Seri Kerajaan Singosari


[Waosan ka-11] PdLS-64

KEN ANGROK MENGKUDETA KADIRI

Situasi politik yang sedang tidak kondusif antara para brahmana dan Prabu Dhangdhang Gendhis (Sri Kertajaya) pun menjadi sasaran berikutnya bagi Ken Angrok yang terobsesi menjadi penguasa Jawadwipa. Ketika itu Prabu Dhangdhang Gendhis menghendaki agar para Brahmana menyembah dirinya, karena berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyamai kehebatannya kecuali Bhatara Guru (Bhatara Syiwa).

Siapa Kertajaya itu? Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama. Pupuh 40 (3):

Ri sakabdhikrtasangkara sira tumeka sri narendreng kadinten Sang wiranindita sri-krtajaya nipuneng sastra tatwopadesa Sighralah gong bhayamrih malajeng anusup pajaran parswa sunya Sakweh ning bhrtya mukyang parapajurit asing kari ring rajya sirnna.

[Tahun sakabdhikrtasangkara (1144) beliau melawan raja Kediri, Sang adiperwira Sri Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa, Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil, Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.]

Pupuh 44 (2):

Nguni lungha nira sri-krtajaya rikanang sakabdhimanusa

[Tahun saka bdhimanusa (1144) itulah sirnanya raja Sri Kertajaya],

Dalam Pararaton Kertajaya disebut dengan nama Dhandhang Gendhis Bukti sejarah lain tentang keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya: Prasasti Kamulan; 1116C atau 1194M Prasasti Galunggung; 1116C atau 1194M Prasasti Palah (1197); 1119C atau 1197M dan Prasasti Wates Kulon; 1127C atau 1205M Prasasti Kamulan .

Prasasti Kamulan terletak didesa Kamulan kecamatan Durenan. Prasasti ini dikeluarkan oleh Srngga tahun 1116 Caka atau 1194 Masehi.

Prasasti Galunggung.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis tidak ada sedikitpun yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara dua kerajaan itu, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Prabu Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Sisa-sisa keluarga dan pengikut Prabu Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Prabu Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Prasasti Palah.

Di selatan candi utama pada kompleks Candi Penataran, berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu. Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga (dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Pala.

Prasasti Lawadan.

(Wates Kulon, desa Lawadan, sekarang Wates Campurdarat, Tulungagung);

Prasasti Lawadan dikeluarkan oleh Prabu Srengga raja terakahir kerajaan Daha, yang juga dikenal dengan nama Prabu Dhangdhang Gendhis. Prasasti tersebut berisi pemberian keringanan pajak dan hak istimewa semacam bumi perdikan atau sima.

Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Sarweswara Triwikrama-watara Anindita Srngga Lancana Digwijaya Uttunggadewa.

Perang Ganter; Kekalahan Kertajaya. Runtuhnya Kerajaan Daha

Alasan dibalik peperangan dikarenakan Dhangdhang Gendhis memerintahkan para brahmana untuk menyembahnya, yang menolak dibunuh. Para brahmana melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Ken Arok. Entah benar entah tidak, mitos mengatakan prabu Dhangdhang Gendhis yang terkenal sakti pernah mengatakan bahwa dia tidak akan bisa dibunuh kecuali Batara Syiwa turun sendiri ke bumi. Ternyata akhirnya Dhangdhang Gendhis menurut tutur lisan turun temurun, terbunuh oleh tombak Ken Arok yang menancap di dadanya, semenjak itu Daha menjadi jajahan Singosari. Tapi permusuhan dan dendam tidak berakhir begitu saja, kelak raja Singosari terakhir yaitu raja Kertanegara mengambil menantu pangeran Ardaraja, putra dari Jayakatwang raja Daha, dengan tujuan menghapus dendam lama,

Ikuti episode kisah Kertajaya:

Seorang janggan muda bertanya pada sang resi: “Sang Prabu Dhangdhang Gendhis akan menggelar pesta. Sinuwun mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari pelosok negeri jajahannya. nDoho. Ada apakah gerangan?”.

“Dengarlah suara gong beri dan bende dari paseban depan alun-alun kota, ditabuh bertalu-talu menandakan agar para kawula, terutama para resi dan pandita berkumpul di depan istana raja”.

Di atas lembaran rontal pun tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadiran mereka pada upacara tersebut. Para kawula pun didatangkan. Dalam benak para resi, pandita, janggan, putut, manguyu, para tapa lan tapi membawa pertanyaan-pertanyaan. Ada apa gerangan sang Prabu tiba-tiba nimbali mereka.

Undangan telah disebar, tanggal sudah ditetapkan. Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Sri Baginda Raja. Para undangan sudah berkumpul di depan bangsal pasewakan ageng.

Sang Prabu bersabda: “Aku telah memerintah kerajaan ini cukup lama tak dan tergoyahkan. Adakah di antara kalian tidak tunduk menyembah kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Hai para pandita, resi, pujangga dan para kawulaku. Aku tiada bedanya dengan Syiwa Bathara Guru.”

Prabu Dhangdhang Gendhis menunjukkan di hadapan para pandita segala kuasa dan kedigdayaannya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan. Para hadirin semuanya gusar, mau menentang sri baginda mereka takut. Jika menyetujui berarti mereka ingkar pada kepercayaan yang mereka yakini selama ini.

Kemudian salah seorang pandita berkata: “Wahai Baginda Raja, Duli yang dipertuan di nDoho. Selama ini belum pernah ada seorang panditapun yang menyembah raja.”

“Ya, dahulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku.” tegas ucapan sang Raja. Para hadirin terdiam. Sang Prabu dengan angkuhnya berteriak lantang: “Kalau kalian ragu tentang apa yang saya maksud, majulah semua melawanku?”

Pararaton menceritakan:

Mangko ta siraji Dhangdhang Gendhis ngadekaken tumbak. Landheyan ipun tinancepaken ing lemah. Sira ta alinggih ri pucuk ing tumbak. Tur angandhika: ‘Lah para bhujangga, delengen kasaktin isun!’ Sira ta katona acaturbhuja, atri nayana, saksat bhatara Guru rupanira. Winidhi anembaha para bhujangga sakapasuk ing Deha……. [Kemudian Raja Dhangdhang Gendhis mendirikan tombak, batang tombak itupun dipancangkan ke dalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: “Nah, para bujangga, lihatlah kesaktianku.” Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, laksana wujud diri Sang Batara Guru, para bujangga di seluruh daerah Daha diperintahkan menyembah……”],

Seakan serentak, ruang pesewakan agung itu hening, tiada seorangpun yang berani bersuara. Prabu Dhangdhang Gendhis adalah raja ditakuti kala itu, para kawula, sentana, hulubalang, pangreh praja selalu patuh menjunjung tinggi titah Sang Raja, tidak ada satupun yang berani menentang perintahnya. Suara pendapa kedaton Daha hening suwung. Tiada bisik-bisik di antara pandita, resi dan janggan. Serentak sukma mereka disentakkan kuasa sang Prabu dengan sangat kuat. Semakin takutlah para resi, pandita, janggan dan lainnya.

Sang Prabu tertawa, tawanya menggema, meruntuhkan setiap hati di paseban ageng itu. Kembali Sri Baginda memerintahkan agar para pandita bersujud kepadanya.

Setelah dirasa cukup menunjukkan segala kelebihannya, Sang prabu memperkenankan mereka untuk pulang ke padepokannya masing-masing. Mengabarkan bahwa sang Raja sudah menjelma sebagai dewata. Namun tidaklah demikian; tidak semua pandita mau menerima perintah sinuwun Kertajaya. Mereka ingin memberontak.

Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di daerah Tumapel yang berubah nama Singosari, ada seorang raja baru yang berwibawa dan disegani, bergelar Sri Rajasa.

Tak jauh dari perbatasan Daha, para pujangga mengurungkan langkah pulang ke padepokan masing-masing. Mereka sepakat menuju Singosari guna menghadap Sri Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken Arok) itu.

Saat para janggan, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. bertuturlah mereka di hadapan sang akuwu Angrok tentang Sang Prabu Kertajaya.

Kabar larinya para pendita ke Tumapel itu dan kesiapan ngluruknya wadyabala Tumapel itu tercium juga oleh sang Prabu Kertajaya.

Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dhangdhang Gendhis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri.

Dhangdhang Gendhis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Syiwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Syiwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.

Pararaton menulis:

Andhikan iraji Dhangdhang Gendhis: ‘Sapa ta angalahakena ring nagaran isun iki? Manawa kalah, lamun Bhatara Guru tumurun saking akasa, Manawa kalah!’ [Dhangdhang Gendhis berujar: “Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini, barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah.”]

Mendengar sesumbar Sang Prabu, Ken Angrok pun meminta restu kepada para Brahmana untuk memakai nama Hyang Caturbuja alias Bhatara Guru untuk menyerang Daha.

Keberhasilan Ken Angrok dalam memanfaatkan situasi politik di Daha membuatnya mampu memperbesar kekuasaanya dan memperluas pengaruhnya di Jawadwipa. Obsesinya untuk menjadi raja di Jawadwipa menjadi kenyataan.

Pararaton mengisahkan:

Ingaturan sira Ken Angrok, yan siraja Dhangdhang Gendhis angandhika mangkana. Ling ira Sang Amurwwabhumi: ‘He para bhujangga Sewa Soghata kabeh, astwakena isun abhiseka Bhatara Guru’. Samangkana mulan ira abhiseka Bhatara Guru. Ingastwan ing bhujangga Brahmana Rsi. Tur sira anuhu anglurrug maring Deha. [Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Kata Sang Amurwabumi: “Wahai, para bujangga syiwa soghata, restuilah kami mengambil nama abhiseka Batara Guru.” Demikianlah asal mulanya ia menggunakan nama abhiseka Batara Guru, dan telah direstui pula oleh para bujangga brahmana dan resi, Selanjutnya ia pun lalu pergi menyerang Daha].

Dhangdhang Gendhis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru.

Pertempuran pun terjadi di sebelah utara Ganter, suatu dusun yang diduga terletak antara Blitar dan Kediri sekarang, Pasukan Kadiri di bawah kendali Sri Kertajaya dengan kekuatan jauh lebih besar bisa dikalahkan, tentara Daha terdesak dan kemenangan pun berada di pihak Ken Angrok. Adik Raja Dandhang Gendis, Mahisa Walungan gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan menterinya yang perwira, Gubar Baleman.

Prabu Dhangdhang Gendhis pun mengundurkan diri dari medan perang dan semua hal tentang Prabu Dhangdhang Gendhis hilang ditelan bumi. Persitiwa itu diberi candrasengkala warna-warna janma iku.

Pararaton menulis:

siraji Dhangdhang Gendhis alah aprang. Karengha honti Dewalaya gumantunging awang-awang. [Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa].

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Prabu Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (alam Dewa), disebutkan sebagai ‘melarikan diri ke dalam biara terpencil’ atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Prabu Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

Seusai peperangan di dusun Ganter, Ken Angrok mengubah status Tumapel yang semula merupakan negara bagian dari Kerajaan Daha (Kadiri) menjadi negara merdeka dengan nama Singosari.

Bahwa Ken Arok benar-benar berkeinginan menjadi raja, Puncak kekuasaan kemudian berhasil ia peroleh, sekaligus menjadi awal kemelut berkepanjangan yang diwarnai dengan pertumpahan darah. Ken Arok menjadi raja pertama Singosari, beribu kota di Tumapel Kutaraja mulai 1222 hingga 1227; ia pun mengangkat dirinya sebagai raja pertama Singasari yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi, dalam waktu hanya lima tahun.

7 Tanggapan

  1. Manteb tenan ………..

  2. bagus sekali

  3. jdbk sdh sy copas baru sampe jld 20.2. Trims pakDhe.

  4. terima kasih pencerahan nya sayangnya lorong di rumah bu siti maiyah tsb kurang terdokumentasi dgn baik untuk cerita ke ke generasi penerus dan menjadi cagar budaya kota malang

    • Iya, pasti ada alasannya sendiri ketika pamong desa memerintahkan untuk menghentikan misi pemeriksaan lebih lanjut. Banyak kejadian aneh sebelum sumur itu ditutup . Misalkan penampakan Harimau putih yg sangat besar berkeliaran didesa Polowijen konon dipercaya penunggu desa Polowijen juga seekor ular tapa yg mengelilingi batas wilayah Polowijen. Dan banyak orang2 disekitar yg kerasukan mungkin sebagai peringatan dan akhirnya sumur itu ditutup pintu besi rapat dimulut sumur.

  5. Desa katang lumbang bisa jadi desa tempat saya lahir yaitu desa lumbang kecamatan lumbang kabupaten pasuruan.kenapa saya berkata begitu karena di desa saya ada makam kuno.makam siapa itu?penduduk setempat dari dulu mengatakan bahwa itu adalah makam mbah joyo,makam toh joyo.penduduk setempat dari dulu mengetahui hal itu.lokasinya berada kurang lebih 1 km kearah selatan dari perumahan desa lumbang…dan di daerah lokasi makam penduduk setempat menamakan joyo..itu adalah area ladang penduduk yang berada di sekitar lokasi makam.makamnya sendiri berada di sebelah timur dari sungai kecil dan sungainya sekarang tidak ada airnya.mungkin karna hutan disekitar sana sudah banyak yang beralih fungsi menjadi perkebunan warga.karna makam ini adalah makam bagian dari sejarah bangsa. Keadaan makam saat ini kurang terawat.sampai saat ini belum ada penelitian dari dinas purbakala atau dinas yang berhubungan dg sejarah yang kesana.

  6. Nuwunsewu…
    Badhe nderek nyantrik kog dereng gadhan sangu babar pisan…
    Berbeda dari bab (waosan) sebelumnya…
    Maturnuwun sampun diparengake nunut sinau, ngangsu kaweruh…

Tinggalkan komentar