ISTANA YANG SURAM 11


ISTANA YANG SURAM

Jilid 11

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-11BARU sejenak kemudian orang yang memasuki regol itu bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Ajar Respati?”

Ki Ajar Respati menjadi semakin berdebar-debar, namun kemudian ia menjawab dengan penuh kewaspadaan, “Ya, aku adalah Ki Ajar Respati, siapakah kau Ki Sanak?”

Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya dengan nada seakan-akan tertelan kembali ke dalam perutnya, “Wirit, namaku Ki Wirit”

Ki Ajar Respati terdiam sejenak, dipandanginya orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu dengan tatapan mata yang tajam.

“Aku belum pernah mendengar namamu Ki Sanak” berkata Ki Ajar Respati.

“Ya, kau tentu belum pernah mendengar namaku, aku adalah orang yang hidup terasing dan tidak banyak dikenal oleh orang lain kecuali oleh orang-orang padukuhan tempat aku tinggal” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi siapakah kawanmu yang ada bersamamu itu Ki Ajar Respati?”

Ki Ajar Respati berpaling memandang Ki Reksabahu, baru kemudian ia menjawab, “Ia adalah kawanku sejak masih muda, kami berpisah untuk menempuh jalan hidup kami masing-masing, ia adalah seorang petani, sedang aku adalah seorang yang menggarap sebidang tanah padepokan terpencil, namun kami sering bertemu agar persahatan kami tidak putus”

“Terima kasih. Jika demikian, kehadirannya tidak akan mengganggu pembicaraan kita”

“Ki Sanak” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Apakah kau seseorang yang dikatakan oleh pelayan di padepokan ini, pernah datang kemari mencari aku kemarin?”

“Benar Ki Sanak, aku memerlukan Ki Ajar, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan”

Ki Ajar Respati menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian ia pun mempersilahkan tamunya, “Marilah Ki Wirit, naiklah ke pendapa, aku ingin mendengar, apakah keperluan Ki Wirit dengan aku, karena aku belum mengenalmu sebelumnya”

“Terima kasih, Ki Ajar” jawab Ki Wirit dan sejenak kemudian ia pun melangkah mendekati dengan langkah yang lamban, ternyata orang itu adalah orang yang cacat kakinya.

Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah duduk di pendapa, dengan ragu-ragu Ki Ajar bertanya, “Ki Wirit, aku merasa selalu didesak oleh perasaan ingin tahu, apakah keperluan Ki Wirit mencari aku”

“Ki Ajar” jawab Ki Wirit, “Mula-mula aku sangat tertarik oleh perbawa dari sebuah batu yang tersimpan di kantong ikat pinggang anakku, ternyata bahwa batu itu adalah batu yang sangat berharga baginya dan justru akan dapat melindunginya selama ia berada dalam pengembaraan di Pegunungan Sewu, ternyata bahwa batu itu adalah batu akik yang menurut keterangannya didapatkan dari Ki Ajar Respati”

Ki Ajar Respati mengerutkan keningnya, katanya, “Ya, aku pernah meminjamkan kepada seorang anak muda sebuah batu akik yang sudah diembani dalam bentuk sebuah kalung Jalu Sisik Sasra”

“Kalung itu ada pada anakku sekarang, agaknya ia sangat berhati-hati, sehingga benda itu selalu disimpannya di dalam kantong ikat pinggangnya”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, nampaknya ia sedang mengingat-ingat, baru kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku ingat sekarang, anak muda itu memang pernah menyebut namamu Ki Wirit. ia mengaku bernama Panon. bukankah ia muridmu?”

“Benar Ki Ajar, kedatanganku adalah untuk mengucapkan terima kasih, aku adalah orang tuanya, sedang anakku menerima anugerah yang sangat besar, sehingga dapat meminjam batu akik yang sangat berharga itu, apalagi aku sudah mendengar semua yang telah terjadi dengan muridku, dan korban yang jatuh karena kesombongan anakku itu, justru anak Ki Ajar Respati sendiri”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya “Sudahlah, semuanya sudah terjadi, takdir Yang Maha Kuasa tidak akan dapat diingkari oleh siapapun juga, meskipun ia termasuk manusia yang paling mumpuni sekalipun”

Ki Wirit mengangguk, dengan nada datar ia berkata, “Aku sekedar menyampaikan perasaan yang terasa menekan hati selama ini, aku merasa belum puas jika aku belum mengatakanya kepada Ki Ajar, sebagai ucapan terima kasih dan sebagai permintaan maaf yang tidak ada taranya”

“Sudahlah, sudahlah Ki Wirit, jika kau sudah bertemu dengan muridmu, aku ingin mendengar kabarnya dan tentu saja kabar tentang adikku, karena kepergian Panon itu telah diantar oleh Rancangbandang”

Ki Wirit termangu-mangu sejenak, namun ia pun menceritakan keadaan padukuhan Karangmaja dan istana yang suram itu. menceritakan tentang kedudukan Panon dan Kiai Rancangbandang yang menyebut dirinya Ki Mina”

“Mereka dalam kesulitan” berkata Ki Ajar Respati diluar sadarnya.

“Apalagi disaat terakhir” berkata Ki Wirit, “Akupun merasa wajib, setelah bertemu dengan Kiai untuk segera kembali ke sekitar istana kecil itu, aku telah melihat sekelompok orang-orang Cengkir Pitu dan sekelompok yang lain dari Kumbang Kuning telah naik pula hari ini”

“Hari ini?, baru hari ini?”

“Menjelang senja, mereka menempuh jalan yang berbeda, aku melihat keduanya dari sebuah puncak kecil di bukit padas di sebelah timur Karangmaja, tetapi keduanya menuju ke padukuhan itu, ketika kemudian hari menjadi gelap, dan keduanya mendaki pada jalan yang lain, aku tidak dapat melihat mereka keduanya, aku lebih senang mengikuti kelompok Kumbang Kuning yang agaknya langsung menuju ke padukuhan, namun agaknya keduanya sudah saling mengetahui”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, hampir diluar sadarnya ia berkata, “Jadi kedua kelompok itu telah bersama-sama naik ke Pegunungan Sewu?, tetapi apakah yang Ki Sanak ketahui tentang kelompok Kumbang Kuning?”

“Akupun kemudian meninggalkannya dan turun ke padukuhan ini untuk menemui Ki Ajar, agaknya waktuku tinggal malam ini, karena mungkin sejak besok, kejadian-kejadian yang tidak terduga akan menggoncangkan puncak Pegunungan Sewu. Aku tidak boleh terlalu jauh dari muridku, karena akulah yang menugaskannya mendaki bukit itu. apa yang terjadi atasnya, harus terjadi pula atasku, karena akulah yang mempertanggung jawabkan perjalanannya”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Akupun mempunyai kepentingan Ki Wirit, adikku ada di puncak Pegunungan Sewu pula bersama anak muridmu”

“Aku akan mencoba berada bersama mereka berdua dalam kesulitan meskipun barangkali tenagaku, orang tua yang cacat kaki ini, sudah tidak banyak berarti apa-apa lagi”

Tetapi Ki Ajar Respati tertawa, “Kau seperti muridmu atau tepatnya muridmu seperti kau, Ki Wirit, selalu merendahkan diri, mungkin kau memang mengajarinya untuk selalu berendah hati”

“Aku mencoba untuk mengerti tentang diriku sendiri”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, kemudian dipandanginya Ki Reksabahu yang tidak ikut sama sekali dalam pembicaraan itu, seolah-olah hanya mendengarkan saja tanpa banyak perhatian.

“Bagaimana dengan kau Kiai?” tiba-tiba saja Ki Ajar Respati bertanya.

Ki Reksabahu bergeser setapak, lalu, “Apa maksudmu Ki Ajar?”

“Aku kira aku tidak akan dapat tinggal diam, adikku sudah terlanjur terlibat langsung dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Pegunungan Sewu”

“Jadi maksudmu, bahwa kau akan naik ke puncak Pegunungan Sewu?”

“Ya, ke padukuhan Karangmaja”

“Sekarang?”

“Ya, tentu. Aku akan pergi bersama Ki Wirit, sudah tentu aku berharap bahwa kaupun akan pergi bersama

kami karena kau memang sudah sampai ke padukuhan ini”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, namun katanya, “Ki Ajar, sebenarnya masih ada yang ingin aku tanyakan kepada Ki Wirit, apakah jarak antara Karangmaja dan padukuhan ini tidak terlalu jauh?”

“Kenapa?” bertanya Ki Wirit.

“Jika menjelang senja Ki Wirit masih melihat kelompok-kelompok yang memanjat naik, sebelum tengah malam Ki Wirit sudah berada disini.”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tentu terlalu jauh, tetapi pertanyaan Kiai memang tepat, aku tidak akan mencapai jarak yang aku tempuh jika aku berjalan kaki, tetapi aku mempunyai seekor kuda yang dapat aku tunggangi”

“Ooo” desis Ki Reksabahu, “Jadi Ki Sanak berkuda?”

“Ya, tetapi aku tidak ingin mengejutkan padukuhan ini, apalagi dalam keadaan yang rawan seperti ini, karena itu, aku meninggalkan kudaku diluar padukuhan. Bagi orang yang cacat kaki seperti aku, berjalan merupakan pekerjaan yang sangat berat, meskipun hanya dari luar regol padukuhan sampai ke regol halaman rumah ini”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, lalu katanya, “Baiklah Ki Ajar, jika Ki Ajar akan ikut naik ke Pegunungan Sewu, biarlah aku tidak tanggung-tanggung lagi melibatkan diriku ke dalam keadaan yang tidak aku mengerti ini, tetapi aku memang tertarik oleh kehadiran orang-orang dari perguruan Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu”

“Terima kasih” sahut Ki Ajar, “Kita akan pergi bersama-sama, jika demikian, maka kitapun akan pergi berkuda pula”

“Apakah dengan demikian berarti bahwa Kiai berdua akan pergi bersamaku?” bertanya Ki Wirit.

“Ya, kita akan pergi bersama-sama

“Ki Ajar sudah memberikan benda yang paling berharga itu kepada muridku, kini Ki Ajar sendiri ingin ikut mendaki bukit ini”

“Aku ingin melihat keadaan adikku Ki Wirit, apalagi batu akikku telah ada disana, jika terjadi apa-apa denganku karena racun, aku harap, angger Panon atau Rancangbandang dapat membantuku”

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku tidak mengira bahwa kehadiran muridku disini akan sangat merepotkan Kiai”

“Itu adalah karena kehendakku sendiri, marilah. Bersiaplah, aku dan Ki Reksabahu akan berkemas, kita akan segera berangkat, apakah sebelum fajar kita sudah akan sampai?”

“Aku harap demikian, sebelum fajar kita akan sampai, kita akan menyimpan kuda di tempat yang sudah aku kenal sebaik-baiknya. Di tempat yang banyak reremputan dan tidak mudah diganggu oleh binatang buas.

“Di padukuhan Karangmaja?”

“Tidak, kehadiran kita di padukuhan itu tentu akan langsung menimbulkan persoalan-persoalan baru. Aku kira lebih baik kita untuk berada di padukuhan yang lain yang tidak begitu jauh dari Karangmaja, mungkin di rumah seseorang, tetapi mungkin kita akan mengikatnya di sela-sela bukit.”

Ki Reksabahu tidak mempersoalkannya, bersama Ki Ajar Respati ia pun kemudian mempersiapkan diri dan membenahi kuda mereka, dan kepada para pelayan, mereka hanya mengatakan bahwa mereka akan pergi untuk waktu yang tidak tentu.

Agar tidak mengejutkan orang-orang di sekitar padepokan itu, maka mereka menuntun kuda mereka sempai batas regol padukuhan. Baru kemudian mereka memacu kuda mereka memanjat tebing pegunungan.

Ternyata bahwa Ki Wirit telah mengenal jalan pegunungan itu dengan baik, meskipun malam menjadi semakin gelap, namun kudanya tidak mengalami kesulitan, jalan yang ditempuh meskipun tidak begitu lebar, tetapi masih tetap memberikan kemungkinan kepada kuda-kuda itu untuk mendaki terus, meskipun tidak begitu cepat, namun di beberapa bagian yang datar, kuda itu berpacu lebih cepat lagi.

Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Wirit, sebelum fajar, mereka telah mendekati padukuhan Karangmaja, dan seperti yang dikatan oleh Ki Wirit pula, maka mereka pun telah mencari tempat untuk menitipkan kuda mereka.

“Mudah-mudahan orang yang biasa aku titipi kudaku, tidak berkeberatan untuk menyimpan tiga ekor kuda sekaligus dan menyediakan rumput bagi mereka” berkata Ki Wirit.

Mula-mula orang yang dititipi kuda itu agak berkeberatan, tetapi ketika Ki Reksabahu memberikan beberapa keping uang, maka orang itu pun kemudian terdiam.

“Kita akan mendekati padukuhan Karangmaja” berkata Ki Wirit, “Mungkin akan dapat terjadi sesuatu setiap saat, tetapi aku kira tidak malam ini, karena malam ini, adalah malam yang pertama bagi kedua kelompok itu, sehingga mungkin keduanya masih harus mengatur diri, mereka harus mencoba menyesuaikan kedudukan masing-masing, bahkan mungkin mencari keterangan tentang kekuatan dan kelemahan lawannya.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu menganggukangguk, merekapun sependapat, bahwa yang sebaikbaiknya mereka lakukan adalah mendekati istana kecil yang suram itu.

“Tetapi apakah kita akan berhubungan dengan Panon dan Rancangbandang?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Aku sudah pernah berhubungan, jika perlu, aku minta mereka yang ada di dalam halaman istana itu untuk memberikan isyarat” jawab Ki Wirit.

Ki Wirit pun telah menceritakan kedudukan dua orang yang bernama Sangkan dan Pinten yang menurut Panon keduanya memiliki kedudukan yang khusus dan harus diperhitungkan.

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ada semacam hubungan yang membingungkan yang telah terjadi diatas bukit itu, jika seorang bangsawan yang bernama Raden Kuda Rupaka berdiri di pihak Cengkir Pitu dan bangsawan lain, Pangeran-pangeran yang kita lihat itu berada diantara orang-orang Kumbang Kuning, maka persoalannya tentu akan menjadi gawat, tetapi Raden Kuda Rupaka tidak berdiri diantara para bangsawan.

Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Memang agak membingungkan bahwa Raden Kuda Rupaka berada dipihak Cengkir Pitu, hampir tidak masuk akal, mungkin hubungan antara Raden Kuda Rupaka dan Cengkir Pitu baru saja terjadi dalam persoalan pusaka itu, tetapi aku kira bahwa Raden Kuda Rupaka bukan murid dari perguruan Cengkir Pitu”

Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati tidak menjawab, mereka sama sekali tidak mempunyai bahan yang cukup untuk ikut membicarakannya, karena itu mereka lebih banyak mendengarkan saja keterangan Ki Wirit yang ternyata masih merupakan teka-teki yang belum terjawab.

Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun berjalan perlahan-lahan mendekati padukuhan Karangmaja, Ki Wirit yang cacat kaki, tidak dapat berjalan terlalu cepat, meskipun kadang-kadang geraknya sangat mengherankan, jika mereka menjumpai lereng yang terjal, justru Ki Wirit kadang-kadang telah membuat sesuatu yang aneh, meskipun kakinya cacat, tetapi ia mampu mendaki tidak kalah tangkasnya dengan mereka yang tidak cacat kaki.

“Jika matahari nanti terbit, kita akan dapat beristirahat dicelah-celah bukit, tetapi kita sudah tidak akan terlalu jauh lagi dari istana kecil itu. Mudah-mudahan, meskipun secara kebetulan, kita akan dapat berhubungan dengan mereka yang berada di dalam istana” berkata Ki Wirit.

“Kita dapat masuk” desis Ki Reksabahu.

“Kita memang dapat memasuki halaman istana itu jika kita ingin, tetapi di dalam halaman itu ada Sangkan dan Pinten yang mungkin mempunyai tanggapan yang lain atas kehadiran kita, jika terjadi salah paham, maka akibatnya akan dapat merugikan kita sendiri, karena menurut keterangan yang aku dengar, Sangkan dan Pinten itu pun nampaknya bukan orang-orang tamak seperti orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu, meskipun semuanya masih harus saling mencurigai”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, ia dapat mengerti keberatan Ki Wirit, ternyaya karena di dalam istana itu ada dua orang anak muda yang tidak banyak mereka kenal, karena menurut pertimbangan mereka dua orang anak muda yang mengaku anak Nyi Upih itu, tentu tidak sekedar berdiri sendiri, sehingga mungkin akan dapat timbul salah paham justru akan menyulitkan.

Demikianlah, sebelum matahari terbit, mereka telah mencari tempat untuk beristirahat di celah-celah dua buah punuk kecil, diantara rimbunnya dedaunan dan gerumbul-gerumbul yang hijau, sehingga tidak mudah nampak dari beberapa bagian di sekitarnya.

“Hari ini kita berada disini, jika hari ini tidak terjadi sesuatu, maka dihari-hari berikutnya, kita akan dapat mengatur diri, mungkin bukan kita seluruhnya berada disini, tetapi kita dapat mengatur waktu dan mungkin dengan cara-cara yang lain” berkata Ki Wirit.

Kedua orang kawannya mengangguk-angguk.

“Aku tidak mengira bahwa kita akan menjadi bertiga” berkata Ki Wirit kemudian.

Kedua kawannya tidak menjawab, tetapi mereka mulai mencari tempat untuk duduk dan bersandar. Sebuah batu yang besar merupakan sandaran yang baik dan bahkan memungkinkan untuk tidur barang sejenak.

“Beristirahatlah” berkata Ki Wirit, “Aku akan mengamati keadaan”

Kedua orang yang duduk bersandar batu itu mengangguk, namun diluar sadar, mereka saling berpandangan, seolah-olah berjanji tanpa diucapkan untuk beristirahat bergantian, bagaimanapun juga, mereka masih belum banyak mengenal orang yang menyebut dirinya Ki Wirit itu.

Sementara itu Ki Wirit tidak menghiraukan kedua orang itu lagi, bahkan ia maju beberapa langkah dan mencoba melihat istana kecil itu dari jarak yang agak jauh, tetapi tempat agak lebih tinggi.

Tetapi Ki Wirit tidak melihat sesuatu yang mencurigakan , meskipun demikian ia tidak dapat lengah, karena hari itu memang baru mulai, masih akan banyak kemungkinan dapat terjadi pada hari yang masih panjang itu.

Karena itu, maka ia tetap duduk di tempat yang agak tinggi di sela-sela tetumbuhan yang rimbun yang dapat sekedar melindunginya.

Untuk beberapa lama ia duduk di tempatnya, pandangan matanya ternyata tidak sekedar melekat pada istana yang dikelilingi oleh dinding batu itu, tetapi ia sempat mengedarkan pandangan matanya ke arah bukitbukit yang hijau, bukit-bukit yang dutumbuhi perdu dan beberapa batang pepohonan yang mulai tumbuh dengan subur meskipun sebagian besar hanya tergantung pada siraman air hujan.

“Jika pohon-pohon itu kemudian tumbuh terus dan berdaun rimbun, maka pegunungan gundul ini akan segera berubah wajah” berkata Ki Wirit di dalam hatinya.

Dengan penuh minat ia memandang cahaya matahari yang bagaikan menyiram seluruh puncak-puncak bukit seribu yang berserakan seperti ongokan tanah yang ditaburkan di tepi selatan pulau besar ini.

Tiba-tiba saja Ki Wirit terkejut dan bergeser setapak, ketika ia melihat debu yang mengepul.

“Sekelompok orang-orang berkuda” desisnya.

Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu yang sedang beristirahat sambil bersandar sebongkah batu yang besar.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah berada di sampingnya, dengan jantung yang berdebaran mereka memperhatikan beberapa orang berkuda mendekati gerbang istana kecil yang suram itu.

“Siapakah mereka Ki Wirit?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Aku tidak dapat menyebutnya, tetapi menilik sikap dan ujud yang nampak dari kejauhan, agaknya mereka bukan orang-orang Kumbang Kuning.”

“Maksudmu, mereka orang-orang Cengkir Pitu?” bertanya Ki Reksabahu.

Ki Wirit termenung sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Agaknya itulah yang aku lihat saat mereka datang, orang-orang Cengkir Pitu, karena di dalam kelompok orang-orang Kumbang Kuning nampak seorang yang agak lain dari kawan-kawannya menilik pakaiannya.

Ki Reksabahu dan Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, merekapun melihat seorang yang nampaknya adalah pemimpin dari kelompok Kumbang Kuning itu, disamping dua orang-orang bangsawan.

“Mereka akan memasuki istana itu” desis Ki Wirit.

“Ya, aku harus mengetahui apa yang terjadi, karena adikku ada disana” sahut Ki Ajar Respati.

Ki Wirit tidak menyahut, dengan tajamnya ia memperhatikan derap beberapa ekor kuda yang menyusul jalan berliku-liku mendekati halaman istana kecil itu.

Namun tiba-tiba perhatiannya tertarik kearah yang lain, ternyata ia melihat beberapa orang berkuda muncul dari balik sebuah bukit kecil, sehingga dengan serta merta ia menggamit kedua kawannya dan memberikan isyarat agar mereka berusaha untuk bersembunyi di balik gerumbul.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu segera melihat sekelompok orang yang berada di sela-sela puncak bukit di tempat yang agak jauh dari mereka, orang-orang itu pun kemudian segera meloncat turun dan dengan berhati-hati maju beberapa langkah sementara yang lain mengikat kuda-kuda mereka di pepohonan perdu.

“Itulah orang-orang Kumbang Kuning” desis Ki Wirit.

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Keadaan benar-benar menjadi gawat, sebentar lagi orang-orang Guntur Geni dalam yang besar akan berdatangan pula”

Ki Wirit mengusap wajahnya yang berkeringat, perlahan-lahan ia berdesis, “Benar-benar suatu perebutan yang tidak kenal unggah-ungguh. Di istana itu masih tinggal isteri Pangeran Kuda Narpada, tetapi orang-orang itu memperlakukan seolah-olah mereka sedang berburu di tengah-tengah hutan yang liar, mereka sama sekali tidak menghormati kehadiran pemilik istana itu dengan keluarganya yang tinggal”

“Aku kurang mengetahui dengan pasti, apakah yang ada di dalam istana itu, yang aku ketahui adikku ada disana, aku tidak boleh membiarkannya, seperti Ki Wirit tentu tidak akan membiarkan muridnya mengalami kesulitan meskipun mulai timbul di dalam hatiku pertanyaan, kenapa Ki Wirit telah memerintahkan muridnya ikut menejebak dirinya sendiri ke dalam sarang hantu itu”

“Pertanyaan itu memang memerlukan jawaban Ki Ajar, aku akan memberikkan jawaban dengan jelas, jika semuanya sudah selesai kelak, karena masalahnya menyangkut banyak segi” jawab Ki Wirit.

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, meskipun jawaban Ki Wirit itu tidak dapat menghapuskan kecurigaannya, namun rasa-rasanya masih ada juga kepercayaannya kepada orang-orang yang cacat kaki itu.

Sementara itu, orang-orang berkuda dari kelompok perguruan Cengkir Pitu telah berada di depan regol istana kecil itu, sementara orang-orang Kumbang Kuning mengawasi saja dari kejauhan.

Namun dalam pada itu, Ki Wirit dan kedua kawannya telah dapat menduga, bahwa orang-orang Kumbang Kuning yang agaknya merasa dirinya tidak sekuat orang-orang Cengkir Pitu, menunggu saja benturan yang dapat terjadi antara orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang yang berada di halaman istana kecil itu, meskipun akhirnya orang-orang Cengkir Pitu akan berhasil memusnahkan orang-orang yang berada di dalam halaman istana kecil itu, tetapi kekuatan Cengkir Pitu pun tentu akan sudah berkurang, karena mereka yang ada di dalam istana itu pun bukannya sekedar orang-orang kebanyakan.

Dalam pada itu, orang-orang Cengkir Pitu sudah berada di depan gerbang istana kecil itu, maka seluruh isi istana kecil menjadi berdebar-debar, Panon terpaksa menjadi sangat berhati-hati, ia telah memaksa Panji Sura Wilaga dengan kekerasan untuk memanjat dan bersembunyi diatas atap, kemudian mengikat dan menyumbat mulutnya.

“Maaf Raden Panji” desis Panon, “Aku terpaksa melakukan ini, agar Raden tidak menjadi hambatan bagi kami, justru karena ada persoalan yang harus kami atasi”

Sangkan yang sependapat dengan tindakan Panon itu pun ikut pula naik keatas atap dengan sebilah keris di tangannya, wajahnya nampak sungguh-sungguh seolah-olah

Sangkan yang menggenggam keris telanjang didepan dada Panji Sura Wilaga itu, bukan Sangkan yang sehari-hari dikenalnya.

Setelah mengikat Panji Sura Wilaga di atap, maka kedua anak-anak muda itu pun segera turun.

Dalam pada itu, di tangga pendapa Ki Mina berdiri menunggu peristiwa apakah yang bakal terjadi, ia melihat beberapa orang berkuda sudah berhenti di depan regol halaman, namun ia masih tetap berdiri di tempatnya, wajahnya nampak tegang, sementara tangan kanannya menjadi gemetar, di lambungnya nampak bukan saja kerisnya, tetapi juga sebilah pedang.

Sementara Ki Mina menunggu dengan tegang di tangga pendapa, Pinten berdiri di pintu pringgitan, ia menyandang pedang di lambung, wajahnya pun menyorotkan kesungguhan tatapan matanya atas orang-orang yang berdatangan.

Di belakangnya Inten Prawesti berdiri dengan gemetar.

“Puteri” berkata Pinten tanpa berpaling, “Masuklah ke dalam bilik bersama ibunda, selaraklah pintu dan jangan dibuka jika puteri tidak yakin, bahwa yang mengetuk pintu adalah salah seorang dari kami penghuni istana ini”

“Aku takut Pinten” desis Inten Prawesti.

“Puteri akan aman bila berada di dalam bilik ibunda, justru diluar bilik, keadaan akan semakin berbahaya bagi puteri”

Inten termangu-mangu sejenak, tetapi lewat lubang pintu, ia pun melihat beberapa orang berkuda menghampiri regol halamannya.

“Cepatlah puteri, kami tidak tahu, apa yang bakal terjadi, mungkin mereka sekedar melihat-lihat keadaan di istana ini, tetapi mungkin bakal terjadi benturan kekerasan”

“Mereka lebih banyak dari kalian berempat”

“Apapun yang bakal terjadi, kita tidak akan dapat membiarkan mereka berbuat sesuatu di halaman ini, meskipun ia menyebut dirinya Raden Kuda Rupaka”

Inten termangu-mangu, dan ia pun ternyata melihat seorang anak muda diantara beberapa orang berkuda itu justru berada yang paling depan.

“Kamas Kuda Rupaka ada diantara mereka” desisnya.

“Mereka adalah orang-orang dari perguruan Cengkir Pitu” sahut Pinten, “Diantaranya adalah Raden Kuda Rupaka”

Inten termangu-mangu sejenak, kekecewaan yang dalam terhadap Raden Kuda Rupaka telah mencengkam hatinnya.

“Puteri” desak Pinten kemudian, “Cepatlah, sebelum mereka memecahkan pintu gerbang dan menghambur memasuki halaman, kakang Sangkan sudah bertekad tidak akan membuka pintu regol, tetapi kita semua yakin bahwa mereka akan memecahkan pintu itu”

“Kenapa pintu itu tidak dibuka saja?”

“Tidak puteri, dengan demikian kami akan melihat dengan jelas sebagai suatu bukti, bahwa mereka berniat buruk, jika mereka tidak mempunyai niat buruk, mereka tidak akan memecahkan pintu, karena seharusnya mereka mengetahui , bahwa jika pintu itu tidak dibuka, itu berarti bahwa kita tidak mau menerima mereka”

Inten masih termangu-mangu.

“Cepatlah, sebentar lagi pintu itu akan jebol”

Dengan ragu-ragu Inten kemudian bergeser selangkah, namun ia pun kemudian segera berlari menghambur masuk ke dalam biliknya.

“Inten” desis ibunya yang menyongsongnya, “Apa yang terjadi?”

“Orang-orang Cengkir Pitu berdatangan ibunda, mereka akan memecah pintu gerbang, Pinten menyuruh aku menyelarak pintu bilik.

Ibundanya ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk-angguk kepalanya.

Dengan tangan gemetar, Inten menyelarak pintu biliknya dan kemudian dengan tergesa-gesa mendekati ibundanya dan duduk berdesakan dengan cemas.

Sementara itu Sangkan dan Panon yang sudah turun dari atap istana kecil itu, langsung memencar dan turun ke halaman di sebelah menyebelah pendapa.

Ki Mina berpaling, ketika ia mendengar langkah mendekat, ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Panon dan Sangkan berada di sisi pendapa yang berseberangan, apalagi kemudian ia pun melihat Pinten yang sudah berdiri di pendapa dengan pakaiannya yang khusus dan sepasang pedang di lambung.

Ki Mina mengerutkan keningnya, ia belum pernah melihat Pinten sedemikian garangnya dengan sepasang pedang, tetapi kini agaknya ia merasa perlu menyatakan dirinya dalam kelengkapan serupa itu.

Sementara itu sekelompok orang-orang berkuda telah berada di muka regol halaman, yang paling depan adalah seorang anak muda yang dikenal baik oleh penghuni istana kecil itu, Raden Kuda Rupaka.

Sejenak Raden Kuda Rupaka termangu-mangu, namun kemudian ia pun berteriak, “He, orang-orang yang berada di dalam istana, bukankah kalian mengenal aku?, bukalah pintu gerbang ini, aku inging menghadap bibi Kuda Narpada”

Orang-orang yang berada di halaman itu termangu-mangu sejenak, namun Sangkan lah yang kemudian malangkah maju sambil menjawab, “Raden Kuda Rupaka, kedatangan Raden kali ini sama sekali tidak menguntungkan kami”

“Kenapa?” bertanya Raden Kuda Rupaka, “Kami datang dengan maksud baik, aku telah memanggil beberapa orang kawan-kawan dan pembantuku untuk menjaga istana ini dari kemungkinan yang lebih buruk, kami sudah mendapat berita keberangkatan orang-orang Guntur Geni, dalam jumlah yang besar dan orang-orang dari perguruan Kumbang Kuning”

Sangkan memandang orang-orang orang-orang yang berada di luar pintu regol dari lubang papan yang sudah lapuk, meskipun agak kurang jelas, tetapi ia melihat wajah-wajah yang kasar dan penuh kebencian, namun ia melihat juga wajah-wajah yang memancarkan derajad kebangsawanannya, seperti wajah Raden Kuda Rupaka.

“Sangkan” teriak Raden Kuda Rupaka, “Apakah kau sudah gila, bukalah pintunya, aku tidak datang seorang diri, jika aku mau, maka istana ini akan menjadi abu dalam sekejap”

“Kedatangan Raden benar-benar tidak kami harapkan” berkata Sangkan, “Silahkan Raden pergi saja”

“Gila, kau sudah gila. Aku akan menghadap bibi, kau tahu akibat apa yang dapat terjadi jika kau memaksa kami mempergunakan kekerasan”

“Raden memang sudah mempergunakan kekuatan, maaf jika kami tidak dapat mempercayai Raden lagi”

“Gila, cepat. Aku dapat berbuat apa saja atas kalian”

Sangkan termangu-mangu sejenak, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan apapun yang akan terjadi.

Sementara itu Raden Ayu Kuda Narpada, menjadi gelisah di dalam biliknya, ia mendengar pembicaraan di halaman, kemudian ia berkata kepada Inten Prawesti, “Inten, tidak seharusnya aku tetap berada di dalam bilik ini, angger Kuda Rupaka agaknya benar-benar ingin menemui aku”

“Tetapi itu berbahaya sekali ibunda”

“Aku kira tidak akan ada bedanya, seandainya kita berdua bersembunyi di dalam bilik ini, jika terjadi benturan kekerasan, maka akan jatuh korban yang sebenarnyanya tidak bersalah, mungkin Sangkan, mungkin Panon dan bahkan mungkin Pinten”

Puteri Inten Prawesti yang memegangi lengan ibundanya berkata terbata-bata, “Tetapi Pinten minta agar kita berada di dalam bilik ini saja”

Puteri yang ketakutan itu menjadi heran, ketika tiba-tiba saja ibunda tersenyum, ia sama sekali tidak mengerti makna dari senyum itu, meskipun nampak betapa senyum itu menyimpan kepalsuan perasaan.

Sebenarnyalah kepedihan hati ibundanya sudah menjadi seakan-akan jenuh Raden Ayu Kuda Narpada tidak dapat menampung lagi kecemasan dan ketika bagi peristiwa-peristiwa yang mendatang, bahkan tiba-tiba saja seolah-olah ia menemukan kekuatan untuk berbuat sesuatu, karena ia merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi menghindari kesulitan yang bakal datang, yang semakin lama justru semakin bertimbun.

“Inten” berkata ibundanya sambil mengusap kepala anaknya, “Aku sudah tua, aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya aku akukan, tetapi apapun yang terjadi atasku, tentu tidak akan banyak berakibat bagi istana ini”

“Tidak ibu, tentu akibatnya akan sangat parah bagiku, apapun yang akan ibunda lakukan, aku akan ikut serta, hidup atau mati”

Ibundanya menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya, “Inten, kau sajalah yang tinggal di dalam bilik ini, aku akan minta Pinten mengawanimu, ia adalah seorang gadis yang luar biasa, ia memiliki kemampuan-kemampuan seperti laki-laki, bahkan ia dapat mengalahkan laki-laki”

“Tidak, tidak ibunda, aku akan ikut kemana ibunda pergi”

Sejenak Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar orang-orang di luar istana itu berbicara semakin keras dan kasar.

“Aku harus mencegahnya” desis Raden Ayu Kuda Narpada.

Tetapi ketika Raden Ayu Kuda Narpada berdiri, Inten ikut berdiri pula, ia selalu berpegangan lengan ibundanya dan tidak mau melepaskannya.

“Inten” berkata ibundanya, “Tinggallah di dalam bilik ini, sebentar akan lagi Pinten akan datang, bagimu dalam saat seperti ini Pinten lebih berguna dari padaku”

“Tidak ibunda, aku ikut bersama-sama ibunda”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, namun suara-suara yang semakin keras seakan-akan telah memaksanya untuk segera melangkah keluar.

Namun Inten tetap berpegangan tangannya, ketika ibundanya berlari keluar, maka Inten pun ikut pula keluar.

Ketika mereka sampai di pintu pringgitan, mereka melihat beberapa orang yang marah berada di luar pintu regol, sementara itu Pinten masih berdiri tegak di pendapa.

Langkah keduanya telah mengejutkan Pinten, karena itu, maka ia pun segera berpaling, dengan tegang ia melihat kedua puteri itu justru keluar pintu.

“Masuklah, cepat” desis Pinten.

Tetapi keduanya tidak sempat menjawab, yang terdengar kemudian adalah derak pintu regol yang pecah.

Sejenak kemudian., maka menghamburlah beberapa ekor kuda memasuki halaman, diantara mereka adalah Raden Kuda Rupaka

Ki Mina, Sangkan dan Panon yang berada di halaman telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, bahkan Pinten pun kemudian melangkah maju beberapa langkah, namun sekali lagi ia berpaling sambil berdesis, “Cepat mereka tidak dapat di kekang lagi”

Tetapi Raden Ayu Kuda Narpada justru berlari menyusul Pinten sambil berteriak, “Angger Kuda Rupaka, apakah yang kau kehendaki sebenarnyanya?”

Semua orang berpaling kepadanya, sementara itu, Raden Ayu Kuda Narpada maju beberapa langkah lagi dan justru berdiri di bibir pendapa.

Semua orang menjadi heran melihat kehadirannya, bahkan Raden Kuda Rupaka pun menjadi heran pula.

“Anak mas” terdengar lagi suaranya, “Apakah yang memaksa angger untuk datang lagi bersama dengan beberapa orang kawanmu?”

Raden Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, dipandanginyanya Raden Ayu Kuda Narpada, lalu katanya, “Bibi aku mempunyai hanya kepentingan dengan istana ini. Di dalam istana tni tersimpan pusaka yang seharusnya sudah diserahkan kepada kalangan istana Demak. tetapi sampai sekarang, pusaka itu masih belum kembali ke gedung perbendaharaan pusaka, bahkan paman Kuda Narpada telah menyembunyikan diri bersama paman Cemara Kuning dan Paman Sendang Prapat bersama pusaka itu”

“Anakmas” jawab Raden Ayu Kuda Narpada, “Kakanda Kuda Narpada sama sekali tidak menyembinyikan diri, tetapi kakanda Kuda Narpada telah diajak oleh kedua pangeran itu sehingga saat ini tidak kembali lagi”

“Ah, bibi dapat saja mengatakan begitu, tetapi jika benar bibi menganggap bahwa paman Kuda Narpada tidak berusaha menyembunyikan pusaka itu, cobalah tunjukkan kepada kami, dimanakah pusaka itu. karena sebenarnyalah kami datang bersama Pangeran Sora Raksa Pati, yang mendapat tugas langsung dari Sultan Demak untuk mengambil pusaka itu, atau menemukan pamanda Kuda Narpada hidup atau mati”

Wajah Raden Ayu Kuda Narpada menjadi pucat, namun kemudian jawabnya, “Apakah benar diantara kalian terdapat utusan langsung dari Sultan Demak?”

“Ya” jawab seorang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis dan berjanggut lebat, “Akulah Sora Raksa Pati, aku sudah jemu menunggu kedatangan angger Kuda Rupaka yang sudah mendahului perjalanku, sementara Sultan selalu mendesakku untuk segera menyerahkan pusaka itu, aku kira mengambil pusaka istana ini dengan perintah mempersoalkan bukannya pekerjaan yang mendapat kesulitan apapun, ternyata bahwa tugas Kuda Rupaka mendapat banyak hambatan disini, agaknya keluarga Kuda Narpada sendiri tidak membantu kelancaran yang dibebankan kepadanya atas perintah Sultan”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi semakin pucat, lalu katanya, “Aku mohon ampun, tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu menahu letak pusaka yang sedang dicari itu, itulah soalnya, bukan menghambat dan apalagi dengan sengaja menghalang-halangi”

“Apapun alasan yang dikemukakan, tetapi kenyataan yang dihadapi Sultan adalah, bahwa pusaka itu sampai kini masih belum dapat diserahkan, sedangkan Sultan sudah tahu pasti, bahwa oleh Maharaja Majapahit Pamungkas pusaka itu diserahkan kepada Kuda Narpada, tentu kami tidak akan dapat mengemukakan alasan apapun juga kepada Sultan yang menghendaki pusaka itu kembali ke perbendaharaan istana Demak” berkata Sora Raksa Pati.

Raden Ayu Kuda Narpada merasa semakin tersedak, tetapi ia pun menjawab, “Pangeran, sebenarnyalah bahwa kepergian kakanda Kuda Narpada bukannya menyembunyikan diri, jika Pangeran dapat bertemu dengan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat, maka persoalannya akan sedikit dapat terungkap”

“Apakah kami masih harus mencari Cemara Kuning dan Sendang Prapat, keduanya telah hilang sejak lama, tentu keduanya telah bersembunyi bersama Kuda Narpada”

“Tidak, itu tidak benar, jika memang diperlukan, aku akan menghadap Sultan sendiri dan menerangkan apa yang telah terjadi” bantah Raden Ayu Kuda Narpada.

“Itu tidak mungkin, kau sangka Sultan akan dapat menerima setiap orang?, hanya orang-orang yang penting dan diperlukan sajalah yang dapat menghadap” sahut Sora Raksa Pati.

“Tetapi persoalan yang akan aku kemukakan adalah persoalan yang sangat penting, jika bukan persoalan yang sangat penting maka Sultan tentu tidak akan mengutus beberapa orang bangawan untuk datang”

“Itu tidak perlu, soalnya adalah, serahkan pusaka itu, atau kami akan bertindak dengan kasar”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi gemetar, namun tiba-tiba saja hatinya yang telah beku itu tidak lagi dapat disusupi oleh perasaan takut, bahkan dengan dada tengadah ia berkata, “Pangeran, jika pangeran menganggap perlu melakukan kekerasan, lakukanlah, tetapi jangan terhadap orang lain, kecuali aku sendiri, karena akulah yang menjadi sumber dari persoalan yang sedang kalian hadapi sekarang ini”

“Jika orang-orang lain tidak ikut campur, maka akupun tidak akan menyentuh mereka, coba katakan kepada mereka, agar mereka keluar dari halaman istana ini, suruhlah mereka pergi dan sama sekali tidak mengganggu perkerjaan kami, maka kamipun tidak akan mengganggu mereka”

Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu sejenak, dipandanginyanya beberapa orang yang berada di halaman, kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Ki Sanak yang selama ini telah memberikan banyak pertolongan kepadaku, aku tidak dapat berbuat lain dari pada mempersilahkan kalian meninggalkan halaman ini, Panon, Ki Mina, Sangkan dan Pinten, bahkan aku ingin menitipkan Inten kepada kalian agar ia pun tidak akan tersentuh oleh persoalan yang tidak diketahuinya, juga aku ingin kalian membawa Nyi Upih berserta kalian”

Tiba-tiba saja terdengar teriakan Inten yang menusuk, “Tidak, ibunda, aku akan selalu bersama ibunda”

“Inten” desis ibundanya, “Pergilah bersama Pinten, ia akan dapat melindungimu jauh lebih baik dari ibumu”

Raden Ayu Kuda Narpada menjadi termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu Sora Raksa Pati berkata “Biarlah ia tinggal disini, kami tidak akan mengganggunya, tetapi suruhlah yang lain meninggalkan tempat ini. Raden Kuda Rupaka akan melakukan penelitian lebih seksama di halaman istana ini”

Dalam pada itu, Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti dicengkam oleh ketegangan dan keragu-raguan, terdengar Sangkan berkata, “Raden Kuda Rupaka, jangan mencoba memaksa dengan cara apapun juga, jangan menakut-nakuti dengan orang yang bernama Sora Raksa Pati dan berkedudukan sebagai seorang pangeran. Sultan Demak pasti tidak akan memberikan perintah kepada orang-orang semacam kalian”

“Gila, kau anak budak yang bodoh, meskipun kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi apa yang kau ketahui tentang perintah Sultan dan urutan kekuasaan para bangsawan?”

“Aku memang orang-orang hamba kecil, aku adalah anak seorang pelayan, tetapi justru karena biyungku adalah pelayan di dalam lingkungan seorang bangsawan sejak aku bayi, maka akupun mengerti serba sedikit masalah yang menyangkut tugas-tugas kebangsawanan apalagi orang-orang petugas dari istana”

“Jangan mencampuri persoalan yang tidak kau ketahui, anak gila” bentak Kuda Rupaka.

“Raden” potong Sangkan, “Yang aku ketahui sampai saat ini, yang ada pada Raden adalah ciri-ciri perguruan Cengkir Pitu, batu-batu akik dan ciri-ciri olah kanuragan yang Raden perlihatkan, tetapi Raden sama sekali tidak memperlihatkan ciri-ciri dari duta Sultan Demak, misalnya cincin kerajaan atau benda-benda yang bersifat khusus, pusaka kerajaan atau sungsang barat Sultan sendiri”

“Gila, kau benar-benar gila, semua benda-benda itu tidak akan dapat keluar dari istana, benda itu hanya akan hadir bersama Sultan sendiri, apalagi cincin kerajaan, atau pusaka-pusaka yang lain”

Tetapi Sangkan menggeleng, katanya, “Tidak tuan-tuan, cincin istana atau pedang Candrakasih akan dapat dilimpahkan kepada utusan terpercaya”

Jawaban Sangkan itu benar-benar mengejutkan, dengan wajah yang tegang Raden Kuda Rupaka maju beberapa langkah, katanya, “Darimana kau dapat menyebutkan benda-benda itu?”

“Aku pernah mendengar, justru karena aku adalah anak seorang pelayan yang ada di dalam lingkungan kebangsawanan itu pula”

“Tetapi pendengaranmu tidak lengkap, tanda kerajaan itu akan diberikan bagi utusan yang melakukan tugas-tugas kerajaan dalam hubungan yang setingkat atau hampir setingkat”

Sangkan termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Raden Kuda Rupaka, aku kira bagi Sultan Demak, kedudukan Pangeran Kuda Narpada cukup tinggi meskipun tidak setingkat dengan Sultan sendiri, seandainya masih tidak cukup kuat sebagai alasan untuk memberikan pertanda tertinggi, maka tentu ada tanda-tanda lain yang diberikan, agar Raden Kuda Rupaka mendapat kepercayaan sebagai utusan Sultan yang sebenarnya” ia berhenti sejenak sambil memandang pangeran Sora Raksa Pati, lalu, “Nah, tanpa tanda-tanda itu, maka Raden Kuda Rupaka tidak ubahnya dengan Kidang Alit, dan sudah tentu bahwa Raden Ayu tidak akan membiarkan orang-orang yang tidak seharusnya melakukan kewajiban dari kerajaan itu akan berbuat sekehendak hatinya di dalam istana ini”

“Persetan” desis Raden Kuda Rupaka, “Kau memang orang yang dungu tetapi sombong, kau sama sekali tidak tahu tatanan dan apalagi urutan limpahan kekuasaan dari Sultan kepada para senapati dan perwira-perwira tinggi, sekarang, minggirlah, aku akan melakukan tugasku, jika kalian tidak mingir, maka aku akan membunuh semuanya yang ada di halaman istana ini, agar aku dapat melakukan dengan tenang”

“Tuan tidak akan dapat melakukan dengan tenang, karena sebentar lagi, setelah kami semuanya terbunuh dan kekuatan tuan akan tinggal separuh dari yang sekarang, karena kami pun akan membunuh sebelum mati, maka akan datanglah Kidang Alit dengan kekuatan padepokan Kumbang Kuning, Nah, apa katamu Raden?, akan datang giliran kalian dibantai oleh Kidang Alit dan kawan-kawannya.”

Wajah Kuda Rupaka menjadi tegang, tetapi kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hatinya, hampir diluar sadarnya ia memandang berkeliling, kemudian seolah-olah ia sedang menghitung kekuatuan yang ada padanya.

“Tidak lebih dari empat orang yang terbaik” katanya di dalam hati, “Tetapi yang lain harus diperhitungkan oleh lawan, meskipun mereka tidak sebaik paman Panji, tetapi lima orang dari mereka akan sama dengan tiga orang paman Panji, jika keempat orang ini sudah dapat diselesaikan, maka paman Panji akan dapat kami lepaskan sebelum kami berhadapan dengan orang-orang Kumbang Kuning”

“Tuan mulai ragu-ragu” berkata Sangkan, “Tetapi agaknya tuan telah mulai mempertimbangkan dengan nalar”

“Jangan mengigau, dengarlah Sangkan, kau masih mempunyai kesempatan beberapa saat sebelum lehermu terpisah dari tubuhmu, paman Panji yang kau sembunyikan, akan segera kami bebaskan. Ia akan melepaskan dendamnya terhadap Pinten, sementara aku akan dapat membawa diajeng Inten Prawesti lembali ke Demak, agaknya tempat ini terlalu buruk baginya”

“Tuan” berkata Sangkan, “Aku tidak tahu apakah yang aku lakukan dianggap baik atau tidak oleh Raden Ayu Kuda Narpada, tetapi aku tidak mengijinkan tuan melakukan apapun di halaman istana ini”

“Bukalah matamu, Sangkan. aku tidak datang sendiri, atau hanya berempat, aku datang dalam jumlah yang lebih dari kelipatan jumlah kalian”

“Jumlah bukan ukuran mutlak, tetapi sudah aku katakan, lakukanlah yang akan tuan lakukan, sebelum tuan dibantai oleh orang-orang Kumbang Kuning”

“Tidak ada orang Kumbang Kuning diatas bukit ini” Raden Kuda Rupaka berteriak, tetapi suaranya menunjukkan keragu-raguannya karena sebenarnyalah ia mengetahui bahwa orang-orang Kumbang Kuning telah berada di Karangmaja pula.

Namun tiba-tiba hatinya gemetar, ketika ia mendengar jawaban dari luar regol, “Tuan keliru, orang-orang Kumbang Kuning telah ada di sekitar istana ini”

Setiap orangpun kemudian berpaling, yang mereka lihat adalah dua orang yang berdiri di regol halaman yang rusak.

Sebelum Raden Kuda Rupaka bertanya, Panon telah berteriak, “Ki Ajar?”

Ki Ajar Respati tersenyum, ia maju beberapa langkah diikuti oleh Ki Reksabahu.

“Aku datang karena aku sudah rindu kepada adikku, aku tidak sabar lagi menunggu, sehingga aku pun mencarinya kemari”

Ki Mina termangu-mangu sejenak, kemudian jawabnya, “Kedatangan kakang Ajar Respati sangat menggembirakan hati justru pada saat yang gawat ini, mungkin aku harus minta diri untuk mati, tetapi aku masih mempunyai satu keinginan, membunuh lawan sebanyak-banyaknya”

“Jangan terlalu bernafsu untuk membunuh Rancangbandang, sebaiknya kau mencoba menghindari persilisihan, tetapi apbila tidak mungkin, cobalah menyelamatkan diri, jangan memikirkan untuk membunuh”

“Gila, kau orang gila” teriak Sora Raksa Pati, “Kuda Rupaka, aku sudah jemu dengan permainan gila ini, sekarang, jika kita harus membunuh, siapakah yang harus kita bunuh?”

Suasana meningkat semakin tegang, namun tiba-tiba saja Raden Ayu Kuda Narpada berlari turun ke halaman sambil berkata lantang, “Bunuhlah aku pangeran, aku tidak ingin melihat apapun yang akan terjadi”

Inten yang melihat ibundanya berlari ke halaman, ingin ikut pula menyusul, demikian tiba-tiba, sehingga hentakan ibundanya telah melepaskan pegangannya, namun ketika ia akan berlari menghambur ke halaman pula, sebuah tangan yang kuat telah menahannya.

“Jangan puteri”

Inten berpaling, ia tidak menduga bahwa tangan itu adalah tangan Pinten, tangan yang lembut jika sedang bermain-main dengan kecik saat mereka bermain dakon, namun yang tiba-tiba bagaikan jari-jari besi yang melingkar di lengannya.

“Lepaskan, lepaskan”

“Tidak puteri, kakang Sangkan akan memohon ibunda puteri untuk naik ke pendapa”

Betapapun Inten meronta, tetapi tangan Pinten tidak dapat lepas, bahkan kemudian Pinten memeganginya dengan kedua belah tangannya pada kedua belah lengannya.

“Lepaskan aku, lepaskan” teriak Inten Prawesti.

Tetapi ternyata, tangan itu justru menjadi semakin kuat,

Suara Inten telah menarik perhatian ibundanya, sehingga ia pun berpaling.

“Kuda Rupaka” Pangeran Sora Raksa Pati lah yang berteriak, “Cepat lakukanlah sesuatu, wanita itu sudah menjadi gila, tetapi jika harus dibunuh, maka biarlah ia dipenggal lehernya”

Kata-kata kasar itu benar-benar telah membakar penghuni istana kecil itu, sehingga Panon yang sejak semula berdiri dengan tegang berteriak, “Lakukanlah jika kalian mampu, jumlah kami tiba-tiba saja telah bertambah dengan dua orang meskipun secara kebetulan”

“Bukan secara kebetulan” sahut Ki Ajar Respati, “Aku melihat kedatangan orang-orang Cengkir Pitu, dan akupun melihat kedatangan orang-orang Kumbang Kuning yang kini sedang memperhatikan kita semuanya, mereka sedang mengharap kita bertempur dan saling membunuh, maka diantara bangkai yang berserakan di halaman ini, orang-orang Kumbang Kuning akan menari bersuka ria”

“Omong kosong”

“Angkatlah wajah tuan-tuan kearah barat, di sebelah gerumbul perdu yang mulai rimbun di puncak bukit kecil sedang menunggu orang-orang Kumbang Kuning, mereka sudah tidak sabar lagi seperti tuan yang bertubuh kekar itu, kapan kita saling membunuh”

Kata-kata Ki Ajar itu telah menyentuh hati orang-orang Cengkir Pitu, dengan serta merta mereka menengok ke barat keatas bukit kecil.

Orang-orang Cengkir Pitu itu sempat melihat sepintas bayangan orang-orang yang sedang memperhatikan istana ini dan terlihat sangat jelas.

Ternyata kata-kata Ki Ajar itu bukannya sekedar menakut-nakuti orang Cengkir Pitu yang sedang tegang, dalam pandangan mereka sekilas orang-orang Cengkir Pitu dapat menduga, bahwa orang-orang yang sedang mengawasi itu adalah orang-orang Kumbang Kuning.

Sangkan yang juga melihat mereka, tiba-tiba saja tertawa, katanya, “Nah, ternyata bahwa Kidang Alit kini tidak lagi bersama-sama Raden Kuda Rupaka, ia ternyata berada diantara kawan-kawannya, sebelum orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning datang, maka Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit merupakan dua orang sahabat baik”

Orang-orang Cengkir Pitu menjadi tegang, sementara itu, Raden Ayu Kuda Narpada termangu-mangu, ia jang sempat melihat sesuatu di balik gerumbul pohon perdu itu, tetapi ia tidak melihat dengan jelas.

Dalam pada itu, selagi orang-orang Cengkir Pitu termangu-mangu, Sangkan tiba-tiba saja memberikan isyarat sambil memanggil, “Biyung, jangan tertunduk disitu, cobalah mengatur perasaan, meskipun biyung ketakutan setengah mati, tetapi cobalah mengajak Raden Ayu untuk naik ke pendapa”

Dalam pada itu, dari samping pendapa, Nyi Upih yang ketakutan, muncul lewat pintu butulan, berjalan dengan gemetar, namun ia memaksa diri untuk mendekat Raden Ayu Kuda Narpada, sementara Sangkan mengamatinya dengan kesiagaan sepenuhnya, jika seseorang meloncat menerkam puteri itu, maka ia pun telah siap untuk melawannya.

Tetapi tidak ada seorang pun yang bergerak, dengan tangan yang gemetar pula Nyi Upih membimbing Raden Ayu Kuda Narpada, yang seakan-akan telah kehilangan kesadaran dirinya dan berjalan menurut saja langakah Nyi Upih yang menariknya ke pendapa. Raden Ayu itu baru sadar, ketika Inten yang dilepaskan oleh Pinten segera berlari memeluknya sambil menangis.

“Marilah puteri” ajak Nyi Upih, “Masuklah, suasana di luar sama sekali tidak menguntungkan”

Kedua puteri itu masih saling berpelukan tanpa beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu, nampaklah orang-orang Cengkir Pitu dicengkam oleh keragu-raguan, hampir diluar sadarnya Raden Kuda Rupaka memperhatikan orang-orang di sekitarnya, Sangkan, Panon, Ki Mina, Pinten di pendapa dan dua orang yang baru datang itu masih saja berada di muka regol halaman.

“Jumlah kalian masih terlalu banyak” berkata Panon tiba-tiba, “Tetapi kami sudah siap menghadapi segala kemungkinan, akupun telah menjadi pening berdiri tegang tanpa berbuat sesuatu, jika kalian akan mulai, mulailah, jika kalian akan pergi, pergilah, mungkin Raden Kuda Rupaka masih sempat membuat perjanjian baru dengan Kidang Alit, sebelum datang untuk kedua kalinya”

“Kubunuh kau anak tikus” teriak pangeran Sora Raksa Pati.

Hampir diluar dugaan, Pinten lah yang menjawab, “Sejak semula kau memang berniat membunuh kami, tetapi kau tidak berbuat apa-apa selain berteriak, apalagi setelah kalian menyadari, bahwa orang-orang Kumbang Kuning sedang memperhatikan kita semuanya, seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar yang belum aku kenal sebelumnya, mereka akan menari diatas bangkai kita semuanya, karena yang masih tetap hidup tentu akan dibunuhnya pula”

Wajah Raden Kuda Rupaka benar-benar menjadi tegang, namun tiba-tiba ia berteriak, “Pendapatmu bagus sekali Pinten, aku akan menemui Kidang Alit, kami akan datang dalam kelompok yang besar, dengan mudah kami akan menumpas kalian, jika sesudah ini kami harus membinasakan orang-orang Kumbang Kuning”

Sangkan segera menyahut, “Rencana yang bagus sekali, kapan kalian akan melaksanakannya?”

“Persetan” wajah Kuda Rupaka menjadi merah padam, namun katanya kepada pangeran Sora Raksa Pati, “Kita harus mempertimbangkan jalan itu paman”

Orang yang disebut pangeran Sora Raksa Pati itu menegang sejenak, dipandanginyanya wajah Raden Kuda Rupaka dengan tegangnya, namun kemudian katanya, “Jadi apakah maksudmu kita akan meninggalkan tempat ini tanpa berbuat sesuatu?”

Raden Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Kita menunda tindakan yang akan memberikan kepastian, kita akan menghubungi orang-orang Cengkir Pitu”

“Gila. Jadi apakah kita akan membiarkan orang-orang gila ini tetap hidup?”

“Untuk sementara paman, kita akan menyusun rencana yang jauh lebih baik dari membunuh mereka sekarang ini”

Pangeran Sora Raksa Pati termangu-mangu, tetapi ia pun kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu Kuda Rupaka, kau yang telah cukup lama berada disini, kau tentu dapat membuat perhitungan yang lebih baik dari padaku”

“Kita akan meninggalkan halaman ini dan menjumpai orang-orang Kumbang Kuning, kita akan membunuh orang-orang yang ada di halaman istana ini bersama-sama sebelum kita akan melenyapkan orang-orang Kumbang Kuning”

Halaman itu menjadi tegang, semua orang memandang pangeran Sora Raksa Pati, seakan-akan mereka menggantungkan seluruh keadaan kepadanya.

Sejenak kemudian pangeran itu pun berkata, “Baiklah, marilah kita cepat menyelesaikan tugas ini, aku harus cepat menghadap Sultan di Demak”.

Pangeran Sora Raksa Pati tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera memacu kudanya meninggalkan halaman istana kecil itu.

Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu bergeser menepi ketika beberapa kuda itu dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman.

Demikian kuda-kuda itu lenyap, maka tiba-tiba saja Nyi Upih berteriak, “Pinten tolong”

Ternyata Raden Ayu Kuda Narpada yang dicengkam oleh ketegangan itu tidak dapat bertahan lama lagi, karena itu ia pun tiba-tiba menjadi pingsan.

Semua orangpun menjadi sibuk, Sangkan berlari-lari mendekat pula, sementara puteri Inten Prawesti menangis sejadi-jadinya.

“Jangan menangis puteri” Pinten mencoba menghiburnya, “Ibunda puteri tidak apa-apa, ibunda hanya pingsan karena ketegangan yang tidak tertahankan”

Ketika Raden Ayu Kuda Narpada diangkat masuk kedalam biliknya, maka Inten pun menangisinya tidak henti-hentinya, sementara itu Nyi Upih sibuk menggosok Raden Ayu dengan jahe di kakinya, dan kemudian tengkuk dan pelipisnya.

Akhirnya perlahan-lahan Raden Ayu itu pun sadar, ketika ia membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah puterinya, sambil memeluknya air mata Raden Ayu tidak dapat ditahannya.

Tetapi orang-orang yang merawatnya menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah mereka telah terlepas dari himpitan yang pepat.

Sementara ini, Sangkan telah keluar dari bilik Raden Ayu, ia melihat Panon sedang sibuk menemui orang yang bernama Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Ketika Sangkan mendekat, maka ia pun segera diperkenalkan dengan kedua orang yang baru datang itu, meskipun Sangkan mengangguk-angguk hormat, tetapi nampak sekilas kecurigaan memancar diwajahnya.

“Siapakah sebenarnyanya kalian, dan apakah hubungan kalian dengan Panon?” bertanya Sangkan.

Kecurigaan Sangkan dapat dimengerti, karena itu, maka Ki Ajarpun menjawab, “Angger, aku adalah kakak dari Rancangbandang yang juga dipanggil Ki Mina, ia sudah terlalu lama pergi, sehingga aku menjadi cemas, itulah sebabnya aku mencarinya, adalah kebetulan bahwa aku melihat orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning”

“Maaf Ki Ajar” berkata Sangkan, “Kita yang sekarang berada di atas Pegunungan Sewu ini sedang saling mencurigai, akupun sebenarnyanya juga mencurigai kedua orang yang baru aku kenal hari ini, justru ketika kami sedang berada dalam puncak ketegangan, tetapi nampaknya kalian bukan orang-orang tamak meskipun pengenalanku itu bukannya ukuran yang pasti”

“Kami menyadari, dan kami tidak merasa berkecil hati, bahwa kami telah dicurigai, bahkan kami wajib membuktikan bahwa kami tidak akan berbuat sesuatu sehingga kami akan lepas dari kecurigaan selanjutnya”

Sangkan mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah, kita akan mencoba hidup dalam satu atap dengan rukun dan baik, kita akan saling membutuhkan untuk mempertahankan hidup kita masing-masing dan melindungi istana ini meskipun aku tidak tahu menahu, apakah ada gunanya, tetapi menilik sifat dan sikap orang yang setiap kali datang dengan ancaman kekerasan itu, maka kita memang wajib melindungi isi istana kecil ini”

Dengan demikian maka Sangkan tidak menolak kehadiran kedua orang itu di dalam istana itu, namun Ki Wirit yang berada di luar istana itu, masih belum bersedia memasuki halaman. bahkan ia berpesan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu tidak mengatakan apanya juga tentang guru Panon yang masih mengawasi keadaan dari kejauhan, ialah yang mengusulkan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu memasuki istana meskipun semula ia tidak menyetujui, tetapi kehadiran orang-orang Cengkir Pitu di halaman itu telah membuatnya cemas dan bahkan ialah yang menganjurkan agar Ki Ajar dan Ki Reksabahu mendekat dan membantu jika diperlukan.

Sementara itu di saat berikutnya, istana kecil itu selalu dicengkam oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Sangkan dan Pinten tidak pernah lagi nampak bergurau dan berbuat aneh-aneh, mereka nampak bersungguh-sungguh dan justru merasa bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di halaman istana kecil itu.

Dalam pada itu Panon pun selalu siap dengan senjatanya, Ki Mina, Ki Ajar dan Ki Reksabahu masih sibuk dengan persoalan mereka sendiri, tetapi mereka pun tidak menjadi lengah, karena mereka sadar bahwa mereka berada di dalam panasnya api ketamakan dan kedengkian.

Sementara itu Nyi Upih pun tidak dapat beranjak dari bilik puteri Inten Prawesti yang selalu berada di dalam pelukan ibundanya, ia harus mengawaninya dan bahkan kadang-kadang harus menghibur mereka meskipun Nyi Upih sendiri selalu dicengkam oleh kegelisahan.

Dalam pada itu, Sangkan dan Pinten yang berada di ruang dalam sedang asyik dengan persoalan yang mereka hadapi, dengan wajah yang tegang Sangkan berkata, “Agaknya aku tidak dapat menunda lagi, jika merpati itu sampai di Prambanan menjelang senja, maka mereka memerlukan waktu setengah malam untuk sampai ke tempat ini”

Tetapi mereka tentu sudah mengetahui bahwa orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning sudah naik keatas Pegunungan Sewu”

“Tetapi kita sudah berjanji untuk memberikan isyarat itu”

Pinten tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka keduanya pun segera pergi ke kandang di belakang, setelah mereka yakin tidak ada seorang pun yang melihat, maka Sangkanpun segera memanjat keatas. Dimana ia menyembunyikan sebuah kotak kayu.

Ketika ia turun, maka ditangannya telah tergenggam seekor merpati yang berwarna putih memplak.

“Kasihan” desis Pinten, “Burung itu menjadi agak kurus”

“Kita akan dapat memberinya makan dengan teratur, tetapi burung ini cukup sehat, ia akan dapat terbang kembali ke kandangnya, dan orang-orang di Prambanan itu tentu akan menemukannya segera, karena mereka selalu mengawasi kandangnya setiap saat”

Setelah mengikat kaki burung merpati itu dengan sesobek kain berwarna putih pula, maka burung itu pun dilepaskannya.

Hanya sesaat kemudian burung itu telah membubung tinggi di udara, burung itu berputar sekali, namun kemudian terbang dengan cepatnya pulang kembali ke kandangnya di Prambanan.

Tidak ada orang yang mengetahui, karena itu, maka tidak ada seorang pun yang menjadi semakin curiga akan tingkah laku Sangkan dan Pinten.

Dalam pada itu, ketika Sangkan memasuki biliknya ia melihat orang-orang yang sedang berbicara dengan sungguh-sungguh di dalam bilik itu, sejenak ia ragu-ragu, tetapi Ki Ajar kemudian memanggilnya.

“Marilah ngger, kita sedang berbicara tentang kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi di halaman istana ini”

Sangkan kemudian melangkah masuk dan duduk diantara mereka, sementara Pinten pergi ke bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

“Bagaimana dengan Raden Panji Sura Wilaga?” bertanya Panon kepada Sangkan.

Dengan wajah yang tegang Sangkan menjawab, “Biar sajalah untuk sementara ia disana, kita tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusnya apabila keadaan menjadi semakin gawat”

“Itulah ngger” berkata Ki Ajar, “Mungkin kita dapat berbicara, kaulah yang paling banyak mengetahui tentang istana ini, dan kaulah sekarang yang menjadi pemimpin kami”

Sangkan mengerutkan keningnya, tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Kenapa aku yang harus menjadi pemimpin disini?”

“Tidak apa-apa, tetapi agaknya itulah yang paling pantas” sahut Kiai Rancangbandang.

“Kita semua akan menjadi pemimpin disini, dan marilah kita berbicara selanjutnya”

Sangkanpun kemudian ikut melibatkan diri dalam pembicaraan tentang rencana yang semakin gawat.

Kita tidak boleh membiarkan leher kita dipenggal oleh orang-orang Kumbang Kuning atau orang-orang Cengkir Pitu” berkata Sangkan, “Jika kita lengah sedikit saja, maka yang akan terjadi adalah malapetaka, karena itu, apabila kalian sudah bertekad untuk mempertahabkan istana ini, maka kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur melawan siapapun yang bakal datang. Dan untuk itu, taruhannya adalah nyawa kita, namun kita tidak akan mati begitu saja, kita akan mati dalam pelukan kewajiban yang kita bebankan kepada diri kita sendiri dan atas kehendak kita sendiri”

“Kita tidak akan ingkar Sangkan”

“Kita tidak tahu, kapan orang-orang Kumbang Kuning yang dihubungi oleh orang-orang Cengkir Pitu itu akan datang bersama-sama, karena itu setiap saat kita harus siap menghadapi mereka, sementara ini kita akan menunggu dengan hati yang tegang, tetapi malam nanti adalah kemungkinan yang paling besar, bahwa mereka akan datang bersama untuk menghancur-kan istana ini seisinya”

Panon menarik nafas dalam-dalam, ia masih mengharap gurunya akan datang dalam keadaan yang paling gawat, meskipun dengan kehadirannya jumlah yang bergabung akan tetap jauh lebih banyak.

“Jika guru datang, kita semua akan berjumlah tujuh orang” berkata Panon di dalam hatinya.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan, maka orang-orang Cengkir Pitu benar-benar langsung pergi menemui orang-orang Kumbang Kuning, agaknya orang-orang Kumbang Kuning yang langsung dapat dilihat oleh orang-orang Cengkir Pitu sedang mengintip dari celah-celah gerumbul perdu itu tidak dapat menghindar lagi, sehingga merekapun kemudian dengan kesiap siagaan sepenuhnya telah menunggu kedatangan orang-orang Cengkir Pitu.

Ketika kedua kelompok itu kemudian bertemu, maka mereka telah dicengkam oleh ketegangan, baik orang-orang Cengkir Pitu maupun orang-orang Kumbang Kuning telah siap melakukan apa saja, jika mereka pada saat itu harus langsung bertempur sebelum mereka menemukan pusaka yang mereka cari itu.

Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian orang yang berpakaian agak lain di dalam kelompok orang-orang Kumbang Kuning itu pun bertanya, “Apakah yang kau kehendaki pangeran Sora Raksa Pati?”

“Kenapa kalian berbuat licik?” bertanya Sora Raksa Pati.

“Apakah yang sudah kami lakukan?”

“Ajar Sukaniti” berkata pangeran Sora Raksa Pati, “Aku tahu, bahwa kau memang menunggu kami bertempur melawan anak-anak ingusan yang berada di dalam istana itu, anak-anak padesan yang sedikit memiliki kemampuan yang agaknya mereka pelajari dari guru-guru mereka di padesan pula, namun demikian, maka benturan itu tentu akan mengurangi kekuatan perguruan Cengkir Pitu, sehingga kalian menganggap, bahwa setelah kami mendapatkan pusaka itu, kalian dengan mudah akan dapat merampasnya”

Ajar Sukaniti tersenyum, jawabnya, “Tepat sekali, tetapi aganya kalian tidak berani menghadapi anak-anak yang kau sebut ingusan itu”

“Kau benar. bukan karena kami takut mati, tetapi kami tidak rela melihat pusaka itu jatuh ke tanganmu”

“Jadi apakah maksudmu sekarang?” bertanya Ajar Sukaniti.

“Apakah kita akan bertempur?” Kidang Alit pun bertanya pula.

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, namun katanya kemudian, “Itu tidak menguntungkan”

Ajar Sukaniti masih tersenyum, jawabnya, “Itu sikap yang bijaksana”

“Jika kita bertempur” berkata Kidang Alit, “Maka kita semuanya tentu akan gagal, karena sisa diantara kita yang masih hidup tidak akan dapat melawan orang-orang ingusan yang ada di dalam halaman istana itu, karena aku yakin bahwa kalian juga mempunyai akal, maka aku sudah menduga, bahwa pada suatu saat kalian tentu akan datang menemui kami”

“Persetan” teriak Raden Kuda Rupaka

“Jangan marah Raden, tentu ada timbal baliknya, jika bukan kalian menemui kami, maka kamilah yang akan menemui Raden”

Kuda Rupaka menahan kemarahannya di dalam dadanya, karena itu ia menyadari apa yang sedang mereka hadapi.

“Baiklah” berkata pangeran Sora Raksa Pati, “Apapun yang kalian katakan, kita sekarang sudah bertemu”

Ajar Sukaniti menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan dada yang tengadah ia berkata, “Apakah kita harus maju jika aku katakan saja bahwa sebaiknya kita menyerang istana itu bersama-sama, siapakah yang lebih dahulu menemukan pusaka itu di dalam istana itu, maka ialah yang memilikinya”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung sejenak, tetapi sebelum ia menjawab, maka terdengar seorang yang berada di sebelah Ajar Sukaniti berkata, “Sudahlah kamas pangeran, kita harus mengakui bahwa kita masing-masing akan sulit untuk dapat menguasai pusaka itu. Meskipun salah satu pihak kita akan dapat menumpas orang-orang yang ada di halaman istana itu, namun kita tentu akan kehilangan jumlah yang besar pula, sehingga dengan demikian tidak ada diantara kita yang akan berani mendahului memasuki halaman istana untuk bertempur melawan orang-orang gila yang ada di dalamnya yang sampai saat ini belum kita ketahui maksud yang sebenarnyanya, apakah mereka juga menginginkan pusaka itu, atau mereka mempunyai tujuan yang lain”

Sejenak tempat itu menjadi sepi, rasa-rasanya pangeran Sora Raksa Pati sedang berpikir.

“Apakah ada kemungkinan lain?” bertanya Kidang Alit.

“Aku harus membawa pusaka itu ke Demak” berkata Raden Kuda Rupaka, “Apakah tidak ada kesetiaan paman berdua sedikit pun kepada Sultan, sehingga paman berdua justru tidak membantu kami untuk mendapatkan pusaka itu?”

Orang itu tersenyum, katanya, “Apakah di wajahku tersirat ujud kesetiaan itu anak muda?, jika kau benar mendapat tugas dari Sultan bersama kakangmas pangeran Sora Raksa Pati, maka lakukanlah, aku belum pernah mengenalmu, dan aku tidak akan dapat mempercayaimu, jika kesetiaan itu ada padaku, maka tentu aku sendirilah yang akan membawa pusaka itu ke Demak dan menyerahkannya kepada Sultan”

“Atau barangkali pusaka itu justru sudah paman dapatkan beberapa tahun yang lalu, ketika paman membawa paman Pangren Kuda Narpada dan barangkali membunuhnya”

Orang itu mengerutkan keningnya, sesaat ia memandang berkeliling, bahkan ketika ia melihat wajah Ajar Sukaniti ia menjadi termangu-mangu.

Namun katanya kemudian, “Anak muda, kau memang pandai melontarkan persoalan, kau tentu akan mengatakan bahwa yang aku akukan sekarang adalah sekedar membuang perhatian orang-orang terhadapku, tetapi kau salah, setiap orang tidak akan dapat mempercayainya, jika aku sudah mempunyai pusaka itu, maka aku tentu sudah berhasil menyusun kekuatan selama waktu yang beberapa tahun itu sampai saat ini”

Ajar Sukaniti pun kemudian memotong, “Sudahlah, kita sudah hamir mencapai persetujuan”

Sejenak suasana menjadi semakin tegang, namun kemudian kedua belah pihak tidak mempunyai pilihan lain kecuali untuk sementara mencoba harus bekerja bersama.

“Pangeran” berkata Ajar Sukaniti, “Daripada kita bertengkar, lebih baik kita membuat rencana, apa yang akan kita akukan dan kapan, aku kira, jika kita bekerja bersama, kita tidak akan terlalu sulit untuk menghancurkan seisi istana itu, selebihnya siapakah yang menang pantas untuk menerima wahyu kekuasaan diatas tanah ini. Kita tidak perlu berpura-pura untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada Demak. bahkan kita akan berterus terang bahwa kita akan melakukan sesuatu yang mungkin kita akukan mumpung Demak masih goyah”

Sejenak orang-orang yang masih dicengkam ketegangan itu saling berpandangan, namun kemudian pangeran Sora Raksa Pati berkata, “Baiklah. Kita untuk sementara tidak mempunyai persoalan lagi, kita akan bekerja bersama, aku sadar, bahwa kedudukan tertinggi dalam hubungan trah Majapahit ada di kedua belah pihak diantara kita”

Pangeran Sendang Prapat tersenyum, katanya, “Sudahlah kamas pangeran, lebih baik kita beristirahat, tetapi sebelumnya kita akan menyusun rencana kapan kita harus bertindak.”

“Apa rencanamu Ajar Sukaniti?” bertanya pangeran Sora Raksa Pati.

“Kita bersama-sama memasuki halaman istana itu, kita membunuh setiap orang yang ada di dalam istana itu kecuali wanita” jawab Ajar Sukaniti

“Apakah Pinten juga kita biarkan hidup?” bertanya Raden Kuda Rupaka.

Kidang Alit tertawa, sebelum orang lain menjawab, maka ia telah mendahului, “Biarlah aku akan menjinakkan kuda binal itu”

Ajar Sukaniti mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Pangeran Sendang Prapat”

Pangeran Sendang Prapat memandang Kidang Alit sejenak, lalu katanya, “Kau masih saja dijangkiti penyakit terkutuk itu, tetapi tanpa penyakitmu, kau tidak akan dapat berbuat apa-apa”

Kidang Alit tertawa, tetapi Raden Kuda Rupaka mengumpat, “Kau akan mati dalam pelukan wanita”

Suara tertawa Kidang Alit semakin keras, tetapi suaranya terputus ketika pangeran Sora Raksa Pati membentak, “Coba katakan, apakah rencana kita menumpas semua orang yang ada di dalam istana itu, laki-laki atau wanita?”

Ajar Sukaniti tersenyum, katanya, “Jangan cepat panas pangeran, baiklah, kita akan menyusunnya bersama, bagaimana pendapat pangeran jika besok pagi-pagi kita kepung istana itu, kita akan masuk lewat setiap sudut dan membinasakan semua penghuninya?”

“Terlalu lamban, nanti malam kita akan memasuki halaman istana itu” jawab pangeran Sora Raksa Pati.

“Pangeran tentu tergesa-gesa, semakin tua pangeran tidak menjadi semakin sabar, tetapi justru sebaliknya”

“Apakah gunanya kita menunggu sampai besok pagi, kami semua sudah siap, kalian sudah siap, tunggu apalagi”

“Kita menunggu saat yang paling baik, jika kita datang sekarangpun kita sudah siap, tetapi orang-orang yang ada di dalam istana itu pun tentu sudah siap menerima kita pula, demikian juga malam nanti, orang-orang di dalam istana itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kia akan menyerang mereka menjelang malam turun, jika kita tidak datang sekarang, menjelang malam adalah waktu yang dapat dianggap paling baik. mungkin kita akan mempergunakan kekuatan sirep atau semacamnya, tetapi yang tentu tidak akan dapat mempengaruhi mereka, kecuali wanita cengeng itu, karena itu pangeran, kita menunggu agar mereka menjadi jemu dan lengah. Menjelang fajar menyingsing barulah kita akan menyergap masuk dan menyerang dengan tiba-tiba.”

“Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi pengecut Ajar Sukaniti, menurut pengenalanku atas Ki Ajar yang masih cukup muda ini, ia tidak pernah mengenal takut dan pertimbangan semacam ini”

“Pangeran salah, aku adalah orang yang selalu memper-timbangkan semua langkah dengan perhitungan yang matang, juga kali ini, kami harus mengurangi korban sampai sekecil-kecilnya, aku kira pangeran pun harus demikian, karena kita masing-masing masih harus menghemat tenaga untuk persoalan yang mungkin dapat timbul kemudian”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, wajahnya menjadi semakin garang, namun kemudian katanya, “Baiklah, kita akan menyerang menjelang fajar, aku tidak peduli apakah mereka akan menjadi lengah atau tidak. tetapi aku sudah tidak akan mau mengundurkan waktunya lagi, jika kalian dengan sengaja menggagalkan rencana itu, maka kami akan menyerang kalian lebih dahulu sebelum kami akan memasuki istana itu”

“Jangan sebut itu lagi, karena kita tentu akan bersama-sama hancur sebelum kita sempat menjenguk istana itu”

Sejenak mereka terdiam, wajah yang tegang itu saling berpandangan, namun kemudian pangeran Sora Raksa Pati berkata, “Aku akan kembali ke padukuhan, aku menunggu sampai saat kalian memanggil kami untuk berangkat menjelang fajar, kami akan selalu siap kapanpun kalian memerlukan kami”

Pangeran Sora Raksa Pati tidak menunggu jawaban, ia segera mengerahkan kendali kudanya, sehingga sejenak kemudian ia sudah meninggalkan tempat itu diikuti oleh orang-orang Cengkir Pitu yang lain termasuk Raden Kuda Rupaka.

Orang-orang Kumbang Kuning memandang debu yang mengepul, tetapi mereka masih tetap berada di tempatnya.

Pangeran Sendang Prapat yang masih termangu-mangu, kemudian berdesis, “Kamas pangeran Sora Raksa Pati adalah orang yang kasar, tetapi kali ini ia mendapat kepercayaan dari pengikutnya, sejak ia mewarisi perguruan Cengkir Pitu dan mendapat limpahan kekuasaan, baru kali ini ia melakukan sesuatu yang berarti”

“Ia memang orang terkuat” desis Ajar Sukaniti, “Tetapi bagiku, tidak ada orang yang harus disegani, aku percaya bahwa pangeran berdua dan Raden Waruju pun bersikap demikian”

Pangeran Sendang Prapat dan Pengeran Cemara Kuning hanya tersenyum saja, sementara wajah Kidang Alit tiba-tiba menegang.

“Sekarang kita masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat” berkata Ajar Sukaniti, “Malam nanti kita akan terlibat dalam pergulatan yang barangkali akan menjadi berbelit-belit dan kisruh, tetapi kita sudah punya landasan. Orang lain diluar lingkungan kita harus dibunuh, siapapun orang itu, kecuali jika Arya Waruju menghendaki lain, atas gadis yang bernama Pinten itu misalnya”

“Ah” Kidang Alit berdesis, tetapi ia tidak menjawab.

“Waktu yang tersisa akan kita pergunakan sebaik-baiknya, mungkin kita dapat makan sekenyangkenyangnya, kita dapat mengambil apa saja yang kita perlukan di Karangmaja pada hari-hari terakhir, karena mungkin nanti malam menjelang fajar, aku atau kalianlah yang tidak akan dapat menikmati segarnya air hangat dan enaknya daging panggang” berkata Ajar Sukaniti sambil tertawa.

Orang-orang Kumbang Kuning itu pun kemudian, mempersiapkan diri, mereka mengambil kuda mereka yang disembunyikan. Sekilas mereka memandang halaman istana dari kejauhan, masih nampak dua orang yang melintas di halaman istana, tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi. Hanya Kidang Alit yang memandangnya hampir tidak berkedip, karena menurut penglihatannya keduanya adalah Pinten dan Sangkan.

“Sangkan harus digantung sampai mati, tetapi Pinten terlalu cantik, kecantikan yang lain, tetapi mempunyai nilai yang sama dengan Inten Prawesti. Aku ingin memiliki keduanya” berkata Kidang Alit di dalam hatinya.

Sekilas terbayang Raden Kuda Rupaka yang barangkali juga menginginkan Inten Prawesti, namun ia berkata kepada diri sendiri, “Aku sendirilah yang akan membunuh Raden Kuda Rupaka”

Sejenak kemudian maka orang-orang Kumbang Kuning itu pun meninggalkan tempatnya, mereka memang agak kecewa, karena orang Cengkir Pitu itu tentu ada yang terbunuh, karena orang-orang yang berada di halaman itu bukannya orang yang tidak berilmu, bahkan menurut Kidang Alit, mereka adalah orang-orang gila yang sulit dilawan.

Ketika orang-orang Kumbang Kuning itu sampai ke padukuhan, mereka segera pergi ke rumah Ki Buyut, mereka tidak menghiraukan sama sekali beberapa orang yang ketakutan dan menghindar, mereka juga tidak menghiraukan anak-anak muda yang ada di halaman rumah Ki Buyut dengan tergesa-gesa menyingkir ke longkangan.

“Ki Buyut” Kidang Alitlah yang berteriak, “Kau harus memotong seekor kambing dan tiga ekor ayam, dan dimasak oleh oleh orang yang paling ahli memasak di seluruh Karangmaja, kemudian hidangkan di banjar”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam

“Apakah kau keberatan, Ki Buyut?” bertanya Kidang Alit.

Ki Buyut menatap wajah Kidang Alit dengan penyesalan, bahkan hampir diluar sadarnya ia berkata, “Kau sudah berubah Kidang Alit, Raden Kuda Rupaka yang baru saja datang juga sudah berubah”

“Apa yang berubah?”

“Ketika kau datang, kami seisi padukuhan ini menumpukan harapan kepadamu, setelah kau berhasil mengobati anak muda yang hampir cacat seumur hidupnya karena tingkah orang-orang Guntur Geni, tetapi kau ternyata sekarang menakut-nakuti kami”

“Sudahlah Ki Buyut, jika semuanya sudah selesai, maka aku akan kembali kepada sikapku semula, aku akan dapat memberikan banyak pertolongan kepada Ki Buyut, aku akan dapat melayani lebih banyak gadis-gadis yang tergila-gila kepadaku, dan kemudian memberi kesempatan kepadanya untuk kawin dengan hadiah seekor atau dua ekor lebu, tetapi kali ini, lakukanlah perintah kami” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah yang dilakukan oleh Raden Kuda Rupaka disini?”

“Tidak jauh berbeda, aku harus memotong dua ekor lembu”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Bagus, kau akan dapat memasaknya sekaligus, daging kambing panggang adalah kesukaan kami, agaknya juga orang-orang Cengkir Pitu”

Ki Buyut menjawab, tetapi wajahnya membayangkan perasaannya yang tertekan.

“Ki Buyut” bertanya Pangeran Sendang Prapat, “dimanakah orang-orang Cengkir Pitu itu tinggal?”

“Karena banjar sudah kalian pergunakan, maka mereka berada di rumah diujung padukuhan ini” jawab Ki Buyut.

Pangeran Sendang Prapat mengangguk-angguk, katanya, “Kita akan menunggu sampai mereka mengajak kami”

Kidang Alit mengangguk-angguk kecil, katanya kemudian, “Marilah, kita beristirahat sejenak menunggu sambil menunggu masakan kita matang”

Sejenak kemudian orang-orang berkuda itu telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut yang sedang muram.

Dalam pada itu, orang-orang Kumbang Kuning yang dipimpin langsung oleh Ajar Sukaniti itu pun kemudian pergi ke banjar untuk beristirahat.

Agaknya, orang-orang Kumbang Kuning itu benar-benar mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya, selain orang yang bertugas mengamati keadaan, maka yang lainpun telah berbaring dimana saja di dalam banjar itu dan tidur dengan nyenyaknya. Suara dengkur yang bersahut-sahutan rasa-rasanya sangat mengganggu Ajar Sukaniti yang masih saja berbincang dengan Pangeran Sendang Prapat dan Pangeran Cemara Kuning.

Tetapi mereka pun tidak berbincang lebih lama lgi, sejenak kemudian merekapun pergi kebagian belakang banjar itu untuk beristirahat.

“Bangunkan aku jika orang-orang Karangmaja itu datang membawa makanan” berkata Pangeran Sendang Prapat kepada Kidang Alit yang sedang menguap di sebelahnya.

“Aku juga akan tidur, paman. Penjaga itu tentu akan membangunkan kita semua”

“Orang-orang Cengkir Pitu itu tentu menunggu masakan itu pula, biarlah mereka makan sekenyang-kenyangnya, seperti kita sebelum mereka nanti datang kemari”

“Kita yang akan datang kepada Pangeran Sora Raksa Pati”

“Kenapa kita?, biarlah mereka yang datang kemari”

“Kita sudah berjanji” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu “Maksudku, Pangeran Sora Raksa Pati minta kita datang kepadanya, waktu itu kita tidak sempat menjawab, karena Pangeran Sora Raksa Pati itu segera meninggalkan kita”

“Apa salahnya, biarlah aku yang mengatakannya kepada Ki Ajar, tetapi aku kira untuk sementara tidak ada pilihan lain”

Kidang Alit tidak menjawab, matanya sudah mulai terpejam, dan kata-kata Pangeran Sendang Prapat itu tidak lagi didengarnya.

Tetapi ada juga juga yang menyahut, Pangeran Cemara Kuning ternyata mendengar juga kata-kata Pangeran Sendang Prapat itu dan langsung menjawab, “Mungkin kamas Sora Raksa Pati dapat diajak berbicara, siapakah diantara kita menemukan pusaka itu, ialah yang memilikinya dan mengharapkan wahyu keraton akan datang kepadanya, sehingga Majapahit akan tegak kembali menggantikan Demak yang hanya hadir untuk sementara, selagi Majapahit mengalami kesulitan, tetapi itu bukan berarti bahwa kita akan melupakannya atau sebaliknya, bukankah raja itu memang hanya seorang, tetapi disamping raja ada Mahapatih ada Mahamenteri bertiga dan para menteri yang lain, bukankah dengan demikian kita semuanya harus mempertimbangkan kemungkinan untuk bekerja bersama?”

Pangeran Sendang Prapat tidak segera menjawab, namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil, katanya, “Kemungkinan memang ada, tetapi aku tidak tahu, apakah kemungkinan itu akan dapat terwujud, kita masing-masing kadang-kadang tidak dapat melihat kenyataan dengan nalar yang bening, bahwa sebenarnyalah, hanya ada seorang yang dapat menerima wahyu kerajaan, dan kita semuanya mengharap agar kita semuanya mendapatkan wahyu itu”

Pangeran Cemara Kuning mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa, katanya, “Lucu sekali, akupun sebenarnyanya ingin sekali menjadi raja, dengan jujur aku mengaku, bahwa aku berharap bahwa akulah yang akan menemukan pusaka itu, meskipun mungkin akan tumbuh akibat yang lain”

Pangeran Sendang Prapat tertawa, katanya, “Jika kau yang menemukan pusaka itu atau siapapun diantara kita disini, aku tidak akan kecewa, aku akan menyerahkan semua kebijaksanaan kepadanya meskipun aku mengharapkan bahwa akulah yang mendapatkan wahyu” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah hal itu dapat juga dibicarakan dengan kakangmas Sora Raksa Pati dan Kuda Rupaka?”

“Mungkin saja, kenapa tidak?” desis Pangeran Cemara Kuning, namun kemudian katanya, “Tetapi aku mulai dirayapi oleh keragu-raguan”

“Apa yang kau ragukan?”

“Apakah pusaka itu memang ada di halaman istana kecil itu, ingat, di halaman istana kecil itu ada beberapa orang yang tinggal dan berkeliaran siang dan malam, apakah kau kira mereka tidak menginginkan pusaka itu itu pula? Jika pusaka itu memang ada tentu merekalah yang akan menemukan lebih dahulu”

Tetapi Pangeran Sendang Prapat tertawa, katanya, “Tidak semudah itu untuk memilikinya, mereka satu sama lain tentu saling mengintai pula, tidak seorang pun yang akan mendapat kesempatan untuk menemukan pusaka itu tanpa diketahui oleh pihak yang lain”

Pangeran Cemara Kuning tertawa, desisnya, “Kau benar, aku membayangkan, betapa tertekannya hati mereka masing-masing”

“Tetapi mudah-mudahan kita tidak gagal lagi, Pangeran Kuda Narpada memilih mati daripada menunjukkan pusaka itu kepada kita, dan itu memang sudah nasibnya, agaknya isterinyapun akan berbuat demikian pula, dari kejauhan kita dapat melihat apa yang sudah terjadi di halaman istana itu, meskipun kita tidak mendengarkan apa yang dikatakannya, tetapi agaknya isterinya itu telah menantang kamas Sora Raksa Pati”

Pangeran Cemara Kuning menarik nafas dalam-dalam, desisnya, “Jika kematian yang mereka pilih, apaboleh buat, sebelum maut itu menjamah kita pula”

“Kenapa kau mulai berputus asa?, orang-orang Cengkir Pitu itu bukan hantu yang tidak dapat terkalahkan”

“Kita berdualah yang melakukannya untuk pertama kali, tetapi rasa-rasanya bukan kitalah yang akan mendapatkannya”

Kedua Pangeran itu tmn sejenak, namun bayangan-bayangan yang buram mulai mengganggu angan-angan mereka, mereka mulai membayangkan bersama-sama dengan orang-orang Cengkir Pitu memasuki halaman istana kecil yang suram itu, mereka kemudian harus bertempur melawan orang-orang yang ada di halaman istana itu.

“Jumlah kita jauh lebih banyak” desis Pangeran Cemara Kuning di dalam hati.

Tetapi ia pun membayangkan bahwa orang-orang yang ada di istana itu bukan orang-orang dungu, mereka tentu akan mempergunakan cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang lebih besar.

“Mereka akan berada di satu lingkaran pertempuran, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk membela diri dalam paduan kemampuan mereka” berkata Pangeran Cemara Kuning di dalam hatinya, lalu, “Mereka tentu mengetahui pula, bahwa dalam keadaan demikian tidak menguntungkan untuk bertempur berpencar, karena orang-orang dari mereka harus melawan sedikitnya tiga orang”

Sementara itu, di bagian belakang istana kecil itu, Sangkan duduk berdua dengan Panon, dengan wajah yang tegang mereka memandang dedaunan yang bergoyang-goyang disentuh angin, sementara Ki Mina berada di kebun untuk mengawasi bagian belakang istana itu, sedangkan Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu duduk di pendapa sekaligus mengawasi halaman depan istana kecil itu, sementara Pinten berada di dalam bilik bersama kedua Puteri yang ketakutan dan Nyi Upih.

“Mereka akan datang malam nanti” desis Sangkan.

“Mungkin, tetapi agaknya mereka akan benar-benar bergabung” jawab Panon.

“Kita akan menghadapi lawan yang terlalu banyak jumlahnya” berkata Sangkan kemudian.

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya

“Apaboleh buat, tidak ada pilihan lain, mungkin kita akan tertumpas habis, tetapi kita akan berbuat sejauh yang dapat kita lakukan”

Sangkan mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “bagaimana dengan Ki Ajar Respati, Ki Reksabahu dan Ki Mina yang ternyata bernama Kiai Rancangbandang itu?”

Panon termenung sejenak, lalu katanya, “Aku juga memikirkan mereka, apakah sudah sewajarnya mereka ikut mengorbankan diri mereka dalam keadaan seperti ini, padahal mereka sama sekali tidak bersangkut paut dengan istana kecil ini dan seisinya”

“Tetapi apakah kau juga bersangkut paut?” tiba-tiba saja Sangkan bertanya.

Panon memandang wajah Sangkan sejenak kemudian jawabnya, “Ya, aku memang mempunyai sangkut paut meskipun tidak langsung, seperti kau juga mempunyai sangkut paut meskipun yang tidak langsung, jika benar kau anak Nyi Upih”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat mengingkari kecurigaan yang masih saja ada diantara mereka, karena itu, maka Sangkan pun berusaha untuk tidak mempertajam perasaan curiga itu, sehingga ia pun mengulangi pertanyaannya, “bagaimana dengan orang-orang tua itu?, Apakah kita akan mempersilahkan mereka meninggalkankan halaman ini sebelum malapetaka itu datang”

“Aku tidak yakin jika mereka bersedia” jawab Panon, “Seperti Kiai Rancangbandang yang atas kehendak sendiri mengikuti perjalanku kemari, ke daerah yang menurut keterangannya sendiri adalah daerah yang berbahaya, karena aku belum pernah melihat dan mengetahui daerah pegunungan ini”

“Marilah kita coba bertemu dengan mereka” ajak Sangkan,

Keduanya pun kemudian pergi ke pendapa menemui Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Tetapi ketika hal itu dikemukakan kepada kedua orang tua itu, maka Ki Ajar Respati menjawab sambil tersenyum, “Anak muda, Ki Reksabahu adalah orang yang paling tidak senang mencampuri persoalan orang lain, namun jika ia sudah terlibat di dalamnya, maka ia tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya selesai”

“Tetapi keadaan yang akan kita hadapi dapat membahayakan jiwa Kiai berdua, bukan maksudku mengatakan bahwa Kiai berdua mencemaskan kematian yang bakal datang, tetapi sebenarnyalah Kiai berdua tidak bersangkut paut dengan peristiwa yang bakal terjadi itu”

Ki Reksabahu menarik nafas dalam-dalam, kemudian katanya dengan nada datar, “Aku memang tidak ingin mati, tetapi aku malas pergi menjelang malam yang gelap di pegunungan, aku lebih senang duduk memeluk lutut disini, meskipun mungkin harganya akan terlalu mahal, karena itu, jangan usir kami dari pendapa ini, diluar cahaya langit menjadi semakin redup”

Sangkan menggigit bibirnya, orang tua itu nampaknya acuh tidak acuh saja terhadap peristiwa yang dapat merenggut jiwanya tanpa kekuatiran yang berarti.

“Apalagi Kiai Rancangbandang” desis Panon karena itu, maka ia pun sama sekali tidak bermaksud menghubungi Kiai Rancangbandang.

Dengan demikian, maka mereka merasa tetap terikat pada halaman istana kecil itu, mereka merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu meskipun mereka sama sekali tidak mempunyai sangkut paut.

“Beristirahatlah” justru Ki Reksabahu yang berbicara memecah sepi, “Kita akan berjaga-jaga bergantian, sebentar lagi malam akan turun, dan kita akan bekerja keras”

Kedua anak muda itu masih tetap termenung, lalu Sangkan pun berkata, “Kiai berdua sajalah yang beristirahat”

Tetapi Ki Ajar Respati tertawa, katanya, “Aku biasanya tidur disenja hari, karena itu, aku lebih senang berjaga-jaga sekarang, nanti di senja hari, aku akan tidur sampai kalian membangunkan aku”

Sangkan dan Panon tidak memaksa kedua orang itu untuk meninggalkan tempatnya, keduanyapun kemudian dibiarkannya duduk di pendapa sambil berbincang dengan tenangnya, seolah-olah mereka tidak menyadari bahaya yang dapat menerkam istana kecil itu.

Bahkan sejenak kemudian Sangkan dan Panon pun meninggalkan mereka menuju ke kebun belakang, mereka menemukan Ki Mina yang berjaga-jaga di belakang justru sedang menyiangi pohon nyidra sambil mengambil akarnya yang sudah cukup tua untuk menjadi makanan tambahan yang manis.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “masih sempat juga Ki Mina menyiangi pohon nyidra?”

Ki Mina meletakkan cangkulnya, sambil tersenyum ia menjawab, “Adalah menjemukan sekali untuk merenung disini, dengan menyiangi dam memetik nyidra, kita akan mendapatkan sesuatu, jika malam datang, kita akan merebusnya dan merupakan kawan berbincang yang menyenangkan.”

“Aku akan memetik gayam dahulu” tiba-tiba saja Sangkan menyambung.

“Bagus juga, kita akan makan sekenyang-kenyangnya sebelum kita menghadapi peristiwa yang bakal cukup gawat”

Panon maju selangkah, sambil memandang Sangkan, ia memberi isyarat apakah ia harus mengatakan juga kepada Ki Mina seperti yang dikatakannya kepada Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu.

Sangkan termenung sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk.

Dengan hati-hati Panon pun kemudian mengatakan kemungkinan yang mungkin akan sangat parah, sementara Ki Mina sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dan kepentingan apapun dengan istana kecil itu.

Tetapi Ki Mina justru tertawa, katanya, “Aku sudah menyadari sejak aku menyediakan diri mengikutimu naik ke Pegunungan Sewu ini, bahaya yang bagaimanapun juga, rasa-rasanya tidak akan dapat aku tinggalkan, apalagi setelah aku melihat, bahwa Gusti Puteri keduanya memang memerlukan perlindungan. Nah itulah kepentingan dan sangkut paut yang ada antara aku dan istana kecil ini. Bukankah menjadi kewajiban setiap orang untuk melakukan sesuatu yang dapat memberikan perlindungan kepada yang lemah yang sedang terancam bahaya?”

Panon mengangguk-angguk, katanya dalam nada dalam, “Terima kasih Ki Mina, mudah-mudahan kita menemukan jalan keluar dari peristiwa yang mungkin akan terjadi”

“Sudahlah” jawab Ki Mina, lalu katanya kepada Sangkan, “Sangkan, jika kau memetik gayam, silahkan aku akan mencari nyidra lebih banyak lagi”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam kepalanya, namun kepala itu pun kemudian terangguk-angguk kecil, suaranya seolah-olah tidak terloncat dari bibirnya, meskipun Ki Mina dapat mendengarnya, “Baiklah Ki Mina, aku akan memetik bayam yang ada di sudut belakang itu”

Sangkan dan Panon pun kemudian meninggalkan Ki Mina yang kembali sibuk dengan cangkulnya.

Ketika orang-orang di dalam istana itu menghadapi nyidra dan gayam yang telah direbus oleh Nyi Upih dan Pinten, maka di padukuhan, orang-orang Cengkir Pitu dan perguruan Kumbang Kuning sedang sibuk pula makan daging panggang. dengan lahapnya masing-masing yang tinggal terpisah itu makan sekenyang-kenyangnya, seolah-olah mereka ingin mengisi perut mereka untuk beberapa hari sekaligus.

“Ayo, makanlah, kita tidak usah pura-pura tidak tahu, bahwa diantara kita mungkin ada yang tidak dapat keluar lagi dari halaman istana itu, karena itu, pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, makan daging sekenyang-kenyangnya, jika kita masih sempat keluar dari istana itu, apalagi dengan pusaka yang kita cari, maka kita akan makan lebih banyak lagi, tidak hanya untuk waktu-waktu tentu, tetapi kita akan mukti di dalam sebuah istana yang bakal juga akan disebut Majapahit kedua, atau kerajaan yang lain yang justru lebih megah dari Majapahit yang runtuh itu” berkata beberapa orang diantara mereka.

Ternyata bahwa, orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning telah memanfaatkan keadaan sebaikbaiknya, makan, minum dan kembali berbaring, mereka tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu, karena mereka baru akan bergerak lewat tengah malam, sehingga justru ketika senja turun dan gelap mulai menyelubungi Pegunungan Sewu, mereka mulai berbaring lagi selain yang bertugas.

Tetapi dalam pada itu, pemimpin-pemimpin mereka mulai menjadi tegang, Pangeran Sora Raksa Pati yang memimpin perguruan Cengkir Pitu nampak berbincang dengan sungguh-sungguh bersama beberapa orang terpercaya dan Raden Kuda Rupaka

“Kita tidak boleh membiarkan semuanya berlalu begitu saja” berkata Pangeran Sora Raksa Pati, “yang terjadi bukan sekedar memperebutkan pusaka itu, tetapi juga benturan pengaruh antara kita dengan Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat yang memiliki pula darah kediri itu, meskipun saat terakhir mereka adalah bangsawan-bangsawan Majapahit yang terpercaya seperti juga Pangeran Kuda Narpada, tetapi meskipun demikian tidak mustahil jika kita pada suatu saat menemukan suatu cara yang paling baik untuk bekerja bersama”

“Itu tentu sekedar pura-pura paman” sahut Raden Kuda Rupaka, “mungkin kita dapat membuat perjanjian, tetapi jika diantara kita dan perguruan Kumbang Kuning itu telah timbul selisih kekuatan dan pengaruh, maka goncangan tentu akan timbul”

“Mungkin, namun dalam rasa tenang itu, kita tidak boleh tinggal diam, itulah namanya suatu cara, suatu akal yang dapat kita pergunakan meskipun orang lain akan menyebutnya licik”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, tetapi wajahnya nampak menjadi tegang.

“Kau tidak sependapat?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Bukan aku tidak sependapat” jawab Raden Kuda Rupaka, “Tetapi kita harus hati-hati, mungkin sekali sebelum kita siap, mereka telah menikam kita lebih dahulu”

“Jangan khawatir, kita tahu berapa besar kekuatan mereka”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, namun kemudian katanya, “Kita sudah kehilangan paman Panji Sura Wilaga”

“Apakah ia sudah dibunuh?”

“Aku tidak tahu pasti, tetapi jika mereka kemudian menjadi berputus asa, maka kemungkinan itu dapat terjadi, apalagi sebelumnya paman Panji Sura Wilaga sudah menunjukkan kebenciannya kepada Sangkan, bahkan beberapa kali ia akan membunuhnya”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “kakang Aji Demung mungkin mempunyai sikap”

Orang yang disebut Aji Demung mengerutkan keningnya, sekilas ia memandang Pangeran Sora Raksa Pati yang ada di depan Raden Kuda Rupaka, katanya kemudian, “Aku tidak mempunyai sikap tentu, tetapi bahwa dengan demikian kita akan mendapat kesempatan untuk berpikir lebih panjang, mungkin akan berguna”

“Jadi, bagaimana maksud paman?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Seperti yang dikatakan Pangeran Sora Raksa Pati”

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Memang mungkin kita akan dapat mencobanya, tetapi masih tergantung kepada orang-orang Kumbang Kuning”

“Mudah-mudahan mereka akan datang tepat pada waktunya” desis Aji Demung.

“Mereka tidak akan terlalu bodoh untuk mendahului masuk ke dalam halaman istana itu, mereka akan memberikan korban terlalu mahal, karena di halaman itu ada beberapa orang yang akan dapat mencegah maksud mereka, tanpa kita, mereka tidak akan dapat menembus pertahanan orang-orang gila di halaman itu” berkata Raden Kuda Rupaka.

Aji Demung mengangguk-angguk, di halaman itu ada beberapa orang yang nampaknya benar-benar telah bersiap mengorbankan jiwanya untuk mempertahankan pusaka yang menjadi rebutan itu, sadar atau tidak sadar.

Waktu yang sempit rasa-rasanya berkepanjangan dan tidak berkesudahan, Pangeran Sora Raksa Pati rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu tengah malam, namun ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa, sementara ia pun menyetujui, bahwa sebaiknya mereka memasuki halaman itu lewat tengah malam, bahkan menjelang dini hari, setelah orang-orang yang ada di halaman itu menjadi jemu berjaga-jaga dan menjadi lengah.

Sementara itu di halaman istana kecil itu, beberapa orang tengah berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan, mereka tidak boleh lengah, setiap saat bahaya yang sebenarnya akan dapat menerkam.

Di halaman depan Ki Ajar Respati duduk memeluk lututnya bersandar tiang pendapa, sementara itu Ki Reksabahu berjalan-jalan hilir mudik di halaman.

“Kau tidak tidur?” bertanya Ki Reksabahu.

Ki Ajar Respati tersenyum, jawabnya, “Baru saja aku menjawab pertanyaan Sangkan yang serupa, ketika aku mengambil minuman ke dapur”

“Apa yang ditanyakan?”

“Kenapa aku tidak tidur?”

“Apa jawabmu?”

“Kali ini aku tidak dapat tidur, bukan oleh kegelisahan, tetapi ternyata disini nyamuknya banyak sekali”

“Kau merasa gigitan nyamuk?”

“Kenapa tidak?”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Menurut pendengarku, Ki Ajar Respati adalah orang yang kebal, yang tidak dapat dilukai dengan jenis senjata apapun, tetapi ternyata gigitan nyamuk telah membuatnya tidak dapat tidur”

“Ah, kau mengigau, meskipun kau tidak tidur, beberapa bulan yang lalu, jari-jariku hampir putus tersentuh cangkul, jika aku kebal, maka cangkullah yang seharusnya yang patah”

Ki Reksabahu tertawa, katanya, “Apakah kau tidak kebal?, atau kau memang belum mengetrapkan kekuatan ilmumu?”

“Sudahlah, agaknya kaulah yang sudah mengantuk, sehingga kau perlu berbuat sesuatu untuk mengusir perasaan kantukmu”

Ki Reksabahu tertawa, lalu tiba-tiba saja ia mendekat sambil bertanya, “Apakah minuman itu masih ada?”

“Masih ada, ambillah, tetapi mungkin sudah mulai dingin”

Ki Reksabahu itu pun kemudian pergi ke dapur, disudut belakang ia melihat Sangkan sedang berbicara dengan Ki Mina yang duduk berselimut kain panjangnya di dalam bayangan kegelapan”

“Dingin sekali” desis Ki Mina.

Ki Reksabahu mengangguk, “Ya, itulah sebabnya aku akan mencari minuman panas” ia berhenti sejenak, lalu, “Dimana Panon”

“Ia ada di sisi samping istana ini”

“Sendiri?”

Ki Reksabahu tidak menunggu jawaban, tetapi ia langsung masuk ke dapur mengambil minuman dan dibawanya ke halaman depan.

Tetapi untuk memperpanjang langkahnya, ia tidak mengambil jarak yang pendek, sehingga karena itu, maka ia pun berjalan melingkari istana itu.

Dalam kegelapan Ki Reksabahu melangkah sambil memandang dinding istana yang tidak terlampau tinggi itu, jika dikehendaki, maka orang-orang Kumbang Kuning dan Cengkir Pitu itu akan dapat memasuki istana itu dari segala penjuru.

“Jika benar mereka akan datang bersama-sama, kami yang berada di halaman ini akan mengalami kesulitan, meskipun Ki Wirit yang cacat kaki itu akan ikut serta membantu kami, namun kekuatan orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning yang bergabung tentu merupakan kekuatan yang tidak mudah diimbangi” gumam Ki Reksabahu ditujukan kepada diri sendiri.

Ketika ia kemudian melingkari sudut istana itu, maka tiba-tiba saja ia tertegun dan terkejut. Dua sosok bayangan yang agaknya sedang asyik bercakap-cakap terkejut pula karena kehadiran Ki Reksabahu yang tiba-tiba itu.

“O” Ki Reksabahu termenung, ia tidak dapat melangkah kembali justru kedua orang itu telah melihatnya.

Salah seorang dari keduanya menarik nafas dalam-dalam kepalanya dalam-dalam sambil beringsut, sementara yang lain bertanya, “Dari mana Kiai?”

“Eh, maaf Panon, aku sedang mengambil minuman dari dapur, maksudku aku ingin melihat-lihat dalam kegelapan belakang istana”

Panon mengangguk, jawabnya, “Silahkan, apakah Kiai akan ke pendapa?”

“Ya, aku akan ke pendapa”

“Tetapi Kiai” Panon menghentikan langkah Ki Reksabahu yang sudah mengayunkan kakinya, “Aku sedang mendengar pendapat Pinten, apakah yang sebaiknya kita lakukan, jika kita berpencar, agaknya kita justru akan mengalami kesulitan, karena mereka akan dapat bertempur berpasangan untuk melawan setiap diantara kita, dengan demikian maka kita akan benar-benar terdesak, apalagi jika jumlah mereka lebih banyak lagi, kita seorang harus melawan mungkin tiga orang, mungkin lebih”

Ki Reksabahu mengangguk-angguk, jawabnya, “Kau benar Panon, dan agaknya pikiran Pinten itu harus mendapat perhatian”

Yang seorang lagi sedang menundukkan wajahnya, berpaling kearah Ki Reksabahu, bahkan ia pun kemudian menarik nafas lega, karena Panon telah mendapatkan jalur pembicaraan yang wajar dalam keadaan seperti itu.

Tetapi Ki Reksabahu yang sudah banyak makan garam kehidupan itu pun mengetahui, bahwa agaknya kedua anak-anak muda itu sedang disentuh perasaan yang lain dari perasaan dua orang yang sekedar senasib dalam kesulitan menghadapi ancaman yang mungkin akan berakibat sangat parah.

Karena itu, maka sambil tersenyum ia bertanya lebih lanjut, “Panon, apakah menurut Pinten kita juga harus bertempur berpasangan untuk mengimbangi lawan?”

Dengan serta merta Panon menjawab, “Ya. Kiai, agaknya hal itu akan lebih baik”

“Dua-dua berpasangan?”

“Ah” Panon berdesah, sedangkan Pinten kembali menundukkan kepalanya sambil beringsut setapak.

“Maksudku” Panon menjelaskan dengan suara yang terbata-bata, “Kita dapat melawan mereka dalam satu kelompok, kita melawan mereka bersama-sama, sehingga garis sentuhan antara kita dengan mereka menjadi sempit, dengan demikian mereka tidak sempat melawan kita masing-masing dari arah yang merugikan”

Ki Reksabahu masih tersenyum, katanya, “Aku sependapat, Panon. tetapi jika demikian, bagaimanakah dengan Gusti Puteri?, jika kita tinggalkan bersama, maka satu dua orang dari mereka akan dapat mengganggunya dan bahkan mungkin memperguna-kannya untuk melemahkan perlawanan kita, tetapi jika satu dua diantara kita harus menjaganya, maka akibatnya kita akan terpecah lagi, dan mereka pun akan melumpuhkan kita bagian demi bagian”

Pinten mulai tertarik kepada pembicaraan yang semula dianggapnya sekedar untuk melepaskan diri dari dugaan yang kurang baik dari Ki Reksabahu atas dirinya dan Panon, namun agaknya Ki Reksabahu yang memahami perasaan anak-anak muda itu sama sekali tidak menyinggung persoalan itu, bahkan justru agaknya ia menganggap beberapa hubungan itu wajar meskipun dengan sikap bergurau.

“Kiai” berkata Pinten kemudian dengan memaksa diri “bagaimana jika hal ini kita bicarakan dengan sungguh-sungguh bersama kakang Sangkan, Ki Mina dan Ki Ajar, mumpung kita masih mempunyai beberapa saat lagi sebelum orang-orang itu benar-benar datang”

“Aku sependapat, baiklah, aku akan mengatakannya kepada Ki Ajar di pendapa, dan katakanlah kepada Sangkan dan Ki Mina yang berada disudut sana”

“Baik, Kiai” jawab Panon.

Ki Reksabahu kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke pendapa sambil membawa mangkuk munuman, namun dalam pada itu ia berdesis kepada diri sendiri, “Kalau aku tahu, aku akan memilih jalan lain agar aku tidak mengganggu anak-anak muda itu”

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Reksabahu, Pinten bergeser menjauh, sekilas ia memandang wajah Panon yang samar dalam kegelapan.

“Kita temui kakang Sangkan, Panon. Tetapi aku akan lewat ruang dalam”

Panon pun memandang wajah Pinten sejenak, kemudian jawabnya, “Masuklah, aku akan pergi menemuinya pula, mungkin ia sedang berbincang dengan Ki Mina”

Pintenpun kemudian masuk lewat pintu butulan, ketika ia menutup pintu, maka sekali lagi ditatapnya wajah Panon yang kehitam-hitaman oleh kegelapan malam.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang ada di halaman istana itu pun mulai membahas apakah yang sebaiknya mereka lakukan guna menghadapi keadaan yang menjadi gawat itu.

“Memang kita tidak dapat berpencar” berkata Sangkan kemudian, “Tetapi jika kita berada di dalam satu lingkaran, bagaimana dengan Gusti Puteri Inten Prawesti?”

Tidak seorangpun yang dapat menjawab, namun kening mereka nampak berkerut memikirkan cara yang sebaiknya untuk mengatasi kesulitan itu.

Tiba-tiba saja Pinten mengangkat wajahnya, dengan ragu-ragu ia berkata, “Bagaimanakah jika keduanya kita sembunyikan seperti Panji Sura Wilaga?”

“Diatas atap?”

Pinten tidak menyahut, tetapi nampaknya ia yakin, bahwa cara itu adalah cara yang paling baik.

“Mereka memang tidak akan mengira bahwa keduanya berada diatas atap” desis Panon kemudian.

Sejenak mereka merenungkan pendapat itu, namun kemudian Sangkan berdesis, “Asal keduanya sama sekali tidak bersuara, Panji Sura Wilaga dapat kita sumbat mulutnya, tetapi bagaimanakah dengan kedua Puteri itu?, jika mereka ketakutan dan tidak dapat mengendalikan diri, mungkin mereka akan berteriak”

“Kita mohon agar mereka berdiam diri, apalagi mereka tidak melihat pertempuran yang terjadi, bakal mereka tidak akan berteriak atau berbuat sesuatu” sahut Panon.

Kembali mereka merenungkan rencana itu, dengan nada datar Ki Ajar berdesis, “Tentu tidak akan dapat kita sembunyikan diluar halaman istana, karena dengan demikian justru mereka akan lebih dekat dengan bahaya”

Namun tiba-tiba Kiai Rancangbandang bertanya, “Bagaimanakah, jika dalam keadaan mata gelap mereka membakar istana ini?”

Pinten menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tentu tidak, mereka sedang mencari pusaka, mereka akan membongkar seluruh isi istana ini, tetapi tidak membakarnya”

Wajah-wajah itu menjadi tegang, namun kemudian Sangkan berkata, “Aku kira kita harus mempertimbangkan untung dan ruginya, dengan menyembunyikan keduanya diatas atap, aku kira kita akan dapat bertempur lebih leluasa apapun yang akan terjadi atas kita”

Sejenak orang-orang itu saling berpandangan, namun kemudian mereka mulai mengangguk-angguk kecil, Kiai Rancangbandang berkata ragu, “Sebaiknya kita coba bertanya apakah keduanya bersedia naik keatas atap”

“Jika tidak ada pilihan lain, maka aku kira keduanya akan bersedia” jawab Sangkan, “Tetapi biarlah Pinten menyampaikan-nya”

“Lalu, bagaimana dengan biyung?” bertanya Pinten.

“Tentu kita ikut sertakan dengan kedua Puteri itu” jawab Sangkan.

Pinten termenung sejenak, namun kemudian katanya, “Aku akan bertemu dengan Gusti Raden Ayu, jika perlu kita akan memaksanya, kita akan meletakkannya di lekukan atap sebelah depan, diantara pendapa dan pringgitan, karena karena dibagian belakang telah kita pergunakan untuk menyembunyikan Panji Sura Wilaga”

“Tetapi bukankah atap itu tidak akan runtuh?” tiba-tiba saja Ki Ajar bertanya.

Panon mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Aku kira atap itu masih cukup kuat untuk menahan berat keduanya, tetapi Nyi Upih harus berada di tempat yang agak jauh agar berat tubuh mereka tidak dibebankan pada tempat yang sama”

Ki Ajar mengangguk-angguk, sementara Pinten pun kemudian berkata, “Aku akan menghadap sekarang, waktunya sudah sangat sempit, mungkin mereka sekarang sudah berada diluar regol”

Pintenpun kemudian dengan tergesa-gesa menghadapi kedua Puteri yang masih duduk berdesakan, di sebelah mereka, Nyi Upih duduk bersimpuh sambil menyilangkan tangan di dadanya, sementara itu Panon dan Sangkan telah mempersiapkan tangga yang akan dipergunakan untuk memanjat keatas.

Mula-mula Raden Ayu keberatan dengan usul Pinten, tetapi karena tidak ada cara lain, dan bahkan Pinten pun agak memaksanya pula, maka Raden Ayu itu mulai ragu-ragu.

“Gusti” Nyi Upih mencoba membantu, “Untuk keselamatan Gusti berdua, memang tidak ada cara lain yang dapat ditempuh, mungkin memang aneh, tetapi Gusti harus mengingat, bahwa Puteri Inten masih terlalu muda bagi orang-orang yang buas itu”

“Kenapa kami harus melakukannya Nyai” suara Inten tersendat-sendat.

“Puteri” sahut Nyi Upih, “Jika mereka dengan garangnya membunuh Puteri berdua, aku kira persoalan sudah selesai, tetapi mungkin mereka tidak akan melakukannya, mungkin mereka akan membawa Puteri kemanapun yang mereka inginkan, itulah yang lebih berbahaya daripada mati itu Puteri”

Ibundanya pun memeluk Inten Prawesti erat-erat, terbayang dipelupuk matanya jika hal itu terjadi, mati akan terasa lebih baik dan mulia, tetapi bagaimanakah jika mereka tidak sempat memilih mati.

Karena itu, akhirnya Raden Ayu itu terdapat dapat mengelak lagi, meskipun dengan ragu-ragu mereka akhirnya memenuhi permintaan Pinten.

“Tetapi jangan sampai Gusti membuat suara apapun” pesan Pinten, “Sebab dengan demikian, maka mereka akan segera mengetahui, karena mereka tentu mempunyai pendengaran yang sangat tajam”

Kedua Puteri itu tidak menjawab, tetapi mereka mengangguk kecil penuh keragu-raguan.

Sementara itu, tanggapun telah disiapkan dan Panon memanjat lebih dahulu sambil membawa beberapa helai papan yang diambilnya dari dinding ruang, kemudian papan itu pun dilintangkan diatas talang yang dibuat dari batang pucang yang cukup besar dan panjang, agar kedua Puteri itu dapat duduk dengan baik.

Baru kemudian kedua Puteri itu dibantu naik keatas, Pinten lah yang membantu mereka seorang demi seorang, kemudian menempatkan mereka diatas papan yang sudah diatur dengan baik dan kuat.

Yang terakhir adalah Nyi Upih, sambil membawa kain untuk selimut, ia naik tangga dengan susah payah, namun kemudian ia pun berhasil merangkak keatas talang dan duduk beberapa langkah dari kedua Puteri yang gemetar.

“Kemarilah Nyai” panggil Inten.

“Biarlah aku disini Puteri, agar beban talang di tempat itu tidak terlampau berat”

Inten masih akan berbicara lagi, tetapi Nyi Upih meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.

Dengan demikian, maka mereka yang berada di halaman istana menjadi agak tenang, siapapun tentu tidak akan mengira bahwa kedua Puteri itu bersembunyi diatas atap.

“Asal mereka tidak bersuara” desis Pinten.

“Tetapi Panji Sura Wilaga itu dapat menarik perhatian, ia akan dapat menghentakkan kaki atau tangannya yang terikat sehingga jika ada orang yang berdiri di bawah talang bagian belakang, ia tentu akan mendengarnya” berkata Ki Reksabahu.

Tetapi Sangkan menggeleng, jawabnya, “Tidak Kiai, ia tidak akan bersuara untuk waktu yang cukup lama, mungkin sampai saatnya matahari sepenggalah, ia masih belum akan terbangun”

“Kenapa?” Ki Ajar bertanya.

“Aku telah memberinya minum yang aku ramu dengan biji kecubung, ia menjadi mabuk dan kemudian tertidur untuk waktu yang lama, karena itu, ia tidak akan dapat menimbulkan gangguan apapun juga”

Mereka yang mendengar jawaban itu menarik nafas dalam-dalam, agaknya Sangkan dan Panon telah berusaha membuat Panji Sura Wilaga tertidur nyenyak untuk waktu yang cukup lama, sehingga tidak akan dapat menimbulkan bahaya bagi Puteri yang ada diatas talang kayu pucang itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana itu pun segera berkumpul di pendapa, mereka tinggal menunggu, kapan orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning akan datang.

“Sekarang kita justru mendapat kesempatan untuk beristirahat” tiba-tiba Kiai Rancangbandang memecah sepinya malam.

“Kenapa?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Sebelumnya kita harus membagi diri mengawasi setiap sudut dan Pinten menunggui Puteri di dalam biliknya, sekarang kita dapat berkumpul dan bersepakat untuk bertempur dalam sati lingkaran, dengan demikian, kita akan bergantian berjaga-jaga, jika bahaya itu datang, maka kita akan dibangunkannya”

Sangkan mengangguk-angguk, jawabnya, “Baiklah”

Dan Kiai Rancangbandang menyahut, “Kita semua akan tidur, dua orang akan berjaga-jaga, sebelum kita mendapat kepastian kedatangan orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning.

“Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?” bertanya Ki Ajar Respati.

“Kita semuanya yang tua-tua, dan biarlah Sangkan beristirahat pula”

Semula mereka mendengar kata-kata itu tidak begitu memperhatikan maksudnya, namun kemudian terdengar Pinten berdesah, “Ah, Kiai, masih saja mengganggu”

Tiba-tiba saja suara tertawa Sangkan meledak, namun ia pun segera bangkit dan berlari menjauh ketika Pinten bergeser mendekatinya.

“Pinten, jangan. Diluar orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu sudah mengintai”

“Kau yang mendahului” geram Pinten.

Sangkan masih berdiri ditempatnya, ia tidak segera mendekat, karena Pinten masih saja memandangnya dengan tajam.

Sementara itu Panon tidak bergeser dari tempatnya, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Jangan ikut berjaga-jaga disini” desis Pinten.

“Lalu,. Aku harus berjaga dimana?”

“Tempatmu diatas atap”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Sudahlah Pinten, aku minta maaf, seharusnyanya kau mencubit Ki Reksabahu, bukan aku, tetapi karena kau tidak berani melakukannya, maka akulah yang menjadi sasaran”

Pinten masih memberengut, tetapi ia pun kemudian pergi ke sudut pendapa, tanpa mengatakan sepatah katapun, ia telah mendahului berbaring diatas lantai tanpa selembar alaspun.

Tetapi tidak seorang pun yang mencegahnya, mereka mengerti, bahwa Pinten memang sering merajuk, jika ia bertengkar dengan kakaknya.

“Sudahlah” berkata Ki Reksabahu, “Karena aku yang bersalah, biarlah aku sajalah yang berjaga-jaga, silahkan kalian beristirahat, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku akan membangunkan kalian”

Sangkan tersenyum, tetapi ia pun menjawab, “Tentu tidak seorang diri Kiai, mungkin orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang Cengkir Pitu berhasil merayap diluar pengamatan kita dan dengan tiba-tiba menyerang, karena itu, maka biarlah aku mengawani Kiai berjaga”

“Akupun tu tidak akan dapat tidur” desis Panon kemudian.

Ki Ajar tertawa, betapapun ketegangan mencengkam dadanya, namun ia masih sempat juga berkelakar, “Jika demikian, akhirnya kita semuanya tidak akan dapat tidur”

“Akulah yang akan tidur” sahut Kiai Rancangbandang.

Ternyata bahwa orang-orang yang ada di pendapa itu, masih tetap duduk dalam satu lingkaran, selain Pinten yang berbaring, tetapi akhirnya ia pun merasa kurang mapan untuk berbaring diatas lantai yang kotor tanpa alas apapun, meskipun demikian ia tidak mau bangkit karena kakaknya masih di pendapa itu.

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam, diatas atap, tiga orang perempuan menggigil kedinginan, meskipun mereka sudah berselimut kain panjang, sementara Panji Sura Wilaga masih saja tidur dengan nyenyaknya.

Tetapi sampai lewat tengah malam, suasana istana kecil itu, masih tetap sepi, yang terdengar hanyalah bunyi cengkerik dan belalang di rerumputan.

Diluar dinding istana, seorang duduk dengan sabar menunggu apa yang akan terjadi, ia tidak mau masuk ke halaman bersama Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu, ia lebih senang menunggu dan mengawasi dari luar dinding, apakah yang akan terjadi, bahkan ia sudah berjanji dengan Ki Ajar Respati dan Ki Reksabahu, bahwa mereka akan saling memberikan isyarat, jika terjadi sesuatu di dalam halaman istana diluar pengetahuannya, maka Ki Ajar Respati atau Ki Reksabahu akan memberikan isyarat, sebaliknya, jika orang itu melihat sesuatu yang mencurigakan diluar dinding, ia pun akan melontarkan isyarat sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukannya.

Dalam pada itu, orang-orang Cengkir Pitu dan orang-orang Kumbang Kuning telah mulai mempersiakan diri. Pangeran Sora Raksa Pati yang kemudian memanggil Raden Kuda Rupaka bertanya, “apakah orang-orang di dalam istana itu tidak memerlukan pengawasan?”

Raden Kuda Rupaka menggeleng, jawabnya, “Aku kira itu tidak perlu”

“Bagaimanakah jika mereka pergi?”

“Mereka tidak akan pergi, jika mereka berniat pergi dari istana itu, maka hal itu tentu sudah dilakukannya. Aku berpendapat, bahwa pusaka itu tentu masih belum mereka ketemukan pula, sehingga merekapun terikat pada istana kecil yang sepi itu”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung, katanya kemudian, “Kita akan menghadapi pekerjaan yang lama, jika mereka yang ada di halaman itu untuk waktu yang lama masih belum menemukan pusaka itu, maka kita pun tentu akan memerlukan waktu yang sama”

“Mungkin hal itu disebabkan karena diantara merekapun timbul perasaan saling mencurigai, sehingga dengan demikian usaha mencari pusaka itu justru terhambat”

“Kitapun akan mengalami hal yang sama dengan orang-orang Cengkir Pitu”

Raden Kuda Rupaka tidak menyahut, ia pun menyadari bahwa jika mereka telah berhasil membinasakan orang-orang yang ada di dalam halaman itu, maka pekerjaan mereka belum berarti selesai, belum lagi tugas-tugas besar yang lain sebagai kelengkapan tugas pertamanya yang terpaksa menggerakkan seluruh perguruannya.

“Jika yang terdapat di halaman itu pusaka kelengkapan untuk menerima wahyu, maka perjuangan ini akan ada hasilnya, tetapi jika yang didapatkan sekedar pusaka yang tidak termasuk kelengkapan untuk menerima wahyu, maka korban yang jatuh itu akan sia-sia” gumam Raden Kuda Rupaka.

“Kau memang bodoh” geram Pangeran Sora Raksa Pati, “Di perbendaharaan pusaka Demak terdapat beberapa bilah pusaka yang tidak sedang bersemayam, ketika pusaka-pusaka Majapahit itu berhasil diselamatkan, tidak terdapat tanda-tanda bahwa gedung perbendaharaan pusaka di Majapahit mengalami kerusakan atau kehilangan karena orang-orang yang memasuki kota Raja dam menduduki istana itu tidak sempat membuka gedung itu, sehingga mereka lebih tertarik kepada benda-benda berharga lainnya, sehingga mereka kurang cepat mengingat, bahwa pusaka-pusaka itu tentu jauh lebih berharga dari emas dan berlian, dan salah satu dari pusaka yang tidak ada di gedung perbendaharaan itu berada di tangan Pangeran Kuda Narpada.

“Aku sudah mendengar, paman” jawab Raden Kuda Rupaka, “Akupun sudah tahu sebabnya, kenapa baru sekarang kita beramai-ramai mendatangi istana itu, meskipun saat Pangeran Kuda Narpada meninggalkan Majapahit itu sudah terjadi beberapa tahun yang lampau”

“Nah, apalagi yang kau ragukan?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati, “Jika yang berada di halaman itu adalah Kiai Nagasasra atau Kiai Sabuk Inten atau Kiai Sangkelat, maka langkah kita akan semakin pendek”

Raden Kuda Rupaka karena, ia tidak mengerti kenapa pamannya dapat menganggap langkahnya semakin pendek, padahal mereka masih belum tahu dimanakah pusaka-pusaka yang lain itu berada.

Tetapi pamannya sudah menjawab, “Jika salah satu dari ketiganya dapat kita ketemukan, maka kita akan menayuhnya. pusaka iu sendiri akan memberikan jawaban, kemana kita akan mencari pasangannya”

 

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, ia pun mengerti, bahwa ada orang-orang tentu yang dapat berbicara dengan pusaka-pusaka.

Meskipun demikian, Raden Kuda Rupaka masih merasakan adanya ketidak pastian dari kerja yang dilakukan dengan mempertaruhkan nyawanya.

Sejenak Raden Kuda Rupaka merenungi masa-masa ia berangkat menuju ke Pegunungan Sewu, kerja yang akan dilakukannya seolah-olah adalah kerja yang sederhana, menghadapi bibinya berjongkok menyembah, kemudian tinggal di istana itu beberapa hari untuk menerima pusaka itu dan kembali.

Tetapi ternyata yang terjadi adalah berbeda dengan angan-angannya itu, di Pegunungan Sewu ternyata telah hadir kekuatan yang mempunyai kepentingan yang sama.

Meskipun kemungkinan semacam itu memang pernah dipertimbangkan dan bahkan pemimpin perguruannya telah membuat usaha pemecahannya, namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian ia hadir di Pegunungan Sewu itu, yang dilihatnya pertama-tama adalah seorang anak muda yang bernama Kasdu yang ternyata telah terkena bisa orang-orang dari perguruan Guntur Geni, dan yang lebih mendebarkan jantung bahwa ada seorang anak muda yang dapat menyembuhkan racun-racun itu.

Ternyata orang yang telah mendahuluinya itu adalah murid dari perguruan yang terkenal, perguruan Kumbang Kuning.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, tetapi kini ia berada di Pegunungan Sewu itu bersama Pangeran Sora Raksa Pati, seorang yang memiliki kemampuan yang sukar diukur.

Dalam perbandingan ilmu, tidak seorang pun akan dapat memperbandingkan. Siapakah yang lebih sakti, Pangeran Sora Raksa Pati atau Ajar Sukaniti.

“Apakah orang-orang di halaman itu ada yang memiliki kemampuan seperti keduanya, jika ada seorang dari mereka yang dapat mengimbangi pamanda Pangeran Sora Raksa Pati, salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu misalnya, maka Ajar Sukaniti akan mendapat kesempatan berbuat apa saja sesuka hatinya terhadap penghuni-penghuni istana itu” berkata Raden Kuda Rupaka di dalam hatinya.

Dalam pada itu, selagi Raden Kuda Rupaka merenungi kemungkinan yang dapat terjadi, maka Kidang Alit pun sedang duduk bersandar dinding, ternyata ia pun sedang membayangkan apa yang dapat dilakukan jika orang-orang Cengkir Pitu dan Kumbang Kuning dapat masuk bersama-sama ke dalam halaman istana itu.

“Persetan” ia menggeram, “Ajar Sukaniti dibantu oleh pamanda Pangeran Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat tentu akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik, Raden Kuda Rupaka bukan lawan yang harus disegani” ia mengerutkan keningnya, lalu, “Kecuali jika ada pemecahan lain”

Sementara itu, malam telah menjadi semakin jauh, bintang gubug penceng telah semakin condong ke barat, sementara benda-benda langit yang lain menjadi semakin jauh dari tempatnya semula.

“Sebentar lagi fafar akan tiba” tiba-tiba saja Kidang Alit berdesis.

Ajar Sukaniti menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Jadi kita akan berangkat dan sekaligus melalui pondok orang-orang Cengkir Pitu?”

“Ya” sahut Kidang Alit.

“Baiklah, Pangeran Sora Raksa Pati yang sombong itu memang harus dipenuhi keinginannya agar ia tidak justru mengganggu rencana kita dalam keseluruhan” berkata Ajar Sukaniti kemudian.

“Kita akan berangkat sekarang?” bertanya Kidang Alit

“Siapkan semua orang-orang kita”

Sejenak kemudian orang-orang Kumbang Kuning itu pun sudah bersiap diatas punggung kuda mereka masing-masing, yang terpenting diantara mereka adalah Ajar Sukaniti dan kedua orang Pangeran yang telah membawa Pangeran Kuda Narpada pergi meninggalkan istananya, selain anak muda yang bernama Kidang Alit itu.

“Kita akan singgah di pondok orang-orang Cengkir Pitu” desis Ajar Sukaniti.

“Untuk apa?” bertanya salah seorang anak buahnya.

“Kita akan bersama-sama memasuki istana kecil itu”

“Apakah kita sendiri tidak akan mampu?”

“Aku sudah berpuluh kali mendengar pertanyaan itu, dan jawabnya masih sama saja, kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lagi ke dalam kebodohan, sebagian orang-orang kita akan mati samempunyaiuh dengan orang-orang yang ada di dalam istana itu, dan sebagian yang tersisia akan dibantai oleh orang-orang Cengkir Pitu”

Orang yang bertanya itu pun mengerutkan keningnya, namun kepalanyapun kemudian mengangguk-angguk membenarkan.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu mulai bergerak, Ajar Sukaniti berada paling depan, di belakangnya adalah Pangeran Cemara Kuning dan Pangeran Sendang Prapat yang diikuti oleh Kidang Alit, baru di belakang Kidang Alit beberapa orang pengiring duduk terkantuk-kantuk diatas punggung kuda mereka.

Sementara itu, orang-orang Cengkir Pitu sudah menjadi gelisah pula, bahkan Pangeran Sora Raksa Pati berkata lantang, “Jika orang-orang Kumbang Kuning itu tidak menepati janjinya, maka bagiku lebih baik bertempur melawan mereka lebih dahulu, tergantung dari sisa yang ada pada kita, jika kita merasa kuat, kita akan memasuki halaman istana, jika tidak, kita dapat mengurungkan dengan selamat tanpa diganggu gugat lagi oleh orang-orang yang berada di dalam halaman itu”

Raden Kuda Rupaka termenung, tetapi ia pun yakin bahwa orang-orang Kumbang Kuning tentu akan datang dan bersama-sama menyerang isi istana itu.

Sambil menunggu kedatangan orang-orang Kumbang Kuning, Raden Kuda Rupakapun kemudian berjalan diantara orang-orangnya, selain Aji Demung yang memiliki kekuatan raksasa, maka disudut duduk seorang yang rambutnya mulai memutih, ia tidak banyak menyatakan pendapatnya. Hampir seperti seseorang yang tidak mau lagi berpikir, ia hanya menunggu perintah, kemudian melakukannya dengan penuh tanggung jawab.

Raden Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, orang tua itu memiliki semacam kekuatan yang aneh, dalam ilmu gendam, maka paman Dama Sraba ini dapat membunuh lawannya dengan teriakan-teriakannya yang mengerikan dalam lontaran aji Gelap Ngampar” desis Raden Kuda Rupaka di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak bertanya kepada orang tua yang pendiam itu, ia hanya lewat disisinya dan kemudian berdiri di hadapan seorang yang bertubuh pendek yang memegangi sepotong tongkat yang panjang, tongkat yang agak aneh, karena terdiri dari tiga batang rotan yang saling membelit. Di beberapa bagian dari rotan itu terdapat lingkaran-lingkaran lepingan besi, sedangkan di kedua ujungnya terdapat bentuk genggaman tangan yang terbuat dari baja, dengan cincin yang runcing di setiap jari-jarinya.

“Aku sudah jemu menunggu Raden” desisnya.

Raden Kuda Rupaka tersenyum, jawabnya, “Kita semua sudah jemu menunggu, paman Sora Raksa Pati juga sudah jemu”

“Lalu?”

“Apa yang baik menurut pertimbanganmu?”

“Aku lebih senang bersiap di punggung kuda, setiap saat kita akan memacunya dan segera bertempur melawan siapapun juga, apakah kita harus melawan kelinci-kelinci di halaman istana rusak itu, atau melawan orang orang-orang Kumbang Kuning”

Raden Kuda Rupaka tertawa, apalagi ketika orang itu berkata, “Dan akupun merasa semakin kaku untuk selalu menyebut nama Raden Kuda Rupaka, aku terbiasa memanggil nama Raden sejak kecil”

“Panggil nama panggilanku, aku tidak berkeberatan, ibunda memang selalu memanggil aku Johar, Ibunda senang memandang sebuah bintang yang berwarna kebiru-biruan di langit meskipun setiap malam hanya nampak sekilas, Lintang Johar, menurut ibunda wajahku memang manis semanis Lintang Johar”

Orang itu mengangguk-angguk, tetapi ia bertanya, “Jadi Raden Johar Patitis itu sekedar nama panggilan?”

Raden Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Ibunda lebih senang menyebut nama panggilanku, tetapi ayahanda mempunyai nama pangilannya tersendiri, sedang namaku yang sebenarnya justru jarang sekali disebut orang”

Orang bertubuh pendek yang bernama Gampar itu mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut.

Raden Kuda Rupaka lah yang kemudian berkata, “Baiklah, kita seharusnya memang sudah bersiap dipunggung kuda, adapun yang akan kita lakukan.”

“Nah, aku sependapat” sahut Gampar kemudian.

Raden Kuda Rupaka segera kembali kepada pamannya yang berjalan mondar mandir, ketika ia melihat Raden Kuda Rupaka kembali mendekatinya, ia hampir berteriak, “Kita hancurkan saja orang-orang Kumbang Kuning itu sekarang”

“Paman, kita bersiap di punggung kuda saja, apapun yang akan kita lakukan, sebentar lagi kita akan sampai diujung malam, jika langit mulai semburat merah, kita harus segera bertindak, mungkin orang-orang Kumbang Kuning mempunyai cara yang licik”

“Aku memang kurang mempunyainya, perintahkan dua orang bersiap untuk melihat apa yang terjadi di istana itu, ia harus segera kembali memberikan laporan tentang pengamatannya itu”

“Berbahaya bagi keduanya paman, kita pergi bersama-sama, kita pergi ke istana dan singgah ditempat orang-orang Kumbang Kuning. mungkin rumah itu sudah kosong, karena mereka sudah mendahului kita, jika demikian kita akan menyusul dan pertempuran-pertempuran di halaman itu tentu belum selesai, aku dapat memperhitungkan kekuatan mereka. kekuatan orang-orang Kumbang Kuning dan orang-orang yang berada di halaman itu”

Sora Raksa Pati menggeram kemungkinan bahwa ia telah tertipu oleh cara-cara licik orang-orang Kumbang Kuning itu membuatnya menjadi gelisah dan marah.

Namun selagi orang-orang Cengkir Pitu itu mempersiapkan diri sambil menunggu perintah, maka terdengarlah derap kaki kuda mendekat.

“Itulah mereka” desis Kuda Rupaka.

“Apakah benar mereka datang?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati.

“Aku masih mempunyai kepercayaan itu, aku yakin mereka tidak akan berani pergi dalam kelompok-kelompoknya sendiri”

Namun Pangeran Sora Raksa Pati masih sempat mengucapkan perintah, “Hati-hati, siapa tahu, mereka datang untuk langsung membantai kita sekarang ini”

Raden Kuda Rupaka tidak membantah, ia pun merasa perlu ikut hati-hati, jika mereka lengah dan orang-orang Kumbang Kuning tu dengan licik langsung menyerang dengan ujung senjata, maka orang-orang Cengkir Pitu itu akan mengalami nasib yang sangat buruk, karena itulah, maka orang-orang Cengkir Pitu itu pun segera memencar di halaman, dalam kesiagaan sepenuhnya.

Derap kaki kuda itu semakin lama semakin dekat, suaranya gemeratak diatas batu-batu disepanjang jalan.

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda yang terpacu di malam hari itu pun berhenti di depan regol halaman, dua diantara mereka perlahan-lahan memasuki halaman dengan hati-hati, seperti juga orang-orang Cengkir Pitu yang hati-hati menghadapi sekelompok orang-orang Kumbang Kuning itu”

Pangeran Sora Raksa Patipun kemudian menyongsong kedua orang berkuda yang memasuki halaman itu, ternyata kedua orang berkuda yang memasuki halaman itu, ternyata keduanya adalah Ajar Sukaniti dan Kidang Alit.

“O” desis Ajar Sukaniti setelah ia melihat kesiagaan orang Cengkir Pitu, “Kalian masih saja tidak mempercayai kami, meskipun kami termasuk orang-orang tamak seperti kalian, tetapi kami tetap menghormati persetujuan yang sudah kita tentukan bersama”

“Terima kasih” sahut Pangeran Sora Raksa Pati

“Akupun akan mencoba mempercayai kalian”

“Jangan ragukan kami” berkata Ajar Sukaniti pula, “Seperti aku mempercayai kalian, maka kamipun memegang teguh harga diri kami dalam hal ini”

“Nah, sekarang kita akan berangkat? Sebentar lagi fajar akan menyingsing”

“Kita tidak tergesa-gesa, tugas ini akan segera dapat kita selesaikan. menurut perhitunganku, disaat-saat matahari terbit, kita akan berhasil membunuh semua orang yang ada di halaman itu”

“Setelah itu?” desis Pangeran Raden Kuda Rupaka.

Ajar Sukaniti mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa, jawabnya, “ mungkin kita mempunyai pikiran yang sama, tetapi jika tidak, baiklah aku mempertimbangkannya”

“Apa maksdumu?” bertanya Pangeran Sora Raksa Pati, “Apakah kita mutlak akan memperebutkan pusaka itu?”

Pangeran Sora Raksa Pati termenung, sementara Ajar Sukaniti berkata selanjutnya, “Bukankah selain usaha yang harus kita lakukan, wahyu itu juga mempunyai unsur pilihan, artinya bahwa wahyu itu sendiri ikut berbicara siapakah yang berhak menerimanya”

Pangeran Sora Raksa Pati mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Ya, kau benar, tetapi sudah diisyaratkan, bahwa ada beberapa cara untuk mendapatkannya, pusaka-pusaka yang ada di gedung perbendaharaan pusaka dan yang berbeda diluar gedung, merupakan syarat yang menentukan, siapa yang memiliki pusaka-pusaka yang diisyaratkan itu, merekalah yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk menerima wahyu keraton. yang terjadi kemudian sehingga seseorang akan sempat ke tahta, wahyu itulah yang menentukan”

Ajar Sukaniti mengangguk-angguk, lalu katanya, “Tetapi tahta itu hanya satu, tentu tidak mungkin kita bersama-sama ingin duduk diatas tahta, tetapi meskipun demikian, kita bersama-sama akan dapat menentukan haluan pemerintahan karena selain seorang Raja. masih ada seorang Pepatih para Tumenggung, para menteri dan Bupati. Diluar kota Raja masih ada para Adipati dan pimpinan Tanah Perdikan yang ikut menentukan wajah pemerintahan dalam keseluruhan”

“Aku tahu maksudmu” potong Pangeran Sora Raksa Pati, “Siapa yang menemukan pusaka itu, ialah yang akan menerima wahyu itu, yang lain tidak akan menjadi iri dan menimbulkan benturan kekuatan, tetapi kita harus membagi jabatan selain jabatan seorang Raja”

Ajar Sukaniti tertawa, katanya, “Pangeran terlalu berterus terang”

“Kita tidak mempunyai waktu banyak, sebaiknya kita tidak berbicara berbelit-belit.

“Baiklah, demikianlah kira-kira maksudku, dan bakal juga maksud Pangeran”

“Aku setuju, tetapi jika salah seorang dari kita ingkar, maka akibatnya akan dahsyat sekali, perang yang terjadi kemudian, tentu akan menyangkut banyak pihak, lebih banyak dari pihak-pihak yang ada sekarang di Pegunungan Sewu”

“Sudah aku katakan, aku akan mencoba menghargai mulutku sendiri”

“Aku akan menghormati persetujuan ini, tetapi agar kami tidak terbenam dalam pencarian pusaka di halaman istana itu tanpa perhitungan, sehingga justru karena itu, kita akan dibinasakan oleh penghuni-penghuni istana itu, maka sekali lagi ditentukan, bahwa kita harus membunuh semua orang lebih dahulu, baru kita akan mulai mencarinya”

“Semua orang?” desis Raden Kuda Rupaka.

“Maksudku, semua orang yang dapat merintangi usaha kita”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab lagi, ia pun sependapat dengan persetujuan itu, karena jika tidak demikian maka persoalan tentu akan berkepanjangan dan tidak ada henti-hentinya. Yang terjadi kemudian adalah saling membunuh diantara mereka yang memperebutkan pusaka-pusaka itu tanpa sempat mempersiakan diri untuk menerima wahyu keraton, bahkan tanpa kesempatan untuk menayuh pusaka yang sudah diketemukan itu untuk menemukan pasangannya yang masih harus dicari.

Demikianlah, maka ternyata kedua kelompok yang saling menyegani namun saling mendendam itu menemukan cara untuk mengatasi hubungan mereka, meskipun masih tetap meragukan apa masing-masing pihak akan dapat menghormati persetujuan itu.

Namun dengan demikian, maka mereka telah menemukan kesepakatan untuk membunuh semua orang yang ada di dalam dinding istana itu.

Dalam pada itu, agaknya orang-orang Guntur Geni bagi mereka bukannya persoalan yang cukup gawat, mereka menganggap bahwa lebih brt menghadapi orang-orang di dalam halaman istana itu.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 12

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar