NSSI-06


kembali | lanjut >>

I.

Sementara itu kuda mereka telah sampai di muka pintu gerbang halaman rumah Gajah Sora. Dua orang penjaga gerbang masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar datang, segera kedua penjaga itu membungkuk hormat.

Gajah Sora tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk menanyakan tentang keamanan rumahnya, maka kepada dua orang penjaga itu ia bertanya, ”Apakah yang sudah terjadi?”

Tidak ada apa-apa yang terjadi, Ki Ageng,” jawabnya.

Mendengar jawaban itu perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar agak lega sedikit, tetapi dalam lubuk hati mereka yang paling dalam tersembunyi suatu kebimbangan atas kebenaran keterangan penjaga itu. Mereka berdua seolah-olah mendapat suatu firasat yang kurang menenteramkan hati mereka. Maka mereka berdua segera memasuki halaman dan langsung menuju ke pendapa.

Di pendapa itu tampak Wanamerta dan Sawungrana masih duduk dengan tenangnya. Ketika mereka melihat Gajah Sora dan Mahesa Jenar, segera mereka berdua pun berdiri menyambutnya.

Paman Wanamerta… tidak adakah sesuatu yang terjadi di sini? tanya Gajah Sora tidak sabar.

Pangestu Anakmas tak ada sesuatu yang terjadi,” jawab Wanamerta.

Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tambah lega mendengar jawaban itu. Sebab Wanamerta dan Sawungrana bukanlah anak kecil yang dapat dipermainkan.

Di halaman rumah itu masih nampak beberapa orang laskar yang berjaga-jaga berjalan hilir mudik dengan senjata siap di tangan, sedangkan di gandok kulon, tempat pondokan Ki Ageng Lembu Sora pun masih nampak beberapa orangnya ikut berjaga-jaga.

Bagaimanakah dengan Panjawi?” tanya Gajah Sora pula.

Agaknya juga tidak mengalami sesuatu, Anakmas. jawab Wanamerta, Baru saja Adi Sawungrana nganglang ke belakang rumah, dan di sana Panjawi tampak selalu bersiaga.

Syukurlah” desis Gajah Sora.

Mendengar semua keterangan itu, gelora perasaan Gajah Sora dan Mahesa Jenar terasa agak mengendor sedikit, setelah mereka mengalami ketegangan perasaan beberapa saat lamanya. Memang sulit untuk dapat memasuki halaman itu tanpa dilihat oleh salah seorang pengawal. Sebab dinding halaman Gajah Sora cukup tinggi dan gerbangnya pun terjaga rapat.

Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekeliling halaman, di setiap tujuh delapan langkah seorang dan melekat dinding halaman. Kalau demikian, maka agaknya peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana maupun Ki Ageng Pandan Alas hanyalah sikap hati-hati dari orang-orang tua saja.

Tetapi belum lagi Gajah Sora dan Mahesa Jenar puas menarik nafas lega, tiba-tiba dikejutkan oleh jerit Arya Salaka dari dalam rumah. Serentak mereka berdiri dan dengan kecepatan yang luar biasa mereka meloncat ke arah suara Arya. Wanamerta dan dua tiga orang yang berdiri paling dekat dengan pintu segera mendorongnya dan meloncat masuk. Gajah Sora dan Mahesa Jenar rupa-rupanya tidak sabar lagi menunggu Wanamerta yang meskipun geraknya termasuk dalam tataran yang tinggi, untuk bergantian masuk lewat pintu yang hanya satu itu. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan kekuatan penuh menerobos dinding gebyok itu sehingga pecah berserakan.

Ketika mereka bersama-sama telah sampai di muka ruangan Gajah Sora, rasa-rasanya darah mereka berhenti mengalir.

Mereka masih sempat menyaksikan Arya Salaka terpelanting dan terbentur dinding. Seketika itu juga ia terjatuh dan pingsan. Dari mulutnya meleleh darah merah segar. Sedang di tangannya tergenggam erat sebuah tombak pendek yang juga berlumuran darah. Tombak itu adalah tombak pusaka Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Kyai Bancak, hadiah dari Pangeran Sabrang Lor, yang juga bergelar Adipati Unus, pada waktu ia mengikuti pasukan Sabrang Lor itu ke Semenanjung Melayu untuk mengusir penjajahan Portugis. Kyai Bancak sebenarnya adalah pasangan dari pusaka lain yang berupa sebuah bende.

Sedang di muka pintu kamarnya ia melihat sesosok tubuh yang terhuyung-huyung. Di dadanya tampak luka yang menyemburkan darah. Dalam kejadian yang sekejap itu melayanglah sebuah bayangan yang hampir tak dapat ditangkap oleh penglihatan, menyambar orang yang hampir terjatuh karena luka di dadanya itu. Maka berpindahlah dua buah keris yang dipegang oleh orang yang terluka di dadanya itu ke tangan yang menyambarnya. Itulah Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta adalah orang-orang yang memiliki kecepatan bergerak dalam tingkatan yang cukup tinggi. Tetapi terhadap bayangan itu, mereka tak mampu berbuat sesuatu. Mereka hanya melihat bayangan itu lenyap lewat atap. Meskipun demikian, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Wanamerta bukanlah orang yang mudah putus asa. Sambil berteriak nyaring Gajah Sora meloncat memburu bayangan itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Wanamerta. Tetapi demikian Gajah Sora muncul di atas atap lewat lobang yang sama, bayangan itu telah lenyap sama sekali.

Karena itu bergetarlah dada mereka bertiga oleh kemarahan dan keheranan yang bercampur aduk. Bayangan itu seolah-olah adalah bayangan hantu yang tiba-tiba muncul untuk menambah keributan di Banyu Biru dan kemudian lenyap seperti lenyapnya asap dihembus angin.

Tetapi bagaimanapun cepatnya bergerak bayangan itu, namun ada sesuatu yang dapat ditangkap oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar.

Bayangan itu agaknya memakai jubah abu-abu. Tetapi Gajah Sora dan Mahesa Jenar sama sekali tak dapat melihat wajahnya. Namun demikian segera perasaan mereka lari kepada Pasingsingan. Orang itu beberapa saat yang lalu bertempur melawan Ki Ageng Pandan Alas di alun-alun, tak begitu jauh dari rumah itu. Tetapi bagaimana ia dapat berhasil melepaskan diri dari pengawasan Pandan Alas? Maka bergulatlah di dalam otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar berbagai pertanyaan. Adakah Pasingsingan berhasil mengalahkan Pandan Alas…?

Pada saat itu, lebih-lebih Gajah Sora yang menyaksikan pusaka simpanannya dan yang telah direbutnya dengan taruhan nyawanya hilang tanpa dapat berbuat sesuatu di hadapannya. Juga anaknya dilukai oleh seseorang yang tak dikenal di rumahnya. Seolah-olah di dalam dadanya menyalalah api yang berkobar-kobar dan jauh lebih panas dari api yang menyala-nyala di ujung utara kotanya. Nyala di dalam dadanya ini memancar lewat matanya yang merah berapi-api, giginya gemeretak, dan bibirnya bergerak-gerak. Tetapi tak sepatah kata pun yang terucapkan. Otak Gajah Sora yang cerdas segera dapat meraba apa yang telah terjadi di rumahnya. Rupa-rupanya seseorang telah berusaha untuk mengambil kedua pusakanya. Tetapi malang baginya, sebab Arya dapat mengetahui perbuatan itu sehingga anak yang otaknya cemerlang itu mengintipnya dengan tombak pusaka di tangan. Rupa-rupanya pada saat ia keluar dari ruang tidurnya, Arya telah menusuk dada orang itu dengan Kyai Bancak. Tetapi meskipun demikian orang yang sudah pasti bukan orang sembarangan itu dengan sisa tenaganya yang sudah lemah, berhasil menghantam Arya sehingga Arya terlempar dan terbanting membentur dinding. Pada saat itulah datang orang ketiga yang dengan kecepatan seperti cahaya kilat, berhasil merampas kedua pusaka itu.

Maka, api kemarahan yang membentur dinding perasaan Gajah Sora itu tidak lagi dapat dibendungnya. Karena itu dengan gerak yang seolah-olah tak dikuasainya sendiri, ia meloncat terjun dari atap rumahnya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil berlari, tangannya menggapai tombak pusakanya dan menariknya dari tangan Arya, langsung keluar halaman dan sekaligus meloncat ke punggung kudanya.

Mahesa Jenar dapat menangkap apa yang bergolak di dalam dada sahabatnya, sebab memang ia pun mempunyai rabaan yang sama pula atas kejadian yang baru saja berlalu. Karena itu ia dapat menduga kemana Gajah Sora akan pergi. Pastilah ia akan melihat apakah Pandan Alas masih ada di antara Ringin Kurung dan bertempur dengan Pasingsingan, ataukah Pandan Alas itu sudah tidak berdaya lagi.

Maka tanpa berpikir lagi, ia pun meloncat ke atas punggung kudanya dan lari menyusul Gajah Sora.

Wanamerta yang meskipun dapat mengambil kesimpulan yang sama atas kejadian yang disaksikannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui tentang orang yang berjubah abu-abu yang telah dilihat oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar di tengah alun-alun. Karena itu ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Untunglah sebelum berangkat Mahesa Jenar sempat berkata kepadanya, Paman Wanamerta. Paman tidak perlu ikut bersama kami, jagalah rumah ini baik-baik. Mungkin ada suatu perkembangan keadaan. Aduklah seluruh halaman rumah ini, meskipun kemungkinan untuk menemukan hantu itu tipis sekali. Setelah itu Mahesa Jenar lenyap pula di atas punggung kuda abu-abu yang berlari dengan derap yang gemuruh seperti badai, mengejar Gajah Sora dengan kuda putihnya.

Jarak antara rumah Gajah Sora dan pohon beringin yang berdiri tegak di tengah alun-alun, yang seakan-akan tidak peduli atas apa yang sudah terjadi di sekitarnya itu tidaklah begitu jauh. Karena itu dalam waktu yang singkat mereka berdua telah berhasil mendekati ringin kurung itu.

Maka mereka menjadi terkejut dan heran tak habis-habisnya ketika dari jarak yang sudah agak dekat mereka masih melihat dua bayangan yang berloncat-loncat dan melontar kesana kemari diantara sepasang beringin itu. Di sana masih jelas dapat disaksikan Pasingsingan dan Ki Ageng Pandan Alas bertempur. Bahkan semakin sengit. Tetapi jubah yang dipakai oleh orang yang menyambar kedua keris pusaka itu tepat benar dengan jubah yang dipakai oleh Pasingsingan itu.

Sebenarnya dalam keadaan yang biasa, Gajah Sora akan dapat mempertimbangkan bahwa tidak mungkin dalam satu saat Pasingsingan dapat berada di dua tempat dan melakukan dua pekerjaan sekaligus. Tetapi pada saat itu, karena kemarahannya yang meluap-luap, ia membutuhkan wadah untuk menumpahkannya. Satu-satunya kemungkinan sebagai tempat penampungan kemarahan Gajah Sora adalah Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Pandan Alas itu.

Meskipun ia tahu bahwa Pasingsingan bukanlah lawannya, karena orang itu memiliki ilmu yang sejajar dengan Ki Ageng Sora Dipayana, namun sama sekali Gajah Sora sudah tidak mampu lagi membuat pertimbangan-pertimbangan.

Karena itu, dengan otak yang buntu, ia memacu kudanya habis-habisan, langsung mengarah kepada kedua orang yang sedang bertempur itu dengan Kyai Bancak siap di tangan.

Melihat sikap Gajah Sora, yang seolah-olah tidak dapat terkendali itu, Mahesa Jenar menjadi cemas. Sebenarnya ia sendiri merasa sangat marah atas hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi karena justru hal itu terjadi di rumah Gajah Sora maka Gajah Sora-lah yang merasa lebih bertanggung-jawab. Ditambah lagi cedera yang dialami oleh anak satu-satunya. Karena itu bagaimanapun hebatnya kemarahan yang bergolak di dada, Mahesa Jenar masih dapat bersikap lebih tenang dari Gajah Sora.

Maka segera Mahesa Jenar berusaha sekuat-kuatnya untuk memacu kudanya lebih cepat agar dapat menyusul Gajah Sora, untuk mencoba mencegahnya berbuat sesuatu yang berbahaya. Dibungkukkannya badannya dalam-dalam sampai melekat ke punggung kudanya. Namun kuda Gajah Sora bukanlah kuda sembarangan. Larinya bahkan semakin cepat seperti angin.

Pada saat itu Gajah Sora sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali menyerang Pasingsingan habis-habisan. Ia sama sekali sudah tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena perbuatannya itu.

Maka ketika jarak mereka sudah semakin dekat, segera Gajah Sora mengangkat tombak pusakanya. Tombak yang jarang sekali keluar dari rangkanya. Tapi kali ini, tombak yang ujungnya sudah membekas darah itu seolah-olah menjadi semakin haus dan buas.

Untunglah bahwa Gajah Sora tidak bermaksud langsung menyerang Pasingsingan dengan tombak di tangan. Ternyata bagaimanapun gelap pikirannya, namun sebagai seorang yang cukup berpengalaman, nalurinya yang tajam masih dapat mempengaruhi tindakannya.

Dengan hati yang dibakar oleh kemarahan, Gajah Sora mengangkat tombaknya yang bermaksud membinasakan Pasingsingan. Maka dengan sekuat tenaga, bahkan dengan ilmunya Lebur Seketi yang disalurkan lewat tangannya yang memegang tombak pusaka itu, ditambah lagi dengan tenaga dorong dari kecepatan berlari kuda putihnya yang seperti angin, Gajah Sora melepaskan tombaknya ke arah Pasingsingan, yang sedang sibuk melayani Ki Ageng Pandan Alas.

Perbuatan Gajah Sora itu sama sekali tak diduganya. Meskipun Pasingsingan sudah tahu bahwa Gajah Sora bersenjata, tetapi ia tidak mengira bahwa senjata itu akan dilemparkan kepadanya. Karena itu ketika ia melihat Gajah Sora mengangkat tombaknya, Pasingsingan menjadi terkejut. Kalau saja pada saat itu Pasingsingan berdiri seorang diri, maka serangan Gajah Sora itu tidak akan berarti sama sekali baginya. Tetapi pada saat itu ia sedang bertempur mati-matian melawan Ki Ageng Pandan Alas. Untuk melayani lawannya itu saja Pasingsingan sudah harus mengerahkan segenap tenaganya, apalagi tiba-tiba ia menerima serangan yang cukup berbahaya. Sebab bagaimanapun Gajah Sora bukanlah anak kemarin sore yang dengan begitu saja boleh diletakkan di luar garis. Karena itu ketika Pasingsingan melihat sebatang tombak yang berkilauan, seperti kilat datang menyambarnya, ia menjadi agak gugup. Meskipun demikian ia adalah seorang tokoh yang namanya boleh disejajarkan dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, Titis Anganten, dan sebagainya. Karena itu, bagaimanapun sulitnya keadaan, masih saja ia mampu menghindari.

Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, Pasingsingan melontarkan diri jauh ke belakang dan seolah-olah hinggap di atas dinding ringin kurung. Sedang pada saat yang bersamaan, Ki Ageng Pandan Alas meloncat beberapa langkah ke belakang untuk menghindarkan diri dari kaki kuda Gajah Sora yang seakan-akan tidak lagi dapat dikendalikan, seperti pikiran Gajah Sora.

Apalagi ketika Gajah Sora melihat bahwa serangannya gagal maka hatinya yang sudah terbakar itu rasa-rasanya menjadi semakin hangus. Dengan sekuat tenaga ia menarik kekang kudanya dan kemudian memutarnya menghadap ke arah Pasingsingan untuk segera menyerangnya kembali. Meskipun ia kini sudah tidak bersenjata namun di telapak tangannya masih tersimpan aji Lebur Seketi.

Tetapi tiba-tiba Gajah Sora terpaksa mengurungkan serangannya, sebab pada saat itu tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan tertawa menggelegar. Meskipun suara tertawanya tidak begitu keras, getarannya memukul-mukul seperti akan memecahkan dada.

Ternyata, meskipun tombak Gajah Sora tidak mengenai tubuh Pasingsingan, tetapi karena keadaan yang sulit, Pasingsingan agak terlambat menghindar sehingga tombak yang menyambarnya itu menyobek jubah abu-abunya. Karena itu, ia merasa terhina sekali oleh seorang anak-anak saja. Maka ia menjadi marah sekali. Dan terlontarlah kemarahannya itu lewat suara tertawanya yang mengerikan.

Mahesa Jenar yang pada saat itu telah sampai pula ke tempat itu segera menghentikan kudanya dan memusatkan segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan itu. Tetapi, suara tertawa itu ternyata tidak segera berhenti, malahan semakin berkepanjangan dan merupakan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Ia pernah mendengar Lawa Ijo menyalurkan kesaktiannya lewat suara tertawa yang menggeletar, sehingga memerlukan daya perlawanan yang kuat untuk tidak jatuh ke dalam pengaruhnya yang berbahaya. Tetapi, suara tertawa Pasingsingan yang tidak begitu keras itu mengandung tenaga kesaktian yang jauh lebih hebat dari suara Lawa Ijo.

Karena itu, baik Mahesa Jenar maupun Gajah Sora pada saat itu harus mengerahkan segenap daya kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara itu. Namun demikian kesaktian Pasingsingan yang tersalur lewat bunyi tertawa itu bagaikan jarum yang menusuk-nusuk ulu hati. Alangkah nyerinya, bahkan panas pula seperti dijilat lidah api.

Meskipun pada saat itu Mahesa Jenar dan Gajah Sora telah mengerahkan segala kekuatannya, namun terasa tubuhnya menggigil dan semakin lama semakin kehilangan kesadaran.

Baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar pernah mendengar kisah dari sahabat-sahabatnya yang sering mengarungi samodra-samodra besar, bahwa di Laut Cina terdapat sebuah pulau kecil yang sangat ditakuti, sehingga pulau itu dinamai pulau hantu. Apabila ada kapal yang terjerumus ke dekat pulau itu, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Dari pulau itu terdengarlah berbagai macam nada orang tertawa-tawa dengan getaran yang dahsyat sehingga orang yang mendengarnya akan menjadi gila karenanya. Bahkan tidak jarang di antara pelaut-pelaut itu kemudian menemui ajalnya dengan cara yang mengerikan. Ada yang terjun ke laut, ada yang mati lemas, dan ada yang mati karena saling bertempur dan menggigit.

Dan sekarang, mereka meskipun tidak mendekati pulau hantu itu, mendengar pula suara tertawa yang mengerikan dan telah hampir berhasil merontokkan kesadaran mereka.

Tetapi, ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar sudah hampir benar-benar jatuh ke dalam pengaruh suara itu, tiba-tiba terdengarlah suara tembang yang mengalun seolah-olah menyusur dedaunan dan sulur-sulur sepasang beringin itu. Kemudian dengan pengaruh yang sejuk, nada-nada itu menggetarkan udara dan menyusup ke dalam dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Suara tembang itu pun mempunyai pengaruh yang luar biasa pula. Tetapi dayanya berlawanan dengan suara tertawa Pasingsingan. Suara tembang itu seolah-olah siraman air yang memadamkan api yang menyala-nyala membakar kesadaran mereka.

Maka, bersama-sama dengan daya perlawanan masing-masing, suara tembang itu segera dapat menenangkan pikiran Gajah Sora dan Mahesa Jenar.

Dan ketika mereka berdua bersama-sama menoleh ke arah suara itu, dilihatnya Ki Ageng Pandan Alas dengan enaknya duduk di atas tanah bersandar dinding ringin kurung itu dengan kaki bersilang. Sikapnya seperti seorang anak gembala yang dengan tenangnya berdendang di bawah pohon rindang. Ketika itu sinar matahari sedang dengan teriknya memanasi padang rumput. Lagunya adalah lagu kesayangan orang tua, yang sudah sering didengar oleh Mahesa Jenar, yaitu lagu Dandanggula.

Lewat lagunya itu, Pandan Alas pun telah memancarkan kesaktiannya pula untuk melawan kesaktian Pasingsingan.

Pasingsingan yang merasa bahwa serangannya dapat digagalkan oleh Pandan Alas, menjadi semakin marah. Maka dengan menggeram hebat ia berkata, “Setan tua…. Tidak dapatkah kau menahan dirimu untuk tidak mencampuri urusanku. Aku telah mencoba melupakan kelakuanmu di Hutan Tambakbaya beberapa minggu lalu? Kini kembali kau berbuat gila, Pandan Alas, jangan menunggu sampai kesabaranku habis.”

Ki Ageng Pandan Alas seolah-olah tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu. Ia masih saja berlagu terus sampai kalimat yang terakhir.

Melihat sikap Pandan Alas yang seolah-olah tidak mempedulikan ancamannya, Pasingsingan menjadi bertambah marah. Kini kesabarannya telah benar-benar habis. Menurut anggapannya, Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Pandan Alas telah bersepakat untuk bersama-sama menghinanya. Karena itu ia telah bertekad untuk membuat perhitungan yang terakhir.

”Pandan Alas…, biarlah aku berkata kepadamu demi persahabatan kita yang telah berpuluh-puluh tahun. Kalau kali ini kau tidak mau mendengarkan, biarlah untuk seterusnya kau tidak akan pernah mendengarnya lagi. Pandan Alas…, coba kau tahan dirimu sedikit kali ini. Janganlah kau menghalangi aku untuk mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau kau sendiri ingin memilikinya, sebaiknya kita berlomba siapakah yang mendapatkannya lebih dahulu. Juga terhadap kedua anak-anak yang tidak mempunyai sangkut paut apa-apa dengan kau itu. Biarlah aku bereskan dahulu. Yang seorang telah menghantam muridku dengan Sasra Birawa di hutan Tambakbaya, sedang seorang lagi telah menyerang aku sehingga jubahku tersobek, kata Pasingsingan.”

Terdengarlah suara Pandan Alas tertawa pendek, jawabnya, “Pasingsingan…, benarkah aku pernah bersahabat dengan kau? Kalau dahulu aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Pasingsingan pula, aku kira berbeda dengan Pasingsingan yang aku hadapi sekarang.”

“Maksudmu?” tanya Pasingsingan. Suaranya terdengar bergetar menahan kemarahan yang sudah memuncak. Tetapi karena ia memakai kedok maka kesan mukanya tak dapat diketahui.

”Maksudku adalah..”. jawab Pandan Alas, ”Pasingsingan yang aku kenal sifatnya sama sekali berbeda dengan Pasingsingan yang sekarang berdiri di hadapanku. Pasingsingan yang aku kenal dahulu meskipun ujud dan bentuknya tepat seperti kau ini, tetapi wataknya adalah berlawanan sama sekali. Menurut perhitunganku, Pasingsingan sahabatku itu tidak mungkin mengambil seorang murid yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Tidak mungkin pula kini bekerja mati-matian untuk merampas Nagasasra dan sabuk Inten dari tangan murid sahabatnya yang lain, yang bernama Ki Ageng Pengging Sepuh, serta putra sahabatnya yang bernama Sora Dipayana.”

Tampaklah tubuh Pasingsingan menggigil menahan diri. Nafasnya berjalan semakin cepat. Kembali terdengar suaranya yang dalam, yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perutnya saja itu, ”Pandan Alas…, lalu siapakah menurut dugaanmu aku ini?”

Pandan Alas mengerinyitkan alisnya. Katanya, ”Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah kau menamakan dirimu Pasingsingan. Aku tidak membantah bahwa kau bernama Pasingsingan. Tetapi kau bukan Pasingsingan sahabatku itu, meskipun kau juga mempunyai tanda-tanda yang bersamaan dan ilmu Gelap Ngampar yang baru saja kau pertunjukkan untuk menjebol dada anak-anak itu.

Gajah Sora dan Mahesa Jenar tak sepatah kata pun berani mencampuri perbantahan mereka. Setelah mereka berdua mengalami serangan Pasingsingan dengan nada tertawanya yang bernama Gelap Ngampar itu, mereka merasa betapa kecil diri mereka untuk menghadapinya. Untunglah bahwa Pandan Alas berhasil menolong mereka menyelamatkan dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar yang dahsyat itu. Sekarang mereka berdua melihat kedua tokoh itu telah kehilangan kesabaran dan akan bertempur mati-matian. Maka sebaiknya bahwa mereka untuk sementara tidak usah mencampurinya.

Maka berdesirlah dada mereka ketika mereka melihat Pasingsingan yang sedang marah itu, tiba-tiba dari dalam jubahnya menarik sebilah pisau belati panjang. Pisau ini mirip benar bentuknya dengan pisau yang sering dipergunakan oleh gerombolan Lawa Ijo, tetapi pisau ini tidak berwarna putih mengkilap, melainkan kuning berkilau-kilauan. Sambil memegang belati itu, Pasingsingan menggeram, ”Pandan Alas, aku tidak biasa bertempur dengan senjata kalau tidak sedang mempertimbangkan untuk memotong kepala seseorang. Sekarang kau di sini bertiga dengan tikus-tikus itu untuk bersama-sama mengeroyok aku. Biarlah aku tidak akan mundur. Bahkan aku ingin membawa kepalamu bertiga ke Mentaok sebagai suatu bukti bahwa Pasingsingan tak dapat dihinakan orang.”

Melihat pisau belati panjang itu di tangan Pasingsingan serta mendengar kata-katanya, mau tidak mau hati Gajah Sora dan Mahesa Jenar bergetar hebat. Meskipun mereka bukan orang-orang kerdil yang takut mati, namun menghadapi seorang seperti Pasingsingan, mereka merasa gentar juga. Tetapi bagaimanapun apabila keadaan sudah memaksa maka apapun yang akan terjadi pasti harus dihadapi. Diam-diam Gajah Sora dan Mahesa Jenar memusatkan segala kemampuannya yang ada lahir batin, dan disalurkannya menurut saluran masing-masing. Gajah Sora dengan Lebur Seketi dan Mahesa Jenar dengan Sasra Birawanya.

Pandan Alas yang sejak tadi tampaknya acuh tak acuh saja, setelah melihat Pasingsingan bersenjata, menjadi agak terkejut juga. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan mata yang berapi-api ia memandang Pasingsingan seperti memandang hantu. Rupa-rupanya orang tua itu pun telah menjadi marah sekali.

”Pasingsingan…,” katanya, ”kau ingat bahwa dahulu kita pernah bertempur?”

Pasingsingan tidak segera menjawab, agaknya ia sedang mengingat-ingat. Baru beberapa lama kemudian ia berkata, ”Aku ingat, Pandan Alas.”

”Barangkali waktu itu kita baru pertama kali bertempur”. sambung Pandan Alas, ”Bukankah begitu?”

Kembali Pasingsingan mengingat-ingat, jawabnya, ”Apakah maksudmu dengan menceritakan kembali masa-masa yang telah lama silam itu. Banyak hal yang sudah tak dapat aku ingat kembali.”

”Aneh…,” sahut Pandan Alas, ”pertemuan yang menarik itu, kau kira, baik kau maupun aku tak akan melupakannya.”

”Ya, aku ingat”, jawab Pasingsingan kesal.

”Waktu itu aku mengira kalau kau adalah seorang penjahat yang sedang menyembunyikan wajah aslimu di belakang kedokmu yang jelek itu. Tetapi setelah kita bertempur tiga hari tiga malam tanpa berkesudahan, barulah kita saling bertanya.”

”Pandan Alas…” potong Pasingsingan, ”adakah kau sedang mengorek rasa persahabatanku supaya aku memaafkan kau sekarang ini? Ketahuilah, aku sudah terlanjur mencabut pisauku ini. Maka pisau ini harus menemukan korbannya. Kalau kau menyesal telah mencampuri urusanku, kau boleh pergi. Tetapi tikus-tikus ini tetap di tanganku.”

Mendengar kata-kata Pasingsingan itu bergeloralah dada Pandan Alas yang biasanya senang berkelakar. Meskipun demikian ia masih berkata tenang, ”Kenapa kau takut mendengar ceritera-ceritera masa silam Pasingsingan? Adakah sesuatu yang telah menyiksa perasaanmu sehingga kau tidak berani mengingatnya lagi?”

”Persetan dengan masa lampau,” bentak Pasingsingan. ”Masa itu tak akan kembali lagi. Yang penting bagiku adalah masa kini dan masa depan perguruanku. Itu sebabnya aku berkeras untuk menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten.

Kembali terdengar suara tertawa Pandan Alas yang dipaksakan. Katanya; “tetapi hari ini adalah kelangsungan dari hari kemarin dan seterusnya. Hidupmu sekarang adalah kelanjutan dari hidupmu 25 tahun yang lalu.”

Omongan orang sekarat,” bantah Pasingsingan. “Aku dapat menjalani kehidupanku kini tanpa masa lampau itu. Dan masa lampau itu sama sekali tak berarti bagiku.”

“Sebab masa lampau dari Pasingsingan itu bukan milikmu,” jawab Pandan Alas.

Jawaban yang diucapkan meskipun diucapkan alam nada yang rendah, tetapi mempunyai akibat yang hebat sekali. Pasingsingan yang telah sekian lama menahan kemarahannya, mendengar kata-kata Pandan Alas dengan darah yang menggelegak.

Maka dijawabnya hampir berteriak, “Apa perdulimu. Bahkan aku sendiri tidak perduli kepada masa lampau itu. Dan sekarang menghadapi saat terakhirmu kau tidak usah mengigau tentang Pasingsingan. Apakah aku Pasingsingan sahabatmu ataukah Pasingsingan yang lain tidaklah penting bagimu. Tetapi Pasingsingan yang sekarang berada dihadapanmu inilah yang akan menentukan saat terakhirmu bersama-sama dengan kedua orang yang terlalu sombong itu. Nah bersedialah untuk mati. Aku sudah hampir mulai.”

Ketegangan yang memuncak telah melibat otak Gajah Sora dan Mahesa Jenar. namun mereka melihat Pandan Alas tersenyum pahit sambil berkata: ” Nah kalau demikian aku yang seharusnya menentukan sikap pula. Kau tidak usah menyebut lagi demi persahabatan kita, sebab persahabatan di antara kita tidak pernah kita alami. Kalau aku menyebut masa lampau itu hanyalah supaya aku yakin dengan siapa aku berhadapan. Sebab terhadap Pasingsingan sahabatku itu, tak mungkin aku bersikap keras. Sekarang silahkan mulai,” lalu tiba-tiba saja ditangan orang tua itu bercahayalah sinar yang kemilau. Itulah pusaka Pandan Alas yang dahsyat, yang bernama Kiai Sigar Penjalin.

———-oOo———-

II

Suasana segera menjadi hening sepi, tetapi diliputi oleh ketegangan yang memuncak. Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk di atas kuda masing-masing seperti patung. Meskipun di dalam dada mereka bergolak berpuluh macam persoalan yang simpang siur sebab di hadapan mereka dua orang tokoh sakti akan bertanding mati-matian sehingga mereka berdua merasa perlu untuk mempergunakan pusak masing-masing.

Karena itu, maka pertempuran yang akan berlangsung pasti akan merupakan pertempuran antara hidup dan mati.

Tetapi sampai beberapa saat, mereka masih berpijak pada tempatnya masing-masing. Tak seorangpun dari kedua tokoh sakti yang bergerak. Sehingga terdengar kembali suara Ki Ageng Pandan Alas berkata: “Pasingsingan, silahkan mulai. Aku sudah siap.”

Tetapi Pasingsingan tidak juga bergerak dan tidak menyahut pula. Ketika kata-katanya tidak mendapat sambutan, kembali Pandan Alas berkata “Pasingsingan, kau jangan takut aku akan maju bersama kedua anak-anak itu. Sebenarnya aku merasa kurang perlu untuk mempergunakan pisau dapur yang tak berharga ini untuk melawanmu, tetapi aku tidak ingin merendahkanmu, sehingga terpaksa aku mempergunakannya juga. Meskipun demikian baiklah aku katakan kepadamu, bahwa mungkin karena kau sama sekali tak menghargai masa lampaumu itulah maka terasa ilmumu mengalami kemunduran.”

Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas itu tampaklah tubuh Pasingsingan bergetar serta tangannya yang memegang pusaka itu menggigil hebat. Ia sama sekali tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram hebat untuk menahan marahnya. Meskipun demikian Pasingsingan masih tidak bergerak dari tempatnya.

Sampai Ki Ageng Pandan Alas berkata; “Gajah Sora dan Mahesa Jenar, kenapa kalian datang kemari?. Tak usahlah kalian menonton orang tua bermain-main. Barangkali bagi kalian lebih baik apabila kalian kembali dan menjaga kedua keris itu.

Mendengar kata Ki Ageng Pandan Alas tergetarlah dada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka segera teringat kepada kedua pusaka yang hilang itu. Maka jawab Gajah Sora “Ki Ageng, ketika aku pulang tadi, aku masih sempat menyaksikan pusaka itu dicuri oleh Pasingsingan, tetapi aku sama sekali tak berdaya untuk menahannya.

Kata-kata itu menggelegar seperti guruh yang meledak diatas kepala Ki Ageng Pandan Alas dan Pasingsingan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas terloncat maju mendekati Gajah Sora sambil berteriak; “apa katamu? kedua pusaka itu hilang diambil Pasingsingan?.

Belum lagi Gajah Sora menjawab terdengar Pasingsingan menyahut; “Gila, kau jangan mencoba memutar balikkan keadaan. Tipu muslihat yang tak berharga itu jangan kau pamerkan dihadapanku, supaya aku tidak lagi berusaha untuk mendapatkan pusaka dari tanganmu.”

Maka terdengarlah Gajah Sora berkata, “Ki Ageng Pandan Alas, aku berkata sebenarnya bahwa kedua keris itu telah hilang.”

“Tidak mungkin,” potong Ki Ageng Pandan Alas. “Pasingsingan sejak kau meninggalkan kami masih tetap bersama dengan aku.”

Gajah Sora menjadi ragu sebentar. Memang tidak mungkinlah bahwa Pasingsingan yang sedang bertempur dengan Ki Ageng Pandan Alas dapat mengambil kedua keris itu. Karena itu katanya kemudian dengan jujur, “Ki Ageng, aku tidak dapat memastikan dengan jelas siapakah yang telah mengambil kedua keris itu. Tetapi aku dapat melihat bahwa orang itu memakai jubah abu-abu pula tepat seperti apa yang dipakai oleh Pasingsingan itu.”

Apakah orang itu berkedok pula?,” tanya Pandan Alas.

Itulah yang tidak jelas,” jawab Gajah Sora.

Ki Ageng Pandan Alas tampak merenung. Rupa-rupanya ia sedang berfikir keras apakah kira-kira yang telah terjadi.

Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan berkata, “Aku dapat mempercayai omonganmu Gajah Sora. Tampaknya kau memang tidak bermaksud membohongi kami. Dan rupa-rupanya karena itu pula kau menyerang aku dengan tombakmu. Nah kalau demikian aku tidak perlu terlalu lama lagi berada di sini, sebab kedua keris yang aku kehendaki itu sudah tidak ada lagi. Tak ada gunanya lagi bagiku untuk melayani orang gila macam Pandan Alas. Tetapi meskipun demikian sekali waktu aku ingin bertemu dengan kau kembali.”   Pasingsingan tidak menunggu jawaban lagi. Dalam waktu sekejap ia telah hilang dari pandangan mereka.

Maka tinggallah kini Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang telah maju pula mendekati Gajah Sora, serta kemudian bersama-sama meloncat dari punggung kuda masing-masing.

”Mahesa Jenar…,” kata Ki Ageng Pandan Alas, ”aku berharap sekali bahwa aku atau kau berdua dapat menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu ke Istana Demak. Tetapi rupa-rupanya keadaan belum mengizinkan.” Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka berdua merasa bahwa mereka ternyata tak dapat memenuhi keinginan orang-orang tua. Tampaklah bahwa Ki Ageng Pandan Alas terguncang pula hatinya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam serta beberapa kali ia menghela nafas panjang. Sementara itu dari arah utara tampaklah sebuah bayangan yang seolah-olah melayang di udara mendekati mereka bertiga yang berdiri terpaku di antara kedua batang ringin kurung yang masih saja acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.

Ternyata bahwa yang datang itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika dilihatnya bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di situ pula, maka segera ia menyapanya, “Selamat malam Adi Pandan Alas, apakah yang telah terjadi di sini?”

Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera membungkuk hormat. Namun dalam dada mereka terasa bahwa jantung mereka berdenyut semakin cepat.

“Selamat malam, Kakang,” jawab Pandan Alas. “Aku baru saja bermain-main di sini bersama Pasingsingan.”

”Pasingsingan…?” ulang Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. ”Rupa-rupanya ia datang bersama muridnya Lawa Ijo.”

”Rupa-rupanya orang itu benar-benar menginginkan kedua pusaka Demak yang disimpan oleh putramu,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

”Tidak hanya Pasingsingan,” jawab Sora Dipayana. ”Untunglah bahwa Adi berada pula di sini, sebab aku tadi sedang sibuk melayani tamu dari Lodaya.”

”Sima Rodra?” potong Pandan Alas.

”Ya, ia datang bersama menantunya, dengan maksud yang sama.”

”Hebat…, hebat sekali,” desis Pandan Alas. ”Setan dari Lodaya itu memerlukan datang pula.”

”Tetapi...” sambung Pandan Alas setengah berbisik, ”tanyakanlah kepada putramu apa yang telah terjadi.”

Tampaklah Ki Ageng Sora Dipayana menarik alisnya sehingga hampir bertemu. ”Ada apa Gajah Sora…?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana kepada Gajah Sora, ”Agaknya telah terjadi sesuatu?.”

Maka segera Gajah Sora menceriterakan tentang apa yang telah dilihatnya pada saat lenyapnya Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya.

Mendengar keterangan Gajah Sora, hati Ki Ageng Sora Dipayana terguncang hebat, sampai tubuhnya menggigil. Wajahnya yang bening itu segera menjadi seolah-olah diaduk oleh kemarahannya.

”Setan manakah yang telah mengganggu kami itu?” geramnya.

”Adi Pandan Alas…” katanya kemudian, ”bukankah kau tidak melepaskan Pasingsingan itu barang sekejap?”

”Tidak, Kakang,” jawab Pandan Alas. ”Ia tetap dalam pengawasanku.”

Kembali keadaan menjadi sunyi. Kesunyian yang tegang. Masing-masing dikuasai oleh perasaan yang bercampur baur diantara marah, kesal dan kecewa.

Akhirnya berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, ”Gajah Sora dan Mahesa Jenar… memang apa yang terjadi adalah diluar kemampuanmu berdua. Apalagi kalian, kami yang tua-tua ini pun menjadi pusing karenanya. Mungkin ada sesuatu yang tak beres pada Pasingsingan itu. Bukankah begitu Adi Pandan Alas?”

Pandan Alas mengangguk mengiyakan. Lalu ia berkata, ”Aku menjadi sulit untuk mengatakan tentang Pasingsingan. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang tidak wajar. Meskipun demikian aku masih belum berani meyakinkan bahwa ada lebih dari satu Pasingsingan.”

”Kalau begitu marilah kita lihat rumah itu,” ajak Sora Dipayana. ”Barangkali ada sesuatu yang dapat menunjukkan tanda-tanda siapakah yang telah mengambil kedua keris itu.”

Maka segera berangkatlah mereka menuju ke rumah Gajah Sora, setelah Gajah Sora memungut kembali pusakanya. Mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat kesibukan yang luar biasa. Segera mereka meloncat lebih cepat untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi. Ternyata di Pringgitan, mereka melihat Wanamerta dan Sawungrana menggeletak tak sadarkan diri, sedang di sudut yang lain Panjawi yang luka parah menggeletak tak berdaya.

Ketika mereka melangkah memasuki bagian dalam rumah Gajah Sora, mereka melihat Nyai Ageng Gajah Sora duduk bersimpuh, sedang di pangkuannya terletak kepala Arya yang masih pingsan.

Melihat kejadian itu semua, kembali Gajah Sora tergugah kemarahannya. Tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga karena itu giginya terdengar gemeretak dan nafasnya berjalan semakin cepat.

Sebenarnya ketika Sora Dipayana menyaksikan kejadian itu, hatinya tergetar pula. Tetapi wajahnya nampak tenang-tenang saja. Perlahan-lahan Sora Dipayana membungkuk, meraba dada Arya dan meneliti bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dari ceritera Gajah Sora, ia sudah tahu apakah yang menyebabkan Arya luka-luka. Tetapi tentang Wanamerta, Sawungrana, Panjawi serta beberapa orang pengawal yang lain, belumlah diketahuinya. Sedang di muka ruang tidur Gajah Sora masih menggeletak sesosok tubuh yang masih belum dikenal.

Apakah yang sudah terjadi dengan Paman Wanamerta dan yang lain-lain?” tiba-tiba terdengar suara Gajah Sora gemetar.

Istri Gajah Sora menjawab, ”Ketika aku mendengar ribut-ribut… aku waktu itu sedang mengatur orang-orang yang mengungsi ke rumah ini di belakang, segera aku berlari masuk. Aku sudah tidak sempat menjumpai Kakang Gajah Sora dan Adi Mahesa Jenar yang katanya sedang mengejar seseorang berjubah abu-abu yang mencuri kedua pusaka simpanan Kakang. Tetapi tidak beberapa lama, muncullah begitu tiba-tiba saja di hadapan kami. Aku, Paman Wanamerta dan Paman Sawungrana. Seorang yang pendek bongkok dan berwajah menakutkan, seolah-olah ia pernah mengalami suatu penyakit yang mengerikan. Orang itu datang kemari juga untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Paman Wanamerta menyatakan bahwa ia tidak tahu-menahu kedua keris itu, serta menceriterakan dengan betul apa yang sudah terjadi. Tetapi rupa-rupanya orang itu tidak percaya, sehingga terjadilah pertempuran antara orang itu seorang melawan Paman Wanamerta berdua dengan Paman Sawungrana yang kemudian dibantu juga oleh Panjawi dan beberapa orang. Tetapi ternyata bahwa dengan mudahnya orang itu dapat mengalahkan mereka. Lalu langsung dibongkarnya segala barang-barang yang ada di rumah ini untuk mendapatkan kedua keris itu. Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa kedua keris itu tak dapat diketemukan, maka seperti pada saat ia datang, segera ia pun lenyap.”

Mendengar ceritera itu betapa terkejutnya Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Orang itu pasti seorang yang mempunyai ilmu yang tinggi pula. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah Sora Dipayana dan Pandan Alas, sehingga nampaklah wajah mereka berubah. Kedua orang itu hampir bersama-sama menyebutkan suatu nama yang cukup menggetarkan. “Itulah Bugel Kaliki dari Gunung Cerme.”

Mendengar nama itu disebut, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sadar betapa berbahayanya orang itu. Ia pernah mendengar nama Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme itu dari mulut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten. Dalam sekejap itu tiba-tiba kesunyian mencengkam suasana. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang dengan tegang membayangkan apakah kira-kira yang telah terjadi.

”Rupanya hantu itu telah mendengar pula tentang Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.” Akhirnya terdengar Ki Ageng Pandan Alas berkata perlahan.

”Keadaan telah menjadi sedemikian rumit serta saling berkait,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.

”Mengenai Bugel itu, sudah jelas,” sambung Ki Ageng Pandan Alas. ”Dan ia tidak mendapatkan apa yang dicari setelah dengan leluasa ia menggeledah setiap sudut di dalam rumah ini. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ia tidak akan kembali lagi kemari. Tetapi ia akan mencari di tempat-tempat lain. Yang belum kita ketahui, justru yang berhasil membawa kedua pusaka itu, seorang yang berjubah abu-abu seperti jubah yang selalu dipakai oleh Pasingsingan.”

Alis Ki Ageng Sora Dipayana yang sudah putih itu tampak bergerak-gerak. Rupa-rupanya ia pun sedang berpikir hebat. Akhirnya terdengarlah ia berkata, ”Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, rupa-rupanya belum saatnya aku yang tua-tua ini menghabiskan sisa hidup kami untuk menikmati ketenteraman. Rupa-rupanya kini kami tidak dapat tinggal diam, menyendiri di puncak-puncak bukit. Aku tahu bahwa kau tentu bingung mengalami peristiwa-peristiwa ini. Jangan cemas, sebab kami pun telah pula menjadi bingung.”

Ki Ageng Pandan Alas tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya, sambungnya, ”Jadi kalian mempunyai kawan-kawan yang cukup banyak dalam kebingungan kalian.”

”Akh… kau badut tua,” potong Sora Dipayana. ”Maksudku, kami pun menjadi bingung, apalagi kalian, yang masih muda-muda. Nah, sekarang Gajah Sora… kau dapat mengundang Ki Lemah Telasih. Suruhlah orang itu mengobati anakmu dan orang-orangmu yang luka parah. Aku yakin bahwa luka-luka anakmu dan orang-orang itu tidak akan sampai membahayakan jiwanya di tangan Ki Lemah Telasih. Sekarang aku kira justru Banyu Biru ini dapat aku tinggal dengan aman setelah kedua keris itu lenyap. Tetapi percayalah bahwa kepergianku itu merupakan suatu usaha untuk menemukannya pula,” sambung Sora Dipayana.

Gajah Sora menundukkan kepalanya. Kemudian terdengarlah ia menjawab dengan suara yang dalam dan gemetar, ”Ayah…, maafkan aku yang sudah setua ini masih saja selalu mengganggu ketenteraman hidup ayah. Tetapi hal ini adalah benar-benar diluar kemampuanku.”

Terdengarlah Ki Ageng Sora Dipayana tertawa pendek. Jawabnya, ”Jangan salahkan dirimu. Akulah yang tidak mampu menjadikan kau orang yang luar biasa. Tak apalah. Sekarang biarlah aku pergi dengan Adi Pandan Alas. Mungkin arah kita berbeda, tetapi tujuan kita adalah sama. Menemukan kedua keris itu kembali, sebab permainan ini sudah mulai dicampuri pula oleh orang-orang tua.”

Gajah Sora tidak dapat menjawab kata-kata ayahnya. Ia menjadi terharu sekali. Sebaliknya Mahesa Jenar merasakan betapa sepi hidupnya sepeninggal gurunya. Tak ada lagi orang yang akan menjadi tempat mengadu dan mohon pertolongan. Meskipun ia merasa bahwa sebagai seorang laki-laki dirinyalah tempat untuk mengadu. Serta pada dirinya itu pulalah kepercayaan yang terakhir harus dilandaskan. Tetapi, menghadapi kenyataan itu, dirasakan betapa pahitnya hidup Mahesa Jenar sebatang kara, diantara manusia-manusia perkasa yang dalam setiap saat memungkinkan adanya bentrokan-bentrokan yang hanya dapat diselesaikan dengan mengadu kesaktian.

Tetapi, hati Mahesa Jenar agak terhibur juga melihat adanya orang-orang tua seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana dan Titis Anganten yang sudah pernah dirasakan betapa persahabatan mereka dengan gurunya melimpah pula kepada dirinya.

Sesaat kemudian terdengarlah Ki Ageng Pandan Alas berkata, “Gajah Sora dan Mahesa Jenar…, aku sependapat dengan Kakang Sora Dipayana. Sebab berhadapan dengan orang-orang tua macam Sima Rodra, Pasingsingan, Bugel Kaliki, harus orang-orang tua pulalah yang melayaninya. Meskipun bagi kami sebenarnya lebih senang minum-minum sambil mengunyah jadah jenang alot. Bukan begitu, Kakang?”

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum, lalu jawabnya, “Begitulah kira-kira. Dan sekarang, marilah kita mulai kehidupan kita seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Seperti seekor burung yang lepas di udara, hinggap dari satu dahan ke lain dahan, dari satu cabang ke lain cabang.”

”Tetapi aku tak akan sebebas dahulu,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. ”Sebab aku sekarang mempunyai seorang murid. Akan aku bawa muridku itu untuk menambah pengalamannya.”

”Murid…?” potong Ki Ageng Sora Dipayana.

”Ya, muridku seorang pemuda tampan yang masih seperti batu pecahan,” jawab Pandan Alas, ”dan aku harus mengasahnya sejak gosokan yang pertama. Untunglah bahwa ia memiliki bakat yang baik.”

Setelah mengadakan beberapa persiapan dan pesan-pesan, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas segera minta diri untuk memulai penghidupan dalam pengembaraan yang kedua sejak mereka menghentikan pengembaraan mereka pada masa muda mereka. Mereka tidak perlu lagi menunggu sampai esok atau lusa. Sebab bagi seorang pengembara, siang atau malam sama saja. Gajah Sora suami- istri dan Mahesa Jenar melepas mereka dengan perasaan yang berat dan terharu. Orang-orang tua yang seharusnya tinggal menikmati hasil lelah masa mudanya, masih harus bekerja keras untuk kesejahteraan umat manusia.

”Tak ada yang membatasi umur kita untuk berjuang,” kata Ki Ageng Sora Dipayana ketika ia melangkah keluar gerbang halaman. Yang disambung oleh Ki Ageng Pandan Alas, ”He, Mahesa Jenar, adakah kau dahulu memenuhi permintaanku? Menunggu sampai jagungku tua? Kalau begitu aku akan singgah dahulu ke sana untuk menikmati dua tiga buah jagung bakar.”

Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, seperti terbang Ki Ageng Pandan Alas segera lenyap di gelap malam. Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya itu, katanya, ”Memang Adi Pandan Alas dalam keadaan yang bagaimanapun juga, tetap saja dapat tertawa. Dengan begitu, rupa-rupanya ia akan panjang umur. Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati-hatilah dengan pekerjaanmu masing-masing. Mudah-mudahan semuanya selamat dan baik. Biarlah aku pergi sekarang,”

Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama mengangguk hormat dan mengucapkan selamat jalan. Maka berangkatlah Ki Ageng Sora Dipayana ke arah yang bertentangan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Orang tua itu melangkah perlahan-lahan seperti orang yang sedang berjalan-jalan menghirup kesejukan udara malam.

Setelah Ki Ageng Sora Dipayana lenyap dari pandangan mereka, dan tenggelam dalam kehitaman malam, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar masuk kembali ke dalam rumah. Dilihatnya di sana Ki Lemah Telasih telah datang dan telah mencoba mengobati Aria Salaka, Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan orang-orang yang terluka, dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang salah letak.

Ki Lemah Telasih tampaknya masih agak lebih muda dari Ki Asem Gede, tetapi tubuhnya jauh lebih besar dan lebih tinggi. Hanya matanya sajalah yang mirip benar dengan Ki Asem Gede, sejuk dan damai.

Dengan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang.

Nyai Gajah Sora masih saja merenungi putranya yang terbaring di bale-bale tempat tidur ayahnya dengan tanpa bergerak. Sedang di mata Nyi Ageng Gajah Sora itu kadang-kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Tetapi karena kepandaian Ki Lemah Telasih, nafas Arya Salaka telah mulai berjalan teratur dan detak jantungnya sudah mulai berjalan wajar.

Gajah Sora dan Mahesa Jenar duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari ruang tidur tempat Arya terbaring. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak dikenal.

Suasana menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan, seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik mereka.

Sepi malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Lemah Telasih. ”Ki Ageng, luka-luka Ananda Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Tuhan, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh kembali.”

Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah Telasih, katanya, ”Syukurlah, Kakang. Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?”

”Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat disembuhkan.”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten telah merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan pernah dilupakan.

Tiba-tiba tanpa disengaja, pandangan mata Gajah Sora terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur Gajah Sora. Seketika itu dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya tanda-tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera duduk kembali.

Suasana di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi di dalam setiap dada orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan-perasaan yang simpang siur.

Di dalam kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung-burung malam, lamat-lamat terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu.

Suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Banyu Biru.

Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Banyu Biru yang telah berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah mereka. Diantara mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora, Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh lainnya.

Sampai di halaman rumah Gajah Sora, segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.

”Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?” tanya Pandan Kuning gugup.

”Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan mengaduk segala isinya,” jawab Gajah Sora.

Lembu Sora ketika melihat orang yang terbaring di depan ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut. Wajahnya segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia melangkah masuk, langsung menuju ke arah mayat yang masih terkapar itu. Dengan kakinya ia menggerak-gerakkan tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu terlentang.

Bagaimanapun Lembu Sora mencoba menahan hatinya, Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh pada wajah Lembu Sora itu.

”Siapakah orang ini, Kakang?” tanya Lembu Sora kepada Gajah Sora.

Gajah Sora sama sekali tidak memperhatikan wajah adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa Jenar agak kurang wajar.

”Entahlah, Adik,” jawab Gajah Sora. ”Ia termasuk salah seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini.”

”Tiga orang?” ulang Lembu Sora terkejut.

”Ya, tiga orang. Dan satu dapat dibinasakan. Dialah orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya dengan tombak pusaka Kiai Banyak,” sambung Gajah Sora.

”Arya dapat membunuh orang ini?”

Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa Arya dapat berbuat demikian.

Gajah Sora mengangguk mengiyakan.

”Siapakah yang dua lagi?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.

”Yang kedua, aku tidak tahu,” jawab Gajah Sora. ”Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki.”

”Bugel Kaliki…? Siapakah orang itu?” tanya Lembu Sora.

Akhirnya Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke dalam rumah ini.

”Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.

”Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya,” jawab Gajah Sora.

Mendengar jawaban itu, wajah Lembu Sora berubah menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya gemeretak. Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan hilangnya kedua pusaka simpanan kakaknya itu. Tetapi dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka yang tidak baik terhadap Lembu Sora.

”Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?” kata Lembu Sora tiba-tiba.

Mendengar kata-kata adiknya itu Gajah Sora terkejut. Ia tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu, Lembu Sora menyambung, ”Kakang.., aku percaya akan kesetiaan rakyat Banyu Biru terhadap Kakang, sehingga tidaklah mungkin mereka mau mengkhianati Kakang. Tetapi ternyata keris itu lenyap juga, meskipun menilik cara penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali, kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang lupa, bahwa diantara rakyat Banyu Biru yang setia ini, di dalam rumah ini terdapat orang lain.” Kata-kata yang diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa Jenar seperti petir yang meledak di tengkuknya.

Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit yang berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki jantan. Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan curang. Sekarang didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang memfitnahnya, menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang meskipun belum begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya serta persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih dari seorang sahabat biasa.

Karena itu, maka segera darahnya bergolak. Dadanya tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan. Untunglah bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring beberapa orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah putera Gajah Sora masih juga belum sadarkan diri. Karena itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba menguasai dirinya.

”Adi Lembu Sora…,” kata Gajah Sora, ”kau jangan terlalu cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa aku sendiri dapat melihat orangnya yang mengambil pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar dugaanmu pasti akulah orangnya yang pertama-tama akan bertindak.”

Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar jawaban kakaknya, maka ia menyahut, ”Untuk melakukan pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah merupakan suatu kemungkinan untuk menuntun datangnya orang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab segala sesuatu telah dapat dipersiapkannya dengan saksama.”

Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir meledak mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah Sora telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat-kuatnya menahan diri.

”Sudahlah, Adi Lembu Sora,” kata Gajah Sora, ”pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang memutuskan.”

”Tidak, Kakang…” bantah Lembu Sora, ”Mumpung sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap untuk menghukum siapapun yang mencoba untuk mengganggu ketenangan Banyu Biru, meskipun ia adalah bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-orang yang menyerang Banyu Biru?”

Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya, ”Kakang Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan lain-lainnya telah bertempur dengan gagah perkasa mengusik laskar penyerbu itu. Dan sekarang di sini mereka harus menyaksikan seorang di antara penjahat-penjahat itu, yang mungkin lebih licik dan licin mendapat perlindungan dari Kakang. Apakah…..”

”Cukup!” potong Gajah Sora. ”Kau jangan mengurus aku, Lembu Sora. Aku senang sekali bahwa kau mencoba ikut serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tetapi janganlah kau memaksakan suatu pendapat yang belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu, tetapi sebaiknya kau beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan.”

”Paman Pandan Kuning…,” kata Lembu Sora seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya, ”… dan paman-paman yang lain serta para perwira di Banyu Biru…. Dapatkah kalian membiarkan orang yang berkedok persahabatan ini mengkhianati kepala daerah kalian? Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah Banyu Biru, sejak ayah Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di Pangrantunan. Tetapi ternyata Kakang Gajah Sora adalah seorang yang terlalu luhur budi dan pengasih, sehingga ia tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang yang menamakan diri sahabatnya. Nah, para pahlawan, sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti kalian terhadap kepala daerah kalian serta daerah kelahiran kalian.

Akibat kata-kata Lembu Sora yang diucapkan dengan berapi-api itu, ternyata hebat sekali. Mereka yang disebutnya pahlawan yang mempunyai kesempatan untuk berbakti itu, tiba-tiba menjadi lupa diri. Beberapa orang telah bergerak untuk menangkap Mahesa Jenar. Sedangkan Lembu Sora sendiri segera menarik pedangnya yang besar sekali, dan siap diayunkan.

Kini Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang dapat dikatakan pula tentang ketidakwajaran Lembu Sora. Tetapi terdorong oleh kemarahan yang memuncak maka bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora telah menarik pedangnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur mati-matian. Segera Mahesa Jenar memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur jalan pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra Birawa dalam pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau menanggung akibatnya apabila Lembu Sora telah memiliki aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka sebagai seekor banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi ketika Lembu Sora beserta beberapa orang yang berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam lagi, mulai bergerak. Tampaklah dengan kecepatan kilat Gajah Sora meloncat maju ke depan adiknya beserta orang-orang itu. Dengan wajah merah membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan, ”Hai orang-orang Banyu Biru, akulah kepala daerah perdikan di sini. Kalau kalian maju selangkah lagi, kalian akan berhadapan dengan aku.”

Lontaran suara yang penuh dengan perasaan marah itu terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah bergerak seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti terlempar kembali ke alam kesadaran. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang dengan penuh kebaktian dan kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran serta kepala daerah perdikan mereka. Tetapi karena itu pulalah dengan mempergunakan kesadaran akan kesetiaan itulah maka mereka kadang-kadang dapat dengan mudah digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah, yang justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa sesadarnya.

Sekarang tiba-tiba pemimpin yang ditakuti, disegani dan dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka. Maka tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi gemetar ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor kucing yang ganas.

Lembu Sora, bagaimanapun angkuhnya, ketika melihat kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak takut pula. Sebab ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora. Meskipun dalam banyak hal Gajah Sora selalu mencoba untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya itu. Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang pun mampu mengubahnya.

Karena itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora mundur beberapa langkah. Lalu katanya, “Maafkan aku, Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa datang Kakang dan kesan yang teguh atas kepemimpinan Kakang. Tetapi agaknya Kakang salah terima.”

“Sarungkan senjata itu,” perintah Gajah Sora.

Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya pula.

Suasana tegang itu kemudian untuk beberapa saat menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun mereka menjadi berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-kalau bunyi nafasnya dapat menambah kemarahan Gajah Sora.

“Lembu Sora…,” kembali terdengar suara Gajah Sora. Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah menurun. Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang bijaksana. Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya pula. ”Baiklah… kau beritirahat,” sambung Gajah Sora, ”mungkin kau terlalu lelah sehingga pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik. Juga kalian laskar Banyu Biru, aku persilahkan meninggalkan ruangan ini untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk mempertahankan tanah ini, mungkin sekali otak kalian pun agak terganggu. Tetapi tak apalah…. Sekarang pergilah.”

Tak seorang pun mengucapkan sepatah kata. Dengan kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih dahulu meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi panas sekali. Demikian mereka sampai di halaman, segera mereka meloncat ke atas kuda masing-masing dan dengan segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah masing-masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada keluarga mereka masing-masing yang menanti dengan hati cemas. Sedang beberapa orang lagi bertugas untuk merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas masing-masing.

Lembu Sora pun segera mengundurkan diri bersama-sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah disediakan, di gandok sebelah barat.

  ———-oOo———-

 

 III

Sepeninggal mereka, di dalam ruangan itu tinggallah Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-orang yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-kata. Angan-angan mereka mengalir menuruti pikiran masing-masing.

Suasana segera menjadi hening. Kembali terdengar di kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan. Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung, kaku dan membisu. Tetapi perasaan mereka berputar seperti baling-baling.

Baru beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora berkata, ”Adi Mahesa Jenar… maafkan kelakuan Lembu Sora beserta beberapa orangku yang sama sekali tidak sopan. Tetapi percayalah bahwa orang-orangku sama sekali tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi. Sayang bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke dalam suatu tindakan yang memalukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora. Terhadap laskar Banyu Biru, memang ia tidak menaruh banyak perhatian, sebab mereka hanya terpengaruh oleh hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab, ”Sudahlah Kakang, mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku harapkan bahwa Ki Ageng Lembu Sora tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan keadaan.”

Gajah Sora mengangguk-angguk kecil. Ia dapat merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya. Karena itu ia berkata menyambung, ”Aku akan mencoba selalu mengawasi anak itu selama ia berada di Banyu Biru. Mudah-mudahan ia segan meninggalkan rumah ini untuk tidak menambah pekerjaannku”

Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali keadaan ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah Gajah Sora yang pecah berserakan karena ditembus oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama.

Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara rintih Arya Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar suara itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah Sora yang suram itu segera berubah, karena tumbuhnya harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka akan segera dapat sadar kembali.

Ketika mereka bersama-sama memasuki ruangan itu, mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah dari mulutnya ia merintih dan akhirnya terdengar Arya perlahan-lahan sekali menangis, meskipun agaknya ia mencoba menahannya kuat-kuat.

Ibunya yang melihat Arya mulai sadar, segera memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih dari seorang ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang tabib segera mencoba mencegahnya. ”Nyai Ageng, biarlah Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya menjadi segar.”

Wajah Gajah Sora pun segera menjadi cerah. Meskipun luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di hatinya yang tidak kalah nilainya.

Mahesa Jenar yang sejak melihat Arya untuk pertama kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu, andaikata tidak ada orang kedua, telah berhasil menggagalkan suatu usaha dari seorang yang tentu berilmu tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya kelak akan menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin. Apalagi andaikata kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana juga mau mengasuhnya.

Sebentar kemudian Arya Salaka telah benar-benar sadar. Ia telah mulai mengenali orang-orang yang berdiri di sekitar tempat pembaringannya.

Pada saat itu malam telah semakin jauh, bahkan ayam jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan datang.

Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih pun segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat tidur ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya. Ki Lemah Telasih dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk beristirahat.

Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa untuk mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang halaman, tampaklah di timur sudah mulai membayang warna kemerah-merahan yang melapisi langit. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih tampak berminyak karena keringat yang berlapis debu. Meskipun demikian perasaan segar terasa menusuk sampai ke tulang sungsum.

Perlahan-lahan ia berjalan ke gandok sebelah timur untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia memasuki ruang yang disediakan untuknya. Rupa-rupanya ruangan itu pun telah dibongkar dengan teliti.

Melihat hal itu, Mahesa Jenar tertegun. Ia tiada tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya. Sayanglah bahwa Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah Sora. Kalau saja tidak ada hubungan antara kedua orang itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat perhitungan secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menyimpan kemarahannya itu di dalam dadanya yang menjadi sesak.

Akhirnya dengan susah payah ia dapat meredakan gelora hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan sejenak kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya.

Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga tidak terasa bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di halaman. Ketika ia bangun dan membuka pintu depan, tampak sudah siap untuk berangkat Ki Ageng Lembu Sora beserta rombongannya.

Melihat Lembu Sora siap meninggalkan Banyu Biru, tanpa sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak menyenangkan, baik wataknya maupun bentuk tubuhnya yang kaku itu, segera akan meninggalkan Banyu Biru sebelum terjadi sesuatu.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri mengawasinya.

Benturan pandangan yang terjadi dengan tiba-tiba itu telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati masing-masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam dan seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah berjanji bahwa pada suatu ketika mereka akan berhadapan sebagai lawan yang harus membuat perhitungan dengan taruhan yang sangat mahal.

Sebentar kemudian, Ki Ageng Lembu Sora segera memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera mereka pun pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru. Sampai di regol halaman, sekali lagi Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang melepasnya dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari pandangan mereka.

Setelah Lembu Sora hilang di balik pagar halaman, serta Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah, segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan langsung pergi lewat pintu pagar samping, menuruti tangga batu, pergi ke mata air dimana ia biasa mandi.

Tetapi baru saja ia akan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih tajam lagi, dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda tampan berdiri memandangnya. Alangkah terkejutnya ketika diketahuinya bahwa orang tua itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak pinggang sambil tertawa nyaring. Katanya diantara derai tertawanya, ”Kau agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, jawabnya, ”Ya, Ki Ageng,

Mahesa Jenar…” sambung Ki Ageng Pandan Alas, ”Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyu Biru?”

Mahesa jenar segera membungkuk hormat, jawabnya, ”Ya, Ki Ageng.”

”Bagus,” sahut Pandan Alas. ”Aku juga akan segera pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk memperkenalkan muridku ini kepadamu.”

Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan Alas itu berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia mendengar bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia membetulkan pakaiannya dan melangkah mendekati. Tetapi segera ia berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas menegornya, ”Tak usah kau naik kemari, Mahesa Jenar. Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit Demak. Tidak saja itu, tetapi juga sebagai penolong yang luhur budi.”

Mahesa Jenar segera tertegun heran. Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi ketika sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu, hatinya terguncang hebat. Apalagi ketika orang itu menundukkan wajahnya yang tampak kemalu-maluan.

Mahesa Jenar segera mengenal siapakah murid Ki Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat.

Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar” bertanya Pandan Alas sambil tertawa.

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi seperti terkunci.

Kemudian terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras. Katanya; “Aku jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa Jenar jadi marah bukan main dan hampir saja membunuh orang yang sama sekali tak bersalah beberapa pekan yang lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya.”

Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak menjawab.

Ketika kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan Alas melanjutkan, “Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan kepadanya?.”

Mendengar pertanyaan yang berturut-turut itu hati Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga ia kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu, meskipun jelas berpakaian seperti seorang pemuda, namun ketika Mahesa Jenar memandangnya agak lama, ia segera mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik yang sedang mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan Alas sendiri yaitu Rara Wilis yang pernah dikenalnya dan pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak diduga itu membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping itu iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki Ageng Pandan Alas telah kembali bersama gadis itu. Kalau demikian ketika Ki Ageng Pandan Alas sedang bertempur dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti disembunyikan ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu Biru.

Pada saat kenangannya sedang menelusur kembali ke masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata, “apakah kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa Jenar ? Aku sendiri bingung memberi nama yang sesuai. Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya nama Lawa Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga.”

Mahesa Jenar masih saja belum dapat menguasai dirinya sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata. Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar, Pandan Alas tertawa semakin keras, katanya, “Barangkali kau tidak siap menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba datangnya ini Mahesa Jenar. Tetapi tidak mengapa. Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini aku bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu yang pertama untuk mengetahui siapakah yang telah membawa kedua keris Kiai Nagasasra dan Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah ilmu yang tak berarti, supaya ia dapat menjaga keselamatan dirinya. Syukur ia berhasil melepaskan pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang bermukim di Gunung Tidar.”

Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa Jenar terkejut, sahutnya; “Maksud Ki Ageng, Sima Rodra Gunung Tidar ?”

“Ya,” jawab Pandan Alas. “Sima Rodra muda itu adalah bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh seorang perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang keturunanku satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu, meskipun ia seorang gadis aku akan mencoba untuk membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu tirinya. Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan seharusnya namanya pun harus nama lelaki pula. Nah apa katamu kalau anak ini aku beri nama Pudak Wangi ?.”

Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi nama itu rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak menjawab, tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk juga. Ia terkejut ketika Pandan Alas meneruskan, “Ha rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak adalah nama dari bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi bunga Pandan yang wangi.”

Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia ingin menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya Pandan Alas berkata lagi, “Mahesa Jenar kenapa kau diam saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama yang lebih baik ?.”

“Tidak Ki Ageng” akhirnya terpaksa ia menjawab sekenanya, “nama itu sudah baik sekali.”

“Bagus, Kau setuju dengan nama itu bukan. Nah kalau pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Nah sekarang aku akan pergi. Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada Mahesa Jenar.”

Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan terpaksa ia berkata, “Selamat tinggal tuan, aku mohon diri untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang.”

Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan, “eh Mahesa Jenar adalah murid sahabatku. Kenapa kau panggil dengan sebutan tuan? kau sekarang adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih akrab sebagai dua murid dari dua orang sahabat.”

Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia berkata, “Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai guru.”

“Begitulah panggilan seorang sahabat,” kata Pandan Alas sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa Jenar menjawab, “mudah-mudahan semuanya selamat, yang pergi dan yang ditinggalkan.”

“Baiklah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas. “Lekaslah mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal.”

Sesudah mengucapkan kata-kata itu segera Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak Wangi itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan perlahan-lahan menyusup pepohonan. Mahesa Jenar berdiri tegak seperti patung mengawasi mereka berdua. Pikirannya tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa mungkin untuk waktu yang lama mereka tidak akan bertemu.

Malam tadi, ketika ia melihat Pandan Alas itu berangkat untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak merasakan perasaan seperti pada saat itu.

Baru beberapa saat kemudian Mahesa Jenar seperti orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu ketentraman hatinya. Rara Wilis meskipun sudah berpakaian seperti seorang pemuda, namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam otaknya.

Karena itulah maka setelah ia mandi dan kembali ke rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya. Tetapi ia selalu berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.

Dua-tiga hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya kembali.

Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apabila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah hilang.

Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan Banyu Biru.

Tanda itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin dekat.

Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi.

Wanamerta yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu.

Mahesa Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat istana. Dan sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak. Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyu Biru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan Banyu Biru.

Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datng adalah pejabat-pejabat penting.

Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyu Biru menerima tamu-tamu penting dari pusat.

Sementara itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat.

Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Beberapa saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.

Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal Bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus sendiri. Pada saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka.

Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran masing-masing.

Maka, segera tamu-tamunya dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyu Biru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari kota.

Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyu Biru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.

“Anakmas Gajah Sora…, katanya, “izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah Perdikan Banyu Biru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyu Biru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini”

Adapun yang kedua, lanjut Arya Palindih, Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas dari Banyu Biru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan kedaerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga.

Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab, “Paman Arya Palindih yang aku hormati…. Pertama-tama aku merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan, ”Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka itu hilang kembali.”

Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya Palindih terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan mata yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia memandangi Gajah Sora tanpa berkedip.

Gajah Sora merasakan bahwa sesuatu bergolak di dalam dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka itu. Maka dengan sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan bagaimana ia berhasil mendapatkan kedua keris itu di Gunung Tidar, sampai kedua keris itu hilang dicuri orang, dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu masih belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya. Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak menyebut-nyebut nama Mahesa Jenar atau yang lebih terkenal dengan sebutan Rangga Tohjaya.

Meskipun Gajah Sora telah mengatakan semuanya yang terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling. Kepada Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan kepada para pengiringnya, seolah-olah ia minta penjelasan yang lebih banyak lagi, serta minta pertimbangan-pertimbangan. Akhirnya setelah beberapa saat mereka berdiam diri, berkatalah Arya Palindih, ”Anakmas Gajah Sora, aku tahu betapa besar kemampuan Anakmas. Anakmas adalah salah seorang kepercayaan almarhum Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada usia yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah berusia dua kali lipat. Aku percaya bahwa dalam usia yang sekarang ini Anakmas telah merupakan seorang yang maha perkasa. Ditambah lagi aku dengar laskar Banyu Biru adalah laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-gelombang perampok yang hanya dapat mencegat pedagang-pedagang yang tak berdaya itu, berani mendekati Banyu Biru? Apalagi memasuki rumah kepala daerah perdikan?”

”Paman Arya Palindih…” jawab Gajah Sora, ”Apa yang Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyu Biru bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya mampu membongkar dinding. Tidakkah Paman pernah mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo, Sima Rodra, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan, Sima Rodra tua dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme…? Mereka itu semua telah beramai-ramai datang ke Banyu Biru seperti orang yang dahulu-mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka miliki dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami, sampai beberapa orang kami luka parah, bahkan anakku sendiri terluka.”

Arya Palindih menarik nafas dalam-dalam. Dahinya tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi setengah abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa. Beberapa rambut putih yang tumbuh di pelipisnya, tampak menambah wibawanya. Beberapa saat lamanya ia tidak berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun sebenarnya agak janggal baginya.

Kemudian terdengarlah ia berkata, ”Aneh. Aneh sekali. Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka itu setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak merebutnya selagi pusaka-pusaka itu masih berada di tangan Sima Rodra Gunung Tidar.”

Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena itu ia melanjutkan, ”Adakah Paman dapat membayangkan kekuatan raksasa yang mendatangi Banyu Biru bersama-sama…? Tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru, mereka beramai-ramai memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu adalah soal mereka. Tetapi mungkin sebelum itu tak seorang pun yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka itu lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita bahwa pusaka-pusaka itu berada di Banyu Biru.”

”Itupun aneh,” jawab Palindih. ”Dengan demikian ia akan mendapat banyak saingan.”

Pendapat Palindih itu memang masuk akal. Gajah Sora terdiam untuk beberapa saat. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kedua pusaka itu telah lenyap. Lalu apakah yang harus dikatakan, selain mengatakan apa yang telah terjadi. Apapun yang akan dikatakan, tetapi sudah pasti bahwa pada saat itu, ia tidak akan dapat menunjukkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Sesaat kemudian Arya Palindih melanjutkan, “Anakmas…, aku memang telah pernah mendengar beberapa diantara nama-nama yang Anakmas sebutkan itu. Tetapi bagiku adalah sulit untuk dapat membayangkan bahwa kekuatan dari sebuah gerombolan perampok akan dapat menyamai kekuatan Banyu Biru. Bagaimanapun kuatnya Bugel Kaliki dari Gunung Cerme, namun dapatkah ia melawan para pengawal seperti yang anakmas katakan itu?”

Mendengar kata-kata Arya Palindih, kuping Gajah Sora rasa-rasanya seperti terjilat api. Karena itu segera wajahnya berubah menjadi merah. Tetapi meskipun demikian ia berkata tenang, “Paman…, mungkin Paman tidak percaya. sebab Paman adalah seorang perwira prajurit yang lebih sering bertempur dalam satuan yang besar. Bukan pertempuran perorangan yang kadang-kadang mempunyai segi-segi yang jauh berbeda. Meskipun aku tahu bahwa secara perseorangan pun Paman termasuk seorang yang mumpuni. Atau barangkali karena Paman adalah seorang yang maha kuat, sehingga Paman sukar membayangkan kelemahan orang lain?”

Kata-kata Gajah Sora pun tak kurang tajamnya, sehingga sekali lagi Arya Palindih menggeser duduknya. Tetapi Arya Palindih juga berusaha menahan dirinya, sehingga masih dalam suasana yang baik ia berkata: “Mungkin Anakmas, mungkin. Aku lebih senang mengatur siasat daripada menangani lawan. Juga terhadap orang seperti Bugel Kaliki, Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya itu pun aku akan mempergunakan siasat untuk menjebaknya”.

Kembali perasaan Gajah Sora seperti tertusuk sembilu. Maka katanya di dalam hati, “Sayang Paman Palindih belum pernah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Pasingsingan, Sima Rodra, Ki Ageng Pandan Alas atau ayahnya sendiri. Tokoh-tokoh yang lebih percaya pada dirinya sendiri daripada bertempur dalam satuan-satuan yang besar, dalam keadaan-keadaan tertentu. Seandainya sekali waktu Arya Palindih dapat berkenalan dengan salah seorang diantara mereka, maka mungkin ia akan berubah pendirian. Sebab mulai dengan penggemblengan diri, Arya Palindih telah berada di dalam lingkungan keprajuritan, sehingga kecuali para pelatih di dalam lingkungannya, ia tidak banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh di luar.” Berbeda dengan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka masuk di dalam lingkungan keprajuritan dengan bekal yang telah cukup. Itulah sebabnya, mereka mempunyai kelebihan.

Suasana kemudian menjadi tegang. Masing-ma-sing berusaha untuk tetap menguasai dirinya de-ngan baik. Tetapi bagaimanapun mereka telah merasa bahwa keadaan tidak menguntungkan. Arya Palindih datang dengan menjunjung kewajiban, sedang Gajah Sora terpaksa terlibat dalam keadaan yang bertentangan dengan tugas tamu-tamunya. Apalagi ketika Arya Palindih kemudian melanjutkan, “Anakmas, sebenarnya, perkenankanlah aku menyatakan, bahwa yang ketiga kalinya, dari keperluanku datang kemari, adalah menjunjung perintah Baginda Sultan Demak, untuk menerima kembali kedua pusaka Istana yang hilang itu, serta ada bersama kami, Baginda mengirimkan berbagai hadiah yang seharusnya aku terimakan kepada Anakmas sebagai tanda terimakasih Baginda kepada Kepala Daerah Perdikan Banyu Biru.”

Setelah berkata demikian, Palindih menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sesuatu yang menyekat dadanya telah terlontar keluar.

Sebaliknya, dada Gajah Sora kini bertambah sesak. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertindak. Bagaimanapun ia seharusnya mentaati perintah Baginda Sultan Demak. Tetapi kedua keris itu benar-benar telah lenyap. Yang menyulitkan adalah, bahwa Arya Palindih tidak dapat mempercayai keterangannya.

Dalam pada itu, Mahesa Jenar yang mendengarkan segala pembicaraan Gajah Sora dan Arya Palindih tidak kalah gelisahnya. Pikirannya pun menjadi kalut. Tidak aneh kalau pada suatu saat mereka saling tidak dapat menguasai diri, maka akibatnya akan menjadi jelek sekali. Mahesa Jenar kenal betul keduanya, kelebihan-kelebihan mereka dan kekurangan-kekurangan mereka. Mungkin dalam pertempuran seorang lawan seorang, Gajah Sora akan dapat menguasai lawannya, meskipun tidak dengan begitu mudah. Tetapi dengan beberapa orang, Arya Palindih merupakan seorang pemimpin yang berbahaya sekali. Usianya yang telah banyak itu, telah menunjukkan kematangannya. Ditambah dengan pengalamannya yang jauh lebih banyak daripada Gajah Sora. Apalagi orang-orang yang dibawa Arya Palindih rata-rata mempunyai kekuatan yang sama. Berbeda dengan orang-orang Banyu Biru, selain Gajah Sora, maka jarak kepandaian mereka agak jauh antaranya.

Dalam kegelisahannya, Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, semoga keadaan berkembang ke arah yang menguntungkan.

“Paman Arya…” akhirnya Gajah Sora berkata, “Seharusnya aku merasa bahwa aku mendapat kehormatan yang besar menerima hadiah langsung dari Baginda Sultan Demak. Tetapi sekali lagi, bahwa kali ini terpaksa aku tidak dapat menyerahkan kedua pusaka itu, karena kedua-duanya sudah tidak berada di tanganku lagi. Kalau Paman tidak percaya, aku persilahkan Paman berbuat sekehendak Paman untuk membuktikan kebenaran kata-kataku”.

“Maafkanlah aku, Anakmas”, jawab Palindih, “Aku kira tak ada artinya, seandainya aku menggeledah rumah Anakmas ini”.

“Lalu apakah yang akan Paman lakukan?” tanya Gajah Sora.

Arya Palindih tidak segera menjawab. Sekali lagi ia memandang berkeliling, seolah-olah sedang membanding-bandingkan kekuatan prajurit yang dibawanya dengan Laskar Banyu Biru yang berada di pendapa. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, dengan nada yang sudah agak berbeda, “Anakmas, aku adalah petugas negara. Sebenarnya aku sama sekali tidak menaruh syak terhadap Anakmas. Tetapi aku merasa bahwa telah terjadi keanehan-keanehan di sini. Sampai saat ini orang masih percaya, bahwa Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten bersama akan dapat merupakan pusaka kebesaran raja-raja di Jawa. Bahkan ada yang percaya, bahwa hanya mereka yang memiliki pusaka-pusaka itu yang dapat merajai pulau ini dengan selamat. Karena itu, seandainya Anakmas memiliki kepercayaan yang sedemikian, hendaknya Anakmas merelakan keinginan Anakmas merajai pulau ini, sebab disamping pusaka-pusaka itu, ketentuan tahta masih bergantung kepada wahyu pula”.

Kata-kata Arya Palindih, yang diucapkan dengan jelas itu, setiap patah, seolah-olah merupakan sebuah tusukan langsung ke arah jantung Gajah Sora. Karena itu ia menjadi gemetar menahan diri. Mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam, meskipun di dalam dadanya bergulung-gulung keterangan-keterangan yang banyak sekali, yang seperti banjir akan menjebol tanggul.

Sadarlah ia sekarang, bahwa pasti ada pihak ketiga yang akan memancing ikan di air keruh. Ia jadi curiga, siapakah yang memberitahukan kepada para pejabat di Istana Demak, bahwa kedua pusaka itu telah berada di tangannya. Siapapun yang telah mengatur sedemikian cermatnya sehingga seolah-olah segala sesuatu itu berjalan menurut urutan-urutan yang sudah ditentukan. Beberapa gerombolan bersama-sama datang menyerbu daerahnya, sesudah itu, pejabat-pejabat Istana datang kepadanya untuk minta pusaka-pusaka yang telah lenyap itu.

Tetapi justru karena kesadaran akan adanya pihak ketiga yang sengaja akan mengadu domba dirinya dengan alat-alat negara itu, maka ia menjadi agak tenang. Karena itu meskipun masih dengan bibir yang gemetar ia menjawab, ”Paman Palindih. Sekali lagi aku mohon maaf. Paman telah mengenal aku sejak aku masih muda. Aku selalu mementingkan kepentingan negara diatas segala-galanya. Jangankan aku berangan-angan untuk menjadi raja di pulau ini, sedangkan daerah perdikan yang hanya selebar daun sirih ini pun aku sama sekali tak keberatan ketika Ayah Sora Dipayana menyatakan untuk membagi dua. Kemudian lebih dari pada itu aku tak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi. Tetapi harap Paman ketahui bahwa aku berkata sejujur-jujurnya”.

Arya Palindih adalah seorang prajurit yang sudah berpengalaman. Wajahnya yang masih tampak segar itu ditandai oleh kekerasan hati serta sifat kepemimpinan yang tegas. Namun bagaimanapun ia adalah pengemban tugas negara yang mempunyai batas-batas tertentu.

Sebenarnya ia sama sekali tidak dapat mempercayai ceritera Gajah Sora itu. Ia mendapat keterangan bahwa pusaka-pusaka itu benar-benar telah berada di Banyu Biru. Dan ceritera tentang serbuan-serbuan itu adalah usaha Gajah Sora sendiri untuk menyembunyikan kedua pusaka-pusaka itu. Dan ia tidak dapat mengerti akan keterangan-keterangan yang didengarnya. Apalagi ketika ia melihat bagaimana teraturnya Laskar Banyu Biru menerima kedatangannya, sehingga anehlah kalau hanya beberapa orang gerombolan liar sampai dapat berhasil merampas kedua pusaka itu.

Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, kembali Palindih bertanya, “Anakmas, bolehkah aku bertanya lagi, kenapa Anakmas tidak segera menyerahkan kedua keris itu ke Demak setelah Anakmas berhasil merampasnya, sehingga sampai Sultan Demak terpaksa memerintahkan petugas-petugasnya untuk datang mengambilnya? Untunglah bahwa Sultan Demak cukup bijaksana sehingga masih juga beliau mengirimkan hadiah-hadiah untuk Anakmas”.

Pertanyaan yang demikian, sama sekali tak diduganya. Karena itu Gajah Sora menjadi bingung. Memang ia merasakan suatu kekhilafan bahwa sampai beberapa hari ia masih belum menyerahkan keris itu. Tetapi maksudnya mula-mula adalah untuk menenangkan suasana dahulu. Pada suatu saat secara tiba-tiba ia akan mengejutkan Baginda dengan penyerahan kedua pusaka itu. Disamping itu ia terlalu percaya pada kekuatan laskarnya dan lingkungan ayahnya, Sora Dipayana. Namun bagaimanapun ia telah berbuat suatu kekhilafan. Karena itu, karena ia tidak mungkin berkata lain, maka dengan jujur ia menjawab: ”Paman, memang aku telah melakukan kekhilafan”.

Jawaban Gajah Sora itu sama sekali juga tidak diduga oleh Palindih, seperti juga Gajah Sora tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan yang demikian.

Dan jawaban ini telah mengejutkannya. Sebab ia melihat dari mata Gajah Sora bahwa ia telah berkata sejujur-jujurnya. Karena itu ia jadi bimbang. Namun bagaimanapun keterangan Gajah Sora tentang hilangnya kedua pusaka itu sangatlah aneh baginya. Memang, Arya Palindih pernah mendengar nama-nama beberapa orang penjahat ulung. Bahkan ia mendengar pula bahwa diantaranya pernah berhasil memasuki Istana Demak dan hampir saja memasuki Gedung Perbendaharaan. Untung pada saat itu, seorang perwira yang perkasa dari pengawal raja yang bernama Rangga Tohjaya dapat mencegahnya. Arya Palindih juga pernah mendengar tokoh-tokoh angkatan yang lebih tua daripada Lawa Ijo yang berhasil memasuki istana itu, sebagai siluman-siluman yang berbahaya.

Namun meskipun demikian, lepas dari masalah percaya atau tidak percaya, Palindih adalah seorang perwira yang tegas dan taat akan kewajibannya. Ia adalah prajurit sejati, namun cukup bijaksana. Karena itu berkatalah Arya Palindih: ” Anakmas, pengakuan Anakmas bahwa Anakmas khilaf telah membuka pikiranku. Tetapi bagaimanapun juga aku adalah prajurit yang mendapat tugas untuk meminta kembali pusaka-pusaka istana itu. Dan aku telah melakukan tugasku. Sayang bahwa menurut keterangan Anakmas, kedua pusaka itu telah lenyap.

Karena aku tidak mendapat kekuasaan untuk bertindak lebih jauh, maka aku tidak akan melakukan hal-hal lain kecuali melaporkan peristiwa ini kepada Baginda Sultan. Baru kemudian kalau ada kewajiban-kewajiban lain serta ketentuan-ketentuan lain, mungkin aku segera akan datang kembali ke Banyu Biru”.

Bagaimanapun juga, namun kata-kata Arya Palindih itu merupakan angin sejuk yang telah mengendorkan semua wajah-wajah yang tegang dari semua yang hadir di pendapa itu. Bahkan Mahesa Jenar yang mendengar percakapan dari balik dinding, juga menarik nafas lega. Dengan demikian setidak-tidaknya ada waktu sehari dua hari untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan datang. Untunglah seandainya dalam waktu yang singkat itu Ki Ageng Pandan Alas atau Ki Ageng Sora Dipayana setidak-tidaknya telah mendapat keterangan tentang kedua pusaka yang hilang itu.

Gajah Sora yang dapat menanggapi keadaan serta kebijaksanaan Arya Palindih segera menjawab,: “Paman, aku sejak semula memang percaya bahwa Paman selalu bertindak bijaksana. Meskipun demikian aku akan selalu berusaha untuk meyakinkan Paman bahwa aku telah berkata dengan jujur. Aku berjanji bahwa aku akan berusaha sekuat tenaga serta kemampuan yang ada di daerah ini, berusaha menemukan kembali kedua keris yang hilang itu sebagai bukti kesetiaanku kepada Negara”.

Arya Palindih mendengarkan ucapan Gajah Sora itu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hatinya menjalar suatu pengertian yang berpengaruh. Akhirnya dengan kata-kata yang lunak ia berkata, : ”Anakmas…, Anakmas adalah bekas prajurit pilihan pada masa Anakmas masih muda. Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengerti peristiwa yang terjadi menurut ceritera Anakmas, namun aku percaya bahwa oleh jiwa kepahlawanan yang tersimpan di dalam dada Anakmas itu, maka Anakmas telah berlaku sebenarnya”.

Baik Gajah Sora, Arya Palindih, Mahesa Jenar dan semuanya yang hadir di pendapa itu menyadari, bila sampai terjadi suatu bentrokan, akibatnya pasti akan jelek sekali. Sebab Laskar Banyu Biru tidak dapat dianggap remeh. Laskar yang berakar pada jiwa rakyat yang setia. Mungkin Demak akan dapat mengatasinya dengan tidak banyak kesukaran. Tetapi korbannya pasti akan banyak sekali. Tidak saja korban jiwa, tetapi korban yang lebih besar artinya bagi negara yang pada saat itu sedang terancam oleh kekuasaan penjajahan Portugis yang sudah membangun pangkalannya di Malaka. Maka usaha yang pertama, yang harus diutamakan adalah memperkuat garis armada Banten – Jakarta – Cirebon – Demak – terus ke timur – Supit Urang – langsung ke Hitu dan Ambon, sebagai garis utama untuk melumpuhkan usaha Portugis, terutama di bidang perniagaan laut dan kesiap-siagaan armada, yang setiap saat dapat menerobos ke wilayah Demak.

Bersandarkan pada kesadaran itulah, maka kemudian Arya Palindih yang tegas namun bijaksana itu berkata,: “Anakmas, aku kira tugasku kali ini sudah selesai, meskipun tidak seperti yang aku harapkan. Dengan demikian aku akan minta diri, dan mudah-mudahan perkembangan selanjutnya tidak akan menyulitkan Anakmas dan kami”.

Meskipun Gajah Sora mencoba menahannya, Arya Palindih sudah memutuskan untuk segera pulang ke Demak dan melaporkan apa yang sudah terjadi, dengan harapan bersama bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan baik.

  ———-oOo———-

 IV

SEPENINGGAL Arya Palindih, segera Gajah Sora mengadakan pertemuan dengan segenap pembantunya serta Mahesa Jenar. Namun banyak hal yang tak dapat mereka selesaikan. Sebab kuncinya terletak pada kedua keris yang hilang itu. Tetapi adalah menjadi kewajiban Gajah Sora untuk memerintahkan kepada semua laskarnya agar tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan suasana.

Tetapi bagaimanapun, setelah peristiwa kedatangan utusan dari Demak itu, Gajah Sora menjadi perenung. Mahesa Jenar yang semula bermaksud meninggalkan Banyu Biru, kemudian menjadi tidak sampai hati. Karena itu ditahankannya dirinya untuk tetap tinggal di Banyu Biru sebagai kawan berunding dan berbincang Gajah Sora. Hiburan yang utama bagi Gajah Sora adalah anaknya yang kini sudah hampir pulih kembali. Bahkan sudah mulai lagi dengan tingkahnya yang aneh-aneh dan diluar kebiasaan anak-anak yang sebaya dengan Arya Salaka, yang kadang-kadang sangat memusingkan kepala ayahnya. Meskipun pada umumnya Arya tidak berani membantah peringatan-peringatan ayahnya, tetapi kadang-kadang diluar pengawasan ia melakukan hal-hal yang berbahaya.

Beberapa hari kemudian tidak terjadi hal-hal yang luar biasa. Rakyat dengan tenang dan tenteram bekerja di sawah serta ladang mereka. Padi-padi yang sudah mulai menguning, bahkan ada diantaranya yang sudah masak untuk dipetik. Berduyun-duyunlah wanita turun ke sawah serta saling menolong memotong padi, sedang laki-laki bergotong royong bekerja menyiapkan sawah-sawah yang telah dituai untuk ditanami kembali. Rumah-rumah yang terbakar pada saat penyerbuan gerombolan-gerombolan liar itu, secara gotong royong telah dibangun kembali. Bahkan tampak lebih kokoh dan lebih baik daripada yang semula.

Kehidupan yang aman damai telah memancar kembali menjiwai daerah Perdikan Banyu Biru.

Tetapi, tidak demikian halnya dengan perasaan Gajah Sora. Meskipun sehari-hari ia tampak tenang dan segar, serta seperti biasanya ia ikut serta bekerja dengan rakyat Banyu Biru untuk kesejahteraan daerahnya, namun di dalam hatinya tersimpan duri yang selalu menusuk-nusuk perasaannya.

Bagaimanapun, ia tidak dapat melupakan, bahwa akan datang saatnya ia harus mempertanggungjawabkan hilangnya kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Meskipun ia dapat mengharapkan etikad baik dari Arya Palindih, namun bagaimanapun usaha-usaha dari pihak ketiga pasti masih selalu ada. Usaha-usaha dari golongan yang tidak ingin melihat kehidupan damai di Banyu Biru khususnya, dan Demak pada umumnya. Tidak aneh kalau hal ini didalangi oleh orang-orang yang sengaja merongrong kebesaran Demak untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Sebab di dalam lingkungan mereka ada orang-orang yang cukup tangkas otaknya. Pasingsingan, Bugel Kaliki, Sima Rodra tua dapat mewayangkan orang-orang dalam yang tidak teguh imannya.

Karena itu, karena kecurigaannya kepada golongan-golongan yang ingin dengan sengaja mengeruhkan suasana. Gajah Sora telah mengambil kebijaksanaan untuk mengirimkan beberapa orang kepercayaannya ke Demak untuk mengetahui perkembangan keadaan. Orang-orang itu bertugas untuk mendengarkan desas-desus tentang keadaan Banyu Biru yang tersiar dipusat pemerintahan itu, serta kalau perlu mengadakan perlawanan dengan menceriterakan keadaan yang sebenarnya kepada kalangan yang seluas-luasnya.

Tetapi akhirnya, dengan dada yang gemuruh Gajah Sora mendengar laporan dari salah seorang kepercayaannya itu, bahwa di Demak telah berkembang keadaan yang sama sekali tak menguntungkan. Di Demak dengan tak diketahui sumbernya, telah tersiar berita bahwa kini di Banyu Biru telah diadakan latihan keprajuritan secara teratur dan besar-besaran, sebagai salah satu usaha untuk tetap mempertahankan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Orang-orang Gajah Sora yang tidak seberapa jumlahnya itu telah berusaha untuk menyebarkan berita yang sebenarnya, namun rupanya arus kabar yang sengaja mengeruhkan suasana itu tak dapat dibendungnya. Bahkan akhirnya telah mempengaruhi beberapa pejabat Istana Demak.

Belum lagi Gajah Sora sempat mendalami serta mengupas masalah itu, datanglah orangnya yang kedua dengan suatu berita yang lebih mengejutkan lagi, yaitu, bahwa Demak telah mengirim satu pasukan untuk meneliti keadaan di Banyu Biru.

Mendengar berita ini, pikiran Gajah Sora seolah-olah menjadi gelap. Karena itu segera ia memanggil pembantu-pembantunya beserta Mahesa Jenar. Apakah yang sebaiknya mereka lakukan apabila pasukan dari Demak itu benar-benar mendatangi Banyu Biru.

Persoalan ini kemudian menjadi buntu. Tak seorang pun yang dapat memberikan ketetapan pendirian. Tetapi bagaimanapun, mereka merasa bahwa sebenarnya mereka sama sekali tak bersalah dengan hal ini. Gajah Sora hanyalah berbuat suatu kekhilafan yang sebenarnya tak begitu besar seandainya akibatnya menjadi lain.

Akhirnya, ketika tak seorang pun yang berhasil memecahkan persoalan itu dengan sebaik-baiknya, maka satu-satunya kemungkinan adalah menunggu sampai pasukan dari Demak itu datang, dan kemudian bersama-sama memperbincangkan masalahnya. Gajah Sora sadar bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap, sebab kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan selalu akan terjadi. Maka yang dapat dilakukan sekarang adalah mempertinggi kewaspadaan.

Diantara mereka yang selalu gelisah karena keadaan, maka yang paling gelisah adalah Mahesa Jenar, karena ia dapat melihat kebenaran sikap masing-masing.

Ia tidak dapat menyalahkan Ki Ageng Gajah Sora seandainya orang itu tetap merasa tak bersalah. Sebab ia sendiri telah berjuang mati-matian untuk merampas keris-keris itu, dan kemudian dengan sekuat tenaga pula telah dipertahankannya. Juga orang-orang Gajah Sora pasti akan mempertahankan kepala daerah mereka yang mereka segani dan cintai itu.

Tetapi sebaliknya, ia mengerti juga alasan Sultan Demak seandainya Baginda murka. Sebab Baginda merasa bahwa yang paling berhak atas kedua pusaka itu adalah pemerintah.

Karena itu, pada malam harinya, Mahesa Jenar hampir tidak dapat memejamkan mata. Ia selalu berangan-angan apakah kiranya yang terjadi seandainya pasukan Demak itu telah berada di Banyu Biru. Yang menambah kesulitan pikiran Mahesa Jenar adalah, lalu bagaimana dengan dirinya sendiri?

Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga kalinya, Mahesa Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat. Sebab sebentar kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di halaman. Segera ia meloncat bangun dan lari keluar. Dilihatnya beberapa orang telah berada di sana, sedang Ki Ageng Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri di ambang pintu rumahnya. Segera Mahesa Jenar naik ke pendapa, langsung menuju kepada Gajah Sora. “Kakang…, apakah yang terjadi?”

Gajah Sora memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah. “Aku tahu kesulitanmu Adi, karena itu sebaiknya kau tidak ikut serta,” jawabnya.

Apakah yang akan Kakang lakukan?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

Aku tidak dapat menahan diri lagi,” jawabnya. “Aku telah memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyu Biru. Aku tidak peduli akan apa yang terjadi. Aku hormati kebesaran Demak sebagai pimpinan tertinggi atas segala pemerintahan di daerah-daerah, namun alangkah kerdilnya pikiran mereka.”

Mendengar jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar serasa berhenti. Dengan penuh kebingungan ia bertanya kembali, “Apa yang telah mereka lakukan?”

Sementara itu terdengarlah tanda bahaya bergema di seluruh lereng bukit Telamaya, disusul dengan tanda-tanda supaya laskar Banyu Biru berkumpul di alun-alun. Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu, desaknya, ”Apa yang telah mereka lakukan…?”

Gajah Sora tidak menjawab, tetapi sorot matanya bertambah menyala. Ketika dilihatnya kudanya telah siap di halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia berlari melintasi pendapa dan langsung meloncat ke atas punggung kudanya. Sesaat kemudian Gajah Sora sudah lenyap diantara beberapa orang yang bersama-sama memacu kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul segenap Laskar Banyu Biru.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih, sehingga beberapa saat kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.

Maka dengan tangkasnya ia meloncat ke belakang, ke kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu yang biasa dipakainya. Dengan cekatan ia mempersiapkan pelananya. Dan dalam sekejap kemudian, ia telah berlari diatas punggung kuda abu-abu itu menyusul Gajah Sora, serta apabila mungkin mencegah hal-hal yang tak diinginkan.

Tetapi ketika ia keluar dari halaman, segera di arah timur tampak api menyala-nyala. Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. ”Tak mungkin.…“ gumamnya seorang diri,  ”Tak mungkin. Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang biasa membakar rumah dan merampok isinya. ”

Maka segera timbul gambaran di dalam otaknya, bahwa ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan. Walaupun demikian ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang telah berbuat gila itu. Segera ia menarik kekang kudanya, dan memutar ke arah api yang menyala-nyala di sebelah timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu, dalam beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api yang menyala-nyala. Di beberapa tempat, ia bertemu dengan orang-orang yang berusaha mengungsikan diri. Kepada salah seorang diantaranya, ia bertanya, “He…, Kakang yang menjauhkan diri dari keributan, tahukan kau siapakah yang membakari rumah-rumah itu?”

Orang itu berhenti sejenak, lalu memandang kepada Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi bagaimanapun ia selalu mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka jawabnya, “Aku tidak tahu, tetapi mereka selalu berteriak-teriak, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit dari Demak yang mendapat perintah untuk menghancurkan Banyu Biru, sebab Banyu Biru akan memberontak terhadap Demak.”

“Bagaimanakah cara mereka berpakaian?” selidik Mahesa Jenar lebih lanjut.

Mereka memakai baju merah, ikat kepala merah dan celana merah pula. Adapun kainnya berwarna hitam,” jawab pengungsi itu.

Wiratamtama,” desis Mahesa Jenar.

Terimakasih, Kakang,” kata Mahesa Jenar kepada orang itu sambil menarik kekang kudanya, yang kemudian berlari kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama semakin tinggi seolah-olah akan menjilat langit.

Pakaian orang-orang yang membakar rumah itu, adalah pakaian prajurit Demak dari kesatuan penggempur yang bernama Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang pilihan dan perwira, bahkan dapat dikatakan sama dengan pasukan pengawal raja, yang disebut kesatuan Nara Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab Nara Manggala memakai ikat kepala biru, ikat pinggang kuning.

Karena itu ia semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri mereka prajurit-prajurit dari Demak itu.

Ketika matahari mulai bercahaya di arah timur, Mahesa Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah melarikan diri. Tinggallah di sana-sini beberapa orang saja yang masih berusaha untuk menemukan barang-barang yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu.

Melihat kelakuan mereka yang tak ubahnya dengan anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa Jenar terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia tidak saja merasa marah, bahwa orang-orang yang menamakan diri prajurit-prajurit itu telah membakar rumah-rumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka adalah suatu penghinaan langsung terhadap kebesaran nama Wiratamtama khususnya dan prajurit Demak umumnya. Karena itu segera ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa sama sekali mereka bukanlah prajurit-prajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu tanpa bertanya-tanya lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah mereka.

  Beberapa orang yang sedang sibuk mencari barang-barang itu, segera terkejut ketika mereka mendengar derap kuda mendekati mereka, apalagi ketika dilihatnya seorang yang belum dikenalnya langsung menuju ke arah mereka, dengan sikap yang garang.

Segera mereka melihat bahaya yang datang. Tetapi karena jumlah mereka yang banyak itu, mereka sama sekali tidak takut ketika dilihatnya bahwa yang datang hanyalah seorang. Meskipun demikian mereka bersiap-siap pula menanti kedatangan Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar yang memacu kudanya seperti badai, dengan penuh kemarahan langsung menyerang orang-orang yang menantinya dengan sikap tak acuh itu. Baru ketika tiga orang bersama-sama terpelanting dengan meninggalkan suara parau yang terputus, sadarlah mereka bahwa yang datang itu bukan orang sembarangan. Dengan kebingungan karena terkejut mereka mencoba mempersiapkan senjata-senjata mereka, tetapi itu tidaklah banyak gunanya, sebab sekejap kemudian Mahesa Jenar telah mengulangi serangannya. Sekali lagi dua orang sekaligus terlempar dengan mengumandangkan teriakan tinggi.

Orang-orang lain yang melihat kelima kawannya sudah menggeletak tak bernyawa itu, menjadi ketakutan, dan dengan tidak menunggu lebih lama lagi segera mereka melarikan diri bercerai-berai.

Mahesa Jenar segera berusaha menangkap salah seorang diantaranya. Dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan ibu jarinya yang kuat Mahesa Jenar siap menekan leher orang itu. Sementara itu ia bertanya, ”Siapakah kau sebenarnya?”

Orang itu menjadi ketakutan setengah mati. Karena itu, meskipun ia berusaha menjawab, tetapi mulutnya menjadi tergagap-gagap tak keruan. Mahesa Jenar menyumpah-nyumpah di dalam hati. Karena bagaimanapun ia memaksa, mulut orang itu pasti tak akan dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.

Akhirnya dengan sangat marah Mahesa Jenar menarik bajunya sehingga orang itu berdiri. Bersamaan dengan itu darah Mahesa Jenar tersirap sampai ke kepala, ketika dilihatnya, melingkar perut orang itu sebuah ikat pinggang yang lebar, dengan gambar dua ekor uling yang saling melilit. Karena itu Mahesa Jenar berteriak nyaring, ”Kau dari gerombolan Uling Rawa Pening…?”

Mulut orang itu tampak bergerak-gerak, tapi suara yang keluar dari mulutnya tak ubahnya seperti suara orang bisu. Meskipun demikian karena kepalanya mengangguk-angguk, tahulah Mahesa jenar bahwa orang itu benar-benar dari gerombolan Uling Rawa Pening. Karena itu marahnya semakin membara di dalam dadanya. Alangkah banyaknya unsur-unsur yang ingin merusak kedamaian tanah perdikan kecil di lereng bukit Telamaya itu.

Tetapi, kemudian Mahesa Jenar terkejut ketika ia mendengar suara tertawa di belakangnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Arya Salaka agak jauh di belakangnya, duduk di atas kuda hitamnya. Begitu asyiknya Mahesa Jenar mengurusi tangkapannya, sehinga ia sama sekali tak memperhatikan kedatangan Arya yang tentu dengan sengaja bersembunyi dan sangat berhati-hati.

”Apa kerjamu di situ Arya?” teriak Mahesa Jenar.

”Apa pula yang Paman kerjakan itu?” jawab Arya berteriak pula.

Mendapat jawaban yang nakal itu, Mahesa Jenar menjadi jengkel. ”Kemarilah,” panggilnya keras-keras.

Perlahan-lahan Arya menjalankan kudanya mendekati Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak mau dekat benar, sebab ia mengira bahwa Mahesa Jenar akan marah kepadanya.

Dengan masih memegangi tangkapannya erat-erat, Mahesa Jenar mengulangi pertanyaannya, ”Apa kerjamu disini?”

Arya menjadi agak bingung, sebab ternyata Mahesa Jenar benar-benar tak senang akan kehadirannya. Meskipun demikian ia menjawab dengan jujur. ”Aku melihat Paman memacu kuda ke arah timur. Aku kira pasti ada hal-hal yang menarik sehingga aku ingin ikut melihatnya.”

”Lalu apa yang sudah kau lihat?” desak Mahesa Jenar.

”Paman Mahesa Jenar menangkap kelinci,” jawab Arya. Mau tidak mau Mahesa Jenar menjadi geli mendengar jawaban Arya. Memang anak itu nakalnya bukan main. ”Nah, ayo lekas pulang,” perintah Mahesa Jenar.

“Nanti bersama Paman,” jawab Arya.

Mahesa Jenar menjadi bertambah jengkel. “Pulanglah Arya, supaya ayahmu tidak marah.”

”Aku takut pulang sendiri,” jawabnya mengelak.

Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu betul bahwa Arya sama sekali tidak takut. Maka mau tidak mau ia harus mengantar anak itu pulang. Lalu dengan sebuah sentakan yang keras Mahesa Jenar mendorong tangkapannya sehingga orang itu terdorong dan terbanting menelentang. Matanya memancarkan perasaan takut yang amat sangat, sedang nafasnya seperti berdesak berebut keluar. Arya menjadi geli melihat orang itu. ”Tidakkah Paman bermaksud membunuh orang itu?”

Mendengar kata-kata Arya orang itu menjadi semakin ketakutan, sehingga akhirnya malahan Mahesa Jenar menjadi kasihan kepadanya. Katanya, ”Kalau kau masih mempunyai sisa tenaga, pergilah cepat-cepat menjauhi aku sebelum aku mencekikmu”

Orang itu menjadi ragu-ragu sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar, seperti ia tidak percaya pada pendengarannya. Sampai  terdengar membentaknya, ”Pergilah!

Orang itu segera berdiri dan mundur beberapa langkah. Sesaat kemudian ia memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi Mahesa Jenar, seperti kuda pacu di lapangan pertandingan.

Arya melihat kelakuan orang itu seperti sebuah permainan yang menyenangkan. Maka timbullah kenakalannya, untuk menakut-nakuti orang itu. Katanya,  ”Tangkap orang itu, Paman…, tangkap orang itu. Ia akan melaporkan kepada pemimpinnya bahwa Paman ada di sini.”

Mendengar Arya berteriak-teriak, orang itu berlari semakin cepat tanpa menoleh, dibarengi dengan suara tertawa. Arya bergelak-gelak. Arya baru berhenti tertawa ketika didengarnya Mahesa Jenar berkata, ”Marilah Arya, ada kerja yang lebih penting daripada menunggumu bermain-main di sini.”

Belum lagi habis kata-kata Mahesa Jenar, sayup-sayup menyusur lereng perbukitan terdengarlah suara sangkakala bergema. Mahesa Jenar terkejut mendengar suara itu. Maka tanpa sesadarnya ia berkata,  “Itulah pasukan dari Demak.”

“Dari Demak?” ulang Arya.

Mahesa Jenar memandang wajah Arya yang masih memancarkan kebeningan hatinya itu dengan saksama. Meskipun anak itu nakalnya bukan main, tetapi hatinya bersih, sebersih hati ayahnya.

“Marilah kita lihat,” ajaknya.

Kemudian mereka berdua melarikan kuda mereka naik ke lereng yang lebih tinggi lagi. Dari sana dapatlah mereka melihat sebuah iring-iringan besar berjalan perlahan-lahan seperti semut yang merayapi dinding-dinding batu.

Mahesa Jenar menjadi terkejut bukan kepalang, ketika ia melihat pasukan Demak itu berjalan sudah dengan gelar perang. Bukan lagi merupakan barisan yang akan mengunjungi sebuah wilayah kerajaannya. Gelar itu merupakan gelar yang langsung akan dapat menghantam pertahanan lawan. Yaitu gelar Cakra Byuha.

Hati Mahesa Jenar berdebar sangat kerasnya. Mungkin beberapa penyelidik dari Demak telah menangkap tanda bahwa yang sudah dibunyikan oleh Gajah Sora, serta mereka mungkin salah terima terhadap nyala yang tidak boleh tidak pasti mereka saksikan. Nyala api yang ditimbulkan oleh kelakuan gerombolan Uling dari Rawapening, yang merasa sangat berkepentingan apabila di Banyu Biru timbul keributan-keributan.

Segera Mahesa Jenar pun teringat bahwa Gajah Sora telah pula menyiapkan pasukannya. Maka apabila tidak ada pencegahan, pertempuran yang dahsyat pasti akan terjadi. Karena itu dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mengajak Arya Salaka untuk segera kembali menemui Ki Ageng Gajah Sora.

Dengan kecepatan penuh, Mahesa Jenar dan Arya Salaka melarikan kuda masing-masing langsung menuju ke alun-alun Banyu Biru.

Ketika mereka sudah memasuki kota, kembali dada Mahesa Jenar terpukul oleh suatu kenyataan bahwa Gajah Sora telah membawa pasukannya untuk menyongsong pasukan Demak itu dengan gelar yang seimbang. Yaitu gelar Gajah Meta.

Tampaklah dengan garangnya Gajah Sora di atas kuda putihnya. Di tangannya tergenggam erat pusaka Banyu Biru yang sakti, Kyai Bancak. Disampingnya dengan kepala menengadah tampak orang yang telah agak lanjut usianya, tetapi ialah satu-satunya kepercayaan yang tak pernah berkisar dari samping Gajah Sora, yaitu Wanamerta. Di sisi yang lain dengan kepala tegak dan dada yang terbuka, seorang pemuda yang kelak akan terkenal namanya sebagai seorang perwira, yaitu Penjawi. Di belakangnya berturut-turut berjalan beberapa perwira pilihan.

Di belakangnya lagi berkibarlah dengan megahnya bendera-bendera lambang kebesaran tanah perdikan Banyu Biru. Panji-panji di atas dasar merah terlukis gambar seekor gajah berwarna kuning keemasan. Di samping bendera itu berkibar pula beberapa panji-panji kemegahan serta umbul-umbul beraneka warna, yang bertangkaikan tombak-tombak yang sudah tak bersarung.

Melihat pasukan itu, sejenak Mahesa Jenar tertegun. Ia adalah bekas seorang prajurit yang tidak saja satu dua kali mengalami pertempuran-pertempuran hebat. Tetapi ketika ia melihat tata barisan Gajah Sora dan gelar Gajah Meta, hatinya kagum juga. Ia jadi percaya bahwa Laskar Banyu Biru merupakan laskar yang sudah masak di bawah pimpinan seorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup.

Tetapi ketika ia teringat akan kemungkinan yang terjadi apabila pasukan ini bertemu dengan pasukan Demak, darahnya menjadi berdesir cepat. Maka segera ia melarikan kudanya, langsung menuju ke arah Gajah Sora. Gajah Sora melihat kedatangan Mahesa Jenar, tetapi sikapnya menjadi agak lain dari biasanya. Dengan pandangan kosong, Gajah Sora menghentikan kudanya dan bertanya hambar, ”Apakah maksud Adi Mahesa Jenar menemui aku?”

Mahesa Jenar merasakan perbedaan sikap ini, tetapi ia tidak peduli. Dengan suara yang perlahan-lahan tetapi jelas ia menceriterakan apa yang dilihatnya. Orang-orang yang menyaru sebagai prajurit-prajurit Demak telah membakari rumah-rumah penduduk. Dengan demikian maka laporan yang sampai kepada Gajah Sora pasti prajurit-prajurit Demak yang melakukan pembakaran itu.

Gajah Sora mendengar dengan baik kata-kata Mahesa Jenar, tetapi wajahnya sama sekali tidak berubah. Meskipun demikian ia bertanya, ”Lalu apa kata Adi Mahesa Jenar terhadap gelar Cakra Byuha itu?”

Mendengar pertanyaan itu terasa sesuatu berdesir di dada Mahesa Jenar. Rupa-rupanya Gajah Sora telah mengetahui bahwa prajurit Demak mendekati Banyu Biru dalam gelar perang yang berbahaya. Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menjawab. Baru kemudian Mahesa Jenar berkata, ”Kakang Gajah Sora, ini adalah suatu kesalah-pahaman yang berbahaya.”

”Sudahlah Adi,” potong Gajah Sora. ”Aku sudah mengatakan bahwa aku menyadari kesulitan Adi sekarang ini. Karena itu aku persilahkan Adi kembali saja.”

Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak senang mendengar kata-kata Gajah Sora itu, tetapi ketika ia akan menjawab, dilihatnya Gajah Sora melambaikan tangannya, dan iring-iringan itu mulai bergerak kembali. Iring-iringan raksasa yang terdiri ribuan prajurit yang terpecah-pecah menjadi bagian-bagian dalam gelar yang lengkap, ”Gajah Meta.”

Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia merasa bahwa agak terlambat untuk menahan Gajah Sora, namun ia tidak putus asa. Tanpa mengingat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia bertemu dengan prajurit-prajurit Demak, Mahesa Jenar mengikuti perjalanan pasukan Banyu Biru, untuk menyongsong kedatangan pasukan-pasukan dari Demak.

Setelah itu tak sepatah katapun yang terdengar. Masing-masing berjalan tanpa bersuara. Di kepala masing-masing berputarlah berbagai masalah yang berbeda-beda.

Tetapi, selangkah demi selangkah Laskar Banyu Biru maju terus, dan selangkah demi selangkah mereka semakin dekat dengan pasukan-pasukan yang datang.

Tetapi setiap jengkal mereka maju, setiap kali pula dada Mahesa Jenar merasa terbentur sesuatu yang seolah-olah hendak pecah oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Sebentar kemudian pasukan itu menyusup, menerobos pepohonan dan kebun-kebun yang sedang memamerkan buah-buahan yang lebat, menembus pagar-pagar dan meloncati dinding-dinding rendah untuk tidak mengubah tata barisan mereka, dalam gelar perang Dirada Meta.

Kemudian muncullah pasukan itu di lapangan terbuka, sebuah padang rumput tempat para penggembala melepaskan binatang-binatang peliharaan. Masih dalam tata barisan yang teratur, mereka menuruni lereng bukit Telamaya.

Sejenak kemudian Gajah Sora melambaikan tangannya, dan berhentilah iring-iringan pasukan Banyu Biru. Bersamaan dengan itu hampir berbareng terdengarlah gumam yang seperti mengumandang diantara anggota laskar itu. Sebab jauh di hadapan mereka, di bawah kaki bukit Telamaya, tampaklah dalam gelar Cakra Byuha pasukan-pasukan dari Demak. Lebih dari itu semua adalah goncangan dada Mahesa Jenar. Kini benar-benar dadanya serasa akan meledak. Tidak saja sedapat mungkin dirinya selalu berusaha untuk menjauhi setiap prajurit dari Demak, untuk melenyapkan segala kenangan pada masa kebanggaannya sebagai seorang prajurit pengawal raja, tetapi sekaligus ia merasa terharu melihat kebesaran pasukan itu. Meskipun masih belum begitu jelas, tetapi bagi Mahesa Jenar apa yang dilihatnya itu seolah-olah telah melekat di pelupuk matanya. Dengan membeda-bedakan warna pakaian mereka yang tampak seperti kelompok-kelompok yang beraneka warna, Mahesa Jenar segera mengenal pasukan dari kesatuan apa saja yang telah ditugaskan untuk datang ke Banyu Biru. Karena pengenalan itu pula Mahesa Jenar merasakan suatu tekanan yang dahsyat dalam hatinya. Sebab ia mengetahui dengan pasti bahwa benar-benar pasukan itu merupakan pasukan tempur yang kuat sekali.

Dalam gelar Cakra Byuha yang merupakan lingkaran bergerak itu, tampaklah dalam kelompok depan pasukan Wira Tamtama dengan bendera yang terkenal, Tunggul Dahana, bendera yang mempunyai dasar merah dan bergaris hitam lintang melintang. Pada gerigi di sebelah kiri tampak pasukan penggempur Angkatan Laut Demak yang terkenal. Pasukan ini diikutsertakan dengan suatu kemungkinan terjadi pertempuran di daerah rawa-rawa. Di bawah panji-panji Sura Pati, yaitu sebuah panji-panji yang berwarna merah bergambar ikan sura raksasa yang menggigit sebilah keris berwarna putih, pasukan penggempur Angkatan Laut yang bernama Wira Jala Pati itu merupakan kesatuan yang mengerikan. Yang lebih menggetarkan dada Mahesa Jenar adalah pasukan yang berada dalam lingkungan gerigi sebelah kanan. Pasukan ini adalah pasukan yang tak asing lagi baginya. Sebab ia sendiri pernah menjadi bagian pasukan tersebut, yaitu pasukan Nara Manggala di bawah panji-panji Garuda Rekta, panji-panji yang berwarna kuning, dengan lukisan seekor garuda berwarna merah, yaitu pasukan pengawal raja. Mahesa Jenar sadar bahwa pasukan inilah yang harus membawa kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dengan selamat sampai di Istana. Sedang pada gerigi bagian belakang, yang jumlahnya tidak begitu banyak, tampaklah pasukan inti dari pasukan pengawal kota, yang disebut pasukan Manggala Sraya, dengan bendera merah bergaris silang putih, bernama Tunggul Mega.

Tetapi lebih dari segala itu, lebih dari kemegahan bendera-bendera Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega, adalah panji-panji yang berada di tengah lingkaran yang bergerigi itu. Sebuah panji-panji yang dikelilingi oleh sekelompok kecil prajurit dari kesatuan Manggala Pati yang hampir dapat dikatakan kesatuan berani mati. Panji-panji itu adalah bendera Kerajaan Demak yang berwarna gula kelapa.

Menyaksikan semuanya itu, Mahesa Jenar seolah-olah mendadak menjadi seorang lumpuh yang duduk di atas kudanya. Kesadarannya hilang, dan ia menurut saja kemana kudanya berjalan.

Hal itu bukanlah disebabkan ia merasa takut berhadapan dengan kesatuan itu. Sebab ia adalah setingkat dengan setiap perwira yang memimpin setiap kesatuan dalam pasukan Demak itu. Bahkan mungkin Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan-kelebihan yang langsung diterima dari gurunya. Tetapi perasaan yang tak dapat disebutkan sebabnya telah menjalari dirinya.

Tanpa disengaja, Mahesa Jenar memandang ke arah Gajah Sora yang masih diam seperti patung memandangi pasukan Demak yang mendekatinya. Perasaannya bergolak hebat. Sebenarnya Gajah Sora sama sekali tidak mencemaskan pasukannya. Sebab ia merasa bahwa kekuatan kedua pasukan itu tidak akan terlalu banyak terpaut. Meskipun nilai dari setiap anggota Laskar Banyu Biru tidak dapat menandingi prajurit-prajurit dari Demak, Gajah Sora juga mempunyai beberapa orang pilihan dan mempunyai pasukan yang lebih banyak. Kalau perlu ia dapat mengubah gelarnya dalam gelar Samodra Rob atau Gelatik Neba seperti banjir melanda pasukan Demak.

Untuk beberapa saat pasukan Banyu Biru di bawah panji-panji Dirada Sakti, yaitu panji-panji merah berlukiskan gajah yang berwarna kuning emas itu masih diam tak bergerak, sementara pasukan Demak semakin lama semakin dekat. Karena itu semakin jelaslah kemudian setiap langkah dari setiap orang dalam gelar Cakra Byuha yang sempurna. Namun sampai sekian mereka masih belum dapat mengenal orang-orang yang diserahi tugas memimpin pasukan Demak itu.

Sesaat kemudian setelah pasukan itu menjadi semakin dekat, tampaklah seorang yang duduk diatas kuda berwarna sawo, yang agaknya memegang pimpinan, melambaikan tangannya. Maka segera berhentilah pasukan itu. Pemimpin pasukan itu, yang karena jaraknya yang masih agak jauh, belum dapat dikenal, segera memanggil dua orang pembantunya. Rupanya mereka sedang merundingkan siasat. Mahesa Jenar kini merasa bahwa ia sudah tidak akan mampu berbuat sesuatu. Dua pasukan yang sudah berhadapan agaknya sukar untuk ditahannya. Apalagi ketika yang diduganya benar-benar terjadi. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak tidak mungkin dapat melawan pasukan Banyu Biru dalam gelar yang demikian, sebab keadaan medan memang menguntungkan pasukan Banyu Biru yang berada di tempat yang lebih tinggi. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak harus mengubah tata barisannya sehingga mereka dapat mencapai tempat yang sama tinggi. Pemimpin pasukan Demak itu dilihatnya mengangkat kedua tangannya dan kemudian dengan gerak melingkar tangannya bersilang dan kemudian direntangkan kembali. Itu adalah suatu aba-aba untuk mengubah tata barisannya.

Pasukan Demak adalah pasukan yang terlatih baik. Karena itu segera setiap pimpinan kelompok dengan serentak mengulangi aba-aba pimpinan pasukan, dan sesaat kemudian pasukan itu tampaknya menjadi berserak-serakan tak karuan. Tetapi sebenarnya mereka sedang bergerak untuk menempati tempat-tempat mereka dalam gelar perang yang baru, Garuda Nglayang. Meskipun dengan gelar ini pasukan Demak sama sekali tak bermaksud mengepung pasukan Banyu Biru, tetapi mereka berusaha untuk mencapai tempat yang cukup tinggi, sebab dengan gelar yang memencar ini, sayap-sayap kanan dan kiri akan dapat maju mendahului induk pasukannya, dan seterusnya menerjang dari arah lambung.

Melihat pasukan dari Demak telah memulai dengan gerakannya, setiap laskar Banyu Biru segera menjadi gelisah. Mereka serentak memandang kepada Gajah Sora, untuk menunggu perintah lebih lanjut, terutama pimpinan-pimpinan kelompok. Sebenarnya Gajah Sora segera dapat berusaha mencegah maksud pasukan Demak itu dengan mengubah gelarnya pula. Hal ini disadari oleh setiap pemimpin laskar Banyu Biru. Karena mereka pun telah siaga untuk melaksanakan perubahan gelar itu. Namun untuk beberapa saat Gajah Sora tidak memberikan perintah sesuatu.

Bantaran dan Sawungrana yang memegang pimpinan sebagai ujung-ujung gading dalam gelar Dirada Meta, Pandan Kuning dengan beberapa pasukan pilihan sebagai pengawal panji-panji Dirada Sakti, menjadi semakin gelisah. Wanamerta dan Panjawi pun tidak dapat mengetahui sebabnya, kenapa mereka masih harus diam menunggu. Mahesa Jenar juga menebak-nebak di dalam hati, apakah maksud sebenarnya dari Gajah Sora itu. Ataukah ia mempunyai suatu siasat di luar pengetahuannya? Andaikata Mahesa Jenar memegang pimpinan, pasukan Banyu Biru harus segera berubah dalam gelar Wulan Panunggal, untuk menghalangi sayap-sayap gelar Garuda Nglayang yang melengkung itu, sehingga dapat mengimbangi kekuatan sayap Garuda Nglayang, apalagi jumlah mereka lebih banyak.

Di dalam setiap perhitungan perang, waktu memegang peranan yang penting, sehingga meskipun hanya sekejap, kadang-kadang mempunyai arti yang besar.

Demikianlah pasukan Demak yang terlatih baik itu, hanya memerlukan waktu yang singkat untuk dapat menempati kedudukannya yang baru. Bahkan pasukan sayap kanan dan kiri telah mulai mendaki tebing.

Melihat semuanya itu, Panjawi dan Sawungrana hanya dapat saling memandang, dan sekali dua kali mereka melemparkan pandangannya kepada Mahesa Jenar yang berada di luar kedudukan gelar, meskipun ia berada tidak jauh dari mereka itu.

Sebenarnya di dalam hati Mahesa Jenar tersimpanlah suatu kecemasan yang sangat besar, melihat tingkah laku Gajah Sora. Mungkinkah ia menjadi mata gelap dan putus asa, sehingga sejak langkah pertama sudah akan dipergunakan gelar-gelar yang menentukan seperti gelar Samodra Rob atau Gelatik Neba, yang sebenarnya sama sekali tidak perlu? Memang, gelar itu akan cepat mencapai penyelesaian, tetapi korbannya tak akan dapat dihitung lagi.

Karena itu, Mahesa Jenar menunggu perkembangan keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia tidak akan mengganggu pemimpin pasukan.

Sementara itu, sayap-sayap kiri dan kanan dari pasukan Demak telah mencapai tempat yang sama tinggi dengan pasukan Banyu Biru. Bahkan mereka telah siap pula melancarkan serangan ke arah lambung pasukan Banyu Biru yang masih mempergunakan gelar Dirada Meta. Dalam hal ini dengan suatu isyarat tangan dari pemimpin mereka, pastilah mereka akan segera bergerak.

Tetapi rupanya dalam barisan Demak pun terjadi sesuatu. Pemimpin pasukan mereka ternyata tidak segera memberikan aba-aba untuk mulai menyerang. Agaknya mereka menjadi heran pula, kenapa dalam keadaan yang demikian pasukan Banyu Biru masih belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk mulai bertindak. Karena itu, pemimpin pasukan dari Demak itu pun tidak tergesa-gesa bertindak.

———–oOo———-

 

V

SEMENTARA itu, terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Dengan suara lirih dan dalam, terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora memanggil Wanamerta dan Panjawi. Sesaat kemudian Gajah Sora memalingkan mukanya, mencari Mahesa Jenar, dan dengan isyarat ia diminta mendekatinya.

Ketika Mahesa Jenar melihat wajah Ki Ageng Gajah Sora, ia menjadi terkejut. Wajah itu nampak begitu suram dan basah oleh keringat yang tak sempat diusapnya. Segera ia menarik kekang kudanya, dan cepat-cepat mendekatinya. Agaknya telah terjadi suatu pergolakan perasaan yang dahsyat, sehingga ketika Mahesa Jenar telah berada di sampingnya, semakin jelas bahwa tubuh Gajah Sora gemetar. Kemudian dengan suara yang bergetar pula ia berkata, : ”Paman Wanamerta, tetua tanah perdikan Banyu Biru. Panjawi, harapan masa datang, dan Adi Mahesa Jenar yang berpandangan luas. Harap kalian mengetahui keputusanku…. Aku sama sekali tidak gentar menghadapi pasukan dari Demak itu, meskipun ternyata terdiri dari pasukan penggempur yang kuat”. Ia berhenti sebentar, lalu kemudian, ”Tetapi aku tak akan melawannya”.

Mendengar kata-kata Gajah Sora itu, Wanamerta, Panjawi dan Mahesa Jenar sangat terkejut. Segera wajah-wajah mereka memancarkan perasaan mereka yang menyimpan berbagai pertanyaan. Tetapi tak seorang pun yang menyatakannya.

”Dengarlah dengan baik”, sambung Gajah Sora, ”Mungkin Adi Mahesa Jenar yang paling dapat mengerti perasaanku”. Gajah Sora diam sebentar untuk menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. Matanya yang sayu dan kemerah-merahan itu, tanpa berkedip memandang ke arah bendera Gula Kelapa yang berbentuk segitiga panjang sebagai lambang kebesaran Demak.

”Beberapa tahun yang lampau…,” lanjut Gajah Sora, ”Aku pernah bertempur melawan orang-orang Portugis di Semenanjung Malaka untuk mempertahankan kebesarannya. Pada saat itu diatas kapalku berkibar pula dengan megahnya bendera Gula Kelapa itu. Haruskah aku sekarang melawannya? Tidak, aku tidak bisa.” Kemudian ia terdiam. Dan kembali Gajah Sora menelan ludah beberapa kali. Matanya nampak semakin merah bukan oleh nyala kemarahan.

Mendengar kata-kata itu, bulu tengkuk Mahesa Jenar serasa serentak berdiri. Kata-kata itu langsung menyusup ke perasaannya yang paling dalam. Agaknya perasaan yang demikian pulalah yang menyebabkan dirinya seperti orang yang kehilangan pegangan.

Tetapi Wanamerta dan Panjawi mempunyai tanggapan yang lain. Wajahnya menjadi tegang. Mereka tidak begitu mengerti maksud Gajah Sora. Karena itu Wanamerta segera bertanya, ”Bagaimanakah maksud Ki Ageng sebenarnya?”

Ki Ageng Gajah Sora memandang Wanamerta dengan mata yang suram, ”Paman, aku ingin menyelesaikan masalah kedua keris itu tidak dengan cara ini”

”Lalu apakah yang akan Ki Ageng lakukan?” sela Panjawi yang menjadi semakin gelisah.

”Aku akan berbicara dengan mereka,” jawab Gajah Sora.

Mendengar jawabnya itu Wanamerta dan Panjawi saling memandang dengan kebingungan.

”Mereka tidak datang untuk berbicara,” jawab Panjawi kemudian, ”Tetapi mereka datang dengan gelar perang.”

Kembali mata Ki Ageng Gajah Sora melekat pada Sang Saka Gula Kelapa yang seolah-olah melambaikan tangan-tangannya kepada Gajah Sora, sebagai salam hangat setelah agak lama tidak bertemu. Karena itu hati Ki Ageng Gajah Sora menjadi semakin terkoyak-koyak.

”Kalau mereka tidak dapat berbicara,” kata Gajah Sora Sora selanjutnya, ”aku akan menyertai mereka ke Demak. Sebab aku percaya bahwa pemerintahan berjalan dalam garis-garis hukum. Bagaimanapun juga masalah ini adalah masalah kita bersama yang harus dapat kita selesaikan, tanpa pertumpahan darah.”

Wanamerta dan Panjawi agaknya masih belum begitu mengerti maksud Gajah Sora, sehingga terdengar suara Wanamerta agak tertahan, ”Anakmas, kami adalah orang-orang yang bersedia dibujur-lintangkan untuk keselamatan Anakmas.”

Gajah Sora memandang Wanamerta dengan penuh pengertian dan haru. Tetapi ia sudah mempunyai suatu ketetapan bahwa ia sama sekali tak bermaksud menodai Sang Saka Gula Kelapa. Karena itu katanya, ”Paman…, aku tahu kesetiaan Paman dan segenap laskar Banyu Biru. Tetapi aku harap Paman juga mengetahui kesetiaanku kepada bendera itu, Sang Saka Gula Kelapa, sebagai lambang kesatuan negara. Termasuk Banyu Biru. Sebab Banyu Biru sendiri tak ada artinya di muka bumi ini, kalau tidak bersama-sama dengan daerah-daerah lainnya berkembang di taman sarinya. Negara kita ini. Sebaliknya, negara kita ini tidak pula akan tegak melawan badai sejarah kalau tidak berakar di dalam jiwa rakyat di daerah-daerah, termasuk Paman dan seluruh rakyat Banyu Biru.”

Wanamerta dan Panjawi menundukkan mukanya dalam-dalam. Di dalam hatinya telah membayang sedikit pengertian akan ucapan pemimpinnya yang sangat dicintainya itu. Namun bagaimanapun, agaknya amat sulit baginya untuk melepas Gajah Sora pergi sebagai seorang terdakwa yang telah melakukan pengkhianatan. Karena itu Wanamerta masih mencoba bertanya, ”Anakmas, tidakkah Anakmas dapat berbicara dengan mereka dalam kesempatan lain yang lebih baik, sehingga Anakmas tidak dianggap sebagai seorang tangkapan?”

”Tak akan ada lagi kesempatan kecuali ini, Paman. jawab Gajah Sora, ”Sebab kalau aku tidak mempergunakan kesempatan ini, pasti akan terjadi pertumpahan darah sesama kita yang tak ada artinya”

Kembali Wanamerta menundukkan kepalanya. Ia kenal betul akan sifat dan watak Gajah Sora. Apabila ia sudah menjatuhkan keputusan, maka tak seorang pun yang akan dapat mengubahnya. Karena itu, dengan perasaan yang tertekan ia terpaksa berdiam diri. Sebaliknya Panjawi yang masih belum dapat mengendapkan dirinya, berkata menyela,: ”Ki Ageng…, sebenarnya kami lebih senang apabila Ki Ageng memerintahkan kepada kami untuk menghunus pedang kami daripada melepaskan Ki Ageng pergi sebagai seorang tawanan”.

Gajah Sora tersenyum pahit. Lalu jawabnya, “Aku bukanlah tawanan prajurit yang kalah perang, Panjawi. Hal ini pasti disadari pula oleh orang-orang Demak itu, bahwa aku masih tegak di hadapan pasukanku yang belum pasti dapat mereka kalahkan.”

“Karena itu berikanlah kepada kami perintah, Ki Ageng,” sahut Panjawi yang agaknya masih berdarah panas.

Panjawi…” jawab Gajah Sora, “Memang di dalam tubuhmu mengalir darah jantan sejati. Tetapi dengarlah perintahku baik-baik. Kau dan Wanamerta tetap berada di tempatmu. Jagalah bahwa tak seorang pun dalam pasukan ini yang berkisar dari tempatnya.”

Mendengar perintah itu, dada Panjawi serasa menerima pukulan yang maha dahsyat, sampai ia memejamkan mata beberapa saat untuk dapat menenangkan perasaannya kembali.

“Adi Mahesa Jenar…” kata Gajah Sora kepada Mahesa Jenar yang selama itu dengan penuh pergolakan di dalam dadanya memperhatikan setiap kata-kata Gajah Sora. Wanamerta dan Panjawi, “Di manakah Arya?”

Pertanyaan ini mengejutkan benar, sebab untuk beberapa saat Mahesa Jenar telah melupakan anak ini.

“Bukankah tadi anak itu datang di belakang Adi?” sambung Gajah Sora.

“Benar, Kakang,” jawab Mahesa Jenar agak gugup sambil melayangkan pandangannya berkeliling, sampai akhirnya tertumbuk pada seekor kuda hitam dengan seorang anak di punggungnya dan tampaknya dengan enaknya melihat dua pasukan yang hampir bertempur itu seperti melihat rombongan pawai prajurit. Melihat hal itu jantung Mahesa Jenar berdesir. Apakah yang terjadi andaikata kedua pasukan itu benar-benar bertempur, sedangkan Arya berada diatas sebuah gundukan tanah dalam garis serangan sayap kanan pasukan Demak. Andaikata sampai terjadi sesuatu atasnya pastilah ia harus mempertanggungjawabkannya.

Maka dengan isyarat Arya dipanggil untuk mendekati ayahnya. Tetapi rupa-rupanya anak itu agak takut, sehingga isyarat itu sampai harus diulangi dua kali.

Ketika Arya telah berada disampingnya, dengan pandangan yang semakin sayu dan kata-kata yang gemetar, Ki Ageng Gajah Sora berkata kepada Arya, “Arya…, kau telah pernah mempergunakan tombakku yang sakti ini. Karena itu, pada hari ini tombak ini aku hadiahkan kepadamu” Arya yang tidak tahu masalahnya, mendengar kata-kata ayahnya itu menjadi terkejut dan menduga-duga, tetapi sekejap kemudian ia menjadi kegirangan. Wajahnya berseri-seri dan dengan segera ia maju mendekat.

Sebaliknya adalah Wanamerta, Panjawi dan Mahesa Jenar. Ketika mereka mendengar kata Gajah Sora itu dada mereka bergoncang hebat. Sebab mereka sadar akan arti kata-kata itu. Dengan demikian maka Ki Ageng Gajah Sora telah menyerahkan pemerintahan Banyu Biru kepada putra satu-satunya yang belum dewasa.

”Apakah artinya ini Ki Ageng?” tanya Panjawi dengan suara bergetar.

”Ayah akan menghadiahkan tombak itu kepadaku”, sahut Arya dengan riangnya. ”Dan bukankah ayah bermaksud mengijinkan aku untuk turut bertempur sekarang ini?”

Semua yang mendengar kata-kata Arya itu menarik nafas dalam-dalam. Lebih-lebih Gajah Sora sendiri.

”Arya, aku tidak bermaksud demikian. Sebab hari ini aku akan bepergian jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali. Kaulah yang berhak untuk memiliki pusaka itu, tetapi sementara biarlah pusaka itu kau titipkan kepada eyangmu Wanamerta”, kata Gajah Sora dengan suara lembut.

Wajah Arya yang riang itu segera berubah menjadi kecewa dan bertanya-tanya. Pandangannya beredar diantara orang-orang yang berada di sekitarnya seperti minta penjelasan. Akhirnya ia bertanya, ”Ayah akan pergi jauh sekali?”

Ki Ageng Gajah Sora mengangguk. ”Selama ayah pergi, kau tidak boleh nakal Arya. Kau harus menurut segala petunjuk eyangmu Wanamerta. Dan yang akan melanjutkan pelajaranmu dan olah kanuragan adalah pamanmu Mahesa Jenar. Bukankah begitu Adi…?”

Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan, tetapi ia tidak dapat berkata lain daripada mengiyakan.

Sesaat kemudian kembali Gajah Sora memandangi bendera Gula Kelapa yang melambai kepadanya. Sesaat kemudian dilayangkan pandangannya kepada seluruh anak buahnya yang berbaris teratur di belakangnya dalam gelar Dirada Meta.

Tiba-tiba Gajah Sora mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Pemimpin pasukan Demak yang rupa-rupanya cukup bijaksana dan tidak berbuat sesuatu, ketika ia menyaksikan Gajah Sora sedang berunding dengan bawahannya, juga mengangkat tangan kanannya untuk menjawab isyarat Gajah Sora.

Sekali lagi Gajah Sora memandang kepala barisannya. Kemudian ia berkata kepada Wanamerta, ”Sepeninggalku perintahkan pasukan ini mengundurkan diri, Paman. Aku percayakan Banyu Biru dalam kebijaksanaan paman selama aku pergi. Sedang, aku minta agar Adi Mahesa Jenar sudi menjadi pelindung daerah yang tak berarti ini. Aku titipkan Arya kepadamu”

Kemudian, sehabis mengucapkan kata-kata itu, Gajah Sora menarik kekang kudanya yang kemudian berlari dengan kencangnya menuju ke arah pasukan dari Demak.

Melihat Gajah Sora telah datang seorang diri, pemimpin pasukan dari Demak itu pun segera menyongsongnya bersama dua orang pengawalnya.

Melihat Ki Ageng Gajah Sora pergi seorang diri ke arah pasukan-pasukan dari Demak itu, Arya terkejut. Untuk beberapa saat ia diam kebingungan. Tetapi setelah ingatannya berjalan kembali, ia berteriak memanggil. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat bertindak, menangkap kendali kuda Arya yang hampir berlari memburu.

Dengan memanggil-manggil ayahnya, Arya meronta-ronta memukul-mukul tangan Mahesa Jenar yang memegang kendali kudanya itu.

Wanamerta memandangi Arya dengan dada yang sesak. Perlahan-lahan ia mendekati anak itu dan menghibur sebisa-bisanya. Namun untuk beberapa saat Arya masih saja berusaha untuk melepaskan tangan Mahesa Jenar dan berteriak-teriak sejadi-jadinya.

Sebenarnya bukan saja Arya yang menjadi bingung dan meronta-ronta, tetapi segenap hati laskar Banyu Biru menjadi bingung, dan meronta-ronta pula. Bahkan kemudian terdengarlah suara bergumam yang semakin lama semakin keras. Bantaran dan Sawungrana tampak menjadi gelisah. Sedang Pandan Kuning yang tak dapat menahan diri lagi berteriak nyaring, “Apakah artinya ini semua Kakang Wanamerta…?”

Wanamerta dapat mengerti semuanya itu, dapat mengerti kenapa seluruh laskar Banyu Biru menjadi gelisah dan bingung. Karena itu segera ia mengangkat tangannya untuk menenangkan keadaan, sedang tangannya yang lain mengacungkan pusaka Kyai Bancak tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia telah mendapatkan wewenang atas nama Arya Salaka untuk memimpin daerah perdikan Banyu Biru.

Sementara itu keributan agak dapat ditenangkan, tetapi hati laskar Banyu Biru itu sama sekali tak dapat ditenangkan. Mereka, dengan darah yang bergelora melihat Ki Ageng Gajah Sora berlari di atas kudanya menemui pemimpin pasukan dari Demak yang datang menyongsongnya. Apalagi beberapa saat kemudian seluruh laskar Banyu Biru yang berada di lereng bukit Telamaya itu menyaksikan dengan jelas bahwa pemimpin mereka Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan mereka bersama-sama dengan pemimpin pasukan dari Demak itu, yang sebentar kemudian memberi aba-aba kepada seluruh prajurit Demak untuk menarik gelar Garuda Nglayang itu menjadi suatu barisan tidak dalam gelar perang.

Rasa-rasanya laskar Banyu Biru itu hampir meledak ketika mereka menyadari bahwa pemimpin mereka telah pergi menyertai pasukan dari Demak, yang menurut anggapan mereka tidak lebih dari seorang tawanan. Dalam keadaan yang demikian, segera Wanamerta membalikkan kudanya dan merasa perlu untuk memberi penjelasan. Segera dengan isyarat tangan ia memanggil segenap pimpinan kelompok dalam kesatuan laskar Banyu Biru.

Katanya, ”Anak-anakku Laskar Banyu Biru yang setia kepada pemimpinnya. Atas nama kekuasaan yang telah diserahkan kepada Arya Salaka, aku perintahkan kepadamu untuk tetap tenang, dan setelah ini menarik kembali seluruh laskar kita. Penjelasan mengenai hal ini akan aku berikan kemudian”

Mendengar keterangan singkat dari seorang kepercayaan Gajah Sora itu beberapa orang menjadi ribut, sedang beberapa orang lagi menjadi kebingungan. Tetapi bagaimanapun laskar Banyu Biru adalah laskar yang patuh dan setia sehingga bagaimanapun terjadi pergolakan di dalam dada namun mereka harus mentaati perintah pemimpin mereka atau yang dikuasakan. Dan sekarang, ternyata Wanamerta yang memegang pusaka Kyai Bancak itu berbicara atas nama Pemimpin tanah perdikan Banyu Biru.

Karena itu tak seorangpun yang berani melanggar perintahnya. Panjawi yang sebenarnya sama sekali tidak rela melepaskan Gajah Sora, menjadi gemetar tubuhnya. Wajahnya jadi sebentar merah dan sebentar kemudian memutih pucat hampir seperti mayat. Giginya terdengar gemeretak dan pengertian perasaan yang bercampur aduk antara marah, kecewa, dan bingung, tetapi juga kesadaran dan pengertian bahwa apa yang dikatakan Gajah Sora adalah benar.

Sementara itu iring-iringan pasukan Demak itu berjalan terus semakin jauh, meninggalkan kepulan debu putih yang segera lenyap disapu angin pegunungan. Sebentar kemudian pasukan yang membawa Ki Ageng Gajah Sora itu lenyap sedikit demi sedikit di tikungan, seperti ditelan oleh anak pegunungan yang menonjol di hadapan laskar Banyu Biru itu. Bersama dengan lenyapnya pasukan Demak itu dari pemandangan mereka, terdengarlah Arya Salaka terisak-isak. Wanamerta segera mendekatinya dan kembali ia mencoba menenangkan Arya yang meskipun berusaha menahan tangisnya tetapi akhirnya air matanya terurai mengalir. Melihat hal itu hati Panjawi semakin bergelora, meskipun ia sadar bahwa tak ada yang dapat dilakukan.

”Arya…, marilah kita pulang,” kata Wanamerta lembut.

Dengan masih terisak, Arya menggelengkan kepalanya.

”Pulanglah, Arya…” sambung Mahesa Jenar, ”Bukankah ayahmu telah berpesan supaya kau menuruti nasehat kakekmu Wanamerta?”

Arya memandang Mahesa Jenar dengan mata merah yang basah. Seolah-olah ia ingin menanyakan, kenapa Mahesa Jenar tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan ayahnya.

”Tidakkah Paman pulang ke Banyu Biru?” tanya Arya di sela-sela isaknya.

”Pasti, Arya,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku akan pulang ke Banyu Biru, tetapi berjalanlah dahulu, aku segera akan menyusul.”

Sekali lagi Arya memandang kepada Mahesa Jenar dengan penuh pertanyaan. Tetapi sejenak kemudian ia pun menjadi agak tenang. Bersama-sama dengan Wanamerta, Panjawi dan seluruh laskar Banyu Biru, Arya berjalan kembali ke Banyu Biru, kecuali Mahesa Jenar.

Kepada Wanamerta, Panjawi dan Arya Salaka, Mahesa Jenar minta izin untuk tinggal sebentar dan kemudian akan segera menyusul kembali.

Sepeninggal pasukan Banyu Biru, Mahesa Jenar mengendarai kudanya perlahan-lahan di sepanjang lereng-lereng bukit. Rasanya ada sesuatu yang tidak menentramkan hatinya. Firasatnya yang agak tajam menangkap sesuatu yang tidak wajar akan terjadi.

Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar muncul di sebelah bukit yang menghalangi pandangannya, dan kembali tampak debu berhamburan jauh di bawah kakinya. Itulah iring-iringan pasukan dari Demak. Tanpa disengaja, kudanya dilarikan agak cepat ke arah yang sama dengan pasukan itu. Jaraknya semakin lama semakin dekat. Tetapi apabila jarak itu sudah terlalu dekat, maka memungkinkan orang-orang Demak itu dapat melihatnya, sehingga segera ia menghentikan kudanya dan berdiri di tempat yang agak tersembunyi.

Tetapi ketika sudah agak jauh dari Banyu Biru, tiba-tiba darah Mahesa Jenar tersirat ketika melihat di lereng-lereng bukit di sekitar jalan yang dilewati pasukan Demak itu tampak bintik-bintik yang bergerak-gerak. Ia menjadi curiga, dan dengan penuh perhatian dicobanya untuk mengetahui apakah sebenarnya yang tampak bergerak-gerak itu. Mahesa Jenar menjadi semakin terperanjat ketika ia yakin bahwa bintik-bintik yang bergerak-gerak itu adalah manusia-manusia yang bersenjata.

Tetapi sebelum sempat ia berbuat sesuatu, orang-orang bersenjata yang bergerak-gerak di lereng-lereng bukit di sekitar jalan itu telah mulai dengan sebuah serangan yang melanda seperti air pasang. Inilah gelar Samodra Rob yang menyerang gelombang demi gelombang dengan jumlah pasukan yang besar.

Dari jarak yang agak jauh, Mahesa Jenar melihat iring-iringan pasukan Demak itu berhenti, dan sebentar kemudian ia melihat gerakan yang cepat dari pasukan itu menjadi sebuah gelar Gedong Minep. Ini agak aneh bagi Mahesa Jenar, kenapa pasukan dari Demak itu mengambil gelar yang sebenarnya kurang menguntungkan untuk melawan gelar Samodra Rob. Tetapi, terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa di dalam pasukan dari Demak itu ada seorang yang akan dibawa menghadap kepada Sultan Demak. Jadi pastilah bahwa pemimpin pasukan penyerang itu berusaha untuk membebaskan Gajah Sora. Mendapat pikiran yang demikian, dada Mahesa Jenar menjadi sesak. Tetapi sementara itu ia tidak dapat berbuat sesuatu. Dalam hati Mahesa Jenar tersimpullah suatu tafsiran bahwa ini adalah suatu kesengajaan dari pihak-pihak yang ingin melihat suasana Banyu Biru menjadi semakin keruh. Ternyata bahwa mereka telah menyiapkan pasukan untuk bermacam-macam kemungkinan dan kepentingan.

Di lembah, di bawah lereng-lereng bukit Telamaya itu segera terjadi suatu pertarungan yang sengit. Gelar Samodra Rob itu bagai gelombang menghantam pasukan dari Demak yang berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Hal ini rupanya kemudian disadari bahayanya. Maka dengan suatu gerakan melingkar, pasukan Demak yang terlatih baik itu mengubah gelarnya menjadi seolah-olah suatu permainan yang selalu bergerak-gerak. Kedudukan mereka nampaknya menjadi sangat lemah di bagian depan sehingga banyak lubang pertahanan yang dengan mudahnya disusupi oleh penyerang. Tetapi tidaklah demikian sebenarnya. Melihat perubahan itu, Mahesa Jenar yang hanya dapat melihat dari jauh, menarik nafas lega, seolah-olah ialah pemimpin pasukan dari Demak itu. Dan segera tampak bahwa pasukan penyerang itu tidak banyak dapat berbuat melawan satu pasukan yang teratur baik dan terdiri dari orang-orang pilihan.

Pasukan Demak itu telah mengubah gelarnya menjadi gelar Jurang Grawah. Gelar yang dapat menampung berapa pun banyaknya air yang mengalir melandanya. Meskipun serangan-serangan lawannya itu seolah-olah dengan mudah dapat menyusup ke dalam gelar pasukan Demak, tetapi demikian gelombang itu masuk, demikian gelombang itu dibinasakan oleh pasukan-pasukan yang justru berada di garis kedua dan ketiga. Tetapi karena jumlah penyerang-penyerang itu sedemikian banyaknya, maka pertempuran itu pun berlangsung dengan hebatnya.

Mahesa Jenar melihat pertempuran itu tanpa bergerak dari punggung kudanya, seolah-olah ia terpaku di atasnya. Meskipun hatinya bergelora hebat, ia hanya dapat menekan dadanya dengan tangannya. Sebab dalam kedudukannya yang sekarang, tidaklah mungkin ia turut campur.

Tiba-tiba tanpa disengaja, mata Mahesa Jenar merayap ke atas bukit kecil di sebelah lembah, dimana pertempuran yang hebat itu terjadi. Di sana, dilihatnya beberapa bayangan yang ternyata adalah orang-orang berkuda. Cepat pikiran Mahesa Jenar bekerja. Dan ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang itu pastilah dalang dari keributan ini. Karena itu, ia bermaksud untuk mengetahui, siapakah kiranya yang berdiri di atas bukit kecil itu.

Mendapat pikiran itu, terus saja Mahesa Jenar memutar kudanya, dan dengan mengambil jalan melingkar ia menuju ke arah bukit kecil, dimana orang-orang yang dicurigainya itu berada. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mendekati orang itu dari arah belakang.

Maka setelah Mahesa Jenar berhasil mencapai bukit kecil itu, ia segera turun dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang pohon dengan ikatan yang tidak begitu keras, supaya apabila setiap saat diperlukan, tidak terlalu sukar baginya untuk melepaskan tali itu.

Dengan hati-hati sekali ia merangkak naik dan selalu berusaha untuk melindungi dirinya dengan batang-batang pohon dan daun-daun yang rimbun. Bahkan kadang-kadang ia memilih jalan menyusur tebing-tebing yang curam agar tidak menarik perhatian.

Di atas bukit itu ternyata beberapa orang berkuda yang dengan saksama mengikuti jalannya pertempuran di lembah. Mahesa Jenar yang dengan sangat hati-hati berhasil mendekati mereka, segera mengenal siapakah mereka itu. Pada saat Mahesa Jenar mengetahui orang-orang yang berkuda itu, rasanya dirinya seperti terlempar ke dalam sebuah khayalan yang sangat menakutkan dan sukar untuk dipercaya. Karena itu jantungnya terasa seperti berdentam-dentam tak keruan. Cepat ia berusaha menguasai diri dan mengatur pernafasan untuk menenangkan dirinya. Meskipun demikian, ia menjadi gemetar juga.

Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah orang yang cukup berpengalaman, sehingga apa yang dilakukan bukanlah pencetusan perasaannya belaka, tetapi juga hasil dari pemikirannya yang masak.

Karena itu, meskipun di hadapannya berdiri tokoh-tokoh yang seolah-olah merupakan kejadian yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, namun ia tetap dapat mempergunakan pikirannya dengan baik.

Orang-orang berkuda itu adalah deretan dari tokoh-tokoh yang dikenalnya sebagai tokoh-tokoh golongan hitam yang cukup tangguh. Diantaranya adalah Lawa Ijo dan Padas Gunung yang rupanya telah sembuh, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Suami-istri Sima Rodra, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan yang lebih mengejutkan hati Mahesa Jenar adalah hadirnya Lembu Sora bersama-sama dengan mereka.

Dengan demikian maka apa yang terjadi di Banyu Biru seolah-olah kini menjadi terang benderang baginya. Berkumpulnya tokoh-tokoh itu adalah suatu petunjuk yang jelas. Karena itu setelah ia mendapat kesimpulan dari peristiwa yang tak tersangka itu, otaknya pun segera bekerja keras. Yang harus diusahakan pertama-tama adalah menarik pasukan-pasukan yang menyerang pasukan dari Demak itu. Sesudah itu entahlah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Menilik tata tempat mereka berada, Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa Lembu Sora yang berada di tempat paling depan adalah orang yang paling berkepentingan dengan pertempuran itu. Sedang menurut perhitungan Mahesa Jenar, laskar yang paling banyak dari para penyerang itu adalah laskar Lembu Sora. Sekali lagi Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke lembah yang semakin samar dilapisi debu yang mengepul tinggi. Tetapi dengan jelas ia dapat menyaksikan pertempuran yang semakin dahsyat. Laskar penyerang itu kemudian hampir kehilangan pegangan, sehingga serangannya sudah mengarah ke gelar Gelatik Neba.

Melihat hal itu, maka Mahesa Jenar merasa perlu untuk segera bertindak sebelum korban semakin banyak yang jatuh. Bagi Lembu Sora dan orang-orang seperti Lawa Ijo dan sebagainya, banyaknya korban tidak merupakan soal. Yang penting, adalah maksud mereka tercapai.

Setelah berpikir berulang kali, dan menimbang untung-ruginya, Mahesa Jenar memutuskan untuk mengambil jalan yang sangat berbahaya. Sebab sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menempuh bahaya itu.

 ———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 7

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

kembali | lanjut >>

5 Tanggapan

  1. ndherek nyangkruk pak SATPAM,

  2. sambil nunggu djVU NSSI di Padepokan PDLS,
    mangga uyel2an ning KENE…..

  3. jilid eneM selesai bisa langsung masuk
    gandok piTU…..asik

  4. moco nssi sinambi ngopi, juwosh

Tinggalkan komentar