ADBM-092


<<kembali | lanjut >>

KI WASKITA tersenyum. Katanya, “Itu memang lebih baik. Tetapi aku kira, aku akan dapat mendahuluinya, karena kebetulan aku mempunyai kepentingan yang lain.”

Swandaru memandang gurunya sekilas. Namun ia pun menyadari bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya jika memang itu dikehendaki oleh Ki Waskita.

Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun berkata, “Karena itu, jika Kiai berdua dan murid-murid Kiai sependapat, aku akan minta diri pula kepada Ki Demang.”

“Tentu kami tidak akan dapat menahan Ki Waskita. Mudah-mudahan perjalanan Ki Waskita tidak menamui kesulitan apapun kelak. Dan aku kira, memang ada baiknya Ki Waskita singgah di Mataram. Jika Raden Sutayijaya masih belum kembali, Ki Lurah Branjangan dapat juga agaknya diberitahu tentang kemungkinan yang kita lihat di Tambak Wedi,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Dan apakah Ki Waskita akan segera berangkat besok, atau pada hari-hari yang masih akan dipilih?”

“Aku akan berangkat besok pagi-pagi benar Kiai.”

“Untuk seterusnya kita akan bertemu di Tanah Perdikan Menoreh. Begitu Ki Waskita?” bertanya Ki Sumangkar.

“Ya begitulah. Kita akan berpisah untuk sementara. Mungkin tenagaku dapat dipergunakan di Tanah Perdikan Menoreh. Aku adalah orang yang paling cakap menganyam tarub di padukuhanku,” jawab Ki Waskita.

“Ah, tentu tidak. Tidak ada orang yang berani minta Ki Waskita untuk menganyam tarup,” desis Ki Sumangkar.

“Kenapa? Aku memang senang menganyam tarub ditempat peralatan. Seandainya tidak ada orang yang minta sekalipun, aku akan melakukannya.”

Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Beruntunglah Pandan Wangi dan Swandaru. Yang menganyam tarub disaat-saat perkawinannya adalah Ki Waskita.”

Ki Waskita pun tertawa. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Mudah-mudahan merupakan pertanda baik bagi kedua pengantin.”

Swandaru hanya menundukkan kepalanya saja, sedang Agung Sedayu mulai dipengaruhi oleh bayangan tentang dirinya sendiri.

“Apakah saat-saat perkawinanku kelak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang memiliki kelebihan seperti Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Guru? Apakah menjelang saat-saat perkawinan itu kelak, Ki Demang Sangkal Putung juga mengadakan persiapan seperti sekarang ini, dan kemudian dihari yang kelima, sepasang pengantin itu akan dirayakan pula di Jati Anom?” pertanyaan-pertanyaan itu mulai bergejolak didalam hatinya.

Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk melepaskan kesan itu dari wajahnya, sehingga tidak seorang pun yang sempat memperhatikannya.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun kemudian berkata, “Nanti malam aku akan minta diri kepada Ki Demang.”

“Baiklah Ki Waskita,” berkala Kiai Gringsing kemudian, “kita akan berpisah sampai hari-hari perkawinan Swandaru. Tetapi mungkin setelah itu. Meskipun sebenarnya kepentingan terbesar adalah Raden Sutawijaya. Namun sudah tentu, kita yang sudah terlanjur terpercik dan menjadi basah pula karenanya, tidak akan dapat begitu saja melepaskan diri dari persoalan ini.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Sudah tentu Kiai. Aku akan tetap menyediakan diri. Meskipun mungkin aku masih akan memerlukan beberapa waktu untuk tinggal dirumah, bertemu dengan sanak kadang. Tetapi jika sudah cukup aku lakukan sebelum hari-hari perkawinan, maka aku pun akan segera dapat membantu Mataram, menurut kemampuanku.”

“Tentu. Mataram akan berterima kasih. Mudah-mudahan selama saat-saat menjelang hari perkawinan Swandaru tidak terjadi sesuatu yang dapat menunda apalagi membatalkan perkawinan itu,” desis Kiai Gringsing.

“Tentu tidak,” sahut Ki Waskita. Namun nampak sedikit perubahan diwajahnya.

Namun dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar sama sekali tidak bertanya lebih lanjut, justru karena mereka tidak ingin Swandaru mendengar kecemasan orang-orang tua tentang dirinya seperti yang dilihat oleh Ki Waskita sebagai wajah-wajah yang buram.

Demikianlah, dimalam harinya ketika mereka selesai makan bersama di pendapa dengan Ki

Demang dan beberapa orang bebahu Kademangan yang hadir pula. Ki Waskita menyatakan maksudnya kepada Ki Demang Sangkal Putung, untuk pergi mendahului ke Menoreh.

“Sebenarnya, yang penting adalah kepentingan diri sendiri saja,” berkata Ki Waskita, “tetapi supaya perjalananku ada juga gunanya, maka aku menawarkan diri untuk menjadi perintis jalan bagi mempelai yang akan segera berangkat pula ke Menoreh karena waktunya memang sudah menjadi semakin dekat.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Karena Ki Waskita mengemukakan alasannya dengan berterus terang, maka Ki Demang pun tidak dapat mencegahnya.

“Ki Waskita,” berkata Ki Demang, “tentu aku tidak dapat berusaha untuk menunda perjalanan itu. Bahkan aku mengucapkan banyak terima kasih karena Ki Waskita bersedia singgah di Tanah Perdikan Menoreh, untuk membawa pesan yang barangkali perlu aku sampaikan kepada Ki Argapati.”

“Ya. Demikianlah agaknya Ki Demang.”

Ki Demang pun mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berunding dengan beberapa orang tua di Sangkal Putung. Namun mereka pun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa tidak ada pesan-pesan bahwa semuanya akan berlangsung sesuai dengan rencana.

“Baiklah Ki Demang,” berkata Ki Waskita kemudian, “aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede Menoreh, bahwa semuanya di Sangkal Putung telah berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan Anak mas Swandaru akan datang di Menoreh bersama pengiringnya dalam pakaiannya sehari-hari, sehingga di sepanjang jalan yang panjang ini perjalanannya tidak terganggu justru oleh pakaian pengantinnya. Demikian pula pada saat kedua pengantin itu kelak diboyong ke Sangkal Putung.”

“Pengantin laki-laki akan datang tiga hari sebelum hari perkawinan,” desis Ki Demang.

Tetapi seorang tua yang rambut dan janggutnya sudah memutih bertanya, “Tiga atau lima Ki Demang?”

“Bukankah kita bersepakat untuk berangkat lima hari sebelumnya dan kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh tiga hari sebelum hari perkawinan.”

“Tidak perlu disebut begitu, sebab kita tidak akan bermalam dua malam di perjalanan. Kita hanya akan bermalam satu malam saja di Mataram. Dihari berikutnya kita akan sampai di Tanah Perdikan Menoreh meskipun setelah matahari melampaui pusatnya di tengah hari.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita hanya mengatakan kepada Ki Ageng Menoreh, bahwa kita akan berangkat lima hari sebelumnya dan akan bermalam satu malam di perjalanan.”

“Demikianlah,” berkata orang tua itu, “apakah itu akan disebut empat hari sebelumnya atau tiga hari sebelumnya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Demang. Aku akan menyampaikan seperti apa yang Ki Demang pesankan.”

“Tetapi sudah tentu sekaligus,” berkata Kiai Gringsing, “Ki Waskita akan menjadi duta menghadap Ki Lurah Branjangan di Mataram. Bukankah dengan demikian, akan mengurangi kesibukan kami disini, karena pada suatu saat kami tentu akan mengirim orang ke Mataram untuk mohon diperkenankan bermalam satu malam meskipun Raden Sutawijaya tidak ada?”

Ki Demang tertawa. Katanya, “Aku sebenarnya agak segan untuk berpesan terlalu banyak, karena dengan demikian aku akan membebani penjalanan Ki Waskita dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya hanya akan mengganggu perjalanannya.”

“Ah, tentu tidak Ki Demang. Aku akan singgah di Mataram. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan, keinginan Ki Demang untuk mendapat kesempatan bagi pengantin dan pengiringnya, bermalam satu malam di Mataram.”

“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Ki Waskita,” desis Ki Demang.

Ki Waskita pun kemudian mohon diri pula kepada para bebahu dan keluarga Ki Demang di Sangkal Putung, bahwa besok pada pagi-pagi benar ia akan meninggalkan Sangkal Putung bersama anaknya kembali pulang dan singgah di Mataram dan Menoreh untuk menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung.

Hampir semua orang telah berpesan kepada Ki Waskita, agar mereka berdua dengan anaknya berhati-hati di sepanjang perjalanan.

“Masa ini adalah masa yang tidak dapat diperhitungkan sebaik-baiknya Ki Waskita,” berkata seorang yang berkumis lebat, tetapi sudah mulai ditumbuhi warna keputih-putihan, “kadang-kadang kita tidak mengerti apa yang akan terjadi sebentar nanti. Apalagi setelah Tambak Wedi dihancurkan. Mungkin ada sekelompok orang Tambak Wedi yang tercerai dari kawan-kawannya dan melakukan perbuatan yang dapat menghambat setiap perjalanan. Termasuk perjalanan Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Baik Kiai. Aku akan berhati-hati. Aku akan mencari kesempatan melintasi daerah-daerah sepi, di Tambak Baya misalnya, bersama beberapa orang yang sekarang telah mulai banyak melintas didaerah itu. Baik ia menuju ke Mataram, Pliridan, Mangir, Menoreh, maupun sebaliknya menuju ke Pajang.”

“Dan jalan yang ramai itu akan dapat menjadi daerah jelajah yang subur bagi mereka yang kehilangan pegangan.”

Ki Waskita termenung sejenak. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Memang mungkin. Tetapi semakin banyak orang yang lewat jalan itu, maka aku kira justru akan menjadi semakin aman, karena orang-orang yang bermaksud jahat harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari antara mereka, yang berada dijalan itu.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Sementara Ki Demang berkata, “Ki Waskita, mungkin dapat juga disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa kami akan datang dalam jumlah yang barangkali cukup banyak. Selain sanak kadang yang ingin melihat tanah Tanah Perdikan Menoleh, juga untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan.”

“Baiklah Ki Demang. Apakah Ki Demang dapat menyebut berapakah kira-kira jumlah sesepuh Sangkal Putung dan pengiring yang lain itu?”

Diluar sadarnya Ki Demang memandang kearah Kiai Gringsing seolah-olah ingin mendapatkan pertimbangan.

Kiai Gringsing yang mengetahuinya, bahwa Ki Demang tidak dapat menjawab pertanyaan itu, mencoba untuk membantunya, “Ki Waskita, aku kira hanya pengiring laki-laki sajalah yang akan ikut ke Tanah Perdikan Menoreh. Dua atau tiga orang sesepuh, dan yang lain adalah anak-anak muda kawan-kawan Swandaru. Bukan sekedar kawan bermain, tetapi juga kawan bertempur sejak daerah ini masih terancam berbagai macam bahaya.”

Ki Waskita mengerti maksud Kiai Gringsing. Namun ia masih bertanya, “Jumlahnya?”

“Kira-kira dua puluh atau dua puluh lima. Bukankah begitu Ki Demang?”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai. Kira-kira sebanyak itu.”

“Tidak terlalu banyak,” berkata Ki Waskita, “Dipadukuhanku pengantin laki-laki kadang-kadang diiringi oleh empat puluh orang beramai-ramai menuju ke rumah pengantin perempuan.”

“Tetapi sudah dengan pakaian pengantin, membawa sepasang jodang berisi makanan dan kelengkapan sarana yang lain. Berbeda dengan perjalanan Swandaru. Semuanya masih dalam keadaan seperti sehari-hari. Kelengkapan pengantin akan dicari di Tanah Perdikan Menoreh. Juga jodang dan isinya.”

“Tidak apa-apa. Rumah Ki Gede Menoreh cukup luas. Gandoknya di sebelah kanan dan kiri. Kemudian rumah samping dan ruang-ruang didalam rumahnya. Jika masih kurang, maka setiap rumah akan dapat dipergunakan untuk menginap berapapun jumlahnya. Apalagi hanya dua puluh lima orang,” desis Ki Waskita, “juga perabotnya cukup, dan apalagi persediaan jamuan. Sudahlah, tidak akan ada yang mengecewakan. Namun demikian, aku akan mengatakannya juga. Bukan saja persediaan selengkapnya di padukuhan induk, namun juga dijalan-jalan. Dihari-hari panjang. Dari ujung Tanah Perdikan sampai ke padukuhan induk.”

Ki Demang tertawa. Katanya, “Terima kasih. Jika Mataram juga berbuat demikian, maka aku akan berterima kasih sekali.”

“Apakah aku juga harus mengatakannya kepada Ki Lurah Branjangan?” bertanya Ki Waskita.

“Ah, tentu tidak. Apakah artinya perjalanan Swandaru itu bagi Mataram. Tentu kami tidak akan dapat berbuat deksura seperti itu.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Tentu bukan suatu sikap deksura. Jika Swandaru dan Agung Sedayu bersama gurunya belum penuh berbuat sesuatu untuk Mataram, maka sudah barang tentu hal itu dapat dianggap suatu sikap deksura. Apalagi setelah Raden Sutawijaya mendapat gelar Senapati Ing Ngalaga.”

“Ah, sudahlah,” potong Kiai Gringsing, “aku kira di sepanjang jalan di wilayah Mataram, tidak akan terjadi sesuatu. Meskipun Tambak Baya masih berupa hutan belukar. Atas keyakinan itu pula maka aku berani melintasinya, meskipun harus menunggu iring-iringan yang lewat.”

“Ah,” Ki Demang berdesah, “Ki Waskita terlampau merendahkan diri. Seisi hutan Tambak Baya akan merunduk jika mereka tahu siapakah yang lewat, yang mampu berbuat sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.”

“Ah, Ki Demang memuji,” Ki Waskita tertawa.

Demikianlah, maka mereka masih sempat berbicara dan berkelakar. Baru kemudian setelah jauh malam, Ki Waskita pun meninggalkan pendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Besok pagi-pagi benar Ki Waskita dan Rudita akan meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Mataram, dan seterusnya ke Tanah Perdikan Menoreh.

Di gandok, Ki Waskita pun segera merebahkan dirinya. Ia ingin beristirahat, setelah dalam beberapa hari ia disibukkan oleh hilangnya Rudita, dan kemudian disusul dengan peperangan yang menggetarkan lereng Gunung Merapi.

Tetapi ternyata Ki Waskita tidak dapat segera tidur. Ia mulai membayangkan gerakan pasukan Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan lereng sebelah Timur Gunung Merapi. Jika pasukan itu melingkar, kemudian menyusup hutan-hutan lebat dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maka pasukan itu akan muncul di sebelah Barat Gunung Merapi. Mereka dapat melanjutkan gerakan ke Barat atau ke Selatan.

Dada Ki Waskita berdesir. Ia teringat kepada beberapa orang yang melintasi Kali Praga lewat tlatah Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Barat

“Apakah mereka akan menuju ke Utara, dan pada suatu saat bertemu dengan pasukan Kiai Kalasa Sawit?” pertanyaan itu timbul di hati Ki Waskita. Lalu, “Meskipun cara mereka berbeda, namun ternyata bahwa kedua pusaka itu pada suatu saat akan dipertemukan oleh orang-orang yang membawanya ke arah yang berlainan itu.”

Tiba-tiba dada Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Terbayang olehnya, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, setingkat dengan Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja, bahkan Panembahan Agung dan Panembahan Alit, pada suatu saat berkumpul untuk mempertemukan pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.

Dan tempat yang mereka pilih justru adalah Tanah Perdikan Menoleh.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Tentu bukan Tanah Perdikan Menoreh. Daerah itu memiliki kemampuan yang akan dapat mengganggu pertemuan itu, jika benar akan diadakan pertemuan serupa itu.”

Tetapi Ki Waskita pun tidak dapat menjamin, bahwa mereka tidak akan memilih Tanah Perdikan Menoreh.

“Bagaimana di bekas Padepokan Panembahan Agung? Kiai Kalasa Sawit memilih Padepokan Tambak Wedi untuk singgah dan tinggal beberapa lamanya,” katanya didalam hati, “sehingga ada kemungkinan mereka mempergunakan Padepokan Panembahan Agung sebagai tempat untuk mempertemukan kedua pusaka itu dengan pembicaraan-pembicaraan tentang hari depan mereka yang merasa dirinya keturunan Majapahit dan mempunyai wewenang atas Kerajaan yang untuk beberapa saat berada ditangan Sultan di Pajang.”

Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak menyatakan isi hatinya yang bergejolak itu. Ia masih saia tetap berbaring diam dipembaringan, betapapun hatinya bagaikan menerawang seisi bumi.

Namun ternyata kegelisahan serupa itu, ada juga dihati orang-orang lain yang mengetahuinya. Kiai Gringsing, kedua murid-muridnya dan Ki Sumangkar. Hanya Rudita sajalah yang sama sekali tidak mengacuhkannya, dan karena itu, ia pun tidur dengan nyenyaknya.

Meskipun ada beberapa perbedaan, namun ada juga persamaan dugaan antara orang-orang tua itu. Mereka pun membayangkan lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dan mereka pun membayangkan orang-orang yang menyeberangi Kali Praga telah bergeser ke Utara. Bahkan mereka pun seolah-olah telah menyentuh dengan angan-angan Padepokan Panembahan Agung di ujung pegunungan.

Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, justru setelah menjelang dini hari, orang-orang tua itu pun sempat juga tidur barang sejenak. Namun ketika fajar mulai menyingsing, mereka pun telah terbangun.

Ki Waskita segera mempersiapkan diri. Demikian pula Rudita. Meskipun agaknya Rudita merasa segan untuk pulang, karena ke-inginannya untuk merantau ketempat yang belum pernah dikunjungi masih saja menyala didadanya, namun ayahnya telah memintanya dengan sungguh-sungguh agar Rudita mengunjungi ibunya lebih dahulu.

Demikianlah, menjelang matahari naik keatas cakrawala, maka Ki Waskita dan Rudita pun minta diri sekali lagi kepada Ki Demang dan keluarganya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar, juga para bebahu yang sengaja ingin mengantarkan keberangkatan Ki Waskita.

Dengan berkendaraan masing-masing seekor kuda yang tegar, mereka pun kemudian meninggalkan Kademangan Sangkal Putung menuju ke Barat.

Semula terbersit pula keinginan Ki Waskita untuk melakukan petualangan dengan menempuh jalan yang berbahaya di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Tetapi ketika ia teringat bahwa ia membawa pesan untuk Mataram, maka maksudnya itu pun dibatalkannya. Apalagi ketika disadarinya bahwa kawannya kali ini adalan seorang yang aneh. Rudita tentu bersikap lain dengan sikap yang dikehendakinya apabila ia bertemu dengan bahaya di perjalanan.

Karena itulah, maka Ki Waskita memutuskan untuk menempuh jalan yang paling aman. Lewat jalan yang sudah menjadi semakin ramai, meskipun harus melintasi Alas Tambak Baya.

Orang-orang Sangkal Putung melepas Ki Waskita dan Rudita dengan hati yang berdebar-debar. Bukan saja karena daerah di lereng Merapi yang baru saja dilanda kekisruhan, yang memang mungkin sekali akan meluap ke Selatan, tetapi juga karena Ki Waakita membawa pesan-pesan bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan hari perkawinan Swandaru.

“Tetapi ia orang linuwih,” desis Ki Demang, “ia tentu dapat mengatasi kesulitan apapun di perjalanan.”

Kiai Gringsing yang mendengar desis itu pun mengangguk kecil. Katanya, “Apalagi jalan memang sudah menjadi bertambah ramai dan aman. Jika tidak ada sesuatu yang tiba-tiba saja meledak didaerah Tambak Baya atau di ujung Tanah Mataram yang sudah menjadi tanah yang ramai, maka perjalanan Ki Waskita tidak akan menjumpai kesulitan apapun juga.”

“Mudah-mudahan. Dan mudah-mudahan hal itu berlaku pula bagi iring-iringan pengantin beberapa hari lagi.”

“Beberapa hari lagi?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya. Tidak ada sebulan lagi.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Hari-hari berlalu dengan cepatnya. Saat perkawinan itu memang sudah tidak ada sebulan lagi. Karena itu, maka segala persiapan memang harus sudah selesai. Pada waktunya tidak akan ada persoalan-persoalan lain yang akan dapat menghambat hari perkawinan itu. Apalagi jarak yang akan ditempuh adalah jarak yang cukup jauh bagi iring-iringan pengantin.

“Iring-iringan pengantin yang akan melalui daerah yang bergolak,” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Rudita pun berpacu semakin cepat. Ada kegembiraan dihati anak muda itu ketika mereka melintasi bulak-bulak yang panjang, sawah yang subur dan hijau, dan angin pagi yang mengelus wajahnya yang jernih.

Dengan gembira ia melihat beberapa orang yang berada di tengan tengah sawahnya. Laki-laki dan perempuan. Bahkan anak-anak yang riang duduk diatas punggung kerbau.

“Itulah kehidupan yang wajar,” tiba-tiba saja ia berdesis

Ayahnya berpaling kepadanya. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apa yang kau katakan Rudita?”

“Kehidupan yang wajar Ayah. Lihatlah, betapa damainya hati melihat anak-anak yang menggembalakan kerbaunya. Mereka duduk diatas punggung kerbau sambil bermain seruling. Yang lain menyabit rumput sambil berdendang. Sedangkan orang tua mereka mengerjakan sawahnya dengan tenang. Mencangkul, menanam padi dan menyianginya. Jika padi itu kelak berbuah, maka buahnya akan menjadi makanan bagi banyak orang.”

“Ya Rudita. Itulah kehidupan yang wajar, yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya setiap petani.”

“Jika para petani dapat mengerjakan sawahnya dan hidup tenang, maka para pedagang pun akan terpengaruh pula Ayah. Mereka dapat menjual dagangannya dengan baik. Juga para prajurit akan dapat menikmati hidup mereka dalam suasana yang damai. Para pemimpin pemerintahan tidak menjadi pening oleh kesulitan hidup rakyatnya, lahir dan batinnya.”

“Ya, kau benar Rudita.”

Rudita merenung scejenak. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, “Tetapi Ayah, kenapa kadang-kadang kehidupan yang tenang damai itu harus dirusakkan?”

Ki Waskita sudah menduga, bahwa akhirnya pertanyaan yang demikian itu akan terlontar dari mulut anaknya. Karena itu, ia telah menyusun jawabnya, “Alangkah jahatnya orang yang merusak kedamaian itu.”

“Dan Ayah pun kadang-kadang terlibat pula didalamnya?”

“Rudita,” berkata ayahnya yang sudah menduga pula akan datangnya pertanyaan itu, “apakah kau dapat membedakan, orang yang merusak kedamaian itu dan orang yang ingin mempertahankan kedamaian itu?”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Setiap kali aku selalu menjumpai sifat yang penuh curiga seperti itu. Ayah, kapan Ayah tidak lagi mencurigai sesama?”

Pertanyaan itulah yang tidak diduganya. Karena itu, untuk beberapa saat Ki Waskita tidak menjawabnya.

Dalam pada itu Rudita berkata selanjutnya, “Dalam was-was dan curiga, seseorang mempersiapkan dirinya untuk melakukan kekerasan. Ia bersiaga untuk melindungi kedamaian yang menurut dugaannya yang dibayangi oleh kecurigaan dan was-was itu selalu terancam. Tetapi kesiagaannya itu telah mengundang kecurigaan orang lain pula terhadapnya.”

“Rudita,” berkata ayahnya kemudian, “aku ingin dapat berpikir, bertindak dan bertingkah laku seperti kau. Tetapi aku tidak mampu. Aku masih dipengaruhi oleh ketakutan, kecemasan, dan karena itu aku masih selalu dibayangi oleh kecurigaan, dan waswas. Namun barangkali kau akan dapat mengembangkannya terus. Dan aku dapat mengerti. Jika saatnya nanti datang, sikapmu itu telah menjadi sikap banyak orang, maka kita akan sampai pada suatu masa yang di rindukan oleh setiap manusia.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi batu-batu kerikil yang bertebaran di sepanjang jalan dibawah kaki kudanya.

“Ayah,” ia berdesis, “apakah menurut perhitungan Ayah, atau katakanlah penglihatan isyarat Ayah, dunia ini akan mengalami suatu masa dimana orang tidak saling bercuriga, saling mengganggu, dan apalagi saling bermusuhan dengan bekal kekerasan dan dendam?”

Pertanyaan itu pun sama sekali tidak diduga oleh Ki Waskita. Namun ia menjawab juga, “Aku tidak dapat memperhitungkan Rudita. Dan aku tidak dapat melihat dalam isyarat, apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Peradaban manusia semakin lama menjadi semakin maju. Orang akan menjadi semakin pandai dan menemukan berbagai macam alat yang belum pernah dikenal sebelumnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah hati manusia juga menjadi semakin lembut atau justru sebaliknya. Rudita, jika semula manusia tidak mengenal bercocok tanam, dan kini kita sudah sampai pada suatu jaman di mana kita dapat mempergunakan cangkul dan bajak untuk mengerjakan sawah dengan hasil yang semakin berlipat, namun itu tidak berarti bahwa kita menjadi semakin tenang dalam limpahan makan yang kecukupan.”

Rudita mengangguk-angguk.

“Perkembangan kemajuan berpikir manusia, melahirkan alat-alat yang dapat mempermudah tata hidupnya. Tetapi sejalan dengan itu, manusiapun melahirkan alat-alat untuk melakukan tindak kekerasan. Kini jenis senjata menjadi semakin banyak. Jika semula kita mempergunakan batu yang kita lontarkan dalam ujudnya sejenis dengan bandil, sekarang kita mengenal busur dan anak panah. Mungkin dimasa mendatang manusia akan mengenal jenis-jenis alat pembunuh yang lebih dahsyat lagi.”

“Jika demikian, menurut Ayah, maka manusia tidak sedang berjalan menuju ke dalam kehidupan yang lebih tenang, tetapi sebaliknya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak seorang pun yang dapat mengatakannya Rudita. Tetapi tetaplah pada keyakinanmu, karena dalam kecemasan, curiga dan waswas, setiap manusia masih tetap merindukan perdamaian, ketenangan dan kehidupan wajar seperti yang kita lihat secuwil dari seluruh wajah kehidupan ini.”

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kita melihat satu sudut kehidupan. Tetapi jika kita melihat sudut yang lain, kita akan menjadi ngeri karenanya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Rudita itu memang benar. Rudita adalah anak muda yang pernah mengalami perasaan takut yang hampir setiap saat mencengkamnya. Karena itulah maka ia dapat merasakan dengan sedalam-dalamnya perasaan takut yang menghantui orang-orang lain. Dan perabaan, takut adalah perasaan yang paling menyiksa dalam hidup seseorang.

Tetapi pada saat manusia sedang bergulat mempertahankan dirinya dari sesamanya yang sedang dicengkam oleh nafsu dan ketamakan, maka sikap Rudita rasa-rasanya adalah sikap yang sulit untuk dimengerti. Dengan demikian maka Rudita rasa-rasanya menjadi orang asing di antara sesama manusia.

Karena ayahnya tidak menjawab, maka Rudita pun untuk beberapa lamanya berdiam diri pula. Kuda mereka masih berpacu meyelusuri jalan-jalan dibulak panjang.

“Jika kita tidak melihat warna kehidupan disudut lain, rasa-rasanya hidup di daerah ini memang menyenangkan sekali,” berkata Rudita didalam hatinya. Tetapi jika ia mengenang pertempuran yang diceriterakan ayahnya di lereng Merapi tidak jauh dari tempat itu, maka bulu-bulunya pun meremang. Rudita tidak lagi menjadi ketakutan karena dirinya sendiri. Tetapi ia ngeri membayangkan betapa perasaan takut itu mencengkam anak-anak dan perempuan di lereng Merapi itu.

“Dan tentu akan menjalar sampai ketempat yang jauh. Bahkan akan bercampur-baur dengan persoalan-persoalan lain yang dapat tumbuh di Mataram dan Pajang,” katanya kepada diri sendiri.

Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

Sejenak kemudian, maka perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat. Di hadapan mereka terbentang hutan yang masih cukup lebat meskipun di tengah-tengah hutan itu telah berhasil dibuat sebuah jalan yang cukup rata, menusuk langsung menembus hutan itu sampai ke tlalah Alas Mentaok dan Mataram.

“Jalan ini nampaknya agak sepi,” berkata Ki Waskita, “kita belum bertemu atau mendahului seseorang.”

Rudita menggeleng. Jawabnya, “Tidak Ayah. Jalan ini tentu tidak sepi. Seandainya jalan ia memang tidak sedang dilalui orang, namun jalan ini tidak akan menumbuhkan hambatan apapun atas perjalanan kita.”

“Kau yakin?”

“Jika jalan ini tidak aman Ayah, maka aku kira sawah-sawah di sebelah menyebelah jalan ini pun tidak akan digarap oleh pemiliknya. Tetapi sawah di sebelah menyebelah jalan ini, bahkan sampai ke hutan perdu dipinggir Alas Tambak Baya itu nampaknya digarap dengan baik.”

Ayahnya mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Rudita. Tetapi dalam keadaan yang lain, yang betapapun juga, Rudita memang selalu berprasangka baik. Ia sama sekali tidak menyesal meskipun dengan demikian akibatnya kadang-kadang tidak menguntungkan baginya. Namun ia tetap pada sikapnya.

Demikianlah mereka berdua pun berpacu terus mendekati Alas Tambak Baya. Namun seperti yang dikatakan oleh Rudita, jalan itu memang tidak terlalu sepi. Mereka melihat dua orang berkuda dari arah yang berlawanan. Keduanya muncul dari mulut lorong di Alas Tambak Baya yang masih nampak lebat dan besar

“Kita berhenti sejenak di mulut jalan yang memasuki hutan itu,” berkata Ki Waskita.

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sebenarnya juga haus.”

“Di pinggir jalan sebelum hutan perdu itu terdapat sebuah warung. Jika tidak terjadi sesuatu, warung itu tentu masih ada.”

Rudita masih mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah penjual diwarung itu tidak takut kepada binatang buas yang mungkin sekali-sekali keluar dari Alas Tambak Baya?”

“Mereka tentu sudah bersedia menghadapi kemungkinan itu. Apalagi jalan menjadi semakin ramai,” jawab ayahnya.

“Binatang hutan tidak memiliki perkembangan akal budi. Itulah sebabnya maka ada kemungkinan yang buruk dapat terjadi karena tingkah lakunya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia mengatakan bahwa yang berbahaya justru orang-orang yang bermaksud buruk. Tetapi jika ia mengatakannya juga, maka Rudita tentu akan tersinggung.

Karena itu, maka Ki Waskita pun hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak mengucapkan kata-kata yang sudah hampir terloncat dari bibirnya itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka ternyata mereka masih menemukan warung itu ditempatnya. Ki Waskita pun kemudian mengajak Rudita untuk berhenti sejenak. Mereka masih sempat meneguk beberapa mangkuk dawet dan beberapa potong makanan sambil menunggu orang-orang lain yang akan lewat. Dengan demikian maka mereka mempunyai kawan melintasi Alas Tambak Baya.

“Kenapa harus menunggu Ayah?” bertanya Rudita, “nanti kita kemalaman dijalan.”

“Tidak apa-apa. Tetapi melintas Alas Tambak Baya lebih baik berkawan. Bukan karena takut. Tetapi rasa-rasanya sepi sekali.”

Rudita mengangguk-angguk lagi.

Ki Waskita menggigit bibirnya. Rasa-rasanya jawabannya sudah benar. Jika ia mempergunakan alasan-alasan lain, maka akan segera timbul persoalan lagi pada diri anaknya.

Bahkan Rudita pun kemudian berkata, “Jalan ini memang seperti sebuah terowongan yang panjang. Menarik sekali. Tetapi sebentar lagi akan menjadi sangat gelap. Lebih gelap dari suasana diluar hutan.”

“Sudah tentu Rudita. Sinar matahari seolah-olah dibatasi oleh rimbunnya dedaunan hutan. Tetapi tidak apa. Kita masih mempunyai waktu yang cukup.”

Rudita mengangguk-angguk. Sekali-sekali ia memandang jalan yang panjang di depan warung itu. Jalan yang melintas di tengah-tengah sawah dan kemudian menyusup ketengah-tengah hutan.

Ternyata kemudian beberapa orang pun telah singgah pula di warung itu. Mereka juga menuju ke Barat, memasuki hutan Tambak Baya.

Namun nampak diwajah mereka, bahwa Tambak Baya bukan lagi hantu yang menakutkan,

Ki Waskita dan Rudita pun kemudian mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanannya bersama orang-orang itu. Tetapi Ki Waskita kemudian mengambil keputusan untuk tidak saling menegur dengan mereka. Setiap percakapan sesuai dengan pendapat dan sikap seseorang, tentu akan terasa asing bagi Rudita dan sebaliknya.

“Apakah kita akan pergi bersama mereka Ayah?” bertanya Rudita, ketika mereka sudah keluar dari warung itu.

“Ya.”

“Tetapi Ayah tidak menegur mereka dan bertanya, kemana mereka akan pergi.”

Ayahnya menarik nafas. Jawabnya, “Tidak Rudita. Kadang-kadang memang timbul keinginan untuk saling menegur dengan orang lain. Tetapi kadang-kadang kita merasa bahwa kita tidak ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang barangkali tidak kita mengerti jawabnya.”

Rudita menarik nafas. Katanya, “Jadi apakah untungnya kita menunggu kawan yang tidak kita kenal? Semula Ayah ingin memecahkan kesepian di perjalanan.”

“Jika kita merasa bahwa perjalanan kita tidak sendiri, rasa-rasanya kita sudah menjadi tidak terlampau kesepian, meskipun kita tidak saling menegur.”

Ada sesuatu yang tersirat dimata Rudita. Tetapi Rudita tidak mengatakannya. Namun yang tidak dikatakannya itu seolah-olah dapat dibaca oleh Ki Waskita, “Ayah telah dicengkam kecurigaan itu lagi. Apakah terkejut kepada kemungkinan hadirnya beberapa orang penyamun, atau kepada orang-orang yang bersama pergi ke Mataram atau ke arah lain yang melintasi Alas Tambak Baya.”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia tidak mengambil sikap apapun juga. Ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik Rudita menganggapnya bersalah daripada harus berbantah dengan orang lain yang sama sekali tidak memahami sikap dan jalan pikiran anaknya, seperti juga anaknya tidak dapat memahami sikap dan jalan pikiran orang lain.

Dengan demikian, maka Ki Waskita dan Rudita pun hanya sekedar berkuda di belakang iring-iringan yang menuju ke arah yang sama. Mereka berpacu secepat orang-orang lain yang berada dihadapan mereka.

Tetapi dengan demikian, beberapa orang berkuda yang mendahului kedua ayah dan anaknya itulah yang justru bertanya-tanya didalam hati mereka. Dua orang berkuda dibelakang mereka, seakan-akan tidak mau bergabung dengan mereka, dan bahkan mengikuti iring-iringan yang melintasi Alas Tambak Baya itu.

Tetapi orang-orang itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dua orang itu tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka yang beriringan dalam jumlah yang lebih banyak.

Dengan demikian maka mereka pun kemudian melintasi Alas Tambak Baya tanpa mengalami gangguan apapun. Tambak Baya telah benar-benar menjadi aman. Mereka memasuki daerah diseberang hutan itu dengan hati yang lega. Tetapi, mereka masih tetap dalam iring-iringan menuju ke Alas Tambak Baya yang lebih lebat, tetapi yang sebagian sudah dibuka menjadi daerah tempat tinggal. Menjadi padukuhan dan padesan dengan tanah persawahan yang sudah dapat menghasilkan. Parit-parit yang menelusuri pematang, membuat tanah itu menjadi subur dan hijau di sepanjang tahun, meskipun musimnya sedang kering.

“Kita sudah memasuki Tanah Mataram yang mulai ramai dan besar,” berkata Ki Waskita.

Rudita mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang wajah anaknya yang berkerut merut. Namun kemudian ia pun kembali memandang ke depan. Ke jalan yang menjelujur dihadapan kaki kudanya. Seakan-akan dilihatnya langit yang sudah menjadi semakin suram.

“Rudita tentu sedang memikirkan perkembangan Mataram,” berkata Ki Waskita didalam hati.

Belum lagi Ki Waskita sampai pada suatu kesimpulan, ia sudah mendengar Rudita bertanya, “Apakah usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok itu bijaksana Ayah?”

Ki Waskita termenung sejenak. Namun ialah yang kemudian bertanya, “Kenapa?”

“Apakah dengan demikian tidak akan timbul persoalan dengan Pajang?”

“Kenapa? Kanjeng Sultan sudah menyerahkan Alas Mentaok ini kepada Ki Gede Pemanahan, ayahanda Raden Sutawijaya. Adalah hak Raden Sutawijaya untuk membuka hutan ini. Bahkan kemudian ia menerima anugerah gelar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”

Rudita memandang ayahnya sekilas. Lalu, “Mudah-mudahan memang tidak. Setiap pertentangan membuat hati menjadi sedih. Ceritera yang pernah aku dengar tentang Mataram pun membuat aku cemas.”

“Rudita,” berkata ayahnya, “kau menganggap aku selalu mencurigai orang lain. Tetapi apakah sikapmu itu justru bukan sikap mencurigai. Justru berlebih-lebihan? Kau selalu cemas dan sedih jika kau menghadapi kemungkinan timbulnya pertentangan. Apakah dengan demikian bukan justru dihatimu sendiri telah tumbuh pertentangan itu?”

Rudita termenung sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Dipandanginya ayahnya sejenak, lalu jawabnya, “Ayah. Aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang lemah dan jauh daripada sempurna. Jika Ayah sependapat, maka yang ada didaiam hatiku bukanlah kecurigaan. Tetapi ketakutan dan kecemasan. Masih seperti dahulu. Hatiku selalu dibayangi oleh angan-angan yang menyeramkan. Mungkin yang dapat Ayah lihat perbedaan yang ada pada diriku adalah semata-mata keadaan lahiriah. Aku kini memang tidak menakutkan dan mencemaskan diriku sendiri dalam arti yang terbatas sekali. Karena sebenarnyalah ketakutanku tentang diriku sendiri itu pun belum berubah. Ternyata dengan usahaku mempelajari ilmu yang terdapat didalam lontar Ayah, agar aku dapat melindungi diriku sendiri, itu adalah kelemahanku yang paling nampak seperti yang pernah aku katakan. Tetapi lebih daripada itu, aku sekarang justru dibebani pula oleh ketakutan dan kecemasan, bahwa setiap saat sifat manusia disekitarku selalu menumbuhkan persoalan persoalan di antara mereka sendiri. Persoalan-persoalan yang sama sekali tidak menumbuhkan perkembangan kepribadian, paradaban dan usaha-usaha yang dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan mereka. Tetapi justru sebaliknya. Persoalan-persoalan yang dapat menumbuhkan keributan, pertentangan dan bahkan pembunuhan. Persoalan yang akan dapat meruntuhkan pribadi mereka sebagai manusia dan juga peradaban yang bermanfaat bagi hidup kehidupan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab lagi. Tetapi ia mencoba untuk mengerti dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dengan demikian maka mereka untuk seterusnya tidak lagi banyak berbicara. Ki Waskita yang mencoba mengerti jalan pikiran anaknya, masih saja dibayangi oleh berbagai macam masalah yang sulit dipecahkan. Namun dalam beberapa hal ia sudah dapat menangkapnya.

Demikianlah maka perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan induk yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram. Padukuhan yang menjadi semakin ramai dan sudah mekar menjadi sebuah kota yang diputari oleh dinding batu yang rapi, dengan empat buah regol diempat penjuru, ditambah lagi beberapa regol butulan yang lebih kecil.

Tetapi perkembangan kota itu ternyata menjadi jauh lebih pesat dari yang diduga semula. Diluar dliding batupun kemudian berkembang pula bagian-bagian kota yang cukup ramai pula, sehingga Mataram harus merencanakan membuat batasan kota yang lebih luas lagi dengan regol-regol baru pula. Namun agaknya Mataram masih harus menunggu. Apalagi sejak Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram itu sedang melakukan sebuah pengembaraan untuk menempa dirinya.

Sebelum matahari lenyap di balik cakrawala, Ki Waskita dan Rudita telah berada di ujung jalan yang memasuki bagian luar dari Mataram. Sejenak mereka termangu-mangu. Wajah senja yang membayang dilangit membuat Mataram nampak suram.

“Kita akan langsung masuk ke dalam regol,” berkata Ki Waskita yang masih terhenti di tengah jalan.

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, “Kota ini akan semakin berkembang Ayah.”

“Ya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang akan menghambanya.”

Ki Waskita menjadi berdebar-debar ketika ia melihat wajah anak-nya yang berkerut. Tetapi ternyata Rudita tidak mengatakan sesuatu.

“Marilah,” berkata Ki Waskita, “kita memasuki kota.”

Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka yang sudah menjadi semakin pendek. Ketika mereka mendekati regol, maka beberapa orang sudah nampak menyalakan lampu minyak diregol halaman masing-masing. Sedangkan dari celah-celah dinding rumah-rumah itu pun cahaya lampu nampak berkeredipan disentuh angin senja.

Langit pun semakin lama menjadi semakin suram. Sementara lampupun rasa-rasanya menjadi semakin banyak menyala disepani jang jalan.

Regol kota Mataram masih tetap terbuka, dan bahkan selalu terbuka, sesuai dengan sifat kotanya yang memang terbuka. Meskipun demikian, di regol itu nampak beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Di sebuah gardu di sebelah regol itu, beberapa orang pengawal duduk dan bercakap-cakap di antara mereka. Sedang dua orang di antara para pengawal itu siap berdiri dikedua sisi regol itu dengan tombak di tangan.

Tetapi para pengawal itu tidak pernah menegur dan menyapa orang-orang yang lalu lalang masuk keluar regol kecuali mereka yang memang dapat menumbuhkan kecurigaan.

Demikianlah Ki Waskita dan Rudita pun langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya, yang ditunggui oleh beberapa orang pengawal kepercayaan Senapati Ing Ngalaga, termasuk Ki Lurah Branjangan.

Kedatangan Ki Waskita diterima dengan senang hati oleh para pemimpin di Mataram. Kunjungan itu rasa-rasanya merupakan kunjungan yang dapat sedikit memberikan suasana yang lain bagi para pemimpin di Mataram.

Setelah saling menyapa tentang keselamatan masing-masing maka Ki Waskita dan Rudita yang duduk di pendapa itu pun kemudian dipersilakan meneguk minuman panas dan sekedar makanan yang telah dihidangkan.

“Aku hanya sekedar singgah,” berkata Ki Waskita, “aku sedang dalam perjalanan pulang, mengantarkan anakku yang selama ini membingungkan hati ibunya.”

“O,” para pemimpin itu mengangguk-angguk. Namun kembali Ki Waskita menjadi berdebar-debar melihat sikap Rudita.

Tetapi ternyata Rudita tidak mengatakan sesuatu. Bahkan ia menundukkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan, karena setiap orang telah memandanginya.

“Jika Ki Waskita telah beristirahat sejenak, telah minum dan sekedar makanan, maka kami persilahkan Ki Waskita pergi ke pakiwan bersama dengan putera Ki Waskita. Kami persilahkan berdua mempergunakan gandok sebelah, apabila Ki Waskita akan berganti pakaian dan untuk beristirahat malam nanti. Sementara kami menunggu Ki Waskita dan Angger Rudita untuk makan malam bersama,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Waskita tertawa. Katanya, “Aku selalu membuat repot saja disini.”

Ki Lurah tertawa pula. Jawabnya, “Kami biasa menyediakan makan dan minum untuk banyak orang. Jika Ki Waskita berdua dengan Anakmas Rudita menambah jumlah itu dengan dua, maka aku kira tidak akan banyak berpengaruh.”

Demikianlah Ki Waskita dan Rudita segera diantar ke gandok. Mereka pun kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Baru kemudian mereka berdua naik lagi ke pendapa. Di pendapa ternyata sudah disediakan sederet hidangan makan malam. Bukan hanya untuk Ki Waskita dan Rudita, tetapi juga untuk para pemimpin Mataram yang lain yang kebetulan ada di rumah itu bersama para pemimpin pengawal.

Sejenak kemudian, maka mereka pun segera makan bersama. Sambil berbicara serba sedikit tentang kemajuan Mataram sepeninggal Raden Sutawijaya.

Tetapi Ki Waskita sendiri tidak banyak menanggapi pembicaraan mereka, seolah-olah ia sedang menikmati hidangan yang ada dihadapanniya itu sebaik-baiknya.

Bahkan kemudian setelah mereka selesai makan malam, Ki Waskita pun berkata, “Maaf Ki Lurah. Barangkali anakku masih terlalu lelah. Biarlah ia minta diri untuk segera beristirahat.”

“O, silahkan. Silahkan Ngger,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Rudita, yang mendengar kata-kata ayahnya itu justru menjadi heran. Ia sama sekali tidak merasa lelah. Dan sebenarnya ia masih ingin duduk untuk mendengarkan pembicaraan tentang Tanah Mataram yang sedang berkembang itu.

“Marilah Rudita,” berkata ayahnya, lalu katanya kepada Ki Lurah Branjangan, “aku masih akan berbicara dengan Ki Lurah meskipun hanya sekedar bergurau.”

Rudita tidak menjawab. Ia pun kemudian mengikuti ayahnya pergi ke gandok.

“Aku sama sekali tidak lelah,” berkata Rudita ketika mereka sudah berada di gandok.

“Aku tahu Rudita. Kau sama sekali tidak lelah dan tidak mengantuk. Apalagi ingin beristirahat. Tetapi untuk sementara, sebaiknya kau beristirahat,” sahut ayahnya, “aku minta maaf bahwa pembicaraan untuk selanjutnya tentu tidak akan sesuai dengan jalan pikiranmu. Karena itu, lebih baik kau tidak ikut mendengarnya seperti sikap yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung,” ayahnya berhenti sejenak, lalu, “itu agaknya memang lebih baik bagimu. Kau sama sekali tidak akah dibebani oleh perasaan bersalah atau bahkan seperti yang kau sebut ketakutan dan kecemasan.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk sambil bergumam, “Baiklah Ayah. Aku akan berbaring saja di pembaringan.”

Ayahnya menarik nafas. Tetapi agaknya itulah yang paling baik bagi anaknya.

Sejenak kemudian maka ditinggalkannya Rudita sendiri didalam gandok. Meskipun ia agak ragu-ragu, tetapi dipaksanya juga keputusannya untuk tidak membawa Rudita didalam pembicaraan tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.

Sementara Ki Waskita masuk kedalam bilik, agaknya Ki Lurah Branjangan pun dapat menangkap pula maksud yang lain, yang tersirat dari sikap itu. Agaknya Ki Waskita ingin berbicara tentang sesuatu tanpa didengar oleh banyak orang.

Karena itu, maka Ki Lurah pun mempersilahkan para pemimpin itu untuk kembali ke tugas masing masing, atau pulang untuk beristirahat.

Karena itulah, ketika Ki Waskita kembali ke pendapa, yang ada tinggallah beberapa orang yang memang sudah mengetahui bahwa kedua pusaka yang menjadi pertanda jabatan dan kekuasaan Mataram telah hilang.

Di pendapa, maka Ki Waskita pun mulai menceriterakan apa yang telah terjadi di Jati Anom. Ia menceriterakan semua segi persoalan yang diketahuinya. Juga tentang sikap Untara, dan kemungkinan bahwa Pajang memang belum mendengar bahwa kedua pusaka itu hilang dari Mataram.

“Tetapi pada suatu saat, orang-orang yang berhasil mengambil itu sendirilah yang akan membuka rahasia hilangnya kedua pusaka itu,” berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.

“Jika kita berhasil segera mendapatkannya kembali, maka mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Peristiwa di Jati Anom itu sangat menarik perhatiannya.

“Sayang, Raden Sutawijaya masih belum kembali.”

“Dimanakah Raden Sutawijaya sekarang? Barangkali telah ada kabar dari Raden Sutawijaya berada di Pegunungan Sewu. Kami memang sudah membuat hubungan. Dan kami pun telah memberitahukan, bahwa puteranya ingin sekali bertemu untuk melihat wajahnya.”

“Puteranya?”

“Ya. Masih terlalu kecil. Puteranya dengan gadis Kalinyamat itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

“Mereka ada disini sekarang, ibu dan puteranya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut tentang puteri dari Kalinyamat dan puteranya itu.

Ki Lurah Branjangan pun agaknya tidak lagi ingin memperbin-cangkan puteri Kalinyamat itu. Karena itulah maka ia pun kemudian kembali pada pokok persoalannya. Katanya, “jadi apakah menurut Ki Waskita, pusaka itu sekarang masih ada disekitar Gunung Merapi?”

“Ya Ki Lurah.”

“Apakah kita dapat mengirimkan sepasukan pengawal Mataram untuk menemukan mereka? Jika akibatnya kita harus bertempur seperti prajurit Pajang, maka kita tidak akan undur. Pusaka itu sudah sepantasnya direbut dengan pengorbanan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa Rudita tidak ikut berbicara di antara mereka.

“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita, “kita sudah tertinggal beberapa hari. Dengan demikian, maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan bahwa Kiai Kalasa Sawit telah meninggalkan daerah Gunung Merapi sejauh-jauhnya. Namun katakanlah bahwa dugaanku benar, bahwa Kiai Kalasa Sawit masih berada di sekitar Gunung Merapi. Maka usaha untuk menemukannya pun agaknya terlampau sulit.”

“Mungkin sangat sulit Ki Waskita. Tetapi tanpa usaha apapun juga, kita juga tidak akan berhasil.”

“Untuk melakukannya, agaknya kita harus memperhitungkan Pajang pula. Jika pasukan pengawal Mataram bertemu dengan prajurit-prajurit Pajang, maka persoalannya akan berubah.”

“Kita melakukan tugas kita masing-masing,” jawab Ki Lurah.

“Tetapi Pajang merasa berkuwajiban untuk menjaga dan melindungi seluruh wilayah Pajang. Panglima muda dibagian Selatah ini pun tentu berpendirian demikian pula.”

“Tetapi jangan lupa Ki Waskita,” berkata Ki Lurah Branjangan, “Raden Sutawijaya adalah putera Kanjeng Sultan Pajang yang mendapat anugerah gelar dan jabatan Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian ber-tanya, “Tetapi Ki Lurah. Apakah anugerah yang diterima oleh Raden Sutawijaya itu disertai dengan ketentuan lebih lanjut atas tugas dan daerah wewenangnya? Jika Kiai Kalasa Sawit katakanlah masih berada di lereng Gunung Merapi disisi manapun juga, apakah kekuasaan Senapati Ing Ngalaga mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan sesuatu atas mereka? Apa pula hubungannya dengan kekuasaan prajurit Pajang didaerah itu yang masih belum dicabut wewenangnya?”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya perlahan-lahan tertunduk. Dengan nada yang datar ia bergumam, “Itulah yang masih kurang sekarang ini. Anugerah gelar dan jabatan atas Raden Sutawijaya yang tidak disertai kepastian tugas dan wewenang. Sedangkan yang disebut Mataram pun masih belum pasti. Yang dihadiahkan kepada Ki Gede Pemanahan adalah Alas Mantaok. Tetapi ternyata negeri yang menjadi ramai ini tidak hanya dibatasi oleh dinding hutan yang sekarang sudah hampir seluruhnya ditebang.

“Dengan demikian Ki Lurah,” sahut Ki Waskita kemudian, “persoalan orang-orang yang berada di lereng Gunung Merapi itu pun masih harus dipertimbangkan masak-masak, sehingga satu sama lain tidak akan saling menyinggung.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita benar. Kita memang tidak dapat bertindak tergesa-gesa. Untara adalah seorang Panglima yang teguh pada sikap dan pendirian seorang prajurit. Tetapi jika Untara mendesaknya dari Timur meskipun seandainya Kiai Kalasa Sawit berada dicelah-celah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian mereka terdorong ke Barat, maka atas persetujuan Untara, kami dapat bertindak atas mereka.”

“Agaknya hal itu dapat dilakukan. Sementara Untara tidak mengetahui bahwa Kiai Kalasa Sawit membawa sebuah pusaka yang sangat berharga bagi Mataram.”

“Kami akan mencoba menghubungi Untara. Mudah-mudahan Untara tidak salah paham.”

“Dalam hal ini agaknya peran Kiai Gringsing akan dapat membantu,” desis Ki Waskita.

“O, tentu. Kiai Gringsing masih mendapat kepercayaan dari semua pihak. Apalagi jika Untara mengenal tanda-tanda yang terpahat pada tubuh Kiai Gringsing, khususnya dipergelangan tangannya.”

“Tetapi,” berkata Ki Waskita kemudian, “saat ini Kiai Gringsing sedang disibukkan oleh rencana perkawinan muridnya. Swandaru. Agaknya kini ia menyisihkan waktunya untuk keperluan tersebut. Perkawinan itu hanya tinggal beberapa hari saja lagi. Tidak sampai sebulan.”

“O,” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya meskipun agak ragu-ragu, “Kiai Gringsing akan dapat memilih kesempatan. Persoalan yang dihadapi Mataram tentu merupakan persoalan bagi suatu lingkungan dan anak keturunannya. Kelangsungan hidup dan harga diri. Sedang perkawinan adalah masalah pribadi semata-mata. Apalagi dalam keadaan suka.”

Ki Waskita mengerutkah keningnya. Kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah benar. Tetapi jika kita menghitung seluruh tahun pada umur-umur Kiai Gringsing, berapa lama dalam perbandingan keseluruhan Kiai Gringsing mementingkan kepentingan pribadinya termasuk murid-muridnya?”

Ki Lurah Branjangan seolah-olah tersadar dari mimpinya. Dengan serta merta ia berkata, “Maaf aku keliru Ki Waskita. Jika Kiai Gringsing ada, aku wajib minta maaf kepadanya.”

Ki Waskita tersenyum Katanya, “Ia tidak mendengar. Karena itu Ki Lurah tidak perlu minta maaf kepadanya.”

Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun nampak pada sorot matanya bahwa ia benar-benar telah menyesal.

“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita kemudian, “hendaknya yang kami beritahukan tentang pusaka itu dapat dijadikan bahan yang barangkali akan membantu mengungkapkan usaha penemuannya. Selebihnya, kami masih belum dapat mengatakan apa-apa. Setelah perkawinan Angger Swandaru itu berlangsung, maka kami akan dapat menilai, apakah yang sebaiknya kami lakukan.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih Ki Waskita. Dan aku pun benar-benar ingin minta maaf. Aku telah salah menilai bantuan dan jasa yang tidak ada taranya dari Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Juga Ki Argapati di Menoreh. Terutama pada saat kita bersama-sama menghancurkan Panembahan Agung dan Panembahan Alit.”

“Kita saling membutuhkan bantuan,” jawab Ki Waskita.

“Disaat-saat mendatang, kami tentu masih banyak memerlukan bantuan.”

“Sudah tentu kami tidak akan berkeberatan Ki Lurah. Tetapi dalam batas kemampuan kami.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berdiam. Seolah-olah mereka sedang menilai semua peristiwa yang pernah terjadi.

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Waskita berkata, “Ki Lurah. Selain semua pesan yang sudah aku sampaikan tentang pusaka itu, aku masih membawa pesan yang lain dari Ki Demang di Sangkal Putung.”

“O,” Ki Lurah mengerutkan dahinya. “Apakah pesan itu juga menyinggung pusaka-pusaka yang hilang itu atau perkembangan Mataram selanjutnya?”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Lalu katanya, “Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pusaka-pusaka itu Ki Lurah. Tetapi justru mengenai perkawinan Angger Swandaru.”

Ki Lurah memperhatikan kata-kata Ki Waskita dengan saksama.

Ki Waskita pun kemudian menyampaikan pesan Ki Demang, untuk mohon bermalam barang satu malam, pada saat Swandaru bersama pengiringnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Lurah yang mendengarkan pesan itu dengan tegang, akhirnya tertawa. Katanya, “Aku sudah berdebar-debar. Tetapi pesan ini ternyata menggembirakan sekali. Tempat yang dipilih untuk singgah pengantin, apalagi untuk bermalam, tentu akan mendapatkan kurnia yang sepadan,” ia berhenti sejenak, lalu, “tentu kami sama sekali tidak berkeberatan. Apa yang dapat kami sediakan akan kami siapkan disini.”

“Ki Demang tentu akan sangat berterima kasih. Aku pun berterima kasih pula, bahwa tugas yang dipesankan kepadaku ternyata berbasil dengan baik.”

“Bukankah Ki Waskita tidak pernah gagal menjalankan tusas apapun juga?”

Ki Waskita tertawa. Tetapi ia menyahut, “Khususnya mengurus hari-hari perkawinan.”

Yang mendengarnya tertawa pula, sehingga pembicaraan itu pun kemudian dilanjutkan dengan gurau yang segar, meskipun kadang-kadang menyentuh juga tentang pusaka-pusaka yang hilang.

Rudita yang berada didalam biliknya mencoba untuk dapat benar-benar beristirahat. Dicobanya untuk memejamkan matanya. Namun ternyata bahwa ia masih saja selalu gelisah. Dan kegelisahannya itu adalah pertanda, bahwa belum ada kedamaian didalam hatinya sendiri.

“Alangkah lemahnya hati manusia,” desisnya.

Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ketika terdengar suara tertawa di pendapa, Rudita mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia pun tersenyum. Agaknya orang-orang yang berada di pendapa itu tidak sedang dicengkam oleh ketegangan dalam pembicaraan mengenai pusaka-pusaka yang hilang itu.

“Syukurlah jika mereka tidak sedang membicarakan sikap kekerasan,” katanya didalam hati.

Namun demikian, terasa sebuah desir yang tajam tergores dihatinya. Ia mulai merasa semakin terasing dari pergaulan sesamanya karena agaknya sikap dan pendiriannya masih belum dapat dimengerti oleh orang lain. Bahkan ayahnya sendiri telah membiarkannya berbaring seorang diri didalam bilik itu, sementara di pendapa beberapa orang duduk dan saling mengutarakan pikiran dan pengalamannya yang agaknya langsung atau tidak langsung menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu, sebelum mereka menemukan suasana yang terang.

Tetapi Rudita tidak menyesali sikapnya. Yang disesali adalah kekebalan hati sesama yang tidak dapat mengerti sikap dan pendiriannya.

Meskipun demikian Rudita berusaha untuk tetap mengerti bahwa,ia tidak akan dapat merombak wajah lingkungannya dengan cepat. Karena itu ia harus berbuat menurut keyakinannya tanpa mengenal lelah dan jemu. Meskipun akibatnya akan dapat menjadi semakin parah. Mungkin ia akan terasing sama sekali. Namun pada suatu saat, manusia akan mengakui, bahwa kedamaian yang sejati, tidak terletak pada kekuatan yang berlimpah-limpah dan tidak terkalahkan. Tetapi kedamaian yang sejati terletak didalam hati. Sikap, tingkah laku, kata-kata dan angan-angan yang memancarkan kedamaian dihati itu akan memberikan ketenteraman yang sejuk dan langgeng, karena dengan demikian tidak akan ada sikap, angan-angan dan kata-kata yang bersifat permusuhan, curiga dan mementingkan diri sendiri.

“Aku masih harus menunggu lama sekali,” berkata Rudita di dalam hati, “bahkan mungkin sepanjang umurku, atau bahkan sebaliknya, akan menjadi semakin jauh.”

Tetapi Rudita dengan sadar akan tetap berjalan diatas jalan yang telah dirintisnya. Apapun akibatnya. Keterasingan dan barangkali ia justru akan kehilangan arti sama sekali.

Ternyata Rudita masih tetap belum tertidur ketika ayahnya memasuki bilik itu setelah menjadi lelah berbicara dan berkelakar dengan para pemimpin Mataram, justru yang paling penting. Namun agaknya ada beberapa hal yang dapat dianggap sebagai keterangan yang penting bagi Mataram, yang pantas dilaporkan kepada Raden Sutawijaya dengan segera.

“Agaknya Raden Sutawijaya telah terlibat dalam persoalan yang sama seperti yang pernah terjadi atas gadis Kalinyamat itu,” bekata Ki Lurah Branjangan didalam hatinya.

Beberapa hari yang lewat seorang penghubung berhasil menemui Raden Sutawijaya di Pegunungan Sewu. Penghubung itulah yang menceriterakan, bahwa agaknya persoalan yang telah pernah terjadi itu, terjadi sekali lagi.

Tetapi Ki Lurah yans masih belum tahu dengan pasti, apakah cerita itu benar, masih belum berani mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan ia berpesan kepada penghubung itu, bahwa sebaiknya ia tidak mengatakannya kepada orang lain.

“Jika benar hal itu terjadi, maka alangkah sedihnya Semangkin yang pernah dinamakan Rara Pamikatsih oleh Ki Gede Pemanahan, karena gadis itu bersama adiknya Prihatin yang kemudian disebut Rara Pamilutsih berhasil menarik perhatian, dan bahkan meruntuhkan hati Sultan Pajang, sehingga dengan serta merta ia menyanggupkan diri untuk mengalahkan Jipang.” Ki Lurah Branjangan selalu dikejar oleh angan-angannya tentang Raden Sutawijaya dan tingkah lakunya menghadapi gadis-gadis.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Rudita dan ayahnya tidak lagi banyak berbicara. Agaknya Ki Waskita telah dengan sengaja membatasi setiap pembicaraan yang kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan dan justru salah paham.

Karena itulah, maka ia pun kemudian membaringkan diri di pembaringan sambil bergumam, “Aku lelah sekali Rudita. Aku akan mencoba tidur senyenyaknya. Apakah kau tidak mengantuk?”

“Aku pun ingin tidur nyenyak Ayah. Tetapi agaknya aku memang belum mengantuk. Tetapi jika Ayah ingin segera tidur, silahkanlah. Aku pun tentu akan tertidur pula nanti.”

Ayahnya tidak menjawab. Dipejamkannya matanya sambil menyilangkan tangan didadanya. Sejenak kemudian maka nafasnya pun beredar dengan teratur.

Rudita memperhatikan tarikan nafas ayahnya sejenak. Tetapi ia tersenyum sendiri. Ia tahu bahwa ayahnya tidak tidur. Meskipun demikian ia sama sekali tidak mau mengusiknya lagi.

Namun lambat laun, keduanya yang saling berdiam diri dipembaringan itu pun akhirnya tertidur juga. Meskipun tidak terlalu lama, karena mereka segera terbangun ketika mereka mendengar ayam berkokok dini hari.

Seperti yang direncanakan, maka pada pagi itu juga, Ki Waskita dan Rudita mohon diri untuk meneruskan perjalanan. Beberapa persoalan yang menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu masih disinggung sedikit oleh Ki Lurah. Namun kemudian mereka lebih banyak berbicara tentang rencana Ki Demang untuk singgah di Mataram pada saat mereka membawa Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan diantar oleh Ki Lurah Branjangan dan beberapa orane pemimpin Menoreh sampai ke regol, maka Ki Waskita dan Rudita meninggalkan rumah Raden Sutawijaya yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram itu.

Ketika matahari kemudian naik semakin tinggi, maka kuda Ki Waskita dan Rudita meninggalkan kota Mataram yang berkembang dengan pesat. Mereka menempuh bulak yang panjang dan subur. Bulak yang baru beberapa kali menghasilkan padi dan palawija, setelah hutan diatas tanah itu ditebang.

“Mataram akan menjadi sangat subur,” berkata Ki Waskita seolah-olah kepada diri sendiri.

Rudita berpaling kepadanya. Kepalanya terangguk lemah. Ka-tanya, “Ya. Mataram akan menjadi sangat subur.”

Sambil menatap batang-batang padi yang hijau maka kuda mereka itu pun berlari terus. Tidak terlampau kencang, karena mereka rasa-rasanya memang sedang menikmati angin pagi diatas Tanah Mataram.

Namun demikian perjalanan mereka itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali Praga. Kali yang cukup luas dengan airnya yang berwarna lumpur. Apalagi apabila hujan di lereng gunung menghanyutkan guguran tanah masuk kedalam arus air yang semakin deras.

Jalan yang menuju ke daerah penyeberangan di Kali Praga sudah menjadi semakin ramai. Jalan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, dan daerah yang lebih jauh lagi di sebelah Barat, menjadi semakin ramai pula dilalui orang. Para pedagang pun hilir mudik dengan dagangan masing-masing. Barang-barang yang dapat ditukarkan dengan hasil bumi maupun alat-alat pertanian yang dibuat di daerah yang lain.

Ki Waskita dan Rudita berpacu terus. Rasa-rasanya sinar matahari menjadi semakin panas dan menggigit kulit seperti gigitan semut yang gatal.

Namun di perjalanan tidak banyak persoalan yang mereka temui. Bersama-sama dengan beberapa orang lain yang lewat mereka menyeberang Kali Praga dengan perahu. Agaknya para tukang satang telah berani turun ke sungai, setelah beberapa lama tidak terjadi lagi bencana yang menimpa mereka dan kawan-kawan mereka di sepanjang daerah penyeberangan itu.

Demikianlah, maka setelah beberapa kali beristirahat untuk memberi minum dan makan bagi kuda-kudanya, keduanya pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk.

Ketika dua orang pengawal yang sedang nganglang mengawasi keamanan daerah Tanah Perdikan Menoreh melihatnya, dan yang kebetulan sudah mengenal Ki Waskita, maka mereka berduapun segera membawanya langsung menuju ke rumah Ki Argapati. Bahkan salah seorang dari keduanya pun mendahului untuk memberitahukan kehadiran Ki Waskita.

Ki Argapati menjadi berdebar-debar. Ki Waskita, menurut pe-ngertiannya, telah pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk mencari anaknya yang pergi dari rumahnya, sekaligus membawa pesan-pesannya mengenai persoalan hari-kari perkawinan Pandan Wangi.

“Ia hanya berdua dengan puteranya yang manja itu,” desis pengawal itu.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi anak itu sudah dapat diketemukannya.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Waskita dan Rudita pun memasuki halaman rumah kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati yang telah diberitahu akan kedatangannya telah siap menyambutnya di pendapa.

Dengan wajah yang terang Ki Argapati menyongsong tamunya. Ketika nampak olehnya Rudita bersama ayahnya, maka ia pun segera mendekatinya sambil memberikan salam.

“Akhirnya ayahmu berhasil menemukan kau Rudita,” berkata Ki Argapati.

Rudita menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Sebenarnya aku tidak sengaja membuat Ayah menjadi sibuk dan terpaksa menyusuri lereng-lereng Gunung Merapi mencari aku.”

Ki Argapati tertawa. Katanya, “Itulah yang terbersit dihati anak-anak muda. Tetapi orang tua kadang-kadang menjadi cemas dan tidak dapat berdiam diri. Apalagi seorang ibu.”

Rudita tidak menjawab.

“Marilah,” Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan Ki Waskita, “aku ikut bergembira, bahwa Rudita telah diketemukan.

Ki Waskita tertawa. Katanya, “Setelah aku membuat orang-orang Sangkal Putung dan terutama prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom menjadi sibuk.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan Ki Waskita pun berkata selanjutnya, “Nanti aku ceriterakan, bagaimana lereng Merapi itu terguncang.”

“Gempa Paman,” tiba-tiba saja Rudita memotong, “mungkin terasa juga di Tanah Perdikan Menoreh. Bukan saja lereng Merapi yang terguncang.”

Ki Argapati termenung sejenak. Namun ia pun kemudian terta-wa, “Ya. Memang pernah terjadi gempa. Meskipun tidak begitu kuat disini.”

“Tetapi karena sumber gempa itu adalah Gunung Merapi, maka yang paling terguncang adalah lereng Gunung Merapi.”

Ki Argapati tertawa. Katanya, “Ya. Kau benar Rudita. Tetapi, marilah. Silahkan naik ke pendapa.”

Setelah mengikat kudanya pada batang perdu di halaman, serta mencuci kaki dijambangan dibawah pohon soka, maka mereka pun segera naik ke pendapa.

Mula-mula, seperti kebiasaan yang lazim, maka mereka pun saling bertanya tentang keselamatan masing-masing. Juga keselamatan orang-orang yang ditinggalkannya di Sangkal Putung dan bahkan Jati Anom.

Ketika minuman dan makanain telah dihidangkan, maka mulailah Ki Waskita berceritera tentang Rudita. Meskipun ia harus berhati-hati dan menghindari persoalan-persoalan yang agaknya akan dapat menumbuhkan persoalan pada anaknya itu.

Pembicaraan yang menjadi ramai ketika Pandan Wangi ikut menemuinya pula. Bahkan kadang-kadang ia masih dapat mengganggu Rudita yang beberapa saat yang lalu adalah seorang anak yang aneh. Seorang anak muda yang sama sekali tidak memdiki sifat-sifat seorang anak muda sewajarnya. Karena itulah maka ia tidak lebih dari seorang anak muda yang penakut, bahkan pengecut dan agak licik.

Tetapi sifat-sifat itu sama sekali telah berubah. Meskipun perubahan yang terjadipun membuat Rudita tetap seorang anak muda yang aneh dalam bentuknya yang lain.

Namun, seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa ia harus di asingkan dari pembicaraan yang lebih bersungguh-sungguh, ternyata pula dimalam harinya. Ketika di pendapa sudah diterangi oleh lampu minyak, dan setelah Rudita dan ayahnya mandi serta membenahi pakaiannya, datanglah saatnya mereka dijamu makan malam. Namun setelah itu, maka Ki Waskita berkata kepada anaknya, “Rudita, jika kau lelah, beristirahatlah. Aku masih akan menyampaikan pesan-pesan Ki Demang Sangkal Putung tentang hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang merasa lebih baik tidak ikut dalam pembicaraan yang tidak dapat diikutinya dengan perasaannya.

Setelah minta diri untuk beristirahat kepada Ki Argapati dan bebabu Tanah Perdikan yang hadir menyambut kedatangannya maka Rudita pun kemudian pergi ke gandok yang disediakan baginya dan ayahnya.

Tetapi seperti di Mataram, ia pun tidak segera dapat tidur. Mes-kipun kemudian ia berbaring juga dipembaringan, namun rasa-rasanya ia masih mendengar pembicaraan yang riuh di pendapa. Sekali-sekali ia mendengar suara tertawa yang meledak. Agak berbeda dengan saat pembicaraan di Mataram yang agak tegang meskipun kadang-kadang juga terdengar suara tertawa.

“Pembicaraan kali ini lebih banyak berkisar pada hari-hari perkawinan itu,” desis Rudita didalam hatinya, “tetapi aku tetap tidak diperkenankan ikut serta.”

Sebenarnya yang sedang dibicarakan di pendapa adalah hari-hari yang sedang ditunggu-tunggu oleh segenap penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi, bahkan rasa-rasanya hari tidak berjalan seperti biasanya.

Dalam pembicaraan itu, maka semua pesan Ki Demang Sangkal Putung telah disampaikannya pula. Persoalan-persoalan yang langsung dan tidak langsung menyangkut kedatangan Swandaru pun telah dibicarakannya. Tempat penginapan dan segala keperluannya. Kemudian menjelang sepasar dan akhirnya hari-hari keberangkatan kedua pengantin ke Sangkal Putung.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun belum terjadi, tetapi rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi sangat sepi. Rasa-rasanya Ki Argapati harus hidup sendiri di rumahnya yang besar itu.

Sudah agak lama Ki Argapati ditinggal oleh isterinya yang telah mendahului menghadap Tuhannya kembali. Kesepian yang mula-mula mencengkam, terasa mulai terisi sejak Pandan Wangi meningkat dewasa. Rasa-rasanya Pandan Wangi dapat membuat rumahnya seakan-akan terbangun setelah tidur untuk waktu yang lama.

Tetapi pada suatu saat, Pandan Wangi itu harus meninggalkannya pergi bersama suaminya.

“Namun hal itu harus terjadi,” berkata Ki Argapati didalam hatinya, “setiap gadis akan meninggalkan orang tuanya dan ikut bersama suaminya. Demikian juga harus terjadi pada Pandan Wangi. Aku tidak boleh mementingkan diriku sendiri dan membiarkan Pandan Wangi tetap tinggal dirumah ini sampai hari matiku.”

Tetapi bagaimanapun juga, Ki Argapati berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Ia masih tetap tersenyum, tertawa dan bergurau dengan cerah betapapun kesepian yang akan datang itu rasa-rasanya telah mulai membelit hatinya.

Dalam pada itu, Rudita masih saja berada didalam biliknya. Karena ia tidak dapat segera tertidur, maka ia pun kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringan. Namun kemudian ia keluar dari bilik tidurnya dan duduk diserambi depan.

Angin yang silir terasa mengusap tubuhnya. Ia melihat beberapa orang yang duduk digandok sambil berbicara dengan riuhnya. Namun seperti kehendak ayahnya, ia tidak sebaiknya ikut serta dalam pembicaraan itu.

Diserambi, Rudita memandang kegelapan yang rasa-rasanya menyelubungi seluruh permukaan bumi. Seperti gelapnya hati manusia yang semakin lama menjadi semakin pekat.

“Pada suatu saat mereka akan kehilangan kesadaran diri dan segenap kepribadiannya jika tidak ada perubahan arah dari perkembangan budi manusia,” desis Rudita dengan cemasnya.

Rudita bergeser ketika terasa seekor nyamuk menggigit tangannya yang menjadi gatal.

Dalam keadaan yang demikian Rudita masih juga sempat merasa betapa perasaan yang lain masih sempat menyentuh dirinya. Dalam keadaan tertentu ia mampu melepaskan diri dari perasaan sakit, pedih, lelah dan semacamnya. Namun pada keadaan yang wajar itu, perasaan gatal masih terasa olehnya.

Ketika nyamuk itu hinggap lagi disela-sela jari tangannya, maka perlahan-lahan ia mengangkat tangannya yang lain. Didalam cahahaya obor yang kemerah-merahan ia memandang nyamuk itu dengan tatapan mata kejengkelan yang mendorongnya siap untuk melakukan pembunuhan.

Tetapi tiba-tiba saja ia menarik nafas. Ia tidak berusaha untuk menepuk nyamuk itu. Namun dengan jari-jarinya, dikejutkannya nyamuk itu dan dibiarkannya terbang.

Rudita mengerutkan keningnya, ketika kemudian didengarnya desir langkah halus mendekatinya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya ia dapat mengenal langkah yang mendekatinya itu, meskipun ia belum melihat orangnya.

Rudita bangkit ketika seseorang muncul diserambi itu. Seperti yang diduganya, orang itu adalah Pandan Wangi.

“O,” suaranya agak gemetar. Tetapi beberapa saat kemudian, ia sudah dapat menguasai dirinya. Ia bukan lagi Rudita yang dahulu.

“Kau tidak tidur?” bertanya Pandan Wangi.

“Udara terlalu panas,” jawab Rudita. “Disini aku merasa agak sejuk.”

“Kau tidak naik ke pendapa? Mereka berbicara panjang lebar.”

“Mereka berbicara tentang kau,” sahut Rudita.

Wajah Pandan Wangi menjadi merah. Tetapi Rudita tidak memperhatikannya.

“Duduklah,” Pandan Wangi mempersilahkan.

Tetapi Rudita menjadi bingung. Dimana ia akan duduk dan dimana Pandan Wangi akan duduk, karena diserambi itu hanya ada sebuah lincak meskipun agak panjang.

Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak ragu-ragu. Ia pun kemudian duduk di lincak itu dan menarik tangan Rudita untuk duduk pula.

Rudita pun kemudian duduk pula, meskipun rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar lagi.

Tetapi kemudian ia menyadari, bahwa sikap Pandan Wangi tentu masih belum berubah. Gadis itu masih menganggapnya sebagai kanak-kanak yang manja dan perlu dikasihani, seperti saat-saat ia ketakutan dihutan-hutan perburuan.

“Kenapa kau tidak ikut berbicara di pendapa?” bertanya Pandan Wangi sekali lagi, “meskipun mereka berbicara tentang aku, apa salahnya kau ikut mendengarkannya?”

“Agaknya aku masih belum diperlukan untuk ikut dalam pembicaraan yang penting itu,” jawab Rudita.

Pandan Wangi menarik nafas. Sejenak ia merenungi malam yang menjadi semakin gelap.

Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau baru datang dari Sangkal Putung?”

“Ya.” jawab Rudita.

Pandan Wangi memandang Rudita sejenak. Tetapi wajahnya pun kemudian tertunduk. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi tertahan dikerongkongannya.

Rasa rasanya Rudita dapat mengetahui isi hati Pandan Wangi. Gadis itu ingin bertanya sesuatu tentang Swandaru, bakal suaminya. Tetapi agaknya perasaannya telah menahannya. Sebagai seorang gadis ia tidak dapat langsung bertanya tentang seorang anak muda yang mempunyai ikatan yang khusus dengan dirinya.

Karena itu, maka Rudita lah yang berkata, “Di Sangkal Putung aku sempat bertemu dengan Swandaru dan Agung Sedayu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut.

Dan agaknya Rudita memang bukan Rudita yang dahulu. Ia berkata seterusnya, “Mereka dalam keadaan selamat dan berpengharapan. Terutama Swandaru. Tetapi atas nasehat orang-orang tua di Sangkal Puting, ia harus berusaha untuk mengurangi bobot badannya menjelang hari perkawinannya.”

“Ah,” desis Pandan Wangi.

Rudita tertawa. Katanya lebih lanjut, “Tetapi pada dasarnya, mereka merasa berbahagia dengan harapan didalam hati mereka. Setelah Swandaru, tentu akan datang saatnya, Agung Sedayu. Agaknya adik Swandaru yang bernama Sekar Mirah itu pun sudah cukup masak untuk mulai dengan taraf kehidupan baru.”

Terasa sesuatu berdesir dihati Pandan Wangi. Namun kemudian, semuanya telah ditekannya dalam-dalam didasar lubuk hati. Bahkan ia pun kemudian berkata kepada dirinya sendiri didalam hatinya, “Bukankah sudah seharusnya Agung Sedayu segera kawin dengan gadis pilihannya? Seperti aku juga kawin dengan anak muda pilihanku dan yang telah direstui oleh Ayah?”

—- > Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Menjadi berdebar debar, rasanya penganten sudah di depan mata.

Tinggalkan komentar