ADBM4-354


<<kembali | lanjut >>

KAU jangan terlalu sombong Ki Lurah. Kau sekarang bukan apa-apa lagi di sini. Kami tidak lagi mengagumimu sebagai seorang yang tidak dapat dikalahkan karena ilmumu yang tinggi. Disini ada orang yang ilmunya lebih tinggi dari ilmumu dan ilmu Glagah Putih.”

“Aku tahu. Tetapi aku datang tidak untuk memperbandingkan ilmu. Tetapi aku ingin berbicara atas nama Ki Gede Menoreh.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka berpaling. Terdengar suara orang tertawa.

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih menarik nafas panjang. Mereka melihat Soma dan Tumpak berjalan di belakang kerumunan anak-anak muda yang menjejali pintu gerbang padukuhan induk.

“Selamat datang di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Lurah Agung Sedayu dan kau Glagah Putih. Sepasang orang asing yang telah lama menjadi penghuni Tanah Perdikan ini.”

Keduanya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Soma dan Tumpak melangkah mendekati mereka.

“Apakah benar menurut pendengaranku kalian berdua ingin bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Prastawa yang sedang mempersiapkan diri untuk mengambil alih kepemimpinan di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya. Kami ingin bertemu dengan Ki Demang dan Prastawa.”

“Baiklah. Marilah. Bersama kami berdua kalian tidak akan diganggu.”

“Terima kasih,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan mengikuti Soma dan Tumpak. Kepada anak-anak muda di pintu gerbang Soma berkata, “Beri mereka kesempatan untuk menghadap pimpinan Tanah Perdikan ini.”

Jantung Glagah Putih mulai bergejolak. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia sadar sepenuhnya, bahwa bersama Agung Sedayu mereka mengemban tugas untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun telah berada di rumah Ki Demang di Pudak Lawang. Keduanya duduk di pringgitan di temui oleh Ki Demang dan Ki Kapat Argajalu.

“Dimana Prastawa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ki Prastawa sedang mengadakan peninjauan keliling di beberapa padukuhan,” jawab Ki Demang Pudak Lawang. “Ki Prastawa sedang meyakinkan, apakah segala sesuatunya benar-benar sudah bersiap untuk mengambil langkah selanjutnya.”

“Langkah apa?” bertanya Ki Lurah.

Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Kapat Argajalu tertawa.

“Kenapa kau masih bertanya Ki Lurah. Kau adalah seorang Lurah Prajurit. Kau tentu tahu, bagaimana jawaban dari pertanyaanmu itu,” berkata Ki Kapat.

“Tegasnya kalian benar-benar akan melawan kuasa Ki Gede?”

“Sama sekali tidak,” jawab Ki Demang. “kami justru sedang menyongsong langkah besar yang akan dilakukan oleh Ki Gede. Menyerahkan kekuasaan atas Tanah Perdikan ini kepada kemanakannya, Ki Prastawa. Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali Ki Prastawa yang akan dapat menggantikan kedudukan Ki Gede. Bukan anak Sangkal Putung itu, atau keturunannya.”

“Apakah tidak ada orang yang dapat menyusul Prastawa sekarang?”

“Ki Prastawa tidak suka diganggu. Ia akan dapat menjadi marah jika seseorang menyusulnya pada saat ia sedang melihat-lihat keadaan di padukuhan-padukuhan.”

“Supaya dikatakan kepadanya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu ingin menemuinya.”

Ki Kapat Argajalu tertawa. Katanya, “Kau anggap dirimu siapa sehingga dengan menyebut namamu Ki Prastawa akan bersedia meninggalkan tugasnya? Kau bukan apa-apa baginya. Meskipun ada sepuluh Agung Sedayu datang mencarinya angger Prastawa tidak akan kembali sebelum ia berniat kembali. Kau jangan merasa bahwa kau mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap angger Prastawa itu.”

Ki Lurah mengerutkan dahinya, sementara Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “jika aku tidak dapat berbicara dengan Prastawa, maka aku akan berbicara saja dengan Ki Demang di Pudak Lawang.”

“Ki Lurah akan berbicara tentang apa? Tentang sikapku yang mendukung agar Ki Prastawa segera mengambil alih kekuasaan?”

“Ya. Apakah sikap itu Ki Demang menganggapnya benar?”

“Tentu saja aku menganggapnya benar. Jika tidak, aku tentu tidak akan melakukannya.”

“Belum tentu Ki Demang. Ada orang yang meskipun menyadari bahwa yang dilakukan itu salah, namun ia melakukannya juga.”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jadi Ki Lurah menyalahkan aku? Apa hak Ki Lurah menyatakan aku bersalah?”

“Siapa yang mengatakan Ki Demang bersalah? Aku hanya menanggapi kata-kata Ki Demang. Aku hanya mengatakan bahwa ada orang yang meskipun tahu, bahwa tindakannya salah, tetapi dilakukannya juga.”

“Tentu Ki Lurah telah menuduh aku.”

“Baiklah. Jika Ki Demang merasa telah aku tuduh bersalah. Sebaiknya aku mengatakan terus-terang, bahwa sebaiknya Ki Demang menilai kembali sikap Ki Demang. Biarlah Prastawa menyelesaikan persoalannya dengan pamannya. Biarlah mereka menemukan jalan ke luar terbaik. Nah. kewajiban Ki Demang adalah ikut menyelamatkan jalan ke luar yang terbaik itu. Tetapi jika Ki Demang mengambil langkah seperti ini, maka langkah Ki Demang itu hanya akan mempertajam persoalan saja.”

“Ki Lurah telah memperkecil arti sikap seseorang. Ki Prastawa sudah berbicara panjang dengan Ki Gede. Namun hasil pembicaraannya itu sama sekali tidak memuaskan Ki Prastawa, sehingga akhirnya Ki Prastawa telah memilih jalan yang sekarang dilakukannya itu.”

“Jangan mencoba memutar balikkan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Ki Demang. Apakah kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa Prastawa tidak datang ke Pudak Lawang dengan suka rela.”

“Maksud Ki Lurah?”

“Bertanyalah kepada Ki Kapat Argajalu.”

“Apa yang sebenarnya terjadi Ki Kapat Argajalu.”

“Aku tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Ki Lurah.”

“Baik. Baik,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “segala sesuatunya sudah tidak lagi berdasar pada kebenaran. Tetapi aku masih minta Ki Demang untuk membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Jika perselisihan ini menjadi semakin tajam sehingga akhirnya terjadi benturan kekerasan, apakah Ki Demang tidak merasa sangat kehilangan. Mungkin anak-anak muda yang berada di halaman itu. Mungkin sanak kadang yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Di luar sadarnya ia memandangi anak-anak muda yang ada di halaman. Jika benar-benar terjadi perang, memang mungkin saja mereka terbunuh sehingga mereka tidak akan pernah dapat dilihatnya lagi.

Karena Ki Demang tidak segera menjawab, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata pula, “Pantaskah seandainya benar Prastawa menginginkan warisan kedudukan Ki Gede Menoreh, maka kademangan Pudak Lawang harus mengorbankan anak-anak muda yang terbaik? Imbangkah hasil yang ingin dicapai dengan pengorbanan yang harus diberikan?”

Pertanyaan itu ternyata telah memaksa Ki Demang untuk merenung. Namun Ki Kapat Argajalu sambil tertawa menyahut, “Ki Lurah. Tidak ada nilai-nilai yang akan dapat dicapai tanpa berani berkorban. Demikian pula tegaknya keadilan di Tanah Perdikan ini. Prastawa harus berani merebut warisan yang memang menjadi haknya dari tangan anak Sangkal Putung itu. Tanpa pengorbanan, maka Prastawa tidak akan pernah mendapatkan haknya. Sampai mati sekalipun.”

“Jika kita berbicara tentang hak, Ki Kapat Argajalu, bertanyalah pula Ki Demang Pudak Lawang, siapakah yang berhak menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh mempunyai seorang anak perempuan. Anak perempuan itu sudah bersuami. Suaminya namanya Swandaru. Nah, Ki Demang. Siapakah yang berhak mewarisi kedudukan Ki Gede Menoreh?”

Wajah Ki Demang menjadi tegang.

“Jangan mengada-ada Ki Lurah. Semuanya sudah siap. Perjuangan sudah dimulai. Jangan mementahkan persiapan yang sudah matang ini.”

“Tidak. Aku hanya ingin berbicara tentang hak. Jika Prastawa berjuang untuk mendapatkan haknya, apakah hak Prastawa yang sebetulnya?”

“Sudah cukup, Ki Lurah. Ki Lurah tidak perlu berbicara tentang hak disini. Aku persilahkan Ki Lurah meninggalkan kademangan ini.”

“Siapa yang mempersilahkan aku pergi? Kau? Nah, apakah hakmu mempersilahkan aku pergi dari rumah Ki Demang Pudak Lawang ini?”

Namun tiba-tiba saja Ki Demang itu pun menyahut, “Baik. Aku yang berhak mempersilahkan Ki Lurah meninggalkan rumahku.”

“Jadi Ki Demang juga mengusir aku?”

“Ya.”

“Baiklah. Sebenarnya aku masih berharap untuk dapat meredakan perjuangan yang sia-sia ini. Anak-anak Tanah Perdikan akan menjadi korban. Sedang orang lain yang akan menikmati hasilnya meskipun tangannya akan bersimbah dengan darah anak-anak Tanah Perdikan ini.”

“Sudahlah Ki Lurah. Kau tidak usah menyindir. Mumpung masih dapat, pergilah. Jika aku kau anggap tidak berhak mengusirmu, maka Ki Demang juga sudah mengusirmu.”

Jantung Glagah Putih hampir meledak. Ia tidak sesabar Agung Sedayu. Karena itu, maka hampir saja Glagah Putih tidak tahan menerima perlakuan seperti itu.

Namun meskipun rasa-rasanya jantungnya telah ditikam dengan sembilu, namun ia masih harus berusaha menahan diri.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah, Ki Demang. Aku minta diri. Tetapi pesanku, pandanglah rakyatmu seorang demi seorang dengan saksama. Sebagian diantara mereka, tidak akan pernah dapat kau jumpai lagi berjalan menyusuri jalan utama di padukuhan indukmu ini.”

Ki Demang tidak menjawab. Sementara itu Ki Lurah dan Glagah Putih pun segera beringsut dan bangkit berdiri.

“Aku minta diri. Masih ada waktu bagi Ki Demang untuk berbicara dengan jujur dan terbuka dengan Prastawa.”

Ki Demang masih tetap berdiam diri.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meninggalkan halaman rumah Ki Demang.

Kuda-kuda mereka pun kemudian berderap berlari di jalan utama padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.

“Rasa-rasanya aku ingin berteriak keras sekali,” berkata Glagah Putih, “dadaku hampir saja meledak.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau harus dapat menguasai perasaanmu. Kau harus mempunyai keseimbangan antara perasaan dan nalarmu. Jika tidak, maka akan terjadi kesulitan di dalam dirimu sendiri.”

“Tetapi sikap mereka sangat menyakitkan hati.”

“Ya. Meskipun demikian, bukan seharusnya kita kehilangan kendali.”

Glagah Putih terdiam.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di gerbang padukuhan. Anak-anak muda di pintu gerbang itu pun menyibak.

Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu yang lewat di pintu gerbang itu justru melambaikan tangannya sambil tertawa kepada anak-anak muda itu.

“Apa khabar anak-anak muda?” bertanya Ki Lurah.

“Baik, Ki Lurah,” jawab beberapa anak muda hampir berbareng.

“Lama kita tidak bertemu. Kapan-kapan aku akan kembali lagi kemari,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Ketika Ki Lurah datang, maka nampak wajahnya yang muram dan bersungguh-sungguh. Tetapi ketika Ki Lurah itu pulang, wajahnya nampak terang dan tawa serta senyumnya menghiasi bibirnya.

“Marilah anak-anak. Aku undang kalian berkunjung ke padukuhan induk Tanah Perdikan.”

Anak-anak muda itu tidak ada yang menjawab. Mereka memang tidak mengetahui apa maksud Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya dengan ajakannya itu.”

Bahkan Ki Lurah itu sempat menghentikan kudanya sejenak. Kepada anak-anak muda itu Ki Lurah berkata, “Sayang. Agaknya ada sedikit kesalah pahaman terjadi disini. Tetapi bagaimanapun juga kalian adalah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.”

Anak-anak muda itu di luar sadarnya mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara Kayun yang datar, “Apa maumu Ki Lurah? Kau akan menghasut anak-anak muda Pudak Lawang. Jika kau sudah berhasil bertemu dengan Ki Demang, sebaiknya kau segera pergi.”

Hampir saja Glagah Putih meloncat turun. Namun Agung Sedayu itu pun berdesis, “Ia masih terlalu kanak-kanak, Glagah Putih. Bukan umurnya, tetapi ilmu serta pengalamannya. Tidak sepatutnya kau melayaninya.”

Glagah Putih menggeram. Ususnya tidak sepanjang usus Agung Sedayu. Ia dapat bersabar. Tetapi tidak sejauh yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

“Marilah kita pergi,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Sudahlah anak-anak muda,” berkata Agung Sedayu sambil tersenyum, “berlatihlah dengan baik. Tetapi tempatkan pula dirimu dengan baik.”

“Cukup, pergilah,” bentak Kayun.

Ternyata Glagah Putih benar-benar tidak dapat menahan lagi gejolak di dadanya. Tiba-tiba saja, masih duduk di punggung kudanya ia mengangkat tangannya. Sepasang telapak tangannya dihentakkannya kearah dahan sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh dekat di pintu gerbang padukuhan induk itu.

Semua orang yang ada di dekat pintu gerbang itu terkejut. Kayun pun terkejut.

Dahan yang besar itu tiba-tiba berderak patah menimpa dinding halaman di tepi jalan. Bagian dinding yang tertimpa dahan itu pun roboh.

Kuda Glagah Putih pun terkejut pula, sehingga kuda itu meringkik keras-keras sambil berdiri diatas kedua kaki belakangnya, sedangkan kedua kaki depannya diangkatnya tinggi-tinggi.

Tetapi Glagah Putih sudah mengenal kudanya dengan baik. ia pun segera dapat menguasai kudanya. Dengan geram Glagah Putih itu pun berkata lantang, “Siapa yang masih menyinggung harga diriku, akan aku pecahkan kepalanya.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “marilah kita tinggalkan tempat ini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ketika kuda Agung Sedayu berjalan meninggalkan regol padukuhan induk kademangan Pudak Lawang, maka Glagah Putih pun mengikuti pula.

Ketika mereka sampai di bulak, Agung Sedayu pun berkata. “Sebenarnya kau tidak perlu melakukannya. Glagah Putih.”

“Mungkin bukan apa-apa bagi kakang. Tetapi aku tidak ingin dadaku meledak. Aku sudah mencoba bersabar kakang. Aku memang ingin diam apapun yang mereka katakan. Tetapi pada suatu saat, batas kesabaranku itu sudah dilampauinya. Aku tidak dapat terus-menerus menjadi sasaran penghinaan seperti itu tanpa berbuat apa-apa.”

“Kesabaran itu tidak ada batasnya, Glagah Putih.”

“Mungkin bagi kakang. Tetapi aku tidak mampu membiarkan harga diriku direndahkan sampai di bawah telapak kaki mereka.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat menyalahkan Glagah Putih yang masih terhitung muda itu. Darahnya masih mudah menjadi panas.

Beberapa saat kemudian mereka telah melewati padukuhan. Sebelum mereka memasuki mulut jalan, Agung Sedayu pun berkata, “Jangan biarkan darah di jantungmu mendidih Glagah Putih. Biar saja mereka mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Bukan berarti bahwa aku akan berdiam diri saja jika mereka benar-benar menyentuh wadagku.”

“Kenapa kakang berpijak sekedar kepada unsur kewadagan. Meskipun mereka tidak menyinggung wadag kita, tetapi mereka menyinggung perasaan kita, bukankah itu justru terasa lebih parah.”

“Kita akan mencoba, menguji jarak kesabaran kita.”

Glagah Putih tidak menjawab.

Ketika mereka mendekati mulut lorong, maka yang nampak hanyalah beberapa anak muda saja. Agaknya yang lebih banyak berada di mulut jalan di seberang.

Agung Sedayu memperlambat kudanya ketika ia melihat beberapa orang anak muda berdiri di pintu gerbang.

“Apa khabar anak-anak muda?” Agung Sedayu justru berhenti.

“Baik-baik saja, Ki Lurah. Bagaimana dengan Ki Lurah dan bagaimana dengan kakang Glagah Putih?”

“Kami juga baik-baik saja anak-anak muda. Tetapi apa yang kalian kerjakan disini?”

“Berjaga-jaga, Ki Lurah?”

“Kenapa meski berjaga-jaga?”

“Mendung yang gelap sedang menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Seharusnya kau angkat kedua belah tanganmu menengadah kearah langit.”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Menurut pendengaranku, terjadi perbedaan pendapat antara Ki Prastawa dan Ki Gede Menoreh.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya, “Ternyata tidak. Tidak ada perbedaan pendapat antara Ki Gede dan Ki Prastawa. Tetapi orang yang namanya Ki Kapat Argajalu itulah yang berusaha untuk membuat suasana menjadi keruh.”

“Bohong.” teriak seseorang yang berdiri di belakang anak-anak muda itu, “kau jangan memutar balikkan kenyataan yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Siapa kau sebenarnya?”

Ki Lurah Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar Ki Lurah itu pun menjawab, “Semua orang Tanah Perdikan ini mengenal aku sebagaimana aku mengenal mereka. Agaknya kau bukan orang Tanah Perdikan ini.”

“Aku memang bukan orang Tanah Perdikan ini. Aku datang di tanah Perdikan ini untuk membantu menegakkan keadilan. Untuk menempatkan Ki Prastawa di tempat yang seharusnya.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kepada anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu Agung Sedayu bertanya, “Jadi orang ini adalah seorang dari murid Ki Kapat Argajalu?”

“Ya, Ki Lurah.”

“Lurah siapa kau ini? Lurah apa?”

“Aku Lurah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan ini.”

“O. Jadi kaukah Lurah prajurit yang bernama Agung Sedayu itu.”

“Ya. Aku Agung Sedayu.”

“Sayang, aku tidak melihat kau tadi lewat. Kau telah berhasil menerobos penjagaan anak-anak muda padukuhan ini. Jika saja aku tadi ada, maka kau tidak akan dapat melakukannya.”

“Tetapi sekarang kami akan pulang Ki Sanak. Kami sudah berhasil bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang serta Ki Kapat Argajalu.”

“Kau berhasil karena aku tidak ada disini tadi.”

“Sudahlah. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Kau tidak usah menyesalinya.”

“Kalau tadi aku tidak sempat mencegahmu memasuki daerah Pudak Lawang, maka sekarang aku tidak akan membiarkan kau ke luar dari kademangan ini.”

“Jangan aneh-aneh Ki Sanak. Ki Kapat Argajalu tidak mencegah kami pulang. Bagaimana mungkin kau akan mencegah kami. Ki Kapat Argajalu tentu akan menjadi marah kepadamu.”

“Tidak. Ki Kapat Argajalu sudah memerintahkan kepada kami, jika seseorang berhasil menerobos masuk kademangan ini, maka ia tidak akan pernah dapat ke luar.”

“Mungkin yang dimaksud adalah orang-orang yang berbuat jahat. Tetapi aku tidak. Aku datang untuk berbicara baik-baik.”

“Omong kosong. Kau juga sudah berbuat jahat. Bahkan lebih jahat dari seorang perampok. Kau telah mencoba menghasut anak-anak muda Pudak Lawang serta memberikan kesan yang keliru tentang Ki Kapat Argajalu.”

“Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin meluruskan persoalannya saja.”

“Cukup. Kalian berdua harus menyerah. Aku ingin mengikat tangan dan kaki kalian. Aku akan membawa kalian kepada Ki Kapat Argajalu.”

“Aku baru saja menemuinya.”

“Aku akan melaporkan, bahwa kau telah menghasut.”

Glagah Putih lah yang tidak sabar lagi. ia pun segera meloncat turun dari kudanya sambil berkata, “Kau mau apa sekarang?”

“Serahkan tanganmu. Aku akan mengikatmu.”

“Pergilah sebelum aku kehabisan kesabaran,” berkata Glagah Putih.

Tetapi orang itu justru mengumpat, “Setan alas. Kau berani mengusir aku.”

“Jika kau tidak mau diam, aku akan membuatmu diam.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Aku dapat membunuhmu.”

Tetapi demikian mulutnya terkatup, Glagah Putih telah menamparnya sehingga orang itu mengaduh kesakitan.

Namun tiba-tiba saja orang itu mencabut pisau belati panjangnya.

Dengan serta-merta orang itu menyerang Glagah Putih. Pisau belatinya terjulur ke arah dada.

Tetapi dengan sigapnya Glagah Putih bergeser dengan menarik sebelah kakinya. Dengan demikian, maka pisau belati itu terjulur tanpa menyentuh tubuhnya.

Bahkan tiba-tiba saja sisi telapak tangan Glagah Putih telah memukul pergelangan tangan orang itu. Demikian kerasnya sehingga pisau belati itu terlepas dari tangannya.

Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, tangan Glagah Putih telah memukul perutnya, sehingga orang itu membungkuk kesakitan.

Glagah Putih tidak memukul tengkuk orang yang membungkuk itu dengan sisi telapak tangannya. Ia tidak mau mematahkan lehernya. Tetapi Glagah Putih hanya menekan saja kepala orang itu sehingga orang itu jatuh terjerembab.

Glagah Putih membiarkannya berusaha bangkit berdiri. Sementara itu Glagah Putih sendiri segera meloncat naik ke punggung kudanya.

Agung Sedayu tidak berbuat apa-apa. Ia duduk saja sambil mengawasi apa yang telah terjadi. Sedangkan anak-anak muda yang berkerumun itu pun tidak seorang pun yang berbuat sesuatu.

Setelah duduk di punggung kudanya, maka Glagah Putih pun berkata, “Marilah, kakang. Kita pulang.”

Agung Sedayu tersenyum. Kepada anak-anak muda itu ia pun berkata, “Sudahlah, anak-anak muda. Sampai ketemu pada kesempatan yang lain.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian meninggalkan tempat itu. Kudanya berlari tidak terlalu kencang.

“Jangan biarkan orang itu melarikan diri,” berkata orang yang baru saja bangkit berdiri itu, “tangkap mereka. Tangkap mereka.”

Tetapi anak-anak muda itu berdiri saja di tempatnya. Tidak seorang pun yang berusaha menghentikan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Kenapa kalian hanya berdiri saja kebingungan? Tangkap orang itu.”

Anak-anak muda itu masih saja berdiri termangu-mangu.

“Pengecut. Apakah kalian takut terhadap Lurah prajurit dan kawannya itu? Inikah anak-anak muda yang dibanggakan oleh Ki Prastawa dan Ki Kapat Argajalu, yang akan dapat mendukung niat Ki Prastawa merebut kedudukan Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Jika kalian tetap saja seperti itu, maka apa yang diharapkan oleh Ki Prastawa tidak akan terwujud. Dukungan Ki Kapat Argajalu tidak akan ada artinya apa-apa.”

Anak-anak muda itu masih tetap berdiam diri.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menjadi semakin jauh.

Dari Pudak Lawang, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih langsung pergi menghadap Ki Gede Menoreh. Merekapun segera melaporkan hasil perjalanan mereka menemui Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Kapat Argajalu.

“Kami tidak dapat bertemu dengan Prastawa,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “aku kira Prastawa sengaja disingkirkan ketika aku datang di rumah Ki Demang itu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kita harus bertempur melawan saudara-saudara kita sendiri?”

“Agaknya Ki Kapat Argajalu memang licik sekali,” geram Glagah Putih.

“Nampaknya anak-anak muda di kademangan Pudak Lawang tidak terlalu bersikap bermusuhan. Tetapi diantara mereka berkeliaran para pengikut Ki Kapat Argajalu yang dapat mempengaruhi mereka, sehingga mereka pada suatu saat akan dapat menjadi buas dan liar.”

“Itulah yang sangat menyedihkan.”

“Racun itu sudah terlalu dalam mencengkam kademangan Pudak Lawang, Ki Gede,” berkata Glagah Putih pula.

“Apa yang harus kita lakukan menurut pendapat Ki Lurah.”

“Kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan Ki Gede. Kita harus membangun pertahanan di sekitar Kademangan Pudak Lawang. Mungkin pada suatu saat mereka benar-benar berusaha memperluas pengaruh mereka dengan kekerasan.”

“Jangan menunggu mereka menjadi kuat,” berkata Glagah Putih, “sebaiknya kita segera memadamkan api yang baru mulai menyala, sebelum membakar seluruh padang ilalang.”

Tetapi Ki Lurah itu pun berkata, “Yang kita hadapi adalah sanak kadang kita sendiri, Glagah Putih. Kita tidak akan dapat bertindak sekedar mengandalkan kekuatan.”

“Apakah orang seperti Ki Kapat Argajalu itu dapat diajak berbicara?” bertanya Glagah Putih.

“Bukan Ki Kapat Argajalu. Tetapi aku melihat kebimbangan di sorot mata Ki Demang.”

“Selama kita ada di sana. Tetapi setelah kita pergi, maka yang akan berbicara panjang lebar dengan kecerdikan sesosok iblis adalah Ki Kapat Argajalu. Ki Demang tidak akan dapat melawan cengkeraman bujukan iblis itu.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jika kita kepung kademangan Pudak Lawang, mereka tidak akan dapat meluaskan pengaruh mereka kemana-mana.”

“Tetapi anak-anak muda yang tidak terlalu bersikap bermusuhan itu telah mutlak tenggelam di bawah pengaruh mereka.”

“Aku mengerti pendapat kalian berdua,” berkata Ki Gede, “aku setuju dengan Glagah Putih. Tetapi aku juga mengerti sikap Ki Lurah yang lebih mengendap. Karena itu, aku memang tidak akan segera mengambil sikap yang terlalu keras. Aku masih akan menunggu. Sementara itu. kita siapkan pertahanan yang sebaik-baiknya di sekitar kademangan Pudak Lawang.”

Glagah Putih sebenarnya tidak telaten lagi. Tetapi ia tidak membantah, Ia masih mencoba untuk menilai sikapnya sendiri.

“Mungkin kakang Agung Sedayu benar, bahwa aku masih terlalu muda untuk menghadapi persoalan-persoalan seperti ini.” katanya di dalam hati.

Namun dalam pada itu, Ki Gede pun berkata, “Aku akan berbicara dengan Argajaya dan beberapa orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan ini. Mungkin aku akan dapat mengambil kesimpulan dari pendapat-pendapat mereka.”

“Satu langkah yang baik, Ki Gede. Dengan demikian Ki Gede tidak meninggalkan mereka menghadapi keadaan yang rumit ini.”

“Baiklah Ki Lurah. Terima kasih atas kesediaan Ki Lurah pergi ke Pudak Lawang. Biarlah malam nanti aku akan memanggil para bebahu serta orang-orang tua di Tanah Perdikan ini. Aku harap Ki Lurah dan Glagah Putih dapat hadir pula.”

Ketika malam turun, di rumah Ki Gede telah berkumpul beberapa orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan Menoreh. Diantara mereka terdapat Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Ki Gede pun telah mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk menceriterakan usahanya untuk meredakan permusuhan. Tetapi usaha itu nampaknya sia-sia. Meskipun Ki Demang Pudak Lawang, kadang-kadang masih nampak ragu, tetapi agaknya Ki Demang sudah tidak dapat melangkah surut. Prastawa sendiri telah terjebak kedalam kekuasaan Ki Kapat Argajalu, Isteri dan anaknya yang masih berada di dalam kandungan telah dipertaruhkan.

“Kasihan Prastawa,” desis beberapa orang.

Sementara Ki Argajaya yang juga hadir di pertemuan itu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia melihat satu dua orang diantara yang hadir itu merasa ragu bahwa Prastawa terpaksa menuruti kemauan Ki Kapat Argajalu karena keselamatan nyawa isteri dan anaknya terancam.

Sebenarnyalah ada diantara orang-orang tua yang berpengaruh di Tanah Perdikan itu yang tidak dapat melupakan, apa yang pernah dilakukan oleh Ki Argajaya. Sehingga apa yang dilakukan oleh Prastawa itu seakan-akan merupakan cela yang diwarisinya dari ayahnya.

Ki Argajaya merasa seakan-akan beberapa pasang mata dari mereka yang hadir itu mengawasinya dengan tajamnya.

Tetapi Ki Argajaya menahan dirinya. Nalarnya masih juga sempat berkata kepadanya, “Tidak. Mereka tidak menuduh Ki Argajaya. Itu hanyalah sekedar perasaanmu saja.”

Ki Gede malam itu pun berkata kepada orang-orang yang hadir, “Aku minta pertimbangan kalian. Menurut Ki Lurah Agung Sedayu, sulit untuk berbicara dengan Ki Kapat Argajalu. Sementara Prastawa sudah kehilangan kebebasan dirinya.”

Seorang bebahu yang sudah separo baya bertanya, “Apakah Demang Pudak Lawang tidak mau menghadap Ki Gede lagi?”

“Jangankan menghadap. Sedang Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang datang atas nama Ki Gede menemuinya itu pun telah diusirnya.”

“Jika demikian, kita tidak mempunyai jalan lain. Kita paksa Ki Demang itu menghadap Ki Gede dengan kekerasan.”

“Pikiran yang baik,” desis Ki Gede, “jadi alasan yang kita pergunakan untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi Kapat Argajalu adalah untuk memaksa Ki Demang di Pudak Lawang untuk menghadap bersama dengan Prastawa.”

Seorang yang lain berkata, “Aku kira Ki Gede dapat berbuat lebih tegas lagi. Selain memaksa Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa menghadap, sekaligus untuk menangkap Ki Kapat Argajalu.”

Ki Gede mengangguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Selain perintah agar Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa segera menghadap, juga perintah penangkapan terhadap Ki Kapat Argajalu jika ia masih tetap berada di Tanah Perdikan.”

“Tetapi perintah ini akan mempercepat benturan kekerasan. Ki Kapat Argajalu akan mempergunakan alasan penangkapan atas dirinya untuk membela diri,” berkata orang yang lain.

“Tidak apa-apa. Bukankah mereka telah mulai dengan langkah pertama, memisahkan Pudak Lawang dari Tanah Perdikan ini,” sahut yang lain.

Berbagai pendapat telah diutarakan. Namun akhirnya mereka sepakat untuk mengambil kesimpulan bahwa Ki Gede memerintahkan Ki Demang Pudak Lawang untuk segera datang menghadap Ki Gede serta memerintahkan agar Ki Kapat Argajalu meninggalkan Tanah Perdikan atau menangkapnya jika ia masih tetap berada di Tanah Perdikan.”

“Perintah itu akan disampaikan kepada Ki Demang Pudak Lawang, kepada Prastawa dan kepada Ki Kapat Argajalu,” berkata Ki Gede.

“Aku akan menyampaikan perintah itu,” berkata Glagah Putih.

Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, “Persoalannya benar-benar menjadi gawat, ngger. Nampaknya Kapat Argajalu serta dua orang anaknya tidak lagi mempunyai tatanan. Karena itu biarlah yang pergi justru orang yang sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang petani yang kerjanya sehari-hari pergi ke sawah. Mengerjakan sawahnya dengan tekun, menanam padi atau palawija serta mengairinya. Para pengikut Ki Kapat Argajalu serta orang-orang Kademangan Pudak Lawang tentu tidak akan mengganggunya.”

“Tetapi apakah orang itu dapat mengatakan dengan jelas, perintah-perintah Ki Gede?”

“Perintah itu akan aku berikan tertulis saja. Sehingga orang itu tidak perlu berkata apa-apa, kecuali menyerahkan surat itu. Bahkan seandainya ia tidak boleh berjalan terus ke Pudak Lawang, maka biarlah ia menyerahkan surat itu kepada orang-orang yang menghentikannya dan memaksanya kembali. Aku yakin surat itu akan sampai setidak-tidaknya kepada Ki Kapat Argajalu.”

Orang-orang yang hadir itu pun sependapat. Jika Glagah Putih yang pergi lagi ke Pudak Lawang, maka mungkin sekali akan terjadi tindakan kekerasan atasnya.

Pembicaraan itu pun berlangsung sampai larut malam. Ketika mereka yang hadir itu pulang, maka mereka akan berbicara kepada semua orang Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Pudak Lawang telah memisahkan diri, Ki Gede telah mengeluarkan perintah yang tegas kepala Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa untuk menghadap, serta memerintahkan Ki Kapat Argajalu untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh atau jika ia tidak segera melakukannya, penangkapan atas dirinya.

Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Gede. Ki Gede telah memerintahkan salah seorang tetangganya, seorang yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari orang kebanyakan, untuk membawa surat bagi Ki Demang Pudak Lawang.

Namun sebelumnya Ki Gede sudah bertanya beberapa kali kepadanya, “Kau benar-benar berani?”

“Berani Ki Gede. Meskipun aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Tetapi aku merasa berkewajiban untuk ikut berbuat sesuatu menurut kemampuanku. Jika hanya menyampaikan surat saja, aku tentu mampu. Aku sudah sering pergi ke Pudak Lawang. Seorang pamanku tinggal di Pudak Lawang. Apa sulitnya?”

“Kau memang berani atau karena kau tidak tahu bahaya yang bersembunyi di balik perbatasan kademangan Pudak Lawang.”

“Tahu, Ki Gede. Aku tahu. Jika aku pergi ke Pudak Lawang, tentu berbeda dengan pada saat aku pergi beberapa waktu yang lalu. Justru karena Pudak Lawang telah memisahkan diri. Aku tahu, bahwa mungkin sekali aku diperlakukan dengan tidak baik. Katakan, puncak dari bahaya yang aku hadapi adalah, mungkin sekali aku akan dibunuh. Tetapi aku kira mereka tidak akan melakukannya itu, Ki Gede.”

“Mungkin orang-orang Pudak Lawang sendiri tidak akan memperlakukan kau seperti itu. Tetapi orang-orang yang datang di Pudak Lawang, yang sengaja ingin menghasut kerusuhan.”

“Tetapi nyawaku tidak tergantung kepada mereka. Nyawaku ada di tangan Yang Maha Agung. Jika waktunya mati itu sudah tiba, maka tidak seorang pun yang akan dapat mengelak, meskipun orang itu tidak berada di daerah yang berbahaya seperti kademangan Pudak Lawang sekarang ini.”

“Baiklah. Jika kau sadari sepenuhnya apa yang akan kau lakukan, maka lakukanlah. Kau tidak akan menyesali tugas yang terlanjur kau emban.”

Demikian matahari mulai merambat naik, maka orang yang membawa surat itu pun segera berangkat menuju ke Pudak Lawang.

Meskipun orang itu sudah benar-benar pasrah, apa saja yang akan terjadi atas dirinya, namun ketika ia mendekati perbatasan kademangan Pudak Lawang, hatinya masih juga menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat sebatang pohon yang roboh menyilang jalan yang akan dilaluinya.

Namun untuk membesarkan hatinya sendiri, orang itu sempat bergumam, “Orang-orang Pudak Lawang memang bodoh. Apa artinya sebatang pohon yang rebah itu? Bukankah tidak ada gunanya? Jika orang-orang dari sekitar Pudak Lawang ingin menyerang, maka mereka dapat meloncat pohon yang ditumbangkan itu. Atau bahkan turun lewat parit dan sawah di sebelah-menyebelah jalan. Jika batang padi yang subur itu terinjak-injak kaki. itu justru karena salah orang Pudak Lawang sendiri.”

Namun orang itu pun kemudian mengangguk-angguk. Mungkin maksudnya untuk menghambat pasukan berkuda serta menghambat pedati-pedati yang mungkin membawa perlengkapan dan cadangan senjata bagi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang akan menyerang dan kemudian merebut kembali Pudak Lawang, serta memaksa Ki Demang dan Ki Prastawa untuk menghadap.”

Orang yang membawa surat itu sendiri tidak melompat pohon yang tumbang itu. Tetapi ia turun ke parit di sisi jalan menyusuri parit itu beberapa langkah. Kemudian naik lagi ke tanggul di pinggir jalan.

Namun terasa debar jantung orang itu menjadi semakin cepat ketika ia melihat beberapa orang berdiri di mulut lorong di padukuhan di hadapannya.

“Siapakah mereka? Mudah-mudahan ada diantara mereka yang sudah aku kenal,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Semakin dekat dengan mulut lorong, debar jantung orang itu menjadi semakin cepat. Ternyata mereka yang berdiri di mulut lorong adalah orang-orang yang terasa asing baginya.

Tetapi orang itu menarik nafas panjang, ketika ia masih melihat dua tiga orang anak muda yang dikenalnya.

Namun yang melangkah maju menyongsongnya adalah dua orang yang tidak dikenalnya itu.

“Berhenti disitu,” teriak seorang diantara mereka.

Orang yang membawa surat itu berhenti.

“Kau siapa?” bertanya orang yang berteriak itu.

Namun seorang anak muda yang dikenalnya itu pun melangkah maju juga sambil menyapanya. “Paman Merta.”

“Ya, agaknya kau tidak lupa kepadaku, Sarmin.”

“Mana mungkin aku lupa kepada paman Merta.”

“Siapapun orang ini, tetapi kau harus berhenti dan jangan berjalan 1agi,” berkata orang yang tidak dikenal itu.

“Aku mendapat perintah dari Ki Gede untuk menemui Ki Demang di Pudak Lawang.”

“Kau juga akan mencoba menerobos penjagaan kami seperti kedua orang berkuda kemarin?”

Orang yang membawa surat itu termangu-mangu. Namun Sarmin lah yang menyahut. “Tentu tidak. Yang berkuda kemarin adalah Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sedangkan orang ini adalah seorang tua biasa. Ia bukan seorang yang berilmu seperti Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

“Tetapi tanpa bekal ilmu yang tinggi, bagaimana mungkin ia berani memasuki Pudak Lawang seorang diri.”

“Itulah kelebihan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Sarmin.

“Edan. Kau mau apa, he?”

Merta memandang Sarmin dengan kerut di dahi. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Aku mendapat perintah dari Ki Gede untuk menyerahkan surat ini kepada Ki Demang Pudak Lawang.”

“Surat apa?” bertanya orang yang terasa asing itu.

“Aku tidak tahu isinya. Seandainya aku membukanya di perjalanan, aku pun tidak akan tahu pula isinya, karena aku tidak dapat membaca.”

“Kau tidak boleh melanjutkan perjalanan,” berkata orang asing itu.

“Tetapi ia harus menyerahkan surat itu kepada Ki Demang.” sahut Sarmin.

“Ambil surat itu. Kau saja yang pergi menemui Ki Demang untuk menyerahkan surat itu. Orang asing tidak diperbolehkan memasuki kademangan Pudak Lawang.”

“Siapa yang kau maksud dengan orang asing?” Merta masih juga bertanya.

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kau bukan orang Pudak Lawang.”

“Kau sendiri?” bertanya Merta.

“Aku orang Pudak Lawang. Sekarang aku sudah disahkan menjadi orang Pudak Lawang.”

Merta mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika kau sudah disahkan menjadi orang Pudak Lawang. Kau harus berusaha menyesuaikan dirimu dengan kebiasaan serta tatanan hidup di Tanah Perdikan Menoreh. Tanahnya orang yang ramah dan suka saling menolong. Bukan orang-orang yang berwajah gelap, pemarah dan tidak tahu diri. Lihatlah orang-orang Tanah Perdikan yang lain. Aku misalnya. Atau Sarmin atau anak-anak yang lain. Wajah mereka tentu nampak terang. Senyum di bibir dan matanya nampak berkilat-kilat.”

“Cukup,” bentak orang itu, “aku dapat mencekikmu sampai mati.”

“Nah, sikap seperti itu harus kau redam jika kau benar-benar ingin menjadi orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Diam kau.”

Tetapi Merta ternyata tidak segera diam. Kepada Sarmin ia pun berkata, “Min. Ajari orang ini bersikap sebagaimana kau bersikap terhadap sesama orang Tanah Perdikan Menoreh, bahkan kepada orang lain.”

“Kalau kau tidak mau diam, aku bunuh kau,” teriak orang itu.

Sarmin kemudian mendekati Merta sambil berkata. “Sudahlah, paman. Berikan surat itu kepadaku, biarlah aku yang membawanya kepada Ki Demang.”

Merta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Min. Kau bawa surat ini kepada Ki Demang. Tetapi ingat, surat ini harus sampai kepada Ki Demang. Surat itu sudah diberi mantra oleh Ki Gede dan Ki Megatruh, dukun yang tinggal di tepi sendang Pangentasan. Jika surat ini tidak sampai kepada Ki Demang, maka siapa yang menyebabkannya akan kuwalat. Setelah mati, ia akan berjalan dengan tangannya dan kepala dibawah. Kakinya berada diatas digantungi batu sebesar kepala kerbau.”

“Apakah mayatnya tidak dikuburkannya? Atau orang itu akan berjalan di dalam kubur?” bertanya Sarmin.

“Kau memang dungu. Min. Tentu bukan wadagnya yang dikubur itu. Setelah kemauannya. orang yang kuwalat akan mendapatkan wadagnya yang baru. Jika ia orang baik. wadagnya pun tentu lebih baik dari wadagnya tentu jauh lebih buruk. Seperti jerangkong, thethekan, banaspati dan sebangsanya.”

“Diam. Diam,” orang asing itu berteriak sekeras-kerasnya, “cepat pergi sebelum aku penggal kepalamu.”

“Pergilah paman,” berkata Sarmin bersungguh-sungguh.

Merta menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku sudah mencoba menjalankan tugasku sebaik-baiknya. Ingat Min, surat itu harus sampai kepada Ki Demang.”

“Aku bertanggung jawab, paman.”

Merta pun kemudian melangkah kembali. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sarmin sedang berbincang dengan orang yang dianggapnya asing itu.

“Buang atau bakar saja surat itu.”

“Tidak,” jawab Sarmin, “aku akan membawanya kepada Ki Demang, apapun isinya.”

“Aku dapat mengambil surat itu dari tanganmu.”

“Aku akan mempertahankannya.”

Orang yang disebut asing itu menggeram. Ia memang dapat merebut surat itu dengan kekerasan. Tetapi Ki Kapat Argajalu berpesan kepada murid-muridnya agar mereka tidak menyakiti hati rakyat Pudak Lawang, yang akan mereka ajak bekerja sama melawan Ki Gede.”

Karena itu, maka orang itu pun telah membatalkan niatnya untuk merebut surat itu. Namun ia justru membentak. “Cepat. Bawa surat itu kepada Ki Demang.”

Sarmin tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian meninggalkan orang itu. Kepada kawan-kawannya Sarmin pun berkata, “Aku akan pergi ke padukuhan induk.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka hanya memandangi saja Sarmin yang berjalan semakin jauh meninggalkannya.

“Aku akan melaporkannya kepada Kayun,” desis orang asing itu.

Namun ketika orang itu bertemu dengan Kayun, Sarmin telah berada di rumah Ki Demang Pudak Lawang. Sarmin dapat langsung bertemu dengan Ki Demang serta menyerahkan surat yang dibawa oleh Merta itu.

“Surat apa?” bertanya Ki Kapat Argajalu yang untuk sementara tinggal di rumah Ki Demang bersama kedua orang anak laki-lakinya. Bahkan Prastawa dan isterinya berada di rumah Ki Demang itu pula dan berada dibawah pengawasan Soma dan Tumpak. Dua orang kakak beradik yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga Prastawa merasa bahwa ia tidak akan mungkin dapat melepaskan dirinya. Mungkin Prastawa tidak dapat meninggalkan isterinya yang sedang mengandung itu begitu saja.

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Demang membuka surat itu dan membacanya.

“Surat dari Ki Gede,” berkata Ki Demang.

“Apa isinya?”

“Silahkan Ki Kapat membacanya sendiri.”

Ki Kapat Argajalu menerima surat itu. Namun kemudian ia pun menggeram. Katanya, “Sombongnya Ki Gede. Sebentar lagi kedudukannya akan terlepas dari tangannya. Ia masih juga dapat memberikan perintah semacam itu.”

“Ia akan menyesalinya,” berkata Ki Demang.

“Apakah Ki Demang juga berniat untuk menghadap?”

“Tidak. Niatku sudah bulat. Meskipun Prastawa hatinya lentur, tetapi aku tidak berniat surut. Aku sudah terlanjur basah. Karena itu. kita harus berhasil. Prastawa akan menduduki jabatan yang akan ditinggalkan Ki Gede. Tetapi kita yang akan mengemudikannya.”

“Tepat,” berkata Ki Kapat Argajalu, “sikap Ki Demang adalah sikap seorang laki-laki. Sementara itu Prastawa sangat mengecewakan.”

“Kita tidak usah menghiraukan Prastawa lagi.”

“Apakah Ki Demang akan memberikan balasan atas surat itu?”

“Bagaimana sebaiknya menurut Ki Kapat Argajalu?”

“Kita anggap saja surat itu tidak ada.”

Ki Demang memang tidak menghiraukan lagi surat yang diterimanya itu. Bahkan ia pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Orang-orangku pun telah siap pula,” berkata Ki Kapat Argajalu.

Sebenarnyalah bahwa padukuhan-padukuhan yang termasuk berada di dalam lingkungan kademangan Pudak Lawang pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Jika ada diantara padukuhan itu mendapat serangan, maka padukuhan itu akan bertahan di belakang dinding padukuhan serta menutup pintu gerbangnya. Sementara itu dengan isyarat suara kentongan mereka akan memanggil Pasukan Pengawal dari padukuhan-padukuhan yang lain serta para cantrik dan perguruan Ki Kapal Argajalu yang sudah berada di padukuhan-padukuhan di kademangan Pudak Lawang.

Dalam pada itu. Merta pun telah memberikan laporan kepada Ki Gede, bahwa ia gagal menemui Ki Demang Pudak Lawang. Tetapi Sarmin telah berjanji untuk menyampaikan surat itu kepada Ki Demang.”

“Agaknya Ki Demang Pudak Lawang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi,” berkata Ki Gede.

“Agaknya memang begitu, Ki Gede. Sementara itu orang-orang yang asing, yang tidak mengenal aku dan tidak aku kenal, berkeliaran di padukuhan-padukuhan. Agaknya justru mereka yang berkuasa di kademangan Pudak Lawang itu.”

“Ya. Kau benar. Merekalah yang sebenarnya berkuasa. Kekuasaan Ki Kapat Argajalu lebih besar dari kekuasaan Ki Demang Pudak Lawang.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede.”

“Aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Kepada keberanianmu dan kesediaanmu berkorban. Mudah-mudahan segala sesuatunya lekas menjadi baik.”

“Ya. Ki Gede. Jika ada perintah apapun juga aku akan melakukannya sesuai dengan Kemampuanku. Aku tidak akan ingkar meskipun aku harus menempuh bahaya apapun.”

Ki Gede menepuk bahu Merta sambil berkata, “Terima kasih. Sekarang, tolong, panggil Ki Argajaya, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta para bebahu. Aku minta nanti sore mereka berkumpul disini. Kau harus datang memberikan laporan kepada mereka apa yang telah kau lakukan serta telah kau alami.”

“Baik. Ki Gede.”

Ketika matahari mulai turun di sisi Barat langit, maka Ki Argajaya telah berada di rumah Ki Gede. Beberapa orang bebahu telah datang pula. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Di udara yang terasa panas itu, hati para pemimpin Tanah Perdikan itu pun menjadi panas pula karena sikap Demang Pudak Lawang.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata seorang diantara para pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.

“Ya,” sahut yang lain, “kita akan menyerang Pudak Lawang.”

“Kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat begitu saja menyerang. Di Pudak Lawang itu terdapat Ki Prastawa dan isterinya serta anaknya yang masih berada dalam kandungan.”

Ki Gede pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kita memang harus berhati-hati.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian berkata. “Sebaiknya untuk sementara kita tidak memasuki kademangan Pudak Lawang lebih dahulu. Tetapi kita akan mengepung Pudak Lawang, sehingga kademangan Pudak Lawang benar-benar telah terputus hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Jika kita dapat membuat sekat antara Pudak Lawang dan dunia di luarnya, maka Pudak Lawang akan berpikir dua kali. Tidak semua kebutuhan kademangan itu dapat dihasilkan oleh kademangan itu sendiri.”

“Aku sependapat,” Ki Gede mengangguk-angguk, “dalam waktu sepekan dua pekan, kita akan melihat hasilnya. Jika rakyat Pudak Lawang mulai mengeluh, maka Demang di Pudak Lawang akan membuat penilaian ulang atas keputusan yang sudah diambilnya.”

Namun Glagah Putih pun berkata, “Tetapi para pengikut Ki Kapat Argajalu telah banyak yang berada di Pudak Lawang. Bahkan merekalah yang kini sebenarnya berkuasa atas Pudak Lawang.”

“Bukankah dengan demikian Pudak Lawang memerlukan lebih banyak bahan bagi kebutuhan mereka sehari-hari? Nah, jika segala persediaan itu sudah menipis, maka kita akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada Ki Demang untuk merubah sikapnya.”

“Ki Demang tidak akan berani melakukannya, karena Ki Kapat Argajalu ada di depan hidungnya,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi kita akan mencoba,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “kita memang harus mempertimbangkan keberadaan Ki Prastawa, isteri serta anak yang masih berada dalam kandungan itu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Bagi Glagah Putih, jalan yang ditempuh itu akan terasa terlalu panjang. Jika pertimbangannya terpancang kepada Prastawa, isteri dan anak yang masih di dalam kandungan, maka segala sesuatunya akan berlangsung sangat lamban.

Tetapi ketika Glagah Putih melihat Ki Argajaya yang wajahnya sangat muram itu. maka ia pun merasa kasihan pula. Jika Prastawa dikorbankan, bagi Ki Argajaya, hilang pulalah masa depan jalur keluarganya.

Karena itulah, maka dalam pertemuan itu, disepakati Tanah perdikan Menoreh akan menutup Pudak Lawang rapat-rapat sehingga tidak akan dapat berhubungan dengan dunia di luarnya. Pudak Lawang akan kehilangan jalur perdagangannya. Hasil yang berlebihan di Pudak Lawang tidak akan dapat dibawa ke luar, sebaliknya apa yang dibutuhkan bagi padukuhan itu tidak dapat didatangkan dari luar.

Untuk melaksanakan tugas itu, maka Pasukan Pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar siap. Jika perlu mereka akan mempergunakan kekerasan. Jika Pudak Lawang nekat mendatangkan bahan kebutuhan hidup mereka atau mengirimkan hasil buminya ke luar, Pasukan Pengawal itu harus mencegahnya.

Sejak hari itu, maka Pudak Lawang benar-benar telah terpisah dari dunia luar. Tetapi sebenarnyalah bahwa sejak sebelumnya Pudak Lawang sendiri telah menutup diri.

Dari hari ke hari. maka apa yang diperhitungkan oleh para pemimpin di Tanah Perdikan itu pun terjadi. Di Pudak Lawang mulai sulit untuk mendapatkan garam. Pudak Lawang juga memerlukan bahan-bahan tenunan dan barang-barang kerajinan dari luar.

Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Ki Kapat Argajalu, maka ia pun berkata, “Tidak ada masalah. Biarlah besok kita pergi untuk membeli garam.”

“Kademangan ini sudah dikepung rapat.”

Tetapi Ki Kapat justru tertawa. Katanya, “Biarlah Soma dan Tumpak besok pergi ke pasar di kademangan tetangga. Maksudku di kademangan di luar Tanah Perdikan.”

“Tetapi tidak ada jalan yang dapat kita lalui.”

“Soma dan Tumpak akan mencari jalan.”

Ki Demang Pudak Lawang termangu-mangu. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Dalam pada itu, Ki Kapat Argajalu telah menepati janjinya. Ia memerintahkan Soma dan Tumpak membawa dua pedati untuk membeli garam justru di luar Tanah Perdikan.

“Bawa beberapa orang cantrik. Besok kalian akan membeli garam dan bahan tenunan.”

“Bahan pakaian maksud ayah?”

“Ya.”

“Bukankah kita belum memerlukan?”

“Untuk mengatasi kesulitan bahan pakaian. Kau lihat orang-orang tamak di kademangan ini segera merasa cemas, bahwa mereka tidak akan dapat membeli pakaian baru? Agaknya para pedagang kain pun telah memanfaatkan keadaan. Bahan pakaian pun lenyap dari peredaran. Jika kau membelinya dalam jumlah yang cukup, maka para pedagang kain itu akan menyesali kebodohan mereka dengan menimbun bahan pakaian itu.”

Soma dan Tumpak mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Soma dan Tumpak serta beberapa orang cantriknya telah meninggalkan kademangan dengan membawa dua buah pedati.

Namun sedikit lewat perbatasan, maka kedua pedati itu telah dihentikan oleh sekelompok anak-anak muda dari pengawal Tanah Perdikan.

“Kalian siapa dan akan pergi kemana?”

“Kami adalah orang-orang Pudak Lawang,” jawab Soma.

Anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu kebetulan adalah anak-anak muda yang belum pernah mengenal Soma dan Tumpak meskipun Soma dan Tumpak sudah beberapa lama berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, anak muda yang memimpin sekelompok Pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu pun berkata, “Jika benar kalian orang-orang Pudak Lawang, kenapa kita belum pernah berkenalan? Aku mengenal semua orang di Pudak Lawang.”

“Kau memang bodoh. Ternyata kau belum mengenal kami.”

“Agaknya kalian bukan orang-orang Pudak Lawang.”

“Sekehendakmulah. Tetapi kami merasa bahwa kami adalah orang-orang Pudak Lawang.”

“Jika demikian, kalian tidak diperkenankan meneruskan perjalanan. Kalian harus kembali.”

“Kami akan pergi ke pasar di pasar sebelah. Pasar yang justru berada di luar Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan membeli kebutuhan sehari-hari. Orang-orang Tanah Perdikan tiba-tiba saja menjadi dengki kepada kami, rakyat Pudak Lawang yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan kademangan kami.”

“Bukan waktunya lagi untuk membual. Kembalilah. Jangan meneruskan perjalanan. Kami masih bersikap lunak dengan memberikan peringatan ini. Tetapi jika kalian berkeberatan, maka kami akan bertindak tegas.”

“Jika kalian bertindak tegas, kalian akan berbuat apa?”

“Kami akan menangkap kalian.”

Soma tertawa. Katanya, “jangan terlalu sombong. Kau kira anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mumpuni ing kawruh olah kanuragan? Kalian akan menyesali kesombongan kalian.”

“Tetapi kami sedang dalam tugas. Kami minta kalian kembali atau kami harus menangkap kalian.”

“Kedua-duanya tidak. Kalian tidak akan dapat memaksa kami kembali. Tetapi kalian juga tidak akan dapat memaksa kami untuk menyerah dan kalian tangkap.”

Pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu mulai kehilangan kesabaran. ia pun segera memberikan isyarat kepada Pengawal Tanah Perdikan itu untuk bersiap-siap.

“Masih ada kesempatan untuk kembali ke Pudak Lawang. Kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir.”

Tetapi Tumpak justru berkata lantang, “Minggir. Jika kalian tidak mau minggir. kalian akan kami hancurkan.”

“Kalian justru menantang?” bertanya pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu.

“Ya. Dengar baik-baik. Kami sengaja menantang kalian. Kalian dengar?”

Pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu pun benar-benar telah kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan para pengawal untuk bergerak, “Tangkap mereka.”

Pertempuran pun tidak dapat dihindarkan. Para Pengawal Tanah Perdikan yang jumlahnya lebih banyak, segera mengepung Soma, Tumpak dari orang-orangnya.

Para pengikut Soma dan Tumpak itu pun segera menyerang dengan garangnya. Namun anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu cukup terlatih. Karena itu, maka mereka tidak mudah untuk segera memecahkan kepungan. Bahkan dalam pertempuran yang berlanjut, para pengikut Soma dan Tumpak yang jumlahnya lebih kecil itu segera mengalami kesulitan.

Soma dan Tumpak sendiri masih belum terjun ke arena. Mereka ingin melihat seberapa jauh kemampuan para Pengawal Tanah Perdikan.

“Ternyata mereka cukup terlatih,” berkata Soma.

“Apakah mereka bukan para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan, yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Apakah mereka tidak sedang menyamar dan menjadi bagian dari anak muda Pengawal Tanah Perdikan?”

“Ilmu mereka memang meyakinkan. Tetapi agaknya mereka bukan prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sikap para prajurit dari Pasukan Khusus itu tentu lebih keras dan lebih kasar.”

“Tetapi nampaknya mereka benar-benar terlatih baik.”

“Bukankah kau lihat anak-anak muda Pudak Lawang? Bukankah mereka juga memiliki ilmu yang mapan seperti para prajurit dan Pasukan Khusus?”

Tumpak mengangguk-angguk.

“Marilah. Kita tunjukkan kepada mereka, bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita.”

Tumpak mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baik. Aku sudah tidak telaten lagi menunggu.”

Demikianlah, maka Soma dan Tumpak pun segera turun ke medan. Mereka ternyata tidak dapat mengandalkan para cantrik, sehingga mereka berdua harus turun tangan langsung.

Demikian Soma dan Tumpak terjun ke arena pertempuran, maka keseimbangan pun segera berubah. Para pengawal satu demi satu terlempar dari arena pertempuran Meski mereka menghadapi Soma dan Tumpak dalam kelompok-kelompok kecil, namun mereka sama sekali tidak berdaya.

Karena itu, setelah beberapa saat Soma dan Tumpak melibatkan din dalam pertempuran, maka para Pengawal Tanah Perdikan pun terpaksa bergerak mundur.

Soma dan Tumpak tidak mengejar mereka. Dengan lantang ia pun berkata, “Lain kali kita akan bertemu lagi.”

Para pengawal itu bergerak semakin menjauh. Namun mereka masih mendengar Soma berteriak, “Katakan kepada Agung Sedayu apa yang kalian alami sekarang ini. Lain kali biarlah Agung Sedayu dan prajuritnya yang berjaga-jaga di jalan ini untuk menunggu aku pulang.”

Para pengawal itu melihat Soma, Tumpak dan orang-orangnya bergerak melanjutkan perjalanan mereka.

Demikian mereka menjauh, maka Pengawal Tanah Perdikan itu pun kembali lagi untuk mengambil kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan seorang diantaranya terluka parah. Soma telah melemparkan anak muda itu, sehingga tubuhnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan.

“Kita gagal mencegah mereka ke luar kademangan Pudak Lawang,” berkata pemimpin sekelompok Pengawal itu.

“Kita akan melaporkannya kepada Ki Gede.”

Setelah mereka menyingkirkan kawan-kawan mereka yang terluka. maka kedua orang diantara mereka pun segera melarikan kuda mereka, menghadap Ki Gede Menoreh.

Laporan itu cukup mengejutkan. Katanya kepada kedua orang itu. “Pergilah ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Laporkan kepadanya, apa yang telah terjadi. Biarlah Ki Lurah dan Glagah Putih mengambil sikap.”

Kedua orang anak muda itu pun segera pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan laporan tentang peristiwa yang baru saja dialami.

“Aku akan pergi ke sana, kakang,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah Agung sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat lagi mencegah Glagah Putih. Namun Ki Lurah sendiri merasa bahwa yang terjadi itu sudah berlebihan.

Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Kita pergi ke sana. Tetapi aku akan singgah lebih dulu di rumah Ki Gede”

Ki Lurah pun kemudian telah memberitahukan kepada dua orang anak muda itu, bahwa berdua bersama Glagah Putih, Ki Lurah akan pergi ke tempat peristiwa yang menyakitkan itu terjadi.

“Nanti kita terlambat, kakang. Biar nanti saja kita menghadap Ki Gede.”

“Mereka membawa pedati. Perjalanan mereka tentu lamban. Menurut perhitunganku baru sore nanti mereka akan pulang.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk.

Ketika Rara Wulan menyatakan keinginannya untuk ikut, maka Ki Lurah pun berkata, “Kau di rumah saja bersama mbokayumu Sekar Mirah.”

Rara Wulan memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani memaksa.

“Biarlah Ki Jayaraga juga berada di rumah bersama kalian,” berkata Ki Lurah.

Ki Jayaraga pun mengangguk. Katanya, “Baiklah aku tidak pergi ke sawah siang ini.”

“Aku sajalah yang pergi ke sawah,” sahut Sukra.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian bersama Glagah Putih maka Ki Lurah itu pun meninggalkan rumahnya.

Keduanya memang singgah untuk menemui Ki Gede. Dengan suara yang bergetar, Glagah Putih berkata, “Mereka telah mulai menumpahkan darah Pengawal Tanah Perdikan, Ki Gede.”

“Ya, Glagah Putih. Meskipun demikian, kita harus berbuat dengan perhitungan yang mapan dan dengan hati yang dingin.”

Glagah Putih tidak menjawab, meskipun sebenarnya ia ingin segala sesuatunya lebih cepat.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah pergi ke tempat pertempuran itu terjadi. Ki Lurah dan Glagah Putih telah menitipkan kuda mereka. Bersama beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan keduanya menunggu Soma dan Tumpak kembali dari pasar.

Glagah Putih rasa-rasanya tidak sabar lagi. Ia berharap bahwa keduanya segera lewat dengan kedua pedati yang dibawanya. Kedua pedati itu harus dirampas, sedangkan Soma dan Tumpak harus ditangkap.

Waktu terasa bergerak dengan lambat sekali. Matahari berkisar dengan malasnya, sehingga Glagah Putih rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi.

Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat, Glagah Putih itu pun mondar-mandir menyeberangi jalan yang tadi dilewati Soma dan Tumpak. Tetapi Glagah Putih tidak segera melihat dua buah pedati itu lewat.

“Apakah mereka tidak akan lewat jalan ini?” tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.

“Menurut orang yang mengaku bernama Soma itu, mereka akan kembali lewat jalan ini. Soma bahkan mengatakan, agar kami melaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Nampaknya mereka telah mengecoh kita,” geram Glagah Putih.

Ketika bayangan senja itu mulai kekuning-kuningan, maka Glagah Putih pun berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, “Mereka tidak lewat jalan ini lagi kakang. Marilah, kita cari mereka di Pudak Lawang.”

Ki Lurah Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Jangan Glagah Putih. Kita tidak boleh kehilangan, kecuali mungkin mereka dengan sengaja membuat kita marah. Orang yang marah tidak dapat berpikir bening. Bahkan mungkin kita akan terpancing dan terjerumus ke dalam kesulitan.”

“Bukankah wajar jika kita menjadi marah?”

“Memang wajar Glagah Putih. Tetapi bukan berarti kita kehilangan nalar.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang menjadi semakin gelisah.

Ketika malam kemudian mulai turun, maka Glagah Putih pun yakin, bahwa Soma dan Tumpak bersama beberapa orang kawannya tidak akan melewati jalan itu lagi

“Yang kita lakukan sekarang adalah membuang-buang waktu dengan sia-sia, kakang.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Ya. Agaknya mereka telah mengambil jalan lain.”

“Dan kita hanya berdiam diri disini.” Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab.

Dalam pada itu, terdengar derap kaki kuda yang berlari mendekat. Dua orang Pengawal Tanah Perdikan dengan agak tergesa-gesa mencari Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Ada apa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

Kedua orang Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian menceriterakan bahwa telah terjadi lagi benturan kekerasan. Soma dan Tumpak telah kembali ke Pudak Lawang lewat jalan yang lain. Seperti pada saat mereka berangkat, maka pada saat mereka pulang-pun mereka telah melukai beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan.

“Gila. Mereka telah mempermainkan kita, kakang,” berkata Glagah Putih dengan lantang oleh getar kemarahannya yang tertahan di dadanya.

“Ya. Mereka telah mempermainkan kita.”

“Apakah kita masih saja akan menunggu mereka mempermainkan kita lagi.”

“Tidak. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, kita jangan kehilangan nalar. Soma dan Tumpak telah dengan sengaja membakar jantung kita. Jika darah kita kemudian mendidih dan kita tidak lagi sempat membuat perhitungan atas langkah-langkah yang akan kita ambil, maka itu berarti bahwa mereka telah berhasil.”

“Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa, maka mereka pun akan mengejek kita, bahwa kita tidak berani segera bertindak.”

“Yang penting bukan berani segera bertindak. Tetapi langkah kita itu meyakinkan kita berdasarkan perhitungan yang matang akan berhasil.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara Ki Lurah pun bertanya, “Kau sudah melaporkannya kepada Ki Gede?”

“Sudah. Ki Gede memerintahkan kami untuk melapor kepada Ki Lurah.”

“Baik. Kami juga akan segera pulang. Tidak ada gunanya kami berlama-lama disini.”

Ki Lurah pun kemudian minta diri kepada pemimpin Pengawal yang bertugas. Kepada anak muda itu Ki Lurah berpesan, “Jika perlu sekali, kalian dapat memukul kentongan sebagai isyarat.”

“Ya, Ki Lurah.”

“Tetapi berhati-hatilah terhadap Soma dan Tumpak. Ternyata mereka orang-orang yang sangat berbahaya.”

“Ya, Ki Lurah.”

Setelah mereka meyakini, bahkan mendapat laporan bahwa Soma dan Tumpak sudah kembali ke Pudak Lawang lewat jalan lain, maka Ki Lurah dan Glagah Putih pun telah kembali ke padukuhan induk. Merekapun langsung pergi menemui Ki Gede di rumahnya. Adalah kebetulan bahwa Ki Argajaya ada di rumah Ki Gede.

Bukan hanya Ki Argajaya, tetapi ternyata Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede pula.

“Selamat malam kakang. Selamat malam adi Glagah Putih,” justru Swandaru lah yang menyapanya lebih dahulu.

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk dalam-dalam Ki Lurah itu menyahut, “Selamat malam adi berdua. Kapan adi berdua datang?”

“Sore tadi kakang. Menurut ayah, kakang sedang bermain-main bersama adi Glagah Putih dengan orang-orang Pudak Lawang.”

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Namun Glagah Putih dengan sungguh-sungguh berkata, “Mereka ternyata sangat licik, kakang.”

“Ya. Kami telah mendengar apa yang terjadi. Selagi kakang Agung dan adi Glagah Putih menunggu mereka kembali, mereka telah mengambil jalan lain.”

“Kita tidak dapat membiarkan diri dipermainkan terus-menerus.”

“Ya. Ki memang tidak dapat membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Aku datang justru persoalannya menyangkut pribadiku.”

“Kami ingin menjernihkan suasana di Tanah Perdikan ini, kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Apakah kalian kebetulan saja datang justru pada saat Tanah Perdikan ini menghadapi persoalan, atau kalian datang karena ada persoalan di Tanah Perdikan ini.”

“Ayah telah mengirim utusan ke Sangkal Putung,” jawab Pandan Wangi.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar niat Ki Gede untuk memberitahukan persoalan yang sedang berkembang di Tanah Perdikan ini. Bahkan karena Ki Kapat Argajalu juga menyebut-nyebut nama Pandan Wangi, karena Pandan Wangi dan anak laki-lakinya merupakan penghalang bagi Prastawa untuk mewarisi kedudukan Ki Gede di Tanah Perdikan ini.”

“Aku akan memberitahukan kepada Sekar Mirah. Ia tentu akan segera datang kemari.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pun justru minta diri. Mereka akan mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk menemui Swandaru dan Pandan Wangi.

“Nanti sajalah kita berbicara lebih lanjut tentang orang-orang Pudak Lawang itu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Sebenarnyalah ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan mengetahui bahwa Pandan Wangi telah datang bersama suaminya, maka mereka justru tergesa-gesa ingin menemuinya.

“Aku mandi dulu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “sehari aku menunggu dalam kegelisahan, sehingga pakaianku menjadi basah kuyub. Namun mereka tidak lewat.”

Setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih bergantian mandi dan berganti pakaian, maka mereka pun telah bersiap siap pergi ke rumah Ki Gede.

Sebelum mereka berangkat, Ki Lurah Agung Sedayu nampak berbicara bersungguh-sungguh dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih.”

“Aku akan mencoba mengemukakan hal ini kepada Ki Gede, adi Swandaru dan Pandan Wangi,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.

“Mudah-mudahan akan mendapat tanggapan baik.” Demikianlah sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Glagah Putih Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru dan Pandan Wangi.

Demikian Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi berkumpul, maka rasa-rasanya tidak ada orang lain yang mendapat kesempatan berbicara. Mereka berbicara tentang apa saja, seperti riuhnya kumpulan seribu burung betet di satu sarang.

Suara tertawa pun sekali-sekali terdengar meledak dan kemudian berkepanjangan.

“Sst,” desis Ki Gede, “seorang perempuan yang tertawa tidak boleh kelihatan giginya.”

Namun justru ketiganya tertawa meledak.

Baru setelah mereka puas berbicara tentang bumbu masakan sampai ke jenis kain lurik terbaru, nampaknya mereka mulai menjadi letih, sehingga pembicaraan mereka pun menjadi berangsur menyusut.

Ki Gede lah yang kemudian mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan kademangan di Pudak Lawang.

“Kita harus berhati-hati, agar Prastawa, isteri dan anaknya yang masih berada di dalam kandungan itu tidak menjadi korban,” berkata Ki Gede.

“Bagaimana kalau kita berusaha membebaskannya?” bertanya Pandan Wangi.

“Kita tidak dapat dengan serta merta menyerang. Mereka akan mempergunakan Prastawa sebagai perisai,” sahut Ki Gede.

Pandan Wangi menarik nafas panjang, sementara Ki Lurah Agung Sedayu berkata, “Kita akan mempergunakan cara yang lain.”

“Cara lain? Barangkali kakang telah merencanakan cara yang lain itu?” bertanya Swandaru.

“Ini baru satu gagasan. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Katakan Ki Lurah,” sahut Ki Gede.

Agung Sedayu pun kemudian telah menguraikan rencananya untuk membebaskan Prastawa dari tangan Ki Kapat Argajalu.

Ki Gede dan mereka yang berada dalam pertemuan itu mendengarkan rencana itu dengan seksama. Terasa ada ketegangan. Namun juga tersirat harapan.

Ki Argajaya yang juga hadir dalam pertemuan itu sekali-sekali menahan nafas. Namun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

Malam pun menjadi semakin larut. Ki Gede, Ki Argajaya dan mereka semuanya yang mendengar rencana Agung Sedayu itu duduk termangu-mangu. Wajah-wajah nampak bersungguh-sungguh. Agaknya rencana itu telah menarik perhatian mereka.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Argajaya?” bertanya Ki Gede.

Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Memang semua langkah itu mengundang berbagai kemungkinan. Tetapi jika kita tidak berani melangkah, maka segala sesuatunya akan terhenti.”

“Ya,” sahut Ki Gede, “kita memang harus berani menanggung berbagai akibat. Tetapi menurut perhitungan nalar, rencana itu mempunyai harapan yang besar. Tetapi jika kita menghadapi kegagalan?”

“Apa boleh buat,” desis Ki Argajaya.

“Baiklah Ki Lurah. Nampaknya kita sependapat dengan rencana itu. Kita tidak dapat membuat rencana lain yang lebih baik. Kita juga tidak dapat berdiam diri terus-menerus. Karena itu aku sependapat bahwa rencana itu dilaksanakan. Sambil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Agung, kita memang harus menapak dengan satu usaha.”

“Baiklah,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, “jika demikian, maka kita harus mempersiapkan pasukan-yang kuat, yang siap menyerang Pudak Lawang. Aku akan memanggil sebagian dari pasukanku untuk mendukung rencana ini.”

“Kita akan mematangkan rencana ini malam nanti. Besok segala sesuatunya akan disiapkan, sehingga esok sore kita benar-benar sudah dapat mulai.”

“Ya. Kita akan dapat segera mulai,” desis Swandaru.

“Tetapi apakah adi Swandaru dan adi Pandan Wangi tidak perlu beristirahat dahulu barang sehari?”

“Tidak,” sahut Swandaru, “kami tidak letih. Sementara itu, kita tidak ingin terlambat.”

Malam itu segala rencana pun telah di matangkan. Ki Lurah Agung Sedang dan Glagah Putih telah berbicara dengan para pemimpin pasukan pengawal di padukuhan-padukuhan. Mereka harus segera mempersiapkan diri.

“Besok kalian harus sudah menghimpun semua kekuatan yang ada.”

“Baik, Ki Lurah.”

“Besok sore sebagian dari kekuatan Tanah Perdikan Menoreh harus bersiap di padukuhan Jatianyar.”

“Kita akan menyerang Pudak Lawang dari Jati Anyar?” bertanya salah seorang pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.

“Kita masih akan melihat suasana, apakah kita akan menyerang atau tidak. Tetapi jika perintah itu datang dari Ki Gede, maka kita tidak mengecewakan.”

“Baik, Ki Lurah.”

“Sebagian dari prajurit-prajuritku akan membantu kalian. Bukan maksudku, bahwa pihak-pihak di luar lingkungan Tanah Perdikan ini akan mencampurinya, tetapi di Pudak Lawang ada kekuatan yang harus diimbangi. Para murid Ki Kapat Argajalu yang banyak sekali jumlahnya telah berada di Pudak Lawang pula.”

“Baik, Ki Lurah.”

Seperti di rencanakan, maka di keesokan harinya, Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar mengumpulkan pasukan di padukuhan Jati Anyar. Sebagian pasukan Pengawal Tanah Perdikan yang berada di padukuhan-padukuhan telah berkumpul di padukuhan Jati Anyar. Mereka tidak saja berada di banjar dan di rumah Ki Bekel dan para bebahu, tetapi karena jumlahnya yang cukup besar, maka mereka pun di tempatkan di rumah-rumah penduduk yang sebagian justru telah mengungsi.

“Sebenarnya mereka tidak perlu mengungsi,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Bekel.

“Aku mengerti. Kitalah yang akan pergi ke Pudak Lawang. Tetapi meskipun demikian, aku tidak dapat mencegahnya. Mereka tentu memperhitungkan seandainya justru pasukan yang berada di Pudak Lawang itulah yang menyerang kemari.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Kehadiran pasukan dari padukuhan-padukuhan itu dengan mudah dapat dipantau oleh para pengawas yang berada di padukuhan terdekat dengan padukuhan Jati Anyar. Mereka sempat melihat betapa banyaknya anak-anak muda yang telah berada di Jati Anyar. Bahkan hampir setiap laki-laki yang masih mampu bertempur, terutama mereka yang di masa mudanya juga menjadi pasukan Pengawal Tanah Perdikan, telah berkumpul di padukuhan Jati Anyar.

“Gila,” geram seorang anak muda dari kademangan Pudak Lawang, “mereka mengerahkan segenap kekuatan mereka.”

“Bukankah itu wajar,” sahut seorang laki-laki yang berkumis lebat. Salah seorang murid Ki Kapat Argajalu, “tetapi apakah kita lalu menjadi gentar? Aku kira jumlah kita pun tidak kalah. Berapa jumlahnya laki-laki Pudak Lawang. Dan berapa pula jumlah murid Ki Kapat Argajalu yang ada di sini. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, tetapi kemampuan mereka tidak lebih baik dari para murid Ki Kapat Argajalu.”

Anak-anak muda dari Pudak Lawang itu pun mengangguk-angguk. Meskipun demikian, masih juga terasa jantung mereka berdebaran. Mereka sudah pernah bertempur melawan kekuatan yang datang dari luar Tanah Perdikan bersama-sama anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan lain itu. Yang sekarang telah terkumpul di padukuhan Jati Anyar. Besok atau mungkin besok lusa, mereka akan berhadapan dan bertempur melawan mereka.

Tetapi setiap kali Ki Demang Pudak Lawang telah membesarkan hati mereka. Katanya, “kita berjuang untuk menegakkan keadilan. Yang berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Bukan orang asing. Karena itu kita akan menolak kehadiran orang asing itu, dan kita akan menempatkan Ki Prastawa pada kedudukan yang seharusnya.”

Anak-anak muda Pudak Lawang yang mendengar sesorah Ki Demang itu selalu saja mengangguk-angguk. Merekapun mulai merasakan kebanggaan bahwa mereka telah turut berjuang untuk menegakkan kebenaran di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, untuk menghadapi serangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang besar itu, Pudak Lawang telah mempersiapkan diri pula. Mereka telah menempatkan pasukan induk mereka di padukuhan yang berhadapan dengan pasukan Jati Anyar diantara sebuah bulak yang tidak begitu panjang.

Ternyata pasukan dari kademangan Pudak Lawang itu pun terhitung cukup besar pula. Semua anak muda dan laki-laki yang masih kuat telah berkumpul di padukuhan di hadapan padukuhan Jati Anyar. Disamping mereka sebuah pasukan yang kuat yang terdiri dari para murid di perguruan Ki Kapat Argajalu telah bersiap di padukuhan itu pula.

Menjelang sore hari, maka Ki Gede Menoreh sendiri, diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru dan Pandan Wangi serta beberapa orang Pengawal dengan berkuda telah mendatangi padukuhan yang ada di hadapan padukuhan Jati Anyar itu.

Demikian iring-iringan kecil itu mendekati sebatang pohon yang sengaja dirobohkan oleh orang-orang Pudak Lawang, mereka pun berhenti.

Beberapa orang dari padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar itu pun telah ke luar dari pintu gerbang, mendekati sebatang pohon yang telah mereka robohkan itu.

Seorang yang bertubuh tinggi besar, berdada bidang, yang berdiri paling depan bertanya, “siapakah kalian?”

“Kau belum mengenal aku?,” bertanya Ki Gede.

“Belum kek. Aku belum mengenalmu.”

“Apakah kau orang Pudak Lawang.”

“Orang Pudak Lawang tentu mengenal aku. Aku satu-satunya yang ada di Tanah Perdikan ini.”

“Apakah yang kau maksud di Tanah Perdikan ini tidak ada orang setua kau? Apakah kau mengaku tidak ada orang yang mencapai umur seumurmu?”

“Bukan umur. Meskipun aku sudah menjadi semakin tua, tentu ada orang lain yang umurnya setua atau bahkan melebihi umurku.”

“Jadi, siapa kau ini?”

Tiba-tiba saja seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya berdesis, “Itu Ki Gede. Ki Gede Menoreh.”

“He? Jadi orang ini Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya.”

Dalam pada itu Ki Gede pun berkata, “Barangkali kau satu-satunya orang Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengenal aku.”

“Aku orang baru di Pudak Lawang Ki Gede,” jawab orang itu. Namun katanya kemudian, “Pantas jika kedudukanmu mulai dipersoalkan. Kau memang sudah terlalu tua untuk menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan ini.”

“Pengabdianku tidak mengenal umur, Ki Sanak,” berkata Ki Gede.

“Apakah seseorang yang mengabdi kepada kampung halamannya harus menjadi Kepala Tanah Perdikan? Kau dapat saja mengabdi sisa umurmu tanpa harus menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan. Kau dapat saja mengabdikan dirimu dengan seribu macam cara yang pantas bagi orang-orang tua.”

“Baik. Aku sependapat. Aku memang sudah memikirkan kemungkinan untuk mengundurkan diri dari jabatanku yang sekarang. Ini, anakku adalah calon penggantiku.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Gede telah menunjuk kepada Swandaru.

“Siapakah orang itu?”

“Swandaru,” desis laki-laki yang berdiri di sebelahnya.

“O. Jadi orang inilah yang disebut-sebut bernama Swandaru dan kademangan Sangkal Putung.”

“Ya. Anak menantuku berasal dari Sangkal Putung. Ia adalah orang yang pantas menjadi Kepala Tanah Perdikan disini.”

“Lalu bagaimana dengan kademangan Sangkal Putung?”

“Ia mempunyai anak laki-laki. Anak laki-lakinya lah yang kelak akan menduduki jabatan Kepala Tanah Perdikan ini.”

“Pertanyaanku sama. Lalu bagaimana dengan Kademangan Sangkal Putung?”

“Ada orang lain yang pantas menjadi Demang Sangkal Putung. Kedudukan seorang Demang dan seorang Kepala Tanah Perdikan berbeda.”

“Aku sudah tahu. Tetapi apa katamu tentang Ki Prastawa”

“Dimana Prastawa sekarang. Aku datang untuk berbicara dengan Ki Demang Pudak Lawang serta Prastawa.”

“Tidak. Tidak ada gunanya. Sebaiknya Ki Gede kembali saja ke Jati Anyar.”

“Aku akan berbicara dengan Prastawa. Ia tentu berada di padukuhan itu.”

“Tidak. Jangan memaksa. Sebaiknya Ki Gede kembali saja. Jika Ki Gede tidak mau kembali, maka Ki Gede akan mengalami kesulitan. Di padukuhan itu, terdapat pasukan yang lengkap dan kuat. Ki Kapat Argajalu dan kedua orang puteranya sudah berada di padukuhan itu pula.”

“Katakan kepada Ki Demang dan Prastawa, bahwa aku akan berbicara.”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Tidak seorang pun dari luar Pudak Lawang diperbolehkan memasuki daerah kami.”

“Jadi kalian menolak?”

“Ya.”

“Baik. Jika demikian maka kami akan memasuki padukuhanmu dengan paksa. Malam nanti kami akan datang untuk bertemu dengan Prastawa dan Ki Demang. Alangkah baiknya jika Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya ada di tempat itu pula.”

“Malam nanti pun kalian tidak akan dapat memasuki Pudak Lawang. Kami tidak akan mengijinkan kalian masuk.”

“Jika kami tidak diijinkan, maka kami akan memaksa dengan kekerasan. Malam nanti padukuhan itu akan kami masuki dengan paksa. Pasukanku sudah siap di Jati Anyar.”

“Jangan bermain api. Jika pasukan Ki Gede akan memasuki padukuhan kami, maka pasukan Ki Gede akan segera dihancurkan.”

“Kalian belum tahu, seberapa besar kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Perguruan kami adalah perguruan yang tidak ada bandingnya. Kami sudah siap untuk menyapu orang-orang Tanah Perdikan ini.”

“Perguruan mana? Apakah di Pudak Lawang ada sebuah perguruan?”

Orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian katanya, “Persetan dengan permainan kata-katamu. Tetapi pergilah sebelum kami bertindak sekarang ini.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baik. Aku akan pergi sekarang. Tetapi siapkan pasukanmu. Siapkan pula Prastawa dan pengikutnya yang telah memberontak itu.”

“Kami tidak akan gentar dengan omong kosong orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sebelum tengah malam, kami tentu sudah berada di padukuhan itu. Kami akan-menangkap Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa serta orang-orang Tanah Perdikan yang telah membantu mereka.”

“Kami sudah siap.”

“Kami tidak akan sabar menunggu sampai esok pagi. Karena itu, kami akan kembali malam nanti.”

Ki Gede pun kemudian memberi isyarat kepada mereka yang menyertainya untuk kembali.

Sesabar-sabar Agung Sedayu, terasa jantungnya berdegup semakin. Apalagi Swandaru dan Glagah Putih. Dada mereka bagaikan akan meledak. Jika saja mereka tidak terikat dalam satu rencana yang besar, maka mereka tidak akan menerima perlakuan itu. Bahkan mungkin dengan sekelompok kecil pasukan Pengawal Tanah Perdikan. mereka apapun yang akan terjadi.

Tetapi diantara mereka terdapat Ki Gede Menoreh yang tua, meskipun ia masih tetap menggenggam tombak pusakanya.

Ki Gede itulah yang telah memerintahkan mereka yang menyertainya untuk kembali ke Jati Anyar.

Sepeninggal Ki Gede serta para pengiringnya, maka orang yang bertubuh tinggi besar berdiri sambil bertolak pinggang. Kepada orang-orang yang berada di sekitarnya ia pun berkata, “Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu hanya dapat berbicara, menggertak dan mengancam. Tetapi jika kita dengan berani menghadapi mereka, maka mereka pun akan segera menghindar.”

“Tetapi malam nanti mereka akan kembali bersama pasukan mereka.”

“Itupun hanya omong kosong. Seandainya mereka benar-benar akan menyerang, mereka akan melakukan esok pagi, saat matahari terbit.”

Tetapi seorang yang lain menyahut, “Belum tentu. Mungkin mereka benar-benar akan datang malam nanti. Mereka merasa lebih menguasai medan dari pada kita.”

“Bukankah anak-anak muda Pudak Lawang juga menguasai medan di kademangannya sendiri?”

“Seberapa besar kekuatan mereka. Kitalah yang akan mengambil bagian terbesar dalam pertempuran ini. Sementara itu, kita masih belum mengenali lingkungan ini dengan baik.”

“Kita mempunyai pengalaman yang luas bertempur di segala medan. Bahkan medan yang sama sekali belum pernah kita ambah sebelumnya. Karena itu, jangan cemas. Seandainya mereka akan datang malam nanti, kita akan menyambut mereka dengan senang hati.”

“Tetapi jangan mengambil sikap sendiri. Kita harus melaporkannya kepada Ki Kapat Argajalu.”

“Tentu. Tetapi sikapnya tentu tidak akan jauh berbeda dengan sikapku.”

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berada di banjar padukuhan untuk menemui Ki Kapat Argajalu.

Ketika orang yang bertubuh raksasa itu melaporkan kedatangan Ki Gede dan beberapa orang pengiringnya, maka Ki Kapat Argajalu pun tertawa. Katanya, “Mereka berusaha untuk menggertak kita. Mereka menganggap kita seperti anak-anak yang akan segera menjadi ketakutan.”

“Tetapi pasukan Tanah Perdikan telah benar-benar disiapkan di Jati Anyar,” berkata Kayun, salah seorang pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan yang berada di Pudak Lawang.

“Bukankah kita juga sudah siap? Jika mereka benar-benar menyerang kita malam nanti, maka mereka akan memasuki sarang serigala yang sedang lapar.”

“Para pemimpin Tanah Perdikan lengkap berada di Jati Anyar, Ki Kapat.”

“Siapa saja mereka itu?”

“Ki Gede sendiri. Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru dan Pandan Wangi.”

“Jadi Swandaru sudah berada disini pula?”

“Ya.”

“Bagus. Kita pun akan menghadapi mereka dengan kekuatan penuh. Para putut agar segera dikumpulkan. Mereka tentu akan mengejutkan para Pengawal Tanah Perdikan.”

“Bahkan mungkin para prajurit dari Pasukan Khusus itu juga ikut melibatkan diri.”

“Apakah artinya mereka bagi kita semua? Murid-muridku akan menghancurkan mereka.”

Kayun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “bagaimana dengan Prastawa?”

“Biarlah Prastawa dan Ki Demang Pudak Lawang berada di padukuhan induk. Mereka adalah sasaran utama ungkapan kemarahan Ki Gede kali ini. Seandainya sekelompok diantara mereka berhasil menyusup memasuki padukuhan ini, mereka tidak akan menemukan Prastawa dan Ki Demang disini.”

Kayun mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang awasi padukuhan Jati Anyar. Kalian dapat maju sampai ke batas. Sampai ke batang pohon yang sudah kita robohkan itu.”

Kayun dan beberapa orang kawannya serta beberapa orang yang menyebut dirinya murid Ki Kapat Argajalu pun telah menjalankan perintah Ki Kapat. Mereka mengawasi padukuhan Jati Anyar yang nampak sibuk dari kejauhan. Soma dan Tumpak pun telah datang pula di tempat itu untuk menyaksikan sendiri persiapan yang dilakukan oleh para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh di padukuhan Jati Anyar.

“Nampaknya para pemimpin Tanah Perdikan telah berkumpul di padukuhan itu,” berkata Soma.

“Aku sudah bermimpi untuk bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ada dua orang yang harus diperhatikan di Tanah Perdikan itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih disamping; Ki Gede sendiri,” jawab Soma, “tetapi Ki Gede dengan cacat di kakinya tidak akan dapat berbuat terlalu banyak. Tetapi yang perlu diperhatikan menurut anak-anak muda Pudak Lawang, justru isteri Ki Lurah Agung Sedayu dan isteri Glagah Putih.”

“Seberapa jauh kemampuan seorang perempuan. Tetapi perempuan itu memang menarik perhatian.”

“Perempuan yang mana?”

“Isteri Glagah Putih,” sahut Tumpak sambil tertawa.

“Tetapi jangan abaikan kemampuan mereka. Anak-anak Pudak Lawang tahu benar, bahwa mereka adalah perempuan yang berilmu tinggi.”

“Baik, kakang.”

“Selain mereka masih ada orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan ini.”

“Biarlah para putut menyelesaikan mereka. Ayah sudah menunjuk beberapa orang putut untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan ini.”

Dalam pada itu. untuk mengimbangi persiapan besar-besaran di Jati Anyar, maka Soma dan Tumpak pun telah menugaskan sekelompok cantriknya untuk menyiapkan busur dan anak panah.

“Kita berada di belakang dinding padukuhan. Kita berada di tempat yang lebih gelap dari pada bulak di sebelah padukuhan itu. Dengan demikian, maka kita mempunyai kesempatan yang lebih baik dari mereka,” berkata Soma.

Namun Kayun pun berkata, “Aku yakin bahwa mereka tidak akan menyerang malam nanti. Tetapi esok pagi, menjelang matahari terbit.”

“Jangan lengah. Mungkin Ki Gede benar-benar mempersiapkan pasukannya untuk menyerang malam hari. Mungkin benar bahwa Ki Gede memperhitungkan bahwa mereka akan lebih menguasai medannya dari pada para cantrik dari perguruan kami,” sahut Tumpak.

Kayun pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kami tidak akan lengah.”

Untuk beberapa saat Soma dan Tumpak memperhatikan keadaan padukuhan Jati Anyar. Mereka hanya dapat melihat beberapa kesibukan di permukaan. Namun kesibukan di permukaan itu telah memberikan kesan, bahwa di Jati Anyar pasukan yang besar telah disiapkan. Apalagi sampai menjelang sore hari, masih saja ada kelompok-kelompok anak muda yang mengalir ke padukuhan Jati Anyar.

“Ki Gede sudah menjadi gila menghadapi perlawanan kademangan Pudak Lawang,” berkata seorang putut yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.

“Ya. Seluruh kekuatan di Tanah Perdikan benar-benar telah ditimbun di Jati Anyar,” sahut yang lain.

“Tetapi itu lebih baik bagi kita,” sahut Soma yang mendengar pembicaraan itu, “pekerjaan kita segera selesai. Jika kita berhasil menghancurkan pasukan Tanah Perdikan nanti malam, maka untuk selanjutnya tidak akan ada masalah lagi. Seluruh Tanah Perdikan itu akan segera kita kuasai. Mungkin memang masih ada persoalan kecil dengan pasukan khusus dari Mataram yang berada di Tanah Perdikan, tetapi ia tidak akan berakibat buruk bagi kita.”

Ketika senja turun, maka padukuhan Jati Anyar memang menjadi terang oleh cahaya oncor yang menyala di beberapa tempat. Di gerbang padukuhan terdapat lebih dari ampat buah oncor. Kemudian cahaya yang terang di dalam padukuhan itu pun nampak naik ke udara diatas padukuhan Jati Anyar.

Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak serta para putut dan cantriknya benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Ki Kapat Argajalu menyadari, bahwa di Tanah Perdikan terdapat beberapa orang yang berilmu sangat tinggi.

“Apalagi Swandaru dan Pandan Wangi pun ada di padukuhan Jati Anyar pula,” berkata Tumpak.

Sebenarnyalah para pemimpin Tanah Perdikan telah berada di Jati Anyar. Ki Gede, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru, dan Pandan Wangi. Bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah berada di padukuhan itu pula. Bukan hanya mereka, tetapi Ki Jayaraga telah mengajak Empu Wisanata serta anaknya perempuan untuk berada di pemusatan kekuatan itu pula.

“Terima kasih atas kesediaan kalian,” berkata Ki Gede, “kita sudah sampai pada permainan terakhir dari rencana kita.”

“Kami sudah siap Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

“Baiklah. Mudah-mudahan kalian berhasil. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat.”

“Mudah-mudahan Prastawa dapat bekerja sama dengan baik.”

Di padukuhan yang berhadapan dengan padukuhan Jati Anyar, beberapa orang mengalami perkembangan keadaan di Jati Anyar dengan cermat. Mereka melihat orang-orang yang membawa oncor berjalan hilir mudik di depan pintu gerbang.

Di padukuhan di hadapan Jati Anyar itu pun terjadi kesibukan yang semakin meningkat. Beberapa kelompok telah dibebani tugas untuk menahan arus serangan pasukan Pengawal Tanah Perdikan sebelum mereka mencapai dinding padukuhan. Busur dan anak panah telah disiapkan. Lembing dan senjata-senjata lontar yang lain. Ada beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan menyerang dari jarak jauh dengan bandil dan pisau-pisau belati.

Beberapa orang putut yang berilmu tinggi telah mendapat pesan-pesan khusus, siapakah yang harus mereka hadapi. Sementara itu. Soma dan Tumpak berkeras untuk menghadapi Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Siapa yang beruntung diantara kita akan mendapat kesempatan membunuh Agung Sedayu.”

Tetapi Ki Kapat Argajalu pun berkata, “Meskipun kalian berdua berilmu tinggi, tetapi menurut pendapatku, kalian masih belum dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Biarlah aku yang menghadapinya. Kalian berdua akan membagi untung, siapakah yang akan bertemu dengan Glagah Putih dan siapakah yang akan berhadapan dengan Swandaru.”

“Aku akan membunuh orang Sangkal Putung itu,” berkata Tumpak.

Soma mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian berkata, “Siapakah yang akan aku hadapi, aku akan lumatkan, menjadi debu. Aku tidak akan menahan diri untuk tidak membunuh sebanyak-banyaknya orang Tanah Perdikan.”

“Terserah kau,” sahut K i Kapat Argajalu.

“Kami memang tidak berkewajiban untuk berbelas kasihan kepada orang-orang. Tanah Perdikan,” sahut Tumpak.

Dalam pada itu, malamnya menjadi semakin dalam. Para pengawas di padukuhan yang berhadapan dengan Jati Anyar itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang membawa obor ke luar dari gerbang padukuhan. Sebagian dari mereka berjalan ke kiri dan yang lain berjalan ke kanan.

“Kita harus bersiap. Agaknya mereka akan merentangkan pasukan mereka.”

Ketika Ki Kapat Argajalu mendapat laporan tentang beberapa orang yang membawa obor itu, ia pun berkata dengan nada berat, “Apakah orang-orang Tanah Perdikan akan menyerang dengan gelar perang.?”

“Mungkin saja,” sahut Soma, “mereka menganggap bahwa cara itu adalah cara yang terbaik. Atau sekedar ingin menyombongkan diri bahwa para Pengawal Tanah Perdikan memiliki kemampuan seperti prajurit. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mampu menurunkan pasukannya dalam perang gelar.”

“Apakah mereka akan menyerang dengan gelar atau tidak, bagi kita sama saja, karena kita tidak akan terpancing ke luar dari dinding padukuhan ini,” berkata Tumpak dengan nada datar.”

“Ya,” Ki Kapat Argajalu tertawa, “mereka akan merasa diri mereka sangat bodoh jika mereka harus mempersiapkan serangan dengan gelar perang.”

Namun tiba-tiba obor-obor di luar dinding padukuhan Jati Anyar itu sebagian menjadi padam. Hanya ada satu saja yang tinggal di sisi kiri dan satu sisi kanan.

“Permainan apa lagi yang mereka lakukan?” desis para pengawas.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah jauh meninggalkan Jati Anyar. Dalam gelapnya malam mereka menyusup diantara tanaman yang subur di sawah, hampir merangkak di pematang, menuju ke padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.

Agaknya pertahanan kademangan Pudak Lawang memang dipusatkan di depan padukuhan Jati Anyar. Sedang mereka menjadi lengah di padukuhan-padukuhan yang lain. Meskipun ada juga kesiagaan serta para peronda di padukuhan-padukuhan yang lain, namun rasa-rasanya kesiagaan itu kurang memadai..

Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengenali medan yang mereka hadapi dengan sangat baik. Karena itu, mereka tidak terlalu mengalami kesulitan untuk sampai di padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.

Dengan hati-hati ketiga orang itu sempat mengamati pintu gerbang. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga di pintu gerbang. Bahkan mungkin ada diantara mereka murid-murid Ki Kapat Argajalu.

“Kita akan meloncati dinding padukuhan induk itu,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Namun ketika mereka sudah siap meloncat Glagah Putih tiba-tiba saja berbisik, “Bukankah Ki Jayaraga mempunyai kemampuan menebarkan sirep?”

“Sirep?” bertanya Agung Sedayu.

Tetapi Ki Jayaraga tersenyum sambil berkata, “Bukankah kita dapat melakukannya tanpa menebarkan sirep?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tertawa tertahan.

Sejenak kemudian, ketiganya telah meloncati dinding dan berada di dalam padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.

“Ada dua tempat yang harus kita lihat. Prastawa berada di rumah Ki Demang atau berada di banjar,” desis Agung Sedayu.

Ki Jayaraga pun menyahut, “Kita pergi saja ke rumah Ki Demang lebih dahulu, Ki Lurah. Aku condong berpendapat bahwa angger Prastawa berada di rumah Ki Demang.”

“Ya, kakang. Aku kira kakang Prastawa berada di rumah Ki Demang.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita pergi ke rumah Ki Demang.”

Ketiganya pun kemudian menyusup di lorong-lorong sempit menuju ke rumah Ki Demang. Untunglah bahwa mereka telah mengenal padukuhan induk kademangan Pudak Lawang dengan baik. Apalagi Glagah Putih. Ia mengenal padukuhan induk itu sebagaimana ia mengenal padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah mendekati rumah Ki Demang. Mereka menjadi semakin berhati-hati. Dengan kemampuan mereka yang tinggi, mereka berhasil memasuki halaman samping rumah Ki Demang di Pudak Lawang.

“Nampaknya Prastawa memang berada disini,” desis Agung Sedayu setelah melihat kesiagaan yang tinggi di rumah Ki Demang.

Ketiganya pun kemudian bergeser menyusup diantara pepohonan dan tanaman perdu di belakang gandok. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak semakin ke depan.

“Ada beberapa orang di pringgitan,” bisik Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Jayaraga pun berdesis, “Lihat, Prastawa ada diantara mereka.”

Agung Sedayu memandang Prastawa dengan tajamnya Ia ingin menangkap kesan pada wajah Prastawa yang sedang berbincang dengan beberapa orang itu. Diantara mereka terdapat pula Ki Demang Pudak Lawang.

Agung Sedayu pun kemudian telah mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat melihat dengan jelas wajah Prastawa serta mendengar apa yang mereka bicarakan.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri masih ragu-ragu akan sikap Prastawa. Agaknya Prastawa sendiri dicengkam oleh kebimbangan sehingga sulit baginya untuk mengambil sikap yang tegas dan pasti.

Dengan mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, Agung Sedayu mendengar beberapa bagian dari pembicaraan mereka yang berada di pringgitan.

“Sikapku sudah tak akan berubah lagi Ki Demang,” berkata Prastawa.

Ki Demang tertawa. Katanya, “Sayang sekali, Prastawa. Tetapi kau sudah tidak mempunyai pilihan. Malam ini pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan menyerang Pudak Lawang. Mereka meletakkan alas kekuatan mereka di padukuhan Jati Anyar, sementara kita pun sudah siap menghadapinya di padukuhan yang berhadapan dengan padukuhan Jati Anyar. Pasukan Tanah Perdikan itu akan disambut dan dihancurkan oleh pasukan Pudak Lawang bersama dengan para murid Ki Kapat Argajalu yang jumlahnya cukup banyak. Mereka memiliki bekal ilmu yang tentu lebih baik dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka berada di sebuah perguruan yang menimba ilmu kanuragan secara khusus. Sementara itu, setiap orang di Tanah Perdikan ini tahu, bahwa Pudak Lawang adalah kademangan terkuat di seluruh Tanah Perdikan ini.”

“Kau berangan-angan Ki Demang,” berkata Prastawa, “meskipun Pudak Lawang itu kademangan terkuat, tetapi kau bergerak sendiri di Tanah Perdikan yang luas itu. Seandainya benar para cantrik Ki Kapat Argajalu dalam jumlah yang besar berada di kademangan ini, mereka akan berhadapan dengan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus-yang berada di Tanah Perdikan.”

“Jumlah mereka tidak seberapa, Prastawa.”

Prastawa terdiam. Namun pembicaraan itu bagi Agung Sedayu cukup meyakinkan, bahwa sikap Prastawa sudah tidak berubah lagi.

“Apa katanya?” bertanya Glagah Putih yang hanya dapat melihat, tetapi tidak begitu jelas dari jarak yang agak jauh.

“Kita dapat memastikan, bahwa Prastawa sudah bertekad untuk tetap pada sikapnya terakhir sebagaimana dinyatakan kepada Ki Gede,” jawab Agung Sedayu dengan berbisik.

“Jika demikian, kita akan dapat melaksanakan sekarang.”

“Sst,” desis Ki Jayaraga, “kita harus mengingat pula Nyi Prastawa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun beberapa saat kemudian mereka melihat Prastawa itu bangkit berdiri. Agung Sedayu yang masih mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu mendengar Prastawa itu berkata, “Aku akan tidur. Aku letih sekali. Isteriku juga sedang tidak enak badan. Jika pasukan Ki Demang dapat menghancurkan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan, silahkan saja. Bagiku sudah tidak ada bedanya lagi.”

Ki Demang tertawa. Katanya, “Ternyata hatimu benar-benar rapuh Prastawa. Tiba-tiba kau menjadi seorang laki-laki yang tidak lagi mempunyai kemauan untuk berbuat sesuatu dalam keputus-asaan.”

“Aku tidak dapat menolak sebutan itu, Ki Demang. Hatiku memang rapuh. Sekarang, aku akan ke bilikku.”

Ketika Prastawa beranjak dari tempatnya, dua orang yang bertubuh kekar telah bangkit pula mengikuti Prastawa masuk ke dalam bilik itu. kedua orang itu pun duduk di sebuah lincak bambu yang agak panjang di sebelah pintu bilik itu.

Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun kemudian telah beringsut dari tempat mereka. Mereka menyelinap ke belakang gandok di arah bilik yang agaknya diperuntukkan bagi Prastawa dan isterinya dibawah penjagaan yang ketat. Dua orang yang duduk di luar pintu bilik Prastawa itu agaknya bukan orang Pudak Lawang. Tetapi mereka tentu murid-murid Ki Kapat Argajalu yang dipercaya untuk menjaga Prastawa dan isterinya.

Ketiga orang itu pun kemudian telah melekat dinding di belakang bilik Prastawa. Lamat-lamat mereka tidak mempergunakan ilmu Sapta Pangrungu. Apalagi Ki Lurah Agung Sedayu. Ia dapat mendengar dengan jelas pembicaraan di dalam bilik itu.

“Kakang,” terdengar suara seorang perempuan, “jika kakang mendapat kesempatan, sebaiknya kakang tinggalkan tempat ini. Kembalilah kepada Ki Gede serta kepada ayah, Ki Argajaya.”

“Apakah aku harus meninggalkan kau disini?” sahut Prastawa dengan nada berat.

“Tidak apa-apa kakang. Tinggalkan aku disini. Biarlah apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku, asal kakang dapat menyelamatkan diri dari kekuasaan Ki Kapat Argajalu, karena untuk seterusnya kakang tentu hanya akan diperalatnya.”

“Tidak, Nyi. Aku tidak dapat meninggalkan kau dan anak yang akan kau lahirkan itu disini. Kau akan mengalami nasib yang sangat buruk. Biarlah aku tetap disini, apapun yang akan terjadi.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian memberi isyarat untuk berkisar sedikit menjauh.

“Aku yakin, Prastawa dan isterinya ada di dalam bilik itu.”

“Ya.”

“Coba kau lihat Glagah Putih, apakah masih ada orang-orang yang duduk di pringgitan.”

Glagah Putih pun segera beringsut Sentuhan kakinya di tanah yang kering di belakang gandok itu sama sekali tidak menimbulkan suara. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menunggunya.

Sejenak kemudian Glagah Putih pun telah kembali. Sambil menggelengkan kepalanya ia pun berdesis, “Tidak, kakang. Sudah tidak ada orang di pringgitan.”

“Kedua orang yang berada di sebelah pintu bilik Prastawa?”

“Mereka masih ada disana.”

“Kemana orang-orang yang duduk di pringgitan itu?”

“Agaknya mereka berada di belakang regol. Ada beberapa orang yang duduk di belakang pintu regol.”

“Termasuk Ki Demang Pudak Lawang?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku tidak melihat Ki Demang.”

“Kita akan mulai dengan tugas kita yang sebenarnya. Kita akan membebaskan Prastawa dan isterinya serta membawa mereka ke padukuhan Palihan, justru di arah yang berlawanan dengan Jati Anyar. Beberapa Pengawal Tanah Perdikan ada disana. Mereka telah menyiapkan kuda pula buat Prastawa dan isterinya. Selanjutnya kita akan membawa mereka ke padukuhan induk.”

Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Merekapun sudah mengerti rencana itu.

Meskipun demikian Glagah Putih pun bertanya, “Mungkin orang-orang Pudak Lawang akan memburu kita.”

“Padukuhan Palihan tidak terlalu jauh, meskipun kita harus melalui dua bulak panjang. Tetapi jika ada yang memburu kita, apa boleh buat. Kita tidak mempunyai pilihan lain selain menghentikan mereka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Apa yang harus kita tangani lebih dahulu?”

“Menyingkirkan kedua orang itu serta beberapa orang yang berada di regol.”

“Kita tidak perlu membunuh mereka,” berkata Ki Jayaraga, “biarlah mereka tetap hidup. Tetapi kita berhasil membawa Prastawa dan isterinya.”

“Maksud Ki Jayaraga?”

“Aku kira di tempat ini tidak ada lagi orang yang berilmu tinggi yang mampu meredam taburan sirepku.”

“Nah, baru sekarang Ki Jayaraga akan menebarkan sirep-sirep.”

“Itu lebih baik dari pada membunuh mereka.”

“Ya, aku sependapat.”

“Apa yang Ki Jayaraga perlukan untuk melepaskan sirep di halaman rumah Ki Demang ini?”

“Kau Glagah Putih dan aku sendiri. Kita akan menaburkan serbuk ini kepada orang-orang yang berada disebelah pintu bilik itu serta yang berada di belakang regol.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi ilmu sirep Ki Jayaraga yang ini agak berbeda dengan ilmu sirep yang sering dipergunakan oleh orang lain itu.”

Ki Jayaraga tersenyum. Diberikannya tabung kecil kepada Glagah Putih sambil berkata, “Usahakan serbuk yang ada di dalamnya tertabur di wajah kedua orang yang berada disebelah pintu itu agar terhisap pada saat mereka bernafas. Aku akan pergi ke regol untuk menaburkan tabung yang satu lagi.”

“Kita langsung pergi menemui mereka?”

“Ya. Mereka tidak akan sempat berpikir terlalu jauh asal kita mendekati mereka tanpa ragu-ragu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Ki Jayaraga. Aku akan mendekati kedua orang disebelah pintu sedang guru pergi ke regol.”

“Ki Lurah akan mengurus Prastawa dan isterinya.”

“Ya, Ki Jayaraga. Aku akan mengurus Prastawa.”

Sejenak kemudian, dengan tanpa ragu-ragu , Glagah Putih dan Ki Jayaraga muncul dari balik sudut gandok Mereka muncul dari kegelapan langsung menuju ke sasaran masing-masing.

Kedatangan mereka memang mengejutkan. Baik kedua orang yang duduk di sebelah pintu, maupun yang berada di regol, hampir berbareng bertanya, “Siapakah kau?”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Kenapa kalian harus berpura-pura tidak tahu?”

Berbeda dengan kedua orang yang menjadi sasaran Glagah Putih, yang keduanya memang belum mengenalinya, di regol ada diantara mereka yang sudah pernah mengenal Ki Jayaraga.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, karena Ki Jayaraga melangkah tanpa ragu-ragu, justru mereka yang berada di regol itulah yang menjadi ragu-ragu.

Namun baik kedua orang yang berada di sebelah pintu bilik gandok, maupun beberapa orang yang berada di regol, tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiba-tiba saja serbuk yang berwarna keputih-putihan telah menghambur ke wajah mereka dari dalam bumbung bambu di tangan Glagah Putih dan Ki Jayaraga.

Ternyata serbuk itu dengan cepat mempengaruhi syaraf mereka yang terkena wajahnya. Di luar sadar, mereka telah mengisap serbuk itu bersama dengan tarikan nafas mereka. Hanya beberapa saat kemudian, orang-orang itu terbaring diam. Tidur dengan nyenyaknya

Sementara itu, Agung Sedayu telah mendorong pintu bilik gandok itu, sehingga Prastawa dan isterinya terkejut sekali.

“Ki Lurah,” desis Prastawa

“Aku tidak sempat menjelaskan sekarang. Marilah kita ke luar dari tempat ini.”

“Di luar ada orang-orang yang berjaga-jaga.”

“Mereka telah tertidur nyenyak.”

“Tertidur?”

“Ya Ki Jayaraga telah menaburkan serbuk sirep ke hidung mereka.”

“Tetapi.”

“Sudahlah. Kita pergi sekarang. Jangan bertanya lebih banyak lagi. Waktu kita hanya sedikit. Mereka yang terkena sirep itu akan segera terbangun.”

Prastawa memang tidak sempat bertanya lebih lanjut Ki Lurah pun kemudian telah mengajak keduanya ke luar dari bilik di gandok itu langsung turun ke halaman.

“Di regol ada sekelompok orang yang bertugas,” desis Prastawa.

Glagah Putih yang sudah bergabung dengan mereka pun berdesis, “Semuanya sudah tidur. Yang berdiri dan membuka pintu regol itu adalah Ki Jayaraga.”

Prastawa menarik nafas panjang.

Demikianlah, mereka berlima pun kemudian menyusuri padukuhan induk Kademangan Pudak Lawang. Mereka memilih jalan setapak yang jarang dilalui orang.

Namun mereka tidak dapat keluar lewat pintu gerbang padukuhan induk yang dijaga oleh anak-anak muda dan bahkan ada diantara mereka cantrik Ki Kapat Argajalu. Tetapi mereka telah pergi ke regol butulan di ujung lorong kecil yang tidak dijaga.

Mereka pun kemudian membuka selarak pintu itu. Demikian empat orang diantara mereka keluar, maka Glagah Putih yang masih tetap berada di dalam itu pun menyelarak pintu regol itu kembali.

Dengan tangkasnya Glagah Putih pun kemudian meloncati dinding padukuhan itu dan menghambur keluar menyusul Ki Lurah dan Ki Jayaraga yang berjalan bersama Prastawa dan isterinya.

“Kita tidak usah tergesa-gesa” berkata Ki Lurah, “kasihan Nyi Prastawa yang sedang mengandung.”

“Aku masih dapat berjalan cepat” sahut Nyi Prastawa yang jantungnya terasa berdebar-debar. Ia merasa cemas bahwa anak-anak muda Pudak Lawang akan segera menyusulnya.

“Kita akan pergi ke mana?” bertanya Prastawa kemudian.

“Ke padukuhan terdekat di luar Kademangan Pudak Lawang. Palihan.

“Jadi kita pergi ke Palihan?”

“Ya. Kawan-kawan kita sudah mempersiapkan jemputan. Nyi Prastawa terpaksa naik kuda. Tetapi pelan-pelan, menuju ke Padukuhan Induk Tanah Perdikan.

“Aku mengucapkan terima kasih, Ki Lurah. Aku dan isteriku serta anak yang masih dikandungnya.”

“Sudahlah. Kami sekedar menjalankan kewajiban.”

Demikianlah mereka menyusuri kegelapan menuju kc padukuhan Palihan. Mereka menghindari sebuah padukuhan yang masih termasuk kademangan Pudak Lawang. Melalui pematang dan tanggul kali, akhimya mereka sampai ke luar batas kademangan Pudak Lawang.

“Kita sudah dibebaskan Nyi” berkata Prastawa. Terdengar suaranya yang bening memancarkan keriangan_

“Ya, kakang Yang Maha Agung masih melindungi kita.”

Sejenak kemudian, maka mereka telah berada di padukuhan Palihan. Beberapa orang anak muda memang sudah siap menyambut kedatangan mereka.

Di padukuhan Palihan sudah tersedia beberapa ekor kuda yang dapat mereka pergunakan untuk menempuh perjalanan ke padukuhan induk.

“Apakah mungkin Nyi Prastawa naik kuda?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku belum pernah naik kuda, Ki Jayaraga.”

“Apalagi keadaannya sekarang, bahwa Nyi Prastawa sedang mengandung.”

“Kuda itu tidak akan berlari. Ki Jayaraga” sahut Ki Lurah Agung Sedayu, “kuda itu akan berjalan saja perlahan-lahan. Bahkan mungkin Nyi Prastawa dan Ki Prastawa naik di punggung seekor kuda.”

“Agaknya itu akan lebih baik daripada Nyi Prastawa harus berjalan kaki.”

“Ketika kami meninggalkan padukuhan induk dibawah ancaman Ki Kapat Argajalu dan anak-anaknya, aku juga berjalan kaki. Apalagi waktu itu kami didorong-dorong agar berjalan lebih cepat” sahut Nyi Prastawa.

“Tetapi Nyi Prastawa akan menjadi terlalu letih juga harus berjalan lagi kembali ke padukuhan induk.”

Namun dalam pada itu Prastawapun berkata, “Ki Lurah. Bukankah Pasukan Tanah Perdikan Menoreh sekarang dipusatkan di padukuhan Jati Anyar?”

“Ya”

“Sepengetahuanku pasukan Pudak Lawang dan para cantik paman Kapat Argajalu ditempatkan di padukuhan dihadapan padukuhan Jati Anyar, siap untuk menghadapi pasukan Tanah Perdikan.”

“Ya.”

“Jika demikian, sebaiknya aku akan pergi ke Jati Anyar”

“Kau?” bertanya Glagah Putih.

“Ya.”

“Bagaimana dengan Nyi Prastawa?”

“Biarlah anak-anak muda mengantarnya kembali ke padukuhan induk.”

“Tidak kakang,” sahut Nyi Prastawa, “aku akan ikut kakang ke Jati Anyar. Apapun yang akan terjadi dengan kakang Prastawa, aku akan menyertainya.”

“Tetapi di Jati Anyar itu penuh dengan pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Perang akan terjadi. Bahkan mungkin Ki Kapat Argajalu lah yang akan pergi ke Jati Anyar.”

“Aku tidak peduli. Aku akan menyerati kakang Prastawa. Mungkin aku justru akan membebaninya karena aku tidak memiliki kemampuan seperti mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan. Tetapi aku ingin bersama kakang Prastawa dalam segala kemungkinan.”

Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga saling berpandangan sejenak. Sementara itu Prastawa pun berkata, “Bukankah lebih baik bagimu untuk pergi ke padukuhan induk?”

“Tidak kakang. Jika aku berada di padukuhan induk, orang-orang Ki Kapat Argajalu dapat mengambil aku lagi dan memaksakan kehendaknya dengan mempergunakan aku sebagai taruhan. Meskipun aku sudah bertekad untuk mati sekalipun daripada jatuh ke tangan mereka kembali, namun kemungkinan itu selalu membayangi aku, sehingga aku menjadi takut sekali. Karena itu lebih baik bagiku untuk selalu bersama kakang Prastawa apapun yang terjadi.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Jika demikian, kita akan pergi ke padukuhan Jati Anyar.”

Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan padukuhan Palihan menuju ke Jati Anyar. Perjalanan yang terasa sangat lambat, karena Nyi Prastawa yang berkuda bersama Ki Prastawa tidak dapat berkuda dengan cepat karena keadaannya.

Dalam pada itu, Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak yang berada di padukuhan di hadapan Jati Anyar, menunggu, kapan pasukan Tanah Perdikan itu mulai bergerak maju. Tanah Perdikan memang sudah memberikan isyarat, bahwa mereka akan mempergunakan gelar yang melebar. Agaknya pasukan Tanah Perdikan itu ingin menjepit padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar itu.

“Jika mereka mengusahakan untuk menjepit padukuhan ini dengan gelar yang melebar, kemudian sayap-sayapnya akan menyekap padukuhan ini, mereka akan menjadi sangat kecewa, karena yang akan mereka temukan disini adalah kehancuran,” berkata Soma

“Aku justru berharap mereka datang dalam gelar seperti itu. Tentu menyenangkan sekali bertempur di pusat gelar yang melebar itu,” sahut Tumpak.

“Jangan merendahkan kemampuan orang-orang Tanah Perdikan, “ desis Ki Kapat Argajalu, “kita justru akan terkejut jika pasukan kita dan pasukan Tanah Perdikan mulai berbenturan.”

“Mungkin. Malam sudah menjadi semakin larut, tetapi Pasukan Tanah Perdikan itu masih belum bergerak.”

“Agaknya mereka sengaja membuat kita gelisah. Malam ini tidak seorang pun diantara kita yang sempat beristirahat. Esok, mereka akan mempergunakan tenaga baru sementara tenaga kita justru sudah mulai menjadi letih.”

“Aku setuju, bahwa sebagian dari pasukan Pengawal serta para cantrik mendapat kesempatan untuk beristirahat. Biarlah mereka tidur. Jika ada tanda-tanda pasukan Tanah Perdikan bergerak, mereka akan dibangunkan dan harus segera menempatkan diri di tempat yang sudah ditentukan.”

Dalam pada itu, di padukuhan induk kademangan Pudak Lawang, beberapa orang yang terbius serbuk yang ditaburkan oleh Glagah Putih dan Ki Jayaraga, mulai sadar. Dua orang yang berjaga-jaga di pintu bilik Prastawa di gandok, yang mempunyai daya tahan yang lebih tinggi dari anak-anak muda dan kawan-kawannya para cantrik yang bertugas di regol mulai membukakan matanya.

“Apa yang terjadi,” desis seorang diantara mereka. Kawannya tiba-tiba saja meloncat bangkit sambil berkata, “Tentu ada yang tidak wajar telah terjadi.”

“Ya. Kita tertidur.”

Keduanya termangu-mangu sejenak. Mereka mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi di atas diri mereka.

Seseorang telah datang. Kemudian menaburkan serbuk putih.

“Racun. Kita terbius karenanya. Lalu kita tertidur.” Serentak keduanya memandangi pintu bilik Prastawa. Pintu itu masih tertutup. Namun ketika seorang diantaranya menyentuh pintu itu, maka pintu itu pun segera terbuka.

Jantung kedua orang yang bertugas mengawasi Prastawa itu berdesir. Dengan serta merta keduanya menghambur masuk ke dalam bilik itu.

Tidak ada yang berubah. Tetapi Prastawa dan isterinya sudah tidak ada di dalam bilik itu.

“Gila. Ini permainan gila. Bagaimana dengan kawan-kawan yang berada di pintu regol?”

Keduanya pun menghambur ke pintu regol. Mereka melihat orang-orang yang berada di pintu regol itu masih menggosok mata mereka. Seorang diantara mereka menguap. Seorang masih berbaring sambil menggeliat.

“Nyenyaknya tidurku,” desis orang yang menguap itu.

“Jadi kalian tertidur semua,” bentak salah seorang yang bertugas didepan bilik Prastawa.

“He?” Orang-orang yang berada di regol itu baru menyadari, apa yang telah terjadi. Yang masih berbaring itu pun segera meloncat bangkit sambil berkata lantang, “Ya. Kami tertidur. Apa yang telah terjadi?”

“Seseorang datang kepada kita dan menaburkan serbuk berwarna putih,” berkata seseorang.

“Orang yang menaburkan serbuk itu adalah Ki Jayaraga. Seorang tua yang tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Apa?” bertanya seorang yang bertugas menjaga pintu bilik Prastawa, “orang itu tinggal bersama Agung Sedayu?”

“Ya.”

“Anak iblis. Dengar baik-baik,” berkata orang yang bertugas menjaga pintu bilik Prastawa itu, “Prastawa hilang.”

“Prastawa hilang?”

“Ya. Pada saat kalian tidur, Prastawa telah dibawa ke luar pintu regol ini.”

“He,” orang-orang yang bertugas di regol itu terkejut. Seorang diantara mereka bertanya, “Jadi Prastawa sekarang hilang dari rumah Ki Demang ini?”

“Ya. Sementara itu kalian tidur dengan nyenyaknya.”

“Lalu, kalian berdua dimana waktu itu?”

Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya keduanya tidak dapat ingkar lagi. Seorang diantara mereka menjawab. “Kami juga tertidur.”

“Jadi kalian juga tertidur?”

“Ya.”

“Jadi serbuk putih itu tentu semacam serbuk yang dapat membius sehingga kita tertidur.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita laporkan kepada Ki Demang. Sementara itu, kalian pergi mencari jejaknya. Pergi ke pintu-pintu gerbang butulan atau jalan-jalan lain yang mungkin dilaluinya.”

“Baik. Kami akan pergi ke gerbang kademangan.”

“Jangan bergerombol. Kalian dapat saling memisahkan diri, sehingga gerak kalian menjadi semakin cepat. Kami berdua akan berbicara dengan Ki Demang.”

Sejenak kemudian, beberapa orang yang baru saja tertidur di regol halaman rumah Ki Demang itu pun segera berpencar. Sedang kedua orang yang bertugas di pintu bilik Prastawa di gandok, segera menemui Ki Demang. Mereka mengetuk pintu pringgitan.

Ketukan yang keras telah membangunkan Ki Demang yang tertidur nyenyak.

“Siapa?” bertanya Ki Demang. Tetapi ia sama sekali tidak merasa cemas, karena Ki Demang tahu, bahwa di luar, di halaman rumahnya terdapat beberapa orang yang bertugas. Bahkan ada diantara mereka murid-murid Ki Kapat Argajalu yang sudah dianggap memiliki kemampuan yang cukup.

“Aku Ki Demang,” jawab salah seorang dari kedua orang yang bertugas menjaga bilik Prastawa dan isterinya.

Ki Demang pun kemudian pergi ke pintu pringgitan. Disadarinya, tentu ada yang penting sehingga petugas itu mengetuk pintu pringgitan.

Demikian pintu pringgitan itu terbuka, maka dilihatnya dua orang berdiri di belakang pintu.

“Ada apa?” bertanya Ki Demang.

“Ki Demang. Kita telah mendapatkan kesulitan. Bahkan sebuah malapetaka.”

“Apa?”

“Prastawa hilang dari biliknya.”

“He,” Ki Demang terkejut sekali. Namun Ki Demang masih sempat bertanya, “Bagaimana dengan isterinya?”

Salah seorang dari kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itu pun menyahut dengan suara bergetar, “Bilik itu telah kosong.”

“Jadi Prastawa dan isterinya telah melarikan diri?”

“Tidak melarikan diri, Ki Demang. Tetapi ada orang yang telah membebaskan mereka.”

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Bukankah kalian berdua bertugas menjaga mereka?”

Kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itu memang tidak dapat berbohong lagi. Orang-orang yang berada di regol itu tentu juga tidak dapat berbohong. Karena itu, maka mereka telah menceriterakan apa yang telah terjadi pada diri mereka.

Wajah Ki Demang menjadi merah padam. Menilik ciri-ciri yang disebut oleh kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa, serta nama orang yang telah mendatangi orang-orang yang berjaga-jaga di regol. maka Ki Demang itu pun berkala, “Jika demikian, maka orang itu tentu Glagah Putih. Orang yang disebut Ki Jayaraga itu memang tinggal bersama Glagah Putih di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Iblis itu telah membawa Prastawa dan isterinya.”

“Lalu kemana orang-orang yang berjaga-jaga di regol itu?” bertanya Ki Demang.

“Aku minta mereka untuk mencoba melacak jejak Prastawa dan isterinya.”

“Mereka tentu sudah ke luar dari kademangan ini.” Ki Demang menjadi bingung.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang, Ki Demang.”

“Kita menemui Ki Kapat Argajalu. Kita akan melaporkan apa yang telah terjadi di sini.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi keringat dingin telah mengalir di punggungnya.

Sejenak kemudian. Ki Demang bersama kedua orang itu pun telah bersiap pergi menemui Ki Kapat Argajalu. Tiga ekor kuda sudah disiapkan pula. Di gerbang padukuhan induk, Ki Demang menemui para petugas yang ada di pintu gerbang. Tetapi mereka tidak melihat seorang pun ke luar lewat pintu gerbang itu.

“Mereka tentu tidak akan melalui pintu gerbang ini,” geram Ki Demang.

Namun semua pintu regol butulan pun masih tertutup rapat. Selaraknya masih tetap melekat di pintu regol.

Sejenak kemudian, maka Ki Demang serta dua orang yang bertugas menjaga bilik Prastawa itu pun telah memacu kuda mereka menuju ke padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar.

Dalam pada itu meskipun agak lambat, namun akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah sampai di padukuhan Jati Anyar. Mereka segera disambut oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya yang juga telah berada di Jati Anyar.

Nyi Prastawa tidak dapat menahan keharuannya. Air matanya telah meleleh membasahi pipinya.

Pandan Wangi pun kemudian telah memeluknya sambil berkata, “Semua sudah berlalu, Adi. Kau tidak usah merasa cemas lagi. Di sini, banyak saudara-saudara kita yang akan membantu kita.”

“Terima kasih mbokayu,” desis Nyi Prastawa

Sementara itu Prastawa pun berkata, “Aku mohon maaf kepada kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi. Ternyata hatiku sangat rapuh, sehingga hampir saja aku berkhianat terhadap kakang dan mbokayu.”

“Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberi petunjuk kepadamu, Prastawa,” sahut Pandan Wangi. Sementara Swandaru pun berkata, “Belum terlambat untuk memperbaiki langkah-langkahmu selanjutnya.”

“Ya, kakang. Aku sudah berjanji. Karena itu, aku sengaja langsung datang kemari. Aku akan menunjukkan kepada paman Kapat Argajalu, bahwa aku sekarang berdiri disini, Sikap ini adalah sikap yang tidak tergoyahkan lagi.”

“Bagus, Kita akan bersama-sama menunjukkan, bahwa kita tetap bersikap satu.”

“Ya, kakang.”

Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Demang Pudak Lawang serta dua orang murid Ki Kapat Argajalu yang bertugas mengawasi Prastawa telah sampai di padukuhan di hadapan padukuhan Jati Anyar itu. Mereka langsung menemui Ki Kapat Argajalu dengan sikap yang gelisah.

“Ada apa?” bertanya Ki Kapat Argajalu yang melihat mereka datang dengan tergesa-gesa.

Ki Demang Pudak Lawang pun segera menceriterakan, bahwa Prastawa dan isterinya telah hilang dari bilik tahanannya.

“Hilang? He, apakah aku tidak salah dengar?” bertanya Soma mendahului ayahnya.

“Ya. Prastawa dan isterinya sudah tidak ada di biliknya. Mereka telah hilang.”

“Mereka dapat melarikan diri? Perempuan yang sedang mengandung itu juga dapat melarikan diri?”

“Ya Ketika kedua orang petugas itu sadar, bilik itu sudah kosong.”

“Sadar? Kenapa dengan mereka berdua? Apakah mereka menjadi pingsan?”

“Biarlah mereka memberikan laporan langsung kepada Ki Kapat Argajalu. Apa yang telah terjadi di rumahku dan apa yang telah terjadi atas mereka.

Kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa dan isterinya itu pun dengan suara yang bergetar telah melaporkan, apa yang terjadi. Tentang seorang yang datang kepada mereka serta serbuk putih yang ditaburkan ke wajah mereka.

Terdengar gigi Ki Kapat Argajalu gemeretak oleh kemarahan yang menghentak di dadanya. Bahkan tiba-tiba saja Tumpak telah menarik kerisnya sambil berteriak, “Kalian pantas di hukum mati karena kelengahan kalian.”

Namun Ki Kapat Argajalu sempat mencegahnya. Katanya justru sambil tersenyum, “Jangan biarkan perasaanmu bergejolak, Tumpak. Kita harus menerima sebagai satu kenyataan. Tanpa Prastawa pun kita dapat berbuat banyak. Bahkan keberadaan Prastawa diantara kita hampir tidak ada pengaruhnya”

Ketika Tumpak hampir membuka mulutnya, Ki Kapat Argajalu pun berkata, “Sudahlah. Tenangkan hatimu.”

Ki Kapat Argajalu itu pun kemudian berkata kepada kedua orang yang telah gagal menjalankan tugasnya Masih sambil tersenyum, “Sudahlah. Jangan risaukan kepergian Prastawa. Sudah aku katakan, pengaruhnya tidak seberapa. Sekarang kembalilah ke padukuhan induk. Tugasmu ada di sana.”

“Kami mohon ampun.”

“Kesalahanmu tidak seberapa besar. Sekali lagi aku katakan, jangan risau karenanya.”

“Terima kasih guru. Terima kasih.”

Kedua orang itu pun segera meninggalkan Ki Kapat Argajalu serta kedua orang puteranya. Sementara itu, Ki Kapat pun berkata, “Sebaiknya Ki Demang tetap disini. Orang-orang yang licik itu akan dapat kembali lagi. Mereka sangat berbahaya bagi Ki Demang.”

“Baiklah Ki Kapat,” jawab Ki Demang.

Namun Ki Demang itu masih bertanya, “Bagaimana dengan keluargaku?”

“Jangan cemas. Bukankah masih ada beberapa orang di rumah Ki Demang. Kecuali itu, agaknya orang-orang Tanah Perdikan tidak akan mengganggu keluarga Ki Demang.”

Ki Demang itu mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itu ternyata tidak pernah sampai ke padukuhan induk. Sejak saat ia meninggalkan Ki Kapat Argajalu kembali ke padukuhan induk, keduanya pun telah lenyap seperti di telan bumi.

Dalam pada itu, Soma pun kemudian berkata Ki Kapat Argajalu, “Ayah. Sebaiknya kitalah yang menyerang Jati Anyar. Kita tidak mau dipermainkan seperti ini. Dengan licik, orang-orang Tanah Perdikan memancing perhatian kita sepenuhnya, sementara itu, mereka telah mengambil Prastawa dan isterinya.”

“Ya ayah,” sambung Tumpak, “Bukankah kita sudah siap? Jika ayah memberikan perintah sekarang, maka sebelum matahari terbit, Jati Anyar sudah menjadi abu. Kita akan menyeret Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan orang tua yang bernama Jayaraga itu di belakang kaki kuda. Hidup atau mati.”

Ki Kapat Argajalu justru tertawa. Katanya, “Tidak. Itulah yang dikehendaki oleh Ki Gede serta orang-orangnya yang licik. Mereka membuat kita marah, agar kita tidak dapat membuat perhitungan dengan bening. Jika kita marah dan kehilangan akal, maka berhasil lah mereka memperdaya kita. Bukankah kita siapkan pasukan kita untuk bertahan? Tidak untuk menyerang? Kita tidak menyiapkan peralatan yang cukup untuk menyerang dan memasuki gerbang padukuhan Jati Anyar. Kita pun tidak siap menghadapi serang senjata lontar. Anak panah, misalnya.”

Soma dan Tumpak mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti keterangan ayah mereka, sehingga mereka tidak memaksa untuk menyerang.

Dalam pada itu Ki Kapat Argajalu pun berkata selanjutnya, “Sekarang, seperti yang sudah kita rencanakan, biarlah sebagian dari orang-orang beristirahat. Setelah Ki Lurah Agung Sedayu berhasil mengambil Prastawa, maka semua kesan seakan-akan serangan itu akan dilangsungkan malam ini, tentu tidak akan nampak lagi.”

Soma dan Tumpak mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah, para pengawas tidak lagi melihat kesibukan yang berlebihan di Jati Anyar. Ki Gede memang memerintahkan pasukan Tanah Perdikan untuk beristirahat kecuali mereka yang bertugas.

“Kita memang tidak akan menyerang malam ini. Juga belum esok pagi. Kita sudah mendapatkan Prastawa dan isterinya kembali. Jika kita mulai dengan pembicaraan-pembicaraan lagi dengan Ki Demang Pudak Lawang, mungkin kita akan mendapatkan kesempatan,” berkata Ki Gede.

Namun Prastawa pun menyahut, “Nampaknya tidak ada jalan lain kecuali kekerasan, paman. Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak nampaknya tidak dapat lagi diajak berbicara. Mereka pun yang menentukan segala-galanya. Bahkan di Pudak Lawang telah berkumpul beberapa orang yang disebutnya sebagai putut-pututnya yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka akan dapat dengan mudah menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Biarlah kita menunggu, Prastawa. Jika kita sudah mendapat isyarat bahwa tidak ada jalan lain kecuali perang, maka kita pun akan berperang. Tetapi selagi masih ada kemungkinan, kita akan mencari jalan lain.”

Prastawa menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Ketika dini hari tiba maka Ki Kapat Argajalu berkata kepada kedua orang anaknya, “Tidurlah. Masih ada waktu. Menjelang fajar, aku akan membangunkan kalian.”

“Licik orang-orang Tanah Perdikan,” geram Soma, “ternyata mereka dengan sengaja telah mengelabui kita ayah.”

“Ya. Bukankah sudah aku katakan? Mereka sengaja membuat kita marah.”

“Tanpa malu-malu Ki Gede sendiri datang sore tadi untuk menipu kita. Memancing perhatian kita agar tertumpu ke Jati Anyar, sementara itu dengan tanpa malu-malu pula mereka telah mengambil Prastawa.”

“Ya. Itulah yang mereka lakukan. Sekarang kita jangan terpancing lagi. Marah dan kehilangan akal.”

“Baik ayah. Besok kita akan melumatkan orang-orang Tanah Perdikan itu. Ayah benar,. Prastawa tidak mempunyai pengaruh apa-apa lagi, Kita tidak peduli terhadap orang yang tidak mempunyai sikap itu.”

Tetapi Soma dan Tumpak tidak merasa perlu untuk beristirahat. Mereka justru berkeliling padukuhan melihat kesiapan orang-orangnya Sedangkan di beberapa pendapa rumah yang terbuka, yang lain, yang mendapat kesempatan untuk beristirahat, tidur dengan nyenyaknya.

Para murid Ki Kapat Argajalu sudah terlanjur menganggap orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan dapat mereka hancurkan dalam waktu yang singkat, sehingga sebagian terbesar dari para cantrik itu tidak merasa gelisah menghadapi pertempuran yang akan terjadi. Namun ada diantara mereka yang tidak dapat segera tidur. Bukan karena mereka silau melihat lawan, tetapi justru karena kejengkelan mereka terhadap para pengawal Tanah Perdikan yang mereka anggap sangat licik.

Menjelang fajar, Ki Kapat Argajalu telah menyiapkan orang-orangnya. Anak-anak muda dari kademangan Pudak Lawang pun telah bersiap pula Menurut perhitungan mereka menjelang matahari terbit, pasukan Pengawal Tanah Perdikan akan menyerang mereka.

Para cantrik dan anak-anak muda Pudak Lawang yang juga sudah terlatih sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan itu sudah siap di tempat mereka masing-masing. Yang bersenjata busur dan anak panah telah siap pula menahan arus serangan Pasukan Pengawal. Bahkan mereka yang telah siap dengan lembing dan bandil.

Tetapi para pengawas yang berada di belakang sebatang pohon yang memang dirobohkan menyilang jalan itu tidak melihat kegiatan apapun di padukuhan Jati Anyar. Mereka tidak melihat pasukan yang disiapkan untuk menyeberangi bulak menyerang pertahanan kademangan Pudak Lawang.

Pada saat matahari terbit, Ki Kapat Argajalu tidak dapat menahan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya. Sejak ia mendengar Prastawa hilang, sebenarnya jantungnya sudah terasa bagaikan membara. Tetapi ia berusaha untuk menunjukkan sikapnya yang tenang dan tidak mudah goyah. Namun ketika matahari terbit dan ternyata pasukan Pengawal Tanah Perdikan tidak juga menyerang, maka kesabarannya sudah tidak tersisa lagi. Dengan lantang ia pun berkata kepada Soma dan Tumpak, “bersiaplah. Kita pergi ke Jati Anyar. Aku akan bertemu dengan Ki Gede.”

“Kita tidak perlu berbicara lagi,” sahut Soma, “kita bawa pasukan kita. Kita serang Jati Anyar.”

“Tunggu. Kita akan pergi ke Jati Anyar, sekaligus melihat pertahanan mereka.”

“Baik. Kita pergi ke Jati Anyar,” sahut Tumpak.

Mereka bertiga diiringi oleh beberapa orang Putut yang mereka anggap berilmu tinggi, segera pergi ke Jati Anyar dengan berkuda.

Mereka harus turun dan menyusuri parit beberapa puluh langkah ketika mereka melewati pohon yang telah ditumbangkan menyilang jalan itu.

Para pengawas dari Tanah Perdikan yang melihat beberapa orang berkuda berdatangan, segera memberikan laporan kepada Ki Gede serta para pemimpin yang lain, yang berada di Jati Anyar.

Ki Gede dan Ki Argajaya pun segera pergi ke pintu gerbang untuk menerima kedatangan Ki Kapat Argajalu. Bersama mereka adalah Pandan Wangi, Swandaru dan Prastawa. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan orang-orang berilmu tinggi yang lain sengaja tidak memperlihatkan diri.

“Selamat pagi, kakang,” sapa Ki Gede ketika Ki Kapat Argajalu berhenti didepan pintu gerbang.

“Ki Gede,” berkata Ki Kapat Argajalu tanpa menghiraukan sapa Ki Gede, “ternyata kau adalah seorang yang licik. Kau sama sekali tidak menghargai kedudukanmu. Kau dengan sengaja menipu kami untuk mengikat perhatian kami terhadap Jati Anyar. Sementara itu orang-orangmu telah menyusup masuk ke Pudak Lawang untuk mengambil Prastawa dan isterinya Itulah perbuatan seorang laki-laki yang bergelar Ki Gede Menoreh?”

“Kakang,” berkata Ki Gede, “aku tidak akan menolak sebutan yang kakang berikan kepadaku dan barangkali juga kepada Argajaya. Tetapi aku masih berharap untuk dapat menyelesaikan persoalanku dengan Ki Demang Pudak Lawang tanpa harus mengorbankan anak-anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini terbunuh di pertempuran. Tetapi aku dan Ki Demang Pudak Lawang tentu merasa kehilangan. Karena itu, beri kesempatan aku bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang.”

Ki Kapat Argajalu pun menggeram. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Ki Gede. Kau tidak usah mencari-cari alasan untuk menghindari pertempuran. Jika kau memang menjadi ketakutan, bahwa kami akan menggilas pasukanmu, menyerah sajalah. Kami akan segera menyelesaikan persoalan yang berkecamuk di Tanah Perdikan ini. Kami akan mengusir orang Sangkal Putung itu dan menetapkan Prastawa menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini.”

“Aku sudah mengerti semua rencanamu sekarang, uwa.” sahut Prastawa, “karena itu jangan sebut lagi namaku. Aku sekarang sudah berdiri disini. Kau tidak akan dapat menggoyahkannya lagi.”

“Prastawa,” berkata Ki Kapat Argajalu, “jika pamanmu Ki Gede dengan licik menculikmu dari Pudak Lawang, jangan membuatmu putus asa. Kami masih tetap pada sikap kami. Mendukungmu untuk memegang jabatan tertinggi di Tanah Perdikan ini.”

“Kau sudah tidak dapat berpura-pura serta memperalat aku lagi, uwa. Semuanya sudah jelas.”

“Baiklah Prastawa. Aku tahu. Kau tentu berada di bawah ancaman. Karena itu aku tidak dapat memaksamu. Tetapi jangan cemas. Kami tidak akan berkhianat. Ki Demang Pudak Lawang juga tidak akan berkhianat. Pada saatnya kami akan mendudukkan kau di tempat yang seharusnya.”

“Ki Kapat Argajalu,” berkata Pandan Wangi kemudian, “kenapa Ki Kapat Argajalu turut mencampuri persoalan kami di Tanah Perdikan ini?”

“Aku adalah keturunan dari seseorang yang ikut cikal bakal Tanah Perdikan ini, Pandan Wangi. Aku adalah uwakmu. Jadi aku berhak ikut berbicara tentang Tanah Perdikan ini. Jika suamimu bukan anak Demang Sangkal Putung, sehingga ia akan dapat mencurahkan perhatiannya sepenuhnya kepada Tanah Perdikan ini, mungkin aku tidak akan berkeberatan untuk mendukungnya. Tetapi aku tidak rela jika tanah ini kemudian tidak akan mendapat perhatiannya sepenuhnya. Tanah ini akan menjadi tanah yang tidak terurus dengan baik.”

“Ki Kapat Argajalu. Aku ingin memperingatkan agar Ki Kapat tidak usah mencampuri persoalan kami. Biarlah kami menyelesaikannya sendiri.”

“Tidak Pandan Wangi. Ayahmu tentu sudah berceritera tentang aku dan kakang-kakangmu ini. Ayahmu tentu dapat menjelaskan bahwa aku berhak untuk ikut berbicara tentang Tanah Perdikan ini.”

Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Kapat. Ayah justru berceritera kepadaku, bahwa sejak Ki Kapat yang mengaku masih kadang sendiri di Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini menjadi kacau. Ki Kapat Argajalu telah menghasut kesana kemari. Menculik Prastawa setelah mengancam isterinya yang sedang mengandung dan memaksanya merengek agar Prastawa bersedia menuntut hak atas Tanah Perdikan ini. Nah, bukankah semuanya sudah jelas.”

“Kau percaya ceritera itu Pandan Wangi?” bertanya Ki Kapat Argajalu.

“Tentu aku percaya, karena ayahku sendirilah yang berceritera kepadaku.”

“Baiklah. Sekarang sudah tidak ada kebenaran lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh. Jika Kepala Tanah Perdikannya sudah berbohong kepada anaknya, maka segala sesuatunya tentu sudah tidak dapat dipercaya lagi.”

———-oOo———-

(bersambung ke Jilid 355)

diedit dari:

http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-54/

Terima kasih kepada k4ng t0mmy yang telah me-retype jilid ini

<<kembali | lanjut >>

Tinggalkan komentar