ADBM3-215


<<kembali | lanjut >>

SUARA orang-orang yang ada di halaman itu menjadi semakin riuh. Namun suara mereka terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata lantang, “Ki Jagabaya. Kau harus menepati janjimu. Kau akan berbicara dengan orang-orang itu dihadapan orang banyak, sehingga pembicaraan kalian akan disaksikan oleh mereka yang ada di halaman ini.”

“Apakah itu masih perlu?” bertanya Ki Jagabaya.

“Tidak. Tidak perlu”, jawab banyak orang.

Ki Jagabaya berpaling kepada Ki Demang sambil berkata,, “Ki Demang. Sudahlah. Jangan terlalu baik terhadap orang-orang bersalah seperti ketiga orang itu.”

“Apa pun yang kau katakan Ki Jagabaya, tetapi kau dan orang-orang yang berada di halaman harus mendengar keterangannya. Kalian percaya atau tidak” berkata Ki Demang.

Ki Jagabaya tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Sekarang aku akan memberi kesempatan salah seorang di-antara mereka berbicara atas nama Ki Demang, meskipun kita semua yang ada disini yakin, bahwa itu tidak berarti apa-apa.”

Beberapa orang menyatakan kekecewaannya. Seorang diantaranya berteriak, “Tidak perlu. Berikan kepada kami.”

“Biarlah”, jawab Ki Jagabaya, “kita wajib menghormati pemimpin kita.” Lalu katanya kepada ketiga orang itu, “Nah, siapakah yang akan berbicara.?”

Sebelum Kiai Gringsing sempat membuka mulutnya, Sabungsari telah menyahut, “Aku yang akan berbicara mewakili ketiga orang yang telah kalian tuduh mencuri kambing.”

“Berbicaralah. Aku memberi kesempatan beberapa saat saja” desis Ki Jagabaya.

Sabungsari seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Jagabaya itu. Dengan menghadap kepada orang banyak tanpa menundukkan wajah, ia berkata lantang, “Ki Sanak. Apa dasarnya kalian menuduh kami mencuri? Apakah karena kami berjalan di pinggir hutan itu? Kenapa kalian tidak menuduh orang-orang pertama kali menemukan bekas-bekas penyembelihan itu, karena orang itu tentu juga telah sampai ke tempat itu? Ketahuilah, kami baru saja datang dari perjalanan yang panjang. Kami adalah pengembara yang memang tidak mempunyai tempat tinggal. Tetapi kami bukan pencuri. Kami mendapat makan dan minum dengan cara yang wajar, karena sekali-sekali kami berhenti dan bekerja di satu tempat. Setelah kami dapat mengumpulkan uang, maka kami melanjutkan pengembaraan kami. Tetapi di sepanjang hidup kami, kami tidak pernah mencuri.”

“Bohong, bohong” hampir berbareng beberapa orang telah berteriak.

Wajah Sabungsari berkerut. Ia terkejut mendengar kata-katanya sendiri, bahwa sepanjang umurnya ia tidak pernah mencuri. Namun tiba-tiba saja terbayang masa-masa kelamnya ketika masih sangat muda, bahkan mendendam dan berusaha untuk membunuh Agung Sedayu.

Pada saat-saat itu, meskipun mungkin ia tidak mencuri, tetapi banyak tindakan tercela pernah dilakukannya. Untunglah bahwa Agung Sedayu kemudian berhasil menundukkannya, dan mendorongnya berjalan di jalan yang lurus.

Sabungsari tersadar dari angan-angannya yang menerawang kembali ke masa lampaunya ketika Ki Jagabaya berkata, “Kau dengar pendapat orang banyak itu.”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “kami sama sekali tidak memerlukan seekor kambing. Apalagi dua diantara kami adalah orang-orang tua, yang barangkali sudah tidak dapat lagi makan daging kambing panggang, betapa pun mudanya kambing itu.”

“Itu bukan alasan” berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap, “tentu ada sepuluh atau lebih kawan-kawanmu. Nah, jika demikian, kalian harus mengaku, dimana kawan-kawanmu itu.”

“Ya, peras keterangannya. Ia harus mengaku”, teriak yang lain.

“Nah, bukankah sebaliknya” berkata Ki Jagabaya, “yang terjadi justru lebih memberatkannya. Orang-orang itu harus mengaku, dimana kawan-kawannya.”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa ketika terdengar orang-orang di halaman itu berteriak-teriak, “Paksa mereka mengaku. Paksa mereka dengan kekerasan.”

Ki Jagabaya pun tersenyum sambil berkata, “Kita ikat mereka pada tonggak-tonggak itu.”

“Kita akan mencambuknya”, teriak seorang yang kepalanya botak. Tetapi yang lain berteriak, “Hukum picis.”

Sabungsari menjadi merah padam. Namun Kiai Gringsing berkata, “Biarlah mereka mengikat kita. Satu cara untuk menunjukkan kepada mereka tentang sesuatu yang tidak mereka mengerti.”

Sabungsari menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat membantahnya meskipun ia berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka jika harus menurut sikap orang-orang tua.”

Tetapi Sabungsari tidak melawan ketika beberapa orang kemudian ternyata memang menyeretnya. Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mereka telah diikat pada batang-batang pohon kelapa yang berjajar di halaman. Sebuah tali yang dibuat dari sabut kelapa telah melilit dipergelangan tangan mereka, bahkan di perut mereka.

Ki Jagabaya tertawa berkepanjangan. Katanya disela-sela derai tertawanya, “Nah, mengaku sajalah. Dimana kawan-kawanmu?”

Tidak seorang pun yang menjawab, sehingga Ki Jagabaya harus mengulangi, “Dimana kawan-kawanmu he?”

Ketiga orang itu masih belum menjawab. Sementara itu Ki Jagabaya menjadi semakin marah. Kemudian katanya kepada dua orang pembantunya, “Hadapi yang dua orang itu satu-satu. Aku akan memaksa anak muda ini berbicara.”

Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak kuasa mencegah peristiwa yang akan terjadi kemudian.

Dua orang pembantu Ki Jagabaya, yang masing-masing bertubuh tinggi kekar dan berdada bidang telah berdiri masing-masing dihadapan Kiai Gringsing dan Jayaraga. Sementara itu Ki Jagabaya sendiri, yang juga bertubuh tinggi besar, berdada bidang dan berkumis tebal, berdiri dihadapan Sabungsari. Ia menganggap anak muda itu sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Apalagi dua orang yang lain dianggapnya sudah terlalu tua untuk diperlakukan dengan kasar.

“He, apakah kau memang bisu?” bentak Ki Jagabaya, “jangan menunggu aku marah.

Sabungsari sama sekali tidak menjawab, tetapi wajahnya mulai berkerut. Ia justru hampir tidak tahan lagi mengalami perlakuan seperti itu. Namun agaknya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih bersikap tenang-tenang saja.

“Apakah orang-orang tua itu sama sekali tidak tersinggung mendapat perlakuan seperti ini?”tetapi pertanyaan itu tidak langsung terucapkan.

Dalam pada itu Ki Jagabaya yang benar-benar mulai marah itu melangkah mendekat sambil membentak semakin keras, “Jadi kau memang tidak mau berbicara he?”

Orang-orang yang ada di sekitarnya berteriak, “Serahkan kepada kami.”

Kemarahan Ki Jagabaya pun kemudian tidak tertahan kan lagi. Ketika ia memberi isyarat kepada kedua orang pembantunya, maka kedua orang pembantunya itu pun mulai berteriak-teriak pula menanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, siapakah kawan-kawan mereka yang lam.

Tetapi baik Kiai Gringsing, maupun Ki Jayaraga, sama sekali juga tidak menjawab.

Ki Jagabaya akhirnya tidak sabar lagi. Dengan marah ia berteriak, “Aku beri kau kesempatan sekali lagi untuk menjawab pertanyaanku. Jika tidak maka aku tidak akan bersabar lagi. Nah, jawab pertanyaanku, dimana dan siapa saja kawan-kawanmu he? Apakah diantara mereka terdapat orang-orang padukuhan ini?”

Sabungsari memandang wajah Ki Jagabaya yang mulai menjadi merah. Namun Sabungsari masih tetap berdiam diri.

Ki Jagabaya benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun kemudian mulai melakukan kekerasan. Tangannya terayun ke pipi Sabungsari yang terikat itu.

Namun Sabungsari melihat gerak itu. Karena itu, maka ditingkatkannya daya tahan tubuhnya.

Ketika tangan itu mengenai pipinya, Sabungsari berhasil mengatasi rasa sakitnya, sehingga pukulan telapak tangan Ki Jagabaya itu bagi Sabungsari tidak lebih dari sentuhan kaki lalat yang hinggap di pipinya itu.

Namun yang dilakukan oleh Ki Jagabaya itu bagi Sabungsari sudah keterlaluan. Sehingga karena itu, maka menurut Sabungsari, ia tidak dapat membiarkannya diperlakukan seperti itu. Ia tidak lagi minta pertimbangan Kiai Gringsing, bahkan seandainya Kiai Gringsing tidak akan ikut melakukannya, maka ia akan melakukannya sendiri.

Karena itu, demikian Ki Jagabaya memukul pipinya, maka Sabungsari yang sama sekali tidak merasa sakit karena kemampuan daya tahannya berhasil mengatasinya itu, telah mengusap pipinya dengan tangannya pula sambil berkata, “Ki Jagabaya, jangan ulangi. Pipiku akan dapat menjadi sakit.”

“Aku tidak peduli”, teriak Ki Jagabaya, “aku memang membuatmu sakit. Bahkan aku akan membuatmu lebih sakit lagi.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mengusap pipinya dengan kedua belah telapak tangannya.

Mula-mula Ki Jagabaya tidak begitu memperhatikan. Namun tiba-tiba ia sadar, bahwa orang yang dihadapinya itu telah diikat tangannya pada batang pohon kelapa. Namun tiba-tiba saja orang itu telah mengusap pipinya dengan tangannya.

Karena itu, maka dengan serta merta Ki Jagabaya telah meloncat ke samping. Ternyata ia melihat ikatan tangan Sabungsari telah terlepas.

“Setan”, teriak Ki Jagabaya, “siapa yang telah mengikat tangan pencuri kambing ini, he? Ternyata orang itu terlalu dungu, sehingga talinya terlepas.”

Beberapa orang telah berloncatan pula. Mereka pun segera berusaha untuk mengikat kembali tangan Sabungsari.

Tetapi tiba-tiba saja seorang diantara mereka berteriak, “Tali ini bukannya terlepas. Tetapi tali ini ternyata telah putus.”

“Putus” bertanya Ki Jagabaya, “apakah kau gila? Tali sedemikian besarnya. Tali yang tidak dapat putus meskipun untuk mengikat seekor kerbau yang mengamuk sekalipun.”

Tetapi orang itu menunjukkan, bahwa tali itu memang putus.

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat ingkar bahwa tali itu memang putus. Bahkan tidak hanya di satu tempat, tetapi tali itu rantas, seakan-akan telah dihentakkan oleh kekuatan raksasa.

Beberapa saat Ki Jagabaya merenungi tali yang putus itu. Namun tiba-tiba ia berteriak, “Ambil tali yang lain. Aku ingin melihat, apakah memang orang ini yang telah memutuskan tali itu.”

Tetapi Sabungsari yang sudah tidak sabar itu berkata, “Kau tidak perlu kemana-mana Ki Jagabaya. Untuk membuktikan, bahwa aku mampu memutuskan tali itu, agaknya dapat dicoba dengan lehermu.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi merah padam. Sementara itu, Sabungsari telah melangkah selangkah maju sambil mengibaskan tangannya. Namun dengan demikian, maka orang-orang yang ada di sekitarnya pun sudah mulai bergerak.

Tetapi Sabungsari benar-benar telah jemu melihat wajah Ki Jagabaya. Ia benar-benar ingin membuat orang itu jera seandainya ia ingin melakukan sesuatu atasnya.

Dalam pada itu selagi orang-orang itu sibuk memperhatikan Sabungsari, ternyata diluar dugaan mereka, Kiai Gringsing telah melangkah mendekatinya sambil berkata

“Sudahlah. Jangan kau turutkan perasaanmu.”

Ki Jagabaya tersentak melihat Kiai Gringsing mendekat sambil mengurai tali yang masih melekat di tangannya, membersihkannya dan kemudian mengibaskannya.

“He”, teriak Ki Jagabaya pula, “bagaimana orang ini juga dapat terlepas.”

Semua orang memandang Kiai Gringsing dengan heran sebagaimana mereka melihat Sabungsari melepaskan ikatannya.

Sementara orang-orang itu menjadi terheran-heranan. Ki Jagabaya berteriak, “Lihat yang seorang. Jangan sampai ia melepaskan diri pula.”

Beberapa orang berpaling kearah Ki Jayaraga. Beberapa orang itu segera berloncatan. Namun mereka terlambat. Mereka melihat tali di pergelangan tangan Ki Jayaraga tidak saja putus, tetapi rontok menjadi abu.

“Lihat Ki Jagabaya”, teriak seseorang.

Ki Jagabaya menjadi semakin kebingungan. Tetapi ditinggalkannya Sabungsari dan Kiai Gringsing untuk melihat ikatan dari yang seorang lagi.

Matanya memang terbeliak melihat tali yang menjadi abu dan rontok jatuh di tanah itu.

Karena Ki Jayaraga masih belum menarik tangannya yang melekat pada batang pohon kelapa itu, maka Ki Jagabaya pun telah berteriak, “Ambil tali, cepat.”

Dengan serta merta Ki Jagabaya telah meloncat menangkap tangan itu agar orang itu tidak meninggalkan tempatnya sebelum tali yang diminta itu datang.

Namun demikian ia menangkap tangan Ki Jayaraga, maka Ki Jagabaya telah berteriak diluar sadarnya. Ternyata Ki Jayaraga telah bermain dengan ilmu apinya. Karena itu, maka Ki Jagabaya itu bagaikan telah menangkap bara.

Sambil melangkah mundur Ki Jagabaya memandangi tangannya yang mengalami luka bakar. Bukan sekedar menurut penglihatannya. Tetapi telapak tangannya itu benar-benar terasa sakit dan bahkan menjadi merah kehitaman.

“Apakah aku berhadapan dengan anak iblis?” bertanya Ki Jagabaya dengan wajah tegang.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Ki Jagabaya yang berdiri termangu-mangu. Dengan nada rendah ia menjawab, “Kau kira anak iblis ada yang setua aku? Ki Jagabaya, sudahlah. Jangan terlalu bernafsu menghukum orang-orang yang tidak bersalah.”

“Meskipun kau anak iblis, tetapi apakah kau akan dapat menghadapi seluruh isi Kademangan ini?” bertanya Ki Jagabaya.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?” bertanya Ki Jayaraga, “apakah aku akan menghadapi seisi Kademangan ini?”

Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Namun yang menjawab adalah Sabungsari yang berdiri beberapa langkah daripadanya, “Ki Jagabaya. Aku sudah jemu dengan sikapmu. Marilah, jika kau memang ingin aku pilin kumismu itu, atau aku harus mencabutinya satu per satu? Bahkan jika kau memaksa orang-orang Kademangan ini untuk mengorbankan dirinya, marilah, silahkan maju. Tetapi dengarlah. Seluruh isi Kademangan ini tidak akan dapat menangkap aku.”

“Cepat”, geram Sabungsari, “siapa yang akan mati lebih dahulu. Karena jika kalian sudah mulai melangkah memasuki arena, maka kalian hanya dapat keluar tanpa nyawa. Tubuh kalianlah yang akan diusung pulang ke-rumah kalian.”

Suara Sabungsari terdengar lantang dan didorong oleh kejengkelan yang menyesakkan dadanya.

Orang-orang Kademangan itu termangu-mangu. Sementara itu Ki Demang lah yang telah berdiri di tangga pendapa berkata, “Sudahlah, untuk apa kita bertengkar tanpa arti. Kita dapat berbicara lebih baik tanpa menggunakan kekerasan.”

Halaman itu menjadi hening. Ki Jagabaya memang harus merenungi tangannya yang sakit. Telapak tangannya memang menjadi hangus justru hanya karena ia meraba tubuh salah seorang diantara ketiga orang yang dituduhnya mencuri kambing itu. Dengan demikian, maka agaknya benar juga bahwa tidak seorang pun yang akan mampu menangkap orang itu.

Tetapi tiba-tiba Ki Jagabaya itu berkata lantang, “Kalian jangan selalu sombong. Jika kami sudah mempergunakan senjata kami, maka kalian akan dibunuh dengan cara yang sangat mengerikan. Setiap orang akan melontarkan senjatanya ke tubuh kalian, sehingga kalian akan mengalami luka arang keranjang.”

“Jadi kau benar-benar ingin mati Ki Jagabaya?”, geram Sabungsari yang semakin marah, “senjata hanya mempercepat kematian kalian. Tolong, lempar senjata itu kepadaku. Aku akan berterima kasih.”

Ki Jagabaya benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia sudah melihat dan mengalami kelebihan yang tidak masuk akal. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak dapat melangkah surut justru di mata sekian banyak orang yang menganggapnya orang yang paling kuat di Kademangan itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa berkepanjangan diantara orang-orang yang berkerumun itu.

Semua orang terkejut. Termasuk Sabungsari, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Apalagi ketika suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin keras. Bahkan sejenak kemudian suara tertawa itu telah mengguncang seluruh isi halaman.

Ki Demang, Ki Jagabaya, para bebahu dan apalagi orang-orang lain yang sedang berkumpul di halaman itu jantungnya bagaikan menggelepar kesakitan.

Bahkan seorang yang tidak dapat menahan diri sudah jatuh terduduk di tanah sambil memegangi telinganya yang seolah-olah akan menjadi koyak.

Namun suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin rendah sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

Demikian suara tertawa itu terhenti, maka empat orang yang bertubuh tegap seperti Ki Jagabaya, telah melangkah maju menyibakkan orang-orang yang berkerumun itu.

Seorang diantara mereka berkata, “Ki Jagabaya. Orang-orang itu agaknya memang bukan lawan kalian. Kalian tentu akan mengalami kesulitan jika kalian benar-benar ingin menangkap pencuri kambing itu. Tetapi biarlah kami membantu Ki Demang dan orang-orang Kademangan ini. Biarlah kami yang menghukumnya. Tetapi kami minta maaf jika karena perlawanan mereka, maka mereka akan mati disini.”

Ki Jagabaya termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab Ki Demang lah yang bertanya lebih dahulu, “Siapakah kalian?”

“Kami adalah ampat saudara seperguruan yang sedang mengembara. Kami mengemban tugas-tugas kemanusiaan. Karena itu, maka kami telah siap untuk menolong kalian menangkap pencuri-pencuri itu. Tetapi jika mereka melawan, maka kemungkinan seperti yang aku katakan itu dapat terjadi. Kematian.”

Ki Demang menjadi ragu-ragu. Diluar sadarnya ia mulai memperbandingkan ketiga orang yang dituduhnya mencuri itu dengan keempat orang yang baru muncul itu. Menilik wajah, sorot mata dan sikapnya, maka ketiga orang itu nampak lebih lembut, meskipun yang muda sekali-sekali menunjukkan kekerasan. Tetapi ampat orang ini nampaknya agak lebih keras dan kasar. Namun sebelum Ki Demang mengambil sikap, Ki Jagabaya yang merasa tangannya telah dilukai itu berkata,, “Terima kasih Ki Sanak. Jika kalian bersedia membantu kami, maka kami akan sangat senang karenanya. Ketiga orang itu telah bukan saja mencuri, tetapi telah menghina kami dengan permainan sihirnya.”

“Bukan sihir Ki Jagabaya”, jawab orang itu, “satu permainan kanak-kanak yang barangkali pernah dipelajarinya pada seorang guru di sebuah padepokan. Tetapi permainan itu sama sekali tidak mencemaskan. Permainan itu adalah permainan yang tidak berarti sama sekali.”

“Jika demikian, silahkan” berkata Ki Jagabaya, “tetapi kami akan lebih senang jika orang-orang itu dapat tertangkap hidup-hidup. Kamilah yang akan menghukum mereka.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kami akan mengusahakannya. Tetapi jika tidak mungkin, biarlah mereka mati disini.”Ki Jagabaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah pasti, bahwa ketiga orang itu akan dapat ditangkap. Hidup atau mati. Apalagi orang yang telah menghinanya dan telah membakar telapak tangannya itu.

Karena itu, maka Ki Jagabaya pun kemudian melangkah surut. Demikian pula orang-orang yang berkerumun itu. Dengan demikian maka halaman Kademangan itu pun menjadi longgar. Seakan-akan telah sengaja dibuat sebuah arena yang luas, yang akan dapat dipergunakan untuk berperang tanding.

Namun dalam pada itu, salah seorang diantara keempat orang itu berkata, “Jagalah baik-baik, agar ketiga orang itu tidak melarikan diri. Jangan takut, disini ada kami berempat.”

Orang-orang Kademangan itu pun menjadi semakin mantap. Karena itu mereka pun telah benar-benar mengepung rapat arena yang akan dipergunakan oleh keempat orang itu menangkap tiga orang yang dianggap telah mencuri kambing.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang kemudian sudah berdiri berdekatan dengan Ki Jayaraga dan Sabungsari itu pun berkata perlahan, “Nah, bukankah usaha kita menemukan pencuri yang sebenarnya itu akan berhasil?”

“Darimana Kiai tahu?” bertanya Sabungsari.

“Satu dugaan. Tetapi rasa-rasanya dugaan ini benar”, jawab Kiai Gringsing.

“Aku juga menyangka begitu” desis Ki Jayaraga.

Namun dalam pada itu, Ki Demang yang berada di pendapa itu berteriak, “Cukup. Permainan ini harus dihentikan.”

Tetapi seorang diantara keempat orang itu menyahut, “Jangan berteriak-teriak Ki Demang, agar kau tidak ikut aku tangkap sekali.”

Ki Demang itu pun terdiam. Ia sadar, bahwa keempat orang itu pun tentu orang-orang berilmu tinggi. Suara tertawanya sudah dapat membuat jantungku hampir rontok karenanya.

Ki Demang menyesal, bahwa di halaman rumahnya akan terjadi pertarungan orang-orang berilmu tinggi, namun yang tidak jelas ujung dan pangkalnya. Ia pun justru menjadi semakin ragu, apakah ketiga orang itu benar telah mencuri kambing. Apalagi menilik sikap dari keempat orang yang muncul kemudian itu.

Tetapi Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa. Semuanya itu akan terjadi tanpa dapat dicegahnya lagi.

Demikianlah keempat orang itu pun telah berada di-arena. Namun seorang diantara mereka berkata kepada kawannya, “Kau mengawasi sajalah agar orang-orang itu tidak melarikan diri. Kami akan menangkapnya bertiga saja, karena mereka juga hanya bertiga.”

“Kenapa aku yang harus mengawasi?” bertanya kawannya itu.

“Kau adalah orang yang paling muda diantara kami”, jawab yang lain.

Orang itu nampak menjadi kecewa. Dengan nada datar ia berkata, “Seharusnya kalian memberi kesempatan kepadaku. Kalian sudah banyak berbuat sesuatu. Jauh lebih banyak dari aku.”

“Tetapi orang-orang ini nampaknya agak liar” berkata saudara seperguruannya itu, “karena itu kau awasi sajalah. Kau lihat bagaimana aku memilin lehernya.”

Yang termuda diantara keempat saudara seperguruan itu tidak menjawab. Tetapi ia siap untuk mengawasi ketiga orang itu. Jika diantara mereka ada yang berusaha melarikan diri, maka ia harus cepat bertindak.

Sabungsari memang sudah tidak sabar lagi. Tetapi Kiai Gringsing telah menggamitnya. Setiap kali ia harus menahan Sabungsari agar tidak tergesa-gesa bertindak.

“Memang lain dengan Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Bagi Kiai Gringsing, Agung Sedayu dapat lebih banyak menyesuaikan diri daripada Sabungsari. Tetapi Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa Sabungsari adalah seorang prajurit dibawah pimpinan Untara yang mempunyai sifat dan watak yang jauh berbeda dengan Agung Sedayu.

Sementara itu, ketiga orang saudara seperguruan itu telah siap menghadapi tiga orang yang oleh Ki Jagabaya telah ditetapkan sebagai tiga orang pencuri kambing.

Seorang yang paling tua diantara mereka telah mendekati Ki Jayaraga. Menurut perhitungan mereka, Ki Jayaraga memiliki kemampuan yang paling mendebarkan. Ia mampu membakar tali yang mengikat pergelangan tangannya menjadi abu, sementara itu pakaiannya sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Dengan demikian maka orang itu mampu mengungkapkan ilmunya sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian maka orang tertua diantara keempat saudara seperguruan itulah yang akan menghadapinya. Ada pun orang kedua akan berhadapan dengan Kiai Gringsing sementara yang lebih muda lagi akan menghadapi Sabungsari.

“Ki Sanak” berkata orang yang tertua diantara mereka berempat, “kalian telah menjalankan permainan kalian yang tidak seberapa itu disini. Tentu saja kau berhasil membuat orang padukuhan ini kebingungan. Tetapi untunglah bahwa disini ada kami.”

“Kalian siapa?” bertanya Ki Jayaraga.

“Kalian tidak perlu mengenal kami lebih banyak dari yang sudah aku katakan. Kami adalah ampat orang saudara seperguruan yang sedang mengemban tugas-tugas kemanusiaan. Itu saja”, jawab yang tertua diantara mereka.

“Jika demikian kita sama-sama mengemban tugas kemanusiaan”, jawab Ki Jayaraga.

“O” tiba-tiba orang itu tertawa, “dengan mencuri kambing kau mengemban tugas-tugas kemanusiaan?”

“Apa artinya seekor kambing kecil dan sakit-sakitan?”, jawab Ki Jayaraga.

Jawaban itu memang mengejutkan. Sabungsari juga terkejut. Justru karena itu ia tidak segera menyahut.

Namun yang terdengar adalah suara saudara tertua diantara keempat orang seperguruan itu, “Kau jangan berbohong. Bukan seekor kambing kecil sakit-sakitan. Tetapi seekor kambing muda yang gemuk.”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia pun bertanya, “Darimana kau tahu bahwa kambing itu muda dan gemuk?”

Orang itu tergagap. Sementara itu Sabungsari yang tidak sabar lagi telah memotong, “Nah, jika demikian kalianlah pencuri kambing itu. Tentu kalian tidak hanya berempat. Sebut, dimana kawan-kawanmu he?”

“Gila”, geram orang itu, “bagaimana mungkin kau menuduh kami?”

“Aku tidak peduli” berkata Sabungsari, “kita dapat menuduh siapa saja seperti dilakukan oleh Ki Jagabaya. Apalagi bahwa kau telah dapat menyebutkan, bahwa yang hilang itu seekor kambing muda yang gemuk“ Sabungsari tiba-tiba saja telah berteriak kepada orang-orang yang berkerumun, “He, siapa tahu, apakah kambing yang hilang itu kecil sakit-sakitan atau muda dan gemuk?”

Tiba-tiba saja, seolah-olah di luar sadarnya, orang padukuhan yang tahu ujud kambing yang hilang itu bahkan pemiliknya sendiri juga ada diantara mereka, berteriak, “Kambing itu muda dan gemuk.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nah, kita tahu sekarang, siapakah yang telah mencuri kambing itu.”

“Persetan”, geram orang itu dengan marah, “satu kesimpulan gila. Kau pikir kau akan dapat mengingkari kejahatan yang telah kau lakukan? Nah, sekarang jangan banyak bicara. Kami diminta oleh seisi padukuhan ini untuk menangkap kalian.”

Sabungsari yang juga telah menjadi semakin marah membentak, “Kau atau aku yang akan menangkap pencuri. Nah, marilah. Kita akan membuktikannya dengan kemampuan kita Siapa yang benar akan memenangkan pertempuran ini.”

“Bagus”, sahut orang itu, “kita akan mulai. Aku akan menangkap orang tua yang mempunyai kekuatan sihir ini.”

Sabungsari pun segera bersiap. Tetapi ia tidak dapat memilih lawan. Seseorang telah siap untuk melawannya.

Namun dalam pada itu Kiai Gringsing masih juga bersikap sebagaimana tidak terjadi apa-apa. Bahkan ia masih sempat berkata, “Kita telah bertemu dengan sekelompok orang yang bukan saja mencuri kambing. Tetapi kita akan dapat menemukan sesuatu yang lain pada diri mereka.”

“Kau jangan ikut menjadi gila kakek” berkata orang yang sudah siap menghadapi Kiai Gringsing, “sebaiknya kau menyerah saja, agar. kau tidak mengalami kesulitan di hari tuamu ini”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Apakah sebaiknya bukan kau saja yang menyerah?”

Pertanyaan Kiai Gringsing itu bagaikan mengetuk jantung lawannya yang sudah siap untuk bertempur itu. Karena itu, maka lawannya yang marah itu pun berkata, “Baiklah. Aku harus memaksamu menyerah. Jika kau tetap melawan, bukan salahku jika itu mempercepat kematianmu.”

Kiai Gringsing pun kemudian telah bersiap pula. Bagaimanapun juga ia tidak boleh mengabaikan lawannya. Kelengahan akan dapat menjerumuskan kedalam kesulitan.”

Demikian pula agaknya Ki Jayaraga dan Sabungsari. Mereka pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu Ki Demang yang mendengarkan percakapan diantara ketiga orang yang dituduh telah mencuri kambing itu dengan keempat orang yang muncul kemudian, menjadi semakin ragu-ragu. Agaknya memang ada kemungkinannya sebagaimana dikatakan oleh orang termuda diantara ketiga orang yang dituduh mencuri itu, bahwa sebenarnya keempat orang itulah yang telah mencuri kambing.

Agaknya bukan Ki Demang saja yang menjadi ragu-ragu. Beberapa orang bebahu pun menjadi ragu-ragu.

Bahkan seorang diantara mereka kemudian berdiri disamping Ki Demang sambil berkata, “Ki Demang. Apakah Ki Demang benar-benar yakin bahwa ketiga orang itulah yang telah mencuri kambing?”

“Tidak”, jawab Ki Demang, “aku justru berpendapat lain. Mungkin keempat orang itulah yang justru telah melakukannya. Namun bagaimanapun juga, kedua belah pihak adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian Ki Demang. Kita memang harus menyesal, bahwa Kademangan ini telah menjadi ajang pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi itu,

Ki Demang tidak dapat menjawab. Namun ia berdesis, “Sebagian besar adalah karena salahku.”

Bebahu itu tidak menjawab. Ketika ia melihat Ki Jagabaya, maka agaknya Ki Jagabaya tetap pada pendiriannya.

Kemarahannya kepada Ki Jayaraga telah membuatnya bertahan pendiriannya. Apalagi ia memang ingin membalas kesakitan yang menyengat kedua telapak tangannya yang bagaikan menggenggam bara itu.

Sejenak kemudian, maka telah terjadi tiga lingkaran pertempuran. Nampaknya tidak seorang pun diantara mereka yang memerlukan senjata. Ketiga orang yang dituduh mencuri kambing itu memang tidak nampak bersenjata, sementara keempat orang yang muncul kemudian itu pun tidak menarik senjata mereka pula, meskipun mereka membawa senjata mereka masing-masing.

Agaknya mereka merasa tidak perlu mempergunakan senjata mereka untuk melawan orang-orang tua. Namun yang menghadapi Sabungsari pun tidak pula merasa memerlukan senjata.

Ketika mereka mulai bertempur, ternyata Sabungsari masih dapat mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak dengan serta merta mempergunakan kemampuan puncaknya.

Kiai Gringsing yang tua itu pun berusaha untuk menjajagi kemampuan ilmunya. Meskipun orang tua itu cukup berhati-hati. Ia tidak menganggap lawannya tidak berbahaya. Karena itu, maka Kiai Gringsing telah meningkatkan daya tahannya untuk melindungi dirinya.

Yang termangu-mangu kemudian adalah Ki Jayaraga. Ia sadar bahwa lawannya tentu sudah mengetahui kemampuannya untuk menyadap kekuatan api dengan usahanya membakar tali pengikat tangannya. Karena itu, maka ia pun memperhitungkannya, bahwa lawannya benar-benar sudah siap menghadapinya.

Sebenarnyalah bahwa lawan Ki Jayaraga telah memperhitungkan pula hal itu. Karena itu, maka lawan Ki Jayaraga itu telah bersiap-siap untuk, mengatasi sentuhan apinya.

Ketika orang itu menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya, maka Ki Jayaraga masih berusaha untuk mengetahui, dimanakah lawannya meletakkan kekuatan serangannya. Karena itu, maka Ki Jayaraga dengan cermat berusaha untuk mengamati setiap gerak dan akibatnya.

Dengan hati-hati Ki Jayaraga telah meloncat menghindar ketika lawannya menyerang langsung kewadagnya. Ki Jayaraga memperhitungkan, bahwa lawannya itu tentu memiliki kekuatan tertentu sehingga ia berani menyerangnya meskipun tubuhnya mampu melepaskan panasnya api sebagaimana ia telah membakar tali yang mengikat pergelangannya.

Namun ternyata Ki Jayaraga terlambat. Ternyata bahwa lawannya itu mampu menyerang tubuhnya tanpa menyentuhnya. Seolah-olah kekuatan ilmunya merupakan kepanjangan dari gerak serangan wadagnya.

Karena itu, maka Ki Jayaraga masih belum sempat keluar dari garis serangannya. Ternyata pundak Ki Jayaraga bagaikan disambar oleh kekuatan yang sangat besar, sehingga Ki Jayaraga telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan orang tua itu hampir saja telah kehilangan keseimbangannya.

Untunglah bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang sangat luas. Dalam keadaannya ia justru telah menjatuhkan dirinya. Dua kali ia berguling. Namun kemudian ia pun telah melenting berdiri.

Demikian Ki Jayaraga tegak, maka ia pun segera mengerti kelebihan yang dimiliki oleh lawannya itu.

Dengan demikian, maka ia pun segera menempatkan dirinya dalam kesiapan menghadapinya.

Kiai Gringsing dan Sabungsari mula-mula terkejut melihat Ki Jayaraga terdesak pada serangan pertama. Namun mereka pun kemudian melihat Ki Jayaraga itu telah siap kembali menghadapi setiap kemungkinan.

Meskipun Ki Jayaraga yakin akan kemampuan Sabungsari, namun ia masih juga ingin memperingatkannya, karena mungkin saja Sabungsari dibelit oleh kemarahannya sehingga ia tidak segera melihat letak kelebihan lawan. Karena itu, maka setelah ia berdiri tegak dan siap menghadapi lawannya itu, ia berkata, “Bukan main. Masih juga ada ilmu yang dahsyat itu sekarang. Kau mampu melepaskan seranganmu mendahului ujud wadagmu. He, dimana aku pernah melihat ilmu seperti itu?”

Kiai Gringsing lah yang menyahut, “Luar biasa. Untunglah Pandan Wangi tidak ikut serta bersama kita”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Pandan Wangi juga memiliki ilmu sejenis dengan ilmu yang dimiliki oleh lawannya itu. Bahkan kelebihan Pandan Wangi, bahwa ketekunannya menempa diri serta menelusuri hubungannya dengan kekuatan alam di sekitarnya telah membawanya memasuki satu bentangan ilmu yang sudah jarang dimiliki oleh seseorang. Dengan beberapa petunjuk dari Kiai Gringsing, maka Pandan Wangi mampu mendalami ilmu seperti yang dimiliki oleh lawan Ki Jayaraga itu, sebagaimana Agung Sedayu juga pernah menghadapi beberapa orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Sementara itu ilmu Pandan Wangi telah berkembang terus, sehingga kemudian ia tidak saja mampu melontarkan ilmunya mendahului ujud wadagnya, namun ia telah mampu melontarkan serangan melampaui satu jarak tertentu.

Dalam pada itu Sabungsari yang mendengar kata-kata Ki Jayaraga itu segera memaklumi. Meskipun lawannya masih belum mengetrapkannya, namun ternyata ia harus berhati-hati. Pada satu, saat jika keadaan memaksanya, maka lawannya itu tentu akan mengetrapkan ilmunya itu, karena keempat orang itu adalah empat orang saudara seperguruan, sehingga mereka agaknya memiliki ilmu yang serupa.

“Agaknya ilmu seperti itu akan berkembang lagi” berkata Sabungsari didalam hatinya.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun segera berkelanjutan. Ki Jayaraga yang telah mengetahui kemampuan ilmu lawannya, telah bertempur dengan sangat berhati-hati. Ia harus dapat memperhitungkan jarak gapai sergapan lawannya, sehingga ia mampu bergerak mendahuluinya agar kekuatan yang mendahului ujud wadag orang itu tidak mengenainya.

“Persetan kau kakek tua”, geram orang itu, “ternyata kau mampu mengenali kekuatan ilmuku.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “ilmu yang sebenarnya mulai susut karena tidak mampu lagi mengatasi berbagai kesulitan di medan perang. Tidak lebih dari seorang yang membawa galah karena tangannya tidak sampai menggapai jambu air.”

“Alangkah sombongnya kau kakek tua” bentak lawannya yang tiba-tiba saja telah meningkatkan serangannya. Demikian dahsyatnya bagaikan badai yang datang mengguncangkan hutan yang lebat.

Tetapi sasaran serangannya adalah Ki Jayaraga. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berhasil mengenainya. Jika serangan pertamanya berhasil melontarkan orang tua itu sehingga ia berguling di tanah, maka serangan-serangan berikutnya hampir tidak berarti sama sekali. Sementara itu Ki Jayaraga sama sekali masih belum membalasnya selain menghindarinya setiap serangan.

Yang dilakukan oleh Kiai Gringsing tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga. Kiai Gringsing yang mengetahui kemampuan lawannya itu, sempat membuat lawannya menjadi bingung. Kakek yang nampaknya sudah terlalu tua itu, masih mampu bergerak cepat sekali menghindari serangan-serangannya. Bahkan ketika ia sudah sampai ke tingkat ilmunya yang semakin tinggi, orang tua itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Yang tidak bertempur seperti Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing adalah Sabungsari. Sejak ia ditangkap, rasa-rasanya ia sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kini kemarahannya itu telah tertumpah pada lawannya.

Karena itu maka pertempuran diantara Sabungsari dan lawannya itulah yang nampak menjadi semakin sengit. Sabungsari tidak hanya sekedar menghindarkan serangan lawannya seperti dilakukan oleh orang-orang tua itu. Tetapi ia pun membalas serangan dengan serangan.

Ternyata peringatan Ki Jayaraga sangat berarti bagi Sabungsari. Ia tidak perlu mengalami kesulitan pada benturan-benturan pertama. Karena itu, maka yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang cepat dan keras.

Sabungsari yang sudah mengetahui kekuatan lawan itu, masih bertahan dengan kemampuannya, la masih menganggap bahwa ia belum perlu melepaskan ilmunya yang paling dahsyat lewat sorot matanya.

Keduanya kemudian telah bertempur dengan cepat. Mereka berloncatan saling menyerang dan saling menghindar. Desak-mendesak. Sekali-kali Sabungsari harus berloncatan surut. Tetapi jika terbuka kesempatan baginya, maka serangannya datang seperti prahara. Menerjang dengan kekuatan yang mendebarkan jantung lawannya.

Meskipun lawannya kemudian telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya, namun ia masih belum berhasil memaksa Sabungsari untuk berlutut. Bahkan perlawanannya justru menjadi semakin lama semakin cepat.

Yang berhasil lebih dahulu mengenai tubuh lawannya justru Sabungsari. Kecepatan geraknya telah menembus pertahanan lawannya, bahkan menembus ilmunya pula. Ketika lawannya gagal menerkam Sabungsari, maka Sabungsari yang sudah membuat perhitungan yang cermat, telah meloncat menyamping. Kakinyalah yang telah mengenai lambung lawannya, sehingga lawannya itu terdorong selangkah menyamping. Untunglah bahwa ia masih mampu berdiri tegak diatas kakinya. Namun ia terpaksa meloncat surut untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi Sabungsari tidak banyak memberinya kesempatan. Sesaat kemudian ia pun telah meloncat menyerang pula. Tetapi langkahnya tertahan ketika lawannya mengayunkan lengannya. Meskipun jaraknya melampaui jarak panjang tangan lawannya, tetapi Sabungsari menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang dapat menjadi kepanjangan ujud wadagnya itu.

Namun demikian tangan itu terayun tanpa mengenai sasarannya Sabungsari telah meloncat pula. Demikian cepatnya, sehingga ketika kakinya terjulur, hampir saja untuk kedua kalinya orang itu dapat dikenainya.

Tetapi dengan tangkasnya lawan Sabungsari itu berhasil bergeser menyamping. Bahkan ia sempat mengayunkan tangannya pula. Demikian cepatnya, sehingga Sabungsari tidak sempat menghindar. Selisih perhitungan sejengkal, telah membuat Sabungsari terdorong dengan kerasnya. Meskipun ujud wadag lawannya tidak mengenainya, tetapi rasa-rasanya tengkuk Sabungsari telah dihantam dengan segumpal batu padas.

Hampir saja Sabungsari jatuh terjerembab tanpa terkekang. Namun pengalaman dan kemampuannya telah dapat mengatasi kesulitan itu sehingga Sabungsari tidak terbanting jatuh. Tetapi ia mampu jatuh pada keadaan yang mapan. Dua kali ia berguling. Kemudian dengan sigapnya ia melenting tegak. Meskipun pada saat yang bersamaan serangan berikutnya telah memburunya, tetapi Sabungsari sempat menghindar. Ketika tangan lawannya itu terjulur lurus ke dadanya, maka Sabungsari harus bertindak cepat. Meskipun menurut pengamatan wadagnya, tangan itu tidak akan sampai menggapai tubuhnya, tetapi arah serangan itu merupakan garis yang berbahaya.

Dengan tangkasnya Sabungsari bergeser ke samping sehingga sasaran serangan itu tidak dikenainya.

Tetapi dengan tiba-tiba saja tangan itu telah terayun ke samping pula. Demikian cepatnya, sehingga Sabungsari terkejut karenanya. Namun dengan cepat pula Sabungsari berhasil merendahkan dirinya diatas lututnya; sehingga terasa olehnya ayunan kekuatan ilmu lawannya lewat diatas kepalanya.

Pada saat yang demikian Sabungsari tidak melepaskan kesempatan. Bertumpu pada tangannya, maka ia telah meloncat menyerang lawannya. Kakinya terjulur dengan cepatnya mengenai lambung lawannya yang terbuka karena tangannya yang sedang terayun itu.

Serangan itu demikian kerasnya, sehingga lawan Sabungsari itu telah terlempar dua langkah menyamping. Meskipun orang itu jatuh diatas kakinya, tetapi hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia berusaha untuk tidak jatuh terlentang.

Meskipun ia berhasil, namun demikian cepatnya pula serangan Sabungsari menyusulnya. Lawannya yang melihat serangan itu, agaknya tidak sempat mengambil sikap. Dengan demikian maka ia pun justru telah menjatuhkan dirinya.

Sabungsari memang tidak dapat mengenai tubuh lawannya. Dengan sigap ia pun tegak kembali untuk membuat ancang-ancang baru.

Tetapi tiba-tiba saja sambil masih berbaring di tanah, ia pun telah menyapu kaki Sabungsari. Sekali lagi Sabungsari salah hitung. Jaraknya memang cukup jauh dari orang itu, namun ilmu orang itulah yang telah mengenai kaki Sabungsari. Demikian kerasnya, sehingga kaki Sabungsari itu telah terpental.

Sabungsari lah yang kemudian jatuh terbanting di tanah. Memang agak keras. Meskipun perasaan sakit menyengat punggungnya, namun Sabungsari sempat meloncat bangkit dan berdiri tegak mendahului lawannya. Karena itu, dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, ia pun dengan geramnya meloncat maju dengan tangan terjulur lurus.

Tepat pada saat lawannya berdiri, maka tangan Sabungsari itu telah menghantam dadanya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar orang itu mengaduh tertahan.

Sekali lagi orang itu terlempar dan terjatuh betapa pun ia berusaha bertahan. Tetapi ia tidak mau menjadi sasaran serangan yang tidak berkesudahan. Ternyata bahwa lawannya mampu bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan geraknya sendiri.

Karena itu, maka orang itu pun merambah kepada kekuatannya yang lain. Dengan ilmunya ia merasa tidak mampu menundukkan lawannya, bahkan sekali-sekali dirinya sendirilah yang harus berloncatan surut.

Dengan demikian, maka orang itu pun telah memungut satu diantara senjata-senjata kecilnya yang terselip pada ikat pinggangnya.

Sabungsari yang telah bersiaga sepenuhnya sempat melihat tangan orang itu telah mencabut pisau-pisau kecil yang merupakan senjata khususnya disamping senjata yang ada di lambungnya.

Sabungsari yang siap meloncat menyerang telah tertegun. Dengan pengamatannya yang tajam, maka ia pun telah melihat tangan lawannya itu bergerak. Dengan cepat pula tangan itu terayun. Kemudian berkilat pulalah sebilah pisau kecil yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi menyambar dada Sabungsari.

Dengan cepat pula Sabungsari meloncat ke samping. Menurut pengertiannya, ilmu lawannya tidak berlaku pada senjata yang dilontarkan, sehingga sentuhan ujung pisau itu sendirilah yang akan dapat melukainya. Tanpa kekuatan ilmu yang mendahuluinya. Meskipun demikian Sabungsari tidak mau mengalami kesulitan karena kelengahannya. Karena itulah, maka ia harus berusaha menghindar secepat dapat dilakukannya.

Namun lawannya benar-benar memiliki kemampuan untuk bermain dengan pisau-pisaunya. Meskipun pisau itu tidak menyambarnya susul menyusul, namun serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya. Justru karena lawannya itu berlaku tenang setelah pisau kecil itu berada di tangannya. Dengan wajah yang penuh kebencian orang itu sempat membidik sasarannya dengan cermat.

Sabungsari pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika lawannya mengangkat pisaunya perlahan-lahan, maka ia pun telah bersiap untuk meloncat menghindari. Dengan saksama ia melihat gerak tangan lawannya itu.

Sementara itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing masih juga bertempur. Kedua orang itu masih lebih banyak menghindar. Tetapi jika lawannya selalu mendesaknya, maka sekali-sekali orang-orang tua itu pun menyerang juga, agar lawannya tidak bergeser maju terus. Bahkan lawan Ki Jayaraga kadang-kadang menjadi bingung. Tanpa diketahuinya, apa yang telah dilakukan lawannya, tiba-tiba saja menyusup diantara ayunan ilmunya, dorongan kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga orang itu telah terdorong tidak hanya satu dua langkah. Tetapi bahkan beberapa langkah. Tangan orang tua itu tidak menyakitinya. Hanya mendorongnya.

“Apa maunya orang tua itu”, geram lawannya di-dalam hatinya.

Demikian pula Kiai Gringsing. Ia memang tidak berusaha untuk menundukkan lawannya dengan mematahkan tangannya atau memilin lehernya. Tetapi dibiarkannya lawannya mengerahkan segenap tenaganya.

Ki Demang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi bingung. Ia melihat kedua orang tua itu seakan-akan memang tidak bersungguh-sungguh. Sekali-sekali bahkan ia melihat orang-orang tua itu tersenyum, meskipun sambil berloncatan menghindar.

Sementara itu Ki Demang melihat Sabungsari dan lawannya telah bertempur dengan sengitnya. Keduanya telah bergerak dengan cepat. Berloncatan dan saling menyerang. Keduanya telah mengalami hentakan pukulan lawannya dan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan terbanting jatuh di tanah, berguling dan melenting tegak kembali.

Ketika Ki Jayaraga kemudian mendorong lawannya dengan keras, maka lawannya itu pun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang. Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya itu dengan cepat bangkit berdiri, sementara Ki Jayaraga berdiri saja mengawasinya sambil tersenyum.

“Marilah Ki Sanak” katanya, “bangkitlah. Kita mempunyai banyak waktu untuk bermain-main.”

Lawannya menjadi semakin marah mendengar kata-kata orang tua itu. Namun bagaimanapun juga, ia merasa bahwa ia telah mengalami kesulitan. Karena itu, maka orang itu pun telah menarik senjatanya untuk menghadapi Ki Jayaraga.

Karena orang itu yakin akan ilmunya, maka senjatanya yang terselip di pinggangnya bukan sebuah golok yang besar dan panjang. Tetapi sepasang pedang kecil atau dapat juga disebut belati panjang. Dalam kemampuan ilmunya, maka belati itu seakan-akan telah berubah menjadi sebilah pedang yang panjang.

Ki Jayaraga tertegun melihat sepasang pedang pendek di tangan lawannya. Bahkan hampir bersamaan maka lawan Kiai Gringsing pun telah menggenggam belati pula.

Namun kedua orang tua itu pun melihat, bahwa lawan Sabungsari tidak menarik belatinya yang tergantung di lambung. Tetapi ia telah mempergunakan pisau-pisau kecil sekali yang dapat dilontarkan kearah lawannya dari jarak yang agak jauh.

Ki Jayaraga yang tidak berniat melawannya dengan senjata apa pun juga itu terpaksa mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Kiai Gringsing justru telah mengurai cambuknya.

“Buat apa Kiai?” bertanya Ki Jayaraga.

“Pedang-pedang kecil itu bentuknya sangat menarik” berkata Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tentu Kiai Gringsing mempunyai maksud tertentu dengan cambuknya itu.

Dalam pada itu, lawan Sabungsari telah melontarkan pisaunya pula setelah ia bergeser beberapa langkah sambil membidik. Demikian cepatnya pisau kecil itu meluncur, sehingga hampir saja berhasil menyambar pundak Sabungsari yang meloncat berguling di tanah.

Namun yang berikutnya lawannya tidak memberinya kesempatan. Ia tidak membidik lagi, tetapi demikian Sabungsari bangkit, maka pisau kecil berikutnya telah meluncur lagi.

Tetapi yang menjerit justru seorang yang berdiri disamping pendapa. Pisau itu ternyata telah salah sasaran. Lawan Sabungsari melempar pisaunya terlalu mendatar, sehingga menyambar orang yang melingkari arena pertempuran itu, meskipun dari jarak yang cukup jauh.

Jerit orang tua itu telah membakar jantung Sabungsari. Dengan geram Sabungsari berkata, “Kau telah melukai orang yang tidak tahu-menahu tentang permainan ini.”

“Itu akibat wajar dari pertempuran ini. Salahnya sendiri bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan arena”, geram lawannya.

“Ia sudah berdiri cukup jauh”, sahut Sabungsari.

“Persetan” orang itu berkata lantang, “sebentar lagi lehermu yang akan aku koyak dengan pisau-pisau kecil ini.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia sempat melihat orang yang terkena pisau itu ditolong oleh kawan-kawannya.

Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, “Pisau itu tentu beracun.”

“Apakah kau dapat menolong Kiai” berkata Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah melepas ikat kepalanya. Seperti yang pernah dilakukannya ia telah mempergunakan ikat kepalanya sebagai senjata, meskipun penggunaannya agak berbeda dengan Ki Waskita.

“Tinggalkan lawanmu” berkata Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun katanya, ”Baiklah. Tetapi aku inginkan pedang-pedang kecil itu.”

“Ambil satu” berkata Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia memang ingin satu diantara kedua pedang kecil di tangan lawannya. Agaknya pedang kecil itu memang mempunyai arti tersendiri baginya.

Karena itu, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah bersiap-siap untuk mengambil senjata itu.

Namun dalam pada itu lawannya telah mengumpat. Ia merasa direndahkan oleh lawannya yang tua itu. Seakan-akan orang tua itu akan dapat mengambil belatinya sekendak hatinya sendiri.

Tetapi ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan. Tiba-tiba saja cambuk Kiai Gringsing meledak dengan kerasnya. Seolah-olah telah mengoyakkan setiap selaput telinga. Lawannya pun terkejut mendengar ledakan itu, sehingga sesaat perhatiannya telah tertuju kepada bunyi yang menghentak itu.

Namun pada saat yang demikian, terasa sebuah tarikan yang keras sekali. Sebelum itu menyadari apa yang terjadi, maka sebilah pedang kecilnya telah lepas dari tangan kirinya. Pedang kecil itu terlempar ke udara. Namun dalam waktu yang singkat, senjata itu telah jatuh ke tangan Kiai Gringsing. Seakan-akan tangan Kiai Gringsing mempunyai kemampuan untuk menghisap pedang yang sedang terpelanting itu.

“Terima kasih” berkata Kiai Gringsing, “aku belum sempat meneliti ciri-cirinya. Aku harus menolong orang yang terkena racun itu.

Lawannya mengumpat. Tetapi ia tidak dapat menyusul Kiai Gringsing karena serangan yang lain telah datang. Serangan Ki Jayaraga.

Dengan demikian maka Ki Jayaraga harus melawan dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Keduanya adalah orang-orang terbaik diantara keempat orang bersaudara seperguruan itu. Tetapi Ki Jayaraga adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga meskipun ia harus berhati-hati menghadapi kedua lawannya, namun keduanya tidak akan dapat menundukkan Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing kemudian telah bergeser keluar dari arena sambil menyelipkan pedang kecil yang berhasil dirampasnya itu diikat pinggangnya. Ia pun dengan tergesa-gesa telah mendekati orang yang terkena pisau-pisau kecil beracun yang dilontarkan oleh lawan Sabungsari namun tidak mengenai sasarannya.

Tetapi Kiai Gringsing tertegun ketika seorang diantara keempat orang itu telah mencegatnya. Saudara seperguruan yang termuda diantara keempat orang itu.

“Kau akan melarikan diri?” bertanya orang itu.

“Tidak”, jawab Kiai Gringsing, “orang yang terkena pisau kecil beracun itu memerlukan pengobatan. Jika tidak, maka ia akan mati.”

“Kau tidak usah mempedulikannya”, geram orang itu, “mati atau tidak itu bukan urusanmu.”

“Jangan begitu bengis Ki Sanak. Jika kau ingin bertempur nanti kita akan bertempur. Tetapi biarlah aku mengobati orang itu lebih dahulu.”

Tetapi orang itu tidak mau juga bergeser. Bahkan tiba- tiba saja ia sudah siap untuk bertempur.

Kiai Gringsing yang menjadi cemas karena orang yang terkena racun itu benar-benar akan dapat meninggal, tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Karena itu ketika orang itu menyerangnya, maka dengan tangkasnya ia mengelak. Kiai Gringsing tidak memukul orang itu pada tengkuknya. Tetapi dengan jari-jarinya Kiai Gringsing telah mengetok punggung orang itu sebelah menyebelah tulang belakangnya.

Ternyata bahwa orang itu tidak mampu melawan Kiai Gringsing dalam dua loncatan. Demikian punggungnya tersentuh jari-jari Kiai Gringsing, maka seluruh tubuhnya rasa-rasanya bagaikan bergetar. Urat-uratnya menjadi lemah dan tidak berdaya, sehingga otot-ototnya pun tidak lagi mampu menyangga tubuhnya yang tegak.

Sejenak kemudian orang itu pun telah terjatuh lemas.

Kiai Gringsing segera meninggalkannya. Ia pun bergegas mendekati orang yang terkena pisau beracun itu, Dengan cepat pula Kiai Gringsing mengambil obat dari kantong ikat pinggangnya dan kemudian dengan hati-hati menarik pisau yang masih tertancap itu.

Sejenak Kiai Gringsing memperhatikannya. Ia melihat perkembangan keadaan orang itu. Kemudian menaburkan obat pada luka yang tidak mengeluarkan darah itu.

Tiba-tiba saja orang itu menjerit kesakitan. Namun, ketika ia meronta, maka Kiai Gringsing berdesis, “Jangan biarkan ia bergerak terlalu banyak. Racun itu keras sekali. Setiap gerakan akan mempercepat kesulitan pada tubuhnya. Obatku memang terasa panas seperti api. Tetapi obat itu akan menghisap racun yang telah berada didalam tubuhnya.”

Tanpa disadari, orang-orang itu pun telah melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing. Mereka memegangi kawannya yang terkena pisau itu. Sementara orang itu masih saja berteriak-teriak kesakitan, karena di tempat lukanya, seakan-akan Kiai Gringsing telah menaburkan bara api.

Namun sejenak kemudian, di luka itu nampak titik-titik darah mulai mengembun. Kemudian sedikit demi sedikit, darah yang berwarna kebiru-biruan mulai mengalir.

“Mudah-mudahan berhasil” berkata Kiai Gringsing. Ketika darah mulai keluar dari luka dan menjadi semakin merah, maka rasa-rasanya panas diluka itu pun telah menjadi susut.

Namun pada saat itu kemarahan lawan Sabungsari pun telah sampai ke puncak. Apalagi ketika, ia melihat saudara seperguruannya yang muda itu telah dilumpuhkan oleh kakek tua yang kemudian telah mengobati luka orang yang terkena pisaunya, maka kemarahannya benar-benar telah membakar kepalanya.

Dengan demikian maka tidak ada niat lain yang menyumbat diliatinya selain membunuh orang termuda diantara ketiga orang yang oleh orang-orang padukuhan itu telah dipastikan sebagai sekelompok pencuri.

Karena itu, maka serangannya pun menjadi semakin deras. Lontaran-lontaran pisaunya menjadi semakin sering. Namun bukan berarti bahwa orang itu tidak membidik sasarannya dengan baik.

Itulah sebabnya maka Sabungsari mulai mengalami kesulitan. Ia harus berloncatan kian kemari, berguling, melenting dan meloncat lagi.

Karena itulah, maka Sabungsari pun telah sampai pula pada batas pengekangan diri. Ia tidak lagi menghiraukan apa pun juga. Lebih baik menghancurkan lawannya daripada dirinya sendiri yang dihancurkan. Paugeran perang itu berlaku dan berlaku terus dalam peperangan.

Itulah sebabnya, maka ketika sebuah pisau kecil dengan arah yang lurus menuju kejantungnya, Sabungsari telah meloncat dan langsung berguling beberapa kali. Bukan saja untuk menghindari serangan itu, tetapi ia memang berusaha untuk mengambil jarak dan kesempatan.

Lawannya yang melihat Sabungsari berguling-guling menjauhinya tertegun sejenak. Namun tiba-tiba saja ia tertawa. Katanya, “Nah kau telah kehilangan semua kesempatan. Kau tidak akan dapat lolos dari tanganku. Memang terlalu berat hukuman yang akan kau terima. Kau hanya bersalah mencuri seekor kambing. Tetapi kau harus mati di halaman Kademangan ini, karena justru kau telah mengelakkan diri dari tanggung jawab. Jika kau akui saja kesalahanmu, maka hukumanmu tentu akan jauh lebih ringan.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia bangkit. Sementara itu lawannya pun telah bersiap pula dengan dua bilah pisau kecil dikedua tangannya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Satu diantara kedua pisau ini akan mengakhari perlawananmu.”

Selangkah demi selangkah orang itu mendekat. Ia ingin meyakinkan dirinya untuk benar-benar dapat mengakhiri pertempuran. Karena itu, ia ingin membunuh lawannya dari jarak yang lebih dekat.

Namun dalam pada itu Sabungsari berkata dengan suara berat, ”Sudah cukup Ki Sanak. Jangan maju lagi. Jika kau berdiri terlalu dekat dari aku, maka tubuhmu tentu akan hancur tanpa bekas.”

Orang itu memang berhenti. Sejenak ia mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian justru bertanya, “Kenapa aku kau hentikan? Agaknya kau benar-benar menjadi ketakutan. Tetapi sayang, aku sudah mengambil keputusan, bahwa kau memang harus mati. Karena itu, jangan menyesal. Semuanya sudah terlambat.

Tetapi ketika orang itu melangkah maju, terjadilah sesuatu yang sangat mengejutkannya. Dari kedua mata Sabungsari seakan-akan telah meluncur sepasang cahaya yang memancar dan menghantam tanah sedepa dihadapan lawan Sabungsari itu, sehingga tanah itu bagaikan meledak.

Orang itu terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta ia telah meloncat surut selangkah.

“Nah” berkata Sabungsari kemudian, ”jika kau masih akan maju lagi, maka tubuhmulah yang akan hancur.”

Sejenak orang itu berdiri tegak dengan dada yang berdebaran. Namun ia tidak boleh ingkar akan kenyataan itu. Ternyata bahwa lawannya itu mampu melepaskan ilmu yang dahsyat sekali.

Untuk beberapa saat orang itu berdiri tegak dengan sepasang pisau kecil dikedua tangannya. Ketika ia memandang sekilas orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka dilihatnya, semua mata telah memandang kepadanya, seolah-olah ingin menitipkan harapan, agar ia benar-benar mampu menghukum orang yang dianggap bersalah itu.

“Aku sudah mendapat kepercayaan dari mereka” berkata orang itu didalam hatinya, ”aku harus dapat memenuhi keinginan mereka.”

Karena itu, maka ia pun telah bertekad untuk benar-benar membunuh lawannya.

Orang itu ingin mempergunakan saat-saat Sabungsari tidak siap menghadapi serangannya. Karena itu, maka justru ia tidak menunjukkan sikap untuk menyerang. Ia berdiri saja mematung di tempatnya. Namun kedua tangannya telah memegang pisau-pisau kecil yang akan dapat dipergunakannya untuk membunuh lawannya.

“Nah” berkata Sabungsari, ”menyerah sajalah. Jika aku tidak mempergunakannya sejak awal pertempuran, aku memang tidak ingin membunuhmu. Tetapi aku ingin menangkapmu dan memeras keteranganmu. Siapa saja yang telah mencuri kambing itu. Bahkan agaknya kau akan dapat memberikan keterangan lebih jauh dari sekedar seekor kambing yang hilang.”

Orang itu menundukkan kepalanya. Sementara itu, orang-orang yang berada diseputar arena itu menjadi bingung. Mereka tidak tahu sepenuhnya apa yang telah terjadi.

Sementara itu, Kiai Gringsing telah berhasil mengobati orang yang terkena lontaran pisau beracun itu. Sedangkan seorang diantara keempat orang saudara seperguruan itu masih terbaring diam. Dua orang diantara mereka bertempur melawan Ki Jayaraga, namun keduanya tidak berhasil berbuat sesuatu.

Dalam keadaan yang demikian, maka Sabungsari telah melangkah setapak maju sambil berkata, “Lepaskan senjatamu.”

Lawannya masih berdiam diri. Tetapi ia berkata didalam hatinya, ”Bagus. Majulah lagi semakin dekat. Jika kau larang aku mendekat, kau sendirilah yang datang untuk mengantarkan nyawamu sekarang.”

Sabungsari memang maju lagi selangkah.

Sementara itu lawan Sabungsari itu masih saja berdiam diri. Kedua tangannya seakan-akan terkulai lepas meskipun ia masih membawa sepasang pisau kecil.

“Menyerahlah” berkata Sabungsari, ”kau tidak mempunyai kesempatan.”

Orang itu tidak menjawab. Namun ia memang memperhitungkan bahwa ia akan menyerang dengan tiba-tiba.

Ketika Sabungsari melangkah lagi selangkah mendekat, maka orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta ia telah dengan sigapnya melontarkan sepasang pisaunya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kekuatannya.

Sabungsari memang terkejut. Meskipun ia masih juga menduga bahwa serangan yang demikian itu dapat saja datang setiap saat, tetapi sambaran kedua pisau yang mengarah kedadanya itu telah membuat jantungnya bergejolak.

Tetapi perbuatan orang itu telah membuat kemarahan di dada Sabungsari menjadi semakin menyala. Karena itu, maka ketika ia meloncat dan berguling menghindari serangan dua buah pisau kecil itu, ia tidak menahan diri lagi. Apalagi ketika ia melihat orang itu telah mencabut lagi pisau dari sederet pisau di seputar lambungnya yang terselip diikat pinggangnya.

Sabungsari tidak sempat bangkit berdiri. Namun sambil berlekatan pada tangannya, Sabungsari telah menyerang orang itu dengan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya langsung mengarah kedada lawannya.

Pada saat yang demikian, lawan Sabungsari itu justru sedang mengangkat tangannya siap untuk melontarkan pisaunya.

Namun yang terdengar adalah keluh kesakitan yang tertahan. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian tubuhnya itu telah terbanting di tanah. Sekali ia masih menggeliat, namun kemudian ia sama sekali sudah tidak bergerak lagi.

Sabungsari kemudian bangkit berdiri. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu. Agaknya isi dada orang itu dihancurkan oleh kekuatan ilmu Sabungsari itu.

Tiga orang saudara seperguruannya sempat menyaksikan apa yang terjadi. Ki Jayaraga yang bertempur melawan dua orang diantara mereka, seakan-akan sengaja memberi kesempatan kepada mereka untuk menyaksikan apa yang telah terjadi. Sementara seorang yang masih saja tidak berdaya karena sentuhan tangan Kiai Gringsing melihat pula saudara seperguruannya itu terlempar dan jatuh di tanah karena sambaran sinar yang memancar dari sepasang mata lawannya.

“Bukan main” desisnya. Bagaimanapun juga orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Tubuhnya sendiri tiba-tiba telah kehilangan tenaganya. Dua orang saudara seperguruannya yang dianggap paling tua dan berada di-tataran paling tinggi sama sekali tidak mampu menundukkan satu diantara kedua orang tua itu.

Sementara seorang diantara mereka telah dihancurkan oleh lawannya yang paling muda diantara tiga orang yang justru akan ditundukkannya. Bahkan saudara seperguruan itu agaknya memang benar-benar akan membunuh lawan-nyaitu.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Saudara seperguruannya itulah yang telah terbunuh.

Tetapi ia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun ia memaksa diri, tetapi ia tetap saja berada di tempatinya.

Kematian seorang diantara keempat orang itu telah membuat saudara seperguruannya harus berpikir ulang. Kedua orang yang bertempur melawan Ki Jayaraga itu pun sudah merasa bahwa orang tua itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sampai sekian lama mereka bertempur, orang tua itu belum memperlihatkan kemampuannya sebagaimana dilakukan saat ia memutuskan tali yang mengikat tangannya dengan membakarnya menjadi abu. Jika orang tua itu berniat melakukan atas diri mereka, maka agaknya pertempuran itu akan menjadi semakin cepat selesai.

Tetapi Ki Jayaraga memang tidak mempergunakannya. Ia mempergunakan ikat kepalanya untuk melawan senjata-senjata lawannya. Ia tidak membakar udara di sekitarnya dengan kekuatan api, atau menggoncang lawannya dengan prahara yang dapat disadapnya dari kekuatan udara atau kekuatan lain yang mampu dilontarkannya; Tetapi ia masih mempergunakan ketrampilan wadagnya untuk mempermainkan ikat kepalanya yang sekali-sekali menyambar, namun kemudian mematuk. Bahkan dengan ikat kepalanya itu ia menangkis ujung-ujung belati panjang yang mengarah ketubuhnya dengan memegangi dua sudut dari keempat sudut ikat kepalanya itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu memang menjadi bingung. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi rasa-rasanya dadanya sendirilah yang menjadi sesak melihat sorot mata Sabungsari yang meremas isi dada lawannya.

“Ternyata mereka tidak sekedar menakut-nakuti” berkata Ki Demang itu kepada bebahu yang berdiri dise-belahnya, ”orang muda itu memang mengatakan, bahwa seisi Kademangan ini tidak akan mampu menangkapnya. Ternyata dari matanya dapat memancar api yang akan dapat membakar seluruh Kademangan ini.”

Bebahu itu mengangguk-angguk. Sementara di halaman Ki Jagabaya menjadi bingung. Bahkan kemudian Ki Jagabaya itu telah berlari mendapatkan Ki Demang sambil berkata gagap, ”Ki Demang. Apa yang harus kita lakukan?”

Ki Demang termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Tidak ada.”

“Lalu, bagaimana sikap kita jika orang-orang yang kita tuduh mencuri kambing itu marah kepada kita?” bertanya Ki Jagabaya pula.

“Terserah kepada mereka, apa yang akan mereka lakukan. Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Setiap perlawanan hanya akan menambah korban saja” desis Ki Demang.

Ki Jagabaya menjadi pucat. Apalagi ketika kemudian ia melihat Ki Jayaraga tertawa sambil mengibaskan ikat kepalanya. Bahkan kemudian Ki Jayaraga itu pun berkata, “Nah, apa katamu sekarang? Jika salah seorang diantara kalian harus bertempur melawan kemenakanku itu, maka kemungkinan sebagaimana terjadi pada saudara seperguruanmu itu akan terjadi pula atas kalian.”

Kedua orang yang bertempur melawan Ki Jayaraga itu memang mulai dibayangi oleh kecemasan. Ternyata bahwa orang termuda diantara ketiga orang itu sebenarnya akan mampu membunuh sejak perselisihan itu terjadi. Tetapi ia baru mempergunakannya ketika ia tidak lagi melihat kemungkinan lain.

Ki Jagabaya semakin mendekati Ki Demang. Katanya- pun menjadi semakin gagap, ”Ki Demang. Berbuatlah sesuatu.”

Ki Demang tidak sempat berbuat apa-apa. Ki Jayaraga agaknya telah jemu dengan permainannya, sehingga ia pun berkata kepada Kiai Gringsing, ”Kiai, kemarilah.”

Kiai Gringsing yang telah berhasil menghisap keluar racun didalam tubuh orang padukuhan itu dengan obatnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengamati pisau yang telah berhasil dirampasnya.

“Biarlah mereka menyerah” berkata Kiai Gringsing.

“Aku sudah memberi kesempatan kepada mereka”, jawab Ki Jayaraga, ”tetapi agaknya mereka masih merasa segan.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Jayaraga berkata kepada kedua orang itu, ”Cepat, menyerahlah.”

Tetapi kedua orang lawan Ki Jayaraga yang mulai menjadi cemas itu masih juga bertempur terus. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah mendesak mereka sambil berkata, ”Cepat. Menyerah atau aku akan memaksa kalian.”

Tidak ada jawaban. Tetapi Ki Jayaraga memang sudah siap untuk mengakhiri pertempuran. Sementara itu Kiai Gringsing seakan-akan tidak lagi memperhatikan pertempuran itu. Bahkan ia telah memanggil Sabungsari untuk datang mendekatinya.

“Kau lihat ciri pada pedang kecil ini?” bertanya Kiai Gringsing kepada Sabungsari.

Sabungsari yang masih dicengkam oleh ketegangan karena lawannya yang terbunuh itu memperhatikan sebagaimana ditunjukkan oleh Kiai Gringsing. Pada tangkai pedang kecil yang berhasil dirampasnya itu Kiai Gringsing melihat satu ciri yang agaknya merupakan ciri dari satu perguruan. Justru yang pernah dikenalnya.

“Kiai pernah mengenalnya?” bertanya Sabungsari. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian ia pun memandang kearah Ki Jayaraga yang sedang bertempur dan semakin mendesak lawannya. Bahkan sudut ikat pinggangnya telah mulai menyentuh tubuh lawannya. Ternyata sentuhan satu sudut ikat pinggang itu mampu mememarkan kulitnya sebagaimana dipukul dengan tongkat besi gligen.

Yang menjadi gelisah ternyata bukan hanya orang-orang yang telah memusuhi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari. Tetapi beberapa orang bebahu dan orang-orang padukuhan itu pun menjadi gelisah pula. Apalagi mereka yang merasa pernah mengucapkan kata-kata atau menunjukkan sikap yang kasar terhadap ketiga orang yang mereka tuduh telah mencuri kambing itu. Ternyata persoalan seekor kambing telah merambat menjadi persoalan yang jauh lebih besar. Bahkan seorang telah tewas dalam persoalan yang berkembang itu.

Orang-orang padukuhan itu memang sependapat bahwa seisi Kademangan itu tidak akan mampu mengalahkan ketiga orang yang mereka anggap sebagai pencuri itu.

Terlebih-lebih adalah Ki Jagabaya. Ia merasa bahwa ialah yang telah mengambil keputusan untuk menghukum ketiga orang itu meskipun Ki Demang sudah memperingatkannya.

Dalam pada itu, serangan Ki Jayaraga menjadi semakin cepat pula. Satu diantara sudut-sudut ikat kepalanya menyambar-nyambar semakin cepat. Beberapa kali kedua orang lawannya telah tersentuh senjata yang aneh itu. Bahkan sudut ikat kepala itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin berbahaya.

“Aku memberi kesempatan kepada kalian, sekali lagi” geram Ki Jayaraga yang mulai jengkel, ”menyerahlah.”

Keragu-raguan masih mencengkam kepala kedua orang itu. Apalagi jika mereka melihat orang-orang yang berkerumun. Bagaimanapun juga harga diri mereka akan dirusakkan jika dengan serta merta harus menyerah.

Karena keragu-raguan itulah, maka Ki Jayaraga menjadi semakin tidak sabar. Kiai Gringsing dan Sabungsari sudah berbicara tentang pedang kecil itu, sementara ia masih harus bertempur sendiri.

Karena itu, maka Ki Jayaraga mulai meningkatkan ilmunya. Ketika kemudian sudut ikat kepalanya itu mengenai lawannya lagi, maka ikat kepala itu seakan-akan telah berubah menjadi kepingan, baja yang tajam. Goresan ikat kepala itu ternyata telah mengoyak kulit seorang diantara kedua orang lawannya.

“Gila”, geram orang itu sambil meloncat surut. pundaknyalah yang telah terluka cukup dalam.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang menjadi jemu itu telah menyerang lawannya yang seorang pula. Lengannyalah yang menganga karena goresan ikat kepala itu.

“Nah” berkata Ki Jayaraga, ”jika kalian tidak menyerah, maka aku akan mengoyak tubuh kalian arang kranjang.”

Ancaman itu bukan sekedar ancaman untuk menakut-nakuti. Karena ancaman itu tidak mendapat tanggapan, maka Ki Jayaraga benar-benar telah bertindak cepat. Dalam waktu yang sangat singkat, maka kedua orang itu benar-benar telah dilukainya lagi. Lebih parah.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi keduanya, kecuali melepaskan senjata-senjata mereka sambil berloncatan surut.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata, “Kenapa kalian menyerah setelah tubuh kalian terluka. Jika sejak semula kalian melepaskan senjata-senjata kalian, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan seperti itu.”

Orang-orang itu tidak menjawab. Namun luka-luka mereka memang terasa pedih. Darah yang hangat mengalir tidak habis-habisnya dari luka-luka itu.

Dalam pada itu Ki Jayaraga berkata selanjutnya, ”jika kau biarkan saja luka-lukamu itu, maka kau akan menjadi kehabisan darah.”

Kedua orang itu memang menjadi cemas melihat luka-luka mereka. Selain perasaan sakit yang semakin menggigit, maka darah mereka memang akan dapat habis jika mereka tidak segera sempat mengobatinya. Namun Ki Jayaraga kemudian berkata, “Biarlah Kiai Gringsing menolong kalian.

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun keduanya ber paling kearah Kiai Gringsing yang ternyata berhasil menolong orang yang terkena lontaran pisau kecil beracun itu.

“Kemarilah” berkata Kiai Gringsing kemudian. Kedua orang itu memang ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga membentaknya, ”Mendekatlah, atau kalian ingin mati kehabisan darah?”

Kedua orang itu bergerak serentak hampir diluar sadar mereka Selangkah demi selangkah keduanya mendekati Kiai Gringsing yang telah mempersiapkan obat bagi mereka.

“Duduklah” berkata Kiai Gringsing.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah menaburkan obat pada luka-luka kedua orang itu. Obat yang pada mulanya memang terasa sangat pedih. Namun perlahan-lahan obat itu menjadi dingin dan arus darah pun menjadi semakin lambat sehingga setelah keduanya menunggu beberapa saat, maka darah itu pun telah hampir menjadi pampat.

“Jangan bergerak-gerak dahulu” berkata Kiai Gringsing kepada keduanya.

Kedua orang itu hanya mengangguk saja tanpa menjawab sepatah pun. Namun ketika tidak dengan sengaja seorang diantara keduanya itu memandang Sabungsari dan kebetulan Sabungsari memandanginya pula dengan cepat orang itu menundukkan kepalanya.

“Duduk sajalah” desis Kiai Gringsing sambil beranjak dari tempatnya. Orang tua itu pun kemudian telah menekan beberapa jalur syaraf pada punggung seorang diantara orang bersaudara itu, yang telah dibuatnya hampir lumpuh.

“Bangkitlah” berkata Kiai Gringsing.

Orang itu merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah pulih kembali. Demikian pula kekuatan dan kemampuannya. Namun ia pun kembali. Demikian pula kekuatan dan kemampuannya. Namun ia pun menyadari bahwa semuanya itu tidak akan berarti lagi, tetaplah ia menyaksikan saudara-saudara seperguruannya mengalami peristiwa yang mendebarkan. Bahkan seorang diantara mereka telah terbunuh.

Dalam pada itu, Ki Demang masih berdiri di tangga pendapa rumahnya. Sementara Ki Jagabaya menjadi semakin ketakutan.

Kiai Gringsing yang telah selesai mengobati kedua orang yang dilukai oleh Ki Jayaraga itu pun kemudian mulai memandang Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang berkumpul di halaman.

Dengan suara lantang Kiai Gringsing kemudian berkata, “Inilah yang mungkin kalian kehendaki. Seorang telah terbunuh, hanya karena seekor kambing yang tidak jelas persoalannya. Kalian telah menuduh kami yang sama sekali tidak merasa bersalah. Untunglah bahwa kami berhasil memancing orang yang benar-benar melakukannya” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu didekatinyalah orang yang telah dipulihkannya kekuatannya itu. Sambil menarik orang itu ketengah-tengah halaman yang diingkari oleh orang- orang Kademangan itu meskipun dari jarak yang jauh, Kiai Gringsing berkata, “Orang inilah yang sebenarnya telah melakukan pencurian itu.”

Semua mata memang tertuju kepadanya. Sedangkan Kiai Gringsing pun kemudian bertanya kepada orang itu, ”Bukankah kau yang telah melakukannya?”

Orang itu memang tidak dapat mengelak lagi. Dengan berat ia menganggukkan kepalanya.

“Nah, kalian yakini sekarang” berkata Kiai Gringsing. Lalu, ”Apakah dengan tindakan kalian yang tergesa-gesa menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak bersalah itu mendatangkan keuntungan pada kalian? Disini telah jatuh korban. Bahkan jika kami menjadi mata gelap sejak kemarin, Kademangan ini benar-benar akan hancur sama sekali. Korbannya tentu bukan hanya seorang. Untunglah bahwa kami masih dapat menahan diri dengan permainan-permainan yang tidak menyenangkan itu.”

Orang-orang Kademangan yang berkerumun itu pun menundukkan kepalanya.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing telah berkata kepada Ki Demang, ”Nah, Ki Demang. Aku serahkan orang yang terbunuh itu kepada kalian. Sementara itu aku tidak akan dapat membawa ketiga orang ini pula. Karena itu, maka biarlah orang-orang ini kembali keperguruannya. Jika mereka ingin membuat perhitungan, biarlah mereka membuat perhitungan dengan aku.”

Ki Demang termangu-mangu. Ada semacam kecemasan yang tergambar di sorot matanya. Namun Kiai Gringsing berkata kepada orang tertua diantara keempat orang itu, katanya, “Aku yakin bahwa perguruanmu masih tetap perguruan jantan. Kau tidak akan melepaskan dendam kepada orang-orang Kademangan yang tidak bersalah ini, selain sikapnya yang tergesa-gesa dan tidak berimbang nalar. Pertanda yang ada pada pedang-pedang kecil kalian menunjukkan, bahwa kalian termasuk murid-murid dari perguruan yang telah tua.”

Saudara seperguruan yang tertua itu pun memandang Kiai Gringsing dengan ragu. Ia memang tidak yakin bahwa Kiai Gringsing dapat mengenali ciri-ciri yang terdapat pada pedang mereka.

Namun Kiai Gringsing kemudian berkata, “Perguruan kalian adalah perguruan yang pernah mencapai tingkat kejayaan yang tinggi. Kalau aku tidak salah ingat, maka nama perguruan kalian adalah perguruan Sapu Angin. Tetapi agaknya jenis ilmu yang kalian pergunakan sudah agak berkisar dari jenis ilmu yang pernah aku lihat pada masa kejayaannya dahulu, meskipun jalurnya masih tetap nampak. Tetapi agaknya kematangan ilmu itu telah menjadi mundur. Kalian tidak lagi melontarkan kekuatan angin dari diri kalian. Namun kekuatannya seakan-akan telah diperpendek sehingga tidak lagi mencapai jangkauan lontaran yang panjang, tetapi sekedar mendahului setiap serangan wadagnya. Perkembangan ilmu pada perguruan Sapu Angin agaknya berkebalikan dengan perkembangan ilmu Pandan Wangi dari Sangkal Putung, yang menyadap ilmu tanpa guru. Pandan Wangi mulai dari jangkauan yang pendek. Namun ia kini berhasil meraba benda dari jarak yang semakin jauh. Bahkan menggerakkannya dan pada perkembangannya akan mampu menghancurkannya atau memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya.”

Saudara tertua dari perguruan yang ternyata dikenali oleh Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Kemunduran itu memang pernah kami dengar. Tetapi tidak ada yang dapat berbuat sesuatu. Beberapa usaha memang sudah dilakukan untuk mencapai tataran kemampuan ilmu sebagaimana dimiliki oleh pendahulu kami. Tetapi usaha itu belum berhasil sebagaimana kami harapkan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Siapakah pemimpin perguruan kalian sekarang?”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya kedua saudara seperguruannya dengan tatapan mata gelisah.

Karena orang itu tidak menjawab, maka Kiai Gring-sing pun berkata, “Apakah kalian berkeberatan menyebut nama pemimpin dari perguruan Sapu Angin yang sekarang?”

Orang tertua dari perguruan Sapu Angin itu pun berdesah. Namun ia pun berkata, “Aku tidak tahu, apakah aku diperkenankan atau tidak oleh perguruanku untuk menyebut nama guru.”

“Apakah ada keberatannya?” bertanya Kiai Gringsing. Lalu, ”Aku tidak akan memaksa. Agaknya perguruan Sapu Angin yang sekarang memang sudah berbeda dengan perguruan Sapu Angin yang dahulu. Selain kemunduran ilmunya juga watak dari para murid dari perguruan Sapu Angin, meskipun aku tidak akan ingkar dari kemungkinan serupa pada perguruan-perguruan lain.”

Saudara seperguruan yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika aku menyebutnya, apakah mungkin Ki Sanak pernah mengenalnya?”

“Aku tidak pasti”, jawab Kiai Gringsing.

Dengan ragu-ragu akhirnya orang itu menyebut, ”Pemimpin perguruanku adalah Kiai Damarmurti.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingatkan. Namun kemudian ia pun menggeleng. Katanya, “Aku tidak pernah mendengar nama itu.”

“Dimasa mudanya ia bernama Bagus Parapat” jawab murid tertua itu.

Kiai Gringsing terkejut mendengar nama itu. Sambil mengingat-ingat ia bertanya, “Maaf Ki Sanak, apakah yang bernama Bagus Parapat itu mempunyai cacat pada penglihatannya yang sebelah?”

Murid tertua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, ”Ya Kiai. Agaknya Kiai telah mengenalnya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Itulah agaknya. Bagus Parapat bukan murid yang baik bagi perguruan Sapu Angin. Tetapi kenapa tidak ada orang lain yang mewarisi kepemimpinan dari perguruan itu, sehingga Bagus Parapat yang kemudian menjadi pemimpinnya?”

“Kenapa dengan Bagus Parapat yang bergelar Kiai Damarmurti?” bertanya murid tertua itu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Bukan maksudku untuk memperlemah kepercayanmu kepada gurumu. Bagaimanapun juga gurumu telah memberikan ilmu kepadamu dan saudara-saudara seperguruanmu. Namun demikian, karena kalian bukan kanak-kanak, maka kalian mempunyai hak untuk menentukan sikap bagi kebaikan kalian. Sebagai orang yang sudah masak, seharusnya kalian dapat mengetahui baik dan buruk, sehingga langkah-langkah yang kalian lakukan tidak akan menjerumuskan kalian kedalam kesulitan.”

Orang tertua itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Baiklah” berkata Kiai Gringsing, ”kami memang tidak akan berbuat apa-apa terhadap kalian. Kalian akan kami tinggalkan disini. Kalian dapat berbuat apa saja, karena kalian memiliki kelebihan. Tetapi aku ingin memperingatkan kepada kalian, bahwa sudah saatnya kalian memilih jalan yang baik menjelang hari-hari mendatang. Sementara itu, meskipun terdapat kemunduran dan pergeseran watak dari perguruan Sapu Angin, namun kami masih mengharap bahwa perguruan kalian adalah perguruan yang jantan.”

Murid-murid Sapu Angin itu masih saja terdiam. Tetapi kata-kata itu memang menyentuh hati.

“Nah” berkata Kiai Gringsing, ”bantulah orang-orang Kademangan ini merawat salah seorang diantara kalian yang terpaksa mengorbankan nyawanya. Setelah semuanya selesai, kami masih akan berbicara serba sedikit dengan kalian sebelum kami berangkat meninggalkan Kademangan ini.”

Orang-orang yang datang dari perguruan Sapu Angin itu termangu-mangu. Ketika mereka memandang berkeliling, maka dilihatnya orang-orang Kademangan yang berkumpul di halaman itu memandang mereka dengan sorot mata yang tidak dapat dijajagi.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun telah berkata kepada Ki Demang, ”Selagi masih ada waktu. Kalian dapat menguburkan mayat itu dengan baik.”

“Baiklah Ki Sanak”, jawab Ki Demang. Lalu katanya, “Sementara itu kami persilahkan kalian duduk di pendapa.”

“Aku tidak akan lama lagi berada di sini. Tetapi aku masih ingin berbicara dengan orang-orang itu”, sahut Kiai Gringsing.

Ki Demang mengangguk kecil. Ia pun kemudian memerintahkan kepada para bebahu untuk mengubur mayat salah seorang diantara ampat orang saudara seperguruan itu. Sementara ketiga orang saudara seperguruannya itu pun ikut pula memberikan penghormatan yang terakhir.

Yang menjadi sangat gelisah adalah Ki Jagabaya. Selagi orang-orang lain sibuk menyelenggarakan mayat salah seorang murid dari perguruan Sapu Angin, Ki Jagabaya masih saja selalu dibayangi kemarahan yang mungkin menyala didalam diri ketiga orang itu terhadapnya.

Tetapi Ki Demang tidak sempat lagi menghibur dan menenteramkan hati Ki Jagabaya, karena ia pun telah ikut pula sibuk mengurus mayat yang akan dikuburkan itu.

Dalam kesibukan itu, yang termuda diantara ketiga orang saudara seperguruan yang tersisa itu tiba-tiba saja berbisik di telinga saudaranya yang tertua, ”Apakah kita akan tetap membiarkan diri kita menjadi tawanan?”

“Maksudmu?” bertanya saudara seperguruannya yang tertua.

“Kita mempunyai kesempatan. Ketiga orang itu berada di pendapa. Apakah kita tidak lebih baik meninggalkan tempat ini?”, sahut yang termuda.

Tetapi yang tertua itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Jangan. Menurut pengamatanku mereka bukan, orang-orang yang dengan mudah melakukan kekerasan terhadap orang lain meskipun mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi. Mereka ternyata tidak berbuat kasar terhadap kita. Jika seorang diantara kita terbunuh, itu terjadi dalam pertempuran.”

“Mereka akan memeras keterangan dari mulut kita” desis yang termuda.

“Tidak ada yang perlu kita rahasiakan. Juga tentang kambing itu”, jawab yang tertua.

“Bagaimana dengan perjalanan ke Mataram?” bertanya yang termuda.

“Apaboleh buat,” jawab yang tertua, ”keterangan orang itu tentang perguruan kita, sangat menarik perhatian. Agaknya orang itu memang mengenal Bagus Parapat.”

“Ada apa dengan Bagus Parapat?” bertanya yang termuda.

Saudara seperguruan yang kedua pun kemudian berkata, “Sebaiknya kita memang tinggal. Jika kita memaksa diri untuk pergi, apakah luka-luka kita tidak akan mengganggu kita diperjalanan. Luka ini baru saja mampat. Kita masih belum dapat bergerak terlalu banyak seperti dikatakan oleh orang bercambuk itu.”

Yang termuda itu tidak menjawab. Kedua saudara seperguruan itu memang terluka cukup berbahaya jika darahnya mengalir lagi dari luka-luka itu.

Dengan demikian maka mereka bertiga masih tetap berada di halaman itu. Ketika kemudian orang-orang Kademangan yang dipimpin oleh para bebahu itu membawa mayat itu ke kuburan, maka Ki Demang pun telah naik pula ke pendapa.

Ketiga orang murid Sapu Angin itu termangu mangu. Mereka tidak tahu maksud Kiai Gringsing dan Ki Demang. Apakah mereka harus ikut ke kuburan atau tidak.

Namun Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Sanak, murid-murid dari Sapu Angin. Kemarilah. Biarlah para bebahu membawa mayat itu kekuburan.”

Ketiga orang itu pun kemudian dengan ragu-ragu telah naik ke pendapa itu pula. Sekilas mereka memandang wajah Sabungsari. Namun mereka pun kemudian telah menundukkan kepalanya. Mereka masih melihat bekas-bekas kemarahan pada wajah orang termuda diantara ketiga orang itu. Tetapi Sabungsari tidak mengatakan sesuatu.

“Waktuku tidak banyak” berkata Kiai Gringsing kemudian, ”aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Untuk apa semuanya itu kau lakukan. Aku kira kalian tentu tidak sekedar ingin berbuat kekisruhan.”

Ketiga orang itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Namun yang tertua diantara mereka pun kemudian berkata, “Kami memang mendapat kewajiban untuk menelusuri jalan ke Mataram. Kami tidak tahu apakah maksudnya. Tetapi kami harus mengamati jalur jalan itu.”

“Apakah kalian bekerja sama dengan perguruan-perguruan lain dalam tugas ini?” bertanya Kiai Gringsing.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kami memang bekerja sama dengan perguruan lain. Tetapi kerja sama yang baik seakan-akan tidak pernah dapat terwujud. Kami bekerja sendiri-sendiri. Bahkan saling bersaing untuk dapat menunjukkan hasil yang paling baik.”

“Menunjukkan kepada siapa?” bertanya Kiai Gringsing.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Guru hanya memerintahkan kepada kami, bahwa kami harus merintis jalan ke Mataram. Kami harus mendapatkan hasil terbaik sehingga rencana yang akan disusun kemudian akan berdasarkan hasil kerja kami. Bukan hasil kerja orang lain.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun jelas baginya bahwa daerah Timur memang sedang melakukan satu langkah besar yang ditujukan kepada Mataram. Namun agaknya mereka masih belum mampu mengikat kelompok-kelompok yang berhasil mereka pengaruhi dalam satu kerja yang tersusun, terpadu dan berencana.

Beberapa perguruan telah terlibat dalam gerakan itu. Namun mereka masih merasa saling terlepas, bahkan mereka telah bersaing untuk mendapat tempat yang paling baik. Satu diantara perguruan yang mencoba melakukan langkah yang paling berbahaya adalah Perguruan Nagaraga, yang langsung memasuki istana Mataram dan berusaha menyingkirkan Panembahan Senapati pribadi. Menurut perhitungan mereka, tanpa Panembahan Senapati, Mataram tidak berarti apa-apa.

“Ki Sanak” berkata Kiai Gringsing kemudian, ”apakah kau dapat mengatakan kepadaku, dimana letak perguruanmu?”

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Nampaknya memang ada semacam keberatan untuk mengatakannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing pun berkata, “Jika sempat, biarlah aku singgah di padepokanmu. Mungkin aku dapat berbicara dengan gurumu. Bagus Parapat yang bergelar Kiai Damarmurti. Satu gelar yang sangat menarik.”

Ketiga orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun orang tertua diantara mereka pun, kemudian berkata, “Ki Sanak. Apakah kalian merasa sangat berkepentingan dengan guru?”

“Bukan sangat berkepentingan”, jawab Kiai Gringsing, ”mungkin aku dapat berbicara tentang beberapa hal. Mudah-mudahan pembicaraan kami nanti mengarah kepada sasaran yang berarti.”

Yang tertua diantara ketiga orang itu pun berkata dengan sendat”Aku tidak tahu, apakah aku diperkenankan mengatakan kepada Ki sanak, dimana letak perguruanku. Jika tidak ada masalah yang timbul dengan Mataram, maka aku kira memang tidak ada alasan untuk merahasiakan letak perguruanku. Tetapi justru karena timbul persoalan dengan Mataram dan karena kami belum

mengenal Ki Sanak bertiga, maka aku merasa ragu-ragu.”

“Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami bukan prajurit Mataram dan bukan pula petugas sandi Mataram”, jawab Kiai Gringsing”namun demikian, adalah kewajiban kita semuanya untuk memelihara ketenangan,ketentraman dan kedamaian. Hal inilah yang ingin aku bicarakan dengan Bagus Parapat itu. Tetapi aku agaknya baru akan singgah jika persoalanku sendiri sudah selesai. Aku tidak tahu, kapan persoalanku itu selesai.”

Yang tertua diantara mereka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Padepokanku berada di pinggir Bengawan Madiun.”

“Pinggir Bengawan Madiun?” ulang Kiai Gringsing.

Orang itu mengangguk. Sementara Kiai Gringsing berpaling kearah Ki Jayaraga dan Sabungsari. Dengan nada rendah ia berkata, “Terlalu jauh ke Timur.”

“Ya” Ki Jayaraga mengerutkan keningnya, “agaknya kemungkinan untuk singgah itu baru akan kita perhitungkan kemudian.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku tidak dapat menentukan, apakah aku akan dapat singgah di padepokanmu atau tidak. Tetapi seandainya kami sempat pergi ke perguruanmu Sapu Angin, apakah aku harus menelusuri sepanjang Bengawan dari mata airnya sampai ketempuran?”

Murid tertua itu memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun kemudian sambil menunduk ia berkata lirih, “Padepokan itu berada di lingkungan hutan yang membujur di sepanjang Bengawan itu.”

“Hutan apa? Bukankah beberapa bagian hutan itu mempunyai nama?” desis Kiai Gringsing.

“Alas Prahara”, jawab murid tertua itu.

“Alas Prahara di pinggir Bengawan Madiun?” wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Demikian Ki Jayaraga dan Sabungsari. Agaknya Sabungsari pun pernah mendengar nama itu.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga ternyata telah pernah memasuki hutan yang diberi nama Alas Prahara itu. Hutan yang berada di daerah yang agak rendah. Hampir setiap hari hutan itu dilanda angin yang besar.

Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing pun bertanya, “Apakah sejak semula perguruanmu berada disana?. Menurut ingatanku, perguruan Sapu Angin tidak berada didekat atau dilingkungan Alas Prahara itu, meskipun aku belum tahu pasti dimana tempatnya.

“Menurut keterangan yang pernah aku dengar” berkata murid tertua itu, “padepokan kami memang tidak berada di tempat itu. Namun justru untuk mencapai kebesaran ilmu seperti yang terdahulu, maka guru menganggap tempat itu adalah tempat yang paling baik bagi padepokan kami. Guru sedang menghimpun kembali segala macam kemungkinan sementara hidup kami berada ditengah-tengah kerasnya tiupan angin terutama menjelang sore hari.”

“Baiklah” berkata Kiai Gringsing, “agaknya pembicaraan kita telah cukup. Kami masih menunggu satu kemungkinan untuk dapat sampai ke padepokanmu. Tetapi aku tidak pasti, apakah aku akan sampai.”

“Jadi ternyata Ki Sanak akan berjalan ke Timur?” bertanya murid tertua dari perguruan Sapu Angin itu.

“Ya. Tetapi sebaiknya kau pun kembali ke Timur. Kau tidak perlu mencari jalan ke Mataram. Kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh orang-orang yang berlomba berebut nama seperti kalian, telah membuat Mataram semakin bersiaga. Tidak ada jalan yang dapat menembus kecermatan pengamatan Mataram sekarang ini. Karena itu, kembali sajalah ke Alas Prahara. Perdalam ilmumu dan kenalilah baik-baik watak angin yang keras di Alas Prahara itu. Apalagi di musim tertentu, di hutan itu sering bertiup prahara.”

Ketiga orang itu tidak segera menjawab. Tetapi diluar sadarnya mereka telah mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Bukankah maksud gurumu memilih tempat itu juga untuk mendekatkan perguruan Sapu Angin dengan kekuatan angin yang hampir setiap hari berhembus dengan kuatnya sebagaimana kau katakan?”

Ketiga orang murid Sapu Angin itu mengangguk-angguk.

Nah, jika kau sempat berpikir dengan jernih, kembalilah. Bekal yang kau bawa masih terlalu sedikit untuk memasuki Mataram. Seharusnya gurumu mengetahui akan hal itu. Tetapi agaknya ia menjadi tergesa-gesa. Mungkin setelah gurumu mendengar bahwa orang-orang dari perguruan Nagaraga justru telah memasuki istana meskipun mati terbunuh. Tetapi jika kau mau menerima dengan jujur keteranganku, sebenarnyalah orang-orang Nagaraga mempunyai kelebihan dari kalian. Mungkin jika kalian berhasil menangkap landasan kekuatan angin prahara sebagaimana sering bertiup di hutan itu, barulah bekalmu memadai. Namun masih terlalu sedikit bagi Panembahan Senapati sendiri” berkata Kiai Gringsing.

Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun mereka pun memang merasa terlalu kecil dibandingkan dengan ketiga orang itu. Bahkan mereka justru mulai menduga, bahwa ketiga orang itu merupakan petugas-petugas sandi dari Mataram meskipun hal itu telah dibantah lebih dahulu oleh Kiai Gringsing.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian telah minta diri kepada Ki Demang. Ketika Kiai Gringsing sempat memandang wajah Ki Jagabaya yang pucat, maka ia pun berkata, “Marilah. Ikut kami.”

Ki Jagabaya menjadi gemetar. Dengan suara gagap ia berkata, “Kemana kalian akan pergi?”

“Mencuri kambing”, jawab Ki Jayaraga dengan serta merta.

Ki Jagabaya menjadi semakin bingung. Namun kemudian sambil tertawa Ki Jayaraga berkata, “Sudahlah. Jangan merajuk. Tetapi pengalaman ini agar kau ingat untuk selanjutnya. Jangan terlalu mudah menuduh dan apalagi menetapkan kesalahan orang lain. Kau dapat membayangkan, bagaimana jika hal seperti ini terjadi atasmu. Kau ditangkap karena dituduh melakukan kejahatan yang sebenarnya tidak pernah kau lakukan. Apalagi kau dengan tanpa ampun telah dijatuhi hukuman yang berat, sementara anak isterimu menunggumu di rumah.”

Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya yang terbakar.

“Nah” berkata Ki Jayaraga, “tanganmu akan segera sembuh. Tetapi mungkin akan tetap berwarna coklat kehitaman. Tetapi agaknya memang ada baiknya agar kau selalu ingat, apa yang pernah terjadi dengan tanganmu itu. Untunglah bukan hidungmu yang terbakar. Dan karena kedunguanmu, maka seorang telah menjadi korban.”

“Aku minta maaf” desis Ki Jagabaya.

“Kau dapat dengan mudahnya minta maaf”, geram Sabungsari, “tetapi yang telah mati itu tidak akan dapat hidup kembali. Bahkan seorang penghuni Kademangan ini pun hampir saja menjadi korban jika tidak segera mendapat pertolongan karena racun yang merembes kedalam urat darahnya.”

Ki Jagabaya menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dikatakannya. Namun karena itu, maka ia pun telah terdiam betapa pun jantungnya terasa berdetak semakin cepat.

Ki Demang memang berusaha untuk menahan ketiga orang itu untuk hari itu. Ki Demang juga ingin menebus kesalahannya dengan sedikit mengadakan jamuan bagi mereka. Tetapi Kiai Gringsing sudah tidak dapat ditahan lagi. Ia sudah tertahan semalam di tempat itu. Namun diluar perhitungannya. Kiai Gringsing justru telah bertemu dengan orang-orang dari perguruan Sapu Angin yang telah berubah. Bahkan sedikit keterangan tentang persaingan yang timbul, diantara perguruan-perguruan yang ingin mendapat pujian dari seseorang atau mungkin sekelompok orang yang mempunyai kepentingan atas Mataram. Namun orang-orang yang berada dibalik gerakan itu masih sulit untuk dikenali.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga serta Sabungsari telah minta diri. Mereka mengingatkan Kademangan yang masih diwarnai oleh berbagai macam pertanyaan tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Namun ketiga orang yang menyusuri jalan padukuhan induk Kademangan itu rasa-rasanya seperti menaburkan perasaan aneh disetiap hati.

Yang tertinggal di pendapa adalah tiga orang dari perguruan Sapu Angin. Betapa pun mereka menyesali tingkah laku ketiga orang itu, sebagaimana pengakuan mereka, termasuk kambing yang mereka ambil, namun orang-orang Kademangan itu juga tidak berani berbuat sesuatu. Orang-orang itu juga memiliki kelebihan. Bahkan orang-orang padukuhan itu menjadi cemas, bahwa sepeninggal orang-orang yang mula-mula telah ditetapkan bersalah itu, maka ketiga orang yang telah kehilangan seorang saudara seperguruannya itu akan melepaskan dendamnya.

Tetapi ketiga orang itu ternyata tidak berbuat apa-apa. Bahkan diluar keinginan Ki Demang, ketiganya telah mengaku, bahwa mereka memang tidak hanya bertiga. Mereka datang bersama beberapa orang yang dapat mereka pengaruhi untuk membantu tugas mereka. Jika sekelompok orang membuat kegelisahan, maka perhatian orang akan banyak tertuju kepada mereka, sehingga orang-orang Sapu Angin itu memperhitungkan, akan lepas dari perhatian orang di sepanjang perjalanan mereka dalam tugas yang mereka sandang. Mereka akan dapat mengamati setiap padukuhan, keadaan dan lingkungan yang mungkin akan dapat membantu atau dapat menjadi landasan pasukan yang akan menuju ke Barat, sebagaimana pernah dilakukan oleh perguruan lain meskipun agak berbeda.

Agaknya ketiga orang itu tidak cepat terpancing dalam sikap bermusuhan. Jika yang termuda diantara mereka telah membunuh, agaknya orang itu tentu masih belum memiliki tataran ilmu seperti kedua orang tua itu, sehingga ia tidak mempunyai cara lain untuk menghentikan perlawanan saudara seperguruannya selain dengan membunuhnya. Ilmu yang dipergunakan untuk membunuh saudara seperguruannya itu pun ternyata adalah ilmu yang dahsyat sekali. Seakan-akan dari sepasang mata orang yang paling muda itu telah memancar api dan membakar isi dada saudara seperguruannya.

Demikianlah maka ketiga orang itu pun telah bersepakat untuk kembali ke padepokan untuk menemui guru mereka. Bagus Parapat yang bergelar Kiai Damarmurti. Ketiganya juga sudah bersepakat untuk mengatakan apa saja yang telah terjadi.

“Jika ketiga orang itu juga pergi ke Timur, mungkin kita akan dapat bertemu lagi dengan mereka” berkata murid tertua dari perguruan Sapu Angin itu.

“Tetapi kita tidak tahu, kemana mereka akan pergi”, jawab yang kedua.

“Jika kita bertanya, maka aku yakin bahwa mereka tentu tidak akan menjelaskan” berkata yang tertua.

“Agaknya mereka sedang mengemban tugas rahasia” berkata yang kedua.

“Mungkin sekali” berkata yang termuda, “tiba-tiba saja mereka telah muncul disini. Agaknya Mataram memang sudah mengetahui kegiatan yang terjadi di bagian Timur ini. Setidak-tidaknya telah timbul kecurigaan pada Mataram. Orang-orang yang pernah ditangkap di Mataram akan menjelaskan persoalannya meskipun mereka tidak mempunyai pengertian yang banyak tentang rencana ini dalam keseluruhan sebagaimana kita sendiri. Yang kita tahu, kita menjalankan tugas yang diberikan oleh guru. Apa yang dibicarakan oleh guru dan mereka yang berkepentingan langsung dengan Mataram sama sekali tidak kita ketahui.”

Yang tertua diantara mereka mengangguk-angguk. Katanya, “Memang hampir meyakinkan bahwa mereka telah mendapat tugas dari Mataram untuk melihat-lihat gejolak disisi Timur ini. Namun jika ukuran orang Mataram rata-rata seperti mereka, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang disisi Timur ini? Perguruan kita dan perguruan-perguruan lain yang bergabung dalam satu ikatan kekuatan tidak akan berarti apa-apa. Apa pula yang dapat kita lakukan dihadapan pemimpin tertinggi di Mataram jika para petugas sandinya saja memiliki ilmu yang demikian tinggi.”

Kedua saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Nampaknya Mataram memang sudah dibentengi dengan petugas-petugas sandi yang memiliki kemampuan yang tidak tertembus.

Bahkan mereka akan semakin bergeser ke Timur sehingga merekalah yang akan mengamati kegiatan di Timur. Bukan orang-orang dari Timur mengamati perkembangan dan kegiatan Mataram.

Dengan demikian maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan tugas mereka dan orang-orang yang sudah terlanjur berhubungan dengan mereka tanpa memberitahukan lebih dahulu. Ketika yang termuda bertanya tentang kelompok-kelompok orang yang akan mereka pergunakan itu, maka yang tertua menjawab, “Mereka akan berpaling dengan sendirinya dari tugas-tugas yang telah kita serahkan kepada mereka. Aku yakin bahwa mereka tidak akan pernah merasa terikat dalam arti yang sebenarnya kepada kita.”

Saudara seperguruan yang kedua itu pun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Baru kemarin rasa-rasanya kita mengadakan bujana andrawina dengan mereka untuk mempererat ikatan diantara kita dengan mereka. Bahkan kita telah menyembelih seekor kambing muda yang gemuk. Ternyata langkah kita itu sekarang terasa sebagai langkah yang sesat. Kita lah yang lebih dahulu menarik diri dari keterikatan itu.”

“Setelah kita mengorbankan seorang diantara kita” desis yang termuda.

“Ya. Itulah pertanda bahwa penalaran kita masih hidup, “, sahut yang tertua, “bersyukurlah kita bahwa kita belum berubah menjadi semacam memedi sawah untuk menakut-nakuti burung. Kita hanya dapat bergerak apabila tali-tali yang mengikat kita itu ditarik orang.” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kita tidak demikian. Sesuatu masih mampu menyentuh perasaan kita sehingga sikap dan pandangan kita terhadap satu persoalan masih dapat berkembang.”

“Ya” murid yang kedua mengangguk, “aku sependapat. Perkembangan itu masih dapat menunjukkan bahwa kita masih tetap menyadari kedirian kita.”

Yang termuda pun mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia masih perlu mencernakkan pembicaraan kedua saudara seperguruan yang lebih tua itu.

Namun akhirnya ia pun mengangguk-angguk pula. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Ya. Baruntunglah bahwa aku masih berhak untuk menentukan sikapku sendiri. Jika hal itu sudah tidak terjadi padaku, maka hidupku benar-benar tidak berarti apa-apa lagi bagi diriku sendiri.”

Sebenarnyalah bahwa memang terasa ada sesuatu yang baru pada diri mereka. Bukan pada ujud lahiriah. Tetapi justru sikap batin mereka.

Perjalanan ketiga orang bersaudara itu rasa-rasanya memang menjadi semakin cepat. Mereka masih harus menempuh perjalanan yang jauh. Lebih jauh dari ketiga orang yang telah menundukkan mereka dengan cara yang tersendiri, meskipun seorang harus menjadi korban yang sebenarnya.

Tetapi ketiga orang yang berjalan cepat itu ternyata tidak menyusul ketiga orang yang telah berangkat lebih dahulu itu.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari memang tidak tergesa-gesa. Tetapi mereka selain harus mendekati sasaran dan bergabung dengan para petugas yang lain, masih juga harus berusaha untuk mendengarkan dan melihat setiap kemungkinan untuk dapat mempertemukan mereka dengan Raden Rangga dan Glagah Putih. Meskipun mereka masih belum pasti, apakah Raden Rangga dan Glagah Putih telah mampu menemukan arah dari sasaran yang mereka cari.

Namun agaknya ketiga orang itu percaya, bahwa pada akhirnya kedua anak muda itu akan dapat menemukan juga sehingga mereka akan menelusuri jalan menuju ke arah padepokan dari perguruan Nagaraga.

Karena itu, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari justru lebih banyak berusaha untuk menjelajahi daerah di sekitar sasaran, sehingga memungkinkan mereka menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih.

Sementara itu ketiga orang murid dari Sapu Angin itu pun telah dengan cepat langsung menuju ke padepokan mereka di tepi Bengawan Madiun di lingkunan Alas Prahara yang terkenal karena hampir disetiap hari, lingkungan hutan itu telah dihembus oleh angin yang kencang dan berputar-putar.

Namun dalam pada itu, diperjalanan kembali itu, orang termuda diantara ketiga orang bersaudara seperguruan itu bertanya kepada saudara-saudara seperguruannya, “Apakah kita akan langsung kembali?”

“Ya, kenapa?” bertanya yang tertua, “kita sudah sampai disini.”

Yang termuda tidak bertanya lagi. Ketika mereka menengadah ke langit, maka warna hitam mulai menyelubungi bumi, Bintang satu-satu mulai bergayutan.

Tetapi ketiga orang itu berjalan terus. Seakan-akan mereka tidak dapat membedakan lagi antara siang dan malam yang mulai turun.

Namun setelah mereka memasuki jalan di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba pula yang termuda diantara mereka berdesis, “Kakang, sebenarnya aku menjadi takut.”

“Takut?” kedua kakak seperguruannya bertanya hampir berbareng. Seorang diantara mereka berkata, “Bagaimana mungkin kau dapat berkata begitu? Kita mengenal hutan ini seperti mengenali rumah kita sendiri. Kenapa kita menjadi takut?”

“Ah” saudara seperguruannya yang termuda itu berdesah, “aku tidak menjadi ketakutan memasuki hutan ini.”

“Jadi, apa yang kau takutkan?” bertanya yang kedua.

“Guru”, jawab adik seperguruannya itu.

Kedua saudara seperguruannya itu menarik nafas dalam-dalam Yang tertua pun kemudian berkata, “Aku sudah menjadi cemas, bahwa kau tiba-tiba saja telah berubah sehingga kau merasa ketakutan untuk berjalan melalui hutan itu.”

Adik seperguruan yang termuda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana jika guru justru marah kepada kita.”

“Sudah aku katakan kita akan menjelaskan semuanya. Guru pun harus mengetahui, bahwa penalaran kita masih hidup” jawab yang tertua.

“Mudah-mudahan” desis yang termuda. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanapun juga aku merasa lain. Mungkin justru karena seorang diantara kita sudah terbunuh. Menurut kebiasaan kita dan sebagaimana diperintahkan oleh guru, kita harus menuntut kematiannya. Kita harus menuntut setiap kematian, dengan kematian. Tetapi yang kita lakukan sekarang justru sebaliknya. Jawabnya memang mungkin dapat dicari pada penjelasan kakang, bahwa ini adalah pertanda bahwa penalaran, kita tidak mati. Dan kita berharap, bahkan menurut kakang, guru harus mengetahui. Apakah dihadapan guru kita dapat mengatakan, bahwa guru harus mengetahui hal ini?”

Kakak seperguruannya yang tertua menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang kemungkinan itu dapat terjadi. Mungkin guru memang dapat bersikap lain. Tetapi kita harus berusaha meyakinkannya. Namun jika guru tetap pada sikapnya, maka kita akan berdiri di persimpangan.”

Saudara seperguruan yang termuda itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi nampaknya pada kedua orang kakak seperguruannya itu benar-benar telah berkembang satu sikap yang berbeda. Bahkan mereka telah mengatakan, bahwa menghadapi perintah gurunya, mereka merasa berdiri dipersimpangan. Tetapi yang termuda itu tidak bertanya lebih lanjut. Mereka kemudian berjalan sambil berdiam diri. Sekali-sekali mereka mendengar bunyi-bunyi yang aneh-aneh membuat kulit meremang. Kemudian suara binatang buas dikejauhan.

Namun, meskipun kulit mereka meremang, tetapi bukan karena perasaan takut. Seandainya tiba-tiba saja mereka bertemu dengan tiga ekor harimau yang garang, mereka tidak akan gentar.

Ternyata ketiga orang itu berjalan terus meskipun malam menjadi semakin malam. Rasa-rasanya mereka ingin segera sampai ketujuan karena persoalan yang mereka bawa seakan-akan mendesak tanpa dapat dikekang lagi. Dengan demikian maka ketiga orang itu seakan-akan tidak mempunyai perasaan letih dan lelah.

Untuk beberapa lama mereka menelusuri jalan dipingir hutan. Namun kemudian mereka telah mengikuti jalan yang terpisah dari hutan itu. Semakin lama menjadi semakin jauh. Bahkan kemudian mereka telah memasuki jalan di tengah-tengah tanah persawahan.

Namun mereka berusaha untuk menghindari jalan yang menusuk padukuhan, agar mereka tidak usah menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang mungkin sedang meronda di gardu-gardu.

Baru lewat tengah malam mereka beristirahat sejenak. Mereka sempat tertidur di antara pohon-pohon perdu di sebuah ara-ara terbuka.

Menjelang dini hari, mereka sudah terbangun dan setelah mereka turun ke sungai dan berbenah diri, maka mereka mulai melanjutkan perjalanan mereka lagi.

Dalam pada itu, yang termuda di antara mereka sempat juga berdesis, “Dimanakah kira-kira ketiga orang itu sekarang berada?”

“Seperti kita”, jawab yang tertua, “mereka agaknya juga tidur di padang perdu atau di pategalan yang sepi atau di pinggir hutan.”

“Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan?” desis yang termuda itu pula, “mungkin mereka justru ada di sekitar kita sekarang.”

“Mereka tidak akan mengikuti kita”, jawab yang kedua, “selain mereka telah berangkat lebih dahulu, agaknya mereka pun mengemban tugas yang penting. Jika tugas itu selesai, memang mungkin mereka akan pergi ke Alas Prahara.”

Yang termuda itu mengangguk-angguk. Sementara itu matahari pun mulai membayang. Mereka bertiga berjalan semakin jauh ke Timur, menuju kepinggir Bengawan Madiun.

Belum tengah hari, maka mereka pun telah mendekati hutan yang memanjang. Hutan itu bukan hutan yang lebat pekat. Hutan itu merupakan hutan yang tipis di pinggir Bengawan Madiun, yang banyak disentuh tangan manusia. Selain orang yang mencari kayu, maka banyak pula orang yang mempunyai kegemaran berburu memasuki hutan itu. Tetapi mereka tidak menelusuri hutan itu sampai ke ujung. Diujung hutan itu di arah Utara, terdapat bagian yang berada di tanah yang lebih rendah, terhampar cukup luas. Bukit-bukit kecil seakan-akan memagari daerah itu. Agaknya karena itu maka hutan yang berada di tanah yang lekuk didekat tempuran itu sering ditempuh angin yang keras yang seakan-akan berputar-putar. Bahkan kadang-kadang dimusim hujan, putaran angin nampak menghitam bagaikan memanjat kelangit. Pepohonan yang terdapat di bagian hutan yang disebut Alas Prahara itu pun tumbuh dengan bentuknya tersendiri. Dahan-dahannya bagaikan berputaran pula. Ranting-rantingnya saling membelit. Pokok batangnya meliuk-liuk tidak menentu. Meskipun demikian, dihutan itu terdapat banyak pohon-pohon raksasa yang ujudnya membuat kulit tubuh meremang. Sedangkan dibawah pohon-pohon raksasa itu kadang-kadang terdapat mata air yang mengalir deras, menyusuri tempat-tempat yang lebih rendah dan kemudian terakhir turun ke Bengawan.

Di lingkungan itulah, tetapi diluar daerah yang berbahaya karena prahara dan cleret tahunnya yang dahsyat, terdapat sebuah padepokan yang terletak diatas gumuk kecil yang agak luas. Beberapa orang padukuhan yang letaknya agak jauh sudah memperingatkan bahwa daerah itu adalah daerah yang berbahaya.

Tetapi padepokan itu berdiri juga. Pemimpin padepokan itu memang sengaja untuk membuat padepokannya di lingkungan yang dekat dengan angin dan prahara.

“Terima kasih atas peringatan kalian,“ berkata pemimpin padepokan itu kepada orang-orang padukuhan, “tetapi biarlah kami memanfaatkan tanah yang kosong, yang tidak akan dipergunakan oleh siapa pun juga itu. Apalagi tanah itu berada diluar jangkauan angin dan prahara.”

“Tidak Ki Sanak” berkata orang-orang padukuhan yang sudah mengamati angin dan prahara itu bertahun-tahun, “kadang-kadang angin dan cleret tahun itu sampai juga keatas dataran gumuk itu meskipun jarang. Tetapi bukankah lebih baik kalian berada diluar sama sekali dari daerah yang sering tersentuh angin dan prahara itu.”

Dengan hati-hati pemimpin padepokan itu berusaha menjelaskan, bahwa angin diatas gumuk itu tidak sekencang. angin yang sering memutar pepohonan didalam hutan.

Sebenarnyalah bahwa padepokan itu tidak juga disapu oleh angin dan prahara. Sekali-sekali memang datang angin kencang menyentuhnya. Tetapi tidak menghancurkannya. Apalagi pada saat padepokan itu dibuat, pemimpin padepokan itu pun sudah memperhitungkan kemungkinan datangnya angin yang lebih keras dari angin sewajarnya.

Namun dipadepokan itu, pemimpin padepokan yang menyebut dirinya Damarmurti itu memang sempat mengamati watak angin dengan saksama.

Tetapi padepokan itu memang sudah bernama Sapu Angin sejak belum berada di tempat itu. Sapu Angin adalah nama perguruan yang diwarisi oleh Bagus Parapat dan kemudian bergelar Damarmurti.

Demikianlah tiga orang murid perguruan Sapu Angin itu menuju ke padepokan yang terletak di daerah terpencil itu, meskipun padepokan itu tidak terpisah dari pergaulan dengan padukuhan padukuhan yang letaknya memang agak jauh dari tempat itu.

Hubungan antara penghuni padepokan itu dengan penghuni padukuhan-padukuhan itu termasuk baik. Meskipun demikian orang-orang padukuhan itu tidak tahu dengan pasti, siapa saja yang telah dilakukan oleh penghuni padepokan itu diluar pengelihatan mereka.

Ketiga orang murid Sapu Angin itu kemudian menelusuri tepi hutan. Namun mereka menghindari Alas Prahara meskipun keadaannya nampak tenang, karena sewaktu-waktu angin itu datang dengan kencangnya. Meskipun orang-orang padepokan Sapu Angin telah mencoba untuk mengenali watak angin serta mengamati kapan angin itu datang dan kapan pergi, namun sekali-sekali terjadi pula penyimpangan, sehingga tiba-tiba saja prahara itu datang diluar perhitungan.

Namun akhirnya, ketiga orang itu pun telah mendekati padepokan mereka. Sebuah padepokan yang terletak diatas sebuah gumuk yang tidak terlalu tinggi.

Bagaimanapun juga ketiga orang murid Sapu Angin itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak membayangkan, bagaimana tanggapan guru mereka jika mereka datang menghadap dengan beberapa penyimpangan dari tugas yang dibebankan kepada mereka.

Tetapi mereka pun kemudian telah berketetapan hati untuk datang menghadap apa pun yang akan terjadi atas mereka.

Kedatangan mereka bertiga memang mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seorang cantrik menyongsong mereka sambil bertanya, “Apakah kalian sudah selesai? Menurut pendengaranku, kalian mendapat tugas yang mungkin akan memerlukan waktu yang lama.”

Yang tertua diantara mereka menjawab, “Lama menurut pengertianmu mungkin berbeda dengan lama menurut pengertian guru. Aku sudah terlalu lama pergi. Bahkan mungkin dianggap terlalu lama dibandingkan dengan tugas dan beban yang diberikan kepadaku.”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih juga bertanya, “Tetapi kenapa kalian hanya bertiga?”

“Tidak apa-apa”, jawab yang tertua diantara mereka bertiga. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah guru ada?”

“Ada”, jawab cantrik itu, “marilah. Apakah kalian akan menghadap?”

“Ya”, jawab yang tertua.

“Apakah kalian akan beristirahat dahulu, baru nanti kalian menghadap?” bertanya cantrik itu.

“Cukup” bentak murid tertua itu, “kau jangan banyak bicara. Aku ingin menghadap sekarang.”

“O” cantrik itu bergeser surut. Ia memang menjadi ketakutan melihat murid tertua itu marah.

“Beritahukan kepada guru, bahwa kami akan menghadap. Dimana guru akan menerima kami. Kecuali jika guru memerintahkan kami untuk menunggu sampai nanti” berkata yang tertua itu agak keras.

“Baik. Baik” suara cantrik itu gemetar, “aku akan memberitahukannya.”

Demikianlah cantrik itu pun kemudian meninggalkan mereka bertiga yang kemudian langsung naik ke pendapa. Ras-rasa-nya mereka bersikap lain. Mereka seakan-akan bukan penghuni padepokan itu lagi. Tetapi mereka bersikap seperti orang asing yang baru pertama kali datang ke padepokan itu.

Kiai Damarmurti yang mendengar pemberitahuan dari cantriknya itu memang merasa heran. Kenapa ketiga orang muridnya itu mempunyai sikap yang terasa canggung.

“Kenapa mereka hanya bertiga?” bertanya Kiai Damarmurti.

“Aku juga sudah menanyakannya Kiai. Tetapi aku tidak mendapat jawaban yang baik”, jawab cantrik itu.

Kiai Damarmurti sudah menduga, bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi tidak segera dapat meraba apakah yang terjadi itu.

Karena itu maka Kiai Damarmurti pun ingin segera mengetahuinya. Diperintahkannya kepada cantrik itu untuk mengatakan kepada ketiga muridnya untuk datang ke sanggar.

Ketiga orang murid Sapu Angin itu pun kemudian telah pergi ke Sanggar. Jantung mereka terasa semakin berdebar-debar. Namun mereka memang sudah bertekad untuk melakukan sebagaimana mereka kehendaki.

Ketika murid tertua itu membuka pintu sanggar, maka terdengar suara gurunya, “Marilah anak-anakku. Kemarilah.”

Ketiga orang murid itu justru tertegun. Tetapi akhirnya mereka pun telah melangkah masuk ke sanggar yang agak gelap.

Mereka melihat guru mereka duduk diatas sebatang tonggak yang tidak terlalu tinggi Dengan senyum yang tidak diketahui maknanya, Kiai Damarmurti itu berkata, “Duduklah. Aku ingin mengucapkan selamat datang kepada kalian, setelah kalian menyelesaikan tugas kalian.”.

Ketiga orang itu pun kemudian duduk dilantai sambil menundukkan kepada mereka.

“Nah” berkata Kiai Damarmurti, “aku ingin segera mengetahui hasil dari perjalananmu.”„

Yang tertua diantara para murid Damarmurti itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab, gurunya telah berkata selanjutnya, “Tetapi aku lebih dahulu ingin mengetahui, dimana seorang diantara saudara-saudaramu itu.”

Ketiga orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya yang tertua diantara mereka berkata, “Ampun guru. Kami telah kehilangan seorang diantara saudara kami.”

“Apakah saudaramu terbunuh?” bertanya Kiai Damarmurti dengan tiba-tiba.

Yang tertua diantara ketiga muridnya itu tidak dapat mengelak. Ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ampun guru. Sebenarnyalah saudara kami itu telah gugur.”

Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Aku sudah tahu bahwa aku telah kehilangan seorang muridku yang terbaik. Nah, kemudian ceriterakan apa yang telah terjadi, Bagaimana kau membalas dendam atas kematian saudaramu itu? Mungkin kau membunuh tiga orang untuk menebus seorang diantara kita.”

Yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya memang berdegup lebih cepat. Tetapi ia pun kemudian seakan-akan justru telah menemukan kekuatannya kembali. Karena itu, maka ia pun telah menceriterakan apa yang terjadi dengan suara yang utuh dan tidak terputus-putus.

Kiai Damarmurti mendengarkan laporan itu dengan bersungguh-sungguh. Apalagi ketika muridnya itu mulai menyebut orang bercambuk.

Ketegangan menjadi semakin nampak pada wajah Kiai Damarmurti. Yang dilaporkan oleh muridnya yang tertua itu sama sekali tidak sejalan dengan gambarannya. Bahkan kemudian Kiai Damarmurti itu mendengar, bahwa ketiga orang muridnya itu sama sekali tidak berusaha berbuat apa-apa sepeninggal saudara seperguruannya.

“Jadi kalian begitu saja menyerah?” bertanya Kiai Damarmurti.

“Kami tidak mungkin mengingkari kenyataan yang ada pada waktu itu guru. Orang bercambuk dan dua orang yang lain itu ternyata bukan lawan-lawan kami. Apalagi setelah kami berbicara dengan mereka” berkata murid yang tertua itu.

Kiai Damarmurti memandang mereka bertiga dengan tajamnya, sehingga ketiganya pun telah menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Ternyata berbeda sekali gambaran yang dapat mereka buat sebelum mereka benar-benar berhadapan dengan Kiai Damarmurti. Namun setelah mereka benar-benar berada dihadapan gurunya itu, maka mulut mereka pun rasa-rasanya menjadi berat. Jalan pikiran mereka tidak lagi secerah pada saat mereka masih berangan-angan diperjalanan.

“Guru harus mengerti” berkata murid tertua itu sebelum mereka bertemu dengan gurunya.

Untuk beberapa saat Kiai Damarmurti justru berdiam diri. namun kemudian kata-katanya ternyata telah mengejutkan ketiga muridnya. Katanya, “Aku tidak menyalahkan kalian. Jika kalian bertemu dengan orang bercambuk itu, maka kalian memang tidak akan dapat berbuat banyak. Adalah kewajibanku untuk menemuinya dan berbicara tentang muridku yang terbunuh itu.”

Murid yang tertua diantara ketiga orang murid Sapu Angin itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka terlepas dari himpitan bukit yang diletakkan didada mereka.

Namun baru sejenak kemudian muridnya yang tertua itu berkata, “Guru. Ketiga orang yang aku ceriterakan itu sekarang justru sedang menuju ke Timur. Tetapi menilik kata-katanya, meskipun mereka tidak menyebutnya dengan jelas, mereka tidak akan menempuh perjalanan sampai ke Bengawan Madiun ini.”

“Bagaimana kau tahu?” bertanya Kiai Damarmurti.

“Ketika mereka bertanya tentang padepokan ini dan dengan terus terang aku menyebutkan letaknya, maka mereka menganggap bahwa perjalanan menuju kemari adalah terlalu jauh. Agaknya mereka memang sedang mengemban tugas. Mungkin sekarang mereka sedang melakukan sesuatu sesuai dengan tugas mereka.”murid yang tertua itu berhenti sejenak. Ia mencoba untuk melihat kesan dari kata-katanya itu pada wajah gurunya. Namun ia tidak mendapatkan kesan apa-apa. Karena itu, maka ia pun melanjutkan, “Guru. Setelah tugas mereka selesai, mungkin sebagaimana mereka katakan, jika ada waktu, orang bercambuk itu akan singgah kemari. Tetapi itu belum merupakan satu kepastian.”

Kiai Damarmurti itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang ingin menemuinya. Orang itu yang datang kemari, atau aku yang harus mencarinya.

“Tetapi kemana guru akan mencarinya?” bertanya muridnya yang kedua.

“Bukankah mereka menuju ke Timur tetapi tidak sampai sejauh batas Bengawan Madiun?” bertanya gurunya.

“Ya guru”, jawab murid kedua.

“Memang sulit untuk menebak kemana orang itu pergi. Tetapi apakah kalian mendapat kesan bahwa orang itu utusan dari Mataram atau bahkan prajurit Mataram?” bertanya Kiai Damarmurti.

“Menurut pengakuannya, ketiga orang itu tidak mempunyai sangkut paut dengan Mataram”, jawab muridnya yang tertua.

Kiai Damarmurti mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Apa pun dapat dikatakannya. Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang Mataram yang justru menyusup ke Timur setelah mereka menyadari, bahwa kekuatan dari Timur mulai membayangi kekuasaan Mataram.”

Ketiga muridnya itu tidak menjawab. Namun gurunya itu berkata pula, “Kegagalan Nagaraga benar-benar merupakan hambatan yang sungguh-sungguh bagi daerah timur. Mataram tentu akan dengan cermat mengamati keadaan. Sebagaimana ternyata bahwa setiap usaha untuk menyusup ke Barat selalu patah di perjalanan. Watu Gulung mengalami nasib lebih buruk lagi. Justru tidak karena tindakan Mataram. Sekarang giliran kita mengalami kesulitan dan mengorbankan seorang terbaik diantara kita.”

Ketiga muridnya hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Namun bagi mereka, jalan ke Mataram memang penuh dengan rintangan.

“Baiklah” berkata Kiai Damarmurti kemudian, “beristirahatlah. Aku menunggu pamanmu, Putut Wiyantu. Ia akan mengawani aku mencari ketiga orang itu. Mudah-mudahan pamanmu Putut Wiyantu datang bersama pamanmu Putut Pideksa. Jika tidak, kami berdua sajalah yang akan pergi. Kalian sebaiknya menunggu padepokan ini.”

Wajah ketiga muridnya menjadi tegang. Namun Kiai Damarmurti justru tertawa. Seakan-akan ia melihat gejolak di-dalam dada ketiga muridnya itu. Katanya, “Aku tahu bahwa kalian mencemaskan aku. Tetapi kalian harus percaya, bahwa ketiga orang yang kau katakan itu bukan sejenis hantu yang perlu ditakuti. Selama ini aku tekun mempelajari watak angin prahara yang bertiup hampir setiap hari di Alas Prahara itu. Dan aku telah menemukan inti kekuatannya. Pada saatnya kalian pun mewarisinya pula. Ilmu ini sebenarnya sudah ada sejak perguruan Sapu Angin berdiri. Namun lambat laun mengalami kemunduran. Kini aku telah mengembalikannya dalam tatarannya yang seimbang dengan kekuatannya dimasa lampau itu. Dengan demikian kehadiran padepokan kita di tepi Alas Prahara itu tidak sia-sia.

Ketiga orang muridnya itu mengangguk-angguk. Mereka memang yakin bahwa yang dikatakan oleh gurunya itu memang benar. Ia pun yakin bahwa gurunya tidak akan gentar berhadapan dengan siapa pun juga termasuk ketiga orang itu. Apalagi ketiga orang masih belum dapat dilihat puncak dari kemampuan mereka selain seorang diantaranya mampu menyerang lawannya dengan sorot matanya. Sedangkan kemampuan cambuk yang merupakan senjata salah seorang dari kedua orang tua diantara mereka itu pun masih belum merupakan imbangan yang mencemaskan bagi gurunya. Demikian pula kemampuan orang tua yang lain untuk membakar tali pengikat tangannya.

“Jika benar guru mampu melepaskan kekuatan angin prahara, maka ketiga orang itu memang akan dapat disa punya” berkata ketiga orang murid itu didalam hatinya.

Tetapi rasa-rasanya, mereka tidak sependapat bahwa gurunya harus memusuhi ketiga orang itu, yang agaknya memang bukan orang yang sedang mencari lawan.

Karena itu, hampir diluar sadarnya, murid yang tertua itu pun bertanya, “Guru. Apakah guru akan menemui mereka untuk menuntut balas kematian saudaraku?”

Kiai Damarmurti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Kau takut kehilangan aku?”

“Tidak. Sebagaimana guru katakan, bahwa guru telah menguasai kembali ilmu yang telah susut itu dan akan mampu mempergunakannya sebagaimana masa lampau. Karena itu, aku tidak mencemaskan guru. Betapa pun tinggi kemampuan ketiga orang itu, namun guru akan dapat melemparkan mereka keluar dari arena“ murid yang tertua itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang ingin aku sampaikan kepada guru, bahwa mereka bertiga bukan orang yang mudah terpancing untuk bermusuhan. Mereka bukan orang-orang yang menyandarkan diri kepada kemampuan ilmunya dan kekerasan.”

“Tetapi seorang diantara saudara seperguruanmu telah terbunuh” desis Kiai Damarmurti.

“Bukan salah mereka” suara murid tertua itu menurun. Terasa pada nada suaranya keragu-raguan yang mencekam.

Kiai Damarmurti memandang kedua muridnya yang lain. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah benar begitu?”

Murid kedua dari perguruan Sapu Angin itu pun menyahut, “Ya, guru. Mereka dengan mudah melukai kami, Jika mereka ingin, mereka akan dengan mudah membunuh kami semuanya. Bukan hanya seorang saja diantara kami.”

———-oOo———-

(bersambung ke Jilid 216)

diedit dari: http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-15/

Terima kasih kepada Ki Mahesa & Ki Kuncung yang telah me-retype jilid ini

<<kembali | lanjut >>

Tinggalkan komentar