JDBK-15


<<kembali | lanjut >>

KI MARTA BREWOK menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu”

“Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu. Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu, maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada. Apakah aku akan pulang atau tidak”

“Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi”

Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Wicitra yang sudah jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan ayahku?”

“Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu”
“Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan Pangeran Benawa”

“Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa, bukankah itu bukan salahmu?”

“Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku”

Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau akan diterima sebagai seorang pahlawan”

Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah artinya seorang pahlawan, jika itu hanya semu?”

“Sudahlah, Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “kau jangan terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya”

Paksi tidak menjawab.

Demikianlah, maka mereka pun berjalan terus. Wijang masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas, ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali.

“Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung” desis Pangeran Benawa, “agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena”

Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan kemudian ia pun bergumam pula perlahan sekali, “Pamrih dan ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya semena-mena”

Namun Wijang itu pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan ayahku?”

Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi ayahku adalah seorang raja”

Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya, “Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?”

Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus. Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban, “Tentu berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang kebanyakan”

Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam, “Tetapi hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?”

Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya.

Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di belakang.

Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di perjalanan.

Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang. Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi ia pun ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti.

Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali cincin itu. Bahkan bersama nyawanya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti, kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh.

“Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali” berkata Paksi didalam hatinya.

Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka.

Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan apapun.

Dihari berikutnya, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun singgah di kedai-kedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya, rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya.

Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya. Dengan nada dalam ia berkata “Keluargamu sedang menunggumu, Paksi”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang pun berkata “Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya. Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu menjadi semakin keras. Namun Paksi pun kemudian menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara.

Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu.

Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil cincin itu.

“Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan dipungutnya pula” berkata Paksi didalam hatinya.

Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka Paksi pun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang.

Ketika malam turun, maka mereka pun telah memasuki gerbang kota. Wijang lah yang kemudian mendahului Paksi, langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya kepada Paksi.

Bersama Ki Marta Brewok, Paksi pun kemudian duduk di pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di istana.

“Jangan cemaskan Pangeran itu” berkata Ki Marta Brewok.

“Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya?”

“Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu saja.

“Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian lama pergi meninggalkan istana? Apalagi jika sudah diketahui bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?”

“Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari pembaringannya”

Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun. Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik cengkerik terdengar menggores sepinya malam.

“Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu”

Paksi mengangguk sambil berdesis, “Untuk seterusnya dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?”

Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya “Aku akan sering berada disini. Terutama di malam hari”

“Terima-kasih guru” sahut Paksi dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang perjalananmu. Suka dan dukanya”

“Baik, guru” jawab Paksi dengan suara yang bergetar.

Paksi pun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta Brewok.

“Aku mohon diri guru” desis Paksi.

Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi, “Baik-baiklah membawa dirimu”

Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Baik, guru” Demikianlah, Paksi pun melangkahkan kakinya menyusuri pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi jalan kota yang sepi.

Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang berubah. Bangunan di sebelah-menyebelah jalan masih yang dahulu itu juga.

Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya. Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnya pun termasuk rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung.

Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya, hatinya pun menjadi semakin bergetar. Namun Paksi pun kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga pendapa.

Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara kentongan dengan irama titir.

“Tengah malam” desis Paksi, “Pangeran Benawa tentu telah berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu”

Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya diangkatnya.

Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu dan adik-adiknya. Paksi pun telah mengetuk pintu rumahnya lagi. Agak lebih keras dari semula.

Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada keduanya.

“Siapa?” terdengar suara ayah Paksi.

“Aku ayah, Paksi”

“Paksi?” nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.

Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu, “Paksi. Kau benar Paksi?”

Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap lengannya sambil berkata, “Tunggu. Apakah benar yang datang itu Paksi”

“Aku tidak dapat melupakan suaranya”

“Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya tentu sudah berubah”

“Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali”

“Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau tidak”

“Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku”

“Baiklah. Sambutlah anakmu itu” desis Ki Tumenggung. Ibu Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu.

Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu terbuka, maka Paksi pun segera berjongkok di depan ibunya. Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya.

“Paksi. Paksi” desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang sudah hampir satu setengah tahun mengembara.

Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa menjadi hangat pula.

Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksi pun berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata “Ayah, aku pulang”

Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu.

“Kau datang darimana, Paksi?” bertanya ayahnya.

Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan ibunya pun menjadi heran pula, sehingga ibunya pun itu menyahut “Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah kakang Tumenggung”

“O, benar begitu, Paksi?”

Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya lebih lanjut.

“Paksi” berkata ayahnya kemudian, “kau belum menjawab pertanyaanku”

“Maksud ayah?” Paksi justru bertanya.

“Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan perintahku?”

“Ya, ayah” jawab Paksi. Tetapi Paksi pun tahu, bahwa ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak. Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia berhasil menemukan cincin bermata tiga itu.

Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar ayahnya itu bertanya “Kau ingat, bagaimana bunyi perintahku?”

“Ingat ayah” jawab Paksi, “meskipun perintah itu ayah ucapkan setahun yang lalu”

“Sebut bunyi perintahku itu” berkata ayahnya kemudian.

“Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun meninggalkan rumah”

“Jangankan setahun” jawab ayahnya, “seorang laki-laki akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai, maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus dilakukan seumur hidupnya”

“Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari. Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya”

“Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika ia masuk kedalam rumah kita”

“Biarlah ia masuk”

“Tidak” Ki Tumenggung itu membentak.

Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itu pun membentak pula “Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk kedalam rumahnya sendiri”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia bertanya, “Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?”

“Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik bagi badanku, mau pun bagi namaku. Apa pun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku, lakukanlah”

Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan membawanya masuk keruang dalam.

Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing Paksi masuk keruang dalam.

Sejenak kemudian Paksi pun telah duduk di ruang dalam. Dengan lembut ibunya berkata, “Duduklah Paksi. Aku akan membuat minuman bagimu”

Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang berdiri dengan wajah yang tegang.

“Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada di  rumahmu”

Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia sempat berkata, “Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang. Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan yang dapat mengganggu ketenangannya”

Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu, pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya.

Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya. Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksi pun kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu.

Didapur, ibunya telah membangunkan seorang pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi Paksi.

“Hangatkan sayurnya” berkata ibu Paksi itu, “anak itu tentu kedinginan dalam perjalanannya yang panjang”

Dalam pada itu, ibu Paksi itu pun segera masuk keruang dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak pintu rumahnya.

“Duduk sajalah Paksi” berkata ibunya, “kau tentu letih. Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau berbenah diri”

Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban, meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksi pun harus menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya.

“Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu kepadamu”

Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi itu justru nampak gembira. Katanya, “Satu pengalaman yang menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali”

“Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk di perjalanan?”

“Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu, bukankah itu wajar sekali?”

Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi ingin menenteramkan hatinya. Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itu pun bertanya, “Dimana ayah?”

Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu mendengar pertanyaan Paksi itu.

“Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?”

“Aku ingin berbicara dengan ayah”

“Bukankah dapat kau lakukan besok pagi? Beristirahatlah. Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu. Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?”

Paksi tertawa. Katanya, “Aku selalu mencucinya, ibu. Aku sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku mencuci disungai, maka aku pun ikut berjemur sampai pakaian itu kering”

“Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benar-benar seperti seorang pengembara”

Paksi tertawa. Katanya, “Tongkat ini tongkat wasiat, ibu. Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan, itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana”

“Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?”

“Aku dapat membeli di pasar. Bukankah aku mempunyai uang?”

“Jadi uang bekalmu itu masih ada? atau kau sudah menjual perhiasan yang ibu berikan kepadamu?”

“Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak membelanjakannya selama dalam pengembaraan”

“Bagaimana kau makan sehari-hari?”

Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata, “Aku sempat berkebun di tanah yang subur, ibu”

“Tanah siapa?”

“Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah di pinggir sebuah hutan” ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia segera berkata, “menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini”

Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat wajah Paksi yang cerah, maka hatinya pun menjadi terang pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan ibu Paksi itu pun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang terjadi di perjalanannya.

Namun kemudian Paksi itu pun bertanya lagi, “Dimana ayah, ibu”

“Kau akan berbicara dengan ayahmu?”

“Ya”

“Penting sekali?”

“Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi kau berhasil?”

Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan ibunya. Dengan tergesa-gesa ia pun bertanya “Jadi kau berhasil, Paksi?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya melangkah mendekatinya. Paksi pun telah bersiap-siap untuk mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa perjalanannya berhasil.

“Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat aku lakukan. Ternyata Yang Maha Penyayang telah menuntun perjalananku sehingga aku berhasil”

“Cincin itu?”

“Ya, ayah”

“Kau dapatkan cincin itu?”

“Ya”

“Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud. Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya dan jenisnya”

Paksi pun kemudian telah mengambil cincin yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya.

“Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?”

Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras.

“Kakang Kakang Tumenggung” panggil Nyi Tumenggung. Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan suaminya, “kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini?”

Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itu pun duduk sambil berkata, “Ternyata kau adalah anak yang sangat baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari selama ini”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk mengambil cincin itu.

“Dimana kau dapat cincin ini?” bertanya ayahnya kemudian.

“Dikaki Gunung Merapi di sisi Selatan, ayah” Ayahnya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya “Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?”

Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya seperti itu kepadanya. Karena itu dengan  lancar ia pun menjawab, “Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang meyakinkan aku waktu itu, tetapi aku pun segera terjun kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku mendapatkan cincin ini”

“Paksi” berkata ayahnya, “aku tahu, bahwa banyak orang yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau bahkan berebutan dengan mereka?”

“Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu, ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang yang memburu cincin itu”

“Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu”

“Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata mereka, telah melarikan cincin itu dari istana”

“Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?”

“Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja” jawab Paksi, “di pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh. Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan Pangeran Benawa”

Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya “Apa yang kau lakukan? Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah yang telah membawa cincin itu”

“Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi perselisihan diantara mereka”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya “Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?”

Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, “Maksud ayah?”

“Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi” Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin itu kedalam biliknya.

Ibu Paksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya kepala anaknya sambil berkata, “Yang Maha Penyayang memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu dengan baik”

Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Ya, ibu. Aku memang tidak berkeputusan memohon”

“Permohonanmu ternyata didengarNya”

“Ya, ibu”

Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang.

“Ayah” panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus ke belakang lewat pintu butulan.

Paksi seakan-akan diluar sadarnva telah bangkit pula mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah.

Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat mendengar ayahnya berkata “Pergilah. Katakan, bahwa lampu itu telah menyala di Katumenggungan”

Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi. Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia harus pergi, sehingga tanpa disebut pun ia tidak bertanya.

Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksi pun telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah Paksi pun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggung pun masuk kembali kedalam biliknya.

Namun ibu Paksi itu pun kemudian berkata, “Apakah kau akan mandi dahulu sebelum makan?”

Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain.

“Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu mendapat perhatian khusus” berkata Paksi didalam hatinya.

Karena itu, maka Paksi itu pun berkata, “Aku tidak mandi sekarang”

“Jadi?”

Sambil tersenyum Paksi berdesis, “Besok saja ibu. Dalam pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi”

Ibunya pun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa.

Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain yang masuk kedalam bilik itu.

Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena ibunya menungguinya, maka Paksi pun berceritera panjang lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu.

Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani.

Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari. Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu.

“O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang itu, Paksi?”

“Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa ada keranda yang dapat terbang”

“O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih kepadamu”

“Aku memang menjadi pahlawan ibu”

Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik baginya.

Sementara itu, kedua adik Paksi pun telah terbangun pula. Mereka pun kemudian telah ikut duduk diruang dalam menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi. Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak ketika Paksi berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang itu.

Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira., Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benar-benar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi.

“Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?” bertanya adik perempuan Paksi.

“Tidak” ibunya yang menjawab.

“Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin itu lagi?”

“Ah, jangan berbicara tentang cincin itu” desis ibunya yang mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi bahan rebutan banyak pihak.

Adik laki-laki Paksi pun berdesis “Kami bukan kanak-kanak lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak orang lain?”

Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja. Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya.

Karena itu, maka Paksi pun berkata, “Tentu, kau tentu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus diberitahu tentang sesuatu yang rahasia”

“Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?”

Paksi tertawa pula. Katanya, “Setahun lebih aku mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang gadis”

“Ah”

Tetapi adik laki-laki Paksi pun menyahut, “Sekali-sekali sudah ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip”

Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan cepat bergeser. Katanya, “Jangan”

Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adik-adiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya, Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya.

Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya.

“Beristirahatlah, Paksi” berkata ibunya kemudian.

“Sebentar ibu” jawab Paksi, “baru saja aku selesai makan”

“Tetapi kau tentu letih”

“Sedikit” jawab Paksi, “tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang pengembaraanku”

Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya, “Apakah kalian tidak akan tidur lagi?”

“Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera” jawab adik perempuannya.

Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksi pun menyahut, “Aku juga masih belum ingin tidur ibu”

Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkuk-mangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum disingkirkan.

Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu, Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adik-adiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun yang dapat menimbulkan gelak dan tawa.

Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi.

“Tidurlah” berkata ibunya, “masih ada waktu beberapa lama sebelum pagi”

Adik perempuan Paksi itu pun kemudian bangkit sambil berkata, “Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?”

“Tidak” jawab Paksi.

“Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.”

“Gantian” besok akulah yang akan berceritera.

“Apa yang dapat kau ceriterakan?”

“Banyak. Kancil yang suka mencuri timun” Adik perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh.

“Sudahlah” berkata ibunya “tidurlah. Kakakmu tentu merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan kalian, maka ia masih bertahan”

Adik perempuan Paksi itu pun kemudian telah pergi ke biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itu pun berkala, “Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih”

Paksi tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur”

Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunya pun berkata, “Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di bilikmu tidak terdapat banyak debu”

Paksi itu mengangguk. Katanya, “Baik ibu. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu”

Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan kakinya, Paksi pun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau berganti.

“Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi”

Tetapi Paksi tertawa. Katanya, “Aku terbiasa memakai pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini kering”

“Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu berbeda. Terserahlah kepadamu” berkata ibunya kemudian, “tetapi beristirahatlah”

“Baik, ibu, “ jawab Paksi.

Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan langsung berlari ke belakang. Paksi pun tahu, bahwa yang datang itu adalah pembantunya yang tadi yang menjalankan perintah ayahnya membawa isyarat sandi.

Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulan, “Bagaimana?”

“Sudah Ki Tumenggung” jawab orang itu.

“Bagus” berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu butulan.

Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itu pun segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi yang masih duduk di ruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya.

Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tidak bertanya apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayahnya yang kembali masuk kedalam biliknya.

“Ternyata ayah juga belum tidur” berkata Paksi didalam hatinya. Paksi pun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan cincin yang baru saja dibawanya pulang.

Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya itu. Tetapi ibunya pun lelah bertanya lagi kepadanya, “beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?”

Paksi tersenyum. Katanya “Baik ibu. Aku akan beristirahat. Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing”

“Masih ada waktu meskipun hanya sedikit”

Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat pembaringannya.

“Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apa pun yang terjadi” berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu. Bahkan Paksi pun kemudian telah berdiri dipintu biliknya.

Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban, maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras.

Ibu Paksi pun telah berada di biliknya pula. Dengan nada cemas, ibunya itupur. berkata, “Kakang Tumenggung. Kakang dengar orang mengetuk pintu?”

“Ya” jawab Ki Tumenggung.

“Siapakah mereka itu?” bertanya istrinya.

Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya. Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya. Sambil mengenakan bajunya ia bertanya, “Siapa diluar?”

“Aku Ki Tumenggung” terdengar jawaban.

“Apakah kalian tidak dapat datang besok? Ini bukan waktunya untuk datang ke rumah seseorang”

Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka dengan sengaja membuat satu permainan.

Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara diluar pintu, “Ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung. Bukalah pintumu”

“Datanglah besok pagi”

“Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan membukanya sendiri”

Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih menyambar tombak pendek di plonconnya.

Sementara itu Paksi pun telah keluar dari biliknya pula. Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak pendek.

Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun terdengar suara diluar, “Ki Tumenggung. Bukalah pintunya. Yang datang adalah Pangeran Benawa”

Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorang pun yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam.

Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan ia pun telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan sesuatu.

“Ki Tumenggung” terdengar suara yang lain.

Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang. Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa.

“Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok yang akan merampok kekayaanmu”

Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masing-masing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu pringgitan.

“Kakang” desis Nyi Tumenggung.

“Masuklah kedalam bilik Nyi”

Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar. Paksi lah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya masuk kedalam biliknya, “Sebaiknya ibu berada didalam bilik saja”

Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Paksi membimbingnya dan bahkan sedikit mendorongnya, sehingga ibunya itu pun kemudian masuk kedalam biliknya.

Ki Tumenggung pun kemudian telah mengangkat selarak pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung itu pun melangkah mundur sambil mengangguk dalam-dalam.

“Pengeran Benawa” desis Ki Tumenggung.

“Bukankah namaku telah disebut”

“Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain”

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa tombak untuk menyambut kedatanganku”

“Hamba mohon ampun, Pangeran”

“Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak pendek itu”

“Hamba Pangeran”

Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya didalam plonconnya, maka Pangeran Benawa pun bertanya, “Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung”

“Hamba Pangeran” jawab Ki Tumenggung.

“Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak aneh. Kusut dan kumal”

Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempat memperhatikan pakaian Paksi.

Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang Pangeran. Meskipun di malam hari, tetapi Pangeran Benawa itu memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang pengawal.

Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka Pangeran Benawa pun kemudian berkata, “Sudahlah. Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara”

“Hamba Pangeran” sahut Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat.

“Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malam-malam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan, menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang”

Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya, “Apakah titah Pangeran?”

“Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku. Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa sebuah bintang akan jatuh dari langit” Pangeran Benawa itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya ada pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting. Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus mengambil cincin itu”

Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya

“Ki Tumenggung” berkata Pangeran Benawa, “menurut petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita itu, tetapi aku pun telah bersiap bersama beberapa pengawal. Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya tidak terbuka”

Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu menjawab, “Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa yang Pangeran maksudkan?”

“Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini. Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong, berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki Tumenggung menghadap”

“Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran”

“Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya kepada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang yang menyertainya sambil berkata, “Kiai, kemarilah”

Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu. sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya.

“Ampun, Pangeran” desis orang itu.

“Nah, katakan, dimana cincin itu berada” Orang itu mengangkat wajahnya. Kemudian dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang mendengarkan sesuatu.

“Cincin itu ada disini Pangeran”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, “Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini”

“Tetapi…, Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu tentang cincin yang Pangeran maksudkan”

“Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah berbohong”

“Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani berbohong”

Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian orang itu maju selangkah mendekatinya.

Paksi memang terkejut melihat kehadiran orang itu. Orang itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta kehadirannya di rumahnya itu memang membuat Paksi juga bertanya-tanya.

Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu.

Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang sambil membawa cincin bermata tiga itu.

“Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan Pangeran Benawa” berkata Paksi didalam hatinya.

Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran Benawa disebut Kiai Waskita itu pun mendekati Paksi sambil berkata, “Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an ketakutan?”

Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai Waskita melangkah semakin dekat

“Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu, Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki Tumenggung dengan cincin itu pula”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun suaranya masih tetap bernada rendah, “Ki Tumenggung. Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang harus datang kemari? Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?”

Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya, namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya.

Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Maafkan aku Ki Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang lain yang juga melihatnya, sehingga mereka pun akan datang kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki Tumenggung.

Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya bergejolak didalam dadanya.

Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya, “He, anak muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu ada padamu sehingga Ki Tumenggung tidak tahu menahu?”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksi pun menjawab, “Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu”

Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya “Kau tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana cincin itu”

Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi menjawab pula, “Aku tidak tahu”

“Kau membuat Pangeran Benawa marah” berkata Kiai Waskita.

Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum. Katanya “Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka”

Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya “Hamba tidak mengetahui Pangeran”

Pangeran Benawa tertawa. Ia pun melangkah mendekati Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya.

“Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?”

Paksi mengangguk.

“Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?” Paksi tidak segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh ibunya.

“Anak muda” berkata Pangeran Benawa, “kau masih mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu”

Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.

Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di hadapan Paksi pun mulai bersikap lebih keras. Katanya “Jangan menghambat tugasku anak muda. Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap ayahanda dan menyerahkan cincin itu”

“Pangeran” berkata Paksi kemudian, “hamba tidak tahu menahu yang Pangeran maksudkan”

“Sekali lagi aku bertanya” Pangeran Benawa itu mulai membentak, “dimana cincin itu, he. Aku dapat mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk memaksamu berbicara”

Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Katakan anak muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran Benawa”

Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab.

Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu berkata, “Bawa semuanya ke halaman”

“Pangeran” sahut Ki Tumenggung, “apa maksud Pangeran?”

Pangeran Benawa mengulangi perintahnya, “Bawa semuanya ke halaman”

Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itu pun segera bergerak. Mereka pun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, ia mendengar Ki Marta Brewok berbisik, “Kau harus tetap ingkar, Paksi”

Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian, mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya itu pun bertanya sambil bertolak pinggang, “Siapa namamu, anak muda”

“Nama hamba Paksi, Pangeran” jawab Paksi.

“Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang”

“Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu”

Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya menjadi semakin keras, “Katakan, Paksi. Selagi kau masih mempunyai kesempatan”

“Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan” Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya, “Berikan cambuk itu”

Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu.

“Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi”

“Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu”

Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut.

Ki Tumenggung pun benar-benar menjadi cemas. Bukan karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin itu telah diberikan kepadanya.

“Paksi” bentak Pangeran Benawa, “aku tidak terbiasa melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin itu.

Paksi sama sekali tidak menjawab.

Pangeran Benawa itu pun kemudian melangkah maju. Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata, “Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti. Katakan dimana cincin itu”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi itu pun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali, “Rapatkan kakimu”

Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi itu pun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang merapat.

“Kiai Waskita” berkala Pangeran Benawa, “menyingkirlah. Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku”

Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itu pun kemudian bergeser menjahui Paksi sambil berkata, “Jangan biarkan tubuhmu sakit, ngger”

Tetapi Paksi tetap berdiam diri.

Pangeran Benawa lah yang kemudian mendekati Paksi. Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali menyambar kaki Paksi.

Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknya itu dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu.

Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta meningkatkan daya tahan tubuhnya. Namun ternyata Paksi sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya melingkari kakinya saja tanpa melukainya.

Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun membentak lagi, “Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?”

Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara.

Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar di arah paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah diserahkan kepadanya itu.

Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga pcndapa, langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu Paksi itu pun berkata, “Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku. Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba Pangeran”

“Anakmu bersalah” berkata Pangeran Benawa.

“Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran”

“Minggirlah, Nyi Tumenggung”

“Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi jangan anakku”

Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya.

Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya. Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya.

Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa menyengat kakinya.

Ki Tumenggung lah yang kemudian menjadi tegang. Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan cambuk ditangannya.

“Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu”

“Pangeran” berkata Ki Tumenggung, “hamba adalah seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya”

“Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda. Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung. Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak”

“Pangeran” wajah Ki Tumenggung menjadi tegang, “hamba mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu”

Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya, “Aku sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita”

“Pangeran” potong Ki Tumenggung.

Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya, “Bawa Ki Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam”

Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata, “Jika anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi”

Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai Waskita lah yang mendekatinya sambil berkata, “Nyi. Untuk kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk mencari cincin itu”

Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga Kiai Waskita berkata, “Aku akan menanggung keselamatan anakmu”

Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan Kiai Waskita berkata, “Percayalah kepadaku”

Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para pengawal Pangeran Benawa naik ke pendapa kemudian memasuki pringgitan.

Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis di telinga Paksi “Dimana cincin itu disimpan?”

“Dibawa masuk kedalam bilik ayah” bisik Paksi.

Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri didepan pintu.

Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Waskita, “Kiai, barangkali kita tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin itu ada di rumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri”

Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan mencoba, Pangeran”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar