ADBM3-286


<<kembali | lanjut >>

DUA orang pengawal itu pun berlari-lari mengambil sebuah lincak bambu kecil di serambi dan dibawa kembali turun ke halaman. Dengan sangat hati-hati Rara Wulan telah diangkat dan diletakkan keatas lincak itu untuk diusung ke pendapa.

Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak ingat lagi lukanya sendiri. Sementara Ki Gede telah memungut kembali tombaknya, telah naik ke pendapa pula. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan itu melihat, bahwa kaki Ki Gede nampaknya sudah menjadi agak parah. Jika Ki Gede harus bertempur lebih lama lagi, maka kakinya tentu akan benar-benar sangat terganggu.

Kepada para pengawalnya Ki Gede memerintahkan agar mereka yang terluka dan gugur di peperangan mendapat perawatan sebaik-baiknya. Bahkan dari mereka yang datang menyerang padukuhan itu harus mendapat perhatian pula. Terutama mereka yang terluka.

Dalam pada itu, selagi Rara Wulan terbaring di pendapa, Glagah Putih masih bertempur dengan sengitnya di halaman rumah Agung Sedayu. Tiga orang Putut yang dihadapinya memang mulai membuatnya pening. Bertiga mereka mampu membuat lingkaran yang seolah-olah telah membatasi daya geraknya. Didalam angan-angannya Glagah Putih justru telah membuat bayangan pagar yang mengelilingi. Bahkan wajah-wajah lawannya itu nampak mulai berubah pula.

Namun Glagah Putih tidak kehilangan daya penalarannya. Karena itu ketika lingkaran yang mengelilinginya yang ada didalam angan-angannya itu menjadi semakin menyempit, maka Glagah Putih mulai memikirkan, bagaimana ia dapat memecahkan lingkaran itu.

“Lingkaran yang memagari arena ini tidak ada,” katanya kepada diri sendiri.

Tetapi ketiga orang Putut itu bertempur sambil berloncatan di sekelilingnya. Gerak mereka itulah yang telah menciptakan bayangan-bayangan di angan-angan Glagah Putih, bahwa seakan-akan ada pagar besi yang rapat sekali.

“Orang-orang itulah yang menahan agar aku tidak keluar dari kepungan,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Namun ternyata ia memang tidak dapat segera keluar dari lingkaran yang ada di angan-angannya itu. Meskipun dengan mengerahkan tenaga dan kekuatannya, tetapi setiap kali ia membentur pagar yang melingkar itu, maka ia telah memental kembali masuk kedalam lingkaran itu.

Penalaran Glagah Putih dapat memperhitungkan, bahwa pagar itu timbul dalam angan-angannya karena kecepatan gerak ketiga orang Putut itu. Setiap kali ia berusaha keluar, maka ia membentur kekuatan yang tidak dapat dipecahkan. Glagah Putih tahu pasti bahwa kekuatan yang melemparkannya kembali dalam lingkaran itu adalah kekuatan salah seorang dari ketiga orang Putut yang selalu bergerak memutarinya itu berganti-ganti.

Dengan demikian, maka Glagah Putih semakin lama semakin terlibat dalam putaran yang membuatnya semakin pening. Sementara itu, Glagah Putih menjadi heran, bahwa kekuatan ketiga orang Putut itu tidak mampu dipecahkannya.

Glagah Putih mulai menjadi gelisah. Lingkaran itu semakin lama menjadi semakin sempit, sehingga akhirnya tentu akan dapat mencekiknya.

Namun akhirnya Glagah Putih sampai pada satu kesimpulan, bahwa ketiga orang Putut itu sudah sampai kepada kemampuan puncaknya. Kekuatan mereka tidak lagi dapat ditembusnya, sementara lingkaran yang mengelilinginya bukan saja membatasinya, tetapi juga membuatnya pening dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran. Semua itu tentu karena pengaruh ilmu puncaknya.

Glagah Putih tidak mau hal itu terjadi. Apalagi Glagah Putih menyadari bahwa pertempuran di halaman itu terjadi dimana-mana.

Mungkin seorang dua orang diantara penghuni rumah itu tidak mampu menahan kemampuan lawannya, sehingga memerlukan bantuan. Mungkin anak-anak Gajah Liwung telah terlibat dalam kesulitan.

Karena itu, maka Glagah Putih pun sampai pada batas kesabarannya selagi ia belum kehilangan kesadarannya sepenuhnya. Meskipun Glagah Putih membawa pedang, tetapi ia merasa bahwa merasa bahwa pedangnya tidak akan banyak berarti. Jika ia menarik pedangnya, maka ketiga lawannya tentu akan mempergunakan senjatanya untuk tetap mengurungnya dalam pagar kekuatan dan kemampuan puncak mereka bertiga.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak mau mengalami kesulitan dan bahkan mungkin bencana yang akan menimpa dirinya. Dengan demikian, maka Glagah Putih itu telah mengerahkan kemampuan puncaknya pula. Sekejab Glagah Putih memusatkan nalar budinya yang sudah mapan. Kemudian dengan landasan semua kekuatan ilmunya, Glagah Putih telah menghentakkan ilmu puncaknya untuk mematahkan lingkaran yang memagarinya itu dan yang tidak dapat ditembusnya itu.

Demikianlah, maka dengan puncak kemampuannya Glagah Putih telah memernahkan tangannya dengan telapak tangan mengarah ke dinding pagar yang membatasi geraknya dan yang semakin lama menjadi semakin sempit itu.

Kekuatan yang tidak terkirakan besarnya seakan-akan telah meluncur dari telapak tangannya. Ketika seleret cahaya lepas melampaui kecepatan anak panah, maka benturan yang dahsyat telah terjadi.

Glagah Putih yang telah melontarkan ilmunya itu masih berdiri tegak ketika ia melihat dua orang terlempar dari lingkaran yang memagarinya. Teriakan nyaring melengking menggetarkan halaman rumah Agung Sedayu. Putut Patala dan Putut Manengah seolah-olah telah dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar, melambung dan kemudian jatuh terbanting di tanah.

Glagah Putih bergeser selangkah. Ia sadar sepenuhnya bahwa masih ada seorang Putut yang siap bertempur. Namun Putut Permati yang masih mampu melanjutkan pertempuran selanjutnya itu tidak menyerangnya. Dengan wajah tegang dipandanginya kedua orang saudara seperguruannya itu terbaring di tanah. Ternyata kekuatan ilmu Glagah Putih yang menurut penghayatan Glagah Putih akan mematahkan lingkaran yang memagarinya itu telah menghantam langsung Putut Patala namun juga sempat melemparkan Putut Manengah yang berdiri di sisinya.

Dalam pada itu, Putut Patala memang tidak akan dapat bangkit kembali. Glagah Putih yang sempat mengamatinya sekilas, melihat Putut itu terbaring diam. Wajahnya yang sudah kembali pada ujud yang sebenarnya, menjadi putih seperti kapas.

Namun Putut Manengah masih sempat menggeliat dan berusaha bangkit. Perlahan-lahan ia mencoba untuk berdiri. Tetapi kedua kakinya tidak segera dapat tegak berdiri diatas tanah.

Dengan wajah yang tegang Putut Manengah itu melihat saudara seperguruannya terbaring diam. Tertatih-tatih ia mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. Ketika ia menempelkan telinganya di dada saudara seperguruannya itu, maka ia pun berdesis, “Kau bunuh adikku.”

Glagah Putih yang sudah bersiap sepenuhnya itu menjawab, “Lebih baik membunuhnya dari pada ia membunuhku. Bukankah itu landasan sikap seorang yang turun ke medan.”

“Anak iblis kau,” geram Putut Manengah yang kemudian bangkit berdiri. Namun kekuatannya memang sudah jauh susut. Meskipun lontaran ilmu Glagah Putih itu tidak langsung mengenainya, tetapi ternyata bagian dalam dadanya rasanya bagaikan telah terbakar.

Tanpa Putut Patala, maka bertiga mereka tidak dapat melontarkan ilmu mereka yang dapat membingungkan Glagah Putih. Karena itu, maka Putut Permati dan Putut Manengah yang ilmunya sudah menjadi susut itu, harus mempergunakan kemampuannya yang lain.

Namun apapun yang akan dihadapinya, Glagah Putih tidak akan merasa cemas lagi. Ia sudah berhasil mematahkan lingkaran yang memagarinya, yang semakin lama menjadi semakin sempit sehingga rasa-rasanya akan mencekiknya.

Glagah Putih sama sekali tidak tergetar hatinya ketika ia melihat Putut Permati dan Putut Manengah menarik senjata mereka. Bahkan Glagah Putih justru ingin mengetahui seberapa jauh kemampuan mereka dalam olah senjata, sehingga Glagah Putih tidak berniat untuk menghancurkan mereka dengan kemampuan ilmu puncaknya yang telah membunuh Putut Patala.

Sebenarnyalah Putut Permati selalu memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan menyerangnya dengan ilmu yang dahsyat itu. Karena itu, maka Putut Permati untuk selanjutnya harus berusaha, agar Glagah Putih tidak sempat mengambil jarak untuk mempersiapkan serangannya itu.

Ketika Putut Manengah yang sudah tidak memiliki kemampuannya sepenuhnya itu bangkit dan sudah bersiap pula dengan senjatanya, maka Putut Permati mulai meloncat menyerang.

Senjatanya tidak beda dengan senjata Putut Manengah, sebuah trisula kecil bertangkai pendek. Namun ujungnya yang berkilat-kilat memperingatkan kepada Glagah Putih, bahwa ketiga ujung trisula itu tajamnya melampaui tajamnya sembilu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih yang mempergunakan pedangnya harus bertempur melawan kedua orang Putut yang bersenjata trisula yang penggunaannya berbeda dengan penggunaan pedang.

Tetapi ternyata bahwa ilmu pedang Glagah Putih jauh lebih baik dari kemampuan kedua Putut itu mempergunakan senjata mereka. Karena itu, maka Putut Permati dan Putut Manengah yang sudah menjadi semakin lemah itu segera terdesak.

Tetapi keduanya masih belum sampai pada batas kemampuan mereka. Karena itu, ketika keduanya menjadi semakin terdesak, maka Putut Permati telah mempergunakan senjata lontarnya. Sejenis gelang-gelang kecil yang bergerigi tajam.

Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja seleret sinar menyambarnya. Untunglah bahwa Glagah Putih sempat mengelak. Ketika ia sempat memperhatikan senjata lontar yang menancap pada sebatang pohon di halaman, maka ia pun melihat gelang-gelang baja yang bergerigi itu.

Kemarahan Glagah putih menjadi bergolak di dadanya. Dengan loncatan-loncatan panjang, ia pun segera menyerang Putut Permati. Namun bukan saja Putut Permati, tetapi juga Putut Manengah yang telah mempergunakan senjata yang sama.

Sikap kedua orang Putut itu benar-benar telah menjemukan Glagah putih. Karena itu, maka ia tidak mau memperpanjang kesempatan bagi mereka berdua. Apalagi ketika kedua orang Putut itu semakin lama menjadi semakin sering melontarkan gelang-gelangnya daripada mempergunakan trisulanya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih dengan cepat telah melibat putut Permati dalam pertempuran berjarak dekat. Sebagaimana Glagah Putih sendiri yang tidak dapat melontarkan ilmu puncaknya ia pun tidak memberikan kesempatan lawannya melontarkan gelang-gelangnya pula.

Dalam pada itu, maka Putut Manengah pun mengalami kesulitan pula untuk melemparkan senjata lontarnya, karena Glagah Putih yang bertempur pada jarak pendek melawan Putut Permati, Glagah Putih sengaja meloncat-loncat berputaran sambil memutar pedangnya. Beberapa kali Putut Manengah membidik, tetapi setiap kali bayangan Putut Permati lah yang justru melindungi tubuh Glagah Putih.

Namun ternyata kemampuan Glagah Putih tidak dapat diimbangi oleh Putut Permati sehingga dengan cepat Putut Permati telah terdesak.

Selagi Glagah Putih masih bertempur melawan Putut Permati dan Putut Manengah yang telah kehilangan harapan, Ki Pamekas yang bertempur melawan Wacana menjadi semakin garang. Beberapa kali Wacana harus berloncatan menjauhi lawannya. Namun Ki Pamekas tidak mau melepaskannya.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka Ki Pamekas telah mendesak Wacana yang sempat mengejutkannya ketika mereka mulai berbenturan. Ki Pamekas yang semula merendahkan Wacana yang masih muda itu, terpaksa harus mengerahkan segenap ilmunya.

Namun dengan demikian, maka Wacana menjadi kehilangan kesempatan untuk mempertahankan dirinya. Ketika Wacana sampai ke ilmu puncaknya, maka ternyata Ki Pamekas masih mampu mengimbanginya, bahkan mengatasinya. Benturan kekuatan ilmu puncak mereka yang dahsyat justru telah mempersulit kedudukan Wacana.

Dada anak muda itu bagaikan terbakar karenanya. Dengan demikian, maka ia tidak sempat mengelak ketika kaki Ki Pamekas menyambar dadanya itu pula sehingga Wacana terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang.

Ketika Wacana mencoba untuk bangkit, maka darah pun telah mengalir dari sela-sela bibirnya, sehingga sekali lagi ia terjatuh dan kemudian terdiam.

Ki Pamekas yang melihat lawannya tidak bergerak lagi, masih ingin meyakinkan, apakah lawannya telah terbunuh. Namun pada saat itu terdengar Raden Bomantara berteriak memanggilnya.

Ki Pamekas pun segera meloncat menyambar Rumeksa yang memburu Raden Bomantara yang berusaha melarikan diri. Sambaran tangan Pamekas yang berilmu tinggi itu ternyata telah melemparkan Rumeksa sehingga terlempar dan terbanting jatuh. Beberapa kali Rumeksa berguling. Namun ia pun tidak dapat segera bangkit kembali Pingsan.

Tetapi Ki Pamekas juga tidak sempat melihat apakah lawannya telah terbunuh atau tidak, ia segera memburu Raden Bomantara yang melarikan diri.

“Raden, tunggu,” teriak Ki Pamekas yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan anak muda itu.

Tetapi Raden Bomantara telah meloncat keluar dari longkangan dan turun ke halaman sebelah.

Raden Bomantara justru terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang bertempur melawan dua orang yang dikenalnya. Putut Permati dan Putut Manengah.

Sejenak Raden Bomantara terhenti. Ia sempat mengamati pertempuran yang lain, yang terjadi tidak terlalu dekat dari arena pertempuran antara kedua Putut melawan anak muda itu. Namun Raden Bomantara pun melihat salah seorang dari ketiga bersaudara Putut itu terbaring diam.

Sementara itu, Ki Pamekas pun telah mendekat pula sambil berkata, “Jangan berlari-lari begitu. Jangan jauhi aku.”

Raden Bomantara tidak mengacuhkan kata-kata itu. Tetapi ia berkata, “Aku pernah melihat anak muda yang bertempur melawan kedua orang Putut itu.”

“Itu tidak mustahil. Mungkin di pasar di Tanah Perdikan, karena Raden pernah juga pergi ke pasar. Mungkin di jalan-jalan atau dimana pun juga.”

“Aku tidak senang melihat anak muda itu dapat mengalahkan Putut bersaudara itu. Mungkin seorang diantara ketiga Putut itu sudah dibunuh oleh anak muda itu.”

“Maksud Raden,” bertanya Ki Pamekas.

“Bunuh anak muda itu,” jawab Raden Bomantara, “kemudian kita meninggalkan tempat ini.”

Ki Pamekas menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Baik Raden. Aku akan membunuh anak muda itu sebagaimana aku membunuh anak di longkangan itu.”

Raden Bomantara mengangguk sambil berdesis, “Selamatkan kedua orang Putut itu seandainya saudaranya yang ketiga itu telah terbunuh.”

Demikianlah, maka ki Pamekas pun segera mendekati arena pertempuran antara Glagah Putih melawan kedua orang Putut itu. Ketika ia berada dua langkah pertempuran itu, maka ia pun berkata, “He, Putut Permati. Beri kesempatan aku membunuhnya sebagaimana aku membunuh anak muda itu di longkangan.”

Glagah Putih terkejut mendengar kata-kata Pamekas itu. Namun Pamekas itu berkata seakan-akan ingin menjelaskan. “Seorang anak muda yang berilmu tinggi. Aku terpaksa mempergunakan ilmu puncakku untuk melawan ilmu puncaknya. Tangannya seakan-akan telah berubah sekeras baja sedangkan desir anginnya saja membuat kulitku menjadi pedih. Seorang lagi terpaksa aku bunuh juga karena kesombongannya. Ia tidak tahu diri sehingga berani memasuki arena pertempuran diantara orang-orang berilmu tinggi.”

Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Ia menduga bahwa yang dimaksud tentu salah seorang dari anggauta Gajah Liwung, karena mereka adalah orang-orang yang ilmunya masih belum setingkat dengan orang-orang berilmu tinggi yang tinggal di rumah Agung Sedayu. Yang lebih tinggi tatarannya tetapi juga masih belum mencapai tataran puncak adalah Wacana.

Dalam kegelisahan itu, hampir saja ujung trisula Putut Permati menyambar keningnya. Namun Glagah Putih masih sempat mengelak dan bahkan dengan cepat menyerang lawannya sebelum lawannya sempat melontarkan gelang-gelang kecilnya.

Dalam pada itu, Putut Permati itu pun berkata, “Marilah kita berpacu siapa yang akan lebih dahulu membunuhnya.”

Ki Pamekas tertawa. Katanya, “Kesannya, kita telah bertempur bersama-sama melawannya.”

“Aku tidak peduli kesan apa yang timbul,” jawab Putut Permati sambil berloncatan menghindar. Sekali Putut Manengah masih juga sempat menyerang meskipun tidak banyak berarti. Bahkan ketika Putut Manengah itu melemparkan gelang-gelangnya, maka tenaganya sudah tidak begitu mendukung, sehingga lontarannya pun tidak mampu menyentuh sasarannya, karena dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi, Glagah Putih mengelakkannya.

Ki Pamekas yang termangu-mangu itu akhirnya berkata, “Baiklah. Kita akan berpacu, siapakah yang lebih dahulu membunuhnya.”

Tetapi Glagah Putih yang tersinggung itu menggeram, “Bukan siapa yang akan lebih dahulu membunuhku, tetapi siapakah diantara kalian yang akan mati lebih dahulu?”

Ki Pamekas tertawa, katanya, “Aku telah membunuh anak muda yang berilmu tinggi di longkangan selain anak muda yang sombong itu. Apalagi kau yang hanya mampu bermain pedang seperti anak-anak muda lain yang merasa dirinya pahlawan.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka ia tidak ingin memperpanjang waktu lagi. Ia pun tidak mau terlambat menunggu orang yang baru datang itu mencampuri pertempuran yang sedang terjadi itu, karena ia harus memperhitungkan kemampuannya pula.

Kemarahan yang menyala di jantung Glagah Putih itu ternyata bagaikan disiram minyak, ketika dalam kesibukannya menghindari serangan-serangan Putut Permati, lontaran Putut Manengah yang semula kurang diperhitungkan Glagah Putih itu justru menyambar lengannya dan mampu mengoyak kulitnya.

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Sementara itu Ki Pamekas telah meloncat memasuki arena. Glagah Putih dengan tangkasnya sudah meloncat surut. Tetapi ia sudah memutuskan untuk mengakhiri pertempuran yang sudah berlangsung cukup lama itu.

Ternyata kehadiran Ki Pamekas justru telah membuat Putut Permati menjadi lengah. Ketika Glagah Putih meloncat surut, ia menduga, bahwa Glagah Putih sekedar mengambil jarak untuk menghadapi lawannya yang baru.

Namun ternyata Glagah Putih telah menyiapkan nalar budinya. Dengan mengerahkan segenap tenaga dalam serta daya kemampuannya maka Glagah Putih pun telah menghentakkan ilmunya yang terlontar dari telapak tangannya.

Putut Permati terkejut ketika ia melihat Glagah Putih itu menjulurkan tangannya dengan telapak tangan yang menghadap ke arahnya. Seleret sinar telah meluncur dari telapak tangan itu. Demikian cepatnya.

Putut Permati memang berusaha untuk mengelak. Ia meloncat kesamping sejauh dapat dilakukan. Namun kecepatan serangan Glagah Putih tidak dapat dihindarinya sepenuhnya. Karena itu, maka ketika kekuatan ilmu Glagah Putih menyentuh tubuhnya yang sedang meloncat itu, maka tubuhnya itu justru bagaikan dilontarkan ke udara sebagaimana pernah terjadi pada tubuh saudara-saudara seperguruannya.

Putut Permati berteriak keras. Kemarahannya bagaikan meledak lewat ubun-ubunnya. Namun tubuhnya kemudian telah terbanting jatuh.

Putut Permati masih menggeliat dan mengerang kesakitan. Ilmu Glagah Putih yang tidak sepenuhnya membentur tubuhnya itu tidak membunuhnya seketika. Tetapi Putut Permati sama sekali tidak mampu lagi bangkit berdiri.

Ki Pamekas yang baru akan mulai turun ke arena terkejut. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa lawan barunya itu memiliki ilmu yang sedemikian tingginya. Karena itu, maka ia harus membuat pertimbangan lain.

Dalam pada itu, maka Putut Manengah yang melihat saudara seperguruannya terlempar beberapa langkah, dengan serta merta telah melemparkan gelang-gelang kecilnya dengan segenap sisa tenaganya. Tidak hanya satu, tetapi beberapa yang membentur beruntun. Meskipun tenaganya tidak lagi utuh, tetapi lemparan-lemparan itu telah memaksa Glagah Putih untuk berloncat menghindarinya.

Kesempatan itu ternyata telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Pamekas. Ternyata ia tidak jadi berniat untuk bertempur melawan Glagah Putih. Tetapi ia pun segera berloncatan meninggalkan arena sambil memberi isyarat kepada Raden Bomantara.

Glagah Putih yang masih menghindari serangan-serangan Putut Manengah melihat Ki Pamekas melarikan diri bersama Raden Bomantara. Karena itu, maka ia pun segera berlari pula mengejarnya meskipun serangan Putut Manengah masih meluncur menyerangnya.

Tetapi Ki Pamekas mempunyai kelebihan waktu sedikit. Karena itu ia sempat berlari memutari sudut belakang rumah Agung Sedayu sementara pertempuran masih berlangsung.

Ketika, Glagah Putih telah melewati sudut belakang rumah Agung Sedayu, ia masih sempat melihat Ki Pamekas dan Bomantara berlari diantara pepohonan. Sementara itu, beberapa orang diantara anggauta kelompok Gajah Liwung masih bertempur melawan para pengikut Resi Belahan yang jumlahnya semakin susut.

Ketika Glagah Putih berlari menyusul Ki Pamekas dan Bomantara, maka mereka telah meloncati dinding halaman.

Glagah Putih menjadi marah sekali. Dihentakkannya ilmunya menyerang kedua orang yang sedang meloncat dinding itu. Seleret sinar telah meluncur dengan cepatnya. Tetapi kedua orang itu ternyata sudah hilang dibalik dinding, sehingga dinding itulah yang telah dibentur oleh kekuatan yang sangat besar.

Bibir dinding itu memang terguncang dan bahkan kemudian runtuh keluar.

Glagah Putih dengan sigapnya telah meloncati dinding itu pula. Namun ia tidak menemukan Ki Pamekas dan Raden Bomantara diluar dinding. Reruntuhan dinding itu ternyata tidak menimpa mereka atau salah satu diantara mereka.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia masih ingin mengejar keduanya. Tetapi ia tidak sampai hati meninggalkan orang-orang yang menurut Ki Pamekas telah dibunuhnya.

“Jika mereka masih hidup dan tidak ada yang sempat menolongnya,” berkata Glagah Putih didalam hatinya.

Karena itu, maka ia menunda keinginannya untuk mencari kedua orang itu. Tetapi ia pun segera kembali memasuki halaman.

Ketika ia melihat Putut Manengah yang masih berada di tempatnya menunggui tubuh Putut Permati dan Putut Patala, maka Glagah Putih pun telah melangkah mendekatinya.

Tetapi adalah diluar dugaannya, Glagah Putih mendekatinya dengan hati-hati sambil menjulurkan pedangnya, sedang tangan kirinya siap melontarkan ilmu puncaknya jika diperlukan.

Tetapi Putut Manengah itu justru berlutut sambil merengek, “Ampun. Aku mohon ampun. Aku menyerah dan tidak akan melawan. Tetapi jangan bunuh aku.”

“Laki-laki cengeng,” geram Glagah Putih, “bangkit, kita bertempur sampai tuntas. Kedua orang yang melarikan diri itu lolos dari tanganku, karena itu, maka kau akan menjadi gantinya. Bangkit, lawan aku atau aku penggal kepalamu.”

Tetapi Putut Manengah itu menangis sambil memohon, “Ampun. Aku mohon ampun.”

Wajah Glagah Putih menjadi merah. Ia muak melihat Putut Manengah yang menangis di peperangan justru setelah kedua orang saudara seperguruannya terbunuh. Karena itu, seakan-akan diluar sadarnya, maka tangan kiri Glagah Putih telah menyambar pelipisnya sehingga orang itu terdorong dan jatuh berguling.

Tetapi Glagah Putih memang tidak berniat membunuhnya. Meskipun demikian pandangan mata Putut Manengah itu pun menjadi berkunang-kunang. Bahkan sejenak kemudian, maka ia pun menjadi pingsan.

Glagah Putih kemudian cepat-cepat meninggalkan Putut Manengah dan menuju ke longkangan.

Jantung Glagah Putih berdesir ketika ia melihat Wacana terbaring di tanah. Dari bibirnya masih meleleh darah. Namun Glagah Putih masih yakin, bahwa Wacana masih tetap hidup. Ketika kemudian ia mendekati Rumeksa, agaknya keadaan Rumeksa masih lebih baik.

Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil sebutir obat dari bumbung kecil di ikat pinggangnya. Obat yang didapatnya diri kakak sepupunya. Ia berharap bahwa obat itu juga dapat meringankan penderitaan Wacana yang agaknya telah terluka didalam dadanya.

Dengan susah payah Glagah Putih telah memasukkan obat itu ke dalam mulut Wacana yang bagaikan terkatub rapat. Namun kemudian obat itu berhasil diletakkannya dibawah lidahnya.

Glagah Putih pun kemudian mengangkat Wacana dan diletakkannya di serambi samping. Demikian pula Rumeksa. Kedalam mulut Rumeksa pun telah disisipkan pula sebutir obat dibawah lidahnya sebagaimana obat yang diberikan kepada Wacana.

Dengan hati-hati Glagah Putih pun lelah masuk kedalam rumah. Agaknya telah terjadi pertempuran pula di ruang dalam, sehingga perabot yang ada didalam menjadi porak poranda.

Tetapi Glagah Putih tidak terlalu lama berada di ruang dalam, ia pun telah keluar lagi lewat pintu butulan yang lain. Ia tertegun ketika ia melihat Sabungsari yang bertempur melawan seseorang yang bertubuh raksasa.

Ternyata keduanya sudah sampai kepada kemampuan puncaknya. Sabungsari telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya pula. Lawannya benar-benar seorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Bahkan daya tahannya pun sangat besar pula. Berkali-kali orang itu harus menyeringai menahan sakit, tetapi ia selalu mampu mengatasinya. Ketika Sabungsari sempat melepaskan serangan dengan kakinya justru tepat mengenai dadanya, maka Ki Samekta yang bertubuh raksasa itu terlempar dan terbanting jatuh. Namun dengan cepat ia pun segera bangkit berdiri. Ketika kemudian ia menyerang Sabungsari dengan ayunan tangannya, maka Sabungsari pun terkejut. Ia melihat tangan orang itu menjadi merah membara. Sementara itu desing angin yang bergetar karena ayunan tangannya itu pun terasa menjadi panas.

Beberapa kali Sabungsari terpaksa berloncatan surut. Namun ia tidak membiarkan dirinya diburu terus oleh kemampuan lawannya itu.

Glagah Putih yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia pun melihat tangan orang bertubuh raksasa yang bertempur melawan Sabungsari itu bagaikan membara. Dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh oleh tangan itu pun menjadi berasap dan hangus. Sedangkan yang terhembus getar udara karena ayunan tangan orang itu pun menjadi layu.

Sabungsari semakin lama memang menjadi semakin terdesak. Keringat telah mengalir di sekujur tubuhnya. Panas matahari yang menyengat tidak terasa lagi panasnya. Tetapi getaran udara karena ayunan tangan orang bertubuh raksasa itu panasnya terasa menjilat kulit.

Ki Samekta yang melihat keadaan lawannya justru semakin mendesaknya. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya disela-sela katanya, “He anak muda. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Perlawananmu sia-sia. Karena itu, menyerahlah. Itu adalah satu-satunya cara yang terbaik bagimu untuk mati. Dengan satu ayunan tangan, maka tengkukmu akan patah dan kau pun akan mati seketika. Tetapi jika kau masih saja melawan, maka sentuhan-sentuhan tanganku, bahwa getaran anginnya, akan dapat membakar kulitmu. Sedikit demi sedikit kulitmu akan terkelupas dan kau akan mengalami penderitaan yang panjang.”

Sabungsari menggeram. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia menjawab, “Bersiaplah untuk mati, yang membara itu tidak berarti apa-apa bagiku.”

“Iblis kau,” geram orang itu.

Sabungsari menyadari sepenuhnya, bahwa kemarahan orang itu akan meningkatkan serangan-serangannya. Namun Sabungsari pun telah sampai ke puncak ilmunya. Dikerahkannya nalar budinya pada tataran tertinggi, sehingga ketika lawannya itu meloncat sambil mengayunkan tangannya yang merah membara, maka Sabungsari pun telah melontarkan kekuatan ilmu tertingginya lewat sorot matanya. Tanpa hambatan dalam dirinya, maka ilmunya bagaikan dituangkan seluruhnya dilambari dengan tenaga dalamnya yang tinggi. Sinar yang memancar dari kedua matanya itu meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi menyambar tubuh raksasa itu.

Ki Samekta yang merasa ia akan segera dapat menghanguskan tubuh lawannya itu terkejut. Tetapi tidak ada kesempatan untuk menghindar. Sinar yang meluncur itu telah menyambar tubuh raksasa yang terlambat menghindar itu.

Ternyata akibatnya adalah dahsyat sekali. Tubuh itu bagaikan terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh terguling. Tetapi raksasa itu sama sekali tidak sempat mengeluh. Isi dadanya bagaikan menjadi hangus terbakar oleh kekuatan ilmu Sabungsari.

Glagah Putih tertegun melihat kematian orang bertubuh raksasa itu.

Sementara itu, Sabungsari pun berdiri termangu-mangu. Selangkah demi selangkah ia mendekati tubuh yang terbaring diam itu.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Di pertempuran kadang-kadang kita dihadapkan pada satu keadaan tanpa pilihan.”

Sabungsari yang kemudian berdiri di sebelah tubuh Ki Samekta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun sempat mengangkat wajahnya sambil mendengarkan hentakan-hentakan pertempuran yang masih terjadi di halaman rumah itu.

“Bagaimana dengan yang lain?” bertanya Sabungsari.

“Wacana terluka parah di bagian dalam tubuhnya. Rumeksa juga telah terluka parah meskipun tidak separah Wacana,” jawab Glagah Putih.

“Wacana dan Rumeksa,” ulang Sabungsari, “siapakah yang melukainya?”

“Sayang, orang itu sempat melarikan diri. Aku mencoba mengejarnya, tetapi orang itu sempat meloncat keluar dinding halaman dan hilang. Aku terpaksa melepaskan mereka karena aku ingin melihat keadaan Wacana dan Rumeksa.”

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Sabungsari.

“Di serambi. Aku telah membawanya dari longkangan,” jawab Glagah Putih.

“Apakah mereka sudah mendapatkan obat meskipun untuk sementara?” bertanya Sabungsari.

“Ya. Mudah-mudahan menolong,” jawab Glagah Putih, “sebaiknya salah seorang dari kita melihatnya, sedang yang seorang lagi melihat pertempuran diluar halaman rumah ini. Jika orang yang melukai Wacana itu kemudian turun ke medan, maka ia akan menjadi sangat berbahaya bagi para pengawal.”

“Biarlah aku cari orang itu diantara pertempuran yang terjadi di luar halaman itu,” berkata Sabungsari.

“Keduanya berlari ke arah Utara,” berkata Glagah Putih.

Sabungsari tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ia pun segera berlari ke Utara. Sabungsari tidak menghiraukan pertempuran yang masih terjadi di halaman. Meskipun ia sempat melihat sekilas. Namun kemudian dilihatnya bibir dinding halaman rumah yang runtuh. Ia pun segera mengetahui bahwa Glagah Putih telah berusaha mencegah orang yang melarikan diri itu. Tetapi nampaknya orang itu luput dari jangkauan ilmunya yang mengenai bibir dinding halaman itu.

Sabungsari pun kemudian meloncati dinding itu pula keluar dari halaman Rumah Agung Sedayu. Ia pun berlari dengan cepat untuk turun ke medan pertempuran yang terjadi di beberapa tempat di padukuhan induk itu. Tetapi Sabungsari tidak tahu, kemana ia harus mencari orang yang telah melukai Wacana dan Rumeksa.

Karena itu maka ia harus menjelajahi medan untuk menemukan orang yang dengan semena-mena membantai para pengawal.

Tetapi Sabungsari tidak segera menemukannya. Di arena pertempuran di padukuhan induk itu, para pengawal justru mendesak orang-orang perkemahan yang semakin mengalami kesulitan.

Sebenarnyalah Ki Pamekas dan Raden Bomantara memang tidak terhenti di lingkaran pertempuran yang mana pun. Keduanya dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Ki Pamekas menyarankan agar Raden Bomantara meninggalkan api peperangan untuk kepentingan keselamatannya.

“Apakah di Pati tidak ada perempuan cantik seperti perempuan pedesaan di Tanah Perdikan ini?” bertanya Ki Pamekas ketika Raden Bomantara masih menyebut perempuan-perempuan cantik di rumah Agung Sedayu.

Raden Bomantara tidak menjawab. Tetapi ia tidak menolak ajakan Ki Pamekas untuk meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu pertempuran hampir di segala sudut padukuhan induk itu pun menjadi semakin sengit. Tetapi para pengawal semakin yakin akan dapat menguasai keadaan. Orang-orang yang menyerang padukuhan induk yang kurang menguasai keadaan medan, kadang-kadang telah terjebak di tikungan-tikungan sempit dan simpang tiga atau simpang ampat di jalan-jalan padukuhan. Sering kali mereka terkejut ketika tiba-tiba saja muncul sekelompok pengawal menyerang mereka dari arah yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Di rumah Agung Sedayu pertempuran pun telah mencapai puncaknya pula. Orang-orang berilmu tinggi yang-masih tersisa telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya.

Dalam pada itu Glagah Putih, telah berada di sebelah Wacana yang masih terbaring diam. Namun pernafasannya sudah mulai teratur. Keadaannya justru semakin lama semakin baik.

Sedangkan Rumeksa keadaannya justru lebih baik lagi. Ketika Glagah putih memberikan semangkuk air, Rumeksa lelah meneguknya beberapa teguk.

Dengan telaten Glagah Putih telah menitikkan air pula di bibir Wacana setitik demi setitik. Ternyata air yang segar itu semakin menambah keadaannya menjadi lebih segar pula.

Di arena pertempuran, Ki Jayaraga telah sampai pada batas kesabarannya pula. Sementara itu Ki Ajar Gurawa telah menguasai lawannya yang kehabisan tenaga. Di halaman depan, pertempuran antara Resi Belahan dan Agung Sedayu agaknya telah mendekati penentuannya pula. Keduanya telah melepaskan kemampuan serta ilmu mereka yang sulit dimengerti oleh orang lain. Sedangkan anggauta kelompok Gajah Liwung yang lain pun nampaknya tidak lagi mengalami kesulitan.

Ki Lurah Branjangan sendiri yang membawa kelompok Gajah Liwung ke Tanah Perdikan, sudah tidak banyak melibatkan diri. Bukan berarti bahwa Ki Lurah hanya berpangku tangan, tetapi Ki Lurah Branjangan yang menjadi semakin tua itu tidak lagi harus ikut mengerahkan segenap kemampuannya didalam lingkaran-lingkaran pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu. Meskipun Ki Lurah juga harus bertempur, tetapi ia berada diantara anak-anak dari kelompok Gajah Liwung. Ki Lurah lebih banyak memberikan petunjuk kepada anak-anak dari kelompok Gajah Liwung dari pada harus bertempur langsung menghadapi para penyerang.

Glagah Putih kemudian minta Ki Lurah untuk menunggui Wacana dan Ki Rumeksa, karena Glagah Putih masih akan turun lagi ke medan.

“Kau terluka,” desis Ki Lurah.

“Tidak seberapa Ki Lurah,” jawab Glagah Putih.

Dengan demikian maka Glagah Putih masih sempat melihat bagaimana Ki Ajar Gurawa mengalahkan lawannya yang kehabisan tenaga. Sementara itu, kedua muridnya telah menyelesaikan lawan-lawan mereka pula, meskipun kedua-duanya juga telah terluka. Tetapi seorang diantara mereka nampaknya cukup parah, sehingga harus mendapatkan pengobatan sementara untuk memampatkan darah yang mengalir dari luka-lukanya.

Ketika Glagah Putih melihat Ki Jayaraga yang bertempur melawan seorang yang ternyata juga berkemampuan sangat tinggi, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Sementara itu Ki Jayaraga pun nampaknya harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ketika lawannya sempat mendesak Ki Jayaraga, maka ia mendengar lawan Ki Jayaraga itu berkata lantang, “Nah, kenapa kau tidak mengakhiri perlawananmu saja?”

“Lalu, maksudmu?” bertanya Ki Jayaraga.

Lawannya menggeram. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Ki Sanak. Kenapa bukan kau saja yang mengakhiri perlawananmu?”

Ki Carang Ampel itu mengumpat kasar. Katanya, “Nampaknya kau tidak mampu melihat kenyataan. Jika aku pernah mengatakan bahwa anggap saja Ki Tempuyung Putih tidak pernah datang ke halaman rumah ini sebagaimana Bajang Bertangan Baja, namun kau akan melihat tataran kemampuannya.”

“Ki Tempuyung Putih ada disini meskipun tinggal tubuhnya sebagaimana Bajang Bertangan Baja,” sahut ki Jayaraga.

“Persetan,” geram Ki Carang Ampel, “kau ternyata sudah menyia-nyiakan kesempatan yang terakhir. Karena itu, maka bersiaplah untuk mati.”

Ki Jayaraga memang telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi puncak dari pertempuran yang sudah berlangsung terlalu lama itu. Ia pun mengerti sepenuhnya maksud Ki Carang Ampel, bahwa orang itu merasa dirinya memiliki kemampuan yang tidak kalah dari Ki Tempuyung Putih.

Sebenarnyalah maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah benturan-benturan ilmu yang sangat tinggi. Dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu tinggi, maka Glagah Putih seakan-akan melihat gelombang udara yang bergetar dari arah lawan Ki Jayaraga.

Tetapi gelombang getaran udara yang mengalir itu seakan-akan telah tertahan oleh selapis tirai yang tidak kasat mata. Ki Jayaraga yang juga berilmu tinggi itu ternyata telah melindungi dirinya dengan ilmunya untuk melawan gelombang udara yang bergetar dari arah lawannya.

Namun demikian tiba-tiba lawan Ki Jayaraga itu telah melenting tinggi, berputar di udara dan kedua tangannya terjulur lurus ke arah wajah Ki Jayaraga. Namun dengan tangkasnya Ki Jayaraga sempat mengelak selangkah menyamping. Tubuhnya bergeser meskipun kakinya seakan-akan tidak bergerak.

Tetapi Ki Carang Ampel itu pun menggeliat sebelum kedua kakinya menyentuh tanah. Tangannya terayun mendatar dengan telapak tangan terbuka dan merapat. Hampir saja sisi telapak tangan itu menyentuh tubuh Ki Jayaraga. Tetapi Glagah Putih melihat bahwa Ki Jayaraga tidak terlambat menghindar.

Namun Glagah Putih itu terkejut. Meskipun tangan Ki Carang Ampel itu tidak menyentuh tubuh Ki Jayaraga, namun ternyata telah terjadi benturan yang keras. Lawan Ki Jayaraga itu terdorong selangkah surut. Meskipun keseimbangannya terguncang, tetapi Ki Carang Ampel tetap berdiri tegak. Sementara itu, tubuh Ki Jayaraga seakan-akan telah terlempar beberapa langkah. Ki Jayaraga benar-benar telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling.

Mata Glagah Putih memang terbelalak karenanya. Ia yakin bahwa Ki Jayaraga tidak terlambat menghindar. Ia melihat telapak tangan lawannya tidak menyentuh tubuh Ki Jayaraga.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga pun dengan tangkasnya melenting berdiri. Namun lawannya telah memburunya. Kakinyalah yang kemudian menyerang ke arah dada Ki Jayaraga.

Ki Jayaraga menggeliat. Tubuhnya kemudian condong pada lambungnya. Menurut penglihatan Glagah Putih, kaki itu tidak mengenai dada Ki Jayaraga. Dadanya itu menggeliat ke belakang, sementara kakinya merendah pada lututnya.

Tetapi yang mengejutkan itu telah terjadi lagi. Sekali lagi Ki Jayaraga terlempar dengan derasnya. Meskipun lawannya juga tergetar surut, namun seperti sebelumnya, Ki Carang Ampel itu tetap tegak berdiri, sementara Ki Jayaraga jatuh berguling beberapa kali.

Ki Jayaraga yang mengalami sampai dua kali itu pun segera mengetahui apa yang terjadi. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Ki Jayaraga dengan cepat harus mendapatkan pemecahan dari kesulitan yang dialaminya.

Justru karena itu, maka Ki Jayaraga yang jatuh berguling itu justru berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Dengan kecepatan yang tinggi, maka orang itu masih mampu meloncat bangkit berdiri. Demikian ia melihat Ki Carang Ampel menyerangnya, maka Ki Jayaraga pun segera berloncatan menjauh, melampaui jarak jangkau ilmu Ki Carang Ampel.

Sebagaimana Ki Jayaraga, maka Glagah Putih yang meskipun masih muda, tetapi memiliki pengalaman yang luas itu pun segera mengerti. Lawannya memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ilmu yang seakan-akan dapat menumbuhkan kepanjangan dari anggauta badannya. Meskipun anggauta badannya masih belum menyentuh tubuh lawannya, tetapi ilmunya yang merupakan kepanjangan dari badannya itu mengenai sasaran sebagaimana anggauta badannya itu sendiri.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ki Jayaraga harus memperhitungkan hal itu menghadapi lawannya yang selain ilmunya itu juga mampu bergerak cepat sekali. Tubuhnya pun mampu menjadi sangat ringan seperti kapas.

“Orang itu memiliki ilmu yang berlapis,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Selain ilmu meringankan tubuh, juga ilmu yang mengejutkan itu. Jangkauan ilmunya lebih panjang dari anggauta badannya.

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ia juga pernah mendengar bahwa Pandan Wangi juga memiliki dasar ilmu seperti itu. Jika saja Pandan Wangi mampu mengembangkannya, serta kemampuannya menyentuh sasaran dari jarak tertentu, maka Pandan Wangi akan dapat menjadi seorang perempuan yang dikagumi sebagaimana juga suaminya, Swandaru Geni. Meskipun Swandaru agak terlalu puas dengan kemampuan yang telah dimilikinya. Namun di saat terakhir gurunya sudah minta agar Swandaru lebih memperdalam ilmunya sehingga Swandaru akan dapat berdiri di jajaran orang yang berilmu tinggi.

Namun bagaimana pun juga Glagah Putih memang tidak dapat ikut campur. Ki Jayaraga adalah gurunya. Karena itu, maka gurunya tentu akan marah kepadanya, seandainya ia mencoba untuk membantunya, seolah-olah ia merasa bahwa ilmunya cukup tinggi untuk bertempur bersama gurunya tanpa mendapat perintahnya.

Karena itu, apapun yang terjadi, ia hanya dapat berdiri termangu-mangu di luar arena pertempuran.

Namun Glagah putih masih tetap berkeyakinan, bahwa gurunya akan dapat melepaskan diri dari kesulitan karena ilmu lawannya itu.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga nampaknya memang selalu terdesak. Ia harus menghindari serangan lawannya pada jarak yang berlipat, agar jangkauan ilmu lawannya tidak mengenainya meskipun serangan itu menurut penglihatan mata wadag tidak menyentuhnya.

Namun ternyata Ki Jayaraga pun telah mengambil keputusan. Ia tidak ingin memperpanjang pertempuran itu lagi. Ia ingin segalanya segera selesai. Jika ia berhasil, biarlah berhasil. Tetapi jika ia gagal, maka biarlah segera menjadi jelas.

Karena itu, maka Ki Jayaraga pun segera sampai pada puncak ilmunya pula. Ketika sekali lagi ia terdorong surut karena ia terlambat menghindari serangan lawannya dengan lambaran ilmunya, maka Ki Jayaraga tidak mempunyai pilihan lain.

Ki Jayaraga yang terdorong beberapa langkah surut dan jatuh bergulingan di tanah itu pun segera melenting berdiri. Sementara itu ia melihat lawannya meloncat didahului oleh gelombang getar udara yang menjadi semakin padat

Ki Jayaraga menyadari bahwa Ki Carang Ampel itu benar-benar telah menghentakkan segala ilmu yang ada didalam diri. Sebagaimana Ki Jayaraga, maka ia pun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.

Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak berusaha menghindar. Ki Jayaraga dengan sengaja telah membentur kekuatan lawannya itu dengan lambaran kekuatan Aji Sigar Bumi.

Glagah Putih memang menjadi tegang. Ternyata Ki Jayaraga tidak mau kehilangan kesempatan. Ia tidak menjajagi kemampuan lawannya dengan ilmunya yang lain, karena Ki Jayaraga mampu menghembuskan lidah api yang dapat menjilat dan menghanguskan sasarannya.

Tetapi ilmu itu ternyata gagal melumpuhkan Ki Manuhara, sehingga Ki Jayaraga harus mempergunakan Aji Sigar Bumi.

Terhadap ki Carang Ampel ternyata ki Jayaraga tidak mau kehilangan waktu, karena Ki Carang Ampel itu akan dapat mendahuluinya. Sehingga karena itu, maka sekaligus Ki Jayaraga telah mengetrapkan ilmunya Aji Sigar Bumi untuk membentur serangan ilmu puncak lawannya.

Satu benturan dahsyat telah terjadi. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling berbenturan.

Akibatnya memang sangat mendebarkan Ki Jayaraga yang menjadi semakin tua itu telah terlempar beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah. Ketika ia berguling sekali dan mencoba untuk bangkit maka orang tua itu menyeringai menahan sakit yang menyengat dadanya.

Kepalanya yang sudah terangkat telah terkulai kembali. Terdengar desah perlahan.

Glagah Putih yang melihat hal itu dengan cepat berlari mendekati gurunya. Ia pun kemudian bersimpuh di sisi Ki Jayaraga yang menjadi pucat dan terbaring diam.

Namun Ki Jayaraga itu berdesis, “Bagaimana dengan Ki Carang Ampel?”

Glagah putih mengerti bahwa yang dimaksud itu adalah lawan gurunya.

Ternyata keadaan Ki Carang Ampel itu lebih buruk dari Ki Jayaraga. Benturan itu telah melemparkannya sehingga melambung dan jatuh beberapa langkah surut. Ki Carang Ampel itu memang masih menggeliat. Namun kemudian isi dadanya seakan-akan telah terbelah. Karena itu, maka segalanya pun telah menjadi gelap dan hilang sama sekali.

Ki Carang Ampel yang membenturkan ilmunya dengan ilmu Ki Jayaraga itu ternyata tidak mampu menerima hentakan balik dari benturan yang terjadi. Getaran dari benturan itu sendiri dan dorongan kelebihan ilmu Ki Jayaraga rasa-rasanya telah memukul dan menghancurkan jantungnya.

Ki Carang Ampel itu pun harus menerima kenyataan yang buruk itu tanpa dapat mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Ketika maut itu menjemputnya, maka Ki Carang Ampel memang tidak mampu mengelak atau melindungi dirinya dengan ilmu yang betapapun tingginya serta berlapis seribu sekalipun.

Glagah Putih yang bangkit dan mendekati Ki Carang Ampel hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bersimpuh lagi di dekat gurunya, maka ia pun segera berdesis, “Ki Carang Ampel sudah terbunuh guru.”

“Ilmunya memang luar biasa,” berkata Ki Jayaraga dengan suara parau yang hampir tidak terdengar. Namun demikian katanya, “Ambil sebutir obat dan bumbung kecil di kantong ikat pinggangku. Selipkan disela-sela bibirku.”

Glagah Putih pun dengan cepat telah melakukannya. Diambilnya bumbung kecil dari kantong ikat pinggang kulit Ki Jayaraga yang lebar. Kemudian sebutir obat yang di dalam bumbung itu telah dimasukkannya kedalam mulut Ki Jayaraga.

Ternyata Ki Jayaraga masih sempat menelannya. Namun ia pun berdesis, “Air.”

Glagah Putih kemudian berkata, “Marilah, aku bawa masuk guru ke ruang dalam,”

Ki Jayaraga tidak menolak. Tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah, sehingga ia tidak mungkin lagi berjalan meskipun sambil dipapah.

Tetapi Glagah Putih cukup kuat untuk mengangkat tubuh yang memang tidak begitu besar itu dan membawanya ke ruang dalam.

Ki Lurah Branjangan yang kemudian mengetahui bahwa Ki Jayaraga telah terluka, telah mendekatinya pula. Tetapi kemudian bersama Glagah Putih, Ki Lurah telah membawa Wacana dan Rumeksa ke ruang tengah disatukan dengan Ki Jayaraga yang juga telah terluka cukup parah.

Namun obat yang telah mereka telan, serba sedikit telah memperingan penderitaan mereka.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang tiba-tiba teringat kepada saudara sepupunya berdesis, “Ki Lurah. Tolong, tunggui mereka bertiga, aku akan melihat kakang Agung Sedayu.”

Ki Lurah mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah. Agaknya pertempuran juga sudah sampai ke puncak.”

Sebelum Glagah Putih meninggalkan ruangan dalam, maka Ki Ajar Gurawa memasuki pintu butulan sambil membawa kedua muridnya yang terluka. Namun seorang masih dapat membantu saudara seperguruannya melangkah memasuki pintu.

“Apakah itu Ki Jayaraga?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Terluka?” bertanya Ki Ajar pula.

“Ya Ki Ajar. Tetapi keadaannya telah berangsur baik,” desis Ki Lurah Branjangan.

Setelah menempatkan kedua muridnya yang terluka, maka Ki Ajar Gurawa telah duduk pula di sebelah Ki Lurah, di sisi tubuh Ki Jayaraga yang masih berbaring sambil memejamkan matanya. Nampaknya Ki Jayaraga masih merasa sangat lemah serta berusaha mengatasi perasaan sakitnya.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah meninggalkan ruang dalam dan turun ke halaman. Ternyata di halaman Agung Sedayu masih bertempur melawan Resi Belahan. Keduanya benar-benar orang-orang yang berilmu sangat tinggi.

Sementara itu di sebelah gandok juga masih terjadi pertempuran. Seorang anak dari kelompok Gajah Liwung melawan seorang dari pengikut Resi Belahan. Tidak jauh dari arena pertempuran itu, seorang pengikut Resi Belahan telah terbaring diam.

Di seberang halaman seorang anak muda dari kelompok Gajah Liwung yang berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran antara Agung Sedayu dan Resi Belahan. Namun ketika ia melihat seorang kawannya masih bertempur, maka ia pun bersiap untuk berlari membantunya. Namun sebelum ia beranjak, maka pengikut Resi Belahan itu justru telah berusaha melarikan diri melewati halaman samping di belakang gandok menuju ke belakang. Tetapi Glagah Putih tahu, bahwa orang itu tentu akan bertemu dengan anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung yang sudah kehilangan lawan mereka.

Dalam pada itu, Agung Sedayu harus sangat berhati-hati menghadapi Resi Belahan. Selain orang itu memang berilmu tinggi, maka orang yang umurnya sudah melewati setengah abad itu juga memiliki pengalaman yang sangat luas.

Karena itu, maka Agung Sedayu bukan saja harus mengerahkan kemampuannya, tetapi ia juga harus mempergunakan akalnya.

Ketika Glagah Putih turun dari tangga pendapa, maka ia melihat Agung Sedayu itu berloncatan dengan cepat sehingga kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah. Glagah Putih mengetahui bahwa Agung Sedayu telah mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, sehingga tubuhnya seakan-akan tidak lagi berbobot. Tetapi yang berbuat demikian bukan saja Agung Sedayu. Lawannya juga mampu melakukannya.

Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin cepat. Ketika keduanya terlibat dalam pertempuran yang berjarak pendek, maka keduanya bagaikan dua onggok kapuk randu yang diputar oleh angin pusaran. Bayangan mereka sajalah yang nampak berputaran saling menyerang dan saling menangkis dan menghindari serangan-serangan itu.

Sekali-sekali salah seorang dari keduanya terdorong beberapa langkah surut dan keluar dari pusaran. Namun yang lain segera menyusulnya dan pertempuran yang dahsyat itu pun segera berlangsung pula.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun segera mengetahui bahwa Agung Sedayu tentu telah mengetrapkan Ilmu kebalnya pula. Serangan-serangan lawannya yang mengenainya, seakan-akan tidak terasa dan tidak menimbulkan perasaan sakit pada daging dan tulang-tulangnya. Tetapi juga Resi Belahan memiliki ilmu kebal meskipun dari jenis yang lain. Resi Belahan memang memiliki ilmu Lembu Sekilan. Setiap serangan lawannya yang seharusnya mengenai tubuh Resi Belahan seakan-akan telah tertahan oleh perisai ilmunya dari kulitnya.

Tetapi serangan-serangan Resi Belahan yang mengenai Agung Sedayu pun seakan-akan tidak terasa sama sekali. Sentuhan-sentuhan itu tidak lebih dari usapan angin semilir di teriknya sinar matahari.

Namun keduanya tidak terhenti sampai sekian. Keduanya masih memiliki kemampuan-kemampuan yang lain yang dapat mereka lontarkan dalam pertempuran yang sulit dimengerti dan diduga, siapakah yang akan mampu memenangkannya.

Resi Belahan sendiri memang tidak menduga, bahwa orang muda yang bernama Agung Sedayu itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Meskipun ia sudah mendengar serba sedikit tentang orang itu, namun Agung Sedayu memang memiliki kemampuan melampaui dugaan dan bahkan perhitungannya.

Pertempuran antara keduanya memang menjadi semakin sulit dimengerti. Dua orang anggota Gajah Liwung yang kemudian hadir pula di halaman itu memang menjadi bingung melihat apa yang terjadi. Mereka hanya melihat bayangan yang seakan-akan berterbangan saling menyambar. Namun serangan-serangan itu tidak banyak berpengaruh, karena kedua belah pihak telah mengetrapkan ilmu kebal meskipun dari jenis yang berbeda.

Dalam pada itu, Sabungsari yang berada diluar dinding halaman rumah Agung Sedayu tidak ditemukan orang yang dicarinya. Ki Pamekas ternyata tidak tergabung dengan para pengikut Resi Belahan di medan yang mana pun. Yang dilihat oleh Sabungsari adalah bahwa pengawal Tanah Perdikan telah mendesak orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu. Jika semula orang-orang dari perkemahan itu sempat menyelinap mendekati banjar dan rumah Ki Gede, namun kemudian mereka telah tertahan di jalan-jalan, di simpang tiga dan di simpang-simpang ampat. Bahkan yang dibawa langsung oleh Putut Rahinaya pun telah dilumpuhkan pula.

Perlahan-lahan namun pasti, maka para pengikut Resi Belahan itu telah terdesak ke dinding padukuhan. Bahkan ada diantara mereka yang sudah tertawan.

Di jalan-jalan, di sudut-sudut halaman dan di kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan, pertempuran sudah menjadi semakin menyusut. Kelompok kecil pengawal telah mulai menggiring orang-orang yang menyerah dan tertangkap ke banjar.

Meskipun disana-sini masih terdengar sorak yang riuh dari mereka yang sedang bertempur, namun terasa bahwa keseimbangan pertempuran telah mulai menentukan.

Prastawa telah memerintahkan kepada pasukan cadangannya untuk memberikan pukulan akhir pada para pengikut Resi Belahan yang masih berkeras kepala. Tenaga para pengawal yang masih segar telah membuat gelora di hati para pengikut Resi Belahan menjadi semakin padam.

Dalam pada itu, maka Sabungsari tidak meneruskan usahanya untuk menemukan orang-orang berilmu tinggi yang menyusup dalam arena pertempuran yang tersebar di padukuhan induk. Bahkan ketika keseimbangan menjadi semakin jelas, maka Sabungsari segera kembali ke halaman rumah Agung Sedayu.

Ternyata Sabungsari memasuki halaman rumah Agung Sedayu tidak lewat regol halaman depan. Tetapi ia telah meloncat dinding halaman sebagaimana ia keluar.

Pertempuran di halaman itu pun telah hampir berakhir, namun ia masih melihat debu yang menghambur naik ke udara di halaman depan.

Ketika kemudian Sabungsari pergi ke halaman depan, maka ia melihat orang berdiri termangu-mangu menyaksikan Agung Sedayu bertempur melawan Resi Belahan. Diantara mereka yang termangu-mangu itu adalah Glagah Putih. Karena itu, maka Sabungsari pun telah bergeser mendekatinya.

“Apakah kita dapat ikut menghentikan pertempuran itu?” desis Sabungsari.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana kita dapat membidik sasaran dalam pertempuran seperti itu? Tetapi aku pun tidak tahu apakah kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan jika kita ikut campur.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Meskipun mungkin ia sanggup membantu dengan membidik dan menyerang Resi Belahan dari jarak jauh, namun ia masih harus memperhitungkan, apakah Agung Sedayu membenarkan langkah yang diambilnya. Untuk menjaga harga dirinya, maka agaknya Agung Sedayu tidak menginginkan seseorang ikut campur dalam pertempuran itu, meskipun mereka tidak sedang perang tanding.

Sementara itu pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sulit dimengerti. Keduanya berputaran semakin cepat Sekali-sekali mereka berputar di udara. Namun kemudian keduanya melenting dan berbenturan dengan kerasnya. Tetapi apa yang terjadi itu seakan-akan tidak menimbulkan akibat sama sekali bagi mereka.

Karena itu, keduanya telah mengerahkan ilmu mereka semakin tinggi lagi. Agung Sedayu telah mengetrapkan pula puncak ilmu yang diwarisinya lewat jalur perguruan Ki Sadewa. Sementara itu, Resi Belahan pun telah mempergunakan Aji Gala Waja.

Kemampuan puncak mereka memang mampu mengguncang perisai ilmu kebal mereka. Sedikit demi sedikit, rasa-rasanya ilmu kebal mereka memang terkuak. Aji Gala Waja memang sempat membuat kulit daging Agung Sedayu terasa memar. Sementara itu, ilmu puncak dari jalur perguruan Ki Sadewa telah menembus ilmu Lembu Sekilan yang melindungi tubuh Resi Belahan.

Namun pertempuran itu nampaknya masih belum sampai pada akhirnya.

Ketika benturan-benturan yang terjadi, ternyata mampu menyakiti tubuh mereka yang sedang bertempur itu, maka mereka telah berusaha untuk melindungi diri mereka dengan cara yang lain. Ilmu puncak mereka ternyata sudah tidak tertahan lagi oleh ilmu kebal mereka dalam tataran tertinggi sekalipun. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayu telah mulai memanasi udara di sekitarnya. Getaran dan gelombang yang paling padat dari ilmu kebalnya ternyata mengandung kekuatan api.

Karena itulah, maka Resi Belahan telah mengetrapkan ilmunya yang lain. Aji Panglimunan.

Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya. Namun ia segera sadar, bahwa Resi Belahan telah mengetrapkan Aji Panglimunan. Satu getar kekuatan ilmunya yang dapat menyerap getar cahaya pada dirinya dan kelengkapannya dari yang kuat sampai yang paling lemah sekali pun sehingga ia tidak dapat menyentuh layar penglihatan orang lain.

Dengan demikian maka Agung Sedayu tidak dapat melihat, di mana lawannya berdiri pada satu saat. Sehingga lawannya itu dapat menyerangnya dari mana pun juga dikehendakinya, karena meskipun Resi Belahan tidak nampak oleh mata wadag, tetapi ia tetap dapat menyerang dengan sentuhan kewadagannya.

Orang-orang yang menyaksikannya pertempuran itu pun terkejut pula. Kemudian menjadi cemas. Mereka pada umumnya segera mengetahui bahwa Resi Belahan memiliki Aji Panglimunan. Pada umumnya mereka memang menjadi cemas bahwa Agung Sedayu akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya itu.

Namun Agung Sedayu pernah mendapat pengalaman menghadapi ilmu seperti itu. Bahwa ia menghadapi Orang yang memiliki Aji Panglimunan disaat gurunya, Kiai Gringsing masih berada dipadepokan kecil di Jati Anom.

Karena itu, meskipun Agung Sedayu tetap tidak mampu melihat lawannya meskipun ia mengetrapkan Aji Sapta Pandulu, namun Agung Sedayu dapat mengetahui dimana lawannya berada dengan pengetrapan ilmunya Aji Sapta Pangrasa. Meskipun Agung Sedayu tidak melihat lawannya, tetapi ketajaman perasaan yang bagaikan diasah oleh kemampuan ilmu Aji Sapta Pangrasa, maka Agung Sedayu tahu pasti, apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

Desir angin, gemerisik bunyi yang ditangkapnya dengan Aji Sapta Pangrungu serta ketajaman penggraitanya, maka seakan-akan Agung Sedayu itu melihat Resi Belahan telah menyerangnya dari samping sebelah kanan.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun dengan cepat telah menghindar. Serangan yang datang dengan sepenuh tenaga dan kemampuan itu, ternyata tidak menyentuh sasarannya. Agung Sedayu dengan ketajaman inderanya yang didukung oleh kekuatan ilmunya, berhasil menempatkan dirinya dengan sebaik-baiknya.

Namun semakin lama Resi Belahan bergerak semakin cepat Karena itu, maka Agung Sedayu pun memang mengalami beberapa kesulitan. Kadang-kadang Agung Sedayu memang mengalami terlambat menghindar, sehingga suatu ketika ia tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan Resi Belahan yang tidak dilihatnya.

Karena itu, maka sentuhan serangan yang sangat kuat dengan lambaran ilmu yang tinggi itu, telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut Bahkan karena lawannya masih saja memburunya, maka Agung Sedayu harus dengan cepat berusaha mengambil jarak. Tetapi serangan Resi Belahan ternyata datang beruntun dengan kecepatan yang justru semakin tinggi, sehingga satu ketika Agung Sedayu terpaksa berloncatan sambil berputaran di udara menghindari serangan-serangan itu. Bahkan kemudian menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu benar-benar menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mengira bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan dengan lawannya yang tidak dapat dilihatnya itu. Sehingga serangan lawannya telah menjatuhkannya sehingga Agung Sedayu harus berguling beberapa kali.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang mengalami kesulitan dengan lawannya itu. Ia memang sekali dua kali dapat dikenai serangan-serangan yang hanya dapat diperhitungkannya dengan ketajaman perasaannya tanpa melihatnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera berusaha untuk membuat lawannya kehilangan sasaran, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu untuk memastikannya. Dengan demikian maka Agung Sedayu akan mempunyai waktu untuk menghindarinya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah mengetrapkan ilmunya yang lain pula. Dalam waktu-waktu senggangnya Agung Sedayu memang selalu memelihara dan bahkan mengembangkan dengan menyempurnakan ilmu yang dimilikinya. Sehingga karena itu, maka ilmunya yang mampu melepaskan ujud semu sebagaimana ujud sendiri pun menjadi semakin mapan pula.

Getaran dari dalam dirinya yang mengental telah melahirkan ujud sebagaimana dirinya. Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari.

Orang-orang yang ada di halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin dicekam oleh ketegangan. Tiba-tiba saja mereka melihat Agung Sedayu itu menjadi tiga.

Resi Belahan yang tidak kasat mata itu pun mengumpat sejadi-jadinya. Ia memerlukan waktu setiap kali akan menyerang. Ketiga ujud itu memang sulit dibedakan. Hanya dengan ketajaman penglihatan batinnya, maka Resi Belahan tahu, yang manakah sebenarnya Agung Sedayu itu. Resi Belahan sebelumnya tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mampu melepaskan ujud-ujud semu yang dapat membuatnya harus membuat perhitungan yang cermat.

Untuk beberapa saat Resi Belahan yang masih dalam ilmu Panglimunan itu mencoba untuk bertempur terus meskipun masing-masing dibayangi oleh keraguan-keraguan. Tetapi sebenarnyalah, Agung Sedayu tidak lagi mengalami banyak kesulitan. Pada saat-saat Resi Belahan mengamati ujud-ujud yang sama itu, Agung Sedayu sempat mengetahui dimana Resi belahan itu berada.

Sementara itu ketiga ujud yang sama itu selalu saja berbaur, sehingga setiap kali Resi Belahan harus mencari sasaran bagi serangan-serangannya yang menjadi lamban.

Untuk beberapa saat pertempuran itu masih berlangsung. Resi Belahan semakin tidak mengerti terhadap kemampuan lawannya. Ketika Agung Sedayu menghindari serangan-serangannya meskipun ia tidak melihat lawannya yang mempergunakan Aji Panglimunan, Resi Belahan telah merasa heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia dapat melihat Resi Belahan. Tetapi serangan-serangan Resi Belahan sebagian besar dapat dihindarinya. Apa lagi ketika kemudian Agung Sedayu itu seakan-akan telah pecah menjadi tiga.

Resi Belahan tahu pasti, kekuatan ilmu apakah yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Namun bahwa orang yang masih semuda Agung Sedayu mampu menguasai ilmu itu dengan matang, membuatnya semakin keheranan.

Demikianlah setelah bertempur beberapa lama, maka Resi Belahan lah yang menjadi tidak telaten. Justru karena setiap kali ia harus memilih sasaran, maka Agung Sedayu tidak lagi banyak mengalami kesulitan. Serangan-serangan Resi Belahan yang lamban selalu dapat dihindarinya. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu mencoba untuk membalas serangan-serangan Resi Belahan dengan serangan pula.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Resi Belahan telah melepaskan ilmunya Aji Panglimunan. Karena itu, maka ia pun telah menampakkan dirinya lagi. Namun di tangannya telah tergenggam seuntai rantai yang di ujung tergantung sebuah cakra yang bergerigi tajam.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ujud-ujud semu itu pun bagaikan terbang dan kembali menyatu pada dirinya kembali.

Dengan demikian, maka yang kemudian berhadapan adalah Agung Sedayu dan Resi Belahan.

“Kau agaknya memang anak iblis,” geram Resi Belahan, “tetapi aku tidak ingin bertempur terlalu lama. Kau akan segera mati oleh pusakaku ini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diamatinya cakra yang bergantung di ujung rantai Resi Belahan. Gerigi cakra yang kecil-kecil tetapi runcing itu nampak berkilat-kilat agak kemerah-merahan.

Agung Sedayu pun mengerti, bahwa senjata Resi Belahan itu tentu senjata pilihan. Apa lagi di tangan orang yang berilmu tinggi seperti Resi Belahan itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu harus menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat senjata Resi Belahan itu berputar. Maka gerigi yang kecil-kecil namun tajam sekali itu berkilat-kilat dibawah panasnya terik matahari.

“Apakah kau sedang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi atas dirimu?” bertanya Resi Belahan sambil memutar cakranya yang bergantung pada ujung rantai bajanya.

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

“Segalanya sudah terlambat. Kau tidak akan dapat melangkah surut. Beberapa orang kawanku sudah terbunuh mereka semuanya. Jika aku mengenakan Aji Panglimunan, maka sepeninggalmu, tidak akan ada orang yang akan yang dapat melawanku lagi. Aku akan membunuh semua orang di halaman rumah ini. Bahkan kemudian di seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan kini.”

Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati karena putaran rantai baja yang digayuti cakra itu berputar semakin cepat. Terdengar suara angin berdesing. Bahkan getarannya sudah terasa pula menampar wajahnya.

“Bukan main,” desis Agung Sedayu.

Namun begitu Resi Belahan mulai menyerang, tiba-tiba saja telah terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Suaranya menggetarkan udara seluruh halaman dan bahkan seakan-akan memecahkan selaput telinga.

Resi Belahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya, “Pada suatu saat ternyata aku benar-benar berhadapan dengan Orang Bercambuk. Aku tidak tahu, orang ini keturunan ke berapa, tetapi jalur ilmunya memang jalur ilmu Orang Bercambuk.”

“Ya, aku adalah salah satu murid utama dari Orang Bercambuk itu,” jawab Agung Sedayu, “dan sekarang kita mendapat kesempatan untuk berhadapan dan menguji, siapakah diantara kita yang paling baik,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi ternyata bahwa kemampuan orang bercambuk itu tidak sebagaimana pernah aku dengar,” berkata Resi Belahan, “kemampuanmu bermain cambuk tidak lebih baik dari seorang sais pedati yang setiap menjelang fajar membawa beberapa bakul gula kelapa ke pasar.” Suara tertawanya masih terdengar tertahan-tahan.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, maka rantai Resi Belahan itu mulai terjulur, sementara Agung Sedayu bergeser kesamping. Namun sekejap kemudian cambuknya sudah meledak lagi. Suaranya memekakkan bagaikan guruh yang meledak di langit yang mendung.

Namun Resi Belahan masih saja tertawa. Cakra di ujung rantainya berputar semakin cepat. Bahkan kemudian menyambar ke arah dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu meloncat surut. Namun cakra di ujung rantai itu seakan-akan selalu memburunya. Ledakan cambuk yang mengguntur itu sama sekali tidak menahan laju serangan-serangan Resi Belahan yang memburunya.

Namun ketika Agung Sedayu seakan-akan semakin terdesak, maka cambuknya pun menggeliat dengan hentakan yang berbeda. Tidak ada suara yang terdengar. Bahkan rasa-rasanya hentakan cambuk itu tidak memberikan kesan apapun juga. Namun ternyata bahwa Resi Belahan justru terkejut. Selangkah ia meloncat surut. Dengan tajamnya ia memandang Agung Sedayu yang siap meloncat memburunya dengan cambuknya.

Tetapi ternyata Agung Sedayu seakan-akan telah memberinya kesempatan untuk menilai, kemampuan apakah yang sebenarnya dihadapinya.

Ketika kemudian Resi Belahan itu berdiri dengan tegang, maka Agung Sedayu pun telah bertanya kepadanya, “Apakah yang sedang kau pikirkan Resi Belahan?”

“Ternyata kau benar-benar tidak bisa dianggap remeh. Ketika kau hentakkan cambukmu dengan kemampuan ilmumu, maka ternyata ilmu cambukmu cukup mendebarkan,” jawab Resi Belahan.

“Jika demikian, apakah kau mempunyai pikiran lain kecuali kekerasan?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Apakah kau akan menyerah?”

“Tentu tidak. Jika aku hanya akan menyerah, maka aku tidak akan memberi kesempatan kepadamu untuk menilai ilmu cambukku yang sebenarnya,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Resi Belahan menggeretakkan giginya. Kemudian dengan garang ia pun berkata, “Kita sudah terlanjur basah kuyup. Kita akan menyelesaikan pertempuran ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Resi Belahan. Dalam pertempuran kita tidak terikat untuk bertempur seorang lawan seorang. Di halaman ini ada beberapa orang yang berilmu tinggi yang sudah kehilangan lawannya. Karena itu, maka mereka akan dapat bertempur bersama-sama dengan aku. Nah, apa katamu?”

“Setan yang licik. Jika kau anggap bahwa kau berhak bertempur dengan licik seperti itu lakukanlah. Tetapi aku akan dapat mempergunakan Aji Panglimunan dan membunuh mereka seorang demi seorang. Hanya kau sajalah yang dapat menghindari kemampuan Aji Panglimunanku.”

“Ada banyak orang yang dapat mengatasi kekurangan penglihatannya menghadapi Aji Panglimunan sebagaimana aku lakukan. Jika kau ingin mencoba, cobalah.”

“Aku tidak peduli,” geram Resi Belahan, “tetapi jika kau memang jantan, aku tantang kau berperang tanding.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah mereka berdua telah berperang tanding untuk waktu yang lama. Tetapi baru kemudian Resi Belahan itu mengucapkannya. Namun Agung Sedayu pun menjawab, “Baiklah Resi Belahan. Jika itu yang kau kehendaki. Aku akan menghadapimu dalam perang tanding. Orang-orang yang ada di halaman ini tidak akan mengganggumu.”

Resi Belahan menggeram. Tetapi itu adalah kemungkinan yang paling baik baginya, karena sebenarnyalah di sekitarnya terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, kedua orang itu telah terlibat dalam pertempuran yang sengit Resi Belahan dengan rantai bajanya yang digantungi cakra yang bergerigi tajam, sedang Agung Sedayu menggunakan cambuk perguruannya.

Ternyata bahwa keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Cakra yang bergayut pada, rantai baja di tangan Resi Belahan itu berputar dan berayun dengan cepat menyambar-menyambar. Geriginya yang berkilat-kilat dengan cahaya yang kemerah-merahan mewarnai arena pertempuran itu. Gumpalan kabut yang berwarna tipis kemerahan bergulung-gulung melibat Agung Sedayu.

Tetapi cambuk Agung Sedayu berputaran pula. Sekali-sekali cambuk itu dihentakkan sendal pancing. Namun sama sekali tidak terdengar getar suaranya. Namun ternyata bahwa getaran udara oleh hentakan cambuk itu melanda Resi Belahan dalam gelombang-gelombang yang tidak kalah tajamnya menampar kulit Resi Belahan itu.

Pertempuran antara kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu memang telah mencekam jantung mereka yang menyaksikannya. Bahkan Glagah Putih dan Sabungsari yang berilmu tinggi itu pun menjadi sangat berdebar-debar. Bukan saja karena ilmu yang berbenturan itu adalah ilmu puncak yang jarang ada duanya, yang juga karena mereka mencemaskan keadaan Agung Sedayu.

Namun hampir diluar sadarnya Glagah Putih berkata, “Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu telah sampai puncak kemampuan ilmu cambuknya.”

Sabungsari mendengar kata-kata Glagah Putih itu. Tetapi ketegangan yang mencekamnya membuatnya sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga selain mengangguk-angguk kecil, karena sebenarnyalah ia memang berharap bahwa ilmu cambuk Agung Sedayu akan dapat mengatasi kemampuan ilmu lawannya.

Ketika kemudian pertempuran menjadi semakin garang, maka cakra itu bukan saja berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari, tetapi cakra itu seakan-akan telah menyiratkan sinar yang kemerah-merahan. Ketajaman penglihatan Glagah Putih dan Sabungsari mampu menangkap isyarat bahwa sinar kemerah-merahan yang memercik itu agaknya mengandung panasnya api seperti peletik batu titikan yang tergores keping baja.

Sebenarnyalah bahwa pancaran seperti memancarnya bunga-bunga api dari cakra yang berputaran itu terasa panas di kulit Agung Sedayu. Hanya karena Agung Sedayu masih memasang perisai ilmu kebalnya sajalah, maka peletik api itu tidak melukainya. Tetapi pakaian Agung Sedayu ternyata telah berlubang-lubang kecil dari cakra Resi Belahan yang berputaran.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang terpaksa setiap kali mengambil jarak, agar pakaiannya tidak terbakar. Meskipun kulit Agung Sedayu tidak terluka, tetapi tanpa pakaian, sudah tentu Agung Sedayu tidak akan dapat bertempur terus.

Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu pun telah mengerahkan kemampuannya dengan ilmu cambuknya. Sebenarnyalah bahwa getaran cambuk Agung Sedayu mengandung tenaga yang sangat kuat. Hentakan-hentakan cambuknya yang seolah-olah tidak mengakibatkan apapun dan bahkan bunyi pun tidak, namun sebenarnyalah setiap kali Resi Belahan harus mengerahkan segenap kekuatan ilmu Lembu Sekilan serta daya tahan untuk mengatasi goncangan-goncangan didalam dadanya.

Jika Agung Sedayu beberapa kali harus mengambil jarak karena loncatan bunga-bunga api yang seakan-akan memercik dari gerigi-gerigi tajam cakra Resi Belahan, maka Resi Belahan setiap kali harus mengambil jarak untuk mengurangi tekanan kekuatan yang timbul dari hentakan cambuk Agung Sedayu.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama semakin menjadi sengit. Tetapi bukan berujud benturan-benturan kewadagan. Kedua orang berilmu tinggi itu telah melontarkan getaran ilmu mereka masing-masing. Namun keduanya juga mempunyai kekuatan yang sangat tinggi.

Namun kemudian pertempuran yang nampaknya menjadi semakin lamban itu justru telah membuat kedua orang itu semakin menjadi letih. Meskipun laku kewadagan dalam pertempuran itu semakin surut, namun sebenarnyalah keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu puncak mereka.

Demikianlah, maka kedua belah pihak berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Resi Belahan yang sekali-sekali mendesak, berusaha menembus pertahanan dan bahkan ilmu kebal Agung Sedayu dengan gerigi tajam cakranya. Sekali Agung Sedayu seakan-akan kehilangan jejak atas putaran senjata lawannya. Bahkan kemudian bukan saja bunga-bunga api yang memercik ke tubuhnya, tetapi gerigi cakra itu sendiri telah menyentuh kulitnya setelah menembus pertahanan putaran juntai cambuknya serta mengoyak perisai ilmu kebalnya.

Ternyata bahwa lengan Agung Sedayu telah terluka, sehingga darah menitik dari lukanya itu.

Namun luka itu telah membuat jantung Agung Sedayu bagaikan terbakar. Darahnya serasa mendidih didalam tubuhnya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya untuk melawan Resi Belahan itu habis-habisan.

Sabungsari dan Glagah Putih yang melihat Agung Sedayu terluka, menjadi sangat terkejut. Mereka mengetahui bahwa Agung Sedayu tentu mengetrapkan ilmu kebalnya. Ilmu meringankan tubuh dan berbagai macam ilmunya yang lain. Namun ternyata bahwa Resi Belahan mampu menembus pertahanan Agung Sedayu dan bahkan mengoyak ilmu kebalnya.

Namun kemudian Agung Sedayu telah mendesak lawannya pula. Ujung cambuknya telah terayun-ayun dengan cepatnya. Bahkan kemudian hentakan-hentakan sendal pancing. Agung Sedayu tidak lagi menghiraukan percikan bunga-bunga api dari cakra lawannya yang disebut pusaka oleh Resi Belahan. Tetapi hentakan-hentakan cambuknya telah melontarkan gelombang-gelombang getaran yang sangat kuat menghantam dada Resi Belahan. Dengan mengerahkan segenap kekuatan ilmunya Agung Sedayu telah menghentakkan ujung cambuknya sendal pancing justru pada saat Resi Belahan berusaha untuk sekali lagi mengulangi keberhasilannya menembus pertahanan Agung Sedayu.

Ternyata telah terjadi benturan kekuatan ilmu yang menggetarkan. Lecutan ujung cambuk Agung Sedayu seakan-akan telah melontarkan kekuatan yang tidak terhingga besarnya. Ketika kekuatan yang sangat besar yang diungkapkan lewat ujung cambuk Agung Sedayu itu membentur putaran cakra Resi Belahan yang juga dihentakkan dengan sepenuh tenaga dan usaha sekali lagi menembus perlahan dan lapisan ilmu kebal Agung Sedayu, maka seakan-akan udara pun telah meledak. Cakra Resi Belahan seakan-akan telah terhempas dengan kerasnya. Tetapi rantai baja pilihan di tangan Resi Belahan itu masih dapat menahannya. Justru Resi Belahan sendiri yang terhenyak selangkah surut. Sementara dengan susah payah ia berusaha untuk menguasai putaran cakranya yang kehilangan keseimbangan.

Sementara itu, cambuk Agung Sedayu rasa-rasanya telah membentur kekuatan yang sangat besar menghentak telapak tangannya. Tetapi kekuatan dan daya tahan Agung Sedayu di belakang ilmu kebalnya, masih cukup kuat menahan agar cambuknya tidak terlepas dari tangannya. Bahkan dalam goncangan yang terjadi itu Agung Sedayu sempat membuat perhitungan dan dengan cermat pula melaksanakannya.

Selagi Resi Belahan masih berusaha memperbaiki kedudukannya yang goyah, cambuk Agung Sedayu telah meledak dengan suara yang gemuruh bagaikan halilintar yang meloncat di langit. Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka Resi Belahan memang terkejut mendengar suara yang memekakkan telinga itu.

Meskipun ledakan itu bagi Resi Belahan tidak berarti apa-apa tetapi bahwa ia terkejut itu berarti perhatiannya telah terpecah. Sementara itu putaran cakranya masih belum dikuasai sepenuhnya.

Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Perhitungannya yang cermat telah berhasil meluangkan kesempatan meskipun hanya sekejap.

Karena itu, maka dengan kecepatan yang sangat tinggi, setelah cambuknya meledak dengan suara yang menggelegar, Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya itu lagi. Tidak ada suara yang terdengar selain sentuhan juntai cambuknya yang dengan kekuatan yang sangat besar dilambari dengan segenap ilmu dan kemampuan Agung Sedayu yang mungkin ditrapkannya, telah berhasil menembus pertahanan Resi Belahan dan menembus Aji Lembu Sekilan yang memagari tubuhnya.

Resi Belahan terkejut juntai cambuk Agung Sedayu telah mengenai dadanya. Kekuatan dan kemampuan serta ilmu yang mungkin dipergunakan oleh Agung Sedayu telah mengoyak dada Resi Belahan meskipun dilindungi oleh Aji Lembu Sekilan.

Terdengar keluhan tertahan Resi Belahan yang belum sempat memperbaiki guncangan putaran cakranya itu bagaikan terlempar beberapa langkah surut. Meskipun ia berhasil mempertahankan keseimbangannya sehingga Resi Belahan itu tidak terjatuh, namun luka di dadanya ternyata cukup parah. Pedih dan nyeri telah menggigit sampai ke tulang-tulangnya.

Agung Sedayu tidak memburunya. Ia berdiri termangu. Dipeganginya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sementara ujung juntai cambuknya dengan tangan kirinya. Namun Agung Sedayu tidak menyadari, bahwa ujung cambuknya telah bernoda darah sehingga tangan Agung Sedayu pun menjadi merah.

Resi Belahan yang telah terluka di dadanya itu menjadi sangat marah. Sambil menggeretakkan giginya Resi Belahan itu berkata, “Jangan merasa kau telah menang Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau tidak saja bertempur dengan tenaga kekuatan, kemampuan dan ilmumu. Tetapi kau telah mempergunakan otakmu yang cemerlang dengan perhitungan-perhitungan yang sangat mapan.”

“Resi Belahan,” berkata Agung Sedayu, “lawanku adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Hanya dengan kemampuan ilmuku, aku tidak akan dapat mengalahkanmu jika aku tidak mampu mempergunakan otakku.”

“Bagus,” geram Resi Belahan, “kita akan menyelesaikan perang tanding ini.”

“Tetapi lukamu parah, Resi Belahan. Seharusnya kau lebih memperdalam ilmu kebalmu,” desis Agung Sedayu.

“Tetapi aku pun mampu menembus ilmu kebalmu Orang Bercambuk. Dan itu akan terulang lagi. Yang akan tergores oleh cakraku kemudian adalah lehermu, sehingga kau tidak akan pernah menggangguku lagi,” geram Resi Belahan.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah sejenak kemudian pertempuran telah berlangsung lagi dengan sengitnya. Putaran cakra yang bergerigi tajam di ujung rantai baja Resi Belahan yang sudah seimbang menyambar-nyambar dengan garangnya. Namun dalam pada itu, juntai cambuk Agung Sedayu pun menghentak-hentak dan mematuk-matuk seperti mulut seekor ular bandotan.

Ketika ujung juntai Agung Sedayu menyentuh lambung Resi Belahan, ternyata Aji Lembu Sekilan Resi Belahan tidak mampu menahannya pula, sehingga lambungnya juga telah terluka.

Namun tanpa Aji Lembu Sekilan, lambung Resi Belahan itu tentu akan sudah terkoyak sehingga seisi perutnya akan tumpah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu memang tidak dapat mempergunakan ilmunya yang dapat menyerang dari jarak jauh. Dengan kecepatan yang menyamai kecepatannya sendiri Resi Belahan selalu dapat memburunya jika Agung Sedayu berusaha mengambil jarak, karena Resi Belahan juga memiliki ilmu meringankan tubuh sebagaimana Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sudah sampai ke puncak kemampuan ilmu yang diwarisinya dari perguruan Orang Bercambuk, sehingga karena itu, maka serangan-serangannya dengan ujung cambuknya menjadi semakin sangat berbahaya.

Dalam pada itu, darah yang telah mengalir dari luka-luka di tubuh Resi Belahan tidak dapat dibendung lagi. Bagaimana pun juga tenaga dan kemampuan Resi Belahan sudah terpengaruh pula karenanya.

Dengan demikian, maka Resi Belahan pun mulai terdesak. Rasa-rasanya ujung cambuk Agung Sedayu menjadi semakin lama semakin sering menyentuh kulitnya.

Namun Resi Belahan masih tetap bertempur dengan garangnya. Ketika Agung Sedayu menawarkan kemungkinan Resi Belahan menyerah saja, maka Resi Belahan justru mengumpat-umpat kasar.

Dengan demikian Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menyelesaikan perang tanding itu sampai tuntas.

Namun dalam pada itu, ketika Resi Belahan menjadi semakin terdesak, serta kemampuannya yang menjadi semakin susut karena darah yang terus mengalir dari luka-lukanya, terutama di dada dan lambung, Resi Belahan telah mengambil keputusan untuk menempuh jalan singkat. Apapun yang akan terjadi. Karena ia pun tahu bahwa di sekitarnya berdiri beberapa orang yang berilmu tinggi.

Demikianlah, ketika Resi Belahan yang menjadi semakin lemah itu sempat mengambil jarak, maka cakranya yang bergayut pada rantai bajanya telah berputar cepat sekali. Dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka Resi Belahan telah melempar cakra beserta rantai bajanya ke arah dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang terkejut sekali melihat rantai baja itu dilepaskan oleh Resi Belahan. Demikian cepat meluncur melampaui kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya.

Dengan mempergunakan ilmunya meringankan tubuh serta ilmu kebalnya untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu berusaha untuk meloncat menghindar dari garis serangan lawannya.

Tetapi Agung Sedayu terlambat Cakra yang bergerigi tajam itu memang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu meskipun tenaga dorongnya menjadi jauh menyusut.

Agung Sedayu itu pun mengaduh tertahan. Ketika ia menjatuhkan diri dan berguling di tanah, maka cakra itu telah menancap di pundaknya.

Agung Sedayu yang dengan cepat bangkit menggeram marah. Ia tidak menghiraukan cakra yang masih hinggap di pundaknya. Tetapi ia pun dengan serta merta telah meloncat langsung mendekati lawannya yang masih berdiri termangu-mangu.

Rupa-rupanya Resi Belahan masih menikmati hasil lemparannya. Cakranya memang dapat menghunjam dan hinggap di pundak Agung Sedayu. Tetapi terhalang oleh ilmu kebal Agung Sedayu, maka cakra itu memang tidak terlalu dalam menancap di pundak Agung Sedayu meskipun yang terjadi itu telah cukup mencengkam.

Dengan segenap tenaga dan kemampuannya, maka Agung Sedayu pun telah mengayunkan cambuknya sendal pancing sekali lagi ke arah dada Resi Belahan. Sementara Resi Belahan memang sudah tidak mampu lagi menghindari serangan Agung Sedayu. Selain Resi Belahan memang sudah tidak bersenjata lagi, Resi Belahan yang baru saja menghentakkan sisa kekuatannya itu seakan-akan benar-benar telah kehabisan tenaga.

Karena itu, maka juntai cambuk Agung Sedayu sekali lagi telah menyambar dada Resi Belahan.

Terdengar pekik kesakitan. Sedangkan tubuh Resi Belahan yang terguncang itu bagaikan telah didorong dengan kekuatan yang sangat besar. Karena itu, maka tubuh itu pun kemudian telah terhenyak dan jatuh terbanting di tanah.

Resi Belahan memang masih sempat menyeringai menahan sakit. Tetapi ketika ia mencoba untuk bergerak, maka darah pun bagaikan telah diperas lewat luka di dadanya yang silang menyilang.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh Resi Belahan yang terbaring di tanah. Sekali-sekali Agung Sedayu masih melihat Resi Belahan menggeliat.

Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah mendekat. Ketika ia berjongkok di sebelah Resi Belahan, maka Resi Belahan itu masih sempat berdesis, “Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Aku harus mengaku kalah. Di Pati sulit dicari seseorang yang memiliki ilmu sebagaimana kau miliki, kecuali Kangjeng Adipati sendiri. Bahkan mungkin di Mataram pun kau termasuk orang yang tidak ada tandingnya sesudah Panembahan Senapati dan Ki Juru Mertani.”

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak Resi Belahan. Di Mataram aku bukan apa-apa. Juga bagi Pati. Tetapi justru karena aku yakin akan kuasa Yang Maha Adil maka akhir dari persoalan diantara kita adalah sebagaimana kita lihat sekarang.”

Resi Belahan berdesis menahan sakit. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Aku akan mencoba mengobati luka-lukamu.”

“Tidak ada gunanya,” sahut Resi Belahan, “kaulah yang harus memikirkan dirimu sendiri. Luka karena pusakaku itu cukup berbahaya. Luka itu akan mencengkammu sebagaimana luka oleh panasnya api. Tetapi juga karena tajamnya gerigi senjataku itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Semula ia tidak terlalu menghiraukan akan lukanya. Juga cakra kecil yang masih hinggap di bahunya. Namun peringatan Resi Belahan justru membuatnya merasa kesakitan.”

Sementara itu Resi Belahan berkata, “Jika kau akan mengambil senjata itu dari lukamu, kau harus menyediakan obat yang dapat dengan cepat memampatkan darah, karena senjata itu mempunyai watak menghisap darah dari luka. Jika kau sempat memperhatikan luka di lenganmu, maka darah yang mengalir tentu berlebihan dibanding dengan luka yang tidak seberapa itu, karena kau berlindung dibalik ilmu kebalmu yang sangat kuat.”

Agung Sedayu yang baru sempat memperhatikan luka di tangannya yang tidak seberapa itu memang menjadi berdebar-debar melihat darah yang mengalir di luka itu.

Namun dalam pada itu keadaan Resi Belahan telah menjadi semakin lemah. Namun sambil tersenyum ia masih berkata, “Orang muda. Kau masih mempunyai kesempatan memperdalam ilmumu pada umurmu sekarang ini. Kau akan menjadi manusia langka di bumi Mataram.”

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ia melihat Resi Belahan itu berdesah dan menggeliat. Ketika Agung Sedayu mendekat dan mengangkat kepalanya, maka Resi Belahan itu ternyata telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Perlahan-lahan Agung Sedayu meletakkan kepala Resi Belahan. Sementara itu ternyata Sabungsari, Glagah Putih dan beberapa orang yang lain telah mengerumuninya pula.

Dengan nada rendah Glagah Putih berdesis untuk memperingatkan Agung Sedayu, “Kakang, lingkaran bergerigi di pundak kakang itu sebaiknya diambil lebih dahulu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Resi Belahan telah tidak ada lagi. Ilmunya yang sangat tinggi itu telah dibawanya serta. Dalam saat terakhir Resi Belahan harus melihat satu kenyataan. Betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya, namun masih juga ada orang yang mengalahkannya.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun segera menyadari, bahwa masih ada gelang-gelang bergerigi yang menancap di pundaknya. Karena itu, maka semakin lama pundaknya itu pun terasa menjadi semakin sakit, nyeri dan pedih. Bahkan panas sekali.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah bangkit dan bertanya, “Dimana Ki Jayaraga. Aku memerlukan bantuannya untuk merawat luka-lukaku.”

Dengan ragu-ragu Glagah Putih menjawab, “Ki Jayaraga terluka kakang. Lukanya juga agak parah.”

“Terluka?“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berdesis, “Kau juga terluka.”

“Hampir semua orang terluka. Wacana dan Rumeksa juga terluka. Kedua murid Ki Ajar Gurawa juga terluka. Tetapi luka mereka tidak sangat berbahaya. Sedangkan kakang Agung Sedayu sendiri juga terluka.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Lalu katanya, “Jika demikian aku memerlukan kau dan Ki Ajar Gurawa.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata kepada Sabungsari, “Atasi semua persoalan yang timbul. Aku akan membawa kakang Agung Sedayu ke ruang dalam.”

Sabungsari itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baik. Aku akan tetap berada disini.”

Glagah Putih pun kemudian telah memapah Agung Sedayu yang keadaannya justru semakin buruk. Rasa sakit, nyeri pedih dan bahkan panas telah membuat kekuatannya menyusut dengan cepat.

Ketika Glagah Putih akan membawa Agung Sedayu ke ruang dalam, maka Agung Sedayu pun berkata, “Tolong bawa aku ke serambi. Udara didalam tentu sangat panas. Aku memerlukan udara yang agak segar di serambi.”

Glagah Putih mengerti, bahwa udara di serambi tentu lebih baik dari udara di ruang dalam yang panas dan pengab. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian dibaringkannya di lincak bambu di serambi.

“Aku akan memanggil Ki Ajar Gurawa kakang,” berkata Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis perlahan, “Kemudian siapkan obat-obatan.”

“Baik, kakang,” jawab Glagah Putih sambil melangkah ke ruang dalam.

Demikianlah, maka Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu pun menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan obat-obatan yang diperlukan. Air hangat dan kain yang bersih.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang menjadi semakin baik telah memanggil Glagah Putih dan bertanya apa yang terjadi.

“Tolong bantu aku melihat angger Agung Sedayu,” berkata Ki Jayaraga.

Tetapi Glagah Putih itu pun menggeleng sambil berdesis, “Guru harus beristirahat. Biarlah aku, Ki Lurah dan Ki Ajar Gurawa merawatnya.”

“Tetapi keadaannya tentu berbahaya,” berkata Ki Jayaraga.

“Kakang Agung Sedayu sendiri telah memberikan pesan-pesan. Bahkan Resi Belahan sudah menunjukkan bahaya yang terjadi jika senjata itu dicabut dari pundaknya.”

“Hati-hatilah,” pesan Ki Jayaraga, “bukankah kau juga pernah terluka di pundakmu oleh kekuatan Aji Pacar Wutah? “

“Ya guru,” jawab Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, agaknya Ki Ajar Gurawa juga mempunyai sedikit pengalaman tentang pengobatan. Karena itu maka ia pun dengan cepat membantu menyediakan keperluan sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Sabungsari yang diserahi Glagah Putih untuk menyelesaikan gejolak yang terjadi di halaman rumah itu, telah berhasil menguasai sisa-sisa pengikut Resi Belahan. Beberapa orang yang masih ada ternyata tidak lagi dapat memberikan perlawanan lagi.

Diluar halaman rumah itu, Prastawa pun telah menguasai keadaan pula. Para pengawal Tanah Perdikan telah berhasil mendesak para pengikut Resi Belahan keluar padukuhan induk serta menangkap sebagian dari mereka. Bahkan yang melarikan diri pun sebagian telah diburu dan ditangkap pula. Sementara itu, kelompok-kelompok pasukan berkuda telah menghubungi padukuhan-padukuhan terdekat untuk ikut membantu menangkap para pengikut Resi Belahan yang melarikan diri.

Bahkan Prastawa pun telah menyusun kelompok-kelompok khusus untuk langsung memasuki lingkungan perkemahan di sebelah lereng bukit.

Para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di padukuhan induk telah diminta pula oleh Prastawa untuk ikut bersama dengan kelompok-kelompok pengawal yang masih cukup segar, yang sebagian terdiri dari pasukan cadangan serta sebagian dari para pengawal di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati untuk pergi ke perkemahan.

“Jika hal ini tertunda, maka mereka tentu sudah sempat mempersiapkan diri atau bahkan melarikan diri,” berkata Prastawa.

Dengan demikian, maka beberapa kelompok pengawal dari prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang telah membantu para pengawal dalam pertempuran di padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh, dengan cepat menuju ke seberang bukit. Sementara itu, matahari telah jauh condong di sisi barat. Namun Prastawa ingin menyelesaikan pertempuran hari itu juga, karena menurut perhitungannya, maka jika serangan itu ditunda, justru akan merugikan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan mendapat perlawanan yang lebih teratur atau mereka akan kehilangan orang-orang itu karena melarikan diri. Sementara orang-orang itu masih tetap merupakan bahaya bagi Tanah Perdikan dan bagi Mataram.

Pasukan yang tidak begitu banyak itu dengan cepat melintasi bulak-bulak panjang dan pendek. Kemudian mendaki bukit dan turun di sisi seberang bukit.

Sebenarnyalah orang-orang yang tersisa di perkemahan itu menjadi bingung. Beberapa orang yang melarikan diri dan sempat sampai ke perkemahan itu telah mengabarkan apa yang telah terjadi di padukuhan induk Tanah Perdikan. Satu dua orang yang melarikan diri dari rumah Agung Sedayu telah mengabarkan bahwa beberapa orang penting telah terbunuh di pertempuran.

Maka yang terjadi di perkemahan itu adalah kebingungan. Beberapa orang sempat mengumpulkan barang-barang berharga yang mereka pergunakan sebagai persediaan jika mereka berada di perkemahan itu lebih lama lagi, untuk disingkirkan.

Tetapi mereka tidak sempat melakukannya. Prastawa dan pasukannya telah menyusul mereka, sebelum matahari bersembunyi di cakrawala.

Prastawa masih sempat menangkap beberapa orang di perkemahan itu. Pertempuran juga terjadi beberapa saat. Tetapi tidak merata. Banyak diantara mereka yang ada di perkemahan itu memilih segera menyerahkan diri atau yang sempat melakukannya, telah melarikan diri tanpa tujuan. Mereka hanya berusaha menjauhi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang memburunya.

Dengan demikian, maka sebelum gelap, Prastawa benar-benar telah menguasai seluruh perkemahan dari ujung sampai ke ujung. Ketika para pengawal memasang dan menyalakan oncor di lingkungan perkemahan itu, maka segala sesuatunya telah selesai.

Dengan cepat Prastawa telah membagi pasukannya. Kepada para pemimpin kelompok prajurit Mataram dari Pasukan Khusus, Prastawa telah minta pendapat mereka apa yang sebaiknya dilakukan.

Ternyata pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat Prastawa. Sebagian dari pasukan pengawal akan membawa para tawanan ke padukuhan induk, sedangkan sebagian yang lain akan tetap berada di perkemahan bersama para prajurit dari Pasukan Khusus.

“Kalian tidak usah memikirkan makan kami disini,” berkata seorang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus, “ternyata disini banyak persediaan makanan dan minuman. Bahkan beras, jagung dan kedelai. Gula kelapa dan di dapur terdapat pula garam yang cukup banyak.”

“Tetapi siapakah yang akan memasaknya?” bertanya Prastawa.

“Kami,” jawab pemimpin kelompok pasukan khusus itu, “Kami telah diajari untuk memasak beberapa jenis makanan. Kami bukan saja mampu bertempur.”

Prastawa tersenyum. Namun kemudian katanya, “Para pengawal juga bisa memasak nasi dan menyiapkan lauk pauknya.”

Dengan demikian, maka Prastawa tidak perlu memikirkan orang-orang yang ditinggalkannya di perkemahan. Bersama sebagian pengawal Prastawa telah membawa para tawanan kembali ke padukuhan induk.

Dalam pada itu, ketika pasukan Tanah Perdikan itu pergi ke perkemahan, maka Agung Sedayu sedang berjuang melawan luka-lukanya. Ki Ajar Gurawa yang serba sedikit juga mengetahui tentang pengobatan dibantu oleh Ki Lurah Branjangan dan Glagah Putih, telah berusaha untuk merawat Agung Sedayu. Sementara itu Sabungsari yang telah menyelesaikan tugasnya mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di halaman rumah itu, telah menunggui pula, bagaimana Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan mengambil lingkaran baja yang bergerigi tajam itu dari pundak Agung Sedayu.

Glagah Putih telah meletakkan sepotong kayu yang telah dibalut dengan kain yang sudah bersih di mulut Agung Sedayu. Untuk mengatasi rasa sakit, nyeri dan panas, Agung Sedayu menggigit sepotong kayu itu yang juga untuk menahan agar giginya tidak mengatup dan mungkin dapat menjadi patah.

Demikianlah, dengan sangat berhati-hati Ki Ajar Gurawa dibantu oleh ki Lurah Branjangan telah mencabut cakra kecil yang bergerigi tajam itu dari pundak Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang harus menggeram menahan sakit. Bahkan kain yang dipakai untuk membungkus sepotong kayu itu pun telah menjadi rantas. Bahkan kayu itu sendiri hampir menjadi patah karenanya.

Beberapa orang yang memegangi tubuh Agung Sedayu hampir saja terlempar saat Agung Sedayu menahan kesakitan yang sangat.

Seperti yang dikatakan oleh Resi Belahan, maka darah pun kemudian telah memancar dari luka itu. Lebih banyak dari luka-luka yang disebabkan oleh senjata lain. Namun Ki Ajar Gurawa telah menyediakan obat sebagaimana dipesan oleh Agung Sedayu.

Dengan cepat obat itu pun segera ditaburkan di luka yang menganga itu. Untunglah bahwa murid orang bercambuk itu serba sedikit juga mempelajari ilmu obat-obatan sebagaimana yang dimuat didalam kitab Kiai Gringsing.

Karena itu, maka obat yang dipergunakan untuk menaburi luka itu adalah obat yang tepat sehingga dengan demikian, maka dengan bantuan Ki Ajar Gurawa, maka obat itu pun telah berhasil dengan baik. Meskipun Agung Sedayu masih harus menahan pedih dan panas pada luka-lukanya itu, namun perlahan-lahan darahnya telah mulai tertahan. Arusnya tidak lagi mendebarkan jantung mereka yang menyaksikannya.

Meskipun demikian, ternyata tubuh Agung Sedayu seakan-akan menjadi semakin lemah. Tetapi kesadarannya masih tetap utuh, sehingga Agung Sedayu sendiri dapat memberikan pesan-pesan untuk merawat lukanya itu.

Ketika pengobatan itu kemudian selesai, serta darah tidak lagi mengalir dengan derasnya, maka Agung Sedayu mulai meneguk minuman hangat yang diteteskan dibibirnya. Bahkan ia pun telah berpesan kepada Glagah Putih untuk membuat makanan lunak bagi dirinya, Ki Jayaraga, Wacana dan mereka yang terluka cukup parah.

Sementara itu, maka para pengawal yang sudah tidak bertempur lagi, telah sibuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah gugur di pertempuran yang keras itu. Mereka juga mengurus para tawanan serta lawan mereka yang terbunuh dan terluka.

Sebagian dari pengawal itu telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu untuk membantu mereka yang sibuk pula di halaman rumah itu.

Namun dalam pada itu, diantara pengawal yang memasuki halaman rumah Agung Sedayu itu adalah dua orang pengawal yang datang dari rumah Ki Gede Menoreh. Kedua orang itu tertegun ketika mereka melihat beberapa orang yang terluka di rumah itu. Bahkan antara lain adalah Agung Sedayu sendiri.

Namun jantung mereka agak terasa lapang ketika mereka melihat bahwa Glagah Putih tidak mengalami cidera yang berat. Luka-luka di tubuhnya tidak banyak mempengaruhinya.

Karena itu, maka salah seorang dari kedua pengawal berbisik ditelinganya, “Aku akan menyampaikan pesan Ki Gede.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan serta merta ia bertanya, “bukankah Ki Gede tidak mengalami sesuatu?”

“Tidak. Ki Gede tidak mengalami sesuatu,” jawab orang itu.

“Jadi?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu sekali lagi memberi isyarat agar Glagah Putih mengikutinya beberapa langkah dari orang lain, terutama Agung Sedayu yang terbaring.

Ketika mereka sudah turun dari serambi, maka pengawal itu berkata, “Aku tidak ingin mengejutkan Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Apa yang sebenarnya?” bertanya Glagah Putih.

“Apakah luka Ki Lurah Agung Sedayu itu parah?” bertanya orang itu.

“Memang parah. Tetapi melihat perkembangan terakhir, tidak akan membahayakan jiwanya. Sebaiknya kita berdoa semoga Yang Maha Agung tetap melindunginya.”

Pengawal itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak ingin mengejutkannya.”

“Apa yang terjadi? Apakah kau membawa pesan dari mbokayu Sekar Mirah? Bukankah mbokayu tidak apa-apa?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nyi Lurah memang tidak apa-apa.”

“Jadi?” Glagah Putih menjadi gelisah.

“Sekelompok orang perkemahan berhasil menyusup sampai ke halaman rumah Ki Gede.”

“Cepat katakan apa yang terjadi,” Glagah Putih tidak sabar lagi.

“Rara Wulan telah terluka,” desis orang itu.

“Rara Wulan?” ulang Glagah Putih. Jantungnya serasa menjadi semakin cepat bergetar. Namun pengawal itu dengan cepat berkata, “Tetapi lukanya juga tidak membahayakan jiwanya.”

Glagah Putih menjadi sangat gelisah. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku ingin pergi kesana.”

“Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Sabungsari dan Ki Lurah Branjangan ada disini,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi jangan mengejutkan Ki Lurah Agung Sedayu,” desis pengawal itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia segera melangkah mendekati Agung Sedayu yang terbaring diam.

Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi keinginannya untuk segera melihat keadaan Rara Wulan telah mendesaknya. Karena itu, maka ia pun telah memaksa dirinya untuk berdesis, “Kakang Agung Sedayu. Aku minta ijin untuk pergi ke rumah Ki Gede.”

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu, “apakah ada kesulitan di rumah Ki Gede?”

“Tidak kakang. Pertempuran dalam keseluruhan telah selesai. Bahkan Prastawa telah membawa beberapa kelompok serta prajurit Mataram dari Pasukan Khusus untuk pergi ke perkemahan,” jawab Glagah Putih.

“Jadi untuk apa kalian kesana?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku ingin melihat keadaan Rara Wulan. Ia terluka meskipun tidak membahayakan jiwanya.”

“Rara Wulan terluka? Apakah ia turun ke medan?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak kakang. Tetapi ada sekelompok lawan yang berhasil menyusup memasuki halaman rumah Ki Gede,” jawab Glagah Putih.

Kening Agung Sedayu berkerut sejenak. Namun Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik. Aku hanya ingin meyakinkan keadaannya saja kakang.”

Agung Sedayu pun kemudian berdesis, “Baiklah Glagah Putih. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin masih ada satu dua orang lawan yang bersembunyi di kebun-kebun yang rimbun atau di rumpun-rumpun bambu. Mereka akan dapat berbuat apa saja dalam keputus-asaannya itu.”

“Ya kakang,” jawab Glagah Putih yang kemudian minta diri kepada Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan, Sabungsari dan mereka yang ada di rumah Agung Sedayu.

Bersama dua orang yang memberitahukan kepadanya bahwa Rara Wulan terluka, maka Glagah Putih pun telah pergi ke rumah Ki Gede dengan tergesa-gesa.

Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, keadaan di halaman rumah itu sudah menjadi tenang. Pertempuran tidak lagi berlangsung. Orang-orang yang mengungsi di pendapa pun telah nampak menjadi tenang pula. Bahkan anak-anak telah mulai makan meskipun hanya sekedarnya.

Ketika Glagah Putih melangkah dengan cepat ke pendapa, Sekar Mirah lah yang menyongsongnya. Namun Sekar Mirah tidak lagi nampak terlalu cemas. Bahkan demikian Glagah Putih naik ke pendapa, Sekar Mirah sambil tersenyum berkata, “Rara Wulan tidak mengalami banyak kesulitan dengan luka-lukanya. Meskipun masih belum diijinkan bangkit dan duduk, tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah lah yang kemudian membimbingnya masuk ke ruang dalam.

Glagah Putih mengangguk hormat ketika ia melihat Ki Gede duduk sendiri di ruang itu. Di sisinya tombak pusakanya terletak di plonconnya.

“Marilah ngger,” Ki Gede mempersilahkan, “aku juga ingin mendengar berita tentang pertempuran di rumah angger Agung Sedayu yang tentu sangat menegangkan.”

Glagah Putih pun kemudian duduk di ruang dalam itu pula. Namun agaknya Ki Gede tanggap akan kegelisahan Glagah Putih. Karena itu, ia pun berkata, “Baiklah angger Sekar Mirah membawanya ke serambi samping. Angger Rara Wulan ada disana. Nanti sajalah angger bercerita tentang pertempuran itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Gede.”

Ki Gede tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke serambi samping.

Glagah Putih tertegun melihat Rara Wulan terbaring diam. Wajahnya nampak pucat, sedangkan kedua matanya terpejam. Di dekat pembaringannya seorang perempuan separo baya duduk diatas tikar yang terbentang.

Sekar Mirah pun telah mempersilahkan Glagah Putih untuk duduk di tikar itu pula. Katanya, “Agaknya Rara Wulan sedang tidur.”

Tetapi ternyata bahwa perlahan-lahan Rara Wulan telah membuka matanya. Terdengar Rara Wulan berdesah tertahan. Agaknya lukanya masih terasa sakit sekali meskipun luka itu sudah mendapat pengobatan dari seorang tabib yang dianggap cukup baik di Tanah Perdikan itu.

Sekar Mirah lah yang kemudian jongkok di sampingnya. Hampir berbisik ia berkata, “Tidurlah.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sekar Mirah telah memberi isyarat kepada Glagah Putih untuk mendekat.

Demikian pula Glagah Putih berjongkok pula di sebelah pembaringannya, maka Sekar Mirah berkata lirih, “Wulan. Glagah Putih telah ada disini.”

Mata Rara Wulan yang sudah sedikit terbuka itu tiba-tiba bagaikan memancar. Namun Sekar Mirah berdesis, “Tetapi kau masih belum boleh bangkit. Berbaring sajalah. Ini Glagah Putih ada disini.”

“Kakang,” desis Rara Wulan.

“Lukamu parah Wulan,” desis Glagah Putih.

Glagah Putih bergeser semakin dekat, sementara Sekar Mirah telah bergeser pula dan duduk diatas tikar pandan yang digelar di lantai itu.

Ternyata Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Tidak kakang. Lukaku tidak parah.”

“Tetapi kau harus hati-hati dengan lukamu Wulan,” desis Glagah Putih pula.

Rara Wulan menganguk kecil. Dengan nada rendah ia bertanya perlahan, “Bagaimana dengan kau?”

“Aku tidak apa-apa Wulan,” sahut Glagah Putih.

Sekar Mirah yang sejak semula merawat Rara Wulan justru lupa menanyakan keadaan Agung Sedayu. Bahkan Rara Wulan lah yang bertanya, “Bagaimana dengan kakang Agung Sedayu dan yang lain-lain yang berada di rumah?”

Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Semuanya selamat Wulan. Jika ada satu dua orang yang tergores luka itu wajar bukan?”

“Ya,” sahut Rara Wulan dengan suara lambat, “sebagaimana yang terjadi atasku. Wajar sekali.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi bukankah lukamu sudah mendapat pengobatan yang baik.”

“Sudah kakang,” jawab Rara Wulan.

Hampir diluar sadarnya Glagah Putih telah mengusap tangan Rara Wulan. Terasa betapa lembutnya tangan yang terkulai lemah itu.

Rara Wulan yang terbaring itu memandang atap diatas pembaringannya dengan mata yang cerah. Untuk sesaat ia melupakan sakit yang menggigit lukanya. Meskipun setelah mendapat pengobatan yang baik, perasaan sakit itu memang sudah semakin berkurang.

Keduanya untuk sejenak justru terdiam, keduanya hanyut kedalam arus perasaan mereka masing-masing.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih mulai merasa gelisah justru karena ia belum mengatakan keadaan Agung Sedayu yang sebenarnya kepada Sekar Mirah. Tetapi ia tidak ingin mengejutkan perempuan itu. Untuk beberapa saat perasaan Sekar Mirah tentu menjadi sangat tegang melihat langsung bagaimana Rara Wulan ditikam dengan pedang, serta bagaimana gadis itu terjatuh dan memancarkan darah dari lukanya. Jika ia langsung mengatakan keadaan Agung Sedayu yang sebenarnya, perasaan Sekar Mirah yang mulai tenang itu akan terguncang kembali. Tetapi jika ia tidak mengatakannya, maka Sekar Mirah akan dapat marah kepadanya.

Dalam pada itu, ketika Sekar Mirah keluar dari bilik itu sejenak, maka Glagah Putih pun berbisik, “Wulan. Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepada mbokayu Sekar Mirah.”

Rara Wulan yang lemah itu bertanya, “Tentang apa kakang.”

“Kau tidak perlu memikirkannya. Karena persoalannya tidak mengkhawatirkan.”

Nampak alis Rara Wulan berkerut sementara Glagah Putih berkata, “kakang Agung Sedayu terluka. Juga di pundaknya. Tetapi lukanya tidak lebih parah dari lukamu.”

“O,” nampak wajah Rara Wulan menegang. Namun dengan cepat Glagah Putih berkata, “Lukanya sudah diobati dengan obat kakang Agung Sedayu sendiri. Bukankah kau tahu bahwa kakang Agung Sedayu mewarisi kemampuan pengobatan dari gurunya, Kiai Gringsing, meskipun belum menyamainya?”

“Ya, kakang,” jawab Rara Wulan.

“Nah, jika nanti aku mengatakannya, mungkin mbokayu akan terkejut. Tetapi kau sudah tidak akan terkejut lagi,” desis Glagah Putih.

“Tetapi bukankah sebagaimana kau katakan, lukanya tidak berbahaya?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Aku berkata sebenarnya, bahwa lukanya tidak bercahaya bagi jiwa kakang Agung Sedayu. Bahkan ia sempat menanyakan keadaanmu ketika aku minta diri untuk pergi melihatmu,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk. Sementara Glagah Putih berkata lagi, “Nanti aku terpaksa minta diri sebentar untuk mengantar mbokayu Sekar Mirah sampai ke rumah. Jika ia sudah bertemu dengan kakang Agung Sedayu, maka aku akan kemari lagi.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk kecil.

Glagah Putih yang melihat keraguan di wajah Rara Wulan itu pun berkata, “Aku akan menyerahkanmu kepada Ki Gede dan para pengawal sementara aku mengantar mbokayu Sekar Mirah. Kemudian aku kembali lagi.”

Rara Wulan mengangguk kecil.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun telah kembali lagi kedalam bilik itu dan duduk diatas tikar bersama perempuan yang masih saja duduk disitu. Glagah Putih pun telah duduk pula diantara mereka. Namun anak muda itu tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya ketika ia berniat mengatakan keadaan Agung Sedayu.

Namun agaknya Sekar Mirah melihat kegelisahan itu, sehingga ia pun bertanya, “Glagah Putih. Bukankah kau telah melihat keadaan Rara Wulan tidak membahayakan. Karena itu, maka kau tidak usah menjadi gelisah. Besok atau lusa, Rara Wulan tentu sudah dapat pulang ke rumah kita. Seandainya ia tidak dapat berjalan sendiri, kita dapat meminjam pedati Ki Gede.”

“Ya, ya mbokayu,” jawab Glagah Putih, “aku memang tidak gelisah memikirkan Rara Wulan. Aku sudah melihat sendiri keadaannya. Ia sudah menjadi berangsur baik.”

“Jadi, apa yang kau gelisahkan?” bertanya Sekar Mirah.

“mBokayu,” desis Glagah Putih, “sebenarnya aku ingin mengajak mbokayu pulang sebentar.”

“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah, “apakah ada sesuatu yang penting?”

“Tidak terlalu penting. Tetapi aku harus memberitahukannya kepada mbokayu,” jawab Glagah Putih.

“Katakan Glagah Putih,” desis Sekar Mirah yang sudah menjadi seorang perempuan yang semakin matang. Ia tidak terlalu cepat terseret oleh arus perasaan gelisahnya. Bahkan kemudian ia bertanya, “Tentang kakang Agung Sedayu?”

“Ya mbokayu,” yang kemudian segera dilanjutkan, “kakang Agung Sedayu memang terluka, tetapi tidak begitu gawat. Keadaannya tidak lebih buruk dari Rara Wulan. Bahkan kakang Agung Sedayu tidak memberi pesan kepadaku ketika aku minta diri untuk melihat keadaan Rara Wulan, untuk memberitakan kepada mbokayu, karena kakang Agung Sedayu agaknya menganggap bahwa lukanya tidak seberapa.”

Kening Sekar Mirah berkerut. Nampak kegelisahan tersirat disorot matanya. Namun ia masih saja nampak tenang. Dengan nada datar ia berkata, “Aku akan melihatnya.”

“Marilah. Aku antar mbokayu pulang sebentar,” berkata Glagah Putih.

“Kau tunggui Rara Wulan,” jawab Sekar Mirah.

Tetapi Glagah Putih berkata, “Kita titipkan Rara Wulan kepada Ki Gede. Aku hanya sebentar.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan yang terbaring diam itu. Namun sambil mengangguk kecil Rara Wulan pun kemudian berkata, “Biarlah kakang Glagah Putih mengantar sebentar. Nanti ia akan segera kembali kemari.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku harus menyerahkan Rara Wulan kepada Ki Gede.”

Ki Gede yang kemudian diserahi Rara Wulan telah menempatkan beberapa orang pengawal di depan pintu serambi. Bagaimana pun juga, ia masih harus sangat berhati-hati. Tanpa Sekar Mirah, maka perlu kesiagaan lebih tinggi untuk menjaga Rara Wulan yang terluka.

Sementara itu dengan tergesa-gesa Sekar Mirah berjalan pulang ke rumahnya diikuti oleh Glagah Putih. Di sepanjang jalan yang tidak terlalu panjang itu, mereka berpapasan dengan para pengawal yang bersiaga sepenuhnya. Apalagi ketika senja menjadi semakin gelap. Sementara itu lampu-lampu pun mulai menyala dan obor pun dipasang dimana-mana. Terutama di simpang tiga dan simpang ampat. Di regol-regol halaman dan bahkan di halaman banjar dan di halaman rumah Ki Gede.

Namun dalam pada itu masih banyak rumah-rumah yang gelap karena tidak berpenghuni. Orang-orang laki-laki yang masih sigap serta masih mampu mengangkat senjata, masih dibebani tugas mereka masing-masing. Sementara perempuan dan anak-anak masih dalam pengungsian.

Ketika Sekar Mirah memasuki rumah Agung Sedayu, maka lampu pun telah menyala dimana-mana. Ruang dalam pun nampak terang benderang. Beberapa tubuh yang terluka terbaring berjajar. Sekar Mirah menjadi berdebar-debar melihat Ki Jayaraga yang terbaring. Kemudian Wacana, Rumeksa dan beberapa orang lagi.

“Dimana kakang Agung Sedayu?” Sekar Mirah menjadi sangat cemas.

“Di serambi,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa tidak dibaringkan bersama mereka? “desak Sekar Mirah yang menjadi semakin gelisah.

“Kakang Agung Sedayu memilih tempat yang udaranya tidak terlalu panas,” jawab Glagah Putih.

Sekar Mirah tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun segera melangkah tergesa-gesa ke serambi.

Demikian ia masuk ke serambi diikuti oleh Glagah Putih maka ia pun tertegun. Bahkan demikian pula Glagah Putih. Ternyata Agung Sedayu sudah duduk bersama Ki Lurah Branjangan.

“Kakang,” Sekar Mirah hampir berteriak. Ia melihat pundak Agung Sedayu yang dibalut dengan kain dan bahkan menutup sikunya dengan tangan yang menggantung pada sebuah selendang.

Namun dengan tenang Agung Sedayu berdesis, “Duduklah Mirah. Aku tidak apa-apa.”

“Kakang terluka?” bertanya Sekar Mirah sambil duduk disebelah Agung Sedayu. Tongkatnya pun diletakkannya di sampingnya.

“Sedikit Mirah. Tetapi keadaanku sudah baik.”

“Kakang pucat sekali.”

“Darahnya memang agak banyak mengalir. Tetapi tidak berlebihan. Maksudku, masih dalam batas yang dapat diatasi tanpa menyulitkan keadaan wadagku.”

“Kakang sudah mendapat pengobatan?” bertanya Sekar Mirah.

“Sudah. Aku sudah diobati oleh Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah memandang Ki Lurah sejenak. Kemudian ia pun berdesis, “Apakah lukanya tidak berbahaya Ki Lurah.”

“Tidak ngger,” jawab Ki Lurah Branjangan, “meskipun lukanya cukup dalam. Sedangkan senjata yang mengenainya adalah senjata khusus yang seakan-akan dapat menghisap darah lebih banyak dari luka yang ditimbulkan oleh senjata lain.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, tiba-tiba ia bertanya, “Dimana Ki Ajar Gurawa?”

“Ia baru keluar sebentar ngger. Bersama Sabungsari ia melihat keadaan,” jawab Ki Lurah pula.

“Tetapi kenapa kakang Agung Sedayu justru duduk? Kenapa tidak berbaring saja?” bertanya Sekar Mirah pula.

“Angger Agung Sedayu baru memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya untuk mengatasi rasa sakitnya. Bahkan untuk mendorong obat-obatan yang dimakannya agar lebih cepat merasuk kedalam tubuhnya untuk mengatasi kelemahan yang disebabkan banyaknya darah yang mengalir dari lukanya serta rasa sakitnya. Ternyata Yang Maha Agung telah menolongnya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Hal seperti itu yang masih belum dapat dilakukan oleh Rara Wulan. Rara Wulan masih belum dapat melakukan samadi, memusatkan nalar budi, mengisap getar hawa murni di sekitarnya, menghimpunnya sehingga mengental didalam dirinya yang kemudian mekar tumbuh menjadi kekuatan yang baru didalam diri menopang obat yang ditelannya lewat mulutnya, sejalan dengan doa dalam pasrah kepada Yang Maha Agung.

Karena itulah agaknya keadaan Agung Sedayu nampak lebih baik, meskipun Sekar Mirah tidak yakin bahwa luka Rara Wulan lebih parah dari luka Agung Sedayu.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih yang melihat keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik, telah minta diri untuk kembali melihat keadaan Rara Wulan.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya Agung Sedayu.

“Keadaannya sudah mulai membaik kakang. Tetapi agaknya keadaannya berbeda dengan keadaan kakang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun berbeda, tetapi bukankah Rara Wulan sudah menjadi lebih baik? Yang penting bahwa luka itu tidak membahayakan jiwanya.”

“Ya, kakang,” jawab Glagah Putih.

“Jika demikian, pergilah. Hati-hati diperjalanan,” pesan Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun meninggalkan rumah Agung Sedayu untuk kembali ke rumah Ki Gede Menoreh. Di regol ia bertemu dengan Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa. Glagah Putih berhenti untuk berbincang sebentar. Namun kemudian ia pun segera pergi untuk melihat keadaan Rara Wulan.

Jalan-jalan padukuhan induk itu memang menjadi semakin sepi. Tetapi sekali-sekali sekelompok pengawal bersenjata lewat untuk meronda dan mengamati keadaan.

Tetapi agaknya keadaan telah menjadi tenang. Tidak ada lagi gejolak yang tiba-tiba muncul. Apalagi di beberapa simpang tiga dan simpang empat masih nampak para pengawal berjaga-jaga.

Ketika Glagah Putih kemudian sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Gede sedang berada di pendapa bersama beberapa orang perempuan yang masih mengungsi di rumah Ki Gede. Mereka masih belum berani pulang ke rumah mereka. Apalagi mereka yang suaminya ikut dalam pertempuran.

Namun Ki Gede selalu membesarkan hati mereka. Menghibur mereka dan menenggelamkan diri dalam suasana perasaan para pengungsi itu.

Tetapi sebenarnyalah Ki Gede mengetahui, bahwa esok pagi, setelah diketahui dengan pasti, beberapa orang korban yang gugur, maka Tanah Perdikan tentu akan diliputi oleh suasana berkabung.

Seperti yang pernah terjadi, jika Tanah Perdikan dilanda oleh perang, maka selain darah, air mata pun akan menitik membasahi bumi Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Gede yang duduk di pendapa melihat anak-anak yang sudah mulai berbaring diatas tikar yang digelar, telah mempersilahkan Glagah Putih untuk masuk dan langsung pergi ke serambi.

Rara Wulan yang masih berbaring di pembaringannya, berusaha untuk bangkit ketika ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah datang. Namun seorang perempuan yang menungguinya telah menahannya sambil berdesis, “Jangan bangkit dahulu ngger. Bukankah tabib itu berpesan, bahwa sampai besok pagi-pagi angger diminta untuk tetap berbaring.”

“Tetapi aku sudah tidak merasa sakit lagi bibi,” jawab Rara Wulan.

“Tetapi darah angger akan dapat mengalir lagi,” jawab perempuan itu.

Sementara itu Glagah Putih yang telah berdiri di sebelah pembaringan itu pun berjongkok sambil berkata, “Wulan. Kau masih harus beristirahat sepenuhnya. Kau masih belum boleh banyak bergerak. Jika kau langgar pesan tabib itu, maka keadaanmu tidak akan menjadi semakin baik.”

“Tetapi rasa-rasanya aku sudah tidak sakit lagi, kakang.”

“Tetapi lukamu tentu masih terasa pedih,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Tetapi lukanya memang masih terasa pedih.

Perempuan yang menungguinya itu pun kemudian beringsut setapak. Namun perempuan itu pun bertanya, “Apakah angger akan minum atau makan?”

“Terimakasih bibi. Aku masih belum lapar,” jawab Rara Wulan.

Perempuan itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia justru minta ijin untuk pergi ke pakiwan sebentar.

Glagah Putih lah yang kemudian menunggui Rara Wulan yang sedang terluka itu. Tidak banyak yang mereka ucapkan lewat kata-kata. Tidak terdengar ucapan-ucapan yang melambung tinggi sejauh mimpi anak-anak muda. Namun perasaan merekalah yang paling menangkap getar yang memancar dari gelora dada masing-masing.

Glagah Putih sama sekali tidak merasa bahwa waktu merayap terus. Bahkan rasa-rasanya berlalu terlalu cepat. Baru beberapa patah kata saja rasa-rasanya yang mereka ucapkan. Tidak lebih dari beberapa pertanyaan tentang keadaan masing-masing serta keadaan hubungan mereka. Sedikit tentang langit yang tidak dilapisi mendung serta bintang-bintang yang nampak bergayutan. Selebihnya mereka lebih banyak diam.

Glagah Putih terkejut mendengar kentongan yang berbunyi dalam irama Dara Muluk. Sambil mengerutkan keningnya Glagah Putih berdesis, “Begitu cepatnya waktu berlalu.”

Rara Wulan pun berdesis pula, “Tengah malam.”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tidak menyahut. Sementara itu Glagah Putih berkata lagi, “Dimana perempuan yang menungguimu?”

“Biar saja ia beristirahat. Mungkin perempuan itu juga merasa letih duduk disini sehari-hari,” jawab Rara Wulan.

“Tetapi ini sudah tengah malam. Aku akan berada diluar bilik di serambi ini,” berkata Glagah Putih.

“Apakah kau akan kembali ke rumah kakang Agung Sedayu?” Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku akan tetap disini. Aku akan berada di pendapa.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Diluar ada dua atau tiga orang prajurit yang berjaga-jaga.”

Glagah Putih memandang ke pintu sejenak. Tetapi telinganya yang tajam memang mendengar suara di luar pintu. Karena itu ia berkata, “Syukurlah. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati.”

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah meninggalkan bilik di serambi itu. Ketika ia keluar dari pintu, maka dilihatnya perempuan yang menunggu Rara Wulan itu duduk di amben bambu panjang sambil bersandar dinding. Nampaknya ia pun merasa sangat letih, sehingga perempuan itu tertidur sambil duduk.

Glagah Putih yang lewat itu pun sempat berdesis, “Bibi aku akan berada di pendapa.”

Perempuan itu tergagap. Sambil mengusap wajahnya ia berkata, “Aku tertidur ngger.”

“Bibi sangat letih,” berkata Glagah Putih.

“Tidak. Aku tidak letih. Aku hanya mengantuk saja,” jawab perempuan itu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa angger tinggalkan angger Rara Wulan sendiri?”

“Aku persilahkan bibi menungguinya. Aku akan ke pendapa,” jawab Glagah Putih.

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Glagah Putih tentu merasa segan untuk berada di bilik itu hanya dengan Rara Wulan saja.

Ketika Glagah Putih berada di pendapa, maka ternyata Ki Gede pun masih duduk di pendapa. Perempuan dan anak-anak tertidur di tikar pandan yang dibentangkan di seluas pendapa itu. Di serambi gandok yang terbuka beberapa orang laki-laki tua duduk sambil berbincang. Namun ada diantara mereka yang telah tertidur pula dengan nyenyaknya berselimut kain panjang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di padukuhan induk di Tanah Perdikan.

Dalam pada itu, selain di rumah Ki Gede, maka di banjar pun tentu juga dipenuhi oleh para pengungsi. Perempuan, anak-anak dan laki-laki tua yang sudah tidak dapat banyak berbuat karena tenaga wadag-nya yang telah jauh susut.

Glagah Putih pun kemudian telah duduk di dekat Ki Gede. Ki Gede ingin mendengar apa yang telah terjadi di rumah Agung Sedayu, yang menjadi sasaran orang-orang yang berilmu tinggi yang berada di padepokan.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang terluka. Bahkan termasuk Agung Sedayu sendiri.

“Bukankah mereka sudah mendapatkan pengobatan yang baik?” bertanya Ki Gede.

“Ya, Ki Gede,” jawab Glagah Putih, “kakang Agung Sedayu sendiri yang mengatur pengobatan dan dilakukan oleh Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan Sabungsari.”

“Bagaimana dengan angger Sekar Mirah? Bukankah angger Sekar Mirah juga terluka?” bertanya Ki Gede.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Agaknya luka itu akan diobati pula oleh Ki Ajar Gurawa atau Ki Lurah Branjangan, Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jika angger Sekar Mirah lupa akan lukanya sendiri meskipun hanya segores kecil, namun luka itu akan dapat berbahaya. Apalagi jika senjata lawannya berkarat atau beracun,”

“Kakang Agung Sedayu akan dapat mengenali jenis luka-luka itu Ki Gede,” desis Glagah Putih.

“Tetapi bukankah angger Agung Sedayu sendiri terluka cukup parah?” bertanya Ki Gede.

“Ya, Ki Gede. Tetapi setelah mendapatkan pengobatan serta melakukan samadi, maka kakang Agung Sedayu sudah menjadi sedikit baik. Kakang Agung Sedayu sudah dapat duduk tanpa terjadi pendarahan lagi meskipun masih belum dapat bergerak lebih banyak.”

“Angger Agung Sedayu memang seorang yang jarang ada duanya,” desis Ki Gede.

Sementara itu beberapa orang yang membawa obor telah memasuki halaman rumah Ki Gede. Ternyata Prastawa telah pulang bersama sekelompok pengawal serta membawa beberapa orang tawanan yang berhasil ditangkap di perkemahan.

Dengan demikian maka Ki Gede pun menjadi sibuk menerima kedatangan mereka. Bahkan Glagah Putih pun telah ikut membantunya pula.

Tetapi di pendapa, serambi gandok bahkan di serambi rumah Ki Gede, sudah tidak ada tempat lagi bagi beberapa orang tawanan. Karena itu, maka mereka terpaksa ditempatkan dibawah sebatang pohon kemiri di halaman rumah Ki Gede itu.

“Bukan maksud kami berbuat sewenang-wenang atas kalian, siapapun kalian. Tetapi memang sudah tidak ada tempat lagi bagi kalian. Di pendapa itu perempuan dan anak-anak yang sedang mengungsi. Sedangkan di serambi penuh dengan orang yang terluka. Mereka yang gugur terpaksa ditempatkan di banjar. Semuanya itu terjadi karena tingkah kalian semuanya,” berkata Prastawa.

“Bukan kami,” jawab seorang yang berjanggut lebat.

“Siapa? Resi Belahan? Ki Tempuyung Putih atau siapa? Tetapi bukankah kalian pengikut-pengikut mereka?”

“Kami hanya melakukan perintah mereka,” jawab orang berjanggut lebat. Lalu katanya, “merekalah yang bertanggung jawab.”

“Bahwa kalian bersedia melakukan perintah mereka itu pun menuntut satu pertanggungan jawab,” sahut Prastawa.

Orang-orang itu terdiam. Mereka memang tidak dapat ingkar, apapun yang mereka lakukan didalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih memang menuntut satu pertanggungan jawab. Karena berada didalam pasukan itu sudah merupakan satu pilihan.

Malam itu, Tanah Perdikan bagaikan tidak tidur sama sekali. Para pengawal yang meronda tidak saja melintasi jalan-jalan, tetapi juga halaman-halaman rumah. Para pengawal itu masih memperhitungkan kemungkinan bahwa mungkin sekali ada lawan yang bersembunyi dan tertinggal sehingga mereka akan dapat melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya. Tetapi mungkin juga masih ada kawan atau lawan yang terluka berat sehingga tidak dapat beringsut dari tempatnya atau bahkan mereka yang gugur.

Ketika kemudian fajar menyingsing, maka Prastawa minta para pemimpin kelompok pengawal untuk memberikan nama-nama dari pengawal, anak-anak muda dan laki-laki yang ikut dalam pertempuran, yang gugur, terluka atau belum diketemukan. Para pemimpin kelompok itu mendapat waktu sampai menjelang tengah hari.

Sementara itu, ternyata keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik. Meskipun ternyata hampir semalam ia tidak tidur. Ketika Glagah Putih meninggalkan biliknya, maka lukanya seakan-akan terasa semakin nyeri. Beberapa kali Rara Wulan berdesah menahan sakit, sehingga perempuan yang menungguinya duduk dekat-dekat pembaringannya. Perlahan-lahan diusapnya telapak tangan Rara Wulan. Dihiburnya Rara Wulan dengan kata-kata lembut.

Menjelang fajar, tabib yang mengobatinya telah datang melihat keadaan lukanya. Kemudian ditaburinya luka itu dengan obat yang baru.

Perasaan sakit yang menggigit di luka Rara Wulan pun menjadi berkurang. Meskipun demikian tangan kiri Rara Wulan rasa-rasanya masih sakit bila digerakkannya, meskipun hanya ujung jarinya.

Ketika tabib itu meninggalkan bilik Rara Wulan, barulah Glagah Putih memasuki bilik itu. Sementara itu langit menjadi terang.

Demikian Glagah Putih ada didalam bilik itu, maka perasaan sakit dan nyeri pada luka Rara Wulan seakan-akan menjadi semakin susut.

Dalam pada itu, di rumahnya Agung Sedayu pun telah menjadi semakin baik. Seperti Agung Sedayu, maka menjelang fajar Ki Jayaraga yang mengalami luka dalam yang cukup parah telah dapat bangkit dan duduk meskipun masih harus dibantu oleh Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Keadaan Ki Jayaraga telah memungkinkan untuk memusatkan nalar budi, mengatur pernafasannya.

Karena itu, maka Ki Jayaraga pun kemudian telah duduk bersila. Kedua tangannya telah diletakkannya di pangkuannya. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam, Ki Jayaraga berusaha menguasai dan mengenali keadaan segenap simpul syaraf dan urat nadinya.

Namun dalam pada itu, Wacana masih harus berbaring dengan lemahnya. Pengobatan yang diberikan memang sudah terasa pengaruhnya. Namun masih saja merasa bahwa tubuhnya terlalu lemah.

Titik air terasa sangat sulit ditelannya.

Ketika hal itu diberitahukan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu memang menjadi sangat prihatin. Meskipun keadaannya sendiri masih belum terlalu baik, namun dibantu oleh Sabungsari, Agung Sedayu telah berjalan perlahan-lahan ke tempat Wacana berbaring.

Bagaimana pun juga, namun kemampuan pengobatan Agung Sedayu masih terbatas. Karena itu, maka apa yang dapat dilakukannya masih belum memuaskannya sendiri.

Karena itu, maka Agung Sedayu masih harus minta pertimbangan Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan bahkan Ki Jayaraga setelah Ki Jayaraga sendiri keadaannya menjadi semakin baik.

Tetapi sejauh mereka lakukan, namun keadaan Wacana masih belum memberikan pertanda yang cerah.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak berputus asa. Sambil memohon kepada Yang Maha Agung mereka masih akan berusaha untuk meringankan beban Wacana.

Sementara itu kedua murid Ki Ajar Gurawa justru sudah menjadi semakin baik. Seorang diantara mereka sudah dapat pergi ke pakiwan sendiri meskipun masih belum dapat menimba air. Kepada Mandira yang hanya tergores pahanya, murid Ki Ajar Gurawa itu berkata, “Apakah kau sudah mandi?”

“Sudah,” jawab Mandira, “Kenapa?”

“Kau sisakan air di jambangan?” bertanya orang itu pula.

“Apakah air itu boleh aku pakai? Aku sendiri belum dapat menimba sendiri,” desis murid Ki Ajar Gurawa itu selanjutnya.

Mandira tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak mengatakan saja, agar aku menimba air bagimu?”

Murid Ki Ajar itu pun tertawa. Katanya, “Aku takut kau tersinggung.”

“Kenapa tersinggung,” bertanya Mandira, “aku mengerti bahwa kau terluka cukup parah, sehingga kau tidak dapat menimba air itu sendiri.”

“Terima kasih atas pengertianmu itu,” desis murid Ki Ajar.

“Dan atas air itu?” bertanya Mandira.

“Terima kasih sekali,” jawab murid Ki Ajar.

Mandira tertawa berkepanjangan, sementara murid Ki Ajar itu berkata, “Bukankah sudah cukup? Dua kali aku mengucapkan terima kasih. Satu untuk pengertianmu dan dua untuk airmu.”

“Sudah, sudah cukup,” jawab Mandira yang masih saja tertawa, “Akulah yang kemudian harus mengucapkan terima kasih.”

Murid Ki Ajar itu masih akan menjawab, namun Mandira sudah melangkah sambil berkata, “Aku akan ke pakiwan untuk mengisi jambangan. Nah, bukankah begitu?”

Murid Ki Ajar tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tertawa.

Demikianlah, maka hari itu, kesibukan di padukuhan induk Tanah Perdikan itu justru menjadi semakin meningkat. Para tabib sibuk mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu persiapan pemakaman mereka yang gugur pun telah dilakukan. Beberapa orang tengah menggali lubang di kuburan. Sementara itu di lereng bukit, di dekat kuburan tua yang sudah tidak dipergunakan lagi meskipun setiap kali masih sering dibersihkan, telah disiapkan pula kuburan bagi para penyerang yang terbunuh di pertempuran.

Bagaimana pun juga, orang-orang Tanah Perdikan tidak memperlakukan sosok-sosok tubuh itu dengan semena-mena.

Sementara itu, maka perempuan dan anak-anak serta laki-laki tua yang mengungsi di rumah Ki Gede dan di banjar pun telah berangsur meninggalkan tempat pengungsian. Para pengawal, anak-anak muda dan para bebahu Tanah Perdikan telah membantu para pengungsi itu. Sedangkan para keluarga mereka yang ikut mempertahankan Tanah Perdikan masih terikat dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing, sehingga dapat diketahui dengan pasti, berapa korban yang gugur, berapa yang terluka berat dan terluka ringan.

Kesibukan yang lain juga terjadi di bekas perkemahan para pengikut Resi Belahan. Para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ikut bertugas di tempat itu telah mengumpulkan barang-barang berharga yang ternyata banyak terdapat di perkemahan itu. Agaknya Resi Belahan benar-benar telah mempersiapkan perkemahannya untuk jangka panjang. Bersama beberapa orang Resi Belahan telah mempersiapkan sebuah landasan untuk meloncat ke Mataram di Tanah Perdikan itu.

Dalam kesibukan itu, Ki Gede telah mengirimkan utusan ke beberapa Kademangan tetangga Tanah Perdikan Menoreh. Terutama beberapa Kademangan yang telah tersentuh oleh kegiatan orang-orang yang berada di perkemahan itu, bahkan yang telah dengan terpaksa menyerahkan korban keganasan beberapa orang diantara para pengikut Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih.

Kesibukan juga nampak di beberapa padukuhan yang lain. Beberapa padukuhan kecil yang juga menjadi sasaran semua serangan para pengikut Resi Belahan. Betapapun kecilnya kekuatan yang menyerang padukuhan-padukuhan kecil itu, namun korban dari kedua belah pihak pun telah jatuh.

Di rumah Agung Sedayu, secara khusus tubuh Bajang Bertangan Baja mendapat kehormatan sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang gugur. Meskipun Bajang Bertangan Baja yang juga disebut Bajang Bertangan Embun pernah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, namun di bagian terakhir dari hidupnya, Bajang Bertangan Baja telah bertempur di Pihak Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Agung Sedayu dan beberapa orang di rumah itu mengetahui, bahwa kesediaan Bajang Bertangan Baja itu bertempur bersama-sama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh lebih banyak diwarnai oleh dendam di hatinya terhadap Ki Tempuyung Putih serta orang-orang perkemahan yang telah menyiksanya, sehingga hampir saja ia akan menjadi korban bagi Resi Belahan yang merasa kehilangan Ki Manuhara. Bukan saja orangnya, tetapi juga arah perjuangannya. Bajang Bertangan Baja adalah orang yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan dan bahkan jalan sesat yang ditempuh oleh Ki Manuhara itu.

Kesibukan yang lain adalah kesibukan beberapa orang yang mempersiapkan makan dan minum bagi orang-orang Tanah Perdikan yang sedang melakukan tugasnya. Bahkan para pengungsi pun masih disediakan makan dan minum, karena diperhitungkan bahwa mereka masih belum sempat melakukannya sendiri di rumah, karena mereka baru saja kembali dari pengungsian.

Lewat tengah hari, maka para pemimpin kelompok pengawal telah berkumpul di padukuhan induk. Mereka telah siap memberikan laporan tentang para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang-orang yang lebih tua namun yang masih merasa mampu turun ke medan perang.

Prastawa yang ada di pendapa ramah Ki Gede menjadi berdebar-debar. Nama itu akan membuat seisi Tanah Perdikan berkabung. Sebagaimana sering terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang memungut korban, maka bumi Tanah Perdikan yang telah basah oleh darah itu, akan dibasahi lagi oleh air mata.

Di rumah Agung Sedayu, mereka yang terluka telah menjadi lebih baik. Bahkan Rumeksa pun telah nampak semakin segar. Hanya Wacana sajalah yang ternyata masih dalam keadaan yang mencemaskan. Meskipun Wacana telah dapat berbicara, dengan lebih lancar, namun tubuhnya masih terlalu lemah.

Untuk mendapatkan hasil terbaik, maka Agung Sedayu telah minta tabib yang dianggap terbaik di Tanah Perdikan itu untuk datang melihat keadaan Wacana. Namun tabib itu tidak dapat berbuat lebih baik dari apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.

“Angger memiliki kemampuan pengobatan yang tinggi,” berkata tabib itu.

“Aku baru belajar,” jawab Agung Sedayu, “aku mendapat pengetahuan ini dari guruku dan bahkan dari Bajang Bertangan Baja.”

Tetapi tabib itu menyahut, “Ketika Angger Agung Sedayu baru belajar, kemampuan angger sudah sedemikian tinggi dalam bidang pengobatan. Apalagi jika pada saatnya angger sudah merasa tuntas, maka angger akan menjadi seorang tabib yang pinunjul.”

“Kau selalu memuji,” desis Agung Sedayu.

“Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Apa yang angger lakukan selagi angger sendiri dalam keadaan seperti itu, menunjukkan betapa angger memiliki pengetahuan yang luas tentang pengobatan. Karena itu, maka aku sudah tidak dapat berbuat lebih baik dari yang angger lakukan,” berkata tabib itu.

Namun Agung Sedayu menjawab, “Bukan aku yang melakukannya. Tetapi Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan.”

“Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi semuanya itu berdasarkan atas petunjuk angger Agung Sedayu,” jawab tabib itu.

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa lukanya menjadi agak nyeri. Namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakitnya itu.

Tabib itu pun kemudian meninggalkan rumah Agung Sedayu. Yang dapat dilakukan hanyalah sekedar melengkapi obat-obatan yang sudah ada di rumah itu.

Sebenarnyalah sebagaimana sudah diperhitungkan oleh para pemimpin di Tanah Perdikan itu, bahwa ketika nama-nama korban yang gugur di pertempuran sudah mendekati kepastian, serta kemudian diumumkan, suasana berkabung telah mencekam Tanah Perdikan itu. Terdengar suara tangis dimana-mana. Bukan saja di padukuhan induk. Tetapi di padukuhan-padukuhan yang sempat menjadi ajang pertempuran, beberapa orang perempuan harus menangis karena kehilangan suami atau anaknya atau keluarganya yang lain. Bahkan di padukuhan induk dari padukuhan-padukuhan yang lain telah menyerahkan beberapa orang korbannya pula.

Setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Gede selalu merasa betapa kecil kuasanya. Ia mampu memerintah Tanah Perdikan itu dengan baik. Ia termasuk seorang yang dihormati dan disegani. Wibawanya diakui oleh seisi Tanah Perdikan, bahkan oleh Kademangan-kademangan di sekitarnya. Namun ternyata Ki Gede tidak mampu membuat Tanah Perdikan menjadi satu lingkungan yang tenang dan damai, tanpa permusuhan dan bahkan kekerasan.

Dalam keadaan yang demikian, Ki Gede hanya mampu menengadahkan hatinya kepada Yang Maha Agung yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya.

Hari itu iring-iringan tubuh mereka yang telah gugur telah dibawa ke makam yang khusus bagi mereka yang telah mengorbankan jiwanya bagi Tanah Kelahiran.

Namun dalam pada itu, di arah yang lain, juga terdapat iring-iringan korban dari para pengikut Resi Belahan. Mereka telah dibawa ke kuburan tua di lereng bukit.

Ketika kemudian senja turun, maka Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sepi. Semua pintu tertutup sejak lampu dinyalakan. Seisi rumah berkumpul di ruang dalam. Keluarga yang tidak kehilangan keluarganya memang dapat menikmati kegembiraan. Tetapi mereka harus mengingat pula tetangga-tetangga mereka yang berkabung. Apalagi seisi padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya masih mempunyai sangkut paut dan hubungan darah meskipun sudah agak jauh. Sehingga hampir setiap orang ikut kehilangan.

Meskipun Tanah Perdikan menjadi lengang, namun para pengawal tidak kehilangan kewaspadaan mereka. Ditempat-tempat tertentu masih terdapat kelompok-kelompok pengawal yang berjaga-jaga. Bukan hanya di padukuhan induk. Tetapi di setiap padukuhan.

Bahkan di bekas perkemahan itu pun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan itu, tetap berhati-hati. Mungkin saja sisa-sisa pengikut Resi Belahan sempat menyusun kekuatan untuk mengambil benda-benda berharga yang tertinggal di perkemahan itu.

Sementara itu Rara Wulan masih berada di rumah Ki Gede Menoreh. Namun ketika senja turun Glagah Putih yang menungguinya minta diri untuk melihat keadaan Agung Sedayu serta orang-orang lain yang terluka di rumah itu. Termasuk gurunya. Ki Jayaraga.

“Apakah kau nanti akan kembali kemari?” bertanya Rara Wulan.

“Aku akan kemari Wulan. Tetapi aku tidak akan berada didalam bilikmu. Aku akan berada diantara para pengawal. Hanya jika kau perlu, kau dapat memanggilku lewat bibi yang menjagamu,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk kecil. Ia mengerti, bahwa Glagah Putih memang tidak sebaiknya berada didalam biliknya. Sementara itu, yang menungguinya kemudian adalah seorang perempuan yang lebih muda dari perempuan yang menungguinya sebelumnya.

“Tengah malam aku sudah berada di halaman depan,” berkata Glagah Putih kemudian.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah meninggalkan rumah Ki Gede. Ketika ia turun ke jalan terasa betapa padukuhan induk itu menjadi sepi dan lengang. Ketika Glagah Putih melangkah menyusuri jalan induk, rasa-rasanya ia berjalan di sebuah padukuhan yang kosong meskipun ia melihat lampu-lampu menyala di serambi-serambi rumah. Namun semua pintu sudah tertutup rapat-rapat

Di gardu Glagah Putih melihat sekelompok pengawal yang bersiaga dan siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

———-oOo———-

(bersambung ke Jilid 287)

diedit dari:

http://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-86/

Terima kasih kepada Ki Raharga yang telah me-retype jilid ini

<<kembali | lanjut >>

Tinggalkan komentar