JDBK-32


<<kembali | lanjut >>

KI TUMENGGUNG YUDATAMA termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Tergantung kepada kekuatan yang ada di padepokan itu. Jika kita datang, kita harus dapat menyelesaikan tugas kita dengan baik. Jika kita salah membuat perhitungan, maka kita akan mereka hancurkan tanpa sisa. Kita tahu, siapakah yang kita hadapi. Mereka adalah orang-orang yang tidak lagi berdiri pada alas kemanusiaan mereka”

“Meskipun demikian, kita juga harus melihat, di mana para prajurit itu akan membuat landasan. Mereka tidak dapat begitu saja mendirikan perkemahan, apalagi barak-barak untuk menetap. Kita harus menyamarkan kehadiran kita jika kita ingin berhasil sesuai dengan keinginan kita” berkata Pangeran Benawa.

Ki Tumenggung Yudatama pun mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita harus mengamati keadaan. Kita harus tahu pasti keadaan medan”

“Ya”

“Baiklah” berkata Ki Tumenggung Yudatama. Lalu katanya kepada Kangjeng Sultan Pajang, “Ampun, Sinuhun. Hamba mohon waktu untuk melihat medan serta mempersiapkan segala-galanya dengan sebaik-baiknya. Nampaknya tugas ini adalah tugas yang rumit. Hamba sendiri akan pergi ke tempat yang terbaik untuk membuat landasan itu”

“Silahkan, Ki Tumenggung. Lakukan apa saja yang perlu untuk menghapuskan padepokan yang menyimpan api yang akan dapat menyala di masa depan itu”

“Hamba, Sinuhun. Hamba mohon restu serta mohon diri untuk beberapa hari”

Demikianlah, maka di hari berikutnya. Ki Tumenggung Yudatama telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Bersama dua orang lurah prajurit yang pilih tanding, Ki Tumenggung itu pun pergi ke Manjung. Ki Tumenggung telah menyamar menjadi seorang pedagang perhiasan yang kaya, sementara dua orang lurah prajurit itu menjadi pengawal-pengawalnya.

Bersamaan dengan itu, Wijang dan Paksi pun telah pergi ke Manjung pula. Tetapi keduanya adalah orang lain bagi Ki Tumenggung Yudatama.

Namun Ki Tumenggung menjadi heran ketika ia sampai di tempat yang ditunjuk oleh Wijang dan Paksi. Meskipun hari itu hari pasaran, tetapi tempat itu nampak sepi. Tidak ada orang-orang yang menginap di penginapan yang disebut oleh Wijang dan Paksi.

Ki Tumenggung Yudatama termangu-mangu sejenak. Ia masih melihat bangunan yang dikatakan oleh Wijang dan Paksi. Tetapi rumah itu nampaknya sepi saja.

Ketika Ki Tumenggung mengamati tempat itu, maka seorang telah mendekatinya sambil bertanya, “Apakah ada yang Ki Sanak cari?”

“Penginapan” jawab Ki Tumenggung Yudatama.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nampaknya untuk sementara jalan ini akan menjadi sepi, Ki Sanak”

“Kenapa?”

“Jalan ini rasa-rasanya menjadi semakin tidak aman. Aku adalah pemilik penginapan ini. Namun untuk sementara aku memang menutupnya. Beberapa orang yang bersedia membantu aku menjaga penginapan ini dan menyeberangkan orang-orang yang melintas ke Mungge, telah mengundurkan diri. Ada dua orang yang telah menjadi korban. Nampaknya yang lain menjadi segan melakukannya meskipun mereka mendapat upah yang memadai. Perampok-perampok itu tidak menyusut. Tetapi justru menjadi semakin ganas”

“Apakah para penyeberang dari Mungge juga menyusut?”

“Ya. Orang-orang yang akan menyeberang telah memilih jalan lain meskipun menjadi lebih jauh” orang itu berhenti sejenak. Lalu dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apakah Ki Sanak sudah beberapa lama tidak menyeberang lewat jalan ini, sehingga Ki Sanak tidak tahu, bahwa penyeberangan ini sudah di tutup?”

“Memang sudah agak lama aku tidak lewat jalan yang menuju ke Mungge. Tetapi apakah sasak itu masih ada?”

“Masih ada, Ki Sanak. Tetapi sudah menjadi terlalu sepi. Yang lewat hanyalah orang-orang Manjung dan orang-orang Mungge yang saling berkunjung atau perempuan-perempuan yang ikut menuai padi di seberang”

“Jadi, apakah aku tidak dapat menginap di sini?”

“Aku sudah tidak dapat membantu menyelenggarakan pengamanan barang-barang yang Ki Sanak bawa. Mungkin barang-barang berharga. Selain itu, maka penginapan ini sudah terlalu lama tidak dibersihkan”

“Tetapi aku sudah terlanjur sampai di sini”

“Jika saja Ki Sanak ingin menginap, silahkan. Aku tidak akan memungut biaya. Tetapi sudah aku katakan, bahwa aku tidak dapat membantu menyelenggarakan pengamanan”

Ki Tumenggung Yudatama termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Biarlah. Aku akan menginap di sini. Aku tidak tahu apakah besok aku akan meneruskan perjalanan atau tidak”

Pemilik penginapan itu pun kemudian mempersilahkan Ki Tumenggung Yudatama singgah. Tetapi tidak di penginapannya yang sudah menjadi kotor.

“Silahkan menginap di rumahku saja, Ki Sanak”

“Maaf, Ki Sanak. Aku tidak ingin merepotkan Ki Sanak. Biarlah aku menginap di penginapan seperti kebanyakan orang”

Pemilik penginapan itu tertawa pendek. Katanya, “Jika Ki Sanak ingin menginap di penginapan, aku justru akan menjadi repot. Aku harus membersihkan penginapan itu. Tentu aku tidak dapat membersihkan sebagian saja dari lantainya yang kotor. Aku harus menyapu seluruh ruangan yang luas itu. Membersihkan amben-ambennya yang besar dan membentangkan tikar yang bersih. Tetapi jika Ki Sanak menginap di rumahku, ruangan di gandok rumahku sudah tersedia”

Ki Yudatama pun tertawa. Ia tidak dapat mengelak lagi. Ia harus menginap di rumah pemilik penginapan itu. Tidak di penginapannya yang agaknya tidak pernah dibersihkannya.

“Nah” berkata pemilik penginapan itu, “marilah. Aku persilahkan Ki Sanak singgah di rumahku di belakang penginapan ini”

Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung Yudatama pun telah duduk di pringgitan rumah pemilik penginapan itu bersama kedua orang pengawalnya. Dengan nada dalam pemilik penginapan itu bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Jika Ki Sanak pernah melewati jalan ini dan bahkan menginap di penginapanku, mungkin sekali aku lupa. Agaknya aku memang sudah bertambah tua. Siapakah nama Ki Sanak?”

Ki Tumenggung Yudatama menarik nafas panjang. Katanya, “Namaku Resatama. Aku seorang pedagang kecil-kecilan. Wesi aji, batu akik dan barangkali ada yang membutuhkan perhiasan yang harganya tidak terlalu tinggi”

“O” pemilik penginapan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Daerah ini semakin lama menjadi semakin ganas. Aku jadi kehilangan mata pencaharian. Untunglah isteriku di pagi hari masih berjualan di pasar, sehingga dapat menjadi penyangga hidup kami sekeluarga sehari-hari. Ditambah sesobek sawah dan pategalan”

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat jalan ini dapat menjadi ramai kembali”

“Aku tidak begitu mengharapkan. Seperti aku katakan, aku merasa kesulitan mendapatkan orang yang bersedia membantuku, membantu keamanan mereka yang bermalam serta yang akan menyeberangi sungai lewat sasak itu”

“Bagaimana dengan arah sebaliknya?”

“Sama saja, Ki Resatama. Penginapan di Mungge juga dikacaukan oleh para perampok yang semakin ganas itu”

Namun pembicaraan mereka pun terputus. Dua orang anak muda memasuki halaman rumah pemilik penginapan itu setelah melingkari rumah penginapan yang kosong.

Pemilik penginapan itu pun kemudian bangkit berdiri dan turun dari tangga pendapa rumahnya. Diamatinya kedua orang yang datang itu.

Namun pemilik penginapan itu langsung dapat mengenali kedua orang yang datang itu. Keduanya adalah orang yang dianggap membantu menyelamatkan penginapannya beberapa waktu yang lalu.

Karena itu, maka dengan ramah pemilik penginapan itu mempersilahkan mereka berdua untuk naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

“Marilah, Ki Sanak. Mari silahkan naik”

“Terima kasih. Kami hanya ingin menginap di penginapan ini. Tetapi nampaknya penginapan itu sepi”

“Marilah, duduklah. Nanti aku jelaskan”

“Terima kasih. Kami akan pergi ke penginapan itu saja”

“Itulah yang ingin aku jelaskan” berkata pemilik penginapan itu.

Kedua orang itu, Wijang dan Paksi, tidak menolak lagi. Keduanya pun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan bersama Ki Tumenggung Yudatama bersama kedua orang pengawalnya.

Pemilik penginapan itu pun kemudian telah memperkenalkan kedua orang yang baru datang itu kepada Ki Resatama yang dikenalnya sebagai pedagang wesi aji dan perhiasan bersama dua orang yang menyertainya.

”Aku memerlukan kawan di perjalanan” berkata orang yang berbnama Resatama itu.

Pemilik penginapan itu pun kemudian telah memperkenalkan kedua orang yang baru datang itu kepada Ki Resatama yang dikenalnya sebagai pedagang wesi aji dan perhiasan bersama dua orang yang menyertainya.

”Aku memerlukan kawan di perjalanan” berkata orang yang berbnama Resatama itu.

Pemilik penginapan itu pun kemudian menjelaskan keadaan penginapannya kepada Wijang dan Paksi sebagaimana dikatakan kepada Ki Resatama.

“Jadi penginapan itu sudah ditutup sekarang?”

“Ya. Aku tidak mempunyai kawan yang bersedia bekerja sama setelah jatuh korban itu”

Tiba-tiba saja Wijang pun berkata, “Bagaimana pendapat Ki Sanak, jika aku menawarkan beberapa orang untuk melakukannya?”

“Ada orang yang bersedia diupah untuk tugas yang berat itu di penginapanku?”

“Jika dikehendaki, aku dapat memanggil mereka. Mereka adalah kawan-kawanku. Pengembara yang tidak mempunyai apa-apa”

“Apakah benar kalian pengembara? Ketika penginapan ini dirampok, aku melihat sendiri, bagaimana kalian berdua telah menyelamatkan kami”

“Menyelamatkan? Kami hanya ikut saja berlari-lari seperti orang lain”

“Tidak. Kalian berdua telah menunjukkan kelebihan kalian. Namun, demikian pertempuran selesai, kami tidak dapat menemukan kalian berdua itu”

“Kami tidak ke mana-mana. Tetapi kami memang berusaha mengejar mereka yang tersisa. Akhirnya kami memang tidak kembali ke penginapan ini, karena kami pergi ke Mungge. Ternyata penginapan di Mungge tidak diganggu sama sekali malam itu”

“Ya. Malam itu memang tidak. Tetapi beberapa malam berikutnya. Penginapan di Mungge  pun telah didatangi. Bahkan korbannya lebih banyak lagi”

“O”

“Setelah malam itu, kami masih didatangi sekali lagi. Keadaan kami menjadi parah. Beberapa di antara kami tewas, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang aku upah untuk membantu menyelenggarakan pengamanan telah mengundurkan diri semuanya”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk.

“Dengan demikian, maka penginapan pun aku tutup. Kami pun kemudian menyadari, bahwa perampok itu bukan perampok kebanyakan. Pada saat kami menduga bahwa gerombolan perampok itu telah hancur, maka segerombolan perampok yang lebih kuat telah muncul”

Wijang pun kemudian mengulangi pertanyaannya, “Bagaimana dengan tawaranku? Beberapa orang kawanku yang dapat dipercaya akan bersedia diupah untuk ikut menyelenggarakan pengamanan di penginapan ini, jika penginapan ini memang akan dibuka. Mereka  pun akan sanggup menjaga keamanan orang-orang yang akan menyeberang jika di atas sasak penyeberangan itu masih ada orang yang akan menyamun”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku mengenal mereka dengan baik”

“Ajak mereka kemari. Berapa orang?”

“Aku mempunyai banyak kawan yang memerlukan pekerjaan”

“Jangan terlalu sedikit. Perampok itu sangat kuat. Niatku kemudian tidak semata-mata membuka penginapan dan mendapat banyak uang. Tetapi aku berniat mengumumkan perang melawan para perampok itu”

“Berapa orang yang dibutuhkan? Sepuluh?”

“Lebih dari itu”

“Dua puluh?”

Namun tiba-tiba suara pemilik penginapan itu merendah, “Sebenarnya kami memang memerlukan banyak orang. Tetapi apakah aku dapat mengupah mereka dengan upah yang cukup?”

“Jangan risaukan. Kawan-kawanku dapat bekerja dengan upah yang kecil. Tetapi asal mereka diberi makan sehari tiga kali”

Pemilik penginapan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik. Ajak mereka kemari. Kita akan membicarakannya. Jika mereka tidak menuntut upah terlalu tinggi, aku akan menerima mereka. Dengan makan sehari tiga kali”

“Baik. Biarlah aku urungkan perjalananku ke Mungge. Aku akan kembali menemui kawan-kawanku”

“Kau dapat menghubungi pemilik penginapan di Mungge. Pemilik penginapan itu adalah adik sepupuku. Jika pembicaraanku dengan orang-orang itu sesuai, maka adik sepupuku tentu akan setuju pula”

“Baik. Aku akan datang kembali bersama lima belas orang untuk penginapan ini dan lima belas orang untuk penginapan di Mungge”

“Sebaiknya kita bicarakan lebih dahulu. Jika pembicaraan kita sudah sesuai, baru ajak mereka kemari”

Demikianlah, di hari berikutnya Wijang dan Paksi telah memanggil tiga orang lurah prajurit dalam ujud penyamaran mereka bertemu dengan pemilik penginapan itu.

Sementara itu, Ki Tumenggung Yudatama yang menyebut dirinya bernama Resatama, tidak meninggalkan rumah pemilik penginapan itu. Ia minta ijin untuk menginap sehari lagi. Ia ingin melihat-lihat suasana di sekitar padukuhan Manjung itu.

“Silahkan, silahkan, Ki Sanak. Aku sama sekali tidak berkeberatan” berkata pemilik penginapan itu, “asal Ki Resatama tidak minta menginap di penginapan itu, sehingga aku harus membersihkannya”

Ki Tumenggung itu tertawa. Dalam pada itu, Ki Tumenggung sempat menyaksikan pembicaraan pemilik penginapan itu dengan tiga orang yang mewakili kawan-kawan mereka, membicarakan kemungkinan beberapa orang menjadi orang-orang upahan di penginapan itu.

Ternyata pembicaraan itu tidak rumit. Orang-orang yang bersedia menjadi orang upahan itu tidak terlalu banyak permintaan. Bahkan permintaan mereka termasuk rendah bagi pemilik penginapan itu.

Demikianlah, maka dua hari kemudian, di penginapan itu telah ada lima belas orang upahan yang bukan saja akan ikut menjaga keselamatan orang-orang yang menginap, tetapi mereka pun menyelenggarakan kerja sehari-hari. Membersihkan ruangan dan halaman. Mengisi jambangan-jambangan di pakiwan, serta pekerjaan lain untuk memelihara kebersihan penginapan itu.

Bahkan ternyata orang-orang upahan itu pun telah bekerja pula di Mungge, di penginapan adik sepupu dari pemilik penginapan di Manjung itu.

Sebenarnyalah timbul beberapa pertanyaan tentang Wijang dan Paksi yang mengaku pengembara itu. Ternyata mereka dapat dengan cepat mendapatkan sekian banyak orang untuk bekerja di penginapan itu serta di penginapan di Mungge. Meskipun demikian, pemilik penginapan yang telah melihat bagaimana kedua orang itu membantu menyelamatkan penginapan serta orang-orang yang menginap pada waktu itu, sehingga pemilik-pemilik penginapan itu meyakini bahwa keduanya tentu tidak bermaksud buruk.

Apalagi setelah pemilik penginapan itu menyaksikan kemauan kerja yang tinggi dari orang-orang yang diserahkan kepadanya oleh kedua orang yang mengaku pengembara itu.

“Agaknya keduanya bukan pengembara biasa” berkata pemilik penginapan itu di dalam hatinya. Kadang-kadang memang timbul dugaan, bahkan kedua orang itu sengaja diselundupkan oleh para perampok agar mendapat kepercayaan dari pemilik rumah penginapan itu. Namun dari hari ke hari orang itu justru menjadi semakin yakin, bahwa orang-orang yang dipekerjakan kepada mereka adalah orang yang baik.

Sementara itu Wijang dan Paksi sendiri telah tidak berada di Manjung dan tidak pula di Mungge. Namun orang yang mengaku bernama Ki Resatama itulah yang telah lewat dua kali dalam sepuluh hari, melalui sasak penyeberangan.

Sejak kehadiran orang-orang upahan di penginapan, maka perlahan-lahan jalan antara Manjung dan Mungge itu pun menjadi ramai kembali. Di hari pasaran, pasar Manjung pun nampak lebih hidup. Sementara itu, orang-orang yang menginap di penginapan itu pun merasa terlindungi. Sedangkan mereka yang membawa barang-barang berharga biasanya juga membawa pengawal mereka masing-masing.

Penginapan-penginapan yang menjadi semakin ramai itu nampaknya telah menggelitik lagi orang-orang yang berada di padepokan yang letaknya tersekat itu. Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk kembali memasuki penginapan itu.

Namun agaknya pengalaman-pengalaman yang telah mereka dapatkan di penginapan-penginapan itu telah membuat mereka menjadi semakin berhati-hati.

“Jika mereka tidak merasa menjadi kuat kembali, maka mereka tidak akan berani menyelenggarakan penginapan itu lagi. Mereka tentu memperhitungkan, bahwa kami akan datang setiap saat kami kehendaki. Justru pada saat-saat penginapan itu menjadi ramai” berkata Ki Gede Lenglengan kepada para pengikutnya.

“Ya, Ki Gede” seorang yang bertubuh raksasa mengangguk.

“Mereka justru menantang” berkata Ki Gede Lenglengan. “Agaknya mereka telah mendapat orang-orang baru yang lebih dapat dipercaya dari orang-orangnya yang dahulu”

“Kami akan menjawab tantangan itu, Ki Gede. Tantangan itu
sangat menyakitkan hati”

Ki Gede Lenglengan tertawa. Katanya, “Ya. Tantangan itu sangat menyakitkan hati, tetapi juga sangat menarik. Kirimkan seorang untuk melihat-lihat keadaannya”

Sementara itu, Wijang dan Paksi telah berada di gubuknya. Ki Ajar Permati masih menerima mereka setiap keduanya datang kepadanya untuk mematangkan beberapa unsur gerak yang dapat melengkapi ilmu mereka. Bukan hanya sekedar bagaimana mereka melakukannya. Tetapi juga sifat dan watak dari unsur-unsur itu, sehingga tempatnya menjadi jelas di antara ilmu yang telah lebih dahulu dikuasainya.

Namun sebenarnyalah setiap kali Wijang dan Paksi selalu menghubungi para prajuritnya yang berada di penginapan Manjung dan juga yang berada di Mungge. Bahkan Ki Tumenggung Yudatama telah meletakkan beberapa orang prajuritnya di sebuah hutan kecil tidak jauh dari Manjung, tetapi masih di luar sekat yang membatasi padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu dengan dunia luar.

Dengan demikian, maka jika diperlukan setiap saat mereka yang ada di kaki Gunung Merapi itu akan dapat bergerak serentak untuk menguasai padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu, yang oleh Ki Ajar Permati disebut Padepokan Watukambang.

Meskipun Ki Tumenggung Yudatama tidak berada di Manjung atau di Mungge atau di hutan itu, tetapi setiap kali Ki Tumenggung  pun mengunjungi mereka dengan berbagai cara. Tetapi kebanyakan Ki Tumenggung berada di penginapan yang berada di Manjung atau di Mungge.

Namun dalam pada itu, Paksi masih belum mendapat petunjuk, di manakah adiknya disembunyikan bersama beberapa orang anak muda yang disebut angkatan mendatang. Bahkan Paksi pun cenderung menduga, bahwa adiknya tidak berada di padepokan itu.

“Jika adikku tidak berada di sana, maka sebaiknya padepokan itu langsung saja dikepung dan dihancurkan” berkata Paksi di dalam hatinya.

Namun setiap kali Ki Ajar masih juga memperingatkan, agar Paksi tetap bersabar.

Sementara Paksi masih selalu mengamati padepokan itu, seorang pengikut Ki Gede Lenglengan telah turun dari padepokannya dan pergi ke pasar Manjung untuk melihat keadaan penginapan yang telah menjadi ramai kembali.

Tetapi ternyata bahwa Wijang dan Paksi sempat melihat orang itu melewati sekat yang membatasi dunianya dengan dunia di luarnya menjelang dini hari.

Dengan hati-hati Wijang dan Paksi pun telah turun pula. Mereka yakin, bahwa orang itu akan pergi ke pasar Manjung, karena hari itu adalah hari pasaran.

“Mungkin orang itu turun untuk membeli kebutuhan sehari-hari di pasar” berkata Paksi.

“Mungkin. Tetapi mungkin pula orang itu ingin melihat penginapan yang sudah menjadi ramai kembali”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan melihat, apa yang akan dilakukannya”

Wijang dan Paksi pun mengikuti orang itu dari jarak yang tidak terlalu dekat. Seandainya orang itu lepas dari pengawasan mereka, keduanya yakin bahwa mereka akan dapat menjumpai orang itu di pasar dan sekitarnya.

Orang itu memasuki Desa Manjung pada saat cahaya fajar mulai nampak. Pasar Manjung memang sudah mulai sibuk. Beberapa orang mulai menggelar dagangan mereka. Beberapa orang memang sudah berada di Manjung sejak semalam. Mereka mulai berani menginap di penginapan sambil membawa dagangan mereka, sehingga pagi-pagi sekali mereka sudah dapat menyiapkannya di pasar.

Orang itu memang tidak langsung masuk ke dalam pasar. Tetapi orang itu telah duduk di depan seorang penjual nasi megana. Nasinya yang masih mengepul memang sangat menarik perhatian.

Wijang dan Paksi yang mengawasi orang itu, tidak mendekat. Mereka justru duduk di sebelah regol pasar, di depan warung penjual nasi tumpang. Seperti pada penjual nasi megana, maka nasinya pun juga masih hangat.

“Aku memang lapar” berkata Wijang.

Paksi pun tersenyum. Katanya, “Nasi kita masih ada. Bukankah kita semalam telah mengasapi beberapa ekor kutuk?”

Wijang tersenyum. Katanya, “Tetapi sudah dingin. Lihat, nasi ini masih hangat. Bahkan lembayung dan kangkung yang direbus itu juga masih hangat”

Paksi tersenyum. Namun matanya tidak terlepas dari orang yang sedang makan nasi megana di seberang.

“Aku belum pernah melihat penjual nasi megana itu, Bibi” berkata Paksi tiba-tiba sambil menyuapi mulutnya.
“Kau memperhatikan penjual nasi megana itu, anak muda?” bertanya perempuan separo baya yang menjual nasi tumpang itu.

“Tidak. Hanya aku belum pernah melihatnya”

“Apakah kau sering kemari, anak muda?”

“Ya. Bukankah aku sudah beberapa kali duduk dan makan di sini? Tetapi mungkin tidak sepagi ini. Kadang-kadang memang agak siang”

“Tetapi aku belum pernah melihat kalian”

“Bibi memang pelupa. Baru kemarin dulu aku makan di sini”

“Aku hanya berjualan di hari pasaran”

“O” Paksi menjadi gagap. Namun katanya kemudian, “Maksudku di hari pasaran kemarin”

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian berkata, “Perempuan muda yang cantik penjual nasi megana itu sudah lama berjualan di situ. Tetapi juga hanya pada hari-hari pasaran. Tetapi sudah sejak beberapa pasaran ia tidak berjualan lagi”

“Sekarang ia berjualan lagi” desis Paksi.

“Sudah dua pasaran ini ia nampak berjualan di situ. Sebenarnya ia merupakan saingan terberat bagiku. Mungkin karena ia masih muda dan cantik, maka lebih banyak orang membeli nasi megananya daripada nasi tumpangku, meskipun nasi tumpangku tidak kalah enak dari nasi megana perempuan muda yang cantik itu”

“Tentu, Bi. Nasi tumpang Bibi lebih enak dari nasi megana, meskipun penjualnya muda dan cantik”

Namun tiba-tiba Wijang pun menyela, “Sebenarnya Bibi juga tidak kalah cantik. Kemenangan perempuan itu hanyalah pada kemudaannya”

“Ah, kau ini ada-ada saja. Tetapi biarlah, untuk pujian ini aku akan menambah bumbu tumpangnya pada nasi tumpangmu. Itu kalau kau mau tambah lagi”

Wijang tertawa.

Namun perempuan muda yang menjual nasi megana itu memang menarik perhatian. Bukan karena kecantikannya. Tetapi keasyikannya berbicara dengan orang yang baru turun dari Padepokan Watukambang yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan.

“Sst” desis perempuan penjual nasi tumpang itu, “nasimu nanti tumpah. Kenapa kalian tidak membeli nasi megana saja jika kalian memang tertarik kepada perempuan itu?”

“Ah, tidak. Tidak, Bi” sahut Wijang.

Sementara itu, dua orang lagi telah duduk pula di depan penjual nasi megana yang cantik itu. Dua orang laki-laki yang agaknya juga baru saja datang. Mereka nampaknya tidak sempat makan pagi dari rumahnya.

Tetapi kehadiran kedua orang laki-laki itu tidak lagi memberi kesempatan perempuan itu berbicara bersungguh-sungguh dengan orang yang baru turun dari padepokan Ki Gede Lenglengan itu.

Beberapa saat kemudian, maka laki-laki yang baru turun dari padepokan itu pun telah bangkit berdiri. Wijang dan Paksi melihat bahwa orang itu tidak membayar nasi yang dimakannya.

Dalam pada itu, maka Wijang dan Paksi pun telah selesai makan. Setelah membayar harga nasi tumpang yang mereka makan, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu.

“Ada beberapa kemungkinan” desis Wijang, “laki-laki itu adalah saudaranya. Mungkin suaminya atau bakal suaminya. Mungkin pula mereka mempunyai hubungan gelap”

“Tetapi menarik untuk mengetahui di mana perempuan itu tinggal”

“Ternyata kita salah mengambil langkah. Kita tidak makan nasi megana saja, sehingga kita sempat berbincang-bincang dengan perempuan cantik itu. Sekarang, kita tidak dapat melakukannya. Penjual nasi tumpang itu akan dapat menjadi marah jika ia melihat kita membeli nasi megana”

“Nanti, jika nasinya habis, kita lihat, ke mana perempuan itu pergi”

Keduanya pun kemudian berusaha untuk dapat mengamati orang yang baru turun dari Padepokan Watukambang itu. Ternyata orang itu memang berjalan hilir-mudik di dekat penginapan yang telah dibuka kembali. Bahkan kemudian orang itu pun duduk di dekat penjual dawet yang sedang berhenti di dekat dinding halaman penginapan yang rendah itu.

Wijang dan Paksi masih saja memperhatikannya. Ternyata orang itu membeli semangkuk dawet cendol. Namun orang itu telah memberikan uang pula kepada penjual dawet itu.

Beberapa saat orang itu duduk termangu-mangu. Sementara itu matahari pun telah memanjat langit. Semakin lama menjadi semakin tinggi.

Wijang pun menggamit Paksi ketika ia melihat perempuan cantik penjual nasi megana itu berjalan sambil menggendong sisa dagangannya melintasi jalan di depan halaman penginapan.

Begitu perempuan itu lewat, maka laki-laki yang mereka awasi itu pun bangkit berdiri. Perempuan itu berhenti sejenak. Mereka berbicara beberapa patah kata. Baru kemudian perempuan itu pergi.

“Nah” berkata Wijang, “siapakah yang akan kita awasi sekarang? Perempuan itu atau laki-laki yang masih berdiri di depan penginapan itu?”

“Biarlah perempuan itu berlalu. Kita tetap di sini”

Wijang pun mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah Wijang dan Paksi pun duduk agak jauh dari laki-laki itu. Mereka berdua duduk di antara beberapa orang yang sedang duduk beristirahat pula di pinggir jalan.

Ternyata laki-laki itu memang sedang mengawasi penginapan itu. Agaknya ia ingin tahu kekuatan yang melindungi orang-orang yang sedang menginap. Sementara itu, di serambi penginapan itu, tiga orang upahan duduk berjaga-jaga di amben panjang. Sedangkan dua orang yang lain sedang sibuk membersihkan halaman.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka orang itu pun telah bangkit berdiri dan melangkah pergi.

Wijang dan Paksi pun telah bersiap-siap untuk mengikutinya. Namun ternyata orang itu pergi ke pintu gerbang pasar dan masuk ke dalamnya.

“Apakah kita akan masuk ke pasar pula?” bertanya Paksi.

“Apa salahnya” sahut Wijang.

Paksi pun mengangguk-angguk. Tetapi sebelum mereka pergi ke pintu gerbang, orang itu sudah keluar dari gerbang pasar. Justru tidak sendiri.

“Orang itu berdua sekarang” desis Paksi.

Wijang termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut diamatinya kedua orang itu yang justru telah pergi ke penginapan itu.

“Apa yang akan mereka lakukan?” desis Paksi.

“Mereka tentu akan menginap di penginapan itu pula. Tetapi kita dapat memperhitungkan apa yang akan mereka lakukan”

Paksi mengangguk-angguk.

Beberapa saat lamanya keduanya menunggu. Mereka melihat kedua orang itu berbicara dengan orang yang berjaga-jaga di penginapan itu.

“Mereka agaknya memang akan menginap” berkata Wijang.

Ketika kedua orang itu masuk ke dalam penginapan untuk menemui pemiliknya, maka Wijang telah mendekati dinding dan memberi isyarat kepada para penjaga di serambi penginapan itu.

Seorang di antara para penjaga itu telah memberi tahu kepada kedua orang yang sedang membersihkan halaman, agar seorang di antara mereka pergi menemui Wijang.

Dengan cepat Wijang pun memberikan pesan-pesannya tentang kedua orang itu.

“Kembalilah ke kerjamu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Malam nanti kalian harus bersiaga sepenuhnya. Aku akan berada di sekitar tempat ini. Tetapi aku tidak akan menginap di penginapan itu”

Orang itu mengangguk. Ia pun segera kembali masuk ke halaman penginapan untuk meneruskan kerjanya.

Sebenarnyalah kedua orang itu memang menyatakan untuk menginap di penginapan itu. Untunglah bagi mereka, bahwa mereka masih mendapatkan tempat, meskipun di sebuah amben yang nampaknya susulan yang dapat mereka pergunakan untuk berdua.

“Barang-barangku masih ada di pasar” berkata orang yang nampaknya telah dihubungi oleh laki-laki yang turun dari padepokannya itu. “Nanti setelah pasar menjadi sepi akan aku bawa kemari. Namun nampaknya sebagian besar daganganku telah laku”

“Apa yang Ki Sanak bawa ke pasar?”

“Kain lurik, setagen dan selendang”

Pemilik penginapan itu mengangguk-angguk. Sementara laki-laki yang akan menginap itu berkata selanjutnya, “Orang-orang di seberang sungai banyak yang mengambil bahan-bahanku. Mereka tentu akan dijual lagi. Harga yang aku pasang juga terhitung murah”

“Syukurlah jika dagangan yang Ki Sanak bawa dapat habis semuanya”

Kedua orang itu pun kemudian telah minta diri untuk pergi ke pasar. Mereka masih akan menunggui barang-barang mereka yang tersisa sampai saatnya pasar menjadi sepi.

Wijang dan Paksi pun tidak mengikutinya lebih lama lagi. Mereka sudah mendapat kesimpulan, apa yang kira-kira akan mereka lakukan.

“Cara ini lebih baik daripada kita mengepung dan menghancurkan Padepokan Watukambang itu, Paksi” berkata Wijang kemudian.

“Maksudmu?”

“Dengan cara ini, kita dapat menghancurkan mereka sedikit demi sedikit di luar padepokan, sehingga tidak akan terjadi salah langkah atas anak-anak muda yang disebut angkatan mendatang. Yang akan datang kemari tentu orang-orang yang sudah ditentukan. Mereka tentu sudah memiliki pengalaman yang cukup untuk melakukan perampokan pada sasaran-sasaran yang terhitung berat”

Paksi mengangguk-angguk.

“Jika hari ini para prajurit dapat membunuh dan menangkap sebagian dari para perampok itu, maka jumlah mereka sudah dikurangi. Dendam mereka akan membawa sebagian dari mereka datang lagi. Semakin lama penghuni padepokan itu akan menjadi semakin sedikit”

Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita akan menunggu malam”

“Di sini?”

“Kita dapat melihat-lihat lingkungan ini. Tetapi jangan ke arah sekat dari padepokan itu, karena hal itu akan dapat menimbulkan kecurigaan jika terlihat oleh orang-orang mereka yang ternyata banyak berkeliaran di sini”

“Kita pergi ke sungai”

“Ke sungai?”

“Ya”

“Kau akan berendam?”

“Antara lain”

“Kenapa antara lain?”

Paksi tersenyum. Katanya, “Selain berendam, aku mempunyai keperluan lain”

Wijang tidak bertanya lagi. Ia justru berpaling, memandang ke kejauhan sambil berdesis, “Ada-ada saja kau, Paksi”

Paksi tersenyum. Tetapi ia pun terdiam.

Keduanya pun kemudian telah turun ke sungai. Mereka berdua memang mandi sambil mencuci pakaian mereka, kemudian dijemurnya di atas batu yang besar agar cepat menjadi kering.

Mereka sengaja melakukan apa saja untuk melupakan waktu yang terasa berjalan sangat lamban.

Sementara itu, para prajurit yang berada di penginapan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Seorang di antara mereka mencoba untuk meyakinkan, apakah kedua orang yang menginap di penginapan itu, sebagaimana dipesankan oleh Wijang dan Paksi, termasuk orang-orang yang berbahaya.

Ketika pasar menjadi sepi, maka kedua orang itu telah kembali ke penginapan. Seorang di antara mereka hanya membawa beberapa lembar kain yang dibungkus dengan kain pula.

Kepada orang-orang yang sudah berada di penginapan, orang itu selalu berkata, “Daganganku laris hari ini. Semuanya habis terjual. Tinggal beberapa lembar ini”

“Syukurlah” jawab seorang pedagang yang lain. Katanya pula, “Aku juga berdagang kain. Kainku termasuk laku di pasar ini. Tetapi aku masih harus membawa pulang dua bungkus kain dan selendang”

“Ki Sanak memberikan harga terlalu mahal, barangkali” jawab orang yang ditemui oleh pengikut Ki Gede Lenglengan itu.

“Tidak. Harga kainku wajar. Mungkin harga kain yang Ki Sanak pasang terlalu murah”

“Mungkin, Ki Sanak. Asal tidak rugi saja”

Pedagang itu mengangguk-angguk.

Di sore hari, penginapan itu menjadi semakin ramai. Di antara mereka yang menginap adalah Ki Resatama. Meskipun Ki Resatama itu tidak bertugas di Manjung atau di Mungge, tetapi ia selalu mengamati tugas prajurit-prajuritnya.

Hari itu, di hari pasaran, Ki Resatama memerlukan datang untuk menginap di penginapan itu. Dari seorang prajurit, Ki Resatama segera mendapat laporan, bahwa ada dua orang yang mencurigakan menginap di penginapan itu. Menurut Pangeran Benawa, keduanya harus diawasi. Bahkan mungkin malam nanti, kawan-kawan mereka akan datang.

“Untunglah, bahwa hari ini aku datang kemari”

Ki Resatama pun segera memerintahkan seorang pengawalnya untuk menghubungi para prajurit yang berada di hutan tidak terlalu jauh dari Manjung.

“Mereka harus bersiaga dan bahkan mendekati penginapan ini. Jika mereka diperlukan, mereka sudah siap untuk melibatkan diri. Tetapi harus tetap dalam penyamaran. Jangan
ada tanda-tanda keprajuritan”

“Bagaimana dengan kawan-kawan kita di Mungge?”

“Kita tidak usah menghubungi. Biarlah mereka menjaga penginapan di Mungge. Mungkin saja para perampok justru datang ke sana, bukan ke Manjung”

Pengawal itu mengangguk-angguk. Dengan hati-hati pengawal itu pergi menemui beberapa orang prajurit yang berkemah di pinggir hutan yang terlindung. Pengawal itu telah menyampaikan perintah Ki Tumenggung Yudatama, yang dikenal di penginapan bernama Ki Resatama.

“Baiklah” jawab seorang lurah prajurit yang bertugas memimpin kawan-kawannya.

“Jangan mengenakan ciri-ciri keprajuritan”

Lurah prajurit itu mengangguk.

Di sore hari, Wijang dan Paksi masih berkeliaran agak jauh di sekitar penginapan. Tiba-tiba saja mereka melihat perempuan cantik yang berjualan nasi megana itu telah menggelar dagangannya tidak jauh dari penginapan. Tiga orang telah duduk di atas tikar yang dibentangkan di dekat regol halaman yang pagarnya agak lebih rendah dari dinding halaman kebanyakan.

“Kita juga membeli nasi megana”

Keduanya pun kemudian telah duduk di tikar yang telah dibentangkan itu pula.

Ketika ketiga orang yang membeli terdahulu sudah bangkit berdiri dan meninggalkan penjual nasi yang cantik itu, Wijang dan Paksi mendapat kesempatan untuk berbicara leluasa dengan perempuan cantik itu.

“Sudah lama Mbokayu berjualan nasi megana?” bertanya Wijang.

“Sudah” jawab perempuan itu.

“Sejak berapa tahun yang lalu?”

“Tiga tahun” jawab perempuan itu.

“Suami Mbokayu tidak keberatan Mbokayu berjualan di sini? Bukankah biasanya sampai malam turun?”

“Aku belum bersuami. Tetapi seandainya sudah, kenapa keberatan? Bukankah aku tidak berbuat apa-apa selain menjual nasi megana?”

“Maksudku, apakah Mbokayu selalu dijemput atau pulang sendiri malam-malam?”

“Ah, pertanyaanmu aneh-aneh saja, Ki Sanak”

“Begini, Mbokayu” Wijang tersenyum-senyum, “jika tidak ada yang mengantarkan Mbokayu pulang, biarlah aku saja yang mengantarkannya. Barangkali membantu membawa bakul dan perlengkapan lainnya atau apa saja”

“Ah. Kau ini ada-ada saja, Ki Sanak”

Paksi pun kemudian menyahut, “Pokoknya, kami ingin mengantarkan Mbokayu pulang”

Perempuan itu tertawa tertahan. Katanya, “Sudah, ah. Kalian tambah lagi atau tidak?”

“Tentu. Tentu, Mbokayu” jawab Wijang. “Biasanya kami tidak terlalu banyak makan. Tetapi nasi megana Mbokayu membuat kami merasa kelaparan”

Perempuan itu tertawa pula.

Namun tiba-tiba seseorang berdiri di sebelah perempuan yang berjualan nasi megana itu sambil bertolak pinggang.

“Apa yang kalian lakukan di sini, he?”

Wijang dan Paksi termangu-mangu. Orang itu adalah orang yang diketahuinya keluar dari sekat Padepokan Watukambang.

“Kami membeli nasi megana” jawab Wijang.

“Bohong. Kalian ganggu istriku”

“Jika aku mengganggunya, ia tentu akan berteriak minta tolong. Bukankah tempat ini bukan tempat yang sepi. Orang-orang yang berada di penginapan itu akan berlari-lari keluar”

“Kau ganggu istriku dengan cara yang lain. Tertawa-tawa dan kalian bahkan telah merayunya”

“Bertanyalah kepada istrimu. Eh, apakah benar ia istrimu?”

“Kau tidak percaya, bahwa perempuan itu adalah istriku?”

“Percaya. Tentu percaya. Tetapi kami tidak mengganggunya”

“Keduanya tidak mengganggu aku, Kakang” berkata perempuan itu. “Mereka hanya membeli nasi seperti yang lain”

“Tetapi anak muda ini tertawa-tawa dengan gayanya yang mencurigakan”

“Nampaknya sudah menjadi kebiasaan mereka, Kakang. Tetapi yang mereka tanyakan adalah reramuan nasi megana ini”

“Itu cara mereka untuk dapat berbincang-bincang panjang dengan kau”

“Sudahlah, Kakang. Jangan marah-marah saja. Duduklah”

Laki-laki itu pun kemudian duduk di sebelah perempuan penjual nasi megana itu. Namun orang itu masih menggeram, “Jika kalian ganggu calon istriku, maka aku bunuh kalian berdua”

“Jangan terlalu garang. Aku tidak akan mengganggu siapa-siapa di sini”

“Pergilah” geram orang itu.

“Kau aneh, Ki Sanak. Kenapa kau tidak marah kepada orang-orang lain yang membeli nasi di sini?”

“Sikap orang lain tidak seperti sikapmu berdua. Cepat, selesaikan dan pergilah”

Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya, “Jadi perempuan ini calon istrimu, belum istrimu?”

“Apa bedanya, he? Aku tampar mulutmu”

Paksi menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus menahan diri. Sementara itu, langit pun menjadi gelap. Di regol halaman penginapan telah dipasang oncor. Sedangkan dari pintu penginapannya yang terbuka, nampak sinar lampu minyak memancar keluar.

Beberapa orang masih nampak hilir-mudik di halaman. Yang lain duduk-duduk di lincak panjang, di serambi. Di bagian dalam regol halaman, dua orang upahan berdiri mengawasi keadaan. Namun keduanya sudah melihat Paksi dan Wijang berkeliaran di luar regol halaman penginapan itu.

Setelah membayar harga nasi megana yang mereka makan, maka Paksi dan Wijang pun bangkit berdiri dan meninggalkan perempuan cantik penjual nasi itu.

“Kita belum sempat bertanya, di mana perempuan itu tinggal” desis Wijang.

“Laki-laki itu tentu curiga bahwa pembicaraan kita akan mengarah ke sana. Ia bukan semata-mata cemburu. Perempuan itu mungkin bukan calon istrinya. Tetapi laki-laki itu tentu lebih condong untuk melindungi rahasia padepokannya”

“Ya” Wijang mengangguk-angguk, “perempuan itu sebenarnya akan dapat menjadi rambatan untuk mendapat keterangan tentang padepokan itu”

Keduanya pun terdiam. Namun keduanya bahkan menjauhi regol penginapan. Mereka tidak ingin pemilik penginapan itu melihat mereka berdua berkeliaran, namun tidak masuk ke dalam penginapan itu.

Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin dalam, keadaan di sekitar penginapan itu menjadi sepi. Para penjual nasi dan makanan serta minuman sudah tidak ada lagi. Yang nampak hilir-mudik di halaman adalah dua orang upahan yang menjaga regol dan dua orang lainnya menjaga pintu yang masih sedikit terbuka.

Sementara itu, pemilik penginapan itu pun seperti biasanya melihat-lihat keadaan di sekitar penginapannya. Kepada dua orang yang menyertainya, pemilik penginapan itu pun berkata, “Nampaknya tidak ada apa-apa”

“Agaknya memang tenang-tenang saja. Tetapi seorang kawanku sedang mengamati dua orang yang agaknya menarik perhatian”

“Keduanya menginap?”

“Ya. Nanti kawanku itu akan memberikan laporan, apabila ia sudah mendapat kesimpulan”

Pemilik penginapan itu mengangguk-angguk. Bersama kedua orang yang menyertainya melihat-lihat keadaan penginapannya, pemilik penginapan itu memasuki ruang penginapan. Nampaknya memang tenang-tenang saja. Apalagi ruang penginapan bagi perempuan dan kanak-kanak. Tidak ada tanda-tanda apa-apa yang dapat menimbulkan kecurigaan.

Namun ketika pemilik penginapan itu keluar, maka salah seorang yang berjaga-jaga di pintu penginapan itu menemuinya dan berbisik, “Ada yang mencurigakan. Sebaiknya kita bersiap-siap”

“Kau yakin? Di mana kawan-kawan kalian?”

“Selain yang bertugas, mereka sedang beristirahat”

“Beritahu mereka agar mereka bersiap-siap jika terjadi sesuatu malam nanti. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa”

Di dalam penginapan, Ki Resatama dan dua orang pengawalnya sudah berbaring di amben yang besar bersama-sama dengan tiga orang lain. Namun agaknya ketiganya terlalu letih, sehingga ketiganya sudah tidur dengan nyenyak. Di sudut, seorang saudagar yang kaya masih duduk bersila sambil menyilangkan tangan di dadanya. Seorang pengawalnya duduk di sebelahnya, sedang seorang yang lain telah tidur mendengkur.

“Pemalas” desis pengawalnya yang masih belum tidur.

“Biarkan saja” berkata saudagar itu. “Nanti bahkan dapat bergantian dengan kau setelah lewat tengah malam”

Pengawalnya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Di sisi lain, dua orang masih duduk bersandar dinding. Mereka bahkan masih berbincang-bincang dengan asyiknya. Agaknya keduanya masih belum mengantuk.

Sedangkan di sudut, dua orang yang selalu berada dalam pengawasan para petugas di penginapan itu, meskipun sudah berbaring, tetapi ternyata mereka masih belum tidur pula.

Malampun semakin lama menjadi semakin larut. Wijang dan Paksi ternyata berada di halaman samping rumah sebelah. Mereka berusaha melepaskan diri dari penglihatan siapa pun juga. Di halaman yang gelap itu, mereka duduk terkantuk-kantuk. Nyamuk kebun yang besar-besar merubungi tubuh mereka. Gigitannya terasa sangat gatal di kulit mereka.

Ketika di banjar Padukuhan Manjung terdengar suara kentongan dalam irama dara muluk, maka orang yang sempat dilihat Wijang dan Paksi keluar dari sekat Padepokan Watukambang itu pun keluar dari ruang penginapan. Seorang di antara kedua orang yang berjaga-jaga di luar pintu itu pun bertanya, “Ke mana, Ki Sanak?”

“Aku akan ke pakiwan”

Penjaga itu tidak bertanya lebih jauh. Namun penjaga yang seorang lagi telah pergi menemui para penjaga di pintu regol sambil berkata, “Berhati-hatilah. Selarak regol rapat-rapat. Nampaknya mereka memanfaatkan suara kentongan di banjar”

“Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang lain?”

“Aku akan mempersiapkan mereka”

Penjaga itu pun kemudian telah pergi ke belakang bangsal penginapan itu. Orang itu memasuki sebuah barak kecil yang mereka pergunakan sebagai tempat tinggal.

Dengan isyarat, maka penjaga itu telah memberitahukan kepada kawan-kawannya agar mereka bersiap-siap. Orang yang pergi ke pakiwan itu ternyata tidak segera kembali. Setelah kawannya kembali dari barak kawan-kawannya, maka penjaga yang lain telah menyusul orang yang pergi ke pakiwan itu. Namun ternyata orang itu tidak berada di pakiwan.

Dengan cepat penjaga itu kembali untuk memberitahukan kepada kawannya, bahwa agaknya permainan sudah hampir dimulai.

Demikianlah, maka para penjaga itu pun segera keluar dari barak kecil mereka. Tanpa mendapat perintah dari pemilik penginapan mereka sudah menempatkan diri mereka masing-masing.

Setelah beberapa hari mereka berada di penginapan itu, maka para prajurit itu pun benar-benar telah mengenal tempat itu dengan baik. Mereka sudah tahu pasti, di mana mereka harus berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan.

Selain mereka yang berada di dalam halaman penginapan, maka dua orang di antara mereka telah menyusup keluar untuk mengamati keadaan di luar penginapan.

Sebenarnyalah, bahwa sekelompok orang sedang merayap mendekati penginapan. Mereka tidak lagi mempergunakan isyarat apa-apa. Mereka memanfaatkan suara kentongan di banjar tepat di tengah malam sebagai aba-aba untuk mulai merayap mendekati penginapan.

Wijang dan Paksi yang berada di halaman sebelah  pun segera menyadari kesiagaan para prajurit. Seorang di antara para prajurit itu telah memberikan isyarat dengan melemparkan batu kerikil, karena Wijang telah memberikan pesan kepada mereka, bahwa ia dan Paksi akan berada di halaman sebelah.

Halaman penginapan itu tampaknya sepi-sepi saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa para prajurit yang telah menjadi orang-orang upahan di penginapan itu telah bersiaga sepenuhnya.

Tiba-tiba saja sepi malam itu telah terkoyak ketika terdengar suara burung hantu. Suaranya terdengar jauh, ngelangut dihanyutkan oleh angin malam yang dingin.

Suara burung hantu itu memang mengejutkan. Bahkan orang-orang yang sedang merayap mendekati dinding penginapan itu pun terkejut. Mereka telah sepakat, tidak akan terdengar isyarat apa  pun selain suara kentongan yang tentu akan berbunyi di banjar pada saat malam mencapai puncaknya.

“Siapakah yang membunyikan isyarat?” bertanya seorang yang bertubuh raksasa yang memimpin sekelompok orang dari padepokan.

“Entahlah” jawab seorang perempuan, “tentu bukan orang-orang kita”

“Setan alas” geram orang bertubuh raksasa itu. “Tentu orang-orang upahan yang bertugas mengawasi lingkungan ini”

“Apa peduli kita. Jumlah mereka hanya sedikit” jawab perempuan itu.

“Kau yakin?”

“Aku yakin”

“Jika demikian, kita harus dengan cepat memasuki halaman penginapan itu. Kita bunuh setiap orang-orang upahan yang bersedia bekerja pada pemilik penginapan itu”

“Orang-orang yang menginap tentu akan ikut bertempur”

“Mereka tidak banyak berarti”

Demikianlah, maka pemimpin dari para pengikut Ki Gede Lenglengan itu pun telah memberikan perintah dengan isyarat. Suitan yang nyaring terdengar menggetarkan udara di sekitar penginapan itu. Sambung-menyambung.

Dalam pada itu, pemilik penginapan itu pun telah keluar dari rumahnya pula. Seorang dari para prajurit yang menjadi orang upahan di rumah itu telah menghubunginya dan memperingatkannya, bahwa bahaya akan dapat mendatangi penginapan itu.

“Kita akan bersiap” berkata pemilik penginapan itu. “Apakah kalian sudah bersiap?”

“Kawan-kawan sudah berada di tempat mereka masing-masing”

“Di mana?”

“Di halaman”

“Berapa orang?”

“Bukankah jumlah kami ada lima belas?”

“Semuanya sudah bersiap?”

“Sudah”

Pemilik penginapan itu sempat ragu-ragu sejenak. Orang-orang yang diupahnya untuk menjaga penginapan itu justru terlalu cepat bertindak sebelum ia memberikan perintah apapun.

“Apakah mereka justru bagian dari para perampok itu?” pertanyaan itu sempat muncul di dalam hatinya.

Tetapi sudah tidak ada waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Pemilik penginapan itu tinggal pasrah. Jika mereka bagian dari para perampok, maka hancurlah semuanya.

Namun pemilik penginapan itu sempat berdoa di dalam hatinya. Dengan tergesa-gesa pemilik penginapan itu pun memasuki ruang penginapan untuk membangunkan mereka. Tetapi sebagian besar dari mereka sudah terbangun.

Seorang saudagar tiba-tiba saja berteriak, “Kau bertanggung
jawab atas keselamatan kami”

“Kami akan berusaha” jawab pemilik penginapan itu.

Namun seorang yang lain berkata, “Kita tidak dapat tinggal diam. Kita  pun wajib melindungi milik kita sendiri”

Tetapi seorang yang lain lagi berkata, “Kita tidak perlu ikut campur. Itu adalah tugas pemilik penginapan ini serta orang-orang upahannya. Kita tinggal menunggu di sini. Jika pemilik penginapan itu gagal memberikan perlindungan, maka justru orang itulah yang harus kita bantai di sini”

Sebelum pemilik penginapan itu menjawab, justru seorang upahan yang menyertainyalah yang menjawab, “Ki Sanak, kami telah mencurigai Ki Sanak sejak Ki Sanak memasuki penginapan ini. Kawan Ki Sanak sekarang pergi tanpa kami ketahui. Karena itu, biarlah Ki Sanak ikut kami. Ki Sanak harus kami tempatkan di tempat yang khusus”

“Gila. Kenapa kau mencurigai aku?”

“Aku telah dihubungi oleh seorang kawanmu yang mencurigakan. Penjual nasi megana dan tentu masih ada yang lain. Kami sudah mendapat keterangan yang jelas tentang Ki Sanak”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berteriak, “Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti itu”

“Kami hanya ingin memenuhi keinginan Ki Sanak. Marilah, Ki Sanak kami persilahkan tinggal di bilik khusus. Ki Sanak tinggal menunggu. Kamilah yang akan melindungi mereka yang sedang menginap”

Orang itu berdiri tegak mematung. Namun tiba-tiba saja orang itu mencabut pedangnya dan langsung menyerang pemilik penginapan yang sedang termangu-mangu.

Pemilik penginapan yang tidak menduga bahwa orang itu akan menyerangnya, tidak sempat berbuat apa-apa. Ujung pedang itu meluncur demikian cepatnya mengarah ke jantungnya.

Namun ketika ujung pedang itu tinggal sejengkal menggapai dadanya, maka tiba-tiba saja orang itu berteriak. Kaki orang yang dianggapnya orang upahan itu tepat menghantam pergelangan tangannya, sehingga pedangnya bukan saja terangkat, tetapi terlepas dari tangannya.

Orang itu meloncat selangkah surut. Tetapi ruangan terlalu sempit, sehingga orang itu tidak dapat bergerak lebih jauh. Pedangnya yang terlempar, hampir saja mengenai seorang yang baru saja bangkit dari pembaringannya. Untunglah bahwa pedang itu tidak menyentuhnya.

Namun seorang yang berada di belakang orang yang berusaha menusuk pemilik penginapan itu, hampir di luar sadarnya telah memukul tengkuknya, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung jatuh tertelungkup.

Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka orang upahan itulah yang memukulnya. Demikian kerasnya sehingga orang itu pun kembali menelungkup di lantai. Pingsan.

“Bersiaplah” berkata orang upahan itu, “para perampok itu akan segera memasuki halaman penginapan ini”

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang sedang menginap itu pun telah bersiap. Para saudagar dan pedagang bersama para pengawalnya telah menggenggam senjata pula. Ki Resatama yang menginap pula di penginapan itu pun berteriak, “Kita lindungi milik kita masing-masing. Jangan bebankan kepada orang lain, meskipun orang lain itu akan bersedia membantu kita. Kita sendirilah yang bertanggung jawab atas milik kita”

Sejenak kemudian mereka pun telah berlari-larian keluar dengan senjata mereka masing-masing. Ki Resatama adalah orang yang pertama berlari keluar bersama kedua orang pengawalnya.

Demikian orang-orang yang menginap itu keluar, maka para pengikut Ki Gede Lenglengan telah berada di luar dinding penginapan yang rendah itu.

“Jangan mencoba melawan” teriak orang yang bertubuh raksasa, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di atas dinding halaman penginapan itu.

Yang menjawab justru Ki Resatama, “Bukankah kami berhak melindungi harta kekayaan kami? Pergilah. Kami semua sudah siap. Kalian tidak akan berhasil sebagaimana yang pernah kalian lakukan”

“Apa yang pernah kami lakukan? Kami pernah mengambil semua harta kekayaan orang-orang yang menginap di sini tanpa banyak perlawanan. Meskipun demikian kami terpaksa membunuh karena ada beberapa orang yang keras kepala. Sekarang  pun kami akan terpaksa membunuh jika ada yang keras kepala”

“Yang akan terjadi justru sebaliknya. Kamilah yang akan membunuh kalian” jawab Ki Resatama yang berada di penginapan itu sebagai seorang pedagang. Di belakangnya dua orang pengawalnya telah siap pula menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, di halaman itu pun telah bertebaran orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang upahan untuk melindungi penginapan itu.

Pemilik penginapan itu sendiri justru hanya berdiam diri. Tiba-tiba saja persoalannya seakan-akan telah diambil alih oleh pedagang yang bernama Resatama itu.

Orang bertubuh raksasa yang berdiri di atas dinding halaman penginapan itu berteriak sekali lagi. Suaranya menggelegar seperti suara guntur yang meledak di langit, “Menyerahlah. Biarkan kami mengambil semua yang ingin kami ambil. Kami berjanji untuk tidak menyakiti kalian semuanya”

“Kami tidak akan menyerahkan uang kami sekeping pun. Kami telah bekerja keras untuk mengumpulkan uang sekeping demi sekeping. Sekarang kalian datang begitu saja untuk mengambilnya” jawab pedagang yang menyebut dirinya bernama Resatama itu.

“Setan kau. Kaulah yang akan mati paling cepat dari semuanya yang ada di sini”

“Bukan kau yang menentukan mati dan hidupku”

Orang bertubuh raksasa itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja sekali lagi ia bersuit nyaring. Suaranya itu pun disambut oleh suitan-suitan sambung bersambung.

Orang bertubuh raksasa itu pulalah yang pertama-tama meloncat memasuki halaman penginapan itu, disusul oleh orang-orangnya yang lain.

Nampaknya orang bertubuh raksasa itu benar-benar ingin membuktikan kata-katanya. Dengan serta-merta ia telah menyerang orang yang menyebut dirinya Ki Resatama.

Tetapi Ki Resatama itu pun telah bersiap menghadapinya. Di tangannya telah tergenggam sebilah pedang. Pedang Ki Resatama bahkan terhitung pedang yang besar dan panjang.

Orang bertubuh raksasa itu pun telah memutar senjatanya pula. Sebatang tongkat yang berwarna kehitam-hitaman. Tongkat baja yang berat. Namun di tangannya, tongkat itu nampaknya tidak lebih berat dari sebatang tongkat rotan.

Namun orang bertubuh raksasa itu terkejut. Ketika ia mengayunkan tongkat bajanya, Ki Resatama sengaja menangkisnya dengan pedangnya yang besar dan panjang itu.

Ketika benturan itu terjadi, orang yang bertubuh raksasa itu merasakan getaran yang kuat bagaikan mengalir dan mengguncang lengannya. Telapak tangannya terasa panas sehingga orang itu harus meloncat surut untuk mengambil jarak.

“Iblis manakah yang hinggap di dalam tubuhmu?” geram orang bertubuh raksasa itu

Ki Resatama tersenyum. Katanya, “Kau terlalu yakin akan kemampuanmu, Ki Sanak. Sehingga kau sangat merendahkan orang lain”

“Persetan dengan tenaga iblismu. Aku akan memecahkan kepalamu”

Orang bertubuh raksasa itu pun segera menyerangnya dengan garang. Tetapi Ki Resatama pun telah siap menghadapinya.

Sementara itu kedua orang pengawal Ki Resatama  pun telah menghadapi lawan mereka masing-masing. Orang-orang yang berwajah garang yang bertempur dengan kasar.

Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Gede Lenglengan itu pun sudah berloncatan memasuki halaman. Mereka tidak perlu merusak pintu, karena dinding halaman penginapan itu termasuk dinding yang rendah.

Namun orang-orang upahan yang bertebaran di halaman itu pun telah menyambut mereka pula. Bahkan orang-orang yang menginap yang tidak rela menyerahkan harta bendanya telah ikut bertempur pula. Sebagian dari mereka telah mendapat perlindungan langsung dari pengawal mereka masing-masing.

Pemilik penginapan itu berdiri termangu-mangu. Ternyata orang-orang yang diupahnya untuk melindungi orang-orang yang menginap itu benar-benar melaksanakan tugas mereka dengan sungguh-sungguh, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka.

Menurut penilaian pemilik penginapan itu, mereka justru jauh lebih baik dari orang-orang upahannya yang lama, yang telah mengundurkan dirinya.

Orang-orang upahannya yang baru itu bertempur dengan terampil dan berani. Mereka dengan tangkasnya memutar senjata mereka.

Dalam pada itu, pemilik penginapan itu menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya di antara mereka yang bertempur itu terdapat dua orang anak muda yang telah membawa orang-orang upahan itu kepadanya.

“Siapakah mereka sebenarnya? Apakah benar keduanya pengembara?” bertanya pemilik penginapan itu di dalam hatinya.

Pemilik penginapan itu menyaksikan keduanya bertempur di antara orang-orang upahannya dengan jantung yang berdebaran.

Namun pemilik penginapan itu tidak ingin berangan-angan saja, sementara orang lain bertempur untuk melindungi harta kekayaan orang-orang yang menginap di penginapannya itu.

Dengan senjata teracu di tangannya, maka pemilik penginapan itu pun segera telah turun ke arena pertempuran.

Sebenarnyalah Wijang dan Paksi telah bertempur pula di sudut halaman penginapan. Wijang telah memilih lawan seorang yang sangat menarik perhatiannya. Seorang perempuan yang dikenalinya sebagai penjual nasi megana di pasar dan di luar dinding halaman penginapan itu.

“Selamat malam, Mbokayu” sapa Wijang demikian ia berdiri di hadapan perempuan yang sedang bertempur dengan garangnya itu.

—- > Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. makin seru, sehingga terasa menunggunya luaaaamaaa banget

Tinggalkan komentar