ADBM-088


<<kembali | lanjut >>

KIAI KALASA SAWIT memperhatikan kuda-kuda yang berderap meninggalkan halaman rumah yang kotor itu. Demikian kuda-kuda itu lenyap di balik regol, maka ia pun segera memanggil orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sambil menghentakkan kakinya, “Gila. Siapakah yang membawa prajurit-prajurit itu kemari?”

Seorang yang bertubuh kurus sambil menyandang sebuah canggah bertangkai pendek di bahunya menyahut, “Bukankah kau sendiri yang mempersilahkan mereka memasuki padepokan ini?”

“Ya, setelah mereka berada di mulut padepokan ini.”

“Dan kenapa kau biarkan prajurit-prajurit itu pergi? Jika kita menangkapnya, dan mengubur mereka hidup-hidup di sini, maka tidak akan ada persoalan apa pun juga.”

“Kau memang bodoh!” geram Kiai Kalasa Sawit. “Jika pada saat yang ditentukan, prajurit-prajurit itu tidak kembali ke Jati Anom, maka Untara akan mengerahkan prajuritnya mendaki Gunung Merapi dan menghancurkan padepokan ini.”

“Kita tidak peduli. Bukankah kita akan segera meninggalkan padepokan ini?”

“Tetapi bukan hari ini. Kita masih harus menunggu penghubung yang akan datang itu.”

“Tetapi sekarang kita mendapat pekerjaan gila itu. Jika kita tidak mengerjakannya, akibatnya juga tidak menyenangkan bagi kita,” orang bertubuh kurus dan membawa sebuah canggah itu berhenti sejenak. Lalu, “Apakah kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom perlu dicemaskan? Saat ini, sepasukan sedang berada di padepokan ini dalam perjalanannya ke Timur. Bukankah dengan demikian, kita memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan pasukan Pajang itu?”

“Kita belum akan bertempur melawan prajurit-prajurit Pajang pada saat ini, sesuai dengan pertimbangan yang menentukan. Karena itu, biarlah orang-orang kita yang akan keluar hari ini ikut mencari anak bernama Rudita itu. He, bukankah namanya Rudita?”

“Daerah ini benar-benar daerah kering. Di sini tinggal beberapa kelompok penjahat kecil yang tidak tahu aturan sama sekali.”

“Kita tidak akan tergantung pada daerah ini. Bukankah yang kalian lakukan hanyalah untuk sementara, agar kita tidak kelaparan? Tentu kalian tidak akan berbuat seperti penjahat-penjahat kecil itu. Kalian tidak akan merampas beberapa keping uang yang ada pada seseorang dan merupakan seluruh miliknya. Kalian tidak akan mencari seekor ayam, betapapun besarnya. Tetapi kalian akan mengambil dua atau tiga ekor lembu.”

“Baiklah. Aku akan berpesan kepada mereka yang akan keluar dalam sepuluh hari ini. He, apakah kita masih akan tetap tinggal di sini dalam sepuluh hari?”

Kiai Kalasa Sawit menggeleng. Katanya, “Tentu tidak sampai sepuluh hari. Tetapi, baiklah kita pergunakan hari-hari yang ada untuk membantu prajurit-prajurit Pajang. Jika kita berhasil menemukan anak itu, kita akan mendapat kepercayaan, betapapun kecilnya.”

“Tetapi prajurit-prajurit Pajang itu menganggap kita sebagai budaknya. Ia mengucapkan perintah seperti kepada bawahannya saja.”

“Itu tidak akan lama lagi berlangsung. Pada suatu saat yang pendek, yang terjadi akan sebaliknya.”

Orang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk, ia pun kemudian meninggalkan Kiai Kalasa Sawit yang masih berdiri termangu-mangu.

Sebenarnyalah bahwa hati Kiai Kalasa Sawit sendiri pun bagaikan disentuh bara api melihat sikap prajurit-prajurit Pajang. Tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya, sehingga sikapnya tidak merugikannya. Karena dengan demikian, prajurit-prajurit Pajang itu tidak mengambil sikap atau perhatian yang khusus terhadap orang-orangnya, yang untuk sementara singgah di padepokan yang sepi itu.

Sekelompok prajurit Pajang yang datang ke Tambak Wedi itu, sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berjaga-jaga, di sebelah-menyebelah jalan, dengan senjata telanjang. Namun demikian, mereka pun tidak lewat begitu saja. Dalam ketidak acuhan itu, mereka masih juga menangkap kesan dengan pandangan seorang prajurit.

Demikianlah, mereka melampaui penjaga terakhir dicelah-celah batu-batu padas, maka pemimpin prajurit itu pun bergumam, “Kelompok ini mempunyai kelainan dengan kelompok-kelompok penjahat yang lain.”

“Ki Lurah,” salah seorang prajurit berkata, “mereka bukan kelompok kecil yang sekedar menggantungkan diri kepada pencuri ayam atau kambing.”

“Ya. Yang tinggal di Tambak Wedi sekarang adalah sepasukan penjahat yang kuat. Tetapi agaknya mereka belum melakukan kegiatan apa pun di daerah ini.”

“Meskipun demikian, kita harus berhati-hati. Ada untungnya juga kita menuruti permintaan Kiai Raga Tunggal untuk datang ke Padepokan Tambak Wedi itu. Dengan demikian kita mendapat gambaran tentang kesiagaan mereka.”

Pemimpin prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tambak Wedi pernah juga menjadi sebuah padepokan yang kuat, yang bahkan kemudian menjadi pusat pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi Apakah Kiai Kalasa Sawit akan mencoba mengulanginya?” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, ia harus belajar dari peristiwa yang pernah terjadi. Pemberontakan yang demikian tidak akan membawa hasil apa pun juga selain kehancuran, kematian, dan pelanggaran atas nilai-nilai kemanusiaan. Pemberontak-pemberontak kecil harus menyakiti dirinya. Dan mereka yang akan mencobanya harus dapat membayangkan, bahwa Pajang adalah suatu negara besar, yang terdiri dari pusat pemerintahan di Pajang, dan kekuatan yang terbesar di bawah pimpinan para Adipati. Dengan demikian, orang-orang yang sekedar didorong oleh kebanggaan pribadi seperti Ki Tambak Wedi, tidak akan dapat menghasilkan apa-apa.”

Prajurit-prajurit yang lain pun mengangguk-angguk pula. Yang pernah terjadi memang mengajarkan, bahwa sikap seperti yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi, apa pun alasannya, tidak akan menghasilkan apa-apa.

Kelompok prajurit itu pun kemudian dengan cepat menuruni lereng Gunung Merapi. Mereka menyusuri jalan yang mereka lalui buat mereka naik.

Ketika mereka melampaui pedukuhan sarang sekelompok orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, dan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal, maka iring-iringan kecil itu pun berhenti, karena mereka melihat Kiai Raga Tunggal berdiri di pinggir jalan, seolah-olah dengan sengaja sedang menunggu mereka.

“Apakah kalian sudah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit?” bertanya Kiai Raga Tunggal sambil tersenyum.

“Ya. Kami telah diterima di pendapa padepokan Tambak Wedi, yang sudah semakin rusak.”

Kiai Raga Tunggal mengerutkan dahinya. Lalu, “Apa kata kalian tentang Kiai Kalasa Sawit?”

“Kenapa?” bertanya pemimpin prajurit itu. “Tidak ada apa-apa dengan Kiai Kalasa Sawit. Menilik orang-orang yang ada di padepokan itu, maka Kiai Kalasa Sawit tidak lebih dari kau di sini. Kenapa?”

Kiai Raga Tunggal termangu-mangu sejenak. Lalu, “Apakah kalian sudah melihat seluruh kekuatannya?”

“Aku tidak tahu, apakah mereka sudah memperlihatkannya kepada kami. Tetapi yang ada hanyalah beberapa tikus kecil. Tidak lebih.”

Kiai Raga Tunggal akhirnya tertawa. Katanya, “Jika demikian, kalian telah dikelabuhinya.”

“Tentang apa?”

“Tentang kekuatannya. Di padepokan itu terdapat pasukan segelar sepapan.”

“Persetan.”

“Jika kalian tidak percaya, pada suatu saat kalian akan terjebak.”

Pemimpin prajurit itu tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan.

Namun di sepanjang jalan di dalam padukuhan itu, ia pun melihat kesiagaan yang meningkat. Beberapa orang anak buah Kiai Raga Tunggal nampak berjaga-jaga. Tetapi kesiagaan itu tidak nampak terlampau menyolok dibanding dengan padepokan Tambak Wedi.

Ketika iring-iringan prajurit Pajang dari Jati Anom itu sudah berada di luar padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kiai Raga Tunggal bukan lawan Kiai Kalasa Sawit, jika mereka terlibat dalam persaingan yang kasar.”

“Kita tidak dapat mengatakan demikian secara pribadi. Mungkin Kiai Raga Tunggal memiliki kelebihan dari Kiai Kalasa Sawit. Tetapi secara keseluruhan, Kiai Raga Tunggal tidak akan banyak berarti.”

Pemimpin prajurit itu pun mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan atas kedua daerah itu. Katanya kemudian, “Jika kawan-kawan kita yang pergi ke padukuhan-padukuhan lain dan sarang-sarang penjahat yang ada di sekitar daerah ini telah berkumpul, kita akan dapat memperbandingkannya.”

Demikianlah, maka sekelompok kecil prajurit-prajurit itu pun langsung kembali ke Jati Anom. Di hari berikutnya, mereka akan mulai dengan pencarian langsung di sekitar Jati Anom dan terutama di lereng Selatan Gunung Merapi.

Ketika kelompok-kelompok prajurit itu sudah berada kembali di Jati Anom, maka satu demi satu mereka menyampaikan laporan kepada Untara, tentang perjalanan masing-masing. Mereka telah memerintahkan setiap kelompok orang-orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, untuk ikut mencari seorang anak muda yang bernama Rudita. Namun sampai saat itu, tidak ada sekelompok pun yang sudah pernah bertemu atau mendengar tentang seorang anak muda yang bernama Rudita itu.

Agaknya di antara mereka, laporan yang paling menarik adalah tentang Kiai Kalasa Sawit di padepokan Tambak Wedi. Bahkan Untara minta laporan terperinci tentang orang-orang yang ada di padepokan itu.

“Mereka tidak akan lama berada di padepokan itu,” berkata Untara.

“Darimana Ki Untara mengetahuinya?” bertanya pemimpin prajurit yang telah datang langsung ke padepokan itu.

“Kau tidak menceriterakan usaha mereka memperbaiki padepokan yang rusak itu. Pintu gerbang, pendapa dan apalagi beberapa rumah yang lain.”

“Ya. Memang tidak ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan membersihkan pun tidak.”

“Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka hanya singgah saja untuk beberapa saat. Mungkin sekelompok kecil akan tetap berada di tempat itu. Tetapi menurut perhitunganku, sesuai dengan laporanmu, mereka tidak akan tinggal lama. Tetapi yang sebentar itu agaknya mempunyai arti yang penting, ternyata mereka menempatkan penjagaan yang sangat kuat.”

“Ya. Agaknya memang demikian.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Kita akan mengadakan pengamatan khusus di daerah itu. Kita tidak boleh lengah, sehingga akan dapat merugikan kita sendiri, Jika ada pertimbangan lain, mereka tiba-tiba menyergap kita di situ, kita harus bersiaga menanggulanginya.”

“Tetapi apa alasan mereka?”

Untara menggelengkan kepalanya. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi kemungkinan serupa itu dapat saja terjadi. Kita pun tidak dapat mengetahui, alasan apakah yang membuat mereka bersiaga dengan kekuatan yang besar di padepokan terpencil itu.”

Pemimpin prajurit yang datang ke Padepokan Tambak Wedi itu pun mengangguk. Katanya, “Memang kita tidak mengetahuinya.”

“Baiklah,” berkata Untara, “dalam usaha kita membantu Kiai Gringsing mencari anak muda yang bernama Rudita itu, kita pun ternyata mendapat gambaran tentang keadaan kita sekarang. Jika kita tidak sedang mencari Rudita, mungkin kita tidak akan tersesat sampai ke Tambak Wedi,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Sekarang kalian dapat beristirahat. Besok kalian akan mulai dengan pencarian yang sesungguhnya. Kalian akan mengelilingi lereng Gunung Merapi sebelah Selatan dan Timur. Namun selain itu, aku akan menempatkan pengawasan yang tertib, di jalur jalan khusus menuju ke daerah yang gawat itu.”

“Pengawas kita yang pertama adalah Kiai Raga Tunggal,” berkata pemimpin prajurit itu.

Untara mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Apakah kesiagaan Kiai Kalasa Sawit itu ada hubungannya dengan persaingan di antara mereka? Mungkin Kalasa Sawit yang merasa orang baru dibayangi oleh kecurigaan, bahwa ia akan diserang, bahkan dimusnahkan oleh kelompok-kelompok yang telah ada lebih dahulu di daerah Gunung Merapi ini.”

“Mungkin demikian. Tetapi memang ada kemungkinan yang lain.”

“Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Aturlah orang-orangmu sebaik-baiknya, baik dalam usaha pencarian itu, maupun dalam kesiagaan.”

Demikianlah, maka para kelompok prajurit itu pun segera beristirahat, meskipun di antara mereka masih saja terdengar pembicaraan mengenai daerah-daerah yang baru saja mereka jalani.

Di pagi harinya, kelompok-kelompok itu pun sudah siap untuk mulai dengan pencarian di lereng Gunung Merapi. Para pemimpinnya pun segera menghadap Ki Untara untuk mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk.

“Kita tidak tahu, dimanakah Kiai Gringsing dan kawan-kawannya bermalam. Kita pun tidak tahu, apakah mereka sudah menemukan jejak anak muda yang mereka cari. Tetapi, selama kita belum menerima laporan, maka kita menganggap bahwa kita masih harus melakukan tugas perikemanusiaan ini.”

“Agaknya mereka bertiga belum berada di tempat yang jauh,” berkata salah seorang pemimpin kelompok, “Agaknya mereka mencoba mencari dengan teliti. Setiap orang yang mereka jumpai, mereka tanya tentang anak muda itu.”

Ki Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Orang-orang tua memang bekerja dengan teliti, meskipun kadang lamban.”

Namun demikian, Untara sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Dalam beberapa hal, justru Kiai Gringsing dapat bertindak lebih cepat dari para senapati muda.

Setelah mendapat pesan secukupnya, maka Ki Untara pun segera melepaskan beberapa kelompok untuk membantu Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, mencari anak muda yang bernama Rudita itu.

Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang menyangkut di hati senapati muda itu. Jika yang dicari adalah Rudita yang sudah dewasa, apalagi yang dengan sengaja pergi meninggalkan rumahnya, apakah dapat dilakukan hanya oleh tiga orang yang pergi bersama-sama. Seandainya prajurit-prajurit Pajang tidak menawarkan diri ikut serta mencarinya, apakah anak muda yang bernama Rudita itu akan dapat diketemukan dalam waktu sebulan bahkan tiga atau empat bulan?

Tetapi Untara tidak menanyakan kepada Kiai Gringsing atau Ki Sumangkar dan apalagi Ki Waskita. Di samping pertanyaan yang terselip di hatinya itu, ia menduga bahwa ketiga orang-orang tua itu tentu mempunyai caranya sendiri, yang tidak diketahui oleh orang lain.

Namun sebenarnyalah, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, bukan saja sekedar mencari Rudita, tetapi sekaligus mereka mencari kemungkinan untuk dapat mendengar, terlebih-lebih menemukan jejak kedua pusaka yang telah hilang. Jika yang sebuah telah dapat diketahui arahnya, maka mereka ingin menemukan jejak pusaka yang sebuah lagi, yaitu berujud tombak.

Ketika para prajurit Pajang berangkat dari Jati Anom di pagi-pagi hari, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita telah bersiap-siap pula untuk melanjutkan perjalanan. Mereka telah bermalam di ujung sebuah hutan yang rindang. Agaknya ketiganya tidak mengalami kesulitan dan gangguan apa pun, selagi mereka bermalam di tempat terbuka. Sebagai orang-orang tua  yang memiliki pengalaman masing-masing, yang serba beraneka ragam, maka tidur di tempat terbuka, di ujung hutan, sama sekali tidak merupakan persoalan bagi mereka. Juga seandainya ada seekor, bahkan tiga ekor harimau sekaligus datang mendekati atau menyerang mereka bertiga, maka hal itu tidak banyak membuat kesulitan apa pun.

“Apakah Ki Waskita dapat membuat hubungan atau melihat isyarat tentang anak itu?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Katanya, “Sudah bergeser dari yang aku lihat kemarin sore. Agaknya malam ini Rudita melanjutkan perjalanannya. Tidak terlampau jauh. Tetapi kita agaknya sudah berada di arah yang mendekati. Mungkin ia bergeser lagi, tetapi tidak akan begitu jauh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, maka kita akan segera mengikutinya. Mungkin kita akan segera dapat menemukannya. Besok atau lusa.”

“Mudah-mudahan,” berkata Ki Waskita, “semakin cepat kita selesai, semakin baik. Ki Demang di Sangkal Putung tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan menjelang hari perkawinan anaknya. Agung Sedayu pun tidak akan terlalu lama merasa kesepian.”

“Apalagi jika kakaknya datang ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi sikap Untara dapat dimengerti,” berkata Ki Sumangkar, “Agung Sedayu adalah adiknya. Dan ia ingin melihat adiknya menjadi seorang yang terpandang. Di Sangkal Putung, Agung Sedayu seolah-olah hanya orang menumpang hidup.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pun dapat mengerti. Aku juga merasa prihatin akan hal itu. Aku tidak akan dapat membawa Agung Sedayu dalam keadaannya seperti sekarang,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi aku pun belum melihat jalan keluar bagi Angger Untara, kedudukan yang baik bagi adiknya adalah kedudukan yang mapan dalam pemerintahan. Angger Untara tidak dapat membayangkan, bahwa pada kedudukan yang lain pun, Agung Sedayu akan dapat menemukan tempat yang sesuai dengan dirinya, wataknya dan sifat-sifatnya. Tidak usah menjadi seorang dukun seperti aku.”

“Mungkin sebuah padepokan kecil, yang dikelilingi oleh sawah yang hijau,” sahut Ki Sumangkar, “Apakah kau membayangkan bahwa Agung Sedayu harus membuka hutan seperti angger Sutawijaya? Tetapi dalam bentuk yang lebih kecil?”

“Kenapa tidak dapat terjadi? Agung Sedayu dapat menjadi cikal bakal sebuah padepokan. Ia akan dapat memohon kepada Kangjeng Sultan, lewat angger Untara, sudut kecil dari Alas Tambak Baya. Atau Hutan yang manapun juga.”

“Apakah hal itu akan sesuai dengan Agung Sedayu?”

“Ia seorang yang pada masa kanak-kanaknya hidup dalam lingkungan keluarga yang mengerjakan tanah garapan.”

“Ki Sadewa?” Ki Sumangkar menjadi heran.

“Ya. Di Jati Anom Ki Sadewa adalah seorang yang tekun mengerjakan sawahnya.”

“Apakah ada kejanggalan, Ki Sumangkar?” bertanya Ki Waskita.

“Tidak,” Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya. “Tetapi Ki Sadewa mempunyai banyak persoalan di dalam dirinya.”

Ki Waskita tidak bertanya lebih jauh. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing pun telah digelisahkan oleh muridnya yang satu itu, dalam hubungan masa depannya. Apalagi jika sekali-sekali Kiai Gringsing menyebut-nyebut tentang Sekar Mirah, yang mempunyai harapan yang terlampau banyak. Dan Sumangkar, guru Sekar Mirah itu pun mengetahuinya dengan pasti. Ia sudah berusaha untuk mengendapkannya. Tetapi usaha itu tidak terlalu banyak membawa hasil.

Demikianlah, sambil berbicara tentang murid-murid mereka, maka ketiga orang itu pun telah bersiap untuk meneruskan perjalanan. Mereka mulai dengan tuntunan isyarat yang ada pada Ki Waskita.

Ternyata yang mereka lewati bukanlah jalan yang licin dan rata, tetapi mereka menempuh jalan-jalan sempit dan kecil, yang agaknya jarang dilalui orang. Meskipun demikian, jika pada suatu saat mereka sampai di padukuhan-padukuhan kecil, mereka pun selalu bertanya, apakah di padukuhan itu pernah lewat seorang anak muda, bernama Rudita.

Hampir setiap orang yang ditanyainya menggelengkan kepalanya. Ada yang justru menjadi curiga, dan sama sekali tidak mau memberikan keterangan apa pun juga.

“Memang sulit,” berkata Ki Waskita, “mungkin mereka menganggap kita adalah sebagian dari orang-orang yang sering datang mengganggu mereka.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Jumlah prajurit Pajang yang terbatas, sulit untuk menguasai seluruh daerah yang luas, dan apalagi daerah-daerah terpencil seperti ini. Tetapi nampaknya daerah ini pun telah mendapat perhatian Untara. Kita melihat beberapa orang anak muda yang berkumpul di gardu-gardu. Apakah anak-anak muda itu sudah pernah mendapat setidak-tidaknya petunjuk dari prajurit-prajurit Pajang?”

“Mungkin, Kiai, memang mungkin sekali. Sikap mereka pun agaknya sudah lain dari daerah yang nampaknya sama sekali belum pernah mendapat sentuhan dari prajurit-prajurit Pajang itu.”

Tetapi ketiga orang tua itu sama sekali tidak berbuat apa pun juga, yang dapat menumbuhkan kecurigaan yang tajam. Orang-orang tua itu hanya lewat, dan sekali-sekali bertanya tentang seorang anak muda yang disebutnya telah hilang.

Namun dalam pada itu, di padukuhan yang lain, beberapa ekor kuda telah berderap dengan garangnya. Beberapa orang prajurit kadang-kadang berloncatan turun dan bertanya kepada orang-orang di padukuhan itu, apakah mereka menjumpai seorang anak muda yang bernama Rudita.

Pada umumnya kedatangan prajurit Pajang mendatangkan ketenangan di hati penduduknya. Karena itu, maka dengan senang hati mereka pun memberikan semua keterangan yang diminta.

Tetapi mereka pun menggelengkan kepalanya, ketika prajurit-prajurit itu bertanya tentang seorang anak muda, yang bernama Rudita.

“Baru saja tiga orang tua telah lewat di padukuhan ini, dan bertanya pula tentang anak muda yang bernama Rudita,” berkata salah seorang dari penghuni padukuhan itu.

“O,” pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari anak yang hilang itu.”

Penghuni padukuhan itu mengangguk-anggukkan kepala. Ada di antara mereka yang menyesal, bahwa mereka tidak berusaha memberikan keterangan sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya. Bahkan rasa-rasanya ada keseganan untuk mengatakan sesuatu.

“Ke arah manakah ketiga orang itu pergi?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Kesana. Mereka pergi ke Selatan.”

“Terima kasih,” sahut pemimpin prajurit itu, yang kemudian segera minta diri kepada orang-orang yang telah menerima mereka dengan baik.

Demikian mereka meninggalkan padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kita susul mereka.”

“Apakah ada sesuatu yang akan kita bicarakan?”

“Tidak. Tetapi rasa-rasanya aku ingin melihat mereka, dan sekedar mempertunjukkan diri, bahwa kita pun sudah membantu mereka mencari anak yang hilang itu. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi agak lebih tenang dan mantap.”

Prajurit-prajurit yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada keberatan apa punb agi mereka untuk menyusul perjalanan Kiai Gringsing dan kedua kawannya, karena mereka pun sedang menempuh perjalanan tanpa tujuan.

Setelah mereka melalui beberapa padukuhan yang bertanya kepada beberapa orang yang mereka temui, bukan saja tentang anak muda yang bernama Rudita, tetapi juga arah perjalanan Kiai Gringsing dan kawannya, maka akhirnya mereka pun berhasil menyusul ketiga orang tua itu.

“O,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling oleh suara derap kaki kuda. “ada sekelompok prajurit yang menyusul kita.”

“Apakah mereka sudah menemukan Rudita?” desis Ki Waskita yang gelisah.

“Mungkin mereka pun sedang dalam perjalanan pencarian,” sahut Sumangkar.

Ketiganya pun terdiam. Mereka menunggu sekelompok prajurit itu lewat.

Ketika prajurit-prajurit itu sampai ke hadapan ketiga orang-orang tua itu, maka pemimpinnya pun segera memberikan isyarat, sehingga sekelompok prajurit itu pun segera berhenti dan meloncat turun.

“Selamat siang, Kiai,” sapa pemimpin prajurit itu. Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun tersenyum. Sambil membungkukkan kepalanya, Kiai Gringsing menyahut, “Selamat siang, Ki Sanak. Eh, apakah prajurit-prajurit Pajang yang dengan senang hati telah menolong kami, sudah dapat menemukan Rudita?”

“Maaf, Kiai. Kami belum menemukannya. Perjalanan kami sekarang ini pun adalah dalam rangka pencarian itu.”

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata tepat sekali.

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Kita akan berusaha bersama. Tetapi agaknya kalian dapat menempuh perjalanan yang lebih panjang, karena kalian berkuda. Tetapi kami dapat menempuh jalan yang lebih rumit. Lorong-lorong kecil dan bahkan goa-goa di lereng-lereng yang terjal.”

“Ya, mudah-mudahan dengan demikian kita dapat menemukannya. Ada beberapa kelompok yang hari ini menyebar di daerah Selatan dan Timur Gunung Merapi. Kemarin aku mendapat tugas untuk menjumpai dua kelompok yang berpengaruh di daerah Sebelah Timur Gunung Merapi.”

Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk.

“Kelompok yang satu sudah banyak kami kenal, dan bahkan sudah kami pahami dengan baik. Tetapi kelompok yang lain merupakan kelompok yang baru kita kenal. Mereka berada di padepokan Tambak Wedi.”

“O,” Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk semakin dalam.

“Siapakah yang berada di padepokan itu?” bertanya Kiai Gringsing.

Pemimpin prajurit itu pun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Kalasa Sawit, di padepokan Tambak Wedi.

Kiai Gringsing dan kedua kawannya hanya mengangguk-angguk saja mendengar ceritera itu. Meskipun kesiagaan yang berlebih-lebihan itu juga menarik perhatiannya, tetapi sebagian besar dari persoalan yang dapat tumbuh, tentu akan dapat diatasi dengan baik oleh Untara dengan pasukannya yang kuat di Jati Anom.

Tetapi justru bagian yang tidak penting, yang dikatakan oleh pemimpin prajurit itu sambil lalu saja, sangat menarik perhatian ketiga orang-orang tua itu.

“Kiai Kalasa Sawit nampaknya memang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Ujud lahiriahnya saja sudah memberikan kesan, bahwa ia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lukisan seekor kelelawar di dadanya, ia nampaknya menjadi lebih garang lagi.”

“Kelelawar?” hampir bersamaan ketiga orang tua itu mengulang.

“Ya, kelelawar. Mengapa?”

Wajah-wajah itu menjadi tegang sejenak. Namun ketiganya pun segera dapat menghapus kesan itu dari wajah mereka. Tanpa menimbulkan kecurigaan, Ki Sumangkar bertanya, “Kelelawar atau binatang yang lain? Ada beberapa ekor binatang yang hampir bersamaan. Kelelawar, Codot, Kalong.”

Pemimpin prajurit itu tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat membedakan ketiga-tiganya di dalam lukisan. Bukankah bedanya hanyalah besar dan kecil saja. Mungkin warnanya yang satu agak coklat, sedang yang lain kehitam-hitaman.

Betapapun hambarnya, namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun tertawa juga. Ki Sumangkar pun berkata disela-sela tertawanya, “Kalian benar. Memang hampir tidak ada bedanya. Apalagi dalam lukisan yang terpahat di tubuh seseorang,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, apakah semua orang di dalam kelompok itu memakai ciri gambar kelelawar atau hanya terdapat pada Kiai Kalasa Sawit saja?”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Yang aku ketahui adalah pada Kiai Kalasa Sawit,” ia mengingat-ingat sejenak. Lalu, “Tetapi agaknya tidak pada setiap orang. Aku dan barangkali kawan-kawanku tidak melihat pada orang lain.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Tetapi ia agak terkejut ketika pemimpin prajurit itu bertanya, “Apakah lukisan itu menarik perhatian kalian?”

“O, tidak. Tidak,” sahut Ki Sumangkar, “yang menarik adalah justru Kiai Kalasa Sawit, yang sekarang tinggal di padepokan Tambak Wedi itu.”

“Ya. Memang menarik sekali. Tetapi Ki Untara sudah mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasinya, jika ada maksud tertentu dari penghuni padepokan yang nampaknya cukup kuat itu.”

“Syukurlah,” desis Kiai Gringsing, “dan agaknya kami percaya bahwa Ki Untara akan dapat mengatasi setiap persoalan yang timbul.”

“Mudah-mudahan,” jawab pemimpin kelompok itu. Lalu, “Nah, baiklah, Kiai. Biarlah kami meneruskan usaha kami untuk hari ini. Agaknya Rudita tidak tersesat ke daerah para penjahat, karena menurut pertimbangan kami, semua sarang orang-orang yang pantas dicurigai, sudah didatangi. Tetapi tidak ada di antara mereka yang mengetahui tentang anak muda yang bernama Rudita itu. Karena itu, di hari kedua ini, kami harus mencari di sepanjang padukuhan.”

“Terima kasih. Terima kasih. Silahkan berjalan dahulu. Kami akan mencari di tempat-tempat yang terpencil.”

Prajurit-prajurit itu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya, dan sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan ketiga orang-orang tua yang termangu-mangu di tempatnya, sambil meninggalkan pesan, “Kami telah memerintahkan semua orang  yang kami curigai, untuk mencari Rudita. Mungkin pada suatu saat, Kiai akan bertemu dengan kelompok-kelompok mereka. Jika demikian, maka sebaiknya Kiai berterus terang, siapakah Kiai bertiga itu. Salah seorang dari kalian bertiga adalah ayah dari anak yang hilang itu.”

Kiai Gringsing tidak sempat menjawab. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun menjadi semakin menjauh, meninggalkan hamburan debu putih yang segera hanyut ditiup oleh angin di lereng pegunungan.

“Jadi orang-orang yang disebutkannya sebagai orang-orang yang dicurigai itu siapa?” bertanya Ki Waskita.

“Agaknya kelompok-kelompok penjahat-penjahat kecil yang ada di lereng Gunung Merapi,” jawab Kiai Gringsing.

“Penjahat-penjahat kecil saja?” potong Ki Sumangkar, “Apakah orang yang disebut Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit dan sebagainya itu juga penjahat kecil?”

“Secara pribadi, aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Mungkin Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit adalah orang-orang yang memeliki kelebihan. Tetapi apa yang mereka lakukan di daerah ini tidak banyak menumbuhkan persoalan pada Untara. Sudah tentu, angger Untara pun tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka itu di tempat-tempat yang jauh.”

Kedua kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa di daerah lereng Gunung Merapi, orang-orang itu tidak akan berbuat banyak.

“Apalagi kini, anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di lereng Gunung Merapi ini sudah mulai bangun. Angger Untara telah mengirimkan beberapa orang prajurit khusus untuk melatih anak-anak muda di padukuhan-padukuhan, untuk kemudian menjaga padukuhan masing-masing dari gangguan penjahat-penjahat kecil itu.”

“Apakah anak-anak muda itu mampu melakukannya?”

“Mereka berada di bawah perlindungan prajurit Pajang. Sudah barang tentu, jika terjadi sesuatu atas mereka, maka prajurit-prajurit Pajang pun akan bertindak.”

“Apakah dengan demikian berarti, bahwa kejahatan yang kemudian terjadi adalah kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukan di luar pengawasan? Maksudku, pencurian di malam hari atau di saat-saat tidak diketahui oleh siapapun.”

“Hampir serupa itu. Sedang di beberapa waktu yang lalu, kadang-kadang masih juga terdapat perampokan kecil-kecilan. Namun setiap kali mereka harus menghapuskan jejak, dari kelompok manakah mereka yang telah melakukan hal itu, agar Untara tidak dapat langsung menangkap mereka atau pemimpin kelompoknya.”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar berdesis, seolah-olah kepada dirinya sendiri, “Tetapi bagaimana dengan orang yang di tubuhnya terlukis tanda yang sangat menarik perhatian itu?”

“Memang hal itu perlu mendapat perhatian khusus,” berkata Kiai Gringsing, “Setelah kita menemukan Rudita, maka kita akan menyelidiki padepokan yang kini telah dipergunakan lagi oleh sekelompok orang-orang yang belum banyak diketahui kegiatannya. Tetapi mempergunakan ciri yang sangat menarik.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dengan suara yang ragu-ragu ia berkata, “Kiai. Persoalan itu agaknya cukup penting bagi kita dan terutama bagi Mataram. Menurut pertimbanganku, Rudita berada di tempat yang aman. Ia masih dapat bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Apalagi menurut keterangan para prajurit, ia tidak ada di tangan penjahat yang ada di sekitar tempat ini.”

Kiai Gringsing merenungi kata-kata itu sejenak. Ketika ia memandang Ki Sumangkar, nampaknya Ki Sumangkar pun sedang memikirkannya.

Namun kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Ki Waskita. Memang ada dua pilihan yang dapat kita pertimbangkan. Tetapi menurut pendapatku, aku masih condong kepada menemukan angger Rudita lebih dahulu. Peristiwa yang dapat terjadi atasnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Justru di daerah yang asing dan tidak berketentuan ini.”

Sebelum Ki Waskita menjawab, Ki Sumangkar pun telah menyambung, “Kita berusaha untuk secepatnya menemukan angger Rudita. Kemudian kita akan melihat, apakah kelelawar itu serupa dengan kelelawar yang kita lihat pada perak hitam yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mencuri pusaka itu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih, Kiai. Dengan demikian aku merasa, bahwa Kiai berdua adalah orang yang sangat baik kepadaku dan anakku. Aku tidak akan dapat membalas kebaikan itu dengan cara apa pun juga. Karena itu, yang dapat aku lakukan adalah memohon kepada Tuhan, agar kebaikan Kiai berdua mendapat imbalan sepantasnya.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkai tersenyum.

“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “Ki Waskita memang seorang yang rendah hati. Tetapi baiklah, memang semuanya yang terjadi harus kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun marilah kita berusaha, karena usaha adalah merupakan suatu kuwajiban bagi kita.”

Dan Ki Sumangkar pun menyambung, “Dengan demikian, maka Ki Waskita pun harus berusaha membalas kebaikan budi kami berdua.”

“Ah,” Ki Waskita tertawa. Dan kedua orang kawannya pun tertawa pula.

Namun tiba-tiba saja suara tertawa mereka terhenti. Telinga mereka yang tajam telah menangkap derap kaki kuda di kejauhan, namun agaknya sedang menuju ke tempat mereka.

“Mungkin mereka adalah kelompok orang-orang yang menurut istilah prajurit-prajurit Pajang, sedang dicurigai atau dalam pengawasan itu,” desis Ki Waskita.

“Jika demikian, kita harus mengaku, bahwa kita pun sedang mencari Rudita,” sahut Kiai Gringsing.

“Aku malas bertemu dengan mereka,” berkata Ki Sumangkar, “pertanyaan mereka tentu akan berkepanjangan. Bahkan mungkin menyakiti hati, meskipun mereka tidak akan berani mengganggu kita, karena kita berada di dalam perlindungan para prajurit.”

“Jadi?”

“Kita bersembunyi saja.”

Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun berpandangan sejenak. Namun mereka berdua hampir bersamaan menganggukkan kepalanya.

Karena derap kaki kuda itu terdengar semakin dekat, maka mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa berloncatan ke balik gerumbul di pinggir jalan yang mereka lalui. Masing-masing berusaha untuk menguncupkan tubuhnya, agar orang-orang berkuda yang akan lewat, tidak dapat melihat mereka.

Sejenak kemudian, beberapa ekor kuda muncul dari balik tikungan. Menilik pakaian penunggangnya, maka mereka memang termasuk orang-orang yang berada di dalam pengawasan prajurit Pajang. Namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun sadar, bahwa pakaian dan bentuk yang nampak pada wujud lahiriah, belum merupakan kepastian.

Beberapa ekor kuda itu berlari perlahan-lahan saja di jalan yang berdebu. Seseorang yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka, berkuda di paling depan sambil membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah bindi, tetapi seolah-olah bergerigi. Di belakangnya, seorang yang sudah melampaui pertengahan abad. Rambut yang berjuntai di bawah ikat kepalanya sudah nampak keputih-putihan. Tetapi wajahnya masih nampak keras dan garang. Di tangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai pendek. Di belakangnya, berurutan beberapa orang dengan senjata masing-masing.

“Tugas kita kali ini adalah tugas yang paling gila,” desis orang yang berada di paling depan.

“Kita kembali saja ke padepokan,” sahut orang yang berada di belakangnya.

Yang berkuda di paling depan tidak menyahut. Tetapi seorang yang berada di belakang berkata lantang, “Prajurit-prajurit Pajang memang sudah gila. Jika kita menemukan anak yang mengguncangkan seluruh lereng Merapi itu, kita cekik saja sampai mati. Kemudian kita lemparkan saja ke dalam jurang. Tidak ada orang yang akan mengetahuinya.”

“Kita diberi waktu sepuluh hari. Jika yang sepuluh hari itu lewat, dan anak itu tidak diketemukan, mungkin akan terjadi sesuatu di lereng gunung ini. Karena itu, kita tidak akan dapat berbuat seperti yang kau katakan,” jawab orang yang berkuda di paling depan.

“Untara tidak akan berbuat seperti yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu. Mereka sekedar menakut-nakuti kita, agar kita mau ikut serta mencarinya.”

“Lebih baik kita tidak mencari persoalan. Kehadiran iblis di padepokan Tambak Wedi itu sudah merupakan persoalan bagi kita. Karena itu, lebih baik kita menjauhi kesulitan yang dapat timbul dengan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Dan pemimpin kelompok itu berkata terus, “Kita sedang mencari hubungan dengan kelompok yang lain untuk menghadapi iblis-iblis di Tambak Wedi.”

Agaknya mereka masih meneruskan percakapan itu, tetapi kata-kata mereka sudah tidak begitu jelas lagi.

Ketiga orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun kemudian merangkak keluar. Sambi mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berkata, “Kita telah mendengar serba sedikit apa yang akan terjadi di lereng Gunung Merapi.”

Ki Waskita memandang arah sekelompok orang berkuda itu menghilang. Katanya, “Kita tidak tahu siapakah mereka itu. Tetapi yang pasti, ada pertentangan di antara kelompok-kelompok itu di lereng Merapi. Yang agaknya harus berdiri sendiri menghadapi beberapa kelompok yang akan bergabung, adalah Kiai Kalasa Sawit, yang dikatakan mempunyai ciri seekor kelelawar yang terlukis di dadanya.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun Kiai Gringsing berkata, “Kita belum tahu, siapakah Kiai Kalasa Sawit itu. Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka kita akan kehilangan salah satu kemungkinan untuk menemukan jejak sekelompok orang yang mempunyai ciri seekor kelelawar. Meskipun mungkin juga kelelawar di dada Kiai Kalasa Sawit itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pahatan kelelawar pada kepingan perak bakar itu.”

“Tetapi aku rasa, hal itu masih perlu diyakini. Kita sebaiknya memerlukan sekedar waktu untuk melihat kemungkinan itu,” berkata Ki Sumangkar, “Namun kita pun mengetahuinya, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Aku ingin menawarkan sekali lagi. Apakah kita akan mencari Rudita, atau melihat kemungkinan yang ada di padepokan Tambak Wedi?”

“Ah, aku tetap pada pendirianku, Ki Waskita. Kita berusaha menemukan Rudita lebih dahulu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk sambil bergumam, “Terima kasih atas kesempatan pertama itu.”

“Marilah, kita meneruskan perjalanan ini. Kita akan berusaha secepatnya menemukan anak itu.”

Demikianlah, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak menyusuri jalan itu lagi. Mereka memotong lewat jalan-jalan kecil dan sempit. Bahkan jalan-jalan terjal dan sulit.

“Kita akan menempuh arah ini seterusnya,” berkata Ki Waskita, “aku mempunyai isyarat yang kuat, bahwa kita akan segera menemukan.”

Namun wajah Ki Waskita tiba-tiba menjadi tegang. Lalu katanya, “Ada sesuatu yang agaknya terjadi.”

“Apa maksud Ki Waskita?” bertanya Ki Sumangkar.

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya ia meraba dadanya yang agaknya sedang bergejolak. “Ada sesuatu yang terjadi dengan Rudita, Kiai.”

Kiai Gringsing pun mengerutkan keningnya sambil berkata, “Kita akan mempercepat perjalanan ini. Marilah. Bukankah kita masih dapat berlari-lari di lereng bukit ini.”

Ki Waskita dan Ki Sumangkar menggangguk-angguk. Sejenak mereka memandang jalan sempit di hadapan mereka.

“Marilah,” berkata Ki Waskita, “kita menempuh jalan ini.”

Demikianlah, ketiga orang itu pun berjalan semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil mengikuti Ki Waskita yang berada di paling depan.

“Kita sudah tidak terlalu jauh lagi,” berkata Ki Waskita, “Mudah-mudahan hari ini kita dapat menemukannya.”

Dalam pada itu, Rudita yang sedang dicari oleh ayahnya bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu, memang benar-benar ingin pergi ke Sangkal Putung. Tetapi ia lebih senang berjalan di sepanjang lereng Gunung sambil memperdalam ilmunya. Di tempat-tempat yang sepi, ia berhenti untuk satu dua hari, sehingga perjalanannya memang menjadi terlalu lama.

Namun dengan demikian, maka wujud lahiriahnya pun menjadi semakin lama semakin kusut. Jika semula Rudita adalah seorang anak muda yang bersih dan rapi, kini ia tidak lebih dari seorang yang berpakaian kumal dan sobek di sana-sini.

Kadang-kadang Rudita sendiri menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan dapat dikenal oleh Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi ia yakin, bahwa kedua anak-anak muda itu tidak akan melupakannya. Keduanya bukan anak-anak muda yang sombong, yang hanya mau berkenalan dengan orang-orang tertentu saja.

“Meskipun aku berpakaian compang-camping seperti pengemis, jika keduanya benar-benar tidak lupa kepadaku, aku tentu akan diterimanya dengan baik.”

Tetapi akibat lain yang terjadi atas Rudita, semula sama sekali tidak diduganya. Jika sekali-sekali ia berpapasan dengan beberapa Orang yang berwajah garang, maka orang-orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Tetapi ketika ia memasuki sebuah padukuhan yang nampak agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang lain, maka terjadilah malapetaka itu.

Padukuhan Cangkring yang dilaluinya itu, nampaknya sudah jauh lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain. Jalan-jalan yang membelah padukuhan yang meskipun tidak begitu besar itu, nampak bersih dan rapi. Di beberapa sudut terdapat beberapa buah gardu peronda. Dan di sepanjang sisi jalan, terdapat pagar batu yang tersusun serasi.

Semula Rudita merasa aman memasuki padukuhan itu, karena ia melihat anak-anak mudanya yang nampak selalu bersiaga. Bahkan mereka yang berada di sawahpun nampaknya siap untuk melakukan apa saja bagi kepentingan padukuhannya, karena ternyata di samping alat-alat persawahan, mereka pun membawa senjata.

Tetapi Rudita mulai berdebar-debar ketika dua orang anak muda menghampirinya sambil bertanya garang, “Siapa kau, he?”

Rudita membungkukkan badannya dalam-dalam. Jawabnya, “Aku Rudita, Ki Sanak.”

Kedua anak-anak muda itu memandanginya dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Keduanya memandang setiap bagian tubuhnya, dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.

“Apakah kau pengemis?” bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.

Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Bukan, Ki Sanak. Aku bukan pengemis.”

Tetapi agaknya kedua anak-anak muda itu benar-benar mencurigainya. Maka yang seorang, yang bertubuh tinggi tegap, mendekatinya sambil bertanya, “Apakah yang kau bawa?”

“Ini adalah bekal yang aku bawa dari rumah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal di sana.”

“Dimana rumahmu?”

“Di seberang Kali Praga.”

Keduanya nampak menjadi tegang. Yang seorang, yang lebih kecil bertanya, “Kenapa kau mengambil jalan ini? Kenapa kau tidak melalui daerah baru yang sudah menjadi semakin baik di Alas Mentaok? Jalan di daerah itu jauh lebih mudah dilalui daripada daerah lereng Gunung ini.”

“Aku sengaja ingin melihat-lihat lereng Gunung Merapi,” jawab Rudita.

Tetapi anak yang bertubuh tinggi itu pun berkata, “Kau menimbulkan kecurigaan pada kami. Jika kau menyebut dirimu seorang pengemis, mungkin masih akan dapat aku mengerti, dan sejauh-jauhnya kau hanya akan kami usir dari padukuhan kami, karena pengemis hanya akan membuat daerah ini menjadi kotor.”

“Aku bukan pengemis, Ki Sanak. Tetapi aku adalah seorang perantau. Aku berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku ingin melihat segi-segi kehidupan yang ternyata mempunyai ragam warnanya tersendiri.”

Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian berkata, “Kata-katamu membuat kami semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya keuntunganmu dengan melihat apa yang kau sebut segi-segi kehidupan itu? Apakah kau, di rumahmu, tidak mempunyai pekerjaan apa pun? Di sawah, misalnya?”

Rudita menggeleng. Katanya, “Semua pekerjaan di rumahku sudah ada yang mengerjakannya. Aku bebas untuk melakukan apa pun yang aku senangi, termasuk merantau.”

“Kau membuat kami semakin curiga. Nah, apakah yang kau bawa di dalam kampilmu itu?”

“O, kantong ini tidak berisi apa pun yang pantas untuk dipersoalkan. Aku membawa beberapa keping uang untuk bekal perjalananku, dan seikat rontal yang kadang-kadang aku pergunakan untuk mengisi waktu di perjalanan. Jika aku lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di siang hari, aku membaca rontal itu.”

“Uang?” bertanya anak muda yang bertubuh tinggi.

“Ya.”

“Darimana kau dapatkan uang itu?”

“Dari rumah. Aku membawa bekal uang dari rumah.”

Kedua anak-anak muda itu menjadi semakin curiga. Yang seorang, yang bertubuh lebih kecil itu pun kemudian berkata, “Perlihatkan kampilmu itu.”

“Apakah ada gunanya?”

“Perlihatkan.”

Rudita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengambil kantongnya, yang selalu tergantung diikat pinggangnya. Diambilnya rontalnya dari kampil itu, dan kemudian diperlihatkannya kampilnya kepada anak muda itu.

“Kau membawa uang,” desisnya.

“Ya. Semula uang dan beberapa lembar pakaian. Tetapi pakaianku rusak selembar demi selembar. Ada yang tertinggal saat gunung ini berguncang. Dan ada yang aku berikan kepada orang yang memerlukan di sepanjang jalan.”

“O, kau mengigau. Pakaianmu sendiri compang-camping, kau dapat bersombong diri,” anak muda yang bertubuh tinggi itu memotong, “tetapi uang yang ada di dalam kantongmu memang menarik perhatian. Darimana kau dapat?”

“Sudah aku katakan, aku membawa dari rumah.”

Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Lalu, “Aku tidak dapat mengerti keteranganmu yang simpang siur itu. Aku terpaksa membawamu. Daerah ini adalah daerah yang sangat peka terhadap kejahatan. Kami sedang bangkit melawan setiap usaha mengacaukan keamanan di padukuhan kami. Dan kau agaknya sangat mencurigakan.”

“Maksudmu?”

“Mungkin kau salah seorang dari para penjahat yang sedang berusaha menjajagi padukuhan kami.”

“Tidak, Ki Sanak. Aku bukan orang yang berniat buruk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya aku akan dituduh berbuat demikian jahatnya.”

“Jangan membantah. Di sini ada orang-orang yang bertugas menentukan apakah kau bersalah atau tidak.”

“Ki Jagabaya?”

“Tidak perlu. Di sini ada anak-anak muda, yang sudah menerima beberapa petunjuk dari para prajurit, bagaimana mengatasi kesulitan yang tumbuh.”

“Jadi, apa yang akan kalian lakukan?”

“Ikut kami ke banjar padukuhan ini.”

Rudita menjadi termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata di sekitarnya sudah mulai berdatangan beberapa anak muda yang lain. Bahkan seorang di antaranya adalah seorang yang bukan anak muda lagi, berkumis lebat dan bermata tajam, mendekatinya.

“Siapakah anak ini?” bertanya orang itu.

“Ia mengaku bernama Rudita,” jawab salah seorang dari kedua anak muda itu.

Orang berkumis itu memandang Rudita seperti memandang hantu di siang hari. Perlahan-lahan ia mendekat sambil berkata, “Kau datang dari kelompok yang mana? Atau barangkali kau salah seorang anggauta kelompok yang baru saja datang di Tambak Wedi?”

Rudita menjadi bingung. Dan ia berkata sejujur-jujurnya, “Aku tidak mengerti. Aku datang dari seberang Kali Praga.”

Rudita terkejut ketika tiba-tiba orang berkumis itu mencengkam bajunya sambil membentak, “Jangan mencoba menipu kami. Jawab pertanyaanku. Kau datang dari kelompok yang mana? Atau kau seorang penjahat kecil yang sering mencuri ayam di siang hari?”

“Jangan berprasangka buruk,” Rudita masih sareh, “aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya sekedar lewat saja di padukuhan ini, seperti aku lewat di padukuhan-padukuhan lain. Di padukuhan lain aku tidak pernah mengalami perlakuan seperti ini.”

Orang berkumis itu mengguncang baju Rudita sambil membentak pula, “Jangan mengajari kami. Padukuhan kami adalah padukuhan terbaik di seluruh daerah kaki Gunung Merapi. Ki Untara sendiri pernah datang dan memberikan pujian. Karena itu, mungkin kau dapat lolos di padukuhan yang lain. Tetapi tidak di sini.”

Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja orang itu mendorongnya sambil melepaskan bajunya. Katanya, “Bawa anak Ini ke banjar. Kita harus memeriksanya dengan teliti, ia tentu datang dari salah satu kelompok penjahat. Atau ia sendiri adalah seorang pencuri ayam,” Orang itu menggeram, “Sayang. Kau masih semuda itu sudah menjadi seorang pencuri.”

Rudita tidak menjawab. Ia tahu, bahwa tidak ada gunanya menjawab kata-kata itu.

Karena itu, ketika seseorang mendorongnya, maka ia pun berjalan saja seperti yang diperintahkan kepadanya. Sekali-sekali ia mengerling kepada kantongnya yang masih berisi beberapa keping uang. Namun rontalnya telah ada padanya dan disimpannya di dalam kantong bajunya di bagian dalam.

Setiap kali Rudita merasa bahwa punggungnya telah didorong oleh anak-anak muda yang mengikutinya, semakin lama semakin banyak.

Tetapi Rudita yang sekarang sudah bukan Rudita yang dahulu. Ia tidak lagi menggigil ketakutan. Kini ia berjalan dengan tenang, tanpa menunjukkan kegelisahan. Ia menyadari, bahwa jika terjadi salah paham, maka akibatnya akan menyulitkannya. Namun sejak  ia berangkat dari rumahnya, ia sudah pasrah. Ia merasa bahwa ia selalu berada di dalam perlindungan Yang Menciptakannya. Jika harus terjadi sesuatu, maka itu memang sudah seharusnya terjadi, dan ia tidak akan dapat mengingkari lagi. Tetapi di dalam kesulitan itu, Rudita tidak akan pernah merasa sendiri.

Dengan demikian, Rudita yang sudah menemukan dirinya di dalam hubungannya dengan Sumbernya, adalah Rudita yang lain dari Rudita yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan beberapa waktu yang lalu.

Sementara itu, iring-iringan yang semakin panjang itu pun akhirnya sampai juga di Banjar padukuhan. Beberapa orang anak muda segera memerintahkan orang-orang yang tidak berkepentingan meninggalkan banjar.

“Kalian hanya membuat ribut saja di sini. Sudahlah. Tinggalkan banjar ini.”

Beberapa kali perintah itu diteriakkan. Tetapi orang-orang yang berkerumun, terutama anak-anak yang masih terlampau muda, tidak segera meninggalkan banjar itu. Bahkan seorang anak yang sedang meningkat menjadi remaja berteriak, “Serahkan kepada kami!”

Anak-anak muda yang berteriak-teriak menyuruh orang-orang yang tidak berkepentingan pergi itu pun akhirnya menjadi jemu. Dan mereka tidak lagi berbuat apa-apa, ketika orang-orang itu justru mendesak maju.

“Serahkan kepada kami!” anak-anak yang merasa dirinya sudah menjadi seorang anak muda, berteriak-teriak semakin keras.

Tetapi Rudita pun kemudian justru di bawa masuk ke dalam banjar, ia didorong ke dalam ruang dalam, agar selanjutnya tidak terganggu oleh teriakan-teriakan anak-anak remaja yang meningkat dewasa.

Sekali lagi Rudita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang serupa saja. Tetapi karena jawab Rudita masih juga serupa, maka pertanyaan-pertanyaan itu pun diucapkan semakin lama menjadi semakin keras.

“Kau tahu, di luar ada banyak sekali anak-anak remaja?”

“Ya, aku tahu,” jawab Rudita dengan tatag.

“Kau tahu akibatnya, jika kau aku lemparkan kepada mereka itu?”

“Ya, aku tahu.”

“Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Dari kelompok atau gerombolan mana kau datang? Kau tentu tengah mengamat-amati padukuhan ini. Dan kau merasa dirimu aman karena kawan-kawanmu akan mencoba melindungimu,” orang berkumis yang membawa Rudita ke banjar itu masih juga mendesaknya, “tetapi gerombolan-gerombolan semacam itu tidak berarti apa-apa bagi kami di sini. Kami sudah siap menjaga ketenangan padukuhan kami. Dan sekarang kau datang untuk mengacau.”

Rudita menarik nafas. Jawabnya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa, karena aku tidak tahu sama bekali tentang gerombolan-gerombolan itu.”

Orang berkumis lebat itu agaknya sudah kehilangan kesabaran. Namun ia masih belum mempunyai alasan yang kuat untuk memaksa Rudita berbicara dengan kekerasan.

Selagi orang-orang yang ada dibangsal itu termangu-mangu, maka datanglah seorang anak muda sambil berlari-lari ke banjar padukuhan itu.

Semua orang yang ada di luar dan di dalam banjar berpaling ke arahnya. Beberapa orang yang berdiri di tangga pun segera menyibak dan memberi jalan kepadanya.

“Ki Rena,” berkata anak muda itu dengan nafas terengah-engah, kepada orang berkumis lebat yang sedang mencoba mendengar keterangan Rudita. “ada beberapa orang dalam gerombolan, lewat di pinggir padukuhan.”

“He?” wajah Ki Rena menjadi tegang. “Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan merampok?”

“Agaknya kali ini tidak. Pemimpinnya mengangkat tangan kanannya sambil bertanya tentang seorang anak muda bernama Rudita.”

“Rudita?” Ki Rena berpaling kepada Rudita, “siapa namamu, he?”

“Rudita. Memang namaku Rudita.”

“Ha, sekarang ternyata bahwa kau memang berasal dari salah sebuah gerombolan itu,” Ki Rena berpaling kepada anak muda yang datang berlari-lari itu. “Dari gerombolan manakah yang datang, menurut pengamatanmu?”

“Kali ini agak lain dari yang pernah kita kenal di sini.”

“Lain? Kau belum pernah mengenal ciri-cirinya?”

“Belum. Belum pernah. Nampaknya mengerikan sekali. Tetapi pemimpinnya bersikap baik dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kejahatan.”

“Tentu, karena ia ingin melepaskan anak buahnya ini. He, siapakah pemimpinnya?”

“Aku tidak tahu. Tetapi ia mempergunakan selembar kulit untuk menutup bahunya.”

“Kulit?” Ki Rena menjadi semakin tegang.

“Ya, kulit harimau.”

“Bagaimana bentuk tubuh orang itu?”

“Agaknya tinggi, tegap dan kekar.”

Ki Rena menjadi semakin gelisah. Katanya kemudian seakan-akan kepada diri sendiri, “Apakah orang itu yang bernama Kiai Kalasa Sawit? Aku pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri orang itu.”

“Ya. ya. Aku ingat sekarang. Ia menyebut dirinya bernama Kalasa Sawit.”

“Gila,” tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. Dipandanginya Rudita dengan sorot mata yang tajam. Katanya, “Jadi kau dari gerombolan yang akhir-akhir ini berada di Tambak Wedi? Jadi, kau adalah anak buah Kiai Kalasa Sawit?” Ki Rena berhenti sejenak. Lalu dengan suara gemetar ia bertanya, kepada anak muda yang memberikan laporan tentang Kiai Kalasa Sawit, “Lalu apa jawabmu?”

“Aku mengatakan, bahwa tidak ada seorang anak muda asing yang berada di padukuhan ini.”

“Bagus, bagus. Lalu apa katanya?”

“Orang itu nampaknya tidak begitu menaruh perhatian. Kiai Kalasa Sawit itu mengangguk dalam-dalam, sambil tertawa kecil. Dan ia pun segera minta diri dengan sopan, untuk melanjutkan perjalanan mencari anak muda yang bernama Rudita itu.”

Ki Rena termangu-mangu sejenak. Dan anak muda itu masih berkata, “Ki Rena. Nampaknya gerombolan ini agak lain dengan gerombolan yang dahulu sering datang kemari, sebelum kita dapat mengamankan padukuhan ini atas bimbingan prajurit-prajurit Pajang. Orang yang memakai kulit harimau itu memang mengerikan, tetapi agaknya ia ramah sekali. Kami tidak dapat menentukan apakah ia seorang penjahat atau benar-benar seorang yang sedang mencari keluarganya yang hilang.”

“Kau bodoh sekali. Kiai Kalasa Sawit adalah orang baru di daerah ini. Tentu ia tidak akan menakut-nakuti kita.”

“Tetapi orang-orang lain justru berusaha agar kita menjadi ketakutan dan memenuhi semua tuntutannya.”

“Ia tahu, kita siap untuk mempertahankan ketenteraman padukuhan kita.” Ki Rena berpaling kepada Rudita, “Nah, sekarang kau sendiri. Orang yang mencari kau itu, dengan mudah dapat kita kelabui. Kau tidak akan mendapat perlindungan dari siapa pun lagi.”

Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu, siapakah orang yang mencari aku dan menyebut dirinya bernama Kiai Kalasa Sawit.”

“Tentu kau mengingkari,” jawab Ki Rena. Lalu katanya kepada anak-anak muda yang ada di banjar itu, “Siapkan dua ekor kuda. Dua orang di antara kalian akan pergi ke Jati Anom melaporkan apa yang terjadi di sini. Jika benar-benar Kiai Kalasa Sawit telah menjamah padukuhan ini, maka kita masih harus mohon perlindungan kepada prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”

Anak muda yang diperintah itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Ki Rena. Kami akan segera melakukannya. Tetapi bagaimana jika kami bertemu dengan orang-orang dari Tambak Wedi itu? Kami tidak akan diganggu lagi oleh kelompok-kelompok lain yang sudah kita kenal. Tetapi kelompok yang satu itu masih merupakan teka-teki bagi kita.”

“Jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan. Katakan saja bahwa kau akan mengunjungi saudaramu yang berada di Banyu Asri atau Sendang Gabus.”

“Baiklah. Kami akan segera berangkat.”

“Sementara itu, kami di sini akan menyelesaikan persoalan dengan anak muda yang bernama Rudita dan yang menyamar sebagai pengemis ini. Katakan bahwa seorang dari Tambak Wedi telah dapat kami tangkap.”

“Aku bukan orang Tambak Wedi,” potong Rudita. Tetapi kata-katanya terputus ketika tangan Ki Rena menampar pipi Rudita sambil membentak, “Diam! Diam, kau.”

Rudita terkejut bukan buatan mengalami perlakuan itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa sambil menunggu apa yang akan terjadi atasnya.

Ternyata kemarahan Ki Rena sudah tidak tertahankan lagi. Wajahnya menjadi merah dan dadanya bagaikan terguncang oleh detak jantungnya yang menjadi semakin cepat.

“Cepat, pergilah sekarang,” berkata Ki Rena kepada anak muda yang akan pergi ke Jati Anom, “pasukan Pajang di Jati Anom itu harus segera datang. Mungkin orang-orang Tambak Wedi itu akan kembali lagi kemari, dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”

Anak muda yang mendapat perintah untuk pergi ke Jati Anom itu pun segera meninggalkan banjar.

Dalam pada itu, Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Kini Ki Rena berdiri menghadap kepadanya. Wajahnya masih tegang dan kemerah-merahan oleh kemarahan yang memuncak di dalam dadanya.

“Apakah kau masih akan ingkar?” bertanya Ki Rena kepada Rudita.

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku bukan ingkar. Tetapi aku berkata sebenarnya.”

“Cukup!” Ki Rena membentak. Sedang anak-anak muda yang ada di banjar itu pun mendesak maju. Seorang anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh, menyibak kawan-kawannya dan berdiri di belakang Ki Rena. Katanya, “Ki Rena, kali ini Ki Rena nampaknya sabar sekali.”

“Cucurut ini memang pandai membuat dirinya seolah-olah perlu dikasihani,” jawab Ki Rena, “Tetapi aku justru menjadi sangat muak kepadanya.”

“Ki Sanak,” berkata Rudita kemudian, “kenapa tiba-tiba telah terjadi salah paham seperti ini? Aku bukan orang jahat yang akan berbuat buruk di padukuhan ini. Sebenarnyalah aku seorang perantau yang lewat. Jika salah paham seperti ini sering terjadi, maka alangkah malangnya nasib orang yang lewat di daerah padukuhan Cangkring yang cantik ini.”

“Gila!” teriak Ki Rena yang marah sekali. “Kau masih dapat mengigau, he? Sekali lagi aku peringatkan, jika kau masih berputar-putar, kau akan aku serahkan kepada anak-anak remaja di luar banjar. Anak-anak muda di dalam banjar ini sudah mampu berpikir lebih baik, dan mempunyai belas kasihan. Tetapi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di luar, akan menyobek tubuhmu menjadi sayatan-sayatan daging.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah desah, “Kasihan anak-anak itu.”

“He?” mata anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh itu tiba-tiba terbelalak, “Siapa yang kau sebut kasihan itu?”

“Anak-anak di luar. Mereka akan kehilangan rasa kasih sayang kepada sesama. Setiap kali mereka dihadapkan pada sifat dan sikap yang keras seperti ini. Tidakkah ada cara yang lebih baik untuk mendidik mereka, agar menjadi anak-anak muda yang bertanggung jawab, tetapi tidak berbuat sewenang-wenang seperti yang kalian katakan itu?”

Sesuatu telah menyentuh hati orang-orang yang mendengarkan kata-kata Rudita itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Rena tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mencernakannya, seperti Ki Rena berusaha untuk mengingkari pengaruh kata-kata Rudita itu di dalam hatinya. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, “Kau memang penjahat yang paling licik. Kenapa kau tidak berusaha melepaskan dirimu dengan kekerasan? Kenapa kau berusaha menyelamatkan dirimu dengan sikap pengecut?”

“Aku tidak mengenal kekerasan seperti itu, Ki Sanak. Aku tidak mengerti, bagaimana aku harus berbuat kasar dan keras? Sejak kecil aku adalah seorang anak pupuk bawang saja di dalam pergaulan. Apalagi sekarang.”

“Tetapi kata-katamu mengandung bisa, melampaui bisa ular yang paling ganas.”

“Ki Sanak,” berkata Rudita, “sebenarnyalah bahwa aku merasa kasihan terhadap anak-anak remaja di luar dan anak-anak muda di dalam banjar ini. Aku mengerti, bahwa selama ini mereka dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Pada suatu saat, maka jiwa yang tertekan itu tiba-tiba meledak. Dan ini adalah wujud dari peledakan itu. Tetapi tidak selalu harus seperti yang terjadi di sini. Aku mempunyai seorang sahabat yang baik. Jiwanya tertekan dan pada suatu saat memang juga meledak. Namun ia tidak kehilangan kepribadiannya. Ia masih tetap berada di dalam jangkauan kasih antara sesama.”

“Diam, diam!” anak muda yang bertubuh kokoh kuat itulah yang kemudian tidak bersabar pula. Tangannya lah yang kemudian terayun menghantam pipi Rudita, sehingga Rudita berpaling sambil menahan gejolak di hatinya.

“Lidahmu memang sangat berbisa,” berkata anak muda itu, “kau telah menghina kami. Bukan saja suatu cara yang licik untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi yang kau lakukan adalah penghinaan dan fitnahan yang keji. Semula kami  memang akan mempertimbangkan sikap yang lebih baik padamu, anak gila. Tetapi sikapmu sangat menyakiti hati kami. Karena itu, maka kau akan benar-benar kami lemparkan kepada anak-anak muda itu sampai kau mengaku, dari kelompok yang manakah sebenarnya kau ini.”

“Aku tidak mempunyai jawaban lain,” berkata Rudita, “aku bukan dari kelompok yang manapun, karena aku datang dari seberang Kali Praga.”

“Persetan,” anak muda itu melangkah maju. “Maaf, Ki Rena. Apakah aku dapat menyelesaikan pekerjaan ini?”

Ki Rena yang masih marah itu pun kemudian berkata, “Salahmu sendiri, anak muda. Kau telah kehilangan semua kesempatan, kecuali jika kau mengaku.”

“Jadi kalian menganggap bahwa dengan kekerasan seperti itu, kalian dapat menyelamatkan padukuhan kalian dari kekerasan yang lain? Bukankah dengan demikian akan sangat sulit dicari bedanya, antara kalian dan kelompok-kelompok penjahat itu?” bertanya Rudita.

Pertanyaan Rudita yang terakhir itu telah membingungkan anak-anak muda Cangkring untuk beberapa saat. Namun kemudian Ki Renalah yang menjawab, “Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bodoh sekali. Kami melakukannya untuk mempertahankan hak kami, justru dari kejahatan yang mereka lakukan? Apakah kau masih belum melihat bedanya?”

“Aku melihat perbedaan arah, sikap dan tindakan kalian,” jawab Rudita, “Tetapi, apakah yang kemudian kalian lakukan untuk melaksanakan tindakan itu berbeda? Jika penjahat-penjahat itu melakukan kekerasan dan kadang-kadang di luar perikemanusiaan, kemudian kalian pun melakukan tindakan serupa untuk memperoleh pengakuan, apakah hal itu dapat dibenarkan oleh hati nurani kalian masing-masing?”

Wajah Ki Rena menjadi merah padam. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh kokoh kuat itulah yang lebih dahulu bertindak. Sekali lagi sebuah pukulan yang keras mengenai kening Rudita. Demikian kerasnya, sehingga anak muda yang bertubuh kokoh kuat itu sendiri menyeringai, karena tangannya terasa menjadi nyeri.

Rudita melangkah mundur selangkah. Dengan wajah yang tegang ia memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Masih ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi tiba-tiba saja, anak muda yang memukulnya itu menangkap tangannya sambil berkata lantang, “Tidak ada kebaikan hati yang dapat kami berikan kepadamu, kepada orang yang mulutnya menyebarkan bisa dan racun. Sebelum kau mengaku, darimanakah kau datang, maka kau akan menjadi sasaran kemarahan anak-anak tanggung di padukuhan ini.”

Ketika anak muda itu menyeret Rudita, ia mencoba bertahan. Namun kemudian Ki Rena pun ikut menyeretnya pula. Bahkan beberapa anak muda yang lain.

Rudita masih mencoba bertahan. Karena itu, ia masih belum bergeser sejengkal pun dari tempatnya. Namun akhirnya, ia pun tidak lagi berusaha untuk melawan. Ia mengikut saja, kemana ia akan dibawa.

Ternyata Rudita tidak dibawa kemana pun juga. Ia didorong oleh anak-anak muda itu dengan sekuat tenaga, menuruni tangga banjar. Di bawah tangga itu, anak-anak yang sedang meningkat dewasa telah menunggunya dengan wajah yang tegang.

Demikian Rudita turun di antara mereka, maka tangan-tangan yang gatal itu pun segera menghujani tubuhnya tanpa pertimbangan apa-pun lagi.

“Mengakulah!” teriak Ki Rena “sebelum kau menjadi bubur.”

Anak-anak muda di halaman banjar itu sama sekali tidak sempat mendengar pertanyaan itu. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan Rudita untuk berbicara.

Selagi anak-anak muda itu dengan tanpa perhitungan memukuli Rudita beramai-ramai, maka seorang anak muda yang agak lebih tenang dan pendiam, bergeser mendekati Ki Rena sambil bertanya, “Ki Rena. Kita sudah terlanjur mengirimkan dua orang untuk melaporkan kehadiran anak muda yang bernama Rudita itu kepada prajurit-prajurit di Jati Anom. Jika mereka kemudian datang kemari, dan kita tidak lagi dapat menunjukkan anak itu, karena telah menjadi mayat, apakah itu bukan berarti suatu kesulitan?”

Ki Rena mengerutkan keningnya. Lalu, “Kita akan melaporkan kepada Ki Demang.”

“Ki Demang sama sekali tidak tahu menahu tentang hal ini,” jawab anak muda itu, “bukankah kita sama sekali tidak melaporkannya? Ki Jagabaya pun tentu akan marah, jika ia mengetahui apa yang sudah kita lakukan di sini.”

“Tidak. Mereka tidak akan marah. Sebentar lagi mereka tentu akan mendengar dan datang ke banjar?

“Tetapi sementara itu, Rudita lelah hancur.”

“Persetan! Akulah yang akan bertanggung jawab. Aku akan mengatakan kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika mereka marah kepada kita. Anak itu berusaha melarikan diri dan melawan. Nah, apa lagi yang kita cemaskan?”

“Tetapi, Ki Rena, bukankah semuanya belum pasti?”

“O, kau memang selalu ragu-ragu. Aku tahu pasti. Anak ini sengaja membuat dirinya bodoh, dungu dan sedikit gila. Tetapi ia justru orang penting bagi para penjahat.”

Anak muda itu tidak menjawab lagi. Ketika ia memandang ke halaman, ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun kemudian memalingkan wajahnya. Rudita telah jauh bergeser dari tempatnya. Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan, anak-anak yang meningkat dewasa itu pun memukulinya tanpa menghiraukan apa pun juga. Bahkan ada di antara mereka yang tiba-tiba saja telah mengambil sepotong kayu dari pinggir halaman dan dengan berteriak-teriak mendesak maju di antara kawan-kawannya, “Minggir, minggir. Aku akan memecahkan kepalanya.”

Dalam pada itu, selagi anak-anak itu sibuk dengan cara mereka untuk memeras keterangan Rudita, maka dua orang anak muda yang lain telah berlari-lari pula dari ujung padesan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ada sekelompok penjahat lagi yang lewat. Tentu dari Randu Pitu. Kami sudah mengenal mereka. Setidak-tidaknya, seorang dari mereka.”

“Dari Randu Pitu?” desis Ki Rena, “Gila. Kelompok yang sangat licik, selicik anak buah Ki Raga Tunggal. He, apakah yang mereka lakukan?”

“Mereka juga mencari seorang anak muda yang bernama Rudita.”

“Ha,” sahut Ki Rena, “Sekarang kau tahu. Anak itu memang seorang penjahat yang pantas dijadikan abu di sini.”

Ki Rena ternyata menjadi semakin mantap. Orang-orang Randu Pitu yang mencari seorang anak muda yang bernama Rudita, seolah-olah membuatnya jantungnya semakin menyala.

Namun dalam pada itu, anak muda pendiam yang dapat berpikir lebih tenang itu pun bertanya, “Ki Rena. Jika demikian menurut dugaan Ki Rena, Rudita itu datang darimana? Dari Tambak Wedi, Randu Pitu atau dari kelompok penjahat yang mana? Dan apakah sebabnya maka beberapa kelompok penjahat sekaligus mencari seseorang yang menurut dugaan Ki Rena adalah salah seorang dari kelompok mereka?”

Ki Rena menjadi termangu-mangu. Kerut di keningnya nampak menjadi semakin dalam.

Tetapi ternyata Ki Rena tidak mau berpikir lebih jauh. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak peduli dari gerombolan yang manakah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi ia pantas mendapat sedikit pengalaman, bahwa ingkar tidak membawa keuntungan apa-apa.”

“Memang kita tidak peduli dari kelompok yang manakah anak itu. Tetapi kita harus peduli, seandainya anak itu benar bukan dari kelompok yang manapun.”

Sekali lagi, wajah Ki Rena menjadi berkerut-merut. Tetapi sekali lagi ia menggeleng sambil berkata lantang, “Aku tidak peduli. Itu salahnya sendiri, kenapa ia tidak berkata berterus terang dan jujur.”

“Jika ia berkata jujur?”

“Maksudmu?”

“Sebenarnya, seperti yang dikatakan?”

Ki Rena termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Tidak mungkin. Ia tentu seorang penjahat. Jika tidak, kenapa penjahat-penjahat itu mencarinya? Mungkin memang untuk dibunuh, karena ia berasal dari kelompok yang bersaing, atau diketahui dari kelompok yang tidak dikenal di sini, sehingga ia memasuki wilayah dan jangkauan penjahat-penjahat yang tidak selingkungan. Tetapi dengan demikian, ia adalah seorang penjahat. Dan seorang penjahat tidak akan mendapat tempat di daerah Cangkring, yang merupakan daerah yang paling terpuji di seluruh lereng Gunung Merapi, selain Jati Anom sendiri.”

Anak muda pendiam yang dapat berpikir lebih tenang itu, menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba memandang gejolak anak-anak remaja yang sedang memeras pengakuan Rudita, seperti wajah sebuah kolam yang bergejolak karena perkelahian antara seekor hiu melawan seekor buaya yang ganas sekali.

Dan sekali lagi anak muda itu memalingkan wajahnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah menepi, dan berdiri di belakang punggung kawan-kawannya yang termangu-mangu.

Dalam pada itu, selagi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di padukuhan itu sedang memaksa Rudita untuk menyebut nama sebuah kelompok, yang sebenarnya tidak diketahuinya sama sekali, maka Ki Waskita dan kedua orang kawannya berjalan dengan tergesa-gesa menurut isyarat yang ditangkapnya. Dengan wajah yang tegang, Ki Waskita berkata kepada kedua kawannya, “Aku tidak akan salah lagi. Ia berada di padukuhan di seberang bulak itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang agaknya terjadi atasnya?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya memang demikian.”

Kiai Gringsing menjadi tegang. Sedang Ki Sumangkar mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Daerah ini nampaknya bukan daerah yang membahayakan bagi seseorang. Tetapi memang siapa tahu, bahwa telah terjadi salah paham.”

Ki Waskita hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi langkahnya menjadi semakin cepat.

Mereka tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Dengan tergesa-gesa Ki Waskita berkata, “Kita bersembunyi saja lagi, agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat menghambat perjalanan kita.”

“Ya, aku sependapat,” sahut Ki Sumangkar.

Tetapi mereka tidak sempat melakukannya, karena di kejauhan mereka telah melihat beberapa orang berkuda muncul dengan cepat.

“Terlambat,” desis Kiai Gringsing.

“Baiklah,” berkata Ki Waskita, “kita akan menjawab tiap-tiap pertanyaan seperti yang dipesankan oleh para prajurit itu. Jika karena sesuatu hal terjadi persoalan dan salah paham, maka kita sesatkan saja mereka dengan bentuk-bentuk semu, agar kita segera dapat meneruskan perjalanan.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk, sementara sekelompok kecil orang berkuda itu menjadi semakin dekat.

Meskipun Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing sudah menepi, namun seperti yang mereka duga, orang-orang berkuda itu pun berhenti pula. Dipandanginya ketiga orang tua-tua itu dengan tajamnya.

Pemimpinnya, yang bertubuh gemuk namun agaknya tidak begitu tinggi, menunjuk Ki Waskita dan kawan-kawannya dengan jarinya yang pendek, sambil bertanya, “He, siapakah kalian?”

Ternyata suaranya agak mengejutkan ketiga orang yang mendengarnya. Orang gemuk di atas punggung kuda itu, suaranya melengking tinggi hampir seperti suara seorang perempuan.

“Ki Sanak,” jawab Ki Waskita, “aku dan kedua saudaraku ini sedang mencari anakku yang hilang.”

“He, siapakah nama anakmu?”

“Rudita. Dan aku sudah melaporkannya kepada Angger Untara.”

“Gila!” geram orang gemuk itu, “Jadi kaulah orangnya yang telah mengguncang lereng Gunung Merapi ini, sehingga semua orang harus ikut menjadi sibuk?”

Ki Waskita terkejut mendengar jawaban itu. Dengan demikian ia harus berhati-hati. Jika orang-orang itu menganggap bahwa hilangnya Rudita akan menjadi beban yang menjengkelkan bagi mereka, maka kejengkelan itu akan dapat dibebankan kepadanya.

“Siapa namamu?” bertanya orang gemuk di atas punggung kuda itu.

“Waskita,” jawab Ki Waskita ragu-ragu.

“Kenapa anakmu itu hilang, he? Apakah ia minggat?”

“Begitulah kira-kira, Ki Sanak.”

“Kau memang bodoh. Kau tidak dapat memelihara hubungan baik antara orang tua dan anak. Kenapa anakmu minggat jika bukan karena kebodohan orangtuanya? Jika kau berhasil mendidik anakmu dengan baik-baik, ia tidak akan berbuat seperti itu. Ia akan menurut kepada orang tuanya dan bahkan ia merupakan kurnia dari Tuhan yang tiada taranya. Kenapa kau sia-siakan kurnia yang akan dapat menyambung namamu itu, he? Bagaimana jika anak itu tidak kau ketemukan? Gila, bodoh, dungu. Kau tentu punya isteri muda sehingga anakmu marah dan pergi. Atau kau dan isterimu terlalu mementingkan dirimu sendiri, tanpa memberikan apa pun juga kepada anakmu. Sekarang kau tentu menganggap bahwa anakmu yang bodoh dan tidak tahu adat. Atau barangkali kau menyesal dan mencarinya dengan harapan-harapan baik, serta berjanji kepada diri sendiri akan memperlakukan anak itu dengan baik. Dalam keadaan seperti sekarang, kau tidak dapat membebankan kesalahan atas hubungan yang buruk itu kepada anakmu. Mengerti?”

Ki Waskita dan kedua kawannya berdiri terheran-heran. Menilik sikap kasar dan senjatanya, serta beberapa orang pengikutnya, orang ini tentu termasuk salah satu kelompok dari kelompok kecil orang-orang yang mendapat pengawasan Ki Untara, setelah daerah ini menjadi semakin tertib. Tetapi dari mulut orang itu telah meloncat nasehat-nasehat yang sebenarnya cukup baik untuk didengar.

Karena itulah, untuk beberapa saat Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu.

Mereka mengangkat kepala mereka memandang orang yang gemuk itu, ketika ia berkata lantang, “Pergilah, carilah anakmu sampai ketemu. Kemudian bawa ia kembali dan jaga dengan baik. Kau harus mengerti perasaannya. Kami sekarang pun sedang mencari anak itu atas perintah Ki Untara. He, kau siapa sebenarnya? Apakah ada hubungan keluarga dengan Untara?”

Ki Waskita masih bimbang. Tetapi untuk memberikan kesan yang mantap dan menghindari persoalan-persoalan yang lain yang dapat timbul, maka ia menjawab, “Ya, Ki Sanak, meskipun kami adalah keluarga yang sudah jauh.”

Orang gemuk itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak menemukan anak itu di sepanjang perjalananku. Aku mencarinya di tepi jurang Sruni. Sebulan yang lalu diketemukan sesosok mayat yang tergantung di bawah sebatang pohon cangkring. Seorang anak muda yang barangkali bunuh diri dengan menggantungkan diri pada pohon cangkring itu. Mayatnya diketemukan setelah beberapa hari, sehingga sudah tidak berbentuk lagi meskipun masih tergantung.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya. Yang dikatakan itu terjadi sebulan yang lalu, di daerah yang diduga menjadi daerah perjalanan Rudita. Tetapi sampai saat terakhir, ayah Rudita masih mempunyai sentuhan isyarat dengan anaknya.

—- > Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan

  1. Harak inggih kok dhawah sami sepen sanget to… ?

  2. Sayang, harusnya yang mukuli rudita digilas dihabisi sampai tumpas, biar nggak jadi kebiasaan.

Tinggalkan komentar