NSSI-29


<< kembali | lanjut >>

I.

Berita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru. Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin.

Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran. “Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?”

“Ya. Semua orang menganggap demikian.” sahut Bantaran.

“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.

“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.”

“Bukan main” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”

Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru.

Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.

Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya.

Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan.

Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya pula.

Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula.

Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?

Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata pula. “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang dibawa oleh Bantaran?”

Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”

“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.  Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.

Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus diketemukan.”

“Ya” sahut Rara Wilis.

Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya.

Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu, terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang.

Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.

Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata. “Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”

Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.  Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup kembali.

Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan sama sekali bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak dapat disembunyikan.

“Rara Wilis” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau dapat mengerti.”

Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi kakang?”

Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau menyetujuinya?”

Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.

Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang, aku sama sekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang. Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”

Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah lagu yang rawan.

Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis.

Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”

“Jangan berjanji kakang”, potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing, janji yang tersimpan di dalam hati itu.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji pribadi.

Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya. Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup. Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.

Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku turut dengan angger ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”

Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat penyelesaian.

Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga ikut kakang.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”

“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di Gunungkidul ini.”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan wajahnya.

Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika terdengar suara di belakang. “Kakang Demang, kuda kakang telah disiapkan.”

“Baik” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku akan pergi ke banjar sebentar.”

Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah dinding dan hilang ke pendapa.

Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu, mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia. Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati. “atau iri hati?”

Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku akan ikut ke Banyubiru.”

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.

Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta ke Banyubiru.”

“Hem” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti perjalanan ke Gunungkidul ini?”

Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya. “Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam batas-batas kemampuan yang ada padanya.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-nantikannya bersama Rara Wilis.

Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati mereka.

Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti yang menaikimu.”

Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.

Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja. Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi.

Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu seakan-akan sama sekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.

Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka segera ia masuk kembali ke halaman.

Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa, masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang itu sakit?”

Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.

“Ia tidak sakit,” jawabnya.

“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada dipembaringannya.”

“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”

“Oh” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya, memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah yang bercampur baur.

Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan katanya perlahan-lahan. “Marilah, mumpung masih pagi.”

Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya.

Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang. Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing. Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka. Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya.

Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.

Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.

Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya. Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.

Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit, tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai persoalan.

Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan sama sekali tidak berarti. Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-lereng bukit.

Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”

Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”

Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang, seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”

“Gelap,” sahut Bantaran.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka sendiri.

Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat sesuatu.

Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan dirabanya.

Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-akan mereka sama sekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang hilang itu telah disembunyikan pula disana.

Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan mereka.

Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan serta merta. “Bantaran telah kembali?”

“Ya”, jawab orang itu.

“Sendiri?”

“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”

“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka melihat rombongan itu masuk ke halaman.

Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar, tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis. “Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya paman tidak datang ke Banyubiru.”

Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata, “Aku ikut prihatin Arya.”

“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan datang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo Kanigara.

Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah.

Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk mengadukan nasib mereka.

Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia sama sekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.

Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Disini, Banyubiru kini, sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau? Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”

Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia sama sekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”

“Oh, ada. Ada” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”

“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja disini.”

Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa Jenar masih juga mengingat dirinya.

Karena itu segera ia menyahut. “Baiklah kakang. Lebih baik aku kebelakang.”

Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan”, desisnya seorang diri.

———-oOo———-

 

II

Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam semak-semak.

Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah berada di biliknya pula.

Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.

Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.

Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang berkepanjangan.

Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.

Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.

“Siapakah kau?” desak penjaga itu.

Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.

”Siapa” desak penjaga itu.

Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya, “Apakah kepentinganmu dengan namaku?”

Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu, maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak.”

Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”

Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula. “Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di malam hari begini?”

“Tidak apa-apa”, jawab orang yang ternyata bernama Karebet itu.

“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”

“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”

Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian salah seorang daripadanya membentak. “Jangan mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak pinggang dan berkata lantang. “Jangan ganggu aku. Biarlah aku berbuat sesuka hatiku.”

“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada peraturan-peraturan yang harus ditaati.”

“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”

“Jangan berkeras kepala, Karebet” bentak seorang penjaga yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”

“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”

“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami. Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”

“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku, pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”

Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.

Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula. “He, apakah yang akan kalian lakukan?”

“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.”

Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian berkata sebenarnya?”

“Tentu”

“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta pedang dilambungku.”

Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya sudah jauh berkurang.

Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada taranya.

Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang telah hampir tak berdaya itu pun sama sekali bukan pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka mereka pun pasti masih akan tetap bertempur.

Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah.

Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.

Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha, namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah kemampuan Mas Karebet itu.

Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali-kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.

Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa nyaring. Katanya disela-sela suara tertawanya, “He, katakan sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati peraturanmu?”

Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun penuh ketegasan. “Ya”

Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku akan tunduk kepada kalian.”

“Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan Banyubiru.”

“Omong kosong” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini. Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera melupakannya.”

“Tidak” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan terulang kembali.”

Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik” katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru menjadi kuat.”

“Jangan terlalu sombong.”

“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”

“He” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau maksudkan?”

“Ya” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”

“Setan” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat. “Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”

“Apakah kau ingin bertempur lagi?”

“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan” sahut peronda itu. Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula peronda itu. “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang tidak bisa pula.”

Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata. Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”

“Kami berpijak pada kewajiban kami.”

“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran ini?”

“Hanya ada satu kemungkinan” sahut peronda itu. “Serahkan Endang Widuri.”

“Syaratmu terlalu berat”

“Tidak ada syarat yang lain”

“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”

Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?”

Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba-tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar jatuh.

“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.

Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun, maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian lakukan kemudian?”

Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu.

Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya. Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya, namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang anak muda yang aneh itu.

“He para peronda yang baik” berkata Karebet itu kemudian. “Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata. Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk mengamankan perbuatanku ini.”

Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian, maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Wira Tamtama?

Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu Banyubiru yang perkasa.”

Bukan main marah para peronda itu, sehingga salah seorang dari padanya yang tidak tahan lagi mendengar kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontarkan pedangnya. Tetapi dengan tawa yang menyakitkan hati, pedang itu disentuh oleh Mas Karebet dengan pedangnya pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu, memberitahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu terlempar jatuh ke dalam lereng yang terjal.

“Lihatlah bulan yang hampir bulat di langit. Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”

Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.

Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu. Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang. Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya. Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu, maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”

Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman.

“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng” berkata peronda itu.

“Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami datang bersama-sama.”

“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”

Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.

Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”

“Penting sekali” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki Ageng.”

“Malam-malam begini? tidak besok pagi?”

“Terlalu penting.”

“Soal apa?”

“Gadis yang hilang itu.”

“He” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”

“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”

“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”

“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa sekali.”

“Oh” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki Ageng.

“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.

“Kami, para penjaga Ki Ageng.”

“Ada apa?”

“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang itu.”

“He” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa-gesa keluar dari dalam biliknya.

Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki Ageng muncul di ambang pintu.

“Siapa yang membangunkan aku?”

Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”

“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang gadis itu.”

Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah Sora pun segera menerima mereka.

“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.

“Ya, Ki Ageng” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.

“Ya” jawab peronda itu.

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”

Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka. Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”

Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”

Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang. Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya dengan Mas Karebet.

“He. Kenapa kau malah tertidur.” bentak Arya Salaka.

Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak. Aku tidak tertidur.”

“Katakanlah”

Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik Endang Widuri.

“Hem” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat menangkapnya.”

“Tidak” jawabnya.

“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang itu?” desak Arya tidak sabar.

“Orang itu menyebut namanya”

“He” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,” suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya. Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa. Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?”

Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah pernah mengenalnya?

Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi jengkel, sehingga ia berteriak. “Siapa namanya he?”

Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia mengucapkan nama itu, katanya. “Ia menyebut namanya sendiri Karebet.”

“Karebet” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau bilang.”

Peronda itu mengangguk. “Ya”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram perlahan. “Karebet.”

“Paman” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu justru Karebet. Kenapa?”

Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. dengan sabarnya ia berkata. “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang.”

“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo Kanigara?”

“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”

“Oh” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian, maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah daripada dirinya.

Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”

Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.

Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka gemetar. “Sekarang dimanakah Karebet itu?”

“Anak muda itu telah menghilang.”

“Hem” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah kita akan dapat menemukannya?”

“Ya” sahut peronda itu.

  “He. Apakah yang kau katakan” Arya Salaka menjadi semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk menemukannya?”

“Ya” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”

“Gila” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”

“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik, Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”

“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”

“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu” sahut orang itu. “Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”

“Itu sudah kau katakan.”

“Ya. ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk puteranda Pangeran Timur.”

“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.

“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan. Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya dengan senang hati.”

“Begitu katanya?” teriak Arya.

“Ya”

Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak. “Dimana kau temui Karebet itu?”

“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”

Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu, segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan memanggilnya. “Arya. Arya Salaka.”

Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.

Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang pedih.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.

Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.

“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua.”

Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.

Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-sini.

Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya.

Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang sambil berteriak keras-keras. “He Karebet. Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet………”

Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut.

Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak. “Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan. Karebet……”

Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan angin.

Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain. Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.

“Arya” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.

Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga dapat ditenangkannya.

“Arya” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.

“Arya” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”

Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”

“Sabarlah Arya” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita bicarakan soalmu ini.”

Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.

“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu. Selain, tegang.

“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.

“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.

Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya.

“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak.

Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini.

Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya.

Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka. Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung kuda.

———-oOo———–

 

III

Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya. “Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”

“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.

“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada sesuatu keperluan yang mendesak?”

KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga. “Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”

“He” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”

“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”

“Hem” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui kakang Gajah Sora”.

Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.

Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.

Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.

“Kakang” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora. “Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.

“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.”

Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.

Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.

Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”

Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak.”

Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”

Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?” Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?

Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya, “Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan itu?”

Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab. “Tak ada pilihan lain paman.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah mencobanya?”

Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat dicoba?”

“Arya” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”

“Tidak paman”, jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman, seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan merasa dihinakan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata, bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka?

Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian, ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.

Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting adalah gairah bagi masa depannya.

Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk menyiapkan laskarnya.

Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian.

Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang Widuri untuk puteranya.

Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya Salaka itu.

Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu. Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.

“Terima kasih kakang”, sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.

Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya.

Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang. Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”

Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat dijumpainya.

Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”

Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat.

“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”.

Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”

“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi.”

“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang.

Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?”

“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir, jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya. Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada pilihan lain dari pada datang merebutnya.”­

”Dengan kekerasan?”

”Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”

“Kakang” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh, “kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindar­kan pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat menghadap Baginda dan menjelaskan per­soalannya kepada Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri kakang itu sendiri?

“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak seorang pun akan dapat merubahnya.”

“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Kare­bet sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu kepada kakang?”

”Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu ke­kuatan yanq akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat sedemikian atas Widuri itu.”

“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda, sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?”

Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar berkata “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin menunjukkan kejantanannya di ­hadapan Sultan Trenggana? Atau apa?”­

“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”

“Kakang,  baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menun­jukkan usaha untuk menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya Salaka dengan alat Karebet itu?”­

“Mahesa Jenar.” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang kelam itu benar-benar mendebarkan.

Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang. Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.”

Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk terhadapku?”

Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan ter­jadilah beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar. Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya. lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin kalau Kebo Kani­gara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang telah berbuat diluar kewajaran.”

“Hem” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “apakah yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”

“Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”

“Apakah aku mampu berbuat demikian?”

“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat menjelaskan persoalannya.”

“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”

“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”

“Mahesa Jenar” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir sebaik-baiknya.”

“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini.”

“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”

“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”

Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata. “Sampai hati kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?”

Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh pula. “Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat penyelesaian menurut caranya?”

Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.

Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab. “Untuk sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia akan dapat melihat laskar Banyubiru binasa? Laskar yang telah berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat, membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam. Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang mutlak? Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?

Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya “Baiklah kakang. Biarkan kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi semakin banyak besok.”

Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah. “Baiklah Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan bilik Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan dikejauhan dalam nada dara muluk.

“Tengah malam” gumamnya. Dan sesaat kemudian para penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.

Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak tertarik pada kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga perlahan-lahan ia bergumam sendiri. “Empat hari lagi purnama penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur dan akan saling membinasakan.”

 Kembali Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya, mayat yang bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama sekali bukan lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan yang seharusnya berada dalam persatuan dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam pendiriannya. “Aneh” sekali lagi ia bergumam. “Aneh, dan tidak wajar.”

Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau orang itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya, sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.

“Hem” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya.

Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut. Dan tanpa sesadarnya ia menyapa. “Kakang, apakah kakang sedang sakit?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”

“Kakang pucat sekali.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata, “Wilis duduklah sebentar. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan. Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Wilis. Nanti aku antar kau pulang ke Gunungkidul”.

Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.

“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa Jenar. “Aku tidak berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku menyelesaikan persoalan ini.”

“Oh” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. “Kakang mengejutkan aku.”

“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga, bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke Gunungkidul.”

Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.

“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula kepada semua orang disini. Katakan bahwa kau ingin sekali segera kembali.”

Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta keluarganya.

Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka mencegah maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan penuh permintaan mengharap gurunya mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada pendiriannya.

Katanya kepada Arya Salaka. “Aku dapat menempuh perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali tepat pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.

Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali tidak membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa anak panah untuk berburu di perjalanan.

Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada Mahesa Jenar, “Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?”

“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut Mahesa Jenar lemah.

“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo Kanigara pula.

“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku selamatkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula, “Adakah sesuatu yang tersembunyi?”

“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada yang tersembunyi di dalam dadaku.”

“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu pertanyaan mengiringi kepergian itu.

Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang berhembus dari pegunungan.

Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya. “Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan?”

Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya sambil menjawab, “Kita pergi bertamasya Wilis.”

“He?”

Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu, tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata kepadanya, bahwa mereka sedang bertamasya.

Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis. Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi. Maka jawabnya, “Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap Panembahan Ismaya.”

“Oh” Rara Wilis menarik nafas. “Apakah Panembahan akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”

“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”

Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar bahwa Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil pasukannya.

Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang ayah yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berotak tenang.

Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya, “Ki Ageng, kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi?”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Jawabnya sambil tersenyum, ”Bukankah sudah dikatakan, bahwa Mahesa Jenar akan  mengantarkan Wilis pulang ke Gunungkidul?

”Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?” bertanya Kebo Kanigara.

“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat disini sambil menunggu Mahesa Jenar kembali.”

“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”

Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa. Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab. “Ah. Pertanyaan yang aneh. Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku antarkan.”

Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik, namun pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat dijawabnya.

———-oOo———-

IV

PANEMBAHAN Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu menyambut sendiri kedatangan tamunya.

Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu. Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung pada tiang-tiang dan dinding. Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang jelek dan kasar tergantung di antara beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar tidak ingin menanyakannya.

Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan tua itu menyapa keselamatan mereka.

“Demikianlah Panembahan” jawab Mahesa Jenar. “Tuhan melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan pun demikian pula hendaknya.”

“Syukurlah ngger.” sahut Panembahan Ismaya.

Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga akhirnya Panembahan itu berkata, “Aku menjadi berdebar-debar akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunungkidul untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke Gunungkidul.”

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar menjawab. “Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama kali, kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal itu.”

“Aku tidak pernah lupa ngger.” sahut Panembahan.

“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu.”

“Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat berbuat sesuatu.”

Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang sebenarnya dibawanya. Katanya, “Panembahan, sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain, yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada Panembahan.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”

“Panembahan” berkata Mahesa Jenar, “Kali ini tidak ada orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”

Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada waktu nanti, besok atau lusa?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam.

Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya. “Marilah ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”

Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para cantrik itu.

Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu masih saja berkata. “Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru bersama angger berdua.”

Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu. Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para cantrik bercocok tanam.

 Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar. Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu pernah terjadi suatu malam yang mengerikan.  Dimana janda Sima Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara orang-orang dari golongan hitam itu.

Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan yang berat itu.

“Wilis” katanya, “Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah itu pernah terjadi?”

“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang akan mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”

“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.

Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, “Wilis, apakah kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”

Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata, “Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”

“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis. “Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”

“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.

Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-tiba ia merenung.

Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka, sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.

Namun Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu.

Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”

Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau lagi.

“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan sengaja menghindarinya?”

Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata, “Marilah kita menghadap sekarang.”

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apakah Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”

“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”

Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan keinginannya untuk bertemu Panembahan.

“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri.”

Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya, “Kenapa angger sedemikian tergesa-gesa?”

“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar. “Sudah aku katakan, bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan perang.”

“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.

“Ya” sahut Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan belum mendengar bahwa Widuri telah hilang?”

“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut. “Widuri anak Kebo Kanigara maksudmu?”

“Ya Panembahan?”

“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”

“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh Karang Tunggal itu.”

Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam. “Anak itu tidak juga menjadi jera.”

Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa yang diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia berkata, “Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah itu tidak akan dapat dihindari?”

Panembahan Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja menghendaki gadis yang lain?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu. Panembahan Ismaya sama sekali tidak menyesalkan tindakan Karebet atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula disesalkan adalah Sultan Trenggana. Apalagi ketika Panembahan itu berkata, “Adalah wajar sekali kalau Kebo Kanigara menjadi marah.”

“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain.”

Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar. “Mungkin Kebo Kanigara dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka, sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan mohon belas kasihan kepada Sultan itu.”

Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan kejantanannya sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga, sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya? “Apakah aku telah berubah?” pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka ia mencoba berkata pula. “Panembahan, mungkin kakang Kebo Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat dengan Sultan Trenggana?”

“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan itu. “Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang Panembahan Ismaya.”

“Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet menyerahkan Widuri kembali?”

“Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali, sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga akan dapat membayangkan akibatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan pertumpahan darah itu terjadi.”

Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri berkata, “Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan demikian terhindarlah segala bencana.”

“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan Ismaya.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian dengan takzimnya. “Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku, kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan. Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke istana, atau Endang Widuri.”

“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, “Apakah maksudmu?”

“Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri dengan pusaka-pusaka itu.”

“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan. “Kedua pusaka itu adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana. Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung.”

“Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Aku sama sekali tidak memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada Demak, apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu, Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak perlu Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya.”

Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.

Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan keadaan kepadanya.

Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih. “Jangan Mahesa Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”

“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi parau karena hatinya yang pedih. “Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini. Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku menjumpai pendirian yang sama sekali tidak dapat aku mengerti Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kini.”

Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.

“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “Apabila demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”

“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara. Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan yang kau perlukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi persoalan puterinya telah sampai ke Karang Tumaritis. Sekarang, barulah diingatnya bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka usaha itu masih belum dilepaskannya.

Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat memenuhinya.

“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan.”

Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-ragu. Katanya bertanya, “Bukankah pada saat Purnama naik Banyubiru akan mengalami ketegangan?”

“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.

“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?”

“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku disini menenangkan hati bersama Panembahan.”

Panembahan tua itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya. “Sejak dahulu aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku kira benar pula.”

Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan Padepokan itu.

Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang. Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis. Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit Telamaya.

Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua. Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia bergumam. “Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam pengabdian yang luhur.”

Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya. “Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku sampai tiga hari setelah purnama naik.”

“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.

Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam sanggarnya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan apa-apa.

 ———-oOo———-

 

V

Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda. Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai sepuluh hari.

Beberapa orang yang mendahului Baginda telah mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan kesatuan Nara Manggala.

Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu.

Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan mereka.

Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus mulai bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit.

Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi. Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan, maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan dibelakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk menerima kembali Widuri pasti akan dipertimbangkan.

Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Dipendapa rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur, pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa. Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar tampak membayang di wajahnya.

Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang langit dikejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram. Sesuram hati Arya Salaka.

Arya Salaka yang kemudian duduk pula di tangga pendapa itu, menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di dalam angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan Endang Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela diri itu tidak sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan sebenarnyalah Endang Widuri telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu telah bertempur dengan gigihnya.

Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di belumbang, ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu Karebet ,, maka ia menjadi gembira.

Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba mengajaknya pergi ke Demak.

“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.

Karebet memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum. “Buat apa kau tinggal di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti disana.”

“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang” bentak Widuri.

Namun Karebet masih juga tersenyum-senyum, sehingga Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya. Tetapi Widuri tidak sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri berusaha membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya. Widuri tidak dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam keadaan pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke dalam semak-semak.

Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya.

Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya. Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit berada di bawah pimpinan Wulungan. Dibelakang Arya Salaka berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan laskar Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis. Namun tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang tersimpan di dalam dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri berjajar dalam barisan yang sama, namun barisan Arya Salaka kali ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai persoalan di setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula.

Tetapi yang tampak, yang kasat mata, mereka kemudian berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan Pamingit yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi menuju ke hutan Prawata.

Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata benar-benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan rumput dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar jauh menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu rimbun.

Baginda kini telah berada di dalam barak yang terbesar di tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang pemburu, maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam peralatan yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan selingan yang menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di dinding-dinding barak itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak dan segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu, namun juga senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal Baginda.

Malam yang demikian akan menjadi sangat menyenangkan bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda mulai berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang menyusup ke dalam rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di atas tanah yang lembab.

Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan gelisah. Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi kegembiraan Baginda.

Ketika seorang perwira masuk ke dalam biliknya beserta seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya duduk dekat-dekat di hadapannya.

“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama seorang pemburu.”

“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah. “Ternyata kita belum sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”

“Bagaimana dengan kabar itu?”

“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah dikepung rapat-rapat.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perwira itu. “Paningron. Apakah kau dapat menduga kekuatannya?”

“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat kekuatan kita disini.”

Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya. Pasukan yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak, sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang sedemikian kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati menghadapinya.

Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang duduk disampingnya Baginda berkata. “Berikan bajumu.”

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda itu berkata, “Berikan baju dan kelengkapanmu.”

Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.

“Terlalu kecil,” gumam Sultan.

“Ya” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud Sultan.

“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda sambil tersenyum. “Baju itu hamba pakai sejak hamba mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.

“Pantas?”

”Apanya Baginda”

“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika Baginda berkata, “Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang yang ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti aku menjawab,“ Jangan ganggu aku.”

“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu.

Baginda berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baik, kalau begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak memanggil namamu.”

“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron segera meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama, tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.

Ternyata Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya perapian yang menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda kadang-kadang dapat melihat bayangan orang yang berjalan hilir mudik.

“Kau benar Paningron,” berkata Baginda. “Kekuatan itu benar-bebar tidak dapat diabaikan.”

“Hamba telah meneliti tuanku.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan mengendap-endap Baginda itu berkata, “Siapakah yang memimpinnya?”

“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”

“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”

“Hamba tuanku.”

“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”

“Belum hamba ketahui.”

Baginda menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan.

Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera berkata, “Baginda, apakah hamba dapat mengirim seseorang untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-orang Banyubiru.”

Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian orang-orang Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan kepalanya. “Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”

“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”

“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”

Paningron tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di sudut lapangan rumput itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan dengan serta merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat, sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.

“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.

“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan itu.

“Oh” sahut Baginda.

“Eyang ternyata benar-benar datang.”

“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.

“Hamba sudah berjanji.”

“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”

“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang dapat hamba sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah hamba sampaikan sebelumnya.”

“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai untuk kepentingan seorang Karebet.”

“Jangan Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam hati Baginda. Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”

“Persetan dengan anak itu.”

“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”

Baginda itu pun kemudian termenung sesaat. Ternyata Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri Baginda telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari yang dilampauinya dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan sendiri tidak terlalu membeci Karebet. Justru Baginda sendiri pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak itu.

“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.

“Hem. Eyang telah membingungkan aku. Kalau aku membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”

“Mereka sama sekali tidak memberontak terhadap Baginda. Mereka datang untuk mencari Karebet.”

Sekali lagi Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu berkata, “Selain dari itu Baginda, bukankah hamba telah menolong Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan memanggil kembali anak itu, dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.”

“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat memusnahkan mereka?”

“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan pertempuran. Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-panji itu.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.

“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun hamba menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di dalamnya.”

“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”

“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan dapat menghapus kenyataan itu.”

“Ya. Eyang benar. Anak itu ada disini pula sekarang.”

“Penangsang?”

“Ya”

Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi bingung mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Sultan. “Lalu bagaimana eyang?”

“Tergantung pada Baginda.”

“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”

Bayangan itu pun kemudian mengangguk-angguk dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata. “Baginda ternyata telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang sama sekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri dibawah duh Baginda.”

“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”

“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”

“Jangan eyang. Eyang harus berada disini. Kalau ada sesuatu kesalahan, maka eyang akan dapat membetulkannya”.

“Atau untuk menjadi tanggungan?”

“Tidak.”

“Baiklah. Aku ikut Baginda.”

Bayangan itu pun kemudian berjalan mengikuti Baginda disamping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga dimuka barak, sama sekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat dihadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang lain sama sekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu, bahwa Paningron adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di Demak.

Bulan yang bulat mengapung di langit dengan sangat lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda tiba-tiba menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari kedalam barak masing-masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi setiap kemungkinan. “Kekuatan mereka jauh lebih besar dari kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.

Tetapi seorang perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan sebuah senyum. Katanya di dalam hati, “Apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang pedesaan?” Orang itu sama sekali tidak mau memikirkannya lagi. “Besok mereka akan aku musnahkan,” katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya.

Malam itu semua prajurit siap ditempatnya. Beberapa penjaga selalu mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan mereka lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat di tangan.

Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari, maka mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru. Arya Salaka dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya, segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal di Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta, semoga semuanya dihindarkan dari bencana.

Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah bersiaga pula disekeliling perkemahan.

Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu.

Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang, dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi semakin dekat.

 Di dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang mendekati mereka.

Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar. Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di Banyubiru. “Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus terulang?” desah di dalam hati. Di lingkaran yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa.

Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.

“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, “Mudah-mudahan semuanya berlangsung baik.”

Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang dalam gelar Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah masak.

Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati, “Manakah anak muda yang bernama Karebet itu?”

Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan Baginda Sultan Trenggana.

Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, kemudian datang lebih mendekat lagi.

“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.

Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu.

Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian katanya kepada ayahnya. “Ayah, Baginda sudah tahu maksud kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet disini. Dan Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”

Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.

“Bagaimana adi? “ bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya Salaka untuk melihat rontal ditangannya. Kemudian wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Terimalah Arya. Sebaiknya kau menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”

Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian kembali ia memandang kekejauhan. Sekali-kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya.

Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata, “Hasrat yang paling besar untuk menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau yang akan tampil kedepan melawan seseorang yang akan dikirim oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”

Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun juga.

Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian ia melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda itu dengan dada tengadah. “Aku terima tawaran itu. Aku, Arya Salakalah yang akan datang ke gelandang.”

Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding. Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu, apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu.

Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh, pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.

Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan gurunya sambil berbisik. “Ayah dan paman-paman. Restuilah aku, semoga aku akan berhasil.”

“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.

Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka. Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi kecewa. “Hanya seorang anak-anak,” desisnya.

Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga.

Ketika mereka kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi.

Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar. “Siapakah yang akan datang ke arena?”

Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat saling berdiam diri.

“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Jangan kakang. Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”

“Hem” Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Jangan aku. Orang-orang Demak telah menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”

“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar. “Kakang Gajah Sora sendiri barangkali?”

Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya. “Tidak” katanya. “Aku tidak sanggup.”

Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik nafas panjang dan kemudian katanya. “Apakah kau dapat mewakili kami Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kami bukan orang Banyubiru.”

“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.

“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tetapi biarlah salah seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?”

“Aku bersedia pergi, “ tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.

“Bagus” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Marilah kita pergi dengan Bantaran.”

Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.

Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya sendiri.

Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.

Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil berkata. “Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai.”

Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya. “Silakan,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?”

“Ya” sahut Pandan Alas.

Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. “Kenapa bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?”

Paningron menarik alisnya. Jawabnya. “Perintah Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”

Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?

“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam hatinya. “Aku harus menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan.”

Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. “Ki Ageng Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan, supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”

Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.

“Baiklah” berkata Paningron. “Perang tanding akan segera dimulai.”

Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam perang tanding itu.

Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.

Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.

Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya. “Hem” desahnya. “Anak ini adalah anak yang sombong.”

Sedang Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.

Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis.

Ketika tangan Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.

Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.

“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya didalam hati.

Karena itu, ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan. Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah.

Wajah perwira Wira Tamtama itu menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya. “Setan,” desisnya. Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus melawan serangan itu. Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.

Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya. Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya.

Prabasemi menyeringai. Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang dirasakannya.

Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis. Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya. “Gila,” desahnya. “Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja terjadi.”

Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang dihadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi. Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.

Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.

Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah kekepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan tertinggi yang dimilikinya.

Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah. “Arya,” namun suara itu tidak didengarnya.

Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya. Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah. Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya?

Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi. Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. “Pergi. Pergi. Tak seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi.”

Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.

Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan Prabasemi.

Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi semakin segar pula.

Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali ke arena. dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. “Ki Ageng, lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua seperti yang dijanjikan.”

Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab lantang. “Aku masih tetap berdiri disini sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala akibatnya.”

Para prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?

Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang.

Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.

Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak beberapa saat lampau. Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata lantang. “Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa persoalan itu kemari.”

Di sekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani hukumannya.

Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya. Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. “Karebet. Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”

Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia menyapa. “Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka.”

Arya Salaka bergumam. Jawabnya. “Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan pengampunan atas kesalahanmu itu.”

Karebet mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana. Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di sekitarnya.

Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. “Nah, Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?”

Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. “Kau telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang.”

Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata. “Terpaksa aku lakukan adi.”

“Omong kosong” bantah Arya Salaka. “Ternyata kau sampai hati menjual adik sepupumu itu?”

Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus. “Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu.”

Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang. “Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”

Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun membuka serangan pula.

Maka terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa. Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara.

Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang. Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.

Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat. “Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.

Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.

Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam hatinya. “Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,” desisnya.

Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang. “Hem,” desahnya. “Seharusnya tuanlah yang maju ke arena.”

“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian katanya pula. “Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”

Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, “Tangan anak itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”

Arya Penangsang tersenyum. Katanya, “Aku tahu benar. Anak muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.

“He?,” Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.

“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya Penangsang.

Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam baraknya sambil berpegangan dinding. “Persetan.”

Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini menjadi semakin kendor.

Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik. “Maafkan aku adi.”

Arya Salaka terkejut. “Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini.”

“Adi,” berbisik Karebet itu pula. “Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata sebenarnya.”

Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata. “Kali ini tak ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah maka perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.

Ketika Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar Arya Salaka berkata. “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Aku berkata sebenarnya.”

“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”

“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-benar.”

“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan dalam-dalam. “Gila. Kau benar-benar bermain api kakang. Apakah aku harus bersimpuh menyembahmu?”

“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”

“He?,” Arya Salaka terkejut. “Apakah sebenarnya maksudmu?”

“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku dan adi akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”

Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata sebenarnya. Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra Birawa itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak memiliki kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu apapun yang dilakukan oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan mempergunakan kekuatan tertinggi itu.

Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya. Ketika ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik. “Mulailah.”

Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya sebelah tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra Birawa.

Dalam pada itu, Karebet yang melihat Arya Salaka telah siap, segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya kakinya dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan sejauh-jauhnya yang dimilikinya.

Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat. Seakan-akan sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar beberapa langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali ditanah. Namun sesaat kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya terasa seakan-akan membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting ditanah. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya. Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera. Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan kekuatan sendiri.

Melihat anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap pertimbangannya. Dengan serta merta ia berkata, “Akulah yang akan menjadi orang kedua.”

Kebo Kanigara terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu segera ia mencegahnya sambil berkata. “Tunggulah. Apakah yang akan terjadi kemudian.”

“Apa yang harus aku tunggu?”

Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora ditengah lapangan itupun telah menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu pedangnya.

Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun terkulai ketika tiba-tiba ia melihat Sultan Tranggana dikejauhan keluar dari dalam baraknya.

“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam. “Kalau saja Sultan tidak ada disana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu tidak berkibar disana pula.”

“Jangan cemas kakang”, tiba-tiba terdengar suara Mahesa Jenar. “Akupun orang buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku tidak akan menyesal.”

“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan.”

“Aku tidak sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan anaknya satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.

“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang kelapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena. Dibelakangnya berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.

“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.

“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai seorang yang bernama Pasingsingan.”

“Ya,” sahut Kebo Kanigara.

“Apa peduliku.”

“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah.

Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali. Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan mereka mendengar Mahesa Jenar itu berkata, “Aku telah bertemu di Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku semuanya.”

“Oh,” Kebo Kanigara berdesah. “Kau mencemaskan aku.”

“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”

Gajah Sora memandang mereka dengan penuh pertanyaan. Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada mereka. “Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar. Kita menghadapi Baginda.”

Baginda pun kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum Baginda menerima mereka, sambil berkata, “Eyang Buntara. Apakah mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”

“Ya cucunda Baginda.”

“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron.

Baginda itu memandang Arya Salaka sesaat. Kemudian dihampirinya anak yang masih menyeraingai itu. Ditepuknya pundaknya sambil berkata, “Kau pun anak luar biasa. Mari, masuklah ke dalam kemahku.”

Terasa sesuatu yang aneh di dalam dada Arya Salaka. Perlahan-lahan ia menyembah, dan kemudian diikutinya Baginda masuk ke dalam perkemahan.

Di dalam perkemahan itu duduk Baginda Sultan Trenggana, Pangeran Buntara dan Paningron, dihadap oleh Karebet, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora, Lembu Sora, Arya Salaka dan Bantaran. Dengan wajah yang terang Baginda itu memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk berceritera, apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.

“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. “Jadi semuanya ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”

“Ya,” jawab Pangeran Buntara. “Namun dengan demikian Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan. Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”

Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun berkata. “Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet telah mendapat ijin daripadanya.”

Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.

Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun berkata.”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil kembali Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu agaknya telah luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan Baginda akan berhasilnya cara ini, maka kini perkenankan Mahesa Jenar menyerahkan pula keris-keris yang selama ini dicarinya, Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta Baginda berkata, “Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”

Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya penuh haru. “Hamba Baginda.”

“Dimanakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu pun berkata, “Kedua keris itu aku simpan Baginda.”

“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kau pun akan kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku perlukan.”

Mahesa Jenar menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia menjawab. “Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah Baginda.”

Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini telah terbuka.

Ketika Baginda diperkenalkan satu demi satu dengan orang-orang yang menghadap, maka Baginda berkata. “Jadi gadis ini adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”

“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.

“Dengan pedang dilambungnya?”

“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil menyembah.

“Yang ini, kakeknya?”

“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”

“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba Baginda itupun berkata. “Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu? Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan Mahesa Jenar dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah selesai.”

“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah. Jawabnya, “Bukan main anugerah yang hamba terima.”

“Jangan tunggu umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan ini biarlah kakek itu merayakan peralatan perkawinannya. Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu setengah bulan.”

Mereka berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu akan sampai pula kepadanya.

Arya Salaka pun kemudian mendapat pengukuhan kembali atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda berkata, “Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo Kanigara itu?”

Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang membentur Aji Lembu Sekilan.

“Gadis itu tidak berada disini,” berkata Baginda. “Tetapi besok akan segera kau jumpai di Banyubiru.”

Hari itu adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet. Meskipun para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira. Pertentangan itu benar-benar telah berakhir.

Namun dalam pada itu Baginda terkejut melihat Arya Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan lantang ia berteriak. “Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui paman dan adinda puteri bungsu.”

Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi oleh Tumenggung Prabasemi.

Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya menyatukan tanah tumpah darah.

Tetapi kembali Baginda diganggu oleh sebuah persoalan yang baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang, kemanakannya itu tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya. “Tentu pokal Prabasemi,” pikir Baginda.

Namun ketika Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang. Disadarinya bahwa Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan mendapat kesusahan karena itu.

Tetapi persoalan itu tidak akan segera memerlukan tangan Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat dirampungkan pada saat-saat mendatang.

Ketika awan yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secara hatinya. Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya Salaka dan Karebet bersendaugurau dengan gembiranya. Tetapi lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang dilambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik. “Kakang, hari itu akan segara datang.”

“Ya Wilis. Segara akan datang. Semoga.”

Keduanya pun kemudian menundukkan wajah-wajah mereka. Sedang hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih serta do’a kepada Tuhan yang Maha Esa, semoga mereka akan sampai pada saat-saat yang ditunggu-tunggu itu.

———-oOo———-

TAMAT

Koleksi Ki Arema

Editing oleh Ki Arema

<< kembali | lanjut >>

56 Tanggapan

  1. Telas,
    suwun..
    suwun sanget Ki..

  2. selamat PAGI kadang padepokan SENGKALING,

    cantrik ndherek HADIR ning kene Ki…

    • sugeng ndalu ki Tumenggung, ki Arema lan ki Satpam …
      haduh ternyata wis tamat yo … maturnuwun sanget anggenipun wedar rontal NSSI … sampun dipun unduh sedoyo, baik versi .djvu maupun doc lan langsung masuk bangsal pustaka … tambah lengkap nih karya SHM yang tersimpan … sepindah malih maturnuwun sanget nggih ki …

      salam

  3. Terima kasih ki

  4. sugen ndalu ki, lha Kiai Gringsing itu sapanya yah? Ki Waskita itu sapa?

  5. paling bisa saja pak almarhum singgih ini buat dag dig dug hati ini

  6. Terima kasih bos atas kesempatan saya membaca kisah ini,pokoknya sip dah.

  7. Apa kelanjutan dari NSSI………….. perjalanan Jakatingkir menuju tahta Pajang……………………………. salam

    sepertinya tidak ada ki. Kisah selanjutnya sudah ada di masa Panembahan Senopati

  8. selesai.
    Terima kasih Ki. Saya baca nagasasra 30 tahun lalu, waktu masih smp. Sekarang ketemu lagi. Senang bisa bernostalgia baca lagi.

    Trims


    Sama-sama ki sanak.
    Masih banyak karya SH Mintarja yang juga menarik untuk dibaca pada saat senggang.

  9. Seperti membaca dan menerima sebuah harta warisan langsung dari Eyang SHM, Ritme iramanya yang naik turun dan kadang mendatar, kadang mencekam, penuh jenaka dan asmara biru yang indah, salut berat bos !!!!
    kamsia
    kamsia
    kamsia

  10. Akhirnya…selesai membaca NSSI.., makasi ki…. suwun,
    berlanjut ke karya yang lain..

  11. Trimakasih …ikut larut membaca.

  12. Terimakasih

  13. Karya yang jenius….

  14. Karya monumental, harusnya baca NSSI sebelum api, karena lebih mengetahui silsilah ilmu Kiai Gringsing. Tapi Api memang muncul lebih dulu yaa…

  15. Terima kasih masih diberikan kesempatan untuk membaca buku karangan Legenda Indonesia.
    Salut banget untuk moderator dan administrator blog ini yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya demi kelestarian buku budaya bangsa sendiri.

    Matur nuwun sanget

    Sama-sama ki sanak
    Semoga naskah yang diupload disini bermanfaat untuk mengisi waktu luang para pembacanya
    Selamat bergabung dengan sanak-kadang lain yang terjangkiti virus (kecanduan baca cerita silat negeri sendiri) yang ditularkan oleh Ki SH Mintardja, he he he …..

  16. Luar biasa!! Bahkan ilustrasi dalamnya pun ada!
    Benar-benar ngangeni. 🙂
    Nuwun sewu, Ki sanak. Saya baca tahun 80/81, masih SMP. Kalau tidak salah, di halaman awal (sebelum masuk cerita), S.H. Mintardja ada berkata-kata (pendek). Lupa bunyinya (dan lupa pula apakah kata-kata ini ada di seluruh jilid atau hanya di jilid-1), tapi kurang lebih bagian akhirnya seperti ini:
    “..betapa dari bumi sendiri bisa digali,
    sebuah cerita seperti ini.”
    .
    Kalau tidak merepotkan, bagian ini usul diunggah juga, Ki Sanak.
    Terima kasih.

    sudah saya cantumkan di halaman depan NSSI Ki

    Selamat bergabung dengan kami, pecinta cerita asli karang anak bangsa yang digali dari bumi sendiri.
    Selain NSSI, masih banyak yang lainnya, silahkan dinikmati.
    Hanya itu yang bisa kami sumbangkan untuk sanak-kadang semua, semoga bermanfaat.
    nuwun

  17. Wah iya, ada di depan. Maaf, mungkin saya kurang teliti.
    Tapi ngunduh-nya saya pendingdulu Ki, buat PR akhir tahun saja. Bukan apa-apa, seingat saya, NSSI itu sekali mbaca susah berhenti. 🙂

    Memang, S.H. Mintardja–dengan warna Jawanya yang kental, adalah satu dari [sangat] sedikit pengarang yang kuat dan konsisten dalam menghadirkan kultur Nusantara dalam karya-karyanya.

    Nuwun.

    He he he …..
    Tidak hanya NSSI! Yg lain juga begitu, tak bisabrenti ingin tambah lagi sampe rembes

  18. Betul itu, Ki. Betul sekali. 🙂 Sekarang nuwun sewu, agak panjang.

    Saya member di Goodreads.com (ID: Tomi Pakei). Masih baru, jadi masih agak kikuk. Di sana buku-buku S.H.Mintardja masih lumayan kacau entry-nya (silakan cek di sini: https://www.goodreads.com/search?page=1&query=mintardja&tab=books&utf8=%E2%9C%93). Maunya, karya beliau saya database-kan di sana (sesuai kaidah kepustakaan yang baik, tentu saja). Dimulai dari NSSI (salah satu yang paling populer, dan jilid relatif sedikit, yaitu 29 saja). Tetapi karena tak satu pun karya beliau yang dulu saya baca saya miliki (semuanya hanya modal minjam), maka kalau tidak terlalu merepotkan (kalau sekadar merepotkan, pasti, hehe..) saya perlu bantuan Aki.

    Untuk NSSI (yang ada di blog Aki ini), saya perlu data berikut:

    ISBN
    Jika sudah ada, nomornya berapa? (kalau tak salah, sistem ISBN dimulai tahun 1966, jadi unda-undi buku NSSI yang ini sudah punya/belum–dan toh tak semua buku yang terbit setelah itu punya ISBN).

    ISBN: buku ini tidak memilik ISBN

    Tahun terbit
    Maksudnya, untuk edisi yang ada di blog ini. Di page jilid-1 sudah Aki sampaikan, 1966. Pertanyaan saya, ada yang nembus 1967 kah? (kalau ada, mulai jilid berapa?)

    Tahun terbit: jilid 1-8 tahun 1966, 9-22 (1967), 23-29 (1968)

    Tahun asli terbit
    Maksudnya, edisi aslinya (yang pertama). Catatan mengenai ini biasanya ada di halaman yang sama dengan ‘tahun terbit’ di atas.

    Edisi asli: jilid 1-8 tahun 1966, 9-22 (1967), 23-29 (1968)

    Judul
    (Mohon maaf sebelumnya, saya agak kesulitan melihat dari cover yang ada). Terus terang saya agak rancu, mana yang benar (‘Nagasasra dan Sabuk Inten’, ‘Nagasasra & Sabuk Inten’, atau ‘Nagasasra Sabuk Inten’). Dan ragu juga apakah penulisannya konsisten, baik antar cover (antar jilid), maupun antara cover dengan ‘halaman judul’ yang ada di dalam buku.

    Judul: Yang ada di halaman sampul Nagasasra dan Sabuk-Inten (di semua jilid), sedang yang ada di halaman sampul Nagasasra Sabuk-inten

    Penerbit
    Kedaulatan Rakyat. Apakah penulisannya (untuk edisi yang ada di blog ini) benar seperti itu?

    Penerbit (pada buku asli masih memakai ejaan lama): Badan Penerbit “Kedaulatan Rakjat” Jogjakarta

    Ilustrator
    Siapa? Dan apakah ilustrator untuk cover dan bagian dalam orang yang sama? Yang sering menemani SH Mintardja dengan ilustrasinya kalau bukan Wibowo ya Wid NS (pencipta Godam), akan tetapi untuk NSSI, saya lupa SDY itu siapa (di bagian cover inisial ini juga gagal saya lihat).

    Gambar Sampul; Jilid 1-8 (Kentardjo), jilid 9-29 (Herry Wibowo, mulai jilid 23 ditambahkan gelarnya: BA –> Herry Wibowo BA)
    Illustrasi: Jilid 1 (Kentardjo), Jilid 2-8 (R. Soesilo), dan jilid 9-29 ( Drs. Soedyana)

    Nggih, sampun, itu dulu saja, Ki (‘saja’ apa wong panjang gini). Maaf kalau komen ini agak serakah tempat.

    NB: Saya sudah lihat beranda. Selamat untuk para Aki/Nyi yang sudah mendedikasikan waktu dan energinya untuk blog yang sudah membuat WordPress geleng-geleng kepala ini (Ngapusi, katanya ‘itu dulu saja’, ternyata masih ada NB segala).

    Selain ADBM, semua yang diuplod di sini, nskah buku aslinya dalam format dejavu (djvu) di blog induk http://pelangisingosari.wordpress.com/
    ADBM diupload di http://adbmcadangan.wordpress.com/
    untuk membacanya perlu djvu reader seperti WinDjView atau STDUviewer (Tentu saja setelah ekstensinya diubah menjadi djvu, misalnya: nssi-01.doc menjadi nssi-01.djvu)

    Silahkan kisanak, semua yang ada disini boleh dikoleksi atau dicopas dimana saja, hanya saja mohon sumber naskahnya disebutkan, karena naskah ini hasil keroyokan banyak orang. Mulai dari tim scanning, tim konversi ke teks, dan tim editing, sampai dalam bentuk teks seperti yang diupload disini.
    nuwun

  19. terima kasih buuaaanyak …. ki sy mengenang sejak 1970 NSSI ini makanya sy down load buat mengenang sejak masih mida he he he sekali lagi terima kasih n GBU

    nggih
    monggo dipun sekecakaken

  20. karya2 SH Mintardja bukanlah sekedar bacaan di waktu senggang..namun yang tersirat justru pengungkapan nilai dan watak luhur budaya negeri tercinta ini..disamping pendidikan kepribadian yang sangat patut diwarisi generasi mendatang…

  21. Banyak nilai moral yang bisa dipetik, dan karakternya kuat-kuat mewakili karakter nyata. trims . maaf saya copy semua seri dari 1-29.

    monggo,
    silahkan.

  22. Saya tunggu Tanah Warisannya. TQ

    Insya Allah
    setelah selesai wedaran ADBM yang tinggal beberapa jilid lagi.

  23. Saya baca nssi sejak ketika masih jadi cerita bersambung di koran KR (1964), tapi yang di koran berhenti dengan kembalinya Banyubiru ke tangan Arya Salaka dan Gajah Sora. Prabasemi dan Penangsang tidak ada dalam nssi versi koran. Jadi semacam bonus buat pembaca yg mengikuti dari bukunya.

  24. Terima kasih, Ki
    Cerita ini sudah pernah saya baca pada waktu masih kecil, tapi sampai sekarang masih merupakan kisah yang tetap favorit bagi saya.
    Sekali lagi, matur suwun sanget.

    Sami-sami ki sanak
    mudah-mudahan sajian kami bermanfaat, paling tidak mengisi saat senggang.

  25. maturnuwun ingkang kathah poro sederek sedoyo. Semakin semangat saya..

    monggo
    silahkan baca yang lainnya juga.

  26. Upaya yang hebat,
    Ini bacaanku 40 yl (sekitar th 74)
    Tapi ya gak bosen2 mbaca lagi..
    Aku ingat versi bukunya ADBM ada yg terbit tahun 1961, itu tahun dimana aku dilahirkan..
    Nah, pada saat komen ini aku posting, berapa persisnya usiaku, jika aku lahir tgl 18 Juli..?
    Sorry lho Mas Brow, numpang teka teki. Yang bisa njawab tepat, hadiahnya kulkas (ambil sendiri di toko elektronik)
    .. 😀 …:-D..:-D)
    Salam

    he he he ….
    begitu lahir langsung bisa membaca
    monggo…, mudah-mudahan sajian kami bermanfaat

  27. Sampon telas, terimakasih ki untuk tulisanya.
    yang baca aja kerasa capek apalagi yang nulis, hehehe

  28. kenapa tidak ada yg mengangkat karya2 beliau ke layar kaca…pasti banyak sekali pelajaran2 berharga yg bisa diambil untuk generasi2 kita dr pd sekedar menjadi penikmat siaran televisi yang tidak jelas..

  29. Terima kasih tak terhingga 🙂

  30. Nderek komen

    monggo…., he he he ….

  31. Saking menariknya, baru baca 5 hari yang lalu, sekarang sudah tamat. Berasa paling muda saya yang baca kisah ini.
    Matur nuwon Ki…

  32. Meskipun saya sudah membaca NSSI pada tahun 1979 lalu, masih juga tidak bosan2 membaca ulang.


  33. https://polldaddy.com/js/rating/rating.jsterimakasih admin, mengingatkan waktu smp dulu tahun tujuhpuluhan, sekali lagi matur nuwun

  34. Maturnuwun, Ki
    Cerita ini pernah saya baca pada waktu SMA dulu, meski nggak lengkap. Sampai sekarang tetep favorit saya.
    Sepindah malih, matur suwun.

  35. apakah ada lanjutan dari NSSI?

  36. Waktu sma dan kuliah,ini bacaan wajib keluarga selain Api Dibukit Menoreh,Pelangi dilangit singosari,sepasang ular naga d satu sarang dan tanah warisan,

  37. saya belum baca NSSI (sbb lagi baca APdB lom/hampir selesai)
    ada yg sy tanyakan, NSSI apakah ceritanya sama dengan Ketoprak Sayembara yg ditayangkan di TVRI Jogja thn 80an? (ceritanya sy jg sdh lupa, hehehehe).

    waktu itu sy masih SD…
    Mohon maaf dan terimakasih sebelumnya.

  38. Bacaan saya semasa masih sekolah (SD, SMP), sekitar 50 thn y.l., tapi masih tetap mengasyikan. Matur nuwun 🙏

  39. Trimakasih unt semua terlebih khusus kpd SH MINTARJA, krn baru skrang ini saya dpt membaca NagaSastra Sabuk Inten pfh sejak Alm. Orang tua saya buku ini telah ada n mereka betul2 selalu membixarakan ceritra ini, wow… hebat!!!

  40. Alhamdulillah.. saya baca kisah NSSI ini 34 tahun yang lalu dan tokoh utama dalam cerita ini yang menginspirasi saya saat itu untuk memberi nama anak lelaki saya kelak. Sekarang Mahesa Jenar anak bungsu saya sudah berusia 16 tahun dan duduk di bangku SLTA.

  41. Matur nuwun Ki….

  42. Terimakasih, waktu kecil saya dulu sesekali dengar cerita ini.tetapi baru kali ini membaca dari awal sampai akhir cerita nya.
    Banyubiru, kebetulan suatu daerah Deket kelahiran saya Ambarawa.
    Terimaksih sekali lagi. Mudah mudahan masih bisa menikmati cerita cerita yg lain kabur nya Arya Penangsang dan cerita di balik nya pasti akan bertambah seru….😀

  43. Matur sembah nuwun Kisanak saha team ingkang sampun upload cariyos punika. Saged kangge tamba kangen. Sampun pinten-pinten taun kula temangsang wonten manca. Cariyos-cariyos ingkang dipun serat pak Singgih saestu mahanani kalbu. Maturnuwun sepindhah malih.
    *Swasti*

  44. Bukankah ini dulu waktu sy msh smp judulnya hilangnya keris naga sastra dan kyai sabuk intan…..

  45. Bernostalgia lagi …dulu sekali sudah pernah menamatkannya…sekarang masih ttp menarik buat dibaca….matur nuwun kyai…..

  46. Luar biasa, puas dan mendapatkan inspiratif utk selalu berbakti pd negara dan sesama

  47. Asslkm war wab

Tinggalkan Balasan ke irfan Batalkan balasan