NSSI-13


kembali | lanjut >>

I.

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukan kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati Mahesa Jenar atas beban yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak seorang pun dari Istana yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama sekali tidak peduli. Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau perhatian orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa kalangan Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi mengharapkan hadiah dan penghormatan.

Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab, “Aku tahu pasti bahwa kau adalah seorang pejuang yang sepi ing pamrih. Karena itu tidak saja Wilis yang berjanji akan membantumu. Aku dan Sarayuda pasti akan ikut serta dalam perjuanganmu. Di sepanjang jalan pulang aku akan berusaha seperti apa yang kau usahakan.”

“Terimakasih Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.

“Nah, seterusnya terserah kepadamu. Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi bersamaku ataukah ia akan bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng Pandan Alas.

“Kalau Ki Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar, “Biarlah ia dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya sambil tersenyum, “Kalau yang minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang menginjak dewasa, serta bermata liar seperti mata burung hantu, aku pasti tak mengijinkan, cucuku seorang gadis untuk tinggal di sini. Tetapi kepadamu aku harus mempunyai keputusan lain. Sebab kau bukan anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng Pandan Alas kemudian meneruskan, “Meskipun demikian aku titip kepadamu, jaga anak itu baik-baik.”

Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Akan aku jaga anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang bahkan lebih dari diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan berbeda atas kedua anak itu.”

Ki Pandan Alas tersenyum cerah. Sebagai seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki Ageng Pandan Alas.

“Mahesa Jenar….”, lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan batin. Sebagaimana kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu. Dan aku adalah satu-satunya orang yang berkepentingan atas dirinya, sebelum kau.” Ia berhenti sejenak. Lalu sambungnya, “Aku akan lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat seorang cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”

Sekali lagi wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia menjawab, “Mudah-mudahan demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”

Setelah Ki Ageng Pandan Alas memberikan berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa perpisahan. Ki Ageng dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari penyakitnya, pergi meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke Gunung Kidul.

Sepeninggal mereka, padepokan di atas bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti sediakala. Mahesa Jenar dan Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana padepokan itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi terampil dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis, meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam saat-saat tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu kanuragan. Dalam waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih keras di bawah asuhan gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dalam sejarah perkembangan ilmunya ia pernah mengalami sisipan seorang guru lain, sebab Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada yang diduga semula. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya menemukan inti dari segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya.

Demikian pula agaknya Rara Wilis. Ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan membebaskan dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh. Kalau saja waktu itu dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia akan menyangkanya orang lain. Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin kalau orang itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat perkembangan ilmunya yang luar biasa.

Tetapi yang sama sekali tak mereka duga adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama Widuri. Gadis yang nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau mencubit sakitnya bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet.

Hal ini ternyata pada suatu malam yang cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang melatih diri di bawah pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama anak gadisnya. Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata, “Arya, aku bawa kawan baik bagimu, daripada kau berlatih seorang diri atau terus-menerus dengan gurumu.  Dengan demikian kau akan dapat melakukan berbagai macam percobaan dan penemuan-penemuan dari macam-macam pengalaman yang kau miliki, dengan kesegaran baru. Bukankah begitu, Mahesa Jenar…?”

Mahesa Jenar mengangguk kaku. Ia sama sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang cukup untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak bertanya apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat mengukurnya. Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi sibuk menduga-duga pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia sudah menjadi keheranan. Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian jauhnya.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.

“Widuri…” kata Kebo Kanigara lebih lanjut, “Kau harus merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat lawan berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau akan mendapat banyak pelajaran yang berguna.”

Mula-mula Widuri menjadi agak malu. Ia tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang biasa dilakukan adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di dalam goa. Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang. Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan untuk menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran darah Handayaningrat. Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi, tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan kesaktiannya, kecuali seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya seorang gadis, namun dilatihnya sejak kecil, agar kemudian mewarisi ilmunya.

Demikianlah pada saat itu. Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endhang kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang tinggi.

Setelah Widuri mempersiapkan dirinya, maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu saja mula-mula Arya Salaka menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah berjalan beberapa saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu kuat namun Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang selalu diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian. Kali ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian Widuri telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Kalau Arya Salaka mula-mula hanya berusaha untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja keras untuk sekali-sekali melakukan tekanan-tekanan pada kawan berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan itu menjadi semakin sengit, diluar dugaan.

Kalau saja Endang Widuri seorang laki-laki yang memiliki kekuatan secara kodrati lebih besar daripada seorang gadis, maka Widuri pada umurnya yang baru kira-kira 15 tahun itu pasti sudah semakin memiliki keperkasaan yang mengejutkan. Bahkan mungkin dalam saat yang tidak lama akan dapat menyamai Arya Salaka.

Demikianlah pada saat itu telah disaksikan suatu latihan yang mengherankan dari dua macam ilmu yang berasal dari satu keturunan. Meskipun dalam perkembangannya agak berbeda namun jelas bahwa unsur-unsur pokoknya tetap dalam garis yang sama. Gerak-gerak Arya dipengaruhi oleh gerak berbagai jenis binatang, sedangkan gerak Widuri dilandaskan pada kecepatan dan kelenturan sesuai sifat-sifat alami seorang gadis.

Akhirnya tampak bahwa Endang Widuri masih belum dapat menyejajari Arya Salaka, namun hal itu dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Meskipun andaikata keduanya benar-benar bertempur, Arya Salaka pun akan dapat dengan mudah mengalahkan gadis kecil itu.

Demikianlah Endang Widuri telah menimbulkan keheranan diantara para penontonnya. Bahkan ayahnya pun lega menarik nafas panjang, karena jerih payahnya selama itu ternyata cukup memberinya kepuasan. Yang paling tertarik dari semuanya adalah Rara Wilis, yang merasa bahwa pada umur-umurnya sebesar Widuri itu ia baru dapat dengan manjanya menarik-narik ujung baju ibunya. Merengek dan berbagai polah yang kekanak-kanakan. Karena itu Wilis menjadi terharu melihat gadis kecil itu, yang sejak bayi ternyata sudah tidak beribu lagi. Kemudian atas asuhan ayahnya telah dapat menunjukkan suatu yang membanggakan, meskipun karena pengaruh keadaan, dimana ia bergaul dengan rapatnya hanya dengan seorang laki-laki maka seolah-olah tingkah Widuri pun dalam beberapa hal terpengaruh oleh kelakuan laki-laki.

Tetapi agaknya latihan yang memikat hati itu, tiba-tiba terhenti ketika mereka melihat seorang cantrik yang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Bahkan Kanigara menjadi agak terkejut, ketika cantrik itu dengan terputus-putus berkata diantara peredaran nafasnya yang semakin cepat. “Tuan… ada seseorang mencari…”

Kanigara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, “Siapakah yang dicari…?”

“Tuan Mahesa Jenar,” jawab cantrik itu.

“Aku…?” sela Mahesa Jenar.

“Ya… sejak tadi aku berkeliling bukit ini mencari Tuan,” sambung cantrik itu.

“Siapa…?” tanya Mahesa Jenar pula.

“Aku tidak tahu. Orang itu tidak menyebut namanya. Tetapi aku kenal dan pernah melihat pengantarnya,” jawab cantrik itu pula.

“Siapakah pengantarnya?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.

“Mereka telah agak lama menunggu Tuan.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, kemudian desaknya lagi, “Ya, tetapi siapakah dia…? Katamu kau kenal kepadanya.”

“Ya, aku kenal, Tuan. Yang seorang adalah Ki Wiradapa, Lurah Gedangan, dan seorang pengawalnya.”

“Wiradapa dari Gedangan…?” ulang Mahesa Jenar terkejut.

Cantrik itu menganggukkan kepala.

Maka tanpa disadari, Mahesa Jenar memandang Kebo Kanigara yang agaknya tertarik juga dengan pembicaraan itu, untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya Kebo Kanigara tidak dapat menebak sesuatu. Maka katanya, “Marilah kita temui mereka.”

“Di manakah Panembahan…?” tanya Kanigara kepada cantrik itu.

“Tamu itu tak mencari Panembahan, Tuan,” jawabnya.

“Ya, tetapi aku ingin tahu di mana Panembahan sekarang?” ulang Kanigara.

Beliau ada di Sanggar,” jawab cantrik itu.

Kanigara mengangguk-angguk, lalu katanya kepada cantrik itu, “Nah, dahululah. Katakan kepada tamu-tamu itu bahwa sebentar lagi kami akan datang.”

Cantrik itu membungkuk hormat, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul pula oleh Kebo Kanigara, Mahesa Jenar serta yang lain.

Di salah satu rumah Padepokan itulah Wiradapa menunggu.

Maka ketika dilihatnya kemudian Mahesa Jenar beserta beberapa orang mendatanginya, cepat-cepat ia bangkit dan dengan hormatnya menyambut kedatangan mereka. Sedangkan Mahesa Jenar pun segera membungkuk hormat kepadanya. Tetapi ketika ia melihat seorang lagi, yang mungkin orang itulah yang diantarkan oleh Wiradapa, dada Mahesa Jenar menjadi bergetar. Orang itu adalah seorang yang telah lanjut usia. Rambutnya telah memutih, namun wajahnya masih memancarkan kebesaran tekad serta keteguhan hati. Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, untuk beberapa lama ia berdiri mengawasinya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Bukankah Anakmas Mahesa Jenar…?”

Mahesa Jenar dengan agak gugup membungkuk sambil menyahut, “Ya, Paman… akulah Mahesa Jenar.”

“Syukurlah… syukur bahwa aku benar-benar dapat bertemu dengan Anakmas setelah aku menempuh perjalanan yang sulit. Di manakah cucu Arya Salaka…?” orang tua itu meneruskan.

“Inilah… Paman.”  Jawab Mahesa Jenar sambil menarik Arya Salaka, Katanya seterusnya kepada anak itu, “Lupakah kau dengan eyangmu…?”

Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi matanya memancarkan sinar yang ganjil. Ia merasa seolah-olah berada dalam mimpi yang sama sekali tak diduganya.

“Inikah dia…” tanya orang itu tak percaya.

“Ya,” jawab Mahesa Jenar. “Inilah anak itu.”

Tiba-tiba orang itu maju selangkah lagi. Diraihnya anak yang sudah hampir melampaui dirinya, dan dipeluknya seperti anak-anak. Dari mata orang tua itu membayanglah suatu perasaan haru yang sangat, yang bahkan kemudian menjadi basah oleh titik-titik air mata.

“Akhirnya doaku serta doa seluruh penduduk Banyubiru dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Adil,” gumam orang itu dengan suara yang sesak parau. “Sehingga aku masih berkesempatan bertemu dengan Cucu Arya Salaka sebelum umurku ini berakhir.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya, seolah-olah ia pun sedang berusaha untuk menyembunyikan perasaan haru yang dalam. Bahkan terasalah seakan-akan sesuatu menyumbat tenggorokannya.

Sejenak kemudian orang tua itu menggoyang-goyangkan tubuh Arya Salaka, seolah-olah ingin melihat keperkasaaannya. Katanya kemudian, “Kau berkembang dengan suburnya. Tubuhmu menjadi demikian gagahnya, melampaui ayahmu.”

Arya Salaka masih belum dapat menjawab. Ia menjadi bingung karena pertemuan yang tiba-tiba itu.

Kemudian Mahesa Jenar yang mewakili menjawabnya, “Karena pangestu Paman, Arya Salaka dapat tumbuh seperti yang aku harapkan. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan ayahnya.”

Setelah itu maka dipersilakanlah tamu-tamu itu untuk duduk kembali. Diperkenalkanlah Kebo Kanigara dengan orang tua itu. Orang pertama di Banyubiru sesudah Ki Ageng Gajah Sora. Dia adalah Wanamerta. Juga diperkenalkan lurah desa Gedangan, Wiradapa.

“Dari siapakah Paman dapat mengetahui bahwa aku berada di bukit ini?” tanya Mahesa Jenar.

“Dari Adi Wiradapa,” jawab Wanamerta. Dan seterusnya berceritalah Wanamerta, bagaimana ia dapat mengikuti jejak Mahesa Jenar dan Arya Salaka, katanya, “Anakmas, aku berusaha secepatnya pergi ke Gedangan, suatu daerah yang belum pernah aku datangi. Sebab dari seseorang kepercayaanku, aku mendengar bahwa Anakmas beserta Arya Salaka pernah dijumpai oleh Cucunda Sawung Sariti di pedukuhan itu. Menurut orang itu, Cucu Arya Salaka bahkan terlibat dalam suatu pertempuran yang katanya dibantu oleh seorang yang tak dikenalnya, dan mengaku ayahnya. Aku menjadi pasti bahwa orang yang dimaksud adalah Anakmas Mahesa Jenar. Sebab sejak Cucunda Arya Salaka hilang dari Banyubiru, aku selalu mengharap agar Cucunda Arya Salaka meninggalkan Banyubiru bersama-sama dengan Mahesa Jenar, meskipun ada yang menduga bahwa Anakmas menjumpai kesulitan dengan diketemukannya Kuda Anakmas tanpa penumpang.” Orang tua itu berhenti sejenak sambil membetulkan letak duduknya, lalu setelah menelan ludah ia meneruskan, “Beberapa saat setelah Sawung Sariti pulang, agaknya Pamingit mengadakan persiapan-persiapan baru dengan tidak mengikutsertakan Laskar Banyubiru. Akhirnya yang aku dengar ialah, Sawung Sariti akan mengerahkan pasukan yang lebih kuat lagi untuk mencari Anakmas Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka ke desa Gedangan. Karena itu aku tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha untuk mendahuluinya, memberitahukan hal itu kepada Anakmas. Tetapi sampai di Gedangan, atas ancar-ancar orang tadi, Anakmas sudah meninggalkan desa itu, pergi ke Padepokan Karang Tumaritis. Dan atas kebaikan hati Adi Wiradapa, ia berkenan mengantarkan aku kemari, sebab katanya Adi Wiradapa telah lama tidak bertemu dengan Anakmas Mahesa Jenar. Meskipun mula-mula kami agak cemas, jangan-jangan Anakmas Mahesa Jenar telah meninggalkan padepokan ini.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apa yang sebenarnya dicemaskan sejak lama, kini ternyata benar-benar akan terjadi. Karena itu ia menjadi berpikir keras, bagaimanakah sebaiknya cara yang akan ditempuh untuk menyelamatkan desa Gedangan yang pasti akan menjadi ajang pertempuran. Dan karena itu pula agaknya Wiradapa sengaja mengantarkan Wanamerta.

Dalam pada itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan ceritanya, “Yang lebih mencemaskan lagi, Anakmas… agaknya Sawung Sariti telah bersepakat dengan Janda Sima Rodra, yang menurut pendengaranku, suaminya terbunuh pula oleh Anakmas.”

Bagaimanapun dada Mahesa Jenar berdesir. Ini berarti akan datang kekuatan besar. Ia yakin bahwa dalam pasukan itu akan ikut serta Sima Rodra tua, bahkan mungkin Bugel Kaliki.

Tetapi agaknya Arya Salaka berpikir lain. Sebab tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Kemudian sahutnya, “Eyang Wanamerta… aku akan sangat bergembira apabila Adi Sawung Sariti sudi sekali lagi menemui aku. Sebab setelah sekian lama aku tidak bertemu, dan sesudah pertemuan kami yang hanya sekejap, aku menjadi rindu kepadanya.”

“Ah, kau…” potong Wanamerta. “Aku memang mendengar bahwa atas asuhan Anakmas Mahesa Jenar, kau pada waktu itu dapat mengimbangi Sawung Sariti. tetapi karena itulah maka Sawung Sariti telah bekerja mati-matian mesu dhiri. Kakang Sora Dipayana agaknya percaya pada dongengan yang dibuatnya bersama ayahnya, Lembu Sora, sehingga dalam waktu yang pendek itu ia telah menggembleng Sawung Sariti bukan main. Bahkan ayah-beranak itu kini memiliki warisan kesaktian yang menakutkan dari Perguruan Banyubiru, yaitu Lebur Sakethi, meskipun dalam tingkatan yang belum sempurna.”

Sekali lagi dada Mahesa Jenar berdesir. Lebur Sekethi adalah kesaktian yang luar biasa dahsyatnya. Aji itu dapat disejajarkan dengan aji Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas, Sasra Birawa dari Perguruan Pengging. Karena itu Ki Ageng Lembu Sora yang memiliki kekuatan melampaui manusia biasa dengan pedangnya yang tidak berukuran lumrah pasti akan menjadi seorang yang luar biasa pula. Juga anaknya yang cerdik itu, pasti akan menjadi anak yang sangat berbahaya. Mahesa Jenar kemudian menjadi menyesal pada keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat terseret dalam keadaan yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian diingatnya bahwa orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora adalah anak kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu Sora dapat memanfaatkannya dengan baik.

“Agaknya…” lanjut Wanamerta, “Kakang Sora Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas Gajah Sora telah tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura mengutus seseorang ke Demak untuk mendapat berita kematiannya. Sebab dalam perjalanan ke Demak, pada saat Anakmas Gajah Sora ditangkap, Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan secara tiba-tiba.”

“Suatu cerita atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar, “Sebab aku menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang menyerang pasukan Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”

Mendengar bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya, “Kami, Laskar Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang dikatakan itu benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar Banyubiru, atau setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”

“Tidakkah Paman Wanamerta mengatakan hal itu kepada Paman Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku sudah mencobanya,” jawab Wanamerta. “Tetapi agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru. Beberapa orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah dibinasakan. Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”

“Paman Pandan Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.

Wanamerta mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi semakin berkerut-kerut. “Ya, Pandan Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantaran dan Panjawi,” tegasnya.

“Juga kedua paman itu…?” kembali Arya berteriak.

“Untunglah bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus meninggalkan Banyubiru,” Wanamerta meneruskan.

Mendengar kata-kata terakhir itu, tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh gelora yang terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai tubuhnya seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar, “Tidakkah seorang pun dapat mencegah perbuatan itu…? Eyang Wanamerta, aku tidak akan menunggu sampai mereka datang mencari aku. Aku yang akan datang ke Banyubiru. Aku yakin bahwa sebagian besar dari penduduk Banyubiru masih setia kepada ayah Gajah Sora. Aku akan datang atas nama pimpinan tanah Perdikan Banyubiru yang sebenarnya.”

Semua yang menyaksikan tingkah laku Arya Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya dalam dada anak itu benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan penuh rasa tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang melonjak-lonjak. Lebih – lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang oleh perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak mengaca. Tetapi ia adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan. Juga dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru yang sebenarnya. Karena itu dengan sabarnya Wanamerta mencoba menenangkan hati Arya Salaka. “Duduklah cucuku Arya Salaka. Kau benar-benar seperti ayahmu pada saat-saat seumur kau ini. Tetapi dalam segala tindakan haruslah dipikirkan sampai titik-titik yang sekecil-kecilnya, untung dan ruginya.”

Arya kemudian menjadi tersadar dari gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia kemudian menjadi agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi seorang perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.

Kemudian bahkan keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang berdesir di dedaunan. Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh.

Sesaat kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali, “Anakmas Mahesa Jenar… terserahlah atas segala pertimbangan Anakmas. Apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

Mahesa Jenar sekali lagi mengerutkan keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru beberapa tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun sekarang tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab. Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta kepadanya. Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu segala kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu kepada Gajah Sora. Tentang  Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga pastilah ada sebab-sebab lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.

Sementara itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Kelakuan Anakmas Lembu Sora tidak berhenti sampai sekian. Yang terakhir adalah usahanya untuk menyingkirkan aku pula. Tetapi agaknya ia menemui kesulitan sehingga rencana itu tertunda-tunda. Sedang aku sendiri sempat pula berusaha untuk menjaga diriku. Sampai kemudian aku mendengar khabar akan usahanya untuk mencari kembali Anakmas Mahesa Jenar dan cucuku Arya Salaka. Demikianlah, Anakmas, keadaan Banyubiru. Sedemikian rumitnya sehingga aku tidak sabar menunggu sampai besok.”

Mahesa Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab seperti orang bergumam kepada diri sendiri, “Tetapi agaknya mereka tidak akan ke Gedangan. Sebab Sima Rodra itu tahu pasti bahwa aku dan Arya Salaka telah meninggalkan pedukuhan itu. Bahkan merekapun telah pernah mengepung bukit kecil ini.”

“Tetapi mereka tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta. “Aku telah mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih menduga bahwa Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan Karang Tumaritis.”

Masalahnya ternyata akan menjadi luas. Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan yang damai ini. Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah tersentuh tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh kedatangan gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya akan mengalami keributan sekali lagi.

Apalagi ketika kemudian terdengar Wiradapa berkata, “Adimas Mahesa Jenar, agaknya aku tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan hidup mati rakyatku kepada Adimas. Sebab aku tahu apa yang akan terjadi seandainya kami, orang-orang Gedangan sendiri yang harus mempertahankan diri atas dendam Sawung Sariti yang menemui kegagalan di desa kami, dan sekaligus dendam yang tersimpan di dada Janda Sima Rodra atas kematian suaminya.”

Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara untuk mengatasi keadaan.

Tiba-tiba bertanyalah ia kepada Wanamerta, “Paman…, di manakah Bantaran dan Panjawi sekarang?”

“Aku sudah mencoba untuk menghubungi,” jawabnya. Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik pada keterangan itu, katanya, “Adakah Paman berhasil…?”

Wanamerta menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Sayang…, tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua orang itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun masih terlalu lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang belum kami kenal, yang datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia menggabungkan dirinya karena ia sudah mengenal beberapa hal mengenai keadaan Banyubiru.”

“Siapa orang itu…?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku belum tahu pasti,” jawab Wanamerta. “Menurut pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”

“Mantingan dan Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.

Wanamerta mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar nama-nama itu. Karena itu ia bertanya, “Adakah Anakmas pernah mengenal mereka?”

Mahesa Jenar mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya, aku pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah Banyubiru. Ia tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan kepadanya.”

“Syukurlah,” gumam Wanamerta, “Ada juga kawan-kawan yang akan membantu kami.”

Kembali suasana dicekam oleh kesepian. Masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Kebo Kanigara yang sejak tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun akhirnya akan langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba. Panembahan Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah ia akan tinggal diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin merusakkan kedamaian bukit ini.

Sedang Mahesa Jenar ternyata kemudian tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab dalam anggapannya, sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya kemudian itu, dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah umur gurunya.

Karena itu maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata, “Bagaimana sebaiknya Kakang Kanigara…?”

“Kapankah kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung kepada Wanamerta.

“Segera Anakmas,” jawab Wanamerta, “Pada saat aku berangkat, semua persiapan sudah selesai.”

Kanigara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Mereka datang dengan pasukan, Mahesa Jenar. Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri, atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”

“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “Aku juga harus melawannya dengan pasukan.”

Tiba-tiba menyelalah Lurah Gedangan, “Adimas Mahesa Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila mereka berada dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan terlalu mengecewakan. Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya untuk mempertahankan kampung halamannya.”

Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sependapat bahwa kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat dihindari lagi.

Tetapi diantara mereka tampaklah Arya Salaka menundukkan kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan sesal yang dalam. Ia menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia menyesal pada keadaan keluarganya. Satu-satunya pamannya yang seharusnya memberi pengayoman kepadanya, justru telah mengkhianatinya.

Dalam pada itu malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan lelahnya. Embun malam satu-satu mulai menggantung di dedaunan.

Sesaat kemudian dipersilahkanlah tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan mereka masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan Pamingit yang bakal datang.

“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau lebih berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan agar apa yang akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di atas bukit kecil ini.” 

Mahesa Jenar nampak berpikir keras. Akhirnya ia menjawab, “Kakang…, aku kira pasukan itu akan benar-benar merupakan pasukan yang kuat. Karena itu, menurut perhitunganku, sebaiknya kami tidak menunggu pasukan itu sampai datang di daerah bukit ini atau pedukuhan Gedangan. Tetapi sebaiknya kami harus menyongsong pasukan itu. Kami sergap mereka di perjalanan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menduga bahwa hal itu akan terjadi.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya rencana itu baik. Karena itu jawabnya, “Bagus…. Aku sependapat dengan kau. Daerah yang berbukit-bukit ini akan banyak memberikan keuntungan pada kita.”

Demikianlah akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka tidak akan menanti pasukan Pamingit itu sampai ke daerah ini, tetapi mereka akan mempergunakan laskar dari Gedangan untuk menyongsongnya.

Malam itu hampir tak ada seorang pun yang dapat tidur. Apalagi Arya Salaka. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai masalah yang menghentak-hentak. Namun ia bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa meskipun pamannya sendiri sampai hati untuk membinasakan, tetapi diletakkan-Nya orang lain, yang sebenarnya tidak ada sangkut paut apapun, untuk melindunginya.

Pagi itu, ketika di timur fajar merekah, Kanigara telah menghadap Panembahan Ismaya. Diuraikan semuanya yang didengar dari Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar tentang kemungkinan kemungkinan yang bakal terjadi. Tampaklah betapa pedih hati orang tua itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak mau melihat atau mendengar tentang pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.

“Panembahan…” Kanigara mencoba menjelaskan, “Apa yang akan kami lakukan adalah suatu usaha untuk menghindarkan pertumpahan darah yang dapat mengganggu ketenteraman bukit kecil ini. Karena itu dengan terpaksa kami harus menyambut kedatangan mereka sejauh mungkin dari tempat ini. Sebab kalau tidak, akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Jauh lebih tidak menyenangkan dari kedatangan rombongan yang kemarin mengepung bukit ini.”

Panembahan Ismaya tidak dapat mengatasi keterangan Kanigara lagi. Karena itu katanya, “Terserahlah kepadamu Kanigara. Tetapi janganlah menjadi kebiasaan, bahwa sesuatu masalah, harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.”

Kanigara menundukkan kepala. Perkataan Panembahan Ismaya itu merupakan suatu peringatan langsung kepadanya, bahwa bagaimanapun juga, Panembahan itu lebih senang apabila setiap persoalan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Tetapi keadaan kali ini adalah sedemikian sukarnya untuk diatasi dengan jalan itu. Masalahnya adalah pertentangan kepentingan yang sama sekali berlawanan. Satu pihak ingin menelan suatu daerah yang sama sekali bukan haknya, sedang satu pihak yang lain ingin mempertahankan haknya atas daerah itu. Apapun alasannya kemudian, tetapi hakekatnya adalah perkembangan dari masalah itu juga.

Demikianlah, maka mereka yang merasa berkepentingan segera mempersiapkan dirinya. Baik jasmaniah maupun rohaniah. Mereka masing-masing telah membulatkan tekad, untuk melawan kekuatan yang merupakan pengejawantahan dari keserakahan itu dengan mati-matian.

  ———-oOo———-

 II

Pagi hari itu juga, Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar, dibawa menghadap Panembahan Ismaya. Kecuali untuk memperkenalkan diri, sekaligus mereka mohon pangestu untuk menjalani kewajiban luhurnya. Setelah mendapat beberapa petunjuk dan nasehat, segera mereka meninggalkan bukit kecil itu, menuju ke Gedangan. Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka tidak ketinggalan. Bahkan Widuri pun tidak mau berpisah dengan ayahnya. Karena itu, iapun ikut serta dalam rombongan kecil itu.

Ketika mereka sampai di padukuhan Gedangan, segera terjadilah kesibukan. Mahesa Jenar mulai mengatur segala persiapan yang diperlukan. Laskar Gedangan dibaginya dalam beberapa kelompok. Dalam waktu yang singkat ia harus sudah dapat membentuk laskar itu menjadi laskar yang siap untuk bertempur melawan laskar yang mempunyai pengalaman luas dalam peperangan.

Yang dapat membantunya dalam pembentukan dan persiapan itu hanyalah Kanigara dan Wanamerta. Sebab meskipun Wilis dan Arya mempunyai ilmu yang cukup, namun mereka belum berpengalaman dalam gelar perang. Mereka hanya memiliki kemampuan dalam hal berkelahi seorang lawan seorang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar dapat memanfaatkan pula Arya Salaka. Dilatihnya anak itu untuk menjadi salah seorang pimpinan kelompok. Sedang kelompok-kelompok yang lain diserahkannya kepada Wanamerta, Kanigara dan dirinya sendiri.

Pada hari kelima, sejak mereka mulai mengadakan persiapan-persiapan, datanglah seseorang berkuda ke pedukuhan itu. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang ditugaskan oleh Wanamerta untuk mengamati gerak-gerik pasukan Pamingit. Menurut laporannya, pasukan Pamingit telah mulai bergerak. Mereka mengambil jalan selatan, lewat Gunung Tidar dan kemudian menyusur hutan-hutan yang tak begitu lebat diantara gunung Sumbing dan Sindara, untuk kemudian sampai ke Wanasaba. Dari sana mereka menyusun panjatan langsung dan menyebarkan orang-orangnya mencari Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

Mendengar laporan itu Mahesa Jenar berpikir keras. Mereka harus mengusahakan agar pasukan dari Pamingit yang bergabung dengan gerombolan Gunung Tidar itu datang bersama-sama, supaya rencana penyergapan dapat berlangsung.

Demikianlah sambil mencari jalan sebaik-baiknya untuk menjebak pasukan dari Pamingit itu, mereka dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri. Siang dan malam tak henti-hentinya.

Disamping itu, setiap orang berusaha untuk meningkatkan kemampuan perseorangan pula. Tidak saja laskar Gedangan, tetapi juga Arya Salaka, Rara Wilis, bahkan Mahesa Jenar sendiri. Mereka dalam waktu-waktu yang luang, betapapun sempitnya, selalu dipergunakan sebaik-baiknya.

Pada hari yang keduabelas, sekali lagi datang seorang berkuda. Orang itu juga salah seorang petugas Wanamerta. Ia datang dengan membawa laporan bahwa orang-orang Pamingit bersama-sama rombongan dari Gunung Tidar telah berada di sekitar Wanasaba. Bahkan mereka sudah bergeser lagi sedikit ke utara. Dari sana mereka berusaha untuk menyebar orang-orangnya di seluruh daerah pegunungan ini sampai ke daerah-daerah di sekitarnya. Sebab menurut mereka, usaha ini harus merupakan usaha yang terakhir. Arya Salaka haus dapat ditangkap hidup atau mati.

“Siapa yang ikut dalam rombongan itu?” tanya Mahesa Jenar.

“Sawung Sariti, Janda Sima Rodra, Jaka Soka…” jelas orang itu.

“Juga Jaka Soka?” tanya Mahesa Jenar kembali.

“Ya, agaknya iapun merasa mempunyai kepentingan,” jawab orang itu.

Mendengar keterangan itu, meremanglah bulu-bulu kuduk Rara Wilis. Sekarang sebenarnya ia sudah tidak perlu takut lagi apabila ia harus berhadapan dengan orang itu sebagai lawan, meskipun ia masih kalah pengalaman. Namun setidak-tidaknya ia akan dapat menjaga dirinya. Meskipun demikian, apabila ia mendengar nama itu, tubuhnya terasa juga meremang. Sebab ia sudah terlanjur ngeri mendengar nama itu.

“Orang lain lagi…?” desak Mahesa Jenar.

“Yang mengerikan diantaranya mereka terdapat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki,” jawabnya.

“Sudah kami duga sebelumnya,” sahut Mahesa Jenar.

Oleh keterangan-keterangan itu, maka Mahesa Jenar harus menyesuaikan rencanya. Tetapi belum lagi ia dapat menemukan pemecahan yang baik, tiba-tiba pada hari kelimabelas datanglah seroang dengan keterangan yang mengejutkan. Katanya, “Sebuah rombongan kecil telah menyusur lambung Gunung Perahu, menuju ke daerah ini juga. Mereka dipimpin langsung oleh Sepasang Uling dari Rawa Pening.

Wanamerta mengerutkan keningnya. Dari wajahnya yang tua itu, memancarlah api kemarahan tiada terhingga. “Sungguh merupakan usaha gila-gilaan. Uling itu akan bersyukur juga kalau Banyubiru jatuh ke tangan Lembu Sora. Sebab dengan demikian ia akan semakin leluasa bergerak di daerah Rawa Pening,” katanya geram.

“Bukan itu saja Paman…” potong Mahesa Jenar, “Tetapi sebentar lagi daerah-daerah itu akan ditelannya. Pamingit oleh Sima Rodra, dan Banyubiru oleh sepasang Uling itu.”

Kembali terdengar gigi orang tua itu menggeretak. Lembu Sora baginya tidak kurang dan tidak lebih dari seorang yang sama sekali mengabdi kepada kepentingan sendiri, yang bahkan tega mengorbankan saudara tuanya.

Tetapi mereka tidak cukup dengan mengumpat-umpat saja. Untuk mengatasi bahaya yang akan datang, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya harus bersiaga. Mereka menempatkan beberapa orang untuk dapat mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan.

Ketika Mahesa Jenar telah merasa bersiap, maka ia tidak perlu lagi menunggu lebih lama. Bahkan kalau mungkin ia melawan rombongan itu satu demi satu. Sebab apabila kekuatan kedua rombongan itu bergabung, akan merupakan kekuatan yang mungkin sulit untuk diimbangi. Namun meskipun demikian, pantang ia menyingkirkan diri. Sebab dengan demikian ia akan membebankan segala dendam kepada penduduk Gedangan.

Maka yang mula-mula dilakukan adalah memancing pertempuran dengan rombongan Sawung Sariti secepatnya. Tetapi cara yang mula-mula dipikirkan, untuk mencegat rombongan itu, terpaksa dipertimbangkan kembali. Sebab setiap saat rombongan Uling dapat datang dari jurusan lain.

Demikianlah ketika pada suatu hari beberapa orang pengawas dapat menangkap seorang yang dicurigai, Mahesa Jenar berhasrat untuk melakukan maksudnya.

Setelah Mahesa Jenar mempersiapkan pasukannya dalam kesiagaan penuh, dipanggilnya orang tangkapan itu menghadap. Maka bertanyalah ia kepadanya, “Siapakah kau?”

“Aku seorang perantau, Tuan…, yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambung hidup,” jawabnya.

Mahesa Jenar tersenyum, lalu katanya, “Dari manakah asalmu?”

Orang itu ragu sebentar, kemudian jawabnya, “Banyubiru, Tuan.”

“Bagus…” desis Mahesa Jenar. “Katakan kepadaku siapakah kepala daerah perdikanmu?” Kembali orang itu ragu. Namun akhirnya ia menjawab pula, “Ki Ageng Lembu Sora.”

“Bagus, kau berkata sebenarnya,” sahut Mahesa Jenar. “Di mana sekarang Lembu Sora itu?”

“Di Banyubiru, Tuan” jawabnya.

“Di mana anaknya?” desak Mahesa Jenar.

Orang itu diam merenung. Tampaklah wajahnya mulai gelisah.

“Di mana?” bentak Mahesa Jenar.

“Di Pamingit, Tuan” jawabnya.

“Kau mulai tidak berkata sebenarya,” sahut Mahesa Jenar. “Aku akan mencoba memaksamu supaya kau tidak berkata demikian.”

Orang itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Mahesa Jenar minta seseorang memanggil Wanamerta. Demikian Wanamerta muncul, mengalirlah keringat dingin di punggung orang itu. Sebagai seorang laskar Pamingit, ia pernah mengenal Wanamerta sebagai orang kedua di Banyubiru, yang harus selalu berhubungan dengan Ki Ageng Lembu Sora dalam hal pemerintahan, meskipun ada usaha-usaha untuk menyingkirkannya.

Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta, “Aku mengucapkan selamat atas kedatanganmu Ki Sanak.”

Keringat dingin di punggungnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat menjawab sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Aku sudah lama menunggu salah seorang sanak keluarga dari Pamingit yang sudah menengokku di sini. Sekarang agaknya ada juga yang datang, malahan agaknya dalam jumlah yang cukup banyak.”

Orang itu masih berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya Wanamerta telah mengetahui gerakan yang dilakukannya.

“Ki Sanak…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Kau tidak usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”

“Tidak Tuan,” jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.

“Jangan bohong. Aku tidak apa-apa. Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada pimpinanmu, bahwa apa yang dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia mencari kemana-mana. Juga tidak usah ke Karang Tumaritis.”

Orang itu menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta menarik belati dari pinggangnya.

“Ampun…, ampun tuan….” teriak orang itu.

Wanamerta tersenyum, katanya, “Ki Sanak. Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin menumpahkan kemarahanku kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka yang telah mengeruhkan suasana Banyubiru…?”

“Tidak Tuan, aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.

Dalam pada itu Mahesa Jenar pun kemudian menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai orang yang hanya merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian, maksudnya untuk memancing pertempuran akan tertunda.

Agaknya Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya, “Jangan takut Ki Sanak. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin membuat suatu kenang-kenangan padamu, bahkan suatu bukti bahwa kau telah melakukan kewajibanmu dengan baik.”

Sehabis berkata demikian, Wanamerta yang sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan hampir tak dapat diikuti gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat dua goresan bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan. Dari luka itu mengalirlah darah yang merah segar.

Mahesa Jenar sendiri terkejut melihat hal itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram orang tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.

“Nah…” kata Wanamerta kemudian, “Pergilah. Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa jenar masih berada di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di sana. Dengan demikian kau akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan yang kau lakukan.”

Bagaimanapun juga orang itu adalah seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung sekali atas perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang mengucur dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat gambaran-gambaran merah yang mengerikan.

Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan, “Tuan-tuan telah menghina aku. Ini berarti bahwa Tuan-tuan telah menghina pimpinanku. Jangan Tuan mengira bahwa Tuan akan luput dari hukumannya. Tunggulah Tuan…. Aku akan kembali sekali lagi dan menggoreskan silang ke dahi Tuan.”

Sekali lagi Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya, “Pergilah sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada pemimpinmu, bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku akan membuat tanda silang itu.”

Penghinaan itu sudah melampaui batas. karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi. Cepat ia meloncat lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.

Sepeninggal orang itu, segera Mahesa Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang yang dilukai oleh Wanamerta itu pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau demikian maka keadaan akan menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak harus melawan dua rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah pimpinan masing-masing, orang-orang buas yang sakti.

Demikianlah apa yang diharapkan itu datanglah.

Pada pagi berikutnya, seorang pengawas melaporkan bahwa dari arah selatan tampaklah barisan berobor, mendekati Gedangan. Itulah barisan Sawung Sariti.

Mahesa Jenar cepat menyiapkan orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar yang langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari sayap kiri dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan dapat lebih dahulu memilih lawan-lawannya. Apabila Bugel Kaliki dan Sima Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara. Untunglah bahwa di Karang Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara, telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.

Sedang Kebo Kanigara sendiri tak perlu diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya.

Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing.

Demikianlah ketika matahari telah menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu keyakinan atas kekuatan diri. Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya.

Di belakangnya berjalan dua orang pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang yang seorang lagi bertubuh besar kekar. Meskipun ia tidak setinggi orang yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.

Mahesa Jenar-lah yang kemudian melangkah ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.

“Paman Mahesa Jenar…” Sawung Sariti memulai, “Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”

“Ah, tak apalah,” jawab Mahesa Jenar.

Kemudian Sawung Sariti meneruskan, “Kedatanganku sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat memaafkan kesalahan kalian berdua.”

Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah menyesali kesombongan anak itu.

“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan, “Sekadar untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa mencarinya untuk membawanya menghadap.”

Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang, “Baiklah Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”

Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil. Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun demikian ia berkata meneruskan, “Kenapa besok? Bukankah sekarang ini Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman sudi ikut serta dengan kami.”

“Sayang…” jawab Mahesa Jenar, “Barangkali Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke Banyubiru.”

Dada Sawung Sariti berdebar karenannya. Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit itu.

Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula, “Sayang…. Tetapi Eyang berkehendak demikian.”

Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit. Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya, Sawung Sariti pun menjadi kisruh. Semula ia ingin memutarbalikkan perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu.

Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab, “Anakmas Sawung Sariti tidak perlu tergesa-gesa. Aku ingin mempersilakan Anakmas untuk beristirahat barang sehari dua hari di pedukuhan ini untuk menikmati cerahnya matahari di lembah terpencil ini.”

Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya. “Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel. Jawabnya, “Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”

“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.

“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.

Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab sekenanya, “Aku tidak peduli apakah Eyang setuju dengan caraku ini atau tidak. Hal itu terserah kepadaku.”

“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.

Sekali lagi Sawung Sariti kebingungan. Karena itu maka terasalah keringat dingin mengalir di punggungnya. Dengan tak disengajanya dilayangkanlah pandangan matanya kepada pasukannya yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat pasukannya, ia jadi berbesar hati. Diantaranya terdapat orang-orang pilihan seperti Galunggung, orang yang dipercaya penuh oleh ayahnya untuk memimpin pasukan Pamingit yang berjumlah besar itu. Janda Sima Rodra, dan Jaka Soka. Dan yang lebih hebat lagi, di dalam pasukannya itu pula terdapat dua orang tokoh sakti yang jarang ada bandingnya, yang dendamnya setinggi gunung tersimpan di dalam dadanya, Sima Rodra dari Lodaya yang baru saja kehilangan menantunya dan Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Lembah Gunung Cerme. Oleh kebanggaannya itu timbul pulalah kesombongan Sawung Sariti. Katanya, “Paman, ketahuilah bahwa orang-orang semacam Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki itu tunduk pada perintahku. Apakah kira-kira Paman Mahesa Jenar akan bersikap lain.”

“Ah…” desah Mahesa Jenar, “Cerdik juga kau menggertak aku.”

Mendengar perkataan itu wajah Sawung Sariti menjadi merah. Orang-orang kebanggaannya itu agaknya dipandang rendah oleh Mahesa Jenar. Maka sambungnya ingin memberi penjelasan lebih banyak, “Paman… belumkah Paman mendengar nama-nama Sima Rodra dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”

Mahesa Jenar kemudian tertawa. Sengaja ia tertawa panjang. Katanya, “Sawung Sariti, sudah siapkah pasukanmu…? Jangan berbicara seperti berbicara dengan orang-orang Pamingit yang bodoh. Aku bukan anak-anak lagi. Kau sekarang berbicara dengan seorang tua, setua ayahmu Lembu Sora.”

Sekali lagi warna merah menyirat di wajah Sawung Sariti. Kalau saja ia belum pernah mendengar tentang Mahesa Jenar, yang pernah mendapat gelar Rangga Tohjaya itu, ingin ia menghancurkan kepalanya saat itu juga. Tetapi terhadap Mahesa Jenar ia tidak berani berbuat demikian. Namun di dalam hatinya ia berjanji bahwa ia ingin membunuh orang ini dengan tangannya. Ia telah minta Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki untuk menangkapnya hidup-hidup disamping saudara sepupunya Arya Salaka.

Namun demikian, otaknya ternyata masih dapat bekerja baik. Ketika sekali lagi ia memandang ke arah pasukannya, maka mulailah ia membanding-bandingkan dengan pasukan Gedangan. Menurut perhitungannya, Laskar Gedangan mempunyai jumlah orang lebih banyak. Tetapi ia tidak melihat diantaranya ada orang-orang yang mempunyai nama. Ia tidak melihat orang tua yang disebut Ki Ageng Pandan Alas menurut ciri-ciri yang pernah didengarnya.

Meskipun demikian, ia masih mempertimbangkan untuk tidak segera mulai. Ia akan semakin yakin pada kemenangan yang bakal datang, apabila ia sudah mendapat suatu kepastian bahwa sepasang Uling telah datang di tempat itu pula. Sebab, menurut gagasannya, Mahesa Jenar akan dapat mempergunakan Laskar Gedangan untuk melindungi dirinya apabila ia ingin melarikan diri. Dengan semakin lengkapnya pasukan yang dibawanya, berarti kepugannyapun akan menjadi semakin rapat.

Dengan demikian, maka berkatalah putra Ki Ageng Lembu Sora itu, “Paman Mahesa Jenar… karena aku bukan termasuk orang-orang yang tidak dapat berpikir longgar, maka aku bermaksud memberi waktu kepada Paman dan Kakang Arya Salaka untuk sekali lagi berpikir. Biarlah orang-orang tetap di tempatnya sampai esok atau lusa.”

Mahesa Jenar yang menyimpan pengalaman yang luas di dalam perbendaharaan hidupnya, dengan cepat dapat menangkap maksud itu. Maka jawabnya, “Sawung Sariti. Jangan kau menganggap bahwa hanya pasukan dari Pamingit yang wenang mengambil prakarsa dalam arena yang sudah membayang di hadapan kita. Pasukan yang sudah berhadapan akan kehilangan kesabaran untuk menunggu sampai besok atau lusa. Bersiaplah, aku akan mulai.”

Dada Sawung Sariti tergoncang mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Meskipun demikian ia tidak menjadi takut. Sebab ia yakin kepada orang-orang yang dibawanya. Karena itu segera ia mundur beberapa langkah dengan wajah merah oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya. Tetapi saat itu ia pun sadar bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pengawal raja. Karena itu apa yang dikatakan pasti benar-benar akan dilakukan. Maka segera Sawung Sariti mengangkat tangannya memberi aba-aba untuk segera bersiap.

Tetapi dalam pada itu terjadilah hal-hal diluar perhitungan. Baik Sawung Sariti maupun Mahesa Jenar. Ketika segenap orang dalam barisan Pamingit itu mulai bergerak untuk menyusun diri, tampaklah seorang dengan enaknya berjalan keluar dari rombongan itu, menuju langsung ke arah Mahesa Jenar. Bahkan kemudian disusul oleh seorang lagi.

Mereka berjalan seperti orang yang sudah kehilangan kesabaran. Dengan langkah-langkah panjang dan cepat mereka tergesa-gesa mendekati Mahesa Jenar. Yang kemudian dengan suara panjang melengking terdengarlah tertawa seorang wanita, sambil berkata, “Apakah yang sedang kalian bicarakan?”

Sawung Sariti memandangnya dengan wajah penuh pertanyaan. Pada saat ia akan memulai dengan suatu tata gelar, tiba-tiba dua orang dari dalam pasukannya menyusulnya.

“Kenapa kau keluar dari barisan…?” tanya Sawung Sariti.

Orang itu, yang tidak lain adalah janda Sima Rodra, tertawa semakin nyaring. Jawabnya, “Aku tidak sabar dengan segala macam aturan. Aku biasa bertempur kapan saja aku kehendaki, dan dalam tata gelar apapun yang aku senangi.”

Telinga Sawung Sariti menjadi merah. Memang ia sadar sejak semula akan sulitlah mengatur orang-orang dari gerombolan liar itu dalam tata pertempuran yang teratur. Sebab menurut kebiasaan mereka, mereka bertempur dengan mengandalkan kekuatan pribadi, sehingga hampir tidak pernah mereka memikirkan tentang tata gelar yang dianggap dapat menguntungkan pasukannya.

Tetapi Sawung Sariti tidak berani menyendunya. Sebab orang-orang itu sangat diperlukan untuk melawan Mahesa Jenar. Karena itu bagaimanapun kecewanya terhadap orang-orang itu, namun perasaan itu disimpannya saja di dalam dadanya.

Sawung Sariti menjadi semakin berdebar-debar ketika Janda dari Gunung Tidar itu langsung datang kepada Mahesa Jenar dan berkata, “Mahesa Jenar, aku datang untuk memenuhi kata-kataku pada saat kau membunuh suamiku di pedukuhan ini. Aku tidak peduli apakah urusanmu dengan Sawung Sariti. Tetapi aku merasa bahwa akulah yang paling berhak untuk membalas dendam.”

Mahesa Jenar yang sangat muak melihat perempuan itu menjawab dengan keras, “Sekehendakmulah. Kalau kau merasa perlu membalas dendam, cobalah untuk memenuhi tuntutan dendam itu. Aku tidak akan menyingkir.”

Mendengar jawaban Mahesa Jenar itu, Janda Sima Rodra sama sekali tidak menjadi marah. Malah dengan tertawa pendek ia menjawab, “Bagus. Aku akan segera melakukannya. Tetapi aku kira bahwa aku dapat berbuat sebaliknya. Memaafkan kesalahanmu itu.”

Mahesa Jenar ketika mendengar kata-kata Sawung Sariti, dengan nada yang demikian pula, ia menjadi tidak senang. Apalagi ketika perkataan-perkataan itu keluar dari mulut Janda Sima Rodra. Terasa seolah-olah darahnya menjadi mendidih. Katanya semakin keras, “Kalau hidupku kemudian hanya karena kebaikan hatimu, Sima Rodra betina, aku lebih baik membunuh diriku.”

Suara tertawa Harimau Betina itu malah menjadi semakin berkepanjangan. Katanya, “Dengan terbunuhnya suamiku, aku merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu akupun harus mendapatkan ganti sesuatu dengan yang hilang itu. Kalau kau mampu menggantinya, aku akan melupakan peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupku itu.”

Sekarang Mahesa Jenar benar-benar tidak dapat mendengar kata-kata itu lagi. Telinganya menjadi seolah-olah terbakar. Karena itu tidak ada alasan untuk mendengarkannya lebih lama ocehan Janda Sima Rodra itu. Dengan tenangnya Mahesa Jenar melangkah ke samping. Kedua tangannya diangkatnya tinggi.  Kemudian dengan gerakan lurus tangan itu direntangkannya kesamping, seterusnya kembali ke atas. Ternyata ia sudah mulai menyiapkan pasukannya dalam gelar yang diperlukan, Sapit Urang.

Melihat aba-aba itu, Sawung Sariti segera merasa perlu untuk menyiapkan pasukannya pula. Sesuai dengan sifatnya yang sombong, ia sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan gelar Supit Urang yang sudah dipersiapkan oleh Mahesa Jenar, tetapi karena kepercayaan pada kekuatan yang dibawanya, serta kepercayaan pada diri sendiri, segera Sawung Sariti menyobek panji-panji putihnya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi tunggul yang kemudian sudah dilepas sarungnya. Tunggul itu digerakkan beberapa kali melingkar dan kemudian untuk beberapa lama ditegakkan di udara. Ia telah memerintahkan kepada pasukannya untuk bersiap dalam gelar Dirada Meta.

Tetapi agaknya Janda Sima Rodra tidak peduli pada persiapan-persiapan itu. Sekali lagi ia berkata, “Mahesa Jenar, aku dapat mencegah pertempuran ini. Bahkan kalau perlu aku dapat menghancurkan pasukan Pamingit itu apabila kau dapat mencarikan ganti suamiku yang telah hilang.”

Akhirnya Mahesa Jenar menjadi benar-benar muak. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum rombongan Uling datang. Karena itu dijawabnya, “Baiklah Sima Rodra, aku akan berusaha mencari ganti buatmu. Apabila pekerjaanku ini sudah selesai, aku ingin menangkap seekor beruk yang buas untuk mengganti Harimau Liar yang telah mati.”

Bagaimanapun juga Janda Sima Rodra adalah seorang manusia. Karena ia menjadi tersinggung sekali atas jawaban itu. Apalagi ketika orang yang berdiri di belakangnya, yang tidak lain adalah Jaka Soka menyambung sambil tersenyum, senyuman seekor ular yang berbisa tajam. “Bagus Mahesa Jenar. Usulmu tepat sekali.”

Kebo Kanigara, yang berdiri tidak jauh dari Mahesa Jenar, dan yang selama itu acuh tak acuh saja, terpaksa tertawa pula. Bahkan kemudian ia menyahut, “Aku kira seekor beruk masih terlalu besar buat perempuan yang mengerikan itu. Bukankah lebih baik seekor lutung saja untuk menggantikan suaminya yang terbunuh itu…?”

Hati Janda Gunung Tidar itu ternyata terbakar oleh api yang dinyalakannya sendiri. Terbawa oleh sifat-sifatnya yang liar itu, maka ia sama sekali tidak pedulikan, apakah ia termasuk dalam pasukan Sawung Sariti atau tidak. Langsung ia meloncat maju dan dengan garangnya menyerang Mahesa Jenar dengan kuku-kukunya yang tajam beracun. Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang selalu waspada, sehingga dengan mudahnya ia meloncat ke samping menghindari serangan itu.

Tetapi Janda Sima Rodra itupun bukan seorang yang dapat diremehkan. Bertahun-tahun ia hidup dalam dunia kejahatan dan perkelahian. Karena itu ia tidak bermaksud memberi ruang untuk bergerak bagi lawannya.

Dalam pada itu salah seorang yang berdiri di belakang Mahesa Jenar, di dalam barisan orang-orang Gedangan, terdapatlah seorang yang memiliki dendam sedalam lautan kepada perempuan liar itu.

Ketika ia melihat perempuan liar dari Gunung Tidar itu bercakap-cakap dengan Mahesa jenar, darahnya sudah menggelegak. Namun demikian ia selalu berusaha untuk menahan diri, supaya tidak merusakkan rencana Mahesa Jenar serta barisannya.

Tetapi kemudian ketika ia melihat, Harimau Betina itu menyerang Mahesa Jenar, agaknya darahnya benar-benar menjadi mendidih. Sehingga seolah-olah diluar kemauannya, tiba-tiba ia pun meloncat berdiri disamping Mahesa Jenar sambil berkata nyaring, “Janda Sima Rodra yang cantik. Sudah lama aku berusaha untuk memperkenalkan diriku. Tetapi sayang bahwa pertemuan kita di pedukuhan ini beberapa waktu yang lalu ternyata terlalu singkat.”

Janda Sima Rodra itu terhenti. Dengan pandangan penuh kemarahan, ia mengamati orang yang menyapanya itu. Seorang gadis dengan pakaian laki-laki. Kemudian teringatlah ia, ketika ia bersama almarhum suaminya bertempur melawan Mahesa Jenar dan muridnya, tiba-tiba ia telah diserang oleh seorang yang tak dikenalnya. Agaknya orang inilah yang telah menyerangnya itu, bahkan yang kemudian oleh ayahnya, gadis itu berhasil ditangkapnya. Dan orang itu sekarang muncul lagi di hadapannya. Kemarahan Janda Sima Rodra semakin menyala. Dengan suara yang tajam melengking ia berteriak, “Hai, gadis manis… siapakah sebenarnya kau? Sebenarnya lebih baik bagimu untuk tinggal di rumah menghias diri, daripada mengganggu aku di arena ini. Meskipun menilik pakaianmu agaknya kau lebih senang disebut sebagai seorang laki-laki daripada seorang perempuan.”

Orang itu, yang tak lain adalah anak tiri Janda Sima Rodra sendiri, menjawab, “Tak apalah kalau kau tak mengenal aku. Namaku adalah Rara Wilis dari Gunung Kidul. Anak perempuan dari Ki Panutan, yang kemudian pergi meninggalkan kampung halamannya karena perempuan cantik yang perkasa.”

“Wilis…!” teriak Janda Sima Rodra. Ia memang pernah mendengar nama Rara wilis. Bahkan gadis itu pernah ditangkap oleh ayahnya. Namun baru sekarang ia teringat bahwa orang yang bernama Rara Wilis itu pernah dikenalnya pada masa kanak-kanaknya. Pada saat ia sedang memikat almarhum suaminya, ia memang sering melihat seorang gadis kecil yang bernama Rara Wilis. Karena itu kemudian janda Sima Rodra berkata sambil tertawa, “Wilis, ya Wilis. Alangkah pelupanya aku ini. Ketika aku mendengar namamu beberapa saat yang lalu, aku sama sekali lupa bahwa kau adalah anakku sendiri. Nah, sekarang aku telah tahu benar bahwa kau adalah anakku. Apakah maksudmu sekarang…?”

Dengan nada yang tak kalah lantangnya Wilis menjawab, “Ah… agaknya kau ingat juga apa yang pernah kau lakukan atas ayah beberapa tahun yang lewat. Ketahuilah bahwa karena itu, keluarga menjadi terpecah-pecah.”

“Hem…” geram perempuan itu. “Itu bukan hanya salahku. Kau kira kalau ayahmu bukan seorang laki-laki rakus, aku dapat memaksanya pergi?”

Wilis mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kau benar. Namun kejadian itu bukanlah suatu kebetulan. Kaulah sebabnya, dan keluargakulah yang harus menanggung akibatnya.”

Tiba-tiba perempuan itu tertawa lebih keras. Katanya, Sebenarnya kalau kau menuntut ayahmu itu, tuntutlah kepada laki-laki di sampingmu itu. Dialah yang telah membunuhnya.”

Mendengar seruan itu, dada Mahesa jenar berdesir. Memang, pada saat Sima Rodra terbunuh, Rara Wilis menjadi sangat marah kepadanya. Bahkan masih terasa betapa ujung pedang gadis itu melukai dadanya. Sekarang, peristiwa itu diingatkan lagi.

Tetapi ternyata jawaban Rara Wilis melegakan Mahesa Jenar. “Aku sudah tahu, Janda Sima Rodra, bahwa laki-laki di sampingku inilah yang telah membunuh ayahku. Tetapi hal itu bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, daripada setiap hari ayahku selalu menimbun dosa.”

Terdengar Harimau Betina itu menggeram marah. Usahanya untuk mengadu kedua orang itu tak berhasil. Karena itu ia berteriak, “Baik… lalu apa maumu?”

“Menurut pikiranku…” jawab Rara Wilis, “Aku pun akan membuat jasa kepadamu, seperti apa yang telah terjadi pada ayahku. Kau… ibuku, harus juga aku cegah untuk tidak membuat dosa setiap hari. Agar kau tidak usah berhenti terlalu lama di dalam api pencucian kelak.”

Perempuan liar itu sudah menjadi pening mendengar kata-kata Rara Wilis. Karena itu ia tidak menjawab lagi. Dengan garangnya ia berteriak sambil meloncat menyerbu. Untunglah bahwa Rara Wilis pun telah bersiaga. Dengan lincahnya ia meloncat menghindar. Bahkan dengan kakinya ia menyerang lambung Harimau Betina itu. Namun Janda Sima Rodra pun memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan siku tangannya ia menutup lambungnya. Melihat lawannya melindungi diri, Rara Wilis menarik kakinya, namun kemudian tangannya yang dengan cepat menyambar tengkuk. Sekali lagi Harimau Betina itu meloncat mundur. Namun kemudian ia tidak mau diserang lagi. Dengan garangnya kemudian mengembanglah jari-jari janda Sima Rodra yang berkuku panjang, dengan logam beracun di ujung-ujungnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit. Pertempuran yang dilambari oleh tuntutan dendam yang telah lama tersimpan di dalam dada dan sekaligus merupakan suatu usaha untuk melenyapkan benih-benih kejahatan yang dapat tumbuh di kemudian hari. Rara Wilis maupun Janda Sima Rodra memiliki kelincahan yang mengagumkan. Janda Sima Rodra bertempur dengan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, yang memiliki unsur-unsur kegarangan yang mengerikan, dengan gerak-gerak harimau lapar. Sedangkan Rara Wilis adalah cucu sekaligus murid Ki Ageng Pandan Alas. Seorang sakti yang bertahun-tahun menekuni ilmunya sehingga sukar untuk mendapat bandingan. Karena itu pertempuran yang terjadi adalah merupakan pertempuran antara ilmu jahat melawan ilmu yang dengan gigih berusaha menumpasnya.

Dalam keadaan yang demikian, untuk beberapa saat semua mata terpaku pada pertempuran itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang mempunyai wawasan yang dalam, segera melihat keadaan Rara Wilis sama sekali tidak mengkhawatirkan. Karena itu mereka tidak perlu tergesa-gesa mengambil tindakan terhadap perempuan liar itu. Apalagi di hadapan mereka, masih terdapat orang-orang yang cukup berbahaya. Jaka Soka yang berdiri dekat titik perkelahian, agaknya sangat tertarik melihatnya. Dengan tersenyum aneh, ia bahkan dengan enaknya duduk menonton. Meskipun demikian, ia menjadi keheran-heranan juga melihat gadis cantik yang pernah ditemuinya di hutan Tambakbaya itu mampu bertempur dengan gigihnya melawan Janda Sima Rodra.

Sedangkan Sawung Sariti menjadi berdebar-debar melihat seseorang muncul dari dalam barisan. Seorang gadis lagi. Dan orang itu dapat mengimbangi Janda Sima Rodra dari Gunung Tidar. Namun meskipun demikian ia tidak bercemas hati. Sebab masih ada orang yang jauh lebih sakti dari janda itu dalam barisannya.

Yang kemudian dilakukan Sawung Sariti adalah memberi tanda kepada pasukannya untuk mengadakan persiapan terakhir. Ia sudah tidak melihat kemungkinan lain kecuali bertempur saat itu juga, sekaligus untuk mencurahkan dendam kepada orang-orang Gedangan, karena kegagalannya menjadikan Gedangan sebagai kuburan untuk orang-orang yang telah dan akan disingkirkannya.

Demikian ketika Sawung Sariti sekali lagi melambaikan tangannya, bergeraklah seluruh pasukan Pamingit dalam gelarnya yang dahsyat, Dirada Meta. Pasukan itu seolah-olah merupakan suatu bentuk seekor gajah yang maha besar, yang sedang berjalan dengan tangguhnya menyerang lawan. Di ujung gading pasukan Pamingit berdirilah dua orang yang sangat ditakuti. Yaitu Sima Rodra tua dari Lodaya yang merasa perlu membalas dendam atas kematian menantunya, sekaligus untuk melenyapkan salah seorang saingan utama dalam perebutan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sedang di ujung yang lain, sahabat Harimau Lodaya, yaitu Bugel Kaliki. Ia ikut serta dalam pertempuran itu atas permintaan sahabatnya. Namun sebenarnya ia pun sedang mengadakan penyelidikan kemana keris-keris sakti dari Istana Demak itu berada. Bugel Kaliki sadar bahwa pertempuran-pertempuran yang berjalan ini hanyalah merupakan permulaan dari pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian yang akan terjadi kelak apabila sudah ada gambaran di mana kedua keris itu tersimpan. Bahkan ia pun sadar seperti Sima Rodra juga, bahwa mereka masing-masing harus berusaha melenyapkan saingannya satu demi satu. Kalau sekarang mereka sedang berusaha untuk menyingkirkan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, yang mungkin terdapat pula Pandan Alas, maka esok mereka harus menyingkirkan kawan-kawan mereka yang sekarang sedang bertempur bersama-sama dan saling membantu.

Dalam pada itu, ketika Mahesa Jenar melihat pasukan gabungan dari Pamingit dan Gunung Tidar mulai bergerak, segera ia mengangkat tangannya pula. Dan, segera bergerak pula seluruh laskar Gedangan dalam gelarnya Supit Urang. Untuk menghadapi gelar gajah yang datang menyerangnya, barisan dalam bentuk udang raksasa dengan sapit-sapitnya yang garang itupun telah bergerak maju. Dalam pada itu sekali lagi Sawung Sariti melihat keliling untuk mengetahui keadaan medan keseluruhan. Dari lambung sebelah kiri dilihatnya pasukan itu dipimpin oleh Wanamerta, sedang dari lambung kanan dilihatnya bahwa pasukan itu dipimpin oleh seorang anak muda sebaya dengan dirinya. Melihat anak muda itu, hati Sawung Sariti berdesir. Itulah Arya Salaka. Karena itu cepat Sawung Sariti meloncat mundur, dan berbisik kepada Galunggung, ” Galunggung…, peganglah pimpinan. Berikan aba-aba atas namaku. Bawalah tunggul ini. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Kakang Arya Salaka.”

Galunggung segera tahu maksud Sawung Sariti. Segera ia menerima tunggul itu. Meskipun demikian ia berpesan kepada Sawung Sariti, ” Anakmas, hati-hatilah. Anak itu bukan anak yang dapat diabaikan.”

Sawung Sariti tersenyum, lalu jawabnya, “Jangan takut. Beberapa bulan yang lalu aku memang belum dapat mengalahkannya. Tetapi sekarang keadaan telah jauh berubah. Percayalah bahwa aku akan dapat membawa kepalanya pulang sebagai oleh-oleh buat ayah Lembu Sora.”

Galunggung pun tersenyum. Ia percaya kepada anak muda itu.

Sesaat kemudian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar yang masih berada disamping Kebo Kanigara segera menyiapkan diri masing-masing. Mereka telah melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Karena itu mereka menempatkan diri untuk melawan mereka. Dalam pada itu Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja bertempur dengan sengitnya. Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa pasukan-pasukan itu sebentar lagi akan berbenturan dan akan segera terjadi pertempuran yang dahsyat. Saat itu mereka sedang tenggelam dalam perkelahian yang seolah terpisah dari pertempuran yang bakal datang.

Kedua pasukan menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Setiap wajah yang berbeda dalam barisan menjadi semakin tegang pula. Tangan-tangan mereka yang memegang senjata masing-masing telah menjadi bergetar dan basah oleh keringat.

Janda Sima Rodra yang mempunyai pengalaman lebih banyak, ternyata tidak mau bertempur didaerah lawan. Perlahan-lahan ia menggeser titik bertempur sejalan dengan langkah laskar Gedangan, mendekati pasukan-pasukan dari Pamingit. Jaka Soka yang sangat tertarik pada pertempuran itu terpaksa ikut bergeser. Meskipun tampaknya acuh tak acuh saja namun sebenarnya otaknya yang licin itu sedang bekerja keras mencari jalan yang semudah-mudahnya, bagaimanakah sebaiknya untuk menangkap Rara Wilis tanpa kesulitan. Meskipun untuk memiliki gadis itu sekarang ia terpaksa mempertimbangkan bahwa ia mungkin akan mendapat perlawanan yang berat, tidak sebagaimana pernah terjadi pada saat gadis itu sama sekali belum memiliki ilmu bela diri.

Pada saat itu matahari telah menanjak di atas bukit-bukit yang hijau di arah timur. Sinarnya yang hangat menghambur di atas batu-batu karang yang kemerah-merahan serta dedaunan yang hijau segar oleh titik-titik embun yang belum lenyap seluruhnya. Angin pegunungan yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah yang tegang. Namun hampir tak seorang pun yang dapat menikmatinya. Sebab hati mereka telah terampas oleh ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat karena sinar matahari.

Dalam pada itu, tidak jauh di belakang pasukan Gedangan, pedukuhan gedangan menjadi amat sepi, seolah-olah pada saat matahari sudah demikian tingginya masih saja lelap dalam tidurnya. Rumah-rumah bambu yang tegak seakan menjadi tak berpenghuni. Sedang anak-anak kecil erat berpegang ujung-ujung baju ibunya, yang menahan debar jantung melepas suami pergi berperang. Tetapi ketika terasa mata mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi, diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia. Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya.

Jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka.

Demikianlah dering senjata di sela-sela gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang menyembur-nyembur.

Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di sekitarnya.

Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk Inten. Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu melindunginya. Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya.

Maka ketika semua orang yang berada dalam lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati. Tetapi kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.

Melihat gadis tanggung itu mengganggunya, Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu. Tetapi sekali lagi ia menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka. terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya.

Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar, sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan diri.

Untunglah bahwa dari sela-sela gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas. Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira, sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu. Tetapi Kanigara bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri. Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya. Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak usah berkecil hati.

Kanigara tiba-tiba mempunyai pekerjaan lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak, “Widuri, kenapa kau ikut serta?”

Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi, “Bertahanlah. Aku datang.”

Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya, “Orang ini hebat juga, ayah.”

Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan.

Kalau saja ia tidak berbuat demikian, maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya. Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini.

Apalagi orang ini dapat melawannya dengan membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki harus lebih berhati-hati lagi.

Di titik yang lain, tampaklah Mahesa Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya dengan garang. Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa.

Tetapi ternyata Harimau Liar itu menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Mahesa Jenar dengan garangnya. Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati, Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan. Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan tajamnya.

Demikianlah, pertempuran itu berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali bergeser ke selatan. Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun, puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering. Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada binatang. Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya, serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan sepanjang garis kebenaran serta kebaktian.

Demikianlah pertempuran yang terjadi di lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes keringat dan darah.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan. Sebagaimana yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri. Laskar Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal. Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil mendesak lawan mereka. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.

Oleh kenyataan itu, berbesar hatilah seluruh laskar dari Gedangan. Semakin lama mereka bertempur, semakin segarlah tubuh mereka oleh kemenangan demi kemenangan yang mereka peroleh. Sehingga ketika mahatari telah condong ke barat, titik pertempuran itu telah jauh bergeser. Namun orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau. Orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup kedalam barisan Gedangan. Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian mereka dibinasakan. Meskipun demikian, karena secara perseorangan laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.

  ———-oOo———-

III

Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling telah datang.

Mendengar teriakan di ekor barisannya, dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu.

Meskipun demikian, hal yang serupa itu memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang datang dari samping, maupun dari belakang.

Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa.

Rombongan Uling dari Rawa Pening itu langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan. Ia memang melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya. Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi. Karena itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi semakin tipis.

Demikianlah kedua bersaudara Uling yang ganas itu membagi laskarnya menjadi dua bagian, yang masing-masing dipimpin sendiri oleh dua bersaudara. Seorang membawa pasukannya ke kanan dan seorang lagi ke kiri, untuk seterusnya menyerang pasukan Gedangan dari belakang.

Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat mengalahkan lawannya.

Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.

Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya. Mereka bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya. Pasukan Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang  terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit hancur laskar itu. Meskipun demikian, laskar Gedangan telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.

Namun bagaimanapun juga, kemampuan mereka terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi.

Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin. Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka.

Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang.

Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.

Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan.

Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti akan berhenti. Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.

Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.

Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu, muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya. Namun apa yang terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang gemuruh, “Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani. Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di pihakmu. Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.”

Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat berputar menyambar-nyambar.

Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu, “Mahesa Jenar… lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang Uling yang masih segar di ekor barisanmu.”

Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir. Orang itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat. Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya. Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.

Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh. Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata, Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu.

Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak dikenal.

Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring, Nah, akhirnya aku ketemukan kau di sini Rangga Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang dapat memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu pertemuan yang akan kita selenggarakan kemudian sebagai ganti dari pertemuan yang pernah kau gagalkan dahulu.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut. Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Namun Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar demi selembar akan runtuh berserakan di tanah.

Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya.

Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya. Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling Putih. Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula banyak mengalami kesulitan.

Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit. Bulan yang masih muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga.  Sedangkan angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam lingkaran kebenaran.

Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.

Maka, ketika ternyata, pimpinan pasukan gabungan dari Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat tertolong apabila pertempuran diteruskan. Karena itu, diputuskannya untuk perlahan-lahan menarik diri, dan apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan gelar yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan aba-aba, tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi kacau balau. Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri. Hal inilah yang kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan. Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu, disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus. Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi gelar Gelatik Neba.

Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.

Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba. Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri. Dalam kekacauan pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.

Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang dibalik kepulan debu yang tebal. Mahesa Jenar bersama-sama pasukannya tidak lagi dapat mengejar mereka, ”kita menutup jalan mereka dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, nadil dan sebagaimnya.”

Akhirnya, Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak Wangi. Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan keluar, “Ibu yang baik…. Jangan hentikan permainan itu. Bukankah sewajarnya kalau seorang ibu mengajari anaknya bermain. Jangan takut orang lain akan turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam persoalan ini.”

“Bohong!” jawab janda itu, “Kau akan menjebak aku.”

Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya, “Aku bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan memaafkanmu.”

Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang menghinanya itu. Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar meninggalkan arena, “Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan ini, sebab persoalan kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan sesalkan siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah kami, masalah yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang durhaka.”

Berdesirlah setiap dada mereka yang mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan menghindar bagi Rara Wilis. Sebaliknya, Rara Wilis telah menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam perangkapnya. Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling kotor. Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul kembali.

Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya. Demikianlah dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata.

Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas.

Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata, namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.

Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan nafas.

Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari penuh. Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu. Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya.

Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas.

Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari segenap arah.

Dalam keadaan yang demikian, Janda Sima Rodra menjadi semakin gelap mata. Serangan-serangannya menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin kehilangan pengamatan.

Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra.

Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula.

Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri, tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang mengerikan. Rara Wilis adalah seorang yang telah menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu  kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian Rara Wilis pingsan.

Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendorkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.

Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan.

Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk yang bernama manusia.

Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang bergelim-pangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara orang-orang yang terluka dari pihak manapun.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.

“Ada yang kau cari…?” terdengar Kebo Kanigara bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan pandangan berkeliling.

“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.

Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.

“Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak itu?” teriak Mahesa Jenar.

Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab, “Aku… Tuan.”

“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.

“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.

Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya, “sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”

“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.

“Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.

“Adakah anak itu terikat dengan lawan?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu, “Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”

“Sawung Sariti…” desis Mahesa Jenar. Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.

“Marilah kita cari,” kata Mahesa Jenar kemudian, sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil.

Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.

Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka. Demikianlah, beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu, “Kenapa kau ikut juga, Widuri…? Lebih baik kau kembali ke Gedangan bersama-sama dengan bibi Wilis.”

Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya, “Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”

“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.

“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.

“Jangan sombong,” potong ayahnya, “Pulanglah.”

“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.

Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar.

Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di belakangnya.

  ———-oOo———-

IV

Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang bertempur diantara hidup dan mati. Melihat kedua orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung Sariti.

Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis, sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu itu pergi.

Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek, “Kakang Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang. Tidakkah lebih baik kalau mereka kau suruh bertempur pula melawan aku bersama-sama dengan Kakang…?”

Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya, “Adakah kau bermaksud demikian?”

“Tentu,” jawab Sawung Sariti. “Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”

“Sayang,” sahut Arya salaka, “Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”

“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.

Arya Salaka tersenyum, katanya, “Kalau kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?”

Aku tidak peduli, jawab Sawung Sariti. Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku.

Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku, sahut Arya Salaka. Sebab kau begitu saja menyerang aku.

Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya, Kenapa beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari persoalan itu.

Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya, Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?

Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab, Kau benar. Dan setiap orang yang tidak mau berjanji untuk merahasiakan hal itu kepada orang-orang Banyubiru akan aku binasakan juga.

Bagus… jawab Arya Salaka, Mulailah.

Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti tergetar.  Sawung Sariti merasa perlu untuk meyakinkan bahwa Mahesa Jenar tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran. Katanya. Paman Mahesa Jenar, apakah Paman juga tertarik pada permainan ini? Kalau benar demikian aku persilakan Paman membantu kakang Arya Salaka.

Mahesa Jenar tahu arah bicara anak itu. Jawabnya, Kau tak perlu berkecil hati Sawung Sariti. Meskipun kami bukan orang-orang yang memiliki gelar ksatria, namun kami mengenal sifat-sifat kejantanan. Apalagi terhadap anak-anak seperti kau ini.

Sawung Sariti merasa tersinggung karenanya. Meskipun demikian ia menjadi berbesar hati bahwa ia telah mendapat jaminan, bahwa ia dibiarkan bertempur seorang melawan seorang dengan Arya Salaka. Karena itu ia meneruskan, Nah kalau demikian relakan murid Paman ini binasa karena ketamakannya.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun terpaksa ia menahan hatinya yang sama sekali tidak senang atas kata-kata itu. Juga Arya Salaka merasa tidak perlu berkata-kata lagi. Karena itu, segera ia mempersiapkan diri untuk meneruskan pertempuran yang telah berjalan demikian panjangnya.

Sawung Sariti pun bersiap pula. Mulutnya terkatup rapat, tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian dengan sebuah loncatan yang cepat ia mulai menyerang. Geraknya lincah dan tangkas sesuai dengan ajaran-ajaran yang pernah diterimanya dari seorang guru yang mumpuni. Dimodali dengan tubuhnya yang kokoh kuat serta otak yang cerdas licin. Namun lawannya bukan pula anak larahan. Tetapi ia adalah murid seorang yang berhati jantan dan bertekad baja, serta telah mengalami tempaan yang luar biasa beratnya untuk mewarisi ilmu keturunan Ki Ageng Pengging Sepuh, tidak saja dari Mahesa Jenar, tetapi juga dari Kebo Kanigara langsung.

Karena itulah maka perkelahian yang terjadi merupakan perkelahian yang sengit dan seimbang. Kedua-duanya dapat bergerak dengan lincahnya sambar-menyambar, dan keduanya dapat bertahan dengan tangguh melawan setiap serangan. Mereka saling desak-mendesak berganti-gantian silih ungkih singa lena.

Pukulan tangan Sawung Sariti menyambar-nyambar berdesingan, namun Arya Salaka dengan tangkasnya selalu dapat menghindari. Namun sekali-sekali tangan itu berhasil pula mengenai tubuhnya. Demikianlah pada suatu saat sebuah sambaran tangan Sawung Sariti hinggap di dada Arya Salaka sedemikian kerasnya sehingga Arya terdorong surut. Tetapi Sawung Sariti tidak mau membiarkan kesempatan itu. Cepat ia meloncat maju dan sekali lagi menyerang dengan kakinya ke arah lambung ketika Arya masih belum dapat menjaga keseimbangannya dengan baik. Ketika Arya melihat serangan itu, ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi lambungnya dengan tangan, namun karena desakan yang keras, serta keseimbangannya yang belum pulih benar. Sekali lagi Arya terdorong, bahkan lebih keras sehingga ia jatuh berguling. Sekali lagi Sawung Sariti mendesak maju. Dengan sebuah loncatan ia berusaha untuk menerkam dan menindih Arya. Kedua tangannya terjulur ke depan ke arah leher lawannya. Pada saat yang demikian Arya melihat bahaya yang bakal datang apabila lawannya benar-benar dapat mencekik serta menindih tubuhnya. Maka ketika ia melihat tubuh itu melayang ke arahnya, segera ia menelentang dan dengan sekuat tenaganya ia mendorong tubuh itu dengan kedua kakinya tepat pada bagian bawah perutnya. Demikianlah Sawung Sariti terdorong keras ke depan, melampaui tubuh Arya Salaka. Namun Sawung Sariti mempunyai ketangkasan yang cukup pula. Dengan berguling ia dapat menyelamatkan tubuhnya dari benturan yang keras. Bahkan ia segera dapat loncat berdiri. Tetapi pada saat itu Arya telah siap pula. Bahkan ia berhasil mendahului menyerang. Dengan sebuah loncatan yang panjang Arya memukul rahang lawannya. Kali ini Sawung Sariti tidak berhasil menghindar.

Dengan sebuah sentakan yang keras, kepala terangkat sambil tergetar mundur. Dengan penuh nafsu Arya sekali lagi melangkah serta mengayunkan tangannya ke arah perut lawannya. Terdengarlah suara yang tersekat di kerongkongan, dan tubuh Sawung Sariti terbungkuk ke depan. Namun ketika Arya mengulangi serangannya, dengan cepatnya Sawung Sariti demikian saja menjatuhkan dirinya. Kali ini tangan Arya terayun diatas kepala lawannya tanpa menyinggungnya. Sehingga malahan tubuhnya terseret oleh kekuatannya sendiri. Pada saat itulah Sawung Sariti menghantam dadanya dengan kakinya yang kokoh. Suaranya gumebruk seperti terhantam batu. Sekali lagi Arya terlontar mundur. Dan sekali lagi Sawung Sariti mendesaknya dengan pukulan-pukulan. Sehingga akhirnya punggung Arya membentur dinding karang yang tegak di belakangnya. Pada saat yang demikian Arya tidak lagi dapat melangkah surut. Karena itu ketika Sawung Sariti menghantamnya, Arya melawannya dengan sebuah tendangan mendatar.

Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Arya Salaka dapat menekankan punggungnya pada karang di belakangnya, sehingga ia seolah-olah mendapat tambahan kekuatan. Dengan demikian Sawung Sariti terdorong mundur beberapa langkah. Meskipun demikian terasa betapa pedihnya punggung Arya, yang ternyata menjadi luka karena tajamnya karang-karang itu. Bahkan kemudian terasa cairan hangat meleleh perlahan-lahan di bawah bajunya yang tersobek. Darah.

Mengalami peristiwa itu Arya menjadi semakin marah. Karena itu ia menjadi bertambah garang. Serangannya yang datang kemudian menjadi bertambah berbahaya. Dengan melontarkan diri ia maju menyerang dada. Tetapi Sawung Sariti telah siap. Sehingga dengan cepat ia meloncat ke samping, dan membalas menyerang dengan sebuah pukulan ke arah muka lawannya.

Melihat lawannya lepas, Arya menarik serangannya, dan ketika ia melihat tangan Sawung Sariti melayang ke wajahnya, secepat kilat tangan itu ditangkapnya. Dengan membalikkan diri serta menekuk lututnya sedikit, Arya menarik tangan itu keras-keras diatas pundaknya, dan dengan dorongan pundak itu Arya melemparkan tubuh lawannya ke depan

Dengan  kerasnya Sawung Sariti terlempar. Meskipun ia memiliki ketangkasan bergerak, namun kemudian ia terbanting juga di tanah. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang luar biasa, tulang punggungnya tidak patah. Bahkan dengan suatu hentakan ia berhasil melepaskan tangannya dan berguling menjauhi Arya. Kemudian dengan tangkasnya ia melenting berdiri. Namun terasa pula betapa rasa sakit telah mengganggu pinggangnya.

Demikianlah, perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap tenaganya untuk mengalahkan lawannya. Namun sampai sedemikian jauh mereka masih tetap dalam keadaan seimbang. Sedang mereka yang menyaksikan perkelahian itu, kadang-kadang harus menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar.

Arya Salaka dan Sawung Sariti berkelahi dengan penuh nafsu. Dengan segala ilmu yang mereka miliki, mereka ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, namun agaknya pertempuran itu masih akan berlangsung lama. Untuk itu, ternyata mereka mempunyai beberapa perbedaan pengalaman. Sawung Sariti adalah seorang yang manja. Yang hidup dalam lingkungan yang tidak banyak memerlukan tenaganya. Sedang Arya salaka menjalani hampir seluruh hidupnya dengan bekerja keras, berjalan dari matahari terbit sampai terbenam, membenamkan dirinya dalam kancah lumpur sawah bersama para petani. Mengarungi lautan sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Karena itulah Arya Salaka mempunyai ketahanan jasmaniah yang lebih daripada Sawung Sariti. Dengan demikian maka ketika bulan yang masih muda itu menenggelamkan dirinya, tampaklah bahwa tenaga Sawung sariti yang bagaimanapun kuatnya setelah demikian lama dengan nafsu penuh berjuang, menjadi surut. Meskipun tenaga Arya Salaka surut pula, namun hal yang demikian nampak lebih jelas pada lawannya.

Agaknya Sawung Sariti merasakan hal itu pula. Karena itu ia menjadi gelisah. Ia tidak mau mengalami kekalahan dari kakaknya, meskipun bagaimanapun juga. Bahkan ia menjadi heran kalau kakaknya dapat mengimbangi kekuatannya setelah ia digala mati-matian oleh kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Karena kegelisahannya itulah akhirnya ia mengambil suatu keputusan yang menentukan.

Maka ketika Sawung Sariti telah merasa semakin lelah, segera ia ingin mengakhiri pertempuran. Dipusatkannya segenap pancainderanya dalam suatu perhatian, disalurkannya nafasnya dengan teratur untuk menemukan kebulatan kekuatan dalam pancaran ilmu yang pernah diterimanya, Lebur Sakethi. Direntangkannya tangannya ke samping dengan kaki setengah langkah yang ditekuk pada lututnya.

Semua yang melihat sikap itu menjadi terkejut. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah mengenal kedahsyatan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana itu. Hampir saja mereka bergerak untuk mencegahnya. Namun dengan berdebar-debar mereka terpaksa membatalkan niatnya. Sebab mereka telah berjanji untuk menyerahkan penyelesaian itu kepada Arya Salaka. Disamping itu mereka menjadi bertambah kecewa terhadap Sawung Sariti yang telah mempergunakan ilmu dahsyat itu sebagai alat penyelesaian dengan keluarga sendiri, untuk mempertahankan keserakahan dan ketamakan.

Arya Salaka sendiri terkejut pula melihat sikap Sawung Sariti. Untunglah bahwa gurunya pernah memperkenalkan bentuk-bentuk ilmu yang dahsyat itu, sehingga segera ia mengenal bahwa Sawung Sariti telah mempersiapkan ilmu Lebur Sakethi. Dengan demikian Arya pun dengan cepatnya berpikir. Ia telah mendapat pesan wanti-wanti dari gurunya untuk tidak mempergunakan ilmu Sasra Birawa dalam sembarang keadaan. Tetapi keadaan ini gawat sekali. Kalau ia sampai tersentuh Lebur sakethi tanpa matek aji Sasra Birawa, ia yakin bahwa dadanya akan rontok. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah segera bersiaga lahir batin. Diangkatnya satu tangannya tinggi-tinggi, tangan yang lain menyilang di dada, sedang satu kakinya diangkat serta ditekuk ke depan. Tepat pada saat ia selesai dengan pemusatan tenaganya, dilihatnya Sawung Sariti telah meloncat maju dengan melingkarkan kedua tangannya yang kemudian bersama-sama mengarah ke kepalanya. Arya tidak mau binasa dalam keadaan yang mengerikan. Karena itu ia pun segera dengan mengerahkan segenap kekuatan ilmunya, Sasra Birawa.

Maka segera terjadilah benturan dari dua macam ilmu yang dahsyat itu. Sasra Birawa berbenturan dengan Lebur Sakethi. Dua macam ilmu keturunan dari dua orang sahabat yang pernah berjuang bersama-sama melawan kejahatan. Namun sampai pada keturunannya, ilmu itu terpaksa berbenturan dalam perjuangan yang benar-benar diantara hidup dan mati.

Beberapa tahun lampau kedua ilmu itu pernah pula berbenturan diatas Gunung Tidar. Namun pada saat itu benturan terjadi karena salah paham. Apalagi waktu itu mereka yang berkepentingan merasa mempertaruhkan barang yang paling berharga, yaitu keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mahesa Jenar pada saat iti sama sekali belum pernah mengenal Gajah Sora, dan sebaliknya, kecuali setelah mereka siap menghantamkan ilmu-ilmu itu.

Sekarang, hal serupa terjadi. tetapi latar belakang persoalannya jauh berbeda. Sekarang, benturan itu terjadi karena persoalan hak. Banyubiru bagi Arya Salaka adalah tanah pusaka, tanah tercinta.

Demikianlah, akibat benturan itupun dahsyat sekali. Arya Salaka dan Sawung Sariti sama-sama terlempar jauh ke belakang, dan seterusnya mereka jatuh terguling-guling. Untunglah bahwa kedua anak muda itu belum memiliki kedua macam ilmu itu dengan sempurna. Sehingga karena itulah maka ketahanan tubuh mereka dalam pemusatan ajian masing-masing masih dapat bertahan sehingga mereka tidak hancur karenanya. Meskipun demikian untuk beberapa saat mereka terpaksa membiarkan diri mereka terbaring tak bergerak. Seolah-olah tenaga mereka terlepas dari sendi-sendinya.Dalam hal yang demikian, kembali ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih besar dari Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan tubuhnya dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah ia berhasil duduk dan bersandar pada kedua belah tangannya. Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat bangkit berdiri.

Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya, “Anakku berdua… sudahilah pertempuran itu. Tidakkah ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kalian dengan tidak usah menumpahkan darah?”

Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari – hari seolah – olah tak seorangpun yang berani membantah kemauannya. Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,“Paman sudah menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau Paman tidak rela murid Paman binasa, suruhlah orang lain membantunya.”

Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut, “Apakah yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian terpaksa bertempur mati – matian? Kalau ada persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”

“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula, “Sawung Sariti… kejantanan seorang laki-laki tidak saja diukur dengan keprigelannya bertempur, tetapi juga harus dinilai dengan keluhuran budi. Dengan demikian barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi itu dapat dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai tujuan itu.”

“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti, “Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”

“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar. “Demikian hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku yakin, AryaSalaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja bersama dalam batas – batas yang ditentukan oleh kemampuan kalian masing-masing?”

Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya. Tetapi tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab, “Paman, aku hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang tahu diri serta tahu menempatkan dirinya.”

“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.

Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung Sariti. Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”

Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia masih mencoba berkata, “Tak ada masalah yang tak dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana.”

Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang gemintang di langit yang kelam.

Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyakb erarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan.

Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu pertempuran yang sengit. Ketika Arya Salaka melihat gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek. Tombak yang merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau, bernama Kyai Bancak.

 Demikianlah sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti menyabung nyawanya. Dua  bayangan yang bergerak-gerak dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak itu.

Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat mengimbangi. Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti.

Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Demikianlah, maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga tangannya terasa pedih. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.

Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada anak muda yang sombong itu.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.

Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Ayo, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu.”

Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya. Masa kanak-kanaknya. Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian dimakan bersama.Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua, permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua. Kalau kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.

Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam.

Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada saat itu.

Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.

Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya, “Kenapa tidak kau lakukan itu sekarang Kakang? Adakah kau takut melihat darah yang akan menyembur dari luka di dadaku?”

Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar.

“Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.

Namun Arya masih diam saja. Memang dalam perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi. Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan tangannya sendiri.

Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata, “Adi Sawung Sariti, jangan berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan berani melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu, karena kau adalah adikku, yang pernah mengalami keindahan masa kanak-kanak bersama-sama. Nah, Adi Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah baik-baik agar masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah rakyat kita.”

Sawung Sariti mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Kalau kau tidak membunuh aku sekarang, Kakang… kau akan menyesal. Sebab akulah kelak yang akan membunuhmu.”

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Namun tangannya yang memegang tombak itu masih saja gemetar. Katanya kemudian hampir berdesis, “Aku harap kau akan mengubah pendirianmu. Akan kau temukan kelak kebenaran kata-kataku. Tak ada persoalan diantara kita, apabila kita berdiri di tempat kita masing-masing. Sehingga dengan demikian kita dapat memberikan tenaga dan pikiran kita untuk kepentingan tanah kelahiran serta kedamaian dan ketenteraman hidup rakyat kita. Dimana kita dilahirkan, dan untuk siapa kita berbakti.”

Mendengar kata-kata Arya Salaka, Sawung Sariti menarik keningnya. Sekali terlintas di dalam otaknya, kebenaran kata-kata itu, seperti apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar.

Tetapi dalam keadaan yang demikian, muncullah kembali kebengalannya. Sebagai seorang yang mempunyai harga diri terlalu tinggi, ia tidak mau menyerah dan minta maaf. Malahan terdengar jawabnya, “Kakang Arya Salaka. Pertimbangkan sekali lagi. Apakah untungmu membebaskan aku. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku tetap akan membunuhmu dalam keadaan yang bagaimanapun.”

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi pening mendengar kata-kata Sawung Sariti. Bahkan beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Kenapa anak yang sedemikian sombongnya tidak dibunuh saja.

Namun Arya berpikir lain. Kelakuannya banyak dipengaruhi oleh tingkah laku Mahesa Jenar. Apalagi yang berdiri di hadapannya itu adalah adik sepupunya. Maka dengan tidak berkata-kata lagi, ditariknya ujung tombaknya dan langsung disarungkannya. Kemudian ia melangkah mundur.

Gigi Sawung Sariti masih terdengar gemeretak. Marahnya sama sekali tidak mereda. Apalagi ia merasa mendapat penghinaan dari kakak sepupunya. Karena itu darahnya justru menjadi meluap-luap. Dendamnya menjadi semakin bersusun-susun didalam hatinya yang kelam. Pada saat itu ia masih tetap berdiri dengan gagahnya. Matanya memandang tetap kepada Arya Salaka. Hanya kadang-kadang saja mata itu menyambar wajah-wajah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Bahkan sempat pula ia menangkap pancaran mata yang bulat segar dari seorang gadis tanggung yang bernama Endang Widuri.

Demikianlah Sawung Sariti telah membakar perasaan mereka yang menyaksikan peristiwa itu. Beberapa orang berpendirian bahwa orang yang demikian sombongnya itu lebih baik dibinasakan saja sebelum menjadi lebih berbahaya lagi. Namun Arya Salaka sendiri mengharap, mudah – mudahan adiknya itu dapat menemukan kembali jalan kebenaran. Menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Dengan demikian ia akan menemukan penyelesaian tanpa menanam dendam yang lebih dalam dari cabang keturunan Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga kelak tidak akan mengganggu kedamaian hidup berdampingan sebagai dua orang bersaudara yang memerintah atas tanah masing-masing. Pamingit dan Banyubiru. Arya Salaka sendiri telah berusaha keras untuk menyimpan dendam atas hilangnya ayahnya Gajah Sora, serta berusaha untuk melupakannya. Sebab apabila dendam dituntut dengan dendam, maka dendam itu sendiri akan menjalar turun-temurun. Dan habislah manusia di dunia ini terbenam dalam arus pembalasan demi pembalasan.

Beberapa orang menjadi keheran-heranan ketika malahan Arya Salaka memutar tubuhnya dan kemudian melangkah pergi menjauhi adiknya yang masih berdiri tegap tanpa bergerak. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak menyesal. Bahkan mereka merasa berbangga hati atas keluhuran budi yang memancar dari rongga dada muridnya, meskipun kemudian mereka masih mendengar Sawung Sariti berkata, “Kakang jangan mengharap hatiku menjadi cair oleh sikapmu kali ini. Bagaimanapun juga kau tidak akan dapat kembali menjamah daerah perdikan Banyubiru.”

Arya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengarkan lagi lagu yang menyakitkan hati itu, supaya ia tidak mengubah keputusannya. Karena itu ketika ia mendengar Sawung Sariti meneruskan kata-katanya, ia berteriak, “Pergilah, dan ambil pedangmu. Bunuhlah aku kelak kalau kau sudah merasa mampu. Aku akan merasa bahagia kelak, kalau aku binasa ndhepani tanah pusaka serta rakyat tercinta. Demi mereka, aku bersedia untuk mati.”

Setelah itu ia tidak menoleh lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat. Bahkan ia tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri berjajar mengelilinginya. Ia tidak peduli apakah orang lain akan membenarkan pendiriannya atau tidak.

Demikianlah Arya Salaka dengan langkah tetap langsung menuju ke Gedangan. Beberapa orang berjalan mengiringinya dengan berbagai perasaan menggayut hati. Meskipun ada diantara mereka yang menjadi kecewa, namun disela-sela perasaan itu, kagumlah mereka atas kebesaran jiwa anak muda itu. Mereka yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu hanya menganggap, betapa tinggi jiwa kejantanannya. Sebagai seorang laki-laki jantan ia tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya lagi.

 Sawung Sariti memandang iring-iringan itu sampai lenyap dibalik tabir kegelapan malam. Beberapa kali ia menarik nafas. Kemudian ia melangkah maju, dan kemudian membungkuk memungut pedangnya. Dengan tajam diamat-amatinya pedang kebanggaannya itu. Seolah-olah ia sedang bertanya pada benda itu, kenapa kali ini ia tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bahkan dibeberapa bagian dilihatnya pedangnya mengalami kerusakan. Karena itu ia menjadi kagum atas ketajaman dan kekerasan baja bahan tombak yang bernama Kyai Bancak.

Setelah ia menyarungkan pedangnya, dilayangkan pandangannya berkeliling. Baru kemudian terasa betapa sepinya. Perlahan-lahan ia melangkah dan berjalan menjauhi tempat dimana ia hampir saja binasa.

Sesaat kemudian arena itu menjadi sunyi. Sunyi sekali. Namun didalam kegelapan malam, masih ada seorang yang berdiri diantara mayat-mayat yang masih bergelimpangan di sana-sini. Orang itu adalah Mahesa Jenar. Ia tidak turut serta dengan orang-orang lain kembali ke Gedangan. Tetapi ia berhenti beberapa tonggak dari desa itu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian, Arya lebih senang duduk sendiri. Merenung dan menimbang-nimbang apa yang sudah dan akan dilakukan. Karena itu lebih baik ia tidak mengganggu. Kebo Kanigara telah lebih dahulu kembali ke Gedangan mengantar anaknya yang kelaparan bersama dengan Wanamerta dan orang-orang lain.

Namun pada saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak merasa lapar. Beberapa kali ia membungkuk mengamat-amati mayat-mayat yang terbujur lintang diarena. Ada diantaranya yang sudah tua, tetapi ada diantara yang masih sangat muda. Sekali dua kali terpaksa ia mengusap dadanya. Sekian banyak orang melepaskan nyawanya, hanya karena ketamakan beberapa orang yang ingin memegang kekuasaan. Berbahagialah mereka yang mati dalam tugas suci mereka. Tetapi sayanglah jiwa yang melayang sebagai korban nafsu yang tak terkendali.

Demikianlah malam bertambah kelam. Di langit masih tampak berterbangan kelelawar mencari mangsa. Sedang di kejauhan terdengar gonggongan anjing liar mengerikan.

Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak di dalam gelapnya malam diantara mayat-mayat yang bergelimpangan. Matanya memandang jauh, ke arah bintang-bintang di langit. Namun hatinya dipenuhi oleh pertanyaan-ternyataan tentang esok. Apakah kira-kira yang akan terjadi? Adakah pasukan dari Pamingit dan rombongan orang-orang golongan hitam itu akan kembali lagi menyerang? Ataukah mereka sudah merasa bahwa mereka tak berhasil? Meskipun demikian adalah menjadi kewajiban Mahesa Jenar untuk tetap waspada dan bersiaga sepenuhnya. Sekali-sekali dilayangkan pandangan matanya ke arah pedukuhan Gedangan yang lamat-lamat meremang, seperti bayangan yang kelam menggores di wajah langit. Mahesa Jenar menarik nafas. Pedukuhan itu tampak betapa damainya dalam kelelapan tidurnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi keributan sama sekali. Tetapi disini. Bukti-bukti itu dihadapinya. Mayat dan bau darah.

Menghadapi kenyataan itu, darah Mahesa Jenar berdesir. Namun ia sadar sesadar-sadarnya bahwa kehadirannya di dunia ini bukanlah sekadar untuk menjadi umpan nafsu dan ketamakan. Tetapi sebagai manusia, ia wajib menegakkan kebenaran dengan usaha-usaha menurut jalan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika Mahesa Jenar sedang tenggelam dalam angan-angannya, tiba-tiba di kejauhan tampaklah sebuah bayangan yang melintas dengan cepatnya. Mahesa Jenar menjadi terkejut karenanya.
Tetapi dalam tangkapannya yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu, merupakan penyelamat yang menentukan.

Bersambung ke Jilid 14

———-oOo———-

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema


7 Tanggapan

  1. ijin masuk GANDOK….sreet,

  2. matur nuwun…..terima kasih….kamsiaaaa,

  3. lanjutannya bos,,,,,,

  4. baru sekarang saya bisa baca sendiri cerita NSSI, TRIM

  5. trim

  6. Assalamu’alaikum…
    Saya memang pengagum karya sh mintarja.
    sejak saya masih muda sudah membacanya.
    saya tidak tau, apakah yg saya baca ini adalah naskah asli sh mintarja.
    menilik gaya bahasa yang ditampilkan, maka ada perbedaan”. tapi meski demikian, kerangka besarnya masih seperti pendahulunya.
    semoga…
    Aamiin…

Tinggalkan komentar