ISTANA YANG SURAM 09


ISTANA YANG SURAM

Jilid 9

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-09PINTEN tertawa pendek, katanya, “Puteri, tentu kita tidak akan membiarkan diri kita menjadi korban kebiadabannya, apapun yang terjadi, lebih baik kita melakukan sesuatu, jika dengan demikian kita akan terbunuh, barangkali itu memang lebih baik daripada jatuh ditangannya.

“Gila” teriak Bramadara, “Kau yang pertama yang harus aku akan bunuh”

Pinten memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak, tidak ada gunanya lagi kau menakut-nakuti aku. Jika aku dapat kau takut-takuti, aku tentu sudah ketakutan sejak tadi, sejak kekuatan sirep yang tajam itu menyentuh bilik ini”

“Kau sadar bahwa kau telah terbius oleh kekuatan sirep?”

“Aku sadar. Dan aku sama sekali tidak terbius oleh kekuatan sirep yang tidak berarti apa-apa itu. Mungkin biyung benar-benar telah kehilangan kesadarannya untuk waktu yang panjang. Tetapi aku tidak. Aku tahu semuanya yang telah terjadi. Dan aku sekarang tidak akan berpura-pura lagi tertidur dan menyilangkan kaki sambil menggeliat”

“Anak setan, siapakah kau sebenarnya?”

“Pinten, namaku Pinten, anak Nyi Upih”

Bramadara menggeram, ternyata bahwa ia telah berhadapan dengan seorang gadis yang lain dari yang dibayangkan. Pinten tidak menjadi ketakutan dan menggigil, serta menurut segala perintahnya. Tetapi tiba-tiba ia berdiri dengan garang tanpa membayangkan ketakutan.

“Kau melakukan sesuatu yang berbahaya bagi jiwamu, Pinten” berkata Bramadara kemudian.

“Kita mempunyai kesempatan yang sama, kau pun telah melakukan sesuatu yang membahayakan jiwamu”

Kemarahan Bramadara tidak tertahankan lagi. Dengan serta merta ia pun menyerang Pinten yang berdiri tegak meng-hadapinya.

Tetapi ternyata Pinten memang lincah. Ia meloncat ke samping untuk mendapatkan tempat yang agak luas, sehingga ia mendapat banyak kesempatan untuk melawan laki-laki yang tidak dikenalnya itu.

Sejenak kemudian keduanya sudah bertempur di ruangan yang tidak begitu luas tu. Ternyata Pinten bukannya seorang gadis manja yang bodoh dan nakal. Ia mampu menghadapi laki-laki yang garang yang diam-diam memasuki bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

Raden Ayu dan Inten menjadi membeku karenanya. Ia melihat Pinten berkelahi dengan lincahnya, seolah-olah sama sekali bukan Pinten yang dikenalnya sehari-hari.

Namun Pinten merasa bahwa kain panjangnya semakin semakin lama semakin mengganggu tata geraknya dalam perkelahian yang semakin seru itu. Kerena itu, tanpa ragu-ragu ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya tinggi-tinggi.

“O…..” Inten memalingkan wajahnya, namun ia masih sempat melihat, bahwa di dalam kain panjangnya, Pinten ternyata memakai pakaian seperti pakaian seorang laki-laki.

Sejenak kemudian perkelahian di dalam bilik itu pun menjadi semakin seru, tidak diduga-duga sama sekali bahwa gadis itu mampu memberikan perlawanan yang cepat dan lincah, setiap serangan Bramadara dapat dihindarinya. Sehingga tubuhnya sama sekali tidak dapat disentuh oleh tangan lawannya.

“Kau memang anak iblis” geram Bramadara.

Pinten tidak menyahut, lawannya meiliki ilmu yang tinggi, sehingga kerana itu, maka ia pun mengerahkan kemampuannya untuk bertempur pada jarak yang pendek.

Namun agaknya ia memang mempunyai kekuatan yang cukup, ia tidak saja menghindari serangan-serangan lawannya, tetapi dalam keadaan memaksa ia harus menangkis serangan-serangan itu, dengan kekuatannya.

Setiap benturan membuat Bramadara menjadi berdebar-debar, gadis itu mempunyai kekuatan seperti laki-laki.

Nampaknya Pinten mengerti, bahwa lawannya sedang dicengkam oleh keheranan bukan saja karena ilmunya, tetapi juga karena kekuatannya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Jangan heran bahwa akupun mampu mengimbangi kekuatanmu, setiap hari aku berlatih mengambil air dari sumur dan membawanya dengan kelenting ke pakiwan dan ke dapur”

“Persetan” geram Bramadara, “Kau agaknya termasuk salah seorang dari mereka yang ingin mencuri pusaka itu dengan berpura-pura menjadi anak Nyi Upih, jika demikian tentu pelayan itu pun telah berkomplot dengan kau, dan mengaku kau sebagai anaknya”

Pinten tertawa, jawabnya, “Kau sedang mencari-cari dalih untuk membuat hatimu menjadi tenang. He, kau dengar bahwa diluar telah terjadi pertempuran di tiga lingkaran?”

“Setan, siapa yang telah mengganggu usaha kami? Siapa?, kau tentu mengetahuinya”

Pinten masih tertawa, tetapi ia tidak segera menjawab.

Sebenarnyalah diluar memang telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Ketika Panon dan Ki Mina terdesak, maka seseorang yang bersembunyi di balik gerimbul petamanan tidak dapat berdiam diri, karena itulah maka ia pun segera meloncat keluar.

Sebenarnyalah diluar memang telah terjadi tiga lingkaran perkelahian. Ketika Panon dan Ki Mina terdesak, maka seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul pertamanan tidak dapat berdiam diri, karena itulah maka ia pun segera meloncat keluar.

“Sangkan, bersembunyi sajalah.” teriak Panon

Tetapi Sangkan tidak meninggalkan tempatnya, bahkan ia pun kemudian mendekati arena sambil berkata tenang jauh berbeda dengan suaranya yang biasa, “Tidak adil, empat orang melawan dua orang”

“Apa yang akan kau lakukan anak gila?” teriak Kidang Alit.

“Kidang Alit, kau memang licik, tetapi ternyata kelicikanmu sudah sampai kepuncak”

“He, apa maumu, akan aku cekik kau sampati mati” teriak Panji Sura Wilaga.

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak dapat meninggalkan lawannya begitu saja, karena Panon telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengikat lawannya.

Sementara itu Sangkan berkata sebenarnya, “Kidang Alit, dimanakah kawanmu yang seorang lagi, bukankah itu termasuk rencanamu untuk mendahului Raden Kuda Rupaka untuk mendapatkan pusaka itu?”

Pertanyaan itu ternyata bukan saja mengejutkan Kidang Alit sendiri, tetapi juga Kuda Rupaka, namun ia tidak sempat menanggapinya, karena Kidang Alit mendahuluinya berteriak, “Kau memang anak iblis yang paling gila, pasti kau telah membunuh kawanku itu dengan caramu yang licik”

Sangkan menjawab sambil tertawa, “Jangan mencari-cari alasan lain, kebohongan yang tidak direncanakan secara rapi pasti akan ketahuan dan mengakibatkan rencanamu justru manjadi berantakan”

Kemarahan Kidang Alit ternyata tidak dapat ditahankannya lagi, dengan serta merta ia meninggalkan Ki Mina, langsung menyerang Sangkan.

“Sangkan, awas” teriak Ki Mina.

Tetapi ternyata Sangkan bukanlah Sangkan yang mereka kenal sehari-hari, meskipun serangan Kidang Alit yang sangat tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, namun Sangkan dapat menghindar-kan diri dengan mudah sambil berkata, “Nampaknya kau benar-benar marah Kidang Alit”

Kidang Alit tidak menjawab, tetapi serangannya datang kembali secara beruntun seperti bendungan yang jebol.

Dengan demikian maka arena perkelahian itu pun segera bertambah, bukan hanya dua lingkakran tetapi tiga lingkaran. Sangkan dengan tidak terduga-duga telah menerjunkan diri ke dalam arena perkelahian itu.

Dengan demikian maka Ki Mina pun mendapat banyak kesempatan untuk balas menyerang, setelah Kidang Alit meninggalkannya,. Meskipun ia masih digelayuti oleh kecemasan tentang anak pelayan yang dungu itu. Bahkan hampir diluar sadarnya, ia berusaha untuk memaksa lawannya bertempur di dekat lingkaran pertempuran antara Sangkan dan Kidang Alit.

Tetapi ternyata Ki Mina melihat tata gerak Sangkan untuk beberapa saat, maka ia pun benar-benar yakin, bahwa Sangkan bukan saja didera oleh kegilaannya, tetapi ia memang benar-benar mampu menguasai tata gerak dalam olah kanuragan yang dapat mengimbangi Kidang Alit.

Karena itulah Ki Mina kemudian merubah arena perkelahiannya. Perlahan-lahan ia mendekati lawannya bergeser mendekati Raden Kuda Rupaka besama dengan Panji Sura Wilaga yang berusaha membinasakan Panon.

Panon memang mengalami kesulitan, perlahan-lahan namun pasti, ia pun semakin terdesak, hanya sekali-sekali, Ki Mina berhasil mengurangi tekanan kedua lawan Panon, jika ia sempat meninggalkan lawannya sesaat. Tetapi lawannya selalu berusaha untuk membatasi kedua arena perkelahian itu, sehingga tidak bergabung menjadi satu lingkaran.

Sangkan pun melihat, kesulitan yang semakin menekan Panon, karena itu, maka ia pun kemudian memaksa dirinya untuk tertawa sambil berkata, “Raden, ternyata bahwa Raden masih belum selicik Kidang Alit, jika Raden kali ini bersedia bekerja bersama, itu berarti bahwa Kidang Alit sudah meninggalkan kepentingan Raden sendiri”

“Tutup mulutmu anak gila” teriak Kidang Alit sambil memperhebat serangannya.

Tetapi Sangkan masih dapat mengelak, bahkan sambil tertawa, “Jangan marah, aku mengucapkan selamat kepadamu. Jika kita semuanya ini adalah orang-orang yang menginginkan pusaka yang disimpan di istana ini, maka kaulah yang akan berhasil lebih dahulu, meskipun kau masih harus berjuang untuk menyingkirkannya dari daerah pegunungan Sewu, karena akupun yakin, di sekitar daerah ini, Disela-sela puntuk-puntuk kecil dan di lembah-lembah yang tersembunyi, telah menunggu orang-orang yang juga menginginkan pusaka itu seperti kita semuanya”

“Kau jangan mengigau”

“Tentu tidak, tetapi aku yakin, kau akan berhasil, karena sekarang ini, salah seorang dari kawanmu telah memasuki istana dan memaksa Raden Ayu dan puteri untuk menyerahkan pusaka itu”.

Kidang Alit benar-benar dibakar oleh kemarahan yang memuncak, tetapi benar-benar diluar dugaan bahwa Sangkan itu mampu melawannya dengan ilmu yang sulit dimengerti, karena tata geraknya yang sederhana dan bahkan seolah-olah ia mengindar secara tidak disengaja.

“Tetapi justru karena ia benar-benar berhasil menguasai ilmu yang sangat tinggi” desis Kidang Alit di dalam hatinya.

Tetapi Kidang Alit pun merasa dirinya membawa bekal yang cukup di dalam tugasnya, karena itulah maka ia pun berusaha sekuat-kuatnya dapat membinasakan lawannya.

Namun sementara itu, usaha Sangkan pun nampaknya sudah berhasil, Kuda Rupaka nampak gelisah, setiap kali ia berpaling memandang pintu butulan yang terbuka, seolah-olah ingin mengetahui, apakah yang telah terjadi di dalamnya.

Panji Sura Wilaga pun menggeram, bahkan ia berkata, “Aku akan membunuh setan yang telah memasuki istana itu”

Kuda Rupaka tiba-tiba saja mengangguk kecil sambil berkata, “Lakukanlah, aku akan menyelesaikan pengemis gila ini”

Panji Sura Wilaga tidak menunggu lebih lama lagi, tiba-tiba saja ia meloncat meninggalkan lingkaran perkelahiannya dan berlari memasuki pintu butulan.

“Setan” terika Kidang Alit, “Kau mengingkari penjanjian kita”

“Perjanjian yang mana?” Kuda Rupaka menyahut.

“Perjanjian bahwa kita akan menyelesaikan kedua pengemis ini lebih dahulu sebelum kita sendiri terlibat dalam pertikaian”

“Kau yang terlebih dahulu melanggar perjanjian itu dengan menyuruh kawanmu untuk mendapatkan pusaka itu terlebih dahulu.”

“Persetan, semuanya akan aku binasakan malam ini juga.”

Tidak ada jawaban. Masing-masing masih harus memeras tenaga dan kemampuan untuk saling mempertahankan hidupnya.

Sementara itu, Sangkan pun menjadi berdebar-debar, Panji Sura Wilaga berhasil disingkirkan dari arena perkelahian itu sehingga Panon telah kehilangan seorang lawan. Dengan demikian ia mendapatkan kesempatan untuk membebaskan dirinya dari kemungkinan yang paling buruk.

Jika Panji Sura Wilaga dan orang yang memasuki istana itu mendapat persesuaian pendapat untuk menyingkirkan Pinten lebih dahulu, sehingga Pinten harus bertempur melawan dua orang, maka adiknya itu tentu akan mengalami kesulitan.

Namun menurut perhitungannya, Panji Sura Wilaga tentu akan berusaha untuk mengusir kawan Kidang Alit itu keluar dari Istana itu.

Ketika Panji Sura Wilaga berlari-lari memasuki ruang dalam, Pinten masih bertempur dengan lincahnya, karena ruangan itu tidak terlalu luas, maka ia berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Kecepatannya bergerak telah membantunya mendesak lawannya yang lebih banyak mempergunakan kekuatan tenaganya, karena ia menyangka bahwa kekuatan Pinten tidak akan dapat menyamainya.

Tetapi Bramadara tidak pernah mendapat kesempatan, karena Pinten rasa-rasanya selalu berputaran di sekitarnya dengan serangan yang cepat meskipun kadang-kadang sekedar membuat lawannya bingung.

Pada saat itulah tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga yang sangat marah langsung menghantam pintu sehingga derak suaranya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Pinten dan Bramadara yang memang sudah mendengar langkah itu pun dengan serta merta meloncat surut untuk mendapat kesempatan melihat siapakah yang akan memasuki ruangan itu.

Sejenak kemudian merekapun tertegun melihat seseorang berdiri dengan wajah merah membara di depan pintu yang berserakan itu. Sementara itu Nyi Upih yang terbangun merangkak ketakutan ke sisi pembaringan Raden Ayu yang duduk berpelukan dengan Inten.

“Panji” Raden Ayu berdesis.

Panji Sura Wilaga sama sekali tidak mendengar suara itu, karena yang nampak olehnya hanyalah seorang laki-laki yang telah mendahuluinya memasuki bilik itu.

“Persetan” geram Bramadara yang sudah dapat mengetahui perasaan apakah yang mencengkam jantung Panji Sura Wilaga.

“Kidang Alit memang sangat licik” desis Panji Sura Wilaga, “Jangan mencoba mendahului kami”

Bramadara menjadi tegang, namun ia pun kemudian tertawa, “Ternyata kau sudah berterus terang, kedatanganmu kemari sama sekali tidak untuk menyelamatkan keluarga ini, karena kau pun menghendaki pusaka itu juga”

“Omong kosong”

“Kau sendiri minta agar aku tidak mendahuluimu, karena itu, maka sebenarnya bagi Raden Ayu, kau atau aku, Kidang Alit atau Raden Kuda Rupaka, memang tidak ada bedanya”

“Persetan, aku akan membunuhmu”

Bramadara masih tertawa, namun tiba-tiba suara tertawanya terputus karena Panji Sura Wilaga telah menyerangnya dengan cepat.

Pinten bergeser mundur, ia sadar, bahwa Panji Sura Wilaga sama sekali belum sempat memperhitungkannya, karena perhatiannya langsung terampas oleh kehadiran laki-laki itu.

Sejenak kemudian, keduanya sudah terlibat perkelahian yang seru, namun seperti berjanji keduanya berusaha keluar dari bilik itu dan bertempur di ruang dalam yang lebih luas.

Setelah keduanya melontarkan diri keluar dari pintu bilik itu, Inten Prawesti meloncat dan memeluk Pinten. Ia tidak lagi dapat menahan gejolak batinnya. Apalagi ketika ia melihat Pinten telah berhasil melindunginya dari jamahan tangan laki-laki yang tidak dikenal dan mengurungkannya untuk membunuh diri.

Kedua gadis itu berpelukan. Pinten masih juga dicengkam oleh perasaannya sebagai seorang gadis. Ia tidak melihat Inten menangis dalam pelukannya, sehingga air matanya pun telah meleleh pula di pipinya.

“Pinten” terdengar kemudian suara Raden Ayu yang mendekatinya, “Yang kau lakukan benar-benar diluar dugaan kami. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih padamu, karena yang kau lakukan adalah menyelamatkan nyawa kami”

Pinten melepaskan Inten perlahan-lahan, kemudian sambil mengusap air matanya ia berkata, “Masih belum selesai Raden Ayu, aku mohon, kita semuanya berdoa, mudah-mudahan malapetaka ini tidak menimpa kita semuanya”

Raden Ayu mengangguk-angguk, dipandanginya Nyi Upih yang masih duduk disisi pembaringan, katanya, “Nyai, agaknya kau pun telah berbuat banyak bagi keselamatan kami. Namun kau telah menyisipkan sebuah teka-teki yang besar kedalam hati kami”

Nyi Upih tidak segera menyahut, sementara itu Raden Ayu melanjutkan, “Sudah banyak teka-teki yang tidak terjawab di sekitar rumah ini, namun teka-teki yang ada padamu adalah teka-teki yang terbesar”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, tetapi sebelum ia menjawab, Pinten sudah mendahuluinya, “Raden Ayu, agaknya kita belum mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkan teka-teki itu. Diruang dalam masih terjadi pertempuran, demikian juga di halaman, karena itu, aku mundur diri, mungkin aku masih perlu untuk berbuat sesuatu”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia harus melepaskan Pinten untuk keluar dari bilik itu, meskipun dengan hati yang cemas.

“Hati-hatilah Pinten”

“Aku mohon diri puteri”

Pinten pun kemudian meninggalkan Inten yang masih sibuk mengusap air matanya, perlahan-lahan ia mendekati pintu yang rusak, di luar bilik itu, masih terjadi perkelahian yang sangit antara Panji Sura Wilaga yang marah melawan Bramadara.

Sesaat Pinten memandang perkelahian itu dengan ragu-ragu, tetapi kemudian Intenpun mengerutkan keningnya sambil melangkah maju, untuk meyakinkan apakah yang akan terjadi kemudian dengan perkelahian itu.

Ternyata perkelahian itu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang biasa, sehingga sejenak kemudian, maka ruangan itu pun telah menjadi berantakan. Amben bambu di sudut telah pecah manjadi kepingan-kepingan kayu dan pecahan-pecahan bambu. Sedangkan pintu pringgitanpun telah rusak pula karena sentuhan tenaga mereka yang sedang berkelahi itu.

Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga diluar sadar, mereka keduanya telah terlontar melanggar dinding, dan langsung terlempar keluar karena dinding kayu yang sudah lapuk itu jebol.

Perkelahian berlanjut di halaman samping, keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan masing-masing untuk segera mengalahkan lawannya.

Pinten pun kemudian ikut pula turun ke halaman melihat perkelahian yang dahsyat itu. Kedua orang yang sedang mempertaruhkan nyawanya itu seolah-olah sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga dengan demikian Pinten dapat memperhatikan perkelahian itu dengan seksama, dari pengamatannya ia melihat Panji Sura Wilaga berada diatas kemampuan Bramadara.

Bramadara mulai terdesak meskipun kemudian ia berkelahi semakin kasar, bukan saja tandangnya, tetapi mulutnya pun mulai berteriak sambil mengumpat karena kemarahan yang memuncak.

Pinten mengikuti perkelahian itu dengan seksama, jika arena perkelahian diantara Bramadara dan Panji Sura Wilaga bergeser, ia pun ikut bergeser pula selangkah.

Kidang Alit yang bertempur melawan Sangkan akhirnya sempat melihat apa yang telah terjadi atas Bramadara. Agaknya ia masih belum berhasil ketika Panji Sura Wilaga menyusulnya.

“Anak gila” geram Kidang Alit di dalam hatinya

“Kenapa ia tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan segera”

Tetapi yang terjadi harus diterimanya sebagai suatu kenyataan, seperti hadirnya Sangkan di dalam arena perkelahian itu, karena sebelumnya sama sekali tidak pernah diduganya.

Kidang Alit tidak dapat melihat perkelahian antara Bramadara dan Sura Wilaga dengan jelas, karena gelapnya malam, meskipun dalam saat-saat tertentu ia dapat mengerti, apakah yang telah terjadi. Apalagi kesempatannya untuk memperhatikan perkelahian itu pun sangat sempit karena tekanan Sangkan yang terasa semakin berat.

Ia menjadi heran ketika ia melihat seorang perempuan dengan sengaja telah memperhatikan, bahkan mengikuti arena perkelahian itu.

Kidang Alit tidak sempat memperhatikan, namun menilik sikapnya, perepempuan itu tentu bukan Inten Prawesti. Ia menjadi heran, bahwa seorang perempuan agaknya dengan sadar sepenuhnya telah mendekati arena perkelahian yang dahsyat itu.

Ia terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar Sangkan tertawa sambil berkata, “Kidang Alit, silahkan, aku akan mengendorkan serangan-seranganku jika kau masih sibuk memperhatikan gadis itu”

“Persetan” geram Kidang Alit.

“Aku tidak berkeberatan jika kau memandanginya sepuasmu” bahkan Sangkan pun kemudian berkata nyaring, “Pinten, ternyata Kidang Alit memandangimu tanpa berkedip, sebaiknya kau berganti pakaian lebih dahulu sebelum kau turun ke halaman ini”

“Apa pedulimu” sahut Pinten.

“Aku memang tidak peduli, tetapi Kidang Alit lah yang memperdulikanmu”

Tetapi suara Sangkan terputus ketika serangan Kidang Alit hampir menyentuh wajahnya, namun ia sempat tertawa sambil melompat surut.

“Nah, baru kau jera” teriak Pinten, “Hampir saja kau kehilangan hidungmu”

“Tentu tidak, hidungku masih ada pada tempatnya”

Kidang Alit merasa seolah-olah jantungnya tersentuh api, kemudian ia pun bertempur semakin sengit, serangan-serangannya datang membadai mendesak Sangkan beberapa langkah lagi.

Namun dalam pada itu, Kidang Alit menjadi bingung menghadapi kedua orang yang semula dikenalnya sebagai anak Nyi Upih itu, Sangkan ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, sedangkan Pinten pun agaknya mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang sudah barang tentu dalam keadaan serupa yang dihadapinya, gadis itu tentu mempunyai kemampuan menjaga dirinya sendiri.

Sementara itu, Kuda Rupaka harus bertempur memeras kemampuan yang ada padanya. Lawannya yang dikenalnya sebagai seorang perantau itu memiliki kecepatan bergerak yang tidak disangka-sangka. Setiap serangan betapapun cepatnya, nampaknya sama sekali tidak akan dapat menyentuhnya.

Dalam pada itu, Ki Mina masih juga harus berjuang mempertaruhkan nyawanya, namun terasa bahwa tekanan lawannya masih akan dapat diatasinya, jika ia tidak membuat kesalahan atau lengah.

Yang mendekati akhir dari perkelahian itu adalah Bramadara dan Panji Sura Wilaga, keduanya sudah mengerahkan segenap kemampuan yang ada, ternyata hentakan kekuatan Bramadara telah mengejutkan Panji Sura Wilaga yang merasa semakin mendesak, tiba-tiba saja Bramadara mampu melenting dengan serangan yang tajam menukuk langsung ke wajahnya.

“Gila” Panji Sura Wilaga mengumpat sambil bergeser ke samping. Bramadara tidak melepaskan kesempatan berikutnya, dengan sebuah teriakan nyaring, maka ia pun meloncat maju dengan menjulurkan tangannya lurus ke depan, sementara senjatanya tiba-tiba saja berubah arah dalam putaran yang meskipun lambat, tetapi cukup mengejutkan lawannya yang sedang berusaha menangkis serangan itu, namun serangan itu bukannya serangan yang sebenarnya, secepat kilat Bramadara menarik senjatanya dan serangan yang datang sebenarnya kemudian meluncur seperti tatit menyambar dada lawannya yang terbuka.

Panji Sura Wilaga terkejut melihat serangan yang tidak diperhitungkannya itu, namun ia adalah seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, itulah sebabnya maka ia pun tidak segera kehilangan akal. Meskipun ia mengalami kesulitan, namun ia masih tetap mempunyai perhitungan yang cermat.

Tetapi menghadapi serangan itu, memang tidak ada pilihan lain, untuk mengerahkan segenap kamampuan dan tenaga untuk bergeser menghindar sambil menangkis senjata lawannya.

Namun senjata lawan yang menyerangnya dengan derasnya itu seolah-olah telah digerakkan oleh nafas maut. Betapapun juga Panji Sura Wilaga berusaha, namun senjata itu masih sempat menyentuh dan melukai di keningnya, walaupun tidak parah, tetapi darah yang menitik dari luka itu dan terusap oleh tangan kirinya, membuat jantung Panji Sura Wilaga seperti berhenti.

Bramadara tertegun sejenak, ia kecewa bahwa serangannya masih juga dapat dihindarkan, meskipun menyentuh kening, tetapi luka yang kecil itu telah memberi sedikit harapan untuk memangakan pertempuran.

Luka di kening Panji Sura Wilaga bagaikan minyak yang disiramkan ke api yang menyala di dada Panji Sura Wilaga, kemarahan yang memuncak telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang dan kasar, serangan-serangannya datang beruntun seperti gelombang di Laut Selatan.

Bramadara kemudian menjadi semakin terdesak, ketika ia mengulangi serangannya yang menghentak dan dengan gerak yang tipuan, ternyata Panji Sura Wilaga telah menjadi waspada, bahkan ketika Bramadara gagal mengulangi serangannya itu, tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga telah menyerangnya dengan tata gerak yang tidak disangka-sangkanya pula.

Dengan bergeser selangkah kesamping Panji Sura Wilaga tibga-tiba saja merendahkan dirinya, senjatanya langsung menusuk lurus ke lambung Bramadara. Meskipun Bramadara dapat menghindar dan dengan ayunan senjatanya memotong serangan itu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga melenting dan menyambar pundak.

Tidak ada cara lain daripada meloncat surut sambil merendah untuk menghindarkan serangan yang mungkin akan terjulur memanjang. Namun Panji Sura Wilaga menarik senjatanya dan sekali lagi meloncat sambil menjulurkan ujung senjatanya mengarah dada.

Bramadara tidak dapat berbuat lain, ia hanya dapat berusaha menangkis serangan itu, namun serangan berikutnya ternyata telah mengakhiri perkelahian dahsyat itu, dengan cepat Sura Wilaga menarik senjatanya dan merubah arah serangannya, tidak ada seorangpun yang dapat menolong Bramadara dari serangan maut, ketika ujung senjata Sura Wilaga kemudian membelah perutnya.

Yang terdengar kemudian jerit nyaring. Senjata Bramadara terlempar beberapa langkah daripadanya. Dengan kedua tangannya Bramadara menahan isi perutnya yang hampir tertumpah lewat goresan yang agak dalam dan lebar.

Namun ia tidak dapat bertahan terlalu lama, sejenak kemudian, ia pun terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.

Pinten memalingkan wajahnya, ia bergeser selangkah menjauh, yang didengarnya kemudian adalah geram Panji Sura Wilaga yang sedang dibakar oleh kemarahannya.

Dengan kasarnya Panji Sura Wilaga menyentuh tubuh Bramadara dengan kakinya, kemudian tatapan matanya yang liar segera beredar keseluruh bagian halaman.

Dalam pada itu, Kidang Alit yang melihat kematian Bramadara menggeram, kemarahan yang tiada tertahankan lagi telah menyatu di hatinya. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, karena ia masih terikat perkelahian dengan Sangkan yang ternyata tidak dapat diabaikannya.

 

“Gila” tiba-tiba Kidang Alit berteriak sekeras-kerasnya untuk melontarkan pepat di hatinya, “Aku akan membunuh semua orang, semua termasuk perempuan-perempuan yang aa di dalam istana ini”

Sangkan yang melawannya dengan sengit tiba-tiba saja telah manjawab, “Jangan berteriak-teriak Kidang Alit, sebaiknya kau mempergunakan ilmumu untuk bertempur, bukan mulutmu untuk sekedar menakut-nakuti”

Sementara Panon yang tidak banyak mengeluarkan perkataannya bertempur melawan Kuda Rupaka yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi, hanya karena latihan yang matang sajalah maka Panon dapat bertahan.

Sekali-sekali Ki Mina melihat perkelahian antara kedua anak muda itu, sambil mengerutkan keningnya ia mencoba menilainya meskipun ia tidak mempunyai banyak kesempatan karena ia sendiri harus bertempur melawan salah seorang kawan Kidang Alit.

“Jika Panon mempunyai pengalaman yang cukup, maka ia tentu tidak akan banyak mengalami kesulitan mengatasi Kuda Rupaka, karena pada dasarnya, ia memiliki ilmu yang lebih baik. Tetapi agaknya Panon benar-benar memerlukan pengalaman bertempur yang cukup.

Panji Sura Wilaga yang sudah kehilangan lawannya, tiba-tiba saja memandangi Pinten yang berdiri termangu-mangu, sejenak ia bagaikan membeku. Namun kemudian terdengar suaranya gemetar, “Dimanakah pusaka itu Pinten?”

Pinten masih berdiri di tempatnya, dipandanginya Panji Sura Wilaga yang bagaikan kerasukan hantu. Bahkan terasa juga tengkuk Pinten meremang ketika ia melihat wajah yang merah oleh darah yang menetes dari keningnya.

“Cepat” Panji Sura Wilaga berteriak, “Kau jangan menyangka bahwa kali ini aku hanya menakut-nakuti, perempuan gila”

Pinten mundur selangkah.

“Ayo cepat, atau aku harus membunuhmu dan membunuh semua orang di dalam istana ini”

Adalah diluar dugaan sama sekali bahwa tiba-tiba saja Pinten menjawab, “Panji Sura Wilaga, jangan kau membentak-bentak saja, jika keningmu merasa sakit, bukan akulah yang melukaimu”

“Diam, diam!!, aku akan membunuhmu, kemudian memaksa perempuan tua itu untuk menunjukkan dimanakah pusaka itu”

Namun sekali lagi jawab Pinten yang tidak diduga-duga, “Tadi, orang yang kau bunuh itu juga mengancam aku seperti itu, tetapi aku sama sekali tidak takut.”

Panji Sura Wilaga menyerang dan mengarahkan pedangnya kearah Pinten, tetapi Pinten tidak membiarkan dadanya dilubangi oleh senjata Panji Sura Wilaga, apalagi Panji Sura Wilaga masih belum memperhitungkan kemungkinan yang dapat dilakukan Pinten sehingga serangannya sama sekali tidak sepenuh tenaga.

Ternyata Pinten mampu mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, dengan tangkasnya ia mengelak, justru meloncat mendekati Panji Sura Wilaga, dengan sekuat tenaganya ia memukul pergelangan tangan Panji Sura Wilaga dengan kedua belah sisi telapak tangannya yang dilambari perhitungan yang matang, sehingga tangannya tepat mengenai segi kelemahan di pergelangan tangan itu.

Terdengar sebuah keluhan tertahan, rasa-rasanya sendi di pergelangan tangan Panji Sura Wilaga terlepas, perasaan sakit telah menyengat bukan saja pada pergelangan itu, tetapi seakan-akan telah merambat di seluruh tubuhnya.

Tetapi yang penting bagi Pinten, serangannya yang tiba-tiba dan yang sama sekali tidak diduga oleh Panji Sura Wilaga berhasil membuat senjatanya terlepas dari tangannya.

Panji Sura Wilaga yang marah itu berteriak sekali lagi sambil berusaha memungut senjatanya yang terjatuh. Tetapi sekali lagi ia terkejut bukan kepalang, sewaktu ia membungkukkan badannya, Pinten sudah menyerangnya dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sama sekali. Loncatan yang cepat disusul dengan serangan kaki yang kuat telah mengenai pundak Panji Sura Wilaga.

Ternyata bahwa serangan itu telah melemparkan Panji Sura Wilaga terjatuh dan terguling beberapa kali diatas tanah.

Yang terjadi benar-benar telah mencengkam setiap hati, mereka yang bertempur berpasanganpun terkejut. Apalagi mereka yang sempat menyaksikan apa yang telah terjadi.

Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka menggeram, bahkan Kuda Rupaka kemudian berteriak, “Betina liar, Paman Panji, ternyata selama ini kita telah ditipu oleh sikap pura-puranya, jangan ragu-ragu. Bunuh saja perempuan itu”

Panji Sura Wilaga telah meloncat bangkit, tetapi tangannya masih terasa nyeri di pergelang tanganannya, apalagi pedangnya sudah tidak berada lagi di tangannya.

Tetapi Panji Sura Wilaga tidak menggantungkan dirinya pada senjatanya, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga tanpa senjata pun ia akan mampu berbuat sesuatu.

Sejenak kemudian Panji Sura Wilaga telah siap untuk bertempur melawan perempuan yang selama ini dikenalnya, seolah-olah hanyalah seorang gadis yang lemah dan dungu. Namun tiba-tiba telah berubah menjadi seekor macan betina yang berbahaya.

Panji Sura Wilaga tidak lagi memperhatikan siapakah lawannya, yang ada di benaknya hanyalah desah nafas maut. Ia hanya bertempur untuk membunuh lawannya secepat-cepatnya, siapapun lawannya itu.

Sementara itu Kuda Rupaka masih juga berjuang melawan anak muda yang dianggapnya selalu menganggu usahanya di dalam istana itu. Namun demikian, lawannya bukannya tidak dapat menjaga dirinya sendiri. Bahkan semakin lama perantau itu rasa-rasanya menjadi semakin garang. Tandangnya semakin mapan dam ilmunya bagaikan mengalir semakin deras ketika tubuh anak muda itu sudah basah oleh keringat.

Yang mengumpat sambil mengarahkan tenaganya adalah Kidang Alit. Ia telah menjumpai lawan yang tidak disangka sebelumnya. Bahkan ternyata anak muda yang disangkanya kurang waras itu meiliki ilmu yang tidak dapat ditundukkannya dalam waktu yang cukup lama.

Bahkan masih ada lagi perempuan yang telah menganggu usaha mereka untuk melaksanakan maksudnya.

“Tentu Pinten telah menghalangi Bramadara sehingga saatnya Panji Sura Wilaga muncul dan menjebak keduanya dalam perkelahian” desis Kidang Alit di dalam hatinya, “Jika aku tahu, maka keduanya sebenarnya dapat bersama-sama membunuh perempuan itu lebih dahulu.”

Tetapi semuanya telah terjadi, dan Kidang Alit tidak akan dapat mulai dari permulaan sekali. Ia kini berhadapan dengan Sangkan yang seperti Pinten, untuk waktu yang lama telah dianggap sebagai seorang anak muda yang tidak berarti apa-apa. Selain mengganggu dan memuakkan. Tetapi ternyata kini ia mempu menunjukkan bahwa ia tidak kalah dari anak-anak muda yang sedang berkumpul di halaman istanan untuk mengadu kemampuan diri dengan taruhan nyawa.

Dalam pada itu Panji Sura Wilaga yang telah terluka di kening dan kehilangan senjatanya benar-benar telah menjadi wuru, tandangnya semakin kasar dan keras, meskipun ia berhadapan dengan seorang perempuan. Perempuan yang benar-benar mengherankan semua orang, kecuali Sangkan.

“Istana ini seolah-olah dihuni oleh orang-orang yang penuh rahasia” berkata Ki Mina di dalam hatinya. Dan ia pun sadar, bahwa ia pun salah seorang dari mereka yang berusaha menyelimuti dirinya dengan penuh rahasia.

“Tidak ada seorang pun yang nampaknya wajar dan menyatakan dirinya disini sebagaimana ia yang sebenarnya” ia melanjutkan.

Demikianlah perkelahian itu pun menjadi semakin sengit antara mereka yang tidak saling mengenal keadaan masing-masing yang sebenarnya. Setiap orang meragukan Kidang Alit, bahwa ia seorang yang sekedar singgah di padukuhan Karangmaja, sebagai seorang petualang dari lingkungan orang kebanyakan. Menilik sifat dan wataknya, maka ia tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang lain dari yang sebenarnya.

Setiap orang pun meragukan, apakah Panon benar-benar perantau, bahkan seorang pengemis yang sekedar singgah mencari belas kasihan bersama pamannya Ki Mina, namun yang ternyata kemudian memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.

Sementara Sangkan dan Pinten telah menimbulkan kejutan disaat-saat perkelahian yang menentukan itu terjadi. Mereka bagai harimau yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak, langsung mengaum dengan dahsyatnya.

Sedangkan Kuda Rupaka, telah menimbulkan keragu-raguan pula bahwa maksud kedatangannya benar-benar berniat baik terhadap Raden Ayu Kuda Narpada, sikap Panji Sura Wilaga dan bahkan Kuda Rupaka sendiri telah menimbulkan kecemasan di hati Raden Ayu.

Justru yang paling wajar diantara mereka yang datang ke istana itu adalah orang-orang perguruan Guntur Geni, mereka datang sebagaimana keadaan mereka yang sebenarnya.

Dan yang terjadi kemudian adalah benturan ilmu dari orang-orang yang masing-masing telah melakukan tugas dalam selubung sandi. Yang satu bertempur dengan segenap kemampuan melawan orang yang tidak diketahuinya, bukan saja keadaan dirinya yang sebenarnya, tetapi juga maksud kedatangannya di istana ini.

Dalam ketegangan yang semakin panas, Pinten ternyata berhasil melindungi dirinya dengan ilmu yang ada padanya. Dengan tangan kosong ia bertempur melawan Panji Sura Wilaga yang telah kehilangan senjatanya pula. Meskipun Panji Sura Wilaga menjadi semakin kasar dan keras, ternyata Pinten sama sekali tidak terdesak, bahkan kecepatan bergeraknya telah mengimbangi kekasaran lawannya yang garang.

Tetapi dalam pada itu, ternyata Panji Sura Wilaga masih mempunyai senjata yang lain, yaitu pisau belati yang tersimpan dibawah ikat pinggangnya. Dengan geram ia mencabut belati itu dari sarungnya dan siap untuk merobek perut Pinten.

Pinten surut selangkah, ia sadar sepenuhnya bahwa Panji Sura Wilaga adalah orang yang sangat berbahaya, apalagi dengan belati itu di tangannya.

Ternyata kemudian Panji Sura Wilaga sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Pinten, serangannya datang membadai. Ujung belatinya menyambar-nyambar seolah-olah mematuk dari segala arah.

Pinten harus berloncatan surut beberapa langkah, Pinten tidak membiarkan dirinya terdesak terus menerus dan apalagi mengalami cidera, sehingga dengan demikian, maka ia pun segera mengeluarkan senjatanya pula.

Senjata Pinten adalah seuntai rantai yang melingkar dibawah ikat pinggangnya, Rantai yang ujungnya dikaitkan sebuah bola baja yang besarnya seperti biji salak namun bobotnya cukup berat dan dapat melumpuhkan lawan. Apalagi ditangan Pinten yang sudah terlatih dengan senjata itu.

Panji Sura Wilaga yang dicengkam oleh kemarahan yang tiada tara, masih juga terkejut, ketika tiba-tiba saja ia mendengar desing yang menyambar diatas kepalanya. Ternyata bola baja itu telah berputar seperti baling-baling dalam dorongan kekuatan yang luar biasa, sehingga menumbuhkan desing yang mendebarkan.

“Gila” geram Panji Sura Wilaga, “Perempuan ini ternyata memiliki kekuatan iblis”

Pinten bergeser selangkah mundur, ia merubah gerak senjatanya, namun kemudian dengan cepatnya, senjata itu terjulur mematuk lawannya.

Panji Sura Wilaga meloncat kesamping, ia harus mempergunakan otaknya untuk melawan senjata Pinten, namun luka di keningnya dan darah yang sudah mendidih, telah mendorongnya untuk segera berusaha membinasakan lawannya.

Dalam ketegangan itu, maka tiba-tiba saja, Panji Sura Wilaga yang masih berusaha mempergunakan nalarnya itu telah meloncat dengan sangat cepatnya dan berguling beberapa kali, justru menjauhi Pinten.

Pinten tidak sempat mencegah, apalagi ia tidak segera tahu maksud lawannya. Baru kemudian ia sadar, bahwa saat Panji Sura Wilaga melenting berdiri, ia sudah menggenggam kembali senjata yang tadi sudah terlepas dari tangannya.

Pinten menarik nafas sejenak, ia sadar sepenuhnya bahwa pertempuran yang berikut akan berarti mempertaruhkan nyawanya.

 

Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya sepenuhnya untuk menghadapinya, dengan sepenuh kemampuan yang ada dan dengan tekad yang bulat, bahwa saatnya sudah tiba untuk mengakhiri segala macam teka-teki yang ada di istana ini.

Demikianlah, maka Pinten pun kemudian mempersiapkan rantainya, sedangkan Panji Sura Wilaga siap dengan pedang di tangan kanan dan belati di tangan kirinya.

Dalam pada itu, pertempuran di lingkaran lain dari halaman itu pun menjadi semakin sengit. Kuda Rupaka mencoba untuk segera menguasai lawannya, namun lawannya pun telah mengerahkan segenap kemampuannya dan justru berusaha untuk mendesaknya.

Kidang Alit yang sama sekali tidak menduga mendapat yang tangguh, meskipun sekali-sekali sangkan terdesak surut, namun disaat yang lain ia mampu menyerang seperti badai.

Sementara itu Ki Mina masih tetap bertahan, dan bahkan sekali-sekali ia masih sempat memperhatikan perkelahian Pinten dan Panji Sura Wilaga yang semakin seru.

“Gadis itu memang luas biasa” desisnya, “Bahkan nampaknya ia tidak kalah dari kakaknya, jika benar Sangkan itu memang kakaknya”

Sebenarnyalah bahwa Pinten memang mampu menempatkan diri sebagai lawan yang membingungkan Panji Sura Wilaga. Kemarahan, luka di keningnya dan nafsu yang melonjak-lonak, membuat Panji Sura Wilaga kadang-kadang kehilangan pengamatan diri. Meskipun ia memegang pedang di tangan kanan dan belati di tangan kiri. Tetapi pandangannya terganggu oleh darah yang menetes dari keningnya.

Kekasaran dan kekerasan Panji Sura Wilaga lambat laun membuat Pinten lebih berhati-hati dan mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawannya.

Tetapi Panji Sura Wilaga pun cukup tangguh, dengan tangkasnya ia menyerang dengan pedangnya ia menusuk tubuh Pinten, Pinten masih dapat memiringkan badannya, sehingga pedang itu hanya merobek udara.

Namun pada itu, Panji Sura Wilaga masih sempat mengayunkan tangan kirinya yang menggenggam belati dan mengayunkannya ke arah Pinten dan siap merobek lambung.

Pinten berdebar juga melihat serangan itu. Dengan tangkas ia membungkukkan badannya sambil melangkah mundur, namun dengan penuh perhitungan ia menghadapi lawannya yang menjadi semakin buas.

Ternyata seperti yang diperhitungkan Pinten bahwa Panji Sura Wilaga tidak akan membiarkannya terlepas dari rangkaian serangannya, karena itulah maka pada saat ia menjejakkan kakinya, ia sudah siap menggerakkan tangannya.

Perhitungan itulah yang ternyata telah menyelamatkannya, dengan cermat ia justru menunggu saat Panji Sura Wilaga meloncat sekali lagi sambil mengayunkan pedangnya untuk menebas leher Pinten.

Pada saat itulah, Pinten serta merta membungkukkan badannya dan sedikit pada lututnya, ia sudah siap menghadapi belati yang berada di tangan Panji Sura Wilaga yang menyerang langsung ke bagian wajahnya. Tepat pada saat itulah tangan Pinten bergerak, senjata rantainya berdesing dengan kerasnya mengarah ke badan Panji Sura Wilaga.

Panji Sura Wilaga melihat melihat ayunan yang sangat berbahaya itu, sehingga karena itulah, maka secepat kilat ia meloncat menghindar.

Dan seperti yang sudah Pinten perhitungkan, dengan sangat cepat dan tiba-tiba, kakinya maju selangkah lebih dekat dan rantainya menyambar sekali lagi mengejar sasaran.

Panji Sura Wilaga berusaha menghindar sambil mengumpat, ia tidak menyadari bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan justru memperhitungkan saat-saat yang paling tepat pada ujung dan pangkal geraknya.

Serangan Pinten itu benar-benar tidak dapat dihindarinya lagi, bola baja itu telah menghantam pundak kanannya sehingga terasa seolah-olah tulang pundaknya remuk.

Panji Sura Wilaga menggeram tertahan, bukan saja menahan sakit tetapi juga menahan kemarahan yang tidak tertahankan di dalam dadanya.

Panji Sura Wilaga terdorong mundur selangkah, namun dadanya berdentang ketika ia melihat Pinten sekali lagi mempergunakan waktunya dengan sangat tepat, sekali lagi gadis itu meloncat maju sambil mengayunkan rantainya.

Tetapi Panji Sura Wilaga pun mempunyai perhitungan yang masak pula. Pada saat Pinten menyerangnya, maka belati yang ada di tangan kirinya dilontarkan dan meluncur kedapan kearah Pinten dengan sangat cepatnya.

Pinten terkejut, ia tidak menyangka Panji Sura Wilaga melontarkan belati yang ada di tangannya, tetapi ia sudah terlambat, walaupun ia sudah mencoba menghindar, terasa ujung pisau itu telah merobek kulit lengannya.

Pinten mengeluh tertahan menahan sakit, tetapi ia tetap sadar bahwa ia sedang menghadapi lawan yang paling berbahaya.

Pinten merubah tata geraknya, ketika kakinya menyentuh tanah, maka ia meloncat mundur ke belakang sejauh-jauhnya, untuk memberi kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi sekilas ia melihat gerak kaki lawannya, dan nalurinya segera memberitahukan kepadanya bahwa lawan sedang menerkamnya.

Pinten masih sempat mengelakkan ujung pedang yang langsung menusuk dadanya, dan dengan cepat ia memutar rantainya dengan sekuat tenaga.

Panji Sura Wilaga tidak pernah menyangkan bahwa Pinten dapat berbalik menyerang secepat itu. Rantai bola baja di tangan Pinten menghantam tengkuk Panji Sura Wilaga sehingga ia terdorong maju selangkah dan kemudian kehilangan keseimbangan sama sekali. Panji Sura Wilaga terhuyung-huyung kedepan dan kemudian jatuh terlungkup di tanah. Agaknya hantaman bola besi di tengkuknya itu benar-benar merupakan serangan yang sangat menentukan, membuat Panji Sura Wilaga tidak sadarkan diri.

Sejenak Pinten termangu-mangu, tanganya masih gemetar memegang pangkal rantainya. Ia masih berdiri dengan kaki yang merenggang, disisi tubuh Panji Sura Wilaga yang terbaring itu.

Tetapi Pinten tidak berbuat apa-apa lagi, tanpa sadar ia mengusap lengannya yang terluka, sewaktu melihat darah di tangannya, sadarlah ia bahwa ia sedang terluka.

Pinten merasa bersyukur bahwa Panji Sura Wilaga tidak mati, hanya tidak sadarkan diri, karena kalau Panji Sura Wilaga mati, maka ia tidak akan mendapat keterangan apa-apa dari orang sudah mati.

Maka itulah, maka Pinten kemudian memutuskan untuk tidak berbuat apapun lagi, yang dilakukannya adalah mengikat tangan dan kakinya agar tidak dapat melarikan diri, kemudian menungguinya sambil melihat pertempuran yang masih berlangsung dengan sengitnya.

Yang terjadi atas Panji Sura Wilaga benar-benar mengejutkan setiap orang yang hadir di halaman, bukan saja Kuda Rupaka yang telah kehilangan kawan, tetapi ternyata yang lain pun menjadi berdebar-debar karenanya. Gadis yang mereka anggap sebagai gadis lugu dan kemanja-manjaan itu ternyata memiliki sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya. Bahkan Sangkan pun menarik nafas lega melihat adiknya telah berhasil melumpuhkan lawannya, apalagi Panji Sura Wilaga itu telah berhasil membunuh lawannya pula, Bramadara..

“Tetapi agaknya Panji Sura Wilaga sudah terlampau lelah, itulah agaknya maka Pinten dapat mengalahkannya” desis Sangkan di dalam hatinya.

Namun ia sendiri masih harus memeras tenaga melawan Kidang Alit yang sedang berusaha membunuhnya.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di halaman itu pun semakin kama menjadi semakin sengit, namun kekalahan Panji Sura Wilaga telah mempengaruhi keadaan. Kuda Rupaka yang betapapun dibakar oleh kemarahannya, terpaksa harus mengakui kenyataan bahwa Panji Sura Wilaga sudah tidak berdaya lagi, bahkan ia tidak mengetahui dengan pasti, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati, kemudian Pinten hadir pula di dalam arena perkelahian itu, maka keadaan akan segera berubah.

Kuda Rupaka menjadi semakin gelisah, ketika ia melihat Pinten ternyata kemudian melepas ikat pinggangnya dan mengikat tangan dan kaki Panji Sura Wilaga yang sudah tidak berdaya lagi. Dengan demikian, maka gadis itu tentu akan berbuat sesuatu dengan meninggalkan Panji Sura Wilaga yang sudah tidak berdaya itu.

Dugaan Kuda Rupaka ternyata benar, Pinten yang kemudian telah selesai mengikat Panji Sura Wilaga, telah berdiri tegak memandang arena perkelahian.

Sekali Pinten berpaling kearah Panji Sura Wilaga, kemudian katanya di dalam hati, “Walaupun Panji Sura Wilaga mempunyai tenaga cadangan yang dapat memutuskan tali janget sekalipun, tetapi ia tidak akan mampu untuk memutus tali ikat pinggangku yang terdiri dari tiga helai janget.”

Kemudian Pinten memusatkan perhatiannya pada arena perkelahian itu, ia melihat kakaknya Sangkan bertempur melawan Kidang Alit. Sementara Panon bertempur dengan gigihnya melawan Kuda Rupaka, ditempat lain, Ki Mina yang meskipun sudah bukan muda lagi, namun nampak masih tetap cekatan dan tangkas mempergunakan senjatanya.

Perhatian Pinten terhadap arena itu telah mendebarkan jantung mereka yang sedang bertempur, terutama mereka yang merasa dirinya barada di pihak yang berseberangan dari gadis itu, ia tentu akan membantu kakaknya dan dengan demikian akan sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.

Kidang Alit menyadari sepenuhnya akan hal itu, hadirnya orang-orang yang semula tidak diperhitungkan itu benar-benar membuatnya bagaikan gila. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Sangkan memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya.

Ternyata tidak ada pilihan lain lagi bagi Kidang Alit, jika ia terlambat, dan Pinten sudah menjadi semakin dekat, maka ia tidak akan mendapat kesempatan apapun lagi. Pinten akan membantu kakaknya, dan menjadi penentu bagi akhir pertempuran itu.

Karena itulah, anak muda yang licik itu pun mengambil keputusan yang licik pula. Tiba-tiba saja terdengar isyarat dari mulutnya, sebuah suitan pendek.

Kuda Rupaka tidak mengerti arti isyarat itu dengan tepat, tetapi ia dapat menduga, bahwa Kidang Alit tidak lagi bernafsu untuk melanjutkan perkelahian.

“Setan Alas” geramnya, dan Kuda Rupaka pun harus menentukan satu pilihan, jika ia tinggal dan melanjutkan pertempuran, maka ia akan mengalami nasib yang sama dengan Panji Sura Wilaga. Tetapi jika ia meninggalkan arena, maka ia akan berhadapan dengan Kidang Alit dan seorang kawannya.

“Tetapi Kidang Alit masih akan dapat diajak bicara, mungkin ia memerlukan aku, atau aku dapat melepaskan keinginanku untuk sementara, sebelum aku mendapatkan bantuan dari orang lain” karena itulah, maka Kuda Rupaka yang telah melihat nasib Panji Sura Wilaga, tidak mempunyai keputusan lain, ketika Kidang Alit kemudian mulai menunjukkan sikap yang berubah, karena persiapannya untuk melarikan diri, maka Kuda Rupaka justru telah mendahuluinya dengan serta merta.

Panon memang sudah menduga, bahwa pada suatu saat lawannya akan meninggalkan arena setelah kemenangan Pinten. Namun tidak secepat yang ia duga, tanpa tanda-tanda apapun.

Karena itulah, maka ia kehilangan saat sekejap, dan saat yang sekejap itu telah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kuda Rupaka. Bahkan kemudian disusul oleh Kidang Alit dan kawannya pada saat perhatian Sangkan dan Ki Mina terampas oleh tindakan Kuda Rupaka.

Pinten yang masih belum sempat mendekat tidak dapat berbuat apa-apa. Ia melihat ketiga orang yang berlari meninggalkan arena dikejar oleh lawan-lawannya.

Sangkan dan Ki Mina mengejar dengan meloncati dinding tembok pula, mereka melihat ketiga orang itu berlari memencar dan menyusup di dalam gerumbul-gerumbul.

Sejenak ketiga orang itu masih berlari mengejar, tetapi gelapnya malam agaknya telah menyelamatkan Kuda Rupaka, Kidang Alit dan kawan Kidang Alit.

Sangkan lah yang kemudian berkata, “Sudahlah, biarlah mereka melarikan diri kali ini”

Panon dan Ki Mina yang sudah meloncat dinding, kemudian kembali lagi ke halaman istana itu, dan berkumpul di sudut istana kecil itu.

“Sangkan” terdengar suara Ki Mina yang masih dibumbui oleh getaran dadanya setelah bertempur beberapa lamanya, “Kau benar-benar telah mengejutkan kami, ternyata bukan saja kau, tetapi juga adikmu itu”

Sangkan tersenyum, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Ketakutan yang sampai pada puncaknya, kadang-kadang memang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang biasa tidak dapat dilakukannya, Ki Mina”

Tetapi Panon memotong, “Kau ternyata seorang yang pandai berpura-pura, jauh lebih cakap dari orang-orang lain di sekitar istana ini. Hampir setiap orang diantara kita, semuanya berpura-pura, tetapi nampaknya, kaulah yang paling sempurna”

Sangkan tersenyum, jawabnya, “Aku sedang berusaha mengatasi ketakutanku, Panon”

“Sebenarnya kau memang pantas dicurigai, Sangkan. Sampai saat ini pun kami tetap mencurigaimu. Memang aku heran melihat tingkah kau yang selalu ketakutan dan gemetar, justru itu berlebih-lebihan. Tetapi aku tidak mengira yang berlebh-lebihan itu justru karena kau sebenarnya bukan orang seperti itu. Kepura-puraanmu nampak telah membuatmu seperti seorang yang agak kurang waras. Namun agaknya adikmu pun lebih berhasil. Kepura-puraannya nampak lugu dan wajar, tidak seperti sikapmu yang berlebihan.

Sangkan tertawa

Panon meneruskan, “Tetapi kami tetap mencurigaimu saat itu. Namun justru sekarang kami menjadi curiga, kehadiranmu tentu juga bukan tidak punya maksud tertentu. Apalagi kepura-puraanmu selama ini. Kau beruntung bahwa kau mendapat perlindungan langsung dari Nyi Upih, yang tentu bukan ibumu. Nah, sekarang sebutkan. Apakah niatmu yang sebenarnya”

“Sudah sepantasnya kita saling mencurigai, Panon”

Panon memandang Ki Mina sejenak. ia melihat wajah orang tua itu justru berkerut, agaknya ia hamir lupa bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan masih akan dapat terjadi.

“Sangkan” berkata Panon kemudian, “Setelah kita bersama-sama mengusir orang-orang yang agaknya mempunyai niat untuk menguasai pusaka istana ini, apakah yang akan kau lakukan kemudian”

Sebelum Sangkan menjawab, Pinten lah yang menyahut, “Kalian beristirahatlah, sedangkan aku ingin bertanya sesuatu kepada Panji Sura Wilaga tentang Raden Kuda Rupaka”

“Apa yang akan kita lakukan dengan Panji Sura Wilaga, apapun yang dikatakan tentang Raden Kuda Rupaka, maka Raden Ayu tentu mengetahuinya pula.”

“Kau salah” potong Sangkan, “Raden Ayu mengenal Raden Kuda Rupaka hanya sekedar dari namanya saja, dan mungkin orang tuanya. Seandainya Raden Ayu pernah melihat Raden Kuda Rupaka, tentu sewaktu Raden Kuda Rupaka masih terlalu kecil, apakah kau tahu kapan kelurga Pangeran Kuda Narpada meninggalkan Majapahit?:

Panon memangdang Ki Mina sesaat, namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu, aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Majapahit, karena aku hanyalah seorang pengemis yang berkeliaran sepenjang pegunungan dan ngarai, jauh dari tempat-tempat ramai, apalgi kota Raja. Namun demikian, kadang-kadang aku juga merasa dibebani kewajiban untuk melakukan kebaikan dimanapun juga aku berada”

“Bagus” sahut Sangkan, “Ada kelebihanku sedikit daripadamu, bukan tentang olah kanuragan, karena ternyata kau adalah seorang anak muda yang pilih tanding, yang dapat mengimbangi kemampuan Raden Kuda Rupaka. Tetapi kelebihanku terletak pada kehidupanku, aku adalah anak Nyi Upih, meskipun mungkin kau tidak percaya. Dengan demikian dimasa aku kecil, aku mengenal beberapa orang bangsawan saudara-saudara dari Pangerang Kuda Narpada. Diantaranya adalah keluarga Raden Kuda Rupaka, putera dari Pangeran Linggar Watang yang pada masa mudanya berada di istana saudara tuanya, Pangeran Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap. Tetapi disana pun ia tidak lama, karena Pangeran Kuda Rupaka kemudian diserahkan kepada seorang guru yang tidak ada duanya pada saat itu.”

“Kau kenal sampai bagian yang sekecil-kecilnya, Sangkan?” bertanya Ki Mina.

“Bertanyalah kepada biyung, ia tahu lebih banyak lagi tentang Raden Kuda Rupaka dan tentang para bangsawan di Majapahit. Ia dapat menceritakan bagaimanakah Pangeran Sargola Manik gugur pada saat pertempuran, tentu Raden Kuda Rupaka menyesal, bahwa ia tidak dapat melihat jenazahnya dan apalagi menuntut balas kematian pamannya yang mengasuhnya seperti anaknya sendiri”

“Tetapi bagaimana dengan Pangeran Linggar Watang?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Biyung tidak menceritakan tentang Pangeran itu”

“Apakah Pangeran Linggar Watang sekarang masih hidup? Dan apakah yang dilakukannya sepeninggal Pangeran Sargola Manik?”

Sangkan menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak tahu, aku akan bertanya kepada biyung, tetapi tentang Pangeran Linggar Watang, agaknya biyung juga tidak mengetahuinya”

Ki Mina mengangguk-angguk, namun katanya kemudian, “Jadi bagaimana sekarang?, sudah tentu bahwa ceritamu bukannya suatu alasan yang meyakinkan, bahwa kau dapat berbuat apa saja, termasuk olah kanuragan”

Sangkan mengangguk dalam-dalam, katanya, “Aku mengerti, dan sudah aku katakan, memang sepantasnya kita saling mencurigai, namun aku sependapat dengan Pinten bahwa kita sebaiknya beristirahat dan bertanya kepada Panji Sura Wilaga tentang Raden Kuda Rupaka”

Panon menarik nafas dalam-dalam, sedangkan Ki Mina mengangguk-angguk kecil dan berkata, “Baiklah Sangkan, aku akan ikut saja dengan rencanamu itu. Tetapi apakah kita menyampaikan tentang segala apa yang sudah terjadi ini kepada Raden Ayu?”

Sangkan mengangguk-angguk, kemudian katanya kepada Pinten, “Pergilah menghadap, sampaikan kepada Raden Ayu dan puteri Inten Prawesti, bahwa keadaan sudah menjadi tenang kembali”

“Bagaimanakah tentang Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga?” bertanya Pinten.

“Untuk sementara kau tidak usah mengatakan apapun, kami akan berusaha mengorek keterangan kapada Panji Sura Wilaga, baru kemudian kita akan menyampaikan hasilnya kepada Raden Ayu”

“Tetapi tunggu aku, aku akan ikut bertanya pula”

“Pergilah ke dalam, kami akan membawa Panji Sura Wilaga ini ke bilik kami” jawab Sangkan, “Jika kau ingin mendengar pula, datanglah ke bilik belakang”

Pinten pun kemudian pergi ke ruang dalam, sementara Sangkan, Panon dan Ki Mina telah mengangkat tubuh Panji Sura Wilaga yang terikat itu ke bilik belakang.

Sekali-sekali Panji Sura Wilaga meronta soalah-olah ia akan sadar dari pingsannya, namun ikatan pada tangan dan kakinya benar-benar kuat dan tidak dapat digoyahkannya,

Dalam pada itu, Pinten yang tergesa-gesa masuk ke ruang dalam dan langsung ke dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada melihat Inten dan Nyi Upih serta Raden Ayu masih dicengkam ketakutan. Namun ketika mereka melihat Pinten memasuki ruangan itu, mereka pun merasa lega.

“Kau tidak apa-apa Pinten” bertanya Inten Prawesti.

Belum sempat Pinten menjawab, tiba-tiba Nyi Upih langsung memeluk Pinten, “Kau terluka ngger?”

Pinten mencoba tersenyum, katanya, “Tidak apa-apa biyung, hanya segores luka kecil”

“O” Inten pun menjadi tegang.

Baru kemudian ia melihat bahwa lengan Pinten masih mengeluarkan darah karena tergores oleh belati Panji Sura Wilaga.

Nyi Upih pun kemudian menarik Pinten duduk diatas tikar sambil berkata, “Duduklah, aku akan mengobati luka-kukamu, aku akan mencari daun metir dahulu”

Tetapi Pinten menggeleng, katanya, “Tidak perlu biyung, aku mempunyai obat yang barangkali dapat mengobati lukaku ini?”

Nyi Upih termangu-mangu sejenak, namun kemudian Pinten menunjukkan sebuah lumbung bambu kecil sambil berkata, “Bukankah biyung yang memberikan lumbung itu kepadaku?”

“O” Nyi Upih tergagap.

Apalagi ketika Inten bertanya, “Jadi kau mempunyai obat semacam itu Nyai?”

Nyi Upih kebingungan sesaat, namun Pinten lah yang kemudian menjawab, “Apakah benar bahwa Raden Kuda Rupaka telah memberikan obat semacam ini kepada biyung?”

Nyi Upih menarik nafas, katanya, “Aku memang pernah minta semacam obat untuk mengobati luka, ketika itu tangan Sangkan terluka oleh kapak sewaktu membelah kayu, dan Raden memberikan obat ini kepadaku”

Namun tiba-tiba saja Raden Ayu bertanya, “Pinten, dimanakah anakmas Kuda Rupaka sekarang?”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Persoalan ini menjadi sangat membingungkan, Gusti. Aku tidak mengetahui dimanakah Raden Kuda Rupaka sekarang ini. yang aku tahu Panji Sura Wilaga sudah kami tawan, sedangkan Sangkan, Panon dan Ki Mina berada di bilik belakang”

“Kenapa Panji Sura Wilaga kalian tawan?”

“Begini, Raden Ayu, tadinya mereka saling berkelahi, sebelumnya aku tidak tahu, pihak manakah yang benar-benar melindungi keluarga Istana ini, bukankah kita sudah meragukan kesetiaan Raden Kuda Rupaka sebagai kemanakan Raden Ayu. Apalagi ketika ternyata Raden Kuda Rupaka dapat bekerja sama dengan Kidang Alit”

“O” Inten Prawesti menjadi tegang.

“Sudahlah puteri” berkata Pinten kemudian, “Sebaiknya puteri dan Raden Ayu tidak menghiraukan siapapun lagi, kita harus mencurigai setiap orang yang berada di istana ini, termasuk Raden Kuda Rupaka sendiri dan Panji Sura Wilaga”

Inten tidak menjawab, tetapi tatapan matanya mengandung pertanyaan kepada Pinten.

Ternyata perasaan Pinten cukup tajam, ia dapat menanggapi perasaan yang tersirat dihati puteri itu yang umurnya sebaya dengan dirinya itu. Karena itu maka ia pun menjawab, “Puteri benar, bukankah puteri ingin bertanya, apakah aku perlu dicurigai juga?, juga Sangkan, Panon dan Ki Mina?”

“Ah” Inten berdesah.

“Tetapi itu wajar sekali” Pinten melanjutkan, lalu katanya, “Namun untuk sementara, gusti tidak usah memikirkan apapun juga, aku akan pergi ke bilik belakang, melihat apa yang sedang terjadi, aku persilahkan semuanya beristirahat dengan tenang. Aku kira hari ini tidak akan ada terjadi sesuatu lagi”

Tidak seorang pun yang menjawab, Pinten melihat keragu-raguan membayang di wajah Raden Ayu dan Inten. Namun Pinten tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Bahkan ia pun kemudian minta diri meninggalkan bilik itu sambil berkata, “Aku akan segera kembali”

Sepeninggal Pinten, Raden Ayu dan Inten memandang Nyi Upih yang menunduk dalam-dalam, ia merasa tidak dapat menahan tusukan kecurigaan kedua puteri itu terhadapnya. Bagaimanapun juga, ia akan ikut bertanggung jawab terhadap keadaan Pinten yang tidak sewajarnya itu.

“Nyi Upih” terdengar suara Raden Ayu lambat dan berat. Belum lagi Nyi Upih menyahut, air mata sudah mengalir deras di pipinya.

“Ampun Gusti”

“Aku tidak akan menuntut terlampau banyak darimu Nyai, aku masih tetap percaya kepadamu sampati saat ini. Tetapi meskipun demikian, aku ingin kau mengetahui perasaanku. Anak gadismu itu sudah menimbulkan banyak teka-teki di dalam hatiku”

“Ampun Gusti” Nyi Upih mengulang, “Mungkin aku telah berbuat yang tidak terampuni. Tetapi sebenarnya aku ingin menyelamatkan semua yang masih mungkin bisa diselamatkan dalam istana ini, termasuk puteri berdua, itulah sebabnya aku menerima anak gadisku itu hadir di istana ini”

“Nyai” bertanya Inten Prawesti, “Apakah kau masih mengatakan bahwa Pinten itu adalah anak gadismu?”

Nyi Upih tergagap. Tetapi kemudian ia mengangguk, “Ya, Puteri. Aku ingin mencoba mengatakan bahwa Pinten adalah anakku”

“Jawabmu itu sudah pengakuan Nyai”

“Benar puteri, tetapi pengakuan yang sebenarnya masih belum waktunya aku katakan sekarang, biarlah aku tetap menganggap bahwa ia adalah anak gadisku yang kusayang”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia berkata, “Baiklah Nyai, tetapi aku hampir pasti bahwa pada suatu saat kau akan mengatakan bahwa kedua anak muda itu bukanlah anak-anakmu. Meskipun demikian, sekali lagi aku katakan, bahwa aku tetap percaya kepadamu. Apa yang kau anggap baik, tentu akan baik pula bagi kami”

Nyi Upih menundukkan kepalanya, terasa titik air mata yang hangat semakin banyak menetes jatuh di pangkuannya. Namun demikian Nyi Upih tidak mengatakan sesuatu, kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk dan debar jantungnya menjadi semakin cepat.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Nyi Upih terkujut ketika Inten berjongkok disampingnya sambil berkata, “Nyai, coba katakan apakah Nyai masih ingat, istana yang manakah yang mempunyai sebatang pohon beringin ditengah-tengah, kemudian enam pohon lainnya mengelilinginya, tiga ekor bekisar di dalam sangkar masing-masing, seekor nuri putih, seekor harimau dalam sangkar besi dan seekor orang utan”

“Ah” Nyi Upih berdesah, “Aku tidak ingat lagi puteri”

“Tentu kau masih ingat, akupun masih ingat”

Inten pun kemudian berdiri dan melangkah menjauh, “Nyai, itulah sebabnya aku selalu diganggu oleh pertanyaan, kenapa aku tidak ingat lagi anak-anakmu itu disaat mereka masih kanak-kanak. Tentu aku akan dapat mengingatnya, jika sekali-sekali mereka pernah mengunjungimu, meskipun mereka berada di padukuhan kecil bersama ayahnya. He, bukankah aneh, bahwa Pinten lebih ingat kepada istana dengan ciri yang aku sebutkan tadi”

“Itu hanya suatu kebetulan puteri” jawab Nyi Upih.

Namun tiba-tiba saja Inten berlari-lari kepada ibundanya, sambil berlutut ia berkata, “Ibunda, bukankah kakangmas Kuda Rupaka pernah berada di dalam istana itu? Istana yang mempunyai tujuh pohon beringin”

“He…?”

“Ya, aku ingat sekarang, kakanda Raden Kuda Rupaka sewaktu kecil pernah tinggal di istana pamanda Sargola Manik walaupun hanya sebentar. He, bukankah Raden Kuda Rupaka mempunyai seorang adik perempuan?”

Raden Ayu menjadi bingung, katanya, “Jika demikian aku akan berbicara dengan Kuda Rupaka” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat mengerti dengan sikapnya sekarang”

Inten mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Kenangan yang kabur itu memang meragukan, jika Pinten itu adalah adik kakanda Kuda Rupaka, maka kedudukannya kini agak membingungkan”

Nyi Upih menggeleng sambil memotong dengan nada yang agak tinggi sela-sela isaknya, “Bukan puteri, Pinten sama sekali tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Kuda Rupaka. Apalagi kini mereka berada di jalan yang berseberangan, karena ternyata ia telah bersekutu dengan Kidang Alit”

Inten memandang Nyi Upih dengan tatapan yang redup, kemudian perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah Nyai, jangan kau pikirkan, biarlah teka-teki itu tetap menjadi teka-teki yang tidak terjawab untuk sementara waktu”

Nyi Upih masih menunduk, tetapi ketika Inten kemudian berjongkok disampingnya, maka dipeluknya gadis itu. Tangisnya justru bagaikan tidak terbendung lagi.

Maka Inten pun menjadi basah pula kerenanya, bahkan Raden Ayu sekali-sekali juga mengusap mamanya yang terasa menjadi panas.

Dalam pada itu, Pinten dengan tergesa-gesa memasuki bilik belakang yang remang-remang. Ia melihat Panji Sura Wilaga yang sudah sadar, duduk di amben bambu dengan wajah yang tegang, tangannya masih terikat dengan ikat pinggang Pinten yang dianyam dengan sulaman janget yang tebal.

“Apakah ia sudah berbicara?” desis Pinten.

“Perempuan iblis” geram Panji Sura Wilaga, “beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan mematahkan lehermu”

“Tutup mulutmu” Pinten membentak, “Jika kau masih tetap sombong, aku sumbat mulutmu dengan ijuk”

“Persetan, akan aku bunuh kau”

wajah Pinten menjadi tegang, namun yang terdengar adalah suaran tertawa Sangkan, “Kenapa tiba-tiba saja kau menjadi seorang pemarah Pinten?”

“Ia melukai aku, mula-mula tubuhku, sekarang perasaanku”

“Aku akan membunuhmu” sahut Panji Sura Wilaga.

Tetapi sekali lagi terdengar suara Sangkan tertawa, katanya, “Raden Panji yang pilih tanding, sebaiknya kau bercerita saja tentang dirimu sendiri, bahkan sebenarnya kami ingin mendengar, apakah sebabnya Raden Kuda Rupaka mempunyai sikap yang agak aneh sekarang ini, ketika ia datang dan berniat melindungi Raden Ayu, sebenarnya kami menjadi berbesar hati, tetapi ternyata bahwa sikapnya waktu itu adalah sikap yang palsu”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga

“Apakah ia tidak mau berbicara” desis Pinten.

Sangkan menggeleng, jawabnya, “Tentu tidak secepat yang kita harapkan, barangkali ia mengetahui bahwa maksud kita baik, jika kita yakin tentang Raden Kuda Rupaka, maka kita akan dapat menentukan sikap yang lain, karena menurut penilaian kami Raden Kuda Rupaka tidak selicik Kidang Alit”

“Berbicarah Panji” desis Pinten seperti orang merayu.

Suara Sangkan meledak tanpa dapat ditahan lagi, katanya disela-sela suara tertawanya, “Kau pandai merayu Pinten?”

Tiba-tiba saja Pinten telah meloncat dengan kecepatan yang sulit dilihat dengan mata wadag, namun secepat itu pula Sangkan meloncat menghindar sambil berteriak tertahan, “Jangan, jangan Pinten”

Ki Mina dan Panon menarik nafas dalam-dalam, sifat-sifat itu tentu bukannya sifat dibuat-buat, tetapi agaknya kedua kakak beradik itu mempunyai hubungan yang sangat erat lahir dan batinnya. Gurauannya yang segar dan sifat kemanja-manjaan itu menimbulkan warna tersendiri didalam lingkungan istana itu.

Namun dalam pakaiannya yang khusus, Pinten tidak lagi berlari-lari mengejar Sangkan sambil menyingsingkan kain panjangnya, namun dalam keadaan yang serupa itu, Pinten telah bergerak dengan kemampuan yang ada padanya.

Pinten yang tidak berhasil menangkap Sangkan masih berdiri tegak. Namun Sangkan sudah di belakang Panon, sambil berpegangan pundak anak muda itu Sangkan berdesis, “Tolong aku Panon, ia tidak akan berani berbuat apa-apa atasmu”

Panon menjadi bingung, namun Pinten menggeram, “Awas aku akan mengikat kau seperti aku mengikat Panji Sura Wilaga”

Sangkan masih berlindung di belakang Panon ketika tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga berteriak dengan marahnya, “Gila, kau sangka apakah aku ini, Hah!, apakah kalian dengan sengaja telah mengina aku seperti ini?”

Suara Panji Sura Wilaga itu ternyata telah menarik perhatian semua orang yang berada di dalam bilik itu, Pinten yang merasa berdiri tegak memandang Sangkan di balik punggung Panon, Panon pun kemudian berpaling kepada Panji Sura Wilaga.

“Jangan berteriak” berkata Sangkan kemudian, “Berkatalah dengan perlahan tetapi jelas, agaknya memang lebih baik kau bicara tentang Raden Kuda Rupaka, atau mungkin aku mengetahui serba sedikit tentan asal-usulnya atau tentang usaha-usahanya sekarang ini”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga.

Sangkan memandang Pinten sejenak, tetapi senyumnya disembunyikan dibalik tengkuk Panon yang termangu-mangu.

“Jangan ganggu aku lagi” desis Pinten, lalu, “Tolong aku Panon, jika kakang Sangkan masih mengganggu aku, tangkaplah dia, aku akan mengikatnya”

Panon adalah seorang anak muda yang lugu, tetapi ia tidak terbiasa bergurau seperti itu, sehingga karena itu ia hanya dapat menganggukkan kepalanya saja.

“Kau berjanji”

Panon menjadi bingung, namun sekali lagi kepalanya terangguk kecil.

Pinten memandang kedua anak muda itu sejenak, lalu perlahan-lahan ia melangkah mendekati Panji Sura Wilaga, tetapi langkahnya terhenti ketika Panji Sura Wilaga membentaknya, “Jangan mendekat iblis betina, aku akan meludahi wajahmu jika kau maju selangkah lagi”

Pinten memandang Panji Sura Wilaga dengan tajamnya, namun yang terdengar kemudian adalah suara Sangkan, “Jangan terlampau garang Panji, sebenarnya kita dapapt berbuat lebih baik. Bukankah diantara kita tidak ada persoalan yang sebenarnya terlalu penting untuk diselesaikan dengan cara yang kasar? Meskipun kau agaknya benar-benar ingin membunuhku, karena mungkin kau menganggap bahwa aku dapat mengganggu sahamu, namun sikapmu itu masih dapat dimaafkan”

“Jangan banyak bicara” bentak Panji Sura Wilaga, “Aku tidak mau mendengar lagi”

Sangkan yang berlindung dibalik Panon itu pun tiba-tiba telah maju mendekati Panji Sura Wilaga sambil berkata, “Kau ini aneh Panji, bagaimanakah seandainya aku masih akan berbicara terus? Di dalam ruangan ini, kaulah orang yang barada dalam kedudukan paling lemah, karena itu, bukan kau yang harus mengatur, tetapi kamilah”

“Persetan, lepaskan ikatan ini, aku akan membunuh kalian semuanya”

“Kau tidak dapat melawan Pinen yang sudah terluka, apalagi kami semuanya” jawab Sangkan, “Karena itu, jawab sajalah pertanyaan kami, kami masih ingin menghormatimu, karena kau adalah kawan terdekat Raden Kuda Rupaka”

“Raden Kuda Rupaka akan menyampaikan kegilaan kalian ini kepada Raden Ayu, kalian akan diusirnya dan bahkan tindakan-tindakan lain yang lebih sepadan dari kegilaan ini”

“Kami sebebarnya sangat menunggu kehadiran Raden Kuda Rupaka, mudah-mudahan ia kembali dan menghadap Raden Ayu, sebenarnyalah kami ingin bertanya serba sedikit tentang dirinya”

“Gila”

“Nah, sebelum Raden Kuda Rupaka datang, apakah kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku?”

Panji Sura Wilaga tidak menyahut.

“Panji, tolonglah, sebutlah siapakah Raden Kuda Rupaka itu sebenarnya?, maksudku, asal-usulnya dan tugasnya sehingga ia bersedia datang ke daerah yang terpencil ini?”

“Ia adalah Raden Kuda Rupaka, tidak ada jawaban lain”

“Kami sudah tahu” potong Pinten, “Tetapi dalam kedudukan apakah ia datang sekarang ini? apakah ia mendapat tugas dari Sultan di Demak, atau karena ia ingin mendapat pusaka itu bagi dirinya sendiri, atau karena ia mendapat perintah dari ayahandanya untuk datang melindungi Raden Ayu atau tugas-tugas lain?”

“Aku tidak tahu”

“Tentu, kau akan menjawab tidak tahu, ingat, kami dapat memaksamu”

“Tidak ada orang yang dapat memaksaku, mautpun tidak”

“Tentu mautpun tidak, tetapi ada yang lebih buruk dari maut, namamu akan kami bawa ke Demak”

Sejenak wajah Panji Sura Wilaga menjadi tegang, dipandanginya wajah-wajah yang ada di sekitarnya, wajah-wajah yang nampak seperti wajah-wajah hantu yang sedang menakut-nakutinya.

Namun sejenak kemudian terdengar Panji Sura Wilaga itu menggeram, “Semua yang kalian lakukan tidak akan ada artinya. Jika salah seoerang dari kalian berani melaporkan tentang peristiwa ini ke Demak, maka ia tidak akan pernah kembali lagi ke istana ini”

“Kenapa begitu?” bertanya Sangkan.

“Diperjalanan menuju ke Demak, kalian akan mati oleh ujung senjata Raden Kuda Rupaka”

“Dan Kidang Alit” potong Sangkan, “Bukankah kali ini Raden Kuda Rupaka bekerja sama dengan Kidang Alit?”

“Persetan” geram Panji Sura Wilaga, namun kemudian, “Tetapi jika ia lolos dari tangan Raden Kuda Rupaka karena sempat menyusup diluar pengawasannya, maka ia akan digantung di alun-alun Demak”

“Kenapa digantung di Demak” bertanya Sangkan.

“Karena Raden Kuda Rupaka adalah seorang putera Pangeran yang berpengaruh di Demak sekarang”

“Maksudmu Pangeran Linggar Watang?” bertanya Pinten dengan serta merta, “karena menurut puteri Inten Prawesti Raden Kuda Rupaka adalah putera Pangeran Linggar Watang”

“Puteri Inten benar, Raden Kuda Rupaka adalah putera Pangeran Linggar Watang”

“Tetapi Pangeran Linggar Watang tentu tidak ada di Demak sekarang. Pangeran Linggar Watang telah lama mengasingkan diri dari lingkungan kebangsawanan, justru ketika Majapahit masih berdiri tegak dan bahkan sebelum Pangeran Sargola Manik yang bergelar Adipati Alap-alap gugur”

Panji Sura Wilaga menjadi tegang sejenak, namun kemudian katanya, “Kau tentu mendengar cerita dari orang-orang yang tidak banyak mengetahui tentang Pangeran Linggar Watang, sekarang dengarlah iblis betina, Pangeran Linggar Watang sudah berada di Demak, ia meninggalkan Majapahit disaat terakhir, karena ia ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan Perabu Brawijaya yang terakhir itu”

“Puteri Inten Prawesti bukan orang lain dari Pangeran Linggar Watang dan Pangeran Sargola Manik” potong Pinten.

“Tetapi Raden Kuda Rupaka adalah putera dari Pangeran Linggar Watang, yang kini menugaskannya melindungi bibinya disini dari tangan-tangan jahat seperti kau yang mengaku anak Nyi Upih, agaknya Nyi Upih telah ikut serta pula dalam penghianatan ini”

“Jangan mengigau. Coba katakan, siapakah yang mulai dengan keributan ini”

“Persetan, tetapi kau Sangkan, Panon dan Mina itu memang harus dibunuh, karena kalian pun ingin merampas pusaka yang harus kami bawa menghadap Pangeran Linggar Watang di Demak.

“Diamlah dulu” tiba-tiba saja Sangkan membentak, “Jika demikian, kenapa Raden Kuda Rupaka dapat bekerja bersama dengan Kidang Alit?, katakan, apakah memang sebenarnya ada hubungan antar keduanya meskipun dalam selubung sandi?”

“Tidak, kau gila. Apa yang kau ketahui tentang Kidang Alit, He?!” Panji Sura Wilaga berteriak.

“Jangan berteriak, akulah yang harus membentak, bukan kau”

“Tutup mulutmu”

Wajah Sangkan menjadi tegang, namun kemudian ia justru tertawa sambil berkata, “Panon dan Ki Mina, apakah kalian tidak melihat kelucuan ini?”

Panon dan Ki Mina yang seakan-akan hanya sekedar melihat tanya jawab yang membingungkan itu mengerutkan keningnya tanpa mampu menjawa sama sekali”

“Yang terikat disini adalah dia, tetapi kenapa ia justru yang membentak kami?” lalu katanya, “Jangan membuat kami sakit hati, karena kami dapat berbuat apa jauh lebih buruk dari apa yang kami lakukan sekarang. Jika kami kehilangan pengamatan diri, maka kami akan berbuat kasar, akrena pada dasarnya kami adalah orang-orang kasar, kami sama sekali bukan bangsawan yang biasa hidup dalam tata ikatan adat sopan santun yang lembut. Dalam peradaban yang tinggi. Meskipun ada diantara mereka yang justru mempunyai sifat-sifat dan watak yang sebaliknya dari ujud lahiriahnya”

“Diam, diam”

“Nah, kaulah yang kasar, kau juga seorang bangsawan meskipun barangkali dalam tataran yang rendah” potong Sangkan, “Nah, sebaiknya kita mulai saja dengan hubungan yang baik. Katakan, sesuatu yang kau ketahui tentang Raden Kuda Rupaka yang sampai hati menyakiti hati bibinya”

Panji Sura Wilaga terdiam.

“Katakanlah Panji, kau jangan membentak-bentak saja seperti orang kesurupan, tetapi kau dapat mengucapkan beberapa kalimat yang dapat memberikan beberapa petunjuk tentang tugas Raden Kuda Rupaka dan kau sendiri”

Panji Sura Wilaga berdiam diri.

“Panon” berkata Sangkan kemudian, “Agaknya Panji Sura Wilaga sama sekali tidak mau mengatakan apa-apa tentang dirinya dan Raden Kuda Rupaka. Karena itu, kita harus membuat rencana tersendiri. Salah satu dari kita akan pergi ke Demak”

“Panon mengerutkan keningnya”

“Jika kau curiga, bahwa aku hanya sekedar ingin menyingkirkan kau, maka biarlah aku yang pergi. Kau disini bersama Ki Mina dan Pinten, menjaga isi istana ini, termasuk Panji Sura Wilaga yang terikat ini”

“Gila, itu rencana gila, sudah aku katakan kau akan mati di perjalanan, atau dicincang di alun-alun Demak menjadi pengewan-ewan. Karena kau telah menghianati utusan Kangjeng Sultan Demak lewat Pangeran Linggar Watang” teriak Panji Sura Wilaga

Tetapi Sangkan menjawab sambil tertawa, “Jangan hiraukan aku, apakah aku akan dicincang di alun-alun Demak atau aku akan diseret di belakang kaki kuda di sepanjang Kota Raja, atau cara-cara yang lain. Tetapi aku akan merasa puas setelah aku mendapat penjelasan dari siapapun juga tentang Raden Kuda Rupaka, jika benar-benar Raden Kuda Rupaka utusan Sultan Demak lewat Pangeran Linggar Watang atau siapapun juga, maka aku akan dengan senang hati membantunya. Aku akan ikut mencari pusaka itu, bukan saja di halaman istana ini, tetapi aku bersedia menelusur kembali perjalanan Pangaeran Kuda Narpada dari Majapahit sampai ke tempat ini”

“Diam, diam” Panji Sura Wilaga masih membentak, “Kau mengigau seperti orang gila, aku tidak mengerti apa yang kau katakan”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya kepada Pinten, “Ia benar-benar tidak mau mengatakan sesuatu tentang Raden Kuda Rupaka, tetapi baiklah. Dan itu berarti ia akan terikat lebih lama lagi, mungkin sehari, mungkin dua atau tiga hari”

Pinten mengangguk-angguk, tetapi yang ditanyakannya adalah sesuatu yang hampir tidak ada hubungannya dengan diamnya Panji Sura Wilaga, “Bagaimana kita memberinya makan jika ia masih tetap terikat tangannya?”

Sangkan tersenyum, katanya, “Kita lepaskan tali pengikat tangannya”

“Jika demikian ia akan dapat melepaskan ikatan kakinya”

“Kita akan menjaganya disaat-saat ia makan, jika ia berusaha melepaskan diri, kita pukul tengkuknya.”

“Siapkan bola besimu itu”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Panji Sura Wilaga, tetapi tidak mengucapkan apa-apa.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan sekarang?” bertanya Pinten.

“Tidak ada” jawab Sangkan, “Kita akan duduk diluar bilik ini sambil membicarakan jalan yang sebaiknya kita tempuh”

Pinten tidak menjawab, sekilas dipandanginya wajah Panon yang tegang seperti juga wajah Ki Mina, keduanya nampak menjadi bingung mendengar percakapan Sangkan, Pinten dan Panji Sura Wilaga.

“Marilah” Sangkan kemudian mengajak, “Kita tunggu tawanan kita ini diluar bilik ini. biarlah ia melepaskan lelah, mungkin ia justru akan dapat tidur meskipun kaki dan tangannya terikat”

Sekali lagi terdengar gemeretak gigi Panji Sura Wilaga, tetapi Sangkan dan Pinten tidak menghiraukannya lagi. Mereka kemudian melangkah keluar diikuti oleh Panon dan Ki Mina.

“Kembalilah kedalam bilik itu Pinten” berkata Sangkan kemudian, “Kita tidak boleh terlampau yakin, bahwa malam ini tidak akan terjadi apapun lagi”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun ia pun kemudian berdiri sambil berkata, “Baiklah, aku akan kembali ke dalam bilik itu, Mungkin Kidang Alit yang licik itu justru mempergunakan kesempatan disaat kita lengah”

Pinten pun kemudian meninggalkan ketiga orang yang masih saja duduk di serambi, mereka masih merenungi Panji Sura Wilaga yang di dalam bilik, terikat kaki dan tangannya.

“Tentu banyak hal yang harus kita pertimbangkan” gumam Sangkan kemudian.

Ki Mina mengangguj-angguk, katanya, “Ternyata banyak hal yang tidak kami ketahui Sangkan. Mungkin karena kau dekat dengan Nyi Upih, atau katakan saja bahwa karena kau anak Nyi Upih, atau mungkin lebih banyak hal yang kau ketahui tenang Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka dan tentang Pangaeran Kuda Narpada, bahkan mungkin juga tentang pusaka yang menjadi rebutan beberapa pihak sekarang ini”

“Tidak terlalu banyak yang aku ketahui, kalian sudah mendengar serba sedikit tentang Raden Kuda Rupaka, dan itulah semua yang aku ketahui tentang dirinya”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menyahut lagi.

Dalam pada itu, Pinten telah berada di dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada, ketika Raden Ayu Kuda Narpada mendesaknya lagi tentang Raden Kuda Rupaka, maka Pinten tidak dapat menghindar lagi, dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Gusti, sebenarnyalah bahwa Raden Kuda Rupaka kini telah meninggalkan istana ini”

“Kenapa bisa begitu Pinten?” pertanyaan ini justru terloncat dari mulut Inten Prawesti.

“Memang sulit untuk menerangkan alasan yang sebenarnya, tetapi ternyata bahwa Raden Kuda Rupaka telah berusaha membunuh Panon”

“Panon?”

“Ya, Raden Kuda Rupaka menganggap bahwa Panon akan dapat menjadi penghalang atas usahanya, sehingga ia ingin membunuhnya, tetapi ternyata bahwa Panon sempat mempertahankan diri, sehingga justru Raden Kuda Rupaka lah yang melarikan diri”

“Bagaimana dengan Panji Sura Wilaga?” bertanya Nyi Upih.

“Aku terpaksa mengikatnya”

“He….” Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin heran.

“Ampun gusti” Pinten yang duduk beringsut maju, “Bukan maksud untuk melakukan perbuatan yang dapat menyakiti hati puteri berdua. Tetapi pada saat terakhir seperti Raden Ayu ketahui sendiri. Raden Kuda Rupaka seolah-olah menjadi semakin berubah. Pada suatu saat maka yang nampak kemudian adalah keinginan pribadinya tanpa menghiraukan nasib Gusti dan puteri.

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, baginya Raden Kuda Rupaka memang membingungkannya, tetapi bagaimanapun juga Pangeran Linggar Watang adalah saudaranya.

“Apakah aku akan membiarkan Kuda Rupaka mengalami nasib yang buruk setelah selama ini ia melindungi aku?” desisnya

Pinten termangu-mangu sejenak, ketika terpandang olehnya wajah Nyi Upih yang mengeredipkan matanya, seolah-olah memberi isyarat agar ia berdiam diri saja, maka Pinten pun menundukkan wajahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi.

Sejenak ruangan itu menjadi hening, masing-masing seakan-akan sedang merenungi hatinya sendiri.

Dalam pada itu, diluar halaman istana yang suram itu, tiga orang sedang duduk termangu-mangu, masing-masing duduk sambil menundukkan kepalanya dalam kediaman yang beku.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sebenarnya aku mendapat kesempatan baik sekarang ini”

Seorang anak muda yang lainpun berpaling, tetapi kemudian seakan-akan dengan acuh tidak acuh ia berkata, “Memang mungkin sekali terjadi, kau sekarang berdua dengan Kidang Alit, aku seorang diri. Mungkin timbul niatmu untuk membunuh aku sekarang, tetapi jika benar demikian, maka kita bertiga akan mati bersama-sama”

Kidang Alit tertawa katanya, “Benarkah demikian kakang Sambi Timur, apakah kira-kira kita berdua tidak dapat membunuh orang yang sombong ini”

Sambi Timur mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Bramadara telah dibunuh oleh Panji Sura Wilaga, memang pantas sekali kita membalas dendam, membunuh Raden Kuda Rupaka sekarang ini”

Tetapi Raden Kuda Rupaka masih dalam sikapnya, katanya dengan nada datar, “Kau berdua tidak akan berani melakukannya, kita masih saling membutuhkan, atau akan saling berbunuhan tanpa arti sama sekali setelah kita bekerja terlalu lama sampai saat ini”

Kidang Alit tersenyum, jawabnya, “Kau juga licik seperti aku, kau pandai mencari dalih untuk menyelamatkan jiwamu”

“Aku tidak ingin menyelamatkan jiwaku dengan cara yang licik itu, jika kau menghendaki bertempur, aku akan bertempur melawan kalian berdua dan kita akan mati bersama-sama”

Kidang Alit tertawa semakin kerasa, katanya, “Kau sangka aku tidak dapat menilai kemampuan kita masing-masing? Kau dan aku seorang diri mungkin memiliki kemampuan seimbang, sehingga jika Sambi Timur ikut serta berpihak, maka kese-imbangan itu tentu akan segera bergerak, dan kau akan mati disini tanpa seorang pun yang akan menangisi, Pinten tidak, ibundanya tidak, bahkan anak Nyi Upih yang manis itu pun tidak”

Raden Kuda Rupaka merada kupingnya bagaikan tersentuh api, tetapi ia masih tetap duduk tenang seperti tidak menghirau-kan apapun lagi, katanya, “Silahkan memilih aku tahu, kau tidak akan melakukannya”

Kidang Alit mengumpat, katanya, “Kau memang licik, tetapi baiklah, kita memang masih saling membutuhkan, sekarang di istana itu ada beberapa orang yang pantas diperhitungkan”

“Orang-orang gila yang tidak pantas mendapat tempat, aku masih akan mencoba menempuh jalan lain, jika paman Panji Sura Wilaga masih hidup, aku masih mempunyai kesempatan”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kidang Alit.

“Aku akan menghadap bibi, bibi tentu mempunyai pertimbangan tersendiri, jika aku dapat berusaha agar bibi mengusir orang-orang yang telah berkhianat itu”

“Jalan pikiranmu memang sudah buntu, jika bibimu mau mengusir orang-orang yang ada di istananya, kenapa kau mengambil cara lain seperti yang telah gagal ini?. kenapa kau harus memilih jalan pembunuhan?”

“Dengan membunuh mereka, maka persoalannya akan selesai, tetapi mengusir mereka tentu masih akan tumbuh soal-soal baru yang harus kita atasi. Tetapi dalam keadaan yang paling terdesak, maka jalan yang jauh itu pun akan dapat ditempuh”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Aku ingin melihat, apakah kau akan dapat berhasil. Tetapi jika kau gagal, maka kau akan dibantai di halaman istana itu”

“Memang itu termasuk akibat yang harus diperhitungkan, tetapi jika kita takut mengalami akibat yang betapapun pahitnya, maka kita tidak akan berani berbuat apa-apa sama sekali”

“Terserahlah kepadamu, jika kau masih memerlukan kasih sayang bibimu yang sudah kau khianati itu”

“Aku akan mencoba. Apakah kau takut kalau aku akan mendapatkan pusaka itu langsung dari bibi”

Kidang Alit tertawa, jawabnya, “Kita semuanya sudah menjadi gila, dan kegilaan kita akan membakar istana kecil itu menjadi karang abang”

“Persetan” Raden Kuda Rupaka menggeram, “Aku akan menemui bibi untuk menyelesaikan semua persoalan”

Kidang Alit tidak menanggapinya lagi. Perlahan-lahan ia pun kemudian membaringkan dirinya dan bergumam, “Aku akan tidur, aku sudah kehilangan seorang kawan malam ini, aku tidak tahu dimanakah paman Bramadara akan dikuburkan. Dan pembunuh itu adalah Panji Sura Wilaga”

Raden Kuda Rupaka menyadari, bahwa Kidang Alit mendendamnya, dan ia pun sadar, bahwa setiap saat Kidang Alit tentu benar-benar berusaha untuk membunuhnya, tetapi ia sudah terjun ke gelanggang, kematian adalah tantangan yang paling wajar dan tidak perlu ditakuti lagi.

Sebenarnyalah saat itu, orang-orang di istana kecil itu sedang membicarakan tentang mayat yang terbujur di halaman sebelah, Panon tidak mengerti, apakah yang sebaiknya dilakukan atas mayat itu.

“Kita kuburkan saja di sudut halaman istana ini” desis Ki Mina.

Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Ketika orang-orang dari Guntur Geni terbunuh, orang-orang Karangmaja bersedia menolong menguburkan mereka, tetapi kali ini keadaannya tentu berbeda, biasanya Raden Kuda Rupaka lah yang minta pertolongan mereka”

Ki Mina termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Sangkan dan Panon berganti-ganti, lalu katanya, “Kita tidak akan dapat keluar dari istana ini, jika kita tinggalkan istana ini, maka mungkin sekali orang-orang itu datang dan memaksa Raden Ayu Kuda Narpada untuk berbuat sesuatu yang mungkin benar-benar tidak dapat dilakukannya. Misalnya menunjukkan pusaka itu. Tetapi jika hanya satu atau dua orang saja diantara kita yang keluar dari istana ini, mungkin kita akan menjumpai kesulitan, kita tidak tahu siapa saja yang kini mengelilingi dinding istana ini”

Sangkan mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, tetapi kita harus melakukannya sekarang”

“Apaboleh buat” desis Ki Mina, “Kita akan mencari tempat yang paling tersembunyi”

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera menguburkan mayat Bramadara dibalik gerumbul perdu di kebun belakang, sejauh-jauhnya dari istana. Mereka sama sekali tidak mendandai kuburan itu selain dengan ciri-ciri yang memang sudah terdapat sebelumnya. Batang perdu dan tanda-tanda pada dinding halaman istana.

Setelah membersihkan diri, mereka pun segera kembali ke dalam bilik belakang, mereka masih menjumpai Panji Sura Wilaga yang masih terikat.

Demikianlah mereka memasuki bilik itu, terdengar Panji Sura Wilaga mengumpatnya, tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan Sangkan pun kemudian membaring-kan dirinya tanpa mengacuhkannya lagi.

Tetapi mereka bertiga itu pun menjadi berdebar-debar ketika langit menjadi terang, apakah mereka akan dapat mempertahan-kan Panji Sura Wilaga jika Raden Ayu Kuda Narpada sendiri yang datang dan memerintahkan untuk melepaskan Panji Sura Wilaga.

Ketika pagi menjdi terang, maka Nyi Upih dan Pinten pun mulai dengan menghidupkan api seperti yang biasa mereka lakukan, di bagian dalam Inten sibuk membersihkan lantai, sementara Sangkan pun telah keluar pula dari biliknya bersama Panon untuk mengamat-amati dinding yang rusak, sementara Ki Mina tetap berada di dalam biliknya yang tertutup menunggui Panji Sura Wilaga.

“Kita harus memperbaikinya” desis Sangkan.

Panon mengangguk-angguk, namun katanya, “Darimana kita mendapatkan bahan untuk memperbaiki dinding itu?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, dengan matanya yang redup ia mamandang kearah padukuhan Karangmaja, seolah-olah ia ingin mengharapkan untuk mendapat beberapa potong kayu dan bambu dari padukuhan itu.

Tetapi Sangkan pun kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat mengambilnya dari padukuhan itu, kemungkinan yang dapat terjadi serupa dengan kemungkinan yang timbul jika kita membawa mayat itu ke keburuan”

Panon mengangguk-angguk, dengna anda datar ia pun bertanya, “Apakah yang akan kita perbuat?”

Kita akan mempergunakan bahan-bahan yang terdapat pada bekas kandang itu, biar sajalah kuda Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mempergunakan sebagian saja dari bekas kandang itu”

Panon mengangguk-angguk, lalu katanya, “Kita dapat mengambil sebagian, tetapi kita tidak dapat membiarkan kuda-kuda itu kepanasan disiang hari dan kehujanan jika hujan turun”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Pada sautu saat kita akan kesulitan mencarikan makanan kuda-kuda itu. Yang dapat kita lakukan adalah mencari rumput di sekitar istana ini saja, tetapi jika rerumputan sudah mulai mengering di musim kemarau yang panjang?”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Berapa musim kita sendiri dapat bertahan di dalam halaman istana ini, bukan kuda-kuda itulah yang akan kekurangan makan lebih dahulu, tetapi kita. Ketela pohon yang kita tanam itu tentu akan dapat banyak menolong di hari mendatang”

Sangkan menarik nafas, tetapi sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau benar, kita akan segera mengalami kesulitan”

Keduanya kemudian mulai memeriksa kandang di belakang. Mereka mencoba mencari bahan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki dinding yang rusak, tetapi mereka masih tetap memperhatikan kuda-kuda yang berada di dalam kandang itu.

Dalam pada itu, selagi keduanya sibuk dengan dinding yang rusak itu, mereka telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda mendekati regol halaman istana yang tertutup. Dengan serta merta merekapun segera melangkah ke halaman depan, bahkan Pinten dan Ki Mina yang juga mendengar langkah itu pun telah keluar ke serambi.

“Aku mendengar derap kaki kuda biyung” desis Pinten.

Nyi Upih memandang gadis itu dengan tatapan mata yang asing. Dengan nada yang datar ia berkata, “Hati-hatilah puteri”

“Ah” desis Pinten sambil mencubit Nyi Upih.

“Aduh, jangan, ampun” desis Nyi Upih.

Pinten tersenyum memandang Nyi Upih yang bergesar surut, lalu katanya, “Aku akan berhati-hati biyung”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, lalu setapak demi setapak ia melangkah maju sambil berkata, “Jika yang berkuda itu Raden Kuda Rupaka, maka persoalannya akan menjadi sulit. Mungkin Raden Ayu tidak sampai hati menolak permintaanya untuk melepaskan Panji Sura Wilaga.

“Kakang Sangkan akan mempertahankannya biyung, mungkin Raden Kuda Rupaka harus mengurungkan niatnya, karena persoalannya sudah berkembang semakin larut”

“Semuanya agaknya memang harus jelas”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, Tetapi ia tidak menyahut, bahkan ia pun kemudian masuk kembali ke dapur. Sekilas ia melihat Ki Mina masih berdiri di serambi dimuka biliknya, dan di dalam bilik itu terikat Panji Sura Wilaga.

Dalam pada itu, suara derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat pula dengan regol halaman yang masih tertutup.

Di dapur Nyi Upih menggamit Pinten sambil berkata, “Masuklah, pergilah ke dalam bilik. Mungkin Raden Ayu dan Pinten memerlukan kau”

Pinten termangu-mangu, namun ia pun kemudian meninggalkan dapur dan masuk ke ruang dalam.

Ketika ia memasuki bilik, dilihatnya Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti duduk dengan cemasnya dibibir pembaringan.

Ternyata kehadiran Pinten telah menenangkan hati keduanya, bahkan Intenpun kemudian berkata, “Kemarilah, mendekatlah Pinten”

Pinten bergeser mendekat, Tetapi ia tidak menyahut.

“Kau dengar derap kaki kuda itu?” bertanya Inten.

“Ya, puteri” jawab Pinten, “Tetapi suara itu berhenti sekarang, agaknya mereka telah berada diregol depan”

Inten menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan kemudian dengan suara gemetar ia bertanya, “Siapakah mereka Pinten?”

“Aku belum mengetahuinya, puteri. Tetapi sekali Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit”

Ternyata dugaan Pinten itu benar, yang barada di luar regol adalah Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Ki Sambi Timur.

“Buka pintunya” Raden Kuda Rupaka berteriak dari luar regol.

Sangkan dan Panon yang berada di halaman itu termangu-mangu, Tetapi mereka melangkah mendekat.

“Bukalah pintu ini” sekali lagi Raden Kuda Rupaka mengulang, “Jika tidak, aku akan membukanya sendiri, meskipun untuk seterusnya pintu ini tidak akan dapat terkunci lagi”

Sangkan lah yang kemudian mendekati pintu, Tetapi ia sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Meskipun nampaknya Raden Kuda Rupaka tidak akan berbuat apa-apa, Tetapi segala kemungkinan memang dapat terjadi atas dirinya dan Panon.

Panon pun nampaknya sudah bersiaga sepenuhnya. Meskipun ia tidak membawa senjata di tangan, Tetapi pada ikat pinggangnya yang tebal terselip pisau-pisaunya yang siap dilontarkan.

Ketika pintu telah terbuka, maka tiga ekor kuda itu berlari begitu saja memasuki halaman, seolah-olah mereka sama sekali tidak melihat Sangkan dan Panon yang termangu-mangu.

Ketiganya langsung meloncat turun dari kudanya ketika mereka sudah berada di depan tangga pendapa. Dengan serta merta mereka melangkah masuk dan langsung menuju ke pintu peringgitan.

Tidak ada yang mereka percakapkan, Tetapi Sangkan dan Panon mengetahui dengan pasti, bahwa mereka akan menjumpai Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti.

Namun langkah ketiga orang itu tertegun di pintu, ketika mereka melihat Pinten duduk pula di dalam bilik itu.

“Iblis betina itu ada di dalam” deis Kidang Alit.

Pinten sama sekali tidak menanggapinya, ia masih saja duduk bersimpuh seperti kebiasaannya, meskipun diluar sadarnya, jari-jari tangannya telah meraba bola besinya yang terikat di ujung rantai dan membelit dibawah ikat pinggangnya.

Raden Kuda Rupaka memandang Pinten dengan kerut merut dikeningnya, namun ia pun kemudian mengangguk dalam-dalam ketika terdengar suara Raden Ayu Kuda Narpada, “Kau angger?”

“Ya, bibi” jawab Raden Kuda Rupaka, dan kemudian diteruskannya, “Kehadiranku kali ini, merupakan saat yang menentukan, kami memerlukan pusaka itu, bibi”

“Anak mas” suara Raden Ayu Kuda Narpada menjadi datar, “Sebenarnya aku menjadi sangat gelisah dengan anggapan bahwa pusaka itu telah aku simpan, berapa kali aku sudah mengatakannya, bahwa aku tidak tahu sama sekali, dan apa yang aku katakan itu benar, sehingga aku tidak perlu mengulanginya”

“Tidak bibi” jawab Raden Kuda Rupaka, “Keadaan kini sudah menjadi sangat buruk, Sangkan dan Panon telah bersepakat untuk berkhianat”

“Siapapun tidak akan dapat memaksa aku untuk mengetahui apa yang memang tidak aku ketahui”

“Aku yakin bibi mengetahui”

“Tidak angger, dan ketidak-tahuanku itu tidak akan dapat aku ingkakri akan terjadi apa saja atas diriku”

Raden Kuda Rupaka memandang Kidang Alit sejenak, kemudian katanya, “Bibi, sudah cukup lama aku tinggal di padepokan ini sudah banyak pertolongan dan kebaikan hati yang aku berikan kepada bibi sekeluarga, bahkan dengan kedua orang pengemis itu pula, sekarang sudah waktunya aku bertindak tegas”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang wajah Raden Kuda Rupaka dengan cemasnya, namun kemudian ia berpaling ketika ia melihat Pinten bergeser setapak.

“Kau tidak usah ikut campur iblis betina” geram Raden Kuda Rupaka.

Namun Pinten sempat menjawab, “Aku memang tidak akan ikut campur secara langsung”

“Kenapa kau sebut secara langsung?”

“Mungkin dengan cara lain aku akan mendapat permainan yang mengasyikkan”

“Tutup mulutmu, atau aku akan menyumbatnya”

“Kau hanya bertiga” tiba-tiba saja Pinten memotong, “Kami berempat disini, kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika Raden Ayu mengatakan tidak, maka kami semua disini mengatakan tidak”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam. Tetapi ia menyadari bahwa yg dikatakan Pinten itu adalah kenyataannya sekarang ini.

Meskipun demikian, Raden Kuda Rupaka menjawab, “Kau jangan sombong perempuan gila, meskipun kami bertiga, kami akan dapat membunuh semua orang di dalam rumah ini”

Adalah diluar dugaan mereka jika tiba-tiba saja Pinten tertawa, suaranya terdengar aneh ditelinga setiap orang yang mendengarnya. Katanya disela-sela suara tawanya, “Jika kau memang ingin melakukannya dan mampu berbuat demikian, kau tentu sudah melakukannya semalam, tidak sekarang”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi semakin merah membara, kemarahannya sudah tidak dapat disembunyikannya lagi, meskipun demikian, ia masih harus melihat kenyataan, bahwa di dalam istana ini, memang ada empat orang yang harus diperhitungkan.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Mungkin bibi dapat ingkar, dan mungkin saat ini orang-orang gila ini dapat membujuk bibi untuk tidak memberitahukannya kepadaku, Tetapi bibi kelak akan menyesal, jika aku pergi dengan kecewa, maka itu merupakan pertanda bahwa orang-orang yang tinggal akan saling berbunuhan untuk memperebuntukan pusaka itu. Sangkan, Panon, Ki Mina dan Pinten akan saling mempertaruhkan nyawanya, meskipun kemudian tiga diantara mereka akan manjadi bangkai disamping tubuh bibi dan diajeng Inten Prawesti yang terkapar tidak bernyawa lagi”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang, demikian pula wajah Inten Prawesti.

“Bibi, apakah dengan demikian berarti bahwa aku harus kembali menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa bibi tidak lagi menaruh kepecayaan kepadaku?”

“Oooo…” suara Raden Ayu Kuda Narpada seolah-olah terputus dikerongkongan, namun kemudian ia berkata, “Jika kau bertemu dengan ayahandamu, aku mohon maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah kakangmas Linggar Watang untuk menyerahkan pusaka yang sebenarnya memang tidak aku ketahui”

“Ayahanda tidak akan percaya, ayahanda yakin bahwa pusaka itu ada disini, bibilah yang menyimpannya”

“Aku bersedia untuk menerima akibat apapun yang mungkin dilimpahkan karena kemarahan kakangmas Linggar Watang, sebenarnyalah aku tidak ingkar akan baktiku, Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun kakangmas Linggar Watang sendiri yang datang kemari”

“Baiklah bibi, aku akan kembali kepada ayahanda yang tentu akan datang sendiri kemari, ayahanda akan mengetahui apa saja yang sudah aku lakukan disini, bahkan aku sudah mempertaruh-kan nyawaku melawan orang-orang Guntur Geni dan melawan ilmu gendam yang tidak dapat dihindari oleh diajeng Inten Prawesti”

“Aku akan berterima kasih”

“Baik, baik, memang kemungkinan yang paling buruk harus aku tempuh, aku sudah menyelamatkan nyawaku, menghadapi ujung senjata, Tetapi agaknya aku harus mengalami nasib yang sangat buruk jika aku kembali ke Demak tanpa pusaka itu,. namaku akan dihinakan dan barangkali aku akan diasingkan oleh ayahanda dari lingkungan keluarga”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang sejenak, terpercik perasaan iba di wajahnya.

Ternyata bahwa Raden Kuda Rupaka dapat menangkap percikan perasaan itu, maka katanya, “Bibi, jika memang bibi tidak mengetahuinya, biarlah aku mohon diri, Tetapi mungkin akan lebih baik bagiku jika aku tidak akan pernah bertemu lagi, karena bagiku sebagai seorang kesatria, nama lebih berharga dari jiwa sekalipun”

“Anakmas” desis Raden Ayu Kuda Narpada, “Apakah yang akan kau lakukan?”

Raden Kuda Rupaka berpaling kepada Kidang Alit, lalu katanya, “Kamipun akan saling berebutan jika pusaka itu bibi berikan kepadaku, Tetapi Kidang Alit tentu akan bersedia membantu aku jika aku gagal mendapat pusaka itu”

Kidang Alit menjadi semakin termangu-mangu.

“Bibi, ujung senjata Kidang Alit tentu cukup tajam untuk membunuhku, karena ternyata aku tidak ingin lagi bertemu dengan ayahanda Linggar Watang”

“Anakmas” Raden Ayu Kuda Narpada terkejut sehingga bergeser setapak, “Kau akan membunuh diri?”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Jika ayahanda pada suatu saat berkunjung kesini, tolong bibi katakan bahwa aku sudah gagal, bibi jangan mengatakan bahwa bibi tidak dapat menunjukkan pusaka itu kepadaku, Tetapi sebaiknya bibi mengatakan bahwa aku terbunuh dalam perebutan pusaka itu, bibi dapat mengatakan bahwa aku telah dibunuh oleh orang-orang Guntur Geni atau oleh Kidang Alit sekalipun yang barangkali merupakan utusan yang dikirim oleh paman Pangeran Cemara Kuning dan paman Pangeran Sendang Prapat”

“Bohong” tiba-tiba saja Kidang Alit memotong, “Aku tidak mengenal Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat”

“Mungkin sekali kau adalah utusannya seperti juga aku adalah utusan ayahanda Linggar Watang”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menjawab.

“Nah, bibi, itu adalah pesanku yang terakhir, aku mohon diri, Tetapi aku tidak akan pernah sampai ke Demak dan menghadapi ayahanda dan ibunda”

“Anakmas” wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin tegang.

“Bibi tidak usah mencemaskan aku”

“Tetapi, Tetapi apakah kata kakangmas Linggar Watang tentang aku”

“Bibi tidak usah menjadi cemas, bukankah bibi memang tidak mengetahui apapun juga tentang pusaka itu”

Nampak keragu-raguan yang tajam membayang di wajah Raden Ayu Kuda Narpada sehingga suasana di dalam bilik itu pun menjadi tegang pula. Tidak seorangpun yang bergerak dan apalagi beranjak dari tempatnya.

Namun dalam pada itu terdengar suara Kidang Alit diantara derai terawanya, “Kau sedang merajuk, Raden?”

Raden Kuda Rupaka memandang wajah Kidang Alit dengan tegangnya, namun kemudian jawabnya, “mungkin Kidang Alit, mungkin aku sedang merajuk, Tetapi mungkin juga aku telah menyatakan tekadku bahwa aku tidak akan berani menghadapi ayahandaku tanpa pusaka itu, apakah aku akan membunuh diri, kau bunuh atau aku akan mengembara tanpa tujuan”

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya kepada Raden Ayu Kuda Narpada, “Terserahlah kepada Raden Ayu, Tetapi sebaiknya persoalan Raden Kuda Rupaka diserahkan saja kepadanya, jika ayahanda Raden Kuda Rupaka datang Raden Ayu tinggal menyatakan apa yang Raden Ayu ketahui”

Tetapi justru karena itu, kebingungan telah mencengkam hati Raden Ayu Kuda Narpada. Bagaimanapun juga ia akan menghadapi kesulitan perasaan jika benar-benar Pangeran Linggar Watang datang ke istana kecil ini.

Wajah-wajah yang ada di dalam bilik itu menjadi tegang, setiap orang memusatkan perhatiannya kepada Raden Ayu Kuda Narpada yang sedang dicengkam oleh keragu-raguan, seolah-olah di dalam dadanya telah terjadi pergolakan yang dahsyat.

Namun dalam pada itu, sekali lagi bilik itu dipecahkan oleh suara tertawa, Pinten lah yang kemudian tertawa sambil berbicara, “Hampir saja Raden berhasil, bukan berhasil memiliki pusaka yang Raden cari, Tetapi berhasil menyiksa perasaan Gusti putri, sebenarnyalah ada keinginan Gusti puteri untuk menolong Raden, Tetapi Gusti benar-benar tidak mengetahui dimanakah pusaka yang Raden cari itu”

“Diam” tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka berteriak, “jangan ikut campur”

Tetapi Pinten tidak mau diam, katanya, “Sebenarnya sejak Raden berbicara aku sudah menahan tertawa, aku tidak tahu jalur pembicaraan Raden, mula-mula Raden mengatakan bahwa Raden akan kembali ke ayahanda Raden, Pangeran Linggar Watang yang tentu akan datang kemari, kemudian Raden mulai merajuk bahwa mungkin Raden akan diasingkan oleh ayahanda Raden. Tetapi ternyata bahwa kemudian Raden mulai mengancam untuk membunuh diri”

“Gila, aku sumbat mulutmu dengan ujung pedang” wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam.

Tetapi Pinten masih berbicara terus, “jangan mengancam, seharusnya Raden tahu, bahwa aku tidak takut mendengar ancaman apapun juga dari Raden karena ternyata Raden tidak lebih baik dari kakang Sangkan, bukankah aku dapat minta perlindungannya jika Raden marah”

Seolah-olah dada Raden Kuda Rupaka akan meledak oleh kemarahan, Tetapi ia tidak dapat melakukannya, karena pertimbangan-pertimbangan yang berlandaskan kenyataan tentang gadis itu, Sangkan, Panon dan Ki Mina yang masih ada di lingkungan istana ini.

Tetapi adalah diluar dugaan sama sekali, bahkan Raden Kuda Rupakapun tidak, bahwa dengan kening yang berkerut Raden Ayu Kuda Narpada memotong kata-kata Pinten, “Sudahlah Pinten, kita semua mengerti, bahwa tidak seorang pun yang dapat saling mengancam. Tetapi sikapmu terhadap anakmas Raden Kuda Rupaka jangan meninggalkan trapsila dan unggah-unggah”

Sejenak Pinten tercenung, sekilas dipandanginya kakaknya yang berada di pintu, namun kemudian ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Ampun Gusti, bukan maksudku bertindak deksura terhadap kemanakan Raden Ayu, Raden Kuda Rupaka. Tetapi dalam keadaan yang gawat sekarang ini, maka kita masing-masing tidak boleh terlampau terpengaruh oleh hubungan yang ada diantara kita”

“Aku mengerti, Tetapi biarlah aku yang menjawab semua pertanyaan dan persoalan yang dikemukakannya”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, namun sekali lagi diluar dugaan semua orang bahwa Inten yang nampak ketakutan itu pun berkata tersendat-sendat, “Tetapi ibunda, dalam hubungan dengan perkembangan keadaan terakhir, agaknya kakangmas Raden Kuda Rupaka sudah bersikap lain, meskipun ia kemanakan ibunda, Tetapi ialah yang mulai meninggalkan trapsila dan unggah-unggah”

“Diajeng” potong Raden Kuda Rupaka, “Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar telah terpengaruh oleh sikap gadis binal itu”

Inten memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, lalu, “Maaf kakangmas, sikap kakangmas telah menimbulkan ketakutan pada diriku”

Wajah Raden Kuda Rupaka menjadi merah padam, Tetapi ia pun masih menjawab, “Maaf diajeng, bukan maksudku, semuanya semata-mata terdorong oleh keinginanku menyelamatkan pusaka itu”

“Tetapi kakangmas telah mengajak Kidang Alit sekarang ini, seandainya ibunda mengetahui pusaka itu dan menyerahkannya kepada kakangmas, apakah kakangmas dapat menjamin bahwa pusaka itu akan dapat kakangmas pertahankan dan sampai ketangan pamanda Pangeran Linggar Watang”

“Akan aku pertahankan dengan darahku sampai tuntas”

“Jika itu terjadi, kakangmas mempertahankan sampai maut mermenggut jiwa kakangmas, apakah itu berarti bahwa pusaka itu diselamatkan?”

“Inten” potong Raden Ayu Kuda Narpada sambil menggamit pundak anak gadisnya, katanya kemudian, “Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar berkepanjangan” ia berhenti sejenak, lalu, “Angger Kuda Rupaka, sebenarnyalah aku mohon maaf kepada kakangmas Linggar Watang, tetapi sebaiknya kau tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum kemanusiaan jsutru atas dirimu sendiri, jika kelak kakangmas Linggar Watang sudi datang kemari, maka aku akan menjelaskannya, bahwa aku benar-benar tidak mengetahuinya sehingga kesalahan itu tidak dibebankan kepadamu”

“Tidak bibi, aku akan kembali membawa pusaka itu atau tidak sama sekali”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi tegang kembali, dipandanginya Raden Kuda Rupaka yang agaknya benar-benar sudah berkeras hati.

“Bibi harus mengambil keputusan sekarang”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin gelisah, namun justru itu, ia bahkan diam mematung memandang Raden Kuda Rupaka yang tegak berdiri tegak dengan kaki renggang.

Dalam ketegangan itu, ternyata Kidang Alit mengambil sikap yang lain, seolah-olah ia sama sekali tidak terlibat dalam ketegangan itu, bahkan kemudian ia pun perlahan-lahan melangkah ke sudut bilik sambil memandang Inten yang berpegangan lengan ibunya.

Sekilas ia melontarkan sebuah senyuman yang aneh, namun kemudian ia pun seolah-olah tidak menghiraukannya lagi dan duduk seenaknya disudut, dengan tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu, maka ia pun mengambil serulingnya yang terselip dipinggangnya, langsung menempelkan dimulutnya dan sejenak kemudian terdengar suara seruling itu memenuhi bilik yang tidak terlalu luas itu.

Mula-mula Raden Kuda Rupaka terkejut mendengar suara seruling itu, namun kemudian dari kerut merut di keningnya nampak bahwa ia pun sedang memperhatikan suara itu dengan seksama.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah lagu yang ngelangut seolah-olah jerit hati seorang yang merindukan cerahnya matahari, namun kemudian lagu itu menukik rendah dan mengeluh oleh kegagalan.

Sejenak kemudian setiap hati telah dicengkam oleh suara itu, dengan tatapan mata yang redup Kidang Alit memandang seorang demi seorang, terutama Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti.

Tiba-tiba saja nampak Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Biasanya akulah yang melawan ilmu gendammu Kidang Alit, kini mereka akan mengerti, bahwa tanpa aku mereka tidak dapat berbuat apa-apa”

Suara ngelangut itu bagaikan telah menghanyutkan keadaan Raden Ayu Kuda Narpada, bahkan sejenak kemudian Inten Prawesti perlahan-lahan berdiri sendiri seperti orang yang sedang bermimpi, tatapan matanya terlontar ke kejauhan melalui daun pintu yang terbuka, sementara Raden Ayu Kuda Narpada pun telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Mereka akan kehilangan kepribadian mereka” berkata Kidang Alit di dalam hatinya, “Dan agaknya Raden Ayu Kuda Narpada akan dapat menanggapi keadaan”

“Bibi” desis Raden Kuda Rupaka, “Jika kerinduan itu telah mengusik hati, biarlah aku berjanji untuk membawa pamanda Pangeran Kuda Narpada kembali kepada bibi, jika bibi bersedia mengatakan dimanakah pusaka itu berada”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangkat wajahnya, Tetapi wajah itu seolah-olah menjadi beku tanpa alas kedirjaannya sendiri.

“Bibi, apakah bibi dapat mengatakannya?”

Bilik itu menjadi tegang, tatapan mata Raden Ayu pun telah kehilangan warna. Sementara itu seruling Kidang Alit masih tetap bermain di bibirnya dengan lagu yang kadang-kadang merendah, namun kadang-kadang melengking tinggi, setiap kejutan membuat mereka yang mendengarkan bagaikan terbanting ke dalam anganangan yang kehilangan sandaran, terputus dari rangkaian yang semakin dalam.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka dengan nada dalam, “Katakanlah bibi”

Raden Ayu Kuda Narpada memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, namun kemudian dipandanginya wajah puterinya yang kosong, dan Raden Ayu Kuda Narpada sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika Inten Prawesti melangkah setapak mendekati Kidang Alit yang duduk disudut ruangan itu”

Suasana di dalam bilik itu menjadi semakin tegang, sementara itu Pinten yang duduk tersimpuh di lantai memandang Sangkan yang berdiri di pintu disisi Panon, mereka memandang semua yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar.

Tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu terdengar Sangkan berdesis, “Apakah belum cukup Pinten?”

Pinten mengerutukan keningnya.

“Hentikan, atau aku yang akan menghentikan suasana yang gila ini”

Pinten tertawa katanya, “Aku ingin mengetahui, berapa jauh jangkauan ilmu seorang anak muda yang tampan yang bernama Kidang Alit”

Jawaban Pinten itu benar-benar mengejutkan Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Kiai Paran Sangit, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Pinten dapat memecahkan perhatian mereka dengan caranya, ia sama sekali tidak melawan suara seruling itu dengan benturan getar yang berlandaskan ilmunya, Tetapi ia langsung menikam perasaan Kidang Alit yang dilontarkan dengan tajamnya disela-sela suara tertawanya yang aneh.

“Kidang Alit memang anak muda yang tampan, cakap dan memiliki ilmu yang tinggi, itulah sebabnya maka beberapa orang gadis dengan pasrah telah menyerahkan mahkota yang paling bernilai pada diri mereka. Suara seruling dengan lagu yang menghentak-hentak namun kadang-kadang merayu itu telah membuat jantungku semakin cepat berdegup. Hampir saja aku berlari dan memeluknya jika aku tidak menyadari bahwa di dalam ruangan ini ada beberapa orang lain”

 

Suara seruling Kidang Alit mulai sumbang ketika getaran jantungnya berdegup semakin keras, jika mulutnya tidak tersumbat seruling dalam lontaran ilmunya yang tinggi, ia tentu sudah berteriak dan mengumpat-umpat.

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, baginya yang mengganggu suara seruling Kidang Alit bukan saja kata-kata Pinten yang menyakitkan hati itu. Tetapi getar suara tertawanya yang asing itu agaknya telah mempengaruhi perkataan Kidang Alit, sehingga pemusatan pikirannya terganggu.

“Gila” desis Raden Kuda Rupaka, “Gadis ini mampu melawan ilmu Kidang Alit langsung menyerang sumbernya.

Kidang Alit merasa bahwa perlawanan Pinten tidak diarena lontaran getar suara serulingnya, Tetapi langsung menyerang pemusatan inderanya, karena itulah maka Kidang Alit justru memejamkan matanya, ia mencoba untuk bertahan, menghalau semua gangguan lewat getar suara Pinten yang langsung mengguncang jantung dan kata-kata gadis itu yang dengan tajam menikam perasaannya.

Agaknya Raden Kuda Rupaka menyadari kesulitan yang dihadapi Kidang Alit, karena itu, maka ia pun berusaha memotong serangan Pinten, katanya, “Pinten, kau jangan mserasa dirimu cantik dan barangkali cukup menarik perhatian Kidang Alit, gadis-gadis Karangmaja pada umumnya jauh lebih cantik dari padamu. Hampir semuanya mereka membiarkan dirinya menjadi sasaran permainan Kidang Alit, karena itu, jangan mengharapkan perhatiannya, karena sebenarnyalah wajahmu tidak lebih cantik dari biyungmu”

Tetapi Pinten bukannya seorang yang dungu seperti yang disangka semula. Kata-kata Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak mempengaruhinya, bahkan suara tertawanya meninggi disela-sela kata-katanya, “Raden, jangan iri hati, aku yakin bahwa Kidang Alit bukan orang kebanyakan atau barangkali perantau seperti yang dikatakannya, mungkin ia memiliki darah kebangsawanan yang lebih tinggi dari Raden sehingga setiap gadis lebih tertarik kepadanya dari pada kepada Raden Kuda Rupaka”

“Gila” Raden Kuda Rupaka yang menggeram sementara suara seruling Kidang Alit menjadi kacau.

“Sudahlah Kidang Alit” berkata Pinten, “Kau lebih manis jika kau tersenyum, wajahmu nampak jelek jika dahimu berkerinyut seperti dahi seorang kakek-kakek tua”

Sejenak Kidang Alit masih berusaha untuk meniup serulingnya, Tetapi lagunya sudah tidak mapan lagi, sehingga akhirnya delepaskannya sambil mengumpat, “Perempuan iblis, kau memang harus dibunuh paling dahulu”

Pinten tertawa, kemudian ia pun tegak berdiri melangkah mendekati Inten yang kebingungan.

“Duduklah puteri”

“Ooo…” perlahan-lahan kesadarannya mulai merambat di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga ia pun kemudian berlari memeluk ibunya.

Aku juga kehilangan kesadaranku” berkata Raden Ayu sambil membelai anak gadisnya.

“Nah” Pinten lah yang kemudian berbicara, “Kita semuanya sudah meyakinkan, bahwa kalian benar-benar ingin melakukan sesuatu yang tidak sewajarnya. Kini kalian tidak dapat berkata lagi, terutama Raden Kuda Rupaka, bahwa yang dilakukannya itu adalah suatu usaha yang baik. Baik bagi Demak dan baik bagi Raden Ayu Kuda Narpada. aku sengaja ingin melihat, bahwa dalam ketidak sadaran, kalian ingin memaksakan kehendak kalian atas Raden Ayu Kuda Narpada, bagiku yang kalian lakukan sudah suatu serangan yang tidak terampuni”

“Pinten” desis Raden Ayu Kuda Narpada.

“Apakah yang terjadi bukannya suatu bukti, Gusti?”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu sejanak, kemudian dipandanginya Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan Kiai Parang Sangit.

“Apakah Gusti masih belum yakin?”

“Pinten” berkata Raden Ayu Kuda Narpada, “Bagaimanapun juga ia adalah kemanakanku, aku tidak dapat berbuat sesuatu dengan mengingkari kenyataan bahwa ia adalah kemanakanku”

“Puteri” berkata Pinten kemudian, “dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi ikatan kekeluargaan diantara setiap orang yang mempunyai kepentingan yang berbeda, masing-masing lebih mementingkan dirinya sendiri daripada keluarga, kemanakan adalah hubungan yang terlalu jauh dibandingkan dengan pusaka yang mereka cari, saudara kandungpun akan dijadikan korban apabila kepentingan yang dianggap melampaui segalanya itu dihambat”

“Ooo” Raden Ayu Kuda Narpada menundukkan kepalanya.

“Persetan” geram Raden Kuda Rupaka, “Seharusnya aku tidak bersabar lebih lama lagi”

“Kau tidak dapat berbuat apapun juga sekarang Raden”

Raden Kuda Rupaka menggeram, dipandanginya wajah Kidang Alit yang tegang, namun kemudian sekilas senyum terbayang di wajah itu, katanya, “Hampir saja kita berhasil Raden. Jika Raden dapat memaksa Raden Ayu untuk mengatakan dimanakah pusaka itu, maka akan datang gilirannya kita saling membunuh. Tetapi ternyata bahwa pusaka itu masih tetap tersembunyi, sehingga barangkali kita masih akan saling memerlukan”

Raden Kuda Rupaka termenung sejenak, kemudian dipandanginya Pinten, Sangkan dan Panon yang berdiri tegang.

“Bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Aku masih akan dapat bersabar, mudah-mudahan bibi dapat berpikir lebih bening, aku akan tetap disini sampai saatnya bibi memberitahukan pusaka itu kepadaku”

“Ooo” Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi aku tidak mau tinggal bersama dengan dengan orang-orang yang berkhianat ini, orang-orang yang tidak setia dan tidak tahu berterima kasih. Selama ini, akulah yang menyediakan bahan bagi hidup kita semuanya seisi istana ini, namun akhirnya aku terusir dengan kasar dari istana ini”

“Anakmas” sahit Raden Ayu, “Sama sekali bukan maksudku mengusirmu”

“Aku tahu bibi, Tetapi selama orang-orang itu masih berada disini, aku akan tinggal di padukuhan”

“Tetapi….” Kata-kata Raden Ayu terputus, sejenak ditatapnya wajah Sangkan dan Panon yang berdiri dimuka pintu, seseolah-olah-seolah-olah ia sedang menimbang siapakah yang lebih berhak tinggal di istana ini.

Inten mamandang ibundanya dengan dada yang berdebar-debar, Tetapi karena ibundanya tidak mengatakan sesuatu, maka Inten tetap berdiam diri pula.

Sejenak kemudian, maka Raden Kuda Rupaka pun mulai beringsut, Kidang Alit yang duduk disudut telah berdiri pula dan begitu juga dengan Sambi Timur yang perlahan-lahan berjalan mengikuti Raden Kuda Rupaka.

Ketika terdengar suara kuda berderap meninggalkan halaman, maka Raden Ayu Kuda Narpada rasa-rasanya tidak dapat menahan gejolak di dadanya. Nampak setitik air mata mengambang di pelupuknya.

“Alangkah pahitnya” katanya di dalam hati, “Apakah yang akan dikatakan oleh kakangmas Linggar Watang, jika ia benar-benar datang ke istana yang suram ini”

Inten melihat air di pelupuk mata ibunya, namun ialah yang kemudian mencoba menghiburnya, “Sudahlah ibunda, semuanya harus kita hadapi, aku sudah jemu mengeluh dan berdesah, sekarang apa yang sedang terjadi adalah suatu kenyataan yang harus diatasi, untunglah bahwa kita masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dengan hadirnya Pinten dan kakaknya serta Panon dan Ki Mina”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, Tetapi ia tidak menjawab.

Namun di dalam pada itu, ternyata bahwa kecurigaan yang tumbuh disetiap hati tidak juga mereda, meskipun di dalam halaman istana itu nampaknya Sangkan dan Panon dapat bekerja bersama, Tetapi itu rasa-rasanya ada batas yang melintang diantara keduanya, bagi Panon, Sangkan adalah orang yang aneh, jika ia benar anak Nyi Upih, tentu ia akan menunjukkan sifat dan sikap yang semakin jelas menghadapi kenyataan yang telah terjadi di halaman istana itu. namun sampai saat terakhir, sikap dan sifatnya sama sekali tidak berubah.

Karena itulah, maka Panon merasa tidak mempunyai waktu sama sekali untuk meninggalkan istana itu untuk mencari gurunya. Saat-saat ia tidak berada di halaman, banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Ia tidak dapat mengerti dengan pasti, apakah yang kira-kira akan dilakukan Sangkan, sedangkan keadaan nampaknya berkembang semakin buruk.

Meskipun demikian kemudian Panon dan Ki Mina melihat beberapa perubahan yang terjadi. Pinten dan Sangkan nampak setiap kali berbincang dengan sungguh-sungguh, bahkan kadang-kadang bertiga dengan Nyi Upih. Mereka nampaknya menjadi semakin cermat mengamati keadaan.

“Mereka orang-orang aneh” desis Ki Mina.

Panon mengangguk-angguk, “agaknya memang akan terjadi peristiwa yang lebih rumit di istana ini”

Namun dalam pada itu, setiap orang di dalam istana itu, berusaha untuk tetap dalam suasana yang baik dan berbuat untuk kepentingan bersama, setiap kali Sangkan masih melakukan pekerjaannya bersama dengan Panon, mereka memperbaiki regol dengan bahan yang ada.

Namun meskipun mereka tidak membicarakan lebih dahulu ternyata mereka sepakat untuk memperkuat regol yang sudah menjadi semakin tua.

“Tetapi hampir tidak ada gunanya” desis Sangkan sambil tersenyum.

“Kenapa?”

“Dengan ujung jari saja Raden Kuda Rupaka dapat merusaknya, juga orang-orang Guntur Geni jika mereka datang kemari lagi”

Panon mengangguk-angguk, ia pun menyadari bahwa tidak banyak gunanya memperbaiki regol sebagai usaha pengamanan, namun demikian ia menjawab, “Tetapi dengan demikian regol itu akan nampak lebih baik daripada kita biarkan berantakan”

“O, tentu, tentu” desis Sangkan

Panon tidak menjawab, namun keduanya dengan sibuknya melakukan pekerjaan itu.

Dari kejauhan Pinten memandang keduanya yang saling bekerja itu, ia tidak menyadari, kenapa ia bagaikan mematung melihat tangan-tangan yang cekatan mengikat potongan-potongan bambu di sebelah menyebelah, kemudian menguatkan pengikat yang telah menjadi kendor.

Pinten terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekatinya, ketika ia berpaling dilihatnya Ki Mina berdiri sambil tersenyum.

“Apa yang sedang kau perhatikan Pinten?”

“Orang-orang yang sedang memperbaiki regol itu, paman”

Ki Mina mendekatinya, ia pun memandang kedua anak muda yang sedang bekerja itu sejenak, namun kemudian katanya, “mereka adalah anak-anak muda yang mengagumkan”

“Ya” sahut Pinten diluar sadarnya.

“Kedua-duanya?” Ki Mina bertanya.

Pinten tiba-tiba saja menjadi tergagap, lalu, “Maksudku kedua-duanya adalah anak-anak muda yang rajin meskipun bodoh”

Ki Mina tertawa, lalu, “Harapan bagi masa depan mereka masih sangat panjang tetapi sudah barang tentu, keterikatan dengan istana ini telah menumbuhkan kemungkinan lain pada diri mereka”

“Maksud paman?, bahwa dengan keterikatan mereka disini membuat mereka kehilangan kesempatan bagi hari depannya?”

“Aku tidak mengatakan tepat seperti yang kau maksudkan, Pinten, meskipun ada pula sentuhannya, misalnya tentang dirimu sendiri. Kau tidak usah membantah dan memperkuat kedudukanmu sebagai anak Nyi Upih, aku tetap percaya selama kau masih mengatakannya demikian”

Pinten mengeruntukan keningnya, tetapi ia tetap berdiam diri.

“Hidupmu agaknya telah mengalami tempaan lahir dan batin yang luar biasa, sebagai seorang gadis, kau dipengaruhi oleh perasaan yang lebih tajam dari seorang laki-laki, tetapi kau dapat menahan diri untuk tinggal di istana yang terpencil ini”

“Biyungku tinggal disini dengan kesetiaannya yang utuh terhadap Raden Ayu Kuda Narpada”

Ki Mina mengangguk-angguk, katanya, “Aku mengaguminya, dan aku juga mengagumimu, Sangkan pun anak muda yang bersedia mengorbankan suatu masa dalam usianya yang paling berharga untuk tinggal dalam tugas yang sangat berat dan bahkan mengancam jiwanya”

“Kenapa kau tidak menyebut Panon?, bukankah ia juga melakukan seperti yang dilakukan kakang Sangkan?”

“Ya, ya, kau benar. Aku kurang lengkap menyebutnya, Sangkan, Panon, Raden Kuda Rupaka, Kidang Alit dan mungkin masih ada lagi, namun demikian, aku masih tetap meletakkan kekagumanku yang tertinggi kepadamu Pinten, justru karena kau seorang gadis yang seharusnya baru menginjak masa yang paling menarik, masa bersolek dan mengagumi diri sendiri”

“Ah” desis Pinten.

“Aku berkata sebenarnya, lepas dari persoalan yang sama-sama kita hadapi dengan penuh kecurigaan”

“Paman berusaha mendorong aku keluar dari istana ini dan tinggal di tempat yang jauh untuk sekedar bersolek dan memamerkan kecantikan, begitu?”

“Tidak, tidak, kau jangan salah mengerti Pinten, aku justru mengagumimu, lebih dari anak-anak muda, jika kau kelak telah menyelesaikan tugasmu disini, maka kau adalah gadis yang memiliki segala-galanya”

Pinten menundukkan kepalanya, bagaimanapun juga, perasaan kegadisannya tersentuh oleh kata-kata Ki Mina, namun ia tidak menjawab.

“Kelak….” berkata Ki Mina, “Pada suatu masa, kau akan mengalami perubahan seperti yang biasa dialami oleh setiap gadis, bahkan setiap orang, sudah tentu kau akan melakukan pilihan terhadap anak-anak muda yang datang kepadamu, adalah suatu kelebihan pula, jika suatu saat nanti kau memberikan pilihanmu kepada orang yang mengerti tentang dirimu dan dapat menghargai apa yang pernah kau lakukan disini”

“Ah” sekali lagi Pinten berdesah, “Apakah maksud paman sebenarnya?, di dalam pergolakan yang semakin memuncak ini, sudah tentu kita tidak akan dapat mengatakan sesuatu tentang hal itu”

Ki Mina tersenyum, katanya, “Kau benar Pinten, kita masih dicengkam oleh perasaan saling mencurigai, tetapi aku sebagai orang tua, kadang-kadang melihat sesuatu yang sangat wajar dalam kehidupan. Sekali-sekali aku ingin melupakan ketegangan yang mencengkam istana ini, sebenarnyalah aku sudah merasa jemu, tetapi sifat kemanusiaan yang sekali-sekali aku lihat sekilas, memberikan kesegaran baru dalam pergaulan yang sangat sempit ini, antara kau dan anak-anak muda yang jumlahnya terbatas”

Pinten memandang Ki Mina dengan tajamnya, dari sela-sela bibirnya terloncat pertanyaan, “Apa maksudmu sebenarnya paman?”

“Sebenarnya aku tidak mempunyai maksud apa-apa Pinten, kecuali kejemuan seorang tua terhadap keadaan di sekelilingnya, tetapi aku menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak akan dapat mencari kebaharuan di luar lingkungan halaman ini, dan ketuaanku, membayangkan apakah kejemuan itu tidak lebih dalam lagi mencengkam hati anak-anak muda apalagi dengan kesadaran yang sama bahwa kita semuanya tidak dapat mencari kelainan suasana di luar halaman istana ini”

Pinten memandang wajah orang tua itu dengan tegangnya, namun sejenak kemudian wajah gadis itu pun tertunduk perlahan-lahan, dengan suara yang datar Pinten berkata, “Paman, aku sedang mencoba bertahan mengatasi kejemuan ini, aku minta paman jangan menggali kegelisahan di hatiku justru dalam saat keadaan menjadi gawat” ia berhenti sejenak, lalu, “Terus terang paman, aku mempunyai dua macam tanggapan, mungkin paman benar-benar disentuh oleh perasaan kebapaan paman melihat kami yang muda-muda di dalam lingkungan yang sangat terbatas ini, tetapi mungkin juga paman sedang mencari kelemahanku dalam perebutan pengaruh di dalam lingkungan sempit ini”

“O” tiba-tiba wajah Ki Mina lah yang menjadi tegang, namun hanya sekilas, karena ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Maaf Pinten, aku tidak menyangka bahwa dengan demikian kau dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak aku harapkan, memang setiap perbuatan kita masing-masing akan dengan mudah menimbulkan kecurigaan, tetapi percayalah kepadaku untuk kali ini, bahwa aku tidak bermaksud buruk, meskipun barangkali yang aku lakukan itu sendiri sangat buruk”

Pinten memandang Ki Mina sejenak, kemudian dipandanginya kedua anak muda yang masih saja sibuk memperbaiki regol.

Diluar sadarnya ia mulai menilai keduanya, yang seorang adalah kakaknya, sedang yang lain adalah anak muda yang memiliki kelebihan dari orang lain, bahkan Pinten tidak dapat menilai, siapakah yang lebih baik di dalam ilmu kanuragan dari keduanya.

Pinten menarik nafas dalam-dalam, keduanya adalah anak-anak muda yang mempunyai kelebihan.

Namun tiba-tiba Pinten memutar tubuhnya dan berjalan meninggakan tempat itu tanpa berkata sepatah katapun lagi. Ketika ia sadar bahwa kedua anak muda itu seseolah-olah-seolah-olah mempunyai tempatnya masing-masing di dalam hatinya, ia justru terkejut dan mencoba untuk mengingkarinya dan pergi menjauhinya.

Ki Mina memandang Pinten yang nampaknya tergesagesa, tetapi ia tidak menjajagi perasaan apakah yang telah tumbuh dihati gadis itu. namun satu kekaguman telah melekat lagi padanya atas gadis yang ternyata tangkas menilai keadaan dan telah mengatakannya dengan jujur kepadanya.

“Seorang gadis yang luar biasa”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 10

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar