ADBM-098


<<kembali | lanjut >>

DALAM PADA ITU, Gandu Demung pun telah bersiap pula menghadapi cambuk Swandaru. Seolah-olah ia ingin melihat setiap wajah yang berada di sekitar arena itu.

“Bagus,” berkata Gandu Demung kepada orang-orang yang berkerumun itu, “aku sadar bahwa aku akan mati. Tetapi sebelumnya kalian akan menyaksikan bagaimana aku mencincang pengantin baru ini sebelum kalian beramai-ramai menguliti tubuhku.”

“Persetan,” geram Swandaru, “jangan mengigau. Bersiaplah.”

Gandu Demung pun segera bersiap. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan. Sehingga karena itulah maka ia harus berhati-hati dan tidak kehilangan akal pula.

Kiai Gringsing yang juga berdiri di lingkaran itu hanya dapat mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agaknya Swandaru sudah tidak dapat dicegah lagi.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah berdoa, agar Swandaru dapat menyelesaikan perang tanding itu dengan selamat.

Sejenak kemudian kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Sekilas, di sela-sela orang-orang yang berdiri melingkarinya, Gandu Demung masih sempat melihat beberapa orang anggauta gerombolannya yang menyerah dan dijaga oleh beberapa orang pengawal.

“Pengecut,” ia menggeram. Dan Gandu Demung benar-benar tidak ingin menyerah.

Sejenak kemudian, terdengar suara cambuk yang meledak. Swandaru nampaknya sudah tidak sabar lagi. Terdengar suaranya yang bergetar, “Cepatlah, supaya kau cepat pula dimasukkan ke dalam kubur.”

Wajah Gandu Demung pun telah membara. Ia bukan orang yang sabar menghadapi celaan. Karena itulah maka ia pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

Dengan tegang Swandaru bergeser selangkah ke samping. Tangannya sudah siap mengayunkan cambuknya yang berjuntai panjang dengan karah besi baja di beberapa tempat.

Namun Swandaru terkejut karena dengan tidak diduga-duga, saat kakinya sedang melangkah untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja Gandu Demung meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan senjatanya.

Swandaru tidak bersiaga menghadapi serangan itu, sehingga dengan demikian, maka yang dapat dilakukannya adalah meloncat menghindar selangkah surut.

Tetapi Gandu Demung mempergunakan setiap saat sebaik-baiknya. Ia tidak menarik serangannya, tetapi mengayunkan senjatanya mendatar mengarah ke lambung Swandaru.

Kaki Swandaru masih terbuka. Karena itu, ia tidak sempat mengelak lagi dengan langkah surut karena berat tubuhnya. Tetapi ia pun tidak sempat menangkis serangan itu dengan cambuknya, sehingga karena itu ia harus cepat menentukan sikap untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya yang akan dapat menyobek lambungnya.

Dalam kesulitan itu, Swandaru tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mau tersayat oleh senjata lawannya, maka ia pun harus melakukannya.

Dengan cepat pula Swandaru menjatuhkan diri. Kemudian berguling melingkar mundur.

Namun lawannya benar-benar ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Jika ia tidak berhasil mempergunakan saat yang baik itu, maka ia akan menjumpai kesulitan di dalam berikutnya. Sehingga dengan demikian, maka Gandu Demung pun segera meloncat memburu. Dengan perhitungan yang cermat ia mengayunkan senjatanya menebas tepat saat Swandaru melenting berdiri.

Semua orang yang berada di seputar arena itu berdiri mematung. Mereka telah dicengkam kecemasan melihat perkelahian itu. Mereka melihat Swandaru berada dalam kedudukan yang lemah, apalagi di dalam saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya menebas Swandaru yang menurut perhitungannya akan melenting berdiri.

Pandan Wangi yang berdiri tegak menjadi pucat. Sepasang senjatanya telah bergetar. Namun ia tidak berani meloncat memasuki arena karena ia sadar, bahwa dengan demikian ia akan melukai hati Swandaru. Demikian pula agaknya Sekar Mirah dan orang-orang lain yang melihat keadaan itu.

Tetapi ternyata bahwa Swandaru yang gemuk dan sedang dibakar oleh kemarahan itu pun sempat membuat perhitungan yang cermat. Sesaat ia siap untuk melenting berdiri ia sempat melihat kaki lawannya yang bergerak setengah langkah maju, dengan mencondongkan tubuhnya ke depan.

Karena itulah, maka sekilas ia meocoba melihat gerak tangan lawannya. Dengan ketajaman tanggapan, Swandaru segera dapat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Sehingga karena itulah maka ia mengurungkan niatnya untuk melenting, tetapi sekali lagi ia berguling ke samping dan berkisar dengan poros lambungnya.

Ternyata bahwa Swandaru berhasil. Pada saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya untuk menebas tubuh Swandaru yang diperhitungkan akan melenting berdiri, Swandaru telah membuat gerakan yang lain sekali sehingga Gandu Demung terkejut karenanya. Dengan serta-merta ia pun telah merubah serangannya, dengan menahan ayunan senjatanya yang mendatar. Ia harus mengangkat senjatanya itu, dan dengan ujungnya ia menukikkan senjata itu langsung ke dada Swandaru yang sedang berkisar.

Hampir saja Pandan Wangi dan Sekar Mirah terpekik berbareng. Untunglah keduanya masih dapat menahan diri betapa dadanya telah terguncang, dan rasa-rasanya jantungnya akan pecah. Ujung senjata Gandu Demung itu bagaikan petir yang menyambar dari langit langsung mengarah ke pusat jantung

Tetapi Swandaru tidak membiarkan ujung senjata itu membunuhnya. Ia pun melakukan gerakan itu dengan perhitungan. Karena itulah, maka tepat ketika ujung senjata itu mematuknya, dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan kedua kakinya bersilang.

Gerak kaki Swandaru bagaikan kekuatan yang melemparkan Gandu Demung dengan lontaran yang tidak tertahan. Kedua kakinya yang memotong dengan arah yang berlawanan, telah merampas keseimbangan Gandu Demung. Dengan serta-merta ia pun terlempar jatuh dan berguling beberapa kali di atas tanah yang keras.

Tetapi Gandu Demung benar-benar lincah. Sesaat kemudian, maka ia pun segera meloncat berdiri, mendahului semua kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh Swandaru.

Namun Gandu Demung menggeram. Ketika ia tegak berdiri dengan kaki renggang, ia pun melihat bahwa Swandaru pun telah berdiri tegak pula dengan cambuknya di dalam genggaman. Wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu, membuat wajahnya tampak menjadi semakin menyeramkan.

Gandu Demung tidak berkata sepatah pun. Ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk Swandaru yang tentu akan dapat menyayat kulitnya, jika tidak sempat menghindar.

Dengan hati-hati, Swandaru melangkah maju. Ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itulah, maka setiap saat tangannya akan dengan cepat terayun ke tubuh lawannya.

Untuk beberapa saat keduanya mencoba untuk mengetahui apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi lawan yang tangguh itu. Bahkan mereka seakan-akan saling menyegani dan menunggu.

Namun sejenak kemudian, terdengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Swandaru telah terayun menyambar tubuh lawannya.

Tetapi Gandu Demung yang melihat arah ayunan itu sempat mengelak dengan loncatan panjang. Ia pun harus segera membungkuk dalam-dalam ketika cambuk itu kemudian melayang menyambar lehernya.

Gandu Demung dengan tepat dapat memperhitungkan, bahwa sekali lagi Swandaru akan mengayunkan cambuk itu sendal pancing, sehingga ia masih sempat meloncat ke samping. Bukan saja sekedar meloncat, tetapi Gandu Demung langsung menggerakkan senjatanya. Dengan tangan terjulur lurus senjatanya telah mematuk lawannya. Tetapi Swandaru pun sempat mengelak, bahkan menyerang dengan cambuknya pula.

Dengan lincahnya Gandu Demung berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Dengan kecepatan geraknya, ia berhasil masuk ke dalam jarak yang sulit disentuh oleh ujung cambuk Swandaru justru karena terlampau dekat.

Sekali lagi Ganjdu Demang merasa, bahwa ia telah menemukan kelemahan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia mempergunakan kesempatan itu dengan mengayunkan senjatanya mendatar, dan kemudian menusuk lurus kearah dada.

Swandaru menggeram dengan marahnya. Ia sadar, bahwa lawannya yang cerdik telah memotong jarak sehingga ujung cambuknya sulit dipergunakannya. Setiap kali ia berusaha meloncat menjauh, maka Gandu Demung selalu mengejarnya untuk mempertahankan jarak yang pendek yang telah dapat dicapainya.

Orang-orang yang berada di dalam lingkaran yang memutari pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Tidak seorang pun dari mereka yang tidak menjadi cemas melihat cara yang ditempuh oleh Gandu Demung yang cerdik. Kecepatannya bergerak dan kecerdikannya, telah membuat Swandaru merasa terdesak.

Tetapi ternyata Swandaru bukan seorang anak muda yang cepat kehilangan pegangan. Ia pun memiliki pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya, maka ia pun masih sempat mempergunakan akalnya di antara kemarahan yang rasa-rasanya akan meledakkan dadanya.

Sambil menghindari setiap serangan lawannya, Swandaru berusaha menemukan cara untuk mengatasi jarak yang dipertahankan mati-matian oleh Gandu Demung. Setiap kali cambuknya meledak, maka lawannya selalu sempat berlindung justru pada tangkainya, bahkan sekaligus telah menyerang pula.

Karena itulah, maka kemudian Gandu Demung merasa, bahwa betapapun lambatnya, namun ia akan berhasil menguasai lawannya dan bahkan sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Swandaru, akan mengantarnya ke daerah maut.

Dalam kesulitan itulah Swandaru mengerahkan segenap kemampuannya. Beberapa kali ia mencoba meledakkan cambuknya sendal pancing, meskipun hasilnya kurang meyakinkan. Kemudian dengan putaran-putaran yang kuat mendatar. Namun nampaknya ujung cambuknya justru akan membelit lawannya tidak pada tempat yang dikehendaki, dan memberi kesempatan lawannya menahan ujung cambuknya sambil menyerang dengan senjatanya.

Sementara itu, Gandu Demung menyerang terus. Semakin lama semakin cepat, sehingga Swandaru pun menjadi semakin terdesak karenanya.

Dalam pada itu, di arena itu tiba-tiba telah meledak suara tertawa Gandu Demung sehingga setiap orang terkejut karenanya. Apa lagi ketika mereka melihat warna merah yang meleleh di pundak Swandaru.

“Luka,” desis Sekar Mirah dengan tangan gemetar. Tongkat bajanya tiba-tiba saja telah digenggamnya erat-erat, seolah-olah telah siap untuk diayunkannya. Sementara Pandan Wangi bergeser selangkah dengan sepasang pedang di tangannya.

Swandaru menggeram disengat oleh perasaan pedih di lukanya itu. Apalagi nampaknya Gandu Demung mempergunakan setiap kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Luka di pundak Swandaru merupakan pertanda baginya, bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Dengan cermat Gandu Demung mendesak lawannya. Setiap kali ia berhasil meloncati ujung-ujung cambuk Swandaru yang berusaha membelit kakinya, sehingga ia tidak terjerat karenanya.

Dalam kekalutan itu, Gandu Demung berhasil mendesak Swandaru yang nampaknya kehilangan semua kesempatan untuk mempergunakan senjatanya. Sebuah ayunan yang keras menyambar kening. Meskipun Gandu Demung yakin bahwa Swandaru masih akan sempat membungkukkan badannya untuk menghindar, tetapi serangan berikutnya tentu akan mengakhiri perkelahian. Saat itu Swandaru tidak akan dapat menghindari serangan justru tidak dengan senjatanya, tetapi dengan kakinya. Kaki Gandu Demung akan menghantam wajah Swandaru yang membungkuk itu. Ketika ia mengangkat wajah itu, maka berakhirlah semuanya. Senjatanya akan memecahkan dada anak muda yang gemuk itu.

Tetapi Swandaru mempunyai perhitungannya sendiri. Ia memang tidak dapat berbuat lain, ketika senjata lawannya menyambar kening. Namun dalam pada itu, Swandaru tidak sekedar membungkukkan kepalanya dan membiarkan kaki lawannya terangkat di wajahnya. Ia sadar bahwa dalam keadaan yang demikian ia tidak akan menyerang dengan ujung cambuknya. Dan ternyata nalarnya masih tetap bening. Pada saat ia membungkukkan wajahnya, ia melihat kaki Gandu Demung mulai bergerak. Namun pada saat itulah ia menyerang lawannya, tetapi tidak dengan ujung cambuknya.

Ternyata Swandaru telah mempergunakan senjatanya tidak seperti kebiasaannya. Jarak yang pendek tidak menguntungkannya untuk mempergunakan ujung cambuknya. Karena itulah, maka ketika sebelah kaki Gandu Demung mulai bergerak, Swandaru telah mengayunkan cambuknya, memukul kaki lawannya yang tegak di atas tanah, tidak dengan ujungnya, tetapi justru dengan tangkainya. Swandaru telah memegang cambuknya terbalik, meskipun tidak sepanjang juntainya. Ia menggenggam cambuknya pada pangkal juntainya yang dengan sekuat tenaganya diayunkannya mengenai lutut lawannya.

Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya, seperti saat kaki Swandaru memotong dengan gerakan silang dan melemparkannya jatuh berguling di tanah. Ternyata serangan yang tiba-tiba itu telah terulang lagi. Dan sekali lagi Gandu Demung terguncang dan jatuh.

Gandu Demung melihat bagaimana Swandaru berguling menjauhinya dan meloncat berdiri secepat Gandu Demung sendiri melenting meskipun lututnya masih terasa sakit dan kaki itu masih gemetar. Bukan saja karena hantaman tangkai cambuk yang rasa-rasanya telah meretakkan tulangnya, tetapi juga karena kejutan yang telah mengguncangkan isi dadanya, sehingga seolah-olah retak karenanya, karena pada saat satu kakinya mulai terangkat, maka kaki yang lain telah mengalami serangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Dengan serta-merta maka ia pun segera meloncat menyerang sesaat setelah Gandu Demung mulai tegak di atas kakinya yang masih pedih.

Sebuah ledakan cambuk telah menggelepar dengan dahsyatnya. Swandaru Ternyata telah memegang tangkai cambuknya kembali dan mengayunkannya sekuat-kuat tenaganya mengenai tubuh Gandu Demung.

Terdengar sebuah keluhan tertahan. Ujung cambuk itu tidak membelit tubuh Gandu Demung, tetapi hentakan yang kuat seolah-olah telah membelah kulit seperti sentuhan sembilu.

Agaknya, luka di pundak Swandaru telah membuat anak muda yang gemuk itu kehilangan pengekangan diri. Selagi Gandu Demung masih berusaha menemukan keseimbangannya dan menahan perasaan pedih, tiba-tiba terdengar sekali lagi cambuk Swandaru meledak.

Gandu Demung terkejut melihat gerakan yang begitu cepat. Ia melihat ujung cambuk itu terayun ke lehernya, sehingga karena itu, maka ia pun segera membungkukkan kepalanya.

Tetapi Swandaru telah mempersiapkan serangan berikutnya. Ia memutar cambuk itu sekali di udara, kemudian sambil merendahkan diri ia bergeser maju. Cambuknya dengan cepat terayun mendatar setinggi lutut lawannya.

Gandu Demung benar-benar tidak sempat mengelak, Meskipun ia berusaha untuk meloncat, namun ujung cambuk itu ternyata masih sempat membelit pergelangan kakinya.

Dengan serta-merta Swandaru menarik cambuknya. Dan hentakan yang kuat itu telah melemparkan Gandu Demung dan membantingnya jatuh di atas tanah sekali lagi.

Kesalahan itu ternyata tidak terampuni lagi. Kemarahan Swandaru benar-benar sudah sampai ke puncaknya. Ketika kemudian Gandu Demung berusaha untuk bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah menyambarnya. Demikian dahsyatnya, sehingga yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah teriakan Gandu Demung yang kesakitan. Ia tidak sempat tegak berdiri karena ia pun kemudian terdorong sekali lagi dan jatuh terjerembab.

Pada saat yang sama Swandaru telah meloncat maju. Tangannya bergerak dengan kekuatan penuh. Dan ketika cambuknya terayun sekali lagi mengenai tubuh Gandu Demung, maka orang itu hanya sempat menggeliat sambil mengeluh.

Tetapi nampaknya Swandaru telah benar-benar dicengkam oleh kemarahan yang tidak terkendali. Tanpa ragu-ragu maka sekali lagi cambuknya terangkat dan hentakan yang keras telah membuat jalur luka melintang di punggung lawannya. Sekali, dua kali, dan berulang kali.

Gandu Demung sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Tetapi Swandaru nampaknya tidak puas dengan ledakan cambuknya yang susul-menyusul itu. Sebagai orang yang kehilangan akal, maka ia pun berusaha untuk menghancurkan tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.

