ISTANA YANG SURAM 13


ISTANA YANG SURAM

Jilid 13

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-13KETIKA Ki Buyut sampai di rumahnya, maka yang pertama-tama dilakukannya adalah menyiapkan makan dan minum bagi orang-orang yang berada di istana kecil itu, dengan lantang ia berkata kepada pembantunya, “Sekarang kalian dapat menyembelih kambing dengan ikhlas, aku akan menjamu orang-orang yang berada di istana itu sebagai orang-orang terhormat dan yang telah menyelamatkan istana itu dari bencana”

“Siapakah mereka Ki Buyut?” bertanya seorang anak muda.

“Ternyata istana itu penuh dengan teka-teki yang mengejutkan”

“Kenapa?”

“Sembelih dahulu seeor kambing yang sehat dan gemuk, nanti aku akan bercerita”

Rumah Ki Buyut segera menjadi sibuk, beberapa orang perempuan telah dipanggil untuk membantu memasak, tidak seperti saat mereka menyiapkan makanan bagi orang-orang Guntur Geni dan orang-orang Kumbang Kuning yang berada di banjar atau orang-orang Cengkir Pitu, tetapi kali ini orang-orang Karangmaja bekerja dengan penuh gairah dan kegembiraan hati.

Sementara itu mereka yang berada di istana kecil itu telah mempunyai kesibukan tersendiri, mereka yang terluka sedang sibuk mengobati luka-lukanya, sementara yang lain sedang berbincang tentang pusaka yang masih belum diketemukan.

Namun dalam pada itu, di dalam istana kecil itu telah terjadi tata hubungan yang agak ganjil, Sangkan yang ternyata adalah Raden Kuda Rupaka kadang-kadang masih bersikap sebagaimana selalu dilakukan, sementara Panon sama sekali tidak merubah sikapnya, meskipun ternyata ia memiliki kemampuan yang mengagumkan, tetapi ia adalah seorang yang rendah diri dan mengerti akan martabatnya.

Meskipun demikian, sesuatu yang belum pernah dimengerti telah meraba hatinya, gadis yang mula-mula dikenalnya bernama Pinten itu mempunyai sentuhan tersendiri bagi perasaannya.

“Gila” Panon menggeram, “Ia ternyata seorang Puteri, ia anak seorang Pangeran, dan itulah yang gila, jika saja aku mengetahui sejak semula”

Tetapi diluar sadarnya, ternyata gadis yang sebenarnya adalah Puteri Raksi Padmasari itu telah menaruh perhatian pula kepadanya, sikap Panon yang lugu, rendah hati tetapi menyimpan kemampuan yang tidak terduga itu, telah menarik perhatiannya.

Meskipun Puteri Raksi Padmasari menyadari, bahwa Panon bukannya seorang keturunan bangsawan, namun sebagai seorang gadis yang lebih banyak tinggal di padepokan yang jauh dari kehidupan seorang bangawan, ia dapat menyesuaikan diri dengan sikap dan tingkah laku anak muda yang berasal dari lereng Gunung Merbabu itu.

Puteri Raksi Padmasari yang kadang-kadang juga berada di Kota Raja, justru kurang sesuai bergaul dengan saudara-saudaranya dalam lingkungan kebangsawanan, meskipun ia mempunyai beberapa kelebihan dari gadis-gadis sebayanya.

Namun rasa-rasanya masih ada jarak diantara keduanya. Dalam keadaan yang masih diliputi oleh kabut rahasia tentang pusaka yang sedang dicari, maka mereka masih memusatkan segenap perhatian mereka kepada penemuan pusaka itu.

Demikian juga Puteri Inten Prawesti, sejak anak muda yang mengaku bernama Sangkan itu masih menjadi anak Nyi Upih, anak muda itu telah menimbulkan berbagai macam pertanyaan di dalam hatinya, sejak Kidang Alit tidak mampu lagi mengikatnya dengan ilmu gendam, dan apalagi sejak Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya adalah orang lain, yang bernama Raden Johar Patitis agak mengecewakannya, maka perhatiannya telah tercurah kepada anak Nyi Upih yang aneh itu.

Namun seperti kebanyakan gadis, maka semuanya itu hanya tersimpan saja di dalam hatinya.

Namun semuanya itu tidak terlepas dari perhatian Nyi Upih, ia melihat kerling mata momongannya, tetapi ia melihat juga tangkapan cahaya mata Puteri Raksi Padmasari. Itulah sebabnya ia merasa berkewajiban untuk mengungkapkan semua yang masih terpendam itu pada saatnya.

“Jika pusaka itu telah dapat diketemukan, maka aku akan berterus, maka aku akan berterus-terang kepada Pangeran Bondan Lamatan, bahwa putera dan Puteri telah tersentuh oleh perasaan lain yang mungkin akan dapat mempengaruhi masa depannya.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di halaman istana merasa sangat berterima kasih ketika beberapa orang padukuhan Karangmaja telah datang membawa makanan dan minuman bagi mereka, bukan sekedar makan dan minum, tetapi seakan-akan Ki Buyut sedang mengadakan jamuan yang sangat besar untuk menghormati kemenangan Para Prajurit Demak bersama para penghuni istana kecil itu.

“Luar biasa” berkata Pangeran Bondan Lamatan.

“Hanya sekedarnya” berkata Ki Buyut, “Kami menghidangkan apa yang ada pada kami”

Wajah-wajah yang menjadi cerah itu pun kemudian sibuk menyuapi mulut mereka masing-masing, sudah lama mereka tidak sempat menikmati hidangan semacam itu, terlebih-lebih mereka yang tinggal di dalam istana kecil yang suram itu.

Namun dalam pada itu, wajah Ki Wirit yang masih nampak suram, karena ia masih mempunyai tugas yang cukup berat.

Panon sekali-sekali memandang wajah gurunya, ia sadar, tugas gurunya bukannya tugas yang ringan, ia harus mencari pusaka itu di halaman istana dengan penglihatan batinnya.

“Jika guru tidak menemukan, mungkin akan timbul prasangka buruk” berkata Panon di dalam hatinya.

Tetapi Panon tidak berani mengatakan sesuatu, ia sadar, bahwa ia adalah sekedar murid yang tentu masih banyak kekurangannya dibanding dengan gurunya.

“Guru mempunyai kebijaksanaan yang cukup” ia mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Dalam pada itu, ketika langit menjadi gelap dan lampu minyak sudah menyala, di pendapa istana kecil itu telah terbentang beberapa helai tikar yang dibawa oleh orang-orang Karangmaja. Pangeran Bondan Lamatan menolak ketika ia diperpsilahkan untuk tidur di ruang dalam. Ia lebih senang berada diantara para pengawalnya. Bukan karena hatinya yang kecut, tetapi justru sebagai seorang prajurit, ia memilih berada bersama anak buahnya.

Sangkan tidak lagi tidur di ruang belakang, ia berada di pendapa pula bersama Pangeran Bondan Lamatan, namun sementara itu Kiai Rancangbandang masih memilih tidur di biliknya bersama Panon meskipun Ki Ajar Respati berada di pendapa pula.

“Rasa-rasanya masih ada yang harus dijaga di belakang” berkata Kiai Rancangbandang.

“Silahkan” Pangeran Bondan Lamatan tersenyum, namun ia pun sependapat, bahwa rasa-rasanya masih ada yang perlu diawasi.

Sementara itu Pinten masih harus tetap berada di bilik Raden Ayu Kuda Narpada bersama Inten dan Nyi Upih, meskipun orang-orang yang selama ini mengganggu ketenangan istana kecil itu sudah tertangkap, namun mereka masih juga merasa ngeri, bahwa bencana masih akan berkepanjangan.

Sebenarnyalah, bahwa orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan untuk berjaga-jaga, mereka yang sedang mendapat giliran harus mengawasi seluruh halaman dan regol yang sudah tidak mempunyai pintu lagi, karena pintunya sudah dirusak.

“Jika kau melihat sesuatu yang mencurigakan, panggil aku meskipun kau tidak yakin bahwa yang kau hadapi adalah bahaya yang sebenarnya, tetapi bagi kita di dalam keadaan seperti ini, lebih baik terlalu hati-hati daripada lengah”

Sementara itu, Ki Wirit telah minta ijin kepada Pangeran Bondan Lamatan untuk berada dimana saja yang sesuai dengan usahanya menemukan pusaka yang telah disimpan oleh Pangeran Kuda Narpada tanpa diketahui oleh orang-orang, bahkan Raden Ayu Kuda Narpada tidak mengetahuinya pula.

Panon yang berada di bilik belakang, bangkit dari pembaringannya ketika ia mendengar langkah mendekat, kemudian di dengarnya gurunya mendehem beberapa kali diluar pintu biliknya.

“Guru” desis Panon, lalu katanya kepada Kiai Rancangbandang, “Mungkin guru memerlukan aku”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk kecil, sementara Panon pun kemudian pergi keluar biliknya.

Tetapi ketika pintu biliknya terbuka, ia sudah melihat gurunya berdiri tidak terlalu jauh dari pintu itu, sehingga karena itu, maka beberapa langkah kecil telah membawanya berdiri di hadapan gurunya.

“Panon” berkata gurunya, “Aku akan mulai dengan usahaku mencari pusaka itu, cobalah kau membantu aku, mohon kepada Yang Maha Kuasa agar kita mendapat petunjuk, dimanakah pusaka itu tersimpan”

“Apakah yang harus aku lakukan guru?” bertanya Panon.

“Kau tidak usah berbuat apa-apa, kau dapat berada di dalam bilikmu, tetapi cobalah mengurangi tidur dan memanjatkan permohonan dengan sungguh-sungguh”

“Panon mengangguk, jawabnya, “Aku akan melakukannya guru”

“Hati-hatilah, agaknya bukan saja pusaka itu yang masih tetap menggelisahkan hati kita, tetapi aku juga masih digelisahkan oleh dugaan, bahwa belum semua kekuatan yang ingin memiliki pusaka itu kita singkirkan, aku masih mencemaskan kekuatan orang-orang Guntur Geni, selama ini agaknya orang-orang mengabaikan orang-orang Guntur Geni itu datang dengan seluruh kekuatannya bersama dengan perguruan kembarnya Guntur Prahara, yang meskipun terletak di tempat yang agak jauh, meskipun agaknya tidak berpepentingan sama sekali, namun kekuatan mereka akan menjadi berbahaya. Guntur Prahara yang semula tidak menghiraukan itu akan dapat digelitik oleh orang-orang Guntur Geni sehingga merekapun akan bangkit dengan amarah, terutama sekedar mempertahankan harga diri mereka sebagai dua perguruan yang seakan-akan merupakan anak kembar”

Panon mengerutkan keningnya, katanya, “Apakah Guntur Geni dan Guntur Prahara itu benar-benar akan datang”

“Mudah-mudahan tidak, aku hanya menduga, tetapi jika dugaanku benar, maka tugas kita masih cukup berat”

“Baik guru. Aku akan berjaga-jaga, mudah-mudahan Kiai Rancangbandang akan bersedia membantu aku, bergantian mengawasi keadaan selain para pengawal yang bertugas di depan istana.”

“Baiklah, aku akan berada di bawah pohon gayam yang sudah semakin rimbun daunnya itu. nampaknya pohon itu masih muda, tetapi sebentar lagi tentu akan segera berubah”

“Baik guru, aku akan selalu hati-hati, setiap saat aku akan menyampaikan kepada guru jika ada sesuatu yang mencurigakan”

Ki Wirit pun kemudian meninggalkan muridnya dan pergi ke sudut halaman belakang dan duduk di bawah pohon gayam.

Sementara itu Panon pun telah kembali ke dalam biliknya, tanpa menyembunyikan sesuatu, Panon pun mengatakan apa saja yang dikatakan oleh gurunya.

“Mudah-mudahan gurumu berhasil Panon” desis Kiai Rancangbandang.

“Mudah-mudahan Kiai, tetapi ada semacam keyakinan bahwa guru akan berhasil”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, katanya pula, “Nah bantulah, dengan doa, kau dapat membantu gurumu, mohonlah kepada Yang Maha Kuasa”

Panon mengangguk, ia pun kemudian duduk disisi pembaringan, namun ia sama sekali tidak ingin berbaring, ia ingin memenuhi permintaan gurunya, dan dengan caranya, maka ia pun berusaha untuk berhubungan dengan Yang Maha Kuasa, menyampaikan permohonannya.

“Jika pusaka itu dapat diketemukan, maka istana ini akan terhindar dari malapetaka untuk selanjutnya. Orang-orang yang tampak itu tidak akan saling bertentangan dan bertempur. Dengan demikian maka padukuhan ini akan menjadi tenang dan damai” berkata Panon di dalam hatinya.

Sementara itu Ki Wirit duduk merenung dibawah pohon gayam yang berdaun rimbun, ia sama sekali tidak duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya sambil memejamkan matanya untuk melepaskan penglihatan batinnya, tetapi yang dilakukannya adalah duduk merenungi istana kecil yang suram itu.

Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian diluar sadarnya ia berdesis, “Pusaka itu memang harus diketemukan, semuanya akan segera selesai, berita penemuan pusaka itu harus segera tersebar sehingga orang-orang Guntur Geni tidak akan bernafsu lagi untuk datang kemari”

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin larut, pengawal yang bertugas di pendapa duduk di tangga bersandar tiang, namun ia tetap waspada, diawasinya seluruh halaman dan regol yang terbuka.

Sementara itu, Ki Wirit pun kemudian bergeser dari tempatnya, dengan ragu-ragu ia berdiri, diperhatikannya istana itu dengan seksama, ternyata ia sudah tidak mendengar seseorang bergumam lagi.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan ia pun kemudian bergeser, langkah-langkah kecil telah membawanya menyusuri dinding di bagian belakang halaman istana yang suram itu.

Ketika ia sampai di sudut halaman, maka ia pun berhenti sejenak, sekali lagi ia mengamati keadaan dengan seksama, baru setelah ia yakin, bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka ia pun kemudian duduk di sudut bersandar dinding.

Dengan tangannya ia menyentuh batu-batu yang bersusun, namun kemudian ia telah bergeser beberapa langkah.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, dengan dada yang berdebar-debar ia menghitung celah-celah batu dinding halaman, ketika ia menemukan celah-celah yang dicarinya, maka dadanya menjadi berdebar-debar, perlahan-lahan ia meraba celah-celah batu itu, kemudian dengan hati-hati pula ia mendorong salah satu batu itu dengan kekuatan yang sangat kuat.

Perlahan-lahan batu itu bergerak, hanya sedikit sekali, dan Ki Wiritpun menghentikan tekanannya atas batu itu.

Agaknya ia telah benar-benar menemukan yang dicarinya, karena itu maka ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, sekali lagi ia memandang berkeliling, seolah-olah ia masih curiga kalau-kalau ada mata yang memandangnya.

Tetapi telinga Ki Wirit cukup tajam untuk mengetahui, bahwa tidak ada seorangpun yang ada di sekitarnya.

Sejenak kemudian Ki Wirit duduk bersandar dinding batu itu, seolah-olah ia sedang mengatur perasaannya yang bergejolak.

Namun tiba-tiba saja ia telah bangkit berdiri, dengan lincahnya ia pun kemudian meloncati dinding dan sekejap kemudian ia sudah berdiri diluar dinding istana itu.

Setelah mengamat-amati keadaan sejenak, maka ia pun kemudian berjongkok sambil meraba sebongkah batu besar yang terletak tepat diluar dinding.

Beberapa kali ia mengusap batu itu, namun kemudian dengan kekuatan yang luar biasa, ia mengungkit batu besar itu, sehingga batu itu bergeser beberapa tapak kaki.

Nafas Ki Wiritpun menjadi terengah-engah, betapapun besar kekuatannya, namun mengangkat batu yang sangat besar itu, agaknya ia telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada.

Sejenak Ki Wirit berdiri tegak sambil mengatur pernafasan-nya, baru kemudian ia berjongkok dan meraba tanah dibawah batu yang telah bergeser itu.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, tangannya menyentuh sesuatu yang keras yang ternyata adalah sebuah peti yang terbuat dari kepingan besi baja.

Dengan hati-hati ia mengungkit peti itu, dengan sekali sentak, maka peti besi itu telah berada ditangannya.

Peti besi itu tidak besar, tetapi agak memanjang, dengan hati-hati ia membuka peti itu, kemudian Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata di dalam peti kecil yang panjang itu masih tergolek sebilah keris yang sudah tidak berada di dalam sarungnya.

Dengan tangan gemetar Ki Wirit mengambil keris itu, kemudian dengan hati-hati diangkatnya keris itu diatas kepalanya.

“Kiai Sangkelat” ia bergumam, “Sudah saatnya Kangjeng Kiai kembali ke gedung perbendaharaan”

Suara Ki Wirit yang lemah itu seolah-olah bagaikan satu dengan desahnya angin malam yang dingin, ketika ia mengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang berhamburan di langit yang biru hitam.

Terdengar desah lembut dari mulut Ki Wirit, perlahan-lahan ia meletakkan peti kecil itu kembali ke tempatnya dan menimbuninya lagi dengan tanah, kemudian, diletakkannya pusaka itu diatas batu padas, ketika ia mengerahkan tenaganya sekali lagi untuk mengembalikan batu yang telah digesernya.

Sekali lagi Ki Wirit terengah-engah, batu itu memang berat sekali, hanya orang-orang yang memiliki kekuatan yang khusus sajalah yang akan mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Wirit itu.

Setelah ia melenyapkan bekas-bekas yang akan dapat menimbulkan kecurigaan, maka diambilnya keris itu dan sekali lagi diangkatnya diatas kepalanya, dengan tergesa-gesa ia pun kemudian meloncat kembali memasuki halaman istana kecil itu.

Sejenak ia menunggu, ternyata halaman belakang istana itu masih tetap sepi, dengan hati-hati ia pun bergeser dan kembali ke bawah pohon gatam yang rimbun.

Dalam pada itu bintang di langitpun bergeser semakin ke barat, angin malam yang dingin bertiup lemah, dikejauhan terdengar suara cengkerik berderik disela-sela desir daun ilalang yang tergetar oleh angin.

Lewat tengah malam Ki Wiritpun meninggalkan tempatnya, dengan keris ditangan ia berjalan dengan hati-hati, di depan bilik Panon ia berhenti sejenak, ia masih mendengar nafas yang gelisah di dalam bilik itu, sehingga ia mengetahui, bahwa yang berada di dalam bilik itu masih belum tertidur.

Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bilik itu, yang dengan serta merta telah didengarnya sebuah loncatan sampai ke depan pintu sambil menyapa, “Siapa?”

“Aku” sahut Ki Wirit.

“Guru?” terdengar suara Panon

“Ya” jawab Ki Wirit.

Sejenak kemudian pintu itu pun telah berderit, bukan saja Panon yang berdiri di muka pintu, tetapi ternyata bahwa Kiai Rancangbandang telah berdiri di belakang Panon pula.

“Guru” Panon segera meloncat keluar diikuti oleh Kiai Rancangbandang, “Apakah guru berhasil?”

Ki Wirit termangu-mangu, diacungkannya keris ditangannya sambil menjawab, “Aku telah mendapatkan sebuah keris, tetapi aku tidak dapat menyebut apakah pusaka inilah yang sedang dicari oleh Pangeran Bondan Lamatan”

“O” Panon termangu-mangu, di dalam kegelapan ia melihat keris yang tergenggam ditangan Ki Wirit, keris yang meskipun nampak tidak terpelihara, namun seolah-olah di dalam gelapnya malam, maka tajamnya bagaikan membara.

“Tentu keris itu” desis Panon, “Nampaknya keris itu memiliki perbawa yang sangat kuat”

“Apakah Kiai Rancangbandang dapat menyebut” bertanya Ki Wirit.

Kiai Rancangbandang menerima keris itu, seperti yang dilakukan oleh Ki Wirit, maka ia pun mengangkat keris itu diatas kepalanya, kemudian dengan seksama ia memandang keris yang sudah tidak berwrangka lagi itu.

Perlahan-lahan ia menggeleng kepala, katanya, “Aku belum pernah mengenal pusaka-pusaka tertinggi di istana Majapahit, karena itu, aku tidak berani menyebutnya, apakah pusaka ini pusaka yang sedang diperebutkan, tetapi aku kira Pangeran Bondan Lamatan akan mengetahuinya”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, kemudian katanya, “Baiklah, aku akan menghadap Pangeran Bondan Lamatan, mudah-mudahan keris ini adalah keris yang dicarinya”

Ki Wiritpun kemudian pergi ke pendapa sambil membawa pusaka itu diikuti oleh Kiai Rancangbandang dan Panon, dengan dada yang berdebar-debar Panon mencoba untuk menebak, apa yang telah terjadi setelah pusaka itu diserahkan kepada Pangeran Bondan Lamatan.

Jika benar pusaka itu yang dicarinya, maka Pangeran Bondan Lamatan tentu akan berterima kasih kepada gurunya.

“Tetapi apakah sekedar ucapan terima kasih?, atau justru akan timbul kecurigaan atau tindakan yang lain?” bertanya Panon kepada diri sendiri.

Tetapi Panon yakin, bahwa gurunya bukan termasuk orang-orang tamak yang mempunyai pamrih pribadi atas keris itu, jika ia melakukan semua usaha itu, justru untuk kepentingan Demak yang sedang berusaha untuk berdiri tegak, setelah Majapahit runtuh karena persoalan yang seharusnyanya dapat dicegah, namun ketamakan dan kesombongan telah mengguncang kejayaan Majapahit sehingga akhirnya kerajaan yang kokoh kuat itu perlahan-lahan mengalami kemunduran, sehingga akhirnya runtuh sama sekali.

Ketika Pangeran Bondan Lamatan mendengar kehadiran Ki Wirit di pendapa, dengan tergesa-gesa ia pun bangkit, bahkan ia pun kemudian meloncat mendekati Ki Wirit di tangga pendapa dengan keris di tangan. Dalam cahaya lampu obor yang kemerah-merahan, maka keris itu benar-benar bagaikan bara yang menyala.

“Ki Wirit, kau berhasil?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan yang ternyata bahwa pertanyaan itu telah membangunkan setiap orang, bahkan Puteri Raksi Padmasari yang ada di dalam bilik gusti Puteripun segera meloncat dan dengan serta merta mendorong daun pintu langsung menghambur ke pendapa.

Orang-orang yang ada di pendapa itu pun telah mengerumuni Ki Wirit yang kemudian naik ke pendapa, dengan tangan gemetar ia mengangkat keris itu sambil bertanya, “Ampun Pangeran, aku tidak dapat mengatakan, apakah benar pusaka inilah yang sedang dicari dan bahkan diperebutkan dengan mempertaruhkan nyawa”

Pangeran Bondan Lamatan memandang keris itu dengan tajamnya, sejenak ia mematung, nafasnya seakan-akan terputus oleh perhatiannya yang terpusat kepada keris ditangan Ki Wirit itu.

Dengan suara bergetar Pangeran Bondan Lamatan itu berkata, “Ki Wirit, apakah aku boleh melihat keris itu?”

“Silahkan Pangeran, bukankah ini memang tugas Pangeran?, aku hanya sekedar membantu mencari letak pusaka itu dengan penglihatan batin, menurut isyarat dari penglihatan batinku, aku telah menemukan pusaka itu, namun aku tidak dapat mengatakan, apakah pusaka itu memang pusaka yang sedang dicari” jawab Ki Wirit sambil menyerahkan keris itu.

Pangeran Bondan Lamatan menerima pusaka itu dan mengangkatnya diatas kepala, dengan seksama ia pun memandang keris ditangannya, keris yang sudah tidak berada di dalam sarungnya lagi.

Keris itu adalah keris luk tigabelas, lengkap dengan sekar kacang. Lambe Gajah yang hanya sebuah, grenengan dengan Eri Pandan.

Menilik cahaya yang seakan-akan membara serta ciri yang dapat dilihat, terlebih-lebih lagi seakan-akan getaran yang merambat dari hulu eris itu menjalar di urat darahnya, maka dengan suara yang gemetar Pangeran Bondan Lamatan berkata, “Kiai Sangkelat, Kangjeng Kiai Sangkelat”

Ki Wirit termangu-mangu, dengan nada berat ia mengulang, “Kangjeng Kiai Sangkelat”

“Ya” jawab Pangeran Bondan Lamatan, sesaat ia memandang wajah Ki Wirit, namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kau akhirnya berhasil Ki Wirit, kau telah dapat meraba dengan tangan batinmu, dimanakah letaknya pusaka yang tersembunyi itu?”

“Hamba mohon kebijaksanaan, meskipun hanya sesaat kepada Yang Maha Kuasa, ternyata hamba dapat menemukan pusaka itu”

Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu sejenak, kemudian diedarkannya tatapan matanya kesekelilingnya, ketika terpandang olehnya Raden Ayu Kuda Narpada, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam.

Namun tiba-tiba saja diluar dugaan setiap orang, maka Pangeran Bondan Lamatan berkata, “Ki Wirit, pusaka itu telah ada ditanganku, namun demikian, kau akan tetap berada bersamaku disini”

Ki Wirit tidak begitu mengerti maksud Pangeran Bondan Lamatan sehingga ia pun bertanya, “Apakah maksud Pangeran Bondan Lamatan yang sebenarnya? Aku kira tugas kita semuanya sudah selesai, demikian pula tugasku, karena itu, aku ingin mohon diri, kembali ke pertapaanku di lereng gunung Merbabu bersama dengan muridku yang ternyata telah selamat”

Pangeran Bondan Lamatan mengerutkan keningnya, namun yang bergeser dari tempatnya adalah Puteri Raksi Padmasari, tetapi ia tertegun ketika kakaknya menggamitnya sambil berbisik, “Jangan tergesa-gesa, kau adalah seorang gadis”

Raksi Padmasari memandang wajah kakaknya, tetapi saat itu ternyata bahwa kakaknya bersungguh-sungguh, namun justru karena itu, maka wajahnyapun menjadi merah, tetapi ia tidak marah dan tidak mencubit lengan kakaknya.

Sementara itu Pangeran Bondan Lamatan memandang Ki Wirit dengan kerut merut dikening, seperti saat ia menahan Ki Wirit untuk tetap tinggal, kata-katanya juga mengejutkannya, “Ki Wirit, aku berterima kasih bahwa kau telah menyerahkan pusaka yang diperebutkan banyak orang, bahkan dengan mengorbankan jiwa, karena itu, yang dilakukan oleh Ki Wirit justru telah menimbulkan kecurigaan. Aku sangsi, apakah Ki Wirit benar-benar dengan ikhlas menyerahkan pusaka ini kepada-ku, kepada Demak”

“Kenapa tidak” Ki Wirit menjadi heran, “Jika aku menginginkannya, maka aku dapat menyembunyikan pusaka itu di tempatnya lagi, tempat yang tidak diketahui oleh siapapun juga”

“Tetapi aku belum mengenal Ki Wirit sebaik-baiknya, karena itu aku aku harap Ki Wirit tetap tinggal bersamaku, kemudian pergi ke Demak bersama-sama untuk menyerahkan pusaka ini, setelah pusaka ini diterima oleh Sultan, terserahlah, apakah yang akan Ki Wirit lakukan, bahkan mungkin Ki Wirit akan mendapat hadiah dari Sultan”

Ki Wirit menarik nafas dlam-dalam, jawabnya, “Terima kasih, aku tidak memerlukan hadiah apapun, yang aku lakukan adalah semata-mata karena aku ingin membantu, agar Demak tidak diganggu oleh persoalan pusaka itu lagi”

“Atau karena kau mempunyai rencana lain?”

“Rencana lain?” Ki Wirit menjadi heran.

“Kiai yakin sekarang, pusaka itu sudah berada di tanganku. Justru Kangjeng Kiai Sangkelat, maka kau akan segera pergi memberitahukan kepada orang-orangmu, bahwa waktunya telah datang untuk memasuki istana ini dan merampas pusaka itu dari tanganku”

“Pangeran” wajah Ki Wirit menjadi tegang, sementara Panon bergeser setapak, dengan suara ragu-ragu Ki Wirit berkata, “Aku tidak tahu apakah yang sebenarnya tuan pikirkan?”

“Ki Wirit, jika kau tidak mempunyai niat apapun juga, kau tentu tidak akan berkeberatan, jika kau selalu berada diantara kami, kita akan berangkat besok menuju ke Demak, kau akan menghadap Sultan dan menceritakan apa yang sudah kau lakukan disini”

Sejenak Ki Wirit berdiri termangu-mangu, sekilas ditatapnya wajah muridnya, dari sorot matanya ia melihat bahwa hati muridnya itu sudah terbakar.

“Pangeran” berkata Ki Wirit, suaranya masih tetap lembut dan sareh, “Aku tidak ingin menghadap Sultan untuk menyombongkan diri, seakan-akan akulah yang telah berjasa menemukan pusaka itu. bBiarlah aku mohon diri, aku akan kembali ke lereng Gunung Merbabu, aku merasa bahwa aku tidak berkepentingan lagi dengan pusaka itu, apalagi berbuat sesuatu yang bermimpipun tidak dapat aku lakukan”

“Menilik sorot matamu, kau adalah orang yang cerdik Ki Wirit” berkata Pangeran Bondan Lamatan kemudian.

Kata-kata Pangeran Bondan Lamatan itu benar-benar telah menusuk hati Ki Wirit, namun ia masih tetap nampak sareh dan tenang, yang digelisahkan kemudian adalah justru sikap Panon yang mulai goyah.

“Pangeran” berkata Ki Wirit, “Kita masing-masing baru saja menyelesaikan tugas yang berat, kita telah mengalami ketegangan dan ketakutan lahir dan batin, karena itu, aku memohon agar kita masing-masing dapat menahan diri, kecuali jika maksud Pangeran hanyalah sekedar untuk bergurau saja”

Tetapi jawaban Pangeran Bondan Lamatan benar-benar membuat dada Ki Wirit bergejolak, “Ki Wirit, kita sudah cukup tua, dan seperti yang kau katakan, kita masih tegang dan lelah lahir dan batin, karena itu, bukan masanya kita bergurau sekarang”

“Jadi maksud Pangeran, bahwa Pangeran bersungguh-sungguh?”

“Ya, aku bersungguh-sungguh, aku mengharap kau tetap berada diantara kami, aku mencurigaimu, kau dapat berbuat curang dan berkhianat, bahkan mungkin sudah kau perhitungkan lebih dahulu”

Wajah Ki Wirit nampal menegang, tetapi ia masih tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya, karena itu, ia masih tetap sareh, “Pangeran, aku mohon Pangeran dapat menahan hati, Pangeran dapat meniliti kembali, apa yang sudah aku lakukan bersama muridku disini”

“Ki Wirit, berhadapan dengan seorang seperti kau, dengan tubuh yang tinggi, kaki timpang dan sorot mata yang redup, aku memang harus hati-hati”

Dada Ki Wirit terguncang mendengar kata-kata itu, tetapi yang dicemaskan itu pun terjadi, Panon agaknya tidak dapat menahan diri lagi, dengan wajah yang merah padam ia meloncat maju sambil berkata, “Pangeran, kami hormati Pangeran karena Pangeran adalah utusan Sultan di Demak, tetapi penghinaan itu benar-benar tidak pantas diucapkan oleh seorang ksatria”

“Memang tidak pantas” jawab Pangeran Bondan Lamatan, “Kata-kata itu tidak pantas diucapkan oleh seorang kesatria untuk seorang ksatria, tetapi bagi orang lereng Gunung Merbabu seperti Ki Wirit, aku kira tidak akan ada salahnya, ia adalah orang yang tidak berarti sama sekali bagi lingkungan ksatria seperti aku dan bahkan pengawal-pengawalku”

Panon menjadi gemetar, ditatapnya wajah gurunya sejenak, tetapi ternyata Ki Wirit masih tetap diam, sehingga Panon pun berteriak, “Pangeran Bondan Lamatan, gurulah yang telah menemukan pusaka itu. Tidak seorang pun yang dapat melakukannya, tetapi guru dapat, sehingga apakah sikap ini sebagai pertanda terima kasih Pangeran kepada guru”

“Tutup mulutmu anak muda” bentak Pangeran Bondan Lamatan, “Aku sedang berbicara dengan seorang pidak pedarakan yang tidak lebih berharga daripada debu, jika ia sedikit saja dapat menyebut asal-usulnya, barangkali aku akan bersikap lain”

Panon tidak dapat menahan diri lagi, setapak ia melangkah maju dengan wajah yang merah padam.

“Pangeran” suara Panon menjadi parau dan bergetar, bahkan seolah-olah tidak ada kata-katanya lagi yang dapat diucapkan. Namun menilik wajah dan sikapnya, maka ia telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi dalam pada itu, Ki Wirit justru menarik nafas dalam-dalam, bahkan kemudian ia mendekati muridnya sambil menepuk bahunya, katanya, “Panon, kita adalah orang-orang pidak pedarakan, kita adalah debu yang tidak berharga, apapun yang pernah kita lakukan, tentu tidak akan berarti apa-apa, karena itu, jangan marah, jangan membiarkan perasaanmu melonjak-lonjak, kita harus menerima keadaan kita dengan ikhlas”

“Juga atas penghinaan itu guru?”

“Ya, apapun yang akan dilakukan oleh Pangeran Bondan Lamatan, biarlah dilakukannya, ia adalah seorang pemimpin yang mendapat kekuasaan tertinggi, karena itu, ia dapat berbuat apa saja atas kita”

Wajah Pangeran Bondan Lamatan lah yang menjadi tegang, dengan ragu-ragu ia memandang Ki Wirit dan Panon berganti-ganti, namun kemudian ia membentak, “Ki Wirit, sebut apakah ada nilainya pada darah keturunanmu, supaya aku dapat mempertimbangkan sikapku, jika tidak, maka kau tidak akan lebih dari seorang budak yang akan aku seret menghadap Sultan di Demak”

“Apapun yang akan Pangeran lakukan, silahkan” jawab Ki Wirit.

“Tetapi guru itu tidak adil”

Ki Wirit memandang Panon sejenak, lalu katanya, “Adil atau tidak adil”

“Tidak aku tidak dapat membiarkan guru diperlakukan seperti itu, meskipun kita adalah debu dimata para bangsawan, tetapi kita juga mempunyai harga diri”

“Cukup” bentak Pangeran Bondan Lamatan, “Kaupun akan kami ikat di belakang kaki kuda dan aku seret pula ke Demak”

Suasana menjadi tegang, Panon adalah anak muda yang mempunyai arus darah yang masih panas, itulah sebabnya ia pun segera bersikap menghadapi segala kemungkinan, seandainya yang paling pahit sekalipun.

Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati dan beberapa orang yang lain menjadi bingung, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, namun sementara itu, Pangeran Bondan Lamatan berkata lantang, “Jika kalian berkeberatan, maka kalian akan kami ikat bukan dengan cinde, tetapi sesuai dengan martabat kalian, maka kalian akan kami ikat dengan lulup kayu”

Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja meledak kejutan suara Raksi Padmasari, “Paman Bondan Lamatan, itu tidak adil, sungguh tidak adil”

Semua orang telah berpaling, mereka melihat Puteri Raksi Padmasari berdiri tegak dengan kaki renggang, meskipun sepasang pedangnya masih tergantung dilambung, tetapi ia telah memegang seutas rantai ditangannya.

Wajah Pangeran Bondan Lamatan menegang, ditatapnya Puteri Raksi Padmasari sejenak, lalu katanya, “Raksi, kau masih terlalu muda untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti orang-orang seperti Ki Wirit itu”

“Tetapi ia sudah berbuat terlalu banyak, apalagi muridnya, ia berada di halaman istana ini, ia ikut mempertahankan istana ini dengan mempertaruhkan nyawanya” sahut Raksi.

Namun wajahnya merah padam ketika Pangeran Bondan Lamatan menjawab, “Itulah yang terpenting bagimu anakku, kau adalah seorang gadis yang sedang meningkat dewasa, Panon adalah seorang anak muda yang tampan meskipun ia murid dari seorang pertapa yang martabatnya tidak lebih tinggi dari budak-budak di Demak”

Sejenak Puteri Raksi Padmasari tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, perasaan kegadisannya benar-benar telah tersinggung, sehingga wajahnya menjadi panas seperti tersentuh bara.

Raden Kuda Rupaka masih saja berdiri membeku, ia menjadi bingung seperti orang-orang yang berada di pendapa.

Dalam pada itu Ki Wirit pun kemudian berkata, “Pangeran, aku terpaksa tidak dapat memenuhi perintah Pangeran, aku tidak bersedia pergi ke Demak, hukuman apapun yang akan Pangeran berikan kepadaku.”

“Ki Wirit” Pangeran Bondan Lamatan membentak, “Kau akan melawan kekuasaanku?”

“Tidak Pangeran, seperti yang aku katakan, aku dilihat debu di hadapan Pangeran yang sedang membawa limpahan kekuasaan tertinggi, apapun dapat Pangeran lakukan atas aku dan muridku, salah atau tidak salah, adil atau tidak adil” jawab Ki Wirit, lalu, “Karena itu, aku serahkan diriku dan muridku ditangan Pangeran”

“Jika kau menyerahkan persoalannya kepadaku, kenapa kau tidak mau pergi ke Demak?”

“Ampun Pangeran, aku memang tidak bersedia, kemudian terserah kepada Pangeran”

Wajah Pangeran Bondan Lamatan menjadi merah membara, dengan suaura gemetar ia berkata, “Ki Wirit, kau sudah menentang perintahku, itu berarti kau menentang kekuasaan tertinggi di Demak, karena itu, baik, kau dan muridmu akan mendapat hukuman yang setimpal, apakah kau tidak menyadari, bahwa aku berhak menjatuhkan hukuman mati?”

Diluar sadarnya Panon telah bergeser lagi, namun ia menjadi bingung ketika gurunya menjawab, “Jika hukuman itu harus aku jalani, aku tidak berkeberatan”

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan membeku, ia nampaknya sedang berjuang menguasai perasaannya.

“Tidak” Panon tiba-tiba saja menggeram, “Aku tidak menerima keputusan itu, sejak semula halaman istana ini telah menjadi rimba belantara, masing-masing telah mempergunakan kekuatan untuk memaksakan kehendaknya, kekuasaan yang tertinggi di hutan belantara yang liar seperti ini adalah kekuatan. Dan akupun akan mempertahankan diri dengan kekuatan apapun yang akan terjadi atasku, aku lebih senang mati dengan senjata ditangan dari pada harus mengulurkan tanganku untuk diikat dengan lulup”

“Panon” potong gurunya, “Jangan terlalu kasar, kau berhadapan dengan kekuasaan di istana Demak, setiap sabdanya adalah hukum yang harus ditaati”

“Tetapi apa artinya hukum yang tidak menjunjung keadilan” bukan Panonlah yang menjawab, tetapi Puteri Raksi Padmasari, “Aku sependapat bahwa halaman ini telah menjadi rimba yang liar dan aku tidak dapat mengingkari kata nuraniku, aku berpihak kepada yang benar, siapapun mereka”

Sangkan yang sebenarnyanya adalah Raden Kuda Rupaka menjadi bingung, ia sadar bahwa ada ikatan yang tidak kasat mata antara adiknya dan Panon, agaknya ikatan itulah yang telah mendorong adiknya untuk menentukan sikap sebelum ia membicarakannya dengan matang bersamanya.

Tetapi Raden Kuda Rupaka tidak dapat menghalangi tekad adiknya, jika ia mencobanya, maka adiknya yang selama ini merupakan gadis yang manja, tentu akan menjadi binal dan sulit dikendalikan.

Karena itu, Raden Kuda Rupaka mencoba mencari jalan lain, dengan sareh ia berkata, “Paman Pangeran Bondan Lamatan, apakah paman tidak dapat mencari jalan lain untuk memecahkan persoalan ini?”

“Apakah yang kau maksud?”

“Paman, sebaiknya paman tidak menahan orang itu, biarlah Ki Wirit menentukan sikapnya, bahkan seandainya Ki Wirit meninggalkan halaman ini dengan landasan niat yang buruk, aku tidak berkeberatan, biarlah ia datang dengan kekuatan yang sudah diperhitungkan berdasarkan pengamatannya atas kekuatan kita disini, kita tidak akan gentar”

Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Raden Kuda Rupaka, kemudian wajah Puteri Raksi Padmasari yang kemerah-merahan, wajah Panon yang tegang, namun hatinya tergetar ketika ia memandang wajah Ki Wirit yang tetap lembut, meskipun kerut ketegangan sudah mulai nampak dikeningnya.

Sejenak suasana halaman itu menjadi tegang, Pangeran Bondan Lamatan yang membawa limpahan kekuasaan Sultan di Demak sedang berpikir keras.

“Apakah kita akan dapat mempertanggung jawabkan, seandainya tiba-tiba pusaka itu terlepas dari tangan kita oleh segerombolan orang yang dipimpin oleh Ki Wirit?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan.

“Ia tidak akan melakukannya” desis Puteri Raksi Padmasari

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan memandang para pengawalnya, agaknya telah terjadi pergolakan di dalam didinya, apakah ia akan melepaskan orang timpang itu atau tidak.

Para pengawalnya tidak mengetahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya yang sedang bergejolak di dalam hati Pangeran itu, namun mereka adalah pengawal-pengawal yang baik. karena itu, maka merekapun telah mempersiapkan diri menghadap setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Melihat kesiagaan para pengawalnya di satu pihak, Panon dan Puteri Raksi Padmasari dilain pihak, bahkan kemudian Kiai Rancangbandang yang gelisah, maka Pangeran Bondan Lamatan menjadi ragu-ragu.

Jika Puteri Raksi Padmasari terlibat dalam pergolakan ini, maka kakaknya tentu tidak akan tinggal diam.

Sejenak Pangeran Bondan Lamatan termangu-mangu, namun kemudian katanya kepada Ki Wirit, “Ternyata bahwa kau berani mempertahankan sikapmu, karena kau yakin akan mendapat perlindungan dari beberapa orang yang menaruh belas kasihan kepadamu. Tetapi Ki Wirit, aku adalah Pangeran Bondan Lamatan, aku adalah pemegang limpahan kekuasaan dari Sultan Demak untuk menentukan apa saja yang baik menurut pertimbanganku disini. Dengan kekuasaan sepenuhnya. Aku sudah memerintahkan kepadamu agar kau ikut serta bersama kami pergi ke demikian, tetapi kau menolak, dan kau mempunyai sandaran kekuatan disini. Raden Kuda Rupaka mengusulkan agar aku merubah perintahku. Nah bagaimana pendapatmu?, apakah aku, yang memegang limpahan kekuasaan Sultan harus berkata lain dan menjilat perintahku kembali, apakah itu bukan berarti suatu sikap mundur dan tidak berwibawa”

Tetapi Ki Wirit menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak mengerti Wibawa yang Pangeran maksud, apakah salahnya seorang yang memegang limpahan kekuasaan merubah sikap dan perintahnya, jika memang dianggapnya berguna, aku mulai berpengharapan karena pertanyaan itu, tetapi sebenarnyalah aku tidak mengetahui martabat seorang utusan raja”

Pangeran Bondan Lamatan menggeretakkan giginya, namun tiba-tiba ia berteriak, “Pergi, pergilah jika kau ingin pergi. Kembalilah dengan pasukan segelar sepapan, aku tidak akan gentar seperti yang dikatakan oleh angger Kuda Rupaka”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, dipandanginya wajah Pangeran Bondan Lamatan, kemudian sambil membungkuk hormat ia berkata, “Terima kasih Pangeran, terima kasih Puteri Raksi Padmasari, terima kasih Raden Kuda Rupaka dan terima kasih semuanya. Aku sudah diperkenankan pergi, tetapi sebenarnyalah aku tidak akan kembali lagi” ia berhenti sejenak, lalu, “Panon, marilah, kita pergi”

Panon memandang gurunya, ialah yang kemudian menjadi tegang, diluar sadarnya ia berpaling, memandang Puteri Raksi Padmasari yang berdiri tegak dengan wajah yang pucat.

“Kau akan pergi” tiba-tiba saja bibirnya menjadi gemetar.

Panon termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya, Puteri. Aku mohon diri, aku harus mengikuti guru meninggalkan istana ini. persoalan yang membakar istana ini sudah padam. Dan aku tidak ada gunanya lagi tingal disini”

“Tetapi……………..” Puteri Raksi Padmasari akan melangkah maju, namun langkahnya terhenti karena kakaknya Raden Kuda Rupaka menahan lengannya.

Puteri Raksi Padmasari memandang kakaknya sejenak, namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.

“Kepergiannya bukan untuk selamanya” berkata Raden Kuda Rupaka, “Kita sudah mengenalnya, pada suatu saat kita akan bertemu sebagai sahabat yang baik, mungkin Panon sudi berkunjung ke Demak atau ke padepokan kecilku di luar Kota Raja, mungkin kitalah yang akan datang mengunjunginya”

Terasa jantung Puteri Raksi Padmasari berdetak semakin cepat, pada saat perpisahan, maka terasa bagaikan menggores dada, tetapi ia adalah seorang gadis, ia tidak dapat berbuat lebih banyak lagi daripada menahan pedih dihati.

Sejenak Panon menjadi bingung, ia sadar akan perasaannya, ia pun sadar bahwa langkahnya akan menjadi sangat berat.

Tetapi gurunya kemudian berkata, “Marilah Panon, selagi Pangeran Bondan Lamatan tidak merubah kemurahan hatinya, memberi kesempatan kita meninggalkan istana ini, biarlah kami berdua mohon diri, selamat tinggal semuanya”

Panon tidak dapat berbuat lain kecuali memenuhi perintah gurunya, betapa berat kakinya, namun ia terpaksa melangkah meninggalkan tempat sambil berkata, “Akupun mohon diri, aku mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan selama berada isini”

Halaman itu rasa-rasanya dicengkam oleh kesenyapan, semua orang berdiri tegak memandang Panon yang kemudian berjalan disisi gurunya melangkah melintasi halaman menuju regol yang rusak.

Namun dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara melengking, semula semua orang berpaling kepada Puteri Raksi Padmasari, namun Puteri itu berdiri tegak dengan wajah yang kemerah-merahan dan mata yang redup, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ternyata yang memekik adalah Puteri Inten Prawesti, sebelum Nyi Upih sempat menahannya, gadis itu telah berdiri menyusul Ki Wirit yang hampir sampai di regol.

“Kiai, Kiai” teriaknya.

Ki Wirit berhenti, ketika ia berpaling, dilihatnya puteri Inten Prawesti sudah berada beberapa langkah di belakangnya.

Dengan serta merta ia memutar diri, tetapi ia terlambat menahan gadis itu berlutut sambil memeluk kakinya, dengan suara yang terputus-putus ia berkata, “Jangan pergi, jangan pergi”

“Puteri” Ki Wirit mencoba mengangkat lengan Puteri Inten agar berdiri, “Ada apa denganmu, Puteri?”

Puteri Inten memeluk kaki Ki Wirit semakin erat, air matanya mengalir semakin deras dipipinya.

Ki Wirit menjadi bingung karena sikap Puteri Inten Prawesti itu, beberapa kali ia mencoba mengangkat lengan gadis itu agar berdiri, tetapi Inten tetap berlutut.

Sejenak kemudian Nyi Upih telah berlari-lari mendekati Inten Prawesti, disusul oleh gusti Puteri.

“Puteri berdirilah” minta Ki Wirit.

Tetapi Puteri Inten Prawesti masih tetap pada tempatnya, disela-sela tangisnya terdengar suaranya, “Jangan pergi, jangan pergi”

“Kenapa Puteri, tugasku sudah selesai, Pangeran Bondan Lamatan telah mengijinkan aku pergi”

“Tetapi kau jangan pergi”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Nyi Upih telah berjongkok pula di belakang Puteri Inten Prawesti. sambil berpegangan pada lengan gadis itu, Nyi Upih berkata, “Puteri, sudahlah, kenapa Puteri menangisi kepergiannya?”

Inten Prawesti berpaling sejenak, lalu katanya, “Nyai, aku pernah kehilangan ayahanda yang pergi beberapa tahun lampau, ketika aku melihat Ki Wirit, rasa-rasanya aku melihat ayahanda ada di dalam dirinya, aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya.”

“Tetapi, tetapi aku adalah orang padesan, aku adalah seorang penghuni lereng Merbabu yang tidak berarti sama sekali, martabatku sama dengan debu”

“Siapapun kau, suaramu mengingatkanku kepada ayahandaku. Sikapmu, tatapan matamu yang lembut dan kesabaranmu, dan seperti ayahanda pula, betapa lembutnya kau, kau adalah seorang prajurit”

“Puteri”

“Tidak” desis Inten Prawesti, “Kau tidak boleh pergi, menilik ujud larhirmu, memang ada ada beberapa perbedaan, tetapi itu dapat saja terjadi. Namun ujud hatimu, pancaran jiwani yang nampak di dalam sikap, perbuatan dan kata-katamu, kau adalah ayahanda yang hilang itu”

Ki Wirit berdiri tegak seperti patung, wajahnya tiba-tiba saja menjadi tegang.

“Kiai” suara Inten menjadi semakin dalam tenggelam dalam tangisnya, “Jangan pergi, aku mohon, jangan pergi. Kepergian seolah-olah telah mengulangi kepergian ayahanda beberapa tahun yang lalu”

Halaman itu telah benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang sendu, suara tangis Puteri Inten Prawesti benar-benar telah menggetar setiap hati.

Perlahan-lahan ibundanya pun mendekatinya, di belakangnya Puteri Raksi Padmasari termangu-mangu, bahkan Puteri Raksi Padmasari itu pun kemudian berjongkok pula disisi Nyi Upih yang matanya sudah basah pula.

Gusti Puteri Kuda Narpada berdiri tegang memandang laki-laki yang mematung itu, namun tiba-tiba saja hatinya tergetar ketika ia melihat mata Ki Wirit menjadi basah, meskipun hanya setitik kecil.

Betapa seorang laki-laki pantang menitikkan air mata, namun Ki Wirit tidak dapat bertahan lagi, matanya menjadi panas, dan tenggorokannya rasa-rasanya telah tersumbat.

Sejenak ia diam mematung, namun ledakan yang tidak tertahankan adalah suara Nyi Upih lemah, “Ampun tuanku, hamba adalah abdi yang paling setia. Hamba pun mempunyai sentuhan perasaan seperti Puteri Inten Prawesti dan gusti Puteri Kuda Narpada, namun gusti Puteri telah berjuang sekuat-kuatnya untuk mempertahankan goncangan-goncangan yang meretakkan dadanya, berbeda dengan Puteri Inten Prawesti, nuraninya bergejolak tanpa dapat dihambatnya lagi. Bagaimanapun juga, tatapan mata batinnya yang jujur, akan dapat mengenalinya, bahkan tuanku adalah junjungannya”

Ki Wirit tidak dapat berbuat sesuatu, ia berdiri tegak bagaikan tonggak yang mati.

Sementara itu, Nyi Upih mendesaknya, “Ampun tuanku, menurut pengenalan lahiriah, tuanku memang orang lain bagi istana ini, karena agaknya telah terjadi sesuatu atas tuanku, kaki tuanku menjadi cacat dan beberapa gores luka di sebelah kening, rambut yang memutih, dan kelainan-kelainan lahiriah yang lain. tetapi tuanku tidak dapat menyembunyikan pengenalan batin Puteri Inten Prawesti dan gusti Puteri Kuda Narpada”

Ki Wirit bagaikan terhempas dari dunia yang lain ke dalam dunianya sendiri. Sejenak ia membungkam, namun kemudian ia tidak mampu bertahan lagi. Dengan tangan gemetar ia memegang bahu Inten sambil berkata, “Inten berdirilah”

Inten tetperanjat, tangisnya tiba-tiba terputus, ditatapnya wajah Ki Wirit sejenak, ketika terpandang olehnya tatapan tembus Ki Wirit, tiba-tiba saja ia berdesis, “Ayahanda”

Ki Wirit tidak menyahut, dibiarkannya anaknya memeluk lututnya semakin erat, sementara Raden Ayu Kuda Narpada pun dengan serta merta berjongkok sambil menyembah, “Aku meyakininya sejak aku melihat kakangmas, betapapun kakangmas ingkar, tetapi sebagai seorang perempuan aku tidak dapat berbuat lebih dari menahan hati, baktiku bagi kakangmas”

Ki Wirit melihat air mata yang mengalir dipipi isterinya, karena itu, maka ia pun kemudian menarik lengan anak gadisnya dan isterinya untuk berdiri.

Sementara itu Pangeran Bondan Lamatan berdiri beberapa langkah daripadanya, ketika Ki Wirit memandangnya, maka orang-orang lainpun memandangnya pula dengan hati yang berdebar-debar. Sebuah pertanyaan telah menyangkut dihati mereka, “Apakah Ki Wirit yang ternyata adalah Pangeran Kuda Narpada itu masih mempunyai persoalan khusus dengan Pangeran Bondan Lamatan”

Sekali lagi ketegangan telah mencengkam halaman istana itu, peristiwa yang terjadi bagaikan goncangan-goncangan yang telah menghempaskan setiap orang pada tebing-tebing kegelisahan yang semakin memuncak.

Namun, adalah diluar dugaan setiap orang, bahwa Pangeran Bondan Lamatan, yang mereka sangka telah salah hitung atas kehadiran orang yang bernama Ki Wirit, yang ternyata adalah Pangeran Kuda Narpada itu, sama sekali tidak menjadi gelisah. Seolah-olah ia tidak pernah membuat kesalahan apappun juga, bahkan kemudian sambil maju beberapa langkah Pangeran Bondan Lamatan itu tersenyum.

“Kakangmas Pangeran” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Ternyata aku tidak berhasil mengungkit hati kakangmas Pangeran, bahwa sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu tidak lain adalah Pangeran Kuda Narpada, betapapun aku memaksa Ki Wirit untuk menyatakan dirinya dengan ancaman, bahkan dengan penghinaan, tetapi sama sekali tidak berhasil menggoyahkan perasaannya. Alangkah bodohku, bahwa disini ada Inten Prawesti, ternyata ia telah berhasil memaksa kakangmas Pangeran menyatakan dirinya sebagai Pangeran Kuda Narpada”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Akupun mengerti adimas Pangeran, itulah sebabnya aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berusaha untuk meninggalkan halaman ini”

“Tetapi kenapa kakangmas Pangeran ingin menghindarkan diri dari kenyataan yang sebenarnya?, mungkin kakangmas Pangeran lupa, bahwa aku akan mengenali kakangmas pada tata gerak kakangmas, betapapun nampak kaburan-kaburan yang barangkali kakangmas sengaja, karena aku adalah saudara seperguruan kakangmas meskipun lewat tangan yang berbeda”

Pangeran Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam.

“Lambang kuda dengan sepasang sayap terkembang itu pun tidak akan dapat menyembunyikan lagi meskipun kakangmas memberikan alasan apapun juga”

Pangeran Kuda Narpada memandang Pangeran Bondan Lamatan dengan tatapan mata sayu, dengan nada yang dalam ia berkata, “Adimas Pangeran, aku adalah orang yang sudah tidak berarti sama sekali, baik bagi keluargaku, maupun bagi Demak. aku telah gagal mempertahankan Majapahit sebelum anakmas Sultan Demak datang untuk menolong Kota Raja yang megah itu. tetapi pertolongan itu sudah tidak banyak berarti bagi Majapahit. Selebihnya, aku tidak dapat menyelamatkan diriku sendiri ketika aku mengalami jebakan saudara-saudaraku yang menjadi mata gelap, setelah mereka mendengar bahwa pusaka yang aku bawa masih belum kembali ke perbendaharaan di Demak, selebihnya. Aku yang sudah mati saat itu, tentu tidak berarti lagi. Tubuhku cacat dan aku pun telah kehilangan banyak kesempatan dan waktu. Aku berada di dalam perawatan orang-orang padukuhan di lereng Merbabu itu berbulan-bulan, sebelum aku sembuh sama sekali. tetapi aku tidak menemukan keadaanku semula. Seperti sudah aku katakan, aku cacat, bukan saja lahir, tetapi batin”

Pangeran Bondan Lamatan mendekatinya, sambil berkata, “Tetapi kakangmas masih mempergunakan lambang kebesaran pribadi kakangmas pada lukisan itu”

“Suatu kelemahan manusiawi adimas, kadang-kadang dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang masih merindukan masa-masa kebesaran yang pernah dialaminya”

“Marilah kakangmas” berkata Pangeran Bondan Lamatan, “Marilah kita duduk di pendapa dengan sikap yang berbeda, tidak lagi dengan gelisah dan tegang, aku sudah menjadi sangat lelah. Jauh lebih lelah dari saat aku bertempur melawan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu, kakangmas telah membuat aku menjadi sangat tegang”

Orang-orang yang berada di halaman istana itu menarik nafas dalam-dalam, ternyata bahwa Pangeran Bondan Lamatan tidak bersungguh-sungguh saat melontarkan kecurigaannya, namun ia tidak berhasil memaksa Ki Wirit untuk menyatakan dirinya, sehingga dengan demikian, justru ketegangan yang sangat lelah mencengkam jantung Pangeran Bondan Lamatan.

Suasana di halaman istana itu pun segera berubah, tidak ada lagi persoalan yang dapat membuat mereka saling mencurigai. Masing-masing seakan-akan telah mengenal, dalam pergaulan yang singkat di halaman istana itu, bahwa masing-masing telah melakukan semuanya dengan hati yang bersih dan jujur.

Dalam keadaan yang demikian, beberapa orang diantara anak-anak muda yang ada di halaman itu, sempat melihat kepada dirinya sendiri. Mereka mulai menyadari, bahwa ada sesuatu yang semakin dalam menghunjam ke dalam hati. Puteri Raksi Padmasari menjadi gelisah oleh sikapnya sendiri. Tetapi ia tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa ia tidak ingin melihat anak muda yang bernama Panon itu meninggalkan halaman istana.

Sementara itu Nyi Upih tidak lagi dapat dikelabuhi oleh momongannya, sementara anak muda yang bernama Sangkan itu pun sangat menarik perhatiannya, bukan saja karena ia adalah Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya, meskipun kadang-kadang masih juga terngiang suara seruling Kidang Alit.

Dalam pada itu, Pangeran Bondan Lamatan pun mulai mempersiakan dirinya untuk pergi ke Demak, ia tidak dapat melepaskan kenyataan, bahwa beberapa orang telah mengajak orang-orang yang ada di halaman itu untuk pergi ke Demak, menghadap Sultan.

Tetapi Ki Ajar Respati, KI Reksabahu dan Kiai Rancangbandang dengan mengucapkan banyak terima kasih, mohon untuk diperkenankan kembali ke rumah masing-masing.

“Tetapi, kita tidak dapat meninggalkan padukuhan ini begitu saja paman” berkata Sangkan kepada Pangeran Bondan Lamatan.

“Kenapa?”

“Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu sudah menjadi lumpuh, tetapi masih ada orang-orang yang akan dapat mengancam ketenangan penduduk padukuhan Karangmaja” jawab Raden Kuda Rupaka.

Pangeran Bondan Lamatan memandang Raden Kuda Rupaka sejenak, namun Pangeran Kuda Narpada mengangguk kepalanya sambil berkata, “Kemungkinan itu besar sekali akan terjadi”

“Jadi?” bertanya Pangeran Bondan Lamatan.

“Kita menunggu barang satu dua hari, kita akan melihat keadaan yang akan berkembang”

Ternyata Pangeran Bondan Lamatan tidak berkeberatan, justru dalam satu dua hari tu ia masih akan dapat menghayati kehidupan yang lain dari yang dialaminya sehari-hari di Kota Raja, hidup penuh dengan kegelisahan dan kesibukan.

“Seandainya tidak ada persoalan apapun juga di daerah ini” berkata Pangeran Bondan Lamatan di dalam hati, “Maka tinggal di tempat terpencil ini akan terasa betapa tenang dan damainya”

Namun sementara itu, Pangeran Bondan Lamatan harus menunggu kehadiran orang-orang Guntur Geni yang mungkin masih akan datang lagi.

Tetapi ternyata bahwa kehidupan di istana kecil itu benar-benar telah berubah, suasana telah berganti. Kabut yang tebal telah tersingkap meskipun masih agak disudut langit, tetapi jika orang-orang Guntur Geni itu benar-benar datang, maka mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang besar yang ada di halaman istana kecil itu. sementara mereka tidak perlu memikirkan apakah ya akan mereka makan sehari-hari, karena Ki Buyut selalu datang dengan membawa hidangan secukupnya. Apalagi ketika diketahuinya bahwa Pangeran Kuda Narpada telah ada di dalam istana itu pula.

Namun demikian di malam hari, para pengawal tidak lengah untuk berjaga-jaga, setiap kemungkinan masih dapat terjadi, orang-orang Guntur Geni adalah orang-orang yang tidak mengenal ungah-ungguh dalam segala hal.

Tetapi jika pagi baru mulai mengembang, maka ketegangan pun segera berlalu. Meskipun kemungkinan masih juga terjadi, bahwa orang-orang Guntur Geni akan datang disiang hari, namun di dalam terangnya cahaya matahari, keadaan tentu akan cepat dapat dikuasai.

Inten Prawesti yang sedang berhias di dalam biliknya, saat bayangan matahari pagi lemingkar-lingkar didinding, terkejut ketika ia tiba-tiba saja mendengar suara seruling. Usara seruling yang telah lama tidak didengarnya.

Sekilas terbayang wajah Kidang Alit dengan senyumnya yang cerah, namun yang kemudian menumbuhkan kecemasan di dalam dirinya, bahkan perasaan gelisah itu bagaikan selalu menghantuinya.

Tetapi suara seruling itu semakin lama menjadi semakin meresap di dalam dirinya, ia tidak dapat membedakan suara seruling itu dengan suaura seruling Kidang Alit. Namun ada sesuatu yang terasa lain, meskipun Inten ragu-ragu, apakah bukan Kidang Alit yang telah membunyikan seruling itu untuknya.

Sejenak Inten bertahan, ia berusaha untuk tidak mendengar suara seruling itu, namun ia tidak berhasil, semakin ia berusaha untuk menghindarkan diri dari suara itu, rasa-rasanya, ia justru semakin dalam terpesona olehnya.

Bahkan kemudian diluar sadarnya, ia kemudian bangkit dari amben, beberapa saat ia berdiri termangu-mangu, namun ia tidak dapat melawan lagi keinginannya untuk melihat siapakah yang telah membunyikan seruling itu, suaranya semakin lama semakin syahdu, seakanakan langsung menusuk ke pusat jantung.

Dengan langkah yang tertatih, Inten keluar dari dalam biliknya menuju ke halaman samping, ketika ia muncul di pintu butulan, maka dadanyapun semakin berdebaran, ia melihat Sangkan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil meniup seruling.

Inten Prawesti mengerutkan keningnya, sejenak ia termangu-mangu, namun ia terkejut ketika suara seruling itu tiba-tiba terputus.

“O” Inten menundukkan kepalanya, wajahnya menjadi merah dan rasa-rasanya keningnya menjadi panas.

Sangkan tersenyum sambil berkata, “Aku tidak pandai meniup seruling diajeng”

Inten tidak dapat segera menyahut, ada sesuatu yang bergejolak di hatinya.

“Aku baru mencoba, aku tidak sepandai Kidang Alit yang ternyata bernama Raden Waruju itu”

“Ah” Inten tidak menjawab, tiba-tiba saja ia berbalik dan berlari ke dalam biliknya.

Sejenak ia duduk dengan gelisah, ada sesuatu yang kurang dimengertinya telah mengamuk di dalam dadanya, sehingga sejenak kemudian, tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat.

Inten terkejut ketika tiba-tiba saja Nyi Upih telah masuk ke dalam biliknya pula. Sejenak pemomongnya itu memandanginya, namun terasa pada Inten, seolah-olah pandangan mata Nyi Upih itu memancarkan suatu makna.

Tetapi Nyi Upih hanya menarik nafas dalam-dalam, ia pun melangkah surut dan meninggalkannya sendiri di dalam bilik itu.

Inten termangu-mangu sejenak, diluar sadarnya ia pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringannya, namun angan-angannya telah terbang menyusuri awan-awan putih dilangit yang berlapis tujuh, memanjat pelangi bersama bidadari.

Tetapi Inten pun kemudian terkejut, tiba-tiba saja ia mendengar langkah-langkah gelisah diluar biliknya, sejenak ia mencoba memperhatikannya, tetapi ia tidak mendengar apapun sehingga Inten kemudian bangkit dari pembaringannya.

Ia tertegun ketika ia melihat pintu terbuka dan Puteri Raksi Padmasari menjengukkan kepalanya.

“O” desisnya, “kau sendiri diajeng?”

“Ya”

“Dimana bibi?”

“Ibunda berada di dapur”

Pinten yang juga Raksi Padmasari itu pun kemudian mengangguk-angguk, lalu katanya, “Baiklah, aku akan menjumpai bibi di dapur”

“Tunggu, aku akan pergi ke dapur juga, tetapi kenapa tiba-tiba saja aku mendengar kegelisahan?”

Sebelum Raksi Padmasari menjawab, Panon melintas disusul Raden Kuda Rupaka yang masih menggenggam serulingnya.

Raksi Padmasari menggandeng tangan Inten dan mereka kemudian bersama-sama pergi ke dapur.

“Ah” desis Raksi Padmasari hari aku kita akan mendapat hidangan yang khusus, setiap hari kita makan hidangan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan Karangmaja, tetapi hari ini bibi sendiri telah masak bagi kita”

“Ah” desis Raden Ayu Kuda Narpada, “Adalah kebetulan bahwa Nyi Upih kemarin mendapatkan beberapa bahan mentah di padukuhan, tetapi aku tidak masak apapun hari ini, aku hanya memanaskan diri di perapian”

Raksi Padmasari tersenyum, namun kemudian ia pun duduk disamping bibinya sambil berkata, “Bibi, biarlah bibi tinggalkan masakan itu sejenak, mungkin Nyi Upih tidak akan sempat menungguinya. Biarlah aku saja yang melanjutkannya hingga masak dan siap untuk kita makan bersama”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi heran, namun Raksi Padmasari mendahului berkata, “Kami ingin mempersilahkan bibi bersama dengan diajeng Inten dan Nyi Upih masuk ke dalam bilik saja”

“Kenapa?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada, sementara Inten yang tidak mengetahui persoalannya pun menjadi heran.

Raksi Padmasari termangu-mangu sejenak, namun agaknya ia merasa lebih baik terus terang mengatakan apa yang mungkin terjadi.

“Bibi” berkata Raksi Padmasari, “Ternyata yang dicemaskan itu telah datang, seorang anak muda dari padukuhan Karangmaja mengabarkan, bahwa orang-orang Guntur Geni telah berada di padukuhan”

“Orang-orang Guntur Geni?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada.

“Ya, bibi. Paman Kuda Narpada dan yang lain telah siap di pendapa untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi. Mereka minta aku mengajak bibi masuk ke dalam bilik, karena setiap saat mereka dapat datang ke halaman ini lewat semua arah.

Dinding batu itu tidak menjadi soal bagi mereka, sehingga mungkin sekali mereka justru akan datang lewat arah belakang.

Nampak kegelisahan di wajah Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi ia pun kemudian menjawab, “Baiklah Raksi Padmasari, aku akan berada di dalam bilik bersama Inten dan Nyi Upih” ia berhenti sejenak, “Maaf, aku tidak dapat berbuat lebih banyak dari sekedar bersembunyi”

“Ah, bibi” Raksi Padmasari memeluk bibinya sambil berkata, “Marilah, silahkan”

Merekapun kemudian pergi ke dalam bilik diikuti oleh Nyi Upih, sementara api di perapian masih menyala.

Dalam pada itu di pendapa istana kecil itu, beberapa orang sedang sibuk berbincang, Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu masih berada di istana itu pula, meskipun mereka telah menyatakan keinginan mereka untuk kembali.

Seorang anak muda dari padukuhan, dengan nafas terengah-engah telah menceritakan apa yang diketahuinya tentang sekelompok orang-orang yang datang ke padukuhan.

“Mereka nampaknya sangat garang, berkata anak muda itu.

Apakah kau kenal salah seorang dari mereka, mungkin mereka pernah datang ke padukuhan sebelumnya?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak, namun katanya kemudian, “Aku belum melihat orang-orang itu”

Yang mendengarkan ceriteranya menarik nafas dalam-dalam, bahkan Raden Kuda Rupaka tersenyum sambil berkata, “Baiklah, mungkin kau mendengar dari orang lain”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak, dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya, baru kemudian ia berkata, “Aku hanya mendengar dari seseorang yang berceritera kepada Ki Buyut”

“Apa katanya?, kau tidak usah gugup, kau telah berada diantara kami sehingga orang-orang Guntur Geni itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasmu”

Anak muda itu mengangguk-angguk, tetapi nafasnya masih terengah-engah, baru ketika ia sudah dipersilahkan untuk minum, ia sempat menarik nafas dalam-dalam.

“Ceritakan yang kau ketahui, maksudku apa yang kau dengar” berkata Raden Kuda Rupaka.

Anak muda itu memandang Raden Kuda Rupaka yang tersenyum, namun senyum itu memang dapat memberikan sedikit ketenangan di hatinya, sehingga ia pun mulai dapat menceritakan apa yang telah terjadi di Karangmaja menurut pendengarannya.

Yang terjadi itu memang tiba-tiba sekali, beberapa orang petani yang sedang menunggui air di sawah melihat sekelompok orang-orang berkuda, namun mereka tidak sempat menghindar ketika kuda yang pertama telah berada beberapa langkah dihadapan mereka.

“He, kau orang-orang Karangmaja?” seorang berkumis lebat itu bertanya.

Para petani itu mulai menjadi ketakutan, tetapi mereka tidak akan dapat beringsut lagi dari tempatnya.

“He, apakah kalian tuli?” bentak orang itu, sementara kuda-kuda yang lainpun telah berhenti pula, bahkan kuda-kuda itu seolah-olah telah melingkar mengepung petani yang sedang beristirahat sambil menunggui air di sawah itu.

Bentakan itu membuat para petani itu seolah-olah benar-benar menjadi bisu, tidak ada seorangpun yang dapat menjawab pertanyaan yang sangat sederhana itu.

Orang berkuda menjadi marah, tiba-tiba saha ia meloncat turun sambil mengumpat, dengan garangnya ua menyambar pundak salah seorang petani itu dan menariknya.

“Kau orang Karangmaja, kau dengar?, kau tuli atau bisu?”

Tubuh orang itu menjadi gemetar, bahkan kakinya bagaikan tidak bertulang lagi, ketika orang berkumis itu melepaskannya, maka ia pun telah terjatuh.

Orang-orang berkuda itu kemudian berbicara diantara mereka. orang berkumis itu berkata, “Mereka adalah tikus-tikus kecil yang tidak berarti, kita akan pergi ke Karangmaja”

Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun telah berderap meninggalkan para petani yang seolah-olah menjadi lumpuh oleh ketakutan, untuk beberapa saat mereka duduk dengan gemetar.

Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut”

“Ya, kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut”

“Tetapi bagaimana jika kita bertemu lagi dengan mereka lagi?”

“Kita cari jalan lain”

Para petani itu pun kemudian meninggalkan sawah mereka, dengan dicengkam oleh ketakutan mereka bergegas ke rumah Ki Buyut di Karangmaja.

Namun sementara itu, orang-orang Guntur Geni telah memasuki padukuhan, mereka langsung pergi ke padukuhan induk. Justru karena ada diantara mereka yang sudah mengenal daerah yang mereka datangi, bahkan tanpa bertanya kepada siapapun, mereka langsung menuju ke banjar padukuhan.

Adalah malang bagi beberapa orang-orang anak muda yang kebetulan ada di banjar. Seperti para petani yang berada di sawah, mereka sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari orang-orang yang datang dengan sikap yang sangat kasar dan menakutkan.

Seorang yang bertubuh kerdil meloncat dengan lincahnya dari punggung kudanya, dengan suara lantang ia berkata kepada anak-anak muda yang menjadi gemetar, “Jangan kalian mencoba meninggalkan tempat ini”

Tidak seorang pun yang berani bergerak.

“Masuklah, masuklah ke halaman” orang bertubuh kerdil itu nampaknya banyak tersenyum, “Kami bukan hantu yang menakutkan, kami akan menjadi sahabat-sahabat kalian”

Anak-anak muda itu menjadi semakin cemas, mereka yang berada diluar regol halaman, dengan ragu-ragu melangkah masuk. Di belakangnya orang bertubuh kerdil itu seolah-olah menggiring mereka, seperti menggiring itik di pinggir parit.

Kawan-kawannya tertawa melihat tingkah orang bertubuh kerdil itu, bahkan orang berkumis lebat yang telah turun dari kudanya berteriak, “Jangan gila, buat apa kau kumpulkan tikus-tikus kecil ini, usirlah mereka, dan biarlah mereka menyampaikan kedatangan kita kepada Ki Buyut. Ia harus tahu, apa yang sebaiknya dilakukan menyambut kedatangan kita yang baru saja menempuh perjalanan jauh. Haus, lapar, dan mungkin keinginan-keinginan yang lain”

“Jangan tergesa-gesa” jawab orang kerdil itu

“Merekapun akan segera melaporkannya kepada Ki Buyut, tetapi aku ingin sekedar bermain-main dengan mereka, agar mereka mengetahui siapakah yang datang di padukuhan mereka”

“Mereka telah mengenal kita, orang-orang Guntur Geni, di padukuhan ini menurut pengetahuanku, ada seorang yang telah mengalami perlakuan yang adil karena kesombongannya, ia telah menjadi cacat. Nah, aku kira tidak ada lagi orang yang akan berani melakukan tindakan yang dapat menjerat mereka sendiri ke dalam keadaan seperti yang telah terjadi”

“Aku mengerti, dan aku telah mendengar cerita itu pula, tetapi biarlah mereka berada disini. He, mungkin salah seorang dari mereka pantas untuk pergi ke rumah Ki Buyut melaporkan kehadiran kita dan menyiapkan segala keperluan kita”

Kawan orang pendek itu tidak sabar lagi, merekapun segera memasuki halaman tanpa turun dari kuda.

Ternyata orang pendek itu benar-benar menahan anak-anak muda yang berada di banjar, mereka benar-benar tidak boleh meninggalkan tempatnya, hanya seorang yang memang mendapat tugas dari orang-orang Guntur Geni itu untuk menghadap Ki Buyut Karangmaja, agar ia segera menyiapkan makan dan minum bagi orang-orang yang telah datang ke Karangmaja.

“Cepat” bentak orang berkumis lebat, “Jika hidangan itu datang terlambat, maka kalian yang ada di banjar inilah yang akan menjadi korban”

Anak-anak muda itu benar-benar ketakutan, seorang dari diantara mereka segera berlari-lari menuju ke rumah Ki Buyut untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di banjar.

Ki Buyut pun menjadi gugup, ia tidak boleh mengorbankan anak-anak muda yang kebetulan ada di banjar, sehingga karena itu, maka ia pun segera memanggil beberapa orang perempuan untuk membantu menyiapkan makan dan minuman.

“Berapa orang semuanya yang kau lihat di banjar itu?” bertanya Ki Buyut kepada anak muda itu.

“Aku tidak tahu” jawab anak muda itu.

“Jadi berapa banyak kita harus menyediakan makan bagi mereka?”

Anak muda itu termenung-menung, namun ternyata Ki Buyut mendapat akal, katanya, “Untuk meredakan perasaan mereka, sebaiknya kita mengantar beberapa buah orang, mereka akan dapat minum airnya sebelum kita dapat menyediakan minuman hangat bagi mereka”

Beberapa laki-lakipun memanjat pohon kelapa, mereka pun dengan tergesa-gesa menyapkan kelapa muda itu dan membawanya ke banjar.

Mula-mula tidak seorang pun yang berani membawa kelapa muda itu ke banjar, mereka takut kalau kelapa muda itu justru membawa membuat mereka menjadi marah.

Namun ketika ada dua orang laki-laki tua yang menyediakan diri untuk membawa dua pikul kelapa muda ke banjar itu.

Kedatangan kedua orang tua yang membawa degan itu ternyata menimbulkan kegembiraan pada orang-orang Guntur Geni. Orang yang bertubuh kurus berkata lantang, “He he he. Ternyata orang-orang Karangmaja cukup cerdas, sebelum mereka dapat menyiapkan minuman hangat, mereka telah memetik beberapa buah kelapa muda. tetapi, He..!, Kau kakek tua, kelapa muda itu masih kurang. Tetapi kau tidak usah kembali ke rumah Ki Buyut untuk kelapa muda ke sana. Bukankah disini banyak terdapat pohon kelapa?”

“Ya, ya tuan. Disinipun ada pohon kelapa”

“Ambillah beberapa, sepuluh atau dua puluh butir, jangan terlalu banyak”

Kedua orang itu termenung-menung, dipandanginya anak-anak muda yang duduk gemetar disudut halaman, seolah-olah ia ingin menunjukkan bahwa anak-anak muda itu tentu terampil memanjat pohon kelapa.

Agaknya orang bertubuh kurus itu pun nampaknya mengerti maksud orang tua itu, karena itu maka katanya, “Agaknya, kamilah yang terlampau bodoh, sebenarnya kami dapat melakukan sejak saat kami datang ke tempat ini. tetapi biarlah, sekarangpun dapat juga dilakukan, rasa-rasanya leher kami telah tercekik oleh kekeringan”

Orang bertubuh kurus itu pun kemudian memanggil tiga orang diantara anak-anak muda itu dan menyuruh mereka memanjat pohon kelapa yang ada di halaman banjar itu.

Namun dalam pada itu, maka orang-orang tua yang mengantarkan kelapa muda itu ke banjar itu pun bertanya, “Tuan, apakah kami sudah dapat meninggalkan halaman banjar ini”

“Pergilah dan katakan kepada Ki Buyut bahwa yang harus ia kerjakan segera diselesaikan dengan cepat, jangan menunggu kami kehilangan kesabaran”

“Baik tuan. Tetapi berapa orangkah yang ada di banjar ini?” bertanya salah seorang dari kedua orang tua itu.

Diluar dugaan pertanyaan itu ternyata telah membuat orang bertubuh kurus itu marah, dengan lantang ia membentak, “He, kau akan memberi makan kepada kami seperti kau akan memberi makan orang-orang sambatan?”

“Tidak, bukan maksud kami tuan, sebenarnyalah kami tidak ingin bahwa yang kami sediakan tidak mencukupi”

“Bodoh kau, siapkan persedian buat seratus atau dua ratus orang, tentu tidak akan kurang, tetapi jika benar yang diberikan oleh Ki Buyut tidak mencukupi, maka padukuhan dan banjar ini akan aku bakar sampai habis”

Kedua orang tua benar-benar menjadi ketakutan.

“Cepat, pergi dan kau berdua harus segera kembali membawa makanan bagi kami semuanya, kau tidak usah bertanya berapa jumlah kami”

Kedua orang tua itu tidak berani membantah, mereka hanya dapat menundukkan kepalanya dengan tubuh gemetar.

“Cepat” teriak orang bertubuh kurus itu, sementara seorang yang datang mendekati orang bertubuh kurus itu bertanya, “Kenapa dengan mereka”

“Mereka sudah berani bertanya, berapakah jumlah kita semuanya yang ada di banjar ini”

“He, apakah mereka telik sandi yang di kirim oleh orang-orang di istana kecil itu?”

“Tidak tuan, tidak sama sekali” salah seorang dari kedua orang tua itu menjadi semakin ketakutan, “Kami sekedar ingin ingin tahu karena kami harus menyediakan makan dan minum bagi tuan-tuan disini”

“Persetan” tiba-tiba saja orang yang baru datang itu telah mencengkram rambut yang sudah memutih salah seorang dari kedua orang tua itu. Sambil menghentakkannya ia bertanya, “Jangan bohong, katakan apakah kau telah diperintah oleh orang-orang istana itu untuk menghitung jumlah kami”

“Tidak tuan. Demi langit dan bumi, yang kami lakukan sekedar dalam hubungan makan dan minum”

Orang yang mencengkram rambut orang tua itu menggeram. Bahkan kemudian rambut yang putih itu diguncang-guncangnya sambil membentak, “Jangan bohongi kami”

“Tidak tuan, tidak”

Tetapi rambut orang tua itu masih belum dilepaskan.

Beberapa orang anak muda melihat peristiwa itu, terasa dada mereka bergejolak. Wajah mereka menjadi merah, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun adalah diluar dugaan, bahwa orang bertubuh pendek yang telah menahan mereka di halaman itu datang mendekat. Sambil menunjuk kepada orang tua itu yang gemetar karena cengkraman di rambutnya terasa semakin kuat, orang bertubuh pendek itu berkata, “He, kenapa kalian tidak membela kakek tua ini?, bukankah ia juga datang dari antara kalian penduduk Karangmaja?”

Tidak seorang pun berani menjawab. Betapa darah mereka bagaikan mendidih, namun mereka tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi dengan salah seorang kawan mereka yang telah disentuh tangan beracun dari orang-orang Guntur Geni.

Tetapi agaknya kakek tua itu pun segera dilepaskan, dengan hentakkan kaki yang kuat, orang tua itu telah terlempar beberapa langkah.

“Cepat pergi” bentak kedua orang Guntur Geni itu hampir bersamaan.

Dengan tergesa-gesa orang tua yang terjatih itu tertatih-tatih berdiri, sementara kawannya berusaha menolongnya, kemudian dengan tergesa-gesa pula keduanya meninggalkan halaman banjar.

Orang bertubuh pendek yang berdiri dihadapan anak-anak muda yang ketakutan itu, ia tertawa melihat kedua orang yang berlari-lari keluar regol halaman, bahkan kemudian seolah-olah diluar sadarnya, disambarnya salah seorang anak muda yang paling dekat dihadapannya, “He kau kemari, kau harus menjadi saksi, bahwa orang-orang Guntur Geni tidak hanya pandai berbicara saja”

Anak muda itu menjadi gemetar, apalagi ketika orang bertubuh pendek itu berkata kepada kawannya, orang bertubuh kurus yang baru saja mengusir kedua orang tua itu, “He, lihatlah anak-anak muda Karangmaja harus mengetahui bahwa kami memang memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kekuatan orang-orang yang berada di istana itu, juga orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu”

Kawannya yang bertubuh kurus mendekatinya sambil tersenyum, katanya, “Menarik sekali, ia harus datang kepada orang-orang lain dan menceritakan apa yang dilihatnya disini, He, kau mau?”

Diluar sadarnya anak muda itu menjawab dengan gemetar, “Ya, ya tuan”

Orang-orang Guntur Geni itu tertawa, orang pendek itu berkata, “Aku dapat membuat kau menjadi cacat seperti kawanmu yang pernah diperlakukan seperti itu. Tetapi aku bukan orang yang kejam seperti itu, tetapi aku hanya ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa kalian tidak dapat menolak kehadiran kami. Apalagi jika kalian mencoba membantu pihak lain”

Anak-anak muda itu justru diam membeku. Mereka menjadi gemetar ketika tiba-tiba saja orang pendek itu mendorong anak muda yang ditariknya sambil berkata, “Berdirilah tegak disitu”

Anak muda itu benar-benar telah membeku, seperti patung ia berdiri tegak.

Dengan gemetar ia membiarkan orang bertubuh pendek itu meletakkan sebuah beluluk kecil diatas kepalanya, kemudian ia berjalan menjauh beberapa langkah, sambil tertawa ia mencabut sebilah pisau kecil dari ikat pinggangnya, katanya, “Aku akan melempar pisau ini dan sasarannya adalah beluluk kecil itu”

Anak muda itu hampir pingsan karenanya, keringat dingin keluar mengalir di seluruh tubuhnya, kakinya yang gemetar seolah-olah tidak kuasa lagi menopang berat badannya.

Suara tertawa orang yang bertubuh pendek itu masih menggema, disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Jangan bergerak, pisau kecil ini dapat menyambar hidungmu atau lehermu”

Anak muda itu memejamkan matanya ketika orang pendek itu mengayunkan pisaunya.

Terdengar gelak tertawa memecah ketegangan, ternyata pisau itu benar-benar menancap pada beluluk itu. Orang-orang Guntur Geni yang menyaksikannya sempat tertawa melihat anak muda yang hampir pingsan itu.

“Kau hanya mampu mempergunakan pisau belati” desis orang bertubuh kecil, “Aku akan mempergunakan kapakku” kata-kata itu bagaikan petir yang meledak di telinga anak muda itu, apalagi ketika orang bertubuh kurus itu benar-benar meletakkan beluluk yang sudah terluka oleh pisau belati orang bertubuh pendek itu.

“Jangan bergerak” teriaknya sambil mengayunkan kapaknya mendatar.

Kapak itu terbang, dan orang-orang Guntur Geni itu bertepuk tangan ketika ia melihat kapaknya bukan saja menyambar, tetapi membelah mendatar beluluk diatas kepala itu.

Namun yang mengerikan kemudian adalah perintah orang berkumis lebat, “Sekarang biarlah anak-anak muda itu melakukannya”

Suara tertawa serentak memenuhi halaman itu, apalagi orang-orang Guntur Geni semakin lama menjadi semakin banyak berkumpul di halaman.

Ketika seorang anak muda ditarik berdiri, maka sambil merengek ia berkata, “Jangan, jangan aku”

Tetapi orang-orang Guntur Geni itu tidak menghiraukannya, justru kepada anak muda itu diberikan sebilah pedang yang besar yang berjuntai hulunya.

“Juntai itu adalah rambut manusia yang aku ambil dari kepala yang pernah aku penggal” berkata orang yang memberikan pedang itu. “Nah sekarang akan diletakkan sebuah beluluk di kepala kawanmu itu. Kau harus melemparkan pedang ini. Juntainya akan memaksa pedang itu terbang dengan ujung di depan, langsung mematuk sasaran”

Anak muda yang menerima pedang itu menjadi semakin gemetar, tangannya seolah-olah menjadi lemah, tetapi ia tidak berani menolak.

“Jika kau tidak benar-benar melemparkan pedang itu, maka kau akan menjadi sasaran, biarlah orang lain yang melemparkan”

Anak muda itu hampir menangis, ia melihat kawannya yang berdiri gemetar dengan beluluk diatas kepalanya justru menjadi semakin kabur.

“Cepat, lakukan” seorang yang berkepala botak melepaskan ikat pinggangnya. Tiba-tiba saja ia mencambuk anak muda yang memegang pedang itu dengan ikat pinggangnya.

“Aku hanya main-main” kata orang botak itu, “Tetapi jika kau tidak melakukan, aku akan sungguh-sungguh”

Tidak ada pilihan lain, dua kali ia merasakan ikat pinggang itu mengenai punggungnya, semakin pedih.

Karena itu, maka ia pun segera mengangkat tangannya dan dengan dada yang berdebaran ia membidik sejauh dapat dilakukan.

“Jika kau sengaja melontarkan lepas dari sasaran, maka bergantian, kau adalah sasarannya setelah kau dicambuk sepuluh kali”

Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali memenuhi perintah itu, tetapi batinnya berguncang jika ia menyadari, bahwa lemparannya akan dapat membunuh kawannya.

Akhirnya ia tidak dapat mengelak, dengan dada yang bagaikan retak ia melontarkan pedang itu kearah beluluk diatas kepala kawannya, tetapi karena ia bukan orang terlatih, maka ujung pedangnya ternyata telah mengarah ke wajah kawannya yang berdiri membeku.

Orang-orang Guntur Geni tiba-tiba telah bersorak ketika mereka melihat pedang itu meluncur tepat dengan ujungnya langsung ke depan, tetapi bukan belatuk kecil itu yang menjadi sasaran.

Anak muda yang melemparkan pedang itu pun melihat, bahwa pedangnya ternyata langsung mengarah ke wajah kawannya, sehingga karena itu rasa-rasanya matanya menjadi gelap, dan ia tidak tahu apa yang telah terjadi kemudian.

Kawannya yang menyaksikan itu pun serentak memejamkan mata mereka, mereka tidak akan sampai hati melihat kawannya terbelah wajahnya oleh pedang yang besar itu, justru oleh kawan sendiri pula.

Namun yang terjadi adalah mengejutkan, ketika mereka membuka matanya, maka kawannya masih tetap berdiri tegak dengan mata terpejam, yang terdengar adalah sorak orang-orang Guntur Geni itu semakin keras.

Ternyata ketika pedang itu hampir mengenai wajah anak muda itu, orang yang telah memberikan pedangnya dengan kemampuan bidik yang luar biasa telah menyentuh ujung pedang itu dengan lemparan batu kerikil, sehingga arah pedang itu pun berubah, melesat disisi telinga anak muda yang berdiri mematung itu.

Namun agaknya ketegangan masih belum terhenti, orang-orang Guntur Geni itu masih melakukan permainan maut yang mendebarkan.

“Jika kalian nanti meninggalkan halaman banjar ini, maka katakan kepada siapa saja, apa yang telah terjadi” berkata salah seorang dari orang-orang Guntur Geni itu.

Anak muda itu bagaikan membeku, mereka terkejut ketika salah seorang dari orang-orang Guntur Geni itu berkata, “He, bawa anak cengeng itu minggir”

Anak-anak muda muda itu dengan gemetar telah membawa kawannya yang hampir pingsan menepi. Sementara anak muda yang harus berdiri tegak dengan kepalanya sebagai tempat untuk meletakkan sasaran itu pun masih tetap berdiri dengan gemetar.

Beberapa orang Guntur Geni ternyata telah terdorong untuk menunjukkan kemampuan mereka masing-masing, agaknya mereka mendapat kesempatan dan sasaran yang tidak akan dapat melawan untuk melepaskan ketegangan selama mereka mempersiapkan diri menghadapi orang-orang Kumbang Kuning orang-orang Cengkir Pitu dan penghuni istana kecil yang terpencil itu.

Semakin lama permainan mereka justru menjadi semakin berbahaya, bahkan kegagalan kecil mulai terjadi, sehingga kadang-kadang senjata orang-orang Guntur Geni itu benar-benar menyentuh kulit anak-anak muda padukuhan Karangmaja meskipun tidak membahayakan. Namun luka-luka kecil itu darah sudah mulai mengalir dan menitik diatas tanah kelahiran yang untuk waktu yang lama terasa tenang dan damai.

Tiga orang menjadi tidak sadarkan diri sekaligus, salah seorang Guntur Geni itu memaksa dua orang anak muda dari Karangmaja menggigit sepotong sabut pada kedua ujungnya, sehingga hidung kedua anak muda itu hampir bersentuhan.

“Aku akan memisahkan mereka” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar, katanya kemudian, “Berikan kapak itu”

Kedua orang anak muda dari Karangmaja itu menjadi seputih kapas, tetapi mereka tidak dapat menolak.

Orang bertubuh tinggi dan kekar itu pun kemudian berdiri beberapa langkah dari kedua anak muda Karangmaja itu, beberapa saat ia masih berdiri sambil tertawa, kemudian katanya, Bersiaplah, aku akan memutuskan sabut itu, jangan bergerak sedikitpun agar hidung kalian tidak ikut terputus bersama kelapa itu”

Ketegangan telah memuncak, tetapi orang bertubuh tinggi dan kekar itu masih saja tertawa, bahkan ia tetap tertawa sambil mengayun-ayunkan kapaknya.

“Satu, dua, tiga” dengan satu hentakkan maka kapak itu pun terlepas dari tangan orang itu diiringi oleh suara tertawa yang meledak.

Orang-orang Guntur Geni itu bertepuk dengan riuhnya ketika kapak itu menyusup diantara dua wajah yang pucat pasi itu, memotong sabut kelapa dimulut anak muda itu.

Namun bersamaan dengan itu, anak-anak muda yang tidak tahan lagi oleh ketegangan-ketegangan yang memuncak itu pun menjadi pingsan.

Orang-orang Guntur Geni itu terkejut ketika terdengar suara memanggil dari pendapa banjar, ternyata pemimpin mereka menjadi jemu mendengar hiruk pikuk di halaman, setelah orang-orang Guntur Geni itu mempertunjukkan beberapa permainan maut sebagai pertanda kelebihan yang mereka miliki.

“Kalian memang gila” geram seorang yang bertubuh kerdil seperti orang yang mula-mula menahan anak-anak muda Karangmaja, “Apa yang kalian lakukan, He?”

Orang yang bertubuh kurus menjawab, “Biarlah mata mereka terbuka, bahwa kita memiliki kemampuan bermain senjata, biarlah mereka bercerita kepada siapapun juga, bahwa dengan senjata-senjata kita, kita dapat berbuat apa sja. Memotong telinga dari jarak puluhan langkah, atau memotong lengan sekalipun dengan kapak dari jarak yang jauh”

“Hanya anak-anak sajalah yang keheranan melihat permainan kalian” geram orang yang bertubuh pendek itu, “Kemarilah, jangan kalian takut-takuti tikus celurut itu dengan tingkah laku yang aneh. Orang-orang Kumbang Kuning, Cengkir Pitu atau orang-orang yang berada di istana kecil itu tidak akan heran mendengar cerita itu, jika kalian sekali-kali ingin memperlihatkan kelebihan kalian, berbuatlah sebagai seorang yang mempunyai ilmu yang matang”

Orang-orang Guntur Geni itu tidak ada yang menyahut.

“Kemarilah, kita akan berbicara tentang istana kecil itu”

Satu-satu orang-orang Guntur Geni itu melangkah ke pendapa, salah orang-orang dari mereka sempat berkata kepada anak-anak muda Karangmaja, “Pergilah, dan suruhlah Ki Buyut cepat-cepat mengantar makanan kami”

Anak-anak muda itu termenung-menung, namun mereka pun segera bersiap meninggalkan halaman banjar yang bagi mereka yang terluka dan kelelahan oleh ketegangan dan mereka yang baru saja sadar dari pingsan telah mendapat pertolongan seperlunya dan dibimbing keluar dari halaman itu.

Demikianlah, orang-orang yang berada di pendapa istana kecil itu mendengarkan cerita tentang orang-orang Guntur Geni itu dengan seksama, mereka dapat membayangkan beberapa orang-orang Guntur Geni itu telah mengerahkan orang-orangnya yang terkuat untuk melakukan pekerjaan yang mereka anggap sangat berat di atas Pegunungan Sewu itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka pun bertanya, “Apakah orang pendek yang berada di pendapa itu benar-benar menunjukkan sesuatu yang disebutnya sebagai orang-orang yang mempunyai ilmu yang tinggi?”

Anak muda dari Karangmaja itu menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku tidak tahu, kawan-kawan yang berada di halaman agaknya tergesa-gesa meninggalkan mereka”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi ia pun menyadari bahwa orang pendek yang ada di pendapa itu tentu memiliki ilmu yang tinggi, baginya permainan maut yang telah dilakukan oleh orang-orang Guntur Geni yang lain itu hanyalah sekedar permainan anak-anak.

“Ki Sanak” bertanya Raden Kuda Rupaka kemudian, “Apakah orang-orang Guntur Geni itu kemudian melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya di padukuhan Karangmaja?”

“Tidak ada yang mengatakan demikian tuan, kemudian aku mendapat perintah dari Ki Buyut untuk segera menghubungi Raden disini, pesan Ki Buyut, kepergianku tidak boleh terlihat orang-orang Guntur Geni, agar aku tidak mengalami nasib seperti yang yang terjadi atas seorang kawanku”

“Yang telah mendapat pertolongan dari Kidang Alit” sahut Raden Kuda Rupaka.

“Ya, namun sekarang anak yang telah dapat turun ke halaman itu terpaksa berbaring lagi dan berpura-pura bisu dan tuli, karena orang-orang yang diduga adalah kawan-kawan orang yang telah meracuninya itu datang lagi”

Raden Wajah Kuda Rupaka terlihat bersungguhsungguh, kemudian dipandanginya wajah pamannya, Pangeran Bondan Lamatan yang nampaknya sedang merenungi keadaan. Kemudian tatapan matanya berpindah kepada Pangeran Kuda Narpada yang masih saja pada keadaannya, sebagai seorang pertapa di lereng Gunung Merbabu.

Dalam pada itu Pangeran Bondan Lamatan bertanya pula kepada anak muda yang datang dari padukuhan itu, “Apakah Ki Buyut memberi pesan-pesan yang lain?”

Anak muda itu menggeleng, jawabnya, “Aku kira tidak sempat, demikian Ki Buyut membisikkan beberapa patah kata, maka akupun harus pergi ke istana ini, meskipun aku menjadi sangat ketakutan, tetapi akhirnya aku sampai juga disini”

“Terima kasih, keteranganmu sangat berguna bagi kami” sahut Pangeran Bondan Lamatan.

“Tetapi, tetapi” masih ada yang akan dikatakan oleh anak muda itu meskipun ragu-ragu.

“Ada apa?” Pangeran Bondan Lamatan menjadi tegang, bahkan yang lainpun menjadi tegang pula, “Katakanlah”

“Tetapi, semuanya itu berarti bahwa kami tidak akan dapat mengirimkan hidangan bagi tuan-tuan hari ini”

Yang mendengarkan keterangan itu menarik nafas dalam-dalam, bahkan beberapa orang diantara mereka tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Namun Pangeran Bondan Lamatan telah menjawab, “Tidak apa anak muda, jangan melakukan sesuatu yang akan dapat berakibat buruk bagi kalian, jika orang-orang itu yang memang mungkin sekali adalah orang-orang Guntur Geni melihat kalian memberikan makanan dan minuman kepada kami, maka akibatnya memang sangat buruk bagi kalian. Bukan saja yang membawa mananan itu, tetapi juga bagi Ki Buyut dan seisi padukuhan”

“Tetapi bagaimanakah tuan-tuan akan makan?”

“Kami akan berusaha sendiri, tetapi seandainya kami harus tidak makan satu dua hari, kami sudah terbiasa melakukannya”

Anak muda itu termenung-menung, namun kemudian dengan gelisah ia berkata, “Tetapi aku tidak berani kembali ke padukuhan”

“Tinggallah disini, orang-orang Guntur Geni itu tentu akan segera menyerang istana ini, tetapi aku tidak tahu, apakah orang-orang Guntur Geni itu sudah mendapat keterangan tentang orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu yang gagal atau mereka datang dengan kekuatan yang telah diperhitungkan untuk menghadapi orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning” jawab Pangeran Bondan Lamatan.

Anak muda itu termenung-menung, namun nampak ketakutan membayang di wajahnya.

“Jika kau takut berada disini” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Baiklah, nanti malam, sesudah gelap, aku antar kau pulang”

“Tidak, aku takut pulang, tetapi aku juga takut berada disini”

“Jangan takut” Ki Wiritlah yang kemudian menyahut, “Kau dapat tinggal di dalam bersama Nyai Kuda Narpada”

Anak muda itu mengerutkan keningnya, Pangeran Bondan Lamatan pun merasa kurang mapan atas sebutan itu, tetapi karena Ki Wirit sendiri yang menghendaki, maka ia sama sekali tidak menganggapinya.

Dalam pada itu, maka mereka yang ada di pendapa itu pun mulai memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, mungkin dari orang-orang padukuhan, dari Ki Buyut sendiri, orang-orang Guntur Geni itu sudah mendapatkan gambaran tentang isi istana itu, bahkan mungkin dengan seksama mereka telah mengikuti perkembangan keadaan.

“Apakah justru mereka telah mengganggu perjalanan para prajurit yang membawa para tawanan ke Demak?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan dari seorang Senapati pengawal Pangeran Bondan Lamatan telah menggelisahkan hatinya.

Tetapi Pangeran Bondan Lamatan itu menggeleng sambil berdesis, “Mudah-mudahan tidak, jika demikian tentu ada seorang penghubung datang memberitahukan keadaan keadaan itu”

Demikianlah, maka orang-orang yang ada di istana kecil itu segera mulai mengatur diri, sebagian dari mereka harus berada di pendapa, sementara yang lain mengawasi halaman samping dan kebun belakang.

“Aku akan memperbaiki pintu regol yang rusak itu” tiba-tiba saja Sangkan yang juga bernama Raden Kuda Rupaka itu berdesis.

“Tidak banyak gunanya” sahut Pangeran Bondan Lamatan.

“Tetapi dengan demikian, jika orang-orang itu datang dari arah depan, mereka akan terhambat meskipun sekedar di muka pintu. Mereka akan berhenti sejenak dan terpaksa mendorong pintu yang memang sudah rusak itu.”

Pangeran Bondan Lamatan mengerti maksud Raden Kuda Rupaka, dengan demikian maka mereka akan sempat menilai, siapa saja yang datang ke halaman istana kecil itu.

Bersama Panon, Sangkan telah mencoba untuk memasang pintu yang rusak itu, meskipun hanya sekedar menyandarkan kepingan-kepingan kayu dan deriji-deriji yang telah terserak-serak, kemudian menindihnya dengan potongan kayu patah-patah dan mengikatnya.

Pangeran Bondan Lamatan tersenyum melihat usaha kedua anak muda itu untuk menghambat lawan dan sekedar menghentikan mereka di muka pintu, dengan demikian, maka masih ada kesempatan untuk berbuat sesuatu dengan keadaan lawan yang datang.

Sejenak kemudian, setelah regol itu terhalang oleh pintu yang rusak, maka orang-orang yang ada di halaman itu mulai membagi tugas.

Di kebun belakang, Panon duduk di bahwah pohon kemiri bersama Kiai Rancangbandang. Disisi sebelah kanan, Ki Ajar Respati berjalan mondar-mandir mengamati pohon bunga yang kurang terpelihara, sementara Ki Reksabahu duduk terkantuk-kantuk di serambi.

Ki Wirit bersama Raden Kuda Rupaka berada di halaman sebelah kiri. Dengan nada yang dalam Ki Wirit masih sempat bercerita, bahwa lembah dan bukit-bukit di sekitar istana itu semula adalah bukit-bukit gundul.

“Tetapi orang-orang Karangmaja bukannya orang yang malas. Mereka mengikuti petunjuk-petunjukku, sehingga sekarang lembah-lembah itu mulai nampak hijau dan diatas bukit telah tumbuh beberapa jenis pohon-pohonan”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, ia pernah mendengar cerita tentang usaha Pangeran Kuda Narpada sebelum ia pergi bersama Pangeran-Pangeran yang tamak itu, sehingga padukuhan diatas Pegunungan Sewu itu menjadi semakin subur dan hijau. Parit-parit telah dibuat membelah bulak-bulak yang semula kekuningkuningan, air yang ada telah dipergunakan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan alamnya.

Di pendapa, Pangeran Bondan Lamatan duduk diantara para prajurit, tetapi ia telah memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk berada disudut-sudut depan halaman istana itu. mereka harus bersiaga sepenuhnya. Mungkin mereka akan menghadapi keadaan yang tiba-tiba. sementara yang lain telah siap pula untuk bergerak ke seluruh bagian dari halaman istana itu.

Sementara itu, Puteri Raksi Padmasari berada di dalam bilik bersama Raden Ayu Kuda Narpada, Inten Prawesti dan Nyi Upih, ketiganya tidak mau melepaskan Puteri Raksi Padmasari yang minta ijin untuk melihat api di perapian.

“Jangan pergi” Inten Prawesti memegang tangan Puteri Raksi Padmasari.

“Tetapi masakan bibi akan hangus” jawab Puteri Raksi Padmasari.

“Biar sajalah” sahut Inten, “Kami merasa takut tanpa kau disini”

Puteri Raksi Padmasari termenung-menung sejenak, lalu katanya, “Sebentar saja, aku akan mengecilkan api itu, kemudian mengaduk masakan bibi sebentar sebelum mengangkatnya. Baunya sedap sekali, sayang jika masakan itu menjadi hangus”

Inten termenung-menung sejenak, dan Puteri Raksi Padmasari berkata seterusnya, “Aku hanya sebentar, belum apa-apa di halaman, bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa”

Inten memandang ibunya sejenak, ketika ibunya mengangguk, maka tangan Puteri Raksi Padmasari dilepasakannya.

“Tetapi jangan terlalu lama” pesan Inten.

“Jika masakan itu sudah masak, aku akan menyenduknya ke dalam mangkuk besar dan membawanya kemari”

“Ah, kenapa dibawa kemari?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada.

“Tiba-tiba saja aku merasa lapar ketika aku mencium bau masakan itu”

Inten mengerutkan keningnya, Ia merasa ketakutan dan cemas menghadapi keadaan, tetapi nampaknya Puteri Raksi Padmasari sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih sempat memikirkan perutnya yang lapar dan bau masakan yang harum itu.

Ketika kemudian Puteri Raksi Padmasari keluar dari bilik bibinya, ia terkejut. Dilihatnya seorang anak muda duduk dengan gemetar.

“Siapa kau?” Puteri Raksi Padmasari mengerutkan keningnya.

“Aku, aku dari Karangmaja” jawab anak muda itu dengan suara bergetar.

Puteri Raksi Padmasari, katanya, “Ya, kau yang membawa berita tentang orang-orang yang datang ke padukuhan ya?” ia berhenti sejenak, lalu, “Kenapa kau tidak di pendapa?”

“Aku, aku takut” jawabnya.

Puteri Raksi Padmasari tersenyum, katanya, “Duduklah, jangan takut, mereka tidak akan sempat memasuki istana ini”

Anak muda itu tidak menjawab, ia hanya memandang saja dengan mata yang tidak berkedip ketika berjalan melintasi ruang tengah pergi ke dapur.

Puteri Raksi Padmasari tertegun ketika ia melihat Panon duduk di bahwah pohon kemiri di belakang. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke pintu dapur, langkah terhenti ketika ia melihat Panon itu berdiri dan melangkah mendekatinya. Beberapa langkah di hadapan Puteri Raksi Padmasari, Panon berhenti sambil mengangguk hormat, dengan suara yang datar ia bertanya, “Puteri, apakah yang sedang puteri cari?”

“Ah” Puteri Raksi Padmasari berdesah, “Namaku Pinten”

“Tetapi aku sekarang mengetahui siapakah puteri yang sebenarnya” jawab Panon, lalu, “Bukankah puteri mestinya berada di dalam bilik gusti Ayu Kuda Narpada?”

“Kau panggil suami bibi dengan guru, karena kau muridnya, bagaimana kau memanggil bibi Kuda Narpada?”

Panon menjadi bingung, sambil tersenyum Puteri Raksi Padmasari berkata, “Panon, kau jangan terlalu merendahkan diri, kau adalah murid satu-satunya dari pamanda Pangeran Kuda Narpada. Murid orang yang tidak ada duanya seperti pamanda Kuda Narpada tidak kurang nilainya dari anaknya sendiri”

“Aku anak lereng Merbabu puteri”

Puteri Raksi Padmasari memandang anak muda itu, ia adalah anak pegunungan seperti anak-anak muda dari Pegunungan Sewu, tetapi Panon tampak jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak Karangmaja.

“Apakah anak-anak dari lereng Merbabu memiliki kelebihan seperti Panon?” pertanyaan itu mulai mengganggunya.

Namun dalam pada itu Panon telah bertanya, “Puteri, apakah yang akan puteri lakukan?, bukankah sebaiknya puteri menemani Gusti puteri di dalam biliknya?”

“Aku akan mengambil alih tugas biyung di dapur, biyung sedang berada di dalam bilik bersama Raden Ayu Kuda Narpada dan puteri Inten Prawesti”

“Ah”

“Aku adalah Pinten, Panon. Ternyata aku merasa lebih senang disebut Pinten anak Nyi Upih. Ada sesuatu yang memberikan kesegaran harapan padaku dengan namaku yang lebih sederhana itu”

“Tetapi puteri adalah Puteri Raksi Padmasari, bagaimanapun juga, puteri tetap seorang puteri”

Wajah Pinten menjadi redup, dipandanginya Panon sejenak, lalu katanya, “Tetapi apakah ada jarak antara seorang puteri yang kebetulan lahir di istana Kapangeranan dengan seorang yang dilahirkan di lereng pegunungan”

Panon menundukkan wajahnya, ia tidak segera menjawab, namun Pinten ternyata menunduk pula, bahkan wajahnya menjadi panas. Ia merasa telah terdorong terlalu jauh, sehingga jantungnya berdebar semakin cepat.

Ternyata Pinten tidak menunggu jawaban Panon, ia pun kemudian berjalan ke dapur sambil berkata, “Aku harus menyelamatkan masakan bibi”

Panon termenung-menung, Ia memandang Pinten yang berjalan masuk ke dapur, meskipun Pinten masih menyangkut-kan pedangnya di lambung dan bahkan dengan rantai melingkar di lehernya, namun ia merupakan seorang gadis yang sangat menarik. Panon masih memperhatikan gadis itu memutar pedangnya, kesamping lalu berjongkok dimuka perapian.

“Ia adalah seorang gadis dengan banyak wajah” berkata Panon di dalam hatinya, “Ia seorang gadis yang lincah, gembira dan manja, tetapi ia juga seorang gadis yang agung, bersungguh-sungguh dan memiliki kemampuan olah kanuragan”

Panon terkejut ketika ia merasa punggungnya tersentuh batu kerikil, ketika ia barpaling, dilihatnya Kiai Rancangbandang tersenyum memandangnya.

Barulah ia sadar, bahwa ia telah berdiri merenungi gadis yang sedang sibuk di dapur itu, sehingga karena itu maka dengan tergesa-gesa Panon pun kemudian meninggalkan pintu dapur dan kembali ke bahwah pohon kemiri.

“Seorang puteri yang aneh” berkata Kiai Rancangbandang.

Panon tidak menjawab.

“Ia telah mengorbankan waktu yang paling berharga dalam hidupnya, jika saat ini gadis-gadis remaja sebayanya di kota Raja sedang menikmati irama gamelan dan barangkali sedang berlatih menari, maka Puteri Raksi Padmasari sedang berjongkok di muka perapian, mengaduk masakan dengan pedang di lambung, sementara orang-orang jahat telah mengintainya”

“Seperti Kiai sendiri” desis Panon tiba-tiba.

“Kenapa aku?”

“Kiai juga telah mengorbankan banyak hal dengan memanjat tebing Pegunungan Sewu”

Kiai Rancangbandang tertawa, katanya, “Aku memang melakukannya, barangkali cara inilah yang dapat aku lakukan untuk sekedar ikut serta dalam arus kebangkitan Demak. dimasa Demak sedang berusaha membangun dirinya, aku memang merasa berkewajiban untuk membantu apa saja yang dapat aku lakukan”

“Tetapi Kiai sudah mempertaruhkan nyawa, pada mulanya yang Kiai lakukan adalah sekedar belas kasihan kepada-ku”

Kiai Rancangbandang, tertawa lebih keras lagi, katanya, “Mungkin, tetapi sejak semula aku tahu bahwa kau telah melakukan sesuatu yang berguna bagi Demak. Ddan aku pun ingin ikut bersamamu”

Panon mengerutkan keningnya, namun ia pun tertawa pula.

Namun keningnya tiba-tiba telah berkerut, ketika ia melihat Raksi Padmasari membawa sebuah mangkuk besar ke dalam istana kecil itu.

“Masakan Raden Ayu Kuda Narpada itu telah diselamatkannya” berkata Kiai Rancangbandang.

Kembali Panon tertawa, ia memang tidak dapat lagi menyembunyikan perasaannya terhadap Kiai Rancangbandang, meskipun demikian ia tidak mengatakanya, dibiarkannya saja Kiai Rancangbandang menilai tingkah lakunya.

Namun demikian setiap kali Panon diganggu oleh perasaan rendah diri, ia adalah seorang anak dari lereng Gunung Merbabu.

“Jika puteri itu kembali ke Kota Raja, apakah ia masih akan ingat kepadaku?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Panon menarik nafas dalam-dalam, namun ia tidak sempat melamun, karena Kiai Rancangbandang pun kemudian berkata, “Banyak kejutan-kejutan yang aku alami selama aku berada di istana ini. Orang-orang yang tidak berdiri sebagai dirinya sendiri, Raden Kuda Rupaka yang sebenarnya bukan Raden Kuda Rupaka, Sangkan dan Pinten yang lucu itu. Gurumu dan barangkali aku masih akan terkejut jika suatu saat aku harus mengenalmu sebagai dirimu yang lain”

“Ah, aku tidak berpura-pura, Kiai. Aku adalah aku. Kiai sudah mengenal aku sebelum kita berada diatas Pegunungan Sewu”

Kiai Rancangbandang tertawa, katanya, “Siapa tahu. Tiba-tiba saja, justru kau adalah orang terpenting di dalam istana ini”

Panon pun tertawa, katanya, “Mudah-mudahan aku dapat menjadi orang penting”

Keduanya tertawa seolah-olah mereka tidak sedang diintai oleh bahaya yang sudah berada di padukuhan Karangmaja.

Namun suara tertawa mereka itu pun terputus, ketika mereka mendengar isyarat di pendapa. Dengan dahi yang berkerut merut, Kiai Rancangbandang berkata, “Pergilah ke pendapa, mungkin ada sesuatu yang penting”

Panon pun segera pergi ke pendapa, ketika ia naik ke pendapa, ia melihat Pangeran Bondan Lamatan sedang berbincang-bincang dengan Ki Wirit yang sudah ada di pendapa itu pula.

“Prajurit yang ada di regol itu melihat dua orang berkuda yang agaknya mengawasi istana ini” berkata Pangeran Bondan Lamatan kepada orang-orang yang ada di pendapa itu.

Yang lain mengangguk-angguk.

“Kita harus berhatil-hati” Pangeran Bondan Lamatan meneruskan, “Tetapi disaat terakhir aku ingin dapat memperhitungkan kekuatan mereka”

“Maksud Pangeran” berkata Pangeran Kuda Narpada.

“Kita akan mengirimkan satu atau dua orang untuk mengintai mereka di padukuhan, sebentar lagi malam akan turun”

Ki Wirit mengangguk-angguk pula, katanya, “Baiklah adimas Pangeran, aku bersedia untuk pergi”

Tetapi Raden Kuda Rupaka yang telah berada di pendapa itu pula berkata, “Biarlah aku saja yang pergi paman, mungkin aku dan Panon akan dapat melakukan tugas pengawasan ini”

Pangeran Bondan Lamatan merenung sejenak, katanya, “Tetapi ingat Kuda Rupaka. Nampaknya mereka terlalu yakin akan kekuatan mereka, dua orang berkuda telah mendekati regol istana tanpa segan, seakan-akan sedang melihat-lihat rumah kenalan mereka yang sudah lama tidak bertemu”

“Baiklah paman” berkata Raden Kuda Rupaka, “Mereka tentu tinggal di banjar padukuhan Karangmaja”

Ternyata bahwa Ki Wirit pun tidak berkebaratan melepaskan kedua anak muda itu untuk mengintai banjar padukuhan jika gelap akan turun”

Dengan bekal beberapa keterangan yang meskipun kurang pasti dari anak muda yang datang dari padukuhan, maka Raden Kuda Rupaka dan Panon telah meninggalkan istana itu. ketika gelap turun, anak muda Karangmaja itu tidak berani ikut serta, meskipun kedua anak-anak muda itu berjanji akan mengantarkannya pulang sampai ke rumahnya. Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka dan Panon telah meninggalkan istana itu.

Dengan berhati-hati keduanya mendekati padukuhan yang sepi, agaknya tidak seorang pun yang berani berada di luar rumahnya. Bahkan ada diantara mereka yang tidak sempat menyalakan lampu-lampu minyak di regol halaman.

Sejenak kedua anak muda itu termenung-menung, Raden Kuda Rupaka ingin bertemu dengan Ki Buyut lebih dahulu sebelum ia bertindak lebih jauh.

“Mungkin Ki Buyut dapat memberi beberapa keterangan” berkata kepada Raden Kuda Rupaka.

“Baiklah” jawab Panon, “Jika demikian, kita akan pergi ke rumah Ki Buyut”

Raden Kuda Rupaka mengangguk, desisnya, “Marilah, aku kira orang-orang itu juga mempunyai beberapa orang pengawas yang bertebaran”

Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di halaman Ki Buyut di Karangmaja, ternyata halaman rumah itu nampak sepi, tidak seorangpun yang berada di regol dan di gardu di depan regol itu.

“Semuanya menjadi ketakutan” bisik Panon.

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk kecil, kemudian ia pun memberi isyarat untuk pergi ke sebelah rumah Ki Buyut yang lengang itu.

Dari sebelah pintu butulan di longkangan Raden Kuda Rupaka masih mendengar suara seorang yang sedang berbicara lirih.

Dari pembicaraan itu, Raden Kuda Rupaka dan Panon dapat mengetahui, bahwa tidak ada orang lain, apalagi orang dari Guntur Geni yang berada di rumah itu, karena itulah maka dengan berhatil-hati Raden Kuda Rupaka mengetuk pintu butulan.

Agaknya ketukan pintu itu benar-benar mengejutkan orang-orang yang ada di dalam, suara berbisik di dalam rumah itu pun justru terdiam. Bahkan suara nafaspun seolah-olah telah berhenti pula.

“Ki Buyut” Raden Kuda Rupaka mencoba memanggil.

Ki Buyut yang ada di dalam termenung-menung.

Sejenak ia justru menjadi gemetar. Semula ia menyangka bahwa yang datang adalah orang-orang Guntur Geni. Namun ternyata bahwa bukan mereka, karena dari luar terdengar suara lirih, “Aku Sangkan dari istana kecil itu”

Sejenak Ki Buyut masih ragu-ragu, namun ketika Raden Kuda Rupaka mengulanginya, Ki Buyut menjadi yakin, bahwa yang datang itu memang Raden Kuda Rupaka.

Perlahan-lahan Ki Buyut membukakan pintu butulan, meskipun demikian ia masih juga gemetaran melihat dua sosok bayangan di dalam kelamnya malam.

Baru ketika cahaya lampu minyak yang terlontar dari sela-sela pintu yang terbuka jatuh ke wajah Raden Kuda Rupaka, barulah Ki Buyut menarik nafas lega.

Cepat-cepat Raden Kuda Rupaka dan Panon menyusup meskipun pintu butulan agar cahaya lampu minyak yang meloncat lewat pintu itu tidak menarik perhatian.

Kehadiran Raden Kuda Rupaka dan Panon menimbulkan tanggapan yang saling bertentangan di dalam diri Ki Buyut, ia merasa senang bertemu dengan keduanya dalam ketegangan karena hadirnya orang-orang Guntur Geni yang merampas ketenangan yang mulai menjalari padukuhan Karangmaja. Namun dengan demikian, timbul pula kecemasan, bahwa mereka akan mengalami kesulitan jika orang-orang yang berada di banjar itu mengetahui kehadirannya.

Raden Kuda Rupaka nampaknya mengerti perasaan Ki Buyut itu, sehingga katanya kemudian, “Ki Buyut tidak usah mencemaskan kehadiran kami. Kami akan berhati-hati, sehingga orang-orang itu tidak akan mengetahui kehadiran kami. Mereka tentu tidak menyangka bahwa ada orang-orang yang keluar dari istana itu untuk berjalan-jalan ke padukuhan di malam hari.

“Mudah-mudahan Raden. Tetapi mereka adalah orang-orang yang buas dan liar, mereka tidak menghiraukan peradaban manusia sama sekali. Meskipun sebagian dari mereka pernah datang ke padukuhan ini, namun beberapa orang yang lain, benar-benar telah menumbuhkan kengerian melampaui saat sebelumnya”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, kemudian dengan cemas ia bertanya, “Apakah jumlah mereka lebih banyak dari yang dulu”

“Ya, Raden, mereka berniat untuk menghancurkan semuanya, Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu akan dimusnahkannya lebih dahulu, sebelum mereka akan memasuki istana yang kini telah mulai tenang itu”

Raden Kuda Rupaka menjadi berdebar-debar, jika orang-orang Guntur Geni itu berniat untuk menghancurkan perguruan Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu itu di Pegunungan Sewu itu, maka tentu mereka telah menyiapkan diri sebaik-baiknya”

Raden Kuda Rupaka dan Panon pun menyadari bahwa orang-orang Guntur Geni dapat saja membawa beberapa orang terpenting dari perguruan-perguruan lain yang sejalan dengan mereka, meskipun diantara mereka akan timbul persoalan-persoalan pula kelak, tetapi mungkin pula diantara mereka telah didapatkan kesepakatan untuk menilai hasil dari perjuangannya.

Tetapi satu hal yang dapat ditangkap oleh Raden Kuda Rupaka dan Panon, bahwa orang-orang Guntur Geni masih belum mengetahui bahwa orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu telah berhasil dilumpuhkan.

Dengan demikian maka Raden Kuda Rupaka dan Panon kemudian memutuskan untuk melihat-lihat orang-orang yang berada di banjar padukuhan Karangmaja, meskipun mereka sadar bahwa hal itu sangat berbahaya.

“Raden” berkata Ki Buyut kemudian, “Sebenarnya aku keberatan jika Raden mau melihat-lihat dari dekat orang-orang yang berada di banjar, mereka terdiri dari orang-orang kasar dan barangkali orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak terduga, aku percaya bahwa kalian juga memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi setiap orang yang berada di banjar, tetapi jumlah mereka terlalu banyak”

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Aku akan berhati-hati Ki Buyut, mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan. Tetapi jika mereka melihat kami berdua, maka kami masih akan sempat lari melintasi bulak kecil dan kembali ke istana, kami berharap bahwa langkah kami akan lebih cepat dari orang-orang Guntur Geni”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam, anak-anak muda itu nampaknya sama sekali tidak menjadi cemas dan takut menghadapi akibat yang dapat timbul, persoalan yang gawat ini mereka lakukan seperti dalam permainan disaat terangnya bulan di langit.

Agaknya Ki Buyut benar-benar tidak dapat mencegah keduanya, karena itu, maka betapapun jantungnya berdebaran, akhirnya dibiarkannya Raden Kuda Rupaka dan Panon keluar dari pintu butulan dan hilang di gelapnya malam.

Namun demikian, Raden Kuda Rupaka dan Panon yang telah mendapat beberapa keterangan dari Ki Buyut itu dapat memperhitungkan setiap langkahnya. Mereka benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang-orang yang berada di banjar padukuhan itu, menilai keterangan yang mereka dapat, agaknya orang-orang Guntur Geni memang tidak datang hanya dari perguruannya saja.

Dengan sangat berhatil-hati kedua anak muda itu mendekati banjar. Mereka sadar, bahwa orang-orang yang berada di banjar itu memiliki bermacam-macam ilmu yang memungkinkan dapat mengetahui kehadiran mereka berdua.

Tetapi keduanya pun memiliki kemampuan untuk menjaga diri, mereka dapat mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya, langkah mereka bagaikan tidak menyentuh tanah, sementara di saat yang gawat mereka masih akan dapat melarikan diri menghindari lawan yang terlalu banyak.

Ternyata bahwa orang-orang Guntur Geni itu benar-benar yakin akan kekuatan mereka. mereka seakan-akan sama sekali tidak bersiap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang datang. Yang mereka lakukan di banjar itu adalah benar-benar saat istirahat sebelum mereka melakukan tindakan yang menentukan.

Raden Kuda Rupaka dan Panon melihat dua orang penjaga dimuka banjar itu. ketika mereka melingkari dinding halaman, maka mereka sama sekali tidak mendengar nafas seorang pun di kebun belakang.

Dengan berhatil-hati Panon dan Raden Kuda Rupaka berusaha untuk mendekati dinding, dengan kemampuan ilmunya, keduanya berhasil meredam bunyi yang timbul karena gerakan mereka.

Meskipun mereka berhasil mendekati banjar, tetapi mereka tidak berhasil mendapatkan gambaran yang pasti tentang orang-orang yang berada di banjar itu. Namun Raden Kuda Rupaka dan Panon yakin, bahwa jumlah mereka tidak terlalu banyak untuk dicemaskan.

“Duapuluh orang” desis Panon di telinga Raden Kuda Rupaka

Raden Kuda Rupaka yang lebih sering dipanggil Sangkan itu mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Mungkin jumlahnya mencapai dua puluh. Tetapi kita tidak tahu pasti apakah diantara mereka yang pantas dihitung sepuluh”

Panon mengangguk-angguk, yang dapat mereka lihat memang hanya ujud-ujud lahiriah, itu pun tidak pasti, karena mereka tidak dapat mengetahui dan menghitung, yang mereka lihat hanyalah sekedar beberapa orang yang hilir mudik, kemudian suara tertawa yang meledak dan kasar.

“Apakah kita dapat menghitung jumlah kuda mereka” bisik Panon.

“Jangan mendekat, jika kuda-kuda itu meringkik, maka kita akan mendapatkan kesulitan, indera kuda cukup tajam untuk mencium baumu”

Panon mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak membantah, bahkan ia pun tersenyum ketika Raden Kuda Rupaka tersenyum pula.

Namun dari kejauhan mereka dapat menduga, bahwa jumlah kuda yang diikatkan di dekat longkangan itu tidak lebih dari duapuluh lima.

“Kita tidak dapat berbuat lebih banyak, kita hanya dapat membawa kesan, bahwa yang kita hadapi adalah perguruan yang kuat. Jumlah mereka terlalu banyak dibanding dengan jumlah kita di halaman istana pamanda Kuda Narpada”

Panon mengangguk, desisnya, “Marilah, kita akan kembali. Agaknya orang-orang Guntur Geni akan segera menyerang. Mudah-mudahan mereka tidak bertambah jumlahnya lagi”

Keduanya pun kemudian meninggalkan banjar dengan beberapa keterangan yang dapat mereka lihat dan mereka dengar dari Ki Buyut.

Raden Kuda Rupaka dan Panon sengaja tidak berbuat sesuatu yang dapat mengganggu orang-orang itu, karena jika kemarahan mereka tidak tertahankan, maka orang-orang Karangmaja yang akan mengalami kesulitan, itulah sebabnya, yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar mencari keterangan.

Di sepanjang jalan kembali ke istana kecil, keduanya telah memperhitungkan kekuatan yang ada, keharian Pangeran Bondan Lamatan dan pengawal-pengawalnya telah memberikan ketenangan dihari kedua anak muda itu.

“Aku justru berharap, serangan itu segera datang” berkata Raden Kuda Rupaka, “Dengan demikian tugas kita akan cepat selesai”

Panon tiba-tiba berhenti, dengan wajah yang terang ia berkata, “Aku sependapat Raden, kenapa tidak berbuat sesuatu agar mereka semakin cepat bergerak”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Panon termenung-menung sejenak, lalu katanya, “Aku dapat memancing keributan itu, aku harap Raden mendahului kembali ke istana kecil mempesiapkan diri bersama orang-orang yang berada di istana itu”

Raden Kuda Rupaka memandang Panon sejenak, kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kau lakukan untuk mempercepat persoalan ini?”

“Aku membawa beberapa bilah pisau dengan ciri yang ternyata adalah ciri Pangeran Kuda Narpada, aku tidak menyangka sama sekali bahwa guru yang aku temui di lembah Gunung Merbabu itu adalah Pangeran Kuda Narpada”

“Apa yang akan kau lakukan dengan pisau itu?”

“Aku akan melontarkan pisau itu kepada salah seorang penjaga di depan banjar. Mereka tentu akan marah dan mencari siapakah yang telah melakukannya, jika mereka melihat ciri pada pisau itu, maka mereka tentu akan mengenal, bahwa bukan orang-orang Karangmaja yang telah melakukannya, tetapi orang-orang dari istana Pangeran Kuda Narpada”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, katanya, “Tetapi itu sangat berbahaya bagimu, apalagi jika kau sendiri. Jika kau ingin melakukannya, aku akan ikut bersamamu”

“Tetapi siapakah yang akan memberitahukan bahwa kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan?”

Raden Kuda Rupaka termenung-menung, sementara Panon mendesak, “Silahkan Raden kembali, aku akan mencoba mengganggu mereka dengan pisau-pisau itu, sementara kita semuanya sudah siap menghadap segala kemungkinan, agaknya itu akan lebih baik daripada kita menunggu terlalu lama”

Raden Kuda Rupaka masih nampak ragu-ragu, namun Panon telah berketetapan hati untuk melakukannya, katanya, “Sudahlah, silahkan Raden kembali ke istana. Aku kira semuanya akan sependapat, bahwa kita sebaiknya segera menyelesaikan tugas ini sampai tuntas. Memang mungkin kita akan mengalami kesulitan, tetapi aku kira, kita masih mempunyai cukup harapan untuk selamat.”

Akhirnya Raden Kuda Rupakapun setuju, ketika ia meninggalkan Panon, maka ia pun berpesan, “Hati-hati, Panon. Lawan yang berada di banjar itu bukan orang kebanyakan yang dapat kau anggap sasaran permainan, mereka dapat menerkam dan membunuh jika kau lengah”

“Aku akan berhatil-hati, Raden” sahut Panon.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun ia pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan Panon dan kembali ke istana, ia harus membuat persiapan menghadapi peristiwa yang bakal menyusul demikian ia berada di istana itu”

Namun ternyata Raden Kuda Rupaka tidak dapat sampai ke halaman istana secepat yang diharapkannya.

Ketika ia keluar dari padukuhan Karangmaja dan berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri bulak menuju ke istana kecil itu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti, telinganya yang tajam telah mendengar desir dedaunan gerumbul di pinggir jalan yang akan dilaluinya.

Sejenak ia menunggu, agaknya ada orang yang telah bersembunyi di balik gerumbul itu dan dengan sengaja menunggunya.

Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka justru berhenti karenanya, ialah yang kemudian menunggu, siapakah yang akan meloncat keluar dari gerumbul itu.

Beberapa saat lamanya ia berdiri tegak menatap gerumbul yang rimbun, ia sadar, bahwa orang yang bersembunyi itu pun tentu sedang menunggunya.

Tetapi Raden Kuda Rupaka ternyata tidak telaten untuk saling menunggu terlalu lama, namun ia pun tidak mau berjalan di sebelah gerumbul itu dan mendapat serangan yang tiba-tiba tampa mengetahui tingkat kemampuan orang itu.

Karena itu, maka Raden Kuda Rupaka pun segera meloncati parit di pinggir jalan dan berjalan menyusuri pematang.

Ternyata bahwa uia berhasil memancing orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu, dengan serta merta dua orang telah berloncatan dan berlari menyusulnya.

Raden Kuda Rupaka tidak mempercepat langkahnya, Ia justru berhenti menghadap kepada kedua orang yang menyusulnya itu.

“Siapa kau?” tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang itu menggeram.

Menilik tingkah laku, suara dan pertanyaan, Raden Kuda Rupaka menduga bahwa kedua orang itu dari perguruan Guntur Geni. karena itu maka ia pun menjawab, “Aku orang Guntur Geni”

“Bohong” geram yang lain, “Kami adalah orang-orang Guntur Geni, katakan, siapa kau sebenarnya, sebelum kau mati disini”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, dugaannya ternyata tepat. Untunglah bahwa ia menjumpai orang-orang itu bukan pada saat ia berangkat ke padukuhan bersama Panon, agaknya kedua orang itu bertugas mengawasi keadaan.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka tidak mau membuang waktu terlalu banyak, ia sadar akan kewajibannya untuk segera sampai ke istana kecil untuk mempersiapkan diri menghadapi induk pasukan perguruan Guntur Geni. karena itu, maka sesaat ia membuat perhitungan yang menentukan, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Sebelum Raden Kuda Rupaka menentukan sikap, salah seorang dari kedua orang Guntur Geni itu telah membentaknya pula, “Cepat jawab, siapakah kau?”

Raden Kuda Rupaka menganggap tidak perlu menjawab pertanyaan itu, ia harus segera berbuat sesuatu agar waktu yang sempit itu tidak terlalu banyak terbuang.

Namun agaknya kedua orang itu pun telah bersiap, mereka segera berpencar, salah seorang dari mereka masih saja bertanya dengan kasar, “Anak demit, sebut namamu”

“Aku memang anak demit” jawab Raden Kuda Rupaka. Namun kegelisahannya semakin meningkat. Jika ia terlambat sampai ke istana kecil itu, sehingga ia tidak sempat memberitahukan bahwa Panon sedang memancing orang-orang Guntur Geni, maka serangan yang tiba-tiba itu akan sangat mengejutkan dan mungkin akan membawa akibat yang buruk.

Karena itulah, maka ketika salah seorang dari kedua orang itu membentaknya sekali lagi, tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka telah menyerangnya dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata wadag.

Tidak ada kesempatan bagi salah seorang dari Guntur Geni itu. serangan Raden Kuda Rupaka langsung mengenainya. Orang itu hanya sempat melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang, namun serangan Raden Kuda Rupaka telah melemparkannya.

Serangan itu memberikan sedikit ketenangan pada Raden Kuda Rupaka, dalam sekilas ia dapat mengetahui tingkat kemampuan salah seorang lawannya.

Sejenak kemudian, Raden Kuda Rupaka telah terlibat dalam perkelahian yang seru, orang yang terlempar itu telah sempat bangkit, kemudian ketika kawannya melihat Raden Kuda Rupaka dalam pertempuran yang kasar.

“Anak gila” geram salah seorang dari mereka, “Kau tentu anak dari istana itu. kau akan menyesal bahwa kau telah bertemu dengan kami disini, kau akan mengalami nasib seperti anak Karangmaja yang bodoh itu”

Raden Kuda Rupaka tidak menghiraukannya gerakannya justru menjadi semakin cepat, setiap kali terbayang sekelompok orang-orang berkuda menyerang istana yang belum siap menghadapi kemungkinan itu.

Namun karena itulah, maka ia pun mengerahkan segenap kemampuannya, ketika lawannya yang seorang sempat mengelakkan serangannya, maka tiba-tiba saja ia melenting sambil menyerang lawannya yang lain, tiba-tiba saja ia menggeram sambil menghentakkan senjata yang telah berada di gengaman.

Lawannya yang seorang itu pun berusaha untuk mengelak, tetapi Raden Kuda Rupaka tidak memberinya kesempatan lagi, serangannya bagaikan badai yang menghantam daun-daun perdu yang tidak berdaya melawannya.

Kedua orang Guntur Geni itu tidak sempat mempergunakan racunnya. Yang terjadi adalah terlalu cepat bagi mereka. Raden Kuda Rupaka telah mengerahkan segenap kemampuannya tanpa pertimbangan apapun kecuali secepatnya kembali ke istana itu.

Yang ternyata bernasib malang adalah kedua orang Guntur Geni yang ditugaskan untuk mengawasi keadaan itu. Raden Kuda Rupaka terlalu berat bagi mereka berdua, sehingga akhirnya keduanya tidak mampu lagi mempertahankan dirinya dan jatuh diatas tanah dengan berlumuran darah.

Raden Kuda Rupaka tidak sempat berbuat sesuatu atas mayat-mayat itu, ia harus segera kembali ke istana kecil itu, untuk menyampaikan rencana Panon yang mungkin sudah dilakukan, untunglah bahwa yang dijumpai Raden Kuda Rupaka bukan orang-orang terpenting dari perguruan Guntur Geni, sehingga ia masih sempat lolos dari tangan mereka.

Semua orang terkejut, ketika mereka melihat Raden Kuda Rupaka kembali hanya seorang diri, dengan wajah yang tegang Ki Wirit yang kebetulan berada di pendapa bertanya dengan cemas, “Dimana Panon?”

Kecemasan itu telah terdengar pula oleh Puteri Raksi Padmasari dari ruang dalam, sehingga ia pun berlari-lari dengan wajah yang tegang, “Apa yang terjadi kakang?”

Dalam ketegangan itu, Raden Kuda Rupaka masih mengganggu adiknya, ia tidak segera menjawab, tetapi ia justru nampak cemas dan gugup.

“Kakang” Puteri Raksi Padmasari tidak sabar lagi menunggu. Sambil menguncang-guncang tubuh kakaknya ua bertanya lebih keras, “Dimana Panon, kakang”

Raden Kuda Rupaka memandang Raksi Padmasari sejenak, namun ia masih tetap berdiam diri.

“Kakang, kakang” Raksi Padmasari yang gugup itu hampir terpekik.

Baru ketika bibinya, Raden Ayu Kuda Narpada keluar dari ruang dalam, Raden Kuda Rupaka merasa bahwa telah mengganggu ketenangan istana kecil itu, sehingga justru menjadi gugup, bukan karena hilangnya Panon, tetapi justru karena bibinya telah hadir pula di pendapa diikuti oleh Inten dan Nyi Upih.

Tetapi sikap Raden Ayu Kuda Narpada membuat Raksi Padmasari menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin tegang pula karenanya.

“Katakan, katakan” Raksi Padmasari hampir berteriak.

Raden Kuda Rupaka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan berhatil-hati ia pun mulai mengatakan apa yang telah mereka rencanakan.

“Panon sekarang tidak apa-apa, dan mudah-mudahan ia tidak apa-apa” berkata Raden Kuda Rupaka kemudian.

Barulah Raksi Padmasari sadar, bahwa kakaknya sudah mulai lagi menggodanya, karena itu, maka tiba-tiba saja jari-jarinya telah mencengkam lengan Raden Kuda Rupaka, sehingga kakaknya itu melonjak-lonjak.

“Raksi, jangan”

“Katakan, katakan bahwa kau sengaja menggodaku”

“Tidak, Raksi Padmasari, aku benar-benar menjadi gelisah dan cemas atas nasibnya”

“Tetapi kau pura-pura gugup”

Akhirnya Raden Kuda Rupaka berhasil melepaskan diri, ketika Raksi Padmasari akan menerkamnya lagi, kakaknya sempat berlari diantara orang-orang yang berada di pendapa itu.

“Jika kau berlari-lari diantara paman-paman yang duduk, maka kau adalah gadis deksura”

Raksi Padmasari menggeram, tetapi ia tidak mengejar kakaknya.

Dalam pada itu, Pangeran Bondan Lamatan yang tersenyum melihat tingkah kedua anak-anak muda itu pun kemudian berkata, “

“Anak-anak muda memang sering mengambil keputusan sendiri sebelum membicarakannya dengan orang-orang tua. Tetapi semuanya sudah terjadi. Panon akan segera mengundang orang-orang Guntur Geni itu ke halaman istana ini”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Baiklah Kuda Rupaka, kita akan segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan, kita harus benar-benar mengerahkan kemampuan yang ada pada kita”

Sejenak kemudian maka Raden Ayu Kuda Narpada pun kembali ke dalam biliknya. Ia benar-benar telah dicengkam kecemasan tentang apa yang akan terjadi kemudian.

“Paman Bondan Lamatan serta para pengawal, tentu akan berhasil mengusir orang-orang Guntur Geni itu bibi” berkata Raden Kuda Rupaka kepada bibinya.

Raden Ayu Kuda Narpada tidak menjawab, tetapi kehadiran Pangeran Kuda Narpada tu telah membuat hatinya menjadi tenang, jika ada sesuatu yang terjadi, maka akan dialaminya dengan seluruh keluarganya.

Sementara itu Panon telah merayap kembali ke depan gerbang halaman banjar padukuhan Karangmaja, dengan berhatil-hati ua menyusuri bagian dalam dinding halaman rumah yang terletak di depan banjar itu.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 14

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar