

“Jika demikian, maka aku akan sangat berbangga”

“Kenapa?”

“Itu berarti bahwa aku berhasil, sehingga orang lain benar-benar menganggapku seorang pengemis yang sebenarnya”

“Gila” geram Kidang Alit sambil meloncat turun dari batu besar itu, “Kau memang orang yang ternyata paling berbahaya di istana itu. Lebih berbahaya dari Raden Kuda Rupaka sendiri”

“Apakah kau bukan orang yang lebih berbahaya lagi?” bertanya Panon.

“Mudah-mudahan” jawab Kidang Alit sambil tersenyum, “Aku berharap demikian. Dan aku berharap bahwa Raden Kuda Rupaka menganggap demikian”

Panon tertawa, katanya, “Tidak ada yang dapat dipercaya lagi di sekitar istana itu. Bukankah setiap orang sadar, bahwa kita nampak ini bukannya kita yang sebenarnya?, kau menganggap pula bahwa Raden Kuda Rupaka tidak dengan jujur melindungi bibinya, tetapi karena pamrih yang sama seperti kau dan aku. Tetapi sudah barang tentu aku dan Raden Kuda Rupaka pun tidak menganggap kau sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Kau tentu membawa tugas dari seseorang mungkin gurumu, mungkin ayahmu, mungkin karena pamrih yang lain tentang pusaka itu, seperti juga kami. Namun satu lagi hal yang kau lakukan dengan jujur”

“Apa?”

“Mengganggu dan menodai gadis-gadis, tentu itu adalah sifatmu yang sebenarnya”

Kidang Alit tertawa, “Kau memang anak setan. Tentang pusaka itu semua orang sudah tahu. Aku memang ingin memilikinya. Dengan kasar atau halus. Jika terpaksa aku harus membunuh atau dibunuh. Aku tidak ingkar. Tetapi tentang gadis-gadis itu, kau memang seorang pengembara yang gila”

Panon pun tertawa.

“Sudahlah, ternyata kau bukan Kuda Rupaka. Kau jauh lebih berbahaya karena sifat-sifatmu, bukan karena ilmumu”

Panon tidak menjawab, dipandanginya saja Kidang Alit melangkah meninggalkannya sambil bergumam, “Mereka hampir selesai”

Panon tidak menjawab, namun ia melihat orang-orang padukuhan itu sudah mulai menimbuni mayat yang baru dikuburkan itu. Sementara Raden Kuda Rupaka benar-benar tidak menghiraukan kehadiran Kidang Alit. Bahkan ketika Kidang Alit melangkah perlahan-lahan meninggalkan kuburan itu.

Panon masih tetap berdiri bersandar batu besar itu. Namun seperti yang bergejolak di dalam hati Kidang Alit. Ia pun berkata kepada diri sendiri, “Anak muda yang sangat berbahaya, hatinya tidak cepat membara”

Sejenak kemudian maka penguburan mayat itu pun sudah selesai. Beberapa orang yang menimbuni lubang-lubang kubur itu sudah bergeser meninggalkan tempatnya.

Sementara itu Raden Kuda Rupaka masih sempat mengucapkan terima kasih kepada orang-orang padukuhan yang telah membantunya menguburkan mayat-mayat itu.

“Jika terjadi sesuatu atas kalian karena kalian telah membantu aku sekarang ini, sampaikanlah kepadaku, aku akan berbuat lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang”

“Baik, Raden. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” jawab seseorang.

“Mudah-mudahan, aku kira setiap orang mengetahui, bahwa yang kalian lakukan adalah sekedar menguburkan mayat-mayat itu. Sebenarnya siapapun juga akan mengucapkan terima kasih kepada kalian. Juga kawan orang yang mati itu. Dengan demikian, maka kawan mereka telah diselenggarakan dengan sewajarnya”

Demikianlah maka Raden Kuda Rupaka pun meninggalkan kuburan itu dengan kudanya. Seolah-olah ia tidak menghiraukan lagi Panon yang berjalan bersama-sama dengan orang-orang padukuhan yang beriringan berjalan meninggalkan kuburan itu pula.

Beberapa orang yang berjalan disebelah menyebelah Panon, mencoba untuk mengetahui sebanyak-banyaknya apa yang telah terjadi di halaman istana kecil itu. Mereka berganti-ganti telah bertanya tentang berbagai macam kejadian yang telah mengorbankan tiga jiwa yang tubuhnya baru saja dikuburkannya.

Panon pun menceritakan beberapa hal yang dianggapnya tidak terlalu banyak menyangkut dirinya. Ia tidak menceritakan sampai bagian yang sekecil-kecilnya, karena terhadap orang-orang padukuhan Karangmaja, Panon masih tetap berusaha untuk dianggap sebagai seorang perantau yang tidak mempunyai banyak kepentingan di istana kecil itu selain belas kasihan.

“Kenapa kau langsung pergi ke istana kecil itu, dan tidak memilih tempat lain? Dirumah Ki Buyut misalnya? Dengan demikian kau tidak selalu dibayangi oleh peristiwa yang mengerikan yang selalu terjadi di halaman istana itu” bertanya seorang yang berkumis dan berambut putih.

“Aku menganggap bahwa istana itu mempunyai tempat yang paling baik bagi orang-orang seperti aku ini, aku kira penghuni itu tentu soerang yang berkelebihan dibanding dengan orang-orang Karangmaja. Namun ternyata bahwa penghuni istana itu pun mengalami banyak kesulitan. Tanpa Raden Kuda Rupaka, maka seisi istana itu tentu akan mengalami kekurangan makan dan pakaian”

“Orang-orang Karangmaja tidak akan membiarkannya” berkata seorang yang bertubuh gemuk, “Kami semuanya merasa berhutang budi kepada Pangeran Kuda Narpada. Daerah Karangmaja yang semula kering, kini menjadi hijau, lereng-lereng bukit yang gundul pun telah ditumbuhi pepohonan berdaun lebat”

Panon mengangguk-anggukan kepalanya.

“Tetapi sayang, yang terjadi adalah malapetaka pada keluarga yang baik itu. Dan kami tidak dapat berbuat apa-apa, selain menawarkan bantuan yang mungkin kami berikan. Namun agaknya Raden Ayu Kuda Narpada pun tidak mudah menerima bantuan orang lain”.

Panon mengangguk-angguk namun kemudian ia pun berkata, “Terima kasih, aku minta diri, bukankah kalian akan langsung kembali ke padukuhan?, sementara itu aku akan kembali ke istana itu”

“Jika kau dapat membantu, kau harus membantu apapun yang dapat kau lakukan” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan itu, “Kami juga akan selalu berusaha untuk membantu, tetapi sudah barang tentu tidak untuk berkelahi, karena kami tidak memiliki kemampuan apapun juga”

Panon mengangguk-angguk, katanya, “Aku akan berusaha sejauh yang dapat aku lakukan”

Dengan demikian, maka Panon pun memisahkan diri berbelok menuju ke halaman istana yang dikelilingi oleh sebuah dinding batu, dengan sebuah regol yang tua, meskipun sudah tidak miring lagi, karena telah diperbaiki oleh Sangkan dan kemudian diselesaikan oleh Panon sendiri.

Langkah Panon yang lamban membuat perjalanannya yang pendek itu menjadi lama, namun Panon sengaja memperlambat langkahnya sambil mengamat-amati keadaan di seputar istana itu.

“Aku harus mendapatkan waktu untuk menemui guru” berkata Panon kepada dirinya sendiri, “Aku tidak dapat dengan diam-diam meninggalkan istana itu. Karena disekeliling istana itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Mungkin Raden Kuda Rupaka, mungkin Panji Sura Wilaga, tetapi juga mungkin Kidang Alit atau orang-orang Guntur Geni jika masih berkeliaran, tentu akan melihatku dan mungkin akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang dapat membentur-kan kekerasan.

Dengan demikian Panon masih selalu mencari-cari kesempatan yang paling baik untuk dapat melaksanakannya.

“Guru tentu sudah menunggu” desisnya. Namun dalam pada itu, Panon pun menduga, bahwa gurunya tentu sudah mendekati istana kecil itu, apabila ia tidak sabar lagi menunggu, atau diganggu oleh kecemasan tentang keselamatannya.

“Semua dapat terjadi, tetapi, tetapi aku tidak tahu yang manakah yang telah terjadi sekarang”

Perlahan-lahan Panon melangkah terus, semakin lama semakin dekat dengan gerbang istana kecil itu. Namun ia masih saja memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Puntuk-puntuk kecil dan lembah-lembah yang menjulur diantara bukit-bukit. Bahkan ada yang semakin jauh menjadi semakin curam dan dalam. Dan Panon pun tahu, bahwa di balik bukit-bukit kecil itu, atau di lembahlembah yang curam, telah tersembunyi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas istana kecil itu.

Langkah Panon tertegun ketika ia melihat Sangkan berdiri di pintu regol yang masih terbuka. Agaknya Raden Kuda Rupaka baru saja melintas masuk.

Sangkan yang berdiri di regol memandanginya dengan tatapan yang berbeda dengan sehari-hari sebelumnya. Pada wajah anak muda itu sudah mulai nampak kesungguhan.

Bukan lagi sebagai wajah anak muda yang hanya mengenal takut dan kemudian bergurau tanpa menghiraukan apapun lagi.

Ketika Panon mendekati regol itu, Sangkan bertanya dengan nada yang datar dan dalam, “Apakah kau baru pulang dari kuburan Panon?”

“Ya” jawab Panon

“Kau berjalan kaki saja?”

“Ya”

Sangkan bergeser menepi, seolah-olah memberi jalan kepada Panon agar ia melangkah masuk.

Panon termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah masuk.

Tidak seperti biasanya, Sangkan selalu membentak-bentaknya. Tetapi justru setelah Panon masuk melalui regol itu. Sangkanlah yang kemudian menutupnya dan memasang selaraknya dari dalam.

“Apakah semuanya sudah selesai?”

“Ya, semuanya sudah dikuburkan dengan baik”

Sangkan mengangguk-angguk sambil bergumam, “Sukurlah. Mudah-mudahan tidak ada lagi mayat-mayat yang harus dikuburkan dari halaman ini”

Tetapi Panon menarik nafas dalam-dalam, kemudian desahnya, “Mudah-mudahan, tetapi nampaknya keadaan masih akan tetap kemelut. Dikuburan aku bertemu dengan Kidang Alit”

“O” wajah Sangkan menjadi tegang.

“Apakah ia juga berada di kuburan untuk melihat penguburan mayat-mayat itu?”

“Ta, tetapi agaknya ia hanya sekedar ingin melihat-lihat, apakah yang sedang kita kerjakan”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia mengikuti saja Panon yang langsung pergi ke belakang. Ketika kemudian Panon ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangannya, maka Sangkan pun masuk kedalam biliknya.

“Darimana kau Sangkan?” bertanya Ki Mina.

“Panon sudah datang, ia berada di pakiwan”

Tetapi sebelum Ki Mina menjawab. Panon sudah muncul di pintu bilik itu.

“O” desis Ki Mina, “Apakah tidak terjadi sesuatu di kuburan?”

“Tidak paman, semuanya berjalan dengan lancar meskipun Kidang Alit ada di kuburan itu pula”

“Jadi ia datang juga|”

“Ya, tentu bukannya tanpa maksud, ia mulai menjajagi kehadiran kita disini”

“Kita tentu sudah menduga”

Panon yang kemudian duduk di amben bambunya memandang wajah Sangkan yang nampaknya sudah berubah.

“Ia mulai menyadari dirinya” berkata Ki Mina.

Panon mengerutkan keningnya, sementara Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sekarang justru tidak tahu, apa yang harus aku lakukan, aku berniat untuk berubah sikap dan kelakuan, agar aku tidak dicekik oleh Panji yang garang itu, namun aku tentu tidak akan dapat merubah diriku dalam waktu satu atau dua hari saja menjadi orang seperti Panon”

Ki Mina tersenyum, katanya sambil bangkit mendekati Sangkan, “Kau tidak perlu bermimpi tentang kemungkinan-kemungkinan yang sulit kau jangkau. Lakukanlah yang mungkin kau lakukan sesuau dengan keadaanmu”

“Tetapi yang ada disini hanyalah kekerasan, dan aku harus menyesuaikan diriku dengan keadaan itu”

“Apakah yang akan kau lakukan?”

“Ajari aku ilmu yang kau miliki itu”

Panon tersenyum, katanya, “Mempelajari ilmu kanuragan tidak cukup dilakukan dalam waktu yang pendek, mungkin setahun, dua tahun, bahkan lebih dari itu. Barulah ilmu itu nampak ada pada kita”

“Tetapi mulai dengan suatu usaha adalah lebih baik dari pada tidak sama sekali. Jika aku memerlukan waktu dua tahun, dan aku mulai dari sekarang, maka dalam waktu dua tahun lagi, aku tentu sudah dapat mempergunakan walaupun sama sekali tidak sempurna. Tetapi jika aku baru mulai sebulan lagi, maka baru tiga tahun kemudian aku mendapat kan serba sedikit pengetahuan olah kanuragan itu”

“Baiklah Sangkan. Tetapi tidak dalam suasana seperti sekarang ini” berkata Ki Mina, “Kita wajib menyelesaikan sampai tuntas. Baru kau akan mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu itu”

“Apa salahnya jika sekarang?”

“Kita dapat memancing kesulitan, jika Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga tidak sependapat, apalagi Kidang Alit dan kawan-kawannya, maka persoalannya akan mempersulit dirimu”

Sangkan mengangguk-angguk, namun kemudian dengan menyesal ia berkata, “Aku sudah berminat untuk berbuat sesuatu, tetapi jika keadaan memang tidak memungkinkan, apa boleh buat”

“Namun itu sudah suatu kemajuan yang jauh dari caramu berfikir selama ini. Kau bukan lagi seorang anak muda yang menjengkelkan sekali. Kau sudah mampu memilih sikap”

“Aku menyesal, mungkin selama ini aku selalu menyakiti hatimu. Karena itu, maka mulai sekarang, kalian tidak usah berbuat apa-apa lagi, aku akan melakukan semua perkerjaan seperti saat-saat kalian belum ada di istana ini”

“Ah, tidak perlu” berkata Panon, “Aku pun akan melakukan tugasku sehari-hari seperti yang sudah kau bebankan, tetapi bahwa kau tidak lagi membentak-bentak, aku sudah sangat berterima kasih. Selebihnya aku akan tetap melakukannya seperti setiap hari aku lakukan”

Sangkan memandang wajah Panon yang jernih, wajah itu tidak lagi nampak gelap dan memancarkan kebencian kepadanya.

“Terima kasih” berkakta Sangkan kemdian, “Tetapi aku tetap pada keinginanku untuk mempelajari ilmu kanuragan. Jika tidak sekarkang, seperti yang kau katakan, setelah semuanya ini selesai”

“Mudah-mudahan aku dapat membantumu Sangkan” berkata Panon, “Dan mudah-mudahan aku dapat keluar dari halaman istana ini dengan selamat”

“O” wajah Sangkan menjadi tegang. Namun ketika ia melihat Panon justru tersenyum, maka ia pun berkata, “Kenapa kau berkata begitu?”

“Sudahlah” sahut Ki Mina, “Jangan kau pikirkan. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Jika kau tidak lagi bertingkah-laku seperti anak kecil lagi, maka Panji Sura Wilaga tentu tidak akan mengancammu lagi.”

Sangkan mengangguk-angguk.

“Jika saatnya tiba” berkata Panon kemudian, “Dan kau dengan bersungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu kanuragan, mungkin aku dapat membawamu kepada guruku”

“Guru?” bertanya Sangkan.

“Ya, guruku”

“Siapakah gurumu?”

Panon termangu-mangu sejenak, lalu jawabnya, “Besok sajalah, kau akan melihatnya dan mengenalnya”

“Apakah juga gurumu yang memberimu pelajaran tembang seperti yang telah kau lagukan itu?”

Panon mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum, jawabnya, “Ya, guruku”

Sangkan mengangguk-angguk, aku sudah mempelajarinya pula, dan aku dapat melagukan sebaik-baiknya. Jika pada suatu saat aku bertemu dengan gurumu, aku dapat melagukan kidung itu. Kidung yang melambangkan keperwiraan tetapi juga kelembutan”

Panon memandang Sangkan sejenak dengan sorot mata yang memancarkan keheranan di hatinya, “Kau mengenal lagu itu sebagai lambang keperwiraan tetapi juga kelembutan?”

“Aku dapat merasakannya, bukan saja pada bait-bait kalimatnya, tetapi juga pada nada lagunya”

“Nampaknya kau memiliki ketajaman tanggapan pada lagu dan isinya, jika kau mau mengembangkannya, maka kau akan dapat mempunyai kecakapan yang akan berguna bagimu”

“Aku senang melagukan kidung sejak kanak-kanak” sahut Sangkan, “Dengarlah, aku akan melagukan tembang yang pernah aku hafal semasa kanak-kanak”

Tetapi ketika Sangkan akan membuka mulutnya, Ki Mina berkata, “Kau akan mengundang Panji Sura Wilaga untuk mencekikmu, jika kau berdendang sekarang ini”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Ya, tentu Raden Panji tidak senang mendengar aku berdendang”

“Dan ternyata kau tidak dapat meninggalkan sifat-sifatmu begitu saja, tetapi itu bukan salahmu Sangkan, sifat seseorang memang dapat berkembang. Tetapi tidak dengan tiba-tiba. Kemauanmu untuk memperbaiki kelakuanmu sudah merupakan niat yang baik. Mudah-mudahan sebelum kau berhasil, kau tidak mengalami nasib yang buruk menghadapi Panji Sura Wilaga. Dan Raden Kuda Rupaka”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku akan mencoba mengingat dan mempertimbangkan semua tingkah lakuku, mudah-mudahan aku tidak tergelincir”

Ki Mina mengangguk-angguk, ketika Sangkan kemudian berdiri dan melangkah keluar. Ki Mina mendekatinya sambil menepuk bahunya, katanya, “Jagalah dirimu baik-baik. Bukankah kau ingin mempelajari ilmu yang dapat melindungi dirimu kelak?, karena itu, sebelum kau mampu melakukannya, jangan membiarkan dirimu dicekik oleh siapapun”

Sangkan mengangguk, jawabnya, “Ya, Kiai, aku mengerti”

Sangkan pun kemudian melangkah keluar. Di serambi belakang ia tertegun melihat Inten Prawesti dan Pinten sedang duduk diatas sebuah amben bambu, keduanya berpaling ketika mereka mendengar langkah Sangkan mendekat.

“Apa yang sedang kau kerjakan, kakang?” bertanya Pinten.

“Tidak apa-apa” sahut Sangkan, “Tetapi aku baru saja membersihkan seluruh halaman. Termasuk halaman depan yang bernoda darah”

“Ah” desah Pinten, “Kenapa kau sebut-sebut lagi?, aku juga sudah membersihkan lantai yang bernoda darah dimuka bilik puteri”

“Kau jangan berbohong, aku tahu, orang yang mati di bilik itu tidak menitikkan setetes darahpun”

“Tetapi bekas-bekasnya, Hii… aku ngeri juga membersihkan lantai yang berbekas mayat itu, tetapi bukankah semuanya sudah dibawa ke kubur?”

“Ya”

“Sudahlah” potong Inten, “Kenapa kau tidak mebicarakan hal yang dapat membuat kita sedikit terhibur di saat-saat seperti sekarang ini?”

“O. maaf puteri” sahut Pinten, “Tetapi agaknya memang tidak ada gunanya kita membicarakan hal itu lagi” ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, marilah kita lanjutkan, apa yang sedang puteri bicarakan tadi?, kakang Sangkan sudah memutuskan pembicaraan kami”

“Ah, nanti sajalah” jawab Inten.

Pinten mengerutkan keningnya, dipandanginya Sangkan yang berdiri termangu-mangu.

Katanya, “Tentu karena ada kakang, nah pergilah, supaya puteri tidak segan melanjutkan pembicaraan kami yang mengasyikkan”

“Apakah ada sesuatu yang bersifat rahasia?”

“O, tentu tidak Sangkan” Intenlah yang menjawab.

“Jadi?”

“Pergilah, jangan berbicara saja disitu, jika kau terlalu lama berada disitu, maka semua kenangan itu tentu sudah terlanjur hilang diterbangkan angin”

“Kenangan?”

“Ya, kami sedang mengenangkan masa lampau yang indah dan nyaman. Masa lampau yang kadang-kadang memang menumbuhkan kerinduan. Apalagi dalam kesulitan seperti sekarang ini. Maka seolah-olah masa yang lampau itu terasa menjadi semakin indah”

“Tetapi kita semua tidak akan dapat lari dari masa sekarang ke masa yang lalu”

“Kami sedang melakukannya. Karena kami tidak akan dapat berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini, maka kami telah melarikan diri kemasa lampau, meskipun hanya dapat kami lakukan di dalam angan-angan”

Sangkan menarik nafas, katanya, “Agaknya memang menarik sekali, He, apakah yang indah dan memberikan kerinduan pada masa lampaumu Pinten? Mungkin puteri dapat melakukannya, karena sudah tentu masa lampaunya adalah masa lampau yang cerah. Tetapi kau?”

“Tentu saja akupun memiliki masa-masa yang menarik didalam hidupku”

“O, Pinten bagiku tidak ada bedanya masa lampau itu dengan masa kini. Hidup kita dimasa lampau pun merupakan hidup yang pahit. Hidup di dalam lingkungan yang tidak memberikan kegembiraan sama sekali. Bukankah keluarga kita adalah keluarga yang mengalami kejutan yang parah? Ayah adalah seorang penjudi besar, sejak kami terpisah dari biyung dimasa kami belum mengenal diri kami sendiri, karena kami masih bayi, maksudku kau masih kecil dan akupun belum mengetahui apa-apa. Kami telah terlempar di dalam kehidupan yang paling pahit.”

“Ah” potong Pinten, “Masa kanak-kanak kita adalah masa yang sangat menyenangkan. Kita tidak pernah mengalami kesulitan apapun juga, betapa pahitnya kehidupan rumah tangga kita. Tetapi yang paling menyenangkan dimasa kanak-kanak adalah, kita tidak usah mempertanggung-jawabkan semua tingkah laku kita, kita dapat berbuat apapun juga”

“Jangan mengigau Pinten, kepalaku masih terasa sakit ketika aku dipukuli oleh ayah karena aku dituduh mencuri uangnya”

Pinten mengerutkan keningnya, tetapi ia kemudian menjawab, “Ya, kau memang nakal sekali”

Inten yang mendengarkan pembicaraan itu, termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian bertanya, “Pinten, aku menjadi bingung. Yang dikatakan oleh Sangkan berbeda dengan yang pernah kau katakan kepadaku. Bukankah kalian beruda anak Nyi Upih yang ada di istana ayahanda sejak kalian kanak-kanak?”

“He” wajah Sangkan menjadi tegang, “Tentu tidak puteri, jika pada masa kanak-kanak kami mengenal diri kami masing-masing, maka tentu betapapun buramnya, kita akan dapat mengingat bahwa kita pernah bertemu, tetapi bukankah sebelumnya kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Mungkin sekali kita telah melupakannya, masa kanak-kanak ini sudah terlampau jauh dari sekarang” jawab Inten, “Sehingga karena itu, jika sudah tidak dapat mengingatnya lagi. Tetapi pada masa suatu ketika. Pinten dapat bercerita tentang istana dengan beringin yang rimbun dan sangkar bekisar, seekor burung nuri dan seekor harimau yang dikurung dalam sangkar besi. Dan masih ada seekor orang utan sebesar Pinten sekarang ini”

“He, darimana kau dapat menyebut semuanya itu Pinten, aku, yang lebih tua darimu, tidak pernah dapat membayangkan semua itu”

“Dan Inten tahu benar, bahwa pohon beringin yang ada di halaman ada tujuh batang, sebatang ditengah dan enam batang di seputarnya”

“O, kau telah bermimpi ganda Pinten, kau sekarang memimpikan masa kanak-kanakmu, sedangkan dimasa kanak-kanak kau memimpikan sesuatu yang tidak pernah kita kenal”

Pinten tidak menjawab, tetapi kepalanya mulai menunduk.

“Sangkan” berkata Inten Prawesti, “Jika Pinten dapat menyebutkan dengan tepat, tentu kau dapat mentakatannya pula. Aku pun dapat mengingat bahwa yang disebut Pinten itu sama sekali bukan istana ayahanda Pangerang Kuda Narpada, tetapi istana pamanda Pangeran Sargola Manik yang juga bergelar Adipati Alap-Alap”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun tiba-tiba ia tersenyum sambil berkata, “Lucu sekali, aku teringat sekarang. Memang kami pernah pergi ke Kota Raja puteri. Dan agaknya yang teringat oleh Pinten adalah istana yang mempunyai tujuh batang pohon beringin itu. Karena kami saat itu memang masih terlalu kecil”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, katanya, “Memang mungkin Sangkan. Mungkin yang teringat oleh anak-anak adalah yang menarik perhatiannya. Mungkin harimau di dalam sangkar itu, mungkin orang utan yang lucu, bukan begitu Pinten?”

Pinten mengangguk, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.

“Pinten” panggil Inten Prawesti.

Pinten mencoba mengangkat wajahnya, tetapi Inten terkejut melihat setitik air dimata gadis itu”

“Pinten” Inten bergeser mendekat, “Kau menangis?”

Pertanyaan itu, ternyata telah memecahkan bendungan terakhir di pelupuk Pinten. Air matanya tiba-tiba saja telah mengalir betapapun ia mencoba bertahan.

“Ampun, puteri” suaranya tertahan, namun kemudian ia pun meloncat berdiri dan berlari ke dapur, karena ia tidak berani masuk ke ruang dalam.

Inten termangu-mangu, dengan suara yang dalam ia berkata, “Kau melukai hati adikmu Sangkan”

“Ampun puteri, aku sama sekali tidak sengaja”

Inten memandang Sangkan dengan tajamnya, sementara Sangkan hanya dapat menundukkan kepalanya, ia sama sekali tidak berani memandang tatapan mata Inten.

Namun pada itu, selagi Sangkan menunduk dalam-dalam, justru seolah-olah merupakan kesempatan bagi Inten untuk menatap wajah itu lama-lama. Rasa-rasanya terlihat itu, apa yang belum pernah silihatnya selama ini. Wajah Sangkan memang mirip sekali dengan wajah adiknya, Pinten.

“Nyi Upih memang termasuk seorang perempuan yang cantik” tiba-tiba saja Inten memuji di dalam hatinya diluar sadarnya, “Pinten pun seorang gadis yang cantik pula seperti ibunya dimasa muda. Bahkan tatapan mata Pinten tampak jauh lebih tajam dari tatapan mata ibunya”

Inten mengerutkan keningnya. Lalu ia masih berbicara di dalam hatinya, “Tetapi wajah Nyi Upih agak panjang, sedangkan wajah Pinten bulat telur”

Tetapi ketika sekali lagi Inten memandang wajah Sangkan yang tunduk, terasa pipinya menjadi panas. Sesuatu telah bergetar didadanya”

“O” tiba-tiba saja Inten berdesah. Dan ia pun berlari pula menyusul Pinten ke dapur.

Ketika Inten tertegun di depan pintu, ia melihat Nyi Upih sedang memeluk anak perempuannya. Bahkan pada mata Nyi Upih tampak pula setitik air yang mengambang.

Inten melangkah perlahan-lahan mendekati keduanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Sangkan memang nakal Nyai”

“Ya, puteri, anak tu memang nakal. Sejak kanak-kanak ia selalu menganggu adiknya”

Inten mendekat lagi sambil menepuk bahu Pinten, “Sudahlah Pinten, aku sudah menegur kakakmu. Ia tidak boleh mengganggumu lagi”

“Terima kasih puteri” Nyi Upihlah yang menjawab, “Memang perlu bagi anak nakal itu, jika aku saja yang menegurnya. Ia sama sekali tidak menghiraukannya”

“Marilah” ajak Inten, “Bukankah kita masih mempunyai banyak waktu untuk melihat-lihat kebun belakang?”

“Aku takut puteri” tiba-tiba saja suara Pinten meninggi.

“O” jawaban Pinten seolah-olah telah membuat Inten menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, akupun tidak akan pergi ke halaman. Rasa-rasanya keadaan memang mamsih diselubungi oleh ketidak-pastian.

Pinten, aku akan menengok ibunda, jika kau sudah menjadi tenang. Masuklah mengawani aku dan ibunda. Nyi Upihpun tentu akan segera menyusul jika ia sudah selesai”

Pinten mengangguk-angguk, jawabnya, “Baik puteri. Aku akan segera menyusul. Aku akan membantu biyung sebentar disini”

Intenpun kemudian meninggalkan keduanya langsung masuk ke dalam biliknya.

Ibundanya masih saja duduk termenung seolah-olah hatinya tidak ada gunanya lagi selain untuk merenungi nasibnya yang kurang baik, meskipun sebenarnya ibundanya lebih memikirkan nasib Inten dari pada nasib dirinya sendiri.

“Aku sudah tua” katanya di dalam hati, “Aku sudah banyak mengenyam pahit getir, tetapi juga asin dan manisnya kehidupan. Tetapi Inten adalah bunga yang sedang mulai mekar, jika tangkainya patah, maka hilanglah semua harapan bagi masa depannya”

Dalam pada itu, sepeninggal Inten, Pinten masih saja belum dapat menguasai perasaannya. Dimatanya masih tetap mengembun titik air yang kemudian mengalir di pipinya.

“Betapa tabahnya hati seorang gadis” berkata Nyi Upih.

“Aku tidak menyesal nasibku sekarang biyung” jawab Pinten, “Tetapi kenangan masa kanak-kanak itu terlampau tajam menusuk jantungku. Kakang Sangkan ternyata justru mempertajam kenangan yang terlampau manis itu”

Tetapi Nyi Upih menggelengkan kepalanya, katanya, “Bukan sededar kenangan itu Pinten. Tetapi seluruh jalan hidup yang kau pilih dengan hati yang tabah, meskipun kini kau telah dirisaukan oleh perasaanmu. Namun kau masih tetap seorang puteri yang tidak ada duanya”

“Ah”

Nyi Upih mengusap rambutnya, katanya, “Mudah-mudahan segalanya segera berakhir”

Pinten tidak menjawab, ketika itu ia berpaling dilihatnya Sangkan melangkah masuk. Dengan tunduk ia pun kemudian duduk di sebuah dingkrik kayu yang rendah.

“Jangan kau salahkan adikmu Sangkan” berkata Nyi Upih.

“Tidak Biyung, aku tidak menyalahkannya, aku mengerti apa yang sebenarnya tersirat di hatinya”

“Kau bersungguh-sungguh?”

Sangkan mengangkat wajahnya dan mamandang Nyi Upih sesaat, lalu katanya, “Kadang-kadang aku juga bersungguh-sungguh”

“Aku tidak apa-apa kakang” tiba-tiba saja Pinten memotong.

“Aku mengerti, kau memang tidak bermaksud apa-apa, kenangan kadang-kadang memang dapat mengusik hati yang sedang buram. Apalagi dalam keadaan seperti yang kau alami sekarang ini”

“Apakah hatiku terlampau lemah menurut penilaianmu?”

Sangkan menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak, kau masih termasuk seorang gadis yang keras hati”

“Dan kau tidak akan menyalahkan aku, bahwa aku telah memaksa untuk ikut bersamamu saat kau berangkat ke tempat ini?”

Sangkan memandang adiknya dengan tatapan mata yang dalam, kemudian kepalanya menggeleng lemah, katanya, “Tidak Pinten. Kau mempunyai arti yang besar disini. Setidak-tidaknya kau merupakan seorang kawan yang baik bagi puteri Inten Prawesti. Kawan di dalam segala keadaan”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Terima kasih, aku akan berusaha memenuhi harapanmu dan janjiku saat aku menyatakan keinginanku untuk mengikutimu menyusul biyung bahwa aku tidak akan merengek”

“Kau sekarang tidak sedang merengek Pinten” jawab kakaknya.

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, sekali-sekali Sangkan nampak seperti seorang anak muda yang memang sudah dewasa.

Pinten tidak menjawab, diusapnya matanya yang basah, dan dicobanya untuk menahan isaknya.Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sangkan berdiri sambil berkata perlahan-lahan, “He, jangan menangis lagi, diamlah”

Pinten terkejut

“Kau tentu lebih cantik jika kau tersenyum”

“Kenapa?”

Sangkan tidak menjawab, tetapi ujung jarinya menunjuk seseorang yang melintas di halaman, langsung nampak dari dalam dapur lewat pintu yang terbuka, Panon.

“O, kau mulai lagi” Pinten pun segera memungut bumbung peniup api. Sementara itu Sangkan pun segera meloncat keluar pintu dapur.

Tetapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Bahkan ia pun melangkah surut, sehingga adiknya yang mengejarnya hampir melanggarnya.

“Sst” desis Sangkan, “Panji Sura Wilaga, jika ia melihat aku berlari-lari, aku akan dicekiknya”

“Ah, tentu tidak”

“Tolong lihatlah, apakah ia masih berdiri di serambi”

Pinten ragu-ragu sejenak

“Lihatlah, jika ia sudah pergi akupun akan pergi pula”

Pinten masih saja ragu-ragu, tetapi ia pun kemudian melangkah keluar untuk melihat, apakah Panji Sura Wilaga masih berada diserambi. Tetapi langkahnya pun terhenti pula, wajahnya menjadi merah. Dengan serta merta ia memukul lengan dengan bumbung yang masih dipegangnya.

“Ugh” desis Sangkan, “Jangan, jangan, aku akan berteriak dan Raden Panji akan datang untuk menggantungku didahan pohon belimbing di longkangan itu”

“Kau nakal lagi, kau sudah mulai lagi”

Sangkan pun kemudian meloncat keluar meskipun kemudian ia berpura-pura tidak ada sesuatu yang terjadi. Sambil tersenyum ia melangkah keserambi mendekati orang yang berdiri mengamati sirap yang pecah.

“Apakah kau akan menggantinya Panon?” bertanya Sangkan

Panon berpaling, sambil mengangguk ia menjawab, “Ya. Tetapi aku tidak mendapatkan gantinya. Tidak ada lagi persediaan sirap yang dapat aku pasang di tempat yang pecah itu”

“Lalu?”

“Aku akan membuatnya dengan lulup, atau jika terpaksa dengan ijuk sajalah”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ketika ia berpaling dan melihat adiknya yang menjulurkan kepalanya, ia tersenyum. Tetapi kepala itu segera menghilang kembali.

Pinten dengan tergesa-gesa tergeser masuk lebih dalam lagi di dapur.

Menghentakkan kakinya, sehingga Nyi Upih terkejut, dengan heran ia bertanya

“Kenapa kau Pinten?”

“Kakang Sangkan nakal sekali, aku ingin mencubitnya sampai kulitnya terkelupas”

“Kenapa?, kenapa?, bukankah ia sudah pergi”

“Ia berada di beranda, ia masih saja mengejek”

“Bagaimana kau tahu, bahwa kakangmu mengejekmu?”

“Ketika aku menjenguknya”

“Nyi Upih menarik nafas, katanya, “Sebaiknya kau tidak usah menjenguknya”

Pinten tidak menjawab, ia duduk kembali dimuka perapian, namun nampaknya ia menjadi gelisah.

“Kau nampak gelisah, Pinten?”

“Ah, aku tidak apa-apa biyung, apakah aku nampak gelisah?”

Nyi Upih mengangguk, jawabnya, “Tetapi mungkin juga aku keliru, Pinten. Namun agaknya ada sesuatu yang terbersit di hatimu. Bukan lagi tentang kenangan masa lalumu, tetapi apakah kau juga menghadapi masalah yang lain?, tentu bukan sekedar karena kakangmu yang nakal”

“Tidak, aku tidak mempunyai persoalan apapun juga, biyung. Apakah ada tanda-tanda yang lain padaku?”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tidak, mudah-mudahan tidak, Pinten”

“Kenapa mudah-mudahan?”

“Sudahlah, air sudah mendidih. Barangkali kau akan membuat minuman panas buat puteri atau buat Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga”

Pinten mengangguk, ia pun kemudian menyiapkan beberapa mangkuk dan menuangnya dengan minuman panas.

“Aku akan membawanya ke dalam, kebilik puteri, biyung sajalah yang membawa ke bilik Raden Kuda Rupaka”

Nyi Upih mengangguk, tetapi ia masih bertanya, “Kau tidak membuat untuk kakangmu?”

“Biar ia membuat sendiri, seperti biasanya ia membuat sendiri” jawab Pinten, lalu dengan ragu-ragu ia berkata, “Biasanya ia membuat untuk dirinya dan kedua pengemis malas itu”

“Mereka bukan orang-orang malas Pinten” jawab Nyi Upih, “Mereka adalah orang-orang yang rajin. Mereka mau bekerja apa saja, meskipun ternyata, mereka bukannya pengemis kebanyakan, mereka memang dua orang perantau, itulah barangkali yang paling tepat, PERANTAU, bukan pengemis”

“Tetapi kakang Sangkan dan kadang-kadang puteri juga menyebutnya pengemis, mereka benar-benar pengemis, karena mereka datang untuk mendapatkan belas kasihan, untuk mendapatkan tempat berteduh, untuk mendapatkan sekedar makan dan minum”

Nyi Upih tidak menjawab, tetapi ketika Pinten memandang wajah biyungnya, terasa dadanya berdesir, karena biyungnya itu ternyata hanya tersenyum saja.

Bahkan Pinten pun kemudian melihat sesuatu yang lain pada senyum ibunya itu, sehingga ia pun meloncat mendekat sambil mencubit lengannya, “O, biyung juga nakal seperti kakang Sangkan”

“Aduh” Nyi Upih mengeluh karena tangannya dicubit oleh Pinten. Namun ia pun kemudian bergumam, “Bukan main, tentu kulitkulah yang terkelupas, tanganmu bukan tangan kebanyakan, mungkin kakangmu Sangkan tidak apa-apa, tetapi jika sekali lagi kau mencubit aku, mungkin aku akan pingsan”

Hampir diluar sadarnya, tangan Pinten terjulur lagi mencoba meraih tangan biyungnya dan berhasil, “Ah, biyung sudah mulai lagi”

“Jangan” Nyi Upih bergeser surut, “Jangan kau cubit aku lagi”

Nyi Upih kemudian mengusap lengannya yang menjadi kebiru-biruan.

Pinten tertawa, diusapnya lengan biyungnya sambil berkata, “Lain kali biyung jangan nakal lagi. Kadang-kadang aku tidak sengaja, tetapi tanganku tiba-tiba saja terjulur tanpa kesadaranku”

“Sudahlah” berkata Nyi Upih, “Nanti minuman menjadi dingin”

“O” Pinten pun kemudian mengambil nampan dan membawa dua mangkuk minuman panas ke dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

Dengan ragu-ragu Pinten mendekati pintu bilik yang terbuka sedikit itu, ketika tangannya menyentuh daun pintu, maka Inten Prawesti segera mendekat sambil berkata, “Terima kasih Pinten, kau membawa minuman panas untuk kami”

Intenlah yang kemudian membuka pintu dan menyuruh Pinten masuk ke dalam.

Pinten menarik nafas. Ia masih melihaht Raden Ayu Kuda Narpada duduk di tempatnya, masih dalam sikap seperti saat ia melihat mula-mula sebelum ia pergi ke belakang. Tetapi wajah Raden Ayu tidak terlampau buram lagi. Bahkan kemudian ia mencoba tersenyum. Betapapun hambarnya, katanya, “Terima kasih Pinten, aku akan menjadi segar dengan minumanmu itu”

Pinten mencoba tersenyum pula, kemudian diletakkannya kedua mangkuk minuman itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Tetapi ketika Pinten akan beranjak pergi, Inten berkakta, “Tinggallah disini Pinten, bukankah kau sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi di belakang?”

“Aku membantu biyung di dapur, puteri”

Inten tersenyum, katanya, “Biyungmu dapat melakukannya sendiri. Tetapi baiklah jika kau akan membantunya pula. Namun ibunda akan bertanya sedikit kepadamu Pinten”

Pinten menjadi berdebar-debar, dengan wajah yang tegang ia melangkah mendekat dan duduk di lantai di hadapan Raden Ayu Kuda Narpada, “Ampun Raden Ayu, apakah ada yang salah?”

“Tidak, tidak Pinten. Tidak ada yang salah. Tetapi ceritera tentang dirimu sangat menarik, bukan hanya kau dan Inten sajalah yang senang mengenangkan masa lampau yang menyenangkan. Tetapi akupun ingin juga melakukannya”

Pinten memandang Inten sejenak, lalu sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Tentu puteri yang mengatakannya kepada Raden Ayu”

Inten tersenyum, jawabnya, “Ya Pinten, akulah yang menyampaikannya kepada ibunda bahwa kau pernah melihat sebuah istana yang berhalaman luas dengan tujuh batang pohon beringin, beberapa buah bekisar, kandang harimau dan kandang orang utan”

“Ah” Pinten berdesah.

“Bagus sekali bukan pinten, aku juga mengenal dan mengingat istana seperti itu. Dan itulah yang agak mengherankan aku, meskipun barangkali ada yang menarik perhatianmu di halaman istana itu, namun bukankah kau seharusnya lebih tertarik kepada ibumu yang tinggal bersamaku saat itu?”

Inten masih saja tersenyum menyambung, “Ibunda, ternyata tidak ingat lagi, kapan Nyi Upih pernah membawa anak-anaknya ke Kota Raja saat itu”

Pinten menjadi gagap, tetapi ia mencoba menjelaskan, “Aku dan kakang Sangkan berada di rumah ayah, hanya sekali-sekali saja aku berkunjung menengok biyung, Itu pun hanya sebentar sekali, karena agaknya ayah dan biyung sudah tidak akan dapat berbaik lagi meskipun anaknya sudah dua”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk. Namun Pinten yang menjadi semakin bingung, segera berkata, “Ampun Raden Ayu, aku minta diri untuk pergi ke dapur. Biyung masih sibuk dan aku akan membantunya”

Inten memandang ibundanya sejenak, lalu, “Baiklah Pinten, aku juga akan pergi bersamamu ke dapur”

Ibundanya mengangguk, katanya, “Tetapi segeralah kembali Inten”

“Baik Ibunda” jawab Inten sambil menarik lengan Pinten yang masih duduk di lantai.

Tetapi sebelum mereka berdua meninggalkan bilik itu. Ternyata Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga telah berdiri di muka pintu. Sambil mengangguk dalam-dalam, Raden Kuda Rupaka berkata, “Maaf bibi, barangkali bibi sempat menerima kami barang sebentar?”

“O, marilah, masuklah Kuda Rupaka”

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun segera melangkah masuk, sejenak mereka mamandang Inten dan Pinten berganti-ganti, namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi.

Inten yang sudah akan meninggalkan ibunya mengurungkan langkahnya. Bahkan ia pun memberikan isyarat agar Pinten juga tetap duduk di dalam bilik itu, meskipun ia harus bergeser menepi.

Ada keseganan Kuda Rupaka atas kehadiran kedua gadis itu. Tetapi agaknya Raden Ayu Kuda Narpada tidak menyuruh keduanya untuk keluar.

“Angger Kuda Rupaka” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada, “Apakah ada sesuatu yang penting yang ingin angger sampaikan kepadaku?”

Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, sekali lagi ia memandang kedua gadis itu. Namun kemudian katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Bibi, sebenarnyalah ada yang ingin aku sampaikan, tetapi apakah bibi tidak berkeberatan jika diajeng Inten dan Pinten itu mendengarnya?”

“Apakah kau menganggap bahwa mereka tidak sepantasnya mendengar?”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun agaknya Intenpun tetap berdiri di tempatnya.

“Baiklah bibi” berkata Kuda Rupaka, “Sebenarnyalah aku tidak ingin membuat bibi dan diajeng Inten Prawesti menjadi gelisah, tetapi apa boleh buat. Barangkali hal ini akan lebih baik dari pada berkepanjangan, mengingat keadaan yang semakin gawat”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk kecil.

“Bibi, apakah bibi tidak merasa cemas, bahwa pada suatu saat orang-orang yang bermaksud jahat itu akan berhasil mengambil pusaka pamanda Kuda Rupaka dari istana ini dengan cara apapun. Meskipun kami masih belum dapat membuktikan, apakah pusaka itu benar-benar ada si istana ini atau tidak. Namun kami menduga, bahwa pusaka-pusaka itu telah bibi simpan. Kami menghargai maskud baik dan kesetiaan bibi terhadap pamanda Kuda Narpada, tetapi kami mengharap bahwa bibi agak lebih bijaksana menanggapi keadaan yang berkembang semakin buruk”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku tidak mengetahui sama sekali tentang pusaka-pusaka itu. Seandainya pamanmu benar-benar membawa sebilah pusaka yang memiliki nilai yang sangat besar, agaknya pamanmu tidak memberitahukannya kepadaku.

Yang aku ketahui, pamanmu memang membawa sebuah keris, tetapi tentu bukan yang kalian cari itu, karena keris itu adalah keris pamanmu sendiri”

“Bibi” desis Kuda Rupaka, “Memang mungkin bibi mencurigai siapapun juga, termasuk aku dan paman Panji, karena mungkin kehadiran kami disinipun nampaknya terlampau tiba-tiba. Tetapi apa yang kami lakukan disini, seharusnya membuat bibi manjadi yakin. Bukankah aku sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan bibi sekeluarga dan pusaka itu?, seandainya bibi dapat mengambil kebijaksanaan, maka bibi akan tidak menyesal nanti. Pada saatnya bibi akan dikunjungi oleh para pemimpin dari Demak untuk mengucapkan terima kasih, karena bibi sudah menyerahkan pusaka yang paling berharga itu melalui aku”

Kuda Rupaka menjadi tegang ketika ia melihat Raden Ayu Kuda Narpada menggeleng sambil mengeluh, “O, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan angger”

Sejenak Kuda Rupaka termangu-mangu, dipandanginya bibinya, Inten dan Pinten berganti-ganti. Dengan wajah yang tegang ia pun kemudian berkata, “Bibi, aku juga menilai pusaka-pusaka itu sangat tinggi. Tetapi tidak lebih tinggi dari jiwa seseorang. Dalam hal ini adalah jiwa bibi sendiri dan diajeng Inten Prawesti. Betapapun tingginya nilai pusaka, tetapi seharusnya bibi masih harus menjaga keselamatan jiwa diajeng yang masih sangat muda itu, seandainya bibi sudah tidak menghiraukan keselamatan bibi sendiri”

Ternyata kata-kata itu telah menyentuh perasaan Raden Ayu Kuda Narpada, sekilas dipandanginya wajah puterinya yang pucat dan cemas.

Kuda Rupaka pun termangu-mangu di tempatnya.

Nampaknya sepercik harapan di wajahnya, jika Raden Ayu Kuda Narpada bersedia menyerahkan pusaka-pusaka itu, maka ia akan segera meninggalkan istana kecil itu tanpa mencemaskan lagi penghuni-penghuninya.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 8

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 06

ISTANA YANG SURAM

Jilid 6

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-06

PANJI SURA WILAGA tiba-tiba saja menggeram, katanya seakan-akan kepada diri sendiri, “Semakin lama istana ini menjadi semakin panas. Rasa-rasanya halaman ini sudah dikepung rapat sekali, bahkan satu dua orang sudah menyusup kedalam” ia berhenti sejenak,lalu, “Raden, jika Raden tidak segera dapat memecahkan teka-teki dari istana ini, maka akibatnya akan menjadi semakin buruk bagi bibi Raden dan seluruh isi istana ini. Karena itu, Raden harus cepat berbuat sesuatu, jika kita berhasil dan sempat keluar dari kepungan ini, maka perhatian mereka akan beralih kepada Raden, istana ini akan kembali menjadi sepi dan tenang”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk.

“Raden tidak boleh memalingkan tugas Raden karena pengaruh keinginan bibi Raden”

“Maksud paman?”

“Puteri Inten Prawesti, misalnya”

“Ia adalah saudaraku, seperti aku harus menyelamatkan bibi, maka aku pun harus menyelamatkannya”

Panji Sura Wilaga menarik nafas, bahkan ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Apakah begitu?”

“Apakah paman mempunyai tanggapan yang berbeda?”

“Mudah-mudahan Raden, mudah-mudahan demikianlah yang seharusnya”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Seandainya dugaan paman benar, apakah salahnya?”

“Tetapi Panji Sura Wilaga kemudian berkata, “Tetapi ingat, Raden adalah murid dari perguruan Cengkir Pitu”

“Jangan kau sebut”

“Ciri-ciri yang ada tidak dapat kita ingkari, kita sebut atau tidak kita sebut. Memang mungkin ada orang yang melihat sampai ke pusat jantung perguruan Cengkir Pitu, tetapi memang sulit untuk menghindarkan ciri dari ciri itu, namun demikian agaknya perguruan itu tidak sangat menarik perhatian, setiap orang dapat saja berguru ke perguruan yang manapun juga, tetapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat dengan pasti menghitung jumlah murid di suatu perguruan”

“Agaknya segala sesuatu memang harus berlangsung lebih cepat paman. Sebelum pengembara itu menunjukkan gejala-gejala yang lain, sehingga kita harus membunuhnya”

“Meskipun demikian Raden, kita memang tidak dapat bertindak tanpa kewaspadaan yang tinggi”

“Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun ia tidak segera menjawab.

Demikianlah keduanya memasuki bilik mereka sambil membawa persoalan di dalam hati. Meskipun demikian, mereka saling berdiam diri, bahkan Raden Kuda Rupaka pun membaringkan dirinya di pembaringannya. Namun rasa-rasanya mereka sedang berpikir tentang persoalan-persoalan yang mejadi semakin berat yang harus mereka hadapi.

Dalam pada itu, Raden Ayu Kuda Narpada ternyata telah disentuh oleh suatu kejutan yang tidak disangka-sangka. Kehadiran kedua pengembara itu menumbuhkan persoalan baru didalam hatinya, persoalan yang ingin disingkirkannya dalam hatinya.

Karena itulah, maka ia pun kemudian mengurung dirinya di dalam biliknya, duduk termenung seakan-akan melihat ke alam lain, menerawang menjelajahi waktu dan tempat. Dari masa-masa yang lampau, masa kini dan masa mendatang. Sepanjang perjalanan hidupnya sejak berada di Majapahit.

Bukan saja Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi Inten Prawesti pun merasakan sesuatu yang berbeda di dalam rumahnya, sikap ibunya menimbulkan teka-teki yang tidak dapat dipecahkannya, tetapi ia tidak berani langsung bertanya tentang sikap ibunya yang asing.

Untunglah bahwa Pinten segera menemuinya, seperti biasa keduanya dapat saling mengisi setiap kekosongan yang timbul di hati masing-masing.

“Ibunda nampaknya memikirkan sesuatu di dalam biliknya” kata inten.

“Apakah dua pengembara itu sudah mempengaruhi Raden Ayu dengan ilmu yang lain lagi untuk mengambil keuntungan dari istana ini?” bertanya Pinten.

“Jika demikian, apakah kiranya yang akan diambilnya dari tempat ini? Ibunda sudah tidak mempunyai apapun juga selain yang nampak ini, perkakas yang tidak berharga dan barangkali tidak seorang pun yang akan tertarik lagi”

Pinten menarik nafas, lalu ia pun berbisik, “Puteri, apakah puteri pernah mempertimbangkan untuk berbuat sesuatu?”

“Maksudmu?” bertanya Inten.

“Puteri, agaknya istana ini menjadi pusat perhatian dari banyak orang, jika yang mereka kehendaki adalah harta benda betapapun banyaknya, maka aku kira cara yang mereka tempuh akan berbeda dengan yang terjadi sekarang ini”

“Pinten” Inten Prawesti mengerutkan keningnya, “Semakin lama kau menjadi semakin pandai, aku memang sudah berpikir demikian, dan agaknya kakangmas Kuda Rupaka pun menganggapnya seperti itu”

“O, apakah yang dikatakan oleh Raden?”

“Mungkin ada sesuatu yang menarik di halaman ini, bahkan kakangmas Kuda Rupaka bertanya kepadaku, apakah aku tahu bahwa di halaman ini ada semacam pusaka atau apapun yang serupa dengan itu”

Pinten mengerutkan keningnya, agaknya sesuatu telah membersit di hatinya.

Inten memandang wajah Pinten yang menegang, tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi bersungguh-sungguh. Dengan nada yang ragu-ragu Pinten pun kemudian bertanya, “Tetapi apakah benar di halaman ini ada semacam pusaka atau benda-benda lain serupa itu? Tombak atau keris atau pantrem?”

“Aku tidak tahu Pinten, ibupun tidak mengetahuinya”

Pinten berpikir sejenak lalu, “Puteri, jika demikian kita harus mencarinya”

“Kita?, maksudmu kau dan aku?”

“Ya, puteri”

“Dimana kita akan mencari?, dan bukankah belum pasti bahwa di halaman istana ini ada sesuatu”

“Ah, aku akan mencoba mencarinya, aku akan menyuruh kakang Sangkan untuk mencari pusaka-pusaka yang mungkin ada di halaman ini”

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, katanya, “Itu tidak mungkin”

“Aku akan membicarakannya dengan kakang Sangkan, mungkin ia mempunyai cara, jika puteri menyetujui, kita akan mencari bersama-sama”

Inten termangu-mangu, namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu, jika Sangkan memang mempunyai cara yang baik, aku tidak keberatan” Inten menjadi ragu-ragu, “Tetapi aku harus minta ijin dahulu kepada ibunda”

“Itu tidak perlu puteri, jika kita mememukannya, maka kita akan menyerahkannya kepada ibunda puteri, tentu ibunda puteri akan senang sekali”

“Sesudah itu”

“Kita serahkan kepada Kuda Rupaka untuk membawanya kemana saja yang paling baik, asal tidak lagi berada di halaman ini. Bukankah dengan demikian istana ini akan menjadi tenang dan tidak lagi dibayangi oleh kecemasan seperti sekarang ini, puteri?”

Inten mengangguk-angguk, katanya, “Terserahlah kepadamu”

Pinten pun kemudian dengan tergesa-gesa mencari Sangkan, sejenak mereka berbicara tentang pusaka-pusaka itu.

“Lebih cepat lebih baik, kita akan mencarinya sekarang, aku akan mengerahkan semua tenaga yang ada, kedua pengembara itu harus dimanfaatkan” berkata Sangkan.

Demikianlah maka Sangkan pun mulai mengerjakan rencananya, dengan tergesa-gesa ia pergi ke dalam biliknya dan mengajak kedua orang pengembara itu untuk mencari pusaka di halaman istana itu.

Ajakan itu benar-benar mengejutkan kedua pengembara itu, sejenak mereka saling memandang. Sementara Sangkan mendesaknya, “Cepat, aku adalah lurahmu disini”

“Sangkan” bertanya Ki Mina kemudian, “Dimana kita akan mencari pusaka yang kau katakan itu?”

“Dihalaman istana ini, di seluruh halaman”

Ki Mina menjadi semakin bingung, tetapi ia pun kemudian mengajak Panon, “Marilah Panon, kita mencarinya”

“Kita harus menemukannya, jika kita tidak menemukannya, maka kemungkinan yang lalu dapat terjadi, mungkin kalianlah yang dengan diam-diam akan mencuri pusaka-pusaka itu, atau mungkin orang lain yang dengan diam-diam memasuki halaman di malam hari”

Demikianlah maka mereka pun mengikuti Sangkan pergi ke halaman belakang, mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk mencari pusaka-pusaka itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mendengar pula keributan di halaman, lamat-lamat mereka mendengar Sangkan memerintahkan kedua orang itu untuk menggali seluruh halaman.

“Yang seorang mulai dari belakang” perintah Sangkan

“Yang lain dari sebelah barat, sekaligus kalian dapat menyiangi tanaman bunga dan empon-empon”

Ki Mina menarik nafas, tetapi dengan isyarat ia menyuruh Panon untuk melakukannya.

“Paman” desis Kuda Rupaka, “Apakah Sangkan sudah menjadi gila?”

Panji Sura Wilaga termangu-mangu, katanya, “Aku juga mendengarnya Raden, ia ingin mencari pusaka”

“Marilah kita lihat”

Keduanya dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya turun ke halaman samping, sambil menarik nafas dalam-dalam keduanya mendekati Sangkan yang berdiri di sudut istana bagian belakang sambil bertolak pinggang. Dihalaman sisi belakang, nampak kedua pengembara sedang mencangkul tanah seperti mereka mengerjakan sawah sebelum ditanami.

“Apa yang kau lakukan Sangkan?”

“Mencari pusaka Raden, agaknya pusaka-pusaka itu yang menjadi sebab kesulitan yang selama ini terasa semakin menekan. Orang-orang yang memasuki halaman ini di malam hari dan terbunuh oleh Raden berdua. Kidang Alit yang menakut-nakuti aku, dan mungkin masih ada orang-orang lain lagi diluar dinding istana ini. Karena itu, aku mencari pusaka itu sampai ketemu. Mungkin pusaka itu telah ditanam di halaman ini, karena ternyata pusaka itu tidak terdapat di dalam istana”

“Sangkan” bertanya Kuda Rupaka, “Siapakah yang mengatakan bahwa di dalam rumah ini terdapat pusaka-pusaka?”

“Raden juga menanyakan kepada puteri tentang pusaka-pusaka. Mungkin dugaan Raden benar, dan kita memang harus menemukannya dan menyingkirkannya, jika mungkin menjualnya, harganya tentu cukup tinggi. Wajah Kuda Rupaka nampak berkerut-merut, namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Kau memang terlalu bodoh untuk berbicara tentang pusaka, jika sekiranya kau menemukan pusaka di halaman ini, kemana kau akan menjualnya?”

“Ke Demak, para bangsawan di Demak mempunyai banyak uang dan mereka tentu akan memerlukan pusaka tersebut. Dan dengan uang itu aku akan membangun istana ini menjadi lebih baik lagi”

“Dan kau akan memiliki istana yang sudah kau bangun ini selanjutnya?”

“O, tentu tidak, Istana ini tetap milik gusti puteri, dan kelak akan menjadi milik Puteri Inten Prawesti”

Kuda Rupaka mengerutkan dahinya, sementara itu Pinten yang mendengar jawaban kakaknya mencibirkan bibirnya.

“Sangkan” berkata Kuda Rupaka, “Apakah kau kira kau akan dapat memenukan pusaka dengan caramu yang dungu ini? Seandainya benar pusaka itu disembunyikan di istana ini, apakah pusaka itu akan diletakkan di halaman begitu saja? Atau katakan ditanam sedangkal mata kaki?, sudahlah, hentikan perbuatan gila ini, jangan berpikir lagi tentang pusaka, jika kau menemukan pusaka apapun di halaman ini dan kau mencoba menjualnya, itu berarti bahwa umurmu akan mejadi pendek”

“Kenapa Raden, apakah akan dikutuk oleh pusaka itu, sehingga aku akan mati?”

“Ya, kau akan dikutuk oleh pusaka itu, dan kau akan dirobek-robek oleh orang-orang yang sekarang tentu sudah menunggu disekitar istana ini. Orang-orang yang tidak kita ketahui dengan pasti apakah yang telah mendorong mereka untuk memasuki istana ini, seperti dua orang yang telah aku bunuh itu, jika bukan kawan-kawan mereka, maka Kidang Alit pun tentu siap mencincangmu tanpa memberikan ampun lagi, apalagi membeli pusaka-pusaka seandainya kau menemukan”

“O” wajah Sangkan menjadi pucat, “Mengerikan sekali, jika demikian, hal serupa itu pun dapat terjadi di dalam istana ini, jika mereka berkeras menganggap bahwa di dalam istana ini memang ada pusaka itu, maka mereka akan beramai-ramai mencarinya disini dengan kekerasan, karena itu agaknya lebih baik jika kita menemukannya terlebih dahulu”

“Jika kau menemukannya?”

“Kita sediakan saja di pendapa, atau sebuah sayembara yang menarik, siapakah yang paling kuat, ialah yang akan memiliki pusaka itu”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, Panji Sura Wilaga menggeram, “Aku ingin mencekiknya saja Raden”

Namun Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Kedunguannya sangat memberikan kesegaran pada kehidupan yang datar di istana ini. Tetapi sudahlah Sangkan, hentikanlah kerjamu yang sia-sia, kecuali jika kau memang sudah benar-benar menjadi gila”

Sangkan menjadi termangu-mangu, tetapi kemudian katanya, “Baiklah Raden, aku akan menghentikan usahaku mencari pusaka itu, tetapi biarlah orang-orang malas ini bekerja terus. Biarlah mereka menyiangi pohon-pohon bunga dan perdu. Meluruskan tanaman empon-empon dan jika perlu membuat lubang sampah di belakang”

“Hentikan Raden” geram Panji Sura Wilaga.

“Kau benar-benar gila Sangkan” berkata Kuda Rupaka kemudian, “Agaknya kau berkeras untuk menemukan sebuah pusaka atau mungkin lebih dari itu, dengan membuat lubang tempat sampah kau berharap untuk mendapatkannya, tetapi kau tentu akan kecewa, meskipun demikian, cobalah. Jika kau berhasil menemukan sebuah pusaka, bahkan sebilah senjata apapun meskipun bukan pusaka, aku akan menukar dengan seekor kuda yang paling tegar, kau akan dapat menjual kuda itu dengan aman, karena tidak akan ada orang yang ingin merebutnya dari tanganmu, seperti jika kau menemukan sebuah pusaka”

“Raden membuat suatu kesalahan” desis Panji Sura Wilaga, “Dengan demikian Raden telah mendorongnya untuk mencarinya di seluruh halaman ini”

“Aku akan membelinya paman” bisik Kuda Rupaka.

“Tetapi pengembara malas itu?”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya perlahan-lahan sekali, “Kita sudah siap menghadapi segala kemungkinan, jika kedua pengembara itu ternyata berniat buruk pula terhadap pusaka-pusaka yang seharusnya kembali ke Demak itu, kita sudah siap, apapun yang akan terjadi”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab lagi, ia dengan tegangnya mengamati kedua orang pengembara yang masih memegang cangkul sambil termangu-mangu di halaman samping dan belakang, agaknya mereka menunggu, apakah yang harus mereka lakukan.

“Bekerja terus” teriak Sangkan sambil mengangkat wajahnya seperti seorang senapati di peperangan, “Meskipun kalian tidak menemukan pusaka apapun, tetapi kerja kalian akan bermanfaat. Teruskan. Dan kalian akan membuat lubang sampah di kebun belakang”

Dalam pada itu Kuda Rupaka berbisik, “Kita akan mengawasi mereka, jika mereka membuat lubang-lubang sampah. Mungkin Sangkan melihat sesuatu yang menarik perhatian dan menggalinya”

Tetapi ini permainan gila, dan kita harus ikut manjadi gila pula”

Kuda Rupaka tersenyum, desisnya, “Apa salahnya kita harus berbuat apa saja, dan kali ini kita menjadi gila”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab.

“Marilah kita ke halaman depan, kita akan melihat dari kejauhan, jika mereka mulai membuat lubang-lubang sampah, kita akan mendekat”

Panji Sura Wilaga pun mengikuti Kuda Rupaka ke halaman depan, mereka kemudian duduk dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun sambil mengawasi kedua pengembara yang masih saja berdiri termangu-mangu.

“He, mengapa kalian masih belum mulai?” bertanya Sangkan. “Sudah aku katakan, mendapat atau tidak, kalian akan tetap menggali halaman itu”

Panon menarik nafas, rasa-rasanya dadanya akan meledak melihat perlakuan Sangkan yang dungu itu, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi ketika ia melihat Kiai Rancangbandang sudah mulai mengayunkan cangkulnya lagi.

Namun demikian, kedua orang itu dibayangi oleh kecemasan, mereka telah menyembunyikan senjata dibawah tikar di pembaringan. Jika tidak atau dengan sengaja seseorang menemukannya, maka keadaannya tentu akan segera berubah. Tetapi agaknya semua orang berada di halaman itu, kecuali Raden Ayu Kuda Narpada dan Nyi Upih. Dan keduanya yakin bahwa kedua perempuan itu tentu tidak akan melihat-lihat pembaringan mereka.

Dalam pada itu, Pinten yang semula berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari kakaknya, segera mendekatinya sambil berbisik, “Jika kau menemukan pusaka-pusaka itu. Kau akan menjualnya dan membangun istana ini bagi puteri Inten Prawesti”

“Ya”

Pinten mencibirkan bibirnya, “Kau terlalu sombong, apakah kau tidak menyadari, bahwa kau adalah pelayan disini”

“He, kenapa kau ini Pinten? Aku memang pelayan disini, kenapa?, apakah aku tidak boleh membangun istana itu? Bukankah sampai sekarang aku juga yang memperbaiki semua kerusakannya, dari atap sampai ke regolnya”

“Sst, jangan terlalu keras.Lihat, puteri berdiri di butulan dan kau selalu saja membicarakannya”

“Siapa yang mulai?”

“Aku akan mengatakannya kepada puteri. Oh puteri, kakang Sangkan akan menjual pusaka untuk memperbaiki istana ini bagi puteri”

“Kau jangan mengigau Pinten”

Tiba-tiba saja Pinten tertawa..

“Aku copot gigimu tiga buah” desis Sangkan.

Tetapi ketika Sangkan menjulurkan tangannya, Pinten berlari ke butulan menjumpai puteri Inten Prawesti yang berdiri di butulan itu melihat Sangkan dan kedua pengembara itu mencari pusaka.

Dimuka pintu Pinten berhenti, dari kejauhan Sangkan hanya melihat bibir adiknya itu bergerak-gerak, tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakannya kepada puteri Inten Prawesti.

Tetapi yang dikatakan oleh Pinten sama sekali bukan tentang pusaka yang akan dijual untuk membangun istana ini, yang dikatakannya adalah usaha pencarian pusaka yang agaknya tidak akan dapat berhasil dengan cara itu.

Inten tersenyum katanya, “Kakangmu memang aneh Pinten, jika dengan demikian kau akan menemukan pusaka-pusaka itu, maka alangkah mudahnya”

“Pusaka-pusaka yang mana puteri?” bertanya Pinten.

“Bukankah kalian sedang mencari pusaka?”

“O” Pinten menarik nafas, “Aku kira puteri ingin mengatakan tentang pusaka-pusaka yang sudah puteri ketahui”

Inten mengerutkan keningnya, ditatapnya wajah Pinten sejenak. Namun pada wajah itu sama sekali tidak terbayang niat apapun juga, karena nampaknya Pinten acuh tidak acuh terhadap kata-katanya sendiri.

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Dengan serta merta meloncat berdiri dan langsung menghadap ke regol halaman yang sedikit terbuka.

Ternyata bukan hanya kedua orang itu sajalah yang menjadi tegang. Semua orang yang ada di halaman samping dan belakang itu pun mendengar derap kaki kuda itu pula. Tetapi mereka tidak melihat apa yang terjadi di halaman depan dengan jelas, apalagi orang yang sedang berada di halaman belakang.

Sementara itu. Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga dengan hati-hati melangkah mendekati regol. Jelas bagi mereka bahwa derap kuda itu telah terputus, dekat regol halaman itu.

Sejenak kemudian mereka melihat dua orang berkuda yang berada diluar regol.

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga ragu-ragu sejenak, namun kemudian mereka berdua dengan langkah yang tetap mendekati regol itu, dan bahkan membuka pintunya semakin lebar.

Dua orang yang masih duduk diatas kuda memandang kedua orang yang berada di halaman itu dengan tegangnya.

“Jadi kalian berdua adalah yang bernama Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga?, yang sudah membunuh dua orang dari perguruan Guntur Geni?”

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga termangu-mangu, namun kemudian dengan tegas Kuda Rupaka menjawab, “Ya, aku adalah Kuda Rupaka dan ini adalah paman Panji Sura Wilaga, kamilah yang telah membunuh orang-orang dari Guntur Geni, dan kami akan membunuh siapa saja yang berusaha memasuki istana ini dengan kekerasan dan mengganggu bibi Kuda Narpada”

Kedua orang itu meragu, namun salah seorang dari mereka tertawa, “Kau adalah seorang yang berani Raden, tetapi kau sama sekali tidak berperhitungan”

Kuda Rupaka memandang kedua orang kedua itu, wajahnya bagaikan membara, namun ia berdiri ditempatnya. Sambil menggeram ia berkata, “Kau jangan mengigau disini, aku mempunyai perhitungan yang tepat, jika kalian tidak segera pergi, maka kalianpun akan aku bunuh pula di tempat ini, agaknya kalian adalah kawan-kawanmu dari perguruan Guntur Geni itu”

“Kami bukan orang-orang Guntur Geni” sahut seorang dari mereka yang berkuda diluar regol.

“Aku tidak peduli sipakah kalian, tetapi jika kalian mengganggu kami disini, maka itu akan berarti kematian bagi kalian”

“Jangan terlampau sombong”

“Aku akan membuktikan, kecuali jika kalian segera pergi dari tempat ini”

Keduanya termangu-mangu sejenak, namun salah seorang dari mereka tertawa, “Kau benar-benar seorang anak muda yang berani, seperti juga pamanmu Sura Wilaga itu, tetapi kalian akan menyesal karena kalian berada di tempat ini”

“Itu sudah cukup, pergilah” geram Kuda Rupaka.

“Raden” berkata salah seorang dari kedua orang berkuda itu, “Aku harap dalam waktu tiga hari, Raden meninggalkan istana ini, kami memang mempunyai kepentingan dengan Raden Ayu Kuda Narpada. Kami sudah tidak sabar lagi menunggu di padukuhan Karangmaja. Karena itu, sebelum kami kehabisan kesabaran sama sekali, sebaiknya kalian pergi. Termasuk dua orang pengembara yang kini berada di halaman ini. Aku menduga bahwa keduanya bukan orang-orangmu. Ia datang dalam ujud yang lain dari ujud seorang bangsawan seperti kalian. Meskipun aku menduga pada suatu saat akan terjadi benturan antara kau dan orang yang berpura-pura menjadi pengemis itu, namun aku menganggap lebih baik bahwa kalian pergi dahulu sebelum hal itu terjadi, dan biarlah aku yang mengusir mereka itu dari halaman ini dan aku akan membunuh mereka”

“Aku akan membunuhmu sekarang, He, jika kau ingin membunuh, kenapa harus menunggu tiga hari?. Pengecut, Kau hanya dapat mengancam dan menakut-nakuti aku, atau barangkali kau menunggu pasukan segelar sepapan?”

“Bukan begitu, bagiku lebih baik berhasil tanpa membasahi tangan ini dengan darah daripada harus membunuhmu”

Raden Kuda Rupaka sudah tidak sabar lagi, terlebih Panji Sura Wilaga yang maju selangkah mendekati orang-orang berkuda itu.

Namun sebelum orang berkuda itu menggerakkan kendali kuda mereka, salah satu dari dari mereka berkata, “Jangan terburu nafsu, lebih baik kalian agak berhati-hati menghadapi aku dan kawanku besok”

Kuda Rupaka menggeram, tetapi kedua orang itu pun kemudian segera meninggalkan regol itu sambil tertawa.

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga berdiri termangu-mangu, mereka masih dapat menahan diri dan membuat perhitungan yang lebih baik dari sekedar menuruti perasaan.

“Mereka sudah gila, “Geram Panji Sura Wilaga, “Sementara kita masih tetap disini oleh mimpi yang indah”

Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga dengan kemerut didahinya, katanya, “Aku tahu yang paman maksudkan, sebenarnyalah bahwa aku pun sudah siap berbuat sesuatu, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran Inten Prawesti di dalam hatiku, karena bagiku kedua-duanya dapat aku lakukan dengan sempurna”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya seolah-olah sekedar bergumam kepada diri sendiri, “Aku tidak tahu, bagaimana harus membagi hati antara tugas dan perasaan seorang laki-laki terhadap seorang gadis”

Kuda Rupaka mengangkat wajahnya, seolah-olah ia ingin mengatakan kepada seisi istana kecil itu, “Lihatlah, aku akan menyelesaikan semua tugasku bersama-sama, tugasku sebagai murid perguruan Cengkir Pitu dan tugasku sebagai seorang laki-laki”

Panji Sura Wilaga masih akan menyahut, tetapi tiba-tiba mereka tertegun ketika telinga mereka yang tajam menangkap sebuah desis diatas dinding halaman.

Mereka menjadi berdebar-debar ketika tiba-tiba saja mereka melihat seorang yang duduk diatas batu itu sambil memandang berkeliling. Tatapan matanya terhenti sejenak, ketika ia melihat orang-orang sedang sibuk mencangkul tanah di halaman samping dan belakang.

Sebelum seorang menyapanya, telah terdengar ia tertawa pendek, katanya, “Menyenangkan sekali untuk mendapat kesempatan mencari pusaka-pusaka yang belum diketemukan itu dengan cara yang paling baik yang pernah aku lihat”

“Kidang Alit” hampir bersamaan semua orang yang berada di halaman itu berdesis. Panon dan Kiai Rancangbandang yang belum mengenalnya pun kemudian mengulangi nama itu, didalam hatinya, setelah ia mendengar Sangkan menyebutnya, “Kidang Alit”

Kuda Rupaka yang masih dicengkam oleh kemarahan karena hadirnya dua orang berkuda itu pun menggeram sambil berkata, “Kidang Alit, kau jangan terlalu sombong, jika aku tidak segera membunuhmu itu karena aku masih mempunyai pertimbangan lain. Aku kira kau pada suatu saat merasa bahwa kau tidak akan berhasil mendapatkan apapun juga di halaman ini. Tetapi agaknya kau memang terlampau dungu untuk mengerti, bahwa kau tidak mempunyai kekuatan apapun yang akan dapat kau andalkan disini, selama aku masih berada di halaman istana ini”

“Dan sekarang bertambah lagi dengan dua orang pengembara itu. Eh, aku tidak yakin bahwa kedua pengembata itu bukan pengikut-pengikutmu yang dengan sengaja kau masukkan ke dalam istiana ini”

“Kau gila Kidang Alit” Kuda Rupaka yang tidak dapat menahan hatinya hampir beteriak, “Aku tidak kenal dengan pengembara itu, tetapi apapun yang ada di dalam istana ini, akan menggagalkan usahamu untuk menemukan pusaka-pusaka yang ada di dalamnya. Kau memang tidak dapat ingkar lagi, bahwa pusaka-pusaka itu telah menyeret kalian dan orang-orang Guntur Geni itu untuk merebutnya dari tangan penghuni istana ini. Tetapi selama aku masih ada disini, maka semua usaha itu tentu akan sia-sia. Kau tentu tahu, dua orang yang terbunuh itu, jika kaulah yang hadir pada malam itu, dengan menyebut perguruan Kumbang Kuning itu bukan berarti bahwa kau pun berhak atas pusaka-pusaka di dalam istana ini”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Jangan marah-marah Raden, aku pun menjadi curiga, bahwa Raden Kuda Rupaka benar-benar sekedar ingin menyelamatkan pusaka-pusaka itu tanpa pamrih”

“Jika ada pamrih padaku, itu adalah wajar sekali, tetapi pamrihku adalah pamrih yang baik”

Kidang Alit termenung sejenak, dengan mata yang tidak berkedip ia memandang ke pintu butulan, justru pada saat Inten Prawesti mencoba menjengukkan kepalanya.

“Pusaka dan perawan memang pantas dipertahankan sampai akhir hayat, tetapi jika kau mati terbunuh di halaman istana ini Raden, kau tidak akan mendapatkan kedua-duanya”

“Itu adalah akibat yang wajar dari sebuah perjuangan, tetapi pamrih yang utama bagiku adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Demak, jika memang pamanda Kuda Narpada meninggalkan pusaka itu di istana ini”

“Jangan berpura-pura, setiap orang mengetahui, bahwa pada saat Pangeran Kuda Narpada bertahan, Maharaja Majapahit telah menyerahkan sebilah keris. Hanya sebilah keris. Kau tidak akan dapat menyebut pusaka yang manapun juga lebih dari satu justru untuk mengelabui orang-orang yang mengetahui denga pasti pusaka apakah yang telah diserahkan kepada Pangeran Kuda Narpada sebagai lambang kekuasaan Majapahit dan sebagai sipat kandelnya di dalam pertempuran yang maha dahsyat yang telah menghancurkan Kota Raja itu. Tetapi akhirnya Pangeran Kuda Narpada tidak dapat bertahan. Ia meninggalkan Kota Raja dengan pusaka yang diterimanya, bukankah begitu?”

“Ya, dan sekarang aku datang untuk mengambil pusaka itu dan menyerahkan kepada pamanda Sultan Demak”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah kau yakin bahwa Demak akan dapat bertahan dan melanjutkan kekuasaan Majapahit?”

Kuda Rupaka termenung sejenak, lalu, “Jika demikian aku yakin, kau adalah seorang pewaris kerajaan Kediri yang merindukan kebesarannya setelah Kediri tidak pernah dapat bangkit kembali. Bukan salah Majapahit bahwa ia menjadi besar dan berkuasa mempersatukan kepulauan yang terbentang dari ujung Barat sampai ke ujung Timur”

Kidang Alit duduk memeluk lututnya diatas dinding halaman itu mengangkat kepalanya sejenak, lalu diantara suara tertawanya ia berkata seolah-olah acuh tak acuh saja atas sikap Raden Kuda Rupaka, “Kenapa kau mengambil kesimpulan bahwa aku adalah trah langsung dari Kediri? Aku adalah Kidang Alit, seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat menetap seperti kleyang kabur kanginan”

Kuda Rupaka lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Lihatlah kedua pengembara itu, mereka juga menyebut dirinya kleyang kabur kanginan. Dan mungkin masih banyak orang yang mempergunakan penyamaran yang dungu semacam kau”

“Seandainya demikian, kenapa kau menghubungkan aku dengan trah Kediri?”

Banyak trah Kediri yang berada di dalam lingkungan Kumbang Kuning” Jawab Kuda Rupaka, “Selebihnya kau mempunyai bayangan ujud bangsawan, bukan seorang perantau yang kau sebut kleyang kabur kanginan, maka kau adalah seorang bangsawan yang mursal, yang kehabisan sisa harta benda Karena kau menginginkan nafsu duniawi”

“Ah, kesimpulanmu salah, ada banyak sebab, contoh yang dekat adalah puteri Inten Prawesti, ia menjadi melarat, tetapi apakah ia benar-benar mengagungkan nafsu duniawi?”

“Gila” Kuda Rupaka menggeram, tetapi ia tidak mau digelitik oleh sikap Kidang Alit sehingga kehilangan akal dan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menahan perasaannya. Bahkan ia masih sempat tersenyum dambil menjawab, “Kau memang pandai memilih persoalan. Tetapi kita tidak akan terperosok dalam perdebatan yang kau inginkan, aku tidak membicarakan diajeng Inten Prawesti, aku berbicara tentang kau dan kandunganmu”

Kidang Alit menarik nafas, katanya, “Kau memang bijaksana, kau tidak mudah terseret arus kemarahanmu dan mengalihkan persoalan. Baiklah, aku sadar sekarang, bahwa Raden Kuda Rupaka memang seorang yang harus mendapat perhatian lebih banyak dari setiap orang yang ada di sekitar istana ini untuk merampas pusaka yang tersimpan di dalamnya, aku yakin bahwa pada suatu saat akan terjadi, kita semuanya akan menentukan siapakah yang pantas memiliki pusaka itu”

“Kau belum memperhitungkan paman Cemara Kuning dan paman Sendang Prapat”

“Keduanya tidak akan dapat kau jumpai lagi dimanapun juga kau berada”

“Semakin jelas bagiku, kau adalah saluran dari kedua paman yang memang masih mempunyai darah keturunan Kediri itu, meskipun keduanya adalah darah Majapahit pula, ibunda dari kedua pamanda itu tentu mempunyai saluran yang sama dengan kau yang menamakan Kidang Alit”

“Penglihatanmu tajam sekali, Raden. Tetapi tidak ada orang yang dapat melihat samubarang”

“Meskipun tidak ada. Tetapi aku seolah-olah dapat melihat bahwa pada saat paman Cemara Kuning dan Sendang Prapat membawa Pamanda Kuda Narpada, pusaka itu tentu tidak ada pada paman Kuda Narpada. Atau, jika pamanda membawa sebilah keris yang disangkanya pusaka itu, ternyata bukan, sebab jika tidak demikian, kau tentu tidak akan kemari”

“Kau benar-benar waskita”

“Tetapi marilah kita berkesimpulan, bahwa dengan demikian satu-satunya keris yang dibawa oleh pamanda Kuda Narpada saat ia memasuki padukuhan ini adalah bukan pusaka yang kau cari itu. Karena pamanda hanya membawa sebilah keris saja”

Kidang Alit tertawa, “Itu adalah kesimpulan yang tergesa-gesa Raden, atau kau sudah menerima keris itu dari Raden Ayu Kuda Narpada dan dengan demikian kau ingin mengelabui aku”

“Carilah kesimpulanmu sendiri, itu adalah kesimpulanku”

“Pada suatu saat aku ingin bertanya langsung kepada Raden Ayu”

“Sia-sia, bibi tidak tahu sama sekali” ia berhenti sejenak, lalu, “He, Kidang Alit, kenapa kau tidak menyebutnya bibi seperti aku?, aku tahu, bahwa kau memiliki gelar kebangsawanan, sebaiknya kau tidak perlu mempergunakan penyamaranmu lagi”

Kidang Alit mengangguk, jawabnya, “Mungkin kau benar, tetapi itu adalah urusanku. Aku adalah Kidang Alit, bagiku sendiri, aku tidak perduli pendapat orang lain.”

“Dan sekarang?”

“Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali lagi kemari. Sebaiknya kau pergi sebelum terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat berakibat buruk bagimu”

Kuda Rupaka yang justru tertawa, katanya, “Ternyata kau tidak ada bedanya dengan dua orang dungu yang berkuda tadi. Sebenarnya aku kecewa mendengar peringatanmu itu. Sebelumnya aku hormat kepadamu sebagai seorang bangsawan yang merendahkan diri. Karena cita-cita yang mempunyai pengetahuan yang luas dan ilmu yang tinggi, tetapi kau masih juga sempat menakut-nakuti aku seperti kanak-kanak. Seharusnya kau tahu bahwa itu tidak berguna sama sekali”

Kidang Alit tertawa pula. Jawabnya, “Kau benar Raden, aku ternyata masih terlalu cengeng menghadapi seorang anak muda yang sangat perkasa. Baiklah, aku minta diri. Aku kadang-kadang masih juga mengganggu Raden ini sebangsa tikus dari Guntur Geni itu, sehingga aku merasa perlu untuk menakut-nakuti Raden. Tetapi ternyata aku harus menjadi malu karenanya. Namun, pada suatu saat aku akan menebusnya dengan bukti bahwa aku benar-benar akan membunuhmu”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Aku menunggu setiap saat, aku akan berada di tempat ini waktu yang tidak terbatas, meskipun aku tahu keluargaku tentu menjadi gelisah karena aku belum juga pulang. Bahkan mungkin ada satu dua orang senapati yang akan menyusulku kemari”

“O, adakah itu juga suatu keterangan yang cengeng?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, tetapi ia pun kemudian tertawa pula. Namun justru Panji Sura Wilaga hampir kehilangan kesabarannya.

“Nah, kau juga cerdik” kata Kuda Rupaka, “Sekarang pergilah”

“Baik Raden”

Kidang Alit pun kemudian memandang halaman itu sejenak. Ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat Panon dan Kiai Rancangbandang masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum melihat Sangkan yang terduduk dengan wajah pucat disudut istana itu, bersandar tiang. Sementara Pinten duduk sambil memeluk kaki Inten Prawesti di butulan.

“Aku akan pergi. Agaknya aku menakut-nakuti orang disini, kecuali Raden berdua dengan Panji Sura Wilaga dan kedua pengembara itu. Jika kedua pengembara itu bukan sahabat Raden, hati-hatilah dengan mereka. Lihatlah betapa matanya menyala dan kedua kakinya yang renggang menghadap kepadaku, Raden harus lebih menaruh perhatian kepada mereka, daripada kepada anak-anak Guntur Geni itu telah datang lagi dalam jumlah yang lebih banyak dan sudah tentu orang-orang yang lebih baik dari yang sudah Raden bunuh di istana ini”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, dibiarkannya Kidang Alit bergeser. Namun ia masih sempat tersenyum kepada Inten Prawesti sambil berkata, “Ampun puteri, aku tidak ingin menakut-nakuti puteri dan gadis itu, aku tidak ingin melontarkan gendam dalam kidung maupun pengaruh bunyi yang lain. Karena semuanya itu dapat dipudarkan oleh Raden Kuda Rupaka. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia akan dapat berbuat demikian pula dalam oleh kanuragan”

Inten Prawesti tidak manyahut. Tetapi tubuhnya terasa menjadi gemetar seperti Pinten yang masih memeluk kakinya.

Sejenak kemudian Kidang Alit itu pun meloncat turun, tetapi suaranya masih mengumandang, “Akan datang waktunya orang-orang Guntur Geni itu menyerang istana ini”

Tidak seorang pun yang menjawab, tetapi Raden Kuda Rupaka kemudian menghentakkan tangannya sambil bergumam, “Gila, kita harus segera selesai”

“Tidak ada lagi sopan santun dan unggah-ungguh yang dapat menghambat tugas kita”

Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian mendekati Inten Prawesti yang berdiri di butulan, ketika ia lewat di dekat sangkan yang bagaikan membeku, ia sempat menyentuh kaki Sangkan dengan kakinya.

“Kau akan mati membeku pada suatu saat” desis Kuda Rupaka.

“Tetapi, tetapi….” Suara Sangkan bagaikan tersumbat di kerongkongan.

Kuda Rupaka tidak menghiraukannya, tetapi ia melangkah terus mendekati Inten.

Inten Prawesti masih saja berdiri di tempatnya, sementara Pinten dengan gemetar berpegangan dengan kakinya.

“Diajeng” berkata Kuda Rupaka, “Agaknya keadaan menjadi semakin gawat, hati-hatilah, mungkin ada persoalan yang nenyusul. Tetapi jangan cemas, semuanya tentu akan dapat kita atasi” Ia berhenti sejenak, lalu, “Namun demikian, kita harus saling membantu, aku akan menjaga istana ini dengan mempertaruhkan nyawaku”

Inten Prawesti tidak menjawab, rasa-rasanya mulutnya menjadi kaku dan jantungnyapun serasa berhenti berdenyut.

“Diajeng” berkata Kuda Rupaka, “Sebaiknya kita mulai berterus terang kepada bibi, sudah waktunya bibi mengetahui semua persoalan yang sedang bergejolak di sekitar istana ini”

Inten tidak dapat menjawab, tetapi kepalanya terangguk lemah.

“Semuanya harus berlangsung dengan cepat. Pada saatnya aku akan menghadap bibi untuk memecahkan kesulitan yang timbul di istana ini”

Inten masih tetap berdiam diri, ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Cobalah mengerti diajeng” berkata Kuda Rupaka selanjutnya, “Dan usahakanlah agar bibi dapat mengerti pula kesulitan-kesulitan yang sama-sama kita hadapi”

Kuda Rupaka tidak menunggu jawaban Inten yang masih bingung, tetapi ia pun kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Tetapi tetap tenang sajalah, aku ada disini”

Dihadapan Sangkan yang masih membeku di tempatnya Kuda Rupaka berhenti, sambil menunjuk kepada dua orang yang berdiri termangu-mangu di kebun sambil memegang cangkulnya ia berkata, “Kau lihat kedua orang itu?, pada suatu saat bukan Kidang Alit lah yang akan menakut-nakuti kau, tetapi kedua orang itu. Bahkan mungkin mereka akan menjadi lebih berbahaya dari Kidang Alit itu sendiri”

“Tetapi, tetapi mereka hanya dua orang pengembara?”

“Kau dengar yang dikatakan oleh Kidang Alit? Ia pun tidak lebih dari seorang pengembara pula, kleyang kabur kanginan”

Sangkan tidak menjawab, tetapi wajahnya yang pucat masih saja pasi, sedang keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Tetapi ia hanya dapat memandang langkah Kuda Rupaka menjauh dan hilang bersama-sama dengan Panji Sura Wilaga di halaman depan.

Sepeninggal Kuda Rupaka, Sangkan mencoba untuk beranjak dari tempatnya, sejenak ia memandang adiknya yang duduk berpegangan kaki Inten Prawesti, namun kemudian ia memandang kedua orang yang sedang termangu-mangu di kebun itu dengan sorot mata yang aneh.

“He…!” tiba-tiba Sangkan berteriak kepada Panon

“Apakah benar apa yang dikatakan oleh Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka, bahwa kau dan pamanmu akan membuat kesulitan disini?”

Pertanyaan itu benar-benar membingungkan, sehingga Panon tidak segera menjawab, dengan gelisah ia memandang Ki Mina yang berdiri beberapa langkah dari padanya, tetapi nampaknya orang tua itu pun menjadi agak bingung pula.

“Kenapa kau diam saja” berkata Sangkan, “Kalian berada dibawah perintahku disini, kalian harus menjawab dengan jujur dan tidak berbelit-belit.”

Panon menjadi semakin bingung, tetapi justru karena itulah maka ia pun dengan ragu-ragu menjawab, “Tidak, tentu tidak, aku telah mengabdi disini dengan maksud yang baik”

“Apakah kau mencari pusaka pula seperti orang-orang lain?”

“Tidak, tidak”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Bagus, sayang Raden Kuda Rupaka sudah pergi, seharusnya ia mendengar jawaban kalian bahwa kalian tidak akan mencari pusaka itu dengan cara apapun juga. Jika kalian sekarang mencangkul halaman dan nanti membuat lubang-lubang sampah itu karena akulah yang menyuruhmu”

“Ya, ya, semata-mata karena aku mendapat perintah dari Ki Lurah”

“Jangan panggil aku Ki Lurah, tidak seorang pun yang mengangkat aku menjadi lurah disini, meskipun kedudukanku terhadap kalian memang ada bedanya dengan lurah kalian”

Panon tidak menjawab lagi, tetapi rasa-rasanya ia tidak tahan lagi menghadapi tekanan perasaan yang semakin menghimpit dadanya. Seakan-akan rongga dadanya itu hampir meledak oleh perasaan muak dan kesal.

Sangkan pun kemudian berdiri dengan dada terngadah dimuka pintu butulan menghadap kepada Inten Prawesti, katanya, “Puteri telah mendengar sendiri, kedua orang itu tidak akan berbuat apa-apa disini, nanti puteri dapat mengatakannya kepada Raden Kuda Rupaka dan Raden Panji Sura Wilaga”

Inten menarik nafas dalam-dalam, tetapi kepalanya terangguk pula meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Sangkan adalah anak yang aneh, adik perempuannya kadang-kadang menunjukkan sikap yang cerdas dan cakap menganggapi keadaan, tetapi Sangkan justru kebalikannya. Betapa mudahnya ia disesatkan oleh jawaban-jawaban yang mungkin kosong, jika dengan jawaban itu sudah meyakinkannya, maka ia akan mudah sekali terpersok ke dalam kesulitan”

Namun Inten Prawesti tidak mengatakan apapun juga bahkan perlahan-lahan ia menyentuh bahu Pinten sambil berkata, “Marilah Pinten, kita masuk saja kedalam”

Pinten pun kemudian berdiri dan mengikuti Inten masuk ke ruang dalam, dengan ragu-ragu Inten bertanya, “Apakah aku harus mengatakannya kepada ibunda?”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun menjawab, “Sebaiknya puteri, karena ibunda justru telah mendengar keributan-keributan di halaman, karena itu, agar ibunda puteri jusru tidak selalu dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan, maka ada pula baiknya puteri memenuhi pesan Raden Kuda Rupaka”

Inten mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah Pinten, aku akan langsung menghadap ibunda, sebaiknya kau ikut serta, agar kau dapat membantu aku memberikan penjelasan”

Pinten mengangguk-angguk, tetapi dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya, “Tetapi puteri, apakah yang akan puteri katakan kepada ibunda?”

“Kesulitan kita, bukankah kakangmas Kuda Rupaka berpesan demikian?”

“Lalu, apakah kira-kira tanggapan ibunda puteri?”

“Tentu aku tidak tahu Pinten”

“Jika puteri menjadi ibunda, apakah kira-kira yang akan puteri lakukan?”

Inten termangu-mangu sejenak, dengan ragu-ragu Inten mencoba menjawab, “Apakah kira-kira ibunda akan mempersoal-kan keris itu lagi? Tetapi jika sekiranya ibunda mengetahui, ibunda tentu sudah mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, agar kita segera terlepas dari kesulitan yang selalu membayangi rumah ini”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Memang itulah tujuan Raden Kuda Rupaka, Raden Kuda Rupaka ingin segera mengetahui dimanakah pusaka ayahanda puteri itu disimpan. Karena bukan saja Raden Kuda Rupaka, tetapi setiap orang yang berdatangan ke sekitar istana ini percaya, bahwa keris pusaka itu masih ada di dalam istana ini”

“Jika sekiranya ibunda memang mengetahui?” desis Inten Prawesti, “Tetapi ibunda pun tentu tidak mengetahui, dan itu berarti malapetaka akan menimpa kita semuanya”

Pinten mendekati Inten sambil berbisik, “Raden Kuda Rupaka ada di istana ini puteri, seharusnya puteri tidak usah menjadi cemas, jika sekiranya ibunda puteri memang tidak menegetahui. Apakah salahnya untuk berterus terang bahwa memang tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun akan dapat memaksa agar orang yang benar-benar tidak mengetahui, dan dengan sendirinya menjadi tahu”

Inten termangu-mangu, sekali lagi ia heran melihat sikap dan tingkah laku Pinten dibandingkan dengan kakaknya, Sangkan.

“Tetapi Pinten, bagaimanakah jika kakangmas Raden Kuda Rupaka lah yang kemudian tidak percaya bahwa ibunda tidak mengetahui sama sekali tentang pusaka itu”

“Siapapun yang menghadap, yang tidak diketahui akan tetap tidak diketahui, aku kira puteri menjadi cemas bahwa dengan demikian Raden Kuda Rupaka akan kecewa dan meninggalkan istana ini”

Inten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau benar Pinten, aku memang cemas, bahwa kakangmas Kuda Rupaka akan merasa kecewa. Ia telah menyelamatkan kami dari bencana dan telah membunuh orang-orang yang ingin dengan paksa memasuki istana ini, yang pernah barang tentu ingin memaksa ibunda untuk menunjukkan pusaka itu pula”

“Puteri tidak perlu mengkhawatirkan, Raden Kuda Rupaka adalah seorang kesatria, jika ia menolong kita maka itu adalah darma. Tentu Raden Kuda Rupaka kelak akan menimbang beratnya. Ia tidak akan menghubungkan pertolongannya dengan kepentingan yang lain, katakanlah tentang pusaka yang sedang dicari oleh banyak orang”

“Ah” Inten Prawesti berdesah.

Sementara itu Pinten berkata selanjutnya, “Sudahlah puteri, jangan gelisah”

“Tetapi jika kakangmas Kuda Rupaka menjadi benar-benar kecewa, maka ia akan meninggalkan istana ini, menemukan pusaka itu baginya sebagai seorang kesatria adalah darma pula. Ia haris mengembalikan pusaka itu ke Demak”

“Tetapi ia tidak dapat memaksa orang lain untuk mengatakan apa yang tidak diketahuinya” jawab Pinten, lalu, “Puteri, jika Raden Kuda Rupaka kemudian merasa kecewa dan meninggalkan istana ini, maka kitapun tidak menjadi cemas”

“Dan orang-orang itu akan berdatangan?”

”Tentu tidak puteri, sasaran mereka akan beralih, mereka tidak akan bernafsu lagi memasuki istana ini, tetapi mereka akan mencari Raden Kuda Rupaka, karena mereka mengira bahwa Raden Kuda Rupakalah yang telah membawa keris pusaka itu dari istana ini”

“O” Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kau memang cerdas sekali, seolah-olah kau memiliki pengamatan yang tajam sekali terhadap sesuatu persoalan. Jauh berbeda dengan kakakmu. Ia adalah seorang anak muda yang lucu sekali, tidak banyak yang dapat dilakukan, tetapi setiwap perbuatannya dapat menimbulkan kejenakaan, sedangkan kau mempunyai ungkapan yang lain lagi Pinten, nampaknya kau seperti seorang gadis yang bijaksana”

“Ah. Puteri selalu memuji, jika aku benar-benar menjadi bijaksana, tentu karena puteri sadar atau tidak sadar telah membimbing caraku berpikir”

“Bagaimana mungkin jika aku sendiri tidak memiliki kebijaksanaan itu”

“Orang-orang rendah hati tidak akan memperlihatkan kebijaksanaan diri, apalagi mengatakannua kepada orang lain, dan itulah bedanya antara puteri dan orang-orang lain yang merasa dirinya bijaksana”

Inten mengerutkan keningnya, dipandanginya wajah Pinten dengan seksama, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu di dalamnya, bahkan rasa-rasanya jauh lebih dalam arti pandangan lahiriah semata-mata.

“Pinten” berkata Inten Prawesti kemudian, “Kau jauh berbeda dengan kakak dan biyungmu”

“Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia tertawa, katanya, “Sudahlah puteri, jangan memikirkan aku, bukankah puteri sedang menghadapi masalah yang jauh lebih pelik daripada menilik sifat dan tabiatku”

Inten menarik nafas dalam-dalam, kepalanya ternagguk-angguk kecil, lalu katanya, “Aku akan menghadap ibunda”

“Apakah aku juga akan ikut serta seperti yang puteri kehendaki untuk membantu puteri mengatakan apa yang telah terjadi?”

“Ya, tentu Pinten”

Pinten mengangguk lemah, “Terima kasih atas kepercayaan itu puteri”

Keduanya pun kemudian mencari Raden Ayu Kuda Narpada yang pada saat terakhir justru lebih banyak berada di dalam biliknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang telah menyentuh hatinya sehingga menumbuhkan bayangan lain di wajahnya.

“Semula ibunda sudah memasrahkan diri kepada Allah Yang Maha Besar” berkata Inten, “Tetapi tampaknya kini ibunda telah diganggu lagi oleh kenangan masa silamnya, atau barangkali ibunda sudah mengetahui bahwa istana ini telah menggetarkan bukan saja padukuhan Karangmaja, tetapi padepokan-padepokan dan bahkan para bangsawan di Demak, karena mereka mengira di halaman ini terdapat sebilah pusaka yang mereka cari”

“Kita akan menghadap puteri, mudah-mudahan ibunda membuka hatinya”

Dengan ragu-ragu Intenpun kemudian mengajak Pinten menemui ibundanya di dalam biliknya, namun alangkahnya tertegun ketika mereka mendengar suara tembang di belakang istana.

“Ah” desis Pinten, “Tentu kakang Sangkan memaksa anak muda pengembara itu untuk mengajarinya mendendangkan kidung itu, sejak semalam ia sudah rerasan, bahwa ia ingin belajar kidung yang telah menarik perhatiannya itu”

Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kakakmu sama sekali tidak terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi di istana ini, meskipun pada saat peristiwa itu terjadi, ia menjadi ketakutan dan bahkan seolah-olah menjadi beku sama sekali” ia berhenti sejenak lalu, “Marilah, kita mohon untuk berbicara dengan ibunda yang tampak murung”

Dengan ragu-ragu maka keduanya memasuki bilik Raden Ayu Kuda Narpada yang seperti telah diduga oleh Inten, duduk dengan murung di dalam biliknya di bibir pembaringan. Bahkan Inten terkejut ketika ia melihat setitik air mata mengambang di pelupuk mata ibundanya.

“Ibunda” desis Inten.

Tetapi ibundanya justru mencoba tersenyum, sambil mengusap matanya ia berkata, “Marilah Inten”

Inten menjadi semakin ragu-ragu. Sekali ia berpaling kepada Pinten yang sudah duduk bersimpuh di muka pintu.

“O, kau ajak Pinten?” bertanya ibundanya.

“Ya ibunda, aku membawanya menghadap ibunda jika ibunda berkenan”

“Ibundanya mengerutkan keningnya, namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Suruhlah ia masuk”

Pinten pun kemudian bergeser masuk ke dalam ketika Inten memeberi isyarat.

“Tutup pintu itu Pinten” berkata Inten Prawesti.

Pinten pun kemudian menutup pintu bilik itu, namun ia masih juga sempat melihat Raden Ayu Kuda Narpada mengusap matanya.

“Aku tahu apa yang akan kau katakan Inten, aku juga mendengar peristiwa yang baru saja terjadi di halaman samping”

“Karena itulah ibunda menangis?” bertanya Inten.

Ibundanya menarik nafas semakin panjang, jawabnya, “Mungkin juga karena hal itu, tetapi mungkin juga karena banyak persoalan yang selama ini mengendap di dalam hatiku, aku tahu bahwa orang-orang yang mengepung istana ini sedang mencari pusaka yang mereka sangka disimpan oleh ayahandamu”

“Agaknya memang demikian ibunda, bahkan kini tekanan itu terasa menjadi semakin pepat, sehingga kakangmas Kuda Rupakapum telah merasa cemas pula”

“O, jadi angger Kuda Rupaka sudah merasa dicemaskan oleh perkembangan keadaan itu?” ibundanya menundukkan kepalanya. “Ia merupakan perisai yang kuat bagi rumah ini, jika perisainya sudah mulai lentur, apakah artinya kita semuanya?”

“Karena itu ibunda, pakah tidak sebaiknya ibunda berterus terang kepada kakangmas Kuda Rupaka”

“Tentang apa Inten? Apakah maksudmu, agar aku menunjukkan pusaka yang tidak aku ketahui itu untuk dibawa ke Demak?”

Inten manjadi termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Memang jika ibunda tidak mengetahuinya, sebaiknya ibunda pun mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, sebab agaknya kakangmas Kuda Rupaka pun mempunyai dugaan bahwa pusaka itu memang ada disini.

Raden Ayu Kuda Narpada mengerutkan keningnya, dipandanginya Pinten yang duduk di lantai sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Inten pun kemudian mengatakan pula kepada ibundanya seperti yang dikatakan oleh Pinten, seandainya Raden Kuda Rupaka merasa kecewa dan meninggalkan istana itu.

“Ibunda” berkata Inten kemudian, “Di Demak kakanda Kuda Rupaka mempunyai kekuatan untuk melawan mereka, seandainya orang-orang yang ingin memiliki pusaka itu benar-benar mengejarnya, tetapi disini?”

Ibundanya tidak segera menjawab, bahkan ia kemudian termenung memandang ke kejauhan, seoah-olah ada yang dicarinya di sela-sela bayangan anganangannya.

Dalam pada itu, suara Sangkan seakan-akan justru menjadi semakin keras melagukan tembang yang melagukan tembang yang dipelajarinya dari Panon, ia menirukan dengan irama yang terputus-putus.

Panon telah benar-benar muak menghadapi anak muda yang menuruti kehendaknya sendiri itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menolak dan apalagi sempai timbul persoalan. Kedatangannya ke istana itu mengemban tugas yang dibebankan oleh gurunya. Untuk itu ia harus mengorbankan apa saja yang dapat diberikan. Termasuk mengorbankan perasaannya.

Sementara itu, Inten Prawesti yang masih berada di bilik ibundanya, berkata, “Jika Ibunda langsung mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, maka aku kira kakangmas akan dapat mengerti, dan bahkan mungkin kakangmas Kuda Rupaka akan sempat memanggil beberapa orang prajurit untuk mengusir orang-orang yang berada di sekitar rumah ini”

Ibundanya menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Demak, jaraknya jauh dari sini Inten, untuk mencapai Demak, anakmas Kuda Rupaka harus menempuh perjalanan dua atau tiga hari. Selama itu, diperjalanan, akan dapat terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki yang mungkin ditembulkan oleh orang-orang yang menurut dugaanmu menyangka bahwa pusaka itu telah dibawanya ke Demak”

Inten mengerutkan dahinya, memang hal itu dapat terjadi diperjalanan.

Sepercik kecemasan telah meloncat di hatinya, ada sesuatu yang rasa-rasanya memberati hatinya. Jika benar-benar Kuda Rupaka mengalami sesuatu di perjalanan, apakah hatinya tidak akan terluka pula?

Tetapi sebuah pertanyaan telah meloncat dihatinya, “Lebih dari itu?”

“Ah” Inten berdesah sambil menggeleng.

Pinten melihat kerisauan dihati puteri itu, sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Ampun puteri. Ampun Gusti, jika aku berani mengetengahkan pendapatku di saat seperti ini”

Raden Ayu Kuda Narpada memandanginya dengan kerut merut di dahinya. Kemudian katanya, “katakanlah Pinten”

“Menurut pengamatanku. Raden Kuda Rupaka, adalah orang yang linuwih. Ia tidak akan dapat dikalahkan dengan mudah oleh siapapun juga. Demikian juga agaknya di perjalanan kembali ke Demak”

Raden Ayu Kuda Narpada termenung sejenak, sekilas ia melihat wajah Inten yang tegang.

“Tetapi itu berbahaya sekali bagi kakangmas Kuda Rupaka, Pinten” tiba-tiba Inten menyahut, “Mungkin kakangmas Kuda Rupaka dapat mempertahankan diri jika lawannya tidak begitu banyak, tetapi jika jumlahnya tidak terhitung?”

Pinten mengangguk, namun katanya, “Memang setiap langkah kini harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi juga setiap langkah mengandung akibatnya masing-masing. Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh Raden Kuda Rupaka jika istana ini juga diserang oleh orang-orang yang jumlahnya tidak terhitung?”

“Tetapi itu adalah akibat yang memang seharusnya menimpa kami. Bukan angger Kuda Rupaka” Raden Ayu Kuda Narpada lah yang menyahut.

“Tetapi bukankah Raden Kuda Rupaka juga mengalaminya?”

“Tetapi disini ada beberapa orang yang dapat membantunya, kedua pengembara itu juga laki-laki, mereka akan dapat membantu betapapun lemahnya mereka” Sahut Inten Prawesti.

“Itu hanya akan menambah korban saja puteri, mereka tidak banyak berarti bagi orang-orang yang hidupnya telah ditempa oleh kekerasan yang liar seperti orang-orang yang terbunuh di halaman, atau, bukankah Raden Kuda Rupaka justru meragukan kedua orang pengembara yang kini ada di istana ini?”

Raden Ayu Kuda Narpada berpaling, dipandanginya wajah Pinten sejenak, wajah yang kekanak-kanakan, tetapi agaknya ada kelainan pada anak perempuan ini. Agaknya ia terlampau cerdas dibandingkan dengan ibunya Nyi Upih yang sudah termasuk seorang yang cukup cerdas diantara kawan-kawannya dahulu.

 

Bab 21

Pinten menundukkan kepalanya ketika terasa tatapan mata Raden Ayu menyentuh biji matanya, bahkan dengan nada yang rendah ia berkata, “Ampun Gusti, mungkin aku sudah terlampau deksura dengan mengutarakan pikiranku yang dungu dihadapan Gusti dan puteri”

“Tidak Pinten” jawab Raden Ayu, “Kau boleh mengutarakan pendapatmu, aku tidak berkeberatan. Bahkan semua itu akan aku jadikan bahan pertimbangan nanti. Karena aku masih harus memikirkannya masak-masak”

“Terima kasih Gusti, mudah-mudahan Gusti tidak marah kepadaku”

“Aku tidak marah Pinten, benar-benar tidak. Aku senang kau selama ini mengawani Inten bermain gateng dan dakon. Bahkan mungkin juga berbincang tentang keadaan istana ini, ternyata kau telah dibawanya menghadapku sekarang ini”

“Ya ibunda” sahut Inten, “Pinten justru banyak memberikan pertimbangan kepadaku, seperti yang diberikannya kepada ibunda”

“Puteri terlampau memuji” berkata Pinten.

“Aku mendengarkan semuanya” sahut Raden Ayu Kuda Narpada kemudian, “Biarlah aku membuat pertimbangan-pertimbangan”

Inten memandang wajah ibunya yang suram sekilas, kemudian ia pun berkata, “Baiklah Ibunda, agaknya sudah cukup banyak yang aku katakan bersama Pinten, mudah-mudahan ibunda dapat menemukan jalan yang sebaikbaiknya”

“Jika aku melihat jalan keluar, Inten, aku akan memanggilmu dan minta pertimbanganmu”

Inten dan Pinten pun kemudian minta diri keluar dari bilik ibunya, ibundanya yang nampaknya dihari-hari terakhir terlalu muram.

Dalam pada itu, Inten dan Pinten pun mencoba menghilangkan risau dihati mereka dengan bermain dakon. Namun permainan mereka nampaknya tidak begitu lancar, sementara itu tidak banyak mereka bercakap-cakap.

Di belakang Sangkan masih melagukan rembang yang sedang dipelajarinya, sementara Panon dan Kiai Rancangbandang masih saja dibiarkan mencangkul kebun istana itu, bahkan mereka telah membuat beberapa lubang untuk membuang sampah.

“Gila” Panon mengumpat didalam hatinya, keringatnya mulai mengalir diseluruh tubuhnya, meskipun di padukuhannya ia juga seorang petani yang setiap hari bergulat dengan cangkul, namun sikap Sangkan benar-benar telah membuatnya sangat muak dan hampir menghilangkan segala kesabarannya, apalagi jika Panon melihat sikapnya. Anak muda itu duduk dibawah sebatang pohon kemuning bersandar sambil menjulurkan kakinya. Sementara itu mulutnya masih saja melagukan tembang yang sedang dipelajarinya, bahkan setiap kali ia berteriak menyuruh Panon memberikan tuntunan lagunya jika ia terlupa.

“Lagu itu manis sekali” desis Sangkan, “karena lagu itulah maka agakya Gusti puteri memanggilmu masuk”

Panon tidak menjawab, namun tampak dari sorot matanya, luapan hati yang geram.

Sementara itu, Sangkan mengulang lagunya, justru semakin keras.

Kiai Rancangbandang mengerutkan keningnya, disela-sela nada-nada yang terlontar didalam suara tembang itu, ada sesuatu yang terasa aneh bagi orang tua itu. Rasa-rasanya Sangkan tidak benar-benar sedang belajar. Bahkan kadang-kadang terdengar unsur nadanya yang sangat kuat. Lebih dalam dari tukikan nada Panon yang nampaknya memang belum sangat menguasai lagu itu. Hanya di bagian-bagian tertentu suara Sangkan terdengar sumbang, bahkan seolah-olah dengan sengaja berbelok pada tangga nada yang salah.

“Apakah sebenarnya keinginan anak itu?” desis Kiai Rancangbandang didalam hatinya.

Namun suara Sangkan itu terputus ketika ia melihat Panji Sura Wilaga dengan tergesa-gesa mendekatinya dengan wajah yang buram. Beberapa langkah di hadapannya ia berhenti sambil mengumpat, “Apakah kau sudah benar-benar menjadi gila Sangkan?”

Sangkan menjadi bingung, diluar sadarnya ia pun berjongkok dengan gemetar, “Apakah maksud Raden Panji?”

“Kenapa kau berteriak-teriak seperti orang kesurupan?, Raden Kuda Rupaka menjadi muak mendengar suaramu yang sumbang dan menjengkelkan itu”

“O…”

“Berhentilah menggigau, atau aku harus membungkam mulutmu”

“Jika Raden Kuda Rupaka memang tidak menghendaki, baiklah, Baiklah aku akan diam Raden Panji”

“Diamlah, dan hentikan kegilaanmu dengan menggali lubang-lubang sampah dan mencangkul seluruh halaman itu”

“Maksudku, biarlah keduanya menyiangi tanaman-tanaman bunga dan pohon perdu serta empon-empon”

“Diam” Panji Sura Wilaga melangkah maju, Sangkan yang menjadi semakin ketakutan bergeser surut, tetapi punggungnya sudah melekat pada batang kemuning itu, “Ampun Raden Panji”

“Kau harus diam”

Sangkan tidak berani menjawab lagi, dengan sudut matanya ia memandang kedua orang yang masih memegangi cangkul-cangkulnya masing-masing.

“Berhentilah” geram Panji Sura Wilaga kepada kedua orang yang sedang mencangkul itu, “Pergilah ke dalam bilikmu”

“Tetapi, tetapi…” Sangkan menyela, “Mereka harus bekerja di istana ini Raden Panji”

“Kau masih menjawab lagi”

“O…” sekali lagi Sangan menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Panon yang sudah hampir menjadi gila, karena tingkah Sangkan, menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia pun melangkah menuju sumur untuk membersihkan cangkul dan dirinya, seperti juga yang dilakukan oleh Kiai Rancangbandang.

Panji Sura Wilaga masih menunggu sejenak, kemudian ditinggalkannya Sangkan dan kedua orang yang sudah mulai mengambil air dari dalam sumur itu.

Sepeninggal Panji Sura Wilaga, Sangkan pun kemudian berdiri dan melangkah mendekati keduanya. Dengan nada yang tajam ia berkata, “Kau jangan menjadi terlalu manja, kali ini sikap Panji Sura Wilaga menguntungkan kalian, tetapi lain kali, kalian tidak akan dapat ingkar dari perintahku”

Panon menggeretakkan giginya, tetapi Kiai Rancangbandang menggamitnya, sehingga Panon pun hanya dapat menahan kemarahannya di dalam hatinya.

“Aku benar-benar akan menjadi gila, jika aku terlalu lama berada disini” geramnya lagi dalam hati.

Baru ketika Sangkan pun kemudian meninggalkan keduanya, Panon melontarkan getaran yang bergejolak didadanya itu kepada Kiai Rancangbandang.

“Ini adalah salah satu segi ujian yang harus kau jalani, jika kau gagal, maka semuanya akan gagal pula” berkata Kiai Rancangbandang kemudian.

Panon menarik nafas dalam-dalam, ia memang menyadari bahwa ia harus dapat menahan diri, tetapi sebelumnya ia tidak pernah membayangkan bahwa di dalam istana ini ada seorang anak muda yang bernama Sangkan yang baginya jauh lebih berat artinya dari pada anak muda yang menyebut dirinya Kidang Alit itu. Seandainya Kidang Alit itu membawa satu dua orang kawan memasuki halaman istana itu, maka ia tidak pernah gentar dan tidak akan merasa dirinya tersiksa seperti ini, bahkan sampai kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

“Kegagalan memang dapat berakibat kematian” katanya di dalam hati, “Tetapi tidak membuat diriku gila seperti ini”

Tetapi Panon memang tidak dapat mengelak, ia harus menghadapinya betapa perasaannya dicengkam oleh kegelisahan dan muak.

Tetapi belum lagi Panon sempat beristirahat didalam biliknya dengan baik, Sangkan telah masuk ke dalam bilik itu pula. Sejenak ia memandang Panon dan Kiai Rancangbandang, namun kemudian ia pun melangkah langsung ke pembaringannya dan berbaring tanpa menghiraukan apapun lagi.

“Hem….” Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, ia melihat Sangkan yang sama sekali tidak mencuci kaki dan tangannya yang kotor oleh Lumpur begitu saja dapat membaringkan dirinya di pembaringan tanpa merasa gatal.

“Aku juga seseorang yang hidup di padesan dan bekerja bergumul dengan Lumpur, tetapi aku tidak tahan membiarkan tubuhku dikotori demikian sambil berbaring di pembaringan” berkata Kiai Rancangbandang di dalam hatinya.

Panon mencoba untuk tidak menghiraukan anak muda itu meskipun ia masih harus menahan sikapnya, agar anak muda itu tidak mencurigainya dan apalagi mengatakannya kepada orang lain.

Agaknya Sangkan benar-benar tidak menghiraukan apapun juga, sejenak kemudian telah terdengar ia mendengkur dengan teratur, ternyata ia telah tertidur dengan nyenyaknya.

“Anak muda yang aneh” desis Kiai Rancangbandang

“Rasa-rasanya ia sama sekali tidak mempunyai persoalan di dalam hidupnya, hati yang kosong bahkan menyatakan betapa ia tidak dibebani dengan segala macam persoalan duniawi yang ruwet, memang kadang-kadang kebodohan dan tidak tahu menahu tentang keadaan disekitarnya membuat seseorang tidak di kejar-kejar oleh persoalan.

Panon memandang tubuh yang terbaring itu, sambil bersungut-sungut ia berkata, “Jika saja ia tidak berbuat dungu”

“Itu adalah rerangken yang wajar dari kekosongan di dalam dirinya” Sahut Kiai Rancangbandang.

Panon tidak menjawab lagi, ia pun kemudian melangkah keluar dan duduk di serambi belakang, tatapan matanya beredar diantara pepohonan yang ada di kebun istana itu, bekas garapannya dan beberapa lobang tempat sampah.

Tiba-tiba saja Panon terkejut ketika ia mendengar langkah kecil berlari-lari, ketika ia berpaling, dilihatnya Pinten berdiri di belakangnya termangu-mangu.

“Oh, aku kira kakang Sangkan”

Panon memandang wajah gadis itu sejenak, namun kemudian rasa-rasanya ia menjadi gelisah dan menjawab diluar sadarnya, “Ia sedang tidur di dalam bilik”

Pinten berdiri diam, nampak keragu-raguan membayang di wajahnya, namun kemudian katanya, “Aku memerlukannya”

“Ia di dalam” sekali lagi Panon menjawab

“Panggilkan ia sebentar, aku memerlukannya”

Panon ragu-ragu pula, namun kemudian, “Aku tidak berani, sekarang ia sedang tidur”

“Tidur??”

“Ya”

Pinten mengerutkan keningnya, lalu ia pun kemudian berlari ke pintu bilik itu, ia tertegun ketika ia melihat Kiai Rancangbandang yang dikenalnya dengan Ki Mina masih berada di dalam bilik itu.

“Aku memerlukan kakang Sangkan” Desis Pinten, “Jika angin bertiup, biasanya buah kemiri berguguran di halaman samping”

“O, maksud puteri, kami harus memunguti buah kemiri”

“He, aku bukan puteri”

“Eh, maksudku apakah puteri menghendaki buah kemiri itu?, jika demikian maka biarlah kami saja yang mengambilnya, atau biarlah Panon melakukannya, Sangkan sedang tidur nyenyak, agaknya ia pun merasa lelah.

“Ya, puteri menghendaki buah kemiri itu”

Kiai Rancangbandang kemudian melangkah keluar pintu dan berkata kepada Panon, “Panon, ambillah buah kemiri yang rontok oleh angin, mungkin puteri ingin bermain jirak kemiri atau gateng”

Panon bangkit dengan malasnya, tetapi kemudian ia pun melangkah ke halaman samping, beberapa saat ia duduk di bawah sebatang pohon soka putih menunggui buah kemiri yang satu-satu jatuh karena diguncang oleh angin yang semakin keras.

Sekali-kali Panon mengangkat wajahnya memandang langit yang luas, di ujung cakrawala nampak mendung yang kelabu bergeser di dorong angin.

“Agaknya mendung itu akan segera merata” Desis Panon kepada diri sendiri, “Dan hujan yang lebat akan segera turun”

Panon terkejut ketika mendengar langkah seseorang mendekatinya, ternyata yang datang adalah Pinten, dengan nada yang tinggi gadis itu berkata lantang, “Dan kau hanya duduk saja disini?”

Panon mengerutkan keningnya, tetapi sebelum ia berkata sesuatu Pinten telah berlari memungut dua tiga buah kemiri yang berjatuhan.

Panon justru tidak beranjak dari tempatnya, ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil memandang gadis yang nampaknya terlalu lincah. Kakinya yang kecil meloncat-loncat di rerumputan, seolah-olah tubuhnya yang sama sekali tidak memiliki berat. Setiap kali ia membungkuk memungut buah kemiri yang berjatuhan, satu, dua dan jika angin bertiup lagi, maka buah-buah yang masakpun berguguran pula.

“Sebenarnya aku sedang menunggu sehingga buah-buah kemiri itu terkumpul” tiba-tiba saja seolah-olah diluar sadarnya Panon berkata.

“Uh” tiba-tiba saja Pinten mencibirkan bibirnya, “Itu hanya alasanmu saja, kau memang malas, akan aku katakan kepada kakang Sangkan, bahwa kau malas”

Panon mengerutkan keningnya, namun tiba-tiba nampak olehnya sesuatu yang lain pada gadis itu. Ia mempunyai banyak sekali kawan gadis-gadis sebaya Pinten itu di padukuhannya, tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mempunyai tatapan mata setajam gadis itu.

Tiba-tiba saja Panon menundukkan wajahnya.

Tetapi ia pun kemudian tidak mendengar lagi suara Pinten, ia hanya mendengar desir yang lembut, bergerak cepat sekali meninggalkan bayangan daun-daun kemiri bergoyang-goyang di rerumputan.

Baru sejenak kemudian Panon mengangkat wajahnya, ia masih melihat punggung Pinten yang menjauh dan hilang di sudut halaman istana.

Namun dalam pada itu langkah Pinten terhenti, sesuatu rasa-rasanya telah menahannya, bahkan perlahan-lahan ia berpaling, tetapi yang dilihatnya hanyalah sudut istana beberapa langkah di belakangnya.

Pinten menarik nafas dalam-dalam, ia tidak berlari lagi, sambil membawa beberapa buah kemiri dengan sudut bajunya, ia pergi menemui Inten yang sedang menunggunya.

“Buah kemiri itu harus dikupas lebih dahulu” berkata Pinten ketika ia sudah berada di serambi bersama Inten.

Inten mengangguk-angguk, tetapi nampaknya ia tidak berminat lagi untuk bermain-main.

“Aku lelah Pinten” berkata Inten.

“O, silahkan puteri beristirahat, atau apakah aku harus memijit?”

Inten menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak Pinten, aku tidak sekedar lelah badanku, tetapi lelah batinku”

“Jika demikian, sudah betul jika puteri bermain-main, mudah-mudahan dapat mengurangi perasaan lelah itu”

“Aku ingin berbaring sebentar Pinten” jawab Inten.

“Puteri” Pinten berdesis sambil memijit-mijit kaki Inten, “Jika puteri berbaring di pembaringan, tetapi tidak segera tertidur maka itu akan berarti beban batin puteri akan semakin bertambah berat, karena angan-angan yang mengambang. Dan puteri justru akan menjadi semakin lelah”

Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku akan mencoba tidur Pinten.

Tiba-tiba saja Pinten tersenyum, katanya, “Puteri jangan mencoba membayangkan wajah-wajah yang barangkali mulai mengganggu perasaan puteri”

“Ah” Inten mencubit lengan Pinten, sehingga gadis itu berdesis, “Ampun puteri”

“Kau nakal sekali”

Pinten bergeser mundur, tetapi senyumnya masih nampak di wajahnya.

“Mungkin ibumu memerlukan kau Pinten, sekarang semakin banyak orang yang dilayaninya di rumah ini. Karena itu ia harus lebih banyak memasak”

“Baiklah puteri, aku akan pergi ke dapur”

Ketika Inten kemudian pergi kebiliknya, maka Pinten pun pergi mendapatkan ibunya yang sedang berada di dapur, keringatnya membasahi baju dan keningnya, sementara api masih nampak menyala di perapian”

“Ooo… biyung sibuk sekali ya…?”

“Dan kau bermain saja kerjanya”

“Aku menemani puteri bermain supaya ia tidak selalu dibebani oleh kegelisahan yang semakin mencengkam”

“Dan sekarang?”

“Puteri berbaring di biliknya”

“Dimanakah kakangmu?”

“Tidur, ia mendengkur di biliknya”

“Bukan main anak itu, bangunkan dia, apakah dikiranya ia seorang pangeran yang disaat seperti ini sempat tidur”

“Ah tidak mau biyung, dibiliknya ada dua orang pengembara itu”

Nyi Upih tidak memaksanya, dibiarkannya saja Pinten berbuat menurut kehendaknya, apa saja yang akan dilakukannya di dapur itu, namun Pinten sudah berusaha untuk membantu ibunya, meskipun hanya sekedar menunggui api dan mengaduk sayur yang sudah mulai mendidih.

Demikianlah, maka seperti yang dikatakan oleh Pinten, maka sebenarnyalah bahwa Inten justru menjadi semakin lelah, setelah sesaat ia berada di pembaringannya, angan-angannya mulai menerawang ke dunia yang nampaknya semakin suram seperti istana kecil yang terletak di luar padukuhan Karangmaja itu.

Bahkan bukan saja Inten yang rasa-rasanya menjadi semakin gelisah, tetapi terlebih-lebih adalah ibundanya yang nampak selalu murung dan sedih.

Meskipun Inten Prawesti dan Raden Ayu Kuda Narpada tidak melihat, namun rasa-rasanya mereka mengetahui dengan pasti, bahwa di sekeliling istana itu sedang bergejolak, beberapa kelompok kekuatan yang sudah siap menerkam seluruh istana itu.

Tetapi di dalam istana itu, Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya juga mulai gelisah, benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, ia pun sadar, bahwa pada suatu saat mungkin mereka berdua dengan Panji Sura Wilaga harus menghadapi jumlah orang yang jauh lebih banyak, tetapi sebagai seorang laki-laki, merekapun pantang surut di dalam tugas yang betapapun beratnya.

Ketika kemudian melam turun, rasa-rasanya istana itu pun menjadi semakin suram, lampu di pendapa nampak berkerdipan disentuh angin yang silir.

“Paman” berkata Kuda Rupaka di dalam biliknya. “Kita sekarang tidak sekedar mengawasi orang-orang yang datang di luar istana, tetapi di dalam istana itu ada Panon dan Ki Mina”

“Raden terlalu lunak hati, jika Raden berkeberatan pasti keduanya akan diusir dari istana ini, selama ini Radenlah yang membantu kebutuhan sehari-hari Raden Ayu Kuda Narpada dan keluarganya. Raden dapat mempergunakan alasan yang sederhana itu, karena dengan alasan kemungkinan-kemungkinan yang lebih rumit, apalagi dalam hal pusaka yang sedang diperebutkan itu, Raden Ayu tidak dapat mengerti”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sejenak keduanya saling berdiam diri, agaknya mereka sedang memperhatikan angan-angan masing-masing yang seolah-olah sedang dicengkam oleh kegelisahan dan seribu macam pertimbangan tentang pusaka yang ternyata telah menjadi perebutan dan bahkan dengan terbuka.

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan, suaranya ngelangut disela-sela derik jangkrik dan belalang.

“Paman” desis Kuda Rupaka, “Kau dengar suara burung itu?”

“Ya, Raden”

“Ngelangut dan menimbulkan kesan yang aneh”

“Ya, Raden, tetapi agaknya lebih dari itu, bukankah Raden ingin mengatakan bahwa suara itu bukan suara burung hantu yang sebenarnya”

“Ya, aku mendengar itu tentu suatu isyarat”

“Agaknya memang demikian, tetapi masih terlampau sore bagi sebuah tindakan yang langsung sekarang ini”

“Karena itulah, maka kita dapat membayangkan, bahwa di luar istana ini telah disusun sebuah persiapan yang masak sekarang ini, tetapi aku kira bukan dari orang-orang Kumbang Kuning, Kidang Alit tidak sedungu itu, langkahnya lebih lembut dan rumit”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, sekali-kali ia memiringkan kepalanya, seolah-olah ingin mendengar lebih jelas lagi suara burung hantu yang terdengar diantara suara-suara malam yang menimbulkan kesan tersendiri.

Kedua orang itu nampak saling berpandangan ketika tiba-tiba suara burung hantu yang ngelangut itu telah tersayat oleh teriakan suara anjing di kejauhan, suara anjing liar yang kelaparan.

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Suara anjing itu juga mencurigakan”

“Semua suara sekarang mencurigakan, kau dengar desah di ruang dalam?”

“Agaknya puteri Inten Prawesti”

“Kegelisahannya juga memberikan kesan tersendiri, gadis itu tidak pernah nampak begitu gelisah seperti saat terakhir ini”

“Itu sudah wajar Raden, jangankan puteri Inten Prawesti, Raden sendiripun menjadi gelisah”

“Gelisahku lain paman, aku mencemaskan kekuatuan batin diajeng Inten Prawesti, sementara itu, Kidang Alit mempunyai seribu macam akal untuk mempengaruhinya lewat segala cara, ia mempunyai ilmu yang dapat tersalur pada kekuatan bunyi dan irama”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Perhatian Raden sebagian telah terampas oleh puteri Inten Prawesti, seharusnya Raden memusatkan semua ilmu dan kemampuan yang ada bagi tugas terpenting Raden, menyelamatkan pusaka yang kini sedang jadi rebutan itu”

“Ya, aku menyadari, tetapi bukankah kedua-duanya dapat dilakukan bersama-sama”

“Seharusnya Raden menjadi lebih berhati-hati, Raden harus dapat memilahkan, yang manakah yang harus mendapat perhatian lebih dahulu, baru yang kemudian Raden dapat menilai puteri Inten sebagai seorang gadis”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia justru menjadi semakin gelisah, suara burung hantu yang ngelangut terdengar semakin sayup, akhirnya suara itu hilang ditelan oleh sepinya malam, namun demikian, sekali masih terdengar suara anjing liar yang kelaparan menyalak di ujung bukit sebelah.

Selagi kedua orang diruang dalam itu terdiam dalam kegelisahan, dibagian belakang istana itu, dua orang tidak dapat memejamkan matanya pula, Panon yang berbaring disamping Ki Mina, menjadi gelisah, seperti Kuda Rupaka.

“Paman” Panon berdesis

Ki Mina mengerutkan keningnya, tetapi ketika dengkur Sangkan terdengar lagi, ia berbisik, “Kau digelisahkan oleh suara burung hantu dan suara anjing liar itu Panon”

“Ya Paman”

Sekali lagi Ki Mina memandang Sangkan, yang nampaknya memang sudah tertidur, lalu katanya “Memang suara burung itu mempunyai arti tersendiri, aku juga tidak mendengarnya sebagai suara burung hantu”

Panon mengangguk-angguk lalu, “Bagaimana dengan gonggongan anjing itu?”

“Juga sangat menarik perhatian”

Panon memandang Ki Mina dengan gelisah, namun kemudian ia berkata, “Apakah hanya sekedar hanya sekedar suara burung hantu dan gonggoan anjing itu paman?”

“Maksudmu?”

“Sangkan memang seorang anak muda yang malas dan agak sombong, tetapi jika disiang hari tidur, ia tidak akan sepulas itu tidur di malam hari, nampaknya ia terlampau cepat tidur dari hari-hari yang lain”

“Ia memang malas sekali, ia selalu tertidur jika ia berbaring dimanapun, tetapi jika kau merasa hadirnya suasana yang lain, akupun sependapat”

Panon dengan hati-hati melangkah mendekati Sangkan, ia ingin membuktikan, bahwa ada yang lain pada saat itu. Bukan saja terjadi pada anak muda yang malas itu, tetapi juga terasa olehnya.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Mina.

“Aku hanya ingin tahu, apakah ia benar-benar tidur lebih pulas dari biasanya”

“Anak malas itu tidak pernah merasa terganggu oleh kejadian apapun juga, sehingga ia pun selalu tidur dengan nyenyaknya, Sangkan tidak akan dapat dipergunakan sebagai ukuran suasana malam yang terlampau sepi ini, Suara jangkrik dan belalang pun rasa-rasanya terhenti dengan tiba-tiba”

Panon termangu-mangu, diurungkan niatnya untuk menyentuh tubuh Sangkan, karena ia pun sependapat, bahwa Sangkan tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran.

“Panon” berkata Ki Mina, “Jika yang kau maksud adalah pengaruh yang tajam pada kesadaran syaraf kita, maka akupun merasakannya”

“Tepat paman, aku tidak pernah merasa pengaruh malam yang tajam seperti sekarang ini”

“Panon” Ki Mina berkata perlahan, “Kemarilah, duduklah”

Panon pun kemudian duduk disamping Ki Mina.

“Apakah gurumu pernah mengatakan kepadamu, apalagi dengan latihan-latihan yang mapan, ilmu yang disebut sirep?”

“Panon mengerutkan keningnya, lalu, “Ya paman, Guru pernah mempersoalkannya”

“Dan kau juga pernah menghayati pengaruh ilmu itu?”

“Ya, guru telah memberikan beberapa petunjuk untuk melawan ilmu itu, langsung atau tidak langsung”

“Apakah maksudmu dengan pengertian langsung atau tidak langsung?”

“Ketahanan kesadaranku dengan sendirinya akan melawan pengaruh itu terhadap diriku paman, tetapi akupun mampu melawan kekuatan itu langsung mematahkan sumber sirep itu sendiri”

Ki Mina mengangguk-angguk, lalu, “Dan kau ingin mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pengaruh itu? Bahwa istana ini telah diselimuti oleh kekuatan sirep?”

“Ya, paman”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, katanya sambil menepuk bahu anak muda itu, “Ilmumu benar-benar hampir sempurna Panon, tetapi kau masih perlu mematangkannya, dengan pengalaman-pengalaman, namun jarang sekali anak muda sebaya dengan kau berhasil memiliki ilmu yang demikian tinggi, Aku melihat Raden Kuda Rupaka, kemudian anak muda yang duduk diatas batu, yang menyimpang dari kebiasaan seperti kau sendiri. Tetapi aku sama sekali tidak berkecil hati, bahwa ilmu mereka berada diatas ilmumu, nampaknya mereka memang lebih yakin akan dirinya, dan mereka memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari pengalamanmu, tetapi dalam benturan ilmu, jika terpaksa harus terjadi, maka aku masih merasa yakin, bahwa setidak-tidaknya kau dapat menyelamatkan dirimu sendiri”

Panon menarik nafas dalam-dalam, diluar sadarnya ia memandang Sangkan yang tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba saja terpercik perasaan ini membersit dihatinya, justru karena anak muda itu tidak memiliki ilmu apapun juga. Dengan demikian, ia tidak perlu memikirkan apapun yang terjadi di sekitarnya.

“Tetapi itu adalah pikiran-pikiran yang condong kepada kepentingan diri sendiri. Aku harus berbuat sesuatu yang dapat membantu melawan segala bentuk kejahatan meskipun hal itu akan menyulitkan driku sendri” Panon berkata kepada dirinya sendiri.

Dalam pada itu, Ki Mina kemudian berkata, “Panon, jika perasaanmu benar, seperti yang aku rasakan, bahwa istana ini sudah terkena pengaruh sirep, maka tentu akan ada sesuatu yang terjadi. Karena itu, berhati-hatilah, kau tidak boleh ragu-ragu, apabila keadaan memaksamu untuk mengambil sikap. Keragu-raguan akan dapat menjadi permulaan dari kegagalan”

“Aku mengerti paman, dan aku merasakan pengaruh sirep ini menjadi semakin tajam”

“Aku pun harus melawan dengan pemusatan pikiran jika pengaruh ini masih bertambah-tambah”

“Apakah aku sebaiknya langsung melawan sumber pengaruh itu paman?”

“Jangan sekarang, kita masih harus menunggu perkembangan. Aku mempunyai dugaan bahwa Raden Kuda Rupakapun dapat melakukannya”

Panon termangu-mangu, sejenak kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah salahnya, jika aku melakukannya, bukan Raden Kuda Rupaka?”

Ki Mina tersenyum katanya, “Kehadiran kita disini mempunyai kekhususan Panon, jika sirep itu kemudian hilang dengan tiba-tiba kerana perlawanan ilmumu secara langsung, maka Raden Kuda Rupaka tentu akan curiga, ia sudah tidak akan percaya bahwa kehadiran kita tanpa maksud, apalagi jika ilmumu itu kau gunakan sekarang, maka ia akan langsung menunjuk hidungmu tanpa dapat disangkal lagi”

Panon mengangguk-angguk, jawabnya, “Ya, ya, paman, aku mengerti. Untunglah aku datang bersama paman, banyak hal yang belum aku mengerti sebelumnya dan belum pernah aku pertimbangkan pula”

“Sekarang justru tidurlah, akupun akan tidur pula”

“Dalam keadaan seperti sekarang ini kita tidur?”

“Justru dalam keadaan seperti sekarang ini kita harus tidur, jika Raden Kuda Rupaka mengetahui bahwa kau tidak tertidur. Itu pun merupakan pertanda kelebihanmu” ia berhenti sejenak, lalu, “Bahkan mungkin justru Raden Kuda Rupaka sendirilah yang melepaskan ilmu sirep ini”

Panon mengangguk-angguk, sekali lagi ia berkata, “Ya, ya paman”

Keduanya pun kemudian berbaring di pembaringan, setelah mereka menyelarak pintu.

Ternyata dugaan Ki Mina tidak salah, mereka yang sebenarnya masih belum tidur itu mendengar desis langkah dua orang diluar bilik itu.

Ki Mina menggamit Panon yang tidur di sebelahnya, dan agaknya, Panon pun mengerti maksudnya, sehingga ia pun kemudian memejamkan matanya dan mengatur nafasnya.

Diluar, Raden Kuda Rupaka mencoba mengintip mereka yang berada di dalam bilik itu, tidak ada lagi tanda-tanda masih ada yang terjaga diantara mereka.

“Sudah tertidur” desis Raden Kuda Rupaka.

“Mereka tidak dapat bertahan” sahut Panji Sura Wilaga, “Agaknya mereka tidak pantas dicurigai lagi”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Belum pasti paman, mungkin mereka memang tidak memiliki ilmu yang tinggi, tetapi kehadiran mereka di dalam istana ini benar-benar memerlukan pengawasan, siapa tahu, ia berhungan dengan orang-orang yang selama ini sangat berbahaya. Keduanya hanya ditugaskan mengambil keris itu dari istana ini, kemudian selanjutnya diserahkan kepada orang lain. Bukankah tidak selamanya kita dapat mengawasi mereka siang dan malam?, suatu saat kita akan tertidur pula, atau barangkali saat kita sedang berada di padukuhan”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi setidak-tidaknya mereka berdua tidak seberbahaya seperti yang kita duga semula”

Raden Kuda Rupaka merenung sejenak, namun kemudian ia berdesis, “Ya, keduanya tidak terlalu berbahaya, namun demikian, kita masih harus tahu bahaya yang sedang mengintip malam ini paman. Kita tahu, bahwa sirep ini telah dilontarkan oleh seseorang diluar istana, jika semula kita hanya mendengar suara burung hantu dan gonggongan anjing liar yang mencurigakan, sekarang kita merasakan betapa tajamnya sirep ini.

“Kita siap menghadapi segala kemungkinan Raden” Jawab Panji Sura Wilaga.

Keduanya kemudian bergeser dari depan bilik itu dan berjalan perlahan-lahan menyusuri serambi belakang, istana itu telah benar-benar menjadi sepi, tidak seorangpun yang nampak masih terbangun, selain kedua orang yang sedang berjalan selangkah demi selangkah itu.

Namun sebenarnyalah bahwa Panon dan Ki Mina pun masih juga belum lelap, mereka justru sedang memperhatikan dengan seksama, perkembangan suasana di sekitar istana yang kecil itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun kemudian lewat pintu butulan, turun ke halaman. Dengan hati-hati mereka menyusuri tempat-tempat yang gelap untuk melihat, apakah ada sesuatu yang membahayakan isi istana itu. Tiba-tiba saja langkah mereka terhenti, mereka mendengar suara yang seolah-olah bergerak di belakang mereka meskipun perlahan-lahan.

Raden Kuda Rupaka memberika isyarat kepada Panji Sura Wilaga yang agaknya telah mendengar pula. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati dinding halaman. Dan kemudian ternyata bahwa, suara itu adalah benar-benar suara orang yang bercakap-cakap betapapun lirihnya diluar dinding halaman itu.

Sekali lagi Raden Kuda Rupaka memberi isyarat agar mereka mengikuti arah suara tadi.

Beberapa langkah mereka maju, namun kemudian mereka terhenti ketika suara itu mendekati regol halaman, meskipun masih diluar dinding.

Raden Kuda Rupaka pun kemudian segara berlindung didalam kegelapan, sedang Panji Sura Wilaga berusaha mendekati pintu sambil melekat dinding juga, namun juga dalam bayangan rimbunnya dedaunan.

Dalam keremangan malam, maka mata mereka yang tajam segera melihat beberapa orang berdiri di pintu regol, yang perlahan-lahan terbuka setelah seseorang berusaha membuka selaraknya dari luar.

“Apakah kita akan masuk?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya, kita akan masuk, apapun yang terjadi” jawab yang lain, “Dirumah ini hanya ada dua orang yang pantas kita perhitungkan”

“Mereka tidak akan dapat mengalahkan kita semuanya, jika ada korban diantara kita, itu adalah akibat yang wajar”

Sejenak mereka termangu-mangu, namun kemudian intu regol itu pun terbuka semakin lebar, dan beberapa orang itu pun melangkah masuk.

“Hati-hatilah” berkata salah seorang dari mereka, “Kau sangka bahwa kedua orang itu akan dapat kau nyenyakkan tidurnya dengan ilmu sirep itu”

“Jika mereka sedang tidur, maka sirep itu akan memperlemah kesadaran mereka, sehingga mereka tidak akan mudah terbangun. Kita akan berkesempatan untuk membunuh mereka sebelum mereka sadar sepenuhnya”

“Marilah kita masuk, kita harus bertindak caepat, sebelum sirep itu kehilangan kekuatannya”

Dalam keremangan melam nampaklah beberapa orang berjalan dengan hati-hati melintasi halaman langsung menuju ke pendapa istana kecil itu.

Dalam pada itu, Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka tidak akan dapat berdiam diri, ternyata bahwa apa yang mereka duga itu kini telah terjadi, bahwa pada suatu saat akan datang beberapa orang dengan kasar berusaha menemukan pusaka yang mereka sangka ada di dalam istana itu.

“Tetapi mereka tentu bukan Kidang Alit dan kawan-kawannya” berkata Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, di dalam hatinya, seolah-olah mereka telah membicarakannya terlebih dahulu.

Dengan sangat hati-hati pula Panji Sura Wilaga mulai bergerak mendekati Raden Kuda Rupaka, dengan suara yang hanya mereka dengan sendiri, ia bertanya, “Apa yang akan kita lakukan Raden?”

“Sudah pasti, Kita akan bertempur, kita tidak akan dapat membiarkan pusaka itu jatuh ketangannya”

“Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui dimanakah pusaka itu?”

“Mereka akan mencarinya sampai ketemu, jika tidak berhasil maka bibi akan menjadi korban”

Panji Sura Wilaga termenung sejenak, namun kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu saja, sebelum kita yakin mereka menemukannya , biarlah mereka berbuat apa saja. Baru jika mereka benar-benar berhasil, maka kita akan merebutnya. Dengan demikian, jika kita harus mengorbankan jiwa kita, adalah pengorbanan yang tentu akan berarti”

“Tetapi mereka dapat berbuat kasar terhadap bibi dan diajeng Inten”

“Apakah yang akan dilakukannya atas seorang perempuan”

“Orang-orang sekasar mereka tidak akan membuat pertimbangan siapakah yang sedang mereka hadapi”

Keduanya terdiam sejenak, mereka melihat orang-orang itu agak termangu-mangu ditangga pendapa, diantara mereka nampak seorang yang agaknya merupakan pemimpin yang sangat disegani. Orang itu nampaknya berjanggut meskipun tidak begitu jelas di dalam kegelapan, tetapi sekali-sekali ia mengusap dagu dan mengurus janggutnya itu.

“Pemimpin mereka sudah agak tua” desis Panji Sura Wilaga.

Sebenarnyalah orang berjanggut itu adalah pemimpin dari rombongan dari perguruan Guntur Geni itu. Orang yang selama ini menjadi bayangan dari pendiri perguruan Guntur Geni yang mereka anggap telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh waktu sehingga berapapun juga umurnya, ia tidak akan mati karena ketuaannya.

Didalam kegelapan Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka menjadi semakin tegang, tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka menggeram, “Aku harus berbuat sesuatu”

“Mereka berjumlah lebih dari dua kali lipat. Mereka berlima”

Raden Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga sejenak, lalu katanya, “Aku belum pernah melihat paman Panji Sura Wilaga sempat menghitung jumlah lawan, dan apalagi terpengaruh olehnya”

“Kita tidak boleh kehilangan perhitungan”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, namun ia mulai bergeser mendekat.

“Raden mencemaskan puteri Inten Prawesti” tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga berdesis.

“Ya…”

“Puteri sama sekali tidak menghiraukan Raden sebagai seorang anak muda, ia menganggap Raden benar-benar seperti kakaknya saja”

“Aku tidak berkeberatan, tetapi aku harus membebaskannya”

Panji Sura Wilaga tidak dapat mencegah lagi. Dengan menahan perasaan ia harus mengikut saja apa yang akan dilakukan oleh Kuda Rupaka meskipun sebenarnya ia tidak sependapat.

“Jika mereka mencoba membuka pintu pringgitan, kita akan segera naik, tetapi jika mereka akan mencarinya diluar rumah, kita akan menunggunya” desis Kuda Rupaka.

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, mereka mengawasi saja kelima orang yang dengan lebih hati-hati lagi naik ke pendapa.

Agaknya perhatian kelima orang itu benar-benar tertumpah kepada isi istana yang suram itu, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keadaan disekitarnya, dan merekapun sama sekali tidak mendengar gemerisik pintu yang bergeser.

Panji Sura Wilaga dan Kuda Rupaka menjadi curiga, angin yang sangat lemah tidak akan dapat menggerakkan daun pintu regol itu.

“Tunggulah disini” desis Kuda Rupaka.

“Raden mau kemana?”

“Aku akan melihat, siapakah yang berada di luar regol” jawab Kuda Rupaka, “Awasi mereka, dan jangan bergeser dari tempatmu, aku hanya sebentar”

“Bagaimana jika mereka memasuki pintu pringgitan?”

“Aku hanya sebentar” Kuda Rupaka tidak menunggu lagi, ia sudah mulai bergerak menuju ke regol halaman.

Dengan lincahnya ia bagaikan terbang didalam kegelapan. Panji Sura Wilaga mengawasinya dengan dada yang berdebar-debar, sekali-kali ia memandang ke pendapa yang diwarnai oleh cahaya obor yang redup. Namun dengan demikian ia melihat orang-orang itu masih saja ragu-ragu dan saling berbincang.

Dalam pada itu, Kuda Rupaka yang menuju keregol halaman itu tertegun sejenak, ia mendengar suara yang aneh diluar, tetapi ia memastikan bahwa suara itu adalah suara seseorang.

Dengan penuh kewaspadaan ia pun kemudian bergeser. Sebuah loncatan yang cepat, telah membawanya keluar regol dengan kesiagaan untuk menghadapi segala kemungkinan.

Kuda Rupaka terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri tegak diluar regol. Namun orang itu pun agaknya mendengar desir langkahnya, sehingga ia pun segera bersiaga pula.

Sejenak mereka saling berhadapan, namun kemudian terdengar suara Kuda Rupaka, “Jadi kau Kidang Alit?”

“Sst” desis Kidang Alit, “Aku mengikuti orang-orang itu karena aku yakin mereka akan memasuki halaman istana ini”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, ketika terlihat olehnya sesosok tubuh yang tergolek ditanah, ia bertanya, “Siapakah orang itu?”

“Sudah tentu karena aku tidak ingin pusaka itu jatuh ketangan orang-orang Guntur Geni, aku tahu bahwa kau dan kawanmu itu akan dapat bertahan dari pengaruh sirep, tetapi kau berdua akan terlalu sulit untuk melawan mereka berlima”

“Jadi…?”

“Kali ini aku akan membantumu mengusir orang-orang Guntur Geni, kita memang harus bergabung, tanpa kerja sama yang baik, maka kita tidak akan dapat mengatasi mereka yang berjumlah lebih banyak. Baru sesudah itu, mungkin kita akan terlihat dalam perhitungan sendiri”

Kuda Rupaka menggeram, ia sadar betapa liciknya Kidang Alit, tetapi menghadapi keadaan yang berat saat itu, ia tidak dapat berbuat lain, katanya, “Terserahlah kepadamu, tetapi sesudah orang-orang Guntur Geni iti kita tumpas, maka akan datang gilirannya aku membunuhmu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Jangan kita bicarakan sekerang, itu hanya akan menimbulkan kegelisahan, karena sebenarnya kita sudah dapat mengetahui kemampuan kita masing-masing, dan jika pada suatu saat kita harus berkelahi, aku kira kita hanya akan memperhitungkan ketahanan kita masing-masing, mungkin tiga hari tiga malam, atau justru lebih”

“Jadi, kau sudah bertekad untuk membiarkan aku hidup?” bertanya Kuda Rupaka.

“Menurut penilaianku, kau lebih lemah dari kekuatan Guntur Geni, kematianmu akan menguntungkan orang-orang Guntur Geni yang mungkin tidak terlawan pula olehku”

“Kau akan menyesal, lebih baik kau biarkan aku mati oleh orang-orang Guntur Geni yang jemlahnya jauh lebih banyak”

“Sudahlah, nanti kita terlambat”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, marilah kita masuk bersama-sama”

“Hati-hatilah dengan racun mereka”

Kuda Rupaka tersenyum, tetapi ia tidak menjawab lagi, keduanya kemudian memasuki halaman istana yang suram itu.

Sejenak mereka termangu-mangu, ternyata pintu pringgitan sudah terbuka.

“Mereka sudah masuk, cepat” desis Kidang Alit.

“Marilah” lalu sambil berpaling kedalam kegelapan ia memanggil, “Paman Panji, marilah”

Sesosok tubuh segera meloncat dari kegelapan, namun Panji Sura Wilaga itu terkejut melihat seseorang yang bersama Kuda Rupaka, ternyata ia adalah Kidang Alit.

“Jangan kau persoalkan sekarang paman, biarlah ia berada dipihak kita sebelum kita membunuhnya kelak”

“Tetapi?”

“Tidak ada waktu untuk memberikan penjelasan, ia akan ikut mengusir orang-orang dari Guntur Geni”

“Kemudian kitalah sasarannya”

“Atau kita yang membunuhnya, tetapi nantilah kita bicarakan”

Ketiganya pun kemudian dengan tergesa-gesa kependapa, perlahan-lahan sekali Panji Sura Wilaga berbisik, “Mereka sudah beberapa saat memasuki istana ini”

“Kita akan memancingnya keluar, lebih baik bertempur diluar daripada didalam rumah, bibi dan diajeng tentu akan menjadi ketakutan”

Ketiganya termangu-mangu sejenak, namun kemudian Kidang Alit berkata, “Sebaiknya memang mereka kita pancing keluar”

Panji Sura Wilaga yang masih belum meyakini sikap Kidang Alit masih saja ragu-ragu, namun kemudian ia melihat Kuda Rupaka mendekati pintu sambil berkata, “He, orang yang memasuki istana ini tanpa mengenal unggah-unggah, kau kira sikap deksura itu akan menguntungkanmu”

Sejenak mereka menunggu, mereka yakin bahwa suara itu tentu didengar oleh orang-orang yang berada didalam.

“He, orang-orang Guntur Geni” teriak Kidang Alit

“Jangan ingkar, kami tahu kalian adalah orang-orang perguruan Guntur Geni”

Sejenak suasana menjadi tegang, tidak terdengar jawaban, namum orang-orang yang berada di luar pintu itu justru memastikan bahwa orang-orang yang berada di dalam itu sedang merayap perlahan-lahan keluar.

Sebenarnyalah Kiai Paran Sangit sangat terkejut mendengar suara justru berasal dari luar pintu itu.

“Kita salah hitung” desis Paran Sangit. “Kita sudah menduga, bahwa keduanya tidak akan dapat kita lelapkan dengan sirep, kecuali jika keduanya memang sudah tidur”

“Aku pun menduga, tetapi bahwa mereka berada diluar pintu adalah aneh, kita tidak mengetahuinya kapan mereka keluar”

“Lalu apakah yang akan kita lakukan?”

Kiai Paran Sangit berfikir sejenak, lalu katanya, “Kita adalah orang-orang Guntur Geni, kita tidak akan takut menghadapi apapun juga, marilah kita keluar dan membunuh orang-orang yang akan mengganggu kita”

Kelima orang itu pun melangkah, tetapi tiba-tiba Kiai Paran Sangit berkata, “Kita akan keluar berempat saja, seorang dari kalian mencari pembaringan puteri itu, yang tua atau yang muda, bawalah ia keluar dan puteri itu akan kita pergunakan untuk memaksa siapapun untuk menyerah, jika tidak maka kita akan tetap membunuhnya. Kematian puteri itu tentu akan mempengaruhi ketahanan kedua orang itu untuk bertempur terus”

“Baiklah” tiba-tiba seorang yang berwajah hantu menyahut, “Akulah yang akan mengambil puteri itu”

Kiai Paran Sangit memandang orang yang berwajah hantu itu sejenak, lalu, “Baiklah, pergilah”

Ketika orang berwajah hantu itu mulai melangkah, maka Kiai Paran Sangitpun dengan tergesa-gesa bersama ketiga orang kawannya menuju ke pintu. Tetapi ia terhenti sejenak, dengan sangat hati-hati mereka melangkah mendekati daun pintu yang hanya sedikit saja terbuka.

“Kami sudah menunggu” terdengar suara diluar pintu.

Kiai Paran Sangit menggeram, dengan hati-hati ia mendorong daun pintu itu sehingga terbuka semakin lebar.

Dengan wajah yang tegang ia melihat tiga orang berdiri dipendapa, mereka sudah siap untuk bertempur, menghadapi siapapun juga.

Kiai Paran Sangit ke daun pintu yang sudah terbuka itu. Ketiga orang yang berada diluar mulai berpencar, seorang berada ditengah, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri.

Kiai Paran Sangit dengan langkah satu-satu keluar ke pendapa diiringi olehn ketiga orang kawannya. Sekilas ia memandang ke regol yang dalam keremangan malam nampak terbuka lebar.

“Kawanmu yang di regol sudah mati” tiba-tiba saja Kidang Alit berdesis.

Kiai Paran Sangit terkejut mendengar kata-kata Kidang Alit yang berdiri di sebelah kanan. Dengan wajah yang tegang ia memandangnya tanpa berkedip.

“Jangan marah” desis Kidang Alit, “Kematian memang merupakan kemungkinan yang harus di perhitungkan sejak kita berangkat ke pegunungan ini”

“Kau benar” Kiai Paran Sangit, “Kita memang harus memperhitungkan kemungkinan itu, tetapi kemungkinan yang tidak aku perhitungkan adalah kerja sama yang aneh antara kedua bangsawan ini dengan kau, Kidang Alit”

“O, kau juga mengenal aku?”

“Aku mengenalmu dan dua orang yang berada di banjar itu, kau telah menjadikan kedua anak buahmu seolah-olah orang dari Guntur Geni”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, lalu, “Kau bermimpi, aku seorang diri disini”

Tetapi Kiai Paran Sangit tertawa, katanya, “Baiklah jika kau ingkar, akupun menduga bahwa kedua kawanmu sekarang berada di sekitar istana ini”

“Terserahlah, memang khayalan yang dilandasi oleh ketakutan itu dapat membuatmu menyusun ceritara yang bukan-bukan, kau dapat menghitung anak buahmu, dan kau akan menemukan kedua orang itu diantara kalian”

Kiai Paran Sangit masih tertawa, tetapi ia pun kemudian berkata, “Baiklah, kita tidak akan mempersoalkan kedua orang itu lagi, disini ternyata kau mendapat kawan baru, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Ternyata bahwa kesabaran dan kelicikanmu memang menguntungkan. Sebabnya aku menunggu kapan kalian akan berbenturan. Dengan demikian aku akan dapat memanfaatkan keadaan, tetapi aku tidak sabar lagi, aku terpaksa datang lebih dahulu dari Kidang Alit dengan menempuh kemungkinan seperti yang terjadi sekarang”

“Sudahlah” potong Kuda Rupaka, “Apapun yang kau perhitungkan, namun kali ini kalian memang harus berhadapan dengan kami bertiga, meskipun kelak, bahkan mungkin nanti setelah kalian terbunuh, aku harus membunuh pula Kidang Alit, sekarang bersiaplah untuk mati”

Saura Kiai Paran Sangit mengeras seperti juga suara Kidang Alit. Disela-sela derai tertawa itu terdengar suara Kidang Alit, “Ia terlampau jujur, tetapi kemungkinan itu memang ada, sekarang marilah kita mengurangi lawan, kau atau aku atau Raden Kuda Rupaka lah yang akan mati paling awal, kemudian kamatian-kematian lain akan menyusul, itu adalah taruhan yang wajar untuk memperebutkan pusaka yang tiada duanya di seluruh Majapahit”

Kiai Paran Sangit mengangguk-angguk, selangkah ia maju sedang orang-orangnya pun mulai berpencar pula.

Sejenak kemudian terdengar suara Kiai Paran Sangit “Siapakah yang akan melawan aku? Selebihnya satu diantara kalian bertiga harus melawan dua orang anak buahku”

Raden Kuda Rupaka menggeram, ia pernah bertempur dan bahkan membunuh orang-orang dari Guntur Geni, tetapi ia sadar bahwa orang ini tentu memiliki kelebihan dari orang yang pernah dibunuhnya.

Namun demikian Raden Kuda Rupaka berkata, “Aku akan melawan orang yang paling kuat diantara kalian, He agaknya kau adalah pemimpinnya, tetapi kau belum menyebutkan namamu menjelang kematianmu”

“Namaku Paran Sangit, aku memang tidak merahasiakan namaku, dan bahkan setiap orang sebaiknya mengenal, bahwa mereka tidak akan dapat melawan Kiai Paran Sangit”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Marilah, aku akan melawanmu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Itu adalah pilihan yang paling tepat, dengan demikian kau berhasil memancing perang tanding. Tentu kau segan untuk bertempur melawan dua orang sekaligus”

“Persetan” berkata Kuda Rupaka, “Apakah sebenarnya kau sendiri takut menghadapi dua orang dari Guntur Geni?”

“Aku dapat memilih, melawan dua orang, satu orang atau tidak sama sekali, aku akan ikut bertempur jika aku yakin bahwa aku tidak akan mati sekarang”

“Setan yang licik, tetapi baiklah, pilihlah lawanmu, siapapun yang kau pilih, kau sudah mengurangi jumlah lawan kami malam ini”

“Aku akan melawan dua orang dari mereka” geram Panji Sura Wilaga yang tidak sabar lagi.

Namun sementara itu suara tertawa Kiai Paran Sangit seolah-olah telah meledak, katanya, “Kau tidak bertanya kepadaku atau kepada anak buahku, kau tidak saja berhak memilih lawan, tetapi aku dan anak buahkupun berhak pula:” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah, bagi kami tidak ada bedanya siapakah yang mati lebih dahulu, Kuda Rupaka, Panji Sura Wilaga atau Kidang Alit, semuanya memang harus aku hadapi, sekarang atau besok”

“Kau memang jantan Paran Sangit”

Kuda Rupaka tidak dapat menahan senyumnya, katanya, “Suatu pujian yang menarik, kau sudah memaksa Paran Sangit memilih paman Panji Sura Wilaga untuk melawan dua orang, tetapi Paman Panji bukan orang yang licik seperti kau”

“Apakah kita akan berbicara saja?” tiba-tiba Panji Sura Wilaga memotong.

Kidang Alit menyahut, “Tentu tidak, ayo, siapakah yang ingin mati oleh tanganku”

Kiai Paran Sangit tidak menjawab, tetapi ia maju selangkah mendekati Kuda Rupaka.

Anak buahnya segera memilih lawan masing-masing, ternyata bahwa dua orang diantara mereka memilih Panji Sura Wilaga, sedang seorang yang lain mendekati Kidang Alit.

Tetapi Kidang Alit memang licik, ia masih saja berkata, “Aku akan turun ke halaman, aku lebih senang berkelahi tanpa diganggu oleh tiang-tiang pendapa”

“Gila” lawannya menggeram.

Namun Kiai Paran Sangit yang sudah berjanggut putih, yang sudah siap berkelahi melawan Kuda Rupaka, justru menyahut, “Bagus, aku sependapat, mari kita turun ke halaman, agar senjata kita tidak merusakkan tiang-tiang pendapa yang berukir indah ini”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak mau hanyut dalam arus perasaannya, karena ternyata menurut penilaiannya Kiai Paran Sangit itu pun orang yang licik, meskipun tidak selicik Kidang Alit.

Demikianlah mereka segera turun ke halaman, Panji Sura Wilaga yang terus melawan dua orang itu pun segera meloncat sambil menggeram, namun demikian seorang lawannya turun ke samping pendapa, ia pun sudah mulai menyerang dengan garangnya.

Tetapi lawannya sempat mengelak, bahkan lawannya yang seorang lagi segera menempatkan diri dan bertempur berpasangan.

Raden Kuda Rupaka menahan nafasnya, ia sadar, bahwa Panji Sura Wilaga harus memeras segenap kemampuannya, beberapa saat yang lewat, ia pernah juga mengalami kesulitan untuk melawan dua orang sekaligus.

“Mudah-mudahan dua orang itu tidak setingkat ilmunya dengan orang-orang Guntur Geni yang terbunuh beberapa waktu yang lalu” katanya di dalam hati, namun dalam pada itu ia yakin bahwa orang berjanggut putih itu tentu mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, halaman itu pun telah dipenuhi oleh lingkaran-lingkaran perkelahian. Kidang Alit sudah harus bertempur melawan seorang dari anak buah Kiai Paran Sangit.

Tetapi dalam pada itu, ia masih juga sempat berkata di dalam hati, “Aku akan membunuh orang ini, jika Kuda Rupaka atau Panji Sura Wilaga terbunuh pula, maka tugasku akan menjadi semakin ringan.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka pun segera merasa, betapa lawannya kali ini memang lebih berat dari lawan yang pernah di bunuhnya. Kiai Paran Sangit yang tua itu ternyata memiliki kemampuan bergerak yang lincah, langkahnya ringan seperti tanpa menyentuh tanah, sedang pukulannya yang dahsyat menyalurkan hembusan angin yang keras.

Tetapi Kuda Rupaka bukannya anak muda yang dungu, ia mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan tugasnya yang berat, sehingga karena itu, maka ia pun segera menempatkan diri pada perlawanan yang seimbang dengan tekanan lawannya.

Yang segera nampak terdesak adalah Panji Sura Wilaga, kedua lawannya menyerang dari dari arah yang berbeda-beda, tetapi berurutan tanpa henti-hentinya.

Namun Panji Sura Wilaga sama sekali tidak berkecil hati, ia menyadari bahwa ketahanan tubuhnya melampaui ketahanan tubuh orang kebanyakan, ia dapat bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk waktu yang seolah-olah tidak terbatas tanpa merasa lelah dan dengan kemampuan yang seakan-akan tidak menurun.

Tetapi untuk melawan dua orang dari Guntur Geni sekaligus, ia memang harus berjuang sekuat tenaga.

Dibagian lain terdengar suara tertawa Kidang Alit, ia masih sempat mempermainkan lawannya dengan berlari-lari kecil.

“Kita mencari tempat yang paling baik untuk bertempur” berkata Kidang Alit disela-sela tertawanya.

“Gila, disini kita bertempur” geram lawannya

“Aku tidak sampai hati membunuhmu di tempat terbuka, tetapi diantara semak-semak, maka kematianmu tidak begitu mempengaruhi jiwaku yang sebenarnya adalah penuh dengan belas kasihan”

Lawannya benar-benar telah berhasil dipancing kemarahannya, sehingga dengan demikian ia menyerang Kidang Alit yang memang mengharapkannya.

Dengan demikian, maka lawannya yang seolah-olah dikuasai oleh perasaannya saja tanpa pertimbangan nalar itu, telah berkelahi dengan kasarnya. Namun kadang-kadang serangannya sama sekali tidak terarah.

Dalam keramangan malam kidang Alit mencoba untuk melihat lingkaran-lingkaran perkelahian yang lain. Lampu di pendapa yang samar-samar dapat memberikan sedikit bayangan kemerah-merahan pada tubuh yang sedang mempertahukan nyawanya itu.

Kidang Alit menjadi kagum melihat Kuda Rupaka yang bertempur seperti angin prahara, serangannya yang mantap dan dahsyat kadang-kadang berhasil mendesak lawannya, orang pertama dari perguruan Guntur Geni.

Tetapi Kuda Rupaka yang masih muda itu, ternyata masih harus menilai pengalaman lawannya, meskipun secara jasmaniah ia memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi lawannya yang sudah berjanggut putih itu, seolah-olah mampu terbang mengelilinginya.

“Pada suatu saat Kuda Rupaka harus mengakui keunggulan Kiai Paran Sangit” desis Kidang Alit, “Tetapi itu memerlukan waktu yang lama”

Namun kemudian ia tersenyum didalam hatinya. Lawannya yang hanya seorang itu cukup memberikan perlawanan yang sengit dan kasar karena kemarahannya. Tetapi Kidang Alit yakin, bahwa ia dapat mengalahkannya.

“Mudah-mudahan aku dapat membunuh orang ini lebih dahulu dari Kiai Paran Sangit, tetapi agaknya memang demikian, Kuda Rupaka adalah lawan yang cukup berat bagi orang-orang Guntur Geni itu”

Demikianlah setelah Kidang Alit berhasil memaksa lawannya bertempur dengan liar dan hampir kehilangan nalarnya, mulailah ia membenahi dirinya untuk secepatcepatnya membunuh lawannya itu.

Dengan demikian, maka di halaman istana kecil itu telah terjadi hiruk pikuk yang menegangkan, perkelahian dalam tiga lingkaran pertempuran yang dahsyat seolah-olah telah membakar seluruh halaman istana itu.

Namun dalam pada itu, di dalam istana seseorang telah melangkah dengan hati-hati menuju ke bilik Raden Ayu Kuda Narpada, orang yang berwajah hantu itu termangu-mangu sejenak, ia mencoba mendengarkan apakah pengaruh sirepnya cukup kuat sehingga hiruk pikuk di halaman tidak membangunkan orang-orang yang berada di dalam istana itu.

“Tidak seorang pun yang terbangun” berkata orang yang berwajah hantu itu di dalam hatinya. “Aku akan mengambil puteri yang muda, aku akan menyeretnya ke halaman untuk memaksa Kuda Rupaka menghentikan perlawanannya, kemudian, setelah membunuh orang-orang itu, dan setelah menemukan pusaka itu di dalam istana ini, aku akan membawanya kembali ke padepokan” tetapi ia mengerutkan keningnya, lalu, “Ah tidak, aku tidak akan membawanya ke padepokan tentu akan dapat menimbulkan persoalan, aku juga harus menyerahkannya kepada orang-orang gila tidak ikut bersusah payah mengambilnya, dan dengan demikian aku tidak akan dapat memilikinya sendiri” ia tersenyum, namun kemudian keningnya berkerut merut, “Lalu akan aku bawa kemana gadis secantik itu?”

Ia termangu-mangu sejenak, namum kemudian, “Persetan, sekarang aku harus mengambilnya dan membawanya ke halaman depan”

Di halaman perkelahian semakin lama menjadi semakin sengit, Panji Sura Wilaga telah benar-benar terdesak, tetapi ia masih mampu melindungi dirinya sendiri dari tekanan maut, meskipun ia harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya.

Setiap kali Kidang Alit melihat, ia tersenyum kecil, ia tinggal menghitung waku, kapan Panji Sura Wilaga terbunuh, dan kapan pula ia berhasil membunuh lawannya yang sudah terdesak itu.

“Kematian demi kematian akan menyusul” desisnya, “Bukan saja di halaman ini, tetapi juga di bagian belakang dan bagian dalam istana ini.

Senyumnya menjadi semakin lebar, ketika ia mendengar auman seekor harimau, suara harimau itu benar-benar menggoncangkan halaman yang sedang diwarnai oleh perkelahian yang dahsyat itu, setiap orang di halaman itu mengetahui bahwa suara itu bukanlah benar-benar suara seekor harimau.

Wajah Raden Kuda Rupaka yang tegang menjadi semakin tegang, ia mengerti bahaya yang akan menerkam dari belakang istana itu, bahaya yang tidak dapat diduga, betapa besar kemampuannya.

Ternyata bahwa dua orang yang berada di banjar padukuhan itu telah siap untuk memasuki istana itu dari bagian belakang, seperti yang diperhitungkan oleh Kidang Alit, maka keduanya kemudian akan dengan leluasa mencari pusaka-pusaka itu, dan jika perlu membunuh siapapun juga yang menghalanginya, termasuk Raden Ayu Kuda Narpada sendiri dan sudah barang tentu, Kidang Alit berpesan agar Inten Prawesti dan seorang gadis anak pembantunya Pinten, harus dapat dikuasai dalam keadaan hidup.

Namun dalam pada itu, betapapun kegelisahan yang melanda dada Kuda Rupaka, namun ia tidak dapat bergeser dari tempatnya, ia harus memeras segenap ilmunya untuk melawan Kiai Paran Sangit.

“Licik dan Gila” geramnya di dalam hatinya, Kuda Rupaka sadar bahwa Kidang Alit benar-benar berhasil mempergunakan keadaan itu untuk kepentingannya.

Dan ternyata bahwa Kidang Alit yang bertempur itu pun sempat tertawa sambil berkata, “Kita akan sampai pada suatu saat yang menentukan sekarang, siapakah yang akan berhasil membawa pusaka dari Majapahit itu, meskipun kita masih meragukan pusaka yang manakah yang berada di dalam istana ini. Namun menurut penilikan beberapa orang ada beberapa pusaka tidak ada di istana, Kiai Cangkring, Kiai Nagasasra, Kiai Mandarang atau bahkan Kiai Sangkelat. Tentu salah satu dari pusaka itulah yang telah diserahkan kepada Pangeran Kuda Narpada, dan aku condong menduga, bahwa kita sedang memperebutkan pusaka Kiai Mandarang. Dengan bekal itu, kita akan mencari pusaka kedua, Kiai Nagasasra dan kemudian mencuri Kiai Sabuk Inten dan Kiai Sumelang Gandring” Kidang Alit berhenti sejenak, namun kemudian ia melanjutkan, “Alangkah sulitnya perjuangan ini, dilangkah pertama kita sudah menjumpai banyak sekali kesulitan dan korbanpun berjatuhan, sedangkan korban itu adalah anak-anak Guntur Geni dan putera-putera Demak sendiri, apalagi dalam perjuangan selanjutnya, maka korban tentu akan semakin banyak jatuh”

Raden Kuda Rupaka menggeram, ia tidak sempat menyahut karena ia harus bertempur mati-matian untuk mempertahankan hidupnya.

Kidang Alit masih saja tersenyum, bahkan kemudian

ia tertawa sambil bertempur, katanya, “Matilah yang

harus mati malam ini, jangan menyesal bahwa kalian

bahwa kalian tidak akan dapat ikut dalam perebutuan

berikutnya”

Tidak seorangpun yang menjawab, apalagi Panji Sura

Wilaga yang menjadi semakin terdesak karenanya.

Ternyata sambil tersenyum Kidang Alit masih berkata selanjutnya, “Jika Pangeran Kuda Narpada tidak berkeras hati untuk mempertahankan pusakanya, maka keadaan tentu tidak akan menjadi seperti sekarang, jika dengan suka rela ia menyerahkan pusaka yang diterima langsung dari Maharaja Majapahit yang terdesak itu kepada Pangeran Cemara Kuning dan Sendang Prapat, maka persoalan tentu sudah lama selesai dan keluarga di istana ini akan dapat hidup dengan tenang.”

Yang terdengar adalah desah nafas dan langkah mereka yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Kidang Alit tertawa, ternyata lawannya tidak sekuat Kidang Alit sendiri, sehingga untuk melawannya, ia masih sempat berbicara berkepanjangan.

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka benar-benar harus mengerahkan segenap kemampuannya. Orang yang berjanggut putih itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak terkalahkan, meskipun Kuda Rupaka masih juga mampu bertahan.

“Orang ini memiliki kelebihan dari orang-orang Guntur Geni yang lalu” berkata Raden Kuda Rupaka didalam hatinya.

Dan ternyata tekanan ilmu orang berjanggut putih itu memang menjadi semakin berat. Bahkan sekali-kali Kuda Rupaka sudah terdesak surut.

Kidang Alit memperhatikan semuanya itu dengan senyum dibibirnya. Perhitungannya tentu akan berhasil, malam ini orang-orang Guntur Geni akan terbunuh di halaman istana ini, bersama dengan Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, di bagian belakang kedua orang kawannya akan membunuh setiap orang laki-laki yang mencoba menghalanginya, mungkin kedua perantau itu dan sekaligus anak muda yang gila itu, anak Nyi Upih yang meskipun tidak akan melawan dengan olah kanuragan tetapi ia akan dapat mengganggu bagi usahanya seterusnya.

Dan semakin lama semakin nampak pula, betapa panji Sura Wilaga tentu benar-benar mengalami kesulitan yang tidak akan mungkin teratasi lagi. Kedua orang Guntur Geni itu seolah-olah dengan sengaja telah menggiringnya ke dinding batu disebelah regol. Jika Panji Sura Wilaga tidak mampu lagi berloncatan surut, maka adalah pertanda bahwa hidupnya memang sudah akan berakhir.

Apalagi Kuda Rupaka pun nampaknya menjadi semakin terdesak pula, dan ini adalah berbeda dengan harapan Kidang Alit.

“Jika orang berjanggut putih ini berhasil membinasakan Kuda Rupaka, maka tentu akupun akan mengalami kesulitan untuk melawannya” berkata Kidang Alit di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa orang pertama dari Perguruan Guntur Geni itu memiliki ilmu yang luar biasa, meskipun demikian Kuda Rupaka masih bertahan terus.

Dalam pada itu, Kiai Paran Sangit telah mengerahkan segenap ilmunya, ia harus secepatnya berhasil membunuh Kuda Rupaka, agar ia sempat menolong kawannya yang mengalami kesulitan melawan Kidang Alit, tetapi tidak terpikir olehnya untuk untuk mempergunakan racun, karena ia menyadari, bahwa lawannya telah memiliki alat penawarnya.

Karena itu, Kiai Paran Sangit mencoba untuk melumpuhkan lawannya dengan kecepatannya yang sulit diikuti oleh mata lawannya.

Namun Kidang Alit masih mempunyai harapan, didalam hatinya ia berkata, “Kedua orang kawannya yang memasuki halaman belakang itu tentu akan segera menyelesaikan tugasnya. Mereka akan segera tampil di halaman ini, untuk membunuh pula orang-orang Guntur Geni dan kedua bangsawan gila itu”

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin jelas, siapakah yang akan segera kehilangan kesempatan dalam perebutan seterusnya.

Tetapi dalam pada itu, yang tidak terduga-duga telah terjadi, selagi Panji Sura Wilaga sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, karena punggungnya telah melekat pada dinding halaman, tiba-tiba saja sesosok bayangan telah meloncat mendekatinya sambil berkata, “Maaf Raden Panji, bukan maksudku mengganggu, tetapi aku tidak akan dapat tinggal melihat perkelahian yang tidak adil ini”

Setiap mata mencari kesempatan untuk memperhatikan siapakah orang ini, dan hampir bersamaan mereka bergumam, “Pengembara itu”

Sebenarnyalah bahwa Panon telah tampil diarena, ia tidak dapat menyembunyikan dirinya lebih lama lagi, apalagi ia melihat bahwa keadaan Panji Sura Wilaga sangat membahayakan, selebihnya, ia pun telah mendengar rencana Kidang Alit yang sangat licik.

“Kau Pengembara bodoh itu” geram Panji Sura Wilaga yang mendapat kesempatan untuk bernafas justru karena kedua lawannya sedang memperhatikan kehadiran Panon.

“Ya, betapapun juga aku merasa, bahwa selama ini aku telah menumpang di istana ini, aku tahu, bahwa hidup kami selama kami disini, sebagian besar adalah karena kemurahan hati Raden Kuda Rupaka, karena itu, dalam keadaan ini, betapapun juga, aku akan ikut membantu sesuai dengan kemampuanku”

“Kau Gila, He?” tiba-tiba saja Kidang Alit berteriak, “Kau akan digilas oleh benturan ilmu yang tidak kau mengerti, He… pengembara miskin, pergilah. Atau barangkali kau memang ingin mati”

Panon memandang Kidang Alit yang nampak remang-remang didalam kegelapan, apalagi agaknya Kiang Alit bertempur diantara pohon-pohon perdu dan batang-batang bunga ceplok piring, namun kemudian terdengar Panon Menjawab, “Ini adalah suatu cara bagiku untuk mengucapkan terima kasih meskipun aku akan lumat diantara ilmu-ilmu raksasa yang tidak aku kenal.”

Kidang Alit termangu-mangu, ia mencoba menduga, apakah yang terjadi dibagian belakang istana itu, kenapa Panon masih tetap hidup dan mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep.

“Mungkin juga seorang itu pun mampu mengatasi kekuatan sirep ini” katanya dalam hati.

Sejenak kemudian halaman itu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tiba-tiba saja tampil diluar perhitungan mereka sebelumnya.

Dalam pada itu, Kidang Alit pun berkata, “Baiklah pengembara dungu, lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kau memang harus mati, disini atau di pembaringanmu”

Panon tidak menjawab, tetapi bahkan ia berkata kepada Panji Sura Wilaga, “Raden Panji, biarlah aku mencoba melawan salah seorang dari kedua orang ini, adalah tidak adil bahwa seorang diri harus berkelahi melawan dua orang sekaligus”

“Apakah yang kau ketahui tentang perkelahian semacam ini” bentak Kidang Alit, “Jangan banyak berbicara lagi, matilah, jika kau ingin mati”

Panon memandangnya sekilas, namun ia masih tidak menyahut.

Panji Sura Wilaga sendiri menjadi termangu-mangu, tetapi ia tidak mencegahnya, jika benar seorang lawannya akan membunuh Panon, maka betapapun singkatnya, ia akan mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya, selebihnya, setelah Panon mati, maka ia tentu sudah berhasil melepaskan diri dari himpitan kedua lawannya pada dinding halaman ini.

“Mungkin aku akan mendapat kesempatan lain” katanya dalam hati, “Aku tidak boleh membiarkan diriku didesak sehingga kehilangan kesempatan bergerak”

Karena itulah, maka Panji Sura Wilaga pun kemudian bertanya, “Panon, apakah kau sudah memikirkan akibat dari tingkahmu yang aneh ini?”

“Sudah Raden Panji”

“Terserahlah kepadamu, kematianmu adalah tanggung jawabmu sendiri”

Panon tidak menjawab, tetapi ia melangkah maju mendekati lawan Panji Sura Wilaga yang mengurungnya pada dinding halaman.

“Bunuh anak itu secepatnya”, Tiba-tiba Paran Sangit berteriak, “Aku muak melihatnya, dan aku pun akan segera membunuh Raden Kuda Rupaka, kemudian yang berikutnya adalah Kidang Alit sebelum yang terakhir adalah kedua orang-orangnya yang tentu hadir pula di halaman istana ini, tetapi aku kira mereka akan langsung memasuki kebun belakang dan mencoba mencari pusaka itu selagi kita bertempur”

Suara Kiai Paran Sangit yang agak serak itu rasa-rasanya telah membangunkan setiap orang yang ada di halaman itu, merekapun serentak terlibat lagi dalam perkelahian yang sengit.

Tetapi dalam itu, seorang lawan Panji Sura Wilaga yang tidak dapat menahan hatinya lagi, seperti angin prahara telah menyerang Panon yang masih berdiri membeku.

Panon yang masih belum banyak berpengalaman terkejut mendapat serangan-serangan yang tiba-tiba sekali itu, justru seolah-olah dengan sengaja mempergunakan kesempatan selagi ia belum bersiap.

“Licik” geramnya, tetapi Panon sempat mengelak.

Yang terdengar kemudian adalah umpatan yang keluar, “Gila, kau sempat mengelak”

Panon yang belum berpengalaman itu, ternyata masih berhasil mengelak, meskipun ia masih ragu-ragu, namun agaknya pembajaan diri yang dilakukan didekat sebuah gubuk kecil, ditempat yang terpecil meskipun tidak terlalu jauh dari padukuhannya, dibawah bimbingan seorang guru yang cacat itu, telah memberikan bekal yang cukup baginya.

Kuda Rupaka, Panji Sura Wilaga dan Kidang Alit pun berdesir melihat serangan secepat tatit itu, semula mereka menyangka bahwa Panon akan dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga Panji Sura Wilaga belum sempat memperbaiki keadaannya, tetapi ternyata bahwa serangan yang pertama yang dilancarkan dengan tiba-tiba dan demikian dahsyatnya itu, berhasil dielakkan oleh pengembara muda itu.

“Tetapi aku sudah menduga” berkata Kidang Alit didalam hatinya, “Tentu ia merasa mampu mempertahankan hidupnya pada saat ia memasuki arena ini, bahkan sejak ia memutuskan untuk masuk ke halaman istana ini”

Demikianlah, maka perkelahian selanjutnya telah bertambah dengan satu lingkaran lagi, Panon ternyata sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan orang dari Guntur Geni itu.

Dengan tangkasnya ia berloncatan diatas tanah yang mengeras di halaman, menjauhi lingkaran perkelahian Panji Sura Wilaga, sehingga dengan demikian, maka Panon dengan sepenuhnya mencoba kemampuannya dengan salah seorang murid dari Guntur Geni.

Karena itulah, maka Panji Sura Wilaga yang kehilangan seorang lawannya menjadi agak lapang untuk bernafas, ia segera berusaha menjauhi dinding batu yang mengelilingi halaman istana itu, sehingga dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk bertempur sebaik-baiknya.

Kuda Rupaka yang harus bertempur dengan segenap kemampuannya melawan Kiai Paran Sangit, masih saja sempat melihat Panji Sura Wilaga yang terlepas dari kesulitan, namun dengan demikian ia sudah mulai membayangkan kesulitan baru yang akan dihadapinya karena anak muda yang mengaku dirinya pengembara itu.

Sementara itu Panji Sura Wilaga pun dapat melihat, betapa Kuda Rupaka didera kesulitan yang seolah-olah semakin menekan, bahkan kemudian nampak, bahwa ia sudah hampir kehilangan kesempatan sama sekali untuk mempertahankan dirinya.

Dalam pada itu, Kidang Alit yang masih saja selalu tersenyum itu pun mengerutkan keningnya, ia melihat hadirnya kekuatan baru yang lebih besar dari yang diduganya. Bahkan Panon yang semula dianggapnya tidak menentukan, namun ternyata bahwa anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan, apalagi kemampuan Paran Sangit benar-benar diluar dugaannya.

“Jika Kuda Rupaka dapat dikalahkan, maka aku pun tentu akan mengalami kesulitan melawan orang tua itu” berkata Kidang Alit dalam hatinya

Tetapi sekali lagi ia meletakkan harapannya kepada dua orang kawannya yang memasuki kebun istana itu dari belakang dan akan menyelesaikan tugas-tugas yang lain sebelum Ia harus memasuki arena.

Dalam pada itu, selagi perkelahian menjadi bertambah sengit dan menentukan, tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dari dalam istana itu, jerit yang susul menyusul.

Belum lagi suara itu lenyap, terdengar suara tertawa Paran Sangit yang menggetarkan halaman, dengan lantang ia berkata, “Seorang anak buahku telah berhasil menangkap salah seorang puteri di dalam istana ini, agaknya mereka telah terlepas dari pengaruh sirep yang semakin lemah, tetapi ia tidak akan ada artinya, sebentar lagi seorang dari perguruan Guntur Geni itu akan membawa puteri itu kemari dan memaksa kalian untuk melepaskan senjata dan menyerahkan leher kalian”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Kidang Alit yang bertempur diantara batang-batang perdu menggeram, “Itu licik sekali”

Tetapi Paran Sangit masih tertawa, “Apa boleh buat”

“Kenapa kau tidak berbuat jantan seperti yang kami sangka selama ini?” Kuda Rupakapun menggeram, “Tidak seorang pun yang berbuat jantan diantara kita, tetapi seandainya kalian berbuat jantan, dan ternyata aku adalah seorang yang paling licik, aku sama sekali tidak berkeberatan, biar saja aku berkelahi dengan licik, asal aku berhasil mendapatkan pusaka itu”

Namun tiba-tiba saja terdengar jawaban yang sama sekali tidak terduga terlontar dari mulut Kuda Rupaka, “Aku tidak perduli dengan perempuan-perempuan yang manapun juga yang ada di dalam istana ini, yang penting bagiku adalah pusaka itu, jika kau ingin memaksa kami menyerah dengan mencancam bibi Kuda Narpada, atau bahkan diajeng Inten Prawesti, aku sama sekali tidak akan menyerah”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, tetapi juga Panon heran mendengar jawaban itu, namun kemudian terdengar sekali lagi suara Kiai Paran Sangit sambil menyerang, “Kau mencoba untuk menyembunyikan perasaanmu, seolah-olah kau tidak terpengaruh sama sekali dengan jerit itu?, tetapi kau tidak dapat mengelabui aku, kau adalah kemanakan Kuda Narpada, karena itu, maka kau tentu berkepentingan lagi keselamatannya”

“Aku lebih mementingkan pusaka itu dari apapun juga, bahkan seandainya mereka menghalangi aku menemukan pusaka itu, akulah yang akan menyingkirkan mereka dari istana ini, hidup atau mati”

“Kau berkata sebenarnya?” tiba-tiba Kidang Alit

menyela.

“Itu tidak penting” Panji Sura Wilaga lah yang menyahut, “Kami akan membinasakan kalian semuanya untuk mendapatkan pusaka itu”

“Tetapi jerit itu pun tidak berarti lagi apa-apa bagi kami, karena itu, jangan mencoba untuk melemahkan perjuangan kami dengan beralaskan perempuan-perempuan yang bagi kami sama sekali tidak berarti”

Panon yang bertempur itu pun tidak dapat menahan hatinya, hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Tetapi bukankah mereka itu keluarga Raden?”

“Persetan” geram Kuda Rupaka yang mencoba memperbaiki keadaannya.

Namun ternyata bahwa jerit itu benar-benar tidak mempengaruhi perjuangan Raden Rupaka, ketika ia mendapat kesempatan, ia telah mencoba membebaskan dirinya dari tekanan yang sangat menghimpit.

“Apakah benar-benar kau membiarkan perempuan-perempuan itu mati tanpa belas kasihan darimu?” berkata Paran Sangit selanjutnya.

“Aku tidak peduli”

“Dengan satu isyarat, akan berarti mereka mati terbunuh di dalam biliknya atau di pendapa ini”

“Aku tidak peduli” teriak Kuda Rupaka.

Kiai Paran Sangit menjadi heran, tetapi ia pun menjadi heran pula, bahwa kawannya yang berwajah hantu itu tidak membawa perempuan itu ke pendapa, dengan demikian tentu akan lain sekali kesannya, bahwa orang-orang Guntur Geni tidak hanya sekedar bermain-main.

Tetapi tiba-tiba saja Kiai Paran Sangit itu tertawa berkepanjangan, katanya, “O, orang ini memang gila, ia lebih mementingkan dirinya sendiri, apalagi jika ia melihat perempuan cantik, aku tidak dapat mengatakakan, apa yang telah dilakukannya atas puteri Inten Prawesti”

“Gila” teriak Kidang Alit dan Kuda Rupaka hampir berbarengan.

Namun kemudian terdengar suara Panon, “Tidak ada yang lebih rendah dari martabat orang semacam itu, akulah nanti yang akan membunuhnya”

Suara Paran Sangit masih menggema.

Namun tiba-tiba suara itu terputus ketika tiba-tiba ia mendengar keluhan tertahan, Panon yang tidak dapat menahan perasaannya lagi, tiba-tiba telah mengerahkan segenap kemampuan yang pernah dipelajarinya dari gurunya. Kecepatan bermain dengan pisau, merupakan kemampuannya yang telah mengejutkan lawannya, itulah sebabnya, maka ketika terasa sebilah pisau mematuk lengannya, orang Guntur Geni itu mengeluh.

Tetapi Panon tidak dapat mengekang dirinya lagi, bayangan yang bermain diangan-angannya tentang puteri Inten Prawesti di dalam kekejian tangan orang Guntur Geni yang gila itu, benar-benar membuatnya kehilangan pertimbangan lain, karena itulah, maka tiba-tiba dua buah pisau telah meluncur dan menyambar dada lawannya meskipun ia berhasil mengelakkan yang sebuah lagi.

Lawannya terhuyung-huyung dan jatuh terlentang diatas tanah dengan nafas yang terengah-engah.

Ternyata hal itu telah mengejutkan seisi halaman, anak muda yang kurang diperhitungkan itulah yang pertama-tama telah menyelesaikan lawannya murid dari perguruan Guntur Geni.

Kiai Paran Sangit menggeretakkan giginya, kemarahan yang memuncak telah membakar dadanya, namun ia tidak segera dapat berbuat sesuatu atas anak muda itu, karena ia masih terikat pada lawannya, Kuda Rupaka.

Kuda Rupaka lah yang kemudian hahrus mengalami tekanan kemarahan Kiai Paran Sangit, dengan susah payah ia mencoba untuk menyelamatkan dirinya dari serangan yang membadai.

Sementara itu, Panon yang telah kehilangan lawannya segera berlari meninggalkan halaman itu langsung masuk ke ruang dalam, ia tidak dapat membiarkan perlakuan yang paling gila terjadi atas puteri Inten Prawesti.

Namun dalam pada itu, kematian salah seorang murid Guntur Geni itu ternyata telah mempengaruhi arena perkelahian. Panji Sura Wilaga yang tinggal berhadapan dengan seorang lawannya, tiba-tiba mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Selagi lawannya masih dicengkam oleh peristiwa yang mengejutkan itu, Panji Sura Wilaga pun menyerangnya dengan sepenuh kemampuan yang ada pada dirinya.

Ternyata anak Guntur Geni yang seorang diri itu pun tidak mampu bertahan, ia menyadari kelengahannya setelah terasa sebuah tusukan menggores dadanya.

Sekali lagi terdengar sebuah keluhan, dan sekali lagi anak Guntur Geni itu terlempar dari arena dan jatuh berlumuran darah.

Kiai Paran Sangit benar-benar terkejut melihat peristiwa yang terjadi secara beruntun itu, yang terjadi benar-benar diluar dugaan, semula ia menyangka bahwa yang harus dilawannya hanyalah Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Kemudian Kidang Alit tentu akan menghalang-halangi jika ia berhasil menemukan pusaka itu, namun ternyata yang terjadi adalah berbeda sekali dengan perhitungannya.

Kematian kawanya berarti membebaskan Panji Sura Wilaga dari arena perkelahian, dan itu akan sangat berbahaya baginya, Panji Sura Wilaga tentu akan segera membantu Kuda Rupaka yang sudah hampir kehilangan kesempatan itu.

Sementara itu, Kiai Paran Sangit masih menggeram, “Persetan dengan wajah hantu yang bodoh itu, kenapa ia tidak segera membawa perempuan itu kemari?, atau barangkali ia masih sibuk dengan kepentingannya sendiri”

Kata-kata itu memang mendebarkan jantung Kuda Rupaka dan Kidang Alit sekaligus, namun terdengar suara Kidang Alit yang bernada tinggi, “Jika sudah terlanjur terjadi, sebaiknya kalian memang harus dicincang disini”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 7

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

ISTANA YANG SURAM 05

ISTANA YANG SURAM

Jilid 5

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-05KIAI RANCANGBANDANG menjadi semakin heran.

“Jadi gurumu tidak tinggal di sebuah padepokan atau padukuhan kecil?”

“Tidak Kiai, guruku tinggal di sebuah gubug kecil, di lereng gunung, tidak jauh dari padukuhan, ia hidup menyendiri, tetapi tidak terpisah dari pergaulan hidup yang sewajarnya, ia mengenal setiap orang di padukuhanku dengan baik, bahkan seperti kadang sendiri”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Memang aneh, gurumu mempunyai kebiasaan yang lain” ia berhenti sejenak, lalu, “Jadi dengan demikian angger Panon Suka melakukan latihan secara terbuka? Maksudku, kadang-kadang juga dilihat oleh orang banyak padukuan itu?”

“Tidak Kiai, aku berlatih seorang diri di halaman belakang gubug guru, jarang orang yang datang ke gubug guruku di lereng kaki Gunung Merbabu itu, hidup guruku benar-benar tidak menarik perhatian, ia tiba-tiba saja tinggal di tempat itu, hanya ayahku sajalah yang banyak mengetahui tentang dirinya. Tetapi ayah tidak banyak bercerita kepadaku tentang guruku itu”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, ia melihat rahasia yang tersembunyi di dalam perguruan anak muda ini, meskipun ia yakin bukan rahasia yang buruk.

Demikianlah mereka berpacu terus meskipun tidak begitu cepat menuju Lembah Payung di ujung Gunung Sewu.

Namun dalam pada itu di sepanjang jalan, Kiai Rancangbandang masih tetap dipengaruhi oleh gambaran-gambaran yang buram mengenai guru Panon Suka, seseorang yang digambarkannya, hidup menyendiri tetapi tidak terpisah dari pergaulan yang sewajarnya, menenal setiap orang di padukuhannya dengan baik, bahkan seperti kadang sendiri, tetapi orang-orang itu tidak banyak yang mengetahui tentang dirinya, dan jarang sekali yang berkunjung kepadanya karena hidupnya tidak menarik perhatian sama sekali”

Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, terbayang seseorang yang hidup sederhana seperti kebanyakan orang-orang miskin, tetapi yang memiliki ilmu tiada taranya”

Apalagi kemudian ia mengetahui bahwa guru Panon Suka itu adalah seorang yang cacat kaki dan geraknya sangat dibatasi oleh cacatnya itu.

“Dalam keadaanya, bagaimana mungkin ia dapat membentuk seorang anak muda menjadi seorang yang perkasa seperti angger Panon Suka ini?” pertanyaan itu selalu membelit di hatinya, “Tentu orang itu benar-benar bukan orang kebanyakan, meskipun ujudnya tidak lebih sebagai seorang miskin yang hidup dalam gubug yang didirikannya di lereng Gunung Merbabu”

Sementara itu, ketika mereka menjadi semakin dekat dengan lembah Payung, Panon pun menjadi semakin berdebar-debar, ia harus meninggalkan kudanya kepada seseorang dan gurunya nanti akan mencari kuda itu dan mempergunakannya.

“Apakah aku akan berterus terang kepada Kiai Rancangbandang tanpa curiga?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun akhirnya Panon tidak dapat berbuat lain, ketika mereka mendekati padukuhan kecil di lembah Payung, maka Panon pun berkata seperti yang dipesankan gurunya kepadanya.

“Ooo” berkata Kiai Rancangbandang, “Senang sekali jika aku dapat bertemu dengan gurumu nanti”

Panon Suka menarik nafas dalam-dalam.

“Jika demikian, maka biarlah kita menitipkan kuda kita” berkata Kiai Rancangbandang selanjutnya.

“Kiai” berkata Panon Suka yang masih sangat muda dan belum banyak mengenyam hidup, “Jika guruku mengetahui ada dua ekor kuda, maka mungkin guruku akan memutuskan untuk berbuat lain dari rencana semula, guruku sudah berpesan agar tidak ada orang lain yang mengetahui tugasku dan barangkali juga tentang istana kecil itu”

“Angger” berkata Kiai Rancangbandang, “Gurumu adalah orang yang luar biasa, tetapi ia sudah terlalu lama terpisah dari pergaulan hidup orang-orang yang menganggap dirinya mempunyai kelebihan dari orang lain, ternyata bahwa rahasia istana kecil itu seolah-olah telah terbuka, sehingga justru karena itu telah mengundang banyak pihak yang mendatanginya, semula aku pun tertarik pula untuk naik ke Gunung Sewu, tetapi kakang Ajar Respati memberi nasehat yang panjang kepadaku agar aku tidak terseret oleh ketamakan yang bodoh itu, karena itulah aku mengurungkan niatku untuk mendaki sekedar didorong oleh ketamakan dan nafsu, jika sekarang aku pergi, agaknya telah didorong oleh kepentingan yang lain, keteranganmu bahwa kau ingin mencegah guncangan yang dapat timbul, sangat menarik perhatianku, dan aku akan senang sekali jika aku dapat membantumu”

“Aku berterima kasih Kiai, tetapi guru belum mengetahui semua itu”

“Anakmas” berkata Kiai Rancangbandang, “Bahwa Gurumu akan menyusulmu tentu ia pun mempunyai perhitungan tertentu, tetapi sekali lagi, aku kagum karenanya, semuanya itu tentu sekedar didorong oleh firasatnya bahwa sesuatu telah terjadi, bukan karena pendengarannya dari mulut orang lain, hanya orang yang memiliki ketajaman batin yang mempunyai firasat yang sejauh itu”

“Kiai terlampau memuji”

“Aku tidak memuji, tetapi aku benar-benar kagum” ia berhenti senejak, lalu, “Dengan demikian sudah sepantasnya angger menunaikan tugas itu, sentuhan dengan perguruan-perguruan yang lebih dahulu naik ke puncak Gunung Sewu tidak akan banyak menghambat perjalananmu, seandainya kau pergi sendiri”

Panon menarik nafas dalam-dalam, karena itulah maka ia pun tidak berniat untuk menunda keterangannya, sebagaimana pesan gurunya tentang perjalanan yang harus ditempuhnya.

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Benar-benar seorang yang rendah hati, aku akan ikut dengan caramu, agaknya memang menyenangkan sekali untuk memperlakukan diri kita sebagai orang yang tidak perlu mendapat perhatian orang-orang disekitarnya” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sekali lagi aku peringatkan, mungkin gurumu belum membayangkan apa yang sebenarnya ada di sekitar istana kecil itu, meskipun aku belum melihat sendiri, tetapi aku membayangkan bahwa setiap orang yang mendekatinya tentu akan dicurigai oleh setiap orang yang sudah ada di daerah itu terlebih dahulu, mungkin mereka yang berterus terang tentang diri mereka dan perguruan mereka, tetapi juga mereka yang menyamar seperti yang akan angger lakukan”

“Tetapi aku harus berhasil masuk istana itu dan bertemu dengan penghuninya jika masih ada” berkata Panon Suka.

“Kenapa?” bertanya Kiai Rancangbandang.

Panon termangu-mangu, tetapi kepercayaannya kepada Kiai Rancangbandang menjadi bertambah tebal, karena itu katanya, “Aku membawa pertanda bahwa aku datang dengan maksud baik, tetapi guruku berpesan bahwa hanya penghuni yang sebenarnya dari istana itu sajalah yang dapat melihat pertanda itu”

Kiai Rancangbandang bergetar mendengar jawaban itu, tetapi ia tidak menampakkan perubahan wajahnya, bahkan dengan senyum ia berkata, “Menarik sekali, tetapi apakah angger dapat mengatakan kepadaku, apakah penghuni itu akan dapat mengenal tanda yang angger bawa?”

“Menurut guru, mereka tentu akan mengenalnya Kiai”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, betapa hatinya bergejolak, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda apapun juga, sehingga Panon sama sekali tidak menduga, bahwa Kiai Rancangbandang sedang mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa yang pernah didengarnya.

Tetapi akhirnya Kiai Rancangbandang berkata di dalam hatinya, “Bagaimanapun juga, aku wajib membantu anak ini untuk mencegah kekisruhan yang semakin merata di daerah Demak yang baru tumbuh, dengan demikian meskipun hanya seleret hitamnya kuku, aku sudah ikut menegakkan kewibawaan pemerintahan yang sedang berusaha untuk mewujudkan ketenangan dan kedamaian di hati rakyatnya ini”

Demikianlah, dengan hati yang tulus, Kiai Rancangbandang meneruskan perjalanannya di sisi Panon, meskipun kadang-kadang tumbuh juga keragu-raguan atas kebersihan tugas anak muda itu, namun ia melihat kejujuran yang bening memancar dari tatapan mata Panon.

“Jika ada kecurangan yang terjadi atas anak muda ini, tentu bukan karena hatinya yang licik, tetapi mudah-mudahan gurunya benar-benar tidak sekedar memanfaatkan kejujuran anak muda ini” berkata Kiai Rancangbandang pada dirinya sendiri, namun ia tidak henti-hentinya mencari hubungan antara peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada istana kecil itu menurut pendengarannya.

Ketika mereka kemudian memasuki padukuhan kecil itu, Kiai Rancangbandang berkata, “Jika demikian anakmas, baiklah kudamu sajalah yang kau titipkan di padukuhan ini agar gurumu tidak menjadi curiga, aku akan membawa kudaku mendaki terus dan menitipkannya di padukuhan yang kita jumpai di perjalanan nanti”

“Tetapi untuk sementara kita berpisah Kiai, agar orang-orang yang menerima titipan kudaku tidak menyebutkan kepada guru, bahwa aku datang berdua”

Kiai Rancangbandang tersenyum, katanya, “Kau teliti sekali angger, mudah-mudahan bukan sekedar melepeskan diri dari padaku, karena angger segan menolak aku ikut dalam perjalananmu”

“Ah, tentu tidak Kiai, tentu tidak”

“Baiklah, aku akan menunggumu diluar padukuhan ini”

Demikianlah maka mereka pun segera berpisah, Kiai Rancangbandang berkuda terus sampai keluar dari padukuhan kecil di lembah Payung, sedangkan Panon Suka, sesuai dengan pesan gurunya, ia pun menitipkan kudanya kepada seseorang dengan upah sekedarnya.

“Jangan lupa, berilah kuda itu makan, beberapa hari mendatang, seseorang yang cacat kaki akan mengambilnya” berkata Panon Suka kepada orang itu.

“Bagaimana ia tahu bahwa kau menitipkan kuda kepadaku?”

“Kami sudah berjanji sebelumnya”

“Ya, tetapi kau dan orang yang cacat kaki itu belum berjanji untuk menitipkan kepadaku, karena baik kau maupun orang yang cacat kaki itu belum aku kenal”

“Ia akan mencari dan bertanya kepada siapapun di padukuhan ini”

Orang itu mengangguk-angguk, padukuhan ini adalah padukuhan kecil, sehingga tidak akan banyak kesulitan untuk mencari seekor kuda diantara rumah-rumah yang tidak begitu banyak.

Dengan senang hati orang itu menerima uang dari Panon Suka sebagai upah pemeliharaan kudanya sebelum diambil gurunya.

Panon tidak berhenti di rumah itu meskipun penghuninya mempersilahkan.

“Aku tergesa-gesa” berkata Panon.

“Setiap orang tergesa-gesa naik ke atas Gunung Sewu” desis orang itu.

Panon mengerutkan keningnya, dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah banyak orang yang naik ke Gunung Sewu?”

“Tidak, aku hanya melihat dua orang, tetapi nampaknya, mereka pun tergesa-gesa”

“Ia singgah ke rumah ini juga?”

Orang itu menggeleng, “Tidak, mereka hanya lewat”

Panon mengangguk-angguk, tetapi dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Rancangbandang adalah benar, sehingga terbayang olehnya, bahwa di sekita istana kecil itu, telah berkumpul orang dari perguruan yang berbeda-beda.

“Terima kasih, aku minta diri” kata Panon kemudian Seperti yang sudah dijanjikan, maka Kiai Rancangbandang telah menunggunya di luar padukuhan, mereka pun kemudian bersama-sama melanjutkan perjalanan yang mulai mendaki naik pegunungan Sewu.

Seperti yang mereka rencanakan, agar kedatangan mereka di Karangmaja tidak menarik perhatian, maka Kiai Rancang-bandang pun menitipkan kudanya pula, mereka meneruskan perjalanan seperti dua orang pengembara yang miskin.

“Aku tidak berfikir untuk melakukan perjalanan seperti ini” gumam Kiai Rancangbandang sambil tersenyum.

“Aku pun tidak Kiai” Sahut Panon, “Tetapi guru menhendaki.”

“Aku dapat mengerti maksudnya, agaknya cara ini adalah cara yang paling baik, meskipun tidak akan banyak gunanya, agaknya telah banyak orang yang mendahului kita dengan cara yang aneh-aneh”

Panon Suka mengangguk-angguk, agaknya benar kata Kiai Rancangbandang bahwa gurunya kurang mengenal keadaan Karangmaja pada saat terakhir, saat-saat orang yang menyebut dirinya orang-orang sakti mulai mengenal rahasia yang tersembunyi di istana itu.

“Siapakah yang telah membuka rahasia itu?” bertanya Panon Suka kepada dirinya sendiri, “Dan apakah guru telah mendengarnya pula?”

Tetapi Panon menggelengkan kepalanya untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan itu, ia sadar bahwa teka-teki itu tidak akan dapat segera terjawab.

“Yang penting aku menjalankan saja perintah guru” katanya di dalam hatinya, “Itu adalah kewajibanku”

Di sepanjang perjalanan naik ke atas Bukit Seribu tidak banyak lagi yang mereka perbincangkan, sekali-sekali Kiai Rancangbandang memberikan beberapa petunjuk tentang daerah yang pernah mereka lalui, memeberitahukan beberapa nama padukuhan kecil yang terselip diantara hutan-hutan perdu.

“Apakah penghuni padukuhan itu tidak pernah berpikir untuk untuk mencari daerah baru yang lebih baik Kiai” bertanya Panon.

“Mereka justru sedang mulai membuka daerah baru” jawab Kiai Rancangbandang.

“Kenapa di daerah pegunungan seperti ini?, kenapa mereka tidak saja turun ke daerah ngarai?”

“Keluarga mereka, orang tua mereka dan kakek serta nenek mereka adalah cikal bakal daerah sekitar jalur jalan ini, dengan demikian, maka mereka pun telah membuka daerah baru yang tidak begitu jauh dari sanak kadang mereka”

Panon Suka mengangguk-angguk, ia mulai membayangkan daerah dan padukuhannya sendiri, juga di lereng seperti yang sedang ditempuhnya itu, tetapi di lereng Gunung Merbabu.

“Daerah lereng Gunung Merbabu nampaknya lebih subur” desisnya di luar sadarnya.

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya, “Tanah di lereng Gunung berapi, meskipun sudah jauh susut dan bahkan padam, memang manjadi jauh lebih subur dari pegunungan batu dan tanah liat seperti daerah ini, tetapi di musim hujan itu pun menjadi hijau karena air hujan.

Panon mengangguk-angguk.

“Tetapi ada daerah yang hampir tidak ditumbuhi pepohnan sama sekali, di sekitar bukit Paran dan Bukit Seruni nampaknya seperti sebuah padang kering, tetapi ada beberapa puncak bukit gundul yang sudah menjadi hijau, disekitar daerah Karangmaja bukit gundul itu menjadi hutan yang nampak indah sekali”

“Kenapa harus dibuat hutan buatan, bukankah daerah itu merupakan daerah yang dipenuhi oleh hutan yang sebenarnya?”

“Di lembah dan dataran berair, tetapi tidak di puncak-puncak bukit, beberapa tahun yang lampau, seroang pangeran yang terdesak dari Majapahit telah tinggal di daerah Karangmaja, ia membuat istana kecil yang sekarang menjadi pusat perhatian banyak orang itu, ialah yang mencoba menghijaukan puncak-puncak bukit gundul itu, dan agaknya ia berhasil, selain daerah itu menjadi hijau, ia sudah mengurangi arus air hujan yang membanjir ke lembah-lembah di bawahnya, yang kadang-kadang merusakkan hutan yang ada di lembah itu”,

Panon mengangguk-angguk, tetapi ia tidak begitu memahami keterangan Kiai Rancangbandang, di padukuhannya pepohonan tumbuh di lereng gunung dengan subur dan lebatnya, tidak usah dengan menghijaukannya seperti bukit-bukit gundul di daerah Gunung Sewu ini, sehingga padukuhannya terletak di lingkungan hutan yang lebat di lereng Gunung Merbabu.

Tetapi Panon Suka tidak mengatakannya, ia berdiam diri sambil mengamati keadaan di sekelilingnya yang nampak semakin pudar sejalan dengan surutnya matahari di ujung barat.

“Kita tidak akan sampai ke padukuhan itu hari ini juga” berkata Kiai Rancangbandang, “Kita harus bermalam di perjalanan”.

Panon Suka mengangguk-angguk, diamatinya daerah yang luas dan berbukit-bukit, lereng yang curam dan lembah yang dalam, dikejauhan nampak puncak-puncak yang gundul penuh dengan batu-batu yang berwarna keputih-putihan.

Tetapi semuanya sudah menjadi buram.

“Dimana kita harus bermalam Kiai, di dalam goa-goa yang dangkal atau di pepohonan?”

Kiai Rancangbandang mengerutkan dahinya, lalu, “Kita akan bermalam di pinggir saluran air di lembah itu”

Panon mengerutkan keninngya, lembah itu cukup dalam, dasarnya nampak seolah-olah kehitaman.

“Kita memerlukan air, sekarang dan juga besok pagi”

Keduanya kemudian menuruni tebing yang curam, meskipun cukup sulit, keduanya mempunyai ketrampilan yang memungkin-kan mereka dapat turun dengan selamat.

Di lembah iu mengalir sebatang sungai yang meskipun kecil, tetapi memberikan arti yang banyak bagi keduanya yang baru saja menempuh perjalanan, betapa segarnya tubuh mereka, ketika mereka kemudian mandi di air yang bening, bahkan mereka dapat meneguk untuk menghilangkan rasa haus yang serasa membakar tenggorokan.

“Kita dapat tidur nyenyak disini” berkata Kiai Rancangbandang, “Tidak ada orang yang akan mengusik kita kecuali harimua yang kebetulan saja hendak minum di tempat ini, tetapi sungai ini cukup panjang, sehingga kemungkinan harimau itu datang kemaripun kecil sekali, karena mereke dapat minum di daerah udik atau sebaliknya?”

“Ya Kiai” jawab Panon Suka, tetapi ia pun kemudian mengerutkan keningnya, ketika Kiai Rancangbandang meneruskan, “Meskipun demikian kita harus tetap berhati-hati, kita akan tidur bergantian agar kita benar-benar dapat tidur dengan tenang”

Panon mengangguk-angguk, ia sadar bahwa orang-orang tua biasanya lebih berhati-hati, apalagi di tempat yang kurang dikenal seperti lembah yang curam itu.

Setelah mereka mendapatkan tempat yang baik diatas batu-batu yang besar, maka mulailah mereka beristirahat, Panon Suka harus berjaga-jaga pada separuh malam yang terdahulu, baru setelah tengah malam, ia akan tidur dan membangunkan Kiai Rancangbandang.

Sejenak kemudian, ketika lembah itu menjadi hitam kelam oleh malam yang turun di lereng itu, Kiai Rancangbandang sudah mendengkur, seolah-olah tidak ada persoalan apapun yang dipikirkannya, demikian ia berbaring, demikian ia tertidur.

Panon Suka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ia sendiri digelisahkan oleh tugasnya dan kenyataan bahwa di atas pegunungan Sewu telah berkumpul beberapa orang yang mempunyai maksud yang sama, datang ke istana kecil itu.

Namun agaknya udara yang dingin dan angin yang basah membuat perasaannya menjadi ngelangut.

Tetapi Panon Suka bertahan sempai tengah malam, ketika bintang gubuk Penceng tegak diatas di ujung selatan bumi, barulah ia mendekati Kiai Rancangbandang.

Ternyata Panon tidak usah membangunkannya, kerena Kiai Rancangbandang sudah bangkit sambil menguap.

“Aku tidur nenyak sekali, mudah-mudahan kau pun dapat tidur nyenyak ngger”

Panon mengangguk, dan ia pun kemudian merebahkan tubuhnya diatas sebuah batu, betapapun perasaannya diganggu oleh kegelisahan dan kadang-kadang kecurigaan, namun ia pun akhirnya jatuh tertidur pula.

Panon tidak tahu, betapa nyenyaknya ia tertidur, ketika ia bangun, maka ia melihat sebuah perapian kecil di pinggir sungai, Kiai Rancangbandang duduk sambil memeluk lututnya, kain panjangnya diselubungkannya pada pundaknya.

Panon mengerutkan keningnya ketika ia melihat sesuatu di tangan Kiai Rancangbandang, sesuatu yang dipanggangnya diatas perapian kecil itu.

Perlahan-lahan Panon bangkit dan mencoba mengamat-amatinya, namun agaknya Kiai Rancangbandang sudah melihatnya terbangun berkata, “Aku mendapat seekor pelus yang naik ke pasir, cukup untuk makan pagi kita berdua”

Panon menarik nafas dalam-dalam, ternyata Kiai Rancangbandang sedang memanggang sepotong daging pelus yang besar, yang tentu agak sulit untuk menangkapnya, karena kulit pelus yang sangat licin.

Perlahan-lahan Panon mendekatinya, sambil tersenyum ia berkata, “Kiai pandai menangkap pelus”

“Sejak kanak-kanak aku hidup di pinggir sungai, padepokankupun terletak tidak jauh dari kali opak, aku memang seorang yang ahli mencari ikan sungai”

Panon mengangguk-angguk.

“Cucilah mukamu, dan marilah kita makan pagi sebelum kita meneruskan perjalanan mendaki bukit”

Panon pun pergi ke sungai untuk mencuci mukanya, nampaknya di sungai itu memang banyak terdapat ikan, karena nampaknya jarang orang yang menangkap sampai ke tempat yang membelah lembah yang curam itu.

Sejenak kemudian, setelah makan pagi, maka mereka pun segera brsiap-siap, langir masih nampak gelap, tetapi semburat merah sudah mulai membayang.

“Sebentar lagi fafar akan menyingsing, dan kita akan meneruskan perjalanan ssebagai dua orang pengembara” kata Panon perlahan.

“Apakah pakaian kita terlampau baik bagi seorang pengembara?” bertanya Kiai Rancangbandang.

Panon mengamati-amati bajunya, namun kemudian ia menggeleng, “Mungkin tidak, tetapi bagaimana dengan keris yang Kiai bawa itu?”

Kiai Rancangbandang mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan menyimpannya di bawah bajuku, diatas Gunung Sewu dalam keadaan ini, kita masing-masing memang harus bersenjata”

Panon mengangguk-angguk.

“Agaknya senjatamu agak lain dengan senjata pada umumnya” berkata Kiai Rancangbandang.

Panon meraba ikat pinggangnya, terasa tangannya menyentuh tangkai pisau belatinya yang berderet di ikat pinggangya, meskipun pisau itu hanyalah pisau kecil yang dibuat oleh pandai besi di padesannya.

Sejenak kemudian, ketika langit menjadi semakin cerah, mereka segera memanjat tebing, menerobos pepohonan perdu yang tumbuh di lereng yang curam itu.

Ketika Panon Suka sampai keatas, maka ia pun menggeliat sambil menghirup udara pagi yang segar, seolah-olah ia baru saja keluar dari sebuah ruangan yang gelap dan pengap.

Maka sejenak kemudian keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka menuju padukuhan Karangmaja, namun perjalanan mereka kemudian adalah perjalanan yang sudah mulai menyentuh daerah yang berbahaya bagi mereka.

“Sudah dekat” berkata Kiai Rancangbandang, “Nah, apakah kau akan memanggilku dengan namaku?, mungkin satu atau dua orang yang ada di daerah ini, pernah mendengar namaku, jika diantara mereka ada yang pernah turun ke daerah tepian Kali Opak di ujung Gunung Baka”

Panon Suka mengerutkan keningnya, gumamnya “Bagaimanakah sebaiknya Kiai?”

Kiai Rancangbandang termenung sejenak, kemudian katanya, “Panggil aku Mina, Ki Mina”

Panon mengangguk-angguk, katanya, “Kiai menginggatkan aku akan keahlian Kiai menangkap ikan”

“Menangkap Mina” kata Kiai Rancangbandang, “Nah, mulailah panggil aku Ki Mina”

Dengan demikian maka di sepanjang jalan, Panon memanggil kawan seiringnya dengan nama samarannya, Ki Mina. Dan dalam hubungan mereka, Panon menyebutnya sebagai pamannya.

Matahari yang telah sampai ke puncak langit pun segera miring ke barat, sementara dua orang pengembara itu masih tetap berjalan di atas pegunungan berbatuan padas.

Semakin dekat mereka dengan padukuhan Karangmaja, mereka pun menjadi semakin berhati-hati, meskipun mereka masih belum melihat sesuatu yang dapat menghambat perjalanan mereka.

Dalam pada itu, padukuhan Karangmaja nampaknya masih di selubungi oleh kehidupan sewajarnya, dua orang yang berada di banjar, masih tetap mendapat rangsum makan dan minum. Kidang Alit masih juga selalu pergi ke sungai dan mengganggu gadis-gadis mandi, tetapi bahwa gadis-gadis itu kadang-kadang justru menunggunya.

Beberapa orang yang berada di daerah Karangmaja, nampaknya masih belum menumbuhkan gangguan yang dapat menyulitkan kehidupan penghuninya, selain kegelisahan perasaan.

Namun ternyata bahwa Karangmaja sebenarnya sedang dibayangi oleh sekelompok orang-orang dari perguruan Guntur Geni yang dipimpin langsung oleh orang yang terpercaya, Kiai Paran Sanggit.

Tetapi agaknya Kiai Paran Sanggit tidak langsung mendekati istana kecil itu, ia masih mempunyai banyak pertimbangan bahwa ternyata Karangmaja terdapat banyak orang yang mempunyai kepentingan yang sama dan memiliki ilmu yang harus dipertimbangkan.

Meskipun demikian, sekali-kali Kiai Paran Sanggit berusaha untuk dapat mendengar berita tentang Karangmaja, karena itulah maka, kadang-kadang ia mengirimkan orangnya untuk pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang.

“Orang-orang Karangmaja sering menukarkan barangnya ke padukuhan lain” berkata Kiai Parang Sanggit, “Dan kadang-kadang mereka menjual ternaknya di pasar yang meskipun agak jauh tetapi memberikan banyak kesempatan untuk mendapatkan barang-barang yang mereka butuhkan. Tidak banyak orang Karangmaja yang menenun pakaian, tetapi orang-orang Karangmaja banyak membuat barang-barang dari besi untuk alat-alat pertanian, bahkan agak lebih baik dari padukuhan yang lain. Karena orang-orang Karangmaja mendapat beberapa petunjuk dari Pangeran Kuda Narpada, karena itu, usahakan untuk dapat mendengar tentang Karangmaja, tetapi di Karangmaja agar tidak dicurigai dan langsung berbenturan dengan orang-orang dari Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning”

Dua orang dari Guntur Geni itu dengan mempergunakan pakaian petani biasa, agar tidak menimbulkan kecurigaan, pergi ke pasar di padukuan yang sering dikunjungi bukan saja oleh orang-orang Karangmaja, tetapi oleh padukuhan lain di sekitarnya, sehingga dengan demikian maka kehadiran orang baru tidak banyak menarik perhatian.

Namun pesan Kiai Paran Sanggit kepada anak buahnya adalah, bahwa mereka tidak boleh sama sekali mengganggu orang-orang Karangmaja agar tidak menmbulkan persooalan-persoalan yang dapat mengganggu usaha mereka yang lebih besar dan yang terpenting di istana yang terpencil itu.

Di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, bahkan dari beberapa padukuhan, Karangmaja memang menarik perhatian dan banyak dibicarakan justru karena perkembangan keadaannya yang terakhir, beberapa orang menjadi saling bertanya-tanya, apalagi jika mereka bertemu langsung dengan orang-orang Karangmaja di pasar atau di tempat lain, mereka selalu bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan itu.

“Nampaknya kami dapat hidup seolah-olah seperti biasa” berkata salah seorang dari Karangmaja yang berada di pasar yang ramai, pusat pertemuan orang-orang dari beberapa padukuhan, “Tetapi sebenarnyalah bahwa kami selalu dibayangi oleh perasaan cemas tentang hari depan padukuhan kami”

“Apakah orang-orang yang datang ke padukuhanmu tidak saling mengganggu, atau menganggu penghuni padukuhan?”

“Sampai sekarang mereka tidak berbuat begitu, selain dua orang yang mereka lukai karena sebab yang tidak begitu jelas, tetapi keduanya telah disembuhkan oleh seorang pendatang yang masih muda yang bernama Kidang Alit”

“Untunglah ada seorang anak muda yang bernama Kidang Alit itu”

“Uh, tetapi ia pun mencemaskan kami orang-orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis”

“Kenapa?”

“Ia adalah seorang anak muda yang sering memburu gadis-gadis cantik di padukuhan kami, celakanya, gadis-gadis kami juga senang sekali bergaul dengan anak muda yang tampan dan ramah itu”

“Kalian masih terlampau kaku menghadapi pergaulan anak muda”

“Mula-mula tidak, tetapi ketika sudah ada dua orang gadis yang mengandung, karenanya kami menjadi gelisah”

“O…..” orang-orang yang mendengar percakapan itu mengangguk-angguk.

“Padukuhan kami memang sedang suram”

Kawan-kawannya dari padukuhan lain hanya dapat berkata, “Kasihan, istana itu pada suatu saat mendatangkan kegembiraan, bagi Karangmaja, tetapi disaat yang lain mendatangkan kegelisahan dan bahkan mungkin bencana”.

Demikianlah pembicaraan mereka berkepanjangan, sampai suatu saat orang-orang Karangmaja bercerita tentang tiga orang yang kasar, yang berada di Banjar, dua diantara mereka terbunuh di istana kecil itu, tetapi kemudian datang lagi kawan-kawan mereka dan tinggal di banjar pula. Meskipun hanya dua orang tetapi akibatnya hampir sama. Makan, minum dan bahkan permintaan-permintaan yang memberatkan kami.

Orang-orang Karangmaja itu sama sekali tidak menyadari, bahwa pembicaraan mereka didengar oleh dua orang yang berdiri saja di dekat mereka, nampaknya kedua orang itu sama sekali tidak memperhatkan pembicaraan itu, tetapi hampir setiap kata selalu diingatnya, terutama, ceritera tentang dua orang baru yang ada di banjar.

“Gila” desis salah satu seorang dari kedua orang Guntur Geni yang dengan seksama mendengarkan ceritera itu, “Siapakah yang telah berani mengaku orang-orang dari Guntur Geni?”

“Mereka sama sekali tidak menyebutkan perguruan Guntur Geni, tetapi dua orang yang kasar, yang mirip sifat dan sikapnya dengan tiga orang yang terdahulu”

“Apakah orang-orang Guntur Geni kasar dan rakus?”

Kawannya mengerutkan keningnya, ternyata ia mencoba untuk menilai kawan-kawannya, kemudian berkata, “Agaknya memang demikian, sebutkan seorang diantara kita yang tidak bersikap kasar, Kiai Paran Sanggit barangkali?”

“Ia adakah orang yang paling kasar diantara kita”

“Nah, jika demikian, benarlah bahwa orang-orang Guntur Geni adalah orang-orang yang kasar”

“Tetapi tidak semua orang kasar dan liar adalah orang-orang Guntur Geni”

“Kau benar, tetapi hal ini merupakan persoalan bagi kami, kebencian dan dendam orang-orang Karangmaja kepada kedua orang itu akan ditumpahkan kepada orang-orang Guntur Geni, Kiai Paran Sanggit sudah berpesan agar kita tidak berbuat apa-apa, dan melukai hati orang-orang Karangmaja, bahwa diantara kami telah mengorbankan seorang anak muda Karangmaja untuk menunjukkan kemampuan dan kekasarannya, itu sudah cukup, tetapi salah seorang dari kedua orang yang sekarang berada di banjar itu telah melakukan perbuatan serupa?

“Kita harus melaporkannya”

Kedua orang itu masih berusaha mendengarkan beberapa keterangan tentang Karangmaja, tetapi tidak banyak yang mereka dengar lagi, karena hari menjadi siang, dan pasar itu pun menjadi semakin sepi.

“Kita akan kembali” desis salah seorang dari keduanya.

Kawannya mengangguk-angguk, tetapi matanya tersangkut pada seorang perempuan yang sedang menjual daun pisang di dalam bakulnya.

“Ingat, jangan membuat persoalan disini” desis kawannya.

Yang lain tersenyum, katanya, “Baiklah, aku pun tidak berbuat apa-apa, aku hanya sekedar memandang kecantikannya yang lugu itu saja”

“Setan alas, kau benar-benar hantu bagi perempuan”

“Kau sendiri bagaimana?”

“Tentu tidak”

“Tetapi isterimu berjumlah tiga orang, sementara kau masih saja bertualang seperti sekarang”

“Mereka hanya memerlukan aku, bukan nafkah, kerena mereka sudah dapat mencari makan sendiri”

Keduanya tidak berbicara lagi, yang seorang menarik tangan yang lain sambil bergumam, “Kita menghadap Kiai Paran Sanggit”

Demikianlah keduanya pun kemudian meninggalkan pasar yang sudah mulai sepi itu, dengan gelisah mereka mencoba menebak siapakah yang berada di banjar padukuhan Karangmaja itu, yang dianggap oleh sebagian dari orang-orang Karangmaja sebagai kawan tiga orang yang terdahulu.

Dalam pada saat itu, bukan orang-orang Guntur Geni itu sajalah yang mendengarkan ceritera tentang Karangmaja, di dalam pasar itu, selain orang-orang Guntur Geni itu, dua orang lainnya telah mendengarkan ceritera-ceritera semacam itu dengan seksama.

“Nah, kau dengar” desis yang tua kepada yang muda.

Yang muda mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Ki Mina, aku mendengar”

“Masih banyak yang dapat kita dengar di dalam hubungan semacam ini, ada baiknya kita langsung berhubungan dengan orang-orang Karangmaja” jawab Ki Mina.

Panon Suka ragu-ragu sejenak, lalu, “Apakah hal itu tidak akan dapat menimbulkan kecurigaan mereka?”

“Mungkin, tetapi kita harus berusaha dengan sangat berhati-hati”

“Tetapi pasar itu telah menjadi sepi”

“Mungkin di warung-warung kita masih dapat bertemu dengan mereka”

Tetapi memang sulit untuk membedakan, yang manakah orang Karangmaja dan dan manakah yang datang dari padukuhan lain, namun dengan menunggu dan mendengarkan pembicaraan mereka beberapa saat, maka Kiai Rancangbandang yang disebut Ki Mina itu pun segera mengetahuim bahwa salah seorang dari mereka yang sedang berada di sebuah warung itu adalah orang Karangmaja.

“Kau dengan percakapan itu” bisik Kiai Rancangbandang yang masih berdiri di muka sebuah warung.

Panon mengangguk-angguk.

“Marilah kita masuk, mumpung tidak ada terlalu banyak orang yang ada di dalamnya”

Keduanya pun segera memasuki warung itu dan duduk di dekat orang Karangmaja yang sedang makan dengan lahapnya setelah ia menghabiskan dagangannya.

“Maaf Ki Sanak” kata Ki Mina.

“Silahkan” sahut orang Karangmaja itu.

Sejenak Ki Mina dan Panon Suka pun minta disediakan dua mangkuk minuman panas.

Untuk beberapa saat mereka masih dapat mendengar, seseorang yang berbicara dengan orang Karangmaja itu. Sekali-sekali diselingi gelak tertawa jika orang Karangmaja itu disela-sela kesibukannya mengunyah makanannya berceritera tentang padukuhannya dengan cara yang lucu.

Ternyata Kiai Rancangbandang dan Panon Suka tidak perlu bertanya lagi kepadanya, karena orang itu telah berceritera pula tentang istana kecil itu.

“Jadi ada seorang Pangeran yang lain yang tinggal disana?”

“Aku tidak tahu apakah ia Pangeran atau bukan, tetapi ia adalah keluarga dari Pangeran Kuda Narpada”

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk, tetapi keinginan yang mendesak agaknya tidak tertahan lagi, sehingga Kiai Rancangbandang menyela, “Siapakah nama bangsawan itu Ki Sanak?”

Orang Karangmaja itu berpaling, ditatapnya Kiai Rancangbandang yang kemudian menunduk sambil menghirup minuman panasnya.

“Kuda Rupaka” jawab orang Karangmaja itu kemudian, “Ialah yang sudah membunuh dua orang penjahat yang barangkali akan merampok rumah Pangeran Kuda Narpada yang sebenarnya sudah kosong itu”

“Kosong?” Panon Suka bertanya.

“Ya, yang tinggal hanyalah perabot-perabot rumah tangga yang besar-besar, namun tidak cukup berharga. Selama ini isi istana itu harus makan, karena itu kadang-kadang mereka terpaksa menjual sesuatu meskipun orang-orang Karangmaja sering juga datang membantu dengan bahan-bahan mentah. Tetapi Raden Ayu Kuda Narpada tidak mau terlalu banyak merepotkan orang-orang Karangmaja yang kekurangan”

“Jadi siapakah yang sudah dibunuh oleh bangasawan itu?”

“Tidak banyak yang kami ketahui” jawab orang itu, “menurut Ki Buyut, orang-orang itu disebutnya berasal dari perguruan Guntur Geni”

Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, benar-benar perguruan Guntur Geni telah berada di bukit itu. Dan bahkan seperti yang didengarnya, ada beberapa pihak telah saling berbenturan, apa lagi di dalam istana kecil itu telah tinggal seorang bangsawan yang bernama Kuda Rupaka.

“Apakah bangsawan itu bermaksud baik atau sebaliknya?” bertanya Kiai Rancangbandang di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi, dihirupnya minumannya dan dikunyahnya beberapa potong makanan, agaknya Panon pun telah merasa cukup, bukan saja perutnya terlah terisi, tetapi keterangan yang didengarnya telah cukup banyak.

Demikianlah ketika orang Karangmaja itu meninggalkan warung itu, maka Kiai Rancangbandang dan panon Suka pun membayar harga mekanan mereka dan keluar pula dari warung. Diluar Ki Rancangbandang masih sempat bertanya, dagangan apakah yang dibawa oleh orang Karangmaja itu.

“Kau tahu bahwa aku berjualan disini dan kalian tidak berbelanja” bertanya orang Karangmaja itu.

“Kau tidak membawa apa-apa Ki Sanak”

Orang itu tertawa, agaknya ia memang senang berkelakar, jawabnya kemudian, “Aku menjual barang-barang dan alat-alat dari besi, aku adalah pandai besi, bukan saja pandai besi, tetapi aku juga dapat membuat senjata yang baik, ayahku seorang mpu keris yang ternama di Karangmaja, dan aku pun sedang mempelajari dengan tekun”

“Bagus sekali” jawab Kiai Rancangbandang

“Barangkali keris yang kau pakai itu juga buatan ayahmu?”

“Ya, lihat” katanya sambil menghunus kerisnya.

“O” desis Kiai Rancangbandang, “Bagus sekali”

Dengan bangga orang itu pun kemudian pergi meninggalkan Kiai Rancangbandang yang tersenyum, “Tidak lebih baik dari sebuah pisau dapur”

Panon mengerutkan keningnya, diluar sadarnya ia pun bergumam, “Tidak banyak bedanya dengan pisau-pisau belatiku, Paman”

Kiai Rancangbandang tersenyum, katanya, “Memang tidak banyak bedanya, pisau-pisau yang dibuat oleh pandai besi yang tidak banyak mengetahui tentang wesi aji, tetapi baik pisau-pisau belatimu yang berjumlah cukup banyak itu maupun keris yang tidak lebih baik dari pisau dapur itum ditanganmu akan menjadi senjata yang barangkali lebih baik dari pusaka yang manapun juga”

“Ah, Paman selalu memuji seperti Ki Ajar Respati”

Kiai Rancangbandang tertawa, dipandanginya orang Karangmaja yang sudah menjadi semakin jauh.

“Nah, kita sekarang sudah mendapat gambaran yang agak jelas tentang Karangmaja, sebuah padukuhan yang nampaknya masih tetap tenang, tetapi yang sebenarnya diliputi oleh kemelutnya api yang membara didalam sekam, setiap saat akan dapat menjilat keudara dan membakar padukuhan itu menjadi hangus”

“Untunglah aku datang ke padukuhan ini dengan Kiai” berkata Panon, “Jika aku pergi sendiri, mungkin aku akan menjumpai banyak kesulitan”

“Kau akan mengatasinya meskipun mungkin memerlukan waktu yang agak lama”

“Guru tidak banyak memberikan petunjuk tentang kemungkinan-kemungkinan yang ternyata telah terjadi di atas Gunung Sewu”

“Bukan salah gurumu, karena gurumu tidak dapat bergerak dengan bebas karena keadaan jasmaniahnya, maka ia tidak banyak mengetahui dan mendengar tentang padukuhan di atas Gunung Sewu ini”

Panon Suka mengangguk-angguk, kemudian katanya, “Jadi bagaimana sebaiknya paman, apakah kita langsung masuk ke istana itu atau kita menunggu kesempatan yang paling baik?”

“Angger” berkata Kiai Rancangbandang, “Kita tidak tahu, apakah benar para bangsawan yang ada di istana itu dapat dipercaya, dalam keadaan seperti sekarang ini, kita memang wajib bercuriga terhadap siapapun juga, juga kepada keluarga sendiri, karena ia hadir justru setelah Pangeran Kuda Narpapda tidak ada di istana itu”

“Tetapi bagaimana mungkin kita dapat masuk ke dalam istana itu tanpa diketahui oleh kedua bangsawan yang ada di dalamnya?”

“Kita akan mencari jalan, tentu kedua bangsawan itu tidak akan berada di istana itu siang dan malam, pada suatu saat mereka sekali-sekali akan keluar, entah untuk keperluan apa”

“Tetapi jika demikian, seandainya mereka benar-benar mempunyai pamrih, apakah selama itu tidak akan terjadi sesuatu?”

Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, ia mengetahui dari pembicaraan-pembicaraan yang didengar di pasar tentang kemampuan bangsawan itu, yang dapat mengetahui keadaan seseorang yang sedang terluka dengan rabaan jarinya, dan bahwa ia telah membunuh orang yang memasuki istana itu dengan maksud jahat.

Maka itu maka dengan ragu-ragu Kiai Rancangbandang pun berkata, “Kita harus berhati-hati sekali, meskipun kita datang dengan wajah pengemis sekalipun, kita akan tetap dicurigai”

“Jadi?”

“Kita harus benar-benar menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, agaknya kita tidak akan terlepas sama sekali dari suatu tindakan kekerasan menghadapi keadaan di sekitar istana kecil itu”

“Panon mengangguk-angguk, katanya, “Agaknya guru pun mempertimbangkan pula, jika tidak, maka guru tentu tidak perlu memberikan bekal ilmu kanuragan kepadaku”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, lalu “Karena itu, jangan terlampau mengalah menghadapi setiap persoalan sebelum kita terlambat mengambil sikap, kau agaknya terlampau sabar menghadapi keadaan, agaknya sikap itu baik sekali kau trapkan pada saat-saat lain, kecuali menghadapi keadaan seperti di atas Gunung Sewu itu”

Panon mengangguk-angguk pula, ia menyadari keadaan yang sedang dihadapinya, agaknya memang bukan sekedar memelihara perasaan dan sikap yang lemah lembut.

“Angger, jika kau sudah bersiap, marilah kita mendekat, apapun yang akan kita hadapi, kita sudah mempertimbangkan kemungkinannya”

“Paman” berkata Panon Suka, “Agaknya keadaan diatas Gunung Sewu itu benar-benar gawat, aku tidak berpikir tentang Paman, aku berterima kasih sekali atas semua kebaikan hati paman, tetapi jika kebaikan hati itu harus dilengkapi dengan kemungkinan yang pahit bagi keselamatan paman, maka agaknya itu sudah terlampau banyak, apakah aku dapat menerima kebaikan hati yang berlebih-lebihan itu?”

Kiai Rancangbandang tertawa katanya, “Kau benar-benar seorang anak muda yang dewasa, kau memiliki daya pikir yang kuat dan mendasar” ia berhenti sejenak, lalu, “Anakmas, aku mengerti perasaanmu, tetapi baiklah kau singkirkan saja sejauh-jauhnya, aku sudah dengan sengaja mengikutimu sampai ke daerah Karangmaja, aku pergi dengan penuh kesadaran atas segala akibatnya”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Terima kasih Paman, agaknya tidak ada jalan yang dapat aku tempuh untuk membalas kebaikan hati Paman ini”

“Jangan kau pikirkan, dengan demikian kau akan menambah beban perasaanmu saja, marilah kita mulai dengan kerja yang bagimu sangat penting, juga buat masa depan Demak yang baru tumbuh”

Panon tidak menjawab, terasa sesuatu menyesak dadanya, namun kemudian ia pun menggerakkan giginya, seolah-olah memantapkan tekadnya untuk melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya, bahkan sampai kemungkinan yang paling buruk sekalipun bagi hidupnya.

Karena itulah, maka mereka berdua pun dengan hati-hati berusaha mendekati padukuhan Karangmaja yang meskipun nampaknya masih tetap tenang, tetapi agaknya bagaikan bisul yang sudah masak untuk pecah.

Berbagai pihak yang ada di sekitar Karangmaja telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, semua mata seolah-olah setiap saat tertuju kepada istana kecil yang terpencil itu. Istana yang sudah suram setelah ditinggalkan oleh Raden Kuda Narpada.

***

Sementara itu, Raden Kuda Rupaka yang berada di istana kecil itu pun menjadi gelisah pula, ia mengetahui dengan pasti, bahwa di sekitar istana itu tentu telah bersiap beberapa pihak yang dapat membahayakan istana kecil itu bersama penghuninya.

Karena itulah, maka ia pun selalu memperingatkan Inten Prawesti agar ia tidak keluar dari istana tanpa pengawasannya, karena ternyata anak muda yang bernama Kidang Alit itu memiliki berbagai macam cara untuk menjeratnya, mungkin karena sentuhan perasaannya sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis, tetapi mungkin pula karena maksud-maksud tertentu yang tersembunyi.

“Angger Kuda Rupaka” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada ketika kegelisahan yang sangat telah menyentuh hatinya, “Rasa-rasanya rumah ini telah dikitari oleh bayangan yang buram, bahkan telah terjadi malapetaka yang untung masih dapat diatasi olehmu, apakah panasnya api yang mengelilingi dinding halaman ini?”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, sekilas ditatapnya wajah Panji Sura Wilaga, namun kemudian ia pun menggeleng-kan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu bibi, justru sebenarnya akulah yang harus bertanya kepada bibi, apakah ada sesuatu yang merupakan daya tarik dari orang-orang yang tidak dikenal itu untuk datang ke istana ini”

“O…” Raden Ayu Kuda Narpada menjadi heran, “Aku tidak mengerti, menurut hematku, isi istana ini justru sudah hampir habis, maksudku, barang-barang yang berharga, yang ada hanyalah perabot-perabot yang aku kira tidak ada harganya”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Tentu mereka menduga bahwa ada sesuatu yang berharga di istana ini, sehingga beberapa orang dari lingkungan yang berbeda telah datang, “

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin prihatin, ia tidak tahu pasti apa yang terjadi di luar istananya, tetapi firasatnya yang telah menggelisahkannya. Apalagi setelah dua terbunuh di halaman rumahnya, suara seruling yang seakan-akan telah membius anak gadisnya, dan perasaan yang kadang-kadang tidak menentu dan menggelisahkan.

Ketika Raden Ayu Kuda Narpada meninggalkan Raden Kuda Rupaka, maka anak muda itu berbisik di telinga Panji Sura Wilaga, “Bibi tidak mengetahui apapun tentang kemungkinan adanya barang-barang berharga di istana ini”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Raden, apakah tidak sebaiknya Raden berterus terang kepada Raden Ayu Kuda Narpada bahwa sebenarnyalah orang-orang yang kini berdatangan ke Karangmaja adalah justru karena istana kecil ini, dengan demikian Raden Ayu mendapat gambaran, betapa rumitnya kedudukannya sekarang, justru setelah Pangeran Kuda Narpada tidak ada lagi”

Kuda Rupaka mengerutkan alisnya, lalu, “Apakah yang harus aku katakan kepada bibi?”

“Istana ini dengan dengan segala isinya harus diselamatkan”

“Ya” wajah Kuda Rupaka tiba-tiba saja telah menyala, “Harus diselamatkan” namun suaranyapun kemudian menurun, “Tetapi sulit untuk keluar dari istana ini sekarang”

“Kita harus bertempur jika ada yang mencoba menghalangi, mudah-mudahan saudara seperguruan Raden dapat melihat kehadiran orang-orang asing di istana ini dan ikut bertanggung jawab atas keselamatan isi istana ini”

“Aku kira bahwa Kamas Bramarasa telah mengetahui kehadiran orang-orang dari Guntur Geni, Kumbang Kuning dan barangkali dari perguruan-perguruan yang lain”

“Tetapi apakah Raden Bramarasa juga akan hadir ditempat ini?”

“Aku yakin, guru tidak akan membiarkan kita berdua terjebak tanpa dapat keluar lagi dari daerah ini, meskipun barangkali kita berdua dapat mengatasi rintangan yang menghalangi jalan keluar dengan kekerasan, tetapi agaknya terlampau berbahaya untuk melakukannya tanpa orang lain. Kita tidak tahu jumlah yang sebenarnya dari orang-orang Guntur Geni, Kumbang Kuning dan perguruan lainnya”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi semakin lama daerah ini nampaknya menjadi semakin ramai”

“Yang penting, kita selamatkan istana ini, baru kemudian kita akan menentukan sikap untuk mengamankannya lebih lanjut, jika Kamas Bramarasa tidak berbuat sesuatu, maka segalanya memang terserah kepada kita”

“Semula semuanya sudah diserahkan kepada tanggung jawab kita berdua Raden”

“Tetapi kehadiran orang-orang Guntur Geni dan Kumbang Kuning kurang mendapat perhatian guru dan kamas Bramarasa”

“Sekarang mereka telah hadir disini”

“Nah, barangkali hal itu akan mendesak kamas Bramarasa untuk hadir pula di daerah ini, namun kita tidak menggantungkannya kepada pertolongan itu, kita harus membuat perhitungan tersendiri untuk keselamatan isi istana ini”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, lalu, “Tetapi kita belum mengetahui keadaan sebenarnya dari halaman yang tidak begitu luas ini Raden”

“Kita akan melihatnya malam nanti, aku tidak ingin menggelisahkan bibi dan diajeng Inten Prawesti”

Panji Sura Wilaga masih mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Kuda Rupaka, setiap langkah yang nampaknya aneh, tentu akan dapat menggelisahkan Raden Ayu Kuda Narpada, sehingga karena itu maka semuanya dilakukannya dengan hati-hati.

Seperti yang mereka rencanakan, maka ketika malam manjadi gelap, Kuda Rupaka berbisik kepada Panji Sura Wilaga, “Paman, apakah semuanya sudah tidur?”

“Nampaknya sudah sepi Raden, barangkali kita dapat mulai melihat-lihat halaman ini lebih seksama, jika kita pernah melakukannya, hanyalah sepintas lalu saja tanpa dapat mengamati setiap keadaan yang pantas mendapat perhatian”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Marilah, jangan membangunkan siapapun juga”

Keduanya pun kemudian dengan hati-hati keluar dari biliknya, dengan hati-hati pula mereka membuka pintu pringgitan.

“Tutup pintu itu kembali paman” bisik Kuda Rupaka.

Keduanya pun kemudian melintasi pendapa dan turun ke halaman, namun sejenak kemudian, mereka telah menyelusuri halaman samping sampai ke halaman belakang.

Dengan ketajaman pandangan mata mereka, keduanya mencoba mencari sesuatu yang menimbulkan dugaan bahwa di dalamnya tersimpan sesuatu yang telah merangsang perguruan-perguruan bahkan dari tempat yang jauh untuk datang ke Karangmaja.

“Tentu ada sesuatu di istana kecil ini” desis Raden Kuda Rupaka, “Diketahui atau tidak diketahui oleh bibi”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Tetapi kita tidak melihat tanda-tanda apapun yang dapat mengatakan, bahwa memang ada sesuatu itu”

Raden Kuda Rupaka pun mengangguk-angguk, katanya, “Jika memang ada dan kita tidak melihat tanda-tanda apapun, maka agaknya paman Kuda Narpada telah menyembunyikan sebaik-baiknya, di dalam atau di luar rumah, bahkan bibi sama sekali tidak mengetahuinya”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, dengan nada datar ia menyahut, “Dengan cara ini memang sulit untuk mengetahui Raden, apakah tidak sebaiknya, Raden mencoba bertanya langsung kepada bibi Raden”

Raden Kuda Rupaka termenung sejenak, lalu katanya, “Jika tidak ada jalan lain, aku akan bertanya kepada bibi”

“Atau kepada Puteri Inten Prawesti?”

“Ia tidak tahu apa-apa, sedangkan bibi, masih ada kemungkinan mengetahuinya”

Panji Sura Wilaga masih akan menjawab, namun tiba-tiba ia bergeser menepi sambil menggamit Raden Kuda Rupaka yang agaknya telah mengetahui pula, kehadiran orang lain yang tidak mereka kehendaki.

“Kita bersembunyi saja paman” desis Kuda Rupaka.

Keduanya pun kemudian meloncat ke balik sebatang pohon perdu yang rimbun, sehingga keduanya terlindung dalam kegelapan.

Namun Raden Kuda Rupaka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam kegelapan ia berbisik, “Aku sangka orang Kumbang Kuning atau orang Guntur Geni yang akan melihat-lihat kebun istana ini pula”

Panji Sura Wilaga mengumpat perlahan, “Anak-anak gila”

Dalam pada itu di dalam kegelapan, dua orang anak-anak muda sedang berjalan dengan ragu-ragu, bahkan keduanya saling mendorong.

“Kau kan laki-laki kakang”

“Kau jangan ribut saja Pinten” terdengar jawaban Sangkan, “Aku sudah mengantarkan sampai disini, tidak pantas aku ikut masuk ke pakiwan, cepatlah, aku juga ketakutan”

“Aku takut” desis Pinten.

“Masuklah, aku tunggu kau disini, tetapi jangan terlampau lama”

Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu, namun Sangkan kemudian mendorong adiknya sambil berkata, “Jika kau terlalu lama, aku tinggal kau lari”

“Aku akan berteriak”

“Yang datang menolongmu kawan-kawan dari orang yang terbunuh di halaman, kemudian kau dibawanya ke banjar”

“Tidak mau, tidak mau” Pinten justru berpegangan kakaknya semakin erat.

Kuda Rupaka menjadi geli melihat tingkah laku kedua anak-anaknya Nyi Upih itu. Karena itu maka ia menggamit Panji Sura Wilaga sambil berbisik, “Anak-anak gila itu tidak akan segera pergi justru karena keduanya ketakutan”

“Aku ingin mencekiknya saja” geram Panji Sura Wilaga.

“Mereka akan tetap saling mendorong sampai pagi” desis Kuda Rupaka, “Biarlah aku mengawaninya, dengan demikian mereka akan cepat pergi.”

“Mereka akan menjadi manja sekali”

Tetapi Kuda Rupaka tersenyum katanya, “Pada suatu saat mereka akan mati ketakutan melihat peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi di istana kecil ini”

“Sebaiknya mereka pergi agar mereka tidak menjadi beban saja disini”

“Mereka tidak lebih dari badut-badut yang pantas untuk lelucon, sekali-kali kita perlu mengendorkan urat syaraf kita yang selalu tegang”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, dibiarkannya Kuda Rupaka berdiri dan perlahan-lahan mendekati kedua anak-anak muda yang masih saja saling berpegangan.

Bab 17

“Cepat antarkan aku ke sumur” desak Pinten.

“Aku tunggu kau disini, cepatlah sebelum aku lari”

Tetapi Pinten menarik tangan kakaknya, “Aku akan menangis keras-keras, biar Puteri terbangun dan marah-marah kepadamu”

“Pasti kita akan diusir”

“Itukan salahmu”

“Kau memang manja sekali Pinten, kita bukan orang-orang besar yang pantas bermanja-manja, kau harus menjadi lebih berani sedikit”

“Majulah sedikit, berdirilah di depan pintu pakiwan”

Hampir saja Pinten menjerit, ketika tiba-tiba saja mereka melihat sesosok tubuh disamping mereka, untunglah sebelah tangan yang kuat telah menyumbat mulutnya, sehingga suaranya yang hampir terlontar itu telah tertelan kembali.

Perlahan-lahan tangan itu pun kemudian melepaskannya, yang terdengar kemudian adalah tertawa perlahan-lahan, “Kalian anak-anak dungu, penakut dan apalagi, kenapa kalian saling mendorong disini?”

Sangkan yang terkejut bukan buatan, seolah-olah tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya menjadi gemetar.

“He,,!, ngapain kalian disini..!!”

“O…” nafas Sangkan masih tersengal, “Raden mengejutkan kami, hampir saja kami pingsan karenanya”

“Raden hampir saja membunuhku” suara Pinten terputus-putus,

“Jika aku tidak menyumbat mulutmu, kau tentu sudah berteriak, dan seisi rumah ini akan terbangun dan menjadi ribut” berkata Raden Kuda Rupaka yang sengaja mengejutkan mereka.

“Tetapi, jantungku hampir terlepas Raden” berkata Sangkan.

Kuda Rupaka masih tertawa, katanya, “He, kenapa kalian berada disini?”

“Pinten ingin pergi ke pakiwan Raden” jawab Sangkan, “Ia penakut sekali, ia tidak berani pergi sendiri”

“Apakau kau bukan penakut?, kau tidak berani mengantarkan adikmu mendekati pakiwan itu”

“Bukan tidak berani Raden, tetapi tidak pantas sekali, kecuali jika Pinten seorang anak kecil yang baru pandai berjalan, aku dapat mengantarkannya masuk ke pakiwan”

Kuda Rupaka tertawa berkepanjangan meskipun ia masih mencoba menahan tertawanya agar tidak didengar oleh orang-orang lain di dalam istana itu.

“Marilah aku antarkan sampai ke dalam pakiwan” berkata Kuda Rupaka.

“Ah” desis Pinten, “Tidak mau ah, malu”

“Nah, jika kemudian, pergilah. Biarlah kakakmu menunggu disini, aku pun berada disini, kenapa?, kau takut?”

Pinten menjadi ragu-ragu, tetapi ia pun kemudian terpaksa melangkah ke pakiwan sendiri yang tinggal beberapa langkah saja dihadapannya, namun setiap kali ia masih saja berhenti dan menoleh.

Tetapi tiba-tiba saja Kuda Rupaka melangkah maju, disambarnya tangan Pinten dan ditariknya mundur.

“Raden” Pinten berteriak pelan, tetapi Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia sendirilah yang kemudian meloncat maju.

“Raden, kenapa?” Tanya pinten.

Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia telah berdiri tegak menghadap kegelapan, tangannya tiba-tiba saja telah meraba hulu kerisnya yang tidak terpisah dari tubuhnya, dan digesernya ke lambung kanan.

Pinten dan Sangkan termangu-mangu, mereka memandangi saja Kuda Rupaka yang membelakangi mereka dengan sikap aneh.

“Jadi kau mencoba memasuki istana ini di malam hari?” tiba-tiba saja Kuda Rupaka bersuara.

Ternyata dari dalam kegelapan terdengar jawaban, “Suara gadis itulah yang menarik perhatianku, sebenarnya aku tidak mau memanjat dinding, tetapi karena suara gadis itulah aku ingin melihat, siapakah yang bergurau di malam buta seperti ini”

“Kami tidak bergurau” jawab Kuda Rupaka, lalu, “Tetapi seandainya kami bergurau sekalipun, apakah hakmu?, gadis itu sama sekali tidak berkepentingan dengan kau”

“Semula aku mengira bahwa suara perempuan itu adalah suara puteri Inten Prawesti, ternyata adalah suara gadis anak pelayan istana ini”

“Kau tidak berkepentingan dengan kedua-duanya” sahut Kuda Rupaka, lalu ia pun bertanya, “Nah, apakah yang kau kehendaki anak Kumbang Kuning?”

“Kau salah paham” jawab orang di dalam kegelapan itu, “Mungkin aku memang murid perguruan Kumbang Kuning, tetapi jika pengenalanmu adalah karena kau melihat seseoarang yang hadir dalam pertempuran di halaman istana ini antara kau dan anak-anak Guntur Geni, maka kau salah, orang itu bukan aku, dan dengan demikian kau keliru memperhitungkan keadaan”

Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Aku tahu kau menyebut dirimu bernama Kidang Alit, mungkin nama itu bukan namamu yang sebenarnya, tetapi ciri Kumbang Kuning itu justru kau katakan sendiri malam itu”

“Kita sama-sama dihadapkan pada suatu teka-teki, siapakah orang yang hadir pada malam itu dan mengaku anak dari perguruan Kumbang Kuning, kau salah tebak, dan aku pun sama sekali tidak tahu siapakah orang itu”

“Apakah gunanya kau ingkar?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Sudahlah, kita tidak usah berbantah, aku hanya mohon, agar kalian tidak bergurau di malam yang gelap dan sepi ini. Suara seorang gadis yang renyah, membuat hatiku berdebar-debar”

Tiba-tiba saja diluar dugaan, Pinten bertanya dengan lugunya, “Apakah kau menginginkan diriku?”

“Hush..!!” Sangkan menutup mulut adiknya, sementara Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam.

Terdengar Kidang Alit tertawa, lalu, “Jangan bertanya apakah aku menginginkan dirimu, tetapi jika kau sempat, keluarlah dari halaman istana ini sekarang”

Tetapi yang menjawab adalah Kuda Rupaka, “Kidang Alit, setiap orang mengetahui sikapmu terhadap gadis-gadis, agaknya kau telah menaruh perhatian atas dua orang gadis yang ada di istana, meskipun mereka dalam kedudukan yang jauh berbeda, seorang Puteri dan seorang anak pelayan, tetapi bagimu kedua-duanya adalah gadis-gadis cantik yang telah membakar nafsumu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Itu adalah kelebihanku dari anak-anak muda yang lain Raden, tetapi baiklah, aku tidak berkepanjangan, tetapi jika gadis anak pelayan itu ingin keluar dari halaman istana ini, jangan kau halangi, aku akan menjaga keselamatannya”

“Apa yang harus aku lakukan jika aku keluar halaman?” tiba-tiba Pinten bertanya.

“O, anak gila” geram Sangkan sambil sekali lagi membungkan mulut adiknya.

Kidang Alit tertawa semakin panjang, meskipun tidak terlalu keras, katanya, “Sikapmu membuatku semakin gila, kau menjadi semakin dewasa, cobalah kau sadari, bahwa ada perubahan pada dirimu, pada tubuhmu dan pada perasaanmu. Kau tentu mempunyai persoalan yang tidak terpecahkan didalam dirimu saat-saat kau tumbuh dan mekar seperti sekarang ini, persoalan mengenai dirimu dan seleramu terhadap pergaulan, kau tidak menyadari bahwa kau menjadi semakin cantik seperti bunga Arum Dalu disaat-saat menjelang malam, baunya sangat semerbak menggelepar di dalam kegelapan mengusik malam yang sepi, He…, apakah kau mengerti anak manis?”

Pinten tidak menjawab, karena tangan kakaknya masih melekat dimulutnya.

“Jangan terlalu banyak bicara disini anak Kumbang Kuning” Geram Kuda Rupaka.

“Maaf Raden, gadis itu memang sangat cantik, aku mengaguminya seperti aku mengagumi Puteri Inten, tetapi kedua-duanya mempunyai kelebihan sendirisendiri, Puteri adalah seorang gadis yang cantik, agung dan berwibawa, serasa diri ini akan berlutut mencium ujung kakinya dan pasrah apa saja yang harus diperbuatnya, tetapi gadis ini mempunyai ciri yang lain, cantik, jujur dan bening, seperti air gemercik mengalir didasar sungai berpasir, rasa-rasanya setiap orang ingin turun mandi untuk mendapatkan kesegaran baru, apalagi dalam kegersangan seperti sekarang ini”

“Gila” potong Kuda Ruapaka, “Benar-benar kata-kata orang gila, tetapi kata-katamu memang dapat membuat orang lain menjadi gila pula, seperti suara seruling, tetapi ingat, suara serulingmu itu tidak akan berpengaruh apapun bagi istana ini, selama aku masih ada disini”

“Aku tidak membawa seruling sekarang, aku hanya ingin memuji gadis anak pelayan itu, ia mekar pada saatsaat dedaunan di taman sedang layu dan menguning, justru karena itu nampak betapa segar dan cantiknya, seperti tetesan embun diterik matahari, memetik membasahi lidah pengembara yang kehausan”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, terasa sesuatu getaran di hatinya, ketika ia berpaling, dilihatnya Pinten masih berdiam diri karena kakaknya masih tetap membungkam mulutnya.

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka sadar, bahwa Kidang Alit tidak lagi melontarkan kata-katanya dengan wajar, rasa-rasanya ia telah mempergunakan ilmunya, sehingga kata-kata itu tentu telah menusuk langsung membelah hati gadis yang sedang tumbuh dan masih terlalu hijau itu.

Karena itu, maka Kuda Rupaka segera mencoba melepaskan pengaruh ilmu Kidang Alit, yang tidak sedang mempergunakan kekuatan nada serulingnya, tetapi dengan kekuatan bunyi dan kata-katanya, ia melontarkan ilmunya yang dahsyat dan berbahaya bagi gadis-gadis.

“Tetapi Kidang Alit” berkata Kuda Rupaka, “Betapapun indahnya bunga di taman, namun kelembutan tangan juru taman adalah kebahagiaan yang paling didambakannya, jauh lebih jernih dari sentuhan tangan yang kasar dari jejaka yang lidahnya bercabang”

“Auman serigala dimalam kelam, tidak akan berarti apa-apa bagi kelembutan suara burung pungguk yang melanggut melepaskan perasaan rindu”

“Tetapi angin prahara yang berdegup disetiap hari akan membangunkan seseorang dari mimpinya yang paling mengerikan, dan ini adalah akhir dari lamunan yang dapat menyeretnya kedalam jurang kenistaan, karena itu berhentilah, dan pergilah, karena kekuatan bunyi pada kata-katamu sudah tidak berarti sama sekali”

Kidang Alit tiba-tiba saja menggeram, terasa dadanya bagaikan sesak. Ternyata sekali lagi Kuda Rupaka telah membentur kekuatan ilmu gendamnya dan telah memecahkan penguasaannya atas Pinten yang sudah berhasil dicengkamnya, menurut perhitungannya.

“Kau memang mempunyai kekuatan untuk melawan ilmu gendamku Raden” berkata Kidang Alit kemudian, “Tetapi bahwa jika kita pada suatu saat berbenturan sebagai laki-laki di arena perebutan kekuasaan atas sumber wahyu itu, maka kau tidak akan dapat mengalahkan ilmu kanuraganku. Cengkir Pitu bukan nama perguruan yang tidak terkalahkan, karena itu, sebaiknya kau menyadari kedudukanmu Raden, kau bukan orang yang paling berkuasa disini, juga di seluruh daerah Demak.”

“Aku mengerti Kidang Alit, dan aku siap setiap saat, aku juga mengerti bahwa disini ada orang-orang dari Guntur Geni yang tidak mengakui kegagalannya, jika kau jantan, kau tidak usah menunggu orang-orang Guntur Geni, karena aku tahu, dengan licik kau ingin melihat benturan yang terjadi. Dan diatas mayat kedua belah pihak itulah kau akan menarikan tari kemenangan, tetapi kau tidak akan dapat berhasil”

Kidang Alit tidak menjawab, yang terdengar adalah giginya yang gemeretak menahan marah, namun sejenak kemudian maka Kuda Rupaka itu pun menarik nanfas dalam-dalam sambil berkata, “Ia akan kembali pada suatu saat”

Sangkan yang gemetar berjalan mendekati Kuda Rupaka sambil mengandeng Pinten, “Kidang Alit, jadi Kidang Alit telah dengan diam-diam memasuki halaman ini?, dan apakah ia ini sudah pergi?”

“Anak itu memang berbahaya, lebih berbahaya dari orang-orang Guntur Geni” Jawab Kuda Rupaka.

“Ia sudah pergi?” ulang Sangkan.

“Ya, ia sudah pergi”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berpaling kepada adiknya yang masih saja dibimbingnya, “O, anak dungu. Apakah kau ingin masuk ke dalam mulut buaya itu?, Eh maksudku, kau jangan mendekat” Ia berhenti sejenak, selangkah ia mendekati Kuda Rupaka, “Tetapi bukankah ia sudah benar-benar pergi dan tidak mendengar kata-kataku”

Kuda Rupaka tersenyum, jawabnya, “Ia sudah benar pergi, ia tidak mendengar kata-katamu, kecuali ia mempergunakan Aji Sapta Pangrungu”

“Tetapi apakah anak muda itu memiliki ilmu itu?”

“Aku tidak tahu, ia memiliki bermacam-macam ilmu”

Wajah Sangkan menjadi semakin pucat, lalu, “Tetapi apakah ia marah jika ia mendengar kata-kataku?”

“Tentu ia akan marah”

“Tetapi, tetapi aku tidak bermaksud jahat, aku hanya memperingatkan adikku agar tidak merasa dirinya penting dan diperlukan orang lain”

Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Jangan takut, selama aku masih ada disini, ia tidak akan berani berbuat apapun juga atas keluarga istana ini”

“Terima kasih Raden” kata Sangkan.

Tetapi baru saja mulutnya terkatub, ia sudah melonjak ketakutan ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak, apalagi Pinten yang tiba-tiba saja sudah bersembunyi dibelakang kakaknya.

“Jangan takut, itu adalah paman Panji Sura Wilaga”

“O…..” Sangkan mengusap dadanya, “Tuan membuat kami ketakutan”

Panji Sura Wilaga mengumpat, katanya, “Pengecut macam kalian ini sama sekali tidak ada harganya, sebelum kalian mati membeku disini, sebaiknya kalian kembali ke padukuhanmu”

“O…” Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi tuan, biyungku ada disini, dan aku senang tinggal disini”

“Tetapi disini kalian akan selalu ketakutan, jika kalian memiliki sedikit saja keberanian, setidak-tidaknya untuk tidak berteriak, maka kalian masih ada juga gunanya disini, membantu membersihkan halaman, mengambil air dan semacam itu, tetapi sifat pengecut kalian yang berlebih-lebihan, pada suatu saat akan tidak menguntungkan, baik bagi isi istana ini seluruhnya, maupun bagi dirimu sendiri”

Sangkan tidak menyahut, tetapi kepalanya sajalah yang munduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi dirinya sendiri dan adik perempuannya yang akan selalu menjadi beban orang-orang lain.

“Sudahlah paman” berkata Kuda Rupaka, “Biarlah mereka kembali ke biliknya, memang harus ada pemecahan bagi mereka disini”

Sangkan dan Pinten tidak menyahut.

“Masuklah” berkata Kuda Rupaka.

“Baik Raden” jawab Sangkan.

Tetapi ketika ia mulai melangkah sambil membimbing adiknya, maka Pinten pun berkata, “Aku akan ke pakiwan dahulu, bukankah aku belum sempat?”

“O…., anak gila” desis Panji Sura Wilaga sambil melangkah pergi.

Kuda Rupaka tertawa, tetapi ketika ia pun akan melangkah pergi, Sangkan berkata, “Maaf Raden, apakah Raden mau menunggu sebentar?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, sementara Panji Sura Wilaga menggeram sambil melangkah menjauh, “Lebih baik kalian dimakan hantu sekarang juga, atau diterkam Kidang Alit itu sama sekali”

Tetapi Kuda Rupaka tertawa sambil berkata, “Cepat”

Pinten pun kemudian berlari-lari kecil ke pakiwan, sedangkan Sangkan melangkah beberapa langkah maju agar adiknya tidak selalu berteriak ketakutan.

Baru kemudian setelah mengucapkan terima kasih, keduanya pun kembali kedalam biliknya, mereka berdesakkan dahulu mendahului masuk meloncat pintu, sehingga pintu itu berderak.

“Siapa?” bertanya Nyi Upih.

Kedua anak itu tidak menjawab, bahkan kemudian mereka pun berjingkat masuk, dengan hati-hati Sangkan menutup pintu itu agar tidak mengejutkan Nyi Upih yang agaknya juga terbangun.

Karena tidak ada jawaban, maka Nyi Upih hanya sekedar membetulkan selimutnya, meskipun ia melihat kedua anaknya merangkak ke pembaringan masing-masing.

Sementara itu Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga pun tidak melanjutkan usahanya mencari ciri-ciri yang dapat menjadi pertanda bahwa di halaman atau di kebun belakang istana itu tersimpan sesuatu yang berharga yang telah mengundang beberapa pihak untuk datang ke istana kecil itu, bahkan mereka menganggapnya sebagai isyarat untuk mendapatkan wahyu, sehingga akan dapat mengangkakt derajat mereka, dan bahkan memberikan kesempatan untuk merayap keatas tahta.

“Anak-anak itu memang gila” berkata Panji Sura Wilaga setelah mereka berada di dalam biliknya.

“Tetapi memberikan kesegaran tersendiri paman”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Tetapi agaknya perebutan wahyu itu menjadi semakin jelas”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk sambil berjalan mondar-mandir didalam biliknya, ia berkata, “Aku tidak mengerti, berita itu nampaknya tersebar cepat sekali, sekarang yang ada di padukuhan ini baru anak-anak Guntur Geni dan Kumbang Kuning, tetapi beberapa pekan lagi, ada kemungkinan orang-orang baru dari perguruan-perguruan lain saling berdatangan”

“Ternyata siapa yang kuat, ialah yang akan membawanya” desis Panji Sura Wilaga.

“Itu jika yang mereka cari ternyata ada disini”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Sudah tentu Raden, jika yang mereka cari ada disini, dan kita yang bebrada di dalam istana ini harus mempertahankannya”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum, “Tentu yang dicari oleh beberapa pihak itu tidak akan berguna lagi disini, Pamanda Kuda Narpada sudah tidak ada lagi, siapakah yang akan membutuhkannya?, karena itu, kitalah yang wajib mempertahankannya”

Panji Sura Wilaga akan mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah-olah tertelan kembali bersama ludahnya.

Sambil menggeleng ia kemudian berkata, “Ya, ya, begitulah”

Kuda Rupaka justru tertawa, katanya, “Yang ada disini hanyalah diajeng Inten Prawesti, jika wahyu itu ada padanya, maka sudah barang tentu harus ada orang yang menjadi pelaksananya”

“Ya, ya, begitulah”

Kuda Rupaka masih saja tertawa, bahkan kemudian ia menepuk bahu Panji Sura Wilaga sambil berkata, “Apakah kau keberatan?”

“Tidak, tidak, Raden”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, sambil duduk disisi Panji Sura Wilaga ia berkata, “Ah, sudahlah, aku ingin tidur nyenyak malam ini, Kidang Alit tentu tidak akan mengangguku lagi”

Perlahan-lahan Kuda Rupaka pun segera meletakkan tubuhnya di pembaringan, namun ternyata bahwa matanya sama sekali tidak terpejam,

“Raden tidak akan dapat tidur malam ini” desis Panji Sura Wilaga.

“Ya, demikianlah agaknya”

Panji Sura Wilaga tidak menyahut, ia pun kemudian berbaring pula di pembaringannya, tetapi ternyata ia pun sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, meskipun ia sebenarnya ingin dapat tertidur meskipun hanya sejenak.

Mereka berdua saling berpandangan dari pembaraingan masing-masing, ketika sorot matahari pagi sudah membayang di dinding, bahkan sambil tersenyum Kuda Rupaka bangkit dari pembaringannya dan berkata, “Paman juga tidak dapat tidur semalam suntuk”

“Ya, aku menjadi gelisah sekali” jawab Panji Sura Wilaga, “Aku menjadi cemas jika iblis itu kembali lagi”

“Kidang Alit maksud paman?”

“Ya”

“Ia pun tidak akan menemukan apa-apa di halaman dan kebun istana ini”

“Masih belum pasti Raden, jika dengan tidak sengaja ia berbuat sesuatu sehingga ia mendapatkan suatu petunjuk”

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Aku yakin, dengan cara itu, ia tidak akan mendapat apa-apa, dan mungkin ia sama sekali tidak akan melakukannya, karena ia menyangka bahwa bibi tentu mengetahuinya, ia akan datang dan memaksa bibi untuk menunjukkannya”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, lalu, “Jika demikian, sebaiknya Raden jangan terlambat, jika orang lain mendahuluinya, akibatnya akan buruk sekali”

“Aku akan mencoba bertanya kepada diajeng Inten Prawesti meskipun dengan cara yang tidak langsung, aku akan dapat mengetahui, apakah ia menjawab sebenarnya apa tidak”

“Apakah tidak lebih baik langsung kepada bibi, Raden?”

“Aku tidak ingin tergesa-gesa dan membuat bibi salah paham, karena itu, aku harus berhati-hati”

Panji Sura Wilaga tidak menyahut lagi, perlahan-lahan ia pun kemudian keluar dari biliknya dan pergi ke pakiwan”

Seperti biasanya, air di pakiwan sudah penuhm sejak Sangkan dan adiknya Pinten ada di istana itu, maka air di jambangan tidak pernah kering dan halaman dimuka istana dan kebun di belakangpun selalu nampak bersih.

Sejenak kemudian maka Raden Kuda Rupaka pun segera menyusul pula, di sudut istana ia berhenti dengan Sangkan yang sedang menyaingi sepotong pohon soka putih.

Tetapi Kuda Rupaka tidak bertanya sesuatu, ia hanya menyentuh Sangkan yang sedang berjongkok.

Ketika Sangkan berpaling, Kuda Rupaka hanya tersenyum saja tanpa berhenti.

Sangkan menarik nafas, ada sesuatu yang agaknya terlintas di kepalanya, tetapi ia tidak mengatakan apapun juga, ia kembali sibuk dengan sebatang pohon soka putih yang dicangkoknya dari sebatang yang tumbuh di sudut kebun belakang istana itu.

Setelah makan pagi, maka Kuda Rupaka benar-benar ingin bertanya sesuatu kepada Inten Prawesti. Karena itu, maka ia pun kemudian mengajaknya pergi ke halaman seperti yang sering dilakukannya untuk melihatlihat pohon-pohon bunga yang nampak semakin segar setelah terpelihara oleh Sangkan dan Pinten.

“Sangkan menanam sebatang soka putih di sudut istana” berkata Raden Kuda Rupaka.

“O….” desis Inten Prawesti, “Akulah yang minta kepadanya, apakah ia sudah melakukannya?”

“Marilah, aku akan menunjukkannya”

Dengan senang hati Inten Prawesti mengikuti Kuda Rupaka ke sudut istana untuk melihat sebatang pohon soka putih yang baru saja disaingi oleh Sangkan.

“O…, aku tidak melihat, kapan ia menanam pohon itu disini?” bertanya Inten Prawesti.

“Baru beberapa hari, tetapi ternyata rerumputan liar tumbuh lebih dahulu dari pohon soka itu” sahut Kuda Rupaka.

Inten tersenyum, katanya, “Pohon soka putih ini akan segera berbunga. Menyenangkan sekali, aku akan menyuruhnya menanam soka merah di halaman depan”

“Bukankah sudah ada dua batang soka merah di depan?”

“Dua batang lagi” jawab Inten.

Kuda Rupaka tidak menyahut, dibiarkannya Inten mengamati pohon soka putih yang sudah mulai bersemi itu.

Baru setelah ia puas, maka keduanya pun berjalan menyusuri kebun belakang sambil melihat-lihat tanaman yang semakin rapi dipelihara oleh Sangkan dan Pinten.

Ketika mereka berdiri dibawah bayangan daun kemuning, maka seolah-olah diluar sadarnya, Raden Kuda Rupaka bertanya, “Diajeng, ketika kalian meninggalkan Majapahit, apakah diajeng pergi bersama ayahanda?”

“Ya, kamas, Ayah yang terdesak di peperangan, telah mengirimkan beberapa orang pengawal untuk menyingkirkan aku dan ibuku, waktu itu, kami tidak tahu, kemanakah kami akan pergi, tetapi pergi dari Kota Raja adalah lebih baik dari pada menjadi puteri boyongan”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk.

“Ternyata kami dapat bertemu dengan ayah dan pasukannya yang parah, maka mulailah perjalanan kami yang panjang”

“Apakah pasukan pamanda Kuda Narpada pasukan yang terakhir meninggalkan Kota Raja?”

“Ayahanda masih bertahan pada saat Perbu Brawijaya meninggalkan istananya dan menyusuri daerah selatan menuju ke barat. Ayah masih berusaha menahan arus pasukan lawan dan memberikan kesempatan kepada Perabu Brawijaya untuk berjalan semakin jauh, namun ternyata pasukan ayahanda tidak dapat berjalan lagi, ayahanda tidak mau mengorbankan setiap orang di dalam pasukannya. Karena itu, setelah ayahanda yakin bahwa Prabu Brawijaya selamat meninggalkan Kota Raja, maka ayahanda pun menarik pasukannya yang tidak lagi dapat menunggu keajaiban untuk memenangkan perang, kenyataan itulah yang memaksa ayahanda sampai ke tempat ini dan tinggal terpencil bersama penghuni padukuhan Karangmaja”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Benar-benar seorang pahlawan yang tiada taranya, pamanda Pangeran Kuda Narpada adalah senapati yang terakhir sekali meninggalkan Kota Raja yang hancur akibat perang itu, tentu setiap orang mengaguminya”

“Ah, sudahlah kamas Kuda Rupaka, sebaiknya kita tidak usah mengenangnya lagi, ayahanda kini sudah tidak ada, justru setelah perang selesai”

“Tetapi itu tidak mengurangi kebesaran nama pamanda Kuda Narpada” Kuda Rupaka menjadi ragu-ragu, namun sejenak kemudian ia berkata, “Tentu saja sifat kandel pada pamanda Kuda Narpada sehingga ia mampu menahan arus yang menurut pendengaranku bagaikan banjir bandang melanda Kota Raja, sedangkan para senapati dan panglima Majapahit sudah tidak lagi memiliki kebesaran jiwa dan dan kesetiaan kecuali beberapa orang saja, termasuk pamanda Kuda Narpada”

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu kamas”

“Tentu, tentu kau tidak mengetahui, tetapi pamanda tentu memiliki sebuah atau sebilah pusaka bagi dirinya sendiri dan pasukannya”

Dengan tegang Kuda Rupaka menunggu jawaban Inten Prawesti, namun ternyata gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengetahui kamas”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun ia masih bertanya, “Apakah senjata terakhir yang dibawa oleh pamanda dari Majapahit?”

“Ayahanda tidak membawa senjata apapun”

“Tombak?”

Inten Menggeleng.

“Keris?”

Inten mengingat-ingat, namun kemudian ia mengangguk, “Ya, ayahanda membawa sebilah keris, hanya keris itulah senjata ayahanda yang dibawanya sampai ke tempat ini”

Kuda Rupaka menjadi semakin berdebar-debar, dengan mata yang dalam ia bertanya, “Apakah diajeng mengetahui serba sedikit tentang keris itu?”

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu sama sekali”

“Tetapi setelah pamanda pergi, dimanakah keris itu disimpan?”

“Tentu dibawa oleh ayahanda” Jawab Inten, “Keris itu tidak pernah berpisah sama xekali dengan ayahanda”

“Ah, apakah benar bahwa keris itu telah dibawa oleh pamanda pada saat pamanda meninggalkan istana ini, bersama pamanda Cemara Kuning dan pamanda Sendang Prapat?”

Inten mengingat-ingat tetapi jawabnya kemudian, “Aku tidak ingat lagi, apakah keris itu telah dibawa oleh ayahanda, tetapi saat itu ayahanda memang tergesa-gesa sekali”

Raden Kuda Rupaka menjadi tegang, namun kemudian ditenangkannya dirinya sambil berkata, “Mungkin bibi Kuda Narpada dapat mengingatkan, apakah keris itu dibawa oleh pamanda Kuda Narpada, apakah ditinggalkannya pada bibi dan disimpannya dengan baik”

Inten Prawesti merenung sejenak, tetapi ia sama sekali tidak ingat lagi saat ayahandanya meninggalkan istana itu, apalagi pada saat itu mereka sama sekali tidak memikirkan lagi tentang keris atau jenis-jenis pusaka yang lain, terdorong oleh kegelishan karena kepergian Pangeran Kuda Narpada, meskipun pangeran itu pergi bersama dua orang saudara dekatnya, namun rasa-rasanya seluruh keluarga saat itu telah mengetahui, bahwa pangeran Kuda Narpada akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan.

Karena itulah, maka Inten Prawesti pun berkata “Baiklah kamas, aku akan mencoba bertanya kepada ibunda. Apakah ibunda masih ingat, dimanakah pusaka ayahanda yang berupa keris itu”

Namun Kuda Rupaka kemudian tersenyum sambil berkata dengan nada datar, “Tetapi jangan menimbulkan kegelisahan pada ibunda diajeng. Anggaplah pertanyaan itu tidak ada artinya sama sekali, selain kecemasan bahwa pusaka yang barangkali sangat berharga bagi Demak itu hilang tanpa bekas, atau jatuh ketangan orang-orang yang tidak berhak”

Inten mengangguk katanya, “Aku akan mencobanya”

Demikianlah mereka masih melangkah beberapa langkah lagi di kebun belakang untuk melihat-lihat pohon-pohon bunga yang beraneka warna, Sangkan dengan telaten telah menanam berbagai macam bunga dalam kelompok-kelompok yang dapat memberikan campuran warna yang menyenangkan. Daun udan mas yang diseling oleh sebatang lopengan-lopengan, memberikan latar belakang yang manis pada sebatang pohon bunga ceplok piring yang berwarna putih kapas. Sedangkan diantara pohon-pohon yang bunga itu, Sangkan dapat menyelipkan pohon-pohon empon yang berguna bagi pengobatan. Pohon temulawak yang tumbuh disela-sela batang-batang kunir dan jahe, tumbuh di sepanjang dinding belakang, sedangkan batang-batang nyidra juga memberikan bunga-bunganya yang berwarna kemerah-merahan, disela-sela pohon sirih yang merambat pada anjang-anjang bambu di pinggir umur.

Namun langkah mereka terhenti, ketika keduanya melihat dibawah sebatang soka putih yang sudah tumbuh dengan rimbunnya. Pinten tengah duduk di sebuah batu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Bab 18

“Pinten” Inten Prawesti kemudian berlari-lari mendekatinya, “Ada apa?”

Pinten mengusap matanya yang basah dan kemerah-merahan,

“Kau menangis?”

Pinten mengangguk

“Apa yang terjadi?”

“Kakang Sangkan nakal sekali”

“O…” Inten menarik nafas dalam-dalam, “Apakah yang sudah dilakukannya atasmu?”

“Kakang Sangkan yang merasa takut tinggal disini, ingin pergi meninggalkan biyung dan aku, sebenarnya aku ingin ikut, atau Kakang Sangkan yang tetap tinggal bersama biyung disini”

Inten Prawesti terkejut mendengarnya, dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kenapa Sangkan akan pergi, Pinten”

Pinten mengusap air matanya, katanya, “Seperti yang dikatakan oleh Raden Panji Sura Wilaga, bahwa ia semakin ketakutan disini apabila persoalan-persoalan yang timbul menjadi semakin gawat, sebelum ia mati membeku disini, baginya lebih baik untuk pergi saja kemanapun juga, asalkan menjauh jauh dari tempat ini”

“O…” Inten pun kemudian berjongkok, “Pinten, seharusnya kakakmu tidak usah takut tinggal disini, apakah yang sebenarnya telah terjadi dan membuat takut kakakmu?”

Raden Kuda Rupaka yang mendengar percakapan itu menjadi berdebar-debar, namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Tidak diajeng, Paman Panji Sura Wilaga memang senang bergurau, ketika semalam Kidang Alit mencoba memasuki halaman ini, Pinten dan Sangkan secara kebetulan melihatnya, tetapi saat itu aku pun ada di kebun belakang ini, sehingga Kidang Alit tidak dapat berbuat apa-apa” ia berhenti sejenak, beberapa langkah ia maju mendekati Pinten sambil berkata, “Katakan kepada kakakmu bahwa paman Panji hanya bergurau, ia jengkel melihat Sangkan yang penakut sekali, sehingga karena itu, maka ia justru menakut-nakutinya sama sekali”

“Jadi Kidang Alit berani memasuki halaman ini?”

“Jangan hiraukan diajeng, aku masih disini”

Inten Prawesti merenung sejenak, namun kemudian ia pun memandang wajah Pinten sambil berkata, “Katakan kepada kakakmu, ia tidak perlu pergi meninggalkan rumah ini, paman Panji hanya hanya sekedar bergurau, meskipun ia jengkel melihat tingkah laku kakakmu yang penakut itu, tetapi itu bukan berarti bahwa kakakmu harus pergi”

“Kakang sudah berkemas, sekarang ia ada di dalam biliknya, aku disuruhnya pergi keluar, agar aku tidak membuatnya ragu-ragu meninggalkan istana ini”

Inten menjadi semakin berdebar-debar, dan tiba-tiba saja ia berdiri, sambil menarik tangan Pinten dan berkata, “Aku akan menasehatinya” lalu ia berpaling kepada Kuda Rupaka, ia berkata.

“Kamas marilah, kamas dapat memberitahukan kepadanya, agar ia tetap tinggal disini”

Kuda Rupaka tertawa pula, katanya, “Baiklah, aku akan mencoba menahannya”

Dengan tergesa-gesa Inten pun kemudian pergi ke bilik Sangkan, dilihatnya anak muda itu sedang membungkus selembar pakaiannya yang kusut, itu adalah satu-satunya kekayaan selain yang sedang dipakainya.

“Sangkan” berkata Inten Prawesti ketika melangkah berdiri diambang pintu, “Apakah benar kata adikmu, bahwa kau akan meninggalkan rumah ini?”

Sangkan menjadi ragu-ragu sejenak, ditatapnya wajah Inten dengan tajamnya, sehingga gadis itu pun memalingkan wajahnya.

Beberapa saat lamanya Sangkan seolah-olah sedang berpikir, namun kemudian jawabnya, “Ampun puteri, sebenarnyalah aku tidak akan berarti apa-apa disini, selebihnya aku memang takut sekali apabila pada suatu saat, akan terjadi apapun di istana ini.

“Apakah yang akan terjadi disini?” bertanya Inten.

“Tidak ada apa-apa” jawab Kuda Rupaka mendahului Sangkan, “Disini tidak akan terjadi apapun juga, apalagi selama aku disini bersama paman Panji Sura Wilaga”

“Tetapi bukankah Raden Panji kemarin mengatakan bahwa aku akan mati ketakutan”

Raden Kuda Rupaka tidak dapat menahan tertawanya, katanya, “Kau memang penakut sekali Sangkan, dan agaknya paman Panji agak berlebihan pula menakut-nakutimu, tetapi yakinlah bahwa ia hanya sekedar berguaru”

Sangkan menjadi bingung.

“Sangkan” suara Inten menurun, “Kau tidak usah pergi, adikmu akan menjadi sedih, ia tidak dapat ikut bersamamu karena kepergianmu tidak tentu arah dan tujuan, tetapi ia tidak akan dapat tenang tinggal disini setelah kau pergi”

Sangkan menundukkan kepalanya.

“Jawablah Sangkan” desak Inten yang tanpa disadarinya telah berdiri disamping Sangkan yang sedang mengemasi pakaiannya di pembaringannya itu.

“Tetapi, apakah aku tidak akan mati membeku disini?”

Kuda Rupaka masih tertawa, katanya, “Kau adalah laki-laki Sangkan, berbuatlah seperti laki-laki, aku juga tidak takut mati disini, meskipun aku tahu kemungkinan itu ada, bukankah kau tahu bahwa pernah ada orang yang memasuki istana ini dan memaksa bibi untuk menyerahkan barang-barang berharga?”

Sangkan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Kau tidak boleh pergi Sangkan” kata Inten, “Dimana ibumu sekarang?”

“Biyung belum mengetahuinya puteri”

“Sudahlah, jika ibumu mengetahui, ia pun akan menjadi bersedih seperti adikmu”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ketika ia berpaling kearah adiknya. Dilihatnya adiknya mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Jangan menangis Pinten” berkata Sangkan.

“Kaulah yang harus menentukan sikapmu“ Potong Inten Prawesti

“Ampun puteri, suara Sangkan terputus-putus, ia mengangkat kepalanya, ia pun beringsut setapak, karena Inten berdiri terlalu dekakt disisinya.

“Berjanjilah, agar adikmu tidak menjadi sedih” kata Inten.

Sangkan berpaling kepada adiknya, kemudian katanya, “Baiklah puteri, atas nasehat Raden Kuda Rupaka dan puteri Inten Prawesti, aku akan mencoba tinggal di istana ini lebih lama lagi, tetapi jika kemudian aku hanya akan menjadi permainan perasaan takut dan bahkan mungkin aku benar-benar akan mati membeku, maka aku akan mohon diri untuk meninggalkan istana ini”

Raden Kuda Rupaka pun kemudian mendekatinya, sambil menepuk bahu Sangkan ia berkata, “Belajarlah menjadi seorang laki-laki”

Sangkan memandang Kuda Rupaka dengan heran, namun yang dilihatnya hanyalah senyum yang bermain dibibir anak muda yang perkasa itu.

“Marilah kita tinggalkan saja anak itu diajeng” berkata Kuda Rupaka kemudian, “Biarlah ia mendapat kesempatan untuk merenungi dirinya sendiri”

Namun tanpa diduga sama sekali oleh Sangkan, Inten Prawesti pun menepuk bahunya pula sambil berkata, “Jangan takut, disini ada kakangmas Kuda Rupaka”

Sangkan mengangguk-angguk.

“Dan jagalah adikmu baik-baik“ pesan Inten kemudian sambil melangkah meninggalkan bilik itu diikuti oleh Kuda Rupaka.

Sepeninggal Kuda Rupaka dan Inten Prawesti, Pinten mendekati kakanya sambil berbisik, “Bukankah itu maumu?”

“Apa?”

“Puteri melarangmu pergi sambil menepuk bahumu?”

“Ah, kau aneh Pinten, apakah aku memang harus pergi?”

Pinten tiba-tiba saja tersenyum, tetapi ia pun kemudian berkata, “Sudahlah, simpanlah barang-barang yang tidak perlu kau kemasi lagi itu, simpanlah baik-baik”

Sangkan mengerutkan keningnya, sejanak ia memandang ke pintu yang masih terbuka, katanya, “Raden Kuda Rupaka dan puteri sudah mengetahui, bahwa bungkusan kecil itu adalah kekayaanku”

“Ya”

“Mudah-mudahan puteri tidak ingin tahu lebih banyak kagi tentang bungkusan kecil ini”

“Letakkan saja di sudut pembaringanmu, tidak akan ada orang yang tertarik pada kekayaanmu itu”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, wajahnya berkerut ketika ia melihat Nyi Upih berdiri dimuka pintu.

“Ah” desis Sangkan, “Aku akan menyimpan bungkusan ini biyung”

“Barang-barangmu?”

“Ya”

“Letakkan saja di pembaringanmu” jawab Nyi Upih acuh tak acuh, “Apakah Raden Kuda Rupaka dan puteri baru saja dari bilik ini?”

Sangkan dan Pinten mengangguk berbarengan.

“Apakah yang dikatakannya?”

“Tidak apa-apa” jawab Sangkan.

“Puteri dan Raden Kuda Rupaka mencegah kakang”

Nyi Upih mengerutkan keningnya.

“Kakang Sangkan akan minggat, tetapi puteri melarangnya, sambil menepuk bahunya puteri berkata kepada kakang supaya kakang jangan takut, karena di istana masih ada Raden Kuda Rupaka.

“He,,!, kau mengigau” desis Sangkan.

Tetapi Pinten tertawa, katanya, “Itulah yang dikehendakinya, tetapi kakang tentu tidak akan mengaku”

“Jadi kau akan pergi?”

“Tentu tidak jadi” sahut Pinten puteri sendirilah yang mencegahnya, dan kakang tentu menurut perintahnya”

“Kau, kau ini kenapa sebenarnya Pinten?” bertanya Sangkan, “Kau seperti orang yang benar-benar sedang mengigau?”

Nyi Upih memandang Sangkan sejenak, namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Jangan pura-pura minggat”

“Aku benar-benar akan minggat biyung, aku ketakutan disini, tetapi Pinten lah yang sengaja menyampaikannya kepada puteri, tentu puteri akan mencegahnya, apakah benar-benar seperti yang dikehendaki atau sekedar berpura-pura, tetapi aku kira puteri benar-benar mencegah aku pergi, karena tenagaku disini dapat dipergunakan. Siapakah yang yang akan menimba air, siapa yang akan memperbaiki atap rumah yang rusak, siapa yang menegakkan tiang regol halaman”

Pinten tertawa, katanya, “Ceritamu lucu sekali”

“Sudahlah” potong Nyi Upih, lalu, “Sekarang, kerjakan kerjamu di halaman belakang, Sangkan mengambil air, dan Pinten membereskan pakiwan”

Keduanya terdiam, dengan segan Sangkan melangkah keluar biliknya, diikuti oleh Pinten menuju ke halaman belakang, Sangkan membawa upih yang akan dipasangnya pada senggot timba perigi, sedang Pinten membawa sapu lidi dan kelenting untuk mengambil air ke dapur.

“Mereka berdua berada di sudut istana itu cukup lama mengamat-amati pohon Soka putihmu” berkata Pinten kemudian, “Tentu puteri senang sekali, tetapi senang kepada pohon yang kau tanam itu”

“Apakah yang mereka bicarakan?, Kembang Soka putih. atau yang menanamnya?”

“Ah, kau memang mulai mabuk, tentu pohon soka putih itu”

“Apa?”

“Aku tidak berhasil mendekati, tetapi mereka berbicara tentang pusaka, agaknya tentang keris”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ia pun kemudian berkata, “Apa peduliku tentang keris, agaknya keris itulah yang telah menarik perhatian banyak orang, termasuk dua orang yang telah terbunuh di halaman istana ini. Tetapi yang penting bagiku adalah senggot timba itu tidak patah, dan bagimu sapu lidi itu tidak rusak dan kelentingmu tidak pecah”

Pinten tersenyum, katanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau bersungut-sungut seperti itu kakang?”

Sangkan tidak menjawab, ia pun kemudian mempercepat langkahnya, namun ia masih juga bergumam kepada diri sendiri, “Aku harus mencari Upih baru, upih ini sudah mulai sobek”

Tetapi tiba-tiba saja langkah Pinten terhenti, dipanggilnya kakaknya yang berjalan di depan, “Kakang, kakang”

Sangkan berhenti sejenak, ketika ia berpaling, ia melihat adiknya berhenti sambil berkata dengan nada yang dibuat-buat, “Kakang, aku takut”

Sangkan tidak menghiraukannya lagi, ia pun berjalan semakin cepat ke perigi, semenara Pinten pun kemudian berlari-lari kecil menyusulnya.

Sementara itu, Inten Prawesti telah masuk ke ruang dalam, ia memang ingin menyampaikan pertanyaan-pertanyaan Raden Kuda Rupaka kepada ibunya. Tetapi ia memang ingin berhati-hati seperti yang dipesankan oleh Kuda Rupaka, agar ibunya tidak menjadi gelisah. Apalagi jika ibundanya meyakini bahwa kehadiran orang-orang di sekitar istana itu tentu bukannya tanpa maksud.

Inten pun kemudian mendekati ibundanya perlahan-lahan, ia berhenti beberapa langkah sambil memandangi ibundanya yang sedang melipat pakaiannya yang baru saja diambilnya dari jemuran.

Sambil mengangkat wajahnya, ibundanya kemudian memanggilnya untuk mendekat.

“Dari mana kau Inten?”

“Kami, maksudku aku dan kakangmas Kuda Rupaka, berjalan-jalan di halaman samping dan kebun belakang, ibunda”

Ibundanya mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi.

Inten duduk disisi ibundanya yang masih sibuk melipat pakaian yang baru diambil dari jemuran tadi

Mula-mula ia pun menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya Inten pun bertanya kepada ibundanya, “Ibunda, apakah ibunda masih ingat, bahwa ayahanda pernah membawa sebilah keris dari Majapahit?”

Ibundanya mengerutkan keningnya.

“Atau barangkali justru dua?, seingatku, yang satu diselipkan di lambung, yang lain dianggar di bawah ikat pinggang tergantung disisi”

Ibundanya terkejut mendengar pertanyaan itu, namun diusahakannya untuk melenyapkan semua kesan yang terpancar di wajahnya, katanya kemudian, “Memang ayahanda membawa keris dari Majapahit, itu adalah satu-satunya senjatanya, bukan dua”

Inten mencoba mengingat-ingat.

Tetapi akhirnya ia mengangguk-angguk, katanya, “Ya, hanya satu, aku memang pernah melihat ayahanda membawa dua bilah keris. Tetapi ketika ayahanda sampai ke padukuhan ini, ayahanda hanya membawa sebilah saja”

“Inten” desis ibunya kemudian, “Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya tentang keris?”

“Tidak apa-apa ibunda, sebenarnya kakangmas Kuda Rupaka lah yang menanyakannya, Kakangmas melihat peristiwa yang telah terjadi di istana ini pada saat beberapa orang mencoba untuk bertemu dengan ibunda, tetapi yang kemudian terbunuh oleh kamas Kuda Rupaka”

“Apakah hal itu ada hubungannya dengan keris yang dibawa oleh ayahandamu?”

“Tidak begitu jelas, tetapi kakangmas Kuda Rupaka mengatakan, mungkin pusaka itu adalah pusaka yang penting artinya bagi Demak, mungkin orang-orang yang berdatangan itu menginginkan pusaka itu, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi pemerintahan Demak yang sekarang”

Ibundanya mengerutkan keningnya.

“Tetapi ibunda” berkat Inten sambil beringsut mendekat, “Ibu tidak usah gelisah, jika ibunda ingat keris yang dibawa oleh ayahanda itu, dan ibunda mengetahui dimanakah keris itu sekarang, sebaiknya keris itu diserahkan saja kepada pimpinan pemerintahan di Demak, agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru di istana ini”

Sejenak ibundanya termangu-mangu, dipandanginya wajah puterinya beberapa lama, namun kemudian, ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Inten, aku tidak mengerti, dimanakah keris itu, sekarang mungkin keris itu dibawa oleh ayahandamu. Mungkin disimpan di tempat yang tidak aku ketahui atau mungkin telah diserahkan kepada pamanmu Pangeran Cemara Kuning. Ayahandamu tidak pernah mengatakan apapun juga, tentang keris itu. Dan aku kira, keris ayahandamu adalah keris yang tidak berharga sama sekali bagi Demak. Mungkin keris itu merupakan yang paling dihormati oleh ayahandamu, karena ternyata keris itulah yang dibawanya sejak dari Majapahit, tetapi aku kira, bagi Demak yang sudah penuh dengan segala keris pusaka, juga yang dapat diboyongnya dari Majapahit, setelah Demak berhasil membebaskan Kota Raja yang hancur itu dari tangan musuh, agaknya sudah cukup banyak keris berharga. Dengan demikian, apakah artinya pusaka kecil yang sebuah itu?”

Inten mengangguk-angguk, katanya, “Agaknya memang demikian ibunda, tetapi kangmas Kuda Rupaka ingin mengetahuinya. Tentu ia sudah menghubung-hubungkan dengan kehadiran beberapa orang di sekitar istana ini, bahkan beberapa orang telah berani memasuki halaman dan memaksa untuk berbicara dengan ibunda”

Ibunda Inten itu termenung sejenak, kemudian jawabnya, “Mungkin juga Inten, tetapi mungkin juga mereka menyangka bahwa kita masih mempunyai harta benda yang berharga, yang kita bawa dari Majapahit”

“Mungkin juga ibunda, tetapi sikap hati-hati kamas Kuda Rupaka mungkin beralasan”

Ibundanya termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanakah caranya untuk memberitahukan kepada orang-orang yang menaruh perhatian terhadap kemungkinan adanya keris itu disini, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di dalam istana kecil ini”

“Aku akan mengatakan kepada kamas Kuda Rupaka, mudah-mudahan ia mempunyai cara yang mungkin dapat membersihkan nama rumah ini”

Ibundanya mengangguk-angguk, katanya, “Cobalah berbicara dengan kamasmu, kita kini menggantungkan diri kepadanya, tanpa dia, kita tentu sudah mengalami banyak bencana. Dua orang yang terbunuh di halaman ini, dan juga suara seruling yang membuatmu kehilangan kesadaran”

Bulu tengkuk Inten Prawesti meremang, ia tidak dapat membayangkan akibat yang dapat terjadi, jika saat itu Kuda Rupaka tidak ada di istana ini, dan tanpa dapat dicegah ia jatuh ke tangan Kidang Alit.

Sejenak kemudian, maka Inten pun meninggalkan ibunya untuk bertemu lagi dengan Kuda Rupaka, ia akan menyampaikan semua keterangan ibunya tentang keris yang pernah dibawa oleh ayahandanya. Keris itu adalah keris yang tidak cukup bernilai bagi Demak, dan ibundanya tidak tahu dimanakah keris itu sekarang.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk kecil, tetapi di wajahnya terbayang pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun demikian ia berkata, “Sudahlah diajeng, mungkin dalam kesempatan lain aku dapat menghadapi bibi. Selama ini aku harap bibi sempat mengingat-ingat tentang keris itu. Sementara itu aku akan berusaha menyebarkan keterangan, bahwa sebenarnya di dalam istana ini tidak ada apapun yang pantas mendapat perhatian, pusaka tidak, apalagi harta benda”

“Terima kasih kamas, mudah-mudahan kamas berhasil, sehingga mereka tidak menimbulkan kegelisahan kami, penghuni rumah terpencil ini”

“Aku akan berusaha diajeng, tetapi aku pun berharap, bahwa apabila bibi dapat mengingat kembali keris pusaka pamanda Kuda Narpada, aku adalah orang yang pertama-tama ingin mengetahuinya, justru untuk kepentingan bibi dan kau. Bahkan mungkin kelak ternyata aku masih akan dapat menemukan pamanda Kuda Narpada di suatu tempat dalam keadaan apapun”

“Ah”

“Mungkin hanya satu kemungkinan”

Inten menundukkan kepalanya, namun satu kerinduan telah melonjak di hatinya, meskipun seakan-akan bayangan ayahandanya hanya sekedar dapat dilihatnya dalam mimpi, namun selama masih belum ada kepastian bahwa ayahandanya telah meninggal, maka ia masih dapat mengharapkannya.

“Apakah kakangmas dapat pergi ke Demak, bertemu dengan pamanda Cemara Kuning atau pamanda Sendang Prapat untuk menanyakan dimanakah ayahanda sekarang, atau yang paling akhir berpisah?” tiba-tiba gadis itu bertanya dengan suara yang tersendat-sendat.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Pada suatu saat aku akan mencari pamanda Cemara Kuning atau pamanda Sendang Prapat, keduanya tentu mengetahui serba sedikit tentang pamanda Kuda Narpada, karena pamanda Kuda Narpada telah pergi bersama mereka berdua disaat terakhir”

Inten makin menundukkan kepalanya, perlahan-lahan ia berkata, “Sudahlah kangmas, ceritera tentang ayahanda membuat hatiku menjadi pedih”

“Aku hanya ingin menyatakan perasaanku diajeng, tetapi baiklah. Kita akan berbicara tentang masalah-masalah lain, meskipun demikian, sekali-sekali usahakan untuk bertanya sekali lagi, barangkali bibi teringat sesuatu yang ada hubungannya dengan keris itu”

Sejak saat itu, tiba-tiba saja Inten selalu dibayangi oleh kerinduannya kepada ayahandanya, berbagai usaha telah dilakukannya, agar ia dapat melupakannya saja. Karena baginya, melupakannya adalah cara yang sebaik-baiknya untuk memelihara ketenangan perasaannya.

Tetapi ternyata bahwa, setiap kali bayangan itu telah muncul kembali, bahkan kadang-kadang menjadi jelas.

“Puteri” bertanya Pinten ketika ia melihat Inten duduk sendiri di tangga pendapa, “Kenapa nampaknya puteri termenung saja akhir-akhir ini?”

Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tidak apa-apa Pinten”

“Barangkali puteri dapat membagi kegelisahan hati, meskipun barangkali aku tidak dapat berbuat apa-apa, namun jika puteri dapat menyatakannya kepada orang lain, maka hal itu tentu akan mengurangi beban di hati puteri”

“Ah, kenapa kau tiba-tiba telah berubah menjadi orang yang bijaksana Pinten, siapakah yang mengajarimu?”

“O…” Pinten mengingat-ingat, tiba-tiba ia tersenyum sambil menunduk, “Puteri pernah mengatakannya kepadaku”

Inten pun tertawa kecil, Pinten memang dapat memberikan selingan di dalam saat-saat yang kadang-kadang terasa mencengkeram perasaannya.

“Meskipun demikian puteri, mungkin puteri justru telah terlupa, bukankah dengan demikian puteri teringat kembali kepada kebijaksanaan, eh maksudku kebijaksanaan puteri itu”

Inten masih saja tersenyum, sambil menepuk bahu Pinten ia berkata, “Terima kasih Pinten, ternyata ingatanmu cukup baik. Aku akan membagi perasaan dengan kau, tetapi pada saatnya nanti”

“O…., dan sekarang saat itu belum tiba”

Inten menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, ”Baiklah Pinten, rasa-rasanya memang senang bergurau denganmu dalam keadaan apapun juga”

Pinten tidak menyahut, ia berharap Inten Prawesti mengatakan beban yang memberati hatinya.

“Pinten” berkata Inten Prawesti kemudian, “Sebenarnyalah, bahwa tiba-tiba saja aku telah dicengkam oleh kerinduan kepada ayahanda”

“O….” Pinten mengerutkan dahinya, “Tetapi itu sewajarnya puteri, sekali-sekali kita seolah-olah terlempar pada kerinduan yang tidak tertahankan kepada masa lampau. Tetapi puteri, bukankah kita menyadari, bahwa masa lampau itu tidak akan kembali?. Aku masih sering membayangkan, suatu saat aku bermain-main di bawah sebatang pohon beringin yang subur, dayang-dayang yang duduk di pinggir halaman dengan girang bermain diantara mereka. Dakon, gateng dan sumbar suru. Ooo, menyenangkan sekali, kupu-kupu yang berterbangan seolah-olah merupakan perhiasan hidup yang mewarnai udara yang silir oleh hembusan angin lembut. Rasa-rasanya apa yang diinginkan terjadi di masa-masa yang hanya dapapt dikenang itu”

Inten mendengarkan dengan seksama, dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimanakah kau tinggal dimasa kanak-kanakmu, Pinten?, kau menyebut sebatang pohon beringin dan dayang-dayang yang bermain?”

“O…” Pinten tergagap, namun kemudian, “Bukankah aku tinggal bersama biyung di istana Pangeran Kuda Narpada?”

“Aku teringat sebatang pohon beringin di halaman, dayang-dayang yang bermain diantara mereka, tetapi aku tidak ingat lagi, bahwa di masa-masa kanak-kanak aku pernah mengenalmu”

Pinten termangu-mangu, lalu, “Ketika puteri menjadi semakin besar, aku sudah tidak tinggal lagi bersama biyung, aku telah dibawa oleh ayah kembali ke padukuhan”

Inten menjadi semakin heran, lalu, “Siapakah kira-kira yang lebih tua diantara kita? Kau atau aku?”

Pinten tidak segera menjawab, nampaknya ia menjadi bingung, tetapi kemudian katanya, “Kita tidak tahu hari-hari lahir kita masing-masing, apalagi aku. Mungkin saja puteri lebih tua, tetapi mungkin akulah yang lebih tua. Yang kedua itulah barangkali yang benar, tetapi agaknya aku memang awet muda, sehingga aku masih tetap kelihatan lebih muda dari puteri”

“Ah” Inten Prawesti tertawa kecil, katanya, “Mungkin, tetapi apakah ingatan kita sama?, katakan, ada berapa batang pohon beringin yang tumbuh di halaman?”

Pinten mengingat-ingat sejenak, lalu, “Sebatang di tengah halaman, dan enam di seputarnya”

“O, banyak sekali”

“Ada tiga ekor bekisar di dalam sangkar masing-masing, seekor burung nuri putih, seekor harimau yang dikurung dalam sangkar besi, seekor orang utan sebesar aku sekarang ini”

“He…!!” Inten menjadi heran, “Kau bermimpi, aku tidak pernah mengingat semuanya itu lagi, menurut ingatanku, istana ayahanda tidak mempunyai tujuh batang pohon beringin, tetapi ada dua batang disebelah menyebelah halaman. Tidak ada sangkar bekisar. Yang ada hanyalah beberapa sangkar burung jenis nuri dan burung berkicau. Ayahanda memang mempunyai sepasang ayam alas, tetapi bukan bekisar. Dan di halaman, menurut ingatanku, sama sekali tidak ada seekor harimau dan orang utan”

“O….” Pinten mengerutkan keningnya sekali lagi.

“Pinten, apakah kau berkhayal?”

“Mungkin puteri, mungkin aku berhayal” Pinten mengingat-ingat, “Tetapi tidak, aku tidak berhayal”

“Pinten, di halaman rumahku tidak ada binatang seperti yang kau katakan, tetapi aku memang masih teringat, disalah satu istana di Majapahit terdapat halaman yang dihiasi dengan sangkar binatang hutan, harimau dan barangkali juga seekor orang utan” tiba-tiba Inten mengingat sesuatu, “Ya, aku ingat, sebatang pohon beringin di tengah-tengah dan enam diseputarnya. He..! kau salah ingat Pinten, istana itu bukan istana ayahanda Kuda Narpada. Tetapi istana itu adalah istana pamanda Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap. Pahlawan yang tidak ada duanya, yang gugur menjelang pertempuran besar yang menghancurkan Kota Raja”

“Ooo…” tiba-tiba Pinten menundukkan kepalanya.

“Kau mengenal pamanda Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap?”

“Tidak, tidak puteri”

“Tetapi kau menyebutkan istananya, halamannya dan binatang peliharaannya dengan tepat”

Akhirnya Pinten tertawa, katanya, “Biyung sering bercerita tentang istana-istana yang terdapat di Majapahit, tetapi kadang-kadang tidak jelas, sehingga aku kurang mengerti. Aku hanya membayangkan betapa senangnya tinggal di istana-istana serupa itu”

Inten menjadi heran mendengar kata-kata Pinten yang membingungkan. Namun Pinten telah berkata seterusnya, “Apakah kata-kataku membingungkan puteri? Aku sendiri menjadi bingung puteri, dikarenakan aku tidak tinggal lama bersama biyung di istana Pangeran Kuda Narpada. Aku adalah anak padesan yang hanya dapat mendengar ceritera dan kemudian berangan-angan” ia berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah kita tidak usah berangan-angan lebih panjang lagi tentang masa lampau yang telah kita tinggalkan itu. Marilah kita sekarang menatap masa kini, masa yang jauh berbeda dengan masa-masa yang penuh kenangan itu”

Inten menepuk bahu Pinten sambil berkata, “Pinten, ternyata kau tidak hanya menirukan aku tentang membagi perasaan. Kau ternyata benar-benar bijaksana, kau dapat menasehatiku untuk melepaskan diri dari masa cengkaman kerinduan kepada masa lampau yang tidak akan kembali lagi”

Pinten terdian sejenak, namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Puteri, sebenarnyalah aku baru saja terlempar kedalam keadaan yang serupa. Tetapi biyung datang kepadaku dan memberikan beberapa petunjuk, apa yang aku ingat dari petunjuk-petunjuk biyung itu, sudah aku katakan kepada puteri”

“Ah, kau” Inten pun tertawa, “Jika demikian, maka nasehat itu, sebagian tentu kau tujukan kepada dirimu sendiri untuk meyakinkan apakah kau dapat mengerti nasehat ibumu itu”

Pinten pun tertawa juga.

“Sudahlah puteri, marilah aku persilahkan puteri masuk ke dalam, ingat puteri, angin di musim ini sangat berbahaya”

“Musim apa Pinten?”

“Dimusim kita masing-masing dicengkam oleh angan-angan, bukankah kita gadis yang meningkat dewasa?”

“Ah” Inten mendorong Pinten sehingga gadis itu terhenyak duduk. Tetapi sambil tersenyum-senyum Inten berkata, “Kau ini selalu aneh”

Pinten masih tertawa, katanya, “Bukankah begitu puteri?, jika seruling itu terdengar lagi, maka akibatnya akan parah bagi puteri”

Tiba-tiba saja terasa tengkuk Inten meremang, katanya, “Baiklah, tetapi bukankah kamas Kuda Rupaka ada?”

“Ah, apakah puteri tidak mengetahui, bahwa tadi Raden Kuda Rupaka mohon diri kepada ibunda untuk pergi ke padukuhan sebentar ketika puteri sedang mandi?, bukankah kandang kuda itu sudah kosong?”

“Bersama Paman Panji Sura Wilaga?”

“Ya, tetapi hanya sebentar, seperti biasanya, mereka memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari. Nanti sebentar mereka akan pulang, dan orang-orang Karangmaja itu akan mengirimkan apa yang diperlukan oleh Raden Kuda Rupaka”

“Kakangmas Kuda Rupaka bekal yang cukup, agaknya ia tidak menghitung-hitung lagi, berapa ia membayar kepada Ki Buyut untuk membeli kebutuhan kita semuanya”

Pinten mengangguk-angguk, katanya, “Tentu Raden Kuda Rupaka mempunyai bekal yang banyak sekali”

Inten pun kemudian membenahi pakaiannya, agaknya benar kata Pinten, bahwa sebaiknya mereka berada di dalam saja.

Tetapi ketika mereka baru saja berdiri, terdengar suara yang melangut di depan regol halaman, suara tembang yang tiba-tiba saja mereka dengar.

Pinten mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling, dilihatnya dua orang yang berjongkok di depan regol halaman itu, salah seorang dari keduanya telah mengidungkan tembang yang mengiba-iba.

Inten Prawesti tertegun pula, dengan penuh kebimbangan ia memperhatikan kedua orang yang berjongkok de depan regol istana itu.

“Tentu bukan Kidang Alit” bisiknya.

Pinten tiba-tiba saja telah berdiri tegak di tangga pendapa, dengan tajam dipandangnya kedua orang itu, namun kemudian ia berkata, “Puteri, tembangnya mohon belas kasihan, tetapi aku tidak tahu, apakah tembangnya mengandung bisa seperti tembang Kidang Alit, jika kedua orang itu kawannya, maka mereka tentu dapat melakukannya juga, padahal saat ini Raden Kuda Rupaka tidak berada disini”

“Aku kira, mereka adalah pengembara yang memerlukan belas kasihan” bisik Inten.

“Mungkin puteri, tetapi biarlah kakang Sangkan sajalah yang menjumpai mereka, memberikan dua bungkus nasi atau keperluan yang lain”

Inten mengangguk-angguk, suara tembang itu masih menggetarkan halaman, meskipun semakin lama menjadi semakin lambat, dan hilang di ujung bait.

Namun sejenak kemudian tiba-tiba suara orang itu melonjak naik. Dari kidung yang ngelangut tembangnya berubah menjadi garang, seolah-olah suara genderang perang di medan perang, memanggil setiap prajurit untuk bangkit dengan senjata di tangan.

“Puteri” bisik Pinten, “Biarlah kakang Sangkan segera menemuinya dan memberikan apa yang diperlukannya”

“Alangkah garangnya” bisik Inten.

“Marilah, aku akan memanggil kakang Sangkan”

Tetapi keduanya tidak perlu beranjak dari tempatnya. Dilihatnya Sangkan telah berada di halaman, disisi pendapa itu dengan sapu lidi ditangan.

“Bukan main” bisiknya, “Tembang itu sangat merdu, aku senang sekali mendengar tembang yang garang seperti itu, bukan yang melangut dan beriba-iba”

“Ah kau” sahut Pinten, “Ambillah dua bungkus nasi, berikan kepada mereka, agar mereka cepat pergi”

“Kenapa?, aku senang mendengarnya, aku akan mengambil dua bungkus nasi, tetapi mereka harus berdendang tiga atau empat lagu lagi, jika mereka tidak mau, aku pun tidak akan memberikan nasi itu”

“Cepatlah, mintalah nasi kepada biyung”

Tetapi Sangkan berdiri sambil tersenyum-senyum, bahkan kemudian ia mulai menirukan suara tembang itu”

“Kakang..!!” Pinten agak berteriak.

Namun pada saat itu, mereka mendengar pintu pringgitan berderit, ketika mereka berpaling, mereka melihat Raden Ayu Kuda Narpada berdiri di muka pintu pringgitan itu.

“Ibunda” panggil Pinten sambil berlari mendekatinya.

“Aku mendengar suara tembang itu” kata ibundanya.

“Dua orang yang agaknya memerlukan sesuatu ibunda, itulah mereka berjongkok di depan regol”

Raden Ayu termangu-mangu sejenak, dipandanginya kedua orang yang berjongkok di depan pintu regol, tetapi jaraknya tidak terlampau dekat, sehingga karena itu, Raden Ayu tidak begitu dapat melihat wajah mereka.

“Suruhlah mereka masuk” berkata Raden Ayu Kuda Narpada.

Inten termangu-mangu, sementara Pinten yang berdiri di tangga pendapa pun kemudian naik pula sambil berjongkok, “Ampun gusti, biarlah kakang Sangkan memberikan dua bungkus nasi kepada mereka”

“Aku akan bertanya kepada mereka, Pinten suruhlah kakakmu membuka regol dan membawa mereka masuk”

“Tetapi ibunda” kata Inten, “Saat-saat seperti ini agaknya sangat meragukan, apalagi kakangmas Kuda Rupaka sedang tidak ada”

“Kakangmasmu baru pergi sebentar Inten, hanya sebentar ia akan pulang”

“Tetapi sementara itu?” sahut Inten.

“Suara tembangnya sangat menarik perhatianku, bawalah mereka masuk, mereka tidak akan berbuat apa-apa”

Tetapi Inten masih ragu-ragu, mungkin orang-orang yang berniat kurang baik atas isi istana ini mempergunakan cara lain. Bukan ilmu gendam yang dapat mengaburkan pikiran gadis-gadis, tetapi mereka mempergunakan ilmu yang lain yang dapat merubah sikap seseorang tanpa disadarinya.

Namun dalam pada itu, Sangkan menyahut dari halaman, “Ampun Gusti, aku akan membuka regol itu. Suara tembang itu memang sangat menyenangkan”

“Kakang” berkata Pinten, “Apakah kakang tidak minta saja dua bungkus nasi kepada biyung?”

Tetapi yang menjawab adalah Raden Ayu, “Tidak Pinten, orang itu tentu tidak hanya sekedar minta sebungkus nasi”

Belum lagi Pinten menjawab, terdengar suara Nyi Upih dari pintu pringgitan, “Ya, gusti puteri, mereka tentu tidak sekedar minta sebungkus nasi”

“Biyung” desis Pinten.

“Suara tembang itu sangat menarik hati, menurut pendapatku, seperti pendapat gusti, biarlah mereka masuk”

Pinten tidak menyahut lagi, dengan wajah yang tegang seperti Inten Prawesti mereka memandang Sangkan yang berlari-lari ke regol halaman dan membuka selaraknya.

“He, masuklah” berkata Sangkan kepada dua orang yang berjongkok di depan pintu.

“Apakah kami berdua sudah diperkenankan?” bertanya yang muda.

“Masuklah, Gusti memanggil kalian”

Kedua orang itu masih termangu-mangu, dipandanginya Sangkan dengan keraguan.

“Kami mohon belas kasihan” kata yang tua.

Tetapi Sangkan tertawa, katanya, “Baiklah, kami mempunyai cukup belas kasihan, masuklah, kalian harus menghadap gusti puteri”

“Siapakah gusti itu?”

“Raden Ayu Kuda Narpada” Sangkan masih saja tersenyum, lalu, “Cepat, masuklah, regol ini akan segera aku tutup, sebentar lagi Raden Ayu Kuda Narpada akan datang, apakah kalain melihat Raden Kuda Rupaka? Mungkin kalian bertemu dengan Raden Panji Sura Wilaga di Karangmaja apabila kalian baru datang dari padukuhan itu”

Kedua orang itu termangu-mangu, namun kemudian segera bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan memasuki halaman istana itu, sementara Sangkan segera menutup regol itu kembali.

“Apakah ibunda akan menyuruh keduanya menghadap?”

“Aku perlu berbicara dengan mereka berdua”

“Mereka memerlukan belas kasihan ibunda, tetapi dalam keadaan sekarang ini, kita perlu berhati-hati”

“Aku akan berhati-hati” ibundanya termenung sejenak, lalu, “Sudahlah Inten, bawalah Pinten ke belakang, biarlah Nyi Upih mengawani aku disini”

Inten dan Pinten masih termangu-mangu, sementara Sangkan telah mendahului menghilang di sudut pendapa.

Namun sejenak kemudian, Inten dan Pinten pun bergeser dari tempatnya, Inten langsung masuk ke ruang dalam, sedangkan Pinten beringsut turun ke halaman.

Dengan tergesa-gesa Pinten kemudian menyusul kakaknya, tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Sangkan masih berdiri disebelah sudut pendapa, dibelakang sebatang pohon ceplok piring yang rimbun.

“Kenapa kau berbuat itu kakang?” bertanya Pinten

“Mungkin mereka adalah kawan-kawan Kidang Alit, mereka mungkin sekali mempunyai ilmu yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain”

“Apakah pikiranmu sudah dipengaruhi?, lihatlah seorang dari mereka adalah anak yang masih muda”

“Tetapi ia adalah seorang peminta-minta”

Sangkan tertawa, ia pun kemudian berkata, “Kau aneh Pinten, jika kau yakin ia peminta-minta, kau tidak usah cemas meskipun ia naik ke pendapa. Kecurigaanmu mengatakan kepadaku, bahwa kau menganggap anak muda yang tampan dalam ujud seorang peminta-minta itu, sama sekali bukannya seorang peminta-minta”

“Kau selalu begitu kakang” kata Pinten sambil mengulurkan tangannya. Tetapi sebelum ia mencubit tangan kakaknya, Sangkan berbisik, “Ssst, jangan bikin ribut disini”

Pinten dengan serta merta menarik tangannya sejenak, ia termangu-mangu, namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu, aku akan menemui puteri ke belakang”

Sangkan tidak menjawab, dipandanginya saja langkah Pinten yang kemudian menghilang di longkangan.

Di pendapa kedua orang pengembara itu menghadap Raden Ayu Kuda Narpada yang dikawani oleh Nyi Upih. Dengan penuh minat Raden Ayu mendengarkan ceritera tentang asal usul kedua orang yang telah mendengarkan tembang yang sangat menarik itu.

“Siapakah yang mengajari kalian melagukan kidung itu?”

“Ampun Puteri, setiap orang di padukuhan kami dapat melagukan tembang itu”

“Tetapi kata-kata yang tersirat pada kidung itu tentu tidak semua orang dapat mengucapkannya”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak.

Sementara itu Sangkan masih saja berada di tempatnya, tetapi ternyata ia tidak banyak mendengar percakapan itu, meskipun beberapa patah kata dapat dimengertinya, namun demikian kadang-kadang wajahnya menjadi tegang, tetapi sejenak kemudian nampak sebuah senyuman dibibirnya.

Percakapan itu tidak berlangsung lama, sejenak kemudian maka, Sangkan mendengar suara Nyi Upih mengajak kedua orang itu ke belakang.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya kepada diri sendiri, “Agaknya aku mendapat kawan dua orang pengembara di dalam istana ini, apakah dengan demikian pekerjaanku akan menjadi bertambah ringan atau sebaliknya, aku harus mengawasi keduanya terus menerus, agar mereka tidak sempat mencuri sisa-sisa barang yang masih ada”

Belum lagi Sangkan berbuat sesuatu, ia sudah mendengar suara ibunya memanggil, “Sangkan, kemarilah”

Dengan tergesa-gesa Sangkan pergi menemui ibunya di belakang, dilihatnya dua orang pengembara itu masih berdiri termangu-mangu di belakang Nyi Upih.

“Sangkan” berkata ibunya, “Kau mendapat dua orang kawan lagi, kasihan, mereka adalah pengembara yang kelaparan dan kehausan”

Sangkan tersenyum, namun sebuah kilatan tatapan matanya telah menyambar kedua orang itu, sehingga kedua tertunduk dalam-dalam.

“Jadi” sahut Sangkan kemudian, “Aku akan menjadi lurah orang-orang kesrakat disini, sudah tentu aku akan mengatur pekerjaan yang harus kalian lakukan. Bukankah begitu? Kalian tidak akan dapat bermalasmalasan disini, dan setiap hari mendapat makan tiga kali” namun tiba-tiba Sangkan menjadi ragu, “Tetapi bagaimana dengan Raden Kuda Rupaka? Apakah ia sependapat dengan kehadiran kedua orang ini? Sampai sekarang rasa-rasanya hidup kita tergantung kepadanya”

Nyi Upih memandang anaknya dan kedua orang itu berganti-ganti, dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Tentu Raden Kuda Rupaka tidak akan membiarkan keduanya mengalami penderitaan lebih lama lagi”

“Tetapi apakah bekal yang dibawanya cukup banyak untuk menghidupi kita semuanya, ditambah dengan dua orang pengembara ini.

“Sudahlah Sangkan, biarlah gusti puteri mengatakannya nanti kepada Raden Kuda Rupaka, adalah tidak sepantasnya kau mengatakan hal itu dihadapan orang yang berkepentingan”

Sangkan tertawa, katanya, “Hanya orang-orang yang berperasaan sajalah yang akan menjadi tersinggung karenanya, dan aku tidak yakin bahwa kedua orang ini mempunyai perasaan yang halus sehingga keduanya mempertimbangkan kemungkinan serupa itu”

Sekilas Sangkan melihat bahwa yang muda diantara kedua orang itu mengangkat wajahnya, namun kemudian wajah itu pun kemudian tertunduk lagi, sementara Nyi Upih membentaknya, “Kau terlalu sekali Sangkan, kaulah yang tidak berperasaan”

Sangkan masih tertawa, katanya kemudian, “Tetapi suara kalian memang sangat menarik hati, tembang yang kau lontarkan benar-benar telah memukau Gusti Raden Ayu. Aku pun tertarik pula pada tembang yang memiliki ciri yang aneh itu. Karena tembang kalianlah maka aku tidak sependapat dengan adikku agar kalian sekedar mendapat dua bungkus nasi saja”

Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab.

“Sudahlah Sangkan” berkata Nyi Upih, “Jangan sesorah, bawa kedua orang ini kedalam bilikmu”

“Ke dalam bilikku?, dimanakah Pinten akan tidur?, apakah Pinten dan biyung juga akan tidur bersama dengan kedua orang ini?”

Nyi Upih menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku sudah mohon agar kami berdua diperkenankan tidur di jerambah dalam disamping pintu”

Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Biyung akan membentangkan tikar setiap malam, dan menggulungnya lagi di pagi hari?”

“Ya, kenapa?”

Sangkan mengangguk-angguk, lalu katanya kepada kedua orang itu, “Nah, kau dengar, Biyungku terlalu baik hati terhadap kalian, ia mengorbankan dirinya untuk memberikan tempat kepada kalian di istana ini”

Orang yang lebih tua mengangkat wajahnya, dengan suara yang dalam ia menyahut, “Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Raden”

“Hem, aku yang kau maksud?”

Orang itu ragu-ragu, sedang Sangkan kemudian tertawa terbahak-bahak, “Jangan sebut aku Raden, aku akan menjadi pingsan nanti, panggil aku Panji, eh bukan, Rangga juga bukan, panggil saja aku Sangkan”

Pengembara yang tua menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia mencoba bersikap seperti semula.

“Kau terlalu banyak bicara Sangkan” berkata Nyi Upih

“Ayo, bawa mereka ke bilikmu”

Kedua orang itu berpandangan sejenak.

“Ya, kau belum memperkenalkan namamu kepada anakku” berkata Nyi Upih.

Yang muda memandang Sangkan sejenak, lalu katanya, “Namaku Panon”

“Panon, Panon begitu saja?”

“Itu sudah cukup” Nyi Upih lah yang menyahut, “Apa jawabmu jika ada orang yang bertanya kepadamu, apakah namamu hanya Sangkan saja?, Apa itu sudah cukup?”

Sangkan tertawa pula, lalu ia pun melangkah mendekati kedua orang itu sambil bertanya pula, “Dan kau Ki Sanak?”

“Aku bernama Ki Mina, anak muda”

“O, kau tentu mempunyai hubungan dengan beberapa jenis ikan”

“Aku memang pencari ikan disungai”

“Sudahlah” sekali lagi Nyi Upih memotong, “Kau harus segera melakukan tugasmu, kau belum selesai membersihkan halaman, kau juga belum mengisi jambangan di pakiwan”

“He, bukankah aku tinggal mengaturnya saja”

“Ah, kau memang terlalu banyak bicara, cepat, bawa mereka kebilikmu”

Tetapi sebelum Sangkan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba terdengar suara Pinten dari pintu dalam, “Mau dibawa kemanakah mereka itu?”

“Ke bilikku, mereka akan tidur di dalam bilikku” jawab Sangkan.

“Aku?”

“Kau juga”

“Tidak mau, aku tidak mau”

“Nyi Upih pun segera mendekati Pinten sambil berkata, “Aku sudah mengaturnya Pinten, Kau tidur bersamaku”

“O, senang sekali. Seperti masa kanak-kanak aku tidur bersama bibi, Kau tentu akan berdendang lagu yang ngelangut sebelum aku tertidur”

“Bibi siapa?”

“O, biyung, maksudku biyung”

Nyi Upih tertawa kecil, tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu Sangkan pun telah mengajak kedua orang pengembara itu kedalam biliknya, sambil berdiri dimuka pintu ia berkata, “Nah, kau berdua dapat mempergunakan pembaringan biyung, aku akan tidur di pembaringan Pinten.”

Namun tiba-tiba saja Ki Mina bertanya, “Dan pembaringamu anak muda?”

“Biasanya aku tidur di kolong pembaringan Pinten”

Kedua pengembara itu saling berpandangan sejenak, namun kemudian mereka menarik nafas panjang.

Sangkan memperhatikan tingkah laku mereka dengan heran, bahkan kemudian ia bertanya, “Ada yang kurang sesuai dengan kehendak kalian?”

“O, tidak, tidak anak muda, semuanya sudah terlampau cukup, aku sangat berterima kasih atas semuanya ini, atas kemurahan yang dilimpahkan oleh Raden Ayu” Sahut Ki Mina.

“Nah, kemasilah barang-barangmu, aku akan pergi ke pakiwan”

“O, biarlah aku saja” berkata Panon, “Biarlah aku saja yang menimba air”

Sangkan tertawa, katanya, “Nanti sajalah, sekarang kalian boleh beristirahat, kalian memang harus bekerja disini, itu memang lebih baik. Kalian tidak pantas menjadi pengemis yang malas dan sekedar menanti belas kasihan orang, badanmu cukup baik. Masih belum terlalu tua dan pikun, bahkan Panon masih terlalu muda. Semuda aku barangkali, benar-benar tidak pantas memilih pekerjaan sebagai pengemis.”

Panon menjadi gelisah, rasa-rsanya ia ingin menjawab pemalas yang hanya dapat menanti belas kasihan orang tidak dan sanggup bekerja apa saja.

Tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk menjawab kata Sangkan itu, karena itulah, maka rasa-rasanya dadanya membengkak oleh sebuah tekanan perasaan yang sangat berat baginya.

Sangkan pun kemudian melangkah pergi, dimuka pintu ia berpaling sambil berkata, “Suara tembangmulah yang menyeret aku kemari, aku pun jadi tertarik”

Panon menjadi termangu-mangu

“Nanti malam, aku ingin belajar melagukan tembang itu, kau tentu mau mengajariku bukan?”

Panon masih termangu-mangu, namun Ki Mana lah yang menjawab, “Tentu anak muda, Panon akan mengajarimu melagukan kidung yang menarik itu, bukan saja tembang-tembang yang sudah dilagukannya, tetapi tembang yang lain pun Panon dapat menendangkannya dengan baik”

“Tidak” sahut Sangkan, “Tembang itu saja”

Ki Mina tidak sempat menjawab, karena Sangkan pun kemudian meninggalkan mereka di dalam biliknya.

Sepeninggal Sangkan, Ki Mina terduduk di atas pembaringan, sementara Panon terdengar mengeluh pendek.

“Sunggguh berat tugas ini Paman” berkata Panon Suka, “Agaknya bukan hanya cobaan-cobaan dan hambatan-hambatan jasmaniah saja, tetapi perasaan pun harus tahan mengalami caci maki yang tidak ada ujung pangkalnya itu”

Ki Mina tersenyum, jawabnya, “Semua ini adalah ujian bagimu, dan kau harus dapat mengatasinya dengan sebaik-baiknya, jangan kau perturutkan perasaanmu, apalagi dalam usia muda, jika kau cepat tersinggung, maka tugasmu akan terganggu dan bahkan akan gagal”

Ki Mina terdiam sejenak, lalu, “Apapun yang dikatakan oleh Sangkan, adalah sebagian kecil saja dari ujian perasaan yang akan kau alami, jika nanti Raden Kuda Rupaka itu datang , maka kau akan mengalami ujian yang barangkali lebih berat. Tetapi jangan lupa, kau adalah seorang pengembara, jangan sakit hati jika kau disebut pengemis, pemalas dan lan-lain”

Panon mengangguk-angguk, ia menyadari ujian yang bakal dialami di istana kecil itu, karena itulah maka ia pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemingkinan. Yang lahir tetapi juga yang batin.

Tiba-tiba terdengar derap dua ekor kuda memasuki longkangan samping langsung menuju ke kandang.

“Bangsawan muda yang bernama Kuda Rupaka itu telah datang bersama Panji Sura Wilaga” kata Ki Mina.

Panon mengangguk-angguk.

“Kita harus bermain lebih baik, aku harus menjadi menjadi orang yang lebih tua, dan jangan sekali-kali menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan”

Panon mengangguk lagi.

Beberapa saat kemudian mereka menunggu, agaknya Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, setelah memasukkan kudanya ke kandang, kangsung menuju masuk ke ruang dalam.

“Tentu Raden Ayu baru memberitahukan kehadiran kita sekarang” desis Ki Mina.

Panon termangu-mangu sejenak, kemudian ia berkata, “Paman, jika persoalan menjadi runcing, dan tiba-tiba saja timbul sikap yang kasar, apakah kita akan membiarkan diri kita dilemparkan dari istana ini?”

“Kita percaya kepada Raden Ayu Kuda Narpada, ia akan dapat mengatasi kemanakannya itu betapapun kasarnya”.

“Tentu, tetapi dalam keadaan yang wajar, tetapi jika kedua bangsawan itu mempunyai maksud tertentu yang nilainya lebih berharga dari sanak kadang, aku kira ia sudah tidak akan dapat mempercayai setiap orang yang dalam ujudnya sudah hampir mati sekalipun, karena saat ini, Karangmaja baru menjadi arena pertemuan yang panas, bukankah kita juga merupakan salah satu pihak yang memang pantas dicurigai, dan selalu mencurigai siapapun juga disini? Bahkan sekalipun, meskipun ia adalah orang dalam istana ini”

Percakapan terhenti karena tiba-tiba di depan pintu bilik sudah berdiri Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga.

“Siapa sebenarnya kalian He…! Dan apa maksud kedatangan kalian di istana ini?, “

“Kami pengembara Raden, dan kami tidak ada maksud apa-apa di istana ini”

“Jangan bohong, kalian pasti mengincar sesuatu disini”

“Kami tidak mengerti maksud Raden, dan apa yang harus kami incar dari istana ini?”

“Kita sama-sama tahu, apa maksud kalian sesungguhnya”

Ki Mina tidak menjawab lagi, tetapi terasa betapa kesulitan akan mejadi semakin banyak dihadapi oleh Panon dalam tugasnya.

“Baiklah pengembara yang malang, nikmatilah kemenanganmu yang pertama itu, karena dalam babak berikutnya, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa, kecuali jika kalian mengurungkan niat kalian mencelakai bibi Kuda Narpada”

Kuda Rupaka tidak menunggu jawaban, ia pun kemudian meninggalkan bilik itu diikuti oleh Panji Sura Wilaga.

“Bibi terlampau baik” desisnya ketika mereka sudah berada di serambi.

“Tetapi benar-benar berbahaya” Sahut Panji Sura Wilaga, “Raden harus berusaha meyakinkan bahwa kehadiran pengembara itu dapat berakibat buruk, siapa tahu, ia adalah kawan dari dua orang yang terbunuh di halaman ini. Yang seorang yang berhasil lari itulah yang memanggilnya dengan cara yang berbeda untuk memasuki halaman ini”

“Ya, aku akan berusaha terus, sehingga orang-orang itu diusir dari istana ini, biarlah mereka menghubungi Ki Buyut di Karangmaja, jika mereka berdua benar-benar orang yang perlu belas kasihan, itu adalah kewajiban Ki Buyut”

Panji Sura Wilaga menggeleng, katanya, “Tentu bukan Raden, Apakah Raden memperhatikan badannya yang nampaknya terpelihara baik meskipun agak kotor”

“Aku melihatnya, dan aku memang sudah mencurigainya” Kuda Rupaka berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kita harus membunuh lagi paman”

“Bagaimana dengan Sangkan?” bertanya Panji Sura Wilaga.

“Maksudmu? Apakah kau mencurigainya?”

Panji Sura Wilaga menggeleng, katanya, “Tidak ada yang pantas dicurigai pada pengecut itu, tetapi justru karena ia tinggal dalam satu bilik dengan pengembara itu, mungkin ia akan dapat menjadi korban yang pertama”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, katanya, “Kasihan jika benar-benar terjadi demikian, tetapi tanggung jawab atas peristiwa itu ada pada bibi Kuda Narpada”

  -oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 6

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut