ADBM-100


<<kembali | lanjut >>

TETAPI Agung Sedayu sudah bersiap menghadapinya. Dengan serta-merta, sebuah ledakan yang dahsyat telah mengejutkan kedua orang lawannya. Ledakan itu terdengar jauh lebih menggetarkan daripada ledakan-ledakan yang didengarnya sebelumnya.

Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu-lah yang kemudian menyerang lawannya dengan ujung cambuknya. Ledakan yang mengejutkan itu disusul pula oleh ledakan lain, yang langsung menyerang lawannya. Tetapi ternyata, ayah Gandu Demung itu masih sempat mengelak dengan meloncat jauh-jauh ke belakang.

Agung Sedayu tidak sempat mengejarnya. Serangan yang lain tiba-tiba saja telah menerkamnya. Itulah sebabnya, maka ia harus menghindarinya. Tetapi karena ia tidak mau mendapat serangan beruntun seperti yang pernah dilakukan oleh kedua orang itu, maka Agung Sedayu pun segera memutar cambuknya pula, dengan meledakkan senjatanya itu dengan dahsyatnya.

Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata bahwa kedua orang, ayah dan anak, itu mampu menempatkan diri sebagai lawan Agung Sedayu yang tangguh. Mereka dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Ayahnya yang meskipun sudah semakin tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing perlawanan. Sedang anaknya yang belum memiliki tingkat ilmu sedalam ayahnya, memiliki gairah dan kebuasan yang dapat memaksa Agung Sedayu untuk selalu memperhatikan tata geraknya yang kasar dan bahkan liar.

Menghadapi tata gerak lawannya yang kasar itu, setiap kali Agung Sedayu harus meloncat surut, untuk menempatkan dirinya pada jarak perlawanan yang sebaik-baiknya. Ia sekilas membayangkan betapa Swandaru mengalami kesulitan melawan Gandu Demung, yang bertempur pada jarak yang pendek, sehingga justru tidak mendapat kesempatan untuk mempergunakan ujung cambuknya.

Namun yang terjadi kemudian telah membuat Agung Sedayu memeras keringat. Ia harus bergerak dengan cepat dan kemudian berusaha membalas menyerang, agar ia tidak semata-mata menjadi sasaran kedua orang lawannya.

“Aku tidak dapat bertempur dengan cara ini terus-menerus,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, ketika ia menyadari bahwa pertempuran itu akan dapat berlangsung terlalu lama.

Karena itulah, maka Agung Sedayu harus mengambil keputusan untuk bertempur lebih keras lagi. Kedua orang lawannya bukannya orang-orang yang dapat dilawan dengan sekedar berhati-hati agar ujung cambuknya tidak membunuh mereka.

“Kematian tidak aku harapkan,” berkata Agung Sedayu, “tetapi aku pun tidak ingin mati di sini.”

Dengan demikian, maka tata gerak Agung Sedayu pun kemudian menjadi semakin keras dan cepat. Meskipun ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan, bahwa senjatanya akan membelah kulit lawannya dan bahkan membunuhnya, namun ia tidak mempunyai pilihan lain.

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing mulai mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Jika sebelumnya mereka masih mencoba menahan diri, agar mereka tidak kehabisan nafas dan menyerah karena kelelahan, maka mereka pun kemudian telah berkelahi tanpa pertimbangan lain, kecuali mengalahkan lawannya.

Cambuk Agung Sedayu menjadi semakin cepat berputaran dan semakin sering meledak. Demikian juga kedua lawannya pun bergerak semakin liar, bahkan seakan-akan mereka tidak lagi mempergunakan pertimbangan nalar. Tetapi karena mereka berasal dari sumber ilmu yang sama, dan setiap saat saling mengisi di dalam benturan-benturan kekerasan, maka nampaknya, dengan sendirinya mereka dapat menyesuaikan diri dan saling membantu.

Semakin lama semakin terasa oleh Agung Sedayu, bahwa melawan dua orang pemimpin gerombolan dari daerah di sekitar Gunung Tidar itu menjadi semakin berat. Masing-masing dari kedua orang itu selalu menyerang dari arah dan kesempatan yang berbeda, sehingga Agung Sedayu harus memeras segenap kemampuan dan tenaganya.

Kekasaran dan keliaran kedua orang lawannya itu, ternyata membuatnya berdebar-debar. Teriakan yang menghentak-hentak, serangan yang keras, dan kadang-kadang mendebarkan. Saudara Gandu Demung itu tidak saja menyerang dengan senjatanya, tetapi dalam keadaan tertentu kadang-kadang ia pun berusaha menyerang mata Agung Sedayu dengan melontarkan segenggam pasir.

Serangan-serangan yang demikian itu lambat laun ternyata telah membakar hati Agung Sedayu. Bagaimanapun juga banyaknya pertimbangan di dalam hatinya, namun semburan pasir, lemparan batu, dan teriakan-teriakan yang menggila, telah membuatnya menjadi benar-benar marah.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun bertempur semakin cepat pula. Cambuknya bagaikan putaran baling-baling di seputar tubuhnya. Ujungnya yang meledak-ledak dengan dahsyatnya mematuk kedua lawannya seperti lebah yang berputaran, terbang mengelilingi mereka dan sekali-sekali menukik dan menyengat tubuhnya.

Dalam pada itu, selagi pertempuran di hutan itu menjadi semakin seru, di Jati Anom, Untara mulai merasa jemu dengan tawanan-tawanannya yang sama sekali tidak dapat memberikan keterangan apa pun juga, selain tentang diri mereka sendiri. Bagaimanapun juga Untara berusaha, namun mereka tetap pada keterangan mereka yang sangat terbatas itu.

Hampir setiap orang yang disadap keterangannya menyebut nama Gandu Demung dan Pinang Aring. Tetapi pengenalan mereka terhadap kedua orang itu tidak lebih dari nama mereka dan hubungan di antara mereka.

“Gandu Demung adalah salah seorang kepercayaan Empu Pinang Aring,” jawab Bajang Garing ketika Untara menjadi semakin jengkel menghadapinya.

“Ya. Kau Sudah mengatakan seribu kali. Tetapi siapakah Empu Pinang Aring itu, he?”

Kiai Bajang Garing, yang tidak mempunyai perasaan takut di medan peperangan itu, mulai menjadi gemetar melihat sikap Untara yang garang. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Sudah aku katakan. Aku tidak mengenal Empu Pinang Aring. Ada semacam jalur pemisah antara kami dengan Pinang Aring. Pemisah itu adalah Gandu Demung, karena ia berdiri di antara Empu Pinang Aring dan gerombolan kami.”

Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang tidak akan dapat memaksa orang-orang yang berada di tangannya itu untuk mengatakan apa yang tidak mereka ketahui.

“Aku tidak memerlukan mereka lagi,” berkata Untara, “apalagi tawanan-tawanan yang ada di Sangkal Putung, yang pada suatu saat akan diserahkan kepada kita.”

Senapati pembantunya hanya dapat mengangguk-angguk saja.

“Kita harus mengirimkan petugas ke Sangkal Putung untuk mengurus tawanan-tawanan itu, agar tidak perlu dibawa ke Jati Anom.”

“Maksud, Ki Untara?”

“Kita akan segera membawa para tawanan langsung ke Pajang, untuk mendapatkan keputusan tentang diri mereka. Yang akan dihukum biarlah dihukum, sedang yang akan dibebaskan biarlah segera dibebaskan.”

“Jadi?”

“Kita kirim sepasukan prajurit untuk membawa tawanan itu langsung dari Sangkal Putung ke Pajang, sementara para tawanan yang ada di Jati Anom akan kita kirim pula bersama mereka.”

“Tetapi apakah tidak lebih baik jika kita menghubungi Ki Demang Sangkal Putung lebih dahulu? Mereka menyiapkan para tawanan untuk dibawa ke Jati Anom. Tetapi jika keputusan Ki Untara lain, bukankah sebaiknya Ki Demang diberitahukan juga?”

Untara mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kita akan memberitahukan saat kita akan membawa mereka ke Pajang. Besok kita akan menyiapkan sepasukan prajurit untuk melaksanakannya.”

“Jadi besok kita akan mengirim pasukan ke Pajang?”

“Ya. Sekaligus membawa para tawanan.”

Senapati pembantu Untara itu mengangguk-angguk. Keberangkatan iring-iringan pasukan itu tidak sebaiknya diketahui oleh banyak orang, karena akan dapat menimbulkan kemungkinan yang tidak baik. Jika kawan-kawan mereka mendengarnya, maka ada kemungkinan bahwa mereka akan mencegat di perjalanan.

“Sebuah iring-iringan yang panjang,” desis senapati pembantu Untara itu.

“Baiklah pengiriman itu dilakukan bertahap,” berkata Untara kemudian, “pada tingkat pertama, bawalah orang-orang terpenting. Baik yang ada di sini, maupun yang berada di Sangkal Putung. Mungkin kalian dapat mempergunakan pedati untuk mengurangi perhatian orang-orang di sepanjang jalan, meskipun perjalanan itu akan menjadi lama sekali.”

Para senapati pembantunya mengangguk-angguk.

“Nah, persoalan ini aku serahkan kepada Paman,” berkata Untara kepada seorang senapati bawahannya, yang sudah lebih tua daripadanya.

“Baiklah, Senapati,” jawab orang itu. “Aku akan mencoba melaksanakan sebaik-baiknya. Besok kami akan mulai dengan kelompok pertama.”

“Berangkatlah. Besok aku atau Paman Widura juga akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi dalam persoalan pribadi.”

Senapati-senapati pembantunya mengerti, bahwa Untara sedang diganggu oleh persoalan yang menyangkut adik laki-lakinya. Bahkan kadang-kadang Untara tidak dapat mencegah gejolak perasaannya sehingga orang-orang terdekat daripadanya, dimintainya pertimbangan tentang adiknya itu.

“Jika Paman Widura besok tidak dapat berangkat, aku akan berangkat menemuinya, meskipun aku sadar, bahwa aku tidak akan dapat berbicara sehalus Paman Widura,” berkata Untara. “Aku sudah cukup sabar menunggunya setelah perhelatan itu lampau.”

Senapati bawahannya yang lebih tua daripadanya itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Memang sulit untuk mengurus anak-anak muda sekarang ini. Tetapi sebaiknya Senapati tidak berbuat tergesa-gesa atas Anakmas Agung Sedayu. Yang perlu diperhatikan, bahwa mungkin ada perbedaan pendirian antara Anakmas Agung Sedayu dan Anakmas Untara.”

“Tetapi aku berhak, Paman. Aku berhak menunjukkan arah perkembangannya, sesuai dengan jalur jalan yang menurut pendapatku paling baik sekarang ini,” berkata Untara.

Perwira bawahannya itu hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Setelah memberikan pesan-pesan dan perintah terhadap bawahannya, yang akan pergi ke Sangkal Putung langsung menuju ke Pajang, Untara pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke Banyu Asri. Aku harus bertemu dengan Paman Widura sekarang, agar Paman Widura bersiap-siap untuk pergi ke Sangkal Putung besok.”

Perwira bawahannya itu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menjalankan perintah sebaik-baiknya. Aku akan mengumpulkan beberapa orang yang akan ikut bersamaku besok, dan akan memilih tawanan yang akan aku bawa lebih dahulu.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Berhati-hatilah. Sebaiknya orang-orang yang boleh mengerti hal itu terbatas sekali, agar berita tentang keberangkatan Paman tidak meluas sampai ke telinga orang-orang yang tidak kita kehendaki.”

Ketika senapati bawahannya itu mulai bersiap-siap melakukan tugasnya, maka Untara pun menjumpai isterinya untuk menyampaikan maksudnya menjumpai Widura di Banyu Asri.

Sejenak kemudian, Untara pun telah bersiap. Kemudian bersama dua orang pengawalnya, ia pun menyiapkan kudanya di halaman.

“Apakah Ki Untara akan pergi sekarang?” bertanya seorang senapati yang bertugas berjaga-jaga saat itu.

“Ya. Aku akan pergi ke Banyu Asri. Jika ada sesuatu yang penting, hubungilah aku di rumah Paman Widura.”

“Baik. Tetapi nampaknya tidak ada sesuatu yang menarik perhatian hari ini. Para peronda pun tidak melihat sesuatu yang pantas diperhatikan melampaui pengawasan sewajarnya.”

“Tetapi berhati-hatilah. Keadaan masih selalu berubah. Dan perubahan itu cepat sekali berlangsung, karena persoalannya menyangkut kekuatan-kekuatan yang berasal dari tempat yang cukup jauh. Kita sudah berhasil membersihkan gerombolan-gerombolan kecil di lereng Merapi ini, tetapi gerombolan-gerombolan lain berdatangan dari tempat yang berada di luar pengawasanku.”

“Ya. Semuanya akan mendapat perhatian sebaik-baiknya.”

Untara pun kemudian meninggalkan para penjaga di halaman rumahnya, yang masih saja dipergunakan oleh para prajurit yang berada di Jati Anom di samping banjar kademangan dan tempat-tempat yang lain, meskipun keluarganya sendiri pun ada di rumah itu pula.

Ketika Widura melihat Untara memasuki regol halamannya, ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa persoalan Agung Sedayu baginya merupakan persoalan yang harus diselesaikannya sampai selesai. Tetapi sikap Untara yang kurang sabar itu selalu membuatnya berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang kegelisahannya itu terasa di dalam tidurnya yang kurang nyenyak, seolah-olah ia selalu diburu oleh persoalan itu setiap saat.

Namun Widura tidak dapat menghindar lagi. Sejenak setelah Untara duduk, maka ia pun langsung menyampaikan persoalannya kepada pamannya.

“Besok aku minta Paman dapat pergi ke Sangkal Putung. Aku menyadari, bahwa aku sendiri mungkin akan menimbulkan salah paham jika langsung menyampaikan persoalan ini ke Sangkal Putung. Salah paham dengan Ki Demang, dengan keluarganya, tetapi mungkin juga dengan Agung Sedayu sendiri dan gurunya.”

Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Untara. Aku mengerti meskipun aku sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari kesalah-pahaman itu.”

“Jadi, Paman besok dapat berangkat?”

“Aku akan pergi.”

Untara pun mengatakan bahwa beberapa orang prajurit akan pergi ke Pajang dan akan singgah di Sangkal Putung, untuk mengambil beberapa orang tawanan yang akan diserahkan oleh Ki Demang. Tetapi tawanan itu akan langsung dibawa ke Pajang.

“Paman tentu akan datang lebih dahulu, karena para prajurit akan membawa dua buah pedati.”

“Para tawanan akan dibawa dengan pedati?”

“Mereka harus terikat, karena mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Jika mereka berada di atas punggung kuda, maka kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi. Lebih besar daripada jika mereka berada dalam pedati dengan tangan terikat.”

Widura menarik nafas sambil mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara memang harus berhati-hati dengan tawanan-tawanannya, karena langsung tidak langsung tawanan-tawanan itu dihubungkan dengan nama seorang yang belum dapat dijajagi, Empu Pinang Aring.

Namun dalam pada itu, selagi mereka masih sibuk berbincang, seorang prajurit dengan tergesa-gesa telah memasuki regol halaman rumah Ki Widura. Dengan tergesa-gesa pula ia menjumpai kedua orang pengawal yang berada di pendapa.

“Bukankah Ki Untara ada di sini?”

“Ya. Ada di ruang dalam.”

“Aku akan menghadap.”

“Kenapa?”

“Ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan.”

“Ya. Yang penting itu tentang apa?”

“Tentang adiknya, Agung Sedayu. “

Kedua orang yang ada di pendapa itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka pun kemudian bertanya, “Apakah kau akan menyampaikannya sendiri, atau kau akan berpesan saja kepada kami?”

“Jika diperkenankan, aku akan menghadap.”

Salah seorang dari kedua pengawal itu pun segera menyampaikannya kepada Untara, bahwa seorang prajurit ingin menghadap untuk menyampaikan berita tentang Agung Sedayu.

Dengan tergesa-gesa Untara dan Widura pun segera keluar. Dengan berdebar-debar mereka kemudian duduk di pendapa, menerima prajurit yang menyusulnya itu.

“Kau bertemu dengan Agung Sedayu?”

“Empat orang peronda yang sedang nganglang telah menemukannya, Agung Sedayu hampir pingsan di punggung kuda.”

“Kenapa?”

“Kita masih belum dapat bertanya terlalu banyak. Kini Agung Sedayu telah berada di rumah. Tubuhnya penuh dengan luka-luka.”

Darah Untara tersirap. Sambil memandang pamannya ia berdesis, “Aku akan pulang, Paman.”

“Aku ikut bersamamu.”

Sejenak kemudian, keduanya telah berpacu diiringi oleh para pengawal menuju ke rumah Untara di Jati Anom.

Dengan dada yang berdebaran Untara kemudian memasuki bilik tempat Agung Sedayu dibaringkan. Dilihatnya adiknya terbujur diam dengan mata terpejam.

“Apakah ia pingsan?”

Isteri Untara dan seorang perwira yang menjaganya menganggukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam perwira itu berkata, “Lukanya cukup parah.”

“Siapakah yang melukainya?”

Perwira itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Kami belum mengetahuinya, karena kami belum berhasil bertanya kepadanya.”

“Apakah lukanya sudah diobati?”

“Sudah. Lukanya sudah diobati tabib keprajuritan, yang melihat luka-luka itu mengatakan bahwa meskipun lukanya berat, tetapi mudah-mudahan tidak membahayakan jiwanya.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil duduk di pembaringan adiknya, ia memandangi wajah Agung Sedayu yang pucat.

Sekilas teringat olehnya, saat-saat ia menunaikan tugas yang berat ke Sangkal Putung menemui pamannya, Widura, untuk mengambil alih pimpinan di Sangkal Putung. Dalam perjalanan sandinya, ia hanya ditemani oleh adiknya. Hampir saja ia terbunuh di perjalanan. Tanpa Agung Sedayu saat itu, mungkin keadaan Sangkal Putung akan berbeda. Meskipun Agung Sedayu masih selalu dibayangi oleh perasaan takut, namun ia berhasil menyampaikan berita tentang rencana Tohpati kepada Widura, sehingga Sangkal Putung dapat diselamatkan.

Dengan ragu-ragu, Untara pun kemudian meraba kening Agung Sedayu. Terasa kening itu agak panas.

“Panggillah tabib itu,” berkata Untara kepada perwira yang menunggui Agung Sedayu itu.

Sejenak kemudian, tabib yang telah memberikan obat kepada Agung Sedayu itu pun telah datang dan memberikan beberapa keterangan tentang luka-luka Agung Sedayu.

“Ia diketemukan oleh empat orang peronda di atas punggung kudanya dalam perjalanan ke Jati Anom. Saat itu ia masih sadar. Tetapi ia tidak sempat mengatakan sesuatu tentang keadaannya itu. Keadaannya sangat lemah dan hampir tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu. Untunglah keempat prajurit peronda itu menemukannya dan membawanya ke Jati Anom. Dua orang dari para peronda itu telah mengenalnya,” jawab tabib itu. Lalu, “Tetapi mudah-mudahan lukanya tidak berbahaya bagi jiwanya, meskipun agak parah.”

Untara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Siapakah yang telah melukainya?”

Tidak seorang pun dapat menjawab.

Perlahan-lahan Untara pun meraba tubuh Agung Sedayu pada lambungnya. Ia ingin mengetahui apakah senjata Agung Sedayu yang aneh, yang biasanya membelit pinggangnya itu masih ada.

Tetapi tabib yang mengobati Agung Sedayu itu seolah-olah mengerti apa yang sedang dicari oleh Untara. Katanya, “Aku telah mengambil senjatanya. Sekarang senjata itu disimpan oleh perwira yang telah menerima Agung Sedayu.”

Untara mengangguk-angguk. Jika senjata itu masih ada, berarti bahwa Agung Sedayu sampai saat terakhir masih mungkin memberikan perlawanan.

“Tetapi kenapa keadaannya sampai demikian parahnya?” pertanyaan itu telah membakar hatinya.

Untara hampir tidak sabar menunggu Agung Sedayu sadar sepenuhnya. Seakan-akan ia ingin mengguncangkannya dan bertanya siapakah yang telah melukainya.

“Apakah orang itu tidak mengerti, bahwa Agung Sedayu adalah adikku?” katanya di dalam hati. Betapapun juga ia sering dijengkelkan oleh adiknya itu, namun ia sama sekali tidak rela melihat adiknya telah dilukai dengan parah, meskipun masih mungkin disembuhkan.

Beberapa kali isteri Untara mengusap dahi Agung Sedayu dengan air jeruk pecel, sehingga lambat laun, panas tubuhnya menjadi semakin menurun.

Baru sejenak kemudian, perlahan-lahan Agung Sedayu membuka matanya. Keningnya berkerut ketika lamat-lamat baru ia melihat bayangan wajah kakaknya dan pamannya yang semakin lama semakin jelas.

“Aku benar-benar telah melihatnya,” katanya di dalam hati, “Tentu bukan sekedar bayangan. Tetapi benar-benar Kakang Untara dan Paman Widura ada di sini.”

Widura menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu mulai bergerak. Sambil meraba tangannya Widura bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Sedayu? Sudah bertambah baik?”

Agung Sedayu memandang pamannya sejenak. Kemudian mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa sakit.

“Bagaimana dengan luka-lukaku?” Agung Sedayu berdesis.

“Tidak berbahaya,” jawab Untara, “Kau akan segera sembuh.”

Agung Sedayu berdesah. Ketika ia mencoba menggerakkan tangan kirinya, ia menyeringai menahan sakit.

“Tidur sajalah sebaik-baiknya,” berkata Untara, “kau akan segera sembuh.”

Agung Sedayu mengangguk kecil.

“Apakah kau dapat mengingat apa yang telah terjadi?” bertanya Untara kemudian.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Kesadarannya, yang mulai pulih kembali telah berhasil menyelusuri peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi atas dirinya.

“Jika keadaanmu memungkinkan,” berkata Untara kemudian, “cobalah. Katakan, apa yang terjadi supaya aku tidak terlambat mengambil sikap.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya menjelaskan ingatannya pada peristiwa yang dialaminya, sejak ia meninggalkan Sangkal Putung.

Dengan suara yang tertahan-tahan, Agung Sedayu pun menceriterakan seluruh perjalanannya. Seakan-akan setiap langkah kakinya disebutkannya.

“Jadi kau bertemu dengan saudara laki-laki orang yang bernama Gandu Demung itu?” bertanya Untara ketika Agung Sedayu menceritakan tentang seorang laki-laki di hutan, di ujung Kademangan Sangkal Putung.

“Ya.”

Untara mengangguk-angguk. Ia mendengarkan kelanjutan ceritera Agung Sedayu, bagaimana ia harus terlibat dalam perkelahian dengan orang itu. Dan bahkan kemudian telah muncul seseorang lagi yang ternyata adalah ayah Gandu Demung.

“Aku harus melawan keduanya. Mereka adalah pemimpin gerombolan penjahat di daerah sekitar Gunung Tidar, seperti yang dikatakan oleh para tawanan,” desis AgungSedayu.

Untara mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Kerut di keningnya menjadi semakin dalam, ketika ia mendengarkan bagaimana Agung Sedayu harus memeras semua kemampuannya untuk melawan kedua orang itu bersama-sama.

“Keduanya merupakan pasangan yang mantap, sehingga aku mengalami kesulitan. Itulah sebabnya aku tidak berhasil bertahan tanpa mengorbankan beberapa bagian dari tubuhku. Serangan-serangan mereka kadang-kadang tidak dapat lagi aku hindarkan.”

“Kau tidak dapat mengalahkan mereka dan terpaksa menghindar?” bertanya Untara.

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak menghindarkan diri. Aku bertahan dan menyelesaikan pertempuran itu, meskipun aku menjadi luka parah.”

“Bagaimana dengan keduanya?” bertanya Untara. Agung Sedayu terdiam sejenak. Kemudian jawabnya, dengan tatapan mata yang murung, “Sebenarnya aku tidak sengaja membunuh mereka. Aku hanya mempertahankan diri.”

“Keduanya terbunuh?” bertanya Widura dengan serta-merta.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas nampak wajahnya menegang menahan sakit.

“Jika keduanya tetap hidup, mungkin beberapa hal akan dapat diungkapkan. Tetapi kematian itu sama sekali tidak aku kehendaki. Kedua orang ayah dan anak itu telah mati. Gandu Demung sendiri sudah mati pula.”

“Seorang saudaranya menjadi tawanan kami,” berkata Widura.

Wajah Agung Sedayu sekilas menjadi terang. Katanya, “Jadi mereka tidak tertumpas habis?”

“Kenapa kau bertanya begitu?” bertanya Untara.

Agung Sedayu memandang kakaknya sejenak. Kemudian sesaat ditatapnya wajah pamannya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan kakaknya.

“Kau melakukan sesuatu yang paling tepat. Meskipun masih ada yang harus diperbaiki. Aku tahu, bahwa kau ragu-ragu untuk membunuh keduanya. Itulah sebabnya maka kau terluka parah. Keragu-raguanmulah yang nyaris membunuh dirimu sendiri.”

Agung Sedayu tidak menjawab.

“Seharusnya sejak semula kau sudah mengambil keputusan, bahwa kau harus membinasakan musuh-musuhmu. Jika kau berhasil menangkap hidup-hidup itu akan lebih baik. Tanpa keragu-raguan, sehingga kau tidak usah mengorbankan dirimu sendiri. Dan ini adalah kelemahanmu. Kelemahanmu yang paling buruk.”

“Untara,” desis Widura, “tentu ia mempunyai alasan kenapa ia berbuat demikian.”

“Kelemahannya itulah alasan yang paling tepat baginya. Dan itulah yang harus disingkirkan.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu, seolah-olah tidak menghiraukan kata-kata Untara, “Jadi kau sudah membunuh mereka?”

“Ya, Paman.”

“Setelah ia sendiri hampir terbunuh,” potong Untara. Tetapi Widura yang seolah-olah tidak mendengarkan pula bertanya kepada Agung Sedayu, “Tetapi bagaimanapun kau dapat sampai di sini?”

“Ketika aku meninggalkan hutan itu, aku masih merasa bahwa aku akan dapat meneruskan perjalanan sampai ke Jati Anom. Apalagi setelah aku mencoba mengobati luka-lukaku sejauh dapat aku lakukan. Karena itu aku tidak kembali ke Sangkal Putung meskipun masih belum terlampau jauh. Tetapi agaknya ketahanan tubuhku tidak memungkinkannya.”

Widura mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat gambaran apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu. Ternyata ia telah terlibat dalam pertempuran yang sangat dahsyat.

“Kau tidak berhasil mengatasi kesulitan akibat luka-lukamu,” berkata Untara kemudian, “kau pingsan dan diketemukan oleh para peronda.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mencoba bertahan di atas punggung kuda. Tetapi kesadaranku memang sudah semakin lemah. Aku masih mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang terjadi kemudian.”

“Untunglah bahwa kau jatuh ke tangan para prajurit Pajang. Apalagi ada di antara mereka yang sudah mengenalmu, sehingga kau dapat langsung dibawa kemari.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Ia mencoba membayangkan perkelahian yang telah terjadi di hutan itu. Ketika ia harus bertempur melawan kedua orang pemimpin penjahat dari Gunung Tidar.

“Agaknya Kakang Untara benar,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya, “aku selalu dibayangi oleh keragu-raguan.”

Sebenarnyalah Agung Sedayu memang ragu-ragu. Ia semula tidak ingin membunuh kedua orang lawannya. Selain karena ia memerlukan mereka hidup-hidup, agar mereka dapat menceriterakan lebih banyak tentang Gandu Demung, juga karena Agung Sedayu mengerti, bahwa Gandu Demung sudah terbunuh. Jika keduanya terbunuh pula, maka keluarga itu akan terlalu banyak kehilangan.

Tetapi ternyata kedua orang itu bertempur seperti badai, yang dengan dahsyatnya menempuhnya dari segala penjuru. Kebuasan dan keliaran mereka telah berhasil mulai menitikkan darah Agung Sedayu, sehingga anak muda itu menjadi kehilangan pengekangan diri.

Semakin banyak luka yang tergores di tubuhnya, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin garang, sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak lagi mempunyai pilihan. Ia masih terlalu muda untuk mati. Karena itulah, maka tidak ada yang dapat dilakukannya untuk menyelamatkan dirinya, selain membinasakan kedua lawannya itu.

Tetapi, ketika cambuknya berhasil merenggut jiwa kedua lawannya, luka-luka di tubuhnya telah menjadi semakin parah.

“Sudahlah, Agung Sedayu,” berkata Widura kemudian, “yang terjadi sudah terjadi. Kau tidak perlu memikirkannya lagi. Apakah kau menyesal karena telah membunuh atau kau menyesal karena seakan-akan memberi kesempatan kepada lawanmu untuk melukaimu, atau perasaan apa saja, namun kini ternyata bahwa persoalannya sudah jelas. Dan kau telah selamat berada di antara kami di sini.”

Agung Sedayu mengangguk kecil, “Ya, Paman.”

“Nah, sekarang cobalah untuk tidur. Jika kau sudah beristirahat barang sejenak, maka kau akan menjadi semakin segar.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Untara yang berada di dalam bilik itu pun kemudian berkata, “Beristirahatlah. Kita akan berbicara besok, jika keadaanmu sudah semakin baik.”

Widura memandang kemanakannya sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia sudah mengenal Untara sejak kecil dengan sifat dan wataknya, seperti juga mengenal Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka mereka yang berada di dalam bilik itu pun melangkah ke luar. Widura pun telah berdiri pula di sisi pembaringan Agung Sedayu. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Beristirahatlah sebaik-baiknya. Kami akan mengurus mayat kedua orang yang kau tinggalkan. Bukankah sosok mayat itu masih belum diselenggarakan?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tinggalkan dalam keadaannya. Terbujur di tanah.”

“Tentu. Kau sendiri sudah terlalu lemah.”

Agung Sedayu menarik nafas.

Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, Agung Sedayu berbaring seorang diri. Ia sempat berangan-angan tentang dirinya. Ia sadar, bahwa kakaknya tentu sudah tidak sabar menungguinya. Dan kini ia datang dengan luka parah.

Sekilas ia membayangkan kembali pertempuran yang dahsyat itu. Hampir saja ia kehilangan kesempatan. Namun kemudian, tubuhnya serasa meremang ketika ia mulai membayangkan, bahwa tubuh-tubuh yang terbaring itu dapat dijamah oleh binatang buas yang berkeliaran di hutan itu. Meskipun hutan itu tidak begitu lebat, tetapi di dalamnya tersembunyi beberapa jenis harimau meskipun tidak terlalu besar, serigala dan anjing-anjing hutan.

Ketika sejenak kemudian ia mendengar kaki kuda berderap di halaman, maka ia pun berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan mereka adalah orang-orang yang akan mengurusi kedua sosok mayat itu.”

Ketika seseorang masuk ke dalam untuk meletakkan semangkuk minuman hangat, Agung Sedayu sempat bertanya, “Apakah sudah ada yang berangkat ke hutan di ujung Kademangan Sangkal Putung itu?”

“Sudah. Sepuluh orang.”

“Sepuluh orang?” Agung Sedayu mengulang.

“Ya, sepuluh orang. Mereka masih memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi, karena ternyata masih ada satu dua orang yang bertebaran di daerah ini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sendiri hampir saja diterkam oleh kesulitan yang tidak teratasi. Untunglah bahwa pada saat-saat yang gawat itu seolah-olah ia merasakan betapa lembutnya tangan yang Maha Kasih, yang telah menyelamatkannya.

“Tetapi apakah dengan demikian aku harus membunuh ayah dan anak itu sekaligus?” Pertanyaan itu masih selalu mengejarnya, meskipun setiap kali ia selalu berusaha mengatasi pertanyaan itu dengan jawaban, “Aku hanya membela diri. Aku terpaksa membunuh karena aku tidak mau mati muda.”

Hati Agung Sedayu masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Tetapi semuanya telah terjadi. Dan bahkan kakaknya telah menyalahkannya, bahwa ia adalah orang yang terlalu lemah.

Dalam pada itu, sepuluh orang tengah berpacu menuju ke hutan di ujung Kedemangan Sangkal Putung. Mereka mendapat tugas untuk menyelenggarakan kedua sosok mayat itu, sesuai dengan keadaan yang mungkin mereka lakukan.

Namun agaknya sepuluh orang prajurit berkuda itu telah menarik perhatian beberapa orang yang menyaksikan mereka di sepanjang jalan. Bukan saja orang-orang Kademangan Jati Anom sendiri, tetapi juga orang-orang Macanan, dan satu dua orang Sangkal Putung yang melihat mereka memasuki hutan itu.

“Apakah yang dilakukan oleh prajurit-prajurit itu di hutan?” bertanya salah seorang dari Sangkal Putung, yang kebetulan melihat mereka.

Yang lain menggelengkan kepalanya.

“Tentu ada sesuatu yang mereka lakukan.”

“Biar sajalah. Itu bukan urusan kita.”

“Tetapi hal itu terjadi di kademangan kita.”

“Hutan itu adalah hutan yang masih di tlatah Pajang. Biar sajalah prajurit-prajurit Pajang berburu di hutan itu.”

“Menurut dugaanku, mereka tentu tidak sekedar berburu.”

Orang-orang Sangkal Putung itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita melaporkannya kepada Ki Demang atau Ki Jagabaya?”

“Ya. Kita pergi ke rumah Jagabaya yang dari sini agak lebih dekat dari rumah Ki Demang.”

Orang-orang Sangkal Putung yang kebetulan melihat prajurit yang memasuki hutan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke padukuhan dan langsung menuju ke rumah Ki Jagabaya.

“Kami sedang menyusuri parit untuk melancarkan arus air,” berkata salah seorang dari orang-orang Sangkal Putung itu.

“Apakah mereka tidak memperhatikannya?”

“Mereka seolah-olah tidak memperhatikan apa pun juga. Mereka hanya berhenti sebentar mengamat-amati sisi hutan. Kemudian mereka langsung memasuki hutan itu.”

Ki Jagabaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan melihatnya.”

Bersama dua orang pengawal. Ki Jagabaya pun segera berpacu pula menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Sangkal Putung, yang kebetulan melihat para prajurit itu memasuki hutan.

Sementara itu, sepuluh orang prajurit Pajang itu pun telah menemukan ciri-ciri yang disebut oleh Agung Sedayu. Dengan teliti, mereka pun kemudian berusaha untuk menemukan kedua sosok mayat di arena perkelahian seperti yang dikatakannya.

Usaha yang mereka lakukan ternyata tidak banyak menemukan kesulitan. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka mereka pun segera menemukan bekas arena perkelahian itu.

Prajurit-prajurit itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika mereka melihat bekas perkelahian yang terjadi di hutan itu, antara Agung Sedayu dan kedua orang lawannya. Agaknya perkelahian itu benar-benar telah terjadi dengan dahsyatnya. Senjata-senjata mereka telah merampas dedaunan dan ranting-ranting di sekitar arena. Bahkan dahan-dahan kayu pun berpatahan oleh sentuhan pedang dan cambuk Agung Sedayu.

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka menemukan kedua sosok mayat, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, pada jarak beberapa langkah. Ternyata bahwa kemarahan Agung Sedayu telah meledak tanpa dapat dikendalikannya lagi.

Luka-luka kedua sosok mayat itu menunjukkan, betapa dahsyatnya kekuatan yang tersalur lewat ujung cambuk Agung Sedayu. Mungkin luka-luka Agung Sedayu yang telah mendorongnya untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga ujung cambuknya seolah-olah telah membelah kulit kedua lawannya silang-melintang.

 “Bukan main,” desis salah seorang prajurit.

“Adik Untara itu memang memiliki kemampuan raksasa. Agaknya ia sudah bertempur dengan segenap kemampuannya. Itu pun ia harus mengalami luka-luka berat. Kedua lawannya ini pun tentu orang-orang yang memiliki kemampuan.”

“Yang satu adalah saudara laki-laki orang yang bernama Gandu Demung, sedangkan yang lain adalah ayahnya,” berkata salah seorang dari prajurit-prajurit itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka telah mendengar serba sedikit tentang orang yang bernama Gandu Demung dari para tawanan. Sebagian dari mereka menggambarkan bahwa Gandu Demung adalah orang yang memiliki tenaga raksasa.

“Tetapi ia terbunuh oleh Swandaru,” desis salah seorang dari prajurit-prajurit itu.

“Dan kini, kedua orang itu telah berkelahi melawan Agung Sedayu,” desis yang lain.

Prajurit-prajurit itu masih saja merenungi bekas arena yang dahsyat itu. Mereka seolah ingin membayangkan, apakah yang sudah terjadi di tempat itu. Tanah yang bagaikan dibajak dan dedaunan yang gugur. Batang perdu yang berpatahan dan darah berceceran.

“Mengerikan sekali,” desis salah seorang dari prajurit itu.

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun melihat kedahsyatan yang sukar dibayangkan.

“Sudahlah,” berkata pemimpin kelompok kecil prajurit itu, “marilah, kita akan mengubur mayat-mayat itu.”

Yang lain pun seperti tersadar dari mimpi buruknya. Mereka pun segera mempersiapkan alat-alat mereka untuk mengubur mayat-mayat orang yang terbunuh oleh cambuk Agung Sedayu, dengan luka parah yang silang-melintang di tubuhnya.

Namun dalam pada itu, Ki Jagabaya pun sudah menjadi semakin dekat dengan tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang yang melihat prajurit-prajurit Pajang itu memasuki hutan.

Dalam pada itu, selagi para prajurit Pajang sibuk menggali dua buah liang kubur, mereka tertegun ketika mereka mendengar suara kuda meringkik di kejauhan.

“Siapakah yang datang?” desis salah seorang dari mereka.

Pemimpin sekelompok kecil prajurit itu pun meletakkan alat-alatnya dan berkata kepada prajurit-prajuritnya, “Berhati-hatilah. Kita tidak mengetahui, siapakah yang bakal datang.”

Sementara itu, Ki Jagabaya telah turun dari kudanya beberapa tonggak dari arena perkelahian itu. Dari jarak yang agak jauh, Ki Jagabaya sudah mendengar suara cangkul yang bersentuhan dengan alat-alat yang lain.

“Kita menuju ke arah yang benar. Bekas-bekas kaki kuda yang kita ikuti jejaknya, benar-benar jejak sekelompok prajurit itu. Aku sudah mendengar sesuatu.”

“Ya, Ki Jagabaya. Kita sudah dekat.”

Ki Jagabaya pun kemudian memerintahkan salah seorang dari pengawalnya untuk berhenti di tempatnya sambil berpesan, “Awasilah suasana. Jika terjadi sesuatu, cepat tinggalkan hutan ini dan beri kabar kepada para pengawal di padukuhan terdekat.”

“Baik, Ki Jagabaya.”

“Jika tidak ada sesuatu yang mencurigakan, aku akan memanggilmu.”

“Ya, Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya pun menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun maju mendekati bekas arena yang mengerikan itu. Arena yang berbeda dengan arena yang dipergunakan oleh para pengiring pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh, yang harus bertempur melawan anak buah Gandu Demung.

Sejenak kemudian, Ki Demang sudah melihat beberapa orang prajurit yang bersiaga menunggu kedatangannya.

Agaknya mereka cukup berhati-hati menghadapi segala kemungkinan.

Namun tiba-tiba saja ketika Ki Jagabaya muncul, salah seorang dari para prajurit itu berdesis, “Ki Jagabaya dari Sangkal Putung.”

Ki Jagabaya yang kemudian berdiri di hadapan para prajurit itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Aku Jagabaya dari Sangkal Putung.”

“Apakah Ki Jagabaya lupa kepadaku?” bertanya prajurit yang sudah mengenalnya.

Ki Jagabaya memandang prajurit itu. Kemudian jawabnya, “Tidak, tentu tidak, Ki Sanak. Aku mengenalmu sebaik-baiknya.”

Pemimpin prajurit itu pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah melihat Ki Jagabaya di Jati Anom.”

“Agaknya Ki Jagabaya-lah yang mendapat tugas dari Ki Demang, mengundang Ki Untara ketika Sangkal Putung mengadakan perhelatan perkawinan anak laki-lakinya.”

“Ya. Akulah yang saat itu datang ke Jati Anom.”

Pemimpin prajurit itu pun segera melangkah maju sambil tersenyum, “Aku sekarang sudah mengenalmu. Kau benar-benar Ki Jagabaya dari Sangkal Putung,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Marilah, Ki Jagabaya. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Jagabaya memerlukan datang pada saat ini.”

“Aku mendengar dari beberapa orang yang kebetulan melihat, ada beberapa orang prajurit Pajang yang memasuki hutan ini.”

“Benar. Kamilah yang dimaksudkan.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Kemudian dilihatnya dua sosok mayat yang masih tergolek di tempatnya.

“Mayat siapakah itu?” bertanya Ki Jagabaya.

Pemimpin prajurit itu pun kemudian mempersilahkan Ki Jagabaya untuk melihatnya. Katanya, “Apakah kau mengenal kedua sosok mayat itu?”

Ki Jagabaya maju beberapa langkah. Dengan ragu-ragu ia mengamat-amati kedua sosok mayat itu berganti-ganti. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Mengerikan sekali. Kematian yang pahit,” ia berhenti sejenak. Lalu dengan ragu-ragu ia berkata, “Tetapi menilik luka-lukanya, maka orang ini telah bertempur dengan salah seorang dari mereka yang bersenjata cambuk.”

“Tepat. Mereka adalah orang-orang yang telah salah memilih korban. Keduanya telah mencegat Angger Agung Sedayu.”

“Angger Sedayu?” Ki Jagabaya mengulangi. Pemimpin prajurit itu mengangguk.

“Bagaimana dengan Angger Agung Sedayu sekarang?”

Pemimpin prajurit itu menceriterakan serba sedikit tentang keadaan Agung Sedayu. Meskipun ia terluka parah, tetapi ia berhasil sampai ke Jati Anom, dengan pertolongan beberapa orang peronda yang kebetulan menjumpainya.

“Jadi, Angger Agung Sedayu telah terluka parah?” Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi tidak membahayakan jiwanya. Ia akan segera sembuh.”

Ki Jagabaya termangu-mangu. Lalu katanya, “Jarak ini jauh berbeda antara Sangkal Putung dan Jati Anom. Jika Angger Agung Sedayu terluka parah, maka ia tentu akan kembali ke Sangkal Putung.”

Pemimpin prajurit itu menyahut sambil mengangguk-angguk, “Seharusnya memang demikian, Ki Jagabaya. Tetapi agaknya Angger Agung Sedayu memilih arah yang lain. Ia sudah berniat ke Jati Anom. Dan ia sudah meninggalkan Sangkal Putung. Karena itu ia melanjutkan perjalanannya ke Jati Anom, dalam keadaan yang apa pun juga.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin. Memang mungkin bagi orang-orang seperti Angger Agung Sedayu. Tetapi agak lain jika yang melakukannya itu orang-orang kebanyakan.”

Pemimpin prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Nah, adalah perintah Ki Untara kepada kami untuk menguburkan mayat-mayat yang ditinggalkan oleh Angger Agung Sedayu di sini. Kami sedang mulai menggali lubang. Ki Untara menghendaki agar mayat-mayat itu tidak menjadi mangsa binatang buas di hutan ini.”

Ki Jagabaya terdiam sejenak merenungi mayat yang lukanya silang melintang. Sekilas terbayang kembali mayat-mayat yang telah dikuburkan oleh orang-orang Sangkal Putung, saat terjadinya pertempuran antara para pengiring sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh di ujung hutan itu pula.

“Ki Jagabaya,” bertanya pemimpin prajurit itu kemudian, “apakah Ki Jagabaya mempunyai pendapat yang dapat kami pertimbangkan tentang mayat-mayat ini?”

Ki Jagabaya menggeleng. Jawabnya, “Tidak, Ki Sanak. Silahkan mengubur mayat-mayat itu. Agaknya memang itulah yang harus dikerjakan. Kita tidak dibenarkan untuk menterlantarkan mayat siapa pun juga.”

Pemimpin prajurit itu pun kemudian memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan kerja mereka menggali lubang bagi kedua sosok mayat itu. Bahkan Ki Jagabaya pun telah memanggil orangnya, yang ditinggalkannya, untuk bersama-sama dengan pengawalnya yang lain membantu para prajurit menguburkan mayat-mayat itu.

Ketika kerja mereka selesai, maka Ki Jagabaya pun kemudian minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, melaporkan apa yang telah disaksikannya di hutan, tidak jauh dari arena pertempuran yang dahsyat beberapa saat yang lalu.

“Mungkin laporan ini akan sangat menarik perhatian,” berkata Ki Jagabaya, “terutama bagi Kiai Gringsing.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Ia pun mengenal Kiai Gringsing sebagai guru Agung Sedayu dan sekaligus seorang dukun yang pandai. Jika ia sempat melihat Agung Sedayu, maka ia tentu akan dapat mengobatinya, sehingga anak muda itu akan dapat sembuh lebih cepat lagi.

“Mungkin kehadiran Kiai Gringsing akan sangat berarti bagi Angger Agung Sedayu,” berkata pemimpin kelompok kecil prajurit Pajang di Jati Anom itu.

“Baiklah, aku akan menyampaikannya,” sahut Ki Jagabaya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Jagabaya pun telah berpacu meninggalkan hutan di ujung Kedemangan Sangkal Putung itu. Namun sejenak kemudian, para prajurit itu pun segera kembali pula ke Jati Anom.

Kedatangan Ki Jagabaya di Kademangan Sangkal Putung dengan beritanya tentang dua sosok mayat itu memang sangat menarik perhatian. Ki Demang, para bebahu, para tamunya dan Swandaru mendengarkan laporan itu dengan saksama.

“Jadi prajurit-prajurit itu langsung menguburkan mereka yang terbunuh itu?” bertanya Swandaru.

“Ya,” Jawab Ki Jagabaya.

“Kenapa mereka berbuat begitu?”

“Apa salahnya?” justru Ki Jagabaya-lah yang bertanya.

“Kau aneh, Ki Jagabaya. Seharusnya kau lebih tahu dari aku, bahwa hutan itu berada di tlatah Sangkal Putung. Seharusnya para prajurit itu tidak langsung melakukannya sendiri.”

Ki Jagabaya menjadi heran. Sejenak dipandanginya Ki Demang yang juga termangu-mangu.

“Apakah maksudmu, Swandaru?” bertanya Ki Demang.

“Hutan itu adalah hutan tlatah Kademangan Sangkal Putung. Setiap kegiatan apa pun yang dilakukan oleh orang lain di sini, harus ada ijin atau setidak-tidaknya sepengetahuan kita, sehingga kita mengetahui dengan pasti apakah yang sedang terjadi di tlatah kita ini.”

“Tetapi prajurit-prajurit itu adalah prajurit-prajurit Pajang, Swandaru,” sahut ayahnya. “Pajang mempunyai kekuasaan atas daerah kecil yang dalam tugas sehari-hari di bawah perintah seorang Demang.”

“Nah, itulah soalnya, Pajang telah melimpahkan kekuasaan atas kademangan ini kepada Ayah, sehingga apa pun yang mereka lakukan atas daerah ini, Ayah harus mengetahuinya. Prajurit-prajurit itu harus datang lebih dahulu ke kademangan ini untuk minta ijin, atau jika mereka merasa dirinya memiliki kekuasaan Pajang, memberitahukan bahwa mereka akan melakukan sesuatu di daerah kita.”

“Swandaru,” berkata Ki Jagabaya, “mereka datang untuk menguburkan mayat-mayat yang terbunuh oleh Anakmas Agung Sedayu. Hanya itu. Mereka tidak melakukan apa-apa di sini. Dan aku, Jagabaya Sangkal Putung, menunggui pekerjaan itu dari permulaan sampai selesai.”

“Tetapi kehadiran Ki Jagabaya adalah hanya karena kebetulan ada orang yang melihat prajurit-prajurit itu memasuki hutan. Bukan dengan sengaja mereka memberitahukan kepada Ki Jagabaya.”

“Swandaru,” potong Ki Demang, “aku sudah menjadi Demang sampai puluhan tahun. Tetapi dalam hal seperti ini aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Aku baru tersinggung jika prajurit itu melakukan pungutan padi, atau hasil kebun yang lain tanpa sepengetahuanku. Atau mereka mengepung kademangan ini untuk menangkap salah seorang perabot desa tanpa pertimbanganku. Jika mereka hanya datang ke hutan di ujung kademangan itu dan menguburkan mayat-mayat, aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Kali ini mereka datang mengubur mayat, Ayah. Tetapi lain mereka datang membuat mayat di sini, tanpa sepengetahuan kita.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Swandaru, baiklah jika kau berpikir tentang kekuasaan atas wilayah. Tetapi apakah kau dapat mengatakan bahwa hutan itu adalah wilayah Kademangan Sangkal Putung sepenuhnya? Hutan itu memang berada di ujung kademangan kita. Tetapi hutan itu adalah hutan yang tidak digarap oleh siapa pun juga, dalam arti penguasaan tanahnya.”

Wajah Swandaru menjadi tegang. Sejenak dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, sama sekali tidak berani mencampurinya, karena mereka merasa tidak berhak sama sekali, kecuali memberikan sekedar pertimbangan apabila diminta dan tanpa mengikat.

Tetapi dalam pembicaraan yang langsung membicarakan masalah kademangan, mereka lebih baik berdiam diri.

Dalam pada itu agaknya Swandaru yang masih muda itu tidak puas mendengar jawaban ayahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Ayah. Agaknya memang harus sudah dimulai sejak kini. Kita harus menunjukkan sikap seorang pemimpin yang langsung menguasai suatu daerah atas wewenang yang juga dilimpahkan dan mengalir dari kekuasaan sultan. Jika para prajurit itu merasa berhak melakukan tugasnya yang dilimpahkan lewat para senapati perang, maka kita mendapat limpahan kekuasaan itu lewat pemimpin-pemimpin pemerintahan. Lewat para bupati dan alat kekuasaannya. Karena itu, kita berhak mengatur tata pemerintahan atas nama sultan di kademangan ini.”

Ki Demang Sangkal Putung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Swandaru. Seandainya kau benar, maka kau pun harus berlaku bijaksana. Menurut pendapatku, yang dilakukan oleh para prajurit itu sama sekali tidak mengganggu kekuasaanku sebagai Demang di Sangkal Putung.”

“Ayah memang terlalu baik hati. Tetapi jika datang saatnya, Ayah akan menyadari bahwa sedikit demi sedikit, kita akan kehilangan kewibawaan kita atas kampung halaman ini.”

Sejenak Ki Demang berdiam diri. Ia pun merasakan perkembangan cara berpikir anaknya, sejak saat ia melangsungkan perkawinannya.

Namun kemudian ia masih berkata, “Entahlah bagi masa-masa mendatang, Swandaru. Tetapi pada saat ini, aku sebagai Demang di Sangkal Putung, sama sekali tidak berkeberatan atas sikap para prajurit itu.”

Swandaru tidak menjawab lagi. Tetapi, nampak ketegangan di wajahnya. Ayahnya pun mengetahui, bahwa anak laki-laki satu-satunya itu masih belum merasa puas terhadap sikapnya.

Yang ikut menjadi berdebar-debar adalah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita. Bukan saja karena perselisihan yang mungkin akan berkepanjangan antara Swandaru dan para bebahu Kademangan Sangkal Putung, tetapi bagi Ki Waskita, sikap Swandaru itu mulai menyeretnya ke dalam kegelisahan yang lebih mendalam. Ki Waskita selalu diganggu oleh ingatannya, terhadap isyarat yang beberapa kali dilihatnya di dalam dunia pengamatan batinnya. Lamat-lamat isyarat itu seakan-akan mulai dikenalnya di dalam kehidupan wadag, pada sikap dan tingkah laku Swandaru.

“Tentu tidak,” ia masih mengelak, “tentu hanya karena terlalu cemas. Bukankah sikapnya adalah sikap yang wajar dari seorang anak muda yang merasa bertanggung jawab? Jika ia kemudian memiliki pengalaman yang seluas ayahnya, maka ia pun akan dapat mengerti, bahwa kebijaksanaan tidak dapat disamakan dengan kelemahan.”

Namun demikian, ia masih saja menjadi gelisah.

Seperti juga Ki Waskita, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar pun menjadi cemas pula melihat perkembangan Swandaru. Apalagi karena mereka pun pernah mendengar kecemasan Ki Waskita atas isyarat yang pernah dilihatnya.

“Mungkin masih ada jalan,” Kiai Gringsing pun kadang-kadang mencoba menenangkan hatinya, apabila ia melihat kenyataan itu.

Swandaru, yang meskipun belum puas karena sikap ayahnya, namun ia sudah tidak bernafsu lagi untuk membantah. Tetapi kediamannya itu justru merupakan timbunan ketidak-puasan, yang pada suatu saat akan dapat meledak.

Dalam pada itu, para prajurit yang sudah menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada mereka pun telah sampai pula ke Jati Anom. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka mereka pun segera menghadap Untara dan melaporkan semuanya yang telah mereka kerjakan.

“Pada saat kami melakukan tugas kami, Ki Jagabaya dari Sangkal Putung juga hadir,” berkata pemimpin kelompok kecil itu.

“O, jadi Ki Jagabaya juga datang? Siapakah yang memberitahukan kehadiran kalian kepadanya?” bertanya Untara.

“Kebetulan saja satu dua orang petani melihat kami memasuki hutan itu dan melaporkannya kepada Ki Jagabaya Sangkal Putung. Karena itu, maka ia pun segera datang untuk melihat, apakah kami benar-benar prajurit Pajang di Jati Anom.”

“Ketika ia sudah mengetahui bahwa kalian adalah sekelompok prajurit, apakah ia masih menuntut sesuatu dari kalian?”

“Tidak. Ki Jagabaya justru membantu kami.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Kadang-kadang orang-orang Sangkal Putung merasa dirinya terlalu berkuasa, sehingga menimbulkan sifat dan tindakan yang aneh-aneh pada mereka.”

“Tidak, Ki Untara. Ki Jagabaya bersikap dan bertindak tepat menurut penilaian kami.”

“Tetapi kehadirannya sebenarnya tidak berguna.”

“Ia ingin membuktikan siapakah yang datang ke tengah hutan itu.”

“Ya, dalam hal itu benar. Tetapi ia dapat membuat kesalahan tanpa disadarinya pada segi yang lain.”

Para prajurit itu termangu-mangu.

“Tanpa disadarinya tentu ia akan bercerita tentang Agung Sedayu yang terluka. Nah, kau tahu, guru Agung Sedayu adalah seorang dukun. Ia tentu tidak akan membiarkan muridnya mengalami penderitaan selama ia sakit. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan?”

“Ia akan datang kemari. Tetapi bukankah itu lebih baik?”

“Jika ia datang sendiri, itu lebih baik. Tetapi jika ia datang bersama muridnya yang lain, aku agak kurang senang. Sikapnya terhadap Agung Sedayu membuat hatiku kadang-kadang bergolak. Apalagi menurut paman Widura, anak yang gemuk itu seolah-olah merasa dirinya mempunyai wewenang dan kekuasaan atas Agung Sedayu.”

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka tidak begitu mengerti, apakah yang telah terjadi dalam hubungan antara guru dan murid, antara kakak beradik dan antara mereka semuanya. Karena itu, maka para prajurit itu pun tidak menjawab.

“Mudah-mudahan Kiai Gringsing tidak membawa muridnya, yang tentu akan berusaha untuk mengajak Agung Sedayu segera kembali ke Sangkal Putung,” desis Untara.

Prajurit-prajurit itu tidak menjawab. Bahkan mereka menundukkan wajah masing-masing, apabila sentuhan tatapan mata Untara yang tajam mengenainya.

“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “tugasmu sudah selesai,”

Prajurit-prajurit itu pun kemudian meninggalkan Untara seorang diri. Wajahnya yang tegang dan keningnya yang berkerut-kerut, membuatnya menjadi seolah-olah semakin tua.

“Kakang,” terdengar seseorang memanggilnya dari sela-sela daun pintu yang terbuka, “apakah aku boleh masuk?”

Ketika Untara berpaling, dilihatnya isterinya berdiri termangu-mangu di luar pintu.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Masuklah. Aku tidak sedang berbuat apa-apa di sini.”

“Justru saat Kakang tidak berbuat apa-apa,” sahut isterinya.

Untara memandang isterinya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kemarilah.”

Sejenak kemudian, isterinya pun sudah duduk di sampingnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kakang, aku tidak berani mencampuri persoalan Kakang Untara, jika Kakang Untara berbicara tentang tugas-tugas keprajuritan. Tetapi kini agaknya Kakang mempunyai persoalan lain, persoalan Agung Sedayu.”

Untara mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku sedang dirisaukan oleh adikku yang seorang itu.”

“Lukanya kini berangsur baik. Ia sudah mulai mau makan meskipun hanya sedikit sekali. Nampaknya luka-lukanya masih terasa pedih dan nyeri.”

“Tentu. Agaknya ia harus berbaring secepat-cepatnya sepekan.”

“Jika keadaannya baik, ia akan dapat mulai bangkit sepekan lagi. Tetapi jika keadaannya buruk, maka sakitnya akan menjadi lebih panjang.”

“Maksudmu?”

“Kakang, agaknya selain sakit karena luka-lukanya, Agung Sedayu juga digelisahkan oleh suasana. Ia sadar sikap Kakang terhadapnya akan dapat menyulitkannya. Itulah sebabnya, maka rasa-rasanya luka Agung Sedayu itu bertambah parah menurut penglihatan lahiriah, meskipun sebenarnya sebab-sebabnya bukannya sebab kewadagannya.”

“Jadi, apakah aku harus membiarkannya?”

“Bukan, Kakang. Bukan begitu. Tetapi aku mempunyai permintaan untuk kebaikan anak itu.”

“Apa?”

“Kakang sebaiknya tidak mempersoalkannya selagi ia masih sakit.”

“Sekarang aku memang tidak akan mempersoalkannya. Mungkin besok atau lusa.”

“Juga tidak besok atau lusa.”

“Jadi?”

“Tunggulah agar ia menjadi sembuh sama sekali.”

“Kenapa? Jika aku sekarang atau nanti atau besok mempersoalkannya, maka aku hanya akan berbicara dengannya. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan menyentuhnya, apalagi memperberat luka-lukanya.”

“Tentu Kakang tidak akan berbuat demikian. Tetapi perasaannya yang peka akan sangat mempengaruhi keadaannya.”

Untara termangu-mangu. Dipandanginya wajah isterinya yang nampak bersungguh-sungguh.

“Kakang,” berkata isterinya, “aku baru saja menengoknya. Sebenarnya hatinyalah yang jauh lebih pedih dari luka-lukanya yang berangsur baik itu, sehingga nampaknya ia masih saja dalam keadaan yang sangat parah.”

“Ah, tentu tidak. Ia seorang laki-laki seperti aku. Ia akan menghadapi segala persoalan dengan sikap laki-laki.”

“Tetapi, Kakang, tidak semua orang memiliki sikap dan pandangan hidup yang sama. Aku tidak mengenal Agung Sedayu di masa kecilnya. Tetapi aku pernah mendengarnya dari Kakang, sehingga aku dapat membayangkan apa yang bergejolak di dalam hatinya sekarang, setelah aku mendengar beberapa kalimat dari mulutnya.”

“Jadi, bagaimanakah yang baik menurut pertimbanganmu?”

“Menurut pendapatku, biarlah ia sembuh dahulu. Sementara itu Kakang jangan menunjukkan sikap yang tegang terhadapnya. Hubungan antara Kakang Untara dan Agung Sedayu agaknya memang menjadi seakan-akan dibatasi oleh sikap tertentu. Kakang sudah langsung menganggap Agung Sedayu bersalah, sehingga sikap Kakang itu tentu sangat mempengaruhi sikap Agung Sedayu pula. Jika ia bertemu dengan Kakang, ia segera menyusun alasan-alasan untuk membela diri dari kesalahan-kesalahan yang pasti akan ditimpakan kepadanya. Sehingga sebelum persoalan yang sebenarnya dibicarakan, masing-masing telah dibebani oleh sikap yang kaku dan kurang terbuka.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya aku lakukan terhadap adikku itu?”

“Biarlah Paman Widura dan orang yang dikehendakinya saja, pada suatu saat berbicara dengan Agung Sedayu. Jangan tergesa-gesa.”

Untara termangu-mangu sejenak. Sikap prajuritnya mulai melonjak. Tetapi penjelasan isterinya itu memang mempunyai pengaruh yang lain kepadanya. Ia melihat sesuatu yang meskipun masih kabur, tetapi dapat dimengertinya.

“Kakang,” berkata isterinya pula, “kini Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Biarlah ia merasakan bahwa Jati Anom merupakan tempat yang teduh dan sejuk baginya. Jika sejak semula ia harus mengalami sikap yang keras dan tegang, maka baginya Jati Anom adalah tempat yang tidak menyenangkannya. Dengan demikian, ia akan menjadi semakin jauh, bukan saja jiwani tetapi keinginannya untuk meninggalkan tempat ini akan segera mendesaknya untuk merantau ke mana pun juga, seandainya ia tidak ingin kembali ke Sangkal Putung.”

“Baiklah,” desis Untara kemudian, “aku akan mencoba menahan diri kali ini.”

Isteri Untara itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Sebaiknya Kakang memang berbuat demikian. Aku kira memperlakukan Agung Sedayu tidak seharusnya sama seperti memperlakukan Kakang Untara sendiri.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

Isterinya pun kemudian minta diri meninggalkan Untara duduk sendiri. Dicobanya untuk mengurai semua sikapnya terhadap adiknya. Namun setiap kali Untara masih saja selalu diganggu oleh sikapnya yang menurut pendapatnya adalah yang terbaik. Terutama bagi Agung Sedayu.

Tetapi keterangan isterinya dapat dimengertinya pula dan ia pun sudah berjanji untuk melakukannya.

Karena itulah, maka di hari berikutnya, Untara mencoba menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa-apa tentang Agung Sedayu. Jika ia menengok adiknya yang masih terbaring di pembaringan, ia sama sekali tidak bertanya, apakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu setalah ia sembuh.

Untuk menyingkirkan persoalan adiknya yang rasa-rasanya selalu menggelitik hatinya, maka Untara pun kemudian mencoba menyibukkan dirinya dengan para tawanan. Ia telah menentukan, siapa di antara para tawanan yang harus segera dibawa ke Pajang.

“Mereka harus berada di dalam pedati yang tertutup,” berkata Untara, “kita semuanya masih meragukan, apakah mereka tidak selalu dalam pengawasan kawan-kawannya.”

Demikianlah, beberapa orang di antara mereka pun segera dinaikkan ke dalam pedati. Tiga orang prajurit dalam pakaian sehari-hari berada pula di dalam setiap pedati, bersama lima orang tawanan yang duduk berdesakan dengan tangan terikat.

“Kita tidak boleh menanggung akibat yang dapat membuat kita menyesal karena kelengahan kita,” perintah Untara.

Para prajurit yang menjalankan tugas itu pun merasa sangat kesal, karena mereka harus mengiringi beberapa buah pedati yang berjalan terlalu lamban. Rasa-rasanya mereka akan melakukan perjalanan yang panjang sekali tanpa akhir. Jarak Jati Anom sampai ke Pajang bukannya jarak yang sangat jauh jika mereka menempuhnya berkuda. Tetapi, meskipun mereka berada di punggung kuda tetapi harus mengikuti langkah-langkah lamban lembu yang menarik pedati, maka rasa-rasanya perjalanan itu tentu akan sangat menjemukan.

“Tetapi jangan lengah,” pesan Untara, “meskipun kalian dapat mengantuk di perjalanan, namun jika tiba-tiba sehelai pedang siap memenggal lehermu, kalian tentu akan segera terbangun.”

Para prajurit itu menyadari bahwa Untara ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali masih terjadi sesuatu di perjalanan. Karena itu, mereka pun harus bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Oleh kesibukannya itu, Untara dapat melupakan persoalan adiknya barang sesaat. Ia menyerahkan persoalan Agung Sedayu kepada Widura dan isterinya, dengan harapan bahwa Agung Sedayu akan dapat dijinakannya.

“Terserahlah kepada, Paman,” berkata Untara kepada Widura yang setiap kali datang berkunjung. Bahkan ia lebih banyak berada di Jati Anom daripada berada di rumahnya sendiri di Banyu Asri, untuk menunggui Agung Sedayu.

Tetapi, agaknya ia sependapat dengan isteri Untara, bahwa untuk sementara, mereka tidak akan mempersoalkan Agung Sedayu. Biarlah anak muda itu berusaha untuk memulihkan kekuatannya dan merasa bahwa Jati Anom adalah rumahnya.

Sikap lembut Widura dan kakak iparnya, membuat Agung Sedayu merasa agak tenang. Meskipun setiap kali ia sadar, bahwa akan datang saatnya kakaknya, Untara, memanggilnya dan berbicara dengan keras tentang dirinya. Namun untuk sementara ia dapat merasakan sejuknya perawatan keluarganya di Jati Anom.

Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang dari Sangkal Putung telah datang mengunjungi Jati Anom, justru setelah mereka mendengar bahwa Agung Sedayu terlibat dalam perkelahian dengan orang-orang yang masih bersangkut paut dengan gerombolan yang mencegat iring-iringan pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh.

Bagi Untara, ia sama sekali tidak berkeberatan menerima orang-orang Sangkal Putung itu, terutama Kiai Gringsing sendiri. Tetapi ketika ia melihat mereka terdapat Ki Demang, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka wajahnya pun menjadi buram.

Ternyata bahwa Untara bukannya orang yang cakap memulas wajahnya. Kerut-merut di keningnya, dapat dilihat oleh orang-orang Sangkal Putung, terutama Swandaru dan Sekar Mirah. Tanpa mereka sadari, seakan-akan telah terbentang garis pemisah antara Senapati Pajang itu dengan anak-anak Ki Demang di Sangkal Putung. Seakan-akan mereka ingin berebut pengaruh atas Agung Sedayu.

Tetapi agaknya Untara menyadari, bahwa ia lebih baik tidak mendengarkan percakapan antara orang-orang Sangkal Putung itu dengan Agung Sedayu, daripada darahnya menjadi panas. Karena itu, maka ketika tamu dari Sangkal Putung itu memasuki bilik Agung Sedayu, Untara tidak ikut mengantarkannya.

Yang ada di dalam bilik itu adalah Widura dan isteri Untara, yang sedang menyuapi mulut Agung Sedayu dengan bubur yang hangat.

“Ia menjadi manja di sini,” desis Sekar Mirah di telinga kakaknya.

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya pun terangguk kecil.

Agung Sedayu sendiri terkejut ketika ia melihat beberapa orang dari Sangkal Putung datang menengoknya. Dengan serta-merta ia berusaha untuk bangkit. Tetapi Widura menahannya sambil berkata, “Jangan bangkit dahulu, Agung Sedayu. Badanmu masih terlalu letih.”

Agung Sedayu yang sudah mengangkat kepalanya itu pun berbaring kembali. Apalagi ketika gurunya mendekatinya dan berkata, “Memang sebaiknya kau tetap berbaring, Agung Sedayu.”

Agung Sedayu meletakkan kepalanya sambil berkata perlahan-lahan, “Maafkan jika aku menemui kalian sambil berbaring.”

“Kau sedang sakit,” desis isteri Untara, “mereka tentu memakluminya.”

Sekar Mirah menjadi tegang melihat sikap kakak ipar Agung Sedayu. Nampaknya Agung Sedayu benar-benar menjadi manja seperti anak-anak yang masih harus disuapi. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan sesuatu.

Bersesak-sesakan mereka pun kemudian duduk di amben yang ada di dalam bilik itu. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang duduk di pembaringan Agung Sedayu, sedangkan Ki Sumangkar dan Ki Waskita berdiri di sebelah pembaringan itu.

“Terima kasih atas kunjungan ini,” desis Agung Sedayu.

“Cepatlah sembuh,” berkata Ki Demang, “aku sudah mendengar apa yang telah terjadi di hutan itu. Agaknya kau harus melawan dua orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang,” tiba-tiba saja Swandaru memotong, “aku kira lebih baik kau kembali ke Sangkal Putung.”

Setiap wajah menjadi tegang. Bahkan Ki Demang pun memandang wajah Swandaru dengan sorot mata yang aneh. Apalagi Widura dan isteri Untara.

“Di Sangkal Putung Kakang akan mendapat pengobatan yang sempurna, sehingga Kakang akan menjadi lekas sembuh. Apalagi di Sangkal Putung, Kiai Gringsing akan mendapatkan bahan obat-obatan dengan mudah seperti yang dikehendaki.”

Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar mendengar ajakan itu. Sekilas dipandanginya wajah pamannya. Dan ia pun sudah menduga bahwa pamannya tentu merasa tersinggung karenanya.

—- > Bersambung ke bagian 2

13 Tanggapan

  1. Sekarang sepi banget
    Sepi ing komen, rame ing maca

    he he he … tiap hari masih sekitar 5000-6000 klik dengan 1000-1500 orang yang membacanya, tetapi pada malu-malu untuk menuliskan komentar di sini

  2. Saya fans Agung Sedayu

  3. Ora mboseni dibaca beberapa kali, apalagi dalam suasana pandemi covid 19 dan harus banyak tinggal di rumah.

  4. Sama dong ibu Dyah .aku juga fans berat sama kakek agung sedayu

  5. Terima kasih. Masih bisa menikmati karya yang luar biasa ini meski sudah tidak memiliki bukunya ….tidak membosankan dan selalu ingin tetap membacanya …..

  6. Terima kasih Ki…. ini kali ke 2 sy baca…. terakhir saya baca th 2016
    Sepindah malih Matur Nuwun

    • Saya harak inggih sudah kaping nem punjul nanging mBoten apal2, dhawah sami mBaleni terus

  7. sejak sekitar tahun 1970 keluarga bapak saya berlangganan harian Kedaulatan Rakyat yang memuat cerbung dari penulis SH Mintareja yang selalu kami ikuti, jika cerbung itu libur maka ada rasa kecewa di hati kami.
    Terima kasih kami dapat menemukan cerbung itu di sini

  8. Seru nih baca cerita lama. Kenapa baru nemu ya?

Tinggalkan komentar