ISTANA YANG SURAM 04


ISTANA YANG SURAM

Jilid 4

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-04NAMUN karena cacat badannya, ia tidak lagi mampu berbuat banyak dalam hal kanuragan, itulah sebabnya di tempat terpencil, di ujung jurang di lereng gunung lereng gunung Merbabu.

Dihadapannya, seorang anak muda duduk bersila sambil menundukkan kepalanya, menunggu perintah apa yang harus dilakukan.

Namun agaknya sikap gurunya kali agak berbeda dari hari-hari sebelumnya, namun kesempatan bagi muridnya untuk mengenal lebih dekat, bahkan sekali-kali pertapa yang cacat itu masih juga sempat bergurau, tidak saja dengan muridnya, tetapi juga dengan orang tua muridnya itu.

Tetapi kali ini gurunya nampak bersungguh-sungguh, sehingga karena itu, timbullah perasaan aneh di hatinya, sehingga dadanya menjadi berdebar-debar.

“Panon Suka” panggil pertapa itu.

Anak muda yang duduk di hadapannya mengangkat wajahnya perlahan-lahan terdengar suaranya ragu, “Ya guru”

“Dimanakah ayahmu?, beberapa hari ini ia tidak berkunjung kemari?”

“Agaknya ayah berada di sawah guru, hujan di lereng gunung membuat arus air menjadi deras, ayah harus menjaga agar air itu tidak merusak batang padi yang baru ditanam”

Gurunya mengangguk-angguk, lalu katanya, “Panon, jika ayahmu tidak berkeberatan, aku akan menyerahkan satu tugas yang berat bagimu, karena itu aku ingin berbicara dengan ayahmu”

Panon menjadi semakin heran, dengan bimbang ia bertanya, “Guru, bukankah selama ini ayah menyerahkan segala-galanya kepada guru?, aku pun merasa berbahagia jika guru telah mempercayakan satu tugas bagiku, aku rasa ayah pun demikian juga”

Tetapi gurunya menggeleng, katanya, “Tetapi tugasmu kali ini akan sangat berat, karena itu aku harus berbicara dahulu dengan ayahmu, kau adalah anak laki satu-satunya, tentu kau merupakan harapan bagi masa depannya”

Panon bertambah heran, tetapi karena gurunya yang bersungguh-sungguh, ia tidak berani bertanya lagi.

“Baiklah guru, aku akan pergi sejenak memanggil ayah”

“Tidak terlampau tergesa-gesa, jika pekerjaan di sawah belum selesai, biarlah ia menyelesaikannya, nanti jika ayahmu sudah selesai dan beristirahat barang sejenak, biarlah ia datang kemari”

Panon mengangguk dalam-dalam, lalu ia pun bergeser sambil berkata, “Baiklah guru, aku akan menyampaikannya”

Perlahan-lahan Panon meninggalkan gubug terpencil di luar padukuhan, gubug yang dibuat oleh ayah Panon di pinggir lereng yang curam, tetapi tempat itulah yang telah dibangun oleh pertapa itu untuk tinggal, ia dapat hidup menyepi, tetapi tidak terputus hubungannya sama sekali dengan kehidupan yang wajar, meskipun ia tidak dapat hadir dalam kehidupan yang demikian karena cacatnya”

Sepeninggal Panon, pertapa itu merenung sejenak, dipandangnya pepohonan perdu di luar gubugnya, warna hijau yang segar mengkilap disentuh oleh sinar matahari, dikejauhan terdengar suara burung berkicau bersahut-sahutan, sambil berloncatan di dahan pepohonan.

Pertapa itu menarik nafas dalam-dalam, sekilas terkenang masa lampaunya yang panjang dan penuh dengan gejolak kehidupan, sehingga pada suatu saat ia telah terlempar ke tempatnya yang sekarang, benar-benar terlempar seperti arti katanya, ia terlempar dari atas tebing dan berguling jatuh ke dalam jurang.

Pertapa itu mengerutkan keningnya ketika kenangannya membentur pada masa-masa ia tidak sadarkan diri, bahkan serasa bahwa ia memang sudah mati.

Tetapi tiba-tiba pertapa itu terkejut ketika ia mendengar langkah kecil mendekati gubugnya, sejenak kemudian muncullah seorang gadis kecil di depan pintu, gadis kecil yang sudah dikenalnya dengan baik.

Pertapa itu berdesah, katanya, “Kau memang nakal, kau tentu kemari seorang diri”

Gadis kecil itu tersenyum, selangkah ia maju mendekati pertapa itu sambil bertanya, “Apakah Kakang Panon ada disini?”

“Kemarilah” desis pertapa itu.

Gadis itu memang sudah biasa datang ke gubug itu, karena itu maka ia pun tidak segan lagi terhadap pertapa tua dan cacat itu, dengan lincahnya ia berlari dan duduk diatas pangkuan pertapa tua itu yang menyeringai sejenak, menahan sakit kakinya, tetapi ia pun kemudian tersenyum, “Kau nakal sekali, kenapa kau datang lagi kemari seorang diri?”

“Aku mencari kakang Panon, bukankah ia selalu berada disini?”

“Kakangmu baru saja pulang, kau akan dicari oleh ibumu”

“Ibu ke pasar”

“Ayahmu?”

“Ayah ke sawah”

“Mbakayumu?

“Ia ikut ibu ke pasar, aku sendiri di rumah, karena itu aku mencari kakang Panon disini”

“Kau nakal sekali, kalau begitu, kau tentu sedang menjaga rumah, kenapa rumahmu kau tinggalkan?”

“Aku tidak mau di rumah sendiri kek”

“Nuri” desis pertapa itu.

“Kek, namaku bukan Nuri, namaku Wuyung”

Pertapa itu tertawa, katanya, “Namamu memang Wuyung, tetapi mulutmu ini selalu berkicau seperti burung Nuri, aku lebih senang memanggilmu Nuri”

Gadis kecil itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Nuri” pertapa itu mengulang, “Atau lengkapnya Nuri Wuyung atau Wuyung Nuri, kenapa rumahmu kau tinggalkan?, nanti rumahmu itu dibawa oleh seekor siput, kau pernah melihat siput?”

“Ah, bohong, siput hanya sekecil ibu jari”

“Di puncak Gunung Merbabu itu ada seekor siput raksasa, siput yang sering mengambil rumah yang ditinggalkan penghuninya”

Gadis kecil itu mengerutkan keningnya, sejenak ia berpikir, namun tiba-tiba ia berkata ragu-ragu, “Tetapi, tetapi seekor siput sudah membawa rumahnya sendiri kemana-mana, ia tidak memerlukan rumah lagi”

Pertapa itu tertawa, sambil mengusap rambut gadis kecil itu ia berkata, “Kau memang pandai, siput memang sudah membawa rumahnya sendiri”

“Karena itu rumahku tidak akan hilang”

“Tetapi jalan menuju kemari dari rumahmu adalah berbahaya sekali, bukankah kau berjalan di sepanjang pematang, kemudian menuruni tunggul dan tebing yang curam?”

“Aku dapat meluncur sambil duduk”

“Nah, bagaimana jika kainmu tersangkut duri, Ooo, bukan kainmu saja, tetapi kulit kakimu?”

“Ternyata tidak apa-apa”

“Kalau tiba-tiba muncul seekor ular bandotan yang berwarna hitam kelam dari dalam semak-semak bagaimana?”

“Kakang Panon juga sering menakut-nakuti aku dengan ular bandotan, tetapi aku tidak pernah diganggu, sekali aku pernah melihatnya menyelusur kedalam semak, dan aku juga pernah melihat weling”

Pertapa itu menarik nafas, katanya, “Kau memang nakal, kau harus tinggal disini sampai kakakmu atau ayahmu datang kemari”

“Aku berani pulang sendiri kok”

“Kau tinggal disini saja anak nakal, He Nuri, apakah kau dapat berdendang?”

“Ah, Aku pulang saja ah”

“Tunggulah dulu, kawani aku disini sebentar”

“Aku mau tinggal disini, tetapi tangkaplah burung podang buatku, aku mencari kakang Panon, karena kakang Panon sanggup untuk menangkap podang yang sedang bersiul di ujung batang jambe di pinggir padukuhan”

“Ah, kau ini aneh-aneh saja”

“Jika kakek tidak mau, aku akan pulang”

“Bagaimana jika tidak ada burung podang disini?”

“Burung jalak atau kutilang atau menco juga jadi”

“Baiklah Nuri, tetapi janji, jangan dibunuh dan jangan diikat, setelah kau puas bermain-main, maka burung itu harus kau lepaskan lagi”

“Aku akan memeliharanya kek”

“Tidak perlu, biarlah burung itu terbang bebas di udara, kau dapat mendengarkan mereka bersiul di setiap pagi dengan riang”

“Di dalam sangkar burung juga dapat bersiul”

“Dengarlah Nuri, tetapi lagunya berbeda, jika ia bebas di udara, maka lagunya tentu lagu riang, tetapi jika ia bersiul di dalam sangkar, maka lagunya adalah lagu duka”

Gadis kecil itu merenung sejenak, namun ia pun kemudian meloncat berdiri sambil, berkata, “Baiklah kakek, aku akan bermain-main dengan burung itu disini saja, nanti, burung itu akan aku lepaskan kembali”

Pertapa itu mengangguk-angguk katanya, “Bagus, tetapi kau janji bukan?”

“Aku janji, sekarang kakek menangkap seekor burung buatku”

Pertapa itu pun kemudian berdiri tertatih-tatih, ia berjalan dengan tongkatnya dari gubugnya yang terpencil.

Gadis itu memandangnya dengan sorot mata yang keheran-heranan, agaknya pertapa itu memakluminya karena itu sambil tersenyum ia berkata, “Mudah-mudahan kakek dapat menangkap seekor burung yang dapat terbang seperti angin”

“Bagaimana kakek dapat menangkapnya?” bertanya gadis itu kemudian.

Pertapa itu tidak menyahutnya, tetapi selangkah demi selangkah ia pun akhirnya sampai keluar gubugnya.

“Jika ada burung yang hinggap di halaman gubugku Nuri, aku akan menangkap untukmu”

Gadis kecil itu masih terheran-heran, tetapi ia tidak bertanya lagi.

Beberapa saat lamanya menunggu, namun akhirnya seekor burung jalak uret terbang rendah dan hinggap diatas sebatang pohon dadap yang tumbuh dengan rimbunnya.

“Kau lihat burung itu?”

Gadis itu mencari sejenak, kemudian ia pun berkata, “Ya, kakek burung itu”

“Jangan lupa janjimu, Kau akan melepaskannya kembali, bukankah begitu?”

“Ya…”

Pertapa itu pun kemudian memungut sebutir kerikil yang kecil sekali, tidak lebih dari sebutir buah wuni, kemudian kerikil itu dimasukkan kedalam mulutnya.

Namun ia masih berkata, “Nuri sudah berjanji”

Tiba-tiba saja pertapa itu menyemburkan kerikil di mulutnya itu, hampir tidak masuk akal, bahwa tiba-tiba burung yang bertengger di dahan pohon dadap itu pun terjatuh ke tanah.

“Nah, burung itu sudah jatuh Nuri”

“Apakah burung itu mati kek?”

“Tidak, burung itu tidak mati, tetapi sekedar pingsan, sebentar lagi burung itu akan segera sadar lagi, nah ambillah, dan bermain lah dengan burung itu sambil menunggu kakakmu datang”

Gadis kecil yang bernama Wuyung itu pun kemudian berlari-lari mengambil burung yang pingsan itu, kemudian ia pun berlari ke pakiwan dan menitikkan beberapa tetes air ke paruh burung itu, sehingga sejenak kemudian burung itu pun menjadi sadar.

Tetapi dalam pada itu, gadis itu sudah melupakan, bagaimanakah caranya pertapa itu mendapatkannya bahwa dengan sebuah tiupan, burung itu pun jatuh dari dahan pohon dadap.

Pertapa itu tersenyum melihat Wuyung dengan asyiknya bermain-main dengan seekor burung jalak uret, namun setiap kali Wuyung mengerutkan dahinya, karena burung itu selalu meronta-ronta.

“Kek, burung ini nakal sekali” katanya

Pertapa itu tersenyum, katanya, “itu adalah nalurinya, Nuri, Ia ingin bebas terbang di udara, bermain bersama angin yang lembut, kau lihat burung yang terbang itu, betapa senangnya dia”

Wuyung menengadahkan kepalanya. Lalu, “Alap-alap, burung itu Alap-alap kek”

“Ya…”

“Ooo, kalau begitu jalak ini harus bersembunyi, jika tidak maka burung ini akan disambarnya”

Pertapa itu mengangguk-angguk, “Seperti di hutan, Nuri, maka di udara pun berlaku hukum kekuatan itu, siapa yang lemah akan menjadi mangsa yang lebih kuat”

“Apakah dimana-mana juga begitu kek?”

“Tidak Nuri, kita manusia tidak berbuat demikian, kita mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain dari kekuatan jasmaniah, kita mempunyai perasaan yang mengandung berbagai macam sentuhan, kita dapat menjadi kasihan terhadap sesama jika kita melihat penderitaan lahir maupun batin, kita dapat menimbang manakah yang baik dan yang manakah yang buruk, dan kita memiliki rasa keadilan dan keseimbangan”

Wuyung memandang pertapa itu dengan tatapan yang aneh, sehingga akhirnya pertapa itu tertawa.

“Kenapa kakek tertawa?”

“Aku sedang mengigau, kau tentu tidak tahu apa yang aku katakan, tetapi tidak apa, kelak kau akan menjadi besar, dan kau kan mulai mengetahui dengan sendirinya” kakek itu pun kemudian tertatih-tatih berjalan mendekati gadis itu, “Marilah, masuklah, barangkali aku masih mempunyai kelapa muda dan segumpal gula kelapa, kau senang kelapa muda bukan?, jika kebetulan aku tidak mempunyai, kau selalu bertanya”

“He, apakah kakek dapat memanjat pohon kelapa?”

“Kenapa?”

“Berjalan pun agaknya kakek harus memakai tongkat”

Pertapa itu tertawa, jawabnya, “Kakakmu, Panon yang memanjat pohon kelapa itu”

Wuyung pun kemudian mengikut pertapa itu ke gubugnya, bahkan ia berusaha untuk menggandeng kakek yang berjalan tertatih-tatih itu sambil berkata, “Hati-hati kek, nanti kakek jatuh tersandung tlundak pintu, seharusnya kakang Panon memperbaiki pintu rumah kakek” ia berhenti sejenak, lalu, “Kenapa kakek tinggal sendiri disini? Kadang-kadang ibu bertanya kepada ayah, kenapa kakek tidak tinggal bersama kami saja?, kakek tidak perlu menanak nasi dan mencuci pakaian sendiri”

Petapa itu tersenyum, katanya, “Aku tidak pernah menanak nasi, Nuri”

Wuyung mengerutkan keningnya, ia menjadi heran mendengar jawaban kakek pertapa itu, sehingga kemudian ia pun bertanya, “Jika kakek tidak menanak nasi, apa yang kakek makan? Atau barangkali kakang Panon yang menanak nasi untuk kakek?”

Orang tua itu tertawa, katanya, “Kakek tidak makan nasi, kakek makan jenis makanan yang lain”

“Ketela pohon? Jagung?”

Kakek itu tidak menjawab, tetapi ia masih saja tersenyum.

“Jika kakek merebus jagung atau ketela pohon, bukankah hampir saja sibuknya dengan menanak nasi?”

Pertapa itu menggeleng, tetapi katanya kemudian, “Sudahlah Nuri, jangan risaukan kakek, sekarang bermain lah di dalam gubug ini saja, jangan pergi sebelum kakakmu datang”

“Kakek akan kemana?”

“Aku tidak kemana-mana, aku akan duduk di pintu menunggu kakakmu dan ayahmu”

Wuyung yang dipanggil Nuri oleh pertapa tua itu tidak menjawab, ia pun kemudian duduk diatas amben bambu sambil bermain-main dengan burung di tangannya, namun kemudian ia pun menjadi jemu dan bangkit, “Kakek, aku akan melepaskan burung ini”

Kakek pertapa yang duduk di muka pintu itu pun berpaling sambil berkata, “Bagus, jika terlalu lama kau pegang, maka, burung itu akan menjadi sangat bersedih”

Wuyung pun kemudian berlari ke pintu, disisi pertapa itu ia pun kemudian duduk sambil berkata, “Aku akan melepaskannya ke udara, kek apakah burung itu akan menjadi gembira?”

“Tentu Nuri, setiap kebebasan akan disambut dengan gembira”

“Tetapi kek, sebenarnya burung yang dipelihara di dalam sangkar itu, tentu merasa lebih senang, ia tidak usah mencari makan dan terlindung dari bahaya, dari alap-alap misalnya, atau dari anak-anak nakal yang bermain dengan tulup”

“Nampaknya memang begitu Nuri, tetapi kebebasan harganya lebih mahal dari makanan sehari-hari, atau bahkan kebebasan kadang-kadang harus dituntut dengan mempertaruhkan nyawa, meskipun kebebasan itu sendiri bukannya berarti berbuat sekehendak hati, karena justru setelah kebebasan itu dapat dicapai, maka yang dihadapi kemudian adalah sebuah pertanggungan jawab, misalnya burung itu harus mencari makan dan melindungi dirinya dari bahaya”

Wuyung mengerutkan keningnya, nampaknya ia tidak dapat mengerti kata-kata kakek pertapa itu, meskipun kemudian mengangguk-angguk, tetapi sambil tersenyum kakek itu berkata, “Nah, cobalah, lepaskan burung itu, ia akan segera terbang ke langit biru dan terbang di sinarnya matahari yang nyaman, ia akan segera berdendang melagukan pujian karena kebebasannya”

Wuyung memandang pertapa itu sejenak, namun kemudian ia pun berdiri di halaman, sesaat ia termangu-mangu, dipandangi-nya burung di tangannya dan langit yang biru yang terbentang diatas tanah pegunungan.

“Aku lepaskan sekarang ya kek?” Wuyung bertanya

Kakek itu mengangguk.

Wuyung pun kemudian melepaskan burung itu ke udara, sesaat kemudian burung itu pun mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi dengan tanpa berpaling.

Wuyung termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun tertawa sambil berlari mendapatkan kakek pertapa yang duduk di muka pintu.

“Kek, burung itu terbang tinggi ke langit biru”

Pertapa itu tersenyum, katanya, “Nah, bukankah burung itu dengan riang kini berputaran di udara”

Wuyung mengangguk-angguk, nampaknya ia masih akan bicara lagi, tetapi mulutnya yang sudah menganga itu pun terkatup kembali ketika ia mendengar suara ayahnya, “Aku sudah menduga kau disini Wuyung?”

Wuyung berpaling, dilihatnya ayahnya berjalan diantara tanaman di kebun di samping gubug itu.

Wuyung meloncat dan berlari mendapatkan ayahnya sambil berkata lantang, “Baru saja kakek menangkap burung buatku”

Ayahnya tersenyum, lalu dibimbingnya anak gadisnya kembali ke gubug itu sambil berkata, “Tetapi lain kali, jangan pergi sendiri Wuyung”

“Aku di rumah sendiri”

“Justru kau sendiri, kau harus menjaga rumah”

“Wuyung memberengut, tetapi ia tidak menyahut lagi.

Ternyata ayah Wuyung tidak datang seorang diri, di belakangnya Panon Suka mengikutinya dengan ragu, agaknya ia masih dicengkam oleh berbagai pertanyaan tentang sikap gurunya dan apalagi gurunya telah minta kepadanya untuk memanggil ayahnya.

“Tanpa dipanggil pun ayahnya selalu datang” katanya di dalam hati”

Tetapi Panon tidak sampai ikut masuk ke dalam gubug itu, karena gurunya pun kemudian berkata, “Panon, antarkan adikmu pulang, nanti ibu dan kakaknya gelisah karena anak itu pergi”

Panon mengangguk sambil menjawab, “Baik guru”

Tetapi nampaknya Wuyung masih segan untuk pulang, meskipun ia tidak mengelak kakaknya membimbing tangannya dan membawanya meninggalkan gubug itu.

Namun agaknya masih ada beberapa persoalan yang mengganggu pikiran kecilnya, sehingga ia tidak dapat menahannya lagi, dan menanyakannya kepada Panon, “Kakang, apakah yang dimakan oleh kakek pertapa itu?, katanya ia tidak pernah menanak nasi”

Panon memandang adiknya sejenak, lalu berkata, “Kenapa kau tanyakan hal itu?”

“Kakek mengatakan, bahwa ia tidak pernah menanak nasi dan memang ia tidak pernah makan nasi?”

“Panon mengangguk, jawabnya, “Kakek pertapa itu memang tidak pernah makan nasi Wuyung, yang dimakannya adalah empon-empon disamping sebangsa garut dan lembong”

“Hanya itu?”

“Dan cabe, cabe rawit”

“Ya, aneh sekali”

“Sudahlah, kau tidak usah memikirkannya, kakek pertapa itu tentu sudah mempunyai maksud tertentu dengan caranya itu”

“Aneh sekali” Gadis itu termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba ia teringat cara pertapa itu menangkap burung, karena itu, maka katanya, “Kakang, kakek itu menangkap burung dengan cara yang aneh, Ia memasukkan kerikil kecil sekali ke dalam mulutnya, kemudian, dengan sebuah hembusan, kerikil itu dapat membuat seekor burung menjadi pingsan, aku pernah melihat cara yang hampir serupa, tetapi orang lain mempergunakan tulup dan lempung”

Panon Suka tertawa, sambil menarik tangan adiknya agar gadis kecil itu berjalan lebih cepat ia berkata “Marilah, ibu tentu sudah pulang dari pasar, apakah kau tidak pesan oleh-oleh?”

“Tentu ibu akan membeli tiga bungkus hawug-hawug”

Panon tidak bertanya lagi, Ia mengajak adiknya mendaki tebing yang curam, kemudian meloncati parit dan berjalan di sepanjang tanggul.

“Aneh” katanya dalam hati. Adiknya yang masih kecil itu nampaknya tidak merasa lelah, ada sesuatu yang lain padanya.

Tetapi Panon tidak mengatakannya, ia berjalan saja semakin lama semakin cepat. Dan Wuyung pun berlari-lari kecil di sampingnya.

Dalam pada itu, sepeninggal Panon Suka dan Wuyung, pertapa tua itu pun mempersilahkan ayah Panon masuk ke dalam gubugnya, setelah mereka duduk berdua, maka pertapa tua itu pun segera mulai dengan kepentingannya, kenapa ia memanggil ayah Panon datang kepadanya.

“Adi” berkata pertapa itu, “Sebenarnya Panon Suka masih terlampau muda untuk melakukan tugas ini, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain, dari segi olah kanuragan dan kajiwan, aku menanggap bahwa ia sudah cukup mampu untuk melindungi dirinya meskipun baru dalam waktu yang singkat aku membimbingnya, ia memiliki banyak kelebihan secara alamiah yang dibawanya sejak ia lahir, sehingga ilmu yang aku berikan dengan keadaan jasmaniku yang cacat ini, segera dapat dipahami dan dihayatinya, meskipun dengan hanya petunjuk-petunjuk lisan dan sedikit contoh-contoh yang tidak berarti, kini Panon Suka telah menjadi seorang yang memiliki ilmuku hampir seluruhnya”

“Tuan, eh, kakang Wirit semuanya aku serahkan kepadamu, aku percayakan anak itu seluruhnya lahir dan batinnya”

Petapa itu tertawa, katanya, “Sudah sekian lamanya kita bergaul, Adi masih saja sering keliru, menyebut namaku”

Ayah Panon tersenyum dan menunduk.

“Adi, Panon adalah anak laki-lakimu satu-satunya, karena itu aku akan minta ijin, apakah Panon Suka diperkenankan untuk menggantikan aku yang sudah cacat ini?”

Ayah Panon menjadi heran, ia tidak segera mengerti maksud pertapa yang disebutnya kakang Wirit itu, karena itu, maka dengan ragu-ragu ia bertanya, “Aku tidak mengerti maksudmu kakang, apakah Panon harus menggantikan kedudukanmu sebagai pertapa di lereng gunung ini?, atau kedudukan yang lain?”

“Adi, ada sesuatu yang penting yang harus aku lakukan, dan yang seharusnya aku lakukan itu, terhalang oleh keadaan jasmaniahku yang cacat sekarang ini”

Ayah Panon menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan nada datar ia berkata, “Maksud kakang, apakah Panon harus menuntut balas atas peristiwa yang pernah terjadi atas kakang Wirit beberapa tahun yang lalu itu?”

“Tidak sama sekali, tidak” Sahut Wirit dengan tergesa-gesa, “Aku sama sekali tidak bermimpi untuk membalas dendam”

“Jadi tugas apakah yang harus dilakukan oleh Panon?”

“Adi, aku minta ijin untuk memberikan suatu tugas yang berat, ia harus meninggalkan lereng gunung yang hijau ini dan pergi ke tempat yang jauh?”

“Kemana?”

“Ke Pegunungan Sewu”

“Pegunungan Sewu? Jadi ke dinding selatan dari pulau ini?”

Wirit mengangguk-angguk.

Ayah Panon menarik nafas dalam-dalam, bagaimanapun juga terasa sesuatu bergetar didadanya, karena Panon adalah anak laki satu-satunya, kedua saudaranya yang lain adalah perempuan semuanya.

“Meskipun demikian Adi, aku menunggu keputusanmu” berkata pertapa itu selanjutnya, “Aku adalah guru Panon Suka, tetapi kau adalah ayahnya, adalah salah bahwa seorang guru merasa lebih berhak atas muridnya dari pada ayah anak itu sendiri, keduanya seharusnya memiliki tanggung jawab bersama didalam bidangnya masing-masing serta mendasarinya dengan budi pekerti yang baik, sesuai dengan darma seseorang terhadap sesama dan baktinya terhadap Yang Maha Pencipta” Ia berhenti sejenak, lalu, “karena itulah, dalam penyerahan tugas dan tanggung jawab kali ini, aku pun minta pertimbanganmu, katakanlah dengan jujur menurut kata hatimu, apakah kau dapat melepaskan anak lakimu satu-satunya itu”

Ayah Panon termenung sejenak, angan-angannya mulai merayap kedalam bayangan yang harus dilakukan oleh anaknya di Pegunungan Sewu.

“Kakang Wirit” ia pun berkata kemudian, “Kau belum mengatakan tugas yang kau bebankan kepada anakku itu”

“Ya, aku belum mengatakannya” Wirit termenung sejenak, lalu, “Adi, di daerah Pegunungan Sewu, tepatnya di daerah yang bernama Karangmaja, terdapat sebuah istana kecil yang dibuat oleh Pangeran Kuda Narpada”

“Jadi…..” desis ayah Panon.

“Aku belum selesai” berkata Wirit, “Aku ingin minta Panon Suka untuk pergi ke istana kecil itu, ada sesuatu yang penting harus dilakukan Panon di dalam istana kecil itu”

Ayah Panon mengangguk-angguk, sementara Wirit berkata lebih lanjut, “Adi, tugas itu memang berat, aku tidak tahu apakah yang akan dihadapinya, dan aku tidak tahu keadaan istana itu sekarang, mungkin istana itu sudah musnah, mungkin masih ada, dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas istana yang dibuat oleh Pangeran Kuda Narpada itu”

“Ya…” berkata Ayah Panon, “Istana itu tentu sudah beberapa tahun ditinggalkannya”

Wirit menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Perjalanan Panon ke Pegunungan Sewu itu mungkin hanya merupakan sebuah tamasya saja tanpa berbuat sesuatu, ia akan kembali dan berkata kepadaku bahwa Istana itu sudah musnah dengan segala isinya” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ada kemungkinan yang lain, ia akan bertemu dengan beberapa orang yang tidak dikenalnya dan ia harus mempertahankan nyawanya, itulah yang menyebabkan aku harus minta pendapatmu”

Ayah Panon memandang wajah pertapa itu sejenak, ia melihat tatapan mata yang buram, namun ia melihat sesuatu keyakinan yang memancar pada mata yang buram itu, karena itu, maka, ayah Panon itu pun kemudian berkata, “Kakang Wirit, kaulah yang mengetahui, apakah bekal Panon Suka sudah cukup untuk melakukan tugas itu, jika sekiranya bekal itu memang sudah cukup, baiklah, aku tidak berkeberatan, karena aku percaya, bahwa ia akan dapat melindungi dirinya sendiri, meskipun kemungkinan yang pahit masih dapat terjadi”

Wirit mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Waktu yang dipergunakan oleh Panon untuk menuntut ilmu memang terlampau singkat, hanya beberapa tahun saja, sebenarnya masih belum cukup, tetapi ketekunan dan bakat alamiah yang ada padanya, membuat aku menjadi heran, bahwa dalam waktu yang singkat itu, ia sudah memiliki hampir semua kemampuanku, sebelum aku menjadi cacat, bahkan ia memiliki beberapa kelebihan justru karena cara hidup dan daerah yang cukup berat baginya hampir setiap saat, jika Panon Suka pergi ke sawah, sehari dua tiga kali, mengambil air dengan lodong bamboo dan memanggulnya nail lereng, dan kerja yang lain, telah menempa tubuhnya dan menjadikannya seorang yang kuat kewadagannya, kemudian diramu dengan ilmu dan latihan-latihan yang teratur dan khusus, ternyata telah membuatnya menjadi seorang anak muda yang luar biasa”

Ayah Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepadamu kakang, karena itulah, maka aku serahkan Panon sepenuhnya untuk melakukan tugasnya yang penting itu”

“Terima kasih adi, Nanti malam aku akan memberikan pesan dan petunjuk atas tugas yang harus dijalankannya itu”

“Aku hanya dapat berdoa, aku tidak dapat memberikan bekal apapun”

“Mudah-mudahan semua tugas dapat dilakukannya dengan baik tanpa kesulitan apapun adi, jika ia datang ke istana itu, dan tidak ada pihak-pihak lain yang terkait, maka tugasnya akan cepat selesai, bahkan seandainya istana itu sudah musnah sekalipun, asal ia masih dapat menemukan bekasnya, maka ia dapat menyelesaikannya pula” Ia terhenti sejenak lalu, “Tetapi jika hadir pihak-pihak lain, maka, persoalannya akan menjadi bertambah panjang, tetapi Panon tidak harus dapat melakukan tugasnya tanpa pertimbangan-pertimbangan yang wajar, aku akan berpesan kepadanya, bahwa apabila menurut perhitungannya tugas itu tidak dapat dilakukannya, maka ia dapat mengurungkannya, ia tidak perlu dengan membabi buta mengorbankan nyawanya, jika hal itu sudah diketahuinya, karena bagiku nyawa seseorang adalah sesuatu yang sangat berharga, lebih berharga dari apapun juga, tetapi jika taruhan nyawa itu tidak dapat dihindarinya, dengan kemungkinan-kemungkinan yang nyata, maka barulah ia akan berjuang dengan segenap kemampuan yang ada padanya”

Ayah Panon mengangguk-angguk, debar jantungnya masih belum dapat ditenangkannya karena terbayang di angan-angannya anak laki satu-satunya itu menempuh bahaya yang melandanya bagaikan gelora ombak di lautan yang sedang diaduk oleh angin lautan.

Tetapi akhirnya ayah Panon itu pun harus pasrah, di dalam hatinya ia mencoba untuk menghibur dirinya sendiri, “Gurunya tentu mengetahui, bahwa tugas yang diberikan kepada Panon akan dapat dilakukannya dengan baik, tanpa menjerumuskannya ke dalam pengorbanan yang sia-sia.

Karena itulah, maka ayah Panon mencoba untuk mengedapankan perasaannya, sambil mengangguk-angguk, ia berkata, “Yang Maha Agung akan melindunginya jika ia berjalan di jalan yang lurus”

“Ya adi, sandaran yang paling utama, dan aku mencoba untuk mendorongnya melalui jalan yang lurus itu”

Keduanya tidak meneruskan pembicaraannya, ketika Panon pun kemudian datang kembali setelah mengantarkan adiknya pulang, gurunya ingin memberikan pesan dan nasehat-nasehat tersendiri.

Sejenak kemudian ayah Panon minta diri, ia sama sekali tidak ingin memberitahukan hal itu kepada isterinya, agar isterinya tidak menjadi cemas dan selalu memikirkannya.

Ketika kemudian malam turun menyelubungi lereng pegunungan, maka Panon pun duduk menghadap gurunya, dengan dada yang berdebar-debar. Ia tahu, bahwa gurunya akan memberikan tugas yang penting kepadanya, tugas yang harus dilakukannya dengan segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya.

“Panon” berkata gurunya, “Kau akan menempuh sebuah perjalanan yang cukup jauh, meskipun perjalanan itu masih belum sejauh perjalanan para petualang yang sebenarnya”

Panon hanya menundukkan kepalanya, dengan seksama ia pun mendengarnya, perjalanan yang harus ditempuhnya ke pegunungan seribu yang membujur bagaikan dinding yang panjang disisi selatan tanah ini.

Dengan lengkap pertapa itu memberikan beberapa penjelasan, pesan dan petunjuk-petunjuk apakah yanag harus dikerjakannya di halaman sebuah istana kecil di padukuhan Karangmaja.

“Panon” berkata gurunya, “Aku tidak mengetahui perkembangan terakhir dari istana kecil itu, mungkin perjalanan akan menjadi singkat, tetapi mungkin juga panjang dengan segala macam akibat yang akan dapat terjadi”

Panon masih menundukkan kepalanya.

“Setiap kali, kau akan dapat menghubungi aku Panon, jika kau menemukan persoalan-persoalan diluar pengetahuanmu”

“Jadi setiap kali aku harus kembali kemari guru?” bertanya Panon kemudian.

Gurunya menggeleng, katanya, “Bukan begitu maksudku, bukan kau harus mondar mandir pada jarak yang jauh itu, tetapi akulah yang harus mendekat”

“Guru” desis Pnon

“Gurunya tersenyum, katanya, “Sebagaimana kau lihat, tubuhku memang cacat, aku akan mengalami kesulitan jika aku menempuh jarak yang begitu jauh, tetapi jika jarak itu aku lalui dengan tidak tergesa-gesa, maka aku akan sampai ke tujuan, itulah sebabnya maka aku akan mempercayakan kau untuk melakukan tugas ini. Tetapi mungkin perkembangan terakhir yang tidak aku ketahui sudah menjadikan keadaan jauh berubah, karena itu Panon, aku akan mendekati pegunungan Sewu, mungkin lima atau enam hari aku baru sampai, sementara itu, kau sudah memanjat naik dan melihat perkembangan terakhir pada pahukuhan itu”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya kemudian, “Guru, sebenarnya aku dapat mondar mandir pada jarak yang meskipun agak panjang, tetapi dapat dicapai dalam waktu sehari, jika aku mengenderai seekor kuda”

Gurunya menggeeleng, katanya, “Tidak Panon, jika jalannya rata seperti jalan-jalan padukuhan, memang jarak itu dapat ditempuh dalam sehari semalam, bahkan mungkin kurang, meskipun sudah memperhitungkan saat-saat untuk beristirahat, tetapi jalan pegunungan Sewu tidak serata jalan-jalan padukuhan”

Panon mengangguk-angguk.

“Karena itu Panon, biarlah aku mendekat, aku akan berada di ujung pegunungan yang berbatasan dengan ngarai di lembah Payung, kau sebaiknya menempuh jalan sebelah timur Hutan Mentaok yang lebat dan sampai ke ujung pegunungan di lembah Payung, Kau tidak dapat menembus Alas Mentaok, karena perjalanan yang demikian justru akan menjadi lambat, meskipun memotong arah”

Panon mengangguk-angguk, sahutnya perlahan-lahan, “Ya, guru”

Gurunya kemudian memberikan beberapa pertanda tentang lembah Payung di kaki Gunung Sewu di ujung hutan, ia memberikan beberapa pertanda tentang sebuah padukuhan kecil di lembah itu.

“Guru akan berada di padukuhan kecil itu?” bertanya Panon.

“Tidak Panon, Kau sajalah yang pergi ke padukuhan kecil itu, kau dapat menitipkan kudamu disana, kau dapat memberikan upah kepada seseorang yang akan merawat kudamu selama kau berada di pegunungan Sewu, karena kau akan datang ke Karangmaja dengan berjalan kaki saja”

“Lalu bagaimana dengan guru?”

“Aku akan menyusul, aku akan meminjam kudamu untuk memanjat pegunungan Sewu itu, karena itu, kau harus berpesan kepada orang yang kau serahi, bahwa seseorang yang cacat akan datang mengambil kuda itu”

Panon mengangguk-angguk, ia mengikuti semua pesan dan petunjuk gurunya, ia harus datang ke Karangmaja sebagai seorang perantau yang kekurangan dan miskin. Selain itu, gurunya memang memerlukan seekor kuda untuk naik ke lereng yang agak terlalu condong seperti yang dikatakan oleh gurunya itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Panon bertanya, “Tetapi kenapa guru tidak berkuda saja sejak dari sini?”

Gurunya tersenyum, katanya, “Tidak Panon, aku ingin berjalan, aku masih ingin menguji kakiku, apakah masih mampu aku pergunakan untuk menempuh jarak yang sebenarnya tidak terlampau jauh itu” gurunya berhenti sejenak, lalu, “Kecuali itu, aku ingin melihat-lihat daerah yang pernah aku jelajahi dimasa mudaku dahulu”

Panon hanya dapat menggigit bibirnya, menilik ujud jasmaniahnya, gurunya tentu akan mengalami kesulitan untuk menempuh jarak yang demikian panjang, tetapi sudah barang tentu Panon tidak akan dapat mengukur kemampuan gurunya dengan pasti, sehingga karena itu, maka ia pun hanya dapat menyerahkan semua persoalan kepada gurunya.

Demikianlah maka semua pesan dan petunjuk tentang tempat tugas dan nama-nama yang mungkin harus dihubungi telah diberikan semuanya oleh pertapa itu kepada Panon. Padukuhan-padukuhan yang harus menjadi perhatian dan tempat pertapa itu menunggu setiap saat ia diperlukan oleh Panon.

“Goa itu bukanlah goa yang dalam” berkata gurunya itu tentang tempat persembuniyannya, “Tetapi cukup untuk berteduh”

“Bagaimana guru mendapatkan air?”

Gurunya tersenyum, katanya, “Aku akan mendapatkannya, jika di daerah itu masih tumbuh sebangsa rerumputan yang merambat, aku akan mendapatkan air, pada pangkal rumput itu jika aku potong”

Panon mengangguk-angguk, ia sudah tau semua yang harus dilakukan, jika ia menemui kesulitan, maka ia harus mencari gurunya di tempat yang sudah ditentukan, tidak jauh dari padukuhan Karangmaja.

Maka malam itu Panon pun segera menyiapkan dirinya, lahir dan batin, kecuali menyiapkan seeokar kuda, bekal pakaian di dalam bungkusan kecil, sekedar uang yang ditabungnya, maka ia pun menyiapkan senjatanya.

Panon seorang anak muda dari padesan, tidak mempunyai senjata yang berarti, gurunya pun tidak memberikan senjata apapun juga, karena Kiai Wirit itu pun tidak mempunyainya. Yang dimiliki oleh Panon adalah senjata-senjata buatan pandai besi di padukuhannya, bukan buatan empu yang memiliki kelebihan dalam pembuatan jenis-jenis pusaka.

Tetapi menurut gurunya senjata-senjata itu pun sudah memadai. Senjata-senjata itu tidak lebih dari pisau-pisau kecil yang diselipkan diantara ikat pinggang kulitnya, tidak hanya satu atau dua pisau, tetapi pisau-pisau kecil itu berjajar sepanjang ikat pinggangnya yang melingkarin perutnya.

“Panon” selalu terngiang pesan gurunya, “Senjata adalah alat yang paling buruk untuk menjaga diri, karena itu, jika tidak terpaksa sekali, maka senjata pantang diperrgunakan”

“Panon menarik nafas dalam-dalam, ia selalu mencoba mengingat pesan itu.

Namun demikian, Panon adalah anak muda yang memiliki tangan yang dapat bergerak secepat kejapan mata, tidak seorang pun yang dapat menghitung, berapa buah pisau yang sudah terlontar dari tangannya dalam satu tarikan nafas.

Tetapi kepercayaan yang sebenarnya dari Panon tidak saja pada kecepatannya bergerak, tetapi juga kekuatan tangannya yang luar biasa, ia memanfaatkan kerjanya sehari-hari untuk menyusun tata gerak ilmunya yang dahsyat, hampir segenap bagian tubuhnya adalah senjata yang tiada taranya”

Selain kemampuan ilmunya, Panon juga dibekali dengan bermacam-macam obat yang dapat menghindarkan dirinya dari bencana yang disebabkan oleh luka-luka yang memancarkan darah terlampau banyak, juga obat-obatan yang dapat yang menawarkannya dari berbagai macam bisa dan racun.

“Di Pegunungan Sewu terdapat banyak sekali jenis ular berbisa” berkata gurunya, “Ular Bandotan, ular yang ditakuti oleh setiap orang, ular weling, ular welang, ular pudak grama, dan yang tidak kalah berbahayanya adalah ular ular gadung, meskipun bisanya tidak sekuat ular bandotan dan ular weling, tetapi ular gadung biasanya menyerang dari dahan-dahan kayu pepohonan, sedang warnanya hijau seperti dahan dan ranting-ranting pohon basah”

Semuanya itu tidak ada yang terlupakan oleh Panon, baginya, tugas itu merupakan batu ujian, apakah ia merupakan murid yang baik atau murid yang buruk. Murid yang baik tentu akan dapat melakukan tugas yang diberikan oleh gurunya dengan baik pula.

Menjelang fajar, Panon telah siap seluruhnya untuk berangkat, Ia berpamitan dan mohon doa kepada ayah dan ibunya, meskipun ia tidak menunjukkan kemungkinan sebenarnya yang dapat terjadi atasnya, terutama kepada ibunya. Sedang kepada adik-adiknya, Panon tidak memberitahukannya, mereka, masih tetap tidur nyenyak ketika Panon meninggalkan rumahnya, ia dibekali dengan beberapa petunjuk dan ancar-ancar yang mungkin sudah berubah karena waktu.

Tetapi Panon Suka bertekad untuk sampai ke tujuannya, ia harus menemukan sebuah padukuhan di punggung Gunung Sewu yang bernama Karangmaja.

Ternyata perjalanan yang ditempuhnya tidak semudah yang diduganya, apalagi ketika ia sampai ke daerah hutan yang masih lebat, Hutan Kedu Pengarang yang wingit.

Tetapi agaknya petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh gurunya membuat perjalanannya agak lancar, belum banyak perubahan yang terjadi. Yang dikatakan gurunya sebagian besar masih dapat dikenalinya, perubahan kecil yang terjadi, tidak mempengaruhi arah yang dipilihnya.

Seperti pesan gurunya maka Panon pun kemudian melingkari Gunung Merapi sebelah timur Alas Mentaok yang sulit untuk ditembus, sehingga karena itu seperti yang dikatakan gurunya, perjalanan ke Gunung Sewu tidak akan dapat ditempuh dalam sehari semalam.

Di beberapa tempat di sepanjang perjalanan, Panon Suka terpaksa berhenti beberapa kali, kudanya yang letih diberinya kesempatan untuk meneguk air di parit atau di sungai, kemudian dibiarkannya kuda itu makan rerumputan hijau sejenak, sebelum ia meneruskan perjalanannya.

Panon Suka yang belum pernah menempuh perjalanan yang agak jauh seperti yang dilakukannya ini, merasa betapa panjang perjalanannya, tetapi ketahanan tubuhnya dan latihan-latihan yang dilakukannya dengan baik, dapat mempertahankan gairah perjalanannya, dengan mengesampingkan perasaan lelah dan jemu.

Perjalanan Panon Suka yang mula-mula tidak menemui gangguan apapun selain kekerasan alam dan lebatnya hutan-hutan, tiba-tiba ia telah membentur sesuatu yang sebelumnya belum pernah dihadapinya. Selama ia mempelajari ilmu kanuragan dari gurunya, sebenarnyalah ia sama sekali belum pernah mempergunakannya untuk benar-benar bertempur dengan alasan apapun juga, setiap kali ia hanya harus melawan musuh buatan yang dibuat oleh gurunya, lemparan-lemparan batu, tongkat dan hembusanhembusan kerikil dari mulutnya. Yang terakhir ia harus melawan percikan-percikan air yang dilontarkan oleh gurunya agar ia menjadi basah karenanya dan menyerang dengan pisau-pisaunya, batu-batu yang dilemparkan ke udara, selebihnya ia harus menempa tubuhnya agar menjadi kuat dan bukan saja kekuatan wajarnya, tetapi juga pemusatan pikiran dan kehendak dan pemanfaatan tenaga cadangan yang memang sudah ada di dalam dirinya, sehingga seolah-olah Panon memiliki kekuatan jasmaniah yang berlipat-lipat.

Dan kini tanpa diduganya, Panon Suka telah berhadapan dengan tiga orang yang mencurigakan.

“Berhentilah anak muda” berkata salah seorang dari mereka.

Panon Suka berhenti dengan ragu, ketika ia memberikan pandangan matanya yang nampak adalah pepohonan hutan yang lebat, diluar sadarnya maka Panon pun menengadahkan wajahnya ke langit, ternyata di langit bertaburan bintang-bintang yang gemerlapan.

“Siapakah kau anak muda?, kau menempuh perjalanan bukan pada waktunya, kau lihat bintang Gubug Penceng itu?, nah, kau akan mengetahui waktu dengan memperhatikan kelompok bintang itu”

Panon Suka memandang kelompok bintang yang sedang menyilang, dari gurunya ia mengetahui, bahwa dengan menarik garis lewat bintang di puncak dan di ujung bawah, maka akan diketemukannya arah selatan, tetapi bintang itu kini telah condong jauh ke barat.

“Ternyata hari hampir fajar” berkata Panon Suka

“Ya, menjelang pagi, kenapa kau tempuh perjalanan pada waktu ini?”

“Aku berangkat pagi hari kemarin” kata Panon.

“Dan kau paksa kudamu dengan menempuh perjalanan yang agaknya cukup jauh itu?”

“Sudah tentu aku berhenti di beberapa tempat, beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan”.

“Sekali lagi aku bertanya, siapakah kau, sudah tentu aku ingin juga mengetahui, kau datang dari mana dan hendak pergi kemana?”

“Namaku Panon” jawab anak muda itu, “Aku datang dari lereng Gunung Merbabu, dan…. Aku menempuh perjalanan tanpa tujuan, sekedar mencari pengalaman”

Oang itu mengerutkan keningnya, sampai tiba-tiba ia bertanya, “He, anak muda, apakah kau pernah melihat pertunjukkan wayang beber?”

“Kenapa?”

“Seorang ksatria akan menjawab seperti jawabanmu itu, jika ia bertemu lawannya di perjalanan, perjalanan tanpa tujuan menurut kehendak ujung kaki dan keredipan mata”

Panon menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat menjawabnya, karena itu dibiarkannya saja orang itu berbicara, “Baiklah anak muda, jika kau tidak mau menyebut tujuan perjalananmu, maka, katakanlah, apakah kau membawa bekal cukup banyak?”

Panon terkejut mendengar pertanyaan itu, segera ia dapat meraba, siapakah yang kini dihadapinya.

Meskipun Panon sudah berbekal ilmu yang cukup, tetapi hatinya masih juga berdebaran, ia sama sekali belum pernah mengalami hal serupa itu.

“He, kenapa kau diam saja..?!!”

“Ki sanak” berkata Panon Suka setelah ia mencoba mengurangi getar jantungnya, “Aku bukan orang kaya yang dapat membawa bekal pada sebuah perjalanan tanpa tujuan seperti ini”

Tetapi orang itu tertawa, “Kudamu adalah kuda yang bagus sekali, nah apa katamu?”

Panon termangu-mangu sejenak, pertanyaan orang yang tidak dikenalnya itu semakin membingungkannya.

“Ki Sanak” berkata Panon kemudian, “Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?”

Orang itu tertawa, katanya, “Bagus, kau ingin langsung pada persoalannya, baiklah, aku ingin merampok semua milikmu termasuk kudamu”

Panon menjadi tegang meskipun ia memang sudah menduganya, sejenak ia berdiam diri, naum tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian ini?”

Orang itu tertawa semakin keras, katanya, “Kenapa kau bertanya tentang kami, yang kau jumpai di lorong sempit di pinggir hutan dan akan merampok barang-barang dan semua yang kau miliki?”

“Aku hanya ingin tahu” jawab Panon serta merta.

“Baiklah, jika kau ingin mengenal kami, Akulah yang bernama Bandung Limpat, Nah, apakah kau pernah mendengar nama itu. Setiap orang akan mengerutkan lehernya jika mendengar nama itu disebutkan, yang seorang dari kedua kawanku adalah Sisik Sana, sedang yang satunya adalah Watu Sampar” Ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang sudah lengkap, lalu, apakah kau masih akan ingkar bahwa kau membawa bekal cukup”

“Ki Sanak” jawab Panon, “Aku sama sekali tidak ingkar, aku memang tidak membawa apapun juga selain seekor kuda dan beberapa lembar pakaian”

“Persetan” geram Bandung Limpat yang sudah mulai kehilangan kesabaran, “Cepat turun dari kudamu

“Serahkan semuanya yang kau miliki, kemudian tinggalkan kudamu di sini”

“Kenapa kau tidak percaya?, aku benar-benar bukan seorang kaya, sedangkan kudaku itu pun tidak dapat aku tinggalkan karena pada suatu saat, kuda itu akan dipergunakan oleh guruku”

“Guru?, jadi kau pernah berguru?” suara Bandung Limpat semakin keras, “Itulah yang membuatmu besar kepala, sehingga kau berani menolak permintaan kami yang kami ucapkan secara baik-baik”

“Sebenarnyalah Ki Sanak, tidak ada yang dapat aku berikan kepadamu, aku harus membawa kudaku sampai ke tujuan”

“Persetan” Bentak Sisik Sana, “Aku dapat membunuhmu, Kau harus sadari itu”

“Jangan berbuat kasar, sebaiknya kita tidak usah saling memaksa, kuda itu adalah kudaku, dan sudah barang tentu akulah yang paling berhak atasnya”

“Kubunuh kau jika kau mengucapkan satu kalimat lagi”

Panon semakin berdebar-debar, ia sadar, bahwa jika ketiganya memaksakan kehendaknya, maka ia harus menghadapinya dengan kekerasan pula.

Namun karena Panon masih belum memiliki pengalaman sama sekali, maka ia pun masih tetap ragu-ragu.

“Jika aku gagal sampai di sini, maka aku adalah murid yang tidak berguna” katanya di dalam hati.

Tetapi ia belum mempunyai gambaran sama sekali, apakah yang mungkin akan terjadi, namun ia sudah bertekad bahwa ia harus dapat mengatasi semua rintangan agar ia dapat melakukan tugas sebaik-baiknya.

Karena itulah, maka ia pun segera mempersiapkan diri, dipandanginya di dalam keremangan malam, tiga orang yang berdiri menghadangnya.

“Anak muda” Berkata Bandung Limpat, “Jangan memancing kemarahan kami, cepat, sebelum kemi berubah pikiran, pada suatu saat mungkin akan timbul keinginan kami untuk membunuhmu”

Panon tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka ia pun segera melompat turun, tetapi sama sekali bukan untuk menyerahkan kudanya, karena ia sama sekali tidak berhasrat untuk berbuat demikian.

Dengan mengendapkan gejolak perasaanya, Panon mencoba bersikap tenang, ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon yang berdiri tegak tidak jauh dari tempatnya.

“Anak setan!!” geram Watu Sampar, “Jadi kau akan melawan”

“Tidak Ki Sanak, aku sama sekali tidak akan melakukan kekerasan, seandainya kalian tidak memaksaku untuk mempertahankan kudaku”

“Tutup mulutmu” Bentak Sisik Sana, “Sekali lagi kau membuka mulut, aku bunuh kau”

“Kalimat serupa itu sudah kau ucapkan dua kali” jawab Panon yang semakin lama semakin menguasai dirinya, “Dan aku tidak akan merubah pendirianku”

Sisik Sana tidak sabar lagi, ia pun segera melangkah maju mendekati Panon Suka, dengan wajah yang tegang ia berkata, “Aku benar-benar akan membunuhmu”

Panon melihat Sisik Sana sudah bersiap untuk menyerangnya, latihan-latihan yang berat yang dilakukannya selama ia berguru membuatnya bersiaga hampir diluar sadarnya.

Seperti yang diperhitungkannya, maka tiba-tiba sebuah loncatan yang cepat telah menerkamnya, kedua tangan Sisik Sana itu terjulur lurus dengan jari-jari yang terentang merapat, seolah-olah siap untuk menusuk dada Panon.

Tetapi Panon adalah seorang anak muda yang telah mendapat latihan kecepatan yang matang, karena itu, maka dengan gerakan yang sederhana ia berhasil menghindari serangan itu. Bahkan karkena ia masih ragu-ragu menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi, maka ia pun langsung menyerang Sisik Sana yang masih belum menemukan keseimbanganya kembali.

Serangan Panon benar-benar tidak terduga, dengan sisi telapak tangannya ia menghantam punggung Sisik Sana dengan kerasnya, sehingga orang itu pun terdorong beberapa langkah maju dan kemudian jatuh terlungkup.

Peristiwa yang telah terjadi dalam waktu.yang cepat itu, membuat kedua kawan Sisik Sana termangu-mangu. Mereka hanya memandang saja apa yang telah dilakukan dan kemudian dialami oleh kawannya. Mereka melihat Sisik Sana terdorong oleh pukulan sisi telapak tangan anak muda yang menyebut dirinya bernama Panon itu.

Namun tiba-tiba mata mereka pun terbelalak, Panon sendiri menjadi berdebar-debar dan sejenak justru menjadi bingung, orang yang jatuh terlungkup itu sama sekali tidak dapat bergerak lagi, bahkan bernafas pun tidak.

Dengan ragu-ragu Watu Sampar mendekatinya, perlahan-lahan tubuh yang terlungkup itu segera ditelentangkannya, alangkah terkejutnya Watu Sampar melihat Sisik Sana sudah tidak bernafas lagi, dari mulutnya mengalir darah yang membasahi rerumputan.

Ternyata pukulan Panon Suka telah meremukkan tulang belakang Sisik Sana, pukulan yang dilambari oleh ilmu yang luar biasa, tetapi karena belum dilengkapi dengan pengalaman, maka, Panon masih belum dapat mengira-ngira, betapa kuatnya ilmu yang dimilikinya.

“Kau bunuh kawanku” geram Watu Sampar dengan wajah tegang penuh kemarahan.

“Apakah ia benar-benar mati?” bertanya Bandung Limpat.

“Ya, Ia sudah mati, tentu tulang-tulang di punggungnya telah diremukkan oleh pukulan anak gila ini, ia lengah karena ia menganggap lawannya adalah anak-anak yang belum dapat berbuat apa-apa atasnya”

Watu Sampar berhenti sejenak, lalu sambil berdiri ia menggeram, “Anak muda, kau benar-benar anak gila, agaknya kau memang baru saja keluar dari padepokan, He…!!, kau berguru kepada siapa?”

Paon termangu-mangu sejenak, tiba-tiba saja dari bibirnya terloncat perkataan dengan suara gemetar, “Aku tidak sengaja membunuhnya, aku hanya memukul punggungnya, tidak pada tengkuknya, mungkin ia mempunyai penyakit yang dapat membuatnya mati dengan tiba-tiba”

“Gila…!!” teriak Bandung Limpat, “Jadi kau masih sempat menghinanya..!! jangan berbangga hati bahwa kau dapat membunuh kawanku dengan sekali pukulan, tentu kau sudah mematahkan tulang belakangnya dan merontokkan jantungnya, tetapi itu bukan karena kelebihanmu, itu semata-mata karena ia lengah dan tidak bersiaga”

“Aku benar-benar tidak sengaja” Panon masih kebingungan, ia baru pertama kalinya mengalami perkelahian dan ternyata ia sudah membunuh.

Tetapi kedua kawan orang yang terbunuh itu tidak menghiraukannya lagi, mereka pun segera mempersiapkan diri sambil berkata. “Kau harus mendapat hukuman yang setimpal, kau tidak hanya sekedar mati, tetapi kau akan kami cincang menjadi sayatan kulit dan daging dan akan kami lemparkan kemulut anjing”

Tiba-tiba saja kulit Panon terasa meremang, mengerikan sekali dan sudah barang tentu ia tidak ingin menglaminya.

“Anak Muda” berkata Bandung Limpat, “Kau harus berlutut dan minta ampun sebelum aku membunuhmu, caramu minta ampun itu pun akan mempengaruhi jalan kematian yang manakah yang kami pilih bagimu”

“Ki Sanak” berkata Panon, “Aku benar-benar tidak sengaja membunuh kawanmu, sepanjang umurku sampai saat ini, baru pertama kali inilah aku membunuh orang”

“Cukup, cepat berlutut dan minta ampun”

“Ki Sanak, aku bersedia minta ampun kepadamu, tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak dapat menyerahkan diri untuk dibunuh dengan cara apapun juga, sebaiknya kita akhiri saja salah paham ini, biarkan aku pergi dengan penyesalan, bahwa aku telah membunuh kawanmu tanpa aku sengaja”

“Gila…!, itu adalah suatu sikap akal licik yang paling gila, setelah kau membunuh seorang kawanku, maka kau berusaha untuk menghindakan diri dari tanggung jawab, dengar kelinci dungu, jika kau memang seorang laki-laki, maka kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu, kau dengar…!!”

Panon menjadi termangu-mangu, ia bimbang akan dirinya sendiri, apakah benar kata orang-orang yang akan merampoknya, bawha jika ia seorang laki-laki, maka ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

“Apakah artinya tanggung-jawab?” pertanyaan itu tumbuh di hati Panon, “Apakah aku harus menerima hukuman karena pembunuhan itu, atau aku harus bertempur secara jantan?”

Panon terkejut ketika tiba-tiba saja Watu Sampar membentak, “Cepat lakukan perintah kami”

Namun tiba-tiba terlompat jawaban dari Panon, “Maaf Ki Sanak, aku tidak dapat menyerahkan diriku untuk dibantai”

“Cukup, jika demikian kau harus mengalami kematian yang paling mengerikan”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja timbul pemikiran di hati Panon, bahwa ia sedang mengemban tugas dari gurunya, ia harus sampai ke padukuhan Karangmaja, ia harus sampai ke istana kecil itu. Masih ada atau tidak, sehingga karena itu, maka dikesamping-kannya segenap keraguraguannya, ia berkata di dalam hati, “Aku memang harus bertanggung jawab kepada guru bahwa tugasku harus dapat aku lakukan sebaik-baiknya”

Karena itu, katanya kemudian, “Ki Sanak, jika kalian memaksakan kehendak kalian untuk membunuhku, maka betapapun penyesalan melonjak hatiku, namun aku tetap akan mempertahankan hidupku, karena itu adalah hakku.

“Persetan…!!” Bandung Limpatpun menggeram, ia benar-benar telah kehilangan kesabaran, selangkah ia maju mendesak, tetapi agaknya, tetapi agaknya ia tidak lagi menjadi korban yang tidak berarti seperti Sisik Sana, karena itu, ia pun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya, bahkan ia pun kemudian telah menggenggam senjata di tangannya.

Demikian pula Watu Sampar yang berdiri disisi lain, di dekat mayat Sisik Sana, dengan gigi yang bergemeretak oleh kemarahan yang meluap ia menggeser mendekat, seperti Bandung Limpat, maka ia pun menggenggam senjata pula di tangannya.

Panon jadi sedikit bimbang, ia harus menghadapi dua orang yang barangkali tidak sebodoh Sisik Sana, apalagi keduanya telah menggenggam senjata ditangan masing-masing, sehingga dengan demikian, maka ia harus melakukan perlawanan yang lebih berat.

Sejenak kemudian Bandung Limpat yang telah dibakar oleh kemarahan itu pun segera melangkah mendekat, senjatanya yang menunduk kemudian teracu lurus kepada Panon, sedang senjata Watu Ampar mengarah ke lambung kanannya.

Panon bergeser setapak surut, ia memperhatikan settap gerak dari dua lawannya yang berdiri pada tempat yang berbeda, tetapi kemudian Panon yang kemudian benar-benar yang telah menyadari tugasnya, dengan penuh tanggung jawab menghadapi keduanya dengan hati yang tenang.

Sejenak kemudian terdengar Bandung Limpat menggeram, dan agaknya sekaligus merupakan aba-aba bagi kawannya untuk menyerang bersama-sama.

Demikianlah, serentak dalam kejap mata yang sama, kedua senjata itu pun meluncur dari arah berbeda dengan perhitungan yang masak, keduanya telah memperhitungkan arah yang mungkin ditempuh oleh Panon untuk menghindarkan dirinya dari serangan itu.

Ternyata seperti yang mereka duga, bahwa Panon telah meloncat, karena itulah maka serangan berikutnya segera menyusul, senjata Watu Sampar menyerang mendatar sedang Bandung Limpat menusuk sekali lagi mengarah dada.

Gerakan mereka demikian cepatnya, sehingga keduanya yakin bahwa Panon akan dapat dibunuhnya dengan segera, kemudian dicincangnya dan dilemparkannya kepada anjing lapar.

Tetapi mereka terkejut melihat cara Panon menghindari serangan itu, Panon yang pernah berlatih dengan tekun tanpa mengenal lelah, yang pernah berlatih mengindari lontaran batu-batu kerikil dan bahkan percikan air, tidak menjadi bingung, dengan cekatan ia melanting seperti seekor belalang, dengan demikian ia terhindar dari serangan yang mendatar setinggi lambung, namun ia harus menggeliat dan sekaligus meloncat surut menghindar dari serangan yang lain.

Kegagalan mereka untuk kedua kalinya, membuat Watu Sampar dan Bandung Limpat justru menjadi bingung, seolah-olah ia tidak sedang berhadapan dengan seorang anak muda sewajarnya, bahkan tba-tiba terbesit di hati mereka, “Apakah yang nampak itu sekedar bayangan dari penunggu hutan ini? Dari seorang jin atau genderuwo yang menjelma, sehingga dengan demikian, maka tubuhnya itu sama sekali tidak dapat disentuh oleh senjata atau segala bentuk kewadagan”

Namun dalam pada itu, Panon telah berdiri tegak beberapa langkah dari keduanya, setelah ia menghindari serangan lawannya yang kemudian justru menjadi termangu-mangu, maka Panon pun mendapat sedikit penilaian atas ilmunya dan ilmu kedua lawannya. Dengan demikiian, Panon menjadi semakin percaya, bahwa jika gurunya memerintahkannya melakukan sesuatu, tentu bukannya tidak beralasan.

“Tetapi guru selalu berpesan, bahkana aku tidak boleh merasa diriku mumpuni, adalah kebetulan sekali bahwa dua orang itu sama sekali tidak mempunyai bekal cukup. Tetapi menurut guru di tlatah Demak, tersebar orang-orang sakti yang pilih tanding, perguruan yang tersebar dari ujung barat sampai ke ujung timur ini telah menghasilkan berpuluh-puluh kesatria, tetapi juga menghasilkan berpuluh-puluh orang yang dibayangi oleh ilmu hitam” Panon bergumam kepada diri sendiri.

Sementara itu kedua lawannya masih tetap ragu-ragu, tetapi mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan, anak muda itu tentu tidak akan tinggal diam, pada saatnya ia tentu akan menyerang.

Seperti mereka duga, Panon telah siap untuk menyerang tetapi ternyata di hati Panon tumbuh sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh kedua lawannya, tiba-tiba saja Panon benar-benar ingin menjajagi kemampuannya sendiri, sebelum pada suatu saat ia berhadapan dengan lawan yang sebenarnya seperti yang pernah dibayangkan oleh gurunya.

Dengan demikian maka Panon lah yang kemudian mengambil sikap terlebih dahulu, dengan hati-hati ia bergeser mendekat.

Tetapi kedua lawannya sama sekali tidak mengetahui, apakah yang sedang dilakukan oleh anak anak muda itu, yang mereka ketahui adalah bahwa anak muda itu tentu akan segera melakukan serangan balasan.

Sebenarnyalah bahwa Panon pun kemudian telah menyerang kedua orang itu dengan gerak yang membingungkan, dalam saat yang bersamaan ia menyerang dua orang sekaligus, padahal kedua lawannya berdiri terpisah, hampir tidak ada selisih waktu sama sekali.

Keduanya terkejut, ternyata anak muda itu memang memiliki kecepatan bergerak yang tidaik dapat mereka bayangkan, karena itulah, maka dengan serta merta mereka mengayunkan senjata mereka untuk mencegah serangan anak muda itu.

Panon melihat gerakan itu, kerena itu, maka ia pun dengan cepat pula mengalihkan serangannya, ia sempat menyentuh tanah dengan kakinya, sehingga ia bergeser selangkah, tetapi ketika senjata-senjata itu sudah terayun, akan hampir tidak berjarak waktu, ia sudah meloncat pula, menyerang keduanya yang nampaknya hanya satu gerakan saja.

Kedua lawannya yang menyebut dirinya Bandung Limpat dan Watu Sampar, orang-orang yang menganggap bahwa nama mereka cukup menggetarkan daerah jajahannya, merasa bahwa tubuh mereka yang telah disentuh oleh tangan Panon, hanya disentuh tetapi sentuhan pada punggung dan tengkuk itu rasa-rasanya telah menggetarkan jantung mereka, apalagi ketika mereka mendengar Panon berkata, “Nah, aku sudah menyentuh kalian, meskipun aku tidak bersenjata”

“Gila” geram Bandung Limpat. “Apakah kau anak setan?”

Panon berkata sambil meloncat surut, “Ki Sanak, apakah kita akan bertempur terus? Aku sudah menyentuh tubuh kalian, tetapi kalian tidak berhasil melukaiku meskipun aku tidak bersenjata, jika kalian tidak menghentikan perkelahian ini, maka aku akan melukai kalian, aku yakin aku dapat menusuk lambung kalian dengan jariku, atau melobangi leher kalian dengan ibu jariku, sekarang apakah keputusan kalian?”

Keduanya lawannya termangu-mangu sejenak, hampir diluar sadarnya mereka berpaling memandang kawannya yang terbujur mati, nampaknya anak muda ini benar-benar tidak sengaja membunuhnya.

“Anak muda ini tentu saja baru keluar dari sebuah perguruan, sehingga ia masih menjajagi ilmunya untuk mendapatkan perbandingan dengan kemampuan orang lain” berkata Bandung Limpat di dalam hatinya, “Agaknya ia masih belum yakin, bahwa kemampuannya ternyata melampaui kemampuan kebanyakan orang yang merasa dirinya berilmu sekalipun.

Karena nampakya Bandung Limpat ragu-ragu, maka Watu Sampar menjadi ragu-ragu pula.

“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya Panon, “Apakah kalian masih akan mencoba kemampuanku lagi?”

Bandung Limpat dan Watu Sampar berpendangan sejenak, tetapi mereka tidak segera menjawab.

“Sudahlah Ki Sanak” Berkata Panon kemudian, “Aku tidak melihat gunanya lagi untuk berkelahi, mungkin aku dapat membunuh kalian untuk mengurangi kejahatan di daerah ini, karena dengan kematian kalian, maka tidak ada lagi kejadian perampokan, tetapi aku melihat kemungkinan lain, bahwa kalian berdua akan berhenti sampai disini”

Kedua orang itu masih belum menjawab.

“Ki Sanak” desak Panon, “Aku ingin mendengar jawaban kalian, aku adalah manusia biasa, kadang-kadang aku dapat mengendalikan diri dari perasaan ini berhasil diendapkan, tetapi mungkin ada gejolak yang lain di dalam diriku, sehingga aku akan bertindak lebih jauh dari yang aku lakukan sekarang”

Bandung Limpat menelan ludahnya, baru kemudian ia berkata dengan parau, “Apa maksudmu sebenarnya anak muda?”

“Aku akan membiarkan kalian berdua tetap hidup, tetapi aku menuntut bahwa hidupmu yang tersisa itu tidak lagi kau pergunakan untuk melakukan lagi kejahatan, jika kau setuju, maka aku pun akan segera pergi, karena aku masih akan menempuh perjalanan yang panjang, tetapi jika kalian tidak bersedia menghentikan kegiatan kalian, maka yang paling baik bagiku dan bagi masyarakat adalah membunuhmu”

“Apakau kau dapat mempercayaiku?, tidak ada seorang pun lagi yang dapat percaya kepadaku, bagaimana seandainya aku sekarang menyatakan kesediaanku untuk merubah cara hidupku, tetapi setelah kau pergi, aku telah melupakan janji itu dan tidak menghiraukannya lagi”

“Ternyata kau mempunyai kejujuran juga” sahut Panon, “Baiklah jika demikian, maka kau akan kehilangan segala-galanya, harga diri dan kepercayaan mutlak, tetapi lebih dari pada itu, maka kau benar-benar orang yang tidak berarti lagi, karena kalian tidak mampu melihat baik dan buruk secara wajar, kerena sebenarnya kalian tahu yang mana yang baik dan buruk, tetapi kalian tidak mampu memilih”

Kedua orang itu termangu-mangu di tempatnya, yang berdiri di haadapannya adalah anak muda, tetapi nampaknya ia memiliki kajiwan serba sedikit, yang dikatakan itu benar telah menyentuh hati kedua orang yang selama ini seolah-olah tidak lagi mempunyai pegangan hidup.

Sejenak mereka dicengkam oleh kebisuan, kedua orang itu seakan-akan sedang memahami kata-kata yang diucapkan oleh anak muda yang mereka jumpai menjelang dini hari di pinggir hutan yang lebat itu.

Baru sejenak kemudian dengan suara lirih Bandung Limpat berkata, “Kau memberi pertimbangan lain didalam hatiku anak muda”

“Terima kasih” Jawab Panon, “Aku benar-benar mempercayaimu, justru pertimbangan lain itu adalah permulaan dari jalan lurus yang akan kau pilih”

“Mudah-mudahan aku dapat sampai kesana” desis Bandung Limpat.

“Kau harus yakin kepada dirimu” sahut Panon kemudian, “Aku justru yakin kalian akan berhasil”

Watu Sampar yang selama ini berdiam diri sambil menundukkan kepalanya berkata, “Memang sudah cukup kematian seorang dari kami bertiga, seharusnya sudah cukup memberikan peringatan kepada kami”

Kata-kata Watu Sampar itu memang sangat menarik perhatian Panon Suka, sehingga ia pun kemudian berkata, “Aku bangga bahwa kau mempunyai jiwa yang besar, yang melihat kenyataan di depan matamu”

Bandung Limpat pun menyahut, “Sudahlah anak muda, peristiwa ini akan selalu kami ingat, kami akan berusaha untuk mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi pada diri kami, kami berterima kasih, bahwa kami telah bertemu dengan seorang anak muda yang bagi kami adalah suatu peristiwa yang ajaib, aku tidak tahu apakah kau memang memiliki sifat yang aneh, atau kamilah pokok dari peristiwa ini, sehingga kau hanya sekedar merupakan alat untuk memperingatkan kesesatan kami, namun bagaimanapun juga, ternyata aku menemukan sesuatu dari peristiwa yang baru saja terjadi, meskipun seorang dari kawanku harus menjadi tumbal”

“Aku minta maaf” sahut Panon, “Aku tidak sengaja”

“Yang mati itu sebenarnya adalah seorang yang seharusnya berjalan di jalan yang lurus, ia adalah putera Ajar Respati, seorang ajar yang tekun, yang mempelajari masalah-masalah jasmaniah dan rohaniah, tetapi anak itu telah sesat jalan”

“Ooo” Panon menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Jika demikian aku sepantasnya mohon maaf kepada Ki Ajar jika ia masih hidup” Panon berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku tidak sempat melakukan sekarang ini, aku harus melakukan suatu perjalanan yang cukup panjang”

“Jika demikian, silahkan kau anak muda melanjutkan perjalanan, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, dan sudah barang tentu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami telah mengganggu perjalananmu”

“Kita sudah melakukan kesalahan, kita akan saling memaafkan pula” berkata Panon, “Sebenarnyalah aku bahwa aku harus melanjutkan perjalanan”

“Kemanakah sebenarnya kau akan pergi?”

“Aku akan menyelusuri pegunungan Sewu”

“Pegunungan Sewu?”

“Ya, aku akan pergi ke sebuah padukuhan di sela-sela bukit diatas dataran Gunung Sewu itu, apakah kau pernah menjelejahi Gunung Sewu?”

Kedua orang itu mengerutkan keningnya, ada sesuatu yang nampaknya ingin mereka katakan, tetapi mereka ragu-ragu untuk mengatakan.

“Apakah ada sesuatu yang menarik?”

“Tidak anak muda, tetapi jika kau mau melingkar sedikit, maka kau akan sampai ke sebuah padepokan kecil di kaki Gunung Baka di tepi Kali Opak, di padepokan itu tinggal Ki Rancangbandang, ia adalah adik kandung Ki Ajar Respati.”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Sayang, aku tidak sempat melakukannya, kelak jika aku berhasil melakukan tugasku, maka aku akan singgah ke padepokan kecil tempat tinggal Ki Rancangbandang”

“Anak Muda” berkata Bandung Limpat, “Soalnya bukan agar kau memperbincangkan persoalan Sisik Sana, tetapi Ki Rancangbandang agaknya mengetahui, siapa sajakah yang pada saat-saat terakhir telah memanjat naik keatas Gunung Sewu, dan barangkali ia pun mengetahui, apakah maksud mereka sebenarnya, atau, barangkali kau juga sudah tahu anak muda, karena perjalananmu juga mempunyai tugas tertentu seperti yang dilakukan oleh orang-orang itu”

Panon termangu-mangu mendengar keterangan itu, tiba-tiba saja ia tertarik pada keterangan Bandung Limpat, jika orang yang bernama Ki Rancangbandang itu dapat memberikan beberapa keterangan, maka ia akan dapat menyesuaikan dirinya, karena menurut keterangan Bandung Limpat, ada beberapa orang yang pada saat terakhir juga menuju ke atas Gunung Sewu.

“Apakah mereka juga sedang berusaha untuk menemukan istana kecil seperti yang dikatakan guru itu?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Dalam keragu-raguan itu Watu Sampar menyambung, “Tetapi terserahlah kepadamu anak muda, meskipun barangkali jika, kau dapat singgah akan ada baiknya juga”

“Aku telah melakukan kesalahan, aku telah membunuh Sisik Sana, apakah hal itu tidak akan menjadi perkara, jika pamannya mengetahuinya”

“Agaknya memang mungkin, tetapi jika ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, aku kira ia tidak akan marah, demikian juga ayahnya, Ki Ajar Respati” berkata Watu Sampar lebih lanjut. Tetapi jika terjadi kesalah-pahaman, maka kau akan mengalami kesulitan, apalagi jika Ki Ajar ada di tempat itu”

“Kenapa?”

“Ki Ajar Respati adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tidak banyak orang yang mengetahuinya, karena ia memang lebih senang hidup menyendiri, bercocok tanam dan hidup tenang tanpa banyak sentuhan dengan persoalan-persoalan di luar dunianya yang damai, tetapi jika ia menjadi marah, maka batu sebesar bukit pun akan dapat dihancurkannya dengan tangannya”

“Apakah ia seorang yang sakti?”

“Ya, tanpa diketahui orang lain, ia mempelajari ilmu tanpa guru, dan ia berhasil. Tetapi ternyata ia gagal menjadi seorang ayah yang baik, salah seorang anak laki-lakinya adalah Sisik Sana, ia meninggalkan padepokan ayahnya dan ikut bersama kami”

“Kau murid Ki Ajar Respati?” tiba-tiba Panon bertanya.

Keduanya ragu-ragu, namun kemudian hampir bersamaan keduanya mengangguk, “Ya, kami berdua adalah murid Ki Ajar Respati, ternyata kami lebih senang mengikuti jejak sesat dari anaknya dari pada mendengarkan nasehat-nasehatnya”

Panon mengangguk-angguk sejenak, keterangan itu sangat menarik baginya, namun jika ia teringat yang sudah diperhitungkan oleh gurunya, ia menjadi ragu-ragu.

Tetapi masih juga terbersit di hatinya, “Jika Kiai Rancangbandang dapat memberikan sedikit keterangan, maka tentu ada juga baiknya” namun kemudian, “Asal tidak terjadi salah paham saja atas kematian Sisik Sana”

Dalam kebimbangan itu, Bandung Limpat dan Watu Sampar masih membeku di tempatnya, mereka melihat keragu-raguan di hati Panon Suka, tetapi mereka pun tidak dapat memberikan pertimbangan lebih banyak lagi kepadanya.

Tetapi tiba-tiba saja Panon mengambil keputusan untuk singgah sejenak, ia akan mempercepat perjalanannya, menurut arah yang diberitahukan oleh kedua orang itu, kareena menurut mereka Bukit Baka sudah tidak jauh lagi, dari sana ia dapat menyusur ke selatan sampai ke lembah Payung seperti yang telah dibicarakannya dengan gurunya.

“Jika kedatanganku tertunda, maka tidak akan lebih dari setengah hari” katanya di dalam hati.

Demikianlah, maka Panon mengambil keputusan untuk pergi ke Padepokan kecill yang dihuni oleh Kiai Rancangbandang, adik dari Kiai Ajar Respati.

“Tetapi kau harus memberikan penjelesan sebaik-baiknya tentang Sisik Sana” berkata Bandung Limpat.”Mudah-mudah tidak terjadi salah paham”

“Baiklah, aku memang harus minta maaf kepada orang tuanya atau yang dapat mewakilinya”

Seperti yang ditunjukkan oleh kedua orang itu, maka Panon pun kemudian pergi ke bukit di sebelah timur Kali Opak, ia berpesan kepada Bandung Limpat dan Watu Sampar, agar Sisik Sana dimakamkan sebaik-baiknya, mungkin pada suatu saat keluarganya akan mencarinya.

“Berilah tanda yang jelas” berkata Panon.

“Apakah aku juga akan dapat memberi petunjuk kelak jika diperlukan?” bertanya Bandung Limpat.

“Maksudmu?”

“Meskipun aku memberikan tanda yang jelas, tetapi tanpa aku maka tidak seorang pun yang dapat menemukannya”

“Kaupun harus kembali kepada gurumu, pikirkanlah kemungkinan itu, itu adalah jalan satu-satunya yang dapat kau tempuh untuk menebus jalan sesat yang pernah kau tempuh, justu bersama anak Kiai Ajar Respati itu sendiri”

Keduanya termenung sejenak, lalu Bandung Limpat berkata, “Aku akan memikirkannya”

Demikianlah, maka Panon pun telah meninggalkan kedua orang itu dalam keragu-raguan mereka, akhirnya Bandung Limpat berkata, “Memang tidak ada pilihan lain, jika dengan demikian kepalaku akan dipenggal oleh guru, aku tidak akan menolak lagi”

Dalam pada itu, Panon telah berada dalam perjalanannya menuju ke padepokan kecil di kaki Gunung Baka, padepokan yang hanya menyimpan beribu-ribu kemungkinan, mungkin Kiai Rancangbandang akan mengucapkan terima kasih kepadanya, bahwa ia telah datang memberikan keterangan tentang kemanakannya yang sesat, tetapi mungkin Kiai Rancangbandang akan membunuhnya, apalagi jika Kiai Ajar Respati benar-benar ada di tempat itu, tetapi kemungkinan yang lain adalah, ia akan mendapatkan banyak keterangan tentang Gunung Sewu dan keadaannya.

Ketika matahari kemudian bertengger diatas cakrawala, maka Panon sudah menjadi dekat dengan bukit kecil itu, sekali ia berhenti memberikan kesempatan kepada kudanya untuk beristirahat, minum dan makan rerumputan, namun sesaat kemudian ia sudah berpacu kembali meneruskan perjalanannya.

Sementara perjalanan semakin mendekati bukit kecil itu, ia pun menjadi semakin ragu-ragu, ia mencoba membayangkan, apakah yang akan dijimpainya di padepokan kecil itu.

Tetapi kemudian ia berketepatan hati untuk meneruskan langkahnya, menjumpai orang yang bernama Kiai Rancang-bandang.

Panon Suka tidak mengalami kesulitan apapun untuk mencari padepokan kecil itu, ditandai dengan sebuah pintu gerbang kecil yang disisinya tumbuh sebatang pohon kemuning.

Panon Suka memperlambat derap kudanya ketika ia menyusur jalan yang sempit yang langsung menuju ke pintu gerbang itu, memang debar jantungnya terasa semakin menjadi cepat.

Di muka pintu gerbang ia berhenti, perlahan-lahan ia turun melangkah menuntun kudanya mendekati pintu regol yang terbuka.

“Sepi sekali” katanya dalam hati.

Sebenarnyalah bahwa tidak ada orang yang kebetulan berada di halaman yang cukup luas itu, halaman yang bersih oleh goresan-gorean sapu lidi dari ujung sampai ke ujung, seakan-akan di halaman yang luas itu, tidak selembar daun keringpun yang tertinggal.

Panon menarik nafas, ia ragu-ragu pula untuk masuk, karena di halaman itu sama sekali tidak ada bekas kaki seorang pun, bekas kaki orang yang menyapu halaman itu pun tidan nampak, karena agaknya ia melangkah surut ketika ia menggoreskan sapu lidinya.

Tetapi kemudian ia membulatkan tekadnya untuk masuk, ia sama sekali tidak mempunyai niat yang buruk, kedatangannya adalah karena dorongan oleh pengakuannya bahwa ia telah membunuh tanpa sengaja, dan keterangan tentang Gunung Sewu yang barangkali dapat diperolehnya dari Kiai Rancangbandang itu.

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika ia melihat dua orang yang tiba-tiba saja muncul dari pintu samping yang menyekat halaman itu dengan halaman samping, yang seorang lebih muda sehingga yang lain adalah seorang yang sudah melampaui pertengahan abad.

Sejenak keduanya termangu-mangu, namun kemudian dengan tergesa-gesa mereka melangkah mendekatinya.

“Marilah anak muda” berkata orang yang sudah tua itu, “Silahkan, siapakah yang kau cari?”

Panon mengangguk dalam-dalam, nampaknya orang itu memiliki sesuatu yang membuatnya terasa berwibawa.

“Apakah aku berhadapan dengan Kiai Rancangbandang?”

Orang itu pun mengerutkan keningnya, lalu menjawab, “Oo bukan anak muda, aku hanyalah seorang tamu saja disini, tetapi Kiai Rancangbandang ada di rumah, marilah, silahkan naik ke pendapa” lalu katanya kepada anak muda di sampingnya, “Bawalah ia naik, aku akan memanggil pamanmu”

Anak muda itu mengangguk, ketika orang tua itu kembali masuk ke halaman dalam, maka anak muda itu berkata, “Silahkan Ki Sanak, biarlah aku tambatkan kudamu di tiang batang soka itu”

“Terima kasih” jawab Panon, “Biarlah aku menambatkannya sendiri”

Setelah menambatkan kudanya, Panon diiringi oleh anak muda ia pun naik ke pendapa, dan duduk diatas sebuah tikar pandan putih.

Sejenak kemudian, pintu pringgitan di sisi pendapa itpun terbuka, orang tua yang dijumpainya di regol penyekat halaman itu nampak muncul dari dalam, diiringi oleh seorang yang nampaknya masih lebih muda sedikit dari padanya.

Ketika mereka telah duduk, maka orang yang lebih muda segera bertanya, “Apakah benar Ki Sanak mencari aku?, akulah Kiai Rancangbandang penghuni padepokan ini”

Panon menundukkan kepalanya dalam-dalam, menjawab, “Benar Kiai, aku memang mencari Kiai”

“Sekarang kita sudah bertemu” kata Kiai Rancangbandang, lalu, “Tetapi sebelumnya, siapakah kau anak muda?”

“Aku adalah Panon Suka, aku datang dari jauh, meyelusuri lereng Gunung Merbabu dan Merapi”

“Kau datang dari Gunung Merbabu?”

“Ya Kiai, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke Gunung Sewu”

“Gunung Sewu?” hampir bersamaan kedua orang tua itu mengulang.

Bab 13

Rasa-rasanya ada sesuatu yang mengganjal hati Panon, tetapi ia tidak jadi mengatakannya.

“Angger Panon Suka” berkata Kiai Rancangbandang, “Tentu kau mempunyai kepentingan yang besar, bahwa kau akan datang keatas Gunung Sewu, tetapi baiklah, sebelumnya aku ingin memperkenalkan kau dengan tamuku, ia adalah kakakku, namanya Kiai Ajar Respati”

Dada Panon bergetar mendengar nama itu, meskipun sebelumnya ada juga dugaannya, bahwa orang tua itu adalah Ki Ajar Respati.

Untuk sesaat Panon Suka termangu-mangu, dicobanya untuk melihat gambaran sifat dan watak Ki Ajar Respati pada wajahnya, namun yang nampak adalah tatapan mata yang lembut dan bening.

Karena itulah timbul keberaniannya untuk mengatakan hal yang sebenarnya yang telah terjadi dengan anaknya yang bernama Sisik Sana.

“Sebelum aku mengatakan kepada ayahnya, maka hal itu tentu akan selalu menjadi beban perasaanku, sebaliknya aku berterus terang, agar perjalananku kemudian tidak terganggu oleh persoalan yang lain” berkata Panon di dalam hatinya.

Dalam pada itu karena Panon tidak segera menjawab, Kiai Rancangbandang bertanya lebih lanjut, “Anakmas, sebenarnya perjalanan keatas Gunung Sewu itu memang sangat menarik, tetapi juga berbahaya” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah, aku belum mendengar keperluanmu menemui aku”

“Kiai” berkata Panon, “Kedatanganku ke Padepokan ini sebenarnyalah bahwa aku ingin mendapatkan beberapa petunjuk agar aku dapat sampai ke tujuan dengan selamat, aku belum pernah naik ke atas Gunung Sewu yang ditebari dengan beberapa ratus puncak bukit, dataran tinggi dan lembah-lembah yang curam, seseorang telah memberitahukan kepadaku agar aku datang kepada Kiai Rancangbandang untuk mendapatkan beberapa petunjuk yang mungkin berguna bagiku, apalagi pada saat-saat terakhir yang menurut pendengaranku, ada beberapa persoalan yang perlu aku ketahui”

Kiai Rancangbandang mengangguk-angguk, lalu katanya, “Pemberitahuan yang keliru angger, aku tidak banyak mengetahui tentang Gunung Sewu, apalagi aku tidak tahu, apakah maksud perjalanan angger yang sebenarnya”

Panon menjadi termangu-mangu, sudah tentu ia tidak dapat mengatakan maksudnya yang sebenarnya, karena beban yang diletakkan dipundaknya adalah persoalan yang khusus, yang tidak boleh diketahui orang lain.

Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Rancangbandang telah bertanya, “Anak Muda, siapakah yang menunjukkan kepadamu, agar kau datang kemari untuk mendapatkan beberapa petunjuk tentang Gunung Sewu?”

“Diperjalananku, aku bertemu dengan tiga orang tidak aku kenal, dua diantaranya bernama Wati Sampar dan Bandung Limpat”

“Ha” tiba-tiba Kiai Ajar Respati bergeser setapak, katanya, “Anakmas, apakah aku tidak salah dengar?, Watu Sampar dan Bandung Limpat?”

Dada Panon mulai bergejolak, tetapi ia sudah bertekad untuk mengatakan apa yang sebenarnya sudah teradi, maka ia pun meneruskannya, “Ya, Ki Ajar, Bandung Limpat dan Watu Sampar”

Nampak perubahan pada tatapan mata Ki Ajar Respati, dengan suara yang gelisah ia pun bertanya, “Angger Panon. Angger tadi mengatakan bahwa angger bertemu dengan tiga orang, yang dua anger sudah menyebutkan namanya, tetapi angger belum mengatakan siapakah yang seorang dari ketiga orang itu?”

Panon menjadi ragu-ragu, tetapi ia tidak berdian diri saja, apalagi ia sudah bertekad untuk mengatakan apa yang pernah terjadi di perjalanannya.

Sejenak ia mengatur pernafasannya yang tiba-tiba saja menjadi semakin cepat mengalir.

“Kiai Ajar” katanya kemudian dengan tersendat-sendat, “Sebelumnya aku mohon maaf, juga kepada Kiai Rancangbandang, diluar kemauanku, maka telah terjadi sesuatu yang membuat aku menjadi semakin gelisah”

Ki Ajar Respati, Kiai Rancangbandang dan anak muda yang duduk disamping Ki Ajar itu pun menjadi semakin gelisah pula.

Dengan hati-hati Panon menceritakan apa yang sudah dialaminya, pertemuannya dengan tiga orang yang akan merampoknya, kematian salah seorang diantara mereka, yang kebetulan adalah Sisik Sana.

Wajah Ki Ajar dan Kiai Rancangbandang menjadi merah menyala, sejenak mereka membeku ditempat duduknya, namun agaknya Ki Ajar Respati masih mengedepankan perasaannya, ketika anak muda yang duduk di sebelahnya tiba-tiba saja berjongkok sambil menggeram, maka ia pun menangkap lenannya sambil berkata, “Duduklah Sambi Raga”

“Ia telah membunuh kakakku ayah” berkata anak muda itu, “Aku harus membunuhnya, tidak ada hutang yang tidak terbayar”

“Siapakah yang berhutang anakku?”

“Anak muda yang sombong ini, Ia telah membunuh kakakku, dan kini dengan dada tengadah ia sengaja datang menemui ayah dan paman, apakah itu bukan suatu penghinaan?”

“Duduklah, biarlah ia mengatakan, apakah alasannya maka ia datang kemari”

“Tentu ia ingin mengatakan, bahwa ia adalah anak muda yang paling perkasa, ia ingin bertanya kepada kita, apakah kita berani berbuat sesuatu kepadanya”

Ki Ajar Respati memandang Panon dengan tatapan mata yang sayu, perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah benar begitu anak muda?”

“Tidak Ki Ajar, sungguh tidak”

“Bohong” teriak anak muda itu pula.

“Tenanglah Sambi” berkata Kiai Rancangbandang meskipun suaranya sendiri terasa gemetar.

Sambi Raga memandang Panon dengan tatapan mata yang membara dibakar oleh kemarahan di hatinya, tetapi ia tidak berani melanggar perintah ayah dan pamannya, karena itu maka ia pun duduk kembali, betapapun hatinya serasa menjadi hangus.

“Sambi Raga” berkata Ki Ajar Respati, “Bukan hanya kau sajalah yang disengat oleh kejutan yang tiada taranya bahwa pada suatu saat, ketika kita sudah berhati-hati, bahkan berpekan-pekan mencari kakakmu yang meninggalkan padepokan, tiba-tiba saja kita mendengar bahwa seseorang telah membunuh kakakkmu itu”

“Lalu, apalagi yang harus kita tunggu?”

“Sambi Raga” berkata Ki Ajar Respati selanjutnya, “Sebaiknya kau mendengar dengan baik, tentu anak ini tidak begitu saja membunuh kakakmu”

“Ia dapat mengarang seribu satu cerita, tentang kematian kaka Sisik Sana”

“Jika ia datang dengan kesombongan yang mewarnai dadanya, ia tidak perlu mengarang seribu macam alasan, ia akan datang dan mengatakan bahwa Sisik Sana telah dibunuhnya” Ki Ajar Respati terdiam sejenak, lalu, “Tetapi kita tidak dapat berpura-pura menghadapi persoalan ini, kita mengenal tabiat Sisik Sana itu sebaik-baiknya, bukankah kau juga watak dan sifat kakakmu?”

Sambi Raga menundukkan kepalanya, ia tidak dapat menjawab lagi, sebenarnyalah bahwa ia mengetahui dengan pasti, apakah yang sudah terjadi, anak muda yang bernama Panon itu tentu tidak berbohong.

Meskipun demikian, kematian kakaknya benar-benar telah mengguncang dadanya, betapapun buruk watak dan sifatnya, tetapi Sisik Sana adalah kakaknya.

Tetapi agaknya ayahnya bersikap lain.

“Angger Panon” berkata Ki Ajar Respati, “Aku tidak dapat menyebut dengan kata-kata yang manapun juga, betapa sedihnya aku mendengar kabar tentang kematian anakku itu, tetapi pengakuan anakmas yang jujur, membuat hatiku luluh, aku tidak dapat marah dan meyalahkanmu, agaknya semuanya itu adalah lantaran belaka, hukuman bagi anakku sudah masanya datang, dan Yang Maha Adil mempergunakan tangan anakmas untuk menjatuhkan hukuman mati baginya”

Panon pun kemudian menundukkan kepalanya, sesuatu terasa menyumbat kerongkongannya, sehingga ia tidak dapat menyahut.

“Sudahlah” berkata Ki Ajar Respati, “Kita tidak mau terlibat dalam salah paham lagi, besok aku ingin segera menemukan mayat anakku dan menguburkannya di padukuhan ini”

“Watu Sampar dan Bandung Limpat memberikan tanda pada kuburannya”

“Bukankah kau tidak berkeberatan untuk menemukan kuburan itu anakmas?”

Panon menjadi ragu-ragu, jika demikian, maka ia akan terlambat lebih dari setengah hari, mungkin sehari atau bahkan lebih.

Ki Ajar Respati melihat keraguan itu, karena maka ia pun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang meragukan?”

“Tidak Ki Ajar, sebenarnya menjadi kewajibanku untuk mengantar Ki Ajar menemukan kuburan itu, tetapi bukan akulah yang menguburkannya, dan bukan akulah yang memberi tanda pada kuburan itu, sehingga aku pun tidak mengetahui dengan pasti dimanakah letaknya”

“Jadi siapa?”

“Watu Sampar dan Bandung Limpat yang agaknya mulai ditumbuhi oleh penyesalan, pada suatu saat mereka tentu akan kembali kepada Ki Ajar”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi apakah kau dapat menunjukkan kepadaku, dimanakah kau bertempur melawan ketiga orang itu Anak muda?”

Panon termangu-mangu sejenak, lalu, “Ya, ya Kiai, tentu aku dapat menunjukkan tempat itu kepada Kiai, tetapi…………”

“Tetapi apa?”

“Kiai, aku sebenarnya ingin mendapat beberapa petunjuk mengenai jalan ke Gunung Sewu, apakah yang harus aku hindari dan apakah yang harus aku tempuh”

Kiai Rancangbandang yang menjawab, “Tidak banyak yang kami ketahui tentang pegunungan itu anakmas, yang aku ketahui hanyalah bukit-bukit yang membujur dari barat ke timur, seperti cerita orang tua bahwa dewa-dewa yang melihat pulau ini tidak seimbang dan miring ke barat, telah membawa berjuta-juta pikul tanah menuju timur, tetapi tanah itu berguguran di sepanjang pinggir selatan dari pulau ini, sehingga terjadilah pegunungan ini”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Bukan itulah yang aku maksud Kiai, tetapi keadaan pegunungan itu sekarang, tentang orang-orang yang menurut pendengaranku telah berdatangan”

“Seperti juga anakmas akan naik ke pegunungan ini?”

Panon terdiam, kepalanya tertunduk, memang sulit baginya untuk mendapat penjelasan dari Kiai Rancangbandang, karena ia sendiri tidak dapat mengatakan kepentingannya naik ke pegunungan itu.

Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam, katanya di dalam hati, “Baiklah jika aku tidak mendapat keterangan apapun tentang gunung itu, tetapi aku sudah mengurangi beban di hatiku akibat terbunuhnya Sisik Sana, untunglah bahwa ayahnya dapat mengerti”

Dalam pada itu, Kiai Rancangbandang kemudian berkata, “Anakmas, Gunung Sewu adalah pegunungan yang diselimuti oleh kabut rahasia, tidak banyak orang yang mengetahui dengan pasti, karena itu, jika tidak penting benar, sebaiknya kau tidak usah pergi naik keatas Gunung Sewu itu, meskipun seandainya kau memiliki ilmu rangkap tujuh, dan berperisai baja di dadamu, namun tidak akan banyak manfaatnya, karena itu adalah daerah yang berbatu-batu saja tanpa memberikan apapun kepada anakmas, jika anakmas sudah sampai keseribu puncak diatas pegunungan itu.

Panon menarik keningnya, tetapi Ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar Respati berkata, “Adi Rancangbandang, jika anakmas Panon memang sudah bertekad untuk memanjat tebing Gunung Sewu, maka kita tidak dapat mencegahnya kita hanya dapat memberikan beberapa petunjuk tentang kekerasan alam yang kita ketahui saja kepadanya, biarlah ia bermalam semalam sebelum besok ia akan mengantarkan kita ke bekas perkelahian yang telah menyebabkan Sisik Sana terbunuh, kemudian kita lepaskan anakmas pergi mendaki Gunung Sewu.

Karena Panon tidak segera menjawab, maka Ki Ajar pun kemudian bertanya, “Bagaimana anakmas?, apakah kau tidak keberatan?”

Panon bergeser setapak, lalu, “Maaf Ki Ajar, bukan maksudku hendak ingkar, tetapi jika Ki Ajar menghendaki, baiklah, sekarang aku mengantarkan Ki Ajar ke tempat perkelahian itu”

“Kenapa sekarang?”

“Aku harus meneruskan perjalananku”

“Demikian pentingnya, sehingga kau harus tergesa-gesa?”

Panon tidak segera menjawab, sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi agaknya Ki Ajar mengetahui keadaannya, karena itu maka katanya, “Baiklah anakmas, bila kita akan pergi sekarang, agaknya setelah menunjukkan tempat itu, anakmas akan langsung pergi mendaki Gunung Sewu, meskipun dengan demikian anakmas telah membuang waktu hampir setengah hari. Anakmas, sudah melingkar jalan dan singgah kemari, mungkin anakmas bermaksud mengambil jalan di sebelah bukit ini, menyusur Kali Opak ke selatan menuju lembah Payung”

“Ya, Ki Ajar”

“Tetapi anakmas harus kembali ke tempat anakku terbunuh”

“Jika itu dapat mengurangi kesalahanku, aku akan bersedia melakukannya”

Ki Ajar menarik nafas dalam, katanya kemudian, “Marilah adi Rancangbandang, kita bersiap-siap pergi mengikuti anakmas Panon”

Kiai Rancangbandang agak ragu-ragu sejenak, namun ia pun kemudian mengangguk, “Baiklah kakang”

“Aku juga akan pergi” berkata anak muda yang selama ini berdiam diri di sisi Ki Ajar Respati.

“Sambi Raga” berkata Ki Ajar Respati, “Jika aku dan pamanmu pergi bersama, maka sebaiknya kau tinggal di rumah, jika kau ikut pergi, maka rumah pamanmu akan kosong, selain para pembantu saja”

Sambi Raga termangu-mangu, tetapi ia tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada ayahnya.

Demikianlah, Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang segera masuk ke ruang dalam, Sambi Raga yang tidak lagi dapat bersikap baik kepada Panon, mengikuti pula, baginya meninggalkan anak muda itu tentu akan lebih baik dari pada duduk bersama, agar tidak timbul salah paham.

Sejenak kemudian Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang pun telah siap pula, mereka langsung pergi ke halaman sambil menuntun kuda masing-masing.

“Marilah anakmas” ajak Kiai Rancangbandang.

Panon pun segera turun dari pendapa dan mengambil kudanya.

“Sebenarnya kami tidak ingin menghambat perjalanan anakmas” berkata Ki Ajar Respati, “Anakku telah memperlambat perjalanan anakmas dengan tindakannya yang bodoh, sekarang kami yang tua-tua ini pun telah menghambat pula”

“Tidak apa Ki Ajar” jawab Panon, “Akulah yang telah melakukan kesalahan”

Demikianlah mereka pun kemudian meninggalkan padepokan kecil itu, Panon menempuh arah kembali ke tempat ia bertempur melawan Sisik Sana dan kedua kawannya.

Mudah-mudahan mereka masih berada di sekitar tempat itu dan bersedia menjadi saksi bahwa aku tidak bersalah, agaknya hal itu akan menjadi semakin baik, apalagi jika kemudian mereka pun menyatakan penyesalan atas tingkah lakunya sehingga menjerumuskan Sisik Sana yang tidak berarti sama sekali.

Diperjalanan, mereka bertiga hampir tidak berbicara sama sekali, terdorong oleh keinginannya untuk segera meneruskan perjalanan kepegunungan seribu, maka Panon yang berjalan di paling depanpun rasa-rasanya semakin lama semakin cepat.

Akhirnya mereka pun sampai ke tempat yang mereka tuju, dengan ragu-ragu Panon menarik kendali kudanya dan kemudian menghentikannya sama sekali.

“Ki Ajar” berkata Panpn dengan suara yang sendat, “Disinilah peristiwa itu terjadi”

Ki Ajar dan Kiai Rancangbandang segera meloncat turun, sebagai seorang yang berpengalaman luas, mereka pun melihat bekas pertempuran yang tidak begitu seru, perkelahian yang agaknya terlampau cepat selesai.

“Aku kira Watu Sampar dan Bandung Limpat menguburkan Sisik Sana tidak jauh dari tempat ini” berkata Panon yang telah meloncat turun pula dari kudanya.

Sejenak Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang termangu-mangu memandang sekeliling, seolah-olah memang ada yang dicarinya.

“Angger Panon” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Apakah kau yakin bahwa pada suatu saat Watu Ampar dan Bandung Limpat akan kembali kepadaku?”

“Aku harap demikian Ki Ajar”

“Dan kau yakin bahwa mereka berdua telah menguburkan anakku sebaik-baiknya?”

“Ya, Ki Ajar”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, sementara Panon termangu-mangu memandangnya, ketika Ki Ajar itu menambatkan kudanya pada sebatang pohon, demikian pula dilakukan oleh Kiai Rancangbandang.

Tiba-tiba saja Panon menjadi berdebar-debar ketika ia melihat wajah Ki Ajar Respati yang berubah, meskipun Ki Ajar Respati itu masih tetap tersenyum, namun senyumnya rasa-rasanya telah jauh berbeda, apalagi ketika orang tua itu berkata, “Disinilah anakku kau bunuh anakmas, aku tidak sampai hati membiarkannya ia berkubur seorang diri di tengah-tengah hutan ini, daripada aku memindahkan kuburnya, agaknya lebih baik bagiku untuk memberikan seorang atau dua atau tiga orang kawan untuk menemaninya.

Panon termangu-mangu, tetapi ia menjadi tegang.

“Tambatkan kudamu” berkata Ki Ajar Respati.

“Aku tidak mengerti maksud Ki Ajar”

“Tambatkan kudamu, karena aku memerlukan kau, kau telah membunuh anakku di sini, sekarang kau pun harus mati dan dikuburkan disini pula”

Dada Panon bergetar mendengar kata-kata itu, ia benar-benar tidak menyangka bahwa yang akan terjadi adalah demikian, ia menyangka bahwa orang yang bernama Ki Ajar Respati dan adiknya adalah orang yang berjiwa besar, berjiwa ksatria dan mulia, orang yang dapat mengerti bahwa anaknyalah yang bersalah.

“Panon Suka” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Memang tidak menyenangkan untuk mati sebelum tugas yang dibebankan oleh gurunya dapat diselesaikan, tetapi kau adalah orang yang tidak tahu akan diri, kau belum melakukan apapun juga yang menyangkut tugas yang berat bagimu, tetapi di sepanjang jalan kau telah mencari musuh, akibatnya kau akan meneyesal karena kau adalah murid yang paling buruk yang pernah aku ketahui dari seorang guru yang mungkin cukup baik”

“Ki Ajar” berkata Panon, “Apakah artinya semuanya ini?”

“Artinya, aku akan menuntut balas kematian anakku, benar kata Sambi Raga, setiap hutang harus dibayar, dan kau pun harus membayar hutangmu, Hutang jiwa, Sisik Sana adalah anakku yang aku banggakan, ternyata ia telah kau bunuh disini”

Panon menjadi semakin tegang.

“Nah, cepat, bersiaplah untuk mati, atau barangkali kau ingin meninggalkan pesan?”

Dada Panon Suka benar-benar telah tergetar, sejenak ia berdiri termangu-mangu memandang Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang berganti-ganti.

“Cepat” bentak Ki Ajar Respati, “Katakan yang ingin kau katakan”

Panon Suka menjadi gemetar, berbagai perasaan bercampur baur di dalam hatinya, sejenak ia ragu-ragu, perasaan bersalah memang menyelinap di dalam hatinya, tetapi sejenak kemudian ia merasa bertanggung-jawab untuk menjalankan tugas gurunya, tugas yang amat penting.

Dalam kebimbangan itu ia mendengar Ki Ajar Respati membentaknya sekali lagi, “He, anak muda yang cengeng, jangan menyesali nasibmu yang malang, cepat, apakah yang akan kau pesankan?, barangkali kepada gurumu atau kepada orang tuamu?, atau barangkali kau ingin aku membunuh gurumu pula?”

Kata-kata itu benar-benar telah membakar hati anak muda itu, betapapun ia mencoba menguasai diri, tetapi penghinaan terhadap gurunya benar-benar telah membangunkannya dari berbagai macam kebimbangan.

Akhirnya anak muda itu berkata, “Ki Ajar Respati, semula aku kagum atas kebesaran jiwa Ki Ajar, Ki Ajar aku anggap benar-benar orang yang dapat menempatkan diri dalam pilihan yang mampu menimbang baik dan buruk, salah dan benar, aku berbangga bahwa di dunia ini ada seoerang yang melihat kebenaran dan menerimanya dengan dada terbuka, meskipun maut telah merenggut jiwa anaknya, tetapi ternyata, aku salah, yang aku hadapi adalah manusia kebanyakan, manusia biasa seperti yang aku jumpai di jalan-jalan, di pematang-pematang, di pasar-pasar dan di lingkungan masyarakat biasa, semua akan menjadi marah, dendam dan kehilangan akal, jika anaknya terbunuh, apapun sebabnya, dan Ki Ajarpun berbuat seperti itu, bukan seorang yang waskita dan bijaksana”

Wajah Ki Ajar Respati menjadi merah, sebuah tarikan nafas yang dalam nampak lewat di lubang hidungnya, sementara Kiai Rancangbandang justru menundukkan kepalanya.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar Respati pun menggeretakkan giginya sambil berkata, “Setiap orang akan berusaha membela dan mempertahankan hidupnya, seperti setiap orang, yang marah dan mendendam karena anaknya dibunuh orang, agaknya kau pun berbuat seperti itu. Seperti yang kau katakan, tidak ubahnya dengan orang-orang kebanyakan, kau pun telah berbuat licik dan mencari jalan keselamatan dengan cara yang sangat memalukan, bukankah kau pernah berguru?, jika kau sayang akan nyawamu, kenapa kau tidak menarik senjatamu dan mempertahankan hidupmu dengan jantan, bukan merengek dengan menyentuh perasaan belas kasihan orang lain”

Darah Panon yang masih muda tiba-tiba menggelegak, ia sudah dilanda kemarahan, namun menghadapi sikap Ki Ajar Respati, maka kesabarannya itu rasa-rasanya menjadi luntur.

Karena itu, maka Panon pun kemudian menengadahkan dadanya sambil berkata, “Ki Ajar, aku hormati kau sebagai seorang yang lebih tua, bahkan sebagai ayah dan guruku, tetapi jika kau masih tetap tidak melihat kebenaran, maka apa boleh buat, aku bukan orang memiliki kelebihan dari orang lain, juga aku adalah orang biasa yang berusaha mempertahankan hidupku, itulah alasanku yang terutama kenapa aku membunuh anakmu, karena itu jika sekarang hidupku terancam, maka aku pun akan mempertahankannya sampai kemampuanku yang terakhir, jika aku mati dalam perjuanganku mempertahankan hidupku, maka guru tidak akan menyalahkan aku, karena aku gagal menjalankan tugasku”

“Bagus, itu adalah kata-kata ksatria” sahut Ki Ajar Respati. “Karena itu bersiaplah, kau akan mati sebagai lagi-laki, seperti juga anakku mati sebagai laki-laki, tetapi perlawananmu akan mempersulit jalan kematianmu”

“Aku tidak perduli” sahut Panon yang kehilangan kesabarannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Ajar masih berdiri sambil bertolak pinggang memandangi anak muda itu, namun kemudian ia pun melangkah maju sambil berkata, “Sebutlah nama orang tua dan gurumu itu di saat-saat kematianmu”

Panon tidak sempat menjawab, tiba-tiba saja ia melihat Ki Ajar telah meloncat menyerangnya, tangannya terjulur lurus mengarah ke dadanya dengan jari-jari yang terentang merapat siap untuk menyobek dadanya.

Panon berdesis melihat serangan itu, ia teringat pada serangan Sisik Sana dengan cara yang sama seperti yang dilakukan ayahnya, tetapi serangan Ki Ajar dibarengi dengan deru angin yang deras, sederas tata gerak yang menggetarkan jantung lawannya”

Tetapi Panon benar-benar telah bersiap, ia sadar bahwa tentu Ki Ajar Respati tidak akan melakukan kesalahan seperti Sisik Sana, apalagi serangan didasari dengan dendam dan kebencian yang menyala di hati orang tua itu.

Dengan sigapnya Panon menghindar, ia tidak berani mencoba-coba lagi, itulah sebabnya, maka demikian serangan itu meluncur sejengkal di depan dadanya, maka ia pun segera melakukan serangan balasan, ia berputar pada tumitnya, melintangkan kakinya, kemudian dengan gerak yang cepat ia memburu kearah yang sama sambil melontarkan serangan dengan kakinya.

Benar-benar serangan yang tidak terduga, itulah sebabnya Ki Ajar Respati mengerutkan keningnya, ia hanya bertindak cepat, karena itu ia pun segera memutar tubuhnya, merendah pada lututnya dan melindungi lambungnya dengan sikunya.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat, serangan Panon yang tiba-tiba itu telah membentur pertahanan Ki Ajar Respati sehingga keduanya telah terguncang.

Kiai Rancangbandang melihat benturan itu dengan hati yang tergetar, Panon adalah anak muda yang sebenarnya masih sangat belia untuk melawan Ki Ajar Respati, jika keduanya benar-benar telah membenturkan segenap kekuatannya, maka diluar sadarnya ia mencemaskan anak muda itu.

Tetapi yang dilihatnya adalah berbeda dengan yang dicemaskannya, ia melihat Panon tergetar surut satu langkah, namun ia juga melihat Ki Ajar Respati terpaksa terdesak mundur pula.

“Luar biasa” Kiai Rancangbandang berdesis.

Sementara itu ternyata Panon telah mempersiapkan dirinya untuk menyerang, tetapi dalam saat yang bersamaan serangan Ki Ajar Respati telah mendahuluinya, cepat dan benar-benar terarah pada bagian yang berbahaya, jari-jari yang mengembang rapat itu terjulur ke lehernya.

Panon dengan cekatan bergeser kesamping sambil mencondongkan tubuhnya, kemudian dengan tangannya ia langsung menghantam lawannya, tetapi lawannya sempat menggeliat dan berputar seperti pusaran, bahkan kemudian melintang dengan kaki terjulur lurus ke dada Panon.

Serangan ituun begitu tiba-tiba, sehingga Panon hanya menyilangkan kedua tangan di dadanya, dengan demikian maka sekali lagi terjadi benturan antara kedua kekuatan itu, dan sekali lagi mereka tergetar surut.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru, sekali-sekali salah satu pihak terlambat menghindar serangan lawannya, sehingga terlempar beberapa langkah, namun kedua-duanya seakan-akan memiliki kemampuan melenting seperti belalang, demikian mereka jatuh berguling, demikian mereka bangkit kembali.

Agaknya Ki Ajar Respati tidak mau memberi kesempatan sama sekali kepada anak muda itu, tetapi dengan demikian ia justru menjadi seolah-olah tergesa-gesa. Ketika serangannya gagal, maka Ki Ajar masih memburu dengan serangan keduanya, kakinya terjulur lurus, sehingga orang tua itu bagaikan meluncur dalam garis datar, namun Panon tidak membiarkan kepalanya terlepas karena serangan yang dahsyat itu, ia merendah sedikit, namun ia masih sempat menyambar kaki lawannya dan dengan mempergunakan kekuatan Ki Ajar sendiri, Panon melemparkan-nya dengan derasnya.

Ki Ajar agaknya telah kehilangan keseimbangan, ketika ia terjatuh di tanah, ia tidak dapat langsung berdiri, sekali ia terguling, tetapi sebelum ia sempat memperbaiki keadaanya, rasa-rasanya Panon lah yang kemudian terbang menerkamnya.

Ki Ajar Respati justru tetap pada keadaannya, sambil menelentang dengan kakinya, ia menyerang Panon yang sedang meluncur dengan kedua tangannya yang terjulur tepat ke lehernya.

Sentuhan kaki Ki Ajar yang dilambari dengan kekuatan yang luar biasa itu telah melemparkan Panon keudara, tetapi Panon tidak menjadi bingung dan kehilangan akal, sekali ia berputar dan ketika ia jatuh ke tanah, maka ia telah berdiri pada kedua kakinya yang kokoh.

Namun pada itu, Ki Ajar Respati pun telah berdiri pula, siap untuk menyerangnya.

Sekejap Panon berdiri termangu, Ia sudah mulai bertempur tanpa pertimbangan lagi, selain mempertahankan hidupnya, apapun yang akan terjadi, sama sekali sudah tidak dipertimbangkannya lagi, ia tidak mau mati sebelum ia menunaikan tugasnya, atau setelah ia berjuang dengan segenap kemampuan dari ilmu yang pernah diterimanya.

Ilmu yang sebenarnya belum pernah dipergunakan dalam pertempuran yang sebenarnya, antara hidup dan mati, bahkan yang dilakukannya dipadepokannya, di tempat terpencil di lereng Gunung Merbabu adalah sekedar latihan-latihan yang seakan-akan hanya seorang diri.

Kini menghadapi seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni yang sedang menuntut kematian anaknya yang dibunuhnya tanpa sengaja.

Tetapi Ki Ajar Respati tidak segera menyerangnya, meskipun matanya masih tetap membara, ia masih tetap berdiri di tempatnya.

Namun sejenak kemudian terdengar diantara desah nafas orang tua itu, berkata, “Panon, kau memang memiliki kemampuan dan ilmu gerak yang mengagumkan, kau mempunyai kecepatan bergerak jauh melampaui dugaanku, tetapi dalam benturan ilmu, bukan semata-mata ilmu geraklah yang menentukan, aku mempunyai ilmu yang dapat membuat kau luluh menjadi debu”

Panon masih tetap bersiaga sepenuhnya, sambil bergeser setapak ia menjawab, “Apapun yang akan Ki Ajar lakukan, aku tidak akan lari”

“Bagus, tetapi sebelum aku membenturkan ilmu keatas kepalamu, aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa ilmu yang bagaikan sekedar ceritera khayal itu memang ada”

Panon tidak menjawab, tetapi ia termangu-mangu ketika ia melihat Ki Ajar Respati memandang sekeliling kearah batu-batu padas yang berserakan.

“Lihat, hai anak muda yang sombong” ia berteriak lantang, “Kau akan pingsan melihat kemampuanku mempergunakan kekuatan cadangan”

Panon mengerti, bahwa Ki Ajar Respati akan mempergunakan kekuatannya, namun Panon sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan tiba-tiba ia pun mempersiapkan dirinya, membangunkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, kekuatan cadangan yang jarang nampak pada permukaan tingkah laku dan tindak tanduknya sehari-hari.

Sejenak Panon menunggu, yang dilihatnya kemudian benar-benar menakjubkan, Ki Ajar Respati berteriak sambil meloncat menghantam sebuah batu padas yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Akibatnya benar-benar menakjubkan, batu padas itu pun pecah berantakan.

Tetapi belum lagi pecahan batu-batu padas yang berhamburan itu terserak seluruhnya, sekali lagi terdengar gemeretak gigi dan benturan yang yang tidak kalah dahsyatnya, sebongkah lagi batu padas pecah berserakan pula menjadi debu, segumpal asap yang putih mengepul diantara debu yang berhamburan.

“Luar biasa” terdengar Kiai Rancangbandang berdesis kepada diri sendiri, bahkan Ki Ajar Respati pun justru berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat. Ia menyaksikan kepulan asap dan debu yang hanyut didorong oleh angin yang lembut dengan hati yang berdebar-debar.

Ternyata, sesaat setelah Ki Ajar Respati menunjukkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, maka Panon pun telah melakukan hal yang sama, ternyata ia pun berhasil memecahkan batu padas seperti yang dilakukan Ki Ajar Respati.

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam, tiba-tiba saja wajahnya yang tegang itu pun rasa-rasanya menjadi luluh dan lembut, dengan suara datar ia berkata, “Sangat mengagumkan anakmas, ternyata kau memiliki kemampuan yang tiada taranya, jauh diluar dugaanku”

Panon masih tetap bersikap hati-hati meskipun Ki Ajar Respati nampaknya tidak bersiap untuk menyerangnya.

“Ki Ajar” berkata Panon, “Aku sudah siap untuk melakukan apa saja untuk membela hidupku dan demi tugas yang dibebankan kepadaku”

“Tidak ngger, kau tidak perlu berbuat apa-apa lagi”

“Aku tidak mengerti maksudmu, apakah Ki Ajar menunggu aku menjadi lengah dan menghantam punggungku dengan tiba-tiba selagi aku tidak menyangka?”

“Tentu bukan begitu ngger”

“Ki Ajar, aku sudah kehilangan kepercayaan kepadamu, jika kau tidak melihat bahwa kemampuanku tidak kalah dari apa yang dapat kau lakukan, maka kau tentu akan bersikap lain”

Wajah Ki Ajar menegang pula sejenak, lalu, “Anakmas, kenapa pandangan anakmas menjadi sedemikian pendeknya?”

“Ki Ajar, kau tidak akan dapat berpura-pura lagi, kau tidak perlu menunggu, kapan kau akan mencari kesempatan lagi untuk membunuhku”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam, ketika ia memandang Ki Rancangbandang, maka dilihatnya Ki Rancangbandang mengerutkan keningnya sambil berkata, “Jangan salah mengerti anakmas, sebenarnyalah kami tidak bermaksud buruk kepadamu”

“Sekarang kau dapat berkata begitu, tetapi apakah yang akan kau katakan jika mayatku telah tergolek disini?”

“Tentu tidak akan sampai sedemikian jauh anakmas”

“Aku tidak percaya, jangan berbuat licik”

Sejenak Ki Ajar Respati termangu-mangu dan dengan wajah yang muram ia berkata kepada adiknya, “Apakah yang aku lakukan sudah terlampau jauh”

Kiai Rancangbandang memandang Panon sejenak, ada sesuatu yang terpancar pada sorot matanya, dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku sudah memperhitungkan akibat ini”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, namun kemudian ia melangkah mendekati Panon sambil berkata, “Anakmas, adalah wajar sekali, bahwa anakmas yang masih muda itu telah kehilangan kepercayaan kepada kami yang tua-tua, apalagi alasanku untuk perkelahian itu pun sangat mendasar, karena aku telah kehilangan anakku” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jika masih ada sisa kepercayaanmu kepadaku, dengarlah, aku bermaksud baik, aku benar-benar telah mengikhlaskan anakku yang telah sesat jalan, jika aku memaksakan perkelahian ini, semata-mata karena kebimbanganku terhadap kemampuanmu”

“Kenapa Ki Ajar membimbangkan kemampuanku?, dan untuk apa?”

“Angger Panon, bukankah angger akan pergi ke Gunung Sewu?”

“Ya”

“Aku yakin bahwa angger tidak menyadari apakah yang ada disalah satu puncak Gunung itu, menurut perhitunganku angger tentu akan pergi ke Karangmaja, mengunjungi Istana yang suram itu”

“Kenapa Ki Ajar memperhitungkan demikian?”

“Tidak ada yang menarik diatas Gunung itu, selain sebuah istana kecil milik Pangeran Kuda Narpada yang telah ditinggalkannya beberapa lamanya”

Panon tidak menjawab, rasa-rasanya orang tua itu dapat menebak dengan tepat.

“Tetapi ketahuilah anakmas, bahwa istana kecil yang suram itu, ternyata telah menarik banyak perhatian, perhatian orang-orang sakti yang pilih tanding” ia berhenti sejenak, lalu, “Itulah sebabnya aku menjadi sangsi, apakah kepergianmu kesalah satu puncak bukit itu, bukan sekedar untuk membunuh diri dengan sia-sia, jika kau jatuh ke tangan siapapun yang kini berada di puncak yang sangat menarik perhatian itu, maka akibatnya akan menjadi sangat parah. Ternyata kau adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu yang mumpuni, karena itu, maka aku tidak menjadi sangsi lagi, bahwa kau pun pantas mendaki pegunungan itu”

Panon mengangguk-angguk jenenak, ia melihat kejujuran di mata Ki Ajar Respati, namun demikian, ia masih belum dapat menghapuskan perasaan curiganya, karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Apakah kau tidak sekedar menjebak aku?”

“Kenapa aku harus menjebakmu?” bertanya Ki Ajar, “Jika aku benar-benar ingin membunuhmu, aku masih mempunyai satu kesempatan meskipun licik, bukankah adikku dapat membantu jika aku memang ingin membunuhmu”

Panon Suka memandang Ki Ajar Respati dan Kiai Rancangbandang berganti-ganti, tetapi kecurigaan terhadap keduanya masih tetap memancar pada sorot matanya, kemudian ia berkata, “Apakah aku masih dapat membangunkan kepercayaanku lagi? Ki Ajar, apa yang terjadi adalah suatu kejutan yang tidak akan dapat dengan mudah aku lupakan”

“Aku mengerti anakmas, tetapi ketahuilah, jika aku masih juga mendendam dan benar-benar ingin membunuhmu, maka aku tentu akan membawa siapa saja yang akan dapat membantuku, jika karena kesombonganku, aku yakin akan dapat melakukannya, seperti dalam keadaan ini, maka aku akan memberikan isyarat kepada adikku, Kiai Rancangbandang, sebenarnya bahwa adikku, Rancangbandang memiliki ilmu yang lebih sempurna dari padaku, bahkan ilmuku itu pun bukan ilmu yang baik, karena aku menyusunnya sendiri. Sesuai dengan pengenalanku atas alam sekitarku, aku berbeda dengan adikku Rancangbandang, setelah ia bersamaku mempelejari ilmu yang kalang kabut, ia masih menemui bukan hanya seorang yang dapat menyempurnakan ilmunya, tetapi dua orang kakak beradik pula, itulah sebabnya, maka ilmunya menjadi lebih sempurna dan teratur. Dengan demikian kau akan dapat mempertimbangkan, bahwa meskipun kau mempunyai kelebihan karena kau tenaga muda, maka kau tentu masih harus membuat perhitungan tersendiri jika kau harus menghadapi kami berdua”

Panon termangu-mangu sejenak, tetapi kemudian ia yang justru menjawab, “Apapun yang akan terjadi, aku tidak pernah menyesal selama aku tetap merasa berjalan diatas jalan yang benar menurut keyakinanku atas petunjuk dan didasari nasehat guruku”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, namun dalam pada itu Kiai Rancangbandang yang menyahut, “Angger Panon Suka, tentu saja yang pertama-tama kami harus minta maaf, penilaian angger terhadap kami memang dapat kami mengerti, tetapi, cobalah menangkap kejujuran atas keterangam kami. Aku dan kakang Ajar Respati bersepakat untuk mengetahui, sampai dimana bekal yang kau bawa untuk mendaki Gunung Sewu dalam keadaan seperti sekarang ini, hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang, dan kini kami telah mengetahui bahwa angger Panon Suka tidak perlu dicemaskan lagi, karena itulah maka kami akan dapat melepaskan anakmas untuk pergi ke Gunung Sewu” Kiai Rancangbandang berhenti sejenak, lalu, “Agar anakmas mempercayai kami, maka aku dapat membertitahukan bahwa aku telah melihat beberapa orang yang nampaknya meyakinkan telah naik ke Gunung Sewu, itu pun yang melalui jalur ini, mungkin dari jalur lain, beberapa orang telah naik pula dengan kepentingan yang sama yang tidak begitu aku ketahui”

Panon menjadi bimbang.

“Dengarlah anakmas” Kiai Rancangbandang melanjutkan, “Yang pasti aku ketahui, memilik ciri-ciri lahiriah yang pernah aku kenal adalah mereka yang berasal dari perguruan Guntur Geni”

Panon mengerutkan keningnya, gurunya memang pernah menceritakan beberapa perguruan yang terakhir dikenalnya, dan gurunya memang pernah menyebut nama perguruan itu, Guntur Geni, tetapi Panon tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang perguruan itu, karena gurunya tidak banyak menceritakannya.

“Apakah kau pernah mendengar nama perguruan itu?” bertanya Ki Ajar Respati.

Panon mengangguk kecil, jawabnya, “Aku pernah mendengar namanya, hanya mendengar saja tanpa pengertian apapun tentang perguruan itu”

“Apakah gurumu tidak pernah mengatakan apapun juga tentang perguruan itu?”

Panon menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Guru hanya pernah menyebutkan nama beberapa perguruan hanya itu”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, agaknya Panon benar-benar seorang yag masih belum berpengalaman, bahkan gurunya pun tidak banyak mengetahui lingkungan yang keras pada saat-saat terakhir dari perguruan-perguruan yang tersebar.

“Mungkin guru anak muda ini menempa diri tanpa tuntunan siapapun juga seperti aku” berkata Ki Ajar Respati di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak mengatakannya kepada Panon.

Dalam pada itu, Panon telah mulai mencoba untuk mempercayai kata-kata Kiai Rancangbandang, meskipun betapapun kecilnya, masih juga terpercik kecurigaannya kepada orang tua itu.

“Karena itu anakmas” berkata Kiai Rancanbandang, “Perjalanan ke Gunung Sewu memang bukan perjalanan tamasya”

Panon mengangguk-angguk.

“Jika anakmas sudah siap menghadapi setiap kemungkinan, maka demikian adanya bahaya yang barangkali akan dihadapi oleh anakmas, karena aku kira apa yang akan anakmas lakukan tentu akan banyak sisip dari dugaanku”

“Apakah yang Kiai duga dari perjalananku ini?”

Kiai Rancangbandang memandang Ki Ajar sejenak, lalu katanya, “Angger Panon Suka, sebenarnyalah telah tersebar berita diantara orang-orang yang disebut sakti, seperti orang-orang dari perguruan Guntur Geni dan mungkin dari perguruan lain, bahwa istana Pangeran Kuda Narpada telah ditinggalkan oleh penghuninya, maksudnya adalah Pangeran Kuda Narpada sendiri, yang tinggal adalah isterinya saja dan anak gadisnya, ternyata bahwa istana itu telah banyak menarik perhatian, bukan janda pangeran itu atau puterinya, tetapi apa yang mungkin ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Narpada, sekali lagi, yang mungkin ditinggalkan, tetapi mungkin pula di istana itu tidak akan pernah diketemukan apapun juga”

Panon Suka menjadi berdebar-debar, ternyata bahwa sesuatu memang benar terjadi di istana itu, dan itulah agaknya maka ia memang seharusnya datang lebih cepat.

“Tetapi nampaknya guru tidak tahu bahwa hal serupa itu telah terjadi” berkata Panon di dalam hatinya

“Ternyata guru tidak pernah mengatakan sesuatu yang bersangkutan dengan kedatangan orang-orang itu, apalagi guru memang tidak pernah pergi dari padepokannya yang terpencil itu”

Dalam pada itu, Kiai Rancangbandang pun berkata selanjutnya, “Itulah anakmas, apa yang aku ketahui tentang Gunung Sewu, benar-benar suatu daerah yang kurang menyenangkan untuk dikunjungi oleh siapapun juga” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi maafkan bahwa aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau juga termasuk orang-orang yang dipengaruhi oleh keinginan tentang sesuatu yang mungkin ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Narpada”

Panon menundukkan kepalanya, ia amenjadi bingung, ia memang merasa bertanggung jawan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh gurunya, tetapi apakah niat gurunya itu tidak termasuk dalam sifat tamak seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain?.

“Menilik sifar dan watak guru, tentu tidak, tetapi kenapa guru juga ingin mendapatkannya seperti orang-orang lain?” pertanyaan itu telah membelit hatinya, namun tiba-tiba wajah Panon menjadi terang, hampir diluar sadarya ia bergumam, “Aku ingat, Guru pernah menyebutkan bahwa jika orang lain mendahuluinya dan berhasil, maka akibatnya akan berkepanjangan, mungkin Demak harus menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh dan bahkan mungkin akan mengguncangkan ketenangan negeri yang baru berkembang ini”

“Apa katamu ngger?” bertanya Ki Ajar sambil bergeser mendekat.

Panon termangu-mangu, Kiai Rancangbandang mendekatinya pula sambil bertanya, “Apakah gurumu mencemaskan akibatnya jika ada orang lain mendahuluimu?”

“Ya, Kiai”

“Siapakah gurumu?”

“Wirit, Kiai Wirit”

Kiai Rancangbandang dan Ki Ajar mengerutkan keningnya, nama itu agaknya memang belum pernah didengarnya, karena itu sambil menggelengkan kepalanya Ki Ajar berkata, “Aku belum pernah mendengarnya, tetapi jika benar niat gurumu seperti yang kau katakan, maka kedatanganmu ke istana itu mempunyai maksud yang berbeda dengan orang-orang lain”

“Apakah maksud orang lain datang ke tempat itu?”

“Mereka telah didorong oleh ketamakan dan nafsu untuk berkuasa, karena yang mereka cari adalah lambing kekuasaan, adalah tepat sekali kata gurumu, bahwa jika orang lain berhasil lebih dahulu dari padamu, maka mungkin sekali akan timbul malapetaka bagi Demak”

Panon Suka mengerutkan keningnya, sementara Kiai Rancangbandang meneruskan, “Karena itu angger, jika demikian pesan gurumu, cobalah melakukan tugasmu sebaik-baiknya, meskipun tugas itu agaknya akan terasa sangat berat karena kehadiran orang-orang yang telah mendahuluimu mendaki Gunung Sewu”

Panon mengangguk-angguk, kepercayaannya kepada kedua orang tua itu perlahan-lahan telah tumbuh kembali, bahkan ia pun kemudian merasakan bahwa kedua orang tua itu sangat mencemaskan dirinya, jika ia tergesa-gesa tanpa mempersiapkan diri sebaik-baiknya mendaki Gunung Sewu yang telah berubah menjadi wingit, bukan karena hantu, jin dan lelembut, tetapi agaknya beberapa orang memang telah mendahuluinya pergi ke istana yang disebutkan oleh gurunya.

Selagi ia termangu-mangu, maka terdengarlah Ki Ajar Respati berkata, “Angger Panon Suka, ternyata kemampuan oleh kanuraganmu sudah memadai, jika terpaksa kau harus bertempur, maka kau memiliki bekal yang cukup, tetapi masih dengan keterangan, apabila kau berperang tanding, tetapi mungkin lawanmu tidak hanya seorang atau dua, apalagi orang-orang Guntur Geni memiki senjata yang sulit untuk dilawan”

“Apakah senjata mereka Kiai?”

“Racun, mereka adalah orang-orang yang bergelimang racun tajam yang disadapnya dari bisa ular dan racun tumbuh-tumbuhan”

Panon termenung sejenak, kini ia menyadari sepenuhnya bahwa perjalanannya memang berbahaya.

“Ki Ajar” katanya kemudian, “Guruku sudah memberi aku bekal untuk mencegah keracunan, Guru memberi aku obat-obatan yang dapat aku usapkan pada luka atau tempat yang terkena racun, tetapi guru juga memberikan obat yang dapat aku telan, obat yang sudah diramu menjadi seperti butiran buah jarak yang sudah masak”

Ki Ajar mengangguk-angguk, katanya, “Jika demikian, bekalmu memang sudah lengkap”

Namun demikian agaknya Kiai Rancangbandang masih meragukannya, karena itu maka tiba-tiba saja ia berkata kepada Ki Ajar, “Kakang, aku tidak sampai hati melepaskan angger Panon Suka pergi seorang diri menunaikan tugas yang gawat, agaknya gurunya yang sudah lama tidak mengetahui keadaan Gunung Sewu itu tidak menyadari, betapa bahaya sudah menunggu muridnya”

“Jadi?”

“Aku akan mengantarkannya kakang, mungkin aku pun tidak banyak berarti baginya, aku hanya akan mengantarkan sampai ditempat yang dituju, kemudian, jika mungkin, aku akan kembali mendahuluinya, apakah kakang sependapat?”

Ki Ajar Respati termangu-mangu sejenak, kemudian katanya, “Baiklah adi, tetapi dengan demikian kau pun telah melintas di daerah yang dapat membahayakan dirimu sendiri, disaat kau berangkat, kau mempunyai seorang kawan yang memiliki ilmu yang mumpuni, tetapi kelak jika kau benar-benar kembali mendahuluinya, maka kau akan berjalan seorang diri”

“Tetapi tidak akan banyak orang yang menghiraukan perjalananku kakang, meninggalkan Gunung Sewu tidak akan mendapat perhatian seperti saat kita mendaki.”

“Tetapi baiklah, kau pun harus mempersiapkan dirimu melawan setiap kemungkinan, juga melawa racun”

“Aku membawa keris Kiai Tratagnaga, mudah-mudahan akan dapat membantuku melawan racun jika pada suatu saat aku terpaksa bersentuhan dengan orang-orang Guntur Geni atau dari perguruan yang lain”

Ki Ajar Respati mengangguk-angguk, katanya, “Agaknya Kiai Tratagnaga sudah cukup bagimu untuk melawan segala macam racun dan bisa” ia berhenti sejenak, lalu katanya kepada Panon Suka, “Angger Panon Suka, agaknya kau pun perlu mempersiapkan dirimu lebih baik daripada sekedar membawa obat-obatan untuk melawan racun dan bisa”

“Apakah yang harus aku lakukan Ki Ajar?”

Ki Ajar termangu-mangun sejenak, agaknya ia sedang dicengkam oleh keragu-raguan, baru sejenak kemudian ia berkata, “Anakmas Panon, aku mempunyai sesuatu yang berguna untuk mengebalkan diri terhadap racun, tetapi itu adalah milikku satu-satunya, jika aku sekarang bermaksud meminjamkannya kepadamu, maka sudah barang tentu aku berharap bahwa benda itu akan dapat kembali kepadaku kelak”

Panon masih termangu-mangu.

“Anakmas, apakah kau bersedia meminjamnya?”

“Ki Ajar” Jawab Panon, aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih, sudah barang tentu aku akan senang sekali meminjamnya, aku berjanji untuk mengembalikannya kelak kepada Ki Ajar, tetapi aku masih ragu-ragu, apakah aku akan dapat turun lagi dari Gunung Sewu, menilik keadaannya yang semakin gawat”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Jika kau harus tetap tinggal disalah satu puncak pegunungan itu, maka aku pun akan mengikhlaskan, tetapi sudah barang tentu kita berharap bahwa perjalananmu akan mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung”

Panon menarik nafas dalam-dalam.

“Inilah anakmas” berkata Ki Ajar, “Pakailah kalung rantai berbandul tali ular bersisik seribu”

“Ular bersisik seribu?” bertanya Panon.

“Bukan sebenarnya ular bersisik seribu anakmas, tetapi batu itu disebut taji ular bersisik seribu, batu yang memiliki kekuatan ajaib untuk melawan racun dan bisa, ada beberapa jenis batu serupa ini, misalnya Jumerut Sisik Waja dan Akik Naga Keling dari perguruan Cengkir Pitu dan yang sebagai ciri salah satu perguruan di daerah timur adalah Cula dari Gunung Semeru yang disebut Cula Kumbang Kuning bermata berlian”

Panon mengangguk-angguk, ia memperhatikan keterangan itu dengan seksama, ia memang belum pernah mendengarnya dari gurunya, keterangan mengenai bebatuan yanga dapat melawan bisa.

“Selebihnya” Ki Ajar Respati meneruskan, “Ada semacam Batu Mirah Sarpa Suri dan Watu Kuning Ula Cendani dari ujung barat, dan masih banyak lagi ceritanya tentang batu-batu aneh yang memiliki kemampuan untuk menawarkan bisa, diantara semuanya itu adalah batu yang disebut taji ular bersisik seribu, atau yang lazim disebut Akik Jalu Naga Sisik Sasra”

Panon masih mengangguk-angguk, dengan demikian ia menjadi semakin yakin bahwa sebenarnyalah kedua orang tua-tua itu tidak bermaksud buruk terhadapnya.

“Nah angger Panon Suka,” berkata Kiai Rancangbandang, “Kau dapat meminjam Jalu Naga Sisik Sasra, aku sudah membawa keris Kiai Tratagnaga, mudah-mudahan jika kita bertemu dengan berbagai macam racun dan bisa, kita dapat mengelakkan diri, sedang obat-obatan yang kau bawa dapat juga dipergunakan dimana perlu, dan mungkin ada orang lain yang memerlukannya”

“Terima kasih Kiai, tetapi apakah dengan demikian aku tidak mengganggu Kiai?”

“Sudahlah, aku memang ingin melihat Gunung Sewu, biarlah Kakang Ajar Respati menunggu rumah”

“Ya, dan aku masih akan mencari kuburan anakku di daerah ini, mudah-mudahan aku dapat menemukannya”

Panon masih termangu-mangu, dan agaknya Ki Ajar Respati mengerti apa yang dipikirkannya, sehingga ia pun berkata, “Lupakanlah anakmas, Sisik Sana telah memetik buah dari tanamannya sendiri, kau adalah sekedar lantaran”

“Aku mohon maaf atas semua kelancanganku Ki Ajar”

Ki Ajar tersenyum, dilepaskannya rantai yang terbuat dari baja putih, dengan bandul sebuah batu yang disebutnya Akik Jalu Naga sisik Sasra, batu yang berwarna putih kebiru-biruan yang dipusatnya seolah-olah terlukis sisik yang berlapis-lapis.

“Terimalah, kau dapat mempergunakan sampai tugasmu selesai, sudah tentu aku berharap kau dapat kembali dan mengembalikan batu itu kepadaku” Ia berhenti sejenak, lalu katanya kepada Kiai Rancangbandang, “Jika kau akan mengikutinya, pergilah. Kau dapat mendahuluinya, tetapi jika perlu kau akan menjadi kawan yang dapat mengisi kejemuan di malam-malam yang sepi di atas Gunung Sewu yang wingit itu”

“Aku mohon diri kakang, aku akan pergi bersama angger Panon Suka yang agaknya ingin segera sampai ke atas Gunung Sewu”

Panon tidak dapat menolak, ada sesuatu kegembiraan bahwa ia mendapatkan seorang kawan, tetapi ada juga kecemasan bahwa tugasnya akan diketahui oleh orang lain.

Selain tugas itu sendiri, maka ia harus melakukan beberapa pesan gurunya, ia harus berhenti di Lembah Payung, menitipkan kudanya dan kemudian hadir di padukuhan Karangmaja sebagai seseorang yang miksin yang sedang merantau, bahkan seorang peminta-minta.

Namun Panon Suka tidak segera mengemukakan keberatan-keberatan itu, mungkin di perjalanan ia menemukan cara yang yang sebaik-baiknya untuk menyampaikan niat itu kepada Kiai Rancangbandang.

Demikianlah maka Panon Suka dan Kiai Rancangbandang pun segera meninggalkan hutan itu pergi ke pegunungan berpuncak seribu, pegunungan yang membujur ke barat di pinggir selatan pergunungan yang belum banyak disentuh kaki manusia, selain daerah-daerah tertentu yang lebih subur dari dataran-dataran tinggi yang lain.

Memang ada terbersit sedikit kecurigaan Panon Suka, bahwa kepergian Kiai Rancangbandang adalah karena ketamakannya pula untuk ikut serta memasuki istana terpencil itu, namun ada semacam tangkapan di hati nuradi Panon, bahwa Kiai Rancangbandang bukanlah seorang yang dikuasai oleh nafsu semata-mata, bahkan tingkah lakunya menunjukkan sifatnya yang jujur dan rendah hati.

Sepeninggal Panon Suka dan Kiai Rancangbandang, Ki Ajar Respati duduk termenung, barulah kemudian terasa betapa pahitnya melepaskan seorang anak laki-laki, meskipun nalarnya dapat mengikhlaskannya, tetapi amat sulitlah baginya untuk mengatur perasaannya.

“Tetapi Panon Suka tidak bersalah” ia berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan ia selamat di perjalanan, agaknya benar kata gurunya, jika orang lain yang mendahuluinya, maka akibatnya akan sangat buruk bagi Demak”

Tetapi dalam kesepian dan kepahitan itu, Ki Ajar masih tetap berusaha menguasai dirinya, meskipun demikian diluar sadarnya terasa pelupuk matanya menjadi basah.

“Ah….!” Ia meloncat berdiri, “Aku adalah seorang laki-laki Namun penyesalan yang tiada taranya telah membentur dinding hatinya, ia adalah seorang ajar yang oleh orang-orang di sekitarnya dianggap mempunyai kelebihan, baik kemampuan wadagnya maupun dalam olah kajiwan, tetapi ia tidak berhasil menguasai anaknya sendiri yang justru sudah bertindak melampaui batas, kematian anaknya sudah tentu sebagian adalah karena kesalahannya ketidak mampuannya membentuk anaknya menjadi seorang yang berbuat baik.

“Mudah-mudahan Allah Yang Maha Pengampun memaafkan kedunguanku, anak yang dipercayakan kepadaku, ternyata telah tersia-sia dan bahkan telah diambil-Nya kembali”

Ki Ajar Respati terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, “Apakah yang dapat aku katakan kepada orang lain” Gumamnya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Ajar tersentak, ia mendengar langkah orang mendekatinya dengan hati-hati, karena itu maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadap segala kemungkinan.

Meskipun demikian ia masih tetap duduk pada tempatnya.

Ki Ajar Respati pun kemudian terkejut ketika ia melihat dua orang datang mendekatinya perlahan-lahan, dengan wajah yang pucat dan ketakutan.

Belum lagi Ki Ajar Respati bertanya sesuatu, kedua orang itu telah berjongkok dihadapannya da menunduk dalam-dalam, sehingga dahinya menyentuh tanah.

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, kedua orang itu adalah muridnya yang telah pergi meninggalkannya bersama anaknya, Watu Sampar dan Bandung Limpat.

“Guru” terdengan suara Bandung Limpat terputus-putus, “Kami telah menghadap guru lagi setelah kami meninggalkan perguruan beberapa lamanya, kami telah melakukan kesalahan yang tidak terhingga, seandainya demgam demikian kami harus dihukum, maka kami tidak akan ingkar, bahkan hukuman mati sekalipun”

Ki Ajar Respati menarik nafas dalam-dalam, sejenak ia justru terbungkam, rasa-rasanya sesuatu telah menyumbat tenggorokannya.

Namun ia berkata dengan nada yang datar, “Anak-anakku, aku sudah mengetahui segala-galanya, anak muda yang bernama Panon Suka, yang telah membunuh anakku, telah datang kepadaku dan mengatakannya segala-galanya”

“Ya guru, kesalahan kamilah, bahwa kami tidak tidak dapat mencegah peristiwa itu terjadi”

“Apa yang dapat kau lakukan terhadap anak muda yang bernama Panon Suka itu? Dalam olah kanuragan, kalian sama sekali bukan tandingannya, aku pun masih harus belajar kepadanya dalam beberapa hal”

“Setidak-tidaknya kami dapat memperingatkan Sisik Sana untuk tidak melakukannya, tetapi justru kami terlibat pula kedalamnya”

“Kalian memang telah tersesat, ilmu yang tidak kalian pelajari dengan baik itu, kalian anggap sudah dapat kalian pergunakan, apalagi dipergunakan di jalan yang sesat” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Namun agaknya, kalian telah mendapat pelajaran yang sangat berharga dengan korban yang sangat mahal”

“Kami tidak akan menghindar dari hukuman apapun guru” berkata Watu Sampar pula.

“Hukuman yang paling tepat adalah hukuman yang tumbuh dari hatimu sendiri, penyesalan dan kemudian bertaubat, bukan sekedar penyesalan untuk sesaat, dan kemudian perbuatan itu akan terulang lagi”

“Kami menyesal semua tingkah laku kami, dan kami mengatakan dihadapan guru, bahwa kami telah bertaubat sampai akhir hayat kami, jika guru meragukan, maka kematian yang dekat akan menjadi pertanda pertaubatan kami yang abadi”

“Jika aku membunuh kalian agar kalian tidak dapat berbuat salah lagi, maka itu bukanlah penyelesaian yang paling baik buat kalian, dengan demikian maka akhir dari segala kesalahan tidak berlandaskan pada tingkah delam ketetapan hati, tetapi justru dalam keragu-raguan dan tanpa kepastian”

Kedua muridnya itu pun tidak menjawab, rasa-rasanya dadanya memang telah tersumbat oleh penyesalan yang tiada taranya, kesesatan mereka telah merampas taruhan yang paling mahal, justru anak laki-laki gurunya sendiri.

“Sudahlah” berkata Ki Ajar Respati kemudian, “Apakah kau telah menguburkan mayat Sisik Sana?”

“Ya guru”

“Nah tunjukanlah kepadaku, aku akan mengambilnya dan membawanya kepadukuhan adikku Kiai Rancangbandang, aku akan menyembahyangkan dan menguburkannya di padukuhan itu, agar makamnya terpelihara, setidak-tidaknya merupakan kenangan bahwa aku pernah mempunyai anak yang bernama Sisik Sana, yang pada hidupnya telah memilih jalan yang sesat, dengan demikian akan menjadi petunjuk bagi setiap orang yang mengenalnya dan mengenalku, bahwa aku adalah orang tua yang gagal manjadi seorang ayah yang baik, mungkin aku berhasil dibidang yang lain, dalam olah kanuragan dan kajiwan, pendekatan kepada Yang Maha Kuasa, pergaulan antara sesama, tetapi justru yang satu itu, mengasuh anak-anakku, aku telah gagal”

Kedua muridnya yang telah bertaubat itu sama sekali tidak menyahut, sehingga Ki Ajar Respati meneruskan, “Marilah, jangan terlampau lama terombang-ambing oleh perasaan yang tidak menentu, marilah kita berbuat sesuatu”

Ketika Ki Ajar Respati berdiri, maka kedua muridnya itu pun berdiri pula, Bandung Limpat pun kemudian menunjukkan tempat yang telah dintandainya sebagai kubur kawan seperguruannya dan anak laki-laji dari gurunya itu.

Sementara itu Panon Suka dan Kiai Rancangbandang memacu kudanya menyelusuri jalan sempit di pinggir hutan yang tidak begitu lebat, namun kudanya tidak dapat berlari terlampau cepat karena jalan yang agak sulit dan sempit.

Ketika mereka kemudian sampati ke jalan yang agak lebar, maka mereka pun tidak beriringan lagi, tetapi mereka berkuda bersama-sama.

Dalam pada itu maka Kiai Rancangbandang bertanya, “Angger Panon Suka, keteranganmu yang hanya selintas mengenai rencanamu pergi ke Gunung Sewu telah menarik perhatianku, jika angger telah mendapat perintah dari guru angger, maka perintah itu benar-benar sangat menarik perhatian”

“Ya Kiai” jawab Panon.

“Tetapi sayang, bahwa aku belum mengenal gurumu yang bernama Ki Wirit itu, sehingga aku tidak dapat mengambil kesimpulan yang pasti”

“Jadi Kiai curiga juga bahwa yang dikatakan guru itu hanya sekedar lamis belaka”

“Bukan maksudku berkata demikian anakmas, tetapi aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri”

Panon Suka menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kiai, jika Kiai percaya kepadaku, Kiai tidak perlu ragu-ragu lagi tentang guruku, mungin aku adalah orang yang terlibat langsung di dalamnya, sehingga aku tidak akan dapat melihat kebenaran dari kata-kataku sendiri, namun demikian aku telah berketetapan hati untuk melakukan perintah guruku sebaik-baiknya”

“Tetapi angger, Angger harus melakukan perintah itu sebaik-baiknya, sebenarnya aku pun mempercayaimu, bahkan aku berpendapat, jika sekiranya gurumu sekedar didorong oleh ketamakan dan nafsu, maka, ia tentu dengan tergesa-gesa pergi ke Gunung Sewu dan mengambilnya sendiri di istana kecil yang terpencil itu, mendahului orang lain” Kiai Rancangbandang berhenti sejenak, lalu, “Aku tidak dapat membayangkan, betapa tinggi ilmu gurumu, jika muridnya yang masih sangat muda itu telah mampu berbuat seperti yang anakmas lakukan”

“Ah, Kiai terlalu memuji”

Kiai Rancangbandang menyahut, “Bukan sekedar memuji anakmas, aku sudah melihat kenyataan yang hampir diluar kesanggupan nalarku, aku pernah melihat anak-anak muda yang memiliki ilmu yang mumpuni, tetapi anakmas mempunyai kelebihan”

“Kiai mamandang kemampuanku berlebih-lebihan, jangan-jangan Kiai akan kecewa jika mengetahui tentang diriku yang sebenarnya, yang tidak lebih dari anak padesan yang belajar sekedar ilmu untuk membela diri pada seorang tua yang tinggal di gubug kecil di sebelah padukuhanku”

  -oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 5

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Satu Tanggapan

  1. Yang jilid 5 kok tidak ada

Tinggalkan komentar