ADBM-075


<<kembali | lanjut >>

KI DEMANG mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Dalam pada itu, Putut Nantang Pati duduk di atas sebuah batu sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Tubuhnya menjadi gemetar oleh getaran yang serasa menyesakkan dadanya. Di sekitarnya beberapa orang pengawalnya berjaga-jaga dengan senjata telanjang untuk melindunginya selama ia mengerahkan kemampuannya, permukaan dari ilmu yang didapatkannya dan Panembahan Agung. Ternyata bahwa ia sudah memberanikan diri untuk melepaskan ilmu yang baru permulaannya saja didapatkannya itu dengan akibat yang cukup melelahkan baginya.

Daksina yang berada di belakannya memandangnya dengan cemas, ketika kemudian Putut Nantang Pati menarik nafas dalam-dalam dan mengurai tangannya yang menyilang di dadanya, maka Daksina pun ikut menarik nafas dalam-dalam pula.

“Ternyata kau juga sudah mempelajari ilmu itu.”

“Baru mulai. Sebenarnya belum waktunya aku mencoba kemampuanku.”

“Tetapi tentu telah membingungkan orang-orang Mataram itu. Jika kau memang memiliki kemampuan itu, sebenarnya kau akan dapat menumpas orang-orang Mataram di lembah itu dengan membuat bentuk-bentuk semu.”

“Apakah kau sekarang percaya, bahwa hal yang lebih dahsyat dapat dilakukan oleh Panembahan Agung.”

“Aku percaya. Tetapi aku tidak tahu, apakah orang Mataram tidak memiliki kemampuan pemunah dari ilmu itu?”

“Ternyata tidak. Ilmu yang belum dapat disebut, atau bahkan sebenarnya aku belum pantas menyebut diriku menerima ilmu itu meskipun baru permulaannya, telah dapat membuat mereka menjadi bingung. Kau dengar, bahwa mereka dengan mantap telah menyambut api yang semu itu.”

”Tetapi apakah akhirnya mereka mengetahui bahwa api itu sebenarnya hanya semu?”

“Aku tidak tahu. Tetapi barangkali mereka menganggap itu sebagai suatu keajaiban. Aku mengharap bahwa mereka menyangka, bahwa di daerah ini memang terdapat keajaiban itu. Hantu, misalnya. Di Mentaok, hantu-hantu yang kami ciptakan ternyata telah gagal.”

“Kenapa kau tidak membantu hantu-hantuanmu dengan caramu ini?”

“Seperti aku katakan, aku sedang mencoba. Untuk mencoba satu kali seperti ini, aku memerlukan waktu pemusatan pikiran yang lama. Dan sudah barang tentu aku tidak akan berani mengulanginya malam ini. Jika sekali lagi aku mencoba, maka aku tidak akan mampu menahan diri. Aku tentu akan pingsan, dan jika ada kesalahan pemulihan syaraf, aku dapat menjadi gila. Gila adalah akibat buruk yang mungkin terjadi atas mereka yang mempelajari ilmu serupa ini.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam. Lalu, ”Jika demikian, kenapa bukan Panembahan Agung sendiri yang datang ke Mataram, dan dengan ilmunya, ia mengacaukan tata pemerintahan dan hubungan yang ada di antara mereka.”

“Panembahan Agung hampir tidak pernah meninggalkan padepokannya,” sahut Putut Nantang Pati, “kecuali jika ada sesuatu yang luar biasa. Bukankah kau mengetahui, bahwa Panembahan Agung tidak pernah keluar pagar batu padepokannya? Selama aku menjadi pengikutnya, baru satu kali Panembahan Agung meninggalkan padepokannya.”

“Kapan dan untuk apa?”

“Pada saat Demak runtuh.”

“Demak tidak pernah runtuh. Sepeninggal Sultan Demak, maka pemerintahan hanya berpindah ke Pajang.”

“Tetapi kebesaran Demak telah runtuh, kekuasaan Sultan Pajang jauh berada di bawah kekuasaan yang sebenarnya dari Sultan Demak. Apalagi perang di antara mereka yang merasa berhak mewarisi kerajaan, membuat Pajang hanya sekedar abu dari kekuasaan yang pernah menyala sebelumnya. Apalagi dibandingkan dengan kebesaran Majapahit.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam.

“Pada saat itulah maka Panembahan Agung yang waktu itu masih lebih muda, pergi ke puncak gunung Merapi untuk melihat kemungkinan yang bakal terjadi di pulau ini. Dari puncak gunung itulah ia melihat bahwa Alas Mentaok seakan-akan menyala di malam hari. Tiga hari tiga malam Panembahan Agung menyaksikan Alas Mentaok itu bagaikan bara. Dan pada malam berikutnya, Panembahan Agung melihat segumpal cahaya yang berwarna pulih kebiru-biruan meluncur dan jatuh di atas Alas Mentaok. Itulah sebabnya, maka Panembahan Agung menganggap bahwa Mataram pada suatu saat akan menjadi pusat pemerintahan.”

Daksina mengerutkan keningnya. Jika demikian, maka Panembahan Agung sudah mempunyai rencana tersendiri bagi Mataram. Dengan demikian, maka bagi Panembahan Agung, kekuatan Pajang yang ada di padepokannya dan di padepokan Putut Nantang Pati itu hanya sekedar pemanfaatan yang tidak akan diperhitungkan kelak.

Tetapi Daksina itu berkata di dalam hatinya, ”Memang dahsyat sekali. Tetapi Kakang Tumenggung dan Kakang Panji bukannya anak-anak kemarin sore. Terlebih-lebih lagi jika Paman Ajar di Kleca ikut campur di dalam persoalan ini. Agaknya Panembahan Agung masih harus membuat pertimbangan khusus jika ia sendirilah yang ingin berkuasa.”

Namun yang kemudian dikatakan adalah, ”Jika demikian, jika menurut pandangan Panembahan Agung, berdasarkan atas isyarat yang pernah diterimanya, bahwa Mataram akan menjadi pusat pemerintahan, kenapa ia tidak mengerahkan semua kemampuan, tenaga dan apa pun juga untuk merebut Mataram?”

“Itu tidak bijaksana. Selain Panembahan Agung harus memperhitungkan kemampuan yang ada di Mataram sekarang, juga pengaruh dan kewibawaan nama Ki Gede Pemanahan. Meskipun hubungan Mataram dan Pajang agak renggang, namun jika Panembahan Agung menghancurkan Mataram dengan kekuatan senjata, apabila berhasil, maka Panembahan akan berhadapan dengan Pajang. Dan seperti yang kita ketahui, Pajang memiliki kemampuan dan kekuatan yang tidak dapat dijajagi. Antara lain adalah Sultan Pajang sendiri, yang menyimpan seribu macam ilmu di dalam dirinya. Ilmu yang dipelajari, disadap dari guru-gurunya yang sakti, dan ilmu yang tiba-tiba saja ada pada dirinya tanpa diketahuinya sendiri.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah yang katakan oleh Putut Nantang Pati itu benar. Bagi Pajang, maka Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang diliputi oleh rahasia. Tidak seorang pun dapat menjajagi kemampuan yang sebenarnya ada pada dirinya. Namun bahwa Pajang tiba-tiba menjadi buram, karena Sultan Pajang itu tidak lagi memiliki api perjuangan bagi perkembangan negerinya. Bahkan ia pun kemudian tenggelam di dalam hidup yang di buatnya sendiri bagaikan sorga, meskipun hanya sekedar bagi wadagnya.

Tetapi sikap Sutawijaya, telah sangat mempengaruhinya. Sutawijaya adalah anak angkatnya yang sangat kasihinya. Dan yang tiba-tiba saja telah meninggalkannya dalam tahtanya yang terasa menjadi sepi.

Sejenak mereka yang ada di atas tebing itu saling berdiam diri. Mereka tidak mendapat isyarat gerakan apa pun dari para pengawal yang mengawasi pasukan Mataram dan Menoreh yang ada di tebing.

“Ternyata aku memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan tenagaku,” berkata Putut Nantang Pati.

“Kenapa?”

“Sebenarnya belum waktunya aku memaksa diri dengan ilmu itu. Tetapi aku ingin melakukannya. Dan kini terasa badanku menjadi lemah.”

“Bagaimana dengan besok?”

“O, tentu sudah pulih kembali. Sebelum fajar, tentu sudah mendapatkan tenagaku sepenuhnya. Dan sebelum fajar kita sudah akan berada di pertahanan terakhir.”

“Tetapi apakah Panembahan Agung juga mengalami keadaan seperti kau, jika ia melontarkan ilmunya itu ?”

“Tentu tidak. Meskipun ia memerlukan pemusatan pikiran, tetapi ilmu itu sudah bekerja seolah-olah dengan sendirinya jika ia menghendakinya.”

Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan di dalam hatinya ia merasa beruntung, bahwa ia akan dapat melihat dan mencoba mengetahui serba sedikit rahasia dari ilmu yang aneh itu.