Orang yang berdiri di sekeliling arena itu terkejut melihat tingkah laku Swandaru. Mereka mengerti, bahwa luka di pundak Swandaru telah membuatnya kehilangan pengamatan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa Swandaru benar-benar dapat melakukan seperti yang mereka saksikan itu betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu membeku di tempatnya, terdengar suara Kiai Gringsing memecah di antara ledakan-ledakan cambuk Swandaru, “Cukup, cukup! Berhentilah!”

Tetapi Swandaru tidak berhenti. Bahkan ia menjawab, “Kawan-kawanku telah jatuh menjadi korban. Ia harus dicincang sampai lumat.”

“Itu sudah cakup,” terdengar suara Ki Sumangkar dan Ki Demang hampir berbareng.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia hanya berhenti sejenak dan berpaling dengan tatapan mata yang membara. Bahkan perintahnya, “Bunuh semua tawanan.”

“Anakmas Swandaru,” desis Ki Waskita.

Tetapi sekali lagi Swandaru berteriak, “Bunuh semua tawanan. Setiap kematian harus ditebus dengan sepuluh orang lawan.”

“Swandaru,” Ki Demang hampir berteriak.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan kemudian sekali lagi ditatapnya tubuh Gandu Demung yang sudah menjadi merah oleh darah. Agaknya ia masih belum puas melihat korbannya yang sudah tidak mampu berbuat apa pun juga itu.

Tetapi yang terjadi telah menghentikan denyut setiap jantung. Pada saat Swandaru mengangkat tangannya, tiba-tiba saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya. Dengan gerak naluriah karena penguasaan ilmu kanuragan, maka Pandan Wangi berhasil menyusup di antara tangan Swandaru. Sambil berlari, maka ia pun kemudian memeluk Swandaru yang sedang dibakar oleh kemarahan itu,

“Kakang,” terdengar suaranya tersendat, “cukup. Yang Kakang lakukan telah lebih dari cukup.”

Tangan Pandan Wangi yang melingkari tubuhnya dan kemudian titik-titik hangat air matanya, ternyata masih mampu melunakkan hatinya. Sejenak ia berdiri membeku sambil menggenggam tangkai cambuknya. Sementara titik-titik air mata Pandan Wangi semakin deras membasahi tubuhnya yang memang sudah basah oleh keringat.

“Sudahlah, Kakang. Jangan kau biarkan perasaanmu berbicara di luar penguasaan nalar,” desis Pandan Wangi.

Unjtuk beberapa saat Swandaru terdiam. Namun terasa tangannya masih bergetar. Jantungnya masih berdegup keras, seolah-olah akan memecahkan dinding dadanya.

Pandan Wangi masih memeluk Swandaru. Meskipun ia masih saja menggenggam pedang yang basah oleh darah, tetapi kelembutannya sebagai seorang perempuan telah berhasil menyabarkan suaminya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Seharusnya kau tidak menahan aku. Semua orang yang dapat kita tangkap harus dibunuh, karena korban di antara kita pun sudah terlampau banyak.”

“Mereka sudah menyerah, Kakang,” desis Pandan Wangi.

Swandaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Penyerahan mereka tidak akan dapat membangkitkan lagi kawan-kawan kita yang sudah menjadi korban atau dengan serta-merta menyembuhkan luka-luka mereka.”

“Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah menyerah. Adalah suatu adat di dalam peperangan, bahwa siapa yang sudah menyerah, tidak seharusnya dibinasakan.”

Alahgkah terkejut Pandan Wangi ketika ia mendengar Sekar Mirah berdesah, “Kita bukan malaikat yang turun dari langit. Bagiku, setiap kematian harus ditebus dengan kematian.”

“Sekar Mirah,” desis Ki Sumangkar, “apakah aku pernah mengajarkan demikian?”

Sekar Mirah berpaling. Ditatapnya wajah gurunya. Namun karena wajah itu menjadi tegang, maka ia pun segera menundukkan kepalanya.

Ki Sumangkar pun mendekatinya sambil berbisik, “Ingatlah. Tongkat itu adalah pertanda bahwa tidak setiap kematian harus ditebus dengan kematian. Jika demikian halnya, maka aku pun telah menjadi bangkai saat sisa-sisa pasukan Jipang menyerah. Ternyata bahwa Angger Untara tidak berusaha menghitung berapakah korban yang jatuh dari orang-orang Pajang dan menuntut jumlah yang sama apalagi berlipat.”

Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.

Dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah melepaskan suaminya yang menjadi semakin tenang. Dipungutnya sepasang pedangnya yang basah oleh darah dan disarungkannya ke dalam wrangkanya.

Swandaru masih berdiri termangu-mangu. Dipandanginya mayat yang terbujur di tanah dengan warna darah. Ketika Pandan Wangi melihat wajah suaminya, di luar sadarnya ia pun mengikuti arah pandangan matanya. Namun tiba-tiba saja ia berpaling sambil memejamkan matanya.

Yang dilihatnya sangat mengerikan baginya. Tubuh yang seolah-olah bagaikan dikuliti oleh luka cambuk Swandaru.

Dalam ketegangan itu, Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah, Swandaru. Marilah. Perjalanan kita belum selesai. Saat ini kau adalah seorang mempelai yang sedang diiringi oleh anak-anak muda dan orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, dilihatnya ayahnya, gurunya, Ki Waskita, Ki Sumangkar, orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengiring lainnya sedang berdiri termangu-mangu. Bahkan mereka yang sedang menjaga tawanan yang duduk di tanah, memandanginya dengan tanpa berkedip.

“Semua orang memperhatikan aku,” katanya di dalam hati.

“Marilah, Swandaru,” berkata gurunya, “kita akan meneruskan perjalanan kita. Ada beberapa ekor kuda yang dapat dipakai. Yang lain akan berjalan kaki. Sedang sebagian lagi akan mencari pedati untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka parah.”

“Bukan saja terluka parah, Guru,” sahut Swandaru, “tetapi tentu ada satu dua yang menjadi korban.”

“Itu memang mungkin sekali. Karena itu, teruskan perjalananmu. Aku akan tinggal di sini, mungkin ada satu dua orang yang memerlukan pertolonganku sebagai seorang dukun.”

Swandaru memandang ayahnya sejenak. Lalu katanya sambil menengadahkan wajahnya, “Ayah. Aku tidak mau menerima penghinaan saat aku berada di pintu gerbang pemerintahan atas Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum pada saatnya aku menggantikan kedudukan para pemimpin yang sekarang, aku harus membuktikan, bahwa tidak seorang penjahat pun yang boleh menjamah kedua daerah ini dan keluar hidup-hidup. Seorang penjahat yang memasuki Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh, akan meninggalkan daerah-daerah itu hanya tinggal namanya saja.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Jika sekarang aku membiarkan para tawanan itu hidup, maka itu adalah karena kemurahan hati orang-orang tua yang ada di sini sekarang. Tetapi hal itu tidak akan terulang lagi.”

Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia mengurut juntai cambuknya.

“Mereka berdiri pada dua ujung yang bertentangan,” katanya di dalam hati, “Swandaru di ujung ini dan Rudita di ujung yang lain. Sementara itu aku berdiri di tengah-tengah dengan penuh keragu-raguan.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun membimbing Swandaru mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah sambil berkata, “Silahkan,” lalu kepada Ki Demang, “sebaiknya perjalanan ini segera dilanjutkan. Jaraknya tidak terlalu jauh lagi.”

Ki Demang pun kemudian mendekati anak-anaknya dan menantunya sambil mengajak mereka, “Sebaiknya memang kita melanjutkan perjalanan. Kita berterima kasih, bahwa Kiai Gringsing bersedia tinggal untuk merawat mereka yang terluka.”

Swandaru memandang arena itu sekali lagi. Kemudian gumamnya, “Ternyata kekuatan Untara pun tidak mampu mencegah kejahatan yang terjadi di sini. Bukankah daerah ini seharusnya mendapat perlindungan dari Pajang yang di daerah ini kuasa keprajuritannya ada di tangan Untara dan senopati-senopati bawahannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desisnya, “Daerahnya terlampau luas untuk dapat diamatinya setiap saat.”

Swandaru memandang gurunya dengan tegang. Nampaknya ia masih berusaha untuk menahan kata-katanya. Namun desakan perasaannya telah mendesaknya untuk berkata, “Guru. Jika demikian, apakah tidak sebaiknya daerah pengawasan prajurit-prajurit Pajang itu dipersempit saja?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Persoalannya bukanlah begitu sederhana, Swandaru. Sekarang, biarlah kita tidak membicarakan persoalan-persoalan yang rumit. Jarak yang pendek ini masih harus kita selesaikan sebelum matahari terbenam.”

Swandaru memandang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Gurunya, ayahnya, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan kemudian matanya tersangkut pada juntai cambuk di tangan saudara seperguruannya yang berdiri tegak dengan kaki renggang, Agung Sedayu.

Sejenak Swandaru masih termenung. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan meneruskan perjalanan ini.”

Para pengawal yang datang berkuda, segera menyerahkan kuda mereka untuk dipergunakan oleh Swandaru dan beberapa orang yang akan mengiringinya sampai ke kademangan.

“Pergilah, Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “mungkin di perjalanan yang pendek itu masih diperlukan orang-orang tua macam kita.”

Ki Waskita mengangguk. Ketika dipandanginya Ki Sumangkar, Kiai Gringsing pun berdesis, “Biarlah Ki Sumangkar ikut serta pula. Aku akan tinggal dengan beberapa orang anak-anak muda yang akan menyelesaikan para pengiring yang terluka dan yang telah menjadi korban.”

Swandaru tidak membantah lagi. Ia pun kemudian menerima sepasang kuda yang akan dipergunakan dengan Pandan Wangi. Yang lain pun segera mendapatkan kuda pula, terutama orang-orang tua. Sedangkan orang-orang yang mengiringi pengantin itu dari tanah Perdikan masih sempat mempergunakan kuda mereka masing-masing yang terikat pada batang-batang perdu.

“Guru akan tinggal di sini?” bertanya Swandaru.

“Ya. Tetapi aku akan segera menyusul jika tugasku di sini sudah selesai.”

Swandaru pun kemudian meloncat ke punggung kuda diikuti oleh Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan orang-orang lain yang akan mengiringinya ke Sangkal Putung. Tetapi terbatas pada jumlah kuda yang ada, sedangkan yang lain harus mengikutinya sambil berjalan kaki meskipun dari jarak yang semakin jauh, sedangkan yang lain lagi akan tinggal membantu Kiai Gringsing dan menyelenggarakan para korban yang terbunuh di peperangan, sedang sebagian dari mereka akan mengurus para tawanan.

Sejenak kemudian maka beberapa ekor kuda pun segera meninggalkan tempat itu. Satu-satu sambil melepaskan debu yang putih dalam bayangan warna yang sudah menjadi semakin merah di langit.

Ternyata bahwa perkelahian di pinggir hutan itu sudah berlangsung cukup lama, sehingga matahari sebentar lagi akan turun dan tenggelam dibawa cakrawala.

Ketika kuda yang terakhir telah meninggalkan tempat itu. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sambil memandang muridnya yang seorang, yang masih berdiri tegak sambil memegang tangkai cambuknya.

“Kau tidak pergi bersama Swandaru, Agung Sedayu?” bertanya gurunya.

“Aku tinggal di sini, Kiai. Mungkin aku dapat membantu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejak semula ia memang melihat perbedaan sifat dan watak pada kedua muridnya ini. Tetapi untuk beberapa lama ia berhasil memperkecil perbedaan itu. Namun tiba-tiba saja ia melihat sifat dan watak masing-masing itu menjadi jelas dalam keadaan yang sulit dikendalikannya.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “kau dapat membantu aku di sini.”

Agung Sedayu pun kemudian membelitkan cambuknya di lambungnya dan menyingsingkan lengan bajunya membantu pekerjaan Kiai Gringsing yang cukup berat.

Namun ketika terpandang olehnya mayat Gandu Demung, terasa tengkuknya meremang.

“Mengerikan,” katanya di dalam hati. Sejalan dengan itu, keheranannya mengenai Swandaru pun menjadi semakin mekar. Meskipun demikian ia masih menyimpannya saja di dalam hati.

Dalam pada itu, di kejauhan dua orang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sejak kedatangan beberapa ekor kuda yang susul-menyusul mereka sudah menduga bahwa keadaan akan segera berubah.

Seperti yang kemudian terjadi, maka pasukan Gandu Demung pun telah pecah dan berlarian masuk hutan,

“Bagaimana dengan Gandu Demung sendiri,” desis salah seorang dari mereka.

“Aku tidak mempunyai harapan lagi,” sahut yang lain, “agaknya Gandu Demung tidak dapat keluar dari kesulitan.”

“Apakah ia tidak ikut lari ke hutan?”

“Bukankah kita masih melihat ia bertempur dengan anak muda yang gemuk itu.”

“Tetapi kemudian pandangan kita terhalang oleh lingkaran orang-orang yang mengelilingi pertempuran itu.”

“Gandu Demung tidak keluar dari arena. Ia tentu sudah terbunuh dalam perkelalahian yang kemudian telah menjadi perang tanding.”

“Agaknya memang demikian. Tetapi kita memerlukan waktu untuk memastikannya. Jika benar-benar Gandu Demung mati, itu akan lebih baik daripada jika ia tertangkap atau menyerah.”

“Agaknya memang bukan wataknya. Jika ia harus menyerah, maka aku kira ia akan memilih mati. Kecuali jika nampak ada kesempatan untuk melarikan diri.”

“Mudah-mudahan ia mati terbunuh di arena, atau lari sama sekali.”

Keduanya terdiam. Tetapi keduanya masih belum berani mendekati arena, karena mereka masih melihat beberapa orang berkeliaran.

Mereka adalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang anak muda yang lain, sementara Swandaru bersama beberapa orang pengiringnya telah mendekati padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Iring-iringan pengantin itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi iring-iringan duka seperti mengantar mayat ke kubur. Swandaru kini berada di paling depan. Ia seolah-olah tidak teringat lagi bahwa ia sedang diarak sebagai seorang pengantin laki-laki di samping pengantin perempuan. Sikapnya benar-benar seperti seorang panglima di medan perang yang terasa terlampau berat.

Di belakangnya Pandan Wangi mengikutinya di samping Ki Waskita, Kerti, dan Ki Demang Sangkal Putung yang pucat. Sementara di belakang mereka adalah Sekar Mirah yang berkuda di sebelah Prastawa.

Baru di belakang mereka para pengiring yang berwajah tegang. Orang-orang tua dan anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.

Di sepanjang jalan iring-iringan itu masih bertemu dengan dua tiga orang berkuda yang ingin menyusul ke medan setelah mereka mendengar tentang pertempuran yang terjadi di ujung hutan.

“Teruslah,” berkata Swandaru, “mungkin kawan-kawan kita yang tertinggal memerlukan kawan untuk menyelesaikan tugas mereka.”

Para pengawal itu pun berpacu terus ke pinggir hutan bekas arena perkelahian yang basah oleh darah.

Dalam pada itu, mereka yang berada di dalam iring-iringan itu seolah-olah telah dicengkam oleh ketegangan jiwa sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang bercakap-cakap. Setiap orang di dalam iring-iringan itu menundukkan kepalanya sambil memandangi tanah berdebu di bawah kaki kuda-kuda mereka.

Baru ketika mereka sudah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, Prastawa berdesis, “Sekar Mirah, kenapa Kakang Agung Sedayu tidak turut kembali ke kademangan?”

Sekar Mirah menarik nafas. Katanya, “Ia lebih senang tinggal bersama gurunya merawat orang-orang yang terluka.”

“Ia memang memiliki perasaan belas kasihan kepada sesama,” sahut Prastawa.

“Ya. Karena itulah maka ia tidak berani berbuat apa-apa selain menunggu. Jika sesuatu mulai menyentuhnya, barulah ia berbuat sesuatu.”

Prastawa memandang Sekar Mirah sekilas, yang wajahnya menjadi semakin tegang oleh kekecewaan karena sikap beberapa orang di dalam iring-iringan itu.

“Aku sependapat dengan Kakang Swandaru,” berkata Sekar Mirah kemudian, “setiap jiwa harus ditebus dengan jiwa. Karena kematian yang terjadi itu sama sekali bukan karena kesalahan kami, maka tuntutan kami pun seharusnya berlipat ganda seperti yang dikatakan oleh Kakang Swandaru.”

“Apakah itu menjadi kebiasaan kalian?”

Pertanyaan itu memang mengejutkan. Tetapi kemudian Sekar Mirah menjawab, “Aku tidak pernah mempertimbangkan kebiasaan. Yang aku katakan adalah yang tersirat di dalam perasaanku sekarang.”

Prastawa mengangguk-angguk. Ia menjadi semakin kenal watak dan tabiat Sekar Mirah yang keras. Namun sejalan dengan itu kekagumannya terhadap gadis itu pun bertambah-tambah pula. Di dalam pertempuran itu ia telah menyaksikan, bahwa Sekar Mirah jauh lebih tangkas dari laki-laki kebanyakan meskipun ia seorang perempuan.

Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja Prastawa berguman seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Kau benar, Mirah.”

Sekar Mirah berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah yang benar?”

“Sikapmu, bahwa kau sependapat dengan Kakang Swandaru.”

Sekar Mirah memandang Prastawa sejenak. Namun kemudian tatapan matanya pun mengarah lurus ke depan. Suaranya menjadi dalam, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang laki-laki yang lemah. Bukan jasmaniahnya. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Ia sudah menguasai gerak-gerak dasar dari perguruannya dan memahaminya. Bahkan ia sudah mengenal penggunaan tenaga cadangan dan ungkapan kekuatan dalam hubungannya dengan kekuatan alam di sekitarnya, dan bahkan mampu menyerapnya dalam jalur ilmunya dan luluh dengan kekuatan di dalam dirinya. Tetapi ia adalah orang yang lemah jiwanya. Ia tidak berani mengambil sikap, seolah-olah ia dikejar oleh pertanggungan jawab yang tiada dapat disentuh oleh indera.”

“Ia memang selalu ragu-ragu,” sahut Prastawa. “Mungkin pada suatu saat ia akan berubah.”

“Jika ia dapat berubah, maka perubanan itu tentu sudah nampak sejak sekarang. Tetapi agaknya perkembangannya mengarah kepada sikap yang semakin lemah.”

Prastawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk kecil. Terbayang di angan-angannya Agung Sedayu yang berwajah tenang dan dingin. Sedangkah wajah Sekar Mirah bagaikan memancarkan panasnya bara api yang menyala di dalam dadanya.

Tiba-tiba saja Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar pengetahuan Sekar Mirah yang memandang lurus ke depan, Prastawa setiap kali memandang wajah gadis itu. Rasa-rasanya Sekar Mirah yang kotor oleh keringat yang dilekati debu itu menjadi bertambah cantik.

Namun kemudian sekilas terbayang wajah Agung Sedayu. Wajah yang tenang dan bersungguh-sungguh, tetapi diwarnai oleh keragu-raguan dan ketidakpastian.

Sementara itu, Agung Sedayu memang sedang dicengkam oleh kegelisahan. Setiap kali melonjak di dalam hatinya, kecemasan atas masa depannya sendiri. Jika perkawinan harus ditebus sedemikian mahal, maka ia menghadapi gambaran yang semakin buram tentang dirinya sendiri.

Namun ia tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Ia pun kemudian tenggelam dalam kesibukan menolong gurunya yang merawat beberapa orang yang terluka, sementara beberapa orang yang lain telah mengumpulkan korban yang sudah tidak tertolong lagi jiwanya. Di antara mereka terdapat lawan, tetapi juga kawan.

Memang sepercik dendam melonjak di hati Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain. Namun setiap kali ia masih mempertimbangkannya baik-baik.

Karena inilah, maka Agung Sedayu tidak melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tugas gurunya. Ia tidak terbakar oleh dendam dan kemudian dengan cambuknya membunuh setiap orang yang terluka meskipun mereka itu adalah lawan.

Namun para pengawal yang lain tidak mempunyai pertimbangan seperti Agung Sedayu, sehingga setiap kali Kiai Gringsing harus memberikan peringatan agar mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat melanggar ketentuan yang berlaku.

“Kita adalah orang-orang yang selama ini memegang teguh sopan santun dan unggah-ungguh. Juga di dalam peperangan seperti sekarang ini,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal yang membantunya.

Para pengawal itu tidak menyahut. Tetapi sebenarnya di dalam hati mereka, masih tetap menyala dendam yang setiap saat dapat meledak.

Dalam pada itu, ketika tugas mereka sudah hampir selesai, maka langit pun mulai tampak kemerah-merahan. Beberapa orang yang lewat sejenak tertegun. Namun Agung Sedayu selalu mendekati mereka sambil berkata, “Silahkanlah lewat, Ki Sanak.”

“Apakah yang terjadi?”

“Sekedar salah paham.”

“Dan salah paham yang terjadi antara dua kelompok yang cukup besar. Dan inilah akibatnya. Kedua belah pihak tidak mau mempergunakan nalarnya. Sehingga akhirnya mereka bertempur.”

“Dan Ki Sanak? Apakah Ki Sanak bukan orang dari salah satu pihak?”

“Bukan. Kami adalah orang-orang Sangkal Putung yang melerai perkelahian ini.”

Orang-orang itu pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi mereka tetap berteka-teki tentang peristiwa di ujung hutan itu.

“Apakah telah terjadi kejahatan lagi di daerah ini?” desis salah seorang dari mereka.

“Tentu tidak,” jawab yang lain, “jika terjadi kejahatan tentu tidak di daerah ini, tetapi di ujung Alas Tambak Baya atau di sisa Alas Mentaok yang masih belum ditebang.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun ternyata sepakat, bahwa yang terjadi hanyalah salah paham saja.

Namun di antara orang-orang yang lewat itu ternyata terdapat dua orang yang agak lain dari orang-orang yang lewat sebelumnya. Kedua orang itu menaruh perhatian yang lebih besar, sehingga ketika mereka lewat, maka mereka pun telah berhenti dan turun dari kuda mereka.

Seperti yang sudah terjadi, maka Agung Sedayu pun segera mendekati mereka. Seperti kepada yang lain pula, maka ia pun bertanya, “Apakah ada yang menarik perhatian Ki Sanak?”

“Ya, ya, Anak Muda,” jawab salah seorang dari keduanya, “aku melihat bahwa sesuatu telah terjadi di sini.”

“Ya, salah paham.”

“Salah paham?” yang lain bertanya.

Dan Agung Sedayu memberikan keterangan seperti yang pernah diberikannya kepada orang-orang lain.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Salah paham ini dapat menumbuhkan korban sekian banyaknya. Apakah Ki Sanak mengetahui apakah yang telah menyebabkan terjadi salah paham itu?”

“Anak-anak muda,” jawab Agung Sedayu, “mereka saling merasa dirinya mempunyai kelebihan. Di antaranya adalah anak-anak muda yang baru turun dari perguruan. Mereka merasa dirinya tidak terkalahkan, sehingga mereka memang memerlukan lawan untuk mencoba ilmunya tanpa memikirkan akibatnya.”

“Ah,” kedua orang itu menjadi heran.

“Apakah Ki Sanak tidak percaya?” bertanya Agung Sedayu.

“Percaya. Aku percaya sepenuhnya. Tetapi berapa orang yang telah terlibat dalam salah paham ini? Apakah ada sekelompok besar anak-anak muda yang bertemu dengan kelompok yang lain dalam jumlah yang sama besar.”

“Tidak. Persoalan yang menumbuhkan salah paham itu telah terjadi dua tiga hari lampau. Bahkan mereka yang langsung menjadi sebab telah menyatakan untuk tidak meneruskan persoalan mereka di hadapan Ki Demang. Tetapi ternyata mereka telah berjanji untuk bertemu di tempat ini dalam jumlah yang sama-sama besar.”

“O, mereka telah berjanji di hadapan Ki Demang?”

“Ki Demang dari kademangan yang mana.”

“Sangkal Putung. Tentu Sangkal Putung.”

Tetapi salah seorang dari kedua orang itu telah bertanya, “Tetapi bukankah Ki Demang Sangkal Putung tidak ada di tempat dalam dua atau tiga hari ini?”

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika orang itu meneruskan, “Menurut pendengaranku, Ki Demang Sangkal Putung berada di Tanah Perdikan Menoreh lebih dari sepasar. Dan menurut pendengaranku hari ini Ki Demang baru kembali. Dan apakah iring-iringan pengantin itu sudah lewat? Jika belum, alangkah baiknya jika daerah ini segera dibersihkan, agar pengantin itu tidak melihat beberapa sosok mayat yang terbaring di sini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku keliru, Ki Sanak. Maksudku mereka sudah berdamai tidak di hadapan Ki Demang, tetapi di hadapan Ki Jagabaya.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi selebihnya iring-iringan itu sudah lewat beberapa saat.”

“Dan Ki Sanak sendiri?”

“Aku datang melerai perkelahian yang telah menumbuhkan sebelum peristiwa ini terjadi.”

“Beberapa orang korban.”

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Lalu salah seorang bertanya, “Apakah aku boleh mengenali setiap korban?”

“Apakah gunanya?”

Orang itu menarik nafas. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya. Namun kemudian katanya, “Anakku adalah anak yang nakal sekali. Ia sering berkelahi di mana pun juga.”

“Dari manakah Ki Sanak datang, dan di manakah Ki Sanak tinggal?”

“Aku orang dari Prambanan. Aku sekedar lewat, karena aku akan pergi menengok keluargaku yang tinggal di Karang Elo.”

“Ah, tentu bukan anak-anak muda dari Prambanan. Aku tahu pasti,” jawab Agung Sedayu.

“Ah, siapa tahu. Sudah tiga hari anakku tidak pulang. Dan menurut pendengaranku, anakku sering pergi dari satu kademangan ke kademangan yang lain. Berkelahi berkelompok dan bahkan kadang-kadang sering menumbuhkan kematian seperti sekarang ini.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itulah maka ia pun menjawab, “Aku akan bertanya dahulu kepada orang tuaku.”

“Silahkan, Anak Muda. Aku menunggu.”

Agung Sedayu pun kemudian mendapatkan Kiai Gringsing yang sedang sibuk. Sejenak ia menjelaskan apa yang sudah dilakukan dan permintaan kedua orang berkuda itu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Biarlah. Ia tidak akan mengenali orang-orang yang telah mati terbunuh itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu ia pun mendapatkan kedua orang itu pula sambil mengatakan pesan Kiai Gringsing, bahwa orang tua itu tidak keberatan jika kedua orang itu ingin melihat beberapa orang korban yang luka dan terbunuh.

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian mulai mengamati beberapa orang yang terbaring di tanah. Yang sudah memejamkan matanya sama sekali, dan mereka yang masih mampu berkedip.

Mereka saling berbisik di antara mereka, seolah-olah mereka sedang mencoba mengenal setiap orang.

Selangkah demi selangkah mereka maju. Orang-orang yang terluka telah diusung dan dibaringkan di tempat yang dialasi dengan rumput-rumput kering. Sedangkan mereka yang terbunuh telah diletakkan berjajar di tempat yang lain.

Langkah kedua orang itu tertegun ketika mereka melihat sesosok mayat yang hampir tidak dapat dikenalinya lagi. Namun demikian, mayat itu ternyata telah menarik perhatiannya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Namun kemudian yang seorang berdesis, “Aku tidak salah lagi. Tentu orang inilah Gandu Demung itu.”

“Ternyata ia telah terperosok dalam lingkaran perkelahian melawan orang bercambuk itu, sehingga ia mengalami luka-luka yang mengerikan sebelum kematiannya.”

Agung Sedayu tidak mendengar percakapan itu. Namun kemudian ia pun mendekati keduanya sambil berkata, “Menurut perhitungan kami, orang itu termasuk salah seorang pemimpinnya.”

“Pemimpin siapa, Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Pemimpin salah satu dari kelompok-kelompok yang berbenturan itu.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Agung Sedayu pun kemudian bertanya, “Apakah kau dapat menemukan orang yang kau cari?”

Keduanya menggeleng. Salah seorang dari keduanya menyahut, “Tidak, Ki Sanak. Tetapi kematian salah seorang dari mereka yang menjadi korban itu nampaknya mengerikan sekali.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Bekas-bekas lukanya bukannya bekas luka senjata tajam. Bukan pula bekas luka bindi atau tongkat besi sekalipun.”

“Menurut dugaanmu, luka itu bekas sentuhan senjata jenis yang mana?” bertanya Agung Sedayu.

“Cambuk. Aku menduga bahwa orang itu telah mengalami nasib yang malang, karena ia telah bertengkar dengan orang bercambuk atau salah seorang muridnya.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengelakkan dugaan itu. Karena itu, ia pun justru mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Anak muda itu terkejut ketika salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta diri. Aku akan melanjutkan perjalananku. Mudah-mudahan aku dapat menemukan anakku dengan selamat.”

“Mudah-mudahan.”

“Aku minta diri. Katakan kepada orang tua itu, bahwa aku akan melanjutkan perjalanan.”

Demikianlah keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Langit yang merah menjadi semakin merah dan cahaya matahari yang turun ke Barat menjadi semakin pudar.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun segera memacu kudanya. Di sepanjang jalan mereka dicengkam olah pembicaraan tentang nasib Gandu Demung yang malang.

“Aku yakin, bahwa Gundu Demung tidak dapat meloloskan diri.”

“Jika saja ia tidak bertemu dengan orang bercambuk.”

“Yang manakah menurut dugaanmu orang bercambuk itu?”

“Aku tidak tahu. Mungkin orang itu sudah pergi bersama pengantin itu. Mungkin orang tua yang sedang sibuk menyelenggarakan para korban itu.”

“Tentu sudah pergi bersama pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu merupakan orang terhormat. Orang yang mendapat tempat di sisi sepasang pengantin itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka sudah mendapat bahan yang lengkap untuk menyampaikan laporan tentang usaha Gandu Demung. Usaha yang ternyata telah gagal sama sekali.

“Bagaimanakah jika empu tidak percaya?” desis salah seorang dari mereka.

“Mudah-mudahan ia mempercayai kita. Dan jika ia tidak percaya dan mengirimkan orang lain untuk menyelidiki kebenaran laporan kita, maka kita tidak akan cemas, bahwa laporan kita dianggap salah. Bukankah kita sudah melihat bahwa Gandu Demung benar-benar telah mati?”

Kawannya mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa Gandu Demung memang sudah mati. Jika ada orang lain yang harus menilai kebenaran laporannya, maka mereka berdua tidak usah menjadi cemas, karena sebenarnya bahwa hal itu memang sudah terjadi.

Dalam pada itu Agung Sedayu yang masih sibuk membantu Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang memang mendapat tugas untuk melihat apakah Gandu Demung berhasil atau justru jatuh ke tangan orang-orang Sangkal Putung.

Tetapi yang terjadi adalah Gandu Demung telah mati.

“Kita kehilangan,” desis salah seorang dari kedua orang berkuda itu. “Jarang orang yang memiliki kemampuan seperti Gandu Demung.”

“Masih ada beberapa orang yang dapat mendampingi pemimpin kita itu.”

“Ya. Tetapi itu bukan berarti bahwa hilangnya Gandu Demung bukannya tidak berpengaruh sama sekali.”

“Pengaruhnya tidak akan begitu besar.”

“Tetapi ada.”

Kawannya tidak menjawab. Bahkan kemudian ia pun memacu kudanya semakin cepat sambil berkata, “Malam mulai pekat. Kita akan bermalam di mana?”

“Pertanyaanmu aneh. Di manakah kita bermalam selama ini?”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, “Kita akan mencari jalan melingkar. Mungkin kita akan melalui jalan-jalan kecil agar kita tidak menjadi semakin jauh dari Gunung Tidar.”

“Aku belum mengenal daerah ini sebaik-baiknya.”

“Aku sudah pernah melalui daerah ini meskipun sudah agak lama. Kita akan berbelok sebelum kita sampai ke Sangkal Putung. Melingkar sedikit dan kemudian kita akan turun ke jalan ini pula, dan kembali melalui jalan yang kita lewati saat kita mengikuti iring-iringan pengantin itu.”

Kawannya tidak menjawab. Mereka pun berpacu semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, maka keduanya pun kemudian berbelok melalui jalan yang lebih kecil. Mereka harus melingkari hutan kecil yang menjadi arena pertempuran yang sengit itu, untuk selanjutnya berpacu ke Gunung Tidar.

Dalam pada itu, di bekas arena pertempuran itu pun telah dipasang beberapa buah obor. Beberapa buah pedati telah siap pula untuk mengusung mereka yang telah menjadi korban dan dibawa ke banjar padukuhan terdekat. Hanya mereka yang masih hidup meskipun terluka parah, akan dibawa ke banjar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal sedang sibuk merawat para korban, maka iring-iringan pengantin yang sudah berubah bentuknya itu pun memasuki halaman kademangan. Ternyata berita tentang perkelahian itu telah mendahului iring-iringan sampai ke telinga penghuni padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung meskipun belum jelas.

Karena itulah, maka ketika iring-iringan itu memasuki regol, Nyai Demang segera berlari-lari menyambut dengan mata yang basah.

Sekar Mirah, meskipun ia telah menjadi seorang gadis dewasa dan sanggup memutar tongkat baja berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan, namun ketika dilihatnya ibunya yang gelisah, ia pun segera berlari mendapatkannya.

Sambil memeluk anak gadisnya, Nyai Demang tidak berhasil menahan air matanya yang menitik di pundak Sekar Mirah.

Kemudian setelah Sekar Mirah melepaskan pelukannya, Nyai Demang pun segera diperkenalkan dengan menantunya oleh Sekar Mirah. Dengan senyum yang masih dibasahi oleh air mata, maka ia pun kemudian membimbing menantunya naik ke pendapa dan langsung melalui pringgitan masuk ke ruang dalam, sementara Swandaru pun mengikutinya pula, setelah mereka mencuci kaki di depan tangga.

Meskipun upacara yang sebenarnya belum dilakukan, namun ternyata kademangan itu telah penuh dengan orang-orang tua dan sanak kadang. Di ruang dalam ternyata telah penuh pula dengan perempuan yang menunggu kedatangan pengantin itu dengan berdebar-debar. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa telah terjadi sesuatu di ujung hutan.

Ki Demang yang kemudian duduk di pendapa bersama Swandaru dan para pengiring segera dihujani dengan berbagai macam pertanyaan, sehingga akhirnya Ki Demang justru mengadakan sesorah singkat tentang pengalaman perjalanannya.

“Nah, silahkan kalian mendengarkan,” berkata Ki Demang, “aku menceriterakan apa yang terjadi, karena dengan demikian aku tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berulang kali yang harus aku jawab dengan jawaban yang sama. Yang barang kali dialami pula oleh orang-orang lain dalam iring-iringan ini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Ki Sumangkar dan Ki Waskita sempat tersenyum.

Demikianlah Ki Demang menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi di ujung hutan kecil itu. Beberapa orang korban telah jatuh. Karena itulah maka ia mengharap agar rakyat Sangkal Putung justru menjadi lebih berhati-hati menanggapi perkembangan keadaan.

“Di mana Ki Jagabaya,” tiba-tiba saja Ki Demang bertanya.

Seorang pengawal yang ada di pendapa itu segera menyahut, “Ki Jagabaya pergi ke ujung hutan itu Ki Demang.”

“Tetapi kami tidak bertemu di perjalanan.”

“Mungkin Ki Jagabaya mengambil jalan memintas. Agaknya kami di sini menerima berita itu terlampau lambat sehingga kami tidak segera dapat mengambil bagian dalam pertempuran itu.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih berada di tempat itu, jika Ki Jagabaya datang, tentu ia akan bertemu dengan beberapa orang yang masih sibuk sekarang ini.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun kemudian saling bergeramang di antara mereka. Yang mereka bicarakan sudah barang tentu peristiwa yang baru saja terjadi.

Namun ada juga di antara anak-anak muda yang berdesis, “Kenapa Agung Sedayu tinggal?”

Tetapi anak-anak muda itu sebagian sudah dapat menebak jawabnya. Justru karena gurunya tinggal, maka Agung Sedayu pun tinggal pula mengawani gurunya itu.

“Ya, tetapi kenapa Kiai Gringsing tidak datang bersama dengan Ki Demang dan orang-orang lain dalam iring-iringan ini? Bukankah Ki Demang dapat menyerahkan penyelesaian para korban itu kepada para pengawal?” bertanya seorang lain.

“Ia bukan saja seorang guru dalam olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang yang memiliki kemampuan dalam bidang pengobatan. Tentu ia merasa berkewajiban untuk mengurus orang-orang yang terutama masih memungkinkan untuk ditolong. Bukankah hampir di dalam setiap benturan kekerasan ia berbuat demikian?”

Kawannya mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, setelah Ki Demang selesai dengan ceriteranya tentang perjalanan, maka mulailah orang-orang tua dan keluarga Ki Demang berbincang tentang akibat yang timbul dari benturan itu.

“Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan para pengawal sudah mengurusnya,” potong Swandaru kemudian.

Kata-kata Swandaru itu ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang hadir di pendapa itu. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda pada tekanan suaranya. Namun mereka tidak segera menemukan perbedaan itu.

Tetapi bagi Ki Sumangkar dan Ki Waskita, kata-kata itu seolah-olah telah memberikan isyarat, bahwa memang suatu perubahan telah terjadi pada Swandaru. Namun demikian, agaknya mereka masih belum yakin, bahwa tangkapan mereka itu benar.

Meskipun demikian, Ki Waskita tidak dapat menghindarkan diri dari kegelisahannya. Ia mulai menghubungkan semuanya yang telah terjadi dengan isyarat yang nampak di dalam jangkauan penglihatan batinnya tentang masa yang akan dilalui oleh Swandaru.

“Bayangan itu nampaknya semakin buram,” desis Ki Waskita di dalam hatinya.

Semula ia ingin memaksa dirinya untuk menganggap bahwa yang dilihat di dalam isyarat itu sudah terjadi. Peristiwa yang terjadi di ujung hutan kecil itu merupakan noda-noda yang buram di dalam kehidupan Swandaru pada saat-saat ia melampaui hari-hari perkawinannya.

Namun ternyata ia tidak dapat ingkar bahwa sebenarnya ia mengetahui. Peristiwa di hutan kecil itu adalah peristiwa lahiriah yang tidak banyak berarti bagi masa depan anak muda yang gemuk itu. Tetapi peristiwa yang sebenarnya masih akan terjadi, langsung menyangkut bukan saja kehidupan jasmaniahnya, tetapi juga kehidupan-kehidupan batinnya.

“Alangkah bodohnya aku,” desis Ki Waskita di dalam hatinya, “yang aku lihat hanyalah saat-saat buram yang bakal datang. Tetapi kenapa aku tidak dapat mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.”

Tetapi Ki Waskita tidak dapat memaksa dirinya untuk menjadi lebih banyak mengetahui. Setiap kali ia selalu terkenang kepada kasih yang telah melimpah kepadanya. Anugerah yang telah dimilikinya itu merupakan kemurahan yang tidak diterima oleh setiap orang.

“Alangkah tamaknya aku ini,” desisnya, “yang aku terima sudah terlampau banyak. Dan aku masih saja merasa diriku terlampau bodoh dan ingin mendapat lebih banyak lagi.”

Meskipun demikian, sesuatu selalu membayanginya bahwa warna-warna yang buram itu pada suatu saat akan nampak dalam kehidupan Swandaru.

Sejenak, pembicaraan di pendapa itu berkisar kepada usaha Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih tinggal di ujung hutan itu, dan yang kemudian disusul oleh Ki Jagabaya dengan beberapa orang pengawalnya.

“Mereka akan segera datang,” berkata Ki Demang kemudian. “Sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak akan menungguinya sampai semuanya diselesaikan. Jika ia menganggap cukup merawat orang-orang yang terluka, tentu ia akan segera kembali.”

Orang-orang yang semula mempersoalkannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang, bahwa sebentar lagi Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun tentu akan datang. Sehingga karena itulah maka mereka pun tidak membicarakannya.

Pembicaraan mereka mulai berkisar ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang yang ikut hadir pada upacara perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh mulai berceritera tentang kemeriahan saat-saat perkawinan itu.

Hanya Ki Waskita dan Ki Sumangkar sajalah yang ternyata berbicara tentang soal yang lain sama sekali. Adalah di luar sadar, jika mereka pun mulai berbicara tentang upacara perkawinan yang akan diselenggarakan di Kademangaa Sangkal Putung. Apalagi ketika pembicaraan mereka kemudian telah menyentuh Swandaru dan Agung Sedayu.

“Kiai Gringsing sudah berusaha,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi kedua anak-anak muda itu telah membawa peta hidup mereka masing-masing yang sudah terbentuk di masa-masa mereka masih kanak-kanak. Untuk beberapa saat nampaknya Kiai Gringsing berhasil mendekatkan tabiat dan sifat keduanya. Namun dalam keadaan tertentu watak masmig-masing itu akan melonjak dan mengatasi kekang sifat mereka yang dipasang oleh Kiai Gringsing.”

Ki Waskita mengangguk-angguk.

Agaknya saat-saat perkawinan Swandaru ini benar-benar merupakan saat yang penting sekali di dalam perjalanan hidupnya. Saat-saat perkawinannya telah merupakan saat yang memutar arah hidup yang telah diusahakan oleh Kiai Gringsing yang semula nampaknya akan berhasil. Tetapi ternyata bahwa hal itu masih diragukan.

“Perkawinan ini seharusnya dilangsungkan di saat lain, apabila Kiai Gringsing sudah benar-benar berhasil menekan watak Swandaru sampai ke dasarnya, sehingga pada suatu saat tidak akan dapat tumbuh lagi dalam bentuk yang seperti ini.”

“Tetapi sudah terlanjur. Yang akan terjadi itu sudah terjadi,” desis Ki Waskita.

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita telah melihat sesuatu di masa mendatang yang tidak sesuai dengan keinginannya, keinginan Kiai Gringsing, dan keinginan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun tidak terperinci, namun Ki Waskita pernah mengatakan bahwa ia cemas akan penglihatannya pada isyarat tentang masa depan Swandaru itu.

“Tetapi tidak ada tangan yang dapat mencegahnya,” desis Ki Sumangkar di dalam hatinya, “karena apa yang dilihatnya adalah apa yang akan terjadi. Kecuali jika datang keajaiban. Dan itu hanya dapat terjadi jika penglihatan Ki Waskita itu salah.”

Kecemasan yang serupa telah mengusik Ki Waskita pula. Ia melihat goncangan perasaan pada Swandaru. Bukan saja karena pertempuran di ujung hutan itu. Tetapi sejak anak muda itu berada di Menoreh, sudah nampak tanda-tanda bahwa kebanggaan Swandaru atas dirinya sendiri telah mengangkat wataknya yang sebenarnya, yang selama di dalam asuhan Kiai Gringsing agaknya telah berhasil didesak jauh di sudut hatinya yang paling dalam.

Dalam keadaan yang demikiap maka perbedaan watak antara Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas, meskipun keduanya pernah berguru kepada orang yang sama.

Dalam pada itu, Agung Sedayu sedang sibuk mengangkat orang-orang yang terluka ke atas pedati bersama dengan beberapa orang, ketika Ki Jagabaya yang marah langsung memintas dan sampai di ujung hutan. Namun pertempuran yang sebenarnya sudah selesai. Yang dijumpai tinggallah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal mengumpulkan para korban dan menyiapkan untuk membawanya dengan pedati.

“Yang terutama harus mendapat perhatian adalah mereka yang masih hidup. Mereka harus dibawa ke banjar di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Jagabaya.

Ketika para pengawal sedang sibuk mengangkat para korban dengan hati-hati, maka Ki Jagabaya masih sempat bertanya, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

“Agaknya sekelompok perampok yang besar telah menunggu kami,” sahut Kiai Gringsing.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Bekas yang dijumpainya memang mengatakan demikian.

Dengan singkat Kiai Gringsing menceriterakan, apakah yang sudah terjadi di ujung hutan itu, sehingga beberapa orang korban telah jatuh.

“Gila,” geram Ki Jagabaya. Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang perampokan itu. Jika perampok itu secara kebetulan saja menjumpai iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung itu, maka jumlah mereka tentu tidak akan sebesar itu.

Maka kesimpulan yang untuk sementara disepakati antara Ki Jagabaya dan Kiai Gringsing adalah, bahwa orang-orang yang merampok itu tentu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang pernah menetap untuk beberapa hari di Padepokan Tambak Wedi.

“Itulah yang membingungkan kami,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “jika pada suatu saat mereka turun lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan melakukan kejahatan yang tanpa pertimbangan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Besok Angger Untara akan datang. Bukankah Ki Jagabaya telah mengundangnya?”

“Ya. Angger Untara sudah menyatakan kesanggupannya untuk datang saat pahargyan sepasaran pengantin Swandaru dan Pandan Wangi.”

“Nah, kita mempergunakan waktu sedikit untuk berbincang tentang peristiwa yang baru saja terjadi itu. Mungkin Untara perlu menentukan sikap. Meskipun nampaknya Tambak Wedi sudah kosong, tetapi ternyata bahwa pada suatu saat mereka berada di tempat itu dengan kekuatan yang cukup besar.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Lalu katanya kemudian, “Kiai, nampaknya untuk sementara tugas Kiai di sini sudah selesai. Sebaiknya Kiai dan Agung Sedayu segera pergi ke kademangan. Mungkin ada pembicaraan yang penting atau sikap yang dapat diambil.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya beberapa buah pedati yang sudah siap. Sebagian telah terisi oleh orang-orang yang terluka dan akan dibawa ke banjar padukuhan induk. Sedang yang lain berisi korban yang sudah tidak tertolong lagi, yang akan dibawa ke banjar padukuhan terdekat.

“Tetapi korban di antara kita justru harus dibawa ke kademangan,” berkata Ki Jagabaya.

Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Ki Jagabaya benar. Tetapi dalam keadaan biasa. Bukan dalam keadaan seperti ini.”

“Kenapa?”

“Di kademangan akan berlangsung kegembiraan karena perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Jika para korban, meskipun hanya para pengiring dari Sangkal Putung itu juga dibawa ke pendapa kademangan, apakah tidak akan mempengaruhi kegembiraan yang akan berlangsung?”

Ki Jagabaya menarik nafas. Namun ia berdesis, “Tetapi para korban ini berhak mendapatkan kehormatan tertinggi dari Sangkal Putung. Mereka bukan terbunuh dalam arena tayub di dalam perhelatan gila-gilaan. Mereka tidak berkelahi karena mereka mabuk tuak dan kehilangan akal. Tetapi mereka bertempur melawan kejahatan yang akan menerkam iring-iringan pengantin. Seandainya bukan pengantin pun para pengawal memang berkewajiban untuk melakukannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Tetapi semuanya itu terserah kepada Ki Jagabaya yang barangkali perlu berbicara dengan Ki Demang. Tetapi bagiku, banjar di padukuhan induk itu pun merupakan tempat yang paling terhormat untuk menempatkan beberapa orang korban yang sudah tidak dapat tertolong lagi, selain mereka yang masih memerlukan perawatan.”

Ki Jagabaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah pedati itu pergi ke tempat yang untuk sementara sudah ditentukan bagi masing-masing. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Ki Demang dan orang tua-tua.”

Ki Jagabaya pun kemudian mempersilahkan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu untuk pergi ke kademangan. Agaknya Ki Jagabaya merasa bahwa tugas selanjutnya adalah tugasnya.

“Baiklah, Ki Jagabaya. Aku akan pergi ke kademangan. Selanjutnya terserah kepada Ki Jagabaya,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya. Aku akan menyelesaikannya. Pedati-pedati itu sudah siap untuk berangkat.”

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian mendahului meninggalkan tempat itu. Baru sejenak kemudian pedati yang memuat para korban, itu pun segera menuju ke tempat yang sudah ditentukan, dikawal oleh beberapa orang anak muda bersenjata, yang diatur oleh Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya.

Dalam pada itu, ketika pedati-pedati itu sampai di banjar padukuhan induk, maka padukuhan itu pun menjadi ramai. Ramai oleh geram, gemeretak gigi, tetapi juga tangis para keluarga korban. Yang masih sempat menemui salah seorang keluarganya tetap hidup meskipun terluka, hatinya masih juga terhibur betapa pun cemasnya. Tetapi mereka yang menjumpai sanak keluarganya telah korban maka yang terdengar adalah tangis yang mengharukan. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir perjalanan itu akan demikian pahitnya, karena ketika ia berangkat, yang nampak adalah senyum gembira dari anak-anak muda yang mengantarkan seorang calon pengantin.

Untunglah, bahwa Ki Jagabaya yang datang kemudian berhasil menahan dendam yang melonjak di antara mereka, sehingga merekat tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri terhadap beberapa orang yang dapat ditawan, dan lawan yang dirawat karena luka-lukanya di padukuhan terdekat dari arena pertempuran.

Ketika Kiai Gringsing dan Agung Sedayu sampai di kademangan, mereka masih melihat beberapa orang yang berkumpul di pendapa untuk mendengarkan keterangan Ki Demang lebih lanjut tentang perjalanan mereka.

Dengan demikian, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian karena pakaiannya telah dikotori oleh darah dan reramuan obat-obatan saat mereka merawat orang-orang yang terluka, maka mereka pun kemudian naik pula ke pendapa. Sementara itu, orang-orang lain yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh, justru belum berganti pakaian meskipun mereka telah mencuci kaki dan tangan, karena mereka segera terlibat dalam pembicaraan yang ramai.

Kiai Gringsing pun kemudian duduk di sebelah Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Untuk beberapa saat Kiai Gringsing harus menjawab beberapa pertanyaan tentang para korban. Memang nampak betapa kemarahan dan dendam membakar setiap hati. Namun Kiai Gringsing masih sempat berusaha menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung itu.

—- > Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan

  1. saya senang baca artikel ini ,isinya bagus,bisa bersambung wasalam.

    monggo ki sanak,
    sayangnya, kami tidak bisa melanjutkan upload naskah disini, selanjutnya jilid 101 dan seterusnya silahka kunjungi http://adbm2011.wordpress.com

Tinggalkan komentar