NSSI-19


<< kembali | lanjut >>

I.

TETAPI sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat perubahan pada tata perkelahian lawannya.

Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga sekalipun. Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat sebuah gelang, mengelilingi mereka berdua.

“Setan,” desis Sendang Papat.

“Mereka mengepung kita,” sahut Wanamerta.

Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu, orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah lapang itu, ia melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit terbaring diantara beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada yang terbunuh di tanah lapang itu. Suatu kekacauan yang mengerikan.

Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan kuda-kuda yang mengepung itupun mulai bergerak maju.

Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang Pamingit itu. Maka desisnya, “Sendang, jangan beri kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?”

Sendang menggeleng lemah.

Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah perintah.

Sendang Papat telah menangkap maksud orang tua itu. Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata, demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang Papat pun segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api yang sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih cukup besar untuk menerangi seluruh tanah lapang itu.

Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira, bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah begitu saja, namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk menilai gerakan itu.

Demikianlah, Wanamerta telah mencapai dinding kepungan itu, dengan membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu. Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu hanya melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat dari tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup.

Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan merekapun menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya.

Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang yang menghadang di hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung lama. Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan mereka. Dengan demikian akhirnya Wanamerta berhasil keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan arah kudanya ke kanan.

Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul, dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian, kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir.

Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka, “Ayolah, kita mulai.

Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan, bertubuh tegap dan berdada bidang. Agaknya anak muda yang terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah pertempuran.

“Ayolah Kiai,” teriak salah seeorang diantaranya, “Aku berada di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”

Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak ragu, siapakah yang telah datang tepat pada saatnya membantu mereka berdua.

Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta menjadi berkurang. Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat orang, yang harus melayani keempat anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman, sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari semula.

Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka kemudian mereka pun berhasil sedikit demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat. Sedang terhadap keempat anak muda itu mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta dan Sendang Papat.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda yang seorang lagi yang masih duduk diam di atas punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya itu sangatlah menarik perhatian. Baik orang Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannyapun menoleh kepadanya.

Permainan yang jelek,” katanya. “Tidakkah kalian dapat berkelahi lebih baik?”

Apakah yang jelek?,” jawab salah seorang temannya.

Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan diatas kuda kepang,” jawab anak muda itu….

Kawan-Kawan anak muda itu tak ada yang menjawab. Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian terdengar ia berkata pula, “Kiai Wanamerta dan Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman Mahesa Jenar agaknya cukup menarik.”

Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar?

Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu meneruskan, “Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging.”

Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda keinginannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga sambil bertempur ia berteriak, “Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta.”

“Kalau begitu…” jawab anak muda itu, “Kakang Sendang pasti kenal salah seorang muridnya.”

“Siapakah dia?” tanya Sendang Papat.

“Wiraraga atau Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu.

Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan.

Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang Papat benar-benar mengalami kesulitan. Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir tanah lapang itu berkata lantang, “Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini.

Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran.

Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua orang Pamingit dari kudanya.

“Gila…!” teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit, sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah ia meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi. Sambil memungut pedangnya ia berteriak, “Anak gila, agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan Sendang Papat.”

Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan dua tiga orang sekaligus.

“Aneh,” pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat. Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang keheranan. Demikian juga keempat kawan-kawannya.

Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa cahaya api yang semakin pudar, tidak memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk mengenalnya dengan baik.

Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata, “He, kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau tangkapi?

“Siapa yang bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan marah.

“Sontani dan orang-orangnya,” jawab anak muda itu.

Omong kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil memutar pedangnya menyambar punggung anak itu.

Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia telah berhasil memukul dengan tangannya. Ya, dengan tangannya, pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga terdengar ia mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi anak muda itu, sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari seorang kawannya yang telah terbaring di tanah.

Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya. Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama sekali dari perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang. Sedang yang lain lebih banyak mencari perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu.

Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata, “He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan kalian alami, kalau kalian pada suatu saat terpaksa bertempur melawan Arya Salaka.”

Arya Salaka…?” u;ang salah seorang dari padanya, sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu.

Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” anak muda itu melanjutkan.

Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.

Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan. Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.

Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya. Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.

Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.

Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.

Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.

Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.

Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu. Namun tak seorangpun berani mendekati.

Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.

Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.

Kau tidak heran…?” Ia tanya.

Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab, “Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”

Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.

Dengarlah…” katanya kemudian, “Sawung Sariti berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.

 Dan apa yang terjadi dengan Arya Salaka?

Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan dirinya, beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.

Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan.

Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?

Tak ada jawaban. Orang-orang Pamingit itu masih diam. Beberapa orang menjadi semakin pucat.

Tidakkah ada yang dapat menjawab?” tanya anak muda itu pula. Lalu tiba-tiba sambil menunjuk kepada orang yang semula memperbandingkan Arya Salaka dan Sawung Sariti, anak muda itu bertanya, “Hai, kau yang membanggakan anak Lembu Sora itu, jawablah, manakah yang lebih masak. Lebur Sekethi yang dibumbui dengan pemanjaan diri ataukah Sasra Birawa yang dialasi oleh penderitaan lahir dan batin, namun dijiwai oleh ketawakalan dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa…?

Orang yang ditunjuk itupun menjadi semakin ketakutan. Terasa lututnya bergetar. Dan mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.

Tidakkah kau bisa menjawab?” tanya anak muda itu pula.

Namun orang itupun benar-benar tak mampu menjawab. Karena itu terdengarlah anak muda itu tertawa. “Jangan takut,” katanya. “Aku tidak akan membunuh seorangpun diantara kalian, apabila tidak berbuat hal-hal yang tak aku kehendaki.”

Anak Muda itu diam sesaat, lalu meneruskan, “Ketahuilah dan rasakanlah kebenaran kata-kataku. Ilmu yang bagaimanapun dahsyatnya, tetapi ia tidak diterapkan dalam pengabdian yang benar, ia sama sekali tak berarti. Bahkan ia akan menjadi jauh lebih berbahaya dari segala macam ilmu. Sebaliknya Arya Salaka telah menempatkan dirinya dalam kancah penderitaan lahir batin. Dengan suatu keyakinan, bahwa berbahagialah mereka yang menderita. Sebab dengan demikian ia akan dapat menempatkan dirinya dalam pengabdian untuk mereka yang menderita. Dalam tempat itulah Arya Salaka akan mempergunakan ilmunya. Dan tidak mustahil bahwa pada suatu ketika Arya Salaka akan berdiri berentang muka dengan Sawung Sariti. Masing-masing dengan Sasra Birawa dan Lebur Seketi. Tetapi Lebur Saketi yang telah dinodai.

Ketika anak muda itu diam untuk sesaat, lapangan itu dicengkam oleh kesepian. Suara api telah lama terhenti. Dan nyalanya pun telah menjadi semakin pudar pula.

Kalau begitu…” akhirnya anak muda itu berkata pula, “Tinggalkan tempat ini. Katakan kepada laskar Pamingit yang lain bahwa Arya Salaka akan datang. Katakan bahwa seorang anak muda telah mempertunjukkan ilmu Arya itu. Sebagian kecil saja. Sebab Arya Salaka tidak saja dapat memecahkan kepala kuda, tetapi batu sebesar kepala kuda itu, dan bahkan kepala kalian semua.”

Mendengar kata-kata itu, mulailah laskar Pamingit itu gelisah. Mereka, yang bagaimanapun juga adalah laskar-laskar yang dipercaya, agak malu untuk begitu saja meninggalkan tugasnya. Karena itulah maka anak muda itu membentak, “Kenapa kalian belum juga pergi? Apakah kalian masih ingin melihat pertunjukan yang lain…? Pergilah. Kenangkanlah di dalam dadamu. Kalau Arya Salaka mampu berbuat demikian, apakah yang akan dapat dilakukan oleh gurunya, Mahesa Jenar?”

Sekarang orang-orang Pamingit itu tidak menunggu perintah itu untuk ketiga kalinya. Ketika salah seorang dari mereka, menarik kekang kudanya, dan kemudian memutarnya, yang lain-lainpun segera berloncatan meninggalkan tanah lapang yang mengerikan itu.

Sesaat kemudian tinggallah Wanamerta, Sendang Papat, anak muda yang perkasa itu dan keempat kawannya. Dalam cengkaman keheranan Wanamerta dan Sendang Papat tertegun seperti tonggak batu.

Mereka tersadar ketika anak muda itu mendekati mereka sambil berkata, “Paman Wanamerta, sebaiknya Paman meninggalkan tempat ini. Siapa tahu bahwa laskar Pamingit akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Meskipun barangkali aku masih dapat melindungi Paman dan Kakang Sendang Papat, meskipun seandainya Lembu Sora sendiri yang datang, namun perbuatan itu sama sekali kurang bijaksana. Bukankah Paman mendapat kesempatan untuk pergi sekarang?

Ya, ya, Ngger,” jawab Wanamerta terputus-putus, “Aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga.”

Paman dapat mempergunakan kuda-kuda kami untuk kawan-kawan Paman dan Kakang Sendang Parapat. Tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit. Supaya Paman tidak banyak mengalami gangguan, serta kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat dikurangi.” anak muda itu meneruskan.

Baik, baik Ngger,” jawab Wanamerta, yang seolah-olah merasa dirinya betapa bodohnya. Tiba-tiba ia teringat pada keinginannya untuk mengetahui siapakah pemuda yang aneh, yang memiliki keperkasaan yang luar biasa itu. Katanya kemudian, “Tetapi perkenankanlah aku mengetahui siapakah Angger-angger ini semuanya?”

Anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Paman tidak perlu mengenal aku. Aku adalah anak kabur kanginan. Tanpa tempat tinggal, tanpa sanak kadang.”

Wanamerta menarik nafas panjang. Desaknya, “Ah, apakah keberatan Angger?. Aku hanya sekadar ingin menceritakannya kepada Angger Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka, bahwa Angger telah menyelamatkan kami berdua.”

Anak muda itu tertawa. Kemudian ia meloncat dari kudanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Wanamerta, tetapi katanya, “Bawalah kudaku. Kawan-kawanku akan mengantarkan. Seterusnya, pakailah kuda-kuda mereka untuk kembali ke perkemahan.”

Terimakasih Ngger,” jawab Wanamerta, “Kami mengucapkan terimakasih yang tak ada taranya. Tetapi Angger belum menjawab pertanyaanku.”

Sekali lagi anak itu menghindari pertanyaan Wanamerta, katanya, “Waktuku tidak terlalu banyak Paman. Kami persilahkan Paman berangkat.” Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, “Antar Paman sampai tempat Kakang Sendang Parapat disembunyikan. Pinjamkan dua ekor kuda kalian. Aku akan pulang dahulu dengan berjalan kaki.

Pemuda itu tidak menunggu lama, kepada Wanamerta ia minta diri, katanya, “Sudahlah Paman, aku tidak akan membuat permusuhan-permusuhan di Banyubiru. Lebih baik aku menyembunyikan diri. Salamku buat Paman Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Bibi Wilis dan Widuri, kalau ia turut serta. Juga untuk Paman Kebo Kanigara.”

Setelah itu, maka dengan tidak menunggu jawaban, ia melangkah meninggalkan Wanamerta dan Sendang Papat yang memandanginya dengan kagum. Anak itu berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Seakan-akan dari tubuhnya memancarkan kewibawaan yang agung.

Tiba-tiba Wanamerta ingat kepada kata-katanya. Kata-kata anak muda yang tak mau dikenal itu, bahwa Arya Salaka pun mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya dengan Sasra Birawa. Karena itulah ia menjadi bangga dan berbesar hati. Meskipun Arya agak lebih muda dari anak yang aneh itu, namun ia yakin bahwa Arya Salaka pun akan mampu menggemparkan orang-orang Pamingit kelak.

Marilah Paman….” Tiba-tiba seorang dari anak muda yang empat itu mengajak.

Wanamerta terkejut. Seperti orang tersadar dari mimpinya, ia menjawab tergagap, “Marilah Angger.”

Sesaat kemudian berjalanlah iring-iringan kuda itu ke rumah Prana, tempat Sendang Parapat disembunyikan.

Sendang Papat menggandeng kuda anak muda yang tak mau dikenalnya, sedang Wanamerta duduk dengan muka tunduk. Tiba-tiba seperti orang yang teringat sesuatu Wanamerta bertanya, “Anak-anak muda, siapakah sebenarnya kalian ini?”

Mereka berempat tersenyum bersama-sama. Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak Banyubiru saja Kiai.”

Wanamerta menarik nafas kecewa. Anak-anak itupun agaknya tidak mau menyatakan diri mereka. Ia menjadi heran, kenapa hal itu disembunyikan. Apakah mereka takut pembalasan dendam dari orang-orang Pamingit? Dan bukankah ia bukan orang Pamingit? Dan bukankah anak muda yang pertama tadi tidak takut kepada Lembu Sora sekalipun? Alangkah hebatnya. Seorang yang masih semuda itu, telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan Ilmu Lembu Sora.

Tetapi Wanamerta tidak bertanya lagi. Ia merasa bahwa hal itu tak akan berguna. Kenangannya kemudian bergeser kepada Sendang Parapat. Mudah-mudahan ia mendapat pertolongan.

Perjalanan mereka tidak memerlukan waktu lama. Rumah Prana tidak begitu jauh dari tanah lapang itu. Begitu mereka sampai, Sendang Papat tidak menunggu lagi. Segera ia meloncat menambatkan kudanya serta kuda yang dituntunnya, untuk kemudian dengan tergesa-gesa mengetuk pintu rumah itu.

Sekali dua kali, ketukannya tidak mendapat jawaban. Baru setelah Sendang Papat mengulang-ulang, terdengarlah seseorang bertanya, “Siapa…?”

Aku Sendang Papat,” jawabnya.

Perlahan-lahan pintu rumah itupun terbuka. Seorang yang telah setengah umur, berdiri dibalik pintu itu.

“Paman Prana,” sapa Sendang Papat.

O, kau Sendang, masuklah,” jawab Prana.

Aku bersama dengan Kiai Wanamerta,” Sendang Papat menjelaskan.

 “Marilah Kiai,” ajak Prana, “Marilah masuk.”

Wanamerta mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Prana.” Lalu kepada keempat pemuda yang mengantarnya ia berkata, “Kami persilahkan angger singgah di rumah sahabat ini.

Terimakasih Kiai, kami akan segera pulang,” jawab mereka.

Dan setelah mereka meninggalkan dua kuda mereka, segera merekapun minta diri. Keempat anak muda itu dengan mempergunakan dua ekor kuda segera meninggalkan halaman itu.

Anak-anak yang aneh,” gumam Wanamerta. Sendang Papat sudah tidak sabar lagi. Segera ia bertanya tentang adiknya. Setelah pintu rumah itu ditutup kembali, segera mereka dibawa ke ruang belakang, dimana Sendang Parapat dibaringkan.

Ketika Wanamerta dan Sendang Papat memasuki ruangan itu, mereka melihat tubuh Sendang Parapat diam terbaring. Di sebelahnya duduk tiga orang kawannya. Ketika Sendang Papat meraba tubuh adiknya itu, Sendang Parapat membuka matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Maafkan aku Kakang, aku tidak dapat memenuhi harapanmu. Menjadi prajurit yang baik.”

Sendang Papat merapatkan diri duduk di samping adiknya. Bisiknya, “Kau telah berusaha Parapat. Kejadian ini sama sekali bukan salahmu. Orang-orang Sontani telah mulai dengan curang, menyerang kau dari belakang.”

Tidak sepantasnya aku mengemban tugas ini Kakang.” Sendang Parapat meneruskan seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata kakaknya.

Jangan berpikir terlalu jauh, Parapat…” sahut Wanamerta. “Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah tak seorangpun mampu berbuat sesuatu, apabila ia mendapat serangan seperti serangan atas dirimu? Sekarang, tenangkan hatimu. Mudah-mudahan lukamu lekas sembuh.”

Ya,” jawab Sendang Parapat, “Aku ingin lukaku lekas sembuh. Sekarang, aku tunggu. Besok aku akan kembali dengan keris ditangan.

Wanamerta, Sendang Papat dan mereka yang mendengar kata-kata itu menjadi terharu. “Bagus…” bisik Wanamerta. “Kau akan segera kembali ke Banyubiru.”

Sendang Parapat diam. Tetapi wajahnya sudah tidak terlalu pucat. Nafasnya telah mulai teratur. Darah sudah tidak mengalir lagi dari lukanya. Agaknya Ki Prana berhasil mendapatkan jenis daun-daunan yang baik.

Dalam keadaan yang demikian itulah Wanamerta dan Sendang Papat teringat kepada pesan anak muda yang aneh itu, “Tinggalkan tempat ini sebelum matahari terbit.”

Sendang…” berbisik Wanamerta, “bagaimana dengan pesan anak muda itu?”

Baiklah kita usahakan Kiai. Kita tinggalkan kota ini sebelum matahari terbit,” jawab Sendang Papat.

Mereka berdua bersama-sama memandang Sendang Parapat. Dapatkah anak itu diajak berjalan atau berkuda?

Agaknya Sendang Parapat merasa, bahwa dirinya menjadi persoalan. Karena itu perlahan-lahan ia berkata, “Aku dapat berbuat apa saja yang kalian kehendaki. Berjalan pulang atau bertempur sekarang juga.”

Wanamerta menarik nafas. Anak muda ini memang berhati baja seperti juga kakaknya yang hampir saja bunuh diri.

Parapat...” jawab Wanamerta, “Baiklah kami berkuda pulang ke perkemahan. Di sana dapat kita kaji untung rugi dari setiap langkah kita dengan tenang.”

Apalagi berkuda,” jawab Parapat.

Kemudian merekapun segera bersiap. Prana tidak dapat menahan mereka, sebab ia tahu bahwa mereka sedang melakukan tugas mereka. Setelah luka Sendang Parapat dibalut, maka segera ia dipapah dan diangkat ke atas punggung kuda untuk dinaiki bersama dengan kakaknya.

Kuda yang bagus,” desis Prana, ”Dari mana Kiai mendapatkan kuda ini?”

Dari seorang anak muda yang tak mau kami kenal,” jawab Wanamerta.

Yang berempat tadi?” tanya Prana.

Seorang lagi,” jawab Wanamerta pula. “Kawan dari yang empat ini.”

O…” sahut Prana, “Kalau yang empat itu, aku kenal mereka.”

He…?” Sendang Papat memotong, “Siapakah mereka?”

Belum lama mereka muncul. Sebelumnya mereka selalu tekun ke padepokan Lemah Telasih,” jawab Prana.

Putra Ki Lemah Telasih?” tanya Wanamerta.

Ya. Putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih,” jawab Ki Prana.

Ya ampun,” sahut Wanamerta, “Jadi mereka anak-anak dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Buyut Banyubiru itu?”

Ya.”

Yang seorang lagi?” Sendang Papat menyela.

Siapa?” sahut Prana, “Mereka hanya selalu berempat. Tak ada orang lain di padepokan itu.”

Ada. Seorang yang gagah tampan dan berwibawa anggun. Sungguh anak yang luar biasa,” sambung Sendang Papat.

Ki Prana menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

Wanamerta dan Sendang Papat jadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk mendapat jawaban. Karena itu segera mereka minta diri untuk segera kembali ke perkemahan.

Sesaat kemudian mereka segera berangkat beriringan. Sekarang ketiga orang kawan Sendang-lah yang berkuda di muka. Kemudian Sendang kakak-beradik.

Malam masih gelap bukan main. Di langit bintang-bintang berkedip-kedip gemerlapan. Angin pegunungan yang segar perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang sedang menempuh perjalanan. Alangkah dinginnya. Tetapi udara yang segar itu telah menyegarkan tubuh Sendang Parapat.

Di sana-sini terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.

Hampir pagi,” desis Wanamerta.

Fajar telah membayang di timur,” sahut Sendang Papat. Kemudian mereka diam. Masing-masing terbenam ke alam yang lampau. Semasa Banyubiru mengalami masa yang aman damai. Semasa mereka menikmati hidup yang tenteram. Sebelum orang-orang dari golongan hitam mulai mengganggu daerui8ah ini, disusul oleh nafsu berkuasa dari adik Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Dua bencana yang sama-sama menjadikan Banyubiru porak poranda.

Dikenangnya masa-masa yang lampau. Sekali dua kali, dalam perayaan-perayaan bersih desa, ia selalu muncul dalam malam-malam yang mengesankan. Sebagai seorang penari yang baik bersama dengan adiknya, ia selalu mendapat perhatian dari kawan-kawannya. Apabila ia menari topeng dalam lakon Panji, yang kadang-kadang pertunjukan itu sampai menjelang pagi. Ia kemudian menjadi bangga kalau pertunjukan selesai, tanpa melepaskan pakaian penernya, ia berjalan menyusur jalan-jalan kota, pulang ke rumahnya. Ia menjadi semakin bangga kalau gadis-gadis yang berdiri di tepi jalan saling berbisik, “Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”

Fajar kali inipun ia menyusuri jalan kota. Tetapi untuk menjauhinya. Tak seorangpun kali ini yang berbisik-bisik, “Itulah Sendang Papat, penari terbaik dari anak-anak muda di Banyubiru.”

Namun meskipun demikian, kali ini pun ia bangga. Hatinya sendirilah yang berbisik-bisik, “Inilah Sendang Papat, salah seorang anak muda di Banyubiru yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran.

Tetapi yang terdengar di fajar yang dingin itu hanyalah angin yang berdesir. Warna semburat merah mulai tersirat dari balik punggung-punggung pegunungan. Dan rombongan itupun menjadi semakin jauh dari pusat kota menuju ke perkemahan yang sudah dekat berada di hadapan mereka. Sebab sebelum mereka berangkat, mereka sudah mengetahui bahwa laskar Banyubiru itupun akan merangkak maju mendekati kota.

Ketika mereka telah melampui batas, legalah hati mereka. Sebab kemungkinan untuk menemui bahaya menjadi semakin berkurang. Mereka pasti, bahwa laskar Lembu Sora tak akan mengejar mereka. Sebab merekapun pasti ragu pula, apakah orang-orang Banyubiru itu tidak membawa banyak kawan.

Ketika matahari kemudian menjenguk dari atas perbukitan dan melemparkan sinarnya yang pertama, Wanamerta dan kawan-kawannya telah jauh dari setiap bahaya yang mengancam. Mereka dapat berjalan dengan tenang menuju ke perkemahan, di sana menunggu Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

———-oOo———-

II

Tetapi semakin dekat mereka dengan perkemahan, semakin gelisahlah mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar tentang mereka, tentang rombongan kecil yang ditugaskan untuk meyakinkan rakyat Banyubiru tentang kebenaran perjuangan Arya Salaka…?

Rombongan kecil itu mendapat tugas untuk memperbanyak kawan, bukan lawan. Sedang yang terjadi adalah sebuah keributan dan bencana, meskipun itu adalah di luar kehendak mereka.

Namun disamping perasaan gelisah mereka tidak lupa, mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa mereka telah terlepas dari bahaya maut yang hampir saja menjebak mereka. Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, yang masih memberi kesempatan kepada mereka untuk menikmati kecerahan sinar matahari.

Ketika matahari sepenggalah, tampaklah di hadapan mereka, di dalam sebuah lembah yang berdinding curam, rumah-rumah kacang daun ilalang. Itulah perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka memilih tempat itu untuk menghindari penyerbuan yang tiba-tiba. Sebab di lembah itu, mereka hanya dapat dicapai lewat mulut yang menghadap ke dua arah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah berada di dalam sebuah benteng yang kuat.

Demikianlah kedatangan Wanamerta mengejutkan anak-anak Banyubiru. Mereka menyangka bahwa Wanamerta akan tinggal di dalam kota beberapa hari lamanya. Tiba-tiba baru semalam mereka meninggalkan induk pasukan, kini mereka telah datang kembali. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang dari rombongan itu terluka.

Sendang Parapat terluka,” teriak salah seorang.

He..?” sahut yang lain terkejut, “Apa katamu?”

Sendang Parapat terluka,” teriak orang pertama. Teriakan itu kemudian berkumandang, dan mengalir dari mulut ke mulut yang lain. Maka gemparlah perkemahan itu. Seorang kemudian berlari menemui Mahesa Jenar dan dengan nafas yang memburu berkata tergesa-gesa, “Wanamerta telah kembali. Sendang Parapat terluka. Agaknya lukanya cukup berat.”

Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara yang berada di perkemahan itu terkejut. Dengan gemetar Arya Salaka terloncat berdiri sambil bertanya, “Apa katamu? Sendang Parapat terluka?”

Orang itu mengangguk.

Arya Salaka benar-benar terpengaruh oleh berita itu. Sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat menghambur menyongsong rombongan kecil itu, disusul oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan yang gelisah.

Dari kejauhan Arya melihat rombongan kecil itu dikerumuni oleh laskarnya. Wanamerta telah turun dari kudanya. Demikian juga kawan-kawannya yang lain, kecuali Sendang Papat yang masih menjaga adiknya di atas punggung kuda.

Ketika orang-orang yang mengerumuni Wanamerta itu melihat kedatangan Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, segera menyibaklah mereka. Sesaat kemudian disusul kedatangan Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.

Arya Salaka memandang Sendang Parapat yang pucat di atas punggung kudanya. Ketika matanya tersangkut pada darah yang memerah di pakaian anak muda itu, hatinya berdesir cepat.
Tiba-tiba terdengarlah pertanyaannya dengan suara yang bergetar, “Kau terluka Kakang Parapat?”

Sendang Parapat mengangguk. Namun mulutnya mencoba untuk tersenyum. Dengan suara perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak seberapa. Hanya luka kecil.”

Arya menarik nafas, kemudian terdengarlah giginya berdetak. Dari matanya memencar kemarahan yang tak terkira. “Siapakah yang melukaimu?

Sendang Parapat tidak menjawab. Ia menoleh kepada Wanamerta. Agaknya ia minta supaya orang tua itulah yang menjelaskannya. Tetapi sebelum Wanamerta berceritera, berkatalah Mahesa Jenar, “Paman, bawalah Sendang Parapat ke kemahku. Biarlah lukanya mendapatkan perawatan. Sementara itu Paman dapat berceritera dengan tenang tentang apa yang telah terjadi atas Paman dan Sendang berdua.”

Wanamerta mengangguk. Kemudian dibawanya Sendang Parapat ke kemah Mahesa Jenar. Kebo Kanigara yang telah cukup lama tinggal di padepokan Karang Tumaritis, agaknya telah prigel pula mengobati luka. Demikianlah ia mencoba membuka luka Sendang Parapat dan membersihkannya dengan air hangat.

Bagaimana Kakang?” tanya Mahesa Jenar. Sedangkan Arya Salaka menjadi gelisah mondar-mandir di dalam ruangan itu. “Mudah-mudahan luka-luka ini segera sembuh,” jawab Kebo Kanigara, yang kemudian mengobati luka-luka dengan ramuan dedaunan dan akar-akaran yang memang sudah disediakan.

Ketika Sendang Parapat telah dibaringkan, maka mulailah Mahesa Jenar bertanya kepada Wanamerta, “Apakah yang telah terjadi dengan rombongan kecil itu.”

Dengan hati-hati Wanamerta menceritakan semua yang telah dialaminya. Sejak ia menginjakkan kakinya di kota, sampai ia meninggalkan kota itu, tanpa menyembunyikan atau menambahnya sama sekali. Diceriterakan pula bagaimana Sendang Papat seolah-olah menjadi gila ketika ia mengira adiknya telah mati. Sehingga bagaimana mungkin seorang penari sampai hati membakar seperangkat gamelan.

Mahesa Jenar mendengarkan setiap kata-kata Wanamerta dengan seksama. Demikian juga Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Bahkan pada wajah Arya Salaka kemudian tergores luka di hatinya, sehingga keringat dingin membasahi dahi serta punggungnya. Ia merasa bahwa Wanamerta telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menghindari bentrokan yang mungkin terjadi, namun agaknya orang-orang yang menentangnya itu benar-benar telah kehilangan jantungnya.

Sedangkan Wanamerta kemudian menjadi gelisah kembali. Bagaimanakah penilaian Mahesa Jenar kepada hasil pekerjaannya.

Ketika Wanamerta telah berhenti berceritera, terdengarlah Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ruangan itu kemudian menjadi sepi senyap. Semuanya menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Mahesa Jenar.

Paman.…” Terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan. “Kalau demikian, maka peristiwa itu dapat berakibat buruk. Hari ini orang-orang Pamingit pasti akan mengadakan tindakan-tindakan yang dapat melukai hati rakyat Banyubiru sebagai pembalasan dendam.”

Semua terdiam. Wanamerta sendiri menyadari hal itu. Karena itu ia berusaha sedapat-dapat menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang terjadi. Tetapi ia tidak berhasil.

Kemudian terdengar Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi bukanlah salah Paman.

Wanamerta menarik nafas. Syukurlah kalau Mahesa Jenar mengetahui kesulitan yang dihadapinya pada waktu itu.

Dalam pada itu Mahesa Jenar menyambung kata-katanya pula, “Tetapi siapakah yang telah berusaha untuk menyelamatkan Paman dari tangan orang-orang Pamingit itu?

Wanamerta menggeleng lemah. “Aku tidak dapat mengetahuinya Ngger.”

Aneh...” Mahesa Jenar bergumam.

Tetapi keempat kawan-kawannya dapat dikenal oleh Ki Prana,” sahut Sendang Papat, “Mereka adalah putra-putra dan kemenakan Ki Lemah Telasih yang juga disebut Ki Banyubiru. Tetapi yang seorang itu tak diketahuinya.”

Bagaimana dengan tanda-tanda yang dimilikinya?” tanya Mahesa Jenar pula. Kemudian Wanamerta mencoba untuk menggambarkan tokoh anak muda yang aneh itu.

Tiba-tiba Widuri tertawa. Dan suara tertawanya telah mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Ketika ia sadar bahwa seluruh perhatian tertumpah kepadanya, ia menunduk malu.

Kenapa kau tertawa?” tanya ayahnya.

Anak muda yang aneh itu,” jawabnya.

Kenapa dia?” desak ayahnya.

Bukankah anak muda itu Kakang Karang Tunggal?” sahut Widuri.

He…?” Kanigara mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata, “Kau benar. Anak itu pasti Karang Tunggal.

Mahesa Jenar akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Iapun agaknya sependapat bahwa anak muda itu tidak lain adalah Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Mas Karebet, atau mendapat sebutan lain Jaka Tingkir.

Siapakah dia…?” Wanamerta ingin tahu.

Kemanakanku,” jawab Kebo Kanigara, “Nakalnya memang bukan main.

Wanamerta menarik alisnya yang sudah keputih-putihan. Sejak semula ia telah mengagumi Kebo Kanigara seperti ia mengagumi Mahesa Jenar. Jadi kalau kemenakannya dapat melakukan hal yang sedemikian dahsyatnya, agaknya sudah pada tempatnya. Karena itu ia berkata, “Itulah sebabnya, maka anak muda itu telah mengenal Arya Salaka, Mahesa Jenar, Ki Ageng Supit, Wiraraga dan Mantingan.”

Anak muda itu telah mengenal Ki Ageng Supit, Kakang Wiraraga dan aku?” tanya Ki Dalang Mantingan.

Ya, Ngger,” jawab Wanamerta. “Disebut-sebutnya nama-nama itu.

Tidak aneh,” potong Kebo Kanigara, “Ia berjalan dari satu ujung keujung negeri ini yang lain. Ia singgah hampir setiap perguruan yang ada.”

Luar biasa….” Terdengar hampir setiap mulut bergumam.

Namun mereka tidak lama terpaku pada anak muda yang aneh itu. Sebab merekapun pada saat itu menghadapi keadaan yang cukup gawat. Meskipun di dalam hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terselip pula pertanyaan, kenapa Jaka Tingkir itu tiba-tiba saja berada di Banyubiru? Bukankah ia berangkat dari Karang Tumaritis, untuk mohon diri kepada ibu serta ibu angkatnya untuk mengabdi ke Demak? Apakah ia telah menyia-nyiakan waktu sekian lamanya untuk berjalan kesana-kemari tanpa ujung pangkal, sedangkan seorang yang waskita, telah mengatakan kepadanya, bahwa ia akan sanggup untuk menerima jabatan Agung?

Tetapi pertanyaan itu tak terucapkan. Sebab tak seorangpun yang akan dapat menjawab. Yang kemudian terdengar adalah suara Mahesa Jenar, “Paman, bagaimana menurut tanggapan Paman. Apakah orang-orang Pamingit itu akan membuat onar?

Kembali perhatian Wanamerta terlempar kepada peristiwa malam tadi. Setelah berpikir sejenak iapun menjawab, “Mungkin Anakmas. Hal itu adalah mungkin sekali.

Kalau begitu kita harus mencegahnya.” Mahesa Jenar bergumam seperti untuk diri sendiri. Namun tanggapan Arya Salaka ternyata hebat sekali. Tiba-tiba ia berdiri tegak, dan dengan dada tengadah ia berkata, “Marilah Paman. Betapa rinduku pada tanah kelahiran. Dan betapa rinduku kepada pangabdian.

Akibat dari kata-kata Arya Salaka itu ternyata bukan main. Tiba-tiba ruangan itupun menjadi riuh. Wanamerta, Sendang Papat, Bantaran, Panjawi, dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain tiba-tiba serentak berkata, “Kita serahkan jiwa raga kita untuk kampung halaman, untuk masa depan tanah kelahiran.

Mahesa Jenar terharu melihat kesetiaan itu. Pernyataan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu merupakan cermin dari setiap hati yang lain. Mereka agaknya telah bersedia sepenuh-penuhnya, apapun yang terjadi atas mereka. Bahkan Sendang Parapat yang terbaring itupun berkata perlahan-lahan namun penuh dengan gelora kesetiaannya, “Kiai Wanamerta, bawalah aku serta. Aku sudah akan sembuh sore nanti.”

Baiklah,” jawab Mahesa Jenar kepada para pemimpin itu. “Memang masa depan Banyubiru terletak di tangan kalian. Karena keyakinan itu pulalah maka kalian bersedia berkorban. Laralapa. Menderita selama ini dan untuk masa-masa yang belum kalian ketahui ujungnya. Meskipun seandainya kalian tidak akan mengecap kenikmatan hasil perjuangan kalian, namun anak cucu kalian akan menulis di atas lontar, bahwa pada suatu masa, rakyat Banyubiru bangkit berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Berjuang untuk anak cucu mereka tanpa pamrih bagi diri sendiri, dengan membiarkan dirinya menderita sakit dan lapar. Namun dengan cita-cita luhur dan murni.

Dada para pemimpin itupun menjadi semakin bergelora. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu. Ke Banyubiru sekarang juga.

Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Karena itu, bersiaplah kalian. Aku akan pergi ke Banyubiru sekarang juga dengan Arya Salaka.

Ketika Mahesa Jenar berhenti berbicara, tampaklah para pemimpin Banyubiru itu saling berpandangan. Mereka tidak begitu mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Penjawi bertanya, “Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang akan pergi ke Banyubiru?

Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab, “Tidak. Kalian semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”

Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa Jenar agaknya masih akan mempergunakan cara damainya, yang menurut dugaannya sama sekali tak akan berhasil. Karena itu terdengarlah ia menyahut, “Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan berdua adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”

Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Kebo Kanigara, seolah-olah minta pertimbangan. Kebo Kanigara pun mengetahui betapa sulitnya mengendalikan perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi sama sekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam pembicaraan itu. Sebab laskar Banyubiru itu lebih banyak mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya. Dengan demikian Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan mencoba mengetahui perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan untuk menenangkan seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat menekan dada mereka. Sebab dari mata anak itu memancarkan api kemarahannya yang menyala-nyala sehingga dalam mata itu seolah-olah membayangkan cahaya api yang bergelora.

Apalagi ketika kemudian terdengar anak muda itu berkata, “Paman, matahari masih belum tinggi di puncak langit. Kalau Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya berkecamuk kecemasan yang gemuruh. Kalau ia menuruti perasaan marah yang meluap-luap dari pemimpin laskar Banyubiru itu, maka akibatnya adalah di luar kemauannya. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang mengerikan antara sesama keluarga. Antara orang-orang Banyubiru melawan orang-orang Pamingit yang pasti akan dibantu oleh sebagian kecil orang-orang Banyubiru juga. Banyubiru dan Pamingit adalah ibarat daun sirih. Wajah dan punggungnya. Meskipun berbeda ujudnya, namun apabila digigit, akan sama rasanya. Sebab keduanya adalah belahan dari tanah perdikan yang tunggal, tanah perdikan Pangrantunan.

Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk mencegahnya. Dengan sangat hati-hati pula ia berkata, “Tentu. Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau adalah kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang pahit lebih dahulu sebelum kita coba jalan yang licin?

Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” bertanya Arya Salaka.

Kemungkinan masih selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau datang kepadanya,” jawab Mahesa Jenar.

Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring, menyala kembalilah hatinya. Karena itu ia menjawab, “Kalau Eyang Sora Dipayana mampu mencegahnya, maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya telah hampir tidak sabar lagi. Meskipun ia dapat mengetahui perasaan apakah yang telah mendorong anak muda itu, namun apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang dimilikinya, maka ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan rakyat Banyubiru.

Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa usahanya bertambah sulit. Namun demikian ia menjawab, “Arya, persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah terlalu sulit. Bukan sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat bijaksana.”

Arya Salaka kurang dapat memahami cara berpikir gurunya. Namun sebagai seorang murid yang selama ini merasakan betapa gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk membantahnya. Di sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu. Kepercayaan yang sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu pasti, bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan yang paling bersih dari kemungkinan noda-noda yang dapat memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu, ketidaksabarannya telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah.

Mahesa Jenar pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka itu diam, bukanlah karena ia dapat meyakini kata-katanya. Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup sekam. Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar harus dapat mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus tidak mematahkan anak-anak Banyubiru, namun ia pun tidak dapat membiarkan anak-anak Banyubiru itu menjadi korban ketergesa-gesaan mereka.

Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-sama.

Sambutan atas ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak. Laskar Banyubiru itupun bersorak dengan riuhnya. Tiba-tiba di dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung senjata, seperti anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat ujung-ujung pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji setia yang diucapkan tak teratur berebut keras.

Para pemimpin laskar Banyubiru itupun kemudian berpencaran ke pasukan masing-masing. Sesaat kemudian riuhlah perkemahan itu.  Semua hari bersama-sama menyanyi, “Kembali ke kampung halaman, kembali ke tanah kelahiran. Enyahkan kelalilman dan tegakkan keadilan.”

Arya Salaka pun menjadi bergembira pula. Semakin cepat ia sampai ke kota itu akan semakin baiklah baginya. Banyu Biru bagin Arya Salaka mempunyai daya tarik yang tak ternilai besarnya, disamping perasaan keadilannya yang terinjak-injak.

Karena itu, tanpa dikehendakinya, iapun melompat ke luar dari ruangan itu. Dengan wajah berseri ia melihat laskarnya mempersiapkan diri. Ia berjalan dari satu kemah ke kemah yang lain. Ia melihat kelompok demi kelompok, seolah-olah ia ingin mengetahui segenap kekuatan yang ada dalam laskarnya.

Namun dalam pada itu, di dalam kemahnya, Mahesa Jenar duduk termenung. Ia tidak dapat pergi meninggalkan laskar Banyubiru dalam keadaan yang demikian. Sebab di luar pengawasannya, dapat saja mereka melakukan hal-hal yang justru merugikan nama baik mereka dan bertentangan dengan tujuan mereka. Tetapi untuk membawa mereka serta agaknya juga akan menjadi persoalan. Bagaimana sebaik-baiknya menghentikan mereka, dan memberi kesempatan kepadanya untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana bersama-sama dengan Arya Salaka. Ia masih mengharap kewibawaan orang tua itu atas putra serta cucunya.

Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam persoalan ini. Perlahan-lahan ia berkata, “Mahesa Jenar, tipislah harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali bertempur. Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan Arya Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai harapan untuk menghentikan pasukan itu di tengah jalan, dan membiarkan mereka menunggu sesaat. Tetapi bagaimanakah caranya, sehingga tidak menimbulkan kejengkelan pada laskar yang setia itu?

Kalau Arya dapat kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin seluruh laskar ini pun akan tunduk pada perintahnya. Sebab api didalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika Arya Salaka berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.

Tak ada jalan untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah waringuten. Agaknya ia tak dapat diajak berunding lagi. Meskipun seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru berbahaya bagi dirinya,” jawab Mahesa Jenar.

Ya”, jawab Kanigara pendek, ”kau benar

Kembali ruang itu ditekan oleh kesenyapan. Masing-masing mencoba mencari jalan untuk memecahkan persoalan laskar Banyu Biru yang meluap-luap itu.

Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata kepada Endang Widuri, “Endang, bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kau bergembira pula seperti Arya Salaka?”

Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar pembicaraan ayahnya dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia lebih setuju dengan pendapat Arya Salaka. Kenapa Banyubiru itu tidak digempur saja. Mati atau  ukti. Dengan demikian persoalannya akan lekas selesai. Karena itu iapun menjawab, “Aku bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum pada sikap jantan yang dimilikinya.

Rara Wilis mengangguk-angguk. “Kaupun bersikap jantan,” katanya.

Kenapa aku…?” sahutnya. “Aku hanya sekadar bergembira melihat sikapnya.”

Rara Wilis tersenyum. Seperti bergumam ia berkata kepada diri sendiri, “Aku teringat pada cerita Purwa, pada saat menjelang Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun menjadi ragu-ragu. Apakah mereka harus berjuang melawan sanak kadang mereka sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran itupun tak dapat dihindari. Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah dicoba. Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada pamannya sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang bijaksana, dan Prabu Salya, mertua Prabu Duryudana sendiri.”

Yang mendengar ceritera itupun berdiam diri. Masing-masing dengan tanggapannya sendiri. Namun tak seorangpun yang memotong cerita itu.

Ketika Bisma gugur…” lanjut Wilis, “Para kadang Pandawa masih sempat menghadap Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka masih sempat minta maaf dan minta pangestu kepadanya. Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa sempat mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata mereka berdua minta agar mereka dijauhkan dari dosa mereka, karena mereka harus bertempur melawan saudara-saudara mereka yang lebih tua.”

Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan dengan penuh minat. Tetapi wajahnya telah berubah dari semula.

Ketika kedua junjungan para darah Barata itu gugur, menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal lagi mereka, seandainya mereka tidak sempat menghadap sebelumnya. Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin. Dan akan lebih menyesal pulalah mereka, seandainya sebelum Baratayuda itu mulai, mereka belum bersimpuh di hadapan para junjungan itu.” Wilis meneruskan.

Widuri menarik nafas. Otaknya memang benar-benar cemerlang seperti bintang pagi. Sebelum Rara Wilis meneruskan, Widuri berkata perlahan-lahan, “Bukankah Arya Salaka mampunyai junjungan pula di Banyubiru? Bukankah eyang Arya Salaka itu berada di sana, dan mungkin akan gugur pula dalam bentrokan ini?

Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan perlahan-lahan pula ia menjawab, “Tak seorangpun yang mampu menyampaikan kekhilafan ini kepada Arya Salaka. Bukankah kau mau menolongnya, supaya ia tidak akan menyesal sepanjang hidupnya kelak?”

Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-orang lain di dalam ruangan itu dengan senyum yang kecil. Tiba-tiba ia merasa berbahagia menerima tugas itu. “Tidak adakah orang lain yang dapat berbuat demikian…?” bisik hatinya.

Akan aku coba,” katanya, “Supaya Kakang Arya Salaka tidak berbuat kesalahan. Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana? Bukankah dengan demikian Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya? Namun apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal seandainya eyangnya itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah bersujud di bawah kakinya.”

Semua yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar mengucap syukur dalam hati atas kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis, ia mempunyai tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan Endang Widuri. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum pernah melihat sebelumnya. Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi gadis itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia sudah melampaui dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima uluran tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana, sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia serta kemanusiaan. Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi.

Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo Kanigara.

Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia sudah bertekad untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota laskar Banyubiru itu.

Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak muda itu sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya.

Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun menoleh. Sambil tersenyum ia menyapa halus, “Siapakah yang kau cari Widuri?

Tidak ada,” jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya meloncat ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan, supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya. Tetapi sebelum ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata, “Sebentar lagi aku akan pergi ke bukit itu.

Ya,” jawab Widuri singkat.

Tak seorangpun akan dapat menghalangi. Malang-malang putung, rawe-rawe rantas.” Arya melanjutkan.

Ya,” jawab Widuri.

Di sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu, menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang lewat.”

Ya.”

Banyubiru harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku nyalakan kembali sebesar-besarnya.”

Ya.” Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan ceriteranya. Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.

Wajah Arya bertambah gembira. “Kau dengar itu…?”

Ya,” sahut Widuri, yang benar-benar menjadi gelisah dan cemas.

Marilah kita bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri. Dengan serta merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah, menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut balas.

Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur, sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan. Melihat pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa diketahuinya, merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya. Ia sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar. Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu. Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan tajam. Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula.

Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.

Mahesa Jenar kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung pedang tipisnya.

Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun berkata, “Arya bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”

Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik. Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan Banyubiru.

Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian, Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri. Perlahan-lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik, “Bagaimana? Sudahkah berceritera kepada Arya Salaka?

Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab, “Belum. Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”

Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.

Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis. “Di perjalanan kau masih mempunyai kesempatan.”

Aku akan coba,” sahut gadis itu.

Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara, meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya, “Apakah aku harus tinggal di sini?

“Ya,” sahut ayahnya.

Tidak mau,” jawab Widuri.

Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula. “Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.

Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri. “Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”

Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu, katanya, “Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.

Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya. Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya.

Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak Kyai Bancak di tangannya.

Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.

Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, “Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa bertempur, maka setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan milik kalian yang paling berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan meninggalkan barisan.”

Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan barisan. Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.

Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan, “Ternyata kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”

Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan, “Tujuan kalian yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur, tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian, janganlah kalian mencari perkara.” Mahesa Jenar diam sejenak. Ia melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya. Kemudian ia menyambungnya, “Tetapi, perhitungan kita adalah perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng pertahanan orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian siap?”

Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak. “Kami telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.”

Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam.

Terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Tanahmu adalah tanah pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”

Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar, “Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.” Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang.

Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka, “Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”

Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya.

Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya.

———-oOo———-

 

 

 

 

 

III

Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka.

Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.

Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak. Namun meskipun demikian, umbul-umbul ini pun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan tanah perdikannya, Dirada Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit.

Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam. Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri. “Ya Allah, yang memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha Pengasih dan Pengampun.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya.

Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi. Dan sesaat kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit harimau lapar.

Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu.

Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu.

Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis, “Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”

Rara Wilis mengangguk sambil tersenyum, jawabnya, “Kalau kau berhasil Widuri, dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung nanti.”

Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya. Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih rapat lagi. Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya, “Inilah bandul kalungmu. Pasanglah.”

Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.

Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.

Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.

Apakah namanya?” desak gadis itu.

Cakra,” jawab ayahnya singkat.

Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.

Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?

Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya. Katanya, “Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.

Pakailah,” potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.

Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.

Kakang...” bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”

Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.

Apakah itu?” ia bertanya.

Cakra,” jawabnya singkat.

Bagus,” gumam Arya Salaka, “Lihat.”

Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang mengaguminya. Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan, rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul. Dengan rantai itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata itu.

Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya, “Kakang, apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?

Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya, “Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.

Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.

Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih.

Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja.

Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.

Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.” Akhirnya terdengar Arya bergumam. “Hari ini aku akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki kota.

Widuri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah, maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang sudah dipersiapkan itu.

Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.

Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Sariti pun akan memiliki sifat-sifat itu juga.”

Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.

Arya mengangguk sambil tersenyum. “Mungkin,” gumamnya.

Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia mengemukakan persoalan demi persoalan.

Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain. Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini. Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo Kanigara.

Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan berkata, “Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.

Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya, “Lembu Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.” Lalu pamannya itu menjawab, “Baiklah ayah.” Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari? Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian.

Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.

Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa seperti membakar kulit.

Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu.

Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung.

Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.

Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik, “Kau lihat debu itu, Widuri?

Endang Widuri mengangguk. “Kuda,” desisnya.

Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.

Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan cakrawala.

Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, “Biarlah seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus.

Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mempunyai tanggapan yang lain. Orang itu bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.

Jadi siapakah dia?” tanya Kebo Kanigara perlahan-lahan. “Tak ada lain, orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya. “Satu-satunya kemungkinan,” gumamnya.

Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,” sahut Mahesa Jenar.

Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.

Mahesa Jenar pun kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar ini menuju kedalam bahaya.

Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang kepadanya.

Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata, “Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-pertahanan baru.”

Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.

Tetapi…” kemudian Arya Salaka meneruskan, “Kalian jangan bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.

Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap. Tempat itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan menjadi ujung-ujung sayap.

Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba. Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya Salaka.

Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti malampun belum.

Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar.

Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara Wilis.

Paman…” katanya setelah ia pun duduk, “Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya, “Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.

Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap.

Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.

Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab. “Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”

Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.

Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya, “Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan, “Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”

Arya Salaka mengangguk-angguk.

Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati.

Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu.

Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasradan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan menuju ke Demak. Menurut anggapan mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari Banyubiru dan Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di dalam dada mereka itu masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan, “Lalu siapakah orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi diantara golongan hitam itu? Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka Soka atau yang lain lagi…?

Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.” Terdengar Arya kemudian berkata. “Mereka akan menggempur kita, apabila tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita melawan orang-orang Pamingit.”

Mahesa Jenar mengangguk.

Kembali Arya merenungkan kata-katanya sendiri. Alangkah jelasnya persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah melangkahkan kakinya karena itu ia pantang mundur.

Akan aku bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga bagian laskarku,” katanya kemudian. “Aku kira aku harus membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan datang kemudian.”

Kembali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia bangga atas keterampilan Arya Salaka. Namun keterampilan itu adalah keterampilan pikiran anak muda yang masih berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak membantahnya. Ia mengharap, dalam ketenangan istirahatnya nanti Arya akan menemukan sendiri pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan mencoba menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan persoalan-persoalan lain. Diantaranya orang berkuda yang terang orang dari gerombolan hitam.

Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan dengan langkah gontai ke arah mereka.

Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar pada Rara Wilis.

Dari mana kau Widuri?” tanya Rara Wilis.

Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama dengan Paman Mantingan menangkap kelinci-kelinci liar,” jawabnya.

Kau pergi ke sayap kiri?” potong Arya Salaka.

Ya,” jawab Rara Wilis, “Mereka sedang merebus air.”

Jangan mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi nasehat. “Di gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya yang mengancam keselamatanmu.”

Widuri tersenyum. “Bukankah aku sudah mempunyai cakra?

Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya, “Dengan demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”

Jangan marah ayah,” jawab Widuri, “Aku hanya bergurau.

Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan. “Sekali-kali aku masih ingin menarik kupingmu.”

Jangan ayah,” potong Widuri, “Bahkan mungkin Kakang Arya menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir, sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”

Apa…?” Arya tertarik pada keterangan itu.

Cermin,” jawab Widuri.

Cermin…?” Arya semakin tertarik, juga Mahesa Jenar. Segera teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang membawa Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda dengan benda yang berkilat-kilat.

Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan dari desa yang jauh itu,” jawab Widuri.

Mendengar keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya, memandang jauh ke arah desa yang ditunjuk oleh Endang Widuri. Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik perhatian. Bahkan Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah di dalam otaknya, pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana. Sehingga seolah-olah pada setiap batang didalam desa itu, berdiri seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.

Arya Salaka pun kemudian berdiri. Memanggil dua orang pembantunya, memberitahukan kepada kedua sayap laskarnya. Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan, golongan hitam akan mengail di air yang sedang keruh. Kedua orang itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun kedua orang itu masih belum membawa perintah kepada sayap-sayap pasukan itu untuk bergerak. Disamping kepada kedua orang itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan induk itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan sebagian laskarnya yang harus tetap segera untuk menghadapi lawan baru yang setiap saat dapat mengancamnya.

Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap laskarnya, sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam akan mengail di air yang keruh. Kenapa ia mesti mengeruhkan airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya. Apa yang dilakukan Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang berlaku, maka iapun tidak akan melakukan perjuangan dengan kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab dari keributan yang bakal terjadi adalah terletak di pundak pamannya.

Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari telah semakin rendah, dan sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan manyar telah berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di atas pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.

Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,” kata Arya Salaka kemudian. “Sebentar lagi malam tiba.”

Ya,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi mungkin besok pagi-pagi benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba tangannya membelai tombaknya seperti membelai kepala adik kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut pula orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah diantara mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya Salaka menjadi bersedih hati mengenang kemungkinan-kemungkinan itu. Tombaknya itu mungkin besok akan menusuk jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan bukankah Sawung Sariti tidak hanya kawan sepermainannya, tetapi justru saudara sepupunya? Tetapi meskipun demikian pedang anak muda itu hampir saja menembus dadanya.

Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang Arjuna yang ragu-ragu pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk sementara membiarkan saja Arya Salaka diganggu oleh kegelisahannya.

Sampai malam nanti…” pikir Mahesa Jenar.

Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini bukanlah pamannya itu sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan laskar hitam itu sama sekali tidak terikat pada suatu tata kesopanan ataupun kepercayaan yang dapat mengendalikan kebiadaban serta kekejaman mereka.

Ketika matahari kemudian terbenam, mereka masing-masing mencari tempat mereka sendiri-sendiri untuk beristirahat. Disana-sini bertebaran para petugas yang harus mengawasi keadaan, dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya Salaka mengadakan peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di sana-sini tampak perapian menyala-nyala. Mereka kemudian seperti berpesta, ketika serombongan orang-orang yang bertugas membawa kiriman makan datang ke tempat itu.

Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan, “Bawalah untuk besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami beritahukan, apabila pertempuran sudah mulai.

Kemudian keadaan menjadi sepi kembali. Masing-masing mencoba untuk mempergunakan waktu istirahat sebaik-baiknya. Namun di dalam dada Arya bergolaklah persoalan-persoalan yang rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai pada waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk bergerak.

Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi semakin cemas pula atas setiap keputusan yang diambil oleh Arya Salaka. Karena itu ia sama sekali tidak berani meninggalkan anak itu. Meskipun seolah-olah ia sama sekali tidak ikut campur pada setiap keputusan Arya Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu ternyata sangat berpengaruh.

Paman...” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan, “Bagaimanakah kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap laskarku?”

Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia akan menghadapi pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan usahanya. Katanya, “Adakah kau sudah menganggap cukup waktu?”

Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya, “Kalau aku kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan kita ini Paman?”

Arya Salaka benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap di hadapannya. Mungkin mereka akan membuka gelar lebih dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi mereka tak akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan kedua sayapnya agak jauh.

Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk pasukan dengan gelar yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta atau Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang akan memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu Sora sendiri, pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir. Mereka pasti lebih senang memilih gelar Cakra Byuha atau Dirada Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang pernah mereka lakukan terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat besar, Glatik Neba atau Samodra Rob.

Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak dapat menutup kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau Arya kini tertekad bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu, ia akan digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya. Maka kemungkinan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya, apabila ia akan menghadap eyangnya, adalah sekarang. Dan ia harus kembali sebelum tengah malam. Apabila keadaan tidak menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai tempat yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul Banyubiru dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud demikian?

Untuk menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata, “Siapakah menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?”

Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora?

Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak, “Kalau eyangmu yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan membinasakan.”

Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu. Tetapi bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden itu.

Tiba-tiba terdengar Arya berdesis, “Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”

“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar, “Aku sanggup melawannya.”

Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi keadaan yang sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang menawan.

Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan. “Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”

Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar, “Atau kau cemaskan nasib eyangmu?”

Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya. Cepat Mahesa Jenar berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya, “Arya, sebenarnya di dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu sebelum api pertempuran ini berkobar?”

Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu.

Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya, “Kalau kau ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak panah api.”

Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.

“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar, “berkuda, dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di tengah-tengah laskar ini.”

———-oOo———-

 

 

 

IV

Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula. Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak. “Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,” katanya.

Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia, “Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”

“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.

“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.

“Aku punya alasan,” potong Arya, “Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”

“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.

“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.

Sendang Papat tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar laskarnya tidak dikecewakan.

“Baik….” Akhirnya Sendang Papat menjawab, “Akan aku siapkan beberapa orang pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus pasukan Pamingit langsung ke arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”

“Bagus,” jawab Arya, “Kami akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini, supaya mereka tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan sayap-sayap itu.”

Setelah memberikan beberapa pesan-pesan, serta menempatkan Rara Wilis sebagai penasehat Sendang Papat, maka berangkatlah rombongan kecil itu. Di muka sekali seorang pembawa obor besar merupakan penerang jalan, kemudian berkuda di belakangnya Wanamerta dan Arya Salaka. Dekat di belakangnya berjajar Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Kemudian yang terakhir juga seorang pembawa obor.

Rombongan itu sangat menarik perhatian laskar Banyubiru. Mereka saling bertanya-tanya apakah yang akan dilakukan oleh rombongan kecil itu, sehingga sesaat kemudian para pemimpin laskar itu mendengar penjelasan dari Sendang Papat. Dengan demikian mereka tidak gelisah oleh usaha-usaha yang mereka anggap tak akan berarti.

Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari laskarnya. Mereka berjalan dijalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-tanah yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari desa-desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.

Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan, “Arya, batang-batang padi sedang berbunga.”

“Ya,” jawab Arya singkat.

“Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang Pamingit yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan lapar, sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka akan menangis karena lapar.”

Terasa sesuatu menggores di dalam dada Arya. Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta antara manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan anak-anak mereka. Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya, “Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta kita kepada bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”

“Tidak,” kata gurunya itu, “Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan duniawi.”

Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur.

Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa dicapai.

Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.

“Ada apa?” ia bertanya.

Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang berdiri. Kemudian terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak, “Berhentilah di situ.”

Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.

Demikian asyiknya Arya menganyam angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang menghadang perjalanannya itu. Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.

Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu.

Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat. Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata, “Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?”

Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, “Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”

“Ya,” jawabnya singkat.

“Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami,” sambung Arya.

Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak, “Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”

“Ya,” jawab Arya.

“Aku orang Banyubiru sejak lahir,” katanya lantang penuh kebanggaan.

“Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru,” sahut Wanamerta, “Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus.”

Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta. Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-baik. Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu. “Bukankah Tuan… Kiai Wanamerta?”

“Akulah,” jawab Wanamerta.

“Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini,” kata orang itu.

“He, Ira…” bentak pemimpin rombongan itu, “Apa yang sedang kau lakukan?”

“Orang ini adalah Kiai Wanamerta,” jawab Ira, “Ia adalah tetua tanah perdikan ini.”

“Tidak!” bentak pemimpin itu. “Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora.”

“Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”

“Jangan menggurui aku,” bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit. “Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru.”

Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun berkata, “Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu.”

“Apa…?” jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya. “Kau akan melawan pemimpinmu?”

Oleh bentakan itu, sadarlah Ira, bahwa bagaimanapun juga ia berada di bawah perintah orang Pamingit itu. Karena itu iapun terpaksa berdiam diri menahan hati. Tetapi dengan demikian, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya selama ini ternyata bertentangan dengan suara hatinya. Ia hanya sekadar hanyut dalam arus yang tak dimengertinya sendiri. Ia mendengar segala macam ceritera dan caci maki terhadap orang-orang Banyubiru yang tidak mau menerima Lembu Sora memegang pemerintahan atas Pamingit dan Banyubiru. Pada saat itu ia mengira bahwa orang-orang itu memang benar-benar orang-orang yang akan membuat kacau saja. Apalagi kemudian berita tentang kehadiran Bantaran di tanah lapang di ujung kota, dan membuat onar tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab yang tersiar hanyalah berita tentang Bantaran ngamuk. Tetapi tak ada yang mengatakan bahwa sebenarnya seorang Pamingit yang buas sedang berusaha untuk merendahkan kehormatan seorang wanita Banyubiru, yang kebetulan wanita itu adalah istri Panjawi. Disusul kemudian berita tentang Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat, yang seolah-olah merupakan suatu kelompok yang akan merampok keramaian gila-gilaan ditanah lapang yang sama, bahkan kemudian Sendang Papat telah membakar seperangkat gamelan. Juga dalam kabar-kabar yang tersiar itu tak terdapat kata-kata, seorang telah menusuk lambung Sendang Parapat ketika Sendang bersuadara itu sedang melindungi seorang dari kemarahan orang-orang Banyubiru.

Tetapi sekarang ketika Ira berhadapan dengan Wanamerta, tiba-tiba terasa bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Orang seperti Wanamerta ini, tidak akan mungkin melakukan kebiadaban atas rakyat yang dicintainya, atas rakyat yang dibelanya sejak ia menempatkan dirinya di atas segala kepentingan pribadi.

Di dalam gelap malam itu terasa betapa sejuk wajah yang tua itu, dan betapa manis mata itu memandangnya, seolah olah terasa udara sejuk menusuk sampai ke tulang sungsumnya. Berbeda benar dengan pemimpinnya orang Pamingit, yang keras dan kasar itu.

Keadaan yang hening itu tiba-tiba pecah oleh suara bentakan pemimpin rombongan pengawal itu, “Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian selain Kiai Wanamerta?”

Arya mengangguk perlahan, jawabnya lambat, “Aku Arya Salaka.”

“Arya Salaka….” kembali Ira terpekik.


Tiba-Tiba rontoklah hati orang Banyubiru itu setelah berhadapan dengan Arya Salaka, yang selama ini telah dianggap hilang. Memang ada diantara orang-orang Banyubiru yang dengan sadar menempatkan dirinya diantara orang-orang Pamingit, tetapi orang-orang seperti Ira inipun banyak sekali jumlahnya. Orang yang tak tahu arti perbuatannya sendiri. Tetapi Ira takut pula kepada pemimpinnya. Sebab dengan demikian, ia dapat kehilangan pekerjaan yang dapat dipakainya sebagai alat untuk berbangga diri terhadap kawan-kawannya.

Berbeda dengan orang-orang Pamingit yang lain. Ketika mereka mendengar nama Arya Salaka, merekapun segera mendesak maju.

Pemimpin pengawal itupun kemudian mendengus, “Jadi kaulah orang yang mengaku bernama Arya Salaka?”

Kenapa mengaku?” tanya Arya.

Orang Pamingit itu tertawa. Kemudian kepada anak buahnya ia berkata, “Bersiaplah. Ada pekerjaan yang harus kalian lakukan. Inilah dia orangnya yang mengaku bernama Arya Salaka. Tidakkah kalian ingin menangkapnya?”

Para pengawal itu pun semakin maju. Beberapa orang yang semula masih berdiri di pojok desa segera mendekat pula dengan senjata terhunus. “Satu, dua tiga, empat, lima enam.” Salah seorang diantara mereka menghitung jumlah rombongan kecil itu. “Hanya enam orang. Aneh, apakah memang mereka ini sedang bunuh diri karena putus asa?”

“Ki Sanak…” kata Arya Salaka tenang, “Jangan mengganggu kami. Sebab kamipun tidak mengganggu kalian malam ini. Kami hanya ingin minta kesempatan menghadap Eyang Sora Dipayana. Sesudah itu kami akan kembali.”

“Apa perlunya kalian menghadap Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya pemimpin pengawal itu.

“Sebagai seorang cucu, aku harus berbakti kepadanya,” sahut Arya Salaka.

Orang itu tertawa kembali. Masih dengan bertolak pinggang ia menjawab, “Jangan membuat alasan yang aneh-aneh. Dengarlah anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, kalau kau lolos dari penjagaanku ini, kaupun akan binasa di gardu pengawal yang kedua, yang lebih rapat dan keras. Lihat itu, di bawah rumpun wregu di sana. Itulah gardu penjagaan kedua, dan disamping gardu itu pulalah laskar Pamingit bersiap untuk menerima kedatangan laskarmu besok pagi.”

“Tidakkah kita dapat menunda persoalan besok pagi, sampai pada waktunya?” bertanya Arya. “Sekarang aku akan menghadap eyangku sebagai seorang cucu.”

Orang itu menggeleng. Perintahnya, “Turun dari kuda kalian. Aku harus menangkap kalian, hidup atau mati.”

Diam-diam Wanamerta memanggil kedua orang yang membawa obor untuk mendekat. Setiap saat ia perlukan api obor itu untuk menjalankan panah apinya apabila diperlukan.

Sesaat kemudian terdengarlah orang itu berkata pula, “Duapuluh lima bahu tanah yang akan kami terima apabila kami berhasil menangkap orang yang menamakan diri Arya Salaka.”

Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Namun demikian dengan tersenyum ia berkata, “Ah, betapa mahalnya kepalaku yang tak berarti ini. Duapuluh lima bahu tanah adalah cukup luas. Tetapi kalau yang duapuluh lima bahu itu tanah di sekitar Rawa Pening, maka aku kira kau akan keberatan.”

Tetapi hatinya berkata, “Suatu usaha yang tak kenal kesopanan. Janji itu agaknya telah menutup kemungkinan untuk mengadakan pembicaraan wajar. Mereka pasti akan mencari-cari alasan untuk menimbulkan pertengkaran, dan kemudian menangkapnya hidup atau mati.”

Diam-diam Arya Salakapun menghitung jumlah mereka. Tidak kurang dari limabelas orang. Tetapi sebenarnya limabelas orang itu tak banyak berarti bagi rombongan kecil yang hanya berjumlah enam orang itu.

Terdengar kemudian orang Pamingit yang sudah mulai kehilangan kesabaran itu membentak, “Aku punya wewenang untuk menangkap kau. Kalau mungkin hidup, kalau tidak, matipun tak akan mengurangi hadiah yang sudah dijanjikan.”

“Bagaimana kalau kau yang mati? Adakah kau akan menerima hadiah pula?” Tiba-tiba Wanamerta bertanya.

“Diam!” bentak orang Pamingit itu marah. “Meskipun tak ada hadiah yang dijanjikan buat kau, namun aku ingin juga menyobek mulutmu itu.”

Wanamerta mengangkat alisnya yang sudah mulai keputih-putihan. Tetapi kesan wajahnya masih tetap saja, sejuk. Bahkan wajah Ira lah yang menjadi tegang mendengar kata-kata kasar dari pemimpinnya itu. Tetapi sekali lagi ia tidak mau berbuat apa-apa yang dapat merugikan kedudukannya.

Dalam ketegangan itu terdengarlah Wanamerta berkata, “Adakah kau mendengar ceritera tentang tanah lapang beberapa hari lampau? Pada saat itu aku dan Sendang Papat pun telah hampir mati dikeroyok oleh orang-orang Pamingit. Tetapi tiba-tiba datang beberapa orang pemuda. Salah seorang daripadanya dapat memecahkan kepala kuda dengan tangannya. Waktu orang-orang Pamingit keheranan dan ketakutan, ia berkata, “Arya Salaka pun mampu berbuat demikian. Nah, adakah kau dengar. Sekarang biarlah Arya Salaka mencoba. Karena kau bersikap permusuhan biarlah kepalamu saja yang dipecahkan.”  

 Arya Salaka sendiri geli mendengar kata-kata itu, namun ternyata ada juga akibatnya. Memang orang Pamingit itu pernah mendengar peristiwa dari kawan-kawannya. Tanpa sadar Arya Salaka mengamat-amati tangan anak muda itu. Di dalam gelap ia melihat tangan itu tidak lebih dari tangan-tangan yang lain. Tidak sebesar tangan raksasa, dan tidak terbuat dari baja.

“Omong kosong!” Tiba-tiba pemuda itu bergumam, namun hatinya sendiri ragu. Tetapi bukankah ia mempunyai banyak kawan? Dan bukankah dengan memukul kentongan, gardu penjagaan kedua akan memberinya bantuan? Bahkan dengan isyarat ia dapat menyiapkan laskar Pamingit yang nanti tengah malam akan membuat gelar perang, untuk melawan laskar Arya Salaka. Karena pikiran itu, pemuda itu menjadi tenang kembali. Dengan beraninya ia berteriak, “Sekali lagi aku peringatkan, turun dari kuda kalian.”

Kali ini agaknya orang Pamingit itu sudah tidak mau berbicara lagi. Mungkin ia akan langsung menyerang atau akan memukul tanda bahaya. Kemungkinan yang kedua itulah yang pasti akan dilakukan segera apabila ia tahu bahwa di dalam rombongan kecil itu ada Mahesa Jenar dan ada orang yang pernah bertempur melawan beberapa orang berkuda sekaligus ditanah lapang, Kebo Kanigara.

Arya Salaka pun tidak mau membuang-buang waktu, sebab tengah malam ia harus sudah berada diantara laskarnya kembali.

Karena itu ketika ia sudah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali dengan kekerasan atau tindakan-tindakan semacam itu, maka segera iapun meloncat turun. Tetapi demikian ia menjejak tanah, demikian ia melangkah dengan lincahnya menangkap pergelangan orang Pamingit itu. Orang itu terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya bahwa anak muda itu dapat bergerak sedemikian tangkasnya seperti burung lawet yang menari-nari di udara. Tetapi segala sesuatu telah terlambat. Tangan orang Pamingit itu terasa seperti terhimpit besi. Perasaan nyeri dari pergelangan tangan itu menjalari tubuhnya sampai ke ujung ubun-ubun. Terdengar orang itu mendesah menahan sakit. Tetapi ia adalah pemimpin rombongan pengawal. Tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya di hadapan anak buahnya. Dengan tangan kirinya ia mencoba menghantam dada Arya Salaka. Arya melihat tangan yang terayun ke arah dadanya. Namun kekuatan orang Pamingit itu sebagian besar telah lenyap karena perasaan sakitnya. Dengan demikian, ayunan tangannya itu sama sekali sudah tak berarti. Arya Salaka pun sama sekali tidak menghindar ketika dadanya dibentur oleh pukulan itu. Bahkan dengan tertawa pendek ia berkata, “Jangan meronta-ronta anak nakal. Sekali-kali kau perlu mendapat pelajaran.”

Bukan main panasnya hati orang Pamingit itu mendengar kata-kata Arya Salaka. Dengan mengerahkan tenaganya ia berusaha melepaskan tangannya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin sakit tangan Arya Salaka menghimpitnya. Meskipun demikian ia tidak putus asa, dengan kakinya ia mencoba menyerang. Namun dengan satu putaran, ia menjadi tidak berdaya.

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu seperti terpaku di tempatnya. Mereka seperti melihat pertunjukan yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat pemimpinnya terpilin tangannya dan kemudian mengaduh tanpa dapat melawan.

Ketika mereka sadar, segera merekapun bergerak maju. Mereka sudah siap menyerang bersama-sama. Tetapi dalam pada itu terdengar Arya berkata, “Tidakkah kau dapat mengajari anak buahmu untuk tidak berbuat hal-hal yang dapat membawa bencana bagimu?”

Orang Pamingit itu tahu benar maksud Arya Salaka itu. Namun ia masih mencoba menggertaknya, katanya, “Biarlah kau merasakan betapa tajamnya tombak orang-orang Pamingit. Kalau kau tak segera melepaskan tanganku, umurmu akan menjadi semakin pendek.”

Arya Salaka tertawa. “Kau dengar?” katanya kepada para pengawal, “Pemimpinmu akan memberi perintah kepadamu.”

“Bohong,” bantah pemimpin pengawal itu, ia masih akan berkata lagi ketika tiba-tiba Arya menekan lambungnya dengan tangkai tombaknya. Orang Pamingit itu menyeringai kesakitan. Tangkai tombak itu benar-benar menyesakkan nafasnya. Apalagi ketika terdengar Arya berkata, “Tombak orang Banyubiru agaknya memang tidak begitu tajam seperti tombak orang-orang Pamingit, namun tombak inipun akan dapat merontokkan tulang igamu.”

Ternyata orang Pamingit itu masih sayang kepada tulang iganya. Dengan segan-segan ia terpaksa berkata agak keras, “Jangan berbuat sesuatu demi keselamatanku.”

Para pengawal itupun tertegun. Mereka jadi bingung, apa yang akan mereka lakukan. Kalau mereka menyerang bersama-sama, mungkin pemimpinnya itu akan mati. Tetapi kalau mereka tidak berbuat apa-apa, bukankah mereka telah berbuat kesalahan, dan sekaligus mimpi mereka tentang tanah yang duapuluh bahu itu akan lenyap?

Dalam keraguan itu terdengarlah Arya berkata, “Dengarlah para pengawal yang belum mengenal kawan-kawan seperjalananku. Kecuali aku dan Eyang Wanamerta terdapat juga seorang yang pernah kau dengar namanya, yaitu Paman Mahesa Jenar. Di sampingnya adalah orang yang pernah menggemparkan tanah lapang itu pula. Ketika itu orang-orang Pamingit mencoba menangkap Bantaran.”

Pemimpin pengawal itu menggeliat. “Setan!” Ia mengumpat di dalam hati. Pada saat itu iapun ikut serta mengeroyok orang itu. Tetapi tidak kurang dari sepuluh orang berkuda sama sekali tak berhasil menangkapnya. Bahkan beberapa orang kawannya telah jatuh menjadi korban. Sedang para pengawal yang lainpun pernah juga mendengar ceritera itu dari kawan-kawan mereka atau dari pemimpinnya itu.

“Masihkah kalian akan melawan kami?” tanya Arya Salaka.

Mereka diam seperti patung. Ternyata di dalam rombongan itu terdapat orang-orang yang bagi mereka hanya pernah mereka kenal sebagai tokoh-tokoh dalam ceritera-ceritera kepahlawanan yang sakti tiada taranya. Hanya pemimpin rombongan pengawal itu sajalah yang benar-benar menyaksikan betapa Kebo Kanigara bertempur melawan mereka. Karena itu nafsu perlawanan merekapun menjadi lenyap. Mereka memang dapat memukul tanda bahaya, dan mengundang kawan-kawan mereka dengan tanda-tanda itu. Namun melawan tokoh-tokoh sakti yang seolah-olah sudah bukan manusia biasa lagi, mereka agaknya menjadi segan, sebab sebelum kawan-kawan mereka datang, nyawa mereka pasti sudah beterbangan.

Arya Salaka merasakan betapa dalam pengaruh kata-katanya itu. Karena itu segera ia mempergunakan kesempatan. Katanya, “Ki Sanak. Marilah antarkan aku sampai ke rumah Paman Lembu Sora. Bukankah sudah tidak begitu jauh lagi? Setidak-tidaknya untuk melampaui gardu penjagaan dan tempat-tempat pemusatan laskar Pamingit itu.”

Pemimpin rombongan itu menggeram. Ia menjadi marah sekali. Tetapi tak satupun yang dapat dilakukan. Sebab ia tahu benar, bahwa tombak anak muda itu setiap saat dapat menembus jantungnya.

Marilah…” kata Arya, “Berkuda bersama-sama dengan aku.

Sungguh suatu pekerjaan yang tak menyenangkan. Tetapi ia masih ingin dapat melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit biru. Karena itu ia tidak membantah. Selagi ia masih hidup, ia masih mempunyai harapan untuk melepaskan diri. Dengan langkah yang kosong pemimpin pengawal itu didorong oleh Arya Salaka ke kudanya untuk kemudian meloncat ke punggung kuda itu dan menaikinya bersama-sama.

Kemudian kuda-kuda itupun bergerak.

Kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?” bisik Arya kepada orang Pamingit itu. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kupingnya serasa tersentuh api. Meskipun demikian ia berkata, “Jangan berbuat sesuatu, supaya aku tidak memecatmu.

Padamkan obor,” perintah Arya seterusnya.

Ketika obor-obor mereka telah padam, mereka meneruskan perjalanan mereka yang penuh dengan bahaya. Sebab mereka sama sekali tidak menduga bahwa telah diundangkan suatu hadiah yang menarik untuk menangkap Arya Salaka. Hal itu akan sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Pamingit dan orang-orang Banyubiru yang berhati goyah.

Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memuji di dalam hati mereka. Ternyata Arya memiliki ketangkasan berpikir yang cukup. Dalam keadaan yang demikian, ia dapat mengatasinya tanpa banyak keributan.

Pandai juga anak itu menghemat tenaga,” bisik Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar tersenyum sambil mengangguk, jawabnya, “Agaknya ia tidak mau merepotkan orang-orang tua ini.

Kemudian mereka berdiam diri, Wanamerta berada rapat di belakang Arya Salaka. Dua orang yang membawa obor itupun kemudian dipanggilnya mendekat.

Sediakan titikanmu,” perintah Wanamerta. “Setiap saat kita perlukan api. Kalau keadaan memburuk harus kita kirimkan tanda-tanda dengan panah sendaren dan panah api.

Orang itupun segera menyediakan titikan, emput dan dimik belerang. Supaya dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka dapat segera menyalakan tanda-tanda apabila diperlukan.

Kalau terjadi perkelahian jangan hiraukan lawan-lawan kita, tugasmu menyalakan api.” Wanamerta meneruskan.

Baik Kiai,” jawab orang itu.

Perjalanan menyusur tepi desa itu semakin lama semakin dalam masuk kota Banyubiru. Meski demikian alangkah sepinya. Tak ada nyala api sama sekali dalam rumah-rumah di tepi jalan. Agaknya mereka dalam ketakutan yang sangat. Atau barangkali rumah-rumah di tepi jalan itu sudah tidak berpenghuni. Barangkali mereka telah mengungsi jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari rumah-rumah mereka yang mungkin akan menjadi ajang perang yang mengerikan.

Orang-orang Pamingit ternyata tidak mempunyai kebesaran tekad seperti orang-orang Banyubiru. Mereka sedikit banyak menggantungkan pekerjaan yang dilakukan pada upah yang mereka terima. Mereka bekerja pada Lembu Sora bukanlah karena jiwa pengabdian mereka kepada tanah kelahiran mereka, atau kepada suatu keyakinan mereka terhadap kebenaran yang dapat diperjuangkan oleh para pemimpinnya. Mereka bekerja bukan semata-mata karena para pemimpinnya, tetapi mereka bekerja semata-mata karena mereka menerima upah. Itulah sebabnya orang Pamingit yang berkuda bersama-sama dengan Arya itupun lebih senang memelihara hidupnya daripada melakukan tugasnya dengan jantan. Ia masih mengharap untuk dapat hidup dan melepaskan diri. Pekerjaannya kemudian hanyalah mereka-reka alasan untuk membebaskan dirinya dari kemarahan atasannya.

Ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat dengan gardu penjagaan, hati orang itupun menjadi semakin gelisah. Apakah yang akan dikatakan kepada mereka kalau orang-orang di gardu penjagaan itu menghentikan rombongan ini. Sedang kalau mereka akhirnya tahu, bahwa rombongan ini terdiri dari Arya Salaka dan kawan-kawannya, maka mereka pasti akan mengambil tindakan. Dengan demikian, maka jiwanyapun terancam pula oleh ujung tombak Arya Salaka. Karena itu,demi keselamatan diri, ia berkata perlahan-lahan, “Kita ambil jalan simpang.

Jangan menjebak kami,” sahut Arya Salaka.

Aku belum gila,” bantah orang itu. “Apakah yang akan kau katakan di hadapan gardu itu nanti kalau kita melewatinya?

Itu bukan urusanku tetapi urusanmu kalau kau masih ingin hidup seterusnya,” jawab Arya

Karena itu, kita lewat jalan simpang yang sempit disamping pohon Wregu itu,” sahut orang itu.

Apakah tidak mencurigakan?”, tanya Arya.

Lebih aman bagimu,” jawab orang Pamingit itu.

Dan bagimu juga,” Arya meneruskan sambil tertawa.

Tiba tiba terdengar dari gardu penjagaan yang sudah tidak jauh lagi sebuah teriakan,”He, kemana arah angin?”.

Arya tahu bahwa kata-kata itu adalah pertanyaan sandi. Ketika orang Pamingit itu belum menjawab, Arya meneruskan ujung tombaknya sambil berbisik, ”terserah kepadamu.

Orang itu semakin marah, tetapi mulutnya berteriak juga untuk keselamatannya, “Ke laut!”.

Dimana letak bintang Waluku?” terdengar suara dari Gardu.

Tenggara”, jawab orang Pamingit itu.

He!,” kembali orang di gardu berteriak, “Siapa kau?”

Dari gardu pertama mengantar orang Banyubiru yang meninjau medan,” jawab orang yang berkuda bersama Arya itu berteriak.

Kenapa lewat jalan sempit itu?,” bertanya suara itu pula.

Ia akan singgah kerumahnya sebentar. Makan dan mengambil kambingnya yang tertinggal ketika keluarganya mengungsi,” jawabnya.

Orang di gardu itu diam. Mereka membiarkan rombongan itu lewat meskipun didalam hati bertanya tanya, “kenapa demikian banyak?,” Tetapi karena mereka dapat menjawab kata kata sandi itu, maka merekapun menjadi tidak bercuriga. Bahkan kemudian terdengar salah seorang berteriak, ”Bawa kambing kemari, kita panggang disini.

“Baik,” jawab orang Pamingit itu.

Dengan demikian, mereka selamat melampau penjagaan itu. Mereka menyususup jalan sempit kemudian lewat beberapa halaman, mereka sampai ke jalan kecil yang lain.

Terimakasih,” bisik Arya, “Kau adalah penunjuk jalan yang baik. Tetapi dimanakah pemusatan laskar Pamingit?”

Sudah lampau. Diseberang gardu penjagaan tadi,” jawabnya.

Arya percaya. Ita tertawa dalam hatinya. Beginilah nilai kesetiaan orang Pamingit. Mereka tidak lebih daripada laskar bayaran yang tak kenal pengabdian.

Ketika mereka sudah mencapai jalan kecil itu, segera Arya mengenalnya, kemana ia harus pergi.

Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan orang pamingit itu.

———-oOo———-

 

 

 

V

Suara telapak kuda terdengar gemeretak diatas tanah yang berbatu padas. Didalam malam yang sepi terdengar seperti suara prajurit yang berpuluh jumlahnya maju ke medan perang.

Tiba tiba ketika mereka masih asik berangan angan tentang diri masing masing, terdengarlah dari arahgardu pertama, suara kentongan yang berbunyi dua kali tiga ganda, sehingga orang dalam rombongan berkuda itu menjadi terkejut karenanya.

Orang Pamingit itu menjadi gelisah. Siapakah yang telah memberikan tanda. Bahkan kemudian tanda itu disaut oleh gardu kedua.

Tanda bahaya?” desis orang Pamingit itu.

Bahaya apa?,” desak Arya.

Mereka bersiap siap,” jawabnya.

Bohong,” potong Arya Salaka, “mereka memberi tanda bahwa ada musuh masuk kedalam pertahanan mereka.”

Orang Pamingit itu diam. Keringat dinginnya mengalir membasahi punggungnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak buahnya akan membunyikan tanda itu, yang baginya adalah tanda bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba terasa tengkuknya meremang seperti dirayapi oleh berjuta-juta semut. Apalagi ketika ujung tombak Arya semakin lekat di lambungnya.

Kau masih menduga bahwa tombak orang Banyubiru tidak setajam tombak orang Pamingit?,” tanya Arya.

Orang Pamingit yang semula marah itu kemudian kehilangan kemarahannya, bahkan dengan menggigil ia menjawab: “Tidak, tidak. itu samasekali bukan salahku. Aku melarang mereka untuk berbuat hal yang tidak kalian kehendaki.

Bohong!,” bentak Arya, “kau pasti memberikan tanda-tanda rahasia kepada mereka.

Tidak, tidak,” orang itu benar benar menggtigil. Ia masih senang untuk tetap hidup. Apalagi upahnya bulan ini masih belum diterimanya sama sekali. Alangkah mengerikannya kalau malam ini ia terpaksa mati. Lalu bagaimana dengan anak isterinya?. “Bukan, bukan salahku. Aku masih ingin hidup. Bukankah aku telah membawa kalian melampaui gardu kedua?”

Arya harus cepat mengambil keputusan. Suara kentongan itu menjadi semakin merata. Untunglah bahwa ia sudah mengenal jalan jalan di Banyubiru itu dengan baik. Karena itu, segera ia mengambil keputusan untuk secepat cepatnya sampai kerumah pamannya. Mudah mudahan pamannya dapat mengerti alasan kedatangannya dan dapat menerimanya untuk beberapa saat saja, untuk berbakti kepada kakeknya dan apabila mungkin membawa ibunya keluar dari sarang sarang orang orang licik itu. Sebab tidak mustahil kalau ibunya akan dijadikan kambing hitam kemarahan pamannya, atau malahan dijadikan tanggungannya.

Kita harus sampai secepatnya,” katanya kepada Wanamerta.

Orang Pamingit itu menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ujung tombak Arya itu telah masuk sejari ke dalam perutnya.

Bagaimana dengan kau?” bentak Arya kepada orang Pamingit itu.

Bukan salahku. Aku masih ingin hidup,” pintanya dengan suara menggigil ketakutan.

Arya menjadi kasihan juga melihat orang itu.

Anakku lima orang,” sambungnya, “Yang terkecil baru berumur 3 bulan. Hidupilah aku. Aku akan tunduk segala perintahmu.” Kata-kata itu meluncur saja tanpa terkendali. Meskipun hatinya sendiri merasa ragu. Sebab kalau ia menghadapi keadaan seperti itu, pasti orang itu akan dibunuhnya. Karena itu ia mencoba meyakinkan, “Anak-anakku akan kelaparan kalau aku mati. Aku tidak punya sawah dan istriku bukan juragan. Karena itu aku harus bekerja menjadi laskar Ki Ageng Lembu Sora, meskipun itu bertentangan dengan jiwaku sendiri. Sebenarnya aku….

Orang itu tidak sempat menyelesaikan kata-kata ketika tiba-tiba ia merasa tangan Arya mendorongnya. Ia merasa terlempar dari punggung kuda itu dan sekali terguling. Kemudian ia hanya dapat menyaksikan kuda-kuda itu berlari semakin kencang dan meninggalkan kepulan debu yang putih.

Untuk beberapa saat ia masih duduk di tanah. Nafasnya bergelora tak teratur. Namun ketika ia meraba lambungnya, dan tidak terdapat luka sama sekali, ia menarik nafas dalam-dalam. Rupa-rupanya ia masih tetap hidup. Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada diri sendiri, “Agaknya anak itu benar-benar tidak mau membunuh aku. Aneh.

Suara derap kuda itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya menghilang di kejauhan. Orang Pamingit itu berdiri perlahan-lahan. Punggungnya terasa sakit. Agaknya ia benar-benar jatuh terbanting. Namun ia masih tetap hidup. Tiba-tiba ia menjadi sangat terharu. Ia masih mempunyai harapan untuk bertemu dengan anak istrinya. Mudah-mudahan kalau besok benar-benar terjadi pertempuran, ia dapat hidup pula.

Tuhan Maha Pengasih,” desisnya. Ia terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Sudah berapa tahun ia tidak pernah menyebut nama Tuhan. Dan tiba-tiba ia berjanji pada diri sendiri, kalau ia masih dikaruniai umur panjang, ia akan rajin mengunjungi masjid. Bahkan ia berjanji untuk memperbaiki masjid di desanya yang selama ini tak terpelihara.

Ketika ia sedang mengusap air matanya yang tiba-tiba saja membasahi pipinya, tiba-tiba terdengarlah hiruk pikuk. Ia mendengar langkah orang berlari-lari. Dari tikungan muncullah beberapa orang bersenjata dan langsung datang kepadanya.

Siapa kau?” bentak salah seorang.

Srengga,” jawab orang Pamingit itu.

Apa kerjamu di sini?” tanya orang itu pula.

Orang Pamingit itu menjadi bingung. Lalu ia menjawab saja sekenanya, “Aku terjatuh di sini, lihat ini luka di kakiku.

Terjatuh dari mana?” tanya orang itu pula.

Srengga semakin bingung ketika tiba-tiba seseorang bertanya, “Kau yang melampaui gardu kedua bersama-sama dengan orang-orang Banyubiru?

Ya,” jawabnya kosong.

Akhirnya ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan diri pula. “Aku ditipunya.”

Bohong,” bentak orang itu. “Anak buahmu datang kepada kami dan menceriterakan apa yang sudah terjadi.”

Dada orang itu berdesir. Namun ia masih mencoba untuk mengurangi kesalahannya. Katanya, “Nah, kalau kau sudah tahu kenapa kalian bertanya. Coba katakan kepadaku kalau salah seorang dari kalian mengalami keadaan seperti yang aku alami. Apa yang akan kalian lakukan? Membunuh diri dan membiarkan orang itu lari sesudah mengetahui keadaan medan? Apakah kalian dengan kaki-kaki kalian dapat mengejar derap lari kuda mereka?

Pengecut,” bentak salah seorang. “Berapakah jumlah mereka? Dan berapakah jumlah kalian di gardu pertama?

Jumlah kami ada 15 orang,” jawab Srengga. “Limabelas orang dengan orang-orang seperti Ira, Prana, Wreditama yang hanya bisa jual tampang, Sungsang yang bermata merah tetapi takut melihat darah.”

Dipimpin oleh Srengga, yang lebih senang memeluk daging panggang daripada senjatanya,” potong seseorang.

Jangan banyak bicara,” Srengga mulai marah. “Kau belum tahu siapa mereka. Coba katakan berapa orang di gardu kedua? Berapa?

Juga 15 orang. Tetapi 15 orang di gardu kedua tidak takut melawan limabelas orang berkuda. Jangankan empat,” jawab yang ditanya.

Omong kosong,” bentak Srengga. “Dengar. Dengan apa yang telah aku lakukan, aku telah menyelamatkan kalian. Kau tahu siapa yang berkuda tadi?

Orang-orang dari gardu kedua itu tertawa terbahak-bahak. Salah seorang berkata mengejek, “Menyelamatkan kami? Apakah yang empat orang itu terdiri dari jin? Atau setan, hantu… atau tetekan?”

“Lebih dari itu,” potong Srengga. “Mereka adalah Arya Salaka.

He…?” semuanya terkejut mendengar nama itu. “Kalau benar kau benar-benar gila. Duapuluh lima bahu dijanjikan untuk menangkapnya, hidup atau mati. Dan duapuluh lima bahu itu kau sia-siakan?

Aku belum selesai,” sahut Srengga, “Yang lain adalah Kiai Wanamerta, yang mempunyai takaran tiga empat orang darimu.

Masih cukup banyak?” sela seseorang.

Yang lain lagi…,” Srengga meneruskan, “Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar…?” Mereka berbareng mengulang.

Ya,” jawab Srengga. “Dan yang seorang lagi adalah orang yang melindungi Bantaran di tanah lapang beberapa minggu yang lalu.”

 Orang dari gardu kedua itu tiba-tiba terdiam.

“Nah…” Srengga meneruskan, “Hitunglah berapa orang harus disiapkan untuk melawan mereka. Paling-paling kalian hanya berani melawan orang-orang yang membawa obor itu. Mahesa Jenar dan yang seorang lagi, ditambah dengan Arya Salaka agaknya akan dapat membunuh kami tigapuluh orang tanpa kesukaran sebelum kami sempat memukul tanda bahaya.”

Mereka masih tetap diam. Srengga merasa bahwa orang-orang itu membenarkan sikapnya, katanya meneruskan, “Nah, aku bekerja dengan otakku. Aku tidak melawan mereka. Aku antarkan mereka masuk lebih dalam ke daerah Banyubiru. Maksudku aku akan membawanya ke alun-alun. Di sana laskar kita akan berpesta. Bukankah Ki Ageng Lembu Sora, Sawung Sariti, dan kalau perlu Ki Ageng Sora Dipayana ada?”

Orang dari gardu itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Agaknya kau pandai bersiasat, Srengga.”

“Itulah,” jawab Srengga, “Karena ketololan kalian dengan membunyikan tanda-tanda itu, mereka melarikan diri. Aku dilemparkan dari punggung kuda tanpa dapat berbuat sesuatu.”

“Ke mana mereka?” tanya orang-orang dari gardu kedua.

“Kau akan mengejar mereka?” tanya Srengga pula.

Orang-orang di gardu kedua itu diam.

“Kembalilah ke gardu kalian.” Tiba-tiba Srengga memerintah. “Aku akan kembali ke garduku. Lupakan mimpi burukmu. Tanah duapuluhlima bahu itu. Sebab kalau kepalamu telah terpisah dari lehermu, kau tidak akan dapat menikmatinya.”

Srengga tidak menunggu jawaban. Ia langsung kembali ke gardunya. Di sepanjang jalan sempit itu tiba-tiba ia teringat pada kata-katanya sendiri. Kalau Arya Salaka pergi ke alun-alun, ia benar-benar dapat dikeroyok oleh laskar Pamingit, bahkan mungkin dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti. Tanpa sadar, merayaplah suatu perasaan yang belum pernah dirasakan Srengga sebelumnya. Ia tiba-tiba merasa cemas terhadap keselamatan lawannya. Baru kali ini hal itu terjadi. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali tanpa sadar pula ia berdoa di dalam hatinya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Arya Salaka dan kawan-kawannya.

Dalam pada itu, laskar Banyubiru yang sedang beristirathat tidak jauh dari perbatasan kota, mendengar pula tanda-tanda yang dibunyikan oleh orang-orang Pamingit di Banyubiru. Demikian mereka mendengar bunyi itu, demikian mereka menjadi gelisah. Sebelum pemimpin-pemimpin mereka memberikan perintah apapun, mereka telah menyiapkan diri. Semua orang di dalam pasukan itu, apalagi orang-orang yang telah dipilih oleh Sendang Papat untuk menjadi pelopor laskarnya, telah bersiap diri. Mereka berdiri tegak dengan tekad yang teguh memandangi lambung bukit di hadapannya. Di leher mereka melingkar kain putih memplak bergambar gajah berwarna kuning emas sebagai pertanda kesediaan mereka untuk mati bagi tanah mereka. Yang paling depan dari mereka itu adalah Sendang Papat sendiri. Tangannya yang gemetar telah melekat di tangkai pedangnya. Tetapi ia belum melihat tanda apapun. Ia belum mendengar bunyi sendaren atau melihat panah api naik ke udara. Namun karena itulah ia menjadi semakin gelisah, jangan-jangan Arya Salaka tidak sempat memberikan tanda-tanda itu.

“Mustahil,” gumamnya.

Di sayap kiri, Bantaran pun menjadi gelisah. Meskipun Ki Dalang Mantingan tampaknya tenang-tenang saja, namun di dalam dadanya pun bergolak perasaan cemasnya, dan di tangannya tergenggam erat-erat trisulanya. Di sayap kanan, Penjawi berjalan hilir mudik di hadapan anak buahnya yang telah memegang senjata masing-masing. Wirasaba duduk di atas sebuah batu, dan meletakkan dagunya pada tangkai kapaknya. Sesekali dua kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menekan hatinya yang gelisah. Namun merekapun belum melihat tanda apapun yang melontar ke udara.

Sedang pada saat itu kuda Arya Salaka beserta rombongan meluncur lewat jalan-jalan sempit di dalam kota. Mereka menjadi semakin dekat dengan alun-alun Banyubiru, tempat Arya bermain pada masa kanak-kanaknya.

Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak memukul jalan-jalan berbatu memecah sepinya malam. Beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing menjadi semakin ngeri. Seolah-olah mereka mendegar gemuruhnya gunung yang meledak di hadapan mereka.

“Adakah laskar Arya Salaka telah datang…” bisik mereka.

Seorang ibu sambil memeluk anaknya di pembaringan bergumam, “Apakah kira-kira yang akan terjadi…?”

Suaminya, lelaki tua yang duduk di sisinya menjawab lirih, “Pertempuran akan berkobar di perbatasan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menginjak halaman rumah kita.”

Kemudian, lelaki tua itu berdiri dan berjalan ke amben di sebelah. Ia melihat selusin anak-anaknya yang lain sedang tidur nyenyak. Ia menarik nafas panjang. Kalau rumahnya itu terpaksa dibakar orang, entah orang Pamingit entah orang Banyubiru, dan dirinya sendiri terpaksa diseret di sepanjang jalan, entah oleh orang Pamingit entah oleh orang Banyubiru, lalu apakah yang akan terjadi dengan anak-anak itu. Peperangan adalah sesuatu yang terkutuk. lebih-lebih bagi anak-anak. Anak-anak yang ingin menikmati kebesaran alam, yang diperuntukkan bagi mereka oleh Maha Penciptanya.

Dalam bentrokan-bentrokan yang demikian itu segala sesuatu dapat terjadi. Orang yang tangannya telah dibasahi darah, kadang-kadang menjadi kehilangan kesadaran. Orang-orang yang dalam hidupnya sehari-hari tidak sampai hati membunuh seekor tikus pun, dalam peperangan kadang-kadang akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk. Membunuh, menyiksa dan bahkan terhadap anak-anak.

Di rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya. “Jangan menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.

Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya, “Mengungsi di rumah sebelah.

Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.

Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu.

Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang di garis perbatasan.

Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, mereka pun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka.

Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam rombongan itu. Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa kekerasan.

Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara rombongan itu. Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati.

Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai. Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya, “Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”

Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.

Jawabnya, “Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”

Wulungan mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang, “Jawab pertanyaanku. Siapakah kau?

Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab, “Arya Salaka.”

“He…?” Orang itu terkejut, “Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”

“Ya,” jawab Arya.

Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula. Sambil mengangguk ia berkata, “Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh demikian cepatnya.” Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan Arya mempengaruhinya. “Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”

Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap itu. Dengan tenang ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”

“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.

“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.

“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.

Kembali Arya tersenyum, jawabnya, “Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”  

Wulungan mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang hanya berenam. Tetapi ia menegaskan, “Siapakah yang berbaris rapat di perbatasan?”

“Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.

“Adakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya Wulungan mendesak.

“Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab Arya.

“Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.

Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama. “Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati.”

“Janji yang terkutuk,” desis hatinya.

 ———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 20

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema


<< kembali | lanjut >>

10 Tanggapan

  1. Apa benar ya … penyebab rusaknya gigi karena makan tempe kedele.

    Jawabnya sbb:

    Mungkin rekan-rekan yang giginya sudah ada yang ditambal akan terasa, karena tempe sering ada kandungan krikil (batu kecil/lembut).
    Jika krikil tergigit dan kena tambalan gigi, maka tambalannya sering jadi copot. Kalau yang belum ada tambalan, mungkin retak atau pecah dst.
    Jadi gigi banyak rusak, sebenarnya karena makan tempe dele yang ada krikil hehehe.
    Bukan karena tidak sikat gigi dengan odol tertentu lho.
    Adakah produsen tempe yang bisa menjamin tempenya bebas krikil, kecuali produsen yang menggunakan standar ISO kali.
    Di Indonesia kapan?

    • HADIR….pak SATPAM

    • Tempe Malang umumnya (katanya) menggunakan kedele impor dari negeri paman Sam.
      kedelenya besar-besar, sepertinya tidak ada kerikilnya.
      jadi aman dong,….?!
      he he he …., gak takut ompong lagi…..

      • Maaf pak Satpam,
        justru menggunakan kedele impor itu kerikilnya putih.
        Sehingga samun (tidak jelas nampak), tahu-tahu ‘klethuk’ …
        OOT, ini hanya Out Off Topik.
        Salam

        • O….
          nggih sampun, mangke nek pas maem lawuh tempe kulo ati-ati
          kersane mboten.”klethuk….” nglethuk krikil.
          matur suwun

  2. HADIR lagi….pak SATPAM

    hiks, keno moderasi….asssik

    lha wong nulis asmanipun piyambak kok nggih lali
    hmmmmmmm……….
    saben sambang padepokan kok gandenganne beda…..?!

  3. selamat pagi pak MODERASi….tak melu maca sik,

  4. selamat SORE kadang padepokan sengkaLING

Tinggalkan komentar