ADBM3-273


<<kembali | lanjut >>

DENGAN demikian, maka orang-orang yang tiba-tiba saja membuat kekacauan itu telah hilang dari penilikan para prajurit yang terkejut.

Bukan saja para prajurit, tetapi orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu pun terkejut. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putih juga terkejut. Demikian pula Ki Ajar Gurawa dan anggauta Gajah Liwung yang lain. Mereka tidak sempat melihat kemana orang-orang itu melarikan dirinya. Yang mereka tahu, orang-orang itu bagaikan titik-titik air yang terhempas diderasnya ombak lautan. Hilang.

Namun seorang perwira segera naik ke panggung. Dengan lantang ia berkata, “Jangan menjadi resah dengan satu permainan kasar dari orang-orang tidak dikenal. Kita akan melanjutkan pertandingan pada putaran berikutnya. Ampat orang akan bertanding sodoran untuk memperebutkan tempat pada putaran terakhir.”

Demikianlah, menjelang putaran berikutnya, maka para prajurit pun telah menebar. Mereka berada diantara para penonton. Bahkan para petugas sandi berkeliaran menyusup disegala sudut. Selain mereka, para anggauta Gajah Liwung pun telah berjaga-jaga menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Para penonton memang menjadi gelisah. Tetapi ketika mereka melihat prajurit yang ada diantara mereka, maka mereka menjadi lebih tenang.

Namun dalam pada itu, ketika pertandingan itu diteruskan dan dua pasang peserta akan tampil di arena, maka para penonton itu sudah agak melupakan orang-orang yang telah membuat pertandingan itu terganggu.

Ketika kemudian waktu beristirahat sudah dianggap habis, maka telah turun ke arena peserta pertama dari kedua pasang peserta sodoran itu.

Yang turun ke arena pada giliran pertama itu adalah seorang anak muda dari kelompok Kelabang Ireng melawan anak muda yang dikirimkan oleh sebuah Kademangan.

Demikian bende ketiga berbunyi, maka perwira yang memimpin pertandingan itu pun telah memberikan aba-aba.

Sejenak kemudian, maka sodoran itu pun telah dimulai. Justru karena pesertanya adalah peserta terakhir, maka sodoran itu telah berlangsung dengan sangat serunya. Ternyata anak dari Kademangan diluar Kotaraja itu juga memiliki ketrampilan yang tinggi. Anak muda dari kelompok Kelabang Ireng itu menjadi amat marah. Beberapa kali ia berusaha untuk mendorong anak muda itu setelah tongkatnya berhasil untuk mendorong anak muda itu setelah tongkatnya berhasil menyusup pertahanan perisainya. Namun anak muda dari Kademangan itu sempat pula menyelamatkan diri. Bahkan tongkatnya pun beberapa kali berhasil menusuk tubuh lawannya, sehingga anak muda dari kelompok Kelabang Ireng itu pun beberapa kali telah terayun hampir kehilangan keseimbangannya.

Namun akhirnya ternyata bahwa yang terbaik diantara merekalah yang menang. Anak muda dari Kademangan itu tubuhnya memang sangat liat. Betapa ia terdorong oleh tongkat lawannya, namun ia masih mampu menggeliat dan menyelamatkan diri.

Karena itu, maka mereka telah bermain cukup lama, anak muda dari kelompok Kelabang Ireng itulah yang justru benar-benar kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh dari punggung kudanya.

Namun anak muda itu segera bangkit. Kemarahannya hampir saja tidak terkendali, sehingga hampir saja ia meloncat kembali ke punggung kudanya.

Tetapi ketika sorak orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu menggelegar menggetarkan udara alun-alun itu, maka ia mulai berpikir. Apalagi ketika tiga orang prajurit telah berdiri disekitamya. Seorang dengan tangkas menangkap kendali kudanya, seorang membantunya namun lebih banyak menariknya minggir. Sementara yang seorang lagi mengamati suasana.

Anak-anak Kelabang Ireng hampir tidak percaya bahwa kawannya itu dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda yang tidak mengenakan ciri kelompok apapun sejak permulaan. Namun itu sudah menjadi satu kenyataan, sehingga mereka tidak dapat berbuat sesuatu.

Bagian terakhir dari putaran itu adalah anak muda yang ternyata seorang dari kelompok Sidat Macan dan seorang lagi dari kelompok Macan Putih. Pertandingan yang semacam pertandingan ulangan yang terjadi antara kedua kelompok yang memang sedang bersaing itu.

Ketika pertandingan itu dimulai, maka penonton benar-benar telah tenggelam dalam suasana ketegangan. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, sehingga dengan demikian maka pertandingan itu benar-benar menjadi puncak pertandingan sodoran.

Tetapi akhirnya, pertempuran itu pun berakhir pula. Anak muda dari kelompok Sidat Macan itu telah kehilangan keseimbangan. Ketika ia berusaha mendorong lawannya, maka lawannya justru dapat mengelak. Bahkan dengan tangkas mengendalikan kudanya berputar searah dengan lawannya. Dari samping dengan cepatnya anak muda itu menusukkan tongkatnya mengenai lambung bagian atas.

Maka berakhirlah pertandingan yang sangat seru itu, karena anak muda dari kelompok Sidat Macan itu telah terdorong jatuh.

Dengan demikian maka telah diumumkan bahwa pertandingan terakhir sodoran akan dilakukan dua hari kemudian. Yang akan dipertandingkan dihari berikutnya adalah pertarungan antara lembu-lembu jantan melawan mereka yang telah menyatakan diri untuk melakukannya, yang ternyata ada lima orang, sebanyak lembu yang disediakan.

Para perwira memang menjadi agak heran ketika pada hari terakhir itu justru ada lima orang yang menyatakan diri mengikuti pertandingan yang memang berbahaya itu. Justru setelah seseorang naik dengan tiba-tiba keatas panggungan kecil dan menyatakan bahwa pertandingan melawan lembu jantan adalah pembunuhan.

“Kita harus berhati-hati” kala seorang perwira kepada para penyelanggara yang lain.

Yang bertanggung jawab alas pertandingan sodoran justru berkata, “Semula aku mengira bahwa pertandingan sodoran dihari terakhir antara anak muda dari Macan Putih itu akan berhadapan dengan anak muda dari Kelabang Ireng. Namun ternyata tidak. Aku merasa bahwa tugas kita menjadi agak ringan setelah hari ini, anak-anak muda dari kelompok Sidat Macan telah habis. Demikian pula dari kelompok Kelabang Ireng dan kelompok-kelompok yang lain, sehingga tugas kita dihari terakhir menjadi lebih ringan. Namun tiba-liba telah timbul persoalan baru, justru karena ada lima orang yang tiba-tiba mcnyatakan diri untuk ikut dalam pertandingan yang berbahaya itu.”

Namun perwira yang bertanggung jawab dalam pertandingan melawan lembu jantan itu berkata, “Kita akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Seperti yang kita rencanakan, bahwa arena akan dilingkari oleh prajurit bersenjata. Kecuali untuk menjaga agar lembu jantan itu tidak keluar dari arena, juga untuk melindungi mereka yang bertanding di arena. Lima orang prajurit akan turun ke arena setiap putaran pertandingan. Jika keadaan gawat, maka para prajurit akan memancing perhatian lembu-lembu jantan itu. Semua prajurit, baik yang ada di dalam arena, maupun yang melingkari arena adalah prajurit berperisai disamping bersenjata.

“Kita jadi teringat pada upacara rampogan” berkata seorang perwira yang lain, “acara itu akan menarik jika diselenggarakan untuk menutup acara ini.”

“Kita belum siap untuk menyelenggarakannya. Apalagi rampogan memang tidak termasuk rencana. Dalam satu dua hari ini, kita belum tentu berhasil menangkap seekor harimau jantan yang garang untuk menyelenggarakan acara rampogan.” jawab yang lain.

Namun ketika mereka kembali berbicara tentang lima orang yang akan mengikuti pertandingan melawan lima ekor lembu jantan, maka mereka sepakat untuk berbicara dengan Ki Wirayuda.

“Justru saat mereka memberikan pernyataan kesediaan mereka itulah yang mencurigakan” berkata seorang perwira ketika mereka menghadap Ki Wirayuda sambil melaporkan bahwa seseorang telah mengganggu jalan pertandingan meskipun segera dapat diatasi. Namun orang itu kemudian hilang diantara para penonton.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya persoalan antara kelompok tidak menimbulan masalah. Meskipun kadang-kadang terasa sedikit banyak, namun dengan cepat dapat diatasi. Yang kemudian harus mendapat perhatian adalah orang lain yang justru ingin membuat acara-acara dibagian akhir menjadi berkesan buruk.”

“Jadi bagaimana dengan kelima orang itu?, “benanya perwira yang bertanggung jawab pada pertandingan yang berbahaya itu.

“Apakah kalian melihat kemungkinan buruk akan terjadi?” bertanya Ki Wirayuda.

“Memang mungkin sekali terjadi. Tetapi kami sudah mempersiapkan kelompok-kelompok prajurit pilihan untuk menguasai keadaan.” jawab perwira itu.

“Baiklah. Jika demikian, acara itu dapat dilanjutkan. Tetapi kita semuanya harus berhati-hati. Kita harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.” berkata Ki Wirayuda kemudian.

Para perwira itu mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah mereka memang sudah bersiap.

Demikianlah, disisa hari itu, serta di malam harinya, para petugas telah mempersiapkan segala keperluan pertandingan yang paling berbahaya dihari berikutnya. Lima ekor lembu jantan masih terikat ditempatnya. Dikeesokan harinya, satu demi satu lembu jantan yang masih liar itu akan diturunkan kearena.

Namun malam itu Ki Wirayuda telah berbicara dengan anggauta Gajah Liwung termasuk Ki Ajar Gurawa. Ki Wirayuda ternyata memberikan pesan khusus agar mereka ikut berhati-hati.

“Ada sejumlah petugas sandi yang akan berada diantara penonton. Tetapi kami masih memerlukan bantuan kalian. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi becok. Tetapi bahwa tiba-tiba saja di hari terakhir terdapat lima nama yang menyatakan diri untuk bertarung dengan lembu jantan yang liar itu memang sangat menarik perhatian.” berkala Ki Wirayuda.

Para anggauta Gajah Liwung itu mengangguk-angguk. Sabungsari yang diserahi tanggung jawab atas kelompok yang menamakan diri Gajah Liwung itu sempat memberikan beberapa pesan tentang isyarat-isyarat diantara mereka.

“Kehadiran orang-orang yang tidak dikehendaki di alun-alun memang menarik perhatian. Seseorang yang tiba-tiba muncul di-panggungan serta pernyataan kelima orang untuk mengikuti pertandingan yang berbahaya itu memang harus mendapat perhatian yang khusus” berkata Sabungsari kemudian.

“Karena itu kami, para petugas, minta bantuan kalian.” berkata Ki Wirayuda kemudian.

Anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung serta Ki Ajar Gurawa itu pun mengangguk-angguk. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa dengan demikian, Ki Wirayuda serta para perwira yang bertugas menganggap bahwa persoalannya menjadi sangat gawat menurut perhitungan mereka.

“Besok aku sendiri juga akan berada di alun-alun” berkata Ki Wirayuda. Lalu katanya pula, “Malam ini aku akan melaporkannya kepada Ki Patih. Mudah-mudahan Ki Patih masih bersedia menerima kedatanganku. Jika tidak, maka besok pagi-pagi sebelum pertandingan dimulai aku akan menghadap lagi.”

Anak-anak muda anggauta Gajah Liwung dan Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk pula. Dengan nada dalam Sabungsari kemudian berkata, “Ki Wirayuda. Sejauh dapat kami lakukan, maka kami akan melakukannya.”

“Terima kasih. Tetapi sekali lagi aku pesan, berhali-hatilah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.” Sahut Ki Wirayuda.

Sabungsari pun sekali lagi memberikan pesan tentang isyarat diantara mereka agar mereka dapat saling membantu jika diperlukan. Ia sengaja menyebut isyarat itu agar Ki Wirayuda juga dapat mengetahuinya.

Demikianlah maka anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu pun segera minta diri. Mereka tidak kembali ketempat tinggal mereka karena terlalu jauh. Sebagian dari mereka akan pergi kerumah Ki Lurah Branjangan. Sebagian akan tetap berada di rumah Ki Wirayuda sedangkan yang lain akan berada dirumah Ki Ajar Gurawa yang lebih dekat daripada tempat tinggal mereka.

Pagi-pagi menjelang matahari terbit, Sabungsari, Glagah Putih dan dua orang lainnya yang bermalam dirumah Ki Lurah Branjangan telah berada di alun-alun. Sejenak kemudian telah datang pula dua orang yang bermalam dirumah Ki Wirayuda. sementara yang lain datang lebih siang bersama Ki Ajar Gurawa. Namun mereka masih terhitung datang cukup pagi. Karena itu mereka mendapat tempat sebagaimana mereka kehendaki. Sabungsari dan Glagah Putih berada di dekat arena yang memang agak luas. Kemudian Ki Ajar Gurawa akan melihat-lihat diseputar arena bersama kedua orang muridnya. Sedangkan dua orang yang lain akan mengawasi lembu-lembu jantan yang terikat dipinggir alun-alun. Selebihnya akan menjadi penghubung diantara mereka.

Demikianlah, ketika matahari mulai naik, maka terdengar beberapa pengumuman dari para prajurit yang menyelenggarakan pertandingan di alun-alun itu. Seorang perwira telah naik ke atas panggungan dan minta agar para pengunjung membantu agar pertandingan dapat berlangsung dengan baik.

“Lima orang akan memasuki arena pertandingan” berkata perwira itu yang kemudian menyebut nama kelima orang yang telah menyatakan diri untuk mengikuti pertandingan.

Setiap orang yang namanya disebut segera tampil keatas panggungan kecil itu. Orang yang dipanggil pertama kali ternyata seorang yang pantas untuk bertarung dengan seekor lembu jantan yang liar. Namun orang kedua, ketiga dan selanjutnya agaknya meragukan, apakah mereka benar-benar akan menusuki gelanggang pertarungan dengan seekor lembu jantan yang nampak masih liar dan garang. Keempat orang itu nampaknya agak kurang meyakinkan. Baik tubuhnya maupun sikapnya.

Ketika hal itu disebut-sebut oleh Glagah Putih, maka Sabungsari pun mengangguk-angguk kecil. Nampaknya kedua anak muda itu berbicara bersungguh-sungguh. Mereka tidak lagi bergurau sebagaimana kebiasaannya mereka. Ketika Naratama berdiri didekat mereka, dipinggir arena, Sabungsari berkata, “Tolong, awasi dengan ketat orang-orang yang mendekati lembu-lembu jantan itu selain para petugas.”

Naratama mengangguk kecil. Sementara itu Sabungsari berdesis, “Orang yang mengikuti pertandingan itu agak kurang meyakinkan.”

Sejenak kemudian Naratama telah hilang diantara penonton. Meskipun agak sulit, namun ia berhasil menyusup mendekat kepinggir alun-alun, tempat lembu jantan itu diikat dengan kuatnya.

Setiap kali pertandingan akan dimulai, maka enam orang prajurit akan membawa seekor lembu jantan ke arena. Dua utas tali yang kuat disebelah kiri dan kanan masing-masing akan dipegangi oleh tiga orang. Tali itu akan ditebas hingga putus diarena apabila lembu itu sudah berhadapan dengan seorang peserta.

Sejenak kemudian, maka perwira yang berada dipanggungan telah mempersilahkan kelima orang peserta itu turun dan mengisyaratkan bahwa pertandingan akan segera dimulai.

Ketika bende kemudian berbunyi sekali, maka sepasukan prajurit telah mengitari arena dengan tombak panjang ditangan kanan dan perisai yang kuat ditangan kiri. Mereka berbaris berjajar rapat mengelilingi arena. Mereka juga harus berusaha menghalau lembu jantan itu kembali ke tengah-tengah arena. Ada pun arena itu sendiri ternyata telah dibatasi bukan saja dengan gawar lawe, tetapi dengan patok-patok bambu rendah yang cukup kuat, sehingga lembu-lembu liar itu tidak akan dapat menyerang orang-orang yang berada diluar arena.

Sejenak kemudian, maka bende pun telah berbunyi dua kali. Sekelompok prajurit telah mengambil seekor lembu jantan yang diikat dengan kuatnya dipinggir alun-alun. Enam orang prajurit memegangi dua utas tali yang kuat disebelah kiri dan kanan. Kemudian beberapa orang prajurit yang lain ikut mengawalnya membawa masuk ke arena.

Ketika bende berbunyi tiga kali. maka lembu jantan itu sudah berada diarena. Tetapi tali-talinya masih tetap dipegang oleh enam orang prajurit.

Namun sudah mulai tampak, bagaimana lembu jantan yang masih liar itu berusaha membebaskan diri, sehingga enam orang itu harus tetap memeganginya dan menahan gerak lembu liar itu dengan sekuat tenaga.

Perwira yang memimpin pertandingan itu telah memberikan isyarat kepada peserta yang mendapat giliran pertama untuk bersiap. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan tangan serta kakinya nampak kuat seperti kaki lembu jantan itu sendiri.

Sorot matanya yang tajam, seakan-akan bersembunyi dibawah alisnya yang tebal. Kumisnya melintang dibawali hidungnya yang besar.

Orang itu tiba-tiba saja telah berteriak, “aku sudah siap.“ Para prajurit yang membawa lembu liar itu masuk ke arena kemudian telah memotong tali yang panjang ini dibarengi sorak penonton yang gemuruh.

Lembu jantan itu pun segera merunduk. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Tetapi sama sekali bukan untuk memberi hormat.

Orang yang telah bersiap untuk bertanding itu tidak mau didahului dan diserang lembu itu dengan tanduknya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah meloncat menggapai kepala lembu itu. Kedua tangan nya dengan kuatnya telah menangkap kedua tanduk lembu jantan itu dan berusaha untuk memutarnya.

Tetapi lembu yang besar dan kuat itu meronta. Untuk beberapa saat orang yang bertubuh tinggi besar dan tegar itu masih berusaha untuk memilin kepala lembu. Namun tiba-tiba lembu itu berhasil mengibaskan kepalanya, sehingga orang itu telah terlempar dan jatuh berguling.

Beberapa orang prajurit dengan cepat berusaha melindunginya sampai orang itu bangkit. Beberapa tombak panjang telah diarahkan ke lembu jantan itu sambil berlindung dibalik perisai yang kuat. Namun orang itu dengan cepat bangkit sambil berteriak, “Aku tidak apa-apa. Biarkan aku menyelesaikannya sendiri.

Ketika para prajurit itu menyibak, maka orang itu berusaha untuk menarik perhatian lembu jantan itu. Dengan marah lembu jantan itu berlari dengan menundukkan kepalanya, Tanduknya sudah siap mengoyak tubuh orang yang dianggapnya mengganggunya itu. Namun ketika lembu jantan itu berlari kencang untuk membentur dengan kepalanya yang bertanduk kearah lawannya, orang yang bertubuh tinggi kekar itu meloncat tinggi, sehingga lembu itu berlari dibawahnya tanpa menyentuhnya. Bahkan lembu jantan itu telah membentur patok-patok bambu yang kuat dan rapat yang mengelilingi arena.

Ketika para prajurit akan menghalau lembu itu ketengah dengan menyentuhnya dengan ujung tombak panjang, maka orang yang bertempur melawan lembu jantan itu telah lebih dahulu menarik ekor lembu itu sekuat tangannya.

Lembu itu menjadi semakin marah. Dengan serta merta lembu itu membalikkan tubuhnya dan langsung menyerang, Tetapi orang itu pun bergerak cepat. Dengan tangkasnya ditangkapnya kepala lembu itu dan berusaha untuk memutarnya.

Sekali lagi lembu itu berusaha mengibaskan orang yang memegangi kepalanya dengan kuatnya itu. Ternyata bahwa kekuatan lembu jantan itu memang luar biasa sehingga kelika sekali lagi lembu itu mengibaskan lawannya, maka orang itu pun telah terpental pula.

Dengan kerasnya orang itu telah membentur patok-patok bambu diseputar arena sehingga orang itu menyeringai kesakitan, namun dengan tangkasnya orang itu pun bangkit berdiri tepat pada saat lembu itu menyerangnya.

Sambil menjatuhkan dirinya orang itu berhasil menghindari serangan lembu jantan yang garang itu.

Para prajurit memang menjadi berdebar-debar. Mereka pun semakin bersiaga untuk menjaga, agar orang yang ikut dalam pertandingan itu tidak mengalami cidera yang parah.

Setelah berguling beberapa kali, maka orang itu pun telah bangkit berdiri. Namun temyata punggung orang itu merasa kesakitan.

Seorang perwira dengan cepat bertanya, “Apakah pertandingan harus dihentikan?”

“Tidak” teriak orang itu, “aku harus dapat membunuh lembu jantan itu.”

Dengan demikian maka pertandingan itu pun diteruskan sesuai dengan keinginan orang itu. Namun kemudian ternyata bahwa memang sulit untuk menunjukkan lembu jantan yang masih sangat liar itu. Usaha orang itu untuk mematahkan leher lembu jantan itu tidak juga berhasil.

Sabungsari dan Glagah Putih memang menjadi tegang. Menundukkan seekor lembu jantan yang masih liar memang dibutuhkan bukan sekedar kekuatan. Tetapi juga kemampuan ilmu yang tinggi. Kemampuan menyalurkan kekuatan didalam diri yang diasah dengan laku yang tekun.

“Apalagi menundukkan Kebo Danu sebagaimana dilakukan Mas Karebet pada waktu itu” tiba tiba saja Sabungsari berdesis.

Namun dalam pada itu, Sabungsari dan Glagah Putih terkejut. Mereka melihat satu isyarat yang meskipun samar. Orang yang ada di arena itu, telah mengayunkan tangannya dengan gerakan yang khusus.

Para prajurit yang bertugas tidak begitu menghiraukan gerak tangan peserta itu. Mereka lebih memperhatikan pertarungan yang semakin sengit dan berbahaya.

Sabungsari dan Glagah Putih juga tidak begini cepat menanggapi isyarat itu seandainya tidak ada seorang yang dengan cepat meninggalkan tempatnya. Adakah kebetulan bahwa orang itu berdiri tidak terlalu jauh dari Sabungsari dan Glagah Putih.

“Ada sesuatu yang penting untuk diperhatikan” desis Sabungsari.

Glagah Putih pun segera tanggap. Dengan tepat ia pun bergeser. Bersama Sabungsari ia mengikuti orang yang menyusup diantara penonton yang tercengkam oleh pertarungan didalam arena itu.

Namun Sabungsari dan Glagah Putih tidak dapat berjalan secepat orang itu. Para penonton yang merasa didesak oleh orang itu justru telah mengumpannya. Sementara Sabungsari dan Glagah Putih akan lewat. Karena itu, maka orang-orang yang berdesakan itu pada umumnya tidak mau memberikan jalan kepada mereka.

Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, maka Sabungsari dan Glagah Putih telah kehilangan orang itu. Namun keduanya bergeser terus. Mereka memperhitungkan sesuatu akan terjadi di sekitar arena itu.

Sejenak kemudian, terdengar orang-orang yang memperhatikan pertarungan diarena itu bersorak-sorak ketika orang yang bertubuh tinggi kekar itu sekali lagi dapat meraih dan berpegang pada tanduk lembu jantan itu dengan erat. Dengan sekuat tenaga orang itu berusaha untuk memilin kepala lembu jantan itu. Namun lembu jantan yang liar itu ternyata masih tetap memiliki kekuatannya dengan seutuhnya. Sehingga karena itu, maka sekali lagi orang itu telah terlempar jatuh. Namun dengan tangkasnya ia telah meloncat bangkit kembali.

Tetapi dalam pada itu, alun-alun itu telah dikejutkan oleh teriakan-teriakan nyaring. Para penonton yang ada dialun-alun itu pun menjadi kacau balau. Mereka berteriak-teriak sambil berlari-larian. Saling berdesakan dan bahkan mereka tidak menghiraukan lagi ketika satu dua orang terjatuh dan terinjak-injak.

“Gila. Apa yang terjadi” geram Sabungsari. Ia tidak lagi berusaha menyusup sambil minta maaf kepada orang-orang yang terdesak. Tetapi ia pun segera menyibak orang-orang yang berdiri disepanjang langkahnya.

Glagah Putih pun telah bergegas untuk melihat apa yang telah terjadi.

“Lembu jantan itu terlepas. Lembu jantan itu terlepas” terdengar orang-orang berteriak-teriak.

Sabungsari tidak tertahankan lagi. Ia pun segera berlari menuju ketempat ampat ekor lembu jantan itu terikat.

Ketika ia mendekat pinggir alun-alun itu, maka suasana benar-benar telah kacau balau. Beberapa orang prajurit berusaha menahan lembu jantan telah terlepas dari ikatannya. Sementara itu beberapa orang prajurit telah terkapar disekitar tempat lembu jantan itu ditambatkan.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sabungsari kepada seorang prajurit yang berusaha mengurangi keributan.

“Lembu itu terlepas. Keempat-empatnya” jawab prajurit

itu.

“Bagaimana itu terjadi?” bertanya Sabungsari.

“Sekelompok orang telah menyerang kawan-kawan yang bertugas. Sementara yang lain memutuskan tali-talinya, sehingga lembu liar itu mengamuk. Beberapa orang prajurit berusaha menahan lembu-lembu itu.” jawab prajurit itu.

Sabungsari pun dengan cepat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh prajurit itu. Ia melihat beberapa orang prajurit berusaha untuk menahan kerbau-kerbau liar. Tetapi justru beberapa orang prajurit telah terkapar. Senjata para prajurit yang melukai lembu-lembu jantan yang liar itu, membuat lembu-lembu jantan itu semakin mengamuk.

Glagah Putih pun telah meloncat mendekati seekor lembu jantan. Dengan cepatnya ia memburu lembu yang mengejar beberapa orang yang berlari-larian sambil berteriak teriak Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat kepunggung lembu liar itu langsung menangkap tanduknya. Tetapi karena Glagah Putih tidak mapan, maka dengan sekali kibas, Glagah Putih terlempar jatuh.

Namun lembu itu telah berhenti. Ia memutar tubuhnya menghadap kepada Glagah Putih. Sejenak kerbau itu merunduk. Namun kemudian kakinya mulai bergerak untuk membenturkan kepala dengan tanduknya yang runcing itu kcarah orang yang telah berani melawannya itu.

Tetapi Glagah Putih pun telah dengan cepat meloncat Sebelum kerbau itu berlari menyerangnya, Glagah Putih telah meloncat menjangkau kepala kerbau jantan yang liar itu.

Sementara itu, Sabungsari pun telah memburu seekor kerbau yang lain. Ia pun berusaha untuk menjinakkan kerbau itu. Namun seperti Glagah Putih, maka Sabungsari pun telah terlempar pula dan jatuh menimpa seorang prajurit yang berusaha membantunya.

Kekacauan itu ternyata telah beruntun. Sementara terdengar teriakan-teriakan yang mengerikan, maka orang yang bertarung di-arena pun seakan-akan menjadi gila. Ia pun dengan serta merta telah membuka pintu arena, sehingga lembu jantan yang liar itu sempat berlari keluar. Namun disekitar arena itu terdapat banyak prajurit bersenjata tombak dan perisai.

Tetapi lembu jantan itu benar-benar liar. Beberapa ujung tombak memang menyentuh tubuhnya. Tetapi demikian garangnya lembu itu berlari menyibak para prajurit. Mereka masih berusaha menahan lembu itu dengan tombak-tombak panjang mereka. Namun beberapa buah tombak justru menjadi patah.

Luka-luka ditubuh lembu itu membuat lembu itu semakin liar. Sementara itu, orang yang melawannya di arena mempergunakan kesempatan itu untuk menghilang dikeributan para penontonnya.

Para prajurit pun berlari-larian untuk mengekang suasana. Tetapi mereka memang kurang memperhitungkan kemungkinan lembu-lembu jantan itu terlepas. Para prajurit Mataram tidak berpikir, bahwa ada tindakan yang demikian kasarnya tanpa menghiraukan korban yang bakal jatuh.

Ki Wirayuda yang ada di alun-alun itu segera menghubungkan peristiwa itu dengan laporan tentang beberapa orang yang kemarin mengganggu pertandingan. Namun Ki Wirayuda juga menghubungkan dengan kegagalan Podang Abang dan orang-orang yang bekerja bersamanya.

Ketika para prajurit mengejar lembu jantan yang lepas dari arena dengan tombak-tombak panjang, maka seseorang telah melompat dari antara orang-orang yang berdesakan, langsung kepunggung lembu itu. Sementara itu dua orang anak muda telah berusaha untuk menggapai tanduk lembu jantan itu.

Ternyata Ki Ajar Gurawa pun telah bertindak cepat. Ia tidak mau membiarkan korban berjatuhan. Karena itu, bersama dua orang muridnya ia telah berusaha untuk menguasai lembu jantan liar yang terluka itu.

Disisi lain dari alun-alun itu, Glagah Putih pun sedang bertarung dengan seekor lembu liar yang terlepas. Demikian pula Sabungsari pada jarak yang jauh. Sementara para prajurit berusaha menguasai dua ekor lembu jantan yang lain yang berlari-larian diantara orang-orang yang menjerit-jerit ketakutan.

Beberapa orang anggauta Gajah Liwung yang lain pun tidak tinggal diam. Mereka pun segera berusaha untuk mencapai tempat yang menjadi kacau.

Namun satu hal yang membuat jantung beberapa orang perwira yang menyaksikan menjadi berdegup keras. Ternyata anak-anak muda yang sedang menonton yang masih mempergunakan ciri-ciri kelompoknya tidak tinggal diam. Anak-anak muda yang memakai ciri harimau di lengan bajunya yang merupakan ciri dari kelompok Macan Putih, mereka yang memakai ciri Sidat Macan yang loreng-loreng, dan mereka yang mempergunakan ciri Kelabang berwarna hitam dan yang lain-lain, telah turun membantu para prajurit untuk menjinakkan lembu-lembu jantan yang mengamuk itu. Mereka berusaha untuk ikut serta menguasai lembu-lembu jantan yang semakin liar, sedangkan yang lain membantu perempuan dan anak-anak yang terdesak diantara orang-orang yang berlari-larian.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Ajar Gurawa serta kedua orang muridnya yang dibantu oleh para prajurit dengan tombak-tombak panjang serta perisai ditangan kiri telah dapat menguasai seekor dari lembu jantan itu. Namun tidak ada pilihan lain. Lembu jantan itu pun terkapar mati diantara keributan yang terjadi.

Dalam pada itu, Sabungsari pun sedang berusaha untuk menguasai seekor diantara lembu-lembu jantan itu. Dengan kuutnya ia berusaha memegangi tanduk lembu jantan itu. Seperti orang yang bertarung diarena, maka Sabungsari pun telah berusahu memutar kepala lembu itu untuk menjatuhkannya. Tetapi lembu jantan yang liar dan marah itu justru telah mengibaskannya dengan sekuat tenaga.

Sabungsari terlempar dengan derasnya dan jatuh diatas tanah berdebu. Sementara itu lembu yang liar itu dengan mata yang merah membara telah memburunya.

Namun sabungsari segera bangkit. Ia tidak sempat berdiri tegak. Tetapi ia berlutut disatu kakinya. Dengan tajamnya ia memandang lembu jantan yang berlari kearahnya dengan kepala merunduk dan siap untuk mengoyak tubuh Sabungsari dengan tanduknya.

Beberapa orang yang sempat melihat menjerit ngeri. Mereka sudah membayangkan bahwa anak muda itu akan hancur diterjang oleh lembu jantan liar yang sedang mengamuk itu.

Namun dugaan mereka ternyata keliru. Lembu jantan yang berlari itu, tiba-tiba saja telah menyuruk dan jatuh berguling ditanah. Kaki depannya seakan-akan menjadi lumpuh dengan tiba-tiba. Bahkan lembu jantan itu hanya sempat menggeliat. Kemudian setelah melenguh tinggi lembu itu pun menjadi lemas dan mati.

Beberapa orang tidak tahu apa sebabnya, maka lembu itu tiba-tiba mati. Namun beberapa orang prajurit mencoba untuk menilai kemampuan anak muda itu. Seorang perwira yang sempat menyaksikan, seakan-akan melihat sekilas cahaya memancar dari mata anak muda itu menimpa kepala lembu jantan yang sedang merunduk itu.

Sebenarnyalah Sabungsari telah membunuh lembu itu dengan sorot matanya. Ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia tidak melakukannya, maka ia sendirilah yang akan dilumatkan oleh lembu janlan itu.

Sementara itu, Glagah Putih masih bertarung dengan seekor lembu jantan yang lain. Beberapa kali ia terlempar. Namun ia selalu meloncat bangkit dan menerkam lembu jantan itu pada kepalanya.

Beberapa orang yang semula berlarian dan saling melanggar, sebagian ada yang sempat dan berani menyaksikan pertarungan antara Glagah Putih dan lembu jantan itu. Pertarungan diluar arena pertandingan.

Ketika Glagah Putih kemudian berhasil menerkam kepala lembu itu, satu tangannya memegangi moncongnya, yang lain memegangi tanduknya, maka Glagah Putih telah menghentakkan tenaga dalam yang ada di dalam dirinya dialasi dengan ilmu yang disadapnya lewat Agung Sedayu, puncak ilmu dari cabang perguruan Ki Sadewa, sementara bertumpu pada kemampuan yang disalurkan oleh Raden Rangga dengan getaran ilmunya kedalam urat-urat nadinya, serta berpijak pada inti kekuatan bumi yang diwarisinya dari ilmu Ki Jayaraga, maka anak muda itu telah menghentakkan kepala lembu jantan itu.

Tulang-tulang leher lembu jantan itu berderak patah. Sementara itu lembu jantan itu pun telah meronta dan berguling ditanah dengan sisa kekuatannya.

Ternyata Glagah Putih tidak mampu bertahan. Ketika lembu itu berguling, maka Glagah Putih pun telah ikut berguling pula. Demikian kerasnya, sehingga tulang-tulang punggungnya serasa akan patah.

Tetapi kepala lembu jantan itu tidak terlepas dari tangannya.

Sejenak kemudian, keduanya terdiam. Orang-orang yang menyaksikan menjadi tegang.

Namun dalam pada itu, dua orang anggauta Gajah Liwung telah berlari-lari mendekatinya. Rumeksa dan Pranawa. Dengan cekatan keduanya berusaha mengangkat kepala lembu jantan yang terletak diatas tubuh Glagah Putih. Baru kemudian keduanya berusaha untuk mengangkat Glagah Putih.

Ternyata Glagah Putih pun telah mampu bangkit dan berdiri: Ia memang menggeliat. Namun ia pun kemudian berdesis, “Aku tidak apa-apa”

Orang-orang yang menyaksikannya pun kemudian telah mendekat, mereka melihat lembu jantan itu mati.

Ketika seorang diantara mereka yang menyaksikan lembu itu mati, maka ia pun berteriak, “Lembu itu mati.”

“Ya, lembu itu mati” sahut yang lain.

Tiba-tiba sorak pun terdengar gemuruh. Orang-orang yang menyaksikan itu tidak ingat lagi, bahwa mungkin masih ada lembu jantan yang lain yang mengamuk.

Tetapi suasana pun kemudian berhasil dikuasai oleh para prajurit. Lima ekor lembu jantan telah terbunuh. Dua diantaranya terbunuh oleh para prajurit dan anak-anak muda dari berbagai kelompok yang tiba-tiba saja terpanggil untuk ikut bertanggung jawab.

Namun dalam pada itu, yang masih luput dan perhatian para prajurit adalah beberapa orang yang ada diantara mereka yang mulai menjadi tenang. Meskipun sebagian dari mereka yang menonton pertandingan di alun-alun sudah meninggalkan tempat, namun masih cukup banyak rakyat Mataram yang masih berada di alun-alun untuk melihat apa yang akan berlangsung kemudian setelah kelima ekor lembu jantan itu terpaksa dibunuh.

Diantara mereka yang masih berada di alun-alun adalah justru bukan orang Mataram.

“Lihat, ikuti dan awasi terus. Dua orang diantara anak-anak muda di Mataram, berhasil membunuh masing-masing seekor lembu jantan seorang diri. Yang lain dibunuh oleh banyak orang, sehingga sama sekali tidak menarik perhatian.” seorang yang sudah separo baya menjatuhkan perintah. Lalu katanya, “Mereka adalah anak-anak muda yang telah kerasukan iblis sehingga mampu melakukannya.”

Orang-orang yang mendapat perintah tidak menjawab. Mereka langsung menyusup diantara orang banyak. Mereka berusaha untuk dapat mengawasi dua orang yang telah membunuh lembu jantan yang liar itu tanpa bantuan orang lain, bahkan untuk mengetahui nama dan kedudukan mereka.

Sabungsari dan Glagah Putih memang tidak sempat untuk merasa perlu bersembunyi diantara orang banyak. Bahkan keduanya telah bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Wirayuda yang menyaksikan lembu-lembu jantan yang terbunuh.

Dengan pengamatan yang teliti dan dilakukan oleh beberapa orang, maka mereka mengetahui bahwa anak-anak muda yang telah membunuh lembu-lembu jantan itu bernama Sabungsari dan Glagah Putih.

Sementara itu, ketika keadaan sudah menjadi tenang kembali, maka Ki Wirayuda sendiri telah berdiri diatas panggungan kecil disisi arena pertandingan. Dengan lantang Ki Wirayuda berbicara langsung kepada orang-orang yang masih berada di alun alun sementara beberapa orang prajurit masih sibuk merawat orang-orang yang terluka karena peristiwa yang tidak mereka duga sebelumnya itu.

“Aku berterima kasih kepada kalian semuanya” berkata Ki Wirayuda, “terutama kepada anak-anak muda yang selama ini kami kira tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan kerusuhan, kenakalan dan berkelahi satu sama lain. Namun dalam keadaan gawat dan tiba-tiba, ternyata aku melihat nurani mereka yang sebenarnya. Tidak kurang dari nurani para prajurit. Dengan tangkas mereka telah berbuat sesuatu. Bukan memanfaatkan kerusuhan ini untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing. Tetapi mereka telah ikut menenangkan suasana. Mereka membantu melumpuhkan lembu-lembu jantan yang mengamuk itu. Yang lain membantu perempuan dan anak-anak yang terdesak dan terinjak-injak. Mereka membantu mengamankan barang-barang berharga dan menguasai keadaan.”

Anak-anak muda dari berbagai kelompok yang masih ada dialun-alun itu mendengarkan kata-kata Ki Wirayuda. Beberapa orang justru terkejut mendengarkan pujian bagi mereka. Selama itu mereka hanya mendengar umpatan, cuci maki, dan siap bermusuhan. Baik dengan anak-anak muda dari kelompok yang lain, maupun anak-anak muda yang bekerja sama dengan para prajurit. Bahkan mereka selalu dikejar-kejar oleh para prajurit itu sendiri.

Namun Ki Wirayuda itu berkata selanjutnya, “Anak-anak muda yang telah terbangun dari tidur mereka itu telah menunjukkan kenyataan diri mereka yang sebenarnya. Kenakalan yang mereka lakukan selama ini, adalah sikap pura-pura. Mungkin karena kecewa, mungkin karena gejolak kemudaan mereka yang ingin mendapat perhatian dan pujian, mungkin karena dirumah mereka tidak mendapat ketenangan karena sikap orang tua mereka. Namun ternyata mereka tetap anak-anak Mataram yang baik.“ Ki Wirayuda berhenti sejenak. Pandangannya beredar keseputar tempat ia berdiri. Dilihatnya anak-anak muda itu mendengarkan sesorahnya. Maka katanya, “anak-anak muda Mataram yang baik. Dengarlah. Kali ini kalian telah melakukan sesuatu di saat kita semuanya terancam. Karena itu, maka kalian hendaknya tetap menjunjung tinggi panggilan ini. Lain kali yang akan mengancam Mataram bukan sekedar lima ekor lembu jantan. Tetapi sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab sebagaimana terjadi. Mereka telah berusaha untuk merampok dan bahkan membunuh Ki Patih Mandaraka. Lain kali mereka berusaha untuk menghancurkan Kotaraja dan bahkan menghancurkan Mataram. Nah, aku harapkan bahwa kalian tetap merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu, sebagaimana kalian lakukan hari ini tanpa mengenal takut menghadapi bahaya yang dapat mengancam jiwa kalian. Sehingga kalian adalah anak-anak muda Mataram yang ikut menjadi pilar-pilar yang menyangga tegaknya Mataram. Bukan hanya dapat mengganggu dan meresahkan saudara-saudara kalian sendiri. Kenakalan itu sudah lampau. Kalian harus menatap bahaya yang mengancam Mataram. Aku tidak mengatakan dari mana. Tetapi mungkin justru dari kita sendiri.”

Demikian Ki Wirayuda berhenti berbicara, maka orang-orang yang masih berada di alun-alun itu bertepuk tangan dengan riuhnya.

Tepuk tangan itu memang telah menggelitik hati anak-anak muda yang mendengarkan sesorah Ki Wirayuda. Mereka mulai bertanya kepada diri sendiri. Apa yang telah mereka lakukan selama ini.

Namun dalam pada itu, orang yang separo baya itu telah mendapat laporan tentang Sabungsari dan Glagah Putih.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya orang itu berkata, “Baiklah. Awasi kedua orang itu. Kalian harus mendapat keterangan dimana rumah mereka, dan apa hubungan mereka dengan Ki Wirayuda. Bahwa Ki Wirayuda tidak menyebut nama mereka secara khusus memang harus menjadi perhitungan. Seandainya ke duanya anak-anak muda dari kelompok-kelompok yang bersaing, Ki Wirayuda tentu akan menyebutnya dan mengucapkan terirna kasih secara khusus. Tetapi keduanya sama sekali tidak disebut-sebut. Justru karena itu, agaknya keduanya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan Ki Wirayuda sendiri sehingga ia tidak merasa perlu untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.”

Orang-orang yang memberikan laporan tentang kedua anak muda itu mengangguk-angguk.

“Pergilah. Kita harus dapat menangkap kedua anak muda itu. Awasi sejak sekarang. Jangan sampai luput dari perhatian kita. Kita sudah gagal mengacau halaukan alun-alun ini. Para prajurit kemudian mampu menguasai keadaan. Tetapi aku tidak mau bahwa di Mataram ada anak muda yang mampu melawan bahkan membunuh seekor lembu jantan seorang diri. Apalagi dalam keadaan yang tiba-tiba ini, dua orang anak muda sekaligus telah melakukannya.” berkala orang separo baya itu.

Orang yang berada dibawah perintah orang separo baya itu pun telah memencar. Mereka harus mengikuti Sabungsari dan Glagah Putih tanpa melepaskan sekejap pun. Mereka harus tahu di-mana keduanya tinggal.

Orang separo baya itu pun kemudian berdesis, “Keduanya harus dibinasakan. Kemampuan mereka membuat aku tersinggung. Muridku yang ada di arena itu tidak sempat menyelesaikan pertarungannya dengan lembu jantan liar itu.”

Namun orang itu pun tahu, bahwa muridnya memang tidak akan mungkin dapat mengalahkan lembu jantan itu. Apalagi ia tidak ingin lembu jantan itu diselesaikan di arena, karena apa yang dilakukannya adalah sekedar satu cara untuk mendapat kesempatan melepaskan lembu-lembu jantan yang lain untuk mengacaukan alun-alun. Jika para prajurit tidak mampu menguasai keadaan, maka tentu akan timbul keresahan di Mataram. Kepercayaan mereka kepada kemampuan prajurit Mataram akan runtuh, sehingga prajurit Mataram di mata orang-orang Mataram sendiri tidak akan bernilai sama sekali.

Tetapi yang terjadi ternyata tidak seperti yang diharapkan. Bahkan anak-anak muda Mataram semakin meyakini harga diri mereka, karena ada diantara mereka yang mampu membunuh lembu jantan liar itu seorang diri. Bahkan dua orang anak muda telah melakukan bersama-sama.

Sementara itu, Ki Wirayuda telah menutup pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan oleh para prajurit dibawah tanggung jawab langsung Ki Patih Mandaraka. Ki Wirayuda juga membatalkan pertandingan pada putaran terakhir antara dua orang peserta sodoran yang telah melampaui putaran-putaran sebelumnya.

“Kami memang telah menyediakan hadiah-hadiah untuk para pemenang. Kami akan membagikan hadiah-hadiah itu dalam upacara yang khusus. Para pemenang supaya menghubungi para penyelenggara untuk memberitahukan tempat tinggal mereka dengan jelas. Pada suatu hari, mereka akan dipanggil untuk menghadiri upacara khusus itu. Sedangkan permainan sodoran, dianggap bahwa kedua orang yang seharusnya mengikuti putaran terakhir sebagai pemenang bersama.” berkata Ki Wirayuda.

Dalam pada itu. orang yang berumur separo baya itu telah menyentuh seorang anak muda yang berdiri disisinya sambil berdesis, “Sekarang.”

Anak muda itu telah melangkah maju sambil berteriak, “Tidak. Itu tidak adil.”

Ki Wirayuda mengerutkan keningnya. Ia hampir menutup sesorahnya. Tetapi ia masih memberi kesempatan anak muda itu berbicara lagi, “Aku harap pertandingan pada putaran terakhir itu tetap dilaksanakan, meskipun pada hari ini telah terjadi kekacauan. Aku datang dari Grobogan. Aku datang terlambat sehingga aku tidak dapat ikut menjadi peserta. Tetapi aku ingin setelah putaran terakhir, menantang penantangnya bermain sodoran, apakah pemenang sodoran dari Mataram ini memang seorang yang memiliki kemampuan bermain watang serta memiliki ketrampilan naik kuda.”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kami sudah mengambil keputusan, sodoran putaran terakhir ditiadakan. Itu saja.”

“Aku tantang kedua-duanya bergantian. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa anak muda dari Grobogan tidak kalah tangkasnya dari anak muda Mataram,” teriak anak muda itu.

Namun tiba-tiba saja Ki Wirayuda bertanya, “Apakah benar kau anak muda dari Grobogan?”

Anak muda itu terkejut mendengar pertanyaan Ki Wirayuda. Untuk sesaat ia terdiam. Namun kemudian ia berteriak, “Ya Aku anak muda dari Grobogan. Aku sengaja datang untuk membuktikan kelebihanku dari anak-anak muda Mataram.”

Ki Wirayuda memang termaangu-mangu sejenak. Namun beberapa orang anak muda telah mendesak maju. Diantara mereka adalah kedua orang anak muda yang seharusnya memasuki putaran terakhir yang batal itu,

Anak muda dari kelompok Macan Putih yang lebih dahulu mendekati panggungan berkata, “Ki Wirayuda. Biarlah aku melayani anak muda yang menurut pengakuannya itu datang dari Grobogan.”

Ki Wirayuda mengerutkan keningnya. Seorang perwira yang menunggui pertandingan sodoran telah berkata, “Anak muda ini adalah salah satu dari antara dua orang anak muda yang seharusnya memasuki putaran terakhir pertandingan sodoran.”

Ki Wirayuda termangu-mangu sejenak. Namun anak muda itu mendesak, “Aku kira, aku akan mendapat kesempatan untuk menutup mulutnya. Anak-anak Mataram bukan hanya sekedar mampu bermain-main dengan kawan sendiri. Tetapi ia juga mampu bermain dengan para tamu yang datang khusus untuk ikut bermain.”

Ki Wirayuda masih saja termangu-mangu. Namun perwira itu mendekat dan berdesis, “Anak itu memang menunjukkan kemampuannya yang tinggi.”

“Tetapi kita tidak boleh hanyut dalam arus perasaan seperti anak-anak mudha itu” berkata Ki Wirayuda.

“Apakah kita akan membiarkan anak-anak muda itu merasa direndahkan?” bertanya perwira itu.

Ki Wirayuda masih ragu-ragu sejenak. Sementara itu anak muda yang mengaku datang dari Grobogan itu berteriak lagi, “Kecuali jika anak-anak Mataram tidak lebih dari seorang perajuk.”

“Ki Wirayuda“ anak muda dari kelompok Macan Putih jtu mendesak, “beri aku kesempatan.”

Ki Wirayuda memang menjadi tegang, Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi segala sesuatunya harus diatur sebaik-baiknya.”

“Arena bekas pertandingan dengan lembu jantan liar yang tidak masuk akal itu masih dapat dipergunakan” berkata anak muda dari Grobogan itu.

Namun seorang prajurit tiba-tiba saja berteriak, “kenapa tidak masuk akal? Dua orang anak muda Mataram dapat membunuhnya meskipun diluar arena.”

“Persetan dengan pembunuh lembu liar itu” geram anak muda yang mengaku dari Grobogan itu“ turunkan anak muda Mataram yang dianggap terbaik dalam permainan watangan. Aku ingin mencoba kemampuannya. Kemampuan anak-anak muda Mataram pada umumnya.”

“Apakah kau benar berasal dari Grobogan? Bukan dari Jipang atau dari Pajang atau dari Demak. Atau malahan dari Pati?” bertanya Ki Wirayuda.

“Sudah aku katakan. Aku datang dari Grobogan.” jawab anak muda itu.

Ki Wirayuda akhirnya tidak mempunyai keberatan yang dapat dikemukakan lagi. Apalagi ketika anak muda dari kelompok Macan Putih itu mendesak.

“Beri aku kesempatan” berkata anak muda dari kelompok Macan Putih itu.

Ki Wirayuda termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau membawa seekor kuda atau ada kuda yang sudah kau kenal baik, sehingga kau akan dapat mengendalikan dengan baik pula?”

“Aku dapat mempergunakan kuda yang manapun, asal memang kuda tunggangan” jawab anak muda itu.

Ki Wirayuda mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian bertanya kepada anak muda yang mengaku dalang dari Grobogan itu, “Kau membawa kuda?”

“Bukankah disini ada banyak kuda para prajurit?” anak muda itu justru bertanya.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata kepada seorang perwira, “Kita selenggarakan sodoran secara khusus. Anak itu telah menyinggung perasaan anak-anak muda di Mataram.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka di arena bekas arena pertandingan melawan lembu jantan yang liar itu telah dipergunakan untuk melakukan pertandingan sodoran. Namun nampaknya suasananya sudah berbeda. Bukan sekedar pertandingan untuk melihat siapakah yang terbaik. Namun anak muda yang mengaku dari Grobogan itu ingin menjajagi kemampuan anak-anak muda dari Mataram.

Namun ternyata Ki Wirayuda tidak yakin, bahwa anak muda itu berasal dari Grobogan.

”Bisa saja ia mengaku darimana pun juga” berkata Ki Wirayuda didalam hatinya.

Sejenak kemudian, dua orang anak muda sudah siap. Mereka tidak mempergunakan kuda yang sudah terbiasa dengan penunggangnya. Namun kuda-kuda yang mereka pergunakan adalah kuda yang cukup baik.

Orang-orang yang masih berada di alun-alun justru ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Meskipun alun-alun itu sudah tidak terisi penuh lagi, karena sebagian dari orang-orang yang menonton pertandingan telah berlari keluar dari alun-alun.

Sabungsari dan Glagah Putih pun telah berada dipinggir arena. Disisi yang lain, Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya juga memperhatikan pertandingan itu. Namun nampaknya salah seorang murid Ki Ajar itu terluka dikeningnya meskipun tidak terlalu dalam.

Beberapa orang prajurit telah berada didalam arena pula, sementara yang lain siap memberikan aba-aba.

Keadaan memang menjadi tegang. Para perwira dan prajurit- pun nampak mengerutkan dahi mereka. Sementara kedua orang anak muda di punggung kuda itu seakan-akan sudah tidak sabar lagi.

Bahkan anak muda yang mengaku dari Grobogan itu sempat berteriak, “He, apakah kami boleh langsung bertempur atau masih harus menunggu aba-aba?”

Perwira yang sudah siap memberikan aba itu justru menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengar pesan Ki Wirayuda, bahwa para prajurit tidak boleh hanyut dalam perasaan mereka.

Karena itu, maka perwira itu pun tidak menjawab, la langsung memberikan aba-aba kepada kedua orang anak muda itu untuk mulai dengan permainan sodoran.

Namun demikian aba-aba itu diberikan, maka dengan kasar anak muda yang mengaku dari Grobogan itu langsung menyerang. Untunglah anak muda dari kelompok Macan Putih itu cukup tangkas, sehingga ia sempat menggeliat. Tongkat lawannya terjulur sejenak dari tubuhnya.

Anak muda dari kelompok Macan Putih itu dengan cepat berusaha mengambil jarak. Kemudian ketika lawannya memutar kuda menghadap kearahnya, anak muda dari kelompok Macan Putih itu telah membalas menyerang.

Ternyata sejak mereka mulai, kedua orang anak muda itu telah mengerahkan kemampuannya. Berganti-ganti keduanya menyerang. Namun keduanya cukup tangkas untuk menangkis atau menghindari serangan itu.

Ketika tongkat anak muda yang mengaku dari Grobogan itu mengenai dada anak muda dari kelompok Macan Putih, hampir saja anak muda itu terlempar dari kudanya. Namun ternyata ia masih mampu dengan tangkas memperbaiki kedudukannya, sambil menggeser kudanya menjauh. Namun lawannya tidak membiarkannya. Dengan cepat ia memburunya.

Tetapi anak muda dari Kelompok Macan Putih itu cukup cerdik. Ketika ia sudah mapan, maka ia justru menyentuh perut kudanya dengan tumitnya, sehingga kudanya meloncat berlari justru menyongsong lawannya.

Lawannya memang agak terkejut. Tetapi tongkat anak muda dari kelompok Macan Putih itu sudah terjulur.

Ketika anak yang mengaku dari Grobogan itu berusaha menangkis serangan itu, maka tongkat itu tiba-tiba saja telah berputar sehingga sasarannya beralih, sehingga tongkat itu tidak menyentuh perisai lawannya. Tetapi demikian kuda lawannya lewat, tongkat itu telah memburunya dan mengenai lambung.

Anak muda dari Grobogan itu ternyata tidak menduga bahwa lambungnya akan terdorong demikian kerasnya. Karena itu, maka anak muda itu telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh dari punggung kudanya.

Para penonton telah bersorak gemuruh. Anak-anak muda dari kelompok-kelompok yang lain pun telah bersorak pula. Mereka ternyata tidak lagi membatasi diri dalam kelompok-kelompok. Namun mereka melihat anak muda dari kelompok Macan Putih itu telah mewakili anak-anak muda dari Mataram.

Tetapi anak muda yang mengaku dari Grobogan itu dengan tangkasnya telah meloncat bangkit. Ia tidak lagi mengikuti paugeran dalam pertandingan sodoran. Tetapi meskipun ia sudah terjatuh dari kudanya, namun ia masih menyerang dengan tongkatnya sambil berlari memburu.

Namun anak muda dari kelompok Macan Putih itu dengan tangkas berputar mengelakkan serangan itu dan melarikan kudanya menjauh.

Sementara itu beberapa orang prajurit dengan cepat masuk ke arena untuk menghentikan pertandingan itu.

“Aku belum kalah“ teriak anak muda yang mengaku dari Grobogan itu.

“Siapa yang telah jatuh dari kuda, ia dinyatakan kalah” berkata prajurit yang melerai itu.

“Itu peraturanmu. Peraturan watangan. Tetapi aku tidak sekedar ingin bermain watangan. Aku ingin membuktikan apakah sebenarnya kelebihan anak-anak muda Mataram” jawab anak muda itu.

“Kami tidak menyelenggarakan pertandingan seperti itu.” jawab prajurit itu.

Namun anak muda dari kelompok Macan Putih itu justru turun dari kudanya sambil berkata, “Biarlah. Apa yang dikehendakinya.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun anak muda dari kelompok Macan Putih itu telah maju mendekat.

Anak muda yang mengaku dari Grobogan itu telah melemparkan tongkat dan perisainya. Demikian pula anak muda dari kelompok Macan Putih yang melihat lawannya melepaskan alat-alatnya.

Prajurit yang melerai itu justru melangkah surut. Sebenarnyalah ia pun ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh anak muda yang mengaku dari Grobogan itu.

Demikianlah keduanya pun telah berhadapan dengan tidak bersenjata atau mempergunakan alat apa pun. Namun anak muda dari kelompok Macan Putih itu adalah anak muda yang paling dibanggakan oleh kelompoknya. Ia memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, bahkan dari anak-anak muda dari kelompok yang lain.

Sejenak kemudian keduanya berhadapan. Ki Wirayuda yang ada diluar arena itu pun menjadi tegang. Ia menganggap anak muda yang mengaku dari Grobogan itu sebagai anak muda yang berani, karena apa yang dilakukannya itu, dilakukannya di alun-alun Mataram.

Beberapa orang prajurit masih tetap berada di arena. Mereka akan mengamati perkelahian yang akan berlangsung tanpa senjata. Meskipun demikian, perkelahian tanpa senjata itu akan dapat mengancam keselamatan jiwa seseorang diantara mereka, apabila kedua-duanya tidak dapat mengekang diri lagi.

Karena itu, Ki Wirayuda pun telah berpesan kepada seorang perwira agar menjaga perkelahian.

“Jangan ada yang harus mengorbankan jiwanya” desis Ki Wirayuda.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun berlangsung. Keduanya memang anak-anak muda yang tangguh. Karena itu, maka perkelahian itu merupakan perkelahian yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling mendesak. Meskipun keduanya masih terbatas pada kemampuan olah kanuragan dengan kekuatan kewadagan mereka seutuhnya. Namun anak muda dari kelompok Macan Putih itu cukup trampil. Bahkan ia mampu bergerak lebih cepat dari lawannya, sehingga beberapa kali serangan-serangannya dapat mengenai lawannya.

Dengan demikian, maka anak muda yang menyatakan diri dari Grobogan itu mulai terdesak. Semakin lama keadaannya menjadi semakin sulit. Bahkan kemudian hampir tidak mampu berbuat sesuatu lagi.

Dua orang prajurit dengan cepat melerai perkelahian itu. Anak muda dari kelompok Macan Putih itu pun telah didorong mundur.

Namun para prajurit itu tidak sempat menyatakan, bahwa anak muda yang mengaku datang dari Grobogan itu kalah, karena tiba-tiba saja telah terdengar suara seseorang tertawa berkepanjangan.

Semua orang berpaling kearah suara itu. Ternyata seorang anak muda yang lain, yang sedikit lebih tua dari anak muda yang mengaku datang dari Grobogan itu telah meloncat dan bertengger diatas pojok-pojok bambu yang semula membatasi arena pertarungan dengan lembu jantan yang liar itu,

“Bagus” berkata anak muda itu, “satu diantara anak-anak muda Mataram ternyata memiliki kemampuan yang cukup. Namun sayang, anak muda itu nafasnya terlalu pendek. Aku tidak ingin menantangnya di arena ini. Namun ingat, persoalan kita belum selesai. Kita memerlukan satu arena yang jujur untuk membuktikan tingkat kemampuan kita yang sesungguhnya. Bahkan anak-anak muda yang telah berpura-pura mampu membunuh lembu-lembu jantan seorang diri itu. Lembu-lembu jantan yang nampaknya liar itu tentu sudah diberi makan dengan campuran racun yang perlahan-lahan dapat membunuhnya. Karena itu, demikian mudahnya anak-anak muda itu membunuhnya.”

Ketika seorang perwira prajurit menggeram dan bangkit untuk menanggapi orang itu, Ki Wirayuda dengan cepat menggamitnya sambil berkata, “Biarkan saja anak itu.”

Sebenarnyalah anak muda yang bertengger diatas patok-patok bambu itu segera mengajak kawannya yang berada didalam arena. “Marilah. Kita tidak dapat berbuat apa-apa disini. Mereka ternyata tidak berkelahi dengan jujur.”

“Apa yang tidak jujur?” bertanya prajurit yang bertugas di-arena itu.

“Kalian telah mempengaruhi secara jiwani, sehingga kawanku tidak dapat berkelahi dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Wajah-wajah kalian yang mengancam dan keikut sertaan para prajurit diarena ini.” jawab anak muda itu.

“Bohong” jawab prajurit itu.

Namun seorang perwira telah menahan prajurit itu agar tidak berbuat sesuatu sesuai dengan pesan Ki Wirayuda.

Kedua orang anak muda itu pun kemudian telah meninggalkan arena. Namun persoalan itu tentu belum selesai. Anak-anak muda itu ternyata masih juga bersikap mengancam.

“Mungkin mereka tidak bersungguh-sungguh” berkata Ki Wirayuda, “sekedar mempertahankan harga diri. Namun bukan berarti kita harus kehilangan kewaspadaan.“ Ki Wirayuda berhenti sejenak, lalu, “Aku ingin bertemu dengan semua pemimpin kelompok anak-anak muda yang ikut dalam segala pertandingan di alun-alun ini. Hari ini juga. Mereka harus datang kerumahku sebelum senja.”

Demikianlah, maka segala macam pertandingan telah diakhiri. Namun baik para prajurit maupun orang-orang yang menyaksikan pertandingan sampai perkelahian anak muda yang mengaku dari Grobogan itu dengan anak muda dari kelompok Macan Putih selesai, menganggap bahwa persoalannya masih belum selesai.

Dalam pada itu, orang yang separo baya yang telah mengemudikan anak-anak muda itu telah berbicara dengan mereka sambil melangkah meninggalkan alun-alun dalam arus orang banyak. Dengan anak muda yang bertengger di patok-patok bambu yang mengelilingi arena ia berkata, “Bagus. Kita telah memberikan kesan bahwa kita terlalu lemah. Namun pada saatnya kita akan memberikan peringatan kepada orang-orang Mataram. Bukan sekedar mengalahkan. Tetapi kedua orang yang dapat membunuh lembu liar itu harus mati. Kematian mereka akan menimbulkan kesan yang sangat mengerikan bagi anak-anak muda Mataram. Anak-anak muda terbaik mereka dapat kita bunuh, apalagi yang lain. Keresahan dan ketakutan itu sangat berarti untuk menjatuhkan ketahanan jiwani Mataram, terutama anak-anak mudanya yang baru saja dibangkitkan kebanggaannya oleh orang-orang Mataram yang tentu merupakan persiapan untuk memanggil mereka kedalam lingkungan keprajuritan.”

Namun dalam pada itu, seorang diantara anak-anak muda yang menyertainya bertanya, “Apakah selain kedua orang itu tidak ada lagi anak-anak muda Mataram yang perlu mendapat perhatian khusus.”

“Tentu ada. Bahkan banyak” jawab orang yang sudah separo baya itu, “tetapi kedua orang itu sudah cukup untuk memberikan contoh bahwa ada orang lain yang lebih tinggi tataran ilmunya dari pada mereka.”

“Tetapi kapan kita akan melaksanakannya?” bertanya anak muda itu.

“Orang-orang kita sedang mengawasinya. Mereka akan memberikan laporan. Kapan kita dapat bertindak.” jawab orang yang sudah separo baya itu.

“Aku akan melakukannya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku mempunyai kelebihan dari seekor lembu jantan yang liar. Betapapun kuatnya seekor lembu jantan yang liar, namun ia tidak memiliki ilmu untuk membunuh anak muda yang sombong itu.“ berkata anak muda itu.

“Anak muda itu sama sekali tidak sombong, ia melakukan yang seharusnya dilakukan. Jika ia tidak berbuat demikian, maka korban tentu akan menjadi semakin banyak.” sahut orang yang sudah separo baya itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi bukan kau yang akan menghadapinya. Kau tidak akan mampu membunuhnya. Bukankah ada diantara kita orang yang benar-benar berilmu tinggi?”

“Apakah anak muda itu terlibat dalam pertempuran yang menggagalkan usaha Ki Wanayasa dan Ki Podang Abang sehingga mereka justru dihancurkan di Kepatihan Mataram?” bertanya anak muda itu.

“Sudah tentu aku tidak tahu” jawab orang yang sudah separo baya itu, Namun katanya, “Tetapi Ki Wanayasa dan Ki Podang Abang yang berilmu tinggi itu ternyata masih belum mampu menguasai diri. Mereka tidak mempunyai perhitungan yang mapan untuk melakukan rencananya. Meskipun dua orang Rangga dari Mataram sendiri membantu mereka, namun menyerang Kepatihan adalah satu pikiran yang bodoh. Hasilnya adalah kehancuran mereka sendiri.”

“Kita tentu mempunyai rencana yang lain” berkata anak muda itu.

”Tentu. Kita akan membuat Mataram menjadi resah. Kegelisahan dan ketakutan akan menyusut kepercayaan rakyat Mataram terhadap kepemimpinan Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Kita harus memanfaatkan pertentangan yang ada diantara para pemimpin Mataram dan persaingan yang ada diantara para pemimpin Mataram dan persaingan pengaruh diantara anak-anak muda. Bukan mematikan mereka sebagaimana dilakukan oleh Wanayasa yang dungu itu. Kelompok-kelompok anak muda itu harus ditiup agar menjadi besar dan pertentangan diantara mereka akan menumbuhkan akibat yang lebih parah.” berkata orang yang sudah separo baya itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi kita memang tidak mengakui bahwa ada hubungan antara Wanayasa dan Podang Abang dengan Pati. Mereka adalah orang-orang yang bekerja atas kehendak mereka sendiri untuk mendapatkan pujian dan kedudukan.”

“Dan kita?” bertanya anak muda itu.

“Kita sama sekali tidak membutuhkan pujian dan kedudukan. Kita lakukan semuanya ini karena kita tidak ingin melihat Mataram semakin berkuasa. Anak Pemanahan itu harus dihancurkan. Kedudukannya seharusnya tidak lebih dari anak Paman Penjawi. Meskipun kebetulan Panembahan Senapati yang semasa kecilnya itu bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu diangkat menjadi putera Sultan Hadiwijaya. Tetapi hubungan antara anak dan ayah itu sudah dihapuskannya sendiri. Juga hubungan antara guru dan murid, karena landasan ilmu Sutawijaya itu berasal dari Sultan Hadiwijaya. Bukan saja ilmu Kanuragan, tetapi juga berbagai macam ilmu yang lain. Antara lain ilmu pemerintahan dan kasampumaning urip. Bahkan hubungan antara kawula dan Gusti pun telah diputuskannya saat dia menyatakan perang melawan Kangjeng Sultan. Dan perang itu memang terjadi di Prambanan” berkata orang yang sudah separo baya itu.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata, “Adipati Pati terlalu lunak sikapnya menghadapi Panembahan Senapati. Seharusnya ia bertindak atas nama ayahnya, Penjawi, mengangkat derajadnya sendiri sejajar dengan Senapati di Mataram itu.”

Tidak ada yang menyahut. Sementara itu mereka telah berjalan semakin jauh dari alun-alun. Orang separo baya itu berkata, “Aku bermalam di rumah Ki Winih. Jika kalian memerlukan aku, hubungi aku dirumah itu.”

“Baik” jawab salah seorang diantara anak-anak muda itu, “kami akan membagi diri. Aku dirumah pamanku, Ki Pucang Doyong. Yang lain dirumah Kerta Ireng.”

Orang yang sudah separo baya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Berhati-hatilah. Kita berada disatu lingkungan yang bagi kita sangat berbahaya. Apalagi kita sudah mulai menyulut apinya. Tetapi yang kita lakukan perlu mendapat penilaian lagi. Selanjutnya kita harus memilih langkah yang lebih baik dari yang sudah kita lakukan.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian mereka pun telah berpencar menuju ke tempat mereka masing-masing.

Sementara itu, maka para prajurit telah membenahi alun-alun. Membersihkan patok-patok dan gawar. Melepas panggungan dan mengatur kembali sebagaimana sebelum dipergunakan.

Ketika senja turun, maka di rumah Ki Wirayuda telah menjadi ramai. Beberapa orang anak muda telah berkumpul. Anak-anak muda dari berbagai macam kelompok yang sebelumnya saling bersaing dan saling bermusuhan. Diantara mereka hadir Sabungsari dan Glagah Putih.

Kepada anak-anak muda itu Ki Wirayuda memberikan beberapa petunjuk tentang keadaan yang sedang berkembang di Mataram, sehingga anak-anak muda itu harus mengambil tempat sesuai dengan kedudukan mereka sebagai pilar-pilar penyangga masa depan.

“Sekarang kalian melihat sendiri, apa yang terjadi di Mataram. Belum lama berlalu, Kepatihan telah diserang. Sekarang mereka telah menampakkan dirinya meskipun samar. Apa yang mereka lakukan memang belum dapat dijadikan alasan untuk menangkap mereka. Tetapi dalam keadaan seperti ini kita semuanya merasa bahwa harga diri kita sudah disentuh. Selama ini kita masing-masing selalu memandang hari-hari itu milik kita sendiri. Setiap kelompok merasa bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk berbuat apa saja tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Tetapi sekarang kita harus mulai menyadari, apa yang sebenarnya atas diri kita. Diri kita dalam keutuhan Mataram. Jika kita masing-masing merupakan anggauta badan yang sama, cubitan pada kita akan terasa sakit oleh kita semuanya, sebagaimana luka dilengan akan terasa sampai keujung kaki. Sebaliknya luka ditumit, seluruh badan akan merasa terganggu pula. Karena itu, aku minta kalian dapat menempatkan diri dengan tepat saat sekarang ini. Apalagi kalian adalah anak-anak muda yang memiliki kekuatan. Sedangkan kekuatan itu sangat diperlukan oleh Mataram sekarang ini.” berkata Ki Wirayuda.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk kecil. Mereka memang merasa bahwa harga diri mereka sebagai anak-anak muda Mataram telah tersinggung. Karena itu, maka mereka dapat lebih mudah memahami keterangan Ki Wirayuda.

“Nah” berkata Ki Wirayuda, “aku minta bantuan kalian. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan dalam keadaan gawat seperti sekarang ini. Kalian akan dapat merenung, apakah yang sebaiknya kalian lakukan besok, lusa dan seterusnya. Apakah Macan Putih, Kelabang Ireng, Sidat Macan, Panji Mas dan yang lain-lain itu masih perlu ada? Apakah kalian menyadari bahwa kelompok-kelompok kalian itu akan dapat menjadi celah-celah yang akan dapat dipergunakan untuk membelah persatuan anak-anak muda Mataram?”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Kesadaran bahwa selama ini mereka telah melakukan tindakan yang membuat para pemimpin pemerintahan dan keprajuritan menjadi sibuk dan bahkan merasa terganggu, mulai menyusup di jantung mereka.

Beberapa saat kemudian, Ki Wirayuda masih memberikan beberapa penjelasan tentang kelompok-kelompok anak muda yang sama sekali tidak menguntungkan itu.

Ketika kemudian mereka pulang, maka mereka benar-benar merenungkan kata-kata Ki Wirayuda itu. Karena itulah, maka para pemimpin kelompok itu telah memanggil kawan-kawan mereka dan mulai saling bertanya, “Apakah yang telah kita lakukan bagi Mataram?”

Sementara itu setelah pembicaraan antara Ki Wirayuda dan anak-anak muda itu selesai, maka Sabungsari dan Glagah Putih pun telah minta diri. Berdua mereka berjalan menuju ke rumah Ki Lurah Branjangan.

Ketika mereka sampai dirumah itu, maka mereka menemukan Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya berada di rumah Ki Lurah itu pula.

“Aku akan ikut bermalam di sini. Apakah diperkenankan?” berkata Ki Ajar Gurawa.

Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun sambil tersenyum Sabungsari menjawab, “Siapakah yang harus mengambil keputusan diantara kita?”

Glagah Putih pun tertawa. Tetapi katanya, “Yang memiliki rumah ini tidak ada sekarang. Apa salahnya kita bermalam disini. Penunggu rumah ini sudah mengenal siapakah kita.”

“Siapa lagi yang akan bermalam di sini?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Tidak ada. Yang lain berada di rumah Ki Wirayuda meskipun tidak ikut dalam pertemuan itu. Mereka diijinkan bermalam dirumah itu. Justru karena banyak anak-anak muda disana, maka kehadiran mereka tidak menarik perhatian lagi.” jawab Sabungsari.

Malam itu mereka memang bermalam di rumah Ki Lurah Branjangan. Orang yang dipercaya menunggui rumah itu telah menyediakan makan dan minuman mereka. Namun karena agaknya orang itu tidak mempunyai banyak uang, maka Sabungsari telah memberi uang kepadanya untuk keperluan para anggauta Gajah Liwung itu.

Dalam pada itu, Ki Winih, orang yang sudah separo baya itu duduk bersama dua orang kawannya. Mereka masih berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan. Tetapi mereka pun mulai menilai langkah-langkah yang sudah mereka lakukan dialun-alun.

Mereka tertegun sejenak ketika mereka mendengar pintu rumah itu diketuk orang.

“Siapa?” bertanya salah seorang yang ada di dalam.

“Pintu tiga, tujuh bersama-sama” jawab yang di luar. Seorang diantara ketiga orang itu bangkit untuk membuka pintu. Dua orang anak muda melangkah masuk dan duduk pula di ruang dalam bersama ketiga orang itu.

“Ada apa?” bertanya orang yang separo baya itu.

“Kiai Manuhara” berkata salah seorang diantara anak-anak muda itu, “kami sudah mengetahui rumah anak muda yang bernama Sabungsari dan Glagah Putih itu.”

“Dimana?” bertanya salah seorang yang ada di ruang dalam itu.

Anak muda itu pun segera memberikan ancar-ancar rumah yang disangkanya rumah Sabungsari dan Glagah Putih.

Namun orang itu pun kemudian berkata, “Itu rumah Ki Lurah Branjangan.”

Orang yang sudah berumur separo baya dan dipanggil Kiai Manuhara itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kau lihat anak-anak muda itu masuk kerumah itu?”

“Ya” jawab anak muda yang memberikan laporan.

”Awasi terus rumah itu” berkata Kiai Manuhara.

“Apakah kita tidak ingin bertindak cepat?” bertanya anak muda itu, “kita selesaikan mereka. Justru selagi kesan tentang lembu jantan liar yang terbunuh itu masih melekat pada orang-orang Mataram. Malam harinya, dua orang pembunuh lembu jantan itu telah terbunuh.”

Kiai Manuhara termangu-mangu sejenak. Namun ia pun bertanya, “Apakah hanya ada dua orang anak muda itu di rumah Ki Lurah Branjangan?”

“Kami hanya melihat dua orang anak muda itu masuk ke rumah itu. Karena kami tidak mengawasi orang lain, jadi kami tidak tahu apakah ada orang lain atau tidak.”

“Apakah sekarang mereka masih diawasi?” bertanya Kiai Manuhara.

“Masih. Keduanya masih tetap diawasi. Maksudku, rumah itu kini berada dalam pengawasan terus” jawab anak muda itu.

Kiai Manuhara mengangguk-angguk. Katanya, “Ada baiknya keduanya kita selesaikan sekarang. Tetapi kita harus mempunyai bahan yang cukup. Lihat dengan teliti, siapa saja yang berada di rumah itu. Aku akan bersiap-siap dengan hati-hati agar kita tidak gagal. Jika membunuh dua orang kanak-kanak saja kita sudah gagal, lalu apa yang dapat kita lakukan kemudian. Karena itu, keberhasilan kita akan dapat menjadi ukuran akan keberhasilan kita dimasa-masa mendatang. Kita harus membuat Mataram menjadi kota yang penuh dengan keresahan, ketakutan dan ketidak-pastian.”

Anak-anak muda yang datang menemui Kiai Manuhara itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Winih sendiri, seorang diantara mereka yang duduk diruang dalam itu berkata, “Ki Lurah Branjangan sendiri tidak ada dirumah. Ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Untuk sementara Ki Lurah diperbantukan kepada Agung Sedayu. Lurah prajurit dalam pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Manuhara mengerutkan keningnya. Katanya, “Satu sasaran yang menarik. Setelah membunuh anak-anak itu, maka menghancurkan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu tentu akan menimbulkan pengaruh yang besar.”

“Siapa yang akan dapat menghancurkan mereka di Tanah Perdikan Menoreh? Seandainya kau akan mencoba, maka kau harus membawa prajurit segelar sepapan. Darimana kau mendapatkannya? Apakah kau akan membawa dari Pati kemari?” bertanya Ki Winih.

Kiai Manuhara termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Aku bukan seorang yang mudah menjadi putus asa. Padepokan Jati Kenceng mempunyai kekuatan yang besar.”

Tetapi Ki Winih tertawa. Katanya, “Aku pernah berada di padepokanmu. Aku pun pernah melihat kekuatan Pasukan Khusus itu. Tiga padepokanmu tidak akan dapat mengimbangi kekuatan Pasukan Khusus yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi memiliki kemampuan yang sangat tinggi.”

”Kau mulai menghina padepokanku.” desis Kiai Manuhara.

“Apakah kau juga sudah mulai berpikir seperti Ki Wanayasa sehingga pasukannya dihancurkan meskipun Ki Podang Abang bersamanya?” bertanya Ki Wiriih.

Kiai Manuhara tidak menyahut. Namun kemudian ia pun berkata kepada anak muda yang datang kepadanya, “Lihat rumah itu. Jika yang ada hanya kedua orang anak muda itu, maka dua orang Putut padepokanku akan aku tugaskan untuk membunuh mereka berdua.”

“Kau jangan kehilangan akal seperti itu” berkata Ki Winih

“Kedua orang anak muda yang mampu membunuh lembu jantan yang liar itu tentu bukan anak muda kebanyakan. Kedua Putut itu tentu tidak akan mampu berbuat banyak. Apalagi jika dirumah itu ada orang lain.”

Kiai Manuhara tersenyum. Katanya, “Putut dipadepokanku, bukannya cantrik yang karena telah lama berguru dengan tekun, kemudian diangkat menjadi Putut tanpa pendadaran. Putut-pututku adalah orang-orang pilihan. Satu diantaranya adalah orang yang berkelahi melawan lembu jantan liar itu. Jika saja ia tidak dengan sengaja melepaskan lembu jantan itu, maka ia pun akan dapat membunuhnya.”

Ki Winih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi aku sekedar memperingatkanmu.”

Kiai Manuhara pun kemudian sekali lagi berkata kepada kedua anak muda yang melaporkan kepadanya tentang Sabungsari dan Glagah Putih, “Pergilah. Lihat rumah itu. Apa pun yang akan aku lakukan kemudian, adalah tanggung jawabku.

Kedua orang anak muda itu pun segera berangkat menuju ke-rumah Ki Lurah Branjangan. Keduanya segera menghubungi kawan mereka yang memang ditinggalkan untuk mengawasi rumah itu, apabila Sabungsari dan Glagah Putih keluar lewat regol halaman.

“Tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah itu” berkata anak muda yang mengawasi regol.

“Aku akan masuk ke halaman lewat dinding samping. Aku harus melihat apakah ada orang lain dirumah itu” berkata anak muda yang telah menghubungi Kiai Manuhara.

“Hati-hatilah” desis kawannya yang mengawasi regol halaman.

Sejenak kemudian, maka dua orang anak muda telah berusaha memasuki halaman rumah Ki Lurah Branjangan lewat dinding samping halaman. Mereka meloncat dalam kegelapan dan dengan sangat berhati-hati memasuki halaman belakang yang terlindung oleh dedaunan.

Baru kemudian, mereka merayap mendekati rumah yang masih nampak terang oleh sinar lampu minyak. Karena sebenarnyalah Sabungsari, Glagah Putih, Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya masih berbincang-bincang dipringgitan.

Dengan demikian, maka kedua orang pengikut Kiai Manuhara itu dapat langsung melihat dari samping rumah Ki Lurah. Ketika mereka mendekati rumah itu, mereka langsung mendengar beberapa orang yang sedang berbicara, meskipun tidak terlalu keras. Namun sekali-sekali mereka mendengar suara tertawa.

Dengan mudah, mereka dapat langsung menemukan sumber suara itu, karena berlima mereka berada di pringgitan. “Untunglah, kita tidak meloncat dinding depan rumah” desis salah seorang di antara dua orang pengikut Kiai Manuhara.

Kawannya mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Mereka berusaha untuk dapat mendengarkan percakapan antara kelima orang yang duduk dipringgitan. Seorang diantaranya bukan lagi anak muda. Tetapi justru rambutnya yang tergerai dibawah ikat kepalanya, sudah mulai memutih.

Seorang di antara anak muda itu telah menarik kawannya untuk berlindung kedalam kegelapan ketika kawannya itu menjadi terlampau berani melangkah semakin dekat dengan pendapa dan pringgitan rumah Ki Lurah Branjangan itu.

Namun agaknya anak muda itu ingin mendengar apa saja yang diperbincangkan oleh orang-orang yang ada dipringitan itu. Karena itu ia berdesis, “Kita tidak mendengar apa-apa disini.

Tetapi kawannya yang menariknya ke kegelapan itu menyahut perlahan-lahan. “Kita tidak perlu mendengarkan pembicaraan mereka. Yang penting kita segera kembali dan memberikan laporan, bahwa ternyata dirumah ini ada lima orang. Seorang diantaranya adalah seorang yang sudah menjelang hari tuanya.”

“Aku ingin melihat lebih jelas, apakah orang tua itu termasuk salah seorang dari antara mereka yang berusaha membunuh salah seekor lembu jantan liar yang dilepaskan langsung dari arena pertarungan, “bisik kawannya.

“Aku tidak melihat di alun-alun. Tetapi jika kau menduganya demikian, maka aku kira memang demikian. Tentu mereka memiliki kepentingan bersama. Atau mereka sudah merasa bahwa mereka perlu bergabung untuk mempertahankan diri jika mereka terancam.” desis yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak lagi berniat untuk mendekat. Seperti kawannya, maka sebaiknya hal itu dilaporkan saja langsung kepada Kiai Manuhara.

Dengan demikian, maka kedua orang yang berada di kegelapan itu bergeser semakin menjauh dari pringgitan. Kemudian meloncat ke dinding dan hilang dalan gelapnya malam diluar dinding.

Keduanya dengan tergesa-gesa kembali kerumah Ki Winih setelah memberitahukan kepada kawannya yang mengawasi regol rumah Ki Lurah Branjangan.

Laporan itu diterima oleh Kiai Manuhara dengan kerut didahinya. Apalagi ketika yang memberikan laporan berkata, bahwa orang tua yang dilihatnya adalah salah seorang diantara mereka yang berusaha membunuh lembu liar yang dilepaskan dari arena.

“Kita harus berhati-hati” berkata Ki Winih.

Kiai Manuhara mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka kita akan mengumpulkan sepuluh orang terbaik.”

“Apakah kita akan memanggil mereka kemari?” bertanya Ki Winih.

“Tentu tidak. Apakah kita sengaja menunjukkan tempat ini agar para prajurit Mataram datang untuk mengepungnya? Aku belum pikun Ki Winih!” jawab Kiai Manuhara.

Ki Winih mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia pun masih bertanya, “Jadi bagaimana?”

“Aku akan menghubungi mereka seorang demi seorang. Aku sendiri. Anak-anak itu tidak tahu dimana mereka bersembunyi. Tetapi sebaliknya, orang-orang itu pun tidak tahu aku disini. Anak-anak itu memang tidak aku pertemukan dengan mereka.” berkata Kiai Manuhara.

Anak-anak muda yang memberikan laporan itu hanya dapat mendengarkan pembicaraan itu. Mereka menyadari, bahwa ada keterbatasan pengenalan di antara para pengikut Kiai Manuhara. Bahkan ada pengikut Kiai Manuhara yang jaraknya cukup jauh dengan Kiai Manuhara itu sendiri, sebagaimana tataran yang terdapat di padepokan Jati Kenceng yang berlapis.

Karena itu ketika mereka berada di Mataram, maka mereka- pun terpisah-pisah dan dengan sengaja hubungan yang satu dengan yang lain sangat dibatasi untuk menghindarkan kaitan-kaitan yang akan dapat menjerat mereka bersama-sama jika ada diantara mereka yang tertangkap.

Seperti dikatakan oleh Kiai Manuhara, maka ia pun segera meninggalkan rumah Ki Winih. Dihubunginya orang-orangnya yang terbaik. Sepuluh orang Putut dan cantrik yang dianggap telah memiliki ilmu tertinggi diantara para pengikutnya.

Kiai Manuhara telah menunjuk tempat untuk berkumpul. Namun ia pun berpesan, “Hati-hati dengan para prajurit yang meronda di jalan-jalan induk. Juga anak-anak dari kelompok-kelompok yang semula saling bersaing yang bangkit lagi setelah kelompok Ki Wanayasa dihancurkan di Kepatihan. Tetapi anak-anak muda itu sekarang agaknya tetap berubah. Mereka ingin disebut pahlawan. Tetapi kita harus mempu memecah belah mereka lagi. Kita tidak boleh mematikan kegiatan mereka sebagaimana dilakukan oleh Ki Wanayasa dan kedua Rangga yang bodoh itu.”

Sepuluh orang telah disiapkan. Sepuluh orang terbaik yang dapat diandalkan. Tujuh orang dari padepokan Jati Kenceng dan tiga orang adalah kawan-kawan Kiai Manuhara yang mempunyai rencana sejalan dengan Kiai Manuhara sendiri.

“Aku titipkan anak-anakku kepadamu” berkata Kiai Manuhara kepada salah seorang diantara ketiga orang kawannya itu.

Tetapi orang itu menjawab, “Mereka sudah cukup dewasa. Baik umurnya maupun ilmunya. Aku tahu itu dalam latihan-latihan yang mereka lakukan di padepokanmu. Karena itu, aku tidak perlu berbuat apa-apa bagi mereka.”

“Tetapi bukankah dalam rencana ini harus ada salah seorang yang memegang pimpinan sehingga tidak semua orang memberikan perintah-perintah?” berkata Kiai Manuhara.

“Nah, siapakah yang kau anggap tepat untuk memimpin?” bertanya orang itu.

“Kau. Ki Patitis. Aku percaya padamu” jawab Kiai Manuhara.

Ki Patitis mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, kalian dengar. Hari ini aku mendapat kepercayaan dari Kiai Manuhara untuk mempimpin kalian, menghancurkan lima orang yang ada di rumah Ki Lurah Branjangan. Tugas ini adalah ujung dari kegiatan kita yang masih panjang di Mataram ini. Jika kita tidak berhasil, maka tugas-tugas kita selanjurnya akan meragukan kita, apakah kita akan dapat menyelesaikannya.”

Sembilan orang yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang menganggap bahwa Ki Patitis adalah orang yang berilmu tinggi. Lebih tinggi dari mereka semuanya.

“Pergilah” berkata Kiai Manuhara, “tetapi sekali lagi, berhati-hatilah. Ternyata yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.”

“Baiklah” jawab Ki Patitis, “kemana aku dapat menghubungi Kiai?”

”Aku akan menghubungimu. Atau orang-orangku dengan sebutan sandi sebagaimana yang sudah kita setujui.” jawab Kiai Manuhara.

Ki Patitis mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa Kiai Manuhara tidak akan mengatakan dimana ia berada kepada setiap orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu dimana ia tinggal selama ia berada di Mataram. Beberapa anak muda yang menjadi tangan ka nannya dan beberapa orang khusus.

“Sebelum fajar aku akan mengirimkan orang-orangku untuk mengetahui hasil kerja kalian” berkata Kiai Manuhara.

“Baiklah. Besok pagi-pagi tentu akan segera tersiar kabar kematian lima orang di rumah Ki Lurah Branjangan. Mataram akan menjadi gempar dan ceritera tentang pembunuh lembu jantan liar itu pun telah berakhir.” berkata Ki Patitis.

Kiai Manuhara tidak menjawab. Namun ia pun segera menghilang dalam kegelapan meskipun masih terdengar sekali lagi ia berpesan, “Hati-hati dengan prajurit yang meronda.”

Demikianlah, maka Ki Patitis pun segera membawa sepuluh orang termasuk dirinya menuju kerumah Ki Lurah Branjangan. Namun mereka tidak beriringan bersama-sama, karena mungkin sekali sekelompok prajurit peronda akan menyusuri jalan-jalan penting di Mataram.

Ki Patitis telah memerintahkan orang-orang yang menyertainya memencar. Mereka akan berkumpul dibclakang rumah Ki Lurah Branjangan. Sementara itu Ki Patitis sudah mendapat pemberitahuan tentang anak-anak muda yang mengawasi rumah itu, agar mereka dapat berhubungan dengan baik. Beberapa kata sandi memang harus mereka ingat, agar tidak terjadi salah paham.

“Kita harus melakukannya dengan cepat. Waktu kita tidak terlalu panjang. Menjelang fajar tugas ini harus sudah selesai dengan baik” berkata Ki Patitis kemudian.

Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, orang-orang itu telah memencar langsung pergi kerumah Ki Lurah Branjangan. Mereka pun segera dapat berhubungan dengan anak-anak muda yang mendapat tugas mengawasi regol halaman Ki Lurah. Namun anak-anak muda itu pun telah mendapat perintah dari Kiai Manuhara lewat kawan-kawannya yang lain, agar mereka tidak ikut dalam pertempuran yang akan terjadi di rumah Ki Lurah. Demikian pertempuran itu terjadi, maka mereka harus segera meninggalkan tempatnya bersembunyi.

“Kalian tidak usah ikut campur, “perintah Kiai Manuhara.

Beberapa saat kemudian, maka sepuluh orang itu pun telah berada dihalaman disekitar rumah Ki Lurah Branjangan. Namun kelima orang yang dimaksudkan sudah tidak berada di pringgitan. Mereka sudah ada didalam rumah itu. Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya mendapat giliran tidur lebih dahulu. Sedangkan Sabungsari dan Glagah Putih harus tetap terjaga. Meskipun mereka dapat membagi waktu mereka, namun ternyata Sabungsari dan Glagah Putih lebih senang duduk berdua bersandar tiang.

Namun disepinya malam, mereka tidak saja mendengar jengkerik dan bi lalang. Tidak pula sekedar siul angkup nangka tertiup angin di malam hari. Tetapi mereka mendengar sesuatu.

Sabungsari dan Glagah Putih yang mempunyai pendengaran yang tajam itu pun segera mendengar langkah halus di luar. Bahkan sentuhan pada dinding rumah.

Keduanya pun tahu, ada beberapa orang diluar rumah. Nampaknya mereka memang kurang berhati-hati karena mereka menganggap orang-orang yang ada di rumah itu sudah tertidur nyenyak. Atau mereka sama sekali tidak merasa cemas bahwa kehadiran mereka diketahui, karena akhirnya mereka pun akan masuk kerumah itu dan membunuh semua isinya.

Meskipun demikian Ki Patitis sempat ragu, apakah benar hanya ada lima orang dirumah itu sebagaimana yang dilihat oleh anak-anak muda itu. Mungkin lebih dan selebihnya kebetulan tidak ikut duduk berbincang di pringgitan.

Tetapi Ki Patitis menganggap bahwa sembilan orang yang dibawanya adalah kekuatan yang cukup memadai. Ki Patitis tahu dan mengenal mereka seorang demi seorang. Dua orang berilmu tinggi dan tanggon disamping dirinya sendiri. Tujuh orang Putut dan cantrik terbaik dari padepokan Jati Kenceng adalah tenaga yang sangat besar, karena Ki Patitis tahu benar kemampuan mereka.

Sabungsari dan Glagah Putih masih menunggu sesaat. Namun suara langkah kaki dan desir didinding menjadi semakin keras. Bahkan beberapa orang terdengar langsung menuju ke pringgitan.

Sabungsari dan Glagah Putih pun segera membangunkan Ki Ajar Gurawa yang mendengkur. Agaknya suara dengkurnya itu pun didengar oleh orang-orang yang berada di luar.

Ki Ajar pun segera terbangun. Demikian pula kedua orang muridnya.

Hampir bersamaan dengan itu, maka terdengar pintu depan rumah itu diketuk orang.

Kelima orang yang ada didalam itu pun saling berpandangan. Namun mereka segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika sekali lagi terdengar pintu rumah itu diketuk, maka Ki Ajar Gurawa pun bertanya, “Siapa diluar?”

“Aku” jawab orang yang mengetuk pintu itu.

“Aku siapa?, “desak Ki Ajar Gurawa.

“Tolong. Buka pintu. Kami perlu pertolongan” jawab suara itu.

“Tetapi sebut dahulu siapa kau? Pinta atau Trima yang tinggal bersama kakeknya yang bekerja dirumah sebelah atau malah Parama?” bertanya Ki Ajar pula.

“Aku bukan siapa-siapa. Buka pintu atau aku membuka sendiri dengan caraku?“ suara itu menjadi semakin kasar.

Ki Ajar Gurawa berpaling kepada Sabungsari dan Glagah Putih. Katanya berdesis, “Kita keluar lewat pintu lain. Kita akan bertempur di halaman. Bukankah lebih menarik daripada merusak perkakas rumah Ki Lurah Branjangan?”

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk. Karena itu, maka Ki Ajar Gurawa pun berkata, “Tunggu. Kami akan keluar. Persoalan kita dapat kita bicarakan di luar.”

“Jangan berusaha untuk melarikan diri. Rumah ini sudah terkepung.” geram orang itu.

“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi jika pembicaraan kita ternyata tidak menemukan persesuaian, kita tidak bertempur ditempat yang sesempit ini. Bukankah lebih leluasa diluar? Di halaman atau dikebun, Dimana pun kalian suka.” jawab Ki Ajar.

“Iblis kau. Jika kau ingin keluar, cepat keluar.” geram orang diluar pintu itu.

Tetapi Ki Ajar dan kedua muridnya serta Sabungsari dan Glagah Putih telah membuka pintu butulan. Dengan sangat berhati-hati mereka meloncat keluar.

Seperti yang dikatakan, di segala arah telah menunggu orang-orang yang dipimpin Ki Patitis. Karena itu, demikian mereka berada dilongkangan, maka seorang diantara mereka telah memberikan isyarat.

Namun Ki Ajar Gurawa dan keempat orang yang lain dengan cepat menyusup keluar seketheng dan berdiri di halaman samping pendapa rumah Ki Lurah Branjangan. Bahkan Ki Ajar dan kedua orang muridnya telah langsung bergeser ke halaman depan.

Ki Patitis yang ada di pendapa, serta kawan-kawannya segera turun pula ke halaman. Dengan lantang Ki Patitis bertanya, “Si apakah kalian he? Bukankah rumah ini rumah Ki Lurah Branjangan? Kenapa kalian berada disini?”

Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kami sudah mendapat ijin dari orang yang bertugas menunggu rumah ini.”

“Siapa pun kalian, kami memang datang untuk membunuh kalian.” berkata Ki Patitis.

“Apakah salah kami?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Kalian telah membunuh lembu jantan yang liar itu. Kalian telah menggagalkan rencana kami mengacaukan orang-orang yang berada di alun-alun.” jawab Ki Patitis. Lalu katanya, “Nah, jika kau terbunuh bersama kedua orang anak muda itu, maka besok Mataram akan gempar. Pembunuh lembu jantan yang liar itu telah diketemukan mati dirumah Ki Lurah Branjangan. Kebanggaan anak-anak muda Mataram akan hancur. Kalian, yang mampu membunuh lembu liar itu pun begitu mudahnya mati. Apalagi yang lain-lain.”

Ki Ajar Gurawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian termasuk orang-orang yang dengan sengaja melepaskan lembu-Iembu jantan yang liar itu.”

“Ya. Kedatangan kami kerumah ini untuk menemuimu masih dalam rangka tugas kami mengacaukan Mataram. Kami akan membunuh kalian. Yang terpenting adalah kedua orang anak muda itu. Tetapi kebetulan bahwa kau pun telah ikut-ikutan membunuh lembu itu pula. Maka kematianmu akan menambah kegelisahan anak-anak muda Mataram.” jawab Ki Patitis.

Tetapi tiba-tiba saja Ki Ajar Gurawa justru tertawa. Katanya

“Rencanamu cukup baik. Soalnya, apakah kau dapat melaksanakan rencanamu itu atau tidak.”

“Kenapa tidak?” bertanya Ki Patitis, “kalian hanya berlima. Kami mempunyai kawan berlipat. Sementara itu, secara pribadi kami memiliki ilmu yang tentu lebih baik dari kalian yang hanya mampu membunuh lembu jantan. Sebenarnyalah jika kami kehendaki, maka kami seorang demi seorang akan dapat melakukannya pula. Tentu lebih cepat dari yang dapat kalian lakukan itu.”

Ki Ajar Gurawa masih saja tertawa. Katanya, “Darimana kalian mengukur kemampuan kalian seorang demi seorang? Tetapi baiklah. Aku tidak akan menilai rendah kalian secara pribadi. Karena jika aku berbuat demikian, aku akan terjebak oleh sikap sombong itu. Meskipun demikian, kami tidak akan dengan senang hati membantumu agar rencanamu itu dapat kau selesaikan dengan baik.”

“Cukup. Bersiaplah untuk mati. Kawan-kawanku sudah siap melakukannya. Sebelum fajar tugas ini harus selesai dengan baik.“ berkata Ki Patitis.

Ki Ajar mengangguk-angguk. Ia pun segera memberi isyarat kepada kedua muridnya, kepada Sabungsari dan Glagah Putih. Agaknya lawan mereka benar-benar sekelompok orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Karena itu, maka mereka berlima tidak boleh lengah.

Demikianlah, maka sepuluh orang itu pun telah berkumpul. Mereka yakin bahwa tidak ada orang lain lagi dirumah Ki Lurah Branjangan. Mereka tidak memperhitungkan orang yang disebut sebagai penunggu rumah itu dengan para pembantu yang lain.

Demikianlah, Ki Ajar Gurawa telah menempatkan diri untuk menghadapi Ki Patitis. Sementara itu, dua orang kawannya telah mendekati Sabungsari dan Glagah Putih, dua orang anak muda yang disebut sebagai pembunuh lembu jantan. Sedangkan yang lain melihat perkembangan suasana, siapa yang harus mereka lawan.

Namun Ki Patitis berteriak, “Jangan beri kesempatan seorang pun melarikan diri.”

Dengan demikian maka orang-orang itu pun telah menebar. Mereka benar-benar berjaga-jaga, agar kelima orang itu tidak melarikan diri. Sedangkan kedua murid Ki Ajar itu pun telah berhadapan dengan dua orang Putut, murid Kiai Manuhara.

Ki Ajar Gurawa, murid-muridnya serta Sabungsari dan Glagah Putih tahu bahwa kelima orang yang masih berdiri bebas itu selain mengawasi mereka agar tidak melarikan diri, juga mempersiapkan diri untuk membantu kawan-kawan mereka yang terdesak. Namun setidak-tidaknya setiap orang akan mendapat dua orang lawan.

Sejenak kemudian, maka setiap orang dari kelima orang yang bermalam dirumah Ki Lurah Branjangan itu mulai bertempur. Ki Patitis telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka langsung menyelesaikan lawan-lawan mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah menebar dihalaman Ki Lurah Branjangan. Sabungsari dan Glagah Putih pun segera mengambil jarak. Mereka tidak ingin justru menjadi saling mengganggu apabila mereka harus mengerahkan kemampuan puncak mereka karena lawan mereka pun bukan orang kebanyakan.

Ki Patitis yang berhadapan dengan Ki Ajar Gurawa itu pun mulai menyerang. Keduanya masih berusaha untuk saling menja-jagi. Namun kedua orang yang umurnya hampir sebaya itu, dengan cepat meningkatkan ilmu mereka. Nampaknya Ki Patitis benar-benar ingin menyelesaikan tugasnya, bahwa seluruh kelompok itu. Sebelum fajar Kiai Manuhara akan menghubungi mereka.

Namun ternyata bahwa Ki Ajar Gurawa juga memiliki ilmu yang tinggi. Ketika Ki Patitis semakin menekannya, maka Ki Ajar- pun telah meningkatkan ilmunya, mengimbangi ilmu lawannya itu.

Seorang diantara kelima orang yang menunggui pertempuran itu berusaha untuk mendekati, ia sudah siap untuk mendapat perintah dari Ki Patitis, membantunya menyelesaikan lawannya yang ternyata cukup tangkas itu.

Tetapi Ki Patitis justru berkata, “Minggirlah. Aku senang mendapat lawan yang mampu bertahan beberapa lama.”

Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak berani mengganggu Ki Patitis yang sedang bertempur itu. Apalagi Kiai Manuhara sudah mengatakan, bahwa kelompok yang terdiri dari sepuluh orang itu dipimpin langsung oleh Ki Patitis.

Ki Ajar Gurawa mengerutkan keningnya. Sambil meloncat menyerang ia berkata, “Nampaknya kau yakin dapat mengalahkan”

“Ya” jawab Ki Patitis sambil menghindar. Namun tiba-tiba saja kaki Ki Patitis itu pun telah terjulur menggapai ke arah dada Ki Ajar Gurawa. Tetapi Ki Ajar sempat bergeser kesamping, sehingga kaki itu tidak menyentuhnya. Dengan cepat Ki Ajar justru telah menyapu kaki lawannya yang lain, tumpuan tubuhnya yang condong. Tetapi Ki Patitis itu juga dengan cepat memutar tubuhnya sehingga kakinya itu terangkat sementara tumpuan tubuhnya berganti pada kaki yang lain yang berjejak di tanah.

Ketika Ki Ajar berusaha untuk menyerangnya lagi, ternyata Ki Patitis telah mendahuluinya. Satu putaran lagi dengan ayunan kaki mendatar hampir saja menyambar dagunya.

Sementara itu, Sabungsari pun telah bertempur pula melawan seorang yang nampaknya memang lebih muda dari Ki Patitis. Tetapi dengan kasar orang itu menyerang Sabungsari yang dianggapnya masih terlalu muda untuk melawannya. Seperti Ki Patitis ia telah menolak ketika seorang berusaha untuk membantunya. Katanya, “Jaga saja agar anak ini tidak lari. Aku ingin membunuhnya disini, agar Ki Lurah Branjangan mengerti, bahwa sebaiknya rumahnya tidak dipergunakan untuk menyembunyikan anak-anak yang tidak tahu diri.”

“Kau kira aku bersembunyi” sahut Sabungsari.

Lawannya itu tertawa. Katanya, “Apa yang kau lakukan disini?”

“Aku terbiasa bermalam disini” jawab Sabungsari.

“Kenapa kau bermalam dirumah Ki Lurah Branjangan? Dimana rumahmu?” bertanya orang itu.

Sabungsari menjawab sekenanya, “Pajang. Aku orang Pajang. Aku datang khusus untuk membunuh lembu jantan itu.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Omong kosong. Kau tentu orang Mataram.”

“Kau benar. Aku orang Mataram.” jawab Sabungsari.

“Tetapi dimana rumahmu?, “desak orang itu.

“Disini. Aku tinggal pada Ki Lurah Branjangan” jawab Sabungsari.

Orang itu mengumpat kasar. Tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin keras melanda Sabungsari yang dengan tangkasnya mengimbangi ilmunya,

Di sudut lain dari halaman itu, kedua orang murid Ki Ajar bertempur berpasangan melawan dua orang lawan yang terpaksa menyesuaikan dirinya, bertempur berpasangan.

Namun sebenarnyalah kedua murid Ki Ajar Gurawa itu juga memiliki ilmu yang tinggi. Keduanya pernah menjajagi kemampuan Glagah Putih dan Sabungsari. Karena itu, maka Sabungsari dan Glagah Putih untuk sementara juga tidak mencemaskan mereka.

Yang bertempur didepan seketheng adalah Glagah Putih. Lawannya juga lebih muda dari Ki Patitis. Namun ternyata lawan Glagah Putih itu juga berilmu tinggi. Demikian ia membentur perlawanan Glagah Putih, maka ia pun langsung meningkatkan ilmunya.

Namun Glagah Putih sempat bertanya, “Siapakah namamu?

“Tidak ada artinya kau bertanya tentang namaku” jawab orang itu sambil menyerang. Namun Glagah Putih pun segera mengelak sambil berkata pula, “Sebut saja sekehendakmu, agar aku dapat memanggilmu. Siapa saja. Mungkin sebuah nama yang menakutkan. Nama hantu atau nama binatang yang paling buas.”

“Setan kau.” geram orang itu sambil berputar dengan cepatnya. Kakinya melayang dalam ayunan mendatar. Hampir saja menampar kening Glagah Putih. Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak sambil menarik wajahnya, sehingga kaki itu melayang tanpa menyentuhnya.

Namun Glagah Putih telah memanfaatkan saat yang pendek itu. Demikian lawannya berdiri tegak, maka ia pun telah meloncat menyerang. Tangannyalah yang terayun dengan cepat menggapai dada lawannya.

Lawannya masih juga sempat bergeser. Meskipun tangan Glagah Putih menyentuh dada orang itu, namun sama sekali tidak membuatnya kesakitan. Sentuhan itu seakan-akan hanya mengenai bajunya saja tanpa menekan kulitnya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan lawannya itu pun dengan cepat meningkat semakin sengit. Nampaknya lawan Glagah Putih berusaha untuk menjadi orang yang pertama yang mengalahkan lawannya, seorang anak muda yang tangguh yang menjadi salah seorang pembunuh lembu jantan yang liar.

Tetapi Glagah Putih memang bukan sekedar seorang anak muda yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yang mampu memutar leher lembu jantan, Tetapi Glagah Putih memiliki ketrampilan olah kanuragan dan ilmu yang melandasinya sehingga anak muda itu menjadi anak muda yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka lawannya pun mulai menghitung kemungkinan, karena ternyata setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Glagah Putih masih mampu mengimbanginya tanpa kesulitan.

Dalam pada itu, masih ada lima orang yang masih belum terikat kedalam pertempuran. Lima orang yang memperhatikan keadaan itu dengan dahi berkerut. Namun mereka memang masih belum mendapat kesempatan untuk memasuki arena pertempuran.

Namun dalam pada itu, Ki Patitis mulai menyadari, bahwa mereka tidak akan dengan mudah mengalahkan kelima orang itu.

Jika Kiai Manuhara menugaskan mereka, sepuluh orang untuk melawan lima orang yang ada dirumah itu, tentu bukannya tanpa perhitungan.

Ki Patitis juga mulai mempertimbangkan kemungkinan sekelompok prajurit yang meronda lewat jalan didepan rumah itu. Barulah ia menyadari, bahwa kelima orang yang ada dirumah Ki Lurah Branjangan yang berusaha untuk bertempur dihalaman bukan sekedar mencari tempat yang lapang. Tetapi di halaman depan rumah Ki Lurah itu akan dapat menarik perhatian orang-orang yang lewat. Meskipun malam telah menjadi semakin dalam, namun masih mungkin ada prajurit yang meronda lewat jalan itu.

Karena itu, maka Ki Patitis pun tiba-tiba saja telah mengambil keputusan, bahwa kelima orang yang lain harus segera turun ke arena pertempuran, agar pertempuran itu dengan cepat dapat diselesaikan sebelum prajurit peronda lewat. Meskipun mungkin hanya tiga atau empat orang prajurit, namun mereka tentu akan sangat mengganggu tugas Ki Patitis dan kawan-kawannya.

Ketika kemudian terdengar isyarat yang diberikan oleh Ki Patitis, maka seorang diantara kelima orang itu langsung memasuki arena pertempuran untuk melawan Ki Ajar Gurawa.

Ki Ajar mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri. Ternyata Ki Patitis sudah mulai digelisahkan oleh waktu setelah beberapa lama mereka bertempur, namun Ki Patitis masih belum mampu menguasai lawannya. Ki Ajar Gurawa.

Tetapi ketika orang itu memasuki arena pertempuran Ki Patitis masih berpesan, “Jaga saja agar orang itu tidak selalu mengambil jarak. Jangan terlalu dalam mencampuri pertempuran ini. Orang itu memiliki kemampuan yang tinggi.”

Ki Ajar Gurawa masih sempat menyambung, “Jangan terlalu dekat. Nanti justru serangan pemimpinmu itu mengenaimu.”

“Persetan kau” geram Ki Patitis sambil meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Ki Ajar masih sempat mengelakannya. Bahkan dengan cepat ia membalas serangan itu dengan serangan yang tidak kalah cepatnya.

Namun Ki Ajar Gurawa harus berhati-hati. Orang yang kelihatannya berada diluar arena itu, setiap saat dapat menikamnya dari belakang. .

Namun Ki Ajar Gurawa sendiri ternyata masih belum mempergunakan senjatanya, karena Ki Patitis juga masih belum bersenjata. Meskipun demikian, tetapi pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat seru. Apalagi karena ada seorang yang membantu Ki Patitis, yang setiap kali dengan tiba-tiba saja telah menyerang Ki Ajar Gurawa.

Namun dalam pada itu, lawan Glagah Putih ternyata masih berkata lantang, “Jangan ganggu aku. Aku ingin membunuh anak ini dengan tanganku.”

Orang yang sudah hampir meloncat ke arena itu menjadi kecewa. Namun ia tidak berani melanggar perintah itu. Sehingga dengan demikian, maka orang itu hanya termangu-mangu saja sambil setiap kali menggeretakkan giginya.

Sabungsarilah yang kemudian benar-benar telah bertempur melawan dua orang. Lawannya, yang lebih muda dari Ki Patitis itu sudah meyakini sejak semula, bahwa jika ia seorang diri, maka ia tidak akan dapat mengalahkan Sabungsari.

Karena itulah, maka Sabungsari harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Dua orang lawannya tidak mempunyai tataran kemampuan yang sama. Namun demikian ternyata keduanya dapat bekerja sama dan saling mengisi.

Kedua orang murid Ki Ajar Gurawa yang bertempur berpasangan juga harus segera menghadapi bukan saja dua orang, tetapi ampat orang.

Tetapi keduanya benar-benar mampu bertempur berpasangan dengan baik. Selain ilmu mereka sesuai karena mereka saudara seperguruan, keduanya agaknya memang telah membiasakan diri bertempur berpasangan jika mereka merasa perlu. Karena itu, meskipun mereka berdua, seakan-akan mereka telah digerakkan oleh satu otak.

Karena itu, maka keempat orang yang kemudian menempatkan diri sebagai lawan mereka berdua, tidak pula segera dapat menguasai keduanya.

Yang masih bertempur seorang melawan seorang adalah Glagah Putih. Lawannya, yang meskipun masih lebih muda dari Ki Patitis, namun ia merasa memiliki ilmu yang sangat tinggi. Hanya karena umurnya yang lebih banyak sajalah maka Ki Patitis diakuinya sebagai pimpinannya, apalagi atas perintah langsung Kiai Manuhara. Namun sebenarnyalah, orang itu ingin menunjukkan kelebihannya, sehingga ia tidak memerlukan bantuan orang lain.

Namun adalah kebetulan bahwa lawannya adalah Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih masih jauh lebih muda, namun ternyata bahwa Glagah Putih tidak dapat dengan mudah ditundukkannya sebagaimana dikehendakinya. Bahkan ketika orang itu sudah mulai merambah ke ilmu puncaknya, Glagah Putih masih dapat mengimbanginya.

Tetapi adalah justru merupakan satu kesempatan bagi lawan Glagah Putih itu untuk menunjukkan. Bukan saja kepada orang-orang Mataram, tetapi juga kepada Ki Patitis, bahwa ia memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Dengan demikian maka pertempuran diantara keduanya pun menjadi semakin sengit. Lawan Glagah Putih itu semakin lama seakan-akan justru menjadi semakin kuat. Tenaganya serasa menjadi semakin besar, sementara itu tubuhnya menjadi semakin keras.

Glagah Putih yang bertempur tanpa senjata merasakan betapa sentuhan tangannya seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali atas lawannya ketika tubuhnya seakan-akan mengeras sekeras batu padas. Ketika tangan Glagah Putih yang terayun menyamping mengenai pundaknya, maka justru Glagah Putihlah yang merasa tangannya menjadi sakit.

Tetapi Glagah Putih pun segera tanggap. Orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tubuhnya mampu mengeras dilapisi oleh kekuatan ilmunya, sehingga kulitnya menjadi sekeras lapisan besi.

Glagah Putih pun mengenali ilmu itu yang mirip dengan ilmu kebal. Namun Glagah Putih pun tidak segera menjadi gelisah. Ia masih mempunyai beberapa pilihan ilmu untuk menembus kekerasan ilmu lawannya itu.

Beberapa saat kemudian, lawan Glagah Putih itu pun meningkatkan serangan-serangannya, Ketika Glagah Putih sekejap kurang berhati-hati, maka telapak tangan orang itu telah sempat menyentuh lengan Glagah Putih.

Glagah Putih cepat meloncat mengambil jarak. Tulangnya seakan-akan menjadi retak. Perasaan sakit yang tajam telah menggigit lengannya yang tersentuh tangan lawannya itu.

“Luar biasa” berkata Glagah Putih didalam hatinya.

Tetapi ia tidak banyak mendapat kesempatan. Lawannya dengan cepat pula bergeser maju memburunya. Dengan dada tengadah ia sempat berkata, “Sayang, Tidak ada kesempatan bagimu untuk mohon ampun. Apa pun yang kau lakukan, kau akan mati. Tulang-tulangmu akan aku remukkan dengan Aji Tapak Waja.”

Glagah Putih tidak menjawab, Tetapi ia sempat menghindar, ketika tangan lawannya itu terjulur lurus kearah dahinya.

“Sayang” geram lawannya, “jika tanganku sempat menyentuh dahimu, maka tulang kepalamu akan lebur menjadi kepingan-kepingan kecil.”

Glagah Putih menarik nafas nafas dalam-dalam. Namun ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi kemampuan lawannya yang tinggi itu.

Dalam pada itu, kedua orang murid Ki Ajar Gurawa ternyata telah mengalami kesulitan. Murid-murid dari Padepokan Jati Kenceng yang dimpimpin oleh Kiai Manuhara itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu melawan ampat orang, maka kedua orang murid Ki Ajar itu mengalami kesulitan. Meskipun keduanya kadang-kadang mampu juga memecahkan pertahanan keempat orang lawannya, namun sejenak kemudian, maka keduanya telah terkurung kembali. Ampat orang yang mengepungnya itu pun ternyata mampu juga bertempur dalam pasangan yang sangat mapan. Mereka saling mengisi sehingga keempatnya setiap saat seakan-akan telah berusaha memecahkan pertahanan kedua orang itu. Berganti-ganti, susul menyusul seperti getar gelombang dipantai membentur karang yang betapapun kokohnya. Namun akhirnya kikis juga.

Demikian pula pertahanan kedua orang murid Ki Ajar Gurawa itu. Sedikit demi sedikit mulai menjadi retak. Kesigapan mereka tidak mampu bertahan terlalu lama membendung serangan-serangan yang datang membadai itu. Apalagi ketika keempat orang itu kemudian telah menggenggam senjata ditangan mereka. Maka senjata kedua orang murid Ki Ajar Gurawa itu pun telah membenturnya tanpa henti-hentinya, sehingga telapak tangan keduanya menjadi sangat pedih.

Ketika keduanya kemudian telah meningkatkan kemampuan mereka serta kekuatan tenaga cadangan didalam dirinya sampai tuntas, maka keduanya harus tetap mengakui, bahwa mereka mengalami kesulitan melawan ampat orang yang juga sudah menyadap ilmu dasar sampai tuntas dari perguruan yang dipimpin oleh Kiai Manuhara itu.

Tetapi keduanya tidak segera menjadi putus asa dan kehilangan akal. Mereka masih mempergunakan olak mereka untuk mengimbangi lawan-lawan mereka.

Ki Ajar Gurawa yang bertempur melawan Ki Patitis melihat keadaan kedua orang muridnya. Keduanya telah bertempur dengan cepat dan garang. Sejata mereka berputaran disekitar tubuh mereka, sehingga seakan-akan keduanya diliputi oleh kabut yang keputih-putihan.

Namun keempat orang lawannya benar-benar lawan yang sangat sulit untuk diatasinya.

Tetapi landasan dasar dari ilmu memperingan tubuh telah diletakkan oleh Ki Ajar Gurawa meskipun belum sampai keintinya. Dengan demikian, maka kedua orang muridnya itu telah memanfaatkan sejauh jangkauan mereka. Dengan demikian, maka tata gerak mereka pun menjadi seakan-akan semakin cepat. Keduanya kadang-kadang dengan tiba-tiba saja telah berada ditempat yang lain dari tempat mereka berdiri semula.

Kemampuan mereka yang baru alasnya itu ternyata masih mampu memperpanjang pertahanan mereka untuk melindungi diri mereka berdua.

Sementara itu, Ki Ajar Gurawa pun telah berusaha untuk mengatasi ilmu lawannya. Namun Ki Patitis bukanlah orang kebanyakan. Jika Kiai Manuhara memilihnya untuk memimpin tugas itu, adalah karena Ki Patitis memang seorang yang pilih tanding. Yang memiliki ilmu lebih baik dari kebanyakan orang.

Apalagi Ki Patitis itu tidak bertempur sendiri. Seorang murid Kiai Manuhara telah membantunya dan bahkan setiap kali senjatanya dengan cepat pula terjulur kelubuhnya.

Namun ketika Ki Ajar Gurawa melihat kedua orang muridnya mengalami kesulitan, maka ia pun telah mengerahkan ilmunya pula.

Dengan kemampuannya meringankan tubuhnya, sehingga seakan-akan tidak mempunyai bobot, Ki Ajar Gurawa telah mempercepat serangan-serangannya. Ia berharap agar ia masih mempunyai kesempatan uniuk membantu kedua orang muridnya yang semakin terhimpit oleh kekuatan dan kemampuan keempat orang lawannya.

Tetapi Ki Palitis pun berusaha untuk mengatasi kesepatan gerak Ki Ajar Gurawa. Sementara itu, lawan Ki Ajar yang lain pun telah mengerahkan kemampuannya dalam ilmu pedang. Ia mencari kesempatan disela-sela perlawanan Ki Patitis.

Namun gerak Ki Ajar itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian, loncatan yang panjang membuat kedua lawannya menjadi semakin sibuk.

Namun Ki Patitis tidak membiarkan lawannya bergerak dengan leluasa. Ketika Ki Patitis merasa bahwa lawannya menjadi semakin cepat bergerak, maka ia pun telah berpesan kepada kawannya, murid Kiai Manuhara, “Jangan berada digaris seranganku.”

Orang yang membantunya bertempur melawan Ki Ajar itu mengerti maksudnya. Karena itu, maka ia pun telah menempatkan diri disebelah Ki Patitis untuk menghindari agar dirinya tidak berada di garis serangannya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka serangan-serangan orang itu pun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian serangan-serangan yang terlontar dari tangannya, bagaikan hembusan angin yang meluncur menerpa sasarannya.

Ketika Ki Ajar belum menyadari apa yang terjadi, maka ia telah terlambat menghindari serangan itu. Angin yang kencang telah menyapu wajahnya sehingga Ki Ajar Gurawa itu merasa seakan-akan kekuatan yang sangat besar telah menamparnya sehingga Ki Ajar terdorong beberapa langkah surut. Keseimbangan tubuhnya- pun terguncang dengan kerasnya, Ki Ajar itu justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali sebelum ia meloncat bangkit.

Ternyata kawan Ki Patitis itu juga mampu bergerak cepat. Disaat Ki Ajar berguling, maka orang itu telah meloncat menyerang dengan ayunan senjatanya. Hampir saja mengenai pundak Ki Ajar. Namun Ki Ajar masih sempat menggeliat, sehingga serangan itu tidak mengenainya.

Meskipun demikian, serangan Ki Patitis bukan saja mendorongnya jatuh, namun rasa-rasanya angin yang kencang itu telah menyumbat pernafasannya untuk beberapa saat.

Ki Ajar dengan cepat bangkit. Ia sadar, bahwa lawannya benar-benar berbahaya. Sementara yang seorang mampu menyesuaikan dirinya, sehingga keduanya menjadi sangat berbahaya baginya.

Yang menjadi semakin sulit adalah kedua orang murid Ki Ajar Gurawa. Namun menurut perhitungan Ki Ajar sekilas, keduanya masih akan mampu bertahan untuk beberapa saat.

Sabungsarilah yang kemudian dengan cepat berhasil mendesak kedua orang lawannya. Ketangkasan dan ketrampilan Sabungsari bermain pedang, telah membuat kedua lawannya terdesak. Meskipun kedua lawannya itu juga telah mempergunakan pedang mereka, namun kemampuan ilmu pedang Sabungsari ternyata sangat tinggi. Bahkan kekuatannya pun rasa-rasanya semakin lama semakin bertambah. Apalagi lawannya ternyata tidak memiliki ilmu setinggi lawan Glagah Putih.

Ketika kedua lawan Sabungsari itu merasa semakin terdesak, maka seorang diantara murid Kiai Manuhara yang masih belum memasuki pertempuran itu pun memperhatikannya. Lawan Glagah Putih itu agaknya benar-benar tidak ingin dibantu, sehingga karena itu, maka seorang yang masih bebas itu telah meloncat dan bergabung melawan Sabungsari.

Sabungsari memang menjadi berdebar-debar, Ketiga orang lawan itu segera berusaha menyesuaikan diri mereka yang satu dengan yang lain, sehingga justru Sabungsarilah yang kemudian harus mengerahkan tenaganya.

Sebenarnyalah Sabungsari mulai mengalami tekanan yang berat. Ketiga orang lawannya menyerang dari arah yang berbeda-beda. Dua orang diantara mereka yang merupakan saudara seperguruan, benar-benar mampu saling mengisi sehingga kadang-kadang membuat Sabungsari harus berloncatan menjauh.

Tetapi Sabungsari tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mempertahankan dirinya. Ia tidak mau terlambat menyelamatkan dirinya sendiri. Karena itu, ketika lengannya mulai tergores luka, jantungnya berdegup semakin keras. Sabungsari pun siap meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Sementara itu, Glagah Putih pun harus memeras keringat untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya. Ketika jari-jari lawannya menyentuh pundaknya, meskipun ia sudah sempat mengelak, namun terasa tulang-tulangnya menjadi retak.

Namun Glagah Putih pun segera menyadari, bahwa untuk melawan ilmu lawannya, ia tidak harus membentur kekerasan dengan kekerasan.

Karena itulah, maka Glagah Putih telah merubah serangan-serangannya. Ia tidak membentur kekuatan lawannya yang semakin keras bagaikan dilapisi baja. Namun Glagah Putih telah mempergunakan ilmunya dengan lunak. Ketika ia mendapat kesempatan, maka Glagah Putih telah menyentuh lawannya dengan dorongan telapak tangannya.

Yang terjadi memang bukan suatu benturan kekuatan. Tetapi Glagah Putih seakan-akan hanya meletakkan telapak tangannya di dada lawannya. Namun kemudian dihentakkannya tangannya itu dengan kekuatan yang sangat besar mendorong lawannya yang tubuhnya bagaikan telah mengeras.

Tetapi kekuatan Glagah Putih memang sangat besar. Karena itu, maka orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian orang itu telah jatuh berguling.

Yang terasa, bukan saja dorongan kekuatan yang sangat besar, tetapi getaran yang tajam menyusup dan bagaikan meremas isi dadanya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya menghentakkan kekuatan dan ilmu mereka masing-masing.

Tetapi ketika tangan orang itu menyentuh lambung Glagah Putih,-maka rasa-rasanya lambungnya telah tertimpa sebongkah batu hitam yang besar.

Glagah Putih mengaduh diluar sadarnya. Seisi perutnya bagaikan akan tertumpah. Kepalanya menjadi pening dan nafasnya menjadi sesak. Pandangan matanya berkunang-kunang bahkan hampir menjadi gelap.

Yang dapat dilakukan pertama-tama adalah meloncat mengambil jarak, Telapak tangannya kedua-duanya meraba lambungnya yang tersentuh tangan lawannya itu. Perasaan mual yang sangat bagaikan tidak tertahankan lagi.

Ketika pandangan mata Glagah Putih masih kabur, maka orang itu telah meloncat menyerangnya. Orang itu tidak mau memberi kesempatan kepada Glagah Putih memperbaiki keadaannya. Ia justru harus memanfaatkan keadaan lawannya itu sebaik-baiknya.

Serangan yang datang pun telah membuat jantung Glagah Putih berdebaran, malam yang gelap membuat pandangan matanya menjadi semakin kabur.

Namun Glagah Putih sempat melihat serangan itu. Karena itu, maka sekali lagi Glagah Putih meloncat mengambil jarak.

Tetapi sekali lagi orang itu memburunya. Bahkan tangannya telah terayun mendatar kearah keningnya. Demikian derasnya, sehingga jika mengenainya, tulang kepalanya benar-benar akan diremukkannya.

Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloncat menjauh. Karena itu, yang dapat dilakukannya kemudian justru menjatuhkan diri dengan cepat sebelum ayunan tangan itu mengenai keningnya.

Ternyata Glagah Putih mampu menyelamatkan dirinya. Tangan itu tidak mengenainya. Namun Glagah Putih harus mendapat kesempatan lebih baik untuk dapat membalas menyerang lawannya. Karena itu, maka meskipun Glagah Putih telah luput dari serangan tangan lawannya, tetapi Glagah Putih masih melenting sekali lagi mengambil jarak sejauh-jauhnya, sehingga hampir saja Glagah Putih membentur sckclheng.

Namun dengan demikian Glagah Putih pun telah tersudut. Ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menghindar dari lawannya. Karena itulah, maka dengan yang gemeretak lawannya itu berkata, “Kau tidak akan dapat lari lagi anak muda. Terimalah nasibmu yang sangat buruk. Kau yang tentu sangat bangga dengan gelar Pembunuh Lembu Jantan, akhirnya harus menebus dengan kematian. Besok Mataram akan menjadi gempar. Pembunuh Lembu Jantan, kebanggaan Mataram akan diketemukan mati di halaman rumah Ki Lurah Branjangan. Kau akan menjadi lambang kebanggaan anak-anak muda Mataram yang umumya tidak akan lebih dari satu hari satu malam. Anak-anak muda Matarampun akan segera dihancurkan sebagaimana aku meremukkan kepalamu.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Tetapi ia tidak mau mati dengan tulang kepala yang remuk lumat di halaman rumah Ki Lurah Branjangan, kakek seorang gadis yang sangat membanggakan kemampuannya.

Karena itu ketika lawannya itu melangkah selangkah mendekat, maka Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya. Dengan nada rendah ia masih bertanya. “Urungkan niatmu, agar kau tidak luluh menjadi abu.”

“Kau terlalu sombong anak muda. Terimalah kematianmu yang sangat pahit ini. “orang itu justru menggeram.

Namun ketika orang itu maju selangkah lagi, bahkan sambil mengangkat tangannya, maka Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya yang sangat tinggi. Glagah Putih telah melontarkan kekuatan ilmu puncaknya dengan mengangkat telapak tangannya dan menghadapkannya kearah lawannya. Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari telapak tangannya itu. Bahkan karena Glagah Putih mengetahui bahwa lawannya diselubungi dengan Aji Tapak Waja, maka kemampuan Ilmunya telah dihentakkannya. Dengan landasan inti kekuatan bumi yang disadapnya dari Ki Jayaraga, didorong oleh tenaga dari kekuatan ilmu yang diwarisinya dari Ki Sadewa lewat Agung Sedayu serta berpijak pada kekuatan dari ilmunya yang lain, maka getaran yang sangat dahsyat telah menerpa tubuh lawannya yang terkejut melihat serangan itu.

Tetapi lawannya tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia berusaha untuk menghindar, maka kecepatan sambaran sinar itu telah membentur dadanya yang justru terbuka karena tangannya yang terangkat tinggi-tinggi serta kekuatan dorong tubuhnya sendiri saat ia berusaha menghantam kepala Glagah Putih.

Akibat benturan orang itu dengan kekuatan ilmu Glagah Putih sangat mengejutkan orang-orang yang telah menyerang rumah Ki Lurah Branjangan itu. Satu kekuatan ilmu yang tinggi, membentur tubuh seseorang pada jarak yang begitu dekat. Meskipun lawan Glagah Putih itu melapisi tubuhnya dengan kekuatan ilmu Tapak Waja, namun ternyata bahwa serangan Glagah Putih berakibat sangat parah bagi lawannya itu. Tubuhnya terpental beberapa langkah surut. Dengan kerasnya tubuh itu terbanting ditanah Namun karena lapisan ilmu Tapak Waja itulah, maka tubuh itu tidak hancur menjadi debu.

Meskipun demikian, sebenarnyalah bagian dalam tubuh orang itu seakan-akan telah dilumatkan oleh kekuatan ilmu Glagah Putih yang jarang ada duanya itu.

Karena itu, maka orang itu tidak sempat mengeluh. Ketika tubuhnya terbanting jatuh ditanah, maka ia sama sekali tidak sempat menggeliat.

Kematian orang itu benar-benar telah mengguncang ketahanan jiwani Ki Patitis dan orang-orangnya. Mereka tahu, bahwa orang yang bertubuh itu memiliki selapis perisai ilmu yang sulit untuk ditembus.

Namun ternyata bahwa anak muda, pembunuh Lembu Jantan itu dapat membunuhnya sebagaimana ia membunuh seekor lembu jantan yang liar.

Meskipun Ki Patitis masih bertempur melawan Ki Ajar Gurawa, namun hatinya menjadi gelisah. Apalagi karena Ki Patitis sendiri masih belum mampu menguasai lawannya meskipun ia dibantu oleh seorang murid perguruan Kiai Manuhara.

Glagah Putih pun kemudian berdiri tegak disisi tubuh yang terbaring membeku itu. Sejenak ia memandanginya dengan wajah yang tegang. Ternyata bahwa ilmu orang itu pun sangat tinggi. Tubuhnya masih nampak utuh tanpa segores luka pun. Namun kekuatan Glagah Putih telah menghancurkannya.

Ketika Glagah Putih kemudian memandangi pertempuran itu dalam keseluruhan, maka Ki Patitis menjadi sangat gelisah. Sambil bertempur Ki Patitis setiap kali berusaha untuk melihat, apa yang akan dilakukan oleh anak muda yang telah berhasil membunuh kawannya yang berilmu sangat tinggi itu. Sehingga dengan demikian, maka ia pun akan dapat membunuh setiap orang yang sedang bertempur itu, termasuk dirinya sendiri. Ki Patitis itu merasa bahwa perisainya justru tidak lebih kokoh dari perisai ilmu orang yang terbunuh itu.

Sementara itu, murid-murid Jati Kenceng yang lain pun masih belum mampu menguasai lawan-lawannya. Ampat orang diantara mereka memang berhasil mengurung dua orang lawannya. Tetapi keduanya masih mampu untuk berlahan beberapa lama, sementara anak muda yang mampu membunuh lembu jantan itu telah membunuh seorang yang berilmu sangat tinggi.

Dengan cepat Ki Patitis segara dapat membual perhitungan, bahwa dengan terbunuhnya seorang kawannya yang berilmu sangat tinggi itu, maka keseimbangan pertempuran akan segera berubah. Anak muda itu akan dapat mendekati pertempuran itu lingkaran demi lingkaran. Ia akan dapat membunuh seorang demi seorang dari murid-murid Kiai Manuhara dan kemudian akan sampai pada giliran Ki Patitis dan kawannya yang tinggal seorang itu.

Ketika Glagah Putih kemudian melangkah mendekati dua orang murid Ki Ajar Gurawa, maka Sabungsari sudah tidak lagi dapat menahan diri. Ketika segores luka lagi mengoyak pundaknya, maka tiba-tiba Sabungsari telah mengambil jarak.

Ternyata nasib yang paling buruk dari ketiga orang lawannya justru bukan kawan Ki Patitis. Tetapi seorang murid Kiai Manuharalah yang memburunya, dipaling depan.

Karena itu, ketika Sabungsari telah benar-benar menjadi marah oleh goresan-goresan luka ditubuhnya oleh kemampuan ilmu pedang lawan-lawannya yang tinggi, maka ia berusaha untuk mengurangi tekanan itu sehingga tidak membahayakan jiwanya sendiri.

Demikian lawannya itu memburunya sambil menggeretakkan giginya serta mengayunkan senjatanya, maka Sabungsari yang berdiri tegak itu telah melepaskan serangan dengan sorot matanya.

Satu tusukan ilmu yang sangat dahsyat ternyata telah mengenai dada orang itu. Seperti membentur dinding yang tidak kasat mata maka orang itu terpental dan terbanting jatuh. Seperti lawan Glagah Putih, maka orang itu pun sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk berteriak.

Sekali lagi kawan-kawannya termasuk Ki Patitis menjadi sangat terkejut. Dua orang telah menjadi korban. Maka tentu akan segera jatuh korban-korban lain, sehingga beberapa orang yang terakhir akan segera dapat mereka tangkap.

Karena itu, maka Ki Patitis tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali menyelamatkan diri. Seandainya selagi mereka melarikan diri, anak-anak muda itu menyerang punggung mereka, maka mereka akan terkapar mati. Yang telah mati tidak akan dapat memberi keterangan apa pun juga. Tentu hal itu akan lebih baik daripada salah seorang diantara mereka sempat tertangkap.

Karena itu, maka Ki Patitis tidak lagi memperhitungkan kemungkinan tugasnya dapat diselesaikan dengan berhasil.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, maka Ki Patitis yang memimpin serangan atas rumah Ki Lurah Branjangan itu pun segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan arena pertempuran itu.

Isyarat itu dengan cepat telah merubah suasana pertempuran di halaman Ki Lurah Branjangan itu. Ki Patitis dan orang-orangnya dengan cepat berusaha melepaskan diri dari pertempuran itu dan berloncatan menjauhi lawan-lawan mereka.

Ki Ajar Gurawa yang mampu bergerak cepat, telah berusaha untuk menahan Ki Patitis. Dengan tangkasnya, Ki Ajar telah meloncat dan melingkar di udara. Ketika kedua kakinya menjejak tanah, maka ia telah berdiri dihadapan Ki Patitis yang telah berusaha meninggalkan arena. Namun Ki Patitis pun dengan tangkas telah menyerang Ki Ajar Gurawa dengan ilmunya. Sambaran angin kencang telah bertiup kearah wajah Ki Ajar.

Ki Ajar memang harus mengelak. Ia tidak mau terlempar dan terbanting jatuh lagi. Apalagi dengan pernafasan yang bagaikan tersumbat.

Namun kesempatan itu telah dipergunakan oleh Ki Patitis untuk meloncat ke kegelapan.

Tetapi sementara itu, murid-murid Kiai Manuhara tidak mampu berbuat seperti Ki Patitis. Ketika mereka mencoba untuk melarikan diri, Glagah Putih dan Sabungsari telah siap menahan mereka. Demikian pula kedua murid Ki Ajar yang terdesak itu, tidak begitu saja membiarkan lawan-lawannya meninggalkan mereka begitu saja. Karena itu, maka mereka pun telah siap memburunya.

Namun selagi mereka mulai meloncat mengejar lawan-lawan mereka, tiba-tiba saja telah terdengar suara tertawa yang mengguncangkan halaman rumah Ki Lurah Branjangan itu. Suara tertawa yang bukan saja menggetarkan selaput telinga orang-orang yang berada di halaman rumah Ki Lurah Branjangan, tetapi seakan-akan terasa tusukan-tusukan tajam disetiap dada.

Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya, Sabungsari dan Glagah Putih terpaksa berhenti sejenak. Mereka harus bertahan dari serangan itu.

Hampir berbareng Glagah Putih dan Sabungsari berdesis, “Aji Gelap Ngampar.

Tetapi dengan demikian, maka orang-orang yang melarikan diri itu seakan-akan telah menghilang didalam kegelapan. Mereka, apalagi murid-murid Kiai Manuhara, telah memiliki kemampuan untuk meredam ilmu yang telah dilontarkan oleh guru mereka sendiri, sebagaimana murid-muridnya yang lain, yang telah mencapai tataran yang cukup tinggi.

Sementara itu, Ki Ajar Gurawa dan keempat orang yang lain, yang ada dihalaman rumah Ki Lurah itu telah berkumpul didepan pendapa. Mereka menyadari, bahwa ada orang lain dengan ilmu yang lebih tinggi mengamati apa yang telah terjadi di halaman rumah itu, sehingga pada saatnya ia berusaha untuk menyelamatkan orang-orangnya, meskipun dua orang telah terlanjur menjadi korban.

Karena itu, maka kelima orang itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin tidak hanya seorang atau dua orang dari mereka yang berilmu tinggi itu.

Suara tertawa itu masih saja terdengar. Orang-orang yang ada di halaman itu masih harus meningkatkan daya lahan mereka untuk menjaga agar isi dada mereka tidak dirontokkan oleh Aji Gelap Ngampar yang kuat itu.

Ki Ajar Gurawa, yang tertua diantara kelima orang yang ada di halaman itu telah benar-benar memusatkan nalar budinya untuk mencari arah suara tertawa yang telah menghentak-hentak isi dada mereka itu. Sementara itu Sabungsari yang tcrluka, ternyata tidak mudah baginya untuk mencapai puncak kemampuannya memusatkan nalar budinya, karena luka yang terasa pedih.

Sedangkan Glagah Putih yang letih dan sakit dibeberapa bagian tulang-tulangnya, masih mampu berusaha mengetahui sumber bunyi Aji Gelap Ngampar itu.

“Bagus“ berkata Ki Ajar Gurawa kemudian, “sebaiknya kau tidak bersembunyi dibelakang rimbunnya batang so itu. Marilah, kita mempunyai banyak kesempatan unluk bermain-main di halaman.”

“Ternyata kau memiliki ketajaman panggraita sehingga kau tahu, dimana aku bersembunyi“ terdengar suara jawaban disela-sela suara tertawanya yang semakin mereda, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

Demikianlah sesosok bayangan telah melayang dan hinggap pada dinding halaman rumah Ki Lurah Branjangan. Namun dalam bayangan gelapnya rimbun dedaunan yang tumbuh disebelah tempatnya berdiri.

“Aku tidak menyangka bahwa disini bersembunyi orang-orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi kemampuan orang-orangku” berkata orang itu.

Kelima orang yang ada di halaman itu menjadi tegang. Namun ketika suara tertawa itu berhenti, maka getaran kemampuan ilmu yang terlontar lewat suara tertawa itu pun mereda pula dan bahkan kemudian tidak terasa lagi.

“Siapa kau Ki Sanak?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Kau tidak perlu bertanya tentang aku. Tetapi kedatanganku sudah kau ketahui. Orang-orangku yang untuk sementara menyingkir itu akan segera kembali dengan jumlah yang lebih banyak, ditambah dengan aku dan seorang saudara seperguruanku. Nah, terimalah nasibmu. Kalian akan menjadi lumat disini.” jawab suara itu.

Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkala, “Marilah. Aku dan kawan-kawanku ingin mengucapkan selamat datang.”

Suasana menjadi semakin tegang. Sabungsari memang sudah terluka. Tetapi justru karena itu, agaknya ia tidak ingin membiarkan dirinya lebih jauh terbenam dalam kesulitan itu. Karena itu, maka ia sudah siap menghancurkan lawannya dengan ilmu puncaknya. Demikian pula dengan Glagah Putih. Jika lawannya menjadi terlalu banyak, maka ia tidak akan mengekang diri lagi. Siapa pun akan dihadapinya dengan kemampuannya yang jarang ada duanya.

Demikian pula Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya. Mereka akan langsung menyambut lawan-lawan mereka dengan kemampuan tertinggi mereka.

Orang yang berdiri diatas dinding, yang tidak lain adalah Kiai Manuhara sendiri, telah siap menjatuhkan perintah. Ternyata ia pun telah membawa beberapa orang murid yang lain, yang akan dapat membantu murid-muridnya yang terdahulu datang dibawah pimpinan Ki Patitis.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terdengar derap kaki kuda. Tidak hanya seekor kuda, tetapi beberapa ekor kuda.

Tanpa diketahui oleh orang-orang yang datang menyerang rumah Ki Lurah Branjangan dan bahkan tanpa diketahui oleh kelima orang yang bertahan itu, penunggu rumah Ki Lurah Branjangan telah meninggalkan halaman rumah itu dengan diam-diam lewat pintu butulan didinding halaman belakang. Dengan berlari-lari orang itu telah pergi ke tempat yang dikenalnya sebagai barak prajurit. Ia tidak tahu, kepada siapa seharusnya memberikan laporan tentang orang-orang yang menyerang rumah yang ditungguinya.

Prajurit yang ada dibarak itu pun dengan cepat tanggap. Setelah memerintahkan dua orang untuk memberikan laporan kepada yang bertugas mengendalikan keamanan malam diseluruh Kota-raja, maka barak itu langsung mengirimkan sekelompok prajurit berkuda kerumah Ki Lurah Branjangan.

Kedatangan prajurit berkuda itu telah mengganggu rencana Kiai Manuhara unluk menghancurkan seisi rumah itu. Meskipun Kiai Manuhara sendiri akan dapat mengatasinya betapa tinggi ilmu pemimpin kelompok prajurit itu. Namun ia harus memperhitungkan murid-muridnya. Apalagi ditempat itu terdapat anak-anak muda yang berilmu tinggi, yang mampu mengalahkan kawan-kawan Ki Patitis, bahkan membunuhnya.

Karena itu, ketika para prajurit berkuda itu memasuki halaman rumah Ki Lurah Branjangan yang agak luas itu, maka Kiai Manuhara segera memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu kepada semua orang yang telah dipersiapkan, termasuk Ki Patitis dan orang-orangnya yang sebenarnya harus mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu justru karena Kiai Manuhara datang membantu.

Karena itu, demikian para prajurit itu berloncatan turun dari kudanya, maka bayangan yang ada diatas dinding halaman itu pun telah lenyap.

Ki Ajar Gurawa dan keempat orang yang lain, yang ada di halaman rumah itu segera mengetahui, lenyapnya bayangan itu berarti semua orang yang siap menyerang halaman rumah itu telah lenyap pula.

Namun dalam pada itu, telah terjadi kesibukan yang para Pemimpin prajurit berkuda itu telah memerintahkan para prajuritnya untuk melihat seluruh halaman dan kebun dibelakang rumah Ki Lurah Branjangan.

“Hati-hati. Mungkin kalian akan menghadapi serangan dari orang-orang yang bersembunyi“ perintah pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu.

Sementara para prajurit memeriksa halaman dan kebun belakang, maka pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu telah berbicara dengan Ki Gurawa.

“Mereka telah pergi” berkata Ki Gurawa kemudian, “mereka meninggalkan dua sosok mayat.”

Pemimpin prajurit itu masih mengajukan beberapa pertanyaan. Juga mengenai mereka berlima.

Namun jawaban Ki Ajar Gurawa nampaknya kurang memuaskan pemimpin prajurit itu. Setiap kali Ki Ajar didesak untuk menyatakan siapakah ia sebenarnya dan darimana asalnya.

“Mataram bukan tempat untuk ajang kerusuhan” berkata pemimpin prajurit itu, “jika kalian mempunyai persoalan, maka kalian harus menyelesaikannya lewat jalur yang ada. Bukan dengan perkelahian seperti ini.”

“Mereka menyerang kami” jawab Ki Ajar Gurawa.

“Tetapi siapakah Ki Sanak ini sebenarnya?, “desak pemimpin prajurit itu.

Glagah Putih dan Sabungsari juga merasa kesulitan mengalami pertanyaan yang sangat mendesak seperti itu. Sabungsari tidak dapat mengatakan bahwa ia adalah seorang prajurit yang diijinkan oleh Senapatinya untuk melibatkan diri dalam kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung.

Karena prajurit itu masih saja mendesaknya, maka Ki Ajar Gurawa pun berkata, “Kami datang untuk melihat pertandingan di alun-alun. Demikian pula kcmcnakan-kcmcnakanku ini. Kami adalah kawan-kawan dekat Ki Lurah Branjangan. Jika kalian tidak yakin, bawa kami ke Tanah Perdikan Menoreh. Atau tanyakanlah kepada Ki Wirayuda yang mengenal kami.”

”Baiklah” berkata prajurit itu, “sebaiknya kalian tidak meninggalkan tempat ini sampai persoalannya selesai.”

Namun tiba-tiba Glagah Putih berkata, “Aku mohon Ki Lurah Branjangan dapat diminta datang besok atau lusa.”

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun kemudian berkala lebih lanjut, “Atau sampaikan persoalan ini kepada Ki Wirayuda.”

Pemimpin prajurit itu masih saja termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Apa pun yang akan kami lakukan, aku minta kalian tidak meninggalkan tempat ini. Jika kalian besok atau kapan saja aku butuhkan, tidak berada di sini, maka Ki Lurah Branjangan lah yang akan mengalami kesulitan, karena Ki Lurah Branjangan yang akan mendapat limpahan tanggung jawab.”

Sabungsari tidak senang mendengar ancaman atas Ki Lurah Branjangan itu. Namun sebelum ia menjawab, maka terdengar lagi derap kaki kuda mendekati rcgol halaman rumah Ki Lurah Branjangan.

Ternyata yang kemudian muncul adalah sekelompok prajurit yang bertugas menjaga dan bertanggung jawab keamanan Kota-raja. Setelah dua orang prajurit datang melaporkan keributan yang terjadi di rumah Ki Lurah Branjangan, maka sekelompok prajurit yang bertugas itu pun segera dikirim ke tempat kejadian.

Namun ternyata di halaman rumah itu telah datang sekelompok prajurit berkuda mendahului para petugas.

Ternyata bahwa prajurit yang datang kemudian itu telah dipimpin langsung oleh Ki Wirayuda, justru karena kejadian yang dilaporkan berlangsung dirumah Ki Lurah Branjangan. Sedangkan Ki Wirayuda tahu pasti, siapakah yang berada di rumah itu.

Kepada pemimpin prajurit yang dalang lebih dahulu, Ki Wirayuda berkata, “Persoalan ini aku ambil alih, sebagai perwira yang bertanggung jawab atas pengamanan Kotaraja serta tugas-tugas yang berhubungan dengan itu.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk hormat sambil berkata, “Kami mendapatkan kelima orang ini serta dua sosok mayat.”

“Hanya itu?” bertanya Ki Wirayuda.

“Ya. Ternyata sekelompok orang yang dikatakan menyerang tempat ini sudah tidak ada.” jawab pemimpin prajurit itu.

“Orang-orang itu pergi tepat saat pasukan berkuda itu memasuki halaman.” berkata Ki Ajar Gurawa.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Segala sesuatunya akan kita telusuri kemudian.”

Pemimpin prajaurit yang datang lebih dahulu itu pun segera mengumpulkan pasukannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Ketika pemimpin prajurit itu minta diri, maka Ki Wirayuda berkata, “Terima kasih atas kesigapan kalian, sehingga keributan ini tidak berlarut-larut.”

“Kami sekedar menjalankan tugas kami” jawab pemimpin kelompok itu.

Demikianlah sejenak kemudian, maka sekelompok prajurit berkuda itu telah meninggalkan halaman rumah Ki Lurah Branjangan, sementara persoalan yang terjadi di halaman itu telah diambil alih oleh Ki Wirayuda.

Sepeninggal pasukan berkuda itu, maka Ki Wirayuda telah memerintahkan para prajurit yang datang bersamanya untuk berjaga-jaga di seluruh halaman dan kebun di belakang rumah. Ternyata pesannya mirip dengan pesan pemimpin sekelompok pasukan berkuda yang datang terdahulu, “Hati-hatilah. Dibelakang dedaunan itu mungkin ada orang yang bersembunyi yang dapat menyerang kalian dengan diam-diam.”

Ki Wirayuda sendiri kemudian bersama dengan kelima orang yang bermalam di rumah Ki Lurah Branjangan itu segera masuk ke ruang dalam untuk berbicara lebih lanjut tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

Dengan singkat Ki Ajar Gurawa telah mencerilerakan apa yang telah terjadi di halaman itu. Dua orang penyerang telah terbunuh. Namun diantara kelima orang itu, ada juga yang telah terluka, Sabungsari telah tergores senjata di beberapa tempat, sementara beberapa bagian tulang Glagah Putih bagaikan menjadi retak.

———-oOo———-

(bersambung ke Jilid 274)

diedit dari:

http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-73/

Terima kasih kepada Ki Kuncung yang telah me-retype jilid ini

<<kembali | lanjut >>

Tinggalkan komentar