JDBK-40


<<kembali>>

SEPENINGGAL orang-orang itu, Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung masuk ke ruang dalam. Namun mereka tidak menemui Kemuning.

“Kemuning” panggil Nyi Pupus Rembulung.

Nyi Permati yang kemudian berada di ruang dalam itu pula ternyata juga tidak melihat Kemuning.

Namun Nyi Permati itu pun segera pergi ke dalam bilik gadis itu. Ditemukannya Kemuning berbaring sambil mengusap matanya yang basah.

“Kenapa kau menangis, Kemuning?”

“Aku tidak menangis, Bibi”

“Matamu basah”

“Tidak. Aku tidak apa-apa”

Nyi Permati mengangguk-angguk kecil. Sementara Nyi Pupus Rembulung juga memasuki bilik itu pula.

“Kau tentu menangis, Kemuning” berkata Nyi Pupus Rembulung.

“Tidak, Ibu. Aku tidak menangis” sahut Kemuning sambil duduk. “Aku hanya merasa sedikit pening”

“Kau ingin ikut bersama anak-anak asuh Ki Gede Lenglengan berlatih di tempat terbuka?” bertanya ibunya.

“Tidak, Ibu. Tidak”

Tetapi Kemuning tidak dapat membantah lagi ketika ibunya menyingkap kain panjangnya. Kemuning telah mengenakan pakaian khususnya.

“Jadi kau benar-benar ingin ikut bersama mereka?”

Kemuning menundukkan kepalanya.

“Tetapi Ki Gede Lenglengan tidak mengijinkanmu”

Kemuning tidak menjawab.

“Kemuning, kau harus menyadari, bahwa Ki Gede Lenglengan mempunyai pertimbangan, bahwa aku akan dapat menjadi penghambat anak-anak asuhnya yang diharapkannya menjadi angkatan masa datang itu. Kau harus merasa malu, bahwa kaulah yang ditolak. Bukan kau yang menolak”

“Ibu, aku hanya ingin ikut berlatih. Aku ingin menjadi seorang yang berilmu tinggi, setidaknya menyamai anak-anak muda itu”

“Kau sudah mulai pandai berbohong, Kemuning” potong Nyi Permati.

“Bibi”

Namun Nyi Pupus Rembulung itu menyambung, “Aku sependapat dengan bibimu, Kemuning”

“Ibu”

“Kau tentu ingin mengikuti anak muda yang disebut sebagai anak tumenggung itu. Kau ingin bersamanya kemana  pun ia pergi. Ingat Kemuning, kau adalah seorang gadis. Jika kau salah setapak saja, maka akibatnya akan tertimbun kepadamu. Tidak kepada anak muda itu. Apalagi anak muda yang menganggap bahwa unggah-ungguh itu tidak berarti sama sekali sesuai dengan ajaran Ki Gede Lenglengan”

Kemuning tidak dapat menahan tangisnya lagi. Kedua tangannya menutup wajahnya. Namun air matanya meleleh di sela-sela jarinya, menitik ke pangkuannya.

“Sadari itu, Kemuning” berkata Nyi Permati. “Kami, aku, ibumu dan ayahmu, juga tentu paman dan bibimu, tidak ingin melihatmu kehilangan harga diri seorang gadis. Jika kau tidak terkekang lagi, Kemuning, kau akan menjadi tidak berharga lagi. Nah, sekarang kau sudah mulai ditolak oleh Ki Gede Lenglengan”

Kemuning terisak.

“Apa katamu, Kemuning? Kecuali jika kau ingin menjadi budak Ki Gede Lenglengan dan anak-anak asuhnya. Kau akan menjadi budak dalam segala bentuknya”

“Ibu” berkata Kemuning, “kenapa Ibu membenci anak muda itu? Apakah ia pernah melakukan kesalahan? Ia memang agak menjadi kasar akhir-akhir ini. Tetapi ia masih menghargai aku. Ia masih mau mendengar kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku akan dapat meluruskannya”

“Kau tidak perlu berusaha meluruskannya, Kemuning” berkata Nyi Permati. “Kau tidak akan mampu melakukannya. Bukan anak muda itu yang akan dapat kau pengaruhi dengan nilai-nilai yang baik. Tetapi kau akan terseret dan terjerumus ke dalam tatanan kehidupan mereka tanpa dapat menghargai lagi tatanilai yang selama ini masih kita junjung tinggi”

“Bibi terlalu berprasangka. Ia anak yang baik. Ia mengerti perasaanku. Ia membantuku meningkatkan ilmuku. Bahkan ia selalu membantu aku”

“Kemuning” berkata Nyi Permati yang hampir kehabisan kesabaran, “kau ingat orang yang bernama Bahu Langlang? Kau ingat, betapa sikapnya yang lembut pada saat kita bertemu dengan orang itu untuk yang pertama kali? Tetapi lalu apa jadinya kemudian?”

“Bibi” potong Kemuning, “jangan sebut-sebut lagi nama itu”

“Kau tidak mau mengingatnya lagi?”

“Ya, Bibi. Aku tidak mau mengingatnya lagi”

“Kau berniat menghapus satu pengalaman yang berharga dari perjalanan hidupmu agar kau tidak perlu menghindarinya dari kemungkinan yang sama?”

“Bibi”

“Kemuning, kenapa kau tidak mau mengingat apa yang telah dilakukan oleh Bahu Langlang. Bersikap manis, kebapaan yang lembut. Namun kemudian ia telah berubah menjadi serigala yang paling liar dan buas. Kau tidak mau mengingatnya, karena kemungkinan seperti itu dapat saja terjadi atasmu sekarang ini. Anak-anak asuhan Ki Gede Lenglengan dan bahkan mungkin Ki Gede Lenglengan sendiri. Jika kau sadari kemungkinan itu, maka kau harus menjauhi anak-anak muda itu. Sedangkan kau sendiri tidak ingin melakukannya”

“Sudah, Bibi. Sudah”

“Kemuning. Anak-anak muda itu tidak akan melakukan perbuatan serupa sebagaimana dilakukan oleh anak muda yang telah membebaskanmu dari Bahu Langlang itu”

“Cukup, Bibi. Cukup. Jangan sebut nama iblis itu dan jangan pula sebut nama malaikat itu”

Tangis Kemuning semakin menjadi-jadi. Air matanya benar-benar telah tercurah dari pelupuk matanya.

Ternyata Nyi Pupus Rembulung yang memanjakannya, menjadi iba juga kepada anak itu. Nyi Pupus Rembulung itu pun kemudian duduk di sisinya. Dipeluknya Kemuning sambil berdesis, “Sudahlah, Kemuning. Jangan menangis. Aku dan bibi berniat baik. Terus terang kami merasa cemas melihat hubunganmu yang kian akrab dengan mereka, terutama dengan anak tumenggung itu”

Kemuning tidak menjawab. Namun gadis itu pun teringat, betapa anak muda itu mendukungnya dan meletakkannya di pembaringan. Kemudian anak muda itu memijit keningnya dan kemudian berbisik di telinganya. Hembusan nafasnya terasa di lehernya ketika anak muda itu berbaring di sisinya.

Kemuning memang hampir saja terlena jika ia tidak mendengar suara ayahnya memanggil.

“Tetapi itu bukan salah anak muda itu” berkata Kemuning di dalam hatinya. “Jika aku tidak datang kepadanya, ia tidak akan melakukannya”

Namun tangis Kemuning bagaikan meledak lagi ketika tiba-tiba saja hatinya tersentuh oleh kenangannya terhadap seorang anak muda yang telah membebaskannya dari tangan Bahu Langlang. Anak muda yang telah mempertaruhkan nyawanya.

“Kemuning, Kemuning” Nyi Pupus Rembulung mengguncangnya. “Kau kenapa, he?”

“Ibu” suaranya hilang ditelan oleh isaknya.

Nyi Pupus Rembulung memeluknya semakin erat sambil berkata, “Sudahlah. Jangan menangis lagi. Masih banyak waktu untuk menilai sikapmu, Kemuning”

Kemuning masih menangis ketika Nyi Permati justru bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.

“Bibi, Bibi, jangan pergi” suara Kemuning menjadi parau. “Aku takut, Bibi”

Nyi Pupus Rembulung yang masih mendekapnya itu pun bertanya, “Apa yang kau takutkan, Kemuning? Apa?”

Kemuning tidak menjawab. Tetapi isaknya masih saja menyesakkan nafasnya.

“Sudahlah, Kemuning” berkata Nyi Permati. “Jangan menangis lagi. Sekarang tidurlah”

Tangis Kemuning memang mereda. Nyi Pupus Rembulung  pun kemudian melepaskannya dan membaringkannya di pembaringannya.

“Tidurlah. Apakah kau sudah makan malam?”

“Aku tidak lapar, Ibu”

Nyi Pupus Rembulung dan Nyi Permati  pun kemudian melangkah meninggalkan bilik Kemuning. Masih terdengar isak Kemuning. Namun tidak lagi menghentak-hentak menyumbat jalan pernafasannya.

Dalam pada itu, di Kembang Arum, Ki Pananggungan duduk di ruang dalam bersama Wijang dan Paksi. Dengan singkat Ki Pananggungan menceriterakan apa yang dilihatnya di rumah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.

“Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Pananggungan?”

“Besok kita pergi ke rumah Repak Rembulung, Ngger. Jangan terlambat. Sebelum Ki Gede Lenglengan menyadari apa yang telah terjadi”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Ki Pananggungan. Kami sudah banyak kehilangan waktu. Mudah-mudahan kami berhasil”

“Tetapi Angger Paksi harus sangat berhati-hati terhadap anak muda yang agaknya memang adik Angger Paksi itu. Apakah ia dapat menerima kenyataan bahwa ia berhadapan dengan kakaknya”

“Ya, Ki Pananggungan”

“Tetapi bagaimana dengan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung? Mereka tentu akan dapat mengenali kami berdua”

“Untunglah bahwa hubungan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dengan Ki Gede Lenglengan menjadi renggang.

Karena itu, setidak-tidaknya Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak akan berpihak kepada Ki Gede Lenglengan”

“Ki Pananggungan yakin?”

“Menurut perhitunganku, Ngger”

“Baiklah, Paman. Besok kita pergi. Tetapi apakah Paman sudah tidak letih?”

Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, “Tidak, Ngger. Aku sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh. Bahkan seandainya aku letih sekalipun, kita akan tetap pergi esok, agar kita tidak terlambat”

“Ya, Ki Pananggungan” desis Paksi.

“Jadi yang harus kita perhatikan di rumah itu adalah Ki Gede Lenglengan. Dua orang pembantunya dan lima orang anak muda yang diharapkannya dapat tampil sebagai angkatan mendatang”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tugas yang berat. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ikut campur, aku masih berharap untuk dapat berbicara dengan adikku itu”

“Ya, Ngger” sahut Ki Pananggungan. “Aku sudah menjajagi kemampuan para pembantu Ki Gede Lenglengan itu. Aku yakin, bahwa bagi Pangeran dan Angger Paksi, para pembantunya itu tidak akan terlalu sulit untuk diatasi”

“Apa pun yang terjadi, aku harus menemui adikku itu” desis Paksi.

“Ya. Lenglengan itu pun harus ditangkap hidup atau mati. Jika ia masih dapat melarikan diri, maka ia masih akan menimbulkan persoalan-persoalan di masa mendatang” sahut Pangeran Benawa.

Demikianlah, mereka pun telah mendapatkan kesepakatan untuk pergi ke rumah Repak Rembulung esok. Ketika niat itu disampaikan oleh Ki Pananggungan kepada istrinya, maka jantung Nyi Pananggungan pun menjadi berdebar-debar. Ia sendiri bukan seorang perempuan seperti Pupus Rembulung. Karenanya, maka Nyi Pananggungan itu hanya dapat minta agar Ki Pananggungan berhati-hati.

“Aku akan segera pulang untuk menjemputmu, Nyi. Kau akan dapat bertemu dengan Kemuning”

Nyi Pananggungan mengangguk. Kemudian ia pun berkata kepada Wijang dan Paksi, “Kalian akan memanggul beban yang berat di pundak kalian, Ngger. Berdoalah agar kau dapat menyelesaikan tugas kalian dengan baik”

“Ya, Bibi” jawab Wijang dan Paksi hampir berbareng.

Malam itu Wijang dan Paksi tidak dapat tidur nyenyak. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya

Namun di dini hari mereka sudah bangun dan bersiap untuk berangkat bersama Ki Pananggungan pergi rumah Repak Rembulung.

Nyi Pananggungan pun harus bangun pagi-pagi pula untuk mempersiapkan minum dan makan pagi bagi mereka yang akan pergi.

Hari masih gelap ketika tiga ekor kuda berderap di atas jalan bulak. Wijang dan Paksi telah meminjam kuda Ki Pananggungan pula, meskipun seekor di antara keduanya masih belum dibayar, karena Ki Pananggungan masih ingin mencobanya lebih dahulu. Kuda itu semua akan ditukar dengan salah satu dari kuda Ki Pananggungan yang sudah ada di kandang.

Dalam keremangan dini hari ketiga ekor kuda itu berlari kencang melingkar di kaki Gunung Merapi. Tetapi Ki Pananggungan mengenal jalan yang harus dilaluinya dengan baik. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang lebih pendek dari perjalanan Ki Pananggungan sebelumnya.

Ketika cahaya matahari mulai membayang di langit, mereka sudah menempuh lebih dari separo perjalanan.

“Kita akan segera sampai” berkata Ki Pananggungan.

Di segarnya udara pagi, kuda-kuda itu pun berpacu dengan kencangnya. Jalan-jalan yang mereka tempuh tidak termasuk jalan yang ramai. Karena itu, maka mereka dapat memacu kuda mereka tanpa banyak hambatan.

Angin yang mulai berhembus, terasa dinginnya di wajah. Dedaunan  pun mulai berayun perlahan-lahan. Burung-burung liar berkicau bersahutan di lebatnya hutan kaki pegunungan.

Ki Pananggungan tidak sempat menunjukkan kepada Wijang dan Paksi sebatang pohon semacam pohon beringin yang mempunyai beberapa macam jenis bunga.

Ketika matahari mulai memanjat langit, ketiganya sudah berada di jalan yang langsung menuju ke pintu regol halaman rumah Ki Repak Rembulung.

“Kita memang harus berhati-hati menghadapi Ki Gede Lenglengan. Aku memperhitungkan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak akan membantu mereka. Setidak-tidaknya mereka tidak akan mencampuri persoalan kita dengan Ki Gede Lenglengan. Kita akan mengalami kesulitan jika saja Repak Rembulung dan Pupus Rembulung berpihak kepada mereka”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Pananggungan pun berkata, “Aku nanti akan berterus-terang kepada Repak Rembulung dan Pupus Rembulung, siapakah kalian berdua”

“Ki Pananggungan akan berterus terang bahwa aku berasal dari istana Pajang?”

“Ya. Dengan demikian Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan mengambil sikap sebagaimana diyakininya. Jika ia memang ingin memberontak, biarlah ia memberontak dengan sadar. Tetapi jika tidak, biarlah ia menunjukkan kesetiaannya kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menolak niat Ki Pananggungan. Bahkan mungkin Ki Gede Lenglengan akan dapat mengenalinya karena Wijang itu berada di padepokan Ki Gede Lenglengan sebagai Pangeran Benawa. Tetapi saat itu ia terikat dalam pertempuran dengan orang lain. Sedangkan Ki Gede Lenglengan telah bertemu dengan lawan bebuyutannya seorang yang pernah dianggapnya mati, namun kemudian telah datang kembali bersama pasukan Pajang di padepokannya.

Ketika mereka tiba di depan regol halaman rumah Ki Repak Rembulung, mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi di lingkungan halaman rumah Ki Repak Rembulung itu.

Ketika ketiga orang itu kemudian turun dari kudanya dan menuntun masuk ke regol halaman, seseorang sempat melihatnya. Dengan tergesa-gesa orang itu pun telah mencari Ki Repak Rembulung dan Ki Pupus Rembulung.

“Ada apa?”

“Ada tamu, Ki”

“Siapa?”

“Tiga orang. Seorang di antaranya adalah orang yang kemarin datang kemari. Kakak Ki Repak Rembulung”

“Kakang Pananggungan? Ia kembali lagi? Bahkan bertiga?”

Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung pun segera pergi ke pendapa untuk menyongsong ketiga orang tamunya.

Sebenarnyalah seorang di antara mereka adalah Ki Pananggungan. Bahwa Ki Pananggungan itu datang kembali, telah membuat Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang yang datang bersamanya.

“Apa sebenarnya yang dilakukan oleh Kakang Pananggungan” desis Repak Rembulung.

Jantung Nyi Pupus Rembulung pun terasa berdegup semakin cepat. Dengan dada yang terasa berdebaran, Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung turun ke halaman.

“Aku kembali lagi, Repak Rembulung”

“Kakang membuat jantungku berdentangan. Apalagi Kakang telah datang bersama dengan kedua orang yang pernah aku kenal”

“Aku akan menjelaskannya”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung kemudian telah mempersilahkan mereka bertiga naik ke pendapa setelah mengikat kuda mereka pada patok-patok yang tersedia di sebelah pendapa.

“Kakang” berkata Repak Rembulung, “kami sudah pernah bertemu dengan kedua orang anak muda ini. Kedatangan Kakang bersama mereka agak mengejutkan kami”

“Bukan hanya agak mengejutkan, Kakang. Tetapi sangat mengejutkan kami”

Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam.

“Kalian pernah bertemu dengan keduanya?”

“Ya, Kakang. Keduanya pernah menolong kami. Pada saat kami bertempur menghadapi lawan yang terlalu banyak, keduanya datang membantu. Ketika kami bertanya, apakah alasan mereka membantu kami, mereka hanya menyatakan, bahwa mereka menganggap pertempuran itu tidak adil”

Ki Pananggungan berpaling kepada Wijang dan Paksi. Dengan nada dalam Ki Pananggungan bertanya, “Apakah benar begitu?”

Wijang menarik nafas panjang. Sambil mengangguk ia pun menjawab, “Ya, Ki Pananggungan”

Namun Ki Pananggungan itu pun berkata selanjutnya, “Tetapi tentu ada alasan yang lain. Bukankah kalian pernah mendengar bahwa Kemuning pernah jatuh ke tangan orang yang bernama Bahu Langlang?”

“Ya”

“Yang rumahnya kau bakar?”

“Ya”

“Bahwa Kemuning telah ditolong oleh seorang anak muda?”

“Ya”

“Anak muda inilah yang menolongnya. Namanya Paksi”

“O. Jadi kaulah yang telah menolong Kemuning dan kemudian menolong kami?” bertanya Nyi Pupus Rembulung dengan serta-merta.

“Aku hanya melakukan kewajibanku kepada sesama”

Nyi Pupus Rembulung menarik nafas panjang. Dengan suaranya yang berat ia pun bertanya, “Ketika kalian berdua menolong kami, apakah kalian tahu, bahwa kami adalah orang tua Kemuning yang juga pernah kalian tolong itu?”

“Aku tidak ikut menolong Kemuning” Wijang pun menyela.

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, “Ya. Kami sudah mengetahui”

“Tentu Kakang Pananggungan yang memberitahukan”

“Ya”

“Kenapa kalian berdua tidak berterus-terang?”

“Mereka sedang mengemban tugas yang lain. Tugas yang sampai sekarang masih tetap berada di pundak mereka” sahut Ki Pananggungan.

“Tugas apa, Kakang?” bertanya Ki Repak Rembulung.

Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah Ki Gede Lenglengan ada?”

“Ada, Kakang. Mereka semuanya sedang berada di dalam sanggar. Semalam mereka berlatih di udara terbuka. Pagi-pagi tadi mereka pulang, langsung masuk ke dalam sanggar”

“Latihan yang berat”

“Ya. Ki Gede Lenglengan memang memberikan latihan-latihan yang berat sejak ia datang. Ia ingin anak-anak muridnya itu cepat menjadi orang berilmu tinggi. Tetapi orang yang memiliki ilmu setinggi Ki Gede Lenglengan seharusnya mengetahui, bahwa kemampuan wadag seseorang itu sangat terbatas. Jika takaran latihan itu melampaui kemampuan kewadagannya maka akibatnya justru akan menjadi sangat buruk”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk.

“Jadi sekarang mereka berada di dalam sanggar?”

“Ya, Kakang. Kenapa? Nampaknya Kakang menjadi semakin tertarik kepada orang itu”

“Repak Rembulung dan kau Pupus Rembulung” berkata Ki Pananggungan, “kedatangan kami kemari, sebenarnyalah bahwa kami membawa persoalan yang sangat penting”

“Menyangkut Ki Gede Lenglengan?”

“Ya. Kau tentu tahu, bahwa Lenglengan adalah seorang buruan. Demikian pula dengan orang-orang yang menyertainya”

“Ya. Ki Gede Lenglengan sendiri pernah mengatakannya”

“Ya. Dan sekarang aku ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa kedua orang anak muda ini menjunjung tinggi tugas dari Kanjeng Sultan untuk menangkap hidup atau mati Ki Gede Lenglengan”

Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung terkejut. Hampir di luar sadarnya, Ki Repak Rembulung itu pun bertanya, “Siapakah mereka berdua?”

“Namanya Wijang dan Paksi”

“O” Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung itu pun mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Repak Rembulung pun bertanya, “Apakah mereka prajurit sandi?”

Ki Pananggungan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Keduanya bukan prajurit sandi”

“Jadi?”

“Repak Rembulung dan kau Pupus Rembulung, meskipun jarang, tetapi sekali-sekali kau tentu pergi ke kota”

“Ya, Kakang”

“Apakah kalian benar-benar belum pernah melihat wajah dari anak muda yang menyebut dirinya bernama Wijang itu?”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengerutkan dahinya. Mereka mencoba mengingat-ingat wajah itu. Namun keduanya pun menggelengkan kepalanya. Repak Rembulung itu pun menjawab, “Kami belum pernah melihatnya, Kakang”

“Hanya seorang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari anak muda itu”

“Siapa?”

“Kanjeng Sultan Hadiwijaya”

“Jika demikian, siapakah anak muda ini?”

“Kau pernah mendengar nama Putera Mahkota?”

“Pangeran Benawa?”

“Ya”

“Jadi aku berhadapan dengan Putera Mahkota Pajang?”

“Ya”

Betapapun liarnya Repak Rembulung dan Pupus Rembulung, namun mereka pun menyembah sambil menundukkan wajah mereka.

“Ampun, Pangeran” berkata Repak Rembulung, “hamba berdua mohon ampun. Hamba berdua tidak dapat mengenali Pangeran. Bahkan mungkin hamba berdua pernah bersikap kasar kepada Pangeran”

“Sudahlah. Lupakan saja. Lupakan pula bahwa aku seorang pangeran”

“Sejak pertemuan kita yang pertama, kami sudah menaruh curiga. Bahwa Pangeran bukan seorang petualang sebagaimana pengakuan Pangeran pada waktu itu” desis Nyi Pupus Rembulung.

“Yang seorang lagi tentu juga bukan orang kebanyakan” berkata Repak Rembulung.

“Paksi adalah putera Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung terkejut pula. Hampir berbareng mereka berdua mengulang, “Tumenggung Sarpa Biwada?”

“Ya. Kalian terkejut mendengar nama itu?”

“Bukankah Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu salah seorang pengikut setia Harya Wisaka?”

“Ya. Dan salah seorang puteranya juga berada di sini bersama Ki Gede Lenglengan”

“Ya. Sekarang putera Ki Tumenggung yang lain datang bersama dengan Putera Mahkota”

“Kau tidak perlu heran, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Paksi dan adiknya memang berbeda sikap. Paksi sempat menentukan sikapnya sendiri. Sedangkan adiknya tidak. Ayahnya telah menyerahkannya kepada orang-orang yang kemudian membantunya menjadi pengikut setia Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sendiri sudah tertangkap dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi karena ia berada di dalam bilik tahanan, namun cita-citanya telah dilimpahkan kepada anak-anak muda yang disebutnya angkatan mendatang, yang jumlahnya tentu tidak hanya lima orang. Tetapi mereka tersebar di beberapa tempat. Sementara kau mendapat bagian lima orang”

Ki Repak Rembulung menarik nafas panjang, sementara Nyi Pupus Rembulung pun berkata, “Semula kami memang bermusuhan dengan Harya Wisaka. Namun kemudian, kami tidak dapat menolak tawaran Ki Gede Lenglengan yang sudah aku kenal sebelumnya”

“Pangeran Benawa tidak akan mempersoalkan kenapa mereka semua berada di sini. Pangeran Benawa  pun tidak akan mempertanyakan, apakah kau berdua mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka atau tidak. Yang penting sekarang, bagaimana kita dapat menangkap Ki Gede Lenglengan”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung menarik nafas dalam-dalam. “Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih Pangeran”

“Paman Pananggungan benar” berkata Pangeran Benawa. “Kami tidak akan mengusut, kenapa kelima orang anak itu berada di sini. Kenapa Ki Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah menyembunyikan seorang buron”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung” berkata Ki Pananggungan kemudian, “pertanyaan yang kemudian tertuju kepada kalian berdua, apa yang akan kalian lakukan, jika kami terpaksa bertempur dengan Ki Gede Lenglengan, para pembantunya dan kelima orang anak muda yang berada di bawah asuhanmu itu?”

“Kami berdua mohon perintah, apakah yang harus hamba lakukan, Pangeran. Hamba sudah merasa berhutang budi kepada Pangeran dan Angger Paksi”

“Soalnya bukan berhutang budi atau tidak. Kami ingin tahu sikap kalian. Sebentar lagi kami akan bertempur. Kepada siapa kalian berpihak menurut gejolak jantung kalian sendiri, lepas dari hubungan yang pernah ada di antara kita”

“Ampun, Pangeran. Sebenarnyalah hubungan hamba berdua dengan Ki Gede Lenglengan menjadi kian memburuk. Dalam banyak hal kami tidak mendapatkan kesepakatan”

“Apakah Paman Repak Rembulung dan Bibi Pupus Rembulung akan tetap berpegang kepada perjuangan Harya Wisaka?”

“Tidak, Pangeran. Sejak semula hamba berdua memang tidak sejalan dengan arah perjuangan Harya Wisaka”

“Tetapi Paman dan Bibi menerima anak-anak muda itu di sini”

“Masalahnya sangat sederhana, Pangeran. Sudah hamba katakan kepada Kakang Pananggungan. Alasan kami menerima mereka sangat sederhana Mungkin kami memang terlalu tamak. Uang”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi bukankah kalian berdua dapat dipercaya?”

“Tentu, Raden. Nyawa kami sebenarnya milik Pangeran dan Raden”

“Terima kasih. Sebaiknya kita selesaikan hari ini”

“Lawan kita adalah orang-orang yang tidak menghargai unggah-ungguh sama sekali. Karena itu, kita harus berhati-hati”
“Apakah seisi rumah perlu mengetahui agar mereka tidak terkejut mengalami peristiwa yang sangat mendebarkan?”

“Biarlah nanti aku sisihkan mereka”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya kepada Paksi, “Apa rencanamu dengan adikmu jika ia menolak uluran tanganmu?”

“Anak itu harus ditangkap, Pangeran. Ditangkap hidup-hidup. Agaknya anak itu akan sangat sulit untuk diajak berbicara”

“Aku serahkan anak itu kepadamu, Paksi, sedangkan yang lain, serahkan kepada kami. Aku sendiri akan menangkap Ki Gede Lenglengan hidup atau mati”

“Ilmu orang itu sangat tinggi, Pangeran” desis Repak Rembulung.

“Ia memang berilmu tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan. Meskipun demikian aku minta yang lain membantuku agar orang itu tidak sempat melarikan diri. Ki Gede Lenglengan mampu bermain kabut sebagaimana dilakukan di padepokannya, sehingga ia terlepas dari tangan Ki Ajar Permati”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Pangeran. Kami akan berusaha mengatasi yang lain secepatnya agar kami dapat ikut menjaga supaya Ki Gede Lenglengan itu tidak terlepas lagi”

“Terima kasih. Tugas ini adalah tugas yang berat. Kita belum tahu pasti tataran ilmu pengikut Ki Gede itu, meskipun Ki Pananggungan pernah menjajaginya dan bahkan membunuh dua di antara mereka. Mudah-mudahan kedua orang yang tersisa itu tidak memiliki ilmu lebih baik dari kawan-kawannya”

“Kakang telah membunuh dua di antara mereka?” bertanya Pupus Rembulung.

“Ketika aku pulang kemarin, tiga orang mengikuti aku dan mereka berusaha membunuhku”

“Jadi Lenglengan sudah mencoba membunuh Kakang?”

“Ya. Ia telah mengirimkan tiga orang pengikutnya. Dua orang terbunuh. Seorang aku biarkan hidup untuk mengurusi mayat kawan-kawannya”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengangguk-angguk. Dengan suara yang berat Repak Rembulung itu berdesis, “Jadi Lenglengan itu benar-benar gila”

“Nah, kita akan menyelesaikannya sekarang” desis Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa, Paksi, Ki Pananggungan serta suami-istri Rembulung itu pun segera mempersiapkan diri. Di sanggar itu terdapat Ki Gede Lenglengan, dua orang pembantunya serta lima orang anak muda yang telah ditempa untuk menerima tugas bagi masa depan. Bagaimanapun juga, Mereka harus diperhitungkan, karena selain ilmu yang sudah mereka kuasai, hati mereka pun telah diracuni oleh ajaran yang sesat tentang pemerintahan Pajang di masa mendatang.

“Hati mereka telah ditempa sehingga mengeras seperti batu” berkata Repak Rembulung. “Mereka diajar untuk berpegangan pada keyakinan mereka meskipun maut akan menerkam. Bagi mereka, keyakinan mereka lebih penting dari kematian”

“Sedangkan keyakinan itu adalah keyakinan yang sesat” desis Paksi.

“Ya. Ternyata keyakinan mereka adalah keyakinan yang sesat” ulang Ki Repak Rembulung.

Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun kemudian berkata, “Marilah. Kita awasi sanggar itu. Kita tidak boleh kehilangan mereka lagi”

Demikianlah, maka mereka berlima pun segera mempersiapkan diri di sekitar sanggar. Namun Pupus Rembulung sempat menemui Nyi Permati dan menceriterakan apa yang akan terjadi.

“Jadi Angger Paksi itu ada di sini?”

“Ya, Nyi. Anak muda itu datang bersama Kakang Pananggungan. Kami sepakat untuk menangkap Ki Gede Lenglengan”

“Selain Angger Paksi, apakah ada orang lain yang datang bersamanya?”

“Anak muda yang bernama Wijang”

“Angger Wijang juga berada di sini?”

“Ya. Ternyata Wijang adalah Pangeran Benawa, Putera Mahkota dari Pajang”

Nyi Permati terkejut. Ia pun kemudian menarik nafas panjang. Katanya, “Mudah-mudahan kalian berhasil”

“Mudah-mudahan”

Sejenak kemudian, kelima orang itu sudah berada di depan pintu sanggar. Tetapi mereka tidak mengetuk pintu. Mereka membiarkan orang-orang yang berada di dalam sanggar itu berlatih sampai mereka menjadi letih. Tanpa memberikan kesempatan beristirahat, mereka berlima harus segera berusaha menangkap mereka hidup atau mati. Kecuali adik Paksi. Paksi sendiri akan menghadapinya dan berusaha menangkapnya hidup-hidup.

Beberapa saat mereka menunggu. Agaknya latihan yang berat masih berlangsung di dalam sanggar. Mereka masih mendengar aba-aba Ki Gede Lenglengan serta derap kaki dan teriakan-teriakan yang menghentak.

Namun beberapa saat kemudian, aba-aba yang terdengar menjadi semakin lamban, sehingga akhirnya Ki Gede Lenglengan memerintahkan untuk menghentikan latihan yang berat setelah mereka mengadakan latihan-latihan di tempat terbuka sambil mengubur kedua orang pembantu Ki Gede Lenglengan. Sejenak kemudian sanggar itu menjadi hening. Tidak terdengar suara apa pun juga.

Repak Rembulung pun kemudian telah memberikan isyarat bahwa latihan-latihan itu sudah selesai. Sebentar lagi mereka akan segera keluar dari sanggar.

Ki Pananggungan, Pangeran Benawa dan Paksi pun segera bersiap. Tetapi mereka tidak berada tepat di depan pintu. Hanya Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sajalah yang berdiri menunggu pintu sanggar terbuka.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian pintu sanggar itu benar-benar terbuka. Yang lebih dahulu keluar dari sanggar adalah Ki Gede Lenglengan. Kemudian seorang pembantunya yang bertubuh pendek, namun nampak kokoh dan cekatan. Di belakangnya lagi seorang pembantunya yang lain, yang ikut memburu Ki Pananggungan, namun tidak berhasil membunuhnya.

“Apa kerjamu di situ, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” bertanya Ki Gede Lenglengan.

“Menunggu kalian selesai latihan”

“Apakah kalian sengaja mengintip kami yang sedang berlatih untuk mencuri ilmu kami? Kalian tentu telah membuat lubang-lubang rahasia pada dinding sanggar yang kalian buat itu”

“Buat apa aku mencuri ilmumu, Ki Gede Lenglengan, sementara ilmumu tidak lebih baik dari ilmuku”

“Kau memang sombong, Repak Rembulung. Tetapi biarlah kali ini aku memaafkanmu. Tetapi jangan kau ulangi lagi tingkah lakumu yang mencurigakan itu”

“Aku tidak akan mengulanginya, Ki Gede Lenglengan. Karena kau tidak akan pernah berlatih lagi di sanggar itu”

“Apa maksudmu?”

“Kenapa kau memerintahkan orang-orangmu menyusul Kakang Pananggungan dan berusaha membunuhnya?”

Wajah Ki Gede Lenglengan menjadi tegang. Namun ia pun bertanya, “Siapakah yang mengatakan kepadamu?”

“Tetapi usahamu itu tidak berhasil. Dua orangmu terbunuh. Seorang dibiarkannya hidup untuk mengurusi kawan-kawannya yang mati serta memberitahukan kepadamu, apa yang sudah terjadi”

“Persetan dengan fitnah itu” geram Ki Gede Lenglengan.

“Tetapi jika hal itu benar terjadi, kau mau apa? Kau kira kau akan dapat menuntut orang-orangku?”

“Serahkan orangmu yang berusaha membunuh Kakang Pananggungan. Meskipun tidak berhasil, tetapi niatnya untuk membunuh itu sudah merupakan satu kejahatan yang pantas untuk dihukum”

“Repak Rembulung, apakah kau sedang membuat satu perkara sebagai alasan untuk menantangku?”

“Bukan menantangmu. Tetapi aku tidak dapat membiarkan seseorang berbuat jahat terhadap keluargaku. Aku sudah bersedia bekerja sama denganmu, meskipun aku akan dapat menanggung akibat buruk, karena Harya Wisaka adalah seorang pemberontak. Aku sudah memberikan tempat kepadamu di rumah ini. Tetapi kenapa orangmu itu berniat membunuh kakak kandungku?”

“Jadi kau merasa berkeberatan jika kakak kandungmu itu dibunuh?”

“Pertanyaan yang gila. Apa jawabmu jika pertanyaan itu ditujukan kepadamu?”

“Jika kakak kandungku itu terlalu banyak mengetahui rahasiaku, maka aku tidak akan berkeberatan jika ia dibunuh”

“Itukah jawabmu?”

“Ya”

“Jika demikian, kau telah benar-benar kehilangan nafas kemanusiaanmu. Kau tidak pantas berada di rumahku. Karena itu, aku akan mengusirmu”

“Kau akan mengusirku?”

“Ya. Aku tidak akan dapat hidup bersama dengan orang yang kehilangan kemanusiaannya”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung, apakah kau berniat untuk membunuh diri? Apa yang akan kau andalkan, bahwa kau akan mengusirku dari rumahku sendiri. Kau membeli rumah ini dengan uangku, sehingga karena itu, maka sebenarnya rumah ini adalah rumahku”

“Kau boleh mengigau apa saja. Tetapi rencana pembunuhan terhadap kakakku itu tidak dapat dimaafkan”

“Jika sekali lagi kau ulangi, aku akan membunuhmu”

Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Kakakku ada di sini sekarang”

Dahi Ki Gede Lenglengan berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau tidak dapat menakut-nakuti aku”

“Aku tidak sekedar menakut-nakutimu. Ia memang berada di sini”

“Seandainya ia ada di sini, aku juga tidak takut. Kau, istrimu dan kakakmu akan segera mati. Kakakmu yang malang itu ternyata telah menyongsong kematiannya sendiri dengan kembali lagi kemari”

“Kakakku seorang yang berilmu tinggi. Sebenarnya ia bukan pembunuh. Tetapi jika ia menjadi marah, maka kematian akan dapat terjadi”

“Jangan membual. Di mana kakakmu itu sekarang?”

Repak Rembulung itu pun kemudian memanggil, “Kakang. Kakang Pananggungan”

Dari samping sanggar seseorang muncul dan langsung melangkah mendekati Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Dengan serta-merta Ki Pananggungan itu pun berkata, “Ya. Orang inilah yang telah mencegat aku dan berusaha membunuhku bersama dua orang kawannya. Sebenarnya aku tidak sengaja telah membunuh kedua orang kawannya. Tetapi mereka terlalu lemah, sehingga mereka pun mati. Seorang ini aku biarkan hidup untuk mengubur mayat kawan-kawannya serta memberitahukan kepada Ki Gede Lenglengan, bahwa aku tidak mati. Seharusnya Ki Gede Lenglengan sudah memperhitungkan kedatanganku, sehingga seharusnya ia sudah melarikan diri untuk keselamatannya”

“Setan kau, Pananggungan. Kau kira kau ini siapa sehingga aku harus melarikan diri? Nah, aku memang menunggu kau kembali. Jika orang-orangku tidak dapat membunuhmu, maka sekarang akulah yang akan membunuhmu”

“Ki Gede Lenglengan, ternyata kau adalah orang yang sangat picik, sehingga kau sama sekali tidak mengetahui perkembangan olah kanuragan di sekelilingmu. Kau masih saja merasa dirimu orang yang tidak terkalahkan. Sebenarnyalah bahwa ilmumu sekarang sudah tidak berarti lagi bagi orang-orang berilmu tinggi”

“Setan” geram Ki Gede Lenglengan, “bersiaplah untuk mati. Aku tahu bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan membantumu. Namun anak-anakku akan membantai kalian tanpa ampun”

Ketika Ki Pananggungan, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung bersiap, maka kelima anak muda yang berada di pintu sanggar itu pun segera berloncatan keluar.

“Anak-anak” berkata Pupus Rembulung, “aku dan pamanmu Repak Rembulung pernah membimbingmu dalam olah kanuragan. Karena itu, maka kami tahu, seberapa tinggi tataran kemampuanmu. Jika sekarang kalian ingin melawan kami, apakah itu tidak berarti satu kedunguan yang tidak ada taranya. Meskipun kalian berlima, tetapi kalian akan menjadi bagaikan serangga menjelang api”

“Persetan dengan kalian berdua” justru anak tumenggung itulah yang menyahut. “Kalian akan mati. Tetapi jangan takut akan nasib Kemuning. Aku akan memeliharanya dengan baik”

“Kau masih terlalu kanak-kanak untuk memahami apa yang terjadi sebenarnya” jawab Pupus Rembulung. “Nanti kau akan menyadari, apakah sebenarnya yang telah terjadi”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung” Ki Gede Lenglenganlah yang menyahut, “kalian tidak usah menyesali apa yang telah terjadi. Agaknya saatnya memang telah tiba. Sejak semula aku sudah merencanakan untuk membunuh kalian berdua, agar rahasia keberadaan kami di sini tidak diketahui oleh orang lain. Karena itu, maka kalian tidak akan dapat berharap untuk lepas dari tanganku sekarang ini. Anak-anak ini, meskipun pernah menjadi muridmu, jangan kau rendahkan tataran kemampuan mereka. Sejak aku datang, maka kemampuan mereka telah menjadi semakin pesat majunya, sehingga kalian berdua akan terkejut karenanya”

Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Kau masih juga membuat lelucon, Ki Gede Lenglengan. Aku tahu bahwa ilmu dan kemampuan itu tidak dapat dihembuskan lewat ubun-ubun. Seberapa lama kau berada di sini, sehingga kau menganggap bahwa ilmu anak-anak itu dapat membuat aku terkejut? Ki Gede Lenglengan, kami berdua adalah petualang yang sudah menjelajahi sudut-sudut gelap dari kehidupan ini. Pengalamanku dan pengalamanmu tidak akan terpaut banyak. Karena itu, kau tidak usah membual”

“Guru” berkata anak muda yang disebut anak tumenggung itu, “beri aku kesempatan. Aku akan menunjukkan kemampuanku. Aku akan membunuh salah seorang dari mereka”

“Kau benar-benar tidak berjantung, anak muda. Kau akan membunuh kami, sementara itu, kau ingin mendapatkan anak kami”

“Ya. Aku memang ingin mendapatkan Kemuning. Kemuning  pun sudah menyatakan kesediaannya untuk mengabdi kepadaku”

“Mengabdi?” bertanya Pupus Rembulung.

“Ya. Ia akan melakukan apa saja yang aku kehendaki. Bukankah itu merupakan pengabdian. Jika kalian berdua mati, memang harus ada tempat bergantung bagi Kemuning”

“Sudahlah” berkata Pupus Rembulung, “jangan mengigau seperti itu, anak muda. Nanti semuanya akan menjadi jelas”

“Nanti?” bertanya anak muda itu.

“Ya. Nanti”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Gede Lenglengan pun berkata, “Kau telah mempercepat hari-hari kematianmu sendiri, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Nah, sekarang kalian sudah terlambat untuk mengelak dari kematian. Bersama kakak kandungmu, kau akan dikubur di belakang rumahmu ini”

Ki Gede Lenglengan, kedua orang pembantunya, seorang di antara mereka adalah orang yang tubuhnya terhitung pendek, serta kelima orang anak muda yang telah ditempa di rumah itu pun mulai bergerak.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dari pintu butulan, Kemuning berlari-lari sambil berteriak, “Apa yang telah terjadi?”

Di belakangnya, Nyi Permati menyusulnya sambil memanggil-manggil, “Kemuning, kemarilah”

Tetapi Kemuning itu sudah berdiri di sebelah ibunya sambil mengulangi pertanyaannya, “Apa yang terjadi, Ibu?”

Pupus Rembulung menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin Kemuning terlibat dalam persoalan yang rumit dan gawat itu. Tetapi Kemuning telah berdiri di dekatnya.

Karena itu, maka Pupus Rembulung itu pun menjawab, “Kemuning, Ki Gede Lenglengan ingin membunuh aku dan ayahmu”

“Membunuh?”

“Ya”

“Kenapa, Ibu?”

“Bertanyalah kepada Ki Gede Lenglengan”

Kemuning memandang Ki Gede Lenglengan, pembantu-pembantunya, serta anak-anak muda yang diasuhnya itu. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Ki Gede, apakah Ki Gede benar-benar akan membunuh ayah dan ibu?”

“Ya” jawab Ki Gede Lenglengan pendek.

“Kenapa?”

“Ayah dan ibumu telah berkhianat. Mereka berniat menjebak kami dan menyerahkan kami kepada para prajurit Pajang”

“Benar begitu, Ibu?”

“Kau percaya kepada Ki Gede Lenglengan?”

“Jika tidak, kenapa Ki Gede akan membunuh ayah dan ibu?”

“Aku tidak tahu, Kemuning. Mungkin Ki Gede Lenglengan, yang sudah bersedia membantu Harya Wisaka yang telah memberontak itu menjadi semakin ketakutan karena kesalahan yang dilakukan. Karena itu maka ia telah mencurigai semua orang. Kemarin, Ki Gede Lenglengan telah memerintahkan tiga orang pengikutnya untuk menyusul dan membunuh uwakmu, Ki Pananggungan. Tetapi uwakmu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga dua di antara orang yang akan membunuhnya justru terbunuh. Yang seorang, karena kemurahan hati uwakmu Ki Pananggungan, dibiarkan hidup. Nah, orang itulah yang telah dibiarkan hidup oleh uwakmu. Namun sekarang, ia telah siap untuk mencoba membunuh aku dan ayahmu serta uwakmu”

“Apakah benar begitu?”

Yang menjawab adalah anak muda yang disebut putera seorang tumenggung itu, “Kemuning, kemarilah. Jangan pikirkan apa yang akan terjadi. Kita mempunyai dunia kita sendiri”

“Maksud Kakang?”

“Dunia kita tidak tergantung kepada Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung, sehingga jika mereka terbunuh dalam pertempuran, masa depan kita tidak akan terganggu”

“Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?”

“Biarkan saja apa yang akan terjadi atas kedua orang tuamu yang telah mengkhianati sahabatnya itu, Kemuning. Kau dan aku akan tetap beranjak ke masa depan dengan penuh pengharapan”

“Tetapi…”

“Kau tidak boleh cengeng. Ada yang lebih berharga dari dua orang tua yang tidak dapat mengerti arus kehidupan”

Tiba-tiba saja Kemuning terdiam. Dipandanginya ayah dan ibunya. Kemudian orang yang dikenalnya sebagai bibi Permati itu.

Sambil tersenyum Nyi Pupus Rembulung berkata, “Nah, Kemuning, kau dapat memilih, siapakah yang pantas hidup. Ayah, ibu dan uwakmu Ki Pananggungan, atau Ki Gede Lenglengan dan orang-orangnya?”

Wajah Kemuning menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Kenapa? Kenapa perselisihan ini terjadi? Kenapa Ayah dan Ibu berkhianat sehingga akhirnya Ayah dan Ibu terancam kematian”

“Kami tidak berkhianat, Kemuning. Ki Gede Lenglengan lah yang telah bermimpi. Tetapi sudah tentu bahwa aku dan ibumu tidak akan begitu saja menyerahkan lehernya”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak minta maaf saja, agar kesalahan Ayah dan Ibu diampuni?”

“Jadi kau tetap percaya bahwa kami bersalah?”

Kemuning termangu-mangu.

“Kemuning” panggil anak muda yang disebut sebagai putera seorang Tumenggung itu, “kemarilah. Aku akan melindungimu sampai selama-lamanya”

Kemuning termangu-mangu. Anak muda itu sangat menarik hatinya. Sikapnya yang terbuka, gembira dan penuh gairah hidup menentang masa depan.

Ketika ia memandang mata anak muda itu, rasa-rasanya sebuah tarikan yang kuat telah menghisapnya, sehingga di luar sadarnya Kemuning itu mulai bergeser.

“Kau tetap berdiri di tempatmu, Kemuning. Kau boleh datang kepadanya, setelah kau langkahi mayat ayah dan ibumu” berkata Ki Repak Rembulung yang mulai marah.

Kemuning tertegun. Ia berdiri seperti orang yang kebingungan sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Kemuning” panggil anak muda itu.

Tetapi Kemuning menjadi bagaikan membeku di tempatnya.

Dalam pada itu, Ki Gede Lenglengan pun berkata, “Gadis itu jangan menjadi hambatan. Bersiaplah. Kita bunuh Repak Rembulung, Pupus Rembulung dan Pananggungan”

“Baik, Guru” sahut anak-anak muda itu hampir berbareng. Namun anak tumenggung itu pun berkata, “Beri aku kesempatan menyingkirkan Kemuning”

“Ambil gadis itu sepeninggal Repak Rembulung, Pupus Rembulung dan Pananggungan”

Namun tiba-tiba saja terdengar suara, “Ia tidak akan dibawa ke mana-mana”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dua orang anak muda muncul dari samping sanggar pula.

Jantung Kemuning rasa-rasanya bagaikan disengat petir. Anak-anak muda ini adalah Wijang dan Paksi. Tiba-tiba tubuh Kemuning bergetar. Gadis itu merasa tidak sanggup bertemu lagi dengan anak muda yang telah membebaskannya dari tangan Bahu Langlang itu.

Kemuning yang gemetar itu merasa didekap seseorang dari belakang. Ternyata adalah bibinya. Nyi Permati. “Mereka memang berada di sini, Kemuning. Kau tidak usah terkejut”

Jantung Kemuning berdentang semakin keras. Ia semakin tidak tahu, apa yang harus dikerjakan.

“Ki Gede Lenglengan” berkata Pangeran Benawa, “kau harus mengakhiri petualanganmu. Paman Harya Wisaka sudah tertangkap. Seharusnya kau menyerah agar persoalan yang timbul karena pemberontakan Paman Harya Wisaka dapat diselesaikan dengan tuntas”

“Kau siapa?” geram Ki Gede Lenglengan.

“Aku mengemban tugas yang dibebankan oleh Ayahanda Kangjeng Sultan di Pajang”

“Kau anak Hadiwijaya?”

“Ya. Aku adalah Pangeran Benawa. Karena itu, menyerahlah”

“Setan kau, Benawa. Agaknya kau bagaikan seekor kutuk yang mendatangi sunduk. Dendamku kepada Karebet agaknya akan dapat terpuaskan hari ini. Meskipun aku tidak dapat membunuh Karebet, tetapi aku akan dapat membunuh anaknya”

“Ayahanda pada waktu mudanya hampir membunuhmu. Tetapi kau masih mendapat belas kasihannya, sehingga kau tetap hidup. Tetapi aku bukan Ayahanda Sultan Hadiwijaya. Jika kau melawan, maka aku akan membunuhmu”

Ki Gede Lenglengan justru tertawa. Katanya, “Jika benar kau anak Hadiwijaya, maka kau pun sombong seperti ayahmu. Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan aku. Jika ayahmu mengatakan bahwa ia berbelas kasihan kepadaku, itu hanyalah omong kosong. Ayahmu memang seorang pembual yang besar”

“Kau tidak mempunyai pilihan”

Wajah Ki Gede Lenglengan menjadi merah padam. Sementara itu, anak muda yang disebut anak tumenggung itu pun terkejut bukan buatan ketika ia melihat Paksi berdiri di belakang orang yang menyebut dirinya Pangeran Benawa itu.

“Kakang Paksi” anak muda itu berdesis.

“Ya, Lajer Laksita. Aku adalah Paksi. Aku datang untuk menjemputmu”

Lajer Laksita itu termangu-mangu sejenak. Namun wajahnya menjadi pucat. Keringatnya segera membasahi keningnya.

“Siapa anak itu?” bertanya Ki Gede Lenglengan.

“Aku adalah kakaknya. Namaku Paksi”

Namun adiknya itu pun segera berteriak, “Bukan. Ia bukan kakakku”

“Lajer Laksita. Aku membawa pesan Ibu, agar kau segera kembali pulang. Ibu dan adikmu perempuan itu sangat rindu kepadamu”

“Kau bukan kakakku. Kau bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Setidak-tidaknya kita mempunyai ibu yang sama”

“Kau tidak pantas mengaku sebagai kakakku. Kau adalah anak haram yang dikandung oleh ibu tanpa seorang suami yang sah”

“Katakan apa yang ingin kau katakan, Lajer Laksita. Tetapi dengarlah. Ibu dan adik perempuan kita itu merasa sangat rindu kepadamu”

“Jangan katakan lagi. Telingaku sakit mendengarnya”

“Kau tidak ingat lagi kepada Ibu dan adik perempuanmu itu?”

“Cukup. Tutup mulutmu, anak haram. Jika kau masih berbicara lagi, aku akan menyumbat mulutmu”

“Lajer Laksita” berkata Paksi yang masih mencoba menahan diri, “kau sekarang sudah berubah sama sekali. Aku tidak melihat kau sebagai Lajer Laksita yang dahulu. Mungkin namamu masih sama. Tetapi sikap dan tingkah lakumu sudah berubah sama sekali. Nampaknya kau telah menjadi budak yang baik bagi Harya Wisaka”

Kemarahan Lajer Laksita tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia pun berteriak, “Guru, beri aku kesempatan untuk membunuh orang yang sangat menyakitkan hati ini. Ia telah mengotori keluargaku karena ia adalah anak yang tidak berayah”

“Itu bukan kesalahan Paksi, Lajer Laksita. Ia tidak minta dilahirkan dalam keadaannya itu” berkata Pangeran Benawa.

“Kau tidak usah ikut campur. Ini persoalanku dengan anak haram itu”

“Baik” jawab Paksi, “ini persoalanku dengan kau yang telah menjadi budak Harya Wisaka”

Keadaan menjadi bertambah tegang ketika kelima anak muda yang diasuh oleh Ki Gede Lenglengan untuk menjadi angkatan mendatang itu mulai menebar.

Namun adik laki-laki Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berkata, “Jangan ganggu aku. Aku akan bermain-main dengan laki-laki yang mengaku kakakku itu. Yang menumpang hidup pada ayahku. Yang mendapat makan, minum, pakaian dan tempat tinggal yang baik, namun ternyata kemudian tidak tahu diri. Ia berusaha mencelakakan ayahku yang telah banyak memberinya apa saja yang diperlukannya. Orang seperti laki-laki yang tidak tahu diri itu, tidak pantas untuk tetap hidup”

“Aku tidak akan membantah, Lajer Laksita. Apa yang kau katakan itu semuanya benar. Aku telah mendapat makan, minum, pakaian dan tempat tinggal yang lebih dari layak. Aku berterima kasih. Untuk menyatakan terima kasihku itu, maka aku seakan-akan telah menjelajahi desa menghitung pintu untuk menemukanmu. Aku sadar, bahwa kau akan bersikap seperti ini. Tetapi aku sudah bertekad untuk membawa pulang. Membawamu kepada ibu dan adik perempuanmu. Apa pun sikapmu”

“Setan kau. Kau mencoba untuk mengungkit perasaanku agar aku bersikap lebih lunak kepadamu. Tidak, Ki Sanak. Aku akan membunuhmu. Ayah juga sudah berpesan kepadaku, agar aku membunuhmu. Dahulu aku kagum akan ilmumu. Tetapi sekarang, setelah aku menyadap ilmu dari guruku, Ki Gede Lenglengan, maka ilmumu itu tidak akan berarti apa-apa bagiku”

“Baik, Lajer Laksita. Jika kau berkeras untuk membuat perbandingan ilmu, aku tidak berkeberatan”

“Bagus. Bersiaplah”

“Jika kau benar akan bertempur seorang melawan seorang, marilah. Kita mengambil tempat terpisah dari mereka yang akan bertempur dalam kelompok. Bukankah gurumu, pembantu-pembantunya dan saudara-saudara seperguruanmu akan bertempur bersama-sama melawan Ki Pananggungan serta Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung di samping Pangeran Benawa?”

“Sombongnya kamu, anak haram. Baik. Kita akan memisahkan diri. Tetapi kau jangan menganggap guruku dan saudara-saudaraku licik karena mereka bertempur di dalam kelompok. Jika itu terjadi, hanyalah karena nasib mereka yang harus berhadapan dengan guru itulah yang buruk, sedangkan mereka pun sudah sepantasnya mati karena mereka terlalu banyak tahu”

Paksi tidak menjawab lagi. Tetapi ia memberi isyarat kepada Pangeran Benawa, Ki Pananggungan, Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung, bahwa ia ingin bertempur di arena yang terpisah.

Pangeran Benawa mengangguk sambil berkata, “Terserah kepadamu, Paksi. Tetapi satu hal yang harus kau lakukan, menangkap anak itu hidup atau mati. Ia adalah anak Tumenggung Sarpa Biwada yang jelas telah berpihak kepada Paman Harya Wisaka yang memberontak. Anak itu sendiri menunjukkan sikap perlawanannya, meskipun ia tahu, aku, Pangeran Benawa berada di sini”

“Diam kau” Lajer Laksita itu membentak.

Sementara itu Pangeran Benawa pun berkata, “Kau dengar, ia telah membentak aku, Pangeran Benawa, Putera Mahkota di Pajang?”

Jantung Lajer Laksita berdenyut semakin cepat. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Diam kau, Benawa. Kau kira sebutan dan kedudukanmu itu dapat menggoyahkan tekadku?”

“Aku tahu, bahwa tekadmu tidak akan goyah, karena perasaanmu sudah mati. Selama kau berada di bawah asuhan Ki Gede Lenglengan, maka perasaan dan nalarmu telah dibunuh. Dan kau dengan bangga menyatakan kepada bumi Pajang, bahwa nalar budimu sudah mati”

“Cukup. Cukup. Aku juga akan membunuhmu nanti, setelah aku membunuh anak haram ini”

Tetapi Pangeran Benawa itu tertawa. Katanya, “Lihat, betapa bodohnya kau, anak Sarpa Biwada. Dunia pun tidak lebih dari luasnya padepokanmu di belakang sekat yang terpisah dari kehidupan itu. Kemudian ketika kau mulai melihat dunia yang sebenarnya di rumah Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung, gurumu yang gila itu telah datang menyusulmu untuk menjeratmu kembali dalam duniamu yang sempit”

Lajer Laksita tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia bergerak ke arah Pangeran Benawa. Namun Paksi pun berkata, “Aku yang akan melawanmu, bukan Pangeran Benawa. Karena kau tidak akan sempat berbuat apa-apa di hadapannya. Bahkan menyebut nama ayah dan ibu  pun kau tidak akan dapat mengucapkannya”

“Gila, gila” Lajer Laksita itu pun berteriak-teriak untuk melepaskan tekanan di dadanya.

Namun dalam pada itu, Ki Gede Lenglengan pun berkata, “Jangan cemas. Aku akan menangkap pangeran yang gila ini. Rasa-rasanya memang sudah waktunya untuk memberikan mainan yang terbaik bagimu dan saudara-saudaramu”

Paksi ternyata sudah melangkah memisahkan diri sambil berkata, “Di sini, kita leluasa untuk bermain gamparan”

Lajer Laksita sudah tidak sabar lagi. Anak muda itu pun segera meloncat menyerang Paksi. Yang terdengar adalah jerit Kemuning. Di luar sadarnya gadis itu melangkah mendekati Paksi dan Lajer Laksita yang mulai bertempur.

“Jangan. Jangan”

Kedua orang anak muda itu berloncatan surut. Sementara itu, Lajer Laksita pun berkata, “Jangan cemas, Kemuning. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku. Aku akan membunuhnya dalam waktu yang singkat”

“Jangan” suara Kemuning menjadi parau.

“Kenapa?”

Kemuning tidak menjawab. Tetapi matanya menjadi basah. Bagi Kemuning kedua orang anak muda itu mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hatinya.

Namun ketika keduanya yang ternyata kakak beradik itu hadir bersama-sama, maka baru terasa pada Kemuning, betapa wibawa Paksi terasa sangat mencengkamnya, sehingga untuk menyebut namanya saja Kemuning merasa tidak mampu mengucapkannya.

“Jangan cemas, Kemuning. Aku tidak akan apa-apa. Aku akan menyelesaikan anak haram ini segera”

Namun Paksi pun menyahut, “Jika ia berhasil, maka ia pun akan segera membantu kawan-kawanmu membunuh ayah dan ibumu, Kemuning. Jika itu juga berhasil, maka kau akan dibawanya untuk menjadi budaknya”

“Diam kau, anak yang tidak tahu diri. Betapa kebaikan ayahku kau balas dengan kecurangan dan pengkhianatan sehingga ayahku tertangkap karenanya”

“Tidak hanya ayahmu, sekarang kau dan Lenglengan akan ditangkap hidup atau mati”

Lajer Laksita tidak menunggu lagi. Dengan cepat ia pun meloncat menyerang Paksi. Ia tidak lagi bertempur dengan tangan telanjang, karena Paksi menggenggam tongkatnya.

Ketika sebilah pedang ditarik dari sarungnya, maka pantulan cahaya matahari nampak berkilat-kilat menyilaukan mata. Keduanya pun segera terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Dendam dan kebencian Lajer Laksita telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka pedangnya pun segera menggelepar, menyerang dari segala arah. Sekali-sekali pedang di tangan Lajer Laksita itu terayun mendatar. Kemudian menebas ke arah dada. Bahkan terjulur lurus menikam ke arah jantung.

Namun Paksi masih tetap mampu mengelakkannya.

“Kemajuannya memang luar biasa” berkata Paksi di dalam hatinya. “Tetapi kekasaran yang liar nampak pada ilmunya. Mungkin bersumber dari Ki Repak Rembulung atau Nyi Pupus Rembulung, tetapi mungkin bersumber dari Lenglengan itu sendiri”

Dengan demikian, maka pertempuran di antara kedua orang kakak beradik itu pun menjadi semakin sengit. Pedang di tangan Lajer Laksita terayun-ayun mengerikan, sementara itu tongkat Paksi pun berputar seperti baling-baling.

Sementara itu, Pangeran Benawa, Ki Pananggungan, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah bersiap pula untuk menghadapi Ki Gede Lenglengan, dua orang pembantunya dan empat orang anak muda yang diasuh oleh Ki Gede Lenglengan itu.

“Kalian tidak akan sempat menolong dan menyelamatkan anak haram itu dari tangan muridku. Sekarang bersiaplah untuk menerima nasib atas kalian sendiri. Aku akan membunuh Repak Rembulung. Dua orang kawanku akan membunuh Pupus Rembulung. Yang lain akan menghadapi Pangeran Benawa dan Pananggungan yang kemarin luput dari kematian karena kelicikannya itu”

“Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku, Lenglengan? Kau tidak akan dapat memilih lawan, karena aku sendiri, atas nama Ayahanda Kangjeng Sultan Hadiwijaya, akan menangkapmu hidup atau mati”

Ki Gede Lenglengan itu menggeram. Katanya, “Pangeran Benawa, jadi kau datang kemari untuk membunuh diri? Apakah hakmu sebagai putera mahkota dicabut sehingga kau merasa lebih baik mati, sehingga kau datang kepadaku untuk minta agar aku membantumu mengantar kau ke jalan kematian?”

“Kau tidak usah berceloteh lagi, Lenglengan. Menyerah, atau kau akan mengalami nasib sangat buruk”

“Persetan kau, Benawa. Jika benar kau ingin menjajagi ilmuku, marilah. Bersiaplah”

Pangeran Benawa pun kemudian telah bersiap untuk menghadapi Ki Gede Lenglengan, sementara yang lain pun segera mempersiapkan diri pula.
“Pangeran Benawa” berkata Ki Gede Lenglengan, “setiap orang dapat saja menyebut dirinya Pangeran Benawa. Tetapi sebelum kau mati, aku ingin meyakinkan apakah kau benar Pangeran Benawa”

Pangeran Benawa itu tidak menjawab. Tetapi Pangeran Benawa itu pun segera mengeluarkan cincin kerajaan yang pernah diperbincangkan oleh banyak orang, terutama mereka dari dunia yang gelap.

—- > Bersambung ke bagian 2

30 Tanggapan

  1. waduh, endingnya kok tidak sesuai harapanku ya? tetapai apapun, aku mengucapkan teirmakasih telah ikutserta membaca kisah yg sangat menyentuh : kebesaran jiwa, kelapangan dada, persahabatan, kejujuran dan keikhlasan serta kasih sayang, sangat diajarkan di cerita ini.
    terimakasih untuk yg sudah berkenan membagikan kisah ini, meski harus menunggu setiap episode selama 2-3 hari.
    maturnuwun

    • sama-sama ki sanak
      begitulah jika administratornya kerja amatiran,
      wedaran rontal disesuaikan dengan waktu yang tersedia untuk editing dan upload rontal.
      tetapi, alhamdulillah, paling tidak wedaran masih dapat ajeg meskipun 3 hari sekali (bukan 2-3 hari, he he he….)

      jika masih berkenan,
      monggo ditunggu wedaran Suramnya Bayang-Bayang
      sementara istirahat dulu barang seminggu untuk mempersiapkan wedaran rontal tersebut.

      nuwun

  2. Well this is the ending story ,,,,sangat trenyuh tapi seolah olah masih ada yang ganjel walaupun belum dikatakan happy ending karena ceritanya masing gantung,,,,mau dibawa kemana cerita ini kisanak? atau biarlah para pembaca setia SHM mereka reka sendiri lanjutannya?.Itulah kehebatan Sang maestro kita SHM walau sudah almarhum karyanya masih banyak dikenang,sukses bagi penerus yang melanjutkan karya karya sejenis,matur nuwun kisanak,

  3. aku suka baca karya2nya shm trims yg dah bagi2

    sbnrny krya shm itu murni fiktif apa semi sejarah yg ada dlm msa lampau sh? kl draba2 kok kykny mgkn jaman dulu bneran ada kisahnya

    trus crita ken arok ken dedes itu secara detil kyk dbuku plajaran sejarah jadi kisah serial itu asli adanya ya apa fiktif namun dikasih campuran sjrh?

  4. akhirnya selesai juga membacanya, walaupun ending ceritanya ngambang, namun kita dapat menyimpulkan bahwa alur cerita yang dibuat SHM telah dapat menghipnotis kita untuk terus serius mengikuti setiap alur yang terjadi, dan yang hebatnya waktunya hampir bersamaan dengan cerita ADBM dimana di saat yang sama Raden Sutawijaya telah membabad alas mentaok bersama dengan agung sedayu, dan yang tak kalah menariknya setting tempatnya sama-sama dikisaran Gunung Merapi dimana pada saat yang sama sempat disinggung daerah Jatinom seolah-olah penulis memang telah hafal dan ikut ada dalam ceritanya, acung jempol buat SHM…

  5. yaitu yang bahasa menterengnya social case. Mungking mau dilanjutkan dengan sequelnya. mbok dhing….

  6. nyebelin.. sedih, klo kemuning nya kaya gitu, paksi ama aku aja d.. wkwkwk

  7. hehehe…. emosi pembaca terusik, itulah bukti kepiawaian penulis. umumnya pembaca mengharap endingnya bahwa Kemuning menikah dengan Paksi, tapi dari penuturan penulis sepertinya Lajerlah yang menikah dengan Kemuning. Dari sini memang kita bisa melihat keberpihakan penulis kepada Lajer. Tapi bukan tanpa alasan, penulis khawatir akan terjadi kegoncangan kejiwaan yang akan dialami oleh Lajer bila tidak jadi menikah dengan Kemuning. Biarlah Paksi Pamekas yang sudah matang menjadi banten, demi negara. Hahahahaha…..
    Bila pembaca gak percaya, boleh tanya pada Nyi Permati ataupun Pupus & Rempak Rembulung, siapa yang akan dipilih untuk jadi menantunya? Pasti Paksi.
    Tapi sayang kebanyakan pembaca kecele 😦

  8. Walau udah diulang berkali_kali, rasanya gak pernah bosen baca karya2 alm sh mintarja. Karya2 beliau is the best pokoknya. Salut!!!!!!

  9. jangan berkecil hati..ingatlah masih ada perempuan cantik yg jualan nasi megono yg dijuluki suka berpura-pura, pandai berbohong dan lamis itu..itulah jodoh paksi yg sebenarnya..

    • Penjual nasi megana meski cantik bukannya sdh stw ya? Paksi dan Wijang memanggilnya mbokayu. Menurutku Paksi akan bersanding dg salah satu putri sultan Hadiwijaya dr adik pangeran Benawa tp lahir dr seorg selir😁


  10. https://polldaddy.com/js/rating/rating.jsCinta paksi nggak kesampaian..seperti agung sedayu dan pandanwangi

    • Beda dong. Kan sblm ketemu PW, AS sdh komit sama SM utk menjalin kasih dlm biduk rumah tangga. PW lah yg kecewa berat dua kali, cintanya bertepuk sblh tangan dg AS dan stlh menikahi SWD, SWD mengkhianatinya😁

      • Paksi akhirnya menikah dengan Putri Tumenggung Yudapati, Rara Mintarsih, dan paksi diangkat menjadi Lurah Prajurit Pajang, yg akhirnya berhadapan dengan Lurah prajurit Mataram dijati anom yaitu Sabungsari. saat Pajang vs mataram dikali opak.

  11. wouwww endin

  12. Aku bisa merasakan apa yg sdg bergelayut di hati Paksi Pamekas, hiks…hiks😊

  13. Lima jilid pertama cenderung membosankan, selebihnya sangat menarik. Bisa untuk mengisi waktu saat harus stay at home karena Pandemi Covid-19.
    Nggak ada bedanya keasyikan membaca bukunya langsung saat masih bujangan dulu dengan membaca di wordpress.com sekarang ini. Terima kasih sharingnya …

  14. Sad end… Sedih… Ikut bergayut sama sepinya Paksi… Hiks..

  15. Aku terlalu cepat membacanya apa ya? Sehingga tidak tahu siapa sebenarnya ayah Paksi?

  16. Karya Bp. SH Mintaredja memang bagus2. Saya paling suka Api di bukit Menoreh dan Nogososro & Sabuk Inten.

    Endingnya JDBK menggantung yaa…menurut saya Kemuning ga cocok sama Paksi…ga level.

    @ Titi Agustini — bapaknya Paksi adalah Ki Waskita

    • Apa novel nya yang orisinil akan menjadi perburuan para kolektor ya ?

  17. Saat ki waskita muda yg masih jd prajurit lalu terluka parah,,dia d tolong oleh seor as ng petani,, tp d samping petani itu ada seorang lagi yg menolong ki Waskita yg menguasai ilmu obat2an dan ilmu kanuragan yg sangat tinggi,, apakah dia kyai gringsing waktu muda yaa,,sebagaimana di sebutkan secara samar2 kehadiran untara dan agung sedayu mengingat waktu cerita JDBK ini bersamaan dengan cerita di masa tokoh2 ADBM,,

  18. Bagus ceritanya,ini yang ketiga setelah nssi& adbm aku baca

  19. saya sudah baca berpuluh-puluh kali … gak bosen

  20. Luar biasa …. Sulit dilukiskan …. The best

    • Kalau susah dilukiskan ya gak usah dilukis to Jeng, sebaiknya dibaca saja.

  21. Salah satu karya sang maestro mbah mintardjo, yg memang awet ngangeni untuk dibaca ulang ketika sudah mulai uzur nih, Beberapa mutiara tersembunyi yg bikin penasaran dari karyanya. misal teknik pengolahan daya energy di psycobus kesadaran diri , juga beberapa rahasia material kunci simbol pengendalian wibawa kekuasaan dari sudut pandang kesatuan makro micro kosmos yang dalam terminologi budaya jawi disebut sarang kewahyuan berupa cincin tiga batu akik bagi kalangan di daerah pajang ataupun mungkin keris khusus kalau di jogja. Sungguh butuh keluasan kearifan tafsir untuk memahami hakekatnya, dan ini yg selalu bikin penasaran untuk baca ulang dan ulang, Menginspirasi

Tinggalkan komentar