ADBM-082


<<kembali | lanjut >>

Mohon maaf, kami tidak memiliki cover jilid ini

KIAI GRINGSING tidak segera menjawab. Tetapi terasa sebuah getaran yang aneh telah mengguncangkan dinding jantungnya.

Ki Waskita-lah yang kemudian berkata, “Tetapi semuanya itu masih harus dijelaskan. Dan agaknya Kiai Gringsing akan dapat menjelaskannya.”

Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian ia pun justru bertanya, “Ki Waskita, apakah aku harus mulai dengan Empu Windujati sebelum sampai kepada murid-muridnya?”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu suatu ceritera yang menarik. Banyak orang yang telah menceriterakan suatu perguruan yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Empu Windujati. Tetapi tidak banyak orang yang dapat berceritera tentang orang itu yang sebenarnya. Sekarang agaknya Kiai Gringsing akan mulai dengan ceritera tentang Empu Windujati sebagai orang yang langsung mengenalnya.”

“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “sebenarnyalah bahwa aku tidak mengenal Empu Windujati dengan baik.”

“Ah,” desis Ki Juru Martani, “Kiai seperti seorang gadis yang sedang dilamar seorang anak muda.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun ia pun tersenyum. Katanya, “Aku menyadari, bahwa karena selama ini aku sering mengatakan yang tidak sebenarnya tentang diriku, maka setiap ceriteraku tentu akan dicurigai kebenarannya.”

Ki Gede Pemanahan yang pucat pun masih tertawa pula meskipun terasa suara tertawanya bagaikan melayang di udara.

“Kiai benar,” desis Ki Gede Pemanahan.

“Nah, baiklah aku mencoba berkata sebenarnya tentang diriku, tentang perguruan Windujati dan tentang orang yang bernama Windujati itu sendiri.”

“Baiklah, Kiai, silahkan. Kami tidak akan terlampau banyak memotong,” sahut Ki Waskita.

“Kecuali jika perlu,” desis Ki Sumangkar sambil tersenyum.

Kiai Gringsing pun tersenyum pula. Lalu katanya, “Aku akan mencoba mengingat apakah yang telah terjadi sebenarnya. Meskipun saat itu aku masih terlampau kecil untuk dapat mengenal orang yang sebenarnya bernama Empu Windujati itu.”

“He,” orang-orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut. “Kiai masih terlampau kecil untuk mengenal Empu Windujati?” bertanya Ki Juru Martani.

“Ya. Aku memang dibawa menghadap. Aku belum genap lima belas tahun waktu itu.”

“Dan berapa usia Empu Windujati saat itu? Dua puluh?” bertanya Ki Waskita.

“Ah tentu tidak,” sahut Ki Juru Martani, “jika Kiai Gringsing kemudian berguru kepadanya, maka pada saat itu umur Empu Windujati tentu sudah lebih dari tiga puluh tahun.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia memandang Kiai Gringsing seakan-akan mendesaknya untuk segera menjawab pertanyaannya.

“Ki Juru,” berkata Kiat Gringsing, “usia Empu Windujati saat itu adalah kira-kira tujuh puluh tahun.”

“Tujuh puluh tahun?” semua orang mengulang.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “tujuh puluh tahun. Pada saat itu Demak masih belum berdiri tegak. Sisa-sisa pemerintahan Majapahit masih terasa. Sepeninggal Raden Patah, maka Adipati Unus harus bertempur melawan Prabu Udara yang telah merebut kekuasaan Majapahit dari kekuasaan lain yang juga mendapat kekuasaan atas Majapahit setelah mengalahkan Brawijaya ke lima.”

“Ya,” Ki Juru mengangguk-angguk, “Prabu Brawijaya harus mengakui keunggulan Kediri. Tetapi pemimpin-pemimpin Kediri sendiri pada waktu itu agaknya tidak bersesuaian pendapat sehingga Prabu Udara tampil ke atas tahta Majapahit. Namun akhirnya Majapahit dapat dikuasai oleh keturunan Majapahit yang berkedudukan di Demak.”

“Begitulah kira-kira,” berkata Kiai Gringsing, “saat itulah aku bertemu untuk pertama kali dengan seorang tua berjanggut putih dan berambut putih bernama Empu Windujati.”

“Aneh,” desis Sumangkar, “menurut dugaanku, Empu Windujati belum setua itu. Jika demikian, siapakah sebenarnya Empu Windujati yang kita kenal pada saat permulaan Pajang berkuasa? Apakah juga Empu Windujati yang sudah menjadi semakin tua itu?”

“Tentu tidak mungkin. Empu Windujati saat itu masih menjelajahi daerah Utara dari ujung sampai ke ujung. Bahkan bukan saja daerah Utara, tetapi kadang-kadang orang-orang menjumpainya pula di daerah Pajang. Di kota Pajang itu sendiri,” berkata Ki Waskita.

“Kita sekarang memang sudah cukup tua,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi masih terlampau muda untuk mengetahui siapakah Empu Windujati yang sebenarnya. Tetapi dalam suatu kesempatan aku dapat melihat ciri perguruan Windujati itu pada sebuah rontal. Dan rontal itu ternyata ditulis menurut nama yang tercantum di dalam rontal yang terbentuk surat itu oleh seseorang bernama Wirawardana. Seorang putera dari Majapahit yang kecewa melihat perebutan kekuasaan yang selalu terjadi. Kemudian mengasingkan diri dan menyebut dirinya dengan nama yang lain.”

“Apakah Empu Windujati itu juga Pangeran Wirawardana itu?” bertanya Ki Juru Martani.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Tetapi kali ini nampak bahwa wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka orang-orang yang ada di sekitarnya menganggapnya bahwa Kiai Gringsmg memang tidak sedang bergurau seperti biasanya.

Sesaat kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Memang sulit untuk mengatakan siapakah sebenarnya Empu Windujati. Tetapi demikianlah agaknya. Surat itu ditulis oleh Empu Windujati bagi murid-murid yang pada suatu saat akan ditinggalkannya.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Ki Waskita yang tertarik sekali kepada ceritera itu bergeser mendekat sambil bertanya, “Jadi ketika Kiai berguru kepada Empu Windujati, Empu itu sudah berusia tujuh puluh tahun?”

“Aku bukan murid perguruan Windujati seutuhnya,” berkata Kiai Gringsing.

“Aku menjadi bingung,” desis Ki Sumangkar.

“Empu Windujati sudah terlampau tua untuk langsung memberikan tuntunan olah kanuragan. Memang dalam kesempatan-kesempatan tertentu Empu Windujati turun sendiri ke sanggar. Melatih murid-muridnya yang hanya ada dua orang. Tetapi aku adalah seorang penonton waktu itu.”

Ki Gede Pemanahan yang berbaring dengan lemahnya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Teruskan ceritera itu, Kiai. Aku kira Kiai memang bukan murid langsung Empu Windujati. Tetapi Kiai adalah murid dari perguruan itu.”

“Ketika aku menjadi semakin besar, Empu Windujati pun menjadi semakin tua. Tetapi kedua muridnya itu pun menjadi semakin sempurna.”

Namun dalam pada itu Ki Sumangkar memotong, “Aku tetap tidak dapat mengerti bahwa saat mulainya kekuasaan Demak, Empu Windujati sudah berusia tujuh puluh tahun. Rasa-rasanya tidak sesuai dengan nalar.”

“Ki Sumangkar, waktu itu aku hanya mengira-ira. Tetapi mungkin usianya justru lebih tua. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan, tentu dalam usia yang tua itu nampaknya ujud jasmaniahnya masih lebih muda dari usia yang sebenarnya.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

“Bagaimana dengan kedua murid itu, Kiai?” bertanya Ki Gede Pemanahan perlahan-lahan.

“Pada saatnya keduanya pun kemudian berpencar. Keduanya membawa pesan guru mereka untuk melakukan pengabdian kepada sesama. Dan keduanya pun telah melakukannya.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi keduanya adalah manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan kesalahan lahiriah dan tingkah laku.”

“Tetapi kapankah ceritera ini sampai kepada ceritera tentang Kiai Gringsing atau yang juga disebut Ki Tanu Metir dari Dukuh Pakuwon?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berceritera panjang. Apakah ceritera ini menjemukan?”

“Tetapi jangan sampai malam nanti Kiai,” desis Ki Gede Pemanahan, “aku ingin mendengar akhir dari ceritera tentang Kiai Gringsing dan tentang perguruan Windujati. Jika ceritera Kiai berkepanjangan, aku cemas bahwa aku tidak akan dapat mendengar akhir dari ceritera itu.”

“Ah, jangan begitu, Ki Gede.”

“Aku bukan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa. Tetapi rasa-rasanya, Yang Maha Kuasa sudah memberitahukannya kepadaku.”

Kiai Gringsing memandang wajah yang pucat itu. Lalu katanya, “Baiklah, Ki Gede, barangkali aku dapat mengatakannya bahwa ceritera ini akan aku persingkat.”

“Kiai,” berkata Ki Gede Pemanahan, “aku tidak berkeberatan mendengarkan seluruh ceritera tentang Empu Windujati yang memang sangat menarik justru karena orang yang bernama Empu Windujati dan yang kemudian menurut dugaan Kiai adalah Pangeran dari Majapahit terakhir yang bernama Wirawardana itu. Tetapi bagiku, yang lebih menarik adalah ceritera tentang Kiai sendiri. Ternyata ceritera yang sudah Kiai ungkapkan itu belum nampak hubungan langsung dengan Kiai Gringsing sendiri.”

Kiai Gringsing memandang wajah yang pucat itu. Sambil menarik nafas ia berkata, “Baiklah, Ki Gede. Tetapi …” kata-kata Kiai Gringsing terputus.

“Kiai masih berkeberatan?”

“Tidak. Tidak, Ki Gede. Aku sudah bertekad untuk menyatakan diri di hadapan Ki Gede sekarang ini. Tetapi aku minta dengan sangat, bahwa tidak seorang pun dari antara kita sekarang ini yang mengatakan kepada siapa pun juga tentang diriku, tentang asal-usulku dan tentang perguruanku.”

“Aku tidak akan sempat mengatakan kepada siapa pun juga, Kiai,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Jika nanti Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan pemimpin-pemimpin Mataram yang lain mendekatiku pada saat-saat yang gawat, aku tidak akan mengatakannya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian hampir di luar sadarnya ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung.

“Aku menyadari Kiai,” berkata Ki Demang, sebelum Kiai Gringsing mengucapkan pesan, “murid Kiai adalah anakku. Tetapi aku pun tidak akan menyampaikannya kepadanya. Bukankah saat ini Swandaru belum waktunya untuk mengetahui? Apalagi aku sendiri tidak begitu banyak mengerti tentang ceritera yang sudah Kiai katakan itu.”

“Terima kasih,” desis Kiai Gringsing, “jika demikian, baiklah aku menyebut diriku sendiri lebih dahulu sebelum aku berceritera lebih banyak tentang perguruan Windujati.”

Semua orang yang ada diruangan itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Mereka ingin lekas mengetahui hubungan apakah yang ada di antara Kiai Gringsing yang membuat lukisan di tangannya dengan memahatkan ciri khusus dari perguruan Windujati, dengan perguruan itu sendiri.

“Ki Gede,” suara Kiai Gringsing merendah, “sebenarnyalah bahwa ada hubungan langsung antara aku dan Empu Windujati. Bukan hubungan antara guru dan murid, tetapi hubungan keluarga dalam garis lurus.”

Semua orang menjadi semakin tegang.

“Aku adalah cucu Empu Windujati.”

“O,” Ki Gede Pemanahan menahan nafas sejenak. Kemudian terasa nafasnya yang panjang mengalir lewat lubang hidungnya. Rasa-rasanya nafasnya yang sesak tiba-tiba menjadi lancar dan mengalir dengan wajar.

Pengakuan itu benar-benar telah menggetarkan setiap hati. Ki Juru Martani, yang duduk sambil menyilangkan tangan di dadanya, seakan-akan diam mematung. Sedang Ki Waskita mengangguk-angguk perlahan.

“Meskipun ada dugaan yang mendekati pengakuan itu,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi kami tentu tidak mengira bahwa Kiai adalah keturunan langsung dari Empu Windujati yang tentu tidak lagi diragukan bahwa Empu Windujati adalah Pangeran Wirawardana. Dan itulah agaknya Kiai berada dalam peranan yang hidup pada saat-saat Pajang masih diganggu oleh sisa-sisa pasukan Arya Penangsang.”

Kiai Gringsing sendiri kemudian menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berniat sebelumnya, untuk mengatakan kepada siapa pun tentang dirinya. Tetapi di saat Ki Gede Pemanahan menghadapi saat akhir, ia tidak sampai hati menolaknya. Meskipun dengan demikian beberapa orang mendengar pengakuannya, tetapi yang beberapa orang itu dapat dipercayanya untuk tidak menambah jumlah orang-orang yang akan dapat mengenal dirinya.

“Itulah kenyataan tentang diriku,” berkata Kiai Gringsing, “karena itulah maka aku dapat mempergunakan ciri khusus dari perguruan Windujati.”

“Ternyata Kiai lebih dari seorang murid dari perguruan Windujati. Sebagai seorang cucu dari Empu Windujati, maka Kiai tentu mewarisi kedahsyatan segala macam ilmunya. Ilmu yang sekarang hampir tidak lagi dapat dikenal.”

“Itulah agaknya yang pernah aku lihat. Meskipun orang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Alit itu mempunyai ilmu yang sangat dahsyat, ilmu kebal, tetapi ia tidak mampu menahan ilmu perguruan Windujati yang dilontarkan bukan saja oleh murid-muridnya, tetapi oleh cucu Empu Windujati itu sendiri,” desis Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.

“Dan itulah agaknya maka ilmuku dan ilmu Panembahan Agung yang dibanggakan itu sama sekali tidak berhasil mengelabuinya.” Ki Waskita melanjutkan seolah-olah berbicara kepada diri sendiri, “Bagi Kiai Gringsing, maka ilmu semacam itu agaknya tidak ada artinya sama sekali.”

“Sudahlah. Tidak ada bedanya antara Kiai Gringsing yang kalian kenal dengan Kiai Gringsing yang sekarang.”

“Kiai,” berkata Ki Gede Pemanahan, “apakah pilihan atas jalan kehidupan Kiai terpengaruh oleh jalan hidup Empu Windujati yang mengasingkan diri dari lingkungannya? Apakah persoalan yang sebenarnya telah menyingkirkan Empu Windujati sehingga menghilang dari pergaulan para bangsawan?”

“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “Empu Windujati yang sangat kecewa melihat pertentangan demi pertentangan yang telah terjadi itu, telah menjauhkannya dari pemerintahan. Ia lari selagi umurnya belum sampai pada masa remajanya dari Istana Majapahit, saat istana itu diduduki oleh kekuatan yang datang dari Kediri. Kemudian dari pengasingannya ia melihat perebutan kekuasaan yang terjadi atas Majapahit itu oleh Prabu Udara. Kecuali kekuatan itu, Demak telah bangkit pula dan yang akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit meskipun kemudian dipindahkannya ke Demak. Tetapi itu belum merupakan suatu kenyataan dari sebuah perdamaian.”

“Dan kekecewaan itu telah diwariskan pula kepada Kiai Gringsing sehingga Kiai pun tidak lagi bangkit seorang cucu dari Pangeran Wirawardana. Jika Kiai bersedia menyebut diri cucunda Pangeran Wirawardana, maka Sultan di Pajang akan menerima kehadiran Kiai di istana dengan senang hati. Seperti yang Kiai lihat sekarang. Pajang tidak ada lagi sesepuh yang dapat diandalkan di antara banyak persoalan. Apalagi yang memang sebenarnya hak disebut sesepuh,” berkata Ki Juru Martani.

“Tidak, Ki Juru. Di Pajang sekarang ada seorang sesepuh yang karena kebijaksanaannya memungkinkan Pajang masih tetap tenang. Bukankah saat ini Ki Juru Martani diakui baik oleh Pajang maupun oleh Mataram sebagai satu-satunya orang yang bijaksana? Kanjeng Sultan di Pajang lebih banyak mendengarkan pendapat Ki Juru daripada patih, atau para adipati yang lain.”

“Tetapi aku tidak lebih dari seorang padesan. Seorang yang datang dari Padukuhan Sada. Dan setiap orang Sada mengenal aku sejak kanak-kanak, bahwa aku memang anak dari Sada. Tidak seperti kehadiran Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir di Dukuh Pakuwon.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dan dalam pada itu Ki Gede Pemanahan bertanya, “Nah, seterusnya apakah Kiai masih sempat menceriterakan perkembangan perguruan Windujati kepada kami?”

Kiai Gringsing memandang wajah Ki Gede yang pucat. Kemudian katanya, “Ceritera itu mungkin akan menjemukan. Tetapi jika dikehendaki, maka aku tidak akan berkeberatan untuk menceriterakannya menurut ingatanku.”

“Ceriterakanlah, Kiai. Mungkin dapat sekedar melupakan kegelisahanku di saat terakhir.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Baiklah. Menurut ingatanku, Empu Windujati memang masih sempat melihat Pajang tegak sepeninggal Arya Penangsang. Empu Windujati juga melihat tahta yang tidak terisi beberapa saat lamanya sepeninggal Sultan Trenggana. Dalam pada itu putera-putera dan menantu-menantu Demak saling bertengkar untuk memperebutkan tahta. Selain mereka, adalah kemenakannya, Arya Penangsang. Bahkan agaknya Arya Penangsang-lah yang dengan tanpa pengekangan diri telah melakukan banyak pembunuhan di antara keluarga sendiri, sehingga akhirnya ia sendiri terbunuh oleh Raden Sutawijaya yang waktu itu masih terlampau muda, dengan petunjuk Ki Juru Martani.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Empu Windujati telah terlampau tua. Bahkan beberapa saat kemudian Empu Windujati meninggal setelah usianya melampaui satu abad.”

“Melampaui satu abad,” desis Ki Juru Martani.

“Ya. Dan di saat terakhir Empu Windujati masih selalu berjalan-jalan mengelilingi padepokan. Pada hari yang terakhir, Empu Windujati membawa aku melihat-lihat kebun padepokannya. Masih seperti di hari-hari yang lampau. Namun agaknya Empu Windujati tidak akan pernah melihat kebun itu lagi. Ketika kami berhenti di ujung jalan setapak di kebun itu, Empu Windujati nampak menjadi pucat. Katanya, “Bawalah aku ke dalam sanggar.”

Aku membantunya berjalan ke sanggar. Tetapi Empü Windujati menjadi semakin lemah. Di saat itulah Empu Windujati sampai pada saat terakhir dari hidupnya. Murid-muridnya tidak sempat dipanggilnya. Yang ada saat itu hanyalah aku saja. Tetapi aku adalah cucunya. Karena itu, maka aku pun berhak menerima warisan yang sangat berharga dari padanya. Rontal yang pernah aku lihat sebelumnya itulah yang diberikannya kepadaku. Rontal berisi kidung yang memberikan banyak petunjuk tentang jalan kehidupan ini.”

“Dan barangkali ilmu dari perguruan Windujati?”

Kiai Gringsing merenung sejenak. Lalu, “Tetapi yang ada hanyalah sekedar isyarat. Watak, sifat perbuatan, dan sikap. Uraian dari bentuk-bentuk yang terlukis di dalam rontal itu harus dicari sendiri.”

“Dan Kiai mencarinya sendiri?”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk lemah. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebelumnya Empu Windujati pernah memberikan beberapa unsur gerak yang dapat menghubungkan watak dan sifat dari perbuatan dan sikap yang terdapat pada lukisan dalam rontal itu.”

“Kiai sebenarnyalah adalah murid sepenuhnya dari perguruan Windujati, dan apalagi Kiai adalah cucunya.”

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Memang aku menyadap ilmu dari perguruan Windujati. Tetapi aku bukan hanya menghisap ilmu dan perguruan itu saja. Di masa aku kecil, sebelum aku pernah menghadap kakekku yang menamakan dirinya Empu Windujati di sebuah pedukuhan terpencil, aku adalah murid dari orang lain. Aku memang pernah menghadap pada umur sebelum lima belas tahun, tetapi aku hanya sekedar datang untuk mengenal kakekku. Setelah itu, aku tetap berguru kepada orang lain. Hanya kemudian, setelah aku meningkat dewasa sepenuhnya, aku sering datang berkunjung kepada kakekku dan dengan sendirinya aku ikut serta mempelajari bagian-bagian dari ilmu perguruan Windujati atas ijin guruku.”

“Siapakah guru Kiai sebenarnya?”

“Bukan orang lain. Meskipun perkembangannya agak berbeda, tetapi guruku adalah adik seperguruan kakekku sendiri.”

Ki Juru Martani mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai membayangkan jalan kehidupan yang ditempuh oleh seseorang yang menamakan dirinya Empu Windujati. Tetapi ceritera Kiai Gringsing masih belum mencakup segi-segi yang mewarnai kehidupan sebenarnya dari Empu Windujati.

“Siapakah guru Kiai?” Ki Gede Pemanahan-lah yang mengulang pertanyaan itu.

“Sudah aku katakan, adik seperguruan kakekku. Tetapi guruku seperti yang aku katakan memiliki sedikit kelainan di dalam perkembangan ilmunya dengan kakekku. Guruku adalah sahabat yang dekat dengan seorang yang menyebut dirinya Kebo Kanigara, putera dan sekaligus murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh, kakak dari Ki Ageng Pengging yang juga bernama Kebo Kenanga. Yang menyingkir pula dari lingkungannya dengan alasan yang berbeda.”

Ki Juru Martani mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pernah mendengar. Di masa terakhir Demak, nama itu tidak terdengar lagi.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jiwanya yang dewasa, seperti juga jiwa adiknya, Ki Ageng Pengging, maka keduanya berpisah dengan dada lapang tanpa goresan perasaan sama sekali. Keduanya bersepakat untuk berpisah karena perbedaan yang sulit dipertemukan. Tetapi keduanya menyadari, bahwa perbedaan itu adalah hakekat dari sikap manusia, sehingga karena itu, maka perpisahan itu pun sama sekali tidak menumbuhkan persoalan. Tetapi di dalam ilmu kanuragan, keduanya bersumber pada guru yang sama. Ayah mereka sendiri, Kiai Ageng Pengging Sepuh.”

Ki Juru Martani masih mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat wajah Ki Gede Pemanahan yang pucat. Namun kini nampak sesuatu pada sorot matanya, justru karena ia telah tidak lagi dibebani oleh teka-teki tentang orang yang telah banyak memberikan jasa kepada Mataram.

“Ternyata orang yang selama ini seolah-olah melindungi Mataram itu adalah salah seorang yang langsung berada di bawah garis keturunan Majapahit,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya. Dengan demikian, timbullah kepercayaan pada dirinya, bahwa Mataram akan mampu menegakkan dirinya sendiri. Jika Kiai Gringsing yang dicengkam oleh kekecewaan seperti juga penglihatan kakeknya atas pertentangan yang selalu tumbuh di atas tanah ini, maka sikap Kiai Gringsing atas Mataram tentu bukan sekedar hanya kebetulan saja.

Dalam pada itu, Ki Juru Martani pun berkata, “Kiai, pada jamannya, orang yang bernama Kebo Kanigara itu adalah orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Ia memiliki ilmu gurunya dengan lengkap. Bahkan pengembaraannya telah membuatnya semakin masak. Sultan Pajang adalah salah seorang yang mengenalnya dengan baik.”

“Kebo Kanigara adalah pamannya,” desis Kiai Gringsing.

“Ya. Ia adalah pamannya. Tetapi meskipun jarak mereka dilihat dari waktu, tempat dan kepercayaan, antara Kebo Kanigara dan Sultan Pajang yang juga pernah menjelajahi pulau ini selagi ia masih seorang anak muda yang disebut Jaka Tingkir adalah jauh, namun keduanya seakan-akan tidak pernah merasa dibatasi oleh apa pun juga.”

“Ternyata guru Kiai Gringsing adalah sahabat dari orang yang hampir tidak ada duanya itu,” potong Ki Waskita, “karena itulah agaknya ilmu Kiai Gringsing memiliki unsur ilmu dari perguruan Pengging itu.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, “Memang mungkin sekali. Guruku memang sahabat Ki Kebo Kanigara. Meskipun umurnya terpaut sedikit. Dengan demikian, maka tidak mustahil jika ilmu keduanya saling mempengaruhi.”

“Unsur itu nampak jelas sekali.”

“Menurut penglihatan Ki Waskita, karena Ki Waskita kenal dengan baik ilmu dari perguruan Pengging dan sekaligus ilmu perguruan Windujati. Bahkan ciri-ciri isyarat dari perguruan Windujati pun telah dikenalnya pula.”

“Agaknya ada hubungannya antara keduanya,” desis Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Ki Waskita mendahului, “Kiai Gringsing telah melihatnya. Aku dipaksa untuk meskipun hanya sedikit, melepaskan unsur-unsur gerak itu. Memang aku mengenal dengan baik salah seorang murid dari perguruan Windujati. Murid Empu Windujati langsung. Dengan demikian, kami tidak dapat menghindari pengaruh timbai balik di antara kami.”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Dan Ki Waskita pun tertawa, “Ya. Agaknya memang bukan begitu.”

Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar pun tertawa pula. Bahkan Ki Gede Pemanahan masih juga sempat tersenyum, sementara Ki Demang Sangkal Pulung mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun merasakan sesuatu yang agak janggal dari ceritera Ki Waskita.

“Aku salah,” desis Ki Waskita, “maksudku, agaknya Kiai Gringsing pun telah mengenal saluran ilmuku. Bukan ilmu yang dapat melepaskan bentuk-bentuk semu yang ternyata tidak ada artinya sama sekali bagi Kiai Gringsing, tetapi ilmu kanuraganku.”

“Nah,” desis Ki Juru, “begitulah agaknya. Jika aku sempat melihat tata gerak yang tersembunyi itu, barangkali aku juga dapat menyebutnya.”

“Ah, tidak banyak artinya. Perguruanku adalah perguruan kecil yang tidak berarti.”

“Tetapi sempat melahirkan orang-orang seperti Ki Waskita dan Panembahan Agung.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Nah, barangkali tidak ada lagi yang harus aku ceritakan. Itulah kenyataan yang selama ini aku sembunyikan. Sebenarnya aku benar-benar ingin memisahkan diri dari kesibukan pemerintahan yang mana pun juga. Mungkin aku terpengaruh oleh sikap Empu Windujati yang kecewa. Hanya kadang-kadang didorong oleh perasaan yang tersimpan di lubuk hati yang paling dalam, maka tanpa disadari aku sudah terlibat pula. Seperti pada saat-saat pasukan Tohpati berada di Sangkal Putung. Saat Mataram mulai tumbuh dan saat-saat yang lain. Aku memang selalu menghindari Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Martani, dan pemimpin-pemimpin  Pajang yang lain, yang apabila dapat melihat pergelanganku, akan timbul banyak persoalan tentang diriku. Tetapi ternyata selain pemimpin-pemimpin di Pajang, Ki Argapati pun pernah mempersoalkannya.”

“Hampir setiap orang mengenal Empu Windujati,” berkata Ki Gede Pemanahan, lalu, “tetapi kemanakah murid-murid perguruan Windujati itu?”

“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “mereka telah berpisah dengan tugas di pundak masing-masing. Untuk mengatakan di mana mereka sekarang, maka aku kira aku harus menyusun suatu ceritera tersendiri. Panjang dan barangkali tidak menarik karena tidak ada hubungan langsung dengan persoalan yang kini kita hadapi.”

“Dan guru Kiai yang bersahabat dengan Ki Kebo Kanigara itu?”

Kiai Gringsing termenung sejenak. Sebenarnya ia masih ingin menghindari ceritera yang berkepanjangan. Tetapi rasa-rasanya orang-orang yang ada di dalam bilik itu selalu mendesaknya.

“Aku sudah terlanjur mengucapkan nama-nama Kebo Kanigara, Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Pengging Sepuh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “nama-nama yang tidak terpisahkan dari nama Sultan di Pajang yang kini masih bertakhta.”

Setelah termenung sejenak, maka Kiai Gringsing itu pun berkata, “Guruku pun pernah memutari pegunungan Merapi dan Merbabu, kemudian menyusur pantai Utara sampai ke daerah Timur. Kemudian menyeberang ke sebuah pulau yang manis, pulau Bali. Ke daerah Barat guruku pernah menjelajahi tempat demi tempat dan sempat tinggal di rumah Respati yang juga disebut Menak Ujung.”

Yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengar kelanjutannya, “Aku berkesempatan mengikutinya meskipun tidak seluruh perjalanannya.”

“Dan Kiai terpisah dari Kakek Kiai, Empu Windujati yang juga bernama Pangeran Wirawardana?”

“Aku memang sering terpisah dari Kakek. Tetapi kadang-kadang aku berada di padepokannya. Atas ijin guruku, aku belajar juga kepada kakek. Justru kemampuanku mempergunakan cambuk aku dapatkan dari Empu Windujati.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Tetapi ada sesuatu yang tidak nampak oleh mata wadag, tetapi nampak oleh mata hati. Ilmu yang tidak kasat mata itu dapat Kiai salurkan lewat kemampuan Kiai mempergunakan cambuk.”

Kiai Gringsing termenung sejenak, lalu, “Ya. Ilmu itu aku dapatkan dari guruku.”

“Apakah ada persamaannya dengan ilmu yang dimiliki oleh seorang pemimpin tanah perdikan yang disegani di daerah Utara Gunung Merbabu?”

“Siapa?”

“Ki Gede Banyubiru yang sekarang?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Gede Banyubiru memiliki saluran ilmu yang serupa dengan ilmu Ki Kebo Kanigara. Jika ada persamaan dari ilmunya dengan ilmu yang pernah Ki Waskita lihat padaku, itu bukan hal yang mustahil. Tetapi tentu tidak sama sepenuhnya. Terutama di dalam sifat dan ungkapannya.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ki Gede Banyubiru yang sekarang mengakui kekuasaan Pajang sepenuhnya. Ilmunya benar-benar mengagumkan.”

Kiai Gringsing termenung sejenak. Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil, “Memang ada persamaannya. Aku menyadap ilmu itu sepenuhnya. Tetapi kemudian luluh menjadi satu dengan ilmu yang diberikan oleh Guru. Apalagi Guru dan Ki Kebo Kanigara sudah saling bersetuju untuk saling menyadap unsur-unsur gerak dari ilmu masing-masing. Tetapi jiwanya masih tetap berbeda meskipun tidak begitu jauh.”

Ki Gede Pemanahan yang berbaring di pembaringaninya itu tiba-tiba berdesis, “Ki Gede Banyubiru yang sekarang mempunyai ikatan yang rapat dengan Sultan di Pajang. Mereka pernah berada di satu padepokan. Pernah hidup dalam satu lingkungan. Dan ilmu mereka pun tidak terlampau jauh pula, meskipun Sultan Pajang memiliki seribu macam ilmu dari seribu macam perguruan.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah bertemu dengan Ki Gede di Banyu Biru. Ia lebih muda sedikit dari aku. Hanya sedikit di bawah Kanjeng Sultan Pajang.”

“Apa yang dikatakannya tentang Pajang?”

“Ia merasa dirinya bagian dari Pajang. Tetapi ada juga sepercik kekecewaan, justru karena Pajang seakan-akan telah berhenti.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pada masa itu, banyak perguruan bertebaran. Tetapi kadang-kadang ada yang hanya mengenal namanya saja, tetapi tidak pernah bersentuhan di dalam satu persoalan. Atau masing-masing mengenal ciri perguruan yang lain dengan baik. Tetapi mereka tidak saling mengganggu.”

“Pada saat keris Kiai Nagasasra hilang dari gedung perbendaharaan pusaka di Demak, maka gemparlah seluruh perguruan di seluruh daerah Demak,” desis Ki Waskita.

“Ya, juga Kiai Sabuk Inten,” sambung Ki Sumakar.

“Apakah Kiai mengetahui persoalan itu?” bertanya Ki Juru Martani.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Kebo Kanigara banyak mengetahui tentang kedua keris itu, karena seorang murid dari perguruan Pengging langsung melibatkan diri dalam pencaharian kedua pusaka itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Dari golongan lain pun bagaikan sarang semut disentuh air. Perguruan yang lebih banyak mementingkan kepentingan lahiriah semata-mata, tanpa diimbangi oleh pertimbangan rohaniah, berebut pula untuk mendapatkan kedua pusaka itu. Tetapi semata-mata karena pamrih pribadi. Sedang murid dari perguruan  Pengging yang langsung mencari kedua pusaka itu, adalah semata-mata karena pengabdian. Pengabdiannya kepada kesejahteraan Demak, apalagi ia memang seorang perwira Demak yang merasa bertanggung jawab pada saat kedua pusaka itu diketahui hilang dari perbendaharaan pusaka.”

Orang-orang yang ada di dalam ruang itu terdiam sejenak. Di luar sadar mereka, maka terbayanglah masa lampau yang pernah menyaput kerajaan Demak, dekat saatnya Pajang berdiri.

“Lebih dari tiga puluh tahun yang lampau,” desis Ki Sumangkar.

“Tentu lebih,” desis Ki Waskita, “aku masih seorang yang meningkat dewasa waktu itu.”

Ki Gede Pemanahan yang berbaring itu pun menarik nafas. Rasa-rasanya dadanya menjadi lapang setelah teka-teki yang satu itu, tentang seorang tua yang banyak berbuat untuk Mataram bahkan Pajang, tetapi tidak pernah memperkenalkan dirinya.

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Seakan-akan terbayang di dalam angan-angan masing-masing peristiwa yang pernah terjadi di Demak. Hilangnya pusaka yang sangat penting dari gedung pusaka, telah mengguncang seluruh kekuatan yang ada di Demak. Selain petugas-petugas sandi yang disebar ke segala penjuru, juga orang-orang yang didorong oleh nafsu pribadi, ketamakan dan pamrih yang berlebih-lebihan, telah berusaha untuk menemukannya.

Pada saat itu, Sultan Pajang masih seorang anak muda yang mempunyai kegemaran menjelajahi sudut-sudut Kerajaan Demak, sehingga akhirnya ia berhasil masuk ke dalam lingkungan istana karena ia memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Dengan demikian, maka anak muda yang bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itu berkesempatan untuk menempatkan diri ke dalam suatu kemungkinan, bahwa akhirnya ialah yang memegang pimpinan pemerintahan yang dipindahkannya ke Pajang.

Selagi suasana di ruang itu dicengkam oleh kenangan masa lampau, maka di luar Raden Sutawijaya menjadi sangat gelisah. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan hilir-mudik. Tetapi jika ia berdiri di muka pintu, dan mendengar salah seorang yang berada di dalam ruangan itu tertawa pendek, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Tentu tidak terjadi sesuatu dengan ayahandanya.

“Mungkin Kiai Gringsing dapat mengobatinya,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hati.

Agung Sedayu dan Swandaru pun duduk dengan gelisah pula. Tetapi keduanya tidak berbuat apa-apa.

“Aku mendengar Paman Juru Martani tertawa,” berkata Raden Sutawijaya kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

Kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya.

“Mungkin keadaan Ki Gede sudah menjadi baik,” desis Agung Sedayu.

“Apakah Raden akan mencoba masuk pula ke dalam bilik itu?” bertanya Swandaru.

Raden Sutawijaya termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayu berkata, “Jika keadaan memerlukan maka Raden tentu akan dipanggilnya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku akan menunggu saja.”

Raden Sutawijaya pun kemudian duduk pula dengan jantung yang berdebar-debar.

Sementara itu matahari mulai memanjat langit. Para penjaga di regol sudah meninggalkan tempatnya, diganti oleh kelompok yang baru.

Akhirnya anak-anak muda itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi duduk dalam ketegangan. Karena itu, maka ketika Raden Sutawijaya mengajak mereka turun ke halaman, maka Agung Sedayu segera menyahut, “Marilah. Rasa-rasanya tubuhku menjadi beku duduk dalam ketegangan.”

“Kita dapat berjalan-jalan keluar,” desis Swandaru.

“Jangan terlampau jauh. Setiap saat aku dapat dipanggil ke dalam bilik itu,” sahut Raden Sutawijaya.

Dengan demikian maka ketiganya pun hanya berjalan di halaman saja. Mereka berhenti sejenak di regol. Tetapi mereka pun berjalan lagi ke regol butulan di samping.

Dua orang penjaga butulan itu mengangguk hormat, ketika Raden Suawijaya lewat di sebelah mereka.

Selagi Raden Sutawijaya berjalan sambil merenungi keadaan ayahandanya, dan merenungi dirinya sendiri yang sudah terlanjur melanggar pagar hubungannya dengan gadis Kalinyamat, sehingga ayahandanya menjadi sangat berprihatin karenanya, maka di dalam bilik Ki Juru Martani berkata, “Agaknya Sutawijaya mempunyai sifat yang sama dengan ayahanda angkatnya.”

Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya.

“Karena itu, aku percaya bahwa Kanjeng Sultan benar-benar tidak marah kepada Sutawijaya karena peristiwa itu.”

“Ya, Kakang,” sahut Ki Gede, “seharusnya Kanjeng Sultan menjadi marah dan menghukum aku.”

“Berterima kasihlah bahwa Kanjeng Sultan tidak marah. Gadis dari Kalinyamat itu tentu akan melahirkan seorang yang pilih tanding, karena ia keturunan Ki Gede Pemanahan dan keturunan Sunan Prawata. Bukankah dengan demikian tetesan darah Majapahit yang ada di dalam diri puteri Sunan Prawata itu akan luluh dengan tetesan darah dari Kiai Ageng Sela yang mampu menguasai api bahkan petir?”

“Ah,” Ki Gede Pemanahan berdesah.

“Kita tentu masih ingat, bagaimana Jaka Tingkir itu diusir dari istana Sultan Demak,” berkata Ki Juru Martani pula.

“Itu lebih baik,” desis Ki Gede Pemanahan.

“Tetapi itu sikap pura-pura. Kanjeng Sultan Demak tentu tidak sebenarnya ingin menghukum Jaka Tingkir. Kanjeng Sultan Trenggana adalah seorang yang berhati keras. Jika ia benar-benar marah, Mas Karebet itu tentu akan diremas sampai lumat dengan aji Narantaka yang dimilikinya. Bahkan Sultan Trenggana mempunyai seribu macam ilmu.”

“Juga Mas Karebet,” desis Ki Sumangkar.

“Tetapi waktu itu ilmunya masih belum mapan, meskipun sudah mengagumkan, sehingga Sultan Trenggana tertarik karenanya.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Dan sekarang Raden Sutawijaya berbuat hampir serupa.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Meskipun orang-orang yang berada di dalam bilik itu tidak saling berjanji, namun mereka bersama-sama telah membayangkan apa yang terjadi pada saat Sultan Trenggana berada di halaman Masjid Demak.

Seorang anak muda yang sedang berjongkok di pinggir kolam tidak mendapat kesempatan untuk bergeser dari tempatnya. Tetapi Sultan Trenggana sudah begitu dekat. Untuk meninggalkan tempat itu, ia tidak berani berdiri lagi, karena Sultan telah berada di depan hidungnya. Sedangkan untuk tetap berada di tempatnya, ia pun takut kepada para pengawal. Untuk mundur, di belakangnya adalah kolam berair cukup dalam.

Karena itu, maka anak muda itu pun kemudian meloncati kolam di belakangnya. Ia meloncat mundur sambil tetap jongkok seakan-akan tidak bergerak sama sekali.

Ternyata hal itu sangat menarik perhatian Sultan Demak. Tanpa kekuatan yang tidak kasat mata, tidak seorang pun yang dapat melakukannya. Meloncat mundur sambil berjongkok melampaui sebuah kolam yang cukup lebar.

Namun kemudian ketika Mas Karebet itu mendapat kesempatan untuk mengabdi di istana Demak, maka terjadilah hubungan yang tidak diharapkan itu. Hubungan diam-diam dengan puteri Sultan Trenggana.

Yang bersalah harus dihukum. Demikian juga Mas Karebet. Namun Sultan Trenggana tahu pasti, bahwa kedua anak muda itu sudah saling mencintai. Karena itu, maka dengan berat hati, Mas Karebet itu diusirnya dari istana, meskipun ia tahu, bahwa hati puterinya pun akan menjadi hancur karenanya.

Tetapi kesempatan untuk menerima Karebet kembali pun ternyata terbuka. Ketika Kebo Danu dari Banyubiru mengamuk di daerah perburuan, maka Mas Karebet mendapat kesempatan untuk menjinakkannya. Dan Kebo Danu itu adalah kekuatan yang hampir tidak terlawan dari Banyu Biru.

Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Ki Demang Sangkal Putung, agaknya Ki Demang pun sedang merenungkan peristiwa yang pernah terjadi pada masa menjelang kekuasaan Pajang.

“Dan sekarang,” berkata Ki Juru Martani di dalam hatinya, “Sultan Pajang harus dengan ikhlas menyerahkan gadis Kalinyamat itu kepada Raden Sutawijaya yang dengan diam-diam pula telah mencuri hatinya.”

Ki Gede Pemanahan yang terbaring diam itu pun menarik nafas dalam-dalam. Semua yang terjadi itu rasa-rasanya masih jelas di dalam ingatannya. Umurnya yang sebaya dengan Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya itu, agaknya menganggap peristiwa yang terjadi di istana Demak itu sebagai suatu peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan. Betapa rapatnya pihak istana menutup rahasia tentang puteri Sultan Trenggana, namun akhirnya setiap telinga mendengar pula.

Tetapi dalam pada itu setiap mulut mengatakan bahwa Jaka Tingkir telah diusir dari istana karena ia telah membunuh seorang yang mengalami pendadaran, ketika memasuki lingkungan keprajuritan. Anak muda yang bernama Dadungawuk telah mati terbunuh oleh Jaka Tingkir yang menjadi marah mendengar kesombongannya dan kemudian menusuk Dadungawuk itu hanya dengan sadak kinang.

Orang-orang yang berada di ruangan itu tiba-tiba berpaling serentak ketika mereka mendengar Ki Sumangkar hampir di luar sadarnya berdesis, “Sebuah kenangan yang manis.”

Ki Waskita menggamitnya dan bertanya, “Kenangan tentang Ki Sumangkar agaknya tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Jaka Tingkir.”

Ki Sumangkar tersenyum. Jawabnya, “Tidak. Aku mengenang masa muda Sultan Hadiwijaya, dan kemudian Raden Sutawijaya yang mengalami masa-masa yang serupa.”

“Tetapi tentu kenangan manis buat Ki Sumangkar sendiri,” potong Ki Juru Martani.

Orang-orang tua di dalam bilik itu ternyata sedang tenggelam dalam alam angan-angan. Memang kadang-kadang terasa kerinduan yang mencengkam. Tetapi masa lampau itu sudah berlalu. Tidak seorang pun yang akan dapat mengulanginya. Yang dapat dilakukannya hanyalah mengenang kembali. Mengenang masa muda yang penuh dengan gelora dan gemuruhnya perjuangan untuk merebut masa depan masing-masing.

Juga kenangan masa-masa mereka mengagumi nama orang-orang sakti yang pernah mereka kenal. Yang kadang-kadang menumbuhkan bayangan dan angan-angan untuk dapat berbuat seperti itu.

Tetapi ketika kemudian mereka sampai pada pencapaian keinginan itu, terasa bahwa kemampuan yang mereka capai itu bukannya sekedar sebagai kebanggaan. Tetapi justru disertai dengan perasaan tanggung jawab terhadap lingkungannya. Dan pada keadaan yang demikian itulah, seseorang akan dapat menilai diri sendiri, apakah ia telah memberikan pengabdian kepada sesama dan tidak terlepas dari kebaktian kepada Penciptanya, atau sekedar dicengkam oleh ketamakan dan nafsu semata-mata.

Meskipun pada masa itu, orang-orang tua yang ada di dalam bilik itu masih termasuk anak-anak muda, namun mereka dapat melihat benturan kekuatan yang berlawanan pada saat-saat keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten hilang dari gedung pusaka istana Demak.

“Dan kini,” tiba-tiba Ki Juru Martani berdesis, “tentu tidak sedikit orang yang menginginkan memiliki Kangjeng Kiai Pleret, karena Kanjeng Kiai Pleret pun kini merupakan lambang wahyu kerajaan di atas tanah ini.”

Tiba-tiba saja Ki Juru menjadi gelisah. Seakan-akan ia ingin segera melihat, apakah Kiai Pleret masih ada di tempatnya.

Tetapi Ki Gede Pemanahan sendiri tidak memberikan kesan kegelisahan itu. Ia lah yang menyimpan Kiai Pleret di dalam ruang pusaka yang rapat. Dan tempat menyimpan pusaka itu tidak jauh dari tempatnya berbaring sekarang, yang hanya disekat oleh sebuah dinding.

Dalam pada itu, tanpa mengerti kegelisahan yang menyentuh hati Ki Juru Martani, maka Ki Gede Pemanahan pun bertanya dengan suara yang lambat dan lamban, “Kiai. Kiai belum mengatakan, siapakah sebenarnya yang dikenal sebagai Empu Windujati pada masa permulaan Pajang. Jika Empu Windujati itu Pangeran Wirawardana seperti yang Kiai katakan, maka pada permulaan kekuasaan Pajang, ia sudah terlampau tua untuk berkelana di seluruh wilayah Pajang. Bahkan belum begitu lama menurut ingatanku, Empu Windujati masih terdengar namanya dan nampak ciri-cirinya. Disaat orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi dari goa Susuhing Angin di daerah sebelah Utera Gunung Merbabu menampakkan dirinya di daerah Pajang, dan mengancam akan menghancurkan Pajang jika Pajang berkeras menentang kekuasaan Arya Penangsang, muncullah ciri-ciri perguruan Windujati itu. Tentu kita masih ingat, dan terutama Ki Sumangkar yang berada di Kepatihan Jipang, seorang pendukung Arya Penangsang yang sangat ditakuti saat itu. Ia datang ke Jipang beberapa hari setelah Arya Penangsang gagal memerintahkan dua orang untuk membunuh Adipati Pajang, meskipun orang itu sudah dibekali dengan keris Brongot Setan Kober yang terkenal. Orang yang menyebut darinya Kiai Pager Wesi itu menyatakan kesanggupannya untuk membinasakan Adipati Pajang meskipun masih harus diuji kebenarannya, karena ia belum pernah melakukannya.”

Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya sambil mengingat-ingat, “Ya. Orang itu bernama Kiai Pager Wesi. Tetapi orang-orang di kepatihan sendiri, maksudku Kepatihan Jipang, tidak yakin bahwa ia akan mampu melakukannya karena setiap orang mengetahui betapa tinggi dan dahsyatnya ilmu yang tersimpan di dalam diri Adipati Pajang waktu itu, yang kini telah bergelar Sultan Hadiwijaya. Yang paling mungkin melakukan hanyalah Arya Penangsang sendiri, atau Ki Patih Mantahun. Tetapi Ki Patih Mantahun telah terlalu tua. Sedangkan tidak seorang pun yang percaya kepadaku waktu itu. Juga kepada Macan Kepatihan yang masih terlalu muda.”

“Dan orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi hadir di dalam pergolakan itu. Namun sebelum ia bertindak, di Jipang telah diketemukan panji-panji kecil berciri perguruan Empu Windujati.”

“Ya,” sahut Ki Sumangkar, “bahkan di dalam bilik tempat Kiai Pager Wesi bermalam di istana Adipati Jipang Arya Penangsang, terdapat panji-panji kecil itu. Dan tidak seorang pun yang mengetahui siapakah yang meletakkan panji-panji itu di dalam bilik yang disediakan khusus bagi tamu-tamunya dari goa Susuhing Angin itu. Dan setiap orang di Jipang mengetahui bahwa panji-panji itu merupakan peringatan bagi Kiai Pager Wesi, bahwa jika ia ikut campur di dalam persoalan Jipang dan Pajang, maka perguruan Windujati akan turun pula di medan pertentangan itu.”

“Ya. Suatu tantangan bagi Kiai Pager Wesi. Dan agaknya Kiai Pager Wesi masih segan berhadapan dengan Empu Windujati,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata Kiai Pager Wesi tidak pernah berbuat apa-apa atas Sultan Pajang yang memang sudah siap menghadapinya.”

“Terutama Lurah Wiratamtama saat itu di Pajang yang terkenal,” desis Ki Sumangkar, “yang bergelar Ki Gede Pemanahan.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Aku sudah gemetar mendengar nama Kiai Pager Wesi.”

“Ah, setiap orang tahu, Ki Gede Pemanahan hampir tidak ada bedanya dengan Kanjeng Sultan di Pajang itu sendiri. Apalagi Ki Juru Martani dari Sada. Meskipun Ki Juru tidak dengan resmi menjadi prajurit di Pajang, tetapi pengaruhnya sampai saat ini melampaui pengaruh Ki Patih di Pajang sendiri.”

“Ah,” desis Ki Juru, “aku sudah berdiam diri. Tetapi jika kita berbicara tentang Empu Windujati, sebenarnyalah Empu Windujati hadir saat itu. Bukan saja Kiai Pager Wesi yang ingin mencampuri persoalan Pajang dan Jipang, tetapi saat-saat pertentangan itu memuncak dan segenap perhatian tertumpah pada persoalan Pajang dan Jipang, banyak orang yang mempergunakan kesempatan itu. Orang-orang yang merasa dirinya memiliki kemampuan cukup mulai memanfaatkan keadaan untuk kepentingan diri sendiri. Perampokan, pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang lain mulai mereda, ketika tersebar panji-panji kecil seperti yang terpahat di pergelangan tangan Kiai Gringsing itu. Dan yang tentu ingin kami ketahui, apakah Empu Windajati yang saat  itu dengan gigih melawan kejahatan dan bahkan memberikan tantangan atas Kiai Pager Wesi itu juga Empu Windujati yang bergelar Pangeran Wirawardana?”

Semua orang memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya, seakan-akan langsung ingin mengetahui apakah yang ada di dalam pusat jantungnya.

Sejenak Kiai Gringsing merenung. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah pernah ada orang yang merasa bertemu dengan Empu Windujati saat itu?”

“Tidak,” sahut Ki Gede Pemanahan, “tetapi, nama Windujati saat itu kami kenal.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk lemah. Sekilas ia memandang wajah Ki Gede Pemanahan yang pucat, namun nampak membayang keinginan untuk sebanyak-banyaknya mengetahui masalah-masalah yang baginya merupakan teka-teki selama ini.

Kiai Gringsing bergeser sejengkal. Kemudian setelah merenung sejenak, maka ia pun menjawab, “Yang kita kenal dengan nama Empu Windujati pada masa permulaan Pajang itu bukannya Empu Windujati yang juga bergelar Pangeran Wirawardana.”

“Jadi siapakah Empu Windujati yang saat itu berani menempatkan diri berhadapan dengan Kiai Pager Wesi yang merasa dirinya mempunyai ilmu yang dahsyat sehingga sanggup melawan Adipati Pajang?” bertanya Ki Juru Martani.

Kiai Gringsing merenungi Ki Juru sejenak, lalu ia pun bertanya, “Jadi perlukah aku menerangkan siapakah orang yang saat itu menyebut dirinya Empu Windujati dengan ciri perguruan Windujati?”

“Agaknya memang demikian, Kiai,” Ki Waskita memotong. “Rasa-rasanya memang menarik untuk mengetahui serba sedikit tentang orang sakti pada masa-masa lampau.”

“Memang menarik,” sahut Kiai Gringsing. “Juga menarik untuk mengenal perguruan Banyu Biru sampai saatnya Ki Gede Banyu Biru menyerahkan kekuasaan Tanah Perdikannya kepada puteranya yang memimpin Tanah Perdikan itu sampai sekarang.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Tidak ada apa-apa di Banyu Biru.”

“Justru putera Ki Gede Banyu Biru itu mendapatkan ilmunya sebagian terbesar bukan dari ayahnya sendiri. Sedang ayahnya ternyata kemudian mempunyai murid-murid tersendiri.”

“Anak padesan yang tidak berarti,” potong Ki Waskita.

Kiai Gringsing tersenyum. Dan Ki Waskita pun berkata, “Kiai belum menjawab. Siapakah Empu Windujati itu?”

“Apakah Ki Waskita dapat menjawab? Bukankah Ki Waskita mengenal isyarat perguruan Windujati? Dengan demikian tentu ada sangkut paut antara perguruan Ki Waskita dan perguruan Windujati.”

“Ah,” desah Ki Waskita , “sudahlah, sebaiknya Kiai Gringsing menyebutnya.”

“Ki Juru,” berkata kiai Gringsing kemudian, “pada saat yang gawat, kadang-kadang seseorang perlu bertindak tepat. Aku kira, seseorang tahu dengan pasti, bahwa Kiai Pager Wesi mempunyai pertimbangan tersendiri terhadap perguruan Windujati, sehingga orang itu telah mnempergunakan nama perguruan Windujati untuk mencegah niatnya. Karena menurut perhitungan nalar, jika seandainya Kiai Pager Wesi berhasil membunuh Adipati Pajang pada waktu itu, maka yang akan terjadi justru kekeruhan. Tidak akan mungkin Kiai Pager Wesi bersedia membantu Arya Penangsang tanpa pamrih.”

“Semata-mata karena dendam,” berkata Ki Sumangkar, “Kiai Pagar Wesi mendendam Adipati Pajang, karena Adipati Pajang di dalam petualangannya di masa mudanya pernah membunuh seorang penghuni Goa Sarang Angin yang disebut Goa Susuhing Angin itu.”

“Itu adalah alasan yang dikemukakan dan memang masuk akal,” jawab Kiai Gringsing. “Tetapi setiap orang yang pernah mendengar tentang goa itu, maka mereka tentu akan berpendapat lain.”

“Ya,” sahut Ki Waskita, “aku pernah mendengar tentang goa yang disebut Sarang Angin itu. Goa yang berada di bawah bukit karang dan mempunyai lubang lurus ke atas menembus kulit pegunungan. Jika angin kencang bertiup maka lubang-lubang goa itu bagaikan lubang-lubang seruling raksasa yang menimbulkan bunyi yang mendebarkan jantung.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Dan tentulah bersarang sebuah kelompok yang tidak dapat disebut orang-orang baik. Termasuk Kiai Pager Wesi yang sampai sekarang masih tetap berada di tempatnya dan sekitarnya. Tetapi perkembangan di Pajang telah mendesaknya untuk tidak pernah menampakkan dirinya lagi, apalagi Kiai Pager Wesi harus mengakui kemampuan Sultan Pajang dan pimpinan Wira Tamtamanya Ki Pemanahan dan Ki Penjawi. Terhitung pula saudara tua mereka, Ki Juru Martani.”

Mereka yang mendengarnya tersenyum karenanya. Ki Demang Sangkal Putung yang selama itu berwajah tegang pun tersenyum pula.

“Tetapi masih belum terjawab,” Ki Sumangkar menyela, “siapakah yang pada saat-saat itu melepaskan ciri-ciri khusus perguruan Windujati?”

“Sudah aku katakan. Seseorang yang ingin menolong keadaan.”

“Tetapi tidak seorang pun yang akan berani berbuat demikian jika memang ia tidak berhak,” potong Ki Juru Martani. “Sedangkan yang berhak atas ciri itu adalah murid-muridnya turun-temurun, atau keturunan langsung dari Empu Windujati.”

Kiai Gringsing tidak menyahut.

“Ada seorang dukun di Dukuh Pakuwon,” Ki Sumangkar bergumam, “yang ternyata adalah keturunan langsung dari Empu Windujati.”

“Ah, kau.”

“Coba, Kiai,” sahut Ki Sumangkar, “selama ini Kiai berdiri di tepi arena. Kiai yang kecewa seperti kekecewaan yang mencengkam hati Empu Windujati atas segala macam pertentangan sampai saat Sultan Pajang bertakhta, tetapi tidak sampai hati melepaskannya sama sekali. Yang nampak, Kiai sekarang berada di tempat ini. Tentu karena Kiai tidak dapat melepaskan sama sekali kebanggaan Kiai sebagai keturunan dalam garis lurus dari Majapahit, bahwa kekuasaan di atas Tanah ini akan menjadi semakin surut. Tetapi Kiai masih tetap pantang untuk terjun langsung di dalam arena yang kacau ini.”

Kiai Gringsing memandang Ki Sumangkar sejenak, kemudian tatapan matanya merambat kepada orang lain yang ada di dalam ruangan itu. Yang terakhir Kiai Gringsing memandang Ki Gede Pemanahan yang pucat berbaring di pembaringannya.

Sekilas Kiai Gringsing melihat, seolah-olah isyarat baginya bahwa sebenarnya Ki Gede Pemanahan sudah tidak akan dapat bertahan lagi untuk waktu yang panjang. Mungkin sehari mungkin dua hari. Tetapi tidak lebih dari itu.

Karena itu, maka ia tidak akan dapat selalu ingkar akan kenyataan tentang dirinya. Apalagi beberapa orang tua-tua yang memiliki pengalaman yang luas berada di ruang itu, dan seakan-akan mereka semuanya memandanginya dengan tajamnya.

“Ki Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, “aku tahu bahwa Ki Sumangkar telah menganggap akulah yang telah melepaskan ciri-ciri itu untuk menentang Kiai Pager Wesi agar tidak ikut melibatkan diri ke dalam pertentangan itu.”

“Demikianlah agaknya,” Ki Waskita-lah yang menyahut.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “tentu waktu itu kita semuanya masih lebih muda dari sekarang. Aku memang tidak akan dapat ingkar bahwa aku terlibat pada saat itu. Aku tidak sampai hati melihat Pajang dan Jipang yang sebenarnya masih bersangkut paut dalam lingkungan keluarga besar itu dapat menumbuhkan persoalan yang akan menjadi sangat gawat bagi kelangsungan hidup Demak. Jika ada orang lain yang ikut campur, dan apalagi terjun ke dalam arena pertentangan itu, maka persoalannya akan dapat bergeser dari persoalannya yang semula.”

Semua orang menarik nafas lega. Ternyata dugaan mereka sebagian terbesar sesuai dengan pengakuan Kiai Gringsing itu.

“Tetapi apakah dengan demikian bukan berarti bahwa Kiai Gringsing telah berpihak kepada Pajang?” bertanya Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia tahu pasti bahwa saat itu Sumangkar berada di Jipang. Bagamana pun juga, pada waktu itu Ki Sumangkar tentu mengharap Jipang akan menang.

“Ki Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, “mungkin karena sikapku waktu itu, memang dapat ditarik kesimpulan, bahwa aku berpihak kepada Pajang. Tetapi yang penting bagiku adalah menolak campur tangan pihak lain yang hanya akan mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Apalagi orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi itu. Selagi ia berada di Jipang dan selagi ia ikut mengobarkan pertentangan antara Jipang dan Pajang, maka anak buahnya akan dengan leluasa bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Masih pula Kiai Pager Wesi akan menuntut banyak hal yang dapat terjadi kemudian karena jasa-jasa yang telah ia berikan kepada Jipang meskipun jasa-jasa itu sebenarnya tidak akan berarti apa-apa. Menurut penilaianku, Kiai Pager Wesi bukannya orang yang pantas ditakuti, karena ia tidak akan lebih baik dari Ki Patih Mantahun, atau adik seperguruannya yang juga memiliki tongkat berkepala tengkorak yang berwarna kuning, yang sekarang berada di antara kita.”

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.

“Itulah sebabnya maka aku memberanikan diri untuk mencoba mencegah terlibatnya Kiai Pager Wesi di dalam persoalan Pajang dan Jipang.”

Ki Gede Pemanahan yang berbaring itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Pada saat itu, kita yang berada di Pajang harus memperhitungkan dengan saksama kehadiran orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi. Dan kita pun harus mengikuti perkembangan keadaan dengan munculnya ciri-ciri khusus perguruan Windujati. Agaknya Kiai Gringsing-lah yang waktu itu telah menempatkan tantangan dengan ciri-ciri itu di hadapan Kiai Pager Wesi.”

“Aku tidak berdiri sendiri,” berkata Kiai Gringsing, “jika sesuatu benar-benar terjadi, maka aku berada bersama murid-murid yang sebenarnya dari perguruan Windujati.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendapat gambaran serba sedikit tentang apa yang pernah terjadi beberapa saat yang lampau atas Pajang dan Jipang. Ternyata baru sekarang hal itu dimengerti meskipun tidak terlalu gamblang.

“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “tidak ada lagi yang dapat aku katakan tentang diriku, tentang perguruanWindujati dan tentang orang-orang lain yang bersangkut paut. Aku juga tidak dapat menceriterakan lebih banyak lagi tentang hubungan antara guruku dengan Kebo Kanigara. Pengaruh ilmu yang dahsyat dari Ki Kebo Kanigara yang nampak pada ilmuku sekarang, dan yang senafas meskipun wataknya agak berbeda dengan ilmu yang tentu kalian kenal pada Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, yang pernah berguru kepada seorang yang memiliki pengabdian yang luar biasa kepada Demak pada saat-saat keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten hilang dari gedung pusaka.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya.

“Tentang perguruan Banyu Biru, bertanyalah kepada Ki Waskita. Ia tidak akan dapat menyembunyikan ilmu dari perguruan itu meskipun juga sedikit ada garis pemisah dari Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, karena pengaruh yang terkuat yang ada di dalam diri mereka juga berlainan.”

“Ah,” desis Ki Waskita, “tidak ada apa-apa di Banyu Biru. Dahulu maupun sekarang selain pegunungan-pegunungan kecil di kaki gunung Merbabu di lereng Utara menghadap pada tanah yang berawa-rawa.”

Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya Ki Waskita sejenak. Namun sebelum ia berkata sesuatu, justru Ki Waskita-lah yang mendahului, “Tanah berawa-rawa itu bukannya sesuatu yang penting, selain sebagai sarang uling. Sebenarnya uling dan pada masa sebelum Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, terdapat sepasang uling yang bertubuh manusia.”

“Uling putih dan Uling Kuning maksudmu?” bertanya Ki Juru Martani.

“Ya.”

“Bukankah mereka terbunuh oleh Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, tetapi yang saat itu masih cukup muda.”

Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Katanya, “Begitulah. Tetapi bekasnya tidak hilang sama sekali. Orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi di pegunungan Sarang Angin itu pun merupakan jalur perguruan yang sama dengan kedua uling itu.”

“Jika demikian,” berkata Kiai Gringsing, “seharusnya Ki Waskita-lah yang paling berkepentingan dengan orang itu.”

Ki Waskita tersenyum. Tetapi sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, Ki Waskita mendahului pula, “Tetapi Kiai, barangkali pertanyaanku menjadi terlampau jauh. Jika Kiai bersedia memberikan jawabnya karena aku yakin bahwa Kiai mengetahuinya, apakah hubungannya antara Empu Windujati yang juga bergelar Pangeran Wirawardana dengan seorang yang pada saat yang mungkin hampir bersamaan meskipun pada umur yang terpaut, bergelar Pangeran Buntara dan yang kemudian menamakan dirinya Panembahan Ismaya. Jelasnya, apakah hubungan antara Empu Windujati dengan Panembahan Ismaya dari Karang Tumaritis?”

Nampak wajah Kiai Gringsing menegang. Namun kemudian wajah itu telah berubah dalam sekejap, seolah-olah tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dengan nada datar ia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku memang sudah mengenal seseorang yang menyebut dirinya Panembahan Ismaya.”

“Hanya sekedar mengenal?”

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya.

Tetapi Ki Waskita justru tertawa. Bahkan Ki Juru Martani pun mendehem sambil berkata, “Pertanyaan itu wajar sekali.”

“Ya. Dan jawabanku pun wajar pula.”

Yang mendengar jawaban Kiai Gringsing itu tertawa. Bahkan Ki Gede Pemanahan pun masih tertawa pula sambil berkata, “Kita telah menemukan satu jawaban dari teka-teki yang selama ini tersimpan. Tetapi pada suatu saat kalian tentu akan mendengar jawaban dari teka-teki yang lain, yaitu hubungan antara perguruan Karang Tumaritis dan perguruan Windujati.”

“Seharusnya bukan sesuatu yang asing bagi perguruan Sela, Ki Gede.”

Ki Gede tersenyum pula. Tetapi sebelum ia menjawab Ki Juru berkata, “Baiklah kita menyimpan teka-teki yang satu ini. Mungkin Kiai Gringsing masih ingin mempunyai simpanan, yang pada suatu saat dapat kita pakai sebagai bahan pembicaraan.”

“Tidak. Aku tidak tahu-menahu hubungan yang ada itu.”

Ki Gede Pemanahan pun kemudian berkata, “Jangan dikeringkan sampai tuntas. Biarlah tinggal beberapa hal yang tersangkut dalam rahasia pribadi Kiai Gringsing. Tetapi yang penting kita sudah mengetahui, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing. Cucunda Pangeran Wirawardana yang juga disebut Empu Windujati. Namun masih ada satu pertanyaan lagi Kiai. Siapakah nama Kiai yang sebenarnya. Tentu bukan Ki Tanu Metir dan tentu bukan Kiai Gringsing.”

“Apa pentingnya nama-nama itu bagi Ki Gede?”

“Tidak apa-apa. Tetapi bukankah nama itu merupakan suatu kelengkapan pengenalan kita.”

Ketika Kiai Gringsing memandang berkeliling, nampaklah sorot-sorot mata yang tegang memandanginya. Dengan demikian Kiai Gringsing sadar, bahwa mereka benar-benar ingin mengetahui nama Kiai Gringsing yang sebenarnya.

“Tidak banyak yang menganggap namaku penting untuk diketahui. Tetapi baiklah, jika memang kalian ingin mendengar.”

“Ya,” desis Ki Demang Sangkal Putung tiba-tiba.

“Namaku bukannya nama yang baik. Sekedar tanda atau sebutan untuk memanggil aku.”

“Sebutlah,” desis Ki Sumangkar.

“Namaku sama jeleknya dengan aku sendiri, dan tidak lebih baik dari sebutan Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir.”

“Hem,” Ki Juru menarik nafas dalam-dalam, “rasa-rasanya kita sedang menggali cengkerik di dalam tanah berpasir. Rasa-rasanya kita sudah hampir mendapatkannya, namun ternyata lubang itu masih terlampau dalam.”

Semuanya tertawa. Ki Gede Pemanahan pun masih juga tertawa.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “namaku yang sebenarnya, yang diberikan oleh orang tuaku adalah Pamungkas.”

“Pamungkas,” hampir bersamaan terdengar beberapa orang bergumam.

“Apakah kalian pernah mendengar nama itu?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Sumangkar menggeleng, “Belum. Nama itu masih asing bagiku.”

“Kalian bergumam seperti kalian sudah mengenal nama itu dengan baik,” Kiai Gringsing tersenyum.

“Bukan mengenal dengan baik,” sahut Ki Waskita, “tetapi nama itu sendirilah yang sangat baik.”

Kiai Gringsing memandang wajah Ki Waskita sejenak. Ketika terpandang olehnya senyum di bibir Ki Waskita, maka mau tidak mau Kiai Gringsing harus tersenyum pula sambil bertanya, “Apakah Ki Waskita tidak percaya?”

“Tidak. Bukan tidak percaya, Kiai. Agaknya kali ini Kiai berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi selama ini memang sulit dibedakan antara yang sebenarnya dan yang sekedar ceritera seperti ceritera tentang nama seorang dukun di dukuh Pakuwon.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya dengan senyum yang masih nampak di bibirnya, “Agaknya memang sulit bagiku untuk berkata dengan sesungguhnya.”

“Biarlah kali ini aku percaya. Nama Kiai adalah Pamungkas. Raden Pamungkas, cucu Pangeran Wirawardana. Agaknya Kiai memang anak wuragil. Apakah benar Kiai anak bungsu?”

“Kenapa?”’

“Pamungkas mempunyai arti mengakhiri.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi Ki Juru menyahut, “Mungkin maksudnya agar Kiai Gringsing tidak lagi disusul oleh seorang adik. Tetapi mungkin pula nama itu mengandung harapan agar Kiai Gringsing dapat memecahkan setiap persoalan yang dihadapi.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Dan agaknya yang kedua itulah yang nampak sekarang. Ternyata Kiai Gringsing dapat memecahkan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang lain.”

“Agaknya semuanya adalah harapan baik,” sahut Kiai Gringsing. “Nama adalah tanda, sekaligus harapan yang di berikan oleh orang tua kita. Karena itu pada umumnya nama seseorang dapat saja mempunyai arti yang kadang-kadang terlampau tinggi dibandingkan dengan keadaannya. Tetapi tentu itu bukan suatu kesalahan.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Agaknya mereka dapat mengerti dan menerima keterangan Kiai Gringsing itu. Meskipun sebelumnya mereka selalu melihat banyak masalah yang tersamar padanya, tetapi agaknya saat itu Kiai Gringsing berkata bersungguh-sungguh.

Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan yang terbaring dengan wajah pucat itu pun kemudian berkata, “Terima kasih atas segala keterangan Kiai. Aku sekarang mengerti bahwa Kiai memang memiliki alasan yang kuat untuk selalu membayangi setiap daerah yang mulai bangkit. Kekecewaan yang ada pada Kiai sejak Pangeran Wirawardana meninggalkan Majapahit, kadang-kadang mendorong Kiai untuk menemukan harapan-harapan di saat-saat seperti saat lahirnya  Mataram sekarang, seperti juga saat lahirnya Pajang. Kiai sudah mulai membayangi kekuatan yang saat itu ingin mengganggu perkembangan Pajang ketika Pajang mulai bangkit. Tetapi agaknya Kiai pun menjadi kecewa meskipun Kiai tidak sampai hati melepaskannya sama sekali. Ternyata dengan usaha Kiai membatasi gerak Macan Kepatihan yang saat itu masih di tunggui oleh Ki Sumangkar dengan tongkat baja berkepala tengkoraknya.”

Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya Sumangkar sambil berkata, “Memang menarik sekali untuk berkenalan langsung dengan Ki Sumangkar saat itu. Sebelumnya, aku hanya mengenal namanya dan ilmunya, serta kepercayaan banyak orang bahwa pemegang tongkat berkepala tengkorak itu mempunyai simpanan nyawa rangkap.”

Ki Sumangkar pun tertawa katanya, “Jika aku mempunyai dua nyawa, maka yang satu akan aku jual kepada Kiai Gringsing dengan harga yang sangat tinggi.”

Yang mendengarnya pun tertawa. Sementara itu Ki Gede Pemanahan masih bertanya, “Tetapi apakah sebenarnya yang membuat Kiai kecewa atas Pajang?”

“Ah, tidak apa-apa, Ki Gede. Aku tidak kecewa.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kiai memang tidak kecewa. Mudah-mudahan Kiai juga tidak kecewa terhadap Mataram.”

Kiai Gringsing memandangi Ki Gede Pemanahan dengan tajamnya. Tetapi sorot matanya mengandung kesungguhan dari sikap batinnya, sekaligus harapan, sehingga Ki Gede Pemanahan berkata di dalam hatinya, “Agaknya Kiai Gringsing sendiri mengharap, agar ia tidak selalu kecewa sepanjang hidupnya. Tergantung kepada Sutawijaya, apakah ia dapat mengemudikan Mataram dengan baik dalam bimbingan Ki Juru Martani.”

Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Juru Martani berkata, “Kita sudah terlampau banyak memaksa Kiai Gringsing berceritera. Nah, sekarang apakah ada yang akan Kiai lakukan atas Ki Gede Pemanahan?”

Tetapi sebelum Kiai Gringsing menyahut, Ki Gede Pemanahan telah mendahuluinya, “Tidak ada yang akan dilakukannya, Kakang Juru. Yang paling tepat dilakukan adalah ceriteranya tentang dirinya.”

“Mungkin Kiai Gringsing mempunyai obat yang dapat melancarkan jalan pernafasanmu atau untuk kepentingan lain agar kesehatanmu bertambah baik.”

Ki Gede menggeleng, “Bukan aku menolak setiap usaha, karena sebenarnyalah bahwa usaha itu merupakan permohonan kepada Yang Maha Kasih. Tetapi rasa-rasanya aku sudah mendapat isyarat, bahwa hari-hariku tinggal terlampau pendek. Sehari, mungkin dua. Tetapi sama sekali bukan bermaksud mendahului batas yang digariskan oleh-Nya, namun rasa-rasanya garis itu memang sudah diperlihatkan kepadaku.”

Kiai Gringsmg menggeleng lemah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Seperti juga orang lain, rasa-rasanya isyarat itu benar-benar memang telah nampak.

Namun demikian Ki Juru Martani yang bijaksana masih juga berkata, “Adi Pemanahan. Selagi yang nampak itu belum terwujud, sebaiknya Adi jangan menolak suatu usaha. Mungkin pernafasan Adi sekarang dapat menjadi lancar. Mungkin terasa tubuh menjadi segar.”

Ki Gede Pemanahan memandang Kiai Gringsing sejenak lalu, “Baiklah, Kiai. Ibarat orang berada di ujung jalan, biarlah badan ini merasa segar dan pikiran menjadi tetap bening.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Tetapi ia pun kemudian menyahut, “Aku memang sudah menyediakan obat buat Ki Gede. Mungkin akan dapat memperlancar jalan pernafasannya.”

“Tetapi tidak akan memulihkannya,” sahut Ki Gede Pemanahan.

“Sebaiknya kita tidak memikirkannya,” berkata Kiai Gringsing. “Jika pernafasan Ki Gede menjadi semakin baik adalah pertanda bahwa usaha kita berhasil. Selebihnya, kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Jika usaha kita mencapai hasil seperti yang kita harapkan, maka yakinlah kita betapa terbatasnya kemampuan manusia. Dan kita adalah manusia yaug sangat terbatas itu.”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Demikianlah agaknya Kiai. Kita memang tidak dapat memohon yang bukan hak kita.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi ia pun kemudian berdiri dan berkata, “Aku akan mencari air panas sejenak. Aku memerlukannya untuk meramu obat.”

“O,” Ki Juru Martani berdiri, “biarlah anak-anak melayani Kiai.”

“Terima kasih. Aku harus meramunya sendiri,” Kiai Gringsing pun kemudian melangkah ke luar pintu dan langsung pergi ke dapur untuk mencari air panas dan mangkuk untuk meramu obat.

Dalam pada itu, maka Ki Demang Sangkal Putung, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun minta diri kembali ke gandok karena agaknya Ki Gede Pemanahan nampak menjadi lebih baik. Nafasnya tidak lagi tersumbat dan bahkan sekali-sekali ia masih tersenyum. Yang tinggal menunggui kemudian adalah Ki Juru Martani. Namun Ki Juru itu pun berpesan, “Ki Sumangkar. Persilahkan Raden Sutawijaya masuk ke dalam bilik ini.”

“Baik, Ki Juru,” jawab Ki Sumangkar sambil meninggalkan bilik itu.

Ketika kemudian Ki Sumangkar menemukan Raden Sutawijaya di regol depan bersama Agung Sedayu dan Swandaru, maka ia pun menyampaikan pesan Ki Juru kepadanya.

Dengan tergesa-gesa Raden Sutawijaya pergi ke bilik ayahandanya, diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Namua hatinya tidak terlampau gelisah karena Ki Sumangkar sudah mengatakan bahwa keadaan Ki Gede Pemanahan justru berangsur baik.

Meskipun demikian, ketika Raden Sutawijaya memasuki bilik ayahandanya, hatinya masih juga berdebar-debar. Dilihatnya Ki Juru Martani duduk di bibir pembaringan, merenungi Ki Gede yang terbaring diam.

“Masuklah,” desis Ki Juru Martani.

Dengan ragu-ragu ketiga anak-anak muda itu memasuki bilik Ki Gede Pemanahan dan duduk di sisi pembaringan.

Ki Gede Pemanahan tersenyum melihat anak-anak muda itu. Katanya, “Dari mana kalian sepagi ini?”

“Kami tidak pergi ke mana-mana, Ayahanda. Kami berada di halaman saja.”

“O,” Ki Gede Pemanahan menyahut, “bukankah tidak ada persoalan yang penting di hari-hari terakhir?”

“Tidak, Ayahanda. Tidak ada persoalan yang perlu mendapat perhatian khusus. Jalan-jalan masih terus dikerjakan. Parit-parit di ujung Selatan sudah mulai mengalir.”

“Bagaimanakah dengan keadaan para pekerja?”

“Baik, Ayah. Semuanya baik.”

“Ya. Kau kemarin juga sudah mengatakan, semuanya baik,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Mudah-mudahan untuk selanjutnya semuanya berjalan dengan baik.”

“Mudah-mudahan, Ayahanda. Jika Ayahanda nanti sudah sembuh, aku akan menunjukkan kemajuan yang telah kita capai di daerah Selatan seperti yang sudah aku laporkan setiap kali.”

“Tetapi kau harus selalu ingat pesanku Sutawijaya, jangan menyentuh sama sekali daerah wewenang Tanah Perdikan Mangir.”

“Aku selalu mengingatnya, Ayahanda. Tetapi aku tidak tahu pasti, yang manakah batas antara Mangir dan Alas Mentaok yang sudah diserahkan dengan resmi kepada kita. Hutan Mentaok masih meluas sampai ke daerah Selatan di sisi Barat. Sedang di bagian Timur, beberapa bagian tanah yang sudah menjadi padesan, masih juga harus diteliti, apakah benar daerah itu dibuka atas perlindungan dan memang berada di atas Tanah Mangir.”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sementara kau dapat menghindarkan diri dari setiap persoalan. Kau dapat membuka daerah baru sejauh dapat kau kerjakan. Untuk beberapa lamanya, kau masih belum akan bersentuhan dengan perbatasan, karena tanah yang masih sangat luas. Bagian dari Hutan Mentaok bagian Selatan di sisi Barat tidak akan habis dibuka sampai waktu yang bertahun-tahun.”

“Tetapi bagaimanakah sikap kita jika Mangir menganggap Alas Mentaok bagian Selatan itu miliknya?”

“Itu akan bertentangan dengan keputusan Sultan Pajang. Yang disebut Alas Mentaok itu adalah daerah yang diberikan kepada kita. Termasuk bagian-bagiannya yang mempunyai nama-nama tersendiri.”

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Meskipun ia sadar, bahwa nama-nama yang tersendiri dari bagian sebelah Selatan Alas Mentaok akan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda. Tetapi karena ayahandanya sedang dalam keadaan yang lemah, maka Raden Sutawijaya tidak mendesaknya lagi.

“Sutawijaya,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “kau kini sudah benar-benar menjadi seorang yang dewasa. Yang sudah melampaui masa mudamu. Karena itu kau harus mencoba berpikir dan bertindak dewasa. Terlebih-lebih menghadapi Mataram yang sedang dibuka ini, yang berbatasan dengan daerah-daerah yang sudah dibuka lebih dahulu. Namun agaknya kau akan menempatkan Mataram menjadi Tanah yang lebih terkemuka dari daerah yang sudah lebih dahulu terbuka itu.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, lalu, “Untuk mencapai tujuan itu kau tidak boleh mengorbankan hubungan baik dengan daerah di sekitar Alas Mentaok ini.”

Raden Sutawijaya mengangguk lemah. Sebenarnya ia ingin bertanya, kenapa ayahandanya berpesan terlampau jauh kepadanya. Bukankah selama ini ia masih tunduk kepada segala keputusan yang diambil oleh ayahandanya sehingga ia tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari menjalankan perintah dan pantangan-pantangan.

Tetapi sebelum Sutawijaya mengucapkan pertanyaannya terdengar Ki Gede berkata, “Sutawijaya. Tidak sepantasnya lagi ayah selalu menuntun kau. Memberikan perintah dan petunjuk. Mulailah sekarang untuk menunjukkan bahwa kau adalah putera terkasih dari Sultan Hadiwijaya di Pajang yang mampu memimpin pemerintahan. Tentu mula-mula di daerah yang kecil. Namun suatu saat daerah yang kecil itu akan menjadi besar.”

Sutawijaya memandang ayahandanya dengan tajamnya. Kemudian ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Tetapi ia tidak mengerti apa yang tergores pada dinding hati orang tua itu.

“Sutawijaya,” berkata ayahandanya pula, “di sini aku melihat Agung Sedayu dan Swandaru, murid-murid Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Mereka adalah orang-orang yang akan dapat membantumu. Di saat-saat Mataram menghadapi kesulitan dalam tingkat permulaan ini, mereka telah menunjukkan jasanya kepadamu. Karena itu, bawalah mereka untuk seterusnya.”

Sutawijaya menjadi semakin berdebar-debar. Nampaknya keadaan Ki Gede menjadi semakin baik. Tetapi pesan-pesannya membuatnya sangat gelisah.

Agaknya Ki Gede melihat kegelisahan yang terpercik di tatapan mata anaknya. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku tidak akan banyak memberikan pesan-pesan kepadamu sekarang. Mungkin besok atau jika aku sudah sembuh sama sekali. Tetapi sementara itu baiklah aku masih akan memberikan satu pesan. Selagi aku tidak dapat menjalankan kuwajibanku, kau tidak boleh berbuat sekehendakmu sendiri. Di Mataram ada uwakmu Ki Juru Martani. Ia lah yang akan menggantikan aku dan akan memberikan banyak petunjuk dan nasehat kepadamu. Kau tidak boleh menolak. Dan kau harus menganggapnya seperti kau berhadapan dengan aku sendiri, sampai saatnya aku sembuh kembali dan dapat menjalankan tugasku sebagai seorang tetua Tanah Mataram dan sebagai orang tuamu.”

Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dan Ki Gede masih melanjutkan, “Selain Ki Juru Martani, maka kau dapat minta bantuan, dan perlindungan kepada orang-orang tua yang selama ini selalu membantumu. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan Ki Demang Sangkal Putung. Bagimu Sangkal Putung adalah penting sekali. Kademangan itu terletak di sebelah Timur Prambanan, di sebelah Selatan Jati Anom. Pada suatu saat kau akan memerlukan bantuan dari daerah itu.”

Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baiklah, Ayahanda.”

“Kecuali semuanya itu, sampai saat ini kau masih putera angkat yang sangat dikasihi dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, kau mempunyai kuwajiban ganda untuk mentaati perintahnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya bagimu adalah orang tua, raja dan justru sekaligus gurumu. Bukankah kau pernah mendapat tuntunan ilmu kanuragan daripadanya? Bahkan Sultan Hadiwijaya pernah membuka jalur ilmu yang sangat mengagumkan. Ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semula, semasa mudanya, Mas Karebet mengenal ilmu itu pada Sultan Trenggana. Dengan sedikit petunjuk, Mas Karebet berhasil menguasai ilmu itu, meskipun menjadi agak lain sifatnya, karena terbentuk oleh kemampuan Mas Karebet sendiri. Ilmu itu semula disebut Tameng Waja. Dan bukankah Sultan Hadiwijaya menamakannya juga Tameng Waja? Dan bukankah kau sudah mendapat petunjuk tentang ilmu itu. Jauh lebih banyak dari yang didapat oleh Mas Karebet waktu itu dari Sultan Trenggana. Nah, cobalah kembangkan ilmu itu di dalam dirimu. Dan kau adalah sebenarnya murid yang baik dari Mas Karebet. Selain aji Tameng Waja, kau juga dapat mempelajari ilmu-ilmu yang lain yang pernah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu. Jika Mas Karebet yang mendapat kesempatan itu, ia berhasil menguasainya dengan baik. Lembu Sekilan, Sapu Angin  dan yang lain. Dan bagaimana dengan kau?” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, lalu, “Semuanya itu dapat kau padu dengan ilmu yang kau pelajari daripadaku. Jika ilmu itu nanti dapat berkembang dan sempurna bersama-sama, maka kau akan menjadi gambaran dari Mas Karebet. Dan itu tidak cukup. Murid yang baik, adalah mereka yang dapat melampaui gurunya yang mana pun juga.”

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar