JDBK-37


<<kembali | lanjut >>

YA. Katakan kepada orang-orang Karangwaru, bahwa aku, Sura Tunda, telah memperluas daerah pengaruhnya sampai ke Karangwaru. Karena itu, maka mereka tidak perlu takut terhadap gerombolan-gerombolan yang akan mengganggu padukuhan itu. Akulah yang akan menanganinya”

“Baik, Ki Sanak. Baik. Aku akan mengatakan kepada mereka”

“Karena itu pula, maka mereka tidak perlu memesan pedang kepadamu. Pedang itu tidak akan ada gunanya”

“Tentu ada gunanya, Ki Sanak. Jika gerombolan itu tiba-tiba kembali? Bukankah kau tidak setiap hari berada di Karangwaru?”

“Orang-orang Karangwaru tidak boleh bersenjata”

“Tentu sebagian besar pedang itu sudah siap. Apa salahnya jika mereka menyimpan senjata di rumahnya?”

“Mereka akan dapat melawan gerombolanku”

“Apakah mereka berani melakukannya? Berbeda dengan gerombolan yang sekedar lewat. Mereka memang harus dilawan”

“Kau tidak usah membantah, kakek tua. Serahkan pedang-pedang itu kepadaku. Orang-orangku juga membutuhkannya”

“Kalau kau membutuhkan pedang, kau dapat memesan kepadaku dengan harga yang sama dengan orang-orang Karangwaru”

Orang berambut putih itu tertawa. Katanya, “Jangan bergurau, Kek. Waktuku tidak banyak. Serahkan pedang-pedang yang sudah siap itu kepadaku”

“Ki Sura Tunda, orang-orang Karangwaru sudah memberikan uang panjar kepadaku. Jika pedang-pedang ini tidak aku serahkan kepada mereka, maka mereka akan menuntut uang itu kembali”

“Katakan saja bahwa pedang-pedang mereka telah aku ambil”

“Tentu mereka tidak mau tahu. Mereka tentu menuntut kepadaku untuk mengembalikan uang yang telah aku terima. Padahal uang itu telah habis aku belanjakan bahan-bahan pembuatan pedang ini”

Ki Sura Tunda itu tertawa semakin keras. Di sela-sela suara tertawanya ia pun berkata, “Orang tua yang malang. Agaknya nasibmu memang buruk”

“Karena itu, jangan ambil pedang-pedang itu, Ki Sura Tunda. Jika pedang-pedang itu kau ambil aku harus menjual tanah pekaranganku untuk mengembalikan uang panjar itu. Lalu aku dan keluargaku akan berkeliaran tanpa tempat tinggal”

“Uruslah dirimu sendiri, kakek yang malang. Yang penting bagiku, pedang-pedang itu harus berada di tanganku”

Paksi telah menggamit sambil berdesis, “Orang itu akan memaksa mengambil pedang-pedang itu”

“Kasihan pande besi tua itu” sahut Wijang.

“Apakah kita akan ikut campur?”

“Tunggu. Kita akan melihat, apa yang akan terjadi. Kau lihat pande besi yang tua itu tidak nampak ketakutan?”

“Aku lihat. Tentu ada sesuatu di balik sikapnya itu”

Wijang dan Paksi tidak beranjak dari tempatnya. Sementara itu, orang yang menyebut dirinya Sura Tunda itu pun berkata lantang, “Kek, jangan halangi orang-orangku mengambil pedang-pedang yang telah kau buat. Kami memerlukannya. Ada beberapa orang yang menyatakan diri untuk ikut bersama kami. Karena itu, maka aku ambil pedang-pedangmu untuk aku bagikan kepada mereka. Dengan demikian, maka kau sudah membantu menegakkan kuasaku di daerah ini, sehingga untuk seterusnya kau tidak akan terganggu lagi”

“Jangan, Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku sudah menerima uang panjar dari orang-orang Karangwaru”

“Diam” akhirnya kesabaran Sura Tunda itu pun sampai ke batas. Kepada orang-orangnya Sura Tunda itu pun berkata lantang, “Ambil pedang-pedang yang sudah siap itu”

Tetapi pande besi yang tua itu tiba-tiba saja bangkit berdiri sambil berkata, “Sura Tunda, aku katakan sekali lagi jangan ganggu kami. Kami juga sedang mencari uang untuk menghidupi keluarga kami. Jika kau ingin mencari kekayaan, harta benda dan apa saja dengan caramu, lakukanlah. Aku tidak akan mengganggumu. Tetapi kau jangan menggangguku”

Wajah Sura Tunda menjadi merah. Kemarahannya bagaikan meledakkan jantungnya. Namun justru untuk sesaat Sura Tunda berdiri saja dengan mulut yang bergetar. Baru kemudian ia dapat berbicara, “Jadi kau akan melawan?”

“Ya” jawab pande besi yang tua itu.

“Kau sadari, apa yang kau lakukan, kakek tua?”

“Aku sadari sepenuhnya. Daripada aku harus berhadapan dengan orang-orang Karangwaru, maka aku lebih senang berhadapan kau dan orang-orangmu”

“Gila. Apakah kau memang sudah gila, Kek?”

“Tidak. Aku dan kawan-kawanku yang bekerja di sini tidak gila. Jika aku menyerahkan pedang-pedang itu, maka aku benar-benar sudah gila, karena aku harus menjual tanah pekaranganku dan rumahku”

“Kau tahu, bahwa kau akan dapat mati karena pokalmu itu?”

“Kalau aku mati, maka aku tidak perlu lagi berpikir untuk mengembalikan uang panjar yang sudah aku terima dari orang-orang Karangwaru”

“Setan kau, kakek tua” Sura Tunda itu pun menjadi semakin marah. Lalu katanya kepada orang-orangnya, “Tangkap orang tua itu. Aku ingin ia tetap hidup. Biarlah ia mati dibunuh orang-orang Karangwaru jika ia tidak dapat mengembalikan uang panjar yang sudah diterimanya”

Dua orang pengikut Sura Tunda itu pun segera bergerak. Namun orang tua itu pun berkata, “Biarlah aku datang kepada kalian. Jika kalian datang kemari, agaknya akan sangat berbahaya bagi kalian. Jika kalian terperosok ke dalam perapian itu, maka kalian akan menjadi cacat. Bahkan mungkin mati”

Wijang lah yang kemudian menggamit Paksi sambil berbisik, “Kita tidak perlu ikut campur”

“Ya, orang tua itu nampaknya cukup meyakinkan”

Sebenarnyalah, pande besi yang tua itu pun kemudian keluar dari gubuk tempatnya bekerja. Demikian ia berada di depan gubuknya, maka dua orang telah menangkap lengannya.

Namun tiba-tiba saja kedua orang itu telah terlempar. Seorang di antaranya menimpa Sura Tunda itu, sehingga hampir saja Sura Tunda itu jatuh terlentang.

Untunglah tangan Sura Tunda dengan cepat mampu menggapai sebatang pohon pelindung di depan gubuk pande besi itu, sehingga sejenak kemudian, Sura Tunda itu pun telah berdiri tegak.

Darah Sura Tunda itu bagaikan mendidih di seluruh tubuhnya. Hampir berteriak Sura Tunda itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Lakukan, apa yang harus kalian lakukan. Ambil pedang-pedang itu. Siapa yang menghalangi, singkirkan. Yang melawan, dapat kalian habisi saja”

Namun orang-orang yang bekerja di gubuk itu pun segera berloncatan. Ternyata mereka pun dengan sigap melawan para perampok yang ingin mengambil pedang-pedang yang sedang mereka buat.

Sejenak Sura Tunda berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya ia melihat, bahwa para pande besi itu bukan orang kebanyakan. Mereka dengan tangkasnya berloncatan melawan para pengikut Sura Tunda yang akan merampas pedang-pedang yang telah mereka buat dengan susah payah.

Karena itu, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, Sura Tunda  pun segera turun ke arena perkelahian. Sura Tunda itu pun langsung menghadapi pande besi tua, yang agaknya menjadi pemimpin dari kawan-kawannya yang masih muda-muda itu.

“Kakek tua yang tidak tahu diri. Jika kau keras kepala, aku akan membunuhmu”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menjawab, “Bukankah sudah aku katakan, jika aku mati, maka aku tidak perlu lagi memikirkan, bagaimana aku harus mencari uang untuk mengembalikan uang panjar dari orang-orang Karangwaru”

“Kau sudah gila, kakek tua. Tetapi baiklah, aku akan membunuhmu dengan caraku. Cara yang tentu lebih buruk dari cara yang dapat diambil oleh orang-orang Karangwaru”

Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi Sura Tunda. Sejenak kemudian, pertempuran itu berlangsung semakin sengit. Untunglah pasar itu sudah berangsur sepi, sehingga tidak terlalu banyak orang yang harus berlari-lari meninggalkan pasar itu.

Sementara itu, Wijang dan Paksi masih saja berada di tempatnya untuk menyaksikan pertempuran yang semakin seru itu.

Namun akhirnya Sura Tunda harus mengakui kenyataan. Pande besi tua itu ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Sura Tunda sendiri. Sementara itu, kawan-kawannya yang bekerja bersamanya, telah melawan para pengikut Sura Tunda dengan segenap kemampuan mereka. Ternyata bahwa mereka bukannya orang-orang yang tidak berdaya. Sebagian dari mereka memiliki bekal olah kanuragan yang dapat mereka pergunakan untuk melindungi diri mereka.

Dalam pada itu, kemarahan Sura Tunda rasa-rasanya tidak dapat diendapkannya lagi. Dengan garangnya, Sura Tunda itu pun berteriak kepada para pengikutnya, “Panggil semua orang kemari. Kita bakar gubuk dan perapian ini. Kita akan menghancurkan semua peralatannya. Kita bawa semua pedang yang sudah jadi”

Dua orang berlari meninggalkan arena. Di luar gerbang pasar terdengar mereka bersuit nyaring.

Sejenak kemudian, sekelompok pengikut Sura Tunda yang tidak ikut masuk ke dalam pasar, telah berada di dalam pasar itu pula. Dengan geram Sura Tunda itu berteriak, “Hancurkan tempat kerja pande besi itu dan bakar gubuknya”

Wijang dan Paksi menjadi berdebar-debar, meskipun pande besi yang tua itu mampu mengalahkan Sura Tunda, tetapi jumlah pengikut Sura Tunda itu terlalu banyak. Mereka akan dapat benar-benar menghancurkan tempat kerja pande besi itu.

Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Bukankah kita tidak akan tinggal diam dan membiarkan Sura Tunda menghancurkan peralatan pande besi itu?”

“Ya. Marilah kita berbuat sesuatu”

Sebelum para pengikut sura Tunda yang berdatangan semakin banyak itu benar-benar merusak peralatan pande besi serta membakar gubuk itu, maka Wijang dan Paksi telah mendekati lingkaran pertempuran itu.

Dengan lantang Wijang pun berteriak, “Apa yang telah terjadi? Berhentilah, kenapa kalian berkelahi”

Wijang memang tidak mempergunakan suara wajarnya. Pada getar suaranya terasa hentakan-hentakan pada dinding jantung orang-orang yang mendengarnya, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur itu berloncatan surut.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah terhenti. “Apa yang terjadi?” bertanya Wijang pula.

“Kau siapa?” bertanya Sura Tunda.

“Kami orang-orang Karangwaru. Kami datang untuk mengambil sebagian pedang yang kami pesan. Bukankah sudah ada sebagian yang telah jadi?”

“Setan kau, orang-orang Karangwaru” geram Sura Tunda.

“Aku datang untuk mengambil pedang-pedang yang sudah siap”

“Itu pedang pesanan kami” jawab Wijang. “Kami sudah memberikan uang panjar. Tidak ada orang lain yang dapat membeli pedang-pedang itu”

Pande besi yang rambutnya sudah ubanan itu menarik nafas dalam-dalam. Sikap Wijang itu telah mengisyaratkan kepadanya, bahwa kedua orang anak muda itu bukan orang kebanyakan. “Kenapa aku tidak dapat mengenalinya ketika ia berbicara tentang pedang?” bertanya pande besi tua itu di dalam hatinya.

Namun Sura Tunda itu pun berteriak, “Jangan menghalangi kami. Aku tidak peduli, apakah kalian sudah memberikan uang panjar atau belum. Tetapi aku memerlukan pedang-pedang itu”

“Gila kau, Sura Tunda. Kami, orang-orang Karangwaru memerlukan pedang-pedang itu untuk melawan para perampok”

“Kami akan menghancurkan setiap gerombolan perampok yang mengganggu daerah kuasa kami”

“Persetan dengan daerah kuasamu. Kami, orang-orang Karangwaru akan melawan kau dan para pengikutmu pula. Pedang-pedang itu akan sangat berarti bagi kami”

“Setan, kau. Sekarang kau hanya berdua di sini. Kau mau apa, he?”

“Para pande besi itu nampaknya berusaha mempertahankan pedang-pedang yang sudah kami pesan. Tentu kami akan berpihak kepada mereka”

“Selagi masih ada kesempatan, pergilah. Jangan mengharapkan pedang itu lagi. Pedang itu kami perlukan untuk melindungi daerah kuasa kami, termasuk Karangwaru. Karena itu, orang-orang Karangwaru tidak memerlukan pedang lagi”

“Kami memerlukan pedang itu. Justru untuk melawanmu dan para pengikutmu”

Kemarahan Sura Tunda tidak dapat dibendung lagi. Karena itu, maka ia pun berteriak nyaring, “Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Jangan ragu-ragu. Yang keras kepala, akan dibinasakan”

Wijang dan Paksi pun segera bergeser saling menjauh. Sementara itu, pande besi yang tua serta kawan-kawannya telah bersiap pula untuk bertempur lagi. Meskipun mereka belum tahu tingkat kemampuan kedua orang anak muda yang mengaku orang-orang Karangwaru itu, serta mereka menyadari bahwa lawan terlalu banyak, namun pande besi itu tidak mau menyerahkan hasil kerja mereka kepada Sura Tunda dan para Pengikutnya.

Sejenak kemudian, pertempuran pun telah menyala kembali. Jumlah pengikut Sura Tunda sudah menjadi lebih banyak. Tetapi dua orang anak muda yang asing, telah berpihak kepada pande besi itu.

Pande besi yang tua itu masih bertempur melawan Sura Tunda. Namun Sura Tunda tidak lagi sendiri. Seorang pengikutnya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah bergabung bersamanya, sehingga pande besi tua itu harus bertempur melawan dua orang lawan.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah melibatkan diri pula. Ternyata keduanya telah mengacaukan para pengikut Sura Tunda. Orang-orang yang bertempur melawan keduanya, segera terpelanting dan terlempar dari arena. Sebagian dari mereka masih mampu melenting bangkit berdiri untuk meneruskan pertempuran. Tetapi ada di antara mereka yang menyeringai menahan sakit.

Paksi yang membawa tongkat, seakan-akan telah berubah menjadi hantu yang menakutkan. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Sentuhan-sentuhan tongkatnya, rasa-rasanya telah meretakkan tulang.

Para pengikut Sura Tunda itu pun telah mempergunakan senjata mereka pula. Ada yang mempergunakan pedang, ada yang membawa bindi dan ada yang membawa kapak.

Sementara itu Wijang pun telah menarik sepasang pisau belatinya pula untuk melawan senjata-senjata para pengikut Sura Tunda.

Namun Wijang dan Paksi memang sengaja tidak ingin membunuh. Tetapi dalam pertempuran yang semakin sengit, keduanya sulit untuk menjaga agar senjata mereka tidak melukai lawannya.

Sekali-sekali ujung pisau belati Wijang juga menyentuh dan menggores tubuh lawannya, sehingga darahnya telah menitik.

Sementara itu, tongkat Paksi telah membuat beberapa orang kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pertempuran. Bahkan ada di antara mereka yang tulang lengannya benar-benar menjadi retak. Seorang yang lain, pergelangan tangannya tidak lagi dapat digerakkan. Sedangkan seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan jatuh tersungkur karena tongkat Paksi menyambar pahanya sehingga tulang pahanya menjadi retak.

Beberapa orang pande besi itu sempat melihat sekilas kedua orang anak muda yang sedang bertempur dengan garangnya itu. Mereka menyadari, bahwa keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Bahkan pande besi yang tua itu pun berkata kepada dirinya sendiri, “Alangkah bodohnya aku memperlakukan kedua anak muda itu sebagai anak-anak muda yang dungu. Ternyata mereka adalah anak-anak yang berilmu tinggi sekali”

Pande besi yang tua itu masih bertempur melawan Sura Tunda. Ternyata Sura Tunda masih saja mengalami kesulitan meskipun seorang pengikutnya membantunya.

Semakin lama, kawan-kawan Sura Tunda  pun menjadi semakin menyusut. Beberapa orang yang berusaha untuk menghentikan perlawanan Wijang dan Paksi yang mengaku orang-orang Karangwaru itu sudah tidak berdaya. Yang masih mampu bertempur sudah menjadi putus asa. Mereka seakan-akan hanya tinggal mengepung Wijang dan Paksi dalam sebuah lingkaran yang semakin longgar.

Para pande besi yang mempertahankan pedang yang telah mereka buat dengan susah payah itu pun semakin mendesak lawan-lawan mereka pula, karena sebagian dari para pengikut Sura Tunda sudah tidak berdaya dan yang lain dalam kelompok menghadapi Wijang dan Paksi.

Dalam pada itu, Sura Tunda sendiri menjadi semakin sulit. Ketika orang-orangnya menjadi semakin menyusut, maka seorang pande besi yang masih muda telah mengambil lagi pasangan Sura Tunda, sehingga dengan demikian Sura Tunda harus bertempur lagi seorang melawan seorang dengan pande besi yang tua itu. Dalam pada itu, Sura Tunda sudah tidak mempunyai harapan lagi. Para pengikutnya  pun tidak mungkin lagi dapat mengalahkan para pande besi yang bertempur bersama-sama dengan kedua orang Karangwaru itu.

Karena itu, maka Sura Tunda itu tidak mempunyai pilihan lain. Ketika keadaannya menjadi semakin rumit, maka ia  pun segera bersuit nyaring.

Dalam waktu yang singkat, maka pertempuran itu pun segera menjadi kacau. Orang-orang Sura Tunda yang masih mungkin melarikan diri telah dengan sengaja membuat pertempuran itu menjadi tidak menentu. Mereka berlarian silang-menyilang untuk memberikan peluang kepada Sura Tunda untuk menghilang.

Baru kemudian mereka berusaha untuk melarikan diri, meninggalkan arena pertempuran, sambil membantu kawan-kawan mereka yang kesakitan dan luka.

Pande besi yang tua itu pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk tidak mengejar mereka. Ia pun telah melepaskan Sura Tunda pula.

“Orang-orang itu akan menjadi sangat berbahaya, Kek” berkata salah seorang pande besi yang masih muda.

“Kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan berbicara dengan orang-orang Karangwaru, para bebahu padukuhan ini serta orang-orang yang ditugaskan di pasar ini”

“Tetapi kedua orang anak muda itu bukan benar-benar orang Karangwaru. Mereka telah membantu kita serta menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang kita hadapi”

Pande besi yang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Selangkah demi selangkah orang itu mendekati Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-mangu. “Terima kasih, anak muda. Kalian telah membantu menyelamatkan kami”

“Bukan apa-apa, Kek. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu?”

“Aku minta maaf atas kebodohanku, anak muda”

“Maksud Kakek?”

“Aku tidak dapat melihat kemampuan kalian berdua sejak awal. Kalian tentu menertawakan aku ketika aku mencoba menggurui Angger”

“Tidak, Kek. Tidak. Nasehat Kakek itu sangat berarti. Adalah kebetulan bahwa kami berdua yang mendengarkan kali ini. Tetapi nasehat Kakek itu akan sangat berarti pula bagi orang lain”

Orang itu menarik nafas panjang. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya, maka dilihatnya pasar itu sudah sepi. Satu dua orang yang berdatangan kembali setelah suasana menjadi tenang, masih berdiri termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian segera mengemasi barang-barang mereka yang tersisa.

“Jangan takut untuk datang lagi ke pasar ini” berkata pande besi yang tua itu kepada mereka. “Pasar ini tidak boleh mati” Lalu suaranya menurun seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Di sini aku mencari nafkah. Jika pasar ini mati, maka lapangan kerja kami juga akan mati”

“Tidak, Kek” sahut Paksi. “Kakek sudah mempunyai beberapa orang langganan. Seandainya, hanya seandainya pasar ini mati, namun jika Kakek masih bekerja di sini, akan berdatangan orang-orang yang sudah terbiasa berhubungan dengan Kakek. Bahkan orang-orang baru  pun akan berdatangan karena mereka membutuhkan alat-alat pertanian serta alat-alat kerja yang lain. Parang, kapak, dan ternyata Kakek juga membuat senjata. Sepanjang senjata itu berada di tangan yang benar untuk kepentingan yang benar seperti orang-orang Karangwaru, maka Kakek tidak perlu merasa bersalah”

“Ya, Ngger” kakek itu mengangguk-angguk.

“Nah, silahkan Kakek melanjutkan kerja kakek. Aku kira Sura Tunda akan berpikir ulang, jika ia ingin datang kemari”

“Kami akan menyelesaikan kerja kami untuk hari ini, anak-anak muda. Kami akan pergi ke Karangwaru untuk menyerahkan pesanan mereka yang sudah siap. Jika pedang-pedang itu jatuh ke tangan orang lain, maka aku harus mengganti uang panjar itu”

“Jadi, Kakek akan pergi ke Karangwaru?”

“Ya, Ngger”

Paksi itu pun kemudian berpaling kepada Wijang sambil berdesis, “Apakah kita juga akan pergi ke Karangwaru? Kita akan dapat mendengar sedikit keterangan tentang perampok itu”

Wijang mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan pergi bersama mereka ke Karangwaru”

“Kalian berdua juga akan pergi ke Karangwaru?” bertanya kakek tua itu.

“Ya, Kek” jawab Wijang. “Kami ingin mendapat sedikit keterangan tentang para perampok yang telah mengganggu ketenangan orang-orang Karangwaru”

“Baik, anak-anak muda. Tetapi silahkan menunggu sebentar. Kami akan membenahi peralatan kami”

Wijang dan Paksi pun kemudian duduk di atas amben panjang di depan gubuk itu. Sementara itu, beberapa orang yang telah mengemasi barang-barang dagangan mereka, maka mereka  pun telah meninggalkan pasar itu pula.

Sambil membenahi alat-alatnya pande besi yang tua itu pun berkata, “Aku juga harus berbicara dengan Ki Bekel di padukuhan ini, anak muda. Pasar ini merupakan penghasilan yang baik bagi padukuhan ini, sehingga jika pasar ini mati, maka padukuhan ini akan kehilangan sumber yang terhitung deras.

Karena itu, Ki Bekel harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi gerombolan-gerombolan seperti gerombolan Sura Tunda yang merasa dirinya berkuasa di daerah ini”

“Bukankah Kakek dan Ki Bekel dapat bekerja sama dengan orang-orang Karangwaru yang telah terlanjur mempersiapkan diri?”

“Ya. Itu adalah rencana yang sangat menarik. Orang-orang Karangwaru bukan sekelompok orang penakut. Tetapi perampok yang pernah datang ke Karangwaru itu dipimpin oleh seorang yang berilmu sangat tinggi. Orang-orang Karangwaru yakin, bahwa sebenarnya mereka bukan sekelompok perampok. Hanya karena keadaan yang memaksa, maka mereka telah merampok rumah seorang saudagar kaya di Karangwaru. Pemimpinnya telah memperlihatkan kelebihannya, dan bahkan tidak masuk akal bagi orang-orang Karangwaru”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Bagi keduanya, keterangan itu sudah mengarah. Sekelompok orang yang merampok di Karangwaru itu tentu Ki Gede Lenglengan dan beberapa orang yang mengikutinya.

Dengan demikian, maka mereka menjadi semakin yakin, bahwa arah yang mereka tempuh adalah arah yang benar. Demikianlah, setelah para pande besi itu selesai mengemasi alat-alatnya, maka mereka pun meninggalkan gubuk mereka sambil membawa pedang yang telah siap untuk mereka serahkan kepada orang-orang Karangwaru.

Karangwaru terletak tidak terlalu jauh dari pasar. Bahkan Karangwaru adalah sebuah padukuhan yang terletak di kademangan yang sama.

Ternyata Ki Bekel di Karangwaru adalah seorang yang ramah. Beberapa orang pande besi yang membawa pedang itu diterimanya dengan baik.

Demikian pula Wijang dan Paksi yang datang bersama dengan mereka.

“Baru sebagian, Ki Bekel” berkata pande besi tua itu.

“Terima kasih” jawab Ki Bekel. “Aku baru merencanakan untuk melihat seberapa jauh pesanan kami sudah dikerjakan bersama Ki Jagabaya. Sebenarnya pagi tadi kami akan pergi ke pasar. Tetapi kami harus menunggui perbaikan bendungan, sehingga kami menunda rencana kami itu”

“Adalah kebetulan bahwa Ki Bekel tidak pergi ke pasar pagi tadi” desis pande besi itu.

“Kenapa?”

Pande besi itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di pasar. Sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang yang menyebut dirinya Sura Tunda telah datang ke tempat kerja pande besi itu.

“Untunglah ada kedua anak muda ini, sehingga kami dapat mengatasi gerombolan yang jumlahnya cukup banyak itu”

Ki Bekel mendengarkannya dengan sungguh-sungguh, kemudian dengan nada ragu ia pun bertanya, “Apakah ciri-ciri pimpinan segerombolan perampok itu seperti yang pernah aku katakan datang merampok di padukuhan ini?”

“Tidak, Ki Bekel. Sama sekali berbeda. Bahkan Sura Tunda telah menyatakan diri untuk menjadi pelindung di daerah ini, termasuk Padukuhan Karangwaru”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian Sura Tunda itu akan dapat dengan leluasa memeras daerah yang disebutnya dilindunginya itu”

“Ya. Karena itu, maka Karangwaru tidak memerlukan lagi pedang-pedang ini, sehingga pedang-pedang ini akan diambil oleh Sura Tunda”

“Jadi Sura Tunda itu bukan orang yang ilmunya tidak dapat dimengerti itu?”

“Tidak, Ki Bekel. Ternyata bahwa kami mampu melawannya. Meskipun agaknya tanpa kedua orang anak muda itu kami mengalami kesulitan, karena jumlah mereka terlalu banyak”

“Baiklah. Terima kasih atas kesediaan kiai mempertahankan pedang-pedang kami dan bahkan mengantarkannya kemari”

“Mungkin kalian memerlukannya. Jika Sura Tunda itu datang kemari, maka sebagian dari laki-laki di Karangwaru sudah memiliki senjata yang memadai. Sedangkan sebagian yang lain akan segera kami selesaikan”

“Terima kasih”

“Namun aku ingin minta kepada Ki Bekel, agar kita dapat bekerja bersama menghadapi Sura Tunda dan para pengikutnya”

“Tentu. Kita saling membutuhkan. Apalagi kedua orang anak muda itu. Mudah-mudahan kita akan dapat melawan Sura Tunda dan para pengikutnya. Namun kami, orang-orang Karangwaru harus berhati-hati menghadapi sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang berilmu sangat tinggi itu. Jumlah mereka tidak banyak. Tetapi nampaknya mereka tidak akan terlawan”

“Aku kira mereka tidak akan datang lagi ke padukuhan ini, Ki Bekel” berkata Wijang menyela.

Ki Bekel itu mengerutkan dahinya. Pande besi yang tua itu, serta kawan-kawannya pun merasa tertarik kepada keterangan Wijang itu.

“Kenapa orang-orang itu tidak akan datang lagi?” bertanya Ki Bekel.

“Mereka hanya lewat. Pada dasarnya mereka memang bukan perampok” jawab Wijang.

“Dari mana kau tahu?” bertanya Ki Bekel.

Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku juga berkepentingan dengan mereka”

Ki Bekel memandang Wijang dan Paksi berganti-ganti. Sementara itu pande besi yang tua itu pun berkata, “Jadi kehadiran kalian di sini ada hubungannya dengan perampok yang berilmu tinggi itu?”

“Aku hanya sekedar mengikuti arah perjalanannya”

“Tentu bukannya tanpa maksud”

Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Kami akan segera meneruskan perjalanan kami mengikuti arah perjalanan orang-orang yang kalian sebut perampok itu”

Tetapi Ki Bekel masih bertanya, “Jika mereka sebenarnya bukan perampok, siapakah mereka itu?”

“Mereka pada dasarnya memang bukan perampok. Mereka justru lebih berbahaya dari sekelompok perampok. Orang itu jauh lebih berbahaya dari Sura Tunda”

Ki Bekel dan pande besi yang tua itu mengangguk-angguk. Sementara Wijang pun berkata, “Sebaiknya kami minta diri. Kami akan melanjutkan perjalanan kami”

“Kenapa kalian tidak bermalam barang semalam di sini? Besok pagi-pagi kalian dapat melanjutkan perjalanan. Seandainya kalian berangkat juga sekarang, maka beberapa saat lagi langit  pun akan menjadi suram. Senja akan segera turun”

“Terima kasih, Ki Bekel. Mudah-mudahan di perjalanan pulang kelak kami dapat singgah. Jika sebentar lagi malam turun, kami tidak harus segera berhenti. Sebagai pengembara kami dapat saja berjalan siang atau malam”

Pande besi yang tua itu juga tidak dapat mencegah kedua anak muda itu untuk bermalam. Wijang dan Paksi berniat untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanannya, maka keduanya pun telah minta diri.

“Sura Tunda bukan orang yang menakutkan” berkata Wijang. “Jika Ki Bekel berhasil menggerakkan semua laki-laki di padukuhan ini maka Sura Tunda tidak akan berani berbuat apa-apa di sini. Apalagi jika Ki Bekel berhubungan dengan para bekel di padukuhan yang lain serta berbicara dengan Ki Demang.

Kakek pande besi itu tentu bersedia bekerja sama dengan padukuhan-padukuhan di kademangan ini”

“Tentu, Ngger” sahut pande besi itu. “Dengan bekerja sama kami akan menjadi semakin kuat”

“Ki Bekel” berkata Wijang kemudian, “kami mohon diri. Mudah-mudahan padukuhan ini untuk selanjutnya tidak akan diganggu oleh siapapun. Kek, dan saudara-saudaraku pande besi yang lain, kami minta diri”

Demikianlah Wijang dan Paksi pun meninggalkan padukuhan itu. Namun dengan demikian mereka yakin, bahwa mereka telah menempuh jalan yang benar. Mereka berada di jalan yang telah dilalui oleh Ki Gede Lenglengan, menuju ke sisi selatan kaki Gunung Merapi.

Ketika kemudian malam turun, maka keduanya berada di sebuah padukuhan kecil. Meskipun padukuhan itu kecil, tetapi lingkungannya nampak sangat subur. Air melimpah di mana-mana.

Parit-parit nampaknya tetap mengalir di segala musim. Meskipun demikian, nampaknya kehidupan di padukuhan itu tetap saja sederhana. Orang-orang padukuhan itu memanfaatkan kesuburan tanahnya secukupnya saja.

Tetapi seperti kebanyakan orang-orang di padukuhan yang pernah dilewatinya, maka penghuni padukuhan itu agaknya juga orang-orang yang ramah. Wijang dan Paksi telah mendapat kesempatan untuk bermalam di banjar. Bahkan penunggu banjar itu telah menyuguhi mereka ketela rebus yang masih hangat menjelang tengah malam.

“Kami telah merepotkan Paman dan Bibi” berkata Wijang.

“Tidak apa-apa. Ketela itu adalah ketela yang kami tanam di kebun belakang banjar ini. Ternyata ketela itu berarti juga sebagaimana dapat kami suguhkan bagi kalian malam ini”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih”

Penunggu banjar itu tersenyum. Ditinggalkannya Wijang dan Paksi yang duduk di serambi banjar.

“Silahkan tidur di amben bambu itu, Ki Sanak. Maaf, hanya seperti inilah yang dapat kami sediakan bagi kalian”

“Sudah lebih dari cukup, Paman. Terima kasih atas semuanya ini”

“Besok pagi, jika kalian ingin pergi pagi-pagi sekali, tinggalkan saja mangkuk itu di situ. Kalian dapat mandi di pakiwan. Jika aku belum bangun esok pagi, kami mengucapkan selamat jalan.

Tetapi jika kalian tidak tergesa-gesa, kalian dapat menunggu aku bangun. Maaf, kadang-kadang aku memang terlambat bangun. Apalagi jika sampai tengah malam aku belum tidur. Mungkin karena aku tidak mempunyai banyak kerja di pagi hari”

“Baik, Paman. Kami tidak ingin terlalu banyak mengganggu. Jika Paman esok belum bangun, kami mohon diri”

Penunggu banjar itu pun kemudian meninggalkan Wijang dan Paksi di serambi gandok itu. Tetapi rumah penunggu banjar itu hanya beradu dinding halaman saja dengan halaman banjar itu. Pada dinding itu terdapat sebuah pintu butulan.

“Meskipun hidupnya sederhana saja, tetapi orang itu agaknya terbiasa membantu orang lain yang memerlukannya” berkata Wijang sambil berbaring.

“Ya. Ia orang baik” desis Paksi yang masih duduk di bibir amben.

“Aku hanya akan tidur sebentar. Nanti, jika kau mengantuk, bangunkan aku. Ganti kau yang tidur” berkata Wijang sambil memejamkan matanya.

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bersandar dinding sambil menyilangkan kakinya di amben bambu, di sebelah Wijang.

Sejenak kemudian, Wijang pun telah tertidur nyenyak. Di dini hari, Wijang itu pun terbangun dengan sendirinya sebelum Paksi membangunkannya. Wijang lah yang kemudian duduk bersandar dinding. Sementara Paksi berbaring untuk dapat tidur barang sekejap.

Pagi-pagi sekali keduanya sudah berbenah diri. Kemudian bersiap untuk berangkat.

“Bukankah kita tidak perlu membangunkan penunggu banjar ini untuk minta diri?” bertanya Paksi.

Wijang menggeleng.

Sebelum matahari terbit, maka kedua orang anak muda itu telah meninggalkan banjar. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan yang masih sepi. Namun satu dua sudah ada orang yang terbangun dan menyapu halaman rumah mereka dengan sapu lidi.

Ketika kemudian matahari terbit, Wijang dan Paksi sudah berada di tengah-tengah bulak panjang. Di hadapan mereka, di seberang tanah persawahan yang subur, terdapat sebuah padang perdu. Di seberang padang perdu terdapat hutan di lereng gunung yang lebat.

Sementara itu, penunggu banjar itu pun telah terbangun. Ketika ia menggeliat, ia pun teringat bahwa ada dua orang yang bermalam di banjar.

“Nyi” penunggu banjar itu dengan serta-merta bangkit dan mencari istrinya. “Ada apa, Kang?”

“Kau sudah merebus air?”

“Sudah, Kang. Ada apa?”

“Kau sudah memberi minum kedua orang yang bermalam di banjar?”

“O, belum. Aku lupa bahwa ada orang yang bermalam di banjar”

“Tolong. Buatkan mereka minuman. Apa saja. Aku akan menengoknya”

Penunggu banjar itu pun dengan tergesa-gesa lewat pintu butulan melihat dua orang anak muda yang bermalam di banjar. Tetapi keduanya sudah tidak ditemuinya. Yang masih terdapat di serambi gandok itu tinggal sebuah mangkuk yang masih berisi ketela rebus yang tinggal sepotong.

“Anak-anak itu sudah pergi” desis penunggu banjar itu.

“Kasihan. Mereka belum sempat minum minuman hangat. Apalagi makan apa saja. Ketela atau pisang rebus”

Sambil mengambil mangkuk dengan sepotong ketela rebus yang tersisa, orang itu masih saja bergumam, “Padahal mereka akan menempuh perjalanan di daerah yang jauh dari padukuhan. Mereka akan menempuh perjalanan melewati padang perdu yang panjang. Kemudian menyusuri jalan di pinggir hutan yang lebat. Mereka tidak akan bertemu dengan makanan sampai mereka melintasi hutan itu. Mungkin baru sore nanti mereka sampai ke lingkungan yang berpenghuni”

Namun tiba-tiba saja mata orang itu terbelalak. Ketika ia memungut mangkuknya, dilihatnya di bawah sepotong ketela rebus itu beberapa keping uang.

“Uang. Ini benar-benar uang” katanya kepada diri sendiri. Dengan gemetar ia meraba uang itu. Katanya, “Bagaimana mungkin di mangkuk ini ada uang. Apakah kedua orang pengembara itu yang meletakkannya? Jika demikian, mereka tentu orang yang mempunyai banyak sekali uang. Dengan uang ini aku akan dapat membeli dua ekor kambing. Jika mataku tidak rabun, uang yang ada di mangkuk itu adalah keping-keping uang perak”

Ketika ia mengatakan kepada istrinya, maka istrinya  pun menjadi gemetar. Katanya, “Apakah itu benar-benar uang, Kakang. Aku belum pernah melihat keping-keping uang perak”

“Uang. Ini uang. Kita pernah mempunyai sekeping uang perak di antara beberapa keping uang tembaga ketika kita menjual kambing kita untuk membiayai pengobatan anak kita. Waktu itu kita memerlukan uang untuk membayar tabib yang baik dan membeli reramuan obat-obatan, sehingga kita harus menjual kambing kita meskipun ditangisi oleh anak kita. Tetapi kita ingin anak itu sembuh”

“Sekarang kita dapat membeli kambing lagi, Kakang”

“Ya. Besok hari pasaran aku akan pergi ke pasar”

“Yang Maha Pencipta itu agaknya selalu memelihara ciptaanNya. Anak kita akan menjadi sangat bergembira jika ia dapat menggembalakan kambing lagi bersama teman-temannya”

“Aku akan membeli dua ekor kambing muda. Jantan dan betina. Sisanya dapat untuk membeli kain panjang buatmu, Nyi”

“Aku dapat memakai kain panjang apa saja. Kau yang membutuhkannya, Kakang. Jika ada tamu di banjar, kau memerlukan pakaian yang lebih pantas”

“Kita akan membeli kain panjang dua lembar, ya Nyi”

“Terserah kepada Kakang. Tetapi apakah uang itu memang untuk kita?”

“Jika tidak untuk kita, uang itu tentu tidak akan diletakkan di dalam mangkuk itu”

“Jika mereka hanya sekedar meletakkan selama mereka tidur, tetapi mereka lupa untuk memungutnya kembali?”

“Kita akan menunggu sampai hari pasaran. Jika benar mereka sekedar lupa, maka mereka akan segera kembali. Tetapi jika sampai pada hari pasaran mereka tidak kembali, berarti mereka tidak sekedar lupa”

“Jika mereka kembali?”

“Kita harus mengembalikannya, Nyi. Utuh seperti saat kita temukan”

Perempuan itu mengangguk-angguk.

“Sekarang, biarlah aku simpan uang itu bersama mangkuk dan ketela yang sepotong itu. Jika mereka memang kelupaan dan kembali lagi, kita berikan mangkuk itu sebagaimana saat aku mengambilnya”

Penunggu banjar itu pun kemudian menyimpan uang di dalam mangkuk bersama sepotong ketela rebus itu di dalam geledeg di ruang dalam rumahnya yang tidak begitu besar. Anaknya tidak pernah membuka geledeg itu, sehingga ia tidak akan melihat bahwa di geledeg itu ada uangnya.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi yang sudah berada di bulak panjang berjalan semakin jauh dari padukuhan kecil itu. Sambil menengadahkan wajahnya Wijang pun berdesis, “Penunggu banjar itu agaknya sudah bangun sekarang”

“Ia akan terkejut melihat uang di mangkuk itu”

“Mudah-mudahan uang itu tidak diketemukan oleh orang lain”

“Kelak jika ada kesempatan kita singgah lagi. Mungkin orang itu masih ingat kepada kita”

“Tetapi nampaknya kita memerlukan waktu yang panjang bagi pengembaraan itu”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya kita memerlukan waktu yang panjang”

Untuk sesaat keduanya pun saling berdiam diri. Mereka melangkah di jalan yang semakin lama semakin sempit dan agaknya semakin jarang dilewati orang. Jalan itu pun kemudian berbelok memasuki padang perdu yang miring. Di seberang padang perdu itu, nampak hutan di kaki gunung yang lebat.

“Kita sudah memasuki sisi selatan kaki Gunung Merapi, Paksi” berkata Wijang kemudian. “Sekarang kita akan pergi ke mana?”

“Marilah kita cari gubuk yang pernah kita tinggalkan itu”

Wijang mengerutkan dahinya. Katanya, “Mungkin kita masih menemukan bekasnya”

Perjalanan mereka pun menjadi semakin sulit. Mereka mulai berjalan di tanah yang berlekuk. Kadang-kadang mereka harus mendaki. Namun kadang-kadang mereka harus menuruni tebing, menyusuri sungai-sungai kecil yang berbatu-batu besar. Hutan di sebelah adalah hutan yang lebat, yang tentu dihuni oleh beberapa jenis binatang buas.

“Kita akan pergi ke sebelah gumuk itu” berkata Paksi sambil menunjuk puncak sebuah gumuk yang tidak begitu besar di kaki Gunung Merapi itu.

Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu, matahari pun mulai turun di sisi barat.

“Kita tidak akan menemui padukuhan lagi di jalur perjalanan kita” berkata Wijang.

“Ya”

“Kita harus menemukan sesuatu”

“Kau mulai lapar?” Wijang tersenyum.

“Tentu ada sesuatu yang kita dapatkan di gumuk kecil itu” berkata Paksi.

Keduanya pun kemudian berjalan melingkari gumuk kecil. Seperti yang dikatakan oleh Paksi, maka mereka pun menjumpai bukan sekedar beberapa batang pohon pisang, tetapi beberapa rumpun. Beberapa batang di antaranya berbuah. Dan beberapa tandan di antaranya sudah masak. Bahkan nampaknya tidak seorang  pun yang pernah mengambil buahnya, sehingga nampaknya beberapa tandan telah membusuk dan jatuh di tanah.

“Kau salah jika kau menganggap bahwa buah pisang itu utuh” berkata Wijang.

Paksi mengangguk-angguk. Sebagian dari buah pisang itu nampaknya sudah dimakan burung. Tetapi agaknya di sekitar gumuk itu terdapat banyak sekali pohon pisang, sehingga masih banyak juga pisang yang tidak tersentuh oleh paruh burung.

Wijang dan Paksi kemudian duduk beristirahat di atas sebuah batu yang besar. Mereka tidak menghadapi minuman hangat dan nasi yang masih mengepul seperti di kedai-kedai. Tetapi di depan mereka terdapat setandan pisang.

Tetapi keduanya hanya memerlukan beberapa buah pisang saja. Keduanya sudah terbiasa menjalani laku mengurangi makan dan minum. Bahkan mereka  pun pernah menjalani laku selama tiga hari tiga malam yang pada setiap hari mereka hanya minum semangkuk air putih dan tiga buah pisang raja.

Setelah makan pisang dan menghirup air di sebuah mata air kecil di pinggir sungai kecil, mereka masih duduk beristirahat sambil memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Mereka memperhatikan puncak Gunung Merapi yang bersih. Jalur-jalur yang agaknya lekuk-lekuk yang dalam, menjulur dari puncaknya.

Wijang pun kemudian berdesis, “Kita tinggal melingkari gumuk ini. Kita akan segera berada di sekitar gubuk yang pernah kita tinggalkan itu”

Paksi mengangguk-angguk. Dipandanginya puncak Gunung Merapi. Hutan lereng gunung, jalur-jalur jurang yang dalam di lambung serta beberapa bukit yang ada di kaki Gunung Merapi itu.

“Ya. Kita sudah tidak jauh lagi”

Wijang itu pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Kita akan meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan kita akan sampai sebelum gelap”

Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Masing-masing membawa beberapa buah pisang untuk bekal di perjalanan mereka yang sudah tidak terlalu panjang lagi.

Sebenarnyalah, setelah mereka melingkari gumuk kecil itu, mereka sampai di tempat yang sudah mereka kenal. Mereka berada di pinggir sebuah sungai. Sebuah gerojogan berada tidak jauh agak di arah udik.

“Air terjun itu” desis Paksi.

“Ya” Wijang mengangguk-angguk, “gubuk itu ada di seberang”

Wajah keduanya menjadi cerah. Rasa-rasanya mereka menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang.

“Ingat, Paksi” berkata Wijang, “di sini banyak ular. Kau harus bersiap-siap sebelum kakimu dipatuk ular yang paling tajam bisanya”

Paksi tersenyum. Ia pun mengangguk sambil berkata, “Aku akan menelan reramuan itu”

Demikianlah maka keduanya pun kemudian menuruni jurang yang agak dalam. Demikian kaki mereka menyentuh air, maka rasa-rasanya seluruh tubuh mereka menjadi segar kembali setelah mereka berjalan di teriknya sinar matahari. Lelah dan panas yang serasa membakar kulit tiba-tiba telah hilang.

“Kita lihat air terjun itu” desis Paksi.

“Apakah kita tidak melihat gubukmu lebih dahulu? Nanti atau besok kita masih mempunyai banyak waktu untuk pergi melihat air terjun itu”

Paksi mengangguk kecil sambil berkata, “Ya. Kita akan melihat gubuk itu dahulu”

Demikian mereka pun telah naik tebing di seberang. Demikian mereka sampai di atas, rasa-rasanya mereka ingin segera meloncat ke gubuk yang pernah mereka tinggalkan.

Untuk sesaat mereka mengamati keadaan di sekitar mereka. Semuanya memang telah berubah. Pohon perdu tumbuh di mana-mana di sela-sela batang ilalang. Namun agaknya lingkungan itu tidak lagi pernah dijamah oleh seseorang.

“Kita akan menemukan kembali rumah kita” desis Paksi.

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Keduanya pun kemudian menyibak batang ilalang dan berjalan ke arah gubuk yang telah mereka tinggalkan.

Gubuk mereka memang tidak begitu jauh lagi. Beberapa saat kemudian, ketika matahari sudah menjadi semakin rendah, Paksi dan Wijang itu telah menemukan sisa-sisa gubuk yang pernah mereka huni.

Tetapi gubuk yang sederhana itu telah rusak. Atapnya sudah diterbangkan angin. Beberapa tiang sudah roboh. Sedangkan dindingnya sudah lapuk.

Paksi dan Wijang berdiri termangu-mangu. Mereka memandangi sisa-sisa gubuk mereka dengan jantung yang bergetar.

“Kita harus mulai dari permulaan” berkata Paksi.

“Apa salahnya?” desis Wijang. “Kau masih mempunyai beberapa alat dapur yang masih utuh”

“Apakah kita masih dapat memakainya? Mangkuk-mangkuk dari tanah itu sudah menjadi kehijau-hijauan oleh lumut yang tebal”

Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita haru membeli lagi yang baru”

“Kita dapat membeli di pasar itu. Aku kira pasar itu masih ada. Atau bahkan menjadi semakin besar”

“Kita tidak tergesa-gesa. Kita dapat membuat perapian dan mengasapi buruan kita”

“Jika kita akan menanak nasi?” Wijang menarik nafas dalam-dalam.

Namun Paksi pun kemudian berkata, “Tetapi hari ini kita belum memerlukannya. Bahkan mungkin kita tidak memerlukannya untuk selanjutnya, karena kita akan segera bergerak”

“Ya. Kita memang akan segera bergerak. Tetapi bukankah ada baiknya jika kita mempunyai sarang tempat untuk hinggap?”

“Aku tidak berkeberatan. Tetapi kita jangan terlena dengan sarang kita saja”

“Paksi, bukankah ketika kita mendekati tempat ini, kita seakan-akan tidak sabar lagi untuk segera sampai? Untuk segera melihat apakah gubuk itu masih ada?”

“Aku memang ingin segera melihat gubuk yang pernah kita huni ini. Tetapi setelah itu, aku merasa terlalu lamban bergerak untuk menemukan adikku. Jika kita tertambat pada gubuk ini, maka kesempatan kita untuk menemukan adikku itu menjadi semakin tipis”

“Aku setuju untuk bergerak lebih cepat, Paksi. Tetapi bukankah kita harus merenungkan, ke mana kita akan pergi. Siapa yang pertama-tama akan kita hubungi dan mencari jawab dari berbagai macam pertanyaan yang lain?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang pun berkata, “Besok kita khususkan waktu kita sehari untuk memperbaiki gubuk ini. Ada sebagian bahannya yang masih dapat dipergunakan”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Sementara itu, langit pun menjadi semakin muram. Senja mulai turun. Sementara itu, Paksi dan Wijang masih mempunyai beberapa buah pisang yang dapat mereka makan.

Malam itu keduanya tidur di atas ketepe yang masih mereka temukan di gubuk itu. Bergantian. Mereka tidak tahu, apakah lingkungan itu masih saja seperti pada saat-saat mereka tinggal di gubuk itu, atau menjadi lebih garang. Karena itu, maka mereka harus lebih berhati-hati.

Wijang lah yang tidur lebih dahulu. Baru kemudian di tengah malam tanpa dibangunkan, Wijang itu pun bangun sendiri.

“Tidurlah” berkata Wijang. “Aku sudah terlalu lama tidur. Kepalaku akan dapat menjadi pening jika aku tidur lebih lama lagi”

Paksi lah yang kemudian berbaring berselimut kain panjangnya. Dinginnya malam serasa menggigit tulang. Kaki Gunung Merapi itu rasa-rasanya telah membeku. Dedaunan, pepohonan dan rerumputan berdiri diam mematung. Tidak ada angin seberapa lembutnya pun.

Sejenak kemudian, Paksi pun terlelap. Ia memang sudah mulai mengantuk pada saat Wijang itu terbangun.

Menjelang fajar Paksi pun telah bangun. Keduanya pun telah pergi ke sungai untuk membersihkan diri.

Ketika langit terang, keduanya telah duduk di depan gubuk mereka yang berserakkan. Dengan nada berat Wijang pun bertanya, “Apakah kau sudah siap untuk memperbaiki gubuk kita?”

Paksi mengangguk sambil berdesis, “Marilah. Aku kira kita tidak memerlukan waktu terlalu lama”

“Ya. Besok kita dapat turun untuk melihat suasana. Kita harus mengenali kembali lingkungan ini sebelum kita bergerak. Menurut jejak pelacakan kita, Ki Gede Lenglengan memang berada di sisi selatan Gunung Merapi. Sedang sepasang suami-istri itu untuk sementara kita anggap saja Repak Rembulung dan Pupus Rembulung, sebelum kita menemukan kemungkinan lain”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu Wijang yang benar-benar bersikap sebagai seorang kakak yang sangat memperhatikan adiknya berkata, “Nah, apakah kita akan mencari makanan lebih dahulu sebelum mulai dengan kerja?”

“Ke mana kita mencari makanan?”

“Di sebelah ada hutan yang memberikan kesempatan kita berburu. Di sungai banyak terdapat ikan. Nah, kita akan dapat mengasapinya. Kita buat api di pinggir sungai itu. Mungkin asapnya akan membubung. Mudah-mudahan tidak ada orang yang memperhatikannya dan apalagi datang untuk menengoknya”

“Nanti saja, Wijang. Sekarang kita mulai dengan kerja. Kita berharap bahwa di rumpun pisang itu kita mendapatkan pisang yang sudah masak”

Wijang mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bangkit berdiri sambil menarik sepasang pisau belatinya. Katanya, “Nah, kau pakai yang satu. Kau siapkan tiangnya. Aku akan mengambil pelepah kelapa itu untuk membuat ketepe. Dinding gubuk ini harus diperbaharui”

Paksi tidak menjawab. Diterimanya pisau belati itu. Namun ketika Wijang melangkah pergi, Paksi pun berkata, “Kau akan memanjat pohon kelapa itu?”

“Ya. Bukankah di pinggir kali kecil itu berderet pohon kelapa yang berdaun lebat? Bukan hanya daunnya, tetapi juga buahnya. Tidak ada yang memetiknya, sehingga berjatuhan dan hanyut ke hilir. Yang tersangkut di tepian akan tumbuh dan berbuah pula”

Paksi tidak bertanya lagi. Tetapi ia mulai memilih potongan-potongan bambu yang masih mungkin dipakai. Yang sudah lapuk telah disingkirkan. Untuk menggantikan bambu yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, maka Paksi pun harus memotong bambu dari rumpun bambu atau batang kayu yang tegak dan lurus, di pinggir hutan.

Sehari itu, keduanya telah bekerja keras untuk membangun kembali gubuk itu. Wijang pun kemudian menyeret beberapa pelepah kelapa untuk membuat ketepe yang dapat dipergunakan untuk dindingnya.

Sementara itu, mereka masih menemukan bekas atap ilalang yang dihanyutkan angin. Mereka pun harus memperbaharuinya pula. Dicarinya ilalang kering untuk melengkapi atap gubuknya.

Seperti yang mereka perhitungkan, maka hari itu juga mereka telah menyelesaikan sebagian besar dari gubuk mereka. Atap  pun telah terpasang. Demikian pula dinding ketepe meskipun lembar-lembar daun kelapanya masih basah. Jika daun itu kering dan menyusut, maka mereka harus merangkapinya dengan yang baru agar menjadi rapat.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Paksi pun berkata, “Kita sudahi kerja kita hari ini. Kita sempat mencari ikan dan mandi di sungai. Malam nanti kita akan mengasapi beberapa ekor ikan yang dapat kita tangkap. Sementara itu, kita dapat memetik buah pisang di rumpun-rumpun pisang di dekat tebing sungai itu”

Wijang mengangguk. Katanya, “Baiklah. Malam nanti kita sudah dapat tidur di dalam sebuah gubuk yang tertutup serta beratap”

Demikianlah, maka keduanya pun pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Mereka sempat lewat di rumpun batang pisang yang lebat. Beberapa tandan pisang yang masak masih bergayut di batangnya. Ada di antaranya yang telah roboh. Tetapi ada pula yang telah dimakan burung.

Ketika malam turun, maka Wijang dan Paksi yang letih telah berbaring di dalam gubuknya. Beberapa ekor ikan yang telah diasapi diletakkan di atas selembar daun pisang. Di sebelahnya, terkumpul duri beberapa ekor ikan yang telah dimakan dagingnya serta kulit pisang kapok kuning.

Sambil berbaring keduanya masih sempat berbincang tentang rencana apa yang segera akan mereka lakukan.

“Paksi” berkata Wijang kemudian, “kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan ini setelah kita beberapa lama meninggalkannya. Mungkin adikmu berada di tangan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Namun kita ketahui, bahwa sebelumnya ada permusuhan antara Repak Rembulung dan Pupus Rembulung serta beberapa perguruan yang lain dengan Harya Wisaka. Jika adikmu merupakan bagian dari anak-anak muda yang dipersiapkan bagi masa datang oleh Harya Wisaka, seharusnya mereka tidak berada di lingkungan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut perhitungan nalar memang demikian. Tetapi mungkin ada perubahan sikap justru setelah Harya Wisaka tertangkap. Kita  pun tidak tahu hubungan antara Ki Gede Lenglengan dengan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung”

“Ya. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Karena itu, apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah berusaha mencari hubungan dengan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung? Mungkin kita dapat pergi ke Panjatan. Atau mungkin ke tempat yang lain. Tetapi kita harus tetap menyadari, bahwa sebenarnyalah di antara perguruan-perguruan itu pun terdapat persaingan. Mereka dahulu terikat dalam satu kerjasama untuk menentang Paman Harya Wisaka. Tetapi sekarang setelah Paman Harya Wisata tertangkap, persoalannya tentu berbeda. Aku tidak yakin, bahwa mereka sudah melupakan cincin kerajaan yang mereka anggap berada di daerah ini. Sepanjang cincin itu masih belum mereka ketemukan, maka mereka tentu masih berusaha mencarinya”

“Tetapi berita bahwa cincin itu sudah berada di istana tentu sudah mereka dengar pula. Pangeran Benawa telah berada di istana pula”

“Tetapi Pangeran Benawa itu sekarang sedang meninggalkan istana, sementara cincin itu masih ada padanya”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Tidak seorang  pun tahu, ke mana perginya Pangeran Benawa sekarang.

Tidak pula ada ceritera tentang daru yang jatuh di daerah ini, sehingga agaknya mereka tidak berkumpul saling bermusuhan di sisi selatan kaki Gunung Merapi”

“Kau benar, Paksi. Meskipun demikian, daerah ini merupakan daerah yang asing bagi kita sekarang”

Paksi mengangguk-angguk.

“Sudahlah” berkata Wijang, “kita beristirahat. Aku akan tidur sampai tengah malam. Kemudian bergantian kau yang tidur”

Paksi mengangguk pula.

Ketika Wijang memejamkan matanya, maka Paksi justru bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Didorongnya pintu gubuknya yang juga terbuat dari ketepe yang dirangkap.

Demikian Paksi berada di luar pintu, maka terasa dingin malam menjadi semakin mencengkam. Langit nampak bersih ditaburi bintang yang jumlahnya tidak terhitung. Hutan lereng gunung nampak hitam pekat. Gumuk-gumuk kecil yang berserakan bagaikan batu-batu raksasa yang tergolek membeku.

Paksi pun duduk di atas sebuah batu yang besar. Batu itu sudah berada di tempat itu sejak ia membual gubuknya pertama kali.

Paksi sempat merenung beberapa lama. Wajah-wajah dari orang-orang terdekat mulai membayang di angan-angannya. Ibunya, adik perempuannya dan yang paling jelas nampak adalah adik laki-lakinya. Wajah itu nampak muram dengan beberapa bercak noda yang melekat.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu semakin lama semakin menghunjam di dadanya. Apakah ia akan dapat menemukan adiknya? Tetapi seandainya ia dapat menemukannya, apakah adiknya mau mendengar kata-katanya, bahkan seandainya ia mengatas-namakan ibunya?

Jantung Paksi terasa berdentang semakin cepat. Ia merasa betapa beratnya hari-hari yang akan dijalaninya dalam hubungannya dengan usahanya mencari dan membawa adiknya pulang dan menyerahkannya kepada ibunya.

Paksi pun menyadari, bahwa di hati adiknya telah tertabur racun. Adiknya tidak lagi menganggapnya sebagai saudaranya. Tetapi justru sebagai musuhnya.

Ketika Paksi kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya sebuah bintang meluncur dengan cepat. Ia sudah sering melihat lintang alian yang meluncur di langit. Bahkan apa yang disebut ndaru dan teluh braja, yang berwarna kehijau-hijauan dan kemerah-merahan.

Paksi itu pun kemudian bangkit berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke samping gubuk kecilnya. Langkahnya terhenti ketika Paksi mendengar aum seekor harimau di pinggir hutan lereng gunung. Suaranya bergaung oleh gema yang seakan-akan sahut-menyahut.

Namun ketika dingin malam terasa semakin menusuk-nusuk kulit, Paksi pun masuk kembali ke dalam gubuknya. Kemudian ditutupnya kembali pintunya rapat-rapat.

Seperti malam sebelumnya, menjelang tengah malam, Wijang telah terbangun. Sambil duduk dan mengusap matanya, Wijang pun berdesis, “Sekarang giliranmu tidur”

Paksi tidak menjawab. Dibaringkannya tubuhnya di atas anyaman ketepe berselimut kain panjangnya.

Wijang lah yang kemudian duduk sambil menyilangkan kakinya. Namun beberapa saat kemudian, setelah Paksi tertidur, Wijang pun bangkit dan melangkah keluar pula dari gubuknya. Tetapi Wijang pun tidak lama berada di luar. Ia merasa lebih hangat berada di dalam gubuknya daripada di luar. Sementara itu kabut  pun mulai turun dari lambung bukit, menyelimuti Gunung Merapi yang seakan-akan kedinginan itu.

Menjelang fajar, Paksi pun telah terbangun. Berdua mereka pergi ke sungai yang tidak terlalu jauh dari gubuk itu. Sementara itu kabut masih tersangkut di kaki bukit, sehingga Wijang dan Paksi harus sangat berhati-hati. Kecuali jalan yang licin, pandangan mata mereka  pun terhalang oleh lapisan kabut yang keputih-putihan itu.

Setelah mereka berbenah diri, maka Wijang pun berkata, “Paksi, sebaiknya kita mengamati keadaan di sekitar tempat ini untuk menentukan sikap kita lebih jauh”

Paksi mengangguk. Katanya, “Ya. Kita akan melihat-lihat. Apakah telah terjadi perubahan di lingkungan ini”

Menjelang matahari terbit, maka keduanya pun telah meninggalkan gubuk mereka. Keduanya belum merencanakan untuk membersihkan lingkungan di sekitar gubuk itu. Mereka masih belum tahu, apakah mereka akan tinggal untuk waktu yang panjang di gubuk itu.

Beberapa saat kemudian, keduanya mulai menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka berjalan di padang perdu yang bagaikan bergelombang. Gerumbul perdu berserakkan di sana-sini. Tidak jauh dari padang perdu itu nampak hutan lereng gunung yang garang. Pohon-pohon raksasa tumbuh saling berdesakan. Namun pohon-pohon perdu  pun tumbuh pula di antaranya, sehingga agaknya sulit untuk menyibak memasuki hutan yang lebat dan liar itu.

Beberapa saat kemudian, Wijang dan Paksi sampai pada sebuah jalan setapak yang sempit di sela-sela lekuk-lekuk tanah di padang perdu itu. Tetapi agaknya jalan itu tidak pernah tersentuh kaki. Mungkin sekali dua kali ada orang yang sedang mencari kayu lewat di jalan setapak itu. Itu pun tentu jarang sekali, karena di hutan itu masih berkeliaran berbagai jenis binatang buas.

Menurut penglihatan Wijang dan Paksi, masih belum terdapat banyak perubahan di sekitar tempat itu. Yang mereka lihat masih yang dahulu juga. Ada sebatang pohon raksasa di dekat sebuah gumuk kecil yang roboh. Agaknya angin pusaran yang kuat telah memutar dan mencabut pohon itu sehingga roboh. Daun-daunnya sudah rontok. Namun beberapa tunas baru justru telah tumbuh di pangkal batang yang roboh itu. Agaknya sebagian akarnya yang masih menghunjam ke bumi, masih juga mampu menghisap makanan dari dalam tanah untuk menghidupi tunas-tunas yang baru itu.

“Nampaknya kita akan sampai ke jalan yang menuju ke pasar, Paksi” berkata Wijang kemudian.

“Ya. Tetapi apakah sebaiknya kita benar-benar pergi ke pasar?”

“Baiklah. Mungkin ada yang dapat kita dengar apa yang terjadi di pasar itu”

Dengan kesepakatan itu maka mereka pun berjalan lebih cepat menuju ke pasar. Ketika mereka semakin mendekati pasar yang sering mereka kunjungi, jantung mereka menjadi berdebar-debar. Dari kejauhan mereka sudah melihat, bahwa masih ada kesibukan di pasar itu.

Namun rasa-rasanya pasar itu menjadi lebih sepi dari beberapa saat yang lewat, ketika mereka masih sering datang ke pasar itu.

Beberapa puluh langkah dari pintu gerbang pasar mereka berhenti. Dengan nada dalam Paksi pun berdesis, “Apakah karena hari ini bukan hari pasaran, maka pasar itu nampak agak sepi?”

“Bukan karena itu, Paksi. Ketika kita sering datang ke pasar ini, merupakan bukan hari pasaran, pasar ini nampak lebih ramai dari hari ini”

Paksi mengangguk-angguk. Sudah cukup lama ia tidak pergi ke pasar itu. Agaknya memang sudah terjadi banyak perubahan.

“Marilah. Kita masuk. Kita sudah berada di pasar. Jika nanti kita kembali ke gubuk, kita dapat membawa beberapa alat yang barangkali kita perlukan. Di pasar itu tentu masih ada orang yang berjualan gerabah. Kita dapat membeli mangkuk, periuk dan barangkali kuali, di samping bumbu dapur, terutama garam” ajak Wijang.

Paksi mengangguk sambil menjawab, “Marilah, kita akan melihat, apakah isi pasar itu masih seperti dahulu”

Keduanya pun kemudian melangkah mendekati pintu gerbang pasar. Beberapa buah kedai masih nampak berdiri di depan pasar. Tetapi pada hari itu hanya ada dua buah kedai yang dibuka.

Sesaat kemudian, maka mereka  pun telah berada di dalam pasar. Masih banyak orang berjualan. Masih banyak pula orang yang berbelanja. Tetapi memang tidak seramai beberapa waktu yang lalu.

Ketika keduanya berjalan untuk melihat-lihat, mereka pun terkejut. Demikian mereka berpaling, mereka melihat penjual dawet itu masih berjualan, meskipun tempatnya agak bergeser.

“Bukankah kalian berdua yang dahulu sering membeli dawetku?” bertanya penjual dawet itu.

Wijang dan Paksi pun melangkah mendekat. Sambil tersenyum Paksi pun menjawab, “Ya, Paman. Kami dahulu sering membeli dawet di sini. Tetapi bukankah dahulu Paman tidak berjualan di sini?”

“Hanya sedikit beringsut, anak muda. Agak lebih jauh dari pintu gerbang. Duduklah. Apakah sekarang kalian juga akan membeli dawet lagi?”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar