ADBM-099


<<kembali | lanjut >>

PARA PRAJURIT dari Pajang itu masih tetap tegang. Namun pemimpinnya kemudian berkata, “Marilah, kami akan mengawasi perjalanan kalian karena kalian berada di dalam wilayah kekuasaan Pajang.”

Terdengar seorang pengawal menggeretakkan giginya. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.

Para pengawal itu pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Di belakang mereka sekelompok prajurit Pajang mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Namun ketika para pengawal itu sudah memasuki Sangkal Putung, maka para prajurit itu pun segera meninggalkan mereka.

“Sebentar lagi iring-iringan Lurah Branjangan dari Mataram itu pun akan datang pula,” desis pemimpin prajurit Pajang.

“Apakah kita akan menghentikannya?” bertanya salah seorang prajurit.

Tetapi pemimpinnya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak mendapat perintah untuk melakukannya. Sampai sekarang hubungan antara Pajang dan Mataram masih belum jelas. Karena itu, jika yang lewat itu benar-benar orang Mataram, biar sajalah mereka datang Ke Sangkal Putung untuk menghadiri perayaan perkawinan itu.”

“Orang-orang Mataram menjadi semakin sombong. Apalagi setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu mendapatkan gelarnya yang baru, Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. Ia merasa seolah-olah Sultan sudah melimpahkan kekuasaan Pajang atasnya, sehingga Mataram telah berbuat apa saja menurut seleranya sendiri.”

“Mungkin tidak seburuk itu. Selama ini Senapati Untara tidak mengambil sikap yang jelas.”

“Ki Untara terlalu baik hati. Seharusnya kekuasaan Pajang di jalur lurus di bagian Selatan ini harus sudah bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ketidak-sediaan Sutawijaya untuk menghadap ke Pajang merupakan pertanda pasti, bahwa Mataram merasa dirinya sejajar dengan Pajang.”

“Tentang ketidak-sediaannya menghadap ada alasannya tersendiri yang justru dapat dimengerti oleh Sultan.”

“Ah, omong kosong.”

“Jangan membantah keteranganku,” berkata pemimpin prajurit itu kemudian, “aku hanya mendengar dari Ki Untara. Dan kita semuanya di sini menjalankan perintahnya. Kita memang tidak boleh bertindak tergesa-gesa. Saat perkawinan Senapati Untara itu sendiri, hampir saja kita sama terpancing dalam benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram. Untunglah semuanya itu dapat dicegah, dan justru Ki Lurah Branjangan sendiri ada di Jati Anom saat itu.”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyingkirkan sikapnya yang buram terhadap Mataram.

Namun dalam pada itu, para pengawal dari Mataram itu pun mempunyai sikap serupa. Seorang yang bertubuh tinggi berdesis, “Jika kami tidak menghadapi saat-saat khusus di Sangkal Putung.”

“Apa yang akan kau lakukan,” bertanya orang tertua di antara mereka.

“Aku gilas orang-orang Pajang yang sombong itu.”

“Mereka prajurit-prajurit yang menjalankan tugas. Jika terjadi pertengkaran antara para pengawal dan prajurit Pajang, maka masalahnya akan dapat merayap semakin luas. Masing-masing akan mendapat dukungan dari kawan-kawannya dan barangkali juga para pemimpinnya. Nah bayangkan, jika terjadi perselisihan antara Untara dan Ki Lurah Branjangan pada saat seperti ini. Apalagi kemudian perselisihan itu menjalar semakin luas dan didengar oleh Raden Sutawijaya yang sedang mesu raga di sepanjang Pegunungan Sewu.”

Pengawal yang bertubuh tinggi itu tidak menjawab.

Bahkan orang tertua itu melanjutkan, “Jika seandainya harus terjadi sesuatu, janganlah kita yang menjadi sebabnya.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berjalan terus dengan angan-angan yang terasa selalu menggelitik hati tentang hubungan antara Pajang dan Mataram. Bukan saja dalam tata pemerintahan, tetapi para petugas di bidang keprajuritan pun rasa-rasanya seolah-olah telah bersaing dan saling mencurigai.

Beberapa orang pengawal yang telah memasuki daerah Sangkal Putung itu pun kemudian diterima dengan baik oleh para pengawal kademangan. Mereka sama sekali tidak mencurigai setelah mereka mendengar alasan kedatangan mereka. Bahkan para pengawal itu merasa Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin aman dengan hadirnya beberapa orang pengawal dari Mataram.

Malam itu pendapa Kademangan Sangkal Putung menjadi sangat ramai. Sama sekali tidak ada kesan, bahwa kecemasan sedang mencengkam. Orang-orang yang ada di pendapa dan di halaman menyaksikan upacara ngunduh pengantin yang melalui upacara sepenuhnya seperti saat kedua pengantin itu dipertemukan di Tanah Perdikan Menoreh sebelum kemudian memasuki keramaian yang meriah.

Beberapa orang tamu yang mendapat penghormatan khusus menyaksikan urut-urutan upacara itu dengan saksama. Ki Lurah Branjangan telah duduk pula di pendapa itu disamping Untara. Sekali-sekali keduanya berbicara sambil tersenyum mengenai upacara yang sedang berlangsung itu. Namun kadang-kadang keduanya nampak merenung dalam-dalam.

Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan hatinya digelitik oleh upacara yang menarik itu. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu tidak sempat merayakan hari-hari perkawinannya karena keadaan yang tidak dapat terbatasi. Perkawinannya dengan Semangkin berlangsung begitu saja tanpa banyak orang yang mengetahui.

“Raden Sutawijaya adalah putera Sultan Hadiwijaya meskipun bukan putera kandung. Tetapi kedudukan Raden Sutawijaya tidak ubahnya dengan puteranya sendiri,” berkata Ki Lurah di dalam hatinya. “Seandainya semuanya itu berlangsung dengan wajar, maka keramaian perkawinan Raden Sutawijaya tentu akan melampaui keramaian perkawinan Swandaru dan juga perkawinan anak-anak muda yang lain.”

Dalam pada itu, Untara menganggap keramaian perkawinan Swandaru itu agak berlebih-lebihan. Meskipun Swandaru adalah seorang anak laki-laki satu-satunya dari seorang Demang di tanah yang subur seperti Sangkal Putung itu, namun keramaian yang direncanakan berlangsung beberapa hari itu sama sekali tidak menguntungkan suasana. Apalagi dalam keadaan terakhir.

“Anak itu memang terlalu manja,” berkata Untara di dalam hatinya.

Namun ketika terpandang olehnya Agung Sedayu, maka di luar sadarnya Untara mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

“Gadis yang telah mengikat Agung Sedayu untuk menghambakan diri di kademangan ini pun tentu seorang gadis yang manja. Yang tidak tahu sama sekali segi-segi kehidupan selain di seputar dirinya sendiri,” geram Untara di dalam hatinya.

Dengan kening yang berkerut-merut Untara memandang adiknya yang berdiri di halaman. Kadang-kadang nampak bahwa Agung Sedayu ikut sibuk melayani sesuatu dalam upacara itu. Karena ia seolah-olah merupakan keluarga sendiri di Kademangan Sangkal Putung, maka ia pun ikut serta melakukan beberapa macam pekerjaan yang kadang-kadang dengan tergesa-gesa.

“Gila,” geram Untara di dalam hatinya ketika ia melihat Sekar Mirah sendiri justru berdiri di serambi gandok tanpa berbuat apa-apa. Dengan asyiknya ia berbicara dengan seorang anak muda dalam pakaian yang lengkap dengan perhiasan yang mahal.

Hampir di luar sadarnya Untara bertanya kepada Ki Lurah Branjangan, “Apakah anak muda itu salah seorang pengawal dari Mataram?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Anak muda yang mana?”

Unttara tidak mau menunjuk dengan jarinya. Tetapi katanya, “Yang berdiri di serambi gandok, berbicara dengan Sekar Mirah.”

Ki Lurah mengedarkan pandangan matanya. Ketika terpandang olehnya Sekar Mirah, maka ia pun menggeleng, “Bukan. Bukan anak muda dari Mataram.”

Adalah di luar dugaaan Untara ketika orang tua yang duduk di sampingnya yang ternyata datang dari Tanah Perdikan Menoreh menjawab, “Anak muda itu bernama Prastawa. Ia adalah anak Ki Argajaya.”

Untara mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang tua itu. Kemudian dengan ragu-ragu pula ia bertanya, “Ki Argajaya adik Ki Argapati?”

“Ya. Jadi anak itu adalah kemanakan Ki Argapati.”

Untara mengangguk-angguk. Namun sekali lagi keningnya berkerut ketika ia melihat Agung Sedayu melintas di hadapan Sekar Mirah dengan tergesa-gesa sambil menjinjing nampan.

“Hem,” Untara menggeram di dalam hati, “ia sudah mengorbankan martabatnya. Di sini ia tidak lebih dari seorang pelayan. Meskipun ayah bukan seorang Demang, tetapi Ki Sadewa adalah orang yang dihormati di Jati Anom. Dan aku adalah seorang senapati di daerah ini. Sementara itu Agung Sedayu telah merendahkan dirinya karena ia harus mencium telapak kaki seorang perempuan padukuhan yang sombong dan manja.”

Tetapi Untara tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap kali ia melihat Agung Sedayu yang sibuk, terasa giginya seolah-olah gemeretak.

Upacara pengantin itu telah berlangsung semakin jauh. Ketika Upacara yang pokok telah selesai, maka mulailah para tamu berkisar di seputar pendapa. Bahkan ada di antara anak-anak muda yang turun dan berdiri di halaman.

Sejenak kemudian, maka gamelan pun mulai berbunyi. Keramaian yang diselenggarakan di malam pertama itu justru adalah tayub. Keramaian yang merupakan kebiasaan bagi kademangan bukan saja di Sangkal Putung, tetapi juga di sekitarnya.

Semakin malam suasana menjadi semakin meriah. Satu-satu para tamu yang mendapatkan giliran, yang diisyaratkan dengan selendang, berdiri dan menari bersama penari-penari perempuan di pendapa.

Hampir semua bebahu kademangan hadir di pendapa bersama orang-orang tua dan para tamu yang bukan saja dari Kademangan Sangkal Putung. Wajah-wajah nampak menjadi gembira dan setiap bibir dihiasi dengan senyum yang cerah.

Untara dan Ki Lurah Branjangan pun mulai tersenyum-senyum ketika mereka melihat orang-orang tua yang menerima selendang harus berdiri, dan menari bersama penari-penari perempuan di tengah-tengah pendapa. Apalagi ketika terdengar oleh mereka suara tertawa yang tertahan-tahan dari ruang dalam. Ternyata perempuan-perempuan yang duduk, di ruang dalam pun sedang memperhatikan tari tayub itu lewat pintu pringgitan.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang tidak ikut duduk di pendapa melihat tari tayub itu dari kejauhan. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya jika ia melihat orang-orang di pendapa itu mulai mencicipi tuak yang dihidangkan.

“Keramaian semacam ini tidak dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh,” desis Agung Sedayu.

Namun agaknya orang-orang Sangkal Putung masih tetap menyadari, bahwa tuak itu dapat membuat mereka menjadi mabuk dan kehilangan kesadaran, sehingga karena itu maka tuak yang dihidangkan di pendapa pun tidak terlalu banyak.

Sekilas Agung Sedayu melihat Sekar Mirah masih saja berdiri di serambi gandok. Dengan tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya ia masih saja dengan asyiknya berbicara dengan Prastawa. Bahkan sekali-sekali mereka berdua tertawa dengan cerahnya. Tetapi sekali-sekali pembicaraan mereka nampak bersungguh-sungguh.

Agung Sedayu tidak mendekatinya. Ia pun kemudian berjalan lewat samping gandok di dalam gelapnya bayangan, sehingga Untara yang sedang tersenyum-senyum melihat orang-orang yang sedang menari tayub tidak melihatnya.

“Silahkan duduk di pendapa, Ngger,” seorang yang sudah separo baya mempersilahkan, “nanti kau menjadi sakit di sini.”

Agung Sedayu tersenyum. Orang itu adalah orang yang diserahi membuat dan menyediakan segala macam minuman bagi para tamu yang ada di pendapa. Minuman panas juga dari tuak legen kelapa.

“Kau tidak ikut menari tayub?”

“Hampir semuanya orang-orang tua.”

“Nanti, setelah hampir pagi. Jika orang-orang tua sudah lelah dan mulai kantuk, maka anak-anak muda akan naik ke pendapa. Lewat tengah malam para tamu tentu akan meninggalkan pendapa. Yang bermalam akan segera pergi ke pondokan, sedang yang akan pulang akan mencari kudanya. Nah, bersedialah di pendapa supaya kau mendapat sampur untuk yang pertama kali. dan mendapat kesempatan menari sepuas-puasnya. Sementara wedak pupur para penarinya masih utuh setelah mereka merias dirinya kembali untuk menari di babak berikutnya.”

Agung Sedayu tertawa. Beberapa orang yang mendengar kata-kata orang separo baya itu pun tertawa pula.

“Aku lebih senang di sini,” jawab Agung Sedayu.

Namun pembicaraan mereka itu pun terputus ketika mereka melihat Ki Jagabaya mendekati mereka. Hampir berbisik ia berkata kepada Agung Sedayu, “Aku akan mendahului.”

Agung Sedayu berdiri sambil bertanya, “Kenapa?”

“Aku akan pergi ke banjar. Mungkin anak-anak yang berada di banjar menjumpai persoalan yang perlu dipecahkan. Nanti aku akan segera kembali.”

“Kenapa lewat pintu butulan?” orang separo baya itu bertanya pula.

“Supaya kepergianku tidak mempengaruhi para tamu. Jika mereka melihat aku pergi, maka mereka yang sudah merasa lelah akan segera pamit pula meninggalkan pertemuan yang meriah ini.”

“Aku ikut Ki Jagabaya,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.

Ki Jagabaya berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Kau di sini saja, Ngger. Mungkin Anakmas Untara memerlukan kau atau saat ia pulang, ia akan minta diri kepadamu.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Namun sekilas terbersit kegelisahan di wajahnya. Seolah-olah ia melihat wajah kakaknya yang suram memandanginya dengan tajamnya.

Agung Sedayu terkejut ketika Ki Jagabaya menepuk bahunya sambil berkata, “Sudahlah, aku akan pergi. Pergilah ke pendapa. Gending-gendingnya mulai menjadi hangat.”

“Ya, ya, Ki Jagabaya,” Agung Sedayu tergagap.

Ia melihat Ki Jagabaya tersenyum. Namun hanya sekilas, karena Ki Jagabaya pun kemudian meninggalkan halaman kademangan lewat pintu butulan. Ia tidak dapat menenggelamkan diri dalam kegembiraan sepenuhnya sementara para pengawal tengah berjaga-jaga di banjar dan di gardu-gardu.

“Mudah-mudahan mereka tidak terlupakan oleh para petugas di dapur,” gumam Ki Jagabaya di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah mulai merenungi dirinya sendiri kembali meskipun di sekitarnya beberapa orang sedang sibuk menyediakan minuman. Setiap kali satu dua orang telah membawa minuman ke pendapa untuk menambah mangkuk-mangkuk yang mulai menjadi kosong.

Gamelan di pendapa terdengar semakin lama menjadi semakin hangat. Iramanya menjadi semakin cepat membawakan gending yang memang mulai menggelitik hati. Satu-satu orang yang duduk di pendapa bergantian menari. Tidak henti-hentinya.

Pandan Wangi, setelah upacara yang pokok selesai, telah berada di ruang dalam bersama perempuan-perempuan. Ia merasa letih sekali duduk bersila tanpa bergerak sama sekali. Ia lebih senang berloncatan dengan sepasang pedang di tangan. Untuk waktu yang sama, ia tentu tidak akan merasa seletih saat itu. Duduk dengan kaku dan dicengkam oleh perasaan segan.

Namun akhirnya suara gamelan di pendapa pun mulai menurun. Ketika tengah malam telah lewat, mulailah para tamu menjadi letih. Apalagi para tamu yang datang dari tempat yang jauh.

“Kami tidak dapat menunggu sampai fajar,” desis Ki Lurah Branjangan di telinga Untara, “karena itu, kami terpaksa minta diri. Di pagi hari kami baru sampai di Mataram.”

Untara pun menegakkah punggungnya yang terasa mulai pegal. Ia pun kemudian menjawab, “Aku juga harus minta diri.”

Karena itulah, maka ketika orang-orang terpenting yang ada di pendapa itu minta diri, maka gamelan pun kemudian terdiam.

“Masih sore,” berkata Ki Demang ketika Untara dan Ki Lurah Branjangan minta diri.

“Kami tidak dapat meninggalkan tugas kami,” jawab Untara, “terima kasih atas kesempatan ini. Kami terpaksa minta diri.”

“Kami, keluarga di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Anakmas Untara dan Ki Lurah Branjangan.”

Keduanya tersenyum. Jawab Ki Lurah, “Lain kali kami di Mataram mengharap kunjungan sepasang pengantin itu.”

Ki Demang tersenyum. Swandaru dan Pandan Wangi yang kemudian dipanggil itu pun tersenyum pula.

Namun dalam pada itu, wajah Untara segera berubah ketika ia melihat Agung Sedayu mendekatinya dan berdiri di bawah tangga pendapa. Ia pun kemudian beringsut pula, dan bersama-sama dengan Ki Lurah Branjangan, diikuti oleh Ki Demang, sepasang pengantin dan orang-orang tua, maka mereka pun turun pula ke halaman.

Ketika ia berdiri di hadapan Agung Sedayu, maka ia pun berdesis perlahan-lahan, “Apakah kau masih tetap akan menghambakan diri di sini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dan Untara pun tidak bertanya lebih lanjut ketika ia melihat Sekar Mirah dan Prastawa datang pula mendekat.

Sekali lagi Untara dan Ki Lurah Branjangan minta diri. Para pengawal segera menyiapkan kuda mereka dan kemudian mengiringi para pemimpin dari Mataram dan Pajang itu meninggalkan halaman.

Di regol halaman Untara sekali lagi sempat berbisik di telinga Apung Sedayu, “Sedayu, aku tidak mengira bahwa akhirnya kau hanyalah seorang budak yang tidak mempunyai gairah hidup sama sekali selain menghambakan diri karena cengkaman kecantikan wajah seorang perempuan.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan terasa lehernya bagaikan tersumbat.

Ia masih melihat Untara tersenyum sambil mengangguk sekali lagi. Kemudian senapati muda itu pun dengan sigapnya meloncat ke punggung kudanya diiringi oleh para pengawalnya.

Ki Lurah Branjangan pun berkuda di sampingnya. Para pengawal dari Mataram segera menempatkan diri di belakang beberapa orang pengawal yang mengiringi Untara.

Terasa ada batas yang melintang antara para pengawal dari Mataram dan para prajurit Pajang. Mereka sama sekali tidak menegur sapa. Bahkan antara kedua kelompok itu telah tanpa sengaja dibatasi jarak beberapa langkah.

Meskipun demikian, untuk beberapa lama Ki Lurah Bianjangan dan Untara bercakap-cakap dengan asyiknya. Bahkan sekali-kali terdengar keduanya tertawa. Agaknya keduanya membiarkan keramaian yang baru saja dikunjunginya di Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, gejolak perasaan Untara yang muda tidak dapat ditenangkannya ketika kemudian Ki Lurah Branjangan menyebut nama Agung Sedayu.

“Anak yang tidak tahu diri,” geram Untara.

Ki Lurah Branjangan menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Kenapa?”

“Apakah yang ditungguinya di Sangkal Putung. Ia mempunyai rumah meskipun barangkali tidak begitu baik di Jati Anom. Ia mempunyai saudara tua, mempunyai Paman di Banyu Asri yang dapat menjadi tempat menumpang. Bukan saja lahirnya, tetapi juga untuk mendapatkan tuntunan batin.” Ia terhenti sejenak, lalu, “Tetapi ia memilih berada di Sangkal Putung. Di tempat orang lain yang sama sekali tidak mempunyai sangkut paut. Jika ia terikat oleh seorang gadis yang bernama Sekar Mirah, seharusnya ia dengan dada tengadah melamarnya. Mungkin aku, mungkin Paman Widura, mungkin pula gurunya Kiai Gringsing. Tetapi dari Jati Anom. Sekelompok orang-orang tua datang ke Sangkal Putung dengan membawa kelengkapan upacara.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas. Katanya kemudian, “Mungkin karena gurunya juga berada di Sangkal Putung.”

“Gurunya memang orang aneh. Aku sudah menawarkan untuk membangun sebuah padepokan. Jika Swandaru ingin berguru kepadanya, biarlah ia datang dan menghambakan diri di padepokan itu.”

“Memang aneh,” tiba-tiba saja Ki Lurah bergumam.

“Agung Sedayu seharusnya mulai memikirkan hari depannya. Ia seorang laki-laki yang pantas untuk menjadi seorang senapati, karena ia mempunyai ilmu yang cukup, meskipun sudah barang tentu ia harus mulai dari tataran yang memungkinkan. Sudah barang tentu ia tidak akan langsung menjadi seorang Panglima di suatu daerah yang luas atau menjadi seorang perwira yang berkedudukan tinggi. Namun ia harus mulai. Jika ia tidak mulai sekarang, maka ia akan terlambat. Dan ia akan tetap menjadi budak isterinya kelak.”

Ki Lurah Branjangan masih saja mengangguk-angguk. Namun baginya, Agung Sedayu memang agak aneh.

Tetapi Ki Lurah mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Untara berkata, “Agung Sedayu harus menjadi seorang prajurit. Aku akan membawanya ke Pajang yang mungkin akan mengirimkannya ke tlatah yang agak jauh. Mungkin ke Pesisir Utara, mungkin ke Bang Wetan.”

Ada sesuatu yang terasa menyentuh perasaan Ki Lurah Branjangan. Mula-mula ia berusaha untuk menekan perasaan itu. Agaknya ia merasa segan untuk melepaskan anak muda yang bernama Agung Sedayu itu pergi ke daerah yang jauh dan sulit untuk dapat bertemu lagi.

Tetapi ternyata bahwa Ki Lurah pun kemudian menyadari, bahwa yang telah bergejolak di hatinya bukan sekedar perasaan segan untuk berpisah. Sebenarnyalah telah timbul suatu harapan di hatinya, bahwa Agung Sedayu, Swandaru, dan terutama gurunya akan dapat mengerti perjuangan yang sedang ditempuh oleh Mataram, sehingga mereka akan tetap berada di dalam lingkungan perjuangan tegaknya Mataram.

Namun Ki Lurah tidak dapat mengucapkannya selain kepada dirinya sendiri, sehingga karena itu maka ia pun hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

Tetapi agaknya Untara masih berbicara berkepanjangan tentang Agung Sedayu. Rasa-rasanya pepat di dadanya ingin ditumpahkannya.

Sebagian dari kegelisahan Untara sebagai seorang kakak yang melihat adiknya meningkat dewasa dapat dimengerti sepenuhnya oleh Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata bahwa Ki Lurah Branjangan tidak dapat mengelakkan kepentingan Mataram di dalam persoalan Agung Sedayu yang pasti akan menyangkut juga Swandaru dan gurunya.

“Swandaru akan memerintah di dua tlatah yang letaknya berseberangan di sebelah-menyebelah Mataram. Kedudukannya akan mempunyai arti yang penting kelak. Sangkal Putung yang subur dan termasuk kademangan yang besar di sebelah Timur Mataram, dan Tanah Perdikan Menoreh yang kuat di sebelah Barat,” katanya di dalam hati.

Namun pembicaraan mereka tidak dapat berlangsung lebih lama lagi ketika kemudian Untara berkata, “Maaf, Ki Lurah. Aku tidak dapat berjalan terus. Aku harus berbelok ke kanan.”

“O,” Ki Lurah tersenyum, “kenapa tidak sekali-sekali menempuh jalan lurus.”

“Ke Mentaok?” Untara tertawa.

Ki Lurah pun tertawa.

“Seharusnya Ki Lurah-lah yang singgah barang sejenak ke Jati Anom. Aku akan menjamu Ki Lurah dengan tuak legen batang aren.”

Ki Lurah mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Terima kasih. Terima kasih, Anakmas. Lain kali aku akan singgah di Jati Anom.”

Akhirnya keduanya berpisah. Ketika Untara berbelok ke kanan, maka pengawal-pengawalnya pun mengikutinya pula. Sementara itu para pengawal Ki Lurah segera mengambil alih tempat para pengawal dan mendekat beberapa langkah di belakang Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Branjangan cukup bijaksana menanggapi keadaan, sehingga karena itu maka ia tidak menanyakan apa pun juga tentang sikap para pengawal. Apalagi di Sangkal Putung ia sudah mendengar laporan meskipun serba singkat tentang para peronda dari Jati Anom yang telah menghentikan beberapa orang pengawal Mataram yang diperintahnya mendahului.

Yang menjadi pikiran Ki Lurah Branjangan adalah justru tentang Agung Sedayu. Namun Ki Lurah pun menyadari sepenuhnya, bahwa Untara memang berhak untuk berusaha menarik adiknya ke luar dari lingkungan Sangkal Putung. Apalagi Ki Lurah tahu bahwa alasan Untara sama sekali bukanlah karena Agung Sedayu akan berkaitan dengan Swandaru yang akan memerintah Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, juga tidak karena kebetulan guru Agung Sedayu adalah Kiai Gringsing yang disebut orang bercambuk. Alasan Untara untuk menarik adiknya dari Sangkal Putung semata-mata adalah karena alasan keluarga.

Perjalanan Ki Lurah di gelapnya malam sama sekali tidak menjumpai rintangan apa pun juga. Hutan Tambak Baya dan Hutan Mentaok yang masih tersisa ternyata tidak lagi dihuni oleh para penjahat. Juga tidak menjadi tempat bersembunyi sisa-sisa penjahat yang dihancurkan oleh para pengawal dari Sangkal Putung.

Ketika pagi mulai cerah, iring-iringan yang berjalan tidak terlalu cepat, bahkan sekali mereka harus berhenti memberikan kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat, barulah memasuki kota Mataram yang semakin ramai. Tetapi para pengawal pintu gerbang kota dan juga para pegawai regol halaman rumah Sutawijaya sama sekali tidak terkejut, karena Ki Lurah Branjangan memang sudah mengatakan, bahwa mereka akan pulang dan akan sampai di Mataram pada pagi hari.

“Kami tidak akan bermalam karena keadaan yang gawat, apalagi karena Raden Sutawijaya tidak ada di tempat,” berkata Ki Lurah ketika ia berangkat.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Untara yang tidak terlampau jauh berkuda di malam itu, lebih dahulu telah berada di Jati Anom. Namun kejengkelannya terhadap Agung Sedayu agaknya benar-benar telah mencengkam hatinya. Pagi-pagi, ketika matahari mulai naik dan di Mataram saat Ki Lurah Branjangan memasuki biliknya selelah mencuci tangan dan kakinya, serta seorang pengawal belum lagi selesai menyelarak pintu kandang kuda di belakang gandok kanan, Untara telah berkuda ke Banyu Asri. Rasa-rasanya ia tidak tahan lagi menyimpan gejolak perasaannya tentang Agung Sedayu.

“Paman,” berkata Untara kepada Widura, “kita harus berbuat sesuatu.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Kita harus memanggilnya dan bertanya, apakah ia sudah ingin segera kawin. Jika ia ingin kawin, ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai seorang laki-laki yang akan kawin.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Untara. Tetapi terhadap Agung Sedayu kita tidak boleh tergesa-gesa. Aku akan mencoba menghubunginya dan bertanya kepadanya apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”

“Ia tidak boleh membiarkan dirinya diperbudak oleh perempuan itu, betapa pun cantik wajahnya.”

Widura mengangguk-angguk. Ia mengenal kedua kemanakannya itu dengan baik. Ia mengenal Untara, selain sebagai kemanakannya, juga sebagai seorang perwira atasannya sebelum ia mengundurkan diri dari keprajuritan. Dan ia pun mengenal Agung Sedayu sejak anak itu belum mengalami perubahan badani dan jiwani.

“Untara,” berkata Widura, “baiklah aku akan menemuinya di Sangkal Putung, sekaligus aku akan bertemu dengan Ki Demang. Aku tidak datang di hari perkawinan anaknya. Karena itu aku akan maaf. Dengan demikian maka kedatanganku ke Sangkal Putung bukanlah semata-mata untuk menemui Agung Sedayu.”

“Jika seandainya Paman pergi semata-mata untuk menemui Agung Sedayu, apa salahnya?” sahut Untara. “Paman adalah paman Agung Sedayu. Paman adalah pengganti orang tuanya seperti juga aku.”

“Tentu tidak ada salahnya. Tetapi jika aku datang dengan tidak semata-mata menemui Agung Sedayu pun tidak ada salahnya. Jika aku harus memilih di antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak ada salahnya, maka aku akan memilih yang kedua.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Paman. Tetapi bagiku, Agung Sedayu harus menyatakan dirinya dengan tegas, karena ia adalah seorang laki-laki.”

Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti, Untara. Dan aku akan mencoba berbuat sesuatu bagi Agung Sedayu.”

“Ia sudah berhasil memecahkan dinding ketakutan yang selalu mengungkungnya. Tetapi kini ia jatuh dalam suatu kungkungan yang lebih buruk dari ketakutan. Lebih baik ia menjadi seorang penakut seperti dahulu dan tinggal di rumah atau di rumah Paman dengan ketakutan tanpa berani beranjak sama sekali, daripada ia menjadi seorang yang memiliki ilmu kanuragan, bahkan disebut sebagai murid orang bercambuk yang mempunyai kekuatan tiada taranya, tetapi terikat dalam perbudakan di bawah kuasa seorang gadis Sangkal Putung.”

“Ya, ya aku mengerti, Untara,” Widura mengangguk-angguk, “berilah aku waktu. Aku akan mencobanya. Pada dasarnya Agung Sedayu adalah seorang laki-laki. Mungkin belum terbuka jalan baginya sehingga ia masih saja seperti sekarang ini.”

Untara menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin mengendapkan isi dadanya yang bergejolak.

Beberapa saat lamanya Untara berada di rumah pamannya karena ia ingin menumpahkan pepat hatinya memikirkan adiknya. Agaknya bagi Untara, Agung Sedayu merupakah masalah yang lebih rumit daripada tugas-tugas keprajuritannya.

Setelah tuntas, barulah Untara minta diri kembali ke rumahnya yang masih saja dipergunakan untuk kepentingan keprajuritan Pajang yang berada di Jati Anom.

Sepeninggal Untara, Widura-lah yang kemudian merasa dibebani oleh suatu kuwajiban yang cukup rumit. Jika ia mempersoalkan Agung Sedayu itu berarti bahwa ia akan berhubungan dengan Swandaru, saudara seperguruannya, Sekar Mirah, gadis yang telah mengikat hati Agung Sedayu, tetapi dengan demikian berarti juga ia harus berhubungan dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dan terlebih-lebih lagi adalah Kiai Gringsing yang telah mengolah Agung Sedayu sampai tingkatnya yang sekarang.

Tetapi Widura tidak boleh ingkar. Ia adalah paman Agung Sedayu yang memang mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu bagi Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Widura pun telah menentukan sikapnya. Ia harus pergi ke Sangkal Putung. Berbicara langsung dengan Agung Sedayu tanpa ada yang disembunyikannya. Ia harus mendapatkan kesempatan itu.

Tetapi Widura masih harus menunggu satu dua hari setelah keramaian di Sangkal Putung menjelang hari-hari terakhir. Dengan demikian ia tidak akan menumbuhkan gangguan, setidak-tidaknya gangguan perasaan bagi Agung Sedayu dan mungkin beberapa orang lain di Sangkal Putung.

Sementara itu keramaian di Sangkal Putung berjalan terus. Di malam berikutnya, beberapa jenis pertunjukan akan dipergelarkan. Tetapi Sangkal Putung tidak juga lengah. Para pengawal tetap meronda setiap saat. Jalan-jalan kecil tidak terlampaui oleh para pengawal berkuda yang mengelilingi Sangkal Putung benar-benar nampak hidup. Anak-anak muda merasa mendapat kegembiraan yang meriah. Bahkan bukan saja pertunjukan yang ramai dan menggembirakan, tetapi juga makanan yang melimpah ruah.

Agung Sedayu sendiri rasa-rasanya benar-benar telah tenggelam dalam upacara perkawinan dengan segala keramaiannya itu. Ia merasa dirinya berkewajiban untuk membantu sejauh dapat dilakukan. Apalagi karena ia mersa bahwa dirinya akan menjadi bagian dari keluarga Kademangan Sangkal Putung itu.

Sementara itu, Sekar Mirah sendiri sibuk berangan-angan. Bahkan kadang-kadang ia tenggelam di dalam dunia khayalannya menjelang hari-hari perkawinannya sendiri.

Tetapi bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu rasa-rasanya sangat menjengkelkan. Pada anak muda itu tidak terasa adanya api kegairahan yang dapat membakar ikatan cinta mereka. Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang diam dan banyak melakukan kerja yang sama sekali tidak berarti. Jika Agung Sedayu merasa dirinya telah melakukan sesuatu sebagai seorang anggauta keluarga di Sangkal Putung, dan kadang-kadang terdengar gemeremang orang-orang yang memuji kerajinannya dalam kerja itu, maka setiap kali Sekar Mirah selalu memalingkan wajahnya jika ia melihat anak muda itu ikut membawa nampan berisi makanan dan minuman.

“Ia lebih senang dengan kerja seorang bukan pemimpin di dalam lingkungan ini,” desah Sekar Mirah di dalam hatinya.

Dan agaknya sifat yang tidak ada pada Agung Sedayu itu ditemuinya pada Prastawa. Dengan dada tengadah maka setiap kali Prastawa memanggil seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan memberikan beberapa perintah kepadanya. Bahkan, kadang-kadang dengan lantang ia berkata kepada pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu, “Aku haus. Pergilah ke belakang. Ambil semangkuk minum buatku.”

Diam-diam Sekar Mirah memuji sikap itu. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya anak muda ini mempunyai sifat seorang pemimpin. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu yang lebih senang merendahkan dirinya dan bertingkah laku sebagai seorang pelayan.”

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menyadarinya. Ia adalah seorang anak muda yang rendah hati, yang tidak menolak kerja apa saja yang harus dilakukannya. Namun justru karena itu, maka Sekar Mirah menjadi kecewa karenanya.

Dalam pada itu, setelah keramaian di Sangkal Putung mulai mereda meskipun masih juga terdapat beberapa pertunjukan di pendapa kademangan, Widura dengan hati yang berdebar-debar pergi ke Sangkal Putung. Atas permintaan Untara, maka Widura membawa dua orang pengawal yang akan dapat membantunya jika di perjalanan mereka menjumpai sesuatu yang tidak dikehendaki.

Tetapi jalan ke Sangkal Putung dari Jati Anom nampaknya memang sudah benar-benar aman. Mereka tidak menjumpai gangguan apa pun juga. Bahkan mereka melihat orang-orang yang sibuk bekerja di sawah yang digenangi air.

Kedatangan Widura di Kademangan Sangkal Putung ternyata diterima Ki Demang yang memang mengharapkan, bahwa masih akan hadir seorang tamu dari Jati Anom.

Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing karena sudah agak lama mereka tidak bertemu.

“Maaf Ki Demang,” berkata Widura kemudian, “aku berhalangan datang saat kedua pengantin dipertemukan dalam upacara ngunduh beberapa hari yang lalu.”

Ki Demang tersenyum. Jawabnya, “Doa keluarga di Banyu Asri telah melimpah bagi keluarga di Sangkal Putung. Semuanya sudah berjalan dengan selamat sesuai dengan rencana.”

Widura mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang sepasang pengantin yang nampaknya dapat saling menyesuaikan diri.

“Pandan Wangi agaknya menjadi kerasan di sini,” berkata Ki Demang.

“Sukurlah. Mudah-mudahan untuk seterusnya kedua pengantin itu akan menemukan kebahagiaan.”

Dalam saat-saat mereka berbicara dengan asyiknya, Sekar Mirah telah menghidangkan minuman panas dan makanan bagi tamunya. Sementara Ki Demang pun segera mempersilahkannya.

Sekilas Widura memandang Sekar Mirah yang beringsut surut setelah meletakkan hidangan. Sambil tersenyum Widura berkata, “Berapa lama aku tidak melihat Sekar Mirah. Kini kau sudah benar-benar seorang gadis dewasa.”

Sekar Mirah menjadi tersipu-sipu. Kepalanya tunduk dalam-dalam. Sepercik warna merah telah mewarnai pipinya yang terasa panas.

“Ya,” Ki Demang-lah yang menjawab, “ia memang sudah merasa seorang gadis dewasa.”

“Ah,” Sekar Mirah berdesah sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan pendapa.

Ki Widura tertawa. Sekilas dipandanginya wajah kemanakannya yang ikut duduk di pendapa itu bersama Swandaru, Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar.

Sejenak kemudian pembicaraan pun menjadi semakin ramai. Sekali-sekali pembicaraan itu menyentuh keadaan di Kademangan Sangkal Putung pada saat terakhir. Namun kemudian pembicaraan itu pun kembali lagi kepada pengantin yang masih dalam suasana keramaian itu.

Meskipun nampaknya sekali-sekali ikut pula tertawa, namun terasa keringat dingin mengalir di punggung Agung Sedayu. Agaknya ia mempunyai tanggapan yang tepat tentang kehadiran pamannya. Justru beberapa hari setelah kakaknya menunjukkan sikap yang kurang senang terhadapnya.

Karena itulah, maka di antara senyum dan tertawa di bibirnya. Agung Sedayu pun merasa dadanya semakin lama menjadi semakin pepat.

Sekar Mirah yang kemudian berlari ke ruang dalam sempat berhenti sejenak mencubit lengan Pandan Wangi yang duduk di antara beberapa orang perempuan yang masih sibuk. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu langsung turun ke halaman belakang dan pergi ke longkangan.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya ketika ia melihat Prastawa yang memasuki longkangan itu pula dari halaman samping.

“Siapakah tamu itu?” bertanya Prastawa.

“Paman Widura,” jawab Sekar Mirah.

“Ya, tetapi siapa? Seorang senapati? Seorang Demang?”

“Jelas bukan seorang senopati. Ia tidak berpakaian seorang prajurit.”

“Mungkin ia seorang perwira prajurit. Tetapi karena ia datang ke tempat keramaian pengantin, maka ia tidak mengenakan pakaian seorang perwira.”

Tetapi Sekar Mirah menggeleng. Katanya, “Ia memang bekas seorang perwira. Tetapi sekarang ia bukan lagi seorang prajurit.”

Prastawa mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah keperluannya datang kemari? Apakah sekedar menengok Swandaru atau ada keperluan lain?”

“Ia paman Kakang Agung Sedayu,” jawab Sekar Mirah.

Prastawa mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa ia kemari?”

Sekar Mirah heran mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ialah yang bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah Kakang Swandaru masih dalam suasana upacara ngunduh pengantin.”

Prastawa termangu-mangu. Lalu katanya, “Tetapi kenapa ia baru datang sekarang, setelah keramaian hampir selesai seluruhnya.”

“Tentu aku tidak tahu sebabnya. Mungkin Paman Widura berhalangan hadir sampai saat ini. Mungkin ada persoalan-persoalan lain yang aku tidak mengetahui.”

Prastawa memandang wajah Sekar Mirah dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku akan ikut menemuinya di pendapa.”

“He? Kenapa kau akan ikut menemuinya? Kau belum pernah mengenalnya.”

“Apa salahnya? Aku akan memperkenalkan diriku.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sejenak ia terkenang apa yang pernah terjadi di daerah yang luas di sekitar Gunung Merapi. Pertempuran yang pernah membakar daerah di sekitar Sangkal Putung, namun yang kemudian menjalar sampai ke Tambak Wedi. Saat Sidanti masih dengan garangnya menggenggam senjata bersama gurunya sebelum ia terdesak dan bergeser keseberang Kali Praga, mencari kekuatan di kampung halamannya. Di antara pendukungnya adalah pamannya, Ki Argajaya, ayah Prastawa.

“Apakah Prastawa akan menyebut dirinya anak Ki Argajaya?” bertanya Sekar Mirah di dalam hatinya. “Lalu bagaimanakah tanggapan mereka tentang anak Ki Argajaya.”

Justru karena Sekar Mirah nampak merenung, Prastawa masih tetap berada di tempatnya. Dengan heran ia kemudian bertanya, “Apakah yang sedang kau pikirkan?”

Sekar Mirah termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Apakah kau merasa perlu untuk menemui mereka yang berada di pendapa itu?”

Prastawa tiba-tiba saja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Agaknya kau berpikir tentang aku. Tentang ayahku yang pernah berada di daerah ini, terutama di Padepokan Tambak Wedi. Apa salahnya aku menyebut kenyataan tentang diriku. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan bahkan Ki Demang sudah mengetahui siapa aku.”

“Tetapi Ki Widura dan Untara belum.”

“Aku tidak peduli, apakah mereka akan menganggap aku seperti juga ayahnya. Tetapi aku tidak dapat ingkar, bahwa aku adalah anak Argajaya.”

Sekar Mirah terdiam sejenak. Baginya sikap itu menunjukkan sikap yang jantan. Namun ia masih memikirkan akibatnya jika ada orang yang tidak dapat mengendalikan perasaannya.

Karena Sekar Mirah masih tetap ragu-ragu, maka Prastawa pun kemudian berkata, “Baiklah, Mirah. Aku tidak akan ikut menemui Ki Widura itu di pendapa. Mudah-mudahan benar yang kau katakan, bahwa kedatangannya adalah sekedar menengok Swandaru dan Pandan Wangi karena ia tidak sempat datang pada hari yang pertama.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba saja ia tertawa sambil bertanya, “He, kau kira ia mau apa?”

Prastawa memandang Sekar Mirah dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bergeser sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Aku akan ke gandok.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Dipandanginya saja Prastawa yang melangkah meninggalkannya. Anak muda itu menundukkan kepalanya dan tanpa berpaling ia hilang di balik pintu longkangan.

Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu. Sesuatu terasa bergejolak di dalam hatinya. Tetapi Sekar Mirah tidak mau memikirkannya lebih panjang. Karena itulah maka ia pun segera masuk kembali ke dapur dan menenggelamkan diri dengan kerja bersama perempuan-perempuan yang sibuk membantu ibunya.

Di pendapa, orang-orang tua itu masih saja berbincang tentang berbagai macam persoalan. Namun nampaknya pembicaraan mereka benar-benar pembicaraan orang-orang tua sehingga persoalan yang mereka percakapkan pun adalah persoalan yang banyak menyangkut masalah orang-orang tua.

Namun demikian setiap kali Widura memandang Agung Sedayu yang menjadi semakin gelisah. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi pakaiannya.

Apalagi ketika Widura kemudian berkata kepadanya, “Agung Sedayu. Nampaknya kau ikut sibuk pula selama hari-hari perkawinan saudara seperguruanmu.”

Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi terasa suaranya tersangkut di kerongkongan.

“Saudaramu di Jati Anom sudah merasa rindu kepadamu. Apakah kau tidak ingin sekali-kali menengok Jati Anom? Jalan-jalan yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon turi itu kini sedang kembang. Setiap hari banyak sekali anak-anak yang mencari bunganya yang lebat.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“He, Agung Sedayu. Bukankah kau sekali-sekali ingin juga melihat kampung halamanmu itu?”

Agung Sedayu mengangguk. Ketika sekilas ia memandang wajah gurunya, dilihatnya gurunya itu tersenyum.

“Jika kau ingin pergi juga barang satu dua hari ke Jati Anom atau ke Banyu Asri, marilah, nanti kita pergi bersama-sama,” sambung Widura.

Nampak keragu-raguan yang sangat membayang di wajah Agung Sedayu. Namun sebelum ia menjawab, Ki Demang sudah mendahuluinya, “Tetapi keramaian hari perkawinan Swandaru belum selesai. Kita masih akan merayakannya malam nanti.”

Ki Widura tertawa. Katanya, “Bukankah Agung Sedayu sudah cukup mengikuti keramaian di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kademangan Sangkal Putung? Meskipun demikian terserah kepada Agung Sedayu sendiri. Aku hanya menyampaikan pesan kawan-kawan bermain, saudara-saudaranya dan keluargaku sendiri di Banyu Asri.”

Ki Demang memandang Agung Sedayu sejenak. Nampak kegelisahan yang sangat sedang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Berbagai macam persoalan telah menggelepar di dalam dadanya.

“Tentu kau tidak akan tergesar-gesa,” berkata Ki Demang.

Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Setiap kali ia memandang wajah pamannya dan berpindah ke wajah Ki Demang, hatinya serasa terguncang.

Dalam kegelisahan itu, seolah-olah Agung Sedayu ingin melarikan dirinya. Itulah sebabnya maka kemudian dipandanginya wajah gurunya, wajah Ki Sumangkar, dan Ki Waskita.

Namun dalam pada itu, yang terdengar adalah suara Swandaru, “Paman, agaknya Agung Sedayu masih tetap ingin tinggal beberapa lama lagi di Sangkal Putung.”

Ki Widura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah demikian Agung Sedayu?”

Ternyata Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Tetapi sekali lagi Swandaru berkata, “Kau tetap di sini, Kakang. Aku memerlukanmu.”

Jawaban itu benar-benar telah menggetarkan hati Ki Widura. Hanya karena umurnya yang sudah cukup masak seperti juga sikapnya, maka di wajahnya sama sekali tidak nampak perubahan kesan perasaannya.

Rasa-rasanya Agung Sedayu seperti duduk di atas bara. Sekali lagi ia memandang wajah gurunya, seolah-olah minta agar gurunya memberikan jawaban yang dapat sekedar memberinya kesempatan untuk bernafas.

“Ki Widura,” berkata Kiai Gringsing kemudian yang agaknya mengerti perasaan muridnya, “sebenarnyalah bahwa keluarga di Jati Anom tentu sudah rindu kepada Agung Sedayu. Namun apakah Ki Widura sendiri tidak akan tinggal satu atau dua malam di Kademangan ini?”

“O,” Widura tertawa, “tentu tidak, Kiai. Aku harus segera kembali.”

“Sebenarnya Agung Sedayu juga sudah sering berkata kepadaku, bahwa ia sekali-sekali ingin menengok kampung halamannya. Tetapi rupa-rupanya ia selalu disibukkan oleh persoalan-persoalan yang setiap saat timbul di kademangan ini. Apalagi kini. Karena itu, apakah Ki Widura berkeberatan jika Agung Sedayu menunggu sampai keramaian ini selesai?”

Widura mengangguk-angguk. Tetapi sekali lagi ia mengembalikan persoalannya kepada Agung Sedayu, “Terserahlah kepadamu, Agung Sedayu.”

Namun ketegangan di hati Widura terasa semakin memuncak ketika Swandaru menjawab, “Paman. Sebaiknya Paman tidak usah memaksa atau menyudutkan Kakang Agung Sedayu ke dalam kesulitan. Seandainya Kakang Agung Sedayu ingin pergi sekalipun, aku akan berkeberatan, karena aku justru saat ini sangat memerlukannya.”

“Apakah yang dapat dilakukan Agung Sedayu di sini?” bertanya Widura. Nada suaranya sama sekali tidak berubah dan senyumnya masih juga menghiasi bibirnya.

“Banyak sekali yang dapat dilakukannya. Agaknya jika Kakang Agung Sedayu tidak ada di Kademangan Sangkal Putung saat keramaian ini, banyak pekerjaan yang terbengkelai.”

“Apakah begitu?” bertanya Widura.

“Ya, Paman. Kakang Agung Sedayu ternyata mampu membagi kerja di antara anak-anak muda Sangkal Putung.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Sambil memandang Agung Sedayu ia bertanya, “Apakah benar begitu, Agung Sedayu? Jika benar, maka aku ternyata beruntung sekali. Jika kelak aku mempunyai keperluan apa pun juga, aku sudah mempunyai seorang tenaga yang akan mampu mengendalikan perhelatan itu.”

“Ah,” desis Agung Sedayu.

“Maksudku, Kakang Agung Sedayu mempunyai kesigapan berpikir,” potong Swandaru, “bukan berarti Kakang Agung Sedayu harus melaksanakannya sendiri.”

“Tetapi agaknya Agung Sedayu juga mampu melakukannya,” sahut Widura.

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun Ki Demang-lah yang kemudian menjawab, “Bagi Swandaru, Agung Sedayu adalah orang yang paling akrab karena ia adalah seperguruan.”

Widura mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bagiku semuanya tergantung sekali kepada Agung Sedayu. Meskipun Anakmas Swandaru memerlukannya, tetapi Agung Sedayu ingin kembali ke Jati Anom, mungkin sehari dua hari, atau bahkan seterusnya pun tentu tidak akan dapat menahannya.”

Wajah Swandaru tiba-tiba saja menjadi merah. Ia merasa tersinggung oleh jawaban Widura. Tetapi ia pun mengakui bahwa yang dikatakan oleh Widura itu adalah benar.

Kiai Gringsing-lah yang kemudian dengan tergesa-gesa menjawab, “Agaknya memang demikian. Semuanya terserah kepada Agung Sedayu. Tetapi aku dan orang-orang tua yang selalu berhubungan dengan Agung Sedayu bukan saja lahiriah, tetapi juga batin, tentu saja dapat ikut memberikan pendapat barang sedikit kepadanya.”

“Tentu, Kiai,” jawab Widura, “semua pendapat dan barang kali permintaan akan menjadi bahan pertimbangan Agung Sedayu. Tetapi tidak seorang pun yang dapat menahannya jika ia memang menghendaki. Kecuali jika Kiai Gringsing ingin mempergunakan wewenang Kiai sebagai seorang guru yang harus dipatuhi oleh muridnya. Jika demikian maka Kiai memang dapat memaksakan kehendak Kiai kepada anak muridnya.”

“Ah,” desah Kiai Gringsing, “tentu bukan maksudku. Sebenarnyalah bagi aku semuanya kembalikan saja kepada Agung Sedayu. Sebenarnya aku juga menganjurkannya untuk barang sehari dua hari menengok kampung halaman meskipun tidak terlalu sering.”

“Nah, itulah Kiai.”

“Tetapi jika kunjungan itu ditunda barang sehari dua hari dari kini, apakah ada keberatannya?”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahkan pembicaraan itu sudah merambat semakin jauh. Ia tidak sekedar datang mencari kesempatan untuk berbicara dengan Agung Sedayu sendiri. Tetapi ia telah terdorong dalam suatu pembicaraan yang terbuka tentang Agung Sedayu, seolah-olah Agung Sedayu merupakan seseorang yang sedang dalam kedudukan yang harus ditentukan oleh orang lain.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu menjadi bingung. Ia kini merasa, betapa kecilnya dirinya di antara orang-orang yang sedang berbicara tentang dirinya. Mereka adalah orang-orang yang dapat menentukan sikap setidak-tidaknya tentang diri mereka sendiri.

“Tetapi aku?” pertanyaan itu melonjak di hati Agung Sedayu.

Dalam keadaan seperti yang sedang mencengkamnya Agung Sedayu merasa, bahwa sifat-sifatnya tidak menentu ternyata telah membuatnya bagaikan kapuk yang pecah dari kulitnya ditiup angin yang kencang.

Jantungnya terasa bagaikan disengat ketika ia mendengar pamannya berkata, “Semuanya tergantung kepada keputusanmu, Agung Sedayu, tidak kepada orang lain. Gurumu, satu-satunya orang yang berhak menentukan sesuatu tentang dirimu, karena kau adalah muridnya, sudah berkata kepadaku, bahwa segala sesuatunya tergantung kepadamu.”

Terasa beban di hatinya menjadi semakin berat, sehingga seolah-olah Agung Sedayu tidak kuat lagi membawanya. Keringat dingin bagaikan terperas di punggungnya.

“Katakanlah.”

Agung Sedayu beringsut setapak. Baru kemudian dengan suara yang sendat ia berkata, “Maaf, Paman. Aku memang akan kembali ke Jati Anom. Tetapi mungkin aku terpaksa menunggu sampai keramaian di kademangan ini selesai.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Demikian juga Ki Demang dan beberapa orang lain. Namun Ki Sumangkar dan Ki Waskita, bahkan Kiai Gringsing sendiri harus melihat, bahwa sebenarnyalah Agung Sedayu masih juga dicengkam oleh sifat-sifatnya semasa kanak-kanak, seperti juga Swandaru dalam ujudnya yang lain.

Ternyata bahwa Agung Sedayu merasa sangat sulit untuk menentukan sikap. Ia merasa sangat berat menjatuhkan pilihan karena pertimbangan yang berbelit-belit. Ia tidak dapat dengan tegas mengatakan “ya” atau sambil menggeleng menjawab “maaf, Paman. Aku tidak dapat.”

Tetapi ternyata jawaban Agung Sedayu penuh keragu-raguan yang tidak menentu.

Widura sendiri juga menarik nafas. Ia menyadari kesulitan perasaan yang dialami Agung Sedayu. Namun seperti orang-orang lain, ia melihat kelemahan yang ada di dalam pribadi kemanakannya itu.

Ternyata Widura adalah seorang yang berhati lapang. Ia mencoba untuk memahami keadaan, sehingga karena itu, maka sambil tersenyum ia berkata, “Kau sudah mengambil keputusan, Agung Sedayu. Terserahlah kepadamu. Sudah tentu aku tidak akan dapat memaksamu, seperti orang-orang lain tidak akan dapat memaksamu pula seandainya akan mengambil keputusan lain, karena kau adalah orang yang paling menentukan bagi dirimu sendiri.”

Nampak wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Namun kemudian wajah itu pun segera menunduk dalam-dalam.

Sekilas terbayang wajah Rudita yang jernih seperti air di sumbernya yang bening. Tetapi ia sudah mengambil keputusan yang bulat. Tidak seorang pun yang dapat menggoyahkannya lagi

Dalam pada itu, orang-orang tua yang ada di pendapa menilai betapa lapang hati Widura. Ia sama sekali tidak menunjukkan kekecewaannya atas keputusan Agung Sedayu. Bahkan ia masih saja tersenyum dan menanggapinya dengan sikap yang tidak berubah.

Sejenak orang-orang tua di pendapa itu masih berbincang, tetapi bagi Agnng Sedayu, rasa-rasanya ia telah duduk berhari-hari sehingga tubuhnya menjadi sangat penat, meskipun ia sadar, bahwa hatinyalah yang sebenarnya merasa sangat letih.

Ternyata bahwa Widura tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Beberapa saat kemudian ia pun minta diri. Ia masih sempat berkata kepada Agung Sedayu, “Kami menunggu kedatanganmu, Sedayu.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia mencoba untuk menjawab, tetapi rasa-rasanya suaranya tersumbat di kerongkongan.

Namun demikian ketika Widura turun ke halaman, diikuti oleh beberapa orang, Agung Sedayu sempat mendekati pamannya dan berkata perlahan-lahan, “Maafkan aku, Paman.”

Widura melangkah lebih cepat menuju ke kudanya untuk mengambil jarak dari orang-orang yang mengikutinya meskipun ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan yang kurang pada tempatnya sambil berkata, “Tetapi kakakmu benar-benar memerlukan kau.”

Agung Sedayu mengangguk. Ketika pamannya berhenti, ia pun berhenti pula.

“Pikirkan, Agung Sedayu. Kau adalah seorang anak muda yang meningkat dewasa. Sebentar lagi kau akan menjadi lanjaran sebuah keluarga baru. Apakah yang dapat kau berikan kepada keluargamu jika kau masih tetap seorang anak muda yang hanya dapat bertualang meskipun dengan tujuan yang baik?”

Agung Sedayu tidak menjawab, sedangkan pamannya pun tidak melanjutkannya, karena beberapa orang telah menyusulnya.

“Ah,” desis Widura, “aku memberikan sedikit pesan kepada Agung Sedayu agar ia segera menengok kami sekeluarga.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan memperingatkannya agar ia melakukannya segera setelah semuanya selesai di sini.”

Widura mengangguk-angguk. Hampir saja ia berdesis, kenapa semuanya masih harus tergantung keadaan di Sangkal Putung. Tetapi niat itu pun diurungkannya. Bahkan sambil tersenyum ia pun kemudian sekali lagi minta diri.

Sejenak kemudian Widura telah berada di perjalanan kembali ke Jati Anom. Wajahnya nampak tegang oleh angan-angan yang bergelut di dalam hati. Bahkan ia pun menjadi sangat cemas seperti Untara, bahwa Agung Sedayu akan menjumpai kesulitan dalam perjalanan hidupnya. Bukan saja karena Agung Sedayu masih belum mempunyai tempat untuk hinggap, tetapi juga karena Widura menyadari bahwa Sekar Mirah adalah seorang gadis yang tinggi hati dan digeluti oleh angan-angan yang membubung tinggi, setinggi awan yang berserakan di langit.

“Tetapi tidak sebaiknya Untara bertindak dengan kemarahan yang tidak terkendali menghadapi adiknya yang mempunyai sifat dan cita-cita yang lain dari dirinya itu,” berkata Widura di dalam hati.

Dengan para pengawalnya Widura tidak banyak berbicara. Hanya sepatah-sepatah saja apabila Widura menjumpai sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.

Ketika Widura kemudian sampai di Jati Anom, maka dengan hati-hati sekali ia menyampaikan segala sesuatu mengenai perjalanannya ke Sangkal Putung.

Nampak kekecewaan yang sangat membayang di wajah Untara. Namun ternyata bahwa Widura masih berhasil meredakan hati senapati muda itu dan berkata, “Kita menunggu barang satu dua hari. Sebagai umumnya anak muda, ia tentu masih terikat kepada keramaian yang diadakan di Sangkal Putung. Bukan semata-mata karena Agung Sedayu merasa dirinya terikat oleh Sekar Mirah atau Swandaru. Tetapi keramaian dan segala macam rangkaiannya itulah yang agaknya telah menahannya barang satu dua hari.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa bahwa lebih baik Agung Sedayu tertahan, karena keinginannya melihat keramaian di Sangkal Putung daripada karena ia harus melakukan banyak pekerjaan selama keramaian itu berlangsung.

“Aku akan menunggu barang satu dua hari, Paman,” berkata Untara, “namun setelah satu dua hari itu lewat, kita tidak akan dapat terus-menerus menunggu saja. Kita tidak dapat menyerahkan segala sesuatunya kepada Agung Sedayu sendiri meskipun ia sudah dewasa. Pada suatu saat kita harus meyakinkannya, bahwa dengan menghambakan diri di Kademangan Sangkal Putung ia tidak akan mendapatkah apa pun juga di masa depannya.”

Widura mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar menjadi cemas, bahwa pada suatu saat kedua kakak beradik itu akan saling mempertahankan sikap dan pendirian masing-masing sehingga akan timbul keretakan pada keduanya. Pada kedua anak laki-laki Ki Sadewa.

“Mudah-mudahan tidak terjadi,” desis Ki Widura. “Jika terjadi demikian, maka nama Ki Sadewa akan pudar pada keturunannya yang pertama. Bukan karena kedua anak laki-lakinya tidak memiliki ilmu yang memadai seperti ayahnya, tetapi justru karena kedua anak laki-lakinya telah saling bertengkar sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk menjunjung nama baik ayahnya.”

Dalam pada itu, sepeninggal Widura, Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia berusaha untuk menutupi segala macam kerisauannya agar tidak menimbulkan kesan yang semakin meragukan tentang dirinya.

Namun demikian, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita tidak dapat dikelabuinya, sehingga orang-orang tua itu seolah-olah ikut serta dalam kegelisahan hati anak muda itu.

Dalam kegelisahan yang mencengkam, di luar sadarnya, Agung Sedayu telah melangkahkan kakinya seorang diri menyusuri jalan kademangan. Tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa ia telah meninggalkan halaman karena hampir setiap orang di kademangan itu pun kemudian mempunyai kesibukannya masing-masing, sedang orang-orang tua pun telah dipersilahkan beristirahat di gandok.

Setiap kali seorang anak muda menegurnya, Agung Sedayu terkejut dan sambil tergagap ia menjawab apa saja yang terlontar dari mulutnya.

“Aku hanya ingin berjalan-jalan,” jawabnya ketika seorang pengawal bertanya kepadanya.

Tetapi di saat lain, ketika seorang laki-laki bertanya, kemana ia akan pergi, maka jawabnya, “Aku akan pergi ke sawah, Paman.”

“He? Untuk apa?”

Barulah Agung Sedayu menyadari bahwa jawabnya memang agak mengherankan. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu berusaha memperbaiki kesalahannya, “Maksudku aku akan berjalan-jalan ke bulak sebelah, Paman. Aku merasa sangat letih oleh keramaian yang masih belum selesai.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk. Meskipun ada sedikit keragu-raguan atas jawaban itu, namun ia tidak bertanya lebih banyak lagi.

Sementara ketika orang lain lagi bertanya, Agung Sedayu menjawab, “Aku akan menengok para pengawal dan mereka yang terluka di banjar kademangan.”

Yang bertanya pun menjadi heran. Apalagi langkah Agung Sedayu nampaknya memang tidak menentu. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu pun kemudian sampai ke bulak di sebelah padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Ia melangkah perlahan-lahan sambil memandangi tanah yang basah dengan tanaman yang hijau segar. Ketika angin bertiup perlahan-lahan, maka seolah-olah seluruh bulak itu bergerak-gerak bagaikan ombak lautan yang lembut mengalir dari ujung sampai ke ujung.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa udara yang sejuk mengusap tubuhnya. Namun udara yang sejuk itu tidak mampu mempengaruhi hatinya yang gelisah. Ia masih saja merasa dikejar oleh persoalan yang tidak berkeputusan.

“Aku tidak mau menjadi prajurit Pajang,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu ia pun tidak tahu apa yahg harus dikerjakannya, karena ia harus menyadari sepenuhnya, jika saat perkawinannya tiba, ia harus bukan lagi anak muda yang hanya bertualang tanpa ujung dan pangkal.

Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Seolah-olah ia dihadapkan pada suatu jalan simpang yang tidak dikenalnya, sehingga amat sulitlah baginya untuk memilih arah.

Agung Sedayu masih berjalan terus. Sekali-sekali ia terkejut jika ada satu dua orang yang menegurnya. Seperti yang sudah dilakukannya, maka seolah-olah ia menjawab apa saja yang terlontar dari mulutnya.

Agung Sedayu terhenti ketika seseorang memanggilnya dari sebelah pematang. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang duduk di atas sebuah batu padas.

“Ke mana Agung Sedayu?” salah seorang dari kedua orang itu bertanya.

Seperti yang sudah dilakukannya maka ia menjawab sambil mengangguk kecil, “Ke banjar.”

“Ke banjar yang mana? Ke banjar padukuhan induk atau ke banjar padukuhan sebelah.”

Seperti tanpa berpikir lagi Agung Sedayu menjawab, “Ke banjar padukuhan sebelah. Aku ingin melihat para tawanan yang sedang disiapkan untuk diserahkan kepada prajurit Pajang.”

Salah seorang dari kedua orang itu bertanya pula, “Sendiri?”

“Ya sendiri,” Agung Sedayu berjalan terus. Ia tidak begitu tertarik kepada setiap orang yang bertanya kepadanya.

Namun satu dua langkah kemudian ia berhenti. Ada sesuatu yang seakan-akan telah mengejutkannya sehingga tiba-tiba saja ia berhenti dan sekali lagi berpaling kepada kedua orang itu.

Jantung Agung Sedayu bagaikan berhenti berdegup. Sejenak ia memandang kedua orang itu berganti-ganti. Seorang dari kedua orang itu masih muda, sedang yang lain sudah setua gurunya.

“Tuan,” desisnya.

Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa melangkah kembali. Dengan serta-merta ia menyambut tangan anak muda yang diulurkannya itu kepadanya. Kemudian tangan orang tua yang duduk di sebelahnya itu.

“Tuan. Jadi Tuan berada di sini?”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Duduklah. Aku tidak mengira bahwa aku dapat bertemu denganmu sekarang.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di hadapan anak muda itu.

“Bagaimana keadaanmu anak muda?” bertanya orang tua itu.

“Baik, baik Kiai. Aku selamat. Bagaimana dengan Kiai?”

“Sebagaimana kau lihat. Kami berdua dalam keadaan baik. Dan bagaimana dengan gurumu dan saudaramu seperguruan?”

“Semuanya baik, Kiai. Swandaru baru dalam suasana keramaian hari perkawinannya.”

“Aku melihat,” jawab anak muda itu, “semalam aku melihat keramaian di pendapa kademangan.”

“O.”

“Sangat menarik. Perhelatan perkawinan Swandaru diselenggarakan dengan segala macam keramaian dan kegembiraan meskipun harus jatuh beberapa korban.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “kedatangan Swandaru ke kademangannya telah disambut dengan ujung senjata.”

“Lalu bagaimana dengan kau?” bertanya anak muda itu.

Agung Sedayu menarik nafas. Namun kemudian ia pun menghindar sambil berkata, “Marilah. Marilah Raden aku persilahkan pergi ke kademangan bersama Kiai. Ki Demang, Guru, dan orang-orang tua tentu akan senang sekali menerima kedatangan Raden dan Kiai berdua.”

Tetapi anak muda itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “Maaf, Agung Sedayu. Bukannya aku menolak undangan ini, aku masih dalam perjalanan pengembaraanku. Aku masih merasa bahwa belum saatnya bagiku untuk menerima undangan seperti ini. Tetapi pada saatnya nanti aku tentu akan berkunjung ke Sangkal Putung.”

“Tetapi Raden hanya singgah. Bukan menghentikan pengembaraan yang memang sedang Raden lakukan sebagai suatu cara yang barangkali akan membajakan kemampuan Raden lahir dan batin.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Tetapi belum sekarang. Aku harap kau dapat mengerti.” Ia berhenti sejenak lalu, “Untuk menghindarkan salah paham, maka sebaiknya kau tidak usah mengatakan kepada Swandaru dan Ki Demang bahwa aku berada di sini sekarang.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak akan singgah.”

“Jadi?”

“Kau tidak usah mengatakan apa-apa tentang aku.”

“Kepada Guru?”

“Jika kau anggap perlu, katakanlah kepada gurumu. Tetapi hanya kepada gurumu. Dan kau pun harus berpesan kepadanya, bahwa sebaiknya ia tidak mengatakan kepada siapa pun juga.”

“Tetapi di manakah Raden bermalam di daerah ini?”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau aneh, Agung Sedayu, langit begitu luas. Kenapa aku bingung menempatkan diriku yang kecil ini? Aku dan Paman dapat tinggal di mana saja. Sudah terbiasa bagi kami untuk tidur berselimutkan mega beratapkan langit.”

“Ah,” Agung Sedayu berdesah.

Tetapi anak muda itu masih tertawa. Katanya, “Aku berkata sebenarnya. Dalam pengembaraan ini, aku memang tidak boleh berada di bawah atap kandang sekalipun. Dan aku sudah berhasil melakukan untuk waktu yang lama, sehingga yang tersisa harus aku selesaikan. Mudah-mudahan pengembaraan ini merupakan tempaan bagiku lahir dan batin, sehingga akan merupakan bekal yang berharga buat masa depanku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia terlempar pada keburaman masa depannya sendiri meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu diam tertunduk karena kilasan angan-angan tentang masa depannya. Ia menengadahkan kepalanya ketika ia mendengar anak muda yang duduk di pematang itu berkata, “Agung Sedayu. Sekarang Sangkal Putung sedang meramaikan hari perkawinan Swandaru. Bukankah begitu?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu kosong.

“Bukankah itu berarti bahwa sebentar lagi Sangkal Putung akan mengadakan keramaian lagi dalam hari-hari perkawinanmu?”

“Ah,” desah Agung Sedayu, “aku belum memikirkannya, tetapi secepat-cepatnya tentu setelah hari perkawinan ini lewat setahun.”

“Kenapa lewat setahun?” bertanya anak muda itu.

“Pantang bagi seseorang yang mengadakan perhelatan perkawinan anaknya setahun sampai dua kali.”

Anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Bukan pantang mengadakan perhelatan perkawinan setahun dua kali. Tetapi jika demikian akan berarti kesulitan untuk mengumpulkan beayanya. Kecuali orang yang memang kaya sekali. Itu pun merupakan pekerjaan yang berat jika perhelatan itu diselenggarakan seperti yang diselenggarakan di Sangkal Putung sekarang ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Katakanlah, dengan demikian setahun lagi kau akan mengalami masa seperti yang ditempuh Swandaru sekarang.”

Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Masih banyak sekali yang harus aku pertimbangkan. Aku adalah seorang petualang yang belum mempunyai pegangan bagi masa depanku. Jika aku kawin, itu berarti aku akan merendahkan diriku karena aku akan menjadi beban bagi isteriku atau mertuaku.”

Anak muda itu tertawa, sedang yang tua menyahut, “Ternyata kau bijaksana. Itu adalah pikiran seorang laki-laki. Dan kau harus berusaha agar kau tidak jatuh ke dalam keadaan seperti itu.”

“Itulah yang membuat aku kadang-kadang kebingungan, Kiai,” jawab Agung Sedayu.

“Kakakmu seorang Senapati Agung.”

Agung Sedayu menarik nafas. Namun jawabnya kemudian, “Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit di Pajang.”

“Kenapa?”

Agung Sedayu termenung sejenak. Ia sendiri tidak begitu mengerti kenapa ia tdak ingin menjadi seorang prajurit. Apalagi di Pajang. Agaknya setiap kali gurunya berbicara tentang Pajang dan kekurangannya, hatinya sudah terpengaruh meskipun ia tidak mutlak menolak kehadiran Pajang untuk selanjutnya.

Namun ternyata ada juga terselip keragu-raguannya bahwa jika kelak ia berhasil mendapatkan tempat yang baik di dalam lingkungan keprajuritan, maka setiap orang akan mengatakan, bahwa ia berhasil bukan karena kemampuan dirinya sendiri, tetapi semata-mata karena pertolongan dan pengaruh kekuasaan Untara yang besar dalam susunan keprajuritan Pajang.

Tetapi Agung Sedayu terkejut ketika justru anak muda yang duduk di hadapannya itulah yang menjelaskannya, “Agung Sedayu. Kau memang bukan seorang prajurit. Kau tidak akan dapat menjadi prajurit yang baik. Keragu-raguanmu mengambil keputusan, pertimbangan-pertimbangan yang berkepanjangan, dan sikapmu yang terlalu rendah hati, bukanlah sifat yang baik bagi seorang prajurit, meskipun bukan berarti bahwa setiap prajurit harus meninggalkan perhitungan. Kau tahu, contoh seorang prajurit yang baik adalah Untara. Aku juga seorang prajurit, bahkan sekarang aku mempunyai kedudukan yang khusus. Karena itu aku dapat menilai keadaanmu.”

Agung Sedayu memandang anak muda itu sesaat. Sebuah senyum yang mengandung seribu macam arti tersirat dibibir anak muda itu, yang berkata seterusnya, “Agung Sedayu. Kau tidak dapat memaksa diri merubah sifat-sifatmu. Karena itu, kau memang tidak tepat untuk menjadi seorang prajurit di mana pun juga.”

Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu mengangguk-angguk.

—- > Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar