ISTANA YANG SURAM 06


ISTANA YANG SURAM

Jilid 6

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-06

PANJI SURA WILAGA tiba-tiba saja menggeram, katanya seakan-akan kepada diri sendiri, “Semakin lama istana ini menjadi semakin panas. Rasa-rasanya halaman ini sudah dikepung rapat sekali, bahkan satu dua orang sudah menyusup kedalam” ia berhenti sejenak,lalu, “Raden, jika Raden tidak segera dapat memecahkan teka-teki dari istana ini, maka akibatnya akan menjadi semakin buruk bagi bibi Raden dan seluruh isi istana ini. Karena itu, Raden harus cepat berbuat sesuatu, jika kita berhasil dan sempat keluar dari kepungan ini, maka perhatian mereka akan beralih kepada Raden, istana ini akan kembali menjadi sepi dan tenang”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk.

“Raden tidak boleh memalingkan tugas Raden karena pengaruh keinginan bibi Raden”

“Maksud paman?”

“Puteri Inten Prawesti, misalnya”

“Ia adalah saudaraku, seperti aku harus menyelamatkan bibi, maka aku pun harus menyelamatkannya”

Panji Sura Wilaga menarik nafas, bahkan ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Apakah begitu?”

“Apakah paman mempunyai tanggapan yang berbeda?”

“Mudah-mudahan Raden, mudah-mudahan demikianlah yang seharusnya”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Seandainya dugaan paman benar, apakah salahnya?”

“Tetapi Panji Sura Wilaga kemudian berkata, “Tetapi ingat, Raden adalah murid dari perguruan Cengkir Pitu”

“Jangan kau sebut”

“Ciri-ciri yang ada tidak dapat kita ingkari, kita sebut atau tidak kita sebut. Memang mungkin ada orang yang melihat sampai ke pusat jantung perguruan Cengkir Pitu, tetapi memang sulit untuk menghindarkan ciri dari ciri itu, namun demikian agaknya perguruan itu tidak sangat menarik perhatian, setiap orang dapat saja berguru ke perguruan yang manapun juga, tetapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat dengan pasti menghitung jumlah murid di suatu perguruan”

“Agaknya segala sesuatu memang harus berlangsung lebih cepat paman. Sebelum pengembara itu menunjukkan gejala-gejala yang lain, sehingga kita harus membunuhnya”

“Meskipun demikian Raden, kita memang tidak dapat bertindak tanpa kewaspadaan yang tinggi”

“Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun ia tidak segera menjawab.

Demikianlah keduanya memasuki bilik mereka sambil membawa persoalan di dalam hati. Meskipun demikian, mereka saling berdiam diri, bahkan Raden Kuda Rupaka pun membaringkan dirinya di pembaringannya. Namun rasa-rasanya mereka sedang berpikir tentang persoalan-persoalan yang mejadi semakin berat yang harus mereka hadapi.

Dalam pada itu, Raden Ayu Kuda Narpada ternyata telah disentuh oleh suatu kejutan yang tidak disangka-sangka. Kehadiran kedua pengembara itu menumbuhkan persoalan baru didalam hatinya, persoalan yang ingin disingkirkannya dalam hatinya.

Karena itulah, maka ia pun kemudian mengurung dirinya di dalam biliknya, duduk termenung seakan-akan melihat ke alam lain, menerawang menjelajahi waktu dan tempat. Dari masa-masa yang lampau, masa kini dan masa mendatang. Sepanjang perjalanan hidupnya sejak berada di Majapahit.

Bukan saja Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi Inten Prawesti pun merasakan sesuatu yang berbeda di dalam rumahnya, sikap ibunya menimbulkan teka-teki yang tidak dapat dipecahkannya, tetapi ia tidak berani langsung bertanya tentang sikap ibunya yang asing.

Untunglah bahwa Pinten segera menemuinya, seperti biasa keduanya dapat saling mengisi setiap kekosongan yang timbul di hati masing-masing.

“Ibunda nampaknya memikirkan sesuatu di dalam biliknya” kata inten.

“Apakah dua pengembara itu sudah mempengaruhi Raden Ayu dengan ilmu yang lain lagi untuk mengambil keuntungan dari istana ini?” bertanya Pinten.

“Jika demikian, apakah kiranya yang akan diambilnya dari tempat ini? Ibunda sudah tidak mempunyai apapun juga selain yang nampak ini, perkakas yang tidak berharga dan barangkali tidak seorang pun yang akan tertarik lagi”

Pinten menarik nafas, lalu ia pun berbisik, “Puteri, apakah puteri pernah mempertimbangkan untuk berbuat sesuatu?”

“Maksudmu?” bertanya Inten.

“Puteri, agaknya istana ini menjadi pusat perhatian dari banyak orang, jika yang mereka kehendaki adalah harta benda betapapun banyaknya, maka aku kira cara yang mereka tempuh akan berbeda dengan yang terjadi sekarang ini”

“Pinten” Inten Prawesti mengerutkan keningnya, “Semakin lama kau menjadi semakin pandai, aku memang sudah berpikir demikian, dan agaknya kakangmas Kuda Rupaka pun menganggapnya seperti itu”

“O, apakah yang dikatakan oleh Raden?”

“Mungkin ada sesuatu yang menarik di halaman ini, bahkan kakangmas Kuda Rupaka bertanya kepadaku, apakah aku tahu bahwa di halaman ini ada semacam pusaka atau apapun yang serupa dengan itu”

Pinten mengerutkan keningnya, agaknya sesuatu telah membersit di hatinya.

Inten memandang wajah Pinten yang menegang, tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi bersungguh-sungguh. Dengan nada yang ragu-ragu Pinten pun kemudian bertanya, “Tetapi apakah benar di halaman ini ada semacam pusaka atau benda-benda lain serupa itu? Tombak atau keris atau pantrem?”

“Aku tidak tahu Pinten, ibupun tidak mengetahuinya”

Pinten berpikir sejenak lalu, “Puteri, jika demikian kita harus mencarinya”

“Kita?, maksudmu kau dan aku?”

“Ya, puteri”

“Dimana kita akan mencari?, dan bukankah belum pasti bahwa di halaman istana ini ada sesuatu”

“Ah, aku akan mencoba mencarinya, aku akan menyuruh kakang Sangkan untuk mencari pusaka-pusaka yang mungkin ada di halaman ini”

Inten Prawesti menggelengkan kepalanya, katanya, “Itu tidak mungkin”

“Aku akan membicarakannya dengan kakang Sangkan, mungkin ia mempunyai cara, jika puteri menyetujui, kita akan mencari bersama-sama”

Inten termangu-mangu, namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu, jika Sangkan memang mempunyai cara yang baik, aku tidak keberatan” Inten menjadi ragu-ragu, “Tetapi aku harus minta ijin dahulu kepada ibunda”

“Itu tidak perlu puteri, jika kita mememukannya, maka kita akan menyerahkannya kepada ibunda puteri, tentu ibunda puteri akan senang sekali”

“Sesudah itu”

“Kita serahkan kepada Kuda Rupaka untuk membawanya kemana saja yang paling baik, asal tidak lagi berada di halaman ini. Bukankah dengan demikian istana ini akan menjadi tenang dan tidak lagi dibayangi oleh kecemasan seperti sekarang ini, puteri?”

Inten mengangguk-angguk, katanya, “Terserahlah kepadamu”

Pinten pun kemudian dengan tergesa-gesa mencari Sangkan, sejenak mereka berbicara tentang pusaka-pusaka itu.

“Lebih cepat lebih baik, kita akan mencarinya sekarang, aku akan mengerahkan semua tenaga yang ada, kedua pengembara itu harus dimanfaatkan” berkata Sangkan.

Demikianlah maka Sangkan pun mulai mengerjakan rencananya, dengan tergesa-gesa ia pergi ke dalam biliknya dan mengajak kedua orang pengembara itu untuk mencari pusaka di halaman istana itu.

Ajakan itu benar-benar mengejutkan kedua pengembara itu, sejenak mereka saling memandang. Sementara Sangkan mendesaknya, “Cepat, aku adalah lurahmu disini”

“Sangkan” bertanya Ki Mina kemudian, “Dimana kita akan mencari pusaka yang kau katakan itu?”

“Dihalaman istana ini, di seluruh halaman”

Ki Mina menjadi semakin bingung, tetapi ia pun kemudian mengajak Panon, “Marilah Panon, kita mencarinya”

“Kita harus menemukannya, jika kita tidak menemukannya, maka kemungkinan yang lalu dapat terjadi, mungkin kalianlah yang dengan diam-diam akan mencuri pusaka-pusaka itu, atau mungkin orang lain yang dengan diam-diam memasuki halaman di malam hari”

Demikianlah maka mereka pun mengikuti Sangkan pergi ke halaman belakang, mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk mencari pusaka-pusaka itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mendengar pula keributan di halaman, lamat-lamat mereka mendengar Sangkan memerintahkan kedua orang itu untuk menggali seluruh halaman.

“Yang seorang mulai dari belakang” perintah Sangkan

“Yang lain dari sebelah barat, sekaligus kalian dapat menyiangi tanaman bunga dan empon-empon”

Ki Mina menarik nafas, tetapi dengan isyarat ia menyuruh Panon untuk melakukannya.

“Paman” desis Kuda Rupaka, “Apakah Sangkan sudah menjadi gila?”

Panji Sura Wilaga termangu-mangu, katanya, “Aku juga mendengarnya Raden, ia ingin mencari pusaka”

“Marilah kita lihat”

Keduanya dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya turun ke halaman samping, sambil menarik nafas dalam-dalam keduanya mendekati Sangkan yang berdiri di sudut istana bagian belakang sambil bertolak pinggang. Dihalaman sisi belakang, nampak kedua pengembara sedang mencangkul tanah seperti mereka mengerjakan sawah sebelum ditanami.

“Apa yang kau lakukan Sangkan?”

“Mencari pusaka Raden, agaknya pusaka-pusaka itu yang menjadi sebab kesulitan yang selama ini terasa semakin menekan. Orang-orang yang memasuki halaman ini di malam hari dan terbunuh oleh Raden berdua. Kidang Alit yang menakut-nakuti aku, dan mungkin masih ada orang-orang lain lagi diluar dinding istana ini. Karena itu, aku mencari pusaka itu sampai ketemu. Mungkin pusaka itu telah ditanam di halaman ini, karena ternyata pusaka itu tidak terdapat di dalam istana”

“Sangkan” bertanya Kuda Rupaka, “Siapakah yang mengatakan bahwa di dalam rumah ini terdapat pusaka-pusaka?”

“Raden juga menanyakan kepada puteri tentang pusaka-pusaka. Mungkin dugaan Raden benar, dan kita memang harus menemukannya dan menyingkirkannya, jika mungkin menjualnya, harganya tentu cukup tinggi. Wajah Kuda Rupaka nampak berkerut-merut, namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Kau memang terlalu bodoh untuk berbicara tentang pusaka, jika sekiranya kau menemukan pusaka di halaman ini, kemana kau akan menjualnya?”

“Ke Demak, para bangsawan di Demak mempunyai banyak uang dan mereka tentu akan memerlukan pusaka tersebut. Dan dengan uang itu aku akan membangun istana ini menjadi lebih baik lagi”

“Dan kau akan memiliki istana yang sudah kau bangun ini selanjutnya?”

“O, tentu tidak, Istana ini tetap milik gusti puteri, dan kelak akan menjadi milik Puteri Inten Prawesti”

Kuda Rupaka mengerutkan dahinya, sementara itu Pinten yang mendengar jawaban kakaknya mencibirkan bibirnya.

“Sangkan” berkata Kuda Rupaka, “Apakah kau kira kau akan dapat memenukan pusaka dengan caramu yang dungu ini? Seandainya benar pusaka itu disembunyikan di istana ini, apakah pusaka itu akan diletakkan di halaman begitu saja? Atau katakan ditanam sedangkal mata kaki?, sudahlah, hentikan perbuatan gila ini, jangan berpikir lagi tentang pusaka, jika kau menemukan pusaka apapun di halaman ini dan kau mencoba menjualnya, itu berarti bahwa umurmu akan mejadi pendek”

“Kenapa Raden, apakah akan dikutuk oleh pusaka itu, sehingga aku akan mati?”

“Ya, kau akan dikutuk oleh pusaka itu, dan kau akan dirobek-robek oleh orang-orang yang sekarang tentu sudah menunggu disekitar istana ini. Orang-orang yang tidak kita ketahui dengan pasti apakah yang telah mendorong mereka untuk memasuki istana ini, seperti dua orang yang telah aku bunuh itu, jika bukan kawan-kawan mereka, maka Kidang Alit pun tentu siap mencincangmu tanpa memberikan ampun lagi, apalagi membeli pusaka-pusaka seandainya kau menemukan”

“O” wajah Sangkan menjadi pucat, “Mengerikan sekali, jika demikian, hal serupa itu pun dapat terjadi di dalam istana ini, jika mereka berkeras menganggap bahwa di dalam istana ini memang ada pusaka itu, maka mereka akan beramai-ramai mencarinya disini dengan kekerasan, karena itu agaknya lebih baik jika kita menemukannya terlebih dahulu”

“Jika kau menemukannya?”

“Kita sediakan saja di pendapa, atau sebuah sayembara yang menarik, siapakah yang paling kuat, ialah yang akan memiliki pusaka itu”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, Panji Sura Wilaga menggeram, “Aku ingin mencekiknya saja Raden”

Namun Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Kedunguannya sangat memberikan kesegaran pada kehidupan yang datar di istana ini. Tetapi sudahlah Sangkan, hentikanlah kerjamu yang sia-sia, kecuali jika kau memang sudah benar-benar menjadi gila”

Sangkan menjadi termangu-mangu, tetapi kemudian katanya, “Baiklah Raden, aku akan menghentikan usahaku mencari pusaka itu, tetapi biarlah orang-orang malas ini bekerja terus. Biarlah mereka menyiangi pohon-pohon bunga dan perdu. Meluruskan tanaman empon-empon dan jika perlu membuat lubang sampah di belakang”

“Hentikan Raden” geram Panji Sura Wilaga.

“Kau benar-benar gila Sangkan” berkata Kuda Rupaka kemudian, “Agaknya kau berkeras untuk menemukan sebuah pusaka atau mungkin lebih dari itu, dengan membuat lubang tempat sampah kau berharap untuk mendapatkannya, tetapi kau tentu akan kecewa, meskipun demikian, cobalah. Jika kau berhasil menemukan sebuah pusaka, bahkan sebilah senjata apapun meskipun bukan pusaka, aku akan menukar dengan seekor kuda yang paling tegar, kau akan dapat menjual kuda itu dengan aman, karena tidak akan ada orang yang ingin merebutnya dari tanganmu, seperti jika kau menemukan sebuah pusaka”

“Raden membuat suatu kesalahan” desis Panji Sura Wilaga, “Dengan demikian Raden telah mendorongnya untuk mencarinya di seluruh halaman ini”

“Aku akan membelinya paman” bisik Kuda Rupaka.

“Tetapi pengembara malas itu?”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya perlahan-lahan sekali, “Kita sudah siap menghadapi segala kemungkinan, jika kedua pengembara itu ternyata berniat buruk pula terhadap pusaka-pusaka yang seharusnya kembali ke Demak itu, kita sudah siap, apapun yang akan terjadi”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab lagi, ia dengan tegangnya mengamati kedua orang pengembara yang masih memegang cangkul sambil termangu-mangu di halaman samping dan belakang, agaknya mereka menunggu, apakah yang harus mereka lakukan.

“Bekerja terus” teriak Sangkan sambil mengangkat wajahnya seperti seorang senapati di peperangan, “Meskipun kalian tidak menemukan pusaka apapun, tetapi kerja kalian akan bermanfaat. Teruskan. Dan kalian akan membuat lubang sampah di kebun belakang”

Dalam pada itu Kuda Rupaka berbisik, “Kita akan mengawasi mereka, jika mereka membuat lubang-lubang sampah. Mungkin Sangkan melihat sesuatu yang menarik perhatian dan menggalinya”

Tetapi ini permainan gila, dan kita harus ikut manjadi gila pula”

Kuda Rupaka tersenyum, desisnya, “Apa salahnya kita harus berbuat apa saja, dan kali ini kita menjadi gila”

Panji Sura Wilaga tidak menjawab.

“Marilah kita ke halaman depan, kita akan melihat dari kejauhan, jika mereka mulai membuat lubang-lubang sampah, kita akan mendekat”

Panji Sura Wilaga pun mengikuti Kuda Rupaka ke halaman depan, mereka kemudian duduk dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun sambil mengawasi kedua pengembara yang masih saja berdiri termangu-mangu.

“He, mengapa kalian masih belum mulai?” bertanya Sangkan. “Sudah aku katakan, mendapat atau tidak, kalian akan tetap menggali halaman itu”

Panon menarik nafas, rasa-rasanya dadanya akan meledak melihat perlakuan Sangkan yang dungu itu, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi ketika ia melihat Kiai Rancangbandang sudah mulai mengayunkan cangkulnya lagi.

Namun demikian, kedua orang itu dibayangi oleh kecemasan, mereka telah menyembunyikan senjata dibawah tikar di pembaringan. Jika tidak atau dengan sengaja seseorang menemukannya, maka keadaannya tentu akan segera berubah. Tetapi agaknya semua orang berada di halaman itu, kecuali Raden Ayu Kuda Narpada dan Nyi Upih. Dan keduanya yakin bahwa kedua perempuan itu tentu tidak akan melihat-lihat pembaringan mereka.

Dalam pada itu, Pinten yang semula berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari kakaknya, segera mendekatinya sambil berbisik, “Jika kau menemukan pusaka-pusaka itu. Kau akan menjualnya dan membangun istana ini bagi puteri Inten Prawesti”

“Ya”

Pinten mencibirkan bibirnya, “Kau terlalu sombong, apakah kau tidak menyadari, bahwa kau adalah pelayan disini”

“He, kenapa kau ini Pinten? Aku memang pelayan disini, kenapa?, apakah aku tidak boleh membangun istana itu? Bukankah sampai sekarang aku juga yang memperbaiki semua kerusakannya, dari atap sampai ke regolnya”

“Sst, jangan terlalu keras.Lihat, puteri berdiri di butulan dan kau selalu saja membicarakannya”

“Siapa yang mulai?”

“Aku akan mengatakannya kepada puteri. Oh puteri, kakang Sangkan akan menjual pusaka untuk memperbaiki istana ini bagi puteri”

“Kau jangan mengigau Pinten”

Tiba-tiba saja Pinten tertawa..

“Aku copot gigimu tiga buah” desis Sangkan.

Tetapi ketika Sangkan menjulurkan tangannya, Pinten berlari ke butulan menjumpai puteri Inten Prawesti yang berdiri di butulan itu melihat Sangkan dan kedua pengembara itu mencari pusaka.

Dimuka pintu Pinten berhenti, dari kejauhan Sangkan hanya melihat bibir adiknya itu bergerak-gerak, tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakannya kepada puteri Inten Prawesti.

Tetapi yang dikatakan oleh Pinten sama sekali bukan tentang pusaka yang akan dijual untuk membangun istana ini, yang dikatakannya adalah usaha pencarian pusaka yang agaknya tidak akan dapat berhasil dengan cara itu.

Inten tersenyum katanya, “Kakangmu memang aneh Pinten, jika dengan demikian kau akan menemukan pusaka-pusaka itu, maka alangkah mudahnya”

“Pusaka-pusaka yang mana puteri?” bertanya Pinten.

“Bukankah kalian sedang mencari pusaka?”

“O” Pinten menarik nafas, “Aku kira puteri ingin mengatakan tentang pusaka-pusaka yang sudah puteri ketahui”

Inten mengerutkan keningnya, ditatapnya wajah Pinten sejenak. Namun pada wajah itu sama sekali tidak terbayang niat apapun juga, karena nampaknya Pinten acuh tidak acuh terhadap kata-katanya sendiri.

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Dengan serta merta meloncat berdiri dan langsung menghadap ke regol halaman yang sedikit terbuka.

Ternyata bukan hanya kedua orang itu sajalah yang menjadi tegang. Semua orang yang ada di halaman samping dan belakang itu pun mendengar derap kaki kuda itu pula. Tetapi mereka tidak melihat apa yang terjadi di halaman depan dengan jelas, apalagi orang yang sedang berada di halaman belakang.

Sementara itu. Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga dengan hati-hati melangkah mendekati regol. Jelas bagi mereka bahwa derap kuda itu telah terputus, dekat regol halaman itu.

Sejenak kemudian mereka melihat dua orang berkuda yang berada diluar regol.

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga ragu-ragu sejenak, namun kemudian mereka berdua dengan langkah yang tetap mendekati regol itu, dan bahkan membuka pintunya semakin lebar.

Dua orang yang masih duduk diatas kuda memandang kedua orang yang berada di halaman itu dengan tegangnya.

“Jadi kalian berdua adalah yang bernama Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga?, yang sudah membunuh dua orang dari perguruan Guntur Geni?”

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga termangu-mangu, namun kemudian dengan tegas Kuda Rupaka menjawab, “Ya, aku adalah Kuda Rupaka dan ini adalah paman Panji Sura Wilaga, kamilah yang telah membunuh orang-orang dari Guntur Geni, dan kami akan membunuh siapa saja yang berusaha memasuki istana ini dengan kekerasan dan mengganggu bibi Kuda Narpada”

Kedua orang itu meragu, namun salah seorang dari mereka tertawa, “Kau adalah seorang yang berani Raden, tetapi kau sama sekali tidak berperhitungan”

Kuda Rupaka memandang kedua orang kedua itu, wajahnya bagaikan membara, namun ia berdiri ditempatnya. Sambil menggeram ia berkata, “Kau jangan mengigau disini, aku mempunyai perhitungan yang tepat, jika kalian tidak segera pergi, maka kalianpun akan aku bunuh pula di tempat ini, agaknya kalian adalah kawan-kawanmu dari perguruan Guntur Geni itu”

“Kami bukan orang-orang Guntur Geni” sahut seorang dari mereka yang berkuda diluar regol.

“Aku tidak peduli sipakah kalian, tetapi jika kalian mengganggu kami disini, maka itu akan berarti kematian bagi kalian”

“Jangan terlampau sombong”

“Aku akan membuktikan, kecuali jika kalian segera pergi dari tempat ini”

Keduanya termangu-mangu sejenak, namun salah seorang dari mereka tertawa, “Kau benar-benar seorang anak muda yang berani, seperti juga pamanmu Sura Wilaga itu, tetapi kalian akan menyesal karena kalian berada di tempat ini”

“Itu sudah cukup, pergilah” geram Kuda Rupaka.

“Raden” berkata salah seorang dari kedua orang berkuda itu, “Aku harap dalam waktu tiga hari, Raden meninggalkan istana ini, kami memang mempunyai kepentingan dengan Raden Ayu Kuda Narpada. Kami sudah tidak sabar lagi menunggu di padukuhan Karangmaja. Karena itu, sebelum kami kehabisan kesabaran sama sekali, sebaiknya kalian pergi. Termasuk dua orang pengembara yang kini berada di halaman ini. Aku menduga bahwa keduanya bukan orang-orangmu. Ia datang dalam ujud yang lain dari ujud seorang bangsawan seperti kalian. Meskipun aku menduga pada suatu saat akan terjadi benturan antara kau dan orang yang berpura-pura menjadi pengemis itu, namun aku menganggap lebih baik bahwa kalian pergi dahulu sebelum hal itu terjadi, dan biarlah aku yang mengusir mereka itu dari halaman ini dan aku akan membunuh mereka”

“Aku akan membunuhmu sekarang, He, jika kau ingin membunuh, kenapa harus menunggu tiga hari?. Pengecut, Kau hanya dapat mengancam dan menakut-nakuti aku, atau barangkali kau menunggu pasukan segelar sepapan?”

“Bukan begitu, bagiku lebih baik berhasil tanpa membasahi tangan ini dengan darah daripada harus membunuhmu”

Raden Kuda Rupaka sudah tidak sabar lagi, terlebih Panji Sura Wilaga yang maju selangkah mendekati orang-orang berkuda itu.

Namun sebelum orang berkuda itu menggerakkan kendali kuda mereka, salah satu dari dari mereka berkata, “Jangan terburu nafsu, lebih baik kalian agak berhati-hati menghadapi aku dan kawanku besok”

Kuda Rupaka menggeram, tetapi kedua orang itu pun kemudian segera meninggalkan regol itu sambil tertawa.

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga berdiri termangu-mangu, mereka masih dapat menahan diri dan membuat perhitungan yang lebih baik dari sekedar menuruti perasaan.

“Mereka sudah gila, “Geram Panji Sura Wilaga, “Sementara kita masih tetap disini oleh mimpi yang indah”

Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga dengan kemerut didahinya, katanya, “Aku tahu yang paman maksudkan, sebenarnyalah bahwa aku pun sudah siap berbuat sesuatu, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran Inten Prawesti di dalam hatiku, karena bagiku kedua-duanya dapat aku lakukan dengan sempurna”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya seolah-olah sekedar bergumam kepada diri sendiri, “Aku tidak tahu, bagaimana harus membagi hati antara tugas dan perasaan seorang laki-laki terhadap seorang gadis”

Kuda Rupaka mengangkat wajahnya, seolah-olah ia ingin mengatakan kepada seisi istana kecil itu, “Lihatlah, aku akan menyelesaikan semua tugasku bersama-sama, tugasku sebagai murid perguruan Cengkir Pitu dan tugasku sebagai seorang laki-laki”

Panji Sura Wilaga masih akan menyahut, tetapi tiba-tiba mereka tertegun ketika telinga mereka yang tajam menangkap sebuah desis diatas dinding halaman.

Mereka menjadi berdebar-debar ketika tiba-tiba saja mereka melihat seorang yang duduk diatas batu itu sambil memandang berkeliling. Tatapan matanya terhenti sejenak, ketika ia melihat orang-orang sedang sibuk mencangkul tanah di halaman samping dan belakang.

Sebelum seorang menyapanya, telah terdengar ia tertawa pendek, katanya, “Menyenangkan sekali untuk mendapat kesempatan mencari pusaka-pusaka yang belum diketemukan itu dengan cara yang paling baik yang pernah aku lihat”

“Kidang Alit” hampir bersamaan semua orang yang berada di halaman itu berdesis. Panon dan Kiai Rancangbandang yang belum mengenalnya pun kemudian mengulangi nama itu, didalam hatinya, setelah ia mendengar Sangkan menyebutnya, “Kidang Alit”

Kuda Rupaka yang masih dicengkam oleh kemarahan karena hadirnya dua orang berkuda itu pun menggeram sambil berkata, “Kidang Alit, kau jangan terlalu sombong, jika aku tidak segera membunuhmu itu karena aku masih mempunyai pertimbangan lain. Aku kira kau pada suatu saat merasa bahwa kau tidak akan berhasil mendapatkan apapun juga di halaman ini. Tetapi agaknya kau memang terlampau dungu untuk mengerti, bahwa kau tidak mempunyai kekuatan apapun yang akan dapat kau andalkan disini, selama aku masih berada di halaman istana ini”

“Dan sekarang bertambah lagi dengan dua orang pengembara itu. Eh, aku tidak yakin bahwa kedua pengembata itu bukan pengikut-pengikutmu yang dengan sengaja kau masukkan ke dalam istiana ini”

“Kau gila Kidang Alit” Kuda Rupaka yang tidak dapat menahan hatinya hampir beteriak, “Aku tidak kenal dengan pengembara itu, tetapi apapun yang ada di dalam istana ini, akan menggagalkan usahamu untuk menemukan pusaka-pusaka yang ada di dalamnya. Kau memang tidak dapat ingkar lagi, bahwa pusaka-pusaka itu telah menyeret kalian dan orang-orang Guntur Geni itu untuk merebutnya dari tangan penghuni istana ini. Tetapi selama aku masih ada disini, maka semua usaha itu tentu akan sia-sia. Kau tentu tahu, dua orang yang terbunuh itu, jika kaulah yang hadir pada malam itu, dengan menyebut perguruan Kumbang Kuning itu bukan berarti bahwa kau pun berhak atas pusaka-pusaka di dalam istana ini”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Jangan marah-marah Raden, aku pun menjadi curiga, bahwa Raden Kuda Rupaka benar-benar sekedar ingin menyelamatkan pusaka-pusaka itu tanpa pamrih”

“Jika ada pamrih padaku, itu adalah wajar sekali, tetapi pamrihku adalah pamrih yang baik”

Kidang Alit termenung sejenak, dengan mata yang tidak berkedip ia memandang ke pintu butulan, justru pada saat Inten Prawesti mencoba menjengukkan kepalanya.

“Pusaka dan perawan memang pantas dipertahankan sampai akhir hayat, tetapi jika kau mati terbunuh di halaman istana ini Raden, kau tidak akan mendapatkan kedua-duanya”

“Itu adalah akibat yang wajar dari sebuah perjuangan, tetapi pamrih yang utama bagiku adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Demak, jika memang pamanda Kuda Narpada meninggalkan pusaka itu di istana ini”

“Jangan berpura-pura, setiap orang mengetahui, bahwa pada saat Pangeran Kuda Narpada bertahan, Maharaja Majapahit telah menyerahkan sebilah keris. Hanya sebilah keris. Kau tidak akan dapat menyebut pusaka yang manapun juga lebih dari satu justru untuk mengelabui orang-orang yang mengetahui denga pasti pusaka apakah yang telah diserahkan kepada Pangeran Kuda Narpada sebagai lambang kekuasaan Majapahit dan sebagai sipat kandelnya di dalam pertempuran yang maha dahsyat yang telah menghancurkan Kota Raja itu. Tetapi akhirnya Pangeran Kuda Narpada tidak dapat bertahan. Ia meninggalkan Kota Raja dengan pusaka yang diterimanya, bukankah begitu?”

“Ya, dan sekarang aku datang untuk mengambil pusaka itu dan menyerahkan kepada pamanda Sultan Demak”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah kau yakin bahwa Demak akan dapat bertahan dan melanjutkan kekuasaan Majapahit?”

Kuda Rupaka termenung sejenak, lalu, “Jika demikian aku yakin, kau adalah seorang pewaris kerajaan Kediri yang merindukan kebesarannya setelah Kediri tidak pernah dapat bangkit kembali. Bukan salah Majapahit bahwa ia menjadi besar dan berkuasa mempersatukan kepulauan yang terbentang dari ujung Barat sampai ke ujung Timur”

Kidang Alit duduk memeluk lututnya diatas dinding halaman itu mengangkat kepalanya sejenak, lalu diantara suara tertawanya ia berkata seolah-olah acuh tak acuh saja atas sikap Raden Kuda Rupaka, “Kenapa kau mengambil kesimpulan bahwa aku adalah trah langsung dari Kediri? Aku adalah Kidang Alit, seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat menetap seperti kleyang kabur kanginan”

Kuda Rupaka lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Lihatlah kedua pengembara itu, mereka juga menyebut dirinya kleyang kabur kanginan. Dan mungkin masih banyak orang yang mempergunakan penyamaran yang dungu semacam kau”

“Seandainya demikian, kenapa kau menghubungkan aku dengan trah Kediri?”

Banyak trah Kediri yang berada di dalam lingkungan Kumbang Kuning” Jawab Kuda Rupaka, “Selebihnya kau mempunyai bayangan ujud bangsawan, bukan seorang perantau yang kau sebut kleyang kabur kanginan, maka kau adalah seorang bangsawan yang mursal, yang kehabisan sisa harta benda Karena kau menginginkan nafsu duniawi”

“Ah, kesimpulanmu salah, ada banyak sebab, contoh yang dekat adalah puteri Inten Prawesti, ia menjadi melarat, tetapi apakah ia benar-benar mengagungkan nafsu duniawi?”

“Gila” Kuda Rupaka menggeram, tetapi ia tidak mau digelitik oleh sikap Kidang Alit sehingga kehilangan akal dan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menahan perasaannya. Bahkan ia masih sempat tersenyum dambil menjawab, “Kau memang pandai memilih persoalan. Tetapi kita tidak akan terperosok dalam perdebatan yang kau inginkan, aku tidak membicarakan diajeng Inten Prawesti, aku berbicara tentang kau dan kandunganmu”

Kidang Alit menarik nafas, katanya, “Kau memang bijaksana, kau tidak mudah terseret arus kemarahanmu dan mengalihkan persoalan. Baiklah, aku sadar sekarang, bahwa Raden Kuda Rupaka memang seorang yang harus mendapat perhatian lebih banyak dari setiap orang yang ada di sekitar istana ini untuk merampas pusaka yang tersimpan di dalamnya, aku yakin bahwa pada suatu saat akan terjadi, kita semuanya akan menentukan siapakah yang pantas memiliki pusaka itu”

“Kau belum memperhitungkan paman Cemara Kuning dan paman Sendang Prapat”

“Keduanya tidak akan dapat kau jumpai lagi dimanapun juga kau berada”

“Semakin jelas bagiku, kau adalah saluran dari kedua paman yang memang masih mempunyai darah keturunan Kediri itu, meskipun keduanya adalah darah Majapahit pula, ibunda dari kedua pamanda itu tentu mempunyai saluran yang sama dengan kau yang menamakan Kidang Alit”

“Penglihatanmu tajam sekali, Raden. Tetapi tidak ada orang yang dapat melihat samubarang”

“Meskipun tidak ada. Tetapi aku seolah-olah dapat melihat bahwa pada saat paman Cemara Kuning dan Sendang Prapat membawa Pamanda Kuda Narpada, pusaka itu tentu tidak ada pada paman Kuda Narpada. Atau, jika pamanda membawa sebilah keris yang disangkanya pusaka itu, ternyata bukan, sebab jika tidak demikian, kau tentu tidak akan kemari”

“Kau benar-benar waskita”

“Tetapi marilah kita berkesimpulan, bahwa dengan demikian satu-satunya keris yang dibawa oleh pamanda Kuda Narpada saat ia memasuki padukuhan ini adalah bukan pusaka yang kau cari itu. Karena pamanda hanya membawa sebilah keris saja”

Kidang Alit tertawa, “Itu adalah kesimpulan yang tergesa-gesa Raden, atau kau sudah menerima keris itu dari Raden Ayu Kuda Narpada dan dengan demikian kau ingin mengelabui aku”

“Carilah kesimpulanmu sendiri, itu adalah kesimpulanku”

“Pada suatu saat aku ingin bertanya langsung kepada Raden Ayu”

“Sia-sia, bibi tidak tahu sama sekali” ia berhenti sejenak, lalu, “He, Kidang Alit, kenapa kau tidak menyebutnya bibi seperti aku?, aku tahu, bahwa kau memiliki gelar kebangsawanan, sebaiknya kau tidak perlu mempergunakan penyamaranmu lagi”

Kidang Alit mengangguk, jawabnya, “Mungkin kau benar, tetapi itu adalah urusanku. Aku adalah Kidang Alit, bagiku sendiri, aku tidak perduli pendapat orang lain.”

“Dan sekarang?”

“Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali lagi kemari. Sebaiknya kau pergi sebelum terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat berakibat buruk bagimu”

Kuda Rupaka yang justru tertawa, katanya, “Ternyata kau tidak ada bedanya dengan dua orang dungu yang berkuda tadi. Sebenarnya aku kecewa mendengar peringatanmu itu. Sebelumnya aku hormat kepadamu sebagai seorang bangsawan yang merendahkan diri. Karena cita-cita yang mempunyai pengetahuan yang luas dan ilmu yang tinggi, tetapi kau masih juga sempat menakut-nakuti aku seperti kanak-kanak. Seharusnya kau tahu bahwa itu tidak berguna sama sekali”

Kidang Alit tertawa pula. Jawabnya, “Kau benar Raden, aku ternyata masih terlalu cengeng menghadapi seorang anak muda yang sangat perkasa. Baiklah, aku minta diri. Aku kadang-kadang masih juga mengganggu Raden ini sebangsa tikus dari Guntur Geni itu, sehingga aku merasa perlu untuk menakut-nakuti Raden. Tetapi ternyata aku harus menjadi malu karenanya. Namun, pada suatu saat aku akan menebusnya dengan bukti bahwa aku benar-benar akan membunuhmu”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Aku menunggu setiap saat, aku akan berada di tempat ini waktu yang tidak terbatas, meskipun aku tahu keluargaku tentu menjadi gelisah karena aku belum juga pulang. Bahkan mungkin ada satu dua orang senapati yang akan menyusulku kemari”

“O, adakah itu juga suatu keterangan yang cengeng?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, tetapi ia pun kemudian tertawa pula. Namun justru Panji Sura Wilaga hampir kehilangan kesabarannya.

“Nah, kau juga cerdik” kata Kuda Rupaka, “Sekarang pergilah”

“Baik Raden”

Kidang Alit pun kemudian memandang halaman itu sejenak. Ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat Panon dan Kiai Rancangbandang masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum melihat Sangkan yang terduduk dengan wajah pucat disudut istana itu, bersandar tiang. Sementara Pinten duduk sambil memeluk kaki Inten Prawesti di butulan.

“Aku akan pergi. Agaknya aku menakut-nakuti orang disini, kecuali Raden berdua dengan Panji Sura Wilaga dan kedua pengembara itu. Jika kedua pengembara itu bukan sahabat Raden, hati-hatilah dengan mereka. Lihatlah betapa matanya menyala dan kedua kakinya yang renggang menghadap kepadaku, Raden harus lebih menaruh perhatian kepada mereka, daripada kepada anak-anak Guntur Geni itu telah datang lagi dalam jumlah yang lebih banyak dan sudah tentu orang-orang yang lebih baik dari yang sudah Raden bunuh di istana ini”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, dibiarkannya Kidang Alit bergeser. Namun ia masih sempat tersenyum kepada Inten Prawesti sambil berkata, “Ampun puteri, aku tidak ingin menakut-nakuti puteri dan gadis itu, aku tidak ingin melontarkan gendam dalam kidung maupun pengaruh bunyi yang lain. Karena semuanya itu dapat dipudarkan oleh Raden Kuda Rupaka. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia akan dapat berbuat demikian pula dalam oleh kanuragan”

Inten Prawesti tidak manyahut. Tetapi tubuhnya terasa menjadi gemetar seperti Pinten yang masih memeluk kakinya.

Sejenak kemudian Kidang Alit itu pun meloncat turun, tetapi suaranya masih mengumandang, “Akan datang waktunya orang-orang Guntur Geni itu menyerang istana ini”

Tidak seorang pun yang menjawab, tetapi Raden Kuda Rupaka kemudian menghentakkan tangannya sambil bergumam, “Gila, kita harus segera selesai”

“Tidak ada lagi sopan santun dan unggah-ungguh yang dapat menghambat tugas kita”

Kuda Rupaka tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian mendekati Inten Prawesti yang berdiri di butulan, ketika ia lewat di dekat sangkan yang bagaikan membeku, ia sempat menyentuh kaki Sangkan dengan kakinya.

“Kau akan mati membeku pada suatu saat” desis Kuda Rupaka.

“Tetapi, tetapi….” Suara Sangkan bagaikan tersumbat di kerongkongan.

Kuda Rupaka tidak menghiraukannya, tetapi ia melangkah terus mendekati Inten.

Inten Prawesti masih saja berdiri di tempatnya, sementara Pinten dengan gemetar berpegangan dengan kakinya.

“Diajeng” berkata Kuda Rupaka, “Agaknya keadaan menjadi semakin gawat, hati-hatilah, mungkin ada persoalan yang nenyusul. Tetapi jangan cemas, semuanya tentu akan dapat kita atasi” Ia berhenti sejenak, lalu, “Namun demikian, kita harus saling membantu, aku akan menjaga istana ini dengan mempertaruhkan nyawaku”

Inten Prawesti tidak menjawab, rasa-rasanya mulutnya menjadi kaku dan jantungnyapun serasa berhenti berdenyut.

“Diajeng” berkata Kuda Rupaka, “Sebaiknya kita mulai berterus terang kepada bibi, sudah waktunya bibi mengetahui semua persoalan yang sedang bergejolak di sekitar istana ini”

Inten tidak dapat menjawab, tetapi kepalanya terangguk lemah.

“Semuanya harus berlangsung dengan cepat. Pada saatnya aku akan menghadap bibi untuk memecahkan kesulitan yang timbul di istana ini”

Inten masih tetap berdiam diri, ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Cobalah mengerti diajeng” berkata Kuda Rupaka selanjutnya, “Dan usahakanlah agar bibi dapat mengerti pula kesulitan-kesulitan yang sama-sama kita hadapi”

Kuda Rupaka tidak menunggu jawaban Inten yang masih bingung, tetapi ia pun kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Tetapi tetap tenang sajalah, aku ada disini”

Dihadapan Sangkan yang masih membeku di tempatnya Kuda Rupaka berhenti, sambil menunjuk kepada dua orang yang berdiri termangu-mangu di kebun sambil memegang cangkulnya ia berkata, “Kau lihat kedua orang itu?, pada suatu saat bukan Kidang Alit lah yang akan menakut-nakuti kau, tetapi kedua orang itu. Bahkan mungkin mereka akan menjadi lebih berbahaya dari Kidang Alit itu sendiri”

“Tetapi, tetapi mereka hanya dua orang pengembara?”

“Kau dengar yang dikatakan oleh Kidang Alit? Ia pun tidak lebih dari seorang pengembara pula, kleyang kabur kanginan”

Sangkan tidak menjawab, tetapi wajahnya yang pucat masih saja pasi, sedang keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Tetapi ia hanya dapat memandang langkah Kuda Rupaka menjauh dan hilang bersama-sama dengan Panji Sura Wilaga di halaman depan.

Sepeninggal Kuda Rupaka, Sangkan mencoba untuk beranjak dari tempatnya, sejenak ia memandang adiknya yang duduk berpegangan kaki Inten Prawesti, namun kemudian ia memandang kedua orang yang sedang termangu-mangu di kebun itu dengan sorot mata yang aneh.

“He…!” tiba-tiba Sangkan berteriak kepada Panon

“Apakah benar apa yang dikatakan oleh Kidang Alit dan Raden Kuda Rupaka, bahwa kau dan pamanmu akan membuat kesulitan disini?”

Pertanyaan itu benar-benar membingungkan, sehingga Panon tidak segera menjawab, dengan gelisah ia memandang Ki Mina yang berdiri beberapa langkah dari padanya, tetapi nampaknya orang tua itu pun menjadi agak bingung pula.

“Kenapa kau diam saja” berkata Sangkan, “Kalian berada dibawah perintahku disini, kalian harus menjawab dengan jujur dan tidak berbelit-belit.”

Panon menjadi semakin bingung, tetapi justru karena itulah maka ia pun dengan ragu-ragu menjawab, “Tidak, tentu tidak, aku telah mengabdi disini dengan maksud yang baik”

“Apakah kau mencari pusaka pula seperti orang-orang lain?”

“Tidak, tidak”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Bagus, sayang Raden Kuda Rupaka sudah pergi, seharusnya ia mendengar jawaban kalian bahwa kalian tidak akan mencari pusaka itu dengan cara apapun juga. Jika kalian sekarang mencangkul halaman dan nanti membuat lubang-lubang sampah itu karena akulah yang menyuruhmu”

“Ya, ya, semata-mata karena aku mendapat perintah dari Ki Lurah”

“Jangan panggil aku Ki Lurah, tidak seorang pun yang mengangkat aku menjadi lurah disini, meskipun kedudukanku terhadap kalian memang ada bedanya dengan lurah kalian”

Panon tidak menjawab lagi, tetapi rasa-rasanya ia tidak tahan lagi menghadapi tekanan perasaan yang semakin menghimpit dadanya. Seakan-akan rongga dadanya itu hampir meledak oleh perasaan muak dan kesal.

Sangkan pun kemudian berdiri dengan dada terngadah dimuka pintu butulan menghadap kepada Inten Prawesti, katanya, “Puteri telah mendengar sendiri, kedua orang itu tidak akan berbuat apa-apa disini, nanti puteri dapat mengatakannya kepada Raden Kuda Rupaka dan Raden Panji Sura Wilaga”

Inten menarik nafas dalam-dalam, tetapi kepalanya terangguk pula meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Sangkan adalah anak yang aneh, adik perempuannya kadang-kadang menunjukkan sikap yang cerdas dan cakap menganggapi keadaan, tetapi Sangkan justru kebalikannya. Betapa mudahnya ia disesatkan oleh jawaban-jawaban yang mungkin kosong, jika dengan jawaban itu sudah meyakinkannya, maka ia akan mudah sekali terpersok ke dalam kesulitan”

Namun Inten Prawesti tidak mengatakan apapun juga bahkan perlahan-lahan ia menyentuh bahu Pinten sambil berkata, “Marilah Pinten, kita masuk saja kedalam”

Pinten pun kemudian berdiri dan mengikuti Inten masuk ke ruang dalam, dengan ragu-ragu Inten bertanya, “Apakah aku harus mengatakannya kepada ibunda?”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun menjawab, “Sebaiknya puteri, karena ibunda justru telah mendengar keributan-keributan di halaman, karena itu, agar ibunda puteri jusru tidak selalu dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan, maka ada pula baiknya puteri memenuhi pesan Raden Kuda Rupaka”

Inten mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah Pinten, aku akan langsung menghadap ibunda, sebaiknya kau ikut serta, agar kau dapat membantu aku memberikan penjelasan”

Pinten mengangguk-angguk, tetapi dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya, “Tetapi puteri, apakah yang akan puteri katakan kepada ibunda?”

“Kesulitan kita, bukankah kakangmas Kuda Rupaka berpesan demikian?”

“Lalu, apakah kira-kira tanggapan ibunda puteri?”

“Tentu aku tidak tahu Pinten”

“Jika puteri menjadi ibunda, apakah kira-kira yang akan puteri lakukan?”

Inten termangu-mangu sejenak, dengan ragu-ragu Inten mencoba menjawab, “Apakah kira-kira ibunda akan mempersoal-kan keris itu lagi? Tetapi jika sekiranya ibunda mengetahui, ibunda tentu sudah mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, agar kita segera terlepas dari kesulitan yang selalu membayangi rumah ini”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Memang itulah tujuan Raden Kuda Rupaka, Raden Kuda Rupaka ingin segera mengetahui dimanakah pusaka ayahanda puteri itu disimpan. Karena bukan saja Raden Kuda Rupaka, tetapi setiap orang yang berdatangan ke sekitar istana ini percaya, bahwa keris pusaka itu masih ada di dalam istana ini”

“Jika sekiranya ibunda memang mengetahui?” desis Inten Prawesti, “Tetapi ibunda pun tentu tidak mengetahui, dan itu berarti malapetaka akan menimpa kita semuanya”

Pinten mendekati Inten sambil berbisik, “Raden Kuda Rupaka ada di istana ini puteri, seharusnya puteri tidak usah menjadi cemas, jika sekiranya ibunda puteri memang tidak menegetahui. Apakah salahnya untuk berterus terang bahwa memang tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun akan dapat memaksa agar orang yang benar-benar tidak mengetahui, dan dengan sendirinya menjadi tahu”

Inten termangu-mangu, sekali lagi ia heran melihat sikap dan tingkah laku Pinten dibandingkan dengan kakaknya, Sangkan.

“Tetapi Pinten, bagaimanakah jika kakangmas Raden Kuda Rupaka lah yang kemudian tidak percaya bahwa ibunda tidak mengetahui sama sekali tentang pusaka itu”

“Siapapun yang menghadap, yang tidak diketahui akan tetap tidak diketahui, aku kira puteri menjadi cemas bahwa dengan demikian Raden Kuda Rupaka akan kecewa dan meninggalkan istana ini”

Inten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau benar Pinten, aku memang cemas, bahwa kakangmas Kuda Rupaka akan merasa kecewa. Ia telah menyelamatkan kami dari bencana dan telah membunuh orang-orang yang ingin dengan paksa memasuki istana ini, yang pernah barang tentu ingin memaksa ibunda untuk menunjukkan pusaka itu pula”

“Puteri tidak perlu mengkhawatirkan, Raden Kuda Rupaka adalah seorang kesatria, jika ia menolong kita maka itu adalah darma. Tentu Raden Kuda Rupaka kelak akan menimbang beratnya. Ia tidak akan menghubungkan pertolongannya dengan kepentingan yang lain, katakanlah tentang pusaka yang sedang dicari oleh banyak orang”

“Ah” Inten Prawesti berdesah.

Sementara itu Pinten berkata selanjutnya, “Sudahlah puteri, jangan gelisah”

“Tetapi jika kakangmas Kuda Rupaka menjadi benar-benar kecewa, maka ia akan meninggalkan istana ini, menemukan pusaka itu baginya sebagai seorang kesatria adalah darma pula. Ia haris mengembalikan pusaka itu ke Demak”

“Tetapi ia tidak dapat memaksa orang lain untuk mengatakan apa yang tidak diketahuinya” jawab Pinten, lalu, “Puteri, jika Raden Kuda Rupaka kemudian merasa kecewa dan meninggalkan istana ini, maka kitapun tidak menjadi cemas”

“Dan orang-orang itu akan berdatangan?”

”Tentu tidak puteri, sasaran mereka akan beralih, mereka tidak akan bernafsu lagi memasuki istana ini, tetapi mereka akan mencari Raden Kuda Rupaka, karena mereka mengira bahwa Raden Kuda Rupakalah yang telah membawa keris pusaka itu dari istana ini”

“O” Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kau memang cerdas sekali, seolah-olah kau memiliki pengamatan yang tajam sekali terhadap sesuatu persoalan. Jauh berbeda dengan kakakmu. Ia adalah seorang anak muda yang lucu sekali, tidak banyak yang dapat dilakukan, tetapi setiwap perbuatannya dapat menimbulkan kejenakaan, sedangkan kau mempunyai ungkapan yang lain lagi Pinten, nampaknya kau seperti seorang gadis yang bijaksana”

“Ah. Puteri selalu memuji, jika aku benar-benar menjadi bijaksana, tentu karena puteri sadar atau tidak sadar telah membimbing caraku berpikir”

“Bagaimana mungkin jika aku sendiri tidak memiliki kebijaksanaan itu”

“Orang-orang rendah hati tidak akan memperlihatkan kebijaksanaan diri, apalagi mengatakannua kepada orang lain, dan itulah bedanya antara puteri dan orang-orang lain yang merasa dirinya bijaksana”

Inten mengerutkan keningnya, dipandanginya wajah Pinten dengan seksama, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu di dalamnya, bahkan rasa-rasanya jauh lebih dalam arti pandangan lahiriah semata-mata.

“Pinten” berkata Inten Prawesti kemudian, “Kau jauh berbeda dengan kakak dan biyungmu”

“Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia tertawa, katanya, “Sudahlah puteri, jangan memikirkan aku, bukankah puteri sedang menghadapi masalah yang jauh lebih pelik daripada menilik sifat dan tabiatku”

Inten menarik nafas dalam-dalam, kepalanya ternagguk-angguk kecil, lalu katanya, “Aku akan menghadap ibunda”

“Apakah aku juga akan ikut serta seperti yang puteri kehendaki untuk membantu puteri mengatakan apa yang telah terjadi?”

“Ya, tentu Pinten”

Pinten mengangguk lemah, “Terima kasih atas kepercayaan itu puteri”

Keduanya pun kemudian mencari Raden Ayu Kuda Narpada yang pada saat terakhir justru lebih banyak berada di dalam biliknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang telah menyentuh hatinya sehingga menumbuhkan bayangan lain di wajahnya.

“Semula ibunda sudah memasrahkan diri kepada Allah Yang Maha Besar” berkata Inten, “Tetapi tampaknya kini ibunda telah diganggu lagi oleh kenangan masa silamnya, atau barangkali ibunda sudah mengetahui bahwa istana ini telah menggetarkan bukan saja padukuhan Karangmaja, tetapi padepokan-padepokan dan bahkan para bangsawan di Demak, karena mereka mengira di halaman ini terdapat sebilah pusaka yang mereka cari”

“Kita akan menghadap puteri, mudah-mudahan ibunda membuka hatinya”

Dengan ragu-ragu Intenpun kemudian mengajak Pinten menemui ibundanya di dalam biliknya, namun alangkahnya tertegun ketika mereka mendengar suara tembang di belakang istana.

“Ah” desis Pinten, “Tentu kakang Sangkan memaksa anak muda pengembara itu untuk mengajarinya mendendangkan kidung itu, sejak semalam ia sudah rerasan, bahwa ia ingin belajar kidung yang telah menarik perhatiannya itu”

Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kakakmu sama sekali tidak terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi di istana ini, meskipun pada saat peristiwa itu terjadi, ia menjadi ketakutan dan bahkan seolah-olah menjadi beku sama sekali” ia berhenti sejenak lalu, “Marilah, kita mohon untuk berbicara dengan ibunda yang tampak murung”

Dengan ragu-ragu maka keduanya memasuki bilik Raden Ayu Kuda Narpada yang seperti telah diduga oleh Inten, duduk dengan murung di dalam biliknya di bibir pembaringan. Bahkan Inten terkejut ketika ia melihat setitik air mata mengambang di pelupuk mata ibundanya.

“Ibunda” desis Inten.

Tetapi ibundanya justru mencoba tersenyum, sambil mengusap matanya ia berkata, “Marilah Inten”

Inten menjadi semakin ragu-ragu. Sekali ia berpaling kepada Pinten yang sudah duduk bersimpuh di muka pintu.

“O, kau ajak Pinten?” bertanya ibundanya.

“Ya ibunda, aku membawanya menghadap ibunda jika ibunda berkenan”

“Ibundanya mengerutkan keningnya, namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Suruhlah ia masuk”

Pinten pun kemudian bergeser masuk ke dalam ketika Inten memeberi isyarat.

“Tutup pintu itu Pinten” berkata Inten Prawesti.

Pinten pun kemudian menutup pintu bilik itu, namun ia masih juga sempat melihat Raden Ayu Kuda Narpada mengusap matanya.

“Aku tahu apa yang akan kau katakan Inten, aku juga mendengar peristiwa yang baru saja terjadi di halaman samping”

“Karena itulah ibunda menangis?” bertanya Inten.

Ibundanya menarik nafas semakin panjang, jawabnya, “Mungkin juga karena hal itu, tetapi mungkin juga karena banyak persoalan yang selama ini mengendap di dalam hatiku, aku tahu bahwa orang-orang yang mengepung istana ini sedang mencari pusaka yang mereka sangka disimpan oleh ayahandamu”

“Agaknya memang demikian ibunda, bahkan kini tekanan itu terasa menjadi semakin pepat, sehingga kakangmas Kuda Rupakapum telah merasa cemas pula”

“O, jadi angger Kuda Rupaka sudah merasa dicemaskan oleh perkembangan keadaan itu?” ibundanya menundukkan kepalanya. “Ia merupakan perisai yang kuat bagi rumah ini, jika perisainya sudah mulai lentur, apakah artinya kita semuanya?”

“Karena itu ibunda, pakah tidak sebaiknya ibunda berterus terang kepada kakangmas Kuda Rupaka”

“Tentang apa Inten? Apakah maksudmu, agar aku menunjukkan pusaka yang tidak aku ketahui itu untuk dibawa ke Demak?”

Inten manjadi termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Memang jika ibunda tidak mengetahuinya, sebaiknya ibunda pun mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, sebab agaknya kakangmas Kuda Rupaka pun mempunyai dugaan bahwa pusaka itu memang ada disini.

Raden Ayu Kuda Narpada mengerutkan keningnya, dipandanginya Pinten yang duduk di lantai sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Inten pun kemudian mengatakan pula kepada ibundanya seperti yang dikatakan oleh Pinten, seandainya Raden Kuda Rupaka merasa kecewa dan meninggalkan istana itu.

“Ibunda” berkata Inten kemudian, “Di Demak kakanda Kuda Rupaka mempunyai kekuatan untuk melawan mereka, seandainya orang-orang yang ingin memiliki pusaka itu benar-benar mengejarnya, tetapi disini?”

Ibundanya tidak segera menjawab, bahkan ia kemudian termenung memandang ke kejauhan, seoah-olah ada yang dicarinya di sela-sela bayangan anganangannya.

Dalam pada itu, suara Sangkan seakan-akan justru menjadi semakin keras melagukan tembang yang melagukan tembang yang dipelajarinya dari Panon, ia menirukan dengan irama yang terputus-putus.

Panon telah benar-benar muak menghadapi anak muda yang menuruti kehendaknya sendiri itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menolak dan apalagi sempai timbul persoalan. Kedatangannya ke istana itu mengemban tugas yang dibebankan oleh gurunya. Untuk itu ia harus mengorbankan apa saja yang dapat diberikan. Termasuk mengorbankan perasaannya.

Sementara itu, Inten Prawesti yang masih berada di bilik ibundanya, berkata, “Jika Ibunda langsung mengatakannya kepada kakangmas Kuda Rupaka, maka aku kira kakangmas akan dapat mengerti, dan bahkan mungkin kakangmas Kuda Rupaka akan sempat memanggil beberapa orang prajurit untuk mengusir orang-orang yang berada di sekitar rumah ini”

Ibundanya menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Demak, jaraknya jauh dari sini Inten, untuk mencapai Demak, anakmas Kuda Rupaka harus menempuh perjalanan dua atau tiga hari. Selama itu, diperjalanan, akan dapat terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki yang mungkin ditembulkan oleh orang-orang yang menurut dugaanmu menyangka bahwa pusaka itu telah dibawanya ke Demak”

Inten mengerutkan dahinya, memang hal itu dapat terjadi diperjalanan.

Sepercik kecemasan telah meloncat di hatinya, ada sesuatu yang rasa-rasanya memberati hatinya. Jika benar-benar Kuda Rupaka mengalami sesuatu di perjalanan, apakah hatinya tidak akan terluka pula?

Tetapi sebuah pertanyaan telah meloncat dihatinya, “Lebih dari itu?”

“Ah” Inten berdesah sambil menggeleng.

Pinten melihat kerisauan dihati puteri itu, sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Ampun puteri. Ampun Gusti, jika aku berani mengetengahkan pendapatku di saat seperti ini”

Raden Ayu Kuda Narpada memandanginya dengan kerut merut di dahinya. Kemudian katanya, “katakanlah Pinten”

“Menurut pengamatanku. Raden Kuda Rupaka, adalah orang yang linuwih. Ia tidak akan dapat dikalahkan dengan mudah oleh siapapun juga. Demikian juga agaknya di perjalanan kembali ke Demak”

Raden Ayu Kuda Narpada termenung sejenak, sekilas ia melihat wajah Inten yang tegang.

“Tetapi itu berbahaya sekali bagi kakangmas Kuda Rupaka, Pinten” tiba-tiba Inten menyahut, “Mungkin kakangmas Kuda Rupaka dapat mempertahankan diri jika lawannya tidak begitu banyak, tetapi jika jumlahnya tidak terhitung?”

Pinten mengangguk, namun katanya, “Memang setiap langkah kini harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi juga setiap langkah mengandung akibatnya masing-masing. Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh Raden Kuda Rupaka jika istana ini juga diserang oleh orang-orang yang jumlahnya tidak terhitung?”

“Tetapi itu adalah akibat yang memang seharusnya menimpa kami. Bukan angger Kuda Rupaka” Raden Ayu Kuda Narpada lah yang menyahut.

“Tetapi bukankah Raden Kuda Rupaka juga mengalaminya?”

“Tetapi disini ada beberapa orang yang dapat membantunya, kedua pengembara itu juga laki-laki, mereka akan dapat membantu betapapun lemahnya mereka” Sahut Inten Prawesti.

“Itu hanya akan menambah korban saja puteri, mereka tidak banyak berarti bagi orang-orang yang hidupnya telah ditempa oleh kekerasan yang liar seperti orang-orang yang terbunuh di halaman, atau, bukankah Raden Kuda Rupaka justru meragukan kedua orang pengembara yang kini ada di istana ini?”

Raden Ayu Kuda Narpada berpaling, dipandanginya wajah Pinten sejenak, wajah yang kekanak-kanakan, tetapi agaknya ada kelainan pada anak perempuan ini. Agaknya ia terlampau cerdas dibandingkan dengan ibunya Nyi Upih yang sudah termasuk seorang yang cukup cerdas diantara kawan-kawannya dahulu.

 

Bab 21

Pinten menundukkan kepalanya ketika terasa tatapan mata Raden Ayu menyentuh biji matanya, bahkan dengan nada yang rendah ia berkata, “Ampun Gusti, mungkin aku sudah terlampau deksura dengan mengutarakan pikiranku yang dungu dihadapan Gusti dan puteri”

“Tidak Pinten” jawab Raden Ayu, “Kau boleh mengutarakan pendapatmu, aku tidak berkeberatan. Bahkan semua itu akan aku jadikan bahan pertimbangan nanti. Karena aku masih harus memikirkannya masak-masak”

“Terima kasih Gusti, mudah-mudahan Gusti tidak marah kepadaku”

“Aku tidak marah Pinten, benar-benar tidak. Aku senang kau selama ini mengawani Inten bermain gateng dan dakon. Bahkan mungkin juga berbincang tentang keadaan istana ini, ternyata kau telah dibawanya menghadapku sekarang ini”

“Ya ibunda” sahut Inten, “Pinten justru banyak memberikan pertimbangan kepadaku, seperti yang diberikannya kepada ibunda”

“Puteri terlampau memuji” berkata Pinten.

“Aku mendengarkan semuanya” sahut Raden Ayu Kuda Narpada kemudian, “Biarlah aku membuat pertimbangan-pertimbangan”

Inten memandang wajah ibunya yang suram sekilas, kemudian ia pun berkata, “Baiklah Ibunda, agaknya sudah cukup banyak yang aku katakan bersama Pinten, mudah-mudahan ibunda dapat menemukan jalan yang sebaikbaiknya”

“Jika aku melihat jalan keluar, Inten, aku akan memanggilmu dan minta pertimbanganmu”

Inten dan Pinten pun kemudian minta diri keluar dari bilik ibunya, ibundanya yang nampaknya dihari-hari terakhir terlalu muram.

Dalam pada itu, Inten dan Pinten pun mencoba menghilangkan risau dihati mereka dengan bermain dakon. Namun permainan mereka nampaknya tidak begitu lancar, sementara itu tidak banyak mereka bercakap-cakap.

Di belakang Sangkan masih melagukan rembang yang sedang dipelajarinya, sementara Panon dan Kiai Rancangbandang masih saja dibiarkan mencangkul kebun istana itu, bahkan mereka telah membuat beberapa lubang untuk membuang sampah.

“Gila” Panon mengumpat didalam hatinya, keringatnya mulai mengalir diseluruh tubuhnya, meskipun di padukuhannya ia juga seorang petani yang setiap hari bergulat dengan cangkul, namun sikap Sangkan benar-benar telah membuatnya sangat muak dan hampir menghilangkan segala kesabarannya, apalagi jika Panon melihat sikapnya. Anak muda itu duduk dibawah sebatang pohon kemuning bersandar sambil menjulurkan kakinya. Sementara itu mulutnya masih saja melagukan tembang yang sedang dipelajarinya, bahkan setiap kali ia berteriak menyuruh Panon memberikan tuntunan lagunya jika ia terlupa.

“Lagu itu manis sekali” desis Sangkan, “karena lagu itulah maka agakya Gusti puteri memanggilmu masuk”

Panon tidak menjawab, namun tampak dari sorot matanya, luapan hati yang geram.

Sementara itu, Sangkan mengulang lagunya, justru semakin keras.

Kiai Rancangbandang mengerutkan keningnya, disela-sela nada-nada yang terlontar didalam suara tembang itu, ada sesuatu yang terasa aneh bagi orang tua itu. Rasa-rasanya Sangkan tidak benar-benar sedang belajar. Bahkan kadang-kadang terdengar unsur nadanya yang sangat kuat. Lebih dalam dari tukikan nada Panon yang nampaknya memang belum sangat menguasai lagu itu. Hanya di bagian-bagian tertentu suara Sangkan terdengar sumbang, bahkan seolah-olah dengan sengaja berbelok pada tangga nada yang salah.

“Apakah sebenarnya keinginan anak itu?” desis Kiai Rancangbandang didalam hatinya.

Namun suara Sangkan itu terputus ketika ia melihat Panji Sura Wilaga dengan tergesa-gesa mendekatinya dengan wajah yang buram. Beberapa langkah di hadapannya ia berhenti sambil mengumpat, “Apakah kau sudah benar-benar menjadi gila Sangkan?”

Sangkan menjadi bingung, diluar sadarnya ia pun berjongkok dengan gemetar, “Apakah maksud Raden Panji?”

“Kenapa kau berteriak-teriak seperti orang kesurupan?, Raden Kuda Rupaka menjadi muak mendengar suaramu yang sumbang dan menjengkelkan itu”

“O…”

“Berhentilah menggigau, atau aku harus membungkam mulutmu”

“Jika Raden Kuda Rupaka memang tidak menghendaki, baiklah, Baiklah aku akan diam Raden Panji”

“Diamlah, dan hentikan kegilaanmu dengan menggali lubang-lubang sampah dan mencangkul seluruh halaman itu”

“Maksudku, biarlah keduanya menyiangi tanaman-tanaman bunga dan pohon perdu serta empon-empon”

“Diam” Panji Sura Wilaga melangkah maju, Sangkan yang menjadi semakin ketakutan bergeser surut, tetapi punggungnya sudah melekat pada batang kemuning itu, “Ampun Raden Panji”

“Kau harus diam”

Sangkan tidak berani menjawab lagi, dengan sudut matanya ia memandang kedua orang yang masih memegangi cangkul-cangkulnya masing-masing.

“Berhentilah” geram Panji Sura Wilaga kepada kedua orang yang sedang mencangkul itu, “Pergilah ke dalam bilikmu”

“Tetapi, tetapi…” Sangkan menyela, “Mereka harus bekerja di istana ini Raden Panji”

“Kau masih menjawab lagi”

“O…” sekali lagi Sangan menundukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Panon yang sudah hampir menjadi gila, karena tingkah Sangkan, menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia pun melangkah menuju sumur untuk membersihkan cangkul dan dirinya, seperti juga yang dilakukan oleh Kiai Rancangbandang.

Panji Sura Wilaga masih menunggu sejenak, kemudian ditinggalkannya Sangkan dan kedua orang yang sudah mulai mengambil air dari dalam sumur itu.

Sepeninggal Panji Sura Wilaga, Sangkan pun kemudian berdiri dan melangkah mendekati keduanya. Dengan nada yang tajam ia berkata, “Kau jangan menjadi terlalu manja, kali ini sikap Panji Sura Wilaga menguntungkan kalian, tetapi lain kali, kalian tidak akan dapat ingkar dari perintahku”

Panon menggeretakkan giginya, tetapi Kiai Rancangbandang menggamitnya, sehingga Panon pun hanya dapat menahan kemarahannya di dalam hatinya.

“Aku benar-benar akan menjadi gila, jika aku terlalu lama berada disini” geramnya lagi dalam hati.

Baru ketika Sangkan pun kemudian meninggalkan keduanya, Panon melontarkan getaran yang bergejolak didadanya itu kepada Kiai Rancangbandang.

“Ini adalah salah satu segi ujian yang harus kau jalani, jika kau gagal, maka semuanya akan gagal pula” berkata Kiai Rancangbandang kemudian.

Panon menarik nafas dalam-dalam, ia memang menyadari bahwa ia harus dapat menahan diri, tetapi sebelumnya ia tidak pernah membayangkan bahwa di dalam istana ini ada seorang anak muda yang bernama Sangkan yang baginya jauh lebih berat artinya dari pada anak muda yang menyebut dirinya Kidang Alit itu. Seandainya Kidang Alit itu membawa satu dua orang kawan memasuki halaman istana itu, maka ia tidak pernah gentar dan tidak akan merasa dirinya tersiksa seperti ini, bahkan sampai kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

“Kegagalan memang dapat berakibat kematian” katanya di dalam hati, “Tetapi tidak membuat diriku gila seperti ini”

Tetapi Panon memang tidak dapat mengelak, ia harus menghadapinya betapa perasaannya dicengkam oleh kegelisahan dan muak.

Tetapi belum lagi Panon sempat beristirahat didalam biliknya dengan baik, Sangkan telah masuk ke dalam bilik itu pula. Sejenak ia memandang Panon dan Kiai Rancangbandang, namun kemudian ia pun melangkah langsung ke pembaringannya dan berbaring tanpa menghiraukan apapun lagi.

“Hem….” Kiai Rancangbandang menarik nafas dalam-dalam, ia melihat Sangkan yang sama sekali tidak mencuci kaki dan tangannya yang kotor oleh Lumpur begitu saja dapat membaringkan dirinya di pembaringan tanpa merasa gatal.

“Aku juga seseorang yang hidup di padesan dan bekerja bergumul dengan Lumpur, tetapi aku tidak tahan membiarkan tubuhku dikotori demikian sambil berbaring di pembaringan” berkata Kiai Rancangbandang di dalam hatinya.

Panon mencoba untuk tidak menghiraukan anak muda itu meskipun ia masih harus menahan sikapnya, agar anak muda itu tidak mencurigainya dan apalagi mengatakannya kepada orang lain.

Agaknya Sangkan benar-benar tidak menghiraukan apapun juga, sejenak kemudian telah terdengar ia mendengkur dengan teratur, ternyata ia telah tertidur dengan nyenyaknya.

“Anak muda yang aneh” desis Kiai Rancangbandang

“Rasa-rasanya ia sama sekali tidak mempunyai persoalan di dalam hidupnya, hati yang kosong bahkan menyatakan betapa ia tidak dibebani dengan segala macam persoalan duniawi yang ruwet, memang kadang-kadang kebodohan dan tidak tahu menahu tentang keadaan disekitarnya membuat seseorang tidak di kejar-kejar oleh persoalan.

Panon memandang tubuh yang terbaring itu, sambil bersungut-sungut ia berkata, “Jika saja ia tidak berbuat dungu”

“Itu adalah rerangken yang wajar dari kekosongan di dalam dirinya” Sahut Kiai Rancangbandang.

Panon tidak menjawab lagi, ia pun kemudian melangkah keluar dan duduk di serambi belakang, tatapan matanya beredar diantara pepohonan yang ada di kebun istana itu, bekas garapannya dan beberapa lobang tempat sampah.

Tiba-tiba saja Panon terkejut ketika ia mendengar langkah kecil berlari-lari, ketika ia berpaling, dilihatnya Pinten berdiri di belakangnya termangu-mangu.

“Oh, aku kira kakang Sangkan”

Panon memandang wajah gadis itu sejenak, namun kemudian rasa-rasanya ia menjadi gelisah dan menjawab diluar sadarnya, “Ia sedang tidur di dalam bilik”

Pinten berdiri diam, nampak keragu-raguan membayang di wajahnya, namun kemudian katanya, “Aku memerlukannya”

“Ia di dalam” sekali lagi Panon menjawab

“Panggilkan ia sebentar, aku memerlukannya”

Panon ragu-ragu pula, namun kemudian, “Aku tidak berani, sekarang ia sedang tidur”

“Tidur??”

“Ya”

Pinten mengerutkan keningnya, lalu ia pun kemudian berlari ke pintu bilik itu, ia tertegun ketika ia melihat Kiai Rancangbandang yang dikenalnya dengan Ki Mina masih berada di dalam bilik itu.

“Aku memerlukan kakang Sangkan” Desis Pinten, “Jika angin bertiup, biasanya buah kemiri berguguran di halaman samping”

“O, maksud puteri, kami harus memunguti buah kemiri”

“He, aku bukan puteri”

“Eh, maksudku apakah puteri menghendaki buah kemiri itu?, jika demikian maka biarlah kami saja yang mengambilnya, atau biarlah Panon melakukannya, Sangkan sedang tidur nyenyak, agaknya ia pun merasa lelah.

“Ya, puteri menghendaki buah kemiri itu”

Kiai Rancangbandang kemudian melangkah keluar pintu dan berkata kepada Panon, “Panon, ambillah buah kemiri yang rontok oleh angin, mungkin puteri ingin bermain jirak kemiri atau gateng”

Panon bangkit dengan malasnya, tetapi kemudian ia pun melangkah ke halaman samping, beberapa saat ia duduk di bawah sebatang pohon soka putih menunggui buah kemiri yang satu-satu jatuh karena diguncang oleh angin yang semakin keras.

Sekali-kali Panon mengangkat wajahnya memandang langit yang luas, di ujung cakrawala nampak mendung yang kelabu bergeser di dorong angin.

“Agaknya mendung itu akan segera merata” Desis Panon kepada diri sendiri, “Dan hujan yang lebat akan segera turun”

Panon terkejut ketika mendengar langkah seseorang mendekatinya, ternyata yang datang adalah Pinten, dengan nada yang tinggi gadis itu berkata lantang, “Dan kau hanya duduk saja disini?”

Panon mengerutkan keningnya, tetapi sebelum ia berkata sesuatu Pinten telah berlari memungut dua tiga buah kemiri yang berjatuhan.

Panon justru tidak beranjak dari tempatnya, ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil memandang gadis yang nampaknya terlalu lincah. Kakinya yang kecil meloncat-loncat di rerumputan, seolah-olah tubuhnya yang sama sekali tidak memiliki berat. Setiap kali ia membungkuk memungut buah kemiri yang berjatuhan, satu, dua dan jika angin bertiup lagi, maka buah-buah yang masakpun berguguran pula.

“Sebenarnya aku sedang menunggu sehingga buah-buah kemiri itu terkumpul” tiba-tiba saja seolah-olah diluar sadarnya Panon berkata.

“Uh” tiba-tiba saja Pinten mencibirkan bibirnya, “Itu hanya alasanmu saja, kau memang malas, akan aku katakan kepada kakang Sangkan, bahwa kau malas”

Panon mengerutkan keningnya, namun tiba-tiba nampak olehnya sesuatu yang lain pada gadis itu. Ia mempunyai banyak sekali kawan gadis-gadis sebaya Pinten itu di padukuhannya, tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mempunyai tatapan mata setajam gadis itu.

Tiba-tiba saja Panon menundukkan wajahnya.

Tetapi ia pun kemudian tidak mendengar lagi suara Pinten, ia hanya mendengar desir yang lembut, bergerak cepat sekali meninggalkan bayangan daun-daun kemiri bergoyang-goyang di rerumputan.

Baru sejenak kemudian Panon mengangkat wajahnya, ia masih melihat punggung Pinten yang menjauh dan hilang di sudut halaman istana.

Namun dalam pada itu langkah Pinten terhenti, sesuatu rasa-rasanya telah menahannya, bahkan perlahan-lahan ia berpaling, tetapi yang dilihatnya hanyalah sudut istana beberapa langkah di belakangnya.

Pinten menarik nafas dalam-dalam, ia tidak berlari lagi, sambil membawa beberapa buah kemiri dengan sudut bajunya, ia pergi menemui Inten yang sedang menunggunya.

“Buah kemiri itu harus dikupas lebih dahulu” berkata Pinten ketika ia sudah berada di serambi bersama Inten.

Inten mengangguk-angguk, tetapi nampaknya ia tidak berminat lagi untuk bermain-main.

“Aku lelah Pinten” berkata Inten.

“O, silahkan puteri beristirahat, atau apakah aku harus memijit?”

Inten menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak Pinten, aku tidak sekedar lelah badanku, tetapi lelah batinku”

“Jika demikian, sudah betul jika puteri bermain-main, mudah-mudahan dapat mengurangi perasaan lelah itu”

“Aku ingin berbaring sebentar Pinten” jawab Inten.

“Puteri” Pinten berdesis sambil memijit-mijit kaki Inten, “Jika puteri berbaring di pembaringan, tetapi tidak segera tertidur maka itu akan berarti beban batin puteri akan semakin bertambah berat, karena angan-angan yang mengambang. Dan puteri justru akan menjadi semakin lelah”

Inten menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku akan mencoba tidur Pinten.

Tiba-tiba saja Pinten tersenyum, katanya, “Puteri jangan mencoba membayangkan wajah-wajah yang barangkali mulai mengganggu perasaan puteri”

“Ah” Inten mencubit lengan Pinten, sehingga gadis itu berdesis, “Ampun puteri”

“Kau nakal sekali”

Pinten bergeser mundur, tetapi senyumnya masih nampak di wajahnya.

“Mungkin ibumu memerlukan kau Pinten, sekarang semakin banyak orang yang dilayaninya di rumah ini. Karena itu ia harus lebih banyak memasak”

“Baiklah puteri, aku akan pergi ke dapur”

Ketika Inten kemudian pergi kebiliknya, maka Pinten pun pergi mendapatkan ibunya yang sedang berada di dapur, keringatnya membasahi baju dan keningnya, sementara api masih nampak menyala di perapian”

“Ooo… biyung sibuk sekali ya…?”

“Dan kau bermain saja kerjanya”

“Aku menemani puteri bermain supaya ia tidak selalu dibebani oleh kegelisahan yang semakin mencengkam”

“Dan sekarang?”

“Puteri berbaring di biliknya”

“Dimanakah kakangmu?”

“Tidur, ia mendengkur di biliknya”

“Bukan main anak itu, bangunkan dia, apakah dikiranya ia seorang pangeran yang disaat seperti ini sempat tidur”

“Ah tidak mau biyung, dibiliknya ada dua orang pengembara itu”

Nyi Upih tidak memaksanya, dibiarkannya saja Pinten berbuat menurut kehendaknya, apa saja yang akan dilakukannya di dapur itu, namun Pinten sudah berusaha untuk membantu ibunya, meskipun hanya sekedar menunggui api dan mengaduk sayur yang sudah mulai mendidih.

Demikianlah, maka seperti yang dikatakan oleh Pinten, maka sebenarnyalah bahwa Inten justru menjadi semakin lelah, setelah sesaat ia berada di pembaringannya, angan-angannya mulai menerawang ke dunia yang nampaknya semakin suram seperti istana kecil yang terletak di luar padukuhan Karangmaja itu.

Bahkan bukan saja Inten yang rasa-rasanya menjadi semakin gelisah, tetapi terlebih-lebih adalah ibundanya yang nampak selalu murung dan sedih.

Meskipun Inten Prawesti dan Raden Ayu Kuda Narpada tidak melihat, namun rasa-rasanya mereka mengetahui dengan pasti, bahwa di sekeliling istana itu sedang bergejolak, beberapa kelompok kekuatan yang sudah siap menerkam seluruh istana itu.

Tetapi di dalam istana itu, Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya juga mulai gelisah, benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, ia pun sadar, bahwa pada suatu saat mungkin mereka berdua dengan Panji Sura Wilaga harus menghadapi jumlah orang yang jauh lebih banyak, tetapi sebagai seorang laki-laki, merekapun pantang surut di dalam tugas yang betapapun beratnya.

Ketika kemudian melam turun, rasa-rasanya istana itu pun menjadi semakin suram, lampu di pendapa nampak berkerdipan disentuh angin yang silir.

“Paman” berkata Kuda Rupaka di dalam biliknya. “Kita sekarang tidak sekedar mengawasi orang-orang yang datang di luar istana, tetapi di dalam istana itu ada Panon dan Ki Mina”

“Raden terlalu lunak hati, jika Raden berkeberatan pasti keduanya akan diusir dari istana ini, selama ini Radenlah yang membantu kebutuhan sehari-hari Raden Ayu Kuda Narpada dan keluarganya. Raden dapat mempergunakan alasan yang sederhana itu, karena dengan alasan kemungkinan-kemungkinan yang lebih rumit, apalagi dalam hal pusaka yang sedang diperebutkan itu, Raden Ayu tidak dapat mengerti”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sejenak keduanya saling berdiam diri, agaknya mereka sedang memperhatikan angan-angan masing-masing yang seolah-olah sedang dicengkam oleh kegelisahan dan seribu macam pertimbangan tentang pusaka yang ternyata telah menjadi perebutan dan bahkan dengan terbuka.

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan, suaranya ngelangut disela-sela derik jangkrik dan belalang.

“Paman” desis Kuda Rupaka, “Kau dengar suara burung itu?”

“Ya, Raden”

“Ngelangut dan menimbulkan kesan yang aneh”

“Ya, Raden, tetapi agaknya lebih dari itu, bukankah Raden ingin mengatakan bahwa suara itu bukan suara burung hantu yang sebenarnya”

“Ya, aku mendengar itu tentu suatu isyarat”

“Agaknya memang demikian, tetapi masih terlampau sore bagi sebuah tindakan yang langsung sekarang ini”

“Karena itulah, maka kita dapat membayangkan, bahwa di luar istana ini telah disusun sebuah persiapan yang masak sekarang ini, tetapi aku kira bukan dari orang-orang Kumbang Kuning, Kidang Alit tidak sedungu itu, langkahnya lebih lembut dan rumit”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, sekali-kali ia memiringkan kepalanya, seolah-olah ingin mendengar lebih jelas lagi suara burung hantu yang terdengar diantara suara-suara malam yang menimbulkan kesan tersendiri.

Kedua orang itu nampak saling berpandangan ketika tiba-tiba suara burung hantu yang ngelangut itu telah tersayat oleh teriakan suara anjing di kejauhan, suara anjing liar yang kelaparan.

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Suara anjing itu juga mencurigakan”

“Semua suara sekarang mencurigakan, kau dengar desah di ruang dalam?”

“Agaknya puteri Inten Prawesti”

“Kegelisahannya juga memberikan kesan tersendiri, gadis itu tidak pernah nampak begitu gelisah seperti saat terakhir ini”

“Itu sudah wajar Raden, jangankan puteri Inten Prawesti, Raden sendiripun menjadi gelisah”

“Gelisahku lain paman, aku mencemaskan kekuatuan batin diajeng Inten Prawesti, sementara itu, Kidang Alit mempunyai seribu macam akal untuk mempengaruhinya lewat segala cara, ia mempunyai ilmu yang dapat tersalur pada kekuatan bunyi dan irama”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Perhatian Raden sebagian telah terampas oleh puteri Inten Prawesti, seharusnya Raden memusatkan semua ilmu dan kemampuan yang ada bagi tugas terpenting Raden, menyelamatkan pusaka yang kini sedang jadi rebutan itu”

“Ya, aku menyadari, tetapi bukankah kedua-duanya dapat dilakukan bersama-sama”

“Seharusnya Raden menjadi lebih berhati-hati, Raden harus dapat memilahkan, yang manakah yang harus mendapat perhatian lebih dahulu, baru yang kemudian Raden dapat menilai puteri Inten sebagai seorang gadis”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia justru menjadi semakin gelisah, suara burung hantu yang ngelangut terdengar semakin sayup, akhirnya suara itu hilang ditelan oleh sepinya malam, namun demikian, sekali masih terdengar suara anjing liar yang kelaparan menyalak di ujung bukit sebelah.

Selagi kedua orang diruang dalam itu terdiam dalam kegelisahan, dibagian belakang istana itu, dua orang tidak dapat memejamkan matanya pula, Panon yang berbaring disamping Ki Mina, menjadi gelisah, seperti Kuda Rupaka.

“Paman” Panon berdesis

Ki Mina mengerutkan keningnya, tetapi ketika dengkur Sangkan terdengar lagi, ia berbisik, “Kau digelisahkan oleh suara burung hantu dan suara anjing liar itu Panon”

“Ya Paman”

Sekali lagi Ki Mina memandang Sangkan, yang nampaknya memang sudah tertidur, lalu katanya “Memang suara burung itu mempunyai arti tersendiri, aku juga tidak mendengarnya sebagai suara burung hantu”

Panon mengangguk-angguk lalu, “Bagaimana dengan gonggongan anjing itu?”

“Juga sangat menarik perhatian”

Panon memandang Ki Mina dengan gelisah, namun kemudian ia berkata, “Apakah hanya sekedar hanya sekedar suara burung hantu dan gonggoan anjing itu paman?”

“Maksudmu?”

“Sangkan memang seorang anak muda yang malas dan agak sombong, tetapi jika disiang hari tidur, ia tidak akan sepulas itu tidur di malam hari, nampaknya ia terlampau cepat tidur dari hari-hari yang lain”

“Ia memang malas sekali, ia selalu tertidur jika ia berbaring dimanapun, tetapi jika kau merasa hadirnya suasana yang lain, akupun sependapat”

Panon dengan hati-hati melangkah mendekati Sangkan, ia ingin membuktikan, bahwa ada yang lain pada saat itu. Bukan saja terjadi pada anak muda yang malas itu, tetapi juga terasa olehnya.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Mina.

“Aku hanya ingin tahu, apakah ia benar-benar tidur lebih pulas dari biasanya”

“Anak malas itu tidak pernah merasa terganggu oleh kejadian apapun juga, sehingga ia pun selalu tidur dengan nyenyaknya, Sangkan tidak akan dapat dipergunakan sebagai ukuran suasana malam yang terlampau sepi ini, Suara jangkrik dan belalang pun rasa-rasanya terhenti dengan tiba-tiba”

Panon termangu-mangu, diurungkan niatnya untuk menyentuh tubuh Sangkan, karena ia pun sependapat, bahwa Sangkan tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran.

“Panon” berkata Ki Mina, “Jika yang kau maksud adalah pengaruh yang tajam pada kesadaran syaraf kita, maka akupun merasakannya”

“Tepat paman, aku tidak pernah merasa pengaruh malam yang tajam seperti sekarang ini”

“Panon” Ki Mina berkata perlahan, “Kemarilah, duduklah”

Panon pun kemudian duduk disamping Ki Mina.

“Apakah gurumu pernah mengatakan kepadamu, apalagi dengan latihan-latihan yang mapan, ilmu yang disebut sirep?”

“Panon mengerutkan keningnya, lalu, “Ya paman, Guru pernah mempersoalkannya”

“Dan kau juga pernah menghayati pengaruh ilmu itu?”

“Ya, guru telah memberikan beberapa petunjuk untuk melawan ilmu itu, langsung atau tidak langsung”

“Apakah maksudmu dengan pengertian langsung atau tidak langsung?”

“Ketahanan kesadaranku dengan sendirinya akan melawan pengaruh itu terhadap diriku paman, tetapi akupun mampu melawan kekuatan itu langsung mematahkan sumber sirep itu sendiri”

Ki Mina mengangguk-angguk, lalu, “Dan kau ingin mengatakan bahwa sekarang ini telah terjadi pengaruh itu? Bahwa istana ini telah diselimuti oleh kekuatan sirep?”

“Ya, paman”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, katanya sambil menepuk bahu anak muda itu, “Ilmumu benar-benar hampir sempurna Panon, tetapi kau masih perlu mematangkannya, dengan pengalaman-pengalaman, namun jarang sekali anak muda sebaya dengan kau berhasil memiliki ilmu yang demikian tinggi, Aku melihat Raden Kuda Rupaka, kemudian anak muda yang duduk diatas batu, yang menyimpang dari kebiasaan seperti kau sendiri. Tetapi aku sama sekali tidak berkecil hati, bahwa ilmu mereka berada diatas ilmumu, nampaknya mereka memang lebih yakin akan dirinya, dan mereka memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari pengalamanmu, tetapi dalam benturan ilmu, jika terpaksa harus terjadi, maka aku masih merasa yakin, bahwa setidak-tidaknya kau dapat menyelamatkan dirimu sendiri”

Panon menarik nafas dalam-dalam, diluar sadarnya ia memandang Sangkan yang tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba saja terpercik perasaan ini membersit dihatinya, justru karena anak muda itu tidak memiliki ilmu apapun juga. Dengan demikian, ia tidak perlu memikirkan apapun yang terjadi di sekitarnya.

“Tetapi itu adalah pikiran-pikiran yang condong kepada kepentingan diri sendiri. Aku harus berbuat sesuatu yang dapat membantu melawan segala bentuk kejahatan meskipun hal itu akan menyulitkan driku sendri” Panon berkata kepada dirinya sendiri.

Dalam pada itu, Ki Mina kemudian berkata, “Panon, jika perasaanmu benar, seperti yang aku rasakan, bahwa istana ini sudah terkena pengaruh sirep, maka tentu akan ada sesuatu yang terjadi. Karena itu, berhati-hatilah, kau tidak boleh ragu-ragu, apabila keadaan memaksamu untuk mengambil sikap. Keragu-raguan akan dapat menjadi permulaan dari kegagalan”

“Aku mengerti paman, dan aku merasakan pengaruh sirep ini menjadi semakin tajam”

“Aku pun harus melawan dengan pemusatan pikiran jika pengaruh ini masih bertambah-tambah”

“Apakah aku sebaiknya langsung melawan sumber pengaruh itu paman?”

“Jangan sekarang, kita masih harus menunggu perkembangan. Aku mempunyai dugaan bahwa Raden Kuda Rupakapun dapat melakukannya”

Panon termangu-mangu, sejenak kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah salahnya, jika aku melakukannya, bukan Raden Kuda Rupaka?”

Ki Mina tersenyum katanya, “Kehadiran kita disini mempunyai kekhususan Panon, jika sirep itu kemudian hilang dengan tiba-tiba kerana perlawanan ilmumu secara langsung, maka Raden Kuda Rupaka tentu akan curiga, ia sudah tidak akan percaya bahwa kehadiran kita tanpa maksud, apalagi jika ilmumu itu kau gunakan sekarang, maka ia akan langsung menunjuk hidungmu tanpa dapat disangkal lagi”

Panon mengangguk-angguk, jawabnya, “Ya, ya, paman, aku mengerti. Untunglah aku datang bersama paman, banyak hal yang belum aku mengerti sebelumnya dan belum pernah aku pertimbangkan pula”

“Sekarang justru tidurlah, akupun akan tidur pula”

“Dalam keadaan seperti sekarang ini kita tidur?”

“Justru dalam keadaan seperti sekarang ini kita harus tidur, jika Raden Kuda Rupaka mengetahui bahwa kau tidak tertidur. Itu pun merupakan pertanda kelebihanmu” ia berhenti sejenak, lalu, “Bahkan mungkin justru Raden Kuda Rupaka sendirilah yang melepaskan ilmu sirep ini”

Panon mengangguk-angguk, sekali lagi ia berkata, “Ya, ya paman”

Keduanya pun kemudian berbaring di pembaringan, setelah mereka menyelarak pintu.

Ternyata dugaan Ki Mina tidak salah, mereka yang sebenarnya masih belum tidur itu mendengar desis langkah dua orang diluar bilik itu.

Ki Mina menggamit Panon yang tidur di sebelahnya, dan agaknya, Panon pun mengerti maksudnya, sehingga ia pun kemudian memejamkan matanya dan mengatur nafasnya.

Diluar, Raden Kuda Rupaka mencoba mengintip mereka yang berada di dalam bilik itu, tidak ada lagi tanda-tanda masih ada yang terjaga diantara mereka.

“Sudah tertidur” desis Raden Kuda Rupaka.

“Mereka tidak dapat bertahan” sahut Panji Sura Wilaga, “Agaknya mereka tidak pantas dicurigai lagi”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Belum pasti paman, mungkin mereka memang tidak memiliki ilmu yang tinggi, tetapi kehadiran mereka di dalam istana ini benar-benar memerlukan pengawasan, siapa tahu, ia berhungan dengan orang-orang yang selama ini sangat berbahaya. Keduanya hanya ditugaskan mengambil keris itu dari istana ini, kemudian selanjutnya diserahkan kepada orang lain. Bukankah tidak selamanya kita dapat mengawasi mereka siang dan malam?, suatu saat kita akan tertidur pula, atau barangkali saat kita sedang berada di padukuhan”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi setidak-tidaknya mereka berdua tidak seberbahaya seperti yang kita duga semula”

Raden Kuda Rupaka merenung sejenak, namun kemudian ia berdesis, “Ya, keduanya tidak terlalu berbahaya, namun demikian, kita masih harus tahu bahaya yang sedang mengintip malam ini paman. Kita tahu, bahwa sirep ini telah dilontarkan oleh seseorang diluar istana, jika semula kita hanya mendengar suara burung hantu dan gonggongan anjing liar yang mencurigakan, sekarang kita merasakan betapa tajamnya sirep ini.

“Kita siap menghadapi segala kemungkinan Raden” Jawab Panji Sura Wilaga.

Keduanya kemudian bergeser dari depan bilik itu dan berjalan perlahan-lahan menyusuri serambi belakang, istana itu telah benar-benar menjadi sepi, tidak seorangpun yang nampak masih terbangun, selain kedua orang yang sedang berjalan selangkah demi selangkah itu.

Namun sebenarnyalah bahwa Panon dan Ki Mina pun masih juga belum lelap, mereka justru sedang memperhatikan dengan seksama, perkembangan suasana di sekitar istana yang kecil itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun kemudian lewat pintu butulan, turun ke halaman. Dengan hati-hati mereka menyusuri tempat-tempat yang gelap untuk melihat, apakah ada sesuatu yang membahayakan isi istana itu. Tiba-tiba saja langkah mereka terhenti, mereka mendengar suara yang seolah-olah bergerak di belakang mereka meskipun perlahan-lahan.

Raden Kuda Rupaka memberika isyarat kepada Panji Sura Wilaga yang agaknya telah mendengar pula. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati dinding halaman. Dan kemudian ternyata bahwa, suara itu adalah benar-benar suara orang yang bercakap-cakap betapapun lirihnya diluar dinding halaman itu.

Sekali lagi Raden Kuda Rupaka memberi isyarat agar mereka mengikuti arah suara tadi.

Beberapa langkah mereka maju, namun kemudian mereka terhenti ketika suara itu mendekati regol halaman, meskipun masih diluar dinding.

Raden Kuda Rupaka pun kemudian segara berlindung didalam kegelapan, sedang Panji Sura Wilaga berusaha mendekati pintu sambil melekat dinding juga, namun juga dalam bayangan rimbunnya dedaunan.

Dalam keremangan malam, maka mata mereka yang tajam segera melihat beberapa orang berdiri di pintu regol, yang perlahan-lahan terbuka setelah seseorang berusaha membuka selaraknya dari luar.

“Apakah kita akan masuk?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya, kita akan masuk, apapun yang terjadi” jawab yang lain, “Dirumah ini hanya ada dua orang yang pantas kita perhitungkan”

“Mereka tidak akan dapat mengalahkan kita semuanya, jika ada korban diantara kita, itu adalah akibat yang wajar”

Sejenak mereka termangu-mangu, namun kemudian intu regol itu pun terbuka semakin lebar, dan beberapa orang itu pun melangkah masuk.

“Hati-hatilah” berkata salah seorang dari mereka, “Kau sangka bahwa kedua orang itu akan dapat kau nyenyakkan tidurnya dengan ilmu sirep itu”

“Jika mereka sedang tidur, maka sirep itu akan memperlemah kesadaran mereka, sehingga mereka tidak akan mudah terbangun. Kita akan berkesempatan untuk membunuh mereka sebelum mereka sadar sepenuhnya”

“Marilah kita masuk, kita harus bertindak caepat, sebelum sirep itu kehilangan kekuatannya”

Dalam keremangan melam nampaklah beberapa orang berjalan dengan hati-hati melintasi halaman langsung menuju ke pendapa istana kecil itu.

Dalam pada itu, Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka tidak akan dapat berdiam diri, ternyata bahwa apa yang mereka duga itu kini telah terjadi, bahwa pada suatu saat akan datang beberapa orang dengan kasar berusaha menemukan pusaka yang mereka sangka ada di dalam istana itu.

“Tetapi mereka tentu bukan Kidang Alit dan kawan-kawannya” berkata Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, di dalam hatinya, seolah-olah mereka telah membicarakannya terlebih dahulu.

Dengan sangat hati-hati pula Panji Sura Wilaga mulai bergerak mendekati Raden Kuda Rupaka, dengan suara yang hanya mereka dengan sendiri, ia bertanya, “Apa yang akan kita lakukan Raden?”

“Sudah pasti, Kita akan bertempur, kita tidak akan dapat membiarkan pusaka itu jatuh ketangannya”

“Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui dimanakah pusaka itu?”

“Mereka akan mencarinya sampai ketemu, jika tidak berhasil maka bibi akan menjadi korban”

Panji Sura Wilaga termenung sejenak, namun kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu saja, sebelum kita yakin mereka menemukannya , biarlah mereka berbuat apa saja. Baru jika mereka benar-benar berhasil, maka kita akan merebutnya. Dengan demikian, jika kita harus mengorbankan jiwa kita, adalah pengorbanan yang tentu akan berarti”

“Tetapi mereka dapat berbuat kasar terhadap bibi dan diajeng Inten”

“Apakah yang akan dilakukannya atas seorang perempuan”

“Orang-orang sekasar mereka tidak akan membuat pertimbangan siapakah yang sedang mereka hadapi”

Keduanya terdiam sejenak, mereka melihat orang-orang itu agak termangu-mangu ditangga pendapa, diantara mereka nampak seorang yang agaknya merupakan pemimpin yang sangat disegani. Orang itu nampaknya berjanggut meskipun tidak begitu jelas di dalam kegelapan, tetapi sekali-sekali ia mengusap dagu dan mengurus janggutnya itu.

“Pemimpin mereka sudah agak tua” desis Panji Sura Wilaga.

Sebenarnyalah orang berjanggut itu adalah pemimpin dari rombongan dari perguruan Guntur Geni itu. Orang yang selama ini menjadi bayangan dari pendiri perguruan Guntur Geni yang mereka anggap telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh waktu sehingga berapapun juga umurnya, ia tidak akan mati karena ketuaannya.

Didalam kegelapan Panji Sura Wilaga dan Raden Kuda Rupaka menjadi semakin tegang, tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka menggeram, “Aku harus berbuat sesuatu”

“Mereka berjumlah lebih dari dua kali lipat. Mereka berlima”

Raden Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga sejenak, lalu katanya, “Aku belum pernah melihat paman Panji Sura Wilaga sempat menghitung jumlah lawan, dan apalagi terpengaruh olehnya”

“Kita tidak boleh kehilangan perhitungan”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, namun ia mulai bergeser mendekat.

“Raden mencemaskan puteri Inten Prawesti” tiba-tiba saja Panji Sura Wilaga berdesis.

“Ya…”

“Puteri sama sekali tidak menghiraukan Raden sebagai seorang anak muda, ia menganggap Raden benar-benar seperti kakaknya saja”

“Aku tidak berkeberatan, tetapi aku harus membebaskannya”

Panji Sura Wilaga tidak dapat mencegah lagi. Dengan menahan perasaan ia harus mengikut saja apa yang akan dilakukan oleh Kuda Rupaka meskipun sebenarnya ia tidak sependapat.

“Jika mereka mencoba membuka pintu pringgitan, kita akan segera naik, tetapi jika mereka akan mencarinya diluar rumah, kita akan menunggunya” desis Kuda Rupaka.

Panji Sura Wilaga tidak menjawab, mereka mengawasi saja kelima orang yang dengan lebih hati-hati lagi naik ke pendapa.

Agaknya perhatian kelima orang itu benar-benar tertumpah kepada isi istana yang suram itu, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keadaan disekitarnya, dan merekapun sama sekali tidak mendengar gemerisik pintu yang bergeser.

Panji Sura Wilaga dan Kuda Rupaka menjadi curiga, angin yang sangat lemah tidak akan dapat menggerakkan daun pintu regol itu.

“Tunggulah disini” desis Kuda Rupaka.

“Raden mau kemana?”

“Aku akan melihat, siapakah yang berada di luar regol” jawab Kuda Rupaka, “Awasi mereka, dan jangan bergeser dari tempatmu, aku hanya sebentar”

“Bagaimana jika mereka memasuki pintu pringgitan?”

“Aku hanya sebentar” Kuda Rupaka tidak menunggu lagi, ia sudah mulai bergerak menuju ke regol halaman.

Dengan lincahnya ia bagaikan terbang didalam kegelapan. Panji Sura Wilaga mengawasinya dengan dada yang berdebar-debar, sekali-kali ia memandang ke pendapa yang diwarnai oleh cahaya obor yang redup. Namun dengan demikian ia melihat orang-orang itu masih saja ragu-ragu dan saling berbincang.

Dalam pada itu, Kuda Rupaka yang menuju keregol halaman itu tertegun sejenak, ia mendengar suara yang aneh diluar, tetapi ia memastikan bahwa suara itu adalah suara seseorang.

Dengan penuh kewaspadaan ia pun kemudian bergeser. Sebuah loncatan yang cepat, telah membawanya keluar regol dengan kesiagaan untuk menghadapi segala kemungkinan.

Kuda Rupaka terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri tegak diluar regol. Namun orang itu pun agaknya mendengar desir langkahnya, sehingga ia pun segera bersiaga pula.

Sejenak mereka saling berhadapan, namun kemudian terdengar suara Kuda Rupaka, “Jadi kau Kidang Alit?”

“Sst” desis Kidang Alit, “Aku mengikuti orang-orang itu karena aku yakin mereka akan memasuki halaman istana ini”

Kuda Rupaka termangu-mangu sejenak, ketika terlihat olehnya sesosok tubuh yang tergolek ditanah, ia bertanya, “Siapakah orang itu?”

“Sudah tentu karena aku tidak ingin pusaka itu jatuh ketangan orang-orang Guntur Geni, aku tahu bahwa kau dan kawanmu itu akan dapat bertahan dari pengaruh sirep, tetapi kau berdua akan terlalu sulit untuk melawan mereka berlima”

“Jadi…?”

“Kali ini aku akan membantumu mengusir orang-orang Guntur Geni, kita memang harus bergabung, tanpa kerja sama yang baik, maka kita tidak akan dapat mengatasi mereka yang berjumlah lebih banyak. Baru sesudah itu, mungkin kita akan terlihat dalam perhitungan sendiri”

Kuda Rupaka menggeram, ia sadar betapa liciknya Kidang Alit, tetapi menghadapi keadaan yang berat saat itu, ia tidak dapat berbuat lain, katanya, “Terserahlah kepadamu, tetapi sesudah orang-orang Guntur Geni iti kita tumpas, maka akan datang gilirannya aku membunuhmu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Jangan kita bicarakan sekerang, itu hanya akan menimbulkan kegelisahan, karena sebenarnya kita sudah dapat mengetahui kemampuan kita masing-masing, dan jika pada suatu saat kita harus berkelahi, aku kira kita hanya akan memperhitungkan ketahanan kita masing-masing, mungkin tiga hari tiga malam, atau justru lebih”

“Jadi, kau sudah bertekad untuk membiarkan aku hidup?” bertanya Kuda Rupaka.

“Menurut penilaianku, kau lebih lemah dari kekuatan Guntur Geni, kematianmu akan menguntungkan orang-orang Guntur Geni yang mungkin tidak terlawan pula olehku”

“Kau akan menyesal, lebih baik kau biarkan aku mati oleh orang-orang Guntur Geni yang jemlahnya jauh lebih banyak”

“Sudahlah, nanti kita terlambat”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, marilah kita masuk bersama-sama”

“Hati-hatilah dengan racun mereka”

Kuda Rupaka tersenyum, tetapi ia tidak menjawab lagi, keduanya kemudian memasuki halaman istana yang suram itu.

Sejenak mereka termangu-mangu, ternyata pintu pringgitan sudah terbuka.

“Mereka sudah masuk, cepat” desis Kidang Alit.

“Marilah” lalu sambil berpaling kedalam kegelapan ia memanggil, “Paman Panji, marilah”

Sesosok tubuh segera meloncat dari kegelapan, namun Panji Sura Wilaga itu terkejut melihat seseorang yang bersama Kuda Rupaka, ternyata ia adalah Kidang Alit.

“Jangan kau persoalkan sekarang paman, biarlah ia berada dipihak kita sebelum kita membunuhnya kelak”

“Tetapi?”

“Tidak ada waktu untuk memberikan penjelasan, ia akan ikut mengusir orang-orang dari Guntur Geni”

“Kemudian kitalah sasarannya”

“Atau kita yang membunuhnya, tetapi nantilah kita bicarakan”

Ketiganya pun kemudian dengan tergesa-gesa kependapa, perlahan-lahan sekali Panji Sura Wilaga berbisik, “Mereka sudah beberapa saat memasuki istana ini”

“Kita akan memancingnya keluar, lebih baik bertempur diluar daripada didalam rumah, bibi dan diajeng tentu akan menjadi ketakutan”

Ketiganya termangu-mangu sejenak, namun kemudian Kidang Alit berkata, “Sebaiknya memang mereka kita pancing keluar”

Panji Sura Wilaga yang masih belum meyakini sikap Kidang Alit masih saja ragu-ragu, namun kemudian ia melihat Kuda Rupaka mendekati pintu sambil berkata, “He, orang yang memasuki istana ini tanpa mengenal unggah-unggah, kau kira sikap deksura itu akan menguntungkanmu”

Sejenak mereka menunggu, mereka yakin bahwa suara itu tentu didengar oleh orang-orang yang berada didalam.

“He, orang-orang Guntur Geni” teriak Kidang Alit

“Jangan ingkar, kami tahu kalian adalah orang-orang perguruan Guntur Geni”

Sejenak suasana menjadi tegang, tidak terdengar jawaban, namum orang-orang yang berada di luar pintu itu justru memastikan bahwa orang-orang yang berada di dalam itu sedang merayap perlahan-lahan keluar.

Sebenarnyalah Kiai Paran Sangit sangat terkejut mendengar suara justru berasal dari luar pintu itu.

“Kita salah hitung” desis Paran Sangit. “Kita sudah menduga, bahwa keduanya tidak akan dapat kita lelapkan dengan sirep, kecuali jika keduanya memang sudah tidur”

“Aku pun menduga, tetapi bahwa mereka berada diluar pintu adalah aneh, kita tidak mengetahuinya kapan mereka keluar”

“Lalu apakah yang akan kita lakukan?”

Kiai Paran Sangit berfikir sejenak, lalu katanya, “Kita adalah orang-orang Guntur Geni, kita tidak akan takut menghadapi apapun juga, marilah kita keluar dan membunuh orang-orang yang akan mengganggu kita”

Kelima orang itu pun melangkah, tetapi tiba-tiba Kiai Paran Sangit berkata, “Kita akan keluar berempat saja, seorang dari kalian mencari pembaringan puteri itu, yang tua atau yang muda, bawalah ia keluar dan puteri itu akan kita pergunakan untuk memaksa siapapun untuk menyerah, jika tidak maka kita akan tetap membunuhnya. Kematian puteri itu tentu akan mempengaruhi ketahanan kedua orang itu untuk bertempur terus”

“Baiklah” tiba-tiba seorang yang berwajah hantu menyahut, “Akulah yang akan mengambil puteri itu”

Kiai Paran Sangit memandang orang yang berwajah hantu itu sejenak, lalu, “Baiklah, pergilah”

Ketika orang berwajah hantu itu mulai melangkah, maka Kiai Paran Sangitpun dengan tergesa-gesa bersama ketiga orang kawannya menuju ke pintu. Tetapi ia terhenti sejenak, dengan sangat hati-hati mereka melangkah mendekati daun pintu yang hanya sedikit saja terbuka.

“Kami sudah menunggu” terdengar suara diluar pintu.

Kiai Paran Sangit menggeram, dengan hati-hati ia mendorong daun pintu itu sehingga terbuka semakin lebar.

Dengan wajah yang tegang ia melihat tiga orang berdiri dipendapa, mereka sudah siap untuk bertempur, menghadapi siapapun juga.

Kiai Paran Sangit ke daun pintu yang sudah terbuka itu. Ketiga orang yang berada diluar mulai berpencar, seorang berada ditengah, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri.

Kiai Paran Sangit dengan langkah satu-satu keluar ke pendapa diiringi olehn ketiga orang kawannya. Sekilas ia memandang ke regol yang dalam keremangan malam nampak terbuka lebar.

“Kawanmu yang di regol sudah mati” tiba-tiba saja Kidang Alit berdesis.

Kiai Paran Sangit terkejut mendengar kata-kata Kidang Alit yang berdiri di sebelah kanan. Dengan wajah yang tegang ia memandangnya tanpa berkedip.

“Jangan marah” desis Kidang Alit, “Kematian memang merupakan kemungkinan yang harus di perhitungkan sejak kita berangkat ke pegunungan ini”

“Kau benar” Kiai Paran Sangit, “Kita memang harus memperhitungkan kemungkinan itu, tetapi kemungkinan yang tidak aku perhitungkan adalah kerja sama yang aneh antara kedua bangsawan ini dengan kau, Kidang Alit”

“O, kau juga mengenal aku?”

“Aku mengenalmu dan dua orang yang berada di banjar itu, kau telah menjadikan kedua anak buahmu seolah-olah orang dari Guntur Geni”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, lalu, “Kau bermimpi, aku seorang diri disini”

Tetapi Kiai Paran Sangit tertawa, katanya, “Baiklah jika kau ingkar, akupun menduga bahwa kedua kawanmu sekarang berada di sekitar istana ini”

“Terserahlah, memang khayalan yang dilandasi oleh ketakutan itu dapat membuatmu menyusun ceritara yang bukan-bukan, kau dapat menghitung anak buahmu, dan kau akan menemukan kedua orang itu diantara kalian”

Kiai Paran Sangit masih tertawa, tetapi ia pun kemudian berkata, “Baiklah, kita tidak akan mempersoalkan kedua orang itu lagi, disini ternyata kau mendapat kawan baru, Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Ternyata bahwa kesabaran dan kelicikanmu memang menguntungkan. Sebabnya aku menunggu kapan kalian akan berbenturan. Dengan demikian aku akan dapat memanfaatkan keadaan, tetapi aku tidak sabar lagi, aku terpaksa datang lebih dahulu dari Kidang Alit dengan menempuh kemungkinan seperti yang terjadi sekarang”

“Sudahlah” potong Kuda Rupaka, “Apapun yang kau perhitungkan, namun kali ini kalian memang harus berhadapan dengan kami bertiga, meskipun kelak, bahkan mungkin nanti setelah kalian terbunuh, aku harus membunuh pula Kidang Alit, sekarang bersiaplah untuk mati”

Saura Kiai Paran Sangit mengeras seperti juga suara Kidang Alit. Disela-sela derai tertawa itu terdengar suara Kidang Alit, “Ia terlampau jujur, tetapi kemungkinan itu memang ada, sekarang marilah kita mengurangi lawan, kau atau aku atau Raden Kuda Rupaka lah yang akan mati paling awal, kemudian kamatian-kematian lain akan menyusul, itu adalah taruhan yang wajar untuk memperebutkan pusaka yang tiada duanya di seluruh Majapahit”

Kiai Paran Sangit mengangguk-angguk, selangkah ia maju sedang orang-orangnya pun mulai berpencar pula.

Sejenak kemudian terdengar suara Kiai Paran Sangit “Siapakah yang akan melawan aku? Selebihnya satu diantara kalian bertiga harus melawan dua orang anak buahku”

Raden Kuda Rupaka menggeram, ia pernah bertempur dan bahkan membunuh orang-orang dari Guntur Geni, tetapi ia sadar bahwa orang ini tentu memiliki kelebihan dari orang yang pernah dibunuhnya.

Namun demikian Raden Kuda Rupaka berkata, “Aku akan melawan orang yang paling kuat diantara kalian, He agaknya kau adalah pemimpinnya, tetapi kau belum menyebutkan namamu menjelang kematianmu”

“Namaku Paran Sangit, aku memang tidak merahasiakan namaku, dan bahkan setiap orang sebaiknya mengenal, bahwa mereka tidak akan dapat melawan Kiai Paran Sangit”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Marilah, aku akan melawanmu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Itu adalah pilihan yang paling tepat, dengan demikian kau berhasil memancing perang tanding. Tentu kau segan untuk bertempur melawan dua orang sekaligus”

“Persetan” berkata Kuda Rupaka, “Apakah sebenarnya kau sendiri takut menghadapi dua orang dari Guntur Geni?”

“Aku dapat memilih, melawan dua orang, satu orang atau tidak sama sekali, aku akan ikut bertempur jika aku yakin bahwa aku tidak akan mati sekarang”

“Setan yang licik, tetapi baiklah, pilihlah lawanmu, siapapun yang kau pilih, kau sudah mengurangi jumlah lawan kami malam ini”

“Aku akan melawan dua orang dari mereka” geram Panji Sura Wilaga yang tidak sabar lagi.

Namun sementara itu suara tertawa Kiai Paran Sangit seolah-olah telah meledak, katanya, “Kau tidak bertanya kepadaku atau kepada anak buahku, kau tidak saja berhak memilih lawan, tetapi aku dan anak buahkupun berhak pula:” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah, bagi kami tidak ada bedanya siapakah yang mati lebih dahulu, Kuda Rupaka, Panji Sura Wilaga atau Kidang Alit, semuanya memang harus aku hadapi, sekarang atau besok”

“Kau memang jantan Paran Sangit”

Kuda Rupaka tidak dapat menahan senyumnya, katanya, “Suatu pujian yang menarik, kau sudah memaksa Paran Sangit memilih paman Panji Sura Wilaga untuk melawan dua orang, tetapi Paman Panji bukan orang yang licik seperti kau”

“Apakah kita akan berbicara saja?” tiba-tiba Panji Sura Wilaga memotong.

Kidang Alit menyahut, “Tentu tidak, ayo, siapakah yang ingin mati oleh tanganku”

Kiai Paran Sangit tidak menjawab, tetapi ia maju selangkah mendekati Kuda Rupaka.

Anak buahnya segera memilih lawan masing-masing, ternyata bahwa dua orang diantara mereka memilih Panji Sura Wilaga, sedang seorang yang lain mendekati Kidang Alit.

Tetapi Kidang Alit memang licik, ia masih saja berkata, “Aku akan turun ke halaman, aku lebih senang berkelahi tanpa diganggu oleh tiang-tiang pendapa”

“Gila” lawannya menggeram.

Namun Kiai Paran Sangit yang sudah berjanggut putih, yang sudah siap berkelahi melawan Kuda Rupaka, justru menyahut, “Bagus, aku sependapat, mari kita turun ke halaman, agar senjata kita tidak merusakkan tiang-tiang pendapa yang berukir indah ini”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak mau hanyut dalam arus perasaannya, karena ternyata menurut penilaiannya Kiai Paran Sangit itu pun orang yang licik, meskipun tidak selicik Kidang Alit.

Demikianlah mereka segera turun ke halaman, Panji Sura Wilaga yang terus melawan dua orang itu pun segera meloncat sambil menggeram, namun demikian seorang lawannya turun ke samping pendapa, ia pun sudah mulai menyerang dengan garangnya.

Tetapi lawannya sempat mengelak, bahkan lawannya yang seorang lagi segera menempatkan diri dan bertempur berpasangan.

Raden Kuda Rupaka menahan nafasnya, ia sadar, bahwa Panji Sura Wilaga harus memeras segenap kemampuannya, beberapa saat yang lewat, ia pernah juga mengalami kesulitan untuk melawan dua orang sekaligus.

“Mudah-mudahan dua orang itu tidak setingkat ilmunya dengan orang-orang Guntur Geni yang terbunuh beberapa waktu yang lalu” katanya di dalam hati, namun dalam pada itu ia yakin bahwa orang berjanggut putih itu tentu mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, halaman itu pun telah dipenuhi oleh lingkaran-lingkaran perkelahian. Kidang Alit sudah harus bertempur melawan seorang dari anak buah Kiai Paran Sangit.

Tetapi dalam pada itu, ia masih juga sempat berkata di dalam hati, “Aku akan membunuh orang ini, jika Kuda Rupaka atau Panji Sura Wilaga terbunuh pula, maka tugasku akan menjadi semakin ringan.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka pun segera merasa, betapa lawannya kali ini memang lebih berat dari lawan yang pernah di bunuhnya. Kiai Paran Sangit yang tua itu ternyata memiliki kemampuan bergerak yang lincah, langkahnya ringan seperti tanpa menyentuh tanah, sedang pukulannya yang dahsyat menyalurkan hembusan angin yang keras.

Tetapi Kuda Rupaka bukannya anak muda yang dungu, ia mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan tugasnya yang berat, sehingga karena itu, maka ia pun segera menempatkan diri pada perlawanan yang seimbang dengan tekanan lawannya.

Yang segera nampak terdesak adalah Panji Sura Wilaga, kedua lawannya menyerang dari dari arah yang berbeda-beda, tetapi berurutan tanpa henti-hentinya.

Namun Panji Sura Wilaga sama sekali tidak berkecil hati, ia menyadari bahwa ketahanan tubuhnya melampaui ketahanan tubuh orang kebanyakan, ia dapat bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada untuk waktu yang seolah-olah tidak terbatas tanpa merasa lelah dan dengan kemampuan yang seakan-akan tidak menurun.

Tetapi untuk melawan dua orang dari Guntur Geni sekaligus, ia memang harus berjuang sekuat tenaga.

Dibagian lain terdengar suara tertawa Kidang Alit, ia masih sempat mempermainkan lawannya dengan berlari-lari kecil.

“Kita mencari tempat yang paling baik untuk bertempur” berkata Kidang Alit disela-sela tertawanya.

“Gila, disini kita bertempur” geram lawannya

“Aku tidak sampai hati membunuhmu di tempat terbuka, tetapi diantara semak-semak, maka kematianmu tidak begitu mempengaruhi jiwaku yang sebenarnya adalah penuh dengan belas kasihan”

Lawannya benar-benar telah berhasil dipancing kemarahannya, sehingga dengan demikian ia menyerang Kidang Alit yang memang mengharapkannya.

Dengan demikian, maka lawannya yang seolah-olah dikuasai oleh perasaannya saja tanpa pertimbangan nalar itu, telah berkelahi dengan kasarnya. Namun kadang-kadang serangannya sama sekali tidak terarah.

Dalam keramangan malam kidang Alit mencoba untuk melihat lingkaran-lingkaran perkelahian yang lain. Lampu di pendapa yang samar-samar dapat memberikan sedikit bayangan kemerah-merahan pada tubuh yang sedang mempertahukan nyawanya itu.

Kidang Alit menjadi kagum melihat Kuda Rupaka yang bertempur seperti angin prahara, serangannya yang mantap dan dahsyat kadang-kadang berhasil mendesak lawannya, orang pertama dari perguruan Guntur Geni.

Tetapi Kuda Rupaka yang masih muda itu, ternyata masih harus menilai pengalaman lawannya, meskipun secara jasmaniah ia memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi lawannya yang sudah berjanggut putih itu, seolah-olah mampu terbang mengelilinginya.

“Pada suatu saat Kuda Rupaka harus mengakui keunggulan Kiai Paran Sangit” desis Kidang Alit, “Tetapi itu memerlukan waktu yang lama”

Namun kemudian ia tersenyum didalam hatinya. Lawannya yang hanya seorang itu cukup memberikan perlawanan yang sengit dan kasar karena kemarahannya. Tetapi Kidang Alit yakin, bahwa ia dapat mengalahkannya.

“Mudah-mudahan aku dapat membunuh orang ini lebih dahulu dari Kiai Paran Sangit, tetapi agaknya memang demikian, Kuda Rupaka adalah lawan yang cukup berat bagi orang-orang Guntur Geni itu”

Demikianlah setelah Kidang Alit berhasil memaksa lawannya bertempur dengan liar dan hampir kehilangan nalarnya, mulailah ia membenahi dirinya untuk secepatcepatnya membunuh lawannya itu.

Dengan demikian, maka di halaman istana kecil itu telah terjadi hiruk pikuk yang menegangkan, perkelahian dalam tiga lingkaran pertempuran yang dahsyat seolah-olah telah membakar seluruh halaman istana itu.

Namun dalam pada itu, di dalam istana seseorang telah melangkah dengan hati-hati menuju ke bilik Raden Ayu Kuda Narpada, orang yang berwajah hantu itu termangu-mangu sejenak, ia mencoba mendengarkan apakah pengaruh sirepnya cukup kuat sehingga hiruk pikuk di halaman tidak membangunkan orang-orang yang berada di dalam istana itu.

“Tidak seorang pun yang terbangun” berkata orang yang berwajah hantu itu di dalam hatinya. “Aku akan mengambil puteri yang muda, aku akan menyeretnya ke halaman untuk memaksa Kuda Rupaka menghentikan perlawanannya, kemudian, setelah membunuh orang-orang itu, dan setelah menemukan pusaka itu di dalam istana ini, aku akan membawanya kembali ke padepokan” tetapi ia mengerutkan keningnya, lalu, “Ah tidak, aku tidak akan membawanya ke padepokan tentu akan dapat menimbulkan persoalan, aku juga harus menyerahkannya kepada orang-orang gila tidak ikut bersusah payah mengambilnya, dan dengan demikian aku tidak akan dapat memilikinya sendiri” ia tersenyum, namun kemudian keningnya berkerut merut, “Lalu akan aku bawa kemana gadis secantik itu?”

Ia termangu-mangu sejenak, namum kemudian, “Persetan, sekarang aku harus mengambilnya dan membawanya ke halaman depan”

Di halaman perkelahian semakin lama menjadi semakin sengit, Panji Sura Wilaga telah benar-benar terdesak, tetapi ia masih mampu melindungi dirinya sendiri dari tekanan maut, meskipun ia harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya.

Setiap kali Kidang Alit melihat, ia tersenyum kecil, ia tinggal menghitung waku, kapan Panji Sura Wilaga terbunuh, dan kapan pula ia berhasil membunuh lawannya yang sudah terdesak itu.

“Kematian demi kematian akan menyusul” desisnya, “Bukan saja di halaman ini, tetapi juga di bagian belakang dan bagian dalam istana ini.

Senyumnya menjadi semakin lebar, ketika ia mendengar auman seekor harimau, suara harimau itu benar-benar menggoncangkan halaman yang sedang diwarnai oleh perkelahian yang dahsyat itu, setiap orang di halaman itu mengetahui bahwa suara itu bukanlah benar-benar suara seekor harimau.

Wajah Raden Kuda Rupaka yang tegang menjadi semakin tegang, ia mengerti bahaya yang akan menerkam dari belakang istana itu, bahaya yang tidak dapat diduga, betapa besar kemampuannya.

Ternyata bahwa dua orang yang berada di banjar padukuhan itu telah siap untuk memasuki istana itu dari bagian belakang, seperti yang diperhitungkan oleh Kidang Alit, maka keduanya kemudian akan dengan leluasa mencari pusaka-pusaka itu, dan jika perlu membunuh siapapun juga yang menghalanginya, termasuk Raden Ayu Kuda Narpada sendiri dan sudah barang tentu, Kidang Alit berpesan agar Inten Prawesti dan seorang gadis anak pembantunya Pinten, harus dapat dikuasai dalam keadaan hidup.

Namun dalam pada itu, betapapun kegelisahan yang melanda dada Kuda Rupaka, namun ia tidak dapat bergeser dari tempatnya, ia harus memeras segenap ilmunya untuk melawan Kiai Paran Sangit.

“Licik dan Gila” geramnya di dalam hatinya, Kuda Rupaka sadar bahwa Kidang Alit benar-benar berhasil mempergunakan keadaan itu untuk kepentingannya.

Dan ternyata bahwa Kidang Alit yang bertempur itu pun sempat tertawa sambil berkata, “Kita akan sampai pada suatu saat yang menentukan sekarang, siapakah yang akan berhasil membawa pusaka dari Majapahit itu, meskipun kita masih meragukan pusaka yang manakah yang berada di dalam istana ini. Namun menurut penilikan beberapa orang ada beberapa pusaka tidak ada di istana, Kiai Cangkring, Kiai Nagasasra, Kiai Mandarang atau bahkan Kiai Sangkelat. Tentu salah satu dari pusaka itulah yang telah diserahkan kepada Pangeran Kuda Narpada, dan aku condong menduga, bahwa kita sedang memperebutkan pusaka Kiai Mandarang. Dengan bekal itu, kita akan mencari pusaka kedua, Kiai Nagasasra dan kemudian mencuri Kiai Sabuk Inten dan Kiai Sumelang Gandring” Kidang Alit berhenti sejenak, namun kemudian ia melanjutkan, “Alangkah sulitnya perjuangan ini, dilangkah pertama kita sudah menjumpai banyak sekali kesulitan dan korbanpun berjatuhan, sedangkan korban itu adalah anak-anak Guntur Geni dan putera-putera Demak sendiri, apalagi dalam perjuangan selanjutnya, maka korban tentu akan semakin banyak jatuh”

Raden Kuda Rupaka menggeram, ia tidak sempat menyahut karena ia harus bertempur mati-matian untuk mempertahankan hidupnya.

Kidang Alit masih saja tersenyum, bahkan kemudian

ia tertawa sambil bertempur, katanya, “Matilah yang

harus mati malam ini, jangan menyesal bahwa kalian

bahwa kalian tidak akan dapat ikut dalam perebutuan

berikutnya”

Tidak seorangpun yang menjawab, apalagi Panji Sura

Wilaga yang menjadi semakin terdesak karenanya.

Ternyata sambil tersenyum Kidang Alit masih berkata selanjutnya, “Jika Pangeran Kuda Narpada tidak berkeras hati untuk mempertahankan pusakanya, maka keadaan tentu tidak akan menjadi seperti sekarang, jika dengan suka rela ia menyerahkan pusaka yang diterima langsung dari Maharaja Majapahit yang terdesak itu kepada Pangeran Cemara Kuning dan Sendang Prapat, maka persoalan tentu sudah lama selesai dan keluarga di istana ini akan dapat hidup dengan tenang.”

Yang terdengar adalah desah nafas dan langkah mereka yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Kidang Alit tertawa, ternyata lawannya tidak sekuat Kidang Alit sendiri, sehingga untuk melawannya, ia masih sempat berbicara berkepanjangan.

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka benar-benar harus mengerahkan segenap kemampuannya. Orang yang berjanggut putih itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak terkalahkan, meskipun Kuda Rupaka masih juga mampu bertahan.

“Orang ini memiliki kelebihan dari orang-orang Guntur Geni yang lalu” berkata Raden Kuda Rupaka didalam hatinya.

Dan ternyata tekanan ilmu orang berjanggut putih itu memang menjadi semakin berat. Bahkan sekali-kali Kuda Rupaka sudah terdesak surut.

Kidang Alit memperhatikan semuanya itu dengan senyum dibibirnya. Perhitungannya tentu akan berhasil, malam ini orang-orang Guntur Geni akan terbunuh di halaman istana ini, bersama dengan Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, di bagian belakang kedua orang kawannya akan membunuh setiap orang laki-laki yang mencoba menghalanginya, mungkin kedua perantau itu dan sekaligus anak muda yang gila itu, anak Nyi Upih yang meskipun tidak akan melawan dengan olah kanuragan tetapi ia akan dapat mengganggu bagi usahanya seterusnya.

Dan semakin lama semakin nampak pula, betapa panji Sura Wilaga tentu benar-benar mengalami kesulitan yang tidak akan mungkin teratasi lagi. Kedua orang Guntur Geni itu seolah-olah dengan sengaja telah menggiringnya ke dinding batu disebelah regol. Jika Panji Sura Wilaga tidak mampu lagi berloncatan surut, maka adalah pertanda bahwa hidupnya memang sudah akan berakhir.

Apalagi Kuda Rupaka pun nampaknya menjadi semakin terdesak pula, dan ini adalah berbeda dengan harapan Kidang Alit.

“Jika orang berjanggut putih ini berhasil membinasakan Kuda Rupaka, maka tentu akupun akan mengalami kesulitan untuk melawannya” berkata Kidang Alit di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa orang pertama dari Perguruan Guntur Geni itu memiliki ilmu yang luar biasa, meskipun demikian Kuda Rupaka masih bertahan terus.

Dalam pada itu, Kiai Paran Sangit telah mengerahkan segenap ilmunya, ia harus secepatnya berhasil membunuh Kuda Rupaka, agar ia sempat menolong kawannya yang mengalami kesulitan melawan Kidang Alit, tetapi tidak terpikir olehnya untuk untuk mempergunakan racun, karena ia menyadari, bahwa lawannya telah memiliki alat penawarnya.

Karena itu, Kiai Paran Sangit mencoba untuk melumpuhkan lawannya dengan kecepatannya yang sulit diikuti oleh mata lawannya.

Namun Kidang Alit masih mempunyai harapan, didalam hatinya ia berkata, “Kedua orang kawannya yang memasuki halaman belakang itu tentu akan segera menyelesaikan tugasnya. Mereka akan segera tampil di halaman ini, untuk membunuh pula orang-orang Guntur Geni dan kedua bangsawan gila itu”

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin jelas, siapakah yang akan segera kehilangan kesempatan dalam perebutan seterusnya.

Tetapi dalam pada itu, yang tidak terduga-duga telah terjadi, selagi Panji Sura Wilaga sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, karena punggungnya telah melekat pada dinding halaman, tiba-tiba saja sesosok bayangan telah meloncat mendekatinya sambil berkata, “Maaf Raden Panji, bukan maksudku mengganggu, tetapi aku tidak akan dapat tinggal melihat perkelahian yang tidak adil ini”

Setiap mata mencari kesempatan untuk memperhatikan siapakah orang ini, dan hampir bersamaan mereka bergumam, “Pengembara itu”

Sebenarnyalah bahwa Panon telah tampil diarena, ia tidak dapat menyembunyikan dirinya lebih lama lagi, apalagi ia melihat bahwa keadaan Panji Sura Wilaga sangat membahayakan, selebihnya, ia pun telah mendengar rencana Kidang Alit yang sangat licik.

“Kau Pengembara bodoh itu” geram Panji Sura Wilaga yang mendapat kesempatan untuk bernafas justru karena kedua lawannya sedang memperhatikan kehadiran Panon.

“Ya, betapapun juga aku merasa, bahwa selama ini aku telah menumpang di istana ini, aku tahu, bahwa hidup kami selama kami disini, sebagian besar adalah karena kemurahan hati Raden Kuda Rupaka, karena itu, dalam keadaan ini, betapapun juga, aku akan ikut membantu sesuai dengan kemampuanku”

“Kau Gila, He?” tiba-tiba saja Kidang Alit berteriak, “Kau akan digilas oleh benturan ilmu yang tidak kau mengerti, He… pengembara miskin, pergilah. Atau barangkali kau memang ingin mati”

Panon memandang Kidang Alit yang nampak remang-remang didalam kegelapan, apalagi agaknya Kiang Alit bertempur diantara pohon-pohon perdu dan batang-batang bunga ceplok piring, namun kemudian terdengar Panon Menjawab, “Ini adalah suatu cara bagiku untuk mengucapkan terima kasih meskipun aku akan lumat diantara ilmu-ilmu raksasa yang tidak aku kenal.”

Kidang Alit termangu-mangu, ia mencoba menduga, apakah yang terjadi dibagian belakang istana itu, kenapa Panon masih tetap hidup dan mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep.

“Mungkin juga seorang itu pun mampu mengatasi kekuatan sirep ini” katanya dalam hati.

Sejenak kemudian halaman itu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tiba-tiba saja tampil diluar perhitungan mereka sebelumnya.

Dalam pada itu, Kidang Alit pun berkata, “Baiklah pengembara dungu, lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kau memang harus mati, disini atau di pembaringanmu”

Panon tidak menjawab, tetapi bahkan ia berkata kepada Panji Sura Wilaga, “Raden Panji, biarlah aku mencoba melawan salah seorang dari kedua orang ini, adalah tidak adil bahwa seorang diri harus berkelahi melawan dua orang sekaligus”

“Apakah yang kau ketahui tentang perkelahian semacam ini” bentak Kidang Alit, “Jangan banyak berbicara lagi, matilah, jika kau ingin mati”

Panon memandangnya sekilas, namun ia masih tidak menyahut.

Panji Sura Wilaga sendiri menjadi termangu-mangu, tetapi ia tidak mencegahnya, jika benar seorang lawannya akan membunuh Panon, maka betapapun singkatnya, ia akan mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya, selebihnya, setelah Panon mati, maka ia tentu sudah berhasil melepaskan diri dari himpitan kedua lawannya pada dinding halaman ini.

“Mungkin aku akan mendapat kesempatan lain” katanya dalam hati, “Aku tidak boleh membiarkan diriku didesak sehingga kehilangan kesempatan bergerak”

Karena itulah, maka Panji Sura Wilaga pun kemudian bertanya, “Panon, apakah kau sudah memikirkan akibat dari tingkahmu yang aneh ini?”

“Sudah Raden Panji”

“Terserahlah kepadamu, kematianmu adalah tanggung jawabmu sendiri”

Panon tidak menjawab, tetapi ia melangkah maju mendekati lawan Panji Sura Wilaga yang mengurungnya pada dinding halaman.

“Bunuh anak itu secepatnya”, Tiba-tiba Paran Sangit berteriak, “Aku muak melihatnya, dan aku pun akan segera membunuh Raden Kuda Rupaka, kemudian yang berikutnya adalah Kidang Alit sebelum yang terakhir adalah kedua orang-orangnya yang tentu hadir pula di halaman istana ini, tetapi aku kira mereka akan langsung memasuki kebun belakang dan mencoba mencari pusaka itu selagi kita bertempur”

Suara Kiai Paran Sangit yang agak serak itu rasa-rasanya telah membangunkan setiap orang yang ada di halaman itu, merekapun serentak terlibat lagi dalam perkelahian yang sengit.

Tetapi dalam itu, seorang lawan Panji Sura Wilaga yang tidak dapat menahan hatinya lagi, seperti angin prahara telah menyerang Panon yang masih berdiri membeku.

Panon yang masih belum banyak berpengalaman terkejut mendapat serangan-serangan yang tiba-tiba sekali itu, justru seolah-olah dengan sengaja mempergunakan kesempatan selagi ia belum bersiap.

“Licik” geramnya, tetapi Panon sempat mengelak.

Yang terdengar kemudian adalah umpatan yang keluar, “Gila, kau sempat mengelak”

Panon yang belum berpengalaman itu, ternyata masih berhasil mengelak, meskipun ia masih ragu-ragu, namun agaknya pembajaan diri yang dilakukan didekat sebuah gubuk kecil, ditempat yang terpecil meskipun tidak terlalu jauh dari padukuhannya, dibawah bimbingan seorang guru yang cacat itu, telah memberikan bekal yang cukup baginya.

Kuda Rupaka, Panji Sura Wilaga dan Kidang Alit pun berdesir melihat serangan secepat tatit itu, semula mereka menyangka bahwa Panon akan dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga Panji Sura Wilaga belum sempat memperbaiki keadaannya, tetapi ternyata bahwa serangan yang pertama yang dilancarkan dengan tiba-tiba dan demikian dahsyatnya itu, berhasil dielakkan oleh pengembara muda itu.

“Tetapi aku sudah menduga” berkata Kidang Alit didalam hatinya, “Tentu ia merasa mampu mempertahankan hidupnya pada saat ia memasuki arena ini, bahkan sejak ia memutuskan untuk masuk ke halaman istana ini”

Demikianlah, maka perkelahian selanjutnya telah bertambah dengan satu lingkaran lagi, Panon ternyata sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan orang dari Guntur Geni itu.

Dengan tangkasnya ia berloncatan diatas tanah yang mengeras di halaman, menjauhi lingkaran perkelahian Panji Sura Wilaga, sehingga dengan demikian, maka Panon dengan sepenuhnya mencoba kemampuannya dengan salah seorang murid dari Guntur Geni.

Karena itulah, maka Panji Sura Wilaga yang kehilangan seorang lawannya menjadi agak lapang untuk bernafas, ia segera berusaha menjauhi dinding batu yang mengelilingi halaman istana itu, sehingga dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk bertempur sebaik-baiknya.

Kuda Rupaka yang harus bertempur dengan segenap kemampuannya melawan Kiai Paran Sangit, masih saja sempat melihat Panji Sura Wilaga yang terlepas dari kesulitan, namun dengan demikian ia sudah mulai membayangkan kesulitan baru yang akan dihadapinya karena anak muda yang mengaku dirinya pengembara itu.

Sementara itu Panji Sura Wilaga pun dapat melihat, betapa Kuda Rupaka didera kesulitan yang seolah-olah semakin menekan, bahkan kemudian nampak, bahwa ia sudah hampir kehilangan kesempatan sama sekali untuk mempertahankan dirinya.

Dalam pada itu, Kidang Alit yang masih saja selalu tersenyum itu pun mengerutkan keningnya, ia melihat hadirnya kekuatan baru yang lebih besar dari yang diduganya. Bahkan Panon yang semula dianggapnya tidak menentukan, namun ternyata bahwa anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan, apalagi kemampuan Paran Sangit benar-benar diluar dugaannya.

“Jika Kuda Rupaka dapat dikalahkan, maka aku pun tentu akan mengalami kesulitan melawan orang tua itu” berkata Kidang Alit dalam hatinya

Tetapi sekali lagi ia meletakkan harapannya kepada dua orang kawannya yang memasuki kebun istana itu dari belakang dan akan menyelesaikan tugas-tugas yang lain sebelum Ia harus memasuki arena.

Dalam pada itu, selagi perkelahian menjadi bertambah sengit dan menentukan, tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dari dalam istana itu, jerit yang susul menyusul.

Belum lagi suara itu lenyap, terdengar suara tertawa Paran Sangit yang menggetarkan halaman, dengan lantang ia berkata, “Seorang anak buahku telah berhasil menangkap salah seorang puteri di dalam istana ini, agaknya mereka telah terlepas dari pengaruh sirep yang semakin lemah, tetapi ia tidak akan ada artinya, sebentar lagi seorang dari perguruan Guntur Geni itu akan membawa puteri itu kemari dan memaksa kalian untuk melepaskan senjata dan menyerahkan leher kalian”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Kidang Alit yang bertempur diantara batang-batang perdu menggeram, “Itu licik sekali”

Tetapi Paran Sangit masih tertawa, “Apa boleh buat”

“Kenapa kau tidak berbuat jantan seperti yang kami sangka selama ini?” Kuda Rupakapun menggeram, “Tidak seorang pun yang berbuat jantan diantara kita, tetapi seandainya kalian berbuat jantan, dan ternyata aku adalah seorang yang paling licik, aku sama sekali tidak berkeberatan, biar saja aku berkelahi dengan licik, asal aku berhasil mendapatkan pusaka itu”

Namun tiba-tiba saja terdengar jawaban yang sama sekali tidak terduga terlontar dari mulut Kuda Rupaka, “Aku tidak perduli dengan perempuan-perempuan yang manapun juga yang ada di dalam istana ini, yang penting bagiku adalah pusaka itu, jika kau ingin memaksa kami menyerah dengan mencancam bibi Kuda Narpada, atau bahkan diajeng Inten Prawesti, aku sama sekali tidak akan menyerah”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, tetapi juga Panon heran mendengar jawaban itu, namun kemudian terdengar sekali lagi suara Kiai Paran Sangit sambil menyerang, “Kau mencoba untuk menyembunyikan perasaanmu, seolah-olah kau tidak terpengaruh sama sekali dengan jerit itu?, tetapi kau tidak dapat mengelabui aku, kau adalah kemanakan Kuda Narpada, karena itu, maka kau tentu berkepentingan lagi keselamatannya”

“Aku lebih mementingkan pusaka itu dari apapun juga, bahkan seandainya mereka menghalangi aku menemukan pusaka itu, akulah yang akan menyingkirkan mereka dari istana ini, hidup atau mati”

“Kau berkata sebenarnya?” tiba-tiba Kidang Alit

menyela.

“Itu tidak penting” Panji Sura Wilaga lah yang menyahut, “Kami akan membinasakan kalian semuanya untuk mendapatkan pusaka itu”

“Tetapi jerit itu pun tidak berarti lagi apa-apa bagi kami, karena itu, jangan mencoba untuk melemahkan perjuangan kami dengan beralaskan perempuan-perempuan yang bagi kami sama sekali tidak berarti”

Panon yang bertempur itu pun tidak dapat menahan hatinya, hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Tetapi bukankah mereka itu keluarga Raden?”

“Persetan” geram Kuda Rupaka yang mencoba memperbaiki keadaannya.

Namun ternyata bahwa jerit itu benar-benar tidak mempengaruhi perjuangan Raden Rupaka, ketika ia mendapat kesempatan, ia telah mencoba membebaskan dirinya dari tekanan yang sangat menghimpit.

“Apakah benar-benar kau membiarkan perempuan-perempuan itu mati tanpa belas kasihan darimu?” berkata Paran Sangit selanjutnya.

“Aku tidak peduli”

“Dengan satu isyarat, akan berarti mereka mati terbunuh di dalam biliknya atau di pendapa ini”

“Aku tidak peduli” teriak Kuda Rupaka.

Kiai Paran Sangit menjadi heran, tetapi ia pun menjadi heran pula, bahwa kawannya yang berwajah hantu itu tidak membawa perempuan itu ke pendapa, dengan demikian tentu akan lain sekali kesannya, bahwa orang-orang Guntur Geni tidak hanya sekedar bermain-main.

Tetapi tiba-tiba saja Kiai Paran Sangit itu tertawa berkepanjangan, katanya, “O, orang ini memang gila, ia lebih mementingkan dirinya sendiri, apalagi jika ia melihat perempuan cantik, aku tidak dapat mengatakakan, apa yang telah dilakukannya atas puteri Inten Prawesti”

“Gila” teriak Kidang Alit dan Kuda Rupaka hampir berbarengan.

Namun kemudian terdengar suara Panon, “Tidak ada yang lebih rendah dari martabat orang semacam itu, akulah nanti yang akan membunuhnya”

Suara Paran Sangit masih menggema.

Namun tiba-tiba suara itu terputus ketika tiba-tiba ia mendengar keluhan tertahan, Panon yang tidak dapat menahan perasaannya lagi, tiba-tiba telah mengerahkan segenap kemampuan yang pernah dipelajarinya dari gurunya. Kecepatan bermain dengan pisau, merupakan kemampuannya yang telah mengejutkan lawannya, itulah sebabnya, maka ketika terasa sebilah pisau mematuk lengannya, orang Guntur Geni itu mengeluh.

Tetapi Panon tidak dapat mengekang dirinya lagi, bayangan yang bermain diangan-angannya tentang puteri Inten Prawesti di dalam kekejian tangan orang Guntur Geni yang gila itu, benar-benar membuatnya kehilangan pertimbangan lain, karena itulah, maka tiba-tiba dua buah pisau telah meluncur dan menyambar dada lawannya meskipun ia berhasil mengelakkan yang sebuah lagi.

Lawannya terhuyung-huyung dan jatuh terlentang diatas tanah dengan nafas yang terengah-engah.

Ternyata hal itu telah mengejutkan seisi halaman, anak muda yang kurang diperhitungkan itulah yang pertama-tama telah menyelesaikan lawannya murid dari perguruan Guntur Geni.

Kiai Paran Sangit menggeretakkan giginya, kemarahan yang memuncak telah membakar dadanya, namun ia tidak segera dapat berbuat sesuatu atas anak muda itu, karena ia masih terikat pada lawannya, Kuda Rupaka.

Kuda Rupaka lah yang kemudian hahrus mengalami tekanan kemarahan Kiai Paran Sangit, dengan susah payah ia mencoba untuk menyelamatkan dirinya dari serangan yang membadai.

Sementara itu, Panon yang telah kehilangan lawannya segera berlari meninggalkan halaman itu langsung masuk ke ruang dalam, ia tidak dapat membiarkan perlakuan yang paling gila terjadi atas puteri Inten Prawesti.

Namun dalam pada itu, kematian salah seorang murid Guntur Geni itu ternyata telah mempengaruhi arena perkelahian. Panji Sura Wilaga yang tinggal berhadapan dengan seorang lawannya, tiba-tiba mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Selagi lawannya masih dicengkam oleh peristiwa yang mengejutkan itu, Panji Sura Wilaga pun menyerangnya dengan sepenuh kemampuan yang ada pada dirinya.

Ternyata anak Guntur Geni yang seorang diri itu pun tidak mampu bertahan, ia menyadari kelengahannya setelah terasa sebuah tusukan menggores dadanya.

Sekali lagi terdengar sebuah keluhan, dan sekali lagi anak Guntur Geni itu terlempar dari arena dan jatuh berlumuran darah.

Kiai Paran Sangit benar-benar terkejut melihat peristiwa yang terjadi secara beruntun itu, yang terjadi benar-benar diluar dugaan, semula ia menyangka bahwa yang harus dilawannya hanyalah Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Kemudian Kidang Alit tentu akan menghalang-halangi jika ia berhasil menemukan pusaka itu, namun ternyata yang terjadi adalah berbeda sekali dengan perhitungannya.

Kematian kawanya berarti membebaskan Panji Sura Wilaga dari arena perkelahian, dan itu akan sangat berbahaya baginya, Panji Sura Wilaga tentu akan segera membantu Kuda Rupaka yang sudah hampir kehilangan kesempatan itu.

Sementara itu, Kiai Paran Sangit masih menggeram, “Persetan dengan wajah hantu yang bodoh itu, kenapa ia tidak segera membawa perempuan itu kemari?, atau barangkali ia masih sibuk dengan kepentingannya sendiri”

Kata-kata itu memang mendebarkan jantung Kuda Rupaka dan Kidang Alit sekaligus, namun terdengar suara Kidang Alit yang bernada tinggi, “Jika sudah terlanjur terjadi, sebaiknya kalian memang harus dicincang disini”

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 7

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar