ADBM2-132


<<kembali | lanjut >>

DALAM kebimbangan, ternyata Agung Sedayu telah menghentakkan segenap kekuatannya, segenap kemampuannya, dan segenap daya ungkapnya atas ilmu yang dimilikinya. Ia tidak ingin mengalami kesulitan yang lebih parah lagi pada keadaan yang demikian. Meskipun ia tidak berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan serta merta, namun ia berharap bahwa ia akan dapat mempergunakan kemampuannya itu untuk bertahan lebih rapat dari lawannya.

Pada saat yang gawat itu, Jandon telah bersiap untuk melontarkan serangannya langsung menghantam tubuh Agung Sedayu yang masih duduk ditanah bersandar pada kedua tangannya. Bahkan Jandon telah yakin, bahwa serangannya itu akan menentukan akhir dari perkelahian yang telah berlangsung terlalu lama baginya. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat bertahan selama itu, selain Agung Sedayu,

Namun tepat pada saat Jandon meloncat menyerang Agung Sedayu yang masih duduk ditanah itu, dengan lontaran kakinya datar menyamping, maka Agung Sedayu telah menyerangnya pula dengan tatapan matanya, menghantam dadanya.

Ternyata bahwa lontaran ilmu Agung Sedayu yang luar biasa itu, telah berhasil menembus perisai ilmu Jandon yang membetengi dirinya. Karena itu maka pada saat ia melayang, terasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang sangat berat, bahkan kemudian seolah-olah isi dadanya bagaikan telah diremas.

“Gila,” Jandon mengumpat. Tetapi ia sudah meluncur dengan derasnya.

Agung Sedayu sudah memperhitungkan keadaan itu dengan cermat. Ia melihat Jandon menyeringai menahan sakit. Dengan demikian ia yakin, bahwa ilmunya berhasil menembus tirai yang seolah-olah menyekat segala macam serangan atas murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu.

Tetapi Agung Sedayu pun tidak mau dikenai serangan Jandon yang dilontarkan dengan segenap kekuatannya. Ternyata bahwa ketahanan ilmu Agung Sedayu masih belum mampu membebaskannya dari rasa sakit. Karena itu, jika serangan Jandon itu menghantam dadanya, meskipun ia sudah melambarinya dengan ilmu kebal yang baru mulai dipelajarinya, namun nafasnya tentu masih terasa sesak. Dan isi dadanya pun tentu akan diremukkannya.

Karena itu, demikian serangan itu meluncur mendekati sasaran, Agung Sedayu telah melepaskan serangannya pula. Ia masih sempat berguling kesamping, menghindarkan diri dari sentuhan kaki Jandon.

Jandon mengumpat dengan kasarnya ketika serangannya tidak menyentuh lawannya. Apalagi perasaan sakit masih saja terasa meremas dadanya, meskipun tiba-tiba telah menjadi jauh berkurang setelah Agung Sedayu terpaksa menghindar.

Namun ketika kaki Jandon menginjak tanah, ia masih harus berjuang sesaat untuk mengatur pernafasannya yang sesak karena remasan ilmu Agung Sedayu atas isi dadanya.

Kesempatan itu telah dipergunakan pula oleh Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Ia kini meyakini, bahwa ilmunya yang dapat dilontarkannya lewat tatapan matanya, ternyata telah jauh lebih mapan dari ilmu kebalnya. Karena itu, dilandasi dengan kemampuannya yang telah luluh didalam dirinya dari beberapa unsur ilmu, maka ia berniat untuk mempergunakannya pada saat-saat yang paling gawat itu.

Ketika Jandon kemudian bersiap untuk memburunya, maka Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Seperti semula ia masih duduk ditanah, seolah-olah ia memang belum sempat berdiri karena keadaannya yang tidak menguntungkan setelah terjadi benturan yang terdahulu.

Sekali lagi Jandon ingin melumatkan isi dada Agung Sedayu selagi Agung Sedayu belum sempat berdiri. Ia masih belum yakin, bahwa kesakitan didadanya itu adalah karena serangan lawannya yang tidak kasat mata. Ia masih belum menyadari, bahwa sebenarnya perasaan sakit itu bukannya karena benturan-benturan yang telah terjadi, sehingga bagian dalam tubuhnya menjadi pedih dan nyeri.

Namun agaknya Agung Sedayu lebih cepat sekejap dari lawannya. Pada saat Jandon telah bersiap meloncat, maka Agung Sedayu telah meremas isi dadanya dengan sorot matanya, menembus perisai ilmu lawannya.

Terasa nafas Jandon menjadi sesak. Meskipun ia masih sempat meloncat menyerang, karena daya lontarnya yang sudah siap mendorongnya, namun seakan-akan perasaan sakit telah tidak tertahankan lagi.

Hanya karena ilmu kebalnya sajalah yang menyebabkan Jandon masih tetap mampu menyerang. Tanpa perisai ilmunya, ia tentu sudah terkapar ditanah.

Yang dilakukan Agung Sedayu kemudian agak berbeda dengan yang terdahulu. Ia memang melepaskan ilmunya, tetapi ia tidak berguling menghindar. Ia tahu, lontaran serangan Jandon tidak sekuat serangannya sebelumnya, karena perasaan sakit yang telah menyengatnya lebih dahulu. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun segera membenahi letak duduknya. Tangannya pun segera menyilang didadanya. Ketika serangan lawannya menghantamnya, maka yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Kaki Jandon telah menghantam tangan Agung Sedayu yang bersilang.

Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan Jandon bukannya sepenuh kemampuannya. Itulah sebabnya, maka ia tidak berhasil membanting Agung Sedayu terlentang ditanah. Bahkan ia sendirilah yang kemudian terhuyung-huyung surut. Hampir saja ia jatuh terlentang, jika ia tidak dengan sepenuh sisa tenaganya menjaga keseimbangannya.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ilmunya yang luar biasa itu ternyata telah benar-benar dapat dikendalikannya. Ia tidak mempergunakan waktu yang panjang untuk melontarkannya, seperti ia menyerang dengan tangan atau kakinya saja.

Pada saat Jandon terhuyung-huyung itulah, Agung Sedayu telah menyerangnya dengan segenap ungkapan ilmu yang dimilikinya. Demikian kuatnya menembus perisai ilmu lawannya.

Jandon yang masih terhuyung-huyung itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia mencoba berdiri tegak, maka jantungnya bagaikan telah remuk oleh serangan ilmu lawannya.

Sejenak Jandon termangu-mangu. Namun kemudian matanya menjadi berkunang-kunang.

Tetapi ia tidak menyerah kepada perasaan sakit itu. Dihentakkannya segenap ilmu. Sekali lagi ia berusaha untuk meloncat menyerang. Namun perhitungan Agung Sedayu nampaknya telah benar-benar mengakhiri pertempuran itu. Jandon memang bersiap untuk menyerang. Tetapi Agung Sedayu tidak mau melepaskan lagi serangannya. Tatapan matanya bagaikan pusaran yang mengorek menembus ilmu kebal Jandon yang dibangga-banggakan. Namun ternyata dengan bekal ilmunya, beralaskan unsur-unsur dari ilmu yang telah dipelajarinya pula dengan menyadap makna isi kiab Ki Waskita, maka Agung Sedayu telah berhasil menembus perisai lawannya sampai kepusat jantung.

Darah Jandon seakan-akan telah membeku karenanya. Dengan demikian maka kakinya tidak sempat lagi melangkah. Terhuyung-huyung ia maju. Betapa perasaan sakit mencengkam-nya, namun tangannya masih juga mengembang, menerkam Agung Sedayu yang masih duduk ditanah.

Agung Sedayu melihat bagaimana lawannya menerkamnya. Ia memang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Menghindari terkaman lawannya, atau sama sekali tidak melepaskannya.

Menurut perhitungan Agung Sedayu kwadaan Jandon sudah semakin parah. Ia merasa bahwa ilmunya lewat sorot matanya dapat mengorek dan menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun memilih untuk tidak melepaskan serangannya lewat sorot matanya, meskipun tangan-tangan lawannya akan mencekik lehernya.

Sebenarnyalah bahwa Jandon seolah-olah tidak mampu lagi untuk tetap tegak. Namun ketika ia akan jatuh tertelungkup, maka ia sempat memaksa kakinya melangkah maju, sehingga ketika ia benar-benar jatuh, maka tangannya masih sempat mencengkam leher lawannya.

adbm-132-01Terasa perasaan pedih dan panas bagaikan tersentuh bara telah menyengat leher Agung Sedayu. Namun pada saat terakhir, tatapan matanya justru telah menyerang bagian yang lebih lemah lagi dari tubuh lawannya, yaitu matanya yang sedang menatap wajah Agung Sedayu dengan penuh keberanian.

Demikian dahsyat serangan Agung Sedayu yang sudah berhasil menembus benteng ilmu lawannya, yang justru menjadi semakin lemah, maka sesaat kemudian, maka Jandon pun telah kehilangan segenap kemampuannya. Serangan Agung Sedayu seolah-olah telah menembus sampai kepusat syaraf dikepala Jandon, sehingga Jandon telah kehilangan segenap pengamatan diri, bahkan akhirnya setelah menggeliat sambil mengumpat, ia telah kehilangan segenap kemungkinan dapat bertahan untuk tetap hidup.

Namun demikian Jandon jatuh terkulai disisi Agung Sedayu, maka terdengar anak muda itu mengeluh. Rasa-rasanya lehernya benar-benar seperti terbakar. Tangan Jandon yang dilambari dengan hentakan sisa kekuatan dan puncak ilmunya, benar-benar telah membakar leher Agung Sedayu.

Tetapi pertempuran itu sudah berakhir. Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa telah berlari mendekatinya. Namun bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan, maka Kiai Gringsing pun segera teringat kepada Sabungsari dan kepada orang-orang lain yang juga terluka parah.

Tanpa berpikir tentang hal yang lain, maka Kiai Gringsing pun kemudian berteriak, “Bawa mereka ke pendapa.”

Dengan serta merta, maka orang-orang yang terluka pun segera dibawa ke pendapa, termasuk Agung Sedayu.

Pada saat itu, Untara berdiri termangu-mangu dibawah tangga pendapa padepokan kecil itu. Disampingnya Widura memandang Agung Sedayu dan Sabungsari yang terbaring di antara orang-orang lain yang terluka dengan hati yang gelisah. Sementara Glagah Putih dengan wajah yang tegang bersimpuh di antara Agung Sedayu dan Sabungsari.

Keduanya terluka parah. Sabungsari masih pingsan, meskipun titik-titik air yang menyentuh bibirnya membuatnya agak segar. Bahkan perlahan-lahan anak muda itu sudah mulai menggerakkan bibirnya yang basah.

Namun sementara itu, ternyata keadaan tubuh Agung Sedayu pun sangat mencemaskan. Lehernya bagaikan terluka oleh sentuhan api. Agaknya hentakan ilmu Jandon telah menyusup pula di antara ilmu kebal Agung Sedayu yang masih belum sampai ketingkat yang memadai, sehingga pada saat Agung Sedayu mengerahkan ilmunya pada sorot matanya, maka ternyata kulitnya telah dibakar oleh sentuhan tangan api murid terpercaya dari Gunung Kendeng itu.

Sejenak kemudian. Kiai Gringsing pun telah bekerja dengan sibuknya, sementara beberapa orang lain telah mengumpulkan korban yang berjatuhan di padepokan kecil itu. Glagah Putih pun kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing, menyiapkan segala macam keperluannya untuk memperingan penderitaan Agung Sedayu, Sabungsari dan beberapa orang lain. Sementara mereka yang terluka tidak terlalu parah, telah dipersilahkan untuk mengobatinya sendiri untuk sementara, sebelum Kiai Gringsing sempat melakukannya.

Dalam pada itu, perhatian Untara telah tertumpuk kepada orang-orang yang dapat ditawannya hidup-hidup pada pertempuran itu. Selain prajurit-prajurit Pajang yang telah mencegat prajurit berkuda yang telah dikirim oleh Untara, ternyata juga bahwa Banjar Aking, yang bertempur melawan Sabungsari, masih hidup.

“Kiai,” berkata Untara kepada Kiai Gringsing, “usahakan, agar orang Gunung Kendeng itu tetap hidup. Agaknya ia termasuk orang yang cukup penting bagi padepokannya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mudah-mudahan aku berhasil ngger. Orang itu memang penting untuk mencari keterangan yang agak lengkap tentang Gunung Kendeng, dan tentang hubungan Gunung Kendeng dengan orang-orang yang telah tertangkap diluar padepokan ini.”

Untara mengangguk pula. Tangkapan-tangkapan itu harus segera diselamatkan, agar mereka tidak mengalami nasib buruk, jika kawan-kawannya mengambil sikap lain apabila mereka yakin tidak akan dapat membebaskan mereka. Beberapa kali telah terjadi, orang-orang yang mungkin dapat disadap keterangannya, telah dibunuh dengan kejamnya. Bahkan Sabungsari pun hampir menjadi korban pula dari orang yang dianggapnya memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Justru orang yang dipercaya untuk mengobatinya, telah dengan sengaja meracunnya. Untunglah Kiai Gringsing sempat menyelamatkannya.

Tetapi demikian Sabungsari telah sembuh, kini sebelum anak muda itu sempat menikmati kesembuhannya, karena ia masih harus selalu berada didalam biliknya dan berpura-pura masih sakit, kini ia benar-benar telah terluka lagi. Tidak kalah parahnya dengan yang pernah dialaminya. Bahkan agaknya Agung Sedayu pun mengalami luka yang sangat parah dilehernya.

Dalam kesibukan itu, maka Untara telah memanggil dua di antara empat prajurit berkuda yang berada di padepokan itu. Diperintahkannya kedua orang itu menghubungi seorang perwira yang paling dipercaya oleh Untara, agar ia segera datang ke padepokan kecil itu bersama beberapa orang prajurit yang dapat dipercaya pula.

“Ia tahu, apa yang harus dikerjakannya menghadapi keadaan ini,” berkata Untara aku harap ia segera datang. Mungkin keadaan ini masih akan berkembang. Jika saat ini Gembong Sangiran kembali bersama sisa murid-muridnya, maka kita akan mengalami kesulitan, justru karena kita ingin menyelamatkan para tawanan itu.”

Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda telah berderap menembus gelapnya malam. Suara kentong dalam nada titir telah berhenti sama sekali. Apipun telah lama padam. Namun di padepokan kecil itu ketegangan justru semakin memuncak karena anak-anak muda yang terluka parah.

Beberapa orang lain juga terluka. Tetapi mereka masih dapat berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Bahkan sejenak kemudian mereka pun sudah dapat membantu kesibukan-kesibukan yang terjadi di padepokan itu. Namun seorang dari mereka yang bertahan di padepokan itu telah menjadi korban.

“Jika kau tidak datang tepat pada waktunya,” berkata Widura, “maka mungkin sekali keadaannya akan berbeda. Glagah Putih sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Dengan demikian, maka kekalahan demi kekalahan akan merambat pada lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Mungkin aku lebih dahulu, kemudian Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Baru kemudian, orang-orang yang terhitung memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka akan mendekati arena pertempuran Agung Sedayu dan Sabungsari.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, “Tetapi aku sama sekali tidak menduga paman, bahwa tingkat ilmu Agung Sedayu sudah demikian tinggi. Bahkan aku tidak mengerti, bagaimana cara ia dapat membunuh lawannya.”

Widura mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Yang kemudian menjadi pusat perhatian Untara, selain adiknya dan Sabungsari yang terluka parah, adalah para tawanan. Ia berharap bahwa Banjar Aking tidak mati. Mungkin ia dapat memberikan beberapa keterangan tentang Gunung Kendeng, sementara beberapa orang prajurit Pajang yang tertangkap, akan ditelusurinya dalam hubungan mereka dengan Ki Pringgajaya.

Namun Untara harus cepat bertindak. Bahwa pimpinan tertinggi padepokan Gunung Kendeng sempat melarikan diri, adalah suatu isyarat yang kurang menguntungkan. Mungkin berita kegagalan ini akan segera sampai ketelinga Ki Pringgajaya.

Karena itu, maka ketika prajurit yang dipanggilnya dari Kademangan induk Jati Anom telah datang, maka atas persetujuan Kiai Gringsing, maka orang-orang yang tidak terancam jiwanya, akan dibawa oleh Untara kerumahnya dibawah pengawasan yang sangat ketat oleh orang-orang yang dipercayanya. Sementara, Untara pun telah meletakkan beberapa orang prajurit pilihan di padepokan itu untuk ikut serta mengawasi beberapa orang tawanan yang berada didalam perawatan. Namun yang penting bagi para prajurit itu adalah justru melindungi jika Gembong Sangiran datang kembali untuk mengambil orang-orangnya yang tertinggal.

“Dua orang kuat di padepokan ini sedang terluka parah,” berkata Untara kepada orang-orang pilihannya, “meskipun kalian tidak sekuat mereka, tetapi dalam jumlah yang cukup, kalian akan dapat menjaga dan sekaligus membantu melindungi para tawanan itu.”

Dengan demikian, maka selagi Kiai Gringsing sibuk mengobati orang-orang yang terluka, maka Untara pun sibuk memindahkan para tawanan ke rumahnya.

Ternyata Untara tidak mau terlambat. Ia berharap, bahwa ia akan dapat mendahului berita kegagalan Gembong Sangiran itu sampai ketelinga Ki Pringgajaya, meskipun Untara merasa ragu. Karena ia pun sadar, bahwa Gembong Sangiran bukan anak-anak. Orang itu mampu bergerak cepat, yang agaknya akan dapat mengimbangi kecepatannya bergerak.

Tetapi Untara tetap berusaha. Ia tidak menunggu sampai matahari terbit. Malam itu juga, ia memaksa prajurit yang tertawan untuk mengatakan, siapakah yang memerintahkan mereka melakukan pengkhianatan itu.

Prajurit-prajurit itu mengenal dengan baik, siapakah Untara. Maka mereka pun tidak menunggu keadaan mereka menjadi semakin sulit. Karena itu, maka mereka segera mengaku, bahwa mereka adalah pengikut-pengikut Ki Pringgajaya.

Untara menggeretakkan giginya. Meskipun hal itu sudah diduganya, bahkan hampir diyakininya, namun pengakuan itu telah membuat jantungnya bagaikan semakin cepat berdetak.

“Aku akan memanggil Ki Pringgajaya dari perjalanannya,” berkata Untara, “aku akan menghadapkan kalian dengan Ki Pringgajaya.”

Wajah para prajurit itu menjadi semakin pucat.

“Aku sudah berprasangka sejak lama. Aku sudah mendapat laporan. Tetapi kalian adalah saksi hidup yang tidak akan dapat diingkarinya lagi, disamping Sabungsari sendiri.” geram Untara kemudian. Lalu. “Dihadapan Pringgajaya kalian tidak usah takut. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan kalian jika Pringgajaya berusaha melakukan kekerasan. Betapa saktinya orang itu, tetapi dihadapan sepasukan prajurit pilihan, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika ia mencoba melakukannya, maka tubuhnya akan menjadi arang kranjang. Bahkan seandainya ia memiliki ilmu kebal sekalipun, maka perisai ilmunya tidak akan dapat menangkis ujung kerisku. Kiai Sasak. Betapa tebalnya ilmu kebal seseorang, maka ujung Kiai Sasak akan dapat menembus sampai kepusat jantungnya.”

Prajurit-prajurit itu menundukkan kepalanya. Mereka sudah berada dalam keadaan yang paling sulit. Mereka tidak mengira, bahwa akhirnya merekalah yang tertangkap. Prajurit-prajurit berkuda yang dicegatnya itu ternyata benar-benar orang pilihan.

Untara benar-benar ingin bergerak cepat. Ketika matahari terbit, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Ia harus berbicara dengan Kiai Gringsing, bahwa ia akan pergi menyusul Ki Pringgajaya dan memanggilnya untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya.

“Apakah angger akan menghadap ke Pajang?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku merasa curiga dengan beberapa orang perwira di Pajang Kiai.” jawab Untara, “tetapi jika aku akan langsung menyusul Ki Pringgajaya, aku tidak tahu, sampai dimanakah perjalanannya hari ini. Dan kemana besok ia akan pergi.”

“Tetapi tentu ada juga Senapati Pajang yang masih dapat dipercaya. Mungkin angger Untara mengenal satu dua orang yang meyakinkan angger, bahwa mereka tidak dipengaruhi oleh mimpi yang buruk itu.”

Untara termangu-mangu. Tetapi ia memang mempunyai pertimbangan tertentu. Diam-diam ia menilai beberapa orang perwira yang memiliki kekuasaan yang luas di Pajang. Beberapa orang petugas sandi, seperti Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat membantunya memberikan beberapa petunjuk, karena ia mengenal beberapa nama dan keadaan mereka di Pajang.

“Kiai,” berkata Untara, “aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat menunggui kesibukan padepokan kecil ini. Tetapi aku akan memperbantukan orang-orangku untuk menyelenggarakan mereka yang terbunuh dipertempuran semalam. Aku ingin menemui orang-orang yang dapat memberikan beberapa petunjuk kepadaku, apakah yang sebaiknya aku lakukan atas Ki Pringgajaya.”

“Silahkan ngger. Mungkin kecepatan angger bergerak akan dapat membantu memecahkan persoalan ini,” jawab Kiai Gringsing.

“Ya Kiai. Apapun yang akan terjadi, aku harus dengan cepat bertemu dengan Ki Pringgajaya,” berkata Untara kemudian, “jika perlu, maka aku akan mempergunakan kekerasan untuk membawanya kemari.”

“Tetapi apakah angger akan pergi seorang diri?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak. Aku akan membawa dua orang pengawal khususku. Aku tidak dapat memperhitungkan, apakah yang akan terjadi jika Ki Pringgajaya merasa curiga, bahwa aku sudah mengetahui segalanya. Jika ia sudah mendengar kegagalan ini, maka ia tentu akan mengambil sikap.”

“Apakah yang akan angger lakukan jika ia menolak?”

“Aku akan melaporkannya kepada Tumenggung Prabadaru, tanpa menyembunyikan satu hal yang paling kecil sekalipun. Aku akan mohon kepada Tumenggung Prabadaru untuk membantuku, memaksa Ki Pringgajaya kembali ke Jati Anom.” jawab Untara.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memberikan pendapatnya terlalu banyak, karena ia memang tidak banyak mengetahui tentang lingkungan keprajuritan di Pajang yang telah goyah itu.

Demikianlah, setelah minta diri kepada Ki Widura, Glagah Putih dan orang-orangnya yang berada di padepokan itu, maka Untara pun meninggalkan Jati Anom. Ia tidak dapat minta diri kepada Sabungsari dan Agung Sedayu, karena keduanya seolah-olah masih belum menyadari keadaannya. Hanya kadang-kadang mereka mengerti tentang diri mereka. Namun pada suatu saat, mereka seolah-olah menjadi pingsan kembali.

Sepeninggal Untara, padepokan kecil itu menjadi terlalu sibuk Kiai Gringsing yang sama sekali tidak sempat beristirahat, masih selalu sibuk dengan orang-orang yang terluka. Bukan orang-orang padepokan itu sendiri saja, tetapi juga orang-orang Gunung Kendeng.

Banjar Aking yang parah, juga dirawatnya baik-baik, meskipun orang itu selalu berada dibawah pengawasan yang kuat.

Dibagian lain, orang-orang di padepokan itu sibuk menyelenggarakan orang-orang yang terbunuh dipeperangan. Siapapun mereka, maka mereka harus dikuburkan sebaik-baiknya seperti yang seharusnya dilakukan.

Dengan dua orang pengawal, maka pada saat itu Untara berpacu ke Pajang, setelah ia berbicara dengan Ki Lurah Patrajaya, Ki Lurah Wirayuda dan beberapa orang yang dipercayanya, maka Untara memutuskan untuk singgah di Pajang. Dari beberapa orang ia akan mendapat keterangan, sampai dimana perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru bersama pengiringnya.

“Hari ini adalah hari pasowanan,” berkata Untara kepada para pengiringnya, “dari pemimpin dan Senapati tertinggi di Pajang akan menghadap di paseban.”

“Apakah kita akan dapat bertemu dengan orang-orang yang kita perlukan?” bertanya pengiringnya.

“Menjelang tengah hari, pasowanan akan dibubarkan jika tidak ada persoalan yang penting sekali. Bahkan dalam persoalan-persoalan yang khusus, maka tidak semua orang diwajibkan ikut membicarakannya,” jawab Untara, “apalagi pasowanan hari ini bukannya pasowanan Agung.”

Pengiringnya mengangguk angguk. Jika mereka datang terlalu awal, maka mereka tentu akan menunggu sampai pasowanan dibubarkan.

Namun ketika mereka berada di Pajang, ternyata para pemimpin dan Senapati tidak menghadap, karena Sultan Pajang sedang dalam keadaan sakit. Seperti yang sering terjadi, maka hari-hari menghadap bagi para pemimpin pemerintahan dan Senapati telah ditunda. Hanya orang-orang terpenting sajalah yang dipanggilnya untuk membicarakan tentang beberapa masalah terpenting di Pajang. Namun karena keadaannya, maka pengamatan Sultan Pajang atas keadaan negerinya sudah tidak dapat menyeluruh lagi.

Tetapi Untara terkejut ketika ternyata ia mendapat berita bahwa Ki Tumenggung Prabadaru berada di Pajang pula. Tetapi ia tidak datang bersama seluruh pengiringnya.

“Dimanakah Ki Tumenggung Prabadaru sekarang?” bertanya Untara.

“Ia sedang menghadap Ki Patih, untuk melaporkan bagian dari perjalanan yang telah dilakukan,” jawab orang itu.

Untara pun menjadi berdebar-debar. Namun ia akhirnya memutuskan untuk pergi kerumah Ki Tumenggung Prabadaru.

“Aku akan menunggu sampai Ki Tumenggung pulang dari Kepatihan,” berkata Ki Untara.

“Mungkin ia lama berada di Kepatihan. Ia sedang mengalami kejutan perasaan, karena salah seorang pengiringnya terbunuh di perjalanan,” berkata orang itu.

Seorang perwira yang dikenalnya dengan baik, segera menceriterakan bahwa dalam perjalanan pulang dari Madiun, pengiring Ki Tumenggung Prabadaru yang bernama Ki Pringgajaya telah terbunuh didalam pertempuran yang kurang seimbang.

“Pertempuran dengan siapa?” Untara mendesak.

“Tidak seorang pun mengetahui. Tetapi iring-iringan kecil prajurit Pajang itu telah dicegat. Setelah berjuang dengan gigihnya, maka Ki Pringgajaya yang terluka arang keranjang itu telah gugur. Namun ia telah membawa berapa lima orang korban dipihak lawan,” jawab perwira itu.

“Dari siapa kau dengar berita itu?” bertanya Untara.

“Langsung dari Ki Tumenggung Prabadaru,” jawabnya.

Wajah Untara menjadi tegang. Karena itu maka katanya, “Aku akan menyusul ke Kepatihan. Apakah Ki Patih tidak menghadap Sultan?”

Perwira itu menggeleng. Dengan suara datar ia menjawab, “Rekyana Patih mengetahui bahwa Sultan sedang sakit. Dan ternyata Sultan tidak memanggilnya menghadap secara khusus. Karena itulah maka Tumenggung Prabadaru telah menghadap di istana Kepatihan.”

Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jika demikian, aku pun akan menghadap ke Kepatihan. Adalah kebetulan jika Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan.”

Dengan tergesa-gesa, maka Untara pun segera pergi ke Kepatihan. Ia mengharap bahwa ia akan dapat mendengar, apakah yang telah terjadi atas Ki Pringgajaya sejelas-jelasnya.

Ketika ia tiba dikepatihan, dari para pengawal Kepatihan, ia mengetahui bahwa Ki Tumenggung Prabadaru masih berada di Kepatihan dan justru baru diterima oleh Rekyana Patih. Karena itu, maka Untara pun segera mohon untuk dapat menghadap pula, justru pada saat Ki Tumenggung sedang melaporkan peristiwa yang sangat menarik baginya itu.

Ki Patih sama sekali tidak berkeberatan. Untara pun kemudian dipersilahkan oleh para pengawal untuk menghadap ke ruang dalam.

Atas perkenan Ki Patih, maka Ki Tumenggung Prabadaru pun telah mengulangi laporannya. Ia menceriterakan apa yang telah terjadi dengan Ki Pringgajaya di perjalanan seperti yang pernah didengarnya.

Wajah Untara menegang. Namun kemudian ia berdesis, “Apa boleh buat.”

“Kenapa?” bertanya Tumenggung Prabadaru.

“Sebenarnya aku memerlukannya,” jawab Untara. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah Ki Tumenggung dan Ki Pringgajaya memang sudah selesai dengan tugas perjalanan didaerah Timur itu?”

“Belum,” Ki Tumenggung Prabadaru menggeleng, “aku sebenarnya hanya ingin menghadap Kangjeng Sultan untuk satu persoalan khusus. Setelah menyampaikan masalah itu, aku akan segera kembali. Sebagian besar dari pengiringku masih tetap berada di telatah Timur. Hanya aku, Pringgajaya dan dua orang sajalah yang kembali ke Pajang. Tidak pernah aku jumpai sesuatu di perjalanan yang nampak selalu tenang. Tetapi tiba-tiba saja kami telah mengalami bencana itu. Kami harus bertempur melawan sekelompok orang yang tidak dikenal. Sampai kami meninggalkan tempat pertempuran itu, kami tetap tidak mengetahui, siapakah yang telah mencegat kami, karena diluar kemauan kami, kami telah membunuh mereka. Aku memang berusaha untuk dapat menangkap mereka hidup-hidup. Tetapi dua orang yang masih hidup, ternyata telah membunuh diri. Sementara Ki Pringgajaya telah gugur dalam pertempuran itu. Sementara aku sendiri juga mengalami luka-luka.”

Untara mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia memandang tubuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi ia tidak melihat segores lukapun ditubuh itu, karena Ki Tumenggung memakai baju yang lain dari yang telah dipergunakannya bertempur.

Untara menggeleng lemah sambil menjawab, “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku kira tidak perlu.”

Ki Tumenggung yang menawarkan untuk membuka bajunya itu tersenyum. Katanya, “Dengan melihat luka-lukaku, mungkin kau akan dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang aku dan tentang bawahanmu yang bernama Ki Pringgajaya itu. Dengan demikian, kau akan dapat membayangkan, kekuatan yang luar biasa ternyata sedang mengancam Pajang. Bahwa mereka berhasil membunuh Ki Pringgajaya yang luar biasa itu, dan melukai aku, berarti bahwa di antara merakapun terdapat kekuatan-kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Untara mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Ki Pringgajaya adalah seorang prajurit linuwih. Ia memang menduga, bahwa Pringgajaya memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, seperti juga kelebihan yang terdapat pada Sabungsari yang masih berada pada tataran yang terendah.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “Mudah-mudahan peristiwa pahit ini tidak menimpa Sabungsari. Tiga kali ia telah terluka, sementara kenaikan derajadnya sedang dalam persiapan. Mudah-mudahan ia sempat menghayatinya.”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadaru pun telah berceritera lebih terperinci lagi, bagaimana Ki Pringgajaya dengan kemampuannya yang luarbiasa, bertahan sampai nafasnya yang terakhir.

“Aku mengaguminya,” berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “seharusnya aku memang memberitahukan hal ini kepadamu. Tetapi aku baru datang dari perjalanan yang mengalami nasib buruk itu. Setelah laporan-laporanku selesai di pusat pemerintahan ini, baru aku akan menemuimu dan memberitahukan hal ini kepadamu, atau lewat saluran yang seharusnya, karena Ki Pringgajaya adalah bawahanmu.”

Untara mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Tumenggung. Yang aku dengar ini memang telah mengejutkan aku. Aku sangat berkepentingan dengan Ki Pringgajaya. Tetapi karena ia telah gugur, maka tidak sebaiknya aku menjelekkan namanya.”

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasnya,” bertanya Ki Tumenggung Prabadaru, “ketika Pringgajaya akan berangkat, kau sudah menunjukkan sikap yang aneh. Sekarang, kau masih selalu mempersoalkannya.”

Untara menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Persoalan yang khusus terjadi dalam pasukanku.”

Ki Tumenggung Prabadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Karena yang ingin diketahui sudah didengarnya, maka Untara pun kemudian mohon diri kepada Tumenggung Prabadaru dan kepada Rekyana Patih. Ia akan segera kembali ke Jati Anom, untuk mengatur segala sesuatunya karena peristiwa yang telah terjadi. Ki Untara sengaja tidak mengatakannya kepada Ki Prabadaru. Ia ingin membuat laporan lewat saluran yang seharusnya. Apalagi ia tidak berada langsung dibawah kepemimpinan Ki Tumenggung Prabadaru.

“Nampaknya Ki Patih tidak menaruh perhatian khusus terhadap peristiwa yang terjadi atas Ki Pringgajaya,” berkata Untara didalam hatinya. Apalagi ia mengetahui, bahwa nampaknya perhatian Ki Patih terhadap pemerintahan pun sangat dipengaruhi oleh keadaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya.

Ada perasaan kecewa yang bergejolak dihati Untara. Pringgajaya adalah rambatan untuk menelusur ketingkat yang lebih tinggi, atas orang-orang yang mempunyai sikap yang dapat merugikan Pajang dalam keseluruhan. Bukan saja karena ancaman terhadap adiknya, tetapi Untara tidak dapat melepaskan persoalannya dengan bayangan sekelompok orang yang merindukan masa kejayaan Majapahit. Apakah hal itu hanya sekedar dipergunakan untuk mempengaruhi banyak orang yang akan dapat dipakai sebagai alas tujuan mereka, ataukah memang benar-benar suatu mimpi atas kejayaan masa lampau, namun sikap itu tentu tidak akan dapat dibenarkan.

Dengan berbagai macam dugaan dan pertimbangan, Untara mencoba mengurai keterangan Ki Tumenggung Prabadaru. Ki Tumenggung tidak dapat memberikan keterangan yang jelas tentang tempat peristiwa itu terjadi. Ia hanya mengatakan, bahwa peristiwa itu terjadi di ujung sebuah hutan yang lebat. Namun jalur jalan yang lewat di pinggir hutan itu adalah jalur jalan yang banyak dilalui orang. Ki Tumenggung pun mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi peristiwa yang serupa. Apalagi hutan itu sudah tidak terlalu jauh lagi dari Kota Raja meskipun masih terletak di sebelah Timur Bengawan.

“Ia harus dapat mengingat dimana Ki Pringgajaya dikuburkan,” berkata Untara didalam hatinya, “pada suatu saat keluarganya tentu akan menjenguknya atau bahkan memindahkannya.”

Tetapi Untara tidak mengatakan sesuatu.

Ketika Untara sampai kerumahnya, malam telah menyelubungi Jati Anom. Tetapi ia tidak ingin beristirahat. Setelah minum beberapa teguk, maka ia pun segera pergi ke padepokan Kiai Gringsing. Kecuali ia ingin segera menceriterakan tentang Ki Pringgajaya yang terbunuh, ia juga ingin segera melihat keadaan adiknya.

Ternyata Agung Sedayu dan Sabungsari telah berangsur baik. Mereka telah menyadari keadaan mereka sepenuhnya, meskipun mereka masih nampak lemah sekali. Leher Agung Sedayu benar-benar bagaikan terbakar. Betapa dahsyatnya sentuhan tangan Jandon. Seandainya Agung Sedayu sama sekali tidak dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebal yang masih baru saja dipelajarinya, maka seluruh tubuhnya tentu sudah terbakar oleh sentuhan-sentuhan tangan Jandon.

Selain kedua anak muda itu. Banjar Aking pun ternyata sudah menjadi bertambah baik pula. Betapa kecewa dan kemarahan nampak membayang diwajahnya ketika ia menyadari, bahwa ia menjadi tawanan prajurit Pajang di Jati Anom.

“Maaf, Ki Banjar Aking,” berkata seorang perwira pembantu Untara yang menjaga orang itu, “aku terpaksa mengikat kaki Ki Banjar Aking. Aku tahu, bahwa Ki Banjar Aking adalah orang yang tidak ada taranya. Jika keadaan Ki Banjar Aking berangsur baik, aku kira dadung yang mengikat kakimu itu pun tidak akan ada artinya.”

Banjar Aking hanya dapat mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, maka Untara pun kemudian duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing dan Widura. Mereka mulai membicarakan berita yang dibawa oleh Untara tentang Ki Pringgajaya.

Kiai Gringsing dan Ki Widura mendengarkan keterangan Untara dengan saksama. Sementara Untara pun menceriterakan segalanya yang didengar dari Ki Tumenggung Prabadaru.

“Ada beberapa hal yang menarik,” berkata Widura, “bukankah kau juga pernah melalui jalan itu ke Madiun seperti aku juga pernah melakukannya meskipun sudah lama sekali.”

“Ya paman,” jawab Untara, lalu ia pun bertanya kepada Kiai Gringsing, “apakah Kiai pernah juga melalui jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Ya. Aku juga pernah melaluinya, meskipun juga sudah lama,” jawab Kiai Gringsing.

“Menurut Ki Tumenggung Prabadaru, keadaan Ki Pringgajaya tidak memungkinkan lagi untuk dibawa ke Pajang. Karena itu, dengan bantuan orang-orang padukuhan terdekat, maka tubuh itu pun dimakamkannya,” berkata Untara kemudian, “jika diperlukan, Ki Prabadaru akan menunjukkan, dimanakah Ki Pringgajaya itu dimakamkan.”

“Ia harus dapat mengingat dengan baik,” berkata Widura, “setiap saat, apakah ia pimpinan prajurit Pajang, ataukah keluarganya, tentu ingin melihat makam itu.”

“Tidak sulit. Mungkin Ki Tumenggung sudah memberikan tanda apapun juga. Mungkin sebatang pohon, mungkin batu yang besar atau tanda-tanda lain yang tidak mudah hilang dan rusak,” berkata Kiai Gringsing. Namun ia meneruskan, “meskipun demikian, berita itu memang harus mendapat pertimbangan yang khusus.”

Ki Untara dan Ki Widura mengangkat wajahnya. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Maksud Kiai?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin tanggapan kita tidak jauh berbeda. Apakah kita dapat menganggap berita itu meyakinkan.”

Untara bergeser setapak. Katanya, “Itulah yang aku pikirkan Kiai. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung sudah berada di Pajang dengan berita kematian Ki Pringgajaya. Tetapi bagaimanapun juga, aku harus memperhitungkan. Seandainya Gembong Sangiran yang lolos dari kematian di padepokan ini berusaha memberitahukan hal ini kepada Ki Pringgajaya, maka aku kira, Ki Tumenggung Prabadaru tidak akan sudah berada di Pajang, pada pagi harinya dari peristiwa di padepokan ini, sekaligus membawa berita kematian Ki Pringgajaya.”

“Memang ada beberapa kemungkinan dapat terjadi ngger,” berkata Kiai Gringsing, “sebaiknya kita harus berhati-hati. Kita akan dapat melihat apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung itu benar.”

“Apa yang dapat kita lakukan Kiai?” bertanya Untara.

“Menelusuri jalan ke Madiun. Kita akan dapat mendengar ceritera kematian itu. Jika peristiwa itu benar terjadi, maka hampir setiap orang akan mengetahuinya. Berita itu dalam sehari akan menjalar dari seseorang keorang lain, dari satu padukuhan ke padukuhan lain,” jawab Kiai Gringsing.

Untara mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Tugas baru bagi Ki Lurah Patrajya dan Ki Lurah Wirayuda.”

Demikianlah, maka untuk beberapa saat lamanya, Untara masih berbincang dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Mereka merencanakan cara yang manakah yang paling baik akan ditempuh. Namun mereka berkesimpulan untuk melihat, apakah yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu benar, atau karena Ki Tumenggung mempunyai perhitungan lain atas Ki Pringgajaya, sehingga ia mengatakan apa yang tidak sebenarnya terjadi.

“Rasa-rasanya ada sesuatu yang pantas dicurigai pada Ki Tumenggung Prabadaru. Mungkin ia memang terlibat langsung dalam gerakan yang sama. Tetapi mungkin ia sekedar ingin memecahkan masalah yang timbul karena sikapku atas Ki Pringgajaya,” berkata Untara kemudian.

“Nampaknya segala sesuatu di padepokan ini memang sudah selesai ngger,” berkata Kiai Gringsing, “yang terbunuh sudah dikuburkan, yang terluka berat, sedang aku rawat, sementara yang terluka kecil, telah dibubuhi obat yang akan dapat segera menyembuhkannya. Karena itu, maka orang-orang yang ada di padepokan ini akan dapat angger perintahkan untuk tugas-tugas lain, sementara angger telah menempatkan secara terbuka sekelompok prajurit disini.”

Untara mengangguk-angguk. Ia memang ingin berbuat dengan cepat. Karena itu, maka ia pun segera memanggil Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda. Meskipun ada juga goresan-goresan luka ditubuh mereka, namun tidak mempunyai pengaruh yang dapat menghambat tugas-tugas mereka.

Dengan singkat Untara memberikan beberapa petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Bahkan kemudian Untara pun bertanya, “Apakah salah seorang dari kalian mempunyai sanak kadang yang tinggal di Madiun?”

“Aku mempunyai seorang kadang seperguruan yang tinggal di Madiun,” jawab Ki Lurah Patrajaya, “aku akan dapat mengunjunginya tanpa prasangka orang lain.”

“Nah, segera berangkatlah. Besok kalian akan menelusuri jalan ke Madiun. Kalian akan mendengarkan ceritera orang di sepanjang jalan, apakah benar-benar telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.”

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa tugas baru itu pun merupakan tugas yang cukup berat bagi mereka.

Demikianlah, setelah sekali lagi Ki Untara menengok Agung Sedayu dan Sabungsari, maka ia pun segera minta diri. Kepada pimpinan pasukan yang dipercayanya mengawasi padepokan kecil itu, ia pun memberikan beberapa pesan, agar mereka selalu berhati-hati.

Seperti yang dikatakan oleh Untara, maka malam itu juga. Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda segera mempersiapkan diri. Mereka masih mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa saat menjelang matahari terbit.

Ketika langit di Timur menjadi merah oleh cahaya fajar, maka kedua orang itu telah bersiap. Dengan membawa sekedar bekal, maka mereka pun meninggalkan padepokan kecil itu, setelah minta diri kepada semua penghuninya, termasuk Agung Sedayu dan Sabungsari yang terluka. Sementara Glagah Putih telah didera oleh suatu keinginan untuk ikut dalam perjalanan yang demikian. Namun Ki Widura telah melarangnya, karena yang berangkat ke Madiun itu adalah petugas-petugas yang sedang mengemban kewajiban yang berat. Mereka memang agak berbeda dengan Agung Sedayu yang masih kadang sendiri.

Ki Lurah Patrajaya Ki Wirayuda itu telah mendapat pesan pula dari Kiai Gringsing, agar mereka singgah di Sangkal Putung.

“Tidak perlu Swandaru, isterinya dan Sekar Mirah menengok ke padepokan ini. Katakan, bahwa keadaan Agung Sedayu berangsur baik. Sementara itu yang aku kehendaki, justru agar mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Mungkin sekali Gembong Sangiran mengarahkan dendam mereka kepada Swandaru seperti yang pernah dilakukan oleh Carang Waja. Karena itu, maka sebaiknya Sangkal Putung meningkatkan pengawasan atas Kademangan mereka. Tidak mustahil bahwa mereka harus berusaha untuk menentang sirep,” berkata Kiai Gringsing.

Kedua orang yang berangkat dari Padepokan kecil di Jati Anom itu mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian menuju ke Sangkal Putung untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing itu, baru kemudian mereka akan meneruskan perjalanan ke Timur. Namun seperti yang telah disepakati, mereka harus menghindarkan diri dari pengenalan orang-orang Pajang, apalagi mereka yang terlibat bersama Ki Tumenggung Prabadaru.

Perjalanan ke Sangkal Putung, bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Karena itu, maka kedua orang itu pun setelah berpacu beberapa lamanya, telah memasuki Kademangan Sangkal Putung.

Kedatangan mereka berdua memang mengejutkan. Apalagi ketika mereka mengatakan, bahwa mereka mendapat pesan dari Kiai Gringsing.

Dengan jelas Ki Lurah Wirayuda menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan kecil itu. Ia pun kemudian menyampaikan pesan Kiai Gringsing, bahwa mereka tidak perlu pergi ke Jati Anom. Justru mereka harus berhati-hati dan meningkatkan pengawasan.

Swandaru menggeram menahan gejolak perasaannya. Namun kemudian ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan melakukan segala pesan guru. Dengan demikian, kami akan dapat dengan hati-hati mengamankan Kademangan ini, seandainya orang-orang Gunung Kendeng itu memalingkan wajahnya ke Kademangan ini.

Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka pun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

“Apakah Ki Sanak berdua akan pergi ke Pajang?” bertanya Ki Demang.

“Aku akan menengok keluargaku Ki Demang,” jawab Ki Lurah Patrajaya.

Orang-orang Sangkal Putung itu tidak bertanya lebih lanjut. Sementara kedua orang itu tidak mengatakan, bahwa mereka akan pergi ke Madiun meskipun kepada murid Kiai Gringsing.

Perjalanan ke Madiun itu merupakan perjalanan yang cukup berat. Mereka tidak sekedar melalui jalan-jalan panjang, melintasi bengawan degan rakit, kemudian berpacu di jalan yang menyelusuri tepi huan. Tetapi mereka harus mencari berita, apakah benar, telah terjadi seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka yang penting bagi kedua orang itu bukannya kecepatan mereka mencapai tujuan, tetapi justru mereka akan sering berhenti di perjalanan. Terutama didaerah seperti yang dikatakan oleh Untara menurut pendengarannya dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Karena itu, maka mereka justru memperhitungkan, bahwa mereka akan kemalaman di jalan justru di padukuhan itu. Keduanya akan bermalam di banjar apabila keduanya diperkenankan oleh Ki Demang atau orang yang dikuasakannya.

Ternyata bahwa mereka dapat melakukan rencana itu sebaik-baiknya. Mereka sampai kepadukuhan yang disebut oleh Untara, di sebelah ujung hutan, pada saat matahari mulai terbenam.

Kedatangan kedua orang yang kemalaman di perjalanan itu, telah diterima oleh orang yang dikuasakan menunggui banjar Kademangan. Dengan merendahkan diri keduanya mohon agar diperkenankan bermalam di padukuhan itu.

Namun dalam pada itu, ketajaman tanggapan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda dapat menangkap kecurigaan yang memancar pada sorot mata orang itu. Bahkan kemudian terasa betapa teliti orang itu bertanya tentang kedua orang yang mohon untuk diijinkan bermalam.

Tetapi Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda sudah bersiap-siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memang sudah diperhitungkan. Karena itu maka keduanya dapat menjawab dengan lancar tanpa melakukan kesalahan.

“Baiklah,” berkata orang yang menunggui banjar itu, “kalian berdua aku ijinkan tinggal dibanjar ini semalam. Kalian dapat bermalam disini, tetapi dengan pengertian sebelumnya, mungkin kalian terganggu, sehingga kalian tidak akan dapat tidur dengan nyenyak.”

“Apakah yang akan mengganggu kami Ki Sanak?” bertanya Ki Lurah Patrajaya.

“Setiap malam banjar ini penuh dengan anak-anak muda. Kadang-kadang sampai lima belas orang, sementara yang lain tersebar di gardu-gardu,” jawab orang itu.

“O,” kedua orang yang akan bermalam itu pun terkejut, “apakah Kademangan ini termasuk Kademangan yang tidak aman?”

“Sebelumnya tidak pernah terjadi,” berkata orang itu, “tetapi baru saja terjadi peristiwa yang mengejutkan kami semuanya. Karena itulah maka aku terpaksa bersikap hati-hati menerima kalian berdua bermalam di banjar ini.”

Kedua orang itu pun seakan-akan mendapat jalan untuk menyampaikan beberapa pertanyaan, sehingga keduanya telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Dari orang itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda mendengar bahwa telah terjadi perampokan atas sekelompok prajurit dari Pajang.

“Aneh,” berkata Ki Patrajaya, “kenapa justru mereka merampok sekelompok prajurit? Apakah mereka menganggap bahwa prajurit Pajang itu membawa bekal yang cukup? Atau barangkali mereka menginginkan pusaka yang dibawa oleh para prajurit itu?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Kami tidak tahu. Tetapi agaknya para perampok itu telah keliru memilih sasaran.”

“Kenapa? Apakah mereka kemudian menyesal?” Orang itu pun kemudian menceriterakan, bahwa yang terjadi adalah pertempuran yang sengit. Sekelompok prajurit Pajang dalam perjalanan kembali ke Kota Raja. Kelompok prajurit itu melewati padukuhan itu lewat senja. Tetapi di ujung hutan sekelompok prajurit itu telah bertemu dengan sekelompok perampok yang ganas.”

“Tetapi perampok itu telah dihancurkan. Lebih dari lima orangnya telah terbunuh. Sementara seorang prajurit telah tewas pula,” berkata orang itu kemudian.

Hampir diluar sadarnya. Ki Lurah Wirayuda bertanya, “Apakah Ki Sanak mengetahui, siapakah nama prajurit yang tewas itu?”

“Menurut keterangan pemimpin kelompok prajurit itu, justru yang telah gugur itu adalah seorang prajurit linuwih setelah ia sendiri dapat membunuh lawan-lawannya. Menurut para prajurit itu, namanya adalah Ki Pringgajaya,” jawab orang itu

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah terbunuh dalam keadaan yang sama sekali tidak terduga, dan yang barangkali sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa di Jati Anom.

“Kami telah membantu mengubur mayatnya,” berkata orang itu.

“Bersama-sama dengan para perampok yang tewas?” bertanya Ki Lurah Wirayuda.

“Tidak, Mayat-mayat dari para perampok itu kemudian dapat diselamatkan oleh kawan-kawannya yang jumlahnya tidak seimbang. Namun ternyata bahwa jumlah yang banyak itu tidak dapat mengimbangi kemampuan para prajurit. Agaknya para perampok itu mengira, bahwa yang lewat adalah sekelompok pedagang dari daerah Timur yang akan memasuki kota Pajang dengan membawa bermacam-macam barang dagangan.”

Kedua Lurah dalam tugas sandi Pajang itu mengangguk-angguk. Ceritera itu cukup jelas. Orang itu pun dapat menceriterakan, bahwa beberapa prajurit Pajang telah terluka selain yang terbunuh. Bahkan pemimpin prajurit Pajang itu pun telah terluka parah. Tetapi karena tanggung jawabnya, maka ia tetap memegang pimpinan dan setelah penguburan itu selesai, mereka melanjutkan perjalanan.

Semuanya menjadi jelas. Karena itu, maka sebenarnya tugas perjalanan mereka telah selesai.

Namun demikian, mereka masih memerlukan keterangan lebih banyak lagi. Dimalam hari, seperti yang dikatakan oleh penjaga banjar itu, banyak anak-anak muda yang berkumpul dengan senjata dilambung. Dari mereka Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda juga mendengar ceritera tentang kematian seorang prajurit Pajang. Bahkan mereka dapat menceriterakan lebih banyak dan lebih jelas lagi.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak mempercayainya. Anak-anak muda di padukuhan itu tahu benar apa yang telah terjadi. Sebagian dari mereka telah ikut membantu menguburkan seorang prajurit Pajang yang bernama Ki Pringgajaya.

Namun demikian, ketika fajar menyingsing, maka keduanya telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Mereka tidak dapat langsung kembali ke Pajang, karena dengan demikian, maka orang-orang di padukuhan itu akan mencurigainya.

Disegarnya matahari pagi, maka kedua orang petugas sandi dari Pajang yang tidak banyak dikenal oleh prajurit-prajurit Pajang sendiri itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke Madiun. Tidak ada lagi yang harus mereka lakukan, selain menghapus kecurigaan orang-orang padukuhan yang ditinggalkan.

Meskipun demikian, kedua orang itu masih saja selalu memperhatikan setiap keadaan di sepanjang jalan. Namun agaknya kehidupan berjalan seperti biasa. Tidak ada akibat yang langsung mengganggu ketenangan hidup rakyat di sepanjang jalan karena peristiwa itu.

Ternyata jalan menuju ke Madiun bukanlah jalan yang sepi di siang hari. Ada beberapa orang berkuda lewat di sepanjang jalan itu pula. Bahkan mereka telah bertemu dengan beberapa pedati dan cikar yang membawa barang-barang dari daerah Timur menuju ke Pajang.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya bertanya kepada Ki Lurah Wirayuda, “Kau merasa sesuatu yang pantas mendapat perhatian kita?”

“Orang berkuda di belakang kita,” jawab Ki Wirayuda.

adbm-132-02Ki Patrajaya mengangguk-angguk. Nampaknya keduanya merasa bahwa seseorang sedang mengikuti mereka sejak mereka meninggalkan padukuhan tempat mereka bermalam. Mereka tidak tahu pasti sejak kapan orang berkuda itu mengikutinya. Atau secara kebetulan orang berkuda itu menuju ketujuan yang sama. Mereka merasa curiga karena jarak antara keduanya dan orang berkuda itu seakan-akan tidak berubah.

Tetapi Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda tidak berbuat sesuatu. Mereka membiarkan orang berkuda itu mengikutinya. Bahkan keduanya mengira, bahwa orang itu adalah salah seorang pengawal padukuhan tempat mereka bermalam untuk mengamati apakah keduanya benar-benar pergi ke Madiun.

Namun, beberapa saat kemudian, menjelang memasuki jalur jalan menuju ke pintu gerbang kota Madiun, orang berkuda itu mempercepat lari kudanya. Tanpa menghiraukan kedua orang petugas sandi itu, orang berkuda itu telah mendahului mereka.

Meskipun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda ingin memperhatikan orang itu, namun mereka tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas. Namun agaknya mereka masih belum mengenal orang yang nampaknya telah menjelang usia tuanya. Meskipun demikian, nampaknya tubuh dan sikapnya, masih kokoh dan utuh.

Untuk beberapa saat Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda tidak lagi menghiraukan orang berkuda yang semakin jauh meninggalkan mereka. Bahkan ketika sekali-sekali Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda berhenti dan singgah di kedai yang terletak di pinggir jalan itu, sama sekali tidak ada kesan apapun yang dapat mengganggu perasaan mereka dan mengungkit kecurigaan.

Dengan tanpa prasangka apapun keduanya kemudian memasuki kota Madiun. Ki Patrajaya memang mempunyai seorang saudara seperguruan, sehingga ada tempat yang langsung dapat mereka kunjungi.

Namun Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda terkejut ketika mereka sudah berada di regol halaman rumah itu, seekor kuda berlari mendahului. Apalagi ketika ternyata bahwa penunggang kuda itu adalah orang yang mereka sangka telah mengikuti mereka di sepanjang jalan menuju ke Madiun.

Sejenak keduanya berhenti. Dengan suara datar Ki Lurah Wirayuda berkata, “Bukan sekedar kebetulan.”

“Ya,” sahut Ki Lurah Patrajaya, “aku akan mengatakan kepada kadang seperguruanku.”

“Tetapi apakah dengan demikian kita sudah melibatkan orang lain yang mungkin tidak tahu menahu sama sekali dengan tugas kita?” bertanya Ki Lurah Wirayuda.

Ki Lurah Patrajaya termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Ia adalah kadang seperguruanku. Ia akan dapat mengerti keadaanku, meskipun aku tidak perlu mengatakan bahwa kita adalah petugas sandi dari Pajang.”

Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Ia pun mengerti arti kadang seperguruan, yang tidak ubahnya dengan saudara kandung sendiri. Apalagi didalam menghadapi kesulitan. Maka kesetia kawanan seorang kadang seperguruan, kadang-kadang lebih besar dari saudara kandung sendiri.

Demikianlah, maka keduanya pun telah meloncat turun dari kudanya dan memasuki regol halaman. Adalah kebetulan sekali bahwa orang yang mereka cari itu pun sedang berada di rumah pula.

Kedatangan Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah disambut gembira oleh saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Sudah lama mereka tidak bertemu. Karena itu, pertemuan itu merupakan pertemuan yang menyenangkan.

“Pantas, hampir sehari penuh burung perenjak berkicau di halaman. Ternyata ada tamu yang sudah lama aku tunggu-tunggu,” berkata saudara seperguruan Ki Patrajaya itu.

Ki Lurah Patrajaya kemudian memperkenalkan kawan seperjalanannya. Meskipun mereka berdua tidak memperkenalkan tugas mereka yang sesungguhnya.

Tetapi saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu berkata, “Kedatanganmu ke pondok ini sebenarnya sangat mengejutkan. Meskipun aku senang sekali atas kunjunganmu, tetapi hatikupun menjadi berdebar-debar.”

Ki Lurah Patrajaya tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak mempunyai tujuan tertentu selain sekedar ingin bertemu dengan saudara-saudara kita yang sudah lama berpisah.”

Saudara seperguruannya tidak mendesak meskipun nampak juga dari sorot matanya, bahwa masih ada beberapa pertanyaan yang tersembunyi di dasar hatinya.

Dalam pada itu, dengan sungguh-sungguh seisi rumah itu telah menjamu kedua tamunya. Mereka merasa gembira pula, ketika mereka mengetahui bahwa tamu mereka akan bermalam di rumah itu pula.

Namun dalam pada itu, ketika mereka kemudian duduk bercakap-cakap di pendapa, maka Ki Lurah Patrajaya pun mulai menyebut orang berkuda yang mencurigakan itu.

“Orang itu mengikuti aku sejak aku menyeberang bengawan,” berkata Ki Lurah Patrajaya.

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “apakah ketika kau sekali-sekali berhenti di warung, atau berhenti memberi minum kudamu, orang itu juga berhenti?”

“Mendekati kota Madiun, orang itu telah mendahului kami,” jawab Ki Lurah Patrajaya, “tetapi demikian kami berdua berhenti di regol, orang itu telah melampaui kami dengan cepatnya tanpa menoleh sama sekali.”

Saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Sebaiknya kita tidak usah terlalu dipengaruhi oleh peristiwa itu. Mungkin orang itu memang bermaksud jahat. Mungkin kau dikiranya seorang pedagang atau seorang yang memiliki harta benda. Tetapi ketika ia melihat, bahwa kau singgah di rumah yang tidak berarti apa-apa ini, maka orang itu tentu tidak akan menaruh perhatian atasmu lagi.”

Ki Lurah Patrajaya mengangguk-angguk. Namun saudara seperguruannya itu pun berkata, “Meskipun demikian, tidak ada salahnya, jika kita harus berhati-hati. Aku mempunyai dua orang pembantu di rumah ini. Biarlah mereka ikut mengawasi suasana malam ini. Mungkin sesuatu akan terjadi. Meskipun demikian, kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu, biarlah orang-orangku itu memberitahukan kepada kalian. Hanya orang yang kehilangan akal sajalah yang akan berani mengganggu kalian berdua.”

“Ah,” desis Ki Patrajaya, “rumah ini agaknya rumah hantu pula bagi orang-orang yang bermaksud jahat. Karena itu, maka ketika aku berhenti dimuka rumah ini, maka orang berkuda itu segera berpacu.”

Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pendapa itu pun tertawa. Bahkan kemudian mereka berbicara tentang beberapa masalah, tentang diri masing-masing dan pengalaman mereka selama mereka berpisah.

Meskipun demikian, Ki Patrajaya sama sekali tidak menyinggung tugasnya sebagai seorang petugas sandi dari Pajang dibawah perintah langsung Ki Untara. Ia mengatakan, bahwa selama ini ia adalah seorang petani yang memiliki tanah yang cukup dan bahkan mempunyai sebidang tanah yang dapat dibuatnya menjadi belumbang. Dari belumbang itu ia mempunyai penghasilan yang cukup untuk membeli garam dan gula.

“Kau tidak nderes sendiri?” bertanya saudara seperguruannya.

Ki Patrajaya menggeleng. Jawabnya, “Dahulu. Sekarang tidak lagi, karena kakiku telah menjadi cacat. Aku pernah terjatuh.”

Pembicaraan mereka pun kemudian bergeser dari satu persoalan kepersoalan yang lain. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa tergelak-gelak. Sekali-sekali mereka nampak berbicara dengan sungguh-sungguh.

Namun akhirnya, ketika malam menjadi semakin dalam, kedua orang tamu itu pun dipersilahkan beristirahat di gandok sebelah kanan. Sementara saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu pun telah memanggil dua orang pembantunya.

“Awasi keadaan,” perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Dengan singkat ia berceritera tentang orang berkuda yang mengikuti tamunya dari sebelah Timur bengawan sampai ke pinggir kota. Bahkan kemudian orang itu melintas pula didepan regol rumahnya ketika kedua tamunya itu telah berada didepan regol.

“Baiklah Ki Lurah,” jawab salah seorang pembantunya.

“Jangan berada di regol,” berkata saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya, “beradalah di serambi gandok yang terlindung. Kalian dapat mengawasi halaman dan regol itu. sementara kalian tidak segera dapat dilihat oleh orang yang berada di halaman. Kalian harus bergantian tidur, agar kalian dapat melihat apa yang terjadi. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Besok kalian dapat tidur sehari penuh. Tetapi jika terjadi sesuatu, kalian dapat membangunkan tamu-tamu itu, sebelum kalian membangunkan aku. Tamu-tamuku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya.”

Kedua orang itu pun dengan sungguh-sungguh telah melaksanakan perintah-perintah saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya. Keduanya telah duduk diamben bambu di serambi berkerudung kain panjang berwarna kelam. Karena keduanya terlindung dari cahaya lampu minyak, maka keduanya memang tidak nampak dari halaman atau dari regol.

Kedua orang itu telah mengatur waktu mereka. Yang seorang akan tidur dahulu sambil bersandar pada sandaran amben bambu, sementara yang lain duduk mengawasi keadaan. Kemudian pada waktu yang telah disepakati, yang seorang akan membangunkan yang lain, dan bergantian ia akan tidur sampai pagi.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda pun tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka pun ternyata tidak dapat tidur bersama-sama. Sambil tersenyum pun telah membagi waktu mereka seperti penjaga di serambi.

“Ternyata hati kami terlampau kecil,” desis Ki Lurah Wirayuda sambil tertawa, “peristiwa yang barangkali hanya kebetulan itu telah membuat kami gelisah.”

“Kami adalah orang-orang yang penuh dengan curiga, cemas dan kadang-kadang berprasangka. Itu adalah pengaruh dari tugas-tugas kami selama ini. Karena, jika umurku sudah menjadi semakin tua, aku ingin berganti pekerjaan menjadi juru misaya mina. He, bukankah tanahku yang terbentang di pinggir bengawan itu dapat dijadikan belumbang ikan air tawar?” desis Ki Lurah Patrajaya.

Ki Lurah Wirayuda mengangguk-angguk. Tetapi desisnya, “Jika aku masih menjawab berarti aku tidak akan sempat tidur. Demikian pembicaraan tentang belumbang selesai, maka waktuku telah habis.”

Ki Lurah Patrajaya tertawa tertahan. Namun ia pun kemudian duduk dibibir pembaringannya, sementara Ki Lurah Wirayuda pun berbaring di sebelahnya.

Sesaat kemudian terdengar desah nafas Ki Wirayuda yang teratur. Matanya terpejam, dan ia pun telah tertidur.

Seperti yang direncanakan, maka pada saatnya Ki Patrajaya pun berganti beristirahat, sementara Ki Wirayuda duduk terkantuk-kantuk.

Namun ternyata malam itu mereka lampaui tanpa persoalan yang dapat mengusik ketenangan rumah itu. Tidak ada seorang pun yang datang dengan maksud yang kurang baik. Sehingga orang-orang yang ada didalamnya sama sekali tidak merasa terganggu sama sekali.

Dipagi hari yang cerah, Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda telah bersiap untuk mulai lagi dengan perjalanannya. Mereka telah mohon diri untuk kembali ke Pajang setelah semalam mereka berada di tempat saudara seperguruan Ki Patrajaya.

“Sebenarnya, apakah keperluanmu datang kerumah ini?” bertanya saudara seperguruan Ki Lurah Patrajaya itu. Lalu. “Jika kau benar-benar hanya ingin menengok setelah sekian lama kita tidak bertemu, maka aku benar-benar mengucapkan banyak terima kasih.”

Ki Lurah Patrajaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kakang, aku memang hanya ingin menengokmu disini. Aku ingin agar hubungan kita tidak terputus. Selama ini seolah-olah di antara kita tidak ada tali pengikat sama sekali.” Ki Lurah Patrajaya terdiam sejenak, namun kemudian katanya, “Tetapi mungkin pada suatu saat aku akan datang lagi dalam keadaan yang agak berbeda. Mungkin pada suatu saat aku datang sambil menangis, mohon agar kakang bersedia membantu aku.”

“Uh, kau memang kurang waras,” sahut saudara seperguruannya, “baiklah. Mungkin sekarang kau masih segan untuk mengatakannya. Datanglah lain kali. Aku senang sekali jika aku mendapat kesempatan membantumu. Dengan demikian, jika aku memerlukan bantuanmu, aku pun tidak akan segan-segan mengatakannya.”

Ki Lurah Patrajaya tertawa pendek. Namun ia pun kemudian sekali lagi mohon diri kepada seluruh keluarga saudara seperguruannya untuk kembali bersama seorang kawannya, yang telah mengucapkan banyak terima kasih atas perlakuan yang sangat ramah.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun segera menempuh perjalanan kembali ke Pajang. Tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka tidak perlu berhenti dan apalagi bermalam di jalan. Mereka akan menempuh perjalanan langsung sampai ke Jati Anom, meskipun malam hari mereka baru akan tiba. Bahkan tengah malam.

Tetapi sekali-sekali mereka pun merasa perlu untuk berhenti. Bukan saja untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Tetapi kedua orang itu pun perlu juga singgah di kedai-kedai di pinggir jalan untuk melepaskan haus dan lapar. Namun yang penting, mereka masih ingin mendengar serba sedikit, persoalan yang barangkah ada hubungannya dengan kematian Ki Pringgajaya.

Tetapi mereka tidak mendengar ceritera apapun lagi yang dapat melengkapi pendengaran mereka tentang kematian Ki Pringgajaya. Ketika mereka berhenti disebuah kedai, dekat peristiwa itu terjadi, maka yang mereka dengar tidak lebih dan tidak kurang dari ceritera yang pernah mereka dengar sebelumnya, bahkan dari orang-orang yang langsung ikut membantu menguburkan mayat perwira yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.

Demikianlah, maka kedua orang itu berniat untuk tidak bermalam di perjalanan. Meskipun mereka harus sering berhenti, namun lewat tengah malam, maka mereka telah memasuki Kademangan Jati Anom.

Kedua orang itu tidak langsung menghadap Ki Untara. Mereka menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Kiai Gringsing, yang masih dijaga oleh beberapa prajurit.

Ketika kedua orang itu datang, maka prajurit yang bertugas pun segera mempersilahkan mereka masuk. Setelah membersihkan diri, maka keduanya langsung diterima oleh Kiai Gringsing yang terbangun.

“Rasa-rasanya aku tidak sabar menunggu sampai esok,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda pun mengangguk-angguk.

“Jika kalian berdua tidak terlalu letih, aku ingin mendengar serba sedikit, berita perjalanan yang telah kalian lakukan,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda pun mengangguk-angguk. Sambil beringsut setapak, Ki Lurah Patrajaya berkata, “Baiklah Kiai. Barangkali aku dapat mengatakan, maksud pokok dari perjalanan kami.”

“Ya, ya, khususnya mengenai Ki Pringgajaya,” desis Kiai Gringsing.

“Mendahului laporanku kepada Ki Untara,” berkata Ki Lurah Patrajaya, yang kemudian menceriterakan serba sedikit pendengarannya di sepanjang jalan mengenai kematian Ki Pringgajaya. Bahkan ia pun sempat menceriterakan seseorang yang nampaknya dengan sengaja telah mengikutinya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu tanggapan angger Untara tentang berita ini. Tetapi aku menduga, bahwa bukanlah suatu kebetulan bahwa perjalanan Ki Tumenggung Prabadaru dan pengiringnya bertemu dengan sekelompok orang-orang yang telah berusaha mengganggu mereka. Apalagi seorang di antara mereka yang terbunuh adalah Ki Pringgajaya.”

Kedua orang yang baru datang dari perjalanan itu pun mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, seorang pengawal yang mendapat kepercayaan sepenuhnya dari Untara, telah berpacu kerumah Senapati muda itu di Jati Anom, sesuai dengan permintaan Kiai Gringsing. Prajurit itu diminta untuk memberitahukan, bahwa Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda telah datang.

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar