NSSI-27


<< kembali | lanjut >>

I.

Maka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas kedua kakinya yang merenggang. Meskipun debar di dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda kini sudah mulai tenang kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi goncangan-goncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai goncangan perasaan Baginda. Hampir Baginda tak percaya, seandainya Baginda sendiri tidak merasakan bahwa isi dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur melampaui blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak kebanyakan, namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian dahsyatnya.

Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.

Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu merontokkan buah-buah asem pada batangnya yang sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu mendorong surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang sama sekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan yang tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar kembali melemparkan Karebet beberapa langkah mundur. Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit itu beterbangan turun mengerumuni kepalanya.

Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali, dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah, sehingga matanya itu seakan-akan menjadi menyala.

Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini sekali lagi terkejut ketika ditatapnya mata Karebet. Mata itu benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap. Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan. Anak itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian Baginda menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan. Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-nilainya yang wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu dibiarkannya.

Seandainya, ya, seandainya pada saat itu Baginda menjumpai orang lain, bukan Karebet dan tidak memiliki ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan, serta dari matanya tidak membayang cahaya yang biru kehijauan, maka Baginda pasti sudah akan bersikap lain. Mungkin Baginda akan memaksa putrinya untuk masuk ke bilik bundanya, dan menangkap anak itu sebagai seorang pencuri atau apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan demikian, maka orang itu akan dapat dihukum berat.

Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama. Namun, betapapun ia harus mendapat hukuman dari perbuatannya itu.

Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing yang hanya mampu mengembik. Ketika Baginda menyadari betapa berbahayanya serangan yang masih dilambari dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.

Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya, Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet. Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya bagi lawannya. Dengan kecepatan yang tak disangka-sangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya, karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu, Baginda memukul Karebet, namun tidak pada tubuhnya. Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah Karebet, tanpa menyentuhnya.

Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.

Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya terselubung oleh kain ikat kepala itu. Dan didengarnya orang itu tertawa.

Alangkah dahsyatnya,” geram Karebet di dalam hatinya. “Tangannya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji Lembu Sekilan.

ORANG itu masih tertawa berkepanjangan meskipun tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata, “Bagaimana Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan membanggakan Aji Lembu Sekilan yang setengah matang itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu menembus pertahanan Lembu Sekilanmu.”

Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan orang itu. Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, bahkan sampai mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri itu?

Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya itu berkata, “Nah, apakah kau masih akan melawan.?

Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak dihadapanmu,” sahut Karebet.

Hem,” desah orang itu, “Kau memang keras kepala. Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi serahkan putri itu kepadaku.”

Apa?” Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan karena kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri Sultan itu menjadi bertambah mengigil ketakutan. Perlahan-lahan wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di petamanan. Namun hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu?

Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang berselubung itu berkata, “Apakah Putri akan memanggil Nara Manggala?”

Ya,” sahut putri itu tiba-tiba.

Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, “Mereka akan menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?”

Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu mengulangi, ”Anak muda. Tak ada gunanya kau melawan. Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali tak berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti akan dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu bertahan terhadap ilmuku meskipun kau membentengi dirimu dengan Lembu Sekilan?

Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang berdiri di hadapannya. Pamannya? Mahesa Jenar? Pasti bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain? Di istana tidak banyak dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan hatinya. Beberapa orang sakti dari para prajurit berbagai kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah salah seorang dari mereka.

Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu. Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu berkata pula, “Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri itu aku bawa.

Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, “Lampaui dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri.

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau benar-benar keras kepala.

Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,” sahut Karebet, dan diteruskan, “Apakah kau sangka, sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman ini? Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala.

Tak seorang pun mampu menangkap aku,” jawab orang itu. “Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun tidak.

Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu tiba-tiba menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam? Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa?

Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar orang itu berkata, “Ayo Karebet. Katakan kepadaku, siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?

Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu. Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang terdengar kemudian hanyalah gemeretak giginya beradu.

Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar orang itu berkata, “Karebet, katakan, siapa yang mampu melawan Aji Bajra Geni?

Bajra Geni. Bajra Geni.” Tanpa sadar Karebet mengulangi kata-kata itu.

Ya,” sahut orang itu pendek.

Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan ragu-ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya. Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmu-ilmu luar biasa lainnya, Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji Bajra Geni dikenal sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti. Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.

Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak, maka kain itupun telah direnggutkan.

Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta merta puteri menjatuhkan dirinya dikaki Baginda sambil menangis sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun kemudian berlutut pula pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium tanah.

Jangan menangis!,” bentak baginda. “Diam atau kututup mulutmu!”

Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka tangis itu seakan-akan malahan meledak-ledak.

Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam, setajam ujung pedang. Dan Karebet pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Ayahanda,” terdengar puteri berkata diantara sendunya.

Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai ayahandamu?,” sahut baginda.

Ayahanda,” kembali terdengar kata-kata itu meloncat dari bibir Puteri yang sedang menangis itu.

Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan kemudian ia berkata kepada Karebet, “Karebet, apakah aku harus melampaui mayatmu?.”

Ampun, Baginda,” sahut Karebet gemetar, “hamba tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda.

He,” Seru Baginda, ”jadi kalau tidak ada aku kau dapat berbuat sekehendakmu? Jadi kalau berhadapan dengan orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu ? Lembu Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?

Ampun Baginda,” Karebet semakin tertunduk. Kini harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.

Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, “Karebet itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah aku pungut dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi dan kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja.

Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya. “Tak ada gunanya,” katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati. Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.

Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku.” pikirnya.

Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet, kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya, sehingga baginda pun berkata di dalam hatinya, “Sayang, anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding.

Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula. Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu mempunyai penyakit berat didalam rongga dadanya. Sedang puteranya yang seorang lagi, masih terlalu muda, dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.

Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada puterinya, “Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu.”

Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika akan menjawab, Baginda membentaknya, “Masuk ke keputren!.”

Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya. Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung direbahkannya dirinya dipembaringan menelungkup. Dan kepada pembaringan serta dinding-dinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang. Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.

Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang harus disandangnya.

Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg. Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri didalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat terpengaruh oleh perasaannya itu.

Karebet,” berkata Baginda kemudian, ”ikut aku ke Ksatriaan”.

Hamba tuanku,” sahut Karebet sambil menyembah.

Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu. Segera Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun perdu dihalaman, supaya tidak seorangpun melihatnya. Kepada Karebet, Baginda itu berkata, “ikuti aku. Jangan ada seorang pun yang melihatmu. Apabila demikian, maka nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu.

Karebet menyembah sambil menyahut, “Hamba, Baginda.”

Maka keduanya pun berjalan mengendap endap menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya, maka berdua telah memasuki Ksatrian dari pintu samping.

Karebet,” berkata Baginda setelah mereka didalam bilik ksatrian. “Tinggal disini. Jangan coba melarikan diri. Tak ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih berhati-hati. Tak seorangpun boleh meninggalakan halaman istana. Apapun alasannya.”

Hamba tuanku,” jawab Karebet. “Hamba tidak akan berani melanggar perintah Baginda.”

Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang akan dikatakan nanti di pagi hari, jika beberapa orang emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran Timur nanti datang pula kemari?

Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda. Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya badannya diatas lantai yang licin bersih dan mengkilap. Dengan berbagai macam perasaan bercampur baur, Karebet memandang kedinding yang kokoh kuat sekuat baja.

Dengan rog-rog Asem aku pasti mampu menjebol pintu ini,“ terdengar suara didalam hatinya.

Gila,” jawab suara yang lain

Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan Baginda setelah itu.

Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan melakukan hukuman atas dirinya? dan Sultan sendiri yang akan menanganinya ?

Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah menggeliat, ia bergumam, “Persetan dengan segala macam hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai.”

Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu pun kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat kemudian, ia sudah tidur mendekur.

Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik. Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa mereka segera berloncatan menyambut kedatangan baginda dan dengan takjimnya mereka pun segera duduk bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di muka gardu.

Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda datang sendiri kepada mereka.

Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu berkata, “Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira Tamtama.”

Hamba tuanku,” sahut Nara Manggala yang tertua, ”apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda malam ini?”

Ya” jawab Baginda, ”bawa dia ke Kasatrian”

Hamba Tuanku.” sahut orang tertua itu.

Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke Kasatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk mengantarkan. Namun mereka terkejut ketika Baginda berkata, “Aku datang sendiri. Aku kembali sendiri.

Penjaga menjadi heran. Tidak menjadi kebiasaan Sultan berbuat demikian. Tetapi tak seorang pun berani bertanya. Dan mata mereka dipenuhi beribu-ribu pertanyaan mengiringi Baginda lenyap dalam bayang-bayang pohon Sawo Kecik.

Sepeninggal Baginda, beberapa orang saling berbisik diantaranya. “Aneh,” berkata salah seorang dari mereka, ”kenapa baginda memanggil Prabasemi dimalam hari begini?

Yang lain menggeleng, “memang aneh.”

Hanya tiba-tiba saja seseorang berkata, “Tadi aku melihat Karebet masuk istana, katanya kaki baginda terkilir.”

Lalu sekarang Prabasemi dipanggil oleh baginda,” sahut yang lain, ”kenapa bukan Karebet yang harus memanggilnya? bukankah ia prajurit Wira Tamtama?”

Kawannya hanya dapat mengangkat bahunya sambil berkata, “entahlah. Ada sesuatu yang kurang wajar terjadi.”

Apa?” bertanya yang lain

Orang itu menggeleng. Katanya, “kalau aku mengetahuinya kau pasti mengetahuinya juga.

Mereka itu pun kemudian terdiam. Masing-masing berjalan kembali masuk ke gardu peronda. Baru saja mereka duduk, seperti orang tersengat lebah, Nara Manggala yang tertua berteriak, “He, bodoh kalian. Kenapa kalian tidak berangkat memanggil Prabasemi?”

Oh,” sahut yang lain, ” hampir aku lupa kepada perintah itu.”

Kemudian dengan tergesa-gesa dua orang Nara Manggala segera bersiap untuk berangkat menjemput Prabasemi. Mereka segera memperbaiki pakaian mereka, melengkapi tanda keprajurutan. Dengan pedang dilambung masing-masing berdua segera pergi menjemput Tumenggung Prabasemi.

Meskipun kemudian tak seorang pun yang bercakap-cakap, namun sebenarnya mereka saling bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya terjadi?

———-oOo———-


II

Dari Gardu Penjaga, Baginda langsung masuk kedalam biliknya dimana Permaisuri dan dua orang emban sedang menunggu. Ketika permaisuri melihat kedatangan Baginda, maka terdengar sebuah tarikan napas panjang.

Nah,” berkata Baginda, ”bukankah aku masih utuh?,”

Sekali lagi Permaisuri menarik napas. Katanya, “Hamba menjadi gelisah.

Baginda kemudian memandangi kedua emban yang duduk bersimpuh sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sesaat kemudian berkatalah baginda “Kembalilah ke bilikmu masing masing emban.”

Kedua emban itu terkejut. Dan bersamaan mereka menyembah sambil membungukkan badan mereka, “Hamba Baginda.”

Tetapi, ingat,” berkata baginda pula, ”apabila seseorang mendengar tentang puteri itu, kau berdualah yang akan aku pancung di alun-alun.”

Kedua emban menjadi pucat. Dengan gemetar, sekali lagi mereka menyembah dengan takjimnya.

Nah tinggalkan bilik ini.”

Keduanya tidak menjawab. Namun setelah sekali lagi mereka menyembah, maka segera mereka meninggalkan bilik itu.

Alangkah malangnya nasibku,” kata emban Permaisuri, “Kalau aku tadi tidak berjumpa dengan kau, maka aku tidak akan mengalami bencana ini. Coba, apabila laki-laki itu atau Putri sendiri yang berceritera tentang peristiwa itu, maka apabila ada orang lain yang mendengarnya, kamilah yang akan dipancung. Hi, mengerikan.”

Emban yang lain tidak menjawab. Terbesit pula penyesalan didalam dirinya. Tetapi apabila dibayangkannya rumah yang megah dari Tumenggung Prabasemi serta segala macam penghormatan yang akan didapatnya, maka emban itu sersenyum didalam hati. Putri itu pasti akan mendapat hukumannya. Setidak-tidaknya akan mengalami pingitan yang lebih ketat. Sehingga dengan demikian, maka Prabasemi itu pasti akan melupakannya.

Demikian kedua emban itu meninggalkan bilik Baginda, maka segera Baginda mengatakan apa yang telah dialaminya serta apa yang telah terjadi.

Ketika Permaisuri mendengar, bahwa berita yang dibawa oleh emban itu benar-benar terjadi, maka dengan serta merta, pecahlah tangisnya. Alangkah hinanya. Apabila Putri itu adalah putri seorang raja yang namanya ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan. Tetapi putrinya sendiri, sama sekali telah mengabaikannya.

Kenapa hal ini terjadi, Baginda?” bertanya Permaisuri. “Padahal menurut hemat hamba, maka tidak kuranglah cara hamba untuk menjadikannya seorang putri yang berbudi. Justru dalam masa pingitan, serta masa-masa perkembangan jasmaniah dan rohaniah, bencana itu terjadi.”

Baginda tidak menjawab. Bahkan wajahnya ditundukkannya, seakan-akan sedang menghitung jari-jari kakinya. Sebagai seorang ayah, maka hampir-hampir Baginda tak dapat menahan kemarahannya terhadap Karebet. Tetapi, sebagai seorang Senapati Perang, maka Baginda dapat melihat kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh Karebet yang telah berani melangkahi pagar kaputren itu. Bahkan sebagai seorang raja, Baginda melihat masa depan dari kerajaannya, Demak, yang sampai kini masih belum diketemukannya seorang sakti yang mempunyai kemungkinan yang tak terbatas dimasa depannya. Pernah juga Baginda mendengar nama-nama, diantaranya Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tahjaya. Namun orang itu telah lama membuang diri dalam satu pengabdian yang luhur. Berusaha menemukan pusaka-pusaka Keraton yang lolos dari perbendaharaan Istana.

Tetapi orang itu sama sekali bukan keluarga istana,” desis Baginda didalam hatinya.

Ah!” Tiba-tiba Baginda terkejut sendiri oleh angan-angannya. Kemudian katanya di dalam hati, “Apakah Karebet itu juga keluarga istana?

Baginda tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesuatu bergolak di dalam dadanya. Dicobanya berkali-kali untuk mengusir perasaan yang mengetuk-ngetuk jantungnya. Karebet itu adalah anak yang diketemukan di pinggir jalan. Tidak lebih. Bukan kadang, bukan sentana.

Tetapi ia putra Ki Kebo Kenanga.” Kembali terdengar kata-kata jauh di dasar hatinya. “Kebo Kenanga adalah putra Pangeran Handayaningrat. Apakah dengan demikian tidak ada saluran darah Majapahit di dalam tubuhnya?

Hem.” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ketika Baginda itu berpaling, dilihatnya Permaisuri masih menyeka kedua belah matanya yang basah.

Sudahlah,” hibur Baginda, “Aku akan mencoba mencari cara sebaik-baiknya untuk menolong keadaan.

Apakah cara itu?” tanya Permaisuri.

Aku belum tahu,” sahut Baginda, “Tetapi mula-mula adalah menutup setiap kemungkinan, Putrimu itu dapat bertemu dengan Karebet.”

Permaisuri menganggukkan kepalanya. “Besok, Putriku akan aku bawa masuk ke dalam bilikku. Biarlah ia mengalami pingitan yang lebih seksama.”

Aku sependapat,” sahut Baginda, “Dan biarlah anak muda yang bernama Karebet itu aku singkirkan pula dari Demak.”

Akan diapakankah?”

Biarlah anak itu aku ambil dari Prabasemi, dan aku serahkan kepada Palindih di Bergota.”

Hanya itu?”

Baginda terdiam. Disadarinya, bahwa Pemaisuri itu benar-benar merasa terhina. Namun Baginda tidak akan dapat mengatakan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh Permaisuri secara keseluruhan. Sebab Permaisuri tidak merasakan kedahsyatan ajian anak muda itu, tidak merasakan bahwa di dalam diri anak itu tersimpan Aji Lembu Sekilan dan dari matanya memancarkan cahaya biru kehijauan seperti mata seekor harimau yang garang di malam hari. Permaisuri tidak dapat mengerti bahwa Demak memerlukan orang yang demikian itu. Orang yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Meskipun di seluruh wilayah Demak, banyak terdapat orang-orang sakti, namun tidak seorang pun dari mereka yang pernah mempengaruhi perasaan Baginda sebegitu dalam seperti Karebet, putra Ki Kebo Kenanga.

Sebelum Sultan Trenggana menemukan jawaban atas pertanyaan Permaisuri itu, maka kembali Permaisuri bertanya, “hukuman apa yang akan baginda berikan terhadap Karebet. Apakah hukuman itu cukup seimbang dengan kesalahannya?.

Baginda menarik nafas, kemudian jawabnya, “Hukuman itu adalah hukuman sementara. Mungkin aku akan membuat pertimbangan lain. Namun hukuman itu harus sesuai dengan keduanya. Sebab kesalahan itu tidak saja terletak pada Karebet, tetapi pada Puteri itu  juga.”

Tiba-tiba Permaisuri mengangkat wajahnya. Sebagai seorang puteri, terasa kata-kata baginda agak janggal. Karena itu katanya, “Baginda, apakah yang akan dilakukan puteri kalau Karebet tidak memulainya? Aku yakin bahwa anak muda itu memanfaatkan kesempatan. Apabila Baginda memanggilnya, maka dimanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Puteri adalah anak pingitan. Jarang-jarang ia melihat anak muda didalam biliknya yang sempit. Maka ketika dilihatnya Karebet itu maka langsung mempengaruhi hatinya.”

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah baginda yang tunduk. Kali ini mereka tidak berbicara sebagai Raja terhadap Permaisuri tetapi sebagai ayah dan seorang ibu. Seorang ibu yang merasa tersinggung karena perbuatan seorang anak muda atas puterinya dan seorang ayah yang melihatnya dari cakupan yang luas. Maka dengan hati-hati Bgainda berkata, “Tetapi apabila puterimu tidak memanggapinya, maka tidak terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Setiap hubungan antara anak muda dan gadis-gadis, pasti dimulai dari kedua ujung hati masing-masing. Apabila tidak, maka hubungan itu tidak akan terjadi.”

Oh,” sahut permaisuri. “Baginda telah berbicara tentang hati laki-laki, yang melihat perempuan dari sudut seperti Karebet. Tetapi baginda tidak mau mendalami hati perempuan. Mungkin puteri mula-mula sama sekali tidak menanggapi sikap Karebet. tetapi lambat laun, apabila Karebet mulai menyentuh hatinya, maka hati itu pasti cair. Mungkin sikap itu mula-mula tidak lebih dari sikap gadis yang merasa kasihan terhadap seorang anak muda yang terbakar hatinya. Atau mungkin Karebet sengaja membuat dirinya seakan-akan tidak mampu hidup tanpa puteri. Atau apapun yang dilakukannya sebagai suatu cara meruntuhkan hati seorang gadis. Meratap, mengancam, membangkitkan cemburu, bermanja-manja atau merayu.”

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Sekali lagi dicobanya untuk menjawab, “Kalau gadis itu teguh hati, maka ia akan tetap dalam pendiriannya.”

Betapapun keras batu karang, namun titik-titik air akan dapat membuat lubang padanya.” Sahut permaisuri.

Kali ini Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Belum pernah Permaisuri bersikap keras kepadanya. Sebagai seorang permaisuri, setiap kali yang dilakukan adalah menghambakan perintah Baginda. Mendengarkan kata-kata baginda dengan wajah tunduk, kemudian tersenyum kalau baginda tersenyum, dan berduka kalau baginda berduka. Namun Baginda bukanlah seorang laki-laki berhati batu. Baginda dapat mengetahui sepenuhnya perasaan Permaisurinya, dan bahkan berterimakasih pula kepada permaisurinya itu. Namun kali ini Baginda menjumpai sikap yang jauh berbeda. Permaisuri itu menjawab kata dengan kata, kalimat dengan kalimat. Karena itu, maka baginda dapat mengerti, betapa pedih luka dihari permaisurinya sehingga dilupakannya suba sita.

Meskipun demikian, Baginda masih ingin untuk dapat menerangkan apakah sebabnya, maka Karebet itu masih diberinya kesempatan, meskipun dijauhkan dari Demak. Tetapi tidak saat ini, sebab apabila perempuan itu telah dikuasai oleh perasaannya, maka setiap pertimbangan akan tersisihkan. Demikian juga Permaisuri kali ini.

Karena itulah maka dengan tersenyum Baginda berkata, “Baiklah. Biarlah aku pertimbangkan sekali lagi. Tetapi janganlah aku yang dipersalahkan.”

Kata-kata itu tiba-tiba menyadarkan Permaisuri akan dirinya. Ia sedang berhadapan dengan seorang raja yang memiliki segala kekuasaan ditangannya. Tiba-tiba Permaisuri menyembah sambil berkata, “Ampun Baginda. Aku ternyata telah berpendapat terlalu jauh. Namun aku hanya sekedar menuangkan perasaan ibu atas bencana yang menimpa puterinya.”

Baginda mengangguk-anggukan kepalanya pula. Jawabnya, “Aku mengerti. Sebab aku bukan saja seorang Raja, Senapati Perang dan segala macam jabatan pemerintahan, tetapi aku adalah seorang ayah pula.”

Permaisuri itu pun kemudian berdiam diri. Namun di kedua belah matana masih tampak, betapa ia tidak rela mengalami peristiwa yang sama sekali tidak didangka-sangkanya. Bencana yang menimpa puterinya. Namun kini segala sesuatu telah diserahkannya kepada Baginda. Permaisuri itu dapat mengerti kata-kata Baginda, bahwa Baginda tidak saja seorang Raja tetapi juga seorang ayah, sekaligus seorang Raja yang harus memandang segala persoalan dari berbagai segi.

Kenapa hal ini terjadi dengan Puteriku, puteri Baginda. Kalau saja itu terjadi atas orang-orang yang tinggal dipondokan kecil maka tidaklah banyak persoalan yang timbul karenanya. Tetapi puteri itu adalah anak seorang Raja yang akan disoroti oleh setiap mata dari seluruh negeri.” Betapapun Permaisuri masih saja meratap dalam hatinya. Namun tidak sepatah katapun diucapkannya.

Yang kemudian berkata adalah Baginda, “Marilah, aku antar kembali ke bilikmu. Aku harus segera ke Kesatrian. Ambilah puterimu besok pagi, dan biarkan ia tinggal dalam istana untuk smeentara.”

Permaisuri menyembah, kemudian tanpa berkata sepatah katapun segera mereka meninggalkan bilik Baginda kembali ke bilik Permaisuri sendiri. Dimuka pintu Permaisuri melihat emban tadi duduk bersimpuh menungguinya.

Kau masih disini?” bertanya Permaisuri.

Emban itu menyembah sambil menjawab , “Ampun Gusti

Permaisuri itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah emban itu. Katanya,  “kenapa kau menangis?.”

Emban itu menundukkan wajahnya, “Hamba Takut Gusti

Apa yang kau takutkan?”

Emban tidak menjawab. Tetapi sesekali ia menyembah dan kepalanya semakin tunduk.

Jangan takut,” berkata Permaisyuri, ”kau tidak bersalah. dan kau tidak berbuat apa-apa

Tetapi emban tidak berani mengangkat wajahnya. Hanya sekali-kali dipandangnya kaki Baginda dan Permaisuri berganti ganti. Baginda pun kasihan juga melihat emban itu. Tetapi baginda tida berkata apapun.

Setelah permaisuri itu masuk kembali ke dalam biliknya, maka segera Baginda meninggalkan bilik itu. Di muka pintu, baginda berkata kepada emban yang masih bersimpuh di situ, “Kawani Gustimu.”

Hamba Baginda,” sahut emban itu. Tetapi ia tidak berani masuk kedalam bilik karena permaisuri tidak memanggilnya. Karena itu ia masih duduk dimuka pintu. Baru ketika ia terbatuk karena sedannya, maka terdengar Permaisuri memanggilnya, “apakah kau masih di muka pintu?”

Ampun gusti, Baginda memerintahkan hamba untuk menemani Gusti.”

Tidurlah,” berkata Permaisyuri itu, ”aku ingin tinggal seorang diri

Barulah emban itu berdiri dan kembali ke biliknya. teapi begitu ia merebahkan dirinya, ia menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali dirabanya lehernya seolah olah sebuah goresan telah melukainya.

Kenapa kau?,” tanya seorang temannya

Emban itu menggeleng.

Apakah jajar yang berkumis kecil ingkar janji?”

Ah,” desah emban yang sedang menangis itu. Namun lehernya menjadi semakin pedih dan napasnya sesak…..

Kawan-kawannya kemudian tidak bertanya apapun lagi. Dibiarkannya ia menangis dan menelungkup. Bahkan beberapa kawan-kawannya saling berbisik dan tertawa tertahan-tahan. Mereka menyangka bahwa emban itu sedang berselisih dengan calon suaminya yang jauh lebih muda daripadanya.

Dalam pada itu Baginda telah berjalan menunju ke Kasatrian. Namun sebelum Baginda sampai, maka Baginda melihat dua orang Nara Manggala membawa Prabasemi menunju ke Kasatrian itu pula. Karena itu segera Baginda berjalan mendahuluinya.

Ketika Baginda sampai di pintu samping, dan perlahan-lahan membuka pintu itu, alangkah terkejutnya. Baginda melihat, betapa Karebet dengan tenangnya tidur mendengkur di atas lantai. Sekali lagi Baginda mengelus dada. Katanya di dalam hati, “Anak itu memang luar biasa. Apakah ia tidak menyadari bahaya yang dapat menimpa dirinya setiap saat, atau memang demikian ikhlasnya ia menjalani setiap persoalan betapapun rumitnya dan bahkan hidupnya terancam?”

Baginda menarik nafas. Kekagumannya kepada Karebet menjadi semakin bertambah-tambah. Tetapi meskipun demikian Baginda tidak mau menunjukkan betapa perasaan Baginda itu mencengkam segala pertimbangannya. Karena itu, dengan serta merta Baginda menutup dengan kerasnya daun pintu itu, sehingga berderak-derak keras sekali.

Alangkah terkejutnya Karebet yang sedang tidur nyenyak itu. Sekali ia meloncat dengan garangnya, dan dalam sekejap ia telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika kesadarannya telah sepenuhnya menguasai otaknya, dan ketika dilihatnya Baginda berdiri di muka pintu bilik itu, dengan serta merta ia menjatuhkan dirinya sampai menyembah. “Ampun Baginda, hamba hanya terkejut. Hamba sama sekali tidak bermaksud berbuat apapun. Apalagi melawan.

Hampir Baginda tertawa melihat sikap Karebet itu. Tetapi sekali lagi Baginda menahan dirinya. Bahkan dengan tajamnya Baginda memandangi wajah Karebet yang pucat.

Apakah kau masih akan melawan?” bentak Baginda.

Ampun Baginda. Hamba benar-benar hanya terkejut.”

Kenapa kau tidur?”

Hamba tidak ingin tidur, Baginda, tetapi mata hamba tak dapat hamba kuasai lagi.”

Apakah sangkamu kau akan terlepas dari hukuman yang paling berat?”

Tidak Baginda. Hamba akan menerima setiap hukuman apapun yang akan Baginda jatuhkan.”

Sekali lagi Baginda menarik nafas. Tetapi Baginda tidak berkata-kata lagi. Di luar, terdengar langkah Prabasemi dan dua orang Nara Manggala.

Perlahan-lahan terdengar ketukan di pintu bilik itu. Maka berkatalah Baginda, “Masuklah.”

Pintu itu bergerit perlahan-lahan. Ketika pintu itu terbuka, nampaklah Prabasemi berdiri di muka pintu. Ketika tiba-tiba dilihatnya Karebet duduk di lantai, tiba-tiba berdesirlah dada Tumenggung Wira Tamtama itu.

Masuklah.” Kembali terdengar suara Baginda, berat bernada datar.

Dada Prabasemi pun serasa meledak mendengar suara itu. Sekali lagi ia memandangi wajah Karebet. Dan ketika Karebet memandangnya pula, tiba-tiba anak itu tersenyum.

Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hatinya. “Apakah Karebet mengatakan segala hasratku kepada Baginda, dan malam ini Baginda memanggil aku untuk menghukum mati?”

Kaki Prabasemi menjadi gemetar. Karebet masih saja memandangnya sambil tersenyum-senyum. Tetapi ketika Baginda tiba-tiba berpaling kepadanya, dengan cepatnya Karebet menundukkan wajahnya.

Prabasemi kemudian dengan tubuh gemetar duduk bersila di hadapan Baginda. Sekali ia menyembah, kemudian menekurkan kepalanya terhujam ke lantai. Detak jantungnya yang berdentang-dentang serasa benar-benar akan memecahkan dadanya.

Kemudian kepada kedua Nara Manggala yang masih berdiri di muka pintu, Baginda berkata, “Tinggalkan Tumenggung Prabasemi di sini.”

Kedua orang itu pun membungkukkan kepalanya dengan takzimnya, dan kemudian meningalkan Kesatrian.

Sesaat Baginda masih berdiam diri. Ditatapnya Tumenggung Prabasemi yang ketakutan itu. Mula-mula Baginda menjadi heran, kenapa tiba-tiba Tumenggung itu menggigil ketakutan. Karena itu maka berkatalah Baginda, “Apakah kau terkejut, Prabasemi? Terkejut karena aku memanggilmu di malam hari?”

Suara Prabasemi gemetar, sehingga tidak begitu jelas terdengar, “Hamba Baginda. Hamba, hamba tidak menyangka.”

Apa yang tidak kau sangka?”

Prabasemi menjadi semakin bingung. Dan ketika sekali lagi ia memandang Karebet dengan sudut matanya, Karebet masih saja tersenyum.

Apakah kau menyangka bahwa aku tidak akan memanggil seseorang di malam hari begini?

Ya, ya, Baginda.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya pula, “Kalau aku memanggilmu tidak pada saat-saat yang wajar, itu pasti ada sesuatu yang sangat penting.”

Hamba, Baginda.” Kata-kata Prabasemi itu menjadi semakin gemetar.

Aku tidak memanggil orang lain, karena persoalan ini mau tidak mau pasti akan menyangkut dirimu.”

Kata-kata Baginda itu terdengar ditelinga Prabasemi sebagai suara kentongan yang menyebarkan kabar kematian. Dengan mata merah namun dengan wajah pucat Prabasemi mencoba sekali lagi memandang wajah Karebet. Namun kini Karebet telah menundukkan wajahnya. “Gila, Setan, Anak itu benar-benar penghianat. Kenapa tidak aku bunuh saja ia kemarin atau lusa

Maka berkata Baginda seterusnya, “Nah, Prabasemi. Aku ingin mengatakan suatu rahasia kepadamu tetapi dengan janji, bahwa apabila ada orang lain yang mendengar lewat mulutmu, maka umurmu tidak lebih panjang dari sepemakan sirih.”

Prabasemi telah benar-benar menjadi ketakutan. Dengan wajah tunduk ia menyembah sambil berkata, “ampun baginda.”

Dengarlah,” berkata baginda kemudian, ”apakah kau mengenal anak yang duduk di belakang ini?”

Prabasemi mengangguk. Tubuhnya menggigil seperti kedinginan, “Hamba, Tuanku.”

Kau kenal namanya?”

Hamba Baginda.”

Siapakah dia dan dari kesatuan apa dia?”

Darah Prabasemi seolah berhenti karenanya. Namun ia berusaha menjawab, “Ampun Baginda. Namanya Karebet, dari kesatuan hamba pula. Wira Tamtama.”

Baginda mengangguk anggukkan kepalanya. Namun Baginda menjadi semakin heran melihat sikap Prabasemi. Bahkan Karebetpun menjadi geli pula, sehingga untuk sesaat ia dapat melupakan nasibnya sendiri.

Prabasemi,” berkata Bagind pula, ”dahulu aku menyerahkan anak itu kepadamu. Tetapi sekarang anak itu akan aku ambil darimu.”

Prabasemi terkejut mendengar kata-kata Baginda yang tidak disangka-sangka itu. Sehingga karenanya ia bahkan menjadi bingung. Sesaat ia menatap wajah Baginda dan sesaat pula ia memandang wajah karebet.

Tumenggung itu baru sadar ketika didengarnya Baginda berkata seterusnya,  “Sejak saat ini, Karebet bukan Wira Tamtama lagi.”

Kembali Prabasemi terkejut. Tetapi Karebet sudah tidak mampu lagi untuk tersenyum. Kepalanya yang lemah itu terkulai tunduk, sedang nafasnya berangsur-angsur menjadi semakin cepat.

Prabasemi yang kebingungan itu masih belum dapat menangkap maksud baginda, sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya, “kenapa?.

Baginda mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba Prabasemi menyembah, “Ampun Baginda, maksud hamba, bagaimana perintah Baginda?”

Baginda menarik napas kemudian berkata, “Prabasemi, kau adalah seorang Tumenggung yang kini sedang mendapat beberapa kepercayaan. Aku tidak mempersoalkan peristiwa ini kecuali dengan kau. Karena kau adalah pemimpin langsung dari anak muda yang bernama Karebet. Sedang kepada kakang Patihpun sama sekali aku tidak memberitahukannya. Tetapi sekali lagi dengan janji, apabila seorang mendengar persoalan ini dari mulutmu, maka bagimu akan segera disediakan tiang gantungan.”

Hati Prabasemi yang tinggal semenir itu kini telah berkembang kembali. Sedikit demi sedikit ia dapat mengurai keadaan. Apalagi ketika Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku.”

Tiba-tiba Prabasemi seakan bersorak kegirangan. Inilah soalnya. Jadi bukan dirinyalah yang akan dihadapkan ketiang gantungan, tetapi agaknya anak yang bernama Karebet itu. Karena itu maka Prabasemi itu kini sudah tidak tidak menggigil lagi. Meskipun demikian ia masih mengumpat-umpat didalam hatinya, “Demit itu masih juga sempat menggangu orang pada saat nyawanya sudah diujung ubun-ubun.” katanya dalam hati.

Dan karena itulah maka tiba-tiba Prabasemi menyahut kata-kata Baginda dengan jawaban yang tak disangka-sangka oleh baginda, ”Ampun Baginda, Sebenarnyalah demikian, Karebet memang mempunyai tabiat kurang baik. Sehingga, karena itulah ia melakukan perbuatan gila. Dengan berbuat demikian, bukankah ia telah menghinakan  tidak saja keluarga Baginda, tetapi justru Adat Demak telah dihinakannya pula. Keberaniannya mencuri hati Tuan Puteri merupakan kesalahan yang tak dapat diampuni.”

Karebet itu pun terkejut mendengar kata-kata pemimpinnya itu, sehingga hatinya menjadi semakin berdear-debar. Tetapi, Bagindalah yang lebih-lebih terkejut lagi. Karena itu, sambil mengerutkan keningnya, Baginda bertanya, “Prabasemi darimana kau tahu dengan pasti kesalahan Karebet atas keluargaku?”

Kini Prabasemilah yang terkejut bukan alang kepalang. Ternyata ia terdorong mengatakan sesuatu yang belum diketahuinya. Karena itu, kembali dadanya berdebar-debar. Sekali ditatapnya Karebet yang tertunduk lesu. Sekali dipandangnya kaki Baginda. Namun akhirnya ia berkata, “Baginda, ampunkan hamba. Sebenarnya Karebet pernah berkata kepada hamba,  memuji-muji puteri baginda. Sesekali ia akan datang kekeputren untuk menemui puteri itu. Namun, ampun baginda, aku sangka Karebet hanya berkelakar dan menghilangkan kejemuannya apabila sedang bertugas dalam gardu penjagaan di luar istana. Karena itulah ketika Baginda bersabda bahwa Karebet telah berbuat kesalahan atas keluarga Baginda, langsung hamba dapat menebak apa yang telah dilakukannya.”

Darah Baginda serasa mendidih mendengar kata-kata Prabasemi itu. Dengan wajah yang merah membara, maka dipandanginya wajah Karebet yang tunduk. Namun Karebet tidak kurang terkejutnya mendengar pengaduan Tumenggung Brabasemi itu. Bahkan hampir saja akan menjawabnya, dan mengatakan apa yang terjadi dengan Tumenggung. Namun kemudian niat itu diurungkannya. Apabila ia tak dapat membuktikannya, maka pa yang dikatakannya itu dianggap tidal lebih dari fitnah belaka. Karena itu, kembali Karebet menundukkan kepalanya. Dicobanya memutar otak mencari jawaban, apabila Baginda bertanya kepadanya tentang kebenaran kata-kata Prabasemi itu.

Dan sebenarnyalah Baginda itupun kemudian bertanya, “Karebet, kau dengar kata Tumenggung Prabasemi?.”

Hamba Baginda” jawab Karebet sambil menyembah.

Apa katamu tentang itu?”

Sebenarnya aku pernah berbuat demikian Baginda.”

Jawaban Karebet itu benar-benar tak disangka-sangka oleh Tumenggung Prabasemi. Ia mengharap Karebet akan membantahnya dan bercerita tentang bermacam-macam persoalan. Dengan demikian Tumenggung itu akan dapat membuat Baginda semakin marah dengan menuduhkan bahwa untuk mengurangi kesalahannya, Karebet telah membuat fitnah. Tetapi ternyata Karebet justru membenarkan kata-katanya.

Baginda itu pun menjadi heran. Kemarahannya yang telah memuncak tiba-tiba mereda kembali mendengar jawaban itu. Meskipun demikian baginda itu membentaknya, “Kenapa kau berbuat demikan Karebet?.”

Baginda,” jawab Karebet, “ampunkan hamba. Sebenarnya setelah melihat puteri Baginda, hamba menjadi seorang yang tak dapat menilai diri sendiri. Sekali-sekali hamba pernah mempercakapkannya dengan Kiai Tumenggung karena hamba tidak mempunyai orang tua lagi semenjak ibu hamba meningal, setelah ayah Kebo Kenanga meninggal pula. Itulah sebabnya, maka hamba hanya dapat mengadu kepada pimpinan hamba yang hamba anggap ayah bunda hamba. Apalagi, kebiasaan Kiai Tumenggung mirip dengan kebiasaan eyang Pangeran Handayaningrat almarhum. Mengurai rambut dan menyangkutkan ikat kepala di lehernya. Itulah sebabnya hamba terlalu percaya kepada Kiai Tumenggung, dan hamba katakan apa yang tersimpan dihati hamba tanpa berprasangka.”

Bohong!,” tiba-tiba Tumenggung Prabasemi memotong Karebet. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, disadarinya bahwa di hadapannya Sultan Trenggana sedang duduk mendengarkan kata-kata Karebet itu. Karena itulah, maka dengan gugup Prabasemi menyembah sambil berkata, “Ampun Tuanku.”

Sultan Trenggana mengerutkan alisnya. Ya, sebenarnyalah anak yang diambil dari jalan ini bukanlah anak kebanyakan. Ketika Karebet menyebut nama Kebo Kenanga dan Handayaningrat, betapa mereka mempunyai perbedaan pandangan dalam pelbagai persoalan, namun runtuh juga belas kasihan Baginda kepada Karebet yang yatim piatu hampir sejak kanak-kanak. Namun meskipun demikian, anak itu mampu memiliki kekuatan lahir dan batin yang mengagumkan.

Kini Sultan Trenggana dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik. Akan lebih mudah menghadapi daerah yang memberontak daripada persoalan puterinya. Maka akhirnya Baginda berkata, “Prabasemi, Karebet aku ambil kembali. Anak itu akan aku jauhkan dari pusat kerajaan. Aku jauhkan sejauhnya dari istana. Biarlah ia menjadi pembantu Arya Palindih dalam tugasnya mengawasi bandar Bergota.”

Prabasemi benar-benar terkejut mendengar keputusan itu, seperti juga Karebet yang terkejut bukan kepalang. Karebet yang telah merasa bahwa umurnya akan tinggal seujung malam itu tiba-tiba merasa dirinya hidup kembali. Karena itu dengan serta merta ia bertiarap di kaki Baginda. Anak yang aneh itu, yang seakan-akan tidak pernah merasakan sedih dan duka dan kesulitan-kesulitan hidup yang lain, tiba-tiba menangis di bawah kaki Baginda. Bukan karena ia akan hidup lebih lama lagi, namun terasa olehnya, betapa kasih Baginda itu kepadanya.

Karena itu, justru ketika ia merasakan bahwa sebenarnya budi Baginda kepadanya, sejak ia dipungutnya dari tepi-tepi jalan, bukan main besarnya, penyesalannya bertambah-tambah. Ia menyesal bahwa ia telah menyebabkan Baginda gusar kepadanya, dan ia menyesal bahwa ia telah berbuat suatu kesalahan yang sangat besar bagi adat kehidupan Demak.

Berbeda dengan Tumenggung Prabasemi. Tumenggung itupun terkejut bukan buatan mendengar keputusan Baginda. Ternyata Karebet itu sama sekali tidak dihukum mati. Anak itu hanya sekadar dijauhkan dari istana. Alangkah mudahnya. Karena itu, maka pada saat-saat yang akan datang, kemungkinan Karebet untuk kembali ke Demak masih terbuka. Tetapi kalau anak itu telah terpenggal lehernya, maka ia baru akan dapat tidur nyenyak. Karena itu betapapun ia takut kepada Baginda, dicobanya juga untuk berkata, “Baginda, apakah hukuman itu sudah cukup adil?

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah pertimbanganmu Prabasemi?”

Baginda, hukuman yang paling pantas bagi pengkhianatannya adalah hukuman mati.”

Karebet yang sudah duduk kembali itupun memandang Prabasemi dengan sudut matanya. Ia dapat memahami perasaan Tumenggung itu. Tetapi Karebet sama sekali tidak dapat mengatakan apakah yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Tumenggung itu. Karena itu, yang dapat dilakukan hanyalah mengumpat didalam hatinya.

Tetapi ternyata Baginda tidak begitu saja menerima pendapat Prabasemi. Dengan penuh pertimbangan Baginda berkata, “Prabasemi. Bukan kesalahan dalam tata hubungan antara seorang kawula dan seorang raja. Seorang prajurit dan seorang Panglima. Aku sependapat dengan kau, bahwa setiap pengkhianat harus dihukum mati. Tetapi Karebet tidak berkhianat. Ia hanya sekedar melakukan hubungan yang wajar antara seorang pria dengan wanita. Tetapi caranyalah yang sama sekali tidak wajar. Karena itu maka menjauhkan Karebet dari istana, akan berarti menghapuskan setiap kemungkinan Karebet berbuat untuk kedua kalinya. Dan apabila ternyata dengan segala cara maka pengampunan kali ini diabaikan, maka aku tidak akan memberinya ampun untuk kedua kalinya.”

Prabasemi itu mengerutkan keningnya. Tampaklah betapa ia tidak senang mendengar keputusan Baginda. Karena itu sekali lagi diberanikan dirinya berkata, “Baginda. Janganlah menjadi contoh yang memalukan bagi seorang prajurit Wira Tamtama. Hamba akan menderita malu sekali apabila seseorang mendengarnya, bahwa seorang prajurit Wira Tamtama dalam pimpinan Prabasemi telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Biarlah ia menjadi contoh bagi para prajurit yang lain.”

Peristiwa ini tak akan dapat dijadikan contoh dalam bentuk apapun, Prabasemi. Aku tidak mau, seorang pun mengetahui apa yang telah terjadi. Aku tidak akan dapat memberikan alasan yang kuat, kenapa Karebet harus dihukum mati. Kalau alasan yang sebenarnya aku beritahukan, maka rahasia ia akan terbuka.”

Prabasemi itu menggigit bibirnya. Ketika sekali terpandang mata Karebet itu menatapnya, maka kemarahan Prabasemi tak dapat dikendalikan lagi. Dengan garangnya ia menunjuk kepada anak muda itu sambil menggeram. “He, Karebet. Terkutuklah kau sampai anak cucumu.

Karebet tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian itu, maka yang paling baik baginya adalah berdiam diri.

Bilik itu kemudian dicengkam oleh kesenyapan. Kesenyapan yang menggelisahkan. Baginda itu ternyata sekali lagi harus berpikir dan bertindak bijaksana. Kalau ia sama sekali tak mendengarkan permintaan Prabasemi, maka Baginda pun menjadi cemas, jangan-jangan Prabasemi mempunyai cara sendiri untuk melakukannya.

Ketika Baginda sedang berpikir, maka Prabasemi berpikir pula. Namun agaknya Baginda tidak akan dapat memenuhi permintaannya untuk melenyapkan Karebet. Karena itu Prabasemi sedang mencari cara lain yang sama sekali tak akan mudah diketahui. Tetapi betapapun, namun terasa oleh Tumenggung itu, bahwa sebenarnyalah Baginda sangat sayang kepada Karebet.

Tiba-tiba Tumenggung itu tersenyum di dalam hati. Karena itu, maka sekali ia menyembah kepada Baginda, lalu katanya, “Baginda. Sebenarnya hamba pun tidak akan sampai pada permohonan yang paling keras untuk menghukum mati Karebet. Namun terdorong karena luapan perasaan, setelah hamba mendengar bahwa Karebet telah berbuat khianat itulah yang telah mendorong hamba untuk tidak ingin melihatnya lagi dalam lingkungan keprajuritan. Sehingga meskipun Karebet itu tidak dihukum mati, namun sebaiknya anak muda itu tidak lagi mendapat kesempatan apapun yang memungkinkannya kembali ke istana. Dengan menempatkan anak itu pada kakang Palindih, maka kesempatan masih terbuka setiap kali baginya untuk mendapatkan kedudukan kembali dalam lingkungan keprajuritan, untuk kembali ke istana. Kecuali apabila Putri telah mendapat tempat yang selayaknya bagi seorang putri.”

Baginda tidak segera menjawab kata-kata Prabasemi. Namun Baginda melihat banyak persoalan yang dapat terjadi. Baginda melihat, bahwa Prabasemi benar-benar tersinggung atas perbuatan Karebet itu. Namun Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam dada Tumenggung yang garang itu tersimpan pikiran-pikiran yang gila pula. Baginda sama sekali tidak menyangka bahwa Prabasemi mempunyai maksud-maksud yang tidak kalah gilanya dengan apa yang telah dilakukan oleh Karebet. Namun agaknya Prabasemi akan menempuh jalan yang lain daripada yang pernah ditempuh oleh anak muda yang aneh itu.

Setelah Baginda menimbang beberapa saat, akhirnya Baginda membenarkan permohonan Prabasemi itu. Baginda mempertimbangkan permohonan Permaisuri pula. Baik Permaisuri sebagai ibu putrinya, maupun Prabasemi, pemimpin langsung Karebet, yang dapat dianggapnya orang tuanya, bersama-sama tidak menghendaki anak itu lagi. Tidak menghendaki Karebet tampak di antara kawula Demak. Namun untuk membunuhnya, Baginda benar-benar tidak sampai hati. Sebab, meskipun anak itu sekadar anak gembala yang dipungutnya dari tepi blumbang masjid, namun anak itu mempunyai beberapa tanda-tanda keanehan di dalam dirinya. Dan bagaimanapun juga, Baginda tidak dapat menutup kenyataan bahwa anak itu adalah cucu Pangeran Pengging Sepuh, Pangeran Handayaningrat.

Mudah-mudahan mereka kelak dapat melupakan kesalahan itu. Dan mudah-mudahan hukuman ini dapat menyadarkan anak itu. Apabila kelak datang suatu kemungkinan, anak itu dapat dicarinya, diambilnya kembali dalam lingkungan keprajuritan. Sebab sebenarnya Demak memerlukan orang-orang yang memiliki kelebihan daripada orang-orang kebanyakan. Dan benarlah kata-kata Prabasemi, bahwa kelak dapat diambil kebijaksanaan lain apabila putrinya telah mendapatkan tempat yang wajar bagi seorang putri raja.

Karena itulah maka akhirnya Baginda berkata, “Karebet, apakah kau setuju dengan pertimbangan-pertimbangan dari pemimpinmu?

Karebet menyembah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga, betapa ia menjadi tidak senang kepada Prabasemi. Perasaan muaknya menjadi bertambah-tambah. Tetapi sekali lagi ia menahan hatinya, sebab tak ada bukti apapun yang dapat diajukannya apabila ia ingin menceriterakan tentang maksud-maksud Tumenggung yang licik itu.

Nah, Karebet. Segala keputusan adalah keputusanku. Bukan orang lain. Juga keputusan tentang dirimu kali ini, adalah tanggung jawabku. Ternyata ada beberapa pertimbangan baru tentang dirimu. Kalau semula aku ingin menyerahkan kau kepada Kakang Palindih, maka hal itu masih mendapat pertimbangan-pertimbangan lain. Kini aku telah menentukan sikapku sebagai suatu keputusan. Kau sejak saat ini bukan anggota Wira Tamtama lagi. Dan kau sejak ini bukan keluarga dalam lingkungan keprajuritan apapun dan jabatan-jabatan apapun. Kau harus pergi meninggalkan Demak. Untuk tidak menampakkan dirimu lagi sampai keputusan ini aku cabut.”

Dada Karebet berdesir mendengar keputusan itu. Sekali lagi ia menyembah jauh di bawah kaki Baginda. Alangkah sakit perasaannya. Jauh lebih sakit daripada apabila sejak semula ia mendapatkan hukuman mati. Disingkirkan dari lingkungan keprajuritan dan disisihkan dari Demak adalah hukuman yang terlampau berat. Tetapi ketika disadarinya bahwa kesalahannya terlampau berat, maka Karebet pun kemudian mencoba menghibur diri sendiri. Mencoba menerima keadaan, dan dipaksanya untuk menjadi keadaan yang sewajarnya. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman.

Dan Karebet pun kemudian menerima setiap keputusan Baginda dengan kesadaran. Tetapi ia tidak dapat melupakan Tumenggung Prabasemi itu. Seandainya Tumenggung itu tidak mempunyai maksud-maksud gila, maka ia pasti tidak akan terlalu bernafsu untuk menyingkirkannya, sehingga Tumenggung itu pasti membiarkannya untuk pergi ke Bergota. Tetapi segala kemungkinan kini telah tertutup. Baginda telah menjatuhkan keputusan. Dan keputusan Baginda kali ini bukan sekadar pertimbangan. Namun benar-benar telah merupakan keputusan yang diucapkan.

Mendengar keputusan Baginda, kembali Prabasemi tersenyum di dalam hati. Tetapi ia tetap menundukkan wajahnya, seakan-akan keputusan itu tidak berpengaruh apapun di dalam perasaannya.

“Karebet…” kata Baginda kemudian, “Keputusan itu berlaku sejak malam ini. Karena itu, kau harus segera meninggalkan istana ini dan langsung meninggalkan lingkungan kota Demak.”

Ampun Baginda,” sela Prabasemi, “Keputusan Baginda itu berarti bahwa tidak ada kesempatan lagi bagi Karebet untuk berada di sekitar Demak? Dengan demikian, maka akan lebih baik jika kelak Baginda mengeluarkan perintah, bahwa setiap Prajurit yang melihat Karebet, harus mengusirnya.

Baginda mengerutkan keningnya. “Alangkah dalam dendam Tumenggung Prabasemi itu kepada Karebet,” pikir Baginda. “Mungkin Prabasemi ingin membersihkan dirinya dari setiap kemungkinan, bahwa iapun akan ikut bertanggungjawab atas kesalahan anak buahnya. Karena itu justru ia bersikap sangat keras.”

Namun Baginda menjawab, “Apakah alasan yang dapat aku berikan untuk perintah itu?

Prabasemi merenung sejenak. Kemudian katanya, “Ampun Baginda. Biarlah nama Karebet agak menjadi lebih baik. Biarlah aku membuat alasan. Karebet telah dengan lancang membunuh seorang yang menyatakan keinginannya masuk Wira Tamtama. Dan lurah Tamtama yang muda itu telah menjadi panas hatinya, ketika orang ingin menunjukkan kesaktiannya, sehingga karenanya orang baru itu terbunuh.”

Setan,” desis Karebet di dalam hatinya. Kepalanya kini benar-benar menjadi pening. Kenapa persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya itu dibicarakan justru di hadapannya? Hal inipun telah merupakan hukuman tersendiri baginya. Ditambah dengan hasutan-hasutan Tumenggung yang licik itu.

Kembali bilik itu menjadi sepi sesaat. Terasa betapa Baginda menjadi bimbang atas keputusannya sendiri. Sekali-kali ditatapnya wajah Tumenggung Prabasemi, dan sekali-kali ditatapnya kepala Karebet yang tunduk. Baginda sendiri menjadi heran, kenapa ia seakan-akan merasakan sesuatu yang mengetuk-ngetuk hatinya, ketika terasa pada Baginda, bahwa sebentar lagi anak itu akan dijauhkan darinya. Meskipun anak itu telah menumbuhkan kemarahan padanya, pada Permaisuri dan Tumenggung Prabasemi, namun Baginda tidak dapat melepaskan harapan, bahwa anak itu pada suatu masa pasti akan menjadi seorang yang berharga bagi Demak.

Tetapi Baginda tidak akan dapat mencabut keputusan yang telah dijatuhkan. Karena itu sebelum perasaan Baginda menjadi semakin kalut, maka berkatalah Baginda, “Nah, Karebet. Saat ini pula kau harus mulai menjalani hukuman sebelum orang lain mengetahui keadaanmu. Kepadamu pun aku berpesan, apabila masih ada tanda kesetiaanmu kepadaku, jangan kau katakan apapun yang terjadi, kepada siapapun. Supaya aku tidak usah berusaha menanggkapmu dan memberi hukuman kepadamu yang jauh lebih berat dari hukuman mati.”

Karebet itu pun menyembah di kaki Baginda, dan bahkan kemudian diciuminya kaki itu. Dengan terbata-bata, anak muda itu berkata, “Ampun Baginda. Tiada titah Baginda yang tidak akan hamba lakukan. Apapun yang akan aku jalani, apabila itulah keputusan Baginda, maka pasti akan hamba junjung tinggi.”

Baginda terharu juga melihat anak muda itu. Tetapi kembali Baginda menindas perasaannya. Maka kata Baginda, “Baik. Aku harap kau tidak ingkar. Sekarang pergilah dari Kasatrian. Tidak saja dari Kasatrian, tetapi dari Demak. Jangan dekati lagi istana ini. Sebab besok setiap prajurit akan mendengar, bahwa Karebet diusir dari istana. Dan setiap prajurit akan mengusirmu pula.”

Alangkah pedihnya perintah itu. Tetapi Karebet harus melakukannya. Karena itu sekali lagi ia menyembah dan berkata, “Titah Baginda akan hamba lakukan. Sebab hukuman ini ternyata masih dilimpahi oleh kemurahan hati Baginda.

Setelah Karebet itu menyembah sekali lagi, maka mulailah ia bergeser mundur. Namun tiba-tiba Prabasemi berkata, “Ampun Baginda. Biarlah aku mengantarkan anak itu sampai di perbatasan.”

Baginda mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jangan seorang pun tahu apa yang telah terjadi.”

Tidak Baginda,” sahut Prabasemi. “Hamba sendiri akan mengantarkannya sampai ke perbatasan, malam ini.”

Baginda tidak segera menjawab. Bahkan Baginda itu menjadi semakin heran. Kenapa kemarahan Prabasemi itu menjadi sedemikian jauhnya, melampaui kemarahan Baginda sendiri, yang langsung mendapat cela karena putrinya. Tetapi sekali lagi Baginda menyangka bahwa sikap itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa ia tidak tersangkut kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh Karebet itu. Karena itu maka berkata Baginda. “Apakah hal itu kau anggap perlu Prabasemi?

Hamba Baginda,” jawab Prabasemi. “Sebab apabila tidak demikian, maka anak muda itu akan dapat bersembunyi di rumah kawan-kawannya di dalam kota.”

Baginda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kata Baginda, “Terserahlah kepadamu Prabasemi.”

Kembali Prabasemi tertawa di dalam hati. Dengan menyembah sekali lagi ia berkata, “Ampun Baginda, biarlah hamba berangkat sekarang sebelum fajar.”

Pergilah,” sahut Baginda.

Kemudian kepada Karebet, Prabasemi berkata, “Ayolah Karebet. Jangan menyesali diri. Hukuman ini masih terlalu ringan bagimu.”

———-oOo———-

III

Karebet sama sekali tidak menjawab. Tetapi kemudian mereka bersama-sama meninggalkan bilik Kasatrian itu. Prabasemi berjalan dengan wajah tengadah, dan senyum yang mengulas bibirnya. Sedang Karebet berjalan dengan wajah yang tunduk. Bukan karena ia takut kepada Prabasemi, namun betapa ia menyesali dirinya. Sesaat teringatlah ia akan pamannya, Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar, dan sahabatnya Arya Salaka. Karena itu, tiba-tiba ia pun tersenyum. Di tempat itu ia akan menemukan ketentraman. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang akan dikatakannya kepada pamannya kelak. Apakah pamannya tidak akan marah kepadanya? Dan senyum di bibir Karebet itu seperti tersapu angin malam. Kini kembali ia berjalan sambil menundukkan wajahnya.

Ketika mereka sampai di pintu gerbang, lewat di muka gardu penjaga, maka terdengarlah seorang Nara Manggala bertanya, “Apakah persoalannya sudah selesai Kiai Tumenggung?

Prabasemi berhenti sejenak. Dengan bangga ia menjawab singkat, “Sudah.”

Apakah yang terjadi?”

Tidak apa-apa,” jawab Prabasemi.

Namun di luar dugaan Tumenggung itu, Karebet berkata, “Kaki Baginda terkilir.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Dan didengarnya penjaga itu berkata, “Sudah kau katakan sore tadi. Tetapi Baginda itu tidak apa-apa. Baginda berjalan dengan tegap dan cepat.”

Baginda sudah sembuh setelah aku pijit,” sahut Karebet, “Memanggil Kiai Tumenggung dan bertanya kepadanya apakah Baginda timpang.”

Tumenggung Prabasemi pun menjadi heran. Karebet baru saja mendengar keputusan tentang dirinya. Tetapi tiba-tiba ia sudah dapat berkelakar. Gila benar anak ini. Namun Prabasemi menjadi tidak senang karenanya. Ia ingin Karebet menjadi bersusah hati. Ia ingin Karebet minta ampun kepadanya dan merengek-rengek seperti orang banci.

Karena itu ketika Karebet masih ingin berbicara lagi, maka Tumenggung itu membentak, “Ikut aku!”

Karebet menganggukkan kepalanya. Tanpa berbicara lagi, maka keduanya segera pergi meninggalkan gerbang halaman dalam istana itu.

Sampai di luar gerbang, maka berkatalah Prabasemi dengan angkuhnya, “Karebet, arah manakah yang akan kau pilih?”

Karebet berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Ki, apakah aku tidak akan singgah dahulu untuk mengambil pakaianku?

Prabasemi berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Apa sajakah milikmu itu?

Pakaian, Ki.”

Itu saja?”

Ya.”

Biarlah aku tukar dengan uang.”

Jangan Kiai. Pakaian itu adalah pakaian yang aku terima dari almarhum ayahku. Jangan ditukar dengan apapun.”

Prabasemi yang yakin rencananya akan terjadi itu berkata, “Baiklah, marilah aku antarkan ke pondokmu. Tetapi jangan berbuat gila, supaya lehermu tidak aku penggal malam ini.

Karebet tidak menyahut. Tetapi mereka berdua segera berjalan ke pondok Karebet. Ketika Karebet masuk ke dalam pondoknya Prabasemi berkata, “Aku ikut. Dan jangan berkata kepada siapapun apa yang akan kau lakukan.”

Karebet tidak dapat menolak. Karena itu dibiarkannya Prabasemi ikut masuk ke dalam pondoknya, namun tidak ke dalam biliknya.

Sebenarnya Karebet sama sekali tidak sayang pada beberapa lembar pakaiannya. Tetapi yang memaksanya untuk pulang lebih dahulu adalah sebilah pusaka yang dahsyat, Kyai Sangkelat.

Demikianlah setelah Karebet itu menyembunyikan Kyai Sangkelat di bawah bajunya, maka ia pun segera keluar dari biliknya, dengan sebuah bungkusan kecil berisi beberapa lembar pakaian.

Kau bukan Wira Tamtama lagi. Jangan kau bawa pakaian keprajuritan.

Tidak, Kiai,” jawab Karebet. “Pakaianku aku tinggal di sangkutan pada dinding bilikku.

Tetapi Prabasemi itu tidak percaya. Diperlukannya menengok bilik Karebet. Dan dilihatnya pakaian itu tersangkut di sana.

Namun ketika mereka meninggalkan pondok itu, Karebet berkata, “Aku telah diusir dari Demak. Karena itu aku tidak sempat menyelesaikan persoalan pondokku dengan pemiliknya. Karena itu aku serahkan semua itu kepada Kiai.

Prabasemi tersenyum. “Itu bukan persoalan sulit. Biarlah itu aku selesaikan.

Karebet tidak berkata apa-apa lagi. Dan mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan-jalan kota ke selatan. “Aku akan menuju ke arah selatan,” kata Karebet kemudian.

Baik. Baik. Kemana kau inginkan, biarlah aku menuruti,” jawab Prabasemi sambil tertawa.

Tetapi karena sikap Prabasemi itu, maka Karebet justru menjadi curiga. Sikap itu terlalu ramah. Jauh berbeda dengan sikapnya, pada saat mereka masih berada di Kasatrian. Meskipun demikian Karebet masih tetap berdiam diri. Ia masih saja berjalan dengan kepala tunduk.

Malam semakin lama semakin dalam menjelang fajar. Embun telah mulai menetes dari dedaunan, menitik di rerumputan yang tumbuh liar di tepi jalan. Angin malam yang sejuk lembut bertiup perlahan-lahan mengusap wajah-wajah mereka dengan sejuknya. Namun hati Karebet tidak sesejuk angin malam.

Prabasemi dan Karebet masih saja berjalan dengan langkah yang semakin lama semakin cepat. Seakan-akan mereka takut kesiangan. Dan sebenarnya bahwa malam memang hampir sampai ke akhirnya. Bintang-bintang telah jauh berkisar ke arah barat. Namun di timur belum muncul bintang fajar yang cemerlang.

“Hem,” desis Prabasemi kemudian, “Hampir fajar.”

Karebet tidak menjawab. Tetapi diangkatnya wajahnya dan dipandangnya langit yang kelam. “Masih cukup lama,” katanya di dalam hati.

Perjalanan mereka yang cepat itu tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai perbatasan. Segera mereka sampai ke tepi kota. Di hadapan mereka terbentang daerah-daerah persawahan yang tidak begitu luas. Dan di sebelah Barat, tampaklah seleret hutan yang memanjang ke selatan. Meskipun hutan itu tidak terlalu besar, namun di dalamnya bersembunyi juga beberapa jenis binatang liar. Serigala, anjing hutan dan beberapa jenis harimau kecil.

Prabasemi melihat hutan itu pula. Kemudian sekali lagi ia tersenyum. Kemudian katanya kepada Karebet, “Marilah aku antar kau sampai ke hutan itu.”

Mendengar kata-kata Prabasemi itu, Karebet benar-benar menjadi terkejut, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kenapa sampai ke hutan itu?

Sampai ke hutan itu, atau melampauinya,” jawab Prabasemi, “Supaya kau selamat dari terkaman binatang-binatang buas.”

Ah,” desah Karebet. “Tak ada binatang buas yang berbahaya di hutan itu.

Biarlah aku mengantarmu untuk yang terakhir kali” sahut Prabasemi sambil tertawa.

Sekali lagi terasa sesuatu berdesir di dalam dada Karebet. Namun ia tidak menjawab. Dibiarkannya Tumenggung Prabasemi itu berjalan di sampingnya.

Sesaat kemudian mereka berdua saling berdiam diri. Prabasemi tenggelam dalam angan-angannya, sedang Karebet mencoba menebak, apakah sebabnya maka Tumenggung Prabasemi membuang-buang waktu untuk mengantarkannya sehingga sampai ke hutan itu.

Namun tiba-tiba Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Hem. Karebet. Sekarang akhirnya tahu, kenapa kau pernah menunjukkan layon kembang kepadaku dahulu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu mereka masih berjalan terus menyusuri jalan-jalan kecil di antara sawah yang terbentang. Di antara batang-batang padi muda yang tampaknya hijau segar, sesegar udara pagi yang tertiup angin basah dari pegunungan.

Beberapa hari aku mencoba memecahkan teka-teki itu, Karebet,” kata Prabasemi.

Karebet masih berdiam diri.

Ternyata kaulah yang telah berhasil lebih dahulu daripadaku.”

Kini Karebet berpaling. Ketika terpandang wajah Tumenggung itu, tiba-tiba bangkitlah kembali muaknya. Tetapi ia masih berdiam diri.

Sebenarnya aku akan mengucapkan selamat kepadamu seandainya kau berhasil mempersunting bunga dari istana itu.”

Sudahlah Kiai,” sahut Karebet dengan nada yang rendah.

Tumenggung Prabasemi tertawa. Jawabnya, “Pahit, memang pahit. Bukankah begitu? Seperti hatiku menjadi pahit juga ketika aku melihat layon kembang ditanganmu? Tetapi ketahuilah Karebet, bahwa sebenarnya tidak baru sekarang aku tahu apa yang telah terjadi di Kaputren.”

Kini Karebet mengangkat wajahnya. Ia terkejut mendengar kata-kata itu. Namun dicobanya untuk menyembunyikan perasaan itu.

Tumenggung Prabasemi yang menunggu jawaban Karebet itu menjadi heran. Kenapa Karebet diam saja mendengar pengakuannya itu. Karena itu maka diteruskannya, “Aku telah lama mendengar peristiwa yang memuakkan itu terjadi. Dan aku sedang menunggu kesempatan untuk berbuat seperti sekarang ini.”

Dada Karebet pun menjadi berdebar-debar karenanya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk berdiam diri. Dibiarkannya Tumenggung itu berkata terus. “Dan sekarang kasempatan itu datang juga.”

Kesempatan apa Tumenggung?” bertanya Karebet.

Karebet” berkata Tumenggung itu, “Sejak aku mengetahui hubungan yang kau lakukan dengan Tuanku Putri itu, maka sejak itu aku mengalami kepahitan hidup. Seakan-akan aku menjadi putus asa dan kehilangan gairah untuk menjelang masa-masa depanku. Namun aku tidak kehilangan akal. Aku cari cara yang sebaik-baiknya untuk menyingkirkan kau dari daerah istana.”

Debar dijantung Karebet itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia berusaha untuk menguasainya sekuat-kuat tenaganya. Dibiarkannya Tumenggung itu mengatakan apa saja yang tersimpan didalam dadanya. Dan Tumenggung itu berkata terus “Karebet, selama ini aku telah berjuang untuk mengalahkanmu. Aku telah berusaha dengan susah payah untuk menebus kepahitan yang pernah aku alami. Dan sekarang, datanglah giliranku untuk menikmati keindahan wajah putri itu setelah berbulan-bulan aku hampir menjadi gila karenanya”.

Karebet menggigit bibirnya. Ia menunggu Tumenggung itu mengatakan apakah yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi Tumenggung itu hanya berkata, “Sekarang kau harus menerima kekalahan itu. Kekalahan mutlak. Karena itu jangan mencoba melawan kehendak Tumenggung Prabasemi.”

Tumenggung itu berhenti berbicara. Dengan tersenyum-senyum ia menengadahkan wajahnya. Sedang Karebet menjadi semakin muak kepadanya.

Sementara itu kaki-kaki mereka terayun terus menuju ke hutan yang semakin lama semakin dekat. Malam masih sedemikian gelapnya dan bintang-bintang masih berhamburan di langit yang pekat. Sekali-kali kelelawar tampak beterbangan merajai langit di malam hari.

Semakin dekat mereka dengan hutan itu, semakin tegang wajah Tumenggung yang masih muda itu. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir dan darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdenyut. Sehingga demikian mereka sampai di tepi hutan itu berkatalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah tidak kau ketahui bahwa di dalam hutan ini terdapat beberapa jenis binatang buas.”

Karebet tidak tahu arah pembicaraan Tumenggung Prabasemi, sehingga ia menjawab. “Ya Tumenggung, aku tahu”.

Tetapi Karebet,” berkata Tumenggung itu. “Sebuas-buasnya binatang yang tinggal di dalam hutan ini, bagiku tidak ada yang berbahaya sama sekali”.

Karebet semakin tidak tahu maksud orang itu. Dan yang kemudian didengarnya adalah benar-benar menggelegar ditelinganya seakan-akan memecahkan selaput telinga itu. Berkata Tumenggung Prabasemi. “Sebuas-buasnya binatang di dalam hutan kecil ini Karebet, bagiku kau akan jauh lebih berbahaya lagi daripada mereka itu”.

Terasa jantung Karebet berdentang keras-keras. Kata-kata itu hampir tak dipercayanya. Namun Tumenggung itu berkata terus. “Bagiku Karebet, meskipun kau telah diusir dari istana dan bahkan dari Demak, namun selagi kau telah diusir dari istana kesempatanmu untuk kembali ke istana masih selalu terbuka. Nah, ketahuilah bahwa maksudku kali ini, adalah melenyapkan kesempatan itu sama sekali. Kau dengar?”

Jantung Karebet tiba-tiba terguncang keras sekali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itulah yang dikehendaki oleh Tumenggung Prabasemi itu. Karena itu maka tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar.

Dan masih didengarnya Tumenggung itu berkata, “Karebet, kau adalah orang satu-satunya yang telah mengetahui rahasia perasaanku disamping seorang emban yang telah aku suap untuk memata-matai putri. Dari emban itu pula aku mengetahui segala-galanya, dan pasti emban itu pula yang telah melaporkan hubunganmu dengan putri itu kepada Baginda”.

Kini tubuh Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata, “Selama kau masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk kembali ke istana, dan memungkinkan kau berceritera tentang aku. Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu, namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?

Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar. “Tetapi apakah dengan demikian Ki Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?

Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.”

Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan berbuat melampaui putusan Baginda?

Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya, “Karena itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.

Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”

Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.”

Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak. Sedangkan Tumenggung Prabasemi masih juga tertawa dan berkata, “Jangan menyesal saat ini. Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau…”

Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang.

Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet sama sekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi terbungkam.

Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi, “Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang dapat aku lakukan.”

Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Tiba-tiba ia menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain-main. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh.

Betapa Tumenggung Prabasemi terkejut melihat Karebet itu tersenyum, sehingga dengan serta merta ia berteriak, ”Setan. Kau sangka aku bermain-main?”

Tidak Prabasemi,” jawab Karebet, ”aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main

He, apa katamu?, kau hanya njangkar saja menyebut namaku?

Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian herannya. “Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?” katanya didalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.

Berkata anak muda itu, “Prabasemi. Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Apabila demikian, apakah hubunganku dengan Prabasemi? Aku menyebutmu Tumenggung, Kiai Tumenggung, karena aku berada dibawah pimpinanmu. Tetapi, sekarang aku bukan lagi orangmumu. Sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi. Prabasemi, kau dengar?

Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja lagi dipenuhi dendam didalam dadanya, tetapi kemarahannyapun telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata, “He Karebet, apakah kau sudah benar-benar menjadi gila. Sudah kukatakan kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.

Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu.

Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. karena itu timbul kegembiraannya. Katanya, “Aku dapat berbuat lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap pertempuran. Namun pertempuran-pertempuran  yang pernah kau alami adalah pertempuran-pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Tumenggung Prabsemi adalah seorang tumenggung yang ditakuti.”

Namun kembali Prabasemi terkejut. Tiba-tiba Karebet itu tertawa kembali sambil berkata, ”Prabasemi. Jangan membual. Kau memang sedang memilih cara kematian yang sebaik-baiknya. Sedang yang paling baik bagiku adalah bukan mati. Tetapi, aku lebih senang hidup mengembara dan berburu binatang. Apakah kau ingin ikut aku? Nanti kau akan aku perkenalkan dengan sahabat-sahabatku. Kau pernah mengenal nama Mahesa Jenar?”

Tutup mulutmu!,” bentak Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram, “Kau benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu tiba.

Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”

Gila!,” teriak Prabasemi. Matanya benar-benar telah menyalakan hatinya. Dan tiba-tiba ia berteriak,  “Mampus kau anak gila.

Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang Karebet langsung mengarah kedadanya. Prabasemi benar-benar ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya. Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu.

Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata, “Kiai Tumenggung, bukankah Kiai Tumenggung pernah memberi aku nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Dan bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Kiai Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.

Tutup mulutmu,” teriak Prabasemi, ”atau aku harus menyobeknya.

Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.”

Anak Setan,” geram Prabasemi. Sedang kemudian serangan yang keduapun telah melucur dengan cepatnya. Sebuah tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia berkata, “Prabasemi, kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku. Dan ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.

Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna bersahut-sahutan didalam rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelakserangannya sampai dua kali tanpa tersentuh sama sekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya.

Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar berbahaya. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat tertawa-tawa lagi. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang mampu bergerak sedemikian cepatnya. Namun Karebet itu pun mampu mengimbanginya. Sambaran-sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya, dan bahkan kini serangan-serangannya pun datang pula seperti badai diudara yang dengan dahsyatnya melanda burung rajawali yang merasa dirinya raja dari seluruh langit itu.

Demikianlah pertempuran itu menjadi sangat serunya. Masing-masing adalah prajurit Wira Tamtama yang pantang surut. Masing-masing memiliki bekal yang cukup dahsyat. Karena itu daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran. Daun-daun bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran ditanah. Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan. Tanah di sekitar mereka seakan-akan telah dibajak, dan tumbuh-tumbuhan perdu dan batang-batang kecil telah roboh terinjak-injak kaki mereka.

Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih Prabasemi. Ia telah pernah mendengar dan melihat sendiri beberapa kelebihan Karenet dari kawan-kawannya prajurit-prajurit Wira Tamtama yang lain. Namun tidak disangkanya anak itu mampu melawannya sampai beberapa lama dalam tingkatan yang sejajar. Karena itu maka Tumenggung itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Yang ada didalam otaknya adalah membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara apapun.

Sedang Karebet pun sebenarnya mengagumi pula ketangkasan Prabasemi. Tumenggung yang masih cukup muda, meskipun agak lebih tua daripadanya. Namun ketangkasannya telah sedemikian tingginya, sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa Prabasemi cepat menanjak ketempatnya yang sekarang. Namun sayang, Tumenggung sakti ini mempunyai sifat-sifat yang kurang pada tempatnya. Tumenggung itu terlalu kejam dalam hampir segala tindakan yang diambilnya. Terlalu bernafsukan harga diri dan kebanggaan atas tingkatan-tingakatn yang pernah dicapainya. Apalagi kini ia menjadi semakin gila lagi dengan harapan yang tumbuh didalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.

Tetapi kemudian Karebet pun berkata didalam hatinya kepada dirinya sendiri, “Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung itu?

Karebet itu tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi hampir mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat mengarah ke pergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu bahkan ia masih mampu berputar diatas tumitnya dan dengan tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi Prabasemi tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat, dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit.

Perkelahian itu berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun melayani dengan sepenuh tenaga.

Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi seorang sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya tumbuh didalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik. Namun Karebet adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih secara teratur, namun ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi. Namun karebet adalah seorang yang anak gembala dan sekaligus seorang perantau. Tubuhnya seakan-akan ditempa sekitarnya. Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi kawan gembala dari segala sergapan para pencuri ternak. Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri. Semuanya itu telah menempa tubuh Karebet menjadi sekeras tembaga, tulang-tulangnya sekeras besi dan otot-ototnya seliat jalur baja.

Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat menyamai Karebet.

Prabasemi pun akhirnya merasakan keadaan itu pula. Karena itu, betapapun betapapun jantungnya bergejolak dengan dahsyat. Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah membakar darahnya sehingga seakan-akan mendidih. Telah dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan lawannya, namun Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Karena itu, sekali-sekali terdengar Prabasemi menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir. Sebenarnya malu juga Tumenggung Prabasemi itu. Melawan anak-anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus menggunakan ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai jalan lain daripada itu. Ilmu itu adalah ilmu gerak yang luar biasa. Ilmu yang dinamai oleh gurunya Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila ilmu itu dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti menghalau angin.

Demikianlah ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet itu atasnya, serta tuntutan dendam yang membara di dalam dadanya, maka Prabasemi itu pun segera meloncat mundur. Secepat kilat ditrapkannya ilmu gerak itu, Aji Sapu Angin. Dijulurkannya kedua tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan menelentang dilambungnya. Itulah pertanda, gerakan-gerakan pertama dari unsur Aji Sapu Angin.

Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi, sedang tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih belum dapat menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka Karebet tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah jarang-jarang dimiliki oleh seseorang. Lembu Sekilan. Bahkan dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata, “Ait apakah kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?.

Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya. Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.

Karebet terkejut melihat gerak itu, namun gerak itu terlalu cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali ini Karebet benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet. Sambaran tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-benar terasa menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka Karebet terdorong beberapa langkah.

Ketika Prabasemi merasakan sentuhan tangannya itu, serta melihat bahwa Karebet benar-benar tak mampu menghindari serangannya yang dilontarkan dalam lambaran ajinya itu, maka terdengar Prabasemi itu berteriak, “Tataplah langit, peluklah bumi, Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”

Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung Wira Tamtama itu, ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah surut, terbanting ditanah dan berguling beberapa kali. Namun kemudian dengan tangkas melenting berdiri diatas kedua kakinya yang meregang. Sekali ia menyeringai, namun kemudian terdengar tertawa lirih. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Hem, alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?.”

Prabasemi menggigil karena marahnya. Giginya beradu sehingga hampir-hampir menjadi patah. Betapa ia melihat Karebet masih tegak berdiri dengan mulut tertawa.

Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu mengumpat tak habis-habisnya.

Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata, “Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.

Lembu Sekilan?,” tanpa sesadarnya Prabasemi itu mengulangi. Berbagai perasaan berputar-putar di dalam lenaknya. “Lembu Sekilan?,” berkali-kali Tumenggung itu mengulangi didalam hatinya. Hampir-hampir ia tidak percaya. Tetapi, ia mengalaminya sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini dibanggakan, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya hanya mampu mendorongnya jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.

Karebet masih berdiri di tempatnya. Ketika ia melihat Tumenggung itu menjadi tegang, maka katanya, “apakah kau sudah siap untuk membunuhku dengan cara yang sama seperti kau membunuh Bahu dari Tunggul?.

Prabasemi memggeram. Alangkah panas hatinya mendengar ejekan itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia menjawab, “aku akan melakukannya lebih daripada itu!.

Bagaimana kalau sebaliknya?” balas Karebet.

Dada Prabasemi hampir meledak karenanya. Karena itu maka sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan cepatnya ia meloncat, melontarkan sebuah pukulan yang dahsyat ke arah wajah Karebet. Kali ini pun Karebet kalah cepat dari Aji Sapu Angin, sehingga sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah, namun ia tidak lagi terbanting jatuh.

Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya, “Gila juga Aji orang ini.”

Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke perut Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan antara kekuatan lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya sekalipun serangan Prabasemi membenturnya namun Karebet tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak muda aneh itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang setinggi-tingginya. Namun ia sama sekali belum mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.

Meskipun demikian ternyata Karebet tidak segera dapat dikuasai lawannya. Meskipun serangan-serangan Karebet tidak begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa lawan telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya, bahkan sudah sampai pada tahap ilmu yang terakhir.

Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung. Benar-benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih ataupun tidak jauh terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti anak setan.

Karebet itu pun semakin lama semakin menyadari akan kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun ajinya juga mampu mengurangi tekanan tangan Karebet yang menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh Prabasemi, bahwa Karebet telah mampu melampauinya.

———-oOo———-

IV

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh Karebet itu. Ia sudah berkata bahwa apapun yang terjadi, maka maksudnya itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itu pun telah berkata bahwa mereka kini sedang berkelahi untuk satu taruhan.

Karena itu, maka tidak ada satu pun jalan untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah di wajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia sama sekali tidak akan dapat membunuh Karebet itu, tetapi ia pasti bahwa Karebet akan mampu membunuhnya.

Prabasemi bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali berjuang melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya, benar-benar sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini mati dalam perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar. Meskipun demikian, ada juga suatu yang bergetar di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak takut mati. Namun mati karena anak muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya.

Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin seru pula. Aji Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka terdengarlah suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan serta menggugurkan daun-daunnya.

Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka dari kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan, karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.

Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi. Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan. Serangannya telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi Karebet seolah-olah telah menjadi kebal.

Namun kemudian ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan jasmaniah Tumenggung Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras tenaganya dalam kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula.

Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet, segera melihat apa yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa peluh dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut mati, tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya itu. Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari seorang anak yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira Tamtama.

Apa boleh buat” desisnya, “Kalau mungkin, biarlah kita mati bersama”, katanya dalam hati.

Kini Karebet mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dari segenap arah, menyerang hampir ke setiap permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung tangan itu menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah. Meskipun demikian Prabasemi sama sekali tidak menyerahkan dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian meloncat maju dengan garangnya.

Demikianlah, maka lambat laun, tenaga Tumenggung Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.

Hampir fajar”, keluhnya. “Fajar terakhir”.

Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi telapak tangannya. Tumenggung Prabasemi terguncang, dan kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak dihadapan anak buahnya, bahwa tak ada kemungkinan melangkah mundur bagi Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati. Demikianlah pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan pedih-pedih didalam dadanya, namun Prabasemi itu masih berusaha untuk tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya Karebet itu meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya.

Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa langkah dan kembali ia terbanting di tanah.

Terdengar Tumenggung itu menggeram. Karebet masih melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi terjatuh tertelungkup.

Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada Tumenggung itu benar-benar meluap sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju Prabasemi yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu terangkat, sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jatuh menelentang.

Karebet yang masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa dadanya berdesir tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini sama sekali tak bergerak-gerak lagi.

Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet. Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.

Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis, “Masih hidup”.

Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera aka diketahui Sultan Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi pergi mengantarkannya sampai keluar kota. Kalau kemudian Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali kerumahnya maka Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi.

Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan menjadi sangat murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk menangkapnya. Hidup atau mati.

Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia menjadi sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-benar belum mati.

Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara didalam relung hatinya. “Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha membunuhku pula?

Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya Karebet sama sekali tidak takut pada hukuman mati itu. Kini ia telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak didalam dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa kemurahan hati Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan Trenggana berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia dipungut oleh Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah menganugerahkan pangkat Lurah.

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Membunuh dan karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil. Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu. Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi. Diangkatnya kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.

Kiai, Kiai Tumenggung” panggilnya.

Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia menggerakkan tangan itu, maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang tretes intan berlian melingkar diperut Tumenggung itu.

Hem” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”

Tetapi, Karebet menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya.

Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya.

Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.

Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya. Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya serigala itu.

Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.

Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”

Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak.

Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu, “Kiai, Kiai Tumenggung.”

Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.

Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan mengalir kembali.

Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring.

Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek. Karebet yang bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak?

Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.

Hem….” Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.

Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram. “Di mana setan itu?

Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk beberapa lama.

Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan.

 Prabasemi menarik nafas. “Ternyata aku masih hidup,” desahnya. Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk. Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.

Gila!” geramnya.

Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat.

Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia berteriak “He, di mana kau?

Namun kemudian, nafasnya menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya.

Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.

Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya. “Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.

Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak, “He Karebet, anak setan. Jangan bersembunyi.

Karebet mengumpat di dalam hatinya.? “Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak?”

He Karebet, pengecut,” katanya. “Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.

Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana.

Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam, “Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.

Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis, “Hari telah pagi.

Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang?

Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya. “Hem. Masih lengkap,” gumannya.

Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.

Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”

Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua tangannya.

Kini Karebet tinggal melihat kedalam dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia?

Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun tersenyum, gumamnya seorang diri, “Kasihan Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.

Tetapi kemudian disadarinya, bahwa tempat itu cukup berbahaya baginya. Kalau Tumenggung yang mendendamnya itu sempat, pasti ia akan datang kembali dengan beberapa orang untuk menangkapnya dan membunuhnya.

Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya.

Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.

Setan. Anak setan” umpatnya tak habis-habisnya .

Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka bertanya, apakah sebabnya.

Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas dendam.

Hem,” katanya kemudian, “Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya. “Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.

Tiba tiba Prabasemi tersenyum, “bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?

Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya.

Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.

Kakang Sembada harus berangkat malam nanti” desisnya.

Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi berjalan hilir mudik didalam hutan. Sekali kali ia membaringkan tubuhnya diatas rumput-rumput keringt, namun kembali ia berjalan hilir mudik.

Namun udara hutan yang segar telah menyegarkan badannya pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih kembali. Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemukannya.

Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi, maka matahari itupun tenggelam diujung Barang. Cahayanya yang merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang mengambang di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.

Prabasemi menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang kerumahnya. Di sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.

Dan apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa orang prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak, “Itu Kiai Tumenggung Prabasemi.”

Beberapa kawan-kawannya yang lain pun segera berkumpul. Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat.

Prabasemi datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya masih terasa agak sakit, namun sama sekali ia tidak timpang. Ia berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam barisan.

Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung yang malang itu mendahului membentaknya, “Apa yang kalian kerjakan disini?

Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kami mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah Santapati menghadapi Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga kakang lurah menjadi bingung. Setelah kakang lurah menunggu sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga datang, mnaka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai, dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.

Gila, dimana Santapati?.”

Di belakang.”

Panggil dia

Seorang prajurit segera berlari kebelakang memanggil lurah Wira Tamtama Santapati. Santapati yang dengan gelisahnya duduk di serambi belakang karena Tumenggungnya sehar-harian tak dapat diketemukan, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat seorang prajurit berlari-lari.

Ada apa?” bertanya lurah itu

Ki Tumenggung sudah datang.

Dimana sekarang?

Di serambi depan. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai Tumenggung.”

Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi depan untuk menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang mendengar laporan itu menjadi gembira pula karenanya. Meskipun Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau maksudnya untuk sesuatu tercapai, maka tidak segan-segan Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah.

Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat sambil berkata, “Selamat datang Kiai Tumenggung.

Tumenggung itu memandangnya dengan tajamnya. Kemudian katanya parau, “He. Apa yang kau kerjakan di sini?

Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami temukan sehari tanpa kami ketahui kemana Kiai Tumenggung perginya.

Gila kau, Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku sudah cukup mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku memerlukan kalian?”

Ampun kiai. Kami hanya menjadi gelisah dan tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”

Kau sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung Prabasemi?

Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan. “Kami hanya mencoba untuk menghubungi Kiai.

Bodoh kalian,” gumam Prabasemi. “Tetapi biarlah aku maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian diteruskannya, “Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?

Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami anggap hilang.”

Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi. “Jangan sebut itu lagi. Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam. Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah mendapat sesuatu di sana.

Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.

Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu.

Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian kotornya, bahkan tubuhnya pun kotor pula, bahkan wajah Tumenggung itu nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya, “Apa yang kau lihat?

Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu dengan tergagap ia menjawab, “Tidak apa-apa Kiai.

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Lihat, apa yang telah terjadi di hutan Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor serigala belang.”

Oh” Santapati terkejut.

Untung aku berhasil membunuhnya

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor harimau belang.

Nah,” kata Tumenggung itu kemudian, “Kalian sekarang harus pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah kau masih melihat Karebet sehari ini?

Santapati menggeleng. “Tidak Kiai. Kami juga menjadi gelisah karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi Kiai Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung pula. Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu sampai besok pagi.”

Hem,” Prabasemi menggeram, “Benar, Karebet berada di istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat perlindungan apapun dari kerajaan.”

Santapati terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang dapat diceriterakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat berceritera tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang di dalam hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia, sampai ceritera tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang pernah dikunjunginya. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari Demak?

Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?” Tumenggung itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya, “Ya. Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat kesalahan. Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang anak muda yang ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama. Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet, sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan dari anak muda yang bernama ….” Prabasemi diam sejenak. Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia berkata, “Namanya Dadungawuk.”

Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi berkata., ”Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri. Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”

Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula. “Sayang,” desisnya. “Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka bertengkar?

Itu dapat terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah menyeret nama Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk. Apakah kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari kita berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira Tamtama?

Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya, “Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga setiap orang boleh membunuhnya?

Bukankah dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat dengan perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh bagimu.”

Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk, namun keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti tidak akan percaya. Tetapi kali ini yang mengatakan adalah atasannya dan atasan Karebet itu pula. Apalagi sebelum peristiwa ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat dengan anak muda itu.

Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu membentaknya, “He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi. Sekarang kalian boleh pergi.”

Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak. ”Baik, baik Kiai. Baiklahaku mohon diri bersama anak-anak”

Tetapi, ketika Santapati mulai bergerak, maka Tumenggung itu berteriak, “Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk datang kemari malam ini. “

Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk dalam ia bertanya, “Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?

Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?

Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang satu lagi Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”

Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak. Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara mereka.

Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata. “Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.

Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”

Santapati mengerutkan keningnya. Aneh. Prabasemi memerlukan memanggil seorang jagal dari Kedung Wuni. Apakah Tumenggung ini akan mengadakan selamatan dengan menyembelih beberapa ekor lembu setelah ia mendapatkan sesuatu dari hutan Santi? Tetapi Santapati tidak berani bertanya. Sekali lagi ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian mohon diri meninggalkan rumah Tumenggungnya itu. Walaupun di sepanjang jalan tak habis-habisnya ia berpikir. “Buat apakah Kiai Tumenggung memanggil jagal Kedung Wuni?

Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.

Sembada malam itu benar-benar menghadap Tumenggung Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah saudara seperguruan Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata jauh berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun kecerdasan otak Tumenggung Prabasemi memungkinkan Tumenggung itu melampaui kakak seperguruannya. Apalagi dalam beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan kekhususannya, sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih baik dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran olah keprajuritan dan tata perkelahian Prabasemi sudah berada diatasnya.

Ketika Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka bertanyalah Sembada, “Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang melakukannya?

Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka keadaanku akan menjadi lebih buruk.”

Tetapi kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku yang melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di rumahnya pada saat orang menemukan mayat Karebet. Tetapi orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang Sembada berada dirumah atau tidak pada suatu saat.

Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada, “Adi Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?

Prabasemi tersenyum. “Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang harus membawa lima atau enam kawan.”

Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak, “Apakah anak itu anak setan?

Bukan, sama sekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga daripada Kakang harus mengulanginya lain kali.”

Baik. Baik,” sahut Sembada, “Tetapi ke mana aku harus mencari?

Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum anak itu sempat sampai ke rumahnya dan berceritera tentang dirinya, supaya tak seorang pun yang akan meributkannya. Ibu angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada di istana sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga Dadaungawuk yang telah membunuhnya

Siapa Dadungawuk itu?

Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh Karebet itu.

Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan aku.”

Semuanya harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat kakang kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya yang dapat melindunginya, Lembu Sekilan.”

Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak. “Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?

Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?

Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi berkata, “Lembu Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena itu Kakang jangan cemas karenanya. Meskipun demikian kawan-kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan ilmu anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus pertahanan ajian anak itu.”

Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang segala kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tia ia tersenyum, katanya, “Kenapa kita tidak minta tolong kepada perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang terpercaya dapat aku bawa serta.”

Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan pedang di pinggang Kakang.”

Sembada menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun demikian dengan tamaknya ia berkata, “Hem. Aku mengucapkan terima kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”

Gila.” Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya. “Hem, alangkah mahalnya putri itu.” Namun ia bersungut pula, “Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”  Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”

Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian.

Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.

Kakang, “ kata Prabasemi kemudian, “Ikat pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.

Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi, “Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.

Setan,” gumam Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai jagal tidak memberinya kemungkinan.

Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.

Kita pergi ke perguruan Sambirata” kata Sembada.

Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya. “Nanti akan kau dengar pula.”

Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu.

Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata masih belum melampaui Prabasemi. Namun otaknya yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang.

Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet.

Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu.

Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat.

Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.

Dengan penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya?

Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai? Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu. “Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya.

Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.

Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?

Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari keprajuritannya.

Salahku, salahku sendiri,” gumamnya.

Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan menjadi semakin parah.

Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia bergumam, “Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”

Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian, kesepian itu masih meragukannya.

Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.

Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun dengus ular.  Nafas itu adalah nafas seseorang.

Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya. “Kalau sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?” Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa, “Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”

Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain.

Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya. Alangkah terkejutnya Karebet melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia menyapanya, “Kakang Sembada?”

Sembada tersenyum. “Ya akulah,” jawabnya.

Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya kemudian untuk menghilangkan setiap kesan yang gelap dari wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet kemudian berkata, “Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”

Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir itu. “Hem. Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati. “Apakah dalam tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?

Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet bertanya pula, “Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang sampai kemari?”

Sembada menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara melingkar-lingkar. Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki. Dengan nada datar ia berkata, “Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung Prabasemi.”

Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak. Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga bertanya, “Apakah yang harus Kakang lakukan?”

Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan getar dadanya ia berkata, “Aku harus membunuh kau.”

Meskipun Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.

Jangan mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak pernah menyakiti hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali ini supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus bertimang emas tretes berlian,” berkata Sembada.

Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya dalam nadanya yang khusuk, “Baik Kakang. Baiklah aku menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan timang itu.”

Sembada mengerutkan keningnya. “Hem..”, geramnya dan kemudian katanya di dalam hati, “Anak ini benar-benar anak yang luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih saja seperti menyongsong datangnya kekasih.” Namun Sembada tidak mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia membentak, “Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.”

Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya, “Kita tidak pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak bertemu.”

Diam!” bentak Sembada yang sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan. Apalagi di hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo, tundukkan kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-saat terakhir.”

Sembada menjadi marah bukan buatan ketika Karebet malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya, anak muda itu berkata, “Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di pembantaian, Kakang.”

Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun sebelum ia membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar desir di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati. “Benar dugaanku. Tidak hanya seorang.

Dan sesaat kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya melontarlah seorang yang akan lebih tua dari Sembada. Namun tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan meyakinkan. Orang itulah Kiai Sambirata.

Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya. Dan dengan sareh ia berkata, “Apakah Angger yang bernama Karebet?

Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari tempatnya, namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat, Lembu Sekilan.

Sambirata melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak segera menyadari, bahwa dengan sikap yang sederhana itu, Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu, masih saja Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu berkata, “Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?

Karebet mengangguk, “Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut orang, Jaka Tingkir.

Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akulah yang bernama Sambirata.”

Karebet memandang orang itu dengan seksama. Di Demak, nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak pernah menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar bahwa Sembada adalah kakak seperguruan Prabasemi dan Sambirata adalah orang yang kurang disenangi oleh masyarakat Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka berdua bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian sebenarnya Karebet sama sekali tidak gentar. “Kalau perlu,” katanya, “aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan hidupku”.

Yang berbicara kemudian adalah Sambirata. “Angger. Baiklah aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-muridku datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin mencoba, lawanlah kami. Kami tidak mampunyai banyak waktu.

Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya. Wajahnya yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari Tingkir itu menjawab, “Paman dan Kakang Sembada. Kita adalah manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup yang dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan, maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan mendahului aku.”

Jangan membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri, Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin, jangan mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan kasarnya.

Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan darah di sini, bukan akulah yang bersalah” sahut Karebet.

Sembada sudah tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi anak muda itu benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu, cepat-cepat ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet melihat gerak Sembada itu, namun ia sama sekali tidak menghindarinya. Namun wajahnya menjadi tegang dalam penerapan ajian yang setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam Aji Lembu Sekilan.

Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar biasa kuatnya. Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu. Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang kedua kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh menghujam ke pusat bumi.

Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada itu menghantam sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu seakan-akan sama sekali tidak menyentuh dada Karebet.

Ketika ia menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram, sambil menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya. “Setan, gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak akan terlawan?

Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan dengan satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.

Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”

Sambirata benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan. Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat menyalurkan kekuatan itu. Namun ia sama sekali tak peduli, apakah nama dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan Sambirata memang tidak berpikir tentang nama itu meskipun dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang dimilikinya telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari, bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan ilmunya itu.

Dengan serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu, dan ia pun menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu langkah ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat dihindari. Namun Sambirata benar-benar lincah. Sekali lagi ia melenting seperti sikat, dan Karebet tidak sempat untuk menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam lambungnya.

Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula. Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja. Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya itu.

Karebet yang baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak terlalu berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua tangannya kemudian mengepal di lambungnya.

Seperti yang dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga kali inipun Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi Aji Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan yang belum mapan kembali.

Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali ini ia harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul dari dalam belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan pedang pendek, seperti ingin mencincangnya.

Namun Karebet adalah seorang yang aneh, yang memiliki ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan dirinya dari orang-orang itu. Tetapi kemudian datanglah serangan Sambirata memotong gerakannya.

Karebet menggeram. Betapa ia menjadi marah bukan main. Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa membunuh, maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.

Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun perlu mendapat perhatiannya. Dengan kekuatan yang baik, maka senjata tajam itu pun akan mampu menembus benteng pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah dan darahnya mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti akan menimbulkan bahaya.

Kini Karebet itu pun sudah siap dengan puncak keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau. Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun sentuhan-sentuhan Karebet yang harus mempertahankan diri dari setiap serangan itu, maka tekanan-tekanan lawan-lawannya masih saja terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian Karebet sama sekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua orang di antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus. Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu sama sekali tak berdaya menghadapi kelincahan Karebet. Mereka menjadi benar-benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka sama sekali tak menyentuh tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak berusaha untuk menghindar. Hanya dalam kesempatan-kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat menggores kulit Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari luka itu.

Namun setiap tetes darah yang tumpah, seakan-akan merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak lagi mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka ia pun segera berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka sekali-kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh menimpanya.

Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun, maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka seakan-akan sama sekali tak berarti. Tetapi mereka sedang bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan mereka yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun. Berdiri dan bergeser setapak demi setapak di sekitar perkelahian itu, untuk sesaat kemudian dada mereka serasa meledak karena sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.

Dalam saat-saat berikutnya, meskipun tampaknya beberapa orang masih juga berdiri mengitari tempat perkelahian itu, namun sebenarnya tidak lebih dari Sembada dan Sambirata berdualah yang berkelahi mati-matian. Dengan kekuatan ajian masing-masing, mereka mencoba untuk membunuh anak yang aneh itu.

Dalam pada itu, Karebet pun merasakan tekanan-tekanan yang berat dari kedua orang itu. Mereka masing-masing ternyata tidak lebih dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan mereka bergabung, maka Karebet benar-benar meng-hadapi pekerjaan yang sangat berat. Aji Lembu Sekilan nya terasa sesekali terguncang. Dan sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya menjadi semakin lemah.

Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu dilumpuhkannya.

Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan Sambirata. Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya. Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula menghadapi Aji Lembu Sekilan.

Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan segenap perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang bergelimpangan disana-sini. Ada di antara mereka yang masih mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan telah terhisap habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh di tanah.

Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat tak habis-habisnya, katanya, “Tikus-tikus malang. Ternyata kalian sama sekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid Sambirata.”

Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka bergumam pula didalam hati. “Jangankan aku, sedang guru sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya seorang itu.”

Karebet kemudian sama sekali tak memperhatikan lagi mereka yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya kini adalah Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar berhasrat akan membunuhnya.

Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar pula dengan sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang sama, namun mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dengan kedahsyatan ajian masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya.

Tetapi Karebet benar-benar memiliki kelincahan yang tak mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar biasa Aji Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu mempertahankan dirinya.

Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang pula oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan lambaran ilmunya, Lembu Sekilan.

Tetapi betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu, namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi. Tetapi kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama menghantamkan kekuatan ajinya atas tubuh Mas Karebet yang masih muda itu.

Dengan demikian, maka Mas Karebet itu semakin lama menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian memuncak, seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia tidak mau mati karena pokal Prabasemi.

Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang yang datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu, namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya.

Karena itu, Karebet yang marah itu, masih mencoba untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya. Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka kepadanya.

Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya, “Kakang Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?

Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya. Meskipun demikian ia sempat juga menjawab, “Jangan banyak bicara. Aku bukan anak-anak.”

Dengan tangkasnya Karebet menghindari serangan yang ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya sambil berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi. Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet. Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun kesempatannya terlalu sempit. Yang dapat dilakukan adalah meloncat surut selagi ia masih berjongkok. Gerakan-gerakan khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu Sambirata terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai lawannya.

Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan gerakan yang pendek itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai sasarannya. Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga pukulan yang melesat itu sama sekali tak mampu menerobos perisai Karebet yang dahsyat itu.

Sembada menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu kakinya, Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka. Karena itu, maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut. Namun Karebet tidak membiarkannya, sekali ia meloncat maju, dan sekali lagi kakinya menjulur lurus kedada lawannya. Serangan itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu lagi untuk mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin.

Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata telah melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang belum memiliki keseimbangan yang mantap itu terpaksa menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali menghindari kekuatan Aji Sambirata.

Keadaan Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama. Meskipun demikian ia masih berteriak. “Kakang Sembada dan paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang terakhir kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa Karebet telah mati. Aku tidak akan datang ke Demak sebelum Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu yang tidak tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan dendamnya kepadaku.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Sembada dan Sambirata tertawa hampir bersamaan. Tetapi suara Sembada yang lebih kasar dari Sambirata itu ternyata jauh lebih keras. Katanya diantara gelak tawanya, “Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan dirimu.”

Dan terdengar Sambirata berkata pula, “Angger ternyata menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang, dengan demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk perjalanan itu.”

Karebet menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar mata harimau dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena marah, “kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih baik membunuh daripada dibunuh tanpa sebab.”

Sekali lagi Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba suaranya terputus karena melihat Karebet meloncat mundur. Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan wajah tegang anak muda itu menggosokkan kedua telapak tangannya, meloncat dengan garangnya dan tegak diatas kedua kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog Asem.

———-oOo———-

Bersambung ke Jilid 28

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

<< kembali | lanjut >>

4 Tanggapan

  1. lha kalo di SINI…..gandok NSSI-27

  2. terimkasih

  3. Isi jilid ini isinya mengulang isi jilid jauh sebelumnya.

Tinggalkan komentar