JDBK-27


<<kembali | lanjut >>

SEHARI, dua hari, tiga hari telah berlalu. Namun tidak ada terjadi apa pun di rumah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada. Kehidupan di rumah itu berjalan seperti biasanya tanpa terpengaruh oleh kehadiran Ki Waskita.

Meskipun demikian, para pembantu di rumah itu menjadi heran. Apa yang dilakukan oleh Ki Waskita di rumah itu tidak dapat mereka mengerti. Sedangkan Nyi Tumenggung sendiri tidak pernah mengatakan apa-apa kepada mereka tentang orang yang kadang-kadang berada di halaman belakang rumah itu.

Sebenarnyalah Ki Waskita sendiri merasa sudah terlalu lama mondar-mandir dari rumah Ki Panengah ke rumah Nyi Tumenggung. Tetapi usahanya untuk memancing Ki Tumenggung masih juga belum berhasil.

Namun dalam pada itu, lewat seorang penghubung, Ki Waskita masih selalu berhubungan dengan Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak boleh terlepas yang satu dengan yang lain untuk melaksanakan rencana mereka.

Ternyata baik Ki Waskita maupun Ki Gede cukup sabar. Meskipun hari-hari berlalu, sehingga menginjak sepekan, mereka tidak segera menjadi jemu.

Sebenarnyalah kehadiran Ki Waskita di rumah Nyi Tumenggung itu tidak lepas dari pengawasan para pengikut Harya Wisaka. Di hari-hari pertama, mereka hanya sekedar mengawasi dan memperhatikan kehadiran laki-laki itu. Tetapi karena Ki Waskita setiap kali bahkan hampir setiap senja datang ke rumah itu, maka kehadirannya pun segera dilaporkan kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

“Jadi laki-laki itu datang setiap hari?”

“Ya, Ki Tumenggung. Setiap senja ia datang. Bahkan kadang-kadang juga pagi dan siang hari ia datang pula”

Ki Tumenggung Sarpa Biwada menggeretakkan giginya. Katanya, “Nanti aku akan melihat sendiri, siapakah orang itu”

Di sore hari, sebelum senja turun, Ki Tumenggung Sarpa Biwada sudah berada di halaman rumah yang beradu sudut dengan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Halaman rumah yang tidak seluas halaman rumah Ki Tumenggung. Rumahnya  pun lebih sederhana dari rumah Ki Tumenggung.

Rumah itu adalah rumah salah seorang pengikut setia Harya Wisaka yang luput dari pengawasan para petugas sandi, karena penghuninya adalah seorang pedagang yang nampaknya tidak pernah berhubungan dengan persoalan pemerintahan di Pajang.

Orang-orang di sekitarnya  pun tidak menghiraukannya ketika sebuah keseran yang membawa beberapa keranjang gula kelapa memasuki halaman rumah itu ditarik oleh seorang laki-laki bertubuh kecil dan didorong oleh laki-laki lain yang bertubuh kekar. Tidak seorang  pun menyangka bahwa orang yang tidak berbaju dan mengenakan caping bambu di atas ikat kepalanya itu adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Tetapi juga tidak pula ada orang memperhatikan pedati yang hilir-mudik di halaman rumah yang lain, terpisah satu rumah dari rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Rumah itu telah dipergunakan oleh petugas sandi dari Pajang untuk mengawasi rumah Ki Tumenggung.

Menurut penglihatan tetangga-tetangganya, pemilik rumah yang tidak begitu besar itu sedang membangun rumahnya. Hampir setiap hari satu dua pedati datang memasuki halaman rumah itu dengan membawa kayu, batu, pasir dan kebutuhan-kebutuhan lain. Beberapa orang pekerja sibuk membongkar dan membuat bahan-bahan bangunan yang datang serta menyingkirkan bahan-bahan bekas yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi.

Namun sebenarnyalah bahwa mereka adalah para petugas sandi Pajang yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, yang pada saat saat terakhir telah ditingkatkan justru karena Ki Waskita sering berada di rumah itu.

Namun kesabaran Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan dan para petugas sandi pajang itu  pun tidak sia-sia. Ki Tumenggung Sarpa Biwada hatinya telah terbakar oleh kehadiran laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu di rumahnya. Setiap hari.

Karena itu, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun telah merencanakan usaha untuk menyergap laki-laki itu.

Dari atas dahan sebatang pohon, lewat senja Ki Tumenggung Sarpa Biwada benar-benar melihat seorang laki-laki memasuki halaman rumahnya. Ketika orang itu berhenti sejenak di depan regol, Ki Tumenggung dapat melihat wajah orang itu agak jelas karena cahaya oncor yang terang yang terpancang di regol rumahnya itu.

Ki Sarpa Biwada memang memerlukan waktu beberapa saat untuk mengenali orang itu. Ia pernah melihat orang itu datang ke rumahnya bersama Pangeran Benawa ketika mereka menangkap Paksi, yang kemudian disadari, bahwa yang terjadi saat itu hanyalah sekedar sebuah permainan dari Pangeran Benawa.

Kini Ki Tumenggung itu ingat dan bahkan yakin, siapakah laki-laki yang datang ke rumahnya itu. Meskipun laki-laki itu sudah banyak berubah, tetapi masih ada sisa-sisa pengenalannya atas laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu.

“Alangkah bodohnya aku” berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya. “Kenapa aku tidak mengenalinya ketika ia mengambil Paksi demikian Paksi berhasil membawa cincin kerajaan itu pulang?”

Tetapi Ki Tumenggung itu merasa bahwa ia masih belum terlambat. Ia masih mempunyai kesempatan untuk menghancurkan laki-laki keparat itu.

Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak segera bertindak. Ia menunggu malam menjadi semakin dalam. Ia ingin semakin meyakinkan diri tentang laki-laki itu. Semakin jauh malam menukik ke pusatnya, maka semakin jauh pula langkah laki-laki yang sangat dibencinya itu memasuki pagar rumah tangganya. “Siapa pun laki-laki itu dahulu, tetapi perempuan di dalam rumah itu adalah istriku” geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Bagi Ki Tumenggung, rasa-rasanya malam menjadi sangat lamban. Bintang-bintang yang berkeredipan di langit seakan-akan demikian asyiknya canda di antara mereka, sehingga mereka tidak beranjak dari tempatnya.

Namun akhirnya, malam pun menjadi semakin senyap. Suara cengkerik dan bilalang bersahutan dengan suara angkup yang tertiup angin. Sekali-sekali terdengar derik bajang kerek yang merintih merindukan hangatnya perut ibunya.

“Bersiaplah” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepada dua orang pengikutnya yang terpilih. “Kita akan menangkapnya dan membawanya”

“Atau membunuhnya” desis seorang pengikutnya.

“Kita akan melihat suasana” desis Ki Tumenggung.

“Marilah” geram pengikutnya yang seorang lagi, “aku sudah tidak sabar lagi. Aku juga pernah membunuh laki-laki yang aku temukan di bilik istriku. Aku biarkan mereka tertawa seperti ringkik kuda. Namun kemudian keduanya tidak dapat lagi tertawa untuk selama-lamanya”

“Kau tidak ditangkap karena membunuh?”

“Aku letakkan sebilah pedang di tangannya meskipun ia masih telanjang. Kami dianggap telah berperang tanding”

Wajah Ki Sarpa Biwada menjadi tegang. Namun kemudian ia pun berdesis, “Marilah. Kita masuk ke rumah itu sekarang?”

“Lewat regol?”

“Apakah rumah itu masih diawasi petugas sandi dari Pajang sampai malam ini?”

“Mungkin sekali”

“Mereka justru tidak akan mengawasi regol halaman. Mereka justru akan mengawasi dinding yang mengeliling rumahku itu”

Pengawal Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Apakah tidak ada pintu butulan masuk ke kebun di belakang?”

“Tentu diselarak”

“Kita akan meloncat masuk. Kita harus menjaga segala kemungkinan”

Akhirnya Ki Tumenggung setuju untuk memasuki halaman rumahnya itu tidak lewat regol.

Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan dua orang pengawalnya sudah berada di dalam halaman rumah Ki Tumenggung. Dengan sangat hati-hati mereka memasuki longkangan dan mendekati dinding rumahnya.

Rumah itu ternyata sepi sekali. Ki Tumenggung tidak mendengar suara seseorang. Tidak mendengar percakapan apalagi suara tertawa seperti ringkik kuda.

“Bagaimana kita masuk, Ki Tumenggung?” bertanya pengawalnya.

“Aku akan mengetuk pintu”

“Jangan” cegah seorang pengikutnya.

“Kenapa?”

“Jika Ki Tumenggung mengetuk pintu, orang itu akan berkesempatan lari melalui jalan yang sudah dipersiapkan atau bersembunyi dimana saja”

“Orang itu tidak akan mempersiapkan jalan untuk lari” sahut kawannya.

“Kenapa?”

“Ia tidak akan menyangka bahwa Ki Tumenggung akan datang malam ini”

“Tetapi lebih baik kita masuk seperti seorang pencuri masuk ke dalam rumah yang menjadi sasarannya”

“Kau dapat melakukannya?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku adalah bekas seorang pencuri ulung, sehingga namaku disebut-sebut oleh setiap perempuan karena mengagumiku dan oleh setiap laki-laki yang menjadi ketakutan karenanya. Tersebar kabar bahwa aku mempunyai Aji Penglimunan sehingga aku dapat menghilang dari pandangan mata”

“Kau mampu melakukannya?”

“Tentu dapat. Tetapi di dalam kegelapan dan orang-orang yang mencariku harus memejamkan matanya”

Kawannya tertawa pendek. Tetapi Ki Tumenggung membentak, “Bukan saatnya untuk bergurau. Jika kau mampu, lakukan. Buka selarak pintunya dari dalam”

“Baik, Ki Tumenggung”

Orang itu pun kemudian telah memanjat dinding bagian belakang rumah Ki Tumenggung yang berbentuk kampung.

Dibukanya tutup keyong dengan paksa. Meskipun tutup keyong itu terbuat dari kayu, namun orang itu benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang pencuri yang ulung, sehingga tutup keyong itu pun telah terbuka.

Hampir tidak masuk akal, bahwa orang itu mampu menyusup di antara lubang sempit pada papan kayu yang dibukanya itu tanpa menimbulkan suara.

“Ia memang seorang pencuri ulung” desis kawannya yang berdiri termangu-mangu di sebelah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

“Orang itu memang memiliki kelenturan tubuh yang luar biasa sehingga ia mampu menyusup di lubang-lubang yang bagi orang lain dianggap terlalu sempit”

Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan seorang pengawalnya terkejut. Mereka mendengar selarak pintu diangkat. Sementara itu mereka tidak yakin bahwa pengawal yang berhasil masuk lewat tutup keyong itu sudah sampai di pintu butulan.

Karena itu, maka Ki Tumenggung dan seorang pengawalnya itu segera meloncat ke samping berjongkok melekat dinding.

Tetapi ketika pintu terbuka, maka yang keluar dari dalam adalah pengawal Ki Tumenggung yang memanjat lewat tutup keyong itu.

Orang itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak melihat Ki Tumenggung dan seorang kawannya.

Namun orang itu terkejut dan hampir saja ia menarik senjata ketika Ki Tumenggung dan pengawalnya yang seorang lagi tiba tiba bangkit berdiri.

“Kenapa Ki Tumenggung harus berjongkok melekat dinding?” bertanya orang itu.

“Kami ragu-ragu, apakah yang membuka pintu itu kau atau bukan. Kami baru saja melihat kau masuk lewat tutup keyong itu. Bukankah memerlukan waktu untuk sampai ke pintu?”

“Sudah aku katakan. Aku adalah pencuri ulung”

“Ya. Kau tentu seorang pencuri ulung”

“Sekarang, silahkan Ki Tumenggung masuk”

Ki Tumenggung pun kemudian segera masuk langsung ke ruang dalam. Pintu penyekat dengan ruang dalam ternyata tidak diselarak.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung pun berdiri dengan ragu-ragu di depan sebuah bilik. Bilik itu adalah biliknya. Ia memastikan bahwa Nyi Tumenggung pun berada di dalam bilik itu pula.

“Sekarang, ketuk pintu itu Ki Tumenggung” desis pengawalnya yang pernah membunuh laki-laki dan istrinya itu.

Ki Tumenggung masih saja ragu ragu.

“Ki Tumenggung bimbang?” bertanya pengawalnya.

Ki Tumenggung itu mengangguk kecil.

“Jika demikian, biarlah aku saja yang mengetuknya” berkata pengawalnya yang masuk ke dalam rumah itu dengan membuka tutup keyong.

Orang itu tidak menunggu. Perlahan lahan ia mengetuk pintu bilik yang tertutup itu.

Seperti yang diduga oleh Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung memang berada di dalam bilik itu. Ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk, Nyi Tumenggung itu pun segera bangkit dan duduk di bibir pembaringannya.

Terdengar lagi pintu itu diketuk.

“Siapa di luar?” bertanya Nyi Tumenggung dengan jantung berdebaran.

Pengawal Ki Tumenggung itu memberi isyarat, agar Ki Tumenggung menjawab.

“Aku, Nyi” Ki Tumenggung itu berdesis.

“Siapa?”

“Aku. Buka pintunya”

Nyi Tumenggung mengenali suara itu. Karena itu, maka dengan serta-merta ia pun meloncat berdiri dan berlari ke pintu biliknya.

Dengan tergesa-gesa diangkatnya selarak pintunya sehingga pintu itu pun segera terbuka.

“Kakang Tumenggung” Wajah Nyi Tumenggung nampak tegang.

Ki Tumenggung tidak menjawab. Ia pun langsung masuk ke dalam bilik itu sambil bergumam, “Siapa yang berada di dalam bilik ini?”

Nyi Tumenggung mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki Tumenggung yang mendekati pembaringannya.

Namun yang berbaring di pembaringan itu adalah anak perempuannya yang masih tidur dengan nyenyaknya.

Sejenak Ki Tumenggung itu termangu-mangu. Kerisnya yang sudah diputarnya sehingga terselip di dadanya, sudah siap ditarik dari wrangkanya. Namun yang berada di pembaringan itu adalah anak perempuannya.

Ki Tumenggung itu pun kemudian membungkukkan badannya, mencium anak itu di keningnya.

Sejenak Nyi Tumenggung termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Kakang, sebaiknya Kakang segera meninggalkan rumah ini”

“Kenapa?” bertanya Ki Tumenggung.

“Kakang telah dijebak oleh seorang laki-laki yang mengaku prajurit Pajang. Setiap hari ia datang dengan keyakinan, bahwa Kakang akan mencurigainya dan datang pulang untuk membuat perhitungan”

“Kau kenal laki-laki itu?”

“Ia pernah datang ketika Paksi pulang membawa cincin yang kau cari itu”

“Darimana kau tahu, kalau ia menjebakku?”

“Orang itu sendiri yang mengatakannya”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya, “Kenapa kau tidak mengusirnya saja?”

“Aku tidak berdaya. Ia melakukannya atas nama Pajang. Ia mempunyai wewenang untuk berbuat lebih daripada yang dilakukannya sekarang”

“Terkutuklah orang itu. Tetapi bukankah kau mengenalnya atau pernah mengenalnya?”

“Mungkin. Tetapi kita tidak usah membicarakannya sekarang”

“Bukankah kau memang menginginkan laki-laki itu datang kemari?”

“Tidak. Tidak, Kakang. Sekarang pergilah sebelum kau dijebaknya”

“Aku memang akan menangkapnya”

“Tetapi ia akan dapat memanggil banyak orang yang tentu sudah dipersiapkannya”

“Ia hanya sendiri. Orang-orangku sudah menyelidikinya. Tidak ada orang lain di sekitar rumah ini”

“Tetapi ia mengatakan kepadaku, bahwa ia akan menjebakmu”

Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Nyi Tumenggung pun mendesak, “Ia bahkan mengancammu, Kakang. Pergilah sebelum orang itu melihatmu datang”

“Dimana orang itu sekarang?”

“Ia terbiasa berada di lumbung. Ia tidur di sebelah lesung”

“Nyi, aku justru akan menangkapnya”

“Tetapi ia tentu sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghubungi kawan-kawannya”

Ki Tumenggung itu menjadi bimbang. Sementara seorang pengawalnya pun berkata, “Apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa orang itu akan menjebak Ki Tumenggung, atau ia sekedar menyembunyikan dirinya justru karena Ki Tumenggung pulang”

“Apa maksudmu?” bertanya Nyi Tumenggung.

“Memang ada beberapa kemungkinan” sahut Ki Tumenggung.

“Percayalah kepadaku, Kakang. Pergilah. Persoalan di antara kita dapat kita bicarakan kemudian. Orang itu bahkan ingin memanfaatkan keadaan ini bagi dendam pribadinya”

Ki Tumenggung memang menjadi bimbang. Tetapi pengawalnya berkata, “Bukankah kita akan menangkap orang itu?”

“Orang itu berniat menjebakmu, Kakang. Karena itu, pergilah”

“Apakah kita menjadi gentar karena jebakan itu?” bertanya pengawalnya yang lain. “Kita cari orang itu. Kita akan menangkapnya atau membunuhnya”

“Dengar aku, Kakang”

“Jangan beri kesempatan orang itu bersembunyi, Ki Tumenggung. Nanti ia akan merayap ke dalam bilik ini jika Ki Tumenggung pergi”

Jantung Ki Tumenggung bagaikan tersengat bara mendengar kata-kata pengawal itu. Hampir di luar sadarnya, tangannya terayun menampar mulutnya.

Pengawal itu terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum ia pun berkata, “Nyi, aku pernah membunuh seorang laki-laki bersama dengan istriku di atas pembaringan”

“Kakang” suara Nyi Tumenggung menjadi serak. Ia bukan seorang perempuan yang cengeng. Ia tidak menangis ketika ia mencoba menolak kehadiran Ki Waskita di rumahnya beberapa hari yang lalu. Tetapi kata-kata pengawal suaminya itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung tidak dapat menahan tangisnya lagi.

“Kakang” ulang Nyi Tumenggung, “kau biarkan orang itu menghinaku?”

“Maaf, Nyi. Aku hanya mengatakan pengalamanku tentang seorang perempuan”

“Dan kau anggap semua perempuan itu sama?” sahut Nyi Tumenggung di sela-sela isaknya. “Apakah semua laki-laki juga sama? Tidak, Ki Sanak. Tidak semua laki-laki kehilangan harga dirinya seperti laki-laki yang kau bunuh itu. Atau kau juga seperti laki-laki yang kau bunuh itu?”

Pengawal Ki Tumenggung itu tertawa. Katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung”

Ki Tumenggung memang menjadi ragu-ragu. Pengawalnya itu telah menyentuh perasaannya. Ia menjadi bimbang. Mungkin laki-laki itu memang bersembunyi. Istrinya memaksanya agar ia pergi sehingga laki-laki itu akan dapat masuk ke dalam biliknya, atau istrinya dapat pergi ke bilik yang mana pun juga tempat laki-laki itu bersembunyi.

“Nyi” Ki Tumenggung itu menggeram, “dimana laki-laki itu sekarang?”

“Kakang, kau tidak mau mendengarkan aku?”

“Laki-laki itu datang tidak hanya malam ini. Tetapi juga malam kemarin, kemarin dulu dan bahkan di siang hari pula”

“Ia memang memancingmu dan berusaha menangkapmu”

“Akulah yang akan menangkapnya”

“Kakang. Kakang tidak mempercayai aku?”

“Bukan tidak mempercayaimu, Nyi. Tetapi aku tidak mau kehilangan kesempatan ini”

Tangis Nyi Tumenggung justru terdiam. Dipandanginya wajah suaminya dengan tajamnya. Dengan suara yang bergetar ia pun berkata, “Kakang, aku sudah mencoba untuk memperingatkanmu. Tetapi terserah kepadamu. Apakah kau masih dapat mempergunakan penalaranmu atau dadamu telah terbakar oleh gejolak perasaanmu”

“Aku akan menangkap orang itu” Untuk menguatkan sikapnya, maka Ki Tumenggung itu pun telah membentak, “Tunjukkan, dimana ia bersembunyi”

Namun Ki Tumenggung itu pun terkejut. Dari luar bilik itu terdengar suara seseorang, “Kau tidak usah mencariku, Ki Tumenggung. Aku sudah berada disini”

Ketika mereka berpaling, maka mereka pun melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu bilik itu. Laki-laki yang dilihat oleh Ki Tumenggung masuk melalui regol halaman rumahnya itu.

“Iblis, kau. Aku ingat sekarang, siapakah kau sebenarnya”

“Syukurlah jika kau masih dapat mengingat siapa aku”

“Tetapi bagaimanapun juga, perempuan ini adalah istriku”

“Aku tahu, Ki Tumenggung. Perempuan itu adalah istrimu. Karena itu, aku tidak mengganggunya”

Tetapi pengawal Ki Tumenggung yang mengaku pernah membunuh seorang laki-laki dan istrinya itu pun tertawa. Katanya, “Ki Sanak, kita adalah laki-laki. Apakah kita akan ingkar, apa yang sering dilakukan oleh laki-laki? Pada suatu hari aku telah membunuh seorang laki-laki dan istriku. Tetapi mungkin lain kali, akulah yang akan dibunuh”

“Ya. Kau akan mati malam ini” desis Ki Waskita.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Apakah kau mampu menjaring angin sehingga kau akan membunuhku?”

“Kau bukan angin, Ki Sanak, sehingga aku tidak akan mengalami kesulitan untuk membunuhmu”

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau agaknya memang seorang yang keras kepala. Baiklah. Kita akan membuktikan, apa yang akan terjadi”

“Ki Tumenggung” berkata Ki Waskita yang seakan-akan tidak mendengarnya, “menyerahlah. Sudah terlalu banyak darah tertumpah. Sedangkan impian Harya Wisaka tidak akan pernah dapat terwujud”

“Jangan mengalihkan persoalan. Persoalan di antara kita adalah persoalan yang sangat pribadi. Kau hanya memanfaatkan keadaan untuk kepentinganmu sendiri”

“Kakang” suara Nyi Tumenggung bagaikan tersangkut di tenggorokan.

“Menyerahlah” geram Ki Tumenggung, “permainanmu akan berakhir malam ini”

Namun Ki Waskita pun menjawab, “Bukan aku yang harus menyerah. Tetapi kau, Ki Tumenggung”

“Bagus. Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang harus menyerah dan harus merelakan lehernya dipenggal. Dengan demikian persoalan kita akan selesai”

“Ki Tumenggung, kaulah yang selalu mengungkit persoalan pribadi kita. Sudah aku katakan, bahwa apa yang aku lakukan, terutama dalam lingkup usaha Pajang untuk menangkap Harya Wisaka yang telah memberontak”

“Kau tidak usah membual seperti itu. Kau ternyata telah memanfaatkan keadaan ini untuk kembali kepada perempuan yang pernah kau khianati. Kau tinggalkan dalam keadaan yang paling buruk bagi seorang perempuan. Apalagi seorang gadis”

“Kau jangan mengigau seperti itu, Ki Tumenggung”

“Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Kenapa kau waktu itu melarikan diri setelah menghamili seorang gadis? Itukah sikap seorang laki-laki yang bertanggung jawab?”

“Ki Tumenggung, kita akan dapat membicarakan persoalan di antara kita pada kesempatan lain. Sekarang, aku akan menangkapmu”

“Kesombonganmu masih saja melekat padamu sampai hari-hari tuamu. Tetapi juga kelicikanmu. Kau hanya berani mendatangi perempuan yang kau inginkan seperti laku seorang pencuri di malam hari. Kenapa kau tidak datang kepadaku sebelum terjadi kemelut di Pajang? Sebelum aku diburu karena aku berpihak kepada seorang yang memiliki masa depan yang tajam bagi Pajang?”

“Aku menghormati ikatan pernikahan kalian, Ki Tumenggung”

“Tetapi ketika aku tidak ada di rumah, kau baru berani datang menemui perempuan yang pernah kau khianati”

“Sudah. Sudah” teriak Nyi Tumenggung. “Sudah aku katakan, Kakang Tumenggung. Kau telah dijebak. Dengan licik laki-laki ini dengan sengaja mengungkit masa lalu kita, agar kau pulang. Tetapi aku bukan perempuan yang mudah kehilangan kesetiaanku kepada seorang suami”

Seorang di antara kedua orang pengawal Ki Tumenggung itu tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata begitu, Nyi. Tetapi laki-laki ini ada di rumahmu. Dengan mendengarkan pembicaraan Ki Tumenggung dan laki-laki itu, kami dapat menangkap ceritera panjang kehidupanmu, Nyi. Ceritera yang diwarnai oleh gejolak di masa gadismu. Melihat sikapmu sekarang, Nyi, aku dapat membayangkan, bahwa Nyi Tumenggung semasa gadisnya adalah seorang gadis yang lincah, ramah dan tentu sangat menarik”

“Cukup, cukup” Nyi Tumenggung itu menjerit, “Kakang Tumenggung, kau biarkan kawanmu itu menghinaku”

“Apa yang harus aku katakan, Nyi. Yang mereka lihat sekarang, laki-laki ini berada di dalam rumah ini”

“Sudah aku katakan, ia sengaja menjebakmu”

Pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang kemudian menyahut, “Satu langkah yang sudah direncanakan dengan baik. Laki-laki ini mendapat dua kesempatan sekaligus. Menjebak Ki Tumenggung dengan cara yang jarang didapat. Agaknya itulah kelebihan laki-laki ini”

“Kakang Tumenggung, Kakang” Nyi Tumenggung tidak tahan lagi mendengar sindiran-sindiran itu, sehingga tangisnya menjadi semakin keras. Ditutupinya wajahnya dengan kedua telapak tangannya ketika ia terduduk dengan lemah.

Dalam pada itu, anak perempuan Ki Tumenggung itu pun telah terbangun mendengar pertengkaran yang berkepanjangan. Ketika ia tegak di hadapan laki-laki yang sering berada di rumahnya itu.

“Ayah” teriak gadis yang menjelang dewasa itu sambil berlari ke arah ayahnya.

Ki Tumenggung terkejut. Ia pun segera berpaling. Demikian anak perempuannya menghambur ke arahnya, maka Ki Tumenggung itu pun segera berjongkok memeluknya.

“Ayah. Ayah pergi lama sekali”

“Ya, Ngger. Sekarang ayah pulang menjemputmu”

Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berlari ke ibunya yang sedang menangis.

“Ibu, Ibu. Ibu kenapa?”

Nyi Tumenggung pun telah memeluk anak perempuannya itu pula sementara tangisnya masih juga belum mereda. “Ibu”

Nyi Tumenggung tidak menjawab. Tetapi dipeluknya anak gadisnya semakin erat.

“Nah, Ki Tumenggung. Tidak sepantasnya kita menyiksa perasaan Nyi Tumenggung dengan prasangka-prasangka buruk seperti itu. Sekarang, marilah kita selesaikan persoalan kita”

Ki Tumenggung bangkit berdiri sambil berkata, “Aku bunuh kau dan aku membunuh anakmu itu juga”

“Sudah aku katakan, kita tidak membicarakan persoalan kita pribadi”

“Jika aku berhasil membunuhnya, aku akan melempar mayatnya di depan istana Pajang, istana Kangjeng Sultan yang pernah memberikan hadiah sebilah keris kepada anak durhaka itu”

“Kakang” terdengar suara Nyi Tumenggung di sela-sela isak tangisnya.

Tetapi Ki Tumenggung seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada kedua orang pengawalnya, “Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Aku masih mempunyai persoalan yang harus aku bicarakan dengan orang ini”

Ki Waskita tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera melangkah surut ke ruang dalam. Ruang yang cukup luas untuk membela diri.

Ketika kemudian Ki Tumenggung dan dua orang pengawalnya menyusulnya, maka Nyi Tumenggung hanya dapat memeluk anak perempuannya, sementara tangisnya pun semakin menjadi-jadi.

Perempuan itu merasa bahwa harga dirinya sebagai perempuan telah terinjak-injak. Kehadiran Ki Waskita di rumahnya benar-benar telah menghancurkan kebersihan namanya sebagai seorang istri yang dengan hati-hati menjaga martabatnya.

Meskipun ia tetap bersih, tetapi ia tidak dapat mengelakkan tuduhan-tuduhan terhadapnya, laki-laki itu memang ada di rumahnya. Sementara itu ia tidak sempat minta kesaksian para pembantunya dan bahkan anak perempuannya. Seandainya hal itu sempat dilakukannya, maka semuanya itu tentu hanya dianggap sebagai satu sikap pura-pura yang rendah.

Sejak semula Nyi Tumenggung sudah merasa, bahwa ia berdiri di persimpangan jalan. Jalan yang mana pun yang dipilihnya, jalan itu akan bermula kepada kepedihan yang mengiris jantungnya.

Dalam pada itu, Ki Waskita yang telah berada di ruang dalam, segera mempersiapkan dirinya. Ia harus bertempur menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang jantungnya telah terbakar itu pun segera memberi isyarat kepada kedua orang pengawalnya untuk berpencar. Mereka bertiga akan menghadapi Ki Waskita dari tiga arah.

Ki Tumenggung yang sadar, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, benar-benar telah mempersiapkan diri. Tetapi bersama dengan dua pengawal terpilihnya, maka Ki Tumenggung yakin, bahwa ia akan dapat menangkapnya hidup-hidup, membawanya ke tempatnya bersembunyi dan membuat perhitungan pribadi.

Kedua orang pengawal Ki Tumenggung itu pun telah bersiaga pula. Sebenarnya mereka lebih senang untuk membunuh korbannya di tempat. Tetapi keduanya tidak dapat melakukan karena Ki Tumenggung ingin orang itu ditangkap hidup-hidup.

Agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepada Nyi Tumenggung bahwa ia berhasil menguasai laki-laki yang dianggapnya telah datang ke rumahnya dengan laku seperti seorang pencuri.

Bagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada, kematian merupakan hukuman yang terlalu ringan bagi Ki Waskita. Orang itu harus merasakan penyesalan yang mendalam sebelum ia direnggut oleh maut.

Sejenak kemudian, maka para pengawal Ki Tumenggung itu pun mulai menyerang dengan garangnya. Keduanya berloncatan silih berganti susul-menyusul. Namun sekali-sekali keduanya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda.

Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih berdiri di tempatnya. Ia mencoba memperhatikan unsur-unsur gerak Ki Waskita yang tangkas itu.

Setiap kali memang terkilas di kepala Ki Tumenggung peringatan istrinya, bahwa laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu memang berusaha menjebaknya. Tetapi Ki Tumenggung memang meragukan kebenaran keterangan itu.

Keterangan itu hanya sekedar untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi dan membiarkan laki-laki itu tetap berada di rumahnya bersama istrinya itu.

Perasaan itulah yang kemudian menyala di dadanya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun menggeram sambil berkata, “Aku akan menunjukkan kepada perempuan itu, bahwa aku akan dapat memaksanya menyembahku dan mencium kakiku”

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itu pun segera melibatkan dirinya. Ki Waskita harus bertempur melawan tiga orang sekaligus. Tiga orang yang berilmu tinggi.

Pertempuran itu pun kemudian menjadi semakin sengit. Ketiga orang lawan Ki Waskita itu segera meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat mengabaikan kemungkinan bahwa kehadiran laki-laki itu memang usaha untuk menjebak mereka.

Tetapi Ki Waskita adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia tidak pula mudah ditundukkan.

Sementara itu, Nyi Tumenggung dan anak perempuannya masih tetap berada di biliknya. Ia tidak pergi ke ruang dalam untuk menyaksikan pertempuran itu. Nyi Tumenggung tidak ingin melihat salah seorang dari keduanya itu dikalahkan, meskipun ia tahu, bahwa hal itu jarang sekali terjadi. Dendam yang membakar jantung suaminya dan bahkan mungkin juga Ki Waskita, akan mendorong mereka untuk bertempur habis-habisan.

Sebenarnyalah di ruang dalam, Ki Waskita bertempur seperti banteng ketaton. Sekali-sekali serangannya berhasil menembus pertahanan lawannya, mengenai sasarannya. Namun pada kesempatan lain, Ki Waskitalah yang terdorong beberapa langkah surut.

Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan kedua orang pengawalnya itu tidak segera mampu menangkap Ki Waskita hidup-hidup. Kulit orang itu menjadi licin bagaikan kulit belut.

Langkahnya cepat dan ringan. Kakinya berloncatan seolah-olah tidak menyentuh lantai ruang dalam rumah Ki Tumenggung itu.

Nampaknya Ki Tumenggung Sarpa Biwada benar-benar ingin menangkap Ki Waskita hidup-hidup. Meskipun pertempuran itu menjadi semakin seru, namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak mempergunakan senjata mereka, sementara Ki Waskita tidak membawa senjata sama sekali.

Dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan kedua orang kawannya yang berilmu tinggi itu mulai dapat mendesak Ki Waskita. Serangan-serangan mereka bertiga mulai dapat menembus pertahanan lawan mereka. Ki Waskita terdorong beberapa langkah ketika kaki Ki Tumenggung menyeruak menusuk mengenai tulang-tulang rusuknya.

Sebelum Ki Waskita sempat memperbaiki kedudukannya, serangan seorang pengawal Ki Tumenggung yang berilmu tinggi itu telah mengenai pundaknya.

Ki Waskita terhuyung-huyung. Namun orang itu sengaja menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali mengambil jarak.

Namun tubuh Ki Waskita justru telah membentur gledeg bambu hingga gledeg itu terdorong dan roboh.

Dengan tangkasnya Ki Waskita pun segera bangkit berdiri. Ketika serangan pengawal Ki Tumenggung yang lain meluncur ke arah dadanya, Ki Waskita sempat merendahkan dirinya sambil bergeser ke samping, sehingga serangan itu tidak mengenainya.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita sendiri mengalami kesulitan untuk mampu menyentuh tubuh lawannya. Ki Waskita yang harus bertempur melawan ketiga orang berilmu tinggi itu, seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk membalas.

Meskipun demikian, Ki Waskita masih juga mampu menggapai seorang lawannya. Pengawal Ki Tumenggung itu terdorong ke samping. Tubuhnya membentur dinding gebyok di ruang dalam rumah itu.

Tetapi Ki Waskita tidak sempat memburunya. Serangan Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun datang membadai. Bahkan justru serangan pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang telah menyentuh lengan Ki Waskita.

Ki Waskita harus meloncat surut mengambil jarak. Namun lawannya yang sempat dikenainya itu sudah berdiri tegak bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ki Waskita memang sulit untuk mendapat kesempatan. Serangan-serangan lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Ki Tumenggung yang dibakar oleh perasaan dendam pribadi itu, tidak terkekang lagi. Beberapa kali serangannya berhasil mengenai tubuh Ki Waskita. Demikian pula kedua orang pengawalnya. Sehingga dengan demikian, keadaan Ki Waskita menjadi semakin sulit.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun menjadi semakin yakin, bahwa ia akan segera dapat menguasai Ki Waskita dan menangkapnya hidup-hidup.

“Orang ini tidak boleh terlalu cepat mati” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, Ki Waskita benar-benar telah kehilangan kesempatan. Serangan-serangan ketiga lawannya menjadi semakin sering mengenai tubuhnya sehingga Ki Waskita itu bagaikan diguncang-guncang. Ketika kaki Ki Tumenggung Sarpa Biwada mengenai dadanya maka Ki Waskita pun terdorong beberapa langkah ke samping. Namun tangan salah seorang pengawal Ki Tumenggung itu pun menyambar keningnya, sehingga Ki Waskita terpelanting dengan kerasnya. Namun dengan satu putaran kaki pengawal Ki Tumenggung yang lain terayun mendatar menghantam pundaknya.

Ki Waskita itu terlempar membentur dinding. Ketika ia mencoba untuk bangkit, maka tubuhnya itu pun tidak segera menemukan keseimbangannya. Ketika Ki Waskita masih terhuyung-huyung, tumit Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah menghantam perut Ki Waskita.

Sekali lagi Ki Waskita terlempar membentur dinding. Sekali lagi Ki Waskita pun terjatuh terbanting di lantai.

Namun ketika Ki Waskita mencoba untuk bangkit, tubuhnya terkulai lagi dan jatuh bersandar dinding.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri termangu-mangu. Seorang pengawalnya masih menyerangnya. Kakinya menyambar kening Ki Waskita.

Ki Waskita pun kemudian terbaring sambil mengerang kesakitan. Tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan.

“Bangkit. Bangkit kau laki-laki sombong. Kau kira ilmumu sudah menggapai langit sehingga kau tidak dapat dikalahkan?” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Ki Waskita tidak menjawab. Mulutnya menyeringai menahan sakit di seluruh tubuhnya.

“Bangkit. Atau aku bunuh kau” bentak Ki Tumenggung.

Tetapi Ki Waskita tidak dapat bangkit lagi.

“Dimana kawan-kawanmu? Inikah jebakanmu? Tidak seorang  pun datang menolongmu. Teriakan-teriakan di rumah ini tidak akan didengar oleh tetangga-tetangga sebelah-menyebelah. Selain halaman rumah ini cukup luas, dinding rumah ini pun terlalu rapat”

Ki Waskita sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja mengerang meskipun tertahan-tahan.

Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu pun menarik kerisnya sambil berkata lantang, “Habislah kesombonganmu sampai disini”

Namun tangan Ki Tumenggung tidak sempat terayun.

Terdengar Nyi Tumenggung itu menjerit tertahan.

Ki Tumenggung pun berpaling. Bahkan ia pun kemudian melangkah mendekati istrinya yang berdiri sambil memeluk anak perempuannya.

“Nyi” berkata Ki Tumenggung, “terima kasih atas kepedulianmu terhadapku. Kau sudah memperingatkan aku, bahwa kehadiran laki-laki ini adalah sebuah jebakan. Bahwa laki-laki ini telah mempersiapkan kawan-kawannya untuk menangkap aku. Tetapi lihat, sampai akhirnya orang itu terkapar hampir mati, tidak seorang  pun kawannya datang menolongnya”

Nyi Tumenggung sama sekali tidak menjawab.

“Untunglah bahwa aku tidak mendengarkan peringatanmu sehingga aku lari pontang-panting meninggalkan rumah ini, sementara laki-laki itu masih berada di dalamnya”

Nyi Tumenggung hanya dapat menundukkan kepalanya. “Aku memang harus mencoba memahami, betapa keterpautan perasaanmu dengan laki-laki jahanam itu. Tetapi kau pun harus ingat, jika aku tidak hadir di dalam perjalanan hidupmu, maka kau sudah menjadi sampah. Anakmu yang kau bangga-banggakan itu pun tidak lebih dari anak yang lahir dari seonggok sampah yang kotor”

“Kakang”

Ki Tumenggung seolah-olah tidak mendengarnya. Ia berkata selanjutnya, “Sekarang, laki-laki pengecut ini telah memanfaatkan keadaan yang kalut untuk kembali kepadamu dan agaknya kau telah menerimanya dengan tangan terbuka”

“Tidak. Tidak. Kau salah, Kakang”

“Pada saat aku akan membunuhnya, maka kau pun telah mencegahnya pula”

“Tidak. Tidak” tangis Nyi Tumenggung pun telah meledak lagi. Anak perempuannya pun telah menangis pula sambil bertanya, “Ibu, Ibu. Kenapa Ibu menangis?”

“Jangan kau hiraukan ibumu” berkata Ki Tumenggung. “Ibumu telah berkhianat terhadap kita sekeluarga. Karena itu aku datang menjemputmu”

“Tidak. Aku tidak mau pergi. Aku akan tinggal disini bersama Ibu”

“Ia bukan ibumu lagi. Laki-laki itu telah merampas kesetiaannya sebagai seorang ibu”

“Tidak. Ibu tidak pernah berkhianat”

“Kau masih terlalu kecil untuk mengerti”

“Tidak, Ayah. Aku tidak akan pergi. Aku akan tinggal bersama Ibu, apa pun yang terjadi”

Ki Tumenggung menjadi marah. Dengan lantang ia pun berkata, “Baik. Baik. Jika kau lebih senang ikut bersama ibumu. Sekarang ibumu berkhianat terhadap suaminya. Besok ibumu akan berkhianat pula terhadap anak-anaknya. Kau akan ditinggalkannya untuk mengikuti laki-laki yang diinginkannya”

“Ayah” potong anak perempuannya. Anak itu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia sudah meningkat remaja, sehingga nalarnya sudah mulai berkembang.

Ki Tumenggung ternyata tidak menghiraukannya lagi. Ia pun kembali berpaling kepada laki-laki yang terbaring lemah.

“Bangkit, laki-laki jahanam. Kalau kau tidak mau bangkit, aku tusuk perutmu sampai ke punggung”

Seorang pengawal Ki Tumenggung mengguncang tubuh Ki Waskita dengan kakinya. “Bangkit. Ikut kami. Kau akan memasuki satu kehidupan yang tidak pernah kau bayangkan. Dunia yang paling pantas bagi laki-laki jahanam seperti kau”

Ki Waskita tidak mempunyai pilihan lain. Dengan susah payah ia pun bangkit. Sementara itu keris Ki Tumenggung segera melekat di punggungnya.

“Berjalan” bentak Ki Tumenggung.

Tertatih-tatih Ki Waskita berjalan diapit oleh dua orang pengawal Ki Tumenggung, sementara itu di belakangnya Ki Tumenggung berjalan dengan mengacukan keris di punggungnya.

Nyi Tumenggung tidak dapat berbuat apa-apa. Apa pun yang dilakukannya pasti salah. Karena itu, maka Nyi Tumenggung itu telah memilih untuk berdiam diri saja.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung dan kedua orang pengawalnya telah membawa Ki Waskita keluar lewat pintu butulan. Seorang dari kedua pengawal itu memberitahukan kepada memilik rumah yang beradu sudut dengan rumah Ki Tumenggung, bahwa Ki Tumenggung tidak singgah di rumah itu.

Malam terasa sunyi. Angin malam bertiup perlahan-lahan menggoyang dedaunan.

Dengan hati-hati Ki Tumenggung membawa Ki Waskita menyusuri lorong-lorong sempit Ketika mereka akan menyeberangi jalan yang lebih lebar, maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Tutup matanya. Meskipun umurnya tidak akan panjang lagi, tetapi aku tidak ingin ia mengetahui, dimana kita bersembunyi selama ini”

Seorang di antara kedua pengawal Ki Tumenggung itu pun menyambar ikat kepala Ki Waskita. Ditutupnya matanya dan bahkan kemudian diikatnya pula tangannya.

Dengan nada berat Ki Waskita itu pun berkata, “Kenapa kau tidak jadi membunuhku saja di rumahmu tadi Ki Tumenggung?”

“Kau kira aku benar-benar akan membunuhmu?” sahut Ki Tumenggung Sarpa Biwada. “Jika aku menarik kerisku, aku hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu. Ternyata ia tidak dapat membiarkan kau mati. Kau tahu itu?”

Ki Waskita yang matanya telah tertutup dan tangannya terikat itu pun berkata, “Barangkali akan lebih baik jika kau membunuhku saja”

“Kau menjadi ketakutan? Seharusnya kau bersikap seperti seorang laki-laki yang berani menghadapi akibat apa pun dari tingkah lakumu sendiri. Tetapi agaknya kau akan menyenangkan sekali. Bukan saja bagiku, tetapi juga bagi kawan-kawanku”

Seorang pengawal Ki Tumenggung itu berkata, “Aku ingin melihat wajahmu menjadi putih seperti kapas karena ketakutan. Aku ingin melihat tubuhmu basah kuyup oleh keringat dingin sehingga kau menggigil seperti orang kedinginan”

“Tubuhmu tidak lagi berdarah jika kami menggoreskan pisau mengoyak kulitmu, karena perasaan takutmu itu”

Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta kedua orang pengawalnya itu pun tertawa.

Ki Waskita tidak menyahut. Dengan mata tertutup serta tangan terikat, Ki Waskita itu pun didorong untuk berjalan terus.

Setelah menyeberangi jalan yang lebih besar, mereka masuk kembali ke sebuah lorong sempit. Mereka merayap perlahanlahan di atas lorong berbatu-batu padas. Sekali-sekali kaki Ki Waskita itu terantuk batu sementara punggungnya didorong oleh para pengawal Ki Tumenggung, sehingga Ki Waskita itu jatuh tertelungkup.

Ki Tumenggung dan kedua orang pengawalnya itu masih saja menertawakannya. Meskipun mereka menahan diri agar suara tertawanya tidak terdengar oleh orang-orang yang sudah tertidur di dalam rumah mereka di sebelah-menyebelah lorong itu.

Rumah-rumah itu pada umumnya adalah rumah-rumah yang sederhana saja. Halamannya sempit, dinding halamannya rendah dan tidak terpelihara, tanpa regol halaman dan berkesan kumuh.

Beberapa lama Ki Waskita berjalan dengan mata tertutup dan tangan terikat. Sementara itu, lorong yang mereka lalui pun berkelok-kelok, sulit untuk dapat diingat.

Di dini hari, selagi suasana masih sepi, Ki Waskita telah didorong masuk ke dalam sebuah halaman rumah yang berada di pinggir lorong itu.

Ki Waskita merasakan kakinya terantuk pada tlundak pintu lereg yang terbuat dari bambu. Kemudian ia pun merasa berjalan di atas sasak bambu beberapa langkah. Namun kemudian Ki Waskita itu pun harus menuruni tangga bambu melalui lubang yang sempit.

“Ruangan di bawah tanah” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita telah dilemparkan ke sebuah ruangan yang dibuat di bawah tanah. Sebuah lubang yang besar dengan tiang-tiang serta tulang-tulang bambu petung yang kokoh.

Dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, penutup mata Ki Waskita itu pun dibuka.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang berdiri di depannya adalah salah seorang pengawal Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun Ki Waskita tidak melihat Ki Tumenggung itu sendiri.

“Tinggallah untuk sementara di lubang ini” berkata pengawal Ki Sarpa Biwada itu.

Ki Waskita tidak menjawab.

“Besok kau akan mulai memasuki masa-masa yang barangkali tidak pernah kau bayangkan. Ki Tumenggung Sarpa Biwada akan mendapat kepuasan yang sangat besar dengan kehadiranmu disini, sehingga kami tidak membunuhmu di rumah Ki Tumenggung itu”

Ki Waskita masih tetap diam saja.

“Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirimu sendiri. Ruang di bawah tanah ini memang kokoh. Tetapi jika kau mencoba keluar dari ruangan ini, ada kemungkinan langit-langit dari ruangan ini akan runtuh, sehingga kau akan terkubur hidup-hidup di dalamnya”

Ki Waskita memandang orang itu dengan pandangan kosong. Seakan-akan tidak ada gejolak perasaannya sama sekali menghadapi keadaan yang sangat gawat itu.

“Nampaknya kau sudah berputus asa” berkata pengawal itu. “Tetapi perjalananmu masih belum berakhir meskipun kau sudah sampai ke ujung”

Karena Ki Waskita tetap saja berdiam diri, maka pengawal Ki Tumenggung itu pun berkata, “Kau masih punya waktu sedikit untuk menikmati ketenangan. Sekarang Ki Tumenggung sedang beristirahat. Besok, setelah matahari naik, ia akan mulai dengan permainannya yang sangat menyenangkan. Ki Tumenggung telah menyiapkan beberapa jenis alat yang akan membuat permainannya sangat menarik”

Ki Waskita masih saja diam bagaikan membeku.

Namun pengawal Ki Tumenggung itu pun melangkah ke tangga bambu yang masih tersandar pada dinding ruang di bawah tanah yang lembab itu. Kemudian ia pun memanjat naik sambil berkata, “Lampu minyak itu tidak akan mati. Kau juga tidak akan mati lemas, karena ada udara yang cukup di ruang ini. Tutup lubang itu tidak akan terlalu rapat”

Baru kemudian Ki Waskita itu pun berdesis, “Apakah kau tidak akan melepaskan tali yang mengikat tanganku ini?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Apakah jika tali pengikat tanganmu itu dilepas, kau akan dapat melarikan diri?”

Ki Waskita menggeleng. Katanya, “Aku tahu, bahwa tidak mungkin aku dapat lari dari ruangan ini”

“Jadi, bukankah sama saja, apakah tanganmu terikat atau tidak?”

“Ada bedanya” jawab Ki Waskita, “jika aku digigit nyamuk, aku akan dapat menggaruknya”

“Setan kau” geram pengawal itu.

Tetapi pengawal itu tidak menghiraukan Ki Waskita lagi.

Sejenak kemudian orang itu sudah naik ke atas. Kemudian ditariknya tangga bambu yang bersandar di dinding lubang itu ke atas.

Sejenak kemudian, maka lubang itu pun telah tertutup oleh beberapa lembar papan yang tebal. Di atas papan itu kemudian diletakkan sasak bambu seperti sasak di depan pintu. Sasak yang biasa dipasang di lantai rumah berkeliling untuk mencegah seorang pencuri masuk dengan membuat lubang di bawah bebatur rumah.

Demikian lubang itu tertutup kembali, maka Ki Waskita pun berusaha mendapatkan tempat yang tidak terlalu lembab. Dengan tangan masih terikat Ki Waskita itu duduk bersandar tiang penyangga tulang-tulang kerangka ruang di bawah tanah itu. Seperti yang dikatakan oleh pengawal Ki Tumenggung, bahwa lampu itu memang tidak mati. Agaknya udara masih tetap mengalir masuk ke ruang di bawah tanah itu lewat sela-sela papan sasak anyaman bambu yang tidak terlalu rapat menutup lubang ruangan di bawah tanah itu.

Beberapa saat Ki Waskita duduk berdiam diri. Lampu minyak yang terletak di atas ajug-ajug menyala dengan terangnya, menerangi seluruh ruangan itu.

Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang berbaring di dalam ruangan yang sempit, seakan-akan dihimpit oleh dinding bambu di sebelah-menyebelah. Ternyata ruangan itu pun ruangan rahasia pula. Dinding yang memisahkan ruangan dalam dengan serambi samping ternyata rangkap. Hanya ada rongga sempit di dalamnya berisi sebuah amben kecil yang panjang. Disitulah Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidur. Ketika para prajurit Pajang memasuki rumah itu, mereka memang tidak menemukan apa-apa. Mereka pun tidak tahu, bahwa di dalam rumah itu ada dinding yang rangkap sehingga di sela-selanya dapat dipergunakan untuk bersembunyi seseorang.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah mengalami dua kali penggeledahan atas rumah itu. Tetapi para prajurit yang memasuki rumah itu tidak dapat menemukan apa-apa. Ki Tumenggung sendiri berada di antara dinding rumah itu, sementara beberapa orang pengawalnya berada di bawah tanah.

Ada pun lubang di atasnya tertutup oleh beberapa lembar papan yang kemudian di atasnya ditindih dengan sasak itu, di atasnya lagi disamarkan dengan sebuah amben bambu yang panjang.

Di sisa malam itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidur di dalam ruangan sempitnya itu. Sementara itu di atas lubang yang tertutup oleh sasak dari anyaman bambu itu telah diletakkan amben panjang pula.

Di dalam ruangan di bawah tanah, Ki Waskita berusaha untuk menemukan kemungkinan melepaskan diri. Tetapi ruangan itu benar-benar rapat. Satu-satunya lubang adalah lubang yang telah ditutup rangkap serta berada di bawah kolong amben bambu panjang.

Demikianlah ketika fajar menyingsing di hari berikutnya, padukuhan itu pun mulai terbangun pula. Tetapi Ki Tumenggung sendiri masih tidur dengan nyenyaknya. Sementara itu kedua pengawalnya bersama dengan seorang lagi, yang berperan sebagai pemilik rumah itu, tidur di ruang belakang. Sedangkan istri laki-laki itu berada di sentong sebelah kanan dari tiga buah sentong yang berjajar memanjang itu.

Pada saat-saat terakhir mereka sudah merasa lebih aman karena Pajang tidak lagi terlalu sering mengadakan pencaharian langsung dari rumah ke rumah. Apalagi ketika Harya Wisaka dinyatakan sudah meninggal.

Namun mereka menjadi lebih berhati-hati sejak beberapa orang mereka terbunuh oleh Paksi.

Di dalam ruang di bawah tanah Ki Waskita tidak begitu dapat mengenali waktu. Ia sama sekali tidak melihat sinar matahari yang kemudian terbit, sehingga Ki Waskita itu tidak tahu, bahwa matahari pun sudah terbit.

Kedua pengawal Ki Tumenggung yang kemudian terbangun, harus menahan kesabaran mereka. Mereka menunggu Ki Tumenggung mulai dengan permainannya dengan orang yang berada di ruang di bawah tanah itu.

Tetapi Ki Tumenggung baru terbangun ketika matahari naik sepenggalah. Kemudian duduk di ruang dalam sambil minum minuman hangat.

“Sudah siang, Ki Tumenggung” berkata salah seorang pengawalnya.

“Jangan tergesa-gesa. Kita akan minum dan makan pagi lebih dahulu. Baru kemudian kita bermain-main dengan laki-laki itu”

Kedua pengawalnya itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu laki-laki dan istrinya yang menghuni rumah itu telah menyiapkan makan pagi bagi mereka.

Baru setelah makan pagi, Ki Tumenggung itu pun bersiap-siap untuk mulai dengan permainannya.

Namun seorang dari kedua pengawalnya telah diperintahkannya untuk memberitahukan kepada beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang berada di rumah yang lain, yang tidak terlalu jauh dari rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Sekelompok orang yang berpindah-pindah tempat. Namun seorang penghubung yang sempat menyusup dan berada di lingkungan keprajuritan, selalu dapat memberikan peringatan kepada mereka apabila akan ada peronda yang lewat atau akan ada pencaharian dari rumah ke rumah.

Mereka tidak mendapatkan tempat bersembunyi sebaik Ki Tumenggung Sarpa Biwada karena jumlah mereka yang cukup banyak. Namun mereka masih juga mampu menyamarkan diri di antara para penghuni di padukuhan itu.

“Aku akan ikut” berkata pemimpin sekelompok orang itu.

“Ki Tumenggung tidak memberikan perintah seperti itu”

“Aku akan minta kepada Ki Tumenggung. Senang sekali dapat menangkap orang penting seperti Ki Waskita”

“Ki Tumenggung mempunyai dendam pribadi”

“Kita semua mendendam orang-orang yang setia kepada Sultan Hadiwijaya”

“Tetapi Ki Tumenggung ingin membuat perhitungan atas persoalan pribadi mereka”

“Apa pun yang akan dilakukan Ki Tumenggung. Tetapi aku akan ikut”

“Terserah kepada Ki Tumenggung. Tetapi aku datang untuk memperingatkan, agar kau dan orang-orangmu berhati-hati”

“Kami selalu berhati-hati”

“Jangan biarkan anak laki-laki Ki Tumenggung itu pergi dengan siapa pun juga”

“Anak itu tidak ingin pergi kemana-mana”

Pengawal Ki Tumenggung itu tidak dapat mencegahnya. Pemimpin dari para pengikut Harya Wisaka itu pun mengikutinya kembali ke rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk bersembunyi. Ia akan ikut serta dalam sebuah permainan yang tentu akan mengasikkan.

Ketika mereka sampai di rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung itu, maka pemimpin dari para pengikut Harya Wisaka itu pun segera menyatakan diri kepada Ki Tumenggung untuk ikut turun ke ruangan di bawah tanah.

Ki Tumenggung itu pun tersenyum. Katanya, “Tetapi akulah yang berkepentingan dengan orang itu. Kau tidak oleh menggangguku”

“Tidak, Ki Tumenggung. Aku tidak akan mengganggu Ki Tumenggung. Aku hanya akan ikut serta. Aku akan menyesuaikan diri dengan kepentingan pribadi Ki Tumenggung”

“Baiklah. Kita akan membawa orang itu ke kebun belakang. Di halaman yang kosong di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Tidak akan ada orang yang melihatnya dan seandainya orang itu berteriak-teriak, tidak akan ada yang mendengarnya”

“Baik, Ki Tumenggung. Disana pula aku dua hari yang lalu membantai dua orang prajurit Pajang. Mereka berteriak-teriak sekuat tenaga. Tetapi tidak ada orang yang mendengarnya”

“Baiklah” berkata Ki Tumenggung yang lalu memerintahkan kepada kedua pengawalnya, “Ambil orang itu. Kita akan membawanya ke sela-sela rumpun bambu di kebun kosong itu”

“Baik, Ki Tumenggung”

“Tetapi ingat. Aku tidak ingin ia mati hari ini”

“Ya. Aku mengerti”

Sejenak kemudian, maka kedua orang pengawal Ki Tumenggung itu pun telah turun ke ruang di bawah tanah untuk mengambil orang yang terikat tangannya di ruang itu.

Sementara itu, Ki Tumenggung dan pemimpin sekelompok pengikut Harya Wisaka itu pun menunggu sambil duduk di serambi depan.

Dalam pada itu, istri penghuni rumah itu pun tiba-tiba berlari-lari turun ke halaman, sehingga dengan serta-merta Ki Tumenggung pun memanggilnya, “He, kau akan pergi kemana?”

“Penjual jamu gandring itu lewat, Ki Tumenggung”

“Setiap hari kau membeli jamu gandring. Apakah kau tidak pernah merasa bosan?”

Perempuan itu tersenyum. Ia memang selalu membeli jamu gandring yang dapat membuat tubuhnya menjadi hangat. Namun ketika ia turun ke jalan, maka yang dilihatnya penjual jamu gandring itu berbeda. Bukan orang yang biasanya menjual jamu gandring lewat lorong kecil itu.

Tetapi pikulan yang dibawanya adalah pikulan yang biasanya dipakai untuk menjajakan jamu gandring lewat lorong sempit itu.

“Kenapa ragu-ragu, Nyi?” bertanya penjual jamu gandring itu.

“Apakah karena aku tidak terbiasa menjual jamu gandring lewat lorong ini?”

Perempuan itu mengangguk.

“Tetapi kau kenal pikulan ini, Nyi?”

“Ya. Aku juga mengenal wayang golek itu”

“Tentu. Pikulan ini milik ayahku. Hari ini ia berhalangan karena perutnya sakit. Karena itu akulah yang disuruhnya menggantikannya. Ayah memang mengatakan, bahwa di lorong ini banyak penggemar jamu gandring”

“Aku adalah di antaranya” berkata perempuan itu yang kemudian membelinya.

Perempuan itu semakin percaya bahwa penjual yang muda itu adalah anak dari penjual yang biasanya menjajakan jamu gandringnya di lorong itu, melihat cara anak muda itu menghitung dan membungkus butiran-butiran jamu gandringnya, tepat sebagaimana dilakukan oleh penjual yang disebut ayahnya itu.

“Hari ini nampaknya banyak orang di rumah Nyai” desis penjual jamu gandring itu seakan-akan demikian saja meluncur dari mulutnya tanpa memandang kepada perempuan itu.

“Tidak” jawab perempuan itu.

“Ada beberapa orang nampak hilir-mudik”

“Saudara-saudaraku. Mereka memang tinggal disini. Tidak ada orang lain”

“Keluarga Nyai termasuk keluarga besar, Nyai?”

“Ya. Ayahmu juga sering mengatakan, bahwa keluargaku keluarga yang besar. Tetapi sebenarnya keluargaku tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari aku, suamiku, seorang adikku dan seorang adik suamiku. Itu saja. Tetapi bagi orang miskin seperti aku, empat mulut yang harus disuapi setiap hari terasa cukup berat”

Penjual jamu gandring itu tertawa. Katanya, “Nyai masih mempunyai rumah betapapun sederhananya. Nyai masih mempunyai halaman dan barangkali kebun di belakang yang menghasilkan palawija, mungkin sawah dan pategalan? Sedangkan aku? Ayahku tidak punya apa-apa sama sekali kecuali pikulan ini. Kami tinggal di rumah adik ayahku yang sebenarnya kecukupan. Tetapi adik ayahku itu kikirnya bukan main. Kami hanya diperbolehkan tinggal di dekat kandang kuda.

Bahkan jika sehari kami tidak makan, adik ayahku itu sama sekali tidak peduli”

“O” perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian setelah ia menerima sebungkus jamu gandring, perempuan itu pun berkata, “Sudahlah. Ini uangnya”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Tidak ada kembalinya, Nyi”

“Biarlah besok saja. Bukankah besok kau juga akan lewat disini?”

“Ya. Jika bukan aku, tentu ayahku. Aku akan mengatakan kepada ayah, bahwa uang kembali Nyai, masih ada disini”

Perempuan itu pun kemudian telah menghambur kembali ke rumahnya yang sederhana itu.

Namun penjual jamu gandring itu berdesis, “Perempuan itu bukan perempuan sederhana sesederhana rumahnya”

Penjual jamu gandring itu tidak segera pergi. Ia masih mengatur dagangannya yang sedikit di dalam pikulannya.

Sementara itu, dua orang pengawal Ki Tumenggung telah membawa Ki Waskita naik. Demikian ia sampai di atas, ia pun didorong untuk duduk di atas amben panjang yang biasanya diletakkan di atas lubang menuju ke ruang di bawah tanah itu.

“Selamat pagi, Ki Waskita” desis Ki Tumenggung sambil tersenyum, “Aku harap Ki Waskita dapat tidur nyenyak”

Ki Waskita yang tangannya masih terikat itu pun menyahut, “Sejak kemarin aku belum makan. Aku merasa sangat lapar dan tubuhku menjadi sangat lemas”

“Makan?” Ki Tumenggung tertawa. Katanya kemudian, “Kami adalah orang-orang miskin, Ki Waskita. Kami sendiri kadang-kadang tidak makan sehari penuh. Sementara itu, orang-orang Pajang menghambur-hamburkan kekayaannya untuk makan apa saja yang diingininya selain untuk kesenangan yang lain. Perempuan, perjudian, mabuk dan semacamnya”

“Aku tidak pernah mengenalnya, Ki Tumenggung. Aku adalah penghuni padepokan yang terpencil”

“Katakan, kau dapat janji upah berapa dari Pemanahan jika kau dapat menangkap aku”

“Tidak ada janji apa-apa, Ki Tumenggung”

“Omong kosong. Kau telah memanfaatkan gejolak yang terjadi di Pajang ini untuk beberapa kepentingan sekaligus. Kau dapat mendatangi perempuan itu kapan pun kau inginkan. Malam, pagi, sore, siang hari. Kau memang iblis yang paling terkutuk. Kemudian, kau akan menerima upah yang banyak jika kau dapat menangkap aku”

“Tidak. Aku hanya mengakui bahwa aku memang berusaha menangkapmu. Itu saja. Tetapi aku tetap menghormati istrimu sebagai seorang istri yang setia”

Ki Tumenggung tertawa. Katanya, “Kau ajari istriku mengatakan kepadaku, bahwa kedatanganmu di rumahku itu merupakan salah satu usaha Pajang yang hampir putus asa itu untuk menangkapku”

“Aku memang ingin menangkapmu”

Ki Tumenggung tertawa semakin keras, sehingga penjual jamu gandring yang mulai beranjak dari tempatnya masih sempat mendengarnya. Penjual jamu gandring itu memang memperlambat langkahnya. Ia mendengar suara tertawa yang berkepanjangan itu. Namun kemudian penjual jamu gandring itu meneruskan langkahnya sambil memikul dagangannya.

“Jamu gandring, jamu gandring” terdengar suara tembangnya yang khusus, tetapi seperti suara tembang penjual jamu gandring yang disebut ayahnya itu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung itu pun berkata, “Kau pikir aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu. Jika kau memang ingin menjebakku, kenapa kau tidak membawa seorang pun yang akan dapat membantumu?”

“Aku yakin akan dapat menangkapmu meskipun aku seorang diri, karena aku mengira bahwa kau pun akan datang seorang diri”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar perut Ki Waskita. “Jangan mencoba menghinaku”

Ki Waskita mengaduh tertahan. Namun Ki Waskita masih menjawab, “Ki Tumenggung, jika aku mengajak satu dua orang kawan untuk menangkapmu, maka uang yang akan aku terima tentu tidak akan utuh. Aku harus membagi-bagi dengan orang-orang itu. Sementara itu aku yakin bahwa kemampuanku lebih tinggi dari kemampuanmu, sehingga aku akan dapat menangkapmu. Perhitunganku itu aku dasari pada sikap seorang laki-laki. Jika kau menjadi cemburu, maka kau akan datang dan menantangku berperang tanding. Tetapi ternyata kau tidak datang sendiri”

Ki Waskita tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja tangan Ki Tumenggung telah menampar mulutnya, sehingga wajah Ki Waskita terdorong ke samping.

“Kau telah membuat dirimu sendiri semakin menderita”

“Aku tahu, Ki Tumenggung. Tetapi batas terakhir dari segala-galanya adalah mati. Jika seseorang tidak lagi menganggap kematian itu menakutkan, maka ia tidak akan takut apa-apa”

Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar