BdBK-15


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 15

kembali | lanjut

BdBK-15ARUM memandang Raden Juwiring sejenak Namun kecemasannya tumbuh lagi. Apalagi bahwa Raden Juwiring sudah mengetahui bahwa Buntal berada di Sukawati.

Karena itu sekali lagi ia berkata, “Raden. Jika Raden mengetahui bahwa kakang Buntal berada di Sukawati, apakah kedatangan Raden kali ini ada hubungannya dengan hal itu?”

“Kenapa kau sangat berprasangka Arum? Bukankah sudah aku katakan, aku hanya akan mencari keterangan tentang orang-orangku yang hilang. Tidak lebih”

Arum tidak menjawab. Meskipun ia tidak dapat mempercayainya begitu saja keterangan Juwiring. Tetapi Arum tidak bertanya apapun lagi. Diantaranya Juwiring sampai ke halaman. Kemudian dilepaskannya anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar.

Sepeninggal Juwiring, Arum duduk merenung di ruang dalam. Ia tidak mengerti, kenapa hal itu dapat terjadi. Ia mengenal Juwiring jauh berbeda dengan Juwiring yang baru saja datang.

“Agaknya keempat orang itu juga anak-anak bangsawan. Menilik ujudnya dan sikapnya, meskipun bangsawan yang telah agak jauh dari pokok keturunan Kangjeng Susuhunan” bertata Arum di dalam hatinya, lalu, “dan sekarang Raden Juwiring mencarinya. Bagaimana mungkin ia dapat berada di antara prajurit Surakarta”

Dalam pada itu. Raden Juwiring pun meninggalkan halaman padepokan Jati Aking. Ia tidak bergegas kembali kepada pasukannya. Perlahan-lahan kudanya berjalan di atas jalan berbatu-batu. Jalan yang pernah dilaluinya beberapa kali sehari, ketika ia masih berada di Jati Aking. Tetapi jalan itu kini rasa-rasanya memang asing baginya.

Namun Juwiring masih tetap menganggukkan kepalanya sambil tersenyum jika dijumpainya orang-orang Jati Sari yang sudah dikenalnya. Ia sama sekali tidak merubah sikapnya seperti ketika ia masih berada di padepokan.

Beberapa orang petani yang menjumpainya, menganggukkan kepalanya pula. Tetapi rasa-rasanya memang ada batas yang menyekat hubungannya dengan orang-orang yang sudah pernah dikenalnya dengan baik itu. Jika mula-mula para petani itu tertawa dengan wajah yang cerah, namun ketika mereka menyadari bahwa Juwiring memakai pakaian seorang prajurit Surakarta, maka sikap mereka pun jadi berbeda. Mereka kemudian membungkuk hormat seperti mereka menghormati para bangsawan yang lain.

Juwiring hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menyalahkan mereka. Rakyat Jati Sari tentu menganggap bahwa ia kini adalah seorang bangsawan sepenuhnya yang memimpin sepasukan prajurit ke Jati Sari dan padepokan Jati Aking.

Ketika ia sampai ke pasukannya yang menunggu, terasa betapa suasana yang lain telah membayangi Jati Sari. Meskipun ia tidak melihat apa yang terjadi di balik-balik dinding rumah, namun firasatnya menangkap, bahwa beberapa orang telah mengintip dengan dada yang berdebar-debar. Orang yang memiliki halaman yang luas itu pun agaknya menjadi ketakutan dan serba salah. Sepeninggal prajurit yang beristirahat di halamannya, ia harus bertanggung jawab terhadap tetangga-tetangganya, bahwa ia tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Bahkan orang itu hanya sekedar memberikan tempatnya karena ia tidak dapat menolak.

Ketika Juwiring kemudian berada di pasukannya, maka perwira yang diserahinya memimpin pasukannya untuk beberapa saat itu pun segera bertanya, “Apakah Raden sudah mempunyai jalan untuk mencari jawaban atas hilangnya empat orang prajurit sandi itu?”

Raden Juwiring menggelengkan kepalanya. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Ternyata orang-orang di padepokan Jati Aking tidak mengetahui apapun juga tentang orang-orang itu”

“Jadi, apakah yang harus kita kerjakan”

“Kita beristirahat sejenak. Kemudian kita akan mencari keterangan kepada orang-orang lain”

“Kita akan menyebar prajurit-prajurit ini agar setiap orang dapat ditanya tentang orang-orang yang hilang itu”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Tidak. Kita akan pergi sendiri. Tanpa mereka”

“Jadi?”

“Biarlah mereka di sini. Jika mereka berpencar dan memasuki rumah demi rumah, akibatnya akan sangat jauh bagi Jati Sari. Orang-orang Jati Sari dan padepokan Jati Aking akan ketakutan. Mereka tidak akan mempunyai ketenangan lagi, bukan saja hari ini. Tetapi untuk waktu yang panjang”

“Tetapi kita hanya ingin mendapatkan keterangan”

“Kita tentu mengetahui, bahwa prajurit-prajurit Surakarta akan dapat menirukan sikap kumpeni. Mereka sering melihat bagaimana kumpeni memaksa orang-orang yang diperiksanya untuk menjawab. Dan aku cemas, bahwa sebagian dari kita sudah kejangkitan penyakit serupa”

Perwira itu memandang Raden Juwiring dengan heran. Namun sebelum ia berbicara, Raden Juwiring sudah mendahului, “Lakukan perintahku. Akulah yang memimpin pasukan berkuda ini”

“Tetapi apakah gunanya mereka pergi bersama kita Raden?”

“O, banyak sekali. Jika kita bertemu dengan pasukan Kangmas Said, atau jika kita bertemu dengan perampok-perampok yang gila itu, kita harus bertempur”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, biarlah mereka beristirahat. Kita akan berjalan-jalan berdua saja”

Perwira itu menganggukkan kepalanya. Lalu diperintahkannya seluruh pasukan beristirahat, meskipun mereka masih harus tetap waspada.

“Tugas kita beristirahat di sini” berkata seorang prajurit muda, “Agaknya tidak ada pekerjaan apapun yang dapat kita lakukan selain duduk terkantuk-kantuk”

Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukankah kebetulan sekali bahwa kita tidak usah berbuat apa-apa? Bukan salah kita. Pimpinan kita kali ini adalah seorang yang sangat rajin sehingga apapun dilakukannya sendiri”

“Bukan karena ia terlalu rajin, tetapi ia sama sekali tidak percaya bahwa orang-orang semacam kau ini dapat melakukan tugasmu dengan baik. Bukankah kau dengar bahwa empat orang petugas sandi itu telah hilang? Dan kau bukannya orang yang lebih baik dari mereka”

Yang lain lagi tertawa pendek sambil berkata, “Bukankah Raden Juwiring pernah tinggal di padukuhan ini? Mungkin ia ingin mengunjungi gadis simpanannya”

Prajurit-prajurit itu tertawa sehingga beberapa orang yang duduk ditempat lain berpaling kepadanya. Tetapi mereka pun segera terdiam ketika seorang perwira datang kepada mereka dan bertanya, “Kenapa kau tertawa?”

“Tidak apa-apa. Kami sedang bergurau”

Perwira itu pun kemudian pergi meninggalkan prajurit-prajurit yang sedang bergurau. Tetapi agaknya ia mengerti, bahwa prajurit-prajurit itu sekedar melepaskan kejemuan mereka, karena mereka justru hanya harus duduk terkantuk-kantuk.

Dalam pada itu Raden Juwiring bersama seorang perwira bawahannya tengah berjalan-jalan di sepanjang lorong di pinggir padukuhan Jati Sari. Juwiring masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya apabila ia bertemu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya Tetapi ia selalu mendapat tanggapan yang serupa. Senyum yang rasa-rasanya beku tanpa gairah.

Tetapi Juwiring pun menyadari, bahwa ia telah menempuh jalan yang tidak diduga sama sekali oleh orang-orang Jati Aking.

“Jika mereka melihat Rudira dalam pakaian ini mereka tentu tidak akan terlampau heran” berkata Juwiring di dalam hatinya.

Namun tiba-tiba Juwiring terhenti ketika dilihatnya dua orang gadis yang berjalan menepi hampir melekat dinding. Mereka menjadi berdebar-debar karena justru Raden Juwiring berhenti dan memandanginya dengan tajamnya. Beberapa kali ia bertemu dengan gadis-gadis sebaya dengan Arum, dan beberapa kali ia menganggukkan kepalanya. Tetapi kedua gadis itu kini sangat menarik perhatiannya.

“Berhentilah sejenak” minta Raden Juwiring kepada kedua gadis itu.

Kedua gadis itu menjadi tersipu-sipu dan bahkan mereka saling berdesakan.

“He, apakah kalian lupa kepadaku?”

Termangu-mangu kedua gadis itu memandang sekilas dengan sudut matanya. Namun kemudian mereka pun menundukkan kepala dalam-dalam.

“Bukankah kalian mengenal aku” sekali lagi Juwiring mendesak.

Keduanya masih belum menjawab, sehingga Juwiring terpaksa melangkah semakin dekat dan berkata datar, “Lihatlah. Aku adalah Juwiring, yang pernah tinggal di padepokan Jati Aking bersama Arum dan Buntal”

Kedua gadis itu tiba-tiba saja tertawa tertahan-tahan.

“Tentu kau tidak lupa kepadaku” desak Juwiring.

“Tidak, tidak” terbata-bata terdengar salah seorang menjawab sambil mengerutkan lehernya.

“Nah, jika demikian, kenapa kalian bersikap lain. Mungkin kalian melihat pakaianku. Memang kali ini aku memakai pakaian perwira dari pasukan berkuda Surakarta. Tetapi apakah bedanya dengan aku yang tinggal di padepokan itu?”

Keduanya tidak menjawab. Bahkan mereka menjadi semakin berdesak-desakan.

“Jangan malu. Aku tidak apa-apa. Aku hanya tertarik kepada perhiasanmu itu, kepada kalungmu”

Keduanya mengangkat wajahnya bersama-sama. Namun berbareng pula keduanya menutupi kalung merjan yang mereka

“Darimana kalian mendapatkan kalung yang bagus itu?”

Keduanya belum menjawab.

“Kalung itu tentu tidak banyak yang memilikinya”

“Arum juga mempunyainya. Bahkan dua. Tetapi yang seuntai sudah diberikan seorang kawannya” jawab salah seorang dari mereka.

“O” Juwiring mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Aku sudah menemui Arum. Tetapi Arum tidak memakai kalung sebagus itu”

“Tentu tidak sedang dipakainya” desis yang seorang lagi.

Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalung yang dipakai oleh gadis-gadis itulah yang sebenarnya menarik perhatiannya. Ia tahu benar bahwa gadis-gadis padukuhan kecil itu tidak akan memerlukan membeli kalung merjan, karena penghasilan mereka tidak banyak berlebih bagi hidup mereka sehari-hari.

Karena itu, maka ia pun segera teringat, bahwa kumpeni mempunyai banyak sekali benda-benda yang menarik semacam itu. Dari yang bernilai sangat tinggi, sampai kepada kalung-kalung merjan. Namun gunanya tidak jauh berbeda. Yang bernilai tinggi dipergunakannya untuk memikat hati orang-orang besar, sedang bernilai rendah dipergunakannya untuk memikat hati gadis-gadis padesan seperti kalung-kalung merjan itu.

“Apakah ada hubungannya dengan kehadiran keempat petugas sandi yang hilang itu” Ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun dalam pada itu, maka ia semakin tertarik kepada kalung-kalung merjan itu dan berusaha untuk mengetahui, dari manakah mereka mendapatkannya.

Tetapi gadis-gadis itu rasa-rasanya masih saja tetap segan menjawab pertanyaan-pertanyaannya, karena ia berpakaian seorang perwira. Namun Juwiring tidak ingin melepaskan kesempatan itu.

Karena itu, maka segala usaha dipergunakannya. Bahkan terpaksa sekali justru Juwiring menakut-nakuti mereka. Katanya, “Kau harus menjawab pertanyaanku. Darimana kau mendapat-kan kalung itu.

Kedua gadis yang saling berdesakkan dan tertawa tertahan-tahan itu terkejut mendengar nada pertanyaan Juwiring yang agak lain. Dengan wajah yang tegang mereka kiai memandang Juwiring dengan kaki gemetar.

Juwiring menyesal melihat ketakutan yang membayang di wajah gadis-gadis itu. Namun ia ingin mendapat keterangan itu. Karena itu ia masih juga mengulangi, “Kau hanya wajib menjawab pertanyaanku ini. Tidak apa-apa. Darimana kau dapatkan kalung merjan itu, supaya prajurit-prajurit Surakarta yang berada di Jati Sari sekarang ini tidak salah sangka.

“Kenapa dengan kalung-kalung merjan ini” salah seorang dari gadis-gadis itu bertanya ketakutan.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu dengan pasti dan benar, dari mana kau mendapatkannya. Tentu bukan kau terima dari tangan yang salah”

“Maksud Raden?” anak-anak itu semakin ketakutan.

“Maksudku, bukan dari orang-orang yang sering mengganggu keamanan di kota. Kumpeni sering kehilangan barang-barang yang berharga seperti kalung-kalung merjan itu selagi barang-barang itu dikirimkan dengan kereta-kereta kiriman untuk sahabat-sahabat mereka di kota?”

“O, tentu tidak Raden. Aku menerima pemberian dari orang yang aku rasa bukan orang-orang jahat” jawab salah seorang dari mereka.

“Siapakah mereka?”

Kedua gadis itu menjadi gemetar. Apalagi ketika tampak olehnya tatapan mata perwira kawan Juwiring yang berdiri mematung saja.

“Kami tidak mengenal mereka Raden” jawab salah seorang gadis yang ketakutan itu.

“Aneh”

“Benar Raden”

“Coba katakan, siapa mereka”

Meskipun dengan ragu-ragu, namun kedua gadis itu pun berceritera berganti-ganti tentang anak-anak muda yang memberikan kalung itu kepada mereka. Merekapun menceriterakan apa yang ingin mereka ketahui dari orang-orang Jati Sari. Tetapi mereka tidak sempat menceriterakan kelanjutannya, bahwa Arum mengatakan tentang orang gemuk berkuda coklat, karena Raden Juwiring pun segera memotongnya, “Terima kasih. Hanya itulah yang aku ingin mengetahui. Jika demikian, kalian mendapat kalung itu dengan baik.”

“Raden” potong perwira pengikut Juwiring yang sejak semula hanya mendengarkannya, “Tetapi agaknya mereka dapat menceriterakan lebih banyak lagi tentang anak-anak muda yang mereka katakan membagi-bagikan kalung itu. Kenapa Arum yang disebut-sebut oleh kedua gadis itu mendapatkan dua untai? Apakah gadis itu dapat memberikan keterangan lebih banyak dari yang lain”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tertawa, “Tentu. tidak. Mungkin orang-orang itu hanya tertarik kepada Arum yang biasanya pendiam”

“Jika demikian aneh sekali. Kenapa mereka justru tertarik kepada pendiam itu” sahut perwira itu.

“Tetapi bukankah Arum ada di antara kalian” bertanya Juwiring kepada kedua gadis itu, “dan bukankah yang didengar oleh Arum sama bunyinya dengan yang kalian dengar?”

Hampir di luar sadarnya kedua gadis itu mengangguk.

“Nah” Juwiring menarik nafas dalam-dalam, “pulanglah. Kalian sudah memberikan jawaban yang sangat memuaskan kepada kita”

Kedua gadis itu saling memandang sejenak, lalu, “Jadi, apakah kami sudah boleh pergi?”

“Tentu. Kalian boleh saja pergi. Sejak tadi pun kalian boleh pergi jika kalian berkeberatan berhenti sejenak. Aku menghenti-kan kalian karena aku merasa mengenal kalian sebagai kawan-kawan bermain di padukuhan ini pada saat aku masih tinggal di padepokan Jati Aking”

“Ah” gadis itu berdesah.

Tetapi mereka pun segera meninggalkan Juwiring dengan tergesa-gesa.

Juwiring memandang mereka dengan tersenyum, ketika gadis-gadis itu sudah menjadi semakin jauh ia berkata, “Kau harus mengetahui sifat dari gadis-gadis padukuhan. Kau tentu tidak akan dapat bertanya kepada mereka dengan cara-cara yang dapat membuat mereka takut”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam.

“Memang kadang-kadang kita harus menakut-nakuti sedikit. Tetapi setelah itu, kita harus mengembalikan kepercayaannya kepada kita, bahwa kita tidak akan berbuat apa-apa”

“Tetapi kami memerlukan keterangan yang lebih banyak” sahut perwira itu, “dan menilik pembicaraan itu, Arum mengetahui lebih dari mereka berdua”

“Tentu tidak. Tetapi jika demikian, maka kau tidak boleh membuat kesan bahwa kita memerlukan Arum. Gadis itu akan ketakutan, dan barangkali akan melarikan diri atau bahkan membunuh diri”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau mengerti maksudku?”

“Ya, aku mengerti”

“Itulah sebabnya aku tidak mempergunakan prajurit-prajurit yang dungu itu untuk kepentingan serupa ini. Mereka hanyalah sekedar pengawal apabila kita bertemu dengan pasukan Raden Mas Said yang kuat”

Perwira itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jika aku memerintahkan mereka berpencar dan mencari keterangan tentang petugas-tugas sandi yang hilang, maka mereka tidak akan mendapatkan keterangan yang benar. Orang-orang Jati Sari akan menjawab apa saja yang diminta oleh prajurit -prajurit-prajurit sandi itu sekedar untuk menghindarkan diri dari ketakutan”

“Maksud Raden?”

“Mereka tidak menjawab berdasarkan atas pengertian mereka tentang persoalannya. Tetapi mereka mengiakan apa saja yang diminta. Bukankah keterangan yang demikian justru akan menyesatkan”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Memang ada juga benarnya bahwa mereka itu sudah menuntut jawaban seperti yang dikehendakinya sebelum mengucapkan pertanyaan. Karena itu maka perwira itu pun sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, sekarang kau tahu, kenapa aku tidak memerintahkan mereka memencar. Dan kenapa aku harus menangani masalah ini sendiri. Kau pun harus dapat mengerti meskipun tidak perlu kau katakan kepada mereka, bahwa tugas mereka tidak lebih dari kekuatan tempur untuk melindungi kita berdua”

“Baiklah” berkata perwira itu.

“Aku pun mengerti bahwa mereka akan merasa jemu untuk duduk saja sambil menguap. Tetapi apaboleh buat. Aku kira itu adalah yang paling baik yang dapat kita lakukan. Bahkan juga apabila kita harus bermalam”

“Aku akan mencoba untuk mengatasi kejemuan itu” berkata perwira itu.

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Membawa mereka sekali dua kali mengitari daerah ini tanpa berhenti dan bertanya kepada siapapun”

“Maksudmu?”

“Seolah-olah kita mendapat keterangan tentang gerakan Raden Mas Said”

“Terserah kepadamu”

Demikianlah maka keduanya pun kemudian kembali ke pasukan mereka, yang seperti dikatakan oleh Raden Juwiring, mereka memang menunjukkan sikap yang aneh-aneh untuk menyatakan kejemuan mereka”

Tetapi mereka pun segera terkejut ketika perwira yang menyertai Raden Juwiring itu memanggil beberapa perwira muda berkumpul di depan regol. Perwira itu mengucapkan perintah beberapa kalimat, seakan-akan ia telah melihat bekas-bekas kaki kuda yang menyilang jalan padesan itu.

“Kita akan mencoba melingkar padukuhan ini. Siapa tahu, ada petugas sandi Raden Mas Said yang melihat kehadiran kita di sini”

Ternyata perwira itu berhasil membangunkan minat prajurit-prajuritnya. Merekapun dengan cepat berkemas. Dan sejenak kemudian mereka telah berada di punggung kuda. Hanya beberapa orang sajalah yang tinggal di halaman itu untuk mengawasi keadaan di padukuhan itu.

Kuda-kuda para prajurit itu pun kemudian berderap di jalur jalan pinggir padukuhan melingkar dan kemudian sampai ke bulak panjang di sebelah.

Tetapi ternyata mereka tidak melihat sesuatu.

“Apakah benar pasukan Raden Mas Said itu lewat?” bertanya salah seorang kepada kawannya.

“Bukan pasukan Raden Mas Said. Tetapi beberapa orang yang diduga anak buah Raden Mas Said yang sengaja mengawasi kita”

Yang mula-mula bertanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak bertanya lagi. Dengan berdebar-debar dilihatnya perwira yang mewakili Raden Juwiring memimpin pasukan itu, berada di paling depan bersama beberapa orang perwira yang lebih muda, seakan-akan mereka sedang meneliti jalan yang membujur di hadapan mereka.

“Mereka sedang mencari jejak” desis seorang prajurit yang lain.

Kawannya yang ada di sampingnya mengangguk, “Ya. Mereka sedang mencari jejak itu”

Perwira yang ada di paling depan itu kadang-kadang mempercepat lari kudanya, kadang-kadang lambat sekali.

Dalam pada itu. selagi para prajurit berkuda itu membelah tanah persawahan, maka Raden Juwiring segera pergi ke rumah Arum. Namun ternyata Kiai Danatirta pun masih belum ada di padepokannya.

“Kenapa Kiai Danatirta belum kembali?” bertanya Juwiring, “bukankah biasanya Kiai Danatirta tidak, terlampau lama di sawah?”

“Aku tidak tahu” jawab Aram, “Aku pun menjadi cemas kenapa ayah belum pulang”

“Benar Kiai Danatirta belum pulang?”

“Kau tidak percaya?”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Arum, Baiklah. Aku tidak dapat menunggu terlalu lama. Tetapi sebenarnya aku memerlukan keterangannya”

“Ayah tidak akan memberikan keterangan apa-apa kepada Raden dan kepada prajurit-prajurit Surakarta itu, karena tidak ada apapun yang kami ketahui”

“Arum” suara Raden Juwiring merendah, “Bagaimana dengan kalung-kalung merjan itu?”

Wajah Arum menjadi tegang. Namun sejenak kemudian ia berusaha untuk menghapus ketegangan itu. Katanya, “Apakah yang Raden maksud dengan kalung-kalung merjan?”

“Kau mendapat dua untai kalung merjan dari dua orang yang tidak kau kenal. Tentu dua orang itu adalah dua di antara empat orang yang sedang aku cari”

“Kenapa Raden dapat mengambil kesimpulan demikian?”

“Mereka memang sering membagikan kalung-kalung merjan kepada gadis-gadis padesan”

“Gadis-gadis dungu yang dapat disadap keterangannya”

“Nah, kau tahu tepat seperti yang sebenarnya”

Wajah. Arum menjadi merah.

“Arum, kau sebaiknya tidak usah merahasiakan. Kau katakan apa yang kau ketahui saja. Selebihnya aku akan mencari sendiri”

“Raden” berkata Arum, “sebenarnya aku merasa bahwa tuduhan Raden pertama-tama tentu terhadap kami. Aku dan ayah, karena terhadap Raden, aku dan ayah tidak dapat bersembunyi bahwa sebenarnyalah kami memiliki kemampuan untuk melakukannya. Katakanlah seandainya kami membunuh keempat orang yang tuan cari. Tetapi kami sama sekali tidak melihat mereka”

“Kau masih tetap ingkar. Kawan-kawanmu sudah mengatakan kepadaku, bahwa kau menerima dua untai kalung”

“Ya, aku tidak ingkar tentang kalung itu. Tetapi Raden jangan memaksa aku mengetahui apa yang tidak aku ketahui selain dua untai kalung yang aku terima dari orang yang tidak aku kenal itu”

“Dimanakah orang yang tidak kau kenal itu sekarang?”

“Aku tidak tahu”

“Kenapa kau menerima dua untai. Tidak seperti kawan-kawanmu yang lain, hanya satu?”

“Itu bukan persoalan kami, Raden. Mungkin orang itu mempunyai niat yang lain. Aku tidak mengatakan bahwa aku cantik dan dapat memikat hatinya. Tetapi bahwa mereka memberi aku dua, itu aku tidak mengerti”

“Jadi kau tidak dapat mengatakan apa-apa Arum”

“Tidak”

“Arum, sampai saat ini aku tetap membatasi, bahwa hanya aku sendirilah yang akan mencari keterangan. Jika orang-orang lain di dalam pasukanku mendapatkan bukti-bukti atau keterangan-keterangan yang dapat melibatkan kau ke dalamnya, maka akan sulitlah bagiku untuk berusaha melepaskan kau dari persoalan itu. Karena itu, jika kau tidak berkeberatan, katakanlah saja kepadaku sebelum orang lain ikut campur di dalam persoalan ini. Sampai sekarang prajurit-prajurit itu masih tetap diam karena aku masih dapat menguasai kejemuannya. Tetapi jika mereka pada suatu saat melihat kau terlibat, aku tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan terhadapmu”

“Raden” berkata Arum, “Jika memang demikian, apaboleh buat. Aku mempelajari olah kanuragan bukan sekedar akan aku bawa mati sambil menyilangkan tangan di dada. Tetapi jika terpaksa aku akan merentangkan tanganku dan mati dengan sikap jantan, sebagai seorang anak padepokan Jati Aking”

Wajah Raden Juwiring menegang sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Adalah wajar jika Arum mengucapkan kata-kata itu, karena ia adalah anak Kiai Danatirta, dari padepokan Jati Aking.

Karena itu, ternyata baginya bahwa ia tidak akan dapat menyadap keterangan itu dari Arum. Arum bertekad untuk tidak mengatakan apapun juga, meskipun ia akan dipaksa dengan kasar atau halus.

Dengan demikian maka Raden Juwiring pun kemudian berkata, “Baiklah Arum. Jika kau memang tidak dapat memberikan keterangan apapun kepadaku”

“Aku tidak tahu apa-apa tentang orang yang tidak aku kenal itu Raden”

Raden Juwiring menarik nafas. Katanya, “Aku mohon diri”

Di regol halaman Raden Juwiring berpaling. Dilihatnya Arum berdiri di halaman sambil termangu-mangu. Adalah di luar dugaannya bahwa Raden Juwiring itu berkata sambil tersenyum, “Kau memang seorang gadis yang tabah Arum. Kau adalah anak Jati Aking yang baik”

Arum tidak tahu maksud Raden Juwiring. Mungkin ia benar-benar memuji. Tetapi mungkin Raden Juwiring sekedar melepaskan kekecewaannya saja. Jika demikian, maka Arum harus berhati-hati. Kekecewaan yang mencengkam dapat memaksanya berbuat sesuatu di luar dugaan.

Dari padepokan Jati Aking, Raden Juwiring tidak segera kembali kepada pasukan induknya yang diduganya masih berkeliling di sekitar padukuhan itu sekedar untuk melepaskan kejemuan. Karena itu maka ia pun segera pergi ke rumah salah seorang gadis berkalung merjan yang dijumpainya di pinggir padukuhan.

Dengan ketakutan ayah gadis itu pun ikut menemuinya pula. Bahkan dengan membungkukkan kepalanya dalam-dalam ayahnya itu berkata, “Raden, jika kalung itu harus dilepas, biarlah ia melepaskannya. Dan jika kalung itu memang harus dikembalikan biarlah ia mengembalikan”

“Kepada siapa kalung itu akan dikembalikan?” bertanya Juwiring.

Orang tua gadis itu menjadi bingung. Dan bahkan ia pun bertanya kepada anaknya, “Kepada siapa kalung itu akan kau kembalikan?”

“Aku tidak tahu” jawab gadis itu dengan gemetar.

Juwiring tersenyum. Katanya, “Jangan takut. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin mendengar sekali lagi ceriteramu tentang orang-orang yang memberikan kalung itu kepadamu. Aku ingin bertanya, kenapa Arum mendapat dua untai, sedang yang lain hanya satu?”

Gadis itu menjadi semakin cemas. Namun ia masih dapat mengingat apa yang dikatakan Arum tentang orang gemuk berkuda coklat.

Dan hal itulah yang kemudian dikatakannya kepada Raden Juwiring. Bahwa Arum telah memberi tahukan tentang orang berkuda coklat itu sehingga ia mendapat hadiah kalung lebih banyak dari kawan-kawannya.

Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketajaman berpikirnya telah membawanya ke dalam suatu gambaran tentang Arum dan orang-orang itu. Jika benar-benar Arum memberikan penjelasan itu maka persoalannya tentu tidak hanya akan berhenti sampai sekedar memberikan dua untai kalung itu.

Tetapi Raden Juwiring tidak berhasil mendapat keterangan lebih banyak lagi dari gadis itu, karena gadis itu memang tidak mengetahui peristiwa-peristiwa yang menyusul kemudian.

Dari rumah gadis itu, Raden Juwiring kembali ke induk pasukannya yang ternyata telah kembali pula dari perjalanan mereka mengelilingi daerah di sekitar padukuhan Jati Sari.

“Apa yang kalian ketemukan?” bertanya Raden Juwiring.

“Aku mengambil kesimpulan, bahwa daerah ini memang merupakan daerah yang harus mendapat pengawasan” berkata Perwira itu, “Kami menemukan jejak beberapa orang berkuda.

Semula Raden Juwiring mengira bahwa perwira itu sekedar berpura-pura untuk memberikan kesibukan berpikir kepada anak buahnya. Agar anak buahnya tidak tenggelam ke dalam sikap jemu yang berlebih-lebihan.

Namun ternyata bahwa setelah keduanya duduk terpisah dari para prajurit yang beristirahat, perwira itu berkata, “Sebenarnya aku melihat Raden. Ternyata kedatangan kami telah diketahui. Sepasukan kecil orang-orang berkuda lewat di bulak sebelah”

“Kau berkata sungguh-sungguh?”

“Ya Raden. Semula aku memang sekedar ingin membangun-kan anak-anak yang kantuk itu. Tetapi ternyata kami benar-benar menemukannya, meskipun aku belum dapat mengatakan dengan pasti, bahwa mereka adalah anak buah Raden Mas Said. Mungkin juga mereka adalah beberapa orang saudagar yang pergi bersama-sama untuk menghindarkan diri dari perampokan. Jika mereka bergabung, maka mereka akan dapat melawan perampok-perampok di sepanjang perjalanan mereka”

Raden Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Masih ada kemungkinan-kemungkinan lain. Tetapi sebaik-nya kita memang harus berhati-hati. Kemungkinan paling besar dari jejak itu adalah pasukan Kangmas Said. Ia tentu mengirimkan orang-orangnya untuk mengawasi perjalanan kita. Jika dianggapnya tepat, maka pada suatu saat ia-akan menyergap dan membinasakan kita”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berkata, “Tetapi aku belum pernah mendengar berita tentang sergapan laskar Raden Mas Said atas sepasukan prajurit Surakarta yang tidak dibarengi oleh kumpeni”

“Mungkin kita adalah orang-orang yang pertama mengalami” jawab Raden Juwiring.

Perwira itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Raden Juwiring sesaat. Namun kemudian perwira itu pun melemparkan tatapan matanya kekejauhan.

Hampir di luar sadarnya, jika kemudian prajurit itu membayangkan seorang bangsawan muda yang berpacu di atas punggung kuda yang tegar dengan senjata telanjang di tangan.

“Memang luar biasa” perwira itu berkata di dalam hatinya, “Raden Mas Said memiliki kemampuan di atas kemampuan manusia kebanyakan” sejenak perwira itu memandang Raden Juwiring dengan sudut matanya, “Tetapi bangsawan muda yang duduk di sebelah ini pun memiliki kemampuan orang kebanyakan seperti juga ayahandanya”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi heran bahwa Raden Mas Said tidak segera dapat ditundukkan. di Surakarta sebenarnya banyak sekali prajurit bangsawan dan bahkan pimpinan pemerintahan yang memiliki kemampuan yang luar biasa yang barangkali tidak kalah dari Raden Mas Said. Tetapi kenapa Raden Mas Said masih dapat dengan leluasa melakukan kegiatannya.

Perwira itu terkejut ketika tangan Raden Juwiring menggamitnya. Katanya, “Marilah, kita menemui beberapa orang yang pulang dari sawah”

Setelah menyerahkan pimpinan kepada perwira yang lebih muda, maka Raden Juwiring pun berjalan perlahan-lahan bersama perwira itu ke sudut desa. Sejenak mereka menunggu. Sebentar lagi orang-orang Jati Sari akan pulang dari sawahnya karena matahari telah hampir turun menginjak punggung bukit di sebelah Barat.

“Jika mereka tahu kita berada di sini, mereka akan mengambil jalan lain” berkata Raden Juwiring.

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Karena itu, maka mereka pun berdiri di tempat yang agak terlindung di balik tikungan di sudut desa.

Ketika orang yang pertama lewat, dan dihentikan oleh Raden Juwiring, orang itu pun terkejut sekali. Dipandanginya Raden Juwiring dengan tatapan mata yang tajam, tetapi penuh keheranan.

“Paman tentu mengenal aku” berkata Raden Juwiring sambil tersenyum.

Orang itu pun kemudian mengangguk ragu. Katanya, “Ya, ya. Aku sudah mengenal Raden. Bukankah Raden pernah berada di padepokan Jati Aking”

“Ya. Aku Juwiring. Bukankah kita sering pergi ke sawah bersama-sama?”

“Ya, ya. Tetapi hampir saja aku tidak mengenal Raden dalam pakaian yang lain dari pakaian kebiasaan yang Raden pakai saat Raden ada di Jati Aking”

Juwiring tersenyum.

“Apakah Raden akan kembali ke Jati Aking” bertanya orang itu asal saja karena kebingungan.

Raden Juwiring tersenyum. Jawabnya, “Tidak saat ini paman”

Petani itu mengangguk-angguk. Dan Juwiring berkata selanjutnya, “Aku hanya sekedar ingin menengok padukuhan yang sudah lama tidak pernah aku kunjungi”

“O” petani itu merenung sejenak, lalu, “Jika demikian, silahkan singgah”

“Terima kasih paman”

“Kapan Raden sempat, datanglah. Sekarang, aku minta diri”

Juwiring tersenyum. Ada kesan yang aneh di wajah orang yang dengan tergesa-gesa ingin meninggalkannya. Namun karena itu maka Juwiring pun berkata, “Tunggu paman. Jangan tergesa-gesa”

“Tetapi, tetapi aku sudah pergi sehari-harian Raden”

“Aku memerlukan waktu sebentar saja”

Orang itu memandang Juwiring dengan herannya. Namun kemudian ia menjadi sangat gelisah.

“Paman” berkata Juwiring kemudian, “Aku hanya ingin bertanya, apakah di saat-saat terakhir ini paman pernah mendengar atau mengetahui peristiwa yang agak lain di padukuhan ini?”

“Maksud Raden?”

“Misalnya, perkelahian yang terjadi di daerah ini meskipun bukan terjadi atas orang-orang padukuhan ini. Atau peristiwa yang lain yang sebelumnya tidak pernah terjadi”

Orang itu menjadi semakin gelisah. Dengan suara yang terputus-putus ia menjawab, “Aku tidak tahu apa-apa Raden. di sini tidak pernah terjadi sesuatu. Padukuhan Jati Sari selalu tenang-tenang saja. Hanya kali ini sepasukan prajurit itu datang di Jati Sari bersama Raden”

Juwiring memandang orang itu sejenak, lalu, “Perampok misalnya, atau sebaliknya perampok yang tertangkap?”

“Tidak Raden. Tidak ada yang pernah terjadi”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah paman. Silahkan jika paman ingin segera mandi dan kemudian makan nasi hangat dengan sambal teri”

“Ah” Orang itu bingung sesaat. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil minta diri, “Sudahlah Raden. Hari sudah hampir gelap”

Juwiring hanya tersenyum saja sambil menganggukkan kepalanya.
“Sulit untuk mendapat keterangan Raden” berkata perwira itu.

“Mereka adalah orang yang jujur dan terbuka. Jika terjadi sesuatu di daerah ini dan mereka mengetahui, maka mereka tentu akan mengatakan sesuatu”

Perwira itu tidak menjawab lagi, karena Raden Juwiring telah menghentikan orang berikutnya. Tetapi dari orang ini pun mereka tidak mendapat keterangan apapun juga. Menilik wajah dan sorot mata mereka, orang-orang Jati Sari itu sama sekali tidak sengaja mengelabuinya dengan jawaban-jawaban yang menyesatkan.

Bahkan beberapa orang yang kemudian juga dihentikan dan mendapat pertanyaan yang serupa, maka jawaban mereka pun serupa pula.

“Nah, kau dengar” berkata Juwiring kepada perwira itu, “Mereka sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas keempat orang petugas sandi itu. Jika terjadi sesuatu di padukuhan ini, maka mereka tentu dapat mengatakan, misalnya terjadi perkelahian antara empat orang melawan sepasukan laskar Raden Mas Said. Atau jika mereka tidak dapat menyebut demikian, maka mereka akan mengatakan, telah terjadi perkelahian antara beberapa orang gerombolan perampok, atau perkelahian antara orang-orang yang tidak dikenal. Tetapi ternyata mereka tidak mengetahui apapun juga”

Tetapi dua dari empat orang itu pernah datang ke padukuhan ini Raden” sahut perwira itu.

“Wajar sekali, karena tugas mereka memang di padukuhan ini. Mereka harus datang dan berusaha mendapat keterangan, kenapa orang-orang Jati Sari tidak percaya bahwa perampok-perampok yang mengganas itu adalah anak buah Raden Mas Said. Justru mereka menganggap bahwa hal itu sengaja dibuat oleh kumpeni”

“Bagaimana jika tugas itu saja yang kita ambil alih. Kita bertanya kepada mereka, siapakah yang telah menyebarkan pendapat itu”

“Aku sudah tahu jawabnya. Tentu orang-orang berkuda atau orang gemuk berkuda coklat itu, atau orang berjambang berkuda putih”

“Siapakah mereka?”

“Maksudku, tentu ada orang-orang Raden Mas Said yang berkeliaran di sini. Mungkin jejak kaki kuda yang kau lihat itu benar jejak kaki kuda anak buah kangmas Said. Mereka berkeliaran di daerah ini dengan berbagai maksud”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Raden. Mungkin pertanyaanku agak terlampau jauh. Tetapi beberapa orang perwira tinggi dari kalangan bangsawan selalu menyebut Pangeran Mangkubumi. Apakah daerah ini menjadi daerah pengaruh Raden Mas Said atau Pangeran Mangkubumi?”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya, lalu, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi apa yang kau dengar tentang Pangeran Mangkubumi, “

“Tentu Raden lebih tahu”

“Aku ingin memperbandingkan saja”

“Beberapa bangsawan telah sepakat untuk menyudutkan Pangeran Mangkubumi”

“Dasarnya?”

“Ah. Raden tentu sudah tahu”

“Katakan”

“Daerah palenggahan Pangeran Mangkubumi terlampau luas”

“Tepat. Aku sudah mendengar. di daerah yang terlalu hias itu sudah dibangun kekuatan yang dapat mengganggu ketenangan pemerintahan di Surakarta”

“Nah, begitu Raden”

Juwiring mengangguk-angguk, lalu, “Apa kau sangka bahwa jejak kaki-kaki kuda itu adalah orang-orang dari daerah Sukawati?”

Perwira itu tidak menyahut.

“Atau barangkali kau ingin mengatakan bahwa mungkin sekali keempat orang itu tidak jatuh ke tangan anak buah kangmas Said, tetapi anak buah pamanda Pangeran Mangkubumi?”

“Seperti yang Raden katakan, ada banyak kemungkinan dapat terjadi”

“Aku belum memikirkan kemungkinan itu. Pamanda Pangeran Mangkubumi masih selalu menjalankan kuwajibannya. Ia selalu datang menghadap ke istana pada saatnya. Dan ia tidak berbuat sesuatu yang dapat dianggap dengan berterus terang menentang pemerintahan Surakarta dan kumpeni”

“Bukankah Raden sudah menyebutkan, di daerah Sukawati sudah dibangun kekuatan yang dapat mengganggu ketenangan pemerintahan di Surakarta”

“Bukankah itu baru merupakan perhitungan kita saja? Tetapi belum ada bukti perlawanan yang orang-orangan dari pamanda Pangeran meskipun jelas pamanda Pangeran Mangkubumi tidak senang melihat kumpeni semakin berpengaruh di Surakarta”

Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi di dalam sudut hatinya, sebenarnya tersembunyi juga kecemasannya, bahwa yang berkeliaran di daerah ini tentu bukan hanya pasukan dari Raden Mas Said, tetapi tentu juga pasukan Pangeran Mangkubumi, yang diakui atau tidak diakui, kini sebenarnya sudah merupakan kekuatan yang dapat menggoyahkan kekuasaan di Surakarta.

“Agaknya kabut yang gelap segera akan menyelubungi Surakarta. Jika Pangeran Mangkubumi dan beberapa saat yang lampau berhasil menghentikan kegiatan Raden Mas Said, agaknya tidak mustahil bahwa pada suatu saat keduanya akan merupakan kekuatan yang menakutkan bagi Surakarta” berkata perwira itu di dalam hatinya.

Perwira itu terkejut ketika Raden Juwiring menggamitnya sambil berkata, “Kita tidak akan mendapatkan keterangan apa-apa. Karena itu, kita harus mengambil kesimpulan. Kita harus menghubungkan hilangnya keempat orang itu dengan jejak kaki-kaki kuda itu”

“Mungkin sekali”

Raden Juwiring mengangguk, lalu, “Marilah kita kembali ke induk pasukan. Besok kita melanjutkan usaha kita terakhir”

Demikianlah maka Raden Juwiring pun segera kembali ke induk pasukannya. Mereka bermalam di halaman yang agak luas itu. Sebagian tidur di pendapa beralaskan tikar pandan. Yang lain di gandok sebelah menyebelah, dan yang lain lagi di halaman beralaskan ketepe belarak yang mereka anyam sendiri. Sedang di beberapa bagian, prajurit yang bertugas masih tetap bersiaga. Apalagi mereka mengetahui bahwa daerah itu merupakan daerah yang menyimpan beberapa rahasia yang belum terpecahkan, sehingga pasukan berkuda itu perlu berhati-hati.

Sementara itu di dapur rumah itu pun menjadi sibuk. Mereka harus menyediakan makan prajurit-prajurit berkuda yang ada di halaman itu. Meskipun seorang perwira prajurit itu memberikan sekedar uang kepada penghuni rumah itu sebagai ganti bahan-bahan makanan yang mereka pergunakan, namun menyediakan makan untuk sekelompok prajurit tanpa disiapkan lebih dahulu, adalah pekerjaan yang cukup berat.

Di pagi harinya, Raden Juwiring membawa beberapa orang pengawal berkuda mengelilingi padukuhan itu. Tiba-tiba saja anak muda itu tertarik untuk pergi ke padukuhan di seberang bulak. Katanya kepada para pengawalnya, “Mungkin terjadi sesuatu atas keempat orang itu, tetapi tidak di padukuhan ini Justru ketika mereka sudah meninggalkan daerah ini”

“Maksud Raden?”

“Kita pergi ke padukuhan sebelah”

Demikianlah maka Raden Juwiring dengan beberapa orang pengawalnya pun pergi ke padukuhan sebelah. Padukuhan yang terpisah dari Jati Sari oleh sebuah bulak yang agak panjang.

Adalah mendebarkan hati, ketika Raden Juwiring justru mendapat keterangan dari seorang petani di padukuhan tersebut, bahwa di pategalan seseorang terdapat bekas kaki-kaki kuda yang agaknya ditambatkan di malam hari.

“Darimana kau tahu?” bertanya Raden Juwiring.

“Orang itu berceritera kepada setiap orang, bahwa di pagi hari ketika ia pergi ke pategalan diketemukan jejak-jejak kaki kuda. Agaknya bukan hanya seekor. Tiga atau empat”

Juwiring pun segera tertarik kepada ceritera itu, sehingga sejenak kemudian, ia pun telah berhadapan dengan pemilik pategalan itu.

Tetapi yang dapat diceritera-kan oleh pemilik tegalan itu tidak lebih dari yang sudah didengarnya, ia hanya melihat jejak kaki-kaki kuda. Selebihnya tidak.

Namun dengan demikian Juwiring mengambil kesimpulan bahwa keempat petugas sandi itu sudah melakukan tugasnya di Jati Sari. Namun mereka tidak dapat kembali ke induk pasukannya. Waktu yang diperlukan sudah cukup lama. Jika tidak terjadi sesuatu atas mereka bersama-sama, maka salah seorang dari mereka tentu sudah kembali dan melaporkan apa yang telah terjadi.

Perwira yang mengikutinya pun mengambil kesimpulan serupa. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Agaknya keempatnya sudah dibinasakan Raden. Atau mereka tertangkap hidup-hidup dan ditawan oleh pasukan Raden Mas Said, atau . . “

“Pamanda Mangkubumi maksudmu?” Perwira itu mengangguk.

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia masih mempunyai dugaan lain, meskipun tidak dikatakannya kepada siapapun juga.

Di Jati Aking ada Kiai Danatirta dan Arum. Jika keduanya bertindak atas keempat petugas sandi itu, maka keempatnya tentu tidak akan dapat berbuat banyak. Namun jika demikian, kemanakah kuda-kuda itu pergi”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Tugasnya kau ini memang sangat berat. Berat bagi pasukannya dan berat bagi perasaannya sendiri.

Yang kemudian dapat disimpulkan oleh Raden Juwiring dan pasukannya, adalah bahwa keempat orang itu setelah melakukan tugasnya tidak berhasil kembali ke induknya.

“Itulah yang dapat kita laporkan” berkata Raden Juwiring kepada perwira yang tertua.

Perwira itu menganggukkan kepalanya, “Ya, kita tidak akan dapat mengambil kesimpulan lain. Sedang yang masih meragukan adalah, siapakah yang telah menangkap atau membunuh keempat orang itu. Mungkin anak buah Raden Mas Said, dan mungkin anak buah Pangeran Mangkubumi”

“Pamanda Pangeran belum berbuat sesuatu”

“Raden” berkata perwira itu, “meskipun pamanda Raden belum berbuat sesuatu, biarlah kita menyebutnya. Bahkan jika perlu justru kita sebut kemungkinan terbesar adalah anak buah Pangeran Mangkubumi”

“Gunanya?”

“Tindakan atas Pangeran Mangkubumi itu akan segera dilakukan. Para bangsawan tertinggi di Surakarta sama sekali tidak dapat menerima lagi kehadiran Pangeran Mangkubumi di antara mereka. Sikapnya yang asing, dan tanah kalenggahan yang terlalu luas”

“Jadi para Pangeran yang iri hati itu akan mempercepat tindakan atas pamanda Mangkubumi?”

“Ya, seperti juga ayahanda Raden. Pangeran Ranakusuma akan dapat mempergunakan bahan yang kita bawa ini untuk mempercepat usaha mencabut Tanah Sukawati dari kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Tanah itu akan dipecah-pecah agar tidak ada lagi kesatuan di Sukawati”

“Apa keuntunganmu jika hal itu terjadi?”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Tentu tidak secara langsung. Tetapi dengan demikian bahaya yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang Sukawati itu menjadi kecil. Lebih dari itu, aku dapat mengharap bahwa Senapati pasukan berkuda, Pangeran Windunata akan mendapat sebagian dari Sukawati itu. Sudah dapat dipastikan, aku akan menjadi penguasa daerah itu seperti yang sudah pernah disanggupkan oleh Pangeran Windunata kepadaku”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Tetapi apa yang akan aku dapatkan?”

“Pangeran Ranakusuma akan mendapatkannya juga”

“Tetapi tentu bukan aku penguasanya”

“Tentu Raden. Raden adalah putera Pangeran Ranakusuma itu”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa sambil menepuk bahu perwira itu, “Jika setiap Pangeran yang ikut membicarakan pamanda Mangkubumi akan mendapat bagian atas tanah Sukawati, maka setiap orang tentu hanya akan mendapat sejengkal. Dan itu tidak akan berarti apa-apa”

Perwira itu tidak segera menjawab. Tetapi ia pun kemudian tersenyum pula.

Demikianlah maka Raden Juwiring dan pengawalnya pun segera kembali ke Jati Sari. Mereka tidak mendapat jawaban yang pasti tentang keempat orang yang hilang itu, selain dugaan-dugaan belaka meskipun serba sedikit ia menemukan jejaknya.

“Kita mengatakan apa yang sebenarnya kita lihat” berkata Raden Juwiring, “Jika kita memberikan keterangan yang tidak benar, itu akan sangat berbahaya, karena para pemimpin prajurit akan dapat mengambil langkah yang salah atas dasar keterangan yang tidak benar itu”

Perwira itu pun hanya dapat menganggukkan kepalanya saja. Apalagi ia dapat mengerti keterangan yang diberikan oleh Raden Juwiring itu.

Setelah bermalam semalam lagi tanpa mendapat keterangan apapun juga, maka Raden Juwiring pun membawa pasukannya kembali ke kota. tanpa minta diri lebih dahulu ke padepokan Jati Aking. Raden Juwiring menganggap bahwa ia tidak perlu lagi menemui Arum. Juga Kiai Danatirta. Karena baginya keduanya itu tentu tidak akan memberikan keterangan apa-apa seandainya ia minta.

“Laporan kita tidak akan membuka jalan untuk menemukan keempat orang itu” berkata perwira pengawal Raden Juwiring di perjalanan, “daerah ini adalah daerah terbuka yang luas. Setiap orang dapat lewat jalan yang melalui Jati Sari. Karena itu ada juga masuk akal, bahwa orang-orang Jati Sari sering sekali melihat orang-orang asing yang lewat di jalan yang menembus padukuhan itu”

“Ya” sahut Raden Juwiring, “Apalagi orang-orang yang memakai pakaian petani seperti mereka”

“Kita tidak tahu pasti, apakah para petugas sandi itu mengenakan pakaian petani atau pakaian saudagar”

“Apapun pakaian mereka, namun kita tidak akan dapat menemukan mereka lagi. Bahkan keterangan mengenai mereka pun tentu amat sulit. Apalagi prajurit-prajurit yang belum pernah tinggal di Jati Sari seperti aku”

Perwira itu hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya memang sulit untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang orang-orang yang dicarinya.

Dalam pada itu, sepeninggal prajurit-prajurit Surakarta, rasa-rasanya orang-orang Jati Sari dapat bernafas lagi. Mereka sendiri heran, kenapa bagi mereka prajurit Surakarta sama sekali tidak dapat memberikan ketenangan, sehingga mereka kadang-kadang bertanya kepada diri sendiri, “Kepada siapakah sebenarnya kami harus berlindung? Surakarta adalah pusat pemerintahan kami. Tetapi kami tidak pernah merasa tenang dan tenteram apabila kami berada di dekat prajurit-prajurit Surakarta itu” Dan sebagian dari mereka mencoba menjawab, “Karena Surakarta sudah terlampau dalam dicengkam oleh kekuasaan kumpeni”

Di Jati Aking Arum mengadu kepada ayahnya tentang Raden Juwiring yang lain sekali dengan Raden Juwiring yang dikenalnya di padepokan Jati Aking dahulu.

“Apakah ia berbuat sesuatu yang dapat kita anggap merugikan Jati Sari dan Jati Aking?” bertanya ayahnya.

“Kehadirannya sudah mencemaskan setiap orang Jati Sari ayah” jawab Arum.

“Tetapi bukankah ia tidak berbuat apa-apa di sini?”

“Raden Juwiring mencari keterangan tentang empat orang yang hilang itu”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam.

“Ia mencari aku ayah. Aku merasakan kecurigaan disorot matanya. Mungkin ia mengerti dengan pasti bahwa di daerah ini tidak ada orang lain yang dapat melakukannya selain kita berdua”

“Tetapi ternyata ia keliru. Bukankah orang-orang itu telah dibawa oleh Sura?”

“Tetapi bukankah sebagian sudah benar?”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi sikapmu sudah benar Arum. Dan aku pun menganggap bahwa memang sebaiknya aku tidak menemuinya. Jika aku bertemu dengan Juwiring dengan sikap yang tidak wajar, maka aku tentu akan menyesal karena aku telah memberikan ilmu kepadanya”

“Bahkan semua dasar-dasar ilmu Jati Aking. Tentu ia akan dapat mengembangkannya, ditambah ilmu dari Pangeran Ranakusuma sendiri”

“Kita tidak harus silau melihat ilmunya Arum. Tetapi bahwa ia pernah menjadi keluarga kita kadang-kadang dapat menimbul-kan persoalan tersendiri”

“Tetapi jika ia sudah benar-benar berdiri di seberang, apakah yang dapat kita lakukan atasnya ayah?”

“Kita masih harus meyakinkannya Arum. Kita baru melihat Raden Juwiring berpakaian seorang prajurit Surakarta. Hanya itu. Dan kita pun sebenarnya tidak boleh berprasangka kepada keseluruhan prajurit Surakarta”

“Ayah tidak menjumpainya sendiri. Jika ayah bertemu dengan Raden Juwiring sendiri, maka ayah tentu akan merasakan perubahan itu. Bukan sekedar bentuk badaniah, tetapi agaknya juga sikap batinnya”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan mencari bukti yang lebih meyakinkan tentang sikapnya itu Arum”

Arum memandang ayahnya sejenak. Namun seakan-akan ia tidak dapat merasakan kesungguhan kata-kata ayahnya itu. Seakan-akan ayahnya itu berkata kepadanya di masa kanak-kanak jika seseorang nakal kepadanya, “Biarlah nanti aku putar telinganya Arum. Jangan menangis”

Meskipun Arum tidak menyatakan perasaannya, namun agaknya Kiai Danatirta dapat menebaknya sehingga ia melanjutkannya, “Aku berkata sesungguhnya Arum. Tetapi kita tidak akan dapat melontarkan tuduhan begitu saja sebelum kita melihat buktinya”

“Apakah pakaiannya, pasukan yang dibawanya dan tugas yang dilakukannya itu belum dapat meyakinkan kita?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu baru yang kasat mata Arum. Tetapi apakah kita dapat melihat hatinya? Ia adalah putera Pangeran Ranakusuma. Karena itu ia harus melakukan tugas-tugasnya seperti kebanyakan putera Pangeran”

Arum tidak menjawab lagi meskipun tampak pada wajahnya bahwa ia tidak puas mendengarkan jawaban ayahnya itu.

Demikianlah sikap dan tugas yang dibawa oleh Juwiring benar-benar telah mengecewakan Arum. Ia tidak lagi menaruh hormat yang mendalam seperti pada saat Juwiring masih berpakaian seorang petani di padepokan Jati Aking itu.

Namun demikian, Arum tidak dapat berbuat apa-apa atas Raden Juwiring selain menyesalinya. Raden Juwiring adalah seorang yang telah dewasa dan berkedudukan baik, sehingga ia wenang menentukan sikapnya sendiri.

Di hari itu wajah Arum nampak sangat murung. Kekecewaannya benar-benar telah mempengaruhi keadaannya. Ia tidak banyak berbicara dengan pembantu-pembantunya dan bahkan dengan Kiai Danatirta.

Lewat tengah hari, Arum minta diri kepada ayahnya untuk pergi ke sawah. Sebenarnya tidak ada yang akan dikerjakannya, selain untuk melepaskan kekecewaan yang menyumbat dadanya.

“Aku akan menemui kawan-kawan ayah” berkata Arum.

“Tidak ada gadis-gadis yang pergi ke sawah lewat tengah hari di hari ini. Tidak ada yang akan mereka kerjakan. Pagi tadi banyak kawan-kawanmu pergi memetik lembayung”

“Tentu masih ada ayah. Mereka kadang-kadang pergi ke sawah untuk mengambil bakul tempat makanan ketika mereka membawa makanan itu ke sawah. Atau barangkali masih ada satu dua yang menunggu ayahnya atau kakaknya yang bekerja di sawah dan pulang bersama menjelang sore”

“Tetapi tidak sebanyak pagi hari. Kenapa kau tidak pergi besok pagi saja memetik lembayung?”

“Aku ingin pergi sekarang ayah”

Kiai Danatirta tidak dapat mencegahnya lagi. Ia tahu bahwa sebenarnya Arum hanya ingin sekedar menghirup udara yang lapang di sawah, karena dadanya tentu serasa tersumbat mengalami perlakuan kakak seperguruannya yang ternyata sangat mengecewakannya itu.

Karena itu Kiai Danatirta tidak mencegahnya lagi. Dibiarkannya saja Arum pergi ke sawah membawa sebuah bakul kecil.

Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan

  1. Beberapa hari nggak nginguk gandok, ternyata dah sampai jilid 15.
    Hari ini rapel semua sampai selesai di kilid 15.
    Terimakasi dan matur nuwun.

  2. Alhamdulillah…..
    Lembur rapel menyantap habis 3 jilid dah selesai, tinggal menunggu posting jilid selanjutnya.
    Setia menunggu….
    Terima kasuh.

Tinggalkan komentar