JDBK-26


<<kembali | lanjut >>

KI WASKITA masih tertawa. Katanya, “Kau benar, Paksi. Ada sesuatu yang sedang aku pikirkan. Seperti juga yang kau pikirkan. Aku merasa gelisah seperti orang lain, bahwa Harya Wisaka masih juga belum dapat dilacak jejaknya. Jika aku nampak murung, karena aku sedang memikirkan satu cara yang mungkin dapat ditempuh. Tetapi cara itu akan mempunyai akibat yang tidak dapat aku perhitungkan sebelumnya”

“Maksud Guru?”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Katanya, “Mungkin aku dapat mencari jalan untuk melacak Harya Wisaka. Tetapi tidak langsung. Aku mungkin dapat melacak salah seorang pembantu Harya Wisaka yang terhitung dekat. Dari sana akan kita dapatkan jejak Harya Wisaka itu”

“Jika jalan itu memungkinkan kita sampai kepada Harya Wisaka, bukankah jalan itu dapat dicoba?”

“Tetapi tebusannya akan dapat menjadi mahal sekali, Paksi”

“Maksud, Guru”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Paksi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja Ki Waskita itu berkata, “Paksi, bukankah kita belum mulai makan? Makanlah sebelum waktu untuk beristirahat usai”

“Aku tidak lapar, Guru”

“Kau tentu lapar. Bukankah kita akan berbicara sambil makan. Sekarang makanlah”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian membuka pula sebungkus nasi dan mulai makan bersama Ki Waskita dan Ki Kriyadama.

Sementara itu, Ki Waskita pun mulai berbicara dengan Ki Kriyadama tentang pembangunan padepokan yang mendekati tahap-tahap akhir itu. Semakin lama semakin asyik sehingga Paksi tidak mendapat waktu untuk berbicara lagi.

Meskipun demikian, bahwa lontaran pertanyaan yang pernah disampaikan kepada Ki Waskita itu dianggapnya cukup untuk mengusik perasaan Ki Waskita. Paksi sudah merasa cukup untuk menyentuh hati orang tua itu, sehingga ia mengerti, bahwa ada yang memperhatikan perubahan sikapnya di saat-saat terakhir.

Sebenarnyalah, sejak Paksi datang menemuinya dan bertanya tentang masalah yang sedang direnunginya, Ki Waskita justru menjadi semakin memikirkannya. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengambil sikap.

Namun sementara itu, usaha untuk menemukan Harya Wisaka seakan-akan telah mengalami jalan buntu. Usaha Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sama sekali belum menunjukkan kemajuan sama sekali.

Sementara itu, usaha untuk menemukan adik Paksi pun masih meragukannya, apakah sudah sepantasnya adiknya menjadi rambatan untuk menemukan ayahnya.

“Adikku tidak bersalah sama sekali” berkata Paksi kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.

“Adikmu memang tidak bersalah. Bahkan ia pun merasa terpaksa untuk meninggalkan rumahnya mengikut ayahnya. Bukankah kita tidak memburunya dan akan menghukumnya? Kita hanya ingin membuatnya membuka jalan untuk menemukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada” jawab Raden Sutawijaya.

“Tetapi, seandainya adikku itu diketemukan, maka ia akan dipaksa untuk menunjukkan, dimana ayah bersembunyi. Bahkan seandainya adikku itu benar-benar tidak mengetahuinya, maka ia akan diperas sampai darahnya kering untuk mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya”

Pangeran Benawa tersenyum sambil menggeleng, “Bukankah kita tidak akan berbuat sejauh itu, Paksi? Seandainya adikmu itu kami ketemukan, bukankah dengan demikian kita telah membebaskan adikmu dari satu keadaan yang tidak disukainya?”

Paksi menggeleng sambil berdesis, “Mungkin, jika anak itu jatuh ke tangan kita. Tetapi jika anak itu jatuh ke tangan orang lain, maka tujuan penangkapan itu tentu untuk memeras keterangan anak itu agar menunjukkan dimana ayah bersembunyi”

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak membantah. Paksi memang dapat menduga sebagaimana dikatakannya itu. Jika adik Paksi itu jatuh ke tangan prajurit sandi tanpa diketahui oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Paksi sendiri, maka akibat yang buruk memang akan dapat terjadi. Prajurit sandi itu memang dapat memaksa anak itu untuk menunjukkan dimana ayahnya bersembunyi. Untuk mendapat keterangan, seseorang kadang-kadang memaksa orang lain untuk menjawab sesuai dengan keinginannya, sehingga kadang-kadang seseorang justru harus berbohong untuk memenuhi keinginan orang-orang yang memaksanya mengatakan sesuai dengan kebenaran.

Sedangkan orang-orang yang menginginkan kebenaran itu justru menjadi puas oleh kebohongan itu. Paksi pun kemudian tidak lagi berbicara tentang adiknya.

Karena setiap kali ia mendengar usaha untuk mencarinya sebagai salah satu pintu untuk sampai kepada ayahnya, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar.

Ketika hari pasaran di pasar gedhe itu tiba, maka seperti yang pernah dilakukan, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun telah berada di pasar. Tetapi hari itu, mereka merencanakan tidak saja membawa gerabah ke pasar, tetapi juga akan membawa gerabah yang diusung di atas punggung kuda beban itu berkeliling.

Pada saat matahari menjadi semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun telah memisahkan diri. Mereka menuntun kuda masing-masing dengan muatan gerabah berkeliling dari lorong ke lorong.

Jalan di kotaraja masih nampak ramai. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar masih berlalu-lalang. Sekali-sekali seorang berkuda melintas. Pada kesempatan lain, tiga orang prajurit yang meronda lewat menyusuri jalan.

Paksi menuntun kudanya memasuki lorong yang lebih sempit. Ia menawarkan gerabahnya dari pintu ke pintu rumah. Namun tiba-tiba Paksi itu terkejut. Ia melihat tiga orang berjalan berlawanan arah. Nampaknya mereka juga baru pulang dari pasar lewat jalan lain. Seorang di antara mereka membawa dua bakul yang dipikulnya. Agaknya isinya berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dua orang yang lain membawa bakul di atas kepala mereka. Mungkin berisi beras atau jagung. Yang menarik perhatian Paksi adalah seorang remaja yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka. Seorang remaja dengan pakaian yang kumuh seperti pakaian yang dipakai oleh Paksi sendiri. Mengenakan caping bambu yang lebar sambil menjinjing sebuah keba dari pandan yang kasar.

Semakin dekat Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan jantungnya serasa menjadi semakin cepat dan semakin keras berdegup.

Sementara itu, remaja itu masih belum memperhatikannya. Mungkin remaja itu sudah melihatnya. Tetapi ia tentu mengira bahwa Paksi adalah seorang penjual gerabah yang membawa dagangannya di atas punggung seekor kuda beban yang dituntunnya menyusuri lorong-lorong.

Akhirnya Paksi pun yakin, bahwa remaja itu adalah adiknya. Adiknya yang dicarinya dan yang agaknya juga dicari oleh para petugas sandi. Paksi pun kemudian berhenti dan mengikat kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan sambil menunggu remaja itu lewat. Sementara remaja itu sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak mengenalnya.

Demikian remaja itu melangkah di sebelah Paksi, maka Paksi pun menangkap tangannya sambil berdesis, “Kau tidak mengenal aku?”

Remaja itu terkejut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya. Remaja itu memang adik Paksi.

“Kakang Paksi” desis remaja itu.

“Ya, aku kakakmu. Paksi”

Remaja itu masih saja menatap Paksi. Namun tiba-tiba ia mendorong Paksi sambil berdesis, “Kau bukan kakakku”

“Aku Paksi, kau kenal aku, kan?”

“Aku tahu, kau Kakang Paksi. Tetapi kau bukan kakakku”

Paksi tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiga orang yang berjalan mendahului remaja itu pun berhenti. Mereka meletakkan pikulan serta bakul yang mereka bawa di atas kepala mereka. “Siapakah orang ini?” bertanya seorang di antara mereka.

“Paksi”

“Inikah anak muda yang bernama Paksi itu?”

“Ya”

Orang itu menggeram. Dengan suara yang berat ia pun berkata, “Nasibmu buruk, anak muda. Kau termasuk salah seorang yang harus disingkirkan”

“Maksudmu?”

“Kau harus dibunuh”

Namun adik Paksi itu pun berkata, “Biarkan orang itu pergi”

“Tidak mungkin. Ia sudah melihat dan dapat mengenalimu. Karena itu, maka ia harus dibunuh”

“Biarkan ia pergi”

“Sayang. Ia telah masuk ke dalam lubang kuburnya. Kita tinggal menimbuninya saja”

Paksi bergeser selangkah surut. Sementara laki-laki yang bertubuh pendek tetapi berbadan kekar itu pun menggeram, “Aku akan mencincangmu”

Kawannya yang lain, yang berwajah tampan dan berkumis tipis berkata, “Sebaiknya kau tidak usah membuat ulah. Itu hanya akan memperpendek umurmu dan mempersulit jalan kematianmu”

“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”

“Kau harus menyerahkan diri. Dengan demikian, maka kau akan mati dengan tanpa mengalami penderitaan”

Paksi memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Menurut penglihatannya, ketiganya adalah orang-orang yang memiliki ketrampilan mempermainkan senjatanya. Apalagi ketika ketiganya telah mencabut pedang pendeknya yang mereka sembunyikan di dalam bakul mereka.

“Jangan bunuh orang itu. Biarlah mereka pergi” berkata adik Paksi itu.

Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya. Mereka pun telah mulai memutar pedang pendek mereka.

“Kita harus segera menghabisinya sebelum kehadiran kita disini diketahui orang dan dilaporkannya kepada para prajurit”

Paksi tidak dapat mengelak, ia pun segera melangkah surut dan menggapai tongkatnya yang disangkutkannya pada kuda bebannya.

Demikian ia menarik tongkatnya itu, maka seorang di antara ketiga orang yang hendak membunuhnya itu sudah menyerangnya.

Namun Paksi pun sudah siap. Dengan tangkasnya ia pun menangkis serangan itu. Bahkan dengan satu putaran, tongkatnya telah mematuk ke arah perut orang yang menyerangnya itu.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Paksi mampu bergerak demikian cepatnya. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke samping. Namun tongkat Paksi pun telah menggeliat dan terayun mendatar.

Orang itu tidak sempat menangkis ketika tongkat itu menyambar lengannya.

Orang itu terhuyung-huyung ke samping. Namun dengan cepat kawannya datang membantunya. Orang yang berwajah tampan dengan berkumis tipis itu telah meloncat sambil menebas langsung ke arah leher Paksi.

Tetapi Paksi sempat merendah. Tongkatnya justru menyambar kaki orang itu, sehingga orang itu tidak mampu menyelamatkan keseimbangannya.

Dengan kerasnya orang itu terbanting di tanah.

Namun ketika Paksi siap mengayunkan tongkatnya untuk mengakhiri perlawanan orang berwajah tampan itu, yang lain pun telah menyerangnya pula.

Karena itu, maka Paksi pun harus meloncat menghindari serangan itu. Sambil memutar tongkatnya Paksi harus berloncatan mengelak dari serangan kedua orang lawannya bersama-sama.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketiga orang yang tentu para pengikut Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bertempur dengan keras dan kasar. Mereka langsung meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Mereka ingin dengan cepat membunuh Paksi, karena jika kehadiran mereka diketahui orang dan dilaporkan kepada para prajurit, maka mereka akan mendapatkan kesulitan.

Tetapi, ternyata tidak mudah membunuh Paksi. Anak muda itu mampu berloncatan seperti sikatan menyambar bilalang. Tongkatnya berputaran, terayun mendatar dan kemudian mematuk dengan derasnya. Orang yang bertubuh pendek itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sakit dan mual karena tongkat Paksi menghentaknya. Bahkan perutnya itu pun telah terluka dan berdarah.

Sementara itu, orang yang berkumis tipis itu jatuh tersungkur ketika ayunan tongkat Paksi berhasil mengenai tengkuknya. Tetapi ketiga orang itu masih saja bertempur dengan garangnya. Berkali-kali mereka terlempar. Namun setiap kali mereka telah meloncat kembali ke arena. Pedang pendek mereka terayun-ayun mengerikan.

Paksi harus meloncat surut untuk mengambil jarak ketika ujung pedang seorang di antara ketiga lawannya itu mengenai lengannya. Segores luka membuat kulitnya telah menganga.

Ketiga orang lawannya tidak memberinya kesempatan. Ketika mereka melihat darah mengalir dari luka di lengan Paksi, maka mereka pun menjadi semakin bernafsu. Seperti seekor serigala yang mencium bau darah, mereka serentak memburunya.

Paksi menggeletakkan giginya. Berbagai macam ilmu tersimpan di dalam dirinya. Karena itu, ketika ia terdesak, dan bahkan terluka, maka Paksi pun telah menghentakkan ilmunya dengan garangnya.

Darah Paksi yang masih muda itu seakan-akan telah mendidih ketika ia merasa lukanya menjadi nyeri. Sementara serangan-serangan lawannya semakin lama justru menjadi semakin menekannya.

Dengan demikian, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang di antara ketiga orang lawan Paksi melenting ke atas dinding halaman di pinggir jalan. Ketika Paksi sedang menghindari serangan orang berkumis tipis itu, orang yang bertengger di atas dinding halaman itu pun meloncat dengan cepat sambil mengayunkan pedang pendeknya.

Paksi berdesah tertahan. Punggungnya tergores luka melintang. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa pedih.

Dengan cepatnya Paksi itu pun meloncat mengambil jarak. Sekali tubuhnya berputar di udara. Kemudian kedua kakinya dengan lunak menyentuh tanah.

Tetapi Paksi terpaksa meloncat sekali lagi, berputar di udara dan berdiri tegak di tanah, siap untuk melawan ketiga orang lawannya yang memburunya.

Pertempuran pun menyala semakin sengit. Serangan-serangan ketiga orang yang akan membunuh Paksi itu menjadi semakin keras dan kasar.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak nyaring. Orang yang bertubuh pendek itu jatuh tertelungkup di tanah. Kedua tangannya memegangi perutnya yang tertembus ujung tongkat Paksi.

Orang itu masih menggeliat. Tetapi kemudian ia pun terdiam. Namun pada saat tongkat Paksi menikam perut orang itu, ujung pedang pendek orang yang berkumis tipis itu sempat melukai pundak Paksi.

Namun Paksi yang kesakitan itu justru menjadi semakin garang. Seperti seekor banteng yang terluka, Paksi menyerang kedua orang lawannya yang tersisa dengan puncak ilmunya.

Kedua lawannya pun segera terdesak. Seorang yang berkumis tipis itu masih sempat berteriak, “Lari. Larilah. Kau tidak boleh jatuh ke tangan Paksi. Kau akan menjadi tawanan. Tubuhmu akan dicincang untuk mendapatkan pengakuan”

Adik Paksi mendengar teriakan itu. Tetapi rasa-rasanya kakinya menjadi beku. Karena itu, maka anak itu tidak segera meninggalkan tempatnya.

Lawan Paksi yang seorang lagi pun berteriak pula, “Cepat, tinggalkan tempat ini. Jangan bodoh, jika kau tidak mau tersiksa di tangan prajurit Pajang”

Paksi yang muda itu tidak lagi mengekang diri. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Seorang lawannya yang meloncat sambil menjulurkan pedangnya, justru mengaduh ketika tongkat Paksi menghantam kepalanya.

Orang itu terhuyung-huyung surut. Paksi yang mencoba memburunya tertahan. Orang yang berkumis tipis itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher.

Tetapi Paksi sempat merendahkan dirinya. Demikian pedang itu terayun di atas kepalanya, maka Paksi itu pun mengayunkan tongkatnya menyapu kaki orang berkumis tipis itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Tulang kakinya serasa telah patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu berdiri.

Tubuhnya terpelanting jatuh di atas lorong yang sepi itu. Pada saat itu, kawannya yang seorang lagi mencoba untuk mencegah serangan Paksi yang lebih menentukan. Dengan menjulurkan pedang pendeknya ia berusaha menikam punggung Paksi.

Tetapi Paksi yang mengetahui serangan itu dengan cepat mengelak ke samping. Bahkan kemudian tongkatnya sempat memukul pergelangan tangan orang itu sehingga pedangnya terpelanting dari tangannya.

Orang itu tidak sempat memungut pedangnya. Darah muda Paksi yang menggelegak di jantungnya itu telah memanaskan seluruh tubuhnya, sehingga anak muda itu tidak lagi menahan dirinya.

Dengan garangnya Paksi mengayunkan tongkatnya, menghantam tengkuk orang yang telah kehilangan senjatanya itu, sehingga ia pun jatuh tertelungkup.

Namun pada saat yang bersamaan orang berkumis tipis yang tidak lagi dapat berdiri tegak itu merayap mendekatinya. Pedangnya menebas ke arah mata kaki Paksi.

Tetapi Paksi sempat menghindari. Sambil meloncat ia mengangkat tongkatnya. Namun demikian ia berpijak di tanah, maka ujung tongkatnya itu pun telah menikam dada orang berkumis tipis itu.

Orang itu tidak sempat mengaduh. Tiga orang lawan Paksi telah terkapar di tanah. Mati.

Paksi termangu-mangu sejenak. Beberapa goresan luka mengoyak tubuhnya. Lengannya, punggungnya, pundaknya, pahanya dan beberapa goresan lagi.

Dalam pada itu, ketika Paksi yakin bahwa ketiga orang lawannya tidak lagi mampu memberikan perlawanan, maka ia pun melangkah menjauhinya. Perhatiannya pun kemudian tertuju kepada adiknya yang berdiri ketakutan melekat dinding halaman sebelah.

Namun tiba-tiba anak itu pun berteriak, “Jika kau akan membunuh aku, bunuhlah”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya. Didekatinya adiknya yang berdiri melekat dinding itu.

“Marilah kita pulang. Ibu menunggumu”

“Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku tentu akan ditangkap dan disiksa sampai mulutku mengaku, dimana ayah bersembunyi”

“Aku akan melindungimu. Marilah. Ibu sangat rindu kepadamu. Adik kita juga sering bertanya, dimana kau berada”

“Jangan sentuh aku. Kau bukan kakakku”

Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia pun bertanya, “Bagaimana mungkin aku bukan kakakmu? Kita dilahirkan oleh seorang ibu yang sama. Kita  pun mempunyai ayah yang sama”

“Tidak. Ayah kita tidak sama”

Paksi menjadi tegang. Bahkan lebih tegang dari saat ia berhadapan dengan ketiga orang lawannya.

“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?”

“Ayah. Ayah mengatakan kepadaku, bahwa ayah kita berbeda. Kau bukan anak ayah. Kau adalah benalu di rumah kami. Karena itu, kau harus disingkirkan”

“Jika aku bukan anak ayah, katakan, menurut ayah, aku anak siapa?”

“Kau anak orang yang tidak dikenal. Itulah kenyataannya. Karena itu, jangan sebut lagi aku adikmu”

“Tetapi ibu kita?”

“Aku mencintai ibu. Tetapi aku tidak dapat menemui ibu sekarang”

Wajah Paksi menjadi merah. Luka di tubuhnya tidak terasa lagi. Luka di hatinya itulah yang terasa pedih dan nyeri, sehingga tubuh Paksi pun bergetar.

“Bawa aku kepada ayah. Aku ingin ayah menjelaskannya”

“Tidak. Aku bukan pengkhianat. Karena itu, jika kau ingin membunuhku, bunuhlah”

Rasa-rasanya seluruh isi dada Paksi berguncang. Ia tidak dapat mendengar keterangan adiknya itu. Dengan wajah yang tegang, Paksi melangkah mendekati adiknya dan berjongkok di hadapannya. “Menurutmu, siapa aku ini, he?”

“Kau orang asing di rumah kami. Setidak-tidaknya ayahmulah yang asing bagi kami”

“Kau telah menghina ibu. Bukankah dengan demikian berarti ibu telah ternoda ketika menikah dengan ayah?”

“Ya”

“Diam. Diam kau kecoak kecil. Ayah itulah yang telah gila. Ia telah memfitnah ibu. Memfitnah aku. Ayah ingin memisahkan kita, karena ayah sekarang menjadi seorang pemberontak, sedangkan aku tidak. Kau pun seharusnya tidak”

“Tidak ada hubungannya dengan gerakan Harya Wisaka” jawab adiknya. “Aku sudah tidak lagi kanak-kanak. Aku sudah dapat memisahkan persoalan demi persoalan. Kau bukan kakakku. Tetapi kau dapat mempergunakan keikutsertaan ayah dalam gerakan Harya Wisaka sebagai alasan untuk membunuhku, agar kau kelak dapat memiliki warisan ayah sepenuhnya meskipun itu bukan hakmu”

“Diam. Diam kau”

“Kau takut melihat wajahmu sendiri”

Tangan Paksi tiba-tiba saja telah terjulur menampar mulut adiknya. Adiknya terkejut. Paksi yang masih terguncang-guncang jantungnya itu, tidak dapat mengendalikan tenaganya dengan baik. Karena itu, maka sentuhan tangannya di mulut adiknya itu terasa sakit sekali. Bahkan ketika tangan adiknya itu meraba mulutnya, maka terasa cairan hangat meleleh dari sela-sela bibirnya. Darah.

Sejenak Paksi tertegun. Ia melihat adiknya menyeringai menahan sakit. Bahkan dari mulut adiknya itu mengalir darah yang merah. Dari matanya yang mengaca terbayang gejolak jantungnya yang berdegup semakin cepat dan semakin keras.

Namun tiba-tiba terdengar suara Paksi merendah, “Maafkan aku. Aku tidak sengaja menyakitimu”

Namun jawab adiknya, “Itu hakmu. Kau bunuh ketiga orang kawanku. Sekarang, bunuh aku sama sekali”

“Aku masih waras. Aku tidak gila. Bagaimana mungkin aku membunuh adikku sendiri”

“Aku bukan adikmu, kau dengar. Ayah mengatakan ini seribu kali kepadaku. Dan aku pun akan mengatakannya seribu kali kepadamu, bahwa kau bukan kakakku”

“Apakah kau juga akan mengatakannya di hadapan ibu?”

Adiknya tertegun. Sejenak ia bagaikan membeku.

“Jika hal ini kau katakan kepada ibu, kau akan tahu akibatnya. Selama ini kita menganggap ibu adalah seorang perempuan yang baik, seorang ibu yang bersih, seperti air yang bening keluar dari mata airnya. Selama ini kita minum air yang bening itu dengan ucapan syukur. Namun tiba-tiba kau telah membantingnya ke dalam tempat sampah yang paling kotor. Kau sebut ibu kita itu sebagai perempuan yang paling hina”

Adik Paksi itu masih tercenung. Bahkan ia pun kemudian menangis terisak.

“Marilah kita pulang”

Namun jawabnya masih tetap meskipun diucapkan dengan nada rendah, “Aku tidak mau pulang. Aku tidak dapat berkhianat kepada ayah”

“Baiklah” berkata Paksi, “aku akan segera menemui ibu. Aku akan bertanya, apakah yang dikatakan ayah itu benar. Jika apa yang dikatakan ayah dan ibu tidak sama, maka aku lebih percaya kepada ibu”

“Sekarang, bunuh aku sebelum aku ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang”

“Jika kau berkeras tidak mau pulang, pergilah. Kembalilah kepada ayah. Sampaikan baktiku kepadanya”

“Ayah tidak akan mau menerimanya”

“Itu persoalan ayah. Bukan persoalanku”

Adik Paksi itu terdiam. Sementara itu Paksi pun berkata, “Pergilah sebelum para prajurit itu datang. Jika ada orang yang melaporkan pertempuran ini, maka para prajurit akan segera datang. Jika mereka menemukan kau masih berada disini, maka kau akan ditangkapnya. Aku tidak tahu, apakah aku akan dapat melindungimu atau tidak. Atau bahkan aku juga dianggap telah berpihak kepadamu”

Adik Paksi itu termangu-mangu.

“Pergilah. Cepat” bentak Paksi.

Adiknya itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Paksi pun menggeram, “Jika para prajurit itu datang, aku akan membunuhmu. Aku lebih senang melihat kau mati daripada kau jatuh ke tangan para prajurit itu”

Adik Paksi itu nampak bingung. Namun Paksi pun kemudian menarik tangannya dan mendorongnya. “Pergi, pergi. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku mencarinya. Ayahku atau bukan, tetapi ia adalah musuhku, musuh Pajang. Ia harus ditangkap dan terserah kepada Kangjeng Sultan, apakah ia akan diampuni atau akan digantung di alun-alun”

Adik Paksi itu mulai beranjak. Sementara Paksi itu berkata lantang, “Pergilah kepada ayahmu. Katakan, ia harus mempertangung–jawabkan ucapannya. Ia telah menghina ibuku, seorang perempuan yang sangat aku hormati”

Adik Paksi itu memandang Paksi seperti memandang sesosok hantu. Ketakutan yang ditekannya di dalam dadanya ia telah terungkit. Bukan karena ia termasuk buruan sebagaimana ayahnya. Tetapi ia merasa telah membuat Paksi marah karena kebeningan hati ibunya tersentuh. Karena itu, maka adik Paksi itu pun kemudian telah bergeser semakin menjauhi Paksi. Akhirnya anak itu pun berlari menghilang di tikungan.

Paksi berdiri termangu-mangu. Masih ada darah yang meleleh dari lukanya, meskipun tidak lagi terlalu deras. Namun pedihnya tidak sepedih luka di hatinya. Seakan-akan di luar sadarnya, Paksi melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak lagi menghiraukan kuda bebannya. Dengan bertumpu pada tongkatnya, Paksi melangkah semakin lama semakin jauh. Ia juga berbelok di tikungan. Tetapi ia tidak berjalan searah dengan adiknya.

Tetapi ternyata Paksi tidak langsung menemui Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa seperti yang mereka sepakati. Dengan mengendap-endap agar tidak menarik perhatian orang karena luka-lukanya dan pakaiannya yang berdarah, Paksi justru pulang ke rumahnya. Ia tidak peduli, apakah rumahnya itu diawasi atau tidak, ia tidak lagi dapat berpikir terang. Nalarnya menjadi kabur mendengar pengakuan adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya. Bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada bukan ayahnya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran di sebuah lorong yang sepi. Orang yang tinggal di sebelah-menyebelah lorong itu mendengar pertempuran itu. Mereka mendengar teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan. Mereka mendengar desah dan keluh kesakitan. Mereka mendengar senjata beradu dan hentakan-hentakan kaki.

Tetapi justru karena itu, tidak seorang  pun yang berani keluar dari regol halaman rumahnya. Dengan demikian, maka mereka tidak tahu siapakah yang telah bertempur itu.

Baru kemudian, ketika seorang yang lewat di lorong itu melihat dari kejauhan apa yang terjadi, maka ia pun segera berlari berbalik menyusuri lorong itu. Orang itu berlari ke jalan yang lebih besar untuk menghadang para prajurit yang meronda Tetapi karena tidak ada prajurit yang segera lewat, maka ia pun telah berlari ke sebuah barak prajurit. Tetapi barak itu cukup jauh.

Ketika dengan nafas yang hampir putus orang itu melaporkan apa yang dilihatnya, maka penjaga yang bertugas di regol tidak segera tanggap. Kata-katanya yang dihembuskan di sela-sela nafasnya yang memburu itu memang tidak begitu jelas. Karena itu, maka oleh penjaga barak, orang itu pun dibawa menghadap seorang lurah prajurit.

Lurah prajurit itu berusaha menenangkannya. Kemudian dengan sabar ia mendengarkan laporan orang itu.

“Jadi telah terjadi perkelahian?”

“Ya, Ki Lurah”

“Perkelahian yang terjadi antara orang-orang di sebelah-menyebelah lorong itu atau perkelahian antara siapa?”

“Nampaknya perkelahian antara orang-orang yang garang. Mereka bersenjata”

Lurah prajurit itu pun mengangguk-angguk. Katanya,

“Tunjukkan. Kami akan pergi kesana”

Bersama lima orang prajurit, lurah itu pun telah pergi ke tempat perkelahian itu terjadi. Orang yang melihat perkelahian itu diminta untuk bersedia menunjukkan tempat kejadiannya Namun ketika mereka sampai disana, yang ditemuinya adalah kerumunan banyak orang. Tiga sosok mayat terbaring. Beberapa bakul dan seekor kuda beban.

Tidak seorang  pun dapat memberikan keterangan. Orang-orang yang berkerumun itu tidak melihat apa yang telah terjadi, karena mereka tidak berani keluar dari halaman rumahnya. Baru kemudian, setelah pertempuran itu selesai, seorang demi seorang keluar dari halaman rumahnya mendekati sosok tubuh yang terbaring diam itu

Lurah prajurit itu tidak mendapatkan bahan apa pun untuk mengusut, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Tetapi lurah prajurit itu menduga, bahwa yang terjadi bukanlah perkelahian antara orang-orang kebanyakan yang berselisih tentang persoalan mereka sehari-hari.

Lurah prajurit itu dapat menduga, bahwa bakul, pikulan, kuda beban yang membawa gerabah itu adalah bagian dari penyamaran. Tetapi pihak-pihak yang berkelahi itu tidak segera dapat diketahuinya.

Dengan seksama lurah prajurit dan para prajuritnya memeriksa tempat kejadian serta tiga sosok mayat itu. Mereka tidak menemukan ciri apapun. Pedang pendek itu juga tidak dapat dipergunakan untuk menelusuri, siapakah mereka bertiga itu. Siapa pula lawan mereka.

“Kita akan membuat laporan secepatnya” berkata lurah prajurit itu.

Setelah selesai dengan pemeriksaannya, serta menyimpan ketiga buah pedang pendek serta membawa kuda beban beserta gerabah yang ada di punggungnya, maka lurah prajurit dan para prajuritnya itu pun kembali ke barak mereka.

Dengan cepat mereka telah membuat laporan tentang perkelahian yang mencurigakan itu.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di tempat mereka bersepakat untuk berkumpul.

Tetapi mereka harus menunggu terlalu lama. Jauh lebih lama dari waktu yang seharusnya

“Apa yang terjadi dengan Paksi?” bertanya Raden Sutawijaya dengan nada kecemasan.

“Kita harus mencarinya. Ia sudah terlalu lama melampaui batas waktu yang sudah ditentukan”

Keduanya ternyata sepakat untuk mencari Paksi. Keduanya pun kemudian berjalan menyusuri lorong yang mereka perhitungkan telah dilalui oleh Paksi, karena mereka telah membagi lingkungan yang menjadi medan pengamatan masing-masing.

Ketika mereka sampai di tempat Paksi bertempur melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, mereka masih melihat beberapa orang yang sedang menimbuni lorong dengan tanah yang diambilnya dari pinggir lorong itu.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa semula ragu-ragu untuk menyibak orang-orang yang sedang sibuk itu. Namun orang-orang itu sendiri yang menyibak untuk memberi jalan kepada kedua orang yang akan lewat.

Namun keduanya tertegun. Mereka melihat bahwa orang-orangitu sedang sibuk menimbuni bercak-bercak darah yang menggenang di jalan itu.

“Darah” desis Raden Sutawijaya di luar sadarnya.

“Ya” tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang menimbuni darah itu dengan tanah, menyahut.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Perkelahian. Yang terlibat antara lain adalah seorang penjual gerabah. Kuda bebannya diketemukan terikat disini. Tiga sosok mayat terbaring di sekitar tempat ini”

“Seorang penjual gerabah? Kenapa ia berkelahi?”

“Tidak ada yang tahu”

“Apakah penjual gerabah itu hidup atau mati?”

“Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu, apakah di antara ketiga sosok mayat itu terdapat penjual gerabah itu. Kami hanya menemukan tiga sosok mayat dan seekor kuda beban yang membawa gerabah”

“Dimana kuda beban itu sekarang?”

“Beberapa orang prajurit telah datang. Prajurit itulah yang meneliti apa yang terjadi. Kuda itu pun mereka bawa pula”

Jantung Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan mereka. Sejenak kemudian, maka keduanya pun minta diri kepada orang-orang yang berkerumun itu untuk meneruskan perjalanan.

Namun demikian mereka lewat, maka Pangeran Benawa pun berkata, “Paksi benar-benar dalam kesulitan. Mudah-mudahan di antara ketiga sosok mayat itu tidak terdapat Paksi”

“Kita tidak melihat tongkatnya”

“Jika di antara mereka terdapat Paksi, mungkin tongkatnya telah dibawa oleh para prajurit pula”

“Kita tidak tahu, prajurit yang manakah yang membawa Paksi”

“Barak prajurit yang manakah yang terdekat dengan tempat ini?”

Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Mereka berjalan sambil mengingat-ingat. Yang datang ke tempat itu tentu prajurit dari barak terdekat. Jika ada prajurit yang meronda, tentu prajurit dari barak itu pula.

Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka. Namun Raden Sutawijaya dengan ragu-ragu berkata, “Apakah mereka dapat menerima kita?”

Pangeran Benawa termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berdesis, “Ya. Kita dapat diusir dari barak itu atau mungkin pula kita akan ditangkap”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sambil menunduk ia pun bergumam, “Kenapa kita tidak bertanya apakah di antara sosok mayat itu terdapat seorang anak muda?”

“Bukankah pertanyaan itu mencurigakan?”

“Ya. Memang mencurigakan”

Keduanya pun terdiam lagi.

Baru beberapa saat kemudian, Raden Sutawijaya pun berkata lagi, “Pulang ke rumah ayah. Kita akan menanyakan melalui jalur keprajuritan, siapakah yang menangani pertempuran itu dan siapa pula yang telah membawa kuda beban Paksi yang ditinggalkan itu”

Pangeran Benawa mengangguk.

Dengan tergesa-gesa keduanya pun kemudian langsung pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan. Penjaga yang bertugas di halaman menghentikan mereka. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang yang datang itu lebih jelas, maka mereka justru menyembah.

“Silahkan, Raden. Silahkan, Pangeran”

“Ayah ada di rumah?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ada, Raden”

Sejenak kemudian dua orang prajurit berkuda telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Ki Gede telah memerintahkan mereka untuk mendatangi barak prajurit yang terdekat dengan tempat kejadian.

“Ketika kami datang, semuanya sudah lewat, Ayah” berkata Raden Sutawijaya. “Tinggal beberapa orang yang menimbuni darah yang tercecer di lorong itu”

“Nampaknya Paksi bertemu dengan orang-orang penting di lingkungan para pengikut Harya Wisaka. Ia sendiri ketika ia menghadapi beberapa orang bersama-sama”

Pangeran Benawa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Jika terjadi sesuatu atas anak itu, kamilah yang bersalah”

“Pangeran tidak dapat menyalahkan diri sendiri” berkata Ki Gede Pemanahan. “Bukankah kalian sepakat untuk memencar? Menempuh jalan masing-masing?”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Raden Sutawijaya pun bertanya, “Bagaimana dengan kuda beban kita, Adimas Pangeran?”

“Biar sajalah. Nanti kita lihat. Jika ada orang yang membawanya, biarlah dibawa”

Raden Sutawijaya tidak bertanya lagi. Nampaknya Pangeran Benawa benar-benar menjadi gelisah. Ia mengenal Paksi lebih dalam dari Raden Sutawijaya. Beberapa lama Pangeran Benawa pernah mengembara bersama-sama.

Setelah beberapa lama mereka menunggu, maka kedua orang prajurit yang menangani perkelahian yang melibatkan seorang penjual gerabah itu pun telah kembali.

Ternyata mereka harus memasuki dua barak. Baru pada barak yang kedua, mereka mendapat keterangan tentang penjual gerabah itu.

“Mereka sedang menyusun laporan” berkata salah seorang prajurit berkuda yang baru kembali itu.

“Tetapi bukankah kau sudah mendapatkan keterangan lesan?” bertanya Pangeran Benawa tidak sabar.

Ternyata dari keterangan prajurit itu, tidak seorang pun dari ketiga sosok mayat itu yang ciri-cirinya sama atau mendekati ciri-ciri tubuh Paksi. Bahkan diyakini bahwa ketiga-tiganya adalah para pengikut Harya Wisaka

“Mereka bukan anak muda lagi” berkata prajurit itu kemudian.

“Darimana mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa ketiganya adalah pengikut Harya Wisaka”

“Melihat apa yang mereka bawa. Nampaknya mereka membawa bahan makan dan kebutuhan sehari-hari. Agaknya mereka telah berpapasan dengan petugas sandi yang membawa kuda beban berisi gerabah itu. Tetapi kami tidak menemukan prajurit sandi itu”

“Senjata apa saja yang diketemukan di tempat kejadian itu?”

“Pedang pendek. Sarung pedang pendek itu terdapat di dalam bakul yang berisi bahan pangan dan kebutuhan sendiri-sendiri itu”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka Paksi agaknya masih hidup.

“Tetapi kemana anak itu? Apakah ia tertangkap dan dibawa menghadap ayahnya? Jika demikian, maka keadaannya akan menjadi parah pula” bertanya Pangeran Benawa di dalam hatinya.

“Semuanya masih belum jelas” desis Raden Sutawijaya.

Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu pun berkata, “Apakah mungkin Paksi justru pulang?”

“Pulang kemana?”

“Ke rumahnya. Bukankah ibunya masih tinggal disana?

Dalam kesulitan dapat saja ia bersembunyi di rumahnya. Atau
bahkan apa pun yang terjadi”

“Pangeran” desis Ki Gede Pemanahan yang melihat Pangeran Benawa menjadi bingung, “jika masih ada kesempatan, Paksi tentu akan menemui Pangeran dan Sutawijaya di tempat yang ditentukan”

“Tetapi tidak ada salahnya kita melihat rumahnya” desis Raden Sutawijaya.

“Tetapi jika Paksi tidak ada disana, maka ibunya akan menjadi sangat gelisah”

Raden Sutawijaya mengangguk angguk kecil.

Namun tiba-tiba Pangeran Benawa itu pun berkata, “Kita lihat apakah Paksi ada di rumahnya atau tidak. Jika terjadi sesuatu, maka lambat atau cepat, ibunya justru harus mengetahuinya”

“Tetapi kita akan memastikan, atau setidak-tidaknya mendekati kepastian, apakah yang terjadi dengan Paksi”

“Justru semakin cepat ibunya mengetahuinya akan menjadi semakin baik”

Agaknya niat Pangeran Benawa sudah bulat. Ia ingin melihat ke rumah Paksi. Bahkan Pangeran Benawa membayangkan bahwa Paksi justru telah tertangkap dan disekap di rumahnya sendiri. Orang lain tentu tidak akan menduganya Di tempat lain, akan dapat menjadi berbahaya bagi para pengikut Harya Wisaka.

Kecuali jika Paksi itu langsung dibunuh oleh ayahnya sendiri. “Apakah Pangeran akan membawa beberapa orang prajurit?”

“Tidak” Pangeran Benawa menggeleng, “aku akan pergi berdua saja dengan Kakangmas Sutawijaya”

“Baiklah” sahut Raden Sutawijaya, “kita pergi ke rumah Paksi. Tetapi asal kita ingat saja, bahwa rumah itu masih selalu diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi juga oleh para petugas sandi”

“Jika demikian, mereka tidak akan dapat menahan Paksi di rumah itu”

“Mereka tentu mempunyai cara tersendiri untuk masuk dan keluar rumah itu di luar jangkauan pengamatan para petugas sandi. Tetapi mungkin pula para pengikut Harya Wisaka mampu memancing perhatian para petugas sandi itu”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah kita pergi sekarang”

Sejenak kemudian, keduanya pun minta diri. Ki Gede hanya dapat berpesan agar mereka berhati-hati. Apa yang terjadi atas Paksi dapat pula terjadi atas mereka berdua.

“Baiklah, Paman” jawab Pangeran Benawa, “kami akan berhati-hati. Apalagi kami berdua, sementara Paksi seorang diri menghadapi kekuatan yang sangat besar”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu pun kembali turun ke jalan. Mereka pun dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah ditinggalkannya.

Dalam pada itu, Paksi memang pergi untuk menemui ibunya. Ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali kata-kata adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya seayah.

“Apakah ketika ibu menikah dengan ayah, ibu sudah melahirkan aku?” pertanyaan itu telah menggodanya, “Sehingga aku adalah anak tiri ayah Tumenggung Sarpa Biwada?”

Tetapi menurut pendengaran Paksi selama ini, ibunya belum pernah menikah sebelumnya. Ki Tumenggung Sarpa Biwada adalah satu-satunya suami ibunya. Ia sering mendengarkan ceritera ibunya, bahwa ketika ayahnya diangkat menjadi seorang pandega dengan pangkat rangga, ibunya ikut hadir dalam wisuda itu selagi Paksi masih berada di dalam kandungan. Itu berarti bahwa ketika ia lahir, ibunya telah menjadi isteri Ki Rangga Sarpa Biwada.

Ketika Paksi memasuki regol halaman rumahnya, tubuhnya sudah menjadi semakin lemah. Meskipun tidak lagi terlalu deras, tetapi darahnya masih saja mengalir dari luka-lukanya.

Paksi tidak langsung naik ke pendapa. Tetapi lewat pintu seketeng, Paksi langsung masuk ke serambi samping.

Ibunya terkejut melihat keadaan Paksi. Berlari-lari ia mendapatkannya sambil bertanya, “Paksi, kau kenapa, Paksi?”

Paksi masih berdiri bertumpu pada tongkatnya. Ketika ibunya akan memapahnya masuk ke ruang dalam, Paksi menolaknya sambil berdesis, “Tidak, Ibu”

“Paksi”

“Aku datang untuk mendapat pengakuan, Ibu”

“Pengakuan apa, Paksi?” ibunya termangu-mangu. “Apakah kau mengira bahwa ibu tahu dimana ayah bersembunyi?”

“Tidak. Bukan itu”

“Lalu?”

“Ibu, aku ingin tahu, aku ini anak siapa?”

“Paksi” Wajah ibunya menjadi tegang Dengan nada datar ia pun bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu”

“Ibu” berkata Paksi yang masih berdiri bertumpu pada tongkatnya, “aku ini anak siapa? Aku mendapat keterangan bahwa aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Lalu aku anak siapa? Apakah aku anak tirinya? Apakah aku sudah ada ketika Ibu menikah dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada? Lalu bagaimanakah dengan ceritera Ibu, bahwa Ibu hadir ketika ayah diwisuda menjadi pandega dengan pangkat rangga pada hampir duapuluh tahun yang lalu itu? Bukankah Ibu menceriterakan bahwa waktu itu aku masih berada di dalam kandungan. Atau barangkali yang Ibu maksud laki-laki yang diwisuda itu bukan Ki Sarpa Biwada?”

“Paksi. Paksi. Siapakah yang mengatakannya? Pertanyaanmu aneh dan tidak aku mengerti”

“Pertanyaanku sederhana, Ibu. Apakah aku anak Sarpa Biwada atau bukan?”

Wajah ibunya menjadi tegang. Dipeganginya kedua lengan Paksi yang kokoh. Didorongnya Paksi perlahan-lahan sambil berkata, “Duduklah, Paksi. Duduklah”

Paksi memang tidak dapat menolak. Paksi pun kemudian duduk di sebuah lincak bambu tutul yang panjang. Sementara ibunya duduk di sampingnya.

“Paksi” suara ibunya pun terasa bergetar, “siapakah yang mengatakan kepadamu?”

Paksi pun kemudian menceriterakan dengan patah-patah apa yang telah terjadi. Ia berusaha mengajak adiknya pulang. Tetapi jawab adiknya itu sangat menyakitkan hatinya.

“Katakan, Ibu, apakah yang dikatakan ayah kepada adikku itu benar? Jika benar, lalu apa yang telah terjadi dengan Ibu pada waktu itu?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian matanya menjadi basah. Ia tidak menahan lagi tangisnya meskipun ia berusaha.

Pada saat itu, adik perempuan Paksi berlari-lari masuk ke serambi. Gadis kecil itu terkejut melihat keadaan Paksi serta ibunya yang menangis.

“Kakang, Kakang Paksi. Kau kenapa?”

Pakaian Paksi masih berlumuran darah. Sementara ibunya berusaha mengusap matanya. Tetapi tangisnya tidak juga mereda.

“Ibu, kenapa?”

“Kakakmu Paksi terluka”

“Siapa yang melukaimu, Kakang? Siapa?”

Paksi mengusap rambut adiknya. Jika benar kata-kata adik laki-lakinya, maka adik perempuannya itu pun bukan adiknya seayah. Itu sangat menyakitkan. Meskipun dengan demikian Paksi dapat memecahkan satu teka-teki yang selama ini membebaninya, kenapa ayahnya ingin membunuhnya.

“Kakang. Marilah, aku cuci luka Kakang. Luka itu harus diobati”

“Nanti. Nanti saja anak manis”

“Jangan ditunda-tunda lagi, Kang. Ibu, luka Kakang sangat berbahaya. Kakang Paksi akan dapat menjadi pingsan”

“Ya, ya, manis” sahut ibunya. “Marilah Paksi, aku obati luka-lukamu”

Paksi tidak menjawab. Ibunya itu pun kemudian beranjak pergi untuk mengambil air hangat.

“Lepaskan bajumu, Paksi” desis ibunya kemudian.

Paksi tidak menolak ketika ibunya kemudian mencuci luka-lukanya dengan air hangat. Namun ibunya itu pun kemudian berkata kepada anak gadis kecilnya, “Tinggalkan kakakmu, Nduk. Tidak baik kau melihat luka-luka yang di tubuh kakakmu”

“Aku akan membantu Ibu membersihkan luka-luka Kakang Paksi, Ibu”

Ibunya memaksa bibirnya untuk tersenyum sambil berkata, “Tidak, Nduk. Tinggalkan kakakmu bersama ibu”

Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun meninggalkan serambi itu, masuk ke ruang dalam. Setelah menutup pintu, maka ibunya mulai membersihkan lagi luka Paksi. Namun Paksi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya itu pun mendesaknya, “Ibu, aku ingin mendengar jawaban Ibu”

Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil membersihkan luka-luka Paksi, ibunya itu pun berkata, “Kau benar-benar ingin mendengarnya, Paksi?”

“Ya, Ibu. Apa pun bunyinya, aku ingin mendengarnya”

Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun dari pelupuknya mulai menitik air matanya.

“Paksi” berkata ibunya kemudian. Suaranya bergetar di sela-sela isaknya yang mulai menekan dadanya. Bagaimanapun juga ibu Paksi itu berusaha, tetapi perempuan itu pun menangis. “Kau sudah dewasa, Paksi. Umurmu sudah melampaui tujuh belas. Karena itu, biarlah kau mendengar tentang dirimu yang sebenarnya”

Suara ibunya terputus oleh isaknya. Bahkan ibunya itu pun kemudian duduk di sebelah Paksi. Tangannya tidak lagi kuasa bergerak membersihkan luka-luka di tubuh anak laki-lakinya itu.

Paksi tidak mendesaknya. Hatinya mulai luluh mendengar tangis ibunya. Perlahan-lahan di sela-sela isaknya ibunya itu pun berceritera tentang dirinya sendiri di masa gadisnya.

“Laki-laki itu baik sekali, Paksi” berkata ibunya.

“Jika laki-laki itu baik sekali, kenapa ia meninggalkan Ibu yang sudah menjadi hamil?”

Tangis ibunya semakin menekan dadanya. Dengan susah payah ibunya mencoba menahan agar tangisnya itu tidak meledak.

“Ibumu ini hampir saja dibunuh oleh kakekmu pada waktu itu. Aku sudah mencemarkan nama baik keluargaku”

“Kenapa laki-laki itu pergi meninggalkan Ibu?”

“Ia tidak sengaja pergi meninggalkan Ibu, Ngger. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Tiba-tiba saja ia mendapat tugas untuk membasmi sekelompok perampok yang sangat ganas. Duapuluh lima orang yang berangkat. Hanya lima belas orang yang kembali. Delapan orang diketemukan mayatnya, tetapi dua orang dinyatakan hilang, karena tubuhnya tidak diketemukan. Di antara kelima belas orang yang kembali itu pun ada yang terluka bahkan parah”

“Laki-laki itu termasuk yang tidak diketemukan?”

“Ya. Aku tidak yakin bahwa ia meninggal. Tetapi laki-laki itu memang tidak kembali”

“Kenapa laki-laki itu tidak kembali, Ibu?”

Ibunya menggelengkan kepalanya.

“Seandainya ia memang tidak mati, ia sengaja menghilang dari pasukannya agar ia tidak harus bertanggung jawab atas perbuatannya” desak Paksi.

“Tidak. Itu tidak benar”

“Jadi?”

“Ia bukan seorang pengecut. Ia seorang laki-laki sejati. Pada suatu saat, iblis memang berhasil mencengkam jiwa kami, sehingga yang terkutuk itu telah terjadi. Tetapi ia tentu tidak lari. Jika ia tidak kembali, tentu ada sebabnya. Dan akhirnya, aku pun tahu apa sebabnya”

“Apa sebabnya, Ibu?”

Tangis ibunya mereda. Ditatapnya mata Paksi sehingga anak muda itu justru memalingkan wajahnya.

“Paksi, laki-laki itu terluka parah. Bersama seorang kawannya ia memang terpisah. Tetapi keduanya justru berhasil memasuki sarang perampok itu. Meskipun lawannya terlalu banyak, namun keduanya berhasil menghancurkan sarang itu. Membunuh beberapa orang di antara mereka, sedangkan yang lain berlari bercerai-berai. Ada di antara para perampok itu yang kemudian ternyata jatuh ke tangan para prajurit. Tetapi kedua orang itu terluka parah. Pada saat terakhir, keduanya terjerumus ke dalam jurang yang dalam. Itulah sebabnya, keduanya tidak dapat diketemukan oleh kawan-kawannya”

“Darimana Ibu tahu?”

“Kedua prajurit yang akhirnya berhasil menyelamatkan dirinya, keduanya dirawat oleh orang padukuhan di bawah jurang yang dalam itu sehingga keduanya sembuh. Tetapi untuk itu, dibutuhkan waktu yang panjang. Sementara itu, aku tidak dapat lagi menyembunyikan keadaanku”

“Laki-laki itu datang menemui Ibu?”

“Ya. Kedua laki-laki itu datang menemui ibu. Tetapi sudah terlambat. Ibu sudah melahirkan seorang anak laki-laki”

“Tanpa ayah?”

“Ayahnya adalah Ki Rangga Sarpa Biwada”

“Bagaimana itu terjadi?”

“Kakekmu juga seorang prajurit. Seorang prajurit muda telah bersedia menikahi aku dengan syarat, bahwa segala warisan kakekmu akan jatuh ke tangannya”

“Prajurit muda itu Ki Rangga Sarpa Biwada?”

“Ya. Tetapi ia belum rangga waktu itu”

“Jadi apa yang dikatakan adikku itu benar?”

Ibu Paksi itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun akhirnya tangisannya tidak terbendung lagi.

“Inilah ibumu, Paksi. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi aku sadar, bahwa pada suatu saat kau tentu akan mengetahuinya juga. Apalagi saat ini sikapmu terhadap Pajang yang bertentangan dengan sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, sehingga kau dan Ki Tumenggung tidak akan dapat hidup bersama-sama lagi dalam satu keutuhan keluarga. Ki Tumenggung itu nampaknya benar-benar ingin membunuhmu”

“Ya. Aku merasakannya”

“Bahkan sejak belum pecah persoalan Harya Wisaka”

“Ayah memang telah mengusirku dengan tugas yang tidak masuk akal itu”

“Ayahmu merasa cemas, bahwa pada suatu saat, kau akan menuntut hakmu. Rumah ini dan segala isinya adalah milik kakekmu”

“Aku tidak pernah berpikir tentang warisan”

“Aku percaya. Tetapi Ki Tumenggung tidak mempercayaimu. Bahkan kau menjadi duri di dalam dagingnya. Karena itu, kau harus diungkit dan disingkirkan jauh-jauh”

“Jika saja aku tahu”

“Paksi” suara ibunya meninggi, “aku minta maaf kepadamu. Selama ini aku berusaha mengelabuhimu, seolah-olah aku adalah seorang ibu yang baik. Tetapi sekarang kau melihat kenyataanku. Aku memang bukan seorang bidadari yang hatinya selembut dan seputih kapas”

“Cukup, Ibu” Paksi pun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang. Dipandanginya wajah ibunya dengan tajamnya. Dengan suara yang memberat Paksi pun bertanya, “Siapakah laki-laki itu?”

Isak ibunya menjadi semakin menyesakkan dada. Namun ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya, Paksi. Laki-laki itu tidak ada lagi di Pajang”

“Dimana?”

“Aku tidak tahu”

Paksi menggeram. Namun tiba-tiba saja tubuhnya menjadi sangat lemah. Paksi pun kemudian terduduk di amben itu pula. Tubuhnya bagaikan tidak bertulang lagi.

“Paksi” desis ibu Paksi itu sambil mengusap kedua pipi anaknya.

“Aku tidak apa-apa, Ibu. Tetapi kenyataan ini terasa sangat pahit bagiku”

“Aku mengerti, Paksi. Maafkan ibumu ini. Aku telah menyembunyikan dosa ini hampir selama dua puluh tahun”

Paksi tidak menjawab.

“Selama ini aku selalu berpura-pura bersih. Di hadapanmu aku bersikap seakan-akan seorang ibu yang baik, yang lembut dan tidak bersalah. Aku menjadi seolah-olah ibu yang arif yang mencintai dan mengabdikan hidupnya bagi keluarganya. Tetapi kau sekarang mengetahui, Paksi, bahwa semua itu adalah pura-pura belaka. Tidak ada yang bersih. Tidak ada yang tidak bernoda. Tidak ada pula yang arif”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun ketika terdengar giginya gemeretak, maka darahnya mulai mengalir lagi dari luka-lukanya.

“Paksi, usahakan tenangkan hatimu. Gejolak jantungmu dapat menekan darahmu keluar dari luka-lukanya”

Paksi masih tetap berdiam diri. Sementara ibunya mulai lagi mencuci luka-luka di tubuh Paksi.

“Kau membawa obat untuk luka-lukamu?”

Paksi tidak menjawab. Tetapi diambilnya sebuah kantong kecil di kantong ikat pinggangnya yang lebar.

Ibunya tidak bertanya lagi. Ia mengerti bagaimana menggunakan obat yang berupa serbuk yang tidak begitu lembut itu.

Ketika bubuk ramuan obat untuk luka baru itu ditaburkan di luka-luka Paksi, maka Paksi pun harus mengatupkan giginya rapat-rapat. Luka-lukanya terasa sangat pedih.

Tetapi Paksi sudah tahu, bahwa akibat sentuhan obat itu, luka-lukanya tentu akan terasa pedih dan panas, bahkan seperti tersentuh bara. Namun dalam pada itu, selagi luka-luka Paksi sedang diobati, pintu serambi samping yang ditutup itu diketuk perlahan-lahan.

“Ibu, Ibu” suara adik perempuan Paksi.

“Apa, Nduk?”

“Ada dua orang tamu, Ibu. Rasa-rasanya aku mengenal mereka berdua. Kawan Kakang Paksi”

Paksi pun segera bangkit. Dikenakannya baju dan disambarnya tongkatnya.

“Hati-hati, Paksi”

Paksi dan ibunya pun kemudian pergi ke pintu pringgitan yang sedikit terbuka. Ketika adik perempuan Paksi masuk ke dalam, pintu itu tidak ditutupnya dengan rapat.

Jantung Paksi berdesir. Dari celah-celah pintu itu ia melihat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri di depan tangga pendapa. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Paksi pun keluar lewat pintu yang sedikit terbuka itu.

“Marilah, Pangeran. Marilah, Raden” Paksi mempersilahkan.

Ibunya, yang matanya masih pengab, telah menyusul Paksi dan mempersilahkan pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk naik.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa terkejut melihat keadaan Paksi. Baju yang dipakai Paksi dengan tergesa-gesa itu adalah bajunya yang bernoda darah. Karena itu, dengan tergesa-gesa keduanya mendekati Paksi.

Dengan serta-merta Pangeran Benawa pun bertanya, “Kau kenapa, Paksi?”

“Silahkan duduk, Pangeran. Silahkan duduk, Raden”

Keduanya pun kemudian duduk di pringgitan. Sementara ibu Paksi itu pun berkata, “Silahkan, Raden. Aku mohon diri ke belakang. Silahkan, Pangeran”

“Silahkan, Bibi. Tetapi Bibi tidak usah menjadi sibuk karena kedatangan kami”

“Tidak, Pangeran. Tidak”

Demikian ibu Paksi itu hilang di balik pintu pringgitan, maka Pangeran Benawa pun mengulangi pertanyaannya, “Kau kenapa, Paksi?”

Sebelum Paksi menjawab, Raden Sutawijaya pun berkata, “Kami menjadi sangat cemas, bahwa kau tidak datang pada waktunya. Ketika kami menelusuri jalan yang mungkin kau lalui, kami mendapat keterangan bahwa telah terjadi pertempuran antara beberapa orang yang tidak dikenal. Di antara mereka adalah seorang penjual gerabah yang kuda serta dagangannya diketemukan. Tetapi penjual gerabahnya tidak ada di sekitar tempat itu. Yang mereka ketemukan hanyalah tiga sosok mayat”

“Yang Maha Agung masih melindungi hamba” berkata Paksi, “tetapi hamba terluka”

“Kaukah yang membunuh ketiga orang itu?” bertanya Pangeran Benawa.

Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, “Hamba tidak mempunyai pilihan lain”

“Kau memang tidak mempunyai pilihan lain, Paksi. Nampaknya kau terluka cukup parah” berkata Raden Sutawijaya.

“Itulah sebabnya aku tidak kembali ke tempat yang kita tentukan. Aku tidak akan dapat menghindari perhatian orang kepadaku. Baju yang berbercak darah, tubuh yang lemah dan seluruh keadaanku yang nampak parah. Tetapi aku dapat menyelinap lewat lorong-lorong sempit mencapai rumah ini. Baru kemudian aku akan pergi menemui Raden dan Pangeran Benawa”

Pangeran Benawa pun kemudian sempat melihat luka-luka Paksi yang sudah diobati oleh ibunya. Namun masih jelas, betapa parahnya luka-luka di tubuh Paksi.

Namun sebenarnyalah bahwa pedih luka di tubuh Paksi itu tidak sepedih luka di hati Paksi. Tetapi Paksi tidak mengatakannya kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya seutuhnya. Paksi pun kemudian hanya menceriterakan, bahwa ia telah bertemu dengan tiga orang pengikut ayahnya yang tentu pengikut Harya Wisaka pula.

“Mereka dapat mengenali aku” berkata Paksi.

“Ternyata kau mampu mengatasinya”

“Yang Maha Agung masih melindungi aku”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian Pangeran Benawa itu pun bertanya, “Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Apakah kita akan kembali ke barak?”

Paksi tidak segera menjawab. Wajahnya membayangkan keragu-raguan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali. Sedangkan jika mereka kembali ke barak, mereka harus berjalan kaki.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun berkata, “Menurut pendapatku, kita bermalam saja di rumahku. Biarlah beberapa orang prajurit pergi ke padepokan, memberitahukan bahwa kita bermalam di kotaraja, agar seisi padepokan tidak menjadi gelisah menunggu. Nampaknya kau masih perlu beristirahat”

“Aku dapat bermalam disini” berkata Paksi.

“Kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa para pengikut Harya Wisaka masih berkeliaran. Jika kau bermalam disini, kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Kecuali jika ayah mengirimkan sekelompok petugas untuk mengawasi langsung rumah ini”

Paksi menarik nafas panjang. Tentu ia tidak ingin menyibukkan beberapa orang prajurit untuk menjaganya. Sementara itu, tubuhnya masih terasa sangat lemah.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Baiklah, Raden. Aku akan mengikuti Raden”

Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak tergesa-gesa. Mereka masih berada di rumah Paksi itu untuk beberapa lama. Sementara itu adik perempuan Paksi menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan bagi tamu-tamu Paksi itu.

“Biarlah aku berganti pakaian agar tidak menarik perhatian orang di sepanjang jalan” berkata paksi kemudian.

Setelah mempersilahkan tamunya minum dan makan makanan yang dihidangkan maka Paksi pun masuk ke ruang dalam. Kepada ibunya Paksi minta pakaian yang bersih untuk dipakainya.

“Kau akan kemana, Paksi?” bertanya ibunya.

“Aku akan pergi ke rumah Raden Sutawijaya”

“Kau akan bermalam disana?”

“Ya. Besok aku akan kembali ke padepokan”

“Kapan kau datang lagi menemui ibu?”

Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan

  1. duh makin seru, tapi kenapa harus selalu menunggu…..

    he he he ….
    kenapa tidak sabar….

  2. Ikut menunggu…matur suwun..

Tinggalkan komentar