BdBK-04


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 4

kembali | lanjut

BdBK-04KAKEK sakit keras. Aku segera ingin menemui kakangku dan jika perlu, mengajaknya mengunjungi kakek”

“Kakangmu siapa?”

“Sada”

“Sada pekatik itu?”

“Ya”

“Datanglah besok pagi”

“Kakek sakit keras. Kakang Sada adalah cucunya terkasih. Ia sudah diambil anak angkat oleh kakek. Hampir setiap saat ia mengigau memanggil nama kakang Sada”

Penjaga itu merenung sejenak. Terdengar suara mereka berbisik-bisik. Agaknya mereka sedang membicarakan perminta-an abdi Ranakusuman itu”

Tiba-tiba pintu regol itu terbuka perlahan-lahan. Seorang pengawal berdiri di dalam regol sambil memandanginya. Katanya, “Tunggulah sebentar. Aku akan memanggilnya”

“Apakah aku boleh mengunjungi di dalam biliknya”

“Tunggulah di sini. Di dalam”

Pelayan Raden Rudira itu termangu-mangu. Jika ia harus berbicara di regol itu. di hadapan para pengawal, maka ia tidak akan dapat menyampaikan pertanyaan yang sebenarnya harus ditanyakannya. Karena itu. maka sekali lagi ia minta, “Sudahlah, jangan membuat kalian terlalu repot. Biarlah aku datang ke biliknya”

“Apakah kau pernah mengunjunginya”

“Pernah, tetapi di siang hari. Dan aku belum tahu letak biliknya itu. Meskipun demikian, aku ingin datang kepadanya supaya aku dapat mengatakannya dengan hati-hati, agar ia tidak terkejut karenanya”

Para petugas regol itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ia melihat kegelisahan, bahkan kekisruhan pada jawaban pelayan Ranakusuman itu. Untunglah bahwa mereka mengira, orang itu benar-benar sedang ditimpa kemalangan, bukan karena kecemasan bahwa niat kedatangannya yang sebenarnya akan dapat diketahui oleh para penjaga itu.

Sejenak kemudian maka penjaga itu berkata, “Jadi manakah yang benar? Apakah kau pernah mengunjunginya atau belum?”

Pelayan itu berpikir sejenak, lalu, “Keduanya benar. Aku pernah mengunjunginya kemari. Tetapi tidak tahu dimana ia tinggal, maksudku, aku bertemu ia di muka regol ini”

“Sudahlah” potong salah seorang dari para penjaga, “Marilah, aku antarkan saja kau ke pondoknya di belakang, di sebelah kandang”

“Terima kasih, terima kasih” sahut pelayan itu terbata-bata.

Maka dengan hati yang berdebar-debar ia pun mengikuti penjaga yang membawanya ke belakang. Dekat di sebelah kandang kuda terdapat sebuah pondok kecil. Di situlah kakaknya tinggal bersama isterinya.

Sada terkejut ketika pintu rumahnya diketok orang di malam hari. Dengan tergesa-gesa ia bangkit dan melangkah menuju ke pintu.

“Siapa?” Sada bertanya.

“Aku kakang, Sampir”

“He” Sada semakin terkejut, “Kau datang di malam begini?”

“Ya, ada perlu yang penting”

Ketika terdengar selarak pintu dibuka, maka Sampir pun berkata kepada penjaga yang mengantarkannya, “Terima kasih. Terima kasih. Orang itu benar-benar kakakku”

Penjaga itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mencampurinya, sehingga ditinggalkannya Sampir di muka pintu yang kemudian terbuka.

“O, kau diantar oleh penjaga regol itu?”

“Ya”

“Masuklah. Apakah yang penting?”

Sampir pun segera melangkah masuk. Sikapnya yang gelisah membuat kakaknya bertanya-tanya. Baru ketika pintu sudah ditutupnya, Sampir berkata, “Aku datang membawa persoalan yang penting kakang”

“Kau membuat aku berdebar-debar. Apakah yang penting itu?”

“Kepada para penjaga aku berkata bahwa kakek sakit keras”

“Kakek? Kakek yang mana?”

“Kakek kita”

“He” Sada mengerutkan keningnya, “Apakah kau kesurupan? Bukankah kakek sudah meninggal?”

“Itulah. Aku hanya sekedar memberikan alasan, agar aku dapat masuk dan menemui kau”

“Apa sebenarnya yang penting itu?”

Sampir menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia berbisik, “Apakah tidak ada orang yang akan mendengar?”

“Aku tidak mengerti, apakah yang akan kau katakan?”

“Aku mendapat perintah dari Raden Rudira”

“Apa yang harus kau kerjakan?”

“Apakah tidak ada yang mendengar?”

“Ada, mungkin mBokayumu. Ia terbangun juga tadi mendengar pintu diketuk keras-keras. Dan barangkali kuda-kuda di kandang sebelah”

“Baiklah” Sampir menelan ludahnya, “Raden Rudira ingin mengetahui, apakah Pangeran Mangkubumi ada di istana?”

“Di istana Kangjeng Susuhunan?”

“Tidak. Maksudku di istananya sendiri. Di rumah ini. Bukan di istana Kangjeng Susuhunan”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu. Tetapi ia sedang digelisahkan oleh wajah yang kembar. Setidak-tidaknya mirip sekali”

“Aku tidak mengerti” Sampir menarik nafas dalam-dalam.

“Cobalah, tenangkan sedikit hatimu, supaya kata-katamu tidak bersimpang siur”

“Apakah ada minum?”

“Ada, ada meskipun dingin”

Sada pun kemudian mengambil semangkuk air dan diberikannya kepada adiknya yang gelisah.

Setelah menelan seteguk air, dan sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, maka ia pun mulai berceritera, apa yang diketahuinya tentang perasaan Raden Rudira yang gelisah.

Sada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi Raden Rudira putera Pangeran Ranakusuma mencari seorang petani yang telah melawannya. Adalah kebetulan sekali bahwa petani itu mirip benar dengan Pangeran Mangkubumi?”

“Ya. Tetapi bukan itu saja. Di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi diketemukan pakaian petani yang menurut para pelayan di sana, pakaian itu adalah pakaian Pangeran Mangkubumi”

Sada mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sambil tersenyum ia kemudian menjawab, “Memang Pangeran Mangkubumi sering mempergunakan pakaian seorang petani. Itu menjadi kegemarannya”

Sampir mengerutkan keningnya. Terbata-bata ia bertanya, “Jadi petani itu Pangeran Mangkubumi sendiri?”

“Belum tentu. Kapan Raden Rudira melihatnya?”

“Sore tadi”

“Sore tadi?” Sada merenung sejenak, lalu, “Pangeran Mangkubumi ada di istana ini”

“He, jadi Pangeran Mangkubumi ada di rumah, eh, maksudku di istananya?”

“Ya. Sejak beberapa hari Pangeran tidak meninggalkan istananya. Ia baru samadi di sanggarnya”

“Kau melihat sendiri?”

“Kudanya ada di kandang. Kalau kau tidak percaya, tunggulah sampai fajar. Hampir setiap fajar, Pangeran Mangkubumi berjalan-jalan mengelilingi halaman Kapangeranan ini”

“Tetapi tadi kau katakan bahwa Pangeran Mangkubumi sedang samadi di sanggarnya”

“Ya. Namun setiap pagi Pangeran Mangkubumi turun dari sanggar dan berjalan-jalan mengelilingi halaman”

Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia masih ingin meyakinkan, “Tetapi kau benar-benar melihatnya”

“Aku yakin. Sebelum aku pergi tidur, aku melihat Pangeran Mangkubumi berada di pendapa sejenak”

Tetapi Sampir justru menjadi semakin bingung. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan mengatakannya kepada Raden Rudira. Terserah, kesimpulan apakah yang akan diambilnya”

Sada yang melihat adiknya menjadi semakin bingung justru tersenyum sambil berkata, “Kau jangan ikut menjadi bingung. Banyak rahasia yang tidak diketahui tentang Pangeran Mangkubumi. Tetapi ia adalah seorang Pangeran yang baik, yang ramah dan rendah hati. Tetapi pendiriannya keras sekeras besi baja. Ia tidak mudah terpengaruh oleh persoalan-persoalan baru yang tampaknya memikat hati”

Sampir mengangguk-angguk.

“Katakan apa yang kau dengar tentang Pangeran Mangku-bumi. Ia ada di istananya malam ini. Jika yang dijumpainya di Sukawati itu juga Pangeran Mangkubumi, maka hal itu pun mungkin pula terjadi”

“Jadi bagaimana? Apakah Pangeran Mangkubumi bergegas kembali ke Dalem Kapangeranan?”

“Tidak perlu bergegas. Jika dikehendaki, ia dapat menempuh jarak dari Sukawati ke istana ini dalam sekejap. Mungkin ia berada di Sukawati, dan sekejap kemudian berada di sini”

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

“Apakah kau belum pernah mendengar, bahwa Pangeran Mangkubumi memiliki aji Sepi Angin”

“O”

Sada tertawa tertahan melihat wajah adiknya yang tegang.

“Jangan bingung. Jangan hiraukan tentang Sepi Angin. Tetapi katakan saja kepada Raden Rudira, bahwa Pangeran Mangkubumi ada di rumahnya. Dengan demikian ia akan menjadi tenang”

“Tidak. Bahkan sebaliknya. Ia pasti akan semakin bernafsu mencari petani itu kembali. Hanya karena ia ragu-ragu, bahwa petani yang mirip Pangeran Mangkubumi itu benar-benar Pangeran Mangkubumi itu sendirilah, maka ia tidak berbuat apa-apa dan memerintahkan aku malam-malam begini menemuimu”

Sada masih tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan kau bicarakan lagi. Apakah kau akan tidur di sini atau kembali? Sebentar fajar akan menyingsing”

Sampir menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Raden Rudira menunggu aku. Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepada para penjaga, bahwa kakek sedang sakit. Kau harus menyesuaikan dirimu”

Tetapi kakaknya masih saja tertawa, katanya, “Jangan gelisah. Aku akan mengatakan kepada mereka, bahwa kakek memang sakit. Dan aku akan pergi menengoknya. Karena itu, kita berangkat setelah fajar”

Sampir merenung sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara seorang perempuan bertanya dari dalam bilik tidurnya

“Siapa yang sakit?”

“Ia mendengar percakapan kita. Tetapi agaknya hanya yang terakhir. Rupa-rupanya ia tidur terlampau nyenyak, sehingga ia tidak mendengar percakapan kita sebelumnya. Ia tertidur lagi, setelah aku membuka pintu dan tahu, bahwa yang datang adalah kau”

Sampir mengangguk-anggukkan kepalanya, dan suara itu bertanya lagi, “Siapakah yang sakit?”

“Kakek” sahut Sampir.

“Kakek siapa?”

“Ssst, nanti aku beritahu” sahut suaminya. Perempuan itu diam. Tetapi ia tidak keluar dari biliknya.

Setelah mereka terdiam sejenak, maka Sampir pun bertanya, “Jadi kau akan pergi juga”

“Tentu, bukankah kau sudah mengatakan kalau kakek sakit?”

“Baiklah, jika demikian, biarlah aku menunggu sampai fajar menyingsing”

Kakaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak kemudian ia pun berdiri dan membuka pintu pondoknya. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata, “Sudah semburat”

“Apa?”

“Fajar. Aku akan mandi dan minta diri agar pekerjaanku dapat dikerjakan oleh orang lain. Di sini hanya ada dua pekatik, apalagi kami merangkap juru taman”

Sampir tidak menjawab. Kakaknya pun kemudian melangkah Keluar membersihkan wajahnya di pakiwan. Ternyata ia tidak mandi sepenuhnya, selain kepalanya dan kaki tangannya.

Setelah memberikan pesan secukupnya kepada isterinya, maka ia pun minta diri. Ia akan mengunjungi kakeknya yang sakit seperti yang dikatakan adiknya dan berpesan pula kepada kawannya, mungkin ia lambat kembali.

“Apakah kau akan pergi sampai tengah hari?”

“Menjelang tengah hari, aku kira aku sudah kembali”

Demikianlah keduanya meninggalkan pondok Sada pada saat fajar menyingsing. Seperti yang sudah terlanjur dikatakan, keduanya kan pergi ke rumah kakeknya yang sedang sakit.

Tetapi tiba-tiba langkah mereka terhenti di sudut pendapa. Sesosok bayangan berjalan perlahan-lahan di dalam keremangan fajar. Sambil mengayunkan tongkatnya, orang itu melangkah menyilang dari sudut halaman yang satu ke sudut yang lain”

“Itulah Pangeran Mangkubumi” desis Sada.

“O” tiba-tiba wajah Sampir menjadi pucat. Dengan serta merta ia menjatuhkan diri berjongkok ketika orang yang disebut sebagai Pangeran Mangkubumi itu berpaling kearah mereka.

Tetapi Sada tidak berjongkok. Sada hanya menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

Sampir menjadi semakin berdebar-debar ketika orang itu memperhatikannya dan berkata, “Kenapa ia berjongkok”

Barulah Sada sadar, dan segera menarik adiknya berdiri.

“Bukankah itu Pangeran Mangkubumi” bisik Sampir.

“Ya, Pangeran Mangkubumi tidak mengharuskan abdinya berjongkok setiap saat. Hanya dalam keadaan tertentu”

Tetapi Sampir masih ragu-ragu. Ia menjadi gemetar ketika ia melihat Pangeran Mangkubumi itu mendekatinya.

Tampaklah di dalam cahaya lampu pendapa, wajah Pangeran yang penuh wibawa itu. Berpandangan tajam tetapi lembut.

“Orang ini, memang orang di Sukawati itu” tiba-tiba Sampir berkata di dalam hatinya, “petani itu bukan saja mirip, tetapi tepat tidak ada bedanya sama sekali”

“Siapakah kau?” bertanya Pangeran Mangkubumi kepada Sampir yang masih belum mau berdiri.

“Ampun tuan. Hamba adalah abdi Ranakusuman” Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Kenapa kau di sini pagi-pagi benar?”

“Hamba, eh, hamba ingin menemui kakak hamba ini”

“Ada apa?”

Tiba-tiba saja terasa mulutnya seakan-akan membeku. Dibawah tatapan mata Pangeran Mangkubumi, Sampir sama sekali tidak dapat berbohong. Ia tidak tahu. pengaruh apakah yang sudah mencengkamnya. Namun tidak sepatah katapun yang dapat diucapkan.

“Adik hamba mengabarkan bahwa kakek sedang sakit tuan” Sada lah yang menyahut sambil membungkuk dalam-dalam.

“O” Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk, “Dan kau akan pergi mengunjunginya?”

“Ya tuan” Sada menjawab.

“Dan kau adiknya?”

“Hamba tuan” Sampir menyembah.

“Aku sudah mengira, bahwa ia bukan abdi Mangkubumen” berkata Pangeran Mangkubumi, “sikapnya bukan sikap orang-orangku di sini”

Keduanya tidak menjawab.

“Baiklah, kalau kau akan pergi menengok kakekmu itu. Apakah kau sudah memberitahukan kawanmu? Bukankah kau pekatik?”

“Ya tuan. Hamba sudah memberitahukan kepada kawan hamba. Hamba berharap, sebelum tengah hari hamba sudah datang”

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berjalan lagi meninggalkan kedua orang itu termangu-mangu.

“Kenapa kau tidak berjongkok” bertanya Sampir kemudian setelah Pangeran Mangkubumi menjauh, “Kami harus berjongkok di hadapan Pangeran Ranakusuma”

“Sudah aku katakan. Kami tidak harus berjongkok setiap saat” jawab kakaknya.

Sampir tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih memandang Pangeran Mangkubumi yang menjauh. Rasa-rasanya ada sesuatu yang lain padanya dari Pangeran Ranakusuma.

Demikianlah keduanya pun kemudian meninggalkan istana Mangkubumen. Bagi Sada, kepergiannya itu sebenarnya hanyalah sekedar untuk menutup ceritera adiknya tentang kakeknya yang sakit. Kakek yang sangat mengasihinya.

“Sekarang kemana aku harus pergi?” tiba-tiba saja Sada berdesis.

Sampir tidak segera menjawab. Ia pun tidak tahu, kemanakah sebaiknya Sada pergi.

“Aku akan pergi ke Ranakusuman” berkata Sada tiba-tiba.

“O” adiknya termangu-mangu.

“Lebih baik pergi ke tempatmu daripada aku harus mengelilingi kota sampai tengah hari”

“Baik, baik. Kau akan dapat memberikan keterangan tentang Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian mereka tidak akan dapat menuduh aku berbohong”

Sada mengangguk. Namun tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengetahui, apa saja yang akan ditanyakan oleh Raden Rudira kepadanya tentang Pangeran Mangkubumi? Kenapa ia begitu gelisah sehingga mengirimkan adiknya di jauh malam untuk menemuinya dan sekedar bertanya, apakah Pangeran Mangkubumi ada di rumah.

Karena itu, maka ia pun membulatkan niatnya untuk ikut bersama adiknya pergi ke Ranakusuman.

Dalam pada itu, di Ranakusuman, Raden Rudira ternyata hanya tertidur beberapa saat. Di pagi-pagi benar ia sudah terbangun dan langsung mencari Sampir.

“Anak itu belum datang” seorang pelayan memberitahukan kepadanya.

“He, sampai fajar anak itu masih belum datang? Apakah ia mati di pinggir jalan atau dicekik hantu regol Mangkubumen?”

Pelayannya tidak berani mengangkat wajahnya.

“Cari anak itu sampai ketemu. Ia harus menghadap aku segera”

Pelayan itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam sambil berdesis dengan suara gemetar, “Ya tuan. Aku akan mencarinya”

“Cepat”

Orang itu pun segera meninggalkan Raden Rudira yang marah-marah. Tetapi ia tidak tahu, kemana ia harus mencari Sampir. Ia tahu bahwa Sampir pergi ke Mangkubumen. Tetapi apakah ia harus menyusulnya?

Selagi ia kebingungan, maka dilihatnya dua orang memasuki regol halaman. Orang itu adalah Sampir.

“Cepat” Orang itu berlari-lari, “Kau dicari oleh Raden Rudira”

“O” Sampir mengangguk-angguk. Sambil berpaling kepada kakaknya ia berkata, “Marilah, Raden Rudira akan senang sekali dapat bertemu dengan kau”

Sada mengangguk-angguk. Ia pun kemudian mengikuti adiknya berjalan cepat ke serambi belakang”

“He, Raden Rudira tidak ada di situ” berkata pelayan yang mencarinya.

Sampir tertegun. Terbata-bata ia bertanya, “Dimana?”

“Di gedogan. Ia sedang menengok kudanya yang baru” keduanya segera pergi ke kandang kuda. Meskipun hari masih agak gelap, tetapi ternyata Raden Rudira sudah berada di kandang kudanya yang baru, seekor kuda yang tegar berbulu coklat kehitam-hitaman.

“He, cepat, kemarilah” Panggil Raden Rudira ketika ia melihat Sampir mendekat.

“Apakah Ramanda Pangeran ada di istana?” langsung Raden Rudira bertanya

Sampir menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Raden, Pangeran Mangkubumi ada di istananya”

“Nah, bukankah aku benar. Laki-laki itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ramanda Pangeran Mangkubumi. Bodoh sekali, kenapa aku tidak berbuat sesuatu”

Tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak, “Sura, eh, aku tidak memerlukannya lagi, Mandra. Panggil Mandra kemari”
Pelayannya pun segera berlari-lari memanggil pengawal yang bertubuh raksasa yang bernama Mandra untuk menghadap Raden Rudira.

Namun dalam pada itu, sesosok tubuh yang lain berada di balik dinding gedogan dengan dada yang berdebar-debar. Ia mendengar semua pembicaraan, ia tahu bahwa Raden Rudira sudah tidak memperhatikannya lagi, karena orang itu adalah Sura.

Tetapi Sura yang sudah menemukan dirinya, tidak memperdulikannya lagi. Ia sama sekali tidak menyesal, bahwa ia akan dikeluarkan dari istana Ranakusuman, tempat ia bekerja bertahun-tahun. Namun sikap Raden Rudira, semakin lama semakin tidak disukainya.

Sura yang berada di belakang dinding itu mendengar derap kaki Mandra berlari-lari. Bahkan dari celah-celah dinding yang tidak rapat, ia melihat orang yang bertubuh tinggi kekar itu dengan tenang datang menghadap Raden Rudira. Sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam ia bertanya, “Apakah tuan memanggil aku?”

“Ya. Aku memerlukan kau”

“Aku selalu siap menjalankan perintah tuan”

“Dengar” katanya, “petani itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Mandra menjadi bingung mendengarnya. Ia tidak segera mengerti apa yang dikatakan oleh Raden Rudira.

“He, kenapa kau mendengarnya dengan mulut ternganga?” bentak Raden Rudira.

Mandra masih merenung sejenak, baru kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “O, tentu, tentu Raden. Memang tidak ada hubungan apapun juga antara petani itu dengan Pangeran Mangkubumi.

“Jadi, aku harus menangkapnya. Aku harus menemukannya kembali, selagi ia belum lari dari Sukawati. Sura lah yang agaknya telah berkhianat. Mungkin ia menjadi sangat ketakutan setelah ia dikalahkan oleh petani itu”

“Sura memang tidak berarti apa-apa tuan. Jika tuan menghendaki, aku sanggup mengantarkan tuan meskipun tanpa orang lain. Aku sanggup menangkapnya sendiri dan membawanya kemari, menyeretnya di belakang kuda dengan tangan terikat”

“Bagus. Kita akan mengambilnya. Hatiku masih belum puas, Jika aku belum berhasil menangkapnya” Raden Rudira menggeram, “Kita akan mengambil petani itu sekaligus dengan perempuan dari Jati Aking”

“Perempuan dari Jati Aking?” Mandra bertanya.

“Ya. Petani itu pulalah yang telah menggagalkan rencanaku atas gadis Jati Aking itu”

Mandra masih belum jelas, apakah hubungan antara petani itu dengan seorang gadis dari Jati Aking, meskipun ia pernah mendengar bahwa petani itu dijumpai pertama-tama di bulak Jati Sari.

Namun selagi Mandra bertanya-tanya di dalam hati dan mencoba menghubung-hubungkan ceritera yang pernah didengarnya itu dengan perempuan yang dimaksud Raden Rudira, tiba-tiba saja Sada yang selama itu hanya mendengarkan saja berkata, “Tetapi tidak mustahil bahwa Pangeran Mangkubumi lah petani yang tuan maksud itu”

Raden Rudira membelalakkan matanya. Dipandanginya orang itu tajam-tajam. Kemudian ia bertanya, “Siapakah laki-laki ini?”

“Ampun tuan” Sampir lah yang menjawab, “Orang ini adalah kakakku. Ia adalah abdi di Mangkubumen. Kepadanya aku bertanya tentang Pangeran Mangkubumi, dan adalah kebetulan sekali bahwa aku telah melihatnya sendiri”

“Tetapi kenapa ia berkata begitu?”

Sada seakan-akan sama sekali tidak mengerti, akibat apa yang dapat timbul dari kata-katanya. Seenaknya ia berkata, “Memang Mungkin sekali. Pangeran Mangkubumi dapat berada di sembarang tempat di setiap waktu”

Raden Rudira menjadi tegang, “Maksudmu?”

“Pangeran Mangkubumi mempunyai aji Sepi Angin”

Wajah Raden Rudira menjadi merah. Sejenak ia memandang wajah Sada. Namun sejenak kemudian dipandanginya wajah pelayan-pelayannya yang ada di sekitarnya. Dan ternyata bahwa wajah-wajah itu pun menegang juga.

Namun tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Bohong kau”

Tetapi masih seenaknya Sada menggeleng, “Kenapa aku berbohong? Aku hanya memperingatkan tuan, agar tuan tidak salah langkah. Dari Sampir aku mendengar bahwa tuan menjadi ragu-ragu melihat seorang petani yang mirip dengan Pangeran Mangkubumi. Memang tidak mustahil bahwa petani itu memang Pangeran Mangkubumi”

Raden Rudira memandang Sada dengan tajamnya. Ia sama sekali tidak senang melihat sikapnya. Seakan-akan ia sedang berbicara dengan orang-orang sejajarnya. Apalagi persoalan yang dikatakannya telah menimbulkan keragu-raguan yang sangat di dalam hatinya.

Karena itu, maka dengan wajah yang merah ia membentak, “Aku tidak memerlukan keteranganmu. Aku tidak memerlukan kau. Pergi. Pergi dari sini. Sikapmu tidak menyenangkan dan kau mulai membual seperti pelayan-pelayan pesanggrahan itu. Aku harus melaporkannya kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi bahwa pasti ada seseorang dari abdi-abdinya yang dengan sengaja mengacaukan susunan tata-krama”

Sada terkejut mendengar bentakan-bentakan itu, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Kenapa tuan membentak-bentak aku?”.

“Kau tidak mengenal sopan santun. Dan kau sengaja membuat aku gelisah” lalu Raden Rudira berkata kepada Sampir, “bawa orang ini meninggalkan halaman”

Sampir menjadi termangu-mangu. Karena itu ia tidak segera berbuat sesuatu sehingga Raden Rudira membentaknya pula, “Cepat, bawa orang ini pergi”

“Ya, ya tuan” Ia menyahut terbata-bata.

Sada pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak disukai oleh Raden Rudira. Karena itu, maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah Raden. Aku minta diri. Aku minta maaf, bahwa aku berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hati Raden. Mungkin hal ini terbawa oleh kebiasaan kami di istana Pangeran Mangkubumi”

“Cukup, Cukup. Kau tidak usah sesorah sekarang tinggalkan halaman ini”

“Baiklah Raden” sahut Sada sambil membungkuk sekali lagi.

Demikianlah, Sampir telah membawa kakaknya keluar regol halaman Ranakusuman, sambil minta maaf kepadanya.

“Kau tidak apa-apa. Baiklah aku berjalan berkeliling kota sampai menjelang tengah hari, seolah-olah aku sudah menengok kakek yang sedang sakit”

Dalam pada itu Raden Rudira benar-benar telah dicengkam kembali oleh keragu-raguan yang dahsyat. Keterangan Sada membuatnya semakin bingung, sehingga dendam yang tersimpan di dalam dadanya seakan-akan menghentak-hentak tanpa mendapat saluran.

Dalam kebingungan dan kebimbangan itulah, tiba-tiba. Raden Rudira mencari sasaran yang paling lunak untuk melepaskan kemarahannya. Katanya kepada Mandra, “Sebentar lagi matahari akan terbit. Jika panasnya mulai menyentuh atap gandok kulon, kalian harus sudah siap. Aku akan pergi ke Jati Aking. Aku akan mengambil gadis itu atas perintah ibunda. Ibunda Ranakusuma memerlukan seorang pelayan untuk menyiapkan tempat sirihnya setiap saat”

Perintah itu sebenarnya sangat mengejutkan. Apalagi Sura yang berada di balik dinding dengan gelisah. Jika Rudira masih saja berdiri di situ sampai matahari naik, maka kehadirannya pasti diketahui oleh salah seorang yang ada di sekitar kandang itu.

Untunglah bahwa kemudian jatuh perintah Raden Rudira yang mengejutkan itu, sehingga sejenak kemudian Raden Rudira pun meninggalkan kandang itu sambil menggeram, “Aku harus mengambilnya. Tidak seorang pun dapat menentang perintah seorang Pangeran. Dan ayahanda lewat ibunda menghendaki gadis itu”

Para abdinya yang termangu-mangu itupun sejenak kemudian telah meninggalkan kandang itu pula Meskipun mereka harus menggerutu, tetapi mereka tidak dapat menolak. Betapapun lelahnya, mereka harus segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Jati Sari.

“Mudah-mudahan petani itu tidak kita jumpai lagi di Jati Sari” desis salah seorang dari mereka.

Jika benar orang itu Pangeran Mangkubumi yang mempunyai aji Sepi Angin, tidak mustahil tiba-tiba saja ia sudah berada di padepokan Jati Aking itu” sahut kawannya.

“Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak mengetahui rencana yang tiba-tiba saja meledak karena kemarahan yang tidak tersalurkan. Tindakan ini semata-mata adalah semacam pelepasan yang hampir-hampir tidak dapat dimengerti”

“Sst, siapa tahu, selain aji Sepi Angin, Pangeran Mangkubumi juga mempunyai aji Sapta Pangrungu. Ia mendengar setiap pembicaraan yang dikehendakinya”

“Apakah ia sekarang sedang mendengarkan pembicaraan kita dan pembicaraan Raden Rudira beberapa saat tadi?”

“Mungkin, karena Sampir baru saja meninggalkan istana Pangeran Mangkubumi itu. Pangeran Mangkubumi ingin mengetahui yang akan dilaporkannya kepada Raden Rudira”

“Terasa tengkuk orang itu meremang. Baginya Pangeran Mangkubumi dan petani di bulak Jati Sari itu adalah orang-orang yang menyimpan rahasia yang tidak terpecahkan.

Tetapi mereka harus pergi, meskipun mereka tahu, bahwa Raden Rudira hanya sekedar ingin melepaskan kemarahan yang bergejolak di hatinya. Ia tentu ingin membuat Raden Juwiring menjadi semakin sakit hati karena gadis yang diambilnya itu.

“Apakah gadis itu bakal isteri Raden Juwiring?” bertanya seseorang kepada kawannya.

“Siapa yang bilang? Gadis itu adalah anak Danatirta. Jika di antara mereka timbul juga perasaan saling mencintai, itu wajar sekali. Setiap hari mereka bertemu dan bergaul. Apalagi Raden Juwiring adalah seorang anak muda yang tampan dan rendah hati”

Merekapun kemudian terdiam Namun tangan merekalah yang sibuk dengan alat-alat yang harus mereka bawa. Alat-alat berburu yang tidak akan dipergunakannya karena sebenarnya mereka tidak akan berburu binatang di hutan-hutan perburuan.

Dengan tergesa-gesa mereka pun makan pagi. Jika matahari naik, tentu Raden Rudira akan segera membawa mereka pergi.

Demikianlah, dugaan mereka itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika langit menjadi semakin cerah, dan sinar matahari mulai jatuh diatas atap gandok kulon, maka Raden Rudira segera mempersiapkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi kepada Sura. Apakah ia ada di halaman istana atau tidak. Tetapi Raden Rudira tidak membawanya serta, karena ternyata Sura tidak lagi Sura yang setia.

Demikianlah maka Raden Rudira beserta para pengiringnya segera berpacu ke Jati Aking. Beberapa orang yang melihat menjadi terheran-heran. Baru saja mereka melihat Raden Rudira berangkat berburu dua hari yang lalu. Sekarang mereka melihat Raden Rudira telah berangkat lagi.

Raden Ayu Sontrang hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Ia tidak dapat lagi mencegah anaknya yang bernafsu untuk melepaskan kemarahannya kepada orang-orang yang dianggapnya menjadi sebab. Jika Juwiring dan orang-orang Jati Aking itu tidak mengganggunya saat itu, maka petani itu pun tidak akan berbuat apa-apa.

“Kemanakah Rudira itu pergi?” bertanya Pangeran Ranakusuma kepada isterinya.

Raden Ayu Sontrang tidak segera menjawab. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Makan telah kami sediakan. Silahkan kangmas makan pagi”

“Rudira itu pergi kemana?” Pangeran Ranakusuma mengulang.

“Isterinya masih saja tersenyum. Katanya, “Janganlah kangmas terlampau menghiraukan anak itu. Ia sudah meningkat dewasa. Ia akan dapat menemukan jalannya sendiri yang dianggapnya baik”

“Aku hanya bertanya, ia akan pergi kemana”

Raden Ayu Sontrang justru tertawa.

“Baru semalam ia datang. Belum lagi aku sempat berbicara, ia telah pergi lagi. Aku tidak tahu tabiat anak-anak muda sekarang. Terlampau sulit untuk diketahui kemauannya”

“Kangmas menganggapnya masih terlampau kanak-kanak”

“Tidak. Justru aku meng-anggap ia sudah meningkat dewasa, maka ia harus menemukan kepribadiannya. Selama ini Rudira hampir tidak pernah berbuat apa-apa yang dapat berarti bagi hidupnya kemudian. Ia sama sekali tidak mau mempelajari tata pemerintahan, tidak mempelajari ilmu kehidupan dan ilmu tata susunan alam dan bintang-bintang. Ia malas membaca kitab-kitab dan kidung yang berisi ilmu kasampurnan, dan ia tidak pula maju dalam ilmu kanuragan”

“O” Raden Ayu Sontrang mengerutkan keningnya, namun kemudian ia duduk di sebelah suaminya sambil berkata, “pada saatnya hatinya akan terbuka. Kangmas lah yang wajib menuntunnya. Sampai sekarang kangmas terlampau sibuk dengan pemerintahan di Surakarta berhubung dengan kehadiran orang-orang asing itu”

“Dan kau sibuk pada jamu-jamuan yang diselenggarakan oleh mereka itu dan jamuan yang kita adakan untuk mereka.

Terasa dada Raden Ayu Sontrang berdesir. Baru semalam, sebelum anaknya pulang ia menghadiri jamuan tamu-tamu asing itu dan kemudian menjamu mereka pula. Jamuan yang tidak sekedar makan dan minum.

Namun sejenak kemudian Raden Ayu Sontrang itu sudah tersenyum kembali sambil berkata, “Tetapi masih belum terlambat. Kita akan segera menebus kelambatan itu. Bukankah kita dapat memanggil guru yang cakap untuk menuntun Rudira di dalam bermacam-macam ilmu?”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menatap kekejauhan ia berkata, “Tetapi kalau kita tidak segera melakukannya, pada suatu saat, kita baru akan sadar, jika kita sudah terlambat”

Isterinya tidak menyahut, tetapi diangguk-anggukkannya kepalanya pula. Bahkan kemudian katanya, “Kangmas, silahkan makan. Semuanya sudah tersedia. Bukankah kangmas akan segera menghadap ke istana?”

Demikianlah, ketika Pangeran Ranakusuma berangkat ke istana, maka Raden Rudira berpacu secepat-cepatnya di tengah-tengah bulak menuju ke Jati Aking. Ia mengurungkan niatnya untuk kembali ke Sukawati karena keragu-raguan yang mencengkam dadanya. Sekali-sekali terbayang wajah petani itu, namun kadang-kadang ia diganggu oleh wajah Pangeran Mangkubumi yang memang hampir tidak dapat dibedakannya.

“Persetan dengan petani itu” geramnya, “Aku harus melepaskan sakit hatiku kepada kakang Juwiring. Mandra pasti akan lebih berhasil dari Sura yang berkhianat itu”

Dengan demikian, maka mereka berpacu semakin cepat. Ketika matahari merayap semakin tinggi, maka mereka pun telah membelah daerah persawahan di Jati Sari.

“Kita hampir sampai” desis Rudira.

Yang berpacu di sebelahnya kini adalah Mandra Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya, “Apakah mereka tidak sedang berada di sawah?”

“Aku tidak peduli. Aku harus pergi ke Jati Aking menemui Kiai Danatirta. Ia harus menghadap dan membawa Juwiring, anak dungu yang hampir saja mencelakai Sura dengan licik itu. dan anak gadisnya. Aku memerlukan gadis itu. Tidak seorang pun akan dapat mencegahnya. Kalau perlu, kau dapat bertindak dengan kekerasan”

“Jangan cemas” sahut Mandra, “Aku tidak akan mengecewa-kan tuan seperti Sura. Aku akan berhasil membawa gadis itu. Meskipun Raden Juwiring kini memiliki aji Lebur Seketi dan Tameng Waja seperti yang pernah dimiliki oleh Kangjeng Sultan Pajang, namun ia tidak akan berhasil mencegah aku”

“Ia tidak akan dapat berbuat banyak. Yang gila adalah petani dari Sukawati itu. Hampir tanpa berbuat sesuatu ia sudah berhasil mengalahkan Sura” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu, “Apakah ia mempunyai kekuatan gaib pada tatapan matanya yang tajam itu, yang sering disebut sebagai aji Candramawa”

“Aku tidak peduli tuan. Aku akan memaksa mereka menurut segala perintah tuan. Dan jika tuan kehendaki, aku dapat mengikat mereka dan menuntun mereka di belakang kaki kuda ini”

Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia memang mengharap, mudah-mudahan Mandra adalah orang yang lebih baik dari Sura.

Demikianlah, maka menjelang tengah hari, mereka telah berada di bulak Jati Sari. Sebentar lagi mereka akan memasuki padepokan Jati Aking, padepokan yang agak terpisah, di luar padukuhan Jati Sari meskipun tidak begitu jauh.

“Apakah kita akan langsung pergi ke padepokan Jati Aking?” bertanya Mandra.

“Ya. Jika kakang Juwiring dan orang-orang yang kita cari sedang berada di sawah, maka Danatirta harus memanggil mereka” sahut Raden Rudira.

Mandra mengangguk-angguk. Namun ia menjadi berdebar-debar. Kali ini ia ingin menunjukkan kemampuannya bertindak melampaui Sura, agar ia benar-benar mendapat tempat untuk menggantikan orang yang dianggapnya sudah terlalu lama menduduki tempat yang paling baik di Ranakusuman.

“Aku harus mengatasi” Mandra bergumam kepada diri sendiri, “Jika aku gagal kali ini, maka aku tidak akan berhasil mengusir Sura meskipun Sura sudah berkhianat. Raden Rudira pasti akan mencari orang lain yang Setidak-tidaknya tidak lebih jelek dari Sura”

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun sudah menjadi semakin dekat dengan padepokan Jati Aking. Beberapa orang yang melihat iring-iringan itu menjadi cemas. Mereka masih belum melupakan peristiwa beberapa hari yang lalu di bulak Jati Sari.

Beberapa orang yang tidak sempat menyingkir dari jalan yang dilalui Raden Rudira memberikan hormat yang sedalam-dalamnya. Bahkan ada yang menjadi ketakutan dan berjongkok meskipun mereka mengerti, bahwa mereka tidak harus berbuat demikian.

Raden Rudira tidak mengacuhkan mereka. Tetapi peng-hormatan yang diterimanya sedikit menawarkan kemarahannya, setelah ia mengalami perlakuan yang menyakitkan hati si Sukawati. Orang-orang Sukawati seakan-akan tidak mengacuhkannya ketika ia lewat. Mereka berdiri saja dengan tangan bersilang di dada. Tetapi ternyata orang-orang Jati Sari lebih bersikap sopan. Mereka membungkuk dalam-dalam atau bahkan berjongkok di tepi jalan.

Seorang pengiring yang pernah pergi ke Jati Aking diperintahkan oleh Raden Rudira berkuda di paling depan. Kemudian di belakangnya adalah Raden Rudira dan Mandra.

Ketika pengiring yang berkuda di paling depan itu berhenti di depan regol padepokan, maka Raden Rudira pun mendahuluinya sambil berkata, “Kita berkuda terus. Tidak ada orang yang berhak melarang”

Demikianlah maka sejenak kemudian kuda-kuda itu berderap di halaman padepokan yang bersih gilar-gilar dibayangi oleh sepasang pohon sawo kecik yang sejuk.

Ternyata derap kaki-kaki kuda itu telah terdengar oleh para penghuninya, sehingga dengan tergesa-gesa Kiai Danatirta menjengukkan kepalanya lewat pintu depan.

Raden Rudira yang sudah berada di depan pendapa melihat kepala yang terjulur disela-sela pintu itu sehingga dengan serta merta ia berkata, “Ha, aku datang Kiai”

Kiai Danatirta pun kemudian muncul dari balik pintu. Dengan berlari-lari kecil ia melintasi pendapa. Dengan hormatnya ia menyambut kedatangan Raden Rudira di tangga pendapa, sementara Raden Rudira masih berada di punggung kudanya.

“Silahkan Raden” dengan ramahnya ia mempersilahkan tamunya, “Agaknya aku mendapat anugerah tiada taranya, Raden sudi berkunjung ke padepokan ini”

Raden Rudira termangu-mangu sejenak. Diedarkannya tatapan matanya ke sekeliling padepokan. Halaman yang bersih dan terawat. Rerumputan yang hijau dan pohon-pohon bunga yang tumbuh di sekeliling halaman itu. Beberapa sangkar burung bergantungan di pepohonan yang rindang. Burung dari bermacam-macam jenis. Jenis burung bersiul dan jenis burung mendekur.

Di tengah-tengah halaman itu sepasang pohon sawo kecik yang belum tua benar tumbuh dengan rimbunnya, membuat halaman itu semakin sejuk dan segar. Sedang beberapa pohon buah-buahan yang lain bertebaran di sana-sini memenuhi halaman dan kebun padepokan itu.

Karena Rudira tidak menjawab, maka sekali lagi Kiai Danatirta mempersilahkan, “Tuan, marilah, silahkan tuan naik ke pendapa”

Seperti kena pesona maka Raden Rudira pun turun dari kudanya diikuti oleh para pengiringnya. Selangkah demi selangkah ia naik tangga pendapa. Demikian juga para pengiringnya.

Ternyata di tengah-tengah pendapa itu sudah terbentang beberapa helai tikar yang putih seperti seputih janggut yang tumbuh di dagu Kiai Danatirta meskipun tidak begitu lebat dan panjang.

“Silahkan tuan”

Raden Rudira memandang tikar yang terhampar itu sejenak Kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau tahu bahwa aku akan datang kemari?”

Kiai Danatirta tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia berkata ia, “Kunjungan tuan sangat mengejutkan. tetapi juga membesarkan hati, bahwa padepokan yang kecil ini mendapat juga perhatian tuan”

“Jangan mengada-ada” sahut Raden Rudira, “Kangmas Juwiring berada di sini. Bukan untuk sekedar berkunjung”

“Justru karena ia sudah ada di sini, maka tidak ada lagi yang menarik padanya. Tetapi kedatangan tuan adalah suatu kehormatan bagiku”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Ketika ia akan duduk diatas tikar yang sudah terhampar itu, sekali lagi ia bertanya, “Apakah kau tahu, bahwa aku dan pengiringku akan datang?”

Seperti tidak mendengar pertanyaan itu Kiai Danatirta mempersilahkan, “Marilah tuan, silahkan duduk di sini. Biarlah para pengiring duduk di sebelah”

Raden Rudira maju beberapa langkah dan duduk di hadapan Kiai Danatirta yang segera duduk pula, di sebelah Mandra.

Sementara itu para pengiring Raden Rudira pun telah duduk pula di sebelah tiang tengah, melingkar saling berhadapan. Sejenak mereka saling berpandangan, seakan-akan saling bertanya, apakah yang akan segera terjadi?

Dalam pada itu Kiai Danatirta pun bertanya sekedar keselamatan Raden Rudira dan pengiringnya. Dan Rudira pun menjawab acuh tak acuh karena ia tahu, bahwa hal itu hanyalah sekedar kelengkapan adat sopan santun, yang bahkan dirasakan sangat mengganggunya, karena ia tidak segera dapat mengatakan maksudnya.

Baru kemudian, Rudira sempat berkata, “Aku datang untuk suatu keperluan yang penting Kiai”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bertanya, “Silahkan Raden duduk dahulu. Silahkan Raden menikmati hidangan yang akan kami suguhkan. Bukankah Raden tidak tergesa-gesa. Raden dapat tinggal di padepokan ini sehari atau bahkan beberapa hari yang Raden ingini. Sekali-sekali Raden dapat melihat kehidupan padesan, sekali-sekali Raden dapat melihat kenyataan hidup petani-petani miskin di daerah Surakarta.

Terasa sesuatu berdesir di dada Rudira. Namun dengan demikian ia bahkan menjadi semakin ingin cepat menyampaikan maksudnya. Katanya, “Aku tidak mempunyai banyak kesempatan”

“O, tetapi tunggulah sebentar tuan. Kami harus menjamu tuan meskipun hanya sekedar apa yang ada di padepokan”

“Aku tidak sempat menunggu. Aku harus segera kembali sebelum ayahanda mencari aku”

“Bukankah ayahanda tuan mengetahui bahwa Raden pergi kemari?”

“Ayahanda lah yang memerintahkan aku pergi kemari”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apalagi ayahanda Raden sendirilah yang memerintahkan Raden kemari”

“Tetapi ayahanda berpesan agar aku segera kembali”

Kiai Danatirta tersenyum. Katanya, “Silahkan tuan duduk sejenak”

“Jangan pergi. Aku akan segera kembali”

Tetapi Kiai Danatirta seakan-akan tidak mendengar kata-kata Raden Rudira itu. Ia pun segera beringsut dan meninggalkan tamu-tamunya masuk ke dalam.

Sejenak kemudian ia sudah kembali. Sambil tersenyum ia duduk Di tempatnya. Katanya, “Kami akan menghidangkan air. Hanya air untuk penawar haus”

Raden Rudira tidak sempat menjawab ketika pintu pringgitan kemudian segera terbuka. Seorang gadis keluar sambil menjinjing sebuah nampan berisi beberapa mangkuk air panas.

Sejenak Raden Rudira terpesona. Gadis itulah yang dilihatnya di tengah-tengah bulak beberapa saat yang lalu, sehingga tanpa disadarinya ia telah terlibat dalam suatu pertengkaran dengan petani dari Sukawati itu. Dan kini gadis itu datang untuk menghidangkan air panas baginya.

Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Ia sudah tertarik melihat gadis itu di bawah terik matahari. Dalam pakaian seorang anak petani yang membawa makanan ke sawah. Kini gadis itu tidak dibakar oleh panasnya sinar matahari, dan dalam pakaian yang lebih baik pula, sehingga bagi Raden Rudira, gadis itu tampak menjadi semakin cantik.

Dengan cekatan gadis itu kemudian berjongkok dan bergeser mendekat. Ketika ia sudah berada di sudut tikar, ia pun segera duduk sambil meletakkan nampannya di hadapannya.

“Maaf tuan” berkata Kiai Danatirta, sehingga Raden Rudira terkejut karenanya, “Ia adalah seorang gadis padesan, sehingga barangkali solah tingkahnya kurang berkenan di hati tuan”

“O, tidak. Tidak” Rudira menggelengkan kepalanya.

Namun wajahnya menjadi merah ketika ia melihat Kiai Danatirta tersenyum sambil mengambil mangkuk-mangkuk itu dari nampan dan menghidangkannya kepada Raden Rudira dan Mandra.

Bersambung ke bagian 2

3 Tanggapan

  1. Jilid 4 bagian 3 koq tdk bisa dibuka

  2. Suami sya dr awl. Smpi akhir suka bgt bacaan ini

Tinggalkan Balasan ke semar edan Batalkan balasan