NSSI-17


<< kembali | lanjut >>

I.

MALAM yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.

Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang.

Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir. “Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu.

Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.

Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.

Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.

Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”

Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.

Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”

Bagus…” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?”

Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.

Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.

Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”

Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.

Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”

Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”

Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.

Akulah orangnya,” jawab Jadipa.

Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”

Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”

Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?

Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.

Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”

Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”

Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah – olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita.

Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”

Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis.

Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.

Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.

Dalam pada itu, Widuri sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar. Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.

Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata mereka semakin erat.

Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu, Carang Lampit?”

Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.

Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya, “Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang gila itu.”

Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa. Meskipun ia sama sekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu, namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur melawannya.

Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu, karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu pula.”

“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.

Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang ada di dalam.

Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak begitu keras dan sama sekali tidak mengerikan. Orang-orang yang berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”

“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.

Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”

Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”

Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.

“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu.

Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?”

“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.”

Bagus…” jawab Lawa Ijo. “Bahwa kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau sudah bosan hidup?”

“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku sama sekali masih belum bosan hidup.”

“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.

“Aku sama sekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.

“Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina aku.”

“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.

Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu, pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.”

Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”

Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku senangi.”

Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.

Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang kepalanya.”

Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”

Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”

Carang Lampit tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang di tangan kiri.

Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.

Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah orang itu?”.

Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya.

Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”

Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.

Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.

Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.

Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.

Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan, tidak akan banyak membuang tenaga.

Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah dari mantingan masih saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau mencoba melawan maka kau akan menyesal”

Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya.

Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada saat akhirmu.”

Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali. Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka sama sekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba. Namun yang sama sekali diluar perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang, sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap penjuru. Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.

Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian antara anak buahnya dengan beberapa orang yang muncul dari dalam pondok yang telah hampir saja dimasukinya. Apalagi kemudian ketajaman matanya dapat menangkap bahwa yang bertempur itu adalah dua orang gadis, seorang anak muda disamping orang yang gagah dan bersenjatakan kapak. Bahkan kemudian tanpa disengaja ia bergumam, “Siapakah mereka itu?”

Dan tanpa disengaja pula Mantingan menjawab, “Mereka itulah yang telah kau sebut-sebut namanya.”

Lawa Ijo tidak berkata-kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya. Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya, maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak. Di sebelah lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya. Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya dari arah yang berlawanan.

Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya dari Lawa Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.

Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali ketika ia melihat Wadas Gunung sama sekali tidak berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk melawannya bertiga, sama sekali tidak menyulitkan anak muda itu. Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu. Ia merasa bahwa gadis kecil itu sama sekali bukanlah pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.

Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”

Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”

Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”

Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh kalian.”

 Juga, kata-Kata Endang Widuri itu sama sekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, “He, Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan kalian.”

Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.

Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya itu. Meskipun demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh tangannya.

Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.

Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Demikianlah ketekunan kakeknya itu, sama sekali tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali, meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat perhitungan dengan janda ayahnya itu.

Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia sama sekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk menekan lawannya.

Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya. Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka sama sekali tidak putus asa.

Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah mendekati lingkaran pertempuran.

Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh gairah.

Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama menjadi semakin terdesak.

Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya. Karena itu segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau lakukan?”

Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan membunuh mereka itu satu demi satu.”

Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.

Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala itu menjadi seperti disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!”

Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang lain.”

Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas. Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian menyerang kembali dengan ganasnya.

———-oOo———-


II

Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang, menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga sasarannya seolah-olah sama sekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.

Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi.

Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-cara yang kasar dan curang.

Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.

Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur. Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga. “Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya. “Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan Carang Lampit.”

Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu bertempur sama sekali seenaknya saja, meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan. Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.

Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri.

Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti kedudukannya.

Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya. dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini. Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak. Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini. Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa.  Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya.

Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran. Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Wirasaba.

Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin berbahaya.

Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.

Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.

Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.

Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan, ”Persetan kau Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan.”

Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil. Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.

Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.

Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, ”Paman Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.”

Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya? Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka.

Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.

Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya, ”Di manakah lawan Angger tadi…?”

Arya Salaka masih saja tersenyum. ”Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula.”

”Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.

”Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. ”Anak buahmu itu terlalu keras kepala,


Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak, ”Benar kau lakukan pembunuhan itu?”

”Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main.”

Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, ”Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”

Terpaksa, gumam Arya Salaka.

Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.

Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?

Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala.

Gila! geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama. Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.

Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.

Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindarinya.

Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu. Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya sendiri.

Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan.

Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.

Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo.

Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar.

Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.

Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh. Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.

Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.

Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu.

Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya.

Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.

Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.

Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri.

Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.

Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.

Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.

Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata, “Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”

Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”

Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya.

Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.

Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya? Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi.

Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari Mentaok ini.”

Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu.

Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat kepalanya letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat di samping mereka berdiri.

Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.

Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.

———-oOo———-


III

Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.

“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.

Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”

Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”

Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab, “Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”

“Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”

“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.

“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”

Mantingan mengangguk.

“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”

Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab. “Kami sama sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.”

“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”

“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.

Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.”

“Ya” jawab Mantingan pendek.

Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.

Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam. Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?.”

Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”

Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat bilalang terbang.”

Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya.

Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”

Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula. Dengan menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”

Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak.

Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-tama akan menerima hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan. Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya.   Melihat sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi, ia sama sekali tidak takut menghadapi barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya bergumam di belakang topengnya. Kemudian terdengar Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh gadis gila itu.” Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata-katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah gadis kecil itu.”

Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”

“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.

Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.

Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram. Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.

Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar. Beberapa kali terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.

Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung. Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”

Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”

Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.

Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.

Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah setitik cahaya terang di dalam dada mereka.

Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam, terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah-mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi merupakan umpan-umpan yang sama sekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.

Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga ini. Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian yakin akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”

Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya menatap wajah Endang Widuri.

“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya Pasingsingan.

Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”

“Pergilah,” dengus Pasingsingan.

Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.

Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.

Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar-lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.

Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya sama sekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.

Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya. Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir. Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin pusaran mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak pernah mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran bersama, namun karena pengalaman mereka masing-masing, segera mereka dapat menyesuaikan diri. Ternyata gerak mereka dapat sedikit menolong memperpanjang waktu. Mula-mula Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan terhadap rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-ganti dari segenap arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut berputar pula mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada tempat yang tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa Rara Wilis yang berdiri di belakang Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya dapat membantu melawan iblis yang mengerikan itu, disamping serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka dari arah yang lain. Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil menyerang Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya untuk menghindari sambaran tangan Pasingsingan sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi dengan demikian pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan berhasil meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba menyerangnya ketika Pasingsingan sedang terapung di udara. Tetapi kapak raksasanya itu terayun menebas angin. Dengan menggeliat Pasingsingan berhasil menghindari sambaran kapak itu. Namun sayang bahwa demikian kakinya menjejak tanah, terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil menghindar, terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia berusaha memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia sudah siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar seperti baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh jubahnya. Sekali lagi Pasingsingan berdesis marah. Tetapi demikian ia siap untuk menyerang dari bawah ke arah tubuh Endang Widuri, teringatlah ia akan pesan muridnya, sehingga maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi semakin marah. Terasa sesuatu menyumbat dadanya, sehingga terdengarlah giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari saluran untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci itu berhasil mengenainya, meskipun hanya jubahnya. Dalam kemarahan yang memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan iblis itu tergenggam sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu di tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, “Aku masih berbaik hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar jangkrik dengan ilmu Alas Kobar.”

Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu. Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi meskipun demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir, sampai tetes darah terakhir pula.

Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi. Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan Lawa Ijo. Pasingsingan mengharap Lawa Ijo dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah akhirnya terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti bayangan hantu di malam yang kelam menyerang dengan dahsyatnya.

Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa iblis itu hancur bersama dengan mereka.

Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.

Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa, “Selamat malam Pasingsingan muda, yang pernah bergelar Umbaran.”

Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya itu.

Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut menyebut nama orang itu dengan penuh harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka.

Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng jeleknya, “Mahesa Jenar.”

“Ya,” jawab orang itu. “Hampir aku terlambat datang.”

Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo setidak-tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu.

Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya yang sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah mendapat suatu firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti anak panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain di tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.

Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Alangkah sejuknya malam.”

Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya, karena itu ia menjawab, “Sejuk, bahkan terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar sampai menggigit tulang.”

Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.

Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ya, alangkah sejuknya malam.”

Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang telah menggigil kedinginan.

Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, “Alangkah anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala. Kalau malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak merasakan betapa tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda mereka.”

“Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran. “Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan main.”

Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-sela suara tertawanya. “Kakang Bantaran. Untunglah bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.”

Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi sesuatu.

Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk tidak menggelisahkan pengikutnya. “Apakah yang telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?”

“Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas kudanya,” jawab Kebo Kanigara.

Sirep,” desis Mahesa Jenar.

Ya,” jawab Kanigara singkat.

Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi menguap sambil menggerutu, “Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”

Kami terlalu letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.

Mendengar pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi cemas. Maka katanya kepada Mahesa Jenar, “Kita beritahu mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan kesadaran mereka. Sedang Paman Wanamerta, aku kira mempunyai kemampuan yang cukup dalam tubuhnya yang telah tua dan penuh pengalaman itu.

“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

Kemudian Kebo Kanigara melambaikan tangannya dan sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah menyusulnya.

Adakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.

“Ya,” jawab mereka hampir bersamaan.

Bagus,” sahut Kebo Kanigara, “Itu pertanda bahwa perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau tidak.”

Mereka menggeleng bersama-sama.

Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”

“Sirep,” potong mereka hampir bersamaan.

Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, “Ya, kalian merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian sedang mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”

“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan. Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang baik di dalam usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-masing.

Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya. Kemudian terdengarlah ia bergumam, “Hem…. Untunglah Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan sembarang kantuk.

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, “Nah, kalau demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan ini dan melubangi tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.”

Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar. Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam.

Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti ratusan kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka menjadi semakin tidak tenteram.

Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang di tengah jalan. Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara berbisik, “Mereka benar-benar menghadang perjalanan kita.”

“Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.

“Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya. Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi bertambah nyata. Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-satunya putri yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun apabila salah seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai, siapapun yang sedang berada di sana.

Kalau begitu…” akhirnya Kebo Kanigara mengambil keputusan, “Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu. Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang perjalanan kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.”

“Baik Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke perkemahan di Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia sama sekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara pasti akan dapat mengatasi keadaan.

Dalam pada itu, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”

Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya.

———-oOo———-


IV

Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan, “Siapa kalian?”

“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.

“Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo. “Kalian mau ke mana?”

“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.

“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.

“Dari manakah kalian?” Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. “Aku datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?”

Lawa Ijo tertawa, jawabnya, “Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”

“Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.

Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu. “Berapa orang kalian semuanya?”

“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.

“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.

Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu Kanigara berkata lantang, “Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”

Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.

Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya, “Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.”

Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab, “Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”

Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, “Kau benar. Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.”

Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.

Dengah demikian maka Kanigara menjawab, “Jangan membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan barangkali…?”

Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata, “Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang yang ditemuinya.”

Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya. Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya. “Gila,” gumamnya, “Siapakah orang ini?

Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.

Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.

Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.

Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan. “Ayolah kita tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.

Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.

Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu. Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat, “Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”

“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.

Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya, “Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”

Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang-orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arya Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat. Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.

Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi, “Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama itu?”

Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, “Tuan, aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”

“Hem…” Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut, “Adakah ceritanya itu menarik?”

“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”

Dengan gelisah Pasingsingan mendesak, “Jawab ptanyaanku. Siapakah yang kau maksudkan dengan Pasingsingan muda itu”

“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar. “Pasingsingan sahabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”

“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.

“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, “Bukankah Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.”

“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.

“Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan. “Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.

Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan yang satu itu.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah Tuan tidak percaya?- “

“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.

“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.

Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.

“Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan. Karena itu dengan marahnya ia menggeram, “Nah, sekarang aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku mencapai ujung cemara itu.”

Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus, “Dua orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama Umbaran.”

Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki, “Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu.

Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.

Tentu,” Pasingsingan menegaskan, “Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, “Ternyata Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”

Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus, “Sayang bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”

Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, “Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”

Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata, “Apakah untung kami untuk bertempur bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”

Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, “Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”

Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar. “Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”

Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.

Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang.

Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya.

Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu.

Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.

Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.

Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.

Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.

Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap Ngampar itu. Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok. Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.

Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.

Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis. Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung diterima dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling membunuh.

Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya. Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka.

Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya.

Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri. Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar.

Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri.

Karena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental selangkah mundur.

Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh.

Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak. Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar biasa besarnya..? Hanya dalam waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kucing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.

Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.

Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram, “Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak seorangpun dapat mencegahnya.

———-oOo———-

V

Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan. Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.

Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian.

Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan.

Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya. Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu telah mampu melawannya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…?

Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?

Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.

Dengan demikian, Pasingsingan bertempur semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton.

Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar.

Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.

Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.

Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.

Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya.

Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.

“Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.

Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan.

Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas Kobar.

Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.

Mantingan yang sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati. Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa. Mantingan bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mampu menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.

Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya. Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak.

Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian. Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.

Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu.

Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka. Rara Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorang pun yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya, “Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.” Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa. Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan.

Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga.

Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar.

Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan.

Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.

Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu. Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai pundak itu.

Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya.

Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu.

Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut.

Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.

Apalagi ketika ia kemudian melihat Pasingsingan itu tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya terdengarlah ia bergumam, “Hem… aku terpaksa melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau berteriak minta ampun.”

Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka sama sekali tidak mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya. Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun belum lagi ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar yang lain. Sekali lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa kedua sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi terdengar ia bergumam, “Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”

Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha untuk meloncat mendekati. Namun langkah Wilis pun terhenti ketika tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa depan.

Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang matanya sama sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil mencapai laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya menjadi luluh.

Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya dari aji Alas Kobar itu.

Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain. Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan menggeram, “Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula, sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman. Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran penglihatan mereka. Tiba-tiba dari antara mereka Arya Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih, “Adakah guru selamat…?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya telah mengalir dan membendung segenap rangsangan yang menyentuh tubuhnya.

Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang cepat. Terasa betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak. Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya. Dengan demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh. Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu yang menggelinding karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya perlawanan. Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran, mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu, sehingga batu itu sendiri sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.

Akhirnya segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya, perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah sama sekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas Kobar, namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya melampaui panasnya bara.

Namun demikian, ia tidak segera bangkit. Ia masih mencoba meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak kembali.

Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri, mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di tangannya.

Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap melekat di hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi terharu juga, ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh perasaan sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa, Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak. Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin panas. Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas tanah ini. Atas kerajaan Demak.

Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-laki yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula niatnya akan selalu dirintanginya. Karena itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu. Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh, yang bercahaya kekuning-kuningan.

Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya ini.

Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu.

Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa Jenar segera melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.

Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap itu melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa idamannya, yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti. Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan, sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang tak akan dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar.

Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki kuda itu. Ia percaya bahwa tak seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua, untuk mendapat pengadilan.

 ———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 18

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

<< kembali | lanjut >>

5 Tanggapan

  1. Kalimat pertama terpotong:

    MALAM yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. …


    terimakasih Ki Raharga, langsung menuju ke TKP.

  2. Lama gak ke padepokan, untuk serial Nagasasra ini apa gak ada versi DJVU-nya, sehingga bisa dibaca secara oflline? rasanya lebih ‘nges’ gitu?

    • lho….,
      rupanya Ki Sabalintang sudah lama sekali tidak ke padepokan pelangisingosari.
      sudah sampai jilid 17 Ki
      monggo….

Tinggalkan komentar