ADBM-080


<<kembali | lanjut >>

NAH, JIKA KAU meragukan kebenarannya, kau dapat menemui utusan itu. Ia masih hidup sampai sekarang. Orang itu tentu akan dapat mengatakan bahwa ia ditugaskan langsung oleh Kanjeng Sultan atas dasar laporan petugas sandi. Jika kau masih belum yakin, ajaklah orang itu menghadap Kanjeng Sultan, agar kau tahu pasti bahwa perintah itu datang dari Kanjeng Sultan.”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Jadi apakah maksud ceritera yang menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya itu Kakang?”

“Kau tentu tahu, bahwa ada orang-orang yang dengan tajam menentang berdirinya Mataram. Aku tahu, bahwa mereka selalu berusaha untuk membakar permusuhan antara Pajang dan Mataram. Setiap persoalan yang dapat dipergunakan sebagai alasan, tentu akan dipergunakannya. Dan kini, aku pula yang disangkutkannya.” Untara berhenti sejenak, lalu, “tetapi bantulah aku. Ceriterakan yang sebenarnya terjadi. Jika ceritera yang tidak benar itu sudah terlampau jauh beredar, biarlah aku sendiri akan memberikan keterangan kepada para perwira dan prajurit, setidak-tidaknya yang ada dibawah kekuasaanku.”

Perwira itu mengangguk. Namun masih juga nampak kebimbangan disorot matanya. Tetapi agaknya ia dapat mengerti keterangan yang diberikan oleh Untara itu.

“Aku sendiri adalah seorang prajurit,” berkata Untara, “secara pribadi aku tidak mempunyai persoalan dengan berdirinya Mataram. Tetapi jika aku mendapat perintah untuk berbuat sesuatu atas Mataram, maka sebagai prajurit aku akan melaksanakannya.”

Perwira itu mengangguk sekali lagi.

“Nah, lupakan ceritera itu. Aku tahu pasti, bahwa hal Itu tidak benar. Ki Gede Pemanahan sendiri justru terluka karenanya. Jika kedatangan Raden Sutawijaya dihubungkan dengan rencana itu, maka sudah barang tentu, rencana itu akan dapat dilaksanakan dengan sempurna, karena aku tidak akan dapat melawan mereka meskipun prajurit-prajurit dari Prambanan itu datang. Tetapi aku masih tetap hidup, dan, seperti yang aku ceriterakan, justru Ki Gedelah yang menolong jiwaku disaat yang paling berbahaya.”

“Baiklah Kakang,” berkata perwira itu, “aku akan berusaha untuk menceriterakan yang sebenarnya. Tetapi sikap dan tanggapan yang buruk atas Mataram rasa-rasanya semakin berkembang. Apalagi sejak gadis itu diketahui dengan pasti telah mengandung.”

“Itu adalah persoalan Kanjeng Sultan. Agaknya kedatangan Ki Gede ke Pajang ada pula sangkut pautnya dengan gadis itu. Jika Kanjeng Sultan tidak mengambil tindakan apapun, bagaimana mungkin justru kita yang akan menjatuhkan hukuman. Meskipun hanya sekedar kebencian?”

Perwira bawahan Untara itu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Untara. Dan sebenarnya ia memang lebih condong mempercayai Untara dari ceritera ngaya wara tentang usaha Mataram untuk menjebak Untara, tetapi ternyata Untara masih tetap hidup.

Tetapi kebencian orang-orang Pajang terhadap Raden Sutawijaya memang semakin berkembang. Orang-orang mulai ragu-ragu dengan keperwiraan Ki Gede Pemanahan karena tingkah laku anaknya. Gadis yang mengandung itu adalah kemanakan Ratu Kalinyamat sendiri. Gadis itu adalah putera Sunan Prawata suami isteri yang telah mendahului Sunan Hadiri dan Kanjeng Ratu Kalinyamat karena dibunuh pula oleh utusan Arya Penangsang.

“Gadis itu adalah tetesan darah Sultan Demak, orang-orang yang dengan sengaja membakar kebencian terhadap Raden Sutawijaya menyebarkan setiap ceritera yang dapat menumbuhkan jarak antara Mataram dari Pajang, “tingkah laku Raden Sutawijaya itu telah mencemarkan nama baik keturunan Demak sendiri.”

Ketika perwira bawahan Untara itu mengemukakannya kepada Untara, maka jawab Untara, “Coba pikirkan, manakah yang lebih baik bagimu. Apakah gadis itu menjadi isteri Raden Sutawijaya, atau menjadi isteri Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ingat, gadis itu adalah kemanakan langsung Permaisuri Pajang sekarang. Bukankah itu berarti bahwa gadis itu kemanakan Sultan pula.”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Untara pun berkata, “Sudahlah. Jangan persoalkan lagi. Kau harus dapat membantu menjernihkan keadaan. Aku berpendapat bahwa persoalan gadis itu harus ditutup sampai sekian,” tetapi suara Untara kemudian menurun, “sekali lagi aku katakan, aku adalah seorang Senapati. Aku akan melakukan segala perintah Sultan Hadiwijaya. Apakah persoalannya menyangkut gadis itu atau tidak.”

Perwira pembantunya tidak bertanya lagi. Ia menyadari bahwa Untara memang seorang prajurit. Tidak lebih dan tidak kurang. Karena itu ia pun harus bersikap serupa.

“Tetapi ada prajurit di Pajang yang tidak bersikap sebagai prajurit,” berkata perwira itu didalam hati. Dan ia melihat meskipun samar-samar bahwa prajurit-prajurit Pajang sudah mulai menempatkan dirinya dalam percaturan seluk beluk pemerintahan yang semakin rumit dalam hubungan antara Mataram dan Pajang, justru mereka ingin mengail di air keruh.

Demikianlah ternyata di Pajang telah terjadi benturan-benturan sikap dari para pemimpinnya menghadapi Mataram. Ada di antara mereka yang acuh tidak acuh. Ada yang bersikap sebagai sikap seorang prajurit sejati, tetapi di antara mereka ada yang dengan sengaja mempertajam kebencian yang ada di antara dua daerah itu.

Sementara itu, Raden Sutawijaya mencoba melemparkan dirinya kedalam kerja. Meskipun kadang-kadang terasa hatinya masih juga berdesir mengenang semua yang telah terjadi, namun ia berusaha melupakannya.

“Tetapi aku tidak boleh melupakan gadis dan anak didalam kandungan itu,” berkata Sutawijaya didalam hatinya.

Dan seperti dikatakan oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, maka Sultan Hadiwijaya mengharap agar ia bersikap baik dan bertanggung jawab atas gadis itu.

‘“Aku tidak akan ingkar,” katanya didalam hati. Namun dalam pada itu, Sutawijaya selalu tenggelam dalam usahanya untuk membuat Mataram menjadi sebuah negeri. Semua persoalan pribadinya dan masalah-masalah yang menyangkut keluarganya seakan-akan tidak pernah dihiraukannya lagi sebelum usahanya itu berhasil. Demikian pula dengan gadis yang sudah mengandung itu.

“Aku akan menjemputnya kelak, jika Mataram telah menjadi sebuah negeri. Aku akan menghadap Ayahanda Sultan Pajang dan akan menyembahnya dipaseban sambil mempersembahkan usahaku. Mataram yang telah menjadi sebuah negeri. Selebihnya aku akan mengambil Semangkin dan anak didalam kandungannya itu.”

Karena itu, tidak ada persoalan apapun yang dapat menahan Raden Sutawijaya. Ayahandanya pun jarang-jarang dapat menemuinya. Anaknya telah benar-benar tenggelam didalam kerja.

Namun ternyata Sutawijaja tidak hanya melulu bekerja untuk membangun Mataram menjadi sebuah negeri. Kadang-kadang untuk beberapa hari ia tidak dapat dijumpai. Orang-orangnya di bagian Selatan menyangkanya ada dibagian Utara. Orang-orangnya dibagian Utara menyangkanya sedang memimpin pembukaan Hutan dibagian Barat. Sedang orang-orang yang ada dibagian Barat menduga bahwa Sutawijaya sedang ada dibagian Timur. Tetapi orang-orang di bagian Timur tidak melihat Sutawijaya untuk beberapa hari, dan menduga bahwa Sutawijaya sedang beristirahat.

Jika demikian maka Sutawijaya sedang berada di tengah-tengah hutan yang masih belum disentuh tangan. Mesu diri dalam olah kanuragan dan kajiwan. Sebagai seorang laki-laki yang memiliki kemampuan melampaui kebanyakan orang, maka Sutawijaya telah mengembangkan diri tanpa tuntunan seorang guru. Dengan dasar ilmu yang ada padanya, yang diwarisinya dari ayahandanya, ia telah menemukan pancadan untuk bertambah maju.

Namun kadang-kadang Sutawijaya tidak berbuat apa-apa sama sekali didalam sepinya hutan yang lebat. Dengan duduk diatas cabang sebatang pohon, ia memperhatikan alam disekelingnya. Alam yang nampaknya diam tetapi penuh dengan ketegangan perjuangan antara hidup dan mati dari penghuni-penghuninya.

Dan Sutawijaya mengambil sari dari kehidupan yang tersembunyi itu bagi bekal hidupnya sendiri. Kehidupan yang semata-mata alami dan dikendalikan oleh naluri itu, sebagai bekal dalam kehidupan akal yang ada didalam dirinya

Kadang-kadang Sutawijaya menemukan nilai-nilai yang pantas diserapnya didalam hidupnya. Kadang-kadang Sutawijaya melihat betapa kejamnya kehidupan alami yang dikuasai oleh naluri semata-mata.

Raden Sutawijaya yang memiliki daya tangkap yang tajam itu berhasil menemukan bekal yang sangat berguna. Bukan saja didalam kehidupannya,  tetapi juga didalam olah kanuragan. Derap kaki kijang, tangkapan tangan beberapa ekor kera yang bekejaran. Bahkan usaha seekor kancil melepaskan diri dari kuku harimau, sangat menarik perhatiannya dan memberikan kekayaan bagi unsur gerak didalam olah kanuragan yang sedang disempurnakannya.

Meskipun demikian Raden Sutawijaya tidak melupakan tugasnya sebagai seorang pemimpin dari tanah yang sedang tumbuh dan berkembang. Setiap kali Sutawijaya sendiri memimptn penggalian susukan dan parit-parit yang membelah tanah yang akan dijadikan tanah persawahan. Sutawijaya sendiri memimpin pembuatan jalur-jalur jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain.

Dengan demikian, maka beberapa kekecewaan atas kekerasan hati Raden Sutawijaya kadang-kadang dapat dihapus oleh kekerasan hatinya pula didalam kerja.

Namun dalam pada itu, berbeda dengan Raden Sutawijaya yang menenggelamkan diri didalam kerja, maka Ki Gede Pemanahan rasa-rasanya menjadi semakin lemah. Luka-lukanya memang menjadi berkurang. Tetapi rasa-rasanya perkembangan keadaannya itu sangat lambat. Bahkan kadang-kadang tanpa sebab apapun juga, Ki Gede Pemanahan seakan-akan menjadi sangat sulit untuk bernafas. Dadanya menjadi sesak, dan kemudian terbatuk-batuk semalam suntuk.

Ki Gede Pemanahan adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang Panglima yang disegani lawan di peperangan. Namun ia tidak dapat melawan dirinya sendiri yang dicengkam oleh kekecewaan, penyesalan dan kecemasan.

Sekali-sekali terbayang juga di rongga matanya, wajah seorang gadis yang bersih dan bening. Dua orang gadis dikaki bukit Danaraja. Semangkin dan Prihatin. Keduanya adalah anak Sunan Prawata yang telah terbunuh, dan yang kemudian disusul oleh pamannya Sunan Hadiri.

Dikaki bukit Danaraja kedua gadis yang kemudian diberinya nama Pamikatsih dan Pamilutsih itu, dengan setia menunggui bibinya, Kanjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa sebagai pernyataan tuntutan nuraninya atas kematian saudaranya suami isteri dan suaminya sendiri, tanpa mengenakan pakaian selembar pun, selain menutup tubuhnya dengan rambutnya yang terurai.

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Masih pula terbayang, bagaimana Kanjeng Ratu Kalinyamat itu memanggilnya mendekat pada saat ia mengunjungi pertapaan itu.

“Maaf Kanjeng Ratu. Hamba tidak dapat. mendekat Kanjeng Ratu dalam keadaan seperti itu.”

“Kemarilah Kakang Pemanahan. Aku akan memberikan sesuatu kepadamu.”

Ki Gede masih tetap ragu-ragu Dan Kanjeng Ratu itu pun berkata pula, “Kakang, kau selama ini tidak pernah menolak permintaanku. Mendekatlah. Sekarang, kau pun tidak akan menolaknya.”

Dengan ragu-ragu Ki Gede pun kemudian berjalan mundur mendekati Kanjeng Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa.

Ternyata dari Kanjeng Ratu Kalinyamat, Ki Gede Pemanahan mendapat sebentuk cincin. Cincin, yang memiliki perlambang bahwa siapa yang mengenakannya, akan menurunkan orang-orang besar di Pulau Jawa.

Ki Gede yang sedang berbaring dipembaringannya itu menarik nafas. Kenangan itu rasa-rasanya baru saja kemarin terjadi. Kini ia bersama anaknya sudah membuka daerah baru. Daerah yang diharapkannya akan tumbuh dan berkembang.

“Apakah Sutawijaya akan menjadi orang besar kelak?” Ki Gede bertanya kepada diri sendiri. Yang kemudian diteruskannya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan Mataram dapat berdiri tegak dan anakku akan melanjutkan usahaku membuat Mataram besar. Dan agaknya ia sudah mulai sejak sekarang.”

Ki Gede mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Terbayang pula Semangkin yang sudah mengandung. Perempuan itu akan melahirkan anak Raden Sutawijaya. Cucunya dan juga cucu Kanjeng Sunan Prawata.

Namun dalam pada itu, hampir setiap saat Ki Gede Pemanahan telah hanyut dalam dunia angan-angannya. Karena itulah maka keadaannya justru menjadi semakin buram.

Ki Lurah Branjangan yang setiap saat merawatnya menjadi gelisah. Sehingga pada suatu saat ia tidak dapat menahan kecemasannya dan memerintahkan seorang pengawal mencari Raden Sutawijaya.

“Carilah di seluruh sudut Tanah Mataram. Katakanlah bahwa aku memohon Raden Sutawijaya kembali barang sehari. Rasa-rasanya ayahandanya memerlukannya meskipun hanya sesaat.”

Pengawal itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan pusat pemerintahan Tanah yang baru tumbuh itu mencari Raden Sutawijaya. Pengawal itu sadar, bahwa kadang-kadang Raden Sutawijaya mudah sekali dijumpai. Tetapi kadang-kadang harus dicarinya barang dua tiga hari.

Dari beberapa orang pengawal ia mendapat petunjuk bahwa Raden Sutawijaya berada dibagian Barat Alas Mentaok yang sedang dibuka itu. Namun ketika pengawal itu memacu kudanya menuju ke arah Barat, maka pengawal yang lain berkata, “Aku baru saja bertemu Raden Sutawijaya dibagian Selatan.”

“Tentu tidak mungkin,” sahut pengawal yang mencarinya, “orang yang memberi petunjuk kepadaku itu pun mengatakan bahwa Raden Sutawijaya berada dibagian Barat. Baru saja ia bertemu.”

Pengawal yang merasa dirinya baru saja bertemu dengan Raden Sutawijaya itu merenung sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Mungkin, Memang mungkin Raden Sutawijaya yang baru aku lihat dibagian Selatan itu telah berpindah kebagian Barat.”

“Ya. Menjelang tengah hari,” sahut yang mencarinya.

“He,” namun tiba-tiba pengawal yang menjumpai Raden Sutawijaya itu mengerutkan keningnya, “tentu tidak menjelang tengah hari. Tentu sesudah tengah hari.”

“Kenapa? Yang menjumpai di sebelah Barat itu bukan kau. Tetapi pengawal itu. Dan ia tentu lebih tahu daripada kau.”

“Nanti dulu,” pengawal itu nampak berpikir dengan sungguh-sungguh. Kemudian katanya, “Aku menjumpai Raden Sutawijaya dibagian Selatan juga menjelang tengah hari.”

“He? Kau tentu sedang bermimpi di tengah hari.”

“Tidak. Aku tidak pernah bermimpi tanpa tidur. Aku yakin bahwa menjelang tengah hari aku bertemu dengan Raden Sutawijaya diatas seekor kuda berwarna hitam. Bahkan kemudian Raden Sutawijaya turun dari kudanya, berjalan menyusuri parit yang sedang digali. Dengan cemeti kecil ia menunjuk beberapa bagian yang harus disempurnakan. Dan dengan cemeti kecil itu pula Raden Sutawijaya menggores tanah membuat garis-garis batas dari parit itu ditikungan.”

Pengawal yang sedang mencari itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Pengawal yang baru saja datang dari bagian Barat itu melihat Raden Sutawijaya ikut membuat jalan yang membelah sebuah padukuhan kecil yang sedang berkembang karena beberapa orang penghuni baru telah berdatangan.”

“Tidak,” sahut lawannya berbicara.

Hampir saja keduanya bersitegang. Namun kemudian seorang pengawal yang lebih tua dari mereka datang menengahi sambil tersenyum, “Kalian memang bodoh.”

“Kenapa?” bertanya kedua pengawal itu.

“Kenapa kalian bertengkar tentang Raden Sutawijaya?”

“Aku melihatnya. Dan aku membertahukan kepadanya. Tetapi ia tidak percaya.”

“Tentu. Orang lain mengatakan bahwa ia bertemu dengan Raden Sutawijaya dibagian Barat.”

“Keduanya benar,” sahut pengawal yang lebih tua itu.

“He,” kedua pengawal itu terkejut.

“Ya. Memang Raden Sutawijaya dapat saja berada dibagian Selatan dan dibagian Barat sekaligus.”

“Aku tidak mengerti,” desis pengawal itu.

“Raden Sutawijaya dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang sama.”

“Ah.”

“Itu adalah pertanda bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Kau tentu ingat, bahwa Ki Gede Pemanahan pun telah menggemparkan musuh-musuhnya ketika terjadi benturan bersenjata antara Pajang dan Jipang. Sebelum sampai pada saat terakhir sebagai puncak pertempuran dipinggir Bengawan Sore, maka pertentangan di beberapa tempat telah melibatkan Ki Gede Pemanahan dalam pertempuran-pertempuran itu. Ia ada di beberapa tempat dalam waktu yang sama, sehingga kadang-kadang prajurit Jipang saling berbantah sendiri, bahwa mereka telah bertempur melawan sekelompok prajurit dibawah pimpinan Ki Gede Pemanahan langsung.”

Para pengawal yang mendengarkan pembicaraan itu berdiri dengan wajah yang tegang. Namun satu dua di antara mereka memang pernah mendengar ceritera semacam itu tentang Ki Gede Pemanahan. Dan kini mereka mendengar pula tentang Raden Sutawijaya.

Karena itu maka pengawal yang sedang mencari Raden Sutawijaya itu pun bertanya, “Jadi, jika demikian, kemana aku harus mencarinya. Apakah aku harus pergi ke Barat atau ke Selatan. Jika Raden Sutawijaya memang berada dikedua tempat itu, kepada Raden Sutawijaya yang manakah aku harus berhubungan. Karena tentu hanya ada satu saja di antara mereka yang tetap berpribadi.”

“Ya. Satu di antara merekalah yang tetap berpribadi. Tetapi kepribadian itu pun memancar kepada yang lain.”

“Sumbernya.”

“Itulah yang sulit. Tetapi rasa-rasanya bahwa mereka adalah satu. Kau dapat berhubungan dengan Raden Sutawijaya, yang manapun juga.”

Pengawal itu menjadi agak bingung. Namun, kemudian katanya, “Aku akan pergi ke Barat.”

“Pergilah, Mudah-mudahan kau akan segera bertemu. Seperti kalian mengetahui, Raden Sutawijaya dapat berada di beberapa tempat pada suatu waktu, tetapi Raden Sjitawijaya pun dapat tidak berada dimanapun dalam suatu waktu.”

Pengawal itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, “Aku menjadi bingung. Tetapi biarlah aku mencarinya.”

Sejenak kemudian maka pengawal itu pun telah berpacu pula. Tetapi karena jalan yang dilaluinya kemudian masih terlampau buruk, maka perjalanannyapun menjadi tidak begitu cepat lagi. Beberapa batang kayu masih melintang dijalan. Bahkan kadang-kadang kudanya harus berbelok lewat gerumbul-gerumbul liar di sebelah jalan yang belum siap benar itu.

Di sepanjang perjalanannya, pengawal itu selalu dirisaukan oleh ceritera kawannya yang lebih tua. Ia tidak dapat mengerti bahwa Raden Sutawijaya dalam suatu waktu dapat berada dibeberapa tempat. Tetapi dalam waktu yang lain sama sekali tidak ada dimanapun juga.

“Berbelit-belit,” katanya didalam hati, “pokoknya aku akan mencarinya. Menyampaikan pesan Ki Lurah Branjangan, mohon agar ia kembali barang sehari dua hari.”

Pengawal itu melanjutkan perjalanan dengan hati yang berdebar-debar. Dipandanginya daerah yang masih sedang dikerjakan di bagian Barat dari Alas Mentaok yang sedang dibuka itu. Beberapa bagian telah menjadi padukuhan yang mulai berpenghuni

“Tentu di sekitar padukuhan itu,” berkata pengawal itu kepada diri sendiri.

Dalam setiap kesempatan pengawal itu mencoba untuk mempercepat perjalanannya. Kadang-kadang ia dapat berpacu agak cepat. Namun kemudian harus dengan sabar membiarkan kudanya berjalan perlahan-lahan.

“Dimusim basah, daerah ini akan menjadi rawa-rawa,” berkata pengawal itu didalam hatinya. Namun ketika kemudian dilihatnya susunan parit yang mulai teratur, maka ia pun berkata pula kepada dirinya sendiri, “Tetapi agaknya daerah ini sudah dihubungkan dengan daerah-daerah yang lebih rendah dengan parit-parit, untuk membuang air yang tergenang dimusim basah. Sedang dimusim kering, air dapat diangkat dari sungai-sungai kecil untuk mengaliri daerah yang sedang dibuka ini.”

Pengawal itu pun langsung menuju ke tempat orang-orang yang sedang bekerja, membuat jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, membedah sebuah padukuhan kecil lainnya di antara kedua padukuhan itu.

Pengawal berkuda itu ternyata telah menarik perhatian para pekerja yang sedang giat membangun daerahnya itu. Salah seorang yang sudah setengah umur kemudian mendekatinya dan bertanya, “Ki Sanak, apakah ada sesuatu yang penting yang harus kau sampaikan kepada kami?”

“Aku mendapat perintah untuk menemui Raden SutaWijaya,” jawab pengawal itu.

“O,” orang setengah umur itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling. Katanya kepada seorang kawannya, “Pengawal ini ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya.”

“Bukankah Raden SutawMaya baru saja pergi ke daerah Selatan?”

Orang setengah umur itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Oh ya. Hampir aku lupa. Baru saja Raden Sutawijaya pergi kedaerah Selatan.”

Pengawal itu menggigit bibirnya. Lalu katanya, “Orang-orang yang haru saja datang dari daerah Selatan memang mengatakan Raden Sutawijaya ada disana. Tetapi bukan baru saja. Tetapi sudah sejak tadi.”

“Ah,” orang setengah umur itu berdesah, “mana mungkin. Baru saja Raden Sutawijaya ada disini. Makan siang disini, bersama dengan kami. Nasi jagung dengan jangan lembayung yang tadi pagi dipetik dari batang kacang panjang yang merambat dipagar sepanjang beberapa ratus patok mengelilingi daerah ini.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya.

Karena pengawal itu tidak segera menjawab, orang setengah umur itu melanjutkan, “Ketika perempuan-perempuan memetik lembayung itu, ternyata mereka mendapatkan tiga bakul penuh.”

Pengawal itu pun kemudian memotong, “Ya. Ya. Tetapi aku harus bertemu dengan Raden Sutawijaya.”

“Pergilah kedaerah Selatan. Mereka disana sedang membuat sebuah parit induk. Tentu Raden Sutawijaya menunggui pembuatan parit induk itu.”

“Apakah tidak mungkin pergi ke daerah Utara?”

“Raden Sutawijaya tidak mengatakan demikian. Dan barangkali pekerjaan didaerah Utara sudah lebih lancar. Jalan menuju ke padukuhan yang paling ujung sudah dapat dilalui. Dan parit-parit sudah mulai mengalir. Jika Raden Sutawijaya pergi ke Utara, hanyalah tinggal memberikan petunjuk untuk mengembangkan padukuhan-padukuhan itu. Memelihara yang sudah ada, dan hanya jika perlu saja melengkapinya dengan jalan-jalan dan parit yang baru. Tetapi pekerjaan disana sudah tidak begitu banyak seperti disini.”

“Tetapi bagaimana dengan perluasan tanah persawahan? Apakah tidak ada pembukaau hutan baru didaerah Utara?”

“Untuk sementara sudah dihentikan. Daerah yang sudah terbuka ini masih harus digarap terus-menerus.”

Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah, aku akan mencari Raden Sutawijaya ke Selatan.”

Pengawal itu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya dan memacunya meninggalkan daerah yang sedang dikerjakan itu. Tetapi setiap kali derap kaki kudanya terganggu, sehingga kadang-kadang kuda itu harus berjalan perlahan-lahan. Menyimpang dan meloncati batang-batang yang melintang.

“Bodoh sekali,” geram pengawal itu, “seharusnya mereka membersihkan jalan-jalan ini lebih dahulu sebelum membuat perpanjangan dari jalur jalan ini.”

Baru ketika pengawal itu sampai ke jalan yang sudah agak baik, maka kudanya pun berpacu lagi dengan kecepatan yang lebih tinggi.

Namun pengawal itu masih saja dipengaruhi oleh ceritera tentang Raden Sutawijaya yang dapat berada dibeberapa tempat dalam waktu yang sama, tetapi juga dapat tidak ada dimanapun juga pada suatu waktu.

“Mudah-mudahan aku tidak mendapatkan Raden Sutawijaya sedang tidak ada dimana pun juga sekarang ini,” katanya kepada diri sendiri.

Kudanyapun kemudian dipacu semakin cepat. Ia segera ingin mengetahui, apakah benar Raden Sutawijaya dapat lenyap untuk suatu saat.

Ketika di kejauhan dilihatnya sekelompok orang bekerja di tengah-tengah bulak, ia menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu nampaknya masih terlampau kecil. Seperti lebah yang berkerumun disarangnya.

Dengan demikian pengawal itu justru menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui dengan segera, apakah Raden Sutawijaya ada di antara orang-orang itu atau tidak. Karena itulah maka kudanya pun dipacunya semakin cepat.

Beberapa langkah dari orang-orang yang sedang sibuk itu, kudanya dihentikannya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun, sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup.

Orang-orang yang sedang bekerja itu pun terkejut melihat kehadirannya yang tergesa-gesa itu. Salah seorang dari mereka mendekatinya sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting?”

Dengan berdebar-debar pengawal itu ganti bertanya, “Apakah Raden Sutawijaya ada disini?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan tempat ini.”

“O,” sepercik kekecewaan membayang diwajah pengawal itu. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi, apakah Raden Sutawijaya sudah lama berada ditempat ini?”

Orang itu termangu-mangu. Jawabnya, “Sudah cukup lama Raden Sutawijaya telah cukup lama menunggui kerja kami menyelesaikan parit ini.”

Pengawal itu menggigit bibirnya. Dipandanginya orang itu dengan wajah yang terheran-heran.

“Kenapa?” bertanya orang itu.

Pengawal itu masih bimbang. Lalu jawabnya kemudian, “Raden Sutawijaya baru saja meninggalkan lapangan kerja bagian Barat. Aku baru saja datang dari sana.”

“Tentu bukan, baru saja Raden Sutawijaya sudah agak lama berada disini.”

Pengawal itu tidak ingin mempersoalkannya lagi. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau tahu, kemana perginya Raden Sutawijaya?”

Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “aku tidak tahu. Raden Sutawijaya tidak mengatakan kemana ia akan pergi.”

“Dibagian Barat Raden Sutawijaya mengatakan, bahwa ia akan pergi ke Selatan.”

“Kami tidak diberitahukannya. Yang kami dengar Raden Sutawijaya tidak akan bermalam disini.”

‘“Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit malam nanti,” tiba-tiba seseorang yang berambut putih memotong pembicaraan itu.

“O,” sahut pengawal yang sedang mencarinya, “di mana?”

“Aku tidak tahu.”

Pengawal itu menjadi bingung. Kemana ia harus mencari Raden Sutawijaya yang akan melihat bulan purnama yang terbit malam nanti.

Karena itu, maka pengawal itu pun kemudian minta diri. Ia harus menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan, bahwa ia belum berhasil menemukan Raden Sutawijaya. Jika Ki Lurah Branjangan mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi untuk melihat purnama terbit, maka ia akan mencarinya menjelang malam.

Dengan demikian maka pengawal itu pun kemudian meninggalkan orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan saluran air itu, dan kembali ke pusar kota untuk menghadap Ki Lurah Branjangan.

“Aku tidak dapat menemukannya Ki Lurah,” berkata pengawal itu.

“Kenapa?”

“Aku sudah datang kebagian Barat, karena menurut beberapa keterangan Raden Sutawijaya ada dibagian Barat. Ternyata Raden Sutawijaya sudah pergi ke Selatan. Ketika aku pergi ke Selatan, Raden Sutawijaya sudah tidak ada lagi. Menurut keterangan orang-orang dibagian Selatan itu, Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit malam nanti.”

“Purnama terbit?” Ki Lurah menjadi heran.

“Ya. Purnama terbit.”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu. Ia menjadi heran, bahwa Raden Sutawijaya sempat memikirkan untuk melihat purnama terbit.

“Apakah ada sesuatu yang dirindukannya sehingga anak muda itu tiba-tiba menjadi seorang yang agak cengeng,” desisnya.

“He,” pengawal itu memotong, “kenapa cengeng? Purnama terbit memang memberikan kesan tersendiri. Coba Ki Lurah melihatnya sendiri. Ki Lurah akan menjadi muda kembali.”

“Ah.”

“Didalam terangnya purnama, gadis-gadis padukuhan memukul lesungnya dalam irama yang ngelangut. Seakan-akan mereka mendendangkan debar kerinduan hati mereka kepada kekasihnya.”

“O,” desah Ki Lurah Branjangan, “kau pun menjadi cengeng.”

“Tidak Ki Lurah. Memang kadang-kadang kita tergerak untuk melihat bulan terbit. Apalagi saat purnama. Tetapi agaknya Ki Lurah pun betul, Raden Sutawijaya sedang diganggu olen perasaan rindu. Karena itu, maka ia ingin melepaskan kerinduannya dengan melihat purnama terbit malam nanti.”

“Tetapi malam nanti. Kenapa sekarang Raden Sutawijaya telah pergi?”

“Tentu aku tidak tahu.”

“Baiklah. Aku akan mencarinya sendiri. Ia harus segera menengok ayahandanya. Ki Gede Pemanahan menjadi semakin pucat dan lemah. Barangkali Raden Sutawijaya dapat berbuat sesuatu. Raden Sutawijaya mempunyai sahabat seorang dukun yang baik. Yang sekarang berada di Menoreh. Meskipun dukun itu sendiri sedang menyembuhkan luka-lukanya, namun ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menolong Ki Gede Pemanahan.”

“Dukun?” bertanya pengawal itu.

“Ya. Dan sekarang, aku akan minta diri kepada Ki Gede untuk mencari puteranya.”

Pengawal itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi malam masih cukup jauh. Jika Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit, maka ia tentu akan menunggu lewat senja.

Sementara itu, Ki Lurah Branjangan pun pergi menghadap Ki Gede Pemanahan di pembaringan. Setelah menanyakan apakah yang diperlukan, maka Ki Lurah pun kemudian berkata, “Ki Gede. Aku ingin minta diri barang semalam untuk mencari Raden Sutawijaya.”

“Kenapa kau harus mencarinya?”

“Ki Gede nampaknya menjadi semakin lemah. Aku menjadi teringat kepada dukun yang sekarang ada di Menoreh. Barangkali ia dapat menyembuhkan, atau setidak-tidaknya mengurangi sakit Ki Gede Pemanahan.”

“Aku tidak sakit Branjangan,” jawab Ki Gede, “sebagaimana kau lihat, luka-lukaku sudah jauh berkurang. Bahkan sudah hampir sembuh sama sekali.”

“Tetapi Ki Gede nampaknya semakin pucat.”

“Apakah nampaknya demikian?”

“Ya. Ki Gede.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya kemudian, “Aku tidak merasa apa-apa. Badanku menjadi semakin sehat dan segar. Luka-lukaku pun akan segera sembuh.”

“Tetapi jika dukun itu dapat mempercepat kesembuhan Ki Gede itu tentu akan lebih baik.”

Ki Gede tidak segera menyahut. Tetapi tiba-tiba saja ia dorong oleh suatu keinginan untuk bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernada Kiai Gringsing, dan yang pernah juga disebut Ki Tanu Metir. Ada sesuatu yang menarik pada orang itu.

“Apakah Ki Gede Pemanahan belum mengenal dukun itu?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

Ki Gede menarik nafas alam-dalam. Sekilas terkenang olehnya, betapa Kiai Gringsing itu selalu menghindari pertemuan dengannya. Sejenak di Sangkal Putung, dan saat-saat kemudian Kiai Gringsing tidak pernah berhasil dijumpainya. Hanya anaknya sajalah yang selalu bertemu dan bahkan bekerja bersamanya.

“Ada sesuatu yang menarik pada dukun itu,” berkata Ki Gede Pemanahan, “karena itu, jika aku mengundangnya, bukan semata-mata karena aku mencemaskan sakitku. Aku memang ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Orang yang memiliki kemampuan menyembuhkan orang sakit dan sekaligus kemampuan bermain-main dengan cambuk.”

Ki Lurah Branjangan merenung sejenak. Lalu katanya, “Jadi apakah Ki Gede sependapat, bahwa aku akan membicarakannya dengan Raden Sutawijaya?”

Ki Gede tidak segera menyahut. Bahkan ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau tahu dimana Sutawijaya sekarang?”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Seorang pengawal sudah berusaha menjumpainya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak ada dibeberapa tempat. Terakhir para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah parit di sebelah Selatan mengatakan, bahwa Raden Sutawijaya sedang pergi sebentar untuk melihat bulan purnama terbit.”

“He,” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Apakah kau akan mencarinya ke tempat purnama itu terbit di cakrawala?”

Ki Lurah Branjangan pun tersenyum. Jawabnya, “Aku memang akan mencarinya Ki Gede. Tetapi saat purnama terbit masih terlampau lama. Karena itu, biarlah aku mencarinya ke daerah sebelah Timur. Mungkin Raden Sutawijaya ada di ujung bagian Timur, dihadapan  daerah terbuka yang menghadap Alas Tambak Baya. Dari sana bulan yang sedang terbit akan nampak bagaikan timbul dari balik cakrawala.”

Ki Gede Pemanahan yang pucat itu tertawa. Katanya, “Pergilah. Aku tidak berkeberatan. Bahkan kau dapat mengatakan kepadanya bahwa aku memang ingin dapat bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah Ki Gede. Aku minta diri diluar ada seorang pelayan yang dapat melayani Ki Gede jika Ki Gede perlukan.”

“Aku dapat bangkit, berdiri dan berjalan kemana-mana.”

“Tetapi Ki Gede harus beristirahat cukup banyak, sehingga agaknya lebih baik jika Ki Gede tidak bangkit dan berjalan keluar lebih dahulu.”

Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan menjaga diriku sendiri.”

Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan pun meninggalkan Ki Gede Pemanahan, ia segera menyuruh seorang pengawal menyiapkan kudanya. Ia sendiri ingin mencari Raden Sutawijaya sampai ketemu, dan kemudian bersama-sama pergi ke Menoreh untuk minta Kiai Gringsing datang berkunjung ke Mataram.

“Mudah-mudahan orang itu belum meninggalkan Menoreh,” katanya, “jika sudah, maka aku harus mencarinya ke Sangkal Putung.”

Namun demikian terbersit suatu pertanyaan pula didalam hatinya. Ki Gede Pemanahan menaruh minat atas kehadiran Kiai Gringsing bukan untuk mengobatinya. Namun agaknya ada sesuatu yang memang menarik perhatiannya pada Kiai Gringang itu sendiri.

“Apakah memang ada rahasia yang tersembunyi pada orang tua yang perkasa itu,” bertanya Ki Lurah Branjangan kepada diri sendiri, “hampir setiap saat Kiai Gringsing berbuat sesuatu untuk menolong Mataram. Sebelumnya Kiai Gringsing sudah banyak berbuat untuk Pajang. Pada saat pergolakan berkisar di Sangkal Putung, Kiai Gringsing sudah mulai ikut mengambil bagian. Dan Untara harus mengakui bahwa dukun tua itu sudah menyelamatkan jiwanya. Bahkan kemudian membentuk adiknya menjadi seorang anak muda yang perkasa.”

Setelah siap, maka Ki Lurah Branjangan pun kemudian dengan dikawal oleh dua orang pengawal pergi mencari Raden Sutawijaya. Salah seorang dari kedua pengawal itu adalah pengawal yang sudah mencari Raden Sutawijaya sebelumnya.

“Kita akan pergi ke Timur,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Ke ujung Alas Mentaok?” bertanya salah seorang pengawal.

“Ya. Mungkin Raden Sutawijaya ada di ujung Alas Mentaok dan menunggu purnama naik. Sebuah tempat terbuka yang memisahkan Alas Mentaok dan Tambak Baya merupakan tempat yang baik untuk menunggu purnama naik.”

“Bagaimana jika Raden Sutawijaya berada di ujung Alas Tambak Baya?”

Ki Lurah Branjangan hanya menarik nafas. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan sudah mempunyai perhitungan tersendiri dengan kepergian Raden Sutawijaya. Meskipun demikian ia masih belum mengatakan kepada siapapun karena ia masih belum yakin bahwa perhitungannya itu benar. Namun demikian, ia pun pergi juga ke arah Timur Alas Mentaok.

Ki Lurah Branjangan sama sekali tidak tergesa-gesa. Hari masih terlampau siang untuk menunggu bulan purnama terbit. Meskipun demikian keduanya berjalan juga langsung menuju ke ujung Timur Alas Mentaok.

Ketiganya berkuda menyelusuri daerah yang sudah dibuka. Kadang-kadang mereka melewati padukuhan-padukuhan kecil yang sudah dihuni oleh beberapa orang. Bahkan ada pula sebuah padukuhan yang sudah nampak berkembang dan menjadi ramai.

Ketika Ki Lurah Branjangan sampai di depan sebuah gardu peronda yang kebetulan berisi tiga orang, maka ia pun segera berhenti dan bertanya, “Ki Sanak, apakah kalian melihat seseorang lewat?”

Ketiga orang itu pun kemudian keluar dari gardu dan merenung sejenak. Sementara itu Ki Lurah Branjangan mengulangi pertanyaannya, “Apakah ada seseorang yang lewat?”

Salah seorang dari mereka menjawab, “Ada beberapa orang yang lewat dijalan ini.”

“Yang berkuda?”

Orang-orang itu mengerutkan beningnya. Salah seorang menjawab, “Selama kami ada digardu ini, kami tidak melihatnya.”

“Apakah kalian bertugas meronda dis iang hari begini?”

“Tidak. Kami melepaskan lelah dan duduk-duduk saja di gardu.”

“Sudah lama?”

“Belum begitu lama.”

“Apakah kalian sudah mengenal Raden Sutawijaya?”

“O, tentu.”

“Raden Sutawijaya yang aku maksud lewat melalui jajan ini. Apakah kalian melihatnya?”

Mereka saling berpandangan sejenak. Kemudian hampir bersamaan mereka menggeleng, “Tidak. Kami tidak melihat.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih. Aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Ki Lurah akan kemana?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Mencari Raden Sutawijaya.”

Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnya pun segera meneruskan perjalanan. Mereka percaya kepada keterangan para penjaga gardu itu. Apalagi mereka memang tidak melihat jejak kaki kuda yang masih baru.

Ketika mereka sudah melampaui padukuhan itu, Ki Lurah Branjangan berkata, “Raden Sutawijaya tentu tidak melalui jalan yang sudah terbuka ini.”

“Apakah ada jalan lain?” bertanya pengawal itu.

“Jalan yang sudah terbuka memang tidak ada. Tetapi sejak belum ada jalan sama sekali, Raden Sutawijaya memang sudah hilir mudik ke Alas Mentaok.”

“Maksud Ki Lurah, hilir mudik antara Mentaok dan Pajang, begitu?”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya. Maksudku memang demikian.”

Ketiganya pun kemudian berdiam diri. Mereka memandang jalur jalan di hadapan mereka. Meskipun jalan itu masih belum baik namun jalan itu sudah cukup banyak memberikan manfaat kepada Mataram dan daerah di sekitarnya. Di beberapa bagian Ki Lurah Justru melihat orang-orang yang sedang beramai-ramai bekerja menyempurnakan jalan itu. Sedang yang lain masih juga sibuk memperluas tanah garapan mereka dengan menebang hutan. Di beberapa gardu tampak orang-orang yang sedang beristirahat sambil mengunyah makanan, setelah mereka memeras keringat menyempurnakan padukuhan masing-masing.

Tetapi tidak seorang pun yang melihat Raden Sutawijaya lewat.

“Kita harus mempercepat jalan kuda-kuda kita,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Masih terlampau siang,” sahut salah seorang pengawalnya.

“Mungkin kita akan pergi ke Tambak Baya.”

Tidak ada yang menjawab.

“Tetapi Tambak Baya sekarang sudah aman. Jika ada perampok kecil karena orang-orang malas yang kelaparan, akan dapat kita selesaikan.”

Kedua pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah kuda-kuda itu berlari semakin cepat. Mereka melintasi jalan yang sudah agak baik. Namun semakin lama jalan itu menjadi semakin buruk. Dan bahkan pada suatu saat seakan-akan ujung jalan itu menusuk masuk ke dalam hutan yang masih lebat. Ujung sebelah Timur dari Alas Mentaok yang memang belum digarap seluruhnya.

Dengan demikian maka perjalanan mereka pun mulai terganggu. Mereka hanya dapat maju dengan perlahan-lahan. Namun mereka sama sekali tidak tergesa-gesa, karena senja masih cukup jauh.

“Meskipun jalan ini seolah-olah terputus sampai disini, tetapi jalur ini adalah jalur satu-satunya yang paling baik untuk menuju ke Timur,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Jalan ini adalah jalan raya menuju ke Pajang,” sahut seorang pengawalnya.

Ki Lurah Branjangan tidak menyahut. Jalan itu memang jalan satu-satunya. Diluar Alas Mentaok jalan itu menjadi agak rata. Apalagi setelah melampaui Alas Tambak Baya. Jalan itu benar-benar merupakan jalan raya.

Ketiganya pun kemudian maju sambil berdiam diri. Meskipun tidak begitu cepat, namun mereka pun kemudian sampai juga ke mulut lorong yang bagaikan pintu goa keluar dari Alas Mentaok.

“Raden Sutawijaya tidak ada disini, berkata salah seorang pengawalnya.

“Ya. Kita tidak menemukannya. Menurut dugaanku, tidak ada tempat yang lebih baik dari tempat ini untuk menunggu bulan purnama naik. Purnama itu nampaknya tentu seperti lingkaran emas raksasa yang memanjat diatas hitamnya hutan Tambak Baya yang membujur, seperti garis tebal yang tergores dilangit,” sahut yang lain.

“Ah, kau sudah berangan-angan,” potong Ki Lurah Branjangan.

Pengawal itu tertawa. Katanya, “Hampir sepanjang hidupku aku tidak pernah memikirkan purnama naik. Dimasa kanak-kanak kadang aku kegirangan jika bulan terang. Aku dapat bermain sampai jauh malam. Kadang-kadang malam menjadi terang seperti siang. Tetapi belum pernah terlintas di kepalaku untuk menunggu dan melihat saat purnama naik diatas cakrawala.”

Kawannya pun tertawa. Ki Lurah Branjangan yang mula-mula mengerutkan keningnya pun tertawa pula.

“Kita akan berjalan terus,” berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.

“Kemana?” bertanya pengawal itu dengan herannya.

“Melintasi Alas Tambak Baya. Di ujung Alas Tambak Baya kita tentu akan dapat melihat bulan yang sedang terbit itu tanpa dihalangi oleh seleret garis hitam yang tebal. Kita akan langsung dapat melihat, begitu bulan mulai tersembul di cakrawala.”

Kedua pengawal itu terdiam sejenak. Namun hampir berbareng keduanya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Aneh. Tiba-tiba saja kita sudah terlibat dalam persoalan bulan yang akan terbit malam ini.”

Kedua orang yang lainpun tertawa pula berkepanjangan.

Namun demikian Ki Lurah Branjangan berkata, “Marilah. Kita akan tetap berjalan terus.”

Kedua pengawalnya tidak menyahut. Mereka mengikuti saja dibelakangi Ki Lurah Branjangan yang sudah, mendahului. Dan bahkan berkata, “Kita harus berjalan lebih cepat agar kita tidak kemalaman justru didalam hutan Tambak Baya.”

Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera berlari. Jalan diluar Alas Mentaok nampaknya agak lebih baik sehingga kuda mereka dapat berlari agak kencang. Namun ketika mereka mulai memasuki Alas Tambak Baya, maka kuda-kuda itu pun berjalan agak lambat.

“Jalan ini sudah menjadi jauh lebih baik, sejak tidak banyak lagi gangguan,” berkata Ki Lurah Branjangan, “diwaktu-waktu terakhir sudah banyak para pedagang yang hilir mudik lewat jalan ini. Karena itu, perbaikan jalan di ujung Alas Mentaok itu harus dipercepat, agar arus perdagangan menjadi lebih lancar.”

“Jalan itu sudah jauh lebih baik dari beberapa pekan yang lampau,” berkata seorang pengawalnya.

“Tetapi masih dapat menjadi lebih baik lagi.”

Ketiganya tidak berbicara terlampau banyak lagi. Jalan di hutan Tambak Baya itu pun masih perlu mendapat perhatian. Orang-orang Mataramlah yang paling berkepentingan untuk membuat jalan itu benar-benar menjadi jalan yang dapat dilalui dengan baik.

“Kita akan terlambat sampai di ujung hutan ini,” berkata salah seorang pengawal tiba-tiba.

“Ya. Kita akan keluar dan hutan ini setelah purnama terbit,” sahut pengawal yang lain.

“Itu tidak penting. Raden Sutawijaya akan tetap berada disana jika ia memang pergi kesana.”

“Jika ia sudah kembali?”

“Jalan ini adalah jalan yang akan dilaluinya.”

“Jika Raden Sutawijaya memilih jalan lain? Melintas hutan yang pepat seperti yang sering dilakukan?”

“Kita tidak akan berjumpa dijalan ini.”

Kedua pengawal Ki Lurah Branjangan tidak menjawab Tetapi ada semacam keseganan di dalam hati mereka untuk manyelusuri jalan itu mencari Raden Sutawijaya. Apalagi dalam ketidak pastian seperti itu. Seakan-akan mereka sedang melakukan pekerjaan yang tidak berguna sama sekali. Apalagi jalan yang mereka lalui meskipun sudah tenang, namun mereka masih harus berwaspada. Terlebih-lebih lagi, warna kelabu mulai membayang di langit yang kemerah-merahan.

Mereka bertiga menyadari, bahwa mereka akan terlambat keluar dari hutan itu. Namun demikian mereka masih saja berjalan terus menuju kemulut lorong di hutan Tambat Baya itu.

Perlahan-lahan warna yang kelam mulai turun menyelubungi hutan Tambak Baya. Matahari yang telah merayap semakin dekat dengan cakrawala.

Ketiga orang Mataram itu berjalan terus sambil berdiam diri. Sekali-sekali mereka menengadahkan, wajah kelangit, dan di lihatnya senja menjadi semakin buram.

Ki Lurah Branjangan mencoba mempercepat lari kudanya, Ia berharap bahwa ia masih akan dapat mencapai mulut lorong sebelum gelap menjadi semakin pekat, menjelang purnama yang akan segera terbit. Tetapi cahaya bulan itu tidak akan terlampau banyak menyusup disela-sela dedaunan hutan yaug lebat seperti Alas Tambak Baya.

Tetapi Ki Lurah Branjangan dengan kedua pengiringnya tidak dapat memaksa kudanya berlari lebih cepat lagi. Sebelum mereka sampai ke batas hutan, maka mataharipun segera tenggelam, dan hutan pun menjadi hitam.

“Jika kita berada di tengah sawah, maka agaknya masih akan nampak cahaya merah dilangit dan rasa-rasanya kita masih akan dapat melihat jalan yaug menjelujur dihadapan kita,” berkata salah seorang pengawal itu di dalam hatinya. Namun karena mereka berada dibawah rimbunnya dedaunan, maka senja itu benar-benar telah menjadi gelap.

Tetapi mereka menyadari, bahwa sesaat lagi, udara akan segera menjadi cerah. Bulan purnama akan segera terbit dan menerangi langit.

“Namun hutan ini akan tetap gelap,” gumam pengawal itu pula didalam hati.

Meskipun demikian mereka berjalan terus.

Ternyata mereka tidak terlambat terlampau banyak. Meskipun mereka tidak dapat melihat saat purnama pecah diatas cakrawala, tetapi mereka pun segera keluar dari hutan itu sebelum, bulan memanjat terlampau tinggi.

Tetapi demikian mereka melihat cahaya bulan yang cerah, demikian mereka bertanya-tanya di dalam diri, “Dimanakah Raden Sutawijaya.”

Ki Lurah Branjangan yang berkuda dipaling depan segera berhenti ketika mereka berada ditempat terbuka. Sejenak ia memandang berkeliling untuk mencari Raden Sutawijaya, jika ia memang berada dipinggir Hutan Tambak Baya itu.

Kedua pengawalnya pun termangu-mangu di belakangnya. Salah seorang yang tidak dapat menahan hati segera bergumam, “Kita tidak menemukannya juga disini.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas. Katanya, “Kita akan menunggu disini.”

“Menunggu siapa?” bertanya pengawalnya yang lain

“Raden Sutawijaya.”

“Disini? Kenapa disini?”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia hanya menjawab, “Kita menunggu saja disini.”

Kedua pengawalnya menjadi heran. Apalagi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan turun dari kudanya. Ditambat-kannya kudanya pada sebatang pohon perdu diatas rerumputan yang hijau.

Kedua pengawalnya berpandangan sejenak. Namun kedua-nyapun berbuat serupa itu juga.

“Kita duduk disini,” berkata Ki Lurah.

Kedua pengawalnya bagaikan terpukau oleh perintah itu dan mereka pun duduk dengan tidak banyak pertanyaan. \

“Kita menunggu Raden Sutawijaya.”

“Aku tidak mengerti,” seorang pengawalnya berdesis.

“Mudah-mudahan kali ini kita akan mendapatkannya.”

Sambil menggelengkan kepalanya pengawal yang sudah mencari Raden Sutawijaya lebih dahulu itu bergumam, “Benar-benar membingungkan. Apakah sekarang ini Raden Sutawijaya sedang tidak berada dimana-mana seperti yang dikatakan orang?”

Ki Lurah Branjangan memandang pengawal itu sejenak, lalu, “Mudah-mudahan ia akan berada di tempat ini. Kita menunggu semalam ini.”

“Semalam suntuk?” bertanya pengawal yang lain.

“Ya. Sampai Raden Sutawijaya datang.”

Pengawal itu mengeluh. Katanya, “Dingin, dan sejak siang tadi aku belum makan.”

Ki Lurah tersenyum. Jawabnya, “Kau adalah seorang pengawal. Dan kau mempunyai kedudukan seperti seorang prajurit. Jangankan sejak siang tadi, bahkan sejak kemarin pun kau tidak boleh mengeluh.”

“Jika aku berada di peperangan, aku tidak akan mengeluh. Tetapi melihat bulan purnama dengan perut lapar, aku mempunyai pertimbangan tersendiri,” jawab pengawal itu.

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Sekali ini. Kita akan tetap menunggu.”

Terdengar pengawal itu berdesah. Dan Ki Lurah berkata, “Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kita bagi malam ini menjadi tiga bagian. Yang berjaga-jaga yang pertama kali mendapat giliran sampai bulan itu tepat di tengah. Kemudian yang kedua sampai menjelang dini hari. Dan yang ketiga, sampai matahari terbit besok pagi.”

“Siapa yang pertama?” bertanya pengawal yang seorang.

“Terserah.”

“Aku yang pertama.”

Demikianlah mereka telah membagi diri. Meskipun demikian kedua orang yang tidak sedang bertugas pun tidak segera dapat tidur karena malam masih terlampau dangkal. Mereka masih dengan ragu-ragu menunggu kedatangan Raden Sutawijaya dari tempat yang tidak diketahui oleh kedua pengawal itu.

Sekali-sekali ketiganya mengangkat kepalanya, jika mereka mendengar aum harimau di kejauhan.

Apalagi apabila kuda mereka menjadi gelisah dan meringkik.

Tetapi jika kuda-kuda itu menjadi tenang kembali, maka ketiga orang pengawal dari Mataram itu sempat melihat dedaunan yang kekuning-kuningan diwarnai oleh cahaya bulan yang terang mengapung dilangit.

Namun demikian sebenarnyalah mereka tidak begitu tertarik kepada cahaya bulan didedaunan dan kepada bulan itu sendiri. Mereka menjadi benar-benar merasa jemu. Meskipun demikian mereka telah memaksa diri untuk menunggu ditempat itu semalam suntuk seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.

Tetapi Ki Lurah Branjangan sendiri tidak yakin, bahwa yang ditunggunya akan datang. Bahkan kemudian ia pun telah dilanda pula oleh kejemuan. Namun Ki Lurah Branjangan tetap berniat untuk menunggu. Meskipun ragu-ragu namun ia masih mengharap bahwa perhitungannya benar.

Ketika bulan merayap semakin tinggi, maka mulailah para pengawal yang duduk dipinggir Alas Tambak Baya itu di ganggu oleh perasaan kantuk. Mereka menyelimuti diri mereka dengan kain panjang untuk melindungi gigitan nyamuk yang tiada henti-hentinya mengganggu mereka. Kemudian dua orang yang tidak sedang bertugas berjaga-jaga segera mencari sandaran. Dan sejenak  kemudian meka mereka pun segera tertidur meskipun setiap kali mereka terbangun oleh kegelisahan dan gigitan nyamuk Alas Tambak Baya.

Dibelahan malam pertama, mereka tidak menjumpai persoalan apapun juga. Suara harimau terdengar jauh sekali meskipun cukup menggelisahkan kuda-kuda yang tertambat. Tetapi harimau sama sekali tidak mengecutkan hati para pengawal itu, karena mereka bertiga yakin akan dapat melawannya jika seekor harimau datang menyerang.

Ketika bulan sampai di puncak langit, maka para pengawal itu pun berganti tugas. Yang sudah lebih dahulu tidur, segera menggantikan kawannya yang sudah terlalu lelah menahan kantuk.

Tetapi sampai menjelang dini hari, orang itu pun hanya duduk terkantuk-kantuk, tanpa ada peristiwa apapun juga.

Yang bertugas terakhir adalah justru Ki Lurah Branjangan sendiri, disaat-saat yang paling malas. Di dini hari rasa-rasanya nikmat sekali tidur bersandar sebatang pohon dan berselimut kain panjang sampai ke kepala. Namun pada saat yang demikian Ki Lurah Branjangan harus duduk berjaga-jaga.

Untuk menghilangkan kantuk dan kejemuan, Ki Lurah Branjangan mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan. Dilemparkannya batu itu kedalam rimbunnya batang alang-alang. Kemudian dicarinya batu itu sampai dapat diketemukan. Dengan demikian maka Ki Lurah Branjangan berhasil menahan kantuknya. Tetapi ia tidak mudah melawan kejemuannya untuk tetap menunggu.

Meskipun demikian, ia harus memaksa diri untuk tetap berada ditempat itu. Selain karena kedua pengawalnya sedang tidur lelap, ia memang masih saja mempunyai harapan betapapun tipisnya.

Bulan dilangit yang merayap semakin ke Barat, semakin lama menjadi semakin rendah. Bahkan kemudian hilang di balik dedaunan pepohonan liar di Alas Tambak Baya, sementara wajah langit di ujung Timur menjadi semburat merah.

“Hampir fajar,” desis Ki Lurah Branjangan kepada diri sendiri, “dan kami dengan sia-sia telah berada disini semalam suntuk.”

Dengan lesu Ki Lurah kemudian duduk bersandar sebatang pohon di sebelah kawan-kawannya.

Namun dalam, pada itu, tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar derap seekor kuda. Semakin lama menjadi semakin jelas.

Dengan ragu-ragu Ki Lurah Branjangan berdiri. Ketika ia yakin bahwa ia memang mendengar derap kaki kuda, maka ia pun segera berjalan menyongsongnya.

“Mudah-mudahan bukan orang lain.”

Dalam keremangan Ki Lurah Branjangan melihat penunggang kuda mendekatinya. Namun agaknya penunggang kuda itu pun sudah melihatnya, karena Ki Lurah memang berdiri di tengah-tengah jalan.

Karena itu maka derap kuda itu pun menjadi semakin lambat, sehingga akhirnya berhenti beberapa langkah dihadapan Ki Lurah Branjangan.

“Raden Sutawijaya,” sapa Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Branjangan yang maju semakin dekat melihat dengan jelas, bahwa penunggang kuda itu memang Raden Sutawijaya.

Raden Sutawijaya yang melihat Ki Lurah Branjangan itu pun dengan tergesa-gesa meloncat turun. Dengan gelisah ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, Paman?”

Ki Lurah Branjangan tersenyum. Ia tidak mau mengejutkan Raden Sutawijaya. Katanya, “Tidak ada apa-apa Raden.”

“Tetapi kenapa Paman ada disini sendiri?”

“Aku membawa dua orang pengawal,” jawab Ki Lurah sambil berpaling. Ternyata kedua pengawal itu sudah terbangun pula dan menggeliat berdiri.

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak, lalu, “Tentu ada persoalan yang penting. Bagaimana dengan Ayahanda?”

“Tidak apa-apa. Memang kami sedang mencari Raden Sulawijaya, tetapi tidak oleh persoalan yang terlampau mendesak.”

“Kenapa Paman tidak menunggu saja aku kembali?”

“Raden,” Ki Lurah menyahut dalam nada datar, “aku ingin Raden segera menghadap ayahanda, meskipun tidak dalam keadaan yang mendesak Seorang pekerja mengatakan bahwa Raden sedang menunggu purnama terbit malam ini. Itulah yang mendorong kami menunggu Raden disini.”

Raden Sutawijaya menegang sejenak. Dipandanginya Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnya berganti-ganti. Terasa sesuatu telah menyentuh perasaannya.

“Raden,” Ki Lurah meneruskan, “ketika aku sampai ditempat ini dan ternyata Raden Sutawijaya tidak ada, maka aku pun bertekad untuk menunggu Raden disini.”

“Persetan dengan pekerja itu,” geram Raden Sutawijaya.

“Tetapi aku kira orang itu tidak berbohong. Ia berkata sebenarnya. Tentu ia tidak akan dapat mengarang sebuah ceritera tentang bulan purnama.”

“Sekarang, apakah yang Paman perlukan,” potong Raden Sutawijaya, “apakah aku harus menghadap Ayahanda? Jika demikian, marilah kita segera pulang. Apapun alasan Paman berada disini.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu kata-nya, “Baiklah Raden. Sehari penuh kemarin kami mencari Raden. Sekarang barulah kami menemukannya.”

“Apakah aku sudah terlambat?”

“Tentu tidak Raden. Tentu tidak.”

“Kita akan segera pulang.”

Ki Lurah Branjangan menganggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin bertanya sesuatu. Tetapi ternyata Raden Sutawijaya yang seolah-olah mengetahui perasaan yang tersimpan didalam hatinya mendahuluinya, “Kau tidak usah bertanya tentang apapun Ki Lurah. Kita kembali. Cepat.”

Ki Lurah Branjangan menelan pertanyaannya yang sudah hampir meloncat dari bibirnya Bahkan kemudian katanya, “Marilah Raden. Aku akan mengambil kudaku.”

Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnyapun kemudian mengambil kudanya yang tertambat. Namun dalam pada itu, agaknya Raden Sutawijaya sudah tidak telaten lagi menunggu mereka. Maka Raden Sutawijaya pun kemudian mendahuluinya memasuki hutan Tambak. Baya.

Sementara itu langit di Timur menjadi semakin terang. Bulan yang turun di ujung Barat telah tidak nampak lagi di langit.

Ternyata hutan Tambak Baya masih cukup gelap. Untunglah bahwa mereka adalah pengawal-pengawal yang berpengalaman, sehingga meskipun tidak dapat maju dengan cepat, namun mereka dapat berjalan terus.

“Ki Lurah,” salah seorang pengawalnya berbisik, “sebenarnya permainan apakah yang sedang kita lakukan ini?”

“Permainan yang mana maksudmu?”

“Raden Sutawijaya pergi dengan diam-diam, kemudian setelah kita tunggu disini semalam suntuk, tiba-tiba saja kita ketemukan Raden Sutawijaya agaknya baru kembali dari bepergian. Apakah Ki Lurah mengetahuinya dari manakah kira-kira Raden Sutawijaya itu?”

Ki Lurah Branjangan tersenyum. Sesaat dipandanginya bayangan didalam keremangan pagi dihadapan mereka. Raden Sutawijaya agaknya tidak menghiraukan lagi, apakah Ki Lurah Branjangan berada dalam jarak yang jauh atau dekat di belakangnya.

“Bagaimana Ki Lurah?” desak pengawal itu, “Raden Sutawijaya tidak akan mendengarnya.”

“Kau memang selalu ingin tahu saja,” gumam Ki Lurah Branjangan,

“Semalam suntuk kita menjadi makanan nyamuk. Sebaiknya Ki Lurah memang mengatakannya,” yang lain mendesak juga.

Ki Lurah Branjangan tertawa perlahan. Katanya, “Bukankah sudah kalian ketahui bahwa Raden Sutawijaya pergi untuk melihat bulan purnama.”

“Ah,” desah pengawal itu, “Ki Lurah berolok-olok.”

“Siapa yang mengatakan bahwa Raden Sutawijaya pergi melihat bulan? Bukankah kau sendiri?”

“Tetapi apa yang dilakukan sebenarnya?”

Sekari lagi Ki Lurah tertawa. Dan kedua pengawalnya menjadi tidak sabar. Katanya, “Ki Lurah jangan berolok-olok saja.”

Ki Lurah masih tertawa. Katanya kemudian, “Sebenarnyalah Raden Sutawijaya sedang melihat bulan. Tetapi bukan bulan yang terapung dilangit. Aku sudah menduga, bahwa Raden Sutawijaya sedang didesak oleh kerinduan. Karena itu maka agaknya Raden Sutawijaya telah pergi ke Pajang. Sejak kalian mencarinya, Raden Sutawijaya tentu sudah berangkat.”

“Ah, kenapa ia pergi ke Pajang? Dengan keras hati Raden Sutawijaya menolak ajakan Ki Gede Pemanahan. Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia pergi?”

“Sebenarnya Raden Sutawijaya tidak pantang pergi ke Pajang. Tetapi ia sudah terlanjur berkata, bahwa ia tidak akan menginjak lantai Istana Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang ramai. Jadi hanya Istana Pajang.”

“Dan apakah yang dilakukannya sekarang di Pajang?”

“Kalian memang bodoh. Bukankah perempuan yang sedang mengandung itu berada di Pajang?”

“Semangkin, putera puteri Kangjeng Sunan Prawata yang diangkat anak oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat?”

“Ya, yang seharusnya diserahkan kepada Sultan Hadiwijaya itu.”

“O,” keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kenapa Ki Lurah tidak mengatakannya sejak kemarin. Jika kami mengetahuinya, maka tugas kami semalam suntuk ini tidak akan terasa terlampau berat dan menjemukan. Hampir saja aku tidak tahan lagi dan memaksa untuk kembali.”

“Aku pun belum yakin. Tetapi bagaimanapun juga, kalian tidak akan dapat ingkar atas tugasmu.”

Kedua pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Ki Lurah benar. Senang atau tidak senang, jemu atau tidak jemu, kami memang harus menjalankan tugas kami dengan baik. Tetapi jika tugas itu terasa ringan, maka sudah barang tentu akan dapat kami lakukan lebih baik lagi.”

“Sudah terlanjur. Apakah aku harus mengulangi sekali lagi?”

“Ah.”

Ketiganya pun terdiam. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka ke langit, nampak cahaya pagi mulai membayang. Beberapa langkah dihadapan mereka, Raden Sutawijaya nampaknya menjadi semakin kecil karena jarak yang semakin jauh.

“Cepat. Kita susul Raden Sutawijaya,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Kedua pengawalnya tidak menjawab. Tetapi kuda-kuda mereka sajalah yang berlari lebih cepat.

Namun didalam perjalanan itu, para pengawal tidak henti-hentinya menilai tindakan Raden Sutawijaya. Tetapi mereka mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang keras hati. Kemudaannyalah yang telah membawanya pergi ke Pajang, mengunjungi puteri Kalinyamat itu. Apalagi gadis itu memang sudah bukan gadis lagi karena ia sudah mengandung.

Dalam pada itu, selagi Ki Gede Pemanahan berbaring sendiri didalam biliknya, telah datang mengunjunginya seorang yang dikenalnya dengan akrab, bahkan seperti saudara sekandungnya, Ki Juru Martani.

Ki Juru Martani terkejut ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan berbaring dengan wajah pucat. Karena itu maka dengan tegang Ki Juru Martani itu pun duduk dipembaringan sambil meraba tubuh Ki Gede yang lemah.

“Kenapa kau Adi Pemanahan?” bertanya Ki Juru.

Tetapi Ki Gede Pemanahan tetap tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa Kakang. Barangkali aku terlalu letih. Karena itu aku perlu beristirahat.”

“Tetapi luka-luka itu?”

“Luka-luka itu sudah hampir sembuh.”

“Mungkin luka-lukamu sudah hampir sembuh. Tetapi nampaknya ada luka didalam hatimu. Itulah agaknya yang parah.”

Tetapi Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Kau masih saja senang menebak. Tetapi kali ini kau keliru Kakang. Aku tidak apa-apa.”

Tetapi Ki Juru beringsut sambil berkata, “Jangan membohongi saudara tua. Nah, katakan, apa yang sedang kau pikirkan. Sekali lagi aku akan menebak. Dan sekali lagi aku tidak akan salah pula. Kau tentu memikirkan anakmu.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Katanya kemudian dalam nada yang datar, “Kau memang pandai menebak Kakang. Tetapi apakah kau dapat menebak, apakah yang telah dilakukan oleh Sutawijaya?”

Ki Juru tersenyum. Katanya, “Tentu, Adi Pemanahan. Aku tentu dapat menebak dengan tepat pula.”

Wajah Ki Gede berkerut. Namun ia masih mencoba tersenyum dan bertanya, “Nah. apakah Kakang Juru dapat menyebutnya?”

Ki Juru Martani masih tersenyum. Katanya, “Tentu karena anakmu tidak pernah ada dirumah. Tetapi itu suatu pertanda baik. Anakmu tentu keluar masuk hutan dan barangkali goa-goa dan bukit-bukit yang sepi. Disana anakmu akan mendapatkan kesejukan rohani dan akan lebih menguntungkan bagimu dan bagi Mataram, jika Raden Sutawijaya dengan demikian akan menjadi seorang kesatria yang linuwih.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Juru Martani berkata selanjutnya, “Adi. Setiap orang sudah mengetahui bahwa puteramu itu gemar mesu diri dan olah kanuragan serta kajiwan. Kau tidak perlu memikirkannya. Apalagi dengan cemas dan ketakutan. Serahkan segalanya kepada Yang Maha Pencipta.”

Namun justru kata-kata Ki Juru Martani itu rasa-rasanya membuat luka dihati Ki Gede menjadi semakin parah. Meskipun ia masih tetap berusaha tersenyum, namun ternyata bahwa senyumnya menjadi hambar.

Betapapun Ki Gede mencoba  menyembunyikannya, tetapi Ki Juru berhasil menangkap kepahitan yang tersirat dari tatapan wajah Ki Gede Pemanahan, sehingga karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya, “apakah sebenarnya yang telah terjadi Adi Pemanahan? Berapa bulan aku tidak berkunjung kemari. Agaknya sesuatu memang telah terjadi. Dan bukankah kau belum mengatakan, siapakah yang telah melukaimu?”

Ki Gede termenung sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa tidak ada rahasia lagi di antara kita Kakang. Karena itu, apakah buruknya jika aku menceriterakan apa yang telah terjadi atas diriku, atas Mataram dan atas Sutawijaya.”

Ki Juru Martani bergeser sejengkal. Katanya, “Agaknya ceriteramu akan menjadi sangat menarik.”

“Mungkin Kakang. Tetapi mungkin juga sangat memuakkan.”

“Ah,” desah Ki Juru, “katakan jika kau memang tidak berkeberatan.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diceriterakannya apa yang terjadi. Sebagian Ki Juru sudah mengetahui tentang gangguan yang selama itu memperlambat perkembangan Mataram. Kemudian kepergian Sutawijaya ke Menoreh. Dan yang terakhir adalah kepergian Ki Gede Pemanahan sendiri ke Pajang dengan segala kepentingannya.

“Diperjalanan kembali itulah aku terluka,” Ki Gede menutup ceriteranya dengan menguraikan kejadian yang dialaminya di pinggir Kali Opak.

Ki Juru Martani mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan bahwa Ki Juru Martani terkejut mendengar ceritera itu, terutama tentang Raden Sutawijaya yang telah melakukan suatu perbuatan yang tercela.

“Kakang,” desis Ki Gede Pemanahan, “bagaimanakah pendapat Kakang tentang hal itu? Agaknya Kakang acuh tidak acuh saja mendengarnya.”

“Jangan salah mengerti Adi Pemanahan. Sebenarnyalah bahwa aku sudah mendengar apa sang telah terjadi dengan puteramu itu.”

“O,” wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang sejenak. Namun ia pun kemudian menjadi lesu dan berdesah, “Jadi Kakang sudah mengetahuinya.”

Ki Juru Martani mengangguk, “Maaf Adi. Bukan maksudku untuk menambah Adi Pemanahan menjadi semakin berkecil hati. Berita tentang yang telah terjadi itu sudah banyak didengar orang. Apalagi mereka yang tidak senang kepada Jebeng Sutawijaya. Mereka telah menyiarkan berita itu, seakan-akan Sutawijaya telah melakukan perbuatan yang paling terkutuk dimuka bumi.”

“Kakang, tetapi apakah tidak sebenarnya memang demikian?”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, “Memang demikian Adi. Tetapi jika hal itu telah terjadi, maka yang perlu dipikirkannya adalah penyelesaiannya.”

“Seperti aku katakan, aku sudah menghadap Sultan Pajang. Tetapi Sutawijaya tidak percaya bahwa Sultan Pajang telah benar-benar mengampuninya. Bahkan timbullah prasangka buruknya atas Untara dan prajurit-prajurit Pajang yang justru telah menolong aku dipinggir Kali Opak itu.”

Tetapi diluar dugaannya, ternyata Ki Juru Martani itu justru tersenyum. Katanya, “Itulah sifat anak-anak muda. Curiga dan kadang-kadang tanpa dipikirkannya masak-masak.”

“Kakang,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “apakah Kakang dapat menunggunya barang sehari ini? Ki Lurah Branjangan sedang mencarinya. Mungkin ia akan segera pulang. Jika Kakang percaya bahwa Sultan Pajang berbuat dengan hati tulus, maka Kakang tentu akan bersedia menolong aku memberitahukan hal itu kepada Sutawijaya.”

Ki Juru merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu Raden Sutawijaya.”

Demikianlah maka Ki Juru Martani pun tetap tinggal bersama Ki Gede Pemanahan sambil menunggu kedatangan Raden Sutawijaya. Pembicaraan mereka pun kemudian berkisar mengenai perkembangan Tanah Mataram yang nampaknya sangat pesat dan menggembirakan.

Menjelang matahari mencapai ujung pepohonan, Ki Lurah Branjangan mengiringi Raden Sutawijaya memasuki halaman rumahnya. Sutawijaya yang gelisah, segera menyerahkan kudanya kepada seorang pelayan, dan ia sendiri langsung memasuki ruang dalam.

Ketika ia sampai ke pintu bilik ayahandanya, ia pun tertegun. Dilihatnya didalam bilik itu Ki Juru Martani duduk dipembaringan ayahnya.

“O,” Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya, “Pamanda Ki Juru Martani.”

Ki Juru Martani tertawa. Katanya, “Kemarilah Sutawijaya. Sudah lama uwakmu tidak bertemu. Aku menjadi sangat rindu kepadamu. Ketika aku datang dan aku tidak menemukan kau didalam rumah ini, aku menjadi kecewa. Tetapi menurut ayahandamu, kau tentu akan segera kembali.”

Raden Sutawijaya tidak menyahut. Ia duduk dengan kepala tunduk diatas sebuah dingklik kayu disisi pembaringan ayahandanya.

“Ternyata kau telah benar-benar datang,” Ki Juru melanjutkan.

Raden Sutawijaya mencoba tersenyum. Tetapi senyumnya terasa sangat hambar.

Beberapa saat lamanya Ki Juru Martani bertanya-tanya tentang Tanah Mataram yang sedang dibuka. Kemajuan yang telah dicapai, dan rencana yang telah disusun.

Semula Sutawijaya merasa canggung menanggapi pertanyaan-pertanyaan Ki Juru Martani. Ia merasa bahwa akhirnya pembicaraan itu tentu akan sampai kepada persoalannya. Persoalan yang diluar sadarnya telah melihatkan banyak pihak didalamnya.

Tetapi ternyata Ki Juru Martani sama sekali tidak menyinggung mengenai persoalannya dengan gadis Kalinyamat itu, sehingga lambat laun pembicaraannya menjadi lancar.

Tanpa disadarinya, maka Ki Juru Martani telah membuka hati Raden Sutawijaya. Itulah sebabnya, ketika mereka kemudian duduk berdua setelah mereka makan siang, barulah Sutawijaya menyadari bahwa ia telah terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan Ki Juru Martani.

Tetapi ternyata bahwa Ki Juru Martani mempunyai sikap yang agak berbeda dengan Ki Gede Pemanahan. Justru karena Ki Juru Martani tidak langsung mengalami persoalan itu pada puteranya sendiri. Karena itulah, maka Ki Juru Martani dapat melihat peristiwa itu dengan lebih jernih.

Namun ternyata pandangan mata hati Ki Juru Martani tidak terhenti pada bentuk wadag antara Raden Sutawijaya dan gadis Kalinyamat itu. Dengan suara yang dalam orang tua itu berkata, “Sutawijaya. Sebenarnya bukannya secara kebetulan aku datang kemari. Aku sudah mendengar semua yang terjadi atasmu, bukan baru saja aku dengar dari ayahandamu. Dan aku sudah mengatakan pula kepada ayahandamu tentang hal itu. Tetapi yang belum aku katakan kepadanya, dan barangkali nanti atau dalam kesempatan lain, bahwa rasa-rasanya ada semacam firasat tentang bayi yang akan lahir itu.”

Sutawijaya termenung sejenak. Tetapi karena Ki Juru Martani tidak semata-mata marah kepadanya tentang peristiwa yang telah terjadi, maka ia memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah maksud Paman Juru Martani tentang firasat itu?”

Ki Juru Martani termenung sejenak, lalu, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu kepadamu sekarang Raden. Tetapi kau harus menyambut kedatangan anak itu sebaik-baiknya. Kau harus menerima kehadirannya dengan wajar, dan kau sama sekali tidak boleh menyia-nyiakan ibunya.”

“Tidak Paman. Aku tidak akan menyia-nyiakan.”

“Kau baru saja mengunjunginya malam ini?”

Sutawijaya tertunduk. Wajahnya menjadi kemerah-merahan.

“Kau tahu, bagaimana tanggapan ayahandamu Sultan Pajang mengenai peristiwa ini?”

“Aku mendengar dari Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”

“Kau harus berterima kasih, bahwa hal ini tidak menjadi alasan ayahandamu untuk marah kepadamu. Ayahandamu Sultan Pajang benar-benar mengampunimu.”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar