NSSI-03


kembali | lanjut >>

I.

TETAPI sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kematian, apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan sekarang adalah sama sekali tidak masuk akal.

Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan kecepatan gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati.

Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga, bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai Ageng Sela, ia telah menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo.

Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri dengan jari-jari sewaktu perkelahian akan dimulai, bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung, Lawa Ijo sama sekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala masalah.

Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara. Mulutnya terkatub rapat, tetapi giginya gemeretak. Terhadap orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap yang manis.

Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebelum Lawa Ijo sadar terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah mengangkat satu kakinya yang ditekuk ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas dadanya, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat Mahesa Jenar meloncat maju, dan dengan sedikit merendahkan diri ia menghantam lambung lawannya dengan ilmunya yang terkenal, Sasra Birawa.

Lawa Ijo melihat segala gerak-gerik lawannya seperti dalam mimpi. Ia baru sadar ketika tiba-tiba dilihatnya Mahesa Jenar meloncat dekat sekali di hadapannya, dan tangannya melayang ke arah lambungnya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat. Terkena pukulan sisi telapak tangan Mahesa Jenar yang dilambari ilmu Sasra Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung yang runtuh bersama-sama. Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan derasnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh kuat bagai benteng baja.

Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi.

Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula. Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga pingsan.

Tubuh Lawa Ijo yang melayang demikian derasnya dan hampir-hampir membentur sebatang pohon raksasa itu, tahu-tahu sudah berada dalam dukungan seorang yang berjubah abu-abu. Tak seorang pun tahu dari mana dan kapan ia datang. Wajah orang itu sama sekali tidak tampak, karena ia mengenakan topeng yang buatannya kasar dan jelek.

Semua orang memandang orang berjubah itu dengan tubuh gemetar. Dalam pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera melangkah maju dan dengan hormatnya ia berkata, “Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi-tingginya!”.

Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru Lawa Ijo yang telah datang untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau hatinya tercekam pula. Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan sekarang, ia telah berhadap – hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak menguntungkan.

“Rangga Tohjaya….” Tiba-tiba terdengar Pasingsingan berkata, tanpa menghiraukan salam Jaka Soka. Suaranya berat, dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu. “Untunglah Lawa Ijo bukan sembarang orang,” sambungnya, ”sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,”. Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. “Hal itu adalah karena pertolonganku.” Pasingsingan melanjutkan, ”Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku”.

Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat kepada almarhum kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama dengan Pasingsingan itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya.  Sebagai seorang prajurit pastilah Mahesa Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang lain.

Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.

Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat hidungnya, “Hem…, kalau Sasra Birawa itu gurumu yang mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri sebelum aku membunuhmu!”

Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau hati Mahesa Jenar bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati. Tetapi kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi suatu rombongan yang akan binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh buat.

Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar tanpa meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.

“Tohjaya,” katanya, ”kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang disembelih,”. Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya. Sementara itu Pasingsingan berdiri dengan acuh tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.

Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun ada diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah memandang Mahesa Jenar dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa yang dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang dapat merintanginya.

Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh berturut-turut.

Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba, sehingga di dalam hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah biasa seseorang menebang pohon.

Apalagi di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk perumahan, tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi pertarungan yang dahsyat antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu tak didengarnya.

Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin lama semakin jelas. Makin nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang mempesona.

Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu. Diangkatnya wajahnya yang terlindung dibalik topengnya dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama. Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber suara itu.

Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan semakin perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak mungkin terjadi.

Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh suasana perkelahian dan hawa pembunuhan itu, menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah suara yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri. Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup masak. Tetapi meskipun demikian tampak juga bahwa mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Dandanggula itu terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari tembang itu adalah:

Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)

Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab wajah orang itu tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama sekali tidak senang mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia ini dengan banyak memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang cinta manusia untuk memberantas kejahatan. Serta dengan mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara baik dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.

Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia mendengar lagu itu diulang kembali.

Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar dan Jaka Soka.

”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah. Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak sedang membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!” kata Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah lenyap dari pandangan mereka beserta Lawa Ijo. Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian Mahesa Jenar dan Jaka Soka. Seperti berjanji, mereka setelah mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke utara, kearah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga, bahwa dari sanalah sumber suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat wajah orang aneh itu. Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa. Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran mereka, waktu Ki Ageng Pandan Alas menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk, ternyata telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan basah sebagai pegangannya.

”Luar biasa,” desis Jaka Soka.

Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu, sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”

Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng Pandan Alas. Katanya kemudian kepada Mahesa Jenar, ”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali ini aku mengaku kalah dan mengurungkan niatku menculik gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau tidak mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa, ketika melawan aku. Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali.”   Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka Soka alias Ular Laut yang terkenal sebagai bajak laut yang bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.

Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah dan persoalan. Tetapi yang penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut. Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang telah tampak mulai agak tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada diantaranya yang sudah dapat mengatur barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak ketakutan. Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang disebakkan oleh Mahesa Jenar, mereka masih terkejut juga. Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-lari menyambut dan langsung berjongkok dan menyembahnya. Terutama sepasang suami-istri yang telah minta kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua orang itu menyembah sambil menangis minta diampuni. Segera Mahesa Jenar pun menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal menyalakan api.

Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan kayu, serta apipun segera dinyalakan.

Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapai-gapai kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan serta dedaunan nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali suara-suara binatang malam.

Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa cemas dan takut. Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti peristiwa-peristiwa dalam mimpi yang menakutkan.

Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi sumber bencana. Ia masih saja merasa bahwa dirinya bersalah sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan hampir dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa yang melindunginya. Karena itu ia masih saja belum berani memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya.

Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar yang berkata kepada orang-orang dalam rombongan itu. Katanya, “Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak seperti tadi malam.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak diperingatkan oleh rasa lapar yang semula tak dihiraukan. Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak sedikit diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.

Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, tentang bagaimana baiknya rombongan tersebut.

Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan itu tidak meneruskan perjalanan. Sebab kalau pada langkah pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun akan tidak menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang, bahwa ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau sampai mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat kembali ke tempat semula.

Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak pendapat ini. Memang pada umumnya mereka telah dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi bangkai.

Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik yang merasa dirinya bersalah, berkata kepada Mahesa Jenar, “Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah kalau rombongan ini berjalan kembali dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan perjalanan ke Pliridan. Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau aku bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah kalau aku bunuh diri.”

Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu diwarnai oleh hatinya yang putus asa. Ia merasa tidak berhak lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah merasa berbuat kesalahan yang tak termaafkan.

Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan keningnya. Memang dalam keadaan terjepit, ada diantara mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.

GadiS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya yang bulat, nampak mengambang air mata yang ditahan sekuat-kuatnya.

”Tak ada jalan buat kembali,” ujarnya lirih.

Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang menyelubungi diri gadis itu.

Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang diri gadis itu, yang sampai saat itu masih belum dikenal namanya.

”Siapakah sebenarnya kau ini?” tanya Mahesa Jenar kemudian, ”Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?.”

Gadis itu mengangkat mukanya sedikit, jawabnya, ”Tuan, sebenarnya aku sama sekali tidak mengenal siapakah Ki Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan hubungkan dengan nama Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku menerima keris itu dari almarhum ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang sedang merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu tinggal di daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas, tetapi bernama Ki Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis.”

Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama Rara Wilis itu dengan seksama. Pengakuannya, bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar, ”Bapak-bapak para pengawal, serta saudara-saudara seperjalanan. Barangkali aku mempunyai suatu cara yang dapat memenuhi kehendak kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para pengawal, mungkin tak akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang berkeras hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang ringan.”

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah kegirangan di hati Rara Wilis. Tiba-tiba matanya yang berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta kembali ia menundukkan mukanya.

Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya pun bergoncang. Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa Jenar, mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.

Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, serta memberi petunjuk mengenai beberapa kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan, bahwa mereka semuanya akan kembali dengan para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar sendiri akan mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.

Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun dapat tidur, kecuali beberapa orang, karena lelah lahir dan batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan. Berbeda dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran angin rimba terasa sangat menjemukan dan menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir. Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa, terdengar ayam rimba berkokok bersahut-sahutan. Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-barangnya dan menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali Rara Wilis yang setelah menerima kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar sendiri.

———-oOo———–

II

Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal dan mereka yang mengadakan perjalanan sekali lagi mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka berangkat kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun berangkat melanjutkan perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.

Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan, kecuali apabila Mahesa Jenar memandang perlu untuk memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang berbisa.

Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju, karena tidak harus bersama-sama dengan rombongan yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis apabila jalan sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan. Sebab memang sekali dua kali mereka menjumpai rintangan yang berat.

Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal lelah. Bagi Rara Wilis, perjalanan ini, meskipun melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang ditempuh kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan, sama-sekali tak terasa lelah olehnya, haus ataupun lapar.

Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah tamasya, diantara kehijauan ladang serta keindahan taman. Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdunya.

Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya menjadi sedemikian bening dan cerah.

Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika malam datang, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa Jenar mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.

Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka mempersiapkan diri, segera perjalanan pun dilanjutkan.

Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi. Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis serta Mahesa Jenar menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.

Demikianlah, ketika matahari telah miring ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah tipis. Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara itu terasa debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.

Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.

“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.

Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.

Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?

Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak suram oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis. Katanya, “Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?”.

Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di daerah Pliridan.

Mahesa Jenar pun sementara itu menjadi agak berbimbang pula. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.

Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku sama sekali tidak membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angan-anganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”

“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desa-desa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”

Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu kemudian berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya. Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu ia mencoba menghiburnya. “Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau pulang ke rumah ayahmu.”

Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata. Meskipun sudah ditahan sekuat-kuatnya.

Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya perasaannya. Ia pernah mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda. Yaitu pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.

Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia berusaha untuk menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.

Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya. “Rara Wilis, aku telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”

Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesan-tetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekat-sekat. “Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik hati seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima kasihku yang tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan …, bahwa kalau aku tak dapat menemukan kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong orang yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”

Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya banyak rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang sedemikian berbahayanya.

“Rara Wilis,” tanyanya kemudian, “aku bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia yang kelam.”

“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku menyembunyikan sesuatu rahasia.” Matanya yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanak-kanak yang minta perlindungan.

Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas rumput-rumput liar.

“Tuan,” Rara Wilis mulai dengan ceritanya, ”ayahku adalah seorang yang banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa masih tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah yang sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak mau menjadi beban orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek adalah seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit, sehingga pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali pulang. Meskipun pada masa kanak-kanakku, apabila kakek berada di rumah, selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di kampung halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan beberapa pendekar ternama di daerah kami.” Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.

“Tuan …,” sambungnya beberapa saat kemudian. “Keanehan perempuan itu tidak saja pada kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan kasar seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita.

Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumah-tangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah dapat memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan hal-hal kasar lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula.

Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada pembelaan dari ayah, apalagi ibu yang hanya dapat memelukku dan menangisi.

Waktu itu, tak banyak yang dapat aku ketahui, selain pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan perempuan itu dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak dapat berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah kami.

Akhirnya …, bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan pendatang itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan pendatang itu, dan tidak pernah kembali.

 Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan para pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka.” Kata Rara Wilis, “beberapa tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku sakit. Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan dapat diobati. Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-gulung menghantam tebing-tebing kehidupan ibuku. Maka setelah beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali bukan Ki Ageng Pandan Alas dari Wanasaba.

Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat warisan yang cukup banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi hidupku yang kering.” Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga dadanya.

Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya. Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk bersama-sama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.

Tetapi, meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati gadis cantik itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.

Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung bukit.

Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya berkecamuk perasaan heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah dapat melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya, sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya?

Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.

Perjalanan di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan. Mereka hampir tidak pernah menemui rintangan-rintangan yang berarti.

Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti. Matanya memandang ke satu arah dengan tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu berjongkok, mengamati sesuatu. Rara Wilis terkejut bercampur heran melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari dan ikut serta mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu dengan herannya ia bertanya, “Tuan, adakah Tuan melihat sesuatu? “

“Rara Wilis …. Lihat rumput-rumput ini,” jawab Mahesa Jenar. Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi ia tetap tidak melihat sesuatu.

“Ada apa dengan rumput-rumput itu?,” tanyanya.

“Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di tempat itu, juga terdapat hal yang sama, juga di sebelah sana dan sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang tanahnya agak gembur ini.”

Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia berteriak menebak. “Telapak kaki manusia …?”

”Ya,” sahut Mahesa Jenar. ’Telapak kaki yang masih agak baru. Pasti seseorang baru saja melewati daerah ini. Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin….” Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap kelanjutannya.

Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang sengaja dikirim untuk mematai-matai perjalanan kita” katanya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak. Otaknya bekerja keras untuk mencoba menebak, siapakah kira-kira yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu. Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat, Jaka Soka, Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak kaki itu dengan telapak kakinya sendiri. Ternyata telapak kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah orang itu adalah orang yang gemuk sekali, atau orang yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling dekat, sebab Pasingsingan dalam perjalanannya kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka. Dan tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai dengan arah jalan ini.

Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia menjawab,” Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan.”

Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup cerdas, karena itu ia menjawab, “Kalau Tuan sampai menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah menebak-nebak.”

Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan untuk mencari jalan lain.

Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan setapak yang paling mungkin dilalui orang. Mereka membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke arah pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air, atau tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah kalau didiami orang.

Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga ditinggali manusia. Memang, di sana terdapat sebuah mata air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah telaga yang hijau bening.

Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala. Sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus takbir gelapnya malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan bumi.

Mehesa Jenar pun segera mengadakan persiapan untuk bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut pertimbangan Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan, pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan jejak sedemikian jelasnya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk beristirahat, berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.

Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang remaja menghiasi langit diantara taburan bintang-bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.

Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus keremangan malam untuk menangkap tiap-tiap gerakan yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting ke tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya. Dengan demikian jantungnya berdesir cepat tanpa sesadar.

Ia pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan bahkan ratusan gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba. Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada malam itu. Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti sebuah golek kencana itu. Dari ujung kakinya, tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin malam yang berhembus lirih.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadang-kadang membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang perantau yang akan menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk itu, maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.

Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala perasaan-perasaan yang berdesir di hatinya terhadap gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.

Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerak-gerak, seolah-olah sedang mengganggunya.

Sedang angin malam yang berdesir di dedaunan masih saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan ringkik kuda liar yang terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing hutan.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting kembali ke dalam suasana yang kini sedang dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan. Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di sekelilingnya dengan saksama. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas, Mahesa Jenar mendapatkan suatu firasat, bahwa ada sesuatu yang mencurigakan. Mendadak telinganya yang tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi Mahesa Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa seseorang datang mendekatinya. Orang itu pasti bukanlah orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik. Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang itu datang. Tetapi ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih dahulu, apakah kira-kira maksud orang itu mengintainya. Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan yang demikian ia sudah bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.

Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta suara tarikan nafasnya semakin memburu pula. Tetapi pada jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru mempersiapkan diri untuk menyerang.

Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu mundur dan menjauh. Segera Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja. Hal yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang lebih besar. Karena itu segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan saja ia sudah berdiri di samping orang yang mengintainya.

Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan demikian ia menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali mendahului menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan dengan sekuat tenaga dibabatnya pundak Mahesa Jenar. Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun orang itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai keistimewaan pula.

Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya, segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali, sehingga oran gyang memegangnya agak kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap pergelangan tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan sakit.

“Kau siapa?,” tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah sampai Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang terpuntir itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.

“Kalau kau tidak menjawab,” desak Mahesa Jenar, ”tanganmu akan aku patahkan,”

Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa menjawab, “Aku adalah Sagotra.”

“Apa maksudmu mengintai kami? “ desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam saja. Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi, sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula. “Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah.” Mahesa Jenar makin geram.

Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi,” jawabnya. Rupa-rupanya ia harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu.
Keadaanku sudah pasti,” sambungny, ”berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia.”

Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut. Tetapi ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik. Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, “Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku hormati kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran kesetiaan. Kau pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang Salaka…? “

Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak meremang. Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau 15 langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.

Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan demikian ia melanjutkan, “Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku perkenalkan dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu supaya kau tidak dapat lari darinya.” Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi segera pula menangkap kaki dan melipatnya. Pergelangan kaki kirinya dijepitkan pada lipatan lutut kaki kanan, sedang tangan Mahesa Jenar siap mematahkan pergelangan kaki kanan orang itu. “Jangan…, jangan…!” teriak orang itu tiba-tiba. “Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku jangan kau siksa di sarang semut Salaka”

“Itu adalah urusanku.” jawab Mahesa Jenar seenaknya,  ”Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh kau,”.

Tampaknya Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka kembali orang itu berteriak, “Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain.”

Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. “Seorang yang telah berani menyatakan dirinya sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya.”

“Aku sama sekali tidak takut mati.” teriak orang itu, ”Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri”.

Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus didapatnya. Maka katanya, ”Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih jalan kematian.”

Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya. Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, ”Baiklah aku berkata asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.

”Baiklah…,” jawab Mahesa Jenar, ”berkatalah.” Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut. Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, ”Duduklah dan berkatalah.”

Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di hadapan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang menamakan dirinya Sagotra.

Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya. Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia dilepaskan. Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan. Mengingat hal itu, Sagotra menjadi ngeri.

Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra. “Sagotra, berkatalah. Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak.”

Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu kepada diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat luluh hatinya hanya oleh gertakan saja. Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang tak pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang tidak pernah merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati peraturan.

“Tuan,” katanya kemudian, “Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?”

Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.

Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan,” lanjutnya.

Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan, katanya, “Sekarang aku sudah kau ketemukan.”

“Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga Tuan tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku.”

“Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya mengintip lalu pergi?”

Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, “Memang, aku hanya mendapat perintah untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam gerombolan kami.”

“Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat tidak menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit. Meski dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, “Tuan, sebenarnya aku sama sekali tidak berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun demikian, karena sikap Tuan yang tak pernah aku temui dalam gerombolan kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan mempunyai kepribadian lain daripada orang-orang kami.” Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu sambungnya, “Tuan… kami adalah gerombolan Lawa Ijo.”

Pengakuan itu sama sekali tidak mengejutkan hati Mahesa Jenar. Memang ia sudah mempunyai dugaan bahwa kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang mengagumkan.

“Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar gerombolan kini sedang dibekukan. Benarkah itu?”

“Benar, Tuan.” Jawab Sagotra, ”Tetapi meskipun demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami. Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara meninggalkan sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan Wadas Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk setiap saat bertindak.”

Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat kepada Watu Gunung, yang menurut Samparan juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia bertanya, ”Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?”

“Ya, pastilah aku kenal.” jawab Sagotra, ”Ia adalah saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki Pasingsingan, bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang mengunjungi kampung kelahirannya. Serta karena itu pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas Gunung sendiri sedang mencari Tuan.”

Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang sedang mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, “Tetapi anehlah Tuan, bahwa kali ini Ki Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum pernah terjadi. Kami telah mendapat petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada hari ini menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata perhitungan itu meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan untuk menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari Tuan.”

Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan penuh perhatian. Akhirnya ia bertanya, “Kapankah Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu? “

“Kemarin lusa, “ jawab Sagotra.

“Kemarin lusa?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit baginya untuk membayangkan kecepatan berjalan Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki yang masih tampak baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi bertambah heran lagi. Sampai kemudian ia bertanya, “Adakah orang lain yang kau temui lewat jalan yang seharusnya aku lalui?”

“Tidak Tuan, tidak ada.” Jawab sagotra, ”Kalau ada, pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu kami sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah Tuan, kecuali hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki Pasingsingan.”

Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Adakah pihak ketiga yang sengaja memberi tanda kepadanya supaya mengambil jalan lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya kemungkinan yang membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan Alas.

Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka melihat di arah sebelah selatan warna merah membayang di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang bersiap menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan mereka itu.

Sagotra…,” kata Mahesa Jenar kemudian. “Kawan-kawanmukah yang menyalakan api itu? “

Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang mewarnai keremangan malam. Ia menggeleng perlahan. Lalu jawabnya, “Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka menghadang Tuan tidak di arah itu.”

“Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api itu?”

Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab, “Tuan, mungkin itu adalah orang tua yang agak kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini.”

“Satu-satunya?” sahut Mahesa Jenar agak terkejut. “Jadi didaerah ini tidak lagi ditinggali manusia kecuali orang tua itu?”

Sagotra menggelengkan kepalanya. “Tidak, Tuan.” katanya kemudian, ”Memang daerah ini sekarang sama sekali kosong, kecuali seorang itu”

”Sagotra,” Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan lebih banyak, ”beberapa tahun yang lalu, aku pernah menempuh perjalanan melewati daerah ini. Di sini banyak aku ketemukan perkampungan-perkampungan yang dilingkungi oleh sawah serta ladang. Tetapi, sekarang aku sama sekali tidak lagi melihat sebuah desa pun di sini. Bahkan seperti yang kau katakan bahwa di sini tidak lagi ditinggali manusia kecuali seorang itu saja.”

”Benar Tuan,” jawab Sagotra, ”beberapa tahun yang lalu memang daerah ini merupakan daerah yang cukup ramai. Tetapi, sejak Lawa Ijo menghentikan kegiatannya, daerah ini menjadi daerah yang paling banyak mengalami keributan. Penjahat-penjahat kecil yang mula-mula sama sekali tidak berani melakukan kegiatannya di wilayah ini, seolah-olah mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendaknya tanpa ada pengekangan. Pada saat Lawa Ijo masih melakukan kegiatan, daerah ini merupakan salah satu daerah yang merupakan lumbung dari gerombolan kami, yang secara teratur harus menyerahkan semacam pajak. Tetapi, di samping itu daerah ini mendapatkan perlindungan langsung dari gerombolan kami, sehingga tak adalah gerombolan lain yang berani mengganggunya. Baru setelah itu, setelah Lawa Ijo melepaskan wajib pajak bagi penduduk di daerah ini, serta sejalan dengan pembekuan gerombolan kami untuk sementara, maka penduduk di daerah ini tidak lagi dapat melepaskan diri dari keganasan gerombolan-geombolan kecil itu. Sehingga semua penduduknya dalam waktu yang singkat sekali telah pergi mengungsi. Kecuali satu orang itu

“Kenapa orang itu tidak pergi?” tanya Mahesa Jenar seterusnya. “Tidakkah dia takut menghadapi keganasan gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian hebatnya sehingga tak seorang pun berani mengganggunya…?”

” Tidak, Tuan….” sahut Sagotra, ”Ia sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah datang mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang waras. Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mempunyai milik, sehingga menurut perhitungannya tidak akan ada orang yang datang mengganggunya, “.

Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan saksama. Ia mulai menghubung hubungkan keterangan itu dengan kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki Santanu…?

Siapakah nama orang tua itu?” tanya Mahesa Jenar tiba-tiba. Sagotra menggelengkan kepalanya, ”Tak ada orang yang mengetahui nama sebenarnya. Aku juga pernah menanyakan kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa diperuntukkannya saja.”

Ya, siapa panggilan itu?” desak Mahesa Jenar

Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi.”

“Ardi? “ulang Mahesa Jenar.

Sagotra mengangguk.

Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi dapat berarti Gunung. Sedang kakek Rara Wilis pun berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia berkenalan dengan orang tua itu?

Sagotra…,” katanya kemudian, “Dapatkah kau menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?”

Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak kebingungan. Tentang dirinya sendiri, ia belum mendapat penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru, mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana? Mestikah ia harus bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya…? Serta bagaimanakah kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang mencari Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta sedikit banyak menangkap perasaannya. Tetapi, disamping itu mendadak timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka soalnya akan berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan semuanya kepada Wadas Gunung dengan keduapuluh kawannya. Dan ini berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan untuk membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya. Sebab orang seperti Sagotra bukanlah seorang yang pantas untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih dari seorang pesuruh. Karena itu kemungkinan satu-satunya adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai keadaan terasa aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera mengambil keputusan, katanya, “Sagotra, barangkali kau segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau berbaik hati kepadaku. Tetapi ketahuilah Sagotra, aku terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera melepaskanmu. Lalu sesudah itu aku dapat menyelamatkan diriku secepat-cepatnya. Tetapi sekarang aku sedang melindungi seorang gadis. Karena itu, janganlah membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa sesudah semuanya selesai aku akan membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah alat yang tak perlu dirusak. “

Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah seorang dari rombongannya, hati Sagotra pasti tidak akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta kawan-kawan segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada hari ini, serta lawan yang harus dibinasakan hari esok.

Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang yang baru saja dikenalnya, bahkan yang telah diserangnya dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu masih berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat menyaksikan matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan yang jauh berlainan dengan segala pujian, janji dan segala macam yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin rombongannya.

Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar, Sagotra meloncat, lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia meninggalkan masa kanak-kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam kelam, baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai meneteskan air mata. Bukan saja karena ia terlepas dari terkaman maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali dialami. Dalam segala kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapan-tangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi ia tidak pernah merasa terharu sama sekali mengalami peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya adalah dendam yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.

Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh keheranan. Ia tidak dapat menangkap seluruh perasaan yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta berkulit hitam mengkilap, tetapi menangis tersedu-sedu. Karena itu katanya, “Sagotra, agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau yang dengan sikap jantan berani menentang maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak.

Tuan…,” jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, “Tak pernah selama hidupku merasakan sesuatu yang demikian mengharukan seperti kali ini. Ternyata bukanlah kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. Meskipun Tuan bermodalkan kekuatan yang tiada taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas diriku. Seandainya Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti akan menyerang Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-laki sejati. Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan Tuan. Juga seandainya Tuan ingin menyaksikan aku mati di sarang semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku.”

Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap berhati-hati. Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup mempunyai ikatan yang sempurna. Tidak mustahil bahwa cara-cara yang demikian sering dilakukan untuk mengurangi kewaspadaan lawan. Hanya karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri, hanyut oleh arus perasaan masing-masing.

Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun tampak semakin terang. Angin malam pun terasa demikian dingin menggigit tulang.

Sagotra,” kata Mahesa Jenar kemudian memecahkan kediaman mereka, ”marilah kita pergi,“.

Mari Tuan,” jawab Sagotra.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang ke arah Rara Wilis berbaring.

“Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? “ desis Mahesa Jenar.

“Atau kita menunggu sampai besok, “ sahut Sagotra.

Tidakkah ada bahayanya?” jawab Mahesa Jenar, ”Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke tempat ini? Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan.”

Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali salah seorang dari kawannya datang pula ke tempat ini meskipun mula-mula mereka berpencaran.

“Jadi bagaimana pendapat Tuan?” tanya Sagotra lagi.

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau pada saat itu ia langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada kemungkinan orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?

Sagotra,” katanya, ”tidakkah kawan-kawanmu juga akan pergi ke arah api itu?”

“Aku kira tidak Tuan.,” jawab Sagotra, ”Pasti mereka tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi.”

Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana akan dapat mereka temukan kami, yang dapat diperhitungkan, bahwa kami akan pergi ke arah api itu.”

Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa kawan-kawannya mempunyai perhitungan yang demikian. Jadi bagaimanakah sebaiknya…?

Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah mudah menghindari gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20 orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra yang merupakan salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat menemukan, bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.

Tuan…” akhirnya Sagotra bertanya, “Adakah sesuatu kepentingan Tuan dengan orang itu?”

Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya. Pastilah ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban bahwa orang itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu. Karena itu segera ia menjawab, “Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini adalah untuk mencari seseorang yang bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan Ki Ardi, mungkin aku akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu.”

Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat orang-orang yang pernah tinggal di daerah ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum pernah dikenalnya.

“Tuan,” jawab Sagotra, ”barangkali aku dapat mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga Ki Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya ia mempunyai sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang itu?”

Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, “Aku sendiri belum pernah mengenal wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah kita tengok ia, barangkali sudah bangun.”

Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi mendadak terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke arah tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring diatasnya. Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali. Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya serta mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.

Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya. Memusatkan pikiran serta segenap pancainderanya untuk menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi tidak ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan angin, serta tak ada yang didengar selain gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas Sagotra.

Mahesa Jenar adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta kecepatan bertindak. Tetapi meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifat-sifatnya itu. Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat menguasai pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu peristiwa yang belum pernah dirasakan. Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari kesana kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis. Melihat sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas, sehingga terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang yang lebih tua, tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rara Wilis, tetapi pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan memang demikianlah kiranya. Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut di hatinya sedemikian eratnya.

Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian dari jiwanya sendiri.

Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak ada suara yang menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis telah lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak. Tiba-tiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan amarahnya. Dalam keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri disamping sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu sampai pecah berserakan.

Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia menyaksikan betapa hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah dilakukan oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata rahasia atau sebangsanya. Tetapi sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari pukulan orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja, pukulan itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih dari batu itu. Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali. Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas Gunung, Bagolan yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi, tetapi sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi, pastilah lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.

Tetapi, belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya semakin gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncati Sagotra dan langsung memegang leher orang itu, sambil menggeram, “Setan, rupanya kau telah memancing aku untuk menjauhi Wilis.

Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat sangat. Ia tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak diluar kesadarannya.

Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin menekan.

Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat mencekik lehernya, sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena hal yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan untuk hidup sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang. Maka dengan susah payah ia berkata, “Tuan, aku tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas diriku. Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru kematianku disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar akan membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin mencelakakan Tuan

Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra yang kasar, jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata kanak-kanak yang belum pernah dijamah dosa.

Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya dilepaskanlah leher Sagotra itu sama sekali.

Maafkanlah aku,” Sagotra, bisik Mahesa Jenar.

Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya tidak lagi dapat ditahannya.

Sagotra…,” kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih banyak penjelasan, “Benarkah kau tidak berbuat itu?

Tuan,” jawab Sagotra, ”memang aku dapat memahami tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kedatanganku sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu. Kecuali kalau hal ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku di luar rencana semula.”

Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab andaikata hal itu dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti akan dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak mereka dengan Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar biasa pula. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya Pasingsingan bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih terbentang itu. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar Penjalin. Tetapi alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula. Akhirnya seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.

Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk pula di atas tikar di belakang Mahesa Jenar. Tetapi sama sekali ia tidak berani menegurnya.

Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah lagu sedih yang mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah terenggut dan berderai berserakan. Alangkah dalam luka yang dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apa-apa, dan sekaligus yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.

Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar alunan lagu Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar mengenal, bahwa Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang lalu disebut Pandan Alas. Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan pasti arah suara itu. Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan pancainderanya untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang bergolak hebat, karena hilangnya Rara Wilis.

Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan yang cukup besar, sehingga kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian, setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti orang bersamadi, perlahan-lahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.

Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia meloncat dan kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat.

Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya mendengar suara lagu Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran.

Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan sekali ia melompat keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau sampai ada orang di padang terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari pengawasannya yang seakan-akan mempunyai kelebihan dibanding mata orang biasa.

Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang suara Dandanggula itupun telah berhenti.

Sementara itu, bulan pun telah rendah sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga malam menjadi semakin kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati. Dirasanya betapa picik pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam keadaan seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.

Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata menghadapi tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih dari seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.

Dengan tidak sengaja Mahesa Jenar memandangi bulan yang masih sangat remaja, yang hampir tenggelam di kaki langit. Sinarnya demikian suram, sesuram hatinya.

Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat di hadapan wajah bulan yang hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang berada di tempat terbuka. Dalam keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar dapat melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia hampir pasti bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak bertubuh kurus tinggi.

Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat mengejar bayangan itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.

Terasa ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu perasaan yang sakit, ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu Dandanggula yang baru saja didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika ternyata laki-laki itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang tampak seperti membara di keremangan malam. Tahulah Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan pemiliknya. Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.

Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya.

Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.

Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik kepada wajah Rara Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik itu ketakutan mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk menculiknya, sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para pengawal dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan Lawa Ijo. Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara Wilis seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan. Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta rambutnya yang bergerak-gerak dibelai angin.

———-oOo———–

III

Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya.

Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh, merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah merasakan tali batin yang pernah menjeratnya.

Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat apa-apa ketika ia menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun dengan agak ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, “Tuan, kenapa Tuan tidak bertindak ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?”

Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan ia menoleh, serta menjawabnya, “Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga tak akan bergunalah kalau aku mengejarnya.

Siapakah orang itu, Tuan?” tanya Sagotra ingin tahu.

Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.

Ki Ageng Pandan Alas…?” ulang Sagotra terkejut. “Jadi dialah orangnya yang mempunyai kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? “

Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan penuh ketakjuban menggeleng-gelengkan kepalanya. Itulah sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.

Kenapa Rara Wilis ia ambil?” tanyanya lebih lanjut. “Adakah hubungan antara mereka? “

Aku tidak tahu, Sagotra,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi yang aku ketahui adalah Rara Wilis membawa keris Sigar Penjalin.”

Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas,” potong Sagotra.

“Ya,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi Rara Wilis mengatakan, bahwa keris itu berasal dari kakeknya yang bernama Ki Santanu.” Dan tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang disebutkan Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di sana bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali keinginannya untuk bertemu dengan orang itu. Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra, “Sagotra, marilah antarkan aku kepada Ki Ardi.”

“Masih adakah gunanya?” sahut Sagotra.

“Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana,” jawab Mahesa Jenar.

Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar menempuh jalan ke arah selatan menuju rumah Ki Ardi.

Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-bintang di langit tidak mampu menyibakkan gelapnya malam.

Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa berjalan di daerah ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.

Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati arah api yang masih menyala-nyala.

Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan tempat kediaman Ki Ardi, serta Ki Ardi sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api yang menyala nyala, sedang memahat sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di bukit kecil itu, yang langsung menghadap ke batu besar yang sedang dipahatnya. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang marah. Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor naga itu terurai ke belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di depan ular yang sedang marah itu, tampaklah dua ekor yang tak kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau itu tampak tajam menakutkan.

Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-pahatan batu serta patung-patung yang bagus buatannya di kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan mantap, sehingga pahatan itu dapat mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang itu sejelas-jelasnya. Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah sebentar lagi akan terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor harimau yang ganas.

Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak begitu dapat mengenal betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau itu telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.

Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu memandanginya dengan saksama. Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi lebih dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang menyebabkan Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia terlonjak.

Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11, maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.

Nagasasra Sabuk Inten…?” desis Mahesa Jenar.

Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa suara.

Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan. Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam, bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari perbendaharaan Kerajaan Demak.

Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suami-istri Sima Rodra. Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar sekali.

Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.

Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo. Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak. Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi keterangan tentang kedua keris itu.

Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.

Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.

Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat. Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.

Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, ”Maafkan aku Ki Ardi, aku telah salah duga terhadap Bapak.”

Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening. Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja, tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan ketakutan. Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.

Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata, ”Maafkan, aku yang salah duga terhadap Bapak.”

Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil bergetar, “Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?”

Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka jawabnya, “Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan terhadap Bapak.”

Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakan-akan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.

Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.

Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai pahatan itu. Katanya, “Bapak…, yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang Bapak buat itu.”

Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar, jawabnya, “Adakah dengan membuat pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan?”

“Tidak Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, ” Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang sedang Bapak pahat itu? “

Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati dengan seksama. Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah. “Pahatanku sudah hampir selesai. Apa yang tadi tuan tanyakan?”

“Pahatan itu….” Mahesa Jenar menjawab, ”Apakah yang sedang Bapak pahat?”

Tidakkah Tuan tahu…” kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra. “Bukankah ini seekor naga? Katakanlah Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?”

“Tentu, tentu,” jawab Mahesa Jenar dengan cepat

“Lalu apa yang Tuan tanyakan?” tanya orang tua itu.

“Maksudku,” jawab Mahesa Jenar. ”apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda yang pernah Bapak lihat sebelumnya?”

Orang tua itu semakin heran, tanyanya, “Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan pahatanku ini?”

Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang mempunyai bentuk yang sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan. Maka, akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata, “Tidak… Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang sedemikian?”

Tampaklah Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum. “Belum, Tuan. Aku belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira bentuknya.”

Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali atas hasil kerjanya.

“Tuan…,” katanya kemudian, “Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini.”

Dengan tiada menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang dimakan api.

———-oOo———–

IV

“Tuan,” Ki Ardi sambil memahat mulai berceritera. “Naga ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di leher, perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa diatas bumi ini, merasa disusahkan oleh seorang putrinya. Putri itu jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya.

 Maka pada suatu ketika bertemulah raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini. 

Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya.

Didatanginya laki-laki yang berasal dari bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari kedua matanya memancar sinar yang beracun. Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekali-sekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak membiarkannya. Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa. Dan bertempurlah mereka di udara. Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari mulut naga bersisik emas itu.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa”

Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi pahatannya.

Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut. Katanya, “Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?”

Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab, “Bagus, Ki Ardi.

Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, “Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu sekarang?”

Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja, “Bagus, Ki Ardi.

Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra. “Apa yang bagus?

Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah. “Nagamu itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata, mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini.”

Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh,  lanjutnya, “Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan mati ditelan nagaku ini.”

Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. “Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek”

Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawan-kawannya Lawa Ijo yang lain. Katanya kemudian, “Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu, nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu

Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus, “Ki Ardi, aku lebih suka mendengar dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu.

Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah aku lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?”

Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban, akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, “Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang Bapak nyalakan.”

Ki Ardi mengangguk-angguk kecil, katanya melanjutkan, “Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja yang dijumpainya di daerah ini”

“Ki Ardi,” potong Sagotra tidak senang, ”jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang baik.”

Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut-takut juga. Maka katanya membetulkan, “Maaf Sagotra… maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku.”

Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api. Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya. “Kedua ekor naga itu, yang telah berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai lawannya. Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi di seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu pun menjadi bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari selalu menangis saja. Tetapi untuk mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan kesudahan pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor naga yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat.
Sedangkan di udara, petir menyambar-nyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula. 

Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang amat sederhana, ke hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilat-kilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada raja, ”Paduka yang memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta diperkenankan membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki yang berasal dari bintang kemukus.”

Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung menuju ke medan pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti sejenak.

Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang bertempur menjadi heran. Maka bertanyalah naga yang bersisik emas, ”Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?”

Naga itu menjawab, ”Saudaraku, aku datang untuk membantumu.”

Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak senang. Lalu katanya, ”Saudaraku hanyalah mereka yang dapat menunjukkan tanda kebesarannya.”

Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang kemukus itu memakinya pula. ”Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta dalam permainan ini…?”

Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya, ”Terserahlah kata-kata kalian atas diriku. Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.”

”Kalau demikian” kata naga bersisik emas, ”kerjakanlah itu sendiri.”

Ya,” sahut naga yang bersalutkan intan, ”kerjakanlah itu sendiri.”

”Baiklah,” jawab naga yang kehitam-hitaman, ”Silakan kalian beristirahat.”

Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa dirinya sangat sakti. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga hitam itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat sekali dan dengan sekali menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.

Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun tidak kurang saktinya. Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang sedang berkeliaran di langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu melihat guruh yang dengan suara gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan angin kencang dari mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki bintang itu. Hanya karena kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri. Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan itu menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang terakhir untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah pertempuran yang tak terkira dahsyatnya. Tidak hanya lautan menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan mendidih serta gunung-gunung terlempar berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk dijadikan senjata.

Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi itu. Pada hari yang ketujuh, pertempuran itu bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami perkelahian 100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi tenaganya masih tetap segar. Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa tenaganya telah mulai kendor. Ia telah mencoba mengerahkan segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya. Sekali waktu ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya yang kokoh kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar biasa. Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan terlempar bertebaran. Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal. Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba menyala-nyala, sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa naga itu dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu lingkaran api berputar-putar di udara. Sebentar kemudian berubahlah naga itu menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka segera ia menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke dasar samodra, dengan api masih tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya. Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga tetap mengejarnya.

Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di belakangnya, sehingga akhirnya laki-laki bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga hitam yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada api yang keluar dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya dari sorot beracun di kedua belah mata naga yang berbalut intan permata.

Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera laki-laki bintang itu pun terbang lebih tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus.

Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah selesai. Segera ia turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya kedua naga itu mengaku sebagai saudara.

Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada lagi.

Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau kedua ekor naga itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih kembali. Orang-orang sudah tidak lagi ketakutan. Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah amal pengabdian semata.

Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan yang luar biasa. Ia bahkan menjadi malu dan kaku.

Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami, seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas menjawab bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir laki-laki dari bintang itu.

Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia sadar, kalau ia sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran.

Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding emas dan bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa kanak-kanak.

Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi meninggalkannya.

KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali mengamat-amati pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk pahatannya serta isi ceriteranya.

Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar juga mendengarkan dongeng tentang kesaktian-kesaktian. Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum melanjutkan ceriteranya, ia berkata, “Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu.”

Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya, “Sabarlah Sagotra, pastilah ceritera itu aku lanjutkan…. Nah dengarlah baik-baik.

Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat bertemu kembali dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya mengaku bersalah terhadapnya.

Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena mereka berebut untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus. Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga memang kadang-kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka. Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk memusnahkan sekalian bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang untuknya.

Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi meninggalkan kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah dan tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari masalah-masalah lahiriah. Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk mengatasi lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali.

Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu kerajaan di bawah tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk kedua ekor naga untuk berpihak kepada mereka masing-masing. Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh naga hitam yang sakti.”

“Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak dikenal.”

Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian katanya, ”Nah, pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah kelam itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata kedua ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun secara kasar. Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka, terjadilah suatu perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua ekor harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah mereka tidak menguntungkan. Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi setelah ia terjebak ke dalam daerah itu, sulit bagi mereka untuk mencari jalan keluar.”

Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah ia telah melahirkan suatu rahasia yang selama ini disimpannya.

Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, “Tidakkah Ki Ardi akan mengakhiri dongeng itu?”

“Mengakhiri…?” tanya Ki Ardi, ”Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,”.

Baru sampai sekian…?” tanya Sagotra heran.

Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki Ardi. Kesan-kesan kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak semula sudah mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.

Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak, “Ki Ardi… katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula.

Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil berdiri, “Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk sebentar. Kawanilah Tuan ini.

Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu tak habis-habisnya. Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak kemudian lenyaplah ia ditelan gelap.

Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka haruslah ia bersiaga.

Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa Jenar semakin bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut, yang selalu diliputi oleh perasaan was-was dan curiga…?

Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia pun berdiri dan memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut. Karena tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula Sagotra terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan, segera Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan sejenak kemudian ia pun telah lenyap ditelan gelap.

———-oOo———-

 V

Maka, saat itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala. Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.

Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.

Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap. Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.

Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.

Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring. “Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa. Maafkan kalau aku mengejutkan engkau.”

Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi. Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.

Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.

“Kalau begitu,” katanya tergagap Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas.”

Ya…,” jawab orang itu, ”sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru setelah itu kau lanjutkan perjalanmu. Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya”

Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya. “Mahesa Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau ketahui adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah pikiran, tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai Sengkelat.”

Nah, Mahesa Jenar,” kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.

Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu itu.

Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepat-cepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong Campur. Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit. Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada. Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk menemukan kembali kedua keris itu.

Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. “Orang itu gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.”

Tuan…” katanya kepada Mahesa Jenar, “orang itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah ini sering ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu datang lagi.”

“Sudahlah Sagotra,” jawab Mahesa Jenar “janganlah kau pikirkan orang tua itu. Biarlah ia mendapatkan kepuasan dengan caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita sendiri, masalahmu dan masalahku.”

Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali kegelisahan hatinya.

Sagotra,” kata Mahesa Jenar melanjutkan, “apakah kau akan kembali kepada kawan-kawanmu ?. Kalau demikian pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat. Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan kepada kawan-kawanmu apakah tidak.

Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin menguntungkan dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan pergi ?. Setelah Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup dalam sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi ternyata bukanlah itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan suatu kehidupan baru.

Tuan,” katanya kemudian, “sebenarnya aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali kepada gerombolanku. Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai penghidupan baru. Atau barangkali kalau tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi.

Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah kalau Sagotra merasa canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima Sagotra selalu bersamanya. Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.

Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat menolong menemukan jalan keluar. Katanya “Sagotra, kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah tahu pasti akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki jalan keluar dari penghidupanmu yang hitam sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula, maukah kau ?”

Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan Mahesa Jenar untuk menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu dijawabnya kemudian “Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku lakukan dengan sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah katakankah tuan.”

Sagotra,” kata Mahesa Jenar selanjutnya “tolonglah aku menyampaikan kabar kepada sahabatku. Pergilah kau menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang akan kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah dimana kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara. Kau akan sampai di sebuah desa di seberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu. Dari sana kau langsung menuju ke arah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama Candi Tara, bekas tempat pemujaan Dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan. Temuilah Demang yang bernama Pananggalan. Sampaikan salam keselamatanku kepadanya. Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini.”

“Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas tanggunganku mintalah perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan keluarga Kademangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta keihlasan hati, pastilah kau akan diterima dengan baik.”

Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu ragu-ragu untuk dapat mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi permintaan itu sedapat-dapatnya.

Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar, segera Sagotrapun bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke 6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang mencegat Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan itu, maka iapun tak pula mengenal gentar.

Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak malu-malu sedikit diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal perjalanannya.

Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak terlambat. Sebab apabila ditunggu sampai besok pastilah beberapa kawannya sudah mencarinya.

Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa sepinya tinggal seorang diri ditengah padang, dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat itu. Rupanya Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang sulit.

Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.

Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.

Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.

Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.

Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.

Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampaknya amatlah garang-garangnya.

Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.

Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.

Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi…, Ki Ardi…!

Mahesa Jenar jadi berbimbang hati. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri saja.

Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”

Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.

Orang tua gila.” gerutunya, ”Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”

“Ki Ardi…!” teriak yang tinggi kurus itukemudian, ”Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,”.

Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban.

Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel, katanya, “Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari”

Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.

Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”

Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.

Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”

“Aku kira,” jawab Mahesa Jenar, ”tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,”

Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.

Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Setelah beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring. “Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”

Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang. Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.

Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka? Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya. Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.

Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat ditembus. Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung kembali.

Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan orang ke-3, Seco Ireng orang ke-4, Cemara Aking orang ke5, dan Tembini orang ke-7, langsung menyerang. Ketujuh orang tokoh itu dikurangi Sagotra, merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang. Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya.

Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing. Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking. Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.  Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar. Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah. Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya. Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping. Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai tenaga cadangan. Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya. Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan. Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan. Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.

Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung. Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala jurusan.

Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar dengan cemerlangnya.

Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi terang, akan sulitlah kedudukannya.

Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan tenaganya yang biasa. Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya. Dalam keadaan gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan gerombolan hitam itu. Terlintas dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya mempergunakan segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.

Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga-duga. Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga betapa besar tenaganya.

Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.

Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam mereka dengan kapaknya.

Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.

Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya terlepas dan terpatahkan.

Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk melawan orang berkapak itu. Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu. Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak juga bahwa ia agak terdesak.

Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu. Maka segera iapun menjadi cemas. Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.

Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah sempit.

Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam lawan.” Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.

bersambung ke Jilid 4

———-oOo———-

kembali | lanjut >>

6 Tanggapan

  1. suwe ra mampiR kene…..cap jemPOL dhisik

    sret-sret-sreeeet….dok,

    • nomer SIJI…..nyangkrUK ning keNE,

      asiK….asiK…..asiKkkkkkkkkkkkkkkkk

  2. nomer loRO……l-o-r-o, masoek langsoeng

  3. sip…sipp…

  4. sahe, ceritone nggarai langsung pengen moco lan pengen moco maleh… 😀

Tinggalkan komentar