ADBM-079


<<kembali | lanjut >>

Mohon maaf, kami tidak memiliki cover jilid 78 ini

———-oOo———-

DADA KI GEDE Pemanahan menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia mulai condong kepada pendapat bahwa agaknya Sultan Hadiwijaya sudah mengetahui apa yang terjadi atas putera angkatnya Raden Sutawijaya.

Jika demikian, maka selama ini yang dihadapi adalah sikap yang pura-pura saja dari Sultan. Sebenarnya Sultan Pajang itu telah menyimpan kemarahan yang membara didadanya. Namun agaknya dengan sengaja Sultan telah menyembunyikannya dan pada saatnya menumpahkannya sampai tuntas.

“Apakah Sultan Hadiwijaya sengaja menunggu Sutawijaya?” Ki Gede Pemanahan bertanya kepada diri sendiri

“Kakang,” berkata Sultan Hadiwijaya kemudian, “Jika Kakang Pemanahan datang ke Pajang tanpa memberitahukan lebih dahulu, dan datang sendirian tanpa Danang Sutawijaya, tentu Kakang membawa masalah yang cukup penting. Mungkin masalah Alas Mentaok yang semakin lama menjadi semakin ramai. Mungkin hubungan antara Mentaok yang sekarang disebut Mataram dengan daerah disekitarnya. Mangir, Menoreh atau barangkali dengan Senapati didaerah Selatan ini, Untara, atau persoalan-persoalan yang lain. Tetapi mungkin persoalan yang lebih bersifat pribadi seperti yang sudah aku katakan. Nah, Kakang Pemanahan, sebaiknya Kakang segera mengatakannya. Kakang tidak usah segan. Anggaplah aku masih seperti dahulu. Kakang bagiku adalah saudara tua yang banyak berjasa bukan saja kepadaku, tetapi juga kepada Pajang. Tanpa Kakang Pemanahan, maka persoalan yang terjadi di Kudus akan berakhir jauh lebih buruk dari yang telah terjadi. Mungkin aku sudah tidak dapat melihat terbitnya matahari lagi.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin tersiksa oleh sikap Sultan Hadiwijaya. Ia lebih senang jika Sultan Hadwijaya itu bersikap garang. Marah dan membentak-bentak. Atau bahkan dengan lantang menjatuhkan hukuman atasnya.

Tetapi kini Sultan Hadiwijaya tetap tersenyum dan dengan ramah bertanya kepadanya, apakah yang akan dikatakannya.

Sekilas teringat oleh Ki Gede Pemanahan atas apa yang pernah dilakukan oleh Sultan Pajang pada saat Adipati Jipang mulai menebarkan kekuasaannya yang ternyata kemudian gagal. Setelah Sunan Prawata terbunuh, kemudian disusul oleh Sunan Hadiri, terjadilah peristiwa itu. Dua orang utusan Adipati Jipang berhasil memasuki istana Pajang. Namun atas kesigapan Panglima Wira Tamtama yang saat itu dipegang oleh Ki Gede Pemanahan sendiri bersama Ki Penjawi, maka kedua orang itu tertangkap. Ternyata keduanya mendapat perintah untuk membunuh Sultan Hadiwijaya.

Tetapi kemudian apa yang terjadi? Sultan Hadiwijaya dengan sengaja memberi hadiah kepada kedua orang itu dan disuruhnya kembali ke Jipang. Ternyata bahwa hukuman yang sebenarnya diterima oleh orang-orang itu datang dari Arya Penangsang sendiri yang merasa terhina karena keduanya telah menerima hadiah dari Sultan Hadiwijaya.

Karena itu, Ki Gede Pemanahan menjadi semakin bimbang melihat sikap Sultan Hadiwijaya itu.

Namun akhirnya Ki Gede Pemanahan pun kemudian memaksa dirinya untuk mengatakan keperluannya kepada Sultan Hadiwijaya apapun yang akan dihadapinya. Katanya, “Ampun Kanjeng Sultan. Sebenarnyalah bahwa kedatangan hamba mempunyai suatu kepentingan yang bersifat sangat pribadi. Jika Kanjeng Sultan berkenan, hamba ingin menyebutkannya, apakah sebenarnya kepentingan hamba datang ke Pajang saat ini.”

“Tentu Kakang, tentu. Bukankah sejak tadi aku sudah mempersilahkan Kakang untuk mengatakan keperluan Kakang?”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas. Kemudian katanya, “Kanjeng Sultan, sebenarnyalah hamba membawa persoalan yang sangat rumit bagi hamba. Sebelum hamba mengatakannya biarlah hamba menyerahkan diri, pasrah hidup mati hamba kehadapan Kanjeng Sultan.”

“Kakang Pemanahan, apakah sebenarnya yang akan Kakang katakan? Kenapa Kakang pasrah hidup mati Kakang kepadaku seakan-akan Kakang pernah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan?”

“Ampun Kanjeng Sultan. Sebenarnyalah demikian. Hamba memang sudah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan atas kekhilafan hamba mengawasi Danang Sutawijaya, sehingga Sutawijaya telah melakukan perbuatan yang tercela.”

Sultan Hadiwijaya mengerutkan keningnya. Ditatapnya Ki Gede Pemanahan sejenak. Lalu dengan nada datar ia berkata, “Katakan.”

“Ampunkan hamba. Bahwa hal itu telah terjadi.”

“Hal yang manakah yang kau maksudkan?”

“Kanjeng Sultan. Adalah diluar kemampuan hamba untuk mencegahnya bahwa Danang Sutawijaya, putera angkat terkasih dari Kanjeng Sultan sendiri telah melanggar pagar ayu.”

“Katakan, katakan,” suara Sultan Hadiwijaya mulai berubah.

“Danang Sutawijaya dengan diam-diam telah melakukan hubungan dengan salah seorang gadis Kalinyamat, puteri dari Kanjeng Sunan Prawata yang sedianya diperuntukkan bagi Kanjeng Sultan. Bukankah kedua puteri itu hadiah Kanjeng Ratu Kalinyamat kepada siapa pun juga yang berhasil membinasakan Arya Penangsang, dan bukankah Kanjeng Sultan lah yang saat itu menyanggupinya dan sebenarnyalah Arya Penangsang telah terbunuh. Dengan demikian maka Kanjeng Ratu Kalinyamat tidak akan dapat ingkar dan menyerahkan kedua gadis itu kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

Sultan Hadiwijaya memejamkan matanya. Sejenak ia diam mematung.

Terasa jantung Ki Gede Pemanahan berdetak semakin keras. Dengan menahan nafas ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Sultan Hadiwijaya tentang Sutawijaya. Menilik sikapnya maka agaknya Sultan Hadiwijaya sedang menahan gejolak perasaan yang melanda dinding jantungnya.

Namun demikian Ki Gede pemanahan sama sekali tidak dapat meraba, apakah yang akan dikatakan oleh Sultan Hadiwijaya itu kepadanya, dan apakah yang sebenarnya sedang bergejolak didalam hatinya.

Sejenak Sultan Hadiwijaya masih berdiam diri, sedangkan jantung Ki Gede Pemanahan seakan-akan semakin berdentangan.

Ki Gede menahan nafasnya ketika ia kemudian melihat Sultan Hadiwijaya membuka matanya. Tanpa berkedip Ki Gede memandang wajah Sultan Hadiwijaya sambil menunggu setiap patah kata yang akan diucapkan.

Namun terasa darah Ki Gede Pemanahan itu berhenti mengalir ketika justru ia melihat Sultan Hadiwijaya itu tersenyum. Senyum yang itu juga, seperti senyumnya sebelum Ki Gede meninggalkan Pajang.

“Ki Gede Pemanahan,” berkata Sultan Pajang, “aku kagum atas kejujuran dan kesetianmu. Kau datang sendiri dengan tergesa-gesa, ternyata kau tidak sempat memberitahukan lebih dahulu, untuk menyampaikan laporan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anakmu yang sudah aku angkat menjadi anakku. Jarang orang yang berbuat seperti itu, yang dengan dada tengadah menyatakan kesalahan diri.” Kanjeng Sultan berhenti sejenak lalu, “itu adalah ciri watakmu Kakang. Sejak kita bersama-sama menegakkan Pajang, kau memang seorang yang pantas dikagumi. Kau adalah seorang Panglima yang berani dan terlebih-lebih lagi adalah seorang Panglima yang jujur. Dan kini sifat itu masih ada padamu. Itulah yang sebenarnya telah memukau hatiku. Bukan karena aku mendengar pengakuanmu bahwa gadis Kalinyamat itu sudah berhubungan diam-diam dengan anak angkatku sendiri. Dan bahkan jika kau belum tahu aku ingin memberitahukan bahwa gadis itu sekarang sudah mengandung.”

Rasa-rasanya telinga Ki Gede Pemanahan itu berdesing. Ternyata Sultan Hadiwijaya sudah mengetahui semuanya. Bahkan mengetahui pula bahwa gadis itu sudah mengandung.

“Ampun Kanjeng Sultan,” Ki Gede Pemanahan menyembah, “kini aku pasrah diri. Hukuman apakah yang akan dilimpahkan kepada hamba dan anak hamba Sutawijaya. Yang terjadi adalah cela yang tidak termaafkan. Apalagi Danang Sutawijaya telah banyak sekali menerima sih dan kanugrahan dari Kanjeng Sultan sendiri.”

Tetapi Ki Gede Pemanahan menjadi semakin bingung ketika ia mendengar Sultan Hadiwijaya itu tertawa perlahan. Dengan sareh ia pun kemudian berkata, “Kakang Pemanahan. Apakah sudah sepantasnya aku menjatuhkan hukuman atasmu dan Sutawijaya.”

“Tentu Kanjeng Sultan. Jika anak hamba telah melakukan kesalahan yang demikian besarnya, maka sudah sepantasnya bahwa hamba pun menerima hukumannya pula.”

Tetapi Sultan Hadiwijaya tertawa pula, sehingga Ki Gede Pemanahan menjadi semakin bingung.

“Kakang,” berkata Sultan Hadiwijaya, “Semangkin dan Prihatin, kedua gadis dari Kalinyamat itu memang telah disediakan bagi orang yang berhasil membunuh Arya Penangsang. Bukankah yang telah berhasi1 membunuh Arya Penangsang adalah Kakang Pemanahan dan Kakang Penjawi seperti yang dikatakan oleh Kakang Juru Mertani? Tetapi sebenarnya aku pun mengetahui bahwa yang telah membenamkan tombak Kiai Pleret ke lambuhg Arya Penangsang adalah Danang Sutawijaya. Karena itu, bukankah sudah sewajarnya jika Sutawijaya menerima hadiah yang dijanjikan oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat itu?”

“O,” Ki Gede Pemanahan justru menjadi bertambah bingung, sehingga ia hanya dapat menunggu Sultan Hadiwijaya meneruskan, “Kakang Pemanahan. Karena itu, agaknya sudah tertulis di jalur jalan kehidupan Semangkin bahwa ia memang akan menjadi sisihan orang yang berhasil membalaskan dendam ayahandanya dan bibinya, kematian pamandanya Arya Penangsang.”

“Jadi?” Ki Gede Pemanahan tergagap.

“Jadi, tidak ada apa-apa kakang Pemanahan. Sutawijaya memang sudah dewasa. Sudah sepantasnya ia mencintai dan dicintai oleh seorang gadis. Dan gadis itu adalah Semangkin.”

“Ampun Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Sebenarnyalah hamba menjadi bingung. Hamba sama sekali tidak mengerti sikap Kanjeng Sultan. Seharusnya paduka menjatuhkan hukuman atas hamba berdua. Tetapi paduka sama sekali tidak menyebut hukuman apakah yang harus hamba jalani.”

Sultan Hadiwijaya menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak sepantasnya aku menjatuhkan hukuman kepada Sutawijaya. Ia sudah berjalan menurut kodrat manusiawi. Yang dapat aku berikan hanyalah sekedar pesan, bahwa sebaiknya Sutawijaya tidak melakukannya terhadap setiap gadis atau perempuan yang dikehendakinya.”

Terasa tubuh Ki Gede Pemanahan menjadi gemetar. Dan ia mendengar Sultan Hadiwijaya berkata seterusnya, “Dan permintaanku, hubungan yang sudah menumbuhkan buah di tubuh Semangkin itu janganlan disia-siakan. Tentu aku akan menganggapnya sebagai menantuku juga. Namun hendaknya Sutawijaya bertindak sebagai seorang laki-laki didalam hal ini. Anak yang bakal lahir adalah anaknya. Belahan jiwanya sendiri. Karena itu, selanjutnya hubungan antara Sutawijaya dan Semangkin supaya dapat berlangsung wajar. Aku restui hubungan itu, dan keduanya memang sudah cukup dewasa.”

“Kanjeng Sultan Hadiwijaya,” sembah Ki Gede Pemanahan, “benarkah yang telah hamba dengar, bahwa paduka sama sekali tidak menjatuhkan hukuman apapun kepada hamba, bahkan justru sebaliknya.”

Sultan Hadiwijaya tertawa. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan yang membungkukkan kepalanya sehingga hampir menyentuh lantai.

“Sudahlah Kakang Pemanahan. Jangan menanggapi keputusanku itu dengan berlebihan. Bukankah aku bersikap wajar pula dan tidak berlebihan. Kau bagiku adalah seorang saudara tua yang pantas aku hormati. Sutawijaya adalah anakku yang aku kasihi. Apalagi? Apakah artinya seorang gadis bagiku? Maksudku bukan karena aku menyiapkannya, karena ia adalah hadiah Kakanda Ratu Kalinyamat. Dan aku harus mengartikan lain dari hadiah itu, karena keduanya adalah kemanakanku sendiri, meskipun hubungan darah dari Adinda Permaisuri.”

Ki Gede Pemanahan untuk beberapa saat justru tidak, dapat berbicara sepatah katapun.

“Kakang, sebenarnya aku tidak dapat berpura-pura bersih didalam hal ini. Apalagi terhadap Kakang Pemanahan yang mengetahui Karebet ini seutuhnya. Luar dan dalam. Karena itu, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku bersih dari nafsu. Bahkan mungkin Kakang Pemanahan menganggap aku sebagai seorang tua yang tidak tahu diri. Dan aku pun tidak ingkar, bahwa kelemahanku adalah pada seorang perempuan. Tetapi tentu tidak untuk menjatuhkan hukuman kepada Sutawijaya karena ia mencintai seorang gadis. Tentu tidak. Karena hal itu adalah wajar sekali. Dan betapa ganasnya seekor harimau, tetapi ia tidak akan menelan anaknya sendiri.”

Ki Gede Pemanahan tiba-tiba saja bergeser maju. Didekapnya kaki Sultan Hadiwijaya sambil berkata, “Kanjeng Sultan adalah seorang yang berhati selapang lautan.”

Sambil menepuk bahu Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya berkata, “Sekali lagi Kakang, jangan menanggapi sikapku berlebihan.”

Ki Gede Pemanahan mundur setapak. Sambil menyembah ia berkata, “Hamba mengucapkan terima kasih yang sebesarnya. Hamba tidak tahu, bagaimana hamba akan membalas kebaikan budi Kanjeng Sultan.”

“Tidak ada yang harus dibalas. Jika kita berbicara tentang hutang budi, maka hutangku kepada Kakang Pemanahan jauh lebih banyak dari yang pernah aku berikan. Karena itu, sudahlah. Kita lupakan apa yang sudah terjadi. Tetapi jangan dilupakan pesanku kepada Sutawijaya.”

“Semua pesan Paduka akan hamba sampaikan.”

“Terima kasih Kakang. Dan pesanku yang lain, aku sudah rindu kepadanya. Aku mengharap ia datang ke Pajang.”

Terasa sesuatu berdesir didada Ki Gede Pemanahan. Anaknya adalah anak muda yang keras hati. Dan ia telah mengajarinya untuk berbuat seperti yang dilakukannya sekarang.

Kembali dada Ki Gede Pemanahan telah ditusuk oleh penyesalan yang tajam. Namun semuanya itu telah terjadi, dan ia tidak akan dapat menghapus ketergesa-gesaan yang pernah dilakukannya itu.

“Nah Kakang,” berkata Sultan Pajang kemudian, “apakah masih ada persoalan lain yang akan Kakang katakan?”

“Tidak Kanjeng Sultan. Hamba datang untuk menyampaikan penyesalan dan pasrah diri. Tetapi Paduka telah melimpahkan keluhuran budi yang tiada taranya. Karena itu hamba hanya dapat mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”

“Jika demikian, baiklah Kakang. Aku kira aku sudah cukup lama menerima Kakang. Sekarang Kakang dapat beristirahat. Pada saatnya, Kakang Pemanahan akan pulang ke Mataram, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”

“Terima kasih,” sembah Ki Gede Pemanahan, “hamba mohon diri Paduka.”

Demikianlah maka Ki Gede Pemanahan mengundurkan diri dengan hati yang bergejolak dengan dahsyat. Gambaran yang pernah bermain di-angan-angannya sama sekali tidak terjadi. Ia menyangka bahwa ia akan digantung di alun-alun, atau dihukum picis disimpang empat karena selain kesalahan Sutawijaya, tentu Sultan sebenarnya menjadi sangat marah pada saat ia meninggalkan Pajang tanpa pamit dan dengan demikian memaksa Sultan Pajang untuk menyerahkan Alas Mentaok yang sudah dijanjikannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.

Atas desakan beberapa orang sahabatnya, maka Ki Gede Pemanahan masih di minta untuk tinggal semalam lagi di Pajang. Beberapa orang di antara mereka masih ingin berbicara dan berceritera tentang banyak hal yang menyangkut Alas Mentaok.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan kurang berhati-hati menghadapi para pemimpin dan Senapati Pajang yang nampaknya sangat ramah dan baik hati. Berbeda dengan Sultan Hadiwijaya yang dengan jujur menanggapi sikap Ki Gede Pemanahan yang jujur itu pula, maka beberapa orang pemimpin dan Senapati di Pajang ingin memancing keterangan dari Ki Gede Pemanahan.

Bahkan ketika salah seorang dari mereka dengan terus terang bertanya tentang hubungan antara Sutawijaya dengan gadis Kalinyamat itu, maka Ki Gede Pemanahan pun mengatakan bahwa hal itu sudah diserahkan kepada Sultan Pajang

“Apakah keputusan Sultan?” bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur.

Ki Gede Pemanahan ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kami menunggu perintah Kanjeng Sultan kapan saja perintah itu datang.”

“Apakah Kanjeng Sultan menjadi marah?”

“Aku tidak dapat membedakan, apakah Sultan sedang marah atau justru sedang berkenan dihati,” jawab Ki Gede Pemanahan, “dan hal seperti itu selalu aku alami sejak aku masih menjadi Panglima Tamtama di Pajang.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan pernah menjabat sebagai Panglima di Pajang.

Selain persoalan Sutawijaya, masih banyak lagi yang mereka perbincangkan. Kadang-kadang Ki Gede Pemanahan menganggap bahwa tidak sepantasnya ia berprasangka terhadap para perwira di Pajang. Mereka adalah orang-orang yang baik dan ramah.

“Selama ini, kami terlampau berprasangka,” berkata Ki Gede didalam hatinya, “terhadap Sultan dan para perwiranya. Ternyata mereka adalah orang yang baik dan bukan pendendam. Untunglah setiap usaha untuk melibatkan Pajang didalam pertentangan dengan Mataram selalu gagal.”

Dan terbayang diangan-angan Ki Gede wajah seorang Senapati yang bernama Daksina. Lalu katanya didalam hati, “Tetapi terbukti ada juga Senapati yang telah berusaha merusak sama sekali rencana kami untuk membuka Tanah Mataram.”

Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan telah tenggelam kedalam sikap yang baik dan ramah dari para perwira sehingga ia menjadi agak lengah dan kadang-kadang memberikan keterangan tentang Mataram agak terlampau banyak.

Memang ada di antara para perwira yang benar-benar dengan jujur mengagumi perkembangan yang telah dicapai oleh Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya. Namun ada pula di antara mereka yang dengan saksama mencari kelemahan-kelemahan yang ada pada Ki Gede.

Namun kemudian ketika pembicaraan telah hilir mudik tidak menentu salah seorang Senapati bertanya, “Kapan Ki Gede akan kembali ke Mataram?”

“Sebenarnya segera. Tetapi baiklah besok saja aku kembali ke Mataram. Besok pagi-pagi jika matahari terbit di Timur.”

Senapati itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa menanggapinya.

Malam itu Ki Gede Pemanahan tidur di tempat seseorang yang baik sekali kepadanya. Seorang sahabat sejak Ki Gede masih berada di Pajang.

“Kau harus berhati-hati Ki Gede,” berkata orang itu, “di Pajang banyak orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram.”

“Kenapa?”

“Iri hati dan dengki.”

“Ah, ternyata mereka sangat baik dan sama sekali tidak perlu berprasangka. Aku telah berbicara dengan mereka sehari-harian.”

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Kau hanya melihat kulit luarnya saja. Dalamilah apa yang mereka katakan dan renungilah setiap pertanyaannya.”

Ki Gede tidak menyahut. Namun baginya sama sekali tidak ada alasan untuk mencurigai siapapun.

“Kau terlampau bersih, sehingga kau pun menganggap orang lain tidak bercela.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba menilai kembali isi pembicaraannya dan sikap para perwira Pajang kepadanya. Tetapi bagi Ki Gede Pemanahan tidak ada persoalan yang dapat menumbuhkan kecurigaan apapun.

Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan tidak dapat mengabaikan sama sekali pendapat sahabatnya itu, karena Ki Gede Pemanahan pun menyadari bahwa sahabatnya itu tentu bermaksud baik dan tidak sekedar mengada-ada.

Demikianlah ketika fajar di pagi berikutnya mulai memerah dilangit, Ki Gede Pemanahan dan kedua pengawalnya pun mulai berkemas. Mereka ingin berangkat pagi-pagi benar selagi matahari belum mulai membakar kulit.

“Berhati-hatilah Ki Gede Mataram,” pesan sahabatnya sambil menepuk bahu Ki Gede, “Mataram benar-benar suatu Tanah Harapan bagi rakyat Pajang. Bukan saja karena di Mataram akan dapat tumbuh persoalan-persoalan baru dan usaha-usaha baru, melainkan juga karena Mataram menyebarkan cita-cita baru bagi hari depan kita semuanya.”

“Ah, kau terlampau memuji,” sahut Ki Gede Pemanahan, “tetapi, yang tampak, Mataram adalah tanah garapan baru bagi para petani. Itu saja. Diatas tanah yang baru dibuka itu para petani akan dapat mengembangkan usahanya dan beberapa percobaan yang baru dibidangnya.”

Sahabat Ki Gede Pemanahan tersenyum. Namun ketika ia melepas Ki Gede dan kedua orang pengawalnya, sekali lagi ia berkata, “Hati-hatilah Ki Gede. Kau adalah seorang Panglima yang berani dipeperangan. Dan sekarang kau masih menunjukkan keberanian itu. Kau bertiga akan menyeberangi jarak yang cukup panjang antara Pajang dan Mataram. Namun selain panjang jarak, itu pun menyimpan berbagai bahaya bagimu.”

“Aku tidak akan berbuat buruk. Tentu perjalananku pun akan lancar dan tidak ada gangguan apapun diperjalanan.”

“Mudah-mudahan.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia pun kemudian minta diri dan dengan lajunya bersama kedua pengawalnya Ki Gede meninggalkan gerbang kota Pajang.

Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan Ki Gede Pemanahan beberapa pasang mata mengawasinya dari kejauhan. Demikian Ki Gede Pemanahan meninggalkan gerbang, maka mereka pun menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka berkata, “Kita tentu akan berhasil. Selama ini usaha kita bersama Panembahan Agung selalu gagal. Seakan-akan Mataram benar-benar telah dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Sutawijaya selalu luput dari maut. Tetapi kini kita justru mulai dari Ki Gede Pemanahan sendiri.”

“Ya. Ia pasti tidak akan pernah sampai ke daerah yang dibukanya.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Dibibir mereka nampak membayang senyum yang penuh arti. Seakan-akan mereka pasti, bahwa Ki Gede Pemanahan memang tidak akan dapat sampai ke Mataram kembali.

“Orang-orang itu tentu akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Meskipun Ki Gede Pemanahan dapat menangkap angin sekalipun, ia tidak akan dapat melawan keempat bersaudara itu,” berkata yang lain lagi.

Orang yang tertua di antara mereka berkata sambil melangkah, “Marilah kita kembali. Pemanahan bukan orang yang bernyawa rangkap. Pada saatnya ia akan kehilangan nyawanya itu.”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Mungkin saat itu sekarang sudah datang,” orang itu melanjutkan, “dan aku yakin bahwa Pemanahan akan mati. Keempat bersaudara itu memang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Aku sudah mencoba kemampuan mereka. Dan aku tahu pasti, bahwa Pemanahan tidak dapat melawan mereka karena aku sendiri pun agaknya tidak. Dan kemampuan Pemanahan tidak akan lebih tinggi dari kemampuanku. Bagiku sebenarnya Pemanahan bukan orang yang menakutkan. Tetapi kedudukankulah yang tidak memungkinkan aku bertindak sendiri. Usahaku untuk bekerja bersama Panembahan Agung pun ternyata gagal karena Panembahan Agung justru terbunuh. Dan bagiku Panembahan Agung pun bukan orang yang ajaib. Ia hanya dapat membuat mainan kanak-kanak yang kebingungan. Selebihnya, ia adalah seorang cengeng yang manja.”

Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Karena itu aku bersedia bekerja bersamanya. Aku tahu bahwa kelak ia akan menyingkirkan kita jika kerja ini sudah selesai. Tetapi kita pun akan berbuat serupa seandainya ia tidak mati dipeperangan. Aku tidak gentar menghadapinya meskipun aku tahu bahwa ia memiliki aji Pangangen-angen yang kadang-kadang membingungkan bagi anak-anak.”

“Nah, kita akan kembali. Besok kita akan mendengar kabar bahwa Ki Gede Pemanahan terbunuh oleh sekelompok penyamun. Empat orang bersaudara dari lereng Gunung Lawu itu akan membawa beberapa orang kawan karena mereka harus melakukan kerja ini sampai selesai. Mungkin kedua orang pengawal Pemanahan itu memiliki kelebihan pula dari kebanyakan orang.”

Yang lain masih saja mengangguk-angguk. Tetapi dari wajah mereka memancar harapan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan terbunuh diperjalanan. Selanjutnya, mereka harus berhasil menyingkirkan Sutawijaya. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat memanfaatkan kedua orang itu. Seandainya Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya yang keras hati itu dapat mereka tangkap hidup-hidup, maka dengan ancaman apapun juga mereka tidak akan bersedia bekerja bersama sehingga akhirnya keduanya tidak lagi diperlukan.

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan sendiri, yang sedang berpacu kembali ke Mataram, hampir tidak pernah berbicara sama sekali. Angan-angannya sedang dipenuhi oleh kegelisahan yang pepat. Sikap Sultan Hadiwijaya benar-benar telah menyiksanya justru karena semua kesalahan yang telah dilakukan oleh Sutawijaya itu sama sekali tidak mendapat hukuman apapun juga,

“Kebaikan hatinya benar-benar membuat aku semakin merasa bersalah,” berkata Ki Gede Pemanahan didalam hatinya, “dan sikap Sutawijaya yang keras membuat aku semakin menyesali kesalahan yang pernah aku lakukan.”

Terasa sesuatu bergejolak didada Ki Gede Pemanahan. Ia menjadi sangat perihatin akan kekerasan hati Sutawijaya yang benar-benar tidak mau datang menghadap ke Pajang.

“Aku adalah sumber kesalahan ini. Aku tidak dapat mengajari anakku mengenal kebaikan budi Sultan Pajang. Dan aku tidak dapat mengajari anakku berbuat sebagal seorang kesatria yang berwatak, karena ia sudah melakukan perbuatan tercela. Siapapun gadis itu, namun perbuatan itu bukannya perbuatan yang terpuji.” keluh Ki Gede Pemanahan didalam hatinya. Lalu, “Apalagi ia adalah gadis yang sebenarnya akan diperuntukkan bagi Sultan Hadiwijaya sendiri.”

Namun sebuah kejanggalan telah melonjak pula dihatinya. Kedua gadis itu masih terlalu muda. Sedang Sultan Hadiwijaya sudah melalui masa-masa pertengahan umur seseorang.

Sehingga karena itu, sepercik kekecewaan telah membersit dihatinya. Tetapi Ki Gede Pemanahan cepat-cepat menyingkirkannya. Katanya didalam hatinya, “Ia adalah seorang Raja. Apapun yang dikehendaki akan terjadi.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dihatinya telah bergejolak perasaan yang bercampur baur. Namun bagaimanapun juga, sikap Sultan Hadiwijaya telah membuatnya merasa terlalu kecil.

Ketiga ekor kuda yang meninggalkan Pajang itu berderap semakin cepat. Penunggangnya sama sekali tidak menghiraukan lagi keadaan disekelilingnya. Apalagi Ki Gede Pemanahan. Meskipun ia menatap lurus-lurus kedepan, namun agaknya tidak satupun yang dilihatnya. Ia sama sekali pasrah pada derap kaki kudanya. Hanya sekali-sekali ia terkejut dan memberikan arah dengan menggerakkan kendali.

Dalam pada itu, sekelompok orang-orang yang garang telah menunggu dengan tegang. Mereka adalah empat bersaudara dari lereng Gunung Lawu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Apalagi apabila mereka berempat berada didalam satu pasangan. Apalagi mereka telah membawa beberapa orang kawan yang terpilih. Mereka menyadari bahwa orang yang kali ini harus diselesaikan adalah Ki Gede Pemanahan. Seorang yang pilih tanding.

Keempat saudara dari lereng Gunung Lawu itu tahu benar, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah bekas Panglima Wira Tamtama di Pajang. Dan mereka pun tahu benar, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang putera dari Sela, dari daerah yang terkenal keturunan seseorang yang menurut berita mampu menangkap petir.

“Kali ini kita harus benar-benar mempersiapkan diri,” berkata orang tertua dari keempat saudara dari lereng Gunung Lawu.

“Ya Kakang Dandun,” jawab adiknya yang kedua, “kita semua sudah mengetahui siapakah yang kali ini kita hadapi. Karena itu, kita tidak boleh lengah.”

“Ki Gede Pemanahan dengan dua orang pengawal,” sahut yang lain, “betapapun tinggi ilmu mereka, tetapi mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Mungkin aku seorang diri dapat dikalahkan oleh Ki Gede Pemanahan. Tetapi ukurannya adalah paling banyak dua dari kita. Selebihnya adalah tenaga cadangan yang meyakinkan.”

“Ditambah dengan orang-orang kita,” berkata yang lain lagi sambil memandang beberapa orang yang bertebaran duduk diatas rerumputan.

“Kita masih mempunyai waktu,” berkata Dandun, “tetapi baiklah dua orang di antara orang-orang yang malas itu mengamat-amati jalan. Jika Ki Gede Pemanahan sudah tampak, kita harus benar-benar bersiap.”

Demikianlah dua orang di antara mereka harus berada diujung bulak untuk mengawasi jalan. Jika mereka melihat tiga ekor kuda berpacu menuju kearah mereka, dari Pajang maka ketiganya adalah Ki Gede Pemanahan dengan dua orang pengawalnya.

“Kita sudah memilih tempat yang paling tepat. Jika kita berhasil, kita ceburkan saja mayat mereka ke Kali Opak.”

“Ya. Dan kita akan menerima upah kita dan kelak, jika orang-orang tamak itu berhasil, kita akan mendapat kedudukan yang baik pula.”

Dandun menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berbaring diatas rerumputan dibawah sebatang pohon yang rimbun.

“Jalan ini jarang dilalui orang,” desisnya. Lalu, “Karena itu kita tidak usah takut diketahui orang. Seandainya ada orang lewatpun, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika mereka mencoba mencampurinya, kita akan menyelesaikannya sama sekali.”

Adik-adiknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jalan itu nampaknya memang sepi. Meskipun demikian ada juga beberapa orang yang lewat didalam kelompok-kelompok kecil. Sudah sejak beberapa lama jalan itu menjadi tenang dan tidak ada lagi gangguan-gangguan yang berarti. Apalagi sejak jalan kesebelan Barat seakan-akan terbuka sama sekali, maka jalan itu rasa-rasanya menjadi benar-benar telah aman meskipun masih belum banyak orang yang melaluinya, karena mereka masih dibayangi oleh kenangan masa yang mendebarkan karena orang-orang yang menyamun disepanjang jalan itu dan dengan sengaja menakut-nakuti orang-orang yang lewat, terutama yang menuju ke Barat.

Semakin tinggi matahari merayap dilangit, rasa-rasanya mereka menjadi semakin gelisah. Kadang-kadang mereka tidak telaten lagi menunggu.

“Mungkin Ki Gede Pemanahan belum akan lewat hari ini,” berkata salah seorang dari keempat orang dari Lereng Gunung Lawu itu.

“Orang-orang Pajang sudah memberi tanda. Mereka tahu pasti bahwa hari ini Ki Gede Pemanahan akan kembali ke Mataram. Tetapi mungkin ia tidak berangkat pagi-pagi benar,” jawab Dandun.

Adiknya tidak menyahut lagi. Seperti kakaknya, ia pun kemudian berbaring dibawah pohon yang rindang pula.

Dalam pada itu, beberapa kelompok orang yang lewat menjadi heran melihat beberapa, orang duduk-duduk dipinggir jalan menuju ke daerah Mataram. Tetapi mereka tidak bertanya sesuatu karena orang-orang itu sama sekali tidak mengganggu mereka. Bahkan mereka kemudian beranggapan bahwa mereka adalah sekelompok orang lewat yang sedang beristirahat seperti mereka.

Sementara itu, Ki Gede Pemanahan tidak lagi berpacu dengan tergesa-gesa. Semakin lama dibiarkannya kudanya berlari semakin lambat, sementara itu angan-angannya masih saja dibayangi oleh sikap Sultan Hadiwijaya. Betapa hatinya merasa terbanting diatas batu pualam yang keras oleh sikap yang sangat baik dari Sultan Hadiwijaya itu.

Namun dalam pada itu, Ki Gede sama sekali tidak menyangka bahwa beberapa orang telah diupah untuk mencegatnya diperjalanan. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang Pajang benar-benar telah menginginkan kematiannya. Apalagi mereka yang mendengar bahwa sikap Sultan terlampau baik kepadanya.

Ternyata orang-orang Pajang itu sudah mengambil sikap pasti, membunuh Ki Gede Pemanahan.

Karena ia tidak menyangka sama sekali itu, maka ia tidak mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan itu. Ki Gede Pemanahan tidak membawa senjata lain kecuali keris dipunggungnya. Ki Gede menganggap bahwa jalan dari Pajang ke Mataram kini seakan-akan sudah terbuka luas dan tidak ada gangguan lagi. Jika ada penyamun-penyamun kecil, maka penyamun-penyamun itu tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapi Ki Gede Pemanahan beserta kedua pengawalnya itu.

Dengan demikian maka perjalanan Ki Gede Pemanahan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali Opak di Prambanan. Dan dengan demikian perjalanannya menjadi semakin lama semakin dekat dengan bahaya yang sebenarnya bagi keselamatannya.

Sekali-sekali Ki Gede Pemanahan masih harus menusup hutan yang meskipun tidak lebat, tetapi cukup menghambat perjalanannya. Bahkan kadang-kadang kudanya sama sekali tidak dapat berlari. Ki Gede Pemanahan harus menyusup dibawah sulur pohon kayu yang rimbun atau meloncati batang pepohonan yang melintang dijalan. Namun pada dasarnya kudanya dapat maju terus meskipun perlahan-lahan.

Ki Gede Pemanahan tertegun sejenak ketika ia kemudian sampai ke telatah Sangkal Putung. Masih juga tersangkut sebuah kenangan pada saat ia masih menjadi seorang Panglima. Ia pernah datang ke Sangkal Putung khusus untuk menerima penyerahan sisa-sisa dari laskar Jipang, namun yang karena kekhilafan Senapati muda didaerah ini, hampir saja ia terbunuh oleh Ki Tambak Wedi yang mencegatnya di perjalanan justru setelah mendekati Sangkal Putung. Untunglah Untara cukup cekatan, sehingga akhirnya ia selamat. Meskipun Ki Gede Pemanahan sendiri adalah lawan yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi, namun saat itu Ki Tambak Wedi berhasil mengerahkan anak buahnya lebih banyak dari anak buahnya sendiri.

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kini Sangkal Putung menjadi daerah yang semakin subur. Tidak ada lagi gangguan yang berarti sepeninggal sisa-sisa pasukan Jipang. Dengan demikian maka orang-orang Sangkal Putung dapat memusatkan kerjanya disawah dan ladang. Jika matahari memanjat ujung pepohonan, terdengar hampir di setiap padesan suara pande besi menempa alat-alat pertanian. Lembu yang melenguh dan perempuan-perempuan menumbuk padi. Kadang-kadang diseling oleh suara anak-anak melengking minta air susu ibunya. Sedang ditepian, gembala meniup serulingnya menyusup suara desan angin ladang yang lembut.

“Daerah yang semakin segar,” desis Ki Gede Pemanahan.

“Apa Ki Gede?” bertanya seorang pengawalnya.

“Sangkal Putung ini,” jawab Ki Gede, “sekarang menjadi daerah yang hijau segar. Nampaknya tidak ada lagi kekacauan yang sering terjadi seperti pada saat pasukan Jipang yang sudah terpecah belah berada didaerah ini. Pengaruh orang-orang yang dengan sengaja menutup daerah Mataram pun agaknya tidak begitu terasa di daerah Sangkal Putung ini.”

“Ya Ki Gede,” sahut pengawalnya, “daerah ini merupakan daerah yang sudah teratur. Tetapi agaknya daerah ini tidak berkembang pesat dibidang pemerintahan.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Gede Pemanahan, “daerah ini adalah daerah Kademangan yang luas. Dengan demikian daerah ini sudah mempunyai bentuknya yang pasti, seperti Menoreh yang telah mendapat pelimpahan kekuasaan sebagai sebuah Tanah Perdikan. Meskipun berbeda bentuk, wewenang dan kewajibannya, namun kedua-duanya sudah mempunyai bentuk yang pasti. Jadi bagaimana maksudmu dengan perkembangan pemerintahan?”

“Maksudku, bahwa bentuk kademangan itu tidak meningkat lagi menjadi bentuk yang lebih mantap.”

Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kademangan adalah bentuk yang sudah mantap. Untuk menjadi Tanah Perdikan diperlukan syarat-syarat tertentu. Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan di Menoreh mempunyai jasa yang besar sehingga daerahnya pantas diangkat menjadi daerah Tanah Perdikan.”

“Bukankah Sangkal Putung merupakan benteng yang kuat menghadapi Tohpati saat kekuatan Jipang masih terkumpul dibawah pimpinan Macan Kepatihan itu?”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Memang dapat dipertimbangkan. Tetapi daerah ini belum tentu mendapatkan kedudukan yang lebih mantap sebagai Tanah Perdikan, karena Sangkal Putung tidak seluas Tanah Perdikan Menoreh.”

Pengawal Ki Gede itu pun kemudian terdiam. Namun ia mulai membayangkan, bentuk apakah kira-kira yang akan didapat oleh Tanah Mataram nanti jika Tanah Itu sudah menjadi ramai. Apakah sekedar sebuah Kademangan atau Tanah Perdikan? Ki Gede Pemanahan pernah menjabat sebagai seorang Panglima yang diakui memiliki kelebihan dari Senapati yang lain. Apakah pada saat ia berhasil membuka Alas Mentaok, ia hanya akan mendapatkan kedudukan sebagai seorang Demang dan untuk waktu yang jauh sekali, sejauh yang pernah dialami Sangkal Putung, Mataram hanya tetap sebuah Kademangan?

Meskipun hal itu tidak dikatakan, tetapi rasa-rasanya Ki Gede Pemanahan dapat mengerti. Maka katanya, “Bagi Mataram, bentuk tidak penting. Wewenang dan kekuasaanpun akan menyusul dengan sendiri apabila Mataram berhasil menyusun dirinya. Sultan Hadiwijaya adalah orang yang baik. Dan aku harus bersujud dihacapannya karena kebaikan hatinya.”

Kedua pengwalnya tidak menyahut. Mereka mengerti bahwa Ki Gede sedang dihimpit oleh perasaan yang aneh. Sesudah ia merasa bersalah, khawatir, cemas dan bayangan yang kelam bahwa ia akan mendapatkan hukuman karena Sutawijaya telah melakukan pelanggaran yang berat, namun tiba-tiba yang terjadi bukan apa-apa. Sultan Hadiwijaya tidak menghukumnya, tidak marah dan bahkan merestui hubungan antara Raden Sutawijaya dengan gadis Kalinyamat itu.

Ternyata Ki Gede Pemanahan telah terlempar kembali kedalam kediamannya. Matanya kembali menatap kekejauhan.

Sementara itu, orang-orang sangkal Putung yang sedang bekerja disawah sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka memang sering melihat beberapa orang berkuda lewat. Tetapi kali ini yang lewat adalah Ki Gede Pemanahan. Namun orang-orang Sangkal Putung tidak menyangkanya, karena Ki Gede Pemanahan sama sekali tidak mengenakan tanda-tanda kebesarannya. Ia mengenakan pakaian seorang petani. Dan sebagai orang kebanyakan maka ia sama sekali tidak menimbulkan kesan apapun bagi mereka yang melihatnya, bahkan berpapasan sekalipun.

Demikianlah maka Ki Gede Pemanahan menjadi semakin dekat dengan Kali Opak. Setelah Sangkal Putung ditinggalkannya, maka untuk beberapa saat lamanya Ki Gede menyusuri hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sudah terlampau sering dilalui, sehingga seakan-akan hutan itu adalah hutan tamasya saja. Binatang-binatang yang masih ada justru menjauhi jalan yang membelah tengah-tengah hutan itu.

Tetapi hutan itu ternyata tidak begitu luas, sehingga beberapa saat kemudian Ki Gede telah berada dibulak persawahan lagi. Namun dengan demikian terasa panas matahari seakan-akan menyengat kulit punggung meskipun dilambari oleh selembar baju yang tebal.

Ki Gede Pemanahan memasuki daerah Prambanan di panasnya sinar matahari yang melayang dilangit yang biru bersih. Seperti Sangkal Putung, maka Prambanan pun memiliki tanah yang subur. Bendungan yang menyekat kali, kemudian mengangkat air naik ke tanah persawahan disebelah Timur Kali Opak.

Dari kejauhan Ki Gede Pemanahan memandang ujung candi yang bagaikan bercahaya ditimpa teriknya matahari.

“Candi yang manis,” berkata Ki Gede didalam hatinya, “candi yang bagi rakyat disekitarnya merupakan lambang keagungan cinta yang dapat melahirkan sebuah karya yang mengagumkan.”

Dengan tatapan mata yang memancarkan kekaguman Ki Gede memandang candi yang semakin lama menjadi semakin dekat. Candi yang terletak tidak terlampau jauh dari Kali Opak. Namun Ki Gede Pemanahan tidak menyangka sama sekali, bahwa sebentar lagi, jika ia lewat didepan candi itu dan menuruni tebing yang landai dari sebuah sungai yang lebar, ia akan berhadapan dengan bahaya yang akan memungut nyawanya.

Namun tiba-tiba saja Ki Gede terkejut ketika kudanya tiba-tiba saja menjadi sendat. Bahkan kemudian seakan-akan tidak mau maju lagi. Beberapa kali kudanya melingkar-lingkar bahkan, kemudian meringkik.

Kedua pengawalnya pun menjadi heran. Kuda itu adalah kuda yang sangat baik. Kuda tunggangan Ki Gede Pemanahan sejak ia berada di Pajang.

“Kenapa dengan kuda ini?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menepuk leher kudanya supaya kuda itu menjadi tenang.

Kedua pengawalnya pun kemudian berhenti beberapa langkah daripadanya sambil memperhatikan kuda yang menjadi gelisah itu.

“Aneh,” desis yang seorang.

“Tentu firasatnya mengatakan sesuatu,” sahut yang lain.

Ki Gede Pemanahan sendiri masih menepuk beberapa kali leher kudanya sambil bedesis perlahan-lahan. Kemudian diusapnya dahi kuda itu dengan lembut sehingga akhirnya kudanya menjadi tenang. Tetapi rasa-rasanya kuda itu tidak mau lagi melangkah maju.

“Aku jadi heran,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sebentar lagi kita akan menyeberang sungai Opak. Kenapa kuda ini tidak mau berjalan lagi? Apakah kali Opak sedang banjir?”

“Aku kira tidak Ki Gede. Langit cerah. Demikian juga disebelah Utara. Agaknya dikaki Gunung Merapi itu pun tidak turun hujan.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Tentu bukan karena telinganya sudah mendengar deru air banjir. Tetapi kenapa?”

“Mungkin sekedar sentuhan kecil. Karena itu biarlah kuda itu menjadi tenang sesaat.”

Ki Gede mengangguk. Ia pun kemudian turun dari kudanya dan membiarkan kudanya merenungi jalan yang akan dilaluinya. Sekali-sekali kuda itu menengadahkan kepalanya dan penciumannya seakan-akan menyentuh sesuatu yang membuatnya gelisah.

“Jika ada binatang buas, tentu kuda-kuda yang manapun menjadi gelisah pula,” berkata seorang pengawalnya.

“Memang mungkin seekor binatang buas yang sedang minum di Kali Opak,” jawab yang lain.

Ki Gede menganggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin sekali. Sebentar lagi binatang buas itu akan pergi.”

Kedua pengawal Ki Gede yang sudah turun pula, mengikat kuda masing-masing pada sebarang pohon perdu. Keduanya pun kemudian ikut mengusap kuda Ki Gede Pemanahan yang gelisah. Seakan-akan keduanya ingin meyakinkan kepada kuda itu, bahwa tidak ada apa-apa di perjalanan. Seandainya ada binatang buaspun kuda itu tidak perlu cemas.

Agaknya kuda itu pun mengerti. Perlahan-lahan kuda itu menjadi tenang, sehingga dengan demikian maka Ki Gede Pemanahan pun siap melanjutkan perjalanannya.

“Kau dapat minum sampai kenyang nanti di Kali Opak,” berkata pengawal Ki Gede sambil mengusap leher kuda yang gelisah itu.

Sejenak kemudian kuda itu melanjutkan perjalanannya meskipun nampaknya masih ada keragu-raguan. Apalagi ketika mereka muncul di sebuah bulak di sebelah Timur Kali Opak.

“Apakah kau takut melihat candi yang menjulang sampai ke langit itu,” desis Ki Gede Pemanahan seolah-olah berbisik di telinga kudanya.

Tetapi rasa-rasanya kuda itu masih tetap gelisah meskipun perlahan-lahan ia maju terus. Sedang Ki Gede Pemanahan pun tidak mau memaksa kudanya lari lebih cepat.

Dalam pada itu kedua pengawal Ki Gede Pemanahan pun rasa-rasanya menjadi gelisah pula. Seekor kuda adalah binatang yang memiliki firasat yang tajam. Karena itu, tanpa sesadarnya keduanya telah menggeser keris dipunggungnya, dan meraba hulu pedangnya. Sekilas mereka, memandang Ki Gede yang ada didepannya. Ternyata Ki Gede Pemanahan tidak membawa senjata lain kecuali keris di punggungnya.

Namun demikian mereka berjalan terus. Hanya kadang-kadang mereka harus berhenti sejenak, jika kuda Ki Gede Mataram nampaknya menjadi semakin gelisah. Jika kuda itu menjadi agak tenang, maka mereka pun melanjutkan perjalanannya pula.

Tetapi ternyata bahwa kuda-kuda yang lainpun mulai menjadi gelisah pula, sehingga meskipun kedua pengawal Ki Gede itu tidak mengatakan sesuatu, namun mereka hampir memastikan didalam hati, bahwa sesuatu akan terjadi.

Sebenarnyalah bahwa saat ketiga orang itu mendekati Kali Opak, maka orang-orang yang harus mengawasinya telah lebih dahulu melihat tiga orang berkuda mendekat. Karena itu maka mereka pun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang menunggu di tepi sungai.

“Mereka sudah datang,” desis Dandun.

Ketiga adiknya pun segera bersiap. Mereka sadar sepenuhnya bahwa melawan Ki Gede Pemanahan, adalah suatu perjuangan yang berat. Tetapi mereka berempat didalam satu kelompok perkelahian merupakan suatu kekuatan yang tidak ada taranya.

Dandun pun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap pula. Katanya, “Biarlah dua orang kita berada dibelakang ketiga orang itu. Mereka harus dibiarkan melintas, tetapi kedua orang kita itu harus menutup jalan agar Ki Gede dan pengawalnya tidak berbalik dan melarikan diri. Mereka harus masuk ke dalam jebakan dan kita akan mencincang mereka sampai lumat. Mayat mereka kita lemparkan saja ke Kali Opak. Tetapi ingat, keris Ki Gede harus diambil sebagai bukti bahwa kita sudah berhasil.”

Pesan Dandun cukup gamblang. Karena itu maka orang-orangnya pun segera menebar.

“Kita berempat harus menyelesaikan Ki Gede Pemanahan lebih dahulu,” berkata Dandun, “biarlah orang-orang kita yang berjumlah sepuluh orang itu mengurusi kedua pengawalnya. Jika Ki Gede Pemanahan sudah terbunuh, maka ke dua orang itu bagaikan tikus saja disarang kucing-kucing liar.”

Adik-adiknya tertawa. Namun wajah-wajah merekapun kemudian menjadi tegang, ketika dari kejauhan mereka melihat tiga orang berkuda datang mendekat.

“Itulah mereka,” desis Dandun.

Demikianlah mereka yang mencegat perjalanan Ki Gede itu pun segera bersembunyi dibalik batu-batu padas dan gerumbul-gerumbul liar ditepi Kali Opak. Mereka telah menyiapkan senjata mereka masing-masing. Setiap saat mereka dapat segera menyergap ketiga orang yang sesaat kemudian akan melintasi Kali Opak.

Tetapi rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi melihat ketiga ekor kuda yang tidak berlari cukup cepat. Bahkan kadang-kadang kuda Ki Gede justru berhenti dan meringkik. Baru kemudian kuda itu perlahan-lahan maju lagi beberapa langkah.

“Kuda itu malas sekali,” desis Dandun yang juga tidak sabar menunggu.

“Kita meloncat naik dan mengepungnya,” sahut adiknya.

“Masih terlampau Jauh. Jika mereka terkejut, mereka dapat melarikan diri.”

“Kita harus bersabar sedikit,” desis yang lain.

Tetapi ketiga orang itu tidak segera maju mendekat. Bahkan seakan-akan mereka sengaja berhenti dan mengamati keadaan dengan saksama,

“Bagaimana?” bertanya salah seorang dari keempat bersaudara itu.

“Kita tunggu sebentar,” jawab Dandun, “jika mereka masih saja menunggu, kitalah yang menyergap naik keatas tebing, kemudian kita dorong mereka turun, supaya tidak banyak orang yang dapat menyaksikan perkelahian ini dari jauh.”

“Aku sependapat,” adiknya yang bungsu bergumam. Dengan demikian, maka dengan gelisah dan menahan nafas orang-orang itu menunggu Ki Gede Pemanahan menjadi semakin dekat. Namun agaknya kesabaran merekapun sudah sampai pada batasnya.

“Kuda-kuda itu agaknya menjadi gila,” berkata Dandun.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan sendiri tidak berusaha lagi untuk maju lagi. Firasatnya sebagai seorang prajurit yang mumpuni seakan-akan memberinya peringatan, bahwa dihadapannya sedang menunggu bahaya yang dapat merenggut nyawanya. Sehingga karena itu, maka Ki Gede itu pun justru mengekang kudanya dan berhenti sejenak.

“Apakah Ki Gede melihat sesuatu?” bertanya salah seorang pengawalnya.

“Jalan ini terlampau lengang,” jawab Ki Gede.

“Jalan ini memang jarang sekali dilalui orang,” sahut yang seorang.

“Ya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu.”

“Benar Ki Gede. Hatiku menjadi berdebar-debar.”

“Baiklah kita berhenti sejenak,” berkata Ki Gede Pemanahan, “mungkin kita sudah dibebani prasangka buruk. Mungkin kita dipengaruhi oleh sikap beberapa orang Pajang yang tidak menyenangkan. Tetapi mungkin pula perasaanku sedang dikacaukan oleh sikap Kanjeng Sultan yang sama sekali berbeda dengan gambaran-gambaran yang tersusun di angan-angan sejak aku berangkat dari Mataram. Tetapi yang terjadi adalah berbeda sekali, bahkan berlawanan. Kejutan itulah agaknya yang membuat aku kadang-kadang menjadi bingung seperti sekarang ini.”

Kedua pengawalnya tidak menyahut. Tetapi rasa-rasanya memang ada sesuatu. Bahkan salah seorang dari keduanya tiba-tiba berdesis, “Ki Gede, agaknya aku memang melihat sesuatu bergerak di kejauhan, dibalik sebuah batu yang besar.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia pun telah melihat sesuatu bergerak seperti yang dilihat oleh pengawalnya. Namun ia masih mencoba meyakinkan, apakah yang telah dilihatnya itu.

Karena pengawalnya telah menyebutnya lebih dahulu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, “Memang ada sesuatu yang bergerak ditepian. Tetapi banyak sekali kemungkinan yang dapat kita sebut. Mungkin seorang petani yang membersihkan alat-alatnya atau mungkin seorang yang lewat dijalan ini sedang beristirahat.”

“Memang Ki Gede,” sahut pengawal-pengawalnya, “ada bermacam-macam kemungkinan. Namun agaknya aku mencurigainya.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk. Katanya, “Berhati-hatilah. Firasat seorang prajurit kadang-kadang tidak akan terlampau jauh dari kebenaran jika akan menjumpai bahaya.”

Kedua pengawalnya menjadi semakin berdebar-debar. Dengan demikian keduanya hampir tidak berkedip memandang ke tepian dihadapan mereka.

Tetapi Ki Gede Pemanahan dan kedua pengawalnya tidak segera maju lagi. Didalam keadaan yang mendebarkan itu, barulah Ki Gede menyadari ketergesa-gesaannya. Ia sama sekali tidak mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang dapat membahayakan jiwanya.

Kini ia baru menyadari bahwa di Pajang, terdapat banyak sekali orang yang tidak senang kepadanya. Yang iri, yang dengki dan yang mempunyai kepeningan-kepentingan lain. Dan kini firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa dihadapannya memang ada bahaya yang sedang mengancam.

Sekilas Ki Gede terkenang akan sikap Sultan Pajang. Sepercik kecurigaan melonjak dihatinya.

“Apakah Sultan Pajang hanya berpura-pura, namun kemudian memerintahkan sekelompok Senapati terpilih untuk mencegat aku ditepian Kali Opak?” ia bertanya kepada diri sendiri. Namun kemudian. Dijawabnya, “tentu tidak. Aku merasakan sikap Sultan yang ikhlas itu.”

Akhirnya Ki Gede Pemanahan pun jemu menunggu. Ketika kecurigaannya justru semakin tajam, ia berkata kepada kedua pengawalnya, “Kita tidak dapat berhenti disini sampai sore. Apapun yang akan kita hadapi kita akan maju.”

“Ki Gede,” berkata seorang pengawalnya, “mungkin aku memang sudah menjadi seorang pengecut. Tetapi sebaiknya Ki Gede tetap berada disini. Biarlah aku berdua melihat, apakah yang ada dibalik bebatuan dan gerumbul-gerumbul ditepian. Jika yang kami jumpai ternyata berbahaya bagi Ki Gede, sebaiknya Ki Gede menghindar. Bukan maksudku untuk memperkecil arti Ki Gede Pemanahan didalam medan, justru kami tahu bahwa Ki Gede adalah seorang Panglima perang. Tetapi adalah tidak seimbang bahwa Ki Gede harus melayani pengecut-pengecut itu.”

Ki Gedu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum pahit. Katanya, “Jika aku berhadapan dengan pengecut, bukan berarti aku sendiri harus menjadi pengecut.”

Kedua pengawalnya tahu benar, bahwa jawaban itu adalah sikap Ki Gede Pemanahan. Karena itu, maka keduanya tidak akan berani mengusulkan apapun lagi.

“Marilah kita maju,” desis Ki Gede.

Namun sebelum mereka menggerakkan kendali kudanya, mereka terkejut mendengar derap kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Berhati-hatilah,” berkata Ki Gede, “mungkin kita memang sudah terkepung.”

Kedua pengawalnya segera bergeser. Karena Ki Gede Pemanahan kemudian memutar kudanya menghadap arah suara derap kaki kuda yang seolah-olah menyusulnya, maka kedua pengawalnya tetap memandang ke arah tepian. Karena disanapun terdapat bahaya yang dapat menyergap dengan tiba-tiba. Hanya sekali-sekali saja mereka berpaling. Sekilas mereka melihat beberapa ekor kuda mendekatinya.

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya melihat seorang anak muda yang berpacu di paling depan. Sekali-sekali ia melihat anak muda itu melambaikan tangannya, memberikan isyarat. Tetapi Ki Gede tidak tahu pasti, apakah arti isyarat itu.

“He,” tiba-tiba Ki Gede berdesis, “kau kenal anak muda dipaling depan itu?”

Kedua pengawalnya serentak berpaling. Mereka melihat lima ekor kuda. Dan yang paling depan berpakaian sebagai seorang Senapati Pajang.

“Untara,” desis Ki Gede Pemanahan, “bukankah ia Untara?”

“Ya Ki Gede,” sahut kedua pengawalnya hampir berbareng.

Ki Gede yang sedang termangu-mangu itu menjadi semakin termangu-mangu. Sebelum ia jelas siapakah yang menunggunya ditepian Kali Opak, kini dilihatnya Untara berpacu menyusulnya dikawal oleh empat orang prajuritnya.

“Berhentilah Ki Gede,” Untara itu berteriak di kejauhan.

Ki Gede tiba-tiba menjadi curiga. Kenapa Untara berteriak menghentikannya. Apakah memang sudah diatur, bahwa Untara akan menyergapnya, sedang ditepian beberapa orang lain sudah menunggunya.

Tetapi Untara sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Bahkan ia masih saja mengangkat tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang kendali kudanya.

Beberapa langkah daripadanya Untara itu pun menarik kekang kudanya, sehingga kudanja itu pun menghentikan derap kakinya. Segumpal debu meloncat keudara dan hanyut didorong angin yang lembut.

“Hampir saja aku terlambat,” berkata Untara tiba-tiba.

Ki Gede mengerutkan keningnya, dan sebelum ia berkata sesuatu Untara mendahuluinya, “Jangan meneruskan perjalanan, Ki Gede.”

Ki Gede menjadi heran. Kenapa Untara menghentikan perjalanannya.

Kedua pengawalnya pun menjadi tegang. Kecurigaan mereka menjadi semakin tajam. Tetapi jika mereka menatap wajah Untara, terasa ada kesan yang lain pada wajah itu.

“Ki Gede,” berkata Untara kemudian, “aku akan mempersilahkan Ki Gede kembali. Maksudku, bukan kembali ke Pajang, tetapi menunda perjalanan kembali ke Mataram barang sehari.”

“Apa maksudmu Untara. Aku sudah tidak mempunyai keperluan lagi. Aku tergesa-gesa kembali ke Mataram dan menyampaikan hasil kepergianku ke Pajang kepada Sutawijaya.”

“Ki Gede. Kapan pun Ki Gede akan kembali ke Mataram, aku tidak akan mencegahnya. Tetapi tidak sekarang. Dan sekarang aku ingin mempersilahkan Ki Gede kembali sejenak. Sampai saatnya kami dapat mengantarkan Ki Gede sampai ke batas Tanah Mataram.”

Ki Gede mengusap keningnya. Katanya, “Aku menjadi bingung Untara. Katakanlah, apakah maksudmu yang sebenarnya.”

Untara mencoba menenangkan pernafasannya. Tetapi sejenak kemudian ia berdesis, “Terlambat. Kita harus terlibat dalam perkelahian.”

Ki Gede berpaling ketepaan. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang akan terjadi Untara?”

Untara memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Mereka pun segera bergeser sebelah menyebelah.

“Ki Gede,” desis Untara, “aku mendapat perintah dari Kanjeng Sultan Pajang. Petugas sandi Pajang menangkap keterangan bahwa beberapa orang telah menghadang perjalanan Ki Gede di sekitar Kali Opak. Petugas sandi yang berhasil menyadap pembicaraan beberapa orang yang memang dengan sengaja ingin menjebak Ki Gede mengatakan bahwa kekuatan mereka yang disediakan untuk menyingkirkan Ki Gede adalah tidak tanggung-tanggung.

“Lalu apa maksudmu Untara?”

“Aku mendapat perintah untuk menyelamatkan Ki Gede,” jawab Untara, “bukan maksudku mengatakan bahwa aku memiliki kelebihan dari Ki Gede, tetapi aku adalah Senapati yang bertanggung jawab di daerah ini dan aku mempunyai pengawal yang cukup. Karena itu, untuk menghindari kesan yang jelek terhadap Pajang, seakan-akan Pajang lah yang telah menjebak Ki Gede, maka aku harus mencegat perjalanan Ki Gede. Tetapi agaknya aku terlambat. Aku mendapat keterangan dari beberapa orang yang bekerja di sawah, bahwa tiga orang berkuda telah lewat. Karena itu aku segera menyusul dengan pengawal yang ada. Aku memang memerintahkan seorang pengawalku untuk menyiapkan prajurit yang berada di daerah Prambanan yang dapat dihimpun untuk menyusul perjalananku sekarang ini, karena kita akan menghadapi kekuatan yang cukup besar.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Sekarang ia mengerti, siapakah yang bergerak-gerak di tepian. Dibalik batu-batu besar dan gerumbul-gerumbul liar.

“Kapan kau mendapat keterangan itu Untara?” bertanya Ki Gede.

“Baru pagi ini,” jawab Untara. “Demikian aku menerima perintah itu aku pun segara berangkat dengan tergesa-gesa. Tetapi aku terlambat. Dan aku berusaha menyusul Ki Gede. Agaknya Ki Gede tidak berpacu terlampau cepat, sehingga aku dapat bertemu Ki Gede disini.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi siapakah yang telah berusaha menjebak aku?”

“Kami tidak mendapat keterangan itu. Tetapi petugas sandi berhasil mendengar atau mencuri keterangan tentang hal itu. Siapapun yang telah memerintahkan penyergapan itu, namun Sultan menjadi sangat marah karenanya dan memerintahkan untuk mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan Ki Gede.”

Ki Gede masih mengangguk-angguk. Tetapi berbagai macam persoalan berdesakkan didalam dadanya. Memang ada sepercik kecurigaan. Tetapi kemudian goresan-goresan yang dalam di dinding jantungnya justru karena sikap Kanjeng Sultan yang sangat baik, dan bahkan telah memerintahkan untuk menyelamatkan nyawanya.

Dalam pada itu, Dandun dan adik-adiknya benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Apalagi karena mereka mendapat laporan bahwa lima orang prajurit telah datang untuk menahan Ki Gede Pemanahan.

“Gila,” teriak Dandun, “semakin lama prajurit-prajurit itu akan menjadi semakin banyak. Karena itu, kita selesaikan saja mereka sekarang. Yang terpenting adalah membinasakan Ki Gede Pemanahan itu dahulu.”

“Bagus,” desis adiknya, “kita tidak dapat menunggu lagi.”

Dandun pun kemudian menarik senjatanya sambil menggeram, “Kita bertiga menyelesaikan Ki Gede. Yang seorang, dari kita membayangi pemimpin prajurit itu, sedang yang lain harus membinasakan semua pengawal yang berjumlah enam orang itu.”

“Baik Kakang”, jawab adiknya yang tertua, “aku akan membinasakan Senapati itu.”

Demikianlah, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka sadar bahwa prajurit-prajurit itu akan bertambah-tambah. Karena itu tugas mereka harus segera selesai sebelum mereka akan melarikan diri.

Karena itulah maka sejenak kemudian terdengar Untara berdesis, “Ki Gede, agaknya mereka sudah akan mulai.”

Ki Gede tidak sempat menjawab. Beberapa orang berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul dan melingkari kelompok kecil yang memang sudah menyiapkan diri untuk melawan itu.

Ki Gede menyadari, bahwa orang-orang yang telah dikirim untuk mencegat perjalanannya itu tentu bukan orang-orang kebanyakan. Karena itulah maka ia pun segera menyiapkan dirinya sebaik-baiknya.

Sejenak Ki Gede memandang orang-orang yang berlari-larian melingkarinya. Dan di antara mereka terdapat empat orang yang meyakinkan. Dan mereka agaknya adalah pemimpin dari kelompok yang kini telah mengepungnya.

Untara yang melihat kepungan yang dalam waktu yang singkat telah menjadi rapat itu mendekati Ki Gede Pemanahan sambil berkata, “Menurut keterangan yang aku terima Ki Gede, keempat orang itu datang dari kaki Gunung Lawu. Mereka khusus datang untuk menyambut Ki Gede di Kali Opak ini.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana mungkin kau menerima keterangan yang lengkap sekali tentang orang-orang itu?”

“Aku belum sempat menanyakannya kepada petugas sandi itu. Aku tergesa-gesa berangkat mencegat Ki Gede. Tetapi Ki Gede sudah lampau. Itulah sebabnya aku hanya membawa lima orang pengawal. Yang seorang dari mereka kini berhenti di Prambanan menghubungi pimpinan kelompok prajurit yang aku tempatkan disana.

“Kenapa utusan dari Pajang itu tidak langsung menyusul aku? Jika ia harus pergi ke Jati Anom lebih dahulu, maka kau tentu akan terlambat.”

“Aku memiliki pasukan didaerah ini Ki Gede. Dan seperti yang aku katakan aku adalah Senapati di daerah ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja empat orang yang berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya.

Wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang. Demikian juga wajah Untara. Pengawalnya telah menebar menghadap ke segenap arah. Sedang kedua pengawal Ki Gede Pemanahan pun telah merenggang.

“Kita harus melawan mereka sejauh-jauh dapat kita lakukan Ki Gede. Sementara prajurit-prajurit dari Prambanan akan segera datang.”

Ki Gede tidak menyahut.

Dalam pada itu, Dandun dan ketiga adiknya sudah menjadi semakin dekat. Dengan kepala tengadah maka empat bersaudara dari Gunung Lawu itu kemudian berhenti beberapa langkah dihadapan Ki Gede Pemanahan dan Untara.

Sekilas Ki Gede teringat pada saat ia dihentikan oleh sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Seorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Tetapi Ki Tambak kedi tidak mempunyai pasangan seperti orang-orang ini. Bahkan sampai empat orang.

Sejenak Ki Gede memandang wajah Dandun yang keras sekeras batu-batu padas ditepian Kali Opak. Kemudian wajah ketiga adik-adiknya berganti-ganti. Wajah mereka memang mirip seperti kebanyakan kakak beradik. Dan agaknya sifat-sifatnya pun tidak jauh berbeda yang satu dengan yang lain.

Dandun, yang tertua di antara mereka pun kemudian maju selangkah. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan dan Untara berganti-ganti. Lalu katanya, “Kenapa kalian tidak mau maju lagi sampai ke tepian? Di tepian kita mempunyai tempat yang cukup luas untuk berkelahi. Siapa yang terbunuh didalam perkelahian itu, dengan mudahnya kita lemparkan saja ke dalam air. Apakah kalian tidak sependapat, sebaiknya kita bertempur di pinggir sungai saja ?”

Ki Gede memandang Dandun sejenak, lalu, “Siapakah kau sebenarnya Ki Sanak. Dan apakah kepentinganmu dengan aku?”

Dandun tertawa. Jawabnya, “Apakah ada perlunya Ki Gede Pemanahan mengetahui? Eh, bukankah kau yang bernama Ki Gede Pemanahan?”

“Benar Ki Sanak. Akulah yang bernama Pemanahan. Kau tentu sudah mendapat banyak keterangan tentang aku ujudku. Tubuhku dan tentu kau mendapat pesan bahwa aku menempuh perjalanan ini bersama kedua orang sahabatku.”

“Ya,” sahut Dandun, “dan kau pun tentu sudah dapat menduga apakah keperluanku. Karena itu, sebaiknya kau turun saja dari kudamu dan menundukkan kepalamu dalam-dalam. Aku akan memenggal kepalamu dengan penuh hormat.”

“Tutup mulutmu,” Untara lah yang membentak. Dengan mata yang merah menyala Untara berkata lantang, “Kau jangan menghina. Kau harus sadar, dengan siapa kau berhadapan.”

Dandun mengerutkan keningnya, lalu, “Sebenarnya kau siapa anak muda. Kau agaknya seorang Senapati. Apakah kau akan melindungi Ki Gede Pemanahan atau sebaiknya akan membantu aku mempercepat tugas ini.”

“Aku tahu bahwa kau mendapat tugas dari seseorang yang kebetulan juga seorang prajurit, atau seorang Senapati Pajang. Kau menjual tenagamu untuk melakukan perbuatan terkutuk ini. Tetapi ketahuilah aku mengemban tugas dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya langsung untuk melindungi Ki Gede Pemanahan dan mencari keterangan tentang orang-orang yang telah mengupahmu.”

Dandun tertawa semakin keras. Katanya, “Senapati muda, kau memang berani. Tetapi jangan menyesal, bahwa karena keterlibatanmu dalam persoalan ini, maka kau pun akan mati terbunuh di tangan kami.”

“Baiklah,” berkata Untara, “jika kau yakin akan dapat membunuh aku, lakukanlah. Tetapi aku pun yakin akan dapat menangkap kalian. Aku ingin kalian tetap hidup, supaya kalian dapat diperas untuk menitikkan keterangan, siapakah yang telah memberimu upah.”

Dandun tertawa terus. Namun tiba-tiba suara tertawanya menurun, lalu, “O, hampir saja aku terpancing. Jika kau sempat memperpanjang pembicaraan, maka mungkin sekali kau akan dapat bantuan dari kawan-kawanmu yang barangkali akan menyusul,” Dandun berhenti, lalu dilambaikannya tangannya sebagai isyarat bagi anak buahnya untuk segera mulai.

Orang-orang yang telah mengepung Ki Gede Pemanahan, Untara dan para pengawalnya itu mulai bergerak. Perlahan-lahan mereka maju selangkah demi selangkah dengan senjata telanjang di tangan.

Melihat orang-orang yang mengepungnya mulai bergerak, maka Ki Gede dan Untara pun bersiap. Demikian juga para pengawalnya. Namun dalam pada itu, kadang-kadang jauh didasar hatinya, Ki Gede masih juga bertanya, “Apakah yang terjadi ini bukan sekedar sebuah permainan? Dan Untara adalah salah seorang dari para pemain yang dapat melakukan peranannya dengan baik sekali?”

Tetapi Ki Gede mencoba mengusir, prasangka dihatinya itu. Ia mencoba mempercayai Untara dan dengan demikian Ki Gede akan bekerja dengan Senapati itu sepenuhnya.

Sementara itu, bukan saja orang-orang yang mengepung itu telah bergerak maju. Tetapi Dandun dan adik-adiknya pun telah mendekat pula, langsung menghadapi Ki Gede Pemanahan dan Untara.

Ki Gede pun sadar, bahwa ia adalah arah utama dari orang-orang yang telah menunggunya ditepian Kali Opak itu. Karena itu, ia telah menyiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan. Sebagai seorang prajurit yang pernah memegang jabatan tertinggi di Pajang, maka Ki Gede pun tidak merasa gentar sama sekali. Apapun yang akan terjadi, akan dihadapinya dengan tabah. Apalagi setelah ia tahu pasti, bahwa Sultan Hadiwijaya tidak marah dan tidak mendendam kepada Sutawijaya. Maka rasa-rasanya semua yang harus dihadapinya adalah tugas-tugas yang tidak seberat saat ia berangkat pergi ke Pajang.

Demikian pula agaknya dangan Untara. Meskipun ia sadar, bahwa jumlah orang-orangnya jauh lebih sedikit dari lawan-lawannya, apalagi di antara mereka terdapat empat bersaudara dari kaki Gunung Lawu, namun ia pun bertekad untuk menghadapi mereka dengan tatag. Meskipun demikian ada juga sedikit penyesalan padanya, bahwa ia tidak membawa pengawal yang cukup. Demikian tergesa-gesa dan bahwa ia tidak menyangka akan berhadapan langsung dengan orang-orang yang mencegat Ki Gede karena ia tanya sekedar akan menghentikan perjalanannya, maka ia tidak membawa pengawal lebih dari lima orang.

Untara sama sekali tidak menjadi gentar karena dirinya sendiri, tetapi ia lebih memikirkan nasib Ki Gede Pemanahan. Pesan Sultan Hadiwijaya jelas baginya, bahwa Ki Gede harus dihentikan sebelum sampai ke tepian Kali Opak, agar sikap Sultan Hadiwijaya tentang hubungan antara Sutawijaya dan puteri dari Kalinyamat itu tidak dianggap sekedar sebuah jebakan.

Tetapi kini ia sudah berada di depan hidung empat bersaudara dari Gunung Lawu, sehingga ia tidak akan dapat berbuat lain daripada bertempur, sambil menunggu kedatangan prajurit yang dapat dihimpun di Prambanan.

Dengan tegang Untara menunggu. Dandun dan adik-adiknya beserta orang-orangnya semakin lama menjadi semakin dekat. Sebentar lagi ia harus mulai mengayunkan senjatanya dan bertempur sekuat tenaganya.

Namun Untara itu terkejut. Bahkan bukan saja Untara, tetapi setiap orang yang ada ditempat itu, termasuk keempat orang bersaudara dari Gunung Lawu itu, ketika mereka, melihat tiba-tiba saja Ki Gede Pemanahan menghentakkan tali kekang kudanya sehingga kuda itu bagaikan meloncat dengan garangnya ke depan.

Dan ternyata bahwa Ki Gede Pemanahan lah yang telah memulainya lebih dahulu. Dengan dahsyatnya kudanya menerjang keempat orang bersaudara dari Gunung Lawu itu dengan keris yang terhunus.

Serangan yang tidak terduga itulah yang telah menggoncangkan setiap dada. Dandun dan adik-adiknya pun bagaikan kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukan.

Ternyata perhitungan Ki Gede Pemanahan itu dapat dilakukan dengan tepat meskipun tidak berhasil seperti yang diharapkan. Ternyata keempat orang dari kaki Gunung Lawu itu benar-benar bukan orang kebanyakan. Meskipun mereka terkejut bukan buatan, namun mereka masih sempat berbuat sesuatu. Mereka sempat berloncatan menghindari senjata Ki Gede Pemanahan.

Tetapi tidak semuanya dari keempat orang itu dapat membebaskan, dirinya. Ternyata keris Ki Gede masih berhasil menggores punggung salah seorang dari mereka. Adik Dandun yang paling kecil.

Ketika keris itu menyentuh kulitnya, terdengar ia mengaduh. Kemudian sebuah dorongan yang kuat telah melemparkannya sehingga ia jatuh berguling di tanah.

Meskipun dalam waktu sekejap ia berhasil meloncat berdiri namun kemudian, terasa punggungnya sangat pedih. Kekuatannya semakin lama bagaikan dihisap oleh luka di punggungnya itu.

Tetapi ia tetap bertahan. Dengan wajah yang tegang dan gigi gemeretak ia siap menghadapi kemungkinan berikutnya.

Agaknya kedua pengawal Ki Gede menyadari, bahwa pertempuran yang sebenarnya, sudah dimulai. Karena itu mereka pun tidak menunggu lebih lama lagi. Kuda mereka pun segera berderap menyerang orang-orang yang mengepungnya.

Dalam pada itu, selagi kuda Ki Gede Pemanahan sedang melingkar, Untara tidak membiarkan keempat orang itu berhasil mempersiapkan diri dan menyergap Ki Gede. Karena itu, maka ia pun segera mendera kudanya dan menyerang dengan pedangnya sambil berkata, “Ki Gede, sebaiknya Ki Gede meninggalkan pertempuran ini. Serahkan semuanya kepadaku, mumpung Ki Gede kini berada diluar lingkaran.”

Sesaat Dandun dan anak buahnya menjadi agak gugup. Mereka benar-benar tidak menyangka, bahwa justru Ki Gede Pemanahan dan Untara lah yang telah mulai dengan garangnya dalam waktu yang sangat cepat.

Tetapi Dandun adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka dalam waktu dekat ia berhasil menguasai dirinya dan anak buahnya.

Namun dalam waktu yang dekat itu, para pengawal Ki Gede Pemanahan dan Untara, telah berhasil mengurangi jumlah lawan mereka meskipun hampir tidak berarti dalam pertempuran yang kemudian berlangsung.

Dalam pada itu. Ki Gede yang mendengar teriakan Untara mengerutkan dahinya. Ia adalah seorang prajurit, bahkan seorang yang pernah menjadi Panglima perang Pajang yang disegani.

Karena itulah, maka peringatan Untara itu sama sekali tidak dihiraukannya. Ia tidak akan dapat begitu saja menyelamatkan dirinya, sedang orang lain berada dalam kesulitan. Sehingga dengan demikian Ki Gede Pemanahan sama sekali tidak menghindarkan diri. Meskipun usianya menjadi semakin tua, namun ia masih tetap seorang yang pilih tanding. Seorang yang tidak sekedar mementingkan dirinya sendiri. Apalagi dalam kesulitan selagi mereka bercanda dengan maut.

Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahan yang sudah berada diluar kepungan itu justru sudah siap menyerbu lawannya. Sejenak Ki Gede mempersiapkan diri dan memperhitungkan keadaan. Kemudian kudanya pun berderap dengan lajunya sementara beberapa orang lawannya sedang mempersiapkan dirinya melawan Untara.

Ki Gede yang memiliki pengalaman yang cukup, bahkan berlimpah itu melihat ujung-ujung senjata yang sudah siap menyambut Untara. Sebuah desir yang tajam telah menyentuh jantungnya. Meskipun Untara seorang Senapati yang terpercaya, ternyata bahwa umurnya yang masih muda sangat mempengaruhi sikapnya di peperangan. Serangannya terhadap lawan-lawannya saat itu justru telah membahayakan dirinya. Namun Ki Gede pun menyadari bahwa Untara sengaja memancing perhatian lawan-lawannya agar mereka tidak terikat kepada Ki Gede Pemanahan saja

“Tetapi perbuatan itu adalah perbuatan yang bodoh,” sekilas melintas dipikiran Ki Gede Pemanahan, “ternyata Untara tidak menyadari, dengan siapa ia berhadapan.”

Itulah sebabnya Ki Gede tidak melepaskan saat yang sekejap. Pada saat Untara terperosok kedalam bahaya di antara keempat bersaudara dari Kaki Gunung Lawu itu, Ki Pemanahan dengan garangnya telah menyerang mereka dengan kerisnya, sehingga dengan demikian, pemusatan serangan keempat orang itu menjadi pecah.

Namun keempat orang itu masih berhasil menghindari serangan yang menyambar mereka. Mereka sempat meloncat kearah yang berlawanan sambil merendahkan diri.

Selagi kuda-kuda yang menyambar itu lewat, Dandun yang memiliki pengalaman terbanyak dibanding dengan adik-adiknya segera mengatur diri. Dengan lantang ia berkata kepada adiknya yang kedua, “Hadapi Senapati dari Pajang itu, yang lain akan membantu aku membinasakan Ki Gede Pemanahan.”

Waktu yang singkat itu ternyata cukup bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Keempatnya kemudian memisahkan diri sesuai dengan perintah yang telah diucapkan oleh Dandun.

Ki Gede Pemanahan yang mendengar perintah itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena Ki Gede Pemanahan gentar menghadap tiga orang, sedang yang seorang sudah terluka, tetapi menilik tata gerak yang dilihatnya pada permulaan dari pertempuran itu, ia menganggap bahwa yang seorang itu pun akan menjadi sangat berbahaya bagi Untara. Apalagi jumlah pengawalnya masih belum sebanyak jumlah orang-orang yang mengepungnya.

Meskipun demikian. Ki Gede Pemanahan masih berpengharapan bahwa Untara akan dapat bertahan sampai orang-orangnya yang berada di Prambanan datang.

Demikianlah kemudian terjadi pertempuran yang sengit. Ki Gede Pemanahan yang masih berada diatas kudanya harus melawan tiga orang lawan, sedang Untara seorang diri melawan salah seorang dari keempat bersaudara dari Gunung Lawu itu.

Namun sejenak kemudian mulai nampak, bahwa orang lereng Gunung Lawu itu benar-benar mampu mendesak Untara. Sekali-sekali Untara harus menyingkirkan kudanya menjauhi lawannya yang dapat bergerak dengan cepat sekali.

Sementara itu, Ki Gede Pemanahan sendiri harus menghadapi tiga di antara mereka. Untunglah bahwa ia berhasil melukai yang seorang dari ketiganya, yang ternyata semakin lama menjadi semakin lemah, dan hampir tidak berdaya sama sekali.

Dengan lincahnya Ki Gede masih selalu berhasil menghindarkan dirinya dari serangan kedua lawannya, meskipun setiap kali ia harus selalu menjauhi mereka. Untunglah bahwa kuda Ki Gede Pemanahan itu rasa-rasanya mengerti setiap isyarat yang diberikan oleh Ki Gede, sehingga dalam pertempuran itu kudanya terasa sangat membantunya.

Tetapi dalam pada itu Ki Gede menjadi berdebar-debar melihat Untara. Ternyata, seorang pengikut orang-orang dari kaki Gunung Lawu itu telah mendekati lingkaran pertempuran dan langsung membantu melawan Untara, sehingga dengan demikian Untara segera terlibat dalam kesulitan.

Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit. Itulah sebabnya maka ia tidak dapat sekedar mementingkan keselamatannya sendiri. Apalagi ia tahu bahwa kedatangan Untara ke tepi Kali Opak itu adalah sekedar menyelamatkan jiwanya seperti yang diperintahkan oleh Sultan Hadiwijaya.

Dengan demikian, maka perhatian Ki Gede Pemanahan pun mulai terbagi.

Sebenarnya kedua lawan Ki Gede Pemanahan itu cukup berbahaya baginya. Sedang yang seorang dari mereka, yang telah terluka, sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, selalu bertahan untuk keselamatannya sendiri.

Demikianlah, pertempuran itu pun semakin nampak, bahwa Ki Gede Pemanahan dan Untara beserta para pengawalnya tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Apalagi Untara sendri semakin lama semakin terdesak oleh lawannya.

Bahkan kemudian Untara benar-benar berada dalam kesulitan ketika kedua lawannya sempat memisahkan diri dan berani sebelah menyebelah kuda Untara. Keduanya pun telah siap mengayunkan senjatanya menyerang dari dua arah.

—- > Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Mbah Man memang oke…… lanjut mbah…

Tinggalkan komentar