BdBK-28


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 28

kembali | TAMAT

BdBK-28MAYOR BILMAN menggeram. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah.

Sementara itu, tabib dari pasukan Mayor Bilman telah bekerja keras. Seperti yang dilakukan atas Kapten Kenop maka luka Mayor Bilman itu pun telah digoresnya dengan pisau. Tetapi tabib itu menjadi sangat gelisah, justru Mayor Bilman tidak lagi mengaduh ketika lengannya itu tergores pisau.

“Bagaimana?” bertanya kapten Kenop dengan gelisah pula.

Tabib itu tidak melihat lagi kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keadaan Mayor Bilman jauh lebih gawat dari keadaan Kapten Kenop justru karena Mayor Bilman diguncang oleh kemarahannya dan tidak segera berusaha untuk menemui tabib itu.

Tetapi karena keadaan kapten Kenop sendiri yang parah, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kepada seorang pengawal ia berkata, “Panggil Letnan Rapis atau Letnan Morman”

Pengawal itu pun segera meninggalkan tempat itu memasuki arena untuk menemui salah seorang dari kedua orang yang disebut namanya oleh kapten Kenop itu.

Namun dalam pada itu, keadaan Mayor Bilman sudah menjadi semakin parah. Kesadarannya telah menjadi semakin kabur.

Namun dalam pada itu, tabib yang merawatnya masih mendengar Mayor itu berkata, “Tentu ada pengkhianat di antara kita”

“Apakah Mayor mempunyai dugaan atau justru dengan yakin?” bertanya tabib itu.

Tetapi Mayor yang semakin lemah itu menggeleng.

Sebenarnyalah jantung Mayor yang dalam keadaan yang sulit itu sedang bergejolak. Ia sadar, bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar, justru karena kedatangan pasukannya dan pasukan Surakarta itu telah diketahui oleh Pangeran Mangkubumi. Sepercik tuduhan memang telah terlontar kepada seorang perempuan yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ia berada di Surakarta. Teringat oleh Mayor itu, bahwa ia memang pernah mengatakan, bahwa ia akan berhadapan langsung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi sehingga ia sendiri harus berangkat ke medan.

Tetapi mulutnya terasa sangat berat untuk menyebut nama Raden Ayu Galihwarit. Perempuan itu benar-benar telah berhasil merebut hatinya di saat-saat ia jauh dari keluarganya.

“Jika aku menyebut namanya, maka ia tentu akan digantung di alun-alun atau dihadapkan kepada seregu prajurit yang akan menembaknya sampai mati” berkata Mayor itu di dalam hatinya, “Tetapi jika aku keliru, dan aku tidak sempat memperbaiki kesalahan ini, maka aku sudah membunuh seseorang yang tidak berdosa, justru seseorang yang telah memberikan isi pada hidupku yang kosong di seberang lautan ini”

Justru dalam keragu-raguan itulah racun tombak orang berbaju kutung itu semakin meresap ke dalam jantungnya, membekukan darahnya. Segala usaha dan obat yang diberikan oleh tabibnya yang pandai itu ternyata tidak banyak menolong-nya, karena kelambatannya sendiri.

“Jika saja Mayor cepat menghubungi aku” desis tabib itu. Nampak keringat membasah di keningnya. Namun sebenarnya-lah bahwa usahanya sia-sia.

Sejenak kemudian, telah timbul noda-noda hitam dan kemerah-merahan di tubuh Mayor Bilman. Karena itu, maka segala usaha sudah sia-sia. Sejenak kemudian Mayor yang berani itu seakan-akan telah membeku. Penjelajahannya di antara benua dan samodra pun telah diselesaikannya di Surakarta.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya kapten Kenop.

Tabib itu menggeleng.

“Gila” geram kapten itu. Namun ketika ia akan bangkit, tabib itu melarangnya. Katanya, “kapten harus mengambil keadaan Mayor Bilman sebagai pengalaman. Kelambatannya yang hanya beberapa saat saja telah membuat kehilangan kesempatan. Ia telah meninggal”

“Jika demikian, pasukan kumpeni ini menjadi tanggung jawabku” geram kapten Kenop.

“Tetapi keadaan kapten sendiri tidak menguntungkan” jawab tabib itu. Lalu, “Kapten dapat memberikan perintah lewat Letnan Rapis atau Letnan Morman”

Kapten Kenop menggeretakkan giginya. Tetapi ia harus mengikuti petunjuk tabib itu, di sampingnya Mayor Bilman terbujur diam untuk selama-lamanya.

Sejenak kemudian pengawal yang diperintahkan untuk memanggil Letnan Rapis atau Letnan Morman itu pun telah datang. Bersama orang itu adalah seorang Letnan yang berkumis lebat, panjang.

Setelah memberikan hormat, maka Letnan itu pun berjongkok di samping kapten Kenop.

“Kau lihat keadaan Mayor?” bertanya kapten Kenop.

“Ya kapten” jawab Letnan itu.

“Dan kau lihat keadaanku?” bertanya kapten Kenop pula.

“Ya kapten” jawab Letnan itu pula.

“Aku perintahkan kau memimpin pasukan kumpeni. Hubungi Pangeran Yudakusuma dan laporkan apa yang terjadi” perintah kapten Kenop. Lalu, “beritahukan hal ini kepada Letnan Rapis”

“Letnan Rapis berada di sebelah sungai bersama Pangeran Yudakusuma” jawab Letnan itu.

“Cari hubungan dengan Letnan Rapis dan Pangeran Yudakusuma. Cepat. Keadaan medan semakin gawat” berkata kapten yang terluka itu.

“Bukan saja gawat kapten” jawab Letnan itu, “Tetapi parah. Tetapi keadaan lawan pun tidak berbeda”

“Hancurkan mereka. Usahakan menangkap orang berbaju warna ungu gelap, dengan lengan baju sampai kesiku” perintah kapten itu pula.

Letnan itu pun bangkit. Setelah memberi hormat maka ia pun meninggalkan kapten yang terluka itu dengan darah yang bagaikan mendidih. Dua orang perwira tertinggi dalam pasukan-nya telah lumpuh. Bahkan Mayor Bilman telah terbunuh di pertempuran itu. Satu korban yang sangat mahal harganya

Dengan wajah yang geram maka ia pun memerintahkan seorang sersan kumpeni untuk menghubungi Letnan Rapis yang bertempur berdampingan dengan Pangeran Yudakusuma.

Sementara itu, maka ia pun telah mempergunakan seekor kuda untuk memasuki arena pertempuran di seberang sungai. Dengan kemarahan yang menyala ia berjanji kepada diri sendiri untuk membunuh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sampai kesiku.

Sementara itu, di arena pertempuran berkuda, Juwiring dan Buntal pun telah tersisih pula karena luka-luka mereka. Namun dalam pada itu, perlawanan pasukan berkuda dari lingkungan Pangeran Mangkubumi masih juga membakar arena. Mereka yang tidak mempergunakan kuda pun telah melibatkan diri melawan kumpeni dan pasukan berkuda dari Surakarta. Dengan tombak dan lembing-lembing tajam mereka berusaha untuk menyerang lawan mereka yang berada di punggung kuda.

Tetapi dalam pada itu, Letnan Morman itu sama sekali tidak bertemu dengan orang berbaju kutung. Meskipun demikian, ia tidak dengan mudah dapat menghalau lawan-lawannya, meskipun Letnan itu pun memiliki kemampuan yang tinggi

Namun sementara itu sersan yang diperintahkannya mencari hubungan dengan Letnan Rapis telah menyusulnya. Dengan wajah tegang sersan itu berkata, “Letnan Rapis terluka parah”

“He? Terluka?” bertanya Letnan Morman.

“Ya Letnan. Terluka oleh orang berbaju ungu gelap dengan lengan baju sepanjang sikunya” jawab sersan itu.

“Gila” dimana orang itu sekarang?” bertanya Morman.

“Orang itu menghilang di medan” jawab sersan itu.

“Aku cari orang itu disini. Bukankah di arena ini Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop terluka. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah berada di seberang. Aku berharap bahwa orang itu berani menghadapi aku di medan ini, “Letnan Morman yang marah itu berteriak.

Tetapi suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk pertempuran.

Sementara itu sersan itu pun berkata, “Aku sudah membuat hubungan dengan Pangeran Yudakusuma”

“Apa perintahnya?” bertanya Letnan itu.

“Keadaan menjadi gawat. Pangeran minta pertimbangan Letnan. Agaknya tidak ada gunanya pertempuran dilanjutkan” jawab sersan itu.

Letnan itu mengerutkan keningnya. Ketika ia melayangkan pandangannya ke medan, maka nampak kedua belah pihak menjadi sangat letih. Sementara matahari telah condong ke Barat Seperti juga pasukan kedua belah pihak yang sedang bertempur, matahari itu pun dengan letih pula bergantung di langit. Semakin lama semakin rendah.

Namun sebenarnyalah pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat yang menurunkan Senapati-senapati terpentingnya, di antaranya beberapa orang bangsawan Surakarta, telah berusaha untuk menghadapkan kekuatannya sebagian besar kepada kumpeni, meskipun mereka pun harus bertahan terhadap pasukan Surakarta.

Sementara itu ketika seorang Pangeran yang bertempur di medan dengan sebatang tombak pendek mendekati Pangeran Yudakusuma, maka terdengar Pangeran Yudakusuma mengge-ram, “Marilah adimas. Kita akan menentukan, siapakah Senapati terbaik di antara kita”

Tetapi jawaban Pangeran di pihak Pangeran Mangkubumi itu mengejutkan sekali. Katanya, “Tentu kakangmas Yudakusuma. Tidak ada yang dapat mengimbangi keperwiraan kakangmas Pangeran. Namun sayang, bahwa keperwiraan itu ternyata berada di pihak yang salah”

“Aku bukan kanak-kanak yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk” jawab Pangeran Yudakusuma, “di peperangan kita akan memperbandingkan tajamnya ujung senjata kita”

“Aku sama sekali tidak akan berani melawan kakangmas” jawab Pangeran yang berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi itu, “karena itu, aku akan mencari lawan yang sebenarnya lawan. Kumpeni. Biarlah para pengawal menahan kemarahan kakangmas”

Pangeran Yudakusuma menggeram Tetapi Pangeran itu meninggalkannya, seolah-olah tidak menghiraukannya sama sekali. Tetapi ketika ia berusaha memburunya, maka ia harus melawan orang-orang yang bagaikan mengepungnya. Para pengikut Pangeran Mangkubumi itu tahu benar, bahwa Pangeran Yudakusuma, Senapati Agung dari Surakarta itu harus di hadapi dalam sebuah kelompok.

Tetapi yang terjadi itu telah terulang kembali, Seorang Pangeran yang lain pun memperlakukannya seperti Pangeran yang terdahulu. Bahkan Pangeran yang kemudian itu berkata, “Jika kakangmas ingin melihat rakyat Surakarta menjadi bagaikan tebangan ilalang, maka kakangmas akan dapat melakukannya. Mungkin kakangmas Pangeran Mangkubumi akan dapat menahan kemarahan kakangmas Yudakusuma. Tetapi kakangmas Pangeran Mangkubumi lebih tertarik membunuh para perwira kumpeni. Dan itu sudah dilakukannya”

Jantung Pangeran Yudakusuma menjadi berdebaran. Keadaan pertempuran itu sama sekali tidak menguntungkan pasukannya dan pasukan kumpeni, apalagi sepeninggal Mayor Bilman seperti yang telah dilaporkannya kepadanya.

Sikap para Pangeran dan Senapati dalam pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun telah menyakitkan hatinya. Tetapi sementara itu, ia pun sempat melibat apa yang sebenarnya dihadapinya. Jika ia membunuh sebanyak-banyaknya, maka yang dibunuhnya itu adalah rakyat Surakarta sendiri. Sementara Pangeran Mangkubumi telah memilih lawan. Bukan orang Surakarta.

Yang terjadi itu ternyata telah membuat isi dadanya bergejolak Karena itu, ia hampir tidak sabar menunggu pendapat Letnan Morman yang untuk sementara harus memegang tanggung jawab, karena Mayor Bilman terbunuh dan kapten Kenop telah terluka.

Dalam pada itu, pertempuran pun masih berlangsung dengan sengitnya. Panas matahari di langit seolah-olah telah menambah kemarahan di setiap hati, sehingga karena itu, maka pedang dan tombak pun telah berdentang semakin keras.

Tetapi hati Pangeran Yudakusuma telah terguncang oleh sikap para Senapati pasukan lawan. Nampaknya memang sudah diatur, bahwa ia harus berhadapan dengan sekelompok pengikut Pangeran Mangkubumi. Tentu sekelompok orang yang memiliki kemampuan untuk melawannya, namun mereka bukan orang-orang yang menentukan. Sementara itu para Senapati telah berusaha untuk berhadapan langsung dengan para perwira kumpeni.

Pangeran Yudakusuma itu pun telah mendengar laporan tentang perwira-perwira yang terluka.

Dalam pada itu, dalam kegelisahannya, seorang penghubung telah datang kepadanya, untuk melaporkan, bahwa Letnan Morman sedang berhubungan dengan kapten Kenop yang terluka.

“Aku memerlukan pendapatnya secepatnya” berkata Pangeran Yudakusuma.

Sementara itu Letnan Morman memang telah menghadap kapten Kenop untuk melaporkan keadaan medan dalam keseluruhan. Ia pun telah melaporkan bahwa Rapis telah terluka oleh orang yang disebut berbaju warna ungu gelap dan lengan bajunya hanya sepanjang siku.

“Aku mencarinya di medan yang kapten sebutkan” berkata Morman, “Tetapi tiba-tiba ia sudah melukai Letnan Rapis di seberang sungai itu”

“Orang itu memang Iblis” geram kapten Kenop.

“Bagaimana pertimbangan kapten?” bertanya Morman.

Kapten Kenop menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku sependapat dengan Letnan. Pasukan kita memang harus ditarik sebelum keadaan menjadi semakin parah.

Sejenak kemudian Letnan Morman sendiri telah menemui Pangeran Yudakusuma. Keduanya pun. kemudian sepakat untuk menarik pasukan Surakarta yang telah menjadi jauh susut. Meskipun lawan pun menjadi parah pula.

Sebentar kemudian telah terdengar suara terompet. Dua orang kumpeni telah meniupkan aba-aba bagi pasukannya. Mereka tidak lagi akan bertahan terlalu lama dalam pertempuran yang menggila itu.

Perintah itu cukup tegas. Sejenak kemudian setiap orang di dalam pasukan Surakarta itu pun telah membenahi diri. Beberapa orang masih berusaha untuk membawa kawan-kawan mereka yang terluka dengan perlindungan kawan-kawannya yang lain.

Sementara itu, ternyata dari pihak pasukan Pangeran Mangkubumi pun telah terdengar isyarat pula. Tiga buah panah sendaren naik ke udara. Pertanda bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi pun berusaha untuk menghentikan pertempuran sebelum waktunya.

Sebenarnyalah, pasukan Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak berusaha mengejar pasukan lawan yang bergeser, surut. Karena kemampuan yang mapan, maka kumpeni dan pasukan Surakarta itu tidak terpecah dan berlari tercerai berai. Mereka mundur dengan teratur meskipun agak tergesa-gesa, sehingga ada saja di antara mereka yang terluka tertinggal, dan senjata yang tidak terbawa. Bahkan beberapa meriam kecil telah mereka tinggalkan di pinggir sungai yang berlereng agak terjal itu.

Pangeran Mangkubumi memang memerintahkan agar pasukannya tetap tinggal. Menilik kekuatan yang tidak terpaut terlalu banyak maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak akan berhasil menghancurkan kumpeni dan pasukan Surakarta yang mengundurkan diri. Namun dalam benturan itu ternyata bahwa korban yang terbesar justru adalah kumpeni.

Karena itu, maka pasukan Mangkubumi telah melepaskan lawannya menarik diri kembali ke Surakarta dalam keadaan yang parah. di antara mereka terdapat tubuh Mayor Bilman yang terbunuh. Kapten Kenop dan Letnan Rapis yang terluka berat. Beberapa orang bintara dan prajurit yang sempat mereka ambil dari antara tubuh yang terkapar di arena.

Namun korban di pihak Pangeran Mangkubumi pun tidak sedikit. Beberapa Senapati telah terluka. Sementara itu di antara pasukan berkuda, Juwiring dan Buntal pun telah terluka pula.

Meskipun demikian, para pemimpin di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun mengucap sYukur bahwa mereka berhasil menahan kekuatan kumpeni dan pasukan Surakarta. Tanpa perlindungan dari Yang Maha Kuasa, dengan lantaran Raden Ayu Galihwarit yang sempat menyampaikan berita rencana serangan kumpeni itu lewat Rara Warih, maka pasukan Mangkubumi tentu akan mengalami keadaan yang sangat pahit. Mereka tidak akan sempat menyusun rencana jebakan. Bahkan merekalah yang akan terjebak di dalam kepungan tanpa sempat memberi tahu pasukan yang berada di Sukawati.

Jika terjadi demikian, maka kekuatan pokok pasukan Pangeran Mangkubumi benar-benar akan patah, karena pasukan Surakarta itu benar-benar dihimpun untuk maksud menghancurkan sampai tuntas pasukan Pangeran Mangkubumi.

Dengan persiapan yang tergesa-gesa, namun pasukan Pangeran Mangkubumi berhasil di selamatkan, meskipun korban memang harus jatuh. Tetapi korban itu tidak mematahkan kekuatan pokok Pangeran Mangkubumi.

Dalam pada itu, pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri telah meninggalkan medan dengan lesu. Ketika mereka melalui bulak panjang, tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat di jalur jalan sempit yang sejajar dengan jalan itu, seorang penunggang kuda dengan baju berwarna ungu gelap dan dengan lengan baju sampai ke siku.

“Anak iblis” geram Letnan Morman yang melihatnya, “Orang itulah yang telah melukai kapten Kenop dan membunuh Mayor Bilman”

“Apakah kami harus menangkapnya Letnan?” bertanya seorang sersan pengawal.

Letnan Morman ragu-ragu. Sementara itu seorang Senapati Surakarta berdesis, “Tidak ada gunanya. Kau tidak akan dapat mengejarnya”

“Kita akan menembaknya” geram Letnan Morman, yang kemudian memerintahkan beberapa orang prajuritnya siap dengan senapan mereka.

“Tidak ada gunanya” sekali lagi Senapati Surakarta itu seolah-olah bergumam bagi diri sendiri”

Letnan Morman mengerutkan keningnya. Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Katanya, “Orang itu berada dalam jarak jangkau tembakan senapan”

Senapati yang bergumam itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Sejenak kemudian, beberapa orang kumpeni telah siap dengan senapan mereka. Letnan Morman memerintahkan mereka berjajar di pinggir jalan. Orang berbaju kutung itu berkuda perlahan-lahan, sebagaimana pasukan Surakarta yang lesu itu, berjarak kotak-kotak sawah yang mengantarai dua jalur jalan yang sejajar.

Tiba-tiba saja Letnan Morman itu pun memekikkan aba-aba. Sesaat kemudian, beberapa pucuk senapan telah meledak bersama-sama.

Letnan Morman melihat kuda orang berbaju kutung itu bergeser dan melonjak. Tetapi sesaat kemudian orang berbaju kutung itu sudah menguasai kudanya kembali.

Pangeran Yudakusuma yang berada di paling depan mendengar di belakang, ledakan tembakan itu. Ia hanya sekedar berpaling. Tetapi ia tidak menghiraukannya lebih lanjut. Seperti Senapati-senapati Surakarta, ia tahu bahwa tembakan itu tidak akan ada gunanya sama sekali. Bahkan Pangeran Yudakusuma pun menjadi berdebar-debar melihat orang berbaju kutung itu. Ia pun mendengar bahwa ada orang berbaju kutung di medan. Beberapa orang perwira kumpeni telah terbunuh. Tetapi orang berbaju kutung itu tidak pernah dapat dikalahkan.

Dan sekarang ia melibat orang berbaju kutung itu.

“Meskipun semua senapan akan meledak, tetapi orang itu tidak akan dapat dikenaInya” berkata Pangeran Yudakusuma kemudian, “kecuali jaraknya tidak cukup dekat, kumpeni yang lelah itu tidak akan mampu mengangkat laras senapannya dan membidik dengan tepat”

Namun sebenarnyalah di dalam hati Pangeran Yudakusuma berkata, “Orang itu adalah Pangeran Mangkubumi sendiri. Ternyata Pangeran Mangkubumi telah benar-benar marah dengan gerakan pasukan ini. Kecuali ia sendiri langsung menyusup di medan dengan pakaian yang aneh itu, di tangannya telah tergenggam tombak Kangjeng Kiai Pleret itu sendiri”

Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-dalam. Semen-tara itu Letnan Morman mengumpat dengan kasarnya. Tidak sebutir peluru pun yang nampaknya menyentuh orang berbaju kutung itu.

“Kami akan mengejarnya” minta seorang sersan dari pasukan berkuda, “Kami seberangi sawah yang sempit ini. Kami akan menembaknya dengan pistol dari jarak yang lebih pendek”

Seorang Senapati Surakarta yang mendengarnya tersenyum. Katanya, “Jangan bermimpi melawan orang itu. Yang dapat membunuhnya bukan senjata-senjata semacam itu”

“Apa?” bertanya Morman.

“Seperti Pangeran Ranakusuma, diperlukan sepucuk pusaka yang mampu mengatasi kekebalan kulitnya” jawab Senapati.

“Omong kosong” geram Morman, “Kalau aku mendekatinya dengan senjata api di tangan, ia tentu melarikan diri. Orang pribumi memang mempunyai kepercayaan yang aneh-aneh”

Tetapi Senapati itu menyahut, “Kau lihat. Peluru-pelurumu tidak mengenainya”

“Jarak ini memang terlalu jauh untuk dapat membidik dengan tepat” jawab Morman.

“Tetapi jika kau yang berdiri di jalan itu, maka peluru-peluru itu akan menembus kulitmu” berkata Senapati itu.

“Aku tidak percaya” jawab Morman marah.

“Terserah kepadamu. Jika kau ingin mengejarnya, ajak sepuluh orang prajurit kumpeni untuk melakukannya. Aku memang percaya bahwa orang berbaju kutung itu akan melarikan diri. Tetapi tembakan-tembakanmu tidak akan mengenainya sama sekali” berkata Senapati itu pula.

Morman menggeram. Tetapi ia tidak memerintahkan kumpeni untuk mengejarnya. Bukan karena ia takut bahwa orang berbaju kutung itu tidak akan tembus peluru. Tetapi selama kumpeni itu menyeberangi sawah beberapa kotak dan bergumul dengan lumpur, orang itu tentu sudah sempat melarikan kudanya jauh-jauh.

Karena itu maka Morman tidak menghiraukannya lagi. Demikian orang-orang lain dalam pasukan itu.

Akhirnya orang berbaju kutung itu tidak mengikutinya untuk selanjutnya. Ketika orang itu sampai ke sebuah tikungan, maka ia pun berbelok menjauhi iring-iringan pasukan kumpeni. Selanjutnya orang itu menghilang di dalam sebuah padukuhan kecil dihadapannya.

Para Senapati prajurit Surakarta menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah mereka telah terlepas dari pengawasan seseorang yang sangat mendebarkan jantungnya. Pangeran Mangkubumi sendiri.

Sebenarnyalah, bahwa Pangeran Mangkubumi telah memerintahkan kepada pasukannya untuk tidak mundur lagi ke Sukawati atau ke Gebang. Sebagian saja pasukannya agar pergi ke Sukawati. Namun yang lain diperintahkannya pergi ke Gunung Garigal. Sebuah bukit kecil yang menurut pengamatan Pangeran Mangkubumi memiliki kemungkinan pertahanan yang lebih baik dari Gebang. Ternyata bahwa kumpeni dan pasukan Surakarta akan dapat menyerangnya dengan tiba-tiba. Sementara di bukit Garigal, mereka akan dapat mengawasi keadaan lebih baik dari tempat yang agak tinggi dan untuk mencapai bukit itu diperlukan perjalanan yang agak sulit.

Pada saat-saat Pangeran Mangkubumi mengawasi langsung pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta yang menarik diri, maka pasukannya pun telah bersiap-siap. Karena Pangeran Mangkubumi tidak memberikan tanda apa-apa, maka pasukannya berpendapat, bahwa pasukan lawan bukan hanya sekedar membuat gelar menarik diri untuk datang kembali dengan pukulan yang lebih berat karena mereka sempat mengatur diri. Tetapi pasukan lawan itu benar-benar telah kembali ke Surakarta.

Karena itu, maka pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun sempat membenahi diri. Mengurusi mereka yang gugur di peperangan. Bukan saja dari pasukannya sendiri, tetapi juga para prajurit dari Surakarta dan kumpeni. Mereka sempat mengenali beberapa orang prajurit Surakarta yang terpaksa saling membunuh dengan orang-orang Surakarta sendiri.

Sementara itu, beberapa orang telah mendahului meninggal-kan medan sambil membawa mereka yang terluka ke Sukawati. Beberapa orang perempuan dan anak-anak pun ikut pula ke Sukawati sebelum mereka dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru.

Ketika Arum mengetahui bahwa kedua kakak angkatnya telah terluka, maka ia pun menjadi gelisah. Dengan tergesa-gesa ia mendapatkan Juwiring dan Buntal, bersama Rara Warih.

Tetapi keduanya telah mendapat pengobatan untuk sementara, sehingga darah mereka sudah tidak lagi mengalir dari luka.

“Kau baru saja sembuh kakangmas” berkata Warih kepada Juwiring, “sekarang kau terluka lagi”

Juwiring tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak apa-apa Warih. Sebentar lagi lukaku ini akan sembuh”

“Bagaimana dengan kakang Buntal” bertanya Arum pula.

Ternyata keadaan Buntal masih lebih baik. Jawabnya, “Lukaku lebih ringan dari luka kakang Juwiring. Orang berbaju kutungan berwarna wulung itu telah menolong kami”

“Pamanda Pangeran Mangkubumi” desis Juwiring.

“Aku sudah menduga, tetapi aku tidak sempat memperhati-kannya lebih lama karena keadaan medan” jawab Buntal.

Dalam pada itu, maka Buntal dan Juwiring pun termasuk diantara mereka yang harus berada di Sukawati untuk beberapa saat. Arum dan Rara Warih akan mengikutinya bersama beberapa orang yang lain.

Ketika malam turun, beberapa puluh orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi masih sibuk untuk membenahi medan. Sebagian dari mereka telah meninggalkan medan untuk mengatur tempat yang baru bagi mereka. Ternyata dari pertempuran itu pasukan Mangkubumi telah mendapat beberapa pucuk senjata. Bahkan meriam-meriam kecil yang akan dapat mereka tempatkan di lereng bukit Garigal, meskipun mereka hanya mendapat beberapa butir peluru. Namun para pengikut Pangeran Mangkubumi itu akan dapat berusaha mendapatkan peluru lebih banyak lagi, dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan, karena diantara para pelayan dan pengikut kumpeni di tempatkan beberapa orang pengikut setia Pangeran Mangkubumi.

Hampir semalam suntuk kumpeni dan prajurit Surakarta menempuh perjalanan kembali ke Surakarta. Karena keadaan pasukan itu, maka setiap kali pasukan itu berhenti. Orang-orang yang luka parah memerlukan perawatan khusus, sementara yang letih pun menjatuhkan dirinya di tepi jalan apabila pasukan itu beristirahat. Bahkan diantara mereka ada yang berbaring saja di rerumputan.

Dalam pada itu. para pemimpin pasukan Surakarta dan kumpeni itu yakin, bahwa seorang pengkhianat telah memberi-tahukan kepada petugas-petugas sandi Pangeran Mangkubumi bahwa pasukan kumpeni yang kuat akan menyerang Gebang.

“Tidak terduga sama sekali” berkata seorang Senapati, “meskipun rencana ini disusun dalam lingkungan yang sangat terbatas, tetapi telinga petugas sandi Pangeran Mangkubumi sempat juga mendengarnya.

“Tentu seorang pengkhianat” geram seorang perwira kumpeni.

Senapati itu tidak membantah, iapun sependapat, tentu ada seorang pengkhianat. Tetapi siapa?

Teka-teki itu memang harus dijawab. Ketika kumpeni dan prajurit Surakarta gagal mengepung dan menghancurkan pasukan Raden Mas Said, mereka pun sependapat. Ada seorang pengkhianat. Tetapi pengkhianat diantara mereka masih belum dapat diketemukan. Ketika kemudian Surakarta merencanakan menyerang Gebang dengan rencana yang sangat dirahasiakan, bahkan sampai saat pasukan itu berangkat tidak banyak yang mengetahuinya selain para pemimpin tertinggi, namun rencana itu dapat juga diketahui oleh Pangeran Mangkubumi.

Dengan demikian, maka setiap pemimpin Surakarta dan kumpeni telah sependapat, bahwa persoalan pengkhianatan itulah yang harus diselesaikan lebih dahulu. Baru kemudian mereka akan dapat merencanakan tindakan-tindakan lebih lanjut.

Karena itu, ketika pasukan Surakarta yang marah memasuki kota menjelang dini hari, maka para pemimpin Surakarta menyambutnya dengan penuh keprihatinan.

“Hampir tidak mungkin” berkata seorang Tumenggung.

“Siapa tahu, Pangeran Mangkubumi mempunyai aji lelimunan. Ia dapat melenyapkan diri dan hadir dalam setiap pembicaraan” sahut yang lain.

“Aku percaya kalau Pangeran Mangkubumi memiliki sekumpulan ilmu dan aji-aji. Tetapi aku kira tidak aji lelimunan” sahut Tumenggung yang pertama. “Menurut pendapatku, tentu ada pengkhianatan diantara para pemimpin tertinggi. Aku sendiri tidak tahu, bahwa sepasukan yang besar telah menuju ke Gebang. Baru kemudian aku mengetahuinya setelah pasukan itu berangkat. Tentu beberapa orang pun seperti halnya dengan aku. Jika ada pengkhianatan, apakah mungkin penghubungnya sempat menyampaikan rencana itu dan memberikan kemung-kinan pasukan Pangeran Mangkubumi menyiapkan jebakan yang demikian sempurna, meskipun masih juga ada kelemahan-kelemahannya, jika pengkhianatnya bukan justru para pemimpin?”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga adalah satu kenyataan bahwa rencana kumpeni itu dapat dicium oleh hidung petugas sandi Pangeran Mangkubumi.

Pada hari berikutnya, rasa-rasanya para pemimpin Surakarta menjadi berkabung. Mereka yang terluka parah, ternyata ada yang tidak sempat ditolong lagi. Namun mereka masih beruntung bahwa mereka sempat melihat Surakarta lagi mekipun dalam gelapnya pagi hari.

Karena itu, maka telah terjadi kesibukan yang menarik perhatian rakyat Surakarta. Bahkan akhirnya para prajurit tidak lagi dapat menyembunyikan kegagalan mereka, sehingga berita itu pun tersebar secepat tumbuhnya matahari di langit.

Orang-orang yang pergi kepasar pun segera mendengar, bahwa pasukan Surakarta telah mengalami kegagalan. Bahkan mengalami kerugian yang parah. Mayor Bilman telah terbunuh di peperangan.

Dalam pada itu, di istana Sinduratan, Raden Ayu Galihwarit masih selalu dicengkam oleh kegelisahan. Kepergian Rara Warih ke Gebang membuatnya selalu gelisah. Apakah gadisnya itu sampai ketujuan.

Karena itu, sejak Rara Warih meninggalkan Sinduratan diantar oleh seorang pengawal, Raden Ayu Galihwarit menjadi selalu gelisah. Rasa-rasanya ia tidak dapat duduk tenang dan tidak dapat tidur nyenyak ketika malam tiba.

Bahkan bukan saja karena Rara Warih yang belum pernah mengemban tugas-tugas seperti yang dilakukannya itu, tetapi Raden Ayu Galihwarit juga memikirkan keadaan pasukan Pangeran Mangkubumi. Jika Warih terlambat atau tersesat dan tidak berhasil mencapai Gebang, maka keadaan pasukan Pangeran Mangkubumi tentu akan parah. Meskipun seandainya Rara Warih tersesat, namun kemudian ia berhasil pulang kembali ke istana Sinduratan dengan selamat, namun kelambatan pemberitahuan pada pasukan Pangeran Mangkubumi itu tidak akan dapat diperbaikinya lagi. Jika malam itu pasukan Pangeran Mangkubumi dihancurkan, maka pasukan itu akan lumpuh. Jika Pangeran Mangkubumi sendiri berhasil lolos, maka untuk menyusun kekuatan kembali diperlukan waktu dan barangkali juga menyusun kembali kepercayaan orang-orang Surakarta atas kemampuannya.

Menjelang pagi, jantung Raden Ayu Galihwarit bagaikan berdentang semakin cepat. Raden Ayu sadar, bahwa saat-saat menjelang fajar itulah Bilman dan pasukannya akan mengepung dan menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi yang berada di Gebang.

Karena kegelisahannya itulah, maka Raden Ayu Galihwarit yang hampir tidak tidur semalam suntuk itu pun berjalan mondar-mandir di serambi biliknya. Semakin terang langit di sebelah Timur, rasa-rasanya jantungnya menjadi semakin cepat berdenyut. Jika terjadi perang besar, maka perang itu tentu sudah pecah.

Seperti kemarin, sehari itu pun Raden Ayu Galihwarit dicengkam oleh kegelisahan yang semakin dalam. Tidak ada seorang pun yang dapat membantunya memikul beban di hatinya. Ia tidak sampai hati membuat ayahandanya menjadi gelisah pula seperti dirinya. Dalam keadaan yang pelik, kadang-kadang ayahandanya justru tidak dapat berpikir lagi jika penyakitnya menjadi kambuh.

Hari itu adalah hari yang menyiksa bagi Raden Ayu Galihwarit. Rasa-rasanya panas matahari telah membakar seisi istana. Dimana-mana terasa panas, sementara jantungnya menjadi semakin berdebaran.

“Apakah Warih memang tidak sempat pulang” katanya di dalam hati, “atau justru karena peristiwa ini, ia benar-benar meninggalkan aku sendiri sebagaimana dimintanya setiap kali” Namun kadang-kadang hatinya meronta, “Akulah yang bodoh, yang memberinya satu beban yang terlalu berat baginya. Jika Warih gagal, dan mengalami kesulitan bagi dirinya sendiri serta kehancuran bagi pasukan Pangeran Mangkubumi, maka tanggung jawabnya adalah pada pundakku. Kenapa aku tidak berangkat sendiri”

Tetapi sekilas terbayang orang-orang yang mendapat tugas mengawasi istana Sinduratan itu. Jika Raden Ayu sendiri yang keluar meskipun dari pintu butulan, tentu akan lebih cepat dikenal oleh para pengawas yang di tempatkan di sekitar istana itu.

“Mereka sudah mulai curiga kepadaku” berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit masih tetap berusaha menyembunyikan kegelisahannya kepada ayahandanya. Apalagi ayahandanya masih tetap murung di dalam biliknya karena kepalanya yang terasa sangat pening di hari-hari terakhir. Sejak peristiwa kematian dua orang perwira kumpeni di istananya, Pangeran Sindurata memang sering merenung. Tetapi Raden Ayu Galihwarit yang sibuk dengan persoalannya sendiri tidak sempat untuk mengamati keadaan ayahandanya, bahkan ia justru berusaha menyembunyikan persoalannya sendiri agar tidak menambah beban hati ayahandanya

Malam kedua terasa siksaan itu menjadi semakin berat. Semalam suntuk Raden Ayu Galihwarit tidak tidur sama sekali. Bahkan rasa-rasanya udara di dalam biliknya terlalu panas seperti di dalam tungku. Karena itu, seperti malam sebelumnya. Raden Ayu itu berjalan mondar-mandir di serambi. Bahkan kadang-kadang ia duduk dengan gelisah.

Ketika pengawal istana itu mengelilingi halaman dan kebun, maka setelah membungkuk hormat, pengawal itu bertanya, “Kenapa Raden Ayu berada diluar bilik di malam begini?”

“Udara panas sekali” jawab Raden Ayu singkat.

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mohon diri untuk melanjutkan tugasnya. Meskipun pengawal Itu membungkuk hormat namun di dalam hati ia berkata, “Perempuan itu kesepian. Agaknya tidak ada perwira yang sempat menjemputnya ke sebuah bujana dua malam berturut-turut ini”

Bahkan pengawal itu sebagaimana juga para pelayan di istana itu menganggap bahwa puteri itu telah menyingkirkan anak gadisnya. Mungkin untuk mengamankan anak gadisnya dari kebuasan orang-orang asing. Tetapi mungkin juga karena Rara Warih yang meningkat dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik itu akan dapat menyaingi kecantikannya di mata orang-orang pendatang dari seberang yang disebut kumpeni itu.

Karena itulah, maka sebenarnyalah para pelayan itu sama sekali tidak menaruh hormat kepada Raden Ayu itu di dalam hati, meskipun yang terungkap dalam sikap dan tingkah laku mereka setiap hari agak berbeda.

Demikianlah, kegelisahan itu mencengkam Raden Ayu tanpa dapat dihindarinya. Karena itulah, ketika ia mendengar seorang pelayannya di dapur yang baru saja kembali dari pasar di pagi harinya, berbicara tentang pasukan Surakarta, dengan serta merta maka pelayan itu telah dipanggilnya.

“Apa yang kau dengar di pasar pagi ini?” bertanya Raden Ayu Galihwarit

“Ampun Raden Ayu” jawab pelayannya itu, “orang-orang di pasar berbicara tentang kumpeni dan pasukan Surakarta yang kembali dari medan”

“Medan mana?” bertanya Raden Ayu.

“Hamba tidak tabu Raden Ayu” jawab pelayan itu, “tetapi mereka menyebut-nyebut pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Coba katakan, apa yang telah kau dengar sebagaimana kau dengar. Jangan ditambah dan jangan dikurangi. Aku ingin mendengar apa yang telah terjadi”

Pelayan itu beringsut setapak. Kemudian katanya, “Raden Ayu, orang-orang di pasar itu mengatakan, bahwa pagi ini pasukan Surakarta yang terdiri dari kumpeni dan prajurit-prajurit Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman telah memasuki kota dalam keadaan yang parah”

“Parah bagaimana?” bertanya Raden Ayu itu tidak sabar.

“Menurut ceritera yang hamba dengar, pasukan itu mengalami kegagalan, karena perlawanan pasukan Pangeran Mangkubumi. Seorang dapat mengatakan seolah-olah melihatnya sendiri, bahwa pasukan itu telah terjebak”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi itu berhasil mengatasi kedatangan kumpeni dan para prajurit Surakarta.

Meskipun Raden Ayu Galihwarit tidak mengabaikan kemungkinan, bahwa berita tentang sergapan yang tiba-tiba itu didengar oleh Pangeran Mangkubumi dari petugas-petugas sandinya yang lain, namun bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi tidak justru terjebak itu, membuatnya sedikit berlega hati.

“Raden Ayu” pelayannya itu melanjutkan, “memang kasihan sekali. Ketika hamba berangkat ke pasar, hamba memang melihat kesibukan para prajurit. Kemudian hamba mendengar, bahwa banyak kumpeni dan prajurit yang gugur, dan terluka parah”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian terkejut ketika ia mendengar pelayannya itu berkata, “Diantara mereka yang gugur terdapat Mayor Bilman, dan yang terluka parah diantaranya adalah kapten Kenop dan Letnan Rapis”

“Mayor Bilman gugur?” Raden Ayu mengulang.

Pelayannya mengerutkan keningnya. Pelayan itu tahu bahwa Mayor Bilman adalah salah seorang dari kawan Raden Ayu yang dekat. Tetapi ia sudah terlanjur menyebutkannya. Karena itu, maka jawabnya, “Itu hanya yang hamba dengar Raden Ayu. Tetapi hamba tidak tahu. apa yang sebenarnya telah terjadi”

Raden Ayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih. Pergilah ke dapur”

Pelayan itu pun kemudian meninggalkan Raden Ayu itu seorang diri. Kegelisahannya tiba-tiba saja telah justru meningkat. Ia kemudian berpikir tentang Rara Warih. Apakah yang kemudian terjadi atasnya.

Namun akhirnya Raden Ayu Galihwarit itu tidak dapat ingkar. Kematian Mayor Bilman memang berkesan sekali. Laki-laki asing itu mempunyai kedudukan yang khusus di dalam hatinya. Meskipun ia tetap menganggap orang asing, serta hubungannya di saat-saat terakhir adalah justru karena usahanya memperbaiki kesalahannya dan menebus segala dosanya dengan caranya, yang justru melahirkan dosa-dosa baru, namun Bilman adalah lain dari para perwira kumpeni yang lain.

Karena itu, berita kematiannya telah membekas pula di hatinya. Sejak itu, maka ia tidak akan dapat bertemu lagi dengan Mayor yang kadang-kadang lembut, tetapi kadang-kadang kasar sesuai dengan sifatnya sebagai seorang prajurit yang telah menjelajahi benua dan samodra, namun yang tidak dapat berbuat banyak menghadapi Pangeran Mangkubumi dari Surakarta,

Baru kemudian, setelah Raden Ayu Galihwarit sempat menilai perasaannya, maka ia mulai menyisihkan kematian Mayor Bilman dari hatinya. Pada saat-saat ia sudah bertekad untuk menunjukkan pengabdiannya kepada keluarganya yang telah dinodainya, kepada Surakarta dan kepada bangsanya, maka sentuhan perasaan terhadap Mayor Bilman itu harus disingkir-kan. Jika ia benar-benar merasa hadirnya sesuatu ikatan, maka ia justru telah menodai lagi kesetiaannya kepada Pangeran Ranakusuma. Bukan saja dengan tingkah laku lahiriah karena ia menginginkan sesuatu yang tidak pernah dipunyainya sebelumnya, tetapi justru makna dari kesetiaannya itu sendiri.

“Jika aku berhubungan dengan Bilman, dengan siapa-pun juga diantara para perwira kumpeni, justru karena aku ingin menghancurkan mereka’” perasaan Raden Ayu itu pun menghentak di dalam dadanya untuk mengatasi getar hatinya karena kematian Mayor Bilman.

Dengan demikian, maka Raden Ayu itu pun menjadi semakin tenang. Kematian Mayor Bilman adalah pertanda bahwa Pangeran Mangkubumi benar-benar berhasil mengatasi kehadiran pasukan kumpeni dan para prajurit Surakarta yang tiba-tiba.

Yang kemudian masih dipikirkannya adalah Rara Warih. Tetapi ia pun dapat berharap, bahwa Rara Warih telah benar-benar sampai ke daerah Gebang.

“Rasa-rasanya tidak ada orang lain yang mengetahui rahasia yang dipegang sangat rapat oleh kumpeni dan para perwira tinggi di Surakarta. Karena itu, tentu Rara Warih telah sampai dengan selamat ke padukuhan Gebang” Raden Ayu Galihwarit mencoba menenangkan hatinya sendiri.

Sementara itu, rakyat Surakarta di hari berikutnya benar-benar menyaksikan keparahan kumpeni dan prajurit Surakarta. Mayor Bilman dimakamkan dengan upacara kebesaran menurut tataran keprajuritan. Namun ternyata disamping Mayor Bilman terdapat beberapa korban yang lain. Mereka yang semula terluka parah, namun ternyata nyawa mereka tidak sempat diselamat-kan. Diantara mereka terdapat Letnan Rapis,

Sementara itu, dengan upacara keprajuritan pula, beberapa orang prajurit Surakarta yang terbunuh di peperangan pun dimakamkan pula. Nampaknya memang tidak terlalu banyak seperti juga korban dipihak kumpeni. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari mereka yang terbunuh di peperangan itu tidak sempat terbawa pada saat pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta mengundurkan diri.

Rasa-rasanya Surakarta memang berkabung. Rakyat Surakarta yang ingin melibat iring-iringan itu telah berdiri berjajar di pinggir jalan. Berbagai tanggapan telah hinggap di hati rakyat Surakarta. Sebagian dari mereka menyesali sikap Pangeran Mangkubumi. Tetapi yang lain menganggap bahwa korban itu adalah wajar sekali, justru karena perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk merebut kembali martabat Surakarta dihadapan orang-orang asing itu.

Dalam pada itu, diantara rakyat Surakarta yang menyaksikan pemakaman para prajurit termasuk kumpeni dengan upacaranya masing-masing, terdapat seorang petani yang berwajah murung. Tidak seorang pun yang menghiraukan kehadirannya diantara mereka, karena orang itu sama sekali tidak menarik perhatian. Dengan pakaian dan sikap kewajaran seorang petani ia berdiri termangu-mangu. Namun karena iring-iringan korban yang akan dimakamkan masih juga belum lewat, orang itu pun meninggalkan tempatnya, bergeser dibelakang jajaran rakyat yang berdiri di pinggir jalan.

Ketika seseorang berpaling, maka orang itu berkata di dalam hatinya, “Orang itu tentu tidak sempat menunggu lebih lama lagi, karena ia harus kembali ke rumahnya yang jauh”

Yang lain mengira bahwa orang itu tentu baru saja pergi ke pasar menjual hasil sawahnya.

Namun ternyata orang itu membawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco yang masih muda.

Sebenarnyalah orang itu pun beringsut semakin lama semakin jauh. Kemudian ia telah berbelok ke sebuah lorong kecil dan hilang dari antara orang-orang yang menunggu iring-iringan korban yang akan dimakamkan.

Sebagaimana semula, tidak ada orang yang menghiraukan petani yang membawa sebuah kurungan berisi seekor burung menco muda itu.

Dalam pada itu, petani yang membawa kurungan itu telah pergi ke istana Sinduratan. Sementara itu, orang-orang yang bertugas mengawasi istana itu nampaknya juga tertarik untuk menyaksikan pemakaman korban perang melawan pasukan Pangeran Mangkubumi itu. Sehingga karena itu, tidak seorang-pun yang memperhatikan petani itu kemudian memasuki istana. Bahkan seandainya orang yang mengawasi istana itu melihatnya, maka mereka tidak akan menghiraukan seseorang yang akan menawarkan seekor burung menco kepada Pangeran Sindurata.

Sebenarnyalah pada saat itu Pangeran Sindurata tidak berada di istananya. Sebagaimana para Pangeran yang lain maka ia telah datang dalam upacara pemakaman korban-korban yang jatuh di peperangan itu.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang masih saja digelisahkan oleh tugas yang diberikannya kepada Rara Warih, tiba-tiba saja terkejut ketika ia melihat seorang petani yang membawa sebuah kurungan dan seekor burung di dalamnya berdiri di pintu seketheng.

Dengan serta-merta maka Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian berkata, “Ayahanda tidak ada di rumah. Aku tidak mengerti apakah ayahanda masih memerlukan seekor burung”

Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia tidak beringsut dari tempatnya. Sehingga karena itu, maka Raden Ayu pun menjadi berdebar-debar.

Sekali lagi ia berkata, “Ayahanda tidak ada di rumah, Aku tidak mendapat pesan apapun tentang seekor burung”

Tetapi orang yang membawa seekor burung menco dalam kurungan itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga karena itu Raden Ayu Galihwarit pun menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia berteriak memanggil seorang pengawal yang kebetulan ada di belakang.

“Apakah Raden Ayu tidak mengenal aku lagi?” bertanya orang yang membawa kurungan dan memakai pakaian petani itu.

Raden Ayu Galihwarit mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia berlari menyongsongnya.

“Pangeran Mangkubumi” desis Raden Ayu Galihwarit.

“Ya” jawab petani itu, “aku datang khusus untuk menemui Raden Ayu”

“Marilah Pangeran. Silahkan duduk” Raden Ayu mempersilah-kan.

“Terima kasih. Jika aku duduk di serambi, maka para pelayan di istana ini akan menjadi heran, bahwa Raden Ayu telah menerima tamu seorang petani”

“Aku selalu menerima Juwiring, Buntal dan Arum di serambi ini” jawab Raden Ayu, “mereka datang sebagai penjual reramuan perawatan tubuh. Mangir dan lulur”

“Terima kasih. Waktuku juga tidak terlalu banyak. Aku membawa seekor burung menco. Aku kira pamanda Pangeran Sindurata akan senang sekali, karena burung menco ini benar-benar seekor burung akan sangat bagus” berkata Pangeran Mangkubumi.

“Terima kasih Pangeran. Aku akan menyampaikannya kepada ayahanda” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Tetapi ada sesuatu yang penting ingin aku sampaikan kepada Raden Ayu. Kami, sepasukan, ingin mengucapkan terima kasih atas pesan Raden Ayu yang dibawa Warih kepada kami” berkata Pangeran Mangkubumi selanjutnya.

“Ah” desis Raden Ayu Galihwarit, “aku hanya melakukan kewajibanku sebagai rakyat yang mulai menyadari keadaan diri”

“Sebenarnyalah apa yang telah Raden Ayu lakukan itu sangat menguntungkan pasukan kami. Jika Warih tidak datang tepat pada waktunya, maka akhir dari pertempuran itu akan sangat berlainan dengan yang ternyata kemudian terjadi. Mungkin kami akan kehilangan sebagian besar kekuatan kami” berkata Pangeran Mangkubumi kemudian.

“Hanya itulah yang dapat kami lakukan Pangeran” sahut Raden Ayu Galihwarit sambil menundukkan kepalanya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Jadi, Warih telah berada di Gebang?”

bersambung ke bagian 2

22 Tanggapan

  1. Alhamdulillah …., selesai sudah jilid terakhir. Menunggu wedaran berikutnya karya dari Alm. SH Mintardja.
    Kisah yang terasing kebetulan memang belum membacanya, jadi tetap setia menunggu up loadnya, kebetulan selama bulan puasa hanya bisa menikmati BdBK karena ada kesibukan.
    Oke dah…matur nuwun.

    • Matur nuwun Ki sanak..
      Kisah yg memberikan inspirasi dan semangat kepada anak2 kita utk terus berjuang demi kebesaran Bangsa kita….Indonesia …

      • Terima kasih kami sangat terhibur dg cerita yg mungkin ini memang terjadi sesuai dg sejarah perjuangan bangsa mengusir penjajahan bangsa belanda pada jaman kerajaan di Jawa ( Surakarta ).

  2. Maturnuwun….

  3. matur nuwun sanget kisanak…ditunggu wedaran selanjutnya…mantap tenan..

  4. terima kasih

  5. pelajaran sejarah dulu merupakan salah satu pelajaran yg tidak aku sukai, tapi sekarang beda ya…..? terima kasih……

  6. Semoga semangat patriot dan heroic tokoh2 dalam karya sang maestro ini bisa menggugah semangat persatuan bangsa terutama dlm kondisi politik saat ini….dimana terlalu banyak orang yang memanfaatkan situasi yang kurang kondusif hanya karena takut tdk makan dan kehilangan jabatan.
    Alfatihah untuk semua pahlawan bangsa dan mereka yang masih perduli terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

  7. aku tidak bisa membayangkan betapa montoknya Raden Ayu Galihwarit

  8. Yaowooh tamat donk. Berharap Pangeran Mangkubumi sampai di Singgasana Kasusuhan Pakubuwono tapi tiba2 cerita sudah selesai. Terimakasih yang sudah membawa cerita ini ke sini

  9. Luar biasa cara ki Mintardja mengungkapkan semangat patriotik bangsa kita dlm mempertahankan tanah air, demikian pula gambaran para pengkhianat bangsa yg rela menjual diri demi kemewahan, pangkat dan derajat.

  10. Luarbiasa alur ceritanya menarik menghibur

  11. Ternyata Bunga di Batu Karang itu bukanlah Arum, melainkan Raden Ayu Sontrang.
    Btw …. karena WFH saya jadi sempat baca cerita yang bagus ini di tahun 2020 ini, seperti kembali ke jaman muda dulu waktu masih punya banyak kesempatan.
    Terima kasih untuk admin yang telah membagikan gratis cerita ini.

  12. Gunung Garigal itu sebelah mana sekarang ini ?

  13. serial yg paling mengaduk aduk perasaan diantara karya2 SHM yg lain : Bunga di Batu Karang & Pelangi di langit Singasari

  14. Entah sudah yg keberpa kali… saya baca cerita ini di sini… nyaris hapal, tapi tetap saja tiap membacanya.. selalu merasakan sensasi petualangan Mbah MINTARDJA…

  15. Ini yang tokoh fiksi siapa saja? Galih warit, jumiring, Rana Kusuma itu fiksi atau bneran ada ya?

  16. kisah sejarah yang luar biasa dan menginpirasi…..bagi anak2bangsa

  17. Terima kasih kami sangat terhibur dg cerita yg mungkin ini memang terjadi sesuai dg sejarah perjuangan bangsa mengusir penjajahan bangsa belanda pada jaman kerajaan di Jawa ( Surakarta ).

Tinggalkan Balasan ke Jony Batalkan balasan