JDBK-36


<<kembali | lanjut >>

JARANG sekali aku melihat saat-saat menjelang matahari terbit seperti ini” berkata Ki Bekel. “Biasanya aku masih melingkar di pembaringan. Bahkan sampai matahari hampir mencapai puncaknya. Jika hari hujan, aku menjadi lebih parah lagi. Hampir sehari-harian aku berada di dalam bilik sambil mendengkur”

“Ki Bekel dapat menghitung, sampai umur Ki Bekel sekarang ini, Ki Bekel memerlukan waktu berapa tahun untuk tidur dan berapa tahun terjaga”

“He?”

“Jika kebiasaan Ki Bekel tidur semalam dan separo hari, berarti tiga perempat masa hidup Ki Bekel berada di pembaringan. Jika umur Ki Bekel sekarang misalnya empat puluh lima, maka Ki Bekel telah tertidur selama tigapuluh tiga tahun lebih dan terjaga kurang dari duabelas tahun”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah itu berarti bahwa hidupku itu sia-sia?”

“Jika saja Ki Bekel dapat memanfaatkan waktu Ki Bekel yang pendek itu dengan sebaik-baiknya”

“Ternyata aku telah banyak sekali kehilangan karena kemalasanku. Demikian pula para bebahu, orang-orang padukuhanku dan bahkan sebagian besar dari anak-anak mudanya”

“Tetapi sekarang Ki Bekel sudah memulainya untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya”

Ki Bekel itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Terima kasih. Selama ini aku tidak pernah memikirkan, berapa tahun aku tidur dan berapa tahun aku terjaga”

Wijang dan Paksi pun ikut tertawa pula.

Sebelum embun tuntas dihisap sinar matahari yang mulai memancarkan sinarnya yang kekuning-kuningan, Ki Bekel, Wijang dan Paksi sudah berada di gumuk kecil. Ternyata anak-anak muda padukuhan itu pun benar-benar berusaha untuk dapat bangun lebih pagi. Meskipun kedatangan Ki Bekel lebih dahulu dari mereka, tetapi jarak waktunya tidak terlalu jauh.

“Maaf, Ki Bekel” berkata Trima, “kami terlambat. Kami menunggu yang satu dengan yang lain, sehingga kami menjadi kesiangan”

“Kami juga baru saja datang” berkata Ki Bekel.

“Kita beristirahat sebentar” berkata Wijang kemudian. “Sebentar lagi kita akan mulai dengan kerja besar kita”

Anak-anak muda itu pun kemudian telah duduk di atas batu-batu padas. Ternyata jumlah mereka bertambah lagi. Sementara itu anak muda yang bertubuh agak pendek, kurus dan perutnya buncit ada pula di antara mereka. Anak muda itu berhasil meyakinkan ayahnya, bahwa air itu akan dapat menjadi harapan di masa datang bagi padukuhan mereka.

Demikianlah, setelah beristirahat sejenak, maka Wijang pun telah mengajak kawan-kawannya untuk mulai dengan kerja mereka. Wijang dan Paksi telah memberikan contoh bagaimana mereka harus menghilangkan sekat pada ruas-ruas bambu yang akan mereka pergunakan sebagai talang air.

“Kita membuat satu jalur saja lebih dahulu, Paksi” berkata Wijang.

“Kenapa tidak lima sama sekali?”

“Kita berada di sini hanya sampai esok. Jika kita membuat lima jalur sekaligus, tentu tidak akan selesai. Tetapi jika kita membuat satu sebagai contoh sehingga talang itu benar-benar mengalir, mereka akan dapat meneruskannya sendiri”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Ki Demang nampaknya juga ingin agar kita pergi. Tetapi tanpa kita, anak-anak muda itu akan dapat bekerja sendiri”

Demikianlah atas kesepakatan itu, maka Wijang pun telah memberitahukan kepada anak-anak muda itu untuk menyelesaikan satu jalur saja lebih dahulu.

“Kenapa tidak seluruhnya saja?” bertanya Trima.

“Kita akan membuat contohnya lebih dahulu. Jika besok kami meneruskan pengembaraan kami, maka kalian akan dapat membuat jalur-jalur yang lain. Bahkan mungkin kalian tidak hanya ingin membuat lima. Tetapi lebih dari itu. Bahkan kemudian kalian dapat membuat parit yang cukup besar”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun Trima pun kemudian bertanya, “Kenapa kau tidak tinggal di sini lebih lama lagi sehingga setidak-tidaknya kerja kami yang mula-mula ini selesai seluruhnya?”

“Sebenarnya aku sangat ingin untuk tinggal beberapa lama di sini. Tetapi ada sesuatu yang memaksa kami pergi”

“Ki Cakrajaya?”

“Tidak. Seandainya Ki Cakrajaya menginginkan aku pergi, aku dapat saja menolaknya. Tetapi ada persoalan yang harus kami selesaikan”

Anak-anak muda itu memang tidak akan dapat menahan kedua orang pengembara itu untuk lebih lama tinggal. Hari itu, Wijang dan Paksi bersama-sama anak-anak muda yang jumlahnya semakin banyak itu telah bekerja keras untuk membuat satu jalur talang air sampai ke sawah Mbah Rejeb.

Mereka mempunyai waktu dua hari dengan hari berikutnya, hari terakhir Wijang dan Paksi berada di padukuhan itu. Hari itu, sebagian besar dari satu jalur talang air sudah siap. Esok mereka tinggal merangkai sehingga air akan mengalir di sawah Mbah Rejeb.

Ternyata anak-anak muda itu justru menjadi semakin gembira dengan kerja mereka. Sebagian dari mereka masih sempat bermain dengan air. Di teriknya panas matahari, maka air itu dapat membuat mereka menjadi sedikit sejuk.

Seperti di hari sebelumnya, di tengah hari mereka beristirahat untuk makan. Ki Bekel yang ada di antara mereka, ikut makan pula dengan lahapnya. Meskipun hanya sekedar sayur keluwih serta buntil lompong ungu, namun terasa alangkah nikmatnya. Ketika bayangan pepohonan sudah menjadi semakin panjang karena matahari yang menjadi semakin rendah di sore hari, maka Wijang pun bertanya kepada Ki Bekel, “Sebentar lagi matahari akan terbenam. Apakah kita akhiri kerja kita hari ini, Ki Bekel?”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ditengadahkannya kepalanya sambil berdesis, “Begitu cepatnya matahari mengarungi langit hari ini”

Seorang anak muda yang berdiri di sebelahnya  pun memandang langit sambil berkata, “Hari ini terasa terlampau pendek. Aku belum merasa letih”

Paksi tersenyum sambil menyahut, “Agaknya kerja ini semakin terasa menarik, sehingga kalian menjadi lupa waktu”

Seorang anak muda yang lain pun berkata, “Berbeda dengan kemarin. Rasa-rasanya hari ini memang terlalu pendek”

Wijang lah yang menyahut, “Kita simpan tenaga kita untuk esok. Esok kita akan bekerja lagi sepanjang hari. Jika lusa kami pergi meninggalkan padukuhan ini, maka kalian masih akan melanjutkan kerja ini. Bukan sekedar membuat talang air empat atau lima lanjur, tetapi arah pandangan ke depan kalian adalah sebuah parit yang cukup besar. Parit kalian yang rusak itu akan dapat menampung air dan membawanya ke tengah-tengah bulak setelah kalian perbaiki”

Anak-anak muda yang bekerja membuat talang air itu pun kemudian menghentikan kerja mereka. Mereka pun kemudian membersihkan tangan dan kaki mereka dengan air yang bening dan segar.

“Besok kita datang pagi-pagi seperti hari ini” berkata Paksi.

“Kami akan datang lebih pagi” berkata seorang anak muda.

Yang lain  pun menyambung, “Kita harus menyelesaikan talang air yang satu itu sebelum kalian pergi”

“Bagus” sahut Ki Bekel. “Besok kalian harus datang lebih pagi dari kami”

Demikianlah sejenak kemudian, Ki Bekel serta anak-anak muda yang bekerja di gumuk kecil itu pun telah meninggalkan kerja mereka untuk dilanjutkan di keesokan harinya.

Berbeda dengan hari sebelumnya, hari itu mereka tidak merasa lelah sama sekali. Bahkan mereka merasa bahwa kerja mereka terlalu pendek. Tetapi seperti kemarin, Wijang berpesan agar anak-anak muda itu menggosok kaki dan tangannya dengan beras kencur.

“Tubuh kalian akan terasa hangat. Darah kalian akan mengalir dengan lancar sehingga perasaan letih akan hilang, setidak-tidaknya berkurang”

Wijang dan Paksi sendiri, demikian mereka sampai di rumah Ki Bekel, mereka pun langsung pergi ke pakiwan. Bergantian mereka mandi dan menimba air mengisi jambangan.

Setelah berbenah diri, maka mereka pun pergi ke serambi samping. Mereka tahu, Ki Bekel sedang duduk-duduk di serambi samping sambil minum minuman hangat.

“Kalian sudah mandi?” bertanya Ki Bekel.

“Sudah, Ki Bekel” jawab Wijang setelah duduk pula di serambi.

“Keringatku belum kering. Karena itu aku belum mandi”

Paksi lah yang menjawab, “Ki Bekel minum wedang jahe yang
masih panas. Keringat Ki Bekel tidak akan segera kering. Justru
akan menjadi semakin banyak”

Ki Bekel tertawa. Katanya, “Masih ada sisa-sisa kemalasan. Minumlah, anak-anak muda. Biarlah Nyi Bekel menyediakan”

“Sudah, Ki Bekel. Di serambi gandok sudah disediakan minuman kami”

“Benar?”

“Ya, Ki Bekel”

“Nah, duduklah. Biarlah kalian minum bersamaku di sini”

“Terima kasih, Ki Bekel. Kami justru akan mohon diri untuk pergi ke rumah Ki Demang. Bukankah hari ini kami diminta untuk datang? Ki Demang akan memberikan kenang-kenangan. Sebenarnya kami masih belum dapat menerima kenang-kenangan itu sekarang, karena kami masih akan melanjutkan pengembaraan. Kenang-kenangan itu apa  pun ujudnya, akan menjadi beban bagi kami. Tetapi adalah tidak sepantasnya kami menolak uluran tangan itu”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berkata kepada Wijang dan Paksi, bahwa pemberian kenang-kenangan itu hanya satu cara untuk mempercepat kepergian kedua orang pengembara itu. Tetapi Ki Bekel sempat menahan diri.

“Baiklah” berkata Ki Bekel. “Sampaikan kepada Ki Demang, Bahwa aku minta maaf karena aku tidak dapat mendampingi kalian. Aku masih ingin bermalas-malasan duduk sambil minum minuman hangat”

“Asal tidak sampai esok pagi” desis Paksi.

Ki Bekel tertawa. Wijang dan Paksi pun tertawa pula. Ketika langit menjadi buram, Wijang dan Paksi telah meninggalkan rumah Ki Bekel. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan. Kemudian melalui bulak pendek, mereka mencapai padukuhan induk.

Ternyata Ki Demang sudah menunggu. Bahkan Ki Demang sempat merasa gelisah. Jika kedua pengembara itu tidak datang ke rumahnya, mungkin sekali mereka akan menunda kepergiannya dari padukuhan yang kering dan gersang itu.

Namun demikian seorang pembantunya memberitahukan bahwa ada dua orang anak muda yang mencari Ki Demang, maka Ki Demang pun segera mengetahuinya, bahwa keduanya adalah pengembara yang harus diusirnya.

Ketika Wijang dan Paksi dipersilahkan duduk di pringgitan, maka pembantu di rumah Ki Demang itu sedang sibuk menyalakan lampu minyak di pringgitan, di pendapa, dan di setiap ruangan di rumah Ki Demang itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Demang pun telah menemui kedua orang pengembara itu di pringgitan. Dengan ramah Ki Demang itu pun bertanya, “Apakah kalian jadi pergi esok pagi?”

“Kami akan melanjutkan perjalanan lusa, Ki Demang. Besok kami masih harus menyelesaikan contoh talang yang harus dibuat oleh anak-anak muda padukuhan yang gersang itu”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi kalian belum akan pergi esok pagi?”

“Belum, Ki Demang”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Ada sesuatu yang melintas di kepalanya. Tetapi terbendung ketika akan meluncur lewat bibirnya.

Wijang dengan latar belakang kehidupannya di istana menanggapi sikap Ki Demang itu dengan matang. Justru karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah Ki Demang berkeberatan?”

“Tidak. Tidak” jawab Ki Demang dengan serta-merta.

“Sebaiknya Ki Demang berterus-terang, apakah Ki Demang menghendaki kami pergi esok?”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara Wijang berkata selanjutnya, “Mungkin Ki Cakrajaya telah mengusulkan kepada Ki Demang. Bahkan mungkin dengan agak memaksa”

“Tidak. Tidak” suara Ki Demang justru mulai menurun.

“Ki Demang” berkata Wijang, “besok lusa kami benar-benar akan meninggalkan padukuhan itu. Aku tidak ingin menjadi sumber keributan di sini. Tetapi aku mohon Ki Demang jangan membatalkan rencana pembuatan talang air itu”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang wajah Wijang sekilas, ia melihat betapa tajam sorot mata pengembara itu. Bahkan dari mata itu seakan-akan telah memancar sinar bagaikan sinar kilat yang menyambar jantungnya.

“Orang ini bukan orang kebanyakan” berkata Ki Demang di dalam hatinya.

“Ki Demang” berkata Wijang, “padukuhan itu sudah terlalu lama menderita. Miskin, kering dan tandus. Karena itu, sudah waktunya untuk bangkit dari derita yang berkepanjangan.

Mungkin kebangkitan rakyat padukuhan itu tidak menyenangkan Ki Cakrajaya, karena Ki Cakrajaya merasa berkepentingan dengan kemiskinan tetangga-tetangganya. Adalah kebetulan bahwa para bebahu dan rakyat padukuhan itu seakan-akan telah dijangkiti penyakit aneh. Semuanya orang-orang yang malas. Tidak seorang  pun di antara mereka yang sempat melihat jalan keluar dari kemiskinan itu”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut. Bahkan Wijang masih saja berkata, “Seandainya kami tidak mempunyai kepentingan yang lain, maka kami tidak akan segera pergi, meskipun Ki Demang menghendaki. Aku akan tinggal lebih lama lagi untuk mengajak orang-orang padukuhan itu bangun dari tidur yang panjang meskipun selalu dibayangi oleh mimpi buruk”

Ki Demang menjadi gelisah. Sekilas ia memandang wajah Wijang dan Paksi berganti-ganti. Bahkan hampir di luar sadarnya, Ki Demang itu pun bertanya, “Siapakah kalian berdua sebenarnya?”

“Kami adalah dua orang bersaudara yang mengembara. Bukankah kami sudah mengatakannya?”

“Aku percaya, bahwa kalian adalah pengembara. Tetapi yang aku tanyakan, siapakah kedua orang yang mengembara itu? Alasan pengembaraannya dan apakah tujuannya?”

“Sudahlah, Ki Demang. Tidak ada gunanya Ki Demang mengetahui siapa kami. Yang penting, kami akan pergi dari kademangan ini. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan hentikan kerja anak-anak muda itu. Semakin lama mereka menjadi semakin tertarik dengan kerja mereka. Jumlah mereka  pun menjadi semakin banyak. Mudah-mudahan besok menjadi lebih banyak lagi”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja suaranya menjadi parau, “Aku merasa sangat bersalah, anak-anak muda”

“Kenapa?”

“Aku tidak berbuat apa-apa terhadap padukuhan yang miskin itu. Bahkan aku telah ikut serta menghimpit padukuhan itu agar tetap menjadi miskin, meskipun setiap kali muncul juga keinginanku untuk berbuat sesuatu yang berarti. Sebagai seorang demang aku bermimpi agar padukuhan itu menjadi hijau subur. Bahkan kadang-kadang terbersit pula niatku untuk melakukan sesuatu. Tetapi setiap kali rencanaku terbentur oleh kerakusanku sendiri. Setiap kali Ki Cakrajaya datang dengan membawa sesuatu bagiku. Kemudian memperbaiki rumahku. Membuat rumahku ini menjadi sebagus sekarang ini. Ki Cakrajaya pula yang membawa seseorang untuk mewarnai ukiran pada gebyok, tiang dan uleng di pendapa pringgitan itu. Bahkan lama-lama aku menerima pemberian uangnya. Dengan demikian aku telah terbelenggu” Ki Demang itu berhenti sejenak.

Wajahnya nampak murung. Dengan suaranya yang parau ia pun berkata selanjutnya, “Namun semakin lama hal ini menjadi beban perasaan yang semakin berat. Bahkan kemudian telah menghimpitku. Aku tidak dapat mengatakannya kepada rakyatku, terutama dari padukuhan miskin itu”

Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada dalam Wijang pun berkata, “Ki Demang, masih ada waktu untuk membetulkan kesalahan itu”

Ki Demang tidak segera menjawab. Pandangan matanya menerawang ke tempat yang jauh, menembus keremangan malam.

“Apakah aku masih akan dapat memperbaiki kesalahanku?”

“Kenapa? Jika Ki Demang membantu kerja anak-anak muda itu, maka Ki Demang sudah memperbaiki sebagian besar dari kesalahan yang pernah Ki Demang lakukan”

“Tetapi Ki Cakrajaya telah mengancamku. Ia akan membuka rahasia itu”

“Sebaiknya Ki Demang mengakuinya. Bahkan sebaiknya Ki Demang mengatakan lebih dahulu kepada rakyat di daerah yang miskin dan malas itu, bahwa Ki Demang memang telah mengumpulkan uang dari mereka”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Sementara Wijang pun berkata selanjutnya, “Ki Demang dapat berterus terang, bahwa Ki Demang telah mendapat uang dan pemberian berbagai macam barang dari Ki Cakrajaya yang asalnya justru dari kemiskinan di padukuhan itu. Sekarang Ki Demang datang untuk mengembalikannya kepada padukuhan yang miskin itu lewat pembuatan parit untuk mengalirkan air dari gumuk kecil itu”

“Ki Demang” berkata Wijang kemudian, “biarlah besok lusa aku pergi. Bukankah itu tuntutan sementara Ki Cakrajaya? Sementara itu, biarlah Ki Bekel dan anak-anak mudanya menyelesaikan talang air itu. Jika mereka sudah melihat bukti, bahwa air dapat mengaliri sawah yang kering milik Mbah Rejeb, maka mata rakyat padukuhan itu akan terbuka. Apalagi jika Ki Demang sendiri turun ke padukuhan itu. Untuk itu Ki Demang tidak perlu tergesa-gesa. Ki Demang perlu membuat perhitungan yang tepat. Ki Demang dapat berbicara dengan Ki Bekel. Aku yakin bahwa Ki Bekel itu dapat diajak berbicara. Satu-satunya kelemahan Ki Bekel adalah kemalasannya itu”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Yang sekarang diinginkan oleh Ki Cakrajaya adalah kepergian kalian berdua”

“Ki Cakrajaya mengira, jika kami berdua pergi, maka kerja di gumuk kecil itu akan berhenti dengan sendirinya. Tetapi setelah Ki Bekel ikut campur, maka keadaannya akan berbeda”

Ki Demang mengangguk-angguk. Anak-anak muda pengembara itu telah memberikan jalan baginya. Meskipun tidak tepat benar, namun pendapat anak-anak itu dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambilnya.

Yang penting bagi Ki Demang, ia ingin terlepas dari belitan suap yang pernah diberikan oleh Ki Cakrajaya. Dengan nada berat Ki Demang pun kemudian berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, anak muda. Mudah-mudahan aku menemukan jalan terbaik bersama Ki Bekel. Tetapi aku sudah bertekad untuk membebaskan diri dari jeratan Ki Cakrajaya apa  pun akibatnya. Mungkin aku akan dipermalukan di depan orang banyak. Bahkan mungkin akan berakibat buruk bagi jabatanku. Tetapi aku sudah memutuskan”

“Seandainya demikian, Ki Demang, bantuan Ki Demang bagi saluran air itu akan mengembalikan nama baik Ki Demang. Meskipun seandainya, jabatan Ki Demang sudah terlanjur terlepas, namun nama Ki Demang tidak lagi tercemar”

“Aku mengerti, anak muda. Tetapi tolong, jangan buka rahasia ini. Biarlah pada saatnya aku sendiri yang mengatakannya kepada rakyatku. Mudah-mudahan sepeninggal kalian berdua, aku masih mempunyai waktu, karena tuntutan sementara Ki Cakrajaya sudah terpenuhi”

“Tentu, Ki Demang. Kami tidak akan mengatakannya kepada siapapun. Juga tidak kepada Ki Bekel. Biarlah pada saat yang tepat, Ki Demang sendiri yang menyampaikannya”

“Terima kasih, anak muda. Kedatanganmu memberikan terang di kademangan ini, khususnya di padukuhan miskin itu. “Ki Demang itu berhenti sejenak, namun kemudian ia bertanya pula, “Jika kalian tidak berkeberatan, apakah aku boleh tahu, siapakah kalian berdua?”

“Itu tidak penting, Ki Demang. Barangkali ada sedikit dari niat kami melakukan pengembaraan ini yang Ki Demang boleh mengetahuinya. Kami melacak segerombolan orang yang lari dari padepokannya. Kami mempunyai kepentingan dengan mereka. Aku dengar, bahwa seorang perampok di sebuah padukuhan mirip dengan ciri-ciri orang yang sedang kami lacak”

“O. Kalian prajurit Pajang?”

Wijang menggeleng. Katanya, “Bukan, Ki Demang. Kami mempunyai kepentingan khusus. Tetapi yang kami lakukan ini sepengetahuan para pejabat di Pajang. Jika perlu, kami memang dapat memanggil sepasukan prajurit untuk membantu tugas kami”

Ki Demang mengangguk-angguk. Nampaknya ada sesuatu yang tergerak di hatinya. Tetapi Ki Demang itu nampak ragu-ragu untuk mengatakannya. Wijang yang panggraitanya cukup tajam itu pun berkata, “Ki Demang, jika ada sesuatu yang ingin Ki Demang katakan, katakanlah. Tidak apa-apa”

Ternyata wibawa Wijang telah mencengkam jantung Ki Demang. Tiba-tiba saja Ki Demang merasa bahwa ia harus menghormati kedua orang pengembara itu. Bahkan Ki Demang itu merasa seolah-olah ia berhadapan dengan pemimpinnya.

“Anak muda” berkata Ki Demang kemudian, “jika aku mengalami kesulitan, apakah kalian dapat membantu? Maksudku, jika terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Ki Cakrajaya. Ia mempunyai beberapa orang upahan yang akan dapat menakut-nakuti orang sekademangan”

“Tentu, Ki Demang. Tetapi jika aku tidak berada di kademangan ini, tentu aku tidak mengetahui kapan Ki Demang itu mengalami kesulitan. Namun aku akan berusaha pada kesempatan lain datang lagi ke kademangan ini”

Ki Demang itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Wijang pun berkata selanjutnya, “Untuk mengatasi orang-orang upahan Ki Cakrajaya, Ki Demang dapat berbicara dengan para bebahu. Jika tiba saatnya Ki Demang berterus-terang, hadapi mereka dengan Ki Bekel di padukuhan yang terpencil itu”

“Ya, anak muda. Aku akan melakukannya di saat yang tepat” berkata Ki Demang sambil menundukkan wajahnya. Agaknya penyesalan yang dalam telah menekan perasaannya.

Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Wijang lah yang kemudian berkata, “Ki Demang, kami datang memenuhi kesanggupan kami untuk datang hari ini. Kami juga ingin memberitahukan bahwa kami akan meninggalkan kademangan ini besok lusa. Agaknya kami tidak sempat datang lagi untuk minta diri kepada Ki Demang. Karena itu, maka kedatangan kami sekarang sekaligus untuk minta diri”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku berjanji untuk sekedar memberikan kenang-kenangan kepada kalian berdua. Sebenarnyalah jika hal itu aku katakan kemarin, karena aku ingin kalian segera pergi dari kademangan ini. Ki Cakrajaya mendesaknya dan mengancam akan membuka rahasiaku jika aku tidak melakukannya”

“Keinginan Ki Cakrajaya itu akan terpenuhi. Aku hanya menunda sehari saja. Ia tidak akan berkeberatan”

“Kenang-kenangan ini juga disediakan oleh Ki Cakrajaya. Tetapi sebenarnya aku merasa segan untuk mengatakannya setelah aku mengenal kalian lebih banyak”

“Apakah ujud kenang-kenangan itu, Ki Demang?”

“Uang. Dan tidak seberapa. Ki Cakrajaya selalu menilai segala sesuatunya dengan uang. Ia telah meninggalkan beberapa keping uang yang menurutnya sangat kalian perlukan di perjalanan”

Wijang tersenyum. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih, Ki Demang. Tetapi biarlah aku titipkan uang itu kepada Ki Demang. Barangkali uang itu akan dapat membantu kerja anak-anak muda di padukuhan yang miskin itu. Mungkin untuk membeli beras atau sayuran dan lauknya. Mungkin hanya cukup untuk satu hari. Tetapi yang satu hari itu akan sangat berarti untuk menebalkan tekad kerja mereka. Meskipun selama ini Ki Bekel menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan makan bagi mereka yang bekerja. Tetapi jika yang bekerja menjadi semakin banyak serta untuk waktu yang panjang, maka Ki Bekel akan mengalami kesulitan. Apalagi nampaknya Ki Bekel sendiri bukan seorang yang berkecukupan”

“Baik, anak muda. Sekali lagi aku berterima kasih. Aku yakin bahwa di dalam pengembaraan kalian, kalian tidak akan kekurangan bekal. Bukan saja uang yang disediakan oleh Ki Cakrajaya itu saja. Aku  pun akan dapat membantu Ki Bekel. Mungkin aku mempunyai beras lebih banyak dari Ki Bekel. Aku  pun mempunyai uang lebih banyak. Di antaranya adalah uang pemberian Ki Cakrajaya itu”

“Dengan demikian kami menjadi semakin berpengharapan, bahwa air itu pada saatnya akan mengalir. Padukuhan itu akan menjadi lebih hijau dan sebagian besar dari sawah yang ada di padukuhan itu akan dapat ditanami di sepanjang musim. Sedikitnya panen dua kali setahun dan satu selingan palawija. Sementara itu, mereka yang sawahnya tidak sempat dialiri karena keadaan alam yang belum teratasi, setidak-tidaknya akan dapat bekerja dan membantu tetangganya yang karena nasibnya yang lebih baik, sawahnya menjadi basah. Di musim panen mereka dapat ikut menuai padi dengan bawon yang pantas untuk menyambung hidup mereka dari musim paceklik ke musim yang lebih baik”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan bukan sekedar harapan, anak muda”

“Baiklah” berkata Wijang kemudian, “aku dan adikku minta diri. Besok lusa kami akan meninggalkan padukuhan kering itu. Namun aku minta ijin untuk bertemu dengan Ki Bekel dari padukuhan yang telah mengalami perampokan itu”

“Apakah Ki Bekel itu harus aku panggil sekarang?”

“Bukankah ia tinggal di padukuhan lain?”

“Tidak apa-apa. Jika perlu, aku akan memanggilnya. Biarlah pembantuku pergi ke rumah Ki Bekel”

“Terima kasih, Ki Demang. Biarlah besok lusa, dalam perjalananku meninggalkan kademangan ini, aku akan singgah. Jika Ki Demang memanggil Ki Bekel untuk kepentingan kami para pengembara, mungkin Ki Bekel akan merasa tersinggung meskipun yang memanggil Ki Demang. Bahkan mungkin dapat menimbulkan pertanyaan yang tidak Ki Demang inginkan sehubungan dengan rencana Ki Demang untuk membuka diri pada waktu yang Ki Demang anggap tepat”

Ki Demang mengangguk pula. Katanya, “Baiklah, anak muda. Silahkan besok menemui Ki Bekel. Tetapi karena Ki Bekel agaknya tidak tahu siapakah sebenarnya kalian, ia akan menganggap bahwa kalian adalah pengembara sebagaimana kebanyakan pengembara. Mungkin sikapnya akan mengecewakan kalian”

“Bukankah kami juga pengembara sebagaimana pengembara yang lain? Mungkin pertanyaan kami tentang sekelompok orang yang merampok di padukuhan Ki Bekel itu akan dapat membuka pengenalan Ki Bekel terhadap kami, sehingga kami adalah dua orang pengembara yang mempunyai kepentingan yang khusus”

“Ya, anak muda. Mudah-mudahan usaha kalian dapat berhasil. Meskipun aku tidak tahu pasti, persoalan apa yang sebenarnya telah terjadi, tetapi aku justru yakin, bahwa kalian adalah bagian dari pimpinan pemerintahan di Pajang”

Wijang tersenyum. Sementara Ki Demang pun berkata selanjutnya, “Jika kalian adalah dua orang kakak beradik yang mengembara sebagaimana para pengembara yang lain, kalian tidak akan tertarik kepada kemiskinan di padukuhan kering itu. Kalian tidak akan menurunkan gagasan yang sangat berani bagi padukuhan itu”

Wijang tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Kita akan saling berdoa, semoga yang kita lakukan itu akan mendapat bimbingan dari Yang Maha Agung”

“Ya, anak muda. Kita akan saling berdoa”

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Wijang dan Paksi pun minta diri untuk kembali ke rumah Ki Bekel sekaligus minta diri bahwa esok lusa mereka akan melanjutkan pengembaraan mereka.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Bekel di padukuhan yang miskin itu, Ki Bekel sudah berada di biliknya. Ki Bekel memang ingin segera tidur agar besok dapat bangun pagi-pagi.

Wijang dan Paksi tidak berusaha menemuinya. Ketika mereka melihat di ruang dalam lampu sudah menjadi redup, maka mereka pun langsung pergi ke bilik mereka di gandok.

“Apakah Ki Bekel tidur tanpa mandi lebih dahulu?” desis Paksi.

“Ah, tentu tidak. Bukankah kita agak lama berbincang di rumah Ki Demang” sahut Wijang.

Ketika keduanya membuka pintu bilik mereka di gandok, mereka tertegun. Mereka melihat di dalam bilik mereka telah tersedia makan malam mereka. Agaknya Ki Bekel sudah terlalu lama menunggui, sehingga akhirnya Ki Bekel itu makan lebih dahulu sebelum pergi ke bilik tidurnya.

“Kita memang belum makan malam” desis Wijang.

Paksi mengangguk-angguk. Ia pun kemudian duduk di amben panjang sambil meraih mangkuk untuk menyendok nasi sebagaimana Wijang.

“Kita cuci mangkuknya di sumur saja sambil mencuci kaki dan tangan” berkata Paksi.

“Yang lain? Mangkuk yang masih berisi sayur serta ceting nasinya yang masih tersisa?”

“Biarlah di situ saja”

Keduanya pun kemudian pergi ke sumur untuk mencuci mangkuk, sekaligus mencuci kaki dan tangan mereka.

Seperti biasanya keduanya bangun pagi-pagi sekali. Tetapi hari itu, Ki Bekel pun bangun lebih pagi. Meskipun demikian ketika Ki Bekel pergi ke pakiwan, Paksi yang sedang menimba air itu ternyata sudah mandi lebih dahulu.

“Jadi hari ini aku masih kalah lagi” berkata Ki Bekel.

Paksi tertawa. Katanya, “Ki Bekel harus berpacu lebih cepat untuk dapat mengalahkan kami”

“Dengan demikian, maka aku sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memenangkannya. Aku tidak yakin bahwa besok pagi, aku dapat bangun lebih pagi. Kecuali jika kalian sengaja bangun lebih siang dan tidak segera berangkat”

Paksi masih saja tertawa. Katanya, “Apakah kami harus memberi satu kesempatan pada hari kami yang terakhir?”

Ki Bekel pun tertawa pula.

Setelah selesai berbenah diri serta makan pagi, maka ketiganya pun telah berangkat ke gumuk kecil. Kepada Nyi Bekel, Ki Bekel pun berpesan, “Jika ada orang mencari aku, biarlah Ki Kamituwa menyelesaikan masalahnya, kecuali masalah pribadi. Hanya jika persoalannya tidak terpecahkan, biarlah Ki Kamituwa menyusul aku ke gumuk kecil”

“Baik, Ki Bekel” jawab Nyi Bekel.

Ternyata ketiganya sampai ke gumuk kecil lebih pagi sedikit dari sehari sebelumnya. Mereka datang hampir bersamaan dengan kedatangan Trima dan dua orang anak muda yang lain. Baru kemudian yang lain menyusul.

Sebagaimana harapan Wijang dan Paksi, ternyata yang datang menjadi lebih banyak lagi. Dua orang anak muda yang sebelumnya tidak nampak, pagi itu datang bersama kawan-kawannya ke gumuk kecil itu.

“Selamat datang” berkata Ki Bekel. “Di sini kita sedang membangunkan sebuah harapan. Berhasil atau tidak, itu persoalan nanti. Yang penting kita sudah berbuat sesuatu dengan pertimbangan dan perhitungan yang mapan. Bukan asal saja melakukan sesuatu yang mungkin sia-sia. Jika yang kita kerjakan ini juga sia-sia dan harapan kita terlepas, apaboleh buat. Itu berarti bahwa otak kita masih belum cukup tajam untuk merencanakan kerja yang dapat menjanjikan hari depan yang lebih baik. Meskipun demikian, kita sudah mendapatkan satu pengalaman yang akan dapat kita kembangkan di kemudian hari”

Kedua orang anak muda yang baru datang itu mengangguk. Seorang di antaranya berkata, “Aku mohon maaf, Ki Bekel. Bahwa aku telah terlambat mengambil bagian dalam kerja ini. Meskipun mungkin tenaga dan kemampuan kami tidak berarti apa-apa, tetapi kesediaan kami untuk ikut, merupakan kepedulian kami terhadap kampung halaman kita”

“Tidak ada yang terlambat. Yang datang kemudian  pun tidak terlambat. Kerja masih panjang. Mungkin masih satu dua musim lagi sebelum kita benar-benar menikmati hasilnya. Tetapi jika kerja tidak dimulai, maka yang dua musim itu pun tidak akan pernah datang sampai anak cucu kita sekalipun”

“Ya, Ki Bekel. Kami mengerti”

“Nah, sekarang setelah beristirahat sebentar, maka kita akan mulai dengan kerja kita hari ini”

Anak-anak muda itu pun segera bangkit. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka pun segera mulai dengan kerja mereka. Yang akan mereka lakukan pada hari itu adalah menyelesaikan satu jalur talang air lebih dahulu.

Seperti di hari sebelumnya, maka rasa-rasanya kerja itu menjadi semakin menarik. Tidak lagi terasa ada ketegangan dan keterpaksaan. Bahkan ada di antara anak-anak muda itu yang bekerja sambil berdendang. Suaranya memanjat naik gumuk-gumuk kecil di kaki gunung itu.

Ketika panas matahari terasa mengusik kulit mereka, maka mereka pun mulai bermain-main dengan air yang menyusup keluar dari celah-celah batu padas yang lumutan dan licin. Betapa segarnya.

Ketika matahari naik sepenggalah, maka Wijang dan Paksi pun segera mengajak kawan-kawannya untuk memasang talang bambu yang sudah mereka persiapkan untuk satu jalur lebih dahulu.

Demikianlah, maka anak-anak muda itu pun telah mengusung bambu-bambu yang sekat ruasnya sudah dihilangkan, diletakkan membujur panjang dari gumuk itu sampai ke bulak padukuhan mereka. Di ujung bulak, pada jarak yang terdekat, terdapat sekotak sawah Mbah Rejeb yang kering. Tanahnya nampak pecah-pecah karena kepanasan oleh terik matahari di musim panas.

Ternyata kerja itu benar-benar kerja yang berat. Keringat anak-anak muda itu telah membasahi pakaian mereka. Beberapa orang di antara mereka bahkan telah membuka baju mereka. Untuk melindungi panas matahari, mereka mengenakan caping bambu yang lebar.

Demikian bambu itu sudah ditempatkan di sepanjang jarak yang diperlukan, maka mereka pun bersama-sama telah menyambung bambu-bambu itu. Sementara yang lain telah memasang tiang-tiang bambu pendek untuk mengatur ketinggian talang itu.

Kerja yang berat itu justru menjadi sangat menarik. Tidak seorang  pun di antara mereka yang mengeluh. Kerja itu dihentikan pada saat matahari tepat mencapai puncaknya. Dengan lantang Wijang pun berkata, “Beristirahatlah. Matahari berada tepat di puncak langit. Nanti, kita akan melanjutkannya lagi”

Sementara itu, dua orang perempuan telah datang sambil membawa gendi berisi wedang sere yang sudah dingin, bakul berisi nasi serta sayur dan sekedar lauknya, bothok mlandingan yang bahannya dapat dicari di kebun sendiri, dan kelapa dan buah mlandingan.

Seperti sebelumnya, maka Ki Bekel pun ikut makan pula bersama anak-anak muda itu. Sebagaimana anak-anak muda itu pula, maka Ki Bekel pun makan dengan lahapnya. Oleh kerja yang berat, terik matahari yang menyengat serta memang sudah waktunya, maka perut mereka memang terasa lapar. Apalagi mereka yang tidak sempat makan pagi di rumah. Mungkin karena waktu yang terlalu pagi sehingga orang tuanya belum sempat menanak nasi, apalagi membuat sayur, tetapi ada pula yang memang tidak tersedia bahan untuk menyiapkan makan pagi.

Setelah makan siang, maka mereka pun mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak. Ada di antara mereka yang duduk-duduk di atas batu di pinggir kolam yang mereka buat untuk menampung air. Ada yang duduk bersandar pepohonan sambil terkantuk-kantuk oleh silirnya angin. Bahkan ada di antara mereka yang benar-benar tertidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Demikian saja mereka berbaring di atas rerumputan.

Ki Bekel, Wijang dan Paksi duduk di atas setumpuk bambu yang masih sedang digarap untuk dihilangkan sekat ruasnya. Sedangkan Ki Bekel sempat juga berbaring di bawah bayangan dedaunan yang lebat. Bajunya dibukanya di bagian dadanya sambil dikipasi dengan caping bambunya.

Seperti hari sebelumnya, mereka beristirahat beberapa lama. Wijang dan Paksi dengan sengaja tidak mendekati Ki Bekel agar mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara tentang sikap Ki Demang yang masih harus menyembunyikan cacatnya sampai waktu yang dianggapnya tepat.

Ketika matahari sudah sedikit melewati puncak, maka Wijang dan Paksi pun telah bangkit berdiri. Didekatinya Ki Bekel yang masih berbaring sambil mengipasi dadanya dengan caping bambunya.

“Kita mulai lagi, Ki Bekel”

Ki Bekel tidak ingin bermalas-malasan lagi. Ia pun segera bangkit sambil berkata, “Baik. Baik. Kita akan mulai lagi”

Demikianlah, maka derap kerja yang semakin menarik bagi anak-anak muda itu telah dimulai lagi. Wijang dan Paksi bersama beberapa orang telah menyambung bambu yang satu dengan bambu berikutnya.

Kerja itu memang membutuhkan ketelatenan. Sementara itu, matahari bergerak terus di putaran langit yang cerah. Tidak selembar awan  pun yang nampak bergerak di udara. Di sebelah utara nampak segumpal kecil awan berlabuh di cakrawala.

Keringat telah membasahi seluruh tubuh anak-anak muda yang bekerja di bawah teriknya matahari. Yang tidak berbaju, kulitnya menjadi semakin kelam, berkilat-kilat seakan-akan berminyak.

Wijang, Paksi dan beberapa anak muda masih sibuk menyambung bambu yang satu dengan yang lainnya dengan hati-hati agar air tidak terlalu banyak terbuang.

Adalah wajar jika talang air itu di beberapa tempat merembes dan bahkan menitik. Tetapi jangan terlalu banyak, sehingga air yang mengalir di talang itu tetap sampai di sasaran.

Sementara itu, Wijang dan Paksi masih harus mengatur ketinggian talang bambu itu agar air dapat mengalir dengan lancar, tetapi tidak tumpah ruah lewat lubang-lubang pada setiap ruasnya. Lubang-lubang yang dibuat untuk menghilangkan sekat-sekat pada ruas bambu itu.

Ternyata kerja itu tidak dapat dipaksakan untuk segera selesai. Meskipun anak-anak muda yang ada di gumuk kecil itu semuanya ikut menanganinya. Ketinggian talang itu harus benar-benar diperhitungkan, sehingga tiang-tiang bambu yang pendek itu pun harus diukur satu demi satu.

Sekali-sekali Wijang minta mulut talang dibuka agar dapat dipastikan air tidak tumpah atau bahkan mengalir ke arah yang berlawanan.

Namun mulut talang itu pun kemudian ditutup kembali. Meskipun kemudian matahari menjadi semakin rendah, namun tidak seorang  pun di antara anak-anak muda itu yang berniat menghentikan pekerjaan sebelum selesai. Bahkan bayangan senja pun mulai membayang. Cahaya matahari menjadi semakin redup.

Sementara itu, Wijang dan Paksi pun telah memasang bambu terakhir pada ujung talang yang sampai di kotak sawah Mbah Rejeb yang kering itu.

Sambil meletakkan ujung bambu itu pada patok terakhir, maka Wijang pun berkata, “Trima, buka mulut talang itu”

Trima pun segera berlari. Seorang kawannya mengikutinya untuk membantu meletakkan mulut talang di tempat yang sudah disiapkan. Dengan nafas terengah-engah, Trima bersama seorang kawannya pun segera memasang mulut talang itu. Demikian air mulai masuk ke dalam talang, maka Trima dan kawannya pun berlari kembali ke sawah Mbah Rejeb.

Nafas mereka hampir terputus. Mereka harus berlari lebih cepat dari ujung aliran air di sepanjang talang itu.

Sebelum mereka sampai di kotak sawah Mbah Rejeb, Trima sudah berteriak, “Air sudah mengalir”

Wijang, Paksi, Ki Bekel dan anak-anak muda itu menjadi tegang. Mereka menunggu dengan penuh harapan agar air lewat talang itu dapat mengalir ke kotak sawah Mbah Rejeb.

Demikian Trima dan kawannya sampai, maka air pun telah tertumpah dari ujung talang bambu itu. Air yang jernih dari semacam kolam penampungan air yang dibuat oleh anak-anak muda itu pula.

Orang-orang yang menyaksikan titik air yang pertama tertumpah itu pun bersorak dengan gembiranya. Beberapa orang anak muda saling berpelukan. Ki Bekel pun segera menepuk bahu Wijang dan Paksi sambil berkata, “Kami berhutang budi kepada kalian berdua”

“Kita sudah melakukan bersama-sama, Ki Bekel”

“Tetapi kalianlah yang menurunkan gagasan tentang penyaluran air itu. Kalian berdualah yang telah memaksa kami untuk meninggalkan kemalasan kami. Tanpa harapan yang kalian tiupkan, kami tidak akan mampu bangkit. Bahkan mungkin sampai anak cucu. Apalagi ketamakan Ki Cakrajaya dan anaknya Wandawa itu selalu membayangi kami. Ki Demang  pun sama sekali tidak membantu kami dengan cara apa pun juga
selain sesekali memberikan peringatan tentang musim kering yang terasa terlalu panjang di padukuhan kami”

“Tetapi sekarang Ki Bekel dan anak-anak muda padukuhan ini sudah bangun”

“Ya” berkata Ki Bekel sambil mengangguk-angguk.

Beberapa saat lamanya mereka mengamati air yang mengalir dari talang bambu itu. Meskipun hanya satu lajur, namun arusnya cukup deras, sehingga anak-anak muda itu bersama-sama telah mandi di pancuran talang air yang hanya selajur itu.

Namun Wijang dan Paksi telah memperingatkan, bahwa bambu itu masih baru. Mungkin di dalam aliran air itu masih terbawa gelugut yang dapat membuat kulit mereka menjadi gatal. Tetapi oleh kegembiraan yang meluap, anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.

Karena itu, maka Paksi pun berkata kepada mereka, “Nanti, di rumah kalian harus mandi sekali lagi dengan air sumur agar kalian tidak menjadi gatal-gatal sehingga semalam kalian tidak dapat tidur. Jika kalian tidak dapat tidur, maka besok kalian akan terlambat datang”

“Baik” jawab salah seorang di antara mereka, “nanti kami akan mandi lagi di rumah”

Wijang dan Paksi memandang kegembiraan itu sambil tersenyum. Wijang pun kemudian berbisik kepada Ki Bekel, “Tiang penyangga talang itu tidak perlu setinggi orang, Ki Bekel. Tetapi dapat lebih rendah lagi. Jika kali ini kita pasang agak tinggi, agar langsung dapat dilihat aliran air yang tumpah lewat talang bambu itu. Kami  pun sudah mengira, bahwa anak-anak itu akan dengan gembira mandi dari aliran air yang melewati talang itu”

Ki Bekel pun tersenyum. Katanya, “Biarlah mereka menumpahkan kegembiraan itu”

Beberapa saat lamanya Ki Bekel, Wijang dan Paksi menunggu. Baru setelah anak-anak itu puas saling berdesakan mandi dari air pancuran yang tertuang lewat talang bambu itu, mereka pun bersiap-siap untuk pulang.

Hari itu mereka terlambat pulang. Langit sudah menjadi muram. Senja telah turun. Ki Bekel, Wijang dan Paksi berjalan menyusuri pematang menuju ke padukuhan. Sementara itu, anak-anak muda yang masih basah, bukan saja tubuhnya, tetapi sebagian juga pakaiannya, sudah berlari-lari mendahului pulang. Mereka ingin segera memberitahukan kepada Mbah Rejeb, bahwa air sudah mengalir sampai ke kotak sawahnya di ujung bulak yang selama musim kemarau menjadi kering dan bahkan seakan-akan telah pecah-pecah sampai ke lapisan di bawahnya.

Mbah Rejeb yang baru duduk-duduk di serambi depan rumahnya terkejut melihat anak-anak muda yang datang berlarilari memasuki halaman rumahnya yang tidak terlalu luas.

“Ada apa?” bertanya Mbah Rejeb.

Trimalah yang menjawab, “Air sudah mengalir, Mbah. Air dari gumuk kecil itu”

“He?” Mbah Rejeb dengan serta-merta bangkit berdiri.

“Air sudah mengalir, meskipun baru satu talang air yang siap. Besok kami akan membuat beberapa talang air. Kami akan membuktikan bahwa air dari gumuk itu dapat mengairi sawah kita yang hanya basah di musim hujan. Jika hujan terlambat, maka paceklik akan berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang kita hanya sempat makan dedaunan yang menjadi semakin menyusut”

Mbah Rejeb itu pun dengan serta-merta berkata, “Marilah. Aku akan melihatnya”

Ternyata Trima dan kawan-kawannya tidak berkeberatan untuk mengantar Mbah Rejeb pergi ke ujung bulak.

Ketika Mbah Rejeb dan anak-anak muda itu keluar dari regol halaman rumahnya yang sederhana, mereka berpapasan dengan Ki Bekel, Wijang dan Paksi.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya Ki Bekel.

“Mbah Rejeb ingin melihat air yang sudah mengalir itu”

Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Baiklah. Antar Mbah Rejeb. Hati-hati, gelap sudah turun”

“Apakah anak-anak ini tidak membual, Ki Bekel?”

“Tidak, Uwa. Mereka berkata sebenarnya. Air memang sudah mengalir”

Mbah Rejeb itu pun kemudian di antar oleh anak-anak muda pergi ke sawahnya. Orang tua itu berjalan dengan cepat di paling depan. Sementara itu anak-anak muda pun mengikutinya di belakang.

Ki Bekel, Wijang dan Paksi tersenyum melihat Mbah Rejeb yang tua itu masih mampu berjalan begitu cepat, sehingga ada di antara anak-anak muda yang harus berlari-lari kecil.

“Apakah Ki Bekel tidak pergi ke sawah?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

Ki Bekel menggeleng. Katanya, “Kalian sajalah yang pergi. Aku akan beristirahat”

Meskipun malam sudah turun, tetapi Mbah Rejeb yang sudah terbiasa menyusuri pematang sawah, masih saja berjalan dengan cepat. Apalagi kotak-kotak sawah itu tidak ditumbuhi tanaman apapun. Tanahnya yang kering tidak memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan menjanjikan panenan yang memadai. Sehingga karena itu, maka bulak itu pun nampaknya seperti sebuah padang yang kerontang.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di kotak sawah Mbah Rejeb yang menjadi berdebar-debar. Ia mendengar gemericik air seperti air yang mengalir dari sebuah pancuran.

“Air. Itu suara air” desis Mbah Rejeb.

“Ya, Mbah. Itu suara air”

Mbah Rejeb yang tua itu pun kemudian berlari-lari kecil. Ia tidak lagi menyusuri pematang. Tetapi Mbah Rejeb itu berlari melintasi kotak-kotak sawah yang kering.

Ketika ia sampai di sawahnya, tiba-tiba saja terasa kakinya menginjak tanah yang basah. Di hadapannya, talang air mengalir seperti sebuah pancuran menumpahkan air tanpa henti. “Ini baru satu lajur, Mbah. Besok kami akan membuat lima lajur atau lebih. Meskipun air itu belum mencukupi untuk mengairi beberapa kota sawah, tetapi kami sudah membuktikan, bahwa jika kita mau, kita akan dapat mendapatkan air itu di segala musim. Tidak hanya di musim basah menunggu hujan turun”

Mbah Rejeb itu menjadi begitu gembira sehingga seperti anak-anak muda yang melihat air mulai mengalir di talang bambu itu, maka dengan pakaian yang dipakainya Mbah Rejeb itu berjongkok di bawah air yang mengalir seperti pancuran itu.

“Alangkah segarnya” desis Mbah Rejeb. Seteguk air masuk ke dalam mulutnya dan bahkan tertelan pula. Anak-anak muda itu membiarkan Mbah Rejeb berjongkok beberapa saat di bawah pancuran. Sementara itu, ada juga di antara anak-anak muda itu yang pakaiannya masih juga basah.

“Kalian luar biasa” berkata Mbah Rejeb setelah berdiri. “Air ini akan membasahi kotak sawahku ini. Tetapi jika kita berhasil membuat parit, maka seluruh bulak ini akan basah”

“Itulah yang kami inginkan, Mbah”

“Nah. Biarlah orang banyak mengetahui apa yang terjadi ini. Aku akan menemui tetangga-tetangga kita dan berceritera tentang air ini”

“Jangan sekarang, Mbah. Kita buat mereka terkejut. Biarlah air menggenang lebih dahulu. Sementara itu, kami akan membuat jalur-jalur berikutnya. Empat atau lima jalur lagi. Biarlah mereka melihat air agak banyak, sehingga mereka mempunyai gambaran yang lebih baik tentang perlunya sebuah parit”

“Sebenarnya kita sudah mempunyai parit” berkata anak muda yang lain. “Kita tinggal mengalirkan air dari gumuk kecil itu”

“Parit itu harus diperbaiki lebih dahulu”

“Ya. Di sana-sini tanggulnya sudah koyak. Bahkan beberapa puluh langkah di sebelah simpang tiga itu sudah tertimbun tanah”

“Jika parit itu sudah diperbaiki, maka kita tinggal membuat parit dari gumuk kecil itu dan kita tumpahkan ke dalam parit kita. Air itu sudah akan mengalir ke seluruh bulak ini” berkata Trima.

“Kita akan mengerjakannya”

“Kita, seluruh padukuhan. Laki-laki dan perempuan” berkata Mbah Rejeb.

Namun akhirnya Mbah Rejeb itu pun menjadi kedinginan. Tubuhnya bergetar dan giginya pun gemeretak. Bukan karena marah, tetapi karena pakaiannya yang basah. Tetapi Mbah Rejeb itu masih tertawa. Katanya, “Nah, marilah kita pulang. Aku sudah kedinginan”

Anak-anak muda itu pun kemudian mengikuti Mbah Rejeb yang pulang ke rumahnya. Ketika Mbah Rejeb itu memasuki regol halaman, Trima pun berkata, “Jangan disebar-luaskan dahulu, Mbah. Kita akan mengejutkan tetangga-tetangga kita”

“Kau kira kawan-kawanmu dapat menyembunyikan rahasia ini?”

“Kita berusaha”

“Jika tidak dapat?”

“Apaboleh buat. Tetapi setidak-tidaknya kita sudah mulai mengerjakan jalur-jalur yang lain”

“Nanti malam kawan-kawanmu sudah menceriterakan kepada ayah dan ibunya. Kepada kakek dan neneknya. Ayah, ibu, kakek dan nenek itu esok pagi-pagi sudah menceriterakannya kepada tetangga-tetangganya. Mungkin di simpang-simpang jalan. Mungkin di pasar, mungkin di mana saja mereka saling bertemu dengan tetangga-tetangganya itu”

Trima tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan kita dapat menahan diri”

“Baiklah. Aku akan mencobanya juga” berkata Mbah Rejeb.

Sejenak kemudian, maka anak-anak itu pun segera minta diri. Sementara Mbah Rejeb itu pun langsung pergi ke pakiwan sambil membawa ganti pakaian.

“Kau kenapa, Ki?” bertanya isterinya yang juga sudah tua. “Tidak apa-apa” jawab Mbah Rejeb.

“Pakaianmu basah kuyup”

“Aku tergelincir di sungai. Untung kepalaku tidak membentur batu”

Nyi Rejeb itu pun menyahut, “Lain kali hati-hatilah, Ki. Orang yang sudah setua Ki Rejeb sebaiknya jangan pergi ke sungai setelah gelap”

“Perutku sakit, Nyi. Aku tidak dapat menunggu sampai esok”

Nyi Rejeb tidak menyahut lagi. Sementara itu Ki Rejeb telah hilang di pintu belakang.

Dalam pada itu, selagi anak-anak muda padukuhannya berbesar hati oleh keberhasilan mereka, Ki Cakrajaya telah pergi menemui Ki Demang.

“Ternyata kedua orang pengembara itu belum juga pergi, Ki Demang. Orangku masih melihat keduanya bekerja bersama-sama anak-anak muda di dekat gumuk kecil itu”

“Aku sudah menemui mereka, Ki Cakrajaya. Aku sudah minta agar mereka pergi. Mereka hanya boleh tinggal di sini sampai hari ini”

“Hari ini mereka harus sudah pergi”

“Bukan hari ini mereka sudah harus pergi. Menurut pendengaranku, Ki Cakrajaya menetapkan bahwa mereka berdua tidak boleh lebih dari hari ini berada di kademangan ini”

“Tidak. Maksudku, selambat-lambatnya hari ini mereka harus sudah meninggalkan kademangan ini”

“Bukankah hanya berselisih satu hari? Besok mereka akan pergi. Akulah yang menentukan hari kepergian mereka. Aku juga sudah memberikan apa yang Ki Cakrajaya maksudkan dengan kenang-kenangan yang berupa uang. Mereka mengucapkan terima kasih atas pemberian Ki Cakrajaya itu. Mereka pun akan menepati perintahku untuk pergi esok pagi”

Ki Cakrajaya mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Baiklah, Ki Demang. Aku akan menunggu. Jika esok mereka belum pergi, maka aku tidak akan dapat bersabar lagi. Aku akan membuka rahasia Ki Demang. Ki Demang akan dapat kehilangan kedudukan”

“Tetapi aku tidak merugikan padukuhan-padukuhan lain, Ki Cakrajaya. Aku hanya merugikan satu padukuhan”

“Tidak, Ki Demang. Ki Demang juga menyalurkan hasil bumi dari beberapa padukuhan hanya kepadaku. Ki Demang juga telah menempatkan aku dalam jajaran tertinggi orang-orang yang berpengaruh di kademangan ini. Semuanya itu Ki Demang lakukan, karena aku telah menyuap Ki Demang”

Ki Demang tidak menjawab. Tetapi ia sudah berjanji di dalam dirinya, bahwa pada saat yang tepat, ia akan membuka cacat yang melekat pada dirinya itu, terutama di hadapan para penghuni padukuhan yang miskin itu. Perasaan bersalah bahwa ia tidak berbuat sesuatu, bahkan justru menghambat pembaharuan di padukuhan itu, akhirnya telah menjadi beban baginya. Hampir setiap hari terjadi gejolak di dalam dirinya. Kadang-kadang keinginannya untuk berbuat sesuatu itu begitu kuat. Namun kemudian pupus karena ia tidak akan dapat melakukannya. Pemberian Ki Demang itu telah membelenggunya, sehingga pada suatu saat terasa, bahwa ia tidak akan kuat lagi mengusung beban yang diletakannya sendiri di pundaknya.

“Ki Demang” berkata Ki Cakrajaya kemudian, “aku minta diri. Aku akan melihat, apakah esok siang orang-orangku masih dapat melihat kedua orang itu”

“Jangan besok siang, Ki Cakrajaya. Besok sore”

Ki Cakrajaya mengerutkan dahinya. Katanya, “Ya. Besok sore”

Sepeninggal Ki Cakrajaya, Ki Demang duduk sendiri di pringgitan. Jantungnya masih saja terasa bergejolak. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas dirinya, jika ia berterus-terang kepada orang-orang yang tinggal di padukuhan yang miskin itu, dan yang bahkan dijaga agar tetap miskin untuk seterusnya. Jika Ki Demang berhasil mempertahankan kemiskinan itu sampai keturunan berikutnya, maka padukuhan itu tidak akan pernah dapat bangkit. Sehingga dengan demikian, keturunan Ki Cakrajaya akan tetap dapat memanfaatkan kemiskinan itu untuk keinginannya.

Dalam pada itu, betapapun gembiranya anak-anak muda yang telah berhasil mengalirkan air meskipun baru pada satu lajur talang bambu itu, namun mereka berusaha untuk tidak menceriterakannya kepada orang lain. Trima minta agar mereka tetap diam sampai saatnya beberapa jalur talang bambu itu dapat menyalurkan air sebagaimana yang satu lajur itu.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka anak-anak muda itu pun segera berbaring di pembaringan. Mereka ingin cepat tidur agar besok mereka dapat bangun pagi-pagi sekali.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi masih juga bermalam di rumah Ki Bekel. Malam itu keduanya sudah menyatakan minta diri. Esok pagi mereka akan meninggalkan padukuhan itu untuk melanjutkan pengembaraan mereka.

“Kalau saja aku seorang perempuan, maka kepergian kalian akan aku tangisi” berkata Ki Bekel.

“Contoh itu sudah siap, Ki Bekel. Anak-anak akan dapat menyelesaikan. Ketinggian tiang penyangga tidak lagi harus mengukur satu demi satu. Tinggi talang itu sudah menjadi jelas. Yang harus mereka buat adalah tinggal menyesuaikan dengan talang yang sudah ada”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia pun berkata, “Meskipun demikian, dibutuhkan api yang menyalakan minyak seberapa  pun banyaknya”

“Bukankah, niat itu sudah menyala. Tinggal memeliharanya. Jangan sampai kehabisan minyak agar api itu tetap dapat berkobar dari hari ke hari”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kalian akan pergi esok pagi-pagi sekali?”

“Kami masih akan pergi ke gumuk kecil itu, Ki Bekel. Namun sekedar untuk minta diri. Kami akan langsung meninggalkan padukuhan bahkan kademangan ini”

“Syukurlah jika kalian berdua masih sempat minta diri kepada anak-anak muda yang justru semakin tertarik kepada kerja mereka di gumuk kecil itu. Bukankah kalian juga sudah minta diri kepada Ki Demang?”

“Ya, Ki Bekel”

“Apa katanya?”

“Ki Demang mengucapkan selamat jalan. Kami diberinya tambahan uang sebagai bekal di perjalanan”

Ki Bekel mengangguk-angguk sambil berdesis, “Jadi kalian diberi bekal uang oleh Ki Demang?”

“Ya, Ki Bekel. Dengan pemberian itu Ki Demang memang menginginkan agar kami segera pergi”

“Apakah kalian memang membutuhkan uang untuk menambah bekal kalian?”

“Tidak, Ki Bekel. Kami sudah mempunyai bekal cukup”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ada sesuatu bergejolak di jantungnya. Namun Wijang dan Paksi dapat meraba, apa yang sedang dipikirkan oleh Ki Bekel itu. Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Ki Bekel, kami sudah mempunyai bekal. Ki Bekel tidak usah memikirkannya. Bahkan uang yang diberikan oleh Ki Demang itu  pun tidak dapat kami terima”

Ki Bekel menarik nafas panjang. Katanya, “Maaf, anak-anak muda. Ada terbersit niat kami untuk memberikan tambahan bekal itu. Tetapi kami terlalu miskin, sehingga jika kami mencoba memberikannya juga, tentu jumlahnya sangat sedikit”

Wijang itu pun menyahut sambil tersenyum, “Sudahlah, Ki Bekel. Sudah aku katakan, bahwa kami sudah membawa bekal yang cukup. Aku tidak sekedar membual. Jika Ki Bekel berniat memberikan tambahan bekal itu, tolong, pergunakan untuk kepentingan air yang sedang Ki Bekel perjuangkan bersama anak-anak muda padukuhan ini”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, anak muda. Kami berharap bahwa pada suatu saat kami dapat bertemu lagi tidak dalam keadaan seperti ini. Kalian tidak lagi mengenakan pakaian serta sebutan pengembara. Kami ingin bertemu kalian yang sebenarnya”

Wijang tertawa. Paksi pun tertawa pula. Dengan nada dalam Paksi pun berkata, “Inilah kami yang sebenarnya, Ki Bekel”

Tetapi Ki Bekel menjawab dengan tegas, “Tidak. Kalian bukannya anak-anak muda sebagaimana aku kenal sekarang. Mungkin nama kalian  pun berbeda. Bukan Wijang dan Paksi. Kenyataan kalian itulah yang pada suatu saat ingin aku ketahui”

Wijang dan Paksi hanya dapat tertawa.

Sejenak kemudian, ketika di luar sudah terdengar suara-suara malam di sela-sela desah angin yang lembut, maka Ki Bekel pun mempersilahkan Wijang dan Paksi untuk beristirahat.

“Aku sudah mengantuk, anak-anak muda. Aku tidak ingin besok pagi datang kemudian dari anak-anak muda itu”

“Tetapi apakah kerja Ki Bekel tidak terbengkalai karena Ki Bekel selalu berada di gumuk kecil itu?”

“Tidak, anak muda. Ada bebahu yang lain yang dapat mengerjakannya. Aku juga sudah berpesan, jika ada yang tidak terselesaikan, biarlah aku disusul di gumuk kecil itu”

Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Wijang dan Paksi pun telah berada di gandok. Sementara itu, Ki Bekel pun langsung pergi ke biliknya. Ia ingin cepat tidur agar esok pagi Ki Bekel tidak terlambat datang di gumuk kecil itu.

Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir menjelang fajar, maka Ki Bekel pun sudah siap untuk berangkat. Namun ia masih juga belum dapat bangun lebih pagi dari Wijang dan Paksi.

Nyi Bekel lah yang menjadi terlalu sibuk di dapur untuk segera mempersiapkan makan pagi bagi Ki Bekel dan kedua orang anak muda yang berada di rumahnya itu.

“Ki Bekel akan berangkat ke gumuk pagi-pagi sekali?” bertanya Nyi Bekel.

“Anak-anak juga akan datang lebih pagi. Biarlah aku datang mendahului mereka”

“Tetapi semakin lama semakin dini. Dalam sepekan mendatang, Ki Bekel akan berangkat tengah malam”

“Bukan begitu, Nyi. Bukankah semakin pagi udaranya terasa semakin sejuk? Udara belum begitu panas dan debu  pun belum terlalu banyak bertebaran”

Nyi Bekel tidak menjawab. Ia masih saja sibuk mempersiapkan makan pagi bagi Ki Bekel yang nampaknya tidak begitu sabar menunggu.

Setelah mereka selesai makan pagi dan siap untuk berangkat, Wijang pun berkata, “Ki Bekel, aku juga ingin mohon diri kepada Nyi Bekel. Nanti dari gumuk itu kami akan langsung meninggalkan padukuhan ini. Karena kami tidak akan singgah lagi di rumah ini, maka kami akan mohon diri sekarang juga”

Ki Bekel pun kemudian telan memanggil Nyi Bekel yang berada di belakang.

“Ada apa?” bertanya Nyi Bekel.

“Kedua anak muda itu akan minta diri”

“Apakah mereka jadi akan meninggalkan padukuhan ini pada hari ini?”

“Ya. Mereka akan meninggalkan kita dan padukuhan ini.

Tetapi mereka sudah meninggalkan gagasan yang sangat berarti bagi kita di padukuhan ini”

Nyi Bekel pun kemudian telah pergi menemui Wijang dan Paksi. Dengan sikap keibuan Nyi Bekel itu pun berpesan, “Hati-hati di perjalanan, Ngger. Banyak batu-batu padas yang runcing serta duri-duri yang tajam”

“Ya, Nyi. Kami akan berhati-hati” jawab Wijang.

“Jangan lupa, mohon tuntunan-Nya di sepanjang jalan. Meskipun kalian pengembara yang berpengalaman sekalipun, tanpa tuntunan-Nya, kalian akan dapat tersesat. Bukan hanya arah perjalanan kalian saja yang dapat tersesat, tetapi juga sikap dan tingkah laku. Cermatlah menjatuhkan pilihan atas masalah-masalah yang kalian hadapi”

“Ya, Nyi”

“Nah, selamat jalan anak-anak”

“Doa Nyi Bekel hendaknya menyertai kami”

“Aku akan berdoa bagi kalian”

Demikianlah, maka Wijang dan Paksi pun meninggalkan rumah Ki Bekel bersama-sama dengan Ki Bekel sendiri pergi ke gumuk kecil.

Udara pagi menjelang matahari terbit memang terasa segar. Burung-burung liar terdengar berkicau di pepohonan. Satu dua tetes embun masih menitik dari dedaunan yang basah.

Ki Bekel, Wijang dan Paksi berjalan menyusuri jalan setapak, menuju ke gumuk kecil di kaki Gunung Merapi. Untuk mengatasi dinginnya udara pagi, mereka pun berjalan dengan cepat. Sekali-sekali mereka meloncati lekuk-lekuk batu padas. Aliran air yang sama sekali tidak terarah serta bebatuan yang tersebar. Ketika mereka sampai di gumuk kecil, ternyata anak-anak muda yang mengerjakan talang bambu itu masih belum datang.

Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Hanya selang beberapa saat anak-anak muda itu sudah mulai berdatangan. Bahkan ada dua orang anak muda yang baru sekali itu ikut datang ke gumuk kecil di kaki Gunung Merapi itu.

“Kami singgah sebentar di kotak sawah Mbah Rejeb” berkata Trima.

“Air sudah mulai tergenang setelah semalam suntuk talang bambu itu mengalir” berkata anak muda yang lain.

“Syukurlah” desis Ki Bekel. “Apakah Mbah Rejeb sudah mengetahui bahwa air mulai menggenang di kotak sawahnya?”

“Mbah Rejeb ada di sawahnya. Ketika kami datang ke kotak sawahnya yang dialiri air itu, Mbah Rejeb sudah berada di sana”

“Mbah Rejeb tentu gembira sekali melihat sawahnya menjadi basah” desis Ki Bekel.

“Mbah Rejeb tadi minta maaf kepada kami” berkata Trima kemudian.

“Kenapa?” bertanya Ki Bekel.

“Ketika kami minta ijin untuk mengalirkan air ke sawahnya, Mbah Rejeb menanggapinya dengan acuh tak acuh. Bahkan Mbah Rejeb menganggap bahwa kami sedang bermimpi, meskipun Mbah Rejeb tidak berkeberatan”

Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Nanti, bukan hanya Mbah Rejeb yang menyesali sikapnya. Tetapi seisi padukuhan ini akan mengakui, bahwa gagasan ini bukan sekedar mimpi. Tetapi bahwa kita benar-benar telah memperjuangkan sebuah harapan untuk digapai”

“Kita akan mulai dengan membuat lajur-lajur berikutnya” berkata Trima kemudian.

“Ya” sahut Ki Bekel. “Tetapi sebelumnya, Wijang dan Paksi akan minta diri kepada kalian”

Anak-anak muda itu sudah mengetahui meskipun belum pasti, bahwa Wijang dan Paksi akan melanjutkan pengembaraannya. Meskipun demikian, ketika Ki Bekel mengatakannya, terasa jantung mereka pun tergetar.

Trima yang melangkah mendekat berkata, “Kenapa kalian tidak menunda keberangkatan kalian? Bukankah kita sedang asyik dengan talang air yang sudah menunjukkan awal dari keberhasilan itu?”

Wijang lah yang menjawab dengan nada berat, “Sebenarnya kami ingin menunggui perjuangan kalian merebut masa depan lebih lama lagi. Tetapi kami tidak dapat berada di satu tempat terlalu lama. Karena itu, kami minta diri. Ada panggilan lain yang harus kami jalani sesuai dengan niat kami sejak kami berangkat mengembara”

“Bagaimana jika kalian hanya sekedar menunda beberapa hari saja?”

“Kami sudah terlalu lama berhenti di sini” jawab Wijang.

Anak-anak muda yang lain pun berusaha untuk menahan agar Wijang dan Paksi tidak segera meninggalkan padukuhan itu. Tetapi Wijang dan Paksi sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan pengembaraannya.

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar