NSSI-10


kembali | lanjut >>

I.

Kemudian setelah titik-titik itu hilang di kelokan jalan, kembali Wiradapa memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya terhenti pada Manahan dan Handaka yang masih duduk di bawah pohon di simpang jalan. Tampaklah orang itu tersenyum dan kemudian ia melangkah mendekati.

”Tuan tidak ikut serta dengan rombongan itu?” tanya Manahan sambil menghormat.

Wiradapa menggelengkan kepala sambil menjawab, ”Tidak Ki Sanak, aku lebih senang tinggal di rumah.”

”Kemanakah mereka pergi?” tanya Manahan pula.

”Entahlah,” jawab Wiradapa. Tetapi di balik kata-katanya itu Manahan menangkap sesuatu yang tidak wajar. Namun ia sama sekali tidak mendesaknya.

”Siapakah mereka itu Tuan?” tanya Manahan mengalihkan persoalan.

”Adakah mereka bukan penduduk pedukuhan ini?”

”Bukan Ki Sanak,” jawab Wiradapa sambil duduk di sisi Manahan. Mereka bukan penduduk pedukuhan ini. Menurut keterangan mereka, mereka datang dari Banyubiru. Anak muda itu adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit, yang menurut keterangan mereka, adalah bekas daerah Pangrantunan lama.

Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ekor matanya ia melihat wajah Bagus Handaka yang berubah menjadi merah. Untunglah bahwa anak itu menundukkan wajahnya sehingga perubahan itu tidaklah begitu nampak.

”Anak muda itu bernama Sawung Sariti,” lanjut Wiradapa, ”Dan orang-orang itu adalah pengawal-pengawal mereka dari Pamingit.”

”Apakah keperluan mereka datang kemari?” tanya Manahan pula.

Wiradapa tersenyum. Ia memandang Manahan dengan wajah yang lucu. Jawabnya, ”Suatu keperluan yang penting bagi orang-orang yang punya cita-cita,

Manahan menarik nafas. Ia sadar akan permainannya. Memang bagi orang yang pekerjaaannya merantau dari satu desa ke desa yang lain, pertanyaannya agak terlampau maju. Meskipun demikian, terdorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih lanjut, ia bertanya pula, ”Tuan, apakah cita-cita seseorang yang telah menjabat sebagai kepala daerah perdikan?”

Kembali Wiradapa tersenyum. Katanya, ”Banyak juga yang ingin kau ketahui Ki Sanak. Memang barangkali bagimu apa yang telah kau capai hari ini telah cukup tanpa memikirkan masa depan. Tetapi justru bagi orang-orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin tinggi cita-citanya. Demikian juga Anakmas Sawung Sariti. Bukankah diatas kepala perdikan masih banyak jabatan penting? Jabatan-jabatan istana, misalnya. Sedang jabatan istana yang paling tinggi adalah raja.”

”Raja…?” ulang Manahan. ”Menurut pendengaranku, raja adalah jabatan turun- temurun.”

”He, kau tahu juga tentang raja?” potong Wiradapa, kemudian ia melanjutkan, ”Tetapi tidak selamanya demikian.”

Manahan mendengarkan kata-kata Wiradapa dengan sungguh sungguh. Ia mengharap agar dengan demikian Wiradapa sampai pada keterangan yang sejauh-jauhnya.

”Tuan…, adakah orang yang lain kecuali keturunannya boleh menjadi raja?” tanya Manahan pula.

Wiradapa tertawa geli. ”Memang dapat terjadi demikian. Adakah Ki Sanak ingin menjadi raja?”

Manahan tertawa pula. Sahutnya, ”Siapakah yang tidak mau menjadi raja? Apapun yang dikehendaki selalu ada. Makanan lezat serta minuman segar. Pakaian gemerlapan serta perhiasan yang cemerlang.”

Wiradapa tidak dapat menahan tertawanya, sampai tubuhnya berguncang-guncang. ”Memang barangkali kepentinganmu, apabila kau menjadi raja, adalah makanan lezat serta minuman segar. Tetapi kau tidak pernah berpikir tentang pekerjaan serta kewajibannya.”

”Apakah pekerjaan raja?” tanya Manahan.

”Banyak sekali,” jawab Wiradapa.

”Banyak sekali dan tidak menyenangkan. Meskipun demikian banyak orang yang ingin menjabatnya. Termasuk Anakmas Sawung Sariti.”

”Tetapi kenapa Tuan muda yang ingin menjadi raja itu datang kemari. Adakah ia ingin menjadi raja di sini?” sahut Manahan.

Sekali lagi Wiradapa tertawa. Jawabnya, ”Baiklah aku ceriterakan kepadamu, barangkali perlu kau ceriterakan kelak buat anak cucumu sebagai pengetahuan. Mungkin anak cucumu kelak tidak lagi menjadi perantau seperti Ki Sanak ini. Untuk menjadi raja kadang-kadang diperlukan benda-benda pusaka sebagai sipat kandel, atau sebagai wadah untuk menerima wahyu keraton. Dengan memiliki pusaka-pusaka tertentu, orang menjadi kuat menerima wahyu. Tanpa pusaka itu, mungkin seseorang yang tidak kuat menerima wahyu keraton, malahan dapat menjadi gila. Misalnya, setelah ia menjadi raja, mempergunakan kekuasaannya sewenang-wenang, atau menghambur-hamburkan uang perbendaharaan, sehingga akhirnya ia jatuh dari jabatannya itu dengan berbagai cara. Nah, sekarang Anakmas Sawung Sariti sedang bersiap-siap untuk mendapatkan pusaka istana yang akan menjadi sipat kandel. Pusaka itu berupa dua keris yang maha sakti, yang bernama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Mendengar keterangan itu sesuatu terasa berdesir di dada Manahan, dan kemudian jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Juga Bagus Handaka terkejut sampai ia mengangkat mukanya. Untunglah bahwa Manahan masih dapat mengendalikan diri, sehingga perasaannya tidak berkesan pada wajahnya. Demikian juga Bagus Handaka, cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.

”Jadi kedatangan mereka kemari, adalah dalam usaha mereka menemukan pusaka pusaka itu,” sambung Wiradapa.

Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sikap yang bodoh ia bertanya, ”Adakah kedua keris itu di sini?”

Wiradapa menggelengkan kepala, jawabnya, ”Tak seorangpun diantara kami di sini yang pernah melihat keris-keris itu, bahkan mendengar namanya pun baru kali ini.”

Melihat cara mengatakannya, Manahan percaya bahwa Wiradapa telah berkata sebenarnya.

Karena itu ia menjadi kecewa, sebab ia mengharapkan setidak-tidaknya petunjuk di mana kira-kira kedua keris itu sekarang.

”Tetapi…” sambung Wiradapa, ”Di sebelah selatan, ada sebuah padepokan yang disebut orang Padepokan Karang Tumaritis atau disebut juga Karangdempel. Di sana tinggal seorang tua yang saleh. Yang suka menolong sesama. Bahkan ia terkenal dengan kepandaiannya mengobati segala macam penyakit. Ke sanalah Anakmas Sawung Sariti tadi pergi, menghadap orang tua yang menamakan dirinya Panembahan Ismoyo. Konon orang percaya bahwa orang tua itu titisan Dewa Ismoyo yang ditugaskan untuk menunggui pertapaannya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia meneruskan, Tetapi mudah-mudahan seandainya beliau tahu, janganlah beliau memberitahukan kepadanya.”

Kata-kata yang terakhir itu justru menyentuh perasaan Manahan serta meninggalkan kesan yang aneh. Kalau sampai orang seperti Wiradapa yang baik hati itu mengucapkan kata-kata yang demikian, pastilah ada sebabnya yang cukup penting. Dan tiba-tiba tanpa sadar ia bertanya, ”Kenapa demikian Tuan?”

Wiradapa tersadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu. Segera ia mencoba memperbaiki kesalahannya, katanya sambil tersenyum hambar, ”Eh, mudah-mudahan kepadakulah Panembahan Ismoyo kelak memberitahukan.”

Manahan sadar sesadar-sadarnya, bahwa Wiradapa ingin bergurau untuk menyembunyikan keterlanjurannya. Dan karena itu iapun segera menyesuaikan diri untuk menyenangkan hati Wiradapa.

Sambil tertawa-tawa Manahan menyahut, ”Kalau Tuan kelak mendapatkan pusaka-pusaka itu, serta kemudian menjadi raja, bukankah Tuan akan sudi mengambil kami berdua sebagai pekatik?”

Mendengar kata-kata Manahan, Wiradapa tertawa, lalu jawabnya, ”Bukankah kau mau berdoa untukku?”

”Tentu, Tuan…, tentu!” jawab Manahan.

Wiradapa menarik nafas panjang. Mendadak saja dahinya tampak berkerut, katanya perlahan-lahan, ”Aku tidak boleh mimpi demikian, asal desa ini dapat aku selamatkan dari noda, aku telah merasa senang.”

Sekali lagi perasaan Manahan tersentuh. Namun ia tidak bertanya apa-apa. Sehingga kemudian Wiradapa berdiri sambil berkata, ”Ah, lebih baik aku pergi dahulu Ki Sanak, untuk menengok sawah. Kalau Ki Sanak sudah lelah duduk-duduk di sini, pulanglah. Ki Sanak dapat beristirahat di rumah. Bukankah besok Ki Sanak akan mendapat pekerjaan penting?”

Karena itu pula maka Manahan teringat untuk menanyakan pekerjaan apakah kira-kira yang akan dilakukannya besok. ”Tuan…, apakah yang harus aku kerjakan besok?”

Wiradapa menggelengkan kepalanya, ”Entahlah. Dan setelah itu ia pun segera melangkah pergi.”

Dari percakapan pendek itu Manahan dapat mengambil banyak kesimpulan. Pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar di pedukuhan kecil dan sepi ini. Mungkin pula telah terjadi beberapa pertentangan pendapat diantara mereka.

Setelah Wiradapa agak jauh, berkatalah Manahan kepada Bagus Handaka, ”Handaka…, bukankah dengan permainan ini banyak yang dapat kita ketahui?”

Handaka mengangguk, dan sambil tersenyum ia menjawab, ”Permainan yang sulit, Bapak.”

Manahan tertawa mendengar jawaban Handaka, katanya melanjutkan, ”Semakin sulit permainan ini, semakin banyak hal yang kita dengar. Apalagi besok. Mungkin kita akan mendapat pekerjaan yang menyenangkan sekali.”

”Mudah-mudahan Bapak, mudah-mudahan bukan pekerjaan yang sulit,” jawab Handaka.

”Karena itu…” sahut Manahan, ”Marilah kita beristirahat untuk menyiapkan diri menghadapi pekerjaan kita besok.”

Handaka tidak menjawab, dan ketika kemudian Manahan berdiri dan melangkah, Handaka pun mengikutinya. Mereka dengan perlahan-lahan, tepat seperti dua orang pemalas, berjalan di sepanjang jalan yang membujur diantara persawahan, dimana tampak banyak orang laki-laki perempuan bekerja keras untuk makan mereka sehari-hari. Beberapa pasang mata memandang Manahan dan Handaka dengan pandangan yang aneh. Tetapi Handaka dan Manahan sama sekali tidak menghiraukan lagi. Pikiran mereka sedang dicengkam oleh pertanyaan yang melingkar di seputar hari besok. Apakah kira-kira yang harus dikerjakan.

Siang hari itu, Manahan dan Handaka duduk-duduk saja di dalam ruangan mereka. Hanya ketika matahari condong tanpa ada yang menyuruhnya, Handaka mengambil air untuk mengisi jeding dan padasan.Setelah sembahyang Isa, kembali mereka menyekap diri sambil bermain macanan.

Sesaat kemudian setelah malam semakin dalam, Manahan dan Handaka pun segera menutup pintu ruangnya. Mereka sama sekali tidak bernafsu untuk keluar. Dalam kesempatan yang demikian Handaka lebih senang belajar berbagai-bagai ilmu dari gurunya, yang mengajarinya membaca dan menulis pula. Kadang-kadang Handaka minta gurunya berceritera mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin akan sangat berguna kelak.

Demikian juga malam itu, Manahan menceriterakan berbagai hal dari lontar-lontar yang pernah dibacanya sehingga tidak terasa malam menjadi semakin jauh menukik ke pusatnya.

Tetapi tiba-tiba mereka terganggu oleh suara telapak-telapak kaki memasuki halaman. Kemudian terdengar suara memanggil dari halaman.

”Adi Wiradapa…, sudahkah Adi tidur?”

Kemudian terdengar jawaban dari dalam, ”Belum Kakang, marilah, silahkan.”

Agaknya Lurah pedukuhan itu dengan pengiringnya datang berkunjung. Setelah rombongan itu masuk dan dipersilahkan duduk, terdengarlah mereka bercakap-cakap. Mula-mula perlahan-lahan tetapi lama kelamaan menjadi semakin keras. Manahan dan Bagus Handaka segera ikut memperhatikan percakapan itu pula.

”Kakang Lurah….” Terdengar suara Wiradapa. ”Aku tidak akan turut mempertanggungjawabkan perbuatan terkutuk itu.”

”Adi Wiradapa…” jawab lurah itu, ”Sudah berpuluh tahun kita bekerja bersama-sama. Sekarang kenapa Adi mau mengubah naluri itu?”

”Aku hanya mau bekerja sewajarnya,” jawab Wiradapa.

”Tetapi dengan pekerjaan itu, kita akan mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi kaya raya,” sahut lurah pedukuhan itu.

”Hem….” Wiradapa menggeram, ”Aku tidak mau pedukuhan ini ternoda. Pedukuhan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita bina, sekarang akan kita korbankan untuk keperluan yang sesat.”

”Jangan berlagak seperti malaekat. Apakah kesalahan itu dapat ditimpakan kepada kita? Kalau aku mengajak Adi Wiradapa untuk turut serta dalam pekerjaan ini, adalah karena Adi Wiradapa akan banyak memperingan pekerjaan kami dan akan kami bagi hadiah yang kita terima bersama-sama. Sebab aku tidak ingin untuk mendapatkannya sendiri.”

”Aku tidak mimpi untuk menerima hadiah, Kakang,” potong Wiradapa.

”Hem, jangan menyesal kalau terjadi sesuatu. Aku telah menyiapkan orang-orangku sendiri. Tanpa Adi, pekerjaan ini akan selesai dengan baik. Tetapi jangan coba menghalangi aku.”

”Jangan menakut-nakuti aku dengan ancaman,” sahut Widarapa.

”Aku sudah mengenal Kakang Lurah, dan Kakang Lurah sudah lama pula mengenal aku.”

Lurah pedukuhan itu tidak menjawab, tetapi terdengar ia menggeram marah. Kemudian terdengar langkahnya pergi disusul oleh langkah menjauhi.

Percakapan itu sangat menarik perhatian Manahan dan Bagus Handaka. Tetapi sayang bahwa dari percakapan itu, tak ada yang menunjukkan tindakan apa yang akan dilakukan oleh lurah itu.

”Apakah yang akan mereka lakukan Bapak?” tanya Bagus Handaka berbisik.

Manahan menggelengkan kepala. ”Entahlah,” jawabnya.

”Adakah lurah itu akan menyerang Sawung Sariti?” tanya Handaka seterusnya.

”Pasti tidak,” jawab Manahan. ”Kalau demikian dari siapa lurah itu mengharapkan hadiah?”

Handaka mengangguk-angguk. Tetapi pikirannya menjadi bertambah kalut.

”Mungkin pekerjaan kita besok ada hubungannya dengan peristiwa ini,” kata Manahan kemudian.

”Ya, mungkin demikian Bapak,” sahut Handaka.

Setelah itu kembali mereka berdiam diri, mereka-reka dan menebak-nebak apakah yang kira-kira akan terjadi.

Dalam pada itu terdengarlah Wiradapa menutup pintu dan kemudian terdengar ia berkata kepada istrinya, ”Nyai, tidurlah di ruang belakang. Jangan pedulikan apa yang terjadi.”

”Ada apakah sebenarnya Kakang? Dan kenapa Kakang tidak mau bekerja sama dengan Kakang Lurah?” tanya istrinya.

”Tak ada apa-apa. Tetapi sekali lagi, jangan pedulikan apa yang terjadi,” jawab Wiradapa.

”Tetapi…?” Terdengar istrinya masih akan bertanya.

”Sudahlah Nyai,” potong suaminya, ”Tak ada apa-apa yang terjadi”.

Kemudian istri Wiradapa tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian terdengar ia pergi ke ruang belakang, dekat dengan ruang Manahan.Setelah itu terdengar gemerincing senjata. Agaknya Wiradapa bersiap-siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Manahan dan Handaka menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Begitu penting agaknya persoalan yang dihadapi oleh Wiradapa, sehingga ia terpaksa menyiapkan senjata, untuk menghadapi orang yang telah berpuluh tahun bekerja bersama-sama.

Kemudian kembali malam ditelan sepi. Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan angkup nangka bercuit-cuit. Tetapi dalam setiap dada orang-orang di dalam rumah itu, berdeburan dengan riuhnya, kekhawatiran kecemasan dan keinginan tahu tentang apa yang bakal terjadi.

Sampai tengah malam, kesepian malam berjalan tanpa terganggu. Manahan dan Handaka sudah berbaring di pembaringan mereka. Namun mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun mereka tidak berjanji, namun di dalam hati mereka masing-masing tersimpan suatu keinginan untuk membantu Wiradapa kalau kemudian terjadi sesuatu, apabila dianggap perlu. Dengan diam-diam Manahan meraba-raba dinding. Kalau terpaksa dinding kayu dan bambu itu harus dijebolnya untuk dapat dengan segera sampai di ruang dalam.

Baru ketika tengah malam itu telah lewat, terjadilah sesuatu. Beberapa orang terdengar hilir-mudik di halaman, bahkan beberapa diantaranya telah berada di halaman belakang.

Hati Manahan dan Handaka kemudian berdebar-debar pula. Karena itu, meskipun mereka masih tetap berbaring, tetapi siap untuk melakukan setiap gerakan yang perlu. Apalagi ketika dengan telinga yang tajam mereka mendengar ada nafas orang dekat di muka pintu ruang, malahan mereka melihat pula dinding ruang itu bergerak-gerak. Pastilah bahwa ada orang yang sedang mengintip. Namun demikian mereka masih tetap berbaring, sehingga tidak menimbulkan suatu kecurigaan.

Tetapi sampai beberapa lama, mereka sama sekali tak mengalami sesuatu. Meskipun langkah-langkah di halaman masih saja terdengar, namun agaknya mereka, yang hilir-mudik itu tak berbuat lain kecuali berjalan kesana-kemari. Sehingga dengan demikian Manahan menduga bahwa orang-orang itu hanyalah ditugaskan untuk mengawasi Wiradapa. Sedang Wiradapa agaknya tidak mau membuat perkara. Ia masih tetap di dalam rumahnya, meskipun masih juga kadang-kadang terdengar suara senjatanya yang agaknya tak lepas dari tangannya. Dengan demikian rumah itu diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tidak mencemaskan keadaan mereka, karena mereka merasa cukup mampu untuk menjaga diri. Tetapi mereka menjadi tegang pula, karena teka-teki yang mengetuk-ngetuk perasaan mereka terus-menerus sejak siang tadi. Mereka ingin teka-teki itu segera terpecahkan.

Tetapi ketika malam sudah semakin dalam, terdengarlah hiruk-pikuk di kejauhan.

Segera Manahan dan Bagus Handaka bangkit untuk memperhatikan suara-suara itu, yang semakin lama terdengar semakin riuh. Dengan pengetahuannya yang tinggi, Manahan segera mengetahui bahwa keributan itu adalah keributan pertempuran. Tetapi ia tidak dapat menebak pihak-pihak manakah yang sedang bertempur itu. Mungkin pihak penduduk pedukuhan itu di bawah pimpinan lurah mereka sedang menyerang Sawung Sariti dengan para pengikutnya. Kalau demikian, maka besar kemungkinannya laskar Gedangan akan dimusnahkan. Tetapi kalau demikian halnya, lalu siapakah yang berdiri di belakang lurah Gedangan itu, yang menjanjikan hadiah besar?

Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar Wiradapa menggeram, lalu berteriak, ”Siapakah di luar…?”

Terdengar suara tertawa pendek. Kemudian jawabnya, ”Kau tak perlu mengenal aku, Wiradapa.”

”Baik, aku tak perlu mengenal kau,” sahut Wiradapa. ”Tapi hentikan pengkhianatan itu.”

Manahan dan Bagus Handaka berdebar-debar dan cemas mendengar percakapan itu, tetapi juga terkejut. Ternyata yang berada di halaman bukanlah laskar Gedangan. Dan karena kekalutan itu Manahan dan Bagus Handaka menjadi ragu-ragu untuk berpihak.

”Kalau kalian tak mau menghentikan pengkhianatan itu, aku yang akan berbuat,” terdengar kembali Wiradapa berteriak. Dan kembali terdengar tawa menyeramkan di halaman. ”Kau jangan berlagak Wiradapa. Seandainya kau memiliki kesaktian sekalipun kau tak akan memenangkan kami berenam. Karena itu, tetaplah kau di rumahmu sampai ada keputusan hukuman apa yang harus kau jalani besok.”

”Gila…!” potong Wiradapa. ”Kau kira aku sebangsa cacing yang tak mampu berbuat apa-apa. Cobalah kalian, meskipun berenam memasuki rumahku ini. Jangan harap dapat keluar lagi dengan selamat.”

”Luar biasa,” teriak orang lain dari halaman. ”Sayang kami tak mendapat perintah untuk memasukinya.”

Wiradapa tidak menjawab. Tetapi ia menggeram penuh kemarahan. Kemudian terdengar langkahnya hilir-mudik di dalam rumahnya.

Kegelisahan di rumah itu tidak saja mencengkam hati Wiradapa, tetapi juga merayap-rayap di kepala Manahan dan Bagus Handaka. Sehingga tanpa disengaja Manahanpun kemudian bangkit dan berjalan pula hilir mudik di dalam ruangan, sedang Bagus Handaka menjadi asik bermain-main dengan ujung tombaknya yang keramat, Kyai Bancak.

Ternyata pertempuran yang hiruk pikuk itu tak berlangsung lama. Sesaat kemudian suara itu telah lenyap. Tetapi justru karena itu Manahan jadi curiga. Ia mendapat firasat bahwa ada suatu permainan yang kotor di balik segala peristiwa ini. Ia kemudian teringat akan kelicikan Lembu Sora. Tidaklah mustahil bahwa anaknya pun akan berbuat demikian.

Belum lagi Manahan mendapat suatu perkiraan apa-apa, terdengarlah beberapa ekor kuda berderap memasuki halaman, langsung mengepung rumah. Lamat-lamat terdengar suara Wiradapa marah. Geramnya, ”Setan. Orang itu benar-benar cari perkara.”

Kemudian disusul sebuah teriakan di halaman, ”Masih adakah tikus itu di dalam?

”Masih, Tuan,” jawab yang lain dari halaman pula.

”Bagus, ia harus bertanggungjawab atas peristiwa itu,” sahut yang tadi.

Lalu terdengarlah beberapa orang berloncatan turun, disusul oleh ketukan pada pintu rumah Wiradapa. ”He, Wiradapa. Bukalah pintu”

”Siapakah kau?” teriak Wiradapa dari dalam.

”Apa pedulimu. Tak ada kesempatan untuk bermanis-manis dan sapa-menyapa. Buka pintu dan ikuti aku menghadap Anakmas Sawung Sariti,” jawab yang di luar.

”Aku bukan pegawainya. Buat apa aku menghadap?” sahut Wiradapa dengan beraninya.

Mendengar jawaban itu Manahan dan Bagus Handaka saling berpandangan. Agaknya Wiradapa tidak berdiri di pihak Sawung Sariti. Tiba-tiba perasaan mereka jadi lega. Kalau sampai mereka terpaksa melibatkan diri, mereka tidak perlu segan-segan. Sebab mereka itu pasti tidak akan membantu anak Lembu Sora itu.

Sementara itu terdengarlah beberapa orang tertawa berderai. Dan kembali terdengar seseorang berkata, ”Kau terlalu sombong Wiradapa, apakah kau kira pintu rumahmu berlapis baja? Dan kau sendiri bertulang besi, sehingga berani membantah perintah ini?”

”Aku kira kau juga belum bertulang besi,” jawab Wiradapa dengan beraninya. ”Karena itu buat apa aku takut? Cobalah pecahkan pintu. Aku ingin melihat kalau kau berani.”

Agaknya yang di luar pun jadi ragu. Terdengarlah ia mengumpat dan kemudian berkata, Wiradapa, “kalau kau jantan, keluarlah.”

Sekarang terdengar suara Wiradapa menghina, “Jangan bicara tentang kejantanan. Kalau kau datang sendiri sebagai jantan sejati, akan aku sambut di halaman dengan penuh kejantanan.”

Kembali terdengar orang itu mengumpat-umpat. Kemudian berkatalah ia kepada anak buahnya, “Biarlah ia hidup sampai esok pagi. Jagalah jangan sampai lolos. Juga orang-orang malas yang tidur di ruang belakang. Ada kerja buat mereka esok.”

”Baik Kakang,” jawab yang lain.

Setelah itu terdengar derap kuda menjauh.

Tetapi tidak beberapa lama kemudian terdengar derap itu mendekat kembali. Bahkan lebih banyak lagi. Ketika kuda itu telah berhenti di halaman, terdengar suara yang sudah dikenal oleh Manahan dan Bagus Handaka. Yaitu suara Sawung Sariti. ”Wiradapa, kau benar-benar tidak mau keluar? Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau mengkhianati kami, sehingga beberapa orang kami jadi korban.”

”Jangan coba putar-balikkan keadaan,” bantah Wiradapa dari dalam.

”Bagus, kalau kau tak mau keluar, aku suruh bakar rumahmu ini,” ancam Sawung Sariti, maka musnahlah Wiradapa sekeluarga.

“Gila!” teriak Wiradapa, “begitukah cara putra kepala daerah perdikan yang besar memaksakan kehendaknya kepada orang lain?”

Terdengar Sawung Sariti tertawa dengan nada yang tinggi. Kemudian katanya, ”Aku tidak perduli. Keluarlah. Rumah dan keluargamu akan selamat. Mungkin kau juga akan selamat kalau ternyata kau tak bersalah. Juga suruh orang-orang malas peliharaanmu itu pergi bersama kau. Ada pekerjaan untuknya.”

Kemudian suasana dicengkam oleh kesepian. Bagus Handaka memandang Manahan dengan penuh pertanyaan. Hal itu diketahui oleh Manahan, sehingga terdengar ia berbisik, ”Kita ikuti mereka Handaka, Jaga dirimu baik-baik. Agaknya pada suatu saat kita harus bertindak”

Handaka mengangguk, ketika bersamaan dengan itu terdengar langkah menuju ke ruangan itu. Sesaat kemudian terdengar orang membentak-bentak, ”Ayo keluar! Keluar…!”

Sekali lagi Handaka memandang wajah Manahan yang tetap tenang, seperti air di telaga yang dilindungi oleh gunung-gunung dari gangguan angin. Ketika Manahan menganggukkan kepalanya, Handakapun berdiri, lalu bersama-sama melangkah ke arah pintu. Demikian pintu terbuka, menyerbulah beberapa orang masuk. Manahan dan Handaka segera didorong keluar dengan bentakan-bentakan yang kasar.

Di luar, gelap malam masih membalut seluruh pedukuhan kecil yang sepi itu. Namun saat itu digemparkan oleh kedatangan tamu-tamu dari Banyubiru yang agaknya membuat keributan.

Kemudian mereka digiring ke halaman depan, dan di sana ternyata Wiradapa pun terpaksa keluar rumah pula. Ia masih memperhitungkan keselamatan keluarganya, sehingga ketika rumahnya diancam akan dibakar, terpaksa ia mengambil keputusan lain.

Dengan dikawal kuat, mereka bertiga segera dibawa ke kalurahan. Sawung Sariti, dengan naik kuda, berlari mendahului.

Sampai di pendapa kelurahan, Manahan melihat beberapa orang bersenjata siap berjaga-jaga. Nampaknya mereka adalah gabungan dari laskar pedukuhan itu bersama-sama dengan Laskar Pamingit. Sedang diantara mereka tidak tampak seorang pun dari Banyubiru. Manahan yang tajam pandangannya, segera memperhitungkan keadaan itu.

Wiradapa kemudian sebagai seorang pesakitan dihadapkan kepada Sawung Sariti yang duduk di samping lurah pedukuhan itu.

”Wiradapa…” kata Sawung Sariti dengan lagak seorang hakim. ”Sadarkah kau akan segala perbuatanmu?”

Wiradapa memandang Sawung Sariti dengan penuh kebencian. Jawabnya, ”Aku berbuat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk kebaikan nama pedukuhan yang telah aku bina berpuluh tahun.”

”Tutup mulutmu!” bentak Sawung Sariti, ”Jangan coba berkata yang bukan-bukan. Aku bertanya dan minta pertanggungjawabanmu atas kematian orangku yang paling baik. Bukankah kau telah membuat gerombolan untuk merampok kami?

Wiradapa menggeram marah. Jawabnya, ”Setan pun tak akan percaya ocehanmu”

Sawung Sariti menjadi marah sekali. Dengan nada yang tinggi ia berkata hampir menjerit, ”Widarapa. Kau telah menghina rombongan kami. Apakah kau kira bahwa kami tak mampu bertindak? Dengarlah baik-baik. Rombongan kami dengan kekuatan cukup akan dapat memusnahkan seluruh pedukuhan ini. Tetapi kami tidak akan berbuat demikian. Kami tahu bahwa tidak seluruh penduduk ini bersalah, ternyata bahkan ada beberapa orang yang membantu kami. Dan aku akan berterima kasih kepada mereka itu. Sekarang katakan kepada kami siapakah yang turut dalam penyerbuan itu. Atau batangkali kau minta bantuan kepada salah satu gerombolan di sekitar daerah ini? Malahan mungkin dua orang yang kau sebut perantau malas itu adalah anggota gerombolan pula”

Mata Wiradapa menjadi menyala-nyala. Dengan gigi gemeretak ia menyahut, ”Jangan banyak bicara. Apakah sebenarnya maksudmu? Membunuh aku atas permintaan lurah pengecut itu, supaya aku tidak selalu membayanginya? Aku menolak turut dalam permainan gila-gilaan itu, tetapi agaknya lurah yang tamak itu takut aku membuka rahasia.”

”Diam!” bentak lurah yang sejak tadi berdiam diri.

”Kau mau menyeret orang lain masuk ke jurang yang telah kau gali sendiri?”

Wiradapa tertawa rendah, ”Pengecut!”

”Kau pengecut,” sahut Sawung Sariti. ”Nah rakyat Gedangan…. Pedukuhanmu telah dinodai oleh Wiradapa. Untunglah bahwa aku tidak memusnahkan kalian. Tetapi aku menuntut kesetiaan kalian pada pedukuhanmu ini. Apakah yang dapat kau lakukan untuk membuktikan itu? Sedang sekarang di hadapanmu berdiri seorang pengkhianat.”

Akibat kata-kata Sawung Sariti itu dalam sekali. Segera, semua mata orang yang hadir di pendapa tertuju kepada Wiradapa. Wajah-wajah itu kemudian menjadi semakin tegang, semakin tegang, disusul kata-kata lurah mereka, ”Atas nama pimpinanmu, bertindaklah.”

Kata-kata itu merupakan aba-aba yang serentak menggerakkan orang-orang Gedangan yang berdiri di pendapa itu. Segera mereka melangkah maju dengan senjata di tangan siap untuk membunuh Wiradapa.

Manahan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Segera ia teringat bagaimana ia sendiri pernah mengalami fitnah yang dituduhkan oleh Lembu Sora di Banyubiru. Untunglah pada saat itu Gajah Sora sempat mencegahnya. Tetapi kali ini, pimpinan mereka justru berdiri di pihak Sawung Sariti. Maka segera ia menggamit Bagus Handaka yang segera dapat menanggapi.

Maka berbisiklah Manahan, ”Handaka, kita bebaskan Wiradapa. Tetapi aku tetap ingin mengetahui siapakah yang terbunuh diantara rombongan Sawung Sariti. Karena itu marilah kita menarik perhatian mereka dengan melarikan diri. Tetapi ingat, kita harus tertangkap.”

”Lalu apakah mereka tidak akan membunuh kita?” tanya Handaka.

”Tidak, sebab ada sesuatu yang harus kita lakukan. Mungkin sesuatu yang sangat rahasia. Baru sesudah itu kita akan dibunuh,” jawab Manahan.

Bagus Handaka menarik nafas. Tugas itu sebenarnya sangat berat dan berbahaya. Manahan dapat membaca perasaan Handaka itu, namun ia hanya tersenyum.

Ketika orang-orang di pendapa sudah semakin ribut, tiba-tiba meloncatlah Manahan melarikan diri diikuti oleh Bagus Handaka. Tetapi mereka sama sekali tidak berusaha untuk bersembunyi. Dengan ketolol-tololan mereka berlari sepanjang jalan pedukuhan.

Melihat Manahan dan Bagus Handaka lari, beberapa orang berteriak-teriak memanggil, dan beberapa orang yang cepat berpikir segera mengejarnya. Perhatian seluruh isi pendapa kemudian terpusat kepada Manahan dan anaknya yang sedang berusaha melarikan diri.

”Tangkap mereka…” teriak Sawung Sariti.

Tetapi agaknya ia tidak begitu percaya kepada anak buahnya, sehingga ia sendiri kemudian melompat dengan tangkasnya, dan seperti anak panah ia terbang mendahului orang-orang yang telah lebih dahulu mengejar Manahan dan Handaka.

Manahan dan Handaka yang memang tidak benar-benar akan melarikan diri, sengaja memperlambat langkah mereka, setelah cukup jarak yang mereka tempuh untuk memberi kesempatan kepada Wiradapa melenyapkan dirinya. Tetapi telinga Manahan segera menangkap langkah yang sangat cekatan menyusulnya. Dengan agak terkejut Manahan menoleh. Dan dengan kagum ia melihat Sawung Sariti menghambur ke arahnya.

”Berhenti!” teriak anak muda itu.

Manahan dan Bagus Handaka masih berpura-pura lari. Namun dalam hati Manahan dihinggapi oleh suatu pertanyaan baru. Alangkah hebatnya anak itu. Menilik gerak serta langkahnya, agaknya Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Sebentar kemudian anak muda itu telah dapat menyusul Manahan. Tangannya segera menyambar baju perantau yang malang itu, sedang tangannya yang lain terayun deras ke arah rahang Manahan. Manahan sama sekali tidak berusaha mengelak ketika sebuah pukulan yang keras mengenainya. Dengan keras ia terlontar ke belakang dan akhirnya ia jatuh berguling-guling sambil berteriak-teriak, ”Ampun Tuan Muda…, ampun.” Tetapi dalam pada itu ia dapat mengukur sampai dimana kekuatan Sawung Sariti, yang benar-benar membuatnya heran. Tenaga anak muda itu benar-benar mengagumkan. Untunglah bahwa yang dikenainya adalah Manahan. Kalau saja Manahan benar-benar seorang perantau, maka Sawung Sariti telah membuat suatu kesalahan, sebab kepala perantau itu pasti akan retak dibuatnya. Sesaat ia telah mencoba-coba membanding-bandingkan anak itu dengan Bagus Handaka. Apakah Bagus Handaka juga memiliki kekuatan sebesar itu? Namun agaknya ia tidak perlu mencemaskan muridnya, meskipun ia belum yakin benar bahwa Handaka dapat melebihi kekuatan Sawung Sariti.

”Kau mencoba untuk melarikan diri he…?” Kemudian terdengar Sawung Sariti membentak-bentak marah. Sementara itu orang-orang yang lain berdatangan pula.

”Tidak Tuan Muda, tidak,” rintih Manahan, sedang Bagus Handaka berdiri tidak jauh darinya dengan gigi yang terkatub rapat.

”Apa kau bilang?” teriak Sawung Sariti. ”Dengan berbuat begitu kau masih ingkar bahwa kau akan melarikan diri?”

”Tidak Tuan Muda, aku tidak akan melarikan diri. Tetapi aku takut,” jawab Manahan.

”Takut? Apa yang kau takutkan?” potong anak muda itu.

”Aku takut melihat pembunuhan,” sambung Manahan dengan suara gemetar.

Tanya jawab itu kemudian terhenti ketika kemudian datang pula beberapa orang berlari-lari.

”Ada apa kalian menyusul?” tanya Sawung Sariti marah.

”Wiradapa melarikan diri, Tuan,” jawab orang itu.

”He, apa kau bilang?” Mata Sawung Sariti kem”udian menyala-nyala, dengan suara yang gemetar ia meneruskan, Kau bilang Wiradapa melarikan diri?”

”Ya, Tuan,” jawab orang itu ketakutan.

Tiba-tiba semuanya dikejutkan oleh gerakan Sawung Sariti yang hampir tak terlihat kecepatannya, disusul oleh teriakan ngeri. Orang yang berdiri di hadapannya itu terlempar beberapa langkah dan kemudian terjatuh sambil mengerang kesakitan.

”Setan…!” gerutunya. ”Apakah yang kalian kerjakan…? Dan buat apa aku mengupah kalian? Menjaga seekor tikus sakit-sakitan saja kalian tidak mampu. Ayo cari sampai ketemu. Kalau tidak, kalian jadi gantinya.”

Beberapa orang berdiri bingung, sampai terdengar Sawung Sariti berteriak,” Pergi, pergi monyet…!” Dan bubarlah orang-orang itu berlari bertebaran untuk mencari Wiradapa.

Setelah orang-orang itu pergi, Sawung Sariti memandang Manahan dan Handaka dengan geramnya. Dengan menahan kemarahan ia berdesis, ”Orang-orang gila inilah yang telah merusak rencanaku.” Kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, ”Bawa mereka kembali ke kelurahan.”

Beberapa orang segera bergerak menangkap tangan Manahan dan Handaka. Dengan kasarnya mereka didorong-dorong, bahkan kadang-kadang ditendang-tendang untuk pergi kembali ke pendapa kelurahan.

———-oOo———-

II

Sampai di pendapa kalurahan, Sawung Sariti membentak-bentak tak habis-habisnya. Beberapa buah tempat duduk dibanting-bantingnya hingga pecah berderak-derak. Semuanya memandang anak muda yang perkasa itu dengan ketakutan. Tetapi diantara segenap mata yang kecemasan itu, memancarlah keriangan di mata Bagus Handaka. Ia melihat kegesitan sikap Sawung Sariti. Dengan demikian ia menjadi gembira. Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan yang baik.

”Bapak…” bisik Handaka perlahan-lahan, ”Anak muda itu hebat sekali. Mudah-mudahan aku mendapat kawan berlatih yang cukup baik.”

Mendengar bisik muridnya, Manahan tersenyum, namun ditahannya.  Hati-hati, ”Hati-hatilah. Agaknya ia pun memiliki ilmu yang cukup.”

Handaka masih akan berkata lagi, tetapi tidak jadi, karena terdengar Sawung Sariti berteriak, ”Paman Lurah Gedangan. Aku tidak mau rencanaku gagal sama sekali. Karena itu pekerjaan pemalas-pemalas itu tidak dapat ditunda sampai besok.”

Lurah Gedangan yang ketakutan pula segera menjawab, ”Terserah Tuan.”

”Perintahkan pada orang-orang itu semua untuk berjaga-jaga di luar. Besok mereka harus mengubur orang-orangku yang gugur. Tak seorang pun boleh meninggalkan pendapa,” perintah Sawung Sariti lantang.

 Segera Lurah Gedangan itu menirukan perintah Sawung Sariti, bahkan sampai pada kata-katanya pun ia tidak berani mengubahnya.

”He Manahan dan Handaka…” Terdengar Sawung Sariti memanggil. ”Aku mempunyai pekerjaan untukmu berdua. Aku tidak bisa menunggu sampai besok karena kau telah mencoba melarikan diri.”

Manahan dan Handaka pun segera berdiri sambil mengangguk hormat. Jawab Manahan, ”Apapun yang diperintahkan kepada kami, selama kami mampu melakukannya, pasti akan kami junjung tinggi.”

”Diam!” bentak Sawung Sariti. ”Mau atau tidak mau bukanlah urusanku. Tetapi pekerjaan itu harus kau selesaikan. Mari ikuti aku.”

Manahan jadi ragu sebentar, tetapi kemudian segera ia naik ke pendapa diikuti oleh Handaka.

Tetapi langkah mereka terhenti ketika terjadi ribut-ribut di luar. Ketika mereka menoleh, tampaklah Wiradapa digiring ke pendapa. Dari pelipisnya mengalir darah segar. Sedang dua tiga orang yang menangkapnya menderita luka-luka pula. Agaknya Wiradapa telah melawan dengan gagah berani.

”Monyet itu tertangkap pula,” teriak Sawung Sariti.

”Ya, Tuan Muda,” jawab salah seorang diantaranya dengan bangga.

”Bagus…. Nah, kau akan aku ikutsertakan dengan para pemalas sahabat-sahabatmu ini. Ayo ikuti aku,” perintahnya pula kepada Wiradapa.

Kemudian beberapa orang mendorong Wiradapa dengan kuatnya sehingga hampir saja ia tertelungkup.

”Kalau kau tidak mencoba lari, hidupmu masih mungkin aku pertimbangkan,” gerutu Sawung Sariti.

Kemudian Manahan, Handaka dan Wiradapa segera dibawa masuk oleh Sawung Sariti dengan hanya diikuti oleh lurah Gedangan dan pengawalnya. Sampai di ruang dalam, mereka melihat tiga sosok mayat terbujur di lantai. Sambil menyeringai Sawung Sariti berkata, ”Lihat tiga diantara para korbanmu.”

Wiradapa tidak menjawab, hanya wajahnya yang menegang.

Jangan berbuat tolol” bentak Sawung Sariti, ”Dengan sekali pukul aku sanggup memecahkan kepala kalian bertiga.”

Setelah berkata demikian, Sawung Sariti membawa ketiga orang tawanan itu ke ruang yang lain. Mereka jadi terkejut pula ketika samar-samar di bawah sinar lampu mereka melihat pula sesosok tubuh terbaring diam.

”Itulah pekerjaan kalian,” katanya. ”Kalian harus membawa mayat itu ke tempat yang akan ditunjukkan oleh Pak Lurah.”

Wiradapa memandang lurahnya dengan mata yang memancarkan perasaan dendam tiada taranya. Sehingga dari mulutnya meluncurlah umpatan yang kasar, ”Kakang Lurah, kelakuanmu lebih rendah dari anjing. Dan sekarang kau mau mencuci bekas-bekasnya dengan melenyapkan aku.”

Wiradapa terpental menubruk dinding. Meskipun Sawung Sariti tidak mengerahkan segenap kekuatannya, namun telah cukup menjadikan mata Wiradapa berkunang-kunang. Tetapi Manahan kagum akan ketetapan hatinya. Meskipun dengan susah payah ia bangkit namun wajahnya masih memancarkan dendam dan kebencian. Ia sama sekali tidak takut menghadapi segala macam bencana yang akan dialami.

Melihat sikap Wiradapa yang demikian, Sawung Sariti menjadi semakin marah, katanya, ”Wiradapa, lebih baik kau mempergunakan saat terakhirmu sebaik-baiknya. Atas kemurahan hatiku, sesudah kau bertiga mengubur mayat itu, kalian boleh memilih cara yang kau anggap baik untuk membunuh kalian, dengan demikian kalian tidak akan membuka rahasia tempat pemakaman nanti.”

Mendengar kata-kata itu, hati Manahan berdesir hebat. Inilah agaknya permainan yang dilakukan oleh Sawung Sariti. Sampai sekian, beberapa hal telah dapat diduga oleh Manahan. Agaknya Sawung Sariti telah bersekutu dengan lurah Gedangan. Lurah itu harus berhubungan dengan orang-orang yang harus menyerang mereka. Beberapa korban harus jatuh, dan diantaranya terdapat seorang yang penting. Orang itu pasti merupakan bayangan yang menakutkan bagi Sawung Sariti, sehingga harus disingkirkan dengan tidak meninggalkan kesan. Sampai kuburannya pun harus dirahasiakan pula. Kalau kemudian ternyata diketahui, bahwa orang itu terbunuh, Sawung Sariti pun dapat cuci tangan. Pembunuhan itu dilakukan oleh gerombolan perampok yang akan merampok rombongan mereka, dan mayatnya tidak diketahui. Tetapi apabila mungkin orang itu hanya akan dinyatakan hilang, pergi tidak pamit dan sebagainya.

Dalam kesibukannya Manahan dikejutkan oleh bentakan Sawung Sariti, ”Ayo cepat, apa yang kalian tunggu lagi? Kalau kalian sampai berbuat aneh-aneh, maka akulah yang akan menentukan jalan kematian yang harus kau tempuh. Aku dapat berbuat apa saja yang mungkin tidak kalian duga-duga.”

Agaknya Wiradapa berkeberatan dengan persetujuan itu. Ia lebih baik mati di tempat daripada harus menurut perintah gila-gilaan itu. Tetapi Manahan yang mula-mula melangkah maju disusul oleh Handaka. Wiradapa memandang Manahan dan Handaka dengan mata yang kecewa dan menghina.

”Kalian mau melakukan perbuatan itu. Pengecut. Matilah sebagai seorang jantan…” 

Sekali lagi kata Wiradapa terputus oleh sebuah pukulan yang keras. Tetapi kali ini ia mengelak. Bahkan ia membalas menyerang pula. Kembali Manahan kagum melihat kejantanan orang itu, meskipun ia yakin bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya.

Dan itu ternyata dalam beberapa saat yang pendek saja. Dengan cepatnya Sawung Sariti berhasil menangkap tangan Wiradapa, dan sekali putar Wiradapa sudah tidak berdaya lagi.

”Orang gila!” geram Sawung Sariti, dan kemudian katanya kepada Manahan, ”Kau akan mendapat pekerjaan baru nanti. Mengubur orang ini hidup-hidup.”

Hati Manahan dan Handaka terlonjak mendengar perintah itu. Namun hal itu lebih baik. Sebab dengan demikian ada kesempatan baginya untuk menolong orang itu.

 Kemudian justru Manahan dan Handaka yang tidak sabar lagi. Segera ia ingin mengetahui siapakah yang terbaring di hadapannya itu. Maka ketika ia sudah berdiri di samping mayat itu, cepat tangannya bergerak menarik kerudungnya.

”He…” teriak Sawung Sariti terkejut. ”Apa yang kau lakukan itu…? Apakah kau juga ingin mendapat hukuman yang sama dengan orang ini?”

Tetapi Manahan sama sekali tak mempedulikan teriakan Sawung Sariti itu, sehingga akhirnya terbukalah kerudung mayat itu. Dengan demikian, di bawah sinar lampu yang samar-samar, yang seolah ikut serta berduka atas kematian beberapa orang yang tak berdosa, Manahan dan Handaka dapat melihat siapakah yang terbaring tak bergerak di hadapannya dengan wajah putih pucat serta membayangkan ketulusan hatinya. Melihat wajah yang pucat itu Manahan dan Bagus Handaka terlonjak. Hatinya bergelora seperti akan memecahkan dadanya, sehingga kemudian tubuhnya menggigil hebat.

Sementara itu terdengarlah Sawung Sariti menghardik penuh kemarahan, ”He, pemalas-pemalas yang tak tahu diri. Apa urusanmu dengan mayat itu, sehingga kau berani membuka kerudungnya? Ingat, bahwa aku dapat membunuhmu dengan cara yang lebih hebat daripada dikubur hidup-hidup.”

Tetapi Manahan dan Bagus Handaka tidak mendengar suara itu. Mereka sedang berjuang untuk menguasai perasaannya. Namun agaknya Bagus Handaka sudah tidak kuasa lagi menahan dirinya. Seperti kilat ia meloncat dan sekejap kemudian ia sudah berdiri di hadapan Sawung Sariti. Sawung Sariti, Lurah Gedangan, Wiradapa dan dua orang pengawal Sawung Sariti terkejut melihat gerakan itu. Apalagi ketika dengan gigi gemeretak Handaka berteriak nyaring, ”Sawung Sariti, kau benar-benar biadab. Apakah keuntunganmu dengan membunuh Paman Sawungrana? Mungkin kau takut bahwa pada suatu ketika orang mengetahui bahwa kau sama sekali tak berhak mengaku diri putra kepala tanah perdikan Banyubiru. Karena itu kau menganggap perlu untuk menyingkirkan orang yang paling ”mengetahui keadaan yang sebenarnya.’

Karena terkejut, untuk beberapa lama Sawung Sariti berdiri seperti patung. Tetapi kemudian tiba-tiba dengan tidak berkata apapun, ia langsung menyerang Handaka dengan hebatnya. Tangannya dengan keras mengarah ke rahang, sedang tangannya yang lain menyambar leher. Ia bermaksud melumpuhkan lawannya dengan sekali gerak. Tetapi ternyata anak perantau malas yang berdiri di hadapannya itu benar-benar telah membingungkan benaknya. Dengan gerak yang tangkas Handaka menggeser tubuhnya sehingga serangan Sawung Sariti tidak mengenai sasarannya.

Kembali Sawung Sariti terpaku. Tetapi hanya sesaat. Ia sadar bahwa ia harus menyelamatkan dirinya ketika Handaka membalas menyerangnya. Sehingga sekejap kemudian terjadilah pertempuran diantara kedua anak muda itu. Namun sampai sekian Sawung Sariti masih sangat merendahkan lawannya. Ketika para pengawalnya akan bertindak, ia berteriak dengan sombongnya, ”Biarkan anak yang sombong itu mengenal aku dengan baik. Jangan diganggu.

Maka berlangsunglah kemudian perkelahian yang sengit. Karena Sawung Sariti bertempur seorang diri, Manahan pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui sampai di mana perbandingan ilmu yang dimiliki oleh kedua anak muda itu.

Beberapa saat kemudian, Sawung Sariti segera diganggu oleh kerisauan hatinya. Karena sama sekali ia tidak menduga bahwa anak perantau malas itu mampu melawannya sampai beberapa lama. Karena itu semakin mendidihlah darahnya. Timbullah berbagai dugaan mengenai anak itu. Sehingga sambil bertempur berteriaklah ia, ”Hei anak gila, apakah kau belum pernah mendengar nama Sawung Sariti dengan baik? Atau barangkali kau baru sekarat. Nah katakan kepadaku siapakah sebenarnya kau ini. Mungkin benar dugaanku bahwa kau adalah salah seorang dari gerombolan perampok, menilik ketangkasanmu. Tetapi jangan mimpi dapat meluputkan diri dari hukumanku atas kelancanganmu ini.”

Bagus Handaka memberi kesempatan Sawung Sariti sampai habis berbicara, tetapi setelah itu seperti angin ribut ia menyerang dengan dahsyatnya. Sekali lagi Sawung Sariti terkejut. Dengan agak sibuk ia berusaha membebaskan dirinya. Untunglah bahwa ia pun memiliki kepandaian yang cukup sehingga dengan suatu gerakan melingkar dan meloncat ia dapat menghindari serangan Bagus Handaka. Kemudian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sedang Sawung Sariti menjadi semakin heran pula melihat tandang lawannya.

Tetapi Manahan yang menyaksikan pertempuran itu tidak pula kalah herannya. Ia melihat Sawung Sariti dapat mengimbangi muridnya. Ia tahu pasti bahwa seandainya ilmu yang diterimanya khusus dari ayahnya, maka mustahil bahwa dalam waktu yang singkat itu Sawung Sariti telah memiliki ilmu yang sedemikian tinggi. Akhirnya Manahan sampai pada suatu kesimpulan yang sangat menggelisahkan, bahkan menyedihkan hatinya. Ia menduga bahwa sepeninggalnya, Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke Banyubiru, dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi menilik Sawung Sariti masih mencarinya, maka kemungkinan besar kedua keris itu masih belum diketemukan. Tetapi agaknya orang tua itu telah menerima keterangan yang salah tentang daerah perdikan itu.

Dengan licinnya Lembu Sora pasti membujuknya, sehingga orang tua itu percaya pada kisah yang disusunnya. Maka karena tidak ada keturunan lain yang dapat diharap meneruskan dan mewarisi ilmunya, maka Sawung Sariti telah menerima langsung pelajaran dari orang tua itu.

Pertempuran itu berlangsung semakin lama semakin dahsyat. Sedang hati Manahan semakin gelisah pula. Sebab ia melihat pertarungan antara hidup dan mati dari cabang perguruan Ki Ageng Sora Dipayana. Dua orang sahabat yang pada masa-masa yang silam selalu bekerja bersama untuk kesejahteraan umat manusia. Tetapi pada saat itu, ia tidak mampu berbuat apa-apa.Manahan sama sekali tidak dapat melerainya, karena apa yang dilakukan oleh Sawung Sariti telah jauh menyimpang dari sifat keutamaan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana. Sedang agaknya Kyai Ageng Sora Dipayana telah bekerja mati-matian menurunkan ilmu itu kepadanya. Ternyata dengan ketangkasan dan keperkasaan Sawung Sariti, yang dengan tangkasnya, bertempur melawan Bagus Handaka. Untunglah bahwa Bagus Handaka pernah mengalami kemajuan yang pesat sekali, selama enam malam di pantai Tegal Arang. Dimana seorang yang berilmu mumpuni berpura-pura menyerangnya setiap malam berturut-turut. Kalau seandainya Bagus Handaka hanya melulu menerima pelajaran darinya tanpa suatu loncatan, maka bagaimana bisa muridnya itu mampu melawan murid Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi ternyata bahwa kedua anak itu berimbang.

Mengalami perlawanan yang tidak kalah hebatnya dari ilmunya sendiri, Sawung Sariti menjadi gelisah. Ia menjadi curiga terhadap anak muda yang melawannya itu. Maka sekali lagi ia berteriak, ”He anak sombong, siapakah sebenarnya kau? Dan darimanakah kau mengenal bahwa yang gugur itu Paman Sawungrana?”

Handaka menyeringai marah sambil menjawab, ”Buat apa kau tahu siapakah aku. Sebab sebentar lagi namamu akan terhapus dari muka bumi.”

Sawung Sariti adalah seorang anak muda yang sombong. Selama hidupnya ia selalu dihormati dan dimanjakan. Karena itu ketika ia mendengar jawaban Bagus Handaka, hatinya bertambah menyala-nyala. Karena itu ia tidak lagi berpikir lain kecuali membinasakan lawannya. Ia tidak lagi mempedulikan apakah lawannya bersenjata atau tidak. Cepat seperti kilat tangan Sawung Sariti menarik pedangnya dan diputarnya seperti baling-baling. Ternyata ketangkasannya mengolah senjata tidak mengecewakan pula.

Melihat lawannya bermain pedang, Handaka meloncat beberapa langkah mundur, dan dengan gerak yang tidak kalah cepatnya tangannya telah memegang sebuah ujung tombak bertangkai pendek. Itulah Kyai Bancak. Tanda kebesaran tanah perdikan Banyubiru.

Sawung Sariti sendiri belum pernah melihat tombak itu. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia menyerang dengan garangnya. Perlawanan Bagus Handaka pun tidak kalah dahsyatnya. Agaknya salah seorang pengawalnya pernah mengenal tombak itu. Tombak yang mempunyai cahaya kebiru-biruan. Karena itu dengan gugup ia berteriak, ”Angger, itulah tombak Kyai Bancak.”

Meskipun Sawung Sariti belum pernah melihat Kyai Bancak, ia pernah mendengarnya. Karena itu ketika ia mendengar nama itu disebutkan, ia pun menjadi terkejut dan meloncat mundur.

Bagus Handaka kini benar-benar sudah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Maka ketika ia mendengar seseorang menyebut nama tombaknya, ia menjadi bangga, dan dengan sengaja ia ingin menunjukkan kepada Sawung Sariti bahwa tombak kebesaran Banyubiru itu ada padanya. Karena itu segera ia berteriak menjawab, ”He orang yang berwajah hantu, kau mengenal tombak ini…?”

Karena pengaruh tombak di tangan Bagus Handaka, tiba-tiba orang itu menjadi takut dan menjawab,” ya, ya… anak muda, aku kenal tombak itu.”

”Ayo katakan siapakah yang pernah memiliki tombak ini?” desak Handaka.

Orang yang ketakutan itu menjawab gugup, ”Ki Ageng Gajah Sora”.

”Bagus…” jawab Bagus Handaka, ”Siapakah Gajah Sora itu?”

Seperti orang yang kehilangan akal orang itu menjawab, ”Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”

“Bagus…” ulang Bagus Handaka. “Kalau kau tahu itu, katakan kepada anak muda sombong yang mengaku putra kepala daerah perdikan Banyubiru dan Pamingit sekaligus, bahwa Banyubiru bukanlah miliknya.”

Mendengar percakapan itu Sawung Sariti menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang tombak itu. Dan ia mengetahui pula bahwa kakak sepupunya hilang tak tentu perginya, membawa Kyai Bancak.

Dalam saat yang pendek itu otaknya berputar keras. Tidak mustahil bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah kakak sepupunya. Ia pernah bergaul pada waktu kecil. Tetapi setelah beberapa tahun tidak bertemu, memang ada kemungkinan untuk tidak mengenalnya lagi. Apalagi anak muda yang berdiri di hadapannya itu wajahnya kehitaman-hitaman terbakar terik matahari serta berpakaian lusuh dan jelek. Kalau demikian, lalu siapakah yang mengaku menjadi bapaknya itu…? Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan saja kepada anak muda yang memegang tombak itu, ”Anak muda yang perkasa, adakah kau sebenarnya memang berhak atas tombak itu?”

”Adakah kau tahu seseorang yang berhak memilikinya kecuali aku?” jawab Handaka.

”Menurut pendengaranku, satu-satunya orang yang berhak atas tombak itu, kecuali Paman Gajah Sora yang sekarang masih di Demak, adalah putranya yang bernama Arya Salaka,” sahut Sawung Sariti.

Mengikuti pembicaraan kedua anak muda yang sedang diamuk oleh kemarahan itu, Manahan menjadi agak cemas. Ternyata Sawung Sariti yang biasa bergaul dengan orang-orang pemerintahan mempunyai cara-cara yang licin dalam setiap pembicaraan, sedang Bagus Handaka yang hidup diantara para petani dan nelayan, memiliki kejujuran yang utuh. Sehingga ia sama sekali tidak sadar bahwa ia terseret ke dalam sebuah percakapan yang berbahaya. Manahan yang sadar akan itu, cepat berusaha untuk mencegah Bagus Handaka menjawab pertanyaan Sawung Sariti. Tetapi agaknya ia terlambat.

Sebab demikian tangannya bergerak untuk menggamit anak itu, terdengarlah mulut Bagus Handaka berkata, ”Akulah Arya Salaka, karena itu aku mengenal Paman Sawungrana yang gugur karena pokalmu.”

Meskipun sebelumnya Sawung Sariti sudah menduga-duga, namun mendengar jawaban itu ia masih terkejut sekali sehingga tubuhnya bergetar. Dengan demikian sekaligus ia melihat bahaya yang lebih besar menghadang di depannya. Sepeninggal Sawungrana, sebenarnya ia telah mengurangi jurang yang menghalanginya untuk sampai pada kekuasaan yang penuh atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal ayahnya. Tetapi ternyata Arya Salaka yang memang masih diragukan itu, benar-benar masih hidup dan sekarang berdiri di hadapannya. Karena itu, tidak ada tindakan yang lebih tepat dan baik menurut anggapannya kecuali melenyapkannya sama sekali. Maka segera ia berteriak nyaring, ”Bagus sekali, kalau kau benar-benar Arya Salaka. Maafkanlah aku Kakang, bahwa aku harus bertindak tegas meskipun terhadap saudara sepupuku sendiri, karena kau telah bersekutu dengan Wiradapa.” Kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak lebih keras lagi, ”Hei orang-orang yang berada di pendapa, kepunglah rumah ini, jangan seorang pun boleh lari.”  Lalu katanya kepada dua orang pembantunya beserta lurah Gedangan, ”Ayo tangkap Kakang Arya Salaka.

Mendengar perintah Sawung Sariti itu, barulah kedua orang pengawalnya itu sadar. Bagaimanapun juga mereka adalah pengikut-pengikut Sawung Sariti. Sehingga meskipun anak muda yang disebutnya melakukan perlawanan, tak ada pilihan lain selain menangkapnya hidup atau mati. Karena itu segera mereka berloncatan menyerbu.

Sementara itu orang-orang yang berada di pendapa Kalurahan itu pun sudah mulai bergerak. Memang sejak mereka mendengar suara ribut di ruang dalam, mereka menjadi bingung. Tetapi karena mereka takut untuk meninggalkan pendapa itu, maka dengan gelisah mereka tetap saja tidak meninggalkan tempatnya. Baru ketika mendengar suara Sawung Sariti berteriak, maka seperti kuda yang dilepas dari kandang, mereka menghambur berlarian mengepung rumah lurah Gedangan, sebagian lagi menerobos masuk. Sehingga terdengar suara hiruk pikuk tak keruan.

Wiradapa menjadi keheran-heranan dan bingung melihat tingkah laku anak perantau malas itu, menjadi sadar pula akan bahaya. Tetapi ia sama sekali tidak berani mencampuri pertempuran antara kedua anak muda yang memiliki kepandaian yang jauh di atasnya. Maka yang dapat dikerjakan adalah mengurangi tenaga lawan Handaka. Dengan tanpa diduga-duga maka segera ia menyerang lurahnya yang sudah bersiap untuk membantu Sawung Sariti menangkap anak muda yang dikenalnya sebagai anak perantau malas.

Mendapat serangan yang tiba-tiba itu, lurah Gedangan terkejut, maka segera ia mengurungkan niatnya, dan terpaksa ia melayani Wiradapa, kawan yang telah sekian lama bersama-sama membangun pedukuhan Gedangan itu. Sedang kedua pengawal Sawung Sariti ikut menyerang Bagus Handaka. Tetapi satu hal yang mereka lupakan, bahwa mereka sama sekali tak memperhitungkan kehadiran Manahan, yang justru adalah guru Bagus Handaka.

Sementara itu beberapa orang telah memasuki ruangan itu. Suasana kemudian berubah menjadi ribut tak keruan. Di ruang yang tak seberapa lebar itu berjejal-jejalan orang yang bersama-sama akan menangkap Bagus Handaka.

Ketika Manahan melihat dua orang pengawal Sawung Sariti beserta banyak orang yang lain mulai mengerubut muridnya, ia tidak dapat tinggal diam. Segera ia pun menerjunkan dirinya ke dalam kekalutan itu.

Melihat Manahan turut campur, marahlah kedua orang pengawal Sawung Sariti, yang mengira bahwa Manahan tidak lebih dari seorang yang hanya dapat berlari-lari saja. Maka dengan acuh tak acuh salah seorang darinya mendorong Manahan minggir. Tetapi betapa terkejutnya, ketika tangannya seolah-olah menyentuh dinding besi, bahkan ia sendiri terdorong surut. Maka segera orang itu mengerti, bahwa Manahan pun tidak kalah hebatnya dari anak yang telah bertempur melawan Sawung Sariti.

Karena itu, ia tidak dapat menganggap enteng lagi, bahwa musuhnya hanya seorang yang mampu berlari-lari saja. Dengan demikian terpaksa ia menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan Manahan, dengan perhitungan bahwa biarlah Sawung Sariti mendapat bantuan dari orang-orang yang telah datang memasuki ruangan itu. Kemudian apabila ia telah dapat menyingkirkan Manahan, barulah Bagus Handaka akan diselesaikan.

Dengan demikian maka terjadilah tiga lingkaran pertempuran. Bagus Handaka melawan Sawung Sariti dibantu oleh beberapa orang, Manahan melawan dua orang pengawal Sawung Sariti, dan Wiradapa melawan lurahnya.

Sesaat kemudian ternyata dugaan para pengawal Sawung Sariti itu meleset. Mereka sama sekali tidak dapat dengan segera menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun mereka bukanlah orang yang dapat diremehkan, namun untuk menundukkan Manahan bukanlah pekerjaan yang ringan. Sedangkan Bagus Handaka, ketika harus mengalami lawan yang jumlahnya sama sekali tak seimbang, menjadi agak terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki keuletan serta ketabahan hati. Perhatian Bagus Handaka pada berjenis-jenis binatang hutan yang sedang berkelahi, banyak memberi manfaat kepadanya. Tetapi ia tidak usah terlalu lama bercemas hati. Sebab perlahan-lahan tetapi pasti Manahan terus-menerus mendesak lawannya. Bahkan sebagian dari tenaganya telah dapat dipergunakannya untuk mengurangi tekanan pengeroyokan terhadap muridnya.

Wiradapa yang bertempur pula dalam keadaan berimbang dengan kekuatan lurah Gedangan. Mereka agaknya telah mencurahkan segala kemampuan mereka untuk segera mengalahkan lawannya. Tetapi disamping itu, bergolaklah kegelisahan diantara mereka. Baik Lurah Gedangan, Wiradapa maupun Sawung Sariti bersamaan para pengiringnya, meskipun sebabnya berbeda-beda. Sebagian dari mereka menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah sebenarnya kedua orang yang mereka anggap perantau malas itu. Sebab dalam keadaan yang demikian, ternyata bahwa kepandaian mereka dalam ilmu tata berkelahi tidak ada yang menandingi.

Beberapa saat kemudian Sawung Sariti yang cerdik, akhirnya merasa bahwa akhir dari pertempuran itu tidaklah seperti yang diharapkan. Ruangan yang sempit itu sama sekali tak menguntungkannya. Sebab beberapa orang yang mengeroyok lawannya itu, malahan kadang-kadang menganggunya. Sehingga terpaksa beberapa kali ia harus berteriak-teriak dan malahan beberapa kali pula ia terpaksa memukul orangnya sendiri yang sangat menjengkelkannya. Karena hal itulah maka akhirnya ia membuat perhitungan-perhitungan dengan seksama. Dalam waktu yang dekat ia harus dapat mengatasi keadaan, dan setidak-tidaknya menyelamatkan dirinya sendiri.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin ribut dan kacau. Apalagi ketika tiba-tiba pelita yang tergantung di dinding terlempar jatuh. Minyaknya yang tumpah berhamburan itu segera dijilat api, dan dalam sekejap telah menyala berkobar-kobar. Maka terjadilah keributan yang semakin kacau. Orang-orang di dalam ruangan itu tidak lagi memperhatikan lawan-lawan mereka, tetapi mereka segera berusaha untuk dapat keluar dan menghindarkan idri dari nyala api yang semakin lama semakin besar, bahkan akhirnya api itu telah merayap sepanjang dinding ruangan.

Dalam keadaan yang demikian, Bagus Handaka dan Manahan menjadi kehilangan pengamatan atas lawan-lawan utamanya. Beberapa orang yang berlari-lari kian kemari itu, sangat mengganggunya. Bahkan beberapa orang telah melanggar mereka dan mendorong-dorong mereka tanpa sengaja. Manahan yang segera dapat mengerti dan menguasai masalahnya menjadi sangat marah. Sebab ia yakin bahwa Sawung Sariti telah dengan sengaja membakar ruangan itu. Karena itulah maka dengan sekuat tenaga ia menerjang orang-orang yang menghalangi jalannya menerobos keluar sambil berteriak, Handaka, lawanmu telah berada di luar.

Mendengar suara gurunya, Handaka pun segera meloncat dan menyibakkan orang-orang yang sedang kacau itu. Beberapa orang jatuh bergulingan dan terinjak-injak kawan-kawan mereka sendiri. Namun Manahan dan Bagus Handaka sama sekali tak sempat memperdulikan mereka itu. Perhatiannya terpusat kepada Sawung Sariti, anak pamannya yang telah berkhianat kepada ayahnya.,

Namun alangkah kecewa mereka itu. Sebab demikian Manahan dan Bagus Handaka sampai di halaman, terdengarlah derap kuda menderu, dan seperti terbang lepaslah tiga buah bayangan orang berkuda melarikan diri.

”Itulah dia…” teriak Manahan, ”Marilah kita cari sisa kuda mereka”.

Handaka tidak menunggu kalimat Manahan berakhir. Segera dia berlari ke halaman belakang. Tetapi ternyata kandang kuda itu telah kosong. Agaknya Sawung Sariti yang cerdik itu sempat menyingkirkan dan menakut-nakuti kuda yang lain, sehingga kuda-kuda itu lari berpencaran.

Bagus Handaka menjadi seperti orang yang kebingungan berlari-lari mengelilingi kandang kuda itu. Namun ia sama sekali tak menemukan seekor pun.

Gila! geramnya penuh kemarahan.

Manahan pun tidak kalah marahnya. Namun ia lebih dapat menguasai diri. Maka katanya kemudian kepada muridnya, ”Sudahlah Handaka, baiklah kita bicarakan apa yang harus kita kerjakan seterusnya.”

Sementara itu, terdengarlah jerit dan teriakan diantara ledakan-ledakan kebakaran. Dalam waktu yang pendek, api telah menguasai hampir seluruh rumah kalurahan yang dibuat dari kayu, bambu dan ijuk itu. Beberapa orang berlari-larian menjauhi. Diantara mereka tampaklah tertatih-tatih Wiradapa yang agaknya menderita luka-luka.

Melihat Wiradapa yang sudah hampir-hampir tak mampu lagi menjauhkan dirinya dari kemarahan api itu, hati Bagus Handaka dan Manahan bersama-sama tergetar. Cepat mereka meloncat dan memapahnya ke halaman belakang. Ketika Wiradapa sadar bahwa yang menolongnya itu adalah dua orang yang dianggapnya perantau malas dan ternyata telah sangat membingungkannya itu, cepat-cepat ia menjatuhkan diri sambil berkata perlahan-lahan, ”Tuan, maafkanlah aku. Aku tidak tahu siapakah sebenarnya tuan-tuan ini. Sedang tuan muda ini agaknya masih ada hubungan darah dengan tuan muda Sawung Sariti yang tamak itu.

Manahan cepat-cepat menangkap lengan Wiradapa dan menariknya berdiri. Katanya, ”Kakang Wiradapa, kami adalah benar-benar dua orang perantau seperti apa yang kami katakan.”

Wiradapa menggelengkan kepala, sahutnya, ”Aku telah mendengar perdebatan antara anak muda yang disebut-sebut bernama Arya Salaka, putra Ki Ageng Gajah Sora yang memiliki tombak Kyai Bancak, dengan Sawung Sariti yang mengaku dirinya putra kepala daerah perdikan Banyubiru.

Manahan mengangguk-anggukkan kepalanya, maka jawabnya, ”Baiklah Kakang, nanti saja saatnya Kakang akan tahu juga. Tetapi bagaimana sekarang dengan api itu?

Mendengar kata-kata Manahan itu, barulah Wiradapa sadar bahwa rumah lurah Gedangan hampir musnah dimakan api. Dalam keadaan itu, tak seorangpun yang mencoba untuk memadamkannya.  Suasana takut, cemas dan bermacam-macam lagi telah menguasai seluruh penduduk Gedangan, dengan kedatangan Sawung Sariti beserta rombongannya, yang tampak penuh mengandung rahasia. Itulah sebabnya tak seorangpun yang berani mendekati halaman kalurahan yang menjadi terang benderang oleh lidah api yang menyala-nyala seperti hendak menjilat langit.

Beberapa orang yang berdiri jauh dari tempat kebakaran, memandang api itu dengan mata yang sayu serta hati yang berdebar-debar. Selama ini mereka menganggap bahwa dari rumah itulah ketertiban dan kepemimpinan pedukuhan mereka dipancarkan. Sedang pada saat itu mereka melihat api dengan lahap telah menelannya, tanpa dapat berbuat sesuatu, karena mereka sama sekali telah kehilangan akal. Mereka sudah sama sekali tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Tiba-tiba diantara gemeretak suara api yang menjadi semakin besar itu, terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan. Yang kemudian disusul dengan suara memanggil-manggil, ”Wiradapa… Adi Wiradapa yang bodoh. Kemarilah, kemarilah.

Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka terkejut mendengar suara itu. Segera mereka berjalan perlahan-lahan mengelilingi api dan mencari siapakah yang telah memanggil-manggil itu. Ketika mereka sampai di sisi rumah yang hampir habis itu, kembali terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak.

Alangkah terkejut mereka, ketika mereka melihat lamat-lamat di atas pendapa yang telah hampir runtuh, seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Berdesirlah dada mereka ketika mereka mengetahui bahwa yang berdiri sambil tertawa-tawa itu adalah lurah Gedangan.

Untuk sesaat mereka tertegun menyaksikan pemandangan yang menyeramkan itu. Apalagi ketika dengan mata kepala sendiri mereka melihat lurah Gedangan itu berkata nyaring, ”He, Adi Wiradapa… kenapa kau menolak bekerja sama dengan kami. Lihatlah kini rumahku sudah berdinding emas bertiang baja. Aku kini menjadi seorang yang kaya raya. Dan sebentar lagi aku akan diangkat menjadi bupati. Setelah itu kembali lurah Gedangan itu tertawa terbahak-bahak.”

”Kakang Lurah… Kakang Lurah….” Tiba-tiba Wiradapa berteriak.

Lurahnya yang berdiri di tengah-tengah api yang menyala-nyala itu sama sekali tak mendengar teriakannya. Malahan masih saja ia tertawa dan tertawa.

”Kakang Lurah…!” teriak Wiradapa sekali lagi, ”Tinggalkan pendapa itu, sebelum Kakang terbakar.”

Tetapi kali ini pun suara Wiradapa itu sama sekali tidak terdengar oleh lurah Gedangan yang telah terganggu urat syarafnya itu. Ia masih saja berdiri bertolak pinggang sambil berkata-kata tak menentu lagi.

Tiba-tiba Manahan dan Handaka terkejut ketika mereka melihat Wiradapa meloncat ke arah pendapa. Untunglah cepat mereka berhasil menahannya. Tetapi Wiradapa agaknya kehilangan kesadarannya pula. Sambil meronta-ronta ia berteriak, ”Kakang Lurah… Kakang Lurah… Kemarilah. Rumah itu sudah terbakar. Turunlah, turunlah….”

Namun akhirnya suaranya lenyap ditelan berderaknya suara pendapa itu runtuh. Bersamaan dengan itu lenyap pula bayangan lurah Gedangan yang tenggelam ditelan oleh angan-angannya untuk menjadi kaya raya serta menjadi bupati.

Bersamaan dengan runtuhnya pendapa kalurahan itu, Wiradapa menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangannya. Bagaimanapun, lurah Gedangan yang lenyap di dalam nyala pi itu adalah kawan seperjuangannya membangun pedukuhan itu. Mereka bersama-sama mengalami jerit tangis serta tawa nyanyinya para perintis yang kemudian dapat membangunkan pedukuhan yang nampaknya menjadi semakin maju. Sedang pada saat itu di hadapan matanya, ia menyaksikan kawan senasib sepenanggungan itu lenyap di telan api.

Dengan tak terduga-duga, terdengarlah Wiradapa menggeram dan terisak. Meskipun terpaksa pada saat yang terakhir ia menempuh jalan yang berselisih dengan kawan sepenanggungan itu, namun apa yang pernah mereka alami ternyata telah begitu dalam menggores di dalam hatinya.

”Sudahlah Kakang,” bisik Manahan menghibur. ”Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting apakah yang akan datang. Dengan peristiwa ini janganlah Kakang Wiradapa kehilangan akal dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Dengan hilangnya Kakang Lurah Gedangan, bukan berarti kewajiban Kakang Wiradapa untuk tampil ke depan terhenti. Sehingga apa yang pernah dicapai itu tidak akan tersia-sia saja.

Mendengar kata-kata Manahan, perlahan-lahan kesadaran Wiradapa berangsur-angsur utuh kembali. Bahkan dengan nasehat itu terasalah bahwa masa depan pedukuhan itu seolah-olah terletak di tangannya. Pasang surut serta timbul tenggelamnya pedukuhan Gedangan di kemudian hari berada di dalam tanggung jawabnya.

Karena itulah maka seolah-olah ia mendapat tenaga baru. Dengan tekad yang telah membulat di dalam dadanya, ditengadahkannya mukanya, memandang kepada nyala api yang masih saja berkobar-kobar menelan korbannya.

Tetapi mata Wiradapa kini sudah tidak sesayu tadi. Bahkan tampaklah memancar tekad yang teguh, bahwa ia akan bekerja keras untuk melaksanakan tugas yang maha berat itu. Lewat matanya yang menyala-nyala yang mengimbangi nyala api yang membakar kalurahan itu, seolah-olah tersiratlah kata janjinya untuk meneruskan pembinaan pedukuhan kecil yang telah dirintisnya bersama-sama dengan orang yang kini telah luluh karena ketamakannya.

Kemudian tiba-tiba meloncatlah Wiradapa, berdiri tegak menghadap ke arah pendapa yang telah menelan lurahnya, dan terdengarlah dari mulutnya suara bergetar perlahan-lahan, ”Mudah-mudahan Tuhan selalu menuntunku, serta menunjukkan jalan yang benar bagiku. Demikian pula kepada rakyat Gedangan yang sedang ditelan kegelapan.”

Manahan dan Bagus Handaka merasakan bahwa Wiradapa benar-benar memiliki keluhuran budi. Karena itu mereka merasa terharu melihat sikapnya yang sama sekali tidak mendendam kepada lurahnya yang hampir saja menjerumuskannya ke dalam jurang kematian yang sangat mengerikan di tangan putra kepala daerah perdikan Pamingit, Sawung Sariti.

Berbareng dengan itu, di ujung timur fajar mulai mengembang. Cahaya yang kemerah-merahan dipancarkan ke seluruh permukaan bumi, membelah kehitaman malam. Di sana sini terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan bahwa pernah terjadi suatu kegoncangan di dalam pedukuhan kecil yang biasanya damai dan tenang itu.

Seakan-akan segan menghadapi tantangan cahaya pagi yang perkasa, api yang menelan seluruh isi kelurahan itu berangsur-angsur surut. Sedang Wiradapa, Manahan dan Bagus Handaka masih saja berada di halaman.

”Tuan…” kata Wiradapa kemudian, ”Apakah yang harus aku kerjakan pertama-tama?”

Manahan sadar bahwa pertanyaan yang diucapkan dengan setulus hati itu, bersandar kepada keinginannya untuk mengetahui, siapakah sebenarnya mereka itu. Maka dengan bersungguh-sungguh Manahan menjawab, ”Kakang, menurut pendapatku, yang harus Kakang kerjakan pertama-tama adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada Kakang Wiradapa.

”Akan kucoba. Aku merasa bahwa beberapa orang masih percaya sepenuhnya kepadaku. Kepada mereka akan aku bebankan pekerjaan itu. Mudah-mudahan mereka berhasil,” sahut Wiradapa. Selanjutnya ia meneruskan, ”Marilah Tuan beristirahat di pondokku. Barangkali Tuan sudi mengatakan siapakah sebenarnya Tuan-Tuan yang telah menyelamatkan pedukuhan ini dari ketamakan, keserakahan dan dari jalan yang sama sekali sesat, yang akan ditempuh Kakang Lurah.”

Manahan serta Bagus Handaka tidak dapat menolak ajakan itu. Maka segera Bagus Handaka melangkah meningggalkan halaman serta rumah yang telah menjadi abu.

Tetapi sampai di regol dinding halaman, Bagus Handaka berhenti. Matanya kemudian menjadi semakin sayu. Mula-mula Manahan tidak tahu, kenapa muridnya berlaku demikian. Tetapi kemudian ia dapat menangkap apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak itu.

Perlahan-lahan Handaka memutar tubuhnya menghadap ke sisa-sisa reruntuhan rumah yang sudah menjadi musna sama sekali. Dengan pandangan yang pedih tampaklah bibirnya bergerak-gerak menyebut nama Sawungrana. Seseorang yang pernah memberinya permainan pada masa kecilnya. Orang yang pernah menjadi kawannya berlatih. Juga seorang dari beberapa dari beberapa orang yang tak begitu banyak, yang merupakan pagar-pagar keamanan Perdikan Banyubiru. Ia adalah orang kedua setelah Wanamerta.

Kini orang itu telah tiada lagi. Jenazahnya pun tak dapat diselamatkan karena kekalutan yang terjadi.

Manahan yang dapat merasakan sepenuhnya kepedihan hati muridnya itu merasa pula bersalah, bahwa dalam keributan itu sama sekali tak diingatnya untuk menyelamatkan jenasah Sawungrana. Namun adalah lebih baik demikian daripada dikubur disuatu tempat tanpa diketahui oleh seorangpun.

”Handaka…” kata Manahan meghibur hati muridnya, ”Marilah kita lepaskan pamanmu Sawungrana dengan hati yang ikhlas, agar perjalanannya menghadap Tuhan tidak terganggu.

Perlahan-lahan Handaka mengangguk kecil seolah-olah memberikan hormatnya yang terakhir kepada abu jenazah Sawungrana. Baru setelah itu ia melangkah meninggalkan halaman kelurahan itu bersama-sama dengan gurunya serta Wiradapa.

Melihat keseluruhan itu, Wiradapa menjadi semakin tidak mengerti. Apakah hubungan antara anak muda itu dengan orang yang terbunuh itu? Namun demikian ia tidak bertanya sesuatu. Maksudnya biarlah hal itu disimpannya sampai nanti di pondoknya.

Sampai di rumahnya Wiradapa disambut dengan tangis oleh isrinya, yang menyangka bahwa suaminya telah lenyap dan tak akan dapat bertemu kembali. Tetapi ternyata bahwa suaminya itu kini masih utuh berdiri di hadapannya, meskipun beberapa luka-luka yang cukup banyak menggores-gores tubuhnya.

Karena itulah maka, dengan kegirangan yang tiada terkatakan, Nyai Wiradapa segera menangkap beberapa ekor ayam, sebagai pesta keselamatan buat suaminya.

———-oOo———-

III

Sehari itu Manahan dan Bagus Handaka sibuk melayani dan menjawab pertanyaan pertanyaan yang mengalir tanpa henti-hentinya dari Wiradapa dan beberapa orang kepercayaannya yang kemudian datang mengunjunginya. Mereka mendengarkan uraian Manahan dengan mulut ternganga dan hati yang berdebar-debar. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa dua orang yang mereka sangka perantau malas itu dapat menyelamatkan pedukuhan mereka dari kehancuran mutlak.

Bagus Handaka ternyata sudah tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Terpaksa ia menyatakan dirinya sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora yang bernama Arya Salaka.

Sedangkan Mahesa jenar, meskipun kemudian diketahui bukan ayah Bagus Handaka, namun ia masih berhasil menyembunyikan dirinya yang sebenarnya.

Ketika orang-orang kepercayaan Wiradapa itu mengetahui keadaan sebenarnya, serta peran apakah yang telah dilakukan oleh Manahan bersama muridnya, serta setelah mereka menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kedua orang itu, maka mereka serentak berpendapat, bahwa tak ada orang lain yang pantas melindungi pedukuhan kecil itu selain mereka berdua.

Tetapi sayang bahwa dengan rendah hati Manahan dan muridnya terpaksa menolak kepercayaan rakyat Gedangan, meskipun mereka sanggup untuk beberapa lama tinggal di situ.

Alangkah kecewanya mereka, ketika permintaan itu tak dapat dipenuhi, namun bagaimanapun mereka tetap menaruh harapan pada masa depan, di bawah pimpinan Wiradapa, serta untuk sementara mendapat bimbingan langsung dari Manahan serta muridnya.

Demikianlah sejak hari itu, pedukuhan Gedangan telah mendapatkan wajahnya yang baru. Pedukuhan kecil itu berhasil mencapai kedamaian dan ketenangannya kembali setelah beberapa orang kepercayaan Wiradapa bekerja mati-matian memberikan sesuluh yang diperlukan kepada mereka yang telah tersesat. Kepada mereka yang mendapat banyak janji dan harapan-harapan yang diberikan oleh lurah mereka yang lama, yang telah hilang ditelan api yang diminyaki oleh ketamakannya sendiri.

Berbeda dengan keadaan dipadukuhan kecil itu, perasaan Manahan dan Handaka sendiri selalu digelisahkan oleh angan-angan mereka tentang beberapa masalah yang belum terpecahkan. Apalagi ketika ternyata kehadiran Bagus Handaka telah diketahui oleh Sawung Sariti yang pasti akan sampai ke telinga Lembu Sora. Hal itu bukanlah suatu hal yang boleh diabaikan. Selama Lembu Sora masih mengingini daerah perdikan Banyubiru yang kelak akan dilintirkan kepada anaknya, selama itu nyawa Bagus Handaka selalu dikejar-kejarnya. Manahan masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut perhitungan Manahan Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka. Dalam keributan itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka mendapat janji menerima upah yang tinggi.

Hal ini adalah sama sekali tidak wajar, bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang untuk menerima hadiah.

Tetapi dalam beberapa hari saja, bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada segi-segi pertahanan dan pertempuran. Beberapa orang yang memang berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi, mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.

Suasana yang tenang, damai namun penuh dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh lebih maju dalam segala segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu.

Pedukuhan kecil yang hampir tidak mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di luarnya, pada suatu saat mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang berkuda dari arah tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya sesuatu langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya.

Pada suatu subuh yang kelam di permulaan musim ketiga, pedukuhan kecil itu digetarkan oleh suara titir dari setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu. Setiap laki-laki mulai dari yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih dapat tegak, segera berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman lurah mereka yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan.

Di halaman itu tegak seperti batu karang, Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak berkerut-kerut penuh dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda yang seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri sibuk mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.

Dalam pada itu datanglah berlari-larian seorang pengawas yang melaporkan bahwa pasukan berkuda itu dipimpin oleh dua orang suami-istri. Tergetarlah dada Manahan mendengar laporan itu. Karena itu segera bertanya, ”Kau melihat kedua orang suami istri itu…?”

”Ya, Tuan… aku melihat sendiri. Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi binasa hanya dengan sapuan tangan mereka,” jawab pengawas itu.

”Bagaimanakah bentuk tubuh mereka?” tanya Manahan mendesak.

”Si suami bertubuh gagah kekar, berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya bertubuh tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina,” jawab orang itu pula.

””Sima Rodra Gunung Tidar...’ desis Manahan.

Mendengar nama itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu termasuk Bagus Handaka.

Bagaimanapun besar jiwa kepahlawanan penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi korbannya.

Tuan… kata Wiradapa, Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?

Manahan menyesal telah menyebut nama itu, sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan tertawa kecil, Kakang Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tetesan darah? Sedangkan mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah kepadaku serta anakku Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia akan berpendirian lain setelah melihat aku di sini.

Untuk beberapa saat mereka tampak ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.

”Kakang Wiradapa…” kata Manahan sebelum meninggalkan halaman. ”Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini.”

”Baiklah Tuan,” jawab Wiradapa mantap. Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang datang dari bukit hantu itu.

Sebentar kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya. Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran seperti terhantam angin ribut. Suara yang terlontar dari mulut harimau liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.

Tetapi pada saat mereka sudah hampir kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk di atas kudanya itu.  ”Selamat datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu.”

Kesan dari sapa itu adalah luar biasa pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh golongannya.

Melihat kesan wajah Sima Rodra itu, laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.

Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra, “Apa kerjamu di sini Mahesa Jenar?”

Mendengar nama itu disebutkan, terasa agak janggal bagi Manahan, yang telah agak lama merubah namanya. Sedang bagi pnduduk Gedangan sebutan itu semakin membingungkan mereka.

“Aku datang di pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu,” jawab Manahan sambil tertawa pendek.

Sima Rodra terdengar menggeram marah. Katanya, “Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu.

Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan. Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak, “Sima Rodra, agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang Sawungrana?”

Kembali Sima Rodra menggeram. “Apa pedulimu…..?”

“Ketahuilah….” sahut Manahan, “Akulah yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,”

Mendengar keterangan Manahan, mata Sima Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.

“Kalau begitu….” terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat, “Kepadamulah aku harus menuntut balas.”

“Memang demikianlah adilnya, jawab Manahan. Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini.”

Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat. Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh, “Hentikan pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar.

  “Bagus…..” sahut Mahesa Jenar, ”Agaknya kau dapat pula bersikap jantan.”

Sesaat kemudian berhentilah pertempuran antara laskar Gedangan melawan laskar dari Bukit Tidar. Segera mereka berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan yang jarang terjadi di pedukuhan kecil itu.

Tiba-tiba belum lagi mereka bertempur terdengarlah suara istri Sima Rodra itu melengking, ”Kyai…. serahkanlah orang itu kepadaku. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Bukankah aku sekarang berbeda dengan dua tiga tahun yang lalu….?”

Mendengar kata-kata itu hati Manahan berdesir, meskipun ia tahu bahwa maksud kata-kata itu untuk menakut-nakutinya. Tetapi tidaklah mustahil bahwa apa yang dikatakan itu mengandung kebenaran. Sebab selama itu, ayahnya, Sima Rodra tua dari Lodaya, pasti tidak tinggal diam. Ilmunya yang mengerikan, Macan Liwung, serta kecekatannya bergerak yang mirip seperti seekor harimau, sangat menakjubkan.

Kemudian terdengarlah Sima Rodra menjawab, ”Berikanlah kesempatan pertama kepadaku sebagai suatu kehormatan yang dapat kami berikan kepadanya yang terakhir.”

Manahan benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. ”Jangan berebut dahulu. Kalian akan mendapat giliran masing-masing. Tetapi kalau kalian masih membiasakan diri bertempur berpasangan, biarlah Bagus Handaka membantuku, sebab aku merasa pasti bahwa aku tidak akan mampu melawan kalian berdua.”

Merahlah telinga Suami Istri Sima Rodra mendengar jawaban itu. Apalagi yang disebutnya dengan nama Handaka tidak lebih dari seorang anak-anak. Karena itu dengan marahnya Harimau Liar itu menjawab, ”Baiklah biarlah aku binasakan kau sampai kepada muridmu. Supaya untuk seterusnya kau tidak selalu mengganggu.”

Selesai dengan kata-katanya itu, segera suami istri itu meloncat dari kudanya dan dengan gerakan seperti badai mereka menyerang Manahan dan Bagus Handaka. Sima Rodra bertempur melawan Manahan, sedang istrinya dengan marahnya menyerang Bagus Handaka.

Melihat gerakan mereka, Manahan agak terkejut. Memang ternyata mereka telah mendapat banyak kemajuan. Karena itu segera ia mencemaskan muridnya. Dalam kesempatan yang pendek ia berbisik, ”Handaka, hindari setiap benturan serta sentuhan dengan kuku-kuku harimau betina itu. Sebab kuku itu beracun. Aku hanya percaya kepada kecepatanmu bergerak. Bukan kekuatanmu.”

Handaka maklum kepada nasehat gurunya. Segera ia sadar bahwa lawannya memiliki ketinggian ilmu di atasnya. Karena itu ia harus melayani dengan otaknya, tidak dengan tenaganya melulu.

Dan ternyata kemudian setelah mereka bertempur beberapa saat, segera Bagus Handaka merasa betapa angin yang sangat membingungkan melibatnya dari segenap arah. Untunglah bahwa ia banyak menaruh perhatian pada setiap gerak yang dianugerahkan kepada alam oleh Penciptanya, kepada setiap makhluk yang paling lemah sekalipun. Kali ini Bagus Handaka benar-benar menjadi seekor kelinci yang harus menghindari terkaman serigala ganas, seperti yang pernah diamatinya dengan saksama. Atau seperti seekor kancil yang menyelinapkan hidupnya diantara kaki-kaki harimau yang garang.

Karena itulah maka ia tidak dapat bertempur di tempat yang sempit, Bagus Handaka kemudian berkisar dari tempatnya, menyusup pepohonan dan mempergunakan batang-batang pohon sebagai perisai.

Meskipun demikian, ternyata bahwa ia selalu berhasil menyelamatkan dirinya dari libatan gerakan-gerakan yang dahsyat dari Harimau Betina Gunung Tidar yang garang itu, meskipun ia terpaksa berlari-larian dan hanya sekali-sekali saja menyerang, apabila benar-benar ada kesempatan. Bahkan dengan demikian ia berhasil membuat istri Sima Rodra itu semakin marah dan menjerit-jerit tak habis-habisnya.

Sedangkan Manahan dengan tangguhnya bertempur melawan Sima Rodra. Dalam beberapa saat saja, Manahan benar-benar harus mengakui bahwa ilmu lawannya telah meningkat, sedang selama ini ilmunya sendiri tidak seberapa mengalami penambahan, sebab memang tak ada orang yang menuntunnya lebih lanjut. Hanya karena ketekunan diri saja maka Manahan menjadikan ilmunya lebih masak.

Maka pertempuran antara dua orang perkasa itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Sima Rodra menjadi semakin garang, karena hatinya dibebani oleh dendam yang meluap-luap, sedang Manahan dengan penuh tekad serta janji kepada diri sendiri, untuk melenyapkan setiap unsur kejahatan yang merusak sendi-sendi penghidupan.

Kemudian mereka pun tidak dapat bertahan bertempur di titik yang sama. Perlahan-lahan pertempuran itu berkisar dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain, dengan menandai bekas-bekas yang mengerikan. Pohon-pohon berderakan roboh, serta batu-batu menghambur-hambur simpang-siur di udara. Kaki-kaki mereka telah memecahkan apa saja yang terinjak.

Medan pertempuran itu kemudian menjadi seolah-olah daerah angin prahara yang belit-membelit dan hantam-menghantam, bahkan kadang-kadang dibarengi dengan teriakan yang membahana seperti guntur disusul dengan benturan-benturan dahsyat dari tangan-tangan mereka yang saling menghantam.

Laskar dari kedua belah pihak yang menyaksikan pertempuran itu menjadi terpukau diam. Meskipun mereka pernah pula menyaksikan pertempuran-pertempuran dahsyat, apalagi laskar dari Gunung Tidar, namun kali ini merupakan suatu pertempuran yang benar-benar jarang terjadi.

Berbeda dengan pertempuran itu, Bagus Handaka masih saja bermain kucing-kucingan. Dengan cerdiknya ia memilih tempat-tempat yang gelap dan berpohon-pohon meskipun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pukulan yang dahsyat dari Istri Sima Rodra, yang mematahkan pohon-pohon yang dipergunakan sebagai perisai. Keadaan itu sebenarnya sangat menggetarkan hati Handaka. Namun adalah suatu keuntungan bahwa baik tubuhnya maupun jiwanya telah tertempa hebat, sehingga bagaimanapun ia tidak kehilangan akal.

Meskipun demikian, disamping melayani lawannya yang tangguh luar biasa, Manahan masih selalu mencemaskan muridnya. Hanya kadang-kadang saja ia sempat melirik Handaka yang berlari-larian di dekatnya, kemudian anak itu menyerang sekali dua kali, kemudian kembali berlindung di balik pohon-pohonan.

Namun bagaimanapun juga akhirnya Manahan terpaksa mengakui bahwa Handaka sama sekali tak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Karena itu Manahan telah berjuang semakin keras. Ia mengharap dapat segera menyelesaikan pertempuran. Dengan demikian ia akan dapat pula menyelamatkan Bagus Handaka. Tetapi ternyata Sima Rodra sekarang bukan lagi Sima Rodra tiga tahun yang alu. Sima Rodra itu ternyata telah memiliki berbagai macam ilmu yang belum dimilikinya dahulu. Gerakannya menjadi sangat garang, cekatan dan sangat berbahaya, sehingga untuk menandinginya, Manahan sudah harus memeras segenap ilmunya. Karena itu ia menjadi gelisah. Bagaimana jadinya Bagus Handaka kalau ia tidak segera dapat menolongnya.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal di luar dugaan. Ketika Bagus Handaka telah benar-benar terdesak, dan tidak mampu untuk berbuat sesuatu, hati Manahan tergoncang hebat. Cepat ia meloncat mundur, menghindar dari lingkaran pertempuran. Pada saat itu ia melihat tangan istri Sima Rodra itu telah terayun deras sekali, sedang Bagus Handaka yang baru saja kehilangan keseimbangan dan jatuh bergulingan, masih belum sempat meloncat berdiri. Manahan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloncat mendekati. Maka satu-satunya kemungkinan adalah menyelamatkan muridnya dari jarak jauh. Untunglah bahwa ia masih sempat menyambar sebuah batu dan dengan sekuat tenaga batu itu dilemparkan ke arah istri Sima Rodra. Ternyata pertolongannya itu untuk sementara berhasil. Istri Sima Rodra terpaksa meloncat menghindari batu yang dengan derasnya menyambar kepalanya. Saat yang sangat berharga itu ternyata dapat dipergunakan Handaka dengan baiknya. Cepat ia melenting berdiri dan dengan tangkasnya pula tangannya menyambar tombaknya, Kyai Bancak. Pada saat itu Manahan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Sebab Sima Rodra telah menggeram dengan hebatnya dan menerkamnya sebagai seekor harimau yang kelaparan. Sehingga sesaat kemudian pertempuran telah berulang lagi dengan dahsyatnya. Demikian juga Bagus Handaka, ia harus sudah bekerja mati-matian melawan istri Sima Rodra itu. Meskipun di tangannya telah tergenggam Tombak Pusaka Banyubiru, namun ia masih banyak mengalami kesulitan. Tetapi sedikit banyak tombak di tangannya itu akan dapat memperpanjang daya perlawanannya.

Tiba-tiba, ketika Bagus Handaka sekali lagi mengalami tekanan yang hebat, sedang Manahan masih belum sempat untuk menolongnya, datanglah sebuah bayangan yang seperti melayang memasuki lingkaran pertempuran. Dengan tangan kirinya ia mendorong Bagus Handaka, sehingga anak itu jatuh terpelanting. Dan sesudah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang istri Sima Rodra.

Bagus Handaka ketika kemudian telah dapat meloncat berdiri, memandang orang itu dengan penuh keheranan. Tenaganya meskipun terasa lunak, namun kuatnya bukan kepalang. Meskipun demikian, dalam keheranannya itu ia menjadi gembira pula. Sebab menilik kekuatannya, ia mengharap bahwa orang itu dapat mengimbangi istri Sima Rodra. Kemudian dengan mulut ternganga ia memperhatikan pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Kedua-duanya memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga pertempuran itu seolah-olah berubah menjadi bayang-bayang daun yang bergerak-gerak ditiup angin pusaran.

Manahan dan Sima Rodra suami-istri pun tidak pula kalah herannya. Mereka sama sekali tidak mengenal siapakah orang yang telah berani ikut campur dalam pertempuran itu. Namun beberapa saat mereka tidak sempat memperhatikan lebih saksama lagi, karena masing-masing masih harus berjuang diantara hidup dan mati. Hanya kemudian terdengar istri Sima Rodra itu berteriak melengking karena marahnya. ”He, orang yang tak tahu diri. Siapakah kau yang berani mencampuri urusan kami?”

Namun orang yang perkasa itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia mempercepat gerakannya sehingga istri Sima Rodra itu terpaksa bekerja lebih keras lagi, sejalan dengan memuncaknya kemarahannya. Tetapi agaknya lawannya pun memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Tangannya dengan lemasnya bergerak menyambar-nyambar seperti ujung ribuan cambuk yang bergerak bersama-sama, sehingga dengan demikian terasa bahwa serangan orang itu datangnya dari ribuan arah pula.

Hal yang sedemikian itu dapat dilihat pula oleh Sima Rodra. Ia kemudian agak mencemaskan istrinya. Maka sekarang ialah yang bekerja mati-matian untuk segera dapat menundukkan lawannya. Karena itu tandangnya menjadi semakin garang. Serangannya datang bergulung-gulung seperti ombak yang diguncang oleh badai. Namun ternyata lawannya tangguh seperti batu karang, yang sama sekali tak dapat ditundukkan. Karena itu, maka tiba-tiba Harimau Hitam dari Gunung Tidar itu tidak sabar lagi. Dengan mengaum hebat, direntangkannya kedua belah tangannya, serta tubuhnya menggeletar dengan hebatnya. Itulah tandanya bahwa Hantu Gunung Tidar itu akan mempergunakan Aji Macan Liwung.

Melihat sikap lawannya, Manahan terkejut. Ia pernah melihat sikap yang demikian ketika ia melawan orang berkerudung kulit harimau hitam bersama-sama dengan Gajah Sora. Yang kemudian ternyata bahwa orang itu adalah Sima Rodra tua dari Lodaya. Ia mengenal gerak yang demikian, yang menurut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten, adalah pemusatan tenaga untuk melontarkan Aji Macan Liwung. Karena itu untuk sesaat hatinya tergetar hebat.

Tetapi Manahan tidak sempat berbuat banyak. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, dilihatnya Sima Rodra itu telah meloncat dengan suatu auman yang mengerikan. Untunglah bahwa Manahan adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang mumpuni. Ditambah lagi dengan pengalaman yang telah menempa dirinya siang malam. Karena itu, melihat Sima Rodra menerkamnya dengan ajinya yang sangat berbahaya, Manahan tetap dapat menguasai dirinya. Dengan cermat ia mempelajari gerak lawannya untuk dengan tepat menghindarkan dirinya. Ketika kedua tangan Sima Rodra dengan kuku-kukunya yang mengembang itu melayang ke arahnya, cepat Manahan menjatuhkan diri dan berguling-guling ke arah yang berlawanan, justru lewat di bawah kaki Sima Rodra yang melayang di atas satu kakinya, kakinya yang lain ditekuk ke depan, sebuah tangannya menyilang dada dan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan gerak secepat petir menyambar, Manahan meloncat dan menghantamkan sisi telapak tangannya ke arah dada Sima Rodra yang baru saja berhasil memutar tubuhnya. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Sima Rodra yang telah mengenal pula tanda-tanda yang mengerikan itu, segera mencoba menghimpun kekuatannya untuk melawan. Namun Sasra Birawa adalah suatu ilmu yang jarang ada tandingnya. Itulah sebabnya maka tubuh Sima Rodra yang besar kekar itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian seperti sebuah batu terbanting berguling-guling, dibarengi dengan pekik ngeri yang keluar sekaligus dari mulut istri Sima Rodra dan orang yang melawannya. Untuk beberapa kejap, orang yang bertempur melawan Harimau Betina Gunung Tidar itu diam mematung mengawasi tubuh Sima Rodra yang kemudian terbujur diam tak bergerak. Sedang mata yang membayangkan kengerian dan ketakutan tersirat di wajah istri Sima Rodra. Agaknya ia merasa, dengan kekalahan yang dialami oleh suaminya itu, merupakan suatu titik batas yang tak akan mampu lagi diatasi. Apalagi dengan demikian ia merasa bahwa ia harus berhadap-hadapan dengan orang yang telah berhasil membinasakan suaminya itu, di samping orang yang tak dikenalnya. Karena itu, meskipun dendamnya menggelegak sampai ke lehernya, maka ia lebih baik menghindarkan diri dari kebinasaan, untuk kelak dapat membalaskan sakit hati serta kematian suaminya. Maka selagi mereka masih belum sampai menarik perhatian atasnya, lebih baik ia melenyapkan diri.

Mendapat keputusan itu, secepatnya ia meloncat ke arah kudanya, dan dalam sekejap melontarkan diri ke punggung kuda itu, untuk seterusnya menarik kendali kudanya yang kemudian berlari seperti angin. Berbareng dengan itu mengumandanglah suara Harimau Betina itu berteriak, “Tunggulah hari pembalasan akan datang.”

Setelah derap suara kuda yang kemudian disusul oleh para pengawalnya itu lenyap, suasana menjadi hening sepi. Mereka kini ternyata telah berada agak jauh dari ujung desa, dimana pertempuran itu dimulai. Manahan, Bagus Handaka, orang yang takdikenal itu, beserta setiap orang yang berada di situ, berdiri diam seperti batu dengan wajah-wajah yang tegang. Pandangan mereka berganti-ganti beralih dari Manahan, Bagus Handaka yang masih menggenggam Kyai Bancak, orang yang hanya tampak remang-remang dalam gelap malam, dan Sima Rodra yang terbujur diam, meskipun masih terdengar ia lamat-lamat mengerang menahan sakit dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.

Untuk beberapa lama, orang itu mengawasi Sima Rodra pula. Tetapi kemudian, terjadilah suatu hal yang tak seorang pun menduganya. Dengan menggeram orang itu dengan dahsyatnya menjadi terkejut sekali. Untunglah bahwa ia cekatan, sehingga meskipun agak sulit, ia berhasil menghindarkan dirinya. Tetapi agaknya pemuda itu tidak mau berbicara lagi. Sekali lagi ia menyerang Manahan, sekali lagi dan sekali lagi berturut-turut. Mula-mula Manahan yang masih bingung menebak-nebak, hanya selalu menghindar-hindar saja. Dengan suara bergetar ia mencoba bertanya, Ada apakah Ki Sanak menyerang aku?

Akibat dari pertanyaan itu mengherankan. Orang yang menyerang Manahan itu tiba-tiba terloncat selangkah mundur. Meskipun wajahnya tak begitu jelas dalam gelap malam, namun agaknya orang itu memperhatikan Manahan dengan saksama. Tetapi kemudian kembali ia mengejutkan tidak saja Manahan, juga orang-orang yang hadir menjadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Sebab sesaat kemudian orang itu dengan tiba-tiba kembali meloncat menyerang Manahan dengan dahsyatnya. Kembali Manahan dengan penuh pertanyaan mencoba menghindarkan diri dari serangan-serangan yang sangat berbahaya itu. Sekali dua kali Manahan masih berhasil meloncat-loncat seperti berpijak di atas batubara. Namun apa yang dapat dilakukan itu tidaklah lama. Sebab bagaimanapun juga orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula, sehingga akhirnya Manahanpun menjadi jengkel. Akhirnya terpaksa Manahan pun mulai membalas serangan demi serangan. Dalam sekejap terjadilah kembali pertempuran yang dahsyat. Kedua-duanya memiliki tenaga serta kecepatan gerak yang mengagumkan.

Pertempuran ini pun tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuran yang telah terjadi antara Manahan melawan Sim Rodra. Meskipun lawan Manahan ini belum memiliki kedahsyatan tenaga seperti Sima Rodra, namun kelincahannya sangat mengagumkan. Ia memiliki daya serang yang luar biasa serta membingungkan. Dua belah tangannya itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Kini, Manahan seolah-olah kini berhadapan dengan seorang yang memiliki beberapa pasang tangan, yang bergerak bersama-sama menyerangnya. Itulah sebabnya semakin lama Manahan semakin kehilangan kesabaran. Ia tidak mau menjadi korban dari suatu masalah yang gelap, yang sama sekali tak diketahuinya. Maka akhirnya, dengan mengerahkan kekuatannya, Manahan pun kemudian berjuang dengan hebatnya. Serangannya datang seperti asap yang bergulung-gulung melibat lawannya. Karena itu beberapa lama kemudian terasa bahwa Manahan akan dapat menguasai keadaan. Setapak demi setapak tetapi pasti, ia selalu berhasil mendesaknya.

Tetapi dalam pada itu lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya. Gerakannya menjadi semakin lincah dan cepat. Agaknya ia pun menyadari bahwa lawannya memiliki beberapa kelebihan daripada dirinya. Karena itu ia bertempur dengan sangat berhati-hati.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, termasuk Bagus Handaka, tidak habisnya keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi. Mula-mula mereka melihat seseorang membantu Bagus Handaka melawan istri Sima Rodra sehingga sepasang Harimau Gunung Tidar itu sudah dapat dikalahkan. Tetapi yang tiba-tiba saja malahan orang yang telah membantu itu dengan dahsyatnya berganti menyerang. Namun demikian tak seorangpun berani berbuat sesuatu. Tak seorangpun yang berani mencoba melerainya. Jangankan para penduduk Gedangan, sedang Bagus Handaka pun melihat pertempuran itu dengan wajah yang kagum. Pada saat Manahan bertempur dengan Sima Rodra, ia sama sekali tidak sempat menyaksikannya, sebab ia sendiri harus selalu berloncat-loncatan menghindari serangan istri Sima Rodra. Pada saat ia menyaksikan pertempuran antara orang yang menolongnya itu melawan istri Sima Rodra yang tak sehebat gurunya, iapun telah mengaguminya. Apalagi pertempuran itu. Diam-diam ia menjadi semakin kagum melihat keperkasaan Manahan, namun ia heran juga melihat orang dapat bertempur selincah lawan gurunya itu.

Tetapi yang tak seorang pun tahu, adalah kesibukan hati Manahan. Ketika lawannya telah sangat terdesak, dan melawannya dengan segenap ilmu yang dimilikinya, Manahan menjadi berdebar-debar. Agaknya ia pernah bertempur dengan seseorang yang memiliki ilmu yang demikian dahsyat serta lincah. Meskipun demikian sesaat ia masih bertempur sepenuh tenaga. Ia tak mau ditelan oleh angan-angannya, yang belum mendapat kepastian. Karena itulah ia masih saja mendesak maju, serta mempersempit setiap kesempatan bergerak dari lawan, yang bagaimanapun lincahnya, akhirnya merasakan juga ilmunya belum dapat disejajarkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Manahan.

Akhirnya ketika ia sudah tidak mampu lagi melawan dengan tangannya, tiba-tiba memancarlah sebuah cahaya yang berkilat-kilat. Di tangan orang itu kemudian tergenggam sehelai pedang yang tipis, yang agak lebih kecil sedikit dibandingkan dengan pedang biasa.

Melihat pedang itu hati Manahan berdesir. Cepat ia meloncat mundur, dan dengan dada bergetaran ia akan mencoba untuk menghentikan pertempuran. Namun belum lagi mulutnya sempat mengucapkan kata-kata, orang itu telah meloncat menyerang dadanya. Tetapi sekarang Manahan tidak lagi berusaha untuk melawan, bahkan menghindar pun tidak.

Ketika ia melihat pedang itu, dan kemudian ia melihat ujung pedang itu selalu bergetar dalam tangan lawannya, ia sudah pasti, siapakah orang itu. Karena itu betapa menyesalnya, bahwa ia telah benar-benar bertempur, dan bahkan mungkin sudah menyakitinya pula.

Dalam sesaat itu, ia sudah dapat mengetahui hampir segala persoalan kenapa tiba-tiba ia diserangnya. Juga ia yakin bahwa lawannya telah pula mengetahui siapakah sebenarnya dirinya.

Sebaliknya, orang itupun terkejut ketika Manahan sama sekali tak menghindari mata pedangnya yang sudah hampir merobek dada itu. Kalau semula ia benar-benar marah dan dendam, namun ketika Manahan sama sekali seolah-olah pasrah diri, hatinya bergoncang. Tiba-tiba saja timbullah suatu perasaan, bahwa tidak semestinyalah ia harus melukai orang itu, apalagi setelah lawannya itu pasrah. Lebih-lebih sampai mengambil jiwanya. Karena itu, kemudian dengan gugupnya ia mencoba untuk menarik serangannya. Tetapi sayang bahwa lontaran tenaga loncatnya sedemikian besar. Maka yang dapat dilakukannya adalah mengubah arah pedangnya. Meskipun demikian, karena ujung pedangnya yang setajam pisau pencukur itu sudah hampir melekat dada, maka terpaksa ujung pedang itu masih menggores lengan Manahan.

Mengalami peristiwa itu, Manahan berdesis kecil sambil terdorong setapak ke samping oleh gerak naluriahnya. Tetapi setelah itu, kembali ia tegak seperti patung, tanpa suatu usaha untuk membalas, apalagi membinasakan lawannya.

Berdesirlah setiap dada, dari mereka yang mengelilingi arena pertempuran itu. Sedang diantara mereka, dada Handakalah yang paling terguncang. Tanpa disengajanya ia telah meloncat maju. Tetapi kemudian ia tidak berani melangkah, sebelum mendapat izin dari gurunya. Meskipun keinginannya untuk melakukan apapun karena kemarahannya yang telah memuncak melihat gurunya dilukai, pada saat gurunya sudah menghentikan perlawanan. Sedangkan ia yakin bahwa kalau saja Manahan menghendaki, pasti ia berhasil menghindari tusukan pedang itu.

Tetapi lebih dari segala keanehan yang telah terjadi, orang-orang di sekitar arena pertempuran itu seolah-olah benar-benar melihat suatu pertunjukan yang sengaja untuk memusingkan kepala mereka. Sebab setelah itu, tiba-tiba ia melihat orang yang telah melukai Manahan itu pun berdiri pula seperti patung sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun sangat menyesal bahwa Manahan telah terluka. Orang itu merasa bersalah, bahkan lebih dari itu, berbagai-bagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Karena itu dengan tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Setelah itu, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Sima Rodra yang masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera ia menjatuhkan dirinya, dan berlutut di sampingnya.

Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan pula.

Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis seorang perempuan.

”Ayah…” terdengar suara di antara isak tangis itu.

Untunglah, bahwa pada saat itu sisi telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan.  Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena luka-luka di tubuhnya bagian dalam.

Karena itu ia masih dapat mendengar seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia memandanginya.

Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu, ”Ayah….

Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh. Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan. Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya, hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya, bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya itu.

Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya, ”Siapakah kau…?

Orang yang berlutut itu memandang wajah Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap dihanyutkan banjir.

Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus, ”Siapakah kau…?”

Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih, ”Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis.”

”Wilis, kau Rara Wilis…?” tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.

”Ya, ayah….” Aku Rara Wilis.

”Wilis… Wilis….” Suara Sima Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya. Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.

Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.

Melihat Mahesa Jenar berusaha menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu letih, namun ia memaki-maki juga. Katanya, ”Pergilah kau Mahesa Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada tubuhku.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.

”Tenangkanlah hatimu Sima Rodra, bisik Mahesa Jenar. Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula, ”Wilis… benarkah kau anakku…?”

”Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu,” jawab Rara Wilis sedih.

”Di mana ibumu sekarang?” tanya Sima Rodra semakin lemah.

Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya, ”Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah.

Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.

”Wilis…” katanya kemudian, ”Maafkanlah ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan maafku kepada kakekmu, Ki Santanu.

”Ayah…” sahut Rara Wilis, ”Lupakanlah apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng Pandan Alas.” 

”Pandan Alas…?” ulang Sima Rodra.

”Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Rara Wilis menegaskan.

“O…” kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam. Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas, “Alangkah bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau memperoleh ilmu yang dahsyat itu….”

Rara Wilis mengangguk kecil. Jawabnya, “Aku pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku, aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam keadaan parah.

Kembali terdengar Rara Wilis menangis terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.

”Sudahlah Wilis…” kata Sima Rodra, ”Kau adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku. Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?

Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk. Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya. Sambil menunjukkan keris itu ia berkata, Inilah ayah.

”Sigar Penjalin…” desis Sima Rodra,Cobalah aku merabanya.”

Segera keris itu diserahkan kepada Sima Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian, terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke tangan Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia memekik kecil.

”Kenapa kau terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah membunuhku. Adakah kau kenal dia…?”

Rara Wilis mengangguk perlahan.

Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya, ”Hem…” desahnya. ”Siapakah orang ini sebenarnya…?”

”Sebagai yang ayah kenal,” jawab Rara Wilis, ”Namanya Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya.”

”Bekas prajurit…?” ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda. ”Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?”

”Tak ada,” sahut Rara Wilis.

”Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan.”

“He…” Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata, ”Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu.”

Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, ”Maafkan aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku akan berlalu dengan hati yang lapang.”

”Ayah…” potong Rara Wilis, ”Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah.” 

Ki Panutan itu tampak tersenyum. Meskipun wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah sama sekali. Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia berbisik perlahan sekali, ”Wilis… biarlah aku pergi. Puaslah sudah hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku telah menjadi seorang gadis yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau berlutut di sampingku meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda dan dosa.”

Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.

”Ayah… ayah….” Rara Wilis hampir memekik.

Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.

”Ayah, jangan pergi….” jerit Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.

Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh keikhlasan. Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis memekik tinggi. Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.

Melihat semuanya itu, serta setelah mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian mereka masih berdiri tegak seperti patung. Bagus Handaka juga tidak beranjak dari tempatnya. Ia kini sudah teringat siapakah orang itu. Namun ia mengenalnya sebagai Pudak Wangi.

Maka terharulah sekalian yang menyaksikan peristiwa itu. Pertemuan pada saat-saat terakhir yang memilukan. Tidak ketinggalan pula hati Mahesa Jenar. Disamping itu ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

Tiba-tiba kembali hatinya digetarkan oleh gadis anak Ki Panutan itu. Dengan tangkasnya gadis itu berdiri tegak. Tangan kirinya menggenggam Kyai Sigar Penjalin, sedangkan tangan kanannya menuding ke arah Mahesa Jenar dengan pandangan yang menyala-nyala.

Rara Wilis hampir saja tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Setelah bertahun-tahun ia bekerja keras untuk dapat merebut ayahnya dan kemudian berangan-angan untuk dapat hidup damai kembali di tempat asalnya, ternyata kini pada saat yang diimpi-impikan itu datang, ayahnya terbunuh oleh Mahesa Jenar.

Maka dengan gemetar penuh luapan perasaan ia berkata, ”Kakang Mahesa Jenar. Kau telah merampas seluruh masa depan yang kuangan-angankan selama ini. Karena itu Kakang, aku akan membuat suatu perhitungan hutang-piutang. Kau telah membebaskan diriku dari tangan Jaka Soka di hutan Tambak Baya. Tetapi kemudian kau binasakan ayahku pada saat aku menemukannya. Dengan demikian maka aku anggap bahwa hutang-piutang kita telah lunas. Sejak ini aku anggap bahwa aku adalah orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Mahesa Jenar. Semua persoalan berikutnya adalah persoalan yang harus diperhitungkan tersendiri.

”Wilis…” jawab Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak sempat berkata lebih banyak lagi, sebab sekejap kemudian Rara Wilis telah meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan, menerobos ke dalam gelap malam, dan hilang di dalamnya.

Mahesa Jenar kemudian diam tertegun. Banyak hal yang sebenarnya akan diutarakan. Tetapi apa boleh buat. Sebenarnya ia sangat kecewa mendengar kata-kata Rara Wilis. Kalau ia membunuh Sima Rodra, adalah karena Sima Rodra telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bertentangan dengan perikemanusiaan, apalagi dipandang dari segi Ketuhanan.

Namun demikian ia percaya, bahwa pada suatu saat Rara Wilis pasti akan dapat menginsyafi hal ini.

Melihat kekisruhan yang sedang membelit hati Mahesa Jenar, yang dikenal oleh penduduk Gedangan bernama Manahan, tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi bertanya sesuatu kepadanya, termasuk Bagus Handaka. Baru kemudian ketika Manahan itu telah melangkah pergi dan mengajak muridnya, Wiradapa segera menjejerinya, meskipun ia masih berdiam diri.

Pada pagi hari berikutnya, atas permintaan Mahesa Jenar, diselenggarakanlah pemakaman Sima Rodra muda yang sebenarnya bernama Ki Panutan, dengan baik. Bagaimanapun jahatnya orang itu, namun pada saat terakhirnya, ia sudah menemukan dirinya kembali. Karena itu wajarlah bahwa terhadap jenazah itu tidak perlu dilakukan pembalasan dendam.

Namun bagaimanapun, pada hari itu perasaan Manahan seolah-olah sedang diselimuti oleh kabut tebal. Ia merasa bahwa dirinya telah dihanyutkan oleh keadaan yang sama sekali tak menguntungkan. Adalah suatu kebetulan yang sangat menyulitkan bahwa orang yang pertama-tama dibinasakan adalah Sima Rodra, ayah Rara Wilis.

Meskipun demikian, dengan penuh kesadaran Mahesa Jenar yang juga bernama Manahan itu, tetap pada pendiriannya. Bahwa mereka yang termasuk dalam golongan hitam harus dibinasakan, terutama pemimpinnya, yang mempunyai nama menggetarkan seperti Lawa Ijo, sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan tidak ketinggalan Istri Sima Rodra yang masih tidak kalah berbahayanya.

Maka karena semuanya itu pula Mahesa Jenar teringat pada kesanggupannya untuk mencari Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Diketemukannya kedua keris itu, akan dapat membuktikan pula bahwa Gajah Sora tidak bersalah.

Karena itu maka ia bermaksud untuk secepatnya meninggalkan Gedangan meneruskan perjalanan. Tetapi kemana…?

Dari Wiradapa ia pernah mendengar seorang yang menamakan diri Panembahan Ismaya. Menurut Wiradapa, berdasarkan kabar yang baru-baru saja didengarnya, orang itu adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya.  Meskipun Panembahan Ismaya itu hampir tidak meninggalkan pertapaannya, namun ia adalah seorang yang sakti, yang mungkin dapat menunjukkan di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, atau setidak-tidaknya petunjuk ke mana ia harus mencari, atau bagaimanakah caranya untuk menemukannya.

Dengan demikian maka timbullah keinginan Manahan untuk bertemu dengan orang yang disebut Panembahan Ismaya itu. Seandainya orang itu tidak dapat menunjukkan pusaka-pusaka yang hilang itu, namun setidak-tidaknya pertemuan dengan seorang Panembahan akan banyak memberinya manfaat.

Maka segera Manahan mengemukakan hasratnya itu kepada Wiradapa, untuk mendapat petunjuk-petunjuk ke mana ia harus pergi serta syarat-syarat yang diperlukan untuk menemui Panembahan Ismaya.

Setelah ia mendapat beberapa petunjuk maka segera ia minta diri untuk menghadap Panembahan itu, serta seterusnya melanjutkan perjalanannya. Tentu saja Wiradapa merasa keberatan, tetapi bagaimanapun juga Manahan terpaksa meninggalkan padukuhan kecil itu.

Setelah Manahan memberikan beberapa petunjuk untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin datang, baik dari pihak Sawung Sariti maupun dari pihak istri Sima Rodra, dengan memberikan latihan-latihan singkat kepada beberapa orang, barulah Manahan tega meninggalkan pedukuhan Gedangan. Sebab kemungkinan yang paling baik adalah mempergunakan senjata-senjata jarak jauh dengan mengandalkan jumlah yang banyak. Sebab tidak mungkin mereka melakukan perlawanan perseorangan terhadap orang-orang seperti Sawung Sariti ataupun Istri Sima Rodra.

Di suatu pagi yang cerah, berangkatlah Manahan dan Bagus Handaka meninggalkan Gedangan untuk menghadap seorang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya, dengan diantar oleh berduyun-duyun penduduk yang ditinggalkan sampai ke ujung desa. Mereka melepas Manahan bersama muridnya dengan hati yang berat. Sedang sebenarnya Manahan pun merasa khawatir pula. Tetapi ia mengharap bahwa apabila masih ada orang-orang yang mendendam, dendam mereka tidak ditujukan kepada rakyat Gedangan, tetapi kepada dirinya yang telah bertekad menghadapi segala akibat dari perbuatannya.

Sebaliknya, dengan perjalanan itu, Handaka menemukan kegembiraannya kembali. Berjalan di alam luas, di bawah langit yang terentang tanpa batas. Batu -batu yang menjorok di lereng-lereng bukit, serta semak-semak yang terserak-serak diantara padang-padang ilalang, tampaknya sangat mengagumkan di bawah cahaya pagi. Gemersik daun-daun yang bergerak ditiup angin, terdengar seperti suara orang yang berbisik-bisik, terpesona oleh kebesaran alam serta Maha Penciptanya.

Di lereng-lereng bukit, di kehijauan rumput yang basah oleh embun, tampak berloncat-loncatan, dan kemudian menghilang di dalam semak anak-anak kijang yang keriangan.

Tetapi perjalanan mereka kali ini bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Setelah mereka bermalam satu malam di perjalanan, maka pada keesokan harinya, tanda-tanda yang pertama dari padepokan yang dicarinya telah tampak.

Di sebuah puncak bukit kecil, tampaklah dari kejauhan sebatang pohon beringin tua yang menghijau diantara batu-batu padas yang berwarna sawo. Itulah padepokan yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Di situlah Panembahan Ismaya mengolah diri, bertapa mesuraga. Belum lagi matahari mencapai titik tertinggi di langit, mereka telah menyusur jalan setapak yang melingkar-lingkar menaiki lereng bukit kecil itu.  Sampai di lambung bukit, Manahan dan Bagus Handaka telah dipesonakan oleh tanam-tanaman berbunga yang asri. Di sana sini tampaklah taman-taman yang teratur rapi, diwarnai oleh dedaunan yang berseling-seling. Tanam-tanaman yang berdaun lebar, berdaun sedang dan tanam-tanaman yan berdaun sempit. Dari yang berwarna hijau muda, hijau tua dan berwarna kemerah-merahan.

Demikianlah Manahan dan Bagus Handaka berjalan di antara keindahan taman bunga yang digarap oleh tangan yang pasti sangat mencintai alam.

———-oOo———-

IV

Beberapa lama kemudian tampaklah dua orang cantrik menuruni lereng itu. Wajahnya jernih cerah dan masih sangat muda, sebaya dengan Bagus Handaka. Meskipun pakaian mereka sangat sederhana, namun tampaknya bersih dan serasi.

Tetapi mereka menjadi terkejut sekali ketika mereka melihat Manahan dan Bagus Handaka menaiki bukit itu. Bahkan mereka kemudian terpaku seperti patung dengan pandangan yang bertanya-tanya. Melihat sikap mereka, segera Manahan mengetahuinya, bahwa pasti bukit kecil yang terpencil ini sangat jarang dikunjungi orang.  Untuk segera menghilangkan kesan yang kurang baik, segera Manahan dan Bagus Handaka mengangguk hormat. Melihat tamunya mengangguk, kedua cantrik itupun segera menanggapinya, dan dengan ramahnya berkata, ”Tuan… apakah keperluan Tuan berdua mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini?

Dengan ramah pula Manahan menjawab, ”Ki Sanak, kedatangan kami kemari adalah terdorong dari keinginan kami untuk menghadap yang terhormat Panembahan Ismaya yang bertapa di bukit Karang Tumaritis. Bukankah bukit ini yang bernama KarangTumaritis?

Kedua cantrik itu tersenyum. Salah seorang diantaranya menjawab, ”Benar Tuan, bukit kecil ini memang bernama Karang Tumaritis. Dan di bukit ini pula tinggal Panembahan Ismaya. Kami adalah cantrik-cantrik yang mengabdikan diri pada Panembahan. Kalau Tuan-tuan ingin menghadap, baiklah kami sampaikan nama Tuan-tuan berdua kepada Panembahan Ismaya. Sedang Tuan-tuan kami persilahkan untuk menanti di bawah beringin itu.

”Baiklah Ki Sanak,” sahut Manahan. ”Nama kami adalah Manahan dan Bagus Handaka.”

Setelah mengangguk sekali lagi, segera kedua cantrik itu berlalu untuk menyampaikan permintaan kedua orang tamu yang akan menghadap Panembahan.

Di bawah beringin tua, Manahan dan Bagus Handaka menanti, sambil menikmati keindahan lembah dan ngarai yang terbentang di bawah bukit kecil itu. Pandangan mata mereka beredar dari relung-relung lembah, padang-padang rumput di dataran yang berseling dengan semak-semak, kemudian merayapi lereng-lereng bukit kecil itu sendiri dan akhirnya taman bunga di sekitar mereka. Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa bagian dari taman itu tersulam beberapa jenis tanaman baru. Bukan karena jenis tanaman baru itu akan menambah keasriannya, tetapi jelas bahwa sulaman itu disebabkan karena kerusakan. Dugaan mereka bertambah kuat pula ketika mereka melihat pagar-pagar hidup yang membatasi jalan-jalan sempit di pekarangan itu terdapat beberapa sulaman pula. Siapakah kira-kira yang merusakkan tanaman-tanaman yang begitu rapi itu…?

Belum lagi Manahan dan Bagus Handaka selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah kedua cantrik yang menemuinya tadi berjalan mendekatinya. Dua cantrik itu baru saja muncul dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.

Beberapa langkah di depannya, kedua cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah seorang, Tuan, marilah Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug kami dahulu. Panembahan tengah merendam diri di telaga Pangawikan di bagian selatan bukit ini. Nanti apabila matahari telah surut beliau baru kembali.

”Ki Sanak…” jawab Manahan, ”Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan.”

Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain, ”Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami.

”Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam”, sahut Manahan.

”Tuan benar,” jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan, ”Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan.

Tidak sepantasnyalah kalau Manahan menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang besar di sisi pintu.

”Tuan…” kata salah seorang, ”Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami.”

”Silahkan,” kata Manahan sambil mengangguk.

Kedua orang itu segera meninggalkan Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan senyum ramah pula ia menyapa, ”Tuankah yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?”

Mendengar pertanyaan itu Manahan dan Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.

Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia, “Tuan… kalau demikian agaknya aku salah duga. Mungkin ada tamu yang lain yang bernama seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab Panembahan telah memerintahkan kepadaku untuk datang mendahului kemari menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah kesalahan ini. Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui Panembahan?”

Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus terang, ”Ki Sanak, benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.”

Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam, ”Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan.

Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur, ”Ki Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut nama-nama kami yang sebenarnya.”

”O….” desis cantrik itu. ”Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya.”

Mendengar keterangan itu, Manahan dan Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.

”Kalau demikian…” cantrik itu melanjutkan, ”Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang.

Kemudian duduklah cantrik itu bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula, Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.

Maka kemudian mereka bercakap-cakap tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung manfaat untuk obat-obatan.  Akhirnya sampailah pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta sulaman-sulaman barunya. Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono, ”Tuan, beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa orang berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan kuda-kuda mereka menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan memaki-maki. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka menghadap Panembahan, agaknya mereka merasa kecewa karena beberapa sebab. Lalu seorang diantaranya yang sebaya dengan Tuan Muda putra Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja merusak taman kami, tetapi mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami.”

”Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya?” tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.

Cantrik itu menggelengkan kepalanya, katanya, ”Siapakah diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar.

Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang melonjak-lonjak.

Maka, ketika mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.

Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah pertanyaannya, Alangkah tangkasnya gadis kecil itu. ”Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?

Jatirono tertawa kecil. Jawabnya, ”Gadis kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal, yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan.

”O…” sahut Mahesa Jenar. ”Karena itulah maka wajahnya bercahaya.”

”Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?”

”Endang Widuri,” jawab Jatirono.

„Endang Widuri?“ ulang Mahesa Jenar.  „Suatu nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna pula.”

”Mudah-mudahan demikianlah,” jawab Jatirono, ”Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang.”

Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka berkatalah Jatirono, ”Tuan berdua, kami persilahkan tuan beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar.”

Maka pergilah Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada bidang.  Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat ia berkata, ”Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap.

Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang Panembahan seperti Panembahan Ismaya. Sedang Arya Salaka, justru karena selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan suatu kejanggalan apapun. Meskipun dari gurunya ia selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan.

Dari pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.

”Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan”, kata pemuda yang bertubuh tegap itu.

Menilik sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki dari Endang Widuri.

Ketika mereka memasuki rumah itu segera mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh kulit kayu. Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya.

Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.

Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.

”Silahkan Anakmas, silahkan….” Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan, ”Alangkah bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini.

Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab, ”Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan.”

Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar, ”Bagiku kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya.”

Mahesa Jenar menjadi semakin sibuk menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama Rangga Tohjaya?

Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali, ”Marilah Anakmas….”

Seperti orang yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.

Setelah Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.

Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya.

Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu, “Anakmas, kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud. Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini, sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah tempurung.

Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab, “Panembahan telah mengetahui apa yang tidak pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua. Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak percaya akan ketajaman pandangan Panembahan.”

Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih. ”Anakmas telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya. Maka dengan agak berat Mahesa Jenar berkata, ”Bapa Panembahan, aku mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan. Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu lalu terbunuh di Gedangan.

Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.  Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata, ”Anakmas, dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula kepadaku.

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut, ”Bapa Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan.”

Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, ”Aku sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu.”

Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut dunia ini dapat diketahuinya.

Agaknya perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan, ”Anakmas, aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu. Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk membantu. ”

Mendengar keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri.  Maka karena itu segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, ”Panembahan adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi.”

Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan, ”Anakmas berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya dibekali oleh kemauan melulu.”

Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata, ”Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga.”

Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat. Selanjutnya memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.

Namun setelah tujuh hari mereka tinggal di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung-nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas.  Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua keris itu.

Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.

Tetapi pada beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan. Mula-mula mereka sama sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama.

Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.

Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi memenuhi undangan itu.

Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.

”Anakmas…” kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu. ”Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….” Panembahan Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.

”Di sekeliling bukit ini…” Panembahan itu meneruskan, ”Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula.

”Benar Bapa Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. ”Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini”.

Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula, ”Tak ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas.” Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.

Mendengar permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya, ”Bapa Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang sangat menarik hati itu.

”Benar Anakmas,” sambung Panembahan, ”Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini.

”Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…?” tanya Mahesa Jenar.

”Anakmas…” jawab Panembahan itu, ”Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?

Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia menjawab, ”Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada ”Panembahan.

Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya, ”Hal itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan.”

”Panembahan…” sela Mahesa Jenar, ”Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami?

Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya, ”Itupun tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum pasti.”

Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.  Maka yang dapat dikatakan hanyalah, ”Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa.”

”Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan keselamatannya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu. Sebagai seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.

Maka ketika malam telah larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam.

 ———-oOo———-

 Bersambung ke Jilid 11

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

kembali | lanjut >>

7 Tanggapan

  1. melu MASUK pak satpam

  2. Dalam kisah itu Mahesa Jenar sebagai tokoh tetapi kok tidak disebut siapa orang tuanya, sementara Kebo Kanigoro, Gajah Sora ada disebut orang tua…….tolong dijelaskan lagi……

  3. Mantap…

Tinggalkan komentar