JDBK-38


<<kembali | lanjut >>

DI PERJALANAN kembali ke gubuk mereka, Wijang dan Paksi tidak menemui hambatan apapun. Tetapi agaknya mereka tidak akan tidur semalam suntuk, karena ketika mereka sampai di gubuk mereka, langit telah nampak menjadi semburat merah.

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing” berkata Wijang. Lalu ia pun bertanya, “Apakah kau masih akan tidur meskipun sebentar?”

Paksi menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukankah sudah saatnya kita bangun sekarang seandainya kita tidur semalam?”

Wijang mengangguk-angguk.

“Namun lebih baik kita pergi ke sungai”

Mereka pun kemudian membersihkan diri di sebuah belik kecil dengan mata air yang bening, yang terdapat di pinggir sungai. Ketika kemudian matahari terbit, maka Wijang dan Paksi sempat duduk di dalam gubuknya. Sebelum cahaya matahari menembus cahaya fajar, Paksi masih sempat memanasi minuman. Namun demikian langit menjadi cerah, Paksi pun telah memadamkan apinya agar asapnya tidak menarik perhatian.

Sambil menghirup minuman hangat, Wijang dan Paksi masih berbincang tentang keberadaan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.

“Kita nanti akan menemui Lebak di pasar” desis Paksi.

“Ya. Kita kemarin juga berjanji untuk datang pagi-pagi”

“Berjanji?”

“Ya. Kepada Kinong”

Paksi tersenyum. Katanya, “Jika demikian, apakah kita akan berangkat sekarang?”

“Ya. Kita tentu sudah terlambat menurut perhitungan waktu Kinong”

Keduanya pun kemudian telah berkemas serta membenahi pakaian mereka. Sesaat kemudian, mereka pun sudah menuruni kaki Gunung Merapi untuk pergi ke pasar. Ternyata pasar itu sudah menjadi semakin ramai. Mereka yang berjualan di pasar itu sudah menjadi semakin banyak. Demikian pula para pembelinya.

Demikian mereka berdiri di depan pintu gerbang pasar, mereka melihat Kinong membawa bakul di atas kepalanya. Agaknya Kinong tergesa-gesa. Namun ternyata Kinong sempat melihat mereka pula. Seperti yang dikatakan Wijang, maka Kinong itu berkata, “Kalian datang terlalu siang”

Wijang dan Paksi tersenyum. Tetapi mereka tidak sempat menjawab, karena Kinong tidak berhenti. Dengan berlari-lari kecil Kinong membawa bakul itu ke sebuah pedati yang berhenti di ujung deretan kedai yang juga sudah semakin banyak yang membuka pintunya. Sudah ada empat buah kedai yang sudah menjajakan dagangannya. Nasi hangat, sayur dengan berbagai lauknya serta bermacam-macam makanan.

Namun nampaknya tidak hanya sebakul saja barang yang dibawa Kinong ke pedati yang berhenti di ujung deretan kedai itu. Ternyata anak itu masih berlari-lari kecil masuk kembali ke pasar.

Wijang dan Paksi yang tidak terburu-buru itu menunggu sampai Kinong selesai. Mereka justru ingin tahu, apa yang dibawa Kinong dan dimuat di pedati itu.

Setelah berlari-lari kecil hilir-mudik, maka Kinong pun telah selesai. Sambil tersenyum-senyum ia melangkah mendekati Wijang dan Paksi yang masih berada di luar pagar.

“Kau sibuk hari ini, Konong?” bertanya Paksi.

Kinong yang masih tersenyum-senyum itu pun berkata, “Ya. Rejeki”

“Apa saja yang kau bawa ke pedati itu?”

“Bahan makan. Ada beras, ada jagung, dan kebutuhan dapur. Garam, gula kelapa, terasi, ikan yang sudah diasinkan dan beberapa kebutuhan yang lain”

“Apakah ada orang yang akan mengadakan perhelatan atau upacara?”

Kinong menggeleng sambil menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu”

“Siapa yang berbelanja itu?”

Kinong termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kau lihat dua orang perempuan yang menuju ke pedati itu? Nah, merekalah yang berbelanja”

“Kau pernah lihat mereka sebelumnya?”

Kinong mengerutkan dahinya. “Mungkin. Mungkin aku pernah melihatnya, tetapi kapan, aku lupa”

“Di pasar ini? Sudah lama?” desak Paksi.

“Agaknya belum terlalu lama. Juga di pasar ini. Entah kapan”

Paksi tersenyum. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan kau mendapat banyak rejeki seperti hari ini”

Tiba-tiba saja Kinong itu bertanya, “Kakang sudah makan pagi?”

“Sudah. Kenapa?”

“Kalau Kakang berdua belum makan pagi, marilah, kita makan pagi. Nasi tumpang atau ketan ragi atau ketela rebus legen? Nah, apa saja. Aku yang bayar”

Wijang dan Paksi tertawa serentak, sehingga beberapa orang di sekitarnya berpaling.

“Terima kasih, Kinong” jawab Wijang. “Sayang, kami sudah makan pagi meskipun hanya nasi wadang. Nasi yang semalam tersisa. Tetapi kami sudah kenyang. Nah, kau dapat menabung uangmu itu. Bukankah kau masih senang menabung?”

Kinong itu mengangguk.

“Nah, lihat, pedati itu sudah mulai bergerak”

Kinong  pun memandang pedati yang memang sudah mulai bergerak itu. Ia pun berdesis, “Jarang orang memberikan upah sebanyak kedua orang perempuan itu”

“Tetapi barang yang kau bawa cukup banyak, Kinong. Nah, sebaiknya sekarang kau beristirahat di depan penjual nasi tumpang itu. Minum dawet cendol, makan nasi tumpang, lempeng gendar dan besengek tempe”

Kinong tersenyum. Namun ia masih berkata, “Marilah. Makan apa saja. Aku ingin makan bersama Kakang berdua”

Paksi menepuk bahu Kinong sambil berkata, “Makanlah. Aku ingin melihat pande besi itu. Nampaknya pande besi itu sudah mulai bekerja lagi”

“Ya. Sudah sejak pagi-pagi tadi. Tanpa pande besi itu, rasa-rasanya pasar ini memang sepi” jawab Kinong. Namun ia pun kemudian bertanya, “Tetapi apa yang Kakang cari pada pande besi itu?”

“Kami ingin membeli kapak kecil untuk membelah kayu bakar. Atau parang atau sebangsanya”

“Nanti aku cari Kakang di tempat pande besi itu”

“Baik. Sekarang pergilah ke penjual nasi itu”

Tetapi sebelum Kinong pergi ke penjual nasi, terdengar seseorang memanggilnya. Kinong berpaling. Seorang perempuan memberi isyarat kepadanya untuk mendekat.

“Sebentar ya, Kang” berkata Kinong sambil berlari membawa keranjangnya. Perempuan yang memanggil Kinong itu adalah seorang penjual sayuran. Seorang perempuan yang sedang berbelanja cukup banyak memerlukan bantuan Kinong untuk membawanya.

“Kau bersedia membawa sayuran itu sampai ke rumah?” bertanya perempuan itu.

“Di mana Bibi tinggal?” bertanya Kinong.

“Tidak jauh. Padukuhan di seberang bulak sebelah”

“Banyuurip?”

“Bukan. Masih menyusur parit di sebelah gumuk”

“Padukuhan mana?”

“Tegalsari”

Kinong termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baik, Bi. Aku akan mengantar Bibi ke Tegalsari”

Wijang dan Paksi saling berpandangan. Kinong adalah seorang anak yang sangat rajin bekerja. Nampaknya ia tidak mempunyai kesempatan untuk bermain sebagaimana para remaja sebayanya.

“Syukurlah bahwa Kinong mengerjakan pekerjaannya dengan gembira” desis Wijang.

Paksi mengangguk-angguk. Dipandanginya Kinong yang bekerja dengan tangkasnya, mengisi keranjangnya dengan berbagai macam sayuran yang telah dibeli oleh perempuan itu.

Sementara itu perempuan itu sendiri masih membawa sebakul sayuran pula, yang kemudian digendongnya di punggungnya.

Sejenak kemudian, maka Kinong pun telah mengusung keranjangnya di atas kepalanya, mengikuti perempuan yang mengupahnya.

“Sekarang kita ke mana?” desis Paksi.

“Bukankah kita berniat menemui Lebak? Kita pergi ke pande besi itu”

Keduanya pun kemudian melangkah menyusup di antara orang-orang yang sedang berbelanja di pasar. Mereka menuju ke tempat para pande besi bekerja membuat berbagai macam alat dari besi dan baja.

“Lebak ada di sana” desis Paksi.

“Apakah kita dapat mengganggunya? Nampaknya ia sedang sibuk”

“Kita bertanya saja kepadanya, apakah ada sedikit waktu untuk berbicara”

Di depan tempat para pande besi itu bekerja, keduanya berhenti. Dengan agak ragu Paksi pun berkata, “Lebak? Apakah ada waktu sedikit? Aku ingin bertanya serba sedikit. Jika sekarang kau sedang sibuk, maka aku akan datang nanti di saat-saat kau beristirahat”

Lebak memandang kedua orang anak muda itu. Ia mengenal mereka berdua. Tetapi sudah agak lama keduanya tidak nampak di pasar itu.

Sejenak Lebak termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Jika tidak terlalu lama, kita berbicara sekarang saja”

Lebak pun kemudian minta ijin kepada seorang yang sudah separo baya. Namun tubuhnya masih nampak kokoh. Lebak pun kemudian mendekati Wijang dan Paksi yang berdiri tidak jauh dari tempat kerja para pande besi itu. Namun demikian Lebak menghampirinya, maka mereka pun segera berjongkok di dekat alat-alat yang terbuat dari besi dan baja yang sudah siap, yang dapat dibeli oleh mereka yang membutuhkannya.

“Lebak” desis Paksi, “bukankah kau baru saja pulang ke Panjatan?”

“Sudah beberapa hari yang lalu” jawab Lebak.

“Maaf, Lebak. Kami ingin tahu, apakah di Panjatan ada penghuni baru? Maksudku beberapa orang anak muda?”

Lebak mengerutkan dahinya. Sementara Paksi pun berkata, “Lebak, aku mencari seorang sahabatku. Ia bersama dua atau tiga orang sepupunya berada di rumah bibinya di Panjatan. Nah, jika benar mereka berada di sana, kau tentu pernah melihatnya atau mendengar dari kawan-kawanmu, bahwa ada orang baru di padukuhanmu”

Lebak mengerutkan dahinya. Katanya sambil menggeleng, “Aku tidak melihat orang lain di padukuhanku. Ketika aku pulang beberapa hari yang lalu, yang aku temui adalah orang-orang yang sudah aku kenal dengan baik. Kawan-kawanku  pun tidak ada yang mengatakan bahwa di padukuhan kami ada orang-orang baru. Sebenarnyalah tidak mudah orang baru berada di padukuhan kami”

Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Mereka memang menjadi semakin yakin, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak berada di Panjatan, meskipun mereka mempunyai landasan yang kuat di padukuhan itu.

“Baiklah, Lebak. Kami mengucapkan terima kasih”

“Maaf. Hanya itulah yang dapat aku beritahukan kepadamu”

“Itu sudah cukup”

“Mungkin lebih baik kalian pergi saja ke Panjatan. Tetapi kalian harus berhati-hati”

“Mungkin pada kesempatan lain, kami akan pergi ke Panjatan. Jika saja aku tahu kapan kau pulang”

Lebak mengerutkan dahinya. Dengan suara yang dalam ia pun berkata, “Bukan maksudku menolak kunjunganmu. Tetapi jika kalian pergi ke Panjatan bersama saat-saat aku pulang, mungkin akibatnya akan panjang. Bukan saja bagi kalian. Tetapi juga bagi keluargaku”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk.

“Aku mengerti, Lebak. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih” desis Paksi.

Keduanya pun kemudian telah minta diri. Sambil bangkit berdiri Wijang pun berkata, “Kau ditunggu oleh tugasmu, Lebak”

Lebak pun berdiri pula sambil tersenyum. Katanya, “Sejak matahari terbit, aku sudah ditunggu oleh pekerjaan itu”

Wijang dan Paksi pun kemudian telah meninggalkan Lebak yang segera kembali ke pekerjaannya. Sementara itu, Wijang dan Paksi masih menyusuri pasar yang menjadi lebih ramai dari sehari sebelumnya.

Ketika keduanya berhenti sejenak di dekat seorang penjual kerajinan bambu, seorang perempuan yang lewat tiba-tiba berhenti. Seorang perempuan yang pernah berharap untuk mengambil Paksi menjadi menantunya.

“Kau, Ngger” perempuan itu menepuk punggung Paksi. Paksi terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya perempuan yang berniat mengambilnya sebagai menantu itu tertawa lebar.

“Bibi. Apakah Bibi tidak berjualan hari ini?”

“Ya. Anak perempuanku yang menungguinya. Aku baru saja menemui seorang saudaraku di pintu gerbang pasar”

“O”

“He, apakah kau sudah menikah?”

Pertanyaan itu membuat jantung Paksi berdebaran. Namun Paksi pun menggeleng sambil menjawab, “Belum, Bibi”

“Sayang sekali. Tetapi sekarang kau tidak dapat lagi melamar anak perempuanku itu. Anakku memang terlalu cantik, sehingga banyak anak-anak muda yang datang melamarnya. Seperti bunga yang dikerumuni kumbang”

“O. Apakah anak Bibi itu sekarang sudah menikah?”

“Sudah. Belum lama. Ia dapat melakukan sayembara pilih. Beberapa orang anak muda yang melamarnya harus menunggu, siapakah di antara mereka yang tertimpa rembulan di dalam mimpinya, maka anak muda itulah yang akan dipilih oleh anakku”

Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Wijang, maka dilihatnya Wijang sedang menahan tertawanya.

“Ternyata seorang di antara anak-anak muda itu adalah seorang anak bebahu padukuhan yang kaya. Seorang yang pandai dan rajin. Seorang yang cerdas dan lebih-lebih lagi, berwajah tampan”

“O, syukurlah. Anak muda itu tentu akan menggantikan ayahnya menjadi bebahu padukuhan itu kelak”

“Ia mempunyai beberapa orang saudara laki-laki. Di antaranya ada yang lebih tua, yang kelak akan mewarisi kedudukan ayahnya”

“O” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun demikian, bebahu itu tentu mempunyai sawah yang luas. Mungkin juga pategalan dan kebun kelapa”

“Ya”

“Anak perempuan Bibi itu seharusnya tidak perlu lagi ikut berjualan di pasar. Ia dapat membantu suaminya di rumah. Mungkin menunggu perempuan yang bekerja di sawah. Mungkin menunggui mereka yang sedang menumbuk padi. Atau tugas-tugas yang lain”

Perempuan itu menggeleng. Katanya, “Sejak kecil ia sudah terbiasa berada di pasar. Ikut berjualan. Kebiasaan itu tidak dapat begitu saja ditinggalkannya”

“Jika saja suaminya tidak berkeberatan”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Ya. Suaminya tidak berkeberatan. Bahkan suaminya dengan rajin ikut membantunya”

“Maksud Bibi?”

“Suaminya ikut berjualan di pasar. Ternyata pekerjaan itu cocok baginya. Meskipun ia anak orang kaya, tetapi ia tidak segan-segan bekerja berat bersama isterinya”

“O”

“Dengan begitu keduanya nampak sangat berbahagia”

“Syukurlah. Bibi tentu kecewa bila Bibi mengambil aku sebagai menantu. Aku adalah orang yang tidak betah untuk tinggal. Aku selalu berkeliaran ke mana-mana”

“Tetapi jika kau mempunyai isteri cantik seperti anakku, maka kau tentu akan betah tinggal di rumah. Kau tidak akan beranjak sejenak pun”

“Ah”

“Jangan menyesal, anak muda. Mudah-mudahan kelak kau mendapat seorang isteri yang cantik dan baik hati”

“Mudah-mudahan, Bibi. Doakan saja”

Perempuan itu pun kemudian meninggalkan Paksi. Wijang masih menekan perutnya karena menahan tertawanya.

Demikian perempuan itu pergi, maka ia pun bertanya, “Apakah anaknya cantik sekali?”

“Kau akan pingsan melihatnya”

“He?”

Paksi tertawa. Katanya, “Ketika mudanya, penjual nasi tumpang itu tentu lebih cantik, dari anak perempuan itu”

“Jadi?”

“Sudahlah. Kita pergi ke arah pintu gerbang saja”

“Kau tidak membeli kebutuhan sehari-hari?”

“Bukankah masih ada di rumah?”

Wijang mengangguk-angguk. Keduanya pun melangkah menuju ke pintu gerbang. Setelah sempat singgah di sebuah kedai, maka keduanya pun meninggalkan pasar itu kembali ke gubuk mereka yang tersembunyi.

Sambil berbaring di atas selembar ketepe di dalam gubuknya, Wijang itu pun berkata, “Kita tidak menemukan mereka di Panjatan. Menurut pendapatmu, apa yang akan kita lakukan kemudian, Paksi?”

“Aku masih mempunyai jalur yang lain yang mungkin akan sampai kepada Repak Rembulung dan Pupus Rembulung”

“Jalur yang mana?”

“Kau ingat Ki Pananggungan?”

“He? Ki Pananggungan?”

“Ya”

Wijang mengangguk-angguk.

“Kau ingat Kemuning?”

“Gadis cantik kemenakan Ki Pananggungan itu?”

“Ya”

“Aku ingat”

“Kemuning adalah anak angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Mungkin kita akan dapat menempuh jalur ini”

“Kita akan mencoba. Kita pergi ke Padukuhan Kembang Arum untuk menemui Ki Pananggungan”

“Tetapi kita tidak boleh terlalu berharap, Paksi. Setelah sekian lama kita tidak bertemu, mungkin saja telah terjadi perubahan pada diri Ki Pananggungan”

“Tetapi Ki Pananggungan bukan orang yang mudah berubah haluan”

“Nampaknya memang begitu. Tetapi bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah bersedia bekerja sama dengan Ki Gede Lenglengan untuk mengasuh anak-anak muda yang disebutnya angkatan masa datang itu juga merupakan sesuatu yang tidak kita perhitungkan sebelumnya”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sangat berbeda dengan Ki Pananggungan, Wijang”

“Sementara itu, Ki Pananggungan telah mengenal aku sebagai Pangeran Benawa”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berdiam diri. Pengenalan Ki Pananggungan atas Pangeran Benawa itu memang akan dapat segera mengganggu jika Ki Pananggungan berubah haluan.

“Tetapi aku yakin bahwa Ki Pananggungan tidak akan berubah. Apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap”

“Justru setelah Harya Wisaka tertangkap”

Paksi terdiam. Memang banyak hal yang tidak terduga akan dapat terjadi. Namun justru Wijang lah yang berkata, “Baiklah, Paksi, kita akan menemui Ki Pananggungan. Agaknya perubahan sikap pada Ki Pananggungan adalah kemungkinan yang sangat kecil”

“Besok kita pergi ke Kembang Arum”

Wijang mengangguk-angguk. Namun ia pun justru bangkit sambil berkata, “Marilah, kita mencari kelapa muda. Aku haus”

Paksi yang duduk di sebelahnya sambil bersandar tiang bambu itu pun segera bangkit berdiri pula.

Sejenak kemudian, keduanya telah pergi ke pinggir sungai. Dengan tangannya Wijang memanjat naik untuk memetik dua buah kelapa muda serta keduanya masih sempat mencari ikan dan udang dengan kelapa yang masih belum terlalu tua.

Demikian langit menjadi gelap, maka Paksi pun telah menyalakan api, sementara Wijang membawa seonggok kayu bakar yang telah kering ke dalam gubuknya.

Menjelang wayah sepi bocah, keduanya pun makan nasi hangat dengan pepes ikan dan udang yang gurih. Seperti biasanya mereka telah menanak nasi sekaligus untuk esok pagi. Demikian pula lauk dan sayurnya. Namun malam itu keduanya telah sepakat, esok pagi, mereka akan pergi ke Padukuhan Kembang Arum untuk menemui Ki Pananggungan.

Malam itu, seperti biasanya, keduanya bergantian tidur di dalam gubuk mereka. Biasanya Wijang yang tidur lebih dahulu. Baru kemudian lewat tengah malam, Paksi lah yang tidur sementara Wijang lah yang berjaga-jaga.

Tetapi malam itu ternyata Paksi merasa sulit untuk tidur. Ia mulai membayangkan pertemuannya dengan Kemuning. Seorang gadis yang cantik, yang pernah diselamatkannya dari tangan Bahu Langlang, yang hampir saja menjadikan gadis itu seorang budak, seorang pelayan, tetapi juga seorang isteri yang ke sekian. Baru di dini hari, Paksi sempat tidur sekilas. Namun kemudian ia pun harus segera bangun lagi ketika langit mulai dibayangi oleh cahaya fajar.

Keduanya pun segera berbenah diri. Mereka masih sempat makan pagi dan mencuci mangkuk-mangkuk yang kotor. Menempatkannya di sudut gubuk mereka.

Paksi dan Wijang menyadari, bahwa mereka akan meninggalkan gubuk mereka untuk waktu yang agak lama. Sehingga karena itu, maka mereka telah menyimpan sisa bahan-bahan pangan dan kebutuhan dapur dengan baik.

Ketika matahari kemudian terbit, maka mereka pun meninggalkan gubuk mereka. Mereka masih berniat untuk pada satu hari kembali lagi ke gubuk kecil mereka yang terlindung itu.

Ketika mereka turun ke jalan setapak, maka terasa hangatnya sinar matahari pagi. Di kejauhan, di pepohonan hutan masih terdengar kicau burung-burung liar menyambut hari baru yang segar. Sementara titik-titik embun masih nampak bergayutan di ujung dedaunan.

“Kita akan singgah di pasar sebentar” berkata Paksi.

“Apakah kita akan membeli bekal di perjalanan?”

“Tidak. Aku ingin berbicara dengan Kinong sebentar. Jika kita pergi begitu saja, Kinong akan kehilangan”

Wijang tersenyum. Katanya, “Baik. Kita menemui Kinong sebentar”

Demikianlah, keduanya pun langsung menuju ke pasar. Agaknya pasar menjadi semakin ramai. Bahkan hari itu adalah hari pasaran, sehingga pasar itu nampak penuh berdesakan. Bahkan beberapa orang yang berjualan tidak tertampung ke dalam pasar, sehingga mereka menjajakan dagangannya di luar dinding pasar.

Sementara itu, di sudut pasar itu terdapat pula beberapa ekor kambing, lembu bahkan kerbau yang terikat untuk dijual.

Di pintu gerbang pasar, Wijang dan Paksi telah bertemu dengan Kinong yang berjalan dengan sebelah tangan melenggang, sedang tangannya yang lain menjinjing keranjang kecilnya.

“Kinong” Paksi pun memanggilnya.

Kinong berpaling. Ketika dilihatnya Paksi dan Wijang, ia pun segera mendekatinya sambil berkata, “Hari ini Kakang berdua datang lebih pagi”

Paksi dan Wijang tertawa.

“Kau yang terlambat datang” berkata Wijang. Tetapi Kinong menggeleng sambil mencibir, “Kau salah, Kakang. Aku sudah membantu membawa beras dan sayuran ketika seorang perempuan dan seorang laki-laki berbelanja”

“Laki-laki itu tidak mau membawa beras dan sayuran itu?”

“Tangannya hanya dua. Laki-laki itu tidak dapat membawa semuanya. Meskipun tidak terlalu berat, tetapi ada beberapa kereneng dan bakul. Perempuan itu sudah menggendong bakul dan kedua tangannya menjinjing kereneng. Sedangkan laki-laki itu sudah mengusung di atas kepalanya sebuah bakul yang lain. Tetapi masih ada yang belum terbawa”

“Mereka memanggilmu?”

“Perempuan itu sudah mengenal ibu. Ia mencari ibu. Tetapi sudah beberapa hari ini ibu tidak pergi ke pasar. Jadi akulah yang datang membantunya”

“Lalu, di mana mereka sekarang? Apakah mereka dapat membawa semuanya itu pulang?”

“Ternyata mereka membawa seekor kuda beban”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Sementara Kinong pun berkata, “Nah, aku sudah mendapat rejeki sepagi ini. Apakah Kakang berdua sudah makan pagi”

Paksi dan Wijang tersenyum. Sambil menepuk bahunya Paksi pun menjawab, “Sudah, Kinong. Kami sudah makan. Jika kau akan makan pagi, makanlah”

“Kakang berdua mau minum wedang srebat?”

“Terima kasih, Kinong” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa ibumu sudah beberapa hari tidak pergi ke pasar? Bukankah ibumu tidak sakit?”

“Tidak, Kakang. Ibu baru sibuk ikut menuai padi di sawah”

“Kinong” berkata Paksi kemudian, “kami berdua ingin minta diri. Kami akan pergi untuk beberapa hari”

Kinong mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apakah Kakang berdua akan kembali?”

“Kami belum dapat memastikannya, Kinong” jawab Wijang.

“Tetapi kami merencanakan untuk kembali”

“Kalian akan pergi ke rumah paman kalian?”

“Ya”

“Tentu untuk waktu yang lama” desis Kinong.

“Salam buat keluargamu, Kinong”

“Terima kasih, Kakang”

“Tetapi aku ingin bertanya sedikit, Kinong” berkata Paksi kemudian.

“Tentang apa, Kakang?”

“Tentang dua orang yang berbelanja dengan membawa pedati kemarin?”

“Kedua orang perempuan itu?”

“Ya”

“Apa yang akan Kakang tanyakan?”

“Apakah kau mendengar serba sedikit, apa yang mereka bicarakan tentang bahan-bahan makan yang mereka beli? Apakah mereka akan mengadakan perhelatan atau mengadakan upacara atau apa?”

Kinong termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah didengarnya dari mulut kedua orang perempuan itu. Namun Kinong itu pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak pernah memperhatikannya, Kakang”

Paksi menarik nafas panjang. Sementara itu, Kinong pun berkata, “Yang aku dengar ketika mereka membeli ikan yang sudah diasinkan itu, seorang di antara mereka mengatakan, bahwa anak-anak itu tidak begitu suka ikan yang sudah diasinkan. Mereka lebih suka ikan yang masih segar, yang langsung ditangkap di belumbang”

Paksi mengangguk-angguk.

“Atau ikan ayam, daging lembu atau daging kambing”

“Siapakah yang mereka maksud anak-anak? Tentu bukan anak-anak kecil”

“Mungkin. Tetapi kenapa?”

Paksi tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa, Kinong. Aku hanya ingin tahu”

“Apa yang ingin Kakang ketahui?”

Paksi tertawa. Katanya, “Sudahlah, Kinong. Kami minta diri”

Kinong memandang Paksi dengan kerut di dahi. Namun Wijang telah menepuk bahunya sambil berkata, “Sampai ketemu lagi, Kinong”

Kinong mengangguk. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi.

Paksi dan Wijang pun kemudian telah meninggalkan pasar itu.

Kinong yang masih berdiri di pintu gerbang memandangi mereka dengan jantung yang berdebaran. Meskipun keduanya hanyalah orang-orang yang dikenalnya di pasar itu, namun rasa-rasanya ada ikatan yang tersangkut pada keduanya.

Namun Kinong pun seakan-akan terbangun dari mimpinya ketika seseorang memanggilnya, “Kinong”

Kinong berpaling. Penjual sayuran itulah yang memanggilnya. “Kau mau membawa sayuran ini ke rumah Bi Merta?” bertanya penjual sayur itu.

Kinong sudah terbiasa membantu Bi Merta yang rumahnya hanya beberapa puluh langkah saja dari pasar.

“Tentu” jawab Kinong.

“Bi Merta akan membuat bancakan. Cucunya genap berumur selapan esok pagi”

Sejenak kemudian, Kinong dengan keranjang di atas kepalanya berjalan mengikuti Bi Merta keluar dari pintu gerbang pasar.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun berjalan semakin lama semakin jauh dari pasar. Sambil melangkah menyusuri jalan yang digurati oleh jalur-jalur bekas roda pedati, Paksi itu pun berkata, “Apakah mungkin, orang yang berbelanja sepedati itu bekerja untuk Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?”

“Aku juga berpikir demikian” berkata Wijang.

“Mungkin kita dapat mengikuti jejak pedati itu”

“Ada banyak jejak pedati. Bahkan kita  pun akan dapat terjebak ke dalam sarang mereka yang belum kita ketahui”

“Mungkin kita dapat menunggu beberapa hari lagi. Pedati dengan dua orang perempuan itu tentu akan berada di pasar itu lagi”

“Apakah pasar ini pasar terdekat? Kau pernah berceritera tentang pasar ketika kau bertemu dengan ibu Kemuning”

“Ya. Tetapi pasar itu lebih kecil dari pasar ini”

“Tentu mencukupi kebutuhan jika yang mereka perlukan hanyalah bahan pangan saja”

“Itu terjadi jika rumah mereka lebih dekat dengan pasar itu daripada pasar yang lebih besar ini”

“Ya. Kita belum tahu, di manakah anak-anak muda itu ditempa. Mungkin di sebuah padepokan. Mungkin di sebuah rumah di sebuah padukuhan, namun mampu meredam getar kesibukan di dalam rumah itu. Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain”

Keduanya terdiam sejenak. Namun keduanya justru sedang mencari jalan terbaik untuk sampai kepada Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Namun mereka tidak menemukan jalan yang lebih baik daripada pergi ke Padukuhan Kembang Arum untuk menemui Ki Pananggungan.

Perjalanan mereka berdua jauh lebih cepat dari perjalanan Paksi pada saat mengantar Kemuning dan ibunya yang telah dibebaskannya dari tangan Bahu Lalang.

Sebagai seorang yang berpengalaman dalam pengembaraan, Paksi dan Wijang tidak lupa jalan menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Mereka menuruni kaki Gunung Merapi. Melewati jalan-jalan kecil dan bahkan jalan setapak. Bahkan menuruni tebing-tebing rendah dan sekali-sekali memanjat naik, menyusuri sungai-sungai kecil dan kembali turun ke jalan.

Keduanya pun kemudian sampai ke sebuah pasar yang lebih kecil, yang hanya ramai di hari-hari pasaran. Karena itu, ketika keduanya sampai di pasar itu, pasar itu pun sudah hampir kosong.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di pasar itu ia bertemu dengan ibu Kemuning yang sedang menjual sehelai kain lurik pada saat ia bersama Kemuning disekap oleh Bahu Langlang.

Ketika Paksi termenung sejenak, maka Wijang pun berkata, “Kau kenang gadis dan ibunya itu?”

Paksi tergagap. Namun kemudian ia pun tersenyum.

“Marilah. Kita langsung pergi ke Kembang Arum. Bukankah Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh lagi?”

Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Paksi sengaja mengajak Wijang untuk berjalan melewati rumah Bahu Langlang. Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat rumah Bahu Langlang itu sudah rata dengan tanah. Nampaknya rumah itu telah terbakar sampai lumat. Yang tersisa hanyalah sepotong-sepotong kayu dan bambu yang sudah menjadi arang.

“Apakah rumah ini dibakar atau terbakar?” desis Paksi.

“Melihat bekasnya, maka api tidak sempat dipadamkan”

“Kita tidak tahu, siapakah yang terakhir tinggal di rumah ini sepeninggal Bahu Langlang”

Wijang mengangguk-angguk.

“Marilah” berkata Paksi kemudian, “nampaknya kebakaran itu terjadi beberapa bulan yang lalu”

“Apakah tetangga-tetangganya tidak ada yang tahu?”

“Pada masa Bahu Langlang masih tinggal di sini, rumah ini agaknya telah terpisah dari lingkungannya. Mungkin tetangga-tetangganya merasa ketakutan untuk berhubungan dengan penghuni rumah ini”

Ketika keduanya akan beranjak pergi, mereka melihat seorang yang membawa cangkul di pundaknya berjalan melewati jalan itu pula. Demikian orang itu sampai di depan bekas rumah Bahu Langlang, maka Paksi pun bertanya, “Ki Sanak, bukankah rumah ini dahulu rumah orang yang bernama Bahu Langlang?”

Orang yang membawa cangkul itu memandang Paksi dengan tajamnya. Meskipun agak ragu, orang itu pun menjawab, “Ya. Tetapi Bahu Langlang sendiri sudah lama pergi”

“Lalu, siapakah yang tinggal di rumah ini?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Berangsur-angsur penghuninya pergi meninggalkan rumah ini”

“Yang terakhir?”

“Rumah ini sudah kosong untuk beberapa lama”

“Kenapa tiba-tiba rumah ini terbakar atau dibakar?”

“Tidak seorang  pun tahu. Yang kita tahu, di tengah malam itu, rumah ini sudah menyala. Semula tidak seorang  pun berani datang untuk memadamkannya. Apalagi semua orang tahu, bahwa rumah ini memang sudah kosong. Karena itu, maka penghuni padukuhan ini membiarkan saja rumah yang memang agak terpisah itu terbakar. Apinya tidak akan menjalar ke rumah-rumah yang lain. Kami sempat menjadi berdebar-debar ketika beberapa batang pohon di kebun belakang rumah itu terbakar.

Karena itu, maka yang kami lakukan adalah menebang pepohonan di kebun belakang dan samping, dekat dinding halaman untuk mencegah agar api tidak menjalar ke mana-mana.

Ternyata usaha kami berhasil. Api dapat dikendalikan dan tidak menjalar ke mana-mana”

Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu, orang itu pun berkata selanjutnya, “Kemudian, karena itu sudah agak lama kosong dan tidak lagi ada yang menghiraukannya setelah terbakar, maka beberapa orang telah memberanikan diri mengambil sisa-sisa kayu dan pepohonan yang terbakar”

“Untuk apa?”

“Hanya untuk kayu bakar. Selain untuk kayu bakar, sisa-sisa kayu itu tidak dapat lagi dipergunakan untuk apa pun”

“Baiklah” berkata Paksi kemudian, “kami minta diri. Terima kasih atas keterangan Ki Sanak”

“Siapakah kalian berdua dan apakah kalian mencari Ki Bahu Langlang?”

“Tidak. Kami tidak mencari Bahu Langlang. Kami hanya pernah mendengar bahwa di sini tinggal seorang gegedug yang namanya Bahu Langlang”

“Tetapi telah datang gegedug lain yang lebih tinggi kemampuannya, sehingga Bahu Langlang terusir”

“Kami minta diri, Ki Sanak”

Orang yang membawa cangkul itu memandangi saja Paksi dan Wijang yang berjalan menjauhi sisa-sisa rumah Bahu Langlang yang terbakar itu.

Orang yang membawa cangkul itu terkejut ketika seorang kawannya muncul dari tikungan sambil bertanya, “Ada apa, Kakang?”

Orang yang membawa cangkul itu pun menyahut, “Kedua orang itu bertanya apakah rumah yang terbakar ini rumah Ki Bahu Langlang”

“Siapakah mereka berdua?”

“Ketika aku tanyakan tentang diri mereka, mereka tidak menjawab. Mereka pun mengaku tidak mencari Ki Bahu Langlang”

“Lalu apa yang mereka cari?”

Orang yang membawa cangkul itu menggeleng. Katanya, “Aku katakan kepada mereka, bahwa Ki Bahu Langlang telah terusir oleh orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi”

“Apa kata mereka?”

“Mereka pun segera pergi”

“Mungkin mereka anak buah Ki Bahu Langlang yang sudah lama meninggalkannya, sekarang mereka kembali. Tetapi yang mereka temukan hanyalah sisa-sisa rumahnya saja”

“Mungkin. Mereka memang bertanya apakah rumah ini terbakar atau dibakar”

“Jika rumah ini dibakar, maka kedua orang itu tentu akan mencari, siapakah yang telah berani membakar rumah Ki Bahu Langlang”

“Tetapi nampaknya mereka bukan orang-orang yang garang seperti Ki Bahu Langlang”

“Jangan menilai sifat dan watak seseorang hanya dari ujud lahiriahnya saja”

“Katanya ujud lahiriah adalah pengejawantahan batin seseorang”

“Tentu tidak. Seseorang yang licik dan penipu, biasanya apa yang nampak justru bertentangan dengan sikap batinnya”

Orang yang membawa cangkul itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. kau benar”

Kedua orang itu pun kemudian beranjak pergi menjauhi halaman bekas rumah Ki Bahu Langlang yang sudah menjadi abu.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun berjalan semakin jauh pula. Mereka langsung menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Namun ketika langit menjadi buram, Wijang pun berkata, “Apakah kita akan berjalan terus?”

“Bukankah kita belum letih?”

“Bukan karena kita letih. Tetapi jika kita sampai di Kembang Arum setelah jauh malam, kita tentu akan mengejutkan Ki Pananggungan. Akan lebih baik jika kita mengetuk pintunya di pagi hari”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan memasuki regol halaman rumah Ki Pananggungan esok pagi”

Dengan demikian, maka Paksi dan Wijang itu tidak meneruskan perjalanannya sampai ke Kambang Arum. Mereka berhenti di sebuah padukuhan yang masih berjarak berapa bulak lagi. Sementara itu malampun menjadi semakin dalam, ketika keduanya memasuki regol banjar padukuhan.

Beberapa orang yang sedang meronda di banjar padukuhan itu terkejut melihat dua orang yang tidak mereka kenal berjalan menyeberang halaman banjar. Serentak mereka berdiri. Dua orang di antara mereka telah turun dari pendapa menyongsong Wijang dan Paksi yang kemudian berhenti di halaman.

“Siapakah kalian, Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari dua orang peronda yang menyongsong mereka itu.

“Namaku Wijang, Ki Sanak. Ini adikku, Paksi. Kami sedang dalam perjalanan ke Kembang Arum. Tetapi kami ternyata kemalaman di sini”

“Kembang Arum?”

“Ya, Ki Sanak. Bukankah Kembang Arum masih berjarak berapa bulak lagi? Selain kami sudah merasa sangat letih, kami  pun tidak ingin mengejutkan paman kami yang tinggal di Kembang Arum. Karena itu, kami ingin mohon apabila diijinkan untuk bermalam di banjar ini”

Kedua orang peronda itu memperhatikan Wijang dan Paksi dengan seksama. Seorang di antara mereka berpaling kepada kawan-kawannya yang berdiri di tangga pendapa.

“Kedua orang ini minta ijin untuk bermalam”

“Biarlah mereka naik” berkata seorang yang agaknya paling tua di antara mereka yang sedang meronda.

Wijang dan Paksi pun kemudian telah dipersilahkan naik ke pendapa

Orang yang agaknya tertua di antara para peronda itu pun kemudian bertanya, “Aku sudah mendengar nama kalian. Tetapi kami belum mendengar, dari manakah asal kalian”

Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Namun Wijang pun kemudian telah menjawab, “Kami tinggal di Turi, Ki Sanak”

“Turi? Jadi kalian sudah menempuh perjalanan yang panjang”

“Ki Sanak pernah pergi ke Turi?”

“Ya. Aku pernah ke Turi. Jaraknya cukup jauh, sedang jalan ke Turi masih harus melingkar-lingkar sehingga menjadi semakin jauh”

“Kami mengambil jalan pintas, Ki Sanak”

“Jalan yang rumit. Kecuali harus melalui jalan setapak yang turun naik, juga harus melewati padang perdu di pinggir hutan”

“Ya. Kami memilih jalan yang rumit tetapi lebih dekat daripada harus menempuh jalan yang melingkar-lingkar sehingga jaraknya menjadi sangat jauh”

“Siapa yang akan kau temui di Kembang Arum?” bertanya seorang yang lebih muda.

“Ki Pananggungan. Pamanku bernama Ki Pananggungan”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Aku belum pernah mendengarnya”

“Ki Sanak sering pergi ke Kembang Arum?” bertanya Paksi kemudian.

“Ya. Aku juga mempunyai paman di Padukuhan Kembang Arum. Tetapi aku memang tidak banyak mengenal orang-orang Kembang Arum selain tetangga-tetangga terdekat pamanku itu”

Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja.

Dalam pada itu, orang yang tertua di antara para peronda itu pun berkata, “Jika saja kalian datang beberapa waktu yang lalu, mungkin kami tidak dapat menerima kalian bermalam di banjar ini”

“Kenapa?” bertanya Wijang.

“Sebelumnya, selagi perburuan cincin kerajaan yang hilang itu masih terasa hangat, maka padukuhan ini pun telah ditambah pula oleh satu dua orang yang sedang berburu pusaka keraton yang dikabarkan hilang dan turun ke daerah ini. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang tidak sekedar memburu pusaka itu. Ada di antara mereka yang sempat pulang merampas milik orang-orang padukuhan ini. Karena itu, pada saat itu, kami mencurigai orang-orang yang belum kami kenal sebelumnya”

“Apakah sekarang perampokan seperti itu sudah tidak terjadi lagi?”

“Tidak. Padukuhan kami terasa aman sekarang. Meskipun demikian, kami masih tetap berhati-hati, sehingga kami masih tetap meronda secara bergilir. Di tengah malam tiga orang di antara kami akan berkeliling padukuhan sambil membawa kentongan-kentongan kecil untuk kotekan, agar mereka yang tidur terlalu lelap dapat terbangun. Mungkin saja justru dalam keadaan aman ini kami menjadi lengah, sehingga dimanfaatkan oleh pencuri-pencuri yang licik”

Wijang dan Paksi masih saja mengangguk-angguk. Dengan nada berat Paksi berkata, “Syukurlah jika keadaan sudah aman sekarang. Dengan demikian maka kehadiran kami di sini tidak lagi dicurigai”

“Ya. Sudah kami katakan, bahwa kami dapat menerima kalian untuk bermalam”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Sanak” berkata Wijang kemudian.

“Nah, kalian dapat tidur di serambi. Pakiwan banjar ini terletak di sisi kiri agak ke belakang. Di sebelah sumur. Kalian dapat mencuci kaki dan tangan dan barangkali mencuci muka di pakiwan itu sebelum kalian tidur”

Wijang dan Paksi pun kemudian telah pergi ke pakiwan. Kemudian seorang di antara mereka yang meronda telah menunjukkan sebuah amben yang agak besar yang terletak di serambi banjar.

Tetapi sebelum keduanya berbaring, mereka telah dipanggil lagi ke pendapa.

“Ada apa?” bisik Paksi.

“Entahlah” sahut Wijang.

Ternyata keduanya hanya diajak makan ketela rebus oleh para peronda yang agaknya telah merebus ketela di belakang.

Wijang dan Paksi memang sudah merasa agak lapar. Karena itu, ketela yang direbus dengan santan dan garam itu terasa enak sekali.

Baru setelah makan ketela rebus yang masih hangat itu, keduanya kembali ke serambi.

“Biarlah kau tidur dahulu” desis Paksi.

“Bangunkan aku di dini hari. Waktunya pendek. Kau pun harus tidur meskipun hanya sebentar”

Wijang pun kemudian telah membaringkan dirinya, sementara Paksi masih duduk bersandar dinding, menghadap ke pintu bilik di serambi itu. Tetapi pintu itu tidak dapat diselarak. Daunnya ditutup hanya untuk mencegah angin malam yang dingin.

Beberapa saat kemudian, Wijang pun telah tertidur. Paksi yang masih duduk itu mendengar suara kotekan yang semakin lama menjadi semakin jauh. Agaknya tiga orang di antara peronda itu sedang berkeliling sambil membunyikan kentongan-kentongan kecil mereka dengan irama kotekan. Suara kentongan-kentongan kecil itu semakin lama menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya tidak terdengar lagi.

Paksi yang duduk bersandar dinding itu menggeliat. Sementara Wijang tertidur nyenyak. Nafasnya terdengar mengalir dengan teratur dari lubang hidungnya.

Beberapa lama Paksi duduk bersandar dinding. Di sebelah-menyebelah, di kebun rumah para penghuni padukuhan itu, telah terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang kedua kalinya setelah ayam jantan itu berkokok untuk pertama kalinya di tengah malam.

Paksi memandangi Wijang yang masih tidur. Rasa-rasanya ia tidak ingin membangunkannya meskipun sisa malam tinggal sedikit.

Tetapi Wijang itu pun bangun sendiri tanpa dibangunkannya. Sambil mengusap matanya ia pun berkata, “Aku sudah terlalu lama tidur. Kenapa kau tidak membangunkan aku?”

“Aku belum mengantuk” desis Paksi.

“Tidurlah. Kau harus beristirahat barang sejenak”

“Apakah aku akan dapat tidur?” Paksi justru bertanya.

“Singkirkan angan-anganmu tentang Kemuning barang sejenak. Besok kau akan dapat bertemu dengan gadis itu.

Sekarang tidurlah. Jangan kau manjakan angan-anganmu”

“Ah, kau” desis Paksi.

Wijang menggosok matanya. Tetapi ia tersenyum sambil bangkit dan duduk di bibir amben bambu itu.

Paksi lah yang kemudian telah berbaring menelentang. Dikatupkannya matanya. Paksi memang mencoba untuk dapat tidur.

Namun telinga mereka yang tajam itu mendengar para peronda yang berada di pendapa itu berbicara dengan seseorang yang nampaknya baru datang.

“Para peronda keliling itu melaporkan kepadaku bahwa ada dua orang menginap di banjar ini”

“Ya, Ki Jagabaya”

“Apakah mereka masih ada di dalam bilik di serambi itu?”

“Nampaknya mereka masih ada di sana”

“Kita sekarang harus berhati-hati lagi. Meskipun padukuhan kita aman, tetapi aku mendengar di Padukuhan Karang Anyar telah terjadi lagi perampokan”

“Karang Anyar?”

“Ya. Karang Anyar di Kademangan Jelabar”

“O. Padukuhan itu letaknya jauh dari padukuhan kita, Ki Jagabaya”

“Meskipun jauh, siapa tahu, bahwa perampok-perampok itu berkeliaran tanpa batas jarak”

“Tetapi kedua orang itu nampaknya orang baik-baik, Ki Jagabaya. Mereka masih muda. Sama sekali di matanya tidak membayangkan keliaran watak mereka”

“Kau tidak akan dapat melihat seseorang langsung menembus sampai ke jantung. Di mana mereka sekarang? Aku hanya ingin melihat. Jika mereka masih ada, agaknya mereka memang tidak akan mengganggu”

“Mereka berada di bilik di serambi”

Wijang yang duduk di bibir pembaringan segera membaringkan dirinya di samping Paksi sambil berbisik, “Mereka agaknya akan kemari”

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, Wijang dan Paksi mendengar langkah beberapa orang mendekati pintu bilik di serambi itu. Wijang dan Paksi pun segera memejamkan mata mereka. Mereka mengatur pernafasan mereka, sehingga mereka benar-benar seperti orang yang sedang tidur.

Ki Jagabaya dan tiga orang peronda yang mengikutinya berdiri termangu-mangu sejenak di luar pintu. Namun seorang di antara peronda itu menggamit Ki Jagabaya sambil berbisik perlahan sekali, “Ki Jagabaya mendengar mereka mendengkur?”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun kembali melangkah surut. Perlahan-lahan pula Ki Jagabaya menutup pintu bilik itu. Ia pun berbisik, “Mereka tidur nyenyak sekali”

“Nampaknya mereka letih sekali, Ki Jagabaya. Menurut pengakuan mereka, mereka berasal dari Turi”

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Mereka akan pergi ke mana?”

“Mereka akan pergi ke Kembang Arum, Ki Jagabaya”

Ki Jagabaya tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian meninggalkan bilik itu diikuti oleh para peronda.

“Keduanya agaknya letih dan lapar. Ketika kami persilahkan mereka ikut makan ketela rebus yang disediakan bagi para peronda, mereka makan dengan lahapnya”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Menurut ujudnya, mereka bukan orang jahat. Ternyata mereka pun tidak beranjak dari banjar dan bahkan tidur mendengkur”

“Ya, Ki Jagabaya” sahut salah seorang dari mereka.

Sementara itu di dalam bilik di serambi itu Wijang menggamit Paksi. “Nah, dengar. Kau makan ketela terlalu banyak. Kau habiskan hampir separo, sehingga para peronda itu masih merasa lapar”

“Ketela itu masih tersisa. Mereka tidak akan dapat menghabiskannya”

“Kau dengar apa yang dikatakan peronda itu?”

“Orang itu hanya ingin mengatakan, bahwa kita lapar”

“Sst. Jangan keras-keras. Jika Ki Jagabaya mempunyai Aji Sapta Pangrungu, maka ia akan mendengarnya”

Paksi terdiam. Namun agaknya Ki Jagabaya itu tidak mendengarnya. Bahkan Ki Jagabaya itu masih bertanya, “Apakah anak-anak itu mengatakan, siapakah yang akan dikunjunginya di Kembang Arum?”

“Kalau tidak salah dengar, nama orang yang akan dikunjungi di Kembang Arum adalah Ki Pananggungan”

“Ki Pananggungan” ulang Ki Jagabaya. Sambil mengangguk-angguk Ki Jagabaya pun berkata, “Aku memang pernah mendengar nama itu di Kembang Arum. Ia termasuk orang yang dituakan di sana. Tetapi secara pribadi aku belum pernah mengenalnya. Kadangku yang tinggal di Kembang Arumlah yang pernah menyebut namanya”

“Jika demikian, bukankah keduanya tidak berbahaya, sehingga kita akan membiarkannya tidur?”

“Ya. Biarkan kedua orang itu tidur. Nanti, setelah dini hari, jika kalian akan pulang, serahkan saja keduanya kepada penunggu banjar ini”

“Ya, Ki Jagabaya”

“Sekarang, aku akan pulang”

Ki Jagabaya itu tidak menunggu lagi. Nampaknya ia sudah mulai mengantuk, sehingga karena itu, maka ia pun segera bangkit dan berkata, “Aku akan pulang”

Ki Jagabaya itu pun kemudian minta diri kepada para peronda yang bertugas di banjar.

Demikian Ki Jagabaya pergi, maka sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dengan irama kotekan. Nampaknya para peronda keliling itu telah berjalan kembali ke banjar.

Suaranya semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak kemudian, maka tiga orang peronda yang berkeliling itu pun telah kembali bergabung dengan kawan-kawannya.

Setelah meletakkan kentongan kecilnya mereka  pun berbaring di atas tikar yang dibentangkan di pendapa banjar.

“Jangan tidur” berkata seorang kawannya.

“Tidak. Tetapi kami lelah setelah berkeliling padukuhan”

“Kau tadi singgah di rumah Ki Jagabaya?” bertanya kawannya yang tidak ikut berkeliling.

“Ya”

“Ki Jagabaya baru saja dari sini”

“Ki Jagabaya sudah datang kemari?”

“Ya”

“Begitu cepat”

“Bukankah kalian kenal Ki Jagabaya? Ia seorang yang tidak pernah menunda persoalan. Begitu ia mendengar laporanmu, ia pun langsung datang kemari”

Para peronda yang berbaring setelah berkeliling itu tidak bertanya lebih lanjut. Bagi mereka, jika Ki Jagabaya sudah datang ke banjar, maka tidak ada persoalan lagi bagi mereka yang menginap di banjar itu.

Dalam pada itu, ketika pendapa banjar itu menjadi sepi, maka Wijang pun berbisik, “Tidurlah. Masih ada waktu sedikit”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun segera memejamkan matanya. Ia memang ingin tidur meskipun hanya sebentar.

Beberapa saat kemudian, maka Paksi itu pun terlelap. Wijang lah yang kemudian duduk bersandar dinding menghadap ke pintu. Namun tidak lagi terdengar langkah kaki atau pembicaraan lagi di pendapa.

“Apakah para peronda itu tidur?” bertanya Wijang di dalam hatinya.

Tetapi Wijang tidak beranjak dari tempat duduknya. Sebenarnyalah para peronda di pendapa itu tertidur. Bahkan mereka yang tidak berkeliling  pun tertidur pula sambil bersandar tiang.

Tetapi agaknya padukuhan itu memang aman. Tidak ada peristiwa apa-apa yang terjadi malam itu.

Menjelang fajar, Paksi pun telah terbangun dengan sendirinya. Ketika ia duduk di amben bambu itu, maka Wijang pun berdesis, “Aku ingin melihat, apakah para peronda itu tertidur”

“Kenapa?”

“Aku tidak mendengar suara apa-apa”

Wijang tidak menunggu jawaban Paksi. Ia pun membuka pintu biliknya dengan hati-hati. Kemudian melangkah ke pendapa. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat para peronda itu tidur di atas tikar yang digelar di pendapa. Seorang tidur bersandar tiang dan seorang lagi tidur sambil duduk di sudut.

“Padukuhan ini adalah padukuhan yang aman, sehingga para peronda itu merasa tidak perlu berjaga-jaga sampai dini” berkata Wijang di dalam hatinya.

Rasa-rasanya Wijang ingin membangunkan salah seorang dari mereka. Tetapi Wijang justru cemas, bahwa hal itu akan dapat membuat peronda itu salah paham.

Karena itu, maka Wijang pun kembali ke dalam biliknya. Tetapi tidak lama kemudian, penjaga banjar itulah yang terbangun. Ketika ia melihat para peronda masih tertidur, maka sambil bergeramang penunggu banjar itu membangunkan mereka.

“Setiap kali kalian yang mendapat giliran meronda, kalian selalu tertidur. Tidak hanya satu dua di antara kalian. Tetapi semuanya”

Para peronda yang terkejut itu pun segera bangkit berdiri. Seorang yang tertua di antara mereka mengusap matanya yang masih kabur. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Maaf, Kang. Aku mengantuk sekali”

“Nah, sebentar lagi fajar akan datang. Apakah kalian akan pulang atau tidak”

“Tentu. Kami akan pulang. Kami akan melanjutkan

tidur di rumah”

Para peronda itu pun segera membenahi pakaian mereka. Mumpung masih gelap, mereka akan segera pulang sebelum orang-orang terbangun.

Namun ketika mereka turun ke halaman, seorang di antara mereka pun teringat dua orang yang bermalam di banjar itu. Karena itu, maka orang itu pun berkata, “Kakang, ada dua orang kemalaman yang tidur di serambi”

“Siapa?”

“Orang lewat. Bertanyalah kepada mereka”

“Jadi mereka juga belum bangun?”

“Kami belum melihatnya”

“Kapan mereka datang?”

“Sudah malam. Kau sudah tidur”

“Jadi orang-orang malas itu masih belum bangun juga?

Apakah mereka tidak akan meneruskan perjalanan mereka?”

“Entahlah. Mungkin mereka sudah pergi ketika kami tidur”

Namun Wijang dan Paksi sudah berdiri di sudut pendapa. Dengan suara yang dalam Wijang berkata, “Kami sudah bangun, Ki Sanak. Kami juga sudah siap untuk melanjutkan perjalanan”

“O” penunggu banjar itu berpaling. Dengan nada tinggi penunggu banjar itu pun bertanya, “Kenapa kalian tidak minta ijin kepadaku?”

“Kami sudah minta ijin para peronda, Ki Sanak”

“Para peronda hanya berada di banjar setiap malam sesuai dengan gilirannya. Tetapi akulah yang bertanggung jawab atas banjar ini”

“Kami tidak tahu, Ki Sanak”

“Sudahlah” berkata orang tertua di antara para peronda, “tadi malam Ki Jagabaya juga sudah datang kemari. Ki Jagabaya tidak berkeberatan keduanya bermalam di sini”

“Tetapi jika terjadi sesuatu, siapa yang bertanggung jawab kepada Ki Bekel? Tentu aku”

“Tidak. Kami, para peronda akan bertanggung jawab, karena kami yang telah mengijinkan mereka bermalam di sini. Ki Jagabaya tentu juga bersedia bertanggung jawab. Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?”

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.

“Ki Sanak” berkata orang yang tertua di antara para peronda itu, “kalian tidak perlu tergesa-gesa. Kalian dapat mandi lebih dahulu. Berbenah diri dan baru kemudian melanjutkan perjalanan. Berbeda dengan kami. Kami tidak mau kesiangan dan ditonton oleh tetangga-tetangga kami jika mereka sudah bangun”

“Terima kasih, Ki Sanak” jawab Wijang.

Para peronda itu pun kemudian meninggalkan halaman banjar. Mereka berjalan agak tergesa-gesa, karena bayangan fajar telah nampak di langit.

Sementara itu, penunggu banjar itu memandang Wijang dan Paksi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi orang itu pun berkata, “Jika kalian mandi, kalian harus mengisi jambangan itu lagi. Aku bukan pelayanmu yang mengisi jambangan setelah kalian pergunakan”

Wijang dan Paksi saling berpandangan. Namun Wijang pun kemudian menjawab, “Baik, Ki Sanak”

“Kalian juga harus membersihkan bilik tempat kalian tidur semalam”

“Sudah, Ki Sanak” jawab Paksi.

“Seharusnya kalian minta ijin kepadaku. Bukan kepada para peronda. Mereka tidak tahu tatanan yang seharusnya berlaku di banjar ini”

“Kami minta maaf, Ki Sanak”

“Nah, kalau mau mandi, cepat mandi. Kalau mau pergi, cepat pergi”

Namun agaknya Wijang dan Paksi tidak ingin mandi di pakiwan banjar itu. Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Kami akan minta diri, Ki Sanak”

“Jadi kalian lebih baik tidak mandi daripada harus mengisi kembali jambangan di pakiwan itu?”

“Tidak. Bukan itu alasannya, Ki Sanak. Tetapi kami memang orang-orang malas yang tidak berani mandi pagi-pagi seperti ini. Sementara itu, kami sudah harus melanjutkan perjalanan, agar kami tidak kesiangan sampai di tujuan”

“Tepat. Kalian memang orang-orang malas. Pergilah jika kalian ingin pergi”

“Kami minta diri, Ki Sanak”

Orang itu tidak menjawab. Sementara Wijang pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih bahwa semalam kami telah mendapat tempat yang hangat untuk bermalam”

“Jangan berterima kasih kepadaku. Berterimakasihlah kepada orang-orang yang memberimu tempat bermalam meskipun mereka telah melanggar hak dan wewenangku”

Wijang dan Paksi saling berpandangan. Namun keduanya pun kemudian mengangguk hormat sementara itu Wijang mengulanginya, “Kami minta diri, Ki Sanak”

Orang itu tidak menjawab. Bahkan orang itu telah melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan banjar itu.

Demikian mereka turun ke jalan, maka Paksi pun berkata, “Kita telah bertemu banyak orang dengan sifat dan wataknya yang bermacam-macam. Penunggu banjar ini termasuk orang yang keras dan mempunyai harga diri yang terlalu berlebihan”

Wijang tertawa. Katanya, “Seseorang kadang-kadang memang ingin menunjukkan bahwa ia berkuasa. Ia mempunyai wewenang untuk menentukan tatanan di lingkungan kekuasaannya.

Penjaga banjar itu pun ingin menunjukkan bahwa ialah yang berkuasa di banjar itu”

“Sementara itu ada penunggu banjar yang lain yang bukan saja membuka pintu banjarnya bagi orang-orang yang kemalaman, tetapi juga membuka hatinya”

Wijang menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, maka keduanya pun telah meninggalkan padukuhan tempat mereka bermalam. Ketika mereka menjumpai sebuah sungai kecil yang airnya bening, maka keduanya pun menyempatkan diri untuk mandi.

“Kita masih mempunyai waktu. Hari masih pagi” berkata Wijang.

Keduanya pun kemudian telah menuruni tebing yang tidak terlalu dalam. Di sebuah lekuk yang agak dalam keduanya mandi sambil mencuci kain panjang serta baju mereka. Sementara itu, matahari pagi pun telah bertengger di langit.

Sejuknya mandi di pagi hari. Di sungai, mereka tidak perlu menimba air mengisi jambangan di pakiwan banjar yang penunggunya berwajah gelap. Namun Wijang pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berdesis, “Kau dengar langkah orang berlari?”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar