ISTANA YANG SURAM 07

ISTANA YANG SURAM

Jilid 7

Karya: SH Mintardja

kembali | lanjut

Istana Yang Suram-07PARAN SANGIT tidak menjawab, tetapi ia benar-benar menjadi cemas melihat Panji Sura Wilaga yang sudah kehilangan lawannya dan sudah bersiap-siap untuk membantu Kuda Rupaka.

Sejenak Paran Sangit menimbang-nimbang, ia akan dapat mengalahkan Kuda Rupaka yang sudah menjadi semakin terdesak, tetapi untuk melawan dua orang sekaligus, ia masih harus berpikir masak-masak, sedangkan seorang kawannya masih harus mempertahankan dirinya dari desakan Kidang Alit yang juga ternyata memiliki kemampuan yang tinggi.

Karena itu, maka Kiai Paran Sangit itu harus segera menemukan jalan keluar dari kesulitan yang sudah mulai membayang.

Sementara itu, Panon dengan tergesa-gesa berlari masuk ke ruang dalam, ia tidak ragu-ragu lagi untuk memasuki pintu dalam yang selama ia berada di istana itu, belum pernah terbuka baginya, Karena ia hanyalah seorang pengembara. Tetapi dalam keadaan yang gawat, ia tidak lagi teringat tentang dirinya sendiri.

Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia melihat sesosok mayat yang berbaring di muka pintu bilik Raden Ayu Kuda Narpada, sedangkan di dalam bilik itu dilihatnya Raden Ayu Kuda Narpada yang ketakutan memeluk puterinya Inten Prawesti. Sedangkan Nyi Upihpun telah memeluk anak gadisnya yang pucat pula.

Sejenak Panon termangu-mangu, ia tidak melihat darah yang memerah di lantai, dan ia tidak melihat luka pada tubuh mayat dari orang Guntur Geni itu.

“Kenapa ia bisa mati?” bertanya Panon diluar sadarnya.

Perempuan-perempuan yang ketakutan di dalam bilik itu sama sekali tidak menjawab.

Dalam pada itu, Panon pun teringat ketika ia mendengar langkah-langkah perkelahian di belakang istana itu, segera ia ingat kepada Kiai Mina, agaknya Ki Mina harus bertempur pula di bagian belakang.

“Ternyata istana ini telah benar-benar terkepung“ Gumam Panon, “Dibelakang pun ada beberapa orang yang nampaknya juga termasuk orang-orang Guntur Geni.”

Setelah yakin bahwa orang-orang yang terbaring itu tidak bernafas lagi, maka Panon pun segera meninggalkan bilik itu dan menghambur ke serambi belakang.

Seperti yang diduganya, di halaman yang gelap, Ki Mina sedang bertempur melawan dua orang lawan yang ternyata cukup kuat, dalam waktu yang pendek, Panon segera mengetahui, bahwa Ki Mina telah terdesak dan bahkan sudah membahayakan keselamatannya, karena itulah maka Panon tidak berpikir panjang lagi, dengan serta merta ia pun langsung terjun ke gelanggang yang sengit itu.

“Maaf Ki Mina, aku akan ikut serta dalam permainan ini”

“Bagaimana dengan perkelahian di halaman depan?”

“Mereka akan segera tertumpas. Beberapa orang telah terbunuh, mudah-mudahan akan segera berakhir meskipun masih cukup membingungkan”

Ki Mina tidak menjawab lagi, serangan kedua orang lawannya justru datang beruntun dengan dahsyatnya, sehingga ia terpaksa meloncat surut sejauh-jauhnya.

Tetapi lawannya tidak mau melepaskannya, justru mereka dengan gigi yang gemeretak karena serangan mereka yang masih saja dapat dielakkan.

Panon tidak dapat menunggu lebih lama lagi sambil berbicara saja, tiba-tiba ia pun meloncat untuk menyelamatkan Ki Mina pada keadaan yang paling sulit itu, maka Panon pun dengan sengitnya justru telah mulai menyerang salah seorang lawan Ki Mina itu.

Dengan demikian, maka perhatian lawan Ki Mina telah terpecah, masing-masing kemudian harus menghadapi seorang lawan, sehingga dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah.

Ki Mina segera dapat memperbaiki keadaannya, apalagi lawannya bukanlah seorang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka justru Ki Mina lah yang berhasil mendesak lawannya.

Demikian juga keadaan Panon yang bertempur melawan seorang lawannya, tidak banyak kesulitan yang dialaminya, seperti saat ia bertempur melawan salah seorang murid dari Guntur Geni di halaman depan.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa keduanya dengan serta merta dapat mengalahkan lawannya, jika mereka melakukan kesalahan, maka yang akan terjadi justru sebaliknya, karena mereka masing-masing bukanlah orang kebanyakan pula.

Dalam pada itu, yang bertempur di halaman belakang itu terkejut ketika mendengar isyarat di halaman depan. Sebuah siulan pendek, tidak begitu nyata, tetapi telinga yang tajam akan segera mendengarnya.

Ternyata Kiai Paran Sangit telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang masih hidup. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mempertahankan diri, maka ia pun segera mengambil keputusan untuk melarikan diri.

Agaknya Kiai Paran Sangit telah mengambil keputusan tepat pada waktunya, demikian Panji Sura Wilaga menempatkan dirinya disamping Kuda Rupaka, maka Kiai Para Sangit telah meloncat meninggalkan gelanggang.

Demikian juga seorang kawannya, meskipun ia tidak dapat mengalahkan Kidang Alit, namun agaknya ia masih sempat melarikan dirinya, menghilang diantara semak-semak di halaman.

Sejenak Kidang Alit termangu-mangu, perhitungannya terhadap kekuatan yang ada telah rusak karena kehadiran Panon dan terbunuhnya lawan Panji Sura Wilaga, sehingga Paran Sangit tidak berhasil membunuh Kuda Rupaka atau sebaliknya seperti yang diharapkannya. Karena itu, ia harus mengambil keputusan sementara, dibiarkannya orang Guntur Geni itu tetap hidup, mungkin masih dapat terjadi benturan-benturan yang akan berlangsung antara Kuda Rupaka dan orang-orang Guntur Geni. Mungkin orang-orang Guntur Geni itu akan memanggil kawan-kawannya untuk menghancurkan orang-orang yang berada di dalam istana itu.

Karena itu, maka Kidang Alit tidak mengejar orang Guntur Geni, bahkan kemudian ia sendirilah yang bersiap-siap untuk meninggalkan halaman itu. Karena dalam keadaan yang demikian mungkin sekali Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga kehilangan akal dan bersiap untuk membunuhnya bersama-sama.

“Orang-orangku yang ada di istana ini, akan berhadapan dengan Panon dan mungkin kawannya yang tua itu pun memiliki kemampuan yang cukup” berkata Kidang Alit dalam hatinya.

Dugaannya ternyata tidak jauh meleset dari kenyataan yang dihadapinya. Tiba-tiba saja Kuda Rupaka yang kehilangan lawannya itu menggeram, “Paman Panji, agaknya saatnya sudah tiba untuk membunuh orang ini pula.”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, dilihatnya Panji Sura Wilaga mempersiapkan dirinya pula.

Tetapi ternyata Kidang Alit masih sempat tertawa, katanya, “Memang suatu cara yang baik untuk mengurangi lawan, karena itulah aku membiarkan orang Guntur Geni itu untuk melarikan diri, dengan demikian, maka aku berharap bahwa kalian masih merasa memerlukan aku untuk menghadapi bukan saja orang-orang Guntur Geni. Tetapi orang-orang yang ada di dalam istana ini, He Raden Kuda Rupaka, apakah kau tidak mengetahui, betapa anak muda yang menyebut dirinya pengembara itu memiliki ilmu yang luar biasa, ia adalah orang yang pertama yang berhasil membunuh lawannya. Apakah kau tidak memper-timbangkan, suatu kemungkinan lain akan terjadi atas kalian berdua?”

Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, namun yang terdengar adalah suara gemeretak giginya, “Aku tidak peduli dengan kedua orang itu, mereka akan mati sebelum fajar menyingsing”

Suara ketawa Kidang Alit justru meninggi, katanya, “Kalian memang terlampau sombong, tetapi kalian tidak akan berhasil jika kalian tetap dalam kebodohan itu” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “Kenapa aku tidak membunuh kalian lebih dahulu?, aku mempunyai pertimbangan tersendiri, disaat terakhir, maka yang harus hidup adalah orang-orang yang paling lemah, dan yang paling lemah diantara kita semuanya adalah kalian berdua, juga sudah aku perhitungkan kedua orang pengembara itu”

“Gila”

“Baru kemudian aku. Nah kau dengar, aku adalah sebuah kekuatan yang termasuk lemah disini, sehingga aku memerlukan cara tersendiri untuk memenangkan perjuangan merebut pusaka-pusaka itu, bukankah dengan caraku sekarang ini, aku akan dapat menampilkan diri dalam perjuangan terakhir? Sayang, pengembara itu sudah merusak perhitunganku, jika tidak, maka kalian berdua tidak akan dapat melihat matahari besok pagi” sekali lagi ia berhenti sambil menarik nafas. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa kita kan dapat hidup sampai perjuangan terakhir, kita akan dapat berhadapan dalam keadaan yang lapang, sehingga kita akan mengadu ilmu sampai tuntas, tetapi jika kau cemaskan nasibmu dengan cara itu, maka baiklah, apa yang akan kau lakukan sekarang ini. Apakah kita harus bertempur selagi pengembara-pengembara itu masih saja berkeliaran disini? Aku tidak tahu siapakah yang akan dibantunya, namun seandainya mereka membantumu, aku pun sama sekali tidak cemas, karena aku mempunyai kawan yang cukup aku percayai untuk mengikat kedua pengembara itu dalam arena perkelahian.”

Raden Kuda Rupaka menggeram, Panon menyulitkan, apalagi setelah anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga masih harus diperptimbangkan semasak-masaknya apa yang akan dilakukan.

“Apakah membunuh Kidang Alit sekarang ini bagiku atau justru bagi pengembara itu?” bartanya Kuda Rupaka kepada diri sendiri.

Dalam keragu-raguan itulah, maka Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mendengar isyarat yang terlontar dari mulut Kidang Alit, sejenak keduanya ragu-ragu, mereka tidak akan tahu arti dari isyarat itu.

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kuda Rupaka.

Kidang Alit tertawa, “Aku memerintahkan orang-orangku untuk menyingkir saja dari halaman ini. Nah jelas? Suara yang mirip dengan auman serigala itu merupakan pertanda aman bagi lawan-lawannya, tetapi jika aku menggonggong, maka ini adalah pertanda kematian bagi orang-orang yang menentang kemauanku”

“Kenapa kau tidak menggonggong sekarang?” geram Sura Wilaga.

“Perhitunganku belum masak, kedua pengembara itu sudah merusak semua rencanaku, aku berharap bahwa setelah orang-orang Guntur Geni, maka kesempatan untuk memperbandingkan ilmu dengan bangsawan dari Demak ini akan dapat aku lakukan, tetapi ternyata niat itu terganggu oleh anak gila itu”

“Persetan”

“Aku akan pergi sekarang”

Tetapi Panji Sura Wilaga melangkah maju sambil berkata, “Kenapa bukan kau lebih dahulu yang kami bunuh, sebelum sisa orang-orang dari Guntur Geni dan kedua pengembara itu”

“Aku tidak keberatan jika kau memang menantang, aku dapat memanggil orang-orangku kembali, dan disini akan ada arena segi tiga yang menarik, tetapi pertempuran yang demikian tidak meyakinkan, karena itu, baiklah kita bersetuju untuk bertempur pada kesempatan lain tanpa ada pihak ketiga yang mengganggu. Aku akan mengambil seorang kawanku yang terpercaya, sehingga kita masing-masing akan melakukan perang tanding dengan jujur dan jantan”

“Tidak ada yang percaya kepada mulutmu, kau licik sekali dan terlebih-lebih lagi, tidak mempunyai harga diri sama sekali”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Sebenarnya aku adalah seseorang yang menjunjung tinggi harga diri, tetapi dalam hal ini, apakah arti harga diriku dibanding dengan nilai pusaka yang sedang kita cari sekarang ini”

“Persetan, jika kau sekarang masih memohon agar hidupmu diperpanjang, pergilah, mungkin aku segera merubah keputusanku dari membunuhmu sekarang juga”

Dan Kidang Alit justru menyambung, “Selanjutnya, pengemis itu akan membunuhmu setelah sekarang ia menemukan pusaka yang sedang kita perebutkan”

Tiba-tiba saja Raden Kuda Rupaka menggeram, ternyata keadaan di istana kecil ini menjadi semakin membingungkan.

“Raden” tiba-tiba saja terdengar suara Kidang Alit, “Bagaimana jika kita bersepakat saja untuk membunuh pengembara itu? Kau berdua belum tentu dapat melakukannya, sebaliknya, aku dan kawan-kakwanku pun belum tentu akan berhasil, tetapi jika kita bersama-sama, maka aku kira kita akan dapat melakukannya, baru setelah pengembara itu mati, kita akan bertempur sepuas-puas kita tanpa ada yang mengganngu. Orang-orang Guntur Geni tentu tidak akan kembali dengan segera, karena ia telah kehilangan dua orang disini, mungkin tiga orang. Kita belum mengetahui apa yang terjadi dengan seorang kawannya yang memasuki bilik istana puteri, tetapi bahwa ia tidak keluar lagi setelah Panon masuk, mungkin nyawanya telah disitanya pula”

“Gila” geram Kuda Rupaka, “Kau kira aku akan melakukan tugas ini dengan membabi buta?”

“Bukan membabi buta, tetapi itu adalah perhitungan yang cermat, kita mengambil keuntungan dari peristiwa yang dapat terjadi, apalagi kita sudah bersetuju untuk bertempur disaat terakhir.

“Kita tidak dapat mempercayainya, Raden” potong Panji Sura Wilaga, “Pada suatu saat ia akan memanggil sejumlah orang-orangnya untuk melakukan apa saja dengan cara yang licik, karena itu, kita harus memperhitungkan, manakah yang lebih menguntungkan, memilih pengemis itu lebih dahulu bersama-sama dengan Kidang Alit, atau justru membunuh Kidang Alit lebih dahulu bersama-sama dengan pengemis-pengemis itu.”

Raden Kuda Rupaka mengangguk-angguk, lalu katanya, “Kau dengar pertimbangan paman Panji Sura Wilaga, Kidang Alit, agaknya dalam keadaan seperti ini, kami pun harus berpendirian seperti kau, harga diri kita jauh lebih murah daripada nilai pusaka-pusaka itu”

“Baiklah, perhitungkan masak-masak, manakah yang lebih menguntungkan bagimu, aku besok akan datang lagi, mungkin kau sudah mempunyai keputusan”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, Ia pun tidak beranjak dari tempatnya ketika kemudian Kidang Alit meninggalkan halaman itu dengan meloncati dinding.

Sejenak Kuda Rupaka termangu-mangu, sekilas dilihatnya mayat yang terbaring diam di halaman.

“Raden” berkata Panji Sura Wilaga, “Mayat-mayat ini harus dikuburkan, apakah kisa masih dapat meminta bantuan orang-orang padukuhan Karangmaja?”

“Apa salahnya, disiang hari kita akan dapat pergi ke rumah Ki Buyut”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, rasa-rasanya kehidupan di malam hari dan di siang hari terasa jauh sekali perbedaannya, di siang hari tidak banyak kelainan yang nampak dari kehidupan sehari-hari. Tetapi di malam hari istana kecil ini merupakan hutan belantara yang lebat, siapa yang kuat ialah yang akan tetap dapat melihat matahari esok pagi.

“Tetapi” tiba-tiba Panji Sura Wilaga berkata, “Jika kita pergi ke padukuhan, pengemis-pengemis itu akan lepas dari pengamatan kita, mungkin mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu”

Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya, sejenak ia berpikir, namun kemudian katanya, “Aku akan pergi ke padukuhan bersama salah seorang dari pengemis itu, kau mengawasi yang seorang lagi”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk,

Sekarang, biarlah kita singkirkan mayat-mayat ini dahulu”

“Tetapi apakah Raden tidak melihat apa yang telah terjadi dengan puteri”

Raden Kuda Rupaka bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang buram, tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah, aku hampir saja melupakannya”

Dengan tergesa-gesa Kuda Rupaka diikuti Panji Sura Wilaga naik ke pendapa dan masuk ke ruang dalam, ketika ia sampai ke pintu bibinya, dilihatnya Panon dan Ki Mina sudah berada diluar bilik pintu itu pula.

Sejenak langkahnya terhenti, rasa-rasanya telah terentang jarak yang membatasi hubungan antara dirinya dengan kedua pengembara itu.

Namun Kuda Rupaka melihat kedua orang itu melangkah surut, seolah-olah memberikan tempat kepadanya untuk menyelesaikan masalah yang baru saja terjadi.

Kuda Rupaka menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat sesosok mayat yang terbujur di muka pintu bilik itu, mayat dari seorang yang wajahnya nampak mengerikan, apalagi pada saat-saat matinya.

“Siapakah yang telah membunuhnya?” terdengar suara Kuda Rupaka berat.

Tidak ada seorang pun yang menjawab, sehingga Kuda Rupaka harus mengulanginya lagi, tetapi langsung ditujukan kepada bibinya yang masih ketakutan di dalam biliknya sambil memeluk puterinya yang gemetar, “Siapakah yang telah membunuhnya bibi?”

Raden Ayu Kuda Narpada tidak segera menjawab, rasa-rasanya mulutnya menjadi terlampau sulit untuk digerakkannya.

“Siapa bibi?” tetapi Kuda Rupaka selalu mendesaknya.

Raden Ayu Kuda Narpada masih termangu-mangu, seakan-akan ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.

Kuda Rupaka bergeser selangkah, kemudian dipandanginya wajah Ki Mina yang termangu-mangu pula, seperti wajah-wajah yang lain, dengan nada kasar Kuda Rupaka bertanya, “Kaukah yang melakukannya?”

Ki Mina menggelengkan kepalanya, dengan mantap ia menjawab, “Aku tidak membunuhnya Raden, aku berada di belakang karena ada dua orang yang ingin memasuki pintu belakang istana ini”

“Kau bertempur melawan keduanya?”

“Aku terpaksa membela diri, kemudian datang Panon membantuku”

Diluar sadarnya Kuda Rupaka memandang Panji Sura Wilaga, seolah-olah ingin mengatakan bahwa orang tua itu pun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia mampu melawan dua orang sekaligus, meskipun tidak berhasil menyelesaikan, jika Panon tidak datang membantunya, kedua orang itu tentu orang-orang yang mendapat isyarat dari Kidang Alit.

Namun dengan demikian, siapakah sebenarnya yang telah membunuh orang ini?”

Tatapan mata Kuda Rupaka pun kemudian tertuju kepada Panon, sehingga diluar sadarnya, Panon pun menggeleng sambil berkata, “Ketika aku sampai disini, orang ini telah mati”

Wajah Kuda Rupaka menjadi tegang, sekali lagi dipandanginya bibinya sambil bertanya, “Apakah bibi melihat seseorang?”

Bibinya yang sudah mulai lebih tenang, menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak melihat seorang pun di tempat ini, tetapi ketika orang itu melangkah masuk ke dalam bilik ini, ia seolah-olah terdorong surut dan jatuh di muka pintu tanpa aku ketahui sebab-sebabnya”

“Aneh sekali” desis Kuda Rupaka, “Apakah masih ada orang lain yang tidak kita ketahui?”

Panji Sura Wilaga menjadi tegang, bahkan Ki Mina dan Panon pun terheran-heran pula karenanya.

Dengan ragu-ragu Kuda Rupaka memandang dinding bilik itu, kemudian merambat sampai ke atap, ternyata ia tidak mendapatkan sebuah lubang yang cukup besar.

Panji Sura Wilaga yang heran pula kemudian mendekati mayat itu sambil bergumam, “Tidak ada darah”

“Ya” desis Kuda Rupaka, “Tentu dengan jenis senjata yang lain, mungkin racun, kita akan melihatnya nanti, tetapi kita harus yakin, bahwa serangan semacam itu tidak akan mengenai kita pula”

“Kita memiliki penawar racun, justru orang-orang Guntur Geni yang selalu menyerang dengan senjata beracun, kurang memperhatikan akibat bagi dirinya sendiri.”

“Tetapi pemimpin-pemimpinnya tentu memiliki penawarnya, seperti yang kita miliki, meskipun ujudnya lain. Apalagi orang ini tentu tidak menyangka bahwa ia akan mendapat serangan seperti itu”

Panon yang termangu-mangu itu pun maju setapak, dengan hati-hati ia berjongkok di samping mayat yang terkapar itu, perlahan-lahan ia menggulingkan tubuh yang membeku itu sehingga menelentang.

“Oh” Inten memalingkan wajahnya dan bahkan kemudian menyembunyikan didadanya ibunya, sedangkan Raden Ayu Kuda Narpada memejamkan matanya.

“Tolonglah” desis Raden Ayu, “Bawalah mayat itu pergi”

Tetapi yang terdengar adalah suara Panon perlahan-lahan “Paser-paser inilah yang telah membunuhnya”

“Supit” gumam Panji Sura Wilaga, “Paser itu tentu dilontarkan dengan supit, dan ujung supit itu dapat disusupkan di lubang dinding yang kecil, mungkin dari atas pengeret”

Semua orang memandang ke dinding sekali lagi, seperti yang dikatakan oleh Panji Sura Wilaga, memang ada antara yang cukup di bawah pengeret yang memisahkan dinding dan atap.

Namun mereka masih termangu-mangu, jika benar demikian siapakah yang telah melakukannya? Apakah orang-orang Guntur Geni sendiri atau pihak lain yang belum mereka ketahui.

Dalam kebimbangan itu, terdengar suara Raden Kuda Rupaka, “Masih ada seorang yang tidak hadir disini”

Semua orang memandang kepadanya, dan Kuda Rupaka meneruskan, “Dimanakah Sangkan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Carilah Sangkan dibiliknya” berkata Kuda Rupaka kepada Panji Sura Wilaga.

Panji Sura Wilaga pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke bilik Sangkan, namun ia tidak usah terlalu lama mencari, seperti yang pernah terjadi, maka Panji Sura Wilaga langsung mencari di bawah pembaringannya.

“Cepat keluar” bentak Panji Sura Wilaga, “Kenapa kau bersembunyi di kolong permbaringan selagi semua orang bertempur?”

“Aku, aku takut sekali” desisnya dengan suara gemetar.

“Kau gila, kau memang pantas dibunuh saja dari pada mengotori istana ini”

“Tetapi, tetapi aku tidak berbuat apa-apa, aku tidak mengganggu dan bahkan aku dapat membantu membersihkan halaman”

“Gila, ternyata pengemis itu lebih berguna dari pada kau, mereka mampu berkelahi melawan kawan-kawan Kidang Alit, sementara kau bersembunyi saja di kolong ambenmu”

“He..!!” Sangkan merangkak keluar, “Pengemis-pengemis itu berani berkelahi?”

“Ya, pengemis yang muda telah membunuh seorang perampok dari Guntur Geni”

“Ah, Raden Panji agaknya masih sempat bergurau”

Tetapi Sangkan tidak dapat meneruskan katakatanya, apalagi senyumnya yang mulai nampak dibibirnya, segera terhapus oleh sebuah pukulan di pipinya.

“Aduh…!” Sangkan mengeluh sambil memegang pipinya, wajahnya yang pucat tiba-tiba menjadi merah, bukan saja wajahnya tetapi juga matanya.

Ketika tangan Sangkan mengusap matanya yang basah, Panji Sura Wilaga membentaknya, “Jika kau menangis, aku bunuh kau, kau tidak dapat bermanja-manja di hadapanku, aku tidak peduli jika kau menangis di gendongan biyungmu yang semakin tua itu, tetapi tidak di hadapanku”

Sangkan menjadi semakin ketakutan, tetapi ia tidak menangis, “Ikut aku” bentak Panji Sura Wilaga.

Sangkan tidak membantah, ia pun kemudian mengikuti Panji Sura Wilaga masuk ke ruang dalam, namun ketika terpandang olehnya sesosok mayat, maka ia pun segera berhenti.

“Kenapa kau berhenti?”

“Aku takut, Raden”

“Ikuti aku, jika kau takut mayat, kau sendirilah yang akan menjadi mayat”

Tetapi Sangkan tidak menyahut lagi.

Kemarahan Panji Sura Wilaga tidak tertahankan lagi, tetapi ketika ia hampir saja memukulnya, Panon bertanya, “Untuk apakah Sangkan dibawa kemari?, jika ia memang ketakutan, biarlah ia sembunyi di dalam bilik”

“Ia harus menyingkirkan mayat itu”

“Biarlah aku dan paman Mina yang akan menyingkirkan, tetapi mayat yang ada di halaman pun masih harus disisihkan, dan itu bukan semata-mata kewajibanku dan paman”

Terasa sikap Panon memang sudah berbeda dari sikapnya pada saat ia datang. Tetapi Raden Kuda Rupaka pun menyadari, bahwa yang dihadapinya itu bukan seorang pengemis kebanyakan, itulah sebabnya maka ia pun harus bersikap lain.

“Baiklah” berkata Kuda Rupaka, “Pagi-pagi kita akan memanggil orang-orang padukuhan, kau dan aku akan pergi kepada Ki Buyut, kita minta tolong kepada orang-orang Karangmaja untuk menguburkan mayat-mayat itu”.

Panon nampak ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, aku besok akan pergi bersama Raden” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sekarang begaimana dengan mayat-mayat ini?”

Raden Kuda Rupaka mamandang Panji Sura Wilaga, sejenak kemudian ia menjawab, “Baiklah, kita akan menyingkirkan nya, semua yang disini dan yang ada di halaman”

“Kau harus membantu kami anak gila” geram Panji Sura Wilaga sambil memandang Sangkan.

Tetapi Panon telah menyahut, “Jangan dipaksa, jika ia sudah mengatakan tidak berani”

“Ia akan menjadi manja disini”

“Biarlah aku saja”

Panon pun kemudian mengangkat mayat itu seorang diri dan membawanya keluar, sementara Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga dibantu oleh Ki Mina telah menyingkirkan mayat-mayat yang terbaraing di halaman.

Dalam pada itu, Sangkan yang ketakutan tidak mau segera kembali ke biliknya, karena itu untuk beberapa lamanya ia berada di muka bilik Raden Ayu.

“Kembalilah ke bilikmu” berkata Nyi Upih.

“Aku takut biyung”

“Apa yang kau takutkan sekarang, semuanya sudah diselesaikan”

“Tetapi aku tidak mempunyai kawan dibilik belakang”

“Dimana Panon dan Ki Mina?”

“Mereka sedang menyingkirkan mayat-mayat yang katanya ada di halaman”

“Tetapi mereka sudah berada di biliknya kembali”

Sangkan masih tetap ragu-ragu, tetapi Nyi Upih kemudian berkata, “Di muka pintu ini tadi juga terdapat sesosok mayat”

“Ooo” tiba-tiba saja Sangkan meloncat masuk ke dalam bilik.

“Bukankah kau juga melihatnya?”

“Ya, ya, aku melihatnya”

“Sekarang kembalilah ke dalam bilikmu, kau tentu tidak akan dapat tidur disini”

Sangkan ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke bilik belakang.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh ibunya, Panon dan Ki Mina sudah ada di dalam bilik itu pula, tetapi justru Sangkan tidak berani mendekati mereka.

“Kau berbau mayat” desis Sangkan.

“Aku sudah membersihkan diriku di pakiwan” sahut Panon

Sangkan masih termangu-mangu, namun ia pun kemudian membanting dirinya di pembaringannya sambil berkata, “Jangan dekat-dekat”

Panon menarik nafas dalam-dalam, perasaan muaknya telah sampai keubun-ubun, tetapi ia masih tetap menahan diri agar tidak timbul persoalan lain, Karena itu, ia pun tidak menghiraukan Sangkan yang tidur menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya itu. Untuk beberapa saat lamanya Panon masih bercakap-cakap dengan Ki Mina tentang orang-orang Guntur Geni itu.

“Memang aneh” berkata Ki Mina, “Orang itu mati dimuka pintu tanpa mengetahui siapakah yang telah membunuhnya, paser itu sama sekali tidak dapat memberikan petunjuk karena tidak terdapat ciri-ciri apapun juga”

“Kidang Alit juga tidak mungkin melakukan, tetapi masih mungkin bahwa ia mempunyai orang lain yang mendapat kesempatan untuk melepaskan paser kecil dari sebuah sumpit”

Ki Mina menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Panon, kita sudah terlanjur menyatakan diri, karena itu, mungkin kita untuk seterusnya akan menghadapi persoalanpersoalan yang harus kita selesaikan dengan kekerasan. Karena itu, maka sudah sepantasnya kita membawa senjata kita masing-masing, aku pun tidak lagi akan menyembunyikan kerisku, dan kau pun harus membawa pisau-pisaumu meskipun tidak lebih dari keratan-keratan besi kecil runcing, namun di tanganmu ternyata telah berubah menjadi pusaka yang sangat berbahaya”

Panon mengangguk-angguk.

“Besok kau akan pergi bersama Raden Kuda Rupaka ke rumah Ki Buyut, aku tahu, dengan demikian maka Panji Sura Wilaga hanya tinggal mengawasi aku saja disini, tetapi kau harus berhati-hati, banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya disini telah terdapat tiga kekuatan yang harus berhadapan. Kau, Raden Kuda Rupaka, dan Kidang Alit, kalian adalah anak-anak muda yang istemewa. Raden Kuda Rupaka dan Kidang Alit mempunyai kelebihan yang jarang terdapat pada anak-anak muda sebayanya, sedangkan kau pun telah memiliki bekal yang tidak tanggung-tanggung lagi”

Panon mengangguk sambil berkata, “Syukurlah Paman, aku diberkahi oleh Yang Maha Agung”

“Syukurlah, sekarang beristirahatlah, mungkin masih ada persoalan yang akan kita hadapi”

“Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat tidur paman”

“Tidurlah, aku akan berjaga-jaga beberapa lama, jika aku merasa perlu, kau akan aku bangunkan”

Panon memandang Ki Mina dengan seksama, kemudian terloncat dari bibirnya, “Terima kasih, Paman terlalu baik kepadaku”

Ki Mina tersenyum, katanya, “Sudahlah, tidurlah”

Panon pun kemudian membaringkan dirinya di pembaringan, diluar sadarnya ia berpaling mamandang Sangkan yang menelungkup, namun suara nafasnya terdengar mengalir dengan teratur.

“Ia sudah tertidur” desis Panon.

“Itulah anehnya” sahit Ki Mina, “Baru saja ia merasa ketakutan, biasanya, orang yang yang ketakutan itu tidak dapat tidur semudah itu”

Panon tidak menjawab, tetapi ia pun kemudian memejamkan matanya, ia memang ingin tidur barang sejenak, Kemudian bergantian, biarlah Ki Mina juga beristirahat meskipun sisa malam tinggal sedikit.

Baik Ki Mina maupun Panon maupun Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, merasa perlu untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan, karena itulah, maka di ruang depan, Panji Sura Wilaga dan Kuda Rupaka telah mengatur waktu, seorang dari mereka akan tidur dahulu, kemudian yang seorang lagi setelah yang terdahulu dibangunkannya.

“Silahkan paman tidur lebih dahulu” berkata Kuda Rupaka, “Hatiku masih belum dapat aku jinakkan, setelah mengalami peristiwa yang mendebarkan tadi”

Panji Sura Wilaga yang terbaring lebih dahulu, ia pun berusaha untuk segera dapat tidur nyenyak menjelang dini hari, agar Kuda Rupaka sempat tertidur meskipun hanya sekejap.

Namun dalam pada itu, agaknya sudah tidak ada sesuatu lagi yang terjadi di ujung malam itu, tidak ada seorangpun yang kembali lagi dan mengganggu isi istana yang kecil itu.

Pada dini hari, yang telah tertidur lebih dahulu pun segera terbangun, mereka mencoba memberi kesempatan kepada kawannya yang lain untuk tidur barang sekejap menjelang fajar.

Tidak banyak kesempatan untuk memejamkan matanya, tetapi yang sekilas itu pun kadang-kadang telah cukup, karena mereka adalah orang-orang yang terbiasa menguasai diri sendiri dalam segala bentuk.

Ketika matahari mulai bangkit di ujung timur, ternyata para penghuni istana itu pun telah menjadi sibuk, mereka yang baru sempat memejamkan matanya sekejap pun telah bangun dan bersiap-siap melakukan tugas masing-masing.

“Hari ini aku tidak dapat membersihkan halaman belakang” berkata Panon kepada Sangkan, “Aku harus mengikuti Raden Kuda Rupaka ke padukuhan untuk bertemu dengan Ki Buyut”

Sangkan mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Aku tidak peduli, tetapi kau harus melakukan kewajibanmu”

“Gila” desis Panon dihatinya, oleh kejengkelannya yang tidak tertahankan lagi ia pun berkata, “Semalam aku hampir tidak tidur karena aku harus membantu Raden Kuda Rupaka bertempur, kau sama sekali tidak berbuat apa-apa, karena itu, sekarang kaulah yang wajib menyelesaikan semua pekerjaan, aku akan pergi ke padukuhan”

“Aku tidak peduli” tiba-tiba Sangkan mendesak, “Kau harus membersihkan halaman belakang, Ki Mina kedua halaman samping dan aku halaman depan”

Panon terkejut mendapat tanggapan yang tidak disangkanya itu, ia mengira Sangkan akan menjadi takut dan merubah sikapnya kepadanya, tetapi ternyata ia justru membentaknya meskipun ia sudah mengatakan bahwa ia bertempur semalam-malaman.

Justru karena itulah, maka Panon memjadi termangu-mangu, beberapa saat lamanya ia terbungkam dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

Yang menjawab kemudian adalah Ki Mina yang masih bersabar menghadapi anak muda itu, “Baiklah Sangkan, akulah yang akan mengerjakan pekerjaan Panon, sebab jika Panon tidak mau pergi ke bersama Raden Kuda Rupaka pagi ini ke padukuhan, maka Raden Kuda Rupaka pun akan marah kepadanya, tetapi jangan cemas, aku akan membersihkan halaman belakang dan samping, dan kau akan membersihkan halaman depan, tetapi jika kau menjumpai mayat-mayat yang aku letakkan di pojok halaman, biarkan sajalah di sana, sambil menunggu orang-orang padukuhan yang akan membantu mengubur mayat-mayat itu.

“He..!!” wajah Sangkan menjadi pucat, “Jadi ada tiga mayat di halaman?”

“Ya, yang satu dibunuh oleh Raden Panji, yang satu oleh Panon dan yang satu ketemukan di dalam rumah tanpa diketahui siapakah yang telah membunuhnya”

“Jadi benar-benar Panon telah membunuh seorang dari mereka?”

“Ya” jawab Ki Mina sambil memandang perubahan yang mungkin terjadi di wajah Sangkan.

Tetapi ternyata Sangkan menggeram, “Anak gila, kaulah yang ikut menakut-nakuti aku dengan membunuh orang, aku tidak mau membersihkan halaman depan hari ini, kaulah yang melakukannya”

Jawaban Sangkan itu sungguh diluar dugaan, Panon yang juga masih seorang anak muda, betapapun ia telah mengalami latihan jasmaniah maupun rohaniah, namun kesabarannya rasa-rasanya memang sudah sampai kebatas. Namun untunglah bahwa Ki Mina masih sempat menggamitnya sambil berkata kepada Sangkan, “Baiklah Sangkan, biarlah aku yang membersihkan halaman seluruhnya hari ini, mungkin kau dapat melakukan sesuatu yang lain yang sesuai dengan kemauanmu hari ini”

Sangkan tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya memancar sesuatu yang aneh, kegelisahan, kemarahan dan campur baur dari ketidak tentuan, atau sesuatu yang tidak dimengerti sama sekali oleh Ki Mina.

Dalam pada itu, Panon pun kemudian membenahi diri, ia mencoba untuk tidak menghiraukan lagi anak muda yang bernama Sangkan itu.

“Anggap saja anak itu anak Gila” berkata Panon kepada diri sendiri untuk meredakan gejolak perasaannya”

Ternyata bahwa sejenak kemudian terdengar langkah Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga, sambil berdiri dimuka pintu bilik itu Kuda Rupaka berkata, “Bersiaplah, kita akan berangkat sekarang, jika kau tidak mempunyai kuda, kau dapat meminjam Kuda paman Panji jika kau dapat berkuda.”

“Aku akan mencoba berkuda, Raden”

“Marilah, biarlah paman Panji tinggal di istana ini, siapa tahu Kidang Alit yang licik itu akan datang disiang hari”

Panon mengangguk, ia pun menyadari betapa anak muda yang bernama Kidang Alit justru ia memiliki bermacam-macam ilmu yang dapat dipergunakan untuk melakukan niatnya tanpa mengingat harga diri sama sekali.

Keduanya pun kemudian meninggalkan bilik itu, diikuti oleh Panji Sura Wilaga yang kemudian menyerahkan kudanya kepada Panon.

Ketika dua ekor kuda itu berderap meninggalkan halaman, Panji Sura Wilaga berdiri termangu-mangu di tangga pendapa, sedangkan Ki Mina memandanginya dari halaman samping, sementara Sangkan masih tetap berada di dalam biliknya.

Ketika kedua ekor kuda itu sudah tidak nampak lagi, maka Ki Mina pun dengan langkah yang lamban berjalan kembali ke dalam biliknya, dilihatnya di dalam bilik itu Sangkan duduk termenung, seolah-olah merenungi sesuatu yang amat rumit didalam dirinya.

“He, kenapa kau tidak membersihkan halaman?” Sangkan tiba-tiba saja membentak.

Tetapi Ki Mina justru tersenyum, jawabnya, “Aku akan melakukannya, tetapi biarlah aku duduk sebentar”

“Kau tahu bahwa sebenarnya hari sudah terlalu siang untuk melakukannya”

Ki Mina masih saja tersenyum, namun demikian ia menjawab pula, “Sebentar lagi orang-orang dari padukuhan akan datang dan mengubur mayat-mayat yang ada di halaman, setelah mereka selesai, aku tentu akan membersihkannya”

“Bagaimana dengan halaman belakang dan samping?”

Ki Mina dengan menarik nafas dalam-dalam, tetapi kemudian ia pun kemudian meninggalkan bilik itu sambil bergumam, “Baiklah, aku akan membersihkannya sekarang”

Sangkan mengikutinya sampai ke depan pintu biliknya, namun kemudian katanya, “Ki Mina, aku akan membantumu membersihkan halaman belakang, tetapi kau atau Panon yang nanti harus membersihkan halaman depan”

Ki Mina mengangguk, katanya, “Terima kasih, aku akan menyapu halaman samping saja terlebih dahulu”

Sangkan memandang Ki Mina sampai orang tua itu hilang disudut istana, baru kemudian ia pun melangkah setelah menutup pintu biliknya.

Sementara itu Raden Ayu Kuda Narpada dan Inten Prawesti seolah-olah menjadi beku di dalam biliknya, Pinten pun tidak berani beranjak meskipun ibunya mengajaknya.

“Aku takut biyung” desis Pinten.

“Tetapi bukankah kita harus menjerang air dan menanak nasi?, jika kau dan aku bersembunyi saja disini, siapakah yang akan masak hari ini?”

Pinten memandang Inten Prawesti sejenak, seolah-olah minta tolong kepadanya, agar ia diijinkan untuk tinggal saja di dalam bilik itu.

“Bibi” berkata Inten, “Jika Pinten memang takut, biarlah ia disini, aku merasakan betapa tersiksanya jika kita harus memaksa diri berbuat sesuatu dalam ketakutan”

“Tetapi sekarang sudah siang puteri, diluar ada Panji Sura Wilaga yang tidak ikut bersama Raden Kuda Rupaka ke padukuhan”

Bab 25

Inten termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Apakah paman ada di belakang?”

“Aku tidak tahu puteri, tetapi masih ada yang akan melindungi kita, ternyata Ki Mina pun mampu berbuat sesuatu jika terpaksa, seandainya ia tidak memiliki ilmu setinggi Panji Sura Wilaga, namun ia akan dapat membantu serba sedikit”

Pinten mengangguk-angguk sejenak, namun kemudian katanya, “Baiklah biyung, tetapi aku sajalah yang berada di dalam dapur bersama kakang Sangkan, aku tidak mau mengambil air ke sumur”

“Uh, kakakmu adalah laki-laki yang tidak berguna sama sekali didalam keadaan seperti ini, biarlah ia tetap bersembunyi di bawah kolong ambennya” ia berhenti sejenak, lalu, “Biarlah aku yang mengambil air, kau menyakakan api, lihatlah matahari sudah naik dan kita belum lagi menjerang air”

“Biarlah Nyai” desis Raden Ayu, “Bukan salahmu, dan akupun tidak akan menyalahkan Pinten, jika ia tidak berani keluar di saat seperti ini”

“Ampun puteri, tetapi disiang hari, tentu tidak akan ada sesuatu yang akan dapat mengganggu kita disini, apalagi disini sekarang ada beberapa orang yang dapat melindungi kita”

“Ingatlah Nyai” berkata Raden Ayu, “Disiang hari pula suara seruling itu selalu terdengar, dan bahkan di siang hari pula anak mua yang bernama Kidang Alit itu telah berani bertengger diatas dinding halaman kita”

“Ooo…” Nyi Upih menangguk-angguk, namun kemudian, “Tetapi sekarang tidak akan terjadi apa-apa, marilah Pinten”

Pinten ragu-ragu sejenak, namun ia pun kemudian mengikuti ibunya pergi ke dapur.

Dimuka pintu dapur keduanya termangu-mangu, lewat butulan longkangan belakang, mereka melihat Ki Mina membersihkan halaman samping, sementara di belakang terdengar juga suara sapu lidi.

“Kakang Sangkan telah berada di kebun belakang” desis Pinten, “Agaknya ia sedang menyapu halaman”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Sejenak kemudian, Pinten sudah duduk di muka perapian sambil menyalakan api titikan, kemudian dengan nafas yang terengah-engah ia meniup api yang semakin besar membara pada segumpal emput aren.

Baru kemudian diletakkannya emput yang telah membara itu pada seikat belarak kering.

Nyi Upih yang kemudian masuk ke dapur sambil membawa lodong bamboo berisi air. “Kau pandai membuat api Pinten?”

“Bukankah hampir setiap hari aku menyalakan api?”

Nyi Upih mengangguk-angguk, tetapi tatapan matanya menjadi aneh, dan tiba-tiba saja berdesah.

“Kenapa kau biyung?” bertanya Pinten.

“Tidak apa-apa”

“Kau mengeluh?”

Nyi Upih tidak segera menjawab, sambil duduk di samping Pinten ia berkata, “Keadaan seperti ini harus segera diakhiri”

“Mudah-mudahan Raden Kuda Rupaka segera bertindak tepat”

“Kuda Rupaka yang mana?”

Pinten mengerutkan keningnya, dengan nada tinggi ia bertanya, “Kuda Rupaka yang mana? Kenapa kau bertanya seperti itu biyung?”

“Sudahlah, kau harus menjerang air, aku akan membersihkan beras ke sumur, yang ada tinggallah beras dan jagung itu”

“O, senang sekali, aku terbiasa makan jagung, sehingga jika aku makan nasi, aku menjadi cepat lapar, padahal nasi sangat terbatas sekarang ini”

Nyi Upih mengerutkan keningnya, tetapi Pinten tertawa sambil berkata, “Aku tidak mengeluh biyung, kau tahu, bahwa aku tidak mengeluh kan?”

“Ya, ya kau tidak mengeluh anak manis”

“Ah….” Pinten masih saja tertawa, tetapi akhirnya ia berhenti sama sekali, perlahan-lahan ia mendekati Nyi Upih yang tidak jauh duduk di sebelahnya, sambil memeluk dan meletakkan kepalanya ke bahu biyungnya, ia berkata, “Jangan sedih biyung, tidak lama lagi semuanya akan selesai, awan yang selama ini menyelimuti istana ini akan segera dihembus oleh angin yang kencang dan langit pun akan segera akan terbuka”

Nyi Upih mengusap matanya yang basah, ia pun kemudian ia memeluk Pinten, katanya, “Kau adalah mutiara yang tidak ternilai harganya, kau telah melakukannya dengan ikhlas, umurmu adalah umur remaja yang sebenarnya pada masanya bersolek di dalam bilikmu, tetapi kau sekarang berada dineraka seperti ini”

“He…!” Pinten terkejut mendengar kata-kata Nyi Upih, “Biyung, bangunlah, apakah biyung masih tidur dan bermimpi?”

Nyi Upih memandang Pinten sejenak, tetapi matanya masih juga basah.

“Sudahlah biyung” berkata Pinten kemudian, “Bukankah kau harus menyediakan minum dan sarapan pagi?”

Nyi Upih mengangguk-angguk katanya, “Ya, ya Pinten, aku harus menyediakan minum dan sarapan pagi, tetapi bukankah airmu belum mendidih?”

Pinten menggeleng, dengan tangan-tangannya yang halus, ia pun kemudian menggeser beberapa potong kayu di perapian, sehingga apipun menjadi semakin besar.

Dalam pada itu, Sangkan sibuk membersihkan halaman belakang istana itu, sekali-kali ia berhenti sejenak sambil menekan punggungnya, namun dalam pada itu, kadang-kadang matanya merayap di sepanjang dinding batu di seputar halaman istana itu, seolah-olah ia selalu dicemaskan oleh kemungkinan yang paling buruk. Jika Kidang Alit memanjat dinding itu dan meloncat masuk. Namun sesekali ia memandang Ki Mina yang berada di halaman samping.

Ki Mina melihat sikap Sangkan yang seakan-akan selalu dibayangi oleh kecemasan, tetapi ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, dengam tekun ia melakukan perkerjaan yang diberikan kepadanya, membersihkan halaman.

Sementara itu, di perjalanan ke rumah Ki Buyut, Panon berada di punggung kudanya mengikuti Raden Kuda Rupaka, ketika mereka sudah memasuki padukuhan, maka derap kuda merekapun menjadi semakin lambat, agar mereka tidak mengejutkan orang-orang padukuhan Karangmaja.

Namun dalam pada itu keduanya hampir tidak berbicara sama sekali, Panon yang merasa dirinya tidak sederajat dengan Raden Kuda Rupaka, selalu berada di belakang, ia masih tetap dibayangi oleh perbedaan derajat keturunan meskipun kadang-kadang teringat pula kata-kata gurunya, bahwa nilai seseorang bukanlah berada pada derajat dan tingkat keturunan, tetapi pada apa yang dilakukaknya. Meskipun demikian, Panon masih tetap merasa bahwa, ia sebaiknya berada di belakang Raden Kuda Rupaka tidak di sampingnya.

Kedatangan mereka di rumah Ki Buyut menimbulkan keheranan, karena hari masih terlalu pagi, meskipun matahari sudah mulai naik.

Ki Buyut yang baru saja selesai mandi, dengan tergopoh-gopoh turun dari pendapa rumahnya menyongsong kedatangan kedua orang itu.

“Kedatangan Raden mengejutkan kami disini”

Kuda Rupaka tersenyum, katanya, “Memang mungkin mengejutkan Ki Buyut”

“Marilah, silahkan Raden naik ke pendapa”

“Terima kasih, aku hanya sebentar Ki Buyut”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak, kerut merut di keningnya melukiskan, betapa hatinya mulai menjadi gelisah.

Namun dalam pada itu, sebelum Kuda Rupaka mengatakan sesuatu, merekapun terpaksa berpaling ke regol halaman, karena kehadiran seorang anak muda, sambil tersenyum anak muda itu mamasuki halaman sambil berkata, “Selamat Pagi Ki Buyut”

“Kidang Alit” desis Ki Buyut.

“Aku sudah mengira bahwa pagi ini Raden Kuda Rupaka tentu akan datang kemari”

“Apa yang kau ketahui tentang Raden Kuda Rupaka?”

“Tidak ada Ki Buyut, aku hanya mengira-ngira saja”

Ki Buyut mengerutkan keningnya, ketika ia menatap wajah Kuda Rupaka, ternyata wajah itu menjadin tegang, tetapi sesaat kemudian Kuda Rupakapun berhasil menguasai perasaannya, dan berkata, “Aku pun tahu, bahwa kau akan datang sepagi ini di rumah Ki Buyut, Kidang Alit”

Kidang Alit tertawa, katanya, “Baiklah, silahkan Raden mengatakan keperluan Raden atau barangkali Raden sudah mengatakannya”

“Belum, aku belum mengatakannya”

“Silahkan, aku tidak akan mengganggu” Kidang Alit pun kemudian seolah-olah tidak acuh, duduk di tangga pendapa rumah Ki Buyut, Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berkata, “Ki Buyut, semalam telah terjadi keributan lagi di halaman istana bibi Kuda Narpada, bahkan beberapa orang telah terbunuh”

“He..!!” Ki Buyut benar-benar terkejut mendengar berita itu, “Lalu apakah yang terjadi pada diri Raden Ayu Kuda Narpada?”

“Tidak, bibi tidak apa-apa, yang kami perlukan adalah beberapa orang yang dapat membantu kami menguburkan mayat-mayat itu”

“O…” Ki Buyut mengusap dadanya sambil berkata, “Untunglah bahwa ada Raden di istana itu, jika tidak maka orang-orang jahat itu tentu sudah berbuat apa saja yang mereka kehendaki”

Sebelum Kuda Rupaka menjawab, terdengar suara tertawa Kidang Alit, sehingga semua orang berpaling kepadanya.

“Kenapa kau tertawa Kidang Alit?”

“Tidak Ki Buyut, tidak apa-apa, aku berbangga atas Raden Kuda Rupaka yang telah berhasil melindungi istana kecil itu”

Kuda Rupaka menggeram, tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, Ki Buyut lah yang kemudian berkata, “Baiklah Raden, aku akan mengirimkan beberapa orang ke istana itu untuk membantu Raden. Berapa banyakkah orang yang telah terbunuh kali ini, Raden?”

“Tiga, tiga orang”

Kidang Alit mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Tentu seorang yang memasuki bilik puteri Inten Prawesti itu pun terbunuh pula”

Sekali lagi semua orang berpaling kepadanya, mereka melihat Kidang Alit tidak tertawa lagi, tetapi sikapnya seakan-akan masih tetap acuh tidak acuh saja.

“Baiklah Raden” berkata Ku Buyut kemudian, “Kami akan menguburkan mereka, tetapi karena itulah, maka kami mohon perlindungan Raden, jika kawan-kawannya merasa tersinggung karenanya dan melontarkan dendam mereka kepada kami”

“Aku akan bertanggung jawab Ki Buyut”

“Terima kasih Raden, dua orang anak muda dari padukuhan ini pun masih belum sembuh benar” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu dipandanginya Panon yang berdiri diam di belakang Kuda Rupaka.

“Ia tidak akan berbuat apa-apa” berkata Kuda Rupaka.

Ki Buyut mengangguk kecil, lalu, “Ya, kedua anak muda yang terkena racun itu belum sembuh sama sekali, meskipun mereka sudah menjadi agak baik, karena itu, kami mohon agar tidak ada korban lagi yang dapat mengurangi ketenangan hidup kami di padukuhan ini”

“Ya, ya Ki Buyut” sahut Kuda Rupaka, namun dengan sudut matanya ia melihat Kidang Alit sudah tersenyum lagi.

“Gila” desis Panon di dalam hatinya, “Anak muda yang licik itu agaknya memang sangat berbahaya.

“Baiklah Raden, sebentar lagi aku akan mengirimkan beberapa orang yang akan membawa usungan, kemudian membawa mayat-mayat itu ke kuburan. Silahkan Raden mendahului, namun demikian, kami mohon Raden juga mengawasi orang-orang kami yang barangkali selalu dalam kecemasan”

“Terima kasih Ki Buyut, aku minta diri, dan semua persoalan ada di dalam tanggung jawabku”

Kuda Rupaka pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Buyut itu diikuti oleh Panon, Ki Buyut mengantar sampai ke regol halaman, sementara Kidang Alit mengikuti pula.

Ketika Kuda Rupaka dan Panon telah meloncat ke punggung kudanya, tiba-tiba saja Kidang Alit berseru, “Raden hati-hatilah dengan pengemis itu, ia nampak dungu dan bodoh, tetapi ia licik seperti kancil”

Terasa dada Panon berguncang, tetapi ia berusaha menahan dirinya agar tidak terjadi perselisihan.

“Persetan dengan mulutmu Kidang Alit” Kuda Rupaka pun ternyata tidak dapat menahan hatinya lagi, namun sejenak kemudian kudanya telah berderap meninggalkan rumah Ki Buyut, meskipun tidak begitu cepat, karena mereka berada di tengah-tengah padukuhan.

Panon yang berkuda di belakangnya mencoba menenangkan hatinya, tetapi ia mendapat gambaran yang lebih banyak tentang keadaan sebenarnya yang dihadapinya.

Bagi Panon ternyata kemudian, bahwa persoalan di istana kecil itu benar-benar terbatas pada dinding istana, orang-orang Karangmaja hanya dapat mengikutinya dengan cemas tanpa dapat berbuat apa-apa, setiap tingkah laku orang-orang Karangmaja yang dengan langsung melibatkan diri dalam pergolakan yang terjadi di istana kecil itu, tentu akan berarti bencana, bahkan untuk menguburkan mayat saja, mereka merasa keselamatannya terancam.

“Tetapi kenapa Kidang Alit masih saja berkeliaran seolah-olah ia memang merupakan bagian dari Karangmaja?” bertanya Panon di dalam hatinya, dan orang-orang yang berada di istana kecil itu, secara tidak langsung ia sudah mendengar, bahwa Kidang Alit telah melakukan perbuatan yang kurang pantas di Karangmaja”

Namun demikian semua pertanyaannya itu disimpannya saja di dalam hatinya, meskipun ia menduga bahwa Raden Kuda Rupaka mengerti serba sedikit perbuatan tentang Kidang Alit, namun agaknya ia segan untuk bertanya kepadanya.

Demikianlah, tanpa mengucapkan sepatah katapun, keduanya memasuki regol halaman istana kecil yang suran itu. Raden Kuda Rupaka yang disongsong oleh Panji Sura Wilaga pun kemudian meloncat dari kudanya sambil berkata, “Mereka akan segera datang”

Panji Sura Wilaga mengangguk-angguk, katanya, “Mereka adalah orang-orang yang baik, kita wajib berterima kasih kepada mereka”

“Ya, kita akan mengucapkan terima kasih”

Panji Sura Wilagapun kemudian berpaling kepada Panon yang berdiri termangu-mangu, namun kemudian anak muda itu pun berkata, “Aku berterima kasih atas kuda Raden Panji yang sudah diperkenankan aku mengenderainya”

Panji Sura Wilaga memandanginya sejenak, namun kemudian katanya, “Kembalikan ke gedogan”

“Baik Raden”

Namun ketika Panon akan melangkah menuntun kuda itu, Kuda Rupaka pun berkata pula, “Bawa pula kudaku”

Panon termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia menerima kendali kuda itu sambil mengangguk dan menjawab, “Baik Raden”

Panon pun kemudian pergi ke gedongan sambil membawa dua ekor kuda dan kemudian memasukkannya ke dalam.

Sejenak Panon termangu-mangu, sekilas ia teringat olehnya kudanya sendiri yang ditinggalkannya di ujung pegunungan seperti yang dipesankan oleh gurunya.

“Guru tentu sudah datang ke pegunungan ini, dan berada di tempat yang sudah dikatakannya” berkata Panon dalam hatinya, tetapi ia menarik nafas dalam-dalam, ia tidak melihat kesempatan yang baik untuk mencarinya gurunya itu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan gurunya menunggu dengan cemas.

“Jika perlu sekali, apapun yang terjadi, aku harus pergi mencarinya” desisnya di dalam hati.

Namun tiba-tiba saja Panon terkejut ketika ia mendengar suara Sangkan, “He, apa yang kau lakukan disitu?”

Panon berpaling, dilihatnya berdiri di serambi, tetapi agaknya anak muda itu tidak sedang berbicara kepadanya, ternyata ia sedang memandang kearah yang lain.

Panon pun ikut pula memandang ke arah tatapan mata Sangkan, terasa sebuah desir timbul dihatinya, ketika ia melihat seorang gadis berdiri termangu-mangu di sudut istana itu.

Ternyata suara Sangkan telah menyadarkan gadis itu pula, ketika gadis itu berpaling kearah Sangkan, maka Sangkan sudah berkata lagi, “Kenapa kau merenung disitu Pinten? Apakah kau sedang merenung anak pengembara di gedogan itu?”

“Uh” wajah Pinten menjadi merah, tiba-tiba saja tangannya yang sedang memegang sepotong kayu bakar yang diambilnya dari belakang istana telah terayun ke arah kakaknya, untunglah Sangkan sempat berlari sambil berkata, “Pinten, jangan”

Tetapi Pinten justru mengejarnya, ia memungut kayu bakar yang dilemparkannya tetapi tidak mengenai sasarannya sambil berkata, “Awas kau kakang, jika kau lengah, maka aku akan cubit lehermu sampai terkelupas”

Meskipun Sangkan masih berlari, ia sempat bertanya, “He, kenapa di leher?”

Pinten tidak sempat menjawab, karena tiba-tiba saja muncul Nyi Upih di longkangan sambil berteriak, “He, anak-anak nakal, berhentilah berkelahi, setiap saat kalian pasti bertengkar, apapun sebabnya”

Pinten pun berhenti beberapa langkah dari Nyi Upih sambil mencibirkan bibirnya, ia mengangkat tangannya yang di kepalannya.

Sangkan berdiri di kejauhan dengan ragu-ragu, namun kemudian ia berkata, “Aku tidak apa-apa biyung, Pinten yang mendahului melempar aku dengan sepotong kayu”

“Kenapa kau melempar kakakmu dengan kayu, Pinten?”

“Habis, kakang nakal sekali, awas kau” geramnya.

Tetapi Pinten tidak dapat berbuat lain, ketika ibunya menariknya masuk ke longkangan.

Namun adalah diluar sadarnya bahwa tiba-tiba saja Pinten telah berpaling kearah Panon yang memandanginya dengan termangu-mangu. Seolah-olah ia telah terpukau oleh sesuatu yang tidak dimengertinya pada gadis yang aneh itu.

Ketika Pinten menyadari bahwa anak muda yang ada di gedogan itu pun sedang mamandanginya, maka terasa wajahnya menjadi panas, seolah-olah darahnya memanjat sampai ke ujung ubun-ubun, apalagi ketika ia kemudian mendengar Sangkan bertepuk tangan, maka sambil meronta ia berkata, “Lepaskan biyung, lepaskan aku akan menangkap kakang Sangkan”

Tetapi Nyi Upih tidak melepaskannya, tanpa menjawab Pinten itu pun ditariknya terus masuk ke dalam longkangan.

Sangkan yang masih berdiri termangu-mangu, kedua telapak tangannya masih beradu, meskipun ia tidak lagi bertepuk.

Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia mendengar seseorang membentaknya, “Kau sudah menjadi gila lagi He..!!”

Sangkan berpaling, dilihatnya Panji Sura Wilaga menatapnya dengan pandangan mata yang garang.

Wajah Sangkan tiba-tiba menjadi pucat, selangkah ia mundur sambil berkata, “Maaf Raden, aku tidak berbuat apa-apa”

“Kau memang anak gila, baru saja kau menjadi beku ketakutan, sekarang kau sudah berteriak-teriak, berlari-lari seperti bayi, He, apakah sebenarnya kau memang mempunyai penyakit gila?”

Sangkan hanya menundukkan kepalanya saja, jika ia mencoba menjawab, maka seperti yang pernah terjadi, tangan Panji Sura Wilaga akan segera melekat di pipinya.

“Sangkan” suara Panji Sura Wilaga semakin geram, “Jika aku tidak mengingat biyungmu dan Raden Ayu Kuda Narpada, kau sudah aku bunuh dan mayatmu aku suruh mengubur bersama-sama dengan mayat di halaman itu”

“Ampun Raden” suara Kuda Rupaka gemetar.

“Tetapi ingat, sekali lagi kau berbuat gila seperti itu, aku tidak akan memaafkan kau lagi, kau sudah berbuat keterlaluan, selagi kita semuanya dicengkam oleh ketegangan karena persoalan-persoalan yang belum kita kuasai benar, kau justru berlari-lari dengan tanpa menghiraukan keadaan sama sekali”

Sangkan menjadi semakin tunduk.

“Masuklah kedalam bilikmu, atau kerjakan pekerjaanmu yang lain”

“Baik, baik Raden” desis Sangkan, “Bukan maksudku untuk membuat Raden Panji marah seperti ini”

“Anak setan” geram Panji Sura Wilaga yang tiba-tiba saja kemarahannya justru melonjak sempai ke kepala.

Namun ketika hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan memukul Sangkan yang semakin tunduk, tiba-tiba saja Panon telah mendekatinya dan bertanya, “Apakah yang telah terjadi Raden Panji?”

“Anak gila ini membuat gaduh saja di halaman ini, aku ingin memukulnya sehingga mulutnya tidak dapat dipergunakannya untuk berteriak barang dua tiga pekan”

Panon adalah seorang yang paling muak melihat Sangkan yang gila-gilaan itu. Namun dalam pada itu ketika ia melihat anak muda itu menunduk dengan wajah yang pucat, tiba-tiba saja timbul ibanya, karena itu maka katanya, “Sebaiknya Raden Panji memaafkannya, akupun selalu berusaha untuk menghilangkan semua kesan yang buruk pada Sangkan, karena itu, aku tidak menghiraukannya lagi”

“He” tiba-tiba Sangkan berteriak, “Kau harus menurut perintahku disini”

“Jangan berkata begitu Sangkan” jawab Panon, “Aku tahu bahwa sebenarnya kau tidak ingin berkata begitu, memang ada yang aneh padamu, yang tidak aku mengetahuinya, seharusnya kau sudah mulai merubah sikapmu, kita disini benar-benar berada dalam keadaan yang tidak kita inginkan. Karena itu, kau jangan membuat persoalan-persoalan baru dengan siapapun juga, termasuk dengan aku. Dalam keadaan seperti sekarang, darah yang seakan-akan sedang mendidih ini sering menimbulkan sikap yang mungkin tidak kau ingini, karena aku juga dapat bersikap kasar”

Tetapi Sangkan masih menjawab, “Kau sudah berani menantang aku, oleh Raden Ayu kau diserahkan kepadaku, karena itu, semua perintahku adalah limpahan perintah Raden Ayu Kuda Narpada”

Panon adalah anak yang terlalu muda untuk menahan hati, namun ia pun seorang anak muda yang memiliki tanggapan jiwani, karena pergaulannya dan tuntunan gurunya yang cacat justru jasmaninya.

Karena itulah, maka tiba-tiba saja Panon menangkap sesuatu yang lain pada Sangkan, sesuatu yang tidak dapat ditanggapi dengan sikap jasmaniah saja.

“Mungkin anak ini benar-benar telah terganggu jiwanya, “ berkata Panon di dalam hatinya, ia pernah mendengar bagaimana Sangkan menempuh perjalanan yang berat bersama adiknya menyusul ibunya yang mengabdi dengan setia kepada Raden Ayu Kuda Narpada.

“Mungkin perjalanan yang berat, bahkan terlalu berat bagi Sangkan dan Pinten itu telah membuatnya agak berubah“ Katanya dalam hatinya, “Atau memang sebelumnya Sangkan memang mempunyai sifat-sifat yang kurang dapat dipahami”

Namun dalam pada itu, Panji Sura Wilaga yang tidak dapat menahan hati, hampir saja tangannya melayang menampar pipi Sangkan, namun Panon masih sempat menahannya, “Serahkan anak ini kepadaku Raden Panji”

Hampir saja Sangkan berteriak, tetapi Panon mendahuluinya, “Sejak peristiwa semalam, hubungan kita akan berubah Sangkan, juga hubunganmu dengan Ki Mina”

Sangkan menjadi termangu-mangu, namun tatapan mata Panon jadi jauh berbeda dengan tatapan matanya pada saat-saat sebelumnya, karena itu Sangkan tidak lagi mengatakan apa-apa.

“Marilah kita kembali kedalam bilikmu” ajak Panon, “Kita akan berbicara lebih panjang, dan kita harus belajar menahan hati dan ikut berpikir, apa yang sebaiknya kita lakukan di halaman istana ini, bukan hanya sekedar ketakutan, bersembunyi, selebihnya mengacaukan pemusatan pikiran kita”

Sangkan tidak menjawab, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.

“Marilah” ajak Panon sekali lagi.

Sangkan pun kemudian tidak membantah lagi, ia berjalan saja dengan hati yang kosong diiringi Panon, sementara Panji Sura Wilaga masih bergumam, “Jangan kau manjakan anak gila itu, sebaiknya kau bunuh saja ia agar tidak membuatmu kesal”

Panon berpaling, tetapi ia tidak menjawab, ia berjalan terus mengikuti Sangkan ke dalam biliknya, sementara Ki Mina masih saja berada di kebun, menyapu dedaunan kering yang jatuh bertebaran dihembus angin.

Sangkan duduk termangu-mangu di pembaringannya, dilihatnya Panon duduk pula diamben yang lain, tetapi untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri.

Dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Mina pun memasuki bilik itu sambil berkata, “Beberapa orang telah datang dari padukuhan”

Sangkan mengangkat wajahnya, tetapi ia tidak menyahut. Panonlah yang kemudian bertanya, “Apakah mereka sudah ditemui oleh Raden Kuda Rupaka?”

“Ya” jawab Ki Mina, “Mereka sudah mulai”

Panon pun kemudian berdiri, katanya, “Aku akan membantu mereka, biarlah kau berada disini paman”

Ki Mina mengangguk.

Sepeninggal Panon, Ki Mina duduk di ambennya, sejenak dipandanginya wajah Sangkan yang buram.

“Apa yang kau pikirkan Sangkan?”

“Kalian berdua ternyata sudah menipu aku” jawab Sangkan

“Kenapa?, apa yang kami tipu atas dirimu?”

“Kalian menyebut diri kalian berdua sebagai perantau yang mencari belas kasihan, tetapi ketika kalian sudah berada di istana ini, ternyata kalian adalah orang-orang yang termasuk mereka yang membiarkan dirinya dikuasai oleh kekerasan jasmaniah”

“Semua itu kami lakukan dengan terpaksa Sangkan”

“Apapun alasasmu, tentu kalian sengaja mengelabui aku, biyung dan Raden Ayu Kuda Narpada”

Ki Mina termangu-mangu, namun kemudian katanya, “Kami tentu akan memohon maaf kepada Raden Ayu, kepada ibumu dan kepadamu kakak beradik, namun percayalah bahwa bagaimanapun juga, maksud kami adalah maksud yang baik bagi istana ini seisinya”

“Kalian termasuk salah satu dari mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu, meskipun kalian bersikap baik, tetapi tentu karena kalian mempunyai pamrih seperti Raden Kuda Rupaka”

“Apakah Raden Kuda Rupaka mempunyai pamrih?, ia adalah kemanakan Raden Ayu Kuda Narpada, sehingga yang dilakukannya adalah semata-mata untuk melindungi istana ini, jika Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga mencurigai kami, itupu sudah sewajarnya, karena mereka belum mengenal kami”

“Tidak seorangpun yang mengenal kalian” jawab Sangkan, “Aku pun menjadi curiga, kenapa kalian berdua tiba-tiba saja datang ke istana ini dengan memperdengarkan tembang yang ngelangut dan menimbulkan belas kasihan itu?”

Ki Mina menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Aku kurang mengetahui Sangkan”

“Sudah tentu kau tidak akan mengatakannya kepadaku, tetapi baiklah, itu adalah hakmu. Dan kau serta Panon tentu berbangga melihat bahwa akulah yang kemudian terpaksa menjadi orang yang paling tidak berharga di istana ini seperti sebelum kalian datang, aku mengira bahwa kehadiran kalian akan sedikit menjunjung derajatku di lingkungan istana ini, tetapi justru sebaliknya, bahkan Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga selalu saja mengancam akan membunuhku”

“Rubahlah kelakuanmu, sudah tidak pantas kau berbuat seperti anak-anak, sebenarnyalah bahwa Panon juga sering merasa tersinggung, tetapi aku selalu memperingatkan, bahwa sifat kekanak-kanakanmu tidak sepantasnya mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam.

“Kau harus sadar, bahwa yang terjadi di istana ini benar-benar mengancam keselamatan kita semuanya. Karena itu, kau tidak boleh menganggapinya dengan sifat kekanak-kanakanmu, ketakutan, kemudian setelah semuanya mereda, kau tidak menghiraukannya lagi atas semua yang telah terjadi”

Sangkan tidak menjawab, tetapi tatapan matanya tertuju ke noktah-noktah di kejauhan, dipandanginya cahaya matahari diluar yang bermain diatas dedaunan.

“Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa” desisnya.

“Kenapa tidak? Sudah tentu bukan karena kau tidak mampu, tetapi karena kau memang tidak mau melakukannya”

“Tetapi bukankah untuk dapat berbuat sesuatu, aku harus berlatih lebih dahulu? Dan untuk itu diperlukan ketekunan dan waktu?”

“Ya, tetapi kau tidak usah menjadi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, berbuatlah dengan dewasa, itu saja. Kau tentu tahu, bahwa sudah waktunya kau menggantungkan nasibmu pada dirimu sendiri. Sudah waktunya kau membedakan mana yang lebih dan mana yang buruk, dan sudah waktunya kau melakukan pilihan dengan sadar dan bertanggung jawab”

Sangkan mengangguk-angguk.

“Sudahlah Sangkan, jika kau berbuat demikian, maka Panji Sura Wilaga tidak akan selalu mengancammu lagi”

“Mudah-mudahan aku dapat melakukannya mulai sekarang”

“Baiklah, cobalah dan yakinlah bahwa kau dapat melakukan sebaik-baiknya”

Sangkan mengangguk-angguk pula, tetapi ia tidak menjawab.

Ki Mina kemudian berdiri dab melangkah keluar sambil bergumam, “Aku akan pergi ke halaman depan, jika ada yang harus aku kerjakan membantu orang-orang yang sedang menyingkirkan mayat dan menguburkannya. Dan kau tidak usah bersembunyi di bawah kolong ambenmu mendengar ceritera tentang kematian yang mungkin masih akan menyusul lagi”

Sangkan tidak menjawab, ia masih saja duduk di tempatnya.

Sepeninggal Ki Mina, Sangkan menarik nafas panjang, panjang sekali, namun ketika ia berdiri ia mendengar langkah perlahan-lahan mendekati pintu biliknya, dan tiba-tiba saja seseorang meloncat sambil berkata lantang, “Nah, tertangkap kau sekarang kakang Sangkan”

Sangkan memandang Pinten sejenak, namun kemudian katanya, “Kemarilah Pinten”

“Aku akan membalas, kau sudah menggoda aku sejak tadi pagi”

Sangkan mengangguk-angguk kecil, namun wajahnya masih saja nampak bersungguh-sungguh, katanya sekali lagi, “Kemarilah Pinten, duduklah, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu”

Pinten pun menjadi heran melihat sikap Sangkan, ia masih berkata, “Aku tidak perduli, aku harus mencubitmu sampai lecet”

“Baiklah, tetapi dengarkan dahulu, aku akan berkata kepadamu, aku bersungguh-sungguh Pinten”

Pinten mengerutkan keningnya, agaknya kakaknya memang akan bersungguh-sungguh, karena itu, maka ia pun melangkah masuk dan duduk diamben”

Namun dalam pada itu, Sangkan tekah meloncat kepintu sambil mencibirkan bibirnya, “Kau tidak akan dapat menangkap aku Pinten”

“Curang, curang” Pinten meloncat pula beridiri, tetapi keduanya bertubrukan di muka pintu, karena ternyata Sangkan tidak berlari kemana-mana.

Tetapi ketika dengan gemas Pinten mengulurkan tangannya, Sangkan berkata, “Tidak, aku tidak lari, aku benar-benar bersungguh-sungguh kali ini”

Tetapi Pinten sudah mencubit dan diputernya sehingga Sangkan menyeringai, “Sudah, sudahlah, Aduh!!”

“Sekarang aku baru puas”

Sangkan mengusap lengannya yang menjadi kemerah-merahan, namun kemudian wajahnya telah menjadi bersungguh-sungguh lagi, dengan suara yang bersungguh sungguh pula, ia berkata, “Aku memang akan mengatakan sesuatu kepadamu”

Pinten duduk ladi di amben disebelah Sangkan, sorot matanya mengandung pertanyaan tentang sikap kakaknya yang agak berbeda.

“Kenapa kau sebenarnya kakang?”

Sangkan kemudian mengatakan, bahwa baru saja Ki Mina memberikan beberapa petunjuk kepadanya, agar ia mau merubah sikapnya.

Pinten justru mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Uh, kita disuruhnya bersikap seperti patung?, diam dan selalu muram?”

“Bukan begitu Pinten.Aku Mengerti,Bahwa sifat kekanak-kanakan kadang-kadang sangat menjengkelkan”.

“O, ternyata kau adalah murid Ki Mina yang pandai, tetapi kakang jangan mencoba merubah sifat-sifatku”.

“Tidak. Bukan kau Pinten, tetapi aku. Aku adalah laki-laki. Sedang kau adalah seorang gadis”.

“Jadi kau melihat perbedaan antara seorang gadis dan seorang laki-laki”.

“Ya, tetap tidak dalam keseluruhan, karena memang kodratnya bebeda”

Pinten mengangguk-angguk. Dan Sangkan pun berkata terus” Tetapi yang penting adalah, bahwa keadaan yang gawat ini memerlukan tanggapan yang wajar”

Pinten pun tiba-tiba menjadi bersungguh-sungguh juga. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apakah maksudmu, kau tidak akan bersembunyi lagi di bawah kolong jika terjadi sesuatu?”

“Maksudku demikian” namun kemudian suaranya datar, “tetapi apakah aku dapat melakukannya?”

Pinten termenung sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia berdiri dan melangkah meninggalkan bilik kakaknya.

Sangkan pun tidak berkata apa-apa lagi. Dipandangi saja adiknya yang melangkah melewati tunduk, kemudian hilang dibalik daun pintu.

Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih tetap duduk di tempatnya.

Sementara itu beberapa orang masih sedang sibuk dihalaman depan. Mereka tengah menyelenggarakan tiga sosok mayat dari orang-orang yang tidak mereka kenal.

Tetapi yang mereka ketahui adalah para murid dari perguruan Guntur Geni.

Sementara orang-orang dihalaman menjadi sibuk. Raden Ayu Kuda Narpada berada di dalam biliknya dengan wajah yang muram. Inten Prawesti yang duduk di sampingnya sekali-sekali mengusap matanya yang basah, sementara Nyi Upih duduk dilantai dekat sebelahnya.

“Sudahlah puteri” berkata Nyi Upih, “Memang keadaan yang kita hadapi rasa-rasanya menjadi semakin berat, tetapi puteri harus percaya kepada Gusti Allah, bahwa Dia akan menolong hambanya, dan akhirnya semua kesulitan ini akan teratasi, seperti pesan Yang Maha Agung ini “SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU ADA KEMUDAHAN”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk, katanya, “Aku mengerti, aku sudah mencoba untuk menerima kenyataan hilangnya Kamas Kuda Narpada. Ketika hatiku mulai mengendap, justru persoalannya beralih kepada pererbutan pusaka yang membuat hatiku menjadi semakin parah, luka yang sudah hampir sembuh itu bukan saja menjadi kambuh, tetapi seolah-olah itu menjadi semakin lebar dan dalam mencengkam jantung.”

Nyi Upih mengangguk-angguk, ia mengerti betapa pedihnya luka di hati Raden Ayu yang menjadi semakin tua itu. Seolah-olah beban yang harus dipikulnya sudah tidak terangkat lagi olehnya.

Tetapi setiap kali Nyi Upih selalu memberikan harapan-harapan yang dapat meringankan beban di hati kedua puteri itu, Inten Prawesti menjadi lebih terhibur hatinya sejak Pinten ada di rumah itu, namun demikian kadang-kadang terasa juga kepahitan yang dalam telah mencengkamnya, hidupnya yang agak terpisah dari hubungan dengan sesama, dan di saat-saat terakhir justru di kelilingi oleh kecemasan dan ketegangan yang semakin memuncak.

Dalam pada itu, selagi bilik itu dicengkam oleh kesenyapan yang pahit, Pinten dengan ragu-ragu mendekati pintu, ketika ia menjengukkan kepalanya, maka dilihatnya suasana yang sangat muram itu.

“O, maaf puteri, aku tidak tahu”

“Pinten” tiba-tiba saha Inten memanggil, “Masuklah”

“Puteri, aku hanya ingin memberitahukan kepada biyung bahwa nasi sudah masak”

“O, angkatlah” sahut Nyi Upih, “Sebentar lagi aku akan ke dapur”, Lalu ia pun bertanya kepada Raden Ayu, “Apakah kita akan menjamu orang-orang yang ada di halaman itu? Mungkin minum-minum?”

Raden Ayu termangu-mangu, baru sejenak kemudian ia menjawab, “Apakah kita dapat menjamunya meskipun hanya munum?”

Nyi Upih mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu puteri. Kita masih mempunyai beberapa tangkep gula kelapa, seorang dari padukuhan telah memberikannya kepadaku ketika aku berada di halaman depan”

“O, dan kau menerimanya?, mungkin beberapa tangkep gula itu akan dijualnya di pasar untuk membeli pakaian anak-anaknya”

“Aku sudah mengatakannya puteri, tetapi ia memaksa, dan karena agaknya hatinya akan kecewa jika aku menolaknya, maka akhirnya aku menerimanya”

Raden Ayu menarik nafas dalam-dalam, pada suatu saat ternyata datang gilirannya, bahwa orang-orang di sekitarnyalah yang menaruh belas kasihan kepadanya.

Terasa setitik air mengembun dimatanya, namun ia mencoba bertahan, bahkan kemudian sambil tersenyum betapapun masamnya, ia berkata, “Baiklah Nyai, jika air telah mendidih, dan kau mempunyai beberapa potong sere, buatlah minuman untuk beberapa orang yang ada di halaman.”

“Ya, puteri” sahut Nyi Upih, tetapi ia mengerti, bahwa sesuatu telah menyentuh hati Raden Ayu.

Nyi Upihpun kemudian meninggalkan bilik itu dan pergi kedapur bersama Pinten, namun ketika Pinten mulai melangkah, Inten berkata, “Aku akan pergi bersamamu ke dapur”

Nyi Upih tertegun, katanya kemudian, “Apakah tidak lebih baik puteri menemani ibunda di sini?”

Sambil memandang ibundanya Inten berkata, “Apakah aku boleh ke dapur ibunda?”

“Pergilah, tetapi segeralah kembali, ibu terlalu sepi sendiri dalam keadaan seperti ini”

Intenpun kemudian pergi pula ke dapur bersama Pinten dan Nyi Upih, tetapi terasa juga, bulu-bulunya meremang ketika ia dengar suara beberapa orang di halaman.

Mereka sedang sibuk membuat usungan untuk mengangkat ketiga sosok mayat dan menguburkannya.

Ketika mereka sampai ke dapur, mereka tertegun, Sangkan ternyata telah duduk memeluk lututnya sambil menekuri api yang masih menyala, wajahnya nampak menjadi kemerah-merahan oleh cahaya api yang melonjak-lonjak memanasi belanga.

“O” desis Nyi Upih, “Kau sedang merenungi api itu Sangkan?”

Sangkan menarik nafas, perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah surut,

“Kadang-kadang cahaya api memberikan getar yang gemuruh di dalam hati”

“He” desis Nyi Upih, “Apa yang kau katakan itu? Aku tidak mengerti maksudmu sama sekali”

“Biyung” desis Sangkan, “Cobalah lihat, lidah api itu seolah-olah menjilat-jilat, jika api itu cukup besar, maka nyalanya akan menjilat langit”

“Sangkan, apakah kau sedang mengigau?” bertanya Nyi Upih.

“Tidak Biyung, aku berkata sebenarnya, seperti yang sedang melonjak di dalam hatiku”

“O” Pinten lah yang menyahut, “Apakah hatimu sedang tersentuh api kakang?”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Jika Api itu cukup besar, betapa dinginnya malam, hati akan menjadi hangat pula”

Pinten tertawa, katanya, “Kua tidak usah mempergunakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh biyung, katakan sajalah bahwa kau sudah menjadi dewasa”

“Ah” desis Sangkan, “Kau selalu salah sangka, cobalah kau perhatikan, betapapun juga aku seorang penakut, tetapi jika pada suatu saat, aku tidak dapat mengelak lagi, maka apaboleh buat”

“O” tiba-tiba saja Pinten bertepuk tangan, “Kakakku akan menjadi pahlawan”

“Sst” desis Sangkan, “Jangan bertepuk tangan, jika Panji Sura Wilaga mendengar, maka aku akan dibunuhnya”

“He” Inten Prawesti lah yang kemudian bertanya, “Kenapa Paman Panji akan membunuhmu”

Belum lagi Sangkan menjawab, terdengar langkah yang tergesa-gesa mendekati pintu dapur, ketika seseorang tersimbul di muka pintu, Sangkan segera melangkah surut.

“Bukan aku, bukan aku Raden Panji, yang bertepuk adalah Pinten”

Gigi Panji Sura Wilaga gemeretak, diantara geramnya yang tertahan karena di dalam dapur itu ternyata juga terdapat Inten Prawesti, ia berkata, “Aku sudah memberimu peringatan Sangkan”

“Tetapi yang bertepuk bukan Sangkan paman” Inten lah yang menjawab, dan agaknya jawaban itu mengejutkan Panji Sura Wilaga.

“Anak muda itu memang anak gila puteri” sahut Panji Sura Wilaga.

“Bukan paman, aku tidak berkeberatan ia bertingkah laku demikian, bagiku justru kehadirannya dengan sikap dan tingkah lakunya dapat memberikan warna yang lain dari kesuraman yang selalu tampak di istana ini, Sangkan dan adiknya, sejak mereka datang merupakan kesegaran baru bagi aku dan ibunda”

“Tetapi anak itu sangat memuakkan puteri, dalam keadaan yang gawat, bahkan selagi semua orang sedang di cengkam kecemasan karena setiap saat maut dapat menerkamnya, ia masih sempat bergurau dengan adiknya dan bahkan bertepuk tangan, justru beberapa orang sedang sibuk di halaman depan”

“Tetapi mereka tentu tidak mendengar” tiba-tiba saja Pinten menyela, “Aku bertepuk tidak terlampau keras, jangankan dari halaman depan, sedangkan dari ruang dalampun tentu tidak akan terdengar, nah, karena Raden Panji mendengar, tentu Raden Panji tidak sedang berada di halaman depan”

Wajah Panji Sura Wilaga menjadi merah, ternyata gadis anak pelayan itu pun telah berani membantahnya, karena itu dengan suara yang tertahan-tahan karena kemarahan yang tertekan dihati ia berkata, “Kau jangan turut campur tangan Pinten, kau adalah seorang gadis, urusan ini adalah urusanku dengan Sangkan”

“O, maaf Raden Panji, tetapi bukan maksudku untuk mencampuri persoalan laki-laki, aku hanya berkata sebenarnya”

“Diam” bentak Panji Sura Wilaga.

“Diamlah Pinten” gumam Sangkan pula, “Jika Raden Panji marah, aku tentu akan dibunuhnya. Baru tadi Raden Panji sudah mengatakan, bahwa ia akan membunuhku”

“Diam, diam” geram Panji Sura Wilaga.

“Paman” tiba-tiba saja Inten menengahi, “Apakah benar paman akan membunuhnya?”

Panji Sura Wilaga termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, “Pertanyaan puteri sangat membingungkan, jika aku menjawab ‘Ya’, maka persoalannya akan berubah, seolah-olah aku membunuh seseorang yang tidak bersalah selain yang membuat aku jengkel sekali, jika aku menyebutnya sebagai usaha untuk menakut-nakuti saja, maka ia tentu tidak akan takut lagi untuk berbuat, karena ia pasti, bahwa aku tidak benar-benar akan membunuhnya”

“O” Inten mengangguk-angguk, namun semuanya berpaling kearah Pinten yang dengan susah payah menahan tertawanya.

“Pinten” Nyi Upihlah yang membentaknya, sementara Panji Sura Wilaga menggeretakkan giginya.

“Sudahlah paman” berkata Inten kemudian, “Biarkan aku sajalah yang mengurus anak-anak ini, aku akan menasehatinya yang paman kehendaki. Aku kira, mereka tidak akan mengulangi lagi”

Panji Sura Wilaga menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengedapankan segala amcam perasaan yang bergelora di dadanya.

“Baiklah puteri, desisnya kemudian, “Aku mohon puteri sudi memperingatkannya terus menerus, jika anak itu masih saja berbuat gila, maka aku akan mengikatnya di kuburan, dekat dengan mayat-mayat yang baru saja dikuburkan”

“Ah” desis Sangkan

Panji Sura Wilaga tidak menghiraukannya lagi, dengan wajah yang muram ia meninggalkan pintu dapur sambil bergumam kepada diri sendiri, “Jika saja puteri tidak ada di dapur”

Hal itu membuat Panji Sura Wilaga semakin jengkel kepada Sangkan. Namun kemudian ia hanya dapat menggeretakkan giginya. Agaknya Inten Prawesti sudah mengetahuinya, bahwa ia sangat membenci Sangkan.

“Tetapi jika terjadi sesuatu diluar tahuku, maka akulah yang pasti akan dituduh melakukannya” desis Panji Sura Wilaga kepada diri sendiri.

Sementara itu orang-orang di halaman telah selesai membuat usungan dan siap membawa mayat-mayat itu pergi ke kuburan. Dan setelah minum seteguk air, maka mereka pun segera bersiap-siap.

Sejenak kemudian, maka mereka pun membawa mayat-mayat itu ke kuburan di sebelah padukuhan Karangmaja.

“Kita akan pergi bersama mereka” berkata Raden Kuda Rupaka kepada Panon.

Panon mengangguk-angguk sejenak, Namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, dan bagaimana dengan Paman Mina?”

“Biarlah ia tinggal di istana ini bersama paman Panji, mungkin ada sesuatu yang dapat terjadi di halaman istana ini seperti yang mungkin terjadi di perjalanan kita ke kuburan”

Panon mengangguk-angguk sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah Raden, aku akan memberikan beberapa pesan kepada paman Mina dan barangkali Raden juga akan memberikan beberapa pesan kepada Raden Panji”

Raden Kuda Rupaka tidak menjawab, hanya kepalanya sajalah yang terangguk kecil.

Panon pun kemudian mendekati Ki Mina yang berdiri di pinggir halaman itu sambil menyaksikan orang-orang Karangmaja yang siap membawa usungan mayat itu ke kuburan.

“Aku akan pergi bersama mereka” berkata Panon

“Raden Kuda Rupaka lah yang mengajakku”

“Pergilah dan hati-hatilah”

“Baik, Paman”

Panon pun kemudian meninggalkan istana itu bersama dengan orang-orang Karangmaja. Di paling depan Raden Kuda Rupaka, mendahului diatas punggung kudanya, sementara Panon hanya berjalan kaki di belakangnya.

Kuburan itu memang tidak begitu jauh, terletak juga diluar padukuhan seperti istana kecil itu, jalan kecil yang berdebu menghubungkan kuburan itu dengan jalan masuk yang membelah padukuhan Karangmaja.

Iring-iringan itu sama sekali tidak mendapat gangguan apapun di perjalanan.

Namun baik Raden Kuda Rupaka yang berada di depan, maupun Panon yang berjalan kaki di belakangnya bersama dengan orang-orang Karangmaja, merasakan seolah-olah beberapa pasang mata sedang mengawasinya dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak, siapa dan dimanakah mereka itu bersembunyi.

Semata-mata hanyalah firasat mereka tajam sajalah yang mengatakan kepada mereka, bahwa ada orang-orang yang menaruh perhatian berlebih-lebihan atas peristiwa itu.

Ketika iring-iringan itu sampai ke kuburan, Raden Kuda Rupaka mengerutkan keningnya. Ternyata Kidang Alit telah duduk diatas sebuah batu sebesar kerbau yang terdapat dipinggir kuburan itu.

Kidang Alit tersenyum melihat wajah Raden Kuda Rupaka yang menjadi muram. Namun Raden Kuda Rupaka sama sekali tidak menghiraukannya.

Berbeda dengan Raden Kuda Rupaka, ketika Panon melihat anak muda itu, maka ia pun kemudian mendekatinya sambil bertanya, “Kau sudah lama duduk disini Kidang Alit?”

Kidang Alit memandang wajah Panon dengan tajamnya, baru saat itu, ia sempat memperhatikan mata pengembara itu. Namun dengan demikian Kidang Alit segera mengambil kesimpulan, “Anak muda ini adalah anak muda yang sangat berbahaya”

Ketika Panon kemudian berdiri bersandar pada batu itu, maka Kidang Alit pun menjawab, “Aku ingin turut menghormati upacara pemakaman ini”

“O” desis Panon. “Jadi kau merasa perlu juga untuk memberikan pernghormatan terakhir?”

“Tentu meskipun bukan aku yang membunuhnya, tetapi kau dan Raden Raden Panji Sura Wilaga” Kidang Alit berhenti sejenak, lalu, “Tetapi siapakah sebenarnya yang telah membunuh yang seorang lagi?”

Panon menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak seorang pun yang tahu, mungkin orang-orangmu yang kau katakan berada di halaman istana itu pula”

“Tidak, orang-orangku tidak sempat berbuat apa-apa”

“Mereka bertemu dengan paman Mina?, begitu?”

Kidang Alit termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun tertawa, “Lucu sekali. Perebutan pusaka di istana itu adalah tugas yang paling sulit yang pernah aku lakukan. Aku pernah mendapat tugas untuk mengambil sebilah pedang berpamor emas di diselut dengan permata. Wrangkanya terbuat dari emas pula, sedang pada hulunya juga terdapat beberapa butir berlian dan mutiaria. Sedangkan pada hulu itu pula, terdapat beberapa untai rambut seseorang yang pernah dibunuh dengan pedang itu. Pedang yang disebut seperti yang dikatakan kepadaku, Kiai Sangga langit” Ia berhenti sejenak, lalu, “aku telah menjumpai kesulitan seperti ini. Aku berhasil membunuh seorang demi seorang dari tujuh orang bersaudara yang pernah merasa berhak mewarisi pedang itu. Tetapi disini, aku tidak segera berhasil merampas sehelai pusaka dari seorang janda yang mempunyai seorang gadis yang sangat cantik”

Panon mengangguk-angguk, katanya, “Kau pernah membunuh tujuh orang bersaudara?”

“Ya”

“Siapakah sebenarnya yang memerintahkan kepadamu untuk mencuri pusaka itu?”

“O” Kidang Alit mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Aku terlanjur mengatakan, seseorang telah memerintahkan aku, sudah tentu orang itu adalah ayahku, juga sebagai guruku”

“Untuk Apa?”

Kidang Alit tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang sedang mengubur mayat itu pun berpaling. Tetapi Kidang Alit tidak menghiraukannya. Katanya, “Sudah barang tentu seperti yang kau lakukan. Bertanyalah kepada dirimu sendiri, untuk apa kau datang kemari dan apa dengan mengorbankan harga diri, menyamar sebagai seorang pengemis yang kotor, mencari belas kasihan di istana itu?”

Panon termangu-mangu sejenak, terasa sebuah sentuhan yang kasar telah menyinggung perasaannya. Namun Panon pun telah berlatih menahan perasaannya meskipun sedang berguncang. Dalam batas-batas tertentu ia masih dapat menahan diri. Dan setiap kali ia selalu teringat gurunya, bahwa kemarahan yang tidak terkendali justru akan dapat menyesatkan nalar yang bening. Karena itu, maka Panon pun justru tersenyum mendengar kata-kata Kidang Alit yang sudah tentu ingin menyatakan kemarahan di dalam hatinya.

“Panon” berkata Kidang Alit selanjutnya, “Tetapi agaknya kau salah hitung. Kau sudah terlanjur merendahkan dirimu, namun pada saat kau harus menyatakan diri, bahwa kau adalah seorang anak muda yang perkasa. Tetapi kau sudah terlanjur berada dibawah pengaruh Raden Kuda Rupaka. Seolah-olah tataran yang kau bentuk sejak kau datang sebagai pengemis tidak dapat kau hapuskan. Seperti yang aku lihat sekarang ini, Raden Kuda Rupaka pergi ke kuburan dengan berkuda, sedang kau harus berjalan kaki mengiringinya”

“Kenapa jika begitu?”

“Bukankah kau bukan benar-benar seorang pengemis, kau berhak berkuda sejajar dengan Kuda Rupaka. Kau tidak terikat pada kedudukan apapun juga”

Panon menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Sayang, aku tidak dapat berbuat demikian”

“Kenapa?”

“Bukan karena derajatku lebih rendah, kerena memang aku tidak mempunyai seekor kuda pun disini”

Wajah Kidang Alit menjadi tegang, ia tidak menduga bahwa jawaban Panon begitu sederhana saja.

“Tetapi kau pergi ke padukuhan dengan seekor kuda?”

“Raden Panji meminjamkan kepadaku”

“Kenapa sekarang tidak?”

“Itu adalah haknya, ia dapat dengan senang hati meminjamkan kudanya kepadaku, tetapi ia juga dapat menolak jika aku meminjamnya. Dan aku sadar sepenuhnya akan hal itu”

“Persetan kau anak malang” desis Kidang Alit

“Agaknya kau memang berjiwa pengemis, kau sama sekali tidak menghargai dirimu lagi. Meskipun sebenarnya kau adalah seorang anak muda yang tidak ada duanya”

Panon tertawa. Dipandanginya wajah Kidang Alit yang nampak bersungguh-sungguh. Bahkan Panon kemudian bertanya, “Kau bersungguh-sungguh menganggap aku anak muda yang tidak ada duanya?”

Kidang Alit mengerutkan keningnya dengan tegang. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil bergumam, “Kau benar-benar anak setan. Kenapa kau tidak menjadi marah dengan mengumpati Raden Kuda Rupaka yang telah menganggapmu benar-benar seorang pengemis yang pantas dikasihani”

“Jika demikian, maka aku akan sangat berbangga”

“Kenapa?”

“Itu berarti bahwa aku berhasil, sehingga orang lain benar-benar menganggapku seorang pengemis yang sebenarnya”

“Gila” geram Kidang Alit sambil meloncat turun dari batu besar itu, “Kau memang orang yang ternyata paling berbahaya di istana itu. Lebih berbahaya dari Raden Kuda Rupaka sendiri”

“Apakah kau bukan orang yang lebih berbahaya lagi?” bertanya Panon.

“Mudah-mudahan” jawab Kidang Alit sambil tersenyum, “Aku berharap demikian. Dan aku berharap bahwa Raden Kuda Rupaka menganggap demikian”

Panon tertawa, katanya, “Tidak ada yang dapat dipercaya lagi di sekitar istana itu. Bukankah setiap orang sadar, bahwa kita nampak ini bukannya kita yang sebenarnya?, kau menganggap pula bahwa Raden Kuda Rupaka tidak dengan jujur melindungi bibinya, tetapi karena pamrih yang sama seperti kau dan aku. Tetapi sudah barang tentu aku dan Raden Kuda Rupaka pun tidak menganggap kau sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Kau tentu membawa tugas dari seseorang mungkin gurumu, mungkin ayahmu, mungkin karena pamrih yang lain tentang pusaka itu, seperti juga kami. Namun satu lagi hal yang kau lakukan dengan jujur”

“Apa?”

“Mengganggu dan menodai gadis-gadis, tentu itu adalah sifatmu yang sebenarnya”

Kidang Alit tertawa, “Kau memang anak setan. Tentang pusaka itu semua orang sudah tahu. Aku memang ingin memilikinya. Dengan kasar atau halus. Jika terpaksa aku harus membunuh atau dibunuh. Aku tidak ingkar. Tetapi tentang gadis-gadis itu, kau memang seorang pengembara yang gila”

Panon pun tertawa.

“Sudahlah, ternyata kau bukan Kuda Rupaka. Kau jauh lebih berbahaya karena sifat-sifatmu, bukan karena ilmumu”

Panon tidak menjawab, dipandanginya saja Kidang Alit melangkah meninggalkannya sambil bergumam, “Mereka hampir selesai”

Panon tidak menjawab, namun ia melihat orang-orang padukuhan itu sudah mulai menimbuni mayat yang baru dikuburkan itu. Sementara Raden Kuda Rupaka benar-benar tidak menghiraukan kehadiran Kidang Alit. Bahkan ketika Kidang Alit melangkah perlahan-lahan meninggalkan kuburan itu.

Panon masih tetap berdiri bersandar batu besar itu. Namun seperti yang bergejolak di dalam hati Kidang Alit. Ia pun berkata kepada diri sendiri, “Anak muda yang sangat berbahaya, hatinya tidak cepat membara”

Sejenak kemudian maka penguburan mayat itu pun sudah selesai. Beberapa orang yang menimbuni lubang-lubang kubur itu sudah bergeser meninggalkan tempatnya.

Sementara itu Raden Kuda Rupaka masih sempat mengucapkan terima kasih kepada orang-orang padukuhan yang telah membantunya menguburkan mayat-mayat itu.

“Jika terjadi sesuatu atas kalian karena kalian telah membantu aku sekarang ini, sampaikanlah kepadaku, aku akan berbuat lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang”

“Baik, Raden. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” jawab seseorang.

“Mudah-mudahan, aku kira setiap orang mengetahui, bahwa yang kalian lakukan adalah sekedar menguburkan mayat-mayat itu. Sebenarnya siapapun juga akan mengucapkan terima kasih kepada kalian. Juga kawan orang yang mati itu. Dengan demikian, maka kawan mereka telah diselenggarakan dengan sewajarnya”

Demikianlah maka Raden Kuda Rupaka pun meninggalkan kuburan itu dengan kudanya. Seolah-olah ia tidak menghiraukan lagi Panon yang berjalan bersama-sama dengan orang-orang padukuhan yang beriringan berjalan meninggalkan kuburan itu pula.

Beberapa orang yang berjalan disebelah menyebelah Panon, mencoba untuk mengetahui sebanyak-banyaknya apa yang telah terjadi di halaman istana kecil itu. Mereka berganti-ganti telah bertanya tentang berbagai macam kejadian yang telah mengorbankan tiga jiwa yang tubuhnya baru saja dikuburkannya.

Panon pun menceritakan beberapa hal yang dianggapnya tidak terlalu banyak menyangkut dirinya. Ia tidak menceritakan sampai bagian yang sekecil-kecilnya, karena terhadap orang-orang padukuhan Karangmaja, Panon masih tetap berusaha untuk dianggap sebagai seorang perantau yang tidak mempunyai banyak kepentingan di istana kecil itu selain belas kasihan.

“Kenapa kau langsung pergi ke istana kecil itu, dan tidak memilih tempat lain? Dirumah Ki Buyut misalnya? Dengan demikian kau tidak selalu dibayangi oleh peristiwa yang mengerikan yang selalu terjadi di halaman istana itu” bertanya seorang yang berkumis dan berambut putih.

“Aku menganggap bahwa istana itu mempunyai tempat yang paling baik bagi orang-orang seperti aku ini, aku kira penghuni itu tentu soerang yang berkelebihan dibanding dengan orang-orang Karangmaja. Namun ternyata bahwa penghuni istana itu pun mengalami banyak kesulitan. Tanpa Raden Kuda Rupaka, maka seisi istana itu tentu akan mengalami kekurangan makan dan pakaian”

“Orang-orang Karangmaja tidak akan membiarkannya” berkata seorang yang bertubuh gemuk, “Kami semuanya merasa berhutang budi kepada Pangeran Kuda Narpada. Daerah Karangmaja yang semula kering, kini menjadi hijau, lereng-lereng bukit yang gundul pun telah ditumbuhi pepohonan berdaun lebat”

Panon mengangguk-anggukan kepalanya.

“Tetapi sayang, yang terjadi adalah malapetaka pada keluarga yang baik itu. Dan kami tidak dapat berbuat apa-apa, selain menawarkan bantuan yang mungkin kami berikan. Namun agaknya Raden Ayu Kuda Narpada pun tidak mudah menerima bantuan orang lain”.

Panon mengangguk-angguk namun kemudian ia pun berkata, “Terima kasih, aku minta diri, bukankah kalian akan langsung kembali ke padukuhan?, sementara itu aku akan kembali ke istana itu”

“Jika kau dapat membantu, kau harus membantu apapun yang dapat kau lakukan” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan itu, “Kami juga akan selalu berusaha untuk membantu, tetapi sudah barang tentu tidak untuk berkelahi, karena kami tidak memiliki kemampuan apapun juga”

Panon mengangguk-angguk, katanya, “Aku akan berusaha sejauh yang dapat aku lakukan”

Dengan demikian, maka Panon pun memisahkan diri berbelok menuju ke halaman istana yang dikelilingi oleh sebuah dinding batu, dengan sebuah regol yang tua, meskipun sudah tidak miring lagi, karena telah diperbaiki oleh Sangkan dan kemudian diselesaikan oleh Panon sendiri.

Langkah Panon yang lamban membuat perjalanannya yang pendek itu menjadi lama, namun Panon sengaja memperlambat langkahnya sambil mengamat-amati keadaan di seputar istana itu.

“Aku harus mendapatkan waktu untuk menemui guru” berkata Panon kepada dirinya sendiri, “Aku tidak dapat dengan diam-diam meninggalkan istana itu. Karena disekeliling istana itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Mungkin Raden Kuda Rupaka, mungkin Panji Sura Wilaga, tetapi juga mungkin Kidang Alit atau orang-orang Guntur Geni jika masih berkeliaran, tentu akan melihatku dan mungkin akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang dapat membentur-kan kekerasan.

Dengan demikian Panon masih selalu mencari-cari kesempatan yang paling baik untuk dapat melaksanakannya.

“Guru tentu sudah menunggu” desisnya. Namun dalam pada itu, Panon pun menduga, bahwa gurunya tentu sudah mendekati istana kecil itu, apabila ia tidak sabar lagi menunggu, atau diganggu oleh kecemasan tentang keselamatannya.

“Semua dapat terjadi, tetapi, tetapi aku tidak tahu yang manakah yang telah terjadi sekarang”

Perlahan-lahan Panon melangkah terus, semakin lama semakin dekat dengan gerbang istana kecil itu. Namun ia masih saja memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Puntuk-puntuk kecil dan lembah-lembah yang menjulur diantara bukit-bukit. Bahkan ada yang semakin jauh menjadi semakin curam dan dalam. Dan Panon pun tahu, bahwa di balik bukit-bukit kecil itu, atau di lembahlembah yang curam, telah tersembunyi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas istana kecil itu.

Langkah Panon tertegun ketika ia melihat Sangkan berdiri di pintu regol yang masih terbuka. Agaknya Raden Kuda Rupaka baru saja melintas masuk.

Sangkan yang berdiri di regol memandanginya dengan tatapan yang berbeda dengan sehari-hari sebelumnya. Pada wajah anak muda itu sudah mulai nampak kesungguhan.

Bukan lagi sebagai wajah anak muda yang hanya mengenal takut dan kemudian bergurau tanpa menghiraukan apapun lagi.

Ketika Panon mendekati regol itu, Sangkan bertanya dengan nada yang datar dan dalam, “Apakah kau baru pulang dari kuburan Panon?”

“Ya” jawab Panon

“Kau berjalan kaki saja?”

“Ya”

Sangkan bergeser menepi, seolah-olah memberi jalan kepada Panon agar ia melangkah masuk.

Panon termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah masuk.

Tidak seperti biasanya, Sangkan selalu membentak-bentaknya. Tetapi justru setelah Panon masuk melalui regol itu. Sangkanlah yang kemudian menutupnya dan memasang selaraknya dari dalam.

“Apakah semuanya sudah selesai?”

“Ya, semuanya sudah dikuburkan dengan baik”

Sangkan mengangguk-angguk sambil bergumam, “Sukurlah. Mudah-mudahan tidak ada lagi mayat-mayat yang harus dikuburkan dari halaman ini”

Tetapi Panon menarik nafas dalam-dalam, kemudian desahnya, “Mudah-mudahan, tetapi nampaknya keadaan masih akan tetap kemelut. Dikuburan aku bertemu dengan Kidang Alit”

“O” wajah Sangkan menjadi tegang.

“Apakah ia juga berada di kuburan untuk melihat penguburan mayat-mayat itu?”

“Ta, tetapi agaknya ia hanya sekedar ingin melihat-lihat, apakah yang sedang kita kerjakan”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia mengikuti saja Panon yang langsung pergi ke belakang. Ketika kemudian Panon ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangannya, maka Sangkan pun masuk kedalam biliknya.

“Darimana kau Sangkan?” bertanya Ki Mina.

“Panon sudah datang, ia berada di pakiwan”

Tetapi sebelum Ki Mina menjawab. Panon sudah muncul di pintu bilik itu.

“O” desis Ki Mina, “Apakah tidak terjadi sesuatu di kuburan?”

“Tidak paman, semuanya berjalan dengan lancar meskipun Kidang Alit ada di kuburan itu pula”

“Jadi ia datang juga|”

“Ya, tentu bukannya tanpa maksud, ia mulai menjajagi kehadiran kita disini”

“Kita tentu sudah menduga”

Panon yang kemudian duduk di amben bambunya memandang wajah Sangkan yang nampaknya sudah berubah.

“Ia mulai menyadari dirinya” berkata Ki Mina.

Panon mengerutkan keningnya, sementara Sangkan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sekarang justru tidak tahu, apa yang harus aku lakukan, aku berniat untuk berubah sikap dan kelakuan, agar aku tidak dicekik oleh Panji yang garang itu, namun aku tentu tidak akan dapat merubah diriku dalam waktu satu atau dua hari saja menjadi orang seperti Panon”

Ki Mina tersenyum, katanya sambil bangkit mendekati Sangkan, “Kau tidak perlu bermimpi tentang kemungkinan-kemungkinan yang sulit kau jangkau. Lakukanlah yang mungkin kau lakukan sesuau dengan keadaanmu”

“Tetapi yang ada disini hanyalah kekerasan, dan aku harus menyesuaikan diriku dengan keadaan itu”

“Apakah yang akan kau lakukan?”

“Ajari aku ilmu yang kau miliki itu”

Panon tersenyum, katanya, “Mempelajari ilmu kanuragan tidak cukup dilakukan dalam waktu yang pendek, mungkin setahun, dua tahun, bahkan lebih dari itu. Barulah ilmu itu nampak ada pada kita”

“Tetapi mulai dengan suatu usaha adalah lebih baik dari pada tidak sama sekali. Jika aku memerlukan waktu dua tahun, dan aku mulai dari sekarang, maka dalam waktu dua tahun lagi, aku tentu sudah dapat mempergunakan walaupun sama sekali tidak sempurna. Tetapi jika aku baru mulai sebulan lagi, maka baru tiga tahun kemudian aku mendapat kan serba sedikit pengetahuan olah kanuragan itu”

“Baiklah Sangkan. Tetapi tidak dalam suasana seperti sekarang ini” berkata Ki Mina, “Kita wajib menyelesaikan sampai tuntas. Baru kau akan mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu itu”

“Apa salahnya jika sekarang?”

“Kita dapat memancing kesulitan, jika Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga tidak sependapat, apalagi Kidang Alit dan kawan-kawannya, maka persoalannya akan mempersulit dirimu”

Sangkan mengangguk-angguk, namun kemudian dengan menyesal ia berkata, “Aku sudah berminat untuk berbuat sesuatu, tetapi jika keadaan memang tidak memungkinkan, apa boleh buat”

“Namun itu sudah suatu kemajuan yang jauh dari caramu berfikir selama ini. Kau bukan lagi seorang anak muda yang menjengkelkan sekali. Kau sudah mampu memilih sikap”

“Aku menyesal, mungkin selama ini aku selalu menyakiti hatimu. Karena itu, maka mulai sekarang, kalian tidak usah berbuat apa-apa lagi, aku akan melakukan semua perkerjaan seperti saat-saat kalian belum ada di istana ini”

“Ah, tidak perlu” berkata Panon, “Aku pun akan melakukan tugasku sehari-hari seperti yang sudah kau bebankan, tetapi bahwa kau tidak lagi membentak-bentak, aku sudah sangat berterima kasih. Selebihnya aku akan tetap melakukannya seperti setiap hari aku lakukan”

Sangkan memandang wajah Panon yang jernih, wajah itu tidak lagi nampak gelap dan memancarkan kebencian kepadanya.

“Terima kasih” berkakta Sangkan kemdian, “Tetapi aku tetap pada keinginanku untuk mempelajari ilmu kanuragan. Jika tidak sekarkang, seperti yang kau katakan, setelah semuanya ini selesai”

“Mudah-mudahan aku dapat membantumu Sangkan” berkata Panon, “Dan mudah-mudahan aku dapat keluar dari halaman istana ini dengan selamat”

“O” wajah Sangkan menjadi tegang. Namun ketika ia melihat Panon justru tersenyum, maka ia pun berkata, “Kenapa kau berkata begitu?”

“Sudahlah” sahut Ki Mina, “Jangan kau pikirkan. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Jika kau tidak lagi bertingkah-laku seperti anak kecil lagi, maka Panji Sura Wilaga tentu tidak akan mengancammu lagi.”

Sangkan mengangguk-angguk.

“Jika saatnya tiba” berkata Panon kemudian, “Dan kau dengan bersungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu kanuragan, mungkin aku dapat membawamu kepada guruku”

“Guru?” bertanya Sangkan.

“Ya, guruku”

“Siapakah gurumu?”

Panon termangu-mangu sejenak, lalu jawabnya, “Besok sajalah, kau akan melihatnya dan mengenalnya”

“Apakah juga gurumu yang memberimu pelajaran tembang seperti yang telah kau lagukan itu?”

Panon mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum, jawabnya, “Ya, guruku”

Sangkan mengangguk-angguk, aku sudah mempelajarinya pula, dan aku dapat melagukan sebaik-baiknya. Jika pada suatu saat aku bertemu dengan gurumu, aku dapat melagukan kidung itu. Kidung yang melambangkan keperwiraan tetapi juga kelembutan”

Panon memandang Sangkan sejenak dengan sorot mata yang memancarkan keheranan di hatinya, “Kau mengenal lagu itu sebagai lambang keperwiraan tetapi juga kelembutan?”

“Aku dapat merasakannya, bukan saja pada bait-bait kalimatnya, tetapi juga pada nada lagunya”

“Nampaknya kau memiliki ketajaman tanggapan pada lagu dan isinya, jika kau mau mengembangkannya, maka kau akan dapat mempunyai kecakapan yang akan berguna bagimu”

“Aku senang melagukan kidung sejak kanak-kanak” sahut Sangkan, “Dengarlah, aku akan melagukan tembang yang pernah aku hafal semasa kanak-kanak”

Tetapi ketika Sangkan akan membuka mulutnya, Ki Mina berkata, “Kau akan mengundang Panji Sura Wilaga untuk mencekikmu, jika kau berdendang sekarang ini”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun kemudian katanya, “Ya, tentu Raden Panji tidak senang mendengar aku berdendang”

“Dan ternyata kau tidak dapat meninggalkan sifat-sifatmu begitu saja, tetapi itu bukan salahmu Sangkan, sifat seseorang memang dapat berkembang. Tetapi tidak dengan tiba-tiba. Kemauanmu untuk memperbaiki kelakuanmu sudah merupakan niat yang baik. Mudah-mudahan sebelum kau berhasil, kau tidak mengalami nasib yang buruk menghadapi Panji Sura Wilaga. Dan Raden Kuda Rupaka”

Sangkan menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Aku akan mencoba mengingat dan mempertimbangkan semua tingkah lakuku, mudah-mudahan aku tidak tergelincir”

Ki Mina mengangguk-angguk, ketika Sangkan kemudian berdiri dan melangkah keluar. Ki Mina mendekatinya sambil menepuk bahunya, katanya, “Jagalah dirimu baik-baik. Bukankah kau ingin mempelajari ilmu yang dapat melindungi dirimu kelak?, karena itu, sebelum kau mampu melakukannya, jangan membiarkan dirimu dicekik oleh siapapun”

Sangkan mengangguk, jawabnya, “Ya, Kiai, aku mengerti”

Sangkan pun kemudian melangkah keluar. Di serambi belakang ia tertegun melihat Inten Prawesti dan Pinten sedang duduk diatas sebuah amben bambu, keduanya berpaling ketika mereka mendengar langkah Sangkan mendekat.

“Apa yang sedang kau kerjakan, kakang?” bertanya Pinten.

“Tidak apa-apa” sahut Sangkan, “Tetapi aku baru saja membersihkan seluruh halaman. Termasuk halaman depan yang bernoda darah”

“Ah” desah Pinten, “Kenapa kau sebut-sebut lagi?, aku juga sudah membersihkan lantai yang bernoda darah dimuka bilik puteri”

“Kau jangan berbohong, aku tahu, orang yang mati di bilik itu tidak menitikkan setetes darahpun”

“Tetapi bekas-bekasnya, Hii… aku ngeri juga membersihkan lantai yang berbekas mayat itu, tetapi bukankah semuanya sudah dibawa ke kubur?”

“Ya”

“Sudahlah” potong Inten, “Kenapa kau tidak mebicarakan hal yang dapat membuat kita sedikit terhibur di saat-saat seperti sekarang ini?”

“O. maaf puteri” sahut Pinten, “Tetapi agaknya memang tidak ada gunanya kita membicarakan hal itu lagi” ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, marilah kita lanjutkan, apa yang sedang puteri bicarakan tadi?, kakang Sangkan sudah memutuskan pembicaraan kami”

“Ah, nanti sajalah” jawab Inten.

Pinten mengerutkan keningnya, dipandanginya Sangkan yang berdiri termangu-mangu.

Katanya, “Tentu karena ada kakang, nah pergilah, supaya puteri tidak segan melanjutkan pembicaraan kami yang mengasyikkan”

“Apakah ada sesuatu yang bersifat rahasia?”

“O, tentu tidak Sangkan” Intenlah yang menjawab.

“Jadi?”

“Pergilah, jangan berbicara saja disitu, jika kau terlalu lama berada disitu, maka semua kenangan itu tentu sudah terlanjur hilang diterbangkan angin”

“Kenangan?”

“Ya, kami sedang mengenangkan masa lampau yang indah dan nyaman. Masa lampau yang kadang-kadang memang menumbuhkan kerinduan. Apalagi dalam kesulitan seperti sekarang ini. Maka seolah-olah masa yang lampau itu terasa menjadi semakin indah”

“Tetapi kita semua tidak akan dapat lari dari masa sekarang ke masa yang lalu”

“Kami sedang melakukannya. Karena kami tidak akan dapat berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini, maka kami telah melarikan diri kemasa lampau, meskipun hanya dapat kami lakukan di dalam angan-angan”

Sangkan menarik nafas, katanya, “Agaknya memang menarik sekali, He, apakah yang indah dan memberikan kerinduan pada masa lampaumu Pinten? Mungkin puteri dapat melakukannya, karena sudah tentu masa lampaunya adalah masa lampau yang cerah. Tetapi kau?”

“Tentu saja akupun memiliki masa-masa yang menarik didalam hidupku”

“O, Pinten bagiku tidak ada bedanya masa lampau itu dengan masa kini. Hidup kita dimasa lampau pun merupakan hidup yang pahit. Hidup di dalam lingkungan yang tidak memberikan kegembiraan sama sekali. Bukankah keluarga kita adalah keluarga yang mengalami kejutan yang parah? Ayah adalah seorang penjudi besar, sejak kami terpisah dari biyung dimasa kami belum mengenal diri kami sendiri, karena kami masih bayi, maksudku kau masih kecil dan akupun belum mengetahui apa-apa. Kami telah terlempar di dalam kehidupan yang paling pahit.”

“Ah” potong Pinten, “Masa kanak-kanak kita adalah masa yang sangat menyenangkan. Kita tidak pernah mengalami kesulitan apapun juga, betapa pahitnya kehidupan rumah tangga kita. Tetapi yang paling menyenangkan dimasa kanak-kanak adalah, kita tidak usah mempertanggung-jawabkan semua tingkah laku kita, kita dapat berbuat apapun juga”

“Jangan mengigau Pinten, kepalaku masih terasa sakit ketika aku dipukuli oleh ayah karena aku dituduh mencuri uangnya”

Pinten mengerutkan keningnya, tetapi ia kemudian menjawab, “Ya, kau memang nakal sekali”

Inten yang mendengarkan pembicaraan itu, termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian bertanya, “Pinten, aku menjadi bingung. Yang dikatakan oleh Sangkan berbeda dengan yang pernah kau katakan kepadaku. Bukankah kalian beruda anak Nyi Upih yang ada di istana ayahanda sejak kalian kanak-kanak?”

“He” wajah Sangkan menjadi tegang, “Tentu tidak puteri, jika pada masa kanak-kanak kami mengenal diri kami masing-masing, maka tentu betapapun buramnya, kita akan dapat mengingat bahwa kita pernah bertemu, tetapi bukankah sebelumnya kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Mungkin sekali kita telah melupakannya, masa kanak-kanak ini sudah terlampau jauh dari sekarang” jawab Inten, “Sehingga karena itu, jika sudah tidak dapat mengingatnya lagi. Tetapi pada masa suatu ketika. Pinten dapat bercerita tentang istana dengan beringin yang rimbun dan sangkar bekisar, seekor burung nuri dan seekor harimau yang dikurung dalam sangkar besi. Dan masih ada seekor orang utan sebesar Pinten sekarang ini”

“He, darimana kau dapat menyebut semuanya itu Pinten, aku, yang lebih tua darimu, tidak pernah dapat membayangkan semua itu”

“Dan Inten tahu benar, bahwa pohon beringin yang ada di halaman ada tujuh batang, sebatang ditengah dan enam batang di seputarnya”

“O, kau telah bermimpi ganda Pinten, kau sekarang memimpikan masa kanak-kanakmu, sedangkan dimasa kanak-kanak kau memimpikan sesuatu yang tidak pernah kita kenal”

Pinten tidak menjawab, tetapi kepalanya mulai menunduk.

“Sangkan” berkata Inten Prawesti, “Jika Pinten dapat menyebutkan dengan tepat, tentu kau dapat mentakatannya pula. Aku pun dapat mengingat bahwa yang disebut Pinten itu sama sekali bukan istana ayahanda Pangerang Kuda Narpada, tetapi istana pamanda Pangeran Sargola Manik yang juga bergelar Adipati Alap-Alap”

Sangkan mengerutkan keningnya, namun tiba-tiba ia tersenyum sambil berkata, “Lucu sekali, aku teringat sekarang. Memang kami pernah pergi ke Kota Raja puteri. Dan agaknya yang teringat oleh Pinten adalah istana yang mempunyai tujuh batang pohon beringin itu. Karena kami saat itu memang masih terlalu kecil”

Inten Prawesti mengangguk-angguk, katanya, “Memang mungkin Sangkan. Mungkin yang teringat oleh anak-anak adalah yang menarik perhatiannya. Mungkin harimau di dalam sangkar itu, mungkin orang utan yang lucu, bukan begitu Pinten?”

Pinten mengangguk, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.

“Pinten” panggil Inten Prawesti.

Pinten mencoba mengangkat wajahnya, tetapi Inten terkejut melihat setitik air dimata gadis itu”

“Pinten” Inten bergeser mendekat, “Kau menangis?”

Pertanyaan itu, ternyata telah memecahkan bendungan terakhir di pelupuk Pinten. Air matanya tiba-tiba saja telah mengalir betapapun ia mencoba bertahan.

“Ampun, puteri” suaranya tertahan, namun kemudian ia pun meloncat berdiri dan berlari ke dapur, karena ia tidak berani masuk ke ruang dalam.

Inten termangu-mangu, dengan suara yang dalam ia berkata, “Kau melukai hati adikmu Sangkan”

“Ampun puteri, aku sama sekali tidak sengaja”

Inten memandang Sangkan dengan tajamnya, sementara Sangkan hanya dapat menundukkan kepalanya, ia sama sekali tidak berani memandang tatapan mata Inten.

Namun pada itu, selagi Sangkan menunduk dalam-dalam, justru seolah-olah merupakan kesempatan bagi Inten untuk menatap wajah itu lama-lama. Rasa-rasanya terlihat itu, apa yang belum pernah silihatnya selama ini. Wajah Sangkan memang mirip sekali dengan wajah adiknya, Pinten.

“Nyi Upih memang termasuk seorang perempuan yang cantik” tiba-tiba saja Inten memuji di dalam hatinya diluar sadarnya, “Pinten pun seorang gadis yang cantik pula seperti ibunya dimasa muda. Bahkan tatapan mata Pinten tampak jauh lebih tajam dari tatapan mata ibunya”

Inten mengerutkan keningnya. Lalu ia masih berbicara di dalam hatinya, “Tetapi wajah Nyi Upih agak panjang, sedangkan wajah Pinten bulat telur”

Tetapi ketika sekali lagi Inten memandang wajah Sangkan yang tunduk, terasa pipinya menjadi panas. Sesuatu telah bergetar didadanya”

“O” tiba-tiba saja Inten berdesah. Dan ia pun berlari pula menyusul Pinten ke dapur.

Ketika Inten tertegun di depan pintu, ia melihat Nyi Upih sedang memeluk anak perempuannya. Bahkan pada mata Nyi Upih tampak pula setitik air yang mengambang.

Inten melangkah perlahan-lahan mendekati keduanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Sangkan memang nakal Nyai”

“Ya, puteri, anak tu memang nakal. Sejak kanak-kanak ia selalu menganggu adiknya”

Inten mendekat lagi sambil menepuk bahu Pinten, “Sudahlah Pinten, aku sudah menegur kakakmu. Ia tidak boleh mengganggumu lagi”

“Terima kasih puteri” Nyi Upihlah yang menjawab, “Memang perlu bagi anak nakal itu, jika aku saja yang menegurnya. Ia sama sekali tidak menghiraukannya”

“Marilah” ajak Inten, “Bukankah kita masih mempunyai banyak waktu untuk melihat-lihat kebun belakang?”

“Aku takut puteri” tiba-tiba saja suara Pinten meninggi.

“O” jawaban Pinten seolah-olah telah membuat Inten menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, akupun tidak akan pergi ke halaman. Rasa-rasanya keadaan memang mamsih diselubungi oleh ketidak-pastian.

Pinten, aku akan menengok ibunda, jika kau sudah menjadi tenang. Masuklah mengawani aku dan ibunda. Nyi Upihpun tentu akan segera menyusul jika ia sudah selesai”

Pinten mengangguk-angguk, jawabnya, “Baik puteri. Aku akan segera menyusul. Aku akan membantu biyung sebentar disini”

Intenpun kemudian meninggalkan keduanya langsung masuk ke dalam biliknya.

Ibundanya masih saja duduk termenung seolah-olah hatinya tidak ada gunanya lagi selain untuk merenungi nasibnya yang kurang baik, meskipun sebenarnya ibundanya lebih memikirkan nasib Inten dari pada nasib dirinya sendiri.

“Aku sudah tua” katanya di dalam hati, “Aku sudah banyak mengenyam pahit getir, tetapi juga asin dan manisnya kehidupan. Tetapi Inten adalah bunga yang sedang mulai mekar, jika tangkainya patah, maka hilanglah semua harapan bagi masa depannya”

Dalam pada itu, sepeninggal Inten, Pinten masih saja belum dapat menguasai perasaannya. Dimatanya masih tetap mengembun titik air yang kemudian mengalir di pipinya.

“Betapa tabahnya hati seorang gadis” berkata Nyi Upih.

“Aku tidak menyesal nasibku sekarang biyung” jawab Pinten, “Tetapi kenangan masa kanak-kanak itu terlampau tajam menusuk jantungku. Kakang Sangkan ternyata justru mempertajam kenangan yang terlampau manis itu”

Tetapi Nyi Upih menggelengkan kepalanya, katanya, “Bukan sededar kenangan itu Pinten. Tetapi seluruh jalan hidup yang kau pilih dengan hati yang tabah, meskipun kini kau telah dirisaukan oleh perasaanmu. Namun kau masih tetap seorang puteri yang tidak ada duanya”

“Ah”

Nyi Upih mengusap rambutnya, katanya, “Mudah-mudahan segalanya segera berakhir”

Pinten tidak menjawab, ketika itu ia berpaling dilihatnya Sangkan melangkah masuk. Dengan tunduk ia pun kemudian duduk di sebuah dingkrik kayu yang rendah.

“Jangan kau salahkan adikmu Sangkan” berkata Nyi Upih.

“Tidak Biyung, aku tidak menyalahkannya, aku mengerti apa yang sebenarnya tersirat di hatinya”

“Kau bersungguh-sungguh?”

Sangkan mengangkat wajahnya dan mamandang Nyi Upih sesaat, lalu katanya, “Kadang-kadang aku juga bersungguh-sungguh”

“Aku tidak apa-apa kakang” tiba-tiba saja Pinten memotong.

“Aku mengerti, kau memang tidak bermaksud apa-apa, kenangan kadang-kadang memang dapat mengusik hati yang sedang buram. Apalagi dalam keadaan seperti yang kau alami sekarang ini”

“Apakah hatiku terlampau lemah menurut penilaianmu?”

Sangkan menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak, kau masih termasuk seorang gadis yang keras hati”

“Dan kau tidak akan menyalahkan aku, bahwa aku telah memaksa untuk ikut bersamamu saat kau berangkat ke tempat ini?”

Sangkan memandang adiknya dengan tatapan mata yang dalam, kemudian kepalanya menggeleng lemah, katanya, “Tidak Pinten. Kau mempunyai arti yang besar disini. Setidak-tidaknya kau merupakan seorang kawan yang baik bagi puteri Inten Prawesti. Kawan di dalam segala keadaan”

Pinten menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Terima kasih, aku akan berusaha memenuhi harapanmu dan janjiku saat aku menyatakan keinginanku untuk mengikutimu menyusul biyung bahwa aku tidak akan merengek”

“Kau sekarang tidak sedang merengek Pinten” jawab kakaknya.

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, sekali-sekali Sangkan nampak seperti seorang anak muda yang memang sudah dewasa.

Pinten tidak menjawab, diusapnya matanya yang basah, dan dicobanya untuk menahan isaknya.Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sangkan berdiri sambil berkata perlahan-lahan, “He, jangan menangis lagi, diamlah”

Pinten terkejut

“Kau tentu lebih cantik jika kau tersenyum”

“Kenapa?”

Sangkan tidak menjawab, tetapi ujung jarinya menunjuk seseorang yang melintas di halaman, langsung nampak dari dalam dapur lewat pintu yang terbuka, Panon.

“O, kau mulai lagi” Pinten pun segera memungut bumbung peniup api. Sementara itu Sangkan pun segera meloncat keluar pintu dapur.

Tetapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Bahkan ia pun melangkah surut, sehingga adiknya yang mengejarnya hampir melanggarnya.

“Sst” desis Sangkan, “Panji Sura Wilaga, jika ia melihat aku berlari-lari, aku akan dicekiknya”

“Ah, tentu tidak”

“Tolong lihatlah, apakah ia masih berdiri di serambi”

Pinten ragu-ragu sejenak

“Lihatlah, jika ia sudah pergi akupun akan pergi pula”

Pinten masih saja ragu-ragu, tetapi ia pun kemudian melangkah keluar untuk melihat, apakah Panji Sura Wilaga masih berada diserambi. Tetapi langkahnya pun terhenti pula, wajahnya menjadi merah. Dengan serta merta ia memukul lengan dengan bumbung yang masih dipegangnya.

“Ugh” desis Sangkan, “Jangan, jangan, aku akan berteriak dan Raden Panji akan datang untuk menggantungku didahan pohon belimbing di longkangan itu”

“Kau nakal lagi, kau sudah mulai lagi”

Sangkan pun kemudian meloncat keluar meskipun kemudian ia berpura-pura tidak ada sesuatu yang terjadi. Sambil tersenyum ia melangkah keserambi mendekati orang yang berdiri mengamati sirap yang pecah.

“Apakah kau akan menggantinya Panon?” bertanya Sangkan

Panon berpaling, sambil mengangguk ia menjawab, “Ya. Tetapi aku tidak mendapatkan gantinya. Tidak ada lagi persediaan sirap yang dapat aku pasang di tempat yang pecah itu”

“Lalu?”

“Aku akan membuatnya dengan lulup, atau jika terpaksa dengan ijuk sajalah”

Sangkan mengangguk-angguk, tetapi ketika ia berpaling dan melihat adiknya yang menjulurkan kepalanya, ia tersenyum. Tetapi kepala itu segera menghilang kembali.

Pinten dengan tergesa-gesa tergeser masuk lebih dalam lagi di dapur.

Menghentakkan kakinya, sehingga Nyi Upih terkejut, dengan heran ia bertanya

“Kenapa kau Pinten?”

“Kakang Sangkan nakal sekali, aku ingin mencubitnya sampai kulitnya terkelupas”

“Kenapa?, kenapa?, bukankah ia sudah pergi”

“Ia berada di beranda, ia masih saja mengejek”

“Bagaimana kau tahu, bahwa kakangmu mengejekmu?”

“Ketika aku menjenguknya”

“Nyi Upih menarik nafas, katanya, “Sebaiknya kau tidak usah menjenguknya”

Pinten tidak menjawab, ia duduk kembali dimuka perapian, namun nampaknya ia menjadi gelisah.

“Kau nampak gelisah, Pinten?”

“Ah, aku tidak apa-apa biyung, apakah aku nampak gelisah?”

Nyi Upih mengangguk, jawabnya, “Tetapi mungkin juga aku keliru, Pinten. Namun agaknya ada sesuatu yang terbersit di hatimu. Bukan lagi tentang kenangan masa lalumu, tetapi apakah kau juga menghadapi masalah yang lain?, tentu bukan sekedar karena kakangmu yang nakal”

“Tidak, aku tidak mempunyai persoalan apapun juga, biyung. Apakah ada tanda-tanda yang lain padaku?”

Nyi Upih menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Tidak, mudah-mudahan tidak, Pinten”

“Kenapa mudah-mudahan?”

“Sudahlah, air sudah mendidih. Barangkali kau akan membuat minuman panas buat puteri atau buat Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga”

Pinten mengangguk, ia pun kemudian menyiapkan beberapa mangkuk dan menuangnya dengan minuman panas.

“Aku akan membawanya ke dalam, kebilik puteri, biyung sajalah yang membawa ke bilik Raden Kuda Rupaka”

Nyi Upih mengangguk, tetapi ia masih bertanya, “Kau tidak membuat untuk kakangmu?”

“Biar ia membuat sendiri, seperti biasanya ia membuat sendiri” jawab Pinten, lalu dengan ragu-ragu ia berkata, “Biasanya ia membuat untuk dirinya dan kedua pengemis malas itu”

“Mereka bukan orang-orang malas Pinten” jawab Nyi Upih, “Mereka adalah orang-orang yang rajin. Mereka mau bekerja apa saja, meskipun ternyata, mereka bukannya pengemis kebanyakan, mereka memang dua orang perantau, itulah barangkali yang paling tepat, PERANTAU, bukan pengemis”

“Tetapi kakang Sangkan dan kadang-kadang puteri juga menyebutnya pengemis, mereka benar-benar pengemis, karena mereka datang untuk mendapatkan belas kasihan, untuk mendapatkan tempat berteduh, untuk mendapatkan sekedar makan dan minum”

Nyi Upih tidak menjawab, tetapi ketika Pinten memandang wajah biyungnya, terasa dadanya berdesir, karena biyungnya itu ternyata hanya tersenyum saja.

Bahkan Pinten pun kemudian melihat sesuatu yang lain pada senyum ibunya itu, sehingga ia pun meloncat mendekat sambil mencubit lengannya, “O, biyung juga nakal seperti kakang Sangkan”

“Aduh” Nyi Upih mengeluh karena tangannya dicubit oleh Pinten. Namun ia pun kemudian bergumam, “Bukan main, tentu kulitkulah yang terkelupas, tanganmu bukan tangan kebanyakan, mungkin kakangmu Sangkan tidak apa-apa, tetapi jika sekali lagi kau mencubit aku, mungkin aku akan pingsan”

Hampir diluar sadarnya, tangan Pinten terjulur lagi mencoba meraih tangan biyungnya dan berhasil, “Ah, biyung sudah mulai lagi”

“Jangan” Nyi Upih bergeser surut, “Jangan kau cubit aku lagi”

Nyi Upih kemudian mengusap lengannya yang menjadi kebiru-biruan.

Pinten tertawa, diusapnya lengan biyungnya sambil berkata, “Lain kali biyung jangan nakal lagi. Kadang-kadang aku tidak sengaja, tetapi tanganku tiba-tiba saja terjulur tanpa kesadaranku”

“Sudahlah” berkata Nyi Upih, “Nanti minuman menjadi dingin”

“O” Pinten pun kemudian mengambil nampan dan membawa dua mangkuk minuman panas ke dalam bilik Raden Ayu Kuda Narpada.

Dengan ragu-ragu Pinten mendekati pintu bilik yang terbuka sedikit itu, ketika tangannya menyentuh daun pintu, maka Inten Prawesti segera mendekat sambil berkata, “Terima kasih Pinten, kau membawa minuman panas untuk kami”

Intenlah yang kemudian membuka pintu dan menyuruh Pinten masuk ke dalam.

Pinten menarik nafas. Ia masih melihaht Raden Ayu Kuda Narpada duduk di tempatnya, masih dalam sikap seperti saat ia melihat mula-mula sebelum ia pergi ke belakang. Tetapi wajah Raden Ayu tidak terlampau buram lagi. Bahkan kemudian ia mencoba tersenyum. Betapapun hambarnya, katanya, “Terima kasih Pinten, aku akan menjadi segar dengan minumanmu itu”

Pinten mencoba tersenyum pula, kemudian diletakkannya kedua mangkuk minuman itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Tetapi ketika Pinten akan beranjak pergi, Inten berkakta, “Tinggallah disini Pinten, bukankah kau sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi di belakang?”

“Aku membantu biyung di dapur, puteri”

Inten tersenyum, katanya, “Biyungmu dapat melakukannya sendiri. Tetapi baiklah jika kau akan membantunya pula. Namun ibunda akan bertanya sedikit kepadamu Pinten”

Pinten menjadi berdebar-debar, dengan wajah yang tegang ia melangkah mendekat dan duduk di lantai di hadapan Raden Ayu Kuda Narpada, “Ampun Raden Ayu, apakah ada yang salah?”

“Tidak, tidak Pinten. Tidak ada yang salah. Tetapi ceritera tentang dirimu sangat menarik, bukan hanya kau dan Inten sajalah yang senang mengenangkan masa lampau yang menyenangkan. Tetapi akupun ingin juga melakukannya”

Pinten memandang Inten sejenak, lalu sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Tentu puteri yang mengatakannya kepada Raden Ayu”

Inten tersenyum, jawabnya, “Ya Pinten, akulah yang menyampaikannya kepada ibunda bahwa kau pernah melihat sebuah istana yang berhalaman luas dengan tujuh batang pohon beringin, beberapa buah bekisar, kandang harimau dan kandang orang utan”

“Ah” Pinten berdesah.

“Bagus sekali bukan pinten, aku juga mengenal dan mengingat istana seperti itu. Dan itulah yang agak mengherankan aku, meskipun barangkali ada yang menarik perhatianmu di halaman istana itu, namun bukankah kau seharusnya lebih tertarik kepada ibumu yang tinggal bersamaku saat itu?”

Inten masih saja tersenyum menyambung, “Ibunda, ternyata tidak ingat lagi, kapan Nyi Upih pernah membawa anak-anaknya ke Kota Raja saat itu”

Pinten menjadi gagap, tetapi ia mencoba menjelaskan, “Aku dan kakang Sangkan berada di rumah ayah, hanya sekali-sekali saja aku berkunjung menengok biyung, Itu pun hanya sebentar sekali, karena agaknya ayah dan biyung sudah tidak akan dapat berbaik lagi meskipun anaknya sudah dua”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk. Namun Pinten yang menjadi semakin bingung, segera berkata, “Ampun Raden Ayu, aku minta diri untuk pergi ke dapur. Biyung masih sibuk dan aku akan membantunya”

Inten memandang ibundanya sejenak, lalu, “Baiklah Pinten, aku juga akan pergi bersamamu ke dapur”

Ibundanya mengangguk, katanya, “Tetapi segeralah kembali Inten”

“Baik Ibunda” jawab Inten sambil menarik lengan Pinten yang masih duduk di lantai.

Tetapi sebelum mereka berdua meninggalkan bilik itu. Ternyata Raden Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilaga telah berdiri di muka pintu. Sambil mengangguk dalam-dalam, Raden Kuda Rupaka berkata, “Maaf bibi, barangkali bibi sempat menerima kami barang sebentar?”

“O, marilah, masuklah Kuda Rupaka”

Kuda Rupaka dan Panji Sura Wilagapun segera melangkah masuk, sejenak mereka mamandang Inten dan Pinten berganti-ganti, namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi.

Inten yang sudah akan meninggalkan ibunya mengurungkan langkahnya. Bahkan ia pun memberikan isyarat agar Pinten juga tetap duduk di dalam bilik itu, meskipun ia harus bergeser menepi.

Ada keseganan Kuda Rupaka atas kehadiran kedua gadis itu. Tetapi agaknya Raden Ayu Kuda Narpada tidak menyuruh keduanya untuk keluar.

“Angger Kuda Rupaka” bertanya Raden Ayu Kuda Narpada, “Apakah ada sesuatu yang penting yang ingin angger sampaikan kepadaku?”

Kuda Rupaka ragu-ragu sejenak, sekali lagi ia memandang kedua gadis itu. Namun kemudian katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Bibi, sebenarnyalah ada yang ingin aku sampaikan, tetapi apakah bibi tidak berkeberatan jika diajeng Inten dan Pinten itu mendengarnya?”

“Apakah kau menganggap bahwa mereka tidak sepantasnya mendengar?”

Kuda Rupaka menarik nafas dalam-dalam, namun agaknya Intenpun tetap berdiri di tempatnya.

“Baiklah bibi” berkata Kuda Rupaka, “Sebenarnyalah aku tidak ingin membuat bibi dan diajeng Inten Prawesti menjadi gelisah, tetapi apa boleh buat. Barangkali hal ini akan lebih baik dari pada berkepanjangan, mengingat keadaan yang semakin gawat”

Raden Ayu Kuda Narpada mengangguk-angguk kecil.

“Bibi, apakah bibi tidak merasa cemas, bahwa pada suatu saat orang-orang yang bermaksud jahat itu akan berhasil mengambil pusaka pamanda Kuda Rupaka dari istana ini dengan cara apapun. Meskipun kami masih belum dapat membuktikan, apakah pusaka itu benar-benar ada si istana ini atau tidak. Namun kami menduga, bahwa pusaka-pusaka itu telah bibi simpan. Kami menghargai maskud baik dan kesetiaan bibi terhadap pamanda Kuda Narpada, tetapi kami mengharap bahwa bibi agak lebih bijaksana menanggapi keadaan yang berkembang semakin buruk”

Raden Ayu Kuda Narpada menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku tidak mengetahui sama sekali tentang pusaka-pusaka itu. Seandainya pamanmu benar-benar membawa sebilah pusaka yang memiliki nilai yang sangat besar, agaknya pamanmu tidak memberitahukannya kepadaku.

Yang aku ketahui, pamanmu memang membawa sebuah keris, tetapi tentu bukan yang kalian cari itu, karena keris itu adalah keris pamanmu sendiri”

“Bibi” desis Kuda Rupaka, “Memang mungkin bibi mencurigai siapapun juga, termasuk aku dan paman Panji, karena mungkin kehadiran kami disinipun nampaknya terlampau tiba-tiba. Tetapi apa yang kami lakukan disini, seharusnya membuat bibi manjadi yakin. Bukankah aku sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan bibi sekeluarga dan pusaka itu?, seandainya bibi dapat mengambil kebijaksanaan, maka bibi akan tidak menyesal nanti. Pada saatnya bibi akan dikunjungi oleh para pemimpin dari Demak untuk mengucapkan terima kasih, karena bibi sudah menyerahkan pusaka yang paling berharga itu melalui aku”

Kuda Rupaka menjadi tegang ketika ia melihat Raden Ayu Kuda Narpada menggeleng sambil mengeluh, “O, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan angger”

Sejenak Kuda Rupaka termangu-mangu, dipandanginya bibinya, Inten dan Pinten berganti-ganti. Dengan wajah yang tegang ia pun kemudian berkata, “Bibi, aku juga menilai pusaka-pusaka itu sangat tinggi. Tetapi tidak lebih tinggi dari jiwa seseorang. Dalam hal ini adalah jiwa bibi sendiri dan diajeng Inten Prawesti. Betapapun tingginya nilai pusaka, tetapi seharusnya bibi masih harus menjaga keselamatan jiwa diajeng yang masih sangat muda itu, seandainya bibi sudah tidak menghiraukan keselamatan bibi sendiri”

Ternyata kata-kata itu telah menyentuh perasaan Raden Ayu Kuda Narpada, sekilas dipandanginya wajah puterinya yang pucat dan cemas.

Kuda Rupaka pun termangu-mangu di tempatnya.

Nampaknya sepercik harapan di wajahnya, jika Raden Ayu Kuda Narpada bersedia menyerahkan pusaka-pusaka itu, maka ia akan segera meninggalkan istana kecil itu tanpa mencemaskan lagi penghuni-penghuninya.

-oo0 dw-arema 0oo-

Bersambung ke jilid 8

Sumber djvu : Koleksi Ismoyo

http://cersilindonesia.wordpress.com

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

http://kang-zusi.info http://dewikz.byethost22.com/

diedit ulang oleh Ki Arema

kembali | lanjut