NSSI-12


kembali | lanjut >>

I.

Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, “Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”

“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.

“Melatihnya dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari semula.”

Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena ia pun tak akan berbuat lain daripada itu.

“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula, “Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”

“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara, “Aku selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu. Di samping itu aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kau pun telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih kasar daripadamu.”

“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”

“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan, “Sebelumnya baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar, membawanya keluar.”

Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur.

Selama itu ia mengisi waktunya dengan mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang peranannya sebagai Mahesa Jenar.

“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu hal yang penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah menerima dasar – dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.

Mahesa Jenar terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya, ”Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”

”Muridmu luar biasa,” jawab Kebo Kanigara. ”Memang aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah, sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan lahiriah saja.”

”Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di kemudian hari.”

Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar. ”Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin. Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak.”

Mahesa Jenar mengangguk membenarkan. Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan menanggapi suatu kejadian,  karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya.

Ketika itu terasalah bahwa pagi telah datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang agaknya menemani Arya Salaka.

”Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.

”Mereka berdua mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut,  ”Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama.”

”Berlatih bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut, ”Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”

Kebo Kanigara mengangguk.

”Aku tidak mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara tersenyum aneh. ”Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara. ”Nah, tunggu sebentar…” ia melanjutkan, ”Mereka pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka siapakah aku sebenarnya.”

Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan hampir setiap hari.

Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah ruangan itu pun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang akan dilakukan.

Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya.

Demikian latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.

Dalam pada itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga dadanya.

Muridnya itu kini benar-benar merupakan banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu, suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak besi yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar. Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya.

Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri.

Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang sedemikian mencengangkan.

Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, ”Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”

Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan, ”Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?”

”Ya,” sambung Mahesa Jenar. ”Aku melihat perguruan Sela ada padanya.”

”Tepat,” jawab Kebo Kanigara. ”Ia adalah murid Ki Ageng Sela.”

Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi, ”Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”

”Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara. ”Kalau yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya.”

”Menangkap petir,” potong Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Bukankah ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu dipelajarinya terlalu lama.”

Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu.

”Tidak hanya itu…” Kebo Kanigara meneruskan, ”Tetapi berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka.”

”Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca,” potong Mahesa Jenar.

”Mungkin,” jawab Kebo Kanigara.

Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya.

Ketika matahari telah tegak di langit, agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.

Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya, ”Kakang Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka.”

Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa Jenar mendesak, ”Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan.”

”Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.

”Aku sudah mengira,” sahut Mahesa Jenar, ”Tetapi siapakah dia?”

”Putut Karang Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.

”Akh…!” desis Mahesa Jenar. ”Kakang Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan.” 

”Mahesa Jenar…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh, ”Kau pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?”

Mahesa Jenar mengangguk.

”Kalau demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara. ”Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain. Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di ladang.”

“Seorang Wali?” tanya Mahesa Jenar. “Siapakah dia?”

“Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab Kebo Kanigara.

“Sunan Kali Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.

“Ya,” Kebo Kanigara menegaskan. “Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, ‘Hai anak yang mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta.’ Demikian nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa depannya.”

Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.

“Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?’ tanya Mahesa Jenar pula.

“Ada,” jawab Kanigara. “Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga.”

“He…” Mahesa Jenar terkejut. “Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu.”

Kebo Kanigara mengangguk. “Karebet yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan untuk menjadi raja.

”Nah, Kakang…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Marilah kita temui mereka.”

Kebo Kanigara menggeleng. ”Tidak mungkin…” jawabnya. ”Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar tertegun. ”Lalu bagaimana?” ia bertanya.

”Dan ingat, kau harus membersihkan janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi.”

Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara.

Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke arah yang berlawanan.

Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri.  Anak itu oleh gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan mengenai gurunya.

Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu.”

”Sekarang?” tanya Mahesa Jenar.

”Ya. Ikutlah aku,” jawab Kebo Kanigara. ”Muridmu itu tak akan hilang di situ.”

Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu.

Di dalam ruangan itu pulalah mereka bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk hormat. Katanya, ”Selamat sore paman berdua.”

”Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,” sahut Kanigara.

Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata, ”Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, ”Permainanmu sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini, benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang Tunggal.”

”Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.

 Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata, ”Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu.” Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan, ”Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak.”

Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih, “Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini.”

“Bagus…” sahut Mahesa Jenar, “Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi kecewa.”

“Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga kepada diri sendiri.

“Mahesa Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian, “Bawalah pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan.”

”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup.” Kanigara menyambung. ”Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan.”

”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.

”Aku menunggu kau di sebelah. Dari ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar.” Berkata kanigara pula, ”Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku”

Setelah itu Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam sebuah mulut lubang goa itu.

Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora.

Sesaat kemudian, udara menjadi semakin sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.

Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian.

Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.

Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.

Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang, ”Ulangi!”

Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.

“Jelek sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri.

Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.

Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia berkata, “Arya, lihat batu hitam itu.”

Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.

“Apa yang kau lihat itu? “ bentak Mahesa Jenar.”

“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.

“Itulah sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula. “Perhatianmu terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu tergantung di langit atau apapun.”

Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.

“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”

Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.

Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya. Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.

Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.

Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru? Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat. Beberapa hari ia tinggal sendiri didalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…?

Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.

Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.

“Arya…” tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata, “Meskipun tingkat ilmumu masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”

Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak tahu apakah hal yang demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu menangis.

Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk membinasakannya.

Tetapi, sekarang Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.

Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.

Sesaat kemudian Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh, ”Arya, ikutilah.”

Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.

Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.

Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.

Selamat sore Paman Mahesa Jenar,” sapanya sambil membungkuk hormat.

”Selamat sore Karang Tunggal,” jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.

Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, ”Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya.”

Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan, ”Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman.”

”Siapakah dia?” tanya Mahesa Jenar sekenanya.

”Paman Kebo Kanigara,” jawab Putut Karang Tunggal.

”Itukah yang penting?” tanya Mahesa Jenar pula.

”Bukan itu saja,” jawab Putut Karang Tunggal. ”Ada dua tiga soal yang lain.”

Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.

Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.

Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.

Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.

Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.

Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.

Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.

”Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu,” kata Ismaya kemudian. Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.

Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya, ”Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu.”

Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, ”Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?”

”Tidak Panembahan,” tidak, jawab Mahesa Jenar.

”Demikianlah yang aku kehendaki,” sahut Panembahan Ismaya pula. ”Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik.”

Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula, ”Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?”

”Tidak begitu kasar,” jawab Panembahan Ismaya. ”Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini.”

”Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…?” sahut Mahesa Jenar.

”Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami,” jawab Panembahan itu pula. ”Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja.”

Mahesa Jenar akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.

Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.

Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.

Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, “Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain.”

“Baiklah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.

“Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat,” sambung Panembahan Ismaya pula. “Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara.”

Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.

Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, “Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera.”

Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.

“Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kau lihat?” tanya Kebo Kanigara.

“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.

”Di mana muridmu sekarang?” tanya Kanigara tiba-tiba.

”Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal,” jawabnya singkat.

“Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya.” Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, “Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?”

Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.

“Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu.” Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.

”Kau harus menemuinya,” sambung Kanigara pula.

Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.

”Biarlah anakku mengantarkanmu nanti,” kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, ”Siapakah anak Kakang Kanigara itu?”

”Seorang anak perempuan,” jawab Kanigara, ”Namanya Widuri. ”

”Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.

”Ya,” jawab Kanigara singkat.

”Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” kata Mahesa Jenar. ”Adakah anak itu dilahirkan di Demak?”

”Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu,” jawab Kanigara. ”Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian.”

Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.

Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, ”Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya.”

Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.

”Bahkan beberapa tahun kemudian…” kata Kanigara pula, ”Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak.”

Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, ”He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku.”

Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.

”Nah Mahesa Jenar…” sambung Kanigara tiba-tiba, ”Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.

”Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.”  

Mahesa Jenar  Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.

“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.

Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian, “Ya aku dengar. Jauh sekali.”

“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.

Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. “Dandanggula,” desisnya.

“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara. “Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata, “aku kenal orang itu.”

Kanigara mengangkat alisnya, katanya, “siapakah dia”

“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.

“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut. “Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ia sahabat ayahku.”

Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.

“Apakah yang dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu orang tua itu.

“Ia pasti mengira bahwa aku masih di sini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.

Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya, “Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”

“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.

“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.

“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.

“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya  tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.

Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka. Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak.

Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas.

Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.

Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.

“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.

Kanigara tersenyum. “Datanglah. Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.

Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.

Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula,  “Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”

“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.

“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.

“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.

“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.

“Tidak,” sahut Mahesa Jenar. “Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”

Sekali lagi Kanigara tertawa. “Ayolah,” katanya.

Maka pergilah mereka berdua, menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu.

Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas. Sapanya, “Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.

Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan, “Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku.”

“Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng,” jawab Mahesa Jenar. “Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.”

Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula diatas sebuah batu.  “Duduklah,” katanya. “Mungkin percakapan kita tidak segera selesai.”

Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya, ”Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?”

Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. ”Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati.”

Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, ”Aku bernama Pandan Alas

Aku sudah emndengar nama tuan. Nama yang mengumandang di sekitar daerah ini. Bukankah tuan yang memiliki keris Kiai Sigar Penjalin?”

Sekali lagi Pandan Alas tertawa. Jawabnya, ”Kau benar. Keris yang sama sekali tak berarti itu

Ki Ageng memang suka merendahkan dirinya” sahut Mahesa Jenar.

Pandan Alas menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, ” Mahesa Jenar, mungkin kau telah mengetahui, buat apa aku datang kemari. Semula, aku mendengar kabar, bahwa cucuku ditangkap oleh Sima Rodra. Aku mencoba untuk membebaskannya bersama-sama dengan Sarayuda. Tetapi kemudian kau membuat suatu keajaiban. Karena ternyata aku dan Sarayuda bersama-sama tidak mampu menolongnya. Sekarang aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepadamu

Mulut Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terbungkam. Apakah yang akan dikatakannya? Sedang orang yang melakukan semuanya itu duduk di sampingnya. Kebo Kanigara.

Agaknya, Kebo Kanigara merasakan juga kesulitan Mahesa Jenar itu, sehingga ia pun berusaha menolongnya. Katanya kepada Mahesa Jenar, ”Memang luar biasa. Adakah tuan waktu itu bertempur melawan selian orang-orang itu?

Mahesa jenar dengan kaku menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Tidak. Aku sama sekali tidak bertempur. Aku hanya melarikan diri saja”

Kanigara menjadi geli mendengar jawaban itu. Juga Pandan Alas tertawa.Sahutnya, ”Tak seorangpun yang mampu melepaskan diri dari deretan nama-nama Sima Rodra, Bugel Kaliki, Janda Sima Rodra uda dan Jaka Soka beserta laskarnya. Tetapi kau mampu melakukan itu Mahesa Jenar”

Mahesa Jenar tersenyum kecut. Jawabnya, ”Aku memang hanya mempunyai keahlian menyembunyikan diri”

Sekali lagi mereka yang mendengarnya menjadi tertawa. Tetapi punggung Mahesa Jenar sendiri telah dipenuhi keringat dingin yang mengalir dengan derasnya.

Karena itu, duduknya menjadi gelisah.

Apalagi, ketika Ki Ageng Pandan Alas bertanya, ”Mahesa Jenar, setelah kau berhasil membebaskan anak itu, apakah yang akan kau lakukan?”

Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Ki Ageng Pandan Alas akan bertanya demikian. Pertanyaan yang menyulitkan. Sebenarnya, apabila hatinya benar-benar terbuka ia bahkan mendapat suatu jalan untuk mengemukakan isi hatinya. Tetapi, meskipun Mahesa jenar sama sekali tidak gentar menghadapi senjata yang bagaimanapun tajamnya, namun berbicara tenatng seorang gadis, ia menjadi gemetar.

Tetapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka duga. Mahesa Jenar tidak, Kanigara tidak, bahkan Pandan Alas pun tidak.

Pada saat itu, meskipun pembicaraan itu memerlukan hampir segenap perhatian mereka, namun mereka masih mendengar gemerisik daun kering yang tersentuh kaki. Karena itu, segera perhatian mereka teralih. Meskipun mereka masing-masing tetap pada sikap semula seolah-olah tidak terjadi sesuatu, namun orang-orang sakti itu telah menyiapkan diri masing-masing apabila ada sesuatu yang terjadi.

Mereka bertiga bertambah terkejut ketika melihat sesuatu dengan tangkasanya meloncat berdiri di hadapan Mahesa Jenar. Seorang yang gagah tampan. Berbaju sutera dan berkain lurik. Meskipun di dalam gelap malam, namun tampaklah berkeredipan permata-permata intan berlian yang terpahat pada timang ikat pinggangnya. Orang itu adalah Sarayuda, seorang Demang yang kaya raya.

Kau Sarayuda” sapa Pandan Alas

Ya Ki Ageng” jawabnya singkat

Aku kira kau telah kembali” Pandan Alas meneruskan.

Tidak guru. Aku merasa bahwa pekerjaanku belum selesai” jawab Sarayuda  pula, ”aku mengira bahwa Pudak Wangi masih berada di daerah ini. Ketika aku emndengar suara tembang Ki Ageng Pandan Alas, akupun tahu maksudnya. Ternyata Mahesa Jenar yang perkasa inipun benar-benar datang menemui guru

Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya. Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun  ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itu pun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya di samping Pudak Wangi sendiri.

Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, ”Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?”

Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.

Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, ”Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?”

Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, ”Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.”

”Aku mengerti Sarayuda,” jawab Pandan Alas. ”Tetapi tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya.”

Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.

”Duduklah Sarayuda…” Pandan Alas mempersilahkan.

Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.

”Ki Ageng Pandan Alas…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab aku pun orang asing di sini.”

”Tidak apalah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, ”Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.”

Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, ”Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati? ”

“Ya,  ya Tuan,” jawab Kanigara.

”Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu,” sambung Sarayuda.

Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjadi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.

”Ki Ageng…” desak Sarayuda kemudian, ”Marilah kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.”

Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, ”Mahesa Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?”

”Tidak demikian Ki Ageng….” Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, ”Itu terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorang pun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku.”

Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin melepaskan Pudak Wangi kali ini.

Dalam pada itu, angin malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin pegunungan.

Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.

Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, ”Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?

”Tidak ada,” jawab Mahesa Jenar kosong.

”Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya,” sahut Sarayuda.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas, ”Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri.”

”Bagus…” sahut Sarayuda tiba-tiba, ”Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.”

Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.

Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.

Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, ”Anakku berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis…?”

Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka masing-masing.

Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.

Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, ”Anakku berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri.”

Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu. Murid yang sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu. Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.

Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian meledaklah kata-katanya, ”Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.”

Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.

Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.

Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin cemas.

Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, ”Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?

Sarayuda…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.”

Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.

Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal. Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat. Katanya, ”Ki Ageng, ternyata bijaksana. Aku tidak keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing akan dapat melindungi dirinya.

Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang sedemikian. Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan dengan cara sedemikian.

Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci.

Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya.

Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?

Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, ”Bukankah usulku adil?”

Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia tidak akan memalukan?  Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda. Meskipun ia tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat masing-masing.

Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi.

Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, ”Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?”

Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, ”Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.”

Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri. Katanya, ”Jangan berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran Handaya-ningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?”

”Sarayuda….” jawab Mahesa Jenar. ”Aku memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.”

”Omong kosong!” potong Sarayuda lantang. ”Sejak kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamuktenku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta.”

Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.

Mendengar kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu rela bertaruh nyawa.

Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.

Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan, ”Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.”

Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.

Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, ”Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu.”

Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, ”Kenapa kau datang kemari Arya…?”

Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut, ”Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini.”

”Tutup mulutmu!” bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang membentak-bentak kemenakannya itu.

Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara.

Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali.

Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.

Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga,  kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan, katanya, ”Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?”

Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, ”Putut Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawa-kan aku? Menertawakan kata-kataku…?” Kemudian kepada Kanigara ia berkata, ”Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?”

Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, ”Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.”

Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, ”Lalu apa maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku? Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit kesopanan.”

Kanigara menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya. “Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.”

Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal.

Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata, ”Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa.”

Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.

Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang Tunggal.

Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.

Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat. Katanya, ”Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan hati.”

Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran.

Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran.

Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin untuk dihindari.

Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.

Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga.

Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi.

Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.

Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.

Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.

Meskipun demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik.

Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.

Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.

Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut. Dalam pada itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini.

Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.

Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan Sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka. Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.

Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.

Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.

Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu, Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih, ”Apakah kau menjadi heran?”

Mahesa Jenar mengangguk.

”Jangan heran…” Kanigara melanjutkan, ”Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.”

”Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar. ”Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”

Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah Mada.”

Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.

Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.

Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.

Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.

Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut.

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar.  Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda.

Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.

Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha. Dengan demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.

Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, “Sarayuda… cukuplah.”

Mahesa Jenar dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”

Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.

Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampur aduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang mati-matian. Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.

Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.

Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”

Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya. Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga. Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”

Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.

Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing dengan berteriak, ”Ini dadaku, mana dadamu…?

Demikian pula ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah. Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.

Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.

Tiba-tiba, Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.

Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa. Dalam pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.

Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan dahsyatnya.

Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.

Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak lagi.

Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.

Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak diduga pula.

Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari pagi.

Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, ”Sarayuda… kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….”

Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya matahari.

Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.

Mereka yang berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.

“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, “Maafkanlah muridku.”

Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.

Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak.”

Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi muram. Gumamnya, “Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.”

Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.

Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta, “Ki Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda, ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya.”

Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia memijit-mijit dada.

Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.

Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.

Karena itulah maka Kanigara berkata, ”Ki Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini.”

Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab, ”Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda.”

Kemudian oleh persetujuan itu, segera Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata, ”Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini.”

Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, ”Ayolah. Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan.”

Karang Tunggal sama sekali tak berani membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya.

”Beratkah tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.

Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab, ”Cukupanlah.”

”Dapatkah aku membantu?” sambung Arya.

Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. ”Tak usahlah.”

Setelah itu kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki Ageng Pengging Sepuh.

Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu.

Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya. Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.

Segera rombongan itu dipersilahkan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu.

Panembahan Ismaya melihat keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya semangkuk kecil obat

Suasana untuk sesaat jadi hening dan tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur.

Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan.

Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.

“Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,” gumam Panembahan Ismaya. “Namun menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya.”

“Betapa besar terima kasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.

Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya, “Siapakah Anakmas yang terluka ini…?”

”Muridku, Panembahan,” jawab Pandan Alas.

Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah.”

Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.

Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu. Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa meninggalkan peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya.

Panembahan Ismaya mendengarkan uraian Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.

Katanya kemudian, “Ki Sanak yang bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya. Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri.”

Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah persoalannya dengan Sarayuda.

Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan, “Dengan demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara, bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi.”
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.

Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara.

Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya, “Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”

Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Inilah orangnya.”

Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata, “Maafkan Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah menjumpai Anakmas lagi.”

Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya, “Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng.”

“Untunglah…” sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah mencegah muridku. “Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat.”

Kanigara mengerutkan keningnya. Juga Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas, ”Aku memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula.”

Sekali lagi Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka Tingkir.

”Ki Ageng…” jawab Kebo Kanigara kemudian, ”Kalau aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan.”

Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, ”Bukankah begitu Karang Tunggal?”

Karang Tunggal mengangguk kaku.

”Nah, Ki Ageng…” Kanigara melanjutkan, ”Ia adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal. Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya.”

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.

”Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara. ”Dan selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama Putut Karang Tunggal.”

Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya, ”Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya.”

”Aku hanya melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya. ”Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali.”

Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya.

Sementara itu tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak. Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira pula.

Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata, ”Guru….”

Segera Ki Ageng Pandan Alas mendekatinya dan mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda. ”Aku di sini, Sarayuda…” bisiknya.

Sarayuda melihat gurunya membungkukkan kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, ”Apakah aku masih hidup…?”

”Tentu Sarayuda, tentu…” jawab Pandan Alas.

”Air…” desis Sarayuda.

Belum lagi Pandan Alas melanjutkan permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan langsung ditelannya.

Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.

”Terimakasih,” desisnya.

”Istirahatlah Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.

Mata Sarayuda yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam hatinya. Maka segera ia berkata, ”Mungkin Anakmas heran melihat kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya tubuh Anakmas menjadi baik.”

Sarayuda kembali mencoba tersenyum. Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum yang ikhlas. Lalu katanya, ”Guru, di manakah aku sekarang ini?”

”Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

”Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.

”Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas.Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik.”

”Terimakasih,” jawabnya. ”Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.”

”Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.

Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.

“Baiklah,” jawab gurunya, “Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu.”

Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya.

Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata, “Sarayuda. Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita.”

Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. ”Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum selesai,” sahutnya.

Mereka yang mendengar kata-kata itu, jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang sedemikian Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa Jenar dengan demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak sampai hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut.

Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi dirinya dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian halnya, maka tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.

Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata, “Sarayuda… jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat segera sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat kau capai. Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan menghalangimu lagi.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang Tunggal dan Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan keningnya pula. Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-kata itu dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin, betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya, sesuatu yang menyumbat pernafasannya.

Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah perasaan Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya. Namun demikian dari matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat kemudian setelah hatinya agak teratur iapun berkata, ”Kakang Mahesa Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan kata-kata yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?.”

Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, ”Ada Sarayuda. Ia berada di bukit ini. ”

Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, ”Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?”

Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, ”Tentu Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?”

”Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk datang kepadanya,” jawabnya kemudian.

Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara menolongnya. ”Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya.”

”Terima kasih Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.

Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini. Masalah yang selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah yang tak akan habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia masih ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya. Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia, sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya. Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.

Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, ”Ki Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan Karang Tunggal, marilah kita tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat.”

Pandan Alas yang tua itupun segera menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.

Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan hatinya dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang bergelora didalam dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah datang.

Sesaat kemudian, apa yang dinantikan datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari sumbernya, ”Paman, inilah bibi.”

Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara Wilis tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah mengenakan pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh perasaan yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan. Demikianlah untuk beberapa saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang memang telah dipersiapkan sejak lama. Katanya, ”Kakang Mahesa Jenar, yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak sempat mengucapkannya.”

Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, ”Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong.” Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah gadis itu. Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…?  Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.

Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat, ”Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah.”

”Seseorang…?” katanya bertanya.

Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, ”Ya, seseorang.”

”Kau…?” desaknya. Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.

Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.

Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, ”Masuklah Wilis.”

Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.

Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan. ”Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya.”

Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing baginya.

Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.

Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya. Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai jenis.

Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olahtidak sadar pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.

Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan berguguran di tanah.

Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa  Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar. Di depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah. Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.

Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.

Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan tersenyum ia berkata, ”Aku bertambah segar, Mahesa Jenar.”

”Syukurlah Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar singkat.

”Bagiku, semuanya telah selesai,” sambung Sarayuda.

 

Mahesa Jenar memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.

”Aku mengharap demikian,” jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.

Kemudian Sarayuda berkata, ”Mahesa Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar.”

”Aku ikut berdoa, Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.

Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.

Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya. Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, ”Kenapa kau menangis Wilis…?”

Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka saling berdiam diri.

”Kakang…” akhirnya terdengar Rara Wilis berkata, ”Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri.”

”Memang demikianlah agaknya,” jawab Mahesa Jenar. ”Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya, ”Apakah maksudmu Kakang?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, ”Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?”

Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya, ”Aku tidak tahu Kakang.”

Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, ”Kakang… aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek. Lalu, kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa.  Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia mendapat  tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.

 Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang.”

Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya, ”Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati. Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang wanita.”

Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut, ”Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada.”

”Ya,” potong Rara Wilis. ”Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda.”

Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya. Karena itu, tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian terdengarlah suaranya menggeram, “Wilis, katakan… katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disuyuti oleh beribu-ribu orang.” Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah, “Wilis… aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu.”

Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar, ”Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?”

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, ”Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah.”

Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan, ”Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?”

Mahesa Jenar tersentak. ”Melarikan diri…?” desisnya.

Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, ”Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita. Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang. Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?”

Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan, ”Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.”

”Wilis…” desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, ”Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu.”

”Wilis…” potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, ”Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.”

Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.

”Tidak,” katanya tiba-tiba. ”Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.”

Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. ”Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.”

Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.

Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak, “Wilis, kenapa kau menangis lagi?”

Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.

”Wilis,” katanya kemudian sekenanya saja, ”Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti. Diantara isaknya terdengar ia berkata, “Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.”

Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, “Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?”

Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, “Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.”

Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh. Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya “Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?”

Rara Wilis mengangguk.

“Tentu aku tidak tahu Wilis,” sambung Mahesa Jenar, “Kau mau mengulang kata-kata itu…?”

“Tak ada gunanya,” jawab Rara Wilis.

Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, “Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.”

Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata, ”Kakang dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.”

Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan, ”Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik.”

Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan, “Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.” Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan. “Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.” Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, “Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik.

Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya. Kemudian terdengar Rara Wilis meneruskan, “Kemudian Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat. Kenangan yang menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang Sarayuda. Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.”

Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya. Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya. Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.

Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.

“Sarayuda…” terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. “Kenapa kau lakukan itu…?”

Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, “Kau keberatan…?”

Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.

“Mahesa Jenar…” bisik Sarayuda, “Akhirnya aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita. Karena itu, akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.”

Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, “Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.”

Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, “Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji dan Kirana.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi permintaan Sarayuda itu.

”Nah, Mahesa Jenar…” Sarayuda meneruskan, ”Datanglah kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.”

”Terimakasih Sarayuda,” jawab Mahesa Jenar kaku. Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.

Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau. Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan yang selama ini dicarinya.

Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.

Meskipun kemudian tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.

Di luar terdengar burung-burung berkicau dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.

”Bukan salahku,” teriak suara yang nyaring.

”Jangan nakal Widuri,” jawab suara yang lain.

Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.

Sampai di depan pintu, Widuri tertegun. Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih kemerah-merahan. Widuri jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis perlahan-lahan memanggilnya,  “Widuri… kemarilah.”

Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi, ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.

Dengan matanya yang bulat, bening dan penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.

Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala  tunduk, “Kakang,  aku akan  beristirahat   dulu.”

“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.

Lalu hilanglah Wilis di balik pintu. Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.

Matahari yang bulat di langit masih memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan. Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan. Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.

Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.

Demikianlah, matahari yang beredar di garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat. ”Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”

Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”

Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.

Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam kehitaman yang menyeluruh.

Di dalam pondok kecil, di bawah sinar lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.

Mereka berbicara dengan riuhnya, melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak. Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini. Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk mengabdikan diriku.”

Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah. Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”

Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”

Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”

“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal. “Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”

Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu, untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.

Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di dalam maupun di luar padepokan.

Dalam pada itu, Ki Ageng Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya.

Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.

Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.

Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.

Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.

“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”

Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.

“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”

“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”

Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”

 ———-oOo———-

 
Bersambung ke Jilid 13

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

kembali | lanjut >>

5 Tanggapan

  1. lha kok diwet-WET…..!!!

  2. habis

  3. Kok Sepi ya?
    Apa masih padha nunggu Kongres PSSI?

  4. akhirnya…Mahesa infant tugas utamanya

Tinggalkan komentar