“Jika datang saatnya, Kakang Tumenggung akan berterima kasih kepadaku, jika aku dapat mengatakan bagaimana harus melawan ilmu itu,” namun kemudian, ”tetapi Paman Ajar di Kleca tentu sudah tahu.”

Demikianlah maka Daksina dan beberapa orang pengawal padepokan serta beberapa orang bekas prajurit Pajang masih tetap berada di tempatnya. Mereka menunggu Putut Nantang Pati mendapatkan kekuatannya kembali setelah ia memaksa diri dengan melontarkan ilmu yang sebenarnya masih belum dikuasainya itu.

Baru ketika Putut Nantang Pati merasa dirinya lebih baik, ia berdiri tertatih-tatih sambil berkata, ”Marilah, kita mendahului para pengawal. Kita langsung pergi ke padepokan Panembahan Agung. Biarlah anak-anak itu mengganggu orang-orang Mataram dengan anak panah, atau biarlah mereka membuat beberapa buah obor yang sebenarnya. Jika obor-oborku tadi berhasil menumbuhkan gambaran tentang keajaiban, maka obor-obor yang akan dinyalakan oleh para pengawal dan ditancapkan di tebing, akan menimbulkan tanggapan serupa.”

“Tetapi obor itu akan menyala sampai pagi. Dan mereka akan menemukan bekas-bekasnya, sehingga tanggapan yang semula akan larut karenanya, jika mereka menyangka bahwa yang dilihatnya semalam juga hanya sekedar obor-obor biasa.”

“Obor-obor itu hanya akan dibasahi dengan minyak sedikit saja, sehingga akan segera padam. Orang-orang yang tinggal di sini akan mengambil obor itu dan menyembunyikannya.”

Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa bertanya lagi, maka ia pun kemudian mengikuti Putut Nantang Pati meninggalkan tebing.

Ternyata mereka tidak singgah lagi di padepokan Putut Nantang Pati yang memang sudah dikosongkan. Mereka langsung pergi ke padepokan Panembahan Agung diiringi oleh beberapa orang pengawal. Meskipun malam masih disaput oleh gelap yang pekat, namun agaknya mereka sudah terlalu biasa berjalan di tebing padas yang curam itu.

Para pengawal yang ditinggalkan oleh Daksina mulai berusaha mengganggu pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang ingin mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat. Jika besok mereka akan menghadapi perang yang sebenarnya, maka mereka perlu mengumpulkan tenaga untuk melayani lawannya. Mungkin sehari penuh mereka harus bertempur. Mungkin bahkan masih akan berlanjut di hari kemudian.

Seperti yang dikatakan oleh Putut Nantang Pati, maka satu dua orang mulai menyalakan obor dan pergi ke atas tebing yang agak jauh.

Nyala api obor itu memang dapat mengejutkan sesaat. Namun indera wadag orang-orang Mataram dan Menoreh yang tajam, segera dapat membedakan obor itu dengan obor yang semu. Apalagi Ki Argapati dan Kiai Gringsing.

“Agung Sedayu,” bertanya Kiai Gringsing, ”kau melihat obor itu.”

“Ya, Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Kau melihat sesuatu selain obor?”

“Aku melihat bayangan seseorang, meskipun ia berusaha bersembunyi di balik pepohonan.”

“Nah, itulah bedanya dengan obor yang tadi. Orang itu tentu akan mengganggu kita, seakan-akan obor yang semu itu menyala lagi. Nah, kau tahu apa yang harus kau lakukan?”

“Maksud Guru?”

“Ambillah busurmu.”

“O,” Agung Sedayu pun kemudian mengambil busur dan anak panah.

“Cepat, sebelum orang itu pergi dan meninggalkan obor di tebing.”

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi segera ia sadar, bahwa ia berada di medan peperangan. Itulah sebabnya, maka ia pun segera menarik busurnya meskipun dengan hati yang berdebar-debar.

Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, seakan-akan mewarisi kemampuan ayahnya. Karena itu, maka ketika anak panahnya meluncur dengan cepat, segera terdengar sebuah keluhan di atas tebing. Orang yang sedang berusaha menancapkan obor, yang meskipun sebagian tubuhnya terlindung oleh gerumbul dan pepohonan perdu, namun ternyata Agung Sedaya telah berhasil mengenai lengannya yang memegang obor itu.

Sengatan anak panah itu sama sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, maka obor ditangannya itu pun bagaikan dilemparkannya ke dalam lembah berbatu padas.

Kawan-kawannya yang mendengar keluhan itu pun segera mendekatinya. Beberapa buah obor yang seharusnya ditancapkan di tempat yang agak memencar, seakan-akan telah berkumpul menjadi satu.

“Kau dapat membidik mereka Agung Sedayu,” berkata gurunya.

Sekali lagi Agung Sedayu disentuh oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi ia mencoba memaksa dirinya untuk menyadari, bahwa di dalam peperangan, tidak ada pilihan lain daripada berusaha melemahkan lawan dengan segala cara.

Karena itu, selagi orang-orang di atas tebing itu sedang sibuk menolong kawannya yang terluka, dan tanpa mereka sadari, mereka telah mempergunakan obor-obor mereka justru untuk menerangi luka di lengan itu, Agung Sedayu telah menarik busurnya sekali lagi. Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Pandan Wangi, Swandaru dan Prastawa, hampir bersamaan telah menyerang orang-orang yang sedang mengerumuni kawannya yang terluka di atas tebing itu.

Sekali lagi terdengar sebuah keluhan. Bukan dari satu orang. Agaknya anak panah yang meluncur itu telah berhasil melukai lebih dari seorang sekaligus. Sejenak kemudian terjadi kebingungan di antara mereka, Namun sejenak kemudian maka mereka pun segera menghilang di balik gerumbul dan pepohonan sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Mau tidak mau ia mengakui kemampuan Agung Sedayu. Bidikannya hampir tidak pernah salah.

“Mereka mencoba untuk membuat kita semakin bingung,” berkata Kiai Gringsing kemudian, ”Mereka berusaha agar kita menyangka, bahwa obor-obor itu pun tentu bukan obor yang sebenarnya.”

“Bagaimana Kiai mengetahuinya?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Orang-orang yang membawa obor itu berusaha meletakkan obor mereka di bibir tebing. Sudah barang tentu mereka mengharapkan kesan, seakan-akan obor itu pun tidak ada bedanya dengan obor yang sebenarnya hanya semu itu. Dengan demikian akan menimbulkan dugaan, bahwa ada di antara mereka memiliki ilmu itu dengan baik.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Gringsing pun berkata selanjutnya, ”Tetapi sebenarnyalah bahwa untuk menimbulkan kesan yang pertama, orang itu telah kehabisan tenaga, sehingga ia sudah tidak mampu lagi melakukannya.”

Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian duduk di antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak lagi merasa kantuk, karena hampir setiap orang telah dicengkam oleh persoalan yang hampir serupa.

“Apakah kira-kira yang akan dijumpainya besok di dalam perang yang tentu akan lebih besar dari yang pernah terjadi?” mereka bertanya kepada diri sendiri.

Demikianlah, meskipun lawan tidak lagi mengganggu di sisa malam itu, namun para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat lengah. Setiap saat mereka akan dapat menerkam dengan segala cara. Karena itulah, maka bukan saja yang lagi bertugas yang merasa wajib berjaga-jaga. Tetapi semuanya.

Jika ada di antara mereka yang diserang oleh perasaan kantuk pula, maka mereka pun hanya dapat terlena beberapa kejap saja sambil duduk memeluk lutut atau bersandar pepohonan.

Dalam pada itu, orang-orang yang mencoba memasang obor di atas tebing, dengan tergesa-gesa meninggalkan daerah yang terkutuk itu. Beberapa orang dari mereka telah terluka. Bahkan salah seorang dari mereka terluka agak parah, karena sebuah anak panah telah menancap di punggung.

Tetapi mereka tidak akan dapat menghubungi dan menunggu perintah yang lain dari Putut Nantang Pati dan Daksina karena keduanya telah mundur bersama pasukannya menempatkan diri pada pertahanan terakhir di muka padepokan Panembahan Agung. Sedang yang ada di padepokan Putut Nantang Pati sendiri tentu hanya sekedar pengawal yang bertugas mengganggu perjalanan pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, yang dapat mereka lakukan adalah sekedar menyingkir dan menyerahkan tugas mereka kepada orang-orang lain. Namun yang lain pun menganggap bahwa permainan obor tentu tidak akan berguna lagi. Karena itu, mereka memusatkan diri pada tebing yang tinggi untuk menghujani pasukan yang bakal lewat dengan anak panah dan tombak-tombak pendek.

Tetapi hal yang serupa itu telah diperhitungkan oleh Raden Sutawijaya dan Ki Argapati, sehingga pasukan mereka telah siap menghadapi setiap kemungkinan.

Demikianlah ketika matahari mulai membayangkan warna-warna merah, maka pasukan di lembah itu pun telah bersiap. Tetapi agaknya Sutawijaya menyadari sepenuhnya, bahwa di hadapannya terbentang medan yang berat sekali.

Karena itu, maka Sutawijaya pun berpendapat, bahwa pasukannya tidak akan dengan mudah dapat menyelesaikan tugasnya. Mungkin mereka memerlukan waktu lebih dari sehari. Sehingga karena itu, maka Sutawijaya pun harus mempersiapkan semua segi dari pasukannya. Kemampuan, kekuatan jasmaniah dan ketahanannya, perbekalan dan persoalan yang lain lagi.

Ternyata bahwa mereka tidak dapat membiarkan kuda-kuda mereka terikat beberapa hari tanpa minum meskipun diseputarnya terdapat rumput-rumput segar. Sehingga karena itu, maka dua orang dari pasukan Pengawal Mataram dan dari Menoreh mendapat tugas untuk kembali memelihara kuda-kuda mereka, sedang apabila perlu, Sutawijaya dan Ki Argapati harus telah bersetuju untuk menyiapkan beberapa orang yang harus mengambil perbekalan kembali ke Menoreh, dan bahkan jika perlu memanggil beberapa orang pasukan Pengawal untuk memperkuat kedudukan mereka.

“Kita akan menjajagi,” berkata Raden Sutawijaya, ”mudah-mudahan kita tidak memerlukan lagi. Baik pasukan maupun perbekalan.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Raden benar. Tetapi jika perlu, pasukan Pengawal Menoreh dapat mempersiapkan diri dalam waktu setengah hari, sedang pasukan cadangan dapat dipersiapkan dalam waktu satu hari satu malam.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis, ”Ternyata pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh mempunyai susunan yang hampir sempurna, sehingga dalam waktu yang singkat, sudah dapat digerakkan seluruhnya.”

“Bukan sempurna, Raden. Tetapi karena pengalaman pahit di masa lampau, maka pasukan kami masih tetap di dalam susunan yang mapan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya sepenuhnya bahwa pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh susunannya tidak jauh berbeda dengan anak-anak muda yang menjadi Pengawal Kademangan Sangkal Putung.Kedua daerah ini pernah mengalami masa yang hampir saja mengguncangkan kelestarian daerah mereka, sehingga karena itu, maka mereka justru mempunyai ketahanan diri yang mapan.

Dan tidak berbeda pula dan bahkan memiliki susunan yang lebih tertib adalah pasukan Pengawal Mataram yang sebagian disusun seperti dan oleh bekas prajurit-prajurit Pajang.

Ketika matahari kemudian mulai melontarkan sinarnya di atas punggung pegunungan, maka mulailah pasukan yang berada di lembah itu bergerak. Mereka menyadari bahwa pada suatu saat mereka akan mendapat serangan kecil dari tebing. Namun serangan-serangan itu bukannya lawan yang sebenarnya sehingga karena itu, maka mereka tidak boleh terpancang pada serangan-serangan itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka tidak harus berhati-hati, karena betapa pun juga anak panah yang dilontarkan dari tebing itu akan mampu membunuh dalam arti yang sebenarnya.

Demikianlah, maka pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu mulai bergerak maju. Untuk mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan, serta jebakan-jebakan yang akan dapat mengganggu pasukan itu, maka atas persetujuan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati, maka pasukan itu pun berjalan dalam urutan yang panjang. Yang berjalan di sisi kiri luar lembah yang agak luas itu adalah pasukan Pengawal Mataram. Kemudian di sisi kanan adalah Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Berurutan dan bahkan kelompok demi kelompok saling membatasi diri beberapa langkah.

Tetapi ternyata bahwa jalan yang mereka lalui adalah daerah yang liar, sehingga mereka tidak dapat maju dengan pesat.

Namun beberapa puluh langkah kemudian, ternyata lembah itu menjadi semakin mudah dilalui. Bahkan pepohonan pun menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya Raden Sutawijaya tertegun sejenak sambil berdesis, ”Kita sampai ke daerah yang sering disentuh oleh tangan manusia.”

“Tentu kita sudah dekat dengan perkemahan atau padepokan atau semacam itu,” sahut Ki Lurah Branjangan.”

“Ya. Di hadapan kita itu tentu daerah yang dapat ditanami. Lihat hijaunya lain dengan daerah yang liar. Di sini pepohonan tumbuh tanpa diatur, sehingga jenis pohon apa pun tumbuh bersama-sama. Tetapi menilik hijaunya daun, maka di depan kita tentu pategalan yang sudah mengalami pemeliharaan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian menunjuk sebuah tebing yang menjorok sambil berdesis, ”Jika masih ada orang yang ingin mengganggu perjalanan kita, maka tebing itu merupakan tempat yang paling baik untuk melakukannya.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.

Pada saat yang bersamaan di sisi lain, Ki Argapati pun menunjuk tebing yang menjorok itu. Katanya, ”Kita harus berhati-hati.”

“Kenapa, Ayah?” bertanya Pandan Wangi.

“Tebing itu.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ayahnya, sehingga ia pun segera mempersiapkan dirinya sambil berdesis kepada Prastawa, ”Beritahukan seluruh pasukan. Kita harus berhati-hati.”

Prastawa pun kemudian surut beberapa langkah. Diberitahukannya pemimpin kelompok terdepan dari pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian menjalar ke setiap telinga.

Ketika Prastawa melihat Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang berjalan agak di belakang, maka ia pun mendekatinya sambil berkata, ”Tebing itu.”

Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, ”Sebaiknya kita mempersiapkan anak panah dan busur.”

“Ya. Paman sudah memerintahkan kepada seluruh pasukan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipalingkannya wajahnya kepada kedua muridnya yang ternyata juga menyandang busur dan anak panah, yang didapatkannya dari para pengawal.

Ki Demang Sangkal Putung yang berada beberapa langkah di belakang mereka, berjalan sambil menundukkan kepalanya. Kadang-kadang ia merasa aneh, bahwa kedatangannya ke Menoreh adalah untuk melamar seorang gadis bagi anaknya. Namun tiba-tiba ia telah terlempar ke dalam lembah yang liar di antara bukit-bukit padas ini. Bahkan, bersama anaknya ia sudah berada di depan bahaya yang mungkin dapat merampas nyawanya.

“Bukan main,” katanya kepada diri sendiri di dalam hatinya, ”kadang-kadang kita memang harus menjalani liku-liku kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Jika karena sesuatu hal, apakah Swandaru apakah Pandan Wangi yang tersentuh oleh tajamnya senjata, maka kedatangan kami di Menoreh adalah sia-sia. Bahkan adalah suatu kegagalan.”

Tetapi Ki Demang tidak dapat menyalahkan siapa pun juga. Keadaan yang memang di luar kekuasaannya, bahkan di luar kekuasaan Ki Argapati, dan telah menyeret pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu menyusur lembah ini.

Ki Demang terkejut ketika Swandaru yang berhenti menunggunya menggamit lengannya. “Ayah,” berkata Swandaru, ”marilah berjalan bersama kami.”

“Kenapa? Apakah kita sudah dekat?”

“Tidak, Ayah. Tetapi tebing yang menjorok itu mememerlukan perhatian yang khusus.”

Ki Demang mengangkat wajahnya. Dilihatnya tebing yang menjorok itu. Dan ia pun mengerti, bahwa di atas tebing itu mungkin tersembunyi beberapa orang lawan. Mereka dapat menggulingkan batu dan batang-batang kayu seperti yang pernah mereka lakukan. Tetapi lembah di sebelah tebing yang menjorok itu tidak menguntungkan untuk mengulangi cara itu.

”Tentu serangan dengan anak panah,” desis Ki Demang.

“Kita sedang menduga,” sahut Swandaru, ”mungkin memang demikian, tetapi mungkin tidak. Tetapi jika benar, kita harus bersiap menghadapinya.”

“Baiklah,” berkata Ki Demang, ”tetapi aku dapat meminjam sebuah perisai dari seorang pengawal.”

“Dan pengawal itu?”

“Bersama-sama berlindung di bawah dua orang kawannya yang berperisai juga.”

Swandaru tersenyum. Tetapi Swandaru sendiri tidak memerlukan perisai. Jika perlu, cambuknya dapat melindungnya. Dengan putaran secepat baling-baling, maka setiap anak panah akan terlempar menjauhinya

Demikianlah pasukan itu merayap semakin dekat. Dan Ki Demang telah berada bersama dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya yang kemudian berjalan di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi dan Prastawa.

Kini di hadapan mereka telah berjalan lebih dahulu beberapa orang pengawal yang membawa perisai, agar mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan anak panah lawan.

Semakin dekat kedua pasukan yang berjalan sebelah-menyebelah itu dari tebing yang menjorok, maka kedua pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Beberapa orang telah mempersiapkan perisai mereka, sedang yang lain mempersiapkan busur dan anak panah.

Hampir setiap mata memandang ke arah tebing yang menjorok itu. Setiap pepohonan dan setiap gerumbul tidak terlepas dari pengawasan, seakan-akan di balik setiap batang pohon dan setiap gerumbul perdu, bersembunyi orang-orang siap melemparkan anak panah.

Tetapi tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka mendengar teriakan nyaring disusul dengan sorak sorai yang riuh. Selagi pasukan itu tertegun heran, maka anak panah pun meluncur seperti hujan yang dicurahkan dari langit.

Sekejap kedua pasukan itu menjadi bingung. Namun hampir bersamaan, maka Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, Ki Argapati dan Swandaru berteriak, ”Berlindung. Cepat.”

Setiap orang di dalam pasukan itu segera mencari perlindungan. Batang-batang pohon, gerumbul-gerumbul dan mereka yang membawa perisai, langsung melindungi diri mereka dengan perisai.

“Gila,” Prastawa mengumpat, ”ternyata mereka tidak menunggu sampai kita sampai di bawah tebing itu.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Beberapa orang menggeretakkan giginya, sedang yang lain mengumpat-umpat, karena mereka hanya dapat menyembunyikan diri tanpa dapat berbuat apa-apa.

Tetapi Agung Sedayu, Swandaru, dan mereka yang membawa busur dan panah, segera mencari tempat. Mereka bergeser dari satu pohon ke balik pohon yang lain, sehingga mereka dapat menemukan tempat yang paling baik untuk melawan anak panah itu.

Sejenak kemudian beberapa buah anak panah meluncur pula dari lembah. Dengan demikian, maka deras anak panah yang menghujan itu pun segera berkurang, karena orang-orang yang berada di atas tebing pun harus mencari perlindungan. Tetapi ada pula di antara mereka yang dengan beraninya berdiri saja di bibir tebing sambil melontarkan anak panah mereka dan sekedar berlindung pada sebatang pohon perdu yang tidak begitu rapat.

Sejenak Agung Sedayu mengamati medan. Namun sejenak kemudian ia serasa disentuh oleh perasaan wajib. Karena itu, maka perlahan-lahan tangannya mulai memasang anak panah pada busurnya, sementara Swandaru telah melepaskan beberapa anak panahnya.

Di bagian lain, Sutawijaya pun telah membalas serangan-serangan itu. Tetapi mereka harus bersembunyi sebaik-baiknya karena ternyata bukan saja anak panah yang ringan dan kecil, tetapi mereka telah melemparkan pula tombak-tombak pendek dan lembing-lembing bambu cendani sebesar ibu jari kaki, yang mereka beri semacam bedor besi diujungnya.

Sejenak maka kedua pasukan yang ada di lembah itu harus melayani lawan-lawannya meskipun mereka tahu, bahwa yang mereka hadapi adalah sekedar usaha untuk memperlambat laju mereka.

Meskipun demikian, pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melayani orang-orang yang berada di atas tebing itu. Untuk menghindari korban-korban yang tidak perlu, maka para pengawal itu pun masih saja berlindung di balik pepohonan, sementara mereka yang bersenjata panah, mengurangi derasnya serangan lawan dengan anak panah-panah pula.

“Jika kita masih tetap ada di sini, maka mereka tidak akan segera pergi,” desis Ki Lurah Branjangan.

“Maksudmu?” bertanya Sutawijaya.

“Aku akan membawa beberapa orang pengawal, merayap naik tebing dan menyerang mereka dari jarak dekat.”

“Bagaimana kau akan naik?”

”Kami memerlukan perlindungan dari mereka yang bersenjata panah.”

Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Katanya, ”Baiklah. Pergilah dengan beberapa orang pengawal. Beritahukan Ki Argapati dan para pemimpin dari Menoreh, agar pasukanmu tidak justru menjadi sasaran serangan panah mereka.”

Ki Lurah Branjangan pun kemudian membawa beberapa orang untuk menghalau orang-orang yang menyerang mereka dari atas tebing itu. Dengan sedikit melingkar, mereka merayap naik setelah mereka memberitahukan rencananya kepada pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa orang pengawal Mataram yang bersenjata panah melindunginya dari serangan orang-orang di atas tebing dengan melontarkan panah sebanyak-banyaknya, dibantu oleh para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Demikianlah, maka anak panah pun meluncur dengan derasnya dari kedua belah pihak. Sekali-sekali jika dua batang anak panah kebetulan beradu, maka sepercik bunga api telah meletik di udara.

Ternyata pasukan yang merayap itu telah menarik perhatian orang-orang yang berada di atas tebing. Dengan demikian, maka serangan-serangan mereka pun segera dipusatkan ke arah mereka, karena pengawal yang naik ke atas tebing akan langsung dapat menyerang mereka dari jarak dekat.

Tetapi dengan demikian, maka pasukan pengawal yang ada di lembah mendapat kesempatan lebih banyak. Mereka segera menghujani orang-orang di atas tebing itu sebanyak-banyaknya yang dapat mereka lemparkan.

“Apakah anak panah kalian akan kalian habiskan di sini?” bertanya Swandaru kepada salah seorang pengawal.

“Mereka harus dihalau.”

“Jika panahmu habis dan kita masih menjumpai gangguan yang sama, apa yang dapat kita lakukan?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih mendapat jawaban, ”Kita akan memungut anak panah yang bertebaran di sekitar kita dan kita masukkan ke dalam endong kita.”

Swandaru tersenyum sambil mengumpat, ”Ada saja jawabanmu itu.”

Orang itu pun tersenyum.

Tetapi keduanya terkejut ketika mereka mendengar teriakan nyaring. Mereka masih sempat berpaling dan melihat seseorang di atas tebing itu menggeliat dan tanpa dapat menguasai dirinya, ia terjatuh ke dalam jurang yang terjal. Sebuah anak panah menancap di dadanya, dan darah yang merah seakan-akan memancar dari luka itu.

Semua mata tertambat kepada orang yang berguling itu, kecuali Swandaru. Ia mencoba memandang wajah Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah daripadanya. Dilihatnya Agung Sedayu tiba-tiba saja menundukkan kepalanya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, ”Tentu Kakang Agung sedayu yang mengenainya dengan tepat. Ia benar-benar seorang yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Orang yang sudah berlindung di belakang ilalang itu tepat dikenai dadanya,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi ia memang bukan seorang prajurit yang baik. Ia bukan Untara, dan ia bukan Raden Sutawijaya. Bukan pula seperti aku.”

Agung Sedayu masih berdiri sambil menunduk di balik sebatang pohon. Namun hiruk-pikuk di sekelilingnya seakan-akan telah membangunkannya, sehingga sejenak kemudian ia mulai mengangkat wajannya dan memandang ke atas tebing.

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Justru ia sengaja agar Agung Sedayu tidak mengetahui bahwa ia sedang memperhatikannya.

Ketika Swandaru pun kemudian menengadahkan wajahnya pula, dilihatnya pasukan Ki Lurah Branjangan yang dengan susah payah merayap naik itu telah hampir mencapai bibir tebing di bawah perlindungan anak panah dari para pengawal di bawah, dan perisai-perisai yang mereka bawa.

Beberapa orang lawan yang melihat usaha itu hampir berhasil segera berlari-lari mendekat dengan pedang terhunus. Namun satu dua di antara mereka terpaksa jatuh terkapar, ketika anak panah yang dilontarkan dari lembah mengenai mereka.

Tetapi mereka bukan orang-orang yang dungu. Mereka pun segera menjauhi bibir tebing, dan mencoba menyerang Lurah Branjangan dengan anak panah dari tempat yang tidak terlihat dari lembah.

Namun pasukan Ki Lurah pun sudah mulai menebar. Satu dua orang sudah mencapai bibir tebing, dan yang satu dua itu langsung terlibat di dalam perkelahian. Sementara yang lain segera menyusulnya.

Meskipun pertempuran yang terjadi itu sekedar merupakan bagian kecil dari keseluruhan, namun para pemimpin Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh mengikutinya dengan dada yang berdebar-debar.

Bahkan beberapa orang menjadi cemas, jika sekiranya mereka salah hitung, dan ternyata orang-orang yang berada di atas tebing itu berjumlah jauh lebih banyak dari anak buah Ki Lurah Branjangan, maka keadaannya akan menyulitkannya.

Apalagi ketika pertempuran sudah berkobar, maka para pengawal dilembah tidak berani lagi melontarkan anak panah mereka. Sehingga dengan demikian, mereka hanya dapat sekedar memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung.

Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Sutawijaya memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk menyusul naik ke atas tebing pegunungan itu, maka orang-orang yang sedang mengganggu perjalanan itu pun harus memperhitungkannya.

Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun segera berusaha menarik diri. Dengan sebuah isyarat, maka perlahan-lahan mereka surut, dan kemudian berhamburan masuk ke dalam semak-semak dan belukar di atas tebing.

Ki Lurah Branjangan mencoba mengejar mereka beberapa puluh langkah. Namun ia pun kemudian memerintahkan anak buahnya berhenti. Mereka tidak mengetahui apa yang ada di balik gerumbul-gerumbul dan belukar yang cukup lebat itu, sehingga karena itu, maka ia pun segera menghentikan pasukannya.

Beberapa orang yang sedang memanjat naik itu pun mengurungkan usahanya untuk mencapai bibir tebing, karena tidak ada lagi lawan yang harus dihadapinya. Dan sebenarnyalah menurut perhitungan Sutawijaya, orang-orangnya itu bukannya benar-benar harus bertempur. Dengan memerintahkan beberapa orang naik, pasukan lawan itu tentu akan menghindar.

Sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah sampai ke induk pasukannya. Segera mereka melanjutkan perjalanan. Meskipun mereka baru saja bertempur, namun di bawah tebing yang menjorok itu, mereka tetap berhati-hati.

Tetapi ternyata mereka lewat tanpa gangguan apa pun. Meskipun demikian, ternyata ada juga di antara anak buah Ki Lurah yang terluka. Meskipun lukanya tidak parah, tetapi sambil berjalan, kawan-kawannya berusaha untuk menahan arus darah yang mengalir dari luka itu. Dan dari Kiai Gringsing mereka mendapat serbuk obat yang dapat mengurangi titik-titik darah yang keluar dari luka-luka itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai ke daerah pategalan yang seperti telah diduga oleh para pengawal Mataram dan Menoreh, merupakan tanah yang sudah digarap. Ternyata bahwa lembah itu memang menjadi semakin luas dan merupakan sebuah dataran yang tersembunyi di antara pegunungan.

”Ada mata air,” tiba-tiba salah seorang dari para pengawal itu berteriak.

Pasukan itu terhenti. Di lereng sebelah kiri, di bawah sebatang pohon ketapang yang besar, terdapat sebuah mata air yang cukup besar sehingga airnya mengalir ke dalam sebuah parit.

Sutawijaya memperhatikan mata air itu sejenak. Kiai Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh pun kemudian berkerumun di sekitar mata air itu.

“Suatu sumber penghidupan di lembah ini,” desis Sutawijaya.

“Ya,” sahut Kiai Gringsing, ”air itu tentu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dengan demikian, jika kita menyusuri air yang mengalir ini, kita akan sampai kepada dua kemungkinan. Keluar dari lembah ini, mungkin memang ada jalan keluar tanpa melalui puncak-puncak bukit kecil itu, atau menerobos di bawah tanah. Sedang kemungkinan yang lain, bahwa kita akan sampai ke daerah yang berawa-rawa.”

“Kemungkinan yang pertama itulah yang paling dekat dengan keadaan daerah ini,” berkata Ki Argapati. ”Jika kita akan sampai ke daerah yang berawa-rawa, selain tanah akan menjadi semakin lembab, kita akan dapat melihat rawa-rawa itu dari tebing pegunungan ini.”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka mendapatkan satu kesimpulan, bahwa tanah dataran di antara bukit-bukit kecil ini merupakan tanah yang baik untuk digarap. Dengan demikian maka mereka berpendapat, bahwa mereka tentu akan sampai kepada sebuah padukuhan. Dan padukuhan itulah yang mungkin telah dipergunakan sebagai pusat gerakan dari seorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.

Dengan demikian, maka mereka pun menduga, bahwa mereka benar-benar telah berada di ambang pintu padepokan yang mereka cari. Karena itulah maka sejenak kemudian, para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Dengan kesiagaan sepenuhnya maka pasukan itu pun merayap maju. Di sela-sela pategalan mereka menemukan jejak dari sebuah pasukan yang cukup besar. Karena itulah maka para pengawal itu telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Mereka menyangka bahwa sebentar lagi mereka tentu akan disergap oleh sepasukan yang kuat dari sela-sela pepohonan di pategalan itu.

Tetapi sampai beberapa puluh langkah kemudian mereka tidak mengalami sesuatu. Apalagi pategalan itu menjadi semakin jarang dan sekedar ditanami dengan pohon buah-buahan dan agaknya baru saja orang-orang di padukuhan itu mengambil hasil tanaman mereka. Menilik bekasnya, maka tanah di antara pohon buah-buahan yang jarang itu baru saja ditanami dengan ketela pohon dan sebagian dengan sejenis kacang.

Namun yang mereka yakini, bahwa mereka telah menjadi semakin dekat dengan sebuah padukuhan.

Pasukan itu pun kemudian menjadi semakin berhati-hati. Sebelum mereka maju lagi, maka mereka telah mengirimkan tiga orang yang akan mengawasi keadaan di hadapan mereka, apakah mereka akan masuk ke dalam perangkap atau tidak.

Para pengawas itu dengan hati-hati merayap maju mendahului pasukannya. Mereka membawa beberapa macam alat untuk mengirimkan isyarat. Panah sendaren, bahkan kentongan kecil.

Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa pun yang mencurigakan. Mereka tidak melihat sebuah pertahanan yang kuat, dan ujung-ujung senjata yang mencuat.

Namun mereka tidak tergesa-gesa maju terus, karena mereka masih selalu dibayangi oleh kecurigaan, bahwa lawan tereka dapat memasang jebakan yang tidak mereka duga lebih dahulu.

Dengan sangat hati-hati mereka maju beberapa puluh langkah lagi, bergeser di antara pepohonan.

Tetapi mereka pun tidak menemukan apa-apa. Di antara pepohonan yang jarang itu, mereka sama sekali tidak melihat pasukan pengawal segelar sepapan.

“Kenapa begitu sepi?” bertanya salah seorang di antara para pengawas itu sambil berbisik.

“Ya. Aku justru menjadi curiga. Mungkin mereka berada di balik dinding batu di belakang pategalan itu.”

“Itu pun sepi.”

“Mereka sengaja berlindung.”

“Tetapi itu tidak menguntungkan. Jika kita datang dengan seluruh pasukan, mereka akan terkepung di dalam halaman yang sempit. Dan karena itu, maka mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan yang sempurna.”

“Itulah yang aneh. Dan yang tidak lazim itulah yang harus kita perhatikan.”

“Aku akan maju lagi,” berkata yang lain dengan tiba-tiba, ”aku tidak telaten untuk sekedar menduga-duga saja.”

Kawan-kawannya tidak membantah, sehingga karena itu maka mereka pun mulai bergerak maju dengan hati-hati. Mereka selalu berusaha berlindung di antara pepohonan dan pohon-pohon perdu yang bertebaran di pategalan di hadapan padukuhan yang sudah nampak.

“Padukuhan itu kecil,” desis salah seorang.

“Ya. Tetapi rumah-rumah yang nampak itu adalah barak-barak yang dihuni bersama-sama oleh beberapa orang.”

“Memang menarik sekali. Mungkin mereka mempertahankan setiap rumah yang mereka huni itu dengan cara yang asing bagi kita.”

“Mungkin, memang mungkin,” potong yang lain, ”tetapi yang paling baik adalah mendekat.“

Mereka bertiga menjadi semakin gelisah. Tetapi justru karena itu, mereka ingin mengetahui dengan pasti, apakah yang mereka hadapi. Meskipun demikian salah seorang dari mereka harus mempersiapkan isyarat. Jika tiba-tiba saja mereka disergap, maka mereka sempat membunyikan tanda bahaya itu. Setidak-tidaknya kentongan dengan nada yang sudah mereka sepakati.

Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa pun juga di dalam padepokan itu. Ketika mereka dengan hati-hati menjenguk ke balik dinding batu yang mengelilingi padepokan itu, maka mereka sama sekali tidak melihat apa pun. Padepokan itu agaknya memang benar-benar telah kosong.

“Gila, perangkap apa lagi yang akan mereka pasang buat kita?” berkata salah seorang dari ketiganya.

“Aku akan masuk. Biarlah apa yang akan terjadi. Tetapi semuanya ini membuat aku justru menjadi semakin ingin tahu.”

Orang itu pun kemudian meloncat masuk ke dalam lingkungan dinding batu. Kedua kawannya pun segera mengikutinya. Disamping alat-alat yang dapat memberikan isyarat, mereka menggenggam senjata telanjang pula di tangannya.

Dengan dada yang berdebar-debar mereka melangkah maju melintasi sela-sela pepohonan di kebun padepokan itu. Perasaan ingin tahu yang semakin besar telah mendorong mereka untuk melihat-lihat, apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi.

Sejenak mereka saling berpandangan ketika mereka melihat sebuah pintu barak yang tertutup. Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi salah seorang berbisik, “Aku akan melihat apakah yang ada di dalam barak itu.”

“Baiklah,” berkata yang lain, lalu katanya kepada kawannya yang satu lagi, ”kau tetap di sini. Jika terjadi sesuatu, kau sempat memberikan isyarat. Aku kira induk pasukan itu tidak begitu jauh di belakang kita, karena mereka pun maju terus.”

“Baiklah. Tetapi berusahalah untuk memberikan tanda apa pun.”

“Maksudmu jika tiba-tiba kami disergap?”

“Ya. Memang mungkin kalian kehilangan kesempatan.”

”Kami akan masuk seorang demi seorang.”

“Baik. Lakukan. Tetapi berhati-hatilah. Kita berhadapan dengan lawan yang dibayangi oleh semacam rahasia.”

Kedua pengawas itu pun kemudian dengan perlahan-lahan mendekati pintu yang tertutup itu, sedang yang seorang lagi menempatkan dirinya di tempat yang agak terlindung sehingga tidak mungkin mendapat serangan dari jarak jauh.

Namun demikian, orang yang tinggal itu selalu digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Kadang-kadang ia harus mengawasi cabang-cabang pepohonan jika ada satu dua orang yang mengintainya. Tetapi sepi. Benar-benar sepi. Dalam pada itu, kedua orang yang mendekati pintu barak tertutup itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi mereka maju terus. Perlahan-lahan mereka meraba pintu lereg itu. Dan ketika dengan isyarat keduanya bersepakat untuk membuka, maka perlahan-lahan mereka mendorong pintu itu ke samping.

Mereka terkejut ketika terdengar gerit pintu itu sendiri. Namun kemudian mereka mendorongnya lebih lebar lagi, sehingga mereka dapat menjengukkan kepala ke dalam barak yang tampak kegelapan karena tidak ada lubang sama sekali selain pintu yang sedikit terbuka itu.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun yakin bahwa barak itu ternyata kosong. Tidak ada seorang pun yang ada di dalamnya.

Perlahan-lahan pintu itu pun kemudian terbuka semakin lebar, dan cahaya matahari pun semakin banyak memercik kedalamnya. Namun mereka benar-benar tidak menemukan seorang pun meskipun mereka mendapatkan bekas-bekasnya. Di dalam barak itu masih terdapat beberapa jenis mangkuk dan bumbung. Bahkan masih ada beberapa macam alat yang dipergunakan di sawah atau pategalan.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata, ”Aku yakin, padepokan ini memang dikosongkan.”

“Lalu, di manakah penghuninya?”

“Itulah yang merupakan teka-teki.”

“Biarlah bukan kita yang menjawabnya. Marilah kita meyakinkan kekosongan padepokan ini, kemudian melaporkannya kepada induk pasukan.”

Demikianlah mereka kemudian mengelilingi sebagian dari padepokan itu. Dan seperti yang mereka duga padepokan itu memang sudah kosong.

Dengan tergesa-gesa mereka bertiga pun kemudian kembali kepada Induk pasukan yang menunggu beberapa puluh langkah dari dinding padepokan itu,

“Jadi mereka sudah meninggalkan padepokan itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Ya. Padepokan itu sudah sepi,” jawab salah seorang dari pengawas itu.

“Ke mana mereka pergi?”

“Kami belum tahu.”

Pandan Wangi menjadi tegang. Bukan karena pasukan itu tidak dapat menguasai lawan yang tentu masih akan tetap berbahaya bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi dengan demikian mereka tentu tidak akan menemukan Rudita pula.

Ayahnya, Ki Argapati agaknya dapat menangkap kegelisahan hati anaknya, sehingga karena itu ia bertanya kepada ketiga pengawas itu, ”Apakah kau tidak dapat melihat bekas-bekas kepergian mereka?”

“Kami belum menyelidikinya dengan teliti.”

Pandan Wangi yang menjadi sangat gelisah itu pun kemudian serasa tidak sabar lagi. Katanya, ”Kita memasuki padepokan itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”

Raden Sutawijaya pun menjadi gelisah pula. Orang-orang yang meninggalkan padepokan itu tentu akan menjadi seperti semut yang disentuh sarangnya. Buyar bertebaran ke segenap arah. Jika demikian, maka mereka akan dapat menimbulkan banyak kesulitan. Baik bagi Mataram maupun bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika Raden Sutawijaya itu pun memikirkan nasib anak muda yang namanya Rudita.

Dengan demikian, maka pasukan itu pun kemudian dengan tidak meninggalkan kewaspadaan memasuki padepokan yang sudah kosong itu. Tetapi agar mereka tidak terjebak dalam sebuah kepungan, maka baik Raden Sutawijaya maupun Ki Argapati memerintahkan agar pasukannya sebagian besar tetap berada di luar dan mengawasi setiap kemungkinan. Mengawasi tebing dan daerah di seberang padepokan itu.

“Kita tidak boleh ditepuk dengan sebelah tangan di dalam padepokan sempit ini,” berkata Raden Sutawijaya.

Dengan demikian maka Ki Lurah Branjangan pun membawa sepasukan pengawal di depan padepokan itu, sedang pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa berada di antara pategalan di sisi padepokan.

Tetapi padepokan itu benar-benar kosong. Mereka tidak menemukan seorang pun di dalam padepokan itu.

Namun demikian, menurut penyelidikan yang kemudian mereka lakukan, mereka menemukan jejak sepasukan yang cukup besar meninggalkan padepokan itu.

“Mereka menarik pasukannya,” berkata Raden Sutawijaya.

Kiai Gingsing yang melihat bekas-bekas pasukan yang meninggalkan padepokan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun memikirkan nasib Rudita. Apakah anak itu masih selamat atau karena orang-orang di padepokan ini merasa tidak memerlukan lagi, maka ia pun mengalami nasib yang buruk.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Kiai,” bertanya Sutawijaya, ”apakah yang menurut pertimbangan Kiai sebaiknya kita lakukan kemudian?”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya puncak pegunungan yang seakan-akan memagari lembah yang cukup luas itu.

“Apakah Kiai sedang memikirkan aliran air dari mata air itu?” bertanya Ki Argapati.

Kiai Gringsing memandanginya sejenak, lalu menganggukkan kepalanya, ”Ya, Ki Gede. Jalan keluar dari parit itu merupakan jalur yang dapat kita ikuti, kecuali apabila air itu kemudian menembus di bawah tanah.”

“Kenapa jalur parit itu?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya. ”Kita sudah menemukan jejak mereka.”

“Ya. Jejak itu memang dapat kita ikuti. Tetapi jika kita kehilangan jejak itu, maka kita mempunyai pegangan lain.”

“Tetapi apakah mereka akan selalu mengikuti air itu? Mungkin mereka mempunyai jalan lain,” potong Swandaru.

“Memang mungkin. Kita memang dihadapkan pada banyak kemungkinan. Tetapi semuanya memerlukan perhatian dan perhitungan yang cermat.”

Ki Argapati dan para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menduga, bahwa di hadapan mereka masih terdapat sebuah padepokan lagi dan justru merupakan pusat pertahanan yang sangat kuat.

Karena itulah, yang mereka putuskan kemudian adalah sekedar mengikuti jejak pasukan yang telah meninggalkan padepokan itu.

“Kita berusaha untuk menemukan mereka di mana pun,” berkata Raden Sutawijaya.

”Tetapi jika mereka keluar dari lembah ini,” sahut Ki Argapati, ”kita akan mendapatkan kesulitan. Mereka akan menenggelamkan diri dalam kehidupan biasa di antara orang-orang padesan. Kita tidak akan dapat membedakan lagi, yang manakah orang-orang yang ikut di dalam pasukan di lembah ini dan yang manakah orang-orang padesan yang sewajarnya.”

“Orang-orang padesan itu, atau para bebahu akan dapat menunjukkan kepada kita, siapakah di antara mereka yang harus kita ambil.”

“Berbahaya sekali. Berbahaya bagi orang-orang padesan itu. Sebab mereka akan diancam dan pada saat lain akan mengalami nasib yang sangat buruk.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi kita dapat mencoba. Marilah kita ikuti jejak itu, agar kita mendapatkan kepastian, apakah yang harus kita lakukan.”

Para pemimpin kedua pasukan itu bersama-sama sependapat, bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan, mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan padepokan itu.

Setelah mereka berhenti sejenak untuk meneliti padepokan itu, maka mereka pun segera mengatur pasukankan berjalan menyusuri bekas pasukan yang telah pergi menghindar itu.

Namun mereka sama-sama berpendapat, bahwa padepokan itu bukan sebenarnya padepokan. Mereka tidak mendapatkan tanda-tanda bahwa di padepokan itu tinggal pula perempuan dan anak-anak, seperti kewajaran keluarga.

“Padepokan itu tidak lebih dari sarang segerombolan perampok yang sangat besar jumlahnya,” desis Kiai Gringsing yang samar-samar teringat pada sarang pasukan Jipang yang dipimpin oleh Tohpati di hutan rindang di hadapan Kademangan Sangkal Putung. Padepokan ini tidak ubahnya seperti sarang pasukan Jipang yang sudah kehilangan bentuknya itu. Namun agaknya sarang yang besar ini memiliki susunan yang lebih baik dari sebuah masyarakat yang tidak wajar.

“Agaknya memang demikian,” berkata Raden Sutawijaya kemudian. ”Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa padepokan ini adalah sebuah pusat pemerintahan yang tersendiri. Penghuni-penghuninya adalah orang-orang yang meninggalkan keluarga mereka dan berhimpun di sini. Tentu di dalam keadaan yang sulit mereka akan memencar dan kembali kepada keluarga masing-masing.”

“Tetapi itu bukan berarti bahwa usaha mereka sudah berakhir. Hadirnya prajurit-prajurit Pajang di daerah ini tentu menimbulkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri di dalam penilaian ini,” sahut Ki Argapati.

Yang mendengarkan kata-kata Ki Argapati itu menganggu-anggukkan kepalanya. Memang mereka tidak dapat melupakan begitu saja peranan yang dipegang oleh beberapa orang Senapati dari Pajang, yang tentu bukannya sekedar seperti daun kuning yang berguguran dari ranting-rantingnya. Kehadiran pasukan Pajang di daerah ini tentu masih mempunyai jalur hubungan dengan para senapati yang ada di istana.

Demikianlah pasukan itu berjalan maju perlahan-lahan. Mereka menyusuri bekas yang dapat mereka ketemukan dengan jelas. Seakan-akan orang-orang yang meninggalkan padepokannya itu sama sekali tidak menjadi cemas atas jejak yang mereka tinggalkan.

Dalam pada itu, masih agak jauh dari pasukan yang bergerak maju itu, Putut Nantang Pati dan Daksina sedang mengatur sebuah pertahanan yang kuat untuk menghentikan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tentu akan segera datang.

“Kita akan menghadapinya dengan perlawanan terbuka,” berkata Putut Nantang Pati, ”kita tidak usah membuat jebakan-jebakan seperti yang pernah kita lakukan. Di sini kita akan menghancurkan mereka. Hancur lumat.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Kau terlampau percaya kepada kemampuan diri sendiri tanpa memperhitungkan kemampuan lawan.”

Putut Nantang Pati tersenyum. Katanya, ”Kau harus menyadari kemampuan kita di sini. Kau melihat sendiri, bahwa dengan permainan api yang kecil itu, pasukan Mataram dan Menoreh sudah menjadi bingung. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri yang melepaskan ilmu itu. Pasukan Mataram dan Menoreh akan kehilangan keseimbangan.”

“Ya. Menghadapi pasukan yang besar itu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Panembahan Agung?”

”O, tentu ada seribu cara dapat dilakukannya. Panembahan Agung dapat membuat seakan-akan hutan di sekitar tempat ini terbakar. Atau seakan-akan langit dipenuhi burung garuda yang menyambar-nyambar.”

“Tetapi bukankah bentuk-bentuk semu itu tidak dapat berbuat apa-apa? Maksudku, seandainya di langit ada beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu burung garuda sebesar kerbau sekalipun, namun burung-burung semu itu tentu tidak akan dapat menyentuh pasukan Menoreh dan Mataram.”

“Tidak. Tetapi sementara mereka kebingungan karena bentuk semu itu, kita akan dapat menghancurkan sebagian dari mereka. Jika kemudian bentuk-bentuk itu hilang, maka pasukan mereka tinggal tidak lebih dari separo. Apalagi jika hadir bentuk-bentuk yang lain, seekor Naga bertanduk dan bertaring, atau berkepala lima dan menyemburkan api dari mulutnya.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam. Bentuk-bentuk itu memang mengerikan. Tetapi apakah pasukan Mataram dan Menoreh dapat dikelabuhinya dengan mudah?

Tetapi agaknya Putut Nantang Pati memang yakin, bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh betapapun kuatnya. Dengan bentuk-bentuk semu kedua pasukan itu akan kehilangan pemusatan arah perlawanan sehingga dengan mudah pasukan Putut Nantang Pati akan dapat membinasakan sebagian besar dari mereka.

Tetapi agaknya Daksina lebih mementingkan kepada pertahanannya. Pasukan yang berada di dalam garis pertahanan itu mendapatkan petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus menghentikan gerak pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat.

“Mereka adalah pengawal-pengawal yang memiliki nilai tempur seperti prajurit-prajurit Pajang,” berkata Daksina, ”karena itu, jangan lengah. Kita bukannya tidak percaya, bahwa Panembahan Agung akan mampu menciptakan bentuk-bentuk semu, tetapi kita pun harus memperhitungkan kemungkinan yang ada pada pasukan lawan. Aku kira tidak ada di antara mereka yang mampu melawan ilmu Panembahan Agung. Tetapi mungkin ada di antara mereka yang menyadari, bahwa mereka tidak boleh dibingungkan oleh bentuk-bentuk semu itu sehingga mereka sama sekali mengabaikan penglihatan mereka yang tidak wajar itu.”

Anak buahnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka, terutama prajurit-prajurit Pajang memang tidak meletakkan kekuatan mereka kepada ilmu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tetapi mereka harus menyandarkan perlawanan mereka kepada kemampuan diri sendiri. Meskipun demikian, ada juga semacam harapan, bahwa mereka tidak perlu memeras segenap tenaga dan kemampuan mereka, jika benar ilmu Panembahan Agung dapat mempengaruhi lawan.

“Daksina,” berkata Putut Nantang Pati yang mengetahui bahwa Daksina masih meragukan kelebihan ilmu Panembahan Agung, ”mungkin orang-orang Mataram dan Menoreh tidak menghiraukan sama sekali burung-burung garuda di langit, ular naga sebesar pohon nyamplung di sebelah itu, atau bentuk-bentuk yang lain karena mereka sadar, bahwa bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk semu, tetapi mereka tidak akan dapat membedakan bentuk semu yang berupa lembah dan pegunungan. Kayu-kayu besar yang roboh dan angin pusaran di lereng pegunungan. Mereka tentu akan bingung melihat pasukan kita terbang di atas jurang yang dalam, karena jurang itu sebenarnya tidak pernah ada.”

Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang berdiri di persimpangan. Ia sudah melihat sendiri, bentuk semu yang dibuat oleh Putut Nantang Pati meskipun menurut pengakuannya sama sekali belum sempurna. Namun demikian, ia adalah senapati prajurit, yang memperhitungkan kekuatan di peperangan dengan jumlah ujung senjata dan kemampuan setiap pribadi di dalam pasukannya.

Namun sebenarnyalah dengan demikian pertahanan yang disusun oleh Putut Nantang Pati dan Daksina adalah pertahanan yang sangat kuat, justru karena Daksina tidak menumpukan kekuatannya kepada ilmu ajaib yang dimiliki oleh Panembahan Agung. Jika ternyata kemudian Penembahan Agung juga berhasil membingungkan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua pasukan itu benar-benar akan diancam kepunahan.

Dalam pada itu, di hadapan garis pertahanan itu pasukan Mataram yang tidak sempat mengetahui kekuatan lawan, bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh bergerak maju. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa di hadapan mereka terbentang sebuah pertahanan yang kuat dari tebing sampai ke tebing. Bukan saja pertahanan yang dilambari dengan kemampuan tempur pasukan yang telah menggemparkan Mataram itu, tetapi juga dibayangi oleh ilmu yang belum pernah ditemui di medan yang mana pun.

Yang berjalan di paling depan, adalah para pengawas yang perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada jejak orang-orang yang mereka cari daripada sebuah pertahanan yang bagaikan benteng baja. Mereka sibuk menundukkan kepalanya, mengungkit ranting-ranting patah dan dedaunan yang tumelung di atas jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga dengan demikian mereka tidak mengetahui, bahwa jarak pertahanan di hadapan mereka semakin lama menjadi semakin pendek.

Sementara pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh merayap semakin dekat, maka Daksina dan Putut Nantang Pati menjadi berdebar-debar ketika ia dipanggil menghadap di padepokan di belakang pertahanan mereka.

“Apakah yang penting? Jika tiba-tiba saja pasukan Mataram dan Menoreh melanda pasukan kita, maka pertahanan ini akan menjadi hancur. Aku di sini justru sedang menunggu kehadiran Panembahan Agung, jika setiap saat lawan kita itu datang,” jawab Daksina.

“Kenapa kau bertanya?” bertanya utusan itu. ”Panembahan Agung memiliki perhitungan yang sempurna. Apakah kau merasa bahwa perhitunganmu lebih matang?”

“O,” Daksina menjadi tergagap karenanya, ”bukan maksudku. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan keprajuritan.”

“Jangan membantah lagi,” berkata Putut Nantang Pati pula, ”marilah, kita menghadap.”

Keduanya pun kemudian dengan ter-gesa-gesa pergi ke padepokan. Daksina tampak menjadi sangat gelisah. Ia tidak biasa meninggalkan pasukannya di saat yang paling genting meskipun sudah diserahkannya kepada orang yang dipercayainya.

Daksina hampir tidak sabar ketika ia harus duduk di serambi depan menunggu kehadiran Panembahan Agung. Keringatnya mengalir membasahi kening dan punggung.

Ketika pintu terbuka, maka yang hadir sama sekali bukan Panembahan Agung, tetapi Panembahan Alit, yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.

“O,” desis Daksina yang mulai menjadi jengkel, ”apakah kami sudah diperbolehkan menghadap Panembahan Agung yang memanggil kami?”

Panembahan Alit memandanginya sejenak. Kemudian ia pun duduk pula di antara mereka sambil berkata, ”Aku tidak tahu, kapan kalian diperbolehkan menghadap. Tetapi justru aku mendapat perintah untuk berada bersama kalian di sini.”

“Tetapi pasukan lawan tentu sudah menjadi semakin dekat. Naluri keprajuritanku sudah memperingatkan agar aku siap menunggu mereka di dalam pasukan yang harus bersiaga sepenuhnya.”

“Ah kau,” Putut Nantang Pati tersenyum, ”percayalah. Panembahan Agung mengetahui apa yang sedang kita hadapi. Pasukan itu tentu terhalang oleh orang-orang kita yang bertugas memperlambat dan mengganggu pasukan mereka. Bukan saja agar mereka tidak dapat maju dengan pesat. Tetapi mereka akan menjadi marah sehingga mereka lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada perhitungan nalarnya. Karena itu, mereka tentu masih berada di jarak yang jauh.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dan Panembahan Alit itu pun berkata, ”Jangan gelisah. Percayalah.”

Daksina tidak menyahut lagi. Tetapi rasa-rasanya hatinya selalu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebagai seorang senapati, ia merasa wajib berada di gelanggang di saat pertempuran mulai berkobar.

Tetapi agaknya Putut Nantang Pati sama sekali tidak merasa gelisah. Ia menyandarkan semua pertimbangan di saat itu kepada Panembahan Agung, meskipun biasanya ia adalah seorang pemimpin yang baik di peperangan.

Baru sejenak kemudian maka seseorang telah keluar lagi dari ruang dalam dan berkata, ”Panembahan Alit diharap menghadap lebih dahulu.”

“Hanya Panembahan Alit?” desak Daksina.

“Ya.”

Panembahan Alit itu pun berdiri sambil menepuk bahu Daksina, ”Sabarlah. Tidak akan ada apa-apa yang terjadi.”

Daksina menarik nafas dalam-dalam.

Sejenak kemudian, maka Panembahan Alit itu pun hilang di balik pintu.

“Kita masih harus menunggu?” bertanya Daksina yang kehilangan kesabaran.

“Semakin kau mendesak, maka kau akan merasa semakin lama menunggu di sini. Jangan hiraukan, agar kau tidak terlampau gelisah.”

Daksina hanya menarik nafas saja dalam-dalam. Sesaat kemudian pintu itu pun terbuka lagi. Yang tampak keluar lewat pintu itu adalah Panembahan Alit. Sambil membawa sebatang tongkat ia berkata, ”Daksina dan Putut Nantang Pati. Ternyata aku menerima tongkat kekuasaan tertinggi di padepokan ini. Karena itu. maka akulah yang akan menjadi senapati besar di dalam pertempuran yang akan segera terjadi. Menurut pengamatan Panembahan Agung, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang datang ke padepokan ini cukup besar, sehingga kita di sini harus berjuang sebaik-baiknya melawan mereka. Panembahan Agung sendiri akan hadir di medan dan dengan kuasanya akan berusaha untuk memperlemah daya tempur pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Jika memang itu yang diperintahkan. Aku percaya bahwa Panembahan Alit akan dapat melakukan tugas itu sebaik-baiknya.”

Tetapi Daksina berkata, ”Jadi, apakah kami sudah dapat menghadap Panembahan Agung?”

“Kalian tidak perlu menghadap. Perintahnya sudah jelas. Dan tongkat kekuasaan ini merupakan bukti perintah yang sudah diucapkan itu.”

“Jadi buat apa aku harus datang kemari?” bertanya Daksina.

“Itu adalah kehendak Panembahan Agung. Kenapa kau tampak kecewa?”

“Tentu. Sebaiknya aku berada di antara pasukanku jika aku di sini hanya sekedar duduk menunggu dan tidak ada kepentingan apa pun juga.”

“Kau tidak dapat membantah perintahnya.”

“Aku bukan anak buahnya. Tetapi aku adalah seorang senapati yang dikirim oleh Kakang Tumenggung untuk memimpin pasukan Pajang yang ada di sini.”

“Di sini kau berada di bawah perintah Panembahan Agung yang kali ini dilimpahkan kepadaku,” berkata Panembahan Alit, ”jangan membuat keributan di saat pasukan lawan sudah berada di depan hidung.”

Daksina menggeretakkan giginya. Katanya, ”Hanya karena kesadaran itu aku melalaikannya. Tetapi jika kau mengecilkan arti Daksina di sini, berarti kau mengecilkan arti Kakang Tumenggung dan Kakang Panji di Pajang. Jangan kau sangka bahwa keduanya dapat kalian perintah seperti memerintah anak-anak yang paling dungu seperti ini. Namun sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya sekedar mengingat bahwa musuh kini sudah berada di hadapan hidungku.”

“Jangan bersikap begitu kasar. Agaknya sikapmu tidak akan menguntungkan sama sekali.”

“Tetapi bukan berarti bahwa kalian dapat menghinakan dan memerintah aku seperti seorang budak.”

Panembahan Alit mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap menyadari, bahwa untuk menghadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, mereka memerlukan paduan kekuatan yang ada, dan karena itulah maka ia masih tetap menahan diri.

Namun dalam pada itu, mereka bertiga terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar seekor kuda meringkik. Kemudian dari pintu itu pun muncul seekor kuda yang tegar meloncat ke halaman. Sekali kuda itu melonjak, namun kemudian berlari kencang sekali seperti angin, sedang di atasnya duduk seorang anak kecil berambut putih.

Tetapi ketika kuda itu kemudian hilang di balik pepohonan, Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati justru tersenyum karenanya, sedang Daksina masih saja termangu-mangu.

“Siapa anak itu?” bertanya Daksina. ”Aku belum pernah melihatnya. Bahkan bentuknya agak aneh. Wujudnya kecil, tetapi rambutnya sudah memutih,”

Panembahan Alit tertawa. Katanya, ”Itu adalah salah seorang prajurit Panembahan Agung. Kau tentu belum pernah melihatnya. Aku juga belum.”

Daksina menjadi semakin tidak mengerti. Apalagi ketika Panembahan Alit bertanya, ”Apakah menurut pengenalanmu, rambutnya memang sudah putih?”

“Ya.”

“Matanya lebar?”

Daksina mengingat-ingat sejenak, lalu, ”Ya.”

“Hidungnya?”

Daksina agak bingung. Dan Panembahan itu berkata, ”Mungkin kita menangkap suatu perbedaan kecil pada bagian-bagiannya. Tetapi tentu tidak pada keseluruhannya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Itulah yang dimaksud dengan ilmu Panembahan Agung. Semula aku juga terkejut karena tiba-tiba saja aku mendengar derap kuda itu. Tetapi lihatlah, pintu itu hanya terbuka sedikit. Apakah menurut dugaanmu, kuda yang setegar itu benar-benar dapat meloncat keluar dari pintu yang tidak terbuka seluruhnya itu? Dan apalagi pintu itu adalah pintu yang rendah.”

Daksina memandang pintu itu sesaat. Kemudaan dipandanginya arah kuda itu hilang di balik gerumbul-gerumbul.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, ”Inikah yang dimaksud dengan bentuk-bentuk semu itu?”

Putut Nantang Pati pun tertawa sambil berkata, ”Ya itulah. Jangan bingung. Kau harus meyakinkan pasukanmu, bahwa mereka tidak usah menghiraukan jika di dalam peperangan nanti ada bentuk-bentuk semu yang kadang-kadang mengerikan, karena sebenarnya mereka tidak berpengaruh secara langsung. Di dalam keadaan yang memungkinkan itulah, kita menghancurkan lawan, selagi orang-orang Mataram dan Menoreh kebingungan. Tetapi jika kita sendiri bingung, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Daksina termangu-mangu sejenak. Dadanya menjadi berdebar-debar. Apa yang dikatakan dengan bentuk semu itu memang aneh sekali baginya. Kuda itu adalah kuda yang sangat bagus. Dan anak yang ada di punggungnya itu adalah anak yang aneh sekali.

“Nah, marilah,” berkata Panembahan Alit, ”kita harus segera berada di garis pertahanan. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu memang sudah mendekati daerah ini. Mereka telah melampaui gangguan-gangguan kecil di perjalanan mereka menuju ke pertahanan ini. Tetapi sudah pasti, bahwa mereka tidak tahu, bahwa kita sudah menunggu mereka dan siap menghancurkan mereka dengan cara yang paling menarik.”

Daksina mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, ”Jadi, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan penoreh itu akan dicengkam oleh bentuk-bentuk semu seperti itu? Dan kita akan menyerang mereka selagi mereka kebingungan?”

“Ya. Jika datang saatnya mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi sekedar bentuk-bentuk semu, maka jumlah mereka sudah jauh berkurang.”

“Mengerikan,” desis Daksina tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Aku tidak biasa berbuat seperti itu di peperangan. Ada semacam ketidak-adilan dengan cara itu. Kita akan membunuh orang-orang yang sedang kebingungan dan tidak tahu apa yang dikerjakan. Itu bukan sikap jantan.”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar