ISTANA YANG SURAM 02


ISTANA YANG SURAM

Jilid 2

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-02KUDA RUPAKA mengangguk-angguk, perlahan-lahan ia meraba dahi Kasdu kemudian dadanya dan terakhir disusupkannya tangannya dibawah tengkuknya.

Tiba-tiba Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Kenapa Ki Buyut menipu aku?”

“Menipu?, Maksud Raden.?”

“Ki Buyut benar, bahwa anak ini telah terkena racun yang dapat membuatnya lumpuh, karena syarafnya langsung dilumpuhkan oleh racun itu”

“Ya… jadi kenapa Raden mengatakan aku telah menipu?”

“Tetapi anak ini tidak lumpuh, buta dan tuli… meskipun ia tidak bergerak dan tidak menunjukkan tanggapan apapun atas kedatanganku, seolah-olah ia memang tidak melihat dan tidak mendengar, namun aku mengetahui dengan pasti, bahwa sudah ada obat yang dapat menyembuhkannya”.

Dada Ki Buyut menjadi berdebar-debar, dalam beberapa hari ia harus menyaksikan beberapa macam peristiwa yang seolah-olah berada diluar jangkauan nalarnya.

Mula-mula sentuhan tangan kasar, yang membuat Kasdu menjadi kehilangan kesadaran dan kelumpuhan syarat mutlak. Kemudian ia melihat Kidang Alit berhasil mengobatinya meskipun Kasdu baru akan dapat pulih dengan perlahan-lahan dalam waktu yang cukup lama, yang dapat mengerti apa yang sebenarnya dihadapi. Kasdu sudah tidak lagi lumpuh, buta, tuli dan bisu.

Dalam kebingungannya itu Ki Buyut bertanya diluar sadarnya, “Dari mana Raden mengetahui bahwa anak itu sudah diobati?”

“Ujung jari-jariku tidak dapat dikelabui meskipun mungkin mata dan telingaku dapat, aku yakin bahwa anak ini akan sembuh dalam jangka yang pendek. Antara tiga atau empat bulan, bukankah begitu..?”

“Maaf Raden, bukan maksudku untuk menipu, tetapi aku hanya ingin berhati-hati”.

“Aku tahu, sebab jika orang yang melukai anak ini mengetahui bahwa kelumpuhan syaraf itu dapat disembuhkan, ia akan datang dan membunuhnya dengan cara lain. Mungkin anak ini akan dicekik atau langsung ditusuk jantungnya dengan belati atau keris yang mengandung warangan yang kuat, dan ditungguinya sampai ia yakin bahwa anak ini mati”

“Ya… ya Raden” Ki Buyut tergagap.

“Baiklah, aku justru bersyukur bahwa sudah ada seorang yang mengobatinya. Siapakah yang mengobati itu?”

Bab 4

“Seorang petualang yang singgah di padukuhan ini, Raden”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, kemudian bertanya, “Ki Buyut, apakah Ki Buyut mengetahui, siapakah yang sudah melukai anak ini dan yang menyembuhkannya?”

“Yang aku ketahui adalah mereka yang ada di padukuhan ini”

Kuda Rupaka menarik nafas. Katanya, “Mungkin orang yang kau ceritakan itu adalah orang yang tertentu dengan ciri-ciri tertentu, sehingga orang-orang yang ada di padukuhan ini, jelasnya tiga orang yang kasar itu adalah sebagian dari kesatuan yang jauh lebih besar lagi”

“Kami yang di padukuhan ini tidak mengetahuinya Raden”

Kuda Rupaka mengangguk-anggukan kepalanya, lalu katanya, “Ki Buyut, baiklah aku memberitahukan kepada Ki Buyut. Bukan maksudku membuat Ki Buyut bertambah kecil. Yang melukai anak muda ini tentu seorang yang datang dari perguruan yang namanya sangat dikagumi, Guntur Geni”

“Guntur Geni” Ki Buyut mengulang. Namun ia menjadi heran. Kidang Alit pernah juga menyebut sebuah perguruan, tetapi perguruan itu dipimpin oleh Kiai Sekar Pucang, yang masa mudanya tersebar semacam dongeng bahwa orang yang bernama Kiai Sekar Pucang itu tidak dapat mati, kebal dari segala macam senjata dan dapat melenyapkan diri dari tangkapan mata wadag. Tetapi kini anak muda yang bernama Raden Kuda Rupaka itu menyebut sebuah perguruan lain. Perguruan Guntur Geni.

“Apakah Ki Buyut pernah mendengarnya?” bertanya Kuda Rupaka kemudian.

Ki Buyut menggeleng dengan ragu-ragu. Jawabnya, “Belum Raden, aku belum pernah mendengar nama perguruan itu”.

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Perguruan Guntur Geni adalah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang menyebut dirinya seperti nama seorang sakti pada masa beberapa puluh tahun yang lalu. Mungkin ia adalah muridnya yang paling dikasihi sehingga ia berhak memasuki namanya pula”.

“Siapakah nama itu?” tiba-tiba Ki buyut menjadi ingin tahu.

“Kiai Sekar Pucang”

“Ooo….” Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang baru saja hilang”.

“Apakah Ki Buyut pernah mendengar nama itu?”

“Dahulu Raden. Pada masa aku masih muda, Kiai Sekar Pucang adalah orang yang sangat sakti, ia tidak dapat mati dan kebal, bahkan dapat menghilang”.

Kuda Rupaka tertawa, mirip sekali dengan saat-saat Kidang Alit tertawa, ketika ia mendengar kesaktian Kiai Sekar Pucang yang diucapkannya. Dan yang dikatakan oleh Rupaka ternyata mirip sekali pula. “Tidak seluruhnya benar Ki Buyut, Kiai Sekar ucang memang memiliki aji Lembu Sekilan. Tidak lebih. Memang jarang yang ada orang yang memiliki ilmu itu. Tetapi ada pula ilmu yang akan dapat menembus kekuatan daya tahan aji Lembu Sekilan, sehingga aji itu hampir tidak berarti sama sekali.”

Ki Buyut mengangguk-angguk, rasa-rasanya ia berhadapan sekali lagi dengan Kidang Alit. Apalagi ketika Kuda Rupaka berkata, “Tetapi sudah barang tentu bahwa Kiai Sekar Pucang pun akan mati, tidak ada orang yang tidak dapat mati”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dalam saat-saat terakhir ia menghadapi banyak sekali teka-teki yang harus dipecahkannya, disamping kegelisahan yang memuncak karena tingkah tiga orang kasar yang sudah beberapa saat berada di padukuhannya yang kecil.

Beberapa tahun yang lalu. Ki Buyut menjadi cemas ketika Pangeran Kuda Narpada menyatakan keinginannya tinggal di padukuhan ini. Karena dengan demikian akan dapat mengundang banyak persoalan. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian adalah kemajuan dan harapan bagi penduduk padukuhan kecil yang terpencil itu. Namun justru setelah Pangeran Kuda Narpada pergi, bahkan untuk waktu yang sudah cukup lama. Yang dahulu pernah dicemaskan itu baru datang, diikuti dengan kehadiran orang-orang yang dianggap aneh.

Karena Raden Kuda Rupaka menyebut beberapa hal yang mirip sekali dengan yang dikatakan oleh Kidang Alit, maka Ki Buyut mulai dibebani lagi oleh pertanyaan yang semakin menekan hatinya, “Siapakah sebenarnya Kidang Alit itu?”

“Ki Buyut…, berkata Raden Kuda Rupaka kemudian, “Baiklah untuk sementara aku minta diri, aku akan menghadap bibi Kuda Narpada. Mungkin kedatanganku dapat memberikan suasana yang agak baik bagi keluarganya meskipun aku tidak akan tinggal terlampau lama di istana itu”.

“Jadi Raden hanya akan tinggal sebentar di padukuhan ini?”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Aku hanya menengok keselamatan bibi, aku mempunyai tugas tertentu yang tidak dapat terlampau lama aku tinggalkan”

Ki Buyut mengangguk-angguk sejenak. Tetapi sebagai orang tua ia tidak dapat menahan hati dan berkata, “Raden…, agaknya istana kecil itu kini terancam. Kehadiran Raden adalah suatu kebetulan. Jika Raden dapat membantu Raden Ayu Kuda Narpada, maka alangkah gembiranya hati kami, penduduk padukuhan terpencil yang merasa pernah berhutang budi kepada penghuni istana itu. Pangeran Kuda Narpada telah memberikan banyak sekali kepada kami, dan kami tidak mampu untuk berbuat apapun juga.”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Baiklah, Ki Buyut, kami berdua akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bibi”.

Namun tiba-tiba Ki Buyut bertanya, “Raden, apakah Raden tidak mengetahui, kemanakah Pangeran Kuda Narpada itu pergi?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, dipandanginya Panji Sura Wilaga, namun orang itu tidak memberikan tanggapan apapun.

Karena itu, maka Kuda Rupaka berkata, “Pamanda Kuda Narpada pergi ke tempat yang tidak diketahui, tetapi sebaiknya kita tidak usah berbicara tentang sesuatu yang tidak aku mengerti dengan pasti. Jika aku membuat kesalahan, akibatnya mungkin akan sangat merugikan. Baik bagiku sendiri maupun bagi pamanda Kuda Narpada”.

“Tetapi Pangeran Kuda Narpada masih hidup?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, sekilas ia berpaling memandang Panji Sura Wilaga. Namun kemudian ia berhasil menguasai perasaan dan menjawab sambil tersenyum. “Tentang pamanda Kuda Narpada, itu pun aku tidak mengetahui dengan pasti, karena itu, jangan berbicara lagi tentang pamanda Kuda Narpada”

Ki Buyut hanya dapat mengangguk-angguk, tetapi beberapa patah kata itu agaknya telah menumbuhkan harapan di dalam dadanya, bahwa Pangeran Kuda Narpada masih diliputi oleh rahasia yang tidak terpecahkan. Kemanakannya sendiri pun tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi dengan demikian berarti bahwa belum dapat dipastikan bahwa Pangeran Kuda Narpada telah tidak ada lagi.

Meskipun demikian, Ki Buyut sama sekali tidak mendesak lagi. Ia tidak mau membuat kedua orang itu membuat kesan yang kurang baik padanya, sehingga dapat menyulitkan hubungan buat selanjutnya.

Karena itu, maka, Ki Buyut pun berkata, “Maaf Raden, aku tidak berniat memberikan pertanyaan yang kurang Raden senangi, tetapi baiklah, jika Raden ingin pergi ke istana yang menjadi semakin suram itu, aku persilahkan Raden menyelusuri jalan ini, satu-satunya jalan yang melalui depan regol istana kecil itu.” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu. “Tetapi apakah Raden memerlukan seorang pengantar yang akan menunjukkan jalan ke istana itu?”.

“Aku sudah menempuh perjalanan yang jauh sekali, dan aku dapat menemukan padukuhan ini, karena itu, aku tidak memerlukan penunjuk jalan untuk menghabiskan sisa perjalanan yang tinggal beberapa langkah saja ini”

Ki Buyut mengangguk-angguk, lalu katanya, “Sebenarnya kami ingin menjamu Raden berdua….” ia berhenti sejenak, lalu dengan ragu-ragu ia berkata, “Mungkin dengan demikian kami dapat mengurangi kesibukan Raden Ayu di Istana kecil itu”.

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, lalu, “Jadi apakah keadaan bibi sudah terlampau sulit sekarang ini..?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Selama ini tidak ada penghasilan apapun juga bagi Raden Ayu, sedangkan mereka harus membiayai hidup mereka sehari-hari”.

“Dan tidak ada seorang pun yang membantunya…?”

“Kami sudah berusaha, tetapi Raden Ayu Kuda Narpada tidak terlampau mudah menerima bantuan orang lain, bahkan untuk memperbaiki atap istananya pun Raden Ayu belum dapat menerimanya”.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Keteranganmu mendorong aku untuk lebih cepat lagi mengunjungi bibi” ia berhenti sejenak, lalu berpaling kepada Panji Sura Wilaga, “Marilah Paman, kita segera pergi ke rumah bibi”

Demikianlah Raden Kuda Rupaka segera meninggalkan rumah Ki Buyut dan langsung menuju ke istana kecil yang terpisah beberapa tonggak dari padukuhan induk.

Di sepanjang jalan padukuhan beberapa orang dengan termangu-mangu memandang kedua orang penunggang kuda itu, sebagian dari mereka telah mengetahui bahwa keduanya telah singgah beberapa saat di rumah Ki Buyut di Karangmaja.

Sebagian dari mereka telah ditumbuhi oleh harapan, bahwa keduanya akan membuat perubahan-perubahan didalam padukuhan itu. kehadiran tiga orang kasar yang memiliki kemampuan mengerikan itu telah membuat Karangmaja serasa diselubungi oleh kecemasan dan ketakutan.

“Apakah kehadiran keduanya itu dapat merubah suasana?” bertanya seorang kepada kawannya.

Kawannya menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak seorang pun yang mengerti, tetapi mungkin justru sebaliknya, kedua orang itu akan mengalami nasib yang serupa dengan Kasdu.”

“Kasihan sekali, apakah dengan demikian berarti Raden Ayu Kuda Narpada yang sudah dalam kesulitan itu harus menanggung dua orang lumpuh, bisu, tuli dan buta…?”

Kawannya mengangkat bahunya, tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, kedua ekor kuda berderap terus menuju ke istana kecil itu. tidak terlampau cepat, karena keduanya tenggelam dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

“Paman” berkata Kuda Rupaka, “Ternyata di padukuhan ini tinggal beberapa orang dari perguruan Guntur Geni, itu merupakan tanda bahaya bagi kehadiran kita, meskipun kita tidak harus melarikan diri.”

“Bukan hanya dari perguruan Guntur Geni Raden, tetapi masih ada yang harus kita pertimbangkan”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, lalu, “Ya… ternyata ada orang yang mampu melawan kekuatan racun dari perguruan Guntur Geni itu, siapakah kira-kira orang itu?”

Sura Wilaga menggelengkan kepalanya, katanya, “Sulit untuk menebak, tetapi pasti orang yang memiliki kemampuan seimbang dengan perguruan Guntur Geni, dan perguruan yang demikian itu tidak banyak jumlahnya. Hanya satu atau dua saja di daerah yang luas, yang berada di kekuasaan Demak sekarang”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Kita memang harus berhati-hati, rasa-rasanya padukuhan kecil ini kini telah berubah menjadi daerah jelajah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, justru karena istana kecil itu”.

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, namun ketika ia akan berbicara, tiba-tiba wajahnya menegang, ia memandang beberapa puluh langkah di hadapannya ketika ia telah berada di mulut lorong padukuhan.

Tetapi Kuda Rupaka justru tersenyum sambil berkata, “Kau juga melihatnya..?”

“Ya Raden, tiga orang yang barangkali telah disebut oleh Ki Buyut”.

Kuda Rupaka mengangguk, katanya, “Sekarang kita sudah langsung dapat bertemu, jika mereka ingin berbuat sesuatu sekarang ini, agaknya memang menyenangkan sekali, kita baru saja menempuh perjalanan yang berat, sehingga hati kita masih tegang, mungkin dengan demikian kita akan dapat melayani mereka dengan kasar seperti apa yang dapat mereka lakukan. Tetapi jika sempat beristirahat dan merenungi martabat kita, maka kita akan terlampau berhati-hati dan berbuat seperti seorang kesatria”

Panji Sura Wilaga tersenyum, katanya, “Baiklah Raden, Tiga orang dari perguruan Guntur Geni”.

Kuda Rupaka tersenyum pula, katanya, “Kau mulai menilai kemampuan kita masing-masing?”

“Ah bukankah itu wajar?”

Keduanya berjalan terus, seolah-olah mereka tidak melihat sesuatu, mereka sama sekali tidak memperhatikan tiga orang yang berkuda yang berada di lereng gumuk kecil disebelah istana kecil yang terpencil itu.

Ternyata kehadiran kedua orang itu telah mengejutkan pula ketiga orang yang sedang mengawasi istana kecil dari lereng bukit, rencana yang telah mereka susun di padukuhan terpencil itu.

“He…!, siapakah mereka” bertanya Kumbara kepada kedua kawannya.

Gagak Wereng dan Naga Pasa mengerutkan keningnya, kedatangan kedua orang itu benar-benar telah menggoncangkan setiap rencana yang telah setiap susun.

“Dua orang bangsawan” desis Naga Pasa.

“Gila… apakah mereka keluarga Pangeran Kuda Narpada?”

“Kita belum tahu pasti”

Namun tiba-tiba Gagak Wereng berkata, “Kita tidak perlu mempertimbangkan banyak persoalan, marilah kita potong perjalanan mereka yang tinggal beberapa langkah itu. kita bunuh mereka di muka gerbang istana yang sudah pudar itu”.

Kumbara mengerutkan keningnya, untuk beberapa lamanya ia merenung. Sedang Gagak Wereng mendesaknya, “Ya….kakang Kumbara, apakah kita menunggu mereka memasuki regol?”

“Membunuh keduanya tidak sulit, tetapi dengan demikian kita sudah menumbuhkan persoalan lain di padukuhan ini. Kau sangka keduanya itu berdiri sendiri?, jika pada waktunya mereka belum kembali ke istananya, maka ayahnya, pamannya, kakeknya dan prajurit-prajuritnya akan mencarinya. Tentu mereka tahu pasti bahwa anak itu pergi mengunjungi Raden Ayu Kuda Narpada”.

“Tetapi itu akan terjadi satu atau dua pekan mendatang, sementara itu, kita sudah menghilang dari padukuhan ini.”

“Kita sudah meninggalkan bekas disini, mereka akan menemukan ciri-ciri tentang kita semuanya dan segera menyusul ke padepokan dengan kekuatan yang tidak terlawan. Mungkin pasukan segelar sepapan dengan senapati-senapati pilihan dari Demak”.

“Tunggu…!” tiba-tiba yang lain memotong, “Apakah kau sudah yakin bahwa keduanya termasuk keluarga Pangeran Kuda Narpada?”

“Memang masih harus kita yakinkan, tetapi demikianlah dugaanku”.

Sejenak ketiga orang itu terdiam. Mereka memandangi saja kedua orang bangsawan yang berkuda menyusuri jalan menuju ke istana kecil itu.

“Kita yakin sekarang, mereka pasti keluarga Pangeran Kuda Narpada”.

“Dan kita yakin sekarang, bahwa kita tidak akan dapat begitu saja membunuhnya”.

Kumbara menggeram, katanya, “Jadi, apakah semua rencana kita harus batal?”

“Tidak, tidak harus batal, kita akan mencari jalan yang paling baik untuk dapat untuk dapat melaksanakan semua rencana itu”

“Tidak ada jalan lain kecuali dengan membunuh kedua orang itu”.

“Mungkin, tetapi sudah barang tentu dalam waktu yang tepat. Atau barangkali mereka tidak akan terlalu lama tinggal di istana itu.”

“Baiklah, kita menunggu dua hari lagi, Jika dalam waktu dua hari ini keduanya tidak meninggalkan istana itu, kita harus segera bertindak. Tidak ada kesempatan yang akan terbuka kelak, jika tidak sekarang.”

Kedua orang yang lain mengangguk-angguk. Sambil memandang kedua orang yang berkuda. Dengan acuh tidak acuh terhadap mereka bertiga itu. Naga Pasa berdesis, “Mereka amat sombong, aku sebenarnya ingin membunuhnya sekarang”

“Mungkin mereka belum tahu, siapakah kita. Jika mereka besok atau lusa mendengar tentang anak Karangmaja yang lumpuh, buta dan tuli itu, tentu keduanya akan memperhitungkan kehadiran kita disini” Jawab Kumbara.

Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Mereka memandang saja kedua orang yang semakin lama semakin dekat dengan pintu gerbang istana kecil itu.

Dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka pun sekali-kali memandang ketiga orang itu dengan matanya, tetapi ia memang dengan sengaja memberikan kesan bahwa ia tidak mengacuhkan kehadiran ketiga orang di lereng bukit kecil itu.

“Kita langsung masuk kehalaman istana itu paman?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Sura Wilaga termangu-mangu sejenak, namun kemudian, “Memang sebaiknya demikian Raden, mungkin kedatangan Raden akan sangat mengejutkan. Tetapi Raden akan segera dapat memberikan penjelasan dan tentu Raden Ayu Kuda Narpada akan senang sekali menerima Raden di Istananya yang sudah menjadi suram itu.”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Aku sependapat paman, mungkin aku akan mengejutkan bibi, tetapi kemudian bibi tentu akan sangat senang menerima kedatanganku” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana jika bibi nanti bertanya tentang pamanda Pangeran Kuda Narpada?”

Panji Sura Wilaga termangu-mangu sejenak, “Namun kemudian katanya, “Raden jangan membuat Raden Ayu menjadi semakin muram, sebaiknya Raden mengatakan saja, bahwa Raden tidak mengetahui sama sekali masalah pamanda Raden itu”.

“Bibi tentu tidak akan percaya…”

“Raden katakan saja bahwa Raden memang mendengar bahwa pamanda telah pergi bersama kedua orang pangeran yang lain”

“Ya…, Pamanda Pangeran Cemara Kuning dan Pamanda Pangeran Sendang Prapat”

“Seterusnya Raden tidak mengetahui apa yang terjadi dengan kedua Pamanda Raden itu”.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, ketika ia memandang tiga orang yang berada di lereng bukit itu, dilihatnya ketiganya sedang meninggalkan tempatnya.

“Kita memang harus berhati-hati Raden” berkata Panji Sura Wilaga.

“Aku mengerti Paman, mereka bukan orang-orang yang dapat diabaikan, namun percayalah, mereka tidak akan dapat berbuat banyak atas kita, kita bukan sebangsa anak Karangmaja yang menjadi lumpuh, bisu, buta dan tuli, untunglah ada seseorang yang dapat mengobatinya. Seseorang yang harus masuk dalam hitungan kita.”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut. Sementara itu mereka berdua semakin dekat dengan regol halaman yang mulai nampak gersang meskipun masih tetap bersih.

“Kita berhenti di depan regol” berkata Kuda Rupaka.

“Kenapa..??”

“Kita menunggu seseorang yang akan keluar dari regol itu”

“Tidak akan ada orang yang keluar dari regol. Kitalah yang harus masuk dengan hati-hati, agar jangan membuat penghuninya ketakutan”.

Raden Kuda Rupaka setuju, Karena itu, maka ketika mereka berada di depan regol, keduanya segera meloncat turun. Dengan hati-hati Panji Sura Wilaga membuka pintu regol itu dari luar perlahan-lahan.

“Diselarak Raden” desisnya

“Kau dapat membukanya?”

“Akan aku coba…”

Raden Kuda Rupaka menunggu sejenak, Panji Sura Wilaga dengan susah payah berhasil juga membuka selarak regol dari luar dengan menyusupkan tangannya disela-sela daun pintu yang sudah renggang.

“Marilah Paman” ajak Kuda Rupaka.

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia pun kemudian menutup pintu regol kembali, sebelum mereka kemudian melangkah menuju tangga pendapa.

“Sepi sekali…” desis Kuda Rupaka.

“Ya… sepi sekali” sahut Panji Sura Wilaga

Untuk beberapa saat mereka berdiri termangu-mangu di pendapa, pintu pringgitan pun ternyata tertutup pula, sedangkan pintu samping sebelah menyebelah pun masih juga tertutup.

Dengan ragu-ragu Raden Kuda Rupaka mengucapkan salam perlahan-lahan. Namun semakin lama semakin keras. Tetapi tidak seorang pun yang membuka pintu pringgitan di belakang pendapa itu.

“Apakah kita akan masuk ke halaman samping atau ke longkangan gandok?”

“Apakah kiranya tidak akan mengejutkan sekali?” bertanya Panji Sura Wilaga.

“Itulah, jangan-jangan bibi menjadi pingsan.”

“Tetapi bagaimanakah jika kedatangan kita tidak diketahui oleh Raden Ayu..?, mungkin sehari penuh kita harus berdiri disini sampai seseorang keluar dengan membawa sapu lidi untuk membersihkan halaman”.

“Baiklah” berkata Raden Kuda Rupaka, “Pegang kendali kudaku, aku akan masuk lewat ke longkangan, mudah-mudahan pintu samping itu tidak diselarak pula”.

Panji Sura Wilaga pun kemudian menerima kendali kuda Raden Kuda Rupaka yang dengan ragu-ragu pergi ke pintu disisi kanan halaman istana itu. Perlahan-lahan ia mendorong pintu yang tertutup itu, ternyata pintu itu tidak diselarak, sehingga perlahan-lahan pula pintu itu terbuka.

Agar kedatangannya tidak mengejutkan sekali, maka Kuda Rupaka sekali lagi mengucapkan salam, namun tidak seorang pun yang menyahutnya. Beberapa titik keringat telah membasahi punggungnya, tetapi Kuda Rupaka terpaksa tersenyum sendiri, rasa-rasanya ia memasuki suatu tempat yang sangat mendebarkan jantungnya.

Beberapa langkah ia pun kemudian memasuki longkangan, dilihatnya longkangan dan gandok sebelah kanan pun sepinya bukan main, seolah-olah ia berada di dalam istana yang sudah bertahun-tahun kosong sama sekali.

Namun telinganya yang tajam itu pun kemudian mendengar suara seseorang di belakang, bahkan kemudian ia mendengar isak tangis. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang, untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri, ketika kakinya hampir saja meloncat berlari kebelakang.

Sambil menahan hati, Kuda Rupaka berjalan dengan hati-hati menuju ke tempat suara tangis itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar langkah didalam istana, dekat sekali dari tempatnya berdiri.

Karena itu, agar ia tidak mengejutkan orang-orang yang ada dibelakang, sekali lagi ia mengucapkan salam. Ternyata suaranya kali ini dapat didengar oleh penghuni istana itu, dari dalam ia mendengar suara seorang perempuan.

“Siapa diluar….?.

“Aku…… Kuda Rupaka”

“Kuda Rupaka…?, Aku belum pernah mendengar nama itu…”

“Aku ingin menghadap bibi Kuda Narpada….”

Sejenak tidak mendengar suara apapun. Agaknya perempuan yang menyahut tadi masih ragu-ragu, namun kemudian terdengar pintu berderit, perlahan-lahan daun pintu butulan itu pun terbuka.

Ketika sebuah wajah nampak dari balik daun pintu, dada Kuda Rupaka terguncang, wajah itu adalah wajah seorang gadis yang sangat cantik, Inten Prawesti.

Sejenak kemudian bagaikan membeku, Inten Prawesti pun terkejut melihat anak muda dalam pakaian kebangsawanannya berdiri di longkangan.

Ternyata Kuda Rupaka segera berhasil menguasainya, karena itu, maka ia pun segera bertanya. “Apakah aku berhadapan dengan diajeng Inten Prawesti..?”

“Ya,,, aku Inten Prawesti” jawab gadis itu terbata-bata.

“Aku adalah Kuda Rupaka, aku ingin menghadap bibi, apakah bibi ada di istana ini..?”

Ternyata hati Inten yang tergoncang, masih belum dapat ditenangkan, karena itu, maka dengan gelisah ia menerima tamunya yang rasa-rasanya belum pernah dilihatnya. Ia tidak sempat mempersilahkannya masuk ke dalam tetapi dengan tergesa-gesa ia berlari kebelakang mendapatkan ibundanya.

“Ibunda” desisnya, “Ada tamu di longkangan”

“Tamu…?” Ibunya menjadi heran, sudah lama ia tidak pernah mendengar sebutan itu…TAMU.

“Apakah benar kita menerima tamu…?” bertanya ibundanya pula.

“Ya…, tamu yang agak lain”

Ibundanya menjadi ragu-ragu, sejenak dipandangnya Nyi Upih yang sedang menangis, tiba-tiba tangisnya terhenti.

“Nyi…” berkata Raden Ayu Kuda Narpada, “Jangan menangis lagi, kita akan menerima tamu, biarlah anak-anakmu ini berbaring tenang lebih dahulu. Agaknya mereka tidak apa-apa, hanya karena lelah amat sangat, mungkin lapar dan haus, biarlah mereka beristirahat”

“Ya gusti, aku mengucapkan terima kasih tiada terhingga jika Gusti mengijinkan kedua anak-anakku yang menyusul aku ini tinggal disini bersamaku.”

“Ah, kenapa aku keberatan…? Aku senang sekali mendapat kawan di istanaku yang sepi dan terpencil ini”

Nyi Upih mengusap matanya.

”Kita mengucap sukur kepada Yang Maha Agung karena kedua anak-anakmu telah selamat sempai kepadamu meskipun wajahnya menjadi merah biru dan kakinya luka-luka”

Setitik air mata telah mengembun lagi di mata Nyi Upih, katanya, “bertahun-tahun mereka mencari aku, rasa-rasanya mereka sudah menjadi orang yang paling hina. Tidak lebih baik dari pengemis di sepanjang jalan kota raja, pakaian compang-camping, tubuh yang rusak.”

“Tetapi mereka selamat”

Nyi Upih mengangguk-angguk, sementara Inten Prawesti menggamit ibundanya sambil berbisik, “Tamu itu masih berdiri di longkangan”

Sebenarnyalah Kuda Rupaka masih berdiri di longkangan, Ia justru menjadi gelisah, kenapa Inten itu juga belum juga mempersilahkan masuk atau naik ke pendapa.

Namun sejenak kemudian muncullah seorang perempuan yang lain, seorang yang sudah melampui pertengahan umurnya.

Demikian perempuan itu muncul dimuka pintu, maka Kuda Rupaka pun segera meloncat maju, dengan serta merta ia berjongkok sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Bibi, baktiku bagi bibi Kuda Narpada”

“Anak muda” berkata Raden Ayu, “Siapakah sebenarnya kau ini?, aku belum pernah melihatmu dan aku belum pernah mengenalmu”

“Ampun bibi, mungkin bibi belum pernah mengenal aku, atau barangkali bibi sudah melupakan aku, aku adalah Kuda Rupaka, Putera Ayahanda Pangeran Lingga Watang”

“Putera Pangeran Linggar Watang?, jadi kau putera Kamas Linggar Watang?”

“Ya, bibi”

Raden Ayu Kuda Narpada mengusap kepala anak muda itu, setitik air mata nampak di pelupuknya, namun Raden Ayu Kuda Narpada tidak menangis.

“Inten” panggil Raden Ayu Kuda Narpada, “Kemarilah, ini adalah saudara sepupumu Kuda Rupaka, putera pamanmu Pangeran Lingga Watang” lalu, “Marilah Kuda Rupaka, masuklah, apakah kau datang seorang diri?”

“Tidak bibi, aku datang bersama paman Panji Sura Wilaga”

“Ooo…” tetapi keningnya berkerut, “Aku belum pernah mendengar nama itu!”

“Mungkin belum bibi, paman Panji Sura Wilaga adalah salah seorang perwira dari Demak”

“Ooo…” Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, “Dimana Panji Sura Wilaga sekarang?”

“Di depan bibi, di tangga pendapa”

“Marilah, kalian harus kami terima dengan penuh kehormatan, sudah terlalu lama kami hidup terpencil dari sanak kadang”.

Demikianlah maka Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga itu pun kemudian diterima dengan segala senang hati, Nyi Upih pun kemudian sibuk mempersiapkan hidangan bagi kedua tamu tuannya itu. sementara Inten Prawesti mondar-mandir menghidangkan hidangan ke pendapa.

“Apakah tamunya masih muda puteri?” bertanya Nyi Upih.

“Yang seorang Nyai, yang seorang sudah separuh baya, yang seorang adalah putera pamanda Pangeran Linggar Watang, sedangkan yang seorang adalah pengiringnya, seorang senopati dari Demak. Apakah kau belum pernah mengenalnya?”

“Yang sudah aku kenal adalah Pangeran Linggar Watang itu sendiri dahulu, tetapi aku belum pernah melihat orang yang bernama Pangeran Sura Wilaga”

“Bukan Pangeran Nyai”

“Ooo…” Nyi Upih mengangguk-angguk, tentu seorang anak muda yang tampan”

“Ah, darimana kau tahu?”

“Pangeran Linggar Watang adalah seorang Pangeran yang tampan, gagah tinggi dan tegap, sedang Raden Ayu adalah seorang perempuan yang sangat cantik, juga bertubuh tinggi semampai. nah, apakah puteranya tidak akan menjadi seorang yang gagah, bertubuh tinggi dan berdada bidang, sedang wajahnya adalah wajah yang cerah dan tampan?”

“Tetapi Kuda Rupaka tidak begitu tinggi”

“Namun anak-anak muda masih akan berkembang, tentu Raden Kuda Rupaka akan bertambah tinggi dan tegap”

Inten Prawesti tersenyum, tetapi ia tidak menyahut, bahkan tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan anak-anakmu Nyai?”

“Mereka sedang berbaring didalam bilik puteri”

“Apakah mereka sudah tenang?”

“Ya puteri, tetapi anak perempuan itu agaknya masih selalu gelisah”

“Nyai” tiba-tiba Inten bertanya sambil meletakkan nampan, “Kenapa aku belum pernah melihat anak-anakmu dahulu?, apakah anak-anakmu tidak pernah menengokmu saat kau bersama kami di Majapahit?”

“Nyi Upih tersenyum, katanya, “Sebuah ceritera yang memalukan sekali puteri”

“Cerita yang mana yang kau maksud?”

“Ah sudahlah”

“Ceritakan, bukankah sudah lama kita meninggalkan Majapahit, dan agaknya kita tidak akan kembali lagi?”

“Ah…” Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam sambil menyiapkan makan bagi tamu-tamunya, “Puteri, sebaiknya aku menyelesaikan tugasku ini dahulu, bukankah tamu itu akan segera dipersilahkan makan”

“Kau dapat menanak nasi sambil berceritera”

“Sebaiknya puteri ikut menemui tamu itu”

Inten menggeleng sambil tersenyum, katanya, “Aku malu Nyai”

“Ah, bukankah tamunya adalah saudara sendiri?”

“Tetapi aku malu” wajah Inten menjadi kemerah-merahan, “Sekarang ceritakan saja tentang anak-anak Nyai itu”

“Apakah menarik?”

“Tentu, mereka akan menjadi kawan-kawanku bermain”

“Puteri, dahulu aku ditinggalkan oleh suamiku, aku dicerai olehnya, anak-anakku itu dibawanya, dan diserahkannya kepada seorang ibu tiri. Demikianlah berlangsung lama, sehingga akhirnya suamiku itu meninggal. Anak-anakku tidak kerasan tinggal bersama ibu tirinya, mereka mencari aku ke kota, tetapi Majapahit sudah menjadi karang abang, dari beberapa orang mereka mendengar perjalanan Pangeran Kuda Narpada, karena itulah maka mereka menyusul perjalanan kita”

“Tetapi mereka terlambat bertahun-tahun”

“Tetapi Yang Maha Agung masih ingin mempertemukan anak dengan orang tuanya. Barangkali mereka menganggap lebih baik tinggal dengan ibu sendiri, betapapun sulitnya untuk mencari, dari pada dengan ibu tiri”

“Tentu, tentu Nyai, Eee.. Siapakah nama mereka? Aku belum sepat bertanya karena nampaknya mereka manjadi sangat letih dan anak perempuanmu itu hampir pingsan”

“Aku menemukan mereka di pinggir jalan ketika aku mencari sayuran ke padukuhan, aku hampir tidak mengenal mereka lagi” tiba-tiba mata Nyai Upih menjadi basah.

Inten tidak mendesaknya lagi, Ia tidak mau mengganggu perasaan Nyi Upih yang sudah hampir menjadi tenang kembali, apalagi ia harus menyiapkan makan bagi tamu-tamunya yang tentu juga lelah dan lapar.

Karena itu, Inten pun kemudian meninggalkan Nyi Upih yang mengisi waktunya dengan kesibukan di dapur, agar hatinya tidak selalu dipengaruhi oleh perasaan pedih melihat keadaan anak-anaknya.

Tetapi Inten pun menjadi gelisah, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan, dari celah-celah pintu pringgitan yang terbuka, ia melihat kedua tamunya duduk bersama ibunya, sekali-kali ia melihat kedua tamu itu mengangguk-angguk, agaknya ibunya menceritakan berbagai kesulitan hidup yang dialaminya.

Namun demikian Inten tidak mau ikut menemui karena perasaan malu seorang gadis. Meskipun tamu itu adalah saudara sepupunya, tetapi sudah terlampau lama Inten Prawesti tidak bergaul dengan seseorang diluar lingkungannya. Apalagi anak-anak muda.

Tiba-tiba saja Inten Prawesti yang termangu-mangu itu teringat kepada suara seruling dikejauhan, sudah agak lama ia tidak mendengar suara seruling yang sering didengarnya dekat dengan istananya. Tetapi sejak ia seolah-olah mengasingkan diri didalam istananya, suara seruling itu pun tidak pernah didengarnya lagi.

“Aku memang tidak ingin melihat anak itu lagi” desisnya. “Ternyata anak muda itu bertabiat buruk, Ia mengambil seorang gadis, yang kemudian diberikannya kepada orang lain”.

Dalam kegelisahan, dan ketidak tentuan apa yang harus dilakukannya, Inten Prawesti pun kemudian memasuki bilik Nyai Upih. Hampir diluar sadarnya ia mendekati kedua anak Nyi Upih yang berbaring dengan letihnya.

Melihat kedatangan Inten Prawesti anak laki-laki Nyi Upih itu pun segera bangkit, meskipun kemudian ia harus menyeringai. Tetapi adiknya ternyata tidak beranjak dari tempatnya. Punggungnya rasa-rasanya hampir patah setelah berjalan untuk waktu yang sangat lama menyusuri daerah selatan sampai ke daerah Gunung Sewu.

“Berbaring sajalah” berkata Inten Prawesti, “Kau tentu sangat letih”

“Maaf puteri, adikku memang sangat letih”

“Biarlah ia berbaring, “ berkata Inten ketika melihat gadis itu akan bangkit, “Jangan bangkit”

“Ampun puteri”

“Jangan segan, tetap berbaringlah”

Gadis itu pun kemudian meletakkan kepalanya kembali diatas tikar.

“Oo.. Kakimu berdarah” berkata Inten Prawesti.

“Sedikit puteri” jawab gadis itu.

Inten Prawesti pun kemudian duduk diatas pembaringan Nyi Upih, sedang kedua anak-anak itu berbaring diatas tikar di lantai.

“Siapa namamu?” bertanya Inten Prawesti.

“Sangkan puteri, sedangkan adikku bernama Pinten”

“Oo.., nama yang baik, Sangkan dan Pinten, “Inten mengangguk-angguk, “Jadi selama ini kau berjalan dari kota raja sampai ke lereng pegunungan ini?”

“Ya puteri, perjalanan kami berdua rasa-rasanya tidak akan berakhir, Tetapi kami bertekad menyelusuri jalan yang pernah dilalui oleh para bangsawan yang menyingkir dari kota raja, akhirnya Yang Maha Agung mempertemukan aku dengan biyung”

“Kau berjalan setiap hari?”

“Tidak puteri. Kami berdua pernah berhenti di suatu tempati untuk waktu yang agak lama. Kami menghambakan diri pada seorang pedagang yang baik. Tetapi ternyata keinginan kami untuk bertemu dengan biyung sangat mendesak”

“Dan kalian berjalan lagi menempuh jarak yang sangat panjang?”

“Sepanjang yang pernah ditempuh oleh puteri. Tetapi agaknya keadaan adikku jauh lebih buruk, dari keadaan puteri pada saat puteri sampai ke tempat ini”

“Tentu, di beberapa kesempatan aku masih sempat naik tandu, sampai pada suatu saat ayah terpisah dari seluruh pengikutnya atas kehendak ayah sendiri”

Sangkan mengangguk-angguk, wajahnya yang kemerah-merahan dibakar oleh terik matahari nampak keras dan kasar.

Untuk beberapa lamanya Inten Prawesti berada didalam bilik itu. Dengan perasaan iba ia melihat anak-anak Nyi Upih yang sangat letih, apalagi Pinten.

Namun Inten merasa senang atas kehadiran gadis itu, karena dengan demikian ia akan mendapat kawan yang sebaya, meskipun agaknya Pinten masih agak lebih muda sedikit daripadanya.

Tetapi selagi Inten Prawesti sedang mengamat-amati kaki Pinten yang luka dan berdarah, tiba-tiba Nyi Upih memasuki biliknya sambil berkata, “Puteri…, Ibunda memanggil”

“Ada apa Nyai..?”

“Aku tidak tahu, tetapi agaknya ibunda minta puteri ikut menemui tamu itu, bukankah kedua tamu itu masih ada hubungan keluarga dengan puteri?”

“Yang seorang, Kakangmas Kuda Rupaka, yang lain itu tentu bukan”.

Nyi Upih mengangguk-angguk, katanya kemudian, “Silahkanlah, ibunda menunggu, aku baru saja menghidangkan sirih”

Inten Prawesti termangu-mangu, namun ia berkata, “Tidak Nyai, aku disini saja, bersama anak-anakmu, aku malu”

“Ah, tentu tidak baik, marilah” Nyi Upih pun kemudian menarik tangan Inten Prawesti, “Marilah puteri sebentar lagi puteri juga harus menghidangkan makan dengan lauk seadanya, aku sudah menangkap seekor ayam. Sangkan tadi yang menyembelihnya. Meskipun ia masih lelah, tetapi ia masih mampu menyembelih ayam”

Inten Prawesti masih tetap bertahan, tetapi akhirnya ia berdiri juga dan melangkah keluar digandeng oleh Nyi Upih.

Sepeninggal Inten Prawesti, Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian membaringkan dirinya lagi diatas tikar disisi adiknya yang terbaring memandang langit-langit yang bernoda disana-sini oleh titik air hujan yang menyusup disela-sela atap rumah.

Dalam pada itu, akhirnya Nyi Upih berhasil memaksa Inten untuk pergi ke pendapa, demikian ia muncul di pintu maka ibundanya segera memanggil, “Kemarilah Inten, ini adalah kakakmu sendiri”

Dengan kepala tunduk, Inten pun kemudian duduk disisi ibunya agak kebelakang. Seolah-olah ia berhadapan dengan jejaka yang hendak melamarnya.

“Diajeng tentu belum mengenal aku” berkata Raden Kuda Rupaka.

Inten tidak menyahut, justru kepalanya menjadi semakin tunduk.

“Ia seorang pemalu” berkata ibundanya.

“Wajar bagi seorang gadis” sahut Panji Sura Wilaga.

“Kau harus mengucapkan selamat datang Inten” berkata Ibundanya, “Kakakmu akan berada di istana ini barang dua tiga hari, memang menyenangkan sekali. Aku berharap mereka berdua akan lebih lama lagi berada disini”.

Inten Prawesti tidak menyahut, tetapi dadanya menjadi semakin bergejolak. Ada perasaan aneh didalam dirinya karena ia mendengar keterangan ibunya, bahwa kedua orang itu akan berada di istananya untuk dua tiga hari. Dalam dua tiga hari itu ia akan berhubungan dengan anak muda yang sebelumnya belum pernah dikenalnya meskipun ia masih saudara sepupunya. Ada semacam perasaan malu, tetapi juga kegembiraan yang tersembunyi.

Namun tiba-tiba saja ia berkata kepada diri sendiri, “Aku lebih senang bermain bersama Pinten daripada Kakangmas Kuda Rupaka, aku tentu akan menjadi canggung dan bingung. Kakangmas Kuda Rupaka tentu sering berkawan dengan gadis-gadis cantik di kota. Mungkin juga saudara-saudara sepupu yang lain yang selama ini berada di Demak.

Ada semacam kekecewaan yang merambat di hatinya, bahwa ayahandanya dahulu tidak membawanya ke kota, dan untuk waktu yang lama tinggal di padukuhan terpencil. Dengan demikian, maka ia seolah-olah telah terpisah dari pergaulan keluarga dan sanak kadangnya.

“Kini aku tidak lebih seorang gadis pedesaan, “Berkata Inten Prawesti didalam hatinya, “Aku tidak pantas bermain bersama orang-orang yang datang dari pusat pemerintahan, aku tentu tidak secantik gadis-gadis di kota, mungkin mereka tentu lebih pandai menghias diri dan menyesuaikan dengan kehidupan kota raja”.

Inten Prawesti terkejut ketika tiba-tiba saja ibundanya berkata, “Inten, bersihkanlah bilik ayahandamu, biarlah anakmas Kuda Rupaka mempergunakan bilik itu”

Inten Prawesti termangu-mangu sejenak, selama ini bilik itu tidak dipergunakan oleh ibundanya, sehingga ia tidak segera memahami kata-kata ibundanya.

Ibundanya seolah-olah dapat mengerti keragu-raguan di hati puterinya, sehingga ia pun berkata, “Kosongkan bilik itu, aku akan berada didalam bilikmu”

“Aku…??” diluar sadarnya Inten Prawesti bertanya.

“Kita berdua”

Inten tidak menjawab lagi, ia pun segera berdiri meninggalkan tempat yang rasa-rasanya menjadi semakin panas itu.

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, ia tidak mengerti maksud yang sebenarnya dari bibinya. Apakah itu suatu penghormatan baginya atau karena bibinya terlampau berhati-hati. Kehadiran seorang anak muda di rumah itu, tentu akan dapat menumbuhkan persoalan meskipun ia adalah sepupu Inten Prawesti, sehingga dengan demikian, maka bibinya harus tidur bersama anak gadisnya itu. Anak gadisnya yang sangat cantik dalam kesederhanaan.

“Apalagi jika ia berhias seperti gadis-gadis kota raja,” tiba-tiba saja Kuda Rupaka berdesis didalam hatinya.

Sementara Inten Prawesti membersihkan bilik ayahandanya, maka dibelakang, Nyi Upih telah mempersiapkan jamuan makan, meskipun hanya apa adanya, tetapi Nyi Upih memang pandai memasak sehingga jamuannya merupakan jamuan yang pantas bagi kedua tamunya.

Dalam pada itu, selagi istana kecil itu sedang sibuk menjamu dua orang tamu, maka dengan tergesa-gesa Kidang Alit pergi ke rumah Ki Buyut.

Ki Buyut melihat kedatangan Kidang Alit, segera menyongsongnya sambil berkata, “Kidang Alit, apakah kau sudah mendengar kehadiran dua orang bangsawan di padukuhan kita?”

“Ya, aku mendengar Ki Buyut, karena itu, aku tergesa-gesa datang kemari” jawab Kidang Alit, lalu, “Apakah keduanya singgah disini?”

“Ya…”

“Dan mereka melihat Kasdu?”

“Ya, mereka ingin melihat anak itu”

“Apakah Kasdu tetap diam, seolah-olah ia lumpuh, bisu buta dan tuli?”

“Ya, tetapi ternyata ia tidak berhasil”

“Maksud Ki Buyut?”

“Kasdu tidak berhasil mengelabui kedua orang itu”

“Kenapa Ki Buyut?”

Ki Buyut pun menceritakan bahwa seorang dari keduanya, justru yang muda, telah meraba tubuh Kasdu. Dengan jari-jarinya ia berhasil mengetahui keadaan Kasdu yang sebenarnya, bahwa ia telah tidak lagi lumpuh, buta dan tuli.

Kidang Alit menjadi tegang, sejenak ia memandang wajah Ki Buyut Karangmaja, namun ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kita mendapat tamu orang-orang yang luar biasa Ki Buyut”

Ki Buyut tidak segera menyahut.

“Hanya orang-orang yang luar biasa sajalah yang dapat berbuat demikian, dengan demikian maka padukuhan ini telah didatangi lima orang yang luar biasa, pertama adalah tiga orang yang memiliki tangan beracun itu. kemudian dua orang bangsawan saudara Pangeran Kuda Narpada”.

“Aku dapat mengerti, bahwa tiga orang-orang kasar itu berbahaya bagi padukuhan kita, tetapi apa salahnya dua orang bangsawan itu?, bukankah dengan demikian keluarga yang tinggal di istana kecil itu akan mendapat perlindungan”

“Kidang Alit mengangguk-angguk, katanya, “Ya mudah-mudahan demikianlah hendaknya”

“Kau curiga?”

“Ki Buyut” berkata Kidang Alit, “Dalam keadaan tidak menentu ini kita memang dapat saling mencurigai, untunglah bahwa ketiga orang-orang kasar itu belum tahu, bahwa sebenarnya, Kasdu sudah dapat diselamatkan dari racun yang berbahaya itu”

“Mereka tidak akan mengetahuinya”

“Mudah-mudahan kedua orang bangsawan itu tidak menceritakan kepada siapapun keadaan Kasdu yang sebenarnya”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil bergumam, “Ya, mudah-mudahan. Aku tidak tahu bahwa ia memiliki ketajaman penglihatan sehingga ia dapat mengetahui bahwa Kasdu sudah dibebaskan dari cengkeraman racun itu”

Kidang Alit pun mengangguk-angguk, lalu, “Apakah aku dapat melihat Kasdu?”

“Lihatlah” jawab Ki Buyut sambil melangkah diiringi oleh Kidang Alit.

Ketika mereka berada disisi pembaringan Kasdu, nampaknya Kasdu memang sudah menjadi semakin baik.

“Sayang sekali Kasdu” berkata Kidang Alit, “Ada orang yang mengetahui bahwa kau sudah bebas dari racun itu, aku berharap bahwa hal itu tidak didengar oleh orang-orang yang telah meracunimu dengan jari-jari itu”.

Wajah Kasdu yang sudah menjadi semakin merah itu, nampak manjadi pucat, dengan terbata-bata ia berkata, “Aku menjadi takut sekali”

“Maaf Kidang Alit, “ berkata Ki Buyut, “Aku tidak sengaja telah membuat suatu keputusan yang besar”.

“Sudahlah Ki Buyut, semuanya masih tergantung kepada sifat dan watak kedua bangsawan itu. Jika mereka menyadari bahwa yang dapat mengancam Kasdu, sudah tentu mereka aka tetap diam”

“Aku kira demikian Kidang Alit, yang muda diantara mereka pun, bahwa anak muda yang sakit itu memang sangat gawat. bukan saja karena sakitnya, tetapi jika orang-orang yang telah melukainya itu mengerti bahwa anak itu sudah tawar, maka ia akan dibunuhnya secara langsung oleh ketiga orang itu”

Ki Buyut mengangguk-angguk, tetapi ia tidak dapat mengusir kegelisahannya. Kidang Alit pun kemudian dengan tergesa-gesa minta diri, ia tidak mengatakan kepada Ki Buyut, kemanakah ia akan pergi.

Tetapi ternyata bahwa Kidang Alit telah pergi ke lereng bukit yang menghadap ke istana kecil itu. Ia masih sempat melihat ketiga orang berkuda yang kembali ke padukuhan dari lereng bukit itu pula. Tetapi Kidang Alit sempat bersembunyi dibalik batu-batu padas, apalagi jarak diantara mereka masih agak jauh, sedang Kidang Alit tidak berkuda, berada ditempat yang agak lebih tinggi dari orang-orang berkuda itu.

Setelah ketiga orang itu hilang dibalik tikungan. Maka Kidang Alit pun melanjutkan langkahnya. Dengan hati-hati ia mendekati istana itu dari arah bukit kecil.

Untuk Beberapa saat lamanya Kidang Alit menunggu, tetapi ia tidak melihat seorang pun di halaman. Ketika kemudian seseorang muncul dibelakang, ternyata ia adalah Nyi Upih.

Tetapi Kidang Alit tidak segera pergi. Dengan telaten ia duduk dibalik sebuah gerumbul agar orang-orang yang berada di halaman atau di dalam istana itu tidak dapat melihatnya.

Ternyata bahwa kemudian Kidang Alit tidak sia-sia, setelah menunggu beberapa lamanya, dengan seksama ia memperhati-kan dua orang laki-laki yang kemudian turun ke halaman dan berdiri dibawah bayangan sebatang pohon yang rindang.

“Agaknya mereka kepanasan di dalam” berkata Kidang Alit, lalu, “Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat melihat keduanya dengan jelas”

Agaknya jarak yang memisahkan lereng bukit kecil itu dengan istana agak terlampau jauh bagi Kidang Alit untuk dapat melihat wajah orang-orang itu dengan teliti. Hanya secara umum sajalah Kidang Alit dapat menyebut bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang gagah dan tampan. Selebihnya Kidang Alit pun dapat menduga, bahwa keduanya memiliki ilmu yang dapat dipergunakan sebagai bekal petualangannya.

Kidang Alit menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada diri sendiri, “Ternyata bahwa pedukuhan kecil ini telah mengundang beberapa orang untuk berkumpul disini”

Sejenak kemudian, setelah Kidang Alit dapat melihat kedua laki-laki itu, meskipun tidak sempat pada bagian-bagiannya yang terkecil, ia pun kemudian meninggalkan tempatnya, kembali kepadukuhan. Di sepanjang jalan, ia mencoba untuk menilai, apakah yang kira-kira dapat terjadi antara kedua orang itu dengan tiga orang yang sudah datang lebih dahulu.

“Aku yakin, bahwa tiga orang itu mempunyai kepentingan dengan istana kecil itu” berkata Kidang Alit kepada diri sendiri.

“Dan kini di istana kecil itu telah hadir dua orang bangsawan yang menyebut dirinya saudara-saudara Pangeran Kuda Narpada.

Tetapi Kidang Alit bersikap hati-hati. Banyak kemungkinan akan dapat terjadi atas istana kecil itu.

Sementara itu Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga memang sedang berada di halaman, rasa-rasanya badan mereka menjadi sejuk disentuh angin yang semilir, dibawah dedaunan yang rimbun.

“Untung di lereng pegunungan ini terasa segar sekali” desis Raden Kuda Rupaka.

“Tetapi baru saja Raden mengatakan, bahwa udara di daerah ini terasa panas sekali”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Didalam istana pamanda Kuda Narpada udara memang terasa panas sekali, paman”

“Apakah hanya sekedar karena udara didalam istana itu?”

“Ah…” Kuda Rupaka berdesis, “Apapun sebabnya, tetapi diluar memang terasa sejuk. Disini sentuhan angin terasa mengusap kening yang basah oleh keringat. Tetapi di dalam istana itu tidak terasa udara yang bergerak seperti ini”

Panji Wiralaga hanya tersenyum saja.

Sejenak keduanya kemudian berjalan-jalan di halaman depan mereka melihat pintu gerbang yang telah rusak, regol yang miring dan bagian istana itu sendiri yang telah rusak.

“Paman…” berkata Kuda Rupaka, “Sepengetahuanku, istana ini masih belum terlampau lama, tetapi beberapa bagian telah mulai rusak dan lapuk”

“Raden…” jawab Panji Sura Wilaga, “Istana ini dibuat oleh orang padukuhan ini dengan kayu yang tidak terpilih. Karena itu, maka kekuatannya pun tidak seimbang. Apalagi pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang sangat kasar”.

“Ya…” sahut Kuda Rupaka, “Mereka mengerjakan kayu seperti orang-orang tua mereka mengerjakannya”.

Keduanya tidak berbicara lagi, mereka berjalan saja menyusuri halaman sehingga mereka sampai kebagian belakang dari istana itu.

“Kita telah melihat semuanya” berkata Kuda Rupaka, “Halaman istana bibi tetap bersih dan terawat, meskipun sebagian dari bangunannya telah rusak, terutama bagian atap”

Panji Sura Wilaga menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut.

“Paman…” berkata Kuda Rupaka kemudian, “Ada satu yang masih tetap menggetarkan jantungku”

“Apa Raden…?”

“Bibi dan Inten Prawesti masih belum bertanya tentang pamanda Kuda Narpada dengan sungguh-sungguh, pada suatu saat mereka tentu akan mendesak, agar aku menceritakannya, apakah yang sebaiknya aku katakan…?, aku benar-benar menjadi bingung”.

“Raden harus berterus terang bahwa Raden memang tidak tahu”

“Mustahil…”

“Kenapa mustahil?, bukankah Raden selama ini tidak pernah bertemu dengan pamanda Pangeran Cemara Kuning, pamanda Pangeran Sendang Prapat? Bagaimana Raden dapat mengatakan tentang Raden Kuda Narpada…?”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, sambil mengangguk-angguk ia melangkah kembali kehalaman depan diikuti oleh Panji Sura Wilaga.

Sementara itu dibelakang, Nyi Upih sedang sibuk membersihkan alat-alat dapurnya. Inten Prawesti yang telah menyingkirkan jamuan makan bagi tamu-tamunya berkata kepada Nyi Upih, “Anak-anakmu sebaiknya kau suruh makan dahulu Nyai…”

“Bukankah mereka sudah makan puteri, demikian mereka datang pagi tadi, demikian mereka aku beri makan seadanya.”

“Ah…, tetapi biarlah kita menjamunya sekarang”

Nyi Upih tersenyum, “Biarlah puteri, nanti sajalah”

Inten Prawesti tidak memaksa lagi, tetapi ia menengok kedalam bilik pembantu setia itu. Dilihatnya Pinten sudah mulai duduk sambil memijit-mijit kakinya.

“Kau usap dengan apa kakimu itu..?” bertanya Inten.

“Dengan nasi dan air asem, puteri. Rasa-rasanya kaki ini menjadi dingin. Darah yang rasa-rasanya membeku telah mengalir kembali”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, ia pun teringat saat-saat ia sampai ke padukuhan ini dan bermalam untuk sementara di rumah Ki Buyut sebelum istana kecilnya itu disiapkan.

Meskipun kadang-kadang ia masih sempat naik tandu, namun untuk mengurangi perasaan lelahnya, kakinya juga diparami dengan nasi yang diremas dengan air asam.

Ketika kemudian mereka bercakap-cakap lebih banyak tentang perjalanan, maka ternyata Pinten pun dapat mengatakan tempat-tempat yang dilaluinya meskipun waktu sudah terpaut jauh.

“Kau benar-benar dapat mengikuti jejak perjalananku” berkata Inten

“Kami tidak henti-hentinya bertanya kepada setiap orang yang kami temui di perjalanan, puteri” Jawab Pinten.

“Tetapi waktu kita terpaut panjang”.

“Ternyata orang-orang di sepanjang jalan yang pernah dilalui oleh Pangeran Kuda Narpada, mash tetap dapat menyebut kemana Pangeran itu pergi, bahkan beberapa orang masih dapat menunjukkan beberapa macam barang yang pernah dihadiahkan oleh Pangeran Kuda Narpada kepada orang-orang yang membantunya di perjalanan”.

“Ooo…” Inten Prawesti menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya memang banyak memberikan sekedar kenang-kenangan kepada orang-orang yang sudah membantunya di sepanjang jalan, bahkan beberapa macam barang berharga.

“Kini hampir tidak ada sebuah barang pun yang masih dapat disebut berharga di dalam rumah ini” Berkata Inten Prawesti di dalam hatinya.

Demikianlah maka meskipun keduanya baru saja bertemu, tetapi karena keduanya hampir sebaya, dan sudah terlampau lama Inten Prawesti hidup sendiri, seolah-olah di pengasingan, maka Pinten baginya merupakan seorang yang dapat mengisi kekosongan itu. Ketika Inten kemudian sudah dapat berdiri dan berjalan keluar, maka Inten Prawesti menjadi sangat gembira pula karenanya.

Dengan serta merta ia minta kepada ibunya, agar kepada Pinten diberikan beberapa lembar pakaiannya yang sudah tidak dipakainya lagi, agar Pinten nampak lebih bersih dan pantas.

Namun sementara itu, di rumah itu Inten Prawesti ternyata mendapat kawan yang lain pula. Atas desakan ibunya maka Inten Prawesti mulai berkenalan dan sekali-kali berbicara dengan saudara sepupunya.

Dihari berikutnya, suasana istana kecil itu benar-benar sudah berbeda. Inten tidak kelihatan murung seperti biasanya. Jika ia berada di belakang, ia selalu bersama dengan Pinten, jika Pinten sibuk membantu ibunya, maka Inten pun ikut membantunya pula.

Tetapi jika Inten Prawesti berada didepan, ia duduk bersama Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga. Jarak yang mula-mula memisahkan antara Inten Prawesti dan Kuda Rupaka, semakin lama menjadi semakin dangkal, bahkan pada suatu saat rasa-rasanya akan lenyap sama sekali.

“Jasa pamanda Kuda Narpada terhadap padukuhan ini ternyata cukup besar” berkata Raden Kuda Rupaka kepada Inten Prawesti ketika mereka berdua berdiri di halaman memandang ke lereng bukit yang hijau.

“Ayah berusaha untuk membantu kesulitan orang-orang Karangmaja” sahut Inten.

“Menurut pendengaranku, bukit-bukit itu menjadi hijau karena usaha pamanda pangeran.”

“Sebagian memang demikian” jawab Inten.

“Aku ingin sekali-sekali melihat lereng-lereng bukit itu” gumam Raden Kuda Narpada, seolah-olah kepada diri sendiri.

Inten Prawesti hanya mengerutkan keningnya saja. Ia tidak berani menawarkan diri untuk menunjukan jalan-jalan setapak di lereng bukit itu, meskipun ia sendiri sudah agak lama ingin menyusuri jalan yang beberapa saat lampau selalu dilewatinya jalur jalan yang pernah di lalui oleh ayahandanya ketika ia menimang Nyi Upih sampai ke atas bukit. Dari bukit itu dia dapat melihat Ayahandanya meninggalkan padukuhan Karangmaja dan sampai saat terakhir, tidak nampak kembali lagi.

Tetapi ternyata bukan Inten lah yang mengajak untuk mendaki lereng bukit kecil itu. Agaknya Kuda Rupaka pun ingin sekali untuk mendekati lereng yang nampak hijau ditumbuhi oleh pohon perdu yang rimbun.

“Apakah bibi tidak berkeberatan jika kita pergi ke lereng bukit itu?”

Inten termangu-mangu.

“Cobalah memohon izin kepada bibi.”

Inten pun segera berlari menemui ibundanya yang sedang berada di belakang. Dengan ragu-ragu ia mohon izin untuk pergi ke lereng bukit itu.

Ibunya menjadi ragu-ragu sejenak. Apalagi ketika Nyi Upih berkata, “Puteri, sebaiknya puteri tidak mengajak tamu-tamu itu pergi ke lereng bukit. Mungkin ada sesuatu yang dapat membahayakan puteri dan tamu-tamu itu.”

“Apakah yang dapat membahayakan itu Nyai?” bertanya Inten.

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengatakan sesuatu. Tetapi kedua tangannya bermain di muka mulutnya seperti seseorang yang sedang meniup seruling.

Sekilas terbayang seorang anak muda yang pernah dijumpainya di lereng bukit itu pula. Bahkan yang kemudian sering hilir mudik di muka istananya. Tetapi kali ini, ia tidak akan pergi sendiri atau hanya berdua saja dengan Nyi Upih.

“Aku tidak akan pergi terlalu jauh ibu.” mohon Inten kemudian.

“Hati-hatilah” akhirnya ibundanya tidak dapat menolak. Setelah berkemas sejenak, maka Inten pun kemudian pergi bersama Raden Kuda Rupaka dan Panji Surawilaga, berjalan-jalan ke bukit kecil di sebelah istananya itu.

Terasa udara yang cerah menyegarkan tubuh. Angin pegunungan yang silir mengalir dengan lembut. Di udara yang jernih nampak beberapa ekor burung berterbangan di antara warna-warna putih awan yang berarak selembar-selembar di dorong angin ke utara.

“Menyenangkan sekali” desis Raden Kuda Rupaka, “Sebelum pamanda Pangeran Kuda Narpada menghijaukan lereng bukit itu, tentu yang nampak jauh berbeda dari sekarang”

“Pegunungan yang gundul” sahut Panji Sura Wilaga.

“Ya..” berkata Inten Prawesti. “Saat kami datang ditempat ini, maka yang nampak hanyalah tanah gersang, kuning kemerah-merahan”

“Tentu pamanda pangeran lah yang mengajari orang-orang Karangmaja membuat parit-parit di daerah kering. Menanami lereng bukit dengan pepohonan yang khusus. Pohon metir dan sebangsanya. Dan sudah barang tentu kemudian dengan pohon buah-buahan”

“Ya…” jawab Inten Prawesti.

Mereka bertiga pun kemudian berjalan perlahan-lahan melalui jalan kecil menuju ke lereng bukit kecil itu. Raden Kuda Rupaka dan Inten Prawesti de depan. Sedangkan Panji Sura Wilaga de belakang.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berjalan perlahan-lahan sambil berbicara tentang padukuhan kecil itu. Istana kecil yang dibangun di dekat padukuhan itu, dan bukit-bukit yang kemudian menjadi hijau.

Namun tiba-tiba saja langkah Inten Prawesti terhenti, Inten Prawesti tertegun, wajahnya nampak menjadi pucat. Meskipun kemudian ia berusaha melenyapkan kesan-kesan ini, dan melangkahkan kakinya pula. Namun Kuda Rupaka segera dapat menangkap kegelisahannya itu.

Ternyata ketika Raden Kuda Rupaka memandang agak jauh ke depan, dilihatnya seorang anak muda yang nampaknya memang agak berbeda dengan anak-anak Karangmaja.

“Siapakah anak itu..?” bertanya Kuda Rupaka.

“Kidang Alit” jawab Inten Prawesti.

“Apakah orang itu menggelisahkan kau…?”

Inten menjadi ragu-ragu, tetapi ia pun kemudian menggeleng, jawabnya, “Tidak”.

Tetapi Kuda Rupaka tidak dapat dikelabuinya. Dan ia pun bertanya pula, “Apakah anak itu anak Karangmaja pula..?”

“Bukan Kamas, anak muda itu bukan anak Karangmaja, belum lama ia berada di padukuhan kecil ini”.

Terasa jantung Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga berdebaran. Tetapi keduanya pun berusaha menghapuskan semua kesan dari wajah mereka.

“Apakah kau mengetahui namanya…?”

“Namanya Kidang Alit, bukankah aku sudah menyebutnya”.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, bahkan sekilas ia berpaling, tepat pada saat Sura Wilaga memandangnya.

Seolah-olah mereka sedang menyesuaikan pendapat mereka, bahwa anak muda yang bernama Kidang Alit itulah yang agaknya telah menyembuhkan Kasdu.

Karena itu, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Meskipun tidak semata-mata, tetapi semakin dekat langkah mereka dengan anak muda yang duduk di atas sebuah batu itu, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan Sura Wilaga mencoba memandang berkeliling, apakah benar anak muda itu hanya seorang diri. Tetapi ia tidak melihat orang lain di tempat itu.

Beberapa dari Kidang Alit, kaki Inten Prawesti terasa semakin berat. Tetapi ia tidak berjalan sendiri. Ia berjalan dengan saudara sepupunya dan seorang pengawalnya. Apalagi jika teringat oleh Inten, bahwa Kidang Alit ternyata bukan seorang yang dapat menahan diri terhadap seorang gadis yang menarik perhatiannya, ternyata seorang gadis Karangmaja telah menjadi korbannya. Untunglah bahwa bagi gadis itu telah diketemukan jalan yang paling baik, meskipun sekedar seperti menimbuni sebuah lobang yang terlanjur tergali.

Kuda Rupaka menegang ketika ia melihat Kidang Alit berdiri, tetapi ia seolah-olah sama sekali tidak menghiraukannya, karena sebelumnya ia memang belum mengenalnya.

Dengan tajamnya Kidang Alit memandang ketiga orang yang menjadi semakin dekat. Namun Inten Prawesti dan Kuda Rupaka lewat tepat di hadapannya.

Kidang Alit menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil bertanya, “Apakah puteri akan naik ke atas bukit kecil itu..?”

Inten Prawesti menjadi bingung, tetapi seakan-akan di luar sadarnya terloncat jawabnya, “Ya… aku akan berjalan-jalan ke atas bukit kecil itu”

“Sudah lama puteri tidak pergi ke sana, melihat-lihat jalur jalan kecil itu dari atas bukit yang kini berwarna hijau. Dan sudah lama puteri tidak lagi menghiraukan suara seruling yang menghimbau dari lembah, tempat anak-anak gembala bermain-main dengan ternaknya.”

Inten semakin bingung, tetapi ia menjawab juga, “Aku tidak mempunyai waktu lagi..”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Apakah yang puteri sibukkan…?, tamu-tamu puteri baru kemarin berada disini, sebelumnya puteri tentu masih sempat jika puteri ingin.”

Inten bertambah bingung, nampak wajahnya bahwa ia tidak dapat segera menemukan jawabnya. Ia tidak mengerti kenapa anak muda itu seakan-akan menuntunnya, karena agak lama tidak keluar dari istananya, justru pada saat ia berjalan bersama dengan saudara sepupunya.

Karena Inten Prawesti menjadi bingung, maka tiba-tiba saja Kuda Rupaka bertanya kepada Inten Prawesti, “Diajeng, apakah diajeng sering juga pergi ke atas bukit itu..?”

Pertanyaan itu pun membingungkan, tetapi Inten mengangguk sambil menjawab lirih. “Ya…aku memang sering pergi ke atas bukit itu…”

“Dan pada suatu saat diajeng tidak pergi ke atas bukit?”

“Ya…”

“Itu adalah hakmu, kau dapat pergi kapan saja kau ingin pergi. Dan kau dapat tinggal di dalam istana sampai kapan pun, bahkan jika tiba-tiba timbul keinginanmu untuk pergi ke Demak bersama aku besok atau lusa…”

Inten Prawesti termangu-mangu sejenak, dan sebelum ia menyahut, terdengar Kidang Alit tertawa, katanya, “Lembah ini mempunyai kenangan yang manis bagi puteri. Suara seruling yang tidak berirama itu justru merupakan daya tarik yang tidak mudah dipisahkan antara puteri dan lereng-lereng pegunungan yang hijau”

“Sebuah mimpi yang mengasyikkan” Kuda Rupaka yang menyahut. “Tetapi pada suatu saat seorang harus bangun dari tidurnya, jika tidak, maka ia akan tetap pada keadaannya yang paling buruk tanpa mengalami perubahan apapun juga”

Kidang Alit agaknya masih akan menjawab lagi, tetapi tiba-tiba Inten berkata, “Kenapa tiba-tiba saja kita harus melayaninya?”

Kuda Rupaka memandangi Inten sejenak. Sambil tersenyum ia berkata, “Agaknya diajeng baru menyadari bahwa tidak sepantasnya melayani pembicaraan seorang anak muda yang bukan kadang di pinggir jalan seperti ini”

“Marilah kita berjalan terus” ajak Inten

Kuda Rupaka mengangguk, senyumnya masih nampak di bibirnya, ia berkata, “Sebaiknya kita lebih memperhatikan bukit yang hijau itu daripada orang-orang yang mengganggu perjalanan ini”

Inten Prawesti yang menjadi semakin berdebar-debar itu tidak membicarakan lagi. Ia melihat keadaan yang rasa-rasanya menjadi semakin tegang, karena itu, maka ia pun segera meninggalkan tempat itu.

Kuda Rupaka masih sempat memandang wajah Kidang Alit sejenak, ketika ia pun kemudian melangkah mengikuti adik sepupunya. Nampak sesuatu yang aneh memancar di mata Kidang Alit.

Tetapi Kuda Rupaka pun kemudian tidak menghiraukan lagi. Dengan tergesa-gesa ia menyusul Inten Prawesti yang sudah mendahuluinya. Dibelakangnya Panji Sura Wilaga berjalan dengan tegangnya, seolah-olah ia sedang tidak melihat ketegangan yang baru saja terjadi.

Kidang Alit yang masih tetap berdiri di pinggir jalan kecil itu memandang ketiga orang yang berjalan menjauhinya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia tersenyum sendiri, katanya, “Anak muda yang meyakinkan, agaknya memang ia memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Dengan jari-jarinya ia mengetahui bahwa Kasdu telah aku bebaskan dari racun yang sangat parah itu”

Namun kemudian, ia berkata pula kepada dirinya sendiri, “Tetapi kehadirannya di padukuhan kecil ini perlu mendapat perhatian. Ketiga orang kasar dan memiliki tenaga racun itu sudah terasa mengganggu, apalagi kedatangan kedua orang bangsawan ini”

Tetapi Kidang Alit tidak mengambil sikap apapun pada saat itu. Dengan tergesa-gesa, ia pun berjalan meninggalkan tempatnya dan kembali ke padukuhan.

“Mudah-mudahan ketiga orang yang berada di banjar padukuhan tidak pergi ke lereng itu pula, jika mereka bertemu muka dengan bangsawan-bangsawan itu, maka akan dapat timbul benturan diantara mereka” gumamnya sambil berjalan menyusuri jalan sempit.

Apa yang terjadi itu, agaknya telah menggelisahkan Inten Prawesti, itulah agaknya ia menjadi gelisah, bukit-bukit yang hijau dan lembah-lembah yang ditumbuhi rerumputan, tidak menarik lagi baginya, jalan-jalan yang nampak menjauh seperti tubuh seekor ular yang menjalar meninggalkan liangnya dibawah gunung, tidak dapat memikatnya lagi.

“Kau nampak gelisah diajeng” bertanya Kuda Rupaka

“Ya… aku gelisah sekali”

Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Jangan hiraukan anak itu, mungkin sebelum aku berada di istana bibi, ia sudah sering mengganggumu pula”

Inten ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian jawabnya dengan jujur, “Aku mula-mula senang mendengarkan ia bermain dengan seruling. Tetapi aku menjadi takut kepadanya setelah peristiwa gadis padukuhan itu terjadi”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, mendengar Inten yang kemudian bercerita dengan singkat tentang Kidang Alit itu.

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, katanya, “Sudahlah, jangan dicemaskan lagi, kau memang tidak usah lagi berhubungan dengan anak muda itu”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, tetapi ia sudah tidak dapat menenangkan dirinya lagi, setiap kali nampak kegelisahan memercik pada sikapnya.

Ternyata Raden Rupaka pun dapat mengerti, sehingga sejenak kemudian ia pun berkata sambil tersenyum “Paman Sura Wilaga, agaknya diajeng Inten Prawesti terpengaruh oleh peristiwa itu, karena itu, marilah kita kembali saja ke istananya, lain kali kita akan mendapat kesempatan untuk berada di bukit ini lagi”

Panji Sura Wilaga tersenyum, jawabnya, “Tentu puteri menjadi gelisah, baiklah kita kembali saja, tetapi lain kali, aku akan menyingkirkan anak muda itu jika ia berani mengganggu puteri”

Inten Prawesti sama sekali tidak menyahut, ia memang ingin segera pulang, tetapi ia tidak dapat mengatakannya.

Demikianlah, mereka bertiga tidak lama berada di lereng bukit itu. Perlahan-lahan mereka berjalan turun menyelusuri jalan di lereng yang rendah itu.

Namun di sepanjang perjalanan itu, Raden Kuda Rupaka tidak henti-hentinya mengagumi peninggalan Pangeran Kuda Narpada. Bukan berujud harta benda atau bangunan-bangunan yang besar dan kuat, tetapi peninggalan itu berupa warna-warna hijau di lereng pegunungan yang luas, parit yang mengalirkan air yang jernih dan jalan-jalan yang semakin teratur.

Inten sempat menceritakan keadaan padukuhan itu sebelum ia bersama keluarganya menetap di istana itu.

“Rakyat Karangmaja tentu tidak akan melupakan jasa paman Pangeran Kuda Narpada” berkata Kuda Rupaka.

“Ya…, agaknya mereka bersikap sangat baik kepada kami sampai saat ini”

Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tentu rakyat padukuhan kecil itu tidak akan dapat mengingkari kenyataan yang masih dapat dihayatinya saat itu.

Ketika kemudian mereka menjadi semakin rendah di kaki bukit kecil itu, sekali ini Inten tertegun, ia melihat dua orang yang sedang berjalan menyusuri kaki bukit itu pula.

“Siapakah mereka?” bertanya Raden Kuda Rupaka

“Apakah mereka juga termasuk anak muda yang bertingkah laku seperti Kidang Alit itu?”

“Ooo…, Tentu bukan” sahut Inten Prawesti, “Apakah kamu tidak mengenal mereka?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya.

“Apakah keduanya anak-anak yang ada di istana itu diajeng?”

“Ya.. keduanya adalah anak-anak pembantuku yang mengikuti perjalanan kami dari Majapahit”

“Ooo…” Kuda Rupaka mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menghiraukan kedua anak muda kakak beradik itu.

Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, Inten Prawesti lah yang memanggil keduanya untuk mendekat.

Sambil berjalan terbungkuk-bungkuk kedua orang kakak beradik itu mendekati Inten Prawesti, wajah mereka nampak tegang dan membayangkan kegelisahan.

“He… kenapa kalian berada disini?”

“Ampun puteri, maksud kami, kami hanya sekedar ingin melihat-lihat daerah baru ini”

Inten mengerutkan keningnya, tetapi ia pun kemudian tersenyum, “Kenapa kalian menjadi gelisah?, Aku tidak apa-apa, jika kalian ingin melihat-lihat tanah yang mulai menjadi hijau ini, pergilah, mungkin ada gunanya bagi kalian berdua”

“Ya… puteri, bahkan biyung tadi menyuruh kami berdua mencoba memperkenalkan diri kepada anak-anak muda di Karangmaja, biyung mengatakan agar aku menyebut diri sebagai anak Nyi Upih. Agaknya biyung kami sudah banyak dikenal oleh orang-orang Karangmaja”

Inten Prawesti tersenyum, katanya, “Itu memang ada baiknya, kalian dapat berhubungan dengan anak-anak muda Karangmaja, agar jika kalian memerlukan sesuatu, kalian dapat minta bantuan mereka”

“Terima kasih puteri”

“Pergilah ke Padukuhan itu, atau ke lereng bukit, tempat anak-anak muda Karangmaja menggembalakan ternak mereka”

“Baik puteri…”

Namun dalam pada itu, Raden Kuda Rupaka menyambung, “Tetapi berhati-hatilah, bersikaplah sebaik-baiknya agar kalian tidak mendapat gangguan dari mereka”

“Terima kasih Raden, kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya, sesuai dengan derajat kami”

Inten dan Raden Kuda Rupaka pun kemudian meneruskan perjalanan mereka diikuti olah Panji Sura Wilaga, kembali ke istana kecil yang terpencil itu.

Seperti yang diminta oleh ibunya, Sangkan dan Pinten berusaha untuk berkenalan dengan anak-anak muda dari Karangmaja, kehadiran mereka di padang rumput di lereng bukit, memang sama sekali belum pernah mengenal kedua kakak beradik itu.

Tetapi seperti pesan ibunya, maka Sangkan pun segera mengatakan bahwa mereka adalah anak Nyi Upih, pelayan pada istana kecil dan terpencil itu.

“Ooo….” Seorang gembala yang bertubuh tinggi besar mendekati Sangkan sambil tersenyum, “Jadi kau anak Nyi Upih itu?”

“Ya…” jawab Sangkan

“Kami mengenal ibumu dengan baik, ia sering ke rumahku dan kadang-kadang membeli sesuatu dari ibuku”

Sangkan mengangguk-angguk, sambil tersenyum pula ia berkata, “Kami ingin memperkenalkan diri kami”

“Marilah, ikut kami, kakak-kakak kami yang lebih besar berada dibawah, tetapi sebagian ada yang tinggal di rumah Ki Buyut disaat-saat seperti ini”

“Di rumah Ki Buyut?, Apakah mereka bekerja disana?”

“Jika ada waktu senggang, kakak-kakak kami memang sering berkumpul disana, Ki Buyut sering memerlukan anak-anak muda untuk membantunya mengatur padukuhan ini sebaik-baiknya seperti yang dianjurkan oleh Pangeran Kuda Narpada, bukankah kalian berada di istana Pangeran itu?“

“Ya… tapi sayang, kami datang jauh terlambat Pangeran Kuda Narpada sudah tidak ada di istana kecil itu lagi”

“Kami semua menyesal kepergian itu” berkata gembala itu, “Apalagi ayahku, ia benar-benar merasa kehilangan pelindung yang paling baik, bahkan telah berhutang budi kepada Pangeran Kuda Narpada?

Sangkan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Marilah..” ajak anak muda itu, “Aku antarkan kalian ke rumah Ki Buyut.

Sangkan memandang adiknya sejenak, namun agaknya Pinten berkeberatan, katanya, “Lain kali saja, pergilah sendiri ke rumah Ki Buyut itu kakang”

Sangkan tersenyum, katanya, “Lain kali saja Ki Sanak, tetapi kali ini, setidak-tidaknya aku sudah mengenal beberapa anak-anak muda Karangmaja”

Karena Pinten berkeberatan untuk pergi ke rumah Ki Buyut, maka mereka pun mengurungkan niatnya untuk pergi ke padukuhan.

“Maaf Ki Sanak” berkata Sangkan kemudian “Sampaikan saja salamku kepada anak-anak muda di Karangmaja, pada suatu saat kami makan menemui mereka dan berkenalan dengan mereka, selanjutnya kami adalah bagian dari anak-anak di Karangmaja, kami sudah berniat, untuk tetap tinggal disini, sehingga karena itu, kami harus mempersatukan diri dengan kalian”

“Kami akan menerima kalian dengan senang hati” jawab anak yang bertubuh tinggi itu, “Seperti kami menerima Kidang Alit disini, Ia telah memberikan banyak pertolongan dan petunjuk bagi anak-anak muda di Karangmaja”

“Siapakah Kidang Alit itu?” bertanya Sangkan. “Jika yang kalian maksud dua orang bangsawan yang ada di istana Pangeran Kuda Narpada itu, mereka adalah Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga”

“Bukan…. Bukan kedua bangsawan itu, Kidang Alit adalah seorang petualang. Ia masih muda seperti engkau, ia mempunyai banyak kelebihan dari kami anak-anak muda Karangmaja dalam segala hal”

Sangkan mengangguk-angguk, lalu katanya, “Sayang kami tidak memiliki kelebihan apa-apa”

“Tetapi barangkali kalian dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang pernah kalian alami di daerah kalian yang lama, bukankah kalian pernah tinggal di daerah peradaban yang lebih tinggi dari padukuhan kami yang terpencil ini?”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi jawabnya, “Di daerah yang lama itu pun kami berdua tidak lebih dari seorang anak pelayan”

“Tentu, justru oleh karena itu akan dapat berguna bagi kami disini yang masih ketinggalan”

Sangkan tersenyum, katanya, “Kami akan memberikan apa yang dapat kami lakukan seperti saat-saat kami berada di daerah kami yang lama. Tetapi agaknya Pangeran Kuda Narpada dan anak muda yang bernama Kidang Alit itu telah memberikan banyak sekali bagi kalian, sehingga tidak ada lagi yang dilampaui”

Gembala yang bertubuh tinggi itu pun tersenyum, katanya kemudian, “Baiklah, kami akan menyampaikan kepada kawan-kawan kami tentang kehadiran kalian di istana kecil itu, mudah-mudahan istana itu tidak lagi terlampau suram seperti saat-saat yang lalu”

“Kini istana itu akan menjadi semakin hidup dengan kehadiran Raden Kuda Rupaka” jawab Sangkan, lalu “Baiklah kami minta diri, kami akan pergi ke ujung bukit kecil itu, kami ingin melihat daerah yang luas dengan lekuk-lekuk alam yang sangat menarik. Dalam perjalanan dari kota raja, kami pun melalui daerah-daerah pegunungan, tetapi pada umumnya lereng-lereng pegunungan itu nampak gersang dan kering, tetapi pegunungan di daerah ini nampak hijau dan segar”

Demikianlah Sangkan dan Pinten meninggalkan gembala-gembala yang masih sangat muda itu. Tetapi hubungan itu adalah permulaan dari pergaulannya dengan anak-anak muda di Karangmaja yang lebih tua lagi dari gembala-gembala itu.

Ketika mereka sampai diatas bukit kecil itu, mereka pun menebarkan pandangan mata mereka ke sekelilingnya, daerah yang luas dan hijau, meskipun disana-sini masih ada juga daerah yang masih perlu mendapat pemeliharaan.

Keduanya tidak terlalu lama berada di ujung bukit kecil itu, Pinten pun kemudian mengajak kakaknya segera kembali ke istana kecil yang terpencil itu.

“Kau masih akan tidur lagi sepanjang hari?” bertanya kakaknya.

Pinten mengerutkan keningnya, katanya, “Tetapi aku sekarang tidak pincang lagi”

Kakaknya memandang wajah adiknya yang mulai cerah, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

“Apakah kita akan berlomba lari?” Pinten lah yang bertanya.

“Lereng ini miring sekali, jika kau terdorong dan tidak dapat menahan diri, kau akan jatuh telungkup, mungkin wajahmu akan tergores batu padas”

Pinten termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil bertanya, “Apakah kira-kira akan terjadi demikian jika kita berlomba lari?”

Sangkan sama sekali tidak menjawab, tetapi ia pun menunjuk ke lembah, dibawah bukit disini yang lain dari istana kecil itu, “Kau lihat, ternak itu semakin lama semakin tumangkar, padukuhan ini akan mengalami hari-hari yang semakin baik jika mereka tidak meninggalkan petunjuk-petunjuk yang pernah diberikan oleh Pangeran Kuda Narpada”

Pinten mengedarkan tatapan matanya, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Nampaknya orang-orang Karangmaja bukan orang-orang yang cepat menjadi jemu, sesuatu yang dianggapnya baik dilakukannya terus”

“Tetapi mungkin anak muda yang disebut namanya bernama Kidang Alit itu pun banyak memberikan pengaruh kepada padukuhan ini.

Pinten tidak menyahut, rasa-rasanya ia sedang menikmati hijaunya bukit disekitarnya.

Namun tiba-tiba ia menggamit kakaknya sambil berkata, “Kakang, kau lihat tiga orang yang berkuda itu?”

Sangkan mengangguk

“Bagaimana jika mereka datang kemari?”

“Kenapa?, biar sajalah mereka datang kemari?”

“Apakah mereka tidak akan berbuat apa-apa atas kita? Ketiga orang itu tentu orang-orang yang pernah dikatakan ibu, bahwa mereka adalah orang-orang yang kasar dan bahkan buas”

“Tetapi mereka tentu tidak akan berbuat apa-apa atas kita…, kita sama sekali bukan orang-orang penting, kita hanyalah anak seorang pelayan, apakah yang akan dilakukan oleh ketiga orang itu atas kita?”

“Tetapi aku cemas, aku seorang perempuan, mungkin mereka akan berbuat sesuatu atasku”

“Ah…, kau terlampau perasa, apa kau sangka kau itu seorang gadis yang cantik? yang dapat membuat setiap laki-laki tergila-gila kepadamu, sehingga dengan demikian kau cemaskan dirimu sendiri”

“Ah..!” Pinten mencubit kakaknya sehingga kakaknya mengaduh, “Katakan sekali lagi”

“Kukumu seperti kuku macan Pinten”

“Kau nakal sekali”

Sangkan masih akan menyahut, tetapi ternyata ketiga orang berkuda itu benar-benar menjadi semakin dekat.

“Sebaiknya kita pergi saja” ajak Pinten

“Kembali ke istana?”

“Tetapi Pinten mengerutkan keningnya sambil mengeluh, “Kita tidak punya waktu. Itu mereka sudah datang, mereka sudah melihat disini”

Sangkan memandang ketiga orang berkuda yang menjadi semakin dekat, namun tampaknya ia tidak menjadi cemas.

“Aku bukan orang penting, mereka tentu tidak akan menghiraukan kita” desisnya.

Namun ternyata ketiga orang itu memperhatikan kedua anak-anak muda itu, bahkan seorang dari mereka pun kemudian mendekatinya sambil bertanya, “He! siapakah kalian?”

“Aku sangkan tuan, dan ini adalah adikku Pinten”

Orang itu memandang Pinten dengan mata yang hampir tidak berkedip, namun tiba-tiba ia bertanya, “Itu adikmu?”

“Ya, ya tuan”

Orang itu masih saja memandang Pinten dengan tajamnya sehingga wajah Pinten menjadi kemerah-merahan, Ia sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya, bahkan kemudian ia pun bergeser mendekati kakaknya,

“Dimana rumahmu? bukankah kau juga anak-anak Karangmaja?”

Sangkan menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Bukan tuan, kami bukan anak-anak Karangmaja”

“He…!, “

“Kami tinggal di istana kecil itu, kami adalah pelayan di istana itu”

“Orang yang masih duduk di punggung kudanya itu mengangguk-angguk, tetapi ia pun kemudian berpaling kepada kedua kawannya, katanya, “Mereka tinggal di istana itu”

“Kami mendengar” jawab salah seorang kawannya

“Biarlah mereka pergi, kami tidak memerlukannya”

“Tunggu !” jawab orang yang pertama, “Apakah gadis itu memang sebenarnya adikmu?”

“Ya tuan”

Orang itu masih akan bertanya lagi, tetapi kawannya telah memotongnya, “Ah… kau menjadi mabuk, jika kau melihat perempuan, biarlah mereka kembali ke istana itu, jika pada suatu saat kau benar-benar memerlukannya, kau dapat mengambilnya”

“Aku memang akan membawanya sekarang”

Kawannya mengerutkan keningnya, katanya, “Kemarilah”

Orang yang pertama-tama bertanya kepada kedua anak muda itu pun bergeser mendekati kawannya, sambil berkata kepada Pinten, “Jangan pergi !”

Pinten benar-benar menjadi bingung, sekali ia melihat orang berkuda itu mendekati kawan-kawannya.

“Kau jangan gila” berkata kawannya, “Di istana itu ada dua orang bangsawan, jangan membuka persoalan, yang penting bagi kita, masih belum kita ketemukan, jangan mementingkan persoalan-persoalan kecil yang tidak berarti, jika yang pokok itu sudah kita selesaikan, terserahlah kepadamu, di istana itu pun ada seorang gadis yang lebih cantik”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam.

“Biarkan mereka pergi”

Orang yang pertama-tama bertanya kepada Sangkan itu pun ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya dengan lantang, “Pergilah ! kami tidak memerlukan kalian”

Demikian kata-kata itu diucapkan, maka Pinten pun segera menarik tangan kakaknya dan dengan tergesa-gesa sekali meninggalkan tempat itu.

Ketiga orang berkuda itu tertawa melihatnya, namun dalam pada itu, sepasang mata yang memperlihatkan peristiwa itu dari balik gerumbul agak dikejauhan pun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Kidang Alit memperhatikan peristiwa itu dari agak jauh dibalik gerumbul perdu, meskipun ia tidak mendengar percakapan diantara mereka, tetapi ia dapat menduganya.

Sejenak Kidang Alit tetap berada ditempatnya, didalam hati ia berkata, “Untunglah bukan kedua bangsawan bersama Inten Prawesti yang mereka jumpai, jika mereka bertiga masih belum kembali ke istana, mungkin akan dapat terjadi benturan diantara mereka, karena mereka masing-masing memiliki kelebihan”

Akhirnya Kidang Alit harus bergeser ketika ketiga orang berkuda itu pun kemudian meninggalkan bukit kecil itu. Tetapi agaknya mereka tidak akan segera kembali ke padukuhan, karena ternyata mereka menempuh perjalanan kearah lain.

Kidang Alit kemudian muncul dari balik gerumbul itu menarik nafas dalam-dalam, sejenak ia mengamati ketiga orang yang semakin lama semakin kecil dan akhirnya menghilang sama sekali.

“Jika bangsawan-bangsawan itu terlambat sedikit, mereka akan bertemu dengan ketiga iblis itu” Desisnya

Perlahan-lahan Kidang Alit pun kemudian meninggalkan tempatnya, tetapi ia tidak lagi tergesa-gesa kembali ke padukuhan, ia berdiri beberapa saat lamanya, memandangi istana kecil yang ternyata telah bertambah penghuni.

Sejak saat itu, perhatian Kidang Alit kepada istana kecil itu menjadi semakin bertambah, terutama kepada kedua bangsawan yang untuk beberapa saat lamanya tinggal di istana itu pula.

Ki Buyut Karangmaja merasa, bahwa kehadiran orang-orang baru di padukuhannya agaknya membawa pengaruh yang kurang baik, ia merasa adanya pertentangan meskipun tidak terbuka diantara mereka.

Namun Ki Buyut tidak merasa kuasa berbuat apa-apa, ia sadar bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang dapat dibanggakan, bahkan seakan-akan masing-masing justru ingin mencoba, apakah ada orang lain yang melampaui kemampuan ilmu masing-masing.

Dalam pada itu, tingkah laku ketiga orang-orang kasar yang menyebut dirinya bernama Kumbara, Gagak Wereng dan naga Pasa menjadi semakin menggetarkan hati setiap orang di padukuhan Karangmaja, bahkan beberapa orang tidak lagi berani lewat di muka banjar padukuhan, apalagi perempuan dan mereka yang sedang membawa barang-barang berharga bahkan makanan.

“Apakah ada seseorang yang pernah diganggunya?” bertanya Ki Buyut kepada anak-anak muda, “Terutama perempuan?”

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak, namun mereka pun kemudian menggeleng, “Yang dapat disebut dengan pasti memang belum ada Ki Buyut”

“Baiklah, jagalah agar perempuan-perempuan di Karangmaja berbuat dengan hati-hati, jangan mendorong orang-orang kasar itu berbuat sesuatu atas diri mereka, karena itu, jauhi sajalah mereka sedapat mungkin”

Pesan itu ternyata semakin menggetarkan hati perempuan dan gadis-gadis Karangmaja, ketiga orang kasar itu, seolah-olah bagaikan iblis yang merenungi liang-liang kubur yang masih baru. Dalam setiap saat, tangan-tangannya yang besar dan kasar, akan mencengkam tanah yang masih basah dan mengungkat kembali mayat yang terbujur di dalamnya.

Namun beruntunglah, bahwa tidak pernah terdengar berita tentang perempuan yang menjadi korban mereka

Dalam kecemasan tentang perempuan dan gadis-gadis di Karangmaja karena kehadiran orang-orang kasar itu, maka justru yang terjadi adalah diluar dugaan.

Sekali lagi Karangmaja diributkan oleh seorang gadis yang tidak dapat menahan diri dan melepaskan kegadisannya yang diserahkan kepada Kidang Alit. Dan sekali lagi dengan nada penyesalan yang dalam, Kidang Alit menghadap Ki Buyut Karangmaja dengan pengakuan yang jujur.

“Seperti yang pernah terjadi, Ki Buyut” berkata Kidang Alit, “Aku seolah-olah telah kehilangan kepribadianku ketika gadis itu memaksaku melakukan perbuatan terkutuk itu”

“Aku tidak memaksa” bantah gadis itu.

“Tidak dengan kata-kata, tetapi dengan sikap dan perbuatan” sahut Kidang Alit

Gadis tidak menjawab, ia memang melakukan seperti yang dikatakan oleh Kidang Alit, Kidang Alit Memang seorang anak muda yang lain dari anak muda Karangmaja.

“Kenapa terjadi hal itu?” bertanya Ki Buyut kepada gadis itu.

“Aku tidak tahu, tetapi sentuhan jari-jarinya bagaikan telah membiusku”

“Aku tidak sengaja berbuat apa-apa, aku menolongnya naik tebing yang curam itu” sahut Kidang Alit.

“Memang aneh sekali” berkata Ki Buyut, “Peristiwa yang pernah terjadi memang hampir serupa. Seolah-olah sentuhan jari-jari Kidang Alit telah meracuni gadis-gadis itu”

“Sama sekali tidak aku sengaja Ki Buyut, bahkan aku pun merasa seolah-olah aku telah ditenungnya dan melakukannya diluar sadar”

Penyelesaian yang ditempuhnya serupa pula dengan penyelesaian yang pernah dilakukan. Seorang anak muda Karangmaja bersedia mengawininya, tetapi Kidang Alit harus membeli sepasang kerbau bagi sepasang pengantin baru itu.

Kidang Alit tidak dapat ingkar, ia harus menerima keputusan itu.

Namun ternyata bahwa Kidang Alit mempunyai bekal yang cukup, ia masih sanggup bukan saja membeli sepasang lembu atau kerbau, tetapi berpasang-pasang.

Dan Ki Buyut pun bertanya didalam hatinya, “Apakah dengan demikian peristiwa yang serupa masih akan terjadi”

Tetapi untuk sementara waktu Ki Buyut masih berusaha menahan perasaannya. Kidang Alit telah pernah memberikan sesuatu yang tidak pernah dapat diberikan orang lain atau salah seorang anak-anak muda Karangmaja, ia telah menyelamatkan Kasdu dari bencana yang sangat mengerikan.

“Tetapi apakah dengan demikian berarti Kidang Alit akan dibiarkan berbuat apa saja di padukuhan ini?” pertanyaan itu telah memukul dinding jantung Ki Buyut di Karangmaja.

Dalam waktu yang singkat, berita itu pun telah menjalar di seluruh padukuhan, bahkan Nyi Upih yang sedang mencari keperluan sehari-hari di padukuhan itu pun segera mendengar pula peristiwa itu.

Karena itulah, maka ketika ia kembali ke istana, ia pun segera menyampaikan hal itu kepada momongannya, Inten Prawesti.

“Puteri, ternyata puteri telah mengambil keputusan yang paling bijaksana, memang bukan mustahil, bahwa Kidang Alit menyimpan maksud yang kurang baik terhadap gadis-gadis, apalagi apabila puteri sempat dibujuknya”

“Ah… mengerikan sekali” desis Inten Prawesti. Terasa seluruh kulit tubuhnya telah meremang.

“Yang manakah anak muda yang bernama Kidang Alit itu ibu?” bertanya Pinten, “Aku pun akan menjauhinya pula”

“Oo macam kau Pinten, kau jangan merasa dirimu cantik, gadis-gadis Karangmaja masih lebih cantik dari pada kau, karena itu Kidang Alit akan menghiraukan kau sama sekali”

“Tentu tidak Nyai” potong Inten Prawesti, “Pinten adalah seorang gadis yang cantik sekali, ketika ia baru datang, wajahnya memang nampak kasar, kotor dan terbakar oleh sinar matahari, tetapi kini ia nampak cantik sekali”

“Oo…. Puteri jangan memuji, ia akan kehilangan akal dan merasa dirinya orang yang paling cantik di seluruh Majapahit, itu akan berbahaya baginya”

Inten Prawesti tertawa, sedang Pinten yang memberengut nampak justru benar-benar cantik sekali.

Namun mereka terkejut ketika mendengar suara tertahan dari balik dinding, ternyata Sangkan yang mendengar pembicaraan itu tidak dapat menahan tertawanya, sambil menjengukkan kepalanya ia berkata, “Pinten, aku jadi kasihan sekali kepadamu, kenapa kau merasa dirimu menjadi perhatian orang”

“Siapa..! siapa he…?” Pinten menjawab lantang

Tetapi Sangkan sudah hilang dan berlari ke halaman belakang istana itu sambil menyambar sapu lidi, karena ia memang akan membersihkan halaman itu.

Di Karangmaja, Ki Buyut rasa-rasanya hampir kehilangan akal pula, ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya dikerjakan. Ia memerlukan Kidang Alit, karena menurut perhitungannya, Kidang Alit akan dapat membantu mengatasi kesulitannya yang dapat terjadi setiap saat. Jika ketiga orang yang berada di banjar itu menjadi semakin liar. Tetapi agaknya Kidang Alit sendiri telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dianggapnya baik bagi para penghuni padukuhan Karangmaja yang kecil itu

Kadang-kadang Ki Buyut pun dihinggapi oleh pertanyaan tentang anak muda itu, siapakah sebenarnya anak muda yang menyebut dirinya Kidang Alit, seorang petualang itu?

Dalam kebingungan Ki Buyut kadang-kadang berjalan tanpa tujuan mengelilingi padukuhannya, maka ia pun selalu menghindari banjar padukuhannya, ia lebih memilih jalan melingkari padukuhan kecilnya dari pada melalui jalan induk yang menjulur di depan banjar, jalan yang justru semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya orang-orang yang bertugas untuk menyampaikan makan dan minum bagi ketiga orang yang tinggal di banjar itu sajalah agaknya yang masih berjalan melalui jalan induk padukuhan itu.

Ternyata Kumbara, Gagak Wereng dan Naga Pasa pun merasakan suasana yang semakin memburuk di padukuhan itu. Padukuhan kecil itu terasa menjadi semakin sepi dan asing.

Karena itu, maka Kumbara merasa perlu untuk segera mengambil sikap, ia sudah merasa terlalu lama berada di padukuhan kecil yang menjemukan itu.

“Kedua bangsawan itu ternyata tidak segera pergi dari istana kecil itu” berkata Kumbara.

“Ya.., kita sudah terlalu lama menunggu” Sahut Naga Pasa, “Aku sudah tidak sabar lagi”

“Mula-mula kita menunggu dua hari, kemudian tiga, empat dan berkepanjangan” potong Gagak Wereng, “Sudah waktunya untuk segera bertindak”

“Jadi, apakah ayahnya, kakeknya, pamannya dan siapa saja yang akan mengambil tindakan balasan, sekarang yang penting, tugas kita dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk, seolah-olah mereka sudah mendapatkan kesepakatan untuk bertindak.

Ternyata mereka pun kemudian segera membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Dengan mempertimbangkan semua keadaan dan kemungkinan yang ada di Karangmaja.

“Orang-orang Karangmaja tidak akan ada yang berani berbuat apapun juga, meskipun mereka mengetahui apa yang kita lakukan di istana kecil itu” berkata Kumbara

“Kita sudah memberikan contoh akibat yang dapat timbul jika seseorang berani mengganggu kehadiran kita disini”

“Ya…” sahut Gagak Wereng, “Jika perlu kita akan memberikan contoh lebih banyak lagi”

“Itu tidak perlu, orang-orang Karangmaja dapat kita abaikan didalam hubungan dengan tugas kita” berkata Naga Pasa, “Yang harus kita perhatikan adalah justru kedua orang bangsawan yang ada di istana itu”

“Sudah tentu” sahut Kumbara, “Bukankah kita sudah mengambil sikap terhadap keduanya?, Keduanya harus kita singkirkan tanpa menghiraukan siapapun yang dapat menuntut balas atas kematian mereka”

“Jika demikian maka tidak ada persoalan lagi bagi kita” berkata Naga Pasa, “Kita dapat berangkat sekarang juga ke istana kecil itu dan langsung bertindak sesuai dengan tugas kita”

“Memang tidak akan ada kesulitan apapun juga, tetapi tindakan yang demikian adalah tergesa-gesa dan dapat menimbulkan keonaran”

“Jadi…?” desis Naga Pasa, “Apakah yang harus kita lakukan?”

“Kita menunggu hari gelap, apapun yang kita lakukan, tidak dilihat oleh orang banyak, sehingga apabila kelak benar-benar datang beberapa orang yang mencari kedua bangsawan yang malang itu, tidak banyak orang yang dapat memberikan keterangan yang akan dapat menjadi petunjuk bagi mereka, untuk melacak jejak kita, meskipun seandainya mereka mengetahui juga siapakah kita, namun hal itu akan memerlukan waktu”

“Kau memang terlampau berhati-hati, aku tidak melihat perbedaan sama sekali, tetapi baiklah, jika kau menganggap bahwa bertindak di malam hari agaknya lebih baik dari siang hari. Kau orang tertua diantara kita”

“Baiklah” berkata Kumbara kemudian, “Kita akan memasuki istana itu dari pintu gerbang, kita tidak akan bersembunyi-sembunyi seperti tikus mencuri daging”

“Sudah barang tentu, kita akan memasuki dengan dada tengadah, kita tahu, bahwa kedua orang bangsawan itu tentu akan mencoba melawan. Tetapi mereka akan kita bunuh dan mayatnya kita tinggalkan di luar pintu gerbang”

“Semuanya yang menantang rencana dan tugas kita akan kita bunuh, Raden Ayu itu pun jika tidak mau membantu tugas kita, akan kita bunuh juga”

“Tetapi jangan gadis itu” desis Naga Pasa

“Persetan” geram Kumbara, “Itu diluar pembicaraan kita, tetapi jika gadis itu menyulitkan kita, apa boleh buat”

“Aku tidak akan membawanya, aku hanya memerlukannya sementara waktu, jika kemudian harus dibunuh, aku tidak berkeberatan” Naga Pasa berhenti sejenak, lalu, “Sudah barang tentu kedua-duanya”

“Kenapa kedua-duanya?” geram Gagak Wereng

“Bukankah ada dua orang gadis di dalam istana itu”

“Gila, itu urusanmu, tetapi jangan mengganggu tugas kita”

“Tidak…, aku berjanji, tugas kita akan kita selesaikan lebih dahulu, aku baru akan memerlukannya, setelah semuanya yang bersifat hidup di dalam istana itu, mati terbunuh, kecuali dua orang gadis itu”

Kumbara mengerutkan dahinya, namun kemudian ia pun menggeram, “Jangan kau membicarakan dengan kami, selesaikan persoalanmu sendiri, tetapi setiap persoalan yang dibeliti oleh nafsu seperti itu, akan mendatangkan sial. Karena itu, jika benar-benar demikian, biar kau sajalah yang akan dimakan oleh nasibmu yang buruk”

Naga Pasa tertawa katanya, “Kau jangan mengutuk begitu, baiklah, jika kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, nanti akan timbul pertimbangan tersendiri setelah semuanya selesai. Nah, karena itu, maka jika terjadi sesuatu, bukanlah aku penyebabnya”

Kedua kawannya tidak begitu menghiraukannya lagi. Mereka pun kemudian sibuk mempersiapkan senjata masing-masing, senjata yang jarang sekali mereka pergunakan, karena dalam keadaan sehari-hari mereka sudah cukup percaya kepada tangan-tangan mereka yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Apalagi mereka berada di dalam masyarakat pedesaan yang dianggapnya tidak akan mampu berbuat apapun juga atas mereka. Yang mereka pertimbangkan kemudian adalah dua orang bangsawan yang ada di dalam istana itu. Keduanya tentu bukan orang kebanyakan di dalam ilmu kanuragan. Karena itu, maka mereka bertiga harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya.

“Anak muda itu memang berani” berkata Kumbara, “Apalagi agaknya ia diiringi oleh seorang pengawal yang tangguh, tetapi mereka tentu belum mengenal siapakah kita”

“Tentu mereka sudah mendengar tentang anak Karangmaja yang kita lumpuhkan itu” sahut Naga Pasa.

“Tetapi berbuat demikian terhadap tikus dari Karangmaja adalah mudah sekali. Dengan ilmu yang paling permulaan dan sekedar racun yang dapat dicuri dari orang-orang yang mengerti tentang ilmu obat-obatan, maka hal itu akan dapat dilakukan”

“Tetapi sudah barang tentu tidak dengan cara seperti yang kita lakukan atas anak itu. Mungkin dengan menggoreskan senjata di tubuhnya atau menusuk dengan jarum. Tetapi kita tidak berbuat demikian. Dan Ki Buyut di Karangmaja dapat bercerita bahwa dengan sentuhan tangan, kita dapat membuat anak itu lumpuh, buta, tuli dan bisu”

Kumbara mengangguk-angguk, katanya, “Memang mungkin. Dan memang mungkin pula kedua bangsawan itu merasa memiliki sedikit ilmu untuk dapat melawan kita. Karena itu, bersiaplah sebaik-baiknya”

Ketiga orang itu tidak berbicara berkepanjangan lagi, Mereka benar-benar mempersiapkan diri. Kumbara telah menyiapkan sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman oleh racun yang kuat. Jika pedang itu berhasil menyentuh lawannya, maka jika lawannya tidak mempunyai penawar yang baik, maka ia akan segera mati membeku”

Gagak Wereng ternyata memiliki senjata yang lain. Selain kekuatan tangannya yang luar biasa dan sebuah cincin yang beracun, ia pun memiliki senjata yang berujung runcing di kedua sisinya. Senjata yang tangkainya tidak lebih panjang dari dua jengkal, tetapi di sebelah menyebelah terdapat ujung seperti ujung tombak yang masing-masing panjangnya lebih dari sejengkal.

Seperti pedang Kumbara, maka ujung senjata Gagak Wereng itu pun beracun pula. Racun yang sama kuatnya dengan racun pedang Kumbara.

Naga Pasa mempunyai senjata yang lain pula, ia mempergunakan dua buah pisau belati panjang, selain kedua pisau belati panjang itu, juga memiliki beberapa buah pisau yang lebih kecil. Tangannya sudah terbiasa melontarkan senjata-senjata kecil yang seperti kedua kawan-kawannya, senjatanya itu pun beracun pula.

Ketiga orang itu hampir tidak sabar menunggu matahari yang merambat lambat sekali di langit, apalagi ketika warna merah mulai membayang, seolah-olah matahari itu telah berhenti di tempatnya.

“Kita berangkat setelah makan malam” berkata Kumbara, “Sebentar lagi, orang-orang Karangmaja akan mengirimkan makan malam kita yang terakhir, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka memotong seekor kambing muda yang paling gemuk”

“Apakah kau juga mengatakan bahwa pengiriman ini adalah yang terakhir bagi kita?” bertanya Naga Pasa.

“Tentu tidak”

Naga Pasa menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sebenarnya orang-orang Karangmaja terpaksa menyembelih seekor kambing seperti yang diminta oleh orang-orang yang mereka anggap sedang menghantui Karangmaja dan tinggal di banjar padukuhan itu. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada memenuhinya, apalagi hanya seekor kambing muda yang gemuk, bahkan seekor lembu pun akan diberikannya.

Dalam keprihatinan Ki Buyut di Karangmaja selalu merasa dikejar-kejar oleh kewajiban yang tidak dapat dipenuhinya, ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa atas ketiga orang itu, sedangkan dipihak lain, seorang anak muda yang akan dapat diharap membantunya, ternyata telah mengambil korban bukan satu atau dua ekor kambing muda yang paling gemuk, tetapi korban itu adalah dua orang gadis muda yang terhitung cantik di Karangmaja. Pada suatu saat memang timbul niatnya untuk mengadukan kesulitannya kepada kedua bangsawan yang ada di istana itu.

“Mungkin mereka akan dapat membantu” katanya di dalam hati. Namun niat itu pun diurungkannya, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas bangsawan-bangsawan itu, maka ia adalah penyebabnya, yang mungkin akan dapat dibebani kesalahan seperti yang telah menciderainya pula, karena Ki Buyut menduga, keluarganya tidak akan dapat menerima hal itu terjadi atas keduanya.

Dengan demikian, yang dapat dilakukannya adalah sekedar merenungi dirinya sendiri dan padukuhan kecilnya yang telah dibayangi oleh kesulitan yang semakin lama akan menjadi semakin besar.

Sementara itu, langit merah menjadi semakin buram, beberapa orang Karangmaja dengan tergesa-gesa pergi ke banjar sambil membawa makanan dan minuman bagi tiga orang penghuninya.

Setiap kali mereka memasuki halaman banjar, terasa tubuh mereka tergetar, meskipun sejak orang-orang itu berada di banjar, belum seorang pun yang pernah diganggunya sejak ia memukul Kasdu. Tetapi bagaimanapun juga, hati mereka tetap tergetar untuk setiap kali bertemu.

“Apakah pesanku sudah terpenuhi?” bertanya Kumbara kepada orang-orang yang membawa makanan dan minuman itu.

“Daging kambing maksud Tuan?”

“Ya…, daging kambing muda dan gemuk, aku sudah jemu makan daging ayam dan telur”

“Sudah, sudah, kami membawa hampir seluruh tubuh kambing muda itu, hanya beberapa bagian kami tinggalkan buat makan Tuan-tuan besok pagi-pagi”

“Bagus” desis Gagak Wereng, “Orang-orang Karangmaja memang orang yang ramah dan baik hati. Kami mengucapkan terima kasih”

Orang-orang yang membawa makanan itu tidak menjawab, mereka meletakkan saja beberapa bakul diatas amben di dalam banjar sambil mengambil sisa-sisa makanan siang yang berserakan.

Ketika Kumbara membuka tutup bakul-bakul itu pun, ia tertawa katanya, “Lihatlah, bukankah itu merupakan bekal yang baik bagi kita yang malam ini akan melakukan tugas yang besar, yang akan menentukan kedudukan kita kelak?”

Gagak Wereng tidak menjawab, tetapi tangannya langsung menjamah gumpalan-gumpalan daging di dalam bakul itu, tanpa mengatakan sepatah katapun, ia segera menyumbatkan segumpal daging ke dalam mulutnya.

Kumbara tertawa melihat tingkah laku Gagak Wereng, disela-sela suara tertawanya ia berkata, “Dua orang kawanku mempunyai kebiasaan yang menjengkelkan dalam bentuknya masing-masing, yang seorang adalah seorang yang memanjakan nafsu makannya tanpa kendali, sedang yang lain sangat dipengaruhi oleh wajah-wajah cantik tanpa memikirkan akibat-akibat yang dapat timbul karenanya. Dua cacat yang apabila tidak disadari akan sangat membahayakan kedudukan kita semuanya.

Namun sambil mengunyah Gagak Wereng berkata, “Betapapun rakusnya aku, tetapi aku dapat membedakan, yang manakah yang boleh aku lakukan dan yang manakah yang tidak”

“Kau sangka aku tidak?” bertanya Naga Pasa, “Jika aku tidak dapat membedakannya, maka aku sudah lebih dari sepuluh gadis-gadis Karangmaja, terutama di istana itu, yang sudah aku seret ke dalam banjar”

Gagak Wereng tertawa, tetapi ia masih saja menyuapi mulutnya dengan gumpalan-gumpalan daging.

“Kita akan makan dahulu” berkata Kumbara, “Lalu kita akan melakukan tugas kita sebaik-baiknya, mungkin kita harus membunuh semua yang hidup di dalam istana itu”

Naga Pasa berpaling sekejap, namun ia tidak menghiraukannya lagi, ia tahu, Kumbara sengaja menggelitik hatinya agar ia menyatakan sikapnya, tetapi ia lebih baik diam saja.

Sesaat kemudian mereka bertiga pun telah memegang mangkuk masing-masing. Ternyata bukan hanya Gagak Wereng yang rakus terhadap gumpalan-gumpalan daging kambing, tetapi adalah mereka ketiga-tiganya bagaikan berlomba menghabiskan daging yang terbanyak.

Setelah mereka selesai makan dan melemparkan sisanya ke sudut ruangan, maka mereka pun segera membenahi diri, Kumbara yang dianggap tertua diantara mereka berkata, “Kita beristirahat sejenak sambil menyiapkan senjata kita masing-masing, jangan ada yang mengecewakan, selebihnya semua yang akan kita bawa harus sudah tersangkut di pelana kuda kita masing-masing. Karena kita tidak akan kembali lagi ke banjar ini, kita tidak akan bertemu lagi dengan orang-orang Karangmaja yang dungu untuk seterusnya. Memang mungkin beberapa tahun lagi kita akan datang lagi ke daerah ini, tetapi sudah barang tentu dengan kedudukan yang jauh berbeda”

Kedua kawannya tidak menyahut, mereka duduk di muka biliknya, sambil mengipasi dada mereka yang berkeringat.

Terasa angin mulai menjadi sejuk, langit yang buram menjadi semakin buram, satu-satu bintang mulai bergayutan di langit yang biru pekat. Beberapa helai awan yang putih mengambang dihembus oleh angin ke utara.

“Padukuhan ini segera menjadi sepi” gumam Gagak Wereng, “Jika matahari terbenam, maka hampir semua pintu telah tertutup, hanya satu dua orang saja yang masih berada diluar rumah”

“Pada umumnya mereka pergi ke rumah Ki Buyut” sahut Naga Pasa.

Gagak Wereng mengangguk-angguk, matanya yang tajam seolah-olah sedang menusuk ke dalam kegelapan.

Satu-satu nampak cahaya pelita yang menembus dinding rumah yang berlubang, jatuh keatas dedaunan di halaman, sentuhan angin yang menggerakkan dedaunan itu, bagaikan mengguncang sinar pelita yang menggeliat seperti sedang dibayangi oleh kegelisahan yang sangat.

Gagak Wereng menarik nafas dalam-dalam, meskipun hampir setiap pintu rumah sudah tertutup rapat, tetapi seolah-olah Gagak Wereng dapat melihat, sekeluarga yang sedang dilanda oleh kecemasan tentang hari depannya, duduk diatas amben bambu yang besar, betapapun juga seorang ayah mencoba menghibur anak-anaknya, tetapi anak-anak yang kecil itu tidak dapat menghindarkan diri dari ketakutan yang luar biasa, begitu juga ibunya.

“Kenapa aku justru menjadi hantu bagi sesama manusia?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah menghinggapi jantung gagak Wereng.

“Kali ini agaknya yang terakhir” katanya di dalam hati pula.

Gagak Wereng mulai membayangkan, bahwa jika usahanya kali berhasil, dan ia mendapat upah uang atau kedudukan yang cukup memadai, maka ia akan hidup wajar untuk seterusnya, dan ia pun akan menukar namanya lagi dengan namanya yang sebenarnya. Margajati.

Namun demikian ia berkata kepada diri sendiri, “Tetapi tugas ini harus diselesaikan dahulu”

Gagak Wereng menggeliat ketika ia mendengar Kumbara berkata, “Ujung malam ini sudah mulai gelap, marilah kita berangkat, kita tidak akan berjalan tergesa-gesa. Kita akan menikmati malam terakhir di Karangmaja ini sebaik-baiknya”

Ketiga orang itu pun kemudian mempersiapkan diri, semua milik mereka telah mereka siapkan dan mereka sangkutkan pada pelana kuda mereka masing-masing, senjata mereka telah siap pula untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

“Mungkin kedua orang itu perlu dibantai dengan senjata” berkata Kumbara, “Karena itu jangan meremehkan keduanya, keduanya bukanlah anak-anak kecil lagi”

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun segera berangkat meninggalkan banjar desa, tidak ada orang Karangmaja yang mengetahuinya, pada umumnya mereka sudah berada di dalam bilik masing-masing.

Hanya satu dua anak muda sajalah yang masih berada di rumah Ki Buyut Karangmaja, mereka berjaga jaga sambil berbincang, sekali-kali mereka menengok Kasdu nampaknya keadaannya memang berangsur baik.

Tetapi anak-anak muda yang masih tinggal di rumah Ki Buyut itu. Tidak berani pulang ke rumah masing-masing, hingga menjelang pagi hari. Ketakutan itu selalu mencengkam hati setiap anak-anak muda sejak di banjar tinggal ketiga orang yang sama sekali tidak dikehendaki oleh orang-orang Karangmaja, namun yang sama sekali tidak dapat diusiknya itu.

Meskipun demikian, seperti juga perempuan dan gadis-gadis, anak-anak muda Karangmaja belum pernah mengalami perlakuan yang dapat menghentikan denyut jantung mereka dari ketiga orang yang tinggal di banjar itu.

Dalam pada itu, ketika angin malam menjadi semakin dingin, Kumbara, Gagak Wereng dan Naga Pasa telah menjadi semakin dekat dengan istana kecil yang terpencil, dimalam hari istana itu memang nampak suram dan sepi sekali.

“Seperti sebuah rumah hantu” desis Naga Pasa.

“Ya… sebuah rumah di lereng bukit kecil, lihat, jika bulan kebetulan purnama, maka istana itu justru akan menjadi semakin mengerikan nampaknya. Seolah-olah dari balik pintunya akan dapat bermunculan sebangsa hantu, jin dan bekasakan”

“Kita akan memasukinya, kita akan segera menemukan penghuni istana itu yang sebenarnya”

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi, mereka memusatkan perhatian mereka kepada istana yang sepi dan suram itu. Sebuah lampu minyak yang berkeredipan menerangi sebagian kecil pendapa yang terbuka.

Namun, bagaimanapun juga, hati ketiga orang itu pun terasa menjadi berdebar-debar, mereka sudah terbiasa membunuh, tetapi rasa-rasanya membunuh perempuan yang tidak berbahaya justru sangat mendebarkan hati.

Ketiga orang itu tidak akan tergetar hatinya jika senjata mereka pada saatnya terhujam di dada kedua orang bangsawan yang sedang berada di istana itu pula, tetapi jika mereka harus membunuh perempuan yang ada di dalamnya, maka tangan mereka akan manjadi gemetar.

Bahkan tiba-tiba saja tumbuh penyakit di hati Gagak Wereng, “Apakah untungnya dengan membunuh perempuan-perempuan itu?, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, seandainya mereka melawan, apakah yang dapat mereka lakukan?, dengan sekali dorong, mereka akan jatuh pingsan”

Gagak Wereng menarik nafas dalam-dalam, tanpa sadarnya ia berpaling memandang wajah Kumbara yang tegang, didalam keremangan malam, Gagak Wereng tidak dapat melihat dengan jelas bentuk dan kerut merut di wajah kawannya itu.

Namun Naga Pasa agaknya mempunyai pikiran yang lain, setiap kali ia menengadahkan wajahnya, dan seolah-olah tersenyum seorang diri.

“Gila..!” desis Gagak Wereng di dalam hatinya, “Naga Pasa tentu akan mengambil kedua gadis yang ada di istana itu. Ia tidak akan segan membawanya dan melemparkan ke tepi jalan selagi gadis itu tidak sadarkan diri.”

Gagak Wereng adalah seorang laki-laki yang hampir tidak pernah bertanya kepada kawan-kawan dan kepada diri sendiri. Apakah korbannya perlu dikasihani atau tidak, ia adalah laki-laki yang bengis dan tidak berperikemanusiaan. Namun tiba-tiba saja, sebuah kejemuan telah merayapi hatinya, justru selagi ia bergerak mendekati istana yang kecil dan terpencil untuk melakukan tugasnya yang cukup berat.

“Gila,,!, “ Ia menggeram didalam hatinya, “Kenapa aku ragu?, Apakah sebenarnya aku ketakutan melihat kedua orang bangsawan yang ada di istana itu?”

Gagak Wereng tidak sempat merenung dirinya lebih jauh. Kumbara memberi isyarat dengan tangannya, sehingga mereka bertiga pun kemudian berhenti beberapa langkah di depan regol halaman istana yang suram itu.

“Kita akan memasuki halaman istana, kita akan menambatkan kuda kita diluar regol” berkata Kumbara

“Kenapa diluar regol?” bertanya Naga Pasa.

“Kuda kita tidak boleh menjadi sasaran kebingungan kedua orang yang ada di istana itu. Jika mereka kehilangan akal menghadapi kematian, mereka akan dapat dengan gila menyerang kuda yang tidak tahu menahu tentang perkelahian itu”

“Selebihnya, kita akan dapat dengan cepat meninggalkan halaman jika keadaan memaksa” desis Gagak Wereng

Naga Pasa memandanginya dengan heran, katanya, “He..!, sejak kapan kau memperhitungkan cara untuk melarikan diri?”

“Bukan untuk melarikan diri” sahut Gagak Wereng, tetapi ia tidak menemukan kata-kata untuk melanjutkan kalimatnya.

Naga Pasa tertawa, katanya, “Kedua orang yang tinggal di istana itu adalah bangsawan-bangsawan yang hanya pandai berhias dan merayu perempuan, karena itu mereka harus dibunuh, jika tidak, maka perempuan-perempuan akan menjadi korban mereka dan hidup tersia-sia di hari tuanya”

“Cukup.., desis Kumbara, “Marilah kita bersiap-siap, semuanya akan segera dimulai”

Ketiga orang itu pun meloncat turun dari kuda mereka dan menambatkan kuda-kuda itu di batang perdu di depan istana itu. Untuk sesaat mereka mencoba mengamati keadaan, tetapi istana itu benar-benar telah menjadi sepi.

“Kita akan masuk sekarang” berkata Kumbara.

Gagak Wereng dan Naga Pati mengangguk kecil, hampir diluar sadar, mereka pun telah meraba senjata masing-masing, Seolah-olah mereka ingin meyakinkan, bahwa senjata-senjata mereka akan dapat menyelesaikan persoalan yang sedang mereka hadapi. Sejenak kemudian Kumbara pun telah berdiri di muka pintu regol, beberapa kali ia mencoba mendorongnya, tetapi agaknya pintu itu telah diselarak.

“Kita dorong saja” desis Naga Pasa.

“Itu akan membuat keributan, kita dapat mengangkat selarak dengan memasukkan tangan kita pada bagian yang rusak itu”

“Aku tidak telaten” desis Gagak Wereng, “Aku akan loncat dinding batu dan aku akan membukanya dari dalam”

Kumbara mengangguk, katanya, “Baik, lakukanlah”

Gagak Wereng pun segera meloncat keatas dinding batu yang mengelilingi halaman, sejenak ia memandang ke bagian dalam dari dinding batu itu. Ternyata halaman itu benar-benar sepi. Tidak ada sesuatu nampak bergerak meskipun sekedar oleh seekor kadal. Gagak Wereng segera meloncat masuk, dengan hati-hati ia melangkah mendekati pintu gerbang dan kemudian membuka selaraknya.

Kumbara dan Naga Pasa yang berada di luar, menarik nafas dalam-dalam, seolah pintu telah terbuka lebar-lebar bagi tugas yang akan dilakukannya, meskipun yang sudah terjadi baru ujung dari keseluruhan tugas yang sangat berat. Terlebih-lebih dengan kehadiran kedua orang bangsawan yang berada di dalam istana itu pula.

“Apakah kita akan langsung memasuki istana?” bertanya Gagak Wereng

“Sudah barang tentu” Jawab Kumbara, “Kita tidak akan membuang waktu lebih lama lagi”

“Marilah” geram Naga Pasa, “Pekerjaan kita sudah selesai”

“Kau bermimpi, kita baru mulai”

“Ya…, kita baru mulai, tetapi selanjutnya adalah mudah sekali”

Kumbara memandang Naga Pasa dengan tatapan mata yang ragu, namun ia pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Perlahan-lahan ia mulai melangkah mendekati pendapa yang remang-remang diterangi oleh lampu minyak yang redup.

“Kita akan naik ke pendapa dan langsung mengetuk pintu” berkata Kumbara.

“Ya, kita akan mengetuk pintu” sahut Naga Pasa yang mulai melangkahkan kakinya naik ke pendapa.

Tetapi langkahnya terhenti, dengan wajah yang tegang ia memandang Kumbara dan Gagak Wereng yang juga termangu-mangu.

“Aku mendengar sesuatu” desis Naga Pasa

“Ya, aku juga mendengar sesuatu” sahut Kumbara.

Ketiganya pun kemudian berdiri mematung, namun untuk beberapa saat lamanya, tidak ada sesuatu yang yang mereka dengar, desah angin pun tidak.

“Aku akan naik” berkata Naga Pasa, “Ternyata kita telah diganggu oleh kecemasan kita sendiri”

Kumbara mengangguk, katanya, “Ketuklah pintu itu keras-keras”

Namun Naga Pasa tidak sempat menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa disisi pendapa itu, dari dalam kegelapan terdengar suara, “Kau tidak usah mengetuk pintu itu keras-keras, aku berada disini”

Naga Pasa segera meloncat turun, dengan wajah yang tegang ia memandang kedalam kegelapan sambil berkata, “Nah, ternyata yang kami dengar bukan sekedar nafas kami sendiri” ia berhenti sejenak, lalu, “He..! Siapakah kau, apakah kau bangsawan yang ada di istana ini?”

Ketegangan memuncak ketika mereka melihat dedaunan yang bergerak, dari dalam kegelapan muncul seseorang yang seperti telah diduga, ia adalah seorang dari kedua bangsawan yang ada diistana itu.

“Oo… Kau” desis Kumbara, “Terima kasih atas sambutanmu”

“Namaku Panji Sura Wilaga”

“Panji Sura Wilaga” Kumbara mengulang, “Baiklah, kemarilah, aku akan berbicara denganmu sedikit”

Panji Sura Wilaga melangkah mendekati ketiga orang itu dengan tanpa ragu-ragu, tidak ada sepercik kecemasan pun yang membayang di wajahnya.

“Dimanakah kawanmu itu?” bertanya Kumbara kepada Panji Sura Wilaga.

“Ia berada di dalam, tetapi ia akan dengan senang hati menyambut kedatangan kalian pula”

“Baiklah, apakah kau sedang menunggunya Panji Sura Wilaga?”

“Aku memang tinggal di istana ini bersamanya, ia sedang menengok bibinya yang agaknya hidup seolah-olah dalam pengasingan”

“Maksudku, sekarang ini, apakah kau sedang menunggu kawanmu itu?”

“Ia akan keluar nanti, ia tidak sedang tidur, ia tentu mendengar kedatangan kalian, tetapi ia masih berada didalam”

“Jika demikian, maka aku akan menemuinya dan menemui isteri Pangeran Kuda Narpada”

“Buat apa kau ingin menemuinya?”

“Ada sesuatu keperluan yang akan aku sampaikan kepada isteri Pangeran yang telah hilang itu”

“Ki Sanak, “ berkata panji Sura Wilaga, “Agaknya tidak pantas jika Ki Sanak pada malam hari yang gelap, datang sebagai tamu di istana ini, bukankah besok masih ada hari?, aku ingin menasehatkan kepada Ki Sanak, besok sajalah datang kembali di siang hari, jangan sekarang”

Kumbara menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengedepankan perasaannya yang mulai menjadi panas.

“Aku datang untuk menemui isteri Pangeran Kuda Narpada, aku ingin bertemu barang sekejap, dan aku ingin lakukan sekarang, tidak besok”

“Ki Sanak, “ berkata Sura Wilaga, “Sebaiknya Ki Sanak jangan memaksa, itu kurang baik, yang Ki Sanak lakukan sekarang ini benar-benar bertentangan dengan kesopanan yang lazim berlaku”

“Maaf Panji Sura Wilaga, “ sahut Kumbara, “Barangkali aku memang tidak menghiraukan sopan santun, tetapi demikianlah keinginanku, jangan menghalang-halangi aku, supaya hidupmu tidak menjadi pendek.”

“Ah, kau sedang menakuti-nakuti” jawab Sura Wilaga, “Jangan seperti menakut-nakuti anak-anak, karena itu, sebaiknya kalian kembali saja, dan datanglah besok jika matahari sudah naik tinggi.”

“Persetan !!” geram Kumbara yang hampir kehabisan kesabaran, “Kau jangan mempersulit dirimu sendiri.”

“Tentu tidak, aku sama sekali tidak mempersulit diriku, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk memperingatkanmu. Ketahuilah, bahwa Raden Ayu Kuda Narpada sekarang sudah tidur, agaknya ia lelah sekali, karena sehari-harian ia bekerja di dapur, adalah bukan menjadi kebiasaan isteri seorang bangsawan tinggi melakukan pekerjaan itu.”

“Aku tidak perduli.” Bentak Kumbara yang telah kehilangan kesabaran, “Aku akan masuk dan menemuinya”

“Sebaiknya jangan Ki Sanak, nanti kita akan dapat berselisih, bukan saja dengan kata-kata, tetapi mungkin dengan kekerasan”

Kumbara menggeram mendapat tantangan itu, maka katanya kemudian tidak kalah garangnya, “Baiklah, jika itu yang kau kehendaki, bukan kamilah yang menentang kalian, tetapi kaulah yang sudah memulainya”

“Tentu saja bukan aku, aku hanya sekedar mempersilahkan kalian untuk kembali besok, selebihnya adalah pengotak-atikmu saja”

“Panji Sura Wilaga !!!” berkata Naga Pasa yang sudah kehilangan kesabaran, “Kau tinggal memilih, membawa kami masuk dan mempertemukan kami dengan isteri Kuda Narpada, atau kau akan mati dengan penderitaan yang tidak dapat diperkirakan?. Dengarlah Panji Sura Wilaga, jika tangan kami menyentuh tubuhmu, maka kau akan menjadi lumpuh, bisu, tuli dan buta seperti seorang anak muda dari padukuhan Karangmaja”.

Tetapi diluar dugaan, Panji Sura Wilaga tertawa, katanya, “Memang kemampuan anak-anak dari Karangmaja, perguruan Guntur Geni dapat dibanggakan, apabila pemimpinnya yang menyebut dirinya bernama Kiai Sekar Pucang, tetapi bagiku, perguruan itu tidak ubahnya seperti berpuluh-puluh perguruan kecil lainnya yang tersebar dari ujung kulon sampai ke ujung timur pulau ini”

“Gila !!” Kumbara tiba-tiba menggeram, “Dari mana kau dapat menyebut nama perguruan dan pimpinanku?”

“Dari bekas tanganmu yang berbisa itu, aku pernah melihat seorang anak muda yang kau perlakukan seperti itu, adalah diluar peri-kemanusiaan jika kau memperlakukan seorang anak muda pedesaan yang tidak tahu menahu tentang ilmu kanuragan dengan cara seperti itu”

“Ia menentang aku”

“Apapun yang dilakukannya, kau tentu dengan mudah akan dapat mencederainya, karena anak pedesaan itu adalah anak yang bodoh dan dungu”

Tiba-tiba Gagak Wereng yang sejak semula hanya berdiam diri saja berkata, “Kita akan berbantah terus sepanjang semalam suntuk, atau akan menyelesaikan tugas kita yang penting ini?”

“Sudah tentu, kita akan segera bertindak”

“Marilah, aku akan memasuki pringgitan, Siapa yang sudah jemu berbicara, ikuti aku”

“Panji Sura Wilaga tertawa, katanya, “Masuklah, tetapi kalian tidak akan pernah keluar lagi”

“Jangan hiraukan” berkata Gagak Wereng sambil melangkah naik ke pendapa, “Kita akan berjalan terus, jika orang ini berani bertindak, ia akan bertindak, ia tahu pasti, bahwa ia akan berhadapan dengan perguruan Guntur Geni”

“Jangan panik” desis Panji Sura Wilaga.

“Persetan !!!” Gagak Wereng tidak menghiraukannya.

Panji Sura Wilaga maju beberapa langkah, ketika ia pun kemudian meloncat naik ke pendapa, terdengar pintu pringgitan terbuka. Nampak dalam cahaya lampu minyak seorang anak muda berdiri bersilang tangan di dada.

“Nah itulah yang seorang” berkata Gagak wereng.

“Ya…” jawab anak muda yang berada di pintu itu, “Aku kira kalian dapat diajak berbicara dan meninggalkan halaman istana ini, tetapi ternyata dugaanku keliru, kau memaksa naik dan masuk kedalam istana bibiku ini”

Gagak Wereng manjadi ragu-ragu sejenak, ada sesuatu yang bergetar di dada, hatinya, tetapi sambil menggerakkan giginya ia berkata, “Kau jangan mencoba mengganggu tugas-tugas kami, aku akan bertemu dengan bibimu”

“Jangan kasar” berkata Raden Kuda Rupaka, “Sebaiknya aku masih memperingatkan kalian sekali lagi, pergilah dan kembalilah besok siang jika memang kalian mempunyai kepentingan dengan bibi”

“Tidak aku akan bertemu dengan bibimu sekarang”

Raden Kuda Rupaka yang lebih muda dari Panji Sura Wilaga ternyata lebih cepat menjadi panas. Sambil menggeram ia melangkah lebih maju dan berkata, “Jangan menyombongkan diri karena kalian adalah anak-anak dari perguruan Guntur Geni, itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatiku. Namun aku masih dapat berbicara dan bersikap sebagai manusia, bukankah kita manusia yang mempunyai akal dan budi?, bukankah kita punya mulut untuk berbicara?, dan bukankah kita mengakui, bahwa setiap orang mempunyai hak atas miliknya, seperti bibi mempunyai hak atas istananya ini?, jangan melanggar hak itu, pergilah”

“Jangan berbicara lagi” Kumbara menjadi semakin marah, “Menepilah, aku akan lewat”

Wajah Kuda Rupaka menjadi merah, dengan garangnya ia berkata, “Jika demikian, kau akan memaksakan kehendakmu, baiklah itu berarti maut”

Kumbara mengerti bahwa tidak ada jalan lain kecuali bertempur, karena itu, maka ia pun berkata kepada Naga Pasa dan gagak Wereng, “Kalian bersama-sama dapat membunuh yang seorang itu dengan cepat, aku akan melayani anak gila ini, kemudian kita bertiga akan mencincangnya sampai lumat”

Kuda Rupaka tidak bergeser dari tempatnya, ia berdiri dengan kaki renggang seperti sebatang tonggak besi baja yang menghunjam jauh kedalam pusat bumi.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Narpada dan Inten Prawesti yang ketakutan didalam ruang tengah istananya yang suram itu. Tiba-tiba seolah-olah mendapat sebuah kekuatan yang lain, ia tidak ingin mengorbankan kemanakannya yang hanya secara kebetulan saja berada di istananya itu. Karena itu maka didorongnya Inten perlahan-lahan sambil berkata, “Inten, pergilah kepada Nyi Upih dan anak-anaknya, aku akan menemui orang-orang itu, mungkin yang dicarinya bukan sesuatu yang sulit untuk dipenuhi”

“Apakah mereka akan mengambil aku ibunda?” bertanya Inten Prawesti.

“Tentu tidak Inten, pergilah kepada Nyi Upih, ia akan dapat berbuat sesuatu untukmu”

Inten menjadi semakin gemetar, tetapi ia tidak dapat menahan ibundanya lagi.

Ketika ibunya bangkit dan melangkah ke pendapa, Inten siap-siap untuk berlari ke belakang, tetapi sebelum ia melangkah ternyata Nyi Upih lah yang berjalan tergesa-gesa memasuki ruangan itu.

“Gusti” ia berdesis

Raden Ayu Kuda Narpada terhenti, “Apakah Gusti akan menemui orang-orang itu?”

“Aku akan menemuinya Nyai, mungkin persoalannya dapat mudah aku selesaikan tanpa menimbulkan onar, aku tidak sampai hati melepaskan angger Kuda Rupaka bertempur dengan mereka, jika terjadi sesuatu atas anak itu, maka aku akan merasa sangat menyesal”

“Tetapi berhati-hatilah Gusti”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk, sementara Inten Prawesti telah memeluk pemomongnya dengan tubuh yang gemetar

“Marilah, duduklah puteri” Nyi Upih mencoba untuk menenangkannya.

“Nyai” desis Inten, “Dimana anak-anakmu?”

“Mereka membeku di pembaringan puteri, aku sudah mengajak mereka kemari, tetapi Pinten tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali, sedang Sangkan bersembunyi di bawah kolong amben bambunya”

“Aku juga takut sekali Nyai”

“Sudahlah, aku berharap bahwa segala sesuatunya dapat segera diselesaikan” berkata Raden Ayu Raden Kuda Narpada sambil melanjutkan langkahnya ke pendapa.

Sementara itu, Kuda Rupaka sudah siap untuk memaksa ketiga orang yang datang dengan kasarnya dimalam hari itu untuk pergi, Panji Sura Wilaga pun telah meraba hulu pedangnya pula.

Namun dalam pada itu, Kumbara, Naga Pasa dan Gagak Wereng pun telah siap menghadapi lawan masing-masing dengan garangnya.

Kehadiran Raden Ayu Narpada telah mengejutkan mereka yang sudah siap bertempur di pendapa, apalagi Kuda Narpada yang dengan sigapnya meloncat mendekati bibinya, “Bibi, silahkan bibi masuk, biarlah aku selesaikan persoalan kecil ini, mereka adalah anak-anak dari perguruan Guntur Geni yang tidak mempercayai kemampuan prajurit-prajurit Demak, tetapi sebentar lagi mereka akan menyesal dan akan menyebut nama Sultan Demak sambil berjongkok dihadapanku”

“Anakmas Kuda Rupaka” berkata Raden Ayu Kuda Narpada, “Kau adalah tamuku, kehadiranmu, membuat aku sekeluarga yang kecil ini menjadi gembira, karena itu, aku tidak mau sesuatu terjadi atasmu anakmas, jika pakaianmu sobek, apalagi kulitmu tergores ujung senjata meskipun hanya setebal rambut, aku akan sangat menyesal, semua kegembiraan akan lenyap dan persoalannya tentu akan menjadi berkepanjangan”

Kuda Rupaka tertawa, katanya, “Bibi, aku tidak biasa menyombongkan diri, tetapi bersama-sama dengan paman Panji Sura Wilaga, aku akan berusaha untuk melindungi istana peninggalan pamanda Kuda Narpada ini”

“Terima kasih anakmas, tetapi biarlah orang ini menyebutkan persoalannya, biarlah ia mengatakan, apakah yang akan dibicarakannya dengan aku”

“Nah…!” tiba-tiba saja Kumbara memotong, “Itu adalah suatu kebijaksanaan yang terpuji”

“Angger Kuda Rupaka” berkata Raden Ayu Kuda Narpada, “Biarlah ia berbicara”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian berjongkok dihadapan bibinya sambil berkata, “Bibi. Adalah kewajiban seorang ksatria untuk berbuat derma, melindungi yang lemah dan memerangi kejahatan, apalagi terhadap keluarga sendiri, sedangkan bagi orang lain pun harus dilakukannya tanpa pamrih. Bibi, terjadi sesuatu atas diri kami berdua, maka tidak akan ada seorang pun yang menyalahkan bibi. Bahkan ayahanda akan berbangga, bahwa anaknya telah melakukan tugas seorang ksatria, karena itu bibi, jangan layani orang-orang gila ini, serahkanlah mereka kepadaku”

“Bagus” teriak Naga Pasa, “Kau akan kami bunuh lebih dahulu, baru kami akan berbicara dan memaksa bibimu untuk memenuhi tuntutan kami”

“Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada

Namun sebelum mereka menjawab Kuda Rupaka telah meloncat berdiri sambil berkata lantang, “Selama aku masih berdiri di halaman ini, kalian tidak akan dapat memaksa bibi untuk berbuat apapun. Karena itu, jika kalian mampu membunuh aku, lakukanlah”

“Aku akan membunuhmu” geram Kumbara sambil melangkah maju.

“Bibi masuklah” Kuda Rupaka perlahan-lahan mendorong bibinya masuk kembali, sehingga Raden Ayu Kuda Narpada sama sekali tidak sempat menolak.

Demikian Raden Ayu itu hilang dibalik pintu, maka pintu itu pun segera ditarik oleh Raden Kuda Rupaka, sehingga tertutup rapat-rapat.

“Kau jangan menakuti-nakuti perempuan itu he..!!” geram Raden Kuda Rupaka, “Sekarang lakukan apa yang akan kau lakukan”

“Kumbara menggeram, namun sebelum ia berkata sesuatu, Kuda Rupaka dengan acuh tidak acuh berjalan turun ke halaman sambil berkata, “Di sini kita mendapat tempat yang lapang untuk saling berbunuhan”

Kumbara tidak menjawab, ia pun segera meloncat dari pendapa langsung menyerang anak muda yang memang sudah siap menunggunya itu.

Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak terkejut mendapat serangan yang dahsyat itu, dengan sigapnya ia meloncat. Bahkan ia masih sempat berkata, “Racun di tanganmu dan senjatamu tidak akan dapat bekerja dihadapanku. Aku sudah menggosok seluruh tubuhku dengan obat panawar racun, Sementara di jariku terdapat sebuah cincin dengan batu akik Jumerut Sisik Waja, betapa tinggi ketajaman racunmu, kau sama sekali tidak akan berdaya”

“Gila…!!!, jadi kau mempunyai batu akik Jumerut Sisik Waja?” bertanya Kumbara.

“Ya…, dan paman Panji Sura Wilaga mempunyai batu akik Naga Keling. Kecuali obat penawar seperti yang aku pergunakan pula”

“Persetan…!!! Kalian tentu anak-anak dari perguruan Cengkir Pitu”

“Kau sudah mengenalnya?, nah, jika demikian, jangan bermain-main dengan racun, tentu tidak ada gunanya.ntu tidak ada gunanya. Perguruan Guntur Geni dan Cengkir Pitu mempunyai pengetahuan tentang racun dari sumber yang sama”

Kumbara menggeram, ia pun segera menyerang pula sambil berteriak, “Tetapi baik akik Jumerut Sisik Waja, maupun Naga Keling tidak mampu membuat kulitmu menjadi kebal. Meskipun kalian tawar dari racun, namun tubuh kalian tidak menjadi kebal oleh senjata tajam”

“Juga anak-anak dari Guntur Geni tidak akan dapat mengelakkan luka di tubuhnya”

Kumbara menjadi semakin marah karena serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya, karena itu, maka ia pun segera menyerang lawannya beruntun dengan senjatanya sambil bertanya, “Jika kalian anak-anak Cengkir Pitu, kenapa kalian berada disini?”

Kuda Rupaka tidak menyahut, tetapi suara tertawanya terdengar tinggi. Dalam pada itu Naga Pasa dan Gagak Wereng menjadi termangu-mangu melihat perkelahian yang terjadi. Dalam sekilas nampak bahwa Kuda Rupaka memang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakannya.

Namun sementara itu, Panji Sura Wilaga telah siap pula menghadapi keduanya di halaman istana yang suram itu.

“Kau akan segera mati” desis Naga Pasa kemudian.

“Kau atau aku, atau kita bersama-sama”

“Persetan, Kau harus melawan kami berdua”

“Aku sudah terlalu biasa bertempur melawan kelinci-kelinci penakut yang berkelahi bersama seluruh keluarganya”

“Persetan…!!!” Kemarahan Naga Pasa telah memuncak, karena itu serangannya pun segera datang membadai, disusul dengan serangan-serangan Gagak Wereng yang dahsyat.

Panji Sura Wilaga pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan bertempur yang cukup tinggi. Ia sadar, bahwa kedua orang itu akan memaksanya untuk menyerah dan mati. Kemudian mereka bertiga akan dengan sangat mudah dapat membunuh Kuda Rupaka pula.

Karena itu, maka Panji Sura Wilaga harus mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan pertempuran antara Kuda Rupaka dan lawannya.

“Aku harus bertahan sampai saatnya Raden Kuda Rupaka dapat membunuh iblis itu” berkata Panji Sura Wilaga kepada dirinya sendiri, sehingga dengan demikian, sejauh-jauh dapat dilakukan, Panji Sura Wilaga tidak menghambur-hamburkan tenaganya dalam perkelahian itu.

Tetapi hal itu sangat sulit dilakukannya, kedua lawannya memiliki kemampuan yang dapat memaksanya untuk memeras segenap tenaga yang ada padanya. Jika tidak, maka ia justru akan segera mengakhiri perlawanannya. Kumbara dan kawan-kawannya ternyata adalah orang-orang yang memang sepantasnya dipercaya oleh perguruannya untuk menjalankan tugas yang berat itu.

 -oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 3

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar