ADBM-072


<<kembali | lanjut >>

RADEN SUTAWIJAYA mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mencoba menerobos hutan itu, tetapi memang terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk melingkar di sebelah hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah kehilangan buruannya dan justru menemukan perkemahan Pandan Wangi di pinggir hutan itu.

“Memang sulit sekali,” berkata Sutawijaya, “tetapi jika aku menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan lagi.”

“Sama saja bagi Raden,” berkata Pandan Wangi, “Raden tidak akan menemukannya, meskipun Raden berusaha mencarinya malam ini.”

Sekali lagi Sutawijaya mengangguk sambil berkata, “Tetapi sama saja artinya. Dan arti itu adalah, aku kehilangan lagi buruanku.”

Pandan Wangi melihat kekecewaan yang dalam di wajah Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada yang dapat menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan. Apalagi di malam hari.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Rudita yang duduk mendengarkan percakapan itu menjadi ngeri. Seandainya mereka benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari, maka ia akan menjadi beku karenanya.

Rudita itu terkejut ketika ia mendengar aum harimau di tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati Pandan Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu juga justru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di antara para pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita, meskipun ia sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal Raden Sutawijaya.

Dalam pada itu, maka mereka pun sempat juga menghirup minuman panas yang dihidangkan oleh para pengiring dan bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.

“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “aku akan ikut beristirahat di sini. Besok pagi-pagi benar, aku akan menyerahkan arah perjalananku kepada kalian. Apakah aku akan kembali atau aku akan mencari terus orang-orang yang selalu membuat kerusuhan di Mataram itu.”

Dan hampir di luar sadarnya Swandaru berkata, “Bagaimana jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh hutan ini. Mungkin mereka memang bersarang di dalam hutan ini.”

“Tergantung kepada Pandan Wangi. Jika aku diizinkan, aku masih akan mencarinya di dalam hutan ini. Alangkah berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku.”

Sejenak tidak ada yang menyahut. Rudita yang duduk di sebelah Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Lalu katanya, “Raden, tetapi bukankah orang-orang itu sudah tidak berada di Mataram lagi?”

“Siapa?” bertanya Sutawijaya pula.

“Orang-orang yang Raden cari.”

“Sudah aku katakan, mereka telah menyeberang sungai itu, dan berada di atas Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jika demikian sebenarnya Raden sudah tidak perlu bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka pergi ke mana mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti mereka sudah tidak mengganggu daerah Mataram lagi?”

“Ya, sekarang mereka memang tidak mengganggu daerah Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi. Atau bahkan mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke Timur dan mulai lagi mengganggu orang-orang yang tinggal di daerah yang masih agak sepi.”

Rudita mengerutkan keningnya. Katanya, “Tentu tidak, Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka mengetahui Raden sedang mengejarnya.”

Sutawijaya memandang Rudita sejenak. Jawabnya kemudian, “Ya. Mereka tentu akan lari ketakutan.”

Rudita tidak mengerti tanggapan Raden Sutawijaya yang sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia mengiakan kata-katanya. Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.

Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang berkata, “Jika Pandan Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi memasuki hutan ini untuk mencari jejak. Sekaligus berburu binatang buas. Bukankah tidak banyak bedanya? Namun jika kita kurang hati-hati, kitalah yang justru akan diburu oleh orang-orang itu, seperti kita hampir saja menjadi mangsa seekor ular naga.”

Swandaru memandang Pandan Wangi pula seolah-olah sedang menunggu. Ialah yang paling berwenang menentukan, apakah ia sependapat atau tidak.

Setelah merenung sejenak, maka Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Kita besok pergi bersama-sama.”

“Jangan pergi,” Rudita mencoba mencegahnya, “biarlah mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita menunggu di sini bersama para pengiring.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya seperti kepada adiknya yang kecil ketika merengek minta mainan, “Kau sajalah yang tinggal di sini bersama beberapa orang pengiring yang akan menunggui kuda kita dan menyediakan makan kita seperti sekarang ini.”

“Tetapi sebaiknya kau tidak pergi.”

“Aku ingin pergi, Rudita. Akulah tuan rumah di sini. Akulah yang paling pantas mengantarkan tamu-tamu yang menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi mereka bukan tamu. Mereka adalah orang-orang yang ingin berperang.”

“Dan kita adalah orang-orang yang sedang berburu. Kita sudah sepakat untuk berburu di hutan liar itu,” jawab Pandan Wangi, “dan kita sekarang mendapat kawan yang cukup banyak. Bukankah semakin banyak kawan kita, perjalanan kita akan menjadi semakin aman?”

Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan gelisah. Agaknya Pandan Wangi pun sudah tidak mau mendengarkan kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di dalam rombongan, bukan saja berburu di daerah yang liar, tetapi orang-orang itu rasa-rasanya seperti orang-orang liar juga, yang sedang berkelahi melawan alam di jaman-jaman manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di dalam jaman perburuan tiada henti-hentinya. Membunuh dan dibunuh binatang buas dan sesama manusia.

“Kini mereka pun sedang berburu manusia,” berkata Rudita di dalam hatinya.

Namun Rudita tidak akan dapat mencegah orang-orang yang masih saja suka berburu itu. Sedang untuk tinggal di perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa orang pengiring yang tinggal tentu tidak setangkas Pandan Wangi. Dan tentu tidak akan dapat membidik mata ular dengan lemparan tombak.

“Di daerah yang buas memang sebaiknya berada di antara orang-orang yang garang seperti mereka itu untuk menyelamatkan diri,” berkata Rudita di dalam hatinya.

“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “baiklah jika demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi jika menurut penilaianmu semakin banyak orangnya, akan menjadi semakin aman.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jalan terlalu sulit di tengah-tengah hutan itu.”

“Itulah yang menyenangkan, Rudita. Kita sudah terlalu lama hidup dalam kesenangan. Hampir tidak pernah berbuat apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri kita sendiri mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini adalah cara yang baik untuk itu.”

“Kalian memang mencari kesulitan. Jika kalian ingin, kalian tentu dapat menyediakan uang untuk mengupah beberapa orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng sekalipun asal uang itu cukup banyak.”

“Juga dapat untuk berburu orang-orang bersenjata sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa usaha itu akan dapat hasil baik seperti yang kita harapkan,” potong Sutawijaya.

“Tentu itu bukan persoalan kita, Raden. Jika kita sudah mengadakan pembicaraan, maka itu harus berhasil. Jika tidak, kita tidak usah membayarnya.”

“Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan di dalam perburuan binatang. Sebelum kita mendapat macan loreng, kita tidak akan memberikan upahnya,” sahut Sutawijaya. “Tetapi tidak bagi perburuan orang-orang bersenjata.”

“Apa bedanya, Raden?” bertanya Rudita. “Tentu kita juga tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak berhasil menangkap orang yang kita cari.”

“Memang kita tidak usah membayar upahnya. Tetapi kehilangan buruan, nilainya belipat dari upah yang harus kita bayarkan,” jawab Raden Sutawijaya. “Bukan sekedar seperti binatang buruan yang banyak jumlahnya.”

Rudita tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Raden Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun tertunduk, namun agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.

“Rudita,” berkata Sutawijaya seperti seorang guru yang sabar mengajari muridnya yang terlampau bebal, “setiap binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita. Macan loreng yang satu akan sama saja nilainya dengan macan loreng yang lain. Seekor rusa tidak banyak berbeda dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak orang-orang bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari akan sangat berbeda nilainya dengan sekelompok yang bersenjata di sekitar perapian ini, meskipun aku hampir saja keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok yang lain lagi yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan kita. Karena itu, sulit bagi kita untuk mengupah orang-orang yang sanggup berburu manusia bersenjata seperti pemburu-pemburunya itu sendiri, meskipun hal itu dapat juga sekali-sekali terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan seperti kita sekarang ini.”

Rudita tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat mencegah perburuan yang menegangkan itu. Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan itu tanpa Pandan Wangi.

“Bagaimana jika justru orang-orang yang diburu itu yang akan memburu aku dan para pengiring yang tugas di sini,” berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian sama sekali tidak berkata apa pun juga.

Ketika Rudita kemudian terdiam, maka yang lain mulai berbicara. Swandaru yang sudah menahan hati terlampau lama itu berkata, “Baiklah kita mempergunakan sisa malam ini untuk beristirahat sebelum kita besok menyelusuri hutan belukar yang lebat itu. Dengan orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, maka hutan lebat di pinggir Praga ini tentu tidak akan kalah berbahayanya dari Mentaok, meskipun hutan ini tidak terlalu luas.”

“Aku sependapat,” berkata Raden Sutawija. “Kita dapat tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang kemudian dikepung oleh sepasukan orang-orang bersenjata itu. Dan baru akan kita cari besok pagi.”

“Kuda-kuda kami adalah penjaga yang paling baik. Mereka akan segera membangunkan kami jika ada seseorang yang datang.”

“Orang-orangku akan berjaga-jaga,” berkata Sutawijaya.

“Bagus sekali. Giliranku adalah berjaga-jaga menjelang pagi. Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi melakukannya. Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden Sutawijaya dan kuda-kuda kami itu,” gumam Swandaru.

“Sst,” Agung Sedayu berdesis.

Swandaru berpaling. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa ia berdesis.

“Kau samakan saja mereka dengan kuda-kuda kita,” bisik Agung Sedayu.

“O,” Swandaru menutup mulutnya, seakan-akan ingin menahan kata-katanya yang tersisa.

Demikianlah, maka mereka pun segera mencari tempat untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat di atas rerumputan yang kering.

“Raden,” berkata Rudita, “kenapa Raden berbaring di tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden berbaring di atas tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi mempergunakan yang selembar lainnya. Biarlah anak-anak itu mencari tempat mereka masing-masing.”

Swandaru hanya memandang Rudita sejenak. Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun sama sekali tidak mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung Sedayu, dan apa lagi Prastawa.

Tetapi ternyata bahwa Sutawijaya menolak, katanya, “Aku biasa tidur di mana pun juga tanpa lambaran, rumput kering adalah alas yang lebih hangat dari sehelai tikar pandan. Karena itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama dengan yang lain.”

“Ah,” desah Rudita, “tetapi tidak enak bagiku. Seakan-akan aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena itu silahkan Raden tidur di sini.”

Sutawijaya tertawa. Katanya, “Kau terlalu baik hati. Kau mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut pendapatmu pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu bukan salahmu. Aku sendirilah yang menentukan.”

Rudita tidak menyahut lagi. Tetapi untuk beberapa lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya yang berbaring di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para pengiringnya yang segera bertebaran mencari tempat masing-masing. Namun demikian beberapa orang masih tetap duduk di tempatnya untuk berjaga-jaga, karena bahaya dapat datang setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak.

Malam itu ternyata tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Agung Sedayu dan Swandaru tidak perlu lagi bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur dengan pulasnya, karena di perkemahan itu rasa-rasanya menjadi semakin aman dengan kehadiran Raden Sutawijaya bersama para pengiringnya.

Namun dalam pada itu Rudita-lah yang ternyata tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Bukan saja karena ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut gambarannya adalah seorang putera sultan yang berkuasa di seluruh Pajang, namun hatinya juga digelisahkan karena besok mereka harus melanjutkan perburuan mereka. Bukan saja berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia. Manusia yang bersenjata lebih tajam dari taring harimau yang paling ganas.

Ketika kemudian fajar menyingsing, maka mereka pun segera bangkit dan membenahi diri. Beberapa orang dari mereka pun segera memperbesar nyala perapian dan menjerang air untuk minum.

Sementara itu. Pandan Wangi pun mendahului orang-orang lain pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu. Kemudian baru yang lain berturut-turut membersihkan diri mereka.

“Apakah kau tidak akan mandi?” bertannya Pandan Wangi kepada Rudita.

“Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku belum mengetahui letaknya.”

“He, kenapa sendiri? Bukankah semua juga pergi ke belik itu?”

“Aku tidak mau bersama dengan mereka.”

“Kenapa?”

Rudita menggelengkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, katanya, “Pandan Wangi, apakah setelah semuanya selesai, kau mau mengantarkan aku?”

“Ah,” Pandan Wangi tidak dapat menahan senyumnya, katanya, “apakah kau tidak malu ditertawakan oleh orang-orang lain?”

“Mereka tidak akan mentertawakan. Aku tidak dapat berbuat lain daripada itu.”

Pandan Wangi menjadi iba juga kepada anak manja itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Marilah, agaknya semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat itu, maka semuanya tentu sudah kembali ke perkemahan ini. Tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mendekati belik itu apabila yang lain baru mandi.”

“Ah, jika begitu, nanti saja setelah mereka selesai sama sekali.”

“Itu akan membuang waktu.”

Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu, sehingga akhirnya Pandan Wangi berkata, “Baiklah. Kita menunggu sejenak.”

Demikianlah, setelah langit semakin terang barulah semuanya selesai mandi. Dan barulah Pandan Wangi mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu mengantar anaknya ke pakiwan di malam hari.

Ternyata Rudita hanya mencuci mukanya. Namun demikian badannya merasa segar dan rasa-rasanya kekuatannya menjadi bertambah-tambah.

Tetapi ia menjadi heran melihat Pandan Wangi yang sama sekali tidak memperhatikannya. Yang diperhatikan justru rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar belik itu.

“Apa yang menarik perhatianmu, Pandan Wangi?” bertanya Rudita.

Pandan Wangi tidak menyabut. Tetapi sesuatu memang sangat menarik perhatiannya.

Sejenak Rudita menjadi termangu-mangu. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang kadang-kadang berjongkok, kadang-kadang menyibakkan dedaunan perdu.

Akhirnya Rudita justru menjadi khawatir, sehingga sekali lagi ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang kau lihat?”

Pandan Wangi hanya berpaling sejenak, namun kemudian ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul di sekitarnya.

Rudita meniadi semakin cemas. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Pandan Wangi telah kesurupan demit belik itu?”

Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu memanggilnya, “Rudita, kemarilah.”

Dengan tergesa-gesa Rudita mendekat, meskipun beberapa langkah dari Pandan Wangi ia berhenti sambil memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak sedang kemasukan hantu.

“Apa yang kau perhatikan?”

“Kemarilah, lihatlah.”

“Apa?”

“Rerumputan ini.”

“He, kemana kau?” bertanya Rudita ketika ia melihat Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.

“Telapak kaki di atas rerumputan. Ranting-ranting perdu yang berpatahan.”

“Ah, tentu orang-orang yang pergi ke belik ini lebih dahulu dari kita.”

“Mereka tidak akan sampai sejauh ini. Semula aku menduga demikian. Tetapi ketika aku perhatikan, maka ada sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah lewat melalui tempat ini. Dari dalam hutan dan berbelok menyelusuri hutan perdu ini.”

“Ah, darimana kau tahu.”

“Lihat. Bekas-bekas kaki dan ranting yang patah ini datangnya dari arah itu dan kemudian menuju ke arah ini. Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang mungkin satu dua orang di antara mereka singgah ke belik itu, karena ada jalur yang pergi ke sana dan meninggalkan belik itu. Tetapi aku yakin, tentu bukan telapak kaki orang-orang kita sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam dan pagi tadi mereka pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak akan menyelusuri tempat ini dalam jalur yang panjang. Tetapi mereka juga tidak sempat melihat bekas-bekas ini karena gelap.”

“Ah, sudahlah, Pandan Wangi. Kau telah mencari persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak perlu mengatakan kepada siapa pun.”

“Kenapa?”

“Tentu hal-hal yang sebenarnya bukan persoalan kita, akan dikupas, diurai dan dibicarakan panjang lebar, kemudian mereka akan segera memburunya.”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Dan karena Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya, “Pandan Wangi, kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya seperti binatang buas di hutan? Siapa yang paling kuat, ialah yang berhak menentukan kehendaknya. Apakah itu masih harus berlaku di dalam jaman ini?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling bertengkar dan apalagi saling memburu. Tetapi bahwa manusia mempunyai sifat mempertahankan dirinya itu adalah wajar sekali. Seperti halnva dengan kita sekarang. Tentu kita tidak akan mencampuri persoalan orang-orang bersenjata itu, jika mereka tidak melanggar hak kita. Kita tidak tahu, akibat apa yang dapat timbul karena pelanggaran yang mereka lakukan di atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sudah tentu akibat yang tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang sedang mempertahankan diri.”

“Mungkin keteranganmu dapat dimengerti Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Raden Sutawijaya? Orang-orang yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah meninggalkan daerah Malaram. Kenapa ia masih juga mengejarnya, dan karena itu kau pun merasa hakmu dilanggar?”

“Rudita,” jawab Pandan Wangi, “apa yang dilakukan itu pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan diri. Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap orang-orang itu, maka pelanggaran-pelanggaran masih akan terus terjadi. Orang-orang itu masih saja akan menusuk Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak terduga-duga. Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari mereka sebagai satu cara untuk membela dirinya, membela daerah yang sedang dibukanya itu.”

“Dan kau tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran yang dilakukan olehnya pula?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu? Apakah aku harus bertindak atas Raden Sutawijaya?”

“Tentu tidak, Pandan Wangi. Jangan. Ia adalah putera Sultan Pajang, meskipun putera angkat.”

“Jadi bagaimana?”

“Kau dapat berbuat serupa terhadap orang-orang lain itu. Mereka tidak mengganggu Tanah Perdikan Menoreh. Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang itu. Kita tidak usah mencampurinya.”

Pandan Wangi memandang Rudita sejenak, lalu, “Sayang Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di sini. Itulah sebabnya, aku bersedia ikut mencari mereka dan jika mungkin menyelesaikan semua persoalannya, sehingga tidak berkepanjangan.”

Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang suram. Namun ia tidak dapat memaksa Pandan Wangi untuk mengurungkan niatnya.

Pandan Wangi sebenarnya merasa kasian juga melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang dianggapnya bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, agar Rudita tidak mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi pun kemudian berkata, “Rudita, mungkin kita tidak usah pergi ke mana pun.”

Rudita memandang Pandan Wangi sambil bertanya, “Maksudmu?”

“Aku mengharap orang-orang itu hanya sekedar bermalam di tempat yang tersembunyi. Pagi ini mereka akan segera kembali lewat jalan ini pula.”

“He,” tiba-tiba saja wajah Rudita menjadi tegang, “apakah mereka akan lewat jalan ini pula?”

“Mungkin sekali.”

Rudita menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita kembali ke perkemahan kita, Pandan Wangi.”

“Kita menunggu sebentar. Jika mereka lewat, kita tidak perlu mencarinya lagi.”

“Kita berdua?”

“Bukankah kita mempunyai banyak kawan?”

“Tetapi mereka tidak berada di sini.”

“Aku akan memanggil kawan-kawan kita, sementara kau bertempur melawan mereka, agar mereka tidak meninggalkan tempat ini.”

“Tidak. Aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak sampai hati melukai apalagi membunuh sesama.”

“Jadi, kau sajalah yang memanggil mereka. Aku yang berkelahi.”

“Jangan, jangan. Sebaiknya kita kembali saja ke perkemahan.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau menghendaki demikian, apa boleh buat.”

Keduanya pun kemudian segera kembali ke perkemahan. Rudita yang cemas, bahwa orang-orang yang lewat itu akan kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia berpaling dan berkata, “Cepatlah sedikit, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi harus menahan senyumnya melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak mau membuat anak muda itu menjadi semakin sakit hati.

Demikianlah, akhirnya mereka pun sampai ke perkemahan ketika orang-orang yang ada diperapian yang masih menyala itu sudah menghirup air minum mereka yang hangat.

Pandan Wangi dan Rudita pun kemudian duduk pula di antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap Swandaru dan Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas di hadapan seorang putera Sultan Pajang. Bahkan Pandan Wangi pun agaknya menganggap Raden Sutawijaya itu kawan bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena itu, ia masih berdiam diri saja.

Seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa Pandan Wangi memang senang mencari persoalan, maka gadis itu pun kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya itu kepada orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.

“Kau memang ingin mencari perkara,” desis Rudita, “seharusnya kau diam saja.”

“Ah, aku harus mengatakannya. Bukankah sudah menjadi keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku tidak mengatakan, bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah yang salah.”

“Itu lebih baik. Jika kita tidak menemukannya, maka kita tidak akan berselisih dengan mereka.”

Pandan Wangi yang mengetahui perasaan Rudita itu, hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya ceriteranya tentang jejak yang dilihatnya itu.

“Aku ingin melihatnya,” tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata.

“Nanti sajalah,” cegah Swandaru, “kita menghangatkan badan kita dengan makanan dan minuman panas ini. Kemudian kita tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi kita sudah siap untuk berangkat mencarinya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempersiapkan diri. Kita akan berangkat dan langsung memburu orang-orang itu.”

Demikianlah orang-orang yang ada di perkemahan itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan melakukan sebuah perburuan yang gawat.

“Makanlah, Rudita,” berkata Pandan Wangi, “jika kau ingin ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru kembali ke perkemahan ini, atau bahkan besok atau lusa.”

“Ah,” desah Rudita, “ayah dan ibu tentu menanti kedatanganku dengan cemas.”

“Apakah kau ingin pulang lebih dahulu? Biarlah seorang pengiring mengantarkanmu.”

“Kau sajalah, Pandan Wangi. Antarkan aku pulang dahulu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama sekelompok kecil ini. Mudah-mudahan aku segera dapat kembali.”

Rudita termangu-mangu. Katanya kemudian, “Jika kau pergi, aku pun ikut bersamamu.”

Swandaru mengangkat bahunya. Tetapi ia tidak berkata apa pun juga. Prastawa yang menjadi semakin jemu melihat sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.

“Jika demikian, bersiaplah. Kita akan segera berangkat.”

Sementara itu, para pengiring Pandan Wangi dan pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya tiga orang saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang tertambat dan menyiapkan makan dan minum apabila setiap saat kelompok kecil itu datang.

Sejenak kemudian, maka sekelompok pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan yang lebat. Kini bagi mereka yang penting tidak lagi ingin berburu binatang, tetapi mereka akan berburu manusia. Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat untuk membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa. Yang penting bagi mereka adalah memelihara kedamaian di daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai itu masih harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu keadaan yang masih harus di tempuh.

Yang mula-mula mereka datangi adalah belik kecil tempat mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka ingin melihat jejak yang telah dilihat oleh Pandan Wangi.

Ternyata seperti Pandan Wangi, mereka mengambil kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar jejak sekelompok orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu. Tentu merekalah orang yang sedang dicari oleh Sutawijaya. Jika orang-orang itu bukan orang-orang yang dengan sengaja melalui jalan yang tidak diketahui orang lain, maka mereka tidak akan mengambil jalan itu.

“Kita sudah menemukan jejaknya,” berkata Raden Sutawijaya, kemudian, “jagalah agar kita tidak kehilangan.

“Tetapi mereka tentu sudah jauh sekali,” sahut Swandaru.

“Kita akan mencobanya. Tetapi jika kita kehilangan jejak ini, kita benar-benar tidak akan dapat menduga sama sekali, ke mana mereka akan pergi.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Seandainya kita tidak menemukan orang-orangnya, asal kita dapat menggambarkan jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di pinggir-pinggir tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan dapat mengambil sikap.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya itu berkata seterusnya, “Nah, mumpung masih pagi. Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai beberapa orang yang ahli di dalam menyelusuri jejak.”

Demikianlah, maka dua orang pengawal Sutawijaya yang dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas kaki di rerumputan yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting perdu yang disibakkan, dan bekas-bekas yang lain yang dapat diketemukan.

Di belakang kedua orang penyelusur jejak itu berjalan Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di belakangnya Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita berjalan dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia tidak dapat berpisah lagi dengan gadis itu. Tetapi pada saat itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang menilai kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di dekat Pandan Wangi.

Di belakang mereka berjalanlah para pengawal Raden Sutawijaya dan beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejak itu. Agaknya orang-orang yang menyingkir dari Mataram karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang baru tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka akan diikuti jejaknya, ternyata mereka sama sekali tidak berusaha melakukan penyamaran atas jejak mereka. Bahkan ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali. Luka-luka baru pada pohon perdu itu masih mengembun getah.

Demikianlah mereka berjalan terus. Karena mereka tidak menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka agak lebih cepat daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan yang masih liar itu.

“Mereka berjalan sepanjang pinggiran hutan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang yang mengenal jejak gerombolan itu.

“Ya. Itulah yang aneh,” sahut Pandan Wangi yang mendengar kata-kata itu.

“Kenapa aneh?” bertanya Sutawijaya.

“Jika kita berjalan terus dengan arah ini, kita akan sampai ke bukit padas yang keputih-putihan itu. Tidak ada sebuah desa pun yang terletak di kaki bukit itu.”

“Jika kita berbelok ke Timur?”

“Kita akan menerobos ujung hutan ini dan kita akan sampai ke tepi Kali Praga.”

“Apakah hutan itu memotong bukit yang membujur ke Timur itu?”

“Bukit itu tidak sampai ke pinggir Kali Praga.”

“Apakah yang ada di antaranya?”

“Tidak pernah disentuh oleh kaki manusia. Tetapi itu adalah kelanjutan hutan yang liar ini.”

“Itulah yang sangat menarik. Di tempat yang jarang disentuh kaki manusia. Aku justru ingin melihatnya. Mungkin di tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang kita cari.”

“Aku kira tidak,” sahut Pandan Wangi, “daerah itu sulit sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali tanah, maka akan keluar airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerah-merahan dan berbau tanah kapur.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Air adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan. Mungkin air berbau tanah kapur itu dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu tidak bagi manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang kotor, apabila di daerah lain masih dapat diketemukan air yang jernih dengan mudah.

Namun demikian, iring-iringan itu masih berjalan terus. Jejak yang mereka ikuti justru menjadi semakin jelas. Agaknya orang-orang itu menjadi semakin yakin, bahwa tidak akan ada orang lain yang akan lewat jalan itu.

Karena itulah, maka jalan mereka pun menjadi semakin cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal sama sekali.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu yang memperhatikan kaadaan tempat itu dengan saksama mulai berpikir. Semakin lama justru dilihatnya jalur yang seakan-akan sebuah jalan setapak. Rerumputan bagaikan menyibak sebelah-menyebelah dan kadang-kadang didapatkannya seakan-akan sebuah tangga batu cadas.

Tetapi belum lagi ia mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya telah menggamitnya sambil berkata, “Kau melihat sesuatu yang kurang wajar di daerah ini.”

Belum lagi Agung Sedayu menjawab, hampir berbareng Swandaru dan Pandan Wangi berdesis, “Ya. Ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”

“Jalur ini,” sambung Agung Sedayu.

Ternyata anak-anak muda itu hampir berbareng merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak pada tempatnya. Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka daerah itu menjadi semakin sulit dilalui dan jejak pun menjadi semakin sukar ditelusuri. Tetapi ternyata yang mereka temui adalah sebaliknya.

Karena itulah, maka mereka pun segera berhenti. Raden Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya vang berjalan di depan. Selain mereka, maka Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun berkerumun pula mengelilinginya.

“Kita bersama-sama telah melihat sesuatu yang mencurigakan,” berkata Raden Sutawijaya. “Sudah barang tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap mereka.”

Orang-orang yang mengerumuninya mengangguk-anggukkan kepala.

“Apakah salah seorang dari kalian mengetahui makna dari keadaan ini?” bertanya Sutawijaya lebih lanjut.

Sejenak orang-orang yang mengerumuninya berdiam diri. Orang-orang yang mengawal Sutawijaya itu tampaknya ragu-ragu meskipun agaknya ada juga yang akan mereka katakan.

“Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “agaknya kita memang sedang berjalan ke suatu tempat yang meskipun jarang sekali, tetapi sekali-sekali pernah juga dilalui orang.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya, ia memandang kepada Pandan Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.

“Agaknya memang demikian,” katanya kemudian, “tetapi aku belum pernah mendengar laporan tentang daerah ini, tentang orang-orang yang sering melalui jalan ini menuju ke tempat yang agaknya belum aku kenal. Pegunungan itu merupakan batas dari jarak jelajah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan hutan yang liar yang menyilang pegunungan itu adalah daerah tidak bertuan. Maksudku, daerah itu bukan lagi termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah tentu masih termasuk di dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan hutan yang liar itu pun demikian juga kedudukannya. Itulah sebabnya, kami tidak dapat mengatakan sesuatu yang mungkin ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang masih sangat liar dan buas. Yang mungkin tidak kalah liarnya dengan Alas Mentaok.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Hutan itu tentu masih selebat dan seliar, dan barangkali melampaui Alas Mentaok, karena Alas Mentaok sekarang sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu bukannya hutan yang sempit menjelujur sepanjang Kali Praga. Menurut pengamatanku, kita sekarang sudah menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita tempuh bukannya sejajar dengan arus Kali Praga itu.”

“Raden benar,” sahut seorang pengawal Pandan Wangi, “kita memang menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan pegunungan itu pun terletak semakin jauh pula.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa ujung pegunungan yang mencuat melebihi puncak-puncak yang lain. Agaknya pegunungan itu pun benar-benar masih liar, meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak terlalu tinggi.

“Kita tidak akan sampai ke pegunungan itu,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi kita juga tidak akan segera kembali. Kita masih akan maju mengikuti jejak ini. Tetapi kita harus lebih berhati-hati.”

“Maksud Raden?” bertanya Swandaru.

“Kita tidak boleh terjebak. Karena itu, kita harus memecah iring-iringan ini menjadi dua atau tiga kelompok kecil. Jika salah satu dari kelompok ini masuk dalam jebakan, yang lain masih sempat berusaha menolongnya.”

Agung Sedayu yang mengerutkan keningnya menyahut, “Bagus sekali. Kita memang sedang memasuki daerah yang aku kira cukup berbahaya.”

“Nah, marilah kita membagi seluruh pasukan kecil kita,” berkata Raden Sutawijaya, “menjadi dua atau tiga?”

“Dua kelompok,” sahut Swandaru.

“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya, “yang sekelompok akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di depan. Sedang kelompok yang kedua?”

“Biarlah dipimpin oleh Pandan Wangi,” sahut Agung Sedayu.

“Kenapa aku?”

“Kaulah yang membawa beberapa orang pengiring bersamamu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ia adalah puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang juga berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun kemudian menyahut, “Baiklah. Aku akan berada di kelompok kedua.”

Namun tiba-tiba saja Rudita berkata, “Kau tidak usah turut campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali ke perkemahan. Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?”

Semua orang memandang wajah Rudita yang pucat karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah membayangkan berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi.

Sebenarnya setiap orang di dalam pasukan kecil itu pun membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa mereka akan masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan berusaha untuk memecahkan jebakan itu dan mengetahui isinya.

“Pandan Wangi,” desis Rudita, “kenapa kau diam saja?”

Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi beban saja. Di dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya untuk mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya kembali, ia harus menyediakan dua atau tiga orang pengiring. Bahkan di jalan kembali itu pun Rudita dapat setiap saat diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin orang-orang yang justru melampaui binatang buas.

“Pandan Wangi,” Rudita mengulang. Bahkan ia pun melangkah mendekati Pandan Wangi dengan lutut gemetar dan merengek seperti kanak-kanak.

“Rudita,” berkata Pandan Wangi, “kau tidak mempunyai pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan pergi terus bersama dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini, sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau tidak usah ikut berkelahi jika kita harus berkelahi. Tetapi kau juga jangan mengganggu kami jika kami sedang berkelahi.

“Apakah kau akan berkelahi?”

“Hanya satu kemungkinan. Lebih baik lagi jika kita tidak bertemu dengan siapa pun, meskipun dengan demikian berarti perjalanan ini sia-sia.”

Rudita tidak menyahut. Seperti kata Pandan Wangi, ia memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia harus berjalan terus, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun menjadi semakin kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya mengambang di pelupuknya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Aku sudah tersesat di antara orang-orang yang tidak saja berburu binatang, tetapi ternyata juga berburu manusia.”

“Nasibmu memang jelek, Rudita,” Prastawa yang tidak tahan lagi menjawab.

“Diam kau!” Rudita masih juga membentak.

“Kenapa kau tidak minta mayat lawan kita yang pertama sebagai hadiah buat Pandan Wangi,” sahut Prastawa kemudian.

Mendengar pertanyaan itu, terasa segenap bulu-bulu Rudita berdiri, sehingga ia tidak dapat menjawabnya. Namun Pandan Wangi-lah yang menyahut, “Sudahlah, Prastawa. Jika demikian, maka kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh perasaanmu saja tanpa pertimbangan nalar. Anak ini benar-benar sedang dicengkam ketakutan yang luar biasa.”

Prastawa tidak menjawab, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa ia masih juga dapat menyombongkan dirinya, seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasi di sini.” Namun ketika ia melihat wajah anak itu semakin pucat, ia pun berkata pula di dalam hatinya, “Sebenarnya kasihan juga Rudita itu.”

Demikianlah, maka kemudian mereka benar-benar telah membagi seluruh pasukan kecil itu menjadi dua kelompok.

Sekelompok dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri dengan seluruh anak buahnya, sedang kelompok yang lain dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan para pengiring yang dibawanya dari Menoreh. Sedangkan Rudita justru menjadi beban kelompok kedua, apabila mereka benar-benar terlibat di dalam pertempuran.

Yang sekelompok, yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya itu pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan ciri-ciri baru agar kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak. Di samping jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang mereka ikuti, maka Raden Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka setujui. Selain tanda-tanda itu, maka beberapa orang di dalam kelompok pertama akan memberikan tanda-tanda khusus, apabila mereka telah terlibat di dalam kesulitan.

“Kami membawa panah sendaren,” berkata Pandan Wangi ketika mereka berpisah, “adalah kebiasaan kami di dalam perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling memberikan tanda dengan panah sendaren.”

“Baiklah,” jawab Sutawijaya, “kami akan membawa panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami memerlukannya.”

Maka kedua kelompok itu pun maju perlahan-lahan dalam jarak yang agak jauh, sehingga bagi orang lain tidak segera diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu terdapat kelompok yang lain lagi.

Di sepanjang jalan sempit yang ditelusuri, Sutawijaja melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga ia pun yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang dicarinya itu untuk memancing mereka.

Dengan demikian, maka Sutawijaya pun menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke tempat yang terbuka.

“Kelompok di belakang kita itu pun tidak akan dapat menyembunyikan diri, apabila mereka melintasi tempat terbuka ini,” berkata Sutawijaya kepada pengiringnya, “sehingga dengan demikian, orang-orang yang akan menjebak kita itu pun segera akan melihat, bahwa kita terdiri dari dua kelompok.”

Pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang daripada mereka pun berkata, “Kita dapat memberikan tanda, agar mereka berhenti di sini.”

“O,” Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita pun akan berhenti pula di tempat yang terbuka itu. Jika benar mereka menjebak kita, mereka tidak akan telaten menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka ini menyerang kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu tetap terlindung di sini.”

Sutawijaya mengangguk-angguk sambil memandangi medan di hadapannya. Sebuah tempat yang terbuka, meskipun tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihatnya adalah tapak-tapak kaki di atas rerumputan dan batang-batang ilalang yang berpatahan.

“Baiklah,” berkata Sutawiiaya, “berilah tanda agar kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu berhenti di sini. Kita akan berjalan terus dan kita akan berusaha memancing mereka keluar dan menyerang kita di tempat yang terbuka. Sementara itu orang-orang Menoreh dapat memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat ini, jika kehadiran mereka tidak segera diketahui.”

Demikianlah, maka salah seorang dari pengiring Raden Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di jalur sempit itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang sudah mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar Pandan Wangi berhenti sejenak. Jika tidak ada isyarat lain, maka beberapa saat kemudian mereka dapat melanjutkan perjalanan.

Setelah tanda itu siap, maka Sutawijaya pun kemudian membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi dengan hati-hati, sehingga mereka benar-benar sampai ke mulut lorong yang bermuara di tempat terbuka itu.

Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang dengan sengaja memasuki daerah terbuka itu, salah seorang yang memiliki ketajaman pengamatan terhadap jejak-jejak berbisik, “Raden. Tidak semua orang di dalam kelompok yang sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat terbuka ini.”

“Darimana kau tahu?”

“Sebagian dari mereka telah memisahkan diri. Aku dapat melihat jejak mereka, meskipun mereka berusaha menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja mereka buat agar menjadi jelas.”

“Dugaan kita benar. Mereka telah menjebak kita.”

“Ya. Dan kita pun harus berusaha menjebak mereka.”

“Bersiaplah. Kita agaknya benar-benar harus bertempur. Orang itu memancing kita sampai ke tempat yang jauh. Tentu mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini.”

“Tetapi kenapa justru di daerah Menoreh?”

“Di sini, di daerah sulit yang terpencil. Tetapi mungkin juga dengan maksud, agar kita terjerumus ke dalam benturan senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu tidak terjadi, mereka sudah menyiapkan jebakan buat kita.”

Para pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka akan segera sampai ke medan yang cukup berat. Sedang beberapa orang di antara mereka, masih belum mengetahui kemampuan orang-orang Menoreh dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu, sehingga sebagian dari mereka sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran orang-orang Menoreh yang mereka anggap sebagai pengawal-pengawal Tanah Perdikan, yang dilakukan sekedar selingan dari kerja mereka di sawah dan ladang.

Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu. Namun mereka memusatkan perhatian mereka ke arah jejak yang lain, yang menyimpang dari jejak yang sengaja mereka tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan menjebak mereka, maka mereka tentu akan datang dari arah itu.

Demikianlah, dengan hati-hati pasukan kecil itu merayap maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih saja berpura-pura mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu terlampau jelas untuk dilihat.

Namun tiba-tiba kedua, orang itu berhenti hampir di tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan kerut-merut dikeningnya salah seorang dari mereka berkata, “Kita benar-benar telah dijebak. Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan. Karena itu, kita harus bersiap. Sebentar lagi kita akan terlibat di dalam perkelahian.”

Raden Sutawijaya mendekati orang itu sambil bertanya, “Apakah kau melihat suatu pertanda yang lebih pasti?”

“Jejak itu hilang di sini.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah tempat terbuka ini? Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk dihilangkan.”

“Tidak ada jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada. Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian sempurnanya.”

“Jadi bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?”

“Tentu tidak, Raden.”

“Jadi?”

“Jalan satu-satunya adalah melangkah mundur.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahan-lahan, “Aku memang bodoh sekali. Aku harus lebih banyak memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu sederhana.”

Para pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.

“Baiklah,” berkata Sutawijaya kemudian, “kita harus menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Pandan Wangi itu telah berada di tempatnya dan dapat melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak berdiri berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir tempat terbuka ini.”

“Mudah-mudahan mereka cukup cerdas,” berkata salah seorang pengiringnya, “tetapi karena mereka adalah pemburu-pemburu yang biasa berburu binatang, mungkin mereka mempunyai sikap yang lain.”

Sutawijaya memandang pengiringnya sejenak. Tetapi pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu sama sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi.

Namun demikian, ia berusaha untuk memberikan sedikit gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam kelompok kedua itu. Katanya, “Mereka memang pemburu-pemburu di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di sepanjang Kali Praga.”

“Tetapi mereka belum pernah menghasilkan apa-apa. Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun.”

“Orang-orang bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri. Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang berusaha melarikan diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil mencapai tepi Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus sungai yang kebetulan sedang deras waktu itu.”

“Darimana Raden tahu?”

“Seorang tukang perahu melihat peristiwa itu, dan kemudian menceriterakan kepada para peronda dari Mataram.”

Para pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit gambaran, bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa, dapat juga bertempur dengan caranya.

Sejenak kemudian kelompok kecil itu masih melingkar-lingkar di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya mereka sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang menunggui serangan yang setiap saat dapat datang.

Dalam pada itu, kelompok yang dipimpin oleh Pandan Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari tempat yang terbuka, mereka menemukan suatu tanda, bahwa mereka harus berhenti.

“Sepotong ranting yang menyilang ini,” berkata Pandan Wangi, “memaksa kita untuk bersiaga.”

“Kita harus berhenti di sini,” gumam Prastawa.

“Tentu ada sesuatu yang penting. Jika tidak, kita tidak usah berhenti di sini.”

Prastawa tidak menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Swandaru, “Di hadapan kita adalah suatu daerah yang terbuka.”

Agung Sedayu yang juga melihat tanda itu, merayap beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Mereka berada di sana. Di tempat yang terbuka itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia pun menyusup beberapa langkah maju bersama beberapa orang yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya masih berada di tengah-tengah tempat terbuka itu.

“Mereka tampaknya sedang kebingungan mencari sesuatu,” berkata Prastawa.

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “tampaknya mereka kehilangan jejak.”

“Mustahil,” sahut Swandaru, “lihat, jejak itu jelas sekali. Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun di tempat terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas kaki yang jelas.”

“Tetapi jejak itu agaknya hilang di tengah-tengah.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap beberapa orang pengiring Sutawijaya dan Sutawijaya sendiri, mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya mereka memang telah kehilangan jejak itu.

Ternyata bahwa anak-anak muda yang berada di dalam kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung Sedayu dan Swandaru berkata, “Ternyata kita benar-benar berada di dalam jebakan.”

Dan Swandaru meneruskan, “Apa pun yang terjadi dengan jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati.”

“Ya,” sahut Pandan Wangi, “jejak itu dengan sengaja memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu. Dengan demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan, akan datang serangan dari sekeliling tempat terbuka itu, termasuk dari tempat ini.”

“Kau benar,” berkata Agung Sedayu, “setidak-tidaknya dari beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan mungkin kita akan bertempur lebih dahulu dari kelompok yang terjebak di tengah-tengah tempat terbuka itu.”

“Jika mereka mengambil arah ini, agaknya memang demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil arah yang lain.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi dari sela-sela dedaunan, ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sutawijaya dan para pengiringnya.

Namun bagi Agung Sedayu dan kawan-kawannya, sikap Sutawijaya cukup mengherankan. Seharusnya mereka tidak menjadi kebingungan, karena sejak semula mereka menyadari, bahwa mereka sedang menelusuri jejak yang mereka duga sebagai suatu jehakan. Seharusnya mereka bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang dari segala arah. Bahkan mereka sempat memberikan tanda kepada kelompok kedua ini, agar mereka berhenti sebelum sampai ke tempat terbuka itu.

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tentu mereka pun sedang berusaha memancing lawannya dengan sikap yang pura-pura itu. Meskipun mungkin mereka benar-benar menjadi bingung karena kehilangan jejak, tetapi mereka tentu tidak akan bingung menghadapi jebakan itu.”

Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, bahwa jika benar Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah jebakan, sebentar lagi tentu akan terjadi perkelahian.

Di luar sadarnya, Agung Sedayu pun berpaling ke arah Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas.

Sebenarnyalah, bahwa Radita telah benar-benar menjadi ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa pembicaraan Agung Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya yang dapat menerkam mereka. Jika jebakan itu benar-benar telah di persiapkan, maka apakah mereka dapat keluar dari jebakan itu?

Karena itu, sejenak kemudian dengan lutut gemetar ia mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Pandan Wangi. Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini? Sebaiknya kau mengambil keputusan untuk kembali saja.”

Pandan Wangi memandang Rudita sesaat. Ia memang merasa terganggu dengan kehadiran anak muda itu, karena Rudita itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah yang pertama-tama akan dibebani dengan tanggung jawab. Tetapi di dalam keadaan serupa itu, sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.

“Pikirkan baik-baik, Pandan Wangi,” desak Rudita, “apakah gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang yang tidak kita kenal itu?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rudita. Sudah tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Kita pun wajib membersihkan daerah ini dari orang-orang yang tidak kita kehendaki.”

“Tetapi sasaran mereka adalah Mataram. Sama sekali bukan Menoreh.”

“Dan Menoreh dijadikannya landasan mereka untuk mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian akan dapat timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram. Apalagi jika saat ini kita lepaskan Raden Sutawijaya itu terjebak.”

“Tetapi kenapa kita harus mengorbankan diri sendiri?”

“Siapa yang mengorbankan diri sendiri?”

“Kita. Jika kita mati, tumpas, maka semua akan menyesal. Kau adalah anak satu-satunya. Jika kau mati, tidak ada lagi garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati, maka ayah bundaku akan meratap sepanjang sisa umurnya.”

Tetapi Pandan Wangi menyahut, “Marilah kita tidak menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang tidak tergantung pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib berusaha. Dan jika kita berusaha dengan bersungguh-sungguh, maka Yang Menciptakan kita pun akan menolong kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik.”

“Apakah kau dapat mengatakan, yang baik bagimu apakah tentu baik bagi orang lain?”

“Ah,” jawab Pandan Wangi, “dalam keadaan ini, kita jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup. Aku tahu, bahwa yang baik itu mempunyai artinya masing-masing.”

“Dan kau akan mencoba memilih sekedar baik bagimu.”

“Rudita,” Pandan Wangi menjadi jengkel, “sudahlah. Besok kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang buruk. Kita sekarang menghadapi kenyataan ini. Jika kau takut, baiklah kau tetap bersembunyi di sini. Kita harus berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang harus bersembunyi di sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang menyerang, kita akan tetap menunggu. Sampai saatnya mereka memerlukan bantuan kita, kita akan meloncat ke luar dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran itu.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian matanya menjadi berkaca-kaca.”

“Kenapa kita bersembunyi?” tiba-tiba ia bertanya.

Pandan Wangi tidak mengerti maksud pertanyaan itu.

Sejenak ia memandang Rudita yang pucat. Kemudian jawabnya, “Kita merupakan tenaga cadangan. Setiap saat kita akan menyerang mereka tanpa diduga-duga.”

“Bagaimana jika orang-orang yang kita sangka menjebak Raden Sutawijaya itu mengetahui kehadiran kita di sini?”

“Usaha kita akan gagal. Mereka akan bersiap menghadapi kita juga. Mereka tidak akan dapat kita sergap.”

“Jika kita menyatakan kepada mereka, bahwa kita tidak ikut campur?”

“Ah, tentu tidak mungkin. Kita sudah melibatkan diri.”

Rudita merenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku sudah mengambil keputusan. Kita tidak usah turut campur. Akulah yang akan meneriakkan kepada orang-orang yang barangkali masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut campur. Karena itu, mereka jangan memusuhi kita.”

“Rudita,” kening Pandan Wangi Jadi berkerut-merut.

“Itu keputusanku.”

“Jangan berbuat bodoh sekali,” terdengar suara Agung Sedayu, “jika kau berteriak, maka rencana Raden Sutawijaya akan kacau.”

“Aku tidak peduli.”

“Dan kita akan berganti lawan,” desis Swandaru, “kita akan dianggap memusuhi Mataram, karena Raden Sutawijaya adalah pimpinan tertinggi Mataram.”

“Aku tidak peduli, tetapi aku tidak mau dibantai oleh orang yang tidak aku kenal di sini. Dan kalian sebaiknya mendengar keputusanku ini.”

“Gila,” Prastawa menggeram.

Namun di luar dugaan mereka, agaknya Rudita benar-benar ingin berteriak. Ia benar-benar tidak ingin terlibat di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin meneriakkan suatu pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut campur di dalam persoalan antara Mataram dan orang-orang yang tidak di ketahui itu.

Sambil melingkarkan kedua telapak tangannya di mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya.

“Rudita, jangan gila,” cegah Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.

Meskipun suara Pandan Wangi tidak begitu keras, namun Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi tidak ada tanda-tanda, bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi ia menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak.

Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi mengguncangnya sambil berdesis, “Jangan kau lakukan.”

“Jangan mencegah semua yang sudah aku putuskan untuk aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak mendengarkan pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa.”

“Ada perbedaannya. Aku tidak bergantung kepadamu. Tetapi kau bergantung kepadaku di dalam keadaan ini. Bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau menyadari kedudukan kita masing-masing di saat ini. Akulah pimpinan kelompok ini.”

“Aku sedang berusaha untuk tidak bergantung lagi kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar oleh mereka, dan kita tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang bergantung kepadaku nanti.”

“Jangan kau lakukan. Aku tidak mengijinkan kau berbuat gila itu.”

Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Tetapi tiba-tiba saja sekali lagi ia melingkarkan kedua telapak tangannya sambil menengadahkan kepalanya.

Ketika sekali lagi Pandan Wangi menggamitnya, maka ia pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.

Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, Rudita itu terkejut bukan kepalang. Bahkan kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan. Ternyata di dalam keadaan ysng gawat itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain daripada memaksa Rudita untuk diam. Sebuah tamparan yang cukup keras telah terayun menyentuh pipi Rudita.

Dengan wajah yang tegang, Rudita kemudian memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Kau memukul aku, Pandan Wangi.”

“Maaf, Rudita. Aku terpaksa melakukannya.”

Mata Rudita itu pun kemudian menjadi basah dan suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan, “Kenapa kau melakukannya, Pandan Wangi?”

“Aku tidak ingin kita bersama-sama binasa di sini. Aku tahu, bahwa hatimu bersih dan damai. Kau menganggap orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak memusuhinya, maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi kita tidak dapat bersikap seperti itu terhadap orang-orang yang sedang kita cari sekarang ini. Apa pun yang akan kita lakukan, maka sikap mereka akan cukup tegas. Membinasakan kita yang terperosok ke dalam perangkapnya. Termasuk kita.”

Setitik air mengambang di pelupuk mata anak muda itu. Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang tidak dapat ditahankannya, “Ternyata hatimu tidak ada bedanya dengan orang-orang lain, Pandan Wangi. Berbeda dengan namamu, maka kau sama sekali bukan sehelai daun pandan yang wangi. Kau terlampau berprasangka dan bersikap bermusuhan, justru dengan orang-orang yang sama sekali tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada sesama, sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan demikian, maka hidupmu akan selalu dikotori dengan sikap bermusuhan dan tanpa kedamaian. Prasangka, curiga, dan kehilangan kepercayaan.”

Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang merah. Air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Dan wajah yang basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang laki-laki.

Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut lagi karena tiba-tiba saja Prastawa menggamitnya. Katanya, “Pandan Wangi, lihat. Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia sudah melihat sesuatu di sekitarnya.”

“Untunglah, bahwa orang-orang itu tidak menyerang dari jurusan ini. Jika demikian, maka kita akan berkelahi lebih dahulu daripada Raden Sutawijaya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, lalu sambil berpaling kepada Rudita ia berkata, “Rudita. Kau tetap bersembunvi di sini. Jika kau muncul juga di arena jika kita nanti terlibat di dalam perkelahian, maka kau akan mengalami kesulitan. Ingat, jika kau masih ingin tetap hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka kau akan mati. Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau akan menggeliat tanpa dapat berbuat sesuatu. Mayatmu kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih tetap menembus sampai ke jantung. Kau mengerti?”

Mengerikan sekali. Air mata Rudita semakin deras mengalir. Tetapi ia mengangguk ketakutan yang sangat telah memaksanya untuk tidak membantah lagi.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh Prastawa, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Raden Sutawijaya sudah menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan demikian, maka kelompok Pandan Wangi pun segera mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan datang.

Sebenarnyalah Raden Sutawijaya telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak di sekitar tempat yang terbuka itu. Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang menyentuh perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun mengetahui dari arah manakah lawan-lawannya akan datang.

Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi tegang pula karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang yang berusaha menjebak kelompok-kelompok itu tidak mengetahui bahwa sekelompok kecil masih tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.

Demikianlah, sejenak kemudian perhitungan Raden Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata telah muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun.

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan diri mereka masing-masing untuk menyongsong orang-orang yang bermunculan dari balik dedaunan, semakin lama menjadi semakin banyak.

Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar melihat kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.

“Nah,” tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang mengepung para pengawal dari Mataram itu berkata, “baru sekarang kita berhasil bertemu muka.”

Raden Sutawijaya mencari di antara orang-orang yang mengepungnya itu. Namun tiba-tiba dadanya berdesir, ketika ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil tertawa orang itu melangkah maju mendekatinya.

“Raden,” berkata orang itu, “di tempat ini terpaksa aku menunjukkan diri.”

“Paman Daksina?”

“Ya, Raden. Tentu Raden tidak lupa kepadaku.”

“Apa artinya ini, Paman?”

“Apakah Raden heran melihat kehadiran kami di sini?”

“Aku tidak mengerti.”

Terdengar suara tertawa orang yang disebut Daksina itu. Katanya, “Aku memang berada di antara orang-orang yang barangkali tidak kau senangi, Raden. Orang-orang yang kau anggap selama ini mengganggu Mataram.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.

“Barangkali Raden memang tidak menyangka, bahwa aku ada di antara mereka. Tetapi inilah kenyataan itu. Aku adalah salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat Mataram berkembang. Aku akui, bahwa di antara kami masih terdapat kepentingan yang berbeda. Namun kami telah berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri kami masing-masing menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang bersama-sama kami sepakati tanpa ragu-ragu, yaitu menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati.”

Raden Sutawijaya menggeram. Katanya, “Pihak-pihak yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara kalian?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah ada gunanya kau mengerti?”

“Mungkin ada.”

“Menjelang kematianmu?”

“Jika benar demikian, maka setidak-tidaknya sebelumi aku mati, aku sudah mengerti persoalan yang sebenarnya aku hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup dan berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya Ayahanda Pemanahan yang mendengar laporannya, akan bertindak tepat.”

Orang yang disebut bernama Daksina itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Coba perhatikan di sekelilingmu, Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih banyak. Dan aku yakin, bahwa Raden tidak akan dapat menang melawan aku seorang lawan seorang meskipun aku belum sesakti ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi untuk kepentinganku kali ini mencukupilah kiranya.”

“Paman akan membunuh aku?”

“Jika mungkin, aku ingin menangkapmu hidup-hidup.”

“Buat apa sebenarnya Paman menangkap aku?”

“Pertanyaanmu aneh, Raden. Yang penting bukan untuk apa, tetapi yang penting bagi kami adalah Mataram tidak boleh berdiri seperti bentuknya sekarang.”

“Siapakah sebenarnya yang berkeberatan? Paman belum menyebut pihak-pihak yang kau katakan.”

“Baiklah, Raden. Sebelum Raden terbunuh di tempat yang memang sudah kami pilih ini, biarlah aku menyebutnya. Yang pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira prajurit Pajang. Sultan Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan Mataram kepada Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya dapat disebut meninggalkan tugasnya tanpa ijin sultan sendiri.”

“Hanya itu?”

“Tidak. Tetapi masih ada kelanjutan dari cita-cita kami yang besar. Bukan sekedar persoalan Alas Mentaok.”

“Katakan jika kau memang ingin digantung oleh Ayahanda Sultan atau Ayahanda Pemanahan.”

”Jangan sombong. Tidak akan ada orangmu yang akan tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi kami, baik Mataram maupun Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih baik dari sekarang. Kami mencoba mengirimkan beberapa orang utusan kepada para adipati di pasisir Utara untuk mengetahui keinginan mereka yang sebenarnya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Jadi inilah usaha kalian di Istana Pajang. Sebagian aku sependapat, bahwa Pajang harus dibersihkan. Dibersihkan dari orang-orang seperti Paman dan beberapa orang perwira yang Paman katakan, meskipun Paman belum menyebut namanya.”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar