MEP-01


kembali | lanjut

MEP-01KEDATANGANNYA kembali diterima dengan penuh haru oleh orang-orang Kademangan Kepandak, terutama orang-orang di padukuhan Gemulung. Lebih dari sepuluh tahun ia meninggalkan rumah itu. Tetapi kini ia terpaksa kembali.

Suaminya, seorang prajurit Mataram telah gugur dalam pengabdiannya kepada Tanah Kelahiran, pada saat pasukan Mataram atas perintah Sultan Agung menyerang Betawi yang diduduki oleh orang-orang Kulit Putih berkebangsaan Belanda.

Dan Nyai Wiratapa yang sudah menjadi janda itu terpaksa pulang ke rumah orang tuanya. Ayahnya adalah orang tua yang sudah berkeriput. Dan ibunya sudah mulai terbongkok-bongkok. Rambutnya sudah menjadi putih. Umur mereka telah melampaui pertengahan abad, dan bahkan, laki-laki tua itu sudah lebih dari enam puluh tahun.

Namun meskipun demikian, laki-laki tua itu masih kuat mengangkat cangkul di atas pundaknya. Setiap hari ia masih pergi ke sawahnya yang tidak terlampau luas. Sekedar cukup memberinya makan sekeluarga.

Kini anaknya yang menjanda dan seorang cucunya ada diantara mereka. Tetapi atas kemurahan hati Sultan Agung, prajurit-prajuritnya yang gugur di medan perang, mendapat anugerah sebidang tanah meskipun hanya sekedarnya, di daerah yang dipilih oleh jandanya, Dengan demikian maka Nyai Wiratapa pun mendapat sebidang tanah yang diserahkannya kepada ayahnya yang tua itu pula untuk digarap.

Sejak kehadiran Nyai Wiratapa dan anaknya Sindangsari, rumah mereka banyak dikunjungi oleh para tetangga. Mereka menyampaikan salam bela sungkawa. Bahkan ada diantara mereka yang sambil memeluk Sindangsari, menangis tersedu-sedu. Kepergian mereka sepuluh tahun yang lalu seakan-akan baru saja kemarin terjadi. Dan gadis yang sekarang sudah dewasa itu, adalah seorang gadis kecil yang manis pada saat mereka berangkat ke kota.

“Semua yang terjadi tidak dapat disesali” berkata seorang laki-laki tua, setua kakek Sindangsari.

Nyai Wiratapa beserta ayah ibunya yang tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Sindangsari tidak dapat menahan titik air yang mengambang di matanya.

“Tuhan Maha Tahu” orang tua itu melanjutkan “dan Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Apa yang terjadi adalah cobaan Nya. Memang terasa pahit oleh kita”

Nyai Wiratapa mengangguk-angguk meskipun tenggorokan-nya terasa menjadi pepat.

Namun keakraban sikap tetangga-tetangga itu dapat sedikit memberikan ketenteraman di hati Nyai Wiratapa. Meskipun sepuluh tahun ia tidak ada di rumah itu, namun ia merasa bukan orang asing ketika ia kembali berkumpul dengan ayah dan ibunya serta tetangga-tetangganya.

Bahkan bukan saja orang-orang tua yang datang berkunjung ke rumah janda itu, tetapi gadis-gadis yang sebaya dengan Sindangsari pun berdatangan pula. Mereka adalah kawan bermain-main semasa mereka masih kanak-kanak. Dan kini mereka bertemu kembali di usia dewasa.

Demikianlah Nyai Wiratapa segera dapat menyesuaikan dirinya hidup di padukuhannya kembali. Keramah-tamahannya sangat menarik hati orang-orang di sekitarnya, sehingga ia pun segera mendapat tempat yang baik di dalam lingkungannya. Orang-orang di sekitarnya menganggap Nyai Wiratapa sebagai seorang yang mempunyai pengalaman agak lebih banyak dari mereka, sehingga perempuan-perempuan padukuhannya selalu datang berkunjung kepadanya untuk mendapatkan beberapa petunjuk dan nasehat tentang bermacam-macam hal. Nyai Wiratapa dapat memberi beberapa petunjuk memasak berbagai macam makanan yang belum dikenal oleh orang Gemulung. bahkan orang-orang seluruh Kademangan Kepandak.

Sejalan dengan itu, gadis-gadis Gemulung pun banyak mendapat ceritera tentang kota Mataram dari Sindangsari. Jalan-jalan yang lebar dan regol-regol halaman yang tinggi dan besar. Rumah-rumah joglo bertiang sebesar pohon randu alas pojok desa, dan pintu-pintu berukir yang disungging dengan warna-warna emas.

Dan gadis-gadis desa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata mereka memancarkan kekaguman hati. Satu dua diantara mereka memang ada yang pernah pergi ke kota, tetapi hanya satu dua hari mengunjungi sanak saudara. Tetapi mereka pun akan segera kembali sebelum mereka melihat terlalu banyak seperti yang dilihat oleh Sindangsari.

Bukan saja gadis-gadis yang sering mendengarkan ceritera Sindangsari. Kadang-kadang anak-anak muda pun mengerumuninya di tepian apabila Sindangsari bersama kawan-kawan gadisnya sedang mencuci di kali.

“Aku pernah melihat” berkata salah seorang anak muda yang berwajah keras “tetapi hanya sehari”.

“Aku bermalam sepekan di Mataram” berkata yang lain.

“Aku melihat cukup banyak”

“Tetapi belum sebanyak Sindangsari” potong seorang gadis.

“Tentu” jawab pemuda itu “meskipun demikian lebih banyak dari kau”

Gadis itu mengerutkan keningnya. Katanya “Aku sebulan berada di rumah paman di Mataram”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang berkeliling dilihatnya senyuman di setiap bibir.

Tiba-tiba terpercik warna merah di pipinya, sehingga tanpa sesadarnya iapun berkisar surut, sehingga akhirnya ia berada di paling belakang.

Seperti ibunya, di lingkungan anak-anak muda dan gadis-gadis, Sindangsari segera mendapat banyak kawan. Ia ramah dan cerdas, melampaui kawan-kawan sebayanya. Lebih dari itu, ia mempunyai sedikit kelainan di mata anak-anak mudanya. Meskipun gadis-gadis Gemulung tidak kurang yang secantik Sindangsari, tetapi cara mengetrapkan pakaiannya, cara berjalan dan berbicara, Sindangsari mempunyai kelainan. Sebagai seorang gadis yang pernah tinggal di kota kerajaan yang besar, Sindangsari mempunyai kebiasaan yang agak berbeda dengan gadis-gadis desa asalnya, Gemulung.

Dan karena itulah, maka kehadiran Sindangsari justru telah menumbuhkan persoalan-persoalan baru di padukuhannya. Persoalan-persoalan anak-anak muda yang mulai mengaguminya.

Di saat-saat matahari terbit, di hampir setiap pagi, Sindangsari beserta dua tiga kawan-kawannya selalu pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Mereka berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka pagi-pagi, supaya pakaian-pakaian itu segera kering pula. Apalagi apabila langit mendung dan hujan turun. Selain itu, mereka masih mendapat kesempatan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Tanpa disadarinya, setiap pagi apabila Sindangsari pergi ke kali sepasang mata selalu memandanginya dari balik pintu regol rumahnya. Sebuah rumah yang cukup besar dan berhalaman luas menurut ukuran padukuhan Gemulung, bahkan menurut ukuran Kademangan Kepandak.

Rumah itu adalah rumah seorang pedagang ternak yang kaya.

Ketika pagi itu Sindangsari lewat pula bersama tiga orang kawannya, mata itu pun mengikutinya pula sampai gadis itu hilang di balik rimbunnya rumpun bambu di halaman sebelah. Sambil mengerutkan keningnya orang itu melambaikan tangannya, memanggil seseorang yang sedang bekerja di halaman.

“He, gadis itu lewat lagi” desisnya.

Orang yang dipanggilnya itupun mengerutkan keningnya. Sejenak ia mencoba memandang ke balik pintu regol. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

“Ia sudah jauh” bentak orang yang berdiri di muka regol.

Orang yang datang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepalanya yang botak. Wajahnya yang kasar menjadi berkerut-kerut sejenak. Tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu tegak seperti patung.

“Apakah maksudmu dengan gadis itu? Apakah aku harus mengambilnya?”

“Bodoh, kau memang bodoh”

Orang yang bertubuh tinggi besar berkepala botak itu diam mematung. Tatapan matanya yang kosong menyentuh wajah orang yang memanggilnya, namun wajah itupun segera berpaling.

“Jadi apakah maksudmu?” ia bertanya tanpa memandang wajah lawan bicaranya, seorang anak muda yang gagah dalam pakaian yang bagus rapi.

Anak muda itu termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata “Tidak apa-apa”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu terheran-heran sejenak. Kemudian iapun meninggalkan anak muda itu. Langkahnya satu-satu seperti derap kaki seekor gajah.

“Lamat” tiba-tiba anak muda itu memanggil. Dan orang yang bertubuh tinggi besar itu terhenti. Kemudian sambil memutar tubuhnya ia bertanya “Kau memanggil aku?”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ialah yang datang mendekat.

“Kau pernah melihat gadis itu bukan?

“Ya”

“Cantik?”

“Cantik”

“Huh, kau memang tidak mempunyai otak yang dapat kau pergunakan untuk berpikir. Kau menjawab asal saja menjawab”

Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya. Desisnya “Tetapi bukankah ia memang cantik?”

“Sejak kapan kau mengenal seorang perempuan cantik?”

Lamat, orang yang botak itu tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah anak muda yang kini tersenyum. Perlahan-lahan anak muda itu mendekatinya, kemudian menepuk bahunya “Tentu, kau pun tentu mengenal wajah cantik seorang perempuan, meskipun agaknya kau sama sekali tidak tertarik. Terbukti sampai sekarang kau tidak mau kawin juga”

Laki-laki itu tidak menjawab.

“He, kenapa kau tidak kawin Lamat?”

Laki-laki botak itu menarik nafas dalam-dalam. Pandangan wajahnya kemudian terlempar kekejauhan. Jawabnya lambat, “Wajahku terlampau jelek buat seorang perempuan”

Anak muda itu tertawa “Kau terlampau perasa. Betapapun jeleknya wajah seorang laki-laki, tetapi itu tidak berarti menutup segala kemungkinan untuk beristeri.

“Kau tidak pernah mengerti perasaanku, karena wajahmu tidak jelek”

Anak muda itu masih saja tertawa.

“Pergilah” desis anak-muda itu “mungkin pada suatu ketika aku memerlukan kau”

Lamat menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali ke pekerjaannya. Memecah kayu bakar di halaman, dengan sebuah kapak yang besar dan bertangkai panjang.

Sejenak anak muda itu memandanginya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melangkah, meninggalkan halamannya, keluar regol dan menyusur di sepanjang jalan.

Semula ia tidak tahu, kemana ia harus pergi. Namun tanpa disadarinya ia telah pergi ke kali, menyusul gadis-gadis yang sedang mencuci.

Tetapi anak muda itu berhenti beberapa puluh langkah dari tepian. Ia menjadi ragu-ragu untuk mendekat, Kadang-kadang ia melihat seorang dua orang anak-anak muda berada di tepian itu juga dengan berbagai macam alasan. Ada yang mencuci cangkul, ada yang mencuci rumput yang baru disabitnya, atau mencuci apapun. Tetapi karena tidak seorang pun yang tampak, anak muda itu menjadi segan juga mendekat. Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah kembali, berjalan dengan tergesa-gesa ke sawah ayahnya yang luas, untuk melihat orang-orangnya yang sedang bekerja.

Sindangsari yang sedang mencuci itu sama sekali tidak menyadari, bahwa dirinya telah menarik banyak perhatian. Anak-anak muda. Karena itu, sikapnya sama sekali tidak berubah. Ia bersikap ramah kepada siapapun, kepada anak-anak muda yang manapun. Juga kepada anak muda anak pedagang ternak yang kaya itu, yang bernama Manguri, tetapi juga dengan anak-anak muda yang tidak begitu kaya, bahkan dengan anak-anak muda yang miskin sekalipun.

Itulah sebabnya, maka Sindangsari tidak segan-segan berhenti di pematang apabila ia mendengar seruling seorang gembala yang seakan-akan menyentuh perasaannya. Meskipun gembala itu duduk di bawah sebatang pohon yang rindang tanpa memakai baju. selain sehelai kain yang lungset dan celana hitam yang longgar.

Tetapi suara seruling itu sangat menarik perhatiannya, seperti kicau burung yang berloncatan di dahan-dahan. Lincah disela-sela desir angin yang lembut membelai batang-batang padi yang hijau.

“Kehidupan di pedesan mempunyai keindahannya tersendiri” desisnya “tenang, damai seakan-akan tidak diburu-buru oleh persoalan-persoalan yang memeningkan kepala”

Tetapi ketenangan hidup Sindangsari yang telah mulai mapan itu segera goyah.

Adalah mengejutkan sekali ketika pada suatu hari seorang datang kerumahnya. Seorang perempuan tua yang berpakaian rapi.

“Aku diutus oleh angger Manguri Nyai” berkata perempuan itu kepada Nyi Wiratapa.

“Siapakah angger Manguri itu?” bertanya Nyai Wiratapa itu.

“Putera seorang pedagang ternak yang paling kaya di seluruh Gemulung”

Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku diutus menyerahkan bingkisan ini kepada puteri Nyai yang bernama Sindangsari”

Sepercik warna merah menyala di wajah perempuan itu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah isi bingkisan itu?”

“Sepengadeg kain, baju dan kelengkapannya”

“He” Nyai Wiratapa terkejut bukan buatan. “Apakah maksudnya?”

“Tidak apa-apa Nyai. Sekedar sebagai tanda persahabatan. Bukankah Nyai sedang dirundung oleh kesusahan karena kehilangan suami dan angger Sindangsari kehilangan ayah?”

“Tetapi, tanda persahabatan itu berlebih-lebihan”

“Jangan memikirkan yang tidak-tidak”

Nyai Wiratapa terdiam sejenak. Dipandanginya sebungkus bingkisan yang menurut keterangan perempuan yang membawanya berisi sepengadeg pakaian.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata “Terima kasih atas kebaikan hati angger Manguri. Tetapi maaf, bukan maksudku menolak tanda persahabatan. Namun saat ini aku belum dapat menerimanya. Anakku seorang gadis dan angger Manguri adalah seorang anak muda. Seandainya anakku pun seorang anak muda seperti angger Manguri, maka aku akan menerimanya dengan senang hati”

“O” perempuan itu mengerutkan keningnya, “maksud Nyai, Nyai tidak dapat menerima bingkisan ini?”

“Maaf, saat ini belum”

Perempuan itu menjadi tegang sejenak. Tetapi kemudian ia tersenyum “Nyai, adalah suatu kehormatan yang tidak ada taranya karena angger Manguri telah memberikan bingkisan sebagai tanda keakraban itu”

Nyai Wiratapa memandang perempuan itu semakin tajam. Senyumnya adalah senyum yang tidak wajar. Semakin lama justru semakin memuakkan.

Agaknya perempuan tua itu salah menilai Nyai Wiratapa yang pernah hidup di dalam pergaulan yang lebih luas. Justru perempuan tua yang mencoba tersenyum-senyum itulah yang sama sekali tidak dapat mengerti, siapakah lawan bicaranya. Kebiasaan yang dilakukan sebelumnya dengan tingkah laku yang dibuat-buat itu selalu berhasil. Tetapi terhadap perempuan-perempuan yang picik dan kurang dapat menanggapi keadaan. Bukan terhadap Nyai Wiratapa.

“Jangan menyia-nyiakan kehormatan ini Nyai” desis perempuan tua itu sambil bergeser maju. Didorongnya bingkisan yang dibawanya sambil tertawa “Tidak akan ada seseorang yang berbaik hati seperti angger Manguri”

Nyai Wiratapa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bertanya “Nyai, apakah tidak ada pamrih apapun di balik pemberian ini”

“O, tentu tidak. Tentu tidak Nyai. Aku mengenal angger Manguri dengan baik. Anak itu sudah seperti anakku sendiri” jawab perempuan tua itu.

“Jangan seperti sedang merayu anak perawan Nyai. Kita sudah cukup berpengalaman. Aku pernah menjadi seorang gadis muda dan kau pun pernah. Bagaimana perasaanmu selagi kau seorang gadis remaja yang mendapat bingkisan dari seorang anak muda?”

“Ah, kau berpikir terlampau jauh. Itu berlebih-lebihan Nyai. Tetapi apabila perkembangan persahabatan anak-anak kita akan sampai kesana, itu bukan persoalan kita yang tua-tua lagi. Bukankah wajar sekali, bahwa pergaulan anak-anak muda akan sampai ke puncaknya dan diakhiri dengan perkawinan yang bahagia?”

Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya “Nah, bukankah itu tujuannya. Apapun yang kau lakukan, tetapi kau sedang diutus oleh angger Manguri untuk merayu anakku. Itulah”

Semburat warna merah membayang di wajah perempuan tua itu. Belum pernah ia mengalami perlakuan yang demikian selama berpuluh-puluh tahun ia menjalankan tugasnya untuk berpuluh-puluh anak-anak muda. Karena itu maka sejenak ia justru terdiam. Meskipun bibirnya bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Sama sekali berbeda dengan kebiasaannya. Ia selalu banyak berbicara apabila ia sedang menghadapi seorang ibu dari seorang gadis yang sedang dibujuknya. Sambil tertawa dan tersenyum-senyum diserahkan-nya sebuah bingkisan ke tangan perempuan yang beranak gadis itu. Biasanya ia tidak gagal. Ia tahu pasti, ibu gadis itu akan merasa berhutang budi, sehingga dengan segala usaha ia akan mendorong gadisnya untuk menerima tawaran apapun dari anak muda yang berbudi, yang telah melimpahkan kebaikan hati kepadanya. Tetapi ibu yang dihadapinya kali ini ternyata agak berbeda, meskipun ia tahu pasti, bahwa janda ini pun masih banyak memerlukan barang-barang serupa itu untuk mencukupi keperluan anak gadisnya karena penghasilan sawahnya yang tidak seberapa luas.

“Nyai” berkata Nyai Wiratapa kemudian kepada perempuan tua itu “sekali lagi aku minta maaf. Sebenarnyalah bahwa aku sangat berterima kasih. Tetapi aku tidak mau memacu perhubungan anakku dengan siapapun juga. Biarlah hati anak-anak itu berkembang dengan wajar. Apabila kelak anakku tertarik oleh angger Manguri, aku tidak akan keberatan. Tetapi biarlah semuanya berjalan sewajarnya”

Wajah perempuan tua itu kini benar-benar menjadi merah. Ditatapnya Nyai Wiratapa dengan tajamnya. Tetapi perempuan tua itu kini sudah tidak lagi dapat memilih kata-kata yang paling manis. Debar jantungnya yang semakin cepat itu membuatnya gemetar, sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang kasar “Kau menghina angger Manguri Nyai. Kalau kau tidak boleh anakmu bergaul dengan anak pedagang yang paling kaya itu, maka kau adalah janda yang paling bodoh. Bukan saja anakmu akan menjadi menantu orang yang kaya raya itu tetapi kalau nasibmu baik, kau sendiri akan mendapat kesempatan menjadi isteri pedagang kaya itu. Baru-baru ini isterinya yang keempat baru saja dicerainya, karena ia kedapatan mencuri beberapa helai kain, justru yang akan diberikan kepadanya sendiri”

Terasa sebuah tamparan menyengat pusat syarat Nyai Wiratapa. Hampir saja ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi sebagai seorang perempuan yang lebih banyak mengenal sudut-sudut penghidupan, maka ditahankannya hatinya. Dengan susah payah ia menjawab sareh, “Terima kasih atas kebaikan hati itu. Tetapi maaf, bahwa semuanya aku tidak memerlukan. Sekarang aku persilahkan kau membawa barang-barang itu kembali kepada angger Manguri, meskipun aku tidak akan melarang anakku bergaul dengannya sebagai kawan se padukuhan”

Perempuan tua itu sudah tidak dapat berkata apapun. Dihentakkannya bingkisan yang sudah diletakkannya di amben bambu itu, kemudian dengan wajah yang berkerut merut, tanpa minta ijin lagi ia segera berdiri dan melangkah keluar pintu.

Meskipun demikian Nyai Wiratapa masih mengantarkannya sampai ke muka pintu. Namun ketika perempuan itu telah melintasi halaman rumahnya dan turun ke jalan, maka segera ia masuk kembali. Tanpa sesadarnya ia terduduk di amben sambil mengusap dadanya. Ia tidak berhasil membendungnya, ketika titik-titik air yang jernih meleleh di pipinya. Betapa pedihnya hidup menjanda, menghadapi orang-orang yang tidak berperasaan itu.

Nyai Wiratapa cepat menyeka matanya ketika ia mendengar langkah kaki ayahnya. Sambil berdesah panjang orang tua itu melangkah masuk. Melepaskan caping bambunya dan menyangkutkannya di dinding, di sisi pintu. Kemudian meletakkan cangkulnya di sudut ruangan.

“Panasnya bukan main” gumamnya.

Nyai Wiratapa segera menghampirinya. Semua kesan di wajahnya telah berhasil dihalaukannya. Sambil tersenyum ia mengambil sebuah gendi berisi air, “Ayah haus?” desisnya.

Orang tua itu menerima gendi dari tangan anaknya. Kemudian meneguknya. Segar sekali.

“Dimana anakmu?” bertanya laki-laki tua itu.

“Keluar, ayah” jawab Nyai Wiratapa.

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil mengusap keringat di wajahnya yang sudah berkeriput ia berkata “Udara panas sekali. Sebaiknya anakmu tinggal di rumah”

Nyai Wiratapa menganggukkan kepalanya “Ya ayah. Aku akan memberitahukannya nanti”

“Panas yang tajam dapat menimbulkan penyakit. Apalagi anakmu. Ia tidak biasa berada di sawah dan berjemur di terik matahari”

“Ya ayah”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah masuk ke ruang dalam. Sementara ibu Nyai Wiratapa lagi sibuk menyiapkan makan di dapur.

Namun sementara itu, Sindangsari memang lagi bermain bersama beberapa orang kawannya di pinggir desa. Beberapa orang gadis yang baru pulang dari sawah, berhenti sebentar untuk beristirahat dan bergurau.

Tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya ketika suara seruling lamat-lamat menyentuh telinga. Suara itu serasa langsung menyusup kedalam dadanya.

Dalam panasnya udara, suara seruling itu dapat memberikan kesegaran di hatinya.

“Apa yang kau dengar?” bertanya seorang kawannya.

“Seruling. Siapakah yang meniup seruling itu?” jawab Sindangsari sambil bertanya pula.

“Disini hampir setiap orang dapat meniup seruling. Aku pun dapat. Ruri, Sasi, dan beberapa orang lain pun dapat pula”

Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata gadis-gadis itu juga dapat meniup seruling. Tetapi bunyi seruling ini agak lain dari bunyi seruling yang sudah sering didengarnya. Suara seruling ini seakan-akan sebuah alunan perasaan yang mengambang dibawa angin mengembara sampai ke batas yang jauh sekali.

“Tetapi” berkata Sindangsari kemudian, “aku belum pernah mendengar suara seruling seperti ini. Lagu apakah yang dibawakannya?”

“Entahlah. Agaknya ia asal saja membunyikan serulingnya tanpa patokan. Bukan Dandanggula, tetapi juga bukan yang lain. Mirip sedikit dengan Asmaradana di permulaannya, tetapi kemudian berpindah pada Pangkur. Agaknya ia tidak mengenal gending”

“Ya. Tetapi justru dengan demikian perasaannya dapat bebas mengembara di dunianya. Tanpa kekangan yang dapat membatasi sayap-sayap yang sudah mengembang, terbang tinggi di langit berlapis tujuh”

Kawan-kawan Sindangsari mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun kemudian tersenyum “Kau lucu”

Sindangsari yang semula bersungguh-sungguh, kemudian tersenyum pula.

“Suara itu datang dari balik gerumbul di pinggir parit di sudut pategalan itu” tiba-tiba salah seorang kawannya berdesis.

“Siapakah yang sering berada disana?”

“Anak-anak kecil sering menggembala kambing di sana. Kadang-kadang kakak mereka yang sedang beristirahat dari kerja mereka di sawah, berteduh pula di sana”

“O, aku tahu” sahut yang lain, “yang sering bermain seruling di sudut pategalan itu adalah Pamot”

“Tidak hanya Pamot, juga Windan dan Wisesa”

Gadis-gadis itu tersenyum, sedang Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Jadi yang bermain seruling itu mungkin Pamot, mungkin Windan dan mungkin pula Wisesa”

“Mungkin yang lain lagi” sahut kawannya. Dan gadis-gadis itupun tertawa.

Tetapi suara tertawa mereka segera terputus ketika mereka melihat sesosok tubuh meloncat pematang di sisi batang-batang jagung muda. Ketika orang itu berada di pinggir jalan, barulah mereka jelas, bahwa yang meloncati pematang itu adalah Manguri.

“He, Manguri” desis seorang gadis.

“Ya. Dari mana dia?”

“Tentu dari sawahnya”

Sindangsari mengerutkan keningnya ketika kemudian ia melihat kawan-kawannya kemudian bersikap lain. Ada yang dibuat-buat, tetapi ada juga yang justru menundukkan kepalanya.

Ketika anak muda. itu, lewat di hadapan mereka, maka salah seorang kawannya menegur dengan ramahnya, “Darimana kau Manguri?”

Langkah Manguri terhenti. Sambil tersenyum ia menjawab, “Dari sawah”

“Matahari terlampau terik. Kenapa kau memerlukan pergi ke sawah juga?” bertanya yang lain.

“Apa salahnya. Anak-anak muda yang lain juga pergi ke sawah”

Tetapi kau tidak perlu. Kau dapat mengupah orang. Ayahmu terlampau kaya”

Manguri tertawa. Jawabnya “Itu adalah pikiran yang salah. Bagaimanapun juga aku harus belajar bekerja. Kalau tidak, maka kekayaan ayah nanti pasti akan segera habis. Aku justru harus mengembangkannya”

Gadis-gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tatapan mata kekaguman mereka memandang senyum Manguri yang jernih itu.

Dan tiba-tiba ia bertanya “Kenapa kalian disini?”

“Beristirahat. Panasnya bukan main”

“Di sebelah ada penjual dawet cendol aren. Kalian dapat minum di sana”

“Darimana kami akan membayar?” tiba-tiba salah seorang gadis memotong dengan manjanya.

Manguri tersenyum. Kemudian tangannya dimasukkannya ke dalam sakunya. Katanya “Ini ada beberapa keping uang. Cukup buat membeli dawet cendol.

Berebutan gadis-gadis itu meloncat maju menerima uang dari tangan Manguri. Salah seorang yang paling dahulu berteriak “Aku yang diberinya”

“Buat kalian semua” desis Manguri.

“Terima kasih”

Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya yang cerah masih saja menghiasi bibirnya. Namun kemudian tanpa berkata sepatah katapun juga ia melangkah pergi.

Tetapi beberapa langkah kemudian ia berpaling. Kali ini ia berusaha menatap salah satu saja dari wajah gadis-gadis yang sedang kegirangan itu. Sindangsari.

Tanpa sesadarnya Manguri menarik nafas dalam-dalam. Wajah itu memang tidak terpaut banyak dari gadis-gadis cantik di Gemulung. Tetapi Manguri melihat kelainan pada wajah itu.

Namun Manguri kemudian meneruskan langkahnya. Ditinggalkannya gadis-gadis yang sedang berebut uang beberapa keping itu .

“Aku, aku saja yang membawa” gadis yang menerima uang itu mempertahankan.

“Bagi, bagi saja”

Yang agak lebih dewasa kemudian berkata, “Kita pergunakan bersama-sama. Mari, kita pergi ke penjual dawet itu. Dawet dengan cendol dan legen aren”

Gadis itu pun kemudian berlari-larian pergi ke sebelah tikungan.

Tetapi langkah mereka pun kemudian tertegun. Ternyata diantara gadis-gadis itu, seseorang tidak ikut berlari-lari. Bahkan dengan termangu-mangu ia memandangi kawan-kawannya yang seakan-akan telah melupakan panasnya udara yang telah memeras peluh mereka.

“He Sari, Mari, kita minum”

Sindangsari menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak haus”

“He, udara begini panas. Alangkah segarnya kita minum dawet cendol”

Sekali lagi Sindangsari menggelengkan kepalanya. Katanya, “Silahkan”

“Kenapa kau? Malu?”

“Tidak. Tetapi kepalaku sering menjadi pening apabila aku minum air tawar di udara yang begini panas”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata “Cobalah. Beginilah kehidupan kami di Gemulung. Mungkin memang agak berbeda dengan di kota Mataram”

“Tidak. Bukan begitu” sahut Sindangsari cepat-cepat, “bukan maksudku berkata begitu. Tetapi itu adalah sekedar kebiasaan saya sendiri, karena kelemahanku. Aku tidak tahan minum air mentah apabila keringatku sedang mengalir sebanyak ini”

Sekali lagi gadis itu saling memandang, kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Tunggulah di situ atau kau ikut kami ke sebelah tikungan”

Sindangsari menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak beranjak. Dipandanginya kawan-kawannya yang hilang di balik tikungan.

Gadis itu menjadi heran melihat sikap kawan-kawannya. Apakah ini memang sudah menjadi kebiasaan mereka, menerima pemberian Manguri? Tetapi itu tidak baik baginya. Ia tidak boleh menerima pemberian begitu saja. Apalagi dari seorang anak muda. Karena itu, betapapun ia menahan haus, tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian dicarinya tempat di bawah sebatang pohon rindang, untuk duduk beristirahat sambil bersandar batangnya. Dipandanginya cahaya terik matahari yang seakan-akan membakar dedaunan. Di kejauhan tampak seakan-akan uap air yang memenuhi udara. Menggelepar kepanasan. Bahkan seakan-akan tampak bayangan lamat-lamat meloncat-loncat seperti berpijak pada bara. Endeg pangamun-amun.

Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Panas udara serasa semakin membakar kulitnya, sedang kawan-kawannya yang sedang pergi membeli dawet aren masih juga belum tampak kembali.

“Haus sekali” desisnya. Tetapi untuk ikut bersama kawan-kawannya, Sindangsari masih belum sampai hati.

Namun tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling. Semakin lama menjadi semakin dekat. Seolah-olah seruling yang mendendangkan kidung yang segar itu sedang terbang melayang mendekatinya.

Tetapi akhirnya suara seruling itu tidak lagi bergerak di tempatnya, meskipun suaranya menjadi semakin jelas terdengar.

Sindangsari perlahan-lahan berdiri. Ditajamkannya telinganya untuk mengetahui, darimanakah arah suara seruling itu.

“Agaknya tidak terlampau jauh” katanya kepada diri sendiri.

Tanpa sesadarnya Sindangsari itupun berkisar dari tempatnya. Selangkah demi selangkah ia berjalan menyusur jalan di pinggir desa sepanjang rimbunnya dedaunan. Kadang-kadang ia berhenti termangu-mangu. Namun suara seruling yang anehku menarik perhatiannya. Justru karena lagu yang dibawakannya tidak terikat oleh bentuk-bentuk yang sudah ada.

Ketika Sindangsari sampai di sudut desa. Ia melangkah sebuah parit kecil. Kemudian disusunnya tanggul parit yang membujur di sepanjang pagar batu.

Suara seruling itu menjadi semakin dekat” gumamnya “aku pergi ke arah yang benar”

Namun akhirnya ia terhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan berjalan terus mencari sumber suara itu? Apakah itu baik?.

“Beberapa langkah lagi” desisnya.

“Apakah salahnya?” ia bertanya kepada dirinya. “Suara seruling itu sangat menarik”

Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti di tarik oleh sebuah pesona yang tidak dimengertinya, Sindangsari pun kemudian melangkah terus.

Ia tersadar ketika tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika tiba-tiba saja ia mendengar seseorang menyapanya. Hampir saja ia meloncat terjun ke dalam parit yang mengalirkan air yang gemericik bening.

“Sindangsari” terdengar suara yang berat dari balik pagar batu “kemana kau?”

Sindangsari berpaling. Dilihatnya sebuah kepala tersembul dari balik pagar batu beberapa langkah di hadapannya.

“Oh” Sindangsari menarik nafas dalam-dalam “kau membuat aku sangat terkejut. Hampir saja aku lari tunggang langgang”

Seorang anak muda muncul dari balik pagar. Di tangannya tergenggam sebatang seruling yang panjang.

“Kenapa kau menyusuri parit itu he? Apakah sawah kakekmu kering?” bertanya anak muda itu.

Sindangsari bingung sesaat. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata “Tidak. Aku tidak sedang mencari air”

“Lalu, kenapa kau menyusur tanggul itu?”

Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan ialah yang kemudian bertanya, “Kaukah yang baru saja bermain dengan serulingmu itu?”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Diamat-amatinya seruling di tangannya seakan-akan baru pertama kali itu di lihatnya.

“Apakah anehnya?”

“Tidak apa-apa. Tetapi caramu meniup seruling agak berbeda dengan kawan-kawanmu yang lain”

”Apakah bedanya?”

“Kau tidak mengikuti ikatan-ikatan gending yang sudah ada”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Mungkin aku memang tidak dapat memahami gending-gending itu. Tetapi mungkin juga karena aku tidak puas dengan ikatan-ikatan yang ada”

“Itulah yang menarik”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia berkata “Kemarilah. Halaman ini adalah halaman kakekku. Karena kakek sudah terlampau tua dan tinggal bersama ayah dan ibu, maka halaman ini menjadi kosong”

Sindangsari berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya “Terima kasih. Kalau ada waktu, biarlah lain kali saja aku datang”

“Kenapa tidak sekarang?”

“Kau sendiri?”

“Ya”

“Terima kasih”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya “Lalu apakah maksudmu sebenarnya?”

“Tidak apa-apa. Hanya sekedar ingin tahu”

“Kau aneh. Aku tidak dapat mengerti”

Sindangsari tidak segera dapat menjawab. Ia sendiri menjadi bingung apa yang harus dilakukannya. Sementara itu anak muda itu telah meloncati dinding batu dan berdiri di hadapannya.

“Aku akan pulang” gumam Sindangsari.

“He” anak muda itu menjadi semakin heran, “lalu apakah kepentinganmu dengan suara seruling itu?”

“Hanya ingin tahu.

Sindangsari tidak menunggu jawaban anak muda itu lagi. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan anak muda yang keheranan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ketika Sindangsari meloncati parit kecil di pinggir desa itu, terdengarlah suara kawan-kawannya hampir berbareng, “Itu. itulah Sindangsari” Dan yang lain berteriak “Sari, darimana kau?”

Sindangsari tidak segera menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi mendapatkan kawan-kawannya.

“Darimana kau he?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Mencuci kaki di parit itu. Panasnya bukan main”

“Apakah baru sekarang kau sadari? Salahmu. Kau tidak mau minum bersama kami. Alangkah segarnya”

“Salahmu” sahut yang lain.

Sindangsari tersenyum. Jawabnya “Justru karena panasnya bukan main itulah aku tidak berani minum air mentah. Bukankah sudah aku katakan?”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Sekarang, setelah kita tidak haus lagi, kemana kita pergi? Apakah kita akan kembali ke sawah?”

“Tidak” salah seorang menyahut sambil menggelengkan, “aku segan”

“Kalau aku, mau tidak mau harus kembali lagi ke sawah. Biyungku ada di gubug itu. Ia pasti akan menunggu aku sampai aku datang kesana”

“Kenapa kau sekarang berada disini?”

“Panas sekali. Aku tidak tahan berada ditengah-tengah sawah meskipun didalam gubug”

“Bohong” jawab yang lain lagi, “kau tahu Manguri akan lewat disini”

“Ah, tentu tidak. Siapa tahu ia akan lewat disini. Aku tidak tahu bahwa ia ada di sawahnya”

“Bohong, bohong” yang lain hampir berbareng. Dan gadis itu menjadi merah padam.

“Sudahlah, jangan mengganggu. Aku akan kembali ke sawah”

“Sebentar lagi Manguri akan menyusul”

“Embuh ah” dan gadis itupun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan kawannya. Tetapi beberapa langkah ia berpaling sambil melambaikan tangannya.

Sindangsari sama sekali tidak ikut di dalam sendau gurau itu. Ia masih belum terbiasa dengan gadis-gadis kawan sepermainannya. Hubungannya masih terbatas meskipun semakin lama menjadi semakin akrab. Tanpa prasangka apapun ia bertanya kepada salah seorang kawannya, “Apakah menjadi kebiasaan Manguri membagikan uangnya?”

“Sering benar ia berbuat demikian” jawab salah seorang gadis

“ia terlalu baik” ulang Sindangsari.

“Ia tidak pernah mendendam” desis yang lain, “ketika ia ditinggal oleh kekasihnya yang dahulu, ia sama sekali tidak menuntut apapun. Baik dari gadis itu, maupun dari laki-laki yang melarikannya”

Sindangsari mengerutkan keningnya. Apalagi ketika yang lain menyambungnya, “Sudah lebih dari tiga kali ia ditinggal oleh gadis-gadis yang semula tampaknya akrab sekali. Ketiganya dilarikan oleh laki-laki lain setelah mereka mendapat terlampau banyak dari Manguri”

“Sampai tiga kali dan bahkan lebih?”

“Ya. Dan Manguri sama sekali tidak bersedih karenanya. Meskipun untuk sehari dua hari ia tidak keluar dari rumahnya”

Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Itulah agaknya sebabnya, kenapa Manguri senang sekali bergaul dengan gadis-gadis. Agaknya ia ingin melupakan yang telah hilang itu”

“Kasian anak muda itu” terdengar suara seorang gadis dalam nada yang rendah. Kawan-kawannya berpaling kepadanya, dan seorang berkata “He, apakah kau ingin menggantikan yang hilang itu?”

Jawabnya benar-benar di luar dugaan Sindangsari, “Bukankah kita sama-sama menginginkannya?”

“Ah” gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian mereka tertawa hampir meledak.

Sindangsari tidak dapat ikut tertawa, karena ia tidak mengerti apakah yang harus ditertawakannya. Bahkan ia menaruh iba terhadap Manguri yang sudah tiga kali bahkan lebih kehilangan kekasihnya.

“Marilah kita pergi ke sawah” berkata salah seorang gadis diantara mereka.

“Marilah. Kalau nasib kita baik, kita akan bertemu lagi dengan Manguri. Di tengah-tengah bulak itu ada penjual rujak nanas”

Beberapa orang diantara mereka berpikir sejenak. Dan hampir berbareng mereka berkata, “Mari, mari kita pergi ke sawah”

Sindangsari menjadi ragu-ragu. Ia tidak mempunyai banyak kepentingan di sawah. Apalagi panasnya bukan main. Ia tidak biasa berada di teriknya matahari, meskipun ia mencoba untuk menyesuaikan diri. Tetapi kadang-kadang kepalanya masih terasa pening.

Dan belum lagi ia mendapat keputusan, dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan sambil memanggul cangkul di pundaknya. Di kepalanya tersangkut sebuah caping bambu yang kasar. Laki-laki itu adalah kakeknya.

“Itu kakek” desisnya.

Kawan-kawannya memandang serentak kepada laki-laki tua itu. Salah seorang diantara mereka berkata, “Nah, kau dapat bersama-sama dengan kakekmu”

Sindangsari menganggukkan kepalanya.

Tetapi ketika laki-laki tua itu sampai ke tempatnya, maka ia pun berkata, “Pulanglah Sari. Ibumu menunggumu”

Sindangsari mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku akan pergi ke sawah bersama kawan-kawan kakek”

Kakeknya berhenti sejenak. Dipandanginya gadis-gadis yang ada di sekitarnya. Gadis Gemulung. Gadis-gadis yang telah biasa berada di terik matahari, sehingga kulit mereka menjadi merah tembaga. Namun karena kebiasaan mereka bekerja, tubuh mereka pun menjadi ketat berisi.

Tetapi kakek tua itu berkata, “Pulanglah. Kau harus membiasakan dirimu sedikit demi sedikit, supaya kau tidak sakit”

Sindangsari menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu, maka ia berdesis kepada kawan-kawannya, “Aku akan pulang”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari bahwa Sindangsari tidak dapat melanggar pesan kakeknya.

Karena itu, maka Sindangsari tidak ikut bersama dengan gadis-gadis itu ketika mereka berjalan berjingkat-jingkat di panasnya matahari yang seakan-akan telah membakar debu di jalan-jalan.

Kini yang berdiri di hadapannya tinggallah kakeknya. Dengan mengusap keringat di keningnya laki-laki tua itu berkata, “Kau belum biasa membakar diri di terik matahari Sari. Pulanglah”

Sindangsari mengangguk, “Ya kakek”

Maka ketika kakeknya meneruskan perjalanannya ke sawah, Sindangsari pun kemudian berjalan pulang ke rumahnya.

Belum lagi ia duduk ketika ia memasuki ruang depan rumahnya, ibunya telah bertanya kepadanya “Darimana kau Sari?”

“Dari sudut desa ibu. Bermain-main dengan kawan-kawan”

Ibunya memandanginya dengan sorot mata yang aneh. Sorot mata yang seolah-olah belum dikenal oleh Sindangsari. Tetapi Sindangsari tidak berani bertanya.

“Keringatmu terlampau banyak Sari” berkata ibunya sambil mengusap keningnya perlahan-lahan, “kau dapat menjadi sakit karenanya. Wajahmu pun jadi merah seperti terbakar. Apakah kau berjemur di panas matahari?”

“Tidak ibu. Aku berada di tempat yang teduh. Tetapi udara memang panas sekali”

“Lain kali jangan terlalu lama pergi”

Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di pojok desa aku bermain-main dengan kawan-kawan” berkata Sindangsari, “mereka sedang beristirahat sebentar”

“Apakah yang mereka kerjakan?” bertanya ibunya.

“Macam-macam” jawab Sindangsari, “ada yang menunggui padi yang sedang bunting. Ada yang mengirimkan makanan ke sawah. Ada yang bermain-main saja”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Anak-anak muda juga banyak yang beristirahat di pojok desa dan di pojok pategalan. Mereka bermain seruling bu. Alangkah merdunya”

“Siapa?”

Hampir semua anak-anak muda dan gadis-gadis Gemulung dapat bermain seruling”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dan tiba-tiba ibunya mengerutkan keningnya ketika anaknya berkata, “Manguri juga lewat di pojok desa itu”

“Manguri?” ulang ibunya.

“Ya. Anak pedagang ternak yang kaya itu. Ia sangat baik”

Kerut-merut di wajah ibunya menegang. Dengar nada yang datar perempuan itu bertanya, “Apakah yang telah dilakukan?”

“Membagi uang”

“Membagi uang” mata ibunya terbelalak karenanya, “Kau diberinya juga?”

Sindangsari menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak ikut memiliki pemberian itu. Kawan-kawan membeli dawet aren beramai-ramai dengan uang pemberian Manguri. Tetapi aku tidak mau”

“Bagus Sari. Kau harus bersikap demikian. Tidak baik menerima pemberian orang tanpa alasan”

“Tetapi Manguri biasa berbuat demikian. Ia memang anak yang baik bu. Baik sekali. Ramah dan tidak kikir”

Ibunya tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah anaknya dengan saksama.

“Hampir semua kawan-kawan mengatakan tentang Manguri. Bahkan ia tidak mendendam ketika kekasihnya lari bersama laki-laki lain”

“Ah. Kau mengerti terlalu banyak tentang anak muda itu”

“Kawan-kawan menceriterakan tanpa aku minta”

“Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sudahlah. Sebaiknya kau beristirahat. Kalau sudah kering keringatmu, pergilah mencuci muka. Kau belum makan bukan?”

Sindangsari menganggukkan kepalanya. Kemudian ia pun pergi ke sumur untuk mencuci mukanya.

bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Telaten

    Gading sebelah mana cak?

Tinggalkan komentar