JDBK-35


<<kembali | lanjut >>

AKU TIDAK peduli dengan igauan anak setan ini. Tetapi Ki Bekel dapat melihat sendiri. Sebelum parit atau talang itu benar-benar di buat, di padukuhan kita telah timbul persoalan. Jika anak-anak itu nekat melanjutkan rencananya, maka persoalan ini akan menjadi semakin berkembang”

“Katakan kepadaku, Wandawa. Siapakah yang telah menumbuhkan persoalan ini? Anak-anak itu atau kau?”

Wajah Wandawa menjadi merah. Dengan suara yang bergetar ia pun berkata, “Jika tidak ada gagasan gila ini, aku tentu tidak akan berbuat apa-apa”

“Sudahlah, Wandawa. Pulanglah. Biarlah anak-anak ini membuat talang sesuai dengan gagasan yang mereka terima dari kedua pengembara itu. Jika talang itu memberikan kenyataan yang baik, maka rakyat di padukuhan kita tentu akan bersedia membuat parit ke bulak yang kering itu. Justru sekarang aku harus mengakui, betapa malasnya kita sebelumnya. Sikapmu, sikap ayahmu dan tekad anak-anak muda ini akan membuka mata kita, bahwa yang terjadi bukanlah kemapanan, ketenangan dan ketenteraman. Tetapi kemalasan berpikir dan berbuat”

“Ki Bekel” berkata Wandawa, “aku minta Ki Bekel menghentikan rencana itu”

Ki Bekel menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan menghentikan rencana itu”

“Jika demikian, aku akan menyampaikannya kepada ayah. Ki Bekel lah yang bertanggung jawab terhadap ayah jika ayah marah”

Ki Bekel justru tersenyum. Katanya, “Wandawa, terserah saja kepadamu. Tetapi ingat, bahwa akulah Bekel di sini. Bukan ayahmu”

“Aku tahu. Tetapi ayah adalah sahabat baik Ki Demang. Sedangkan Ki Bekel berada di bawah perintah Ki Demang. Jika Ki Demang memerintahkan untuk membatalkan rencana ini, maka Ki Bekel tidak akan dapat berbuat apa-apa”

Ki Bekel justru tertawa. Katanya, “Terserah saja kepada ayahmu, Wandawa. Jika ia ingin berbicara dengan Ki Demang, biarlah ia melakukannya. Ki Demang tidak hanya mengurusi padukuhan ini. Tetapi Ki Demang juga harus memperhatikan padukuhan yang baru saja disinggahi oleh beberapa orang yang telah merampok padukuhan itu habis-habisan”

Wandawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau akan menyesal, Ki Bekel”

“Tidak. Aku tidak akan menyesali sikapku ini. Anak-anak muda ini juga tidak. Jika Ki Demang mendengar gagasan ini, maka ia tentu akan mendukungnya”

Wandawa tidak menjawab. Namun ia pun segera melangkah meninggalkan tempat itu.

Ki Bekel, Wijang, Paksi serta anak-anak muda yang sudah siap untuk membuat talang air dari bambu itu memperhatikan Wandawa serta kawan-kawannya yang melangkah semakin jauh. Nampaknya mereka benar-benar menjadi marah. Apalagi Wandawa. Ia tidak saja marah kepada mereka yang akan membuat talang, tetapi ia  pun marah kepada Mugi yang begitu dungunya dengan mengatakan alasan Ki Cakrajaya yang sebenarnya tentang pembuatan talang air itu.

“Kita tidak akan terpengaruh oleh sikap mereka” berkata Ki Bekel.

“Ya” berkata salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Bagus” berkata Wijang. “Seperti yang kita bicarakan, besok kita akan datang sebelum matahari terbit. Kalian harus berlatih bangun pagi-pagi. Jika kalian tidak bersedia berlatih bekerja keras, maka kalian tidak akan dapat melahirkan perubahan apa-apa.

Jika kalian hanya ingin yang termudah, tidak berani menghadapi kesulitan, maka tidak akan ada yang dapat kalian capai. Karena untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, kalian harus berani berbuat dan bekerja keras. Sebenarnyalah kebahagiaan yang diimpikan oleh setiap orang itu memerlukan pengorbanan. Jika kita ingin mengail ikan, maka kita harus bersedia mengorbankan umpan”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Besok kita akan datang menjelang matahari terbit”

“Kalian dapat tidur sejak matahari terbenam” berkata Ki Bekel sambil tertawa.

“Tetapi Ki Bekel sendiri juga harus bangun pagi-pagi”

“Ya. Aku akan bangun pagi-pagi sekali. Menjelang fajar”

Anak-anak muda itu pun tertawa pula. Seorang di antara mereka berkata, “Tidak ada yang berani membangunkan Ki Bekel”

“Tentu ada. Hari ini aku bangun pagi-pagi. Jika kalian tidak percaya, bertanyalah kepada kedua orang pengembara ini”

Wijang dan Paksi hanya tersenyum saja.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka telah meninggalkan tempat itu. Mereka akan bekerja esok. Mereka akan datang sebelum matahari terbit sambil membawa peralatan yang diperlukan untuk menebang bambu serta membuat saluran air yang panjang.

Dalam pada itu, Wandawa dan kawan-kawannya telah menghadap ayahnya. Wandawa memberitahukan, bahwa di antara anak-anak muda itu terdapat Ki Bekel.

“Apa yang akan mereka lakukan?”

“Mereka akan membuat talang air, Ayah. Mereka ingin mengalirkan air ke sawah mereka”

“Iblis manakah yang telah memberikan gagasan tentang talang air itu?”

“Ada dua orang pengembara di antara mereka. Tentu keduanyalah yang telah mempengaruhi Ki Bekel untuk ikut serta bersama anak-anak itu untuk membuat talang air. Kedua orang pengembara itulah yang telah minta berbicara dengan anak-anak muda di padukuhan ini”

“Kerja itu harus dihentikan”

“Ya” jawab Wandawa. “Tetapi mulut Mugi itu sangat lancang”

“Kenapa?”

“Ia sudah mengatakan alasan Ayah yang sebenarnya, kenapa kita berkeberatan jika orang-orang padukuhan ini membuat parit”

“Gila” geram Ki Cakrajaya. “Apakah aku harus mengoyak mulutnya?”

“Aku sudah menamparnya sehingga mulutnya berdarah”

“Biarlah jika alasan yang sebenarnya itu sudah terlanjur dikatakan, meskipun terasa agak mengganggu. Biarlah aku menemui Ki Bekel dan langsung menyatakan keberatan itu”

“Nampaknya Ki Bekel sudah bertekad untuk melaksanakannya. Sebaiknya yang menemui Ki Demang, serta minta Ki Demang mengurungkan rencana Ki Bekel untuk membuat talang air itu”

“Aku akan menemui Ki Bekel lebih dahulu. Jika Ki Bekel menjadi keras kepala, aku akan menemui Ki Demang. Tergantung sekali kepada Ki Demang, apa yang akan dilakukannya. Jika Ki Demang berkeberatan untuk mencegah Ki Bekel, maka aku sendiri akan mencegahnya”

Wandawa mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Terserah saja kepada Ayah”

“Besok aku akan menemui Ki Bekel yang tentu berada di gumuk itu”

“Besok aku akan ikut bersama Ayah”

“Tetapi kau harus menahan diri. Meskipun seandainya Ki Bekel tetap menolak, besok aku belum akan bertindak. Aku akan lebih dahulu menemui Ki Demang”

Wandawa mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, beberapa orang anak muda telah mempersiapkan peralatan yang akan mereka bawa esok. Sebagian dari alat-alat itu mereka pinjam dari Ki Bekel, sedangkan yang lain, mereka kumpulkan dari sanak kadang mereka.

Ketika di sore hari anak-anak muda itu bertemu dan berbincang dengan kawan-kawannya, ternyata ada empat atau lima orang lagi yang ingin ikut mencoba bekerja buat dari depan.

“Malas juga bangun pagi-pagi sekali” desis seorang di antara mereka. “Tetapi rasa-rasanya ingin juga mencoba”

“Menurut Paksi, salah seorang dari kedua orang pengembara itu, segala sesuatunya tergantung kepada niat kita. Apakah kita benar-benar ingin melakukannya atau tidak”

“Baiklah” berkata salah seorang dari mereka. “Jika Ki Bekel juga ikut, kami akan mencoba untuk bangun pagi-pagi”

Seorang yang lain menyahut, “Aku akan tidur sejak sekarang”

Kawan-kawannya yang mendengar kelakar itu pun tertawa.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berdesis, “Bagaimana dengan Wandawa dan ayahnya?”

Anak muda yang telah dahulu datang ke gumuk itu menjawab, “Kita akan berusaha mengatasinya jika Wandawa ingin mengganggu. Sedangkan ayahnya akan diredam oleh Ki Bekel”

“Tetapi pengaruh Ki Cakrajaya itu besar sekali. Tidak saja di padukuhan ini, tetapi di seluruh kademangan”

“Kita akan melihat, apa saja yang dapat dilakukannya. Seandainya karena usahanya maka kerja ini harus dihentikan, kita akan berhenti”

“Jadi apa yang kita lakukan besok itu akan sia-sia?”

“Mungkin. Tetapi menurut Wijang, kita harus berusaha”

“Siapakah Wijang itu?”

“Salah seorang dari kedua pengembara itu. Yang seorang namanya Wijang, yang seorang namanya Paksi”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang kita pulang, beristirahat sebaik-baiknya. Tidur nyenyak sampai menjelang fajar. Kita akan mencoba bangun pagi-pagi sekali”

“Ya, Ki Bekel”

“Sekarang tidurlah. Agar kita tidak terlambat bangun”

“Bukankah malam baru saja turun?”

“Tetapi kita akan bangun menjelang fajar”

Wijang tertawa. Katanya, “Aku terbiasa tidur setelah wayah sepi uwong”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi, waktu tidur kalian hanya begitu pendek?”

“Tetapi itu sudah cukup bagi kami”

Ki Bekel tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencobanya. Tetapi dari sedikit. Jika aku memaksa diri dengan serta-merta, mungkin aku akan menjadi sakit-sakitan”

Wijang dan Paksi pun tertawa pula.

“Kami memang harus mengakui” berkata Ki Bekel kemudian, “bahwa kami adalah orang-orang yang malas. Tetapi kemalasan ini sudah berlangsung lama, sehingga untuk melakukan perubahan, diperlukan waktu”

“Kami tahu, Ki Bekel” sahut Wijang.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, Ki Bekel pun benar-benar pergi ke biliknya. Ia sudah berpesan kepada Nyi Bekel dan kepada pembantu-pembantunya agar Ki Bekel itu dibangunkan pagi-pagi sekali.

“Yang tentu akan bangun pagi-pagi adalah anak-anak muda pengembara itu” berkata Nyi Bekel.

“Mereka tentu tidak berani membangunkan aku”

“Baiklah, aku akan berusaha untuk bangun pagi-pagi”

Namun sebelum Ki Bekel tidur, terdengar pintu pringgitan diketuk keras-keras.

“Siapa?” bertanya Ki Bekel yang matanya sudah redup.

“Ki Bekel, buka pintunya”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Bekel berdesis, “Siapakah mereka, Kakang. Nampaknya bukan orang padukuhan ini. Suaranya terdengar keras dan kasar”

Karena Ki Bekel tidak segera menjawab, maka terdengar lagi pintu itu diketuk semakin keras.

“Buka pintunya, Ki Bekel. Kau dengar”

“Siapa kau?” bertanya Ki Bekel.

“Buka dahulu pintunya. Ki Bekel akan tahu, siapa aku”

Meskipun Ki Bekel terhitung orang yang malas, tetapi ia bukan seorang penakut. Karena itu, maka ia pun segera bangkit. Disambarnya sebatang tombak pendeknya. Kemudian melangkah keluar dari biliknya menuju ke pintu pringgitan.

“Hati-hatilah, Kakang”

“Masuklah ke dalam bilik, Nyi” desis Ki Bekel.

Perlahan-lahan Ki Bekel pun melangkah ke pintu. Diangkatnya selarak pintunya. Kemudian ditariknya sindik kayu di atas daun pintu itu. Dengan cepat Ki Bekel itu meloncat surut. Demikian pintu terbuka, maka Ki Bekel itu pun melihat beberapa orang berdiri di belakang pintu. Orang-orang itu belum pernah dilihatnya sebelumnya.

Namun ketika seorang di antara mereka akan melangkah masuk, Ki Bekel itu pun berkata, “Berdiri saja di situ”

Orang itu tertegun. Ujung tombak Ki Bekel merunduk setinggi jantung orang yang berdiri di depan pintu itu.

“Siapa kalian dan untuk apa kalian datang malam-malam begini?”

Orang itu memandang wajah Ki Bekel dengan tajamnya. Namun ia tidak melihat kecemasan membayang di wajah itu.

“Ki Bekel” berkata orang yang berdiri di paling depan, “sebenarnya kami tidak berurusan dengan Ki Bekel”

“Jadi, kenapa kalian kemari?”

“Kami berurusan dengan Wijang dan Paksi. Dua orang yang mengaku sebagai pengembara”

“Ada apa dengan mereka?”

“Bukankah mereka bermalam di sini? Bukan di banjar?”

“Ya. Malam ini mereka memang berada di sini”

“Serahkan kedua orang itu kepada kami”

“Kenapa aku harus menyerahkan mereka?”

“Mereka telah melakukan kejahatan di kademangan kami”

“Kejahatan apa?”

“Sebenarnya mereka tidak hanya berdua. Tetapi kawan-kawannya ada sekitar empat orang. Mereka telah mengambil dengan paksa barang-barang milik beberapa keluarga di kademangan kami”

“Kademangan mana, Ki Sanak?”

“Kami adalah orang-orang dari Kademangan Randucawang”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ia teringat kepada penuturan beberapa orang tentang pemerasan yang terjadi di sebuah padukuhan di kademangannya. Bahkan Ki Demang  pun telah membenarkannya. Tetapi ciri-ciri orang yang memeras dan merampas beberapa barang berharga itu tidak seperti yang nampak pada kedua orang pengembara yang masih muda itu. Apalagi menilik sikap keduanya serta kesediaan mereka membantu menyelenggarakan perubahan di padukuhan itu. Apakah nanti akan berhasil atau tidak, bukan soal. Tetapi keduanya telah menyampaikan gagasan yang masuk akal bagi kesejahteraan padukuhan itu.

“Ki Sanak” berkata Ki Bekel, “menurut pengamatan kami, tentu bukan kedua orang pengembara yang bermalam di sini. Jika Ki Sanak orang Randucawang, Ki Sanak tentu sudah mendengar, bahwa salah satu padukuhan di kademangan kami juga pernah didatangi beberapa orang yang memeras dan bahkan katakan saja, merampok beberapa orang penghuninya. Tetapi ciri-ciri dari para perampok itu sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri kedua orang anak muda yang sekarang bermalam di rumahku ini”

“Kami akan bertemu dengan mereka”

“Baik. Tetapi kalian harus berjanji bahwa kalian tidak akan bertindak sendiri. Aku bekel di sini. Segala sesuatunya, akulah yang memutuskan”

“Ki Bekel, peristiwa kejahatan itu terjadi di kademangan kami. Karena itu, maka kami akan minta untuk membawa kedua orang itu ke kademangan kami”

“Jika yang datang Ki Demang Randucawang atau Ki Jagabaya atau bebahu Randucawang yang hampir semuanya sudah aku kenal, maka aku akan menyerahkannya. Tetapi aku belum mengenal Ki Sanak. Bahkan aku belum mengenal seorang  pun di antara kalian. Padahal aku banyak mempunyai kenalan di Randucawang”

“Ki Bekel, aku adalah utusan demang Randucawang itu”

“Sudah aku katakan, jika yang datang bebahu Randucawang yang hampir semuanya sudah aku kenal, maka aku akan menyerahkan mereka berdua. Tetapi aku tidak akan menyerahkan mereka kepada orang yang tidak aku kenal”

“Ki Bekel, kami datang dengan membawa kuasa dari Ki Demang. Itu tidak ada bedanya, bahwa Ki Demang sendiri datang kemari”

“Apakah kalian dapat membuktikan bahwa kalian telah mendapat kuasa dari Ki Demang?”

“Ki Demang hanya memberikan perintah lesan”

“Karena itu, aku tidak dapat menyerahkan mereka”

“Jangan berkeras, Ki Bekel”

“Aku akan bertindak sebagai seorang bekel di sini”

“Ki Bekel, jika Ki Bekel berkeberatan untuk menyerahkan keduanya, maka kami akan terpaksa mempergunakan kekerasan”

Ki Bekel menjadi tegang. Ujung tombaknya pun menjadi bergetar. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jadi kalian juga akan merampok seperti orang-orang yang kalian cari itu?”

“Kami tidak merampok. Tetapi kami sedang berusaha menangkap perampok”

“Tetapi cara yang kau pakai tidak ada bedanya dengan cara seorang perampok. Bahkan kau akan merampok wewenangku di padukuhan ini”

“Terserah saja apa yang akan Ki Bekel katakan. Tetapi kami akan mengambil kedua orang anak muda itu dan membawa ke Randucawang”

“Tidak. Besok aku akan menemui Ki Demang Randucawang. Aku sendiri akan membawa kedua orang anak muda itu dan menanyakan kepada Ki Demang, apakah benar mereka yang dicari”

“Aku tidak mau menunggu sampai besok. Aku akan membawa mereka sekarang”

“Jika demikian, pengakuan kalian sebagai orang Randucawang justru meragukan”

“Percaya atau tidak itu terserah saja kepada Ki Bekel. Tetapi yang penting, kami akan membawa kedua orang itu”

“Tidak. Aku tidak akan menyerahkan mereka”

“Ki Bekel, bukankah selama ini tidak ada persoalan di antara kita? Jika Ki Bekel tidak mau menyerahkan keduanya, maka akan timbul perselisihan antara Ki Bekel dengan Ki Demang di Randucawang”

“Aku tidak yakin. Besok aku akan pergi ke Randucawang”

“Kami tidak dapat menunggu sampai esok. Serahkan keduanya sekarang, atau Ki Bekel akan menyesali kekerasan hati Ki Bekel”

“Aku tidak akan menyesal”

Tiba-tiba saja orang itu bergeser mundur selangkah. Kepada beberapa orang yang datang bersamanya, orang itu berkata, “Cari kedua orang itu. Ia ada di sini. Aku pikir keduanya ada di gandok kiri atau kanan”

Namun mereka terkejut karena mereka mendengar suara di seketeng. “Kami ada di sini”

Ketika orang-orang yang datang ke rumah Ki Bekel itu berpaling, mereka melihat dua orang berdiri di depan pintu seketeng. Remang-remang cahaya lampu minyak yang menyala di pendapa itu sempat menggapai mereka.

“Ki Sanak” terdengar suara Wijang, “kami sama sekali tidak pernah melakukan perampokan sebagaimana kalian tuduhkan. Jika saja Ki Bekel meragukan bahwa kalian orang-orang Randucawang, maka kami  pun akan menyatakan bahwa kami berkeberatan untuk ditangkap dan dibawa ke Randucawang. Sebaliknya jika Ki Bekel tidak meragukan kalian, maka kami akan melakukan apa saja yang diperintahkannya”

“Setan kau” geram orang yang berdiri di depan pintu.

“Tangkap mereka”

Beberapa orang itu pun segera menghambur berlari ke arah Wijang dan Paksi yang sengaja menunggu mereka di halaman. Orang yang berdiri di depan pintu itu masih berada di depan pintu. Kepada Ki Bekel ia pun berkata, “Ki Bekel, kami telah menemukan kedua orang itu. Sebaiknya Ki Bekel tidak usah ikut campur. Kami akan menangkap mereka dan membawa mereka ke Randucawang”

Orang itu tidak menunggu jawaban. Namun orang itu  pun segera berlari pula ke pintu seketeng.

Demikian orang itu meninggalkan pintu pringgitan, maka Ki Bekel pun segera meloncat keluar. Dilihatnya beberapa orang itu telah mengepung Wijang dan Paksi.

“Menyerahlah” berkata orang yang telah menemui Ki Bekel di muka pintu pringgitan. Seorang yang berkumis lebat tetapi berjanggut tipis dan jarang.

Ki Bekel yang masih berdiri di pendapa itu melihat Wijang dan Paksi yang berdiri di dalam kepungan orang-orang yang tidak dikenal itu berdiri berdampingan. Nampaknya keduanya sama sekali tidak menjadi cemas melihat orang-orang yang garang mengepung mereka.

“Jika kalian menyerah, kami masih akan mempertimbangkan banyak hal tentang kalian berdua. Kalian akan mendapat banyak pengampunan, sehingga hukuman kalian akan menjadi sangat ringan” berkata orang berkumis lebat itu.

“Kami tidak memerlukan pengampunan karena kami tidak bersalah” jawab Wijang.

“Kalian tidak akan dapat ingkar”

“Hanya orang yang merasa bersalah saja yang minta diampuni kesalahannya. Sementara itu, kami merasa tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat dianggap satu kesalahan. Jika di sini kami menyampaikan gagasan untuk membuat saluran air, bukankah itu bukan satu kesalahan?”

“Kami tidak berbicara tentang saluran air”

“Aku yakin, bahwa kalian datang karena saluran air itu. Bukan karena perampokan yang terjadi di Randucawang, meskipun kalian mengaku orang-orang Randucawang. Jika persoalannya adalah perampokan di Randucawang, di antara kalian tentu ada satu atau dua orang bebahu. Tetapi ternyata tidak. Tidak ada di antara kalian yang dapat mengaku bebahu Randucawang karena Ki Bekel mengenal semua bebahu di Randucawang itu”

“Persetan dengan igauanmu”

“Kalian tentu datang untuk menangkap kami dan mungkin untuk menyakiti kami karena kalian yakin bahwa kamilah yang telah melontarkan gagasan untuk membuat talang air itu”

“Dugaan yang tepat” sahut Ki Bekel yang berdiri di pendapa dengan tombak di tangan. “Agaknya mereka datang karena rencana itu. Aku  pun menjadi semakin yakin, bahwa mereka bukan orang-orang Randucawang”

“Aku tidak peduli” berkata orang yang berkumis lebat. “Keduanya harus ditangkap dan dibawa ke Randucawang” Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Tangkap mereka. Jika mereka melawan, mereka harus ditundukkan. Jika karena itu maka mereka terluka, itu adalah salah mereka sendiri”

Kawan-kawannya tidak menunggu terlalu lama. Lima orang bergerak serentak menyerang Wijang dan Paksi. Sementara orang yang berkumis lebat itu berdiri termangu-mangu. Agaknya ia sedang mengamati Ki Bekel, jika Ki Bekel itu akan ikut campur.

Ki Bekel berdiri dengan tegang menyaksikan Wijang dan Paksi berloncatan membela diri.

Namun Ki Bekel mengurungkan niatnya untuk turun ke arena ketika ia menyaksikan bagaimana Wijang dan Paksi menghadapi kelima orang laki-laki yang garang yang mengaku datang dari Randucawang itu.

Dalam waktu yang singkat, seorang dari kelima orang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan orang itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga jatuh terbanting. Namun orang itu pun segera bangkit berdiri meskipun harus menyeringai menahan sakit di punggungnya. Tetapi belum lagi mampu berdiri tegak, maka seorang kawannya telah terlempar menimpanya, sehingga kedua-duanya justru jatuh berguling di tanah.

Seorang di antara mereka mampu segera bangkit sambil menahan pinggangnya dengan tangannya. Sedangkan yang seorang lagi baru kemudian tertatih-tatih berdiri.

Sementara itu, ketiga orang kawannya justru telah mengambil jarak. Ternyata kedua orang pengembara itu memiliki kemampuan melindungi diri mereka. Seorang di antara orang-orang yang mengaku dari Randucawang itu menggeram, “Ternyata dugaan kami benar. Kalian tentu bagian dari mereka yang telah merampok di Randucawang. Ternyata kalian mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan, meskipun kasar dan liar”

“Apakah hanya para perampok saja yang memiliki kemampuan untuk membela dirinya?”

“Ya”

“Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga perampok atau orang upahan yang kerjanya menyakiti orang lain untuk beberapa keping uang. Bahkan membunuh?”

“Persetan kau orang-orang yang licik” geram orang itu.

“Semula kami memang tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin membawa kalian ke kademangan kami. Tetapi jika kalian bersikukuh untuk menolak, bahkan melawan, maka mungkin saja kalian akan mati di halaman rumah Ki Bekel ini”

“Aku menjadi saksi” berkata Ki Bekel yang telah melihat kemampuan Wijang dan Paksi, “siapa  pun yang mati, tidak akan menjadi persoalan. Tidak akan ada yang dianggap bersalah karena pembunuhan. Apalagi karena aku meragukan bahwa kalian benar-benar orang Randucawang. Seandainya benar kalian orang-orang Randucawang, aku akan memberi penjelasan kepada Ki Demang Randucawang bahwa kalian telah melanggar unggah-ungguh dan paugeran padukuhan ini”

Orang yang berkumis lebat dan berjanggut tipis itu pun menggeram, “Ki Bekel, jika kau tetap melindungi kedua orang itu, maka kau akan kami anggap ikut bersalah”

“Siapa yang melindungi para pengembara itu? Bukankah aku berdiri di sini dan tidak berbuat apa-apa? Kawan-kawanmu itulah yang harus bertanggung jawab jika mereka tidak berhasil menangkap kedua orang pengembara itu, apa pun alasan kalian yang sebenarnya”

Orang berkumis lebat itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Kedua orang pengembara itu tidak mudah untuk ditaklukkan. Apalagi ditangkap dan dibawa keluar dari padukuhan.

Dalam pada itu, kedua orang yang jatuh berguling itu sudah bangkit kembali. Mereka menggeliat untuk melenturkan tubuh mereka yang terasa sakit.

Seorang di antara kedua orang itu pun tiba-tiba saja menarik goloknya sambil menggeram, “Aku tidak peduli, apakah aku harus menangkapnya hidup-hidup atau mati. Tetapi aku akan membunuh mereka berdua”

Orang berkumis tebal itu pun berkata kepada Ki Bekel, “Lihat, Ki Bekel. Orang-orangku sudah kehabisan kesabaran”

“Apa yang harus aku lakukan? Bukankah aku sama sekali tidak menghalangi usaha kalian untuk menangkapnya?”

“Ki Bekel dapat memerintahkan mereka untuk menyerah”

“Mereka bukan orang-orangku. Aku tidak dapat memerintah mereka. Seandainya itu aku lakukan, mereka pun berhak untuk tidak mentaati perintahku”

“Tetapi padukuhan ini berada di bawah perintah Ki Bekel”

“Apakah dengan demikian mereka harus tunduk kepada perintahku?”

“Bukankah itu wajar?”

“Jika demikian, kenapa kalian tidak menurut perintahku? Jika kalian menurut perintahku, tidak akan terjadi pertempuran di sini. Sementara itu, aku akan dapat membawa keduanya menghadap Ki Demang di Randucawang”

“Persetan” geram orang yang baru saja terpelanting jatuh sehingga pinggangnya terasa sakit sekali. “Aku akan membunuh mereka”

Kelima orang itu pun telah menarik senjata mereka masing-masing. Agaknya mereka benar-benar merasa tersinggung karena mereka berlima tidak segera berhasil menguasai kedua orang pengembara itu.

Sejenak kemudian, maka kelima orang itu pun telah berloncatan kembali di sekitar Wijang dan Paksi. Namun di tangan mereka sudah teracu senjata mereka masing-masing.

Paksi termangu-mangu sejenak. Meskipun sejak semula ia sudah memegangi tongkatnya, namun ia masih belum mengerahkan kemampuannya. Tetapi menghadapi lawan-lawannya yang mengacu-acukan senjatanya, maka tongkat Paksi pun berputar semakin cepat.

Dalam pada itu, di kedua belah tangan Wijang pun telah tergenggam sepasang pisau belatinya. Ketika kedua Lawannya mulai menyerang, maka sepasang pisau belati di tangan Wijang itu pun mulai berputar seperti baling-baling.

Ki Bekel yang menyaksikan pertempuran yang terjadi di samping pendapa itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun yakin, bahwa kedua orang pengembara itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, sehingga Ki Bekel sendiri tidak perlu turun dan melibatkan diri di arena.

“Siapakah sebenarnya keduanya?” pertanyaan itu mulai menggelitik jantung Ki Bekel. Namun Ki Bekel  pun yakin, bahwa kedua orang itu tentu bukan bagian dari para perampok yang mana pun juga. Bahkan Ki Bekel pun menjadi semakin yakin pula, bahwa orang-orang yang datang itu bukan orang-orang Randucawang. Mereka tentu diupah untuk menangkap Wijang dan Paksi serta mengancamnya, mungkin dengan menyakitinya atau melukainya, agar mereka tidak lagi memimpin pembangunan talang air dari bambu sebelum padukuhan itu dapat membuat parit yang baru atau memperbaiki dan memanfaatkan parit yang sudah ada tetapi rusak serta menyempurnakannya.

Dalam pada itu, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Senjata pun terdengar berdentang beradu. Bunga-bunga api berloncatan di keremangan cahaya lampu minyak dari pendapa.

Namun Ki Bekel tidak lagi merasa cemas. Beberapa kali orang-orang yang bertempur melawan Wijang dan Paksi itu terdesak beberapa langkah surut. Meskipun mereka mengerahkan segala kemampuan mereka, namun mereka tidak mampu menguasai kedua orang pengembara yang akan mereka tangkap itu.

Dalam pada itu, orang yang berkumis lebat itu pun menjadi cemas. Ia pun dapat melihat, bahwa orang-orangnya justru mengalami kesulitan. Apalagi ketika orang itu mendengar seorang di antara kelima orang itu berteriak nyaring. Ujung pisau belati Wijang telah menyentuh bahunya, sehingga kulitnya telah terluka. Meskipun lukanya tidak begitu dalam, tetapi darah pun telah mengalir dari luka itu. Dibasahi oleh keringatnya sendiri, maka luka itu terasa nyeri sekali.

Sementara itu seorang yang lain telah jatuh menelungkup. Tongkat Paksi yang mengenai punggungnya, telah mendorong orang itu demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak mampu untuk tetap tegak berdiri. Dengan derasnya ia terdorong dan jatuh menelungkup. Wajahnya tersuruk menggores tanah yang keras berdebu, sehingga dahinya telah tertoreh beberapa larik luka.

Ketika orang itu bangkit berdiri, maka darah telah meleleh di wajahnya.

Orang itu menggeram. Kemarahannya telah membakar isi dadanya. Darahnya yang bagaikan mendidih telah memanasi seluruh tubuhnya.

Sementara itu, orang berkumis lebat yang masih berdiri di luar arena pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia harus berbuat sesuatu untuk membantu orang-orangnya. Dua orang pengembara itu harus berhasil ditangkap. Bahkan menilik suasananya, agaknya orang-orangnya hanya dapat menangkap mati kedua pengembara itu.

Ketika ia melihat Ki Bekel yang memperhatikan pertempuran itu dengan segenap perhatiannya, maka timbullah gagasannya untuk mempergunakan Ki Bekel sebagai alat untuk memaksa kedua orang pengembara itu agar mereka menyerah.

“Aku akan menguasai Ki Bekel. Jika keduanya tidak bersedia menyerah, maka taruhannya adalah nyawa Ki Bekel itu sendiri” berkata orang berkumis lebat itu di dalam hatinya.

Karena itu, selagi Ki Bekel memperhatikan pertempuran itu dengan seksama, maka orang berkumis lebat yang telah menarik pedangnya itu tiba-tiba saja telah meloncat. Ia berniat untuk memukul tombak Ki Bekel agar tombak itu terjatuh. Kemudian menempelkan ujung pedang dan memaksa kedua orang pengembara itu menyerah.

Tetapi ternyata Ki Bekel sempat melihat gerakan orang itu. Karena itu, ketika orang itu mengayunkan pedangnya memukul ujung tombak Ki Bekel, maka Ki Bekel sempat menarik tombaknya sehingga pedang orang berkumis lebat itu tidak menyentuhnya.

Namun justru karena gerakan yang tiba-tiba, maka Ki Bekel pun tidak mampu lagi memperhitungkan gerak naluriahnya. Tiba-tiba saja tombaknya menggeliat. Dengan cepat Ki Bekel itu telah menjulurkan tombaknya, langsung ke dada orang yang meloncat ke arahnya itu.

Terdengar orang berkumis lebat itu berteriak. Kemudian mengumpat dengan kasarnya. Namun suaranya pun segera patah di kerongkongan. Orang itu pun terjatuh di tanah seperti sebatang pisang yang roboh. Sekali orang itu menggeliat. Namun kemudian ia pun terdiam untuk selama-lamanya.

Ki Bekel pun segera meloncat dan berjongkok di sampingnya. Ketika ia meraba leher orang itu, maka tidak ada lagi tanda-tanda kehidupannya.

“Aku tidak sengaja membunuhnya” desis Ki Bekel yang menjadi sangat gelisah.

Dalam pada itu, kelima orang yang bertempur melawan Wijang dan Paksi pun melihat, bahwa orang berkumis lebat itu telah terbunuh. Karena itu, maka mereka merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bertempur terus. Mereka pun merasa bahwa kedua orang yang mereka hadapi ternyata adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera bersuit nyaring untuk memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka serentak melarikan diri dan berpencar ke arah yang berbeda-beda.

Tetapi isyarat itu pun ditangkap pula oleh Wijang dan Paksi. Karena itu demikian mereka mulai bergerak untuk melarikan diri, Wijang dan Paksi segera meloncat menangkap dua orang di antara mereka. Ketika mereka meronta, maka tangkai pisau belati Wijang telah memukul keningnya, sehingga orang itu terhuyung-huyung.

Kepalanya terasa menjadi sangat pening, matanya berkunang-kunang dan akhirnya ia pun jatuh terguling di tanah. Sementara itu, orang yang ditangkap oleh Paksi pun telah meronta pula. Namun tongkat Paksi dengan kerasnya memukul kaki orang itu, sehingga rasa-rasanya tulangnya menjadi retak. Karena itu, maka orang itu pun tidak mampu segera bangkit. Apalagi melarikan diri.

Wijang dan Paksi tidak menghiraukan lagi ketiga orang yang berlari berpencaran. Seorang berlari lewat pintu regol yang terbuka. Seorang meloncat dinding halaman di sebelah gandok dan seorang lagi berlari ke kebun belakang menyusup di antara tanaman.

Tetapi dua orang itu sudah cukup. Wijang dan Paksi pun kemudian telah memaksa kedua orang itu bangkit dan mengikat mereka masing-masing pada sebatang pohon dengan ikat kepala mereka sendiri.

Baru kemudian, Ki Bekel, Wijang dan Paksi telah mengangkat tubuh orang berkumis lebat itu dan membawanya naik ke pendapa.

“Aku tidak sengaja membunuhnya” desis Ki Bekel.

“Peristiwa ini terjadi begitu saja dengan cepatnya, sehingga Ki Bekel tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan” desis Wijang.

“Ya. Ternyata besok kita tidak dapat mulai dengan kerja itu. Aku harus memberikan laporan kepada Ki Demang”

“Apakah di padukuhan ini tidak terbiasa dengan isyarat kentongan pada keadaan yang gawat seperti ini?”

“Ya” jawab Ki Bekel. “Dalam keadaan yang memaksa, di padukuhan ini dapat dibunyikan tanda bahaya dengan kentongan dalam irama titir. Tadi aku sudah berpikir untuk membunyikan kentongan. Tetapi ketika aku melihat bahwa kalian akan segera dapat segera menguasai keadaan, maka niat itu pun aku urungkan”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Bekel berkata selanjutnya, “Pada satu kesempatan, ketika dibunyikan isyarat kentongan dalam irama titir, seluruh padukuhan menjadi sangat ketakutan. Kegelisahan dan kecemasan meliputi seisi padukuhan ini, sehingga aku berpendapat, bahwa jika tidak perlu sekali, kentongan tidak akan dibunyikan dengan irama titir”

Wijang yang masih mengangguk-angguk itu pun bertanya, “Jadi, bagaimana dengan orang yang tertangkap dan terbunuh ini? Apakah Ki Bekel akan menanganinya sendiri?”

“Biarlah para bebahu dipanggil”

Ki Bekel pun kemudian memanggil pembantunya. Diperintahkannya orang itu pergi ke rumah Ki Jagabaya dan bebahu yang lain. Juga menjemput salah seorang anak muda yang di keesokan harinya akan pergi ke gumuk kecil untuk membuat talang air.

Tetapi pembantu Ki Bekel itu berkata, “Aku takut, Ki Bekel. Jika di jalan aku bertemu dengan salah seorang di antara mereka, maka aku akan menjadi sasaran dendam mereka”

“Bukankah mereka tidak mengenalmu?”

“Siapa pun yang mereka jumpai, tentu akan mengalami nasib buruk”

Paksi lah yang kemudian menyahut, “Marilah bersama aku. Jika saja aku tahu di mana rumah mereka, aku dapat pergi sendiri”

“Nah, biarlah kau diantar oleh Paksi”

Pembantu di rumah Ki Bekel itu masih saja ragu-ragu. Namun Ki Bekel itu pun berkata, “Pergilah. Jika kau bertemu dengan mereka, biarlah Paksi yang mengatasinya”

Akhirnya pembantu Ki Bekel itu pun turun ke jalan bersama Paksi, menyusuri jalan padukuhan. Sejenak kemudian, mereka pun telah sampai ke rumah Ki Jagabaya yang sedang tidur nyenyak.

Memang sulit untuk membangunkan Ki Jagabaya. Namun Paksi dengan sengaja telah mengetuk pintu pringgitan agak keras dan menghentak, sehingga Ki Jagabaya dan seisi rumahnya terkejut karenanya.

“Siapa di luar?” teriak Ki Jagabaya yang karena terkejut, ia pun telah tersentak. Tiba-tiba saja matanya tidak lagi terasa mengantuk.

“Aku, Ki Jagabaya. Pembantu di rumah Ki Bekel”

“Ada apa malam-malam begini? Kau telah mengejutkan aku”

“Ki Jagabaya diminta datang ke rumah Ki Bekel”

“Malam-malam begini?”

“Ya. Ada sesuatu yang penting”

“Ada apa? Begitu pentingkah sehingga malam-malam begini aku harus dibangunkan?”

“Ya, sangat penting”

Terdengar langkah Ki Jagabaya menuju ke pintu pringgitan. Kemudian terdengar pula selarak pintu diangkat. Sesaat kemudian, maka pintu pringgitan itu pun terbuka. Ki Jagabaya berdiri di pintu, di tangannya digenggamnya keris yang sudah telanjang.

Sejenak Ki Jagabaya mengamati dua orang yang berdiri termangu-mangu di pringgitan. Seorang di antaranya memang dikenalnya sebagai pembantu Ki Bekel.

“Ada apa sehingga kau bangunkan aku malam-malam?”

“Ada beberapa orang perampok di rumah Ki Bekel”

“Perampok?”

“Ya. Seorang di antara mereka terbunuh oleh Ki Bekel. Dua orang diikat pada pohon yang ada di halaman”

“Baik. Baik. Aku akan pergi”

“Ki Bekel minta Ki Jagabaya singgah sebentar di rumah Ki Kamituwa”

“Kenapa bukan kau saja?”

“Aku akan pergi ke rumah Trima”

“Kenapa dengan Trima?”

“Ki Bekel minta Trima memberitahukan kawan-kawannya tentang rajapati yang terjadi di rumah Ki Bekel”

“Bukankah lebih penting Ki Kamituwa dan bebahu yang lain?”

“Ki Bekel minta Ki Jagabaya melakukannya. Aku harus memberi tahu Trima. Sedangkan Trima juga harus memberitahu beberapa orang kawannya”

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Baik. Baik. Aku singgah di rumah Ki Kamituwa”

Pembantu di rumah Ki Bekel itu pun segera minta diri. Masih diantar Paksi, orang itu pergi ke rumah salah seorang anak muda yang di keesokan harinya berjanji untuk berada di gumuk kecil.

Sementara itu Ki Jagabaya telah berbenah diri sambil bersungut, “Enak-enaknya orang tidur. Kenapa Ki Bekel tidak memanggil aku besok pagi saja?”

Nyi Bekel yang duduk sambil menggeliat di bibir pembaringannya berkata, “Dinginnya malam ini, Kang”

“Tidurlah. Aku sebenarnya juga malas keluar di malam seperti ini. Aku sudah mulai mengantuk lagi”

Nyi Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru harus bangkit dan melepas Ki Jagabaya di pintu pringgitan, karena ia harus menyelarak pintu dari dalam.

Ki Jagabaya yang menyelipkan keris di pinggangnya, berjalan di dalam gelapnya malam dengan malasnya. Ki Jagabaya sama sekali tidak takut seandainya ia bertemu dengan salah seorang perampok di jalan padukuhan. Tetapi yang sangat mengganggunya adalah kemalasan berjalan di dinginnya malam.

Ketika ia membangunkan Ki Kamituwa, maka seperti juga Ki Jagabaya, maka Ki Kamituwa itu pun mengeluh karena ia harus bangun di dinginnya malam.

“Ki Bekel tidak pernah memberikan perintah seperti ini” berkata Ki Kamituwa.

“Tentu anak-anak yang bertualang itulah yang telah mempengaruhi Ki Bekel” desis Ki Jagabaya.

Namun Ki Jagabaya itu pun kemudian berkata, “Tetapi menurut pembantunya, di rumah Ki Bekel itu terjadi perampokan. Seorang di antaranya telah terbunuh oleh Ki Bekel”

“Itu pun tidak pernah terjadi sebelumnya”

Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa sebagaimana diminta oleh Ki Bekel, telah singgah di rumah beberapa orang bebahu.

Betapapun segannya, namun para bebahu itu harus pergi ke rumah Ki Bekel.

Untuk menghilangkan keseganan dan kemalasan mereka, maka para bebahu itu telah membangunkan dan mengajak tetangga-tetangga mereka pergi ke rumah Ki Bekel untuk melihat apa yang telah terjadi.

Dalam pada itu, pembantu di rumah Ki Bekel itu telah membangunkan Trima yang tidur nyenyak.

“Apakah sekarang sudah hampir fajar?” bertanya Trima.

“Belum. Tetapi sesuatu telah terjadi di rumah Ki Bekel”

“Apa?”

“Perampokan. Seorang di antara para perampok itu terbunuh”

Trima mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Baik. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel”

“Ajak kawan-kawanmu” berkata Paksi. “Dengan demikian, mungkin sekali kerja kita tertunda. Atau kita mulai dari kerja yang dapat dilakukan lebih dahulu”

“Baik. Aku akan mengajak kawan-kawanku yang seharusnya esok mulai dengan kerja. Sebenarnya apa  pun yang dapat kami lakukan, akan kami lakukan besok. Jika niat yang sudah bergejolak ini tertunda lagi, mungkin lusa gemuruh di dada kami sudah mereda”

“Kami mengerti”

Malam itu ternyata banyak orang yang berkumpul di halaman rumah Ki Bekel. Bukan saja para bebahu, tetapi banyak pula tetangga-tetangga Ki Bekel dan anak-anak muda yang berdatangan. Meskipun mereka merasa segan untuk keluar di malam yang dingin, serta kemalasan mereka mengatasi perasaan kantuk, namun perampokan adalah satu peristiwa yang sangat jarang terjadi. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa salah seorang di antara para perampok itu telah terbunuh oleh Ki Bekel sedangkan dua orang perampok yang lain telah tertangkap dan masing-masing diikat pada sebatang pohon.

Dalam kesibukan itu, Ki Bekel menyempatkan diri berbicara dengan anak-anak muda yang di keesokan harinya akan mulai dengan kerja mereka.

“Jika kerja ini tertunda” berkata Trima, “maka gelora di dalam hati mereka akan mereda, sehingga untuk mengangkatnya kembali diperlukan waktu”

“Baiklah” berkata Ki Bekel, “besok kalian pergi saja ke gumuk kecil. Mulailah dengan kerja itu bersama Wijang dan Paksi. Aku akan menyelesaikan persoalan yang terjadi malam ini. Aku harus melapor kepada Ki Demang. Kemudian menguburkan orang yang terbunuh itu. Mungkin aku harus memberikan penjelasan, apakah peristiwa ini berdiri sendiri, atau mungkin dapat dihubungkan dengan perampokan yang pernah terjadi di padukuhan lain”

Trima itu pun kemudian berpaling kepada Wijang dan Paksi. Sementara itu, seorang kawannya bertanya, “Apakah Wijang dan Paksi harus berada di rumah Ki Bekel? Mungkin mereka harus menjawab beberapa pertanyaan pula”

“Tetapi akulah yang telah membunuh. Wijang dan Paksi memang terlibat dalam perkelahian. Tetapi mereka hanya membela diri saja”

“Bukankah orang-orang yang mengaku dari Kademangan Randucawang itu datang untuk mencari Wijang dan Paksi?”

“Aku akan dapat memberikan penjelasan kepada Ki Demang. Tetapi mungkin pula aku harus pergi ke Randucawang untuk mengundang Ki Demang Randucawang jika bersedia. Biarlah Ki Demang Randucawang melihat, apakah orang yang terbunuh itu orang Randucawang atau bukan. Jika orang itu memang orang Randucawang, maka aku pun harus memberi penjelasan kepada Ki Demang di Randucawang. Mungkin Wijang dan Paksi memang diperlukan untuk memberikan keterangan. Tetapi jika keduanya harus ada, maka biarlah mereka dipanggil. Tetapi sebelumnya, ia dapat bekerja bersama anak-anak di gumuk kecil itu”

“Baiklah, Ki Bekel. Tetapi jika benar orang-orang ini ada hubungannya dengan keberatan Wandawa dan ayahnya, maka akan dapat terjadi sesuatu di gumuk kecil itu”

“Wijang dan Paksi akan membantu mengatasinya”

“Tetapi mereka orang asing bagi kita”

“Seorang bebahu akan pergi bersama kalian”

Trima mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, apakah kami diperbolehkan pulang sekarang agar kami dapat tidur lagi? Besok kami harus bangun pagi-pagi sekali”

“Sudah waktunya untuk tidak bermalas-malasan lagi sekarang” berkata Ki Bekel.

Trima mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Namun dalam pada itu, sebelum Trima dan kawan-kawannya meninggalkan rumah Ki Bekel, Ki Jagabaya dengan wajah yang tegang menemui Ki Bekel di pendapa sambil berkata, “Ki Bekel, kedua orang yang terikat di pohon itu mati”

“Mati? Bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

“Aku tidak tahu, tetapi keduanya telah mati”

Ki Bekel pun segera meloncat turun ke halaman diikuti oleh Wijang, Paksi dan anak-anak muda yang ada di pendapa. Sebenarnyalah kedua orang yang masing-masing terikat pada sebatang pohon itu telah meninggal. Wijang dan Paksi menemukan luka yang menganga di dada yang agaknya telah menembus jantung mereka.

Ki Bekel menjadi tegang. Katanya, “Keduanya akan menjadi sumber keterangan, siapakah yang menggerakkan mereka datang kemari malam ini”

“Terlalu banyak orang berkerumun, Ki Bekel. Sehingga aku tidak melihat seseorang yang telah menusuk dada orang itu”

“Tentu kawan-kawannya sendiri” geram Ki Bekel. “Dengan demikian mereka tidak akan dapat berceritera tentang seseorang yang memerintahkan mereka datang malam ini kemari”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka telah menutup jalur untuk menelusuri, siapakah yang berada di balik kehadiran mereka. Ternyata orang yang mengupah orang-orang itu adalah orang yang berperhitungan jauh tanpa menghiraukan nilai nyawa seseorang. Mereka menganggap bahwa kepentingan mereka jauh lebih berharga dari tiga nyawa orang-orang upahannya”

“Mereka sudah terlanjur menapak. Karena itu, maka untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang bertentangan dengan paugeran, maka mereka harus melakukan pelanggaran-pelanggaran berikutnya” sahut Paksi.

Terasa jantung Ki Bekel berdegup semakin cepat. Namun dengan geram Ki Bekel itu pun berkata kepada Trima, “Besok, kau dan kawan-kawanmu harus mulai dengan kerja itu. Biarlah Wijang dan Paksi bersama kalian. Justru usaha untuk menggagalkan kerja itu harus menjadi cambuk bagi kita. Biarlah aku yang mengurus orang-orang yang terbunuh di halaman rumahku ini. Aku akan berbicara dengan Ki Demang. Juga Ki Demang Randucawang. Karena orang-orang ini mengaku orang Randucawang”

Trima mengangguk-angguk. Sebagai anak muda ia pun merasa tertantang untuk melaksanakan rencananya. Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Bekel itu akan menjadi pemacu kerja yang akan dilakukannya.

“Bukan waktunya lagi untuk bermalas-malas. Kemalasan kita tidak akan pernah memberikan harapan cerah bagi anak cucu kita” berkata Trima di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka Ki Bekel justru telah minta agar anak-anak muda yang besok pagi akan pergi ke gumuk kecil itu pulang. “Tidurlah jika masih sempat. Besok kalian akan mulai dengan kerja besar kalian”

Trima dan kawan-kawannya pun segera meninggalkan halaman rumah Ki Bekel. Peristiwa di halaman rumah Ki Bekel itu justru telah mendera mereka untuk melaksanakan rencana mereka.

“Aku sependapat dengan Ki Bekel” berkata Trima yang sudah berbicara panjang dengan Ki Bekel, Wijang dan Paksi.

“Kedatangan orang-orang itu tentu ada hubungannya dengan rencana pembuatan talang air yang akan kita kerjakan esok”

“Ya” sahut kawannya. “Alasan mereka untuk menangkap perampok di Randucawang tentu alasan yang dibuat-buat. Menurut Ki Bekel, mereka tentu bukan orang-orang Randucawang”

“Ki Bekel tentu akan menyelesaikan masalah itu dengan tuntas. Tugas kita adalah membuktikan, bahwa air itu dapat disalurkan dengan cara yang bermacam-macam ke bulak-bulak kita yang kering”

Dalam pada itu, Ki Bekel pun telah minta agar Wijang dan Paksi beristirahat karena esok pagi mereka juga akan pergi ke gumuk kecil. Tetapi Wijang dan Paksi menggeleng sambil tersenyum. Dengan nada datar Wijang menjawab, “Kami sudah terbiasa tidak tidur semalam suntuk, Ki Bekel”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Kalian tentu tahu apa yang harus kalian lakukan, karena kalian adalah pengembara yang sudah terbiasa menentukan sikap kalian sendiri”

“Ya, Ki Bekel”

Dalam pada itu, maka kedua orang tawanan yang masing-masing terikat pada sebatang pohon, namun yang kemudian diketemukan telah meninggal itu pun telah ditempatkan di pendapa pula, sehingga di atas tikar pandan yang dibentangkan di pendapa, terbujur tiga sosok mayat yang tidak dikenal.

Malam itu Ki Bekel, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Di dini hari, para bebahu itu tertidur sambil bersandar dinding di pringgitan. Beberapa orang masih berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi.

Ki Bekel dan Ki Jagabayalah yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang berdatangan itu.

“Perintahkan mereka untuk bangun, Ki Bekel” berkata Ki Jagabaya ketika ia melihat para bebahu yang tertidur.

“Biarlah mereka beristirahat. Biarlah besok mereka sibuk pada saat penguburan ketiga orang itu”

“Bukankah kita menunggu Ki Demang?”

“Ya. Ki Demang dan Ki Demang Randucawang. Besok pagi-pagi aku akan menemui Ki Demang dan langsung ke Randucawang”

Tetapi Ki Jagabaya ternyata tidak membiarkan mereka tidur lebih lama lagi. Ketika Ki Bekel baru sibuk berbicara dengan beberapa orang yang berdatangan, maka Ki Jagabaya pun telah membangunkan mereka.

“Ki Jagabaya mengejutkan aku” desis Ki Kebayan.

“Bangun. Jangan hanya aku dan Ki Bekel saja yang harus berjaga-jaga semalam suntuk. Kita dapat bergantian”

Ki Kebayan menguap. Katanya, “Baiklah. Silahkan Ki Jagabaya beristirahat. Biarlah aku menemani Ki Bekel”

Tetapi Ki Jagabaya bersungut sambil berkata, “Langit sudah menjadi merah. Bagaimana mungkin aku dapat beristirahat?

Sebentar lagi matahari terbit. Ki Bekel akan menemui Ki Demang dan Ki Demang dari Randucawang”

Ki Kebayan tidak menjawab. Ia hanya menguap. Namun kemudian matanya telah terpejam lagi sambil bersandar dinding.

Ki Jagabaya menghentakkan kakinya. Tetapi Ki Kebayan itu sudah lelap.

“Orang-orang malas” geram Ki Jagabaya. Apalagi ketika ia melihat Ki Kamituwa yang tidur di sudut pringgitan. Nampaknya nyenyak sekali.

Tetapi Ki Jagabaya tidak sempat membangunkannya. Ia pun harus segera turun ke halaman ketika Ki Bekel memanggilnya. Ketika Ki Jagabaya itu melangkah mendekati Ki Bekel yang berada di antara beberapa orang yang datang, ia pun melihat Ki Cakrajaya bersama anak laki-lakinya, Wandawa.

“Selamat malam, Ki Jagabaya” berkata Ki Cakrajaya.

Ki Jagabaya mengangguk hormat sambil menjawab, “Selamat malam, Ki Cakrajaya”

“Aku baru saja mendengar bahwa telah terjadi perampokan di rumah ini”

“Ya, Ki Cakrajaya. Tiga orang telah terbunuh” jawab Ki Jagabaya.

Namun Ki Bekel pun segera menyahut, “Sebenarnya bukan perampokan, Ki Cakrajaya”

“Jadi apa?”

“Ada beberapa orang yang datang untuk mencari kedua orang pengembara yang kebetulan bermalam di rumahku ini. Mereka mengaku orang dari Randucawang”

“O” Ki Cakrajaya mengangguk-angguk.

Sementara itu Ki Bekel pun bertanya, “Ki Cakrajaya, bukankah Ki Cakrajaya mempunyai banyak kenalan di Kademangan Randucawang? Nah, apakah orang-orang itu benar-benar orang Randucawang?”

“Aku memang mengenal banyak orang Randucawang, Ki Bekel. Tetapi kenalanku adalah orang-orang terpandang. Jika mereka orang-orang yang hidupnya berada di tataran rendahan, aku tentu belum mengenal mereka”

“Tetapi mungkin Ki Cakrajaya pernah melihatnya”

Ki Cakrajaya termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Bekel pun berkata, “Marilah, silahkan melihat ketiga sosok mayat itu, Ki Cakrajaya”

Ki Cakrajaya tidak dapat mengelak. Ia pun kemudian melihat ketiga sosok tubuh yang terbujur membeku. Nampak ketegangan membayang di wajah Ki Cakrajaya.

Demikian pula wajah Wandawa. Bahkan kemudian Wandawa pun segera meninggalkan ketiga sosok mayat itu dan kembali turun ke halaman.

Ki Cakrajaya menggeleng. Katanya, “Aku belum pernah melihat mereka”

“Kami telah kehilangan jejak” berkata Ki Bekel.

“Maksud Ki Bekel?”

“Sebenarnya dua orang di antara mereka dapat kami tangkap hidup-hidup. Agar mereka tidak melarikan diri, maka mereka kami ikat pada batang pohon yang tumbuh di halaman. Namun ternyata di antara sekian banyak orang yang berkerumun untuk melihat kedua orang perampok itu, adalah justru kawan mereka.

Dengan tanpa menghargai nyawa kawan-kawannya sendiri, mereka telah menusuk dada kedua orang itu sampai ke jantung, sehingga kedua orang itu pun telah meninggal pula”

“Kematian mereka adalah tanggung jawab Ki Bekel”

“Kenapa tanggung jawabku?”

“Keduanya sudah menjadi tawanan Ki Bekel ketika mereka masih hidup. Mereka pun terikat sehingga mereka tidak dapat melindungi diri mereka sendiri. Karena itu, maka seharusnya Ki Bekel melindungi mereka dari kemarahan rakyat padukuhan ini”

“Bukan rakyat padukuhan ini yang telah membunuhnya, Ki Cakrajaya”

“Jadi siapa?”

“Jika rakyat padukuhan ini yang membunuhnya, maka bekas penganiayaan yang ada pada tubuh orang itu, tentu tidak seperti yang kita lihat. Luka tusukan di dadanya itulah yang telah membunuhnya”

“Mungkin saja orang padukuhan ini yang marah telah menusuk dada kedua orang itu”

“Mereka tidak akan melakukannya”

“Jadi menurut Ki Bekel, siapakah yang telah membunuhnya?”

“Seperti sudah aku katakan. Kawan-kawannya sendiri”

“Tidak masuk akal, bahwa kawan-kawannya sendiri telah membunuhnya”

“Kenapa tidak masuk akal? Justru dugaan itulah yang paling masuk akal. Mereka berusaha menghilangkan jejak, siapakah yang telah mengupah mereka untuk datang kemari”

“Mereka datang untuk merampok. Siapakah yang telah mengupahnya?”

“Sudah aku katakan pula. Mereka tidak datang untuk merampok. Tetapi mereka datang untuk menangkap kedua orang pengembara itu dan mengaku orang-orang Randucawang”

Ki Cakrajaya termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi tentang ketiga orang yang terbunuh itu. Bahkan kemudian Wandawa telah mengajak ayahnya itu untuk pulang saja.

Beberapa saat kemudian, maka langit pun menjadi terang. Ki Bekel pun segera bersiap untuk pergi ke rumah Ki Demang untuk melaporkan peristiwa yang telah terjadi di rumahnya.

Kepada Wijang dan Paksi, Ki Bekel itu berkata, “Pergilah ke gumuk itu. Mudah-mudahan anak-anak itu tidak terlambat bangun dan datang terlalu siang. Pergilah bersama Ki Kebayan”

“Baik, Ki Bekel” sahut Wijang.

“Aku akan menemui Ki Demang dan Ki Demang Randucawang”

Demikian Wijang dan Paksi meninggalkan rumah Ki Bekel, maka Ki Bekel pun telah pergi pula ke rumah Ki Demang. Agar perjalanannya menjadi lebih cepat, maka Ki Bekel pun telah naik kuda.

Ketika Wijang dan Paksi sampai di gumuk kecil, cahaya matahari sudah mulai nampak. Baru setelah menunggu beberapa saat, beberapa orang anak muda mulai berdatangan.

“Maaf, aku terlambat sedikit” desis Trima. “Sejak dari rumah Ki Bekel aku tidak dapat tidur lagi. Namun menjelang fajar aku justru tertidur sesaat. Untunglah aku segera terbangun oleh kegelisahanku sendiri serta mimpi yang mencengkam”

“Kami juga baru datang” jawab Paksi.

“Apakah kalian juga tertidur menjelang fajar?”

“Tidak. Kami tidak tidur sama sekali”

“Kalian tidak merasa mengantuk? Aku yang sempat tidur sesaat masih merasa sangat mengantuk”

“Jika kita mulai dengan kerja kita, perasaan kantuk itu akan segera hilang”

Trima mengangguk-angguk. Kawan-kawannya duduk bertebaran di atas rerumputan kering dan batu-batu padas. Nampaknya mereka masih saja malas untuk mengerjakan sesuatu. Bahkan masih ada di antara mereka yang menguap sambil menggosok matanya.

Tetapi ternyata Trima sudah berhasil menambah jumlah anak-anak muda yang bersedia bekerja bersamanya.

“Mumpung masih pagi. Marilah, kita mulai dengan kerja besar kita sambil berdoa di dalam hati kita masing-masing, agar kerja kita dapat menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan rakyat padukuhan kita yang kering, tandus dan miskin ini” berkata Wijang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, anak-anak muda itu mulai dengan kerja mereka. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah mempersiapkan tempat penampungan air yang akan mereka alirkan dengan talang bambu ke kotak sawah terdekat yang tanahnya menjadi pecah-pecah dan kering.

“Aku Sudah menghubungi Mbah Rejeb” berkata Trima.

“Apa katanya?” bertanya seorang kawannya.

“Mbah Rejeb nampak acuh tak acuh. Ia pun menganggap bahwa kami sedang bermimpi”

“Tetapi bukankah Mbah Rejeb tidak keberatan?”

“Tidak. Meskipun ia tidak menyambut rencana itu dengan harapan, tetapi ia tidak menolak”

“Yang penting, Mbah Rejeb tidak menolak bahwa sawahnya akan menjadi kotak percobaan dengan talang air yang akan kita buat”

Sementara tempat penampungan itu disiapkan, Paksi pun berkata, “Marilah, sebagian dari kita pergi ke hutan bambu. Kita akan menebang bambu yang sudah tua. Kita akan membawanya kemari dan mengerjakannya menjadi talang-talang air”

Beberapa orang di antara anak-anak muda itu bersama Paksi telah pergi ke hutan bambu yang berada tidak terlalu jauh dari tempat itu. Hutan bambu itu masih berada di dalam lingkungan padukuhan, sehingga anak-anak muda itu merasa menebang milik mereka sendiri. Apalagi hutan bambu itu seakan-akan tidak dihiraukan lagi. Beberapa padukuhan yang memerlukan bambu juga mengambil bambu di hutan jika bambu di kebun mereka sendiri tidak mencukupi.

Namun ketika sekelompok anak-anak muda itu mendekati hutan bambu yang lebat itu, mereka nampak ragu-ragu. Hutan bambu itu menjadi bagian dari hutan lereng gunung yang lebat yang memanjang, berhubungan dengan hutan yang menjadi wilayah kademangan tetangganya.

“Di hutan itu terdapat binatang buas” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya” sahut yang lain. “Harimau loreng di hutan itu terkenal garang dan buas”

Anak-anak muda itu memperlambat langkah mereka sehingga Paksi berjalan di paling depan.

“Paksi” berkata salah seorang di antara anak-anak muda itu pula, “kita harus menjadi sangat berhati-hati. Jika ada harimau lapar, sementara angin yang membawa bau keringat kita berhembus ke hutan itu, maka harimau itu akan mencari kita”

“Biarlah harimau itu mencari kita. Tetapi kita tidak mencari harimau itu”

“Seseorang di antara kita akan diterkamnya”

“Bukankah kita tidak sendiri? Sementara kita masing-masing membawa parang”

“Maksudmu, apakah kita akan melawan harimau itu?”

“Tentu. Bukankah kita tidak ingin membiarkan hidup kita diakhiri oleh taring harimau itu seandainya benar-benar ada seekor harimau yang mendatangi kita?”

“Apakah kita akan dapat melawan seekor harimau meskipun kita berlima?”

“Enam orang. Bukankah kita berenam? Apakah aku tidak dihitung?” bertanya Paksi.

“Ya. Meskipun kita berenam, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Seandainya kita tidak dapat melawan harimau itu, maka di hutan bambu, kita mempunyai banyak kesempatan untuk menghindar. Harimau itu tentu juga tidak akan dapat berjalan di dalam rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sementara kita mempunyai akal yang tidak dimiliki oleh seekor harimau”

“Tetapi naluri harimau itu justru lebih berarti dari akal kita jika kita berada di tengah-tengah hutan bambu”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang akan mengangguk kita. Biasanya harimau akan menjauhi manusia. Hanya harimau yang tua, lemah dan kelaparan sajalah yang sering memburu manusia, karena tidak lagi mampu memburu seekor kijang. Dengan demikian, harimau yang akan mendekat, tentu seekor harimau yang sudah lemah”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